Ceritasilat Novel Online

Sang Pembunuh 3

Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh Bagian 3


dirinya. Wiro juga ingat Eyang Sepuh Kembar Tilu menemui ajal akibat daun
mengkudu, sama dengan daun yang menancap di leher nenek kembar yang barusan
menemui ajal dan lenyap ke alam gaib. Pembunuh kedua nenek itu tidak dapat tidak
adalah orang yang sama. Siapa"
"Bayumurti... Agaknya dia manusia biang racun dibalik semua kejadian ini.
Jangan-jangan dadu setan itu ada padanya.'' Wiro pegang bahu nenek rambut
kelabu. "Nek, kau selalu menunjuk ke barat. Antarkan kami ke arah yang kau
tunjuk!" "Ha-hu ha-hu..." Si nenek mengangguk. Lalu dia menunjuk ke wajah Wiro, Rayi
Jantra dan Purnama yang belang-belang. "Ha-hu ha-hu." Si nenek rupanya ingin
bertanya apa yang terjadi.
"Ada kakek jahil meracuni kami. Namanya Raja Racun Bumi Langit. Aku punya dugaan
kita akan segera bertemu setan alas itu!" jawab Wiro.
"Ha-hu ha-hu."
*** SEMBILAN KOKOK ayam terdengar di kejauhan. Di arah timur kaki langit tampak memancar
cahaya terang kemerahan pertanda tak lama lagi pagi segera datang dan malam akan
berganti siang. Di ujung sebuah alun-alun, nenek rambut kelabu jubah kuning
hentikan lari. "Ha-hu ha-hu..." Si nenek menunjuk ke arah seberang alun-alun dimana terlihat
sebuah bangunan besar bertembok setinggi kepala. Wiro berpaling pada Rayi
Jantra. "Rayi, kau datang ke rumah sendiri."
Rayi Jantra tersenyum kecut. "Gedung Kadipaten Losari...," ucapnya perlahan
sambil menatap ke depan.
"Aku melihat keanehan. Tidak ada perajurit, tidak tampak pengawal. Pintu gerbang
depan terpentang lebar.
Tak ada satu oborpun yang menyala!"
Wiro tersenyum. "Sekarang minyak mahal, Gedung Kadipaten berhemat diri, sengaja
mematikan obor menjelang pagi. Ha... ha! Ayo Rayi. Apa kau tidak senang akan
bertemu lagi dengan atasanmu Adipati Losari Raden Seda Wiralaga."
Tiba-tiba terdengar suara suitan keras. Pendekar 212 menyeringai. "Kawan-kawan,
kedatangan kita sudah diketahui penghuni gedung."
"Ha-hu ha-hu..." Nenek jubah kuning menunjuk-nunjuk ke arah gedung dengan tangan
kiri sedang tangan kanan mengangkat-angkat topeng wajah kakek muka merah kepala
botak. "Nek, kau hendak memberi tahu kalau kau menemukan topeng ini di dalam gedung
sana. Lalu orang yang membunuh saudara kembarmu juga berada di dalam gedung
itu." Purnama sambil pegang bahu nenek rambut kelabu.
"Ha-hu ha-hu! Ha-hu ha-hu!" Si nenek menyahuti sambil anggukkan kepala berulang
kali. Wiro ambil topeng kakek muka merah dari tangan nenek rambut kelabu sementara
Rayi Jantra masih memegang jas tutup yang bagian lengan serta bahunya hangus
ketika dia diserang oleh Ki Surat Balangnipa dengan Ilmu Jaring Api. Lelaki yang
sebenarnya adalah Kepala Pasukan Kadipaten Losari ini mendahului berjalan ke
arah pintu gerbang. Wiro, Purnama dan si nenek segera mengikuti. Namun sampai di
pintu gerbang si nenek tidak terus masuk.
"Ha-hu ha-hu!" Si nenek menunjuk ke halaman gedung lalu ke arah pinggiran
tembok. Ternyata di halaman gedung Kadipaten bertebaran banyak sekali daun
mengkudu. Sementara sepanjang sisi dalam tembok gedung berderet-deret pohon
mengkudu setinggi pinggang. Agaknya pohon ini bukan ditanam tapi hasil tebangan
lalu ditancap ke tanah begitu saja. Penghuni gedung rupanya telah berjaga-jaga
dari bahaya yang bisa ditimbulkan oleh mahluk jejadian kembaran Eyang Sepuh
Kembar Tilu yang kini hanya tinggal seorang.
"Ha-hu ha-hu." Nenek rambut kelabu geleng-geleng kepala.
"Nek, agar aman bagimu biar tempat ini kubersihkan lebih dulu dari daun-daun
celaka itu!" Wiro berkata lalu angkat kedua tangan ke atas. Tangan kanan melepas
pukulan Angin Puyuh sementara tangan kiri yang diputar-putar lancarkan pukulan
Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Seluruh daun mengkudu yang ada di
halaman Gedung Kadipaten beterbangan ke udara, melesat ke langit dan lenyap dari
pemandangan. Ketika murid Sinto Gedeng arahkan dua tangannya ke sepanjang sisi tembok gedung
yang penuh ditancapi pohon mengkudu, serta merta pohon-pohon itu tercabut dari
tanah, mental ke udara. Malah tembok di bagian timur yang terkena sapuan angin
pukulan roboh bergemuruh. Pada saat itulah dari bagian belakang gedung
bermunculan puluhan perajurit Kadipaten. Mereka menebar di sepanjang sisi tembok
kiri kanan gedung.
Keadaan mulai terang-terang tanah ketika Pendekar 212 Wiro Sableng bersama tiga
orang lainnya memasuki pintu gerbang dan melangkah cepat di halaman depan Gedung
Kadipaten. Sebelum mencapai pertengahan halaman dimana terdapat dua buah arca
besar berupa singa bersayap, tiba-tiba dari dalam gedung melesat keluar tiga
orang. Mereka kemudian tegak berjajar menghadang jalan.
"Braakk!"
Ada suara keras di sebelah belakang. Ketika Wiro dan kawan-kawan menoleh
ternyata pintu gerbang telah ditutup. Di depan pintu berdiri sepuluh orang
perajurit bersenjata tombak. Pada setiap ujung tombak menancap tiga helai daun
mengkudu. "Ha-hu ha-hu!" Nenek rambut kelabu tampak pucat. Dia angkat tangan kanan, siap
untuk menghantam sepuluh perajurit yang membawa daun pantangan di ujung tombak
masing-masing. "Nek," bisik Purnama. "Tahan dulu serangan. Aku akan melindungimu jika pasukan
bertombak itu menyerbumu."
"Ha-hu ha-hu!"
Sepuluh perajurit bersenjata tombak hanya tegak di depan pintu gerbang yang
sudah tertutup, tidak menunjukkan tanda-tanda hendak menyerang si nenek.
Orang pertama yang menghadang langkah Wiro dan kawan-kawan dan kini berdiri di
ujung kanan ternyata adalah Adipati Brebes Bayumurti. Jelas sudah kalau Adipati
ini telah berserikat dan jadi kambrat Adipati Losari Seda Wiralaga. Di
pinggangnya tergantung sebilah golok besar.
Orang kedua yang tegak di samping kanan Bayumurti adalah seorang kakek berjubah
kuning. Muka dan sebagian tangannya tampak hitam gosong. Mata kiri terpuruk dan
dikening sampai ke pipi kiri ada cacat bekas luka. Rambut warna kelabu sulah
sebelah akibat terbakar. Manusia ini ternyata adalah Pengging Kuntala, orang
kepercayaan Ratu Laut Utara. Satu malam lalu dia dibuat cidera hebat oleh Nyi
Roro Manggut sewaktu terjadi perkelahian di Teluk Losari. Sungguh luar biasa dia
bisa sembuh secepat itu.
Orang ketiga nenek kurus kerempeng berambut awut-awutan. Perempuan tua ini hanya
mengenakan sehelai kain panjang hitam, sama sekali tidak memadai baju hingga
tubuh atasnya terbuka telanjang memperlihatkan dada tipis penuh tulang serta dua
payudara ceper kisut. Si nenek tidak hentinya tersenyum sementara dengan kepala
mendongak dan mata meram melek dua tangannya mempermainkan puting susunya yang
besar hitam. Sesekali dari mulutnya keluar suara mendesah lirih. Nenek ini dikenal dengan
nama Ni Lawang Soka, berasal dari laut utara, merupakan salah seorang dari
sekian banyak orang kepercayaan Ratu Laut Utara dan dia adalah orang bawaan
Pengging Kuntala. Ilmu kesaktiannya dua tingkat di atas kakek muka gosong itu.
Di bagian depan gedung, tepatnya di kiri kanan serambi yang berhubungan dengan
tangga batu tujuh undak, terdapat masing-masing sebuah jendela besar. Di jendela
sebelah kanan duduk seorang kakek bertubuh pendek, berpakaian selempang kain
hitam, berambut kuning. Sepasang mata putih berkilat seperti perak. Kulit
mukanya berubah berganti-ganti merah, hijau dan biru. Dia duduk bersila dan
dipangkuannya ada satu pendupaan berisi bara menyala. Sikapnya seperti tidak
acuh akan apa yang terjadi saat itu di halaman gedung.
Sambil duduk dia tidak henti meniup bara pendupaan. Tiupan serta hawa yang
keluar dari hidungnya memancarkan asap berwarna ungu.
"Raja Racun Bumi Langit musuh besar kita juga ada di tempat ini," bisik Wiro
pada Rayi Jantra.
