Ceritasilat Novel Online

Si Cantik Dalam Guci 3

Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci Bagian 3


saya akibat pukulan kepala rampok itu?"
Si orang tua tertawa lebar. Dia angguk-anggukkan kepala. Lalu berkata.
"Saatnya aku pergi membawamu, Boma.'
"Kek, kau mau mengajak saya ke mana" Saya... saya ingin cepat-cepat pulang ke
Kotaraja...."
"Kau nanti akan pulang ke Kotaraja. Tapi tidak sekarang...."
"Kek, saya tidak mau ikut bersamamu. Saya punya kakek yang harus saya bantu...."
Wajah jernih si orang tua tersenyum.
"Kakekmu itu. Bukankah dia Kalimanah, perawat kuda Raja di Keraton?"
"Kau... kau kenal kakek saya?"
Si orang tua mengangguk. "Aku juga telah mendapatkan izin dan dia untuk
membawamu."
Boma unjukkan wajah tidak percaya.
"Kau tidak percaya?" tanya si orang tua. "Coba kau lihat ke arah kiri sana...."
Boma palingkan kepala ke arah yang dikatakan si orang tua. Di ujung sana, di
dekat serumpunan semak belukar Boma melihat kakeknya duduk di alas seekor kuda,
kuda milik anggota rampok yang tadi dipergunakannya sewaktu pergi kembali ke
kotaraja. Kalimanah angguk-anggukkan kepala lalu lambaikan tangan pada Boma.
"Aneh," membatin Si bocah. "Mengapa Kakek masih ada di sini. Padahal seharusnya
dia sudah jauh menuju Kotaraja."
"Apa sekarang kau sudah percaya" Kau saksikan sendiri. Bukankah anggukan kepala
dan lambaian tangan kakekmu itu pertanda dia menyetujui dan memberi izin?"
"Saya, saya tidak berpendapat seperti itu." Jawab Boma yang dalam setiap hal
selalu ingin meyakinkan diri lebih dulu. "Saya harus bicara dulu dengan
kakek...."
"Tidak perlu, kakekmu sudah pergi," kata orang tua serba putih.
Boma memandang lagi ke arah di mana tadi kakeknya berada di atas kuda. Memang
benar. Sang kakek dan kudanya tak ada lagi di tempat semula.
"Kalau begitu saya harus menyusulnya...." kata Boma seraya hendak tinggalkan
tempat itu. Tapi tiba-tiba si orang tua menyambarnya. Sesaat kemudian anak ini merasa
dirinya dibawa melayang. Selagi Boma kebingungan atas apa yang terjadi orang tua
yang memanggulnya keluarkan suara.
"Boma, sebenarnya aku sudah berada di tempat tadi sejak kau dan kakekmu
diturunkan dan atas gerobak. Aku ingin bertanya, mengapa para penjahat itu ingin
mencelakaimu dan Kalimanah?"
"Mereka menanyakan sesuatu," jawab Boma.
"Sesuatu apa?"
"Gambar dan tulisan yang terdapat di selembar kulit kambing kering."
"Hemmm... Rupanya gambar dan tulisan itu sangat besar artinya bagi Warok
Jangkrik dan komplotannya. Kalau aku boleh tahu, apa gambar dan tuilsan yang
tertera di kulit kambing itu?"
"Orang tua, tadi kau bilang sudah berada di tempat itu sejak saya dan kakek
diturunkan dan gerobak. Kalau benar, berarti kau mendengar semua ucapan kami.
Sekarang mengapa masih bertanya?"
Si orang tua tertawa lebar. "Anak, kau ternyata cerdik juga. Aku cuma ingin
menguji." "Begitu" Jadi kakek juga ingin tahu gambar dan tulisan di kulit kambing?"
"Kalau kau mau mengatakan."
"Baik. Di kulit kambing itu ada gambar Warok Jangkrik dan tiga anak buahnya.
Lalu ada tulisan di bawah gambar...."
Si orang tua tertawa gelak-gelak.
"Sudah-sudah! Aku sudah tahu itu semua karena sempat mendengar apa yang kau
katakan pada para perampok. Tapi apakah betul gambar dan tulisan itu yang
sebenarnya kau lihat di kulit kambing?"
Boma Wanareja terdiam mendengar pertanyaan orang tua yang membawanya berlari
laksana terbang.
"Kau tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya padaku?"
"Kek, kau telah menolong saya. Sepantasnya saya membalas budi. Tapi kalau
balasan yang kau pinta adalah keterangan tentang gambar dan tulisan yang
sebenarnya, saya tidak dapat memberi tahu."
"Mengapa?"
"lni menyangkut satu rahasia besar dan Kerajaan."
"Kalau kau mengatakan tidak ada yang tahu. Saat ini hanya kita berdua."
"Kek, kau mungkiri lupa. Tuhan melihat dan mendengar segala perbuatan kita."
Kini si kakek yang jadi terdiam.
"Jadi kau tidak mau mengatakan barang sedikitpun rahasia itu?"
"Saya tidak mau berkhianat pada Sri Baginda dan Kerajaan." J?wab Boma.
"Kau anak baik, kau anak baik. Sudahlah, aku tidak akan menanyakan tentang
gambar dan tulisan itu lagi." Si kakek mempercepat larinya. Boma merasa seperti
terbang. Dinginnya angin membungkus ubun-ubun dan daun telinganya.
"Kek...." tiba-tiba Boma berkata.
"Hemm.... Ada apa?"
"Saya jadi tidak enak...."
"Apa yang membuatmu tidak enak?" "Karena saya tidak mau memberitahu tentang
gambar dan tulisan di kulit kambing itu."
"Kau berubah pikiran, bocah cerdik?"
"Berubah tidak tapi.... Maksud saya mungkiri saya bisa memberitahukan tapi
secara tersamar...."
"Kalau begitu coba kau katakan."
"Gambar dan tulisan di kulit kambing itu merupakan petunjuk di mana harta karun
milik Kerajaan disimpan...."
"Aahhh...." Si kakek keluarkan suara tercekat. "Pantas para perampok inginkan
keteranganmu. Pantas pula kau merahasiakan hal itu."
"Kek...."
"Apalagi?"
"Saya meinilih pulang ke Kotaraja daripada ikut denganmu."
"Baiklah, aku akan membawamu pulang," jawab Si kakek.
Boma merasakan ada usapan jan-jan lembut di tengkuknya. Entah mengapa sesaat
kemudian Boma merasa matanya jadi berat mengantuk. Bocah ini menguap lebarlebar. Di lain saat Boma sudah tertidur pulas di atas bahu kanan si orang tua.
BASTIAN TITO SI CANTIK DALAM GUCI
KIAI GEDE TAPA PAMUNGKAS menatap wajah anak usia lima belas tahun itu, yang
dibalas pula dengan tatapan mata bening oleh si anak. Pada wajah masing-masing
jelas kelihatan ada rasa haru. Setelah mengusap janggutnya yang putih menjulai
pahanya yang duduk bersila, orang tua itu berucap.
"Boma, usiamu sekarang lima belas tahun. Berarti kau sudah berada di puncak
Gunung Bismo ini selama jima tahun. Waktu lima tahun berlalu singkat untuk
menggembleng seseorang meniadi pendekar sakti mandraguna. Karena itu pada hari
pelepasanmu ini aku ingin menyampaikan satu pesan, jika tak mau kau anggap
sebagal perintah. Jauh di sebelah barat ada sebuah gunung bernama Gunung Gede.
Di puncaknya diam seorang nenek sakti mandraguna bernama Sinto Weni, berjuluk
Sinto Gendeng. Pergilah ke sana. Aku akan membekalimu dengan sepucuk surat yang
sudah sejak lama aku siapkan. Cari dan temui Sinto Gendeng sampai dapat.
