Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro Bagian 2
Laknat pegang pundak pemuda ini.
"Tubuhmu mulai dingin. Racun tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mulai
bekerja. Aku harus bertindak cepat ...."
Si nenek percepat larinya. Baru berlalu beberapa saat tiba-tiba Wiro merasakan
dadanya sesak. Dia membuka mulut lebar-lebar agar bisa bernafas. Tapi dari
mulutnya menghambur darah segar. Saat itu juga murid Eyang Sito Gendeng ini
jatuh pingsan tak sadarkan diri lagi!
"Celaka! Celaka!" kata Hantu Santet Laknat berulang kali. Dia percepat larinya.
Dalam udara yang mulai gelap sosoknya kelihatan seperti bayang-bayang,
berkelebat ke arah matahari tenggelam. Tujuannya adalah sebuah bukit kecil yang
ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan mengandung obat mujarab bagi
penyembuhan luka dalam yang disertai racun.
Di puncak bukit itu ternyata ada sebuah gubuk reot beratap daun kelapa kering.
Di dalam gubuk terdapat tiga batang pohon kelapa yang dipotong-potong rata dan disusun demikian
rupa membentuk pembaringan. Hantu Santet Laknat baringkan Wiro di atas batangbatang kelapa itu. Lalu dia mencari beberapa ranting kering, digabung jadi satu.
Ujung ranting-ranting itu dilumasinya dengan hancuran sejenis daun. Ketika
dibakar maka ujung ranting itu berubah menjadi obor. Walau hanya apinya kecil
saja tapi sudah cukup untuk menerangi seluruh gubuk.
Hantu Santet Laknat berlutut di samping sosok Wiro.
Dengan cepat dibukanya baju pemuda ini. Muka burungnya berubah dan sepasang
matanya yang aneh membeliak besar ketika melihat tanda kebiruan berbentuk kaki di dada kiri
Wiro. Itu adalah tanda kaki bekas tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
"Tendangan Hantu Racun Tujuh .... Tepat di arah jantung. Tidak mudah
mengobatinya.,." desis Hantu Santet Laknat.
"Aku harus mencari tujuh jenis daun obat. Mungkin membutuhkan waktu lama. Apakah
dia sanggup bertahan ...." Si nenek letakkan telinga kirinya di atas dada kiri Wiro.
"Masih ada detak jantungnya. Tidak terlalu keras.
Para Dewa .... Aku mohon pertolonganmu. Beri kekuatan pada orang ini agar dia
bisa bertahan. Paling tidak sampai aku dapat mengumpulkan tujuh daun obat yang diperlukan ...."
Hantu Santet Laknat letakkan dua telapak tangannya di dada kiri Pendekar 212.
Lalu dia pejamkan mata.
Perlahan-lahan si nenek mulai alirkan hawa sakti ke dada murid Eyang Sinto
Gendeng. Cukup lama
sampai tubuhnya keringatan karena dari dada
pemuda itu seolah ada hawa lain yang keluar
menolak masuknya hawa sakti si nenek. ltulah hawa jahat racun tendangan Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab!
"Wiro ..." bisik Hantu Santet Laknat
"Walau kelak aku tidak mendapatkan dirimu, aku merasa puas jika bisa
menyelamatkan jiwamu.
Kehadiranmu membuat aku mulai menyadari betapa hidup di dalam kesesatan itu
hanya akan membakar diri sendiri ...." Si nenek belai pipi Wiro lalu bangkit
berdiri. Dia harus bertindak cepat.
Sebelum keluar dari dalam gubuk dia mengambil ranting-ranting yang dijadikan
obor. Mencari tujuh daun obat di malam gelap seperti itu bukan
pekerjaan mudah. Obor kecil itu bisa menolongnya sebagai penerang jalan.
Baru satu langkah Hantu Santet Laknat
meninggalkan bagian depan gubuk tiba-tiba di dalam gelap terdengar suara tawa
cekikikan. Kaget si nenek bukan alang kepalang. Memandang kedepan dia melihat dua gadis
cantik berpakaian serba putih menyeruak keluar dari kegelapan, tegak berkacak
pinggang, memandang ke arahnya sambil tertawa-tawa.
"Sepasang Gadis Bahagia!" kata si nenek dalam hati.
"Apakah sudah lama mereka berada di tempat ini"
Apakah mereka melihat apa yang tadi aku lakukan di dalam sana" Ah, menyaksikan
mereka berdua-dua seperti ini membuat rasa penyesalan dalam diriku jadi semakin
bertambah. Kalau sang Junjungan tidak memerintahkan aku .. Tapi bagaimana dengan
berita yang tersiar di luaran. Wiro dikabarkan telah meru sak kehormatan mereka
dan menganiaya keduanya.
Jika melihat mereka saat ini tampaknya seperti tidak pernah terjadi apa-apa
dengan mereka ....."
Siapa adanya Sepasang Gadis Bahagia harap baca Episode sebelumnya berjudul Hantu
Langit Ter jungkir.
"Hantu Santet Laknat!" gadis kembar di sebelah kanan bernama Luhkemboja menegur.
"Apa yang kau lakukan di dalam gubuk barusan" Hik
... hik ... hik!"
"Dia benar-benar beruntung! Hik ... hik ... hik!"
menimpali gadis satunya yakni Luhkenanga sang adik Hantu Santet Laknat tidak mau
layani ucapan dua gadis kembar itu. Dia membentak keras.
"Dua gadis liar! Perlu apa malam-malam begini berada di tempat ini! Jika kau
mengikuti diriku dan punya niat tidak baik, jangan kira aku tidak tega membuat
kalian celaka seumur-umur!"
"Hik ... hik! Kak, kau dengar, dia mengancam kita!"
"Dia takut ketahuan apa yang barusan diperbuatnya di dalam sana dengan pemuda
gagah yang digilainya itu!" ujar Luhkemboja. Lalu dua gadis itu kembali tertawa panjang.
"Nek, kami tadi mengintip kau hendak menelanjangi pemuda itu di dalam gubuk!"
kata Luhkenanga.
"Kau membelai kepalanya. Mengapa tidak membelai bagian tubuh lainnya"!"
"Gadis-gadis sesat bermulut keji! Kalau kau tidak menjaga ucapan akan kurobek
mulut kalian saat ini juga!" Hantu Santet Laknat marah besar.
"Hik ... hik! Dia takut kita mau mengambil pemuda itu!" kata Luhkenanga pula.
"Hemm ... Kalian suka pada pemuda itu! Silahkan masuk ke dalam gubuk! Lakukan
apa yang kalian mau!" Hantu Santet Laknat berkata seraya maju selangkah.
"Kami tidak berselera! Apa lagi pemuda itu siap menjadi bangkai tak berguna!
Siapa sudi!" jawab Luhkenanga.
Seperti diketahui dua gadis kembar cucu-cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ini
memang mempunyai kelainan. Yakni hanya suka pada kaum sejenis.
"Kalau kalian tidak punya kepentingan lekas menyingkir! Atau api di ujung
ranting ini akan merusak wajah kalian!"
Habis berkata begitu Hantu Santet Laknat membuat lompatan, menyergap dua gadis
kembar seraya babatkan ujung ranting berapi ke wajah mereka.
Sepasang Gadis Bahagia tahu sekali siapa adanya Hantu Santet Laknat. Mereka
tidak mau mencari celaka. Dengan sigap keduanya membuat gerakan melesat ke
udara. Dalam melompat tinggi sosok mereka seolah-olah bersikap duduk enakenakan. lnilah jurus yang disebut Bahagia Naik Ke Pelaminan.
Sesaat kemudian keduanya lenyap dalam kegelap an. Hanya suara tawa mereka yang
terdengar di kejauhan. Setelah memastikan dua gadis itu telah pergi jauh Hantu
Santet Laknat segera tinggalkan tempat tersebut. Namun hatinya was-was.
"Dua gadis itu, aku tidak percaya pada mereka.
Sejak keadaan mereka menjadi seperti itu benak dan hati mereka telah dilumuri
segala macam kekejian. Aku harus melakukan sesuatu ...."
Si nenek angkat tangan kirinya tinggi-tinggi keatas.
Telapak tangan dipentang terbuka kearah gubuk.
Matanya membesar tak berkesip.
"Wussss!"
Kepulan asap hitam melesat keluar dari lima jari dan telapak tangan si nenek.