"Dia tengah meramu racun jahat!" jawab Rayi Jantra.
Di sebelah belakang Purnama mendadak merasa tidak enak. Matanya tak berkesip
menatap ke arah Raja Racun yang duduk di jendela. "Kakek itu tengah menyiapkan
sesuatu. Aku punya dugaan apa yang dikerjakannya ditujukan untuk menangkal
diriku!" Membatin gadis dari negeri Latanahsilam itu. "Aku harus menghancurkan
pendupaan yang ada dipangkuannya."
Di atas jendela Raja Racun Bumi Langit keluarkan tiga buah benda bulat hitam.
Sekali meremas, tiga benda itu serta merta hancur luluh. Hancuran ditebar di
atas bara menyala dalam pendupaan. Asap mengepul dan bau sangit aneh serta merta
menebar di Seantero tempat.
"Buah damar!" ucap Purnama dengan suara bergetar. "Kakek itu menebar hancuran
buah damar ke atas bara pendupaan. Buah damar merupakan buah pantangan bagi
diriku. Aneh, bagaimana Raja Racun Bumi Langit tahu buah pantangan itu."
Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara halus tawa perempuan. Lalu ada
suara terpaan angin. Suara tawa kemudian lenyap dikejauhan.
"Siapa yang tertawa?" tanya Wiro pada Purnama.
"Perempuan jahanam itu! Aku mengenali suaranya!" ucap Purnama
"Siapa?" tanya Wiro lagi.
"Perempuan celaka dari Latanahsilam. Ingat sewaktu aku bertempur melawan mahluk
samar. Kau muncul menyelamatkan diriku. Nah, mahluk samar itulah yang barusan
berada di sini. Aku yakin, dia yang membuka rahasia pantangan buah damar itu.
Sampai saat ini masih sulit bagiku untuk mengetahui siapa dia adanya.
Barusan dia telah kabur dari sini karena kalau sampai mencium atau tersapu asap
damar diapun akan celaka."
"Purnama, kau lekas pergi dari sini. Mungkin kau bisa menghindar dulu ke atas
wuwungan gedung. Tapi jika kau terancam bahaya cepat tinggalkan tempat ini.
Nanti aku akan menemuimu di tempat kediamanmu di bukit batu Teluk Losari."
Purnama pegang lengan sang pendekar sesaat lalu melesat ke atap Gedung
Kadipaten. "Gadis alam gaib! Kau mau kabur kemana"!" Raja Racun Bumi Langit berteriak.
Sambil memegang pendupaan di tangan kanan dia melesat dari jendela gedung. Mulut
menggembung. Begitu meniup, dari mulut ini melesat dua buah benda bulat hitam,
menyambar ke arah sosok Purnama yang tengah melayang di udara menuju ke atas
atap Gedung Kadipaten.
Purnama berseru kaget ketika mengetahui dua benda yang melesat ke arahnya adalah
dua buah damar.
Dengan membuat gerakan jungkir balik di udara gadis dari negeri 1200 tahun silam
ini berhasil selamatkan diri dari serangan dua buah damar. Dia cepat berkelebat
ke atas atap gedung. Namun baru saja injakkan kaki di genteng bangunan tahu-tahu
Raja Racun Bumi Langit sudah berdiri di hadapannya, hanya terpisah sejarak lima
langkah. Didahului tawa bergelak pendek rambut kuning itu tiup asap pendupaan ke arah
Purnama tanpa gadis ini punya kesempatan untuk selamatkan diri. Sesaat lagi asap
damar akan menyentuh tubuh dan masuk ke dalam penciuman Purnama tiba-tiba satu
bayangan hitam berkilau berkelebat. Purnama dapatkan dirinya didorong orang
hingga dia jatuh terguling di atas atap. Bersamaan dengan itu terdengar suara
genta. Atap Gedung Kadipaten bergoyang keras. Puluhan genteng merosot. Selarik
sinar biru berbentuk kipas terbuka menebar memapas buyar asap damar lalu
menghantam sosok Raja Racun Bumi Langit. Serangkum asap damar yang bergerak liar
sempat terhirup oleh Purnama hingga gadis ini batuk-batuk. Dalam keadaan megapmegap dia jatuhkan diri tertelungkup di genteng bangunan. Purnama cepat kerahkan
hawa sakti dan meniup lewat mulut, menghembus melalui hidung. Untuk beberapa
saat pemandangan berkunang-kunang. Dua matanya terasa seperti terselubung uap
panas. Pendupaan di tangan kanan kakek pendek rambut kuning hancur. Kepingan pendupaan
dan bara api bertebaran kemana-mana. Raja Racun meraung marah.
"Raja Racun Bumi Langit, aku membawa pesan dari Ratu penguasa laut selatan. Jika
kau mau bertobat atas semua perbuatan jahatmu selama ini dan hidup sebagai orang
baik-baik, maka selembar nyawamu akan diampuni." Satu suara perempuan berkumandang di atas atap.
"Aku tidak punya urusan dengan Ratu-mu!" teriak Raja Racun Bumi Langit marah
sekali karena merasa terhina. "Biar rohmu yang kembali menghadap Ratu-mu guna
memberi laporan!"
Raja Racun hantamkan tangan kanan ke arah bayangan hitam begemerlap sementara
tangan kiri menebar sejenis racun berwarna merah. Dari mulut dan hidungnya
mengepul asap ungu yang juga mengandung racun jahat.
Sekali lagi terdengar suara genta aneh di atas Gedung Kadipaten. Kali ini lebih
dahsyat dari yang pertama tadi dan membuat runtuh atap bangunan sebelah barat.
Raja Racun terjengkang di atas atap. Di depan mata dia melihat cahaya biru
bersilang beberapa kali lalu bett! Cahaya biru itu menghantam ke arah tubuhnya.
Inilah ilmu pukulan sakti yang disebut Genta Biru Menatap Langit. Raja Racun
menjerit keras dan muntahkan darah segar.
Di atap gedung, dalam keadaan tertelungkup di atas genteng, sepasang mata
Purnama terbuka lebar menatap ke arah sosok elok tertutup pakaian hitam bertabur
manik-manik putih perak dan merah.
"Wajah cantik. Sepasang mata biru. Aku pernah mendengar cerita tentang diri
penolongku ini. Apakah dia orangnya...?" ucap Purnama dalam hati.
Kita kembali ke halaman Gedung Kadipaten Losari.
Hanya selang seketika setelah Bayumurti, Pengging Kuntala dan Ni Lawang soka
tegak berjajar di halaman, dari dalam gedung berjalan keluar seorang lelaki
tinggi besar berperut buncit. Dia masih mengenakan baju tidur putih dan celana
putih. Wajah berminyak agak pucat, dihias janggut dan kumis tipis.
Sepasang mata tampak merah. Di tangan kanan orang ini memegang sebatang ranting
kecil daun mengkudu.
Sambil melangkah dia tepuk-tepukkan daun mengkudu ke telapak tangan kiri.
Agaknya dia sengaja memegang ranting dan daun pohon mengkudu ini untuk berjagajaga dari nenek kembar berambut kelabu. Inilah Seda Wiralaga, Adipati Losari.
Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng dan kawan-kawan jadi terkesima adalah
ketika melihat orang yang melangkah di samping sang Adipati. Orang ini bukan
lain adalah Kiang Loan Nio Nikouw. Sang paderi, sebagaimana biasa mengenakan
pakaian merah. Pakaian ini tampak kurang rapi, berkerimuk seperti baru dipakai
tidur. Kali ini dia tanpa tutup muka dan kepala hingga kelihatan wajahnya yang
cantik serta kepala yang botak polos. Di tangan kiri Loan Nio Nikouw memegang
Pedang Naga Merah, yang sesuai dengan perintah Eyang Sinto Gendeng harus diambil
dan didapatkan Wiro.
Pendekar212 tak habis pikir. Bagaimana paderi perempuan ini berada di Gedung
Kadipaten. Kalau terkait hubungan dengan Bayumurti yang merupakan sahabatnya di
masa kecil, mengapa sikapnya terhadap Adipati Brebes tampak begitu akrab" Malah
keduanya keluar berbarengan dari dalam gedung dengan keadaan pakaian serta raut
wajah seperti orang yang baru bangun tidur.
"Ha-hu ha-hu!" nenek kembar jejadian di samping Purnama keluarkan suara. Tangan
kiri menepuk-nepuk topeng kakek botak muka merah yang dipegang Wiro, tangan
kanan menunjuk-nunjuk ke arah Adipati Seda Wiralaga. Lalu tangan kanan ditudingtuding ke leher sendiri dan mata dipelototkan.
Wiro segera mengerti apa yang hendak dikatakan si nenek. Dia berucap cukup keras
sehingga semua orang mendengar.
"Nek, kau hendak mengatakan kalau lelaki berperut buncit itu adalah pemilik
topeng kakek botak muka merah!"
"Ha-hu ha-hu!" si nenek mengangguk berulang kali.
"Kau juga memberi tahu bahwa orang itulah yang membubuh saudara kembarmu dengan
lemparan daun mengkudu," ucap Wiro.
"Ha-hu ha-hu!" Nenek rambut kelabu kembalimengangguk.
Di depan tangga gedung, Adipati Seda Wiralaga menatap tajam ke halaman. Dia
hanya melihat Wiro, Rayi Jantra dan nenek rambut kelabu. Menurut keterangan
Bayumurti ada seorang gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi
dan sangat berbahaya. Untuk menghadapi orang ini Raja Racun Bumi Langit sudah
menyiapkan kekuatan penangkal sesuai petunjuk seorang perempuan aneh bertubuh
samar yang datang tadi.
