Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 18

10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 18


"Tentang perkembangan keadaan sekarang?" bertanya Ki Lurah.
"Ya Ki Lurah." jawab Agung Sedayu.
Ki Lurah mengangguk-angguk. Sudah agak lama ia beristirahat dari tugas-tugas keprajuritan. Bahkan rasa-rasanya ia sudah dilupakan oleh para pemimpin dari angkatan sesudahnya. Namun tiba-tiba ia telah dipanggil menghadap ke Kepatihan. Tentu karena pendapat Kiai Gringsing atau bahkan Agung Sedayu. Namun bagaimanapun juga Ki Lurah memang menjadi sedikit berdebar-debar. Apalagi yang harus dilakukannya atau bahkan ia harus terlibat langsung dalam gejolak yang sedang terjadi.
Ketika ketiganya memasuki halaman Kepatihan, maka ketiganyapun telah meloncat turun dari kuda-kuda mereka, menaruhkan kendali kuda-kuda itu pada patok-patok yang sudah disediakan. Kemudian menunggu seorang petugas menyampaikan kedatangan mereka kepada Ki Patih Mandaraka lewat Pelayan Dalam Kepatihan.
Ketiganyapun kemudian telah dipersilahkan masuk keruang khusus yang dipergunakan oleh Ki Mandaraka untuk menerima tamu-tamunya yang terdekat.
Beberapa saat mereka sempat saling mempertanyakan keselamatan masing-masing. Meskipun Ki Lurah tinggal juga dikota yang sama dengan Ki Patih Mandaraka, namun ternyata mereka sudah cukup lama tidak bertemu.
"Kita tenggelam dalam kesibukan kita masing-masing." berkata Ki Patih Mandaraka.
"Tetapi kesibukan lain Ki Patih. Aku sibuk dengan cucu-cucuku." jawab Ki Lurah Branjangan.
Ki Mandaraka tertawa. Lalu katanya, "Nah, sekarang Ki Lurah akan menghadapi kesibukan yang lain. Kita akan berbicara tentang sebuah permainan yang barangkali menarik."
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Kiai Gringsing yang tersenyum. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia bertanya, "Permainan apa Ki Mandaraka?"
"Kiai Gringsing membawa sejenis permainan yang menarik." berkata Ki Mandaraka, "agaknya Ki Lurah akan dengan senang hati ikut bermain." Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, "barangkali Kiai dapat menjelaskan kepada Ki Lurah?"
"Kenapa aku?" bertanya Kiai Gringsing, "Ki Mandarakalah yang sudah menguasai permainan itu. Sebaiknya Ki Mandaraka sajalah yang menjelaskan persoalannya."
Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Atau aku saja yang memilih jenis permainannya?"
Ki Mandaraka dan Kiai Gringsingpun tertawa. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat tersenyum pula melihat orang-orang tua itu berkelakar. Betapa pentingnya masalah yang mereka hadapi, nampaknya mereka masih sempat untuk bergurau disaat-saat mereka berusaha memecahkan tugas-tugas yang telah dibebankan dipundak mereka.
Namun sejenak kemudian maka Ki Mandaraka itupun berkata, "Baiklah. Aku akan berceritera tentang jenis permainan ini. Permainan yang memerlukan ketekunan dan ketabahan hati."
Ki Lurahpun mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Mandaraka mulai menceriterakan tentang perkembangan hubungan antara Madiun dan Mataram.
"Kiai Gringsing telah berhasil menemui Panembahan Mas di Madiun." berkata Ki Mandaraka kemudian.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang ikut membuka Alas Mentaok, serta membangun Mataram dari batu yang pertama kali diletakkan, maka iapun merasakan keberatan yang sangat dari Panembahan Senapati untuk menyerahkan kembali segala pusaka pendukung kedudukan Panembahan Senapati di Mataram ke Pajang dan selanjutnya memberikan hak kepada Panembahan Madiun untuk menentukan siapa yang akan berkuasa di Pajang. Karena itu, jika Panembahan Madiun tidak memperlunak tuntutannya, maka hubungan antara Mataram dan Madiun tidak akan dapat diperbaiki lagi.
Selanjutnya, Ki Mandarakapun telah berbicara tentang seorang lagi yang menyebut dirinya Panembahan. Katanya, "Utusan pernah datang menemui Kiai Gringsing di padepokannya dan sekali lagi di perjalanannya kemari. Tiga orang telah menemuinya di Kali Opak."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bertanya, "Jadi, Ki Mandaraka dan Kiai Gringsing ingin ikut dalam permainan bersama Panembahan itu?"
"Ya." jawab Ki Mandaraka, "Panembahan Cahya Wa"rastra itu ternyata cukup berbahaya. Karena itu, di samping kekuatan prajurit, maka kekuatan Panembahan itupun harus dilawan secara khusus."
Ki Lurah Branjangan menyadari pentingnya tugas yang disebut oleh Ki Lurah sebagai permainan yang akan dilakukan oleh orang-orang tua itu.
"Nah Ki Lurah." berkata Ki Mandaraka, "kami bermaksud untuk melibatkan Ki Lurah dalam permainan ini. Sudah tentu kita tidak akan berkeliaran kemana-mana. Tetapi setidak-tidaknya ada sekelompok pemikir untuk mengatasi persoalan yang timbul karena hadirnya seorang Panembahan baru di Madiun."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan menjalankan segala perintah Ki Mandaraka."
"Terima kasih Ki Lurah. Tetapi sudah tentu susunan dari kelompok yang kita bentuk ini berbeda dengan susunan tataran kepemimpinan keprajuritan. Disini kita merupakan sekelompok orang yang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan hadirnya Panembahan Cahya Warastra itu. Karena itu yang seorang tidak akan memerintah yang lain." berkata Ki Mandaraka.
"Tetapi Ki Mandaraka telah memerintahkan aku untuk berada didalam kelompok itu." jawab Ki Lurah.
Ki Mandaraka tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Ki Lurah benar."
"Namun Ki Patih." berkata Ki Lurah kemudian, "Kita dapat saja menyusun sekelompok orang yang khusus menghadapi arus serangan dengan cara khusus dari Panembahan Cahya Warastra. Namun bagaimana dengan rencana Ki Mandaraka dan Panembahan Senapati atas Tanah Perdikan" Ki Panji nampaknya sudah mempersiapkan segala-galanya."
"Satu keadaan yang lebih khusus lagi." jawab Ki Patih, "sudah tentu bahwa hal itu akan diteruskan. Bahkan lebih cepat lebih baik. Namun aku akan berbicara lagi dengan Panembahan, agar segala sesuatunya dapat dipercepat."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, "Kedua tugas itu memang dapat dibedakan. Tetapi bagaimana dengan angger Agung Sedayu dan Glagah Putih yang tentu akan terlibat pada keduanya, justru karena angger Agung Sedayu adalah murid Kiai Gringsing?"
"Tentu dapat diatur sebaik-baiknya." berkata Ki Patih Mandaraka, "perlawanan atas serangan yang dilakukan oleh Panembahan Cahya Warastra itupun datangnya tidak mengalir seperti banjir. Perlahan-lahan saja, satu-satu. Dengan demikian kita akan dapat mengatur perlawanan yang memadai untuk serangan-serangan itu."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Meskipun ia sudah termasuk tua pula, tetapi sebagai bekas seorang Senapati maka hatinya masih tetap tegar menghadapi tugas-tugas apapun juga.
Namun dalam pada itu Ki Mandarakapun berkata pula, "Agung Sedayu akan menghubungi Ki Waskita."
Ki Lurah mengangguk-angguk sambil bergumam, "Kumpulan orang-orang pikun."
Kiai Gringsing dan Ki Mandaraka mengerutkan keningnya. Namun merekapun kemudian tertawa. Dengan nada tinggi Ki Mandaraka berkata, "Memang menarik. Kumpulan orang-orang pikun."
Ketiganyapun tertawa. Agung Sedayu dan Glagah Putih ikut pula tertawa.
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsingpun kemudian ber"kata, "Ki Patih Mandaraka. Agaknya kita, anggauta kumpulan orang-orang pikun ini harus bertemu pada suatu saat. Nah, dimana kita akan berkumpul" Kita mempunyai beberapa hal yang harus kita bicarakan bersama-sama."
"Aku sependapat." jawab Ki Patih Mandaraka.
"Nah, kita harus menentukan, kapan kita akan bertemu dan berbicara." desis Kiai Gringsing.
"Semakin cepat, semakin baik." berkata Ki Patih.
"Jika demikian, Ki Patih sajalah yang menentukan. Kapan dan dimana kita dapat berbicara." sahut Kiai Gring-sing.
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "bagaimana jika kita bertemu di padepokan Kiai Gringsing?"
"Bagus." jawab Kiai Gringsing. Namun kemudian iapun berdesis, "Bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh" Apakah dapat ditinggalkan sekaligus oleh Ki Jayaraga, Agung Seda"yu dan Glagah Putih. Sementara itu, kita masih harus berbicara secara khusus tentang pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan."
Ki Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. Aku mengerti." Bahkan tiba-tiba saja Ki Mandaraka berkata, "Bagaimana jika kita beramai-ramai pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan menikmati angin lereng pegunungan satu dua malam."
Ki Lurah mengangguk-angguk sambil berkata, "Aku tidak berkeberatan meskipun aku baru saja berada di Tanah Perdikan itu beberapa hari."
"O" Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. "Ki Lurah berada di Tanah Perdikan beberapa hari?"
"Ya. Dengan dua orang cucu-cucuku." jawab Ki Lurah.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya kemudian, "Sekarang kita akan pergi lagi ke Tanah Perdikan tanpa seorang cucupun."
"Baiklah." berkata Ki Mandaraka, "kita akan bertemu di Tanah Perdikan Menoreh dua hari lagi. Kita memberi kesempatan Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk mendahului kita dan memberitahukan kepada Ki Gede Menoreh, agar Ki Gede tidak terkejut. Sementara itu Ki Lurah sempat menghubungi Ki Panji dengan tugas khususnya, sedangkan aku akan menghadap Panembahan Senapati untuk memberikan laporan tentang rencana ini. Dua hari lagi kita berada di tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Waskita. Untuk menemui Ki Waskita kita tugaskan pula Agung Sedayu dan Glagah Putih yang akan mendahului kembali ke Tanah Perdikan itu."
Kiai Gringsing mengangguk sambil berdesis, "Jadi aku ha"rus pergi juga ke Tanah Perdikan" Namun akupun telah berniat untuk pergi ke Tanah Perdikan. Rasa-rasanya aku sudah rindu naik rakit menyeberang Kali Praga. Adakah kebetulan bahwa Ki Mandaraka menentukan pertemuan sekelompok orang-orang pikun ini di Tanah Perdikan."
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih, "Ternyata bukan hanya aku yang akan pergi ke Tanah Perdikan."
Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya, "Jika demi"kian, maka hari ini kami berdua akan mendahului pergi ke Tanah Perdikan, agar Ki Gede mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan segala sesuatunya."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun ketika ia berpaling kepada Glagah Putih, anak muda itu menunduk dalam-dalam. Agaknya ada sesuatu yang memberati hatinya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menuruti gejolak hati Glagah Putih saja meskipun ia merasa ibu juga akan kekecewaannya.
"Baiklah." berkata Kiai Gringsing, "Jika Ki Patih sependapat, biarlah Agung Sedayu dan Glagah Putih berangkat hari ini. Dengan demikian, ada kesempatan bagi Ki Gede untuk bersiap-siap. Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat meneruskan perjalanan untuk menemui Ki Waskita."
Ki Mandaraka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Aku tidak berkeberatan. Tetapi bagaimana dengan kedua orang yang akan pergi" Atau barangkali setelah lewat tengah hari setelah matahari turun" Bukankah Tanah Perdikan tidak terlalu jauh sehingga mereka tidak akan kemalaman di perjalanan."
"Tetapi aku kira lebih baik sekarang Ki Mandaraka." sahut Agung Sedayu, "sore nanti, kami dapat langsung kerumah Ki Waskita."
Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Tetapi Ki Lurahpun yang berkata dengan nada tinggi, "Jika demikian, maka kalian tidak jadi mengantar aku pulang dan bermalam dirumahku meskipun hanya semalam."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Lain kali aku tentu akan sering datang. Ki Lurah. Apalagi cucu Ki Lurah yang akan pergi ke Tanah Perdikan itu tidak akan berangkat bersama kami sekarang. Karena itu, maka kami mohon maaf, bahwa kali ini kami terpaksa membatalkan niat itu. Namun, karena sesuatu hal yang cukup penting untuk kami lakukan."
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Baiklah. Tetapi lain kali aku akan menagih janji. Sementara itu, aku tidak akan berani menghambat tugas kalian sekarang."
Kiai Gringsing dan Ki Mandaraka tertawa, semantara Agung Sedayu menyahut, "Terima kasih Ki Lurah. Dalam waktu singkat kami akan datang."
Demikianlah, setelah makan bersama-sama sebagaimana diinginkan oleh Ki Mandaraka, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah memohon diri. Di halaman Ki Mandaraka sempat bertanya kepada Glagah Putih, "Apakah ikat pinggang itu masih ada padamu?"
Glagah Putih mengangkat ujung bajunya untuk menunjukkan ikat pinggang yang melilit di lambungnya, "Ikat pinggang itu akan tetap disana di Mandaraka."
Ki Mandaraka tertawa sambil menepuk bahu anak muda itu, "Kau adalah kawan yang paling akrab dari Raden Rangga. Nampaknya kau akan berkembang terus dan pada suatu saat memiliki kemampuan setidak-tidaknya mengarah pada kemampuan Rangga yang tidak terbatas itu."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi teringat jelas olehnya bagaimana Raden Rangga pernah mengalirkan kekuatan yang khusus kedalam dirinya, sehingga seakan-akan kekuatan itu telah mengangkat dan meningkatkan semua kemampuan yang ada pada dirinya. Juga kemampuan untuk menerima dan menyadap ilmu dari guru-gurunya sehingga dengan cepat ia dapat mewarisi setiap ilmu yang diajarkan kepadanya. Jika Agung Sedayu memiliki kemampuan untuk mengingat sesuatu yang dianggapnya penting dan dipahatkannya didinding ingatannya yang seakan-akan tidak akan pernah terhapus, maka Glagah Putih memiliki kemampuan untuk menangkap pengetahuan yang diajarkan kepadanya dengan cepat. Jika orang lain memerlukan waktu sewindu untuk satu jenis ilmu yang perlu dipelajarinya, maka Glagah Putih hanya memerlukan waktu separunya. Bahkan jika anak itu sedikit memaksa diri, waktu itu masih dapat berkurang lagi.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih-pun telah menuntun kuda-kuda mereka keregol. Beberapa orang tua mengantar mereka dan melepas mereka mendahului perjalanan yang akan dilakukan ke Tanah Perdikan Menoreh.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu dan Glagah Putih berkuda tidak terlalu cepat menyusuri jalan-jalan kota. Namun de"mikian mereka lepas dari gerbang kota, maka kuda-kuda itupun telah berlari semakin kencang. Keduanya memang segera ingin sampai ke Tanah Perdikan. Bagi Glagah Putih, perjalanannya dari Mataram itu telah dibebani oleh perasaan keecwa yang sulit untuk disembunyikan. Namun Agung Sedayu yang mengetahui perasaan sepupunya itu berusaha untuk menenangkannya. Katanya, "Percayalah, bahwa menantu Ki Lurah itu tidak akan menemukan seorang guru yang memenuhi semua keinginannya. Seorang guru yang memiliki ilmu yang tinggi. Bukan saja ilmu kanuragan, tetapi juga ilmu yang lain. Mampu mengajari mereka sebagaimana anak orang terpandang dengan segala macam unggah-ungguh. Membentuk mereka menjadi orang yang baik, berbudi luhur dan bersifat kesatria. Serta seribu macam pengetahuan. Kecuali jika anak Ki Lurah itu mampu menjerat Kiai Gringsing dirumahnya."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi kata-kata Agung Sedayu itu memang menimbulkan harapannya, bahwa cucu Ki Lurah itu akan dikirim ke Tanah Perdikan Menoreh untuk berguru kepada Sekar Mirah.
Namun jika menantu Ki Lurah itu mengenal Sekar Mirah, tentu ia menganggap bahwa Sekar Mirah tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukannya.
Tetapi nampaknya Agung Sedayu berusaha untuk mengalihkan angan-angan Glagah Putih. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya, "Bagaimana tanggapanmu tentang rencana orang-orang tua itu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, "Apakah mereka bersungguh-sungguh atau sekedar ingin bersama-sama mengenang masa muda mereka?"
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Mereka bersungguh-sungguh. Mereka tidak sekedar ingin berkumpul dan menceriterakan pengalaman mereka saja. Tetapi mereka akan merencanakan satu langkah paling baik untuk menghadapi cara yang ditempuh oleh Madiun di samping cara-cara yang wajar dibidang keprajuritan."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Jika mereka benar-benar ingin menyusun satu rencana, aku kira mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, agaknya rencana mereka akan dapat ditrapkan."
Agung Sedayu menjadi bersungguh-sungguh. Katanya, "Ya. Rencana mereka akan merupakan rencana yang paling baik. Tetapi sebenarnya harus diakui bahwa bahan untuk menyusun rencana itu sangat kurang. Siapa yang mengetahui, Panembah"an Cahya Warastra itu telah bekerja bersama siapa saja. Sasaran yang sebenarnya dari gerakannya dan cara apa saja yang te"lah mereka persiapkan. Satu-satunya bahan yang ada pada kita adalah pengalaman kita dipadepokan Jati Anom dan dipinggir Kali Opak. Menurut pendapatku, bahan itu jauh dari mencukupi."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Tetapi ia masih bertanya, "Apakah tidak ada keterangan lain yang diberikan oleh Kiai Gringsing yang telah pergi ke Madiun itu?"
"Tidak tentang Panembahan Cahya Warastra." jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu. Namun Agung Sedayupun berkata, "Tetapi dalam rencana itu agaknya akan disebut, pengumpulan bahan dari para petugas sandi yang ada di Madiun."
Glagah Putih menyahut, "Bukankah kakang sudah mengusulkan untuk meningkatkan kegiatan petugas sandi agar semua gerak yang ada di Madiun dapat kita baca."
"Ya. Agaknya Panembahan Senapati sependapat. Tetapi dengan menyadari, bahwa Madiun tentu akan melakukan kegiatan yang sama. Mengawasi perkembangan yang terjadi di Mataram. Bahkan agaknya apa yang akan dilakukan oleh orang-orang tua itupun telah diamati pula oleh para petugas sandi dari Madiun."
"Jika demikian kenapa pertemuan itu harus dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya Glagah Putih, "bukankah kehadiran pimpinan pasukan khusus yang baru itu menjadi perhatian para pemimpin di Mataram sendiri?"
"Karena itu ada baiknya Ki Panji dapat hadir dengan tugas khususnya. Perhatian pihak lain akan lebih banyak tertuju pada usaha pembentukan kepemimpinan yang bulat di Tanah Perdikan yang mencakup semua unsur yang ada. Munykin ada perbedaan pendapat sehingga persoalannya akan menjadi agak tegang. Namun itu agaknya justru akan dapat mengahlikan perhatian dari berkumpulnya orang-orang tua di Tanah Perdikan ini."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu kuda-kuda mereka telah berpacu menuju ke penyeberangan di Kali Praga. Demikian keduanya mulai menginjak tepian, maka rasa-rasanya Kali Praga itu menjadi lebih lebar dari biasanya. Airnya yang berwarna lumpur itu menjadi lebih gelap lagi. Agaknya di bagian ujung dari Kali Praga hujan mulai turun.
Sementara itu, rakit masih saja hilir mudik membawa orang-orang yang menyeberang dari Barat maupun dari arah Timur. Ternyata penyeberangan itu masih terlalu ramai disaat-saat orang pergi dan pulang dari pasar. Orang-orang dari Tanah Perdikan dan sekitarnya disebelah Barat Kali Praga telah membawa hasil kerajinannya ke sebelah Timur Kali Praga. Demikian sebaliknya. Bukan saja hasil kerajinan, tetapi juga hasil tanaman di sawah dan pategalan.
Kehadiran Agung Sedayu dan Glagah Putih sama sekali tidak menarik perhatian. Sebelum mereka, telah ada beberapa orang berkuda yang lewat dan menyeberang dengan rakit. Mereka adalah para pedagang hasil bumi yang cukup besar, para saudagar emas dan permata, juga para pedagang ternak. Bahkan beberapa orang yang memperjual-belikan besi-besi berharga dalam ujud pusaka. Wesi Aji yang mempunyai nilai khusus, karena tidak ada pola harga yang dapat dijadikan dasar. Pusaka lebih condong pada selera dan kepercayaan atas tuah yang tersimpan didalam pusaka-pusaka itu, sehingga bagi mereka yang memiliki keahlian, perdagangan Wesi Aji serta berbatuan yang dianggap bernilai tinggi dapat mendatangkan keuntungan yang besar.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera menempatkan diri kedalam urutan orang-orang yang akan menyeberang. Ternyata mereka tidak memerlukan waktu yang lama. Beberapa saat kemudian maka mereka telah mendapat giliran untuk naik keatas rakit yang jumlahnya memang cukup banyak.
Diatas rakit Agung Sedayu dan Glagah Putih teryata sempat melihat seorang pedagang Wesi Aji menawarkan sebilah keris yang sangat mahal.
Agung Sedayu yang juga memandangi keris itu mengangguk-angguk sambil berdesis, "Keris itu memang bagus sekali. Seakan-akan bercahaya. Pamornya bagaikan menyala."
"Tetapi yang mahal adalah permata pada ukiran keris itu." sahut Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Selain daun keris itu memang bagus, permata di ukiran keris itu memang mahal. Apalagi pendoknya yang terbuat dari emas, kuning berkilat-kilat. Yang ditawari keris itu nampaknya seorang saudagar yang kaya pula. Agaknya ia tertarik pada keris itu.
"Datanglah kerumah." berkata saudagar itu, "aku memang tertarik pada keris itu."
"Baik." jawab pedagang Wesi Aji itu, "sepekan lagi aku akan datang kerumahmu. Pada hari pasaran seperti ini. Karena sebelumnya aku harus pergi ke Bergota. Adikku akan kawin. Sementara keris dagangan ini masih dapat aku pakai, seolah-olah aku seorang yang kaya."
"Ah kau." saudagar itu tertawa, "bukankah kau memang seorang yang kaya" Berapa harga sebilah keris" Berapa pula harga satu saja dari batu akikmu. Sementara itu sekarang saja kau membawa ampat bilah keris dan sekantung akik dan satu dua perhiasan dengan permata yang mahal. Jika dihitung uang, sebut, berapa jumlahnya. Belum lagi barang-barang yang kau tinggal dirumahmu."
"Tetapi tentu bukan semuanya milikku sendiri." jawab pedagang Wesi Aji dan batu-batu berharga itu.
"Katakanlah separo daripadanya." jawab saudagar itu, "bukankah itu sudah bernilai sangat mahal?"
Balas " On 16 Juni 2009 at 11:56 Mahesa Said:
Pedagang itu tersenyum. Katanya, "Semua milikku aku pertaruhkan pada barang-barang daganganku. Sawahku, ladang dan pategalanku, ternakku. Segalanya. Jika aku gagal berdagang, maka aku adalah orang yang paling miskin didunia."
Saudagar itu tertawa. Katanya, "Kita sama sama orang yang berdagang. Aku mengerti, bahwa Ki Sanak telah mempertaruhkan semua kekayaan Ki Sanak pada barang-barang dagangan. Jika Ki Sanak gagal, memang akibatnya dapat sangat buruk. Tetapi sebaliknya, keuntungan itu mengalir seliap saat ke kampil Ki Sanak, sehingga pada suatu saat Ki Sanak akan mempunyai sawah, lalang dan pategalan, ternak dan bahkan apa saja yang berlipat ganda."
"Doakan saja Ki Sanak." sahut pedagang keris itu.
Keduanyapun terdiam sambil mengangguk-angguk. Agaknya mereka sepakat akan kebenaran kata-kata mereka sendiri. Ternyata mereka kemudian sempat juga merenunginya.
Namun Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat dua orang disisi yang lain yang memperhatikan pedagang keris itu dengan kerut-merut di dahi. Agung Sedayu tidak begitu mengerti apakah niat kedua orang tua. Tetapi nampaknya kedua orang itu sangat tertarik kepada keris yang telah ditawarkan itu.
Agung Sedayu hanya menarik nafas saja. Diluar sadarnya ia telah berpaling kearah lain. Namun pandangannya terbentur kepada dua orang yang lain lagi, yang dengan ketajaman penggraitanya. Agung Sedayu dapat menduga, bahwa kedua orang itu mempunyai hubungan dengan dua orang yang lain.
Karena itu, maka Agung Sedayu telah berpaling dengan tidak menarik perhatian orang lain kedua orang yang membawa keris itu. Ternyata orang itu telah memandang kedua orang yang dilihatnya pertama, kemudian kedua orang yang lain dengan isyarat pada sorot matanya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putihpun telah menggamitnya.
"Ya." desis Agung Sedayu, "aku juga melihatnya."
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah beringsut dan memandang kearah lain. Kali Praga yang airnya agak lebih tinggi dari biasanya. Sebuah rakit yang menyeberang kearah yang berlawanan dan punggung pegunungan yang diselimuti oleh hutan lebat yang hijau.
Namun Glagah Putih sempat bertanya, "Apa yang dilakukan oleh orang-orang itu kakang?"
"Memang agak menarik. Tentu bukan seorang pedagang Wesi Aji yang sebenarnya." berkata Agung Sedayu, "ternyata dua orang diujung rakit dan dua orang di sebelah lain adalah orang-orang yang mempunyai hubungan dengan mereka."
"Ya. Aku juga melihat isyarat matanya." desis Glagah Putih, "tetapi apa maksudnya?"
Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu. Yang pura-pura menginginkan keris itu tentu juga kawannya sendiri."
"Ya. Nampaknya memang demikian." desis Glagah Putih tanpa berpaling kepada orang-orang itu. Sementara rakit yang mereka tumpangi bergerak perlahan-lahan menuju keseberang, meskipun agak terseret oleh arus Kali Praga beberapa puluh langkah.
"Nampaknya keris itu merupakan satu pertanda. Dengan menarik keris itu, maka petugas-petugas lain yang belum saling mengenal akan dapat saling berhubungan. Atau jika mereka sudah saling mengenal sebelumnya, yang dilakukan oleh orang itu dengan menarik kerisnya adalah satu isyarat yang lain. Mungkin orang yang membawa keris itu telah menentukan langkah bagi orang-orangnya, sehingga iapun telah memberikan aba-aba dengan caranya," berkata Agung Sedayu kemudian. Namun tiba-tiba ia berkata, "Agaknya kita memang harus berhati-hati."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Nalurinya memang menuntutnya agar ia menjadi berhati-hati. Namun ia bertanya juga kepada Agung Sedayu, "Apakah ada hubungannya dengan kita?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. kemudian ka"tanya, "Nampaknya memang tidak ada hubungan langsung. Tetapi dalam tugas yang kita emban sekarang ini, banyak kemungkinan dapat terjadi. Seperti yang aku usulkan kepada Panembahan Senapati, maka Madiunpun tentu banyak memasang orang disini. Mungkin Panembahan Mas, tetapi juga mungkin Kecruk Putih yang begitu ingin disebut Panembahan itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Bahkan kemudian Glagah Putih berdesis, "Mungkin salah seorang di antara mereka melihat kita keluar dari istana Kepatihan setelah kemarin ia melihat kita berada diistana Panembahan Senapati sehingga ia telah menghimpun kawan-kawannya untuk mengikuti kita."
"Tepat." jawab Agung Sedayu, "orang yang menawarkan keris itu dapat menjadi isyarat bahwa langkah yang mereka ambil adalah langkah yang mereka anggap benar. Mungkin orang itu mengatakan kepada kawan-kawannya bahwa mereka harus bersiap mengawasi kita." Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, "tetapi mungkin ia memang benar-benar menawarkan kerisnya."
Glagah Putih tersenyum. Diangkatnya wajahnya dan dipandanginya punggung pebukitan. Rakit mereka telah semakin menepi keseberang.
Beberapa saat kemudian maka rakit itupun telah merapat. Orang-orang yang naik rakit yang cukup besar itupun berloncatan turun. Dua orang yang berada di ujung dan dua orang yang lain yang ada di bagian belakang rakit itu serta pedagang keris dan saudagar yang ditawarinya itupun berloncatan turun pula.
Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak tergesa-gesa turun dari rakit. la menunggu ketika rakit itu hampir menjadi kosong sama sekali. Baru keduanya menuntun kudanya turun ketepian setelah memberikan upah yang seharusnya kepada lukang satang yang kebetulan berdiri diujung.
Sambil membenahi pakaiannya, Agung Sedayu dan Glagah Putih sempat melihat orang-orang yang melangkah dipasir tepian yang memang agak luas. Pedagang keris itu masih berjalan bersama saudagar yang ditawari kerisnya. Sementara itu dua orang yang ada di ujung rakit dan dua yang lain yang duduk dibagian belakang berjalan melintas tepian tanpa berpaling berjarak beberapa langkah.
"Marilah." berkata Agung Sedayu kemudian.
Glagah Putih mengangguk. la masih sempat melihat peda"gang gula kelapa menaikkan keranjang-keranjang gula keatas rakit untuk kembali menyeberang ke Timur.
Ketika keduanya melangkah sambil menuntun kudanya di tepian, Glagah Putih bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, "Nampaknya saudagar-saudagar kaya itu tidak berkuda."
Agung Sedayupun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Tentu satu hal yang menarik perhatian."
Glagah Putih tidak menjawab.
Beberapa saat keduanya menuntun kuda nereka ditepian. Namun kemudian Agung Sedayupun berkata, "Marilah. Kita mendahului mereka."
Ternyata Glagah Putih sependapat. Iapun kemudian berkata, "Kita akan mendahului mereka."
Agung Sedayu dan Glagah Putih segera meloncat kepunggung kudanya. Keduanyapun segera meninggalkan tepian itu dan berpacu menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan.
Ternyata orang-orang yang ada di dalam rakit itu tidak banyak memperhatikan keduanya mendahului mereka. Keenam orang yang mendapat perhatian Agung Sedayu dan Glagah Putih itu hanya berpaling sekilas, sebagaimana seorang melihat orang lain yang sama sekali tidak menarik perhatian mereka.
Demikian keduanya naik ke jalan yang menuju langsung ke Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih berkata, "Ternyata mereka tidak memperhatikan kita sama sekali."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kita terlalu berprasangka."
Keduanyapun bahkan tertawa. Di luar sadarnya keduanyapun berpaling ke arah mereka yang masih berjalan di tepian.
Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih yang sudah melepaskan segala macam prasangka itu kembali memperhatikan kedua orang yang berbincang tentang pusaka itu. Ternyata saudagar yang ditawari keris itu telah melepaskan seekor burung merpati yang dengan serta merta telah naik ke udara dan terbang berputaran dengan sendaren yang bergaung diudara. Agung Sedayu dan Glagah Putih sama sekali tidak berhenti. Kudanya berlari terus meskipun tidak sekencang orang berpacu diarena pacuan kuda. Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah berada di bulak panjang menuju padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun keduanya masih mendengar gaung sendaren yang dipasang pada seekor merpati yang terbang berputaran semakin lama semakin tinggi. Dengan demikian maka suaranya terdengar dari jarak yang semakin jauh ketengah-tengah bulak-bulak panjang di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan dari padukuhan-padukuhan yang tersembul di antara bulak-bulak panjang itu.
Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih masih saja meneruskan perjalanan. Bahkan keduanya sama sekali tidak berkisar dari jalan yang memang harus dilaluinya.
"Jika mereka adalah petugas sandi dari Madiun. maka ternyata Mataram telah kalah selangkah. Petugas sandi Mataram memang sudah ada di Madiun. Tetapi tentu belum mampu bekerja seperti orang-orang itu. Meskipun kita belum mampu memecahkan sandi mereka, namun rasa-rasanya kita tahu bahwa mereka akan banyak berhasil." desis Agung Sedayu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Nampaknya ia tidak sependapat dengan Agung Sedayu. Karena itu katanya, "Mereka memang lebih dahulu berbuat. Tetapi apakah hal itu menjamin kelebihan mereka" Jumlah dan langkah yang cepat tidak selalu mendatangkan hasil lebih besar dari yang lebih sedikit dan agak lambat mulai."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun ke"mudian tersenyum sambil menjawab, "Kau benar Glagah Putih. Aku hanya mengatakan secara umum. Tetapi kemungkinan seperti yang kau katakan itu dapat saja terjadi. Mungkin petugas yang akan dikirim dari Mataram akan dapat bekerja lebih halus dan tidak sekasar yang dilakukan oleh orang-orang itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Karena itu, langkah mereka kadang-kadang sia-sia meskipun lebih dahulu mereka lakukan. Sebagaimana juga dilakukan oleh Panembahan Cahya Warastra."
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Kau mampu mengurai persoalan yang termasuk cukup penting Glagah Putih. Nampaknya kau juga berbakat menjadi petugas sandi."
"Aku pernah melakukannya meskipun tugas itu tidak terlalu sulit bersama Raden Rangga." jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata bahwa persahabatannya dengan Raden Rangga telah banyak memberikan pengetahuan kepada Glagah Putih. Peningkatan alas kemampuannya yang bagaikan melonjak tinggi. Kemudian kepekaannya terhadap persoalan-persoalan dan kemampuannya memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya itu. Penalarannya bagaikan diasah menjadi lebih tajam. Demikian pula naluri dan panggraitanya.
Beberapa saat kemudian Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Diamatinya burung merpati yang terbang berputaran dengan sendaren dipunggungnya sehingga suara gaungnya ma"sih saja melingkar-lingkar.
Glagah Putihpun untuk beberapa saat berdiain diri. Iapun memperhatikan burung yang berputaran itu.
"Tentu ada maksudnya." berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.
Beberapa padukuhan telah mereka lewati. Bahkan mereka telah bertemu dengan orang-orang yang telah mereka kenal dan menjawab beberapa pertanyaan. Namun setiap kali mereka berada di bulak panjang, dan apalagi ketika mereka mendekati hutan, maka mereka menjadi lebih berhati-hati.
Agung Sedayu memperlambat derap kudanya ketika ia melihat beberapa orang berdiri di pinggir hutan yang tidak terlalu jauh dari jalan yang mereka lalui. Hutan yang terbentang melebar sampai kekaki pebukitan dan bahkan kemudian memanjat naik kelereng dan punggung bukit itu.
Glagah Putih kemudian telah berkuda disisi Agung Sedayu. Dengan suara berat ia berkata, "Kita belum pernah mengenal mereka. Tentu bukan orang-orang Tanah Perdikan ini."
"Nampaknya memang bukan." jawab Agung Sedayu, "mungkin ada hubungannya dengan sendaren pada burung merpati yang berputaran itu."
Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian iapun berdesis, "Enam orang."
Keduanyapun terdiam. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan orang-orang itu.
"Mereka ternyata membawa alat-alat untuk menebang kayu." berkata Glagah Putih.
"Ya. Tentu mereka berniat kurang baik dengan hutan itu." sahut Agung Sedayu.
Karena itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun justru telah menarik kekang kudanya. Bahkan merekapun kemudian telah berbelok meninggalkan jalan yang mereka lalui, menyusuri padang perdu yang sempit mendekati orang-orang itu.
"Hati-hati Glagah Putih." berkata Agung Sedayu, "aku mempunyai dugaan, bahwa ini sekedar satu jebakan."
Glagah Putih ternyata sependapat, sehingga karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Bahkan Glagah Putih itupun telah siap melakukan apa saja dalam kemampuan puncaknya jika ia harus dengan tiba-tiba menghadapi bahaya.
Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti beberapa langkah dihadapan orang-orang itu. Kemudian tanpa turun dari kudanya Agung Sedayu bertanya, "Ki Sanak, apakah yang kalian lakukan disini?"
Keenam orang itu memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti. Seorang yang nampaknya tertua diantara mereka melangkah maju sambil bertanya, "Siapakah kalian?"
"Aku Agung Sedayu." jawab Agung Sedayu tanpa menyembunyikan dirinya, "aku salah seorang diantara orang-orang muda Tanah Perdikan Menoreh. Yang dibelakangku ini adalah salah seorang diantara anak-anak mudanya."
"Lalu apa maksudmu mendatangi kami." bertanya orang itu.
"Kamilah yang bertanya kepadamu." sahui Agung Sedayu, "siapakah kau dan siapa pula kawan-kawanmu ini. Untuk apa kalian berada disini?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Sebenarnya yang akan kami lakukan bukanlah urusanmu. Tetapi baiklah aku beritahukan, bahwa kami. sekelompok orang yang tidak mempunyai tanah garapan ingin membuka hutan disini untuk kami jadikan sebuah padukuhan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la sadar, bahwa orang-orang itu tentu sekedar membuat persoalan. Namun demikian ia masih harus melihat kebenarannya. Karena itu, maka katanya, "Ki Sanak. Tanah ini adalah tanah yang termasuk lingkungan Tanah Perdikan Menoreh."
Orang-orang itu tiba-tiba saja tertawa. Yang tertua diantara mereka berkata, "Jangan mengigau orang muda. Tanah Perdikan Menoreh adalah tanah yang sudah ditangani dan digarap menjadi tanah persawahan dan pategalan. Tanah yang masih ditumbuhi hutan yang lebat di lereng bukit ini tentu bukan lingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Siapapun berhak membuka hutan dan tinggal didalamnya untuk membuka sebuah padukuhan. Jika padukuhan itu menjadi ramai, kami berhak menentukan, apakah kami akan menggabungkan diri dengan Tanah Perdikan ini atau Kademangan yang lain disebelah Tanah Perdikan ini atau bahkan mohon pengakuan untuk berdiri sendiri. Jika bukan diwisuda menjadi sebuah Kademangan bahkan akan menjadi sebuah Tanah Perdikan baru disini."
"Ki Sanak." berkata Agung Sedayu, "aku tahu bahwa Ki Sanak mengerti bahwa yang Ki Sanak katakan itu tidak akan pernah dapat diujudkan. Apalagi disatu lingkungan yang sudah memiliki pemerintahan yang tertib dan diakui oleh tataran pemerintahan yang lebih tinggi tingkatnya. Karena itu, aku ingin tahu, apakah yang sebenarnya Ki Sanak maksudkan dengan langkah-langkah yang kalian lakukan itu" Sekedar berkelakar atau satu usaha untung-untungan untuk mengisi waktu luang atau Ki Sanak dengan sengaja menantang kekuatan di Tanah Perdikan Menoreh dengan cara yang aneh ini?"
Wajah orang tertua diantara mereka itupun menjadi tegang. Namun kemudian katanya, "Jadi kau menganggap bahwa kami sengaja membuat persoalan?"
"Ya Ki Sanak." jawab Agung Sedayu, "adalah mustahil bahwa Ki Sanak belum tahu paugeran untuk membuka hutan di lingkungan pemerintahan tertentu."
"Apa bedanya dengan yang dilakukan oleh Panembahan Senapati atas Mentaok?" tiba-tiba saja orang itu bertanya.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Persoalannya justru semakin jelas, bahwa tidak seorangpun dapat membuka hutan menurut kehendaknya sendiri. Panembahan Senapati tidak berani membuka alas Mentaok sebelum dengan resmi Kangjeng Sultan Pajang menyerahkan Alas Mentaok itu kepada Ki Gede Pemanahan."
"Tidak. Panembahan Senapati seharusnya tidak dapat membuka Alas Mentaok atas ijin Sultan Pajang." berkata orang itu.
"Jadi" Siapakah yang berhak memberikan ijin menurut pendapatmu?" bertanya Agung Sedayu.
"Alas Mentaok adalah tlatah Mangir." jawab orang itu.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Persoalannya ternyata tidak diduganya karena menyangkut Mangir. Namun Agung Sedayupun kemudian berpendapat, bahwa orang-orang itu adalah petugas sandi dari Madiun yang sengaja ingin melibatkan pihak lain. Tetapi tentu bukan atas perintah Panem"bahan Mas. Yang licik seperti ini tentu hasil pikiran Panembahan Cahya Warastra itu.
Namun akhirnya Agung Sedayu berkata, "Ki Sanak. Apakah dari Kangjeng Sultan Pajang atau dari Mangir atau dari manapun, bukankah Ki Sanak juga mengakui, bahwa sebaiknya membuka hutan itu harus ada ijin" Jika Ki Sanak dapat menganggap Panembahan Senapati melakukan kesalahan, kenapa kau juga melakukannya" Bukankah itu juga satu kesengajaan untuk menimbulkan persoalan atau bahkan satu tantangan bagi kekuasaan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh."
Wajah orang itu menjadi tegang. Namun jawabnya, "Aku tidak peduli. Aku ingin membuka hutan ini. Jika kau menghalangi kami, maka kami akan menyingkirkanmu untuk selamanya."
"Bukankah perselisihan ini yang kau kehendaki setelah kau mendapat isyarat dengan merpati yang memakai sendaren itu" Yang dilepaskan oleh orang-orang berakit dengan pertanda sebilah keris ligan. Aku memang mengagumi keris itu. Tentu keris yang sangat baik dan mahal." berkata Agung Sedayu.
Orang tertua diantara mereka yang berada dipinggir hutan itu menggeram. Katanya, "Kau jangan mengigau seperti itu. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Tetapi sebaiknya kau pergi saja. Katakan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa kami membuka hutan disini tanpa menunggu ijinnya. Jika Ki Gede marah, biarlah ia menemui kami."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun jawabnya ternyata diluar dugaan. Bahkan Glagah Putihpun terkejut.
Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, "Baiklah. Aku akan menghadap Ki Gede dan memberikan laporan tentang rencana kalian membuka hutan disini."
Wajah orang-orang itu justru menjadi semakin tegang. Bahkan hampir diluar sadarnya beberapa orang diantara mereka berkata dengan serta merta, "Tunggu."
Yang tertua diantara merekapun berkata pula dengan tergesa-gesa, "Kau akan kemana?"
"Bukankah kau minta aku melaporkan hal ini kepada Ki Gede?" jawab Agung Sedayu, "aku akan melakukannya."
"Pengecut. Jika kau memang salah seorang unsur pimpinan di Tanah Perdikan, maka kau harus berani mengambil tindakan." geram yang tertua diantara keenam orang itu.
"Tidak. Aku tidak akan mengambil tindakan sendiri. Biarlah Ki Gede yang menentukan, meskipun mungkin kami yang harus melaksanakan." jawab Agung Sedayu.
"Itu tidak perlu pengecut." orang itu berteriak, "bukankah kau Agung Sedayu" Kau tentu berani mengambil tindakan sendiri tanpa persetujuan siapapun juga."
"Itu tidak mungkin." jawab Agung Sedayu, "maaf, kami akan pergi."
Orang-orang itu justru menjadi kebingungan sesaat. Glagah Putih pun sempat menjadi bingung pula. Meskipun kakaknya seorang yang sering ragu-ragu mengambil tindakan, telapi menghadapi orang-orang yang demikian, biasanya Agung Sedayu tidak akan begitu saja pergi. Sehingga dengan demikian Glagah Putihpun justru termangu-mangu diatas punggung kudanya.
Karena Glagah Putih kebingungan, maka Agung Sedayupun berkata, "Marilah. Kita harus melaporkan kepada Ki Gede. Adapun yang diperintahkan oleh Ki Gede, kita akan melakukannya."
Glagah Putih memang memerlukan penjelasan. Tetapi ia ingin mendapat penyelesaian di perjalanan saja. Karena itu, maka ia tidak bertanya.
Tetapi ketika kuda-kuda mereka mulai bergerak, keenam orang itu telah berlari-lari mengepung mereka. Pemimpin mereka itupun berteriak, "Pengecut. Jangan pergi. Kami ingin membunuh kalian disini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bukankah aku menuruti kehendak kalian?"
Yang tertua, yang menjadi pemimpin dari keenam orang itupun menggeram, "Cukup. Aku tidak peduli tanggapan Ki Gede. Yang penting, kami membunuh kalian berdua. Itu saja."
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, "Nah, bukankah itu yang kau maksudkan. Kau sekedar mencari alasan untuk membunuh kami. Kenapa kalian tidak berterus terang?"
"Aku sudah berterus terang. Kalian harus mati disini." geram orang itu.
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau telah diyakini oleh kawan-kawanku, bahwa kau adalah orang terpenting di Tanah Perdikan ini. Tanpa kau Ki Gede tidak mempunyai arti apa-apa. Karena itu, maka kaulah yang harus disingkirkan lebih dahulu. Kemudian Glagah Putih itu. Beruntunglah kami bahwa kau dan Glagah Putih bersama-sama ada disini sekarang ini." berkata orang tertua itu.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia tidak sedang merenungi ancaman orang-orang itu. Tetapi ia merasa betapa tumpulnya tanggapannya atas sikap Agung Sedayu. Untunglah bahwa ia masih belum bertanya kenapa Agung Sedayu justru akan pergi meninggalkan orang-orang itu. Ternyata bahwa Agung Sedayu berhasil memancing sikap mereka yang sebenarnya, sehingga bukan Agung Sedayulah yang telah memaksa mereka untuk bertempur. Tetapi Agung Sedayu harus membela dirinya karena orang-orang itu memang akan membunuhnya.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian telah meloncat turun dari kudanya. Glagah Putihpun telah melakukan hal yang sama. Iapun telah meloncat turun pula. Bahkan Glagah Putih telah mengambil kembali kuda Agung Sedayu dan menambatkan bersama kudanya pada sebatang pohon di pinggir hutan itu.
Sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih yang begitu tenang dan meyakinkan itu telah membuat keenam orang itu harus mengakui, bahwa kedua orang itu memang berilmu sangat tinggi, sehingga mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun telah bertanya, "Siapakah sebenarnya kalian Ki Sanak?"
"Kami orang-orang Mangir." jawab yang tertua.
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Aku tidak percaya. Kami sering berhubungan dengan orang-orang Mangir dalam perdagangan hasil bumi, hasil kerajinan dan tenun. Tidak ada kesan sedikitpun yang terdapat pada kalian dengan sikap ramah orang-orang Mangir."
"Disaat-saat berdagang kami memang orang-orang yang ramah. Kau tahu, bahwa jika dalam hubungan perdagangan kita tidak bersikap ramah, maka dagangan kita akan tidak laku. Tetapi dalam persoalan lain, kami dapat bersikap sedikit teras." berkata pemimpin sekelompok orang itu.
Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Jangan menodai nama orang-orang Mangir. Aku tahu, kau berusaha untuk membuat persoalan antara Tanah Perdikan ini dengan Mangir. Tetapi tentu tidak semudah itu. Kami tidak terlalu bodoh untuk begitu saja menelan keterangan itu."
"Itu terserah kepadamu." jawab orang itu, "tetapi kami sudah siap membunuhmu."
"Kalian tentu orang-orang Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra. Dengan licik kau berusaha untuk mengobarkan persoalan di Mataram dan sekitarnya untuk melemahkan Mataram. Tetapi seharusnya kau bertindak lebih hati-hati. Kau dapat berbuat lebih halus sehingga tidak nampak niatmu yang sebenarnya. Dengan cara yang kasat itu, maka usahamu tidak akan menghasilkan apa-apa." berkata Agung Sedayu.
"Cukup." potong oiang itu, "siapapun kami, kalian berdua akan mati."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun rasa-rasanya keringatnya belum kering ketika itu harus bertempur di tepian Kali Opak, maka kini ia sudah harus menghadapi orang-orang yang akan membunuhnya pula.
Namun Agung Sedayu masih sempat bertanya, "Ki Sanak. Apakah kalian datang atas perintah Bango Lamatan atau Bandar Anom atau langsung dari Kecruk Putih yang bergelar Panembahan Cahya Warastra."
"Aku tidak mengenal nama-nama itu." jawab orang yang tertua diantara mereka.
Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berkata, "Kau terlalu cepat menjawab pertanyaanku. Karena itu, aku justru curiga bahwa kau begitu tergesa-gesa ingin ingkar, Ki Sanak. Sebaiknya Ki Sanak berpikir ulang. Apakah untungnya Ki Sanak memancing perselisihan dengan aku. Aku bukan orang penting, sehingga terlalu berharga untuk mendapat perhatian secara khusus. Barangkali Ki Sanak lebih baik berbicara dengan Ki Gede atau dengan para pejabat di Mataram."
"Aku tidak memerlukan siapapun. Aku datang untuk membunuh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Itu sudah cukup." jawab orang itu.
"Kau orang-orang aneh. Kau telah membuang terlalu banyak waktu untuk melakukan pekerjaan yang tidak berharga ini. Maksudku, karena aku tidak berharga, maka tugas kalianpun menjadi tidak berharga pula. Apalagi jika kalian kemudian mengalami kesulitan untuk melakukan tugas yang tidak berharga itu." berkata Agung Sedayu yang dengan tergesa-gesa disambung, "Bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi sudah tentu bahwa akupun akan berusaha untuk mempertahankan diri."
Orang yang tertua diantara keenam orang itupun berkata dengan garang, "Persetan dengan kesombonganmu. Tetapi kau memang harus mati."
Agung Sedayu merasa bahwa ia tidak akan dapat menghindarkan diri lagi dari benturan kekerasan. Namun sekali lagi ia ingin mendapat penjelasan, "Ki Sanak. Aku memang tidak akan mengelakkan diri dari kalian. Tetapi aku ingin mendapat penjelasan. Siapakah yang aku hadapi ini."
"Penjelasanku sudah cukup banyak." jawab orang itu, "aku orang Mangir yang ingin meluaskan tanah persawahan kami yang menjadi semakin sempit karena tingkah laku Panem"bahan Senapati di Mataram."
"Jika demikian kenapa kau telah menimpakan persoalannya kepada Tanah Perdikan Menoreh. Kenapa kau tidak saja langsung berbuat demikian di Mataram?" desak Agung Sedayu.
"Tanah Perdikan ini telah menjadi pengikut setia dari Panembahan Senapati. Bahkan orang-orang Tanah Perdikan ini rasa-rasanya telah menghambakan dirinya, tanpa sempat mempergunakan nalar budinya lagi." berkata orang itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Semakin sering kau sebut bahwa kau orang Mangir, aku menjadi semakin yakin, bahwa kau adalah bagian dari kegiatan Kecruk Putih yang lebih senang disebut Panembahan itu. Tetapi aku percaya bahwa kau bukan datang atas perintah Bango Lamatan atau Bandar Anom, karena orang-orang itu tentu baru saja kembali dari tugasnya dalam keadaan yang tidak diharapkan."
"Cukup." potong orang yang tertua diantara mereka, "kau tidak usah banyak bicara. Menyerahlah."
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun orang itu telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk menyerang.
Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lam. Bersama Glagah Putih maka iapun telah mempertahankan dirinya. Tetapi sejak benturan pertama, Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut. Orang-orang itu bukan orang-orang berilmu tinggi sebagaimana diduganya semula. Namun orang-orang itu ternyata adalah sekelompok orang yang sedikii memiliki bekal olah kanuragan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk beberapa saat justru berusaha untuk melayani saja orang-orang itu. Dengan berloncatan kian kemari, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih selalu luput dari gapaian ujung-ujung scnjata mereka.
"Setan." geram orang tertua, "jangan berlari-lari saja."
Agung Sedayu dan Glagah Putih masih belum melawan dengan kemampuan yang melampaui tataran kemampuan orang-orang itu. Keduanya masih berusaha untuk mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun akhirnya Agung Sedayu tidak mau bcrteka-teki lebih lama lagi. Dengan isyarat, maka Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih untuk mengakhiri permainan yang memang agak membingungkannya itu.
Demikianlah maka sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meningkatkan ilmunya selapis. Karena itu, maka keenam orang itu menjadi bingung. Bahkan sejenak kemudian merekapun sudah tidak berdaya lagi. Dua orang terlempar jatuh dan mengalami kesulitan untuk bangkit dengan cepat. Dua orang yang lain telah mengalami ketukan pada simpul-simpul syarafnya sehingga mereka seakan-akan telah kehilangan kekuatan mereka, sementara dua orang yang lain, yang berusaha melarikan diri telah ditangkap dan ditarik kembali oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Keduanya telah didorong sehingga terduduk diantara kawan-kawannya yang tidak berdaya, karena dua orang yang terlempar itupun kakinya seakan-akan tidak mempunyai kekuatan lagi dan tulang belakangnya serasa terkilir.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berdiri sambil mengacu-acukan pedang yang mereka rampas dari lawan-lawannya itu, keenam orang itu menjadi ketakutan. Sambil berdiri diatas kakinya yang renggang, Agung Sedayu bertanya dengan nada tinggi, "Siapa sebenarnya kalian. Jika kalian tidak berterus terang, maka kalian akan aku ikat ditengah-tengah hutan itu. Meskipun hutan ini tidak lagi sangat lebat, tetapi masih terdapat beberapa binatang buas yang akan dapat mengkoyak-koyakkan kulit daging kalian."
Wajah keenam orang itu menjadi semakin pucat. Ketika Agung Sedayu semakin mendesak mereka, maka yang tertua di"antara mereka menjawab, "Kami memang orang-orang Mangir."
"Kalian benar-benar orang Mangir?" desak Agung Sedayu.
"Ya. Kami memang benar-benar orang Mangir." jawab yang tertua.
"Kenapa kalian melakukan hal ini" Aku yakin, bahwa bukan pemimpin kalian di Mangir yang memerintahkan kalian berbuat demikian." berkata Agung Sedayu.
Orang tertua itu menundukkan wajahnya.
"Katakan Ki Sanak." desak Agung Sedayu.
Orang-orang itu tidak segera mengatakan sesuatu. Nampaknya ia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata yang nampaknya sudah tersusun didadanya. Namun ketika ujung pedang yang dibawa oleh Agung Sedayu itu bergerak-gerak didepan wajahnya, maka orang itu menjadi semakin ketakutan. Dengan suara gemetar ia menjawab, "Memang bukan Ki Sanak."
"Jadi kenapa kau berniat membuat persoalan dengan Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya Agung Sedayu pula.
Rasa-rasanya mulut orang itu masih saja diberati timah.
"Baik." berkata Agung Sedayu kemudian, "jika kau tidak mau mengatakan maka kalian terpaksa kami perlakukan sebagai pembunuh-pembunuh."
"Jangan. Jangan. Bukan niat kami sendiri." berkata orang tertua itu dengan terbata-bata. "Kami hanya melakukannya."
"Nah. Katakan." geram Agung Sedayu.
Jilid 242 "KAMI memang orang-orang Mangir. Dua orang telah membujuk kami untuk melakukan hal ini. Ada dua hal yang mendorong kami untuk memenuhi keinginan orang itu. Pertama, orang itu telah membakar harga diri kami, orang-orang Mangir yang seakan-akan tidak dihargai sama sekali oleh Panembahan Senapati. Kedua, kami memang mendapat upah untuk berbuat seperti ini." berkata orang tertua itu.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun sebelum ia berkata sesuatu Glagah Putih tiba-tiba saja telah melemparkan pedangnya. Lemparan seorang yang memang berilmu tinggi.
Namun agaknya sasaran lemparan itu yang berdiri dibelakang semak-semak hutan juga mampu bergerak cepat. Pedang itu tidak mengenainya. Dengan cepat sasaran pedang Glagah Putih mengelak. Namun kemudian melarikan diri, hilang di dalam hutan.
Agung Sedayu yang sedang memperhatikan orang tertua dari keenam orang itu ternyata terkejut. Ia sempat melihat bayangan yang menghilang dibalik rimbunnya dedaunan.
"Jangan kau kejar Glagah Putih." desis Agung Sedayu.
"Agaknya orang itu ingin melemparkan semacam pisau-pisau kecil atau paser beracun untuk membunuh orang-orang itu." desis Glagah Putih.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dakam. Kemudian kepada orang-orang yang ketakutan itu ia berkata, "Nah, kau lihat. Kau adalah umpan yang memang dengan sengaja di jerumuskan ke dalam kesulitan seperti ini. Apakah kau sebelumnya tidak mengerti apa yang kau lakukan itu?"
Orang itu menjadi semakin gemetar. Namun Agung Sedayu berkata, "Jangan takut. Orang itu tidak akan berani mendekat lagi."
"Tetapi, kenapa mereka berbuat begitu?" suara orang itu semakin gemetar, sementara kawan-kawannyapun bertambah ketakutan.
Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak membiarkan mereka menjadi semakin gemetar. Karena itu, maka merekapun telah melepaskan hambatan bagi kedua orang yang telah mereka sentuh simpul-simpul syarafnya, sehingga syaraf dan nadi merekapun telah terbuka dengan wajar.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keenam orang itupun kemudian telah dibawa oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih ke bulak persawahan, sehingga jika ada orang yang mendekat, mereka akan dengan segera mengetahui.
Sementara itu, menurut keterangan orang-orang itu, ternyata bahwa mereka memang orang-orang yang tidak tahu menahu tentang apa yang mereka lakukan. Kepada Glagah Putih, Agung Sedayu berdesis, "Itulah kelebihan Panembahan Cahya Warastra."
Glagah Putih mengangguk-angguk. lapun sependapat, bahwa keenam orang itu telah menjadi semacam alat bagi orang-orang yang digerakkan oleh Panembahan Cahya Warastra untuk menimbulkan persoalan-persoalan di Mataram dan sekitarnya. Ketidak tenteraman, kegelisahan dan bahkankeresahan.
"Tetapi kenapa sasaran pertama di Tanah Perdikan ini langsung pada kakang Agung Sedayu?" bertanya Glagah Putih didalam hatinya. "Agaknya orang-orang itu akan langsung membakar persoalan pada pokok batangnya, Agung Sedayu dan dirinya sendiri."
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah bertanya kepada orang-orang itu, "Nah. Ki Sanak. Kalian lalu mau apa?"
Orang-orang itu menjadi kebingungan. Mereka saling berpandangan dan untuk beberapa saat mereka justru terdiam.
Agung Sedayulah yang kemudian bertanya, "Apakah kalian kembali ke Mangir?"
Pertanyaan itu telah menimbulkan kebingungan pula. Bahkan orang tertua diantara mereka itupun bertanya, "Aku tidak tahu maksudmu."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Setelah langkah kalian yang tidak kalian sadari ini, maka kalian ingin berbuat apa" Kembali ke Mangir atau apa lagi?"
"Tetapi apakah yang akan kalian perbuat atas, kami?" bertanya orang itu.
"Apa" Kami tidak akan berbuat apa-apa." jawab Agung Sedayu.
"Tetapi kami sudah melakukan kesalahan." berkata orang itu pula.
Agung Sedayu justru termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Apakah sebelumnya kau pernah mendengar tentang aku dan Glagah Putih?"
Orang itu menggeleng. Katanya, "Orang yang datang kepadaku dengan membakar harga diriku sebagai orang Mangir dan memberikan upah itulah yang berceritera tentang Agung Sedayu dan sedikit tentang Glagah Putih. Tetapi orang itu tidak berbicara tentang tingkat kemampuanmu yang sangat tinggi. Kami mengira bahwa kami berenam akan dapat mengalahkan kalian."
"Sudahlah." berkata Agung Sedayu, "Kalian memang bersalah. Tetapi kesalahan kalian terutama adalah karena kebodohan kalian. Karena itu, kami tidak berniat untuk mengambil tindakan apapun atas kalian. Kembalilah ke Mangir dan katakan kepada kawan-kawan kalian bahwa langkah yang telah kalian ambil ternyata salah. Karena itu, kawan-kawan kalian jangan melakukan kesalahan yang sama sebagaimana kalian lakukan."
Tetapi diluar dugaan yang tertua diantara mereka berkata, "Kami tidak berani kembali ke Mangir."
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Ternyata kami memang akan dikorbankan. Jika benar orang yang dihutan itu akan membunuh kami, maka mereka tentu akan melakukannya bila kami kembali." berkata orang itu.
"Tidak ada gunanya. Jika mereka akan membunuhmu, sekedar untuk menutup mulutmu agar tidak berbicara terlalu banyak tentang dirimu. kawan-kawanmu dan peristiwa yang pernah kau alami. Tetapi kau sudah terlanjur mengatakannya." berkata Agung Sedayu.
"Tetapi mereka tentu menganggap bahwa kami telah berkhianat." jawab orang itu.
"Tidak. Kalian bukan apa-apa. Jika mereka memang berniat membunuhmu, maka tentu bukan kalian yang mendapat tugas untuk melakukannya. Orang-orang itu tahu, bahwa kalian tidak akan dapat membunuhku. Justru akulah yang diharapkan membunuh kalian, sehingga persoalannya menjadi berkembang. Orang-orang Mangir akan marah, sementara orang-orang Tanah Perdikan menjadi gelisah dan menjadi curiga." berkata Agung Sedayu.
"Tetapi kami tidak berani kembali. Mereka dapat membunuh kami apapun alasannya." berkata orang itu.
"Baiklah." jawab Agung Sedayu kemudian, "dalam dua tiga hari ini kalian tinggal di Tanah Perdikan. Pada saatnya, kami akan mengantarmu kembali ke Mangir."
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Orang tertua diantara mereka itupun kemudian berkata, "Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian tidak menghukum kami. Dan kalian bersedia membawa kami ke Tanah Perdikan."
Agung Sedayu yang sudah menggerakkan bibirnya terpotong oleh salah seorang diantara mereka yang berkata dengan serta merta, "Tetapi apakah yang akan kami alami di Tanah Perdikan" Orang-orang marah yang menyongsong kami dengan senjata ditangan atau apa lagi?"
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Kami bukan orang-orang yang mempunyai kesenangan yang demikian. Apakah orang-orang Mangir sering berbuat demikian?"
Orang itu menggeleng. Karena itu maka Agung Sedayupun tersenyum sambil berkata, "Apakah ada perbedaan watak yang sangat jauh diantara kita" Antara Mangir dan Tanah Perdikan Menoreh?"
Orang itu terdiam. Demikianlah maka sejenak kemudian iring-iringan itupun telah bergerak menuju ke padukuhan induk. Karena keenam orang itu tidak berkuda, maka perjalanan merekapun menjadi lamban. Di perjalanan itu Agung Sedayu dan Glagah Putih mendengar semakin banyak tentang orang-orang Mangir itu. Mereka memang menunggu isyarat dengan seekor burung merpati yang diberi sendaren.
Semuanya memang berjalan sebagaimana direncanakan. Tetapi keenam orang itu tidak tahu, bahwa menurut urutan peristiwa yang direncanakan oleh orang-orang yang membujuk mereka untuk melakukan pekerjaan itu bahkan memberikan upah kepada mereka adalah, mereka berenamlah yang akan mati.
Keenam orang itu mengangguk-angguk ketika mereka mendengar sekali lagi bahwa kematian mereka akan memancing kemarahan orang-orang Mangir, sehingga timbul permusuhan antara Mangir dan Tanah Perdikan Menoreh.
"Ketika kami tidak membunuh kalian, maka seseorang telah berusaha melakukannya. Kecuali untuk menutup mulut kalian, juga usaha untuk memberikan kesan, seakan-akan kalian telah dibunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih." berkata Agung Sedayu.
Orang-orang itu mengangguk-angguk pula. Tetapi mereka tidak mengatakan sesuatu lagi.
Diperjalanan, beberapa orang yang bertemu dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih selalu menyapanya dan bertanya ten"tang sekelompok orang yang bersamanya. Namun Agung Sedayu selalu menjawab, "Sahabat-sahabat kami. Mereka akan mengunjungi kami dirumah. Adalah kebetulan kami bertemu di perjalanan."
Orang-orang yang bertanya biasanya tidak mempersoalkan lagi. Tetapi rasa-rasanya mereka mengerti, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada orang-orang itu.
Orang-orang yang mengaku orang Mangir itu memang merasa heran melihat sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih yang benar-benar tidak menghukum mereka. Bahkan sampai kepadukuhan indukpun tidak terdapat tanda-tanda permusuhan dari orang-orang Tanah Perdikan. Agung Sedayu masih saja melindungi mereka dengan menyebut mereka sebagai sahabat sahabatnya.
Namun Agung Sedayu tidak membawa keenam orang itu kerumahnya.Agung Sedayu langsung menuju ke rumah Ki Gede untuk menyerahkan orang-orang itu kepadanya.
Ki Gede yang mendapat keterangan bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih telah kembali bersama-sama dengan sekelompok orang yang tidak dikenal, segera telah menemuinya di pendapa. Dengan singkat Agung Sedayu melaporkan tentang perjalanannya ke Jati Anom. Belum seluruhnya, tetapi beberapa hal yang penting diperjalanan kembali ke Tanah Perdikan telah dilaporkannya pula, termasuk keenam orang yarig mengaku datang dari Mangir itu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Dipandangi keenam orang itu satu demi satu. Namun seperti Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka Ki Gede itu juga tidak bersikap bermusuhan dengan keenam orang itu.
Meskipun demikian Agung Sedayu telah berkata kepada keenam orang itu dengan nada rendah, "Tetapi Ki Sariak. Kami minta maaf bahwa kami terpaksa menempatkan Ki Sanak berenam dalam tempat tertutup yang khusus untuk melindungi Ki Sanak dari niat buruk orang-orang yang telah mengumpankan Ki Sanak itu."
Keenam orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang dapat memberikan arti yang bermacam-macam bagi sikap Agung Sedayu itu. Mungkin Agung Sedayu benar-benar ingin melindungi mereka, tetapi kemungkinan lain adalah bahwa Agung Sedayu telah menahan mereka untuk pada suatu saat diadili dihadapan orang-orang Tanah Perdikan itu. Tetapi apapun yang akan terjadi, mereka tidak akan dapat mengelak lagi.
Baru ketika keenam orang itu sudah dimasukkan kedalam bilik yang khusus, dibawah penjagaan yang cukup kuat untuk benar-benar melindungi mereka, maka Agung Sedayu dapat memberikan laporan yang lengkap termasuk rencananya untuk menemui Ki Waskita yang akan diminta hadir dua hari lagi di Tanah Perdikan itu.
Ki Gede mengangguk-angguk. Agaknya di Tanah Perdikan itu akan datang tamu orang-orang penting, termasuk Ki Patih Mandaraka. Sehingga dengan demikian maka Tanah Perdikan itu harus benar-benar mempersiapkan diri. Bukan saja menyediakan tempat untuk menginap para tamu, makan serta minum, tetapi juga Ki Gede harus menciptakan suasana yang tenang dan sesuai bagi kepentingan tamu-tamunya itu.
Apalagi diantara para tamu itu akan terdapat seorang yang bertugas menegaskan usaha penyusunan satu kekuatan yang menyatu dibawah satu jalur perintah di Tanah Perdikan ini termasuk didalamnya kekuatan beberapa Kademangan di sekitar Tanah Perdikan ini dan untuk mengatur hubungan dengan pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Kita harus membuat persiapan-persiapan." berkata Ki Gede.
"Ya Ki Gede." jawab Agung Sedayu, "besok kita harus sudah mulai. Nanti malam kita akan berbicara dengan para bebahu dan beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan."
"Nanti malam kau dan Glagah Putih harus memberikan penjelasan kepada mereka." berkata Ki Gede.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Gede. Biarlah besok saja aku pergi menemui Ki Waskita."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata hampir kepada diri sendiri, "jika ada Ki Waskita, agaknya aku mempunyai kawan untuk berpikir."
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ia melihat keragu-raguan pada Ki Gede. Jika ia berharap kehadiran Ki Waskita, maka pembicaraan dengan para bebahu dan para pemimpin pengawal baru akan dapat dimulai besok siang atau sore. Dengan demikian maka mereka akan kehilangan waktu sehari.
Karena Agung Sedayu tidak segera menyahut, maka Ki Gede itupun telah bertanya, "Bagaimana menurut pendapatmu?"
Agung Sedayu sendiri juga ragu-ragu. Tetapi iapun telah menyatakan pendapatnya, "Sebaiknya besok saja aku pergi, Ki Gede. Kita dapat memanfaatkan waktu malam nanti. Besok jika Ki Waskita datang, kita akan dapat membenahi jika ada pikiran-pikiran baru yang lebih baik."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Agung Sedayu. Jika demikian, kita tidak menunggu Ki Waskita."
Namun Agung Sedayu menyambung, "Apakah Ki Gede tidak berkeberatan jika aku mengajak Ki Jayaraga untuk ikut berbicara nanti malam?"
"Tentu." Jawab Ki Gede, "aku senang sekali menerima sumbangan pikiran dari siapapun juga, termasuk dari Ki Jayaraga. Bahkan aku tidak berkeberatan untuk menerima Sekar Mirah dalam pertemuan itu."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Biarlah Sekar Mirah menunggu rumah."
Ki Gedepun tersenyum pula.
Demikianlah, maka Agung Sedayu telah minta diri untuk pulang dahulu kerumahnya bersama Glagah Putih. Sekali lagi ia menitipkan keenam orang yang dibawanya dari pinggir hutan.
"Orang itu penting bagi kita." berkata Agung Sedayu kemudian.
Ki Gede mengangguk-angguk sambil menjawab, "Para pengawal telah menempatkan orang-orang khusus untuk mengawasinya."
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian meninggalkan rumah Ki Gede, maka Ki Gede telah memerintahkan beberapa orang untuk mengundang para bebahu dan para pemimpin pengawal.
Dirumahnya, Agung Sedayupun telah menceriterakan pula perjalanannya kepada Sekar Mirah. Diceriterakan pula tentang beberapa orang yang mengaku dari padepokan Bukit Kapur. Kemudian utusan langsung Panembahan Cahya Warastra yang menemui Kiai Gringsing di Kali Opak sebagai kelanjutan kehadiran orang-orang Bukit Kapur itu. Terakhir Agung Sedayu berkata, "Tanah Perdikan ini akan segera menjadi ramai karena kehadiran beberapa orang penting termasuk Ki Patih Mandaraka. Karena itu maka Tanah Perdikan ini harus menciptakan satu suasana yang baik bagi pertemuan itu."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Gede tentu akan mengambil langkah-langkah penting untuk itu."
"Malam nanti Ki Gede akan bertemu dengan para bebahu para pemimpin pengawal serta orang-orang tua. Aku dan Glagah Putih diminta untuk hadir bersama Ki Jayaraga." berkata Agung Sedayu.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Ki Gede memang harus bertindak cepat.
"Dimana Ki Jayaraga sekarang?" bertanya Agung Sedayu.
"Masih disawah." jawab Sekar Mirah, "Ki Jayaraga telah membuat sebuah kolam disela-sela kotak-kotak sawah. Agaknya ia telaten menunggui kolamnya yang diberinya bibit ikan gerameh."
"Ia harus hadir dalam pertemuan nanti malam." berkata Agung Sedayu.
"Biasanya ia pulang sebelum senja." jawab Sekar Mirah.
"Anak itu ada dimana?" bertanya Glagah Putih karena ia tidak melihat pembantu rumah itu.
Sekar Mirah tersenyum. Katanya, "Ia adalah pembantu Ki Jayaraga yang paling setia. Ia tidak saja masih senang datang kesungai malam hari, tetapi ia juga senang sekali duduk ditepi kolam Ki Jayaraga sambil merenungi ikan-ikan yang berenang di dalam air."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Nampaknya anak itu memang tidak dapat dipisahkan dari air dan ikan.
Sebenarnyalah ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih selesai mandi dan membenahi diri, maka Ki Jayaraga dan anak pembantu rumah itu telah datang. Ki pundak Ki Jayaraga tergantung cangkul. Sementara itu ditangannya digenggamnya sabit dan sebuah keranjang kecil yang kosong. Sebuah caping yang lebar terletak dikepalanya. Tidak seorangpun yang mengira, bahwa orang itu adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang luas dan ilmu yang tinggi.
Agung Sedayu tidak segera mengatakan kepada Ki Jayaraga bahwa ia akan diajak menghadiri pertemuan di rumah Ki Gede. Dibiarkannya Ki Jayaraga membenahi diri setelah mandi dan sejenak kemudian mereka telah duduk diamben menghadapi nasi hangat dengan rempeyek udang dan pecel lele. Sambil makan, Agung Sedayu sempat mengajak Ki Jayaraga untuk sebentar lagi pergi bersamanya ke rumah Ki Gede.
"Apakah kehadiranku diperlukan?" bertanya Ki Jayaraga.
"Kenapa tidak" Ki Jayaraga termasuk seorang tua seangkatan dengan Ki Gede. Bahkan karena Ki Jayaraga pernah mengembara, maka agaknya Ki Jayaraga mempunyai pengalaman yang cukup luas. Mungkin ada sesuatu yang dapat Ki Jayaraga sumbangkan kepada pertemuan itu. Atau jika tidak, Ki Jayaraga akan dapat mengikuti perkembangannya untuk selanjutnya, karena mungkin Tanah Perdikan ini akan menjadi tempat yang cukup penting." berkata Agung Sedayu.
Akhirnya Ki Jayaraga tidak menolak. Katanya, "Baiklah. Aku akan pergi."
"Terima kasih." desis Agung Sedayu sambil tersenyum, "Ki Jayaraga kemudian akan mempunyai kewajiban yang tentu akan lebih luas dari sekedar pergi ke sawah dan membuat kolam ikan."
Tetapi sambil menarik nafas Ki Jayaraga berkata, "Sebenarnya aku ingin hidup tentang seperti sekarang ini. Bermain-main dengan sawah dan kolam. Bibit padi dan bibit ikan gerameh. Aku sudah tua untuk mencampuri persoalan-persoalan lain yang nampaknya masih akan berkembang. Persoalan yang lebih baik ditangani oleh orang-orang muda."
Agung Sedayu justru tertawa sambil berkata, "Tetapi menurut pendapatku, Guru agak lebih tua dari Ki Jayaraga."
Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk.
Setelah Sekar Mirah menyingkirkan mangkuk dan sisa makanan mereka, maka Agung Sedayupun telah berbenah diri. Namun ternyata sesuatu terasa bergetar dihatinya. Ketika ia membuka pintu dan melangkah keluar, dilihatnya malam mulai turun. Halaman rumahnya nampak gelap meskipun di regol telah dipasang oncor minyak.
Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun telah siap pula untuk berangkat. Sedangkan Sekar Mirah juga berdiri dipendapa. Dihalaman pembantu rumah itu bergumam di belakang Glagah Putih, "Kau tentu akan berkata sibuk sekali."
Glagah Putih berpaling. Katanya, "Bukankah kita sudah mempunyai belumbang ikan."
"Kita ?" anak itu mencibirkan bibirnya, "kita siapa" Kau kira kau ikut memiliki?"
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Tetapi Ki Jayaraga membuat kolam itu untukku."
"Bohong." geram anak itu.
Glagah Putih tertawa tertahan, sehingga semua orang berpaling kepadanya.
"Kau apakan anak itu?" bertanya Ki Jayaraga.
Glagah Putih masih tertawa. Namun ia menjawab, "Tidak apa-apa."
Agung Sedayu justru tersenyum karenanya. la tahu bahwa Glagah Putih memang sering mengganggu anak itu.
Namun dalam pada itu, ketika mereka sampai ke regol halaman, jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat. Ada sesuatu yang tidak wajar pada nalurinya. Ketika ia berpaling, ia masih melihat Sekar Mirah berdiri dipendapa. Tiba-tiba saja Glagah Putih dipanggilnya dengan isyarat. Dibisikannya ditelinga anak muda itu. "Katakan kepada mbokayumu, agar ia memakai pakaian khususnya."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Entahlah. Tetapi hatiku merasa tidak enak. Baru siang tadi terjadi peristiwa yang tidak kita inginkan, sementara itu kita masih berteka-teki apakah maksud sebenarnya dari orang-orang yang menggerakkan keenam orang itu. Aku masih cemas, bahwa orang-orang itu ada di Tanah Perdikan ini. Aku tidak dapat melepaskan hubungan antara keenam orang itu, orang yang ingin membunuh mereka dan orang-orang yang ada di rakit itu."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian melangkah ke pendapa.
"Malam memang terasa sangat sepi." desis Ki Jayaraga.
"Aku memang merasa aneh Ki Jayaraga. Tetapi mungkin hanya karena pengaruh peristiwa siang tadi." sahut Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Terapi ia tidak menyahut lagi.
Sekar Mirah memang heran melihat sikap Agung Sedayu di regol halaman yagn berkali-kali berpaling kepadanya. Namun kemudian ia menjadi jelas ketika Glagah Putih datang dan memberitahukan pesan Agung Sedayu kepadanya. Sekar Mirah tersenyum. Namun iapun mengangguk sambil memandang Agung Sedayu yang masih berdiri diregol.
Beberapa saat kemudian, setelah Glagah Putih berada di regol pula, mereka bertigapun telah berangkat. Sementara Agung Sedayu memberikan isyarat agar Sekar Mirah masuk saja kedalam dan cepat berganti pakaian.
Sekar Mirah memang sangat percaya dan yakin akan kemampuan suaminya juga ketajaman panggraitanya. Karena itu, maka demikian ia menyelarak pintu, maka iapun segera berganti pakaian. Sementara itu pembantu di rumahnyapun telah ma"suk pula ke dapur. Anak itu menjadi ragu-ragu, apakah ia akan pergi ke sungai untuk membuka pliridan atau tidak. Namun akhirnya anak itu menjatuhkan dirinya dan berbaring didapur setelah menyelarak pintu pula.
Sekar Mirah yang telah berganti pakaian ternyala merasakan kegelisahan pula. Meskipun Sekar Mirah telah menenangkan dirinya dengan menganggap bahwa kegelisahan itu adalah disebabkan karena pesan suaminya, namun rasa-rasanya jantung Sekar Mirah memang merasa berdetak lebih cepat.
Karena itu, maka untuk menambah ketenangan perasaannya, Sekar Mirah telah mengambil tongkat baja putihnya. Senjata andalannya. Dipeluknya tongkatnya sambil duduk bersandar tiang di tengah-tengah ruang dalam. Sekar Mirah berusaha agar ia tidak tertidur sampai saatnya Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih pulang.
Namun Sekar Mirah menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar pintu diketuk orang. Justru pintu butulan. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Digenggamnya senjatanya erat-erat sambil bangkit berdiri.
"Aku mbokayu, Glagah Putih." terdengar suara dibalik pintu butulan.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun ia ingin juga meyakinkan, "Kenapa kau kembali?"
"Kakang Agung Sedayu minta aku kembali." jawab Glagah Putih.
Suara itu dikenalnya dengan baik. Karena itu, maka Sekar Mirahpun segera melangkah kepintu dan membuka pintu butulan itu.
"Ada yang tertinggal?" bertanya Sekar Mirah.
Glagah Putih justru telah menyelarak pintu sambil berdesis, "Kakang Agung Sedayu minta ku tinggal dirumah mengawasi mbokayu. Agaknya kakang Agung Sedayu merasa sangat gelisah."
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika kakangmu yang minta, maka sebaiknya kau tinggal saja dirumah. Penggraita kakangmu memang sangat tajam. Mungkin memang akan ada sesuatu. Tetapi mungkin juga tidak."
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Namun kemudian katanya, "mBokayu. Silahkah mbokayu tidur. Aku akan berjaga-jaga. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu malam ini. Setidak-tidaknya sampai kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga kembali."
"Mudah-mudahan." sahut Sekar Mirah. Lalu, "Tetapi aku juga belum mengantuk."
Glagah Putih tidak dapat memaksa Sekar Mirah untuk masuk kedalam biliknya. Bahkan untuk mengisi waktu, keduanya telah bermain macanan diatas lantai. Dengan demikian, maka ruangan itu memang menjadi sepi. Kedua-duanya sedang sibuk dengan permainan yang kadang-kadang memang terasa menegangkan itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu telah berada dirumah Ki Gede Menoreh. Hadir dalam pertemuan itu para bebahu Tanah Perdikan dan bebahu padukuhan-padukuhan yang tersebar. Para pemimpin pengawal dan orang-orang terpenting lainnya.
Agung Sedayu telah diminta untuk memberitahukan rencana kunjungan Ki Patih Mandaraka ke Tanah Perdikan Menoreh. Dengan agak terperinci Agung Sedayu telah menguraikan rencana kunjungan itu meskipun tidak dalam keseluruhan. Hanyanya pokok-pokok persoalan saja yang disinggungnya, karena menurut Agung Sedayu, tidak semua orang perlu mengetahui rencana kunjungan itu terperinci, apalagi keperluannya.
"Ki Patih ingin melihat keadaan Tanah Perdikan ini dan sekaligus melihat keadaan Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini." berkata Agung Sedayu kemudian.
Para pemimpin Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Memang ada semacam kebanggaan bahwa Ki Patih Mandaraka akan berkunjung ke Tanah Perdikan itu.
"Kita harus mempersiapkan diri." berkata Ki Gede kemudian, "kita harus menjaga suasana tenang dan tertib. Kehidupah yang baik meskipun kita tidak akan mengaburkan kenyataan hidup kita sehari-hari. Kita tidak akan memalsu suasana yang ada di Tanah Perdikan ini. Namun segala sesuatunya perlu ditertibkan, agar kita dapat menjadi tuan rumah yang baik, karena yang akan datang adalah Ki Patih Mandaraka, yang dahulu dipanggil Ki Juru Martani, kakak seperguruan Ki Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram, ayahanda Panembahan Senapati."
Para pemimpin itu mendengarkan dengan bersungguh-sungguh. Sementara itu Ki Gede mulai membicarakan tentang tugas para pengawal.
"Segala sesuatunya akan diatur kemudian oleh Agung Sedayu." berkata Ki Gede.
Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memang telah mempunyai rencana bagi para pengawal. Mungkin Agung Sedayu sendiri akan sibuk dalam pembicaraan-pembicaraan sehingga karena itu, maka Agung Sedayu telah menunjuk Glagah Putih dan Prastawa yang akan menangani lahgsung anak-anak muda di Tanah Perdikan.
Prastawa masih nampak agak lesu. Belum nampak gairah yang bergejolak didalam darahnya.
"Kau jangan memikirkannya berlarut-larut Prastawa." berkata Ki Gede, "aku sudah berbicara dengan orang-orang yang ikut menentukan keputusan orang tuamu. Nampaknya pada suatu saat orang tuamu akan menjadi semakin lunak."
Prastawa mencoba untuk tersenyum. Katanya, "Aku sudah tidak memikirkannya lagi paman."
Beberapa orang memang tersenyum. Pada umumnya, mereka sudah mendengar, terutama anak-anak muda, bahwa ada sedikit perbedaan paham antara Prastawa dan orang tuanya tentang jodoh yang paling baik bagi Prastawa. Agaknya hal itu tergores didinding hati anak muda itu, setelah hatinya pernah terluka pula karena kehadiran Sekar Mirah di Tanah Perdikan itu dahulu.
Namun dalam pada itu, Ki Gede justru bertanya, "Dimana Glagah Putih sekarang?"
"Ada dirumah Ki Gede." jawab Agung Sedayu.
"Kenapa Glagah Putih tidak ikut bersamamu?" bertanya Ki Gede pula.
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menjawab, "Ki Jayaraga telah aku ajak datang kemari. Karena itu aku minta Glagah Putih tinggal dirumah mengawani Sekar Mirah."
"Sejak kapan Sekar Mirah memerlukan kawan dirumah?" bertanya Ki Gede.
Agung Sedayu tersenyum. Namun pertanyaan itu justru telah mengingatkannya pada panggraitanya tentang kemungkinan yang tidak diinginkan yang akan terjadi di rumahnya itu. Na"mun Agung Sedayu berusaha untuk menyembunyikan kegelisahannya. Tetapi ia menjawab, "Aku masih dibayangi peristiwa yang telah terjadi siang tadi Ki Gede. Nampaknya peristiwa itu bukan peristiwa yang hanya sepotong itu saja."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti. Tetapi bukankah ada peronda di mulut-mulut lorong?"
"Bagi orang-orang yang ingin memasuki padukuhan in duk ini dengan niat buruk, maka mereka tidak terikat pada lorong-lorong yang ada." jawab Agung Sedayu.
Ki Gede mengiakannya. Iapun mengerti bahwa lorong bagi mereka adalah sepanjang dinding padukuhan induk itu. Mereka akan dapat memasuki padukuhan induk lewat mana saja yang mereka kehendaki.
Namun kemudian Ki Gede telah melanjutkan pembicaraan tentang kehadiran beberapa orang tamu di Tanah Perdikan itu, Ki Gede minta Ki Jayaraga untuk ikut mengambil bagian dalam pertemuan antara orang-orang tua yang sudah lama tidak saling bertemu. Namun juga diminta untuk membantu menenangkan Tanah Perdikan itu jika terjadi sesuatu.
"Bahkan hari ini di Tanah Perdikan telah terjadi gangguan itu. Besok mereka tentu segera mendengar akan kehadiran Ki Patih disini. Mereka akan merencanakan untuk berbuat sesuatu yang tidak kita inginkan." berkata Ki Gede.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah menjadi penghuni Tanah Perdikan ini Ki Gede. Karena itu, maka jika diperlukan aku akan berbuat sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan ini sesuai dengan perintah Ki Gede. Tetapi tentu saja sekedar menurut kemampuanku yang tidak berarti ini."
Ki Gede tertawa. Katanya, "Yang tidak berarti bagi Ki Jayaraga merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi kami disini."
Ki Jayaragapun tertawa pula sambil menyahut, "Ki Gede agaknya mempunyai kesenangan memuji."
Ki Gede tidak menyahut. Tetapi ia mulai membicarakan suguhan yang akan dihidangkan. Bukan saja makan dan minum, tetapi Ki Gede kemudian berkata, "Disini ada beberapa macam bentuk pertunjukan yang menarik. Kita akan menyuguhi tamu-tamu kita dengan tari topeng dan tari-tarian yang lain disamping tari penyambutan."
Para bebahupun kemudian telah mendapat tugas mereka masing-masing. Mereka tidak boleh mengecewakan tamu-tamu mereka, semenara persiapan hanya berlangsung sangat singkat.
Ketika pembicaraan kemudian telah selesai, maka pertemuan itu tidak lagi bersifat resmi. Sambil menikmati suguhan makan dan minuman, maka mereka berbicara tentang beberapa hal yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana yang telah disusun dalam pertemuan itu. Seorang yang bertanggung jawab tentang penginapan bagi para tamu telah membuat rencana tersendiri. Rumah yang akan dipergunakan untuk menginap Ki Patih adalah Ki Gede itu sendiri. Tetapi tidak semua tamu akan dapat menginap dirumah Ki Gede. Ki Panji Wiralaga dan Ki Lurah Branjangan akan menginap dirumah didepan rumah Ki Gede itu.
"Kenapa mereka tidak menginap di rumah ini pula?" bertanya Agung Sedayu.
"Dirumah ini akan bermalam Kiai Gringsing dan cantrik pengiringnya. Juga Ki Waskita." jawab bebahu itu.
"Agaknya Guru akan bermalam dirumahku." jawab Agung Sedayu.
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian Ki Lurah dapat bermalam disini bersama Ki Panji. Gandok sebelah menyebelah akan dapat dipergunakan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Kecuali jika Ki Patih memanggil tamu yang lain."
"Agaknya kita baru tahu pasti dua hari lagi setelah mereka datang." berkata bebahu itu. "Sebenarnya belum ada kepastian, siapa saja yang akan datang dan dengan berapa orang pengawal."
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telali menyelinap sejenak keluar ruangan. Ia menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka katanya kepada pengawal yang meronda, "tolong, lihat rumahku. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak pasti telah terjadi. Tetapi mudah-mudahan tidak."
Dua orang peronda telah meninggalkan halaman rumah Ki Gede untuk melihat rumah Agung Sedayu yang memang tidak jauh dari rumah Ki Gede itu. Namun justru karena pesan Agung Sedayu itu, maka merekapun menjadi sangat berhati-hati.
"Rasa-rasanya malam terlalu sepi di lorong ini. Tidak seperti dirumah Ki Gede." desis yang seorang.
"Tentu saja." sahut yang lain, "disana sedang ada pertemuan."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun kesepian itu telah mencekam jantungnya pula. Tetapi mereka tidak menjumpai sesuatu diperjalanan sampai kerumah Agung Sedayu. Memang perjalanan yang pendek, sehingga mereka hanya memerlukan waktu beberapa saat saja.
Beberapa lama keduanya termangu-mangu diregol halaman rumah Agung Sedayu. Mereka ingin membuktikan, bahwa didalam rumah itu memang tidak terjadi sesuatu.
"Apakah kita akan mengetuk pintu?" desis yang seorang.
"Bagaimana jika yang ada dirumah itu sedang tidur nyenyak?" sahut yang lain. Lalu, "Apakah kita tidak akan mengejutkan mereka?"
Kawannya memang menjadi ragu-ragu. Namun iapun kemudian berkata, "Bagaimana jika telah terjadi sesuatu dan se"suatu itu sudah selesai. Namun akibatnya parah bagi Nyi Sekar Mirah."
"Bukankah Glagah Putih ada dirumah?" bertanya yang lain.
"Meskipun Glagah Putih ada dirumah, banyak kemungkinan dapat terjadi." jawab kawannya.
Keduanya memang termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengetuk pintu untuk meyakinkan bahwa isi rumah itu tidak mengalami kesulitan apa-apa. Karena itulah, maka keduanyapun telah menuju ke pintu pringgitan. Perlahan-lahan seorang diantara mereka mengetuk pintu itu.
Balas " On 16 Juni 2009 at 14:29 Mahesa Said:
Yang ada didalam memang sudah mendengar langkah yang menuju kepintu. Karena itu, merekapun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Langkah itu tentu bukan langkah kaki Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yang dikenal baik-baik oleh Glagah Putih dan Sekar Mirah.
Ketika pintu itu diketuk sekali lagi, maka Glagah Putihlah yang berdiri sambil menyapanya, "Siapa diluar?"
"Aku Glagah Putih. Peronda." jawab seorang diantara mereka.
"Peronda siapa?" desak Glagah Putih.
"Apan." jawab peronda itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang me ngenal Apan dan mengenali pula suaranya. Karena itu, maka iapun telah pergi ke pintu dan mengangkat selaraknya. Ketika pintu terbuka, maka sebenarnyalah Apan berdiri dimuka pintu bersama seorang kawannya.
"Ada apa kau malam-malam begini datang?" bertanya Glagah Putih.
"Aku sedang meronda di rumah Ki Gede. Namun kakang Agung Sedayu minta aku menengok rumah ini sebentar." jawab Apan.
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Bahkan diluar sadarnya iapun telah berpaling kepada Sekar Mirah. Agaknya Agung Sedayu tidak pernah merasa begitu cemas seperti malam itu. Ia tidak pernah demikian gelisah sehingga menyuruh peronda melihat apakah tidak terjadi sesuatu dirumah.
Sekar Mirahpun kemudian telah melangkah mendekat. Sambil tersenyum iapun berkata, "Katakan kepada kakang Agung Sedayu bahwa tidak ada sesuatu dirumah. Kami baru bermain macanan."
Apan dan kawannya mengangguk sambil berkata, "Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada kakang Agung Sedayu."
"Terima kasih." sahut Sekar Mirah.
Meskipun Sekar Mirah tersenyum, sebenarnyalah iapun merasa semakin gelisah. Agung Sedayu memang tidak pernah menjadi demikian mencemaskannya. Namun dalam pada itu, dalam kegelapan dua orang tengah berbicara diantara mereka sangat perlahan-lahan. Seorang diantara mereka berkata, "Kita manfaatkan kehadiran para peronda itu."
"Maksudmu?" bertanya kawannya.
"Mumpung pintu terbuka." desis yang pertama.
"Tetapi kedua orang itu?" bertanya kawannya pula.
"Apa artinya dua ekor tikus curut itu." sahut yang pertama. Lalu katanya, "Kita bunuh mereka. Kita bunuh orang yang ada didalam rumah itu, siapapun mereka. Tetapi jelas bukan Agung Sedayu, karena Agung Sedayulah yang menyuruh para peronda itu pulang. Kita ambil Sekar Mirah. Kemudian kita pergunakan perempuan itu untuk memaksa Agung Sedayu menyerah. Sudah tentu dengan pemimpin Kademangan Sangkal Putung, karena Sekar Mirah berasal dari Sangkal Putung."
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia justru telah beringsut.
Ketika kedua orang peronda itu kemudian minta diri, maka kedua orang itu telah meloncat dari dalam kegelapan. Dengan cepat keduanya naik kependapa. Bersamaan dengan itu terdengar suitan nyaring yang menjadi isyarat bagi kawan-kawan kedua orang itu.
Sebenarnyalah beberapa orang telah muncul dari dalam kegelapan. Mereka segera menghambur ke sekitar pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak begitu besar itu. Kehadiran mereka benar-benar mengejutkan Glagah Putih. Sekar Mirah dan dua orang peronda itu. Karena itu, maka dengan gerak naluriah, Sekar Mirahpun telah meloncat keluar hampir bersamaan dengan Glagah Putih.
Orang-orang yang mengepung pendapa rumah itu segera melihat bahwa Sekar Mirah ternyata bukan kebanyakan perempuan sebagaimana yang pernah mereka dengar. Perempuan itu memang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, sehingga karena itu, menghadapi Sekar Mirah tentu harus berbeda dengan menghadapi perempuan kebanyakan. Apalagi ketika mereka melihat senjata yang berada ditangan Sekar Mirah.
"Siapa kalian?" bertanya Sekar Mirah.
"Kami mempergunakan kesempatan yang baik yang diberikan oleh para peronda. Mumpung pintu terbuka." jawab pemimpin dari orang-orang yang datang itu.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun ia menyadari bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang tentu bermaksud buruk. Karena itu maka iapun telah bersiaga sepenuhnya.
"Apa maksudmu sebenarnya?" bertanya Sekar Mirah.
"Sekar Mirah." berkata orang itu, "marilah kita saling berbaik hati agar tugas yang kita emban akan cepat selesai."
"Tugas apa?" bertanya Sekar Mirah.
"Guruku memerlukan seorang perempuan yang memiliki kelebihan dari perempuan kebanyakan. Aku kira kau adalah satu-satunya orang yang paling memenuhi syarat. Karena itu aku mohon kau bersedia memenuhi permintaan guru. Guru sedang memerlukan pertolongan." berkata orang yang datang itu kemudian.
"Siapa gurumu itu?" berkata Sekar Mirah.
"Terlalu panjang untuk dikatakan sekarang." jawab orang itu, "nanti ditempat tinggal Guru, kau akan segera mengetahuinya."
"Suamiku tidak ada dirumah sekarang." berkata Sekar Mirah, "tunggulah sampai suamiku pulang."
"Terlambat Sekar Mirah." jawab orang itu, "aku tergesa-gesa. Bukankah kedua orang peronda ini akan dapat mengatakan kepada suamimu bahwa kau pergi bersama kami sebentar" Sebelum fajar kami akan mengantarmu kembali."
"Tidak mungkin." jawab Sekar Mirah, "kau harus menunggu suamiku atau kau pergi kerumah Ki Gede bersama kedua peronda itu untuk menemui suamiku."
"Soalnya sangat sederhana Sekar Mirah." berkata orang itu, "tetapi akan dapat menentukan hidup dan mati guruku. Guruku sedang sakit sekarang. Sakit yang sangat parah."
"Aku bukan seorang yang mengerti tentang obat-obatan." jawab Sekar Mirah.
"Tidak untuk mengobati." jawab orang itu.
"Lalu untuk apa?" desak Sekak Mirah.
"Marilah. Pergilah bersamaku." berkata orang itu.
Tetapi Sekar Mirah menggeleng. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat memenuhinya. Kecuali jika aku mendapat ijin suamiku."
Orang itu menjadi tidak sabar lagi. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Jika demikian, maka aku terpaksa memaksamu Sekar Mirah. Maaf, cara ini harus aku tempuh. Tetapi aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk."
"Itu tidak mungkin." berkata Glagah Putih yang kehilangan kesabarannya, "bagi kalian hanya ada dua pilihan. Menunggu kakang Agung Sedayu, suami mbokayu Sekar Mirah atau pergi ke rumah Ki Gede untuk memenuhi kakang Agung Sedayu dan mengajaknya pulang."
"Diam kau anak iblis." tiba-tiba orang itu menjadi kasar, "aku tidak mempunyai waktu. Aku akan membawa Sekar Mirah sekarang. Mau atau tidak mau."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata yang dicemaskan oleh Agung Sedayu itu telah terjadi.
Namun Sekar Mirah memang bukan perempuan kebanyakan. Ia sadar sepenuhnya, sebagai istri Agung Sedayu, maka ia harus mampu menempatkan dirinya, sebagamana dialaminya malam itu. Karena itu maka dengan dada tengadah ia berkata, "Pergilah kalian dari halaman rumahku."
"Kami bukan utusan yang hanya dapat menyampaikan permohonan tanpa penyelesaian persoalan. Kami adalah utusan-utusan yang memegang kuasa untuk mengambil sikap. Kau harus ikut kami, atau jika kami gagal membawamu, maka kau harus dibunuh." berkata orang yang tidak dikenal itu.
"Nah." berkata Sekar Mirah, "agaknya dengan berterus terang kau nampak lebih jantan."
"Persetan kau perempuan iblis." geram orang itu, "serahkan kedua tanganmu untuk diikat dibelakang punggungmu."
Tetapi Sekar Mirah justru bertanya, "Untuk apa sebenarnya kalian datang kemari mengambil aku?"
"Kau akan menjadi bahan taruhan. Agung Sedayu harus menyerah jika ia tidak ingin melihat mayatmu terkapar ditengah-tengah pasar." geram orang itu.
"Jangan mengigau." Sekar Mirah menjadi semakin marah, "jika kau memaksaku, maka kau hanya akan dapat membawaku setelah aku menjadi mayal disini, dirumahku."
Orang itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya sambil berkata, "Kita memang harus mempergunakan kekerasan. Sebenarnya sayang sekali jika kulit yang halus itu akan tergores senjata. Apalagi di wajah yang cantik itu. Sepantasnya kau memang tidak menjadi istri Agung Sedayu, tetapi menjadi istri seorang Tumenggung atau lebih baik menjadi istri guruku."
"Tutup mulutmu." bentak Glagah Putih, "akupun dapat kasar seperti kau. Akupun dapat berbicara liar seperti kau. Karena itu sebelum terjadi sesuatu, pergilah. Kami masih memberi kesempatan."
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Jangan banyak bicara. Kau akan mati. Kedua orang peronda itu juga akan mati. Salah kalian semuanya, bahwa kalian mau mendengarkan tawaranku yang pertama, sehingga dengan demikian maka kalian masih mendapat kesempatan untuk hidup."
"Cukup." berkata Glagah Putih, "jika kalian memang tidak mau pergi, maka kami akan memaksa kalian."
Pemimpin dari orang-orang yang mendatangi rumah Agung Sedayu itupun mengumpat kasar. Kemudian berkata lantang. "Kita selesaikan semuanya. Kita membawa Sekar Mirah bersama kita."
Kedua orang peronda itu adalah pengawal Tanah Perdikan yang pernah mendapat latihan yang cukup. Karena itu, maka keduanyapun sama sekali tidak menjadi gemetar. Keduanya justru telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya untuk menghadapi segala kemungkinan, sehingga empat orang itupun telah bersiap untuk menghadapi orang-orang yang ada disekitar pendapa.
Baik Sekar Mirah maupun Glagah Putih tidak sempat menghitur.g orang-orang yang ada di halaman itu. Tetapi mereka tentu lebih dari enam orang.
Pemimpin kelompok orang-orang yang ingin mengambil Sekar Mirah itupun segera memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk dengan segera menyerang. Orang-orang itupun segera berloncatan kependapa. Mereka telah mengacukan senjata mereka.
Agaknya mereka ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu dengan benar-benar membunuh semua orang selain Sekar Mirah. Karena itu, maka pemimpin dari orang-orang itulah yang langsung akan menangani Sekar Mirah. Ia tidak mempercayakannya kepada orang lain, karena dengan demikian akan terdapat kemungkinan bahwa Sekar Mirah akan terluka bahkan terbunuh.
Pemimpin itu merasa kemampuannya tentu berada jauh diatas Sekar Mirah, sehingga dengan demikian ia akan dapat mengatur diri untuk menangkap Sekar Mirah tanpa melukainya.
Sekar Mirah memang menjadi sangat marah. Karena itu, demikian orang-orang itu berloncatan naik kependapa, Sekar Mirah langsung memutar tongkat baja putihnya.
Sementara itu, orang-orang yang berloncatan itu benar-benar telah bersiap untuk membunuh. Mereka sama sekali tidak merasa ragu-ragu untuk mengayunkan senjata mereka.
Kedua orang pengawal Tanah Perdikan itupun dengan cepat tanggap akan keadaan. Karena itu, maka dengan cepat pula mereka menempatkan diri. Mereka berdua berdiri beberapa langkah disebelah kiri Sekar Mirah, sementara itu Glagah Putih berdiri beberapa langkah disebelah kanan Sekar Mirah, sehingga dengan demikian maka mereka telah membentengi arah dari sebelah menyebelah. Namun mereka membelakangi dinding pintu rumahnya.
Seorang diantara kedua peronda itu masih sempat menutup pintu itu dan seakan-akan memberikan isyarat kepada Sekar Mirah untuk mengambil tempat yang sebaik-baiknya.
Sekar Mirahpun bergeser beberapa langkah. Ia memang tidak mau membelakangi pintu, karena mungkin seorang diantara lawan-lawannya akan memasuki rumah itu dari pintu butulan dan menyerang dari dalam.
Beberapa saat kemudian pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya. Ternyata orang-orang yang memasuki halaman rumah itu telah salah hitung. Kedua orang peronda itu bukan tikus-tikus curut yang ketakutan melihat seekor kucing yang akan menerkamnya. Tetapi dengan garangnya kedua orang pengawal itu telah bertempur menghadapi lawan-lawannya.
Sementara itu Glagah Putihpun telah bertempur pula. Dua orang telah bersama-sama melawannya. Dua orang yang bersenjata pedang yang besar dan panjang. Glagah Putih sama sekali tidak gentar melihat ujung-ujung pedang itu. Tetapi ia tidak ingin melihat Sekar Mirah mengalami kesulitan. Karena itu, maka Glagah Putihpun telah mencabut senjatanya pula. Tidak dari sarungnya. Tetapi telah dilepasnya dari lambungnya. Ikat pinggang yang merupakan senjata andalannya.
Ketika pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya, maka masih ada dua orang lagi yang berdiri termangu-mangu. Namun nampaknya keduanya sedang mengamati keadaan. Seakan-akan mereka justru menjadi keheranan melihal pertempuran itu. Ternyata orang-orang itu menjadi heran setelah mereka bertempur beberapa saat. Ternyata bahwa mereka telah membentur kekuatan yang sangat besar.
Pemimpin dari sekelompok orang yang akan mengambil Sekar Mirah itu terkejut ketika ia mulai membentur kemampuan Sekar Mirah itu sendiri. Tongkat baja putih Sekar Mirah ternyata telah menggetarkan senjata dan bahkan telapak tangan pemimpin kelompok itu.
"Iblis betina." geramnya, "ternyata kau mempunyai kemampuan yang cukup untuk mendukung kesombonganmu."
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tongkatnya berputar lebih cepat. Bahkan terayun-ayun menggetarkan. Anginpun menyambar-nyambar dengan kerasnya menampar kulit lawannya yang menghindari sambaran tongkat baja putihnya.
Pemimpin kelompok itu memang menjadi heran atas kemampuan Sekar Mirah itu. Tetapi ia tidak surut selangkah. Ia merasa memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi. Namun ia tidak dapat mengerahkannya dengan serta merta, karena ia ingin menangkap Sekar Mirah hidup-hidup untuk memaksa Agung Sedayu menyerah.
Sementara itu Glagah Putih telah menunjukkan kelebihannya pula. Kedua orang lawannya tidak dapat berbuat terlalu banyak, apalagi membubunuhnya. Bahkan semakin lama keduanya justru telah terdesak. Beberapa kali mereka harus berloncatan surut.
Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan itupun telah bertempur pula dengan tangkasnya. Mereka terlatih untuk menghadapi lawan yang garang dan keras. Bahkan merekapun telah terlatih pula untuk bertempur dengan keras.
Dua orang yang termangu-mangu itu tidak dapat membiarkan kawan-kawannya terdesak. Merekapun dengan serta merta telah berloncatan bergabung dengan dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih. Menurut perhitungan mereka, jika Glagah Putih itu telah dapat mereka selesaikan, maka kedua orang pengawal itu akan dengan mudah dapat mereka selesaikan pula.
Tetapi ternyata tidak mudah untuk mengalahkan Glagah Putih meskipun mereka bertempur berempat. Dengan ikat pinggangnya, maka Glagah Putih telah mengerahkan tenaga cadangannya, sehingga ia mampu bergerak dengan cepat sekali. la berloncatan kian kemari diatas pendapa yang tidak terlalu luas. Namun tiang-tiang pendapa itu agaknya telah membantunya.
Disisi lain, para pengawal Tanah Perdikan masih saja bertempur dengan keras. Mereka tidak dapat segera mendesak lawannya, tetapi merekapun tidak mudah untuk dikalahkannya. Karena itu, maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin sengit.
Sementara itu Sekar Mirah masih saja bertahan menghadapi pemimpin sekelompok orang yang ingin menangkapnya itu. Bahkan Sekar Mirah sama sekali tidak ragu-ragu menyerang lawannya dengan tongkat baja putihnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa lawannya itu ingin menangkapnya hidup-hidup. Karena itu, maka Sekar Mirah justru tidak gentar menyerang lawannya pada jarak yang sangat dekat sekalipun. Menurut perhitungannya, masih belum ada tanda-tanda ingin lawannya menjadi kehilangan kesabaran dan benar-benar ingin membunuhnya. Justru dalam kesempatan itu Sekar Mirah ingin menekan lawannya dan jika mungkin melumpuhkannya.
Tetapi lawan Sekar Mirah memang memiliki ilmu yang tinggi. Betapapun Sekar Mirah menyerangnya dengan sepenuh kekuatan dan kemampuannya, namun orang itu masih saja mampu menghindar. Sekali-sekali orang itu juga menyerang, tetapi ia masih berusaha untuk tidak membunuh atau melukai Sekar Mirah.
Ketika pertempuran itu berlangsung semakin lama, maka Glagah Putihpun menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika ia sempat memperhatikan lawan Sekar Mirah yang memang berilmu tinggi. Semakin lama Sekar Mirah akan menjadi semakin sulit jika kekuatannya mulai menjadi susut. Menurut penilaian,Glagah Putih, Sekar Mirah yang marah itu tidak mengekang diri lagi, sehingga segenap kekuatannya telah tercurah. Namun ternyata bahwa lawannya adalah orang pilihan.
Beberapa kali telah terjadi benturan-benturan yang keras. Bahkan orang itu berusaha untuk membentur setiap serangan Sekar Mirah, karena dengan demikian maka Sekar Mirah akan lebih banyak mengerahkan kekuatannya. Kekuatan untuk mengayunkan senjatanya, tetapi juga kekuatan untuk mempertahankan tongkat baja putihnya.
Dengan demikian maka kemarahan Sekar Mirahpun menjadi semakin meningkat. Ia semakin cepat bergerak dan tongkatnyapun semakin kuat terayun-ayun mengarah ke tubuh lawannya. Namun yang setiap kali selalu tertahan oleh senjata lawannya yang menangkis serangannya itu.
Namun dalam keadaan yang demikian, pemimpin sekelompok orang itu merasa heran, bahwa anak muda yang bertempur melawan ampat orang itu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Dengan berloncatan kian kemari, dan sekali-sekali mengelilingi tiang di pendapa itu. Glagah Putih mampu mengimbangi lawan-lawannya.
Lawan Sekar Mirah yang berilmu sangat tinggi itu sempat bertanya kepada diri sendiri, "Ilmu dari mana sajakah yang disadap oleh anak muda itu, sehingga ia mampu mengimbangi kemampuan ampat orang hanya dengan ikat pinggangnya saja."
Sebenarnyalah ikat pinggang kulit itu ditangan Glagah Putih seakan-akan memang telah berubah menjadi sebilah pedang jika dikehendakinya. Tetapi ikat pinggang itu pada saat yang lain menjadi lentur meskipun tidak dapat dibabat pulus oleh senjata lawan.
Namun dalam pada itu, Sekar Mirah memang mulai dihinggapi oleh kegelisahan. Bagaimanapun ia berusaha dalam puncak kemampuannya, namun ia tidak mampu mendesak lawannya. Senjatanya berputaran bagaikan gumpalan asap yang melibat lawannya. Tetapi senjata Sekar Mirah itu seakan-akan telah terpental jika membentur senjata lawannya. Dengan susah payah Sekar Mirah selalu harus berusaha agar senjatanya itu tidak terlepas, sehingga tangannya kadang-kadang terasa pedih.
Glagah Putih yang muda itu ternyata telah mengambil keputusan yang berat untuk dilakukannya. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Untuk sementara Glagah Putihpun menganggap bahwa lawan Sekar Mirah itu tidak akan menyakitinya, apalagi membunuhnya, karena Sekar Mirah masih akan diperlukan un"tuk memaksa Agung Sedayu menyerah. Jika Sekar Mirah itu terluka apalagi terbunuh, maka Agung Sedayu tentu akan bersikap lain. Bahkan mungkin Agung Sedayu akan menjadi sema"kin garang.


10 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, maka Glagah Putih berpendapat, bahwa untuk dapat membantu membebaskan Sekar Mirah, maka ia harus menyingkirkan keempat lawannya. Meskipun mungkin akibatnya tidak diinginkannya. Tetapi memang tidak ada jalan lain baginya. Bahkan sekali sekali iapun memperhatikan para pengawal yang masih belum jelas, apakah mereka akan dapat bertahan terus atau tidak.
Glagah Putih memang tidak segera ingin memanfaatkan kentongan yang tergantung di serambi. Jika kentongan itu dibunyikan, maka nasib Sekar Mirah harus diperhitungkan.
Sementara itu lawan Sekar Mirah itu nampaknya sudah mulai kehilangan kesabaran. Ia mulai mendesak Sekar Mirah. Bahkan ia memulai berusaha untuk menekan Sekar Mirah sampai kedinding, sehingga orang itu akan dapat dengan mudah menangkapnya dan membawanya tanpa menghiraukan orang-orangnya yang lain.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun telah mengerahkan kemampuannya. Ia adalah pewaris ilmu Ki Sadewa sampai kepuncak dan ia telah berguru pula kepada Agung Sedayu yang dipengaruhi oleh ilmu keturunan Orang Bercambuk serta berguru juga pada Ki Jayaraga. Karena itu, maka sejenak kemudian, Glagah Putih itu bagaikan telah berubah. Ia bergerak semakin garang. Ikat pinggangnya terayun-ayun semakin cepat dan kuat.
Ketika keempat orang itu berusaha mengepungnya, maka dengan kecepatan seekor burung sikatan, maka Glagah Putih justru telah melenting turun dari pendapa dan bertempur di halaman.
Sekar Mirah sempat melihat Glagah Putih yang bergeser ketempat yang lebih luas itu. Karena Sekar Mirah sudah lama mengenali tabiat anak itu, maka Sekar Mirahpun dapat menebak apa yang akan dilakukan oleh anak muda itu. Karena itu, maka Sekar Mirah benar-benar harus menempatkan dirinya. Ia harus bertahan sejauh dapat dilakukan.
Namun Sekar Mirahpun telah bertekad sebagaimana dikatakannya. Ia baru akan meninggalkan tempat itu jika ia sudah menjadi mayat. Ia lebih baik mati daripada harus menjadi alat untuk memaksa Agung Sedayu menyerah. Karena dengan demikian maka Agung Sedayulah yang akan menjadi korban. Dan bahkan jika Agung Sedayu sudah menyerah dan disingkirkan, maka akan datang gilirannya untuk mengalami nasib yang paling buruk.
Misi Rahasia Sophie 2 Let Go Karya Windhy Puspitadewi Pisau Terbang Li 6

Cari Blog Ini