Ceritasilat Novel Online

Senandung Kematian 1

Wiro Sableng 125 Senandung Kematian Bagian 1


WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Aku tahu keris pusaka itu ada padamu!" kata Wiro.
"Otakmu culas! Mulutmu busuk! Kalau kau menuduh aku memiliki keris itu, silahkan
ambil sendiri!" kata Damar Wulung.
Tiba-tiba Sutri Kaliangan melompat ke hadapan Damar Wulung. "Atas nama Kerajaan
aku harap kau menyerahkan Keris Naga Kopek padaku!"
Damar Wulung tertawa bergelak "Ini satu lagi gadis sesat kena tipu daya Pendekar
Sableng! Aku menghormati dirimu sebagai Puteri Patih Kerajaan. Jika kau mau
berlaku adil, mengapa tidak menangkap Wiro yang jelas-jelas adalah buronan
Kerajaan"!"
"Aku tidak mau tahu hal dia buronan atau bukan. Serahkan Keris Naga Kopek
padaku!" bentak Sutri.
"Ha....ha! Rupanya kau termasuk di barisan para gadis cantik yang jatuh cinta pada
Pendekar Geblek itu!"
"Sreett!"
Sutri Kaliangan keluarkan pedangnya dari dalam sarung.
BASTIAN TITO 1 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Senandung Kematian
SATU Puncak Gunung Gede tampak berdiri gagah dan indah, hijau kebiruan di bawah
siraman sinar sang surya. Walau sinar itu cukup terik tapi di atas gunung udara
terasa sejuk. Dari puncak gunung kemanapun mata diarahkan, terbentang
pemandangan yang indah. Namun semua keindahan itu tidak terlihat, bahkan tidak
terasa oleh tiga orang gadis cantik yang saat itu di arah timur puncak gunung.
Di satu pedataran, tak jauh dari sebuah pondok kayu, tiga orang gadis duduk
bersimpuh mengelilingi sebuah kubur. Hanya beberapa tombak di sebelah kiri
terlihat pula sebuah makam yang masih merah tanahnya, ditancapi papan nisan
bertuliskan "DI SINI BERISTIRAHAT UNTUK SELAMANYA PENDEKAR 212 WIRO
SABLENG." Tiga gadis seperti tenggelam dalam kesedihan tapi juga dendam amarah.
Sebelumnya rombongan mereka berjumlah empat orang. Mereka dalam perjalanan ke
Gunung Gede untuk menyelidik makam ketiga dalam usaha mencari Pendekar 212
Wiro Sableng yang mereka cintai. Di satu tempat hujan lebat turun menghalangi.
Rombongan terpaksa berhenti. Menjelang dini hari sewaktu hujan reda dan mereka
siap melanjutkan perjalanan mendaki gunung, mendadak diketahui bahwa salah satu
dari mereka yakni gadis jelita dari Andalas, cucu Tuga Gila yang dikenal dengan
nama Puti Andini, bergelar Dewi Payung Tujuh lenyap tak diketahui ke mana
perginya. Tiga gadis yakni Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Anggini mencari habishabisan, bahkan kemudian menunggu sambil mengharap Puti Andini akan muncul. Tapi
sampai sang mentari menyembulkan diri gadis itu tak kunjung datang.
Tak mungkin menunggu dalam ketidak pastian, tak ada waktu menanti lebih lama,
akhirnya tiga gadis melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede tanpa Puti
Andini. Di arah timur puncak gunung, Bidadari Angin Timur dan kawan-kawannya menemukan
pondok kediaman Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 212 Wiro Sableng. Pondok
kosong. Dari keadaan luar dan bagian dalam jelas pondok itu tak pernah dihuni
sejak lama. Tiga gadis melanjutkan penyelidikan. Di satu pedataran tak jauh dari
pondok kayu mereka menemukan sebuah makam bertanah merah. Inilah makam ketiga
yang tengah mereka cari dan selidiki. Namun mereka bukan cuma menemukan makam
jahanam itu, tetapi juga satu pemdangan yang sangat keji menusuk mata. Tiga
gadis sempat menjerit keras, jatuh berlutut, bertangisan. Kalau saja mereka
bukan gadis-gadis gagah yang memiliki kepandaian tinggi, dalam keadaan seperti
itu pasti telah roboh pingsan!
Di belakang kepala makam yang ada papan nisannya, menancap sebuah tiang besar.
Di tiang inilah sosok kawan mereka Puti Andini, berada dalam keadaan terikat.
Pakaiannya penuh robek, bagian tubuhnya yang tersingkap penuh luka. Darah di
mana-mana, mulai dari kepala sampai kaki. Puti Andini mereka temukan dalam
keadaan tak bernyawa lagi. Jenazah gadis malang itu segera diturunkan dari
tiang, diurus sebisanya lalu dikuburkan di salah satu bagian halaman.
Kesunyian mencekam. Sesekali terdengar suara siuran angin dan daun-daun atau
reranting yang bergesek.
BASTIAN TITO 2 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Untuk beberapa lamanya tiga orang gadis itu duduk bersimpuh di depan tanah merah
makam Puti Andini. Tak ada yang bicara sampai akhirnya Anggini membuka mulut.
Suaranya bergetar.
"Sahabatku Puti Andini. Aku bersumpah untuk mencari siapa yang telah berlaku
keji terhadapmu. Aku bersumpah membalaskan sakit hati kematianmu."
Ratu Duyung ulurkan tangan kanannya. Memegang tanah makam lalu berkata
"Aku Ratu Duyung, ikut bersumpah untuk membalaskan dendnam kematian sahabat Puti
Andini." "Membalaskan sakit hati dendam kesumat sahabat kita memang merupakan satu
kewajiban. Namun kita tidak boleh larut terlalu lama." Berkata Bidadari Angin
Timur. Matanya kelihatan bengkak dan merah. Rambutnya yang pirang acak-acakan.
Pakaian kotor penuh tanah. Dua temannya tidak lebih baik dari keadaannya. "Kita
harus melakukan sesuatu!"
Bidadari Angin Timur berdiri, berpaling ke arah makam yang ada papan nisannya
lalu berkata "Saatnya kita menyelidik. Saatnya kita membongkar makam itu.
Siapkan peralatan! Apa saja! Kayu, potongan bambu, pecahan batu!"
Ratu Duyung dan Anggini segera pula berdiri.
"Tidakkah kita lebih baik menunggu, siapa tahu Eyang Sinto Gendeng pemilik
kawasan ini muncul" Hingga kelak nanti kita tidak dituduh berlaku gegabah
melakukan sesuatu tanpa ijin di tempatnya?" yang berkata adalah Ratu Duyung
sambil berpaling pada Anggini seolah minta pertimbangan atas ucapannya tadi.
"Maksudmu baik, tapi jangan lupa. Waktu kita tidak banyak," menyahuti Bidadari
Angin Timur. "Selain itu salah seorang dari kita telah jadi korban. Dan kita
telah menguburkannya di tempat ini tanpa ada kemungkinan untuk meminta ijin pada
pemilik kawasan ini. Kemudian, bukan mustahil, malah aku yakin saat ini diri
kita juga tengah diintai bahaya! Kalau lambat bertindak kita semua bisa celaka!
Selain itu kita harus segera mengetahui apa sebenarnya yang telah terjadi dengan
Pendekar 212. Walau nenek muka seram bernama Gondoruwo Patah Hati itu bilang telah bertemu
dengan Wiro yang menyatakan bahwa pendekar itu masih hidup, tapi itu tidak boleh
menghambat kita untuk menghentikan penyelidikan." Habis berkata begitu Bidadari
Angin Timur melangkah mendekati makam berpapan nisan, yakni makam ketiga dari
serangkaian kejadian aneh yang dialami para gadis cantik itu sejak beberapa
waktu belakangan ini.
"Kawan-kawan, apakah kalian ada menaruh duga siapa kiranya manusia durjana yang
telah membunuh Puti Andini?" Anggini, murid Dewa Tuak yang oleh sang guru pernah
ingin dijodohkan dengan Wiro keluarkan ucapan.
"Sebelum dibunuh, Puti Andini telah diperlakukan secara mesum....."kata Anggini
dengan suara perlahan. "Aku ingin sekali mengetahui siapa manusia laknat
terkutuk itu!"
Bidadari Angin Timur mendongak, pejamkan mata. Dia ingat keterangan Puti Andini
apa yang telah diucapkan dan dilakukan Damar Wulung atas dirinya sewaktu mereka
berada di kuil. Gadis ini usap rambutnya yang pirang, membuka matanya kembali
lalu berkata. "Dugaan bisa banyak. Tapi aku menaruh wasangka, pemuda bernama Damar Wulung
itulah yang telah melakukan kekejian ini. mungkin sekali dia masih penasaran
karena tidak berhasil mencelakai Ratu Duyung. Malam tadi agaknya dia tidak
memilih-milih. Siapa saja yang didapat itu yang dicelakainya. Dan Puti Andini
bernasib malang. Dia yang jadi korban!" Bidadari Angin Timur menghela nafas
panjang. "Sudah, kita tak perlu banyak bicara. Saatnya membongkar makam!"
"Tunggu! Ada satu hal ingin kukatakan!" Ratu Duyung tiba-tiba berkata.
BASTIAN TITO 3 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Apa?" Bidadari Angin Timur dan Anggini bertanya hampir berbarengan.
"Sewaktu jenazah Puti Andini kita urus dan kita kebumikan, aku sempat memeriksa.
Bukankah sahabat kita ini membekal sebilah pedang mustika sakti?"
"Benar!" Bidadari Angin Timur membenarkan ucapan Ratu Duyung.
"Tapi senjata itu tidak ada padanya....." berucap Ratu Duyung.
Bidadari Angin Timur terdiam, tidak menunjukkan rasa terkejut. Ini membuat heran
dua gadis lainnya. Namun keganjilan itu segera tersingkap sewaktu dara berambut
pirang itu berkata "Terus terang, aku sendiri sebenarnya juga memeriksa jenazah
Puti Andini. Kau benar Ratu Duyung. Pedang Naga Suci 212 tidak ada pada Puti
Andini." "Berarti ada yang mencuri!" ujar Anggini.
"Aku yakin sekali si pencuri adalah juga si pembunuh Puti Andini. Benar-benar
biadab! Sangat kurang ajar!"
Bidadari Angin Timur kepalkan tinjunya. Diam sesaat dalam geram tiba-tiba
Bidadari Angin Timur berkata "Aku ingat sesuatu. Pedang sakti itu, bukankah
senjata itu mempunyai satu keanehan" Tidak sembarangan orang bisa menyentuhnya.
Konon hanya seorang gadis yang masih suci yang bisa memegang senjata itu. Lalu
si pemegang juga harus tidak memiliki niat jahat. Ingat peristiwa beberapa waktu
lalu" Eyang Sinto Gendeng pernah hendak menguasai Pedang Naga Suci 212. Tapi telapak
tangannya yang memegang pedang hangus melepuh!"
"Kalau begitu yang mencuri senjata tersebut adalah seorang gadis!" kata Anggini.
Pandangan matanya ditujukan berganti-ganti pada Bidadari Angin Timur dan Ratu
Duyung. Melihat cara memandang Anggini, Bidadari Angin Timur merasa tidak enak lalu
berkata "Sahabatku Anggini, jangan menduga yang bukan-bukan. Aku tidak mencuri
pedang sakti itu!"
"Aku juga tidak!" berkata Ratu Duyung.
"Demikian pula aku!" ujar Anggini. Sambil tersenyum dia bertanya "Lalu siapa
yang mengambilnya?"
Tak ada yang menjawab.
Anggini membuka mulut kembali. "Mungkin aku keliru. Tapi salah satu di antara
kita telah mengambil pedang itu. Bukankah senjata sakti itu berbentuk gulungan
seperti gulungan ikat pinggang. Jadi mudah saja menyembunyikannya."
Wajah Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung menjadi merah. Dengan menahan amarah
Bidadari Angin Timur berkata "Anggini, ucapanmu sungguh lancang! Dalam keadaan
seperti ini jangan sampai terjadi perpecahan di antara kita.
Kau seolah menuduh salah satu dari kami berdua yang mencuri sementara kau
sendiri suci dari perbuatan mencuri!"
Anggini tersenyum. Dipegangnya tangan Bidadari Angin Timur seraya berkata
"Maafkan ucapanku. Tidak ada maksud di hatiku menuduh kalian....."
"Aku tetap yakin sipencuri adalah orang yang membunuh Puti Andini," kata
Bidadari Angin Timur. "Besar kemungkinan dia seorang perempuan yang masih suci.
Tapi saat ini untuk sementara kita lupakan dulu pedang mustika itu. Kita harus
segera membongkar makam ketiga ini."
Tanpa banyak bicara lagi di bawah pimpinan Bidadari Angin Timur, dengan
peralatan seadanya, antara lain nisan papan bahkan tak jarang mempergunakan
tangan mereka yang halus, tiga gadis itu segera membongkar makam ketiga. Ini
bukan pekerjaan gampang, tapi dibanding dengan menggali kubur untuk Puti Andini
tadi, membongkar makam terasa lebih gampang dan lebih cepat. Apa lagi mereka
mempergunakan tenaga biasa maka dalam waktu singkat makam telah terbongkar
BASTIAN TITO 4 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sampai sepertiga kedalamannya. Semakin dalam digali, semakin mencekam perasaan
ketiga gadis itu. Apa yang bakal mereka temukan di dalam makam ketiga ini" Apa
lagi-lagi hanya secarik surat yang memberitahu bahwa mereka ditunggu di makam
keempat" Mendadak Anggini hentikan gerakan tangannya menggali makam. Tubuhnya ditarik ke
belakang. Matanya membesar.
"Ada apa?" bisik Ratu Duyung tegang.
"Aku merasa tanah makam bergerak. Ada sesuatu yang hidup di dalam kubur ini!"
jawab Anggini dengan berbisik pula.
"Kalau begitu hati-hati. Siapkan tenaga dalam," mengingatkan Ratu Duyung.
"Ratu, coba kau kerahkan Ilmu Menembus Pandang. Kau pasti bisa melihat benda apa
yang mendekam di dalam makam ini," bisik Bidadari Angin Timur.
Mendengar ucapan itu Ratu Duyung segera alirkan tenaga dalamnya ke mata.
Mata dikedipkan dua kali. Samar-samar Ratu Duyung melihat sesuatu. Dia lipat
gandakan aliran tenaga dalam ke mata. Begitu penglihatannya lebih jelas gadis
ini jadi tercekat. Dia tidak bisa percaya. Maka dia kerahkan ilmu kesaktian yang
disebut Menyirap Detak Jantung. Dengan ilmu ini Ratu Duyung sanggup merasakan detak
jantung seseorang di kejauhan. "Kalau mahluk di dalam makam itu memang mahluk
hidup, pasti aku akan merasakan detak jantungnya. Kecuali dia setan jejadian....."
Ratu Duyung tahan nafas, pasang telinga. Sesaat kemudian dia merasakan ada
debaran di dadanya. Lalu telinganya menangkap suara detakan jantung. Datangnya
dari dalam makam! Serta merta Ratu Duyung berteriak.
"Cepat keluar dari kubur! Ada mahluk hidup di dalam sana!"
Sambil berteriak Ratu Duyung melesat ke atas. Berbarengan dengan itu dia cepat
menarik tangan kiri Anggini dan mendorong Bidadari Angin Timur ke kanan.
BASTIAN TITO 5 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
DUA Perempuan tua yang duduk di depan lampu minyak itu memandang dengan muka masam
pada pemuda di hadapannya. Mulut komat-kamit. Dari dalam mulut itu
dikeluarkannya segumpal susur. Mulutnya dipencongkan sesaat sebelum dia
bertanya. Melihat susur itu si pemuda jadi ingat akan gurunya. Sang guru paling doyan
mempermainkan susur sirih dan tembakau di dalam mulutnya. Kini entah di mana
gurunya itu berada. Mungkin sudah saatnya dia menyambangi di tempat kediamannya.
"Anak muda," berucap perempuan tua di hadapan si pemuda. "Aku belum pernah
melihat tampangmu sebelumnya. Kau bukan penduduk sini. Kau menyusahkan orang
saja. Ada keperluan apa malam-malam begini mengganggu diriku" Apakah kau tidak
bisa menunggu sampai besok pagi?"
Pemuda di hadapannya menggaruk rambut lalu tersenyum. "Maafkan aku Nek.
Aku datang dari jauh. Waktuku sempit. Mohon jangan marah dulu....."
Karena orang bersikap sopan dan bicara halus, perempuan tua itu kendur rasa
jengkelnya. Susurnya hendak dimasukkan ke dalam mulut kembali tapi tak jadi.
"Ah, aku tadi bicara agak kasar. Jangan-jangan kau datang minta tolong karena
istrimu hendak melahirkan. Betul begitu"!"
Si pemuda tersentak lalu tertawa bergelak.
"Huss! Malam-malam bagini tertawa seenaknya! Kau mau mengundang setan lewat
kesasar masuk ke rumahku"!"
"Nek, namaku Wiro. Aku belum punya istri! Tak ada perempuan yang hamil atau
bunting! Aku datang untuk keperluan lain. Aku tahu kau memang dukun beranak.
Tapi kata orang kau yang bernama Nyi Supi juga pengurus jenazah di kawasan sini.
Jenazah orang-orang perempuan."
"Hemmm..... Mataku masih ngantuk. Aku mau meneruskan tidur. Bilang cepat apa
keperluanmu. Apa kau datang membawa jenazah untuk aku urusi?"
"Nek, Nyi Supi, kau masih ingat peristiwa kematian Kinasih, istri Raden Mas Sura
Kalimarta juru ukir Keraton" Aku mendapat keterangan kau yang mengurus dan
memandikan jenazah perempuan itu."
Muka keriput si nenek berubah mendengar disebutkan dua nama itu. "Aku tak mau
mengingat-ingat kedua orang yang sudah mati itu. Apalagi Kinasih. Mengerikan
sekali! Seumur hidup aku belum pernah mengurus dan memandikan jenazah seperti
jenazah perempuan malang itu." Nyi Supi diam sesaat lalu bertanya "Eh, apakah
kau punya hubungan saudara dengan kedua orang itu?"
Wiro menggeleng. "Lalu kenapa tanya-tanya?" Nyi Supi kelihatan heran.


Wiro Sableng 125 Senandung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nyi Supi, coba kau ingat. Apa betul di kening jenazah Kinasih ada guratan angka
212?" "Aku tidak mau mengingat-ingat lagi. Seram sekali! Sejak peristiwa itu aku
sering kedatangan mimpi buruk....."
"Tolong nek, aku butuh keteranganmu. Benar ada guratan 212 di kening istri juru
ukir Keraton itu?"
Nyi Supi akhirnya anggukkan kepala. "Kematian yang aneh. Tega-teganya ada orang
membuat guratan seperti itu. Entah apa maksud dan artinya. Tapi bagiku itu tidak
terlalu seram. Dibanding....."
"Dibanding apa?" tanya Wiro ketika si nenek hentikan ucapannya.
"Terlalu ngeri......."
BASTIAN TITO 6 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Tak usah takut Nek. Ceritakan saja," ujar Wiro.
"Sekujur tubuh Kinasih. Penuh luka-luka terkuak. Bukan bekas sayatan atau
tusukan senjata tajam. Tapi luka-luka bekas gigitan. Terutama di bagian dada.
Salah satu putting susunya hampir tanggal. Darah di mana-mana. Waktu memandikan
aku benar-benar tidak tega....."
"Gigitan itu, menurutmu apakah gigitan manusia atau binatang buas?" tanya Wiro
pula. "Ya pasti gigitan manusia! Gigitan orang yang merusak kehormatannya.
Masakan binatang bisa menggigit dan menggurat angka! Kau ini bagaimana"
Tanyanya seperti orang tolol saja!"
Wiro tertawa. "Terima kasih Nek, aku berterima kasih kau mau memberi keterangan. Kini aku baru
percaya kalau di kening mayat Kinasih memang ada guratan tiga angka.
Tadinya aku mengira cuma cerita yang dibuat-buat belaka. Terima kasih Nek. Aku
tidak akan mengganggumu lebih lama. Aku minta diri...."
"Hemmmm....." Nyi Supi bergumam. "Sudah pergi sana. Aku mau meneruskan tidur....."
Wiro tersenyum. Dia usap-usap pipi peot si nenek seraya berkata. "Teruskan
tidurmu Nek. Semoga kali ini mimpimu bagus-bagus." Wiro melangkah pergi.
Entah usapan tadi entah karena hal lain, yang jelas si nenek tiba-tiba ingat
sesuatu. "Wiro, tunggu," Nyi Supi memanggil.
Murid Sinto Gendeng hentikan langkah, memutar tubuh.
"Ya, Nek. Ada apa?"
Nyi Supi lambaikan tangan, memberi isyarat aga Wiro lebih mendekat. Begitu Wiro
sampai di hadapannya perempuan tua ini berkata "Ada satu hal perlu kuceritakan.
Mungkin ada artinya bagimu. Ketika jenazah Kinasih aku mandikan, tangan kanannya
dalam keadaan mengepal. Karena sudah kaku, susah untuk diluruskan, apa lagi
dibuka. Tapi karena di celah-celah jarinya yang mengepal kulihat ada benda
seperti secarik kain hitam, aku jadi berpikir. Jangan-jangan benda dalam
genggaman Kinasih itu ada sangkut pautnya dengan kematian dirinya. Dibantu
seorang teman aku berhasil membuka genggaman jari-jari tangan kanan Kinasih.
Benar, benda yang digenggamannya itu ternyata adalah secarik robekan kain hitam.
Nah itu saja yang aku ingin sampaikan padamu....."
Wiro terdiam. Berpikir-pikir.
"Nyi Supi, robekan kain hitam itu, apakah kau masih menyimpannya?"
"Ah, kejadiannya sudah cukup lama. Aku tak ingat lagi. Tapi mungkin masih ada.
Tolong bawakan lampu minyak itu ke dalam....."
Di ruang dalam, di bawah penerangan lampu minyak yang dibawa oleh Wiro, Nyi Supi
memeriksa di beberapa tempat. Dia tidak menemukan benda yang dicarinya.
"Mungkin kau menyimpan di kamar tidurmu," kata Wiro.
"Tidak, benda seperti itu tidak akan pernah kusimpan di kamar tidurku!" Si nenek
pejamkan mata seolah berpikir. "Di sumur!" tiba-tiba si nenek berseru.
"Robekan kain itu semula kusimpan di balik setagen. Ketika mau mandi di sumur
setagem kulepas. Kain hitam tercampak, kupungut lalu kusempilkan..... Anak muda,
ayo ikut aku ke sumur."
Benar apa yang dikatakan Nyi Supi, robekan kain itu memang disempilkan di atas
bambu melintang dinding kajang pelindung tempat mandi. Kain itu diserahkannya
pada Wiro. Ketika Wiro memperhatikan, kain itu ternyata tidak cuma berwarna
hitam. Tapi ada warna-warna lain yakni biru dan garis-garis merah.
BASTIAN TITO 7 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Nyi Supi, kukira robekan kain ini tidak ada gunanya bagimu. Atau kau masih mau
menyimpannya?"
"Buat apa?" uajr si nenek. Wiro masukkan robekan kain itu ke balik pakaiannya.
"Sekali lagi terima kasih Nek. Aku minta diri....." Nyi Supi menjawab dengan
menguap lebar. Hari masih pagi. Gedung Kepatihan nampak sunyi. Sejak Patih Selo Kaliangan sakit
berat beberapa waktu lalu suasana di Gedung Kepatihan sepi-sepi saja.
Beberapa orang tabib dan ahli pengobatan kabarnya telah berdatangan berusaha
mengobati sang patih. Namun sebegitu jauh keadaannya belum menunjukkan
kesembuhan. Racun yang mengidap di dalam tubuhnya baru sedikit bisa dikeluarkan.
Di atas pembaringan Patih Kerajaan itu tergolek lumpuh. Tubuhnya yang tadinya
besar tegap kelihatan kurus. Untungnya dia masih mampu membuka mulut untuk
berkata-kata walaupun dengan suara tidak terlalu keras.
Seperti diceritakan dalam Episode sebelumnya (Makam Ketiga) terjadi penyergapan
untuk kesekian kalinya oleh orang-orang Kerajaan terhadap Pendekar 212 Wiro
Sableng. Penyergapan itu dipimpin sendiri pleh Patih Selo Kaliangan, dibantu
oleh beberapa tokoh silat Istana berkepandaian tinggi, sementara Pendekar 212
didampingi oleh nenek sakti sahabat barunya berjuluk Gondoruwo Patah Hati.
Penyergapan bukan saja gagal tetapi Patih Selo Kaliangan malah ditimpa celaka
besar. Gondoruwo Patah Hati berhasil menangkap salah satu dari dua ular yang
jadi senjata tokoh silat berjuluk Setan Bertongkat Ular. Binatang berbisa ini
kemudian dimasukkan ke dalam celana Patih Kerajaan. Akibatnya patukan ular
berbisa yang bersarang satu jengkal di bawah pusarnya, sang Patih keracunan
berat. Sekujur tubuhnya diserang demam panas. Beberapa hari kemudian dia jatuh
lumpuh. Beberapa orang pandai telah berusaha menolong memberikan pengobatan. Namun sang
Patih masih jauh dari kepulihan. Konon, jika penyakitnya terlambat diobati,
walau kelumpuhannya bisa disembuhkan namun dia akan menderita penyakit lemah
syahwat seumur hidup. Sejak peristiwa itu Pendekar 212 Wiro Sableng dan
Gondoruwo Patah Hati dinyatakan sebagai buronan, harus ditangkap hidup atau
mati. Sementara Setan Bertongkat Ular karena takur melenyapkan diri entah ke mana.
Di dalam kamar saat itu Patih dan pelayan tengah menunggu beberapa pelayan lain
yang setiap pagi datang untuk membersihkan dan memandikan patih Selo Kaliangan.
Tapi lain yang ditunggu lain yang muncul. Dua orang pengawal yang biasa berjagajaga di depan pintu laksana dilabrak topan mencelat masuk ke dalam kamar,
bergelundungan di lantai, mencoba bangkit, tapi tak mampu dan hanya melingkar di
lantai sambil mengerang kesakitan. Yang satu pegangi perut, sedang temannya
menekap hidung dan mulutnya yang berdarah.
Belum habis kejut Patih Kerajaan dan pelayan di dalam kamar, tiba-tiba seorang
pemuda berpakaian serba putih, berambut gondrong berkelebat masuk dan tahu-tahu
sudah berdiri di samping ketiduran Patih Kerajaan.
Mata membelalak Patih Selo Kaliangan serta merta mengenali siapa adanya orang
yang tegak di sampng tempat tidurnya. Langsung mulutnya berteriak.
"Kau! Buronan jahanam! Berani mati masuk ke tempat ini! Pelayan! Panggil
pasukan! Tangkap orang ini! pengawal!"
Pelayan di sudut kamar yang sejak tadi sudah terlonjak kaget dan bangkit berdiri
tanpa tunggu lebih lama segera lari ke pintu. Namun baru tiga langkah BASTIAN
TITO 8 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
bergerak tubuhnya mendadak kaku. Satu totokan jarak jauh yang menusuk
punggungnya membuat dia tertegun tak bergerak dan tak bersuara di samping pintu.
Amarah besar membuat tubuh Patih Selo Kaliangan menggigil. Dia berusaha bangkit,
mencoba menggerakkan tangan untuk menghantam. Tapi sia-sia saja.
Kelumpuhan membuat dia tetap terhenyak di atas tempat tidur. Tak ada hal lain
yang bisa diperbuat Patih Kerajaan ini selain mulai berteriak minta pertolongan.
Namun suara teriakannya lenyap begitu sehelai sapu tangan kotor miliknya sendiri
disumpalkan pemuda berambut gondrong ke mulutnya.
Enak saja si gondrong ini duduk di tepi ranjang lalu berkata "Patih Selo
Kaliangan, aku Wiro Sableng datang menemuimu untuk membuat perjanjian. Aku akan
menawarkan penyembuhan atas dirimu jika kau mau memberi tahu di mana aku bisa
menemukan Iblis Kepala Batu Alis Empat alias Iblis Kepala Batu Pemasung Roh.
Dia telah menculik sahabatku, seorang gadis bernama Bunga dan memasukkannya ke
dalam sebuah guci. Jika kau mau menolong hingga aku bisa membebaskan sahabatku
itu, aku berjanji akan mengobati penyakitmu."
Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng melepaskan sapu tangan yang
disumpalkannya ke mulut Patih Kerajaan. "Kau sudah mendengar apa yang aku
ucapkan. Aku ingin mendengar jawabanmu!"
"Manusia jahanam! Aku lebih baik menerima kematian sekarang juga dari pada
membuat perjanjian denganmu! Umurmu tidak akan lama! Orang-orangku akan segera
menangkapmu. Tiang gantungan sudah lama menunggumu!"
Murid Sinto Gendeng menyeringai.
"Orang mati saja kalau bisa bicara kepingin hidup lagi. Kau yang masih hidup
malah buru-buru minta mati! Kau lupa bahwa penyakitmu akan membawa kesengsaraan
seumur hidup sebelum ajalmu benar-benar datang. Aku kawatir kau tak sanggup
menanggung kesengsaraan. Kau bisa jadi gila! Kasihan. Tapi kalau itu pilihanmu,
apa boleh buat!"
"Pembunuh terkutuk! Pencuri keris pusaka Kerajaan! Aku tidak takut mati!
Aku akan mati tanpa penyesalan asalkan lebih dulu menyaksikan mayatmu kaku di
tiang gantungan!"
"Patih, aku bukan pembunuh seperti yang kau tuduhkan! Aku juga bukan pencuri
Keris Kiai Naga Kopek!"
Saking marahnya mendengar ucapan Wiro, Patih Selo Kaliangan membuang ludah.
"Siapa percaya ucapan manusia bejat sepertimu! Kau tahu, bukan cuma dirimu yang
bakal menerima hukuman berat! Kerajaan telah memutuskan untuk meminta
pertanggung jawaban gurumu si Sinto Gendeng!"
Wiro terkejut mendengar ucapan Patih Selo Kaliangan itu. "Pada waktunya aku akan
memberikan bukti-bukti padamu siapa sebenarnya pembunuh Kinasih dan suaminya si
juru ukir. Juga siapa yang telah menjarah Keris Pusaka Keraton. Tapi satu hal
aku tidak suka! Guruku Eyang Sinto Gendeng tidak ada sangkut pautnya dengan
semua kejadian ini. Jika orang-orang Kerajaan sampai berani menyentuh selembar
rambutnya, pembalasanku tidak tanggung-tanggung. Gedung Kepatihan ini akan
kusama ratakan dengan tanah. Kalau perlu gedung bangunan Istana juga akan kubuat
amblas sampai ke perut bumi!"
"Manusia sombong terkutuk! Beraninya kau mengancam!" maki Patih Selo Kaliangan.
Lalu dia berteriak. "Pengawal!"
Wiro berdiri. Selagi berpikir apa yang hendak dilakukannya untuk memaksa Patih
Kerajaan tiba-tiba satu bayangan kuning berkelebat. Ada angin dahsyat menyambar
menebar hawa dingin. Tak mau berlaku ayal Wiro segera melompat hindarkan diri.
Ketika memandang ke depan kagetlah murid Sinto Gendeng. Yang BASTIAN TITO
9 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
barusan menyerangnya ternyata seorang dara berwajah cantik, berambut sangat
hitam di gulung di atas kepala. Di pinggangnya dara ini membekal sebilah pedang
yang sarungnya berukir, ditabur batu-batu aneka warna.
BASTIAN TITO 10 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
TIGA Setelah pandangi dara cantik itu sesaat Wiro berseru "Aha! Tidak disangka Patih
Kerajaan punya pengawal seorang gadis cantik! Dara jelita siapa namamu"!"
"Ayah! Siapa pemuda gondrong lancang kurang ajar ini"!" Gadis berpakaian kuning
bertanya. Ternyata dia adalah puteri Patih Selo Kaliangan.
"Sutri! Hati-hati! Pemuda itu adalah Wiro Sableng, buronan Kerajaan! Lekas
panggil pengawal! Siapkan pasukan! Kurung gedung Kepatihan! Jangan sampai lolos.
Dia harus ditangkap hidup atau mati!" Patih Selo Kaliangan berteriak.
Sepasang mata gadis jelita membelalak. Wajahnya berubah. Tangan kanannya
langsung bergerak ke pinggang menghunus pedang. Melihat hal itu, Selo Kaliangan
yang tahu kalau Wiro bukan tandingan puterinya kembali berteriak agar Sutri
segera meninggalkan tempat itu, memanggil para pengawal. Tetapi setelah sirap
kagetnya mengetahui siapa adanya pemuda di hadapannya itu, Sutri bukannya pergi
malah membentak.
"Jadi ini manusia kurang ajar yang mencelakai ayahku! Bagus! Kau datang sengaja
mencari mati! Biar tanganku sendiri menjatuhkan hukuman! Lihat pedang!"
Baru selesai berucap satu sinar putih sudah bertabur di depan hidung Pendekar
212. Itulah kilapan cahaya pedang baja putih di tangan puteri sang Patih.
Dari sambaran angin sewaktu pertama kali gadis ini memasuki ruangan Pendekar 212
maklum kalau puteri Patih Kerajaan itu memiliki ilmu meringankan tubuh cukup
tinggi serta tenaga dalam yang dapat diandalkan. Kini dalam jurus pertama
serangan pedangnya si gadis seolah hendak membelah kepalanya mulai dari ubunubun sampai ke dagu! Benar-benar serangan pertama yang mematikan!
Wiro cepat bergerak hindarkan serangan lawan.
"Wuuuutttt!"
Pedang baja putih melanda tempat kosong. Membuat Sutri terkejut besar.
Serangan pertama yang dilancarkannya tadi itu dia sengaja mengeluarkan jurus
ketiga dari ilmu pedangnya yang disebut "Membelah Rembulan Di Puncak Langit."
Jarang lawan bisa selamat dengan mudah. Tapi ternyata Wiro enak saja bisa
menghindar padahal untuk mendalami jurus ketiga itu dia telah menghabiskan waktu
lebih dari satu tahun!
Didahului jeritan melengking keras, Sutri kembali menggebrak. Pedangnya berubah
menjadi taburan cahaya putih dan tebaran hawa dingin. Tubuh Pendekar 212
tenggelam dalam buntalan cahaya putih. Pakaian dan rambutnya berkibar-kibar
terkena sambaran senjata lawan. Melihat kehebatan serangan lawan, apalagi si
gadis kelihatannya begitu nekad, murid Sinto Gendeng tak mau berlaku ayal. Tapi
melihat kecantikan sang dara muncul niat untuk mempermainkan.
Setelah lima jurus Wiro di desak habis-habisan bahkan ujung lengan kiri bajunya
sempat dimakan pedang lawan, Wiro mulai bergerak aneh. Tubuhnya melompat kian
kemari. Setiap lompatan selalu dilakukannya melintasi tempat tidur Patih
Kerajaan terbaring. Hal ini dianggap kurang ajar dan keterlaluan oleh Sutri apa
lagi oleh Patih Kerajaan. Ayah dan anak memaki habis-habisan.
Sutri mengamuk. Pedangnya menderu laksana air bah. Mengejar ke mana saja Wiro
berkelebat. Tapi dia harus bertindak hati-hati agar tiap tusukan atau bacokan
senjatanya tidak salah arah hingga bisa mencelakai ayahnya sendiri.
Gilanya, dalam melompat menghindarkan serangan pedang, tak jarang Wiro
mengangkat kaki atau tangan Patih Selo Kaliangan, dipergunakan untuk menangkis
BASTIAN TITO 11 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
serangan pedang. Sutri yang tidak mau ayahnya celaka tentu saja terpaksa menarik
atau menahan serangan, penuh geram berteriak memaki.
"Pengecut tengik!" teriak Surti marah. "Jangan pergunakan tubuh ayahku sebagai
tameng penangkis!"
Wiro tertawa bergelak. Lalu menyambar sebilah tombak pajangan di sudut kamar.
"Aku mengikuti apa maumu!" kata Wiro seraya menyeringai dan mengacungkan tombak.
Sutri kertakkan rahang. Tanpa banyak bicara dia melompat. Tangan kanan diputar
dan pedang baja putih kembali bertabur. Wiro pergunakan tombak untuk menangkis.
"Trang! Trang! Trang!"
Tiga kali terdengar suara berdentrangan.
Wiro keluarkan seruan tertahan. Tombak di tangannya kini tinggal kutungan
sepanjang dua jengkal. Ujung sebelah atas putus tiga kali dibabat pedang baja
putih di tangan Sutri!
"Hebat! Ilmu pedangmu sungguh luar biasa!" Pendekar 212 memuji. "Sayang aku
tidak punya banyak waktu melayanimu!"
"Buronan terkutuk! Kau mau lari ke mana!" bentak Sutri ketika melihat Wiro enak
saja melangkah ke arah pintu. Karenanya bagitu sang pendekar lewat di hadapannya


Wiro Sableng 125 Senandung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang di tanan kanannya langsung dibabatkan ke pinggang sang pendekar.
"Ah! Putus pinggangku!" seru Wiro seolah kaget ketakutan. Tapi sambil
menyeringai. Tubuhnya meliuk ke samping. Tangan kanan cepat mencekal pergelangan
si gadis, diputar demikian rupa hingga pedang terlepas dari cekalan Sutri.
Lalu settt! Pedang baja putih itu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya!
Patih Kerajaan seperti tidak percaya melihat apa yang terjadi. Untuk mempelajari
ilmu pedang itu puterinya digemlbleng oleh dua tokoh silat terkenal dan memakan
waktu lebih dari lima tahun. Kini sang puteri hanya dijadikan bulanan mainmainan oleh buronan terhukum mati itu!
Sutri sendiri hendak menggerung saking marah dan malunya. Di hadapannya Pendekar
212 enak saja menyeringai dan berucap.
"Gadis cantik sepertimu jangan terlalu nekad main pedang!" Konyolnya habis
berkata begitu Wiro lantas mencolek dagu si gadis.
Patih Kerajaan berteriak marah.
"Lancang kurang ajar!" teriak Sutri Kaliangan.
"Bukkk!" satu jotosan melanda perut Wiro.
Sakitnya lumayan. Tapi bukannya mengeluh kesakitan murid Sinto gendeng malah
ulurkan tangan kanan mengusap pipi Sutri Kaliangan.
"Kurang ajar!" "Bukkkk!"
Untuk kedua kalinya pukulan keras mendarat di perut Wiro. Pemuda ini menyeringai
dan kembali tangannya menjaili mengusap wajah si gadis.
Marah besar Sutri kembali hendak menjotos perut pemuda itu untuk ketiga kalinya.
Tapi kawatir pipinya bakal diusap lagi, pukulan ke arah perut dibatalkan,
diganti kini dengan jotosan keras ke arah wajah Pendekar 212. Jotosan kali ini
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam. Jangankan kepala Wiro, kepala seekor
kerbaupun bisa amblas!
Wiro tertawa bergelak. Sebelum pukulan si gadis mendarat di mukanya, dengan
cepat dia merunduk, mencolek pinggang Sutri. Selagi gadis ini terpekik marah
BASTIAN TITO 12 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dan kegelian lalu memaki panjang pendek, sambil senyum-senyum murid Sinto
Gendeng berkelebat ke pintu.
Tapi gerakan Pendekar 212 tertahan. Senyum lenyap dari mulutnya. Di ambang pintu
beberapa orang bertampang garang menutup jalan.
"Ah, mereka lagi!" ujar Wiro sambil menggaruk kepala. "Kalau mereka menyerbu dan
aku bertahan di kamar ini, tipis harapanku untuk lolos." Melirik ke samping
dilihatnya Sutri telah menghunus pedang bajanya kembali. Wiro garuk kepala
sekali lagi. Tiba-tiba dia melompat ke kepala tempat tidur Patih Selo Kaliangan.
"Jahanam kurang ajar! Apa yang kau lakukan"!" Patih Kerajaan berteriak.
Sutri memburu. Namun gadis ini dan juga semua orang yang ada di depan pintu
kamar terpaksa menyingkir ketika Wiro mengangkat bagian kepala tempat tidur di
mana Patih Kerajaan terbaring, lalu mendorong tempat tidur itu menerobos
kurungan orang-orang di pintu.
Di luar kamar Wiro lepaskan ujung kepala tempat tidur yang dipegangnya hingga
tempat tidur itu terbanting keras ke bawah. Selagi Sutri berusaha menahan tubuh
ayahnya agar tidak jatuh terbanting ke lantai, Wiro pergunakan kesempatan untuk
meninggalkan tempat itu. Namun lima orang berkelebat cepat dan mengurungnya
dengan rapat. Kelima orang ini merupakan musuh lama karena mereka bukan lain adalah dedengkot
tokoh silat Kerajaan yakni Hantu Muka Licin Bukit Tidar, Jalak Kumboro alias
Pendekar Keris Kembar, lalu Tumenggung Cokro Pambudi. Orang keempat adalah Si
Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara dan yang kelima Ki Sepuh Item. Wiro mengira
Iblis Kepala Batu Alis Empat juga berada di situ, ternyata momok yang telah
memasung Bunga itu tak kelihatan.
Ki Sepuh Item berdiri paling dekat. Kakek tinggi kerempeng berkulit hitam gosong
ini memandang penuh geram pada Pendekar 212. Dendamnya terhadap Wiro memang
bukan alang kepalang. Bukan saja karena nyawanya hampir dilalap oleh Wiro
sewaktu terjadi perkelahian hebat di puncak bukit the Karangmojo tempo hari,
tapi juga karena Wirolah yang telah menamatkan riwayat muridnya dengan ilmu
Membelah Bumi Menyedot Arwah. Dirinya sendiri kalau tidak ditolong oleh Adisaka
pasti akan mengalami kematian mengerikan dengan cara yang sama. (baca Episode
"Gondoruwo Patah Hati")
"Kalian berlima, tua bangka tidak tahu diri! Masih berani unjukkan diri jual
tampang! Rupanya kalian memang musti digebuk sampai benar-benar tahu rasa!"
Ki Sepuh Item unjukkan wajah garang lalu bersama Hantu Muka Licin dia keluarkan
suara tawa bergelak.
"Nyawa sudah di ujung tenggorokan! Masih saja bersikap sombong kurang ajar!"
memaki Hantu Muka Licin.
"Para tokoh!" tiba-tiba Patih Selo Kaliangan berteriak. "Tidak perlu bicara
bertutur cakap dengan pemuda buronan jahana itu! bunuh dia sekarang juga!"
Lima tokoh silat berkepandaian tinggi segera bergeak, menebar mengatur kedudukan
untuk menyerang. Sutri, puteri sang Patih tak tinggal diam. Dia melompat ke
samping Si Bisu, pedang baja putih melintang di depan dada.
"Bunuh!" teriak Patih Selo Kaliangan tidak sabaran.
BASTIAN TITO 13 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
EMPAT Tongkat tulang putih berlubang di tangan Ki Sepuh Item menderu ke depan,
mengeluarkan suara bising merobek gendang-gendang telinga serta semburan angin
dingin laksana tusukan jarum yang tidak kelihatan! Kalau tangan kanan
melancarkan serangan dengan tongkat tulang putih yang berbahaya, tak kalah
bahayanya si kakek muka gosong ini juga pergunakan tangan kirinya. Di tangan ini
dia memiliki ilmu yang disebut Kaca Hantu. Konon tangan ini diisi sejenis susuk.
Jika tenaga dalam dikerahkan maka telapak tangan akan mengeluarkan sinar
berkiblat. Bila lawan terkena serangan sinar, pandangannya akan menjadi gelap
buta kesilauan. Wiro sebelumnya sudah pernah menghadapi Ki Sepuh Item serta
merta angkat tangan kirinya untuk melindungi mata dari ulmu Kaca Hantu itu.
Serangan yang datang berbarengan dengan hantaman tongkat dan silaunya Kaca Hantu
adalah sambaran pedang baja putih di tangan Sutri Kaliangan. Gadis ini menyerbu
tak kepalang tanggung. Lancarkan dua tusukan dan satu kali bacokan dalam
gebrakan pertama.
Orang ketiga yang ikut menghujani Pendekar 212 dengan serangan adalah Keris
Kembar Jalak Kumboro. Waktu terjadi perkelahian besar di puncak bukit teh tempo
hari dia telah kehilangan satu dari dua kerisnya sementara salah satu tangannya
mengalami cidera berat. Saat itu dengan tangan masih dibalut dia menyerang Wiro
mempergunakan keris dan sebilah senjata berbentuk kelewang pendek yang
memancarkan sinar redup kehitaman pertanda senjata ini mengidap racun jahat.
Tumenggung Cokro Pambudi sebenarnya tidak punya silang sengketa apa-apa dengan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun tokoh istana ini ingin berbuat pahala
membalaskan sakit hati Patih dan menjalankan perintah. Di samping itu dia merasa
bertanggung jawab atas lolosnya pemuda yang mencuri keris pusaka Kiai Naga
Kopek. Jika dia bisa ikut membekuk Pendekar 212 paling tidak rasa kecewa Sri
Baginda terhadapnya bisa berkurang. Senjata yang dipergunakan sang Tumenggung
adalah sebilah golok panjang berbetuk segi empat.
Si Bisu Pencabu Nyawa Tanpa Suara, kakek aneh yang hidungnya dicanteli antinganting, berkepala botak warna kuning keluarkan suara haha-huhu. Setelah itu
dengan gerakan kilat tapi tanpa keluarkan suara sama sekali dia melompat
memasuki kalangan pertempuran. Kakek ini tidak membekal senjata. Yang jadi
andalannya adalah sepuluh kuku jari kakinya yang berwarna hitam panjang. Belasan
lawan berkepandaian tinggi telah menjadi korban keganasan sepuluh kuku jari
kakinya itu. karena dia mempergunakan kuku jari kaki sebagai senjata, maka gerakan silatnya
tampak aneh tapi sangat berbahaya. Dia lebih banyak bergerak setengah tinggi
badan, merunduk bahkan kadang-kadang berguling di tanah. Setiap serangan tidak
mengeluarkan suara atau siuran angin sedikitpun. Tahu-tahu korban sudah
bersimbah darah, tubuh atau muka robek besar disambar kuku jari kaki!
Orang keenam, yang paling dahsyat melancarkan serangan adalah Hantu Muka Licin
Bukit Tidar. Dendamnya terhadap Wiro tak akan habis-habis seumur hidup. Bukan
saja karena telah dipermalukan yaitu ditelanjangi di depan orang banyak tapi
juga karena penasaran tak sanggup menghabisi Wiro dengan Jarum Perontok Syaraf.
Seperti diceritakan sebelumnya Bunga, gadis cantik dari alam roh telah
menyelamatkan Pendekar 212 dari racun jarum maut itu. (baca Episode "Roh Dalam
Keraton") BASTIAN TITO 14 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dalam Episode "Gondoruwo Patah Hati" diceritakan bagaimana senjata paling
diandalkan oleh Hantu Muka Licin yakni rumbai-rumbai ikat pinggang kuning yang
sanggup melesatkan jarum beracun telah dimusnahkan oleh Pendekar Kipas Pelangi.
Sementara dia masih belum mendapat senjata pengganti yang bisa diandalkan maka
Hantu Muka Licin Bukit Tidar pergunakan kesaktian dua ujung lengan jubahnya yang
bisa mengeluarkan asap kelabu mengandung racun tak kalah jahatnya dengan racun
Jarum Perontok Syaraf. Sebelumnya ilmu serangan asap ini juga telah dibuat tak
berdaya oleh Pendekar Kipas Pelangi. Saat ini Pendekar 212 hanya seorang diri
hingga Hantu Muka Licin Bukit Tidar merasa yakin dia dan kawan-kawan kali ini
akan sanggup menghabisi Wiro. Memang dalam keadaan seperti itu sulit dibayangkan
bagaimana murid Sinto Gendeng akan mampu menghadapi enam serangan maut yang
datang berseribut cepat untuk membantainya!
Serangan lawan yang lebih dulu sampai adalah hantaman asap kelabu beracun yang
keluar dari ujung lengan jubah Hantu Muka Licin Bukit Tidar. Wiro begitu mencium
bau yang tidak enak segera menutup jalan pernafasannya.
Enam penyerang keluarkan seruan tertahan ketika mereka menyangka serangan
masing-masing akan mencapai sasaran tiba-tiba ada cahaya terang menyilaukan
berkiblat disertai suara gaungan dahsyat yang menggetarkan seantero tempat!
"Awas! Kapak Maut Naga Geni 212!" Seseorang berteriak memberitahu.
"Bukkk!" Orang yang barusan berteriak menjerit keras begitu satu jotosan tangan
kiri melanda dadanya. Darah menyembur dari mulutnya dan sosoknya terpental lalu
terjengkang di lantai. Orang ini adalah Tumenggung Cokro Pambudi yang sebelumnya
telah menyerbu Wiro dengan satu bacokan golok, tapi berhasil dielakkan dan dia
sendiri harus menerima hantaman jotosan tangan kiri di bagian dadanya.
Bersamaan dengan itu ada hawa panas melanda dan trang-trang! Dua bentrokan
senjata terjadi di udara. Dua mulut terpekik keras. Satu sosok mencelat
menjauhkan diri, mengerang pendek, tersandar ke dinding bangunan.
"Bunuh! Habisi pemuda keparat itu!" Patih Selo Kaliangan berteriak dari samping
pilar besar di mana dia disandarkan oleh puterinya.
Saat iu Sutri telah keluar dari kalangan pertempuran dengan muka pucat pasi.
Pedang baja masih tergenggam di tangannya tapi sudah buntung dan bagian yang
masih berada dalam pegangannya kelihatan hitam hangus mengepulkan asap!
Orang kedua di pihak Kerajaan yang bernasib malang lagi-lagi adalah Pendekar
Keris kembar Jalak Kumboro. Kerisnya yang tinggal satu mental hancur entah
kemana sedang kelewang pendek masih berada dalam pegangannya tapi seperti pedang
baja Sutri, senjata itu kelihatan buntung dan hangus hitam mengeluarkan asap.
Jalak Kumboro sendiri tegak terhuyung-huyung dengan muka pucat, berusaha
mengatur jalan darahnya yang menjadi kacau akibat kejut dan rasa ngeri yang amat
sangat! Di bagian lain Pendekar 212 Wiro Sableng tampak tegak tersandar ke dinding
bangunan. Celananya robek besar di bagian paha dan ada noda darah pertanda di
balik robekan ada luka cukup parah. Tubuh Wiro kelihatan bergetar seperti orang
menggigil. Rahangnya menggembung dan keningnya mengerenyit menahan sakit.
Apa yang terjadi"
Ketika enam serangan datang menerjang dirinya, Wiro bergerak cepat mencabut
kapak sakti dan pergunakan tangan kiri untuk menghantam. Dia berhasil membuat
mental Tumenggung Cokro Pambudi dengan jotosan telak di dada, membabat putus
pedang baja putih di tangan Sutri lalu menghancurkan kelewang dan BASTIAN TITO
15 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
keris di tangan Sepasang Keris Kembar. Selain itu Wiro juga berhasil selamatkan
kepalanya dari pukulan tongkat tulang putih di tangan Ki Sepuh Item yang
dihantamkan ke kepalanya. Namun bagaimanapun cepat dan hebatnya gerak Pendekar
212 menghadapi serangan enam orang lawan, tetap saja dia kebobolan.
Setelah melindungi matanya dari sambaran Kaca Hantu Ki Sepuh Item yang
menyilaukan, menggebrak tiga lawan, Wiro tidak mampu menghindarkan diri dari
serangan aneh yang dilancarkan Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara. Dia hanya
sempat bergerak mundur setengah langkah sebelum lima kuku hitam jari kaki kanan
kakek berkepala kuning botak ini menggurat robek paha celananya, membuat koyakan
luka pada kedua pahanya. Darah langsung mengucur. Racun kuku mulai bekerja,
membuat tubuhnya panas tapi dia sendiri merasa dingin menggigil.
Sadar bahaya yang dihadapinya, Wiro melompat menjauhi enam lawan. Dia bersandar
ke dinding bangunan, menotok dua urat besar pangkal paha kiri kanan.
Patih Selo Kaliangan kembali berteriak. Saat itu adalah kesempatan paling baik
untuk menghabisi Pendekar 212.
"Hantu Muka Licin, Ki Sepuh Item, Bisu Pencabut Nyawa! Habisi pemuda itu!"
Seperti sang Patih, tiga orang yang diteriaki itu sama menyadari memang saat
itulah kesempatan paling baik untuk membunuh Pendekar 212. Ketiganya serta merta
menggebrak maju. Wiro yang sudah maklum bahaya besar yang mengancamnya,
pindahkan Kapak Maut Naga Geni 212 ke tangan kiri. Dengan tangan kanan dia lalu
lepaskan pukulan Sinar Matahari, mengerahkan hempir seluruh kekuatan tenaga
dalamnya! Ledakan dahsyat menggelegar. Beberapa bagian bangunan Kepatiha, termasuk
sebagian kamar tidur Patih Selo Kaliangan ambruk. Asap menggebubu, hawa panas
menebar membakar. Ketika asap lenyap, debu hilang dan pemandangan terang
kelmbali, kelihatan beberapa orang berkaparan di lantai di depan kamar.
Yang pertama tentu saja sang Patih sendiri. Dia tergeletak di lantai. Pakaian
merahnya hangus. Tak jauh dari situ terkapar Ki Sepuh Item, mengerang
menggeliat-geliat. Kulitnya yang hitam kelihatan semakin hitam. Rambut, kumis
dan janggutnya yang tadinya putih kini berubah menjadi hitam. Dari mulutnya
keluar suara erangan halus. Matanya setengah terpejam.
Hanya beberapa langkah di samping Ki Sepuh Item, berlutut sosok Hantu Muka Licin
Bukit Tidar. Mulut berkomat kamit. Jubah kelabunya hangus di bagian bahu kiri
sampai ke pinggang. Mukanya pucat. Untuk beberapa lama dia berlutut tak
bergeark, mengatur jalan darah dan hawa sakti dalam tubuhnya sambil matanya
mengawasi ke arah Pendekar 212.
Tumenggung Cokro Pambudi tergeletak tidak sadarkan diri dekat tangga menuju ke
taman. Sementara Sutri masih bisa selamatkan diri karena ketika ledakan dahsyat
terjadi dia terlindung di balik satu tiang besar. Walau kemudian tiang ini
roboh, si gadis masih bisa melompat selamtkan diri.
Yang paling malang lagi-lagi adalah Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro.
Orang ini berada paling dekat dengan pusat ledakan. Tubuhnya melesat ke atas,
kepala menghantam langit-langit bangunan tepat pada sanding batu yang keras.
Ketika tubuhnya jatuh ke lantai dia tak berkutik lagi. Nyawanya lepas, kepala
pecah! Yang masih bertahan dan kelihatannya tidak mengalami cidera apa-apa adalah kakek
botak bisu Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara. Sambil keluarkan suara haha-huhu
dia gulingkan tubuhnya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng yang saat itu terduduk
bersila di lantai. Di sebelah bawah pakaiannya berlepotan darah. Di bagian atas
kelihatan beberapa robekan. Darah mengucur dari sela bibir dan liang telinganya.
BASTIAN TITO 16 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dadanya mendenyut sakit! Dia bersyukur tadi ketika melancarkan pukulan Sinar
Matahari dia mengerahkan hampir seluruh kekuatan tenaga dalamnya. Hingga ketika
lawan sama-sama menghantam dengan gempuran tenaga dalam, dia masih bisa bertahan
walau saat itu rasanya nyawanya entah berada di mana. Dalam keadaaan seperti itu
dia melihat Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara berguling ke arahnya sambil
membabatkan kaki kanannya yang berkuku panjang.
Wiro ingin sekali pergunakan kapak saktinya untuk membabat kaki lawan.
Namun dia memilih lebih baik menghindar dan mempergunakan kecerdikan karena saat
itu beberapa lawan sudah mulai bangkit, bergerak ke arahnya.
Wiro jatuhkan diri ke lantai. Kaki kanan Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara
menderu di atas punggungnya. Selagi kakek botak kepala kuning itu bergulingan
Wiro melompat ke arah Sutri. Dengan satu gerakan cepat gadis ini ditotoknya lalu


Wiro Sableng 125 Senandung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipanggul di bahu kiri. Kapak Naga Geni 212 ditempelkan ke leher putri Patih
Kerajaan itu. "Jahanam berani mati! Lepaskan puteri Patih Kerajaan!" teriak Ki Sepuh Item.
Wiro meludah ke lantai. Ludahnya bercampur darah.
"Siapa yang inginkan gadis ini silahkan maju! Satu langkah ada yang berani
bergerak kepala gadis ini akan menggelinding di lantai!"
Pendekar 212 mengancam.
Si Bisu Pencabut Nyawa Tanpa Suara dan Hantu Muka Licin tidak perduli.
Keduanya siap hendak menyerbu. Tapi patih Selo Kaliangan berteriak. Bagaimanapun
dia tidak ingin melihat puteri kesayangannya menemui kematian di tangan Wiro.
"Tahan serangan! Buronan jahanam! Berani kau melukai puteriku....."
"Patih Kerajaan, aku sudah memberitahu bukan aku pembunuh Kinasih dan suaminya.
Juga bukan aku yang mencuri Keris Kiai Naga Kopek!"
"Tapi kau telah membunuh beberapa tokoh silat Istana! Buktinya kau lihat sendiri
saat ini! Pendekar Keris Kembar Jalak Kumboro menemui ajal akibat keganasanmu!"
"Siapapun para tokoh silat Istana yang menemui ajalnya, itu semua menjadi
tanggung jawabmu! Mereka terlalu tolol untuk mau mengikuti perintahmu yang
keliru!" menukas Wiro. "Patih Selo Kaliangan, aku akan membawa anak gadismu!
Dia akan aku jadikan jaminan sampai kau memberitahu di mana sarang kediaman
Iblis Kepala Batu Pemasung Roh!"
Habis berkata begitu Wiro putar tubuhnya, melangkah menuruni tangga lalu
berkelebat ke arah pintu gerbang sebelah timur gedung Kepatihan. Tak ada yang
bergerak apa lagi mencegah. Patih Selo Kaliangan hanya bisa kepalkan dua
tinjunya berulang kali.
"Patih, seharusnya kau biarkan kami menghajar pemuda buronan itu!" kata Ki
Sepuh Item. Patih Selo Kaliangan terdiam, lalu gelengkan kepala. "Keselamatan anakku lebih
dari segala-galanya!"
"Apa dengan membiarkan dirinya diboyong begitu rupa, kau merasa yakin anak
gadismu akan benar-benar selamat?" ujar Hantu Muka Licin Bukit Tidar.
"Bagaimana kalau murid Sinto Gendeng keparat itu menggagahi anakmu"
Memperkosanya"!"
Berubahlah wajah Patih Selo Kaliangan. Diremas-remasnya rambutnya sendiri.
"Hantu Muka Licin ....." kata sang Patih dengan suara bergetar."Kumpulkan semua
tokoh silat yang ada! Kejar jahanam penculik puteriku itu! Aku ingin melihat dia
kaku di tiang gantungan sebelum matahari tenggelam!" kata sang Patih setengah
berteriak. BASTIAN TITO 17 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
"Jangan kawatir, perintah Patih akan kami lakukan!" kata Hantu Muka Licin.
"Kami bukan cuma mengejar pemuda itu seorang. Tapi juga buronan satunya. Nenek
keparat berjuluk Gondoruwo Patah Hati!"
BASTIAN TITO 18 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
LIMA Pendekar 212 Wiro Sableng memperlambat larinya, memasang telinga lalu menyelinap
ke balik satu pohon besar. Sutri, puteri Patih Kerajaan yang ada di panggulan
bahu kirinya seperti tidur karena di tengah jalan Wiro telah membungkam jalan
suara gadis itu agar tidak berteriak-teriak.
Sejak beberapa lama meninggalkan Kotaraja, berlari ke arah timur Wiro merasa ada
yang mengikutinya di sebelah belakang. Dia yakin saat itu para tokoh silat
Kerajaan atas perintah Patih Selo Kaliangan akan melakukan pengejaran. Tapi
orang yang mengikutinya saat itu agaknya bukan tokoh silat Istana. Dia seorang
diri dan caranya mengikuti terasa aneh. Dekat di sebelah belakang tapi tidak mau
menunjukkan diri.
Di satu tempat yang penuh ditumbuhi pohon-pohon besar Wiro menyelinap ke balik
sebuah pohon, menunggu dan mengintai siapa adanya si penguntit. Lama ditunggu
orang itu tak kunjung muncul. Padahal tadi jelas berada tak berapa jauh di
belakangnya. Selagi Wiro berpikir apakah di akan terus menunggu, menyelidik atau
meninggalkan saja tempat itu tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.
"Pendekar 212 Wiro Sableng, hendak kau apakan gadis culikan itu"!"
Wiro terkejut. Dia seperti mengenali suara yang barusan menegur. Tapi belum
yakin benar. "Siapa yang barusan bertanya. Harap unjukkan diri."
Kembali ada suara tawa mengekeh. Lalu ada sambaran angin halus di atas
kepalanya. Wiro cepat mendongak. Satu sosok berpakaian serba hitam melayang
turun dari atas pohon besar.
"Ning Intan Lestari! Hah! Kau rupanya yang menguntit diriku!" kata Wiro.
Dia merasa gembira karena sejak pertemuannya tempo hari yaitu ketika si nenek
membantu menyelamatkannya dari sergapan orang-orang Kerajaan, dia memang ingin
sekali bertemu lagi dengan nenek ini. (baca Episode "Makam Ketiga") Nenek
berambut kelabu bermuka seram yag berdiri di hadapan Wiro menyeringai. "Aku jadi
malu sendiri mendengar kau menyebut nama asliku!" berucap si nenek. Lalu dia
geleng-gelengkan kepala. "Sulit kupercaya. Tidak kusangka murid Sinto Gendeng
yang tersohor alim itu kiranya suka juga menculik gadis cantik!
Hendak kau apakan anak gadis orang"!" Si nenek yang lebih dikenal dengan julukan
Gondoruwo Patah Hati berkata lalu tertawa cekikikan.
"Aku bukan pemuda alim Nek. Tapi aku tidak punya maksud jahat terhadap gadis
ini!" jawab Wiro.
"Amboi! Amboi!" Gondoruwo Patah Hati berucap dan lagi-lagi keluarkan tawa
mengikik. "Seorang pemuda menculik gadis jelita di siang bolong! Berucap tiada
niat jahat! Tapi kalau setan mendekam di dalam dada, turun ke bawah perut, siapa
bisa menduga apa yang akan terjadi"!"
"Nek, kau tahu siapa adanya gadis ini?" tanya Wiro.
"Tentu saja aku tahu. Karena aku sudah menguntitmu sejak kau kabur dari
Kotaraja! Gadis itu adalah puteri Patih Selo Kaliangan. Kau membuat urusan
tambah jadi kapiran anak muda! Perlu apa kau menculik gadis itu?"
Wiro garuk-garuk kepalanya. Ketika dia hendak bicara si nenek berikan isyarat
dengan gerakan tangan.
"Aku mendengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Orang-orang Kerajaan pasti
tengah melakukan pengejaran. Tidak aman berlama-lama di tempat ini. Mari ikuti
aku. Ada satu tempat baik untuk bersembunyi." Dalam gelapnya malam BASTIAN TITO
19 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Gondoruwo Patah Hati berkelebat ke arah barat. Wiro mengikuti. Kali ini dia
tidak bisa berlari terlalu cepat karena dua kakinya yang luka terasa sakit dan
nafasnya cepat sesak akibat pengaruh racun kuku kaki Si Bisu Pencabut Nyawa
Tanpa Suara yang masih mengendap dalam aliran darahnya.
Hanya beberapa saat Wiro dan Gondoruwo Patah Hati meninggalkan kawasan berpohon
besar itu, serombongan pasukan berkuda dari Kotaraja melintas dengan cepat. Di
depan sekali kelihatan Ki Sepuh Item dan si botak berjuluk Si Bisu Pencabut
Nyawa Tanpa Suara.
Tempat yang dikatakan Gondoruwo Patah Hati itu adalah sebuah tebing batu
berbentuk cegukan dalam tikungan sebuah sungai, tersembunyi di balik kerimbunan
pohon-pohon bambu. Wiro membaringkan Sutri di tanah yang kering. Si gadis yang
tidak bisa bicara tak bisa bergerak hanya bisa memandang Wiro dengan sorotan
mata garang. "Aku perhatikan gerak-gerikmu tidak seperti biasa. Kau terluka......" si nenek
bertanya sambil memandang bagian paha celana Wiro.
Pendekar 212 mengangguk.
"Apa yang terjadi"'
"Aku dikeroyok habis-habisan ketika mendatangi Patih Selo Kaliangan di gedung
Kepatihan. Salah seorang pengeroyok, kakek botak berjuluk Si Bisu Pencabut Nyawa
Tanpa Suara berhasil melukai dua pahaku dengan kuku kakinya.
"Kuku itu beracun......"
"Aku tahu. Aku telah menotok aliran darahku, menghentikan aliran racun.
Tapi rasa sakit pada luka belum lenyap. Tubuhku terasa dingin, padahal kalau
dipegang rasanya panas......"
"Kau mencari penyakit. Perlu apa kau jual tampang masuk ke gedung Kepatihan"!"
tanya si nenek.
"Siapa yang jual tampang"!" jawab Wiro agak kesal tapi kemudian tertawa lebar.
"Ingat ceritaku tempo hari" Tentang gadis sahabatku yang dipasung dimasukkan ke
dalam guci oleh Iblis Kepala Batu" Aku butuh keterangan mengenai mahluk keparat
itu. Patih Kerajaan pasti tahu di mana beradanya."
"Anak muda, kadang-kadang kau cerdik, kadang-kadang malah bodoh! Apa kau kira
Patih Kerajaan akan mau begitu saja memberitahu kepadamu di mana beradanya orang
yang kau cari! Padahal sang Patih mendendam setengah mati terhadapmu, terhadap
kita berdua."
"Aku katakan padanya, jika dia memberitahu dan aku bisa menyelamatkan sahabatku,
aku akan menolong mengobati penyakit yang dideritanya."
"Lagakmu! Racun ular berbisa yang mendekam dalam tubuh Patih itu sulit
obatnya......"
"Aku tahu Nek, tapi dengan petunjuk Tuhan aku yakin bisa menolong. Asal sang
Patih juga mau menolongku."
Si nenek tertawa. "Kau benar-benar tolol! Apa kau kira Patih itu mau memberitahu
di mana beradanya orang yang kau cari" Pasti tidak! Lantas kau malah menculik
puterinya untuk dijadikan jaminan!"
"Bukan itu saja alasanku. Aku terpaksa menculik gadis itu agar bisa lolos dari
gedung Kepatihan," menerangkan Wiro "Selain itu ada satu hal penting telah
kuberitahu pada Patih Kerajaan yaitu bahwa aku bukan pembunuh Kinasih dan
suaminya. Aku juga bukan orang yang mencuri keris pusaka keraton Keris Kiai Naga
Kopek. Bila tiba saatnya akan kubuktikan pada Patih itu siapa orang-orang yang
bertanggung jawab atas semua kejadian itu."
BASTIAN TITO 20 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Gondoruwo Patah Hati terdiam. Dia teringat pada pertemuannya dengan Adisaka,
muridnya yang sesat, yang selama ini gentayangan melakukan berbagai kejahatan
dengan memakai nama Damar Wulung. Sebenarnya saat itu dia ingin memberitahu pada
Wiro bahwa dia telah bertemu dengan Damar Wulung dan bahwa Damar Wulung adalah
muridnya. Bahwa dia telah punya niat untuk menghukum sang murid, namun Adisaka
alias Damar Wulung sempat melarikan diri. Entah mengapa mulutnya tak sampai
berucap dan suara hatinya tidak pula keluar. Keterangan itu tidak disampaikannya
kepada Wiro. Si nenek mengusap wajahnya, menyembunyikan perasaan.
"Apa kau telah bertemu dengan bocah bernama Naga Kuning?" Gondoruwo Patah Hati
alihkan pembicaraan.
Wiro menggeleng. "Kau sendiri, apakah sudah bertemu dengan Adisaka, muridmu
itu?" Gondoruwo Patah Hati terdiam. Hatinya bimbang, apa akan diberitahu atau tidak.
Seperti Wiro akhirnya dia juga gelengkan kepala.
Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaian. Setelah mengerahkan
tenaga dalamnya, senjata sakti itu diletakkan di atas kedua pahanya yang
terluka. Seperti diketahui Kapak Maut Naga Geni 212 merupakan senjata sakti
mandraguna yang memiliki kemampuan untuk memusnahkan racun jahat.
Wiro merasa ada hawa panas menjalar masuk ke dalam tubuhnya. Menyusul muncul
aliran hawa dingin. Gondoruwo Patah Hati melihat apa yang terjadi di hadapannya.
Mula-mula sekujur tubuh Wiro tampak bergetar. Lalu tubuh itu basah oleh
keringat. Dua mata kapak sakti yang tadinya putih berkilat kini menjadi redup
kehitam-hitaman. Racun jahat dalam tubuh Pendekar 212 telah berpindah, tersedot
masuk ke dalam dua mata kapak sakti. Getaran di tubuh Wiro berkurang. Dengan
tangan kanannya Wiro mengangkat Kapak Naga Geni 212 lalu merapal sesuatu.
Ketika dia meniup, cahaya hitam redup yang melekat di mata kapak serta merta
lenyap. "Senjata luar biasa!" si nenek memuji kagum. Dari balik pakaian hitamnya dia
mengeluarkan dua butir benda putih. Diberikannya kepada Wiro. "Telan. Lukamu
pasti sembuh dalam waktu satu hari....."
"Terima kasih Nek," kata Wiro. Dia tidak segera menelan obat itu. tapi
memperhatikannya beberapa ketika. "Obat apa ini, Nek" Tahi kambing?"
"Tahi kambing moyangmu! Tahi kambing mana ada yang putih!"
"Oo, mungkin ini tahi onta!" kata Wiro pula. Dia tertawa gelak-gelak lalu dua
butir obat itu dimasukkannya ke dalam mulut.
Gondoruwo Patah Hati melirik pada sosok Sutri yang tergolek di tanah. Lalu dia
berpaling pada Wiro. "Walau tempat ini aman, kita tidak bisa terus-terusan
berada di sini. Apa yang hendak kau lakukan?"
Wiro merenung memikir jawab. Dia memandang seputar cegukan tebing batu.
Begitu pandangannya sampai pada sosok Sutri, pemuda ini berucap "Aku akan
membebaskan puteri Patih Kerajaan itu. Aku rasa tak ada guna aku menahannya
lebih lama. Dia tidak ada sangkut paut dengan semua yang terjadi. Tidak adil
kalau aku menyengsarakannya."
Sejak tadi Sutri yang berada dalam keadaan tak bisa bergerak tak bisa bersuara
telah mendengar semua percakapan Wiro dan nenek muka setan. Dia tidak mengira
bakal mendengar ucapan seperti yang tadi dikeluarkan Wiro. Kalau sebelumnya dia
merasa sangat benci dan marah terhadap pemuda ini, kini perasaan itu sedikit
demi sedikit menjadi pupus.
BASTIAN TITO 21 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Gondoruwo Patah Hati mengangguk-angguk. "Itu perbuatan ksatria. Kau masih bisa
mencari cara lain untuk menolong sahabatmu gadis dari alam roh itu.
sekarang ada satu hal yang ingin kuberitahu kepadamu. Beberapa waktu lalu aku
bertemu dengan empat orang gadis kekasihmu!"
"Nek, kau jangan bergurau! Aku tidak punya kekasih. Apa lagi sampai empat
orang!" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. Dia lunjurkan kedua kakinya. Luka
pada dua pahanya masih belum kering namun rasa sakit telah jauh berkurang.
Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikikan. "Jangan berpura-pura. Kau tidak senang
rahasiamu diketahui puteri Patih itu hah" Walah, jangan-jangan benar dugaanku.
Kau telah berubah pikiran. Jatuh cinta pada gadis yang kau culik itu"! Lalu
berpura-pura jadi pemuda baik-baik, belum punya kekasih! Hik.....hik.....hik!" Si
nenek memandang ke arah Sutri. "Hemmmmm...... Aku tidak menyalahkan kalau kau
kecantol pada puteri Patih ini. Wajahnya cantik, rambut hitam, tubuh bagus
mulus. Hik...hik....hik!"
Wajah Sutri Kaliangan menjadi merah mendengar kata-kata nenek muka setan itu
sementara Wiro tertawa gelak-gelak sambil garuk-garuk kepala.
"Kau tak percaya aku bertemu dengan empat gadis cantik kekasihmu?"
"Katakan, siapa saja mereka itu Nek," jawab Wiro.
"Yang pertama seorang dara berbadan wangi semerbak, berambut pirang.
Namanya Bidadari Angin Timur. Nah.....nah, kulihat dua matamu menjadi besar!" Si
nenek tertawa cekikikan lalu tempelkan telapak tangan kirinya ke dada Wiro.
"Nah, nah! Jantungmu berdebar lebih keras! Hik...hik....hik! Gadis kedua bermata
biru. Pakai mahkota kecil di kepalanya. Pakaiannya ketat, tubuhnya bagus. Dia dikenal
dengan sebutan Ratu Duyung! Yang ketiga, berkulit putih berbadan montok. Gadis
ini kabarnya sudah dijodohkan dengan dirimu. Namanya Anggini, cucu Dewa Tuak.
Kekasihmu yang keempat bernama Puti Andini, cantik tanpa dandanan, dikenal
dengan julukan Dewi Payung Tujuh!"
Wiro ternganga. Garuk kepala lantas bertanya. "Di..... dimana kau bertemu dengan
mereka, Nek"
"Nah, apa kataku! Kini kau tak dapat lagi menyembunyikan perasaan!
Hik...hik....hik!"
Gondoruwo Patah Hati lalu menuturkan kisah pertemuannya dengan empat gadis itu.
Dimulai dengan kejadian diculiknya Ratu Duyung. (baca Episode sebelumnya
berjudul "Makam Ketiga")
"Ah tidak kusangka kau telah berjada besar menyelamatkan Ratu Duyung dari
malapetaka keji. Nek, apa kau sempat mengetahui siapa manusia terkutuk yang
melakukan perbuatan keji itu?"
Gondoruwo Patah Hati berdusta. Dia gelengkan kepala. "Orang itu berhasil
melarikan diri. Kepandaiannya tinggi. Sayang aku tidak bisa meringkusnya...." Si


Wiro Sableng 125 Senandung Kematian di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nenek ucapkan kedustaan itu dengan perasaan hati penuh ganjalan.
"Mengenai empat gadis itu, kau tahu di mana mereka sekarang berada"
Mungkin mereka memberitahu atau mengatakan sesuatu?" Wiro bertanya.
"Setahuku mereka tengah dalam perjalanan menuju Gunung Gede."
Wiro terkejut mendengar jawaban si nenek. "Menuju Gunung Gede" Ada apa di sana"
Apakah Eyang Guru sakit. Atau....."
"Wiro, turut apa yang aku dengar, empat gadis itu telah berusaha keras mencarimu
sejak dua tahun silam. Belakangan ini terjadi satu peristiwa besar. Mereka
menyirap kabar bahwa kau telah menemui kematian. Anehnya jenazahmu dimakamkan di
tiga tempat. Pada dua makam pertama mereka tidak menemukan apa-apa. Kecuali
surat-surat aneh...." Si nenek lalu menuturkan apa yang diketahuinya BASTIAN TITO
22 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tentang Makam Setan Pertama dan Makam Setan Kedua. "Makam Setan Ketiga ada di
puncak Gunung Gede. Itu sebabnya empat gadis tadi berangkat ke sana....."
"Aneh, siapa yang menyebar kabar kalau aku sudah mati" Dikubur di salah satu
makam. Tapi kepergianku ke Negeri Latanahsilam selama dua tahun memang bisa
menimbulkan berbagai prasangka. Ada orang yang sengaja memanfaatkan hal ini....."
Wiro membatin, menggaruk kepala lalu bertanya.
"Kau tidak memberitahu bahwa kita pernah bertemu, yang menyatakan bahwa diriku
masih hidup?" tanya Wiro
"Aku memberitahu. Tapi mungkin mereka tidak sepenuhnya percaya pada ucapan nenek
muka setan sepertiku ini."
"Aku punya dugaan ada seseorang mengatur semua ini. Aku punya firasat mereka
berempat dalam bahaya!"
Wiro berdiri. Dia mengerenyit karena gerakan yang tiba-tiba membuat dua pahanya
yang luka terasa sakit.
"Nek, aku terpaksa meninggalkanmu. Aku harus segera ke Gunung Gede."
Si nenek berkomat kamit. Wiro mendekati sosok Sutri. Dia membungkuk lalu berkata
"Maafkan kalau aku telah menyusahkanmu. Kau boleh kembali ke Kotaraja.
Walau ada urusan besar antara aku dengan ayahmu, harap tidak ada dendam di
antara kita. Karena yang membuat ayahmu celaka bukan diriku, bukan juga nenek
itu. tapi seekor ular berbisa! Ular itu milik tokoh silat Istana berjuluk Setan
Bertongkat Ular.
Orang itu melenyapkan diri begitu saja." Wiro tersenyum lalu jari-jari tangannya
bergerak meleaps totokan di tubuh si gadis. Begitu totokannya lepas Sutri
Kaliangan melompat bangkit. Tangan kanannya bekerja.
"Bukkkk!"
Wiro terpental, jatuh terjengkang di tanah. Jotosan tangankanan Sutri Kaliangan
bersarang telak di dadanya. Sakitnya bukan main namun sang pendekar masih bisa
tersenyum sambil usap-usap dadanya. Wiro merangkak di tanah, berpegangan pada
kaki Gondoruwo Patah Hati yang ada di hadapannya lalu mencoba bangkit berdiri.
Sambil bergerak bangkit tangannya menarik sedikit bagian bawah pakaian hitam si
nenek. Seperti dulu, dia melihat sepasang betis yang putih, mulus dan bagus.
Bukan layaknya betis seorang nenek seusia Gondoruwo Patah Hati. Ini adalah satu
keanehan yang menjadi tanda tanya besar bagi Wiro namun dalam keadaan seperti
itu tidak mungkin diungkapkannya.
Terbungkuk-bungkuk Wiro berkata pada Sutri yang tadi menjotos dadanya.
"Terima kasih. Aku telah menerima hukuman darimu. Apa cukup sebegitu saja atau
masih ada tambahan yang lain?"
Paras cantik puteri Patih Kerajaan itu mengelam merah. Dia maju dua langkah.
Tangan kanan terkepal namun pukulan tidak dilayangkan. Wiro menunggu. Si gadis
tetap tidak bergerak.
"Kau gadis baik!" Wiro memuji. "Aku harap kau bisa mengerti. Silang sengketa
antara aku, maksudku aku dan nenek ini dengan ayahmu adalah satu kesalah pahaman
besar dari pihak Kerajaan. Aku tidak membunuh Kinasih dan suaminya.
Aku juga tidak mencuri Keris Kiai Naga Kopek. Mudah-mudahan dalam waktu dekat
aku bisa mengungkapkan siapa yang betanggung jawab atas semua kejadian itu."
Wiro berpaling pada Gondoruwo Patah Hati. "Nek, aku terpaksa meninggalkanmu.
Terima kasih obat tahi ontamu tadi! Mudah-mudahan mujarab!"
Si nenek muka setan tertawa mengekeh.
"Tunggu!"
Tba-tiba Sutri Kaliangan berteriak. Wiro yang sudah berada di luar cegukan
tebing batu hentikan langkahnya dan berpaling. Sekali melompat puteri Patih Selo
BASTIAN TITO 23 WIRO SABLENG PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kaliangan itu telah berada di hadapan sang pendekar. Tangan kanannya yang masih
membentuk tinju terpentang di depan dada.
"Ada apa" Kau belum puas menggebukku?" tanya murid Sinto Gendeng sambil berlaku
waspada. "Aku hanya mau memberitahu," berucap si gadis dengan suara perlahan.
"Tempat kediaman Iblis Kepala Batu Alis Empat di sebuah pohon besar, di dekat
air terjun Jurangmungkung......"
Tentu saja Pendekar 212 WS tercengang tidak mengira si gadis akan mengeluarkan
ucapan seperti itu. Kalau ayahnya, Patih Kerajaan tidak mau memberitahu mengapa
kini tiba-tiba sang puteri memberitahu" Sebelumnya si gadis begitu nekad hendak
membunuhnya. Kini malah menunjukkan itikad baik seperti itu.
benar-benar sulit dipercaya. Wiro garuk-garuk kepala lalu tersenyum.
"Kau pasti menduga aku menipu atau menjebakmu. Terserah, mau percaya atau tidak.
Aku hanya menginginkan kesembuhan ayahku!" Sutri Kaliangan rupanya bisa menerka
ketidak percayaan dalam diri Wiro. Si gadis balikkan badan.
Misteri Dendam Berdarah 2 Pendekar Naga Putih 65 Beruang Gunung Es Manusia Harimau Merantau Lagi 5

Cari Blog Ini