Kalau dia tidak ada di tempat kediamannya, kau harus menunggu sampai dia
kembali. Walau kau harus menunggu sampai kiamat sekalipun, jangan pergi dan
tempat itu sebelum kau menemui Si nenek"
"Kakek, orang sakti di puncak Gunung Gede bernama Sinto Gendeng itu, siapakah
dia sebenarnya" Mengapa saya harus ke sana menemuinya?" Boma Wanareja yang kini
telah jadi seorang pemuda tanggung ajukan pertanyaan.
"Dia adalah salah seorang muridku. Kau menemuinya karena aku hanya memberikan
ilmu tenaga dalam dan hawa sakti padamu. Sebaliknya sesual permintaan yang aku
tuliskan di dalam surat, dan Sinto Gendeng kau akan mendapat pelajaran ilmu
silat tingkat tinggi serta beberapa pukulan sakti. Salah satu di antaranya
adalah Pukulan Sinar Matahari. Jika kau rajin melatih diri, paling cepat kau
baru bisa menguasai ilmu pukulan sakti itu dalam waktu empat tahun."
"Lumayan lama kek. Saya masih ada satu pertanyaan. Nenek sakti di puncak Gunung
Gede itu berjuluk Sinto Gendeng. Apakah dia benar-benar gendeng alias sinting"
Kalau betul, apakah Kakek tidak keliru mengirim saya pada orang seperti itu?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum.
"Sinto Gendeng bukan manusia gendeng atau sinting. Tapi jangan heran, sifat dan
kelakuannya sewaktu-waktu bisa lebih dan gendeng dari orang gendeng dan lebih
sinting dari orang sinting."
"Saya tidak mengerti," kata Boma pula.
"Kau akan mengerti setelah bertemu dengan dia...."
'Setelah saya menemui nenek itu, dan berjodoh mendapatkan ilmu silat serta
pukulan sakti Sinar Matahari, apakah saya harus kembali ke sini menemuimu Kek?"
tanya Boma. "Tidak usah. Aku akan menyusulmu ke Gunung Gede. Sebenarnya aku ingin mengadakan
perjalanan bersamamu tapi ada satu hal penting yang segera harus aku lakukan.
Lagi pula puncak Gunung Bismo di mana lima tahun pernah kau diami ini hanya akan
tinggal sebagai kenangan.
"Maksud Kakek?" tanya Boma.
"Aku tak pernah menetap selama-lamanya di satu tempat. Kediamanku yang
sebenarnya adalah di sebuah telaga yang juga terletak di puncak Gunung Gede,
tapi berada jauh dari kediaman Sinto Gendeng." Kiai Gede Tapa Pamungkas diam
sesaat lalu. melaniutkan. "Boma, Gunung Gede jauh dan sini. Sebaiknya kau
usahakan mencari kuda tunggangan di desa di kaki gunung. Berjalan sejauh itu
seorang diri, apakah kau tidak takut?"
Boma Wanareja tersenyum. "Selama masih berada di bumi Tuhan, ke manapun pergi
saya tidak akan merasa takut, Kek."
Kini si kakek yang tersenyum. "Anak ini luar biasa...." katanya dalam hati. "Ada
satu hal yang Sejak lama ingin kutanyakan. Ingat peristiwa lima tahun lalu di
hutan Sarnigaluh" Waktu aku hendak menghukum Warok Jangkrik dan dua anak
buahnya, kau mencegah aku menghabisi mereka. Padahal mereka telah berlaku jahat
dan ganas terhadap kau dan kakekmu. Mengapa kau berbuat begitu?"
"Saat itu.... Saya merasa apa gunanyamembunuh orang. Mungkin bukan pahala yang
didapat malah sebaliknya mungkin kemurkaan dan Gusti Allah. Lagi pula, kalau
mereka bisa dibuat sadar bukankah itu satu pekerjaan sahabat baik" Menghukum
seseorang belum tentu membuatnya sadar. Tapi mengampuninya mungkin bisa
menyentuh kesadaran yang selama ini jauh di lubuk hatinya, membuat mata hatinya
terbuka lalu menempuh hidup di jalan yang lurus dan benar."
Dua alis putih di atas sepasang mata jernih Kiai Gede Tapa Pamungkas berjingkat
ke atas. Hatinya membatin "Ucapan seperti ini belum tentu aku dengar dan seorang dewasa
sekalipun. Anak ini benar-benan luar biasa. Aku tidak salah memilihnya sebagai murid walau
untuk waktu begitu singkat."
"Boma, aku senang sekali mendengar semua ucapanmu tadi. Namun satu hal harus kau
ingat. Dalam hidup ini kepercayaan bukan segala-galanya. Kelak kau akan menemui
kedustaan dan keculasan serta pengkhianatan datang dari orang-orang di dekat
kita yang same sekali tidak pernah kita duga."
"Karena itu Kek," kata Boma pula, "kepercayaan itu harus kita iringi dengan doa
k?pada Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, agar orang yang kita harapkan bisa sadar
itu ditolong Gusti Allah agar benar-benar keluar dan kesesatan"
Kial Gede Tapa Pamungkas terdiam sesaat. Berbagai, perasaan nuncul dalam lubuk
hatinya. Rasa senang, kagum bahkan tidak bisa percaya kalau anak seusia Boma
bisa mengeluarkan kata kata seperti itu. Untuk beberapa lamanya onang tua ini
duduk bersila dan usap-usap janggutnya yang panjang sambil tak puas-puasnya
menatap wajah bocah yang duduk di hadapannya.
"Kek, nenek sakti di puncak Gunung Gede yang harus saya temui itu, seberapakah
usianya. Pasti sudah tua sekali ya Kek?"
'Aku tak bisa menyebut pasti," jawab Kiai Gede Tapa Pamungkas. "Rasa-rasanya
jauh di atas delapan puluh. Mungkin saja sudah seratusan.... Mengapa kau
tanyakan umur nenek itu, Boma?" "Maaf Kek, saya hanya menghitung-hitung. Kalau
nenek Sinto Gerideng yang jadi murid Kakek saja usianya sudah lebih delapan
puluh tahun, talu kakek sendiri sebagai gurunya berusia berapa?"
Kiai Gede Tapa Pamungkas tersenyum lebar. Dipegangnya kepada Boma Wanareja
seraya berkata "Buat apa menghitung-hitung usia orang lain" Lebih bermanfaat
menghitung usia diri sendiri. Menghitung sambil bertanya dalam hati. Kebajikan
dan ibadah apa saja yang telah kita lakukan selama usia itu...."
Boma ikut tertawa dan anggukkan kepala. "Terima kasih untuk nasihat itu, Kek,"
kata bocah lima belas tahun itu.
Dan balik selempang kain putih yang jadi pakaiannya Kiai Gede Tapa Pamungkas
mengeluarkan dua helai daun lontar kering yang telah dibubuhi tulisan. Benda itu
diberikannya pada Boma seraya berkata. "Serahkan surat ini pada Sinto Gendeng.
Pergilah sekarang juga. Aku akan menyusulmu begitu urusanku selesai. Begitu kau
berangkat pergi, lupakan tempat ini.
Anggap tempat di puncak Gunung Bismo di mana kau pernah tinggal bersamaku selama
lima tahun sebagai sesuatu yang tak pernah ada."
Boma mengambil dua helai daun lontar yang diberikan sang guru. Meletakkan di
pangkuannya lalu menyalami dan mencium tangan Krai Gede Tapa Pamungkas.
Kepalanya dirundukkan setengah diletakkan di atas pangkuan Si orang tua.
"Anak baik, murid baik. Bocah luar biasa.." kata si orang tua dalam hati
berulang kali. (Mengenai riwayat lengkap Kiai Gede Tapa Pamungkas silahkan baca serial Wiro
Sableng beriudul "Pedang Naga Suci 212".)
CAHAYA fajar yang menyingsing jatuh di atas telaga, membuat tatanan warna indah.
Kicau burung-burung masih terdengar di sekitar situ. Lalu, di bawah satu pohon
besar ada suara orang berucap.
"Malam Jum'at Kliwon sudah berakhir. Orang yang kita tunggu tidak muncul."
Yang bicara ini adalah seorang kakek bungkuk berpakaian rombeng, memiliki muka
sepucat mayat, angker membayangkan kelicikan dan maut. lnilah manusia berjuluk
Si Muka Mayat alias Si Muka Bangkai, dedengkot rimba persilatan golongan hitam
yang diketahui sebagai guru Pangeran Matahari, musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Di sebelahnya berdiri seorang nenek bertubuh tinggi semampai yang walaupun sudah
begitu lanjut usia tapi masih berdandan menor. Bibir diberi gincu merah menyala,
alis kerang hitam, bedak tebal, pipi yang keriput diberi warna merah. Di tangan
kanannya nenek ini memegang sebilah golok bersarung perak. Si nenek memandang
dulu sekeliling telaga baru membuka mulut menjawab ucapan Si Muka Bangkai.
"Kita sudah menunggu di pondoknya selama dua pekan. Malam Jum'at Kliwon kita
mendekam di sini sampai pagi begini. Karena biasanya jika nenek keparat itu
berada di sekitar sini pasti dia akan muncul di salah satu tepian telaga ?ntuk
bersamadi. Ternyata dia tidak muncul-muncul. Berarti si keparat itu memang tidak
sedang berad? di sekitar kawasan Gunung Gede...."
"Lalu perlu apa kita berlama-lama di tempat ini" Lebih baik segera saja angkat
kaki dan sini. Bukankah katamu kau masih banyak urusan yang lain?" ujar Si Muka
Bangkai pula. Dia memandang ke langit. "Ada awan mendung di langit sebelah
barat. Pertanda lebih baik kita meninggalkan tempat ini sekarang juga sebelum
hujan turun."
Tapi si nenek menor gelengkan kepala.
"Tunggu sampai tengah han. Jika dia tidak datang baru kita pergi. Aku Nyl Ragil
Tawangalu percuma dijuluki Si Manis Penyebar Maut kalau tidak bisa membunuh
manusia satu itu. Dendam kesumat sudah karatan dalam badanku ingin membantai
Sinto Gendeng...."
"Gara-gara di masa muda dia pernah merampas kekasihmu lalu meninggalkannya
begitu saja...?"
Tampang si nenek kelihatan sengit. Hidungnya keluarkan suara mendengus.
"Kejadian Sinto Gendeng merampas kekasihku memang menyakitkan. Tapi bukan itu
saja kesalahan tua bangka setan itu.
Dia pernah mengobrak-abrik dua perkumpulan rahasia yang aku bentuk untuk
meruntuhkan kerajaan. Semua orang-orangku habis dibunuhinya.Yang masih hidup
diserahkan pada Kerajaan lalu digantung. Aku sendiri kalau tidak sempat
sembunyikan diri di kawasan selatan selama dua tahun tak bakal selamat...."
Si Muka Bangkai perhatikan golok besar di tangan si nenek. "Golok di tanganmu
itu, yang kau ben nama Si Penjarah Nyawa, apa betul itu satu-satunya seniata
yang mampu menghabisi Sinto Gendeng?"
"Aku punya puluhan, bahkan bisa membuat ratusan golok seperti ini. Kesaktian dan
kehebatannya sama. Setiap golok hanya dipergunakan satu kali. Untuk menghabisi
satu nyawa. Golok yang satu ini memiliki daya bunuh dua tiga kali lipat dan yang sudahsudah. Karena itu sengaja kupersiapkan untuk menghabisi Sinto Gendeng. Akan
kutancapkan dalam-dalam di jantungnya agar dia tahu rasa bagaimana sakitnya
kalau kekasihnya dirampas orang...."
"Setahuku bukankah dia juga pernah ditinggal mentah-mentah oleh salah seorarig
kekasihnya" Kalau tidak salah oleh Tua Gila Dan Andalas...."


Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nenek berdandan menor berjuluk Si Manis Penyebar Maut menyeringai. "Itu salah
satu hukum karma baginya. Tapi manusia seperti dia mana ada jeranya. Laki-laki
hanya sebagai permainan baginya. Buktinya sampai saat ini dia tidak pernah
kawin-kawin! Lagi pula...."
Si Muka Mayat angkat tangannya memberi isyarat.
"Tahan bicaramu. Aku mendengar ada suara orang datang...."
Baru saja Si Muka Bangkai berucap tiba-tiba dan arah telaga sebelah timur
berkelebat satu bayangan putih.
"Astaga!" seru Si Muka Bangkai. "Kata orang kalau baru disebut orangnya muncul
berarti orang itu akan panjang umur! Nyi Ragil, lihat siapa yang muncul di
seberang telaga sana."
Nyi Ragil Tawangalu alias Si Manis Penyebar Maut memandang ke seberang telaga
sebelah timur. Saat itu awan mendung di langit barat telah menebar hingga
keadaan di telaga dan sekitarnya menjadi agak redup.
"Kata orang memang begitu. Tapi kata aku Nyi Ragil malah sebaliknya. Sinto
Gendeng tidak muncul. Orang itu pengganti nyawanya. Bukankah dia Si Tua Gila
alias Sukat Tandika kekasih di masa muda yang ditinggal mentah-mentah oleh Sinto
Gendeng?" Saat itu di seberang telaga sebelah timur kelihatan seorang kakek berpakaian
serba putih, bermuka cekung, berambut putih, kumis dan janggut panjang juga
warna putih. Ciri-ciri dan pakaiannya memang menunjukkan bahwa dia adalah Tua
Gila, tokoh silat golongan putih yang punya nama besar dalam rimba persilatan
Pulau Andalas dan juga menggegerkan Tanah Jawa.
Kakek di seberang telaga mendongak ke langit.
"Mendung.... Bakal turun hujan...." katanya. "Sial perialananku sekali ini.
Membuang waktu tapi orang yang dicari tidak bertemu."
Di tempatnya berdiri Nyi Ragil Tawangalu menyeringai.
"Kematian Tua Gila walau bagaimanapun juga pasti akan membuat Sinto Gendeng
sakit hati setengah mati. Dia akan sengsara seumur-umur! Muka Bangkai, apa
kataku. Jika aku turuti ucapanmu tadi buru-buru pergi dan sini, kita tidak akan
dapat rejeki besar ini! Membunuh orang yang pernah mencintai dan dicintai musuh
besarku si Sinto Gendeng! Ha... ha... ha!" Si nenek berdandan menor timangtimang Golok Si Penjarah Nyawa di tangan kanan. Mukanya yang berselemot dandanan
medok membersitkan hawa maut.
Di seberang telaga kakek berpakaian putih angkat kepala sedikit. Telinganya
dipasang baik-baik.
"Aku seperti mendengar suara orang tertawa di kejauhan. Tapi tak ada siapa-siapa
sekitar sini. Ah, mungkiri hanya suara siuran angin. telinga tua ini agaknya
mudah tertipu segala macam pendengaran...." Si kakek tertawa sendiri. Lalu dia
mencari tempat yang baik di tepi telaga. Di atas sebuah batu dia duduk. Dan
balik pinggang dia keluarkan sebuah seruling. Dengan mata setengah terpejam si
kakek mulai meniup serulingnya. Alunan suara seruling turun naik berhiba-hiba.
Rupanya Si kakek tengah membawakan lagu sedih. Mungkin lagu yang menceritakan
tentang seorang gadis ditinggal kekasih.
Tiba-tiba satu bentakan menggeledek di samping kiri si kakek yang tengah asyik
meniup seruling.
"Tua Gila Dari Andalas! Kekasih nenek keparat Sinto Gendeng, kau tak akan pemah
bisa menyelesaikan nyanyianmu! Karena aku Nyi Ragil Tawangalu minta nyawamu
lebih dulu!"
"Aku Si Muka Bangkai juga minta bagian!" Satu suara lain menghardik dan samping
kanan. Kaget orang tua yang tengah meniup seruling bukan olah-olah. Dia segera cabut
serulingnya, melompat mundur sambil tangan kiri kanan dipukulkan ke atas
menangkis dua serangan ganas mengarah batok kepalanya!
"Bukkk!"
"Traakk!"
Kakek berpakaian putih terpental setengah tombak, terbanting ke tanah. Suling
yang dipakainya untuk menangkis patah sedang lengan kiri menggembung bengkak.
"Kalian siapa" Mengapa menyerangku?" Si kakek berteriak seraya berusaha berdiri.
"Tua Gila! Nasibmu apes! Kau muncul di sini hanya untuk menggantikan nyawa busuk
kekasihmu Sinto Gendeng!" kata Nyi Ragil Tawangalu lalu srett! Si nenek cabut
golok Si Penjarah Nyawa. Di sebelahnya Si Muka Bangkai menyeringai.
"Tua Gila"!" kakek berambut putih yang barusan kena hantaman kiri kanan berdiri
termiring-miring dan berseru keras. "Aku bukan tua gila! Aku Datuk Muda Carano
Ameh dari Lima Koto, saudara sepupu Tua Gila!"
Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai sama-sarna terkejut dan saling pandang. Saat itu
langit di atas telaga semakin gelap karena awan mendung bergulung rendah.
"Nyi Ragil, orang mau menipu kita. Jangan percaya mulutnya!" kata Si Muka
Bangkai. "Kakek setan! Sudah mau mampus masih berani menipuku!" bentak Nyi Ragil. Dia
maju selangkah.
"Astagfirullah! Kalian salah sangka! Aku benarbenar bukan Tua Gila. Aku Datuk
Muda...." "Tutup mulutmu! Siapapun kau adanya, selagi ada pertalian darah dengan Tua Gila
tetap akan aku jadikan bangkai!" Nyi Ragil berteriak keras lalu bacokkan
goloknya ke arah si kakek. Si Muka Bangkai tak tinggal diam. Lancarkan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Pukulan ini bukan lain
adalah pukulan Gerhana Matahari, Satu pukulan yang bukan saja menebar cahaya
tiga warna yaitu kuning, hitam dan merah, tetapi juga membuat udara menjadi
tambah kelam. Seperti yang dikatakan si kakek berpakaian putih, dirinya memang bukan tua gila.
Dia adalah saudara sepupu Tua Gila, bergelar Datuk Muda Carano Ameh, seorang
ulama di Lima Koto Andalas yang sepintas lalu memang memiliki ciri-ciri sama
dengan Tua Gila. Kakek ini sama sekali tidak tahu segala macam ilmu silat.
Karenanya mendapat serangan seperti itu dia tidak mampu menangkis ataupun
berkelit selamatkan diri.
Pukulan Gerhana Matahari menghantam Datuk Muda Iebih dulu. Kakek ini menjerit
setinggi langit. Tubuhnya mencelat dua tombak, terpental menghantam pohon.
Perutnya hancur seperti dikoyak binatang buas. Pakaiannya hangus mengepulkan
asap. Terkapar di bawah pohon Datuk Muda masih keluarkan suara erangan. Selagi
manusia malang ini melejang-lejang, Nyi Ragil datang dengan goloknya. Si
Peniarah Nyawa ditusukkan tepat di arah jantung. Datuk Muda Carano Ameh
keluarkan jeritan sekali lagi. Tapi jeritannya sekali ini terputus mendadak
bersamaan dengan melayangnya nyawanya. Datuk Muda menemui ajal dengan tubuh dan
pakaian hangus, mata mendelik dan golok besar menancap di dada. Bersamaan dengan
putusnya nyawa si kakek, hujan mulai turun di atas kawasan telaga.
Nyi Ragil mendongak, keluarkan suara tawa panjang. Air hujan yang melebat
membasahi dan melunturkan dandanan di wajahnya.
"Sinto Gendeng! Kalau kau datang ke tempat ini kau akan saksikan kematian
manusia ini! Kalau kau sadar, nyawamu hanya tinggal beberapa langkah dan hang kubur! Ha...
ha... ha! Aku akan datang kembali mencarimu! Ha... ha... ha!"
Nyi Ragil memberl isyarat pada Si Muka Bangkai. Di bawah hujan lebat ke dua
orang itu lalu tinggalkan tempat tersebut.
BASTIAN TITO SI CANTIK DALAM GUCI
TAK SELANG berapa lama setelah Nyi Ragil dan Si Muka Bangkai tinggalkan puncak
Gunung Gede, di bawah hujan lebat dan arah tenggara muncul seorang anak lelaki
menunggang seekor kuda cokLat. Melihat ada sebuah pohon besar di tepi telaga
anak ini yang bukan lain Boma Wanareja adanya, yang tengah dalam perJalanan
mencari nenek sakti Sinto Gendeng segera arahkan kudanya ke sana. Maksudnya
untuk berhenti dan berteduh. Tapi alangkah kagetnya dia ketika tak berapa jauh
dan pohon besar itu tergeletak sosok seorang tua yang pakaian putihnya bersimbah
darah. Sebuah golok menancap di dadanya. Kuda tunggangan Boma meringkik keras.
Anak ini cepat me!uncur turun. Setengah berlari dia dekati sosok yang tergeletak
di tanah. Seumur hidup baru kali Boma melihat orang dadanya ditancapi golok besar seperti
itu. Dia tak bisa menduga apakah orang tua itu sudah mati atau masih hidup. Rasa
takut membuat bulu kuduknya merindiNg dan lututnya bergetar. Tapi rasa kasihan
juga muncul dalam hati Boma.
Anak ini taRIk dua tangan mayat lau menyeretnya ke bawah pohon agar tidak
kehujanan. Golok yang menancap di dada bergoyang-goyang. Merasa tidak tega, Boma
lalu cabut golok besar itu dari dada mayat. Dia jadi ngeri sendiri karena dan
luka besar di dada kiri mengalir lebih banyak darah. Saat itu kilat menyambar
menerangi kawasan telaga, disusul gelegar su?ra halilintar.
Ketika keadaan terang sekilas tiba-tiba terdengar jeritan membelah langit,
menindih kerasnya suara curahan air hujan dan deru angin.
"Bocah setan! Kau membunuh Tua Gila!"
Dalam kagetnya Boma palingkan kepala. Tangannya masih memegang golok Si Penjarah
Nyawa yang bergelimang darah. Di depan sana, sejarak tiga tombak dia melihat
seorang nenek berwajah seram hitam, dengan kepala ditancapi lima tusuk konde
perak, melompat ke arahnya.
Tarigan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Tangan yang hitam itu kelihatan berubah
meniadi putih perak menyilaukan.
Sadar orang hendak menghantamnya dengan satu pukulan sakti, Boma cepat
berteriak. "Nek, tahan! Bukan aku yang membunuh orang tua ini!"
"Dajal pendusta! Aku lihat sendiri kau mencabut senjata pembunuh itu dari dada
Tua Gila! Mampus! Kau harus mampus!"
"Nek! Tunggu!"
Boma melihat ada kilatan cahaya itu menyambar ke arahnya dengan mengeluarkan
suara menggelegar disertai hamparan hawa panas luar biasa! Boma melompat
selamatkan diri. Tapi terlambat.
"Sinto Weni! Tahan serangan!"
Tiba-tiba ada suara orang berteriak, keras menggelegar.
Satu bayangan putih menyambar. Selarik sinar kebiru-biruan melesat ke arah
Pukulan Sinar Matahari yang barusan dilepaskan Sinto Gendeng, coba menangkis
memapakirinya tapi kalah cepat.
Tubuh Boma Wanareja terpental jauh, bergulingan di tanah. Golok besar di
tangannya mencelat lepas jatuh menghunjam tanah. Sebatas pinggang ke bawah tubuh
anak usia lima belas tahun itu hitam melepuh kepulkan asap. Dan mulutnya
mengucur darah kental disertai erangan tidak berkeputusan. Dua tangannya
bergetar, bergerak-gerak menggapai udara kosong.
Bayangan putih yang tadi lepaskan pukulan tangkisan jatuhkan diri di samping
tubuh si anak sambjl berteriak "Boma!"
Si bayangan putih yang bukan lain adalah Kiai Gede Tapa Pamungkas peluk tubuh
Boma Wanareja. "Kek...." nafas Boma Wanareja megap-megap. Kedua matanya terbuka besar tapi bola
matanya mulai memudar. Pandangannya kabur. Masih terdengar suaranya perlahan,
tinggal menyerupai desah. "Maafkan saya.... Saya tidak dapat menjalankan tugas
darimu. Saya belum dapat menemui nenek Sinto Gendeng...."
Ucapan Boma hanya sampai di situ. Nyawanya putus sudah. Kiai gede Tapa Pamungkas
rangkul tubuh Boma erat-erat. Air matanya jatuh bercucuran.
Di Samping kiri, tegak tertegun seorang nenek berkulit hitam, berwajah cekung
keriput. Matanya membeliak besar. Mulutnya ternganga ingin mengeluarkan ucapan tapi tak
sepotong katapun bisa keluar. Dua mata yang terpuruk dalam rongga cekung itu
tidak mengenali siapa adanya bocah yang ditangisi Kiai Gede Tapa Pamungkas. Si
nenek alihkan pandangannya pada orang tua berambut putih. Tengkuknya mendadak
terapa dingin. Dadanya serasa mau meledak oleh debaran jantung yang tiba-tiba
meletup dahsyat. Dua matanya yang berada dalam rongga dalam seperti mau melompat
keluar. Dia mengenali siapa adanya si orang tua yang telah jadi mayat karena sebelumnya
pernah bertemu sampai dua kali.
"Datuk Muda.... Bukan Tua Gila.... Bukan Sukat Tandika...." desis Si nenek. "Ya
Tuhan, apa sebenarnya yang telah teriadi. Siapa anak yang barusan k?bunuh ini!
Mengapa Kiai memeluk dan meratapi kematiannya. Seumur hidup baru kali ini aku
melihat Kiai menangis...."
Si nenek yang bukan lain Sinto Gendeng adanya merasakan Sekujur tubuhnya lemas.
Sosoknya jatuh berlutut. Gemuruh di dadanya semakiri menjadi-jadi. Dia berusaha
menahan seperti mau meledak sendiri. Saat itu dia sadar kalau telah melakukan
satu kesalahan besan. Tapi apa yang dilihatnya tadi apakah keliru" Dia melihat
sendiri anak lelaki itu mencabut golok besar dari dada si orangtua yang
disangkanya Tua Gila. Sinto Gendeng pejamkan matanya. Saat itu dia mendengar
suara orang menegur. Suara Kiai Gede Tapa Pamungkas.
"Sinto! Apa kau sadar kalau udah kesalahan menjatuhkan tangan" Kau melakukan
satu kesalahan besar Sinto!"
"Kiai.. Mohon ampunmu. Saya Sinto Gendeng sulit meneruskan ucapannya. "Saya
tidak Sengaja melakukannya. Saya mengira anak ini membunuh Tua Gila. Semua
teriadi secara cepat tanpa saya bisa berpikir. Kiai saya mengaku telah melakukan
satu kesalahan besar. Anak ini mungkin tidak punya dosa apa-apa. Saya ingin mati
saat ini. Bunuh saya Kiai, bunuh! Hukum diriku ini!"
"Anak ini kuangkat murid lima tahun lalu. Namanya Boma Wanareja. Cucu seorang
perawat kuda Sri Baginda di Kotaraja. Aku menyuruh dia menemuimu di puncak
Gunung Gede ini. Untuk belajar sejurus dua jurus ilmu silat dan satu dua pukulan
sakti. Ternyata kedatangannya ke sini hanya untuk mengantar nyawa. Aku merasa
bersalah. Kalau saja aku mendampinginya dalam perjalanan, mengantar sampai ke
sini "Saya mengaku bersalah Kiai. Saya yang bersalah. Bukan siapa-siapa terlalu
terburu-buru. Saya mengira...." Sinto Gendeng tekap mukanya.
Lama kedua orang itu saling berdiam diri. Sementara hujan masih terus mencurah
lebat. Sesekali petir menyambar, guntur menggelegar.
Perlahan-lahan sambil menggendong jenazah Boma Wanareja, Kiai Gede Tapa
Pamungkas bangkit berdiri. Sesaat dipandanginya Sinto Gendeng dengan pandangan
yang menyatakan penyesalan.
Lalu peniahan-lahan orang tua ini memutar tubuh, mengayun langkah.
"Kiai, jangan tinggalkan saya dalam keadaan seperti ini. Saya ingin kau
menjatuhkan hukuman atas diri saya. Bagaimanapun beratnya akan saya terima.
Bahkan saya ikhlas Kiai menjatuhkan hukuman mati!"
'Hukuman bagaimanapun bentuknya ticiak akan mengembalikan keadaan seperti
sebelumnya. Yang terjadi tetap terjadi. Yang mati tak akan mungkin dihidupkan
lagi Sinto Gendeng jadi terisak mendengar kata-kata gurunya itu.
"Dengar Sinto, " kata sang Kiai pula. "Dengan izin Allah mungkin ada satu cara
dan jalan bagimu untuk mengobati keperihan hati atas kekeliruan yang telah kau
buat...." "Mohon Kiai sudi mengatakan. Apapun yang Kiai perintah akan saya lakukan, walau
menyabung nyawa di lautan api sekalipun."
Kiai Gede Tapa Pamungkas mendongak ke langit. Mata dipejamkan, bibir bergetar
melafalkan beberapa ayat-ayat suci. Masih dengan mata terpejam orang tua ini
kemudian berucap.
"Sinto, meski teramat samar namun aku masih bisa melihat. Di suatu waktu di masa
depan, entah sepuluh tahun mendatang entah seratus tahun lagi, di muka bumi ini
akan lahir seorang anak manusia yang oleh kedua orang tuanya dibeni nama Boma.
Dengan izin dan kuasa Yang Maha Kuasa kau akan mewariskan ilmu silat dan
kesaktianmu kepadanya.
Entah bagaimana caranya apakah dia akan merupakan titisanmu, atau apa namanya
semua masih menjadi rahasia Yang Maha Kuasa."
Sinto Gendeng terdiam sesaat mendengar katakata gurunya itu. Lalu dia berkata.
"Kiai, agar saya tidak membuat kekeliruan lagi, mengenai anak itu apakah dia
memiliki tanda-tanda tertentu?"
Masih dalam keadaan mata terpejam Kiai Gecie Tapa Pamungkas menjawab. "Bagus kau
bertanya begitu. Dengar baik-baik. Anak itu memiliki dua tanda yang bisa kau
jadikan pegangan.
Tanda pertama. Di telapak tangan kirinya ada tangan garis bersilang menyerupai
tanda kali. Tanda kedua tedapat di telapak kaki kanannya. Di bagian tumit. Di situ ada satu
tahi lalat besar.
Sinto kau harus mengingat dua tanda itu baik-baik..."
"Akan saya ingat Kiai," jawab Sinto Gendeng.
Perlahan-lahan Kiai Gede Tapa Pamungkas membuka matanya. "Aku akan pergi membawa
jenazah anak ini. Akan kumakamkan di satu tempat. Kau uruslah mayat saudara Tua
Gila itu. Kedukaan dan penyesalan serta kekeliruan adalah bagian dan setiap kehidupan
manusia. Dan situ kita banyak mendapat bahan kajian dan pelajaran. Selamat
tinggal Sinto...."
Sinto Gendeng angkat kepalanya. Tapi cepat sekali sang Kiai sudah tak ada lagi
di tempat itu.

Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si nenek tarik nafas panjang dan dalam. Mengusap wajahnya yang keriput berulang
kali lalu bangkit berdiri. Tak sengaja matanya membentur golok yang tergeletak
di tanah becek. Tak jauh dan golok tergeletak pula sarungnya. Sinto Gendeng
melangkah dekati senjata itu. Matanya menyipit memperhatikan, lalu mendeilk
besar berkilat-kilat spperti ada nyala api di dalam rongganya yang c?kung. Dia
bisa mengenali karena pernah melihat golok dan sarung serupa beberapa kali
sebelumnya. "Golok Si Penjarah Nyawa! Nyi Ragil keparat! Kau tunggu pembalasanku!" Saking
geramnya Sinto Gendeng tendang golok dan sarungnya hingga mencelat mental ke
udara, lenyap dan pemandangan. * Kisah Boma ini dapat pembaca ikuti dalam serial
"BOMA GENDENK"
yang telah terbit yaitu
- Episode 1 : Suka Suka Cinta
- Episode 2 : ABG (Anak Baru Gendenk)
- Episode 3 : Tripping
BASTIAN TITO 12
SI CANTIK DALAM GUCI
BUKIT MENOREH. Di selatan Kotaraja, pada suatu malam purnama, tiga minggu sejak
pertemuan terakhir antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan tiga gadis cantik
yaitu Anggini, Bidadari Angin Timur dan Ratu Duyung.
Malam itu adalah malam perianiian bahwa mereka akan bertemu lagi di tempat itu.
Namun menunggu sampai larut malam, tiga gadis belum j?ga muncul. Wiro mulai
merasa kawatir. Satu orang bisa saja lupa akan han perianjian. Tapi mustahil
kalau ke tiganya sama-sama lupa.
Dinginnya udara dan angin malam mulai terasa mencucuk. Bulan purnama empat belas
han tepat berada di atas kepala. Namun mata sang pendekar agaknya tak mau lagi
diajak melihat keindahan sang rembulan. Dia menguap berulang kah dan mulai
mencari-cari tempat yang baik untuk merebahkan diri. Sewaktu beranjak hendak
mendekati sebuah pohon tiba-tiba dia disentakkan oleh suara sesuatu berkerontang
di kejauhan. "Suara itu. Aku mengenali sekali. Tidak bisa tidak pasti dia!" Wiro membatin
lalu memandang kejurusan datangnya suara kerontangan. Sunyi. Tak kelihatan apaapa. Tak terdengar lagi suara kerontangan. "Celaka, jangan-jangan dia sudah
berada jauh di jurusan lain. Bukan menuju ke sini!"
Wiro segera mengejar. Berlari belasan tombak tetap saja dia tidak menemukan
siapa-siapa. Dengan perasaan penuh kecewa pernuda ini akhirnya kembali ke puncak bukit
Menoreh, dudukkan diri di atas satu gundukan batu. B?ru saja di? duduk di atas
batu sekonyong-konyong suara berkerontang menggeledek di samping kirinya.
Pendekar 212 sampai tenlonjak saking kagetnya. Gelak tawa membahana memenuhi
puncak Bukit Menoreh.
"Sahabatku sedang kebingungan! Aku datang sampai tidak melihat! Sungguh
keterlaluan! Ha... ha... ha...! Pendekar 212. Apa kabarmu?"
Wiro palingkan kepala. Astaga! Orang yang tadi dicari dan dikejarnya tahu-tahu
kini hanya dua langkah di hadapannya!
"Kakek Segala Tahu!" seru Wiro lalu memeluk sosok orang tua di hadapannya sampai
caping yang ada di atas kepala orang tua itu tersingkap jatuh ke tanah. "Kau
datang tepat pada waktunya. Pasti Tuhan yang mengirimkan kau ke sini!"
Si kakek yang berpakaian seperti pengemis, compang-camping bahkan banyak
tambalannya, dongakkan kepala ke langit. Tangan kanan memegang tongkat. Tangan
kiri memegang sebuah kaleng rombeng berisi batu. Di punggungnya ada satu kantong
perbekalan. Bola matanya yang putih buta berputar beberapa kali.
"Purnama begitu indah. Sahabat muda menyambut dengan pelukan segala. Pasti ada
maunya! Ha... ha... ha!"
Wiro menyeringai, garuk-garuk kepala. "Kek, lama tidak bertemu. Sekali bertemu
memang banyak pertanyaan untukmu. Aku tidak malu-malu mau minta tolong." Wiro
membungkuk mengambil caping yang jatuh di tanah lalu meletakkannya di atas
kepala si kakek.
"Pertanyaan pertama Kek, apakah selama ini kau ada balk-balk saja?" ujar Wiro.
Kakek Segala Tahu tertawa lebar. Goyangkan kalengnya hingga keluarkan suara
berisik menyakitkan telinga di malam buta begitu rupa.
"Ah, itu hanya pertanyaan basa-basi. Buat apa kujawab!"
"Kalau begitu aku muiai saja dengan pertanyan yang bukan basa basi," kata Wiro
pula. "Pertanyaan pertama menyangkut seorang sahabatku yang disekap dalam sebuah guci
tembaga oleh seorang kakek jahat beriuiuk Iblis Kepala Batu Alis Empat. Aku berusaha
membebaskannya tapi selalu gagal. Mungkin kau tahu apa yang harus aku lakukan
untuk dapat membebaskan sahabatku itu."
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya.
"Yang kau sebut sahabat itu, lelaki atau perempuan."
"Perempuan, seorang gadis...."
"Sudah kuduga!" ujar Kakek Segala Tahu. "Tapi aku merasa kau seperti mau
menipuku. Bagaimana mungkiri seorang gadis bisa disekap dalam sebuah guci tembaga. Kurasa
tangannya saja tak mungkin masuk ke dalam guci itu!"
"Dia bukan gadis manusia biasa. Dia gadis dari alam roh," menjelaskan Wiro.
"Ah.... Aku ingat sekarang. Bukankah gadis itu bernama Suci, berjuluk Dewi Bunga
Mayat?" "Syukur kalau kau sudah tahu."
Si kakek goyangkan kalengnya. Lalu mendongak ke langit seolah menatap rembulan
dengan sepasang matanya yang putih buta.
"Coba kau ingat. apakah kau pernah menerima sesuatu dan gadis alam roh itu Wiro
mengingat-ingat. Tapi otak dan daya ingatnya seperti tak mau bekerja.
"Dia pernah menyerahkan sesuatu padamu. Sesuatu yang bisa membuat engkau mampu
memanggilnya dari alam roh ke alam nyata. Pendekar 212 apa otakmu sudah jadi
tumpul?" Dada Wiro berdebar. "Kek!" serunya. "Aku ingat. Dia memang pernah menyerahkan
sekuntum bunga kenanga. Tapi bunga itu hilang ketika aku berada di negeri
Latanahsiiam. Tapi astaga!
Tunggu dulu!"
Pendekar 212 mengeruk saku celana putihnya. Tangannya menyentuh sesuatu. ketika
dikeluarkan ternyata itulah sekuntum bunga kenanga kuning yang tak pernah layu.
"Kek, bunga yang kau maksudkan itu memang ada padaku. Aku ingat, bunga ini
dititipkannya pada seorang sahabat bernama Anggini. Jauh sebelum dia masuk dalam
sekapan guci tembaga Iblis Kepala Batu!" Wiro pukul-pukul keningnya sendiri.
Tololnya aku ini! Mengapa selama ini tidak pernah ingat kalau aku punya kembang
kenanga sakti yang bisa memanggil gadis alam roh itu!"
Kakek Segala Tahu tertawa lebar lalu goyangkan kaleng rombengnya.
"Kembang itu bukan kembang biasa...."
"Aku tahu Kek, aku tahu. Akan segera kucoba mengadakan sambung rasa dengan gadis
itu. Mudah-mudahan kita bisa menolongnya. Mudah-mudahan dia bisa keluar dan sekapan
guci tembaga."
Murid Sinto Gendeng lalu genggam kembang kenanga dalam jari-jari tangan
kanannya. Dalam pandangan mata dan alam pikirannya dia membayangkan wajah Dewi Bunga Mayat
atau Suci. Wiro seridiri lebih suka menyebutnya Bunga. Dalam. hati da berkata.
"Bunga datanglah. Keluar dan dalam guci, datanglah kepadaku. Bunga
Sunyi. Yang terdengar hanya suara desau angin. Biasanya jika dipanggil sekali
saja dengan cara seperti yang dilakukan Wiro tadi, di hadapan Wiro akan segera
terlihat bayangan samar seperti asap. Bayangan ini perlahan-lahan lalu berubah
membentuk sosok Bunga hingga akhirnya menyerupai manusia seutuhnya. Tapi sekali
ini tidak teriadi hal seperti itu.
"Bunga, aku Wiro memanggilmu. Keluar dan dalam guci. Datanglah kembali Wiro
mengulang malah sambil mengerahkan tenaga dalam. Padahal biasanya tanpa
pengerahan tenaga dalam dia mampu memanggil dan mendatangkan gadis alam roh itu.
Di satu tempat jauh, di dalam guci tembaga tempat dirinya disekap Bunga
mendengar suara Pendekar 212 seperti ngiangan nyamuk di kedua telinganya. Gadis
ini tersentak, berseru gembira.
"Wiro memanggilku. Bunga kenanga. Bunga itu pasti berada di tangannya Bunga lalu
pusatkan rasa dan jalan pikirannya. Ditujukan pada Wiro. Biasanya begitu sambung
rasa saling bersentuhan, sosok gadis ini akan melayang laksana kilat ke tempat
di maria Wiro yang memanggilnya berada. Namun sekali ini tubuhnya hanya
niengalaini getaran-getaran halus. Dia tak mampu melesatkan badan. Setiap dia
mengerahkan segala daya, seolah ada satu kekuatan menindih.
"Aku tak sanggup menembus guci ini. Ada satu kekuatan dahsyat sulit kutembus.
Kalau cuma lapisan tembaga apalah artinya...."
Di tempatnya berada Wiro kembali berucap. "Bunga, datanglah. Keluar dan dalam
guci. Temui aku di tempat in Bunga datanglah...."
"Wiro! Aku tak mampu keluar dan guci! Aku tak bisa menemuimu! Aku hanya
terkurung oleh ujud kasar guci tembaga. Ada satu kekuatan menyungkup diriku! Tak
bisa kutembus! Wiro...!" Kalau Suci bisa mendengar suara batin Wiro sebaliknya Wiro hanya mendengar suara
gadis alam roh itu berupa ngiangan sangat tidak jelas. Ini disebabkan antara
keduanya terpisah dalam jarak yang jauh.
Kakek Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Suara berisik batu-batu dalam
kaleng rombeng memecah kesunylan, membuat Wiro tersentak kaget.
"Kek, kau tahu aku tengah memusatkan daya dan pikiran untuk memanggil gadis itu.
Mengapa kau mengganggu dengan suara kaleng rombeng butut sialan itu!" kata Wiro
kesal. Saat itu ingin Sekali dia merampas kaleng si kakek lalu melemparkannya ke
dalam telaga. Si kakek malah senyum. Dengan tenang dia menjawab.
"Gadis itu mungkin bisa mendengar suara batinmu memanggil. Tapi kau tidak bisa
mendengar. Berarti jarak kalian terpisah sangat jauh. Aku menduga dia tidak
mampu membebaskan diri dan dalam guci sekalipun kau bantu dengan kekuatan sakti
bunga kenanga itu.
Guci tempat dia disekap memiliki satu kekuatan magis dahsyat. Yang ada di dalam
tidak selamanya bisa tembus keluar. Tapi yang dan luar masih ada kemungkirian
tembus ke dalam."
Murid Sinto Gendeng tank nafas kesal. Garuk-garuk kepala beberapa kali. Lalu
bertanya. "Apa yang bisa aku lakukan menolong gadis itu Kek?"
Kakek Segala Tahu mendongak ke langit. Saat itu rembulan tertutup sekelompok
awan kelabu hingga sinarnya menjadi redup.
Seolah matanya tidak buta si kakek berkata. "Tunggu dulu bulan purnama lepas
dari halangan awan gelap...." Tak lama kemudian kelompok awan kelabu bergerak
menjauh hingga bulan purnama kembali terlihat jelas, bulat dan terang. Kakek
Segala Tahu kerontangkan kaleng rombengnya. Sementara ujung tongkat dicoratcoret ke atas tanah secara sembarangan. Walau sembarangan tapi Wiro melihat
guratan ujung tongkat itu membentuk jelas gambar sebuah guci.
Bentuknya sama dengan guci milik Ibils Kepala Batu tempat Bunga disekap.
"Anak muda, gambar apa yang kau lihat di tanah?" si kakek bertanya. Matanya
masih menatap ke arah rembutan di langit.
"Aku melihat gambar guci," jawab Wiro.
"Kentut!" dengus si kakek. "Hanya gambar guci" Buka matamu lebar-lebar. Lihat
lagi!" Dimaki kentut Wiro jadi menggerendeng. Tapi dia melakukan juga apa yang
dikatakan si kakek, melihat ke tanah kembali.
"Astaga, di dalam gambar guci aku seperti melihat bayangan diriku!"
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. "Aku sudah mendapat petunjuk. Berarti untuk
dapat membebaskan gadis sahabatmu itu.... Eh, tunggu, gadis itu sahabatmu atau
kekasihmu?"
"Jangan bergurau Kek!"
"Aku tanya sungguhan. Siapa bergurau!"
"Terserah kau mau bilang apa!"
"Soalnya aku jadi bingung!"
"Bingung kenapa?" tanya Wiro heran.
"Kalau dia benar sekedar sahabat tak jadi apa. Tapi kalau dia kekasihmu dan satu
ketika kau kawin dengan dia. Lalu dia bunting, melahirkan anak. Nah! Anakmu itu
bagaimana jadi dan bentuknya" Seperti manusia biasa" Mahluk jejadian, menyerupai
batu, atau hanya berupa angin seperti kentut!"
"Kakek geblek!" maki Wiro.
Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh.
"Wiro, dengar baik-baik." Si kakek kini bicara sungguhan. "Petunjuk menyatakan,
seperti gambar yang kau lihat di tanah. Untuk membebaskan gadis dalam guci
berarti kau harus masuk sendiri ke dalam guci itu!"
"Gila! Tidak masuk akal!" ujar murid Sinto Gendeng. "Jangankan tubuhku! Buahku
saja tidak mungkin bisa masuk ke dalam guci sekecil itu!"
Kakek Segala Tahu tertawa bergelak dan kerontangkan kaleng rombengnya. "Anak
muda," katanya. "Sekarang kau yang bergurau! Ha... ha... ha!" Si orang tua letakkan
ujung tongkatnya di bahu kiri murid Sinto Gendeng. Ujudnya memang tongkat kayu
butut, kecil dan enteng. Tapi Wiro merasa bahunya seperti ditiban satu batu
sangat besar hingga tak ampun lagi tubuh sang pendekar miring ke kiri.
"Sialan! Dalam keadaan seperti ini tua bangka geblek ini masih sempat-sempatnya
meniajal tenaga dalamku. Akan kubalas biar dia tahu rasa!"
Diam-diam Wiro mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya yang berpusat di bagian
pusar lalu dialirkan ke bahu. Begitu tenaga dalam sampai di bahu dia sentakkan
bahu kirinya untuk memberi daya dorong berlipat ganda. Aliran tenaga dalam yang
dahsyat masuk ke dalam tongkat kayu, bergerak cepat memasuki tubuh Si kakek,
berkumpul di bagian perut.
"Aduh biyung!" si kakek mengeluh. "Mengapa perutku terasa kembung! Mulas!
Walaah...."
"Buuttt... buutttt...." Kakek Segala Tahu pancarkan kentut bertalu-talu.
Pendekar 212 Wiro Sableng pura-pura tidak tahu. Rangkapkan tangan di depan dada,
memandarig ke langit pura-pura melihat bulan Tapi ia tak bisa menahan ketawa.
"Anak sial! Kau membalas! Kau mengerjai aku, hah!" Si kakek cepat turunkan
tongkatnya dari atas bahu kiri Wiro. Dia meniup perlahan. Goyangkan kaleng
butut. Rasa kembung dan mulas yang ada di perutnya serta merta lenyap.
"Anak muda, saatnya kita bicara sungguhan...."
"Dari tadi aku bicara sungguhan. Kau yang mulai jahil," jawab Wiro.
"Kalau kau tidak menyebut-nyebut soal buah aku tidak terpancing!" kata Kakek
Segala Tahu sambil mesam-mes?m. "Eh, sampai di mana pembicaraan kita tadi?"
Wiro menggaruk kepala. "Kau bilang untuk bisa membebaskan gadis alam roh aku
harus masuk sendiri ke dalam guci."
"Betul. Memang begitu yang aku lihat."
"Caranya bagaimana Kek?" tanya Wiro.
"Kau harus jadi kentut!"
"Nah, kau bergurau lagi!" Wiro jadi kesal.
"Tidak, aku bicara sungguhan. Kau harus jadi kentut. Eh, maksudku bukan kentut.
Tapi kau harus jadi angin. Kau harus masuk ke dalam alam gaib dengan jalan
merubah dirimu. Sukmamu harus mampu meninggalkan tubuh kasar agar bisa masuk ke
dalam guci sementara tubuh kasarmu tetap berada di luaran."
"Sukma itu apa Kek?" tanya Wiro. "Apa tukang dawet di pasar pon?"
Dibercandai si kakek membalas dengan bercanda pula. "Sukma itu si kentut tadi.
Angin itu...."
katanya lalu tertawa mengekeh.
"Sukma adalah ujud halusmu. Katakan saja rohmu."
"Bagaimana mungkin" Kalau rohku keluar dan tubuh berarti aku sudah mati. Tidak
masuk akal. Tidak mungkin."
"Mungkiri saja. Jika kau menguasai ilmu Meraga Sukma." Jawab Kakek Segala Tahu.
"Ilmu Meraga Sukma" Baru sekali ini aku dengar. Kau punya ilmu itu?"
Si kakek menggeleng. "Aku kenal seorang sakti yang diam di dasar laut pantai
selatan. Lurusannya Parangtritis. Namanya Nyi Roro Manggut. Orangriya cantik sekali.
Masih muda, mungkin juga masih gadis." Si kakek hentikan ucapannya, melirik
sebentar pada Wiro. Lalu tertawa.
"Kenapa kau tertawa Kek?" tanya murid Slnto Gendeng.
"Begitu aku bilang orangnya cantik sekali, masih muda, masih gadis, aku. lihat
dua bola matamu langsung bercahaya mengekerelap! Dasar pemuda buaya! Ha... ha...
ha!" - Wiro hanya bisa senyum-senyum sambil garuk kepala. Si kakek melaniutkan
keterangannya. Konon kabarnya dia selah seorang pembantu kepercayaan Nyi Roro Kidul yang sakti
itu. Kau harus menemuinya, minta diberikan ilmu itu. Kalau sudah dapat kau pasti bisa


Wiro Sableng 128 Si Cantik Dalam Guci di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolong gadis alam roh yang disekap dalam guci."
Wiro diam seperti merenung.
"Ada dua hal yang perlu aku tanyakan Kek." Kata Pendekar 212 kemudian. "Pertama
aku ini hanya manusia biasa. Bukan ikan. Bagaimana bisa menyelam masuk ke dasar
laut." "Tololnya otakmu!" jawab si kakek. "Bukankah kau punya sahabat, eh atau juga
mungkin kekasih si Ratu Duyung itu" Minta tolong padanya. Apa susahnya?"
"Ah, kau betul," Wiro garuk-garuk kepala. "Lalu hal kedua. Aku tidak kenal
dengan Nyi Roro Marmut...
"Manggut! Nyi Roro Manggut! Enak saja kau bilang Marmut!" tukas Kakek Segala
Tahu. Wiro tertawa cengengesan. "Ya... ya, Nyi Roro Manggut; Aku tidak kenal padanya.
Jika bertemu apa dia mau memberikan ilmu kesaktian langka bernama Meraga Sukma
itu?" "Kau tak usah kawatir. Jangan takut. Serahkan kaleng ini padanya. Pasti dia akan
mau menolongmu. Pasti dia akan berikan ilmu itu padamu. Dan kau pasti akan bisa
menolong gadis alam roh itu!" Habis berkata begitu si kakek lalu sodorkan kaleng
rombengnya pada Wiro.
Tentu saja Pendekar 212 ragu-ragu menerimanya
"Ayo ambil!" ucap.Kakek Segala Tahu.
"Kek, bagaimana mungkin. Hanya dengan memberikan kaleng butut dan bau ini Nyi
Roro Manggut akan mau memberikan ilmu kesaktian hebat padaku?"
"Tak usah banyak tanya, tak usah banyak kawatir. Lakukan saja apa yang aku
katakan!" Wiro garuk-garuk kepala pulang balik.
"Kalau kaleng itu aku ambil, lantas kau tak punya kaleng itu lagi nantinya."
"Aku punya banyak kaleng seperti ini. Kau mau berapa?"
Murid Sinto Gendeng jadi tertawa. Akhirnya diambilnya juga kaleng rombeng itu
dan tangan si kakek.
"Kek, ada satu pertanyaan lagi. Kalau sukmaku keluar dan tubuh kasar lalu tak
bisa kembali lagi, apakah nantinya aku bukannya bisa jadi setan penasaran
gentayangan tak karuan ujud dan tujuan?"
Si kakek tak menjawab.
"Kek..."!"
Wiro angkat kepalanya. Astaga! Ternyata Kakek Segala Tahu tak ada lagi di
depannya. Di kejauhan, mungkin sudah di kaki bukit, terdengar suar? k?rontangan
kaleng. Wiro hanya bisa menyengir dan geleng-gelengkan kepala. Tangannya yang memegang
kaleng rombeng digoyangkan. Batu-batu kerikil yang berbenturan dengan dinding
kaleng keluarkan suara keras berisik, membuat Wiro pegang sendiri dan tekap
salah satu telinganya.
Ketika tangannya yang dipakai menutup telinga diturunkan tiba-tiba terdengar
suara tawa cekikikan.
"Hari ini ada lagi seorang pendekar mendadak sinting. Kerjanya menggoyang-goyang
kaleng rombeng! Hik... hik... hik!" Satu suara berucap disusul tawa cekikikan.
"Mungkin baginya suara berisik kaleng itu semerdu alunan bebunyian yang bakal
mengantar nyawanya ke neraka. Hik... hik... hik!" Suara lain menimpali.
Murid Sinto Gendeng palingkan kepala.
"Sial! Lain yang ditunggu lain yang datang!" maki Wiro.
Episode Selanjutnya Tahta Janda Berdarah
Rahasia Suling Kematian 2 Pendekar Mabuk 072 Gadis Tanpa Raga Pendekar Pemetik Harpa 29

Cari Blog Ini