Ceritasilat Novel Online

Tiga Makam Setan 1

Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan Bagian 1


Ebook by Acisx BAB 1 Malam hari di satu pekuburan dekat Candi Pawan.
Bidadari Angin Timur sesaat masih menatap wajah cantik gadis bermata biru di
hadapannya. Setelah itu tanpa bicara dan menunggu lebih lama dia segera berlalu,
membuat rasa tidak enak dalam hati orang yang ditinggalkan.
Ratu Duyung menghela nafas dalam. "Kukira sejak pertemuan terakhir hatinya
benar-benar polos terhadapku. Agaknya dia masih menyimpan ganjalan..."
Sambil berkata sendirian seperti itu Ratu Duyung melirik ke lubang yang terkuak
akibat dijebol kaki Bidadari Angin Timur.
Bola mata biru sang Ratu mendadak membesar. Tanah kubur yang kini membentuk
lobang itu dilihatnya bergerak-gerak, seolah ada sesuatu yang hidup di bawah
permukaannya. Ratu Duyung mengerenyit, bungkukkan badan sedikit. Memperhatikan lebih tajam,
tak berkesip. Tiba-tiba satu tangan mencuat keluar dari dalam makam. Ratu Duyung terpekik
keras. Nyawanya serasa terbang dan tubuhnya laksana didorong sampai tiga langkah
ke belakang. Tangan yang mencuat dari dalam kubur itu adalah sebuah tangan kiri. Keluar makin
panjang, bergerak naik ke atas. Lalu muncul menyeruak sebuah bahu. Bahu ini
bergerak pula ke atas, tangan yang menjulur mengapai-gapai. Tanah kuburan mumbul
naik ke atas, terbelah menguak. Bersaman dengan itu satu sosok entah masih
bernama manusia entah setan melesat keluar dibarengi suara jeritan dahsyat!
Ratu Duyung terpekik, tersurut hampir jatuh duduk di tanah. Dua bola matanya
terpentang lebar. Walau diketahui dia adalah seorang gadis sakti berkepandaian
tinggi, namun menyaksikan apa yang ada di hadapannya, tengkuknya terasa dingin.
Sekujur tubuhnya dijalari rasa takut luar biasa. Tangan kanannya serta merta
bergerak ke pinggang, memegang gagang cermin sakti. Bersikap waspada terhadap
makhluk aneh mengerikan di atas lubang kuburan.
Di hadapan Ratu Duyung saat itu tegak satu makhluk berujud nenek luar biasa
menyeramkan. Dia mengenakan sehelai jubah hijau yang tak pantas lagi disebut
pakaian karena tersingkap robek di sana-sini. Selain itu tubuhnya mulai dari
rambut sampai ke kaki tertutup tanah kuburan. Kulit muka, dada dan perutnya yang
tidak tertutup tanah memutih mengelupas.
Hidungnya hanya merupakan satu gerumpungan besar. Lalu mata kanannya hanya
berbentuk satu rongga lebar, sebagian tersumpal tanah kuburan.
Makhluk ini tidak memiliki tangan kanan alias buntung. Tetapi di keningnya
menempel satu potongan tangan yang ternyata adalah kutungan tanan kanannya
sendiri! Ratu Duyung tidak dapat memastikan makhluk apa sebenarnya yang ada di depannya
saat itu. Jika manusia, mengapa keadannya seperti itu. Kalau setan apa perlunya
mendekam di dalam makam lalu unjukkan diri!
Makhluk yang dua kakinya masih berada sebatas betis di dalam tanah kuburan itu
gerakkan tangan kiri untuk membuang tumpukan tanah yang menutupi mata kirinya.
Mata yang cuma satu itu lalu bergerak liar jelalatan. Sepertinya dia masih belum
melihat atau belum menyadari kalau ada Ratu Duyung tegak dalam gelap, beberapa
langkah di hadapannya.
Tiba-tiba makhluk ini menyembur. Membuat Ratu Duyung kembali tersentak kaget dan
tekap mulutnya menahan pekik. Rupanya ada tanah yang menyumpal dalam mulut
mahkluk di atas kuburan.
"Malam hari ... Gelap... Aku berada di mana...?" mahkluk nenek menyeramkan
keluarkan suara.
Ratu Duyung merasa nafasnya seolah terhenti. "Astaga, setan ini ternyata bisa
bicara... Dia mengucapkan sesuatu. Tidak tahu berada di mana. Aneh..." kata Ratu Duyung
tercekat dalam hati.
Tangan kiri mahkluk seram bergerak sekali lagi memebersihkan tanah yang menutupi
wajahnya. Semakin tersingkap muka itu, semakin menggidikkan kelihatan gerumpung
hidung dan bolongan mata kananya. Lalu dari mulutnya kembali terdengar suara.
"Kekasihku... di mana kau...?"
Ratu Duyung melengak dalam kejutnya.
"Kekasihku?" Ratu Duyung berucap dalam hati, ada rasa heran di bawah tindihan
rasa takutnya. "Dia mencari kekasihnya"! Setan apa ini" Tangan kanan di atas
kening. Aku... Di kubur ini tadi Bidadari Angin Timur kulihat melakukan sesuatu.
Apa dia punya ilmu memelihara setan hendak mencelakai diriku" Aku..."
Tiba-tiba untuk pertama kalinya mata kiri mahkluk mengerikan itu membentur sosok
Ratu Duyung. Mata itu memancarkan kilatan menggidikkan.
"Kau siapa"!" satu bentakan menyembur dari mulut si nenek muka setan.
"Kau yang siapa"!" Entah bagaimana dalam takutnya Ratu Duyung malah bisa balas
menghardik. BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
"Eh"!" Mahkluk yang dihardik sesaat terdiam. Tapi matanya makin berkilat
menyoroti Ratu Duyung. Perlahan-lahan dia keluarkan dua kakinya yang masih
menancap di dalam tanah kuburan. Ratu Duyung mengawasi gerakan orang tanpa
berkedip. Bukan mustahil makhluk ini tiba-tiba melompatinya, mencekiknya atau
menggigit leher dan menghisap darahnya!
Berdiri di tepi kuburan si makhluk seram diam tak bergerak, kembali pandangi
Ratu Duyung. "Matamu sama biru, wajahmu sama cantik. Tapi kau bukan Peri Angsa Putih..."
"Siapa Peri Angsa Putih"!" Ratu Duyung beranikan diri bertanya.
"Kau tidak tahu siapa Peri Angsa Putih... ini adalah aneh. Berarti saat ini
aku..." Si nenek muka setan palingkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Matanya
yang cuma satu berputar angker lalu menatap ke arah Ratu Duyung.
"Kau sendiri tidak mau memberitahu siapa dirimu. Jangan kira aku tak bisa
memaksa. Tapi saat ini aku ingin tahu satu hal! Lekas katakan diamana aku berada"!"
"Kau lihat sendiri, kau berada di kawasan pekuburan. Kau barusan keluar dari
dalam makam itu!" Ratu Duyung menjawab.
"Walau mataku cuma satu tapi aku tidak buta!" bentak makhluk di pinggir kubur.
"Aku tahu aku berada di pekuburan. Malam hari... Tapi... Katamu aku barusan
keluar dari dalam kubur" Hah"! Apa yang terjadi"! Apa aku sudah mati" Kalau
sudah mati mengapa bisa hidup lagi"!" Mata kiri si nenek menatap garang.
"Kau jangan menipuku!" membentak si nenek setan.
"Memangnya aku menipu apa"!" sahut Ratu Duyung seraya perlahan-lahan bangkit
berdiri. Lalu dia berucap. "Kau yang menipuku dengan ujud anehmu! Kau ini
manusia atau setan kuburan atau roh yang tidak diterima alam gaib"!"
Si nenek keluarkan suara menggembor. Dia hendak mendamprat, tapi mendadak ingat
seseorang. "Kekasihku... Dimana kau..." Si nenek kembali memandang berkeliling dengan
matanya yang cuma satu. "Tak ada siapa-siapa di tempat ini selain dirimu...
Kalau aku masih berada di..."
"Kekasihku?" membatin Ratu Duyung. "Setan bangkai tua ini punya kekasih" Aku
harus cepat mengetahui siapa dirinya".
