Ceritasilat Novel Online

Petaka Patung Kamasutra 2

Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra Bagian 2


"Manusia jahanam itu! Dia yang menempelkan bunga tanjung ini di keningku!"
"Manusia jahanam siapa" Orang berpakaian hitam itu?" tanya Wiro. Ambarsari
mengangguk "Apa perlunya dia menempelkan bunga tanjung dikeningmu" Memangnya kau tengah
bercinta bermesraan dengannya?"
Ambarsari mengangkat tangan kanannya hendak menampar Wiro tapi kemudian
mongurungkan niatnya.
"Najis bercinta dan bermesraan dengan jahanam itu. Justru dia hendak merusak
kehormatanku. Bunga tanjung ini mungkin sebagian dari alat sirapannya. Dia
menyirapku dengan sebuah benda berbentuk.."
Belum selesai Ambarsari berucap tiba-tiba dari pinggir jurang sebelah barat
berkiblat satu cahaya hitam, menderu ke arah goa. rianya bilangan kejapan mata
sebelum goa batu hancur berantakan Pendekar 212
cepat rangkul pinggang gadis di sampingnya lalu melesat ke tepi jurang.
Ambarsari gemetar ketakutan.
Wajahnya pucat. Selamat dari bokongan serangan, masih merangkul, pinggang
Ambarsari murid Sinto Gendeng lepaskan pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung
"Buummml Braaakkkl"
Pinggiran jurang batu di sebelah barat hancur berantakan. Lapat-lapat terdengar
suara orang memaki.
"Kabur. Bangsat pembokong itu pasti sudah kabur" ucap WIro. Dia tak berusaha
mengejar. "Pasti dia manusia jahanam yang hendak mcmperkosamu itu. Dia mau
membunuh kita berdua. Dia tak ingin kau bicara untuk selama-lamanya. Ikuti aku,
kita cari tempat yang aman " Wiro lalu pegang lengan Ambarsari. Di satu celah
batu pada tempat ke tinggian dimana dia bisa melihat keadaan di sekitarnya
dengan jelas Wiro berhenti. "Tempat ini cukup aman. Sekarang lanjutkan ceritamu.
Tadi kau bilang orang itu menyirapmu dengan sebuah benda berbentuk ....
Berbentuk apa?"
"Patung kecil dari batu. Benda itu memancarkan cahaya merah. Aku ngeri sekali
mengingat kejadiannya
..." "Tidak usah takut. Coba kau bercerita mulai pertama kali kau bertemu orang itu.
Tidak, jangan dari situ.
Tapi mulai dari bagaimana kau bisa berada di tempat yang jauh dari Kotaraja
ini." Ambarsari sandarkan punggungnya ke batu. Dia terdiam cukup lama berusaha
menenangkan diri sebelum memulai kisahnya.
"Malam tadi, aku menginap di rumah seorang saudara sepupu di Godean. Pagi hari
aku pergi ke satu pedataran rumput yang banyak kupu-kupu. Aku senang kupu-kupu."
"Sendirian?" tanya Wro,
"Sendirian. Pergi kemana-mana aku memang tidak suka ditemani, apa lagi yang
namanya dikawal. Ketika aku datang saudara sepupuku ternyata sedang sakit,"
menerangkan Ambarsari,
"Aku sudah sering pergi ke pedataran berumput itu. Namun karena sejak pagi hujan
turun, tidak satu kupu-kupupun yang kelihatan. Aku duduk menunggu di sebuah
gubuk tua di tepi pedataran. Berharap hujan akan segera berhenti. Siang hari
hujan memang reda tapi kupu-kupu tetap saja tak ada yang muncul. Ketika aku
berkemas-kemas hendak
meninggalkan gubuk bersama kudaku Ki Sepuh Ireng. tiba-tiba entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di hadapanku telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan,
mengenakan baju dan celana hitam, bersulam bunga dari benang perak dan emas.
Keningnya diikat kain merah. Pemuda Ini berkumis tipis, memelihara janggut dan
cambang bawuk rapi. Dia menyapaku. Suaranya lembut."
"ADIK berbaju biru, di udara begini buruk, di tempat yang begini terpencil,
apakah kau tidak takut hanya seorang diri di sini?"
Raden Ayu Ambarsari bukan saja terkejut oleh kedatangan orang yang menyapanya
dengan tiba-tiba, tapi juga merasa jengkel. Namun niatnya hendak mendamprat jadi
pupus ketika dilihatnya orang yang menegur adalah seorang pemuda gagah,
berpakaian bagus dan bersikap sopan Selain itu tubuh serta pakaiannya.menebar
bau wangi harumnya bunga.
"Aku disini aman-aman saja. Momangnya apa yang harus ditakutkan?"
Pemuda tampan tersenyum.
"Selain cantik ternyata adik seorang pemberani rupanya. Namun kalau boleh saya
memberi nasihat.
sebaiknya lekas-lekas pergi dari tempat ini. Kawaspn ini adalah tempat malang
melintangnya para perampok dan berbagal macam orang jahat."
"Kau sendiri termasuk rampok atau orang jahat atau apa?"
Si pemuda kembali tersenyum.
"Nama saya Cakra." si pemuda perkenalkan diri.
"Kalau adik memang belum berniat pergi apa keberatan kita bercakap-cakap barang
beberapa ketika?"
"Bercakap-cakap boleh saja. Tapi awas. Jangan mulai usil atau kurang ajar. Aku
Raden Ayu Ambarsari.
Cucu Pangeran Tua Sena Wirapala dari Kotaraja "
20 Mendengar ucapan si gadis, pemuda berkumis yang berdiri berdekap lengan serta
merta membungkuk.
"Maafkan saya. Saya tidak tahu adik yang cantik jelita ini adalah seorang puteri
Keraton, cucu seorang Pangeran terkenal pula."
Karena pemuda bernama Cakra tetap terus membungkuk Ambarsari berkata sebal
"Sudah, jangan membungkuk terus. Nanti kau benar-benar bungkuk seperti kakek
reot! Iya kan"l"
Cakra tertawa. Lalu luruskan tubuhnya.
"Kau hendak bercakap-cakap apa denganku"' tanya Ambarsari pula.
"Tadinya sebelum tahu adik Ini puteri Keraton, banyak yang ingin saya bicarakan
Tapi setelah tahu saya jadi sungkan Saya tak berani mengganggu lebih lama. Namun
sebelum pergi saya ingin menanyakan sesuatu."
"Menanyakan apa?"
"Apakah Raden Ayu Ambarsari pernah melihat benda ini sebelumnya?" Lalu Cakra
mengambil satu kantong kain berwarna hitam dari saku celana panjangnya. Dari
dalam kantong kain ini dia kemudian mengeluarkan satu benda yang ternyata adalah
sebuah patung batu memancarkan cahaya merah redup.
Patung batu itu merupakan kesatuan dari patung laki-laki dan perempuan
telanjang, dalam keadaan tengah melakukan hubungan badan. Yang perempuan di
sebelah depan, yang lelaki di sebelah belakang.
Secara aneh dari dua patung itu keluar dua sosok tubuh berbentuk bayang-bayang
yang perlahan-lahan berubah menjadi besar
"Raden Ayu pernah melihat patung ini sebeumnya?" tanya Cakra.
Ambarsari menggeleng Dia merasa jengah memperhatikan tapi entah mengapa
pandangan matanya tak bisa dialihkan.
Si pemuda tersenyum. Sementara dua sosok bayang-bayang merah terus berubah
bertambah besar sampai seukuran manusia.
. "Raden Ayu tidak pernah melihat dua patung bercinta Ini sebelumnya. Tapi
apakah mengenali raut wajah mereka?" Cakra bertanya lagi.
Ambarsari memperhatikan. Kening mengerenyit, bola mata membesar. Darahnya
tersirap. Ketika dia memperhatikan raut wajah perempuan telanjang ternyata wajah
itu adalah wajah dirinya sendiri. Sementara patung lelaki menyerupai pemuda
berkumis yang tegak di depannya.
Ambarsari menekap mulut. Dua sosok bayangan merah telanjang yang keluar dari
patung melakukan gerakan-gerakan bercinta yang membuat darah puteri Keraton ini
jadi berdesir panas. Sekuiur tubuhnya gemetar berkeringat Terlebih ketika Cakra
menempelkan sesuatu di keningnya. Gairahnya bangkit tidak tertahankan. Dia
merasa seolah dirirrya sendirilah yang benar-benar tengah bercinta dengan pemuda
bernama Cakra itu. Dia hanya menurut saja ketika dirinya dibaringkan di lantai
gubuk. "Raden Ayu Ambarsari kau kekasihku dan aku Cakra kekasihmu. Ulangi kata-kataku."
"Aku Ambarsari kekasihmu. Kau Cakra kekasihku
... Ambarsari mengikut saja, berucap sebagaimana yang diperintah.
"Sekarang tanggalkan seluruh pakaianmu." Kata Cakra, memberi perintah dengan
suara lembut sambil mengelus kening Raden Ayu Ambarsari. .
Sosok bayangan merah lelaki dan perempuan yang keluar dari patung bergerak kian
kemari, menggeliat, menggapai serta, mengeluarkan suara-suara mengerang halus. .
" - Raden Ayu Ambarsari semakin terangsang. Gairah nafsu menyelubungi sekujur
tubuhnya. Diluar sadar ia lakukan apa yang dikatakan Cakra. Dua tangannya
bergerak ke dada untuk membuka buhul-buhul kecil pengancing baju biru yang
dikenakannya. Pada saat itulah tiba-tiba Ki Sepuh Ireng, kuda hitam milik
Ambarsari yarig berada di samping gubuk meringkik keras.
Ambarsari tersentak kaget dan sadar. Dia melompat bangun dan dapatkan dua dari
buhul kancing bajunya telah terbuka hingga dadanya tersingkap polos.
"Manusia kurang ajari Apa yang kau lakukan pada diriku!" teriak Ambarsari marah
sambil cepat menutupi dada
"Tenang Ambarsari Apa kau lupa kau adalah kekasihku dan aku adalah kekasihmu"
Lihat dua mahluk merah itu. Mereka adalah kau dan aku. Bukankah kau ingin kita
berbuat seperti itu" Tanggalkan pakaianmu, lakukanlah."
Namun apapun bujuk sirapan yang dilakukan si pemuda kini tidak mengena lagi
karena Ambarsari telah sempat pulih kesadarannya sementara si pemuda sendiri
telah terpecah perhatiannya.
"Manusia jahanam!" Ambarsari dorongkan dua tangannya ke dada Cakra. Dorongan ini
bukan dorongan biasa karena merupakan gerak ilmu silat. Cakra terjajar. Ketika
Ambarsari hendak melompat keluar gubuk pemuda itu berusaha mencengkeram dadanya
tapi luput. "Breetttt!"
Dada baju Ambarsari robek besar. Namun dia berhasil selamatkan diri dari
sergapan Cakra. Sampai di luar gubuk dia langsung melompat ke atas punggung kuda
hitam dan membedal binatang itu secepat yang bisa dilakukan Di dalam gubuk Cakra
berteriak marah. Patung batu cepat-cepat dimasukkan ke dalam 21
kantong hitam lalu lari mengejar Ambarsari . Beberapa kali dia punya niat hendak
melepaskan pukulan jarak jauh yang bisa merobohkan kuda hitam
tunggangan si gadis. Namun dia tidak mau membuat Ambarsari celaka.
"Aku harus mendapatkan gadis satu ini dalam keadaan hidup dan mulus tanpa
segores lukapun.." ucap Cakra dalam hati. Dengan ilmu lari yang dimilikinya dia
yakin dalam waktu tidak berapa lama lagi dia akan berhasil mengejar dan
menangkap Ambarsari.
Sebenarnya ada jalan rata dan baik yang dapat dilalui Ambarsari dalam usahanya
menyelamatkan diri.
Namun perasaan takut membuat pikirannya kacau hingga dia tidak sadar lagi arah
yang ditempuh. Si gadis tersesat melewat jalan sulit di sebelah tenggara Godean
di mana dia kemudian mengalami celaka dan diselamatkan oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng. 22 PANGERAN TUA Sena Wirapala tidak dapat memicingkan mata. Di dalam kamar dia
turuni dari pembaringan melangkah mundar mandir. Di luar hujan lebat mengguyur
Kotaraja. Akhirnya dia keluar dari kamar, memanggil pembantu kepercayaannya,
seorang Perwira Muda bernama Soma Kowara.
"Sampai saat ini cucuku Ambarsari belum kembali. Kau tahu dia pergi ke Godean
sejak kemarin sore.
Anak itu memang keras kepala. Kemana-mana tak mau dikawal. Seharusnya saat ini sudah
kembali. Aku kawatir terjadi apa-apa dengan dirinya."
Raden Ayu Ambarsari sudah sering ke Godean Saya rasa dia tidak bakalan tersesat
dan aman jika menempuh jalan di sebelah barat. Namun cuaca belakangan Ini tidak
begitu baik. Hujan turun terus menerus," kata Soma Kowara. "Mungkin Den Ayu
Ambarsari terhalang hujan. Saya menunggu api perintah Pangeran,"
"Siapkan kuda. Bawa beberapa orang perajurit Kita| berangkat ke Godean malam Ini
juga Aku tidak bisa tenang sebelum melihat cucuku itu dalam keadaan tak kurang
suatu apa."
"Perintah Pangeran akan saya laksanakan. Tapi apakah kita tidak perlu menunggu
sampai hujan reda"
Selain itu. apakah Pangeran mau memberi izin, biar saya saja dan anak buah pergi
ke Godean. Saya sudah tahu rumah kediaman saudara sepupu Raden Ayu. Saya kawatir
cuaca buruk nanti mengganggu kesehatan Pangeran."
"Aku memang sudah tua Usiaku hampir sembilan puluh. Tapi keselamatan cucuku
Ambarsari jauh lebih penting dari kesehatanku. Siapkan semua keperluan. Kita
berangkat sekarang juga."
"Baik Pangeran," jawab Som a Kowara. Perwira Muda ini tahu sekali bagaimana
sayangnya Pangeran Tua pada Raden Ayu Ambarsari, cucu salu-eatunya. Ketika kedua
orang tua gadis itu meninggal beberapa belas tahun lalu akibat penyakit menular
yang menyerang Kotaraja, dibantu seorang pelayan setia Pangeran Tua Sena
Wirapala-lah yang merawatnya sejak dari gadis cilik sehingga remaja puteri.
Pangeran Tua tidak pula mencari istri baru pengganti istrinya yang telah lama
meninggal dunia. Tidak heran kalau seluruh kasih sayang dalam kehidupan sang
pangeran tertumpah pada Ambarsari.
Sebagai anak tunggal Ambarsari tumbuh menjadi seorang gadis cantik jelita. Namun
sayangnya gadis ini memiliki beberapa sifat yang dirasakan orang di sekitarnya
kurang berkenan. Antara lain suka bicara ketus, menganggap orang lain tidak
perlu dihormati. Boleh dikatakan dia jarang bergaul dengan penghuni Keraton
lainnya. Walau cantik, karena sifat-sifatnya tadi banyak pemuda kalangan atas
yang semula tertarik kemudian mengundurkan diri. Termasuk Soma Kowara. Sejak
lama Pewira Muda Ini menaruh hati pada cucu Pangeran Tua itu. Namun sifat serta
sikap sang puteri yang tidak dapat dimengerti dan terkadang seperti melecehkan
dirinya membuat dia terpaksa menjaga
jarak. Selain itu dia juga tidak mau merusak kepercayaan Pangeran Tua
terhadapnya. Walau jabatannya di Keraton cukup tinggi namun Soma Kowara merasa
belum cukup layak untuk jatuh cinta, apa lagi menjadi pendamping Raden Ayu
Ambarsari. Jadilah dia seperti seekor burung pungguk merindukan bulan.
Sebagaimana kebiasaan puteri Keraton pada masaitu, Pangeran Tua mendatangkan
seorang guru tari untuk mengajar cucunya menari.
Tapi Ambarsari tidak suka segala macam tetarian. Dia tidak suka segala bentuk
peradatan Keraton yang menurutnya terlalu dibuat-buat dan membatasi gerak serta
kemauannya. Malah diam-diam tanpa setahu Pangeran Tua dan orang-orang dalam
Keraton sejak beberapa waktu lalu dia belajar ilmu silat dan kesaktian pada
seorang tokoh silat di Parangtritis.
Tak selang berapa lama Soma Kowara datang kembali menemui Pangeran Tua. Memberi
tahu bahwa mereka siap berangkat. Kepada Pangeran Tua perwira ini menyerahkan
sehelai mantel terbuat dari kain tebal. Tengah malam buta dibawah hujan lebat
Pangeran Tua dan Perwira Muda Soma Kowara ditemani lima orang perajurit dengan
menunggang kuda meninggalkan Kotaraja. -berangkat menuju Godean di arah barat
laut Rombongan itu membawa pula dua ekor kuda cadangan.
*** ANGIN bertiup kencang. Ambarsari memeluk dada. Pakaian dan tubuhnya basah kuyup.
"Aku kedinginan. Dari pada cuma diam berteduh di bawah pohon ini lebih baik
menyeberang saja! Hujan sudah-mulai reda"
"Hujan memang sudah reda. Tapi apa kau tidak melihat arus kali masih sangat
deras. Tunggu saja.
Sebentar lagi pagi datang. Saat itu kurasa arus sudah mulai reda." Menjawab
Pendekar 212 Wiro Sableng.
Saat itu kedua orang ini berteduh dibawah sebuah pohon besar. Dari jurang di
tenggara Godean. dalam 23
perjaanan menuju Kotaraja mereka terus menerus didera hujan. Sampai di satu
tempat pejalanan tak bisa diteruskan karena di depan mereka menghadang anak Kali
Progo yang arus airnya luar biasa deras. Mereka akhirnya terpaksa berteduh
dibawah pohon besar Karena tak ada tempat lain yang bisa dipakai untuk
berlindung. "Kalau menunggu pagi perlu apa aku mendesak pergi. Justru karena tak ingin
berlama-lama di tempat ini aku minta kita segera menyeberang saat ini juga
Kakekku Pangeran Sena Wirapala pasti saat ini sangat gelisah. Bisa-bisa dia
sudah memerintah orang untuk mencariku. Menyusul ke Godean. Aku pasti dapat
marah besar."
Wiro menggaruk kepala, seperti tidak mendengar ucapan si gadis. Tidak ditanggapi
Ambarsari lantas berdiri. Dia goyangkan kepala ke arah sebuah rakit bambu yang
terletak tak jauh dari pohon besar.
"Getek bambu itu bisa kita pakai untuk menyeberang."
"Kau sudah mengatakan beberapa kali. Aku sudah menerangkan banyak kali. Bukankah
aku tadi sudah memeriksa getek itu" Selain lapuk ada beberapa bambu yang patah.
Dari sini saja bisa dilihat banyak bagian getek sudah pada patah dan bolongi"
"Alasanmu saja. Aku tahu...." ucap Ambarsari pula.
"Tahu apa?" tanya Wiro.
"Kau sengaja mengulur-ulur waktu. Agar bisa lebih lama bersamaku. Aku rasa dalam


Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benakmu saat ini pasti ada pikiran kotor. Iya kan"!"
"Tololnya aku inil Kalau memang aku berniat jahat sudah sejak di jurang itu aku
lakukan!" "Lalu mengapa tidak kau lakukan"!" tukas si gadis,
Wiro membelalak akhirnya tertawa tapi tertawa kesal. Sebenarnya dia bisa saja
meninggalkan gadis yang punya sifat serta suka bicara menjengkelkan itu. Namun
karena sejak semula sudah punya niat menolong, dia merasa tidak tega. Kawasan
dimana mereka berada masih merupakan kawasan berbahaya Apa lagi setelah
mengetahui Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua Sena Wirapala yang sahabat Eyang
Sinto Gendeng. Belum habis rasa jengkelnya, Wiro kembali mendengar si gadis bicara tidak enak.
"Jangan-jangan kau temannya pemuda bernama Cakra itu. Kalian bersekongkol. Kau
menjalankan peran sebagai kesatria penolong. Iya kan?"
"Iya kan"l" Wiro menirukan ucapan si gadis lalu tertawa. Dalam hati dia berkata.
"Gila benari Belum pernah aku ketemu gadis seperti inil"
"Eh, kenapa kau tertawa"!" tanya Ambarsari.
" Memangnya hatimu senang melihat aku seperti ini" Edan Puteri Keraton bisa
mengalami keadaan seperti ini ?"
"Puteri Keraton salah kaprah..." ucap Wiro perlahan antara terdengar dan tidak.
"Kau barusan bilang apa?"
Wiro menjawab dengan pencongkan mulut.
"Kenapa mulutmu" Gigimu ada yang sakit"I"
"Gadis setani" maki Wiro dalam hati. Ingin dia menjewer atau menarik pipi gadis
itu. Bahkan mau rasanya dia menjambak rambut Ambarsari sejak tadi-tadi. Wiro
memandang ke arah kali. Arus air masih deras. Dia berpaling ke kiri. ke arah
serumpunan pohon bambu. Kepala digaruk, otak berpikir menghitung mengukur-ukur.
Lalu mulutnya sunggingkan senyum!
"Nah, sekarang kau malah tersenyum. Pasti ada pikiran yang tidak-tidak dalam
kepalamul Iya kan"!"
"Kau masih ingin memaksa menyeberang kali sekarang juga?"
Ambarsari anggukkan kepala.
"Kali Progo banyak buayanya. Bisa saja ada yang terbawa arus sampai ke sini
Kalau terjadi apa-apa waktu
menyeberang atau kau sampai jadi santapan buaya jangan salahkan aku."
"Aku tidak takut pada buaya sungai. Aku malah takut pada buaya darat sepertimu!"
jawab Ambarsari.
"Bagus" ucap Pendekar 212 geram setengah mati
"Jangan nanti kau menjerit-jerit minta tolong kalau bertemu buaya sungai" Dengan
langkah kesal dia berjalan ke arah pohon bambu tinggi. Wiro cabut lima belas
batang bambu. "Kau mau bikin apa?" tanya Ambarsari.
"Lihat saja," jawab Wiro acuh.
"Mau membuat gubuk atau getek baru?" tanya sigadis lagi.
"Lihat saja, sahut Wiro.
"Lihat sajal Lihat saja!' Ambarsari mengomel.
Lima belas batang bambu yang rata-rata panjar; tiga tombak ditabas dengan
pinggiran tangan lalu dibawa ke tepi kali. Dengan mengerahkan tenaga dalam lima
buah batang bambu itu dilempar ke dalam kali hingga tegak menancap. Dengan
berpijakan pada ujung bambu ke lima, Wiro menancapkan bambu ke 24
enam. Dengan berdiri di atas ujung bambu ke enam Wiro menancapkan bambu ke tujuh
demikian seterusnya hingga seluruh batang bambu yang berjumlah
dua belas menancap berjejer dari tepi kail yang satu ketepi kali di seberangnya.
Arus air kali yang deras membuat batang bambu bergoyang-goyang.
"Gadis Keratonl" teriak Wiro dari pinggir kali seberang. "Kalau aku mau aku bisa
meninggalkanmu saat ini juga!"
"Jangan mengancam. Lakukan saja!" tantang Ambarsari walau hatinya tiba-tiba
merasa kecut kalau Wiro memang benar-benar meninggalkannya.
"Si bawel satu ini bicaranya pandai sekali. Aku selalu terpojok!" Wiro
menggerutu. Dia melompat ke ujung bambu ke lima belas. Dengan pengerahan ilmu
meringankan tubuh yang dimilikinya sesaat kemudian dia sudah berada di hadapan
Ambarsari. "Kau sudah siap menyeberang?"
Ambarsari menatap ke arah deretan tiang bambu di dalam kali. Lalu memandang
membelalak pada Wiro.
"Kau akan melompat dari ujung bambu satu ke ujung lainnya."
" Seperti tadi yang aku lakukan. Dengan cara itu bisa sampai ke seberang.
"Kau mau mengikuti aku atau mau melompat duluan?" tanya Pendekar 212 pula.
"Kau punya ilmu tapi dipakai untuk kesombongan! Kau bukan hendak menolongku tapi
mau pamer ilmu kepandaian! Kau mau menyeberang silahkan saja! Aku biar tetap di
bawah pohon sini! Mudah-mudahan kau kecemplung dimakan buaya!"
"Kalau begitu kau mau kita menyeberang sama-sama?"
"Sama-sama bagaimana, maksudmu?" tanya Ambarsari.
"Kau aku dukung di sebelah depan, atau aku panggul atau aku gendong belakang!
Mana yang enak kau silahkan memilih!"
"Dasar pemuda sableng! Kau pergunakan kesempatan dalam kesempitan!"
Wiro tertawa, panjang.
"Sudah, kau gendong aku di sebelah belakang saja," Ambarsari akhirnya keluarkan
ucapan. Wiro lalu berlutut Tapi ditunggu-tunggu si gadis tidak naik-naik juga ke
punggungnya. "Ayo! Tunggu apa lagr"!" Wiro berteriak.
"Tidak, aku tak mau digendong belakang. Kau pasti keenakan."
"Lalu kugendong di sebelah depan?"
"Tidak. Tanganmu pasti jahili Aku lebih suka dipanggul saja."
"Kalau begitu jangan banyak omong lagi!" kata Wiro pula. Lalu dia dekati si
gadis, bergerak cepat dan tahu-tahu Ambarsari sudah tertelungkup, di bahu
kanannya. "Kau boleh pegang plnggangkul Tapi awas kalau tanganmu berani turun ke bawah"
Tiba-tiba di dalam arus air yang berkecamuk dahsyat terdengar suara benda
bergerak. Wiro memperhatikan. Dalam kegelapan dia melihat dua benda besar
mengapung besar menyembul tak Jauh dari deretan lima belas batang bambu yang
menancap di tengah kail.
"Buaya..." kata Ambarsari dengan suara bergetar.
"Apa kataku. Binatang itu ternyata sudah sampai di sini "
"Kalau tidak kau sebut-sebut binatang Itu tidak akan muncul" Ambarsari menyalahi
Wiro padahal tadi dia juga menyebut.
Rupanya dua ekor buaya di tengah kali sudah mencium dan melihat Wiro dan
Ambarsari. Kedua binatang ini meluncur ke arah tepi kail. Sebelum keduanya
mencapai pinggiran kali dan naik ke darat, Wiro telah melesat, melompat ke atas
ujung bambu pertama. Ujung bambu bergoyang keras di hantam arus air.
Sebelum tubuhnya oleng Wiro pindah ke bambu ke dua. Ambarsari memagut leher sang
pendekar kuat-kuat Ujung bambu ke tiga dilewati, juga bambu ke empat. Ketika
menginjak bambu ke lima, dua ekor buaya yang kehilangan mangsa berbalik. Masuk
kembali ke dalam air dan berusaha mengejar. Wiro melesat ke ujung bambu ke enam,
terus ke tujuh, delapan, sembilan dan sebelas.
Pada ujung bambu ke sebelas salah seekor dari dua buaya berhasil mengejar dan
datang membalik dari arah berlawanan. Sambil berusaha menyambar kaki Wiro dengan
moncongnya yang panjang binatang ini kibaskan ekornya hingga batang bambu ke dua
belas patah. WIro yang sudah melesat di udara dan sedianya akan menginjakkan
kaki di ujung bambu ke dua belas tentu saja jadi terkejut ketika melihat ujung
bambu itu tak ada lagi di permukaan airi Sementara tubuhnya sudah keburu
melayang di udara dan di bawah sana dua ekor buaya besar siap menunggu.
Pada saat yang menegangkan itu. dalam kegelapan malam Wiro melihat sebuah batang
kelapa dihanyutkan arus air ke arahnya.
"Kraak! Kraaakl"
Batang bambu ke tiga belas dan keempat belas hancur berpatahan ditabrak batang
kelapa. Dua ekor buaya sesaat lenyap di bawah air namun di lain kejap muncul
kembali, badan ditinggikan, moncong menyambar. Wiro melihat cuma ada satu
kemungkinan. satu kesempatan. Yaitu pergunakan, batang kelapa 25
sebagai tempat menjejakkan kaki sekaligus melambungkan diri ke udara lalu
melesat mencapai ujung batang bambu terakhir yaitu batang bambu ke lima
belas. Namun dua ekor buaya harus mampu disingkirkan terlebih dahului Kalau
tidak, walau dia bisa mencapai batang bambu ke lima belas, di saat bersamaan dua
ekor buaya itu pasti telah melahap bagian bawah tubuhnya!
Begitu dirinya mulai melayang turun, Wiro lontarkan tangan kiri dua kali
berturut-turut melepas pukulan sakti Tangan Dewa Menghantam Air Bah. Inilah
salah satu dari enam pukulan sakti yang ada dalam kitab Putih Wasiat Dewa yang
didapat Wiro dari Datuk Rao Basaluang Ameh.
Suara gemuruh luapan arus air anak Kali Progo senyap ditelan suara pukulan sakti
yang menggelegar laksana kumandang suara guntur. Lapat-lapat terdengar suara
jeritan dua ekor buaya sebelum tubuh mereka hancur cerai berai dan dihanyutkan
arus. Air kali melambung sampai setinggi dua tombak.
Celakanya batang kelapa yang hendak dijadikan pijakan kaki ikut terangkat ke
udara. Untuk menunggu sampai batang kayu kembali turun dan mengambang di
permukaan air terpaksa Wiro membuat satu gerakan jungkir balik yang dalam
keadaan seperti itu sulit dakukan. Ambarsari menjerit keras. Untung Wiro tidak
terpengaruh oleh jeritan itu. Dengan segala, ilmu kepandaian yang dimilikinya
serta ketabahan dan kesigapan seorang pendekar dia berhasil melesat ke udara,
turun ke bawah tepat pada saat batang kelapa sudah mengambang di atas air
kembali. Sekali menjejakkan kaki kanan di atas batang kelapa Wiro berhasil melesatkan
tubuhnya ke udara. Seperti seekor burung elang murid Slnto Gondong hinggap di
ujung batang bambu ke lima belas. Ketika dia siap untuk melompat ke tepi kali
tiba-tiba ada suara berkesiuran dan dalam kejapan yang sama dari seberang kali
yang gelap melesat lima buah benda aneh. Sebesar ujung ibu jari, berbentuk bulat
putih kekuningan.menebar bau harum!
Pendekar 212 cepat kibaskan tangan kiri Tiga buah benda aneh terpental. Satu
melesat lewat di samping kepalanya. Benda kelima menancap telak di pangkal leher
sebelah kiri. Meskipun mampu mencapai tepian kali namun begitu menjejakkan kaki
di tanah murid Sinto Gendeng langsung ambruk. Ambarsari jatuh dari panggulannya.
Si gadis pergunakan ilmu silatnya agar tidak sampai tersungkur di tanah. Namun
dalam bingungnya gadis Ini membuat gerakan yang salah hingga justru kepalanya
terjun ke tanah lebih dulu!
Sebelum kepala itu membentur tanah becek di tepi kali, satu bayangan hitam
berkelebat dari balik pohon, menyambar tubuhnya dan lenyap dalam kegelapan.
26 DALAM keadaan mata masih terpejam sayup-sayup Wiro mendengar suara deru
berkepanjangan. Udara di sekitarnya terasa dingin. Tubuh lemah menggigil.
Pikiran kosong. Untuk menolak hawa dingin dia kerahkan tenaga dalam guna
mengalirkan hawa sakti. Tapi tak berhasil. Dia coba gerakkan tangan kanan.
Tidak bisa. Tangan kiri juga
kaku. Lalu kaki kiri kanan, sama sekali tak mampu diangkat. Sesaat kemudian
murid Sinto Gendeng ini baru menyadari kalau dia sama sekali tidak mengenakan
baju sementara celana putih yang masih melekat di tubuhnya merosot sampai ke
betis. "Gila Apa yang terjadi. Aku berada dimana" Sudah berapa lama aku di tempat Ini"
Dingin, mulutku kering, haus .... lapar." Dia hendak menggaruk kepala. Tentu
saja tidak bisa.
Perlahan-lahan Wiro buka kedua matanya. Keadaan sekelilingnya agak gelap. Dia
tertelungkup di lantai batu yang mengeluarkan hawa dingin Dia coba membuka mulut
Kaku mulai dari bibir sampai ko lidah
"Aku tak bisa bergerak. tak mampu bersuara Aku berada dibawah pengaruh totokan
luar biasa hebat..."
Wajah sang pendekar mengerenyit ketika ada rasa perih mencucuk pangkal lehernya
sebelah kiri. Hal ini membuat dia mulai ingat akan apa yang telah terjadi
sebelumnya. "Ambarsari.... Aku dan gadis Keraton itu berusaha menyeberangi kali yang sedang
diamuk arus. Ada buaya .... ada batang kelapa. Lalu ada lima benda aneh
menyerangku. Satu menancap di leher kiri. Setelah itu
..." Ingatan sang pendekar hanya sampai di situ Wiro berusaha memperhatikan
tempat dia berada seluas pandangan yang bisa dilayangkan. Ternyata dia berada
dalam satu ruangan batu berhawa dingin. Satu-satunya penerangan yang membuat
ruangan itu menjadi sedikit terang adalah rambasan cahaya yang masuk melalui
celah sangat tipis berbentuk empat persegi panjang.
"Pintu, pasti disitu ada pintu. Cahaya masuk lewat celah pintu." Wiro berkata
dalam hati. "Bagaimana aku bisa. berada di sini. Tempat celaka apa ini. Dimana
gadis itu. Apa yang terjadi" Jangan-jangan yang menyerang tadi malam gerombolan
rampok. Berarti Ambarsari diculik. Tapi... kalau memang rampok yang menyerang
pasti aku sudah dibunuh. Perlu apa orang jahat itu susah payah membawa aku ke
tempat ini..."
Wiro pejamkan mata, berusaha berpikir lebih jernih. "Suara deru itu .... Ada sesuatu
yang mengalir di samping atau dibagian atas ruangan ini. Apa" Mungkin air ~.
Berarti ada sungai di sekitar sini...."
Tiba-tiba Wiro mendengar suara langkah-langkah kaki. Tak lama kemudian terdengar
satu benda berat bergeser lalu ada cahaya memasuki ruangan batu hingga keadaan
sekarang menjadi cukup terang. Wiro memandang ke arah dinding batu yang terbuka
membentuk pintu. Empat orang melangkah masuk. Tiga mengenakan pakaian pasukan
Kerajaan, satu memakai jubah putih menjela lantai. Karena silau Wiro tidak dapat
melihat wajah ke empat orang itu. Namun begitu keempatnya berdiri di samping
dinding kiri dan cahaya dari luar menerangi, Wiro kini dapat melihat cukup jelas
wajah mereka. Orang pertama dan kedua adalah perajurit Kerajaan. Yang ketiga seorang pemuda
bertubuh tegap yang juga
mengenakan pakaian perajurit Kerajaan. Dari tanda-tanda kebesaran serta topi
yang dikenakannya Wiro menduga pemuda Ini punya pangkat tinggi, pa ling tidak
seorang Perwira Muda. Dugaan Wiro tidak meleset karena orang itu memang adalah
Pewira Muda Soma Kowara.
Orang ke empat seorang kakek berwajah panjang.Walau mukanya penuh keriput namun
tampak bersih klimis. Dalam usianya yang sudah lanjut sosoknya masih kelihatan
kukuh. Rambutnya yang putih di gelung di atas kepala. Pakaiannya sehelai jubah
putih Penampilannya seperti seorang Resi Orang tua Ini bukan lain adalah
Pangeran Tua Sena Wirapala, kakek Raden Ayu Ambarsari.
"Periksa apakah tawanan sudah sadar atau belum" Perwira Muda Soma Kowara berkata
pada dua orang perajurit. Kedua perajurit ini segera laksanakan perintah.
Mendengar dirinya disebut tawanan murid Sinto Gendong jadi terkejut. "Aku
tawanan" Tawanan siapa?"
Wiro berpikir. Dia ingat keterangan Ambarsari kalau dirinya adalah cucu Pangeran
Sena Wirapala Wiro perhatikan orang tua berjubah putih. "Jangan-jangan dia
Pangeran Tua Sena Wirapala. Berarti aku tawanan Kerajaan. Berarti saat ini aku
disekap di satu tempat di Kotaraja. Gila! Bagaimana bisa kejadian seperti ini"!"
27 Dua perajurit yang memeriksa Wiro dan melihat sang pendekar dalam keadaan dua
mata nyalang, bola mata bergerak-gerak, segera memberi laporan pada Soma Kowara
bahwa tawanan berada dalam keadaan sadar.
"Bagus, berarti kita bisa menanyainya," orang tua berjubah putih keluarkan
ucapan lalu memberi tanda pada Soma Kowara dengan anggukan kepala. Perwira muda
itu segera melangkah mendekati Wiro, membungkuk lalu sekali dua tangannya
bergerak murid Sinto Gendeng melayang ke dinding seberang dan jatuh terduduk
kaku di sebuah gundukan batu rata berbentuk bangku.
Pangeran Sena Wirapala, Perwira Muda Soma Kowara dan dua perajurit kemudian
melangkah mendekati Wiro. Begitu berada di hadapan sang pendekar Soma Kowara
jambak rambut Wiro lalu membentak.
"Kami akan menanyai dirimu! Jika kau tidak menjawab benar dan jujur, kau akan
menerima nasib lebih buruk dari ini!" Habis membentak sang Perwira Muda
hantamkan satu tamparan ke muka Pendekar 212.
Kepala Wiro sampai tersentak dan ujung bibirnya kucurkan darah saking kerasnya
tamparan. Orang tua berjubah putih maju lebih dekat ke arah Wiro. Tiba-tiba dua jari
tangan kirinya melesat ke ubun-ubun murid Sinto Gendeng. Asap mengepul dari
batok kepala Wiro. Wiro merasa kepalanya seperti terbongkar. Mulutnya terbuka
lebar. Ternyata Pangeran Sena Wirapala menusuk ubun-ubun Wiro untuk melepas
totokan yang menutup jalan suaranya. Saat itu juga Wiro keluarkan satu jeritan
keras. "Kalian"
Soma Kowara kembali menjambak rambut Wiro.
"Manusia bejat Jangan berani membuka mulut kalau tidak ditanya atau disuruh"
"Plaakk" Satu tamparan lagi menghajar muka murid Sinto Gendeng hingga kepalanya
tersentak dan telinganya kanannya keluarkan darah. Ternyata Perwira muda itu
bukan melancarkan tamparan biasa, tapi tamparan yang dialiri tenaga dalam
tinggi!

Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa perdulikan ancaman orang, darah menggelegak Wiro membuka mulut hendak
memaki Namun Pangeran Tua Sena Wirapala mengangkat tangan kanan seraya berkata.
"Bicaralah jika kau diminta bicara. Buka mulutmu jika kau ditanya..."
"Apa salahku! Mengapa aku diperlakukan sepe ini?" teriak Wiro tanpa perduli.
Kali ini bukan tamparan tapi satu jotosan melabrak pipi kanan Pendekar 212,
"Sekali lagi kau berani bersuara kuhancurkan mulutmu, kuremukkan hidungmu!"
hardik Soma Kowara.
"Kalian pasti orang-orang Kerajaan. Tapi buka manusia Melainkan anjing biadab!"
Soma Kowara berteriak marah. Seluruh tenag dalamnya dikerahkan ke tangan kanan
yang sudah membentuk tinju. Namun sebelum jotosannya mendarat di mulut Wiro
Pangeran Sena Wirapala memegang bahu Perwira Muda ini dan menariknya ke
belakang. "Biarkan aku menanyai dulu. Nanti kalau dia sudah bicara, kau boleh melakukan
apa saja atas dirinya.
Tapi ingat. Jangan dibikin mati! Hukum Kerajaan harus diberlakukan. Dia harus
mati di tiang gantungan.
Pangeran Sena Wirapala lalu maju lagi satu langkah ke hadapan Wiro yang bukan
saja heran mendengar kata-kata si orang tua tapi juga terkejut sekali.
"Aku Pangeran Sena Wirapala. Raden Ayu Ambarsari adalah cucuku satu-satunya Kau
kenal dirinya?"
"Ya, aku mengenal cucumu Itu." jawab Wiro.
"Kau telah membuat kebiadaban luar bisa. Kotaraja geger selama dua hari ini.
Rakyat minta kau digantung
di alun-a'un lalu dicincang dan sisa jazadmu dibakar!"
"Apa salahku?" tanya Wiro dengan mata terbelalak.
"Manusia terkutuk! Jangan kau berpura-pura! Kau telah memperkosa Raden Ayu
Ambarsari lalu membunuhnya! Dajal sekalipun tidak akan sekeji itul" Yang membuka
mulut keras adalah Soma Kowara
"Tuduhan busuk! Fitnah keji! Aku justru berusaha menyelamatkannya malam tadi
Namun ada orang jahat membokongku! Melepas lima senjata rahasia. Satu menancap
di leherku. Aku kemudian tak sadarkan diri.
Sebelum roboh pingsan aku melihat Raden Ayu Ambarsari daiam keadaan masih hidup.
Melayang jatuh di tepi anak Kali Progo!"
"Siapa percaya ucapanmu!" hardik Soma Kowara. Perwira Muda ini memang ingjn
sekali menghabisi Wiro saat itu. Wiro membuat dia kehilangan gadis yang diamdiam dicintainya.
"Apakah kau sudah lama mengenal cucuku?" Pangeran Tua bertanya.
"Aku mengenalnya baru malam tadi. Sewaktu dia hampir celaka masuk jurang karena
dikejar seorang lelaki yang menurutnya bernama Cakra. Orang itu menyirapnya dan
bermaksud hendak merusak kehormatannya
'Pangeran." kata Soma Kowara "Kita tidak usah mempercayai semua ucapannya. Lebih
baik kita seret ia sekarang juga ke alun-alun."
"Saatnya untuk melakukan itu akan tiba. Harap kau bisa bersabar sebentar. Aku
masih ingin menanyainya." Lalu Pangeran Tua memerintahkan Pendekar 212
menceritakan apa yang telah terjadi tadi 28
malam. "Bicara yang jujur. Jika kau berdusta mengarang cerita, aku sendiri yang
akan mematahkan batang lehermu!"
Wiro pejamkan kedua matanya. Darahnya seperti mau muncrat, dadanya seolah hendak
meledak menahan amarah. Sekali lagi dia coba mengerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti. Namun dia tidak mampu membuyarkan totokan yang yang membuat kaku kedua
tangan dan kakinya.
"Percuma kau mencoba! Totokan yang melumpuhkanmu tak mungkin dimusnahkan.
Sekalipun kau punya ilmu setinggi langit sedalam lautan. Lebih baik kau mulai
saja menuturkan kejadian malam tadi."
Wiro coba menindih amarahnya. Dia sadar tak mungkin bisa membebaskan diri. Dari
Eyang Sinto dia pernah mendengar tentang ketinggian ilmu orang tua ini. Mungkin
lebih tinggi dari gurunya sendiri. Akhirnya Wiro hanya bisa pasrah dan mulai
menuturkan apa yang terjadi malam tadi. Mulai ketika dia menolong Raden Ayu
Ambarsari sampai usaha menyeberangi kali.
Wiro tutup ceritanya dengan ucapan. "Pangeran sudah mendengar apa yang aku
ceritakan. Di leherku pasti ada bekas serangan senjata gelap itu. Pangeran bisa
memeriksa sendiri"
Pangeran Sena Wirapala terdiam beberapa lamanya. Soma Kowara yang tidak ingin
orang tua itu mempercayai cerita Pendekar 212 segera membuka mulut. Suaranya
tetap keras. "Pangeran, pemuda terkutuk ini pandai mengarang cerita. Jangan sampai Pangeran
tertipu! ingat rakjat se Kotaraja masih berkumpul di alun-alun untuk menyaksikan
pelaksanaan hukuman gantung! Selain itu Sri Baginda juga telah memberi petunjuk
agar hukuman segera dilakukan siang Ini juga! Jangan ditunggu sampai matahari
condong ke barat apa lagi sampai tenggelam di timur"
"Pangeran, aku sudah bicara jujur. Perwira ini agaknya punya kepentingan
pribadi, memaksakan kehendak untuk menjatuhkan hukuman! Padahal aku tidak
bersalah! Pangeran, kau yang kuasa di sini.
Bukan dia!"
"Bangsat, kau mau mengadu domba kami berdua"!" bentak Soma Kowara. Wiro
menyeringai. Pangeran Sena Wirapala menatap wajah Wiro sesaat lalu gelengkan kepala.
"Ceritamu cukup bagus dan bisa saja benar. Katamu ada, orang yang menyerangmu
Dengan benda ini..." Orang tua itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku
jubahnya. Ternyata adalah sekuntum bunga tanjung yang sudah layu, warnanya
berubah coklat dan berlapis noda darah yang telah mengering. Pangeran tua
letakkan bunga tanjung itu di telapak tangan kirinya lalu diperlihatkan pada
Wiro. "Ini benda yang menancap di lehermu. Bunga tanjung. Aku yang mengeluarkan dari
lehermu pertama kali kau dibawa ke sini. Benda ini mengandung racun jahat yang
bisa membunuh seekor kerbau. Ternyata kau bisa bertahan dan hanya pingsan selama
dua hari dua malam."
"Kalau Pangeran sudah mengetahui, ditambah ada bukti orang menyerang diriku
secara gelap, sepatutnya Pangeran membebaskan diriku saat ini juga! Aku akan
melupakan semua kejadian, tapi satu hal aku tidak akan melupakan perlakuan kejam
dan pengecut Pewira Muda Ini!"
"Bangsat pembunuh! Tidak ada yang akan membebaskan dirimu! Malaikat maut sudah
menunggumu. Pintu neraka sudah terbuka lebar!" Teriak Soma Kowara marah besar.
Pendekar 212 menyeringai. "Jika aku bebas, apakah kau masih punya nyali menampar
dan memukulku"!"
Perwira Muda angkat tangannya tinggi-tinggi. Siap hendak menghajar Wiro, namun
Pangeran tua cepat menghalangi.
"Pembicaraan kita belum selesai;" kata sang pangeran pada Wiro. "Ceritamu tadi
bagus dan masuk akal kedengarannya. Bukti bunga tanjung juga ikut menunjang.
Tapi bisakah kau memberi tahu, jika kau punya musuh, atau ada orang pandai jahat
di rimba persilatan Ini, siapakah diantara mereka yang mem pergunakan bunga
tanjung sebagai senjata?"
"Aku tidak tahu. Pangeran. Seorang sakti mandraguna bisa saja menjadikan setiap
benda sebagai senjata.
Jangankan bunga tanjung, kentutpun bisa jadi senjata .."
"Manusia terkutukl Jangan kau berani bicara kurang ajar pada Pangeran Sena
Wirapala!" bentak Soma Kowara sementara sang pangeran tua hanya geleng-geleng
kepala. Sesaat kemudian orang tua, ini berkata.
"Anak muda, sayang sekali. Kau tidak pada kedudukan dapat menghindar dari
tuduhan Atau membuktikan bahwa dirimu benar-benar tidak bersalah. Mayat cucuku
ditemui di tepi anak Kali Progo dalam keadaan tanpa pakaian Ada bunga tanjung
menempel di keningnya. Wajah pucat dan bibirnya biru gelap.
Kau sendiri terbujur di sebelahnya tanpa baju. Celana panjangmu dalam keadaan
tersingkap Kau kami tawan di tempat ini. Cucuku telah dikebumikan siang hari
setelah jenazahnya ditemukan. Jelas semua ceritamu tadi tak ada artinya untuk
dipakai menyelamatkan diri."
Wiro kaget bukan kepalang.
"Kau memperkosa Raden Ayu Ambarsari Lalu membunuhnya!" Soma Kowara berkata
dengan muka didekatkan ke wajah Pendekar 212
"Demi Tuhan, aku bersumpah. Aku tidak melakukan hal itu!" Kata Wiro setengah
berteriak 29 Pangeran tua tersenyum dingin "Siapa yaag mau percaya keberadaan patung lakilaki dan perempuan yang bisa menjelma seperti manusia hidup. Melakukan perbuatan
mesum..." "Hai itu bukan aku yang mengatakan. Tapi cucumu sendiri yang menceritakan
padaku." Perwira Muda Soma Kowara mendengus.
"Seribu kali kau bersumpah, nyawamu tidak akan tertolong!" Perwira Muda ini lalu
berpaling pada Pangeran Sena Wirapala. "Pangeran, semua sudah jelas. Izinkan
saya meninggalkan tempat ini lebih dulu untuk menyiapkan tiang gantungan."
"Tunggu," kata Pangeran Sena Wirapala. Masih ada satu pertanyaanku lagi pada
orang ini." Lalu orang tua ini menatap Wiro beberapa jurus. Dalam hati dia
berkata. "Aku pernah melihatnya sewaktu masih bocah. Namun suara serta kurang
ajarnya tidak ada beda dengan si gondrong ini." Setelah menatap dan membatin.
Pangeran Sena Wirapala berkata. "Dari raut wajahmu, panjangnya rambut serta
bentuk tubuhmu, aku ingat pada seseorang sahabat lama di puncak Gunung Gede.
Pemuda gondrong, apa hubunganmu dengan nenek sakti Sinto Gendeng?"
Wiro diam saja tak mau menjawab.
"Kenapa kau tak mau bicara?" tanya Pangeran Sena Wirapala.
"Aku muridnya..." akhirnya Wiro keluarkan ucapan. Perlahan saja namun terdengar
mengejutkan di telinga Sang PAngeran dan Perwira Muda Soma Kowara.
"Berarti kau orangnya yang bernama Wiro Sableng berjuluk Pendekar Kapak Naga
Goni Dua Satu Dua?"
Wiro tidak menjawab, cuma sunggingkan senyum. Soma Kowara berubah tampangnya.
Pangeran Sena Wirapala pejamkan mata, menarik nafas dalam beberapa kali. Lalu
berpaling pada perwira di sebelahnya. "Soma, kita tidak dapat menggantung orang
ini sebelum memberi tahu gurunya. Aku perintahkan saat ini juga kau mengirim
utusan ke puncak Gunung Gede. Temui Sinto Gendeng. Ceritakan apa yang terjadi
dengan muridnya dan hukuman apa yang akan dijatuhkan Kerajaan atas dirinya!"
Soma Kowara sampai ternganga mendelik, tak percaya mendengar kata-kata Pangeran
tua. "Pangeran, saya tidak mengerti..."
"Soma, ini bukan soal mengerti atau tidak mengerti. kemelut besar akan melanda
Kerajaan kalau tokoh utama dunia persilatan Sinto Gendeng sampai tidak
diberitahu hukuman yang dijatuhkan Kerajaan atas diri muridnya.
"Pangeran ..."
"Kalau kau tidak mau melaksanakan perintahku, apakah aku yang harus memerintah
langsung para perajurit untuk berangkat ke Gunung Gede ..."
"Pangeran, Gunung Gede jauh sekali dari sini. dengan berkuda, paling tidak
membutuhkan waktu lebih dari dua minggu porgi pulang. Belum tentu nenek itu ada
di sana. Lalu bagaimana dengan rakyat banyak yang begitu mencintai Raden Ayu dan
ingin manusia satu ini segera dihukum mati di tiang gantungan"
Bagaimana kalau rakyat marah dan bertindak nekad menyerbu ke sini lalu
menggantung sendiri manusia terkutuk ini?"
"Soal kecintaan rakyat pada cucuku, aku lebih tahu Dan rakyat Juga tahu kalau
aku mencintai dan menyayangi Ambarsari lebih dari siapapun di atas dunia ini.
Aku merasa lebih baik melepas sepuluh penjahat berdosa dari pada menghukum
seorang yang tidak bersalah. Laksanakan perintahku! Berapa lamapun waktunya, aku
tetap menunggu sampai Sinto Gendeng ditemukan dan datang ke sini!"
Tiba-tiba di luar ruangan batu terdengar suara tawa perempuan cekikikan. Disusui
ucapan. "Mengapa susah-susah pergi ke Gunung Gede mencariku. Aku sudah ada disini!"
"Kurang ajar! Bagaimana orang luar bisa masuki Kemana para pengawal"!" Yang
berteriak marah adalah Soma Kowara. Perwira muda ini melompat ke pintu. Pada
saat yang sama dari luar berkelebat masuk satu bayangan hitam ke dalam ruangan,
langsung menabrak sang perwira.
Soma Kowara terpental, menabrak dua perajurit dan pangeran tua hingga ke empat
orang itu sama-sama jatuh bergelimpangan di lantai batu! Pangeran tua berseru
kaget, Soma Kowara memaki keras.
30 TIGA langkah dari ambang pintu ruangan batu dimana Pendekar 212 ditawan dan
masih dalam keadaan tertotok tak mampu bergerak, berdiri seorang nenek bungkuk
berkulit liat hitam, berbaju serta kain panjang hitam Kepaia yang ditumbuhi
rambut putih jarang ditancapi lima tusuk konde perak. Mata cekung berputar liar
Mulut kempot berkomat
kamit. Kalau Pangeran Sena Wirapala, Soma Kowara dan dua perajurit sama-sama terkejut
maka Wiro berseru gembira.
"Eyang Sinto!"
Si nenek umbar tawa cekikikan.
"Anak setan, kau tetap saja di tempatmu! Biar aku yang menyelesaikan urusan
dengan orang-orang keblinger ini!"
Wiro menghela nafas lega namun tiba-tiba dia melihat ada beberapa kelainan pada
diri gurunya itu.
Sewaktu terakhir bertemu di Godung Kadipaten Losari (baca episode sebelumnya
berjudul "Sang Pembunuh") Eyang Sinto mengenakan pakaian hitam baru dan bagus
serta berdandan mencolok. Saat itu dia muncul bersama kakek sakti kekasih dimasa
mudanya, kakek berjuluk Tua Gila. Kini si nenek kembali mengenakan pakaian
aslinya. Tetapi mengapa kain panjang hitam itu tidak basah dan menebar bau
pesingnya air kencing" Lalu Eyang Sinto juga tidak membekal tongkat kayu butut
yang selalu dibawanya kemana-mana. Di tangan kirinya Wiro malah melihat si nenek
memegang sebuah benda panjang putih yang bukan lain adalah suling perak milik
Loan Nio Nikouw yang tempo hari diberikan sang paderi kepada nenek kembar
jejadian dan si nenek kemudian memberikannya pada Wiro.
"Dimana Eyang Sinto mendapatkan suling itu" Mungkin di tepi Kali Progo" pikir
Wiro. Kelainan berikutnya yang dilihat sang murid, si nenek tidak mengunyah susur di
mulutnya. Lalu suara Eyang Sinto walau tetap melengking keras namun agak besar.
Apa telah terjadi perubahan dengan Eyang Sinto sejak pertemuannya dengan Tua
Gila" Pangeran Sena Wirapala, diikuti Soma Kowara dan dua perajurit cepat berdiri.
Sang Perwira Muda setelah
mendengus segera bergerak mendatangi si nenek. Tapi Pangeran Sena Wirapala
menahannya lalu melangkah maju dan menegur.
"Sinto Gendeng, kau masih saja seperti dulul Bicara jorok ceplas ceplos! Selalu
kurang ajar dalam bertindak!"
Sinto Gendeng plototkan mata. "Sena. seharusnya kau berterima kasih karena aku
sudah muncul di sini.
Tak perlu mengirim utusan ke Gunung Gede. menghabiskan tenaga membuang waktu!"
"Itu semua aku lakukan demi persahabatan kita di masa. lalu."
"Weh, apakah sekarang ini kita tidak lagi bersahabat?" Sinto Gendeng memutus
ucapan orang. berdiri berkacak pinggang
"Tentu, tentu saja kita tetap masih bersahabat," jawab Sena Wirapala. "Aku
benar-benar bersyukur karena kau datang tepat pada waktunya. Sehingga apapun
yang kami lakukan atas diri muridmu dikemudian hari tidak akan membawa salah
pengertian ..."
"Begitu?" ujar si nenek. Dia menatap ke arah Wiro yang sejak tadi terus menerus
memperhatikan dirinya
" Anak setan! Siapa yang menelanjangimu sampai setengah bugil begitu rupa?"
"Aku tidak tahu nek Waktu sadar keadaanku sudah begini," jawab Wiro Lalu dia
menambahkan. "Biar jelas kau tanyakan saja pada orang orang itu."
"Hemmm.." Si nenek bergumam. Dia kedipkan mata lalu berpaling pada Pangeran
tua." Aku sempat mendengar pembicaraan kalian. Aku juga tahu semua kejadian!
Karena itu perihal muridku aku tidak akan banyak cerita Aku cuma mengeluarkan
satu ucapan. Bebaskan anak setan ini karena dia tidak punya salah tidak punya
dosa!" "Enak sekali bicaramu!" kata Soma Kowara. Walau dia sadar berhadapan dengan
seorang tokoh terkenal rimba persilatan namun Itu tidak mengurangi kenekatannya
untuk bicara keras. Apa lagi dia merasa berada di pihak yang benar dan membela
atasannya "Muridmu membunuh dan memperkosa Raden Ayu Ambarsari cucu Pangeran
Sena Wirapala. Dan kau minta kami membebaskan! Tua bangka edan! Pantas kau
disebut nenek gendeng!* Habis membentak dan memaki Perwira Muda itu tertawa
gelak-gelak seolah mengejek Sinto Gendeng.
"Perwira jahanam! Jangan kau berani menghina guruku!" teriak Wiro marah 31
Tapi Soma Kowara tidak perduii ucapan orang. Dia terus saja tertawa gelak-gelak
sampai tubuhnya bergetar dan wajahnya merah keringatan.
Sinto Gendeng berkomat kamit. "Suara tawamu enak didengar!" ucapnya. "Apa aku
boleh Ikutan tertawa"
Hik... hik ... hik!"


Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si nenek buka mulutnya lebar-lebar, sepasang mata melesak masuk ke dalam rongga
yang cekung. Sesaat kemudian dari mulut Sinto Gendeng mengumbar suara tawa bergelak luar biasa
keras. Suasana mendadak mencekam mengerikan. Suara tawa si nenek seolah
terdengar dalam satu rimba belantara, seram menggema. Membuat seantero ruangan
batu bergetar, pintu batu berderak. Lengkingan suara tawa membuat semua orang
yang ada di situ kecuali Wiro mendenging sakit telinga masing-masing. Luar
biasa, suara tawa yang begitu dahsyat mampu diarahkan pada empat dari lima orang
yang ada dalam ruangan.
Pangeran tua Sena Wirapala, Soma Kowara dan dua perajurit merasa seperti ada
angin panas mencucuk masuk ke liang telinga mereka, menembus sampai ke otak!
Empat orang ini cepat tekapkan telapak tangan ke telinga masing-masing. Tapi tak
ada gunanya. Getar lengking tawa Sinto Gendeng terus menembus masuk ke dalam
liang telinga membuat mereka kesakitan setengah mati. Dua perajurit yang ada
dalam ruangan menjerit keras lalu roboh ke lantai dengan telinga kiri kanan
kucurkan darah Keduanya tewas dengan mata mendelik. Dari tempatnya duduk
Pendekar 212 terheran-heran menyaksikan apa yang terjadi.
"Soma! Hentikan tawamu!" teriak Pangeran Sena Wirapala.
"Tidakl Jangan berhenti! Tertawalah terusl Tawamu enak didengar!" Teriak Sinto
Gendeng. Anehnya Perwira Muda itu benar-benar tertawa terus.
Sena Wirapala melihat bahaya besar mengancam Soma Kowara cepat bertindak. Dia
melompat ke hadapan Perwira Muda itu, lancarkan dua totokan ke arah dada dan
tenggorokan. "Hekkk!"
Soma Kowara keluarkan suara seperti orang dlcekik Saat itu juga suara tawanya
lenyap Sekujur tubuh terasa lemas, melosoh jatuh, terduduk di lantai batu. Muka
pucat seputih kertas. Secara bersamaan suara tawa Sinto Gendeng juga sirap. Si
nenek masih tegak di depan pintu ruangan, tangan berkacak di pinggang.
Pangeran Sena Wirapala turunkan kedua tangannya yang sejak tadi ditekapkan ke
telinga. Dia menatap ke arah Sinto Gendeng dengan pandangan heran. Hatinya
berucap "Ilmu Seribu Demit Tertawa Memecah Bumi. Aneh,* setahuku Sinto Gendeng tidak
memiliki ilmu kesaktian yang sangat berbahaya itu..."
"Sena Wirapala. Aku sudah memberi peringatan. Apakah kau masih belum mau
membebaskan muridku?"
Sinto Gendeng keluarkan ucapan. >
"Aku tidak mungkin melakukan hal itu. Muridmu punya dosa kesalahan besar. Rakyat
sudah mengetahui.
Tiang gantungan sudah disiapkan" Jawab Pangeran tua pula.
Sinto Gendeng ceiikkan mata lalu geleng-geleng kepala.
"Hukum memang harus dijunjung tinggil Tapi tuduhan yang tidak beralasan namanya
bukan hukum! Satu petunjuk sudah cukup untuk membebaskan muridku anak setan itu!
Dia diserang dengan bunga tanjung.
Dia tidak membekal senjata gila seperti itu. Lalu di kening cucumu menempel
sekuntum bunga yang sama!
Apakah kau tidak bisa berpikir. Hanya menurutkan nafsu dendam karena kebetulan
cucumu yang dibunuh orang"!"
"Sinto. terserah kau mau bilang apa. Tapi...."
"Dengar. Aku bisa mencari petunjuk lain yang membuktikan anak setan Itu tidak
memperkosa cucumu, apa lagi membunuhnya."
"Petunjuk dan bukti apa?" tanya Sena Wirapala.
"Sewaktu kalian menangkapnya di tepi kali apakah kalian memeriksa anunya anak
setan itu" Apakah basah, ada lengket-lengketnya, mungkin juga ada darah. Atau
anunya sama sekail keringi"
Wajah Pangeran Tua Sena Wirapala berubah merah.
"Ucapanmu menjijikkan sekalil"
. "Bisa begitul Aku yakin saat itu anunya anak setan itu daiam keadaan kering
Berarti dia tidak pernah memperkosa cucumu. Ada orang lain yang melakukan. Orang
ini yang membunuh cucumu. Lalu muridku yang dalam keadaan pingsan dijejerkan di
samping mayat cucumu. Bajunya ditanggalkan, celananya diperosotkan."
"Kau mengarang cerita busuk untuk menolong murid bejatmu itul" tukas Sena
Wirapala. Sinto Gendeng menyeringai.
"Muridku memang sableng! Tapi seumur hidup dia tidak pernah melakukan perbuatan
keji itu. Memperkosa dan membunuh korban yang diperkosanya! Ingat baik-baik Sena. Muridku bukan
manusia bejat seperti katamu!" Dua orang itu saling melotot satu sama lain.
32 Si nenek lanjutkan ucapannya "Sena Wirapala. Kau bilang kita masih bersahabat.
Kurasa tidak lagi. Karena kau tidak mempercayai ucapanku sebagal sahabat.
Sekarang aku mengajukan satu usul padamu. Lepaskan muridku, kau boleh
memenjarakan aku bahkan menggantung diriku sebagai gantinya!"
"Tidak mungkin Sinto. Siapa yang salah itulah yang dihukum. Siapa yang berdosa
dialah yang digantung!"
jawab Sena Wirapala.
"Nek, tua bangka ini keras kepala. Otaknya terbuat dari batu hingga tak mampu
berpikir jernih! Hatinya terbuat dari tanah lempung hingga tak punya nurani!-"
Wiro berkata dari tempatnya terduduk kaku.
"Sinto, aku tak bisa melayanimu berlama-lama. Silahkan kau meninggalkan tempat
ini." Sena Wirapala memberi Isyarat dengan gerakan tangan agar si nenek
meninggalkan ruangan itu.
"Dengan senang hati aku akan pergi. Tapi jika aku pergi, anak setan Itu harus
ikut bersamaku!" Ucap Sinto Gendeng pula.
"Lakukanlah jika kau mampu!" tantang Sena Wirapala.
Sinto Gendeng tertawa.
"Sena, kau rupanya masih belum tahu siapa sobat lamamu ini. Dengar, sebelum
masuk ke sini aku sudah membuat retak bagian luar atap ruangan ini. Sekali aku
menghantam atap ruangan akan jebol dan air Kali Opak akan melanda masuk ke
tempat ini. Mudah-mudahan kau bisa menyelamatkan diri."
Pangeran Sena Wirapala tersentak kaget Berteriak marah dan menyerbu ke arah
Sinto Gendeng. Didahului tawa panjang bergelak Sinto Gendeng sabetkan suling perak di tangan
kiri Satu sinar putih perak menyilaukan menyambar ke arah Pangeran Tua Sena
Wirapala. Sambil menghindar sang Pangeran balas menghantam dengan pukulan maut
yang disebut Di Dalam Gelap Menggusur Gunung. Selarik angin dahsyat laksana
topan menerpa ke arah Sinto Gendeng.
Namun nenek sakti dari Gunung Gede itu telah berkelebat lenyap Sosoknya melayang
menyambar Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu sambil melesat ke arah atap ruangan
batu dia tusukkan suling perak ke atas.
Selarik cahaya putih perak berkiblat Atap ruangan batu jebol.
Terdengar suara bergemuruh ketika air bah mencurah masuk. Sinto Gendeng
berteriak keras lalu melesat ke atas sambil memanggul muridnya. Sesaat tekanan
air bah membuat gerakannya menembus ke atas tertahan. Tubuhnya mengapung di
udara. Si nenek berteriak sekali lagi dan lipat gandakan tenaga dalamnya.
"Wusss!"
Sosok guru dan murid lenyap di lobang besar yang dibanjiri air Kali Opak.
33 EYANG, kita sudah jauh meninggalkan Kotaraja. Mengapa tidak mencari tempat
berhenti." Wiro yang berada di atas panggulan Sinto Gendeng berkata.
"Anak setan! Kau diam sajalah. Ada satu tempat yang aman dan bagus di puncak
bukit sana!" jawab Sinto Gendeng seraya membelok memasuki sebuah hutan kecil.
Sekeluarnya dari hutan ada sebuah bukit kecil.
Di puncak bukit terdapat sebuah candi yang masih baik keadaannya namun penuh
diselimuti lumut tanda tidak terawat dan jarang didatangi orang.
"Nek, aku berterima kasih kau telah menolongku dari orang-orang gila itu ....*
"Kau juga gila. Kalau tidak gila pasti tidak terlibat segala macam urusan
keblinger itu. Pasti cucu Pangeran itu cantik wajahnya. Kalau jelek kau mana
bakalan mau menolong. Karena mata keranjang Sekarang kau rasakan sendiri
akibatnya. Digebuki orang. Untung tidak bonyok..."
"Kau tidak tahu asal muasal kejadiannya, nek."
"Sudah! Jangan bicara lagi!" Sinto Gendeng tampak kesal.
"Nek..."
"Apa lagi"! Apa kau tak bisa mengancing mulutmu barang sebentar"!"
"Anu nek. Aku lihat kain panjangmu tidak lepek oleh air kencing. Tubuh dan
pakaianmu tidak bau pesing.
Apa penyakit ngompolmu sudah sembuh"!" Wiro kembali membuka mulut bertanya.
Diam saja dulu! Nanti di candi sana kita bicara! Aku sudah capek memanggulmu.
Kalau kau terus-terusan membuat aku jengkel, aku lempar kau ke tanah, baru
rasai" Wiro diam. Tapi sejak tadi mulutnya masih gatal mau bertanya.
"Nek. kau dapat dari mana suling perak itu?"
"Dasar anak setani Disuruh diam malah nyerocos bertanya terus!"
Sinto Gendeng akhirnya sampai di candi di atas bukit. Wiro didudukkan di anak
tangga sebelah atas.
disandarkan ke tiang candi. Sang murid pandangi gurunya mulai dari kepala sampai
ke kaki. "Nek...."
"Hussl Apa kau tak bisa menutup mulutmu! Apa perlu aku sumpal dengah tanah"! Aku
harus melepaskan totokan di tubuhmu lebih dulu. Agar kau bisa menggerakkan kaki
dan tangan..."
"Juga agar bisa kentut" sambung Wiro agak jengkel terus-terusan dibentak. "Aku
disekap di tompat celaka i bawah Kali Opak itu sekitar dua hari. Tidak diberi
makan tidak diberi minum. Perutku kembung kemasukan angin. Tapi tidak bisa
kentut! Aku haus, lapar nek..."
Sinto Gendeng tidak perdulikan ucapan Wiro Dia meneliti tubuh muridnya namun tak
berhasil melihat tanda di mana pemuda itu ditotok.
"Nek. waktu kakek yang dipanggil Pangeran itu melepas totokan yang membuat aku
kembali bisa bicara, dia menotok ubun ubunku. Batok kepalaku mengeluarkan asap"
Wiro memberi tahu.
"Begitu ... " Ilmu totokan apa itu?" ujar Sinto Gendeng sambil berpikir-pikir.
"Hemm aku tahu. Kalau untuk melepas totokan yang membungkam suaramu Sena
Wirapala menotok ubun-ubun di batok kepalamu, berarti untuk melepas totokan yang
membuat kau tak bisa bergerak aku harus menotok ubun-ubun di pantatmu!"
"Nek. apa maksudmu?" tanya Wiro.
"Aku harus menotok lobang anusmu! Kau harus kubuat menungging dulu. Nanti aku
totok anusmu dengan ranting kayu! Celanamu harus aku buka..."
"Nek!' Wiro berseru kaget. "Aku tidak pernah mendengar cara memusnah totokan
seperti itu. Kau jangan macam-macam nek!"
Sinto Gendeng berdiri di hadapan Wiro lalu tertawa gelak-gelak. Membuat sang
murid jadi tambah heran.
"Nek, tingkahmu aneh."
"Apa kau tidak tahu kalau dari dulu aku memang aneh?"
"Aku tahu. TapiWiro terdiam, berpikir sejenak. Waktu di dalam ruang batu tempat
aku ditawan. Kau mengeluarkan ilmu aneh Tertawa bergelak yang bisa membuat dua
perajurit tewas. Perwira Muda pingsan dan Pangeran tua kesakitan setengah mati.
Aku tidak tahu kalau kau memiliki ilmu hebat itu. Ilmu apa itu namanya nek?"
"Perlu apa kau bertanya! Rupanya kau minta diajari ilmu itu?" tanya Sinto
Gendeng pula. "Tidak nek. Maksudku kau tidak seperti biasanya..."
Sinto Gendeng kembali tertawa.
34 "Tongkat bututmu mana nek?"
"Aku kelupaan membawanya."
'Kekasihmu kakek berjuluk Tua Gila Itu kau tinggal dimana?" tanya Wiro lagi.
Sinto Gendeng menyeringai Akhirnya sambil mengusap muka dia berkata
'Anak setan Kau menyelidiki diriku sambil memancing! Hik ... hik ... hikl Aku
memang sudah gerah menyamar seperti ini. " Si nenek mengusap wajahnya dua kali
lalu saat itu juga tubuhnya berubah samar.
Ketika tubuh itu menjadi jelas kembali keadaannya sudah berubah. Yang berdiri di
depan Wiro bukan lagi sang guru Eyang Sinto Gendeng. tapi seorang nenek berjubah
kuning, rambut kelabu mata merah.
Telinganya dicantel anting-anting terbuat dari tulang
manusia. "Kau'" seru Wiro.
"Memangnya kau kira siapa"! Hik... hik... hik!" ucap si nenek yang bukan lain
adalah kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tiiu, lalu tertawa cekikikan.
"Gila. Samaranmu nyaris sempurna, nek! Tapi aku sudah curiga sejak di ruangan
batu kalau kau bukan guruku benaran. Bagaimana kau bisa sampai ke Kotaraja dan
tahu aku ditawan orang, mau digantung Berarti setelah berpisah dengan Loan Nio
Nikouw kau terus-terusan mengikutikul"
Si nenek tertawa lagi.
"Aku memang mengikutimu. Kupikir kau pasti menuju Gunung Gede. Tapi di tengah
jalan aku kehilangan Jejakmu. Sekitar dua minggu kemudian setelah kita berpisah,
pagi dua hari lalu aku menemukan suling perak yang kuberikan padamu tempo hari
di tepi anak Kali Progo. Juga kutemui bajumu di sana. Ketika pagi tadi aku
memasuki Kotaraja, aku mendengar kabar tentang kematian Raden Ayu Ambarsari. Gadis cucu
Pangeran Sena Wirapala itu katanya diperkosa dulu baru dibunuh. Aku Ikuti cerita
orang banyak. Kabarnya si pembunuh sudah tertangkap dan ditawan di satu tempat.
Siap digantung dalam satu dua hari mendatang. Ciri-ciri si pembunuh sama dengan
dirimu. Aku berusaha mencari tempat dimana kau ditawan. Aku berhasil menemui
tempat itu. Sebuah bangunan batu di bawah Kali Opak Aku coba menyusup. Ternyata
memang kau yang ditawan di tempat itu. Aku sempat mendengar semua pertanyaan
yang diajukan Pangeran tua. Juga mendengar jawabanmu
"Waktu aku dipukuli, kau Juga tahu?" tanya Wiro.
"Ya, aku melihat dari luar pintu."
"Mengapa kau tidak menolong?" tanya Wiro jadi jengkel
"Aku pikir ada baiknya kau digebuki orang begitu rupa. Agar dikemudian hari kau
tidak lagi suka usil, tidak mata keranjang. Hik... hik... I"
"Brengsek!" Wiro memaki, wajah bersungut.
"Aku tahu Pangeran Sena Wirapala berkepandaian tinggi. Aku keluar dulu menyusun
siasat. Bagian atap ruangan batu tempat kau ditawan aku buat retak. Lalu aku
masuk kembali. Cerita selanjutnya kau sudah tahu."
"Kau hebat nek. Aku benar-benar berterima kasih."
Kata Wiro pula. "Nek, apa benar untuk membebaskan totokan ditubuhku kau harus
menotok anusku ...?"
Mahluk jejadlan kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa cekikikan.
Pemuda tolol" ujar si nenek. "Kau mau saja aku kibuli. Hik..h!k... hik. Aku mau
periksa lagi di bagian mana kau ditotok pangeran tua itu." Perempuan tua bermata
merah ini memperhatikan kepala, wajah, leher, bahu terus dada dan bagian perut
Wiro. Lalu meneliti kedua kakinya. Dia menggeleng beberapa kali. "Aku tidak
menemukan tanda-tanda. Satu-satunya bagian tubuhmu yang belum aku periksa adalah
bagian bawah pusar yang tertutup celana."
"Ah, pasti kau mau mempermainkan aku lagi nek!" kata Wiro.
Si nenek menggeleng. "Kali ini aku tidak main-main. Menurut Pangeran Sena, waktu
kau ditemukan dalam
keadaan pingsan, kau tidak mengenakan baju. Celanamu merosot ke kaki. Aku merasa
pasti, totokan itu dilakukan orang di bagian bawah pusarmu. Mungkin totokan Itu
di sebelah belakang, tapi aku lebih punya dugaan di sebelah depanl Karena di
situ terletak jalan darah dan urat-urat serta syaraf paling peka." Si nenek diam
sejurus lalu berkata. "Aku harus membuka celanamu!"
"Wahl Jangan nekl" ucap Wiro. "Aku tahu kau orangnya suka jahil. Mungkin
sebenarnya bukan di bawah pusar yang di totok. Kau cuma mau melihat anuku! Kau
mencari kesempatan dalam kesempitan."
Si nenek tertawa terkekeh-kekeh. "Apa yang sempat" Apa yang sempit" ujarnya.
Lalu dia bertanya.
"Coba kau katakan, cara bagaimana aku harus menolongmu?"
"Diraba saja dari luar nek," kata Wiro pula.
"Kalau salah meraba, saiah menotokl Kau mau tanggung akibatnya?"
"Aku tanggung nek!" jawab Pendekar 212.
"Kau tidak takut" Tidak menyesal"!"
35 "Tidak nek!"
"Bagaimana kalau kantong menyanmu nanti melembung sebesar kelapa"!"
"Biar saja nek. Yang penting totokan ditubuhku bisa musnah dulu."
"Baik. Tapi bagaimana kalau nanti perabotanmu yang lain yang berubah ciut jadi
sebesar cacing"!" tanya si nenek lagi.
"Aahhhf Kau menakut-nakuti aku terus-terusan nek!"


Wiro Sableng 152 Petaka Patung Kamasutra di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nenek kembar jejadian melangkah mundar mandir. Dia jadi bingung sendiri. Tibatiba dia hentikan langkah.
"Aku ingat sesuatu!" ucap si nenek.
"Apa"!"
"Bukankah kau punya ilmu kesaktian yang bisa melihat satu benda di kejauhan atau
benda yang terhalang benda lain" Kau bisa mempergunakan Ilmu itu. Menembus
celana dan melihat bagian auratmu yang tertotok."
"Kalau aku mampu mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan hawa sakti ke mata.
sudah sejak tadi-tadi aku lakukan. Tapi sialnya totokan celaka itu membuat aku
tidak mampu mengerahkan tenaga, dalam dan mengalirkan hawa sakti
"Ah, celaka benar nasibmu." Kata si nenek.
Wiro ingat kejadian sewaktu dia harus memperbaiki letak anggota rahasia Pengemis
Empat Mata Angin yang pernah dirobahnya dengan mempergunakan ilmu Menahan Darah
Memindah Jazad. (Baca serial Wiro Sableng episode berjudul "Sang Pembunuh") Saat
itu dia berada dalam keadaan tiada daya akibat menghirup Racun Inti Bumi yang
ditebar oleh Raja Racun Bumi Langit. Untuk mengeluarkan ilmu kesaktian yang
didapatnya dari seorang sakti di Latanahsilam itu Wiro harus memiliki tenaga
dalam. Untung saat itu Nyi Roro Manggut, nenek sakti dari pantai selatan mau
meminjamkan dan mengerahkan tenaga dalamnya masuk ke tubuh Pendekar 212 hingga
murid Sinto Gendeng itu berhasil menolong Pengemis Empat Mata Angin.
"Nek, apakah kau bisa mengalirkan tenaga dalammu ke tubuhku. Dengan mengandalkan
tenaga dalam itu aku bisa mengerahkan Ilmu Menembus Pandang untuk melihat di
bagian mana tubuhku kena totok."
"Caranya?" balik bertanya si nenek
"Kau bisa memegang dua tanganku, atau yang lebih baik menempelkan dua telapak
tangan di punggung lalu mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti."
Lama si nenek terdiam.
"Cara seperti itu tak mungkin aku lakukan..."
"Tidak mungkin atau kau tidak mau menolong" tanya Wiro.
"Kalau aku katakan terus terang, kau tidak akan percaya. Kau akan menuduhku
jahil. Mencari kesempatan dalam kesempitan."
"Memangnya kenapa" Memangnya cara kau memindahkan tenaga dalam bagaimana?" Wiro
merasa heran. Si nenek menggeleng. "Sudahlah." katanya. "Kita cari saja orang lain yang bisa
menolongmu. Kau tinggal menyebutkan orangnya, dimana beradanya dan aku akan
membawamu menemuinya."
Wiro heran mengapa mahluk jejadian yang berilmu tinggi itu tidak mau
menolongnya. "Aku tidak akan pergi dari tempat Ini sebelum kau memberi tahu mengapa kau tidak
mau menolongku."
"Bukan tidak mau menolong. Tapi
"Kita sudah lama bersahabat. Aku sudah banyak menerima, budi darimu. Sekarang
kau ." Baik, baik... Aku akan katakan padamu. Tapi jangan kau menuduh yang bukan-bukan.
Jangan berpikiryang bukan-bukan"
"Kau ini aneh, nek. Tapi baiklah. Aku berjanji tidak akan menuduhmu yang bukanbukanl Tidak akan berpikir yang bukan-bukan." kata Wiro pula.
Si nenek mengusap wajahnya beberapa kali baru berkata
"Bagi mahluk biasa tenaga dalam dan aliran hawa sakti berpusat pada pusar. Tapi
bagi mahluk jejadian seperti diriku letak pusat tenaga dalam dan kesaktian itu
bukan di pusar. Karena kami tidak punya pusar."
Nenek ini lalu membuka bagian tengah jubah kuningnya hingga perutnya tersingkap.
Murid Sinto Gendeng jadi melongo melihat perut keriput tak berpusar.
"Kalau begitu, dimana letak pusat kekuatan tenaga dalam dan kesaktlanmu, nek?"
bertanya Wiro. Si nenek menatap Wiro. Tanpa berkesip dia menjawab. "Pada dua puting susuku."
"Hah Apa"ln WIro lalu tertawa gelak-gelak
Ingat, kau sudah berjanji tidak akan menuduh dan berpikir yang bukan-bukan."
"Ya ... yal Kalau tenaga dalam dan kesaktianmu terletak pada puting susumu,
lantas bagaimana caranya kau memindahkan tenaga dalam?"
Si nenek masih menatap tak berkesip.
36 "Asal kau memang ihklas, aku bersedia memegang dua susumu.
Dan kau lalu mengalirkan tenaga dalam serta hawa sakti."
"Tidak, aku tidak bisa memindahkan tenaga dalam dan hawa sakti dengan cara
seperti itu."
"Jadi?"
"Kau harus menghisap dua pentil susuku sekaligus!" Menerangkan si nenek.
Kalau saja tidak dalam keadaan kaku kedua tangan dan kakinya mungkin saat itu
Pendekar 212 Wro Sableng telah melompat saking kagetnya. Akhirnya Wiro cuma bisa
tertawa. Mula-mula perlahan, makin lama makin keras bergelak. Wiro mungkin belum
akan berhenti tertawa kalau tiba-tiba dari dalam candi tidak terdengar suara
orang berucap lembut tapi jelas.
"Hidup ini memang satu keanehan Di dalam susah ada tawa. Di dalam kesulitan ada
penghiburan."
Begitu ucapan berakhir di dekat Wiro dan nenek jubah kuning telah berdiri
seorang pemuda cakap berbaju dan bercelana hitam. Kening diikat secarik kain
merah. Beberapa bagian baju dan celana dihias sulaman benang emas dan perak.
Pemuda ini berkumis kecil, memelihara janggut dan cambang bawuk tipis rapi.
Belum sempat Wiro dan si nenek menanyakan siapa adanya dia. si pemuda berkata.
"Sahabat yang sedang kesusahan. Jika kau bersedia, dengan ilmuku yang bodoh aku
mungkin bisa melepas totokan di tubuhmu. Sejak kalian datang aku sudah ada di
dalam candi. Harap dimaafkan kalau aku tak sengaja mendengar semua pembicaraan
sahabat dan nenek ini."
"Kau bisa menolong sahabatku ini?" tanya nenek kembar jejadian.
"Jika kau mengizinkan dan yang punya diri mau ditolong."
"Sahabat, kalau kau memang mampu menolong, aku berserah diri." Kata Wiro pula.
"Terima kasih, kau mau mempercayaiku..." Pemuda berpakaian hitam lalu
membaringkan Wiro menelentang di lantai candi. Si nenek mengawasi.
"Harap maafkan, aku harus menyentuh auratmu di bagian yang ditotok..." Kata
pemuda berpakaian hitam.
Lalu tangan kanannya menyusup ke bawah celana Pendekar 212. Wiro merasa jarijari tangan mengusap permukaan kulit kira-kira setengah jengkal di bawah pusar
Terasa dingin. Hawa sejuk kemudian menjalar ke seluruh tubuhnya. Pemuda yang
menolong menggerakkan tangan dan kaki Wiro beberapa kali.
"Sahabat kau sekarang bisa menggerakkan tangan dan kakimu sendiri. Cobalah."
Wiro gerakkan tangan kiri kanan. Angkat kedua kaki. Ternyata dia benar-benar
mampu melakukan.
"Luar biasai Sahabat aku berterima kasih padamul"
"Cobalah bangun dan berdiri." Kata pemuda yang menolong.
Wiro bukannya bangun tapi melompat dan dilain saat dia sudah berdiri di hadapan
pemuda berpakaian serba hitam. Membungkuk dalam-dalam dan mengucapkan terima
kasih berulang kali.
Si nenek tertawa gembira, menepuk-nepuk bahu orang seraya bertanya. "Pemuda
hebat, kalau kami boleh tahu siapakah gerangan kau adanya?"
"Aku hanya seorang yang kebetulan lewat di sini. Karena capai dan matahari
bersinar terik, aku masuk ke dalam candi. Aku gembira totokan di tubuhmu sudah
musnah. Karena ada keperluan lain. aku mohon diri lebih dulu. DI lain waktu
mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi."
"Tunggu, kau belum memberi tahu nama" kata Wiro namun seperti ditelan bumi
pemuda tadi lenyap di samping candi. Wiro dan si nenek mengejar. Pemuda itu tak
kelihatan lagi. "Orang sakti berbudi tinggi, selalu merendah diri seperti
itu..." ucap si nenek.
"Ilmunya luar biasa. Kalau dia tidak menolong..." Ingin tahu Wiro membelakangi
si nenek lalu turunkan celananya di bagian depan untuk melihat bagian tubuhnya
di bawah pusar yang tadi disentuh. Dia terkejut ketika melihat di bawah pusar
itu menempel sekuntum bunga tanjung putih kekuningan.
Ketika bunga tanjung itu hendak diambilnya tiba-tiba rasa panas menyengat batok
kepalanya. Wajah serasa dipanggang api. Sekujur tubuhnya panas membara. Dalam
keadaan seperti itu entah bagaimana sekilas Wiro ingat pada Raden Ayu Ambarsari.
"Orang itu ..." Wiro menunjuk ke arah lenyapnya pemuda berpakaian hitam tadi
sementara dua kakinya tampak goyah dan tubuhnya oleng. "Dia ... dia yang
mengejar Ambarsari. Dia manusia bernama Cakra yang
...." Murid Sinto Gendeng tidak sanggup menyelesaikan ucapan. Dari mulut menyembur
darah kental. Tubuhnya tergelimpang di tanah, menggeliat beberapa kali lalu tak berkutik lagi.
Nenek kembar jejadian menjerit kaget. Dia cepat membalikkan Wiro hingga
tertelentang. Dia melihat wajah sang pendekar merah sekali. Bibir membiru.
"Racun jahatl" ucap si nenek. Lalu dua tangannya kiri kanan bergerak cepat
menotok dua belas urat besar jalan darah di sekujur tubuh Wiro. Ketika dia
menyibakkan celana Wiro dan melihat bunga tanjung yang menempel dlbawah pusar,
si nenek segera mengambil bunga itu, meremasnya hingga hancur Lalu dengan ibu
jari tangan kanannya dia menekan kuat-kuat bagian bawah pusar dimana bunga
tanjung tadi menempel.
"Dess... dess... dessl"
37 Terdengar tiga letupan kecil disertai buntalan asap biru. Si nenek menjerit
keras. Dari bagian bawah perut Wiro keluar satu kekuatan hawa aneh, menyambar ke
bagian bawah perut si nenek hingga perempuan jejadian itu terpental lalu
terbanting jatuh di tanah. Mukanya yang keriput tampak merah sementara bibirnya
kebiru-biruan. TAMAT PENDEKAR 212 TELAH TERTIPU MANUSIA JAHAT PEMBAWA
PATUNG KAMASUTRA. ORANG ITU TIDAK INGIN MEMBUNUH
WIRO TAPI INGIN MENCELAKAI SANG PEMEKAR SEUMUR-UMUR
DENGAN MELUMPUHKAN KEJANTANANNYAl
SEMENTARA NENEK KEMBARAN KE TIGA EYANG SEPUH
KEMBAR TILU DI BUAT MENJADI PEREMPUAN JALANG
PENGUMBAR NAFSU.
IKUTI KISAH SELANJUTNYA DALAM JUDUL:
MISTERI BUNGA NODA
38 39 Ikat Pinggang Kemala 8 Pendekar Rajawali Sakti 143 Iblis Tangan Tujuh Kucing Suruhan 4

Cari Blog Ini