Ceritasilat Novel Online

Tiga Makam Setan 2

Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan Bagian 2


Bangkai, Pangeran Matahari tundukkan kepala sambil rangkapkan dua tangan di
depan dada. "Pangeran Matahari, aku akan memberikan dua buah barang padamu. Pergunakan
barang itu sesuai kebutuhanmu. Setelah kau menerima pemberianku, berjalanlah dua
puluh tombak ke arah kanan. Kau akan menemukan seekor kuda tertambat di bawah
satu pohon Waru. Dengan menunggang kuda itu pergilah ke satu lembah, letaknya
dekat sekali di timur kaki Gunung
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
Merapi. Di dasar lembah kau akan menemukan serumpunan semak belukar. Di selasela semak belukar itu tumbuh pohon sirih hutan. Jika semak belukar kau
sibakkan, kau akan melihat sebuah goa. Masuklah ke dalam goa. Di situ kau akan
menemukan sorga. Sorga itu bernama Kinasih.
Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus Srubud."
"Sorga..." Sorga bernama Kinasih" Apa maksudmu Guru?"
"Jawaban akan kau temui sendiri di dalam goa itu!" jawab suara tadi. Lalu
bersamaan dengan itu melayang dua buah bungkusan dan jatuh tepat di depan kaki
Pangeran Matahari. Satu besar, satunya lagi bungkusan kecil. Sang Pangeran tidak
bergerak. Tidak segera menyentuh bungkusan itu. Bukan mustahil semua itu hanya
jebakan belaka. Dia memandang berkeliling.
"Rasanya dia telah lenyap dari tempat ini," membatin sang Pangeran. Lalu
perlahan-lahan dia membungkuk mengambil bungkusan besar. Ketika dibukanya dia
terkejut karena di dalam bungkusan itu dia menemukan sehelai pakaian. "Ini bukan
pakaian sembarangan. Hanya orang-orang Keraton yang mengenakan pakaian seperti
ini. Apa gerangan maksud guru memberikan pakaian bagus ini padaku?" Pangeran
Matahari perhatikan pakaiannya sendiri yang lusuh kotor dan compang-camping.
Sebelumnya waktu berada di pondok kediaman mendiang gurunya Pangeran Matahari
telah mengambil beberapa potong pakaian, namun dia memang belum sempat bersalin.
Masih diselimuti perasaan heran Pangeran Matahari mengambil bungkusan kedua yang
lebih kecil. Begitu bungkusan dibuka, sesaat sepasang mata sang Pangeran
terpentang lebar melihat benda apa yang ditemuinya di dalam bungkusan itu.
Kening mengerenyit. Wajah diusap berulang kali. Lalu satu seringai muncul di
mulutnya yang pencong.
"Guru! Aku Pangeran Matahari sangat berterima kasih atas semua pemberianmu ini!
Aku akan turuti perintahmu. Aku akan segera pergi ke goa di lembah itu!" Habis
berkata begitu Pangeran Matahari buka pakaiannya yang lusuh. Tak berapa lama
setelah Pangeran Matahari meninggalkan tempat itu, di atas sebuah pohon besar
berdaun lebat, seseorang yang sejak tadi mendekam di salah satu cabang pohon
tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Terbukti ilmu
Memecah Udara Memindah Suara yang kumiliki memang ampuh luar biasa. Pendekar
kawakan itu tidak mampu mengetahui sumber suara, apa lagi mencari dimana aku
sembunyi! Pangeran Matahari, hari ini aku sudah menanam budi padamu. Kelak di
kemudian hari aku akan menagih balasan padamu!"
Seperti hembusan angin, dengan satu gerakan cepat orang di atas cabang pohon
berkelebat lenyap.
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
BAB 6 Empat hari sebelum peristiwa aneh yang dialami Pangeran Matahari di kaki Gunung
Merapi...... Pagi itu seorang penunggang kuda berhenti di hadapan rumah
Raden Mas Sura Kalimarta. Dari pakaiannya yang bagus dan mewah jelas dia adalah seorang
petinggi dari Keraton.
Menurut kisah perjalanan hidupnya Sura Kalimarta sejak masih kecil sudah
memiliki beberapa kepandaian. Selain pandai dalam hal ukir mengukir, dia juga
pandai membuat berbagai macam boneka serta topeng baik dari kayu maupun dari
kulit. Keahliannya ini telah menarik perhatian para Petinggi Keraton dan
akhirnya sampai kepada Sri Baginda. Karenanya sejak dia berusia dua puluh Sura
Kalimarta diangkat menjadi juru ukir Keraton. Setelah mengabdi lebih dari empat
puluh tahun, ketika dia berusia enam puluh lima, Sri Baginda menganugerahkan
gelar Raden Mas kepada Sura Kalimarta.
Walau semua orang menghormatinya serta dari keahliannya Sura Kalimarta
mendapatkan penghasilan lebih dari cukup, rumahnya besar, sawah dan ternaknya
banyak, namun semua itu tidak banyak memberikan kebahagiaan padanya. Ketika dia
berusia empat puluh tahun, istri yang dicintainya meninggal dunia padahal sampai
saat ini mereka masih belum dianugerahi seorang anakpun. Selama dua puluh tahun
Sura Kalimarta hidup menyendiri, menyibukkan diri dengan berbagai macam
pekerjaan sesuai keahliannya.
Kehidupan sunyi sang ahli ukir dan ahli membuat boneka serta topeng ini rupanya
sudah sejak lama dimaklumi oleh Sri Baginda. Pada suatu hari Sri Baginda
memanggil Sura Kalimarta ke Kaeraton. Seperti biasa Sura Kalimarta mengira Sri
Baginda akan memberi pekerjaan baru padanya atau mungkin ada puteri Keraton yang
ingin dibuatkan boneka atau hiasan berupa topeng. Alangkah terkejutnya Sura
Kalimarta ketika Sri Baginda memintanya untuk mengambil seseorang sebagai
pendamping yakni seorang perempuan baik-baik yang kedua orang tuanya pernah lama
menjadi Abdi Dalem.
Di usia setua itu Sura Kalimarta boleh dikatakan tidak pernah lagi memikirkan
hidup berumah tangga. Apalagi diketahuinya bahwa calon istri yang hendak
dijodohkan Sri Baginda kepadanya belum pernah menikah dan berusia dua puluh
delapan tahun, kurang setengah dari usianya.
Sura Kalimarta dengan halus menolak maksud baik Sri Baginda. Sebaliknya Sri
Baginda dengan halus pula membujuknya. Akhirnya Sura Kalimarta tak bisa menolak
lagi. Ketika untuk pertama kali ahli ukir ini bertemu dengan calon istrinya,
ternyata sang calon yang bernama Kinasih itu berwajah ayu dan telah sejak lama
menaruh hormat dan kagum pada semua hasil karya Sura Kalimarta. Dengan upacara
yang sangat sederhana dan hanya dihadiri para kerabat terdekat serta utusan Sri
Baginda akhirnya dilangsungkan pernikahan. Setelah beberapa tahun berumah tangga
mereka belum juga dikaruniai anak. Kinasih sangat mengharapkan mendapat seorang
putera. Lebih dari itu dia ingin puteranya itu kelak memiliki keahlian seperti
Sura Kalimarta. Kinasih tak putus-putusnya meratap menangisi nasib. Baginya
seumur hidup hanya sekali kawin. Tetapi sang suami ternyata tidak mampu
memberinya turunan, lebih dari itu tidak berkesanggupan melaksanakan
kewajibannya sebagai seorang suami. Semua derita kepedihan ini hanya bisa
dipendam sendiri oleh Kinasih. Namun siapa mengira seperti api dalam sekam suatu
ketika akan meledak dalam kejadian yang tidak terduga.....
*** Lelaki berpakaian bagus yang berhenti di depan rumah besar Raden Mas Sura
Kalimarta turun dari kudanya. Di pintu depan dia mengetuk. Tak ada sahutan.
Setelah berulang kali mengetuk tak ada yang menjawab akhirnya orang ini membuka
pintu. Ternyata tidak dkunci. Dia langsung masuk ke dalam dan menemukan Sura
Kalimarta di bagian belakang rumah besar, sibuk menyelesaikan ukiran patung
besar Dewi Sri yang memegang seikat padi di tangan kanan dan dihinggapi seekor
burung merpati di tangan kiri.
"Raden Mas Sura Kalimarta, maafkan saya. Saya sudah mengetuk pintu berulang
kali. Tapi tak ada jawaban. Jadi saya berlaku lancang langsung masuk ke dalam..."
Orang tua si ahli ukir menghentikan pekerjaannya, mengangkat kepala dan
memandang pada tamunya. Sesaat orang tua ini terdiam memandang wajah sang tamu.
Dia belum pernah melihat orang ini sebelumnya. Tapi melihat pada pakaian yang
dikenakan sang tamu yang menyatakan dia adalah seorang petinggi Keraton maka
sambil tersenyum dan meletakkan pahatnya di lantai, Sura Kalimarta berkata.
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
"Saya yang harus minta maaf. Seorang penting kerabat Keraton datang, saya tidak
mendengar ketukan pintunya. Keraton begitu besar. Begitu banyak para petinggi
dan para pejabat yang ada di situ. Maafkan saya kalau saya tidak mengenal Raden
sebelumnya. Jika saya boleh bertanya Raden ini siapakah namanya?"
"Saya memang salah seorang petinggi Keraton. Tapi harap Raden Mas tidak
memanggil saya dengan sebutan Raden. Panggil saja nama saya. Bagus Srubud."
Sura Kalimarta tersenyum. "Kalau begitu Saudara Bagus Srubud juga tak usah
memanggil saya dengan Raden Mas segala. Cukup Ki Sura saja. Ruang tamu ada di
sebelah depan. Sebaiknya kita bicara di sana..."
"Tidak usah merepotkan. Kita bisa bicara di sini. Saat ini apakah Ki Sura
sendirian di rumah?" bertanya sang tamu.
"Betul sekali. Istri saya sedang ada keperluan menemui seorang kerabat di desa
tetangga sejak kemarin. Rencananya baru sore ini akan kembali..." jawab Sura
Kalimarta. "Kalau Saudara Bagus suka kita bicara di sini tak jadi apa. Saya
ingin bertanya, gerangan maksud apakah kedatangan Saudara Bagus Srubud ke tempat
saya ini?"
"Maafkan kalau saya mengganggu pekerjaan Ki Sura. Maksud saya ke sini adalah
untuk meminta dibuatkan sesuatu..."
"Apakah ini pesanan dari Keraton atau untuk Saudara Bagus sendiri?"
"Anggap saja dua-duanya," jawab petinggi Keraton bernama Bagus Srubud itu.
Sura Kalimarta tersenyum dan angguk-anggukkan kepala. Orang tua ini maklum apa
maksud ucapan tamunya itu. Dua-duanya. Berarti apapun yang akan dipesan sang
tamu adalah sesuatu yang sangat penting. Maka diapun bertanya.
"Sesuatu yang Saudara Bagus minta saya buatkan itu, benda apa kiranya" Ukiran
atau mungkin boneka?"
"Saya minta Ki Sura membuatkan sebuah topeng. Terbuat dari getah kayu latek..."
"Maksud Saudara Bagus getah pohon karet?"
Bagus Srubud mengangguk.
"Topeng dari getah pohon karet. Saya pernah mendengar hal itu. Konon topeng
getah karet sangat tipis, halus. Nyaris sangat sempurna hingga si pemakai bisa
memiliki satu wajah yang orang lain tidak tahu kalau dia sebenarnya memaki
topeng. Namun pekerjaan ini merupakan satu hal yang belum pernah saya buat
sebelumnya. Saya telah membuat puluhan, mungkin ratusan topeng dari kayu,
kertas, daun lontar, daun kayu besi, kulit pohon. Tapi dari getah pohon
karet..." Si orang tua geleng-gelengkan kepala dan usap-usap dagunya yang
ditumbuhi janggut liar memutih.
"Tidak akan sulit bagi Ki Sura. Tinggal membuat topeng seukuran dan sebentuk
kepala saya, menjadikannya sebagai bahan cetakan, lalu menuangkan getah karet di
atasnya..."
Sura Kalimarta tercengang mendengar ucapan tamunya itu. Dalam hati dia membatin.
"Petinggi Keraton ini bukan sembarangan. Agaknya dia tahu banyak seluk beluk
pembuatan topeng dari getah pohon karet." Si orang tua anggukkan kepalanya. "Ini
satu pengalaman baru yang menarik bagi saya. Saya akan coba membuatnya..."
"Saya butuh paling sedikit tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi
dalam ukuran yang sama..."
"Tiga buah topeng. Dalam raut yang berlainan tapi dalam ukuran sama," mengulang
Sura Kalimarta seraya menatap wajah tamunya. "Saya akan lakukan. Tapi saya mohon
maaf kalau tidak dapat memenuhi permintaan Saudara Bagus Srubud dengan cepat.
Paling tidak saya butuh waktu tiga puluh hari untuk mengerjakannya."
"Saya ingin Ki Sura menyelesaikannya dalam waktu tiga hari!" kata Bagus Srubud.
Nada suaranya lebih memerintah dari pada meminta.
Terkejutlah Sura Kalimarta mendengar ucapan tamunya itu.
"Tidak mungkin, Saudara Bagus. Tiga hari untuk tiga topeng karet tipis yang saya
belum pernah membuatnya!"
"Ki Sura pasti mampu jika Ki Sura mau..."
"Saya mau, tapi..." Sura Kalimarta geleng-gelengkan kepalanya. "Selama ini saya
memang tidak pernah menampik atau mencari dalih pesanan yang datang dari
Keraton. Tapi saya mohon maaf. Membuat topeng karet ini benar-benar satu
pekerjaan baru bagi saya."
"Ki Sura, saya hanya mengulang satu kali saja," kata Bagus Srubud. "Tiga buah
topeng berlainan bentuk dalam ukuran sama. Dalam waktu tiga hari! Jelas"!"
Si orang tua gelengkan kepalanya. "Tidak mungkin Saudara Bagus. Harap Saudara
mengerti..."
"Maafkan saya Ki Sura. Saya memang tidak mau mengerti. Ini pesanan dari Keraton.
Harap diperhatikan dan dipenuhi."
"Saya tetap meminta waktu. Mungkin saya bisa mengurangi tujuh hari. Jadi pesanan
itu saya selesaikan dalam waktu sekitar tiga minggu."
Bagus Srubud menggeleng. "Saya bilang tiga hari Ki Sura. Tidak lebih dan tidak
kurang!" BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
"Saudara Bagus, kau lihat sendiri. Waktu datang tadi saya tengah menyelesaikan
ukiran patung Dewi Sri. Itu adalah pesanan dari Keraton juga. Untuk penghias
ruang tamu baru. Saya tidak mungkin menundanya. Jadi..."
"Saya tidak perduli dengan patung Dewi Sri itu!" potong Bagus Srubud.
"Saudara Bagus, saya mohon kau mau mengerti...."
Petinggi dari Keraton itu menyeringai. "Bukan saya yang harus mengerti Ki Sura.
Tetapi engkau..."
"Maksud Saudara Bagus...?"
"Istri Ki Sura, Kinasih, ada di tangan saya. Dia berada dalam keadaan aman dan
selamat sampai Ki Sura menyelesaikan pesanan sesuai dengan kemauan saya, bukan
kehendak Ki Sura!"
Terkejutlah si orang tua. Wajahnya berubah, sesaat merah lalu berganti pucat.
"Kau petinggi Keraton teganya berbuat sejahat itu..."
"Saya akan kembali ke sini bersama istri Ki Sura pada pagi hari ke empat
dihitung mulai hari ini. Jika Ki Sura berani melaporkan kejadian ini pada
siapapun. Ki Sura tidak akan melihat Kinasih lagi untuk selama-lamanya! Bagi
orang setua Ki Sura, tidak mudah mendapatkan istri semuda dan seayu Kinasih.
Perempuan itu satu yang sangat berharga dalam kehidupan Ki Sura bukan" Kini
semua terserah Ki Sura sendiri..."
Habis berkata begitu Bagus Srubud putar tubuhnya dan tinggalkan si orang tua.
Menggigil tubuh Sura Kalimarta. Lututnya goyah. Orang tua ini jatuh terduduk di
lantai. Dia ingin berteriak. Namuh tubuhnya terasa lemas. Yang keluar bukan teriakan,
tapi justru kucuran air mata.
"Gusti Allah, bagaimana mungkin ada pejabat tinggi Keraton sekeji Bagus Srubud
itu. Kalau aku mengadu pada Sri Baginda pasti dia akan dipancung. Tapi nasib istriku
Kinasih mungkin tidak akan tertolong. Kinasih, dimana kau berada saat ini...?"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
BAB 7 Siang hari ke empat setelah kedatangan Bagus Srubud. Hari itu adalah hari
perjanjian Sura Kalimarta harus menyerahkan tiga buah topeng pesanan petinggi
Keraton tersebut. Ternyata siang itu telah terjadi satu kegemparan di tempat
kediamaan sang ahli ukir.
Seorang utusan dari Keraton yang datang ke situ untuk menanyakan pesanan patung
Dewi Sri dikejutkan dengan ditemukannya sang ahli ukir telah jadi mayat. Orang
tua itu tergeletak mati di ruang tamu secara mengenaskan. Kepalanya pecah. Di
dekat mayatnya ada sebuah pentungan kayu berlumuran darah. Agaknya Sura
Kalimarta dibantai dengan pentungan itu. Di tangan kanan Sura Kalimarta masih
tergenggam sebuah pahat. Mungkin sekali dia masih mengerjakan ukiran patung Dewi
Sri ketika maut merenggut nyawanya.
Di rumah besar itu tidak ada orang lain kecuali istri Sura Kalimarta. Tapi
perempuan itu tidak ditemukan di sana. Sulit diketahui apa yang sebenarnya
terjadi. Berbagai duga perkiraan segera menebar dari mulut ke mulut. Mulai dari yang
masuk akal sampai yang bukan-bukan. Mulai dari yang baik sampai yang berbau
fitnah. Ada yang menduga bahwa seorang perampok menjarah rumah juru ukir itu. Dipergoki
oleh pemilik rumah. Perampok membunuh Sura Kalimarta dengan mementung kepalanya.
Tapi anehnya mengapa semua barang berharga milik orang tua itu atauapun istrinya
ditemui masih ada dalam sebuah lemari"
Dugaan lain si orang tua dibunuh oleh lelaki yang mungkin adalah kekaih gelap
istrinya yang jauh lebih muda itu. Keduanya dipergoki oleh Sura Kalimarta tengah
berbuat mesum. Untuk menghilangkan jejak Sura Kalimarta dibunuh oleh kekasih
istrinya lalu kedua orang itu melarikan diri.
Ada pula yang memperkirakan bahwa Sura Kalimarta dibunuh oleh istrinya sendiri.
Setelah itu Kinasih melarikan diri. Mungkin menemui seorang lelaki yang sudah
lama berhubungan secara gelap dengannya. Dua dugaan terakhir dibumbuhi dengan
keadaan Kinasih yang masih muda sementara suaminya sudah lebih dari enam puluh
tahun. Kebahagiaan apa yang mampu diberikan oleh Sura Kalimarta lelaki setengah
uzur itu pada seorang istri yang masih muda" Dan sampai berapa lama Kinasih
sanggup bertahan diri menjalani hidup tanpa sentuhan hangat seorang suami yang
sangat diharap dan ingin dirasakan dalam usianya yang baru mencapai tiga puluh


Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua tahun itu"
Dua dugaan itu dimentahkan dengan kenyataan ditemukannya perhiasan milik Kinasih
di dalam sebuah lemari. Jika perempuan itu memang terlibat dalam pembunuhan
suaminya masakan dia akan melarikan diri begitu saja tanapa membawa serta harta
kekayaan berupa perhiasan atau uang dan sebagainya.
Dugaan lain menyebutkan bahwa seorang musuh lama Sura Kalimarta muncul untuk
membalas dendam lalu menculik Kinasih.
Kematian mengenaskan sang ahli ukir disampaikan kepada Raja. Sri Baginda segera
mengirimkan beberapa bawahannya untuk menyelidik. Keadaan mayat Sura Kalimarta
diperiksa, begitu juga setiap sudut rumah kediamannya bahkan sampai seputar
halaman guna mencari jajagan, apa sebenarnya yang terjadi dan siapa pembunuh
oarng tua itu. Di samping itu beberapa orang juga dikirim untuk menyelidik dan
mencari Kinasih, istri Sura Kalimarta yang dikabarkan raib itu.
Para petugas yang memeriksa mayat Sura Kalimarta mendapatkan satu temuan yang
sangat penting. Ketika mayatnya yang tergeletak menelungkup di lantai diperiksa,
orang tua itu masih memegang sebuah pahat. Di lantai batu ada guratan-guratan
aneh yang berakhir di ujung pahat. Setelah diperhatikan dan diteliti dengan
seksama, para penyelidik dari Keraton akhirnya berhasil mengetahui apa
sebenarnya yang tergurat di lantai itu. Ternyata guratan itu adalah tulisan
huruf Jawa Kuna yang ditulis demikian buruk dan sulit dibaca. Tulisan itu terdiri dari dua buah
kata. Yang pertama berbunyi Bagus, yang berikutnya berbunyi Srubud.
"Bagus Srubud..." kata salah seorang dari empat petugas Keraton yang menyelidik.
"Ini nama seseorang..."
"Mungkin orang ini yang membunuh Raden Mas Sura Kalimarta!" ujar petugas ke dua.
Orang ketiga ikut berucap. "Benar... Mungkin sebelum menemui ajal. Raden Mas
Sura masih punya daya dan kesempatan untuk menorehkan pahatnya di lantai batu,
menulis nama orang yang membunuhnya!"
"Bagus Srubud! Aku tidak pernah mendengar nama itu. Apa kalian ada yang mengenal
orang itu?"
Tiga kepala sama digelengkan.
*** BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
Pangeran Matahari memacu kuda tunggangannya lurus ke arah timur. Sesekali salah
satu tangannya dipergunakan untuk mengusap wajahnya. Tak selang berapa lama dia
sampai di satu bukit kecil yang ternyata adalah bibir sebuah lembah. Memandang
ke bawah dia melihat sebuah lembah cukup luas. Setelah memperhatikan keadaan
sekitarnya beberapa lama, Pangeran Matahari tinggalkan lembah, turun ke bawah.
Di dasar lembah dia menemukan banyak sekali rerumpunan semak belukar. Namun
hanya ada satu semak belukar yang di tengah-tengahnya ditumbuhi pohon sirih
hutan. "Menurut guru..." membatin sang Pangeran, "Di balik semak belukar yang ada pohon
sirih hutan ini ada sebuah goa. Lalu di dalam ada sorga... Hemmm... Aku masih
harus membuktikan apap sebenarnya arti kata-kata orang tua yang sudah jadi arwah
gentayangan itu!"
Pangeran Matahari melompat turun dari kudanya. Dia mendekati semak belukar di
hadapannya. Ketika semak belukar didorongnya ke kiri pandangannya membentur
dinding batu berlumut yang di sebelah tengahnya ada sebuah lobang setinggi bahu
manusia. Sang Pangeran tidak segera masuk ke dalam goa. Dia menunggu sesaat
sambil memasang telinga dan memperhatikan keadaan sekitarnya. Bila dirasakannya
aman, baru dia melangkahkan kaki.
Dengan merunduk dia masuk ke dalam goa.
Di sebelah dalam goa, bagian atasnya ternyata cukup tinggi hingga Pangeran
Matahari bisa melangkah tanpa merunduk lagi. Memasuki goa sejarak sepuluh tombak
keadaan berubah menggelap karena cahaya dari luar terhalang oleh satu kelokan.
Tiba-tiba dari arah depan ada suara mendesah disusul oleh suara perempuan
menegur. "Bagus. Bagus Srubud, kaukah itu?"
Pangeran Matahari hentikan langkahnya. Dia ingat ucapan gurunya. "Sorga itu
bernama Kinasih. Untuk mendapatkan sorga itu kau harus mengaku bernama Bagus
Srubud." Pangeran Matahari berpikir sesaat lalu mendehem. "Kinasih...?"
"Suaramu agak berubah Bagus. Kau sakit...?"
"Hemm... Tenggorokanku agak tidak enak," jawab Pangeran Matahari.
"Kau hanya tegak diam di situ. Mengapa tidak mendekat kemari?"
Dalam gelap Pangeran Matahari buka matanya lebih lebar, memandang ke depan.
Sesaat setelah matanya terbiasa dengan kegelapan, walau tidak begitu jelas, tapi
apa yang dilihatnya di sebelah sana membuat jantungnya berdegup keras dan
darahnya memanas. Di lantai goa, sejarak enam atau tujuh langkah di depannya,
terbaring satu sosok putih mulus, nyaris tidak terlindung pakaian. Seonggok
pakaian terletak di samping sosok tubuh ini.
"Agaknya inilah sorga yang dimaksudkan guru," kata Pangeran Matahari dalam hati
sambil menyeringai.
"Bagus, jangan diam saja. Lekas kemari. Lepaskan totokan di tubuhku! Kau selalu
menotok aku setiap kau meninggalkan goa. Padahal aku sudah berjanji tidak akan
melarikan diri..."
Pangeran Matahari maju melangkah. Lalu berlutut di samping sosok tubuh itu.
Ternyata perempuan bernama Kinasih itu berparas ayu dan memiliki tubuh elok
menggairahkan. Mata Sang pangeran menyelusuri wajah dan tubuh itu sesaat,
mencari tahu di bagian mana Kinasih telah ditotok. Setelah diketahuinya segera
dia menotok urat besar di leher sebelah kiri. Tubuh Kinasih langsung bergerak
bangun dan memeluknya. Tapi tiba-tiba perempuan itu lepaskan pelukannya dan
menatap dalam gelap.
"Jangan-jangan dia tahu aku bukan Bagus Srubud," pikir Pangeran Matahari.
"Kurang ajar, siapa sebenarnya Bagus Srubud itu! Dan si jelita berubuh polos ini
siapa pula dia sebenarnya"!"
"Bagus, kuharap kau menepati janjimu. Hari ini kau akan membebaskan aku. Aku
akan melupakan masa laluku dan menjadi pendamping setiamu untuk selamalamanya..."
Pangeran Matahari merasa lega dan tersenyum. Gelapnya goa membuat perempuan itu
tidak mengenali kalau sebenarnya dia bukan Bagus Srubud. Dia mulai bisa menduga
sedikit apa-apa yang telah terjadi sebelumnya antara lelaki bernama Bagus Srubud
dengan perempuan ini.
"Kita bermalam dulu satu sampai dua hari di tempat ini. Setelah itu baru
pergi..." Mengira Bagus Srubud masih ingin berada lebih lama dengannya di dalam goa itu
Kinasih merasa senang juga. Sambil memeluk si pemuda dia berkata.
"Kau barusan dari Kotaraja. Apakah keadaan masih belum aman" Orang-orang masih
mencariku...?"
"Betul," jawab Pangeran Matahari. "Itu sebabnya kita perlu sembunyi lebih lama
di goa ini..." Kini Pangeran Matahari menduga jangan-jangan perempuan ini adalah
anak atau istri seorang penting di Kotaraja yang main gila dan melarikan diri
dengan seorang lelaki bernama Bagus Srubud yang kini perannya tengah dijalankan
oleh dirinya sendiri.
Ketika perempuan itu mengambil pakaiannya yang terongok di lantai, Pangeran
Matahari menahan tangannya. Lalu merangkulnya. Sebenarnya Kinasih merasakan satu
kelainan dalam sikap dan gerak gerik lelaki itu. Tetapi perasaan itu
dilupakannya karena mengira setelah
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
berpisah agak lama Bagus Srubud kini menjadi lebih bergairah. Kinasih tidak bisa
menipu dirinya, dia sendiri saat itu juga telah diamuk rangsangan.
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
BAB 8 Pagi itu Pangeran Matahari telah rapi berpakaian. Seperti pertama kali di masuk
ke dalam goa, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian kebesaran petinggi
Keraton. "Bagus, apakah hari ini hari yang kau janjikan itu" Kita sama-sama pergi
meninggalkan goa?"
Pangeran Matahari mengangguk. "Kenakan pakaianmu. Aku menunggu di luar."
Saking gembiranya Kinasih memeluk Panegran Matahari tanpa dia tahu apa
sebenarnya yang akan terjadi sebentar lagi. Sementara Pangeran Matahari yang
dikenalnya sebagai lelaki bernama Bagus Srubud itu melangkah ke luar goa,
Kinasih cepat mengenakan pakaian. Ketika kemudia dia keluar dari goa dilihatnya
Pangeran Matahari telah duduk di atas seekor kuda. Di depan rerumpunan semak
belukar perempuan muda ini tertegun sesaat.
"Ah, di dalam goa aku tidak bisa melihat parasnya dengan jelas. Ternyata dia
seorang pemuda berwajah gagah. Tubuhnya kuat. Aku benar-benar bahagia bisa
mendapatkannya,. Demi rasa sukaku padanya, apapun yang terjadi akan kuhadapi...
Tapi aku tidak pernah menduga kalau dia adalah seorang pejabat Keraton."
"Kau memperhatikan diriku agak aneh. Ada apakah?" bertanya Pangeran Matahari.
Kinasih melangkah mendekati lelaki itu, letakkan kepalanya di pinggul Pangeran
Matahari. Sambil mengusap-usap paha Pangeran Matahari dia berkata. "Aku sangat
bahagia hari ini. Satu hal aku tidak menduga. Kau ternyata adalah seorang
petinggi Kertaon..."
Pangeran Matahari memandang pada pakaian bagus yang dikenakannya lalu tersenyum.
"Mengingat apa yang kau lakukan, apakah kau tidak takut akan kehilangan
jabatanmu Bagus Srubud?"
"Aku tidak pernah merasa takut menghadapi apa dan siapapun..."
Kinasih angkat kepalanya. "Aku senang mendengar ucapanmu itu. Kita pergi
sekarang" Kau akan membawaku kemana Bagus?"
"Aku akan pergi sendirian. Aku tak akan membawamu kemana-mana Kinasih..."
Ucapan Pangeran Matahari itu mengejutkan Kinasih. Wajahnya yang cantik
mengerenyit. "Kau tentunya bergurau Bagus..."
"Di dalam goa, ketika memeluk dan menciummu, aku memang suka bergurau. Tapi kali
ini tidak."
"Bagus, apa maksudmu"!" tanya Kinasih.
"Maksudku, aku akan pergi kemana aku suka dan kau juga boleh pergi kemana kau
suka." "Astaga! Aku benar-benar tidak mengerti..."
"Kau bisa berusaha mengerti setelah aku pergi. Terima kasih untuk kesenangan
yang kau berikan padaku selama dua hari ini. Selamat tinggal Kinasih...."
"Kau tidak menepati janji! Kau..."
"Aku tidak pernah berjanji. Kalaupun aku pernah berjanji, aku memang bukan
seorang yang suka menepati janji!"
"Bagus Srubud, aneh sekali! Kau tiba-tiba berubah. Atau kau memang sudah
berencana menipuku!"
Pangeran Matahari tertawa bergelak. "Aku memang manusia segala akal dan paling
licik di dunia ini. Soal tipu menipu bagiku adalah soal kecil!"
"Ya Tuhan! Teganya kau berkata begitu. Teganya kau menipu diriku! Kau culik aku,
kau sekap aku di dalam goa. Aku kau jadikan..."
"Apapun yang telah terjadi aku tidak perduli!"
Pangeran Matahari menepuk pinggul kudanya. Binatang itu melompat ke depan hampir
menyeret Kinasih kalau perempuan ini tidak cepat melepaskan pegangannya di kaki
sang Pangeran. "Bagus! Tunggu! Bagaimana kalau aku mengandung"!" berteriak Kinasih sambil coba
mengejar. Di atas punggung kudanya Pangeran Matahari hanya menoleh sebentar lalu dengan
seringai di wajahnya dia berkata. "Kalau kau hamil, kurasa itu bukan
perbuatanku. Ada orang lain yang melakukan sebelum aku..."
Kinasih terpekik mendengar kata-kata itu. Wajahnya seputih kain kafan. Suaranya
bergetar ketika berkata. "Selama ini aku tidak pernah berbuat seperti yang kita
lakukan dengan orang lain. Juga tidak dengan suamiku sendiri. Aku..."
Pangeran Matahari tersenyum. Begitu senyumnya lenyap mulutnya berucap. "Aku
hanya meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya kau berterima
kasih padaku karena aku telah memberikan kesenangan tambahan selama dua hari
padamu. Ha... ha... ha!"
"Kau... katamu kau meneruskan permainan Bagus Srubud yang asli" Ucapan gila apa
ini"!" Kau mau pergi begitu saja sementara aku bakal menghadapi masalah besar.
Bagaimana kalau aku mengandung Bagus" Bagaimana..."!"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
"Kau membuat aku jengkel Kinasih. Sudahlah! Jika kau nanti benar-benar
mengandung dan melahirkan seorang bayi, kau bisa memelihara anak itu. Jika kau
tidak sudi memeliharanya, berikan pada orang lain. Jika kau juga tak mau
melakukan hal itu, bunuh saja bayimu! Ha... ha...
ha Aku tidak perduli kau mau berbuat apa. Karena bayi itu bukan anakku! Bukan
darah dagingku!"
Kembali Kinasih terpekik. Sekujur tubuhnya menggigil lunglai. Hampir dia jatuh
ke tanah tiba-tiba seperti ada satu kekuatan masuk ke dalam dirinya, perempuahn
muda ini lari mengejar ke atas lembah, ke arah perginya Pangeran Matahari. Dia
berlari sambil tiada hentinya memanggil-manggil nama Bagus Srubud. Dia baru
berhenti berlari ke bagian atas lembah ketika dadanya sesak dan tubuhnya terasa
lemas. Kinasih melihat dunia ini seperti berputar. Dua tangannya memegangi dada
yang mendadak terasa sakit seperti ditindih batu besar. Perlahan-lahan tubuhnya
terhuyung ke belakang. Sesaat lagi dia akan terbanting jatuh dan terguling ke
dasar lembah, satu tangan kokoh merangkul pingganggnya yang ramping. Lalu dia
merasa seperti dilarikan oleh seseorang. Di satu tempat orang ini berhenti dan
menurunkannya. "Bagus... Bagus Srubud?"
Kinasih berucap menyebut nama itu. Tapi ketika dia mendongak, dia tidak melihat
wajah Bagus Srubud, melainkan seorang pemuda bertampang gagah, berambut gondrong
dan memandang padanya sambil tersenyum polos.
"Aku bukan orang yang barusan namanya kau sebut. Aku kebetulan lewat dan
melihatmu hampir terguling ke dasar lembah..."
Kinasih seperti belum sadar dan percaya apa yang dialaminya. Dia memandang
berkeliling. "Bagus Srubud..." ucapnya perlahan. Lalu pandangannya ditujukan
pada sosok pemuda gondrong di depannya. Setelah itu dia jatuhkan diri, tutupi
muka dengan dua tangan dan mulai terisak menangis.
"Walah! Apa ucapanku tadi ada yang salah" Sampai membuat perempuan muda ini
menangis?" Si gondrong bicara sendiri sambil garuk-garuk kepala. Dia menunggu.
Tapi tangis Kinasih semakin keras. Membuat si gondrong jadi bingung, melangkah
mundar-mandir sambil tiada henti menggaruk kepala.
"Dari pada mencari urusan lebih baik aku tinggalkan saja perempuan ini," kata si
gondrong pula dalam hati. Namun memandang wajah yang menangis dan kini tidak
lagi ditutupi tangan, hatinya merasa hiba.
"Ah, kasihan juga kalau aku tinggal. Lagi pula wajahnya cantik ayu. Biar
kutunggu saja. Kalau sudah capai dia pasti berhenti menangis. Belum pernah kulihat ada
perempuan mampu menangis sampai satu hari satu malam!" Si gondrong lalu
mendekati sebuah pohon dan duduk bersandar di situ sambil senyum-senyum
memperhatikan Kinasih menangis.
Seperti ucapan si gondrong, akhirnya Kinasih berhenti juga menangis. Dengan
matanya yang bengkak merah perempuan ini memandang pada pemuda yang duduk di
bawah pohon itu.
"Kau siapa" Mana Bagus Srubud...?"
"Aku tidak kenal Bagus Srubud. Juga tidak tahu dia berada di mana. Kau mau
menerangkan siapa adanya orang bernama Bagus Srubud itu?"
"Aku..." Kinasih tutup wajahnya dengan dua tangan. "Aku tertipu. Dia... dia
menculikku. Membawaku ke goa di lembah di sana. Tutur katanya penuh rayuan. Aku tak bisa
bertahan..."
"Waktu aku sampai di lembah ini, aku melihat seorang penunggang kuda lari ke
arah sana sementara kau mendaki lembah mengejar. Aku tidak tahu mau berbuat apa.
Tapi ketika melihat kau hampir jatuh terguling, aku memutuskan menolongmu, tidak
mengejar orang berkuda itu..."
"Dia... penunggang kuda itu Bagus Srubud. Manusia penipu. Jahanam terkutuk. Dia
hanya ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap diriku..."
"Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu..."
"Aku tidak mungkin menceritakan pada orang lain. Aku malu, benar-benar malu. Aib
yang kubuat terlalu besar. Tidak, tidak mungkin kuceritakan padamu. Apalagi aku
tidak kenal siapa kau sebenarnya..."
"Kau tak usah malu padaku. Namaku Wiro Sableng. Ceritakan apa yang terjadi.
Mungkin aku bisa menolong..."
"Wiro Sableng" Namamu Wiro Sableng..." Kau tahu, sableng itu artinya kurang
waras, berotak miring. Kau tidak berotak miring 'kan?"
Si gondrong Wiro tertawa. "Mungkin cuma sedikit kurang waras, sedikit agak


Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

miring." "Aku tidak mau bicara pada orang gila!"
Murid Sinto Gendeng menyengir. "Kalau kau tinggal sekitar sini, sebaiknya kau
segera saja pulang ke rumah..."
Kinasih menggeleng. "Setelah apa yang terjadi, aku tidak mungkin kembali ke
rumah. Aku... aku tinggal di Kotaraja..."
"Kebetulan aku akan ke Kotaraja untuk satu urusan. Aku bisa menemanimu..."
Kinasih menggeleng.
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
Wiro garuk-garuk kepalanya. "Aku tahu, kau pasti punya pikiran begini. Orang
seperti Bagus Srubud saja yang tadinya kau sukai tidak dapat dipercaya. Apalagi
orang sableng seperti diriku." Wiro bankit berdiri. "Kau berada di tempat aman.
Kotaraja tak jauh dari sini. Kau bisa ke sana tanpa pertolongan siapa-siapa..."
"Tunggu!" panggil Kinasih ketika dilihatnya Wiro hendak melangkah pergi. Wiro
hentikan langkah, Kinasih menatap sejurus pemuda di hadapannya itu. "Sebenarnya
wajahnya tampan, tapi lagaknya konyol tak karuan. Kalau otaknya benar-benar
kurang waras aku bisa tambah celaka." Kinasih berpikir lalu untuk menghilangkan
kebimbangan dia bertanya. "Apakah ku bisa kupercaya dan mau menolongku?"
"Perempuan cantik sepertimu seharusnya jangan mudah percaya pada siapa saja. Apa
lagi yang namanya laki-laki seperti aku ini! Tapi soal menolong bagaimana aku
bisa kalau apa yang terjadi saja ceritanya aku tidak tahu!" jawab Wiro.
"Baik, baik... aku akan ceritakan..."
"Dari permulaan, jangan ada yang kau lupakan."
Kinasih mengangguk. "Namaku Kinasih. Suamiku adalah..."
"Eh, kau ini sudah bersuami rupanya. Kukira masih gadis perawan!" Wiro memotong
sambil senyum dan garuk kepala.
Kata-kata Wiro membuat wajah Kinasih jadi merah. "Jangan bergurau. Jangan
memotong ceritaku atau lebih baik aku bungkam saja..."
"Mulutku memang suka ketelepasan. Tapi aku tadi bicara polos. Kau begini muda,
cantik. Siapa mengira..."
"Suamiku adalah Raden Mas Sura Kalimarta, seorang juru ukir Keraton. Usianya
sudah lanjut, lebih dari enam puluhan. Kami kawin atas kehendak Sri Baginda. Aku
memang sejak lama mengagumi kepandaian Sura Kalimarta dan tidak menyangka satu
hari akan menjadi istrinya.
Sebenarnya kalau Sri Baginda tidak keliwat memaksa, mungkin aku tidak akan
menjadi istri orang yang pantas menjadi ayah bahkan kakekku. Selama beberapa
tahun kawin kami tidak mempunyai anak..."
"Suamimu mandul..."
Kinasih pelototkan matanya yang merah bengkak habis menangis.
Wiro garuk-garuk kepala. "Maaf, mulutku usil lagi..."
"Aku tidak tahu suamiku mandul atau tidak. Yang jelas selama kawin sekian tahun
dia tidak pernah menggauliku sebagaimana layaknya seorang suami..."
"O... ooo..." Wiro tersenyum ketika dilihatnya Kinasih kembali membesarkan mata.
"Mungkin suamiku sudah terlalu uzur. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dan
memperhatikan pekerjaanya. Walau aku menghormati dan mengagumi Raden Mas Sura
Kalimarta namun sebagai seorang istri hidupku penuh tekanan batin. Aku berusaha
bertahan menebalkan iman, terutama terhadap godaan dari lelaki yang berusaha
mendekatiku dan mengajakku berselingkuh. Aku tidak tahu sampai kapan bisa
berbuat begitu. Beberapa hari lalu aku menyambangi seorang sahabat yang baru
saja melangsungkan perkawinan di sebuah desa tak jauh dari Kotaraja. Waktu
pestanya aku tidak berkesempatan datang. Dalam perjalanan pulang turun hujan
lebat. Kabarnya terjadi banjir di sebuah kali yang akan dilalui rombongan.
Perjalanan kami jadi terhalang. Menjelang malam baru bisa dilanjutkan."
"Di satu tempat sepi dan gelap tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda
menyerang rombongan. Kami mengira dia adalah seorang perampok tunggal berani
mati. Kukatakan demikian karena dalam rombongan terdapat beberapa orang
berkepandaian tinggi. Salah seorang di antaranya adalah Ki Suryo Tambaksari.
Seorang pejabat tinggi di Kotaraja yang bulan depan bakal diangkat menjadi
Adipati Klaten. Ternyata perampok tunggal itu punya kepandaian luar biasa. Semua
lelaki dalam rombongan berjumlah tujuh orang tewas di tangannya. Perampok itu
juga membunuh Ni Alursutri, sahabatku dalam perjalanan. Mayat mereka kemudian
dibuang ke dalam jurang. Aneh, mengapa dia susah-susah melakukan hal itu..."
"Karena dia ingin menghilangkan jejak," menyahuti Wiro.
"Mungkin begitu," kata Kinasih. "Anehnya lagi si perampok tidak menjarah harta
atau uang kami. Ternyata dia mengincar diriku. Dalam malam begitu gelap aku
tidak sempat melihat atau mengenali tampang si perampok, selagi aku berusaha
melarikan diri, tiba-tiba ada satu tusukan di punggungku. Aku langsung tidak
sadarkan diri..."
"Hemmm..." Wiro garuk-garuk kepala. "Itu bukan totokan biasa..." kata murid
Sinto Gendeng ini.
"Ketika siuman, kudapati diriku berada dalam sebuah goa bersama perampok itu.
Lagi-lagi aku tidak bisa melihat jelas orang itu karena goa dimana aku disekap
gelap. Namun dari bentuk tubuhnya aku bisa menduga dia masih muda dan samarsamar bayangan wajahnya tampak tampan dalam gelap."
"Pemuda itu mengaku bernama Bagus Srubud. Menurutnya dia menculikku untuk
memaksa suamiku. Aku bertanya memaksa apa, tapi dia tidak menjawab. Saat-saat
pertama aku sangat membenci dirinya. Tapi sikapnya yang sopan dan tutur
bicaranya yang halus membuat
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
lama-lama aku merasa tertarik. Lalu timbul rasa suka. Entah bagaimana aku tak
tahu bagaimana menerangkannya, hari-hari berikutnya kami sudah berada dalam
hubungan sangat mesra. Aku tidak kuasa menolak semua apa yang dilakukannya.
Semua yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari suamiku..." Sampai di situ
Kinasih terdiam sejenak, wajahnya yang merah ditutupinya lagi dengan ke dua
tangannya. Setelah menahan isak dan diam lagi beberapa lamanya baru dia
melanjutkan. "Aku tahu aku telah berbuat salah dan dosa besar. Tapi hatiku
terhibur karena Bagus Srubud berjanji tidak akan meninggalkan diriku, akan
membawa aku kemana dia pergi. Menurutku ucapannya itu berarti dia akan mengambil
aku sebagai istri. Aku sudah bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke Kotaraja.
Bukan saja karena aku tidak ingin kehilangan pemuda itu, tapi juga karena aku
merasa tak layak lagi untuk kembali pada suamiku."
"Dua hari lalu Bagus kembali ke goa. Aku tidak tahu dia pergi kemana,. Sekali
ini sikap dan sentuhannya terhadapku luar biasa. Aku mengira mungkin itu karena
dia rindu padaku.
Namun ada semacam perasaan aneh yang tak biasa kupecahkan. Lalu pagi tadi
terjadi hal yang tidak kuduga sama sekali. Pertama, dari pakaiannya baru
kuketahui Bagus Srubud ternyata adalah seorang pejabat tinggi Keraton. Kemudian
ini yang membuatku ingin mati saja. Bagus Srubud meninggalkan diriku. Aku tengah
mengejarnya ketika kau muncul menolongku..."
Sampai di sini Kinasih tak dapat lagi menahan dirinya. Perempuan ini kembali
menangis. "Aku tak tahu mau melakukan apa. Atau mau pergi kemana. Bagus Srubud jahanam!
Terkutuk dia selama-lamanya..."
"Aku tidak yakin orang bernama Bagus Srubud itu petinggi Keraton. Kalau dia
memang orang Istana kau tidak akan dibiarkannya hidup. Setelah melakukan
perbuatan keji itu dia pasti ingin menghilangkan jejak. Tapi untuk menguji,
tidak ada salahnya kau melaporkan kejadian ini pada petinggi lainnya di
Kotaraja."
"Itu sama saja degan membuka aibku sendiri," kata Kinasih dan lalu gelenggelengkan kepalanya.
"Yang aku takutkan kalau aku menandung. Anakku lahir tanpa ayah. Memalukan
sekali. Aibku terlalu besar. Jahanam Bagus Srubud itu malah tega berucap, jika aku tidak
mau memelihara bayiku, berikan pada orang lain atau membunuhnya!"
"Coba kau ingat-ingat. Bagaimana ciri-ciri orang bernama Bagus Srubud itu. Tidak
pernah aku menemui manusia sekeji itu..." Wiro lalu berpikir, menduga-duga.
"Dia masih muda. Wajahnya tampan. Rambut hitam lebat..."
"Tidak ada tanda-tanda tertentu...?" tanya Wiro.
Kinasih menggeleng. Wiro berpikir lagi. Dia coba mengingat-ingat kejadian malam
itu. Ketika pertama kali dia terpesat dan terkapar di bukit karang Teluk Penanjung.
Ada orang mendatanginya lalu membalikkan tubuhnya. Malam gelap, dia melihat agak
samar-smar. Orang itu bermuka cacat. Raut wajahnya menyerupai Pangeran Matahari.
Wajah Bagus Srubud tampan, tak ada cacatnya. Berarti keliru kalau dia menduga
bahwa Bagus Srubud adalah Pangeran Matahari. Dua tahun lalu dia menghantam musuh
besarnya itu hingga terjungkal dan amblas jatuh ke dalam jurang batu karang.
Apakah Pangeran Matahari menemui ajalnya di dasar jurang"
Pendekar Kipas Pelangi yang ditemuinya di Teluk Penanjung mengatakan bahwa
Pangeran Matahari telah lama menemui ajal. (Baca Episode sebelumnya berjudul
"Kembali Ke Tanah Jawa."). Namun murid Sinto Gendeng kini mulai meragukan hal
itu. "Jangan-jangan bangsat itu masih hidup. Apa mungkin si muka cacat itu
rohnya yang gentayangan?"
"Kau seperti melamun. Apa yang kau pikirkan?"
Pertanyaan Kinasih membuat Wiro sadar. Sambil menggaruk kepala dia bertanya.
"Apa kau sudah menceritakan semua yang terjadi" Tidak ada yang terlupa" Sesuatu
yang kau lupakan tapi bisa menjadi petunjuk?"
Kinasih memandang ke arah kejauhan. Kemudian menggelengkan kepala. "Kurasa semua
sudah keceritakan. Kalaupun ada rasanya bukan merupakan petunjuk, malah membuat
kepalaku jadi sakit, hatiku panas dan bertambah dendam terhadap Bagus Srubud..."
"Coba kau ceritakan..." kata Wiro.
"Sebelum pergi Bagus Srubud jahanam itu berkata, kalau aku sampai hamil maka itu
bukan perbuatannya. Tapi perbuatan orang lain yang melakukannya sebelum dia. Apa
tidak gila"!"
"Memang gila tapi juga aneh. Mengapa dia berkata seperti itu..." menyahuti Wiro.
"Ada yang lebih aneh!" kata Kinasih. "Dia berucap kalau dia hanya meneruskan
permainan Bagus Srubud yang asli. Seharusnya aku berterima kasih padanya karena
dia memberikan tambahan kesenangan padaku selama dua hari..."
Sepasang mata Pendekar 212 menyipit. Keningnya mengerenyit. Memang aneh. Apa
maksudnya dia berkata begitu. Apa mungkin..." Wiro tidak teruskan ucapannya.
Telinganya menangkap suara sesuatu. Seperti derap kaki kuda.
"Apa yang harus aku lakukan" Kemana aku harus pergi?"
"Kau harus pulang ke rumahmu di Kotaraja..."
"Tidak mungkin! Aku tidak akan melakukan hal itu..."
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
Wiro mengangkat tangannya memberi tanda. "Jangan bicara, aku mendengar suara
aneh. Mendatangi ke arah sini..."
Belum lama Pendekar 212 berucap tiba-tiba di arah kanan kelihatan debu mengepul
disertai suara derap kaki kuda. Sesaat kemudian dua sosok tinggi aneh muncul di
tempat itu. Kinasih terpekik. Kaget dan takut.
"Kinasih, lari! Lekas tinggalkan tempat ini!" kata Wiro.
Tapi saking takutnya Kinasih malah tidak bisa lari. Sekujur tubuhnya bergeletar
menggigil. Lututnya goyah. Seumur hidup belum pernah dia melihat makhluk aneh
mengerikan seperti ini.
"Monyet gondrong! Dulu kau boleh lolos dari kematian karena ada yang menolong!
Hari ini jangan harap kau bisa selamat!" Satu suara berucap lantang.
Menyusul suara kedua.
"Tapi jika kau mau menjawab beberapa pertanyaan, nyawamu mungkin masih bisa
diampuni. Kami hanya akan membuat cacat dirimu seumur-umur. Bukan begitu
saudaraku"!"
"Ha... ha... ha! Ucapanmu betul sekali! Biar aku mulai saja dengan pertanyaan
pertama! Pendekar 212! Dimana beradanya Kitab Wasiat Malaikat"!"
"Sekarang aku yang gantian bertanya! Pendekar 212! Apakah saat ini kau membawa
Kitab Wasiat Dewa"!"
Rahang murid Sinto Gendeng menggembung. "Dua makhluk jahanam ini! Mereka mencari
kitab-kitab sakti itu rupanya. Aku sudah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan
kesaktian mereka di bukit karang Teluk Penanjung. Aku haru berlaku hati-hati..."
Selagi Wiro berkata dalam hati seperti itu, salah satu dari sosok tinggi di
hadapannya berbisik pada sosok di sebelahnya. "Ada perempuan cantik bersama
monyet gondrong itu. Kalau sudah dapat keterangan segera saja kita habisi dia.
Lalu perempuan itu kita bawa kabur ke pondok di kali Pabelan."
"Aku setuju sekali," jawab sosok satunya. "Memang sejak orang-orang Keraton
Surakarta mencari-cari kita, kita tidak punya waktu banyak bersenang-senang.
Sekarang ada rejeki besar di depan mata, cantik dan mulus! Siapa mau menolak"!
Ha... ha... ha!"
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
BAB 9 Bukit Ampel memang terletak di pedataran yang tidak terlalu tinggi. Namun
kawasan ini serigkali diselimuti kabut, terutama mulai menjelang malam. Malam
itu, baru saja bulan purnama muncul dari balik awan tebal, kabut telah berarak
turun ke puncak bukit.
Di salah satu lereng Bukit Ampel, susana sunyi sepi. Cahaya rembulan yang tidak
menembus kabut membuat tempat itu berada dalam keadaan gelap temaram. Di
kejauhan sesekali terdengar suara raungan anjing.
Di gelapnya malam, di bawah hembusan angin yang terasa mencucuk dingin satu
sosok samar-samar berjalan di balik kabut. Sekeluarnya dari kabut seharusnya
sosok ini akan kelihatan lebih jelas. Tapi ternyata tetap saja bentuknya samar.
Lalu bila diperhatikan gerakan sepasang kakinya seperti tidak menginjak tanah!
Sosok aneh ini berupa seorang gadis cantik berwajah pucat. Pakaiannya di sebelah
atas berupa sehelai kebaya putih dalam. Di bagian bawah dia mengenakan celana
panjang juga berwarna putih. Di puncak bukit sosok aneh ini tegak sebentar,
memandang berkeliling lalu mendongak ke langit.
"Malam mulai larut. Apakah salah aku menyirap kabar bahwa para gadis gila itu
memang telah memilih bukit Ampel ini sebagai tempat pertemuan" Aku akan
menunggu. Tapi jika menjelang fajar mereka tidak muncul, tak mungkin begitu
berada lebih lama di tempat ini..."
Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan anjing. Di langit bulan terlindungg
awan. Puncak Bukit Ampel semakin gelap. Apa lagi kabut semakin banyak yang turun.
Tiba-tiba dari sebelah barat puncak bukit berkelebat satu bayangan ungu. Lenyap
sebentar ditelan kabut lalu muncul lagi lebih jelas. Ternyata orang ini adalah
seorang gadis berpakaian ringkas warna ungu. Sehelai selendang juga berwarna
ungu melingkar di lehernya, salah satu ujungnya menjulai di ats dada. Jika
diperhatikan ujung selendang yang menjulai, akan kelihatan di situ tertera tiga
buah angka yang tak asing lagi : 212. Konon angka itu Pendekar 212 Wiro Sableng
sendiri yang mengguratnya sebagai kenang-kenangan.
"Hemmm... Satu sudah muncul..." Sosok samar berpakaian putih berkata sambil
sepasang matanya tak berkesip memandang gadis berpakaian ungu itu. Rupanya dia
bisa melihat gadis itu sebaliknya si baju ungu tidak melihat dirinya padahal
jarak mereka di puncak Bukit Ampel itu hanya terpisah kurang dari lima langkah.
Gadis berpakaian serba ungu ini dalam rimba persilatan dikenal dengan nama
Anggini. Dia pernah mendapat julukan Dewi Kerudung Biru namun dia lebih suka
memperkenalkan diri dengan nama aslinya (Baca serial Wiro Sableng berjudul
"Keris Tumbal Wilayuda.") Seperti diketahui Anggini adalah murid
Dewa Tuak. Sejak pertemuan Anggini yang pertama dengan Pendekar 212 Wiro Sableng
yang memang sengaja diatur oleh dedengkot persilatan Tanah Jawa itu, sebenarnya
Dewa Tuak ingin menjodohkan Anggini dengan Wiro.
Anggini sendiri, terlepas dari niat gurunya itu secara diam-diam memang
mengasihi Wiro.
Beberapa kali dia berusaha mendekati sang Pendekar. Namun tanggapan dari murid
Sinto Gendeng walaupun baik dan ramah serta mereka sempat berkawan dekat, sama
sekali tidak menjurus pada apa yang diharapkan Anggini.
Setelah bertahan cukup lama akhirnya Anggini menyadari bahwa tidak ada harapan
baginya untuk hidup bersama dengan Wiro. Walau hatinya sedih dan sangat berat
namun dengan penuh ketabahan Anggini berusaha menjauhkan diri dari Wiro.
Terakhir sekali mereka bertemu di Gajahmungkur sewaktu terjadi perang hebat
antara para tokoh golongan putih dengan Datuk Lembah Akhirat dan anak buahnya.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul "Gerhana Di Gajahmungkur.")
Anggini kemudian pergi bersama seorang pemuda bernama
Panji yang diam-diam
mengasihi gadis ini. Mereka berangkat menuju Pulau Andalas untuk memenuhi


Wiro Sableng 121 Tiga Makam Setan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permintaan tokoh nomor satu di sana yakni Nyanyuk Amber yang ingin mewariskan
ilmu silat dan kaktiannya pada sepasang muda-mudi itu. Walau berada jauh di
seberang lautan namun Anggini tidak pernah lupa meyirap kabar apa yang terjadi
di Tanah Jawa. Dia kemudian mengetahui bahwa sejak dua tahun terakhir Pendekar
212 Wiro Sableng telah lenyap tanpa diketahui kemana perginya. Hasrat Anggini
untuk menyelidik apa yang terjadi dengan orang yang dikasihinya itu tak dapat
dibendung. Yang paling ditakutinya - walau sadar dia tidak berjodoh dengan Wiro ialah kalau Wiro tahu-tahu telah melangsungkan perkawinan dengan seseorang tanpa
dia mengetahui.
Suatu hari, belum lagi sang surya muncul di ufuk timur, setelah membuat dua
pucuk surat, satu untuk Nyanyuk Amber dan satunya lagi untuk Panji, Anggini
meninggalkan Pulau Andalas, menyeberang ke Tanah Jawa.
Letih berdiri menunggu, Anggini melangkah mundar-mandir di puncak bukit. Walau
hidungnya membaui sesuatu, seperti bau bunga namun Anggini tidak menyadari kalau
dia telah berulang kali melewati dekat sekali sosok gadis muka pucat berpakaian
serba putih yang juga ada di tempat itu. Sebaliknya setiap Anggini lewat di
depannya, gadis berpakaian putih memandang
BASTIAN TITO TIGA MAKAM SETAN
dengan mata membesar. Dalam hati dia berkata. "Aku tahu dia gadis baik. Dia
gadis pertama yang mengasihi pemuda itu dengan hati bersih. Aku memang cemburu
padanya. Tapi aku tidak mau berseteru dengan dirinya. Karena ku tahu, keduanya
tak berjodoh satu sama lain..." Habis membatin seperti itu gadis berpakaian
serba putih, cantik tapi berparas pucat ini pergi duduk di atas sebuah batu.
Matanya terus saja mengawasi gerak gerik Anggini.
Puncak Bukit Ampel semakin sunyi, angin malam semakin dingin dan kabut semakin
menebar. Anggini tiba-tiba palingkan kepala ke arah kiri. Ada suara berkelebat
dari arah situ.
Sebelumnya gadis berpakaian putih telah lebih dulu menoleh ke arah yang sama.
Dari hal ini jelas diketahui bahwa bagaimanapun tingginya ilmu kepandaian murid
Dewa Tuak, namun pendengaran gadis samar berpakaian putih jauh lebih tajam.
Sesaat kemudian muncullah seorang gadis berpakaian ringkas biru berbunga-bunga
kuning. Walau wajahnya tidak dipoles dengan dandanan namun kecantikannya tetap
terlihat mempesona. Pipi dan bibirnya merah segar. Sepasang alisnya sangat tebal
dan hitam. Rambutnya yang panjang tergerai lepas, bergerak meliuk tertiup angin.
Di punggungnya ada sebuah kantong berisi tujuh buah payung berwarna merah, biru,
kuning, putih, hitam dan ungu.
"Dewi Payung Tujuh!" berucap dalam hati gadis berpakaian putih samar. "Setahuku
gadis dari Pulau Andalas ini pertama kali datang ke Tanah Jawa untuk menjalankan
tugas neneknya yaitu membunuh Wiro dan mencari sebuah kitab sakti. Kitab tidak
ditemui, Wiro gagal dibunuhnya malah dia jatuh cinta pada sang Pendekar. Namun
dia hanya bertepuk sebelah tangan. Cintanya lalu dialihkan pada seorang pemuda
bernama Panji. Ternyata pemuda itu pergi bersama Anggini ke Pulau Andalas.
Apakah kini dia telah menjadi seorang gadis patah hati karena kabarnya telah
memencilkan diri di satu tempat di pantai selatan" Tapi melihat kepada raut
wajahnya yang tetap segar dan ceria, agaknya dia tidak benar-benar terpukul
akibat dua kali kehilangan cinta. Lalu apa maksudnya tiba-tiba muncul di tempat
ini. Agaknya dia juga telah menerima undangan datang ke sini. Aku kasihan
padanya. Tapi harus berhati-hati karena dia kini memiliki sebilah pedang luar
biasa saktinya. Yaitu Pedang Naga Suci 212. Kabarnya dia adalah cucu seorang
tokoh hebat dari Andalas berjuluk Tua Gila yang juga merupakan guru Pendekar
212. Dia juga pernah menyelamatkan nyawa Wiro sewaktu terluka parah akibat
pukulan sakti Tiga Bayangan Setan. Aku tak mau kesalahan tangan terhadap gadis
satu ini." (Baca serail Wiro Sabelng berjudul "Wasiat Dewa", "Pedang Naga Suci
212", dan "Gerhana Di Gajahmungkur").
Anggini yang telah mengenal Dewi Payung Tujuh yang aslinya bernama Puti Andini
segera datang menyambut.
"Aku senang melihat kau bisa datang..." Anggini membuka pembicaraan.
"Aku lebih gembira melihat kau sudah lebih dulu di sini. Kau datang jauh-jauh
dari tanah seberang." Kata Puti Andini sambil dalam hatinya mengagumi besarnya
rasa cinta Anggini terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Gadis ini memandang
berkeliling. "Ah, baru kita berdua yang datang. Agaknya kita harus bersabar
menunggu para sahabat yang lain."
"Siapa lagi menurutmu yang akan memenuhi undangan datang ke Bukit Ampel ini?"
Puti Andini bertanya.
"Kurasa kita hanya tinggal menunggu dua orang saja. Sahabat Bidadari Angin Timur
dan Ratu Duyung," jawab Anggini. Gadis ini memandang berkeliling lalu berkata. "Aku
sejak tadi membaui sesuatu di tempat ini. Apakah kau juga bisa mencium..."
"Ya, aku memang mencium sesuatu," sahut Puti Andini. "Seperti bau bunga... Tapi
di udara berkabut seperti ini apa saja bisa menimbulkan bau aneh."
Gadis muka pucat berpakaian putih yang tidak terlihat baik oleh Anggini maupun
Puti Andini tersenyum kecil mendengar percakapan dua gadis itu.
"Seperti ada angin bertiup dari arah sana..." Puti Andini berkata seraya
menunjuk ke arah kegelapan di sebelah sana.
"Aku mencium bau harum semerbak. Agaknya salah satu dari orang yang kita tunggu
segera muncul di sini. Dan aku sudah bisa menduga siapa orangnya."
Baru saja Anggini selesai berucap tiba-tiba dari balik kabut tebal berkelebat
satu bayangan biru disertai menebarnya bau sangat harum. Lalu muncullah gadis
cantik jelita tinggi semampai berambut pirang sepinggang.
"Sahabat Bidadari Angin Timur!" Anggini dan Puti Andini menyebut nama gadis yang
datang hampir berbarengan.
"Kalian sudah lebih dulu sampai rupanya," kata Bidadari Angin Timur sambil
tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya. "Aku gembira kita bisa bertemu dan
berkumpul lagi."
Dengan kedua gadis itu Bidadari Angin Timur memang merasa agak dekat. Salah satu
sebabnya karena dia tahu bahwa mereka bukan merupakan saingan yang berat dalam
mencintai dan mendapatkan cinta dari Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Kita tinggal menunggu satu kawan," kata Anggini.
Pendekar Sakti Suling Pualam 6 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pedang Ular Emas 1

Cari Blog Ini