"Makhluk aneh, tangan di atas kening! Terangkan siapa kau adanya" Setan atau roh
yang kesasar atau memang masih bisa kusebut menusia"!"
"Perduli setan semua pertanyaanmu. Aku juga tak kenal dirimu. Aku tidak pernah
melihatmu sebelumnya. Aku tadi bertanya. Kau tidak menjawab. Jika kau tidak mau
memberitahu berarti kau minta celaka!" Si nenek maju satu langkah.
"Makhluk salah kaprah! Jika kau setan atau roh sesat harap kembali ke alammu.
Tapi jika kau memang manusia adanya jangan berani mengancam diriku. Segera
tinggalkan tempat ini!"
"Kau tidak mau mengancam tapi bicara mengancam! Hik... hik... hik! Walau kau
cantik tapi lama-lama aku muak juga melihatmu. Coba kau layani dulu sentilan
jariku ini!" Begitu ucapannya berakhir si nenek sentilkan jari telunjuk tangan
kirinya. "Wuttt!"
Selarik sinar hitam menderu ke arah Ratu Duyung.
Untungnya sejak tadi sang Ratu telah berlaku waspada. Begitu sinar hitam
berkelebat disertai deru keras, tangan kananya yang telah menggenggam gagang
cermin bulat bergerak.
Cermin sakti itu sengaja tidak dikeluarkannya dari balik pakaian, hanya diputar
menghadap ke arah datangnya serangan sinar hitam.
"Wussss!"
Serangkum cahaya putih berkiblat. Pekuburan itu sesaat menjadi terang benderang.
Lalu menggelegar satu letusan keras begitu cahaya putih yang keluar dari cermin
sakti beradu dengan sinar hitam sentilan si nenek setan.
Ratu Duyung terjajar surut sampai tiga langkah. Cermin bulatnya bergetar hebat.
Tangannya yang menggenggam gagang cermin terasa panas. Dadanya seperti ditindih
sesuatu. Cepat dia atur jalan darah dan alirkan hawa sakti ke tangan kanan.
Di depan sana makhluk berujud nenek menyeramkan terpental, keluarkan jeritan
keras lalu terhenyak jatuh di atas sebuah kubur, mematahkan papan nisannya yang
sudah rapuh. Sekali lagi si nenek menjerit lalu tubuhnya melompat. Di lain saat
dia sudah berdiri lagi hanya tujuh langkah dari hadapan Ratu Duyung. Jubah
hijaunya mengepulkan asap, hangus di beberapa bagian! Mata kiri si nenek laksana
dikobari api, memandang menggidikkan ke arah Ratu Duyung.
Ratu Duyung sendiri saat itu sempat tertegun heran. "Luar biasa. Orang lain
bagaimanapun tingkat kesaktiannya pasti akan cidera dihantam cahaya putih cermin
saktiku. Makhluk ini hanya hangus pakaiannya. Tadi aku hanya mengerahkan sepertiga tenaga
dalam dan hawa sakti. Mungkin aku harus melipat gandakan kekuatan...."
"Matamu sama biru dengan mata Peri Angsa Putih... Cahaya putih ilmu kesaktianmu
sama hebatnya dengan pukulan sakti Peri Angsa Putih. Apa hubunganmu dengan Peri
itu"!"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
"Aku tidak kenal dengan makhluk yang kau sebutkan itu!" jawab Ratu Duyung. Penuh
waspada dia lipat gandakan tenaga dalam dan alirkan ke tangan kanan yang
memegang gagang cermin bulat sakti.
"Kalau begitu siapa kau sebenarnya"!"
"Nenek setan! Kau yang harus menerangkan siapa dirimu adanya!" bentak Ratu
Duyung. Kau pasti peliharaan atau kaki tangan Bidadari Angin Timur yang hendak
mencelakai diriku!"
"Bidadari Angin Timur?" Mata kiri si nenek berputar. "Kau menyebut nama yang aku
tidak kenal...."
"Kalau begitu lekas terangkan siapa dirimu! Atau aku akan merubah dirimu menjadi
jerangkong hitam hangus!" Ratu Duyung sudah salurkan hampir setengah tenaga
dalamnya ke tangan kanan yang memegang cermin.
"Mata biru, keberanianmu menantangku luar biasa! Aku sudah puluhan kali
menghadapi kematian! Jangan kira aku takut menghadapi dirimu! Sayang, saat ini
aku lebih mementingkan mencari kekasihku. Kalau tidak, akupun sanggup membuat
wajahmu yang cantik menjadi tengkorak tak berguna, tubuhmu yang bagus menjadi
tulang belulang memutih! Kekasihmu akan meratap sampai sejuta sehari! Hik...
hik... hik!"
"Aku tidak punya kekasih!" Entah bagaimana ucapan itu tiba-tiba saja meluncur
dari mulut Ratu Duyung.
"Kau tidak punya kekasih" Sungguh aneh" Di dunia mana aku sebenarnya saat ini
berada" Makhluk apa kau sebenarnya" Aku tua bangka dan buruk menyeramkan saja
masih punya kekasih! Tapi kau yang cantik jelita, muda remaja dengan tubuh bagus
menggairahkan mengaku tidak punya kekasih! Hik... hik... hik! Sungguh aneh!"
"Tutup mulutmu!" bentak Ratu Duyung yang menjadi jengkel pada diri sendiri
karena ketelepasan bicara tadi. Dia melangkah mendekati.
Melihat gerakan orang, si nenek cepat bangkit berdiri.
"Mata biru, aku akan mencari kekasihku. Jika tidak bertemu aku akan mencarimu
kembali! Jika kau tidak mau memberi keterangan apa yang kuminta, akan kucabut
putus lidahmu! Hik... hik... hik!" Lalu tanpa acuh lagi si nenek putar tubuhnya.
Ketika sosoknya membelakangi Ratu Duyung siap hendak menghantam. Tapi dia tidak
mau berlaku pengecut.
Menyerang orang dari belakang.
"Aku harus menghalangi jangan sampai dia pergi! Aku harus tahu siapa dia
adanya!" Saat berucap dalam hati itulah tak sengaja sepasang mata Ratu Duyung
yang tajam melihat satu benda aneh di balik daun telinga kanan si nenek. Di
belakang daun telinga itu ada satu benda merah, menyerupai daging tumbuh sebesar
ujung jari kelingking. Namun Ratu Duyung tidak bisa berpikir lebih lama. Si
nenek sudah siap berkelebat pergi.
"Tunggu! Jangan kau berani meninggalkan tempat ini sebelum memberi keterangan!"
bentak Ratu Duyung. Lalu dia berkelebat ke hadapan si nenek. Menghadang jalan.
"Mata biru! Kau minta kematian di usia muda!"
Ratu Duyung mendengus. Si nenek menyeringai. Tanpa perdulikan si gadis dia
teruskan gerakannya melangkah.
Melihat si nenek begerak hendak meninggalkan tempat itu Ratu Duyung cepat
gerakkan tangannya yang memegang gagang cermin sakti.
Untuk kedua kalinya kawasan pekuburan itu terang benderan oleh cahaya putih.
"Wussss!"
"Braaaakkkk... byaaarrr!"
Makam di mana si nenek tadi berada hancur berantakan. Tanah kuburan dan isinya
termasuk tulang belulang penghuni yang sudah terkubur belasan tahun berhamburan
mental ke udara! Tapi si nenek sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Yang
terlihat kini hanya kubur menganga, merupakan satu lobang besar akibat hantaman
cahaya puttih yang menyembur dari cermin sakti sang Ratu.
Tak jauh dari tempat itu. Di atas sebuah pohon, berdiri di salah satu cabang,
tersembunyi di balik kegelapan, sosok nenek berhidung gerumpung, memandang
dengan matanya yang cuma satu ke arah Ratu Duyung.
"Kesaktian gadis itu sungguh luar biasa. Terlambat saja tadi aku menyingkir,
pasti dia benar-benar membuat diriku menjadi jerangkong hangus!"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
BAB 2 Di dalam goa di lamping jurang karang, makhluk tinggi besar berkepala singa
merah melangkah mundar mandir. Sesekali dia berpaling, memandang geram ke arah
sosok yang terkapar di lantai goa.