"Loan Nio, aku tidak melihat gadis yang dikatakan Bayumurti itu," kata Adipati
Seda Wiralaga. Dari caranya menyebut nama sang paderi kentara bahwa mereka punya
hubungan sangat akrab walau belum lama saling mengenal. Apa yang telah terjadi
dalam hubungan yang sangat singkat itu"
"Aku juga tidak melihat Raja Racun Bumi Langit," jawab Loan Nio Nikouw.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan-bentakan di atas atap disertai suara
genta aneh sebanyak dua kali.
Pada suara genta kali kedua disusul suara gemuruh runtuhnya atap gedung sebelah
barat. Adipati Seda Wiralaga cepat memerintahkan Bayumurti untuk naik ke atas
atap guna menyelidiki apa yang terjadi. Namun belum sempat Adipati Brebes itu
bergerak, tiba-tiba dari atas wuwungan melayang tiga sosok tubuh. Sosok pertama
langsung terkapar. Karena kepalanya yang menyungsap lebih dulu maka tak ampun
lagi kepala itu pecah mengerikan. Adipati Seda Wiralaga dan semua orang yang
berada di pihaknya terkejut besar kalau tak mau dikatakan geger. Tampang mereka


Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak berkerut. Karena sosok yang melayang jatuh dan kini tak bernyawa lagi itu
adalah sosok Raja Racun Bumi Langit. Sang Adipati sulit mempercayai orang yang
sangat diandalkannya itu kini menemui kematian dalam cara mengerikan begitu
rupa. Tidak sembarang orang bisa membunuh kakek satu ini. Jangankan pendekar
sehebat Wiro Sableng, gurunya saja yaitu Sinto Gendeng akan sulit mampecundangi
Raja Racun. Lalu siapa orang hebat yang telah membunuh kakek itu"
Sementara itu dua sosok lain yang melayang turun adatab Purnama dan seorang
gadis jelita bermata biru, rambut hitam tergerai panjang, mengenakan pakaian
hitam ketat bertabur manik-manik dengan potongan sangat rendah di bagan dada
serta belahan tinggi di kedua sisi. Purnama berdiri di samping kiri Wiro, si
cantik bermata biru tegak satu langkah di sebelah kanan sang pendekar. Adipati
Seda Wiralaga sampai tak berkesip memandang keelokan tubuh dan kecantikan paras
si gadis. "Ratu Duyung!" ucap Pendekar 212.
*** SEPULUH RATU DUYUNG berpaling sekilas ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng lalu gadis
jelita bermata biru maju dua langkah ke arah Seda Wiralaga.
"Adipati Seda Wiralaga, perkenalkan aku adalah Ratu Duyung dari Laut Selatan.
Mohon dimaafkan kalau kedatanganku mengganggu ketenteraman di tempat ini. Aku
datang ke sini atas perintah Ratu Laut Selatan Nyi Roro Kidul untuk menjemput
kakek bernama Pengging Kuntala dan nenek bernama Ni Lawang Soka."
Kalau kakek berjubah kuning muka gosong Pengging Kuntala tersurut mundur satu
langkah dan pencongkan mulut mendengar ucapan Ratu Duyung maka nenek bernama Ni
Lawang Soka hamburkan tawa bergelak. Sambil terus dongakkan kepala dan
permainkan dua punting susunya yang besar hitam dengan jari-jari tangan dia
kemudian berkata.
"Siapapun kau adanya katakan pada Ratumu. Dia kelewat sombong dan gila kuasa!
Apa tidak cukup punya kekuasaan di laut selatan dan kini mau menguasai kami
orang-orang di laut utara" Sekarang kau silahkan pergi atau aku akan membuat
wajahmu yang cantik menjadi rusak dan kau akan menyesal seumur-umur!"
"Ni Lawang Soka, ilmu kesaktianmu mungkin jauh di atas ilmu yang aku miliki.
Tapi aku datang membekal Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit. Ini satu
pertanda bahwa Ratu Nyi Roro Kidul tidak main-main dalam memberikan tugas
padaku." Perlahan-lahan Ni Lawang Soka turunkan kepala yang sejak tadi mendongak
memandang ke langit yang kini telah terang karena pagi telah datang. Sepasang
matanya diarahkan ka tubuh Ratu Duyung. Samar-samar di balik pakaian si gadis
bermata biru sebalah kanan dia melihat sebuah benda bulat memancarkan cahaya
berwarna hijau. Lalu pada dada sebelah kiri ada benda yang berwarna kebirubiruan. Si nenek segera mengetahui, selain membekal Batu Mustika Alas Samudara
Atap Langit, Ratu Duyung juga membawa Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru, batu
sakti yang mampu membuat seseorang dapat berada di satu tempat yang jauh dalam
kecepatan kilat kejapan mata. Seperti diketahui sebelumnya batu mustika sakti
itu telah dipinjamkan kepada Nyi Roro Manggut sewaktu menolong Pendekar 212 Wiro
Sableng dan kawan-kawan di Teluk Losari.
"Pasti gadis jahanam ini yang telah membunuh Raja Racun Bumi Langit," pikir si
nenek. Hal yang sama juga monjadi dugaan Adipati Seda Wiralaga dan Bayumurti.
Walau sudah melihat kenyataan namun Nli Lawang Soka tampaknya tidak merasa
jerih. Si nenek kembali umbar tawa panjang. "Jika kau merasa mampu meringkus
diriku dan Pengging Kuntala, mengapa tidak segera melakukan"!" Si nenek malah
menantang. Dua tangannya yang mompermainkan puting susu kini bergerak turun
mengusap-usap bagian bawah payudaranya yang kisut. Tiba-tiba nenek itu pencet
kedua payu daranya. Dua puting susu berjingkrak kencang dan terjadilah satu hal
yang luar biasa. Dari dua puting ausu besar hitam itu melesat keluar semburan
cairan berwarna putih.
"Wuuss! Wuuss!"
Dua larik semburan air kemudian berubah menjadi api merah kebiruan. Ilmu Susu
Neraka! Dua puting susu si nenek memang merupakan sumber ilmu kesaktian
andalannya. Ratu Duyung berseru kaget, secepat Kilat dia melompat; ke samping. Itupun masih
kurang cepat karena ujung rambutnya sempat tersambar salah satu semburan api
merah biru. Ketika Ni Lawang Soka hendak melancarkan serangan susulan. Pendekar
212 Wiro Sableng cepat menghadang.
"Nek, dari tadi aku ingin sekali meraba dua payudaramu! Ah. aku benar-benar
terangsang melihat kebagusan dadamu. Terutama sepasang pentil yang besar hitam
itu...." Wiro keluarkan ucapan dengan mata setengah dipejam dan mulut diruncingruncingkan sambil sesekali lidah dijulur. Seumur hidup belum pernah ada orang
apalagi seorang pemuda yang berkata seperti itu. Mau tak mau Ni Lawang Soka jadi
terkesiap dan tahan gerakan. Kesempatan ini dipergunakan Wiro. Secepat kilat dua
tangannya berkelebat ke depan membentot payudara si nenek. Sepasang payudara
kempes yang mulur panjang itu kemudian diikat di buhulnya satu sama lain. Ni
Lawang Soka menjerit keras. Kesakitan setengah mati. Memang dua payudara yang
kempes bergelayutan itu merupakan pusat kekuatan ilmu kesaktiannya. Tapi sebagai
seorang perempuan dua payudara itu merupakan titik kelemahan. Si nenek berusaha
melepaskan payudaranya yang terikat. Namun semakin dicoba ikatan itu semakin
keras mengancing dan rasa sakit semakin tidak tertahankan. Dari puting susu si
nenek keluar cairan putih muncrat-muncrat. Sebagian berubah warna menjadi api
merah kebiruan. Ni Lawang Soka melompat nekad ke arah Wiro, berusaha merangkul
sang pendekar. Rupanya dia bermaksud bunuh diri. Mati bersama. Wiro cepat
menghindar. Namun muncratan cairan putih yang berubah jadi api ada yang berhasil
menyerempet bahu kirinya. Bukan saja bahu pakaian sang pendekar yang terbakar
hangus, daging bahunya ikut terluka. Wiro jatuh terduduk di tanah. Seku|ur
tubuhnya terasa panas dingin. Tangan kiri sulit digerakkan. Didahului teriakan
dahsyat Ni Lawang Soka melompat. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Wiro. Kaki
itu bukan hanya menendang. Tapi dari lima kuku jari si nenek yang hitam
bersamaan dengan tandangan melesat pula lima larik cahaya hitam.
Wiro jatuhkan diri ke tanah. Tendangan si nenek memang berhasil dielakkan namun
larik sinar hitam terus mengikuti dan menyambar ke arah lima bagian tubuh mulai
dari kepala sampai ke kaki.
Rayi Jantra berteriak sambil babatkan Kujang Kiai Pasundan. Purnama gerakkan dua
bahu, lesatkan cahaya biru bergemerlap. Mereka berusaha menyelamatkan
Pendekar212 Wiro Sableng. Namun mendahului gerakan kedua orang itu, dari dada
kanan Ratu Duyung tiba-tiba Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit milik Nyai
Roro Kidul pancarkan cahaya hijau pekat.
"Wusss!"