Asap itu membuntal ke arah gubuk. Tepat seperti yang diduga Hantu Santet Laknat,
tak selang berapa lama Sepasang Gadis Bahagia muncul kembali. Mereka memandang
berkeliling dalam gelap.
"Aneh, rasanya kitasudah sampaidi tempat gubuk itu berada sebelumnya. Tapi
mengapa gubuknya tak ada lagi ... ?" berucap Luhkenanga.
"Pohon besar itu," kata Luhkemboja sambil memandang pada pohon besar beberapa
langkah di hadapannya. "Apakah pohon inisebelumnya memang ada di sini?"
"Aku tak dapat memastikan," jawab Luhhkenanga.
"Perasaanku tidak enak Jika dukun jahat itu membokong kita di malam gelap gulita
begini rupa, kita bisa celaka. Sebaiknya kita pergi saja. bukankah kita ingin
menyirap kabar bagaimana keadaan dan apa yang dilakukan kakek kita Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab?"
"Ya, kita pergi saja. Kalau bertemu kakek kita beritahu bahwa pemuda asing dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu berada di kawasan bukit kecil ini."
"Tapi bagaimana kalau dia tahu kita mendustainya tentang tongkat batu biru itu?"
ujar Luhkenanga.
Luhkemboja jadi terdiam sesaat Akhirnya dia
berkata. "Sudah, lupakan dulu mencari kakek Yang penting kita lekas pergi dari tempat
ini!" Seperti ditelan bumi dan gelapnya malam, dua gadis itu kemudian
berkelebat lenyap dari tempat itu.
LANGlT malam laksana runtuh, tak dapat menahan curahan hujan yang sangat lebat.
Gubuk tua itu seperti akan hancur luluh. Petir sabung menyabung.
Guntur menggelegar menggetarkan puncak bukit.
Dinding gubuk yang banyak berlubang membuat
angin dingin menerobos masuk dengan mudah.
Pendekar 21 2 Wiro Sableng terbaring tak bergerak di atas tempat tidur
terbuatdari susunan-batang pohon kelapa. Hanya dua bola matanya memandang
berputar. Tubuhnya terasa dingin diterpa angin yang masuk dari luar. Tampisan
air hujan dari atap dan dinding membasahi dirinya.
Untuk kesekian kalinya petir menyambar. Gelegar guntur membuat batang-batang
pohon kelapa yang ditiduri Wiro bergetar keras. Tiba-tiba Wiro melihat cahaya
terang di atas gubuk. Lalu terdengar suara lolongan anjing di kejauhan. Sesaat
kemudian "braakk!"
Atap gubuk jebol ambruk. Bersamaan dengan
guyuran air hujen satu sosok putih melayang turun ke dalam gubuk! Dalam kejutnya
Wiro berusaha bangkit Tapi sekujur tubuhnya laksana direkat kebatang pohon
kelapa. Matanya membeliak besar ketika mengenali siapa adanya sosok tinggi besar
berjubah putih basah kuyup yang tegak di
sampingnya. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab!
"Pemuda terkutuk dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang! Aku mau melihat
sampai dimana kesaktianmu! Apa kali ini kau sanggup menyelamat kan diri dari kematian" Roh
teman-temanmu tidak sabar menunggu kedatanganmu untuk bergabung!"
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi terkejut besar.
"A ... apa"! Jadi kau. .. kau telah membunuh Naga Kuning dan Setan Ngompol"!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab tertawa bergelak.
Tiba-tiba dia gerakkan dua tangannya. Dua tangan itu serta merta menjadi panjang
dan berkelebat ke arah leher Wiro. Satu cekikan yang sangat kuat membuat lidah
Wiro langsung terjulur. Dia tidak bisa melakukan apapun. Tangannya tak bisa
digerakkan. Dia tidak ada daya untuk menyelamatkan diri! Suara tawa Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab semakin keras. Lidah Wiro semakin panjang terjulur. Ludah bercampur
darah berbusa di mulutnya. Nafasnya tidak keluar lagi dari mulut ataupun hidung!
"Tidak ... ! Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati!"
teriak Wiro. Dia berusaha mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba entah bagaimana, dia mampu meng
gerakkan tangan dan kakinya. Langsung dia
menendang dan memukul. Tapi sosok Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab seperti
bayang-bayang. Wiro hanya memukul angin!
"Aku tidak mau mati! Tidaakk! Kau yang harus mati!
Kau ... kau ... kau!" Wiro berteriak lagi lalu kembali dia memukul dan menendang
kalap. Mendadak pintu gubuk ditendang orang dari luar.
Satu sosok hitam menghambur masuk. Di kepitan tangan kirinya dia membawa
berbagai macam dedaunan. Di tangan kanan orang ini memegang obor ranting kayu. Hantu Santet
Laknat! "Wiro! Apa yang terjadi"!" si nenek bertanya kaget dan heran melihat keadaan
Wiro begitu rupa. "Aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Kau yang harus mati!
Kau ... kau ... kaul"
"Kau ... kau siapa maksud pemuda ini" Diriku" Dia ingin aku mati?"
Si nenek sisipkan obor di sudut gubuk. Dedaunan dibuangnya ke lantai lalu cepat
dia mendekati Wiro.
Begitu dia menyentuh tubuh si pemuda terasa
sangat panas. "Kau mimpi! kau barusan bermimpi Wiro! Sekaligus diserang demam panas akibat
racun tendangan ...."
Bola mata Pendekar 212 memandang seputar
gubuk. "Mana dia" Mana dia manusia jahat yang hendak membunuhku itu"!"
"Manusia jahat siapa" Tidak ada orang lain di sini kecuali kita berdua ...."
Menjelaskan Hantu Santet Laknat.
"Tidak mungkin! Aku lihat sendiri dia menerobos masuk dari atas atap sana! Basah
kuyup karena di luar sedang hujan lebat!"
Hantu Santet Laknat memandang ke arah atap yang ditunjuk Wiro. "Aku tidak
melihat apa-apa. Coba kau perhatikan baik-baik. Atap gubuk itu tidak ada yang
jebol. Di luar tidak ada hujan ...."
"Tidak mungkin! Jangan mempermainkan aku!" Si nenek gelengkan kepala.
"Kataku kau bermimpi ...."
"Kalau aku bermimpi bagaimana aku bisa
menendang dan memukul?"
Hantu Santet Laknat tertawa. "Waktu aku masuk aku dapatkan kau terbaring
keringatan tapi masih dalam keadaan kaku di atas batang-batang kelapa itu.
Kalau kau tidak percaya coba gerakkan tangan atau kakimu!"
Wiro melakukan apa yang dikatakan si nenek.
Ternyata dia tidak bisa menggerakkan tangan dan kakinya.
"Kau masih berada dalam kelumpuhan akibat perbuatan Hantu SejutaTanya Sejuta
Jawab. Sekarang apa kau percaya bahwa kau tadi hanya bermimpi"
Kalau kau mimpi berarti kau sempat tidur. Itu sangat menolong memulihkan
kekuatanmu. Tapi kau masih belum terlepas dari bahaya. Pejamkan matamu.
Jangan memikirkan apa-apa. Aku pernah
mendengar dari seseorang bahwa kau mempunyai Tuhan yang disebut Allah. Aku tidak
mengerti, tidak tahu siapa Dia adanya. Tapi kudengar Dia Maha Kuasa Maha
Penolong dan Maha Pengasih. Kalau begitu mengapa kau tidak berdoa padaNya agar
kau mendapat pertolonganNya.
Aku akan berdoa untukmu pada para Dewa. Lalu menyiapkan ramuan obat Tetap
berbaring di sini sampai aku kembali!"
Setelah Hantu Santet Laknat keluar dari gubuk dan Pendekar 212 tinggal
sendirian, murid Sinto
Gendeng ini memperhatikan seputar gubuk sambil berpikir-pikir.
"Mungkin benar aku bermimpi. Atap itu tak ada yang jebol. Di luar ternyata tidak
ada hujan. Nenek bernama Hantu Santet Laknat itu.. .. Aneh, mengapa dia berubah
sebaik itu padaku" Dia hendak meramu obat katanya" Dia memberitahu agar aku
berdoa pada Allah. Astaga .... Aku memang sudah banyak berdosa karena sejak lama
tidak pernah mengingat-ingat Dia ...." Wiro usap mukanya yang keringatan
berulang-ulang.
