Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi Bagian 2
menutupi kepala dan wajah sampai ke leher. Pada bagian depan tutup kepala ada
dua lobang kecil di jurusan sepasang mata.
"Aku yakin dialah manusianya! Dibalik kain penutup kepala itu ada satu kepala
memiliki dua muka. Satu di sebelah depan, satu di sebelah belakang. Mahluk
jahanam! Hari ini kau bakal mendapatkan pembalasan atas semua perbuatan kejimu
terhadapku!" Nyi Bodong melirik pada sosok orang yang duduk di samping leiaki
berjubah dan bertutup kepala kain putih. Seorang nenek memiliki rambut, wajah
serta pakaian serba kuning. Di atas rambut kuning yang disanggul menancap tiga
buah sunting. Nyi Bodong ingat, dia pernah melihat nenek ini sebelumnya.
Selintas pikiran muncul di benak Nyi Bodong.
"Kalau kuhabisi mahluk jahanan itu, tidak mungkin si nenek muka kuning
sahabatnya akan berlepas tangan. Aku sudah tak sabaran. Kalau perlu dua-duanya
aku bereskan!" Saat itu Nyi Bodong sudah siap keluar dari balik pohon besar
untuk segera menghabisi orang berjubah. Namun gerakan kakinya tertahan ketika
dia mendengar nenek muka kuning berucap.
"Sahabatku Hantu Muka Dua, apa pendapatmu tentang kabar selentingan akan adanya
satu peristiwa besar dalam rimba persilatan tanah Jawa?"
"Luhkentut, kau bertanya, aku menjawab. Apa perduliku?"
sahut si jubah putih yang ternyata adalah Hantu Muka Dua, salah satu dari sekian
banyak tokoh negeri Latanahsilam yang terpesat ketanah Jawa.
"Kita hanya mahluk-mahluk yang tersesat ke negeri ini.
Mauku ingin kembali ke Latanahsilam, negeri seribu dua ratus tahun silam. Tapi
tak tahu bagaimana caranya. Selain itu aku ingin menemui beberapa tokoh rimba
persilatan. Aku ingin meyakinkan bahwa antara aku dengan mereka tidak ada
permusuhan. Aku benar-benar tobat berbuat kejahatan ..."
"Syukur kalau kau benar sudah bertobat. Berarti aku tidak perlu lagi mengikuti
kemana kau pergi. Ketahuilah, setelah Seratus Tiga Belas Lorong Kematian musnah,
para tokoh meminta aku agar mengawasi dirimu. Mereka kawatir kalau-kalau kau
akan membuat malapetaka dimana-mana." Nenek yang dipanggil dengan nama Luhkentut
itu berdiri. "Saatnya aku meninggalkan dirimu. Aku ada keperluan lain .."
"Aku tahu, kau mau mencari pemuda bernama Wiro Sableng itu." Kata Hantu Muka Dua
sambil tertawa lalu berdiri pula.
"Aku tak pernah melupakan pertolongannya. Kalau tidak karena dia aku kemanamana, setiap saat selalu menyemburkan kentut. Hik ... hik! Selain itu aku merasa
kasihan, sejak dari negeri Latanahsilam sampai disini dia selalu menghadapi
banyak masalah.
Bahkan nyawanya senantiasa terancam. Kalau saja aku bisa membalas budi
baiknya ...." (Kisah lengkap orang-orang dari negeri Latanahsilam sebelum
terpesat ke tanah Jawa dapat dibaca dalam kisah Latanahsilam terdiri dari 18
Episode "Bola-Bola Iblis" s/d
"lstana Kebahagiaan" )
"Aku juga punya hutang budi dan nyawa pada pemuda itu.
Dia yang menyelamatan diriku ketika aku dalam keadaan sangat tak berdaya dan
hampir jatuh ke jurang di kawasan Seratus Tiga Belas Lorong Kematian ..." Hantu
Muka Dua berikan pengakuan.
Luhkentut mengangguk. Usap-usap perutnya.
"Rasanya aku mau kentut ..." kata si nenek pula.
"Eh, kalau mau kentut jangan di hadapanku. Pergi jauh-jauh sana!" Luhkentut
alias Hantu Selaksa Angin tertawa cekikikan. Dia melangkah keluar gubuk. Lalu
sekali berkelebat nenek serba kuning ini lenyap dari pemandangan. Si jubah putih
tarik nafas dalam.
Ketika dia menanggalkan kain putih penutup kepalanya, dibalik pohon besar wajah
putih Nyi Bodong mengerenyit. Benar rupanya cerita seseorang padanya. Seumur
hidup baru kali ini dia menyaksikan ada manusia memiliki dua buah wajah. Satu di
depan berwarna putih, satu di belakang bewama hitam. Sepasang lensa matanya
depan belakang tidak berbentuk bulat, tapi berupa segitiga berwarna hijau! Mau
tak mau dingin juga tengkuk si nenek. Namun begitu ingat perbuatan keji yang
pernah dilakukan orang itu padanya, amarahnya tak bisa terbendung lagi.
Hantu Muka Dua mengusap mukanya sebelah depan dan
siap mengenakan kain penutup kepala kembali. Namun belum sempat hal itu
dilakukan satu teriakan menggelegar di seantero tempat dan satu bayangan biru
berkelebat dari balik pohon. Saking kagetnya kain penutup kepala di hngan Hantu
Muka Dua jatuh ke tanah. Di lain kejap seorang nenek bermuka putih, berpakaian
serba biru telah berdiri berkacak pinggang di hadapannya.
"Siapa .... ?" Hantu Muka Dua dilah kaget dan tercekatnya ajukan pertanyaan. Nyi
Bodong meludah ke tanah.
"Mahluk jahanam! Masih bisa bertanya! Aku datang untuk menghabisi nyawamu!
Dosamu setinggi langit sedalam lautan!"
Mendengar bentakan orang wajah Hantu Muka Dua depan belakang berubah menjadi
wajah seorang kakek dan berwarna pucat pasi.
Beginilah keadaannya jika Hantu Muka Dua dalam terkejut.
"Nenek muka putih. Melihatmu pun baru kali ini. Bagaimana kau menuduh aku punya
dosa setinggi langit sedalam lautan padamu"!"
"Otak mahluk jahanam sepertimu memang bisa tumpul karena terlalu banyak berbuat
dosa kejahatan. lngat peristiwa di sebuah gubuk, ketika kau memperalat seorang
rampok bernama Warok Jangkrik untuk menjebak seorang perempuan muda"! Kau
kemudian hendak memperkosa perempuan itu!"
"Dimasa lalu aku memang banyak berbuat dosa. Tapi saat ini aku telah
bertobat ....."
"Bertobat?" Nyi Bodong tertawa panjang.
"Kalau sisa nyawa sudah di leher, mana ada lagi tobat di muka bumi ini"!"
"Nenek muka putih. Antara kita tak ada silang sengketa. Kau sungguhan hendak
membunuhku"!"
"Aku sudah bersumpah akan membunuhmu sejak hari kau melakukan perbuatan keji
itu!" jawab nenek muka putih.
"Tapi apa hubunganmu dengan perempuan muda itu" Kau neneknya atau gurunya?"
"Soal hubunganku dengan perempuan muda itu bukan urusanmu! Sekarang bersiaplah
untuk menerima kematian!"
"Nenek muka putih, jika aku memang berdosa, aku rela menerima kematian. Tapi
jika aku tidak pernah punya silang sengketa denganmu, aku harap kau mau
meninggalkan tempat, ini."
Nyi Bodong tertawa panjang.
"Ajalmu sudah di depan mata!"
"Kalau kau keliwat memaksa, aku terpaksa melawan membela diri ..." kata Hantu
Muka Dua pula. "Silahkan! Aku mau lihat kau bisa berbuat apa!" Hantu Muka Dua renggangkan dua
kaki memasang kuda-kuda. Dua tangan siap menangkis atau menghantam. Dia siapkan
ilmu pukulan yang disebut Hantu Hijau Penjungkir Roh. Semasa di negeri 1200
tahun lalu Latanahsilam, ilmu ini adalah hasil rampasan dari Hantu Lumpur Hijau.
Lawan yang terkena hantaman pukulan akan hancur meleleh tubuhnya, tidak beda
lumpur berwarna hijau. Saat itu ada keraguan dalam hati Hantu Muka Dua. Apakah
dia memang harus melayani si nenek" Karena dia merasa yakin, sekali ilmu pukulan
Hantu Hijau Penjungkir Roh di lepaskan, nenek muka putih itu akan menemui
kematian secara mengerikan.
Sementara Hantu Muka Dua berada dalam kebimbangan, si nenek muka putih telah
lebih dahulu membuat gerakan. Dibarangi teriakan lantang tangan kanan Nyi Bodong
berkelebat menyingkap baju biru di bagian perut. Tangan kiri diangkat ke atas,
telapak mengembang. Sepasang mata segi tiga Hantu Muka Dua terbeliak besar,
terpukau menyaksikan perut putih mulus dihias sebuah pusar menonjol bercahaya.
Selagi Hantu Muka Dua terkesiap dari mulut Nyi Bodong tiba-tiba keluar suara
raungan seperti srigala melolong.
Lalu dari pusar yang bodong mendadak sontak Menyembur selarik sinar berwarna
biru gelap menggidikkan. Sinar Geni Biru!
llmu Pusar Pusara!
"Tahan serangan! Jangan!" Tiba-tiba ada orang berseru.
Namun terlambat. Larikan sinar biru melanda Hantu Muka Dua tepat di bagian dada!
Tak ampun lagi tubuh mahluk dari negeri 1200 silam itu terbelah menjadi dua. Nyi
Bodong terkejut ketika melhat di kening sebelah depan Hantu Muka Dua secara aneh
muncul guratan angka 212. lni adalah bekas pukulan Wiro yang dihantamkan ke
kening Hantu Muka Dua sewaktu hancur dan musnahnya lstana Kebahagiaan. (Baca
serial Wiro Sableng di negeri Latanahsilam) Dua potongan tubuh Hantu Muka Dua
kepulkan asap biru,mencelat ke udara lalu meledak berkepingkeping, berubah menjadi lelehan aneh berwarna putih dan akhimya lenyap dari
pemandangan. Tamat sudah riwayat mahluk yang di negeri Latanahsilam dijuluki
Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu.