"Pangeran jahanam! Mungkin Kitab Wasiat Malaikat memang tidak ada padanya. Tapi
Kitab Wasiat Iblis pasti disembuyikan di satu tempat. Dua hari dua malam di
pingsan. Kalau dia siuman dan masih tidak mau memberitahu dimana beradanya kitab
itu, kurasa percuma membuang waktu. Enam ratus hari aku menunggu, aku tidak mau
menghadapi kesia-siaan. Lebih baik kuputuskan menamatkan riwayatnya saja. Kalau
tidak dihabisi sekarang-sekarang mungkin menjadi racun malapetaka di kemudian
hari..." Di pintu goa makhluk kepala singa bernama Jolo Pengging dan dalam rimba
persilatan Tanah Jawa belakangan ini dikenal dengan julukan
Singo Abang memandang ke seantero
pinggiran jurang. Dari tenpatnya berada dia bisa melihat kawasan atas jurang
dengan jelas. Sebaliknya seseorang yang berada di pinggiran jurang sebelah atas sana sulit
untuk melihatnya karena selain goa iu berada dalam satu cekungan dinding karang,
juga tersembunyi di balik semak belukar lebat.
Singo Abang ingat kejadian tiga hari sebelumnya. "Rimba persilatan Tanah Jawa
semakin kacau. Banyak bermunculan tokoh-tokoh baru... Sepasang Momok Dempet
Berkaki Kuda...
Kemunculan mereka pasti ada sangkut pautnya dengan kitab-kitab sakti itu. Kalua
aku sampai keduluan..." Singo Abang mengeram jika ingat bagaimana tiga hari lalu
dia dibuat babak belur oleh Momok Dempet waktu terjadi perkelahian di pinggir
jurang sana. (Baca Episode pertama berjudul "Kembali Ke Tanah Jawa"). "Tiga hari
lalu aku juga melihat Pendekar 212 Wiro Sableng di tepi jurang. Memandang ke
bawah sini seperti menyelidik. Apakah telah terjadi satu bentrokan antara murid
Sinto Gendeng itu dengan Momok Dempet" Kalau Wiro Sableng masih sempat mendekam
di pinggir jurang, berarti dia berhasil mempecundangi dua manusia galah jahanam
itu. Dua tahun pendekar itu melenyapkan diri. Apa yang dilakukannya" Menambah
ilmu kesaktian" Aku benar-benar harus bertindak cepat. Kalau tidak aku hanya
akan menghisap jempol butut seumur-umur. Karena Pendekar 212 pasti juga mencari
Kitab Wasiat Malaikat itu...."
Singo Abang kembali memperhatikan sosok yang tergelimpang di lantai goa. Hatinya
lagi-lagi merutuk. "Sialan! Berapa lama lagi aku harus menunggu sampai dia
siuman!" Singo Abang meludah lalu arahkan lagi pandangannya ke arah atas jurang. Saat itu
di belakangnya, tanpa diketahui, salah satu mata orang yang tergeletak di lantai
goa perlahan-lahan terbuka, menatap ke arah punggung Singo Abang lalu seringai


Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setan mengejek menyeruak di mukanya yang pencong. Dalam hati dia berkata. "Singo
Abang, kau menunggu kesempatan. Aku
Pangeran Matahari yang selalu kau panggil dengan sebutan Pangeran Miring juga
mengintai kesempatan. Siapa lengah akan mengalami kekalahan. Itu Kelak akan
menjadi bagianmu karena pikiran dan hatimu dilanda kekalutan sedang aku tidak!
Aku Pangeran Matahari! Siapa bisa
mengalahkan aku Pangeran Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik,
Segala Congkak!" Ketika Singo Abang membalikkan badannya, orang ini cepat pejamkan
matanya kembali. Namun seringai masih membayang di wajahnya. Justru hal ini
sempat terlihat oleh Singo Abang.
"Pangeran Miring, murid keparat!" bentak Singo Abang gusar. "Aku tahu kau
menipuku! Aku tahu kau sebenarnya sudah siuman! Mari kita buktikan!" Rambut merah yang
menutupi wajah dan kepala sampai ke tengkuk mengembang berjingkrak.
Kaki kanan makhluk tinggi besar itu bergerak ke arah punggung orang yang
tergeletak di hadapannya.
"Bukkk!"
Sosok Pangeran Miring terpental dan brukkk! Menghantam dinding karang. Sosok ini
menggeliat beberapa kali lalu terdengar keluhan. Singo Abang jambak rambut
gondrong sang Pangeran lalu hempaskan tubuhnya ke dinding hingga terhenyak duduk
dengan wajah mengerenyit menahan sakit.
"Kau boleh meneruskan kepura-puraanmu kalau ingin segera mampus!"
"Guru...."
Ucapan Pangeran Miring terputus karena kaki kanan Singo Abang tiba-tiba sekali
sudah menempel dan menekan batang lehernya.
"Umurmu hanya tinggal satu gerakan saja! Jika kau tetap tidak mau membuka mulut,
memberitahu dimana kau sembunyikan dua benda yang kutanyakan, sekali injakan
saja tulang lehermu akan patah! Nyawamu amblas!"
"Gu... guru... Apa yang ingin kau tanyakan...?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu!"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
"Guru, kalau kau menanyakan tentang Kitab Wasiat Malaikat, aku bersumpah aku
tidak memilikinya. Juga tidak tahu dimana beradanya..."
"Bagaimana dengan Kitab Wasiat Iblis" Aku tahu! Semua orang di rimba persilatan
tahu kitab itu ada padamu!"
"Kalau kau memang keliwat memaksa, aku... Aku bersedia mengalah..."
"Apa maksudmu dengan ucapan itu"!" tanya Singo Abang dengan mata mendelik.
"Aku... aku sadar kalau aku punya hutang budi dan nyawa padamu. Kalau tidak kau
yang menolong diriku, dua tahun lalu aku sudah menjadi bangkai di dasar jurang
ini akibat hantaman musuh besarku Pendekar 212 Wiro Sableng..." (Baca serial
Wiro Sableng berjudul "Kiamat Di Pangandaran").
"Jika kau memang merasa berhutang budi dan nyawa, apa lagi aku sudah memberi
ilmu kesaktian padamu. Lalau apa balasamu terhadapku"!"
"Maafkan aku guru, aku akan memeberitahu padamu mengenai Kitab Wasiat Iblis
itu..." Kerenyit di kening Singo Abang lenyap. Rambut di kepalanya yang merah
berjingkrak perlahan-lahan bergerak turun. Namun sepasang matanya tetap berkilat
mencorong menatap sang murid. Mulutnya beucap. "Aku gembira mendengar katakatamu. Tetapi jangan kau berani menipu!"
"Kalau murid terbukti menipu, nyawaku jadi imbalannya," kata Pengeran Miring
pula. Perlahan-lahan Singo Abang tarik kaki kanannya yang dipakai menginjak leher
orang. Sang Pangeran menarik nafas lega.
"Tunggu apa lagi! Lekas katakan dimana kitab yang kau sebutkan itu! Aku sudah
memeriksa dirimu dan goa itu. Kitab itu tidak aku temukan..."
"Kitab Wasiat Iblis memang tidak ada di goa ini, guru. Aku menyembunyikannya di
satu tempat..."
"Dimana"!" tanya Singo Abang menyentak tidak sabaran.
"Sebelum pecah pertempuran hebat para tokoh di Pangandaran dua tahun silam,
kitab itu aku sembunyikan di pinggir jurang karang. Di satu lorong sempit. Di
bawah sebuah batu besar.
Kubungkus dengan daun kayu besi hingga tahan terhadap air dan panas..."
"Kalau begitu, sekarang juga kita keluar dari goa. Naik ke atas jurang! Kau
harus segera tunjukkan dan ambil kitab itu..."
"Aku menurut perintah guru. Tapi keadaanku lemah sekali. Mana mungkin aku bisa
naik ke atas jurang sana..."
Singo Abang dekati Pangeran Miring. Lalu letakkan tangannya kiri kanan di atas
bahu pemuda itu sambil alirkan hawa sakti. Sesaat kemudian dia membuat beberapa
totokan di bagian tubuh Pangeran Miring untuk memperlancar aliran darah.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Singo Abang.
"Rasa berat dan pening di kepala hilang. Tubuhku terasa enteng. Ada satu
kekuatan baru dalam diriku..." jawab Pangeran Miring. Tapi dalam hati dia
berkata. "Makhluk tolol! Rasakan!
Kau kena tipuanku! Kini aku memiliki kekuatan berlipat ganda!"
"Kalau begitu kau sudah siap. Ikuti aku! Kita segera naik ke atas jurang!"
Singo Abang keluar dari dalam goa. Pangeran Miring mengikuti. Dengan ilmu
kepandaian tinggi yang mereka miliki tidak sulit bagi keduanya untuk naik ke
atas jurang yang sangat terjal itu. Sampai di atas sana, di pinggiran jurang
Pangeran Miring memandang berkeliling. Di kejauhan terdengar suara deburan ombak
sementara angin dari arah laut bertiup cukup kencang.
Singo Abang kembali tidak sabaran. "Dimana Pangeran" Di bagian mana tepi jurang
kitab itu kau senbunyikan"!"
Pangeran Miring menunjuk ke arah barat jurang. Di situ tumbuh satu pohon besar.
Tak jauh dari pohon ada sederetan batu-batu karang menonjol runcing. Pangeran
Miring menunjuk ke arah batu-batu karang itu. Tanpa tunggu lebih lama Singo
Abang mendahului lari ke tempat yang ditunjuk. Begitu Pangeran Miring sampi dia
segera berkata.
"Aku tidak melihat lorong. Tidak melihat batu besar yang kau katakan!"
"Dari tempatmu berdiri tentu saja tidak kelihatan," jawab Pangeran Miring.
"Letaknya di sebelah bawah sana. Ikuti aku...."
Pangeran Miring lalu melangkah ke kanan, menyusuri tepi jurang. Di satu tempat
dia hentikan langkah dan memberi isyarat pada gurunya seraya menunjuk ke depan.
Singo Abang mendekat dan memandang ke arah yang ditunjuk. Dia memang melihat
satu lorong sempit antara dua batu karang berbentuk tonggak besar. Lorong itu
merupakan satu celah sempit sepemasukan tubuh orang berukuran sedang. Sosok
sebesar Singo Abang sulit untuk memasuki celah. Di ujung celah terlihat jelas
sebuah batu berwarna kelabu kehitaman.
"Guru, harap kau menunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam celah..."
"Kau tunjukkan saja tempat pastinya kitab itu kau tanam. Aku akan
mengambilnya..."
"Guru, celah itu sempit. Tubuhmu terlalu besar untuk bisa melewatinya..."
"Kalau begitu biar aku hantam dengan pukulan sakti agar celah mmebesar..."
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
"Jangan lakukan hal itu..." kata Pangeran Miring.
"Mengapa" Kau tak suka aku yang mengambil kitab itu" Kau...'
"Bukan begitu Guru! Kau lihat sendiri. Bagian tanah di sekitar sini agak kering,
tidak mempunyai kedudukan keras. Jika dihantam dengan pukulan, celah batu bisa
saja terbuka tapi dudukan tanah akan bergeser. Aku kawatir terjadi longsor. Kita
berdua bisa celaka..."
Singo Abang pencongkan mulutnya. "Baik, kau saja yang pergi mengambil. Begitu
kitab berada di tanganmu lekas kau serahkan padaku!"
"Jangan kawatir guru. Aku akan memberikan kitab yang kau minta itu sebagai balas
budi dan hutang nyawaku padamu!" kata Pangeran Miring pula. Dia membuat gerakan
seperti hendak memasuki celah batu karang. Tapi sesaat dia hentikan langkah dan
berpaling berputar.
"Ada apa?" tanya Singo Abang merasa heran.
"Guru, sebelum aku memasuki celah, apa boleh aku memperlihatkan padamu jurus
pukulan sakti yang pernah kau ajarkan padaku. Yakni Dua Singa Berebut Matahari."
"Gila! Dalam keadaan seperti ini kau hendak melakukan hal itu" Apa maksudmu"!"
Singo Abang menjadi curiga.
Pangeran Miring dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang membuat Singo Abang
menjadi tidak enak dan juga curiga. Saat itu dia berada sangat dekat dengan tepi
jurang sementara muridnya berdiri di bagian ketinggian beberapa langkah di
hadapannya. "Hentikan tawamu!" teriak Singo Abang marah.
Pangeran Miring hentikan tawanya. Lalu mulutnya berucap. "Singo Abang, kau
mengajarkan jurus pukulan Dua Singa Berebut Matahari padaku! Sekarang pukulan
itu akan aku kembalikan padamu!"
"Kurang ajar! Kau hendak berbuat apa"!" Untuk pertama kalinya Singo Abang
menyadari kedudukannya yang berbahaya di tepi jurang. Kalau dia diserang, walau
sanggup menangkis tapi dua kakinya tak boleh bergeser terlalu jauh ke belakang.
Dua lutut Pangeran Miring menekuk. Tubuhnya mengkerut ke bawah. Tiba-tiba
didahului satu bentakan garang tubuhnya yang merunduk melesat ke depan. Dua
tangannya yang membentuk kepalan berubah menjadi lebih besar, membeset ke arah
dada dan perut Singo Abang! Yang dilancarkan Pangeran Matahari ternyata bukan
jurus pukulan Dua Singa Berebut
Matahari! Walau ternyata serangan itu hanya tipuan belaka namun Singo Abang mengetahui
kehebatannya. Dia cepat bergerak.
"Jahanam! Kau menipuku! Kau berani menyerangku!" teriak makhluk kepala singa itu
marah sekali sampai rambut merahnya berjingkrak kaku. Sambil maju satu langkah
untuk menghindari dua kakinya bergeser ke tepi jurang bertanah rapuh dia
pukulkan dua tangannya menangkis. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang
dimilikinya. "Wuuttt... wuuut!"
Tangkisan Singo Abang hanya mengenai tempat kosong.
Pangeran Miring tertawa bergelak. Saat itu tubuhnya tiba-tiba menukik ke bawah.
Dua tangannya kembali menghantam. Kali ini Singo Abang tak bisa lagi menangkis
atau menghindar karena saat itu tubuhnya masih dalam keadaan terdorong ke depan
akbiat tadi menangkis di udara kosong!
"Bukkk! Bukkk!"
Suara dahsyat seperti auman singa menggelegar dari mulut Singo Abang bersama
semburan darah. Tubuhnya yang tinggi besar bergoncang keras. Dia kerahkan
seluruh daya agar tidak terdorong ke belakang. Tapi tanah rapuh yang dipijaknya
bergetar keras lalu longsor. Tak ampun lagi sosok Singo Abang terjungkal ke
belakang lalu jatuh masuk ke dalam jurang batu karang! Jeritan maut makhluk
berkepala singa ini tenggelam tertindih suara tawa bekakakan Pangeran Miring
alias Pangeran Matahari!
Mendadak tawa sang Pangeran lenyap seperti direnggut setan. Dari mulutnya keluar
seruan kaget tertahan. Dari dalam jurang dimana barusan Singo Abang terpental
jatuh, melesat tiga larik sinar masing-masing berwarna kuning, hitam, dan merah.
"Pukulan Gerhana Matahari!" teriak Pangeran Miring kaget luar biasa. Lalu dia
cepat melompat ke belakang. Di depannya pinggiran jurang karang yang terkena
hantaman tiga sinar hancur berantakan lalu bergemuruh longsor ke bawah. "Gila!
Kalau memang Singo Abang yang melancarkan pukulan itu, bagaimana dia bisa
mendapatkannya!" membatin Pangeran Miring dengan wajah berubah. "Berarti selama
di dalam goa, diam-diam dia telah mempelajari. Dia mencuri ilmu itu dariku! Tapi
bagaimana mungkin"! Edan! Bisa saja dia menenung diriku.
Sekarang biar dia tahu rasa! Saat ini tubuhnya pasti sudah remuk hancur di dasar
jurang!" BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
BAB 3 Suara kecimpung air diseling gelak tawa segar membuat Pangeran Matahari hentikan
larinya. Dia memandang ke arah datangnya suara itu.
"Suara tawa perempuan..." kata sang Pangeran dalam hati. "Ratusan hari aku tidak
pernah mendengar suara tawa perempuan. Ratusan hari aku tidak pernah melihat
wajah dan sosok perempuan, apalagi menyentuhnya..." Sekujur tubuh Pangeran
Matahari tiba-tiba menjadi kencang. Darahnya mengalir lebih cepat dan hawa panas
merayapi badannya mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Di mulutnya menyungging
seringai penuh arti. Tidak menunggu lebih lama dia segera berkelebat ke arah
datangnya suara kecimpung air dan gelak tawa tadi.
Di balik satu pohon besar, di belakang rerumpunan semak belukar lebat, Pangeran
Matahari mendekam tak bergerak, matanya membesar tak berkeseip. Di depan sana,
di leguk tanah yang agak menurun, tiga orang gadis tengah bersenda gurau di
dalam sebuah telaga kecil berair jernih dan sejuk. Ketiganya berwajah lumayan
cantik. Mereka hanya mengenakan kain yang dikemben demikian rupa. Pangeran
Matahari menelan ludah melihat punggung, bahu bagian atas serta dada yang putih
tersingkap. Tiga gadis itu tinggal di satu desa tak jauh dari situ. Mereka
memang sering datang pagi hari ke telaga untuk mencuci. Selesai mencuci mereka
mandi membersihkan diri sambil bersenda gurau.
Karena mengira di tempat itu hanya mereka bertiga saja, para gadis di dalam
telaga bergurau sampai-sampai melewati batas. Salah seorang dari mereka dengan
jahil menarik lepas kemben kawannya hingga tubuh gadis ini tersingkap polos
sampai ke pusar. Dua kawannya tertawa bergelak sementara si gadis yang dijahili
kelabakan menggapai kain panjangnya. Melihat hal ini Pangeran Matahari tidak
tahan lagi. Sekali melompat saja dia sudah berada di tepi telaga, tegak di atas
sebuah batu besar.
"Sahabatku, tiga gadis cantik! Apa aku boleh ikut mandi dan bersenda gurau
dengan kalian?"
Tiga gadis di dalam telaga tentu saja tersentak kaget. Yang tadi lepas kain
panjangnya terpekik keras, untung dia sudah berhasil menangkap ujung kainnya dan
cepat-cepat menutupi auratnya yang tersingkap. Tiga gadis itu serentak saling
mendekat, memandang ke arah orang di atas batu penuh rasa kejut dan juga takut.
"Rumini," bisik gadis di ujung kanan. "Kau kenal siapa orang di atas batu itu?"
Rumini, gadis di atas batu gelengkan kepala. Kawan di sebelahnya berkata. "Baru
sekali ini aku melihatnya. Agaknya dia tidak tinggal di sekitar desa kita..."
"Kalian tidak menjawab! Berarti aku boleh ikut mandi bersama! Ha... ha...
ha...!" Tanpa menunggu lebih lama Pangeran Matahari langsung ceburkan diri masuk ke
dalam telaga. Tiga gadis menjerit, cepar-cepat jauhkan diri. Salah seorang dari mereka yang
bernama Sumirah berteriak.
"Pemuda lancang! Siapa kau! Lekas pergi dari sini!"
"Betul! Kalau kami beritahu pada Kepala Desa. Kau pasti akan dihajar habishabisan!" ikut berteriak gadis ketiga bernama Ramilah.
Pengeran Matahari mendongak lalu tertawa.
"Aku biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Matahari! Kalian bertiga harus
merasa beruntung karena aku yang Pangeran sudi mandi di telaga bersama kalian!"
"Pangeran" Kau seorang Pangeran! Huh!" mendengus Rumini.
"Pangeran tak tahu diuntung!' menyemprot Sumirah. "Berkaca dulu ke air telaga!
Lihat tampangmu! Pakaianmu compang-camping dan bau!"
"Berani mengaku Pangeran!" menyambungi Ramilah, "Pangeran mana ada yang buruk
sepertimu! Muka pencong, hidung bengkok, mata mendem! Hik... hik... hik! Otakmu
pasti miring mengaku seorang Pangeran!"
Di dalam air, Pangeran Matahari melengak kaget. Tampangnya mengelam. Seumur
hidup baru kali ini dia menerima hinaan seperti itu. Dia mengusap wajahnya.
Rahangnya menggembung.
"Gadis kurang ajar! Kau berani menghina diriku! Kau korbanku yang pertama!"
teriak Pangeran Matahari. Sekali bergerak dia sudah berada di hadapan Ramilah,
langsung merangkul gadis ini penuh amarah tapi juga penuh nafsu.
"Pemuda kurang ajar! Lepaskan! Lepaskan!" teriak Ramilah. Dua kakinya melejanglejang dan tangannya dipukulkan ke punggung sang Pangeran ketika Pangeran
Matahari memanggul tubuhnya. Dua temannya coba menolong. Sambil menyeringai
Pangeran Matahari berkata. "Kalian tunggu di sini. Pada saatnya satu-satu kalian
akan mendapat giliran!"
Tangan kiri Pangeran Matahari bergerak cepat dua kali berturut-turut. Saat itu
juga Rumini dan Sumirah tertegun kaku, tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Yang
bisa dilakukan dua
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
gadis ini hanya mengikuti dengan pandangan mata ngeri, apa yang kemudian
dilakukan Pangeran Matahari dan apa yag selanjutnya terjadi atas diri kawan
mereka.

Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil tertawa bergelak Pangeran Matahari memanggul tubuh Ramilah ke tepi
telaga. Di satu tempat yang rata gadis itu dilemparkannya ke tanah. Sambil
menahan sakit Ramilah berusaha bangkit melarikan diri tapi sosok sang Pangeran
lebih cepat datang menindihnya. Di dalam telaga Sumirah dan Rumini pejamkan mata
tak kuasa menyaksikan kekejian yang dilakukan Pangeran Matahari terhadap kawan
mereka. Lebih gneri lagi membayangkan bahwa kekejian itu pasti segera pula akan
terjadi atas diri mereka.
Puas melampiaskan nafsu bejatnya atas diri Ramilah, Pangeran Matahari masuk
kembali ke dalam telaga. Dia mendekati Rumini. Melepaskan totokan yang membuat
kaku serta gagu si gadis. Begitu totokan terlepas Rumini langsung menjerit dan
meronta-ronta coba lepaskan diri.
"Jangan! Jangan kau lakukan itu padaku! Lepaskan! Bunuh! Lebih baik aku kau
bunuh saja!"
Pangeran Matahari cuma menyeringai. Sambil tepuk-tepuk tubuh gadis di atas
panggulannya dia berkata. "Kau ingin mati" Kau ingin aku bunuh" Jangan kawatir!
Pangeran Matahari akan memenuhi permintaanmu. Aku akan membunuhmu dalam cara
yang paling nikmat! Ha... ha... ha... ha!"
Di tepi telaga, tak jauh dari sosok Ramilah yang tergeletak pingsan, Pangeran
Matahari lemparkan tubuh Rumini ke tanah hingga terjengkang terlentang. Belum
sempat gadis ini berusaha melakukan sesuatu untuk menyelamatkan diri, Pangeran
bejat itu telah menindih tubuhnya. Rumini menjerit panjang. Menjerit dan
menjerit. Satu saat jeritannya terhenti. Lalu terdengar satu pekik keras.
Setelah itu terdengar suara tangis si gadis menyayat hati.
"Gadis tolol! Kau harus berterima kasih aku tidak membunuhmu!" kata Pangeran
Matahari. Sambil menyeringai dia putar tubuhnya, memandang ke arah telaga.
Korban ke tiga segera menyusul.
Sumirah menatap dengan mendelik dan wajah pucat pasi ketika Pangeran Matahari
melangkah di dalam telaga mendekatinya. Dia ingin menjerit tapi mulutnya
terkancing kaku.
Begitu Pangeran Matahari melepas totokan di tubuhnya gadis ini langsung meratap.
"Tidak... jangan... jangan lakukan..."
"Kau paling cantik di antara kawan-kawanmu. Aku berjanji tidak akan
menyakitimu..."
"Demi Tuhan jangan.... Aku... aku anak Surobendana. Ayahku orang berada. Kalau
kau mau melepaskan diriku, aku berjanji akan memintakan apa saja untukmu. Tanah,
sawah, ladang, sapi..."
Pangeran Matahari tertawa dan usap kepala Sumirah. "Karena kau gadis baik dan
ayahmu orang berada, aku Pangeran Matahari akan memperlakukanmu dengan baik
pula!" Lalu sebelum mencapai pinggiran telaga, pemuda terkutuk itu turunkan
tubuh Sumirah di atas batu rata. Di tempat ini secara keji dia mengulangi apa
yang telah dilakukannya terhadap dua gadis sebelumnya yakni Rumini dan Ramilah.
Tanpa diketahui Pangeran Matahari, seseorang yang sejak tadi mendekam di atas
cabang satu pohon besar berdaun lebat tak jauh dari tepi telaga, menyeringai
geleng-gelengkan kepala.
"Luar biasa kejam dan kejinya! Apa manusia itu benar seorang pangeran" Pangeran
Matahari... Aku rasa-rasa pernah mendengar nama itu. Tapi kalau tidak keliru dia
dikabarkan telah menemui ajal dua tahun silam di Pangandaran. Apa mungkin rohnya
bisa gentayangan atau orang lain yang mengaku-aku sebagai Pangeran Matahari"
Jika dia memang manusia hidup benaran kurasa aku perlu bersahabat dengannya.
Mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk keuntungan diriku. Hemmm..."
Orang di atas pohon memandang lagi ke arah batu di tengah telaga. Dia tersentak
kaget. Ternyata Pangeran Matahari tak ada lagi di tempat itu.
"Luar biasa cepat gerakannya. Aku harus mengikuti kemana perginya!"
Orang di atas pohon tidak segera melompat turun ke bawah tetapi dia melesat ke
beberapa pohon lain di sekitar situ, baru turun ke tanah untuk mengejar Pangeran
Matahari. BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
BAB 4 Hari masih sangat pagi. Kegelapan masih membungkus di mana-mana. Abdi Dalem
Keraton bernama Samadikun tergopoh-gopoh menuju bagian belakang Keraton. Pada
setiap orang yang dipapasinya dia bertanya.
"Dimana Sagito" Cari lekas pemuda itu!"
Salah seorang yang ditanyai balik bertanya. "Ki Samadikun, ada apa, pagi-pagi
begini sudah kalang kabut?"
"Perkara besar! Celaka kita semua! Mana Sagito" Bantu aku mecari pemuda itu!
Lekas!" Sagito adalah salah seorang juru timba sumur yang terletak di bagian belakang
Keraton. Suasana ribut-ribut itu membuat berdatangan beberapa pengawal yang tengah
bertugas. Mereka juga ikit bertanya-tanya pada Samadikun.
"Air di tempat Sri Baginda bersiram..." jawab Samadikun. Terputus sesaat baru
dia menyambung. "Air di tempat Sri Baginda bersiram bau pesing!"
"Bau pesing?" banyak mulut berucap berbarengan.
"Bau kencing! Sri Baginda marah besar karena sudah sempat menyiram tubuhnya pagi
ini dengan air itu! Celaka kita semua!"
Para pengawal segera menebar. Tak lama kemudian pemuda bernama Sagito, hanya
mengenakan celana hitam komprang, sambil mengucak-ngucak mata digiring ke
hadapan sang Abdi Dalem.
"Sagito!" Samadikun menegur dengan bentakan.
"Dalem..." jawab Sagito sambil rapatkan dua tangan ke bawah dan membungkuk.
"Air mandi Sri Baginda. Kau yang selalu menimba dan menyalurkan ke tempat
bersiram Sri Baginda lewat talang besar. Dari sumur mana kau timba air itu?"
Sagito merasa heran atas pertanyaan tidak terduga itu. Dia sesaat jadi
ternganga, tak segera menjawab dan kembali mengucak mata.
"Sagito! Jangan membuat aku tidak sabar dan menampar mulutmu! Lekas jawab! Dari
sumur mana kau timba air untuk Sri Baginda bersiram?"
"Tentu saja dari sumur biasa, Ki Samadikun! Sumur besar yang di sebelah sana..."
Lalu dengan jari jempol tangan kanannya sambil membungkuk Sagito menunjuk ke
arah sumur besar di bagian belakang Keraton.
"Apa kau tidak tahu kalau air sumur itu bau pesing bau kencing"!" bentak
Samadikun. Terkejut Sagito. Muka tololnya berubah. Kembali dia tercengang melongo. "Sa...
saya tidak memperhatikan. Tapi mustahil air sumur itu bau pesing. Selama ini
saya selalu menimba, mengambil air bersiram Sri Baginda dari sumur itu..."
"Jangan bicara selama ini! Kau satu-satunya orang kepercayaan untuk mengurus air
bersiram Raja. Jika terjadi apa-apa kau harus bertanggung jawab!"
Makin kecut Sagito mendengar kata-kata Abdi Dalem itu. Saking takutnya mukanya
tambah pucat dan tak mampu berkata apa-apa karena memang tidak masuk akalnya
bagaimana air mandi sang Raja bisa bau pesing.
"Ki Sama..." Sagito akhirnya membuka mulut. "Mungkin sumber bau itu bukan dari
air sumur. Mungkin datang dari sumber lain..."
"Kau bisa berkata begitu untuk membela diri. Mari kita sama-sama meyelidik ke
sumur!" Abdi Dalem Samadikun memegang tangan si pemuda di bawah bahu sebelah kanan lalu
setengah menyeret membawa Sagito ke arah sumur. Beberapa Abdi Dalem dan para
pengawal mengikuti.
Saat itu hari masih gelap. Walau sumur besar itu tidak seberapa dalam karena
sumber airnya memang bagus dan dangkal, namun kegelapan menutupi pemandangan
hingga orang tidak dapat melihat dengan jelas bagian dalam sumur.
Sesaat setelah semua orang berdiri di seputar pinggiran sumur, mereka saling
pandang satu sama lain. Dari dalam sumur memang tercium bau yang tidak enak. Bau
pesing alias bau kencing. Abdi Dalem Samadikun pencongkan hidungnya, kerenyitkan
kening. "Aku mencium bau sesuatu! Untuk memastikan aku minta semua mengendus. Lalu
katakan bau apa yang kalian cium!"
Lucu juga. Semua orang yang ada di seputar pinggiran sumur sama-sama mengangkat
hidung masing-masing, ada yang sambil termonyong-monyong lalu mengendus.
"Bau apa yang kalian cium?" tanya Samadikun.
"Memang ada bau pesing di dalam sumur ini, Ki!" kata seorang pengawal. Beberapa
lainnya mengangguk.
"Sagito?" Sang Abdi Dalem menegur sambil memandang pada pemuda tukang timba.
"Mung... mungkin bau kencing Ki..."
"Mungkin bagaimana"! Semua orang mencium ada bau kencing di dalam sumur ini! Kau
masih bisa mengatakan mungkin! Waktu kau menimba air untuk bersiram Sri Baginda
dini hari tadi, apa kau tidak mencium bau itu?"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
"Maafkan saya Ki. Saya tidak tahu karena saya sedang kejangkitan selesma. Hidung
saya mampet ketutupan ingus. Saya tidak bisa membaui apa-apa..."
"Sialan kau!" Samadikun jadi memaki. "Kau dan para pengawal di sini lekas
selidiki kenapa sumur ini berbau pesing. Mungkin ada yang sengaja mengencingi.
Mungkin ada yang sengaja mengumpulkan air kencing lalu membuangnya ke sumur
ini..." "Ki Samadikun," salah seorang pengawal menyahuti. "Kalau ada yang sengaja, rasarasanya aku tidak percaya. Siapa orangnya yang berani mati mengencingi sumur
sumber air Raja?"
"Kau bisa bicara begitu! Buktinya sumur ini memang bau kencing!"
"Baiknya kita tunggu sampai pagi. Kalau hari sudah terang baru kita
memeriksa..."
seorang perajurit mengusulkan.
"Terlambat! Saat itu mungkin Sri Baginda tidak bisa menahan amarah lagi. Kita
semua bisa celaka. Aku..."
Ucapan Abdi Dalem Samadikun terputus. Dari dalam sumur terdengar suara kecimpung
air lalu suara seperti orang mengeluh.
"Kalian mendengar sesuatu?" tanya Samadikun sambil memandang berkeliling lalu
memperhatikan ke dalam sumur. Tapi gelap. Dia tidak dapat melihat apa-apa.
"Seperti suara orang..." ujar Sagito yang tertutup hidungnya, tapi tajam
telinganya. Lalu pemuda ini berteriak. "Hai! Siapa di dalam sumur"!"
"A... aku..."
Ada suara jawaban. Membuat semua orang yang ada di pinggiran sumur menjadi
terkejut. Ada yang kecut hatinya dan bergeak mundur, termasuk sang Abdi Dalem Samadikun.
"Aku siapa"!" Sagito berteriak kembali.
"Tol..."
"Apa"! Namamu Tol"!" lagi-lagi Sagito yang berteriak.
"Bu..."
"Oo, namau Bu" Siapa kau"!"
"Bukan, aku tol... tolong. Aku di dalam sini. Sejak malam tadi. Kakiku tak
sanggup lagi menopang. Tol... tolong..."
"Jangan-jangan hantu..." bisik Ki Samadikun.
"Hai! Kau hantu atau setan atau apa"!"
"Aku man... manusia seperti kalian. Aku kecebur dalam sumur ini malam tadi..."
"Gila kurang ajar! Bagaimana kau bisa kecebur ke dalam sumur! Berarti kau masuk
kawasan Keraton tanpa izin... " mendamprat Samadikun.
"Nanti saja aku terangkan. Tolong dulu. Aku tak sanggup lagi bertahan. Aku bisa
tenggelam dalam sumur ini. Tolong... lemparkan tali, galah atau apa saja. Tarik
aku ke atas. Lekas, tenagaku sudah hampir habis..."
Semua orang jadi saling pandang, sama-sama heran. Sama-sama tidak percaya.
"Tol... tolong..."
Kembali terdengar suara minta tolong dari dalam sumur.
"Cari tambang! Kita akan lihat makhluk dalam sumur itu manusia atau setan!"
seorang pengawal berkata.
Sagito memandang berkeliling. Mencari timba besar yang biasa dipakainya untuk
mengambil air. Dia melihat timba itu di sudut kiri lengkap dengan tali besarnya.
Dengan cepat dia ambil gulungan-gulungan tali lalu ujungnya dilemparkan ke dalam
sumur. "Makhluk di dalam sumur!" teriak seorang pengawal. "Tali sudah dilemparkan.
Kalau kau memang manusia pegang ujung tali erat-erat. Kami akan segera menarikmu
ke atas!" Tak ada jawaban.
"Apa kataku! Pasti setan! Dia tidak menyahut! Mungkin sudah gaib!" kata
Samadikun. Tiba-tiba dari dalam sumur ada suara. "Ujung tali sudah kupegang. Lekas
tarik..." Enam orang di pinggir sumur segera menarik tali besar.
"Gila! Makhluk apa ini" Beratnya tidak kira-kira!" kata Samadikun setengah
berbisik. Perlahan-lahan makhluk di dalam sumur tertarik ke atas. Dalam gelap, dari mulut
sumur muncul dua tangan kurus kering dilibat tali timba. Lalu kelihatan satu
kepala berambut putih kuyup. Kepala itu sampai di atas bibir sumur. Tampak satu
wajah seorang tua berkuping lebar.
Daun telinga sebelah kanan kelihatan aneh karena terbalik menghadap ke belakang.
Dua matanya terpejam. Bau pesing yang hebat memenuhi tempat itu.
Sambil menahan nafas orang-orang di pinggiran sumur mencekal bagian atas lengan
orang tua aneh itu lalu mereka tarik dan baringkan menelentang di lantai batu di
samping sumur. Orang tua ini mengenakan pakaian compang-camping. Perutnya yang tersingkap
kelihatan buncit gembung. Mungkin terlalu banyak minum air sumur. Bau pesing
yang santar ternyata menghampar dari tubuhnya.
"Tak bisa kupercaya!" kata Samadikun. Kaki kanannya diletakkan ke perut yang
gembung. "Penyusup berani mati! Siapa kau"!"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
Dua mata yang terpejam dari orang yang barusan ditarik keluar dari dalam sumur
terbuka. Walau cuma sebentar tapi semua orang masih sempat melihat mata itu ternyata
jereng. Mulut orang ini terbuka sedikit.
"Aku... aku Setan Nogmpol..."
Menyangka orang mempermainkannya Abdi Dalem Samadikun jadi marah. "Tua bangka
kurang ajar bau pesing! Kau berani menyusup ke dalam Keraton. Sudah kami tolong
masih bisa bicara mempermainkan!" Saking marahnya Abdi Dalem ini lalu tekan
kuat-kuat kaki kanannya yang menginjak perut orang.
"Bruttt!"
"Croottt!"
"Croottt!"
Akibat injakan yang keras itu dari sebelah bawah belakang orang tua itu
menghambur angin keras alias kentut yang baunya tidak kepalang tanggung. Lalu
dari mulutnya sebelah atas menyembur air sumur yang mengendap dalam perutnya.
Dan ini yang paling celaka. Dari bagian bawah perutnya menyemprot air kencing
bau. Begitu derasnya hingga muncrat mengenai Abdi Dalem Samadikun, Sagito dan
beberapa orang pengawal.
"Tua bangka kurang ajar! Rasakan ini!" Samadikun tendang pantat orang. Dua
pengawal ikut menendang hingga orang tua yang tergeletak di pinggir sumur mental
terguling-guling.
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
BAB 5 Di satu bangunan kayu yang sudah hampir roboh di sebelah timur puncak Gunung
Merapi, Pangeran Matahari duduk di lantai beranda. Tangan kiri menopang kening.
Dua matanya terpejam. Di pangkuannya ada satu buntalan berisi pakaian yang
barusan diambilnya dari dalam bangunan. Dia pernah tinggal di tempat itu selama
belasan tahun. Di situ dia menerima gemblengan dari gurunya yang dalam rimba
persilatan Tanah Jawa dikenal dengan nama angker
Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat. Namun kini sang guru hanya tinggal
kenangan. Seperti dituturkan dalam Episode berjudul "Kiamat Di Pangandaran" Si
Muka Bangkai menemui ajal di tangan Bujang Gila Tapak Sakti.
Pangeran Matahari menghela nafas panjang. Lalu mulutnya berucap perlahan. "Guru,
aku bersumpah mencari Bujang Gila Tapak Sakti, menunpahkan darahnya membalas
darahmu yang tertimpah, menghabisi nyawanya sebagai imbalan nyawamu yang
dicabutnya. Setelah itu aku akan mencari Pendekar 212! Aku akan mencari
sekalipun sampai ke lautan neraka! Dia pasti mengira aku sudah lama jadi bangkai
di dasar jurang karang Pangandaran. Dia akan melihat kenyataan mengejutkan.
Bahwa aku belum mati! Bahwa aku muncul untuk mencabut nyawanya!
Aku tidak akan membuat kematian begitu cepat dan enak baginya! Aku Pangeran
Segala Cerdik, Segala Akal, Segala Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak akan
membuatnya sengsara lebih dulu..."


Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Matahari turunkan tangannya yang menopang kening. Dua matannya yang
sejak tadi dipejamkan terbuka, kelihatan merah dan memancarkan sinar
menggidikkan. Terbayang wajah Pendekar 212 Wiro Sableng. Dua tangan Pengeran
Matahari langsung mengepal membentuk tinju. Sekujur tubuh bergetar. Keringat
memercik di kening.
Dengan tangan kanannya Pangeran Matahari usap wajahnya. Saat itulah seperti
terngiang kembali di telinganya ucapan Sumirah, satu dari tiga gadis yang
digagahinya di telaga.
"Pangeran tak tahu diuntung! Berkaca dulu ke air telaga! Lihat tampangmu!
Pakaianmu compang-camping dan bau!"
Lalu mengiang pula kata-kata menyakitkan yang dilontarkan gadis bernama Ramilah.
Yaitu gadis yang diperkosanya pertama kali.
"Berani mengaku Pangeran! Pangeran mana ada yang buruk sepertimu! Muka pencong,
hidung bengkok, mata mendem! Hik... hik... hik! Otakmu pasti miring mengaku
seorang Pangeran!"
Pangeran Matahari merasakan sekujur tubuhnya mendadak menjadi dingin. Diusapnya
mukanya kembali. "Wajahku... mukaku... Apakah... apakah... Ucapan dua gadis itu
agaknya bukan cuma sekedar ejekan. Mereka melihat kenyataan. Apa yang terjadi
dengan mukaku. Dua tahun di dalam goa karang aku tak pernah menyadari keadaan
wajahku... Di lereng sebelah selatan seingatku ada satu telaga kecil. Airnya
sangat bening, tidak beriak tidak bergelombang sekalipun angin bertiup. Dulu aku
sering ke sana bersunyi diri, bersamadi meningkatkan kemampuan tenaga dalam dan
kekuatan hawa sakti yang kudapat dari guru. Aku harus ke sana.
Aku harus melihat keadaan wajahku sendiri. Ucapan dua gadis itu bukan cuma
sekedar mengejek. Mereka agaknya melihat kenyataan..."
Pangeran Matahari ambil buntalan di pangkuannya. Lalu secepat bisa dilakukan dia
berlari menuju lereng selatan Gunung Merapi. Degup jantungnya menggemuruh ketika
dia sampai di telaga kecil. Keadaan telaga dan tempat sekitarnya seperti tidak
berubah walau sudah ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Hanya taburan
dedaunan pohon-pohon tampak menebal menutupi tanah.
Pangeran Matahari jatuhkan buntalan ke tanah. Perlahan-lahan dia melangkah
mendekati telaga kecil berair bening seperti kaca. Detak jantungnya berdegup
keras pada setiap langkah yang dibuatnya. Satu langkah di tepi telaga dia
hentikan gerakan kaki. Perlahan-lahan dia turunkan tubuh ke bawah, berlutut di
tanah. Dia bisa melihat kepala dan sebagian tubuhya membayang di air telaga.
Dengan menahan degup jantung yang semakin kencang Pangeran Matahari ulurkan
kepalanya, diturunkan demikian rupa hingga hanya berjarak dua jengkal dari atas
permukaan air telaga.
Sepasang mata sang Pangeran terpentang lebar. Di sana, di permukaan air telaga,
dia bisa melihat wjahnya sendiri. Degup jantungnya seperti meledak di dalam
dada. Dari mulutnya keluar raungan panjang mengerikan. Seperti dihantam sesuatu
dari bawah, sosok Pangeran Matahari mencelat ke atas. Begitu dua kaki menginjak
tanah, seperti orang kemasukan setan pangeran ini mengamuk. Tangan dan kaki
menghantam kian kemari. Pohon-pohon patah bertumbangan.
Semak belukar rambas terbang berhancuran. Terakhir sekali Pangeran Matahari
pukulkan tangannya ke arah telaga. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning
menderu menggidikkan.
"Wussss!"
"Byaaarrr!"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
Air telaga muncrat ke atas. Tanah, pasir dan bebatuan ikut membumbung ke udara.
Asap panas mengepul menutupi pandangan mata. Ketika keadaan terang kembali
kelihatanlah satu hal luar biasa. Telaga kecil dengan airnya yang bening bersih
seperti kaca kini hanya tinggal satu lobang kering menganga. Pangeran Matahari
sendiri saat itu tak ada lagi di tempat itu. Dia lari menuruni gunung seperti
dikejar setan. Sepanjang pelarian terbayang kembali wajahnya seperti yang tadi
dilihatnya di permukaan air telaga. Hidungnya miring ke kiri. Pipi dan rahang
kiri melesak membuat mukanya tampak pencong. Mata kiri terbenam dan di kening
kiri ada luka bekas cacat. Dia ingat sekali semua caat itu adalah akibat
hantaman Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu terjadi perkelahian di Pangandaran
dua tahuan yang silam.
"Jahanam Wiro Sableng!" teriak Pangeran Matahari. "Pembalasanku sejuta lebih
kejam dari apa yang telah kau lakukan terhadapku! Kau tak akan bakal lolos dari
tanganku! Kalaupun kau sudah mampus di tanganku, rohmu akan kubuat tidak
tenteram di alam baka!" Habis berteriak seperti itu sang pangeran hantamkan
tangan kanan melepas pukulan sakti bernama
Telapak Matahari.
"Wusss!"
Lereng gunung di sebelah sana bergoncang hebat. Hawa panas yang keluar dari
pukulan itu menimbulkan nyala api besar. Kebakaran serta merta melanda lereng
Gunung Merapi! Di satu tempat, menjelang mencapai kaki gunung sebelah selatan Pangeran Matahari
hentikan lari. Dia tegak bersandar di satu batang pohon besar, memandang ke arah
lereng gunung di atasnya, memperhatikan kebakaran yang melanda lereng akibat
pukulan Telapak Matahari
yang tadi dihantamkannya dalam amarah yang tidak terkendali. Sang Pangeran
menghela nafas dalam. Untuk pertama kali dia merasakan tubuhnya letih sekali.
Dia campakkan buntalan ke tanah lalu perlahan-lahan jatuhkan diri, duduk di
tanah pejamkan mata. Beberapa kali dia usap mukanya dan berulang kali dia
mengeluh dalam hati.
"Wajahku... Wajahku..."
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Pangeran Matahari merasa ada sambaran angin
di udara di depannya. Dia buka mata lebar-lebar, alirkan tenaga dalam ke tangan
kanan. Berlaku waspada. Sunyi, tak ada suara tak ada gerakan
"Sial...!" Pangeran Matahari memaki sendiri. "Jalan pikiranku sedang mengalami
gangguan berat. Aku harus melakukan sesuatu. Jahanam Wiro Sableng!" Pangeran
Matahari kepalkan tinju. Dia menjangkau buntalannya dan bergerak bangkit. Tapi
mendadak gerakannya tertahan. Di udara sunyi terdengar satu suara.
"Pangeran Matahari, manusia gagah berjuluk Segala Cerdik, Segala Akal, Segala
Ilmu, Segala Licik, Segala Congkak! Apa yang meembuatmu dibungkus seribu gundah
seribu bingung"!"
Pangeran Matahari dalam kejutnya cepat berdiri. Memandang berkeliling. "Ada
suara orang! Suara Laki-laki! Tapi orangnya sendiri tidak kelihatan!" Sang
Pangeran memperhatikan pohon besar di atasnya. Tidak kelihatan siapa-siapa.
"Aneh, suara itu begitu dekat. Tapi orangnya tidak tampak. Mungkin dedemit
belantara Gunung Merapi?"
Pangeran Matahari kembali memperhatikan setiap sudut belantara sekelilingnya.
Tetap saja dia tidak melihat siapa-siapa. Maka diapun berseru. "Makhluk yang
barusan bicara! Siapa kau"! Mengapa bicara tidak unjukkan diri"!"
"Aku tidak mungkin unjukkan diri Pangeran. Ketahuilah, apa yang aku ucapkan jauh
lebih penting dari ujudku..."
"Kalau begitu katakan siapa kau adanya"! Hantu, setan, dedemit"!"
Terdengar suara tertawa parau. "Aku makhluk dari alam akhirat. Makhluk dari alam
baka. Aku tidak akan mengatakan siapa diriku. Tapi kau bisa mengira-ngira..."
"Kurang ajar!" maki Pangeran Matahari karena merasa dipermainkan. Otaknya
diputar. Namun dia tidak bisa menduga.
"Aku datang untuk menolongmu Pangeran..." kembali terdengar suara tanpa ujud.
"Menolongku?" ujar Pangeran Matahari. "Siapa kau adanya?"
"Sudah kukatakan aku tidak bisa memberitahu. Tapi dulu, di puncak Merapi ini
kita pernah dekat. Sedekat daging dengan tulang yang ada di tubuhmu!"
"Kau... Jangan-jangan kau..." Tiba-tiba Pangeran Matahari jatuhkan diri,
berlutut di tanah.
"Guru, apakah yang datang ini kau, roh mendiang guru yang aku kenal dengan
julukan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat alias Setan Muka Pucat?"
Di udara mengema suara tertawa parau. "Sudah kukatakan aku tidak akan
menerangkan siapa diriku. Tapi kau boleh menyebutku seperti apa yang kau barusan
duga..." "Guru!" Merasa yang bicara tanpa ujud itu adalah mendiang arwah gurunya Si Muka
Bangau Sakti 29 Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu Raja Kera Iblis 2

Cari Blog Ini