Ni Lawang Soka menjerit keras. Tubuhnya terpental sampai ke depan tangga Gedung
Kadipaten. Begitu ambruk di tanah tubuh ini tak berbentuk lagi. Hanya tinggal
menyerupai bubuk hijau mengepulkan asap.
Melihat sobatnya menemui ajal dengan cara luar biasa mengerikan begitu rupa,
putuslah nyali Pengging Kuntala. Tanpa menunggu lebih lama dia segera putar
tubuh dan berkelebat kabur.
Untuk kedua kalinya Batu Mustika Alas Samudera Atap Langit pancarkan cahaya
terang hijau pekat. Sesaat kemudian di depan sana Pengging Kuntala menjerit
keras. Kakek satu ini menemui ajal tidak berbeda jauh dengan yang dialami Ni
Lawang Soka. Ratu Duyung tegak setengah tertegun. Dia sama sekali tidak melakukan apa-apa.
Batu Mustika sakti yang melekat padanya yang telah bertindak sendiri
menyelamatkan Wiro, membunuh Ni Lawang Soka dan Pengging Kuntala. Seantero
tempat diselimuti kesunyian. Purnama dan Rayi Jantra cepat mendatangi Wiro.
Rayi Jantra totok beberapa urat utama di tubuh Wiro sementara alirkan hawa sakti
ke dalam badan sang pendekar melalui punggung. Sesaat kemudian walau luka di
bahu kiri masih meninggalkan rasa perih namun Wiro sudah mampu menggerakkan
tangan dan rasa panas dingin di sekujur tubuh lenyap. Dia cepat berdiri.
Pada saat itulah Adipati Bayumurti tiba-tiba melompat ke depan. Golok besar di
tangan kanannya menyambar ke arah Rayi Jantra. Diserang begitu rupa Rayi Jantra
yang sejak tadi sudah gatal tangan, segera hunus Kujang Kiai Pasundan. Tiba tiba
Adipati Losari Seda Wiralaga berteriak keras.
"Hentikan perkelahian! Aku mau bicara!"
Semua orang hentikan gerakan.
"Rayi Jantra!" Adipati Seda Wiralaga menuding dengan telunjuk tangan kiri ke
arah Rayi Jantra. ''Saat ini kau bukan lagi Kepala Pasukan Kadipaten."
"Apa perduliku! Kau punya urusan besar denganku! Kau yang memberi perintah
membunuhku di kaki Bukit Batu Bersuling!"
"Dengar Rayi Jantra! Kau bisa dapatkan jabatan itu kembali jika bersatu dengan
pihak kami!" kata Seda Wiralaga pula.
"Dua manusia dajal yang jadi andalanmu sudah mampus. Rupanya kau mulai ketakutan
Adipati...," Rayi Jantra mengejek. Lalu lemparkan jas tutup ke hadapan Seda
Wiralaga. "Pakaian itu milikmu. Pakaian itu yang kau kenakan sewaktu membunuh
Eyang Sepuh Kembar Tilu dan merampas dua buah dadu dari Tionggoan yang ada
padanya!" Sebelum Seda Wiralaga sempat mengatakan sesuatu Wiro menyambung ucapan Rayi
Jantra. "Kancing ke dua dari atas berbeda dengan empat kancing lainnya. Karena
kancing ke dua itu sempat direnggut Eyang Sepuh Kembar Tilu sebelum kau
membunuhnya. Bukan begitu ceritanya?" Wiro keluarkan kancing kayu yang ada di
saku pakaiannya lalu dilempar di depan kaki Adipati Seda Wiralaga. Sang Adipati
memperhatikan kancing kayu itu dengan mata mendelik lalu menghardik.
"Orang-orang gila muka belang! Kalian bukan saja bicara gila tapi memfitnah
diriku! Pendekar gondrong muka belang, pembunuh Adipati Karta Suminta! Aku
sendiri yang akan menarik tali gantunganmu!"
Wiro tersenyum. "Kau kemudian mengatur jebakan untukku. Jas tutup kau berikan
pada Bayumurti. Lalu kaki tanganmu yang bernama Ki Surat Balangnipa kalian suruh
memakai jas tutup itu."
"Bangsat sableng, kau pandai mengarang cerita!"
"Begitu?" Wiro garuk-garuk kepala. "Tapi ceritaku belum selesai." Lalu Wiro
lemparkan topeng kakek botak muka merah ke hadapan Adipati Losari. "Kau
mengenakan topeng ini ketika membunuh Jumena setelah terlebih dulu mengalihkan
perhatian dengan meledakkan rumah jaga. Kau juga muncul di teluk Losari bersama
tua bangka bernama Pengging Kuntala mengenakan topeng ini."
"Anjing bermulut busuk!" maki Seda Wiralaga.
Dimaki seperti itu murid Sinto Gendeng cuma menyeringai. Dia teruskan ucapannya.
"Dua nenek kembar sahabatku menyelidik ke gedung ini. Mereka berhasil menemukan
topeng kakek muka merah itu. Kau tak bisa mengelak. Kau berusaha membunuh mereka
dengan daun pantangan. Namun salah seorang dari mereka berhasil lolos membawa
topeng itu sebagai barang bukti!"
"Ha-hu ha-hu!" nenek rambut kelabu jubah kuning keluarkan suara seolah
membenarkan semua apa yang dikatakan Wiro.
"Hebat sekali cerita dustamu!" teriak Seda Wiralaga.
"Masih ada yang lebih hebat!" tukas Pendekar 212 Wiro Sableng. "Setelah berhasil
merampas dua buah dadu setan yang berasal dari perut Nyi Inten Kameswari dari
tangan Eyang Sepuh Kembar Tilu kau membunuh beberapa orang untuk menghilangkan
jejak. Manusia-manusia malang yang jadi korbanmu adalah Anom Miharja, suami Nyi
Inten Kameswari. Lalu seorang gadis bernama Ningrum. Gadis itu menemui ajal
dengan sebilah keris kecil menancap di lehernya setelah lebih dulu kau tiduri!
Ini kerisnya!" Wiro keluarkan keris Gunung Intan yang didapatnya dari Purnama.
'"Menurut cerita keris ini sudah menjadi milik Adipati Bayumurti. diberikan
kepadanya oleh salah seorang Pangeran. Lewat keris ini aku bisa mencium bau
busuk hubunganmu dengan Bayumurti. Tapi aku tidak tahu hadiah apa yang sudah
janjikan pada Adipati bau kencur ini hingga dia mau berserikat dalam kejahatan
bersamamu!"
"Manusia buronan! Jangan berani menghina dan memfitnah diriku!" teriak Bayumurti
marah. "Kalau kau tidak mau dihina, tidak mau difitnah. apakah kau mau memberi
keterangan bagaimana keris yang katanya ada padamu ini bisa menancap di leher
gadis bernama Ningrum" Apa kau mau mengakui bahwa kau sebenarnya yang membunuh
Ningrum untuk melindungi tuan besarmu ini"!" Tukas Pendekar 212 yang membuat
Bayumurti jadi sengit, muka mengelam merah, dua tangan dikepal. "Lalu apakah kau
juga bisa menerangkan paku berduri yang merupakan senjata rahasia milikmu ini.
Bagaimana bisa menancap di jidat seseorang yang telah membunuh Danang Seta" Kau
sengaja membunuh orang itu untuk melenyapkan jejak.
Tapi dasar tolol kau meninggalkan jejak berupa senjata rahasia ini. Lalu apa kau
juga bisa menerangkan bagaimana ceritanya malam tadi ada tiga paku berduri yang
sama menyerang kami di tepi telaga?"
"Aku tidak suka melihat kalian menyiksa Ki Surat Balangnipa yang tidak berdaya!"
jawab Bayumurti dengan mata menyala.
"Oo... begitu?" Wiro garuk-garuk kepala lalu tertawa gelak-gelak. "Ada dua hal
yang perlu aku katakan.
Pertama kami tidak menyiksa orang bernama Ki Surat Balangnipa itu. Kami hanya
memandikannya di parit karena menurut penglihatan kami dia sudah lama tidak
mandi. Bau badannya menyengat hidung. Apa salah kalau kami memandikannya" Ha...
h a...ha!" Wiro tertawa gelak-gelak lalu sambung ucapannya. "Hal kedua.
Dengan kau mengeluarkan ucapan bahwa kau tidak suka melihat kami memandikan Ki
Surat Balangnipa, secara tidak sadar kau telah mengakui bahwa kau membokong kami
secara pengecut malam tadi dan senjata rahasia berbentuk paku berduri ini memang
adalah milikmu!"
Tubuh Bayumurti bergetar panas mendengar kata-kata Pendekar 212 itu. Tapi dia
tak bisa keluarkan suara.
Wiro lanjutkan ucapan. "Adipati Seda Wiralaga, aku tahu dua buah dadu dari
Tiongkok itu ada padamu. Hal itu membuat kami menduga keras bahwa kaulah yang
menjadi bandar judi dan bandar rumah mesum yang di sebut Istana Seribu Rejeki
Seribu Sorga. Kami berhasil menemukan bangunan celaka itu. Namun dalam keadaan
kosong, ditunggui oleh Ki Sentot Balangnipa dan dajal yang sudah mampus Raja
Racun Bumi Langit.
Aku punya dugaan berat kau adalah bandar besar tempat judi dan tempat mesum itu.
Apakah kau mau memberi tahu dimana letak Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga yang
baru" Aku dan kawan-kawan ingin sekali melihatnya."
"Pemuda sinting! Apakah bicaramu sudah selesai"!" bentak Adipati Seda Wiralaga.
"Aku punya satu pertanyaan. Mungkin dua buah dadu itu sudah kau berikan pada
paderi perempuan yang berdiri di sebelahmu karena katanya dia diutus oleh sebuah
perguruan di Tiongkok sana untuk mencari dan mendapatkan dua buah dadu itu."
"Sudah! Cukup kau bicara ngaco!" teriak Adipati Seda Wiralaga. "Adipati
Bayumurti, pimpin semua orang untuk menangkap si gondrong itu hidup atau mati!
Siapa coba menghalangi atau membantu, bunuh mereka semua!"
Ratu Duyung dekati Pendekar 212. Begitu berada di samping Wiro dia berbisik,
"Aku barusan menerapkan ilmu Menembus Pandang pada paderi botak itu. Aku melihat
di balik pakaiannya, dalam sebuah kantong kain ada dua buah dadu."
"Berarti Seda Wiralaga telah memberikan dadu setan itu pada si paderi," ujar
Wiro. "Belum tentu. Seda Wiralaga tidak tolol. Coba kau periksa sosok Adipati buncit
itu dengan Ilmu Menembus Pandang."
Wiro lakukan apa yang dikatakan Ratu Duyung, Dia tersentak sewaktu melihat di
pinggang sang Adipati ada sebuah kantong putih berisi dua buah dadu. "Ah...!"
Wiro keluarkan seruan tertahan.
"Kau melihat dua dadu itu?" tanya Ratu Duyung.
"Aku melihat dua dadu lain. Edan, besar sekali seperti anak kucing."
"Jangan bergurau!" Ratu Duyung jengkel sekali. Mukanya bersemu merah.
"Ya, ya... Aku sudah melihat. Ada dua dadu di balik pinggang pakaian Adipati
itu. Dalam satu kantong kain putih. Berarti ada dua pasang dadu. Yang mana yang
asli?" "Pasti yang ada pada Adipati itu!" jawab Ratu Duyung.
Pembicaraan kedua orang itu terputus sampai di situ. Bayumurti serta puluhan
perajurit termasuk sepuluh orang bersenjatakan tombak yang ditancapi daun
mengkudu datang menyerbu. Perajurit yang sepuluh ini sesuai perintah, mereka
mengarahkan serangan pada nenek rambut kelabu. Adipati Seda Wiralaga sendiri
bersama Loan Nio Nikouw saat itu juga sama-sama balikkan diri lalu dengan cepat
berkelebat pergi tinggalkan halaman, masuk dan lenyap di dalam gedung.
"Adipati keparat! Kau mau kabur kemana?" teriak Wiro. Setelah meminta Purnama
agar melindungi nenek rambut kelabu Wiro melesat masuk ke dalam gedung
Kadipaten. Di dalam gedung Kadipaten yang besar keadaannya ternyata sepi tapi mencekam.
Adipati Seda Wiralaga dan Paderi Loan Nio lenyap tak berbekas.
"Kalau aku tidak segera menemukan kedua orang itu, akan kuhancurkan seluruh
bangunan ini!" Wiro mengancam dalam hati.
Tiba-tiba ada suara berkesiur. Empat buah senjata rahasia berbentuk pisau
terbang tanpa gagang melesat dari empat jurusan menyerang Wiro dengan arah
sasaran kepala, dada dan punggung serta perut. Dia cepat jatuhkan diri seraya
melepas satu pukulan, membuat mental pisau terbang yang mengarah perutnya
sementara tiga pisau lainnya menghantam tempat kosong lalu satu menancap di
lantai batu, dua menembus dinding ruangan.
Wiro cepat bergerak bangun. Namun belum sempat berdiri, masih dalam keadaan


Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setengah membungkuk, tiba-tiba langit-langit ruangan terbuka dan saat itu juga
dua belas tombak melesat ke bawah.
"Kurang ajar!" Wiro memaki. Dia berguling di lantai sambil hantamkan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera dengan dua tangan sekaligus.
*** SEBELAS PUKULAN dahsyat yang dihantamkan Wiro bukan saja membuat selusin tombak patah,
tetapi langit-langit ruangan juga runtuh, terus menembus menghancurkan atap!
"Adipati keparat! Pengecut! Kau sembunyi dimana atau sudah kabur"!" Teriak murid
Sinto Gendeng. Dia kerahkan Ilmu Menembus Pandang berusaha menjajaki dimana
sembunyinya Seda Wiralaga. Ketika matanya tak sengaja memandang ke lantai, sang
pendekar jadi terkejut. Di bawah lantai gedung dia melihat satu ruangan besar,
dikelilingi sepuluh buah kamar tidur. Di tengah ruangan ada satu meja besar
empat persegi warna hijau, bergaris membentuk kotak bertuliskan angka 1 sampai
12. "Meja judi. Judi dadu. Istana Seribu Rejeki Seribu Sorga ternyata dipindah dan
ada di bawah Gedung Kadipaten! Siapa yang akan mengira! Kurang ajar!" Baru saja
Pendekar 212 memaki tiba-tiba dari balik sebuah tiang besar berkiblat satu
cahaya merah disertai menyambarnya angin panas, tepat di depan hidungnya!
Wiro cepat melompat mundur. Craass! Tak urung ada ujung rambutnya di atas kening
yang terbabat putus.
Selain itu Wiro merasa ada satu kekuatan dahsyat memukul tubuhnya hingga dia
terjajar ke belakang. Dada berdenyut sakit Ketika Wiro meraba sudut bibirnya dia
terkejut. Jari-jari tangannya merah oleh lelehan darahnya sendiri. Sang pendekar
mengalami luka dalam.
Wiro membentak marah tapi jadi terkesima ketika orang yang barusan menyerang
ternyata adalah Kiang Loan Nio Nikouw. Saat itu Wiro melihat sang paderi
terpental tiga langkah, hampir jatuh duduk di lantai kalau dia tidak bertopang
pada Pedang Naga Merah yang ada di tangan kanannya. Seperti yang dialami Wiro
paderi ini juga merasa dadanya laksana ditindih batu besar dan nafas menjadi
sesak. Wajah yang cantik berubah pucat dan di sudut bibirnya juga mengucur
lelehan darah. "Nio Nio...." ucap Wiro. "Tadi aku heran melihat kau bersama Adipati Seda
Wiralaga. Kini tambah heran lagi mengapa kau menyerangku!"
"Pemuda bejat! Aku bukan cuma menyerangmu! Tapi aku bersumpah membunuhmu!"
Menyahut paderi perempuan itu dengan suara setengah berteriak dan wajah cantik
berubah garang luar biasa.
"Nio Nio, apa yang terjadi dengan dirimu"!" Tanya Wiro. Ketika dilihatnya sang
paderi kembali hendak menyerang dengan Pedang Naga Merah Wiro cepat berteriak.
"Jangan! Tahan serangan! Kita berdua bisa celaka!"
"Persetan! Aku tidak takut mati!" jawab Loan Nio Nikouw.
Wiro cepat melompat menjauh. "Nio Nio, aku tahu kau sudah dapatkan dua buah dadu
itu! Mengapa tidak segera kembali ke Tionggoan?"
"Aku tidak akan meninggalkan tanah Jawa ini sebelum membunuhmu!"
"Apa salahku"!" tanya Wiro.
Sang paderi tertawa panjang. "Manusia bejat! Kau pandai berpura-pura! Dosa
kesalahanmu sedalam laut setinggi langit! Kau telah memperkosaku!"
"Hah! Apa"! Lagi-lagi tuduhan gila itu!"
"Kau melakukannya di dalam goa!"
"Pasti pemuda geblek bernama Liok Ong Cun itu yang bicara bohong padamu! Dia
punya dendam besar padaku! Dia sengaja memfitnah diriku!"
"Kali ini dia tidak bohong! Tidak memfitnah! Justru dia yang menemukan diriku di
dalam goa setelah kau gagahi!"
"Nio Nio. Aku tidak akan pernah berlaku sekeji itu terhadap perempuan manapun!
Apa lagi terhadap dirimu yang telah beberapa kali menyelamatkan jiwaku!"
"Loan Nio, aku datang! Pemuda terkutuk ini memang harus segera dibunuh! Aku akan
membantumu agar kali ini dia tidak bisa lolos lagi!" Seseorang berteriak dalam
bahasa Cina. Satu bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu telah
berdiri seorang muda mengenakan topeng tengkorak. Rambut dikepang ke belakang,
tangan kanan menempel di gagang sebilah pedang yang dipegang di tangan kiri.
Liok Ong Cun! "Loan Nio, aku bersumpah! Pemuda bejat ini yang telah merusak kehormatanmu di
goa itu! Aku melihat sendiri ketika dia melarikan diri keluar goa!" Sepasang
mata Liok Ong Cun memandang laksana dikobari api ke arah Wiro.
"Nio Nio, dulu pemuda sialan ini mulutnya pernah aku kencingi! Ternyata sekarang
dia jadi bisa bicara lancar sekali! Aku yakin barusan dia bicara dusta! Seperti
kataku tadi aku tidak mungkin mencelakai orang yang telah beberapa kali
menyelamatkan jiwaku!"
"Itulah kebusukanmu! Air susu kau balas dengan air tuba!" tukas Loan Nio Nikouw.
"Hik... hik!" Mendadak ada suara orang tertawa cekikan. Suara anak-anak.
"Pendekar sableng, apa benar kau pernah minum air susu gadis cantik kepala botak
ini"! Hik... hik... hik. Aku juga mau! Hik... hik... hik!"
"Jahanam kurang ajar! Siapa yang bicara"!" teriak Liok Ong Cun marah besar walau
tidak mengerti apa yang diucapkan orang. Dia berpaling ke arah suara orang yang
barusan tertawa dan berucap. Wiro dan Loan Nio Nikouw juga ikut menoleh. Di
depan tiang sana, terpisah sejarak tujuh langkah berdiri seorang anak lelaki
berpakaian serba hitam berambut jabrik! Di sampingnya tegak senyum-senyum
seorang nenek berwajah angker seperti setan, berjubah biru. Sepuluh kuku tangan
panjang hitam. Tampang Liok Ong Cun jadi berubah ketika dia mengenali kedua
orang ini yang bukan lain adalah bocah jahil Naga Kuning dan si nenek sakti
berjuluk Gondoruwo Patah Hati.
"Kalian berdua! Lekas menyingkir dari sini! Kalau tidak kutebas batang leher
kalian!" Liok Ong Cun membentak sambil hunus Pedang Ular Hijau.
"Hik... hik! Dia bicara apa" Belum kapok dia rupanya sehabis kuhajar dengan Ilmu
Kuku Api!" kata
Gondoruwo Patah Hati pula.
"Dia takut rahasianya kita buka," jawab Naga Kuning.
"Kalian berdua," kata Wiro. "Kalau mengetahui sesuatu lekas bicara!"
Naga Kuning melirik ke arah Loan Nio Nikouw baru berkata. "Beberapa waktu lalu
kami terpesat di satu rimba belantara. Tiba-tiba kami melihat pemuda muka
tengkorak ini keluar dari goa. Di luar goa dia tampak seperti orang bingung.
Lalu dia berteriak-teriak dalam bahasa yang kami tidak mengerti. Tapi jelas
sekali dia menyebut-nyebut nama Loan Nio. Kemudian dia masuk ke dalam goa.
Keluar-keluar memapah gadis botak ini..."
Merasa orang tengah membicarakan perihal dirinya Liok Ong Cun cabut pedang dan
melompat ke hadapan Naga Kuning serta Gondoruwo Patah Hati. "Pergi!" teriaknya.
Pedang di tangan diangkat tinggi-tinggi lalu dibacokkan ke arah Naga Kuning.
"Traangg!"
Liok Ong Cun tersentak kaget ketika melihat bagaimana Pedang Naga Merah alias
Ang Liong Kiam di tangan Loan Nio Nikouw menangkis Pedang Ular Hijau miliknya.
"Loan Nio. Apa-apaan kau inil"
"Ong Cun," ucap Loan Nio Nikouw. "Dari apa yang dijelaskan anak itu aku kini
tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kau lagi-lagi berdusta. Kau pandai mengarang
cerita membuat siasat lalu memfitnah orang, padahal kau sendiri yang jadi
dajalnya. Teganya kau melakukan perbuatan bejat itu terhadapku!"
"Aku bersumpah tidak merusak kehormatanmu!" teriak Liok Ong Cun.
"Matilah bersama sumpahmu!" Tanpa banyak bicara lagi Loan Nio Nikouw lantas
menyerbu Liok Ong Cun dengan Pedang Naga Merah. Karena kecintaannya terhadap
Loan Nio mula-mula pemuda bertopeng muka tengkorak itu tak mau melawan. Namun
setelah terdesak dan dia sadar sang paderi tidak main-main, Liok Ong Cun
terpaksa pergunakan Pedang Ular Hijau atau Ceng Coa Kiam untuk membela
selamatkan diri.
Dua anak murid perguruan Siauw Lim terlibat dalam perkelahian luar biasa hebat.
Walaupun usia lebih muda dan adalah adik seperguruan, namun Loan Nio Nikouw
punya pengalaman lebih banyak serta tenaga dalam lebih tinggi. Selain itu
kecepatan ilmu pedangnya sulit ditandingi. Ditambah pedang yang ada di
ditangannya bukanlah senjata sembarangan, setelah bertempur lebih sepuluh jurus
Liok Ong Cun mulai terdesak. Pada jurus kedua belas Liok Ong Cun pergunakan
jurus Jay Hong Toh Te atau Pelangi Melengkung Ke Bumi untuk menangkis serangan
Pedang Naga Merah dalam jurus Naga Merah Membela Bumi yang dilancarkan Loan Nio
Nikouw. "Traangg!"
Dua pedang sakti beradu di udara. Bunga api memercik. Liok Ong Cun kalah tenaga.
Pedang Ular Hijau terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai bersamaan dengan
lepasnya sarung pedang yang dipegang di tangan kiri. Pedang Naga Merah menderu
deras. Liok Ong Cun menjerit sewaktu ujung pedang menggurat robek topeng
tengkoraknya mulai dari kening terus melintang di pipi kiri melompat melabrak
sebuah jendela kayu dan kabur meninggalkan Gedung Kadipaten. Darahnya bececeran
di lantai. Selagi Loan Nio Nikouw tertegun, menyesali diri sendiri dan berkata dalam hati.
"Mengapa aku hanya menggurat mukanya, tidak menabas batang lehernya..." tibatiba dua orang melesat masuk ke dalam ruangan besar. Lalu terdengar seruan.
"Aku dapat pedangnya!"
"Aku mengambil sarungnya!"
Loan Nio Nikouw tersentak kaget Dia perhatikan kedua tangannya. Astaga! Ternyata
Pedang Naga Merah yang tergenggam di tangan kanan dan sarung pedang yang tadi
dipegang di tangan kiri sudah lenyap! Apa yang terjadi" Loan Nio Nikouw menatap
ke depan. Sang paderi keluarkan seruari tertahan sementara Wiro sendiri selain
kaget juga merasa gembira.
Di dekat tiang besar berdiri sepasang kakek nenek sambil tertawa-tawa. Si nenek
yang berdandan menor dan mengenakan jubah serta celana panjang hitam bukan lain
adalah Eyang Sinto Gendeng. Di tangan kanannya dia memegang Pedang Naga Merah.
Di samping Sinto Gendeng berdiri seorang kakek berpakaian selempang kain putih
berambut dan berjanggut putih, kulit muka tipis, sepasang mata cekung. Kakek ini
memegang sarung Pedang Naga Merah. "Dugaanku terjawab sudah. Si nenek berbaju
bagus, berdandan mencorong. Ternyata dia menemui kekasih lama...," kata Wiro
dalam hati. Wiro cepat membungkuk memberi penghormatan. "Eyang Sinto, Kakek Tua Gila...."
Diam-diam Wiro merasa lega kakek nenek itu berhasil mengambil Pedang Naga Merah
berikut sarungnya dari tangan Loan Nio Nikouw. Kalau dia yang melakukan pasti
akan terjadi perkelahian hebat yang bisa mencelakakan mereka berdua.
"Tua bangka pencuri! Kembalikan pedangku!" Teriak Loan Nio Nikouw lalu menerjang
ke arah Sinto Gendeng. Tangan kanan berusaha merampas pedang sementara tangan
kiri memukul ke arah kepala si nenek.
Sambil tertawa cekikikan Sinto Gendeng elakkan serangan lalu melesat ke arah
jendela diikuti Tua Gila. Loan Nio Nikouw langsung mengejar sambil lepaskan satu
pukulan sakti. Jendela dan sebagian dinding ruangan hancur dilanda pukulan sang
paderi. Namun sepasang kakek nenek sudah lenyap. Diluar terdengar seruan si
nenek. "Anak setan! Jangan lupa kau harus menghadap Kiai Gede Tapa Pamungkas
bersama Ratu Duyung!"
Setelah kakek nenek itu lenyap kini kemarahan Loan Nio ditumpahkan pada Pendekar
212. "Kau kenal dua tua bangka itu! Katakan siapa mereka. Dimana aku bisa
mencari keduanya!" Sambil bertanya berteriak sang paderi menyerang Wiro habishabisan. "Nio Nio. Tahan serangan. Pedang Naga Merah itu memang pantas diambil kakek
nenek tadi."
"Apa katamu"! Jadi kalian berkomplot!"
Wiro melompat menjauh. "Dengar dulu keteranganku. Nenek jubah hitam itu adalah
guruku. Si kakek sahabatnya. Menurut riwayat, bukankah pedang itu kau dapat dari
Bayumurti semasa kanak-kanakmu di Semarang?"
"Apa perdulimu!"
"Dengar dulu. Aku belum habis bicara. Pedang itu sebenarnya adalah milik dan
merupakan putera sepasang muda-mudi, perwujudan hasil perkawaninan sebilah kapak
dan sebilah pedang. Kakek nenek tadi mengambil pedang bukan untuk mencuri. Tapi
mengembalikan pada pemiliknya. Jika pedang masih berada di tanganmu kau akan
mengalami malapetaka. Apa kau tidak menyadari ada rasa sakit di dada setiap kau
menyerangku dengan pedang itu" Kalau pedang berada di luaran, rimba persilatan
akan dilanda marabahaya."
"Dusta besar! Pedang itu sama nilainya dengan nyawaku! Kau harus memberi tahu
kemana perginya dua tua bangka itu! Atau aku akan membunuhmu saat ini juga!"
"Nio Nio, dari pada meributkan soal pedang yang memang bukan milikmu, lebih baik
kau membantuku mencari kemana kaburnya Adipati Seda Wiralaga!"
"Kau boleh mencarinya sampai ke neraka!" teriak Loan Nio llikouw lalu didahului
jeritan keras dia menyerang Wiro. Serangan sang paderi luar biasa ganas. Wiro
sempat kena gebuk di bagian dada dan perut.
"Nio Nio. Kalau kau tidak segera menemukan Adipati itu, kau tidak akan
mendapatkan dua buah dadu yang kau cari untuk selama-lamanya!"
Sang paderi hentikan serangan. "Apa maksudmu" Kau bicara apa"! Aku tak perlu
Adipati itu. Aku sudah dapatkan dua buah dadu yang kucari!"
"Aku tahu Adipati itu telah memberikan dua buah dadu padamu. Tapi apakah kau
sudah meneliti" Dua buah dadu yang ada padamu adalah dadu-dadu palsu!"
Wajah Loan Nio Nikouw berubah. "Bagaimana kau bisa tahu dua dadu itu palsu! Kau
berusaha menipuku!"
"Keluarkanlah dan periksa!" ucap Wiro pula.
Antara percaya dan tidak yang membuatnya bingung, sang paderi akhirnya keluarkan
sebuah kantong kain hitam dari balik pakaian merahnya. Dari dalam kantong dia
gelindingkan dua buah dadu ke telapak tangan kiri.
Sepasang matanya memperhatikan lekat-lekat. Wajah cantik sang paderi kemudian
tampak berkerut dua mata membesar, sepasang alis berjingkrak lalu mulut
berteriak. "Adipati jahanam! Manusia terkutuk! Kau membujukku akan memberikan dua buah dadu
jika bersedia membantu menghadapi Pendekar Dua Satu Dua dan kawan-kawan.
Ternyata kau menipuku! Kau memberikan dadu-dadu palsu! Aku akan cincang tubuhmu
sampai lumat!" Loan Nio Nikouw berteriak keras lalu berkelebat ke bagian
belakang gedung. Dia tahu satu kamar rahasia dimana dia menduga Seda Wiralaga
berada di tempat itu. Wiro mengikuti. Ternyata sang paderi dan Wiro tidak perlu
mencari jauh. Ketika sampai di halaman belakang mereka melihat Adipati Seda
Wiralaga tengah bertempur melawan Rayi Jantra disaksikan oleh Ratu Duyung,
Purnama, nenek rambut kelabu, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Sampai saat
itu sang Adipati yang bersenjatakan sebilah keris pusaka masih memegang ranting
daun mengkudu di tangan kirinya.
Rupanya dia tetap merasa khawatir nenek kembar jejadian akan menyerang dirinya.
Sebenarnya Adipati Seda Wiralaga bertempur dalam keadaan hati kecut nyali nyaris
leleh. Dia tahu, walau dia bisa mengalahkan Rayi Jantra dia tidak akan mampu
lolos dari begitu banyak tokoh silat yang mengelilinginya. Dalam keadaan seperti
itu akhirnya sang Adipati berubah nekad.
Walau membekal Kujang Kiai Pasundan yang sakti mandraguna, ternyata tidak mudah
bagi Rayi Jantra untuk menghadapi Seda Wiralaga. Gerakan sang Adipati juga
memiliki tenaga luar dalam yang lebih tinggi.
Dalam satu gebrakan hebat di jurus ke sembilan belas dua senjata beradu keras.
Bunga api memercik. Adipati Seda Wiralaga tergoncang sedikit sebaliknya Kujang
Kiai Pasundan di tangan Rayi Jantra terlepas mental dan Rayi Jantra sendiri
terjajar tiga langkah ke belakang.
Pada saat itulah satu bayangan merah berkelebat menyambar kujang lalu terdengar
suara bentakan.
"Adipati keparat! Kau merayu lalu menipuku! Kau memberikan dua dadu palsu!
Berikan dua dadu yang asli bersama nyawamu!"
Adipati Seda Wiralaga terkejut. "Loan Nio, tahan serangan! Kau pasti telah
diperdayai pendekar jahanam itu!"
Tanpa perduli ucapan orang Kujang Kiai Pasundan di tangan Loan Nio Nikouw
berkelebat ganas dan luar biasa cepat dalam jurus-jurus mematikan. Cahaya kuning
menggidikkan berkiblat tiada henti. Keris dan kujang beradu beberapa kali. Dalam
satu gebrakan hebat Loan Nio lemparkan dua buah dadu seraya berteriak.
"Makan dadu palsu ini!"
Adipati Seda Wiralaga cepat mengelak dari dua buah dadu yang melesat ke arah
kepalanya. Dia bisa selamatkan diri. Namun dikejap yang sama Kujang Kiai
Pasundan di tangan kanan Loan Nio Nikouw berkelebat dalam jurus Menusuk Matahari
Membelah Rembulan.
"Brettt!"
Bukan cuma pakaian putih sang Adipati yang robek, tapi perut buncitnya ikut
amblas dimakan ujung kujang. Darah menyembur, usus besar memberojol keluar.
Keris di tangan kanan terlepas. Ranting daun mengkudu di tangan kiri ikut jatuh
ke tanah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh nenek rambut kelabu kembaran
jejadian Eyang Sepuh Kembar Tilu. Tubuhnya melesat ke udara. Kaki kanan
menghajar kepala Seda Wiralaga hingga pecah bersamaan dengan menancapnya Kujang
Kiai Pasundan di dada kiri, langsung menembus jantung. Loan Nio Nikouw jatuhkan
diri di tanah, menekap wajah menahan tangis.
"Ha-hu ha-hu... hekkk!" Bersamaan dengan putusnya ajal Adipati Seda Wiralaga,
penyakit gagu yang diindap nenek rambut kelabu serta merta lenyap. Si nenek
sesenggukan sesaat lalu berucap. "Eyang Sepuh, kami sudah membalaskan sakit hati


Wiro Sableng 151 Sang Pembunuh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dendam kesumat kematianmu. Semoga kau kini bisa tenteram di alam akhirat. Eyang,
sekarang aku sudah tidak gagu lagi."
Tiba-tiba Loan Nio Nikouw ingat sesuatu. Dia melompat dari duduknya, buru-buru
menghampiri mayat Seda Wiralaga. Tanpa rasa ngeri dia memeriksa tubuh Adipati
itu. Tapi dia tidak menemukan benda yang dicarinya.
"Pemuda gondrong itu pasti menipuku. Atau Adipati keparat ini telah
menyembunyikan dua dadu itu di satu tempat?" membatin sang paderi.
"Nio Nio, apakah kau mencari benda ini?"
Loan Nio Nikouw palingkan kepala. Pendekar 212 tersenyum lalu keluarkan sesuatu
dari dalam sebuah kantong kain putih yang tadi telah lebih dulu diambilnya dari
balik pakaian Adipati Seda Wiralaga yaitu ketika sang paderi terduduk di tanah
sambil menekan muka sementara Rayi mencabut kujang miliknya dari dada Adipati
Losari itu. Dari dalam kantong kain meluncur keluar dua buah dadu yang segera ditampung Wiro
ditelapak tangan kiri.
"Ini dadu-dadu yang asli." Ucap Wiro sambil menimang-nimang dua buah dadu.
"Berikan padaku!" kata Loan Nio Nikouw seraya melangkah cepat ke arah Wiro.
Wiro masukkan kembali dua buah dadu ke dalam kantong kain putih. Tapi tidak
menyerahkannya pada sang paderi melainkan berkata. "Aku tidak akan memberikan
dua buah dadu ini padamu. Kecuali kau mengembalikan padaku Kitab Seribu
Pengobatan yang kau curi waktu peristiwa penyerangan Walang Gambir alias Kobra
Biru di dangau tempo hari."
Loan Nio Nikouw ternganga. Lalu paderi ini tersenyum. "Bagaimana kau bisa tahu
kalau aku yang mencuri kitab itu?"
"Di tempat kejadian tak ada orang lain kecuali kau dan Bunga, sahabatku dari
alam roh. Bunga tak mungkin mencuri karena dia tak bisa membawa benda asing ke
alamnya. Tinggal kau. Lagi pula aku pernah menerapkan satu ilmu untuk memeriksa
dirimu. Dan aku melihat kitab itu memang ada di tubuhmu."
"Kau memang lelaki kurang ajar!'' ucap sang paderi tapi dengan wajah tersenyum.
Di balik punggungnya dia membuka ikatan tali halus lalu mengeluarkan sebuah
kitab tebal terbuat dari daun lontar. "Aku sebenarnya tak pernah bermaksud
sungguhan mencuri kitab ini. Aku hanya berjaga-jaga. Kalau kau duluan menemukan
dua buah dadu dan tak mau memberikan padaku, maka kitab ini akan kujadikan alat
pemaksa. Ambillah."
"Kau cerdik, juga baik hati." Kata Wiro pula sambil menyambut kitab yang
diserahkan. Naga Kuning mendekati Loan Nio Nikouw. "Kurasa sekarang kita sudah jadi sahabat.
Karena itu aku akan menyerahkan padamu benda ini."
Dari balik pinggangnya Naga Kuning keluarkan sebuah seruling perak. Loan Nio
Nikouw sampai berseru girang melihat suling miliknya itu. "Bagaimana ceritanya
sampai suling ini ada padamu?"
"Suling itu terjatuh dari pinggangmu ketika orang muka tengkorak mendukungmu
keluar goa."
Menerangkan Naga Kuning.
"Aku sangat berterima kasih," kata Loan Nio Nikouw sambil pegang bahu si bocah.
"Kau lucu. Baru sekali ini aku melihat perempuan kepalanya botak. Apakah aku
boleh mencium kepalamu?"
Permintaan si bocah membuat Loan Nio tertawa. Tapi dia menjawab juga. "Kalau kau
suka silahkan saja,"
lalu sang paderi merunduk sedikit Naga Kuning majukan hidungnya. Kepala botak
sang paderi tercium harum.
Namun sebelum hidung si bocah dan kepala botak bersentuhan, Gondoruwo Patah Hati
segera jewer dan tarik telinga kiri Naga Kuning.
"Gunung, jangan macam-macam! Orang mengira kau masih anak-anak. Padahal kau
sudah kakek tua bangka!" Naga Kuning terpekik kesakitan namun tak berani
membantah ketika dia ditarik si nenek meninggalkan tempat itu. Wiro tertawa
gelak-gelak sementara Loan Nio Nikouw senyum-senyum. Setelah kedua orang itu
pergi baru Wiro menyadari kalau Ratu Duyung dan Purnama tak ada lagi di tempat
itu. "Mereka pasti saling cemburu...," pikir Wiro lalu berpaling pada Rayi Jantra.
Rayi hanya bisa angkat bahu dan berkata. "Aku ke halaman depan dulu. Banyak
mayat bergelimpangan di sana. Termasuk Bayumurti...."
"Siapa yang membunuh Bayumurti?" tanya Wiro.
"Purnama " Jawab Rayi Jantra lalu melangkah pergi.
"Saudara Wie..." Loan Nio Nikouw menyapa Pendekar 212 dengan sebutan yang sudah
lama tak pernah diucapkannya. Wiro tersenyum. "Malam nanti kebetulan ada kapal
dari Tionggoan yang datang ke Teluk Losari menjemputku. Sebenarnya aku ingin
berada lebih lama di sini..."
"Aku mengerti. Tugasmu belum selesai sebelum dua buah dadu kau serahkan pada
pimpinanmu. Aku hanya bisa berharap, satu ketika kau akan kembali lagi ke tanah
Jawa ini."
Loan Nio Nikouw anggukkan kepala. Dalam hati dia berkata. "Aku pasti kembali.
Mencari manusia bejat muka tengkorak itu!" Paderi cantik ini lalu tundukkan
kepala berusaha menyembunyikan linangan air mata.
Dia melirik ke samping, ke arah nenek rambut kelabu. Si nenek pura-pura melihat
ke jurusan lain.
"Wiro..." ucap Loan Nio Nikouw perlahan sekali, setengah berbisik. "Sebenarnya
aku malu mengatakan hal ini. Apa iagi diriku tidak lagi sesuci sebagaimana aku
datang pertama kali. Tapi jika aku tidak mengatakan tidak ada kelegaan di hatiku
seumur-umur. Jauh di lubuk hatiku, aku... aku sebenarnya telah jatuh cinta
padamu sejak pertama kali aku melihatmu. Jalan nasib membawa diriku ke dalam
keadaan seperti ini. Aku mohon kau memaafkan segala sikap dan perbuatanku yang
buruk, mungkin juga jahat.."
"Kau gadis baik. Aku tidak akan melupakanmu, Nio Nio," ucap Wiro. Lalu
dipeluknya Loan Nio Nikouw.
Sang paderi membalas pelukan itu dengan rangkulan kencang sementara air mata
jatuh berderai membasahi pipinya.
"Aku pergi Wiro. Aku...."
"Tenangkan dan tabahkan hatimu, Nio Nio. Aku berdoa untuk semua kebaikan
bagimu." "Terima kasih," ucap Loan Nio Nikouw lalu lepaskan pelukannya. Belum sepuluh
langkah paderi dari Tionggoan itu berjalan tiba-tiba nenek rambut kelabu
mengejar. "Ada apa?" tanya Loan Nio Nikouw sementara Wiro memperhatikan agak merasa heran.
"Sahabat muda, aku tahu kau tengah mengalami kesulitan. Kalau aku boleh menolong
dan kau memang tidak mau melahirkan seorang bayi tanpa ayah, aku punya obat
peluntur."
"Obat peluntur, obat apa itu?" tanya sang paderi.
"Obat untuk menggugurkan kandunganmu," jawab si nenek dengan suara sengaja
dipelankan. Loan Nio Nikouw tercengang dan tidak dapat menyembunyikan perubahan raut
wajahnya. "Bagaimana kau tahu keberadaanku..."
Si nenek tersenyum. Dia mengambil satu kantong kecil dan hitam dan
menyerahkannya pada Loan Nio Nikouw. "Di dalam kantong ini ada bubuk obat.
Campur dengan air panas. Minum setiap malam tiga hari berturut-turut..."
"Nek, aku..." Loan Nio Nikouw pandangi kantong hitam di tangan si nenek dengan
rasa tak percaya.
Perlahan-lahan dia ulurkan tangan mengambil kantong kain itu lalu memeluk si
nenek. Air matanya kembali berlinangan. "Nek, kau menghindarkan diriku dari malu
besar yang sulit bagiku mengatakan bagaimana menanggungnya."
"Selamat jalan sahabat muda. Kalau aku mendengar kabar tentang dirimu kelak, aku
hanya ingin mendengar kabar yang baik-baik..."
Loan Nio Nikouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia cium pipi si nenek kiri
kanan. Lalu mencabut seruling perak yang terselip di pinggangnya.
"Ini untukmu Nek. Aku hanya bisa memberikan suling ini sebagai tanda terima
kasih. Ambillah."Nenek rambut kelabu semula hendak menolak pemberian itu. Namun
melihat wajah tersenyum tapi berurai air mata sang paderi akhirnya dia ambil
juga suling itu lalu memeluk dan balas mencium.
Setelah Loan Nio Nikouw pergi jauh si nenek hampiri Wiro. Sang pendekar menegur
bercanda. "Wah, kau diberi suling. Aku mengapa tidak diberi...?"
"Jangan serakah. Kau sejak lahir sudah punya suling!" jawab nenek rambut kelabu.
Wiro tertawa gelak-gelak lalutampar pantat si nenek. Seperti yang sudah-sudah
begitu mendapat tamparan di bagian tubuh sebelah bawah ujud si nenek langsung
berubah menjadi seorang perempuan muda berwajah jelita.
"Hemm... Kau sengaja bersalin rupa. Kau hendak merayuku" Aku kasih suling baru
kau tahu rasa!"
"Kalau kau berani keluarkan suling, aku ketok sulingmu dengan suling perak ini!"
Perempuan muda mengancam.
"Aku mau lihat bagaimana kau melakukannya!" kata wiro pula sambil tertawa-tawa.
Perempuan muda cantik itu tertawa cekikikan lalu lari menjauh ketika Wiro
mendatanginya. *** Satu bulan setelah tewasnya Adipati Seda Wiralaga, Rayi Jantra diangkat menjadi
Adipati Losari. Pedang Ular hijau atau Ceng Coa Kiam milik Liok Ong Cun yang
ditinggal begitu saja oleh pemiliknya diambil dan disimpan oleh Rayi Jantra.
Kelak dikemudian hari pedang ini akan menjadi masalah besar karena Liok Ong Cun
kini bermuka cacat masih berkeliaran di tanah Jawa.
Setelah Adipati Seda Wiralaga tewas dan Istana Seribu Rejeki Seribu Mesum
dihancurkan oleh Rayi Jantra, Kerajaan Cirebon berdiri. Jatilandak, putera
Luhmintari yang bernama Purnama telah diangkat menjadi salah seorang Kepala
Pasukan Kerajaan oleh Pangeran Cakrabuana dan Nyai Rara Santang. Namanya diganti
menjadi Tubagus Kesumaputra. Sementara itu sesampainya di Tionggoan, setelah
menyerahkan dua buah dadu pada Wakil Ketua perguruan Siauw Lim, Loan Nio Nikouw
memencilkan diri di satu puncak gunung.
Dia berubah pikiran untuk menggugurkan kandungannya dengan obat yang diberikan
nenek jejadian kembaran Eyang Sepuh Kembar Tilu. Sang paderi punya rencana
dahsyat. Bilamana si anak yang akan dilahirkannya sudah besar kelak, anak itu
akan disuruhnya mencari dan membunuh Liok Ong Cun. Kepada si anak akan
ditanamkannya cerita yaitu bahwa Liok Ong Cun adalah orang yang telah membunuh
ayah kandungnya. Jadi adalah kewajiban si anak membalas dendam kematian sang
ayah. ***** TAMAT Episode berikutnya berjudul:
"PETAKA PATUNG KAMASUTRA"
Sebuah patung kuno dalam ujud dua insan sedang melakukan sanggama dan sangat
rahasia keberadaannya telah lenyap dari tempat penyimpanannya selama 2800 tahun
di sebuah goa yang terletak di gurun pasir Thar, India. Ketika patung itu muncul
di tanah Jawa, malapetaka dahsyat tak dapat dihindarkan lagi. Banyak korban
jatuh akibat kekuatan jahat yang ada pada patung ini. Kebanyakan dari mereka
adalah para gadis yang melakukan bunuh diri karena tidak tahan lagi menanggung
aib besar akibat perbuatan terkutuk yang mereka lakukan diluar sadar. Bahaya
keberadaan sang patung semakin merajalela ketika kemesuman itu mampu menembus
tembok Keraton.
Si Rajawali Sakti 1 Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran Neraka Pulau Biru 2

Cari Blog Ini