Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 20
pengawal mereka sempat mendesak para prajurit untuk membuka jalan para pemimpin mereka menuju ke bangunan induk. Keberhasilan para pemimpin kelompok-kelompok serta perguruan-perguruan yang menyerang perkemahan itu menyusup pertahanan telah dilaporkan kepada Ki Rangga Suratapa yang dengan cepat bergerak ke bangunan induk. Iapun segera memerintahkan Ki Lurah Yudatama untuk mempersiapkan pasukan khusus yang dipimpinnya. "Mereka akan memasuki barak utama ini" desis Ki Rangga. "Kami sudah siap, Ki Rangga" "Awasi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, agar mereka tidak bergerak jauh dari beberapa orang prajurit yang sudah ditunjuk" Ki Lurah Yudatama mengangguk. Katanya "Masing-masing akan selalu dikawal oleh tiga orang prajurit dari Pasukan Khusus" Ki Ranggapun kemudian berkata "Aku ada diluar dinding bangunan utama ini" "Sebagian dari Pasukan khusus dapat membantu Ki Rangga" Ki Rangga mengangguk. Katanya "Terima-kasih" Ki Lurahpun kemudian telah memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk berada didepan regol bangunan utama perkemahan itu bersama Ki Rangga Suratapa dengan beberapa pengawalnya. Sementara pertempuranpun terjadi d mana mana. Ternyata bahwa orang-orang yang tergabung dalam kelompokkelompok dan perguruan-perguruan yang menyerang perkemahan itu, benar-benar harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Kerja yang mereka hadapi adalah kerja yang sangat keras dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Jauh dari dugaan sebelumnya, maka para blandong kayu tidak akan mampu berbuat banyak. Mereka yang datang menyerang itu akan membabat habis mereka seperu menebas batang ilalang saja. Namun satu dua kawan mereka justru telah terpelanting jatuh.
Yang lain mengerang kesakitan sambil terbaring diam. Yang lain lagi justru berguling-guling sambil berteriak teriak nyaring. "Siapakah mereka sebenarnya?" pertanyaan itupun mulai menggelitik mereka yang harus memeras kemampuan mereka menghadapi orang-orang yang dikira sekedar blandong kayu itu. Sementara itu pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Beberapa orang yang berhasil menyusup disela-sela pertempuran itu telah mendekati pintu regol bangunan utama perkemahan sementara itu. Namun Ki Rangga Wirayuda telah siap untuk menahan mereka. Sementara di belakang regol Ki Lurah Yudatama dan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus telah siap pula. Dalam pada itu, para cantrik yang berada didalam barak justru menjadi gelisah. Mereka merasa lebih baik berada diluar berak daripada didalam. Jika mereka harus bertempur, maka bertempur di tempat yang lebih luas akan memberikan keleluasaan untuk bergerak. "Apakah kami akan tetap dipenjara didalam barak ini?" bertanya salah seorang diantara mereka. "Pertempuran itu sudah menjadi semakin dekat dengan barak utama ini" "Justru karena itu, maka kami ingin keluar" "Biarlah para prajurit menyelesaikan tugas mereka" Para cantrik itupun menjadi semakin gelisah. Sementara Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya hanya termangumangu saja. Namun ternyata bahwa Ki Panengah dan Ki Waskita sependapat dengan murid-murid mereka. Bahkan Ki Kriyadama justru berbisik "Berbahaya bagi mereka. Jika mereka tetap berada didalam barak ini" "Ya. Jika ada diantara para penyerang yang melemparkan api, maka kalutlah keadaan didalam barak ini. Dalam kekalutan, maka akal tidak lagi bening. Tetapi akan menjadi keruh" sahut Ki Waskita. Karena itu, maka Ki Panengahpun kemudian berkata kepada
seorang prajurit "Apakah aku dapat berbicara dengan Ki Lurah Yudatama?" "Ki Lurah sudah dalam kesiagaan menghadapi lawan yang semakin dekat dengan regol bangunan ini" "Jika demikian, biarlah aku menemuinya diluar" Ternyata Ki Panengah berhasil meyakinkan Ki Lurah Yudatama bahwa sebaiknya para cantrik berada diluar. "Baiklah" berkata Ki Lurah "tetapi biarlah mereka berada di halaman belakang bersama para prajurit yang bertugas di bangunan induk ini" Ketika hal itu disampaikan kepada para cantrik, maka merekapun bersorak kegirangan. Seorang diantara mereka berteriak "Kami memang bukan perawan-perawan pingitan" Dengan cepat, para cantrik itu menghambur keluar. Tetapi seperti yang diperintahkan oleh Ki Luar Yudatama, mereka berada di halaman belakang bangunan utama itu. Dari sela-sela dinding kayu yang mengelilingi berak induk itu, para cantrik melihat, bahwa disekelilingnya telah terjadi pertempuran. Para prajurit memang agak kesulitan menahan arus para penyerang. Karena jumlah para penyerang yang cukup banyak. Tetapi seorang cantrik berdesis "Aku berharap bahwa ada beberapa orang yang dapat lolos dan memasuki halaman ini. Mereka tentu dengan mudah meloncati dinding kayu itu. sebagaimana kitapun dengan mudah dapat melakukannya Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama menjadi berdebardebar melihat pertempuran yang semakin sengit itu. Merekapun memperhitungkan bahwa sebagian dari mereka tentu akan berhasil memasuki halaman bangunan induk itu. Mereka akan dengan mudah meloncati dinding kayu yang memang tidak terlalu tinggi dan udak terlalu rapat itu. Bahkan dinding kayu itu tidak akan terlalu sulit untuk dirobohkan. Karena itu, maka Ki Panengahpun kemudian mendekati Pangeran Benawa yang berdiri tidak terlalu jauh dari Raden Sutawijaya dan Paksi Pamekas selain prajurit dan Pasukan Khusus yang bertugas mengawalnya "Pangeran jangan
meninggalkan halaman belakang ini. Keadaan sangat berbahaya" Pangeran Benawa teisenyum. Katanya "Baik guru. Aku tidak akan pergi kemana-mana" Namun ketika Ki Panengah bergeser menjauh, Pangeran Benawa itupun berkata "Di lereng Selatan Gunung Merapi aku hanya berdua saja bersama Paksi menghadapi orang-orang itu" "Keadaannya sudah berbeda, adimas" sahut Raden Sutawijaya. "Ya" Pangeran benawa menarik nafas panjang. "Saat itu, mereka tentu tidak tahu, bahwa adimas adalah Pangeran Benawa" "Ya" "Nah, sekarang mereka mengetahui, bahwa adimas inilah yang bernama Pangeran Benawa, yang mengenakan cincin bermata tiga" "Aku tidak mengenakannya" jawab Pangeran Benawa sambil menengadahkan kesepuluh jari-jarinya" "Adimas menyembunyikan cincin itu?" "Ya" "Itu sangat berbahaya. Cincin itu dapat benar-benar hilang dalam kekalutan seperti ini. Sementara itu, orang-orang yang memburu adimas Pangeran tidak mau tahu bahwa cincin itu sudah adimas sembunyikan" Tetapi Pangeran Benawa tertawa. Katanya sambil menyentuh kantong ikat pinggangnya "Aku sembunyikan disini" Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Keadaan yang gawat itu bagi Pangeran Benawa tidak lebih menegangkan daripada bermain sembunyi-sembunyian di saat terang bulan. Dalam pada itu, pertempuranpun menjadi semakin seru. Dinding halaman bangunan utama itu sudah mulai bergetar. Ternyata dibagian depan beberapa orang telah berloncatan