Satu raungan menggelegar di udara. Nyi Bodong tanpa perduli keluarkan suaratawa
cekikikan. Dia baru hentikan tawanya ketika ada satu bayangan berkelebatdi
hadapannya disusul satu suara keras.
"Salah kaprah! Kau membunuh orang yang sudah tobat dan pernah menyelamatkan
dirimu! Hukuman Tuhan sekalipun tidak sekejam itu!"
"Keparat jahanam! Siapa berani membawa-bawa nama Tuhan di tempat ini"!" teriak
Nyi Bodong. Memandang ke depan kening nenek muka putih mengerenyit. Mata
mendelik geram.
"Mahluk samar! Kau setan jejadian atau demit hutan belantara"!" Bentak Nyi
Bodong. Yang muncul dan berdiri di hadapan Nyi Bodong adalah sosok bayangan berupa
seorang perempuan cantik berambut panjang hitam menjela pinggang.
"Siapapun diriku tak ada pentingnya. Yang lebih penting kau telah melakukan satu
kesalahan besar membunuh Hantu Muka Dua."
"Mahluk setan! Beraninya kau menuduh aku berbuat salah.
Jika kau membela dan Hantu Muka Dua adalah sahabatmu, apakah kau tahu kebejatan
mahluk itu"! Apakah kau tahu apayang telah diperbuatnya terhadapku"!"
"Aku lebih dari tahu! Hantu Muka Dua memang manusia bejat! Tapi dosa kebejatan
sebesar apapun akan selalu ada pengampunan. Dia sudah bertobat. Mengapa kau
masih melampiaskan nafsu pembunuhan" Kalau kau tahu pertolongan apa yang telah
dilakukannya terhadapmu, aku yakin kau akan mengampuni selembar jiwanya!"
"Yang aku tahu dia pemah hendak memperkosaku!"
"Betul," sahut mahluk bayangan berwajah jelita.
"Tapi apakah kau tahu kalau Hantu Muka Dua juga yang menyelamatkan dirimu dari
perkosaan"!" Nyi Bodong terkejut sampai tersurut satu langkah. Menatap tak
berkesip pada mahluk bayangan di depannya.
"Apa maksud ucapanmu?" tanya Nyi Bodong pula.
"Sayang aku tak bisa menceritakan sekarang padamu. Di lain waktu jika kita
bertemu lagi akan aku jelaskan semuanya. Saat ini aku harus pergi he satu tempat
untuk memenuhi janji dengan seseorang."
"Mahluk kurang ajar! Jika kau pergi tanpa memberi penjelasan akan kubunuh kau!"
Mengancam Nyi Bodong. Mahluk bayangan sunggingkan senyum.
"Aku tidak takut pada gertakanmu. Kematian bukan apa-apa bagiku. Tapi jika kau
keliwat memaksa , baik! Akan kujelaskan.
Pangeran Matahari tidak pernah sempat memperkosamu. Karena sewaktu dia hendak
menggagahimu, Hantu Muka Dua yang kebetulan ada di tempat itu menghantam
kemaluannya dengan satu pukulan sakti. Kau pernah melihat darah di sekitar
pahamu. Itu bukan darah karena kegadisanmu telah dirampas Pangeran Matahari.
Tapi itu adalah darah yang mengucur dari luka pada kemaluan manusia terkutuk
itu!" "Apa"!" Nyi Bodong menjerit keras. Sekujur tubuh nenek muka putih ini bergetar
hebat "Jadl ...j adi kau tahu siapa diriku"!"
"Aku tak perduli siapa dirimu. Aku hanya turut sedih atas musibah yang kau alami
..." Mendengar ucapan orang Nyl Bodong jadi terenyuh hatinya. Saat itu mahluk
bayangan dilihatnya bergerak menjauh dan semakin samar.
"Hai! Tunggu!" seru Nyi Bodong. Namun perempuan bayangan telah sima dari
pemandangan. * * * Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi
ENAM LIRIS Merah sadar dia tak sanggup lagi meneruskan larinya.
Padahal orang yang dikejar hanya tinggal beberapa tombak saja di depan sana.
Malam dingin sekali karena belum lama . hujan lebat baru berhenti. Namun saat
itu gadis murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak ini merasa diri seperti
dipanggang. Sekujur tubuhnya dilanda panas luar biasa. Asap mengepul mulai dari
kepala sampai ke kaki. Tenggorokan seperti diganjal bara menyala. Sepasang mata
mulai membengkak dan dari mulutnya membersit darah kental, meleleh di sudut
bibir. lnilah kelainan atau penyakit yang dideritanya selama bertahun-tahun.
Seperti diketahui kelainan yang sama juga terjadi atas diri adiknya, Liris Biru.
"Wi ... Wiro! Tolong!" Liris Merah berteriak sambil tangan kanan menggapai ke
depan, kearah orang yang sejaktadi diikuti dan dikejarnya. Namun saat itu
suaranya hanya tinggal merupakan seruan kelu halus. Dua lutut gadis cantik ini
goyah. Tubuhnya tersungkur ke tanah. Mulut keluarkan suara erangan. Hidung
hembuskan nafas sengal. Dua mata mendelik nyalang, menatap tak berkesip ke
langit gelap hitam. Dada dan tenggorokan bergerak turun naik. Keadaannya tidak
beda dengan orang yang tengah sakarat.
Tiba-tiba dalam gelap berkelebat satu bayangan hitam. Satu sosok tinggi besar
kemudian berhenti dan berdiri di samping Liris Merah yang tergelimpang di tanah.
Si gadis tidak melihat sosok yang ada di sebelahnya namun telinganya menangkap
suara kaki dan gerakan orang.
"Wiro ....." Suara Liris Merah perlahan sekali. Tapi masih bisa didengar oleh
orang tinggi besar berpakaian serba hitam yang tegak di sampingnya. Tampang
orang ini jadi berkerut mendengar si gadis menyebut nama itu. Di tangan kiri dia
membawa sebuah benda bercahaya, dibungkus kain hitam. Orang ini kemudian
pergunakan kaki kanannya untuk menyentuh tubuh si gadis.
"Kau menyebut nama itu. Katakan apa sangkut pautmu dengan Pendekar Dua Satu
Dua!" "Dengar, siapapun kau adanya. Aku butuh pertolongan. Kalau tidaksegera masuk ke
dalam telaga, sungai, kolam atau apa saja yang ada airnya , aku akan segera
menemui kematian. Tolong, cepat." Orang tinggi besar membungkuk memperhatikan
wajah Liris Merah.
"Ah ..... Ternyata wajahmu cantik sekali. Tubuhmu juga bagus." Orang itu lalu
tertawa bergelak.
"Tidak dinyana, di malam gelap dingin begini rupa aku mendapat rejeki besar. Ada
seseorang yang bakal menghangatkan tubuhku! Ha ... ha ... ha!"
"Demi Tuhan, jangan tertawa dan bicara saja. Tolong .... aku butuh air." Liris
Merah meminta setengah meratap.
"Aku tahu .... Dari kepulan asap yang keluar dari tubuhmu keadaanmu tidak beda
seperti batang kayu terbakar. Kalau tidak habis terkena pukulan beracun, kau
pasti mengindap satu penyakit aneh! Jika aku menolongmu, kau mau membalas dengan
apa?" "Aku bersedia melakukan apa saja ..."
"Betul"!"
"Aku tidak dusta!"
"Ha ... ha ... ha!" Si tinggi besar tertawa bergelak.
"Kau mau bersumpah"!"
"Aku bersumpah!" jawab Liris Merah yang berada dalam keadaan sangat terdesak dan
butuh pertolongan demi menyelamatkan jiwanya. Sambil terus mengumbar tawa orang
tinggi besar ulurkan tangan kanan, mencekal dada pakaian merah lalu memanggul si
gadis dan melarikannya ke arah timur. Dari gerakan lari yang cepat serta jurusan
yang dituju agaknya orang ini cukup tahu seluk beluk kawasan itu. Tak selang
berapa lama dia sampai di satu tikungan sungai berair cukup deras. Orang ini
letakkan bungkusan bercahaya yang di bawanya di tebing sungai lalu penuh nafsu
dia mendekap tubuh Liris Merah erat-erat, kemudian mencebur masuk ke dalam
sungai. Di dalam sungai yang airnya dingin sekali orang ini terus saja memeluki
Liris Merah. Sesekali malah menciumi wajah si gadis. Cukup lama berada dan
berendam dalam sungai, perlahan-lahan hawa panas yang mendera tubuh Liris Merah
mulai berkurang dan akhirnya lenyap sama sekali. Gadis ini celupkan kepalanya ke
dalam air beberapa kali. Setiap keluar dari air dia menarik nafas panjang. Dari
mulutnya mengepul uap panas.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya orang yang memeluk Liris Merah.
"Aku merasa segar ...."
"Apa sebenarnya yang terjadi denganmu?"
"Akan aku ceritakan. Lepaskan pelukanmu. Aku ingin naik ke darat." Liris Merah
merasa tidak senang karena dirinya terus dipeluk dan diciumi.
"Kau mau melarikan diri?"
"Tidak. Aku berterima kasih kau telah menolongku. Lepaskan pelukanmu!"
"lngat pada sumpah yang telah kau ucapkan?"
"Ya, aku ingat ..." jawab Liris Merah. Saat itu tiba-tiba saja si gadis merasa
sangat takut. "Aku tidak percaya padamu. Kita keluar dari sungai sama-sama!" Sambil terus
mendekap tubuh Liris Merah, si tinggi besar melesat ke udara dan agaknya dia
sengaja jatuhkan diri di samping serumpun semak belukar di tepi sungai. Tanpa
Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberi kesempatan bergerak pada gadis yang dihimpitnya orang ini berkata.
"Gadis cantik, katakan siapa namamu. Apa yang terjadi dengan dirimu dan mengapa
kau berada di tempat begini rupa?"
Liris Merah berusaha melepaskan diri dari himpitan orang tapi tak berhasil.
Ketika dia hendak berontak, satu totokan melanda dadanya sebelah kiri sehingga
sekujur tubuhnya terasa lemas.
"Aku menunggu jawabanmu."
"Katakan dulu siapa kau adanya"
"Rimba persilatan mengenal aku dengan nama Pangeran Matahari."
"Apa"!" Kejut Liris Merah setengah mati. Dia berusaha memperhatikan wajah orang
yang menghimpitnya. Dia melihat satu wajah garang angker. Hidung miring ke kiri,
pipi dan rahang kiri melesak. Mata kiri terbenam di rongganya. Pada kening kiri
di bawah ikatan kain merah tampak cacat memanjang bekas luka.
"Ya Tuhan," si gadis mengucap dalam hati.
"Lebih baik tadi aku mati saja dari pada jatuh ke tangan manusia terkutuk ini!"
"Gadis cantik, kau beruntung mendapat pertolonganku.
Setelah tahu siapa diriku, apa kau masih tidak mau bicara ..." .
"Aku akan bicara. Tapi berjanji kau akan memperlakukan aku baik-baik ..."
Pangeran Matahari tertawa lebar. Matanya yang sebelah kanan bergerak berputar.
"Aku akan memperlakukan kau luar biasa baik. Kau lihat saja nanti. Sekarang
mulailah bicara."
"Namaku Liris Merah. Aku adalah murid Hantu Malam Bergigi Perak ...." Dengan
memberi tahu siapa gurunya Liris Merah berharap Pangeran Matahari tidak akan
berbuat kurang ajar terhadap dirinya.
"Ah, ternyata kau adalah seorang dewi rimba persilatan. Aku pernah mendengar
nama besar gurumu. Tapi beberapa waktu lalu aku menyirap kabar. Gurumu telah
menemui ajal di tangan Sinto Gendeng, nenek geblek dari Gunung Gede. Lalu apa
yang kau lakukan di tempat ini. Tadi kudengar kau menyebut nama Wiro. Dia adalah
murid nenek jelek itu!"
"Aku tengah mengejar pemuda itu ...."
"Hemmm ... Untuk apa mengejar" Kau bercinta dengannya?"
tanya Pangeran Matahari. Nada suaranya menyatakan ketidak senangan.
"Aku ingin mendapatkan sebuah benda."
"Benda apa?"
"Sebuah kitab tentang pengobatan."
"Aha! Tadinya aku mengira kau mengejar untuk membalas dendam kematian gurumu!
Ketahuilah, aku juga tengah mencari kitab itu. Kitab Seribu Pengobatan."
"Kalau begitu kita bisa sama-sama melakukan pengejaran."
"Wiro sudah lari cukup jauh. Sulit untuk mengejar. Mengapa kita tidak lebih dulu
menghabiskan waktu bersenang-senang di tempat ini sambil menunggu terbitnya sang
surya" Atau kau ingin kita mencari tempat yang lebih baik dan lebih hangat.
Sebuah goa atau pondok misalnya?"
"Apa maksudmu"!" tanya Liris Merah dengan bulu kuduk merinding. Wajah si gadis
mendadak pucat. Dia coba kerahkan hawa sakti pada aliran darahnya, memusnahkan
totokan, namun tak berhasil. Tubuhnya masih saja tetap lemas. Pangeran Matahari
menyeringai lalu singkapkan baju Liris Merah dan benamkan wajahnya ke dada si
gadis. Liris Merah menjerit tanpa ada siapapun yang mendengar apa lagi memberi
pertolongan. "Demi Tuhan, hentikan perbuatan terkutukmu ini!" Pangeran Matahari angkat
wajahnya dari dada si gadis.
"Dengar, dalam waktu dekat aku punya satu rencana besar.
Kau akan kujadikan salah satu orang kepercayaanku. Siang hari kau akan jadi
pendampingku. Malam hari kau akan jadi penghiburku."
Tangan manusia terkutuk ini meluncur ke pinggul Liris Merah, menarik ke bawah
celana merah yang dikenakan si gadis. Tak sengaja Pangeran Matahari melihat
bungkusan hitam yang diletakkannya di tanah memancarkan cahaya lebih terang. ,
"Ada bahaya!" ucap Pangeran Matahari dalam hati. Serta merta dia melompat
menyambar bungkusan. Pada saat itu ada suara orang berseru.
"Pangeran Matahari! Sahabat seperjuangan! Mohon maaf kalau kedatanganku
mengganggu hajat besarmu!" Pangeran Matahari menggeram dan cepat berpaling.
Dalam kegelapan malam dia melihat seorang lelaki muda berpakaian sangat bagus
dan berwajah tampan. Rambut panjang sebahu, kening tinggi dihias sepasang alis
tebal. Di kiri kanan lelaki ini berdiri delapan orang rata-rata bertubuh tegap,
mengenakan seragam hitam. Di setiap dada kiri baju yang dikenakan ada sulaman
kuning gambar joglo dan dua keris bersilang.
"Manusia-manusia sialan! Siapa kalian"!" Bentak Pangeran Matahari sambil tangan
kirinya membuka buhul bungkusan yang dipegang di tangan kanan.
"Sekali lagi mohon maafmu Pangeran Matahari." kata lelaki muda berpakaian bagus
sambil maju dua langkah.
"Kita sama-sama sahabat seperjuangan ...."
"Tunggu dulu!" hardik Pangeran Matahari.
"Melihat tampang kalian baru kali ini. Bagaimana bisa sesum-bar mengatakan aku
sebagai sahabat seperjuangan ..."
"Biar saya jelaskan ..."
"Sudah! Aku tidak butuh penjelasan. Aku tidak ada waktu mendengar penjelasan.
Lekas minggat dari hadapanku atau kubuat amblas kalian semua!"
"Mohon maaf dan mohon sabarmu, Pangeran Matahari. Saya Sawung Guntur. Orangorang dan para pengikut saya memanggil saya Pangeran Muda. Saya pimpinan
tertinggi Keraton Kaliningrat Saya sudah lama mendengar nama besarmu. Saya juga
tahu kalau Pangeran punya cita-cita untuk mengusai rimba persilatan.
Sementara saya ingin mengambil dan mengusai hak saya sebagai pemilik sah tahta
Kerajaan."
"Ceritamu enak didengar. Tapi aku tidak ada urusan, tidak punya waktu ...."
"Dengar dulu Pangeran. Saya bisa membantumu mewujud-kan cita-citamu menjadai
Raja di Raja rimba persilatan. Sementara jika kau sudi, kau juga bisa membantu
saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Jika kita berdua bergabung, kekuatan
mana yang bisa menghadapi?"
"Aku Pangeran Matahari cukup punya kemampuan melakukan sendiri apa yang ingin
aku lakukan. Mendapatkan apa yang ingin aku dapatkan. Pangeran Muda, siapapun
kau adanya, dari Keraton manapun kau berasal, lekas pergi dari tempat ini." Kain
bungkusan di tangan kanan Pangeran Matahari terbuka, jatuh ke tanah. Kini di
tangan Pangeran Matahari kelihatan sebuah lentera dalam kedaaan menyala,
memancarkan tiga warna angker.
"Lentera lblis ....." ucap Pangeran Muda yang mengaku bernama Sawung Guntur.
"Beruntung saya dapat melihat dengan mata kepala sendiri senjata paling ditakuti
dalam rimba persilatan!" Mendengar disebutnya nama Lentera lblis delapan orang
anak I buah Pangeran Muda serentak bersurut ke belakang.
"Apa kau mau menyaksikan kehebatan lentera ini?" Tanya Pangeran Matahari dengan
nada pongah. Pangeran Muda tersenyum dan menjawab.
"Mana saya berani berbuat yang bukan-bukan ..."
"Kalau begitu biar kuberikan sedikit pelajaranl" Habis berkata begitu Pangeran
Matahari renggangkan dua kaki lalu gerakkan Lentera lblis ke kanan.
"Wusss!"
Selarik sinar merah berkiblat. Empat orang anggota Keraton Kali Ningrat di
samping kiri Pangeran Muda menjerit Tubuh mereka dikobari api dan mencelat ke
udara. Lalu jatuh bergedebukan di tanah dalam keadaan hangus merah leleh
mengerikan! Pangeran Muda dan empat orang anak buahnya berseru kaget. Kalau saja
bukan menghadapi momok nomor satu rimba persilatan serta punya satu kepentingan
besar pasti saat itu Pangeran Muda dan empat anak buahnya yang masih hidup akan
melabrak habis Pangeran Matahari.
"Pangeran Matahari! Kehebatan dan keganasanmu nyatanya bukan isapan jempol
belaka! Sayang hal itu kau perlihatkan pada kami orang-orang yang datang membawa
persahabatan. Saya sangat menyesalkan. Saya akan pergi dari sini. Tapi saya
punya satu pertanyaan padamu! Apakah kau masih membutuhkan sebuah benda yang kau
anggap keramat?"
"Benda apa"!" tanya Pangeran Matahari membentak dan dua matanya mendelik.
Hatinya jadi tidak enak. Darah panas naik ke kepala.
"Bendera Darah!" Jawab Pangeran Muda. Lalu dengan sikap melecehkan, tanpa
menunggu jawaban orang dia memutar tubuh, siap tinggalkan tempat itu. Tampang
Pangeran Matahari berubah.
"Tunggu!" seru Pangeran Matahari.
"Bendera Darah milikku. Bendera itu aku tinggalkan di satu tempat. Tak satu
orangpun tahu. Apakah kau telah mencuri bendera itu" Kau berani mencari mati!"
"Kami menemukan Bendera Darah secara tak sengaja di Goa Selarong. Bukankah kau
masih tetap punya niat untuk mendirikan partai Bendera Darah" Sayang sekali
kalau partai berdiri tanpa bendera sakti dan sangat bersejarah itu. Apa artinya
sebuah partai tanpa bendera kebesaran! Ha .... ha ... ha!"
Geraham Pangeran Matahari bergemeletakan. Rahang
menggembung, pelipis bergerak-gerak.
"Kau membawa bendera itu saat ini?" Pangeran Muda tersenyum.
"Saya tidak sebodoh itu!"
"Pangeran setan! Kalau sampai Bendera Darah rusak atau hilang, nasibmu akan
lebih jelek dari empat anak buahmu yang barusan kubikin mampus!"
"Saya percaya kau mampu melakukan hal itu. Apakah kini kau menerima ajakan saya
untuk bersahabat?" Tanya Pangeran Muda pula. Pangeran Matahari memaki dalam
hati. Otaknya diputar Lalu dia men jawab.
"Baik, Satu minggu darisekarang naiklah ke puncak Gunung Merapi. Tunggu aku
sampai datang. Di sana kita akan membicarakan bagaimana cara dan urusan kita
bersahabat! Jangan lupa membawa Bendera Darah. Jika kau menipuku, kematian akan
jadi bagianmu walau kau punya sepuluh nyawa cadangan sekalipun!"Pangeran Muda
tersenyum lalu bbngkukkan badan.
"Saya gembira mendengar ucapan Pangeran. Sekarang silahkan melanjutkan hajat
besarmu." Pangeran Muda bicara sambil memandang ke arah Liris Merah yang
tergeletak di tanah dengan dada tersingkap serta celana merosot sampai ke
pinggul. Ketika melewati empat orang anak buahnya yang tewas mengerikan Pangeran
Muda gelengkan kepala.
"Lentera Iblis. Benar-benar luar biasa. Sanggup menembus ilmu kebal Atos Sejagat
yang dimiliki anak buahku. Aku harus dapat merampas senjata itu! Pangeran
Matahari, tunggu pembalasanku.
Empat orang anak buahku tidak bisa mati percuma begitu saja!"
* * * Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi
TUJUH KAKI Bukit Menoreh. Menjelang pagi, hari ke enrpat belas. Di satu tempat Wiro
hentikan lari. Tengah dia menikmati indahnya pemandangan dikala sang surya
muncul di ufuk timur tiba-tiba terdengar suara berisik menyengat liang telinga.
Telinga sang pendekar sampai berdesing saking kaget dan sakit. Mata membesar.
Lalu mulut mengulum senyum. Dia kenal betul suara itu. Suara kaleng berisi batu
kerikil yang digoyang dengan pengerahan tenaga dalam! Siapa lagi kalau bukan
orang tua aneh itu!
"Kakek Segala Tahu!" Wiro berseru.
"Kau dimana Kek"!" Suara kerontangan kaleng datang dari arah timur. Wiro menatap
kearah itu. Namun suara berubah datang dari arah selatan. Ketika Wiro memandang
ke selatan suara kerontangan kaleng malah muncul dari barat. Wiro tersenyum.
"Kakek jahil itu mempermainkanku!" katanya dalam bati.
Mendongak ke arah sebuah pohon besar dia melihat orang yang dicarinya ada di
sana. Duduk berjuntai uncang-uncang kaki di atas sebuah dahan besar berpakaian
butut rombeng, mengenakan caping bambu di atas kepala. Di punggungnya ada sebuah
buntalan. Di tangan kiri dia memegang kaleng rombeng yang setiap kali digoyang
mengeluarkan suara berisik menggetarkan gendang-gendang telinga. Di tangan kanan
dia memegang sebuah ubi panggang yang dimakannya dengan lahap sampai keluarkan
suara menyiplak.
"Kek, aku lapar! Bagi ubimu!" Wiro berseru lalu melesat ke atas pohon, duduk di
samping si kakek. Si kakek berpaling. Dua matanya ternyata putih buta!
"Eh, kau rupanya! Lapar" Bagusnya aku masih ada sepotong persediaan. Ini
makanlah!" Dari dalam kantong bekalnya si kakek di atas pohon mengeluarkan
sepotong ubi bakar.
"Terima kasih Kek, aku memang lagi lapar-laparnya." Sambil mengunyah ubi
panggang Wiro bertanya.
"Kek, sejak peristiwa di lorong kematian, apakah kau baik-baik saja?"
"Baik tidak baik bagiku sama saja. Puluhan tahun hidup di dunia ini apa kau kira
tidak jenuh" Waktu di lorong jahanam itu aku pikir-pikir mengapa aku tidak mati
saja. Sudah buta, buruk rupa begini hidup di dunia sengsara pula! Ha ... ha ...
ha!" Si kakek tertawa.
"Kek, ubimu enak juga. Ah, capingmu baru! Kek, beruntung aku bertemu kau. Ada
beberapa hal yanq gin aku tanyakan. Boleh?"
Kakek bercaping yang dalam rimba persilatan tanah Jawa dikenal dengan sebutan
Kakek Segala Tahu tertawa lebar lalu goyangkan kaleng rombengnya dua kali. Wiro
cepat tekap kedua telinganya.
Walau mata putih buta namun dengan kesaktiannya si kakek mampu melihat secara
aneh. "Dari bau pakaianmu aku tahu kau mengenakan baju dan celana bukan milikmu! Dari
gerakanmu sewaktu melompat ke atas pohon ini aku tahu kalau pakaianmu kekecilan.
Pakaian perempuan.
Tangan dan kaki tergantung. Apa yang terjadi" Apa kau sudah jadi badut sekarang"
Kau mencuri pakaian perempuan mana" Ha ... ha
... ha!" "Aku tidak mencuri Kek. Ada yang memberi.Lumayan dari pada bugil!"
"Pasti yang memberikan gadis cantik!"
"Bagaimana kau tahu Kek?" tanya Wiro.
"Gampang saja. Pakaian perempuan yang punya pasti perempuan!" Si kakek tertawa
gelak-gelak. Wiro ikutan tertawa.
"Kek, setelah kau meninggalkan kawasan Lorong Kematian tempo hari, apakah kau
sudah bertemu dengan Nyi Roro Manggut?"
Kakek Segala Tahu mengangguk-angguk. Wajahnya tampak berseri.
"Wah, pasti seru pertemuannya. Pakai peluk cium segala Kek"!"
"Huss! Urusan orang tua-tua kau anak muda mengapa kepingin tahu saja?" Wiro
tertawa. "Kek, aku dalam perjalanan ke Bukit Menoreh. Menemui seseorang. Saat perjanjian
adalah nanti tepat pertengahan malam .."
"Heran, janji malam-malam buta. Di puncak bukit angker pula.
Kau menemui seorang manusia atau sebangsa mahluk jejadian?"
bertanya Kakek Segala Tahu.
"Ah, agaknya kau sudah tahu aku akan menemui mahluk aneh. Justru aku mau tanya.
Apa yang kau ketahui mengenai mahluk perempuan cantik berbentuk bayangan yang
akan aku temui itu." Si kakek mendongak, menatap ke langit yang mulai terang,
goyangkan kalengnya dua kali lalu berkata. Lagi-lagi Wiro terpaksa menekap
telinga. "Aku tak bisa memberi jawaban. Aku tak bisa menyelidik. Dia bukan mahluk alam
roh dunia kita. Dia sudah meninggal lebih dari seribu tahun silam dan
kematiannya di dunia lain ...." Wiro ingat sesuatu.
"Aku sudah menduga. Muncul dalam ujud bayang-bayang.
Agaknya dia adalah mahluk berasal dari Latanahsilam, negeri seribu dua ratus
tahun lalu yang telah meninggal dunia. Aku pernah kesasar ke sana, Kek." Sambil
menggaruk kepala Wiro bertanya.
"Kek, menurut penglihatanmu apakah dia menaruh maksud baik atau jahat
terhadapku?" Kakek Segala Tahu buka capingnya.
Walau hari masih pagi dan udara masih sejuk seperti orang kepanasan kakek ini
kipas kipaskan capingnya di depan dada.
"Kalau aku katakan, nanti kau pikir-pikir saja sendiri." Jawab Kakek Segala
Tahu. "Anak sableng, ketahuilah perempuan cantik berujud bayang-bayang itu tengah
jatuh cinta padamu!"
"Apa Kek"!" Wiro tersentak kaget. Si kakek tertawa gelak gelak. Lalu
kerontangkan kaleng rombengnya hingga kembali Wiro terpaksa tekap dua
telinganya. "Kau bercanda, Kek!" Si orang tua geleng-geleng kepala.
"Anak muda, begitu banyak gadis cantik di sekelilingmu.
Sampai-sampai kau punya kekasih dari alam roh. Apakau belum punya niat untuk
kawin?" Kembali Pendekar 212 dibuat kaget
"Kawin Kek" Maksudmu dengan perempuan bayangan itu?"
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya berulang kali lalu tertawa
mengekeh. "Sudah .... sudah! Aku harus pergi sekarang. Tapi dengar, ada satu hal penting
yang perlu aku beritahukan. Aku menyirap kabar akan terjadi satu peristiwa besar
dalam rimba persilatan.
Banyak tokoh rimba persilatan yang akan terlibat. Termasuk dirimu!
Waktunya tak lama lagi. Tak sampai sepuluh hari dimuka. ,Jadi kau berhatihatilah ..."
Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bisa kau terangkan peristiwa besar apa yang kau maksudkan. Kek?" tanya Wiro
pula. "Banyak prasangka namun sulit diduga." Kakek Segala Tahu goyangkan kalengnya dua
kali lalu menatap ke langit.
"Ah, cahaya sang surya mulai menyiiaukan. Aku tak mampu melihat jelas. Namun
samar-samar ada tanda merah di langit. Tanda merah, bisa berarti darah atau api.
Bisa dua-dua sekaligus ..." Wiro menggaruk kepala.
"Sebelum pergi aku punya satu nasihat untukmu ..."
"Urusan kawin Kek?" tanya Wiso.
"Nah, nah! Kau kini malah ingat-ingat kawin! Selangkangan-mu sudah mulai gatal
ya" Ha ... ha ... ha!"
"Enak saja kau bicara!" cemberut Wiro tapi sambil menggaruk bagian bawah
perutnya. "Weh, kalau tidak gatal mengapa anumu kau garuk"!"Kakek Segala tahu tertawa
panjang. Wiro hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Anak sableng, dengar nasihatku baik-baik. Kau jangan se kali-kali kualat sama
gurumu." "Maksud Kakek Eyang Sinto Gendeng?"
"Memangnya kau punya berapa guru?"
"Kek, aku sangat menghormati Eyang Sinto. Seumur hidup aku ingin berbakti
padanya. Tapi belakangan ini ...."
"Tak usah tapi-tapian. Kau tak usah menceritakan, aku sudah tahu apa yang
terjadi antara kau dan Sinto Gendeng. Walau nenek itu edan seribu edan, sinting
seribu sinting, jahat seribu jahat, dia tetap gurumu. Aku yakin selalu ada
maksud baik dibalik semua tindakannya yang aneh- aneh. Kalau tidak karena dia,
kau tidak selamat jadi orang seperti sekarang ini. Eh, apa jawabmu"! Jangan diam
saja!" Si kakek kerontangkan kaleng di tangan kiri.
"Saya tahu Kek. Eyang Sinto yang menyelamatkan jiwaku dari kobaran api sewaktu
saya masih bayi. Dia yang kemudian memelihara saya. Memberi ilmu kepandaian
serta kesaktian. Saya perhatikan nasihatmu baik-baik Kek ..."
"Jangan cuma diperhatikan. Tapi dilaksanakanl"
"lya Kek. Mungkin saya memang sudah kualat sama Eyang Sinto. Saya akan mencari
beliau dan minta maaf. Buruk baik dia tetap guru yang saya hormati. Selain
itu ...." Wiro hentikan ucapan.
Berpaling ke samping ternyata Kakek Segala Tahu tak ada lagi di sebelahnya. Di
kejauhan kemudian terdengar suara kerontangan kaleng.
. *** PUNCAK Bukit Menoreh. Bagi Wiro tidak gampang mencari pohon jati yang miring
atau doyong ke timur di malam buta begitu rupa. Pohon doyong tersebut adalah
tanda yang dikatakan perempuan bayangan sebagai tempat pertemuan. Wiro nyaris
putus asa. Malam hampir mendekati pertengahan, saatnya perjanjian.
Walau sebenarnya ada bulan purnama namun sang rembulan sendiri tersembunyi di
balik awan gelap.
"Jangan-jangan mahluk itu menipuku ..." pikir Wiro. Lapat-lapat terdengar
raungan anjing hutan di kejauhan, membuat Wio merasa tambah tidak enak. Lalu ada
suara mendesis. Wiro berpaling. Tepat pada saat seekor ular besar yang melilit
berjuntai di cabang sebatang pohon melesat hendak mematuk kepalanya.
Secepat kilat pemuda ini jatuhkan diri ketanah lalu bergulingan.
Memaki panjang pendek.Ketika bangkit berdiri Wiro dikagetkan oleh suara
menggelepar. Dia berlaku waspada, merunduk sambil memandang ke
depan. Ternyata ada seekor burang melesat keluar dari balik sebatang pohon
rendah dan terbang dalam kegelapan malam ke arah timur. Tak sengaja Wiro terus
memperhatikan. Burung lenyap di bagian bukit yang agak rendah dan hanya
ditumbuhi sederetan pohon jati tua. Mendadak Wiro terkejut. Ketika dia mengawasi
salah satu dari pohon jati itu bentuknya miring ke arah timur!
"Aneh. Burung tadi seperti memberiku petunjuk. Agaknya bukan burung biasa ..."
pikir Pendekar 212 lalu cepat berlari ke arah deretan pohon-pohon jati. Wiro
sampai di dekat pohon jati tua yang miring ke timur. Memandang berkeliling dia
tidak melihat seorangpun berada di tempat itu. Wiro mendongak ke langit. Awan
gelap yang sejak tadi menutupi rembulan kini bergerak ke barat. Bulan purnama
empat belas hari tersembul menebar cahaya cukup terang di sekitar kawasan Bukit
Menoreh. Hanya sayahg saat itu hujan turun rintik-rintik.Angin bertiup kencang
dan udara mendadak dingin.
"Pertanda apa lagi ini," membatin Wiro. Beberapa kali dia memandang berkeliling,
memperhatikan keadaan sekitarnya. Perempuan bayangan tetap belum kelihatan.
Akhimya Wiro duduk di tanah, di bawah pohon jati tua yang miring ke timur.
Mendadak ada suara burung berkicau. Tiga kali berturut-turut.
Wiro ingat itu adalah salah-satu tanda yang dikatakan mahluk bayangan. Cepat
Wiro bangkit dari duduknya. Memandang berkeliling. Dia tak melihat burung juga
tidak melihat perempuan bayangan.
"Pendekar, apakah kau sudah lama berada di sini?" Tiba-tiba ada suara menegur.
Wiro berpaling ke kiri. Laksana turun dari langit, satu bayangan berupa sosok
perempuan muncul kemudian berdiri lima langkah dari hadapan Wiro. Walau cahaya
rembulan tertindih kegelapan malam namun sosok bayangan itu kelihatan jelas.
Wajahnya yang cantik memandang tersenyum ke arah Wiro. Sang pendekar mencium bau
harum semerbak.
"Aku belum lama berada di sini. Tadinya aku mengira ...."
Mahluk bayangan tertawa.
"Kau kira aku menipu?" Wiro menggaruk kepala.
"Apakah kau membawa kitab itu?"
"Tentu saja. Aku tidak akan berjanji dusta mengecewakanmu Hanya saja saat ini
ada yang lucu pada dirimu."
"Lucu apa?" tanya Wiro.
"Kau mengenakan baju kesempitan. Biar aku betulkan dulu."
Mahluk bayangan berbentuk perempuan cantik lalu menarik bahu baju hitam kiri
kanan yang dipakai Wiro. Menarik bagian pinggang kiri kanan lalu dua ujung
lengan. Setelah itu dia membungkuk untuk menarik dua pergelangan kaki celana
hitam yang menggantung.
Setiap sentuhan tangan perempuan bayangan ini membuat sekujur tubuh Pendekas 212
bergetar. Sebaliknya Wiro juga merasakan tangan yang menyentuh pakaian dan
tubuhnya itu dihangati oleh perasaan yang menggelora.
"Nah, itu lebih baik. Kau sekarang tidak terlihat seperti badut lagi." Wiro
memperhatikan baju dan celana hitam yang dikenakan-nya. Aneh, baju hitam itu
kini terlihat lebih besar, dua lengan tidak lagi menggantung. Begitu juga dua
ujung kaki celana hitam, kini tidak kependekan lagi, menjulai panjang menutupi
mata kakinya. "Terima kasih. Kau punya keahlian menata pakaian rupanya,"
ucap Wiro sambil tersenyum.
"Bagaimana mengenai kitab itu?"
"Ah, kau sangat tidak sabaran. Aku mau tanya dulu, apakah kau datang sendirian
ke sini" Tidak merasa adayang mengikuti?"
"Sesuai permintaanmu aku datang sendirian. Hanya malam kemarin memang seperti
ada yang mengikuti. Tapi sejak aku sampai di kaki bukit, aku yakin tidak ada
yang menguntit."
"Kau bisa mengira-ngira siapa orang yang mengikutimu malam kemarin?"
"Sulit aku menduga," jawab Wiro.
"Baiklah, Kitab Seribu Pengobatan akan aku serahkan sekarang padamu." Mahluk
bayangan perempuan cantik menggerakkan tangan kanannya ke balik punggung. Ketika
tangan itu diajukan ke depan, Wiro melihat sebuah benda yang bukan lain adalah
Kitab Seribu Pengobatan. Kitab ini tebal sekali. Wiro cepat mengambil kitab itu.
Walau sangat tebal karena terbuat dari daun lontar halus ternyata kitab itu
enteng sekali. Kitab disimpan di balik baju.
"Kau sekarang sudah mendapatkan kitab itu. Apa yang akan kau lakukan?"
"Kitab ini milik guruku Eyang Sinto Gendeng. Sebelum aku kembalikan pada beliau
terlebih dulu akan aku baca dan pelajari agar bisa kupergunakan untuk menolong
beberapa sahabat yang menderita penyakit."
"Siapa saja sahabatmu itu?" tanya perempuan bayangan.
"Tak mungkin aku sebutkan satu persatu ..."
"Kalau begitu katakan saja apa penyakitnya" Wiro tersenyum dan menggeleng.
"Soal penyakit seseorang, aku tidak mungkin menceritakan pada orang lain." Lama
perempuan bayangan menatap wajah Wiro.
Diam-diamdia sangat mengagumi sifat sang pendekar. Lalu dia berkata."Aku tidak
ingin mencari tahu rahasia penyakit seseorang.
Niatku hanya ingin menolong semata. Secara kebetulan aku mengetahui siapa yang
pertama kali ingin kau tolong. Bukankah mereka dua gadis kakak beradik murid
seorang nenek sakti yang konon telah menemui kematian di tangan gurumu?"
"Eh, bagaimana kau tahu?"
"Bicara soal kematian, apakah kau sudah tahu bahwa Hantu Muka Dua, kerabatku
dari negeri Latanahsilam telah menemui ajal beberapa hari lalu?" Walau selama di
negeri 1200 tahun silam Hantu Muka Dua alias Lajundai merupakan mahluk paling
jahat dan menjadi musuh besarnya, namun mendengar keterangan perempuan bayangan
mau tak mau Wiro menjadi terkejut.
"Bagaimana kejadiannya" Siapa yang membunuh mahluk itu"' tanya Wiro pula.
"Seorang nenek sakti bermuka putih yang belakangan ini menggegerkan rimba
persilatan. Namanya Nyi Bodong."
* * * Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi
DELAPAN WIRO terkejut mendengar disebutnya nama itu.
"Kau tak percaya" Aku menyaksikan sendiri.Kasihan Hantu Muka Dua. Aku berusaha
mencegah karena Hantu Muka Dua telah bertobat. Namun gagal ..."
"Nyi Bodong," mengulang Wiro menyebut nama itu.
"Kau mengenalnya?"
"Aku pernah melihatnya beberapa kali."
"Pendekar, kau tahu siapa sebenarnya nenek itu?" Wiro gelengkan kepala.
Perempuan bayangan kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Mengenai dua gadis kakak beradik murid Hantu Malam Bergigi Perak yang ingin kau
sembuhkan dari penyakitnya. Bukalah Kitab Seribu Pengobatan pada halaman seratus
enam belas. Disitu ada petunjuk pada pengobatan tiga ratus sebelas."
"Luar biasa!" ucap Wiro.
"Bagaimana kau bisa ingat isi kitab itu?". Mahluk bayangan tersenyum.
"Setiap manusia punya kelebihan dan kekurangan. Semua itu atas berkah dan
kehendak Yang Maha Kuasa." Wiro mengusap Kitab Seribu Pengobatan di balik
pakaiannya lalu bertanya.
"Selama kitab ini ada padamu, apakah ada orang yang telah kau tolong?"
"Memang ada. Dan tujuanku untuk mendapatkan kitab itu adalah semata-mata untuk
menolong orang itu"
"Berhasil?" Perempuan bayangan mengangguk.
"Siapa" Apa penyakitnya?" tanya Wiro.
"Turut ucapanmu tadi bukankah tidak baik memberi tahu orang lain atas sakit
seseorang" AKU tak bisa mengatakan. Tapi kelak kau akan menemui orang itu karena
selama ini kalian bersahabat." Wiro garuk-garuk kepala.
"Aku tahu, kau berasal dari negeri Latanahsilam. Kau pasti salah seorang dari
sekian banyak yang terpesat ke tanah Jawa sewaktu lstana Kebahagiaan milik Hantu
Muka Dua hancur lebur.
Bolehkan aku mengetahui namamu?"
"Mohon maafmu Pendekar. Saat ini aku belum bisa memberi tahu."
"Kalau begitu aku punya satu permintaan. Kuharap kau tidak menolak."
"Katakanlah," ucap perempuan bayangan sambil menatap.
Saat itu Wiro juga memandang memperhatikan hingga sepasang mata mereka saling
beradu. Ada perasaan aneh dalam diri Pendekar 212. Terlebih ketika dia ingat
ucapan Kakek Segala Tahu yang mengatakan bahwa mahluk di hadapannya ini tengah
jatuh cinta atas dirinya. Hal yang sama juga terjadi pada perempuan bayangan.
Ujudnya yang samar bergetar. Pandangan matanya menyimpan rahasia hati.
"Sejak pertemuan kita pertama kali sampai saat ini kau selalu menampakkan diri
dalam ujud bayangan. Apakah kau bersedia memperlihatkan dirimu dalam ujud asli?"
"Seperti yang pernah dilakukan oleh Bunga, gadis alam roh sahabatmu itu?" ucap
perempuan bayangan pula yang membuat Pendekar 212 jadi terperangah lalu senyum
garuk-garuk kepala.
"Pengetahuanmu luar biasa. Seluas laut setinggi langit."
"Kau keliwat menyanjung. Ketahuilah ujud dan rupa asliku buruk. Aku kawatir
setelah melihat kau tidak akan mau bertemu lagi denganku." Wiro tertawa. Pemuda
ini ulurkan tangan kanannya ke arah tangan kanan mahluk bayangan. Dia mengira
seperti akan menyentuh asap atau memegang angin. Tapi alangkah terkejutnya dia
ketika tangan yang dipegang adalah benar benar tangan manusia yang halus dan
hangat. Ketika Wiro memperhatikan ternyata mahluk bayangan itu telah
memperlihatkan diri dalam ujud aslinya! Wajah cantik di hias rambut hitam
panjang tergerai. Tubuh yang bagus dibalut pakaian biru muda. Sampai-sampai
Pendekar 212 memandang dengan mulut ternganga dan jari-jari tangannya bergerak
meremas, yang dibalas pula oleh perempuan cantik itu dengan remasan penuh
perasaan. "Aahh..,Ternyata kau cantik sekali." Ucap Wiro penuh kagum.
"Kalau saja kau bisa dalam keadaan seperti ini selamanya ..."
"Aku tak mungkin melakukan. Kecuali ...." jawab si cantik.
"Kecuali bagaimana?" tanya Wiro.
"Kecuali jika ada yang mengharapkan. Ada yang menginginkan."
"Seperti yang aku lakukan barusan?" Si cantik mengangguk.
"Ya, seperti yang kau lakukan barusan," katanya.
"Jika kau tak mau memberi tahu nama, bolehkah aku memanggilmu ..." Wiro berpikir
sejenak. Menatap ke langit dia melihat rembulan butat indah empat betas hari.
"Boleh aku memanggilmu dengan nama Purnama" tanya Wiro pula. Perempuan di
hadapannya tertawa dan anggukan kepala.
"Kalau kau suka dengan nama itu, aku pun senang."
"Purnama, apakah aku boleh mengajukan pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi?"
Sepasang bola mata perempuan cantik membesar.
"Pertanyaan sangat pribadi" Apa maksudnya. Aku sangat ingin mendengarnya."
"Apakah kau pernah mencintai seseorang?" Wajah cantik perempuan di hadapan Wiro
tampak bersemu merah. Sepasang alis mata yang hitam lengkung bergerak naik, lalu
senyum manis menyeruak di bibir yang merah segar.
"Pertanyaanmu aneh. Mengapa hal itu kau tanyakan?" Wiro garuk-garuk kepala.
Sebenarnya ia ingin menguji apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu.
"Ah, Sudahlah. Anggap saja itu tadi pertanyaan tolol!"
"Di negeri asalku aku memang pernah mencintai seseorang.
Bahkanaku pernahmenjadi istri dari orang yang kucintai itu. Namun satu
malapetaka besar terjadi. Aku menemui kematian di alamku.
Kami berpisah. Sampai saat ini aku tidak tahu dimama suamiku berada. Secara adat
Latanahsilam, aku buka lagi istri baginya dan dia bukan lagi suami bagiku.
Secara kenyataan di sana aku kembali menjadi seorang gadis."
"Maksudmu Hemm ....perawan?"
"Ya," jawab perempuan bayangan.
"Sulit dipercaya. Tetapi begitulah keadaan lahiriah kami orang-orang perempuan
Latanahsilam ...."
"Hebat juga" ucap Wiro dalam hati.
"Walau sudah punya sepuluh anak dan sudah jadi nenek peot tetapi begitu tidak
punya suami lagi kembali menjadi perawan!" Wiro senyum-senyum sendiri. Purnama
juga tersenyum. Lama kedua orang itu terdiam sampai Wiro menyadari bahwa saat
itu mereka masih saling bergenggaman jari jemari. Perlahan-lahan Wiro tarik
tangannya. "Purnama, yang kau katakan tadi adalah riwayat semasa kau masih berada di
Latanahsilam. Yang aku ingin ketahui, setelah sekian lama aku berada ditanah
jawa ini, apakah ada seseorang yang menjadi tambatan hatimu" Atau kau tahu ada
seorang yang mencintaimu?" Sepasang mata Purnama menatap tak berkesip.
Dada perempuan itu berdebar. Hatinya berucap.
"Apakah pemuda ini tahu apa yang aku rasakan?" Setelah terdiam beberapa ketika
akhirnya perempuan itu menjawab.
"Pertanyaanmu kali ini agak sulit kujawab. Jika kukatakan memang ada atau tidak
ada seseorang yang kucintai, apakah itu ada artinya bagimu?" Wiro menggaruk
kepala, tertawa lebar dan balik bertanya.
"Mengenai adanya orang yang menyukaimu?"
"Mana aku tahu ada orang yang suka apa lagi sayang padaku. Tidak ada yang
menunjukkkan sikap seperti itu, apa lagi mengatakannya. Pendekar, apakah kau
menyukai diriku?" Wiro terperangah oleh pertanyaan yang blak-blakan ini sampai
kakinya tersurut satu langkah. Cepat Wiro alihkan pembicaraan.
"Purnama. aku mengucapkan terima kasih. Kau telah sudi menyerahkan Kitab Seribu
Pengobatan."
"Kau harus menjaga kitab itu baik-baikseperti kau menjaga keselamatan dirimu
sendiri.Terlalu banyak yang menginginkan. Nah, kau sudah dapatkan kitab yang kau
cari selama ini. Apakah kau akan segera meninggalkan tempat ini" Apakah
pertemuan kita hanya dan akan berakhir sampai di sini?" tentu saja persahabatan
Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita tidak hanya sampai di sini. Ada ujar-ujar mengatakan selama awan masih
putih, gunung masih hijau dan laut masih biru, kita pasti akan bertemu." Jawab
Wiro. "lndah sekali ujar-ujar itu. Dan aku sangat berbahagia mengetahui bahwa kau
masih inginkan pertemuan dengan diriku ...."
"Jika aku ingin bertemu, dimana aku harus mencarimu?"
tanya Wiro. "Kau tak perlu susah susah mencari. Setiap gerak hatimu untuk bertemu akan
kuketahui. Karena kau selalu berada di dekatmu
.." Jawaban perempuan cantik itu membuat Pendekar 212 raba kuduknya lalu
menggaruk kepala.
"Urusan berabe. Kalau aku mandi pasti dia bisa melihatku!
Jangan-jangan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu memang benar. makluk ini
tengan jatuh cinta padaku ..." ucap Wiro dalam hati.
"Purnama, sebelum kita berpisah, ada satu hal yang ingin aku tanyakan.
Belakangan ini ada beberapa tokoh memberi tahu akan terjadi satu peristiwa besar
dalam rimba persilatan. Apakah kau juga mengetahui hal itu?"
"Aku mengetahui. Justru kau salah seorang yang akan terlibat dalam peristiwa
itu. Jaga dirimu baik-baik. Aku tak bisa menceritakan lebih banyak dan lebih
rinci. Biar sebaiknya orang lain saja yang mengatakan. Dia sejak tadi menunggu
di tempat ini." Habis berkata begitu perempuan bayangan yang diberi nama Purnama
oleh Wiro memegang erat-erat lengan kanan sang pendekar, menarik tangan itu lalu
menciumnya. Di lain kejap sosoknya berubah menjadi samar membentuk bayangan dan
akhirnya lenyap dari pemandangan. Wiro berbalik ketika merasa ada sambaran angin
di belakangnya.
"Mesra sekali! Ada kata-kata mesra, ada pegangan tangan serta ada ciuman!"
terdengar suara perempuan berucap. Di lain kejap di hadapan Wiro berdiri seorang
perempuan muda berpakaian kebaya putih panjang -serta celana putih panjang
sebetis. Wajahnya yang cantik tampak pucat dan kini tersenyum memandang pada
Pendekar 212. "Bunga ...." ucap Wiro. Dia hendak merangkul tapi Bunga bersurut mundur. Wiro
merasa tidak enak. Selain itu senyum Bunga, gadis alam roh yang semasa hidupnya
bernama Suci di mata Wiro terlihat dan terasa sinis. Jadi inilah orang lain yang
tadi dimaksud Purnama.
"Bunga, aku gembira melihat kedatanganmu."
"Sebaliknya aku merasa menyesal karena kemunculanku mungkin hanya mengganggu
kehadiran si cantik tadi. Sebenarnya aku ingin berbincang-bincang dengannya.
Sayang dia keburu pergi
..." "Dia meninggalkan pesan untuk menanyakan sesuatu padamu ..."
"Begitu" Pesan apa"Pertanyaan apa?" tanya Bunga Tidak seperti biasanya dalam
pertemuan yang sudah-sudah, kali ini setiap nada ucapan Bunga terasa tidak enak
di telinga dan hati Wiro.
"Dia cemburu, mungkin juga marah. Seperti kata Purnama agaknya dia memang sudah
lama berada di sekitar sini.
Memperhatikan dan mendengar apa yang aku bicarakan ..."
"Bunga ..."
"Wiro, siapakah nama perempuan cantik tadi?" Bunga memotong ucapan Wiro.
"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah menerangkan namanya.
Lalu kupanggil saja Purnama," jawab Wiro polos.
"Nama yang bagus sekali. Aku ingat ketika kau melakukan hal seperti itu padaku.
Ketika kau memberi nama Bunga padaku ...."
Wiro garuk-garuk kepala. Gadis dari alam roh yang ada di hadapannya ini sudah
jelas cemburu. "Bunga, jangan kau berprasangka ...."
"Siapa yang berprasangka" Berprasangka apa" Aku hanya melihat kenyataan betapa
mesranya dia menciumn tanganmu ketika hendak pergi. Aku berpikir, mengingatingat, apakah aku pernah melakukan hal itu padamu" Rasanya tidak ..." Ternyata
Bunga telah terlalu jauh larut dalam perasaannya. Wiro cepat cepat berkata.
"Bunga, aku ingin menanyakan. Apakah kau tahu satu peristiwa besar yang akan
terjadi dalam rimba persilatan. Beberapa tokoh dunia persilatan membicarakan hal
itu ..." "Ah, rupanya si cantik bernama Purnama tadi tidak menuntaskan keterangannya.
Menyerahkan jawaban pada diriku. Cerdik sekali. Kalau aku tidak memberi tahu
apakah kau akan marah padaku?" Wiro menggeleng.
"Kau sangat baik padaku. Aku banyak berhutang budi. Mana mungkin aku marah."
Bunga tertawa mendengar kata-kata sang pendekar.
. "Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Aku harus menemui dua orang sahabat yang
menderita sakit. Kau ikut?" Wiro mengajak.
"Aku ingin sekali ikut. Tapi tak lama lagi hari akan segera siang. Selain itu
aku tak mau menyakiti perasaan si cantik tadi yang katanya selalu berada dekat
denganmu." Wiro terdiam. Dia merasa sedih melihat sikap dan cara bicara Bunga.
Namun mungkin semua itu dia juga yang salah.
"Bunga, kurasa kau lebih dekat padaku. Maafkan aku kalau ada hal-hal yang
membuat dirimu tidak enak. Apapun yang terjadi semua itu tidak mengurangi rasa
sayangku padamu. Aku harus pergi sekarang juga ..."
"Wiro, mengenai pertanyaanmu tadi ..." Ucapan Bunga terputus. Saat itu Pendekar
212 telah berkelebat lenyap.
"Ah, apakah aku telah membuat dia kecewa" Marah?" Bunga duduk bersimpuh di
tanah. Air mata meluncur dari balik kelopak mata. Bunga pejamkan kedua matanya.
Hatinya kembali bersuara.
"Untuk pertama kalinya dia mengatakan sayang padaku.
Apakah kali ini aku terpaksa membenarkan kabar dan ucapan banyak orang selama
ini bahwa Pendekar Dua Satu Dua itu seorang pemuda mata keranjang" Apakah aku
tidak boleh cemburu" Apakah aku tidak boleh merasa takut kehilangan dirinya?"
Bunga tersengguk.
"Kalau saja aku bisa mati lagi, rasanya aku ingin sekali mati untuk kedua
kalinya ..."
* * * Wiro Sableng : Api Di Puncak Merapi
SEMBILAN WALAU hujan telah beberapa kali turun, namun hawa sejuk tidak menyentuh puncak
Gunung Merapi. Sebagian besar daun-daun pepohonan mengering rontok. Kulit pohon
menciut kehitaman. Semak belukar hanya tinggal berbentuk ranting-ranting lapuk.
Beberapa anak sungai mengering dangkal. Kegersangan nyaris tampak dimalla-mana.
Siang itu begitu menjejakkan kaki di puncak Gunung Merapi bersama Liris Merah,
kejut Pangeran Matahari bukan alang kepalang. Goa besar tempat kediaman mendiang
gurunya Si Muka Bangkai tak ada lagi. Yang tampak hanya reruntuhan puing-puing
batu goa, nyaris sama rata dengan tanah gunung.
"Kurang ajar! Keparat! Jahanam mana berani mati menghancurkan goa tempat
kediaman guruku!" teriak Pangeran Matahari menggelegar sehingga seantero tempat
bergetar. Beberapa binatang hutan yang ada di dekat situ lari berhamburan. Puluhan burung
yang tengah berteduh dari teriknya sinar matahari di pepohonan menggelepar
terbang ke udara. Selain tenaga dalam tinggi yang dimiliki, hawa sakti yang ada
pada Lentera lblis yang dipegangnya ikut memberi kekuatan pada daya gelegar
teriakannya. Pangeran Matahari alias Hantu Pemerkosa memandang berkeliling.
Rahang menggembung mata menyala. Liris Merah yang tidak tahu pasal ceritanya,
bertanya. "Ada apa Pangeran" Kau kelihatan marah besar." Kehadiran Liris Merah bersama
Pangeran Matahari di puncak Gunung Merapi itu memang perlu dijelaskan. Setelah
dirinya berulang kali digaulli oleh manusia bejat itu, entah mengapa Liris Merah
menyukai sang Pangeran yang buruk rupa serta kasar dan jahat. Rasa suka itu hari
demi hari berdua-dua selama perjalanan berubah menjadi rasa sayang. Lebih-lebih
Pangeran Matahari selalu memanjakan dirinya, mencarikan telaga atau mata air
untuk melenyapkan serangan hawa panas pada tubuhnya. Selain itu Pangeran
Matahari juga menjanji-kan akan mencari Kitab Seribu Pengobatan untuk
menyembuhkan penyakitnya.
"Aku yakin. Kitab itu pasti ada di tangan Wiro Sableng."
Begitu Pangeran Matahari berkata pada Liris Merah. Sebagai gadis suci yang lugu
soal hubungan lelaki dan perempuan, Liris Merah mendapat kenikmatan yang selama
ini belum pernah dirasakannya.
Dia tidak tahu apakah Pangeran Matahari benar-benar telah menye-badaninya. Dia
juga tidak tahu apakah saat itu dia masih seorang perawan atau tidak. Karena
seperti diketahui Pangeran Matahari telah kehilangan kejantanannya.
Setiap peluk cium serta rabaan sang Pangeran membuat Liris Merah bertambah suka
pada lelaki terkutuk itu bahkan bisa dikatakan tergila-gila. Sebaliknya Pangeran
Matahari menyadari bahwa sampai saat itu kejantanannya masih belum pulih. Hal
ini terbukti setiap saat dia hendak melampiaskan nafsu terkutuknya,
kejantanannya tidak berdaya. Itu sebabnya dia berusaha keras mendapatkan Kitab
Seribu Pengobatan. Menurut ahli pengobatan Ki Tambakpati yang pernah menolongnya
sampai dua kali, didalam kitab itu ada petunjuk untuk penyembuhan
penyakitnya.Pangeran Matahari letakkan Lentera lblis yang dibungkus kain hitam
di tanah. Lalu sambil terus menatap kearah reruntuhan goa dia berkata.
"Sebelumnya, di tempat ini ada sebuah goa besar milik mendiang guruku. Aku
pernah tinggal di sini bertahun-tahun. Belum lama ini aku datang ke sini. Goa
masih ada. Tapi kini kau saksikan sendiri. Goa itu lenyap! Yang kelihatan hanya
puing-puing, tanah rata! Jahanam betul!" Liris Merah melangkah mendekat,
merangkul pinggang sang Pangeran lalu berkata.
"Kalau cuma soal goa, kenapa terlalu dirisaukan. Kita bisa membangun pondok.
Bagiku tidur beratap langit berselimut embun tidak jadi soal. Pertama asalkan
selalu di dekatmu.Kedua ada mata air tak jauh dari sini. Dan ketiga janjimu akan
mendapatkan Kitab Seribu Pengobatan." Pangeran Matahari peluk bahu Liris Merah.
Setelah menciumi wajah, leher dan dada gadis itu penuh nafsu dia berkata.
"Aku bukan akan mendirikan pondok di tempat ini. Tapi akan membangun istana!
Puncak Gunung Merapi akan menjadi markas besar Partai Bendera Darah yang sejak
lama ingin aku dirikan!" .
Pangeran memandang berkeliling.
"Orang-orang yang membawa nenek sinting itu baru akan sampai besok. Yang
mengherankan mengapa Pangeran Muda dari Keraton Kaliningrat tidak ada di tempat
ini" Apa dia merasa sudah jadi raja besar dan aku yang harus menunggu
kedatangannya?"
"Pangeran Matahari! Jangan salah menduga. Aku telah satu hari satu malam
menunggumu di sini!" Satu seruan keras lantang menyahuti kata-kata Pangeran
Matahari tadi. Sekejap kemudian berkelebat muncul sosok Pangeran Muda yang
selalu berpakaian bagus mewah. Ternyata dia tidak datang seorang diri. Dua belas
orang ikut muncul bersamanya. Pangeran Matahari angkat kepala, menatap tajam.
Dia tak merasa perlu memperhatikan sepuluh lelaki besar tegap berpakaian seragam
hitam. Yang jadi pusat pandangan-nya adalah dua orang yang tegak di kiri kanan
tokoh Keraton Kaliningratitu.
Yang pertama dan berdiri di sebelah kiri sang Pangeran adalah seorang kakek
berwajah biru angker aneh berambut panjang kelabu yang dijalin lalu dililit
seputar kening. Di atas matanya yang sipit nyaris merupakan garis tidak terdapat
alis. Hidung hanya berbentuk benjolan sebesar ujung ibu jari sementara mulut
menyerupai mulut ikan, setiap saat selalu bergerak membuka dan menutup.
Pakaiannya jubah hijau digelayuti puluhan ekor ular berwarna coklat kehitaman.
"lblis Ular Terbang Goa Kladen!" ucap Pangeran Matahari dalam hati. Walau
terkejut namun dia tidak merasa gentar.
"Bertahun-tahun tidak kedengaran juntrungannya. Sekarang muncul bersama Pangeran
gila kuasa yang banyak kehilangan pendukung ini." Pangeran Matahari melirik ke
sebelah kanan Pangeran Muda. Disini berdiri seorang .nenek berwajah sangat
buruk. Rambutnya putih riap-riapan. Kepala selalu mendongak dan sepasang mata
yang juling menatap ke langit seolah-olah memperhatikansesuatu. Mulutnya yang
keriput selalu menghembus-hembus, menebar hawa panas berbau aneh. Si nenek
mengenakan pakaian menyerupai kemben hingga jelas kelihatan kalau dia sama
sekali tidak mempunyai tangan!
"lblis Betina Mulut Beracun!" ucap Pangeran Matahari dalam hati menyebut nama si
nenek begitu dia mengenali.
"Jika iblis lelaki dan iblis perempuan ini bergabung bersama Pangeran Muda, aku
mencium gelagat tidak baik." Pangeran Matahari melirik kearah Lentera lblis yang
terbungkus kain hitam yang diletakkannya di tanah. Di balik kain hitam
pembungkus Lentera lblis keluarkan cahaya redup. Dalam hati sang Pangeran
membatin. "Lentera lblis mengeluarkan cahaya di siang hari. Pertanda bahaya. Aku harus
berhati-hati. Pangeran Muda, jika kau berlaku culas ketahuilah kau tak akan bisa
menipu Pangeran Matahari!"
"Pangeran Muda, sesuai janji, kau datang ke sini membawa Bendera Darah yang
menurutmu kau temukan secara tak sengaja di Goa Selarong."
"Sobatku Pangeran Matahari, soal Bendera Darah itu jangan kawatir," jawab
Pangeran Muda yang aslinya bernama Sawung Guntur. Dia melirik ke arah Liris
Merah. "Ah, kalau tidak salah mataku melihat, bukankah gadis cantik berpakaian serba
merah ini adalah salah seorang murid Hantu Malam Bergigi Perak,yang baru-baru
ini dikabarkan menemui ajal di tangan Sinto Gendeng?"
"Ucapanmu tidak salah! Tapi saat ini aku membicarakan Bendera Darah, bukan
perihal gadis ini!" Damprat Pangeran Matahari. Pangeran Muda batuk-batuk. Dia
tepukkan dua tangannya. Saat itu juga dari atas sebuah pohon besar melayang
turun satu sosok berpakaian hijau sangat tipis sambil memegang sebatang besi
berujung lancip dimana tergulung sehelai kain berlumuran darah setengah kering.
Luar biasa! Semua mata mendelik!
Sosok berpakaian hijau yang turun dari pohon ternyata adalah seorang gadis
cantik mengenakan pakaian hijau sangat tipis. Begitu tipisnya hingga jelas
terlihat auratnya kencang, mulus dan bagus yang tidak mengenakan apa-apa lagi di
balik pakaian hijau itu.
Dengan kedua tangannya gadis cantik ini memegang gagang besi sebuah bendera yang
tergulung, berwarna merah kehitaman, menebar bau busuk. Busuknya darah yang
setengah mengering.
ltulah Bendera Darah. Bendera kebesaran Partai Bendera Darah yang sejak lama
ingin didirikan Pangeran Matahari dalam rangka tujuannya menguasai rimba
persilatan tanah Jawa.
"Pangeran Matahari, aku perkenalkan. Gadis itu bernama Lawangningrum. Dia akan
menyerahkan Bendera Darah padamu.
Tapi tidak di sini. Tak jauh dari sini, orang-orangku telah mem-angun sebuah
pondok kayu. Lawangningrum akan menyerah-an Bendera Darah di pondok itu.
Selanjutnya gadis itu jadi milikmu." Pangeran Matahari perhatikan gadis cantik
yang nyaris bugil di hadapannya.
Darahnya terasa panas, pelipis bergerak-gerak dan cuping hidung yang bengkok
kembang kempis. Nafsunya menggelegak. Dia memang suka pada si gadis. Namun
tindak tanduk dan bicara Pangeran Muda tadi membuat Pangeran. Matahari merasa
dilecehkan di hadapan orang banyak. Sang Pangeran terlalu sombong untuk menerima
hadiah istimewa secara begitu rupa.
Pangeran Matahari berpaling pada Pangeran Muda lalu berkata.
"Pangeran Muda, aku ingin Lawangningrum menyerahkan '
Bendera Darah saat ini juga padaku, di tempat ini!" Pangeran Muda Sawung Guntur
melirik pada lblis Betina Mulut Beracun dan lblis Ular Terbang Goa Kladen. Dua
lblis ini sama anggukkan kepala.
Pangeran Muda berpaling kembali pada Pangeran Matahari dan berkata dengan suara
lantang. "Pangeran Matahari kau adalah pimpinan dan penguasa di puncak Merapi. Jika
Pangeran Matahari menghendaki bendera diserahkan di tempat ini siapa yang berani
menampik" Lawangningrum serahkan Bendera Darah pada Pangeran Matahari!"
Pangeran Matahari tidak bodoh. Dia telah melihat gerak gerik tiga orang di
hadapannya. Semakin jelas tercium hal yang tidak beres.
Gadis bernama Lawangnillgrum anggukkan kepala lalu perlahan-lahan langkahkan
kaki ke arah Pangeran Matahari.
Sementara berjalan dia goyangkan bahunya yang bidang serta dada kencang dan
pinggul besar. Pakaian hijau tipis yang melekat di tubuhnya sedikit demi sedikit
merosot jatuh ke tanah. Ketika dia sampai di hadapan Pangeran Matahari untuk
menyerahkan Bendera Darah, keadaan dirinya tidak lagi tertutup sehelai benang
pun. Polos telanjang!
Darah Pangeran Matahari berdegup kencang dan panas Mata nya terbeliak besar.
Dada berguncang keras. Ketika Lawangningrum sedikit membungkuk memberi
penghormatan sambil.ulurkan Ben dera Darah, nafsu Pangeran Matahari menggelegak.
Gerakan mem bungkuk gadis bugil di hadapannya itu membuat sepasang payuda-ranya
yang kencang membuyut besar dan bergoyang kenyal.
Namun kecerdikan otaknya membuat Pangeran Matahari tidak berlaku lengah. Dia
sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Wiro Sableng 147 Api Di Puncak Merapi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itulah Lawangingrum sentakkan dua tangannya yang memegang besi gagang
bendera. Bendera Darah yang sejak tadi tergulung pada gagang besi, membuka
sebat, menebar hawa luar biasa amis busuk. Namun yang keluar dari bendera itu
bukan cuma ha-wa amis busuk. Bersamaan dengan terbukanya gulungan bendera
berbentuk segi tiga itu melesat dua puluh senjata rahasia berupa paku panas
merah menyala, menyerang Pangeran Matahari!
Di saat yang sama lblis Betina Mulut Seracun dan lblis Ular Terbang Goa Kladen
keluarkan pekikan lantang. Sepuluh orang berpakaian seragam hitam ikut menjerit
lalu menebar mengurung membentuk lingkaran. Bersamaan dengan itu tubuh
Lawangningrum tampak mengepul. Ujudnya saat itu berubah menjadi sosok seorang
nenek bertubuh gemuk bungkuk. Ketika mulutnya yang peot menyeringai kelihatan
taring-taring mencuat panjang dan tajam serta basah oleh darah di dua sudut
Pendekar Sakti Suling Pualam 7 Joko Sableng 26 Titisan Pamungkas Pemberontakan Taipeng 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama