Ceritasilat Novel Online

Si Cantik Dalam Guci 2

Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci Bagian 2


Patah Hati keluarkan ucapan.
"Menolongku?" Pendekar 212 delikkan mata lalu keluarkan suara mendengus. "Mulai
saat ini aku tidak mau melihat tampang kalian lagi!"
"Tidak mau melihat tampang kami tak jadi apa," jawab Naga Kuning sambil senyum
cengengesan. "Tapi lihat pantat kami masih mau kan?"
Naga Kuning lantas tertawa gelak-gelak. Gondoruwo Patah Hati tekap mulutnya
menahan cekikikan. Wiro cemberut kesal.
"Wiro, turunkan amarahmu, buang jauh-jauh dugaan yang bukan-bukan. Maksud kami
melemparkan ketidirig berisi air comberan dan belut Itu adalah agar kau mampu
selamatkan diri keluar dan dalam lobang. Dengan ilmu kepandaian yang kau iniliki
sendirl.."
"Nenek peot..." ujar Wiro.
"Jangan menghina dirinya!" Naga Kuning menukas. "Kalau kau melihat wajah aslinya
kau ekan..."
"Akan apa"!" sentak Wiro. "Akan mules perutku, etau ingin kencing atau cuma
ingin kentut"!" Naga Kuning monyongkan mulutnya lalu gelengkan kepala. "Kami
sengaja melemparkan satu ketiding belut ke hadapanmu, agar kau ingat bahwa kau
memiliki ilmu kesaktian bernama Belut Menyusup Tanah. Hanya ilmu itulah satusatunya yang mampu membebaskan dirimu dari jepitan lobang. Kenyataannya bukankah
itu yang terjadi" Kau ingat kau punya ilmu itu. Lalu merapal ajiannya. Dan kau
berhasil selamatkan diri, keluar dari dalam lobang. Malah membuat telaga jadi
tambah besar! Apa tidak hebat" Ha... ha... ha!"
"Eh..." Wiro menatap Naga Kuning sambil garuk-garuk kepala, berpaling pada
Gondoruwo Patah Hati lalu menoleh kembali pada si bocah. Senyum terkulum di
mulut sang pendekar.
"Sekarang aku mengerti..." katanya. Senyumnya berubah jadi tawa bergelak. Tibatiba Wiro hentikan tawanya. "Tunggu, kelau memang kalian benaran ingin
menolongku, mengapa tidak langsung saja mendatangiku. Lalu mengingatkan ilmu
yang kumiliki itu dengan ucapan, bukan dengan puluhan belut keparat! Berarti
kalian memang juga punya niat jahil! Lihat, di wajah dan leherku pasti ada lima
luka bekas gigitan belut celaka yang kalian lemparkan itu!"
"Wiro..," kata Gondoruwo Patah Hati sambit pegang bahu Pendekar 212. "Cara
memberi tahu seseorang tidak selamanya dengan ucapan. Kadang-kadang perbuatan
lebih dan seribu kata..."
"Seribu kata apa seribu belut!" tukas Wiro. "Kalau dirimu yang digigit belut
baru tahu rasa!
Tapi, belut mana yang mau menggigit tubuh peot sepertimu. Mau disedot darahnya
juga kurasa sudah tinggal ampas!"
Gondoruwo Patah Hati tersenyum sebaliknya Naga Kuning acungkan tinjunya.
"Pendekar 212, dengar dulu..." si nenek berucap.
"Nek, aku tak mau berdebat denganmu. Sudah barang tentu kau membeta si jabrik
ini. Karena dia kekasihmu!" kata Wiro dengan unjukkan wajah tetap jengkel.
"Wiro, walau bagaimana pun Naga Kuning itu usianya jauh Iebih tua darimu. Dia
pantas menjadi kakekmu, aku pantas kau sebut nenek..."
"Siapa sudi!" jawab Pendekar 212.
"Dengar dulu," kata Gondoruwo Patah Hati dengan suara tetap sabar. "Selain
menolongmu, kami yang tua-tua ini juga ingin memberi pelajaran..."
"Pelajaran" Pelajaran apa"! Pelajaran konyol keblinger!" semprot murid Sinto
Gendeng. "Pelajaran bahwa ketika dicekam bahaya seorang yang namanya pendekar itu tidak
boleh kehilangan akal sehatnya, apalagi kalau sampat terjebak dalam kemarahan.
Aku percaya, kalau kau tetap tenang menghadapi kesulitanmu tadi, mendayakan
setiap akal yang bisa kau lakukan, tanpa kami melemparkan seketiding belut kau
pasti mampu mengingat bahwa kau memiliki ilmu Belut Menyusup Tanah. Apa gunanya
belasan tahun digembleng Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede kalau kau sampai
melupakan ilmu yang sudah diwarisi. Hanya karena jalan pikiran tertutup rasa
galau dan hawa amarah..."
"Soalnya, aku... aku jarang mempergunakan Ilmu itu," Wiro garuk-garuk kepala.
Dia ingat tempo hart waktu terdesak hebat dan hampir celaka di tangan para
pengeroyok orang-orang Kotaraja, seseorang juga memberitahu agar dia
mempergunakan ilmu itu untuk selamatkan diri.
Ketika dia mengikuti ucapan orang ternyata dia memang bisa meloloskan diri.
"Sudahlah, aku tak mau berdebat dengan kalian yang mengaku kakek dan nenek. Aku
mengucapkan terima kasih Kek, terima kasih Nek." Waktu menyebut kata Kek dan Nek
Wiro memencongkan mulut dan hidungnya. "Aku tahu, kalian memang telah menolongku
walau caranya gila kebangetan!" Habis berkata begitu Wiro lantas balikkan badan
hendak tinggalkan tempat itu.
"Eh, kau mau ke mana?" tanya Naga Kuning.
"Mengejar Iblis Kepala Batu. Bangsat itu bukan saja telah menyekap Bunga dalam
guci tembaga dan menculik Sutri Kaliangan Puteri Patih Kerajaan. Tapi dia juga
yang telah menjebak dan hampir menguburku hidup-hidup di liang batu. Lalu dia
pula yang barusan menjebloskan aku dalam lobang keparat itu!"
"Iblis Kepala Batu bukan saja punya ilmu kesaktian tinggi. Tapi juga licik akal
busuk hati. Kabarnya dia juga punya ilmu kebal. Tidak gampang menciderainya. Walau bisa
dilukai tapi tak bisa dibuat mati!" Memberi tahu Naga Kuning.
"Dari mana kau tahu hal itu?" tanya Wiro.
Naga Kuning menunjuk dengan ibu jarinya pada Gondoruwo Patah Hati. "Dia yang
memberitahu..." "Apa benar iblis itu tidak bisa dibuat mati?" tanya Wiro.
Si nenek menghela nafas dalam baru menjawab. "Setiap yang hidup pasti bisa
mengalami kematian. Setiap ilmu kesaktian pasti ada kelemahannya. Atau ada
pamungkas untuk menumpasnya. Jika kita tahu kelemahan manusia jahat itu, tidak
akan sulit membereskannya..."
"Lalu apakah kau tahu di mana letak kelemahan Iblis Kep?la Batu?" tanya Wiro.
Gondoruwo Patah Hati gelengkan kepala. "Itu satu hal yang harus kita selidiki."
"Kawan-kawan, aku harus pergi..." Wiro tak mau berlama-lama. Dia harus segera
mengejar Iblis Kepala Batu.
Si nenek angkat tangannya. "Tunggu. Katamu kau akan mengejar Iblis Kepala Batu.
Kawasan ini cukup luas, liar dan buas. Apakah kau tahu ke mana kaburnya Iblis
Kepala Batu?"
Wiro tak menjawab. "Iblis Kepala Batu punya banyak tempat kediaman atau sarang
rahasia. Salah satu diantaranya terletak di kawasan ini, dalam satu rimba belantara. Aku
tahu temp?tnya.
Kurasa pasti dia membawa gadis culikannya ke tempat itu. Iblis Kepala Batu suka
tinggal di rumah panggung yang biasanya terletak di tempat ketinggian seperti
sarangnya yang kau hancurkam di dekat air terjun Jurangmungkung."
"Kalau begitu..." Wiro garuk-garuk kepala. "Ah, sudahlah. Kalian belum berapa
lama bertemu setelah saling berpisah puluhan tahun. Kalian pasti masih sama-sama
sangat kangen. Aku tidak mau mengganggu kebahagiaan kalian..."
"Wiro, apa maksudmu?" tanya Naga Kuning.
"Aku tahu," Gondoruwo Patah Hati yang menyahuti. "Wiro ingin meininta bantuanku
menunjukkan sarang Iblis Kepala Batu. Tapi merasa segan karena alasan yang
disebutkannya tadi. Bukan begitu?"
Wiro hanya menyeringai.
Si nenek tersenyum. Dia memandang pada Naga Kuning seolah minta pertimbangan.
Dipandang begitu rupa oleh si nenek dan Wiro, bocah konyol ini berkata. "Wiro,
seperti katamu, puluhan tahun kami berdua tidak pernah bertemu. Rasa kangen
belum pulih. Keinginan untuk berduadua behum terpuaskan. Namun kami tahu. Urusan
yang kau hadapi adalah urusan nyawa dan kehormatan manusia. Apalagi puteri Patih
Kerajaan ikut menjadi korban. Tak ada pertimbangan lain. Kita harus segera
mengejar mahluk keparat itu. Tapi sebelum pergi aku perlu tanya dulu padamu."
"Kau mau bertanya apa?" tanya Pendekar 212. Naga Kuning berpaling pada Wiro.
"Saat ml, apakah kau masih tidak suka melihat tampang kami" Hanya mau melihat
pantat kami?"
"Bocah geblek!" hardik Wiro. Dia memberi isyarat pada si nenek agar segera
meninggalkan tempat itu. Ketiga orang tersebut segera berkelebat dengan Si nenek
berlari di sebelah depan, Naga Kuning dan Wiro mengikuti di belakang.
BASTIAN TITO SI CANTIKDALAM GUCI
DENGAN Gondoruwo Patah Hati bertindak sebagai penuniuk jalan Wiro dan Naga
Kuning berhasil menemui sarang kediaman Iblis Kepala Batu Alis Empat yang
terletak di satu rumah panggung kayu dalam sebuah rimba belantara kecil. Wiro
dan kawan-kawannya datang pada waktu yang tepat ketika Iblis Kepala Batu tengah
melakukan perbuatan keji terhadap Sutri Kaliangan. Mereka bahkan menghancurkan
sarang mahluk jahanam Itu. Namun sayangnya Iblis Kepala Batu masih dapat
melarikan diri membawa Sutri Kaliangan dan juga guci tembaga di mana Bunga alias
Suci disekap. Selagi ketiga orang itu berunding mau berbuat apa dan hendak mengejar Iblis
Kepala Batu ke mana, tiba-tiba muncul seorang nenek aneh berpakaian coklat. Di
atas kepalanya ada kepulan asap merah berbentuk kerucut terbalik. Dua bola mata
menyerupai segitiga merah. Wiro dan Naga Kuning segera kenali si nenek yang
bukan lain adalah Luhniknik alias Hantu Penjunjung Roh, yang tersesat dan Negeri
Latanahsilam sewaktu meledaknya Istana Kebahagiaan.
Wiro diam dan tenang saja. Sebaliknya Naga Kuning langsung berseru. "Hai Nek,
kau ada di sini!"
Sepasang mata Hantu Penjunjung Roh menatap ke arah si bocah berambut jabrik,
lalu mata itu dikedip-kedipkan. Bola matanya yang berbentuk segitiga merah
bergerak keluar masuk. Naga Kuning tertawa lebar. Melihat sikap ke dua orang ini
Si nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati jadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan
cemburu. Dipegangnya lengan Naga Kuning lalu berbisik ajukan pertanyaan.
"Gunung, kau kenal nenek aneh genit menjijikkan ini?"
"Dia sahabat kami sewaktu di Negeri Latanahsilam," jawab Naga Kuning yang
membuat Gondoruwo Patah Hati jadi tambah tidak enak dan berpikir yang bukanbukan. Si nenek kembali nyatakan kecemburuannya dengan pertanyaan. "Dua tahun kau
tersesat di negeri gila itu, apa yang telah kau lakukan dengan nenek bermata
aneh ini" Sikapnya genit tapi aku tahu hatinya busuk...."
"Aku tidak punya hubungan apa-apa. Tanyakan saja pada orangnya," jawab Naga
Kuning. "Siapa sudi. Kau yang harus mengaku!" jawab Gondoruwo Patah Hati.
"Tidak ada yang harus kuakui!" sahut Naga Kuning mulai jengkel.
"Kalau kau tidak mengaku, jangan harap aku mau pergi ke mana-mana bersamamu...."
Naga Kuning hendak menjawab tapi saat itu Hantu Penjunjung Roh telah bicara
Iebih dulu. Ditujukan pada Pendekar 212.
"Wiro, kau telah menyalahi perjanjian!"
"Perjanjian" Perjanjian mana yang telah aku salahi, Nek?" tanya Wiro.
"Sewaktu dirimu tertimbun di lubang batu. Aku menolongmu dengan satu perjanjian.
Satu syarat. Yaitu kau tidak boleh menurunkan tangan jahat terhadap Iblis Kepala
Batu. Ternyata kau masih mengejarnya, menghancurkan rumahnya mungkin juga telah
menciderainya."
"Memangnya aku pernah berjanji begitu" Menyahutipun aku tidak. Karena sewaktu di
dalam timbunan batu, aku tidak bisa keluarkan suara. Tidak bisa bicara." Kata
Wiro pula. "Betul, tapi kau bisa mendengar suaraku! Bagiku itu sudah Iebih dari cukup. Dan
aku telah menolongmu keluar dari timbunan batu dengan menunjukkan alat rahasia
di ranjang batu...."
"Aku berterima kasih atas pertolonganmu itu. Tapi urusan dengan Iblis Kepala
Batu tidak ada sangkut pautnya...."
"Mengapa tidak. Seperti yang aku pernah bilang, Iblis Kepala Batu adalah adik
kandungku. Sejak dia keluar dan Negeri Latanahsilam, aku belum sempat bertatap muka dan
bicara dengan dirinya. Saat ini aku terus mengejarnya tetapi selalu selangkah
terlambat. Aku berjanji, jika berhasil menemuinya akan kubujuk dia agar
melepaskan gadis culikan serta membebaskan gadis di dalam guci tembaga. Karena
itu aku minta padamu agar kau tidak melakukan sesuatu atas dirinya. Apalagi
sampai membunuhnya
"Setahuku Iblis Kepala Batu memiliki ilmu kebal, tak mempan pukulan dan senjata,
tidak bisa dibikin mati. Kalau memang benar apa yang perlu kau takutkan" Malah
kami-kami ini merasa kawatir ak?n keselamatan kawan kami pendekar muda ini. Atau
mungkin aku punya dugaan.
Saudaramu itu punya satu kelemahan. Sahabatku ini punya satu ilmu yang dapat
mencelakainya."
Yang bicara adalah Gondoruwo Patah Hati.
Hantu Pemasung Roh putar kepala memandang ke arah Gondoruwo Patah Hati Dua mata
saling beradu pandang. Hantu dan Gondoruwo sama-sama saling bersorot mata.
"Kau siapa" Aku menduga wajahmu yang kulihat bukan wajah asli!"
Naga Kuning dan Wiro sama-sama terkejut mendengar ucapan Hantu Penjunjung Roh
alias Luhniknik. Terlebih lagi Gondoruwo Patah Hati yang punya diri. Nenek satu
ini sampai tersurut satu langkah dan wajah aslinya yang memang terlindung di
balik satu topeng tipis jadi berubah.
"Heran, mengapa nenek jelek dan Negeri Latanahsilam ini bisa mengetahui rahasia
wajah Intan" Membatin si bocah Naga Kuning yang sebenarnya adalah seorang kakek
berusia lebih dan seratus tahun, bernama Gunung, berjuluk Kiai Paus Samudera
Biru. "Aku merasa tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Mengenai wajahku itu bukan
urusanmu!" Gondoruwo Patah Hati keluarkan ucapan unjukkan rasa tidak senangnya.
Dua bola mata segitiga merah Hantu Penjunjung Roh bergerak keluar masuk. Nenek
ini keluarkan tawa perlahan. Dia berpaling pada Wiro lalu berkata.
"Aku akan pergi sekarang, kalau kau mau menepati janji, rasanya banyak pihak
yang akan selamat. Tapi kalau tidak, semua bisa celaka...." Habis berkata begitu
Hantu Penjunjung Roh mengerling ke arah Naga Kuning dan kedipkan matanya. Naga
kuning walau diam tapi mengulum senyum menjawab sikap si nenek. Hal ini membuat
Gondoruwo Patah Hati tambah jengkel karena cemburu. Maka dia segera keluarkan
ucapan. "Jangan kau berani mengancam! Kalau adikmu jahat, mungkiri kau tidak seberapa
beda. Kau cuma mahluk kesasar ke negeri kami. Harusnya kau segera menyadarkan adikmu
sebelum kami menjatuhkan hukuman atas dirinya. Malah kau berani hendak berbuat
macam-macam!"
Hantu Pemasung Roh hanya tertawa mendengar semprotan Gondoruwo Patah Hati. Dan
ucapan dan sikap cemburu si nenek berpakaian serba hitam ini dia sudah bisa
menduga kalau antara si nenek dengan Naga Kuning ada jalinan hubungan tertentu.
Maka dia sengaja kembali berpaling pada Naga Kuning dan keluarkan ucapan.
"Sobat lamaku, ada beberapa hal semasa di Negeri Latanahsilam yang masih belum
tuntas kita bicarakan. Kuharap saat ini kau mau ikut aku untuk membicarakan hal
itu." Naga Kuning jadi melengak dan berubah wajahnya. "Eh, kurasa...."
"Sudahlah, ikut saja...." kata Hantu Penjunjung Roh sambil tarik lengan Naga
Kuning. Si bocah betot lepas tangannya. Hantu Penjunjung Roh tertawa cekikikan
lalu tinggalkan tempat itu.
"Kenapa kau tidak ikut bersamanya"!" tiba-tiba Gondoruwo Patah Hati semburkan
pertanyaan pada Naga Kuning.
"Perlu apa aku mengikuti nenek geblek itu"!" jawab Naga Kuning.
"Di sini di hadapanku kau berani menyebutnya nenek geblek. Tapi waktu di Negeri
Latanahsilam, apa yang teriadi antara kau dengan dia" Tadi dia berkata ada halhal yang belum tuntas. Perlu dibicarakan...."
"Nenek itu ngacok! Otaknya pasti miring!" jawab Naga Kuning. "Kalau kau tidak
percaya tanya saja pada Wiro. Memangnya aku pernah bikin apa dengan dia?"
Gondoruwo Patah Hati berpaling pada Wiro. Sang pendekar hanya bisa diam sambil
garuk-garuk kepala.
"Temanmu tak bisa bicara, tak bisa menjawab. Berarti memang sudah teriadi apaapa antara kau denan dia!"
"Bagaimana bisa bicara, bisa menjawab" Dia sendiri selama di Latanahsilarn
banyak bermain dengan para gadis bahkan pada janda!" Satu suara menyahuti di
balik semak belukar.
Yang bicara ternyata Hantu Penjunjung Roh.
"Nenek setan! Mulutmu usil sekali!" teriak Wiro sambil angkat tangan hendak
menghantam dengan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam besar. Tapi
si nenek keburu berkelebat lenyap sambil tertawa cekikikan.
"Nah, dugaanku ternyata tidak meleset!" kata
Gondoruwo Patah Hati sambil delikkan mata pada Naga Kuning.
"Sumpah! Aku tidak pernah berbuat apa-apa!" kata Naga Kuning pula.
"Bersumpah saja sama setan telaga!" tukas si nenek lalu memutar tubuh hendak
berkelebat pergi. Naga Kuning cepat menghalangi sambil pegang lengan si nenek.
Di balik pohon besar tak jauh dan situ Hantu Penjunjung Roh tertawa cekikikan


Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan dua orang yang bertengkar itu.
"Rasakan... rasakan...." katanya berulang kali lalu tinggalkan tempat itu.
Karena pertengkaran antara si nenek dan Naga Kuning semakin menjadi-jadi, Wiro
segera mendatangi mereka untuk melerai.
"Nek, tadi kau menasihati diriku. Sekarang giliranku. Mengapa ucapan nenek gila
tadi kau masukkan dalam hati" Bukan mustahil dia sengaja mengadu domba dirimu
dengan Naga Kuning.
Pergunakan akal sehat, kerahkan segala daya dan pikiran. Jangan terjebak dalam
kemarahan. Bukan begitu katamu tadi?"
"Nasihatmu boleh kau telan sendiri, anak muda. Aku sudah tidak percaya pada
kalian berdua. Puluhan tahun aku menyiksa diri hanya untuk menunggu orang yang
kukasihi. Ternyata orang itu hanya seorang manusia rongsokan berhati culas,
mengobral cinta di mana-mana...."
"Intan, jangan kau menuduhku seperti itu. Aku...."
Gondoruwo Patah Hati sentakkan lengannya yang dipegang Naga Kuning lalu
tinggalkan tempat itu. Si bocah segera mengejar tapi tangannya cepat dipegang
Wiro. "Sialan! Apa-apaan ini?" teriak Naga Kuning. "Lepaskan tanganku! Jangan ikut
campur urusan"Tenang manusia rongsokan," Wiro tirukan ucapan Gondoruwo Patah
hati. "Percuma kau mengejar. Nenek itu sedang sewot setengah mati. Biarkan dulu
sampai hatinya tenang dan jalan pikirannya jernih nanti juga sadar sendiri..."
"Kau juga manusia rongsokan. Mengapa tadi diam saja, tidak mau membantuku"!
Awas! Nanti aku beri tahu pada Anggini, Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung siapa-siapa
saja pacarmu di Latanahsilam!"
"Weeehhh"! Kenapa kau jadi punya otak kotor begitu?" tanya Wiro.
"Habis, kau tidak punya rasa setia teman. Tidak mau menolong teman sendiri!"
jawab Naga Kuning gemas lalu tarik tangannya dan mengejar ke arah Ienyapnya
Gondoruwo Patah Hati.
Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa berdiri melongo sambil garuk-garuk kepala.
*** BASTIAN TITO SI CANTIK DALAM GUC!
DI TENGGARA Samigaluh terdapat s?tu hutan belantara kecil. Walau letaknya tidak
jauh dan Kotaraja dan di dekat situ ada sebuah jalan tanah menuju Purworejo
namun hampir tidak ada orang yang berani masuk ke dalam hutan tersebut. Jangankan masuk, berada di sekitar pinggiran
hutan saja tidak ada yang mau. Konon di tempat itu bersarang satu komplotan
rampok ganas yang telah berkali-kali dikejar untuk ditumpas oleh pasukan
Kerajaan namun selalu berhasil lolos.
Memang dalam dua tiga kali penggerebekan beberapa anggota rampok dapat dibunuh
namun pimpinannnya, seorang yang dipanggil sebutan Warok Jangkrik selalu dapat
meloloskan diri. Bila keadaan telah aman, kembali dia malang melmntang melakukan
kejahatan dan menjadikan hutan Samigaluh sebagai sarangnya.
Pimpinan rampok itu dipanggil Warok Jangkrik ada sebabnya. Pertama kulit muka
dan tampangnya berwarna hitam pekat seperti jangkrik keliongan. Kedua setiap
sedang marah dia selalu keluarkan kata-kata makian "Jangkrik!"
Selain keberadaan komplotan rampok pimpinan Warok Jangkrik di hutan belantara
Sarnigaluh juga terdapat binatang buas. Kabarnya di situ berkeliaran tiga ekor
harimau besar. Satu jantan, dua betina dengan beberapa ekor anaknya. Tidak heran kalau keadaan
rimba Samigaluh dan sekitarnya selalu diselimuti kesunyian. Bahkan kicau
unggaspun nyaris tidak pernah terdengar seolah burung-burung tak ada yang berani
datang ke tempat itu. Namun pagi itu suara kesunyian dipecahkan oleh gemeretak
derak roda gerobak.
Kendaraan yang sudah reyot ini dikemudikan oleh seorang lelaki berpakaian hitam
berloreng putih, celana komprang hitam. Di bawah destar hitam yang ada di atas
kepalanya kelihatan tampangnya yang seram, mata besar merah, kumis melintang,
cambang bawuk meranggas kasar tak terpelihara.
Tiga orang berkuda bergerak mengelilingi gerobak itu. Dua di kiri kanan, yang ke
tiga di sebeIah belakang. Baik pakaian maupun tampang ke tiga orang ini tidak
beda dengan tampang lelaki yang bertindak sebagai sais gerobak. Malah yang
berkuda di sebelah belakang selain tampak paling garang juga berdandanan aneh.
Di lehernya melingkar sebuah kalung. Mata kalung berbentuk benda empat persegi
pipih warna hitam, mungkin ini sebangsa jimat. Lalu dua telinganya dicanteli
anting-anting besar bulat warna kuning, terbuat dan emas. Anting-?nting yang
sama juga me?cantel di cuping hidungnya sebelah kiri yang tebal mekar. Inilah
Warok Jangkrik, pimpinan rampok hutan Samigalih.
Seekor kuda tanpa penunggang, diikatkan ke gerobak mengikuti rombongan.
Di atas gerobak ada dua orang penumpang. Yang pertama seorang kakek berambut
putih, duduk menielepok di lantai gerobak. Wajahnya yang keriputan kelihatan
pucat pasi pertanda orang tua ini tengah dilanda satu rasa takut yang amat
sangat. Bibirnya bergetar tanda dia tidak henti-hentinya melafalkan sesuatu,
memohon perlindungan dan keselamatan dan Yang Maha Kuasa. Agaknya ada satu
bahaya besar yang tengah mengancam dan menakutkan orang tua ini.
Di samping si orang tua, di atas gerobak ada seorang anak le!aki berkulit
kuning, berwajah cakap.
Walau baru berusia sepuluh tahun tapi sosoknya kelihatan tinggi tegap melebihi
anak-anak seusianya. Berlainan dengan si kakek, anak ini unjukkan wajah tenang.
Mata menatap lurus ke depan, tangan kanan memegang pinggiran gerobak. Walau
gerobak itu berialan kencang dan sesekali kejeblos masuk ke dalam lobang si
bocah tetap saja tenang. Tubuhnya hanya bergoyang sedikit seperti dia memiliki
ilmu meringankan tubuh. Berulang kali si kakek menyuruhnya duduk tapi si anak
tetap saja berdiri.
Sampai di pinggiran hutan Sarnigaluh lelaki yang berkuda di belakang gerobak
angkat tangan dan berseru memerintahkan berhenti. Dua penunggang kuda segera
hentikan kuda masingmasing Sais hentikan kuda penarik gerobak.
"Lemparkan dua kunyuk itu keluar gerobak!" Warok Jangkrik berikan perintah.
Dua anggota rampok segera mendatangi gerobak. Satu mencekal si orang tua, satu
lagi mencekal Si bocah. Tapi si bocah cepat berkelit hingga dia tak sampai
dicekal. Anak ini memegang tangan rampok yang mencekal si orang tua"Lepaskan!
Jangan sakiti kakekku' Kalau dia harus turun biar saya yang menolong!"
"Bocah setan! Makan tamparanku!" hardik anggota rampok yang mencekal si kakek.
Tangannya bergerak. Sesaat lagi tamparan keras itu akan mendarat di si bocah
tiba-tiba Warok Jangkrik angkat tangan memberi isyarat.
"Turuti katanya. Biar bocah itu membantu kakeknya turun dan gerobak!" Kata Warok
Jangkrik sambil matanya menatap si bocah dan tangan kiri mengusap-usap janggut
kasar di dagunya. Ada. sesuatu yang terpikir di benak pimpinan rampok ini saat
itu. Dua anak buah Warok Jangkrik, terutama yang barusan hendak menampar jadi heran.
Tidak biasanya pimpinan mereka berlaku seperti itu. Warok Jangkrik yang ditakuti
di delapan penjuru angin kawasan rimba belantara Sarnigaluh, hari itu tunduk
pada ucapan seorang bocah ingusan!
"Warok...." anggota yang tadi hendak menampar, berjuluk Si Comot keluarkan
ucapan. Julukan ini diberikan karena dalam merampok apapun yang kelihatan di matanya
mesti dicopot (disikat). Selain itu dia juga suka mencomot (memegangi) tubuh
orang-orang perempuan yang menjadi korbannya. Anggota rampok yang satu lagi
dipanggil dengan sebutan Si Codet, karena di keningnya ada cacat besar dan
panjang bekas hantaman senj?ta tajam.
"Comot, ikuti saja kemauan anak itu," Warok Jangkrik memotong ucapan anak
buahnya. Comot tidak berani bicara lagi. Rampok yang mencekal si kakek lepaskan
cekalannya. "Kek, mari kita turun. Ayo saya tolong...." Si bocah berkata seraya memegang dua
bahu kakeknya. Perlahan-lahan si kakek bangkit berdiri dari lantai g?robak lalu
dengan ditolong Si bocah dia turun dan kendaraan itu.
Setelah kakek dan cucunya turun, Warok Jangkrik segera melompat turun dari
kudanya. Dua anak buahnya, Si Comot dan Si Codet sudah lebih dulu berdiri di kiri kanan
kakek dan cucunya.
Setelah memandang. kedua orang itu beberapa ketika, Warok Jangkrik membuka
mulut. "Orang tua, kau punya nama Kalimanah, betul?" Dengan wajah takut-takut Si kakek
membungkuk, membenarkan ucapan kepala rampok itu.
"Ki Kalimanah," Warok Jangkrik bicara agak sopan. Menyebut si kakek dengan
panggilan Ki kependekan Aki yang berarti Pak atau Bapak. Kembali dua anak buah
Warok Jangkrik terheran-heran melihat sikap pimpinan' mereka. Warok Jangkrik
meneruskan ucapannya.
"Setahuku kau bekerja di Keraton. Betul?"
Kembali si kakek mengiyakan sambil membungkuk. "Apa tugasmu di Keraton?"
"Saya, saya cuma seorang perawat kuda Sri Baginda."
"Hemmm.... Sudah berapa lama Ki Kalimanah bertugas sebagai perawat kuda Sri
Baginda?" "Sudah lama sekali. Sejak mulai dan almarhum Raja Tua, ayahanda Raja
yang sekarang. Sekira lima puluh tahunan...." jawab Ki Kalimanah. Karena orang
mengajaknya bicara secara baik-baik, rasa takutnya agak surut. Wajahnya yang
tadi pucat kirii mulai berdarah.
Warok Jangkrik tertawa lebar. Dia memandang pada dua anak buahnya. "Ketika Ki
Kalimanah mulai bertugas jadi perawat kuda Keraton,kalian berdua masih belum
lahir. Aku sendiri baru jadi bayi berumur satu tahun! Ha... ha... ha! Orang tua,
sungguh luar biasa pengabdianmu pada Kerajaan...."
"Saya cuma orang kecil Den," jawab Si orang tua, memanggil si kepala rampok
dengan sebutan Raden.
Dipanggil raden Warok Jangkrik jadi senyum-senyum.
"Bocah ini, apamu Ki Kalimanah?" tanya Warok Jangkrik.
"Dia cucuku satu-satunya."
"Bocah, siapa namamu" Berapa usiamu?"
Ditanya orang, dengan sikap tegak Si bocah menjawab. "Nama saya Boma Wanareja
Usia sepuluh tahun."
Warok Jangkrik tersenyum dan angguk-anggukkan kepalanya. "Bocah berani," katanya
dalam hati. Sejak tadi dia memang sudah merasa kagum akan sikap dan gerak-gerik
anak ini. "Ki Kalimanah dan kau bocah bernama Boma Wanareja. Kalian tahu hutan apa yang
ada di belakang kalian?" tiba-tiba Warok Jangkrik bertanya sambil melangkah
mengelilingi ke dua orang itu.
Kalimanah memang sudah tahu kalau saat itu mereka berada di mana. Sebaliknya
Boma Wanareja sama sekali tidak tahu apa-apa. Karena itu kalau kakeknya
kelihatan mengkerut kecut, si anak malah celingak celinguk melihat-lihat ke
dalam hutan. "Ki Kalimanah, kalau kau tahu harap menjawab!" Suara Warok Jangkrik berubah
keras. Agak gemetar dan terbungkuk-bungkuk si kakek menjawab. "Kalau... kalau saya
tidak salah menduga, ini adalah hutan Sarnigaluh...."
Mata Warok Jangkrik membesar. Lalu kepala rampok ini tertawa bergelak. "Bagus,
kau sudah tahu berada di mana. Tidak percuma lima puluh tahun jadi perawat kuda
Istana kalau tidak tahu apa nama hutan i?i!"
Lain halnya dengan Si bocah. Selama ini Boma Wanareja hanya mendengar cerita
berbagai cerita seram tentang hutan itu. Benar tidaknya dia tidak pernah tahu.
Biasanya anak ini punya sikap yang tidak akan percaya akan sesuatu sebelum
menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Itu sebabnya saat itu dalam dirinya
tidak ada rasa takut dan dia berdiri acuh-acuh saja.
"Ki Kalimanah, beberapa wakti lalu tersiar kabar bahwa Sri Baginda ketika
selesai berkuda telah ketinggalan sebuah benda di kantong perbekalan yang
tergantung di leher kuda. Sewaktu kantong itu kau ambil dengan maksud mau
diserahkan pada Sri Baginda, tak sengaja k?ntong terjatuh.
Sebagian isinya keluar dan jatuh di Iantai kandang. Salah satu dan benda yang
jatuh itu adalah satu lipatan kulit kambing. Kau membukanya. Kau masih ingat
kejadian itu Ki Kalimanah...?"
Wajah si orang tua yang baru saja mulal berseri dan rasa takutnya yang perlahan
sirna, mendadak sontak kambuh kemb?li. Ki Kalimanah kelihatan pucat. Degup
jantungnya berdetak keras. Tubuh gemetar. Apa yang ditanyakan kepala rampok di
hadapannya itu merupakan satu rahasia besar menyangkut Kerajaan.
"Ki Kalimanah, jawab pertanyaanku! Kau masih ingat?"
Si orang tua tak segera menjawab. Dia melirik sebentar pada cucunya.
Lirikan ini mempunyai arti bagi Warok Jangkrik.
"Ki Kalimanah, aku sudah tidak sabar menunggu jawabanmu. Jangan bikin aku
marah!" "Saya... saya memang ingat, Den," Ki Kalimanah akhirnya bicara.
"Bagus, apa yang kau lihat Ki Kalimanah?" Tubuh si orang tua makiri bergetar.
Wajahnya tambah pucat. Bibirnya bergetar.
"Apa yang kau lihat Ki Kalimanah?" bentak si kepata rampok.
"Kek!" tiba-tiba Boma Wanareja berseru. "Jangan kau menjawab! Jangan ceritakan
apa yang kau lihat!"
"Jangkrik!" Warok Jangkrik berteriak marah. Beginilah kalau dia sedang marah.
Selalu menyemprotkan kata-kata "jangkrik" yang membuat dia dijuluki Warok
Jangkrik. Saat itu sang warok bukan cuma berteriak marah tapi juga melangkah ke
hadapan si bocah lalu menjambak rambut Boma Wanareja. Karena anak ini berambut
panjang maka jambakan yang keras oleh tangan yang besar kukuh pasti sakit
sekali. Tapi Boma cuma pencongkan hidung, bukan meringis malah kelihatan seperti
mengejek! "Bocah jangkrik! Aku bicara pada kakekmu! Sekali lagi kau berani membuka mulut
kupec?hkan kepalamu!"
Warok Jangkrik lalu bantingkan tubuh anak itu hingga Boma terhenyak ke tanah.
Sibocah menggeliat menahan sakit. Kepalanya digeleng-geleng, mungkinuntuk
menghilangkan rasa sakit dan pusing.
Warok Jangkrik dekati si kakek lalu kembali ulangi pertanyaannya tadi.
"Apa yang kau lihat Ki Kalimanah" Apa yang kau lihat dalam lipatan kulit kambing
itu...." "Saya... saya...."
"Kek!" seru Boma.
"Ki Kalimanah!" bentak Warok Jangkrik.
"Saya... saya melihat gambar...."
"Hanya gambar?"
"A... ada tulisan...."
"Jelaskan gambar apa, tulisan apa"!" bentak Warok Jangkrik.
"Sa... saya tidak tahu, Den...."
"Jangkrik kurang ajar! Jelas tadi kau bilang kau melihat gambar dan tulisan.
Sekarang ditanya bilang tidak tahu!"
"Plaakkk!"
Warok Jangkrik tayangkan satu tamparan ke muka Kalimanah hingga kakek ini
menierit kesakitan. Tubuhnya melintir lalu jatuh ke tanah dengan bibir pecah
brerdarah. "Manusia jahat! Kau apakan kakekku!" teriak Boma Wanareja. Tidak menunggu lebih
larna bocah usia seputuh tahun ini. melompat meneriang ke arah Warok Jangkrik.
Tangan kanannya menderu ke kepala pimpinan rampok hutan Sarnigaluh ini.
BASTIAN TITO SI CANTIK DALAM GUCI
JANGANKAN bocah sepuluh tahun seperti Boma Wanareja, cucu Ki Kalimanah, seorang
berkepandaian silat tinggi sekalipun tidak bakal mudah menyerang dan menjatuhkan
pukulan, apa lagi ke arah kepala Warok Jangkrik.
Melihat Si bocah menyerangnya marahlah pimpinan rampok hutan Sarnigaluh ini.
"Bocah jangkrik edan!" maki Warok Jangkrik.
Sekali tangan kirinya bergerak dia berhasil menangkap lengan kanan Boma
Wanareja. Tetapi satu hal tak terduga teriadi. Kepala rampok itu memang berhasil menangkap
tangan yang memukul, namun begitu tangannya kena dicekal Boma Wanareja hantamkan
tangan kirinya ke muka Warok Jangkrik.
"Bukkk!"
Jotosan Boma tidak keras dibanding pukulan orang dewasa. Tapi karena yang kena
dihajar adalah bagian hidung Warok Jangkrik yang besar lunak, maka rasa sakit
cukup menyengat.
Malah bagian daging cuping hidung yang diganduli anting-anting bundar terbuat
dan emas kelihatan luka serta kucurkan darah.
"Juuaaangkrikkkk!" teriak Warok Jangkrik menggeledek, menahan sakit dan marah.
Sekali tanganhya bergerak, jotosannya mendarat di dada Boma. Anak lelaki usia
sepuluh tahun ini mencelat sampal tiga tombak, terbanting jatuh di tanah. Itupun
masih terguling-guling sampai beberapa langkah. Sambil pegangi dada dan
mengerang menahan sakit Boma Wanareja terhuyung-huyung bangkit berdiri. Dia
merasa ada sesuatu yang hangat dan agak asin di bibirnya.
Ketika diusap dengan belakang telapak tangan ternyata darah. Anak ini jadi


Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merinding. Seumur hidup baru sekali itu dia melihat darahnya sendiri.
Boma coba berdiri, maju tiga langkah ke arah Warok Jangkrik. Megap-megap dia
berkata. "Manusia jahat! Beraninya hanya pada orang-orang lemah seperti kami! Kau boleh
bunuh diriku! Tapi jangan sakiti kakekku!"
"Bocah edan! Warok, biar kuhabisi anak keparat ini!" teriak Si Codet. Dia
bergegas handak menghantam batok kepala Boma Wanareja dengan tangan kanannya.
ini bukan pukulan biasa Sekali mengenai sasaran, batok kepala anak itu pasti
rengkah! "Codet! Biarkan dia!" Warok Jangkrik berkata sambil usap hidungnya yang
berdarah. Kepala rampok ini lalu dekati si kakek.
"Ki Kalimanah!" bentak sang Warok. "Gambar dan tulisan apa yang kau lihat di
lipatan kulit kambing itu" Jawab! Jangan berani dusta!"
"Sa... saya tidak tahu Den. Benar-benar tidak tahu. Saya ini buta huruf. Tidak
bisa membaca, ora iso nulis...."
"Jangkrik!" Warok Jangkrik hentakkan kaki kiriya ke tanah hingga tanah amblas
seperempat jengkal. Dia melangkah mundar-mandir beberapa lamanya lalu berhenti
di hadapan Kalimanah...."
"Menurut cerita, setelah melihat lipatan kulit kambing, sebelum kau serahkan
pada Sri Baginda, benda itu k?u berikan dan kau perlihatkan lebih dulu pada
cucumu itu, yang biasa menolongmu di tempat perawatan kuda Istana. Benar?"
"Benar, Den.... Tapi dia juga tidak tahu apaapa...." jawab Ki Kalimanah.
"Akan aku lihat!" kata sang Warok pula. Lalu dia melangkah mendekati Boma
Wanareja. Langsung menjambak rambut si anak. "Lekas bilang, gambar apa dan tulisan apa
yang tertera di kulit kambing itu"!"
Boma gelengkan kepala. "Saya tidak tahu...."
"Plaakkk!"
Satu tamparan menghajar mukanya membuat Boma melihat segala sesuatu di
sekelilingnya termasuk si kepala rampok seperti berputar. Kalau sebelumnya
jotosan Warok Jangkrik telah menimbulkan luka dalam yang mengucurkan darah dan
mulutnya, maka kirii tamparan menambah banyaknya darah yang mengucur karena
salah satu sudut bibirnya tampak pecah.
Boma megap-megap menahan sakit sampai air mata membersit dan ke dua matanya.
"Katakan apa yang kau lihat! Gambar apa"! Tulisan apa"!" Warok Jangkrik
membentak. Boma geleng-gelengkan kepala. Malah seenaknya dia meludah ke tanah. Entah
disengaja entah tidak yang jelas sebagian semburan Iudah itu membasahi celana
hitam dan kaki Warok Jangkrik.
"Benar-benar bocah jangkrik kurang ajar! Biar kubunuh kau sekarang juga!"
"Aku tidak takut mati! Bunuh saja!" sahut Boma dengan beraninya. Lalu dia
berpaling pada Ki Kalimanah yang masih terkapar di tanah. "Kek! Lari kek!
Selamatkan dirimu!"
Tapi Ki Kalimanah tidak beranjak dari tempatnya. Malah kakek ini membalas ucapan
cucunya dengan berkata pada Warok Jangkrik.
"Warok, anak itu tidak punya salah tidak punya dosa! Jika kau ingin membunuh,
bunuh saja aku yang sudah tua dan tak ada guna hidup Iebih lama. Tapi aku mohon
bebaskan cucuku.
Aku berjanji tidak akan mendendam sampai ke liang kubur sekalipun!"
Warok Jangkrik mendengus. "Bangkai tua sepertimu tidak dibunuhpun akan mati
sendiri!" Sang Warok kemudiari dekati Boma. Dia letakkan kaki kirinya di atas dada anak
ini. Sekali dorong saja Boma jatuh tertelentang. Belum sempat Boma bergerak,
kaki kanan Warok Jangkrik sudah menginjak dadanya.
"Bocah sialan! Sekali aku menggerakkan kakiku dadamu akan ambrol! Tulang dadamu
akan amblas, jantungmu hancur! Kau akan mampus' Tahu"!"
Boma Wanareja bukannya takut malah dia menyeringai.
"Teruskan niat jahatmu! Aku bersumpah jika mati akan jadi setan dan mengejarmu
sampai ke nerakan sekalipun!"
"Bocah sombong!" maki Si Codet.
"Biar kucabut lidahnya agar tahu rasa!" ucap Si Comot.
Warok Jangkrik tertawa bekakakan mendengar ucapan Boma Wnareja. Diam-diam dalam
hatinya rasa yang tadi sudah mampir di pikiran serta hatinya, kembali membayang.
"Bocah jangkrik! Kau boleh saja tidak takut mati! Tapi apa kau tidak kasihan
pada kakekmu ini" Aku akan menyuruh dua anak buahku menyiksanya sampai tubuhnya
jadi lumat. Dagingnya kemudian akan kujejalkan ke dalam mulutmu!"
Bagaimanapun hebatnya keberanian Boma, bagaimanapun tabahnya hati anak ini namun
mendengar maksud Warok. Jangkrik hendak menyiksa dan membunuh kakek yang sangat
disayanginya itu, bergetar juga nyali dan hatinya. Tapi karena satu keyakinan
sudah sejak lama tertanam dalam dirinya yakni tidak percaya begitu saja akan
sesuatu sebelum melihat dengan mata kepala sendiri maka anak ini menjawab ucapan
Warok Jangkrik.
"Terserah padamu. Kau mau menyiksa dan membunuh kakekku, aku tidak perduli. Tapi
sampai kiamat dariku kau tidak bakal mendapat keterangan apa-apa!"
"Bocah gendeng!" maki Si Codet seraya dorong bagian belakang kepala Boma dengan
tangan kanannya kuat-kuat hingga anak ini tersungkur ke depan.
"Bocah jangkrik! Kau bilang begitu hah" Bagus! Aku mau lihat sampai di mana
nyalimu!" Warok Jangkrik berkata.
Tiba-tiba srettt! Sang Warok hunus golok besar yang selalu disiapkan secara
aneh, yakni di bagian belakarig pinggangnya. Senjata ini di!emparkannya pada Si
Codet. "Tabas leher tua bangka tak berguna itu!" perintah sang Warok.
Anggota rampok yang bernama Si Codet sambuti golok yang melayang di udara. Lalu
sekali lompat saja dia.sudah berada di hadapan Kalimanah.
Tak banyak bicara Si Codet lantas saja babatkan golok besar berkilat ke arah
batang leher Ki Kalimanah.
"Tunggu! Jangan bunuh kakekku! Saya mau bicarar' Tiba-tiba Boma Wanareja
berteriak. "Tahan golok!" berseru Warok Jangkrik.
Walau kesal Si Codet terpaksa tahan tabasan golok di tangan kanannya. Tubuhnya
sampal terhuyung sakirig derasnya sabatan yang harus ditahannya.
"Bocah jangkrikt Apa yang hendak kau katakan!" Warok Jangkrik melangkah ke
hadapan Boma Wanareja.
"Saya akan katakan gambar dan tulisan apa yang ada pada kulit kambing itu. Tapi
saya hanya mau memberi tahu dengan satu syarat!"
"Bocah sinting!" maki Si Comot.
"Katakan apa syaratmu"!" Warok Jangkrik bertanya.
"Bebaskan kakek Kalimanah. Setelah itu baru saya akan memberi tahu." Jawab Boma.
"Baik. Saat ini juga kakekmu kunyatakan bebas. Dia tidak akan kami apa-apakan!"
kata Warok Jarigkrik p?Ia.
Boma tersenyum dan geleng-gelengkan kepala.
"Jangkrik! Mengapa kau menggeleng-geleng"!" bentak pimpinan rampok.
"Caranya tidak seperti katamu. Siapa percaya ucapanmu!"
"Anak sial! Berani kau menghina pimpinan kami!" Si Comot angkat kaki kanannya.
Hendak ditendangkan ke rusuk Boma.
- "Comot! Tahan dulu! Aku mau tahu apa maunya bocah jangkrik sialan ini ! Ayo
katakan apa maumu!"
"Naikkan kakek Kalimanah ke atas kuda yang tertambat di gerobak itu
"Bocah sial! Enak saja kau bicara! Itu kudaku!" kata sais gerobak yang juga
adalah anak buah Warok Jangkrik. Dia biasa dipanggil dengan sebutan Si Galah
Cekirig karena tubuhnya kurus tapi jangkung.
"Aku akan turuti perinintaanrnu. Masih ada kemauanmu yang lain"!" tanya Warok
Jangkrik pada Boma Wanareja.
"Warok...." Si Galah Cekirig hendak menyatakan keberatannya. Tapi di bawah
pelototan mata Warok Jangkrik, sang anak buab akhirnya hanya bisa bungkam walau
hatinya mendumal panjang pendek.
"Naikkan kakek Kalimanah ke atas kuda sekarang juga. Biarkan dia pergi dan
sini...." "Codet! Naikkan tua bangka itu ke atas kuda!" perintah Warok Jangkrik.
Si Codet yang diam-diam jugasemakiri kesal melihat perbuatan pimpmnannYa yang
mau saja tunduk dan ikuti perintah bocah ingusan itu lakukan apa yang
diperintah. Sebelum naik ke atas kuda Ki Kalimanah memandang pada cucunya- lalu berkata.
"Boma, nyawaku tidak ada artinya. Mengapa kau berbuat senekad itu.
PerampokPeramP0k jahat ini akan tetap membunuhmu setelah kau menerangkan gambar
dan tulisan yang kau lihat. Satu hal yang aku tidak suka B?ma. Apa yang kau
lakukan adalah satu pengkhianatan besar terhadap Sri Baginda dan Kerajaan."
"Kek, naiklah ke atas kuda. Pergi selagi ada kesempatan," kata Boma pula. Tanpa
ada lain orang melihat anak ini kedipkan matanya memberi isyarat.
Ki Kalimanah tetap merasa kawatir. Ditolong oleh Si Codet dia akhirnya naik juga
ke atas kuda. Si Codet menepuk pinggul kuda. Binatang itu melompat dan
menghambur pergi.
"Apa kemauanmu sudah aku penuhi! Kakekmu sudah pergi! Sekarang lekas terangkan
mengenai gambar dan tulisan yang kau lihat di kulit kambing."
Boma mundur beberapa langkah lalu bersandar ke roda gerobak di belakangnya. Dia
pejamkan mata seperti tengah rnengingat-ingat. sebenarnya dia tengah mengulur
waktu agar kakeknya bisa pergi jauh dan tak mungkin terkejar oleh para perampok
itu. "Bocah jangkrik' Kau mau tidur atau bagaimana"! Jangan berani mempermainkan
aku!" tiba-tiba Warok Jangkrik membentak.
"Kau telah memenuhi permintaan saya. Kakek Ki Kalimanah dalam perjalanan kembali
pulang dengan selamat. Saya berterima kasih pada kebaikanmu. Jika kau berbaik
hati seperti itu masakan saya tidak akan membalas budimu...?"
"Bocah setan!" hardik Si Comot. "Tak perlu bicara panjang lebar! Katakan saja
gambar dan tulisan apa yang kau lihat. Cepat!"
"Harap kalian mau bersabar," jawab Boma.
"Saya harus mengingat-ingat dulu. Saya tidak mau keliru memberi tahu."
"Aku beri kau waktu, tapi tidak terlalu lama! Dan ingat! Awas kalau kau menipu!
Kucincang tubuhmu sampai lumat!"
Boma mengangguk. Punggungnya disandarkan lagi di roda gerobak. Matanya kembali
dipejamkan. Setelah merasa kakeknya sudah cukup jauh maka diapun membuka mata
lalu berkata. "Gambar dan tulisan itu. Kecil tapi cukup jelas. Saya sempat melihat walau cuma
sebentar karena Kakek cepat-cepat mengambilnya. Di atas kulit kambing kering itu
ada empat gambar.
Kalian mungkin tidak percaya. Empat gambar yang saya lihat adalah gambar
kalian...."
"Hah! Jangkrik' Apa"!" Warok Jangkrik terkejut. Keluarkan suara setengah
berseru. "Warok, bocah ini mengada-ada!" kata Si Comot.
"Dia tengah mempermainkan kita!" ujar Si Galah Jangkung.
"Sejak tadi aku tidak percaya padanya. Lebih baik dihajar sampai dia bercerita
apa adanya...."
"Saya memang bercerita apa adanya!" kata Boma pula. "Empat orang dalam gambar
itu wajahnya sama dengan kalian. Apa kalian mau saya berdusta mengatakan empat
orang Itu bukan kalian"!"
Warok Jangkrik dan tiga anak buahnya saling pandang sesaat.
"Sudah, teruskan keteranganmu. Kau melihat gambar empat orang, dengan wajah
seperti kami. Lalu apa yang tertulis di bawah empat gambar?" tanya Warok
Jangkrik. "Yang saya baca waktu itu berbunyi begini Empat rampok jahat terkutuk. Calon
puntung api neraka!"
"Jangkrik jahanam!" teriak Warok Jangkrik marah bukan main.
"Apa kataku! Kita terlalu mempercayai bocah setan ini!" kata Si Comot.
"Kita sudah kena ditipu!" sambung Si Galah Jangkung.
"Biar aku cincang dia saat ini juga!" kata Si Codet yang masih memegang golok
milik Warok Jangkrik.
Saat itu Boma Wanareja yang sejak tadi mengintai kelengahan orang untuk
melarikan diri, melihat kesempatan. Segera saja anak ini melompat ke kiri,
menghambur lari. Tapi baru kabur empat Iangkah pundaknya sudah dicekal si Galah
Jangkung. Begitu kena dicekal rampok ceking jangkung ini lemparkan Si bocah ke
arah Si Codet. Selagi Boma terhuyung-huyung, Si Codet bacokkan goloknya.
"Wuttt!"
Yang diarah tepat pertengahan kening dan batok kepala Boma.
SESAAT kepala Boma Wanareja nyaris akan terbelah oleh bacokan golok di tangan Si
Codet tiba-tiba Warok Jangkrik berteriak.
"Codet! Tahan dulu!"
Seperti tadi untuk ke dua kalinya anggota rampok ini terpaksa tahan bacokannya,
itupun hampir melesat. Bagian tajam golok besar di tangannya masih sempat
mengikis putus rambut di kening kanan Boma. Anak ini merasa tengkuknya sedirigin
es. Lututnya goyah. Muka pucat tubuh bergetar.
"Warok! ini kali kedua kau memberi perintah
seperti itu! Apa yang ada di pikiranmu?" Si Codet ajukan pertanyaan yang jelas
menuniukkan rasa tidak senangnya.
"Aku tak ingin bocah ini mampus terlalu cepat! Siksa dia lebih dulu sampai tidak
tahan dan akhirnya memberi tahu kita gambar dan tulisan apa sebenarnya yang
tertera di kulit kambing milik Sri Baginda itu!" Warok Jangkrik melangkah
mendekati Si Codet. Setelah dekat dia berbisik.
"Terus terang aku kagum dengan keberanian bocah satu ini.
Usianya kira-kira dua tiga tahun di atas anakku Si Praptimadasari. Aku berniat
menjodohkan mereka berdua." Si Codet sampai menganga karena tidak percaya mendengar apa yang baru dikatakan
pimpinannya secara berbisik-bisik. Sementara dua kawannya yang lain ingin tahu
apa yang barusan dibisikkan Warok Jangkrik pada Si Codet.
"Warok, aku tidak tahu mau berbuat apa. Harap kau saja yang menangani bocah
ini...." kata Si Codet.
"Kau lihat pohon besar itu?" Warok Jangkrik menuniuk pada sebuah pohon besar
yang banyak dahannya. "Di gerobak ada tali. Cukup panjang. Gantung anak itu kaki
ke atas kepala ke bawah! Biarkan dia tergantung seperti itu sampai akhirnya dia
mau bicara!"
"Mencari pekeriaan yang tidak-tidak saja Warok. Padahal tanpa susah-susah sekali
tabas saja beres sudah!" kata Si Comot. Si Galah Jangkung membenarkan. Si Codet
yang memegang golok diam saja. Akhirnya dia berikan golok pada Warok Jangkrik
lalu melangkah mendekati gerobak. Di dalam gerobak dia memang menemukan seutas
tali kasar dan panjang. Dengan cepat Si Codet membuat buhulan pada salah satu
ujung tali. Lalu ujung satunya dilemparkan ke salah satu cabang pohon besar.
Pada saat itu teriadilah satu hal yang benar-benar tidak terduga dan hampir
tidak dapat dipercaya!
Ujung tali yang telah dibuatkan buhul dan tergeletak di tanah tiba-tiba seperti
hidup, laksana seekor ular melibat pergelangan kaki kanan Si Codet.
"Hai!" Si Codet berteriak kaget. Kaki kirinya ditendang-tendangkan agar libatan
tali terlepas. Baik Warok Jangkrik maupun anggota rampok yang lain menyangka Si
Codet tengah bergurau. Tapi mereka semua jadi berseru terkejut ketika tiba-tiba
ujung tali yang lain seperti ada yang menarik, membuat kaki Si Codet yang
dilibat tali pada ujung satunya tersentak hingga anggota rampok ini terjengkang
lalu jatuh terbanting. Dalam keadaan seperti itu ujung tali di atas pohon
kembali bergerak dengan cepat hingga tubuh Si Codet kirii terbetot naik lalu
tergantung di udara kaki ke atas kepala ke bawah. Ujung tali seperti ada tangan
yang tak kelihatan dilibat kencang di atas cabang.
"Tolong! Hai! Tolong!"
Si Codet menjerit tiada henti. Dia berusaha menyambar tali yang mengikat
pergelangan kakiriya. Tapi tidak berhasil malah kini tubuhnya bergoyang-goyang
kian ke mari, membuat ikatan pada kaki kiriya bertambah kuat. Sakitnya bukan
main. Jerit Si Codet semakin keras.
Para perampok kirii sadar kalau teman mereka tidak bergurau atau main sulap.
"Jangkrik! Apa-apaan ini"!" teriak Warok Jangkrik. Golok di tangan kanannya
dilemparkan ke udara. Senjata itu melesat lalu trasss! Menebas tali sejarak lima
jengkal di atas kaki kanan Si Codet. Begitu tali putus tubuh Si Codet jatuh
deras ke bawah. Si ?odet berusaha jungkir balik agar jatuh ke tanah kaki lebih
dulu. Tapi karena terlalu bingung gerakannya salah.
Malah memperderas jatuhnya. Ketika kepalanya menghantam tanah yang keras
terdengar suara seperti berderak. Warok Jangkrik dan dua anak buahnya sama-sama
palingkan kepala, tidak berani melihat apa yang terjadi. Lalu seperti diberi
aba-aba ke tiganya menjauh, takut kalau-kalau tali yang masih menjulai di
sebelah sana tibatiba berubah hidup dan melibat kaki mereka!
Si Codet terkapar di tanah. Kepala rengkah! Darah mengucur membuat alur merah


Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang di tanah. Boma keluarkan suara seperti mau muntah dan tutupkan lengan
kirinya di depan mata.
Saat itu tiba-tiba lapat-lapat mengumandang satu tawa mengekeh seolah datang
dari rimba belantara Sarnigaluh. Makin lama suara tawa itu makin keras membuat
tengkuk merinding.
Jangankan Boma si bocah kecil, Warok Jangkrik dan anak buahnya saja jadi
tercekat pucat.
Di bawah pohon di mana tali maut masih menjulai muncul satu bayangan putih.
Mula-mula berbentuk samar seperti asap. Saat demi saat berubah jelas. Maka
tampaklah satu sosok orang sangat tua berpakaian selempang kain putih. Wajahnya
tidak kelihatan karena tertutup rambut putih panjang yang menjulai, kumis serta
janggut juga berwarna putih laksana kapas.
Warok Jangkrik tersurut mundur. Si Comot dan Si Galah Jangkung bergerak ke balik
gerobak lalu bergabung dengan pimpinan mereka. Dalam terkesiap tiga penjahat ini
mengira tengah berhadapan dengan hantu penghuni hutan Sarnigaluh. Boma Wanareja
yang lututnya goyah berusaha gerakkan kaki. Tapi dua kaki kirinya laksana
diganduli batu hingga bocah ini tetap berdiri di tempatnya dengan lutut
bergoyang dan tubuh gemetar.
Sesaat berlalu. Suara tawa sirap. Warok Ja?gkrik muncul keberanian. Mulutnya
membentak. "Mahluk putih di bawah pohon. Siapa kau" Apa kau yang barusan membunuh anak
buahku"!"
Mahluk di bawah pohon tertawa bergetak.
"Warok Jangkrik, aku tidak membunuh siapa-siapa. Kau sendiri yang membunuh anak
buahmu! Semua orang di tempat ini sama menyaksikan. Kau menabas tali dengan
golok hingga orang itu jatuh. Kepaa pecah menghantam tanah. Mati! Bukan begitu
kejadiannya" Ha... ha... ha!"
"Jangkrik!" maki sang Warok.
"Jangkrik?" ucap mahluk di bawah pohon besar lalu kembali tertawa bergelak.
"Ya jangkrik! Kau pasti jangkrik hantu rimba belantara Sarnigaluh!" jawab Warok
Jangkrik. Mahluk di bawah pohon makin keras suara tawanya hingga tanah terasa bergetar.
Ranting pepohonan bergoyang, daun-daun berdesir saling gesek.
Tiba-tiba mahluk ini gerakkan tangan. Tali yang masih menjulai panjang di atas
pohon mendadak sontak bergerak hidup lalu melesat ke arah Warok Jangkrik dan dua
anak buahnya. Demikian cepatnya sehingga sebelum sadar apa yang terjadi, sosok Warok Jangkrik,
Si Comot dan Si Galah telah terikat erat. Lalu dari arah pohon besar terdengar
si mahluk serba putih berucap.
"Sekarang giliran kalian bertiga! Aku tidak punya waktu banyak untuk
m?nyelesaikan kalian satu persatu! Jadi kalian biar mati bersama. Agar ada teman
dalam perjalanan menuju neraka!" Terdengar suara dan arah pohon besar. Lalu
sett... sett... sett! Sosok tiga orang yang terikat jadi satu itu perlahan-lahan
naik ke udara, kaki ke atas kepala ke bawah!
"Jangkrik! Jangan!" teriak Warok Jangkrik ketakutan setengah mati. Dua anak
buahnya juga ikut berjeritan. Keringat dirigin membasahi sekujur tubuh dan
pakaian. Seumur hidup mungkin baru kali ini mereka dilanda rasa takut begitu
rupa. "Tobat! Turunkan! Turunkan!"
"Ampunnnn...!" -.
Boma Wanareja yang melihat kejadian itu tanpa sadar tiba-tiba keluarkan
teriakan. "Kek! Jangan! Jangan mereka dibunuh! Lepaskan! Lepaskan saja!"
Aneh. Suara tawa mahluk di bawah pohon mendadak berhenti. Lebih aneh lagi tiga
sos?k rampok yang tadi sudah naik ke udara setinggi setengah tombak kini
perlahan-lahan turun kembali ke bawah hingga Warok Jangkrik dan kawan-kawa?nya
menjejakkan kaki masing-masing di tanah tapi masih dalam keadaan dilibat terikat
tali. "Tiga manusia sesat dan jahat!" Dan arah pohon terdengar suara mahluk serba
putih. "Bocah yang hendak kalian bunuh justru meminta pengampunan bagi diri kalian! Ini
satu pelajaran berharga bagi kalian. Ingat hal itu baik-baik. Saat ini
kulepaskan kalian. Tapi ingat, jika kalian masih menempuh hidup jahat, aku akan
muncul kembali untuk menghukum kalian!"
"Sreettt!"
Tali yang melibat Warok Jangkrik dan anak buahnya tiba-tiba bergerak membuka.
Ketiga orang ini serta merta melompat, siap untuk kabur. Tapi di hadapan Boma
tiba-tiba Warok Jangkrik jatuhkan diri berlutut dan manggut-manggut berulang
kali. Dua anak buahnya meniru apa yang diperbuat pimpinan mereka.
"Bocah jangkrik! Terima kasih... terima kasih! Kau telah menyelamatkan selembar
nyawa kami...."
Habis berlutut ke tiga orang itu melompat bangkit. Melirik ke arah pohon besar.
Sementara Boma terbengong-bengong Warok Jangkrik dan dua anak buahnya tanpa
tunggu lama segera melompat ke atas tiga ekor kuda yang ada lalu menggebrak
kabur dan tempat itu.
Tertinggal seorang diri di dekat mayat Si Codet yang pecah kepala dan masih
mengucurkan darah dan pecahan kepalanya membuat Boma Wanareja - walau
bagaimanapun tabahnya anak ini, malah tadi mampu membuka mulut meininta agar
tiga perampok jangan dibunuh - kali ini nyalinya hampir putus. Lebih-lebih ketika
dilihatnya mahluk serba putih di bawah pohon besar bergerak melangkah ke
arahnya, dengan langkah yang bukan seperti orang biasa berjalan. Mahluk ini
melangkah seolah tidak menginjak tanah. Sesaat kemudian mahluk serba putih itu sudah berdiri di hadapan Boma.
"Kek...." si bocah keluarkan ucapan. Suaranya terdengar tercekat karena lidahnya
serasa kelu. "Saya... saya bukan anak jahat. Jangan... jangan saya diapa-apakan
Kek. Aduh, saya pingin kencing...."
Dan balik rambut putih yang menjulai panjang menutupi kepala dan muka mahluk
serba putih terdengar suara tawa perlahan. Mahluk ini kemudian gerakkan kepala.
Rambut putih yang tadi menutupi wajahnya tersingkap ke samping. Boma kini dapat
melihat jelas wajah orang itu.
Tadinya dia menyangka akan melihat satu wajah menyeramkan. Ternyata yang
disaksikannya adalah wajah seorang tua jernih klimis, dihias sepasang mata
bening tajam di bawah dua alis mata putih. Keseluruhan wajah melukiskan sifat
arif bijaksana penuh wibawa.
"Kek... kau... kau ini siapa...?" tanya Boma Wanareja.
"Boma Wanareja...." Ternyata si orang tua tahu nama si bocah yang membuat Boma
terkejut dan heran. "Aku sudah lama mengikuti dirimu. Memperhatikan tindak
tandukmu. Sayang kita tidak bisa bicara banyak dan panjang di tempat ini. Karena
itu aku akan mengajak kau ke satu tempat...." Sambil bicara orang tua itu
letakkan tangan kirinya di bahu kanan Boma. Si bocah merasa ada hawa sejuk
mengalir memasuki tubuhnya, berkumpul di dada. Saat itu juga rasa sakit akibat
pukulan Warok Jangkrik serta merta lenyap.
Mengerti kalau orang telah menyembuhkannya secara luar biasa Boma rundukkan
tubuh dan berkata. "Orang tua, terima kasih...."
"Eh, kau berterima kasih untuk apa?"
Boma tersenyum. "Bukankah Kakek barusan telah menyembuhkan cidera luka dalam
Mustika Lidah Naga 4 1 Pendekar Bayangan Sukma 3 Petaka Cinta Berdarah Walet Emas Perak 12

Cari Blog Ini