masuk. Tetapi mereka seakan-akan telah memasuki kandang harimau yang buas dan lapar. Demikian mereka meloncat turun didalam lingkungan dinding halaman bangunan utama, maka para prajurit yang sudah bersiap segera menyambut mereka. Tetapi jumlah mereka terlalu banyak. Sebagian dari mereka berusaha untuk dapat memecahkan pertahanan didepan pintu regol. Yang lain berebut memanjat naik untuk meloncati dinding halaman. Namun Ki Rangga Suratapa yang bertahan di depan pintu regol telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Para prajuritpun telah bertempur dengan garangnya. Namun mereka tidak mampu mencegah orangorang yang berlon-catan memasuki halaman bangunan utama. Namun Ki Lurah Yudatama telah meneriakkan aba-aba untuk menyambut mereka. Orang-orang yang dengan sangat bernafsu meloncati dinding halaman tanpa perhitungan, harus menebus ketergesa-gesaan mereka. Orang-orang itupun segera terkapar bersandar dinding halaman tanpa dapat memberikan perlawanan lagi. Tetapi yang lain telah berloncatan memasuki halaman bangunan utama itu. Bahkan dari arah belakang pula. Para pemimpin mereka yang pertama-tama meloncat me-masuki halaman dibagi an belakang dari halaman bangunan utama itu adalah justru Kebo Serut. Tetapi Kebo Serut itu terkejut. Yang berdiri di hadapannya adalah seorang yang dengan serta-merta menyambutnya dengan menyebut namanya "Kerbau tua. Kau masih saja bernafsu untuk menjadi Raja di Pajang?" "Kau siapa?" bertanya Kebo Serut, Namaku Waskita, Kebo Serut. Apakah kau tidak mengenal aku lagi?" "Aku belum pernah mengenalmu. Aku juga belum pernah mendengar namamu. Sebut gelarmu" "Aku tidak punya gelar. Namaku Waskita. Hanya itu" "Minggiriah. Aku ingin bertemu dengan Pangeran Benawa"j
Adalah diluar dugaan, bahwa Pangeran Benawa justru mendekatinya sambil bertanya "Kau ingin menemui aku?" Wajah Kebo Serut menjadi tegang. Sementara itu ketiga orang prajurit pengawal Pangeran Benawapun telah berdiri disekitamya. "Kau membuat aku bingung" berkata Pangeran Benawa kepada ketiga orang pengawalnya itu. Tidak scorangpun diantara mereka menjawab. Sementara itu, pertempuran dihalaman belakang itupun telah menjadi semakin ribut. Beberapa orang berloncatan masuk. Namun beberapa orang pula yang langsung terlempar dengan luka menganga ditubuh mereka. Kebo Serut yang melihat Pangeran Benawa itupun berteriak "Tanggap anak itu, Aku memerlukannya" Tetapi Ki Waskitapun berkata "Kau tidak akan dapat menangkapnya, he. Kerbau tua" "Kenapa tidak?" bertanya Kebo Serut. "Pangeran Benawa memiliki kemampuan untuk menghindar" jawab Ki Waskita. Namun Pangeran Benawa sendiri itupun bertanya "Untuk apa kau akan menangkap aku?" "Aku memerlukanmu" "Untuk apa" Jika yang berusaha menangkapku orang-orang dari Goa Lampin, aku masih dapat mengerti, karena itu merupakan kebiasaan mereka. Tetapi jika yang ingin menangkapku itu kau, kakek tua" "Persetan" geram Kebo Serut. Orang tua itu tidak menyianyiakan waktu lagi. Ia adalah orang pertama yang memasuki halaman bangunan utama, serta berhasil bertemu dengan Pangeran Benawa. Karena itu, maka Kebo Serut itu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Beberapa orangnyapun segera mengepung Pangeran Benawa dan Ki Waskita, sementara di halaman belakang itupun pertempuran sudah menjadi semakin sengit. Tetapi Ki Waskitapun tidak tinggal diam. Ketika Kebo Serut itu mulai beranjak, maka Ki Waskitapun telah bergeser pula.
"Aku ingin memperingatkanmu, Ki Waskita. Minggirlah. Aku ingin menangkap Pangeran Benawa" "Apakah aku harus membiarkan saja" Atau bahkan kau ingin aku membantumu menangkapnya?" Justru Pangeran Benawalah yang tertawa. Katanya "Kau agaknya orang aneh, kakek tua" "Baiklah" berkata Kebo Serut "jika kau mencoba meghalangiku Ki Waskita, maka yang tertinggal hanyalah namamu saja" Ki Waskitapun segera bersiap. Ia sadar, bahwa Kebo Serut adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun dalam pada itu, Kebo Serutpun berteriak sekali lagi "Tangkap Pangeran Benawa. Hidup atau mati" Beberapa orangpun kemudian telah bergerak bersama-sama. Para pengikut Kebo Serut itu sama bernafsunya sebagaimana Kebo Serut sendiri, karena mereka telah mendengar bahwa cincin yang diburu oleh Kebo Serut itu ada pada Pangeran Benawa. Tiga orang prajurit dari Pasukan Khusus yang mengawal Pangeran Benawa itupun dengan tangkasnya menahan serangan itu. Dengan pedang ditangan, mereka bertempur dengan garangnya. Tetapi lawannya terlalu banyak, sehingga beberapa orang diantara mereka, sempat mendekati dan menyerang langsung Pangeran Benawa dari beberapa arah. Ketiga orang prajurit yang merasa dibebani tanggung-jawab atas keselamatan Pangeran Benawa itu menjadi gelisah. Tetapi lawan memang terlalu banyak, sementara Pangeran Benawa sendiri sulit untuk ditempatkan di tempat yang tidak ter-lalu berbahaya. Sejenak kemudian. Pangeran Benawa sendiri harus bertempur menghadapi lawan-lawannya. Namun Pangeran Benawa tidak lagi mempergunakan sepasang pisau belati. Tetapi ditangan Pangeran Benawa itu tergenggam sebatang tombak pendek. Dengan tombak pendek itu, Pangeran Benawa ternyata menjadi semakin garang. Mata tombaknya yang kehitamhitaman dengan pamornya yang berkeredipan berputaran di tangannya yang terampil. Namun Pangeran Benawa itu harus
mengerahkan kemampuannya menghadapi beberapa orang yang mengepungnya, se-mentara ketiga orang prajurit pilihan yang mengawalnya harus berhadapan pula dengan beberapa orang pengikut Kebo Serut. Dalam pada itu, orang-orang yang ingin memasuki halaman bangunan induk itu tidak lagi membuang-buang waktu dengan meloncati dinding halaman. Tetapi dinding halaman itulah yang kemudian telah mereka robohkan, sehingga dengan demikian, maka kelompok-kelompok orang telah memasuki halaman itu pula. Namun para prajurit dan para cantrikpun telah menghadapi mereka. Para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di halaman itu, bersama para cantrik yang sudah memiliki bekal yang cukup, segera menyambut mereka. Nampaknya Kebo Serut dan para pengikutnyalah yang mendapat kesempatan terbaik untuk dapat menangkap Pangeran Benawa. Namun ternyata tidak mudah untuk menangkap Pangeran Benawa. Beberapa orang telah mengepungnya dan menyerangnya dari segala arah. Namun justru setiap kali, justru diantara orang-orang yang mengepung itulah yang terdengar teriakan kesakitan. Seorang-seorang diantara mereka terlempar jatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, ketiga orang prajurit dari Pasukan Khusus yang terpilih untuk mengawal Pangeran Benawa itupun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Setiap kali senjata mereka telah menggores tubuh lawan mereka. Ujung senjata itupun telah beberapa kali menghunjam didada lawan. Tetapi lawan memang terlalu banyak. Para pengikut Kebo Serut yang tidak menepati kesepakatan permainan saat mereka menyerang, memang mendapat kesempatan pertama menggapai bangunan utama itu. Namun orang-orang yang mengepung Pangeran Benawa itu terkejut, ketika tiba-tiba saja seorang anak muda telah meli-batkan diri untuk ikut melawan mereka. Seorang anak muda yang bersenjata tongkat. Dengan garangnya anak muda itu mengayunayunkan tongkatnya diantara serunya pertempuran. Pangeran Benawa yang melihat kehadiran anak muda itu tersenyum. Katanya "He, bagaimana dengan para cantrik yang lain, Paksi?" "Mereka dapat menempatkan diri mereka dengan baik, Pangeran" jawab Paksi. "Bagaimana dengan Ki Panengah?" "Bersama Ki Kriyadama, mereka berada diantara para cantrik yang memberikan perlawanan dengan baik" Pangeran Benawa tertawa. Ia tidak menanyakan Raden Sutawijaya, karena Pangeran Benawa yakin akan kelebihan saudara angkatnya itu. Pertempuranpun semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata tidak semua orang berilmu tinggi segera mampu mencapai bangunan utama. Kelompok-kelompok prajurit telah menahan mereka. Sementara itu, para prajurit terpilih dengan garangnya telah menepis setiap serangan dari gerombolangerombolan yang menginginkan memiliki cincin kerajaan yang berada di tangan Pangeran Benawa itu. Pertempuran di belakang bangunan utama itu menjadi semakin sengit. Tetapi orang-orang yang datang menyerang itu harus melihat kenyataan, bahwa mereka mengalami kesulitan untuk dapat bergerak lebih jauh, apalagi menemukan Pangeran Benawa, kecuali Kebo Serut dan para pengikutnya. Bahkan mereka harus memberikan korban yang semakin banyak. Ki Panengah, Ki Kriyadama dan bahkan Raden Sutawijaya bukan jenis pembunuh yang tidak berjantung. Meskipun di peperangan yang sengit, mereka masih mampu membuat pertimbangan untuk tidak membunuh lawannya, tetapi sekedar membuat mereka tidak berdaya. Namun jika senjata mereka pada satu saat menyentuh jantung, adalah satu hal yang memang sulit untuk dihindari. Namun akhirnya bukan hanya Kebo Serut sajalah yang telah memasuki halaman di belakang bangunan utama itu. Ternyata para pemimpin dari gerombolan dan perguruan yang lainnya
sampai juga ke halaman dibelakang bangunan utama itu. "Ketika Gedhag Panunggal meloncati dinding yang roboh, maka iapun segera melihat betapa orang-orangnya yang telah mendahului memasuki halaman itu mengalami kesulitan. Gedhag Panunggalpun menggeram. Iapun segera mendekati seorang tua yang dengan mudahnya menghalau orang-orang yang datang menyerangnya dari arah manapun juga. "Luar biasa" desis Gedhag Panunggul "siapa namamu?" Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berdesis "Namaku Kriyadama" "Kau tidak bertanya namaku?" justru Gedhag Panunggallah yang bertanya. Ki Kriyadama tersenyum. Namun iapun kemudian bertanya "Bukankah namamu tidak menakutkan sehingga aku akan dapat menjadi pingsan karenanya?" "Namaku Gedhag Panunggal" Ki Kriyadama menarik nafas dalam-dalam. Sementara Gedhag Panunggal itupun bertanya "Kenapa?" "Untunglah, aku belum pernah mendengar namamu" "Persetan dengan kau iblis tua. Minggirlah, atau bersiaplah untuk mati" "Tidak" jawab Ki Kriyadama "tugasku masih banyak. Aku masih belum bersiap untuk mati" Gedhag Panunggal tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bergeser dan bersiap untuk bertempur. Sementara itu Ki Kriyadamapun telah bersiap pula. Sebilah pedang telah tergenggam di tangannya. Sementara itu, lawannya juga telah memegang senjata yang mendebarkan. Sebuah bindi yang bergerigi tajam. Keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Namun ternyata kekerasan dan kekasaran Gcdhag Panunggal sangat menyulitkan Ki Kriyadama. Karena itu, maka setiap kali Ki Kriyadama itu harus berloncatan mengambil jarak. Namun seorang cantrik yang bertubuh tinggi tegap tidak membiarkan Ki Kriyadama dalam kesulitan. Dengan bekal ilmu yang telah dimilikinya, maka cantrik itupun telah melihatkan
diri melawan Gedhag Panunggal. Bahkan seorang lagi cantrik yang bergabung dengan mereka, karena cantrik itu tahu. bahwa Ki Kriyadamalah yang telah diserahi untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan padepokan bagi mereka. "Jika terjadi sesuatu atas Ki Kriyadama, maka pembangunan padepokan itu setidak-tidaknya akan terhambat" berkata para cantrik itu didalam hati mereka. Sebenarnyalah, para cantrik itupun sudah memiliki ilmu dasar yang kuat. Bersama Ki Kriyadama yang juga berilmu tinggi, maka mereka merupakan lawan yang berat bagi Gedhag Panunggal. Sementara itu, yang berusaha memasuki halaman bangunan utama kemudian dinding halaman itu roboh, namun sebagian dari para penyerang itu tetap tertahan di luar dinding yang roboh itu. Wira Bangga yang datang dari depan bersama para pengikutnya, harus bertempur menghadapi Ki Rangga Suratama. Ternyata pertahanan Ki Rangga itu juga sulit untuk ditembus. Ki Rangga adalah prajurit pilihan yang berilmu tinggi. Sehingga dengan demikian, maka sulit bagi Wira Rangga untuk dapat melewati Ki Rangga Suratama. Wira Bangga sendiri yang berhadapan langsung dengan Ki Rangga Suratama segera menyadari, bahwa Ki Rangga memiliki kemampuan yang tinggi. Namun Wira Bangga tidak segera dapat mengenalinya, bahwa ia berhadapan dengan seorang perwira prajurit Pajang yang tangguh. Tetapi Wira Bangka itupun segera yakin, bahwa yang menghadapinya itu bukan sekedar seorang tukang blandong, penebang dan membelah Kayu atau seorang tukang kayu yang menyiapkan pekerjaan kayu bagi sebuah padepokan. "Siapa kau sebenarnya, Ki Sanak?" Namun Ki Rangga itu menjawab "Aku Sura Kampak. Aku seorang penebang pohon yang kenamaan diseluruh Pajang. Bahkan pohon-pohon yang dianggap keramat seperti apapun, aku akan sanggup menebangnya. Sebaliknya pepohonan yang
berdiri dekat dengan bangunan dan diatas jalan-jalan atau ditempat-tempat yang rumit lainnya, aku akan dapat menebangnya tanpa menimbulkan kerusakan apapun serta tidak akan menutup jalan meskipun hanya sekejap" "Persetan" geram Wira Bangga "jangan berharap aku mempercayaimu" "Terserah kepadamu. Aku tidak akan memaksamu untuk percaya. Tetapi kau sendiri akan mengalami. Aku akan menebangmu seperti menebang sebatang pohon pisang" "Kau tidak bersenjata kapak" "Kapak hanya untuk menebang pohon. Tidak untuk bertempur" "Pedangmu terlalu baik bagi seorang blandong kayu. pedangmu adalah pedang seorang perwira prajurit" Ki Rangga Suratama tertawa. Ternyata mata orang itu cukup tajam. "Siapa namamu?" bertanya Ki Rangga. "Wira Bangga" Ki Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Rangga itu berdesis "Pulang sajalah. Ajak orang-orangmu. Apa sebenarnya yang kau maui dengan menyerang perkemahan ini?" "Aku tidak gila untuk begitu saja pergi. Serahkan Pangeran Benawa. Kalian semuanya akan selamat. Tetapi jika tidak, maka perkemahan ini akan menjadi karang-abang. Semua orang akan mati dan rencana kalian untuk membangun sebuah padepokan hanya tinggal sebuah mimpi buruk saja" "Jika demikian, kita akan bertempur untuk menentukan, siapakah yang harus tunduk diantara kita" Wira Bangga menggeram. Yang berdiri dihadapannya adalah seorang yang tegar menghadapi pertempuran yang sengit itu, tanpa sedikitpun menunjukkan kegelisahan serta kecemasannya. Sejenak kemudian, Wira Banggapun telah meloncat menyerang. Sedangkan Ki Rangga dengan tangkasnya meloncat mengelakkan serangan itu. Namun dengan capat pula membalas menyerang.
Pertempuran diantara keduanyapun segera menjadi semakin seru. Keduanyapun kemudian telah bertempur semakin cepat dan keras. Dalam pada itu, pertempuran di pinggir hutan Jabung itupun menjadi semakin sengit. Orang-orang dari gerombolan dan perguruan yang telah menyerang perkemahan itu berusaha untuk mencapai bangunan utama. Tetapi mereka mendapat perlawanan yang sangat berat. Meskipun ada diantara mereka yang behasil menyusup dan memasuki halaman bangunan utama, namun dihalaman itu, mereka juga mendapat perlawanan yang sangat keras. Sementara itu. Raden Sutawijaya bertempur bersama beberapa orang cantrik serta Pasukan Khusus yang ditempatkan di halaman bangunan utama itu. Tetapi semakin lama Raden Sutawijaya telah tergeser sampai kesamping bangunan Namun tidak seorangpun yang mampu menghentikannya. Setiap kali orang-orang yang bertempur disekitamya telah terlempar keluar dari arena tanpa dapat melibatkan diri lagi kedalam pertempuran. Namun Raden Sutawijaya itupun terkejut ketika di arena pertempuran itu ia melihat beberapa orang perempuan yang bertempur dengan garangnya. Mereka menyeruak diantara dentang senjata yang beradu, langsung menghentakkan kemampuan mereka mendesak para cantrik dan prajurit yang bertahan. Namun Raden Sutawijaya segera mengetahui, bahwa mereka adalah para murid dari perguruan Goa Lampin Perguruan sesat yang menghimpun beberapa orang perempuan yang dapat mereka pengaruhi dan bahkan kemudian tersedia berjalan Giring. Belum lagi Raden Sutawijaya mengambil sikap, tiba-tiba saja dua orang perempuan cantrik telah berdiri dihadapannya. "Aku tentu berhadapan dengan Raden Sutawijaya" desis seorang diantara mereka. "Kau siapa?" bertanya Raden Sutawijaya. "Namaku Melaya Weidi. "Aku Megar Permati, Raden"
"Jadi kalianlah para pemimpin di perguruan Goa Lampin" "Darimana Raden mengetahuinya?" "Ah, nama kalian telah dikenal oleh semua orang muda di Pajang. Sepasang perempuan cantik yang memimpin sebuah perguruan yang disebut perguruan Goa Lampin. "Ah, Raden. Apakah Raden pernah mendengar nama kami?" bertanya Melaya Werdi. "Tentu" jawab Raden Sutawijaya "sebenarnya sudah lama aku ingin bertemu dengan kalian. Tetapi agaknya baru sekarang aku mendapat kesempatan" "Pangeran ingin bertemu dengan kami?" " Ya" "Apakah Raden mempunyai kepentingan dengan kami?" "Ya. Aku ingin melihat apa yang kau simpan didalam sarangmu di Goa Lampin" "Ah, Raden. Kami tidak menyimpan apa-apa" "Semua orang tahu tentang tabiatmu sebagaimana semua orang tahu tentang kemampuanmu berdua" Melaya Werdi itu tertawa. Katanya "Kami memang ingin mohon Raden bersedia datang ke padepokan kami. Kami memang dalang untuk menjemput Raden dan Pangeran Benawa. Jika Raden dan Pangeran Benawa bersedia datang ke perguruan kami, maka kami berjanji untuk melepaskan semua orang yang pernah kami simpan di perguruan kami. Aku dan adikku Megar Permati hanya akan menghamba kepada Raden dan Pangeran Benawa" Tiba-tiba saja terasa tengkuk Raden Sutawijaya meremang. Ketika Melaya Werdi melangkah mendekat, maka Raden Sutawijaya itupun bergeser surut. Melaya Werdi semakin mendekat. Demikian pula Megar Permati. Dengan nada suaranya yang tinggi dan dibuat-buat Megar Permati berkata "Raden. Jika Raden bersedia datang ke perguruan kami, maka Raden akan berada di tengah-tengah kehidupan yang hanya dapat ditandingi oleh mimpi dan angan-angan. Selain kami berdua, maka perempuan-perempuan cantik akan berada
disekitar Raden setiap saat. Raden akan dapat meyakini, bahwa Raden akan berada didalam taman yang penuh dengan bunga-bunga yang harum baunya serta tenggelam dalam kehangatan pelayanan kami" Raden Sutawijaya bukanlah anak-anak lagi. Namun sikap Melaya Werdi dan Megar Permati membuat tubuhnya menjadi gemetar. Ketika diluar sadarnya ia memandang wajah perempuan-perempuan cantik itu, terasa kekuatan yang aneh telah mencengkam jantungnya. Namun Raden Sutawijaya bukan orang kabanyakan. Justru Melaya Werdi dan Megar Permati telah membuat satu kesalahan karena mereka berusaha untuk menguasai perasaan Raden Sutawijaya dengan ilmunya. Raden Sutawijaya segera menyadari, bahwa kedua orang perempuan itu sedang berusaha untuk mencengkam hatinya lewat pandangan mata mereka. Jika hal itu terjadi pada orang lain, maka dengan beradu pandang, maka orang itu akan segera tunduk kepada kehendak Melaya Werdi atau Megar Permati. Tetapi berbeda dengan Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya yang mengetahui bahwa keduanya memiliki ilmu yang dapat memaksakan kehendak mereka lewat benturan pandangan mata, sama sekali tidak menghindarinya. Sekalisekali dipandanginya mata Melaya Werdi dan sejenak kemudian ditatapnya dengan tajamnya mata Megar Permati. Semula Melaya Werdi dan Megar Permati berpengharapan, bahwa Raden Sutawijaya itu akan segera tunduk kepada mereka. Bahkan Raden Sutawijaya akan dapat mereka peralat untuk mengikat Pangeran Benawa pula. Sementara itu, mereka tidak hanya akan memiliki Pangeran Benawa, putera Kangjeng Sultan Pajang, tetapi juga cincin yang sedang diperebutkan itu. Namun wajah merekapun semakin lama justru menjadi semakin tegang. Melaya Werdi dan Megar Permati merasakan tusukan-tusukan halus dijantung mereka. Setiap kali mereka beradu pandang dengan Raden Sutawijaya, justru dada merekalah yang telah berguncang. Kedua orang perempuan cantik itu, mula-mula tidak