"Gusti Allah, ampuni diriku!" Wiro pejamkan matanya. Dadanya kembali menyentak
sakit. * * * Di dalam gubuk itu waktu terasa seperti merayap.
Wiro seolah sudah menunggu berhari-hari. Matanya hampir terpicing ketika
akhirnya Hantu Santet Laknat muncul kembali. Di tangannya dia membawa daun talas
yang dibentuk demikian rupa tempat menam pung remasan tujuh macam daun yang meng
hasilkan semacam cairan kental.
"Aku datang membawa obatmu! Kau berdoalah pada Tuhanmu. Aku memohon pada para
Dewa untuk kesembuhanmu. Sekarang buka mulutmu lebarlebar!" "Hantu Santet Laknat, apa yanb ada di dalam daun itu?"
"Obatmu! Jangan banyak bertanya lagi! Jangan membuang waktu. Jangan membuat aku
Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesal!" Karena Wiro tidak mau membuka mulutnya, nenek berwajah seperti burung gagak
hitam itu jadi tak sabaran lalu pencet pipi si pemuda. Begitu mulut Wiro terbuka
Hantu Santet Laknat segera tuangkan cairan kental di dalam daun keladi. Wiro
masih berusaha bertahan dengan tidak mau menelan
cairan obat itu karena ada kekhawatiran dalam dirinya si nenek bukan memberinya
obat tetapi racun jahat yang bisa mencelakainya!
Terpaksa Hantu Santet Laknat memijat pipi Wiro kembali. "gluk ... gluk ...
gluk!" Ketika cairan ramuan obat lewat di tenggorokannya, Wiro merasa seperti
menelan cairan timah panas. Mulutnya mengepulkan asap. Wiro berteriak setinggi
langit. Matanya mendelik lalu terkatup..Mulut terkancing. Hantu Santet Laknat
tertawa panjang.
* * * PERLAHAN-lahan Pendekar 212 buka sepasang
matanya. Dia memandang berkeliling dan dapatkan.
dirinya ternyata masih berada dalam gubuk. Di sudut gubuk masih menyala api di
ujung tumpukan ranting kayu yang kini hanya tinggal dua jengkal pan jangnya.
Wiro coba memasang telinga. Selain kesunyian sesekali terdengar suara jengkerik
di kejauhan pertanda saat itu malam hari.
"Malam hari, apakah masih malam yang sama pertama kali aku dibawa ke sini" Aku
masih berada dalam gubuk ini. Mana si nenek dukun itu ... ?" Wiro berucap dalam
hati. "Aneh, tubuhku terasa ringan.
Dadaku lega, tak ada rasa sakit ...." Tak sadar Wiro gerakkan tangan kanannya.
Astaga! Ternyata dia bisa menggerakkan tangan. Ganti tangan kiri
digerakkan. Lalu digeserkan dua kakinya.
"Gusti Allah! Kau telah menolongku! Aku sembuh!
Aku bisa bergerak!" Masih kurang percaya, murid sinto Gendeng ini bergerak
bangkit. Dia keluarkan seruan tertahan ketika melihat dia benar-benar bisa duduk
di atas pembaringan terbuat dari batang kelapa itu!
Wiro perhatikan dada kirinya. Sebefumnya disitu ada tanda kebiru-biruan bekas
tendangan kaki beracun Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tapi saat itu tak ada
lagi, lenyap tak berbekas. "Tuhan Maha Besar!"
Wiro bersujud di atas pembaringan. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih Gusti
Allah. Jika pertolongan dan kesembuhanku ini Kau berikan melalui kebaikan
seseorang maka berilah orang itu berkah sebesar-besarnya!
Berilah kepadaku kemampuan untuk membalas
budinya!" Setelah bersujud tak bergerak beberapa lamanya sambil mengucap puji
syukur berkepan-jangan Wiro turun dari pembaringan. "Aku harus mencari nenek itu
...." Hanya mengenakan celana putih tanpa baju dia melangkah ke pintu. Pintu gubuk
mengeluarkan suara berkereketan ketika dibuka. Di luar kegelapan hitam
menyambutnya. Setelah memperhatikan
keadaan sesaat, Wiro kemudian melangkah. Dia memeriksa sekitar gubuk malah lebih
jauh lagi. Tapi dia tidak menemukan Hantu Santet Laknat
"Jangan-jangan dia telah pergi entah kemana. Dia masih membawa kapak saktiku.
Kemana aku harus mencarinya"!" Wiro angkat tangan kanannya menggaruk kepala.
"Ah, sudah lama aku tidak menggaruk. Enak sekali rasanya!" Murid Sinto Gendeng
lalu pergunakan dua tangan untuk menggaruk kepalanya habis-habisan sambil
tersenyum-senyum. Tapi bila dia ingat kembali pada Hantu Santet Laknat dan kapak
saktinya, senyumnya hilang, gerakan menggaruk terhenti.
Kemudian disadarinya dia tidak mengenakan baju.
"Aku harus kembali ke gubuk. Mengambil baju dan memeriksa. Siapa tahu nenek itu meninggalkan kapak saktiku di satu tempat
di dalam gubuk itu!"
Wiro setengah mengharap walau sebenarnya dia tidak yakin Hantu Santet Laknat
akan meninggalkan Kapak Maut Naga Geni 212 begitu saja tanpa
memberitahu padanya.
Wiro cepat-cepat melangkah kembali ke gubuk.
Setengah jalan di satu. tempat langkahnya tertahan.
Telinganya tiba-tiba mendengar suara sesuatu.
"Suara orang terisak-isak.. " kata Wiro dalam hati.
"Siapa pula yang malam-malam begini menangis di tempat ini?" Dia memandang
berkeliling. Matanya melihat sesuatu beberapa belas langkah di depan sana. Di
bawah bayang-bayang gelap sebuah-pohon besar, di atas akar pohon yang menyembul
tinggi di permukaan tanah dia melihat seseorang duduk bersandar. Seorang
perempuan berpakaian putih panjang.
* * * PERI Angsa Putih .... Bagaimana dia bisa berada di sini. Apa yang membuat
hatinya sedih hingga
menangis terisak-isak?" Wiro menyelinap ke balik serumpunan semak belukar hingga
berada lebih dekat dengan pohon besar. Dari tempat itu dia bisa melihat lebih
jelas dan jadi terkejut ketika menda patkan perempuan berpakaian putih panjang
itu ternyata bukanlah Peri Angsa Putih. Wiro menduga-duga siapa adanya perempuan
ini. "Tak pernah kulihat gadis bertubuh langsing ini sebelumnya. Wajahnya sungguh
luar biasa. Bulat berseri seperti bulan empat belas hari. Paras yang tidak kalah
cantik dengan para gadis yang pernah kulihat di Negeri Latanahsilam ini.
Rambutnya sungguh hitam dan panjang sampai
sepinggang. Kulitnya tak kalah putih dengan Peri Angsa Putih. Mungkinkah dia
seorang Peri yang sela ma ini tidak pernah memunculkan diri" Tapi Kalau Peri
biasanya tubuh serta pakaiannya mengeluarkan bau harum semerbak."
Selagi Wiro berpikir-pikir apakah dia segera saja keluar dari balik semak
belukaratau menunggu sampai gadis itu pergi dan dia lalu mengikutinya, tiba-tiba
ada suara berdesir menembus semak belukar. Dia hampir keluarkan seruan tertahan
sewaktu meiihat seekor ular hitam besar panjang hampir dua tombak melata cepat
di tanah, melesat ke arah si gadis duduk.
Wiro hampir berteriak hendak memberikan ingat karena menyangka binatang yang
tubuhnya meman carkan cahaya aneh itu hendak menyerang atau mematuk si gadis.
Tapi dia jadi ternganga sewaktu menyaksikan bagaimana ular besar itu meluncur di
akar pohon yang menyembul tinggi lalu naik ke atas tubuh si gadis dan bergelung
di pangkuannya!
"Wahai sahabatku Laepanjanghitam," Terdengar si gadis berucap. "Tidak sangka kau
datang malam malam begini ...." Ular hitam di pangkuan si gadis tegakkan
kepalanya dan julurkan lidahnya yang memancarkan sinar terang kebiruan lalu
Keluarkan suara mendesis halus. Si gadis usap-usap kepala ular besar itu dengan
tangan kirinya. Sang ular kedap-kedipkan sepasang matanya yang berwarna hitam
pekat. "Sahabatku, saat ini aku tidak memerlukanmu.
Mungkin aku tidak akan meminta pertolonganmu dalam waktu lama. Mungkin juga kita
tak akan bertemu lagi. Walau begitu di alam seribu gaib kita akan tetap
bersahabat Jika kau memerlukan diriku aku bisa muncul. Jika aku membutuhkanmu
aku akan memanggilmu. Langit di sebelah timur mulai kelihatan terang. Sebentar lagi
pagi akan segera datang. Wahai sahabatku, pergilah ...."
Ular di pangkuan si gadis kembali keluarkan suara mendesis halus lalu gelungkan
tubuhnya di ieher dan dada gadis itu. Setelah mengusapkan kepalanya ke pipi si
gadis seolah membelai, binatang ini meluncur turun dari pangkuannya lalu melata
di tanah dan menghilang di arah matahari terbit.
Tak lama setelah binatang itu lenyap gadis langsing berpakaian putih bangkit
berdiri. Dia merapikan rambutnya yang tergerai sampai di pinggang,
termenung sesaat. Sambil mengusap pipinya gadis ini balikkan diri, melangkah ke
balik pohon besar tempat sebelumnya dia tadi duduk.
Wiro yang setengah tercekat menyaksikan semua kejadian itu segera keluar dari
balik semak belukar dan mengejar ke balik pohon besar. Tapi gadis cantik
berpakaian putih berambut panjang itu tak kelihatan lagi.
"Lenyap!" kata Wiro sambil memandang berkeliling dan garuk-garuk kepala.
"Mungkin dia sebangsa hantu penghuni kawasan ini. Kalau manusia biasa.
masakan bersahabat dengan seekor ular besar
begitu ru pa?"
. Pendekar 212 memandang ke timur. Langit semakin terang. "Aku harus kembali ke
gubuk. Mungkin Hantu Santet Laknat sudah ada di sana. Aku harus mendapatkan
Kapak Naga Geni 212 kembali. Aku harus mencari kawan-kawanku. Aku harus menolong
Lakasipo dan Luhsantini. Terakhir sewaktu di lembah mereka masih berada dalam
jaring aneh itu
...." Wiro lalu ingat dengan orang-orang yang hendak menurunkan tangan jahat
terhadapnya. Seperti Lawungu, Hantu Tangan Empat dan Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab. "Persetan dengan mereka!" Wiro memaki sendiri lalu balikkan badan, kembali
menuju ke gubuk. Hampir sepeminuman teh berlalu, pendekar kita mulai heran dan
garuk-garuk kepala. "Aneh, waktu pergi tadi rasanya aku tidak jauh-jauh. Mengapa
sekarang membutuhkan waktu begini lama mencari gubuk
sialan itu"!"
Wiro memandang berkeliling. Sementara itu langit sudah terang karena malam telah
berganti siang.
Ketika dia menoleh ke kiri kagetlah Wiro. Gubuk yang dicarinya itu ada di sana.
Hanya belasan tombak saja dari tempatnya berdiri.
"Sialan. Mungkin aku masih ingat-ingat gadis cantik tadi. Hingga gubuk di depan
mata aku tidak melihat!" Wiro segera melangkah menuju gubuk. Namun
kakinya berhenti berjalan ketika tiba-tiba pintu gubuk dilihatnya terbuka.
Seorang berpakaian serba biru keluar dari dalam gubuk. Dia membawa sehelai
pakaian putih yang sengaja ditekapkannya ke
dadanya. "Luhcinta. .." desis Pendekar 212. Setengah berlari dia segera menuju ke gubuk.
Sementara itu gadis di depan pintu gubuk kelihatan gugup dan berubah wajahnya.
Pakaian putih yang didekapnya ke dada cepat cepat diturunkannya. Pakaian itu
ternyata adalah baju milik Wiro. Begitu berhadap-hadapan kedua orang ini sesaat
hanya saling pandang, tak ada yang keluarkan ucapan.
Luhcinta lalu ingat pada baju Wiro yang
dipegangnya. Diulurkannya tangannya menyerahkan pakaian itu. Si gadis berusaha
tersenyum. "Bajumu .... Kutemukan di dalam gubuk. Aku ...."
Wiro melihat bekas robekan hangus pada bahu
kanan dan pinggul Luhcinta.
"Ada robekan di pakaianmu. Apa yang terjadi ... ?"
"Hantu Bara Kaliatus. Dia menyerangku dengan bara-bara apinya. Untung tidak apaapa. Hanya pakaianku yang robek ..." menerangkan Luhcinta dan merasa senang
karena si pemuda
memperhatikan dirinya.
"Syukur kalau begitu. Aku gembira kita bisa bertemu di sini. Walau sulit menduga
bagaimana kau bisa sampai di tempat ini," kata Wiro. Mendengar ucapan Wiro, si
gadis merasa bahagia. Dia jadi ceria.
"Panjang ceritanya, mungkin juga hanya satu kebetulan. Aku akan tuturkan padamu
secara singkat. Setelah kau dilarikan Hantu Santet Laknat aku tersesat ke satu tempat
dimana tengah terjadi perkelahian antara Hantu Bara Kaliatus dengan Hantu Langit
Terjungkir Luhsantini juga ada di situ.
Seperti Lakasipo dia masih terbungkus dalam jaring aneh. Hantu Bara Kaliatus
dibantu oleh satu
makhluk berjubah hitam bermuka jerangkong yang dipanggil dengan sebutan
Junjungan. Ternyata makhluk ini memiliki kepandaian tinggi.
Hantu Bara Kaliatus hampir membunuh Lakasipo kalau tidak ditolong oleh Peri
Angsa Putih. Hantu Langit Terjungkir sendiri hampir tamat riwayatnya kalau tidak
ditolong oleh seorang aneh bermuka tanah liat yang selama ini dikenal dengan
sebutan Si Penolong Budiman ...."
"Orang itu, bukankah yang menurutmu selalu mengikutimu ...." Luhcinta
mengangguk. "Sampai saat ini dia masih saja mengikutiku. Aku akan ceritakan
mengenai dirinya nanti. Biar kulanjutkan dulu cerita tadi. Dalam perkelahian
hidup mati itu Hantu Langit Terjungkir sempat mengatakan pada Hantu Bara
Kaliatus bahwa Lakasipo adalah
saudara kandungnya. Kemudian tersingkap singkap pula rahasia bahwa Hantu Langit
Terjungkir itu sebenarnya adalah ayah kandung Hantu Bara
Kaliatus. Tapi Hantu Bara Kaliatus tidak mempercayai. Malah marah besar. Dia kemudian
meninggalkan tempat itu. Makhluk muka tengkorak menyusul pergi.
Kemudian kami ketahui pula bahwa Peri Angsa Putih tak ada lagi di tempat itu.
Lakasipo lenyap. Besar dugaan Peri Angsa Putih yang membawanya. Aku kemudian
membawa Luhsantini. Si Penolong
Budiman menolong Hantu Langit Terjungkir yang cidera patah lengan kanannya. Kami
kemudian berpisah ...."
"Luhsantini, apakah dia sudah bisa dikeluarkan dari dalam jala?" tanya Wiro.
Luhcinta menggeleng. "Tak ada satu kekuatanpun yang sanggup menjebol jaring itu.
Tapi aku akan berusaha terus ...."
"Kau belum menerangkan bagaimana kau tahu-tahu pagi ini bisa tersesat ke sini,"
kata Wiro pula. Dia ingat gada baju yang dipegangnya. Cepat-cepat Wiro
mengenakan pakaian itu.
"Secara kebetulan saja ..." jawab Luhcinta.
"Setelah kau lenyap dibawa Hantu Santet Laknat dan kami tidak tahu dimana
beradanya dua sahabatmu benama Naga Kuning dan Setan
Ngompol itu, timbul perasaan khawatir. Jangan-jangan kau sudah dicelakai oleh
nenek jahat itu ...."
"Tidak, malah sebaliknya ...." Wiro memotong.
"Apa maksudmu tidak dan malah sebaliknya?" tanya Luhcinta.
"Teruskan ceritamu. Nanti aku jelaskan," jawab Wiro.
Si gadis tatap wajah Pendekar 212 sejurus baru meneruskan penuturannya.
"Beberapa hari lalu aku menemukan sebuah gua. Luhsantini kubaringkan di dalam
gua yang ternyata cukup bersih dan ada mata air di dalamnya ...."
"Bagaimana dengan Hantu Langit Terjungkir dan Si Penolong Budiman?" Wiro
memotong dengan pertanyaan.
"Aku tak tahu pasti mereka berada di mana. Tapi sebelum berpisah Si Penolong
Budiman mengatakan akan membawa kakek itu ke sebuah
telaga tak jauh dari tempat itu. Ternyata kemudian kuketahui, gua dimana aku dan
Luhsantini berada terletak tak jauh dari telaga, sama-sama tidak jauh pula dari
bukit ini. Pagi tadi, begitu fajar mulai menyingsing aku berjalan-jalan ke
puncak bukit ini.
Tak sengaja aku menemukan gubuk ini. Kuperiksa.
Kosong. Tapi di dalamnya aku melihat tanda-tanda sebelumnya ada orang di sini.
Lalu aku melihat sehelai baju putih. Aku yakin sekali pakaian itu adalah
milikmu. Berarti sebelumnya kau ada di dalam gubuk. Aku memutuskan untuk
menunggu. Tapi tak ada yang muncul. Aku keluar dari gubuk.
Tepat pada saat kau tengah menuju ke sini ...."
"Aku memang berada di gubuk ini. Aku tak ingat pasti berapa lama atau berapa
malam aku berada di sini. Sebelumnya aku menderita luka dalam yang amat parah.
Tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membuat sekujur badanku lumpuh. Hantu
Santet Laknat membawaku ke sini. Dia mengobati diriku hingga sembuh begini
rupa ...."
Tentu saja Luhcinta merasa terkejut mendengar keterangan Wiro. Dia menatap
dengan pandangan tidak percaya. "Kau diculik Hantu Santet Laknat, dia juga yang
mencuri kapak saktimu. Lalu kau katakan dia mengobati menyembuhkan luka dalam
serta kelumpuhan akibat tendangan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab?"
"Benar!" jawab Wiro.
"Maksudku, semua ini tentu saja atas kehendak Gusti Allah yang Maha Kuasa. Si
nenek ...."
"Sulit kupercaya Hantu Santet Laknat mau berlaku sebaik itu ..." kata Luhcinta
pula. Lalu dalam hati dia berkata.
"Jangan-jangan dukun jahat itu menyembunyikan sesuatu dibalik semua kebaikan ini
...." "Kau agaknya tidak percaya kalau Hantu Santet Laknat benar-benar telah berubah
dan menolongku?" tanya Wiro ketika melihat cara memandang si gadis.
"Aku percaya. Mudah-mudahan kasih yang tulus dan budi pertolongan yang kudus
Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah tumbuh di lubuk hati nenek itu. Aku turut bergembira. Walau demikian aku
sarankan agar kau tetap berlaku hati-hati, waspada. Dibalik sesuatu kebaikan
mungkin tersembunyi satu maksud jahat. Di belakang yang putih mungkin mendekam sesuatu
yang hitam. Di balik budi pertolongan bisa saja berlindung satu niat buruk yang
tidak terduga. Tapi Kalau kasih sudah menjadi bagian hati seseorang rasanya
kebaikan akan terpancar dalam segala tindakannya. ltulah yang kuharapkan terjadi
dengan Hantu Santet
Laknat ...."
"Kau menduga nenek itu menaruh hati culas terhadapku?" tanya Wiro.
"Aku tidak mengatakan demikian. Aku minta agar kau tetap berlaku hati-hati.
Terhadap siapapun ...."
"Termasuk terhadapmu?" tanya Wiro sambil tersenyum.
"Bisa saja!" jawab Luhcinta. Laludia berkata.
"Aku harus kembali ke gua. Kau mau ikut bersamaku" Mungkin kita berdua bisa
melakukan sesuatu untuk melepaskan Luhsantini dari dalam jala api biru."
"Aku ingin sekali ikut bersamamu. Menolong Luhsantini juga menjadi keinginanku.
Tapi tidak sekarang. Tunjukkan saja di mana kira-kira letak gua itu." Luhcinta
merasa kecewa mendengar Wiro tak mau ikut saat itu juga bersamanya.
"Kau turuni kaki bukit ini ke arah matahari tenggelam. Kau pasti akan menemukan
gua itu Tidaksulit mencarinya."
"Aku akan menyusul ...."
"Apa yang hendak kau lakukan hingga tidak bisa berangkat bersamaku ke gua?"
bertanya Luhcinta.
"Aku,, aku harus menunggu sampai Hantu Santet Laknat datang. Dia adalah orang
yang telah menolongku. Rasanya tidak baik kalau aku pergi sebelum bertemu dan mengucapkan
terima kasih. Lagi pula aku ingin mendapatkan Kapak Naga Geni 212 kembali ...."
"Aku mengerti. Aku tunggu kau di gua." Kata Luhcinta pula.
Wiro menggangguk dan memperhatikan kepergian Luhcinta sambil dalam hati berkata.
"Beberapa orang mengatakan gadis itu mencintai diriku. Mungkin benar. Dibalik
kekhawatirannya terhadap si nenek dukun, tersembunyi rasa
cemburu. Aneh, gadis secantik itu bisa cemburu terhadap seorang nenek buruk
bermuka burung gagak hitam!"
Setelah Luhcinta lenyap di balik pepohonan
Pendekar 212 segera masuk ke dalam gubuk. Dia memeriksa setiap sudut gubuk itu.
Namun tidak menemukan kapak saktinya.
"Nenek itu pasti membawanya. Di mana dia sekarang" Agaknya aku harus menunggu
sampai dia datang. Tapi untuk berapa lama"
Bagaimana kalau dia tidak muncul lagi?" Wiro garuk-garuk kepala lalu keluar dari
gubuk. Langkahnya hampir tersurut karena kaget. Karena begitu keluar dari dalam
gubuk sosok Hantu Santet Laknat tahu-tahu telah berdiri di depannya. Tangan
kanannya berada di belakang pinggang. Pandangan mata
burungnya yang menyembul hitam, tajam tak
berkesip. Membuat Pendekar 212 merasa tidak
enak. * * * "APA yang ada dalam pikiran nenek ini. Jangan-jangan hati jahatnya muncul
kembali. Dia berdiri menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya ..."
membatin murid Sinto Gendeng.
Dalam khawatirnya dia segera siapkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia merasa
lega ternyata kesembuhannya memang menyeluruh, termasuk
kemampuan mengerahkan hawa sakti yang
dimilikinya. "Kau mencari benda ini?" tiba-tiba Hantu Santet Laknat ajukan pertanyaan. Lalu
nenek ini gerakkan tangan kanannya yang sejak tadi dikebelakangkan.
Ternyata di tangan itu dia memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar matahari
pagi membuat senjata sakti itu memancarkan sinar menyilaukan.
"Nek, berkat pertolonganmu aku sudah sembuh!"
Wiro mengalihkan pembicaraan walau saat itu dia ingin sekali mengambil kapak
saktinya dari tangan si nenek.
"Aku berterima kasih padamu Nek," kata Wiro lagi sambil memegang bahu si nenek
kiri kanan. Hantu Santet Laknat pandangi wajah Wiro lalu
memperhatikan dua tangan yang mendekap
bahunya itu. Si nenek kemudian tersenyum. "Tak perlu kau mengucapkan terima
kasih. Kalaupun kau merasa perlu, sampaikan pada Tuhanmu. Aku sudah memuji
syukur semalaman tadi pada para Dewa ...."
Hantu Santet Laknat kemudian ulurkan tangannya yang memegang kapak.
"Berat hatiku mengembalikan senjata ini padamu.
Tapi aku tahu itu bukan milikku. Kau bukan saja sebagaiorang yang mempunyai tapi
aku tahu senjata itu banyak kegunaannya jika berada di tanganmu.
Ambillah kembali. Maafkan kalau kau merasa aku pernah mencurinya darimu ...."
Hantu Santet Laknat dekatkan mata kapak ke wajahnya. Untuk beberapa saat lamanya
dia tempelkan senjata itu di pipinya sambil memejamkan mata. Masih dalam keadaan
mata terpejam Kapak Maut Naga Geni 212
diserahkannya pada Wiro.
"Nek, kau orang baik. Waiau dulu kau pernah mengecewakan diriku dengan
perbuatanmu yang
aneh-aneh, tapi belakangan ini aku banyak
berhutang budi padamu ...." Wiro ambil kapak sakti dari tangan si nenek. Setelah
memeriksanya sesaat senjata itu segera diselipkan di balik pakaiannya. Dia
benar-benar merasa lega kini.
"Terima kasih Nek," kata Wiro pada Hantu Santet Laknat sambil tersenyum. Hantu
Santet Laknat tertawa panjang. "Kau bicara soal budi! Hik ... hik!
Urusan budi baik hanya ada di negeri asal usulmu yang kau sebut sebagai tanah
Jawa itu. Di Latanahsilam, antara budi dengan kejahatan hanya terpisah setipis kabut pagi.
Tapi aku banyak belajar mengenai budi luhur darimu. Aku tak akan
melupakan hal itu !" Habis berkata begitu si nenek memandang berkeliling. Lalu
dia memperhatikan tanah di bagian depan gubuk, menghirup udara beberapa kali dan
berkata. "Kalau tidak salah aku menduga, agaknya belum lama ini tempat ini telah
kedatangan seorang tamu
...." Wiro tertawa lebar.
"Kemampuanmu melacak tanda dan hawa sungguh membuat aku kagum!" Wiro memuji.
"Jika kau mau, ilmu itu akan kuberikan. Tapi wajahmu harus berubah jadi wajah
buruk gagak hitam sepertiku! Hik ... hik ... huk!" Hantu Santet Laknat tertawa
cekikikan. "Kau mau mengatakan siapa tamumu itu?"
"Aku rasa dengan ketinggian ilmumu kau sudah tahu siapa orangnya. Tapi baik aku
katakan. Aku tak mau berdusta pada sahabat sendiri ....'.
"Wahai! Kau kini menganggap diriku sebagai sahabat" Sungguhan"!" tanya si nenek.
Wiro mengangguk. Sepasang mata hitam dan
menonjol si nenek kelihatan berbinar-binar lalu kembali dia tertawa panjang.
"Kau kenal orangnya. Seorang gadis bernama Luhcinta," Wiro menerangkan. Hantu
Santet Laknat tampak agak tercekat sesaat lalu anggukkan kepala.
"Gadis itu! Yang kecantikannya membuat iri-para Peri di Negeri Atas Angin.
Wahai, gerangan apakah yang membuat dia sampai terpesat ke puncak bukit ini?"
"Dia muncul secara tidak sengaja. Sejak beberapa hari lalu dia dan Luhsantini
berada di satu gua di kaki bukit. Perempuan malang bekas istri Hantu Bara
Kaliatus itu masih terkurung dalam jaring api biru." Sampai di situ Wiro ingat
sesuatu dan hentikan ucapannya. Dia menatap wajah burung gagak Hantu Santet
Laknat. "Apa yang ada di benakmu Wiro?" tanya Hantu Santet Laknat.
"Nek, maafkan kalau aku harus membicarakan hal ini padamu ...."
"Aku sudah dapat membaca hatimu dan melihat isi benakmu. Katakan saja lewat
ucapanmu!" kata Hantu Santet Laknat pula.
"Luhsantini dan Lakasipo. Mereka terjebak dalam jala api biru. Kabarnya tak ada
yang bisa menolong mengeluarkan mereka dari jala itu. Hantu Bara Kaliatus yang
mencelakai mereka. Banyak yang mengetahui Latandai alias Hantu Bara Kaliatus
adalah muridmu. Dia mendapatkan ilmu jala api biru itu pasti darimu. Berarti
selain dia, kau salah seorang yang mampu memusnahkan jala itu dan menolong
membebaskan mereka. Nek, apakah kau mau
menolong mereka"
Luhsantini istri yang malang dan menderita sengsara selama bertahun-tahun akibat
perlakuan jahat Hantu Bara Kaliatus. Lakasipo adalah saudara angkatku.
Dia juga mengalami nasib sama. Bertahun-tahun dia tersiksa karena dua kakinya
tenggelam dalam dua bola batu walau kemudian kaki-kakinya itu bisa dijadikan
senjata sangat ampuh ...."
"Apakah kau mengetahui bahwa Lakasipo menderita seperti itu juga karena
perbuatanku ... ?" tanya Hantu Santet Laknat. Murid Eyang Sinto Gendeng setengah
terkesiap, mendengar pertanyaan yang merupakan pengakuan itu.
"Ah, agaknya nenek satu ini benar-benar telah berubah," kata Wiro dalam hati.
"Lakasipo pernah menceritakan hal itu padaku. Tapi itu terjadi sebelum aku dan
kawan-kawan berada di negeri ini. Aku tidak akan mengungkit-ungkit hal itu, Lagi
pula Lahopeng, orang yang menjadi biang racun kesengsaraan Lakasipo sudah
menemui ajal di tangan Lakasipo sendiri. Tapi aku akan berterima kasih besar
jika kau mau menolong mereka semua."
Lama Hantu Santet Laknat terdiam. Setelah menarik nafas panjang nenek ini
berkata. "Aku berjanji akan menolong Luhsantini dan Lakasipo keluar dari jaring
api biru. Tapi untuk melenyapkan dua bola batu di kaki Lakasipo memakan waktu
lama. Bisa sampai tiga atau empat tahun ...."
"Kalau begitu kerjakan apa yang segera bisa kau lakukan." Hantu Santet Laknat
mengangguk "Aku berjanji menolong mereka. Sekarang aku harus pergi. Sebelum
pergi aku ada satu pertanyaan dan satu permintaan. Kuharap kau mau menjawab satu
pertanyaan itu dan memenuhi satu permintaan itu!"
Wiro garuk kepalanya. "Kalau pertanyaanmu tidak sulit pasti akan kujawab. Kalau
permintaanmu tidak sukar pasti akan kupenuhi."
"Dalam rimba persilatan Negeri Latanahsilam tersiar kabar buruk mengenai dirimu.
Kau dikatakan telah memperkosa Sepasang Gadis Bahagia cucu Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab. Sehabis merusak
kehormatan mereka kau juga dituduh menganiaya dua gadis kembar itu. Lalu kau
dituduh sebagai pencuri sebuah tongkat sakti terbuat dari batu biru yang juga
milik Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Kemudian tersiar pula berita bahwa kau telah berbuat mesum dengan Luhjelita.
Terakhir sekali yang sangat menghebohkan kau dituduh telah
menghamili Peri Bunda! Pertanyaanku, apakah
semua itu betul adanya?"
Wiro tatap wajah burung gagak hitam Hantu Santet Laknat lalu garuk-garuk kepalanya. Dalam hati dia berkata. "Untung nenek ini
tidak menanyakan siapa gadis yang aku cintai di Negeri Latanahsilam ini!
Atau lebih gila lagi, apakah aku mencintai dirinya!"
Masih sambil menggaruk kepala, Wiro berkata "Nek, bagaimana aku harus menjawab.
Kalau kubilang aku tidak melakukan semua itu mungkin tidak ada yang percaya.
Badai fitnah telah menimpa diriku. Tetapi jika kau tidak keberatan, aku mau
mengingatkanmu pada kejadian sewaktu kau berubah diri menjadi Luhtinti dan
berusaha untuk memikatku melakukan hubungan badan.
Apakah saat itu aku mau memenuhi permintaanmu"
Padahal keadaan serba memungkinkan .... Tidak ada yang tahu, tidak ada yang
melihat" (Baca Episode berjudul Hantu Santet Laknat)
Kalau saja wajah si nenek bukan berupa muka
burung gagak yang tertutup bulu hitam, pasti saat itu akan terlihat bagaimana
parasnya berubah semerah saga. Tapi diam-diam otaknya bekerja. Dalam hati dia
berkata. "Kalau benar dia merusak kehormatan dua cucu Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab, mengapa ketika dua gadis itu datang ke gubuk mereka tidak menjatuhkan tangan
jahat Padahal Wiro dalam keadaan tidak berdaya! Tidak mungkin dua gadis yang
dihantui dendam kesumat begitu besar tidak melakukan apa-apa. Lagi pula di wajah
atau tubuhnya tidak tampak tanda-tanda bekas penganiayaan. Sulit aku menduga
siapa yang berdusta. Dua gadis itu atau pemuda ini. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab mustahil
mengarang cerita..,." Sejurus kemudian si nenek berkata.
"Aku percaya padamu. Kau tidak melakukan semua yang dituduhkan itu," kata Hantu
Santet Laknat. "Tapi perihal tuduhan kau telah menghamili Peri Bunda jangan kau anggap soal
kecil. Jika mereka tidak tidak punya bukti-bukti tidak mungkin mereka
menjatuhkan tuduhan. Para Peri telah mengutus Peri Angsa Putih untuk
mencarimu ...."
"Apakah menurutmu bangsa Peri itu tidak pernak membuat kesalahan dan kekeliruan"
Apakah para Peri itu hatinya tidak pernah tersentuh rasa iri, dengki hasut dan
fitnah. Mereka tidak jauh berbeda dengan kita bangsa manusia. Malah pada saat
yang tidak terduga mereka bisa lebih jahat dari kita!"
Hantu Santet Laknat terdiam mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Wiro
melanjutkan. "Aku tidak perduli siapa yang mencariku. Peri Angsa Putih atau
Merah atau Hitam! Aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu ...."
"Sekarang mengenai permintaanku," kata Hantu Santet Laknat pula. "lngat,
beberapa waktu iaiu aku pernah mengatakan padamu agar kau menemui aku di Tebing
Batu Terjal di selatan Bukit Batu Kawin ...."
"Aku ingat ..." jawab Wiro. "Kau masih menginginkan aku ke sana?"
"Kau mau memenuhi permintaanku itu?"
"Akan kupenuhi. Katakan saja kapan aku harus berada di sana ...."
"Kau tidak lebih dulu hendak menanyakan apa keperluanku meminta kau datang ke
sana?" tanya Hantu Santet Laknat. Wiro garuk kepala. Lalu sambil tersenyum dia
menggeleng. "Aku percaya kau hanya punya satu niat. Niat baik,"
kata Wiro kemudian.
"Kalau begitu datanglah pada dua malam
mendatang. Aku akan menungggu di sana ...."
"Aku pasti datang."
"Aku pergi sekarang!"
"Baik, tapi tunggu! Ada satu hal yang hendak kusampaikan padamu," kata Wiro.
Si nenek balikkan tubuhnya yang tadi setengah berputar siap meiangkah pergi. Dia
tegak memandang Wiro, menunggu apa yang hendak
disampaikan pemuda itu. Dadanya mendadak
berdebar. MALAM tadi, menjelang dinihari, aku terbangun dan dapatkan diriku telah sembuh.
Kau takadadalam gubuk. Diliputi perasaan gembira aku keluar. Di bawah satu pohon
besar tak jauh dari sini aku melihat seorang gadis berambut panjang
sepinggang, berpakaian putih tengah duduk
menangis. Kemudian muncul seekor ular hitam besar. Gadis itu memangku ular tersebut,
bicara dengan binatang itu.
Ular kemudian pergi. Tak lama berselang gadis itu pergi pula. Aku berusaha
mengejarnya tapi dia lenyap cepat sekali ...."
"Kau tidak bermimpi seperti malam tempo hari?"
tanya Hantu Santet Laknat.
"Aku yakin aku tidak bermimpi. Karena tak berhasil menemukan gadis itu aku
kembali ke gubuk ini menjelang pagi. Nek, kau pasti kenal betul kawasan ini.
Apakah kau tahu atau bisa menduga siapa adanya gadis yang kulihat itu" Mungkin
dia memang tinggal di sekitar kawasan ini?"
"Sulit aku menduga," jawab Hantu Santet Laknat.
"Dia muncul malam menjelang dinihari. Berpakaian putih dan menangis. Bersahabat
seekor ular besar.
Mungkin saja yang kau lihat makhluk jejadian ...."
"Semula aku menduga begitu. Tapi ketika aku memeriksa sekitar bawah pohon
besar,gadis itu bukan makhluk jejadian. Ada bekas-bekas kakinya di bawah
pohon ...."
"Kalau begitu mungkin ada Peri yang turun kesasar ke tempat ini!" kata si nenek
pula, "Aku yakin makhluk itu bukan seorang Peri."
"Wahai, agaknya kau tertarik pada gadis cantik berpakaian putih itu. Kau ingin
Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku menyelidik dan mencarinya?" tanya Hantu Santet Laknat lalu tertawa
cekikikan. Wiro hanya bisa tersenyum dan garuk-garuk kepala.
"Ada hal lain yang hendak kau sampaikan padaku?"
"Sekali lagi aku berterima kasih padamu Nek," kata Wiro pula. Hantu Santet
Laknat tertawa panjang. Dia lambaikan tangan.
"Jangan lupa, dua malam mendatang. Di Tebing Batu Terjal!"
"Aku pasti datang Nek," kata Wiro. Setelah si nenek lenyap Wiro berucap seorang
diri. "Sulit menduga. Apa benar nenek jahat itu kini telah berubah menjadi makhluk
sangat baik?" Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia
duduk bersila di tanah. Mata kapak ditempelkannya ke dadanya. Lalu setelah
pejamkan mata murid Eyang Sinto Gendeng ini mulai atur jalan nafas serta aliran
darah. Setelah itu dia mengatur pula gerakan hawa sakti yang berpusat di
pusarnya. . . Dibalik serumpunan semak belukar, tanpa setahu Wiro Luhcinta memperhatikan. Si
gadis sudah sejak tadi berada di tempat itu dan sempat mendengar semua
pembicaraan si pemuda dengan dengan
Hantu Santet Laknat.
"Tebing batu terjal di selatan bukit batu kawin ......, mungkin aku perlu hadir
secara diam-diam di tempat itu " Luhcinta berkata dan mengambil keputusan dalam
hatinya. "Jangan-jangan betul kabar yang tersiar di luaran.
Dua orang ini sudah menjalin cinta gila.!" Luhcinta pegang keningnya yang terasa
mendadak berat.
* * * MALAM itu adalah satu hari setelah pertemuan Luhcinta dengan Wiro. Di dalam gua
di kaki bukit Luhcinta dan Luhsantini tertidur pulas. Di langit bulan sabit
bersinar redup dan sesekaii menghilang di balik saputan awan hitam. Ketika awan
hitam menutupi bulan sabit itu untuk kesekian kalinya dan suasana kaki bukit
kembali menjadi gelap gulita serta diselimuti kesunyian dan udara dingin
mencekam. Saat itulah tiba-tiba dari arah timur kaki bukit.
berkelebat satu bayangan hitam. Gerakannya cepat seperti bayang-bayang. Di satu
tempat sosok ini hentikan gerakannya. Dia berdiri tak bergerak. lalu me mandang
berkekeliling seperdi mencari sesuatu.
Matanya yang tajam akhirnya menemui apa yang dicarinya yakni mulut gua di dalam
mana Luhsantini dan Luhcinta tengah tertidur nyenyak. Segera saja orang ini
hendak melangkah cepat menuju mulut gua. Tapi mendadak telinganya mendengar
sambaran angin di kejauhan.
"ltu bukan desir daun pepohonan, bukan suara kepak binatang malam. Ada seseorang
berkepan daian tinggi tengah menuju ke sini!" Cepat-cepat orang itu menyelinap
ke balik sebatang pohon besar.
Tak lama kemudian satu bayangan lain berkelebat pula dalam kegelapan malam.
Laksana seekor burung besar yang terbang rendah dia melesat ke mulut gua. Sesaat dia tegak
memasang mata mementang telinga. Lalu tubuhnya lenyap masuk ke dalam gua.Tapi tidak lama.
Beberapa saat kemudian dia kelihatan keluar lagi, melangkah mundur
terbungkuk-bungkuk. Ternyata dia tengah menyeret sosok Luhsantini yang ada di
dalam jaring api biru.
"Aneh, diseret begitu rupa Luhsantini tidak terbangun dari tidurnya. Janganjangan orang itu telah menyirapnya terlebih dulu. Malam gelap sekali. Aku tak
bisa memastikan siapa adanya orang itu. Sulit menduga-duga dari jarak sejauh
ini. Jika dia berniat jahat pasti dia telah melakukannya di dalam gua.
Tapi tidak ada salahnya aku bersiap siaga!" Orang di balik pohon besar berkata
dalam hati lalu salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan.
Di depan gua, orang yang barusan menyeret sosok Luhsantini tegak tak bergerak.
Mulutnya komat kamit. Mungkin tengah membaca mantera. Lalu dia meniup ke arah
kepala Luhsantini, terus ke kaki. Dari kaki kembali dia meniup naik sampai ke
kepala. Selesai meniup pulang balik begitu rupa, orang ini masukkan ibu jari tangan
kanannya ke mulut. Ketika dikeluarkan, ujung ibu jari yang basah itu kelihatan
memancarkan cahaya biru. Orang ini kemudian
membungkuk. Ujung ibu jari tangan kanannya lalu ditempelkan ke tali jala dekat
pinggang Luhsantini.
Satu kepulan asap menggebubu di udara. Bersa maan dengan itu selarik cahaya biru
memyap ke seluruh permukaan tali jala! Luhsantini yang sejak tadi diam tak
bergerak tiba-tiba tersentak bangun dan berteriak keras. Dia dapatkan jala api
biru yang selama ini melibat dirinya telah lenyap entah kemana.
Pada saat ada asap menggebubu ke udara, orang di balik pohon merasa yakin bahwa
sosok manusia di depan sana memang hendak mencelakai Luhsantini.
Maka tanpa menunggu lebih lama dia segera
hantamkan tangan kanannya. Selarik sinar hitam berbentuk kipas yang ditaburi
serpihan-serpihan memancarkan cahaya berkilauan seperti bunga api, menderu ke
arah sosok hitam yang jongkok di
samping Luhsantini.
"Wusss!"
"Braaak!"
Satu jeritan kaget dan lebih merupakan makian kemarahan terdengar di udara malam
yang menjadi lebih gelap akibat bertaburnya debu dan kerikil yang berasal dari
hancurnya mulut gua. Sosok hitam yang tadi ada dekat Luhsantini lenyap.
Dari dalam gua Luhcinta tersentak bangun dan cepat melompat ke luar. Sesaat
pemandangannya tertutup oleh tebaran kerikil dan debu yang masih menggantung di
depan mulut gua. Begitu keadaan agak terang terlihatlah sosok Luhsantini berdiri
dengan wajah pucat, tubuh bergetar dan dua tangan ditekapkan ke mulut. Tak jauh
dari Luhsantini berdiri pula satu sosok hitam yang segera dikenali Luhcinta
bukan lain adalah makhluk muka tanah liat si Penolong Budiman.
Luhcinta segera dekati Luhsantini dan rangkul tubuh perempuan itu.
"Ada apa .... Apa yang terjadi" Bagaimana kau bisa lolos" Kemana perginya jaring
api biru yang melibatmu"!"
"Aku tidak tahu pasti ..." jawab Luhsantini dengan wajah masih pucat dan suara
agak bergetar. "Aku tersentak bangun ketika ada suara meletup.
Kulihat asap aneh mengepul seolah keluar dari tubuhku. Lalu jaring di sekujur
badanku mengeluarkan cahaya biru! Aku melihat satu sosok hitam di dekatku. Belum sempat
aku mengenali siapa dia adanya tiba-tiba ada cahaya hitam
bertabur bunga api menghantam kearah orang di dekatku. Hantaman sinar aneh lewat
di samping orang itu lalu menghantam mulut gua..,."
Luhcinta melirik ke arah Si Penolong Budiman yang saat itu mendatangi. "Aku
khawatir, jangan-jangan aku telah kesalahan melepas tangan," kata Si Penolong
Budiman. "Aku mengira orang yang ada di dekat Luhsantini hendak berniat jahat. Itu
sebabnya aku cepat melancarkan serangan dari kejauhan. Maksudku untuk
menyelamatkan Luhsantini. Tapi aku salah menduga. Orang itu justru berniat baik.
Hendak menolong membebaskan Luhsantini dari sergapan jaring api biru. Mudahmudahan saja dia tidak mengalami cidera ...." Si Penolong Budiman merasa sangat
menyesal. Luhcinta memandang pada
Luhsantini. "Orang yang menolongmu itu aku yakin adalah Hantu Santet Laknat. Dia yang
memusnahkan jala api biru"
"Bagaimana kau bisa berkata sepasti itu Luhcinta?"
tanya Si Penolong Budiman .
"Dia dikenal sebagai dukun jahat yang menganggap nyawa binatang lebih berharga
dari nyawa manusia!
Bagaimana mungkin dia menolong diriku?" ikut bicara Luhsantini.
"Ada kalanya hati yang sangat jahat itu bisa berubah setelah tersentuh oleh apa
yang dinamakan kasih ..."
jawab Luhcinta. Luhsantini tidak mengerti maksud kata-kata si gadis sedang Si
Penolong Budiman kernyitkan wajah tanah liatnya, menduga-duga apa arti ucapan
Luhcinta barusan.
Tentu saja Luhcinta tidak mau menerangkan bahwa dia telah melihat pertemuan dan
mendengar pembicaraan antara Hantu Santet Laknat dan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini berpaling pada si muka tanah liat lalu
ajukan pertanyaan. "Kau sendiri, bagaimana bisa berada di tempat ini?"
Si Penolong Budiman tidak bisa menjawab. Se
benarnya malam itu dia memang sengaja
meninggalkan telaga untuk menyelidik dimana
beradanya gua tempat Luhcinta membawa
Luhsantini. "Mana kakek bernama Hantu Langit Terjungkir itu?"
Luhcinta kembali bertanya.
"Ada,di tepi telaga ..." jawabSi Penolong Budiman .
"Kau seharusnya tidak meninggalkan orang tua itu.
Bukankah kau berjanji menolong merawatnya" Kini dalam keadaan cidera kau
tinggalkan dia seorang diri. Wahai, kasih dan tanggung jawab macam mana yang kau
miliki"!"
"Maafkan aku. Aku akan kembali ke telaga ..." kata Si Penolong Budiman. Lalu
tanpa berkata apa-apa lagi dia segera tinggalkan tempat itu.
"Luhsantini, lekas kita tinggalkan tempat ini,"
Luhcinta mengajak.
"Aku ikut apa yang kau katakan," jawab Luhsantini.
"Tapi kalau aku boieh bertanya, apa bukan tidak mungkin sebenarnya lelak!
bermuka tanah liat tadi itulah yang telah menolong diriku?"
Luhcinta menjawab dengan gelengan kepala. "ilmu Api lblis Penjaring Roh setahuku
hanya dimiliki oleh tiga orang. Pertama seorang bermuka tengkorak disebut Sang
Junjungan. Konon dia dianggap
sebagai makhluk aneh yang menguasai diri Hantu Santet Laknat. Orang ke dua
adalah Hantu Santet Laknat sendiri dan yang ke tiga adalah Hantu Bara Kaliatus.
Sang Junjungan, apalagi Hantu Bara Kaliatus tidak mungkin menolongmu. Berarti
Hantu Santet Laknatlah yang melakukan ...."
"Aneh, sungguh aneh ...." Luhsantini masih tidak percaya dan geleng-gelengkan
kepala. Luhcinta tersenyum dan berkata. "Disitulah letak kebesaran dan keagungan
kasih. Kita tidak pernah bisa
menduga apa yang bisa dilakukannya ...."
"Kau berulang kali menyebut kasih dalam setiap penampilan dirimu. Tapi kuiihat
kau tidak begitu menyukai orang yang mukanya dibungkus tanah liat itu. Bagaimana
ini ... " Lalu kalau benar Hantu Santet Laknat telah berubah karena sentuhan
kasih, siapa yang mengasihinya" Siapa yang dikasihinya?"
Luhcinta hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Luhsantini. Tanpa berikan jawaban
dia cepat-cepat menarik tangan perempuan itu. Keduanya serta merta menghilang di
dalam kegelapan malam.
* * * TEBlNG Batu Terjal. Tebing ini berada dalam
kawasan bebukitan dimana di sebelah utara terletak bukit yang disebut Bukit Batu
Kawin. Seperti yang pernah diceritakan di di dalam Eposide pertama berjudul Bola-Bola
Iblis, Bukit Batu Kawin bagi orang-orang di Negeri Latanahsilam merupakan satu
bukit yang sangat sakral. Karena di bukit itulah setiap upacara perkawinan
dilakukan. Dipimpin oleh seorang nenek berambut putih riap-riapan bernama
Lamahila yang dikenal sebagai sang juru nikah.
Malam itu Tebing Batu Terjal diselimuti kesunyian dan kegelap gulitaan. Sesekali
terdengar suara gelepar kelelawar yang terbang di udara kelam.
Kadang-kadang angin yang bertiup kencang
Senopati Pamungkas I 16 Pendekar Slebor 47 Malaikat Bukit Pasir Tengkorak Hitam 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama