Ceritasilat Novel Online

Aksara Batu Bernyawa 3

Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa Bagian 3


auratnya yang tersingkap lebar.
"Wutt...wuuuuttt...wuutttt."
"Werrr...weerrr....weerrrrr."
"Kroooookkkk...kroooookkkk....kroookkkkk."
Sambil berkipas-kipas dari mulut si kakek tiada henti terdengar suara isak
tangis sedih berhiba-hiba disertai ratapan tidak berkeputusan. Suara tangisan
itu ditimpai suara aneh "krockk.......
krooookkkk... krookkkk..." yang keluar dari balik kain putih yang tersingkap
lebar. Seolah ada seekor kodok besar mendekam di bawah perut si kakek dan
keluarkan suara mengorek terus-terusan. Kaiau saja ada orang lain di tempat itu
dan berani mengintip bagian bawah kain putih yang tersingkap lebar maka dia akan
melengak besar. Takut, ngeri. Tidak percaya. Betapa tidak, sepasang buah sakti
si kakek yang wajarnya hanya sebesar biji salak kini kelihatan menggembung
raksasa .sebesar buah kelapa. Setiap saat seolah hidup, dua buah sakti itu
mengembung kembang kempis dan mengeluarkan
suara seperti kodok mengorek.
Krokkkk:..krooook... krokkkkk!
"Kantong menyanku sialan. Hik...hik." Si kakek meratap. "Aku rela kalau kalian
pecah saja! Biar terbebas aku dari azab celaka ini. Hik...hik."
137-AKSARA BATU BERNYAWA
66 Suara tangis dan ratapan si kakek terhenti sebentar lalu bersambung kembali.
"Hik.... enggg... hik...hik. Oala, apa dosaku hingga ketiban malapetaka begini rupa.
Hik...hik...hik. Diseduh air cabe rasanya mungkin tidak sepanas ini!
Ditemploki bara menyalapun mungkin tidak
sesakit ini! Hik...hik...hik. Enggg...enggg...
Direndam dalam air sungai, ademnya cuma
sebentar. Lama-lama malah tambah panas! Oala...
Tobat aku. Bagusnya mati saja saat ini! Tapi manusia yang punya perjanjian itu.
Apa aku harus menunggunya atau aku bunuh diri saja"
Enggg...Hik...hik...hik."
Tak tahan oleh sengatan rasa sakit si kakek hunjamkan kedua kakinya ke dalam
air. Air sungai muncrat ke udara setinggi dua tombak, lalu jatuh mengguyur
sekujur tubuh si kakek.
Dari keadaan si kakek, jika ada orang lain melihat, selain menduga kakek itu
adalah seorang berkepandaian dan punya kesaktian tinggi, orang itu juga akan
mengira, akibat tidak tahan oleh penyakit aneh yang dideritanya, si kakek telah
berubah ingatan. Menjadi gila! Sebenarnya kakek ini tidak gila. Sejak dulu dia
memang berperangai dan bertingkah laku aneh. Hanya saja rasa sakit yang diderita
akibat membengkaknya sepasang buah zakar memang luar biasa dan menambah
aneh perbuatan serta ucapannya.
Dalam rimba persilatan tanah Jawa kakek
berkulit hitam mengenakan pakaian selempang kain putih yang sudah kuyup ini
dikenal dengan julukan Dewa Sedih. Selain ilmu kesaktiannya yang tinggi, dia
juga memiliki keanehan tersendiri.
Mukanya yang hitam dengan alis panjang menjulai selalu menunjukkan wajah sedih.
Sekalipun tertawa tampangnya tetap saja sedih. Apa lagi kalau penyakit
menangisnya kambuh. Apapun yang dirasa, atau dilihat, apapun yang didengarnya
bisa menjadi sumber tangis tiada henti.
Walau banyak yang menganggap kakek ini kurang waras namun tidak ada orang berani
main-main 137-AKSARA BATU BERNYAWA
67 padanya. Diketahui pula bahwa Dewa Sedih punya
seorang adik yang dikenal dengan julukan Dewa Ketawa. Bertolak belakang dengan
keadaan diri dan sifat Dewa Sedih, sang adik selalu unjukkan wajah ceria,
sedikit bicara banyak ketawa. Melihat sesuatu saja bisa jadi bahan ledakan tawa.
Sekali tertawa suaranya membahana, menggetarkan
tanah dan seperti mau memecah gendanggendang telinga. (Mengenai dua kakak beradik aneh berjuluk Dewa Sedih dan Dewa
Katawa bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul
"Halilintar Di Singosari" dan pasangannya berjudul "Pelangi Di Majapahit.")
Setelah menangis sesengguk isak-isakan
Dewa Sedih kembali meratap.
"Mana orang itu! Ini adalah hari terakhir saat perjanjian. Apa dia jadi datang
atau dia hanya menipu diriku. Kalau matahari tenggelam, tenggelam pula diriku!
Hik.. hik. Kantong menyanku akan besar seperti kelapa selama-lamanya.
Hik...hik...hik. Bagaimana aku bisa berjalan! Perempuan mana lagi yang akan sudi
mengusap anuku ini kalau melihat saja sudah menakutkan. Hik .hiik...hik. Oala...
lebih baik aku gebuk saja biar pecah! Tak tahan sakitnya. Panas sampai ke ubunubun. Sakit sampai ke jempol kaki. Hik..hik...hik. Eh, apa aku masih punya
jempol kaki" Oala, aku tidak bisa melihat. Tiga hari menunggu aku tidak makan.
Aku tidak sengsara! Tapi tiga hari kantong menyan
membengkak kembang-kempis enyut-enyutan
rasanya seperti di neraka! Bunyi lagi!
Hik..hik...hik." Si kakek lalu menangis panjang-panjang. Tangan kanannya kembali
sibuk mengipas-ngipas auratnya yang salah kaprah itu dengan daun keladi hutan.
"Lumayan, lumayan adem. Hik...hik. Seharusnya ada perempuan mengipasi anuku ini.
Tidak usah perempuan beneran. Dedemit atau setan jejadianpun tak jadi apa.
Malah-malah yang namanya bancipun tidak 137-AKSARA BATU BERNYAWA
68 aku tolak. Tapi mengapa tidak seorangpun yang datang" Engg...hik...hik."
Sambil menangis berkipas-kipas kakek di atas batu melirik kelangit. Sebentar
lagi matahari akan tenggelam. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Oala, matilah diriku! Ini semua gara-gara selembar kain bersurat itu. Kalau
saja aku menolak menerimanya, tidak akan kejadian celaka yang seperti ini.
Sebentar lagi tamatlah riwayatku. Mati di tempat sunyi seperti ini.
Hik...hik...hik. Tidak ada sanak tidak ada kadang tidak ada sahabat yang
melihat. Adikku Dewa Ketawa, aku banyak dosa kesalahan padamu. Kita jarang
bertemu. Tapi kalau bertemu kau tertawa aku menangis.
Kita lebih banyak bertengkar. Kau memaki, aku menyumpahimu. Kalau memang aku
mati duluan, maafkan diriku ya" Hik...hik...hik."
Selagi menangis meratap-ratap begitu rupa
tiba-tiba di bawah kemerahan langit oleh saputan cahaya sang surya yang hendak
tenggelam berkelebat satu bayangan. Orang ini datang berlari dari arah timur. Untuk
memintas jalan agar lebih cepat, kawasan sungai dilewati dengan cara melompat
dari satu batu ke batu lain. Bebatuan yang telah ratusan tahun berada di tempat
itu sangat licin karena ditebali lumut. Jarak batu satu dengan lainnya paling
dekat dua atau tiga tombak. Tapi orang ini mampu melompat sambil berlari seperti
bocah tengah bermain dampu.
"Dewa Sedih! Aku datang!"
Suara gelegar teriakan orang membuat Dewa
Sedih tergagap, lalu hentikan tangisnya. Namun hanya sebentar. Dilain saat dia
kembali meratap.
"Dia datang... Orang itu datang. Aku tahu dia menipuku! Aku tahu semua ini
pekerjaannya. Hik...hik...hik. Asal dia memang bisa mengobati kantong menyanku! Asal saja dia
bisa mengembalikan ke bentuk semula, tidak ada yang mencong, tidak ada yang penyok
atau berubah burik, hik...hik...hik. Akan lupakan semua derita sengsara ini. Ini
sudah suratan nasib, sudah takdir. Engg...hik...hik...hik."
137-AKSARA BATU BERNYAWA
69 Suara ratap Dewa Sedih berhenti. Gema suara orang masih menggetari seantero
tempat. Tahu-tahu seorang bertubuh tinggi besar telah berdiri di atas batu kali
rata, di samping sosok Dewa Sedih. Orang ini perhatikan keadaan. Dewa Sedih
mulai dari kepala sampai kaki. Si kakek pelototkan mata balas menatap, lalu
sesenggukan dan akhirnya menangis keras-keras.
"Dewa Sedih, hentikan tangismu! Kau masih mengenali diriku?"
"Ya... yang Enggg....hik...hik...hik. Aku kenali tampangmu. Hampir tiga penyakit
celaka yang bersarang di bawah perutku! Aku tahu semua ini ulah buatanmu
sendiri. Kau memanfaatkan diriku karena aku memiliki...."
"Kalau mau sembuh kau tidak perlu bicara panjang lebar!" bentak si tinggi besar.
"Ingin sembuh dengar apa kataku!"
"Engg...hik...hik...hik." Si kakek kembali menangis.
"Keluarkan Kain Bersurat. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Saatnya kita
mulai bekerja."
Dewa Sedih tidak lakukan apa yang diminta
orang, malah balik bertanya. "Apakah kau berhasil mendapatkan Baru Bernyawa.?"
137-AKSARA BATU BERNYAWA
70 9 WIRO SABLENG AKSARA BATU BERNYAWA
SEBAGAI jawaban orang tinggi besar keluarkan sebuah benda hitam tipis berukuran
satu jengkal persegi. Inilah batu mustika sakti yang pertama kali muncul dibawa
oleh makhluk ular berkepala nenek, di dalam peti yang ada kutungan kepala
manusia. Peti itu kemudian dirampas oleh Putu Arka orang pertama dari Tiga Hantu
Buleleng. Batu tersebut yang masih berada di dalam peti kayu hitam kemudian
direbut dan dilarikan oleh Pangeran Haryo. Namun Pangeran Haryo sendiri menemui
ajal. Batu sakti berpindah tangan pada Raja Setan Tersenyum. Seperti dituturkan
sebelumnya, selanjutnya batu itu dibawa Raja Setan Tersenyum ke Keraton untuk diserahkan
pada Tumenggung Abdi Tunggul. Tapi sebelum hal itu sempat
dilaksanakan, batu mustika dirampas oleh seorang yang menyamar sebagai kakek
rambut putih. Si kakek ini adalah kini orang tinggi besar yang menemui Dewa
Sedih di kawasan tempat
bertemunya dua sungai.
Si tinggi besar perlihatkan batu hitam tipis dan dekatkan ke muka Dewa Sedih. Si
kakek menatap, kerenyutkan alis, lalu menangis se-senggukkan.
"Hik...hik... tunggu, aku harus memastikan batu itu asli atau tidak."
"Dewa Sedih, aku melihat batu ini bergerak.
Aku merasakan ada denyutan seperti tarikan nafas. Ini pasti batu asli. Mengapa
kau harus menyelidik menghabiskan waktu saja. Bagaimana caranya"!" Orang tinggi
besar mulai jengkel.
Apalagi saat itu waktu hanya tinggal sedikit sebelum sang surya tenggelam.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
71 "Hik...hik... Enggg... Orang yang aku kenal muka tapi tidak kenal nama, kau
tenang saja. Turuti apa yang aku katakan, salah sedikit saja akan celaka seumur-umur.
Hik...hik..."
Si tinggi besar menggeram menahan marah.
"Kalau begitu lekas lakukan apa yang mau kau kerjakan!" ucapannya setengah
membentak. "Jangan bicara membentak. Aku jadi sedih..."
Dewa Sedih terisak-isak lalu menangis.
"Sial!" maki si tinggi besar dalam hati.
"Mengapa tua bangka keparat ini yang memiliki Kain Bersurat itu. Mengapa bukan
orang lain yang tidak banyak cingcong!" Kalau tidak punya kepentingan luar
biasa, mungkin sudah sejak tadi kakek satu ini digebuknya sampai ambruk.
Sambil sesenggukan Dewa Sedih tatap sesaat
batu hitam yang dipegang orang tinggi besar.
Lalu diangkat tangan kiri, telapak dikembangkan lebar-lebar. Setelah merenung
sesaat, pada telapak tangannya itu Dewa Sedih melihat
bayangan jelas sebuah benda yang bukan lain adalah Batu Bernyawa. Si kakek
letakkan telapak tangan di atas kening, pejamkan mata lalu sesenggukan kembali
dan menangis panjang
Tidak sabaran orang tinggi besar bertanya.
"Kek, apa yang kau lihat" Bagaimana keadaan batu ini?"
"Hik...hiik. Aku melihat... Kau ... kau beruntung.
Batu ini memang batu mustika asli. Berasal dari dasar ke tujuh samudera pantai
selatan. Tapi dibalik keberuntungan itu aku hik..hik.. aku melihat juga ada
petaka besar menunggu dikejauhan...."
"Aku tidak perduli hal lain yang kau lihat.
Sekarang lekas keluarkan Kain Bersurat...."
"Hik.... hik...Enggg.... Kau sudah membawa paku berujung emas?" tanya si kakek.
"Semua sudah kusiapkan. Kau saja yang banyak tanya ini itu. Menangis tidak
karuan. Aku mulai tidak sabaran...."
"Hik...hik...hik. Jangan bicara begitu. Aku jadi 137-AKSARA BATU BERNYAWA
72 sedih. Kalau kau tidak sabar kau tidak bakal mendapatkan apa yang kau ingin...."
jawab Dewa Sedih lalu usap air matanya.
"Mana Kain Bersurat itu"!" hardik si tinggi besar.
"Serahkan dulu paku berujung emas," jawab si kakek lalu menangis panjang.
Meski kesal si tinggi besar keluarkan sebuah benda yakni sebatang paku panjang
sejengkal. Ujung lancipnya berkilau kuning karena dilapisi emas murni.
"Ambil paku ini! Lekas kerjakan apa yang menjadi tugasmu sesuai perjanjian. Jika
Kau menipu kau akan kondor sampai mati! Setiap hari barangmu akan tambah besar
tambah berat!"
Dewa Sedih menggerung. "Jangan mengancam menakuti aku seperti itu. Aku sedih.
Hik...hik...hik."
Si kakek ambil paku berujung emas. Lalu paku dimasukkan ke liang telinga sebelah
kiri. Perlahan-lahan tapi sedikit demi sedikit paku lenyap masuk ke dalam liang
telinganya. Bersamaan dengan lenyapnya paku di dalam telinga kiri, dari telinga
kanan si kakek menyembul keluar sebuah benda yang ternyata adalah segulung kecil
kain berwarna hitam. Si tinggi besar memperhatikan semua apa yang terjadi dengan
mata tak berkesip.
Dewa Sedih gerakkan tangan kiri kanan. Yang kiri mencabut paku di telinga kiri.
Paku lalu diselipkan disudut mulut. Tangan kanan menarik keluar gulungan kain
hitam yang menyembul di telinga kanan. Perlahan-lahan gulungan kain dibuka.
Ternyata pada kain hitam itu tertera sederetan tulisan panjang, dibuat dengan
tinta berwarna kuning emas. Tulisan itu berbunyi : Aksara Batu Bernyawa
Mula kehidupan anak manusia adalah dari setetes air mani yang tenggelam ke dalam
rahim ibunya dan berubah
menjadi jabang bayi
Di dalam rahim sang ibu tali pusar menjadi sumber kehidupan
Jika seorang yang sakarat inginkan kehidupan 137-AKSARA BATU BERNYAWA
73 Jika seorang telah menghembuskan nafas lalu terkubur sampai sebelum sang surya
tenggelam Dan mereka inginkan kehidupan duniawi
kembali Bagi mereka yang beruntung dan berjodoh akan didapat nyawa kedua
Asalkan dilakukan semua syarat yang diminta Pertama, upacara mendapatkan nyawa
kedua harus dilakukan pada menjelang tengah malam ditempat terbuka dan dibawah
cahaya bulan sabit hari ketiga
Kedua, insan tersebut sebelumnya harus dimandikan dengan kembang tujuh rupa
Ketiga, yang memandikan haruslah kaum
sejenisnya Lelaki dimandikan oleh lelaki, perempuan dimandikan oleh perempuan
Keempat, yang hadir dalam upacara
mendapatkan nyawa kedua tidak boleh lebih dari dua orang
Kelima, letakkan tali pusar bayi yang baru dilahirkan diatas pusar insan yang
bakal mendapatkan nyawa kedua
Keenam, kucurkan darah suci bayi yang baru lahir di atas tubuh insan, mulai dari
ujung kaki sampai kepala dan rambut
Ketujuh, sabarlah menunggu sampai kicau burung atau kokok ayam pertama terdengar
sebelum fajar menyingsing
Jika itu terjadi maka nyawa kedua telah tersimpan di dalam tubuh insan
Dia akan bernyawa, akan hidup seperti manusia adanya, namun akan ditemui
beberapa kelainan


Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Insan nyawa kedua tidak akan mengenal siapa diri sendiri dan orang-orang
disekitarnya. Insan nyawa kedua akan memiliki satu kekuatan luar biasa
Insan nyawa kedua berada dibawah kekuasaan dan hanya tunduk pada orang yang
memberikan 137-AKSARA BATU BERNYAWA
74 kehidupan kedua padanya
Karenanya syarat kedelapan adalah, insan nyawa kedua harus ditempatkan secara
baik-baik di satu tempat dimana mulai kehidupan kedua datang padanya, tidak satu
dosa kejahatanpun baik berupa niat maupun tindakan boleh terjadi di tempat
tersebut. Syarat ke sembilan dan terakhir, setiap bulan sabit malam ketiga, insan nyawa
kedua harus diusap ubun-ubunnya dengan darah segar bayi yang baru dilahirkan
Bilamana syarat ke delapan dan kesembilan itu dilanggar maka insan nyawa kedua
akan kembali ke asalnya semula
Dan yang berbuat dosa kejahatan akan kejatuhan bencana malapetaka
"Hik...hik.... Letakkan tanganmu yang memegang batu tujuh jengkal di atas
perutku.!.."
Dewa Sedih keluarkan ucapan
Orang tinggi besar lakukan apa yang dikatakan si kakek.
"Pegang terus sampai aku memberi perintah selanjutnya," kata Dewa Sedih sambil
terisak-isak. Kain bersurat dikembangkan di tangan kanan, dihadapkan ke arah
batu yang dipegang di atas perut. Perlahan-lahan si kakek angkat tangan kirinya.
Lama tak terjadi apa-apa.
Mendadak tangan kiri itu memancarkan cahaya merah. Cahaya merah keluar dari
tangan, membuntal di udara membentuk sebuah bola
besar. Bola merah ini kemudian bergerak
menyelubungi batu hitam yang dipegang orang tinggi besar.
"Lepaskan batu!" Dewa Sedih memerintah.
Lalu tenggorokannya sesenggukan. Dari mulutnya keluar suara meratap panjang.
Agak ragu-ragu orang tinggi besar lepaskan tangannya yang memegang batu. Luar
biasa! Batu yang tidak dipegang itu kini mengapung di udara, masih dalam
buntalan cahaya merah. Si kakek 137-AKSARA BATU BERNYAWA
75 angkat tangan kirinya yang memegang paku berujung emas. Paku diusap-usapkan
diatas Kain Bersurat tujuh kali berturut-turut. Selesai mengusap kaki yang ke
tujuh paku dilepas.
Seperti batu, paku ini juga tidak jatuh, mengapung di udara. Malah kini paku
bergerak melayang ke arah batu dalam buntalan cahaya merah. Lalu terdengar suara
greet-greet...greet berkepanjangan.
Ujung paku yang lancip dan berlapis emas
bergerak ke bagian kiri atas batu. Lalu bergerak menggurat dari kiri ke kanan,
pindah ke bawah, kembali dari kiri ke kanan demikian seterusnya.
Dalam waktu singkat, apa yang tertulis di atas Kain Bersurat kini telah pindah
dan tertera di atas Batu Bernyawa. Begitu semua tertulis lengkap, tulisan yang
ada di atas kain hitam Kain Bersurat lenyap secara aneh. Bedanya kalau tulisan
di atas Kain Bersurat berwarna kuning emas, maka tulisan yang tergurat di atas
Batu Bernyawa berwarna putih terang.
Dewa Sedih menangis panjang.
"Pegang batu," katanya.
Orang tinggi besar cepat ulurkan tangan
memegang batu. Cahaya berbentuk buntalan ?.
merah bergerak menjauhi batu, melayang dan masuk kembali ke tangan kiri Dewa
Sedih. Lapisan emas yang menutupi ujung paku lenyap. Paku ini kini tiada beda
bentuknya dengan paku hitam besi biasa. Paku besi jatuh berdentringan di atas
batu tempat si kakek terbaring, terpental masuk ke dalam air sungai.
"Enggg....hik....hikkkkk." Dewa Sedih kembali menangis. "Pekerjaanku telah
selesai.... Batu ini kini bertukar nama. Dari Batu Bernyawa menjadi Aksara Batu
Bernyawa. Hik...hik...hik. Orang yang aku kenal tampang tapi tidak kenal nama,
sekarang giliranmu. Kau harus memberi
kesembuhan yang kau janjikan padaku!"
Si tinggi besar menyeringai.
"Bagaimana kalau aku tidak menepati janji."
"Apa....?" Dewa Sedih meraung keras lalu menangis sejadi-jadinya. "Kau akan
kualat. Apa 137-AKSARA BATU BERNYAWA
76 yang menjadi segala rencanamu akan menemui
kegagalan. Malapetaka besar akan menimpamu.
Hik...hik...hik. Kalau kau memang mau ingkar janji aku minta kau membunuhku saat
ini juga. Sesudah itu akan kau lihat, penyakitku akan pindah ke dirimu! Kantong menyanmu
akan bengkak besar lalu meledak. Enggg...Hik...hik...hik."
Si tinggi besar tertawa gelak-gelak. Dia alihkan pandangan ke arah batu yang
dipegang. Mendadak tawanya lenyap.
"Tua bangka jahanam! Kau menipuku!"
"Hik...hik, memangnya ada apa?" Dewa Sedih kaget lalu menangis.
"Tulisan di atas batu lenyap!"
Dewa sedih tersenyum. Ini pertama kali si tinggi besar melihat orang tua itu
tersenyum. Tapi begitu senyum lenyap tangisnya muncul kembali.
"Tulisan tidak hilang. Masih ada diatas batu.
Hanya mata biasa tidak bisa melihat. Pada saat kau akan melakukan upacara nyawa
kedua, kau harus lebih dulu mencelup batu itu dalam darah segar bayi yang baru
lahir. Tulisan di atas batu akan muncul kembali...."
"Kalau kau menipuku, aku akan mencarimu sampai diujung neraka sekalipun...."
Si kakek hanya bisa manggut-manggut sambil
kucurkan air mata.
"Sekarang kau tunggu apa lagi" Kempeskan kantong menyanku! Tapi awas, jangan
sampai ada yang salah bentuk, ukuran dan mengkilapnya.
Hik...hik,..hik."
Si Tinggi besar menyeringai. Dia bungkukkan tubuh, tarik ujung selempang kain
putih pakaian si kakek disebelah bawah, lalu susupkan tangan yang memegang
Aksara Batu Bernyawa. Batu itu ditempelkan di atas kantong menyan si kakek
beberapa lamanya.
"Hik...hik..... " Si kakek masih menangis tapi matanya kini kelihatan meram
melek. "Adem....
hik...hik. Enaknya... aduh hik...hik. Sedap sekali.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
77 Asyikkk... Hemmmm....Hik...hiik." Si kakek leletkan lidah berulang kali. Dalam
tangisnya dia kelihatan senyum-senyum. "Enteng...hik...hik.. tubuhku sebelah
bawah jadi enteng. Engg... sudah sembuhkah diriku?"
"Silahkan kau lihat sendiri Kek..." jawab si tinggi besar.
Kalau selama ini dia sulit baginya untuk bergerak, tapi kini Dewa Sedih dengan
mudah bisa bangkit dan duduk sambil buka dua kaki di atas batu. Kain putih
ditarik tinggi-tinggi ke atas.
Dia memandang ke bawah. Mata mendelik berkilat.
Ratapan panjang keluar dari mulutnya. "Aku sembuh! Bijiku yang bengkak sebesar
kelapa sudah kempes. Kantong menyanku sudah ciut bagus. Oala..." Dengan dua
tangannya Dewa Sedih usap-usap auratnya di sebelah bawah perut itu. Lalu tangan
yang mengusap disekakannya ke sekujur muka. Setelah itu kembali dia mengusap
bagian bawah perutnya, ganti mengusap wajah.
Demikian sampai berulang kali.
"Dewa Sedih" si tinggi besar berkata. "Aku akan tinggalkan tempat ini. Dengar
baik-baik beberapa hal penting yang akan aku beritahu...."
"Kau ,yang harus lebih dulu mendengarkan ucapanku!" memotong Dewa Sedih.
Wajahnya tampak serius tapi hanya sebentar lalu kembali berubah sedih.
"Apa yang hendak kau katakan?" tanya orang tinggi besar.
"Hik...hik. Petunjuk yang tertulis di atas Aksara Batu Bernyawa tidak
keseluruhannya lengkap.
Kelak akan ada makhluk gaib mendatangimu,
mungkin menampakkan diri, mungkin hanya
suara. Makhluk itu kelak akan muncul menyam-paikan beberapa petunjuk penting
berkaitan dengan batu mustika pemberi kehidupan itu."
Orang tinggi besar usap-usap dagunya. Dia
menatap ke arah langit yang tadi merah kini mulai dibayangi kegelapan. Dia
merasa lega, semua berjalan sesuai rencana dan sesuai waktu.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
78 "Sekarang giliranku bicara."
"Hik...hik..." Si kakek mendengar tanpa angkat kepala.
"Ada beberapa hal penting. Kau tidak pernah melihat diriku, tidak pernah
mengenali tampangku!"
Dewa Sedih anggukkan kepala. Sesenggukan.
"Kejadian hari-hari dulu dan hari-hari ini tidak pernah ada!"
"Dewa sedih anggukkan kepala sambil terisak.
"Kau tidak pernah tahu tentang Batu Bernyawa. Juga tidak pernah tahu atau pernah
melihat tentang Aksara Batu Bernyawa."
"Ya, ya. Hik...hik...hik. Dewa Sedih masih tundukkan kepala. Sibuk mainkan
kantong menyannya. Dalam hati si tinggi besar berkata.
"Kalau saja tidak ada pantangan membunuh satu kali sebelum dan satu kali sesudah
mendapatkan Aksara Batu Bernyawa, pasti sudah dari tadi-tadi kuhabisi tua bangka
sinting ini."
Baru saja orang tinggi besar membatin begitu, Dewa Sedih langsung meratap
panjang. "Ada orang mau membunuhku. Apa salahku, apa dosaku" Engg...hik...hik...hik."
Orang tinggi besar terkesiap mendengar
ucapan si kakek. "Manusia satu ini apa dia punya kesaktian mendengar suara hati
orang?" Tidak menunggu lebih lama orang ini segera tinggalkan tempat itu.
Ketika akhirnya Dewa Sedih angkat kepala orang tinggi besar tak ada lagi di
tempat itu. Si kakek langsung meratap.
"Teganya dia meninggalkan diriku.
Hik...hik...hik." Lalu kembali dua tangannya sibuk mengusapi perabotan di bawah
perutnya sambil sepasang mata terpejam-pejam meram
melek. Dengan suara sesenggukan dia berucap.
"Untung masih utuh. Untung masih mengkilap.
Tidak ada bagian yang penyok, tidak ada yang bentol-bentol, tak ada yang burik.
Hik...hik...hik."
137-AKSARA BATU BERNYAWA
79 10 WIRO SABLENG AKSARA BATU BERNYAWA
DALAM akhir Episode sebelumnya (Bendera Darah) diceritakan perkelahian hebat
yang terjadi antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Adipati Sidik Mangkurat
dari Magetan. Murid Sinto Gendeng tidak berdaya menghadapi Adipati yang bersenjatakan Pecut
Sewu Geni, sebuah cambuk sakti yang mampu menyemburkan puluhan lidah api.
Sebelumnya Loh Gatra telah cidera terkena hantaman cambuk itu. Kini Wiro siap
menerima giliran mendapat celaka dipanggang hidup-hidup.
Puluhan lidah api menyambar ke arah
Pendekar 212. Pukulan Tameng Sakti Menerpa Hujan dan Topan Melanda Samudera yang
dilepaskan Wiro untuk membentengi diri sekaligus melancarkan serangan balasan
ternyata tidak berdaya menghadapi puluhan lidah api yang menyembur dari Pecut
Sewu Geni. Empat belas lidah api berkiblat dan berhasil tembus, siap menggulung
hangus sosok sang pendekar.
Pada saat yang sangat menentukan itu dalam
kegelapan malam mendadak muncul seorang
kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.
Wajahnya dihiasi janggut dan kumis putih lebat terpelihara rapi. Laksana seekor
elang orang tua ini menukik kearah Sidik Mangkurat. Dua lengan jubah dikebutkan.
Dua gelombang cahaya
berwarna biru disertai hamparan angin luar biasa dinginnya menerpa hebat.
Puluhan kobaran lidah api serta merta padam. Wiro lolos dari malapetaka dahsyat
yang bisa membuat dirinya tinggal tulang belulang gosong hitam.
Dalam keadaan terpental, Sidik Mangkurat
terkejut besar karena dapatkan pecut sakti tak 137-AKSARA BATU BERNYAWA
80 ada lagi di tangan kanannya. Siapa yang telah merampas" Ketika dia mendongak,
memandang ke atas sebuah pohon, dia melihat sosok seorang kakek berjubah dan
bersorban putih berkilat.
Pecut Sewu Geni berada pada si kakek, digulung sepanjang lengan kanannya. Orang
tua ini sendiri saat itu tahu-tahu telah berdiri enak-enakan di atas cabang
pohon yang besarnya hanya
sepergelangan tangan. Cukup membuktikan bahwa dia memiliki ilmu meringankan
tubuh yang sangat tinggi.
Adipati Sidik Mangkurat berteriak marah. Minta agar si orang tua yang tak
dikenal mengembalikan pecut sakti. Tapi sambil tertawa orang tua itu malah
membuka kedok Sidik Mangkurat. Ternyata pecut itu adalah milik seseorang di
negeri seberang dan selama lima puluh dua purnama sang Adipati telah menguasai
senjata itu secara tidak syah. Terjadi perang mulut. Si orang tua menantang.
Kalau Sidik Mangkurat memang
inginkan Pecut Sewu Geni maka dia dipersilahkan mengambil sendiri ke atas pohon.
Dalam keadaan marah besar dan ditantang
begitu rupa di hadapan sekian banyak anak buahnya Sidik Mangkurat jadi nekad.
Dia melesat ke atas pohon. Namun sekali si orang tua mengibaskan tangan, sosok
Sidik Mangkurat terpental keras lalu jatuh bergedebuk di tanah.
Sadar kalau dia tidak bakal mampu menghadapi lawan yang begitu tangguh, apa lagi
mengha-rapkan dapat merebut Pecut Sewu Geni kembali, terbungkuk-bungkuk menahan
sakit, Sidik Mangkurat bersama anak buahnya segera tinggalkan tempat itu.
Sebelum pergi kakek berjubah dan bersorban
putih berkilat sempatkan diri menolong Loh Gatra yang mengalami luka bakar di
sekujur tubuh akibat hantaman cambuk sakti. Pecut Sewu Geni digantung di depan tubuh Loh
Gatra. Lalu si kakek meniup. Saat itu juga seluruh luka bakar lenyap. Tubuh Loh
Gatra kelihatan seperti tidak pernah mengalami apa-apa!
"Luar biasa! Kek, kau hebat sekali!" Wiro 137-AKSARA BATU BERNYAWA
81 memuji sambil garuk-garuk kepala dan menatap si orang tua.
Yang ditatap balas memandang, sunggingkan
senyum dan kedipkan mata kiri pada murid Sinto Gendeng. Di lain kejap sekali
berkelebat sosoknya lenyap dalam kegelapan malam.
Wiro leletkan lidah, geleng-gelengkan kepala.
"Aku tak kenai siapa adanya kakek hebat itu.:"
"Aku malah tak sempat mengucapkan terima kasih...." Ucap Loh Gatra sambil usapusap wajahnya yang kembali mulus setengah tidak percaya.
Kegembiraan dua pendekar itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba muncul seorang
penunggang kuda berjubah bertutup kepala putih. Luar biasanya sosok putih di atas kuda itu
sebentar kelihatan sebentar lenyap. Wulan Srindi yang ada di tempat itu
berteriak kaget.
"Manusia pocong!"
Sosok manusia pocong lenyap. Ketika Wulan
Srindi berpaling ke kiri, gadis ini kembali berteriak.
"Awas serangan membokong! Wiro!"
Wiro berbalik, putar tubuh dengan cepat.
Tapi terlambat Pendekar 212 Wiro Sableng
hanya sempat melihat sebuah benda melesat di kegelapan malam disertai cipratan
cairan. Lalu dia mengerang pendek, merasakan perih amat sangat di bagian dada.
Ketika dia memperhatikan ternyata di dadanya telah menancap sebuah bendera
aneh.'Berbentuk segi tiga, basah oleh cairan berwarna merah.
"Bendera Darah..." desis Wulan Srindi dengan suara bergetar.
Wiro menggigit bibir menahan sakit.
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan...."


Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasti makhluk serba putih tadi. Manusia pocong! Tetap disini. Aku akan mengejar
bangsat itu!" Kata Loh Gatra.
"Tunggu, jangan kemana-mana. Aku curiga serangan membokong ini hanya jebakan
belaka." Ujar Wiro lalu pejamkan mata, menjajaki mencari tahu apakah tangkai bendera yang
menancap di badannya mengandung racun atau tidak. Tidak 137-AKSARA BATU BERNYAWA
82 ada hawa panas, tidak ada kekacauan dalam aliran darah. Berarti tidak ada tandatanda yang menunjukkan kayu bendera mengandung racun.
Kalaupun ada mungkin kesaktian Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggangnya
telah memusnahkan racun itu.
Wiro perhatikan Bendera Darah yang
menancap di dadanya. Sambil keluarkan suara mengeram murid Sinto Gendeng
gerakkan tangan hendak mencabut gagang bendera. Saat itu
mendadak ada orang berseru.
"Jangan dicabut! Berbahaya!"
Wulan Srindi, Loh Gatra dan lebih-lebih Wiro tentu saja tersentak kaget.
Di lain kejap, dari kegelapan malam muncullah seorang pemuda berpakaian coklat,
berkepala gundul, berwajah dan berkulit tubuh kuning. Dia adalah pemuda dari
Negeri Latanahsilam yang dikenal dengan nama Jatilandak.
Wiro mendengus, tidak perdulikan kehadiran
pemuda itu. Hatinya masih sangat terluka atas kejadian beberapa waktu lalu. Dia
menyaksikan Jatilandak bermesraan dengan Bidadari Angin Timur. Kini dia merasa
benci sekali melihat pemuda dari Negeri Latanahsilam ini.
Wulan Srindi menatap Jatilandak sesaat lalu memandang berkeliling. Sebelumnya
pemuda muka kuning itu bersama-sama dengan Bidadari Angin Timur. Si pemuda datang
sendirian, lalu dimana si gadis"
"Hemm... mungkin dia sengaja sembunyikan diri." kata Wulan Srindi dalam hati.
"Lihat saja, akan aku kerjain lagi si pencemburu ini!"
Jatilandak melangkah mendekati Wiro dan
mengulangi lagi peringatannya tadi agar Wiro jangan mencabut gagang bendera yang
menancap di dadanya.
Tanpa memandang pada pemuda bermuka
kuning itu Wiro bertanya. "Kalau dicabut memangnya kenapa?" Wiro bertanya acuh
sambil arahkan pandangan keberbagai sudut gelap, mencari-cari. Namun dia tidak
melihat sosok 137-AKSARA BATU BERNYAWA
83 Bidadari Angin Timur. Padahal sebelumnya dia tahu betul kalau gadis itu berduaduaan dengan Jatilandak. Apakah mereka berpisah di tengah jalan atau mungkin si
gadis bersembunyi di satu tempat"
"Aku pernah.melihat bendera ini sebelumnya,"
menerangkan Jatilandak. "Ujung lancip yang menancap di dalam daging tubuhmu
berbentuk gerigi runcing menghadap keluar. Jika gagang bendera dicabut, daging
sekitarnya akan ikut terbongkar. Bisa sebesar ini." Jatilandak membuat lingkaran
dengan dua ibu jari dan dua jari tengah tangan kiri kanan.
"Gila! Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya.
Kalau tidak dicabut, biar aku patahkan saja!"
Nekad Wiro kembali gerakkan tangan hendak
mematahkan gagang Bendera Darah. Tapi satu tangan halus cepat memegang
lengannya, mencegah. "Orang sudah memberi nasihat, mengapa berbuat nekad"!"
Wiro putar kepala, menatap wajah cantik gadis berkulit hitam manis.
"Kau yang tadi mengaku murid Dewa Tuak, siapa kau sebenarnya"!" tanya Pendekar
212. "Tadi waktu Adipati itu masih di sini aku sudah menjelaskan. Apa kau tidak
mendengar"
Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak.
Kau tahu, selama ini aku mencarimu...."
"Aku tidak percaya kau murid Dewa Tuak.
Perlu apa kau mencariku?"
"Tidak heran kalau kau tidak percaya. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau
akan lebih heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut guru, aku berjodoh dengan
dirimu." "Eee...apa"!" Wiro sampai tersentak dan rasa sakit di dadanya terasa berlipat
ganda. Wulan Srindi tersenyum.
"Nanti saja kita bicarakan hal yang satu itu.
Tak jauh dari sini ada tempat yang baik. Kau bisa berbaring di sana sementara
kami-kami berusaha membantu mengeluarkan Bendera Darah dari
tubuhmu." 137-AKSARA BATU BERNYAWA
84 Baru saja Wulan Srindi selesai berucap tiba-tiba dikejauhan ada orang berteriak.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Jika ingin selamat dari Bendera Darah, jika kau
masih punya nyali silahkan datang ke Seratus Tiga belas Lorong Kematian!"
"Manusia pocong! Pasti itu manusia pocong yang mencelakaiku! Jahanam!" Wiro
segera angkat tangan kanannya. Begitu tangan berubah putih seperti perak mulai
dari siku sampai ujung jari dia langsung menghantam.
"Wusss!"
Selarik cahaya putih panas menyilaukan
berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke arah datangnya suara orang
berteriak tadi. Pohon-pohon yang terkena sambaran Pukulan Sinar Matahari
berderak patah, mental dalam keadaan hangus. Kobaran api bertebaran di beberapa
tempat. Suasana di tempat itu menjadi terang untuk beberapa lamanya. Namun
manusia pocong yang jadi sasaran pukulan tidak kelihatan. Tidak ada suara
jeritan atau ringkik kuda pertanda makhluk tersebut berhasil lolos dan
tinggalkan tempat itu.
Murid Sinto Gendeng menggeram marah,
kepalkan jari-jari tangan kanan. "Manusia pocong jahanam! Saat ini kau bisa
lolos. Aku bersumpah akan mengejarmu sekalipun sampai ke neraka!"
Sementara itu di satu tempat gelap dibalik sebatang pohon besar, seseorang yang
sejak tadi mendekam menyembunyikan diri mengeluarkan umpatan. Walau diucapkan perlahan
tapi karena tempat itu sunyi, jika ada orang lain di dekat situ, suaranya cukup
jelas terdengar.
"Gadis tak tahu diri. Tak tahu diuntung!
Beraninya mengaku murid Dewa Tuak. Beraninya mengatakan berjodoh dengan Wiro.
Aku tahu kau berdusta! Huh! Lihat saja, aku bersumpah satu saat akan menampar
mulutmu!" Tidak dinyana, tiba-tiba satu suara bertanya.
"Sahabat lama, siapa orang malang yang hendak kau jadikan sasaran tamparanmu"
Mudah-mudahan bukan diriku. Aduh, bisa-bisa 137-AKSARA BATU BERNYAWA
85 kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum apa-apa sudah mau luber rasanya.
Hik...hik...hik."
Orang yang sembunyi dibalik pohon tersentak kaget. Dia mencium bau pesing.
Hatinya membatin. "Seingatku hanya ada satu manusia yang tubuh dan pakaiannya
melebar bau pesing.
Nenek itu... Tapi yang barusan bicara suara laki-laki. Dia mengaku sahabat
lama." Orang dibalik pohon cepat palingkan kepala sambil tangan kanan berlaku
waspada siap melancarkan
pukulan. Sepasang mata membesar.
Pandangannya membentur satu kepala botak
yang baru ditumbuhi rambut, dua telinga berdaun lebar yang salah satunya
terbalik. Lalu ada sepasang mata belok balas menatap ke arahnya sambil dikedapkedipkan. "Kau! Menjauh! Jangan dekat-dekat. Aku tak mau celanamu yang basah penuh air
kencing menyentuh pakaian, apa lagi tubuhku!"
Orang yang dibentak cuma senyum-senyum.
"Aku tahu diri. Aku juga takut bersentuhan denganmu. Bisa-bisa bukan air kencing
yang keluar tapi air yang lain. Hik...hik...hik!"
"Tua bangka sinting kurang ajar! Jangan kau berani bicara jorok padaku! Saat ini
aku sedang kesal! Jangan salahkan kalau aku sampai
merobek mulutmu!"
"Serrrr!"
"Nah, nah! Ancamanmu menakutkan sekali.
Membuat aku tidak dapat menahan beser!"
"Sudah! Jangan banyak mulut! Pergi sana!"
"Amboi, gerangan apa yang membuat dirimu kesal" Putus bercinta, ditinggal
kekasih atau...."
"Kakek brengsek! Sudah! Tutup mulutmu!
Buka matamu yang belok! Lihat ke depan sana.!"
Kakek berkuping lebar bermata belok putar
kepala ke arah yang dikatakan orang. Mulutnya terbuka melongo.
"Astaga! Yang satu itu bukankah dia si anak setan murid Sinto Gendeng! Eh, anak
sableng itu dia memakai hiasan apa di dadanya?"
"Bukan memakai hiasan apa! Dia barusan dibokong orang dengan Bendera Darah.
137-AKSARA BATU BERNYAWA
86 "Astaga!" si kakek kembali mengucap. "Siapa yang membokongnya?"
"Manusia pocong!"
"Serrr!"
Mendengar disebutnya nama itu kakek yang
celananya kuyup bau pesing yang bukan lain adalah kakek konyol Setan Ngompol
adanya, untuk kedua kalinya langsung kucurkan air kencing.
"Makhluk jahanam itu, rupanya benar-benar sudah gentayangan kemana-mana.
Biasanya muncul menculik perempuan bunting. Kini
mengapa mencelakai sahabatku si anak sableng itu?"
"Huh! Kau tahu apa tentang manusia pocong?"
"Bidadari Angin Timur," Setan Ngompol sebut nama si gadis. "Aku pernah hendak
dibunuh orang gara-gara mengenakan jubah putih milik seorang manusia pocong yang
sengaja ditinggalkan di sebuah rumah untuk menjebakku."
"Bagaimana ceritanya?" bertanya gadis cantik yang memang Bidadari Angin Timur
adanya. "Panjang. Nanti saja kalau ada kesempatan akan aku ceritakan padamu."
"Hemmm... Baiklah. Sekarang jelaskan bagaimana kau bisa berada di tempat ini.
Ingat, seusai perjanjian kau menemui aku dan dua gadis lain di gedung kepatihan.
Kau tidak datang, tahu-tahu sekarang muncul disini! Celana kuyup air kencing,
bau pesing!"
Setan Ngompol tertawa lebar, usap-usap
kepalanya yang baru ditumbuhi sedikit rambut.
"Kalau celana tidak kuyup air kencing namaku bukan Setan Ngompol. Ha...ha...ha!"
"Husss!" Tertawa seenaknya! Kau kira tempat apa ini!"
Setan Ngompol tekap mulutnya dengan tangan
kiri. "Ayo bilang mengapa kau tidak memenuhi janji pertemuan di gedung Kepatihan."
Setan Ngompol usap-usap kepalanya. "Waktu itu aku melantur sedikit. Ada janda
montok di Bantul yang membuat aku tergila-gila. Tapi gara-137-AKSARA BATU
BERNYAWA 87 gara urusan itu aku hampir dibunuh orang...."
"Kapok! Biar tahu rasa!" tukas Bidadari Angin Timur.
"Saat itu aku memang kapok. Tapi sekarang, apalagi malam-malam dingin begini, kalau ingat sang janda, rasanya aku mau buru-buru balik ke Bantul lagi
menemui...."
"Ssssttt!" Bidadari Angin Timur memberi isyarat. Jari telunjuk tangan kanan
dipalangkan diatas bibir. "Lihat, ada orang datang!" Bisik gadis berambut pirang
panjang ini. Setan Ngompol ikut-ikutan letakkan jari
telunjuk tangan kanan di atas bibir, pelototkan mata lalu berpaling ke depan
sana. "Astaga!" Si kakek terkejut dan serr! Dia kucurkan air kencing. "Nenek gendeng
itu! Setiap muncul selalu bikin geger. Pasti sebentar lagi akan heboh tempat
ini!" Setan Ngompol berpaling lalu bertanya. "Menurutmu apa kita keluar saja dan
bergabung dengan mereka?"
"Kau barusan bilang sebentar lagi tempat ini bakalan heboh. Kalau kau mau ikutan
heboh silahkan saja bergabung sendiri. Aku tetap di sini, jadi penonton saja.
Mentang-mentang kalian sama bau pesingnya. Eh, jangan-jangan kau sudah lama
gatal sama nenek itu. Naksir...?"
Si kakek pencongkan mulut, lalu cepat-cepat tekap mulutnya agar tawanya tidak
meledak. "Bercinta dengan perempuan yang sama bau pesingnya apa enaknya" Tidak ada
penghijauan dan penyegaran bebauan. Hik...hik...hik."
"Sudah! Pergi sana. Temui nenek itu."
Setan Ngompol usap-usap kepala. "Aku ikut kamu. Kita sama-sama jadi penonton
saja. Lagi pula lama-lama bersamamu kurasa hidungmu
sudah jadi terbiasa dengan bau pesingku.
Bagaimana, sedap juga 'kan" He...he...he."
"Kakek geblek!" maki Bidadari Angin Timur.
Di depan sana, diantara Loh Gatra, Wulan
Srindi, Wiro Sableng dan Jatilandak tegak agak terbungkuk seorang nenek tinggi,
kurus kering, berkulit hitam. Di kepalanya menancap lima tusuk konde perak. Di
tangan kiri ada sebuah tongkat 137-AKSARA BATU BERNYAWA
88 kayu butut. Tubuhnya, terutama kain yang dikenakannya menebar bau pesing.
.Sepasang matanya yang seperti ada apinya memandang berputar liar. Nenek angker ini bukan
lain adalah dedengkot rimba persilatan tanah Jawa, guru Pendekar 212 Wiro
Sableng. Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede.
Melihat siapa yang berdiri di depannya Wiro cepat mendatangi lalu membungkuk
hormat. "Nek, salam hormat dari muridmu" sapa sang pendekar pada sang guru.
Sinto Gendeng hanya melirik sekilas, lalu
memandang berkeliling ke arah Jatilandak, Loh Gatra, dan Wulan Srindi.
Melihat si nenek memandang ke arahnya dan
tadi dia mendengar Wiro menyebut guru pada
sisi nenek, Wulan Srindi buru-buru mendatangi si nenek. Jatuhkan diri berlutut
seraya berkata.
"Nenek Sinto, terima salam hormat dariku.
Wulan Srindi. Calon menantumu..."
Sepasang mata Sinto Gendeng seperti
terpacak pada wajah gadis cantik hitam manis yang berlutut di depannya. Lima
tusuk konde di kulit kepalanya seperti berpijar dan bergoyang-goyang. Di dalam
hati gadis ini jadi punya rasa takut kalau-kalau akan disemprot si nenek angker.
Namun diam-diam dia juga merasa lega. Jika Bidadari Angin Timur ada disitu pasti
dia mendengar ucapannya tadi."
Rasakan, biar terbakar telinga, hangus
dadanya mendengar kata-kataku! Lain dari itu aku juga untung-untungan. Siapa
tahu benaran diterima jadi menantu!" Wulan Srindi senyum-senyum sendiri.
Sinto Gendeng mendongak ke langit. Lalu
nenek ini tertawa cekikikan.
"Tidak disangka banyak orang gila ditempat ini! Hik...hik...hik.!"
137-AKSARA BATU BERNYAWA
89 WIRO SABLENG 11 AKSARA BATU BERNYAWA
DI BALIK semak belukar Setan
Ngompol ingin ikut-ikutan tertawa. Karena ditahan-tahan akhirnya dia jadi
terkencing sendiri. Sebaliknya Bidadari Angin Timur berkata.
"Dasar gadis lancang! Berani-beraninya mengaku calon menantu pada nenek itu...."
"Nah, nah. Sekarang aku tahu mengapa kau kesal. Pada siapa kau kesal. Kau kesal
pada gadis hitam manis mengaku bernama Wulan
Srindi itu. Kau kesal karena dia mengaku calon menantu si nenek. Berarti calon
suami Wiro si anak sableng."


Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau percaya ucapan gadis itu?"
"Tentu saja tidak."
"Alasanmu?"
"Seingatku Wiro cuma suka pada gadis cantik berkulit putih dan mulus.
Seperti...."
"Seperti apa?"
"Sepertimu inilah," jawab Setan Ngompol.
"Banyak gadis lain yang juga berkulit putih...."
"Tapi dia tidak memiliki rambut pirang yang menakjubkan sepertimu."
"Memangnya rambutku bagus?"
"Buaguss uaammmmaaattt..." jawab Setan Ngompol lalu tertawa sendiri dan ngompol
sendiri. Kata-kata Setan Ngompol itu bagaimanapun
juga sedikit menghibur hati Bidadari Angin Timur yang sejak beberapa waktu
belakangan ini selalu kesal.
Di depan sana Sinto Gendeng hentikan tawa, ketuk-ketukkan tongkat lalu membuka
mulutnya yang perot.
"Orang gila pertama adalah kau!" Si nenek tudingkan ujung tongkatnya ke jidat
Wiro Sableng. "Dandanan gila apa yang kau pakai ini"
Menancapkan bendera basah bau amis di dada!
Uuahhh!" Si nenek semburkan ludah merah ke 137-AKSARA BATU BERNYAWA
90 tanah. Merah karena di mulutnya dia selalu membekal susur yaitu tembako, daun
sirih dan pinang yang dikunyah-kunyah.
"Nek, ini bukan dandanan. Aku dibokong orang...."
Menjelaskan Pendekar 212.
"Apa" Kau dibokong orang" Astaga naga.
Untung bukan bokongmu yang dibokong!
Hik...hik...hik... Untung bukan anumu yang ditancapi! Hik...hik'...hik...."
Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Seorang anggota komplotan Barisan Manusia Pocong muncul. Melakukan serangan
dari tempat gelap ketika kami tengah bicara di tempat ini."
Wulan Srindi ikut memberi keterangan seraya bangkit berdir'.
"Aku sempat menghantamnya dengan pukulan Sinar Matahari. Tapi dia berhasil
lolos." Menambahkan Wiro.
"Manusia pocong" Makhluk apa itu" Kalau manusia ya manusia. Kalau pocong ya
pocong Mana bisa jadi satu. Atau mungkin ada manusia sungguhan yang kawin sama pocong.
Bunting, anaknya mbrojol lalu disebut manusia pocong.
Begitu?" "Bukan Nek," Yang menyahuti adalah Loh Gatra. "Manusia Pocong itu adalah
kelompok orangorang jahat penculik perempuan-perempuan
hamil. Salah satu korbannya adalah istri saya sendiri."
Sinto Gendeng pencongkan mulut. Golenggoleng kepala. "Nek," kembali Wulan Srindi membuka mulut.
"Markas komplotan Manusia Pocong itu tidak jauh dari sini. Di sebelah utara
sana. Mereka diam di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Kami tengah berunding untuk menyerbu
markas itu. Lorong itu bukan lorong sembarangan.
Siapa berani masuk akan tersesat, tak bisa keluar lagi dan akan melepas nyawa di
tempat itu!"
"Manusia Pocong, Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Aneh-aneh saja. Tapi aku
belum selesai dengan urusan manusia-manusia gila yang ada 137-AKSARA BATU
BERNYAWA 91 di tempat ini. Kau!" kata si nenek pula sambil ketukkan tongkatnya ke kepala
Wiro. "Kalau kau benar dibokong dengan benda itu. Lalu mengapa bendera itu tidak
kau cabut?"
"Kalau dicabut daging dada Wiro akan ikut terbongkar. Gagang bendera berbentuk
gerigi lancip menghadap keluar...."
Sinto Gendeng melirik ke arah Jatilandak yang barusan bicara. Lalu dia tertawa
panjang. "Kau orang gila kedua di tempat ini. Kulit kuning, kepala botak kuning,
mata kuning, gigi pasti kuning. Yang tidak kuning pada dirimu apa"
Kotoranmu"!"
Wulan Srindi senyum-senyum. Wiro mesemmesem. Loh Gatra palingkan muka sembunyikan tawa. Jatilandak sendiri hanya diam
dan komat-kamitkan mulut. Dia sudah mendengar sifat nenek satu ini.
"Orang gila ke tiga! Jangan kau senyum-senyum! Kau yang kumaksud orang gila ke
tiga!" Tongkat di tangan kiri Sinto Gendeng bergerak, kini menuding ke arah Wulan
Srindi. Si gadis kaget bukan main.
Di balik semak Bidadari Angin Timur berbisik.
"Nah sekarang rasakan. Kena batunya gadis gatal ituL"
Sesaat kaget, Wulan Srindi kembali senyum.
"Aku orang gila ketiga di tempat ini"
Memangnya aku gila bagaimana Nek"
Dandananku apik dan rapi. Rasanya otakku
biasa-biasa saja." Wulan Srindi bicara sambil usap-usap wajah dan rambutnya.
"Kau gila karena mengaku-aku sebagai calon menantuku! Kenal baru hari ini.
Melihat jidatmu baru sekarang! Bagaimana kau bisa bilang calon menantuku"!"
Sinto gendeng melirik ke arah muridnya. Lalu menatap kembali pada Wulan Srindi.
"Atau memang tanpa setahuku kalian berdua memang sudah sejak lama bercinta"
Hemmmm..." Mata si nenek menatap tajam ke perut Wulan Srindi yang sedikit agak
gemuk. "Eh, 137-AKSARA BATU BERNYAWA
92 jangan-jangan kau bunting ya?"
"Astaga, kau yang gila Nek!" ucap Wulan Srindi tanpa takut. "Berpegangan tangan
saja belum, bagaimana aku bisa bunting" Memangnya muridmu punya kesaktian yang
bisa membuat gadis bunting dari jarak jauh" Wow! Oala! Hebat sekali dia!"
Wiro melengak kaget mendengar ucapan
Wulan Srindi yang begitu berani. Yang lain-lain juga terkesima. Dibalik semak
belukar Bidadari Angin Timur kembali keluarkan ucapan. "Belum jadi menantu sudah
berani memaki si nenek.
Uh.... gadis edan! Kurang ajar!"
Semua orang mengira si nenek angker akan
mendamprat Wulan Srindi. Tapi justru terjadi sebaliknya. Setelah menatap wajah
si gadis sesaat, nenek ini dongakkan kepala lalu tertawa panjang. Yang lain-lain
merasa lega. Si nenek gendeng itu ternyata tidak marah. Wulan Srindi juga merasa
lega. Dia sadar telah keterlepasan bicara.
"Ilmu kesaktian yang bisa membuat gadis bunting dari jarak jauh!
Hik...hik...hik."
Setelah puas tertawa Sinto Gendeng
memandang berkeliling. Pandangannya' berakhir kearah muridnya sendiri.
"Anak Setan! Memalukan jadi muridku kalau bendera itu tak sanggup kau cabut!
Mungkin kau terlalu banyak main perempuan, hingga lupa kemampuan sendiri!
Mendekat ke sini!"
Wiro melangkah mendekat. Agak takut-takut.
Jatilandak dan Wulan Srindi serta Loh Gatra ikutan cemas. Kalau si nenek nekad
mencabut bendera yang menancap di dada Wiro, bisa celaka pendekar itu.
Begitu Wiro berada dekat di depannya, sinenek bertanya.
"Kapak Naga Geni 212 masih ada padamu"
Atau sudah kau jual?" Kau gadaikan mungkin"
Atau kau berikan pada seorang gadis cantik....?"
"Nek, kapak itu masih ada padaku," jawab Wiro.
"Keluarkan, berikan padaku!"
137-AKSARA BATU BERNYAWA
93 Wiro ambil kapak Maut Naga Geni 212 yang
terselip di pinggang dibalik pakaian putihnya lalu diserahkan pada si nenek.
Sinto Gendeng timang-timang benda itu beberapa lama. Sepasang matanya yang
angker kelihatan berkilat-kilat.
"Nenek bau pesing itu, apakah dia akan memenggal leher muridnya sendiri?" tanya
Setan Ngompol di balik semak belukar lalu seerrr. Dia kucurkan air kencing.
Perlahan-lahan Sinto Gendeng arahkan
pertengahan mata kapak sakti ke ujung gagang Bendera Darah yang menancap di dada
muridnya. Kapak menempel dengan ujung kayu bendera.
Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam hawa sakti.
Mata kapak sakti serta merta memancarkan sinar terang benderang.
Kain bendera yang basah oleh darah terbakai Gagang bendera kelihatan membara.
Lalu ada suara letupan kecil.
"Dessss!"
Asap mengepul. Wiro menjerit keras, tubuhnya terpental jatuh terlentang di tanah. Bendera Darah
dan gagangnya tidak kelihatan lagi. Dibagian dada yang sebelumnya ditancapi
gagang bendera, kini kelihatan satu lubang kecil hitam, mengucurkan darah.
"Nek...."
Wiro berusaha bangkit berdiri. Dadanya seperti ditempeli bara menyala. Tapi si
nenek membentak.
"Jangan bergerak!"
Lalu Sinto Gendeng dekati muridnya,
membungkuk. Dia singsingkan ujung kainnya yang basah oleh air kencing. Wiro
tutup jalan pernafasan. Tak tahan santarnya bau air kencing ditubuh dan pakaian si nenek.
Sinto Gendeng peras ujung kainnya. Air kencing jatuh menetes tepat di arah
lubang kecil didada sang murid.
"Ces...ces...ces!"
Terdengar suara seperti air jatuh di atas bara api. Wiro mengerenyit menahan
sakit. 137-AKSARA BATU BERNYAWA
94 "Cukup tiga tetes!" Kata si nenek pula. Lalu dengan tangan kirinya dia usap dada
Wiro. Tanda hitam lenyap. Lubang kecil juga lenyap. Lelehan darah tak kelihatan
lagi. Tak ada cacat bekas luka. Dada itu mulus seperti tidak pernah ditancapi
apa-apa. "Nek, kau punya ilmu baru!" Ujar Pendekar 212 sambil pandangi dadanya, kagum
akan kehebatan sang guru.
"Hemmmm...." Si nenek bergumam. "Namanya Ilmu Pengobatan Kencing Sakti. Sekarang
biar penyakitmu tuntas air kencing akan aku peraskan ke dalam mulutmu. Siapa
tahu gagang bendera itu ada racunnya. Ayo ngangakan mulutmu!"
Wiro tersentak kaget.
"Tidak Nek, ampun! Aku sudah sembuh! Terima kasih Nek, terima kasih!" Wiro tekap
mulutnya, buru-buru berdiri dan menjauh dari si nenek.
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Seperti anak kecil saja.. Belum dicekoki obat
sudah mewek, mau kabur! Hik...hik...hik."
TAMAT Segera Terbit Episode berikutnya :
PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
137-AKSARA BATU BERNYAWA
95 Medali Wasiat 15 Pendekar Naga Geni 16 Pembalasan Rikma Rembyak Pedang Asmara Gila 2

Cari Blog Ini