menyadarinya. Namun semakin lama terasa dada mereka mulai menjadi nyeri. "Raden" desis Melaya Werdi" Raden masih belum menjawab" "Ya Raden" Megar Permatipun ingin meyakinkan apa yang telah terjadi "jawablah permohonan kami" Raden Sutawijayapun kemudian menjawab "Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati. Aku adalah putera Pemanahan serta putera angkat Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pa-jang. Bagaimana menurut pendapat kalian, apakah aku pantas berada di sarang kalian bersama adimas Pangeran Benawa" Jika saja aku ingin berada diantara perempuan-perempuan cantik, aku dapat menghimpun seribu perawan tercantik di seluruh Pajang. Mereka tentu lebih berarti bagiku dari perempuan-perempuan di Goa Lampin" Wajah Melaya Werdi dan Megar Permati menjadi merah. Ternyata bahwa ketajaman ilmu mereka tidak mampu menikam jantung Raden Sutawijaya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi itupun menggeram "Raden. Raden telah menghina kami. Menghina kami sebagai perempuan dan menghina kami sebagai pemimpin sebuah perguruan yang besar dan memiliki kekuatan. Tunduklah kepada perintah kami meskipun Raden adalah putera Pemanahan serta putera angkat Sultan Pajang. Apalagi sebentar lagi Pajang akan kami hancurkan. Kekuasaan Kangjeng Sultan akan kami tumbangkan. Raden jangan mengira bahwa kami tidak tahu apa yang ada didalam istana Pajang. Istana Pajang tidak lebih bersih dari padepokan kami. Ada berapa puluh perempuan yang tersekap didalam istana itu. Bahkan tentu jauh lebih banyak dari laki-laki yang ada di perguruan kami. Selama ini kami membiarkan saja dugaan orang bahwa kami telah menyimpan laki-laki di perguruan kami dalam kerangkengkerangkeng yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar fitnah Nah, apakah perempuan-perempuan di istana juga tidak ubahnya hidup didalam kerangkeng?" Dada Raden Sutawijaya bagaikan dihentak dengan sebongkah batu padas. Darahnya lelah menjadi panas. Namun Raden
Sutawijaya masih menjawab "Jika kau tahu demikian, kaupun tentu tahu, bahwa aku akan merasa lebih baik berada di istana daripada di padepokanmu. Di istana, kamilah yang berkuasa, sementara di padepokanmu, kalianlah yang berkuasa. Di istana, kami dapat menentukan sendiri apa yang ingin kami lakukan. Sementara bersamamu, maka kami adalah budak-budakmu" "Persetan dengan dongeng itu" Megar Permatilah yang menjadi tidak sabar "tunduklah pada perintah kami. Jika pandangan mata kami tidak mampu menguasai kebebasan kehendakmu, maka kemampuan serta ilmu kami akan dapat mcnun-dukkanmu. Jika kau luput dari tangan kami, maka kami akan lebih senang melihat kau binasa, anak Pemanahan" Jantung Raden Sutawijaya bagaikan membara mendengar cacian Megar Permati. Tetapi Raden Sutawijaya mempunyai pengalaman yang luas menghadapi segala macam lawan didalam berbagai macam pertempuran. Jika lawannya berhasil membakar jiwanya, sehingga kehilangan kendali nalarnya, maka ia sudah menapak kedalam kenyataan yang buruk. Karena itu betapapun kemarahan menghentak-hentak didadanya, namun Raden Sutawijaya tetap mampu mengendalikan perasaannya. "Bersiaplah" berkata Raden Sutawijaya kemudian "kita berada di lingkungan pertempuran yang sengit. Jika kita hanya bercanda saja disini, maka orang-orang yang sedang bertempur itu akan marah kepada kita Orang-orangmu yang terlempar dari medan dengan luka di tubuh mereka, akan mengumpati kalian, karena kalian justru tersenyum-senyum disini" Megar Permati tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja senjatanya telah bergetar di tangannya. Raden Sutawijaya melangkah surut. Namun senjatapun segera merunduk. Raden Sutawijaya yang juga bersenjata tombak pendek, telah siap menghadapi kedua orang perempuan kakak beradik itu. Sejenak kemudian, maka Megar Permati yang marah itu telah
meloncat menyerang. Kemudian disusul pula oleh Melaya Werdi. Dua orang perempuan yang berilmu tinggi. "Kau akan menyesal. Raden" geram Melaya Werdi sambil meloncat. Diayunkannya pedangnya mendatar selangkah surut, sehingga pedang itu sama sekali tidak menyentuhnya. Namun yang kemudian meloncat menyerang dengan pedang terjulur adalah Megar Permati. Tetapi justru ujung tombak Raden Sutawijaya terjulur kearah dadanya, sehingga Megar Permati itu mengurungkan serangannya. Demikianlah, kedua orang pemimpin perguruan Goa Lampin itupun telah bertempur dengan garangnya melawan Raden Sutawaijaya. Meskipun keduanya adalah perempuanperempuan berilmu tinggi, tetapi yang mereka hadapi adalah Raden Sutawijaya. Seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tanpa batas. Pertempuran di halaman bangunan utama perkemahan itu menjadi semakin sengit. Sima Pracima yang berloncatan dengan garangnya, menerkam lawan-lawannya dengan kukukuku bajanya yang tajam, terkejut ketika seorang tua tiba-tiba saja telah berdiri di hadapannya. "Kau siapa, kek?" bertanya Sima Pracima. "Orang memanggilku Ki Panengah, Ki Sanak. Kau siapa?" "Namaku Sima Pracima" "O, jadi kaulah yang bernama Sima Pracima" "Kau pernah mendengar namaku?" "Ya. Aku pernah mendengarnya" "Nah, sekarang kau mau apa" Kenapa tiba-tiba saja kau berada di medan pertempuran ini" Kau sudah terlalu tua untuk bermain-main dengan senjata, kek. Apalagi kau telah berdiri dihadapanku. Mumpung akalmu masih sempat bekerja dengan bening, minggiriah" "Terima-kasih atas kesempatan ini, ngger. Tetapi aku adalah satu seorang hamba di Pajang. Adalah kewajibanku untuk ikut berusaha untuk menyelamatkan Pangeran Benawa Nah, bukankah orang-orang ini datang untuk mengambil Pangeran Benawa?"
"Dari siapa kau tahu bahwa kami berniat untuk mengambil Pangeran Benawa?" "Semua orang mengatakan, bahwa kalian sedang memburu Pangeran Benawa. Karena kalian tahu bahwa Pangeran Benawa sedang membangun sebuah padepokan disini, maka kalianpun telah berdatangan kemari" "Baik. Kau benar. Karena Itu, jika kau mau membantuku menunjukkan dimana Pangeran Benawa bersembunyi, aku akan membebaskanmu, kek" "Jika aku menunjukkan dimana Pangeran Benawa bersembunyi kepadamu, maka kawan-kawanmu, tetapi juga saingan-sainganmu itulah yang akan membantai aku" "Aku akan melindungimu" berkata Sima Pracima. Ki Panengah tertawa. Katanya "Sebaiknya kau berusaha melindungi dirimu sendiri saja, ngger. Jika kau benar-benar sempat bertemu dengan Pangeran Benawa, maka kau tidak akan dapat keluar lagi dari arena ini" "Jangan merendahkan aku, kek" "Tidak. Aku sama sekali tidak merendahkanmu. Aku tahu kau berilmu tinggi. Tetapi akupun tahu bahwa Pangeran Benawa berilmu sangat tinggi" Sima Pracima menggeram. Namun kemudian iapun berkata "Baiklah kek. Bersiaplah. Sebelum aku bertemu dengan Pangeran Benawa, Aku harus menyingkirkanmu lebih dahulu" "Mudah-mudahan kau tidak bertemu dengan Pangeran Benawa. Ia masih muda. Darahnya masih mudah mendidih. Sementara itu, ilmunya tidak dapat diukur tatarannya "Jangan menganggap aku anak yang masih belum hilang pupuk lempuyang diubun-ubunku, kek. Aku tidak dapat kau takut-takuti seperti itu. Aku tahu bahwa siapapun didunia ini, tidak ada yang memiliki kemampuan tidak terbatas" "Kau benar, ngger. Tetapi bukankah batasan itu mempunyai unda-usuk" "Cukup, kek. Jika kau memang ingin mati, bersiaplah. Agaknya kau sudah terlalu lama hidup didunia ini" Ki Panengah mundur selangkah, katanya" Jika angger ingin
tahu. Pangeran Benawa berada dihalaman belakang ini pula bersama Kerbau tua itu" "Kebo Serut?" "Ya. Tetapi kerbau tua itu bertemu dengan sahabat lamanya, Ki Waskita. Namun agaknya kerbau tua itu tidak dapat mengenalinya lagi" "Kau melihat sendiri?" "Ya. Aku tadi berada disana bersama dengan Ki Waskita. Tetapi akupun kemudian bergeser kemari" "Aku harus segera menemuinya sebelum Pangeran Benawa jatuh ke tangan kerbau tua yang gila itu. Nah, sekali lagi aku beri kau kesempatan untuk minggir, kek" "Tidak usah. Jika aku memerlukan, aku akan mengambil kesempatan itu sendiri" "Gila" Sima Pracima berteriak "kau mau apa, kakek tua Kau jangan bermimpi untuk dapat melawan aku meskipun hanya sesilir bawang. Demikian kau memutuskan untuk melawan aku, maka akupun akan segera melubangi jantungmu" "Bagus. Lakukan" "Maksudmu?" "Aku memutuskan untuk melawanmu" Demikian mulut Ki Panengah terkatup, maka Sima Pracima itu telah meloncat menyerang. Jari-jarinya yang terbuka siap menerkam dadanya dan mencengkam jantungnya. Tetapi Sima Pracima itu terkejut. Orang itu mampu bergerak Jebih cepat, sehingga jari-jari Sima Pracima yang terbalut dengan baja yang berujung runcing itu tidak menyentuhnya. "Kau tidak dapat menepati kata-katamu" berkata Ki Panengah "kau tidak mampu melubangi jantungnya. Bahkan kau tidak dapat mengoyakkan pakaianku" "Iblis tua" teriak Sima Pracima "kau akan menyesali kesombonganmu. Kau akan mati dengan cara yang lebih parah lagi" Sima Pracimapun menjadi semakin garang. Kakinya berloncatan sementara tangannya menggapai-gapai mengerikan. Jika tangan itu gagal mencengkam leher, maka
tangan itupun terayun meggetarkan. Sentuhan ujung kukukuku bajanya akan dapat mengoyak kulit daging lawannya sampai ke tulang. Tetapi betapapun Sima Pracima mengerahkan kemampuannya untuk menyerang, namun sulit baginya untuk dapat mengenai tubuh lawannya karena Ki Panengah mampu bergerak melampaui kecepatan Sima Pracima. Sima Pracima itupun menggeram seperti seekor harimau yang lapar melihat seekor kijang melintas di dekatnya. Namun sima Pracima tidak mempunyai kesempatan untuk dapat melukai kulitnya, meskipun hanya segores tipis sekalipun. Dalam pada itu, maka pertempuranpun di perkemahan itupun semakin lama menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun orang-orang dari beberapa gerombolan dan perguruan itu jumlahnya lebih banyak dari mereka yang bertahan, namun kctrampilan para prajurit telah memaksa para penyerang itu harus mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan mereka. Namun mereka terlambat menyadari bahwa yang mereka hadapi bukan sekedar tukang-tukang blandong yang hanya mampu membelah kayu. Satu-satu orang-orang yang datang menyerang perkemahan itu terlempar dari arena dengan luka di tubuh mereka. Meskipun demikian jumlah mereka yang banyak, mampu mengguncang pertahanan para prajurit Pajang. Namun mereka yang sudah berada di halaman perkemahan, tidak mampu mendesak para cantrik dan prajurit yang bertempur dengan garangnya. Meskipun dinding halaman telah roboh, sehingga tidak lagi batas antara halaman perkemahan dan lingkungan disekitarnya, namun pertahanan yang berlapis, telah membatasi gerak orang-orang yang datang menyerang perkemahan itu. Kebo Serut, seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, yang dituakan diantara mereka, ternyata tidak mampu mengalahkan Ki Waskita Semakin lama Ki Kebo Serut justru
semakin terdesak. Meskipun Ki Kebo Serut telah mengeluhkan kemampuannya namun ia tidak behasil menundukkan dan apalagi menghentikan perlawanannya. Dalam pada itu, dari kejauhan, para petugas sandi yang dikirim oleh Harya Wisaka mengawasi keadaan dengan saksama Mereka melihat dari kejauhan dinding halaman perkemahan yang roboh. "Apakah mereka akan segera dapat menguasai Pangeran Benawa dan para cantrik?" "Kita tidak peduli dengan para cantrik. Tetapi bagaimana dengan Pangeran Benawa" "Jumlah mereka terlalu banyak. Agaknya para prajurit dan para cantrik mengalami kesulitan" "Pertempuran masih berjalan denggan sengitnya" "Tetapi orang-orang yang menyerang perkemahan itu telah mampu menyusup disegala sudut perkemahan. Jika Harya Wisaka terlambat, maka Pangeran Benawa tentu sudah jatuh ketangan mereka. Bahkan mungkin telah dibawa lari atau dibunuh di tempat, tetapi cincin itu sudah berada di tangan mereka" Kawannya termangu-mangu sejenak. Sambil mengerutkan dahinya iapun berkata "Kita harus segera melaporkan kepada Harya Wisaka. Harya Wisaka tidak boleh terlambat" "Baik. Kau tinggal disini mengawasi keadaan. Aku akan pergi menemui Ki Lurah Sindetan" "Kenapa Ki Lurah Sindetan. Kau harus bertemu langsung dengan Harya Wisaka" "Jangan memperbodoh diri sendiri. Apakah kita pernah dapat menghadap langsung Harya Wisaka begitu saja?" Kawannya tidak menjawab. "Sudahlah. Tunggulah disini" Kawannyapun segera bergeser menjauh. Dengan hati-hati iapun menyusup diatara gerumbul-gerumbul liar. Kamudian memasuki daerah persawahan. Berlari-lari di pe-matang menuju ke padukuhan terdekat.
Di padukuhan itu Harya Wisaka telah menempatkan landasan pengintaian terhadap kejadian-kejadian di hutan Jabung. Segala sesuatunya diatur oleh seorang petugas yang dipercaya oleh Harya Wisaka. Ki Lurah Sindetan. "Kita akan menghadap Harya Wisaka" berkata Ki Lurah Sindetan kemudian. Berdua mereka berkuda menuju ke sebuah padukuhan lain yang dipergunakan oleh Harya Wisaka untuk menempatkan sebagian dari pasukannya. Laporan yang disampaikan oleh Ki Lurah Sindetan bersama seorang pengawas yang menyaksikan langsung pertempuran di hutan Jabung itu memang harus mempertimbangkannya. Dengan nada berat Harya Wisaka itupun bertanya "Apakah dalam pertempuran itu kekuatan kedua-belah pihak sudah nampak susut?" "Sudah" jawab pengawas yang langsung menyaksikan pertempuran di hutan Jabung "korban sudah berjatuhan. Tetapi pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya" "Siapakah yang nampaknya akan menguasai keadaan" Gerombolan-gerombolan liar itu atau para prajurit Pajang?" "Kami belum dapat mengambil kesimpulan. Pertempuran itu terjadi demikian sengitnya. Tetapi dinding yang melingkari bangunan utama sudah roboh. Pertempuran terjadi dan menyebar ditempai yang luas. Para prajurit tidak berhasil menghambat dan apalagi menahan para penyerang diluar dinding bangunan utama" Harya Wisaka mengangguk-angguk. Pengawas yang langsung menyaksikan medan pertempuran itu telah memberikan gambaran sejelas-jelasnya sesuai dengan penglihatannya. Akhirnya Harya Wisakapun telah memerintahkan pasukannya untuk bersiap. Dipanggilnya para pemimpin kelompok dan diperintahkannya untuk berada dalam kesiapan tertinggi. "Kita akan bergerak segera. Setiap saat aku dapat menjatuhkan perintah untuk menyerang. Sampaikan perintah ini, juga kepasukan yang lain yang berada di padukuhanpadukuhan yang lain"
Demikianlah, para penghubung berkuda telah menyampaikan perintah itu kepada kelompok-kelompok yang lain yang berada di padukuhan-padukuhan sebelah menyebelah. Dalam pada itu, setiap gerakan yang dilakukan oleh para pengikut Harya Wisaka itu tidak lepas dari pengamatan para petugas sandi Pajang yang menyampaikannya kepada Ki Tumenggung Wirayuda Sehingga Ki Tumenggung Wirayuda dan mengikuti perkembangan keadaan dengan saksama. Bahkan bukan hanya Ki Tumenggung Wirayuda sajalah yang memperhatikan pertempuran itu dengan bersungguhsungguh. Ki Gede Pemanahan sendiri mengikuti setiap langkah yang diambil oleh segala pihak. Bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan menyadari, bahwa anaknya laki-laki bersama Pangeran Benawa berada di perkemahan itu. Dalam pada itu, pertempuran di perkemahan itu menjadi semakin sengit. Meskipun jumlah para penyerangnya lebih banyak, tetapi para prajurit perlahan-lahan mampu menguasai keadaan. Hambatan Jerat dan jebakan yang dipasang oleh para prajurit sudah mengurangi jumlah lawan mereka Sedangkan dalam pertempuran yang terjadi kemudian, dengan garangnya para prajurit yang bekerja di perkemahan itu sebagai pekerja-pekerja kasar, telah membabat lawanlawan mereka. Seperti perintah yang diterima para prajurit itu, sebagaimana perhitungan Pangeran Benawa sehingga ia bersedia untuk menjadi umpan, memancing gerombolangerombolan serta perguruan-perguruan yang menginginkan cincin itu, Pajang memang ingin menghancurkan mereka. Gerombolan-gerombolan dan perguruan-perguruan sesat itu bagi Pajang merupakan bisul yang dapat pecah, kemudian menjadi penyakit yang berbahaya. Karena itu, maka secepatnya bisul itu justru harus dicabut sampai ke akarakarnya agar kelak tidak akan dapat tumbuh lagi. Berdasarkan atas perintah itu, maka para prajuritpun telah bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka.
Seorang Lurah Prajurit yang bertempur melawan dua orang pengikut Kebo Serut berkata "Menyerah sajalah. Jika kalian menyerah, maka kalian menjalani hukuman atas perbuatanperbuatan kalian yang bertentangan dengan paugeran, maka kalian akan dapat hidup dengan wajar sebagaimana orang lain. Kalian akan dapat hidup dengan tenang bersama keluarga. Bersama anak istri dan tetangga-tetangga dalam suasana yang damai" Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka menggeram "Kau tidak perlu membujuk aku. Aku tahu apa yang terbaik aku lakukan. Kau kira jika kami tidak menyerah, kami tidak mempunyai kemungkinan untuk hidup?" "Ya" jawab Lurah Prajurit itu "jika kalian tidak menyerah, kalian akan mati di peperangan ini" "Omong kosong" "Aku berkata sebenarnya. Kami, yang bertempur ini bukan blandong-blandong kayu atau sekedar pekerja kasar. Tetapi kami adalah prajurit-prajurit meskipun kami tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritan kami. Kami memang mendapat tugas untuk menghancurkan gerombolan-gerombolan dan perguruan-perguruan yang setiap saat akan dapat mengganggu ketenangan dan ketenteraman Pajang. Bahkan dapat mengganggu jalannya pemerintahan di Pajang" "Mimpi buruk bagi Pajang. Tetapi sebenarnyalah pada suatu saat Pajang akan dapat kami runtuhkan. Kau kira pemerintahan di Pajang berjalan baik sekarang ini?" "Kami tidak mengingkari bahwa ada cacat dalam pemerintahan di Pajang sekarang ini. Tetapi apakah dengan demikian kami harus mendukung gerombolan-gerombolan dan perguruan-perguruan sesat seperti gerombolan kalian ini" "Persetan dengan igauanmu" "Sekali lagi aku peringatkan, menyerahlah" "Cukup, Tengadahkan wajahmu ke langit yang terbentang diatas Pajang ini. Kau segera meninggalkannya untuk selamalamanya"
Tetapi Ki Lurah itu tertawa. Katanya "Jangan mengigau seakan-akan sebentar lagi kau akan mati" Kedua orang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Seorang diantara mereka segera meloncat sambil mengayunkan goloknya yang besar. Tetapi Lurah prajurit itu sempat mengelak. Bahkan kemudian pedangnyalah yang terjulur menggapai kearah dada. Tetapi lawannyapun segera meloncat surut. Lurah prajurit itu tidak sempat memburu, karena lawannya yang lajn telah menyerangnya pula. Demikianlah, keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Lurah prajurit itu harus bertempur melawan dua orang pengikut Kebo Serut. Tetapi Lurah prajurit itu memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga kedua orang pengikut Kebo Serut itupun segera mulai terdesak. Namun dalam pada itu, seorang kawannya tiba-tiba saja telah meloncat mendekat sambil berkata "Aku ikut kalian membantai orang ini" Lurah prajurit itu meloncat surut "Namun tiba-tiba saja ia melenting sambil menjulurkan pedangnya lurus-lurus menikam dada orang yang baru saja melibatkan diri itu. Orang itu mengumpat kasar. Namun kemudian orang itupun terhuyunghuyung dan jatuh berguling ditanah. Kedua orang kawannya yang sudah bertempur lebih dahulu terkejut. Orang itu tidak sempat berbuat apa-apa. Demikian ia meloncat mendekat, maka dadanya telah tertembus ujung pedang. Kedua orang pengikut Kebo Serut itupun harus bertempur berdua lagi menghadapi lurah prajurit yang garang itu. Semakin lama kedua orang pengikut Kebo Serut itu menjadi semakin terdesak. Sementara itu, lurah prajurit itu masih mencoba memperingatkan" Menyerahlah, agar aku tidak membunuh kalian berdua" Tetapi kedua orang itu justru meloncat hampit berbareng sambil mengayunkan senjata mereka. Prajurit itupun bergeser dengan tangkasnya Kemudian meloncat berputar. Pedangnya terayun mendatar dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Seorang diantara kedua orang lawannya itu berteriak nyaring. Orang itu terkejut sekali karena ujung pedang Lurah prajurit itu menggores dadanya menyilang dari bahu sampai ke bahu. Kawannyapun terkejut pula. Namun ia berusaha untuk menguasai keadaan. Justru pada saat kawannya itu terpelanting jauh, orang itu meloncat menyerang dengan garangnya. Parangnya menebas mendatar kearah leher lurah prajurit itu. Namun ternyata Lurah prajurit itu dengan tangkasnya merendahkan diri pada lututnya. Pada saat yang bersamaan, iapun telah mengayunkan pedangnya pula mengoyak lambung lawannya yang seorang lagi itu. Orang itupun berteriak pula sambil mengumpat-umpat. Ia masih bertahan berdiri beberapa lama. Namun kemudian iapun terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terbaring di tanah. Darah mengalir dari lukanya membasahi padang perdu disebe-lah hutan Jabung. Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Ia masih mendengar lawannya merintih Tetapi tidak ada niatnya untuk menikam orang itu didadanya dan membunuhnya. Ia tahu bahwa orang itu tidak akan mungkin melibatkan diri lagi dalam pertempuran yang sengit. Seperti Ki Lurah itu, maka para prajurit Pajang yang tidak mengenakan ciri-ciri keprajuritannya itu telah menyusut lawannya. Mula-mula dengan perlahan-lahan. Tetapi semakin berkurang lawan mereka, maka penyusutan itu justru berlangsung semakin cepat. Jika semula para prajurit Pajang harus melawan satu atau dua orang lawan, maka merekapun akhirnya dapat bertempur seorang melawan seorang. Para prajurit yang telah kehilangan lawannya, akan dapat membantu kawan-kawannya yang harus menghadapi lebih dari seorang. Dengan demikian, maka orang-orang dari gerombolangerombolan serta perguruan-perguruan yang menempuh jalan sesat itu menjadi semakin terdesak. Para prajurit telah semakin menguasai keadaan. Namun demikian, justru
disekitar bangunan induk, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para pemimpin gerombolan dan perguruan yang sesat itu semakin berusaha menekan lawan-lawan mereka. Namun mereka tidak mampu berbuat banyak. Ternyata mereka masing-masing telah dihadapi oleh orang-orang berilmu tinggi yang tidak mudah dapat mereka atasi. Pada saat yang demikian itulah, Harya Wisaka memutuskan untuk hadir dimedan pertempuran. Keadaan kedua belah pihak telah menjadi semakin lemah, sementara Harya Wisaka juga tidak mau kehilangan Pangeran Benawa. Setelah beibicara dengan beberapa orang kepercayaannya, maka Harya Wisaka itupun telah mengambil keputusan bulat. Diperintahkan para penghubung untuk melepaskan anak panah sendaren kearah beberapa padukuhan terdekat sebagai isyarat, bahwa pasukannya harus mulai bergerak. Sekejap kemudian, maka beberapa buah anak panah sendaren telah meraung-raung di udara. Anak panah yang meluncur kearah beberapa padukuhan disebelah menyebelah. Isyarat yang merupakan perintah itu telah didengar oleh para petugas yang berada di padukuhan-padukuhan sebelah. Karena itu, maka para pemimpin yang berada di padukuhanpadukuhan itupun segera memerintahkan para pengikut Harya Wisaka itu untuk bergerak. Dengan cepat para pengikut Harya Wisaka yang sebagian terdiri pada prajurit Pajang itupun telah begerak pula. Mereka keluar dari regol padukuhan seperti laron yang keluar dari liang-liangn a diujung musim basah, menghambur kearah perkemahan yang sedang menjadi arena pertempuran itu. Para pengikut Harya Wisaka yang sedang berlari-larian itu tidak segera dilihat oleh mereka yang sedang bertempur itu. Mereka masih sibuk dengan pertempuran itu sendiri. Mereka masih harus berusaha melindungi nyawa mereka. Harya Wisaka yang memimpin orang-orangnya itupun telah memerintahkan kepada para pengikutnya agar memberitahukan kepadanya jika mereka melihat Pangeran
Benawa di arena "Pangeran Benawa adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Tidak ada orang lain yang akan dapat menandinginya kecuali aku sendiri. Sementara itu, sekelompok kecil prajurit pilihan bersama Ki Lurah Sindetan sendiri akan mencoba mengurung dan membatasi gerak Raden Sutawijaya. Sedangkan yang lain akan diselesaikan oleh Ki Rangga Suraniti dan orang-orangnya" Baru beberapa saat kemudian, setelah pasukan Harya Wisaka itu mendekat, maka orang-orang yang sedang bertempur itu melihat, beberapa kelompok pasukan telah berlari-lari dengan senjata telanjang yang teracu-acu. Kedatangan pasukan itu memang mengejutkan. Orangorang dari gerombolan-gerombolan serta perguruanperguruan yang menginginkan menangkap Pangeran Benawa itu mengira, bahwa bantuan para prajurit Pajang berdatangan. Karena itu, maka merekapun menjadi sangat gelisah. Tanpa bantuan itu, mereka sudah tidak berpengharapan lagi. Namun merekapun melihat sebagian dari lawan-lawan mereka, orangorang yang mempertahankan perkemahan itu, bersiap-siap menyongsong mereka dengan senjata teracu. Para pemimpin gerombolan dan perguruan sesat itupun segera menyadari kekeliruan mereka Meraka tidak memperhitungkan kekuatan Harya Wisaka. Beberapa orangpun telah bergumam pula menyebutkan nama Harya Wisaka. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak waktu. Beberapa saat kemudian, pasukan yang dipimpin Harya Wisaka itu telah membentur dua kekuatan yang sudah semakin menyusut. Apalagi kekuatan gerombolan-gerombolan serta perguruan-perguruan yang menginginkan cincin yang dibawa oleh Pangeran Benawa itu. Ternyata pasukan Harya Wisaka memang benar-benar kuat. Ketika kemudian terjadi pertempuran segi-tiga, pasukan Harya Wisaka benar-benar dapat menguasai keadaan. Namun, justru karena itu, maka perlawanan baik oleh para prajurit Pajang yang berada di perkemahan, maupun orangorang dari gerombolan-gerombolan dan perguruan-perguruan
yang memburu cincin yang dibawa oleh Pangeran Benawa itu, lebih banyak bertempur melawan para pengikut Harya Wisaka Bahkan orang-orang berilmu tinggipun mulai mengalihkan perhatian mereka Ki Waskita yang bertempur melawan Kebo Serutpun harus mempertahankan diri pula dari seranganserangan para pengikut Harya Wisaka' Medan pertempuran itupun menjadi kalut Sementara itu Harya Wisaka telah menjatuhkan perintah, bahwa orangorangnya harus membinasakan kedua belah pihak lawan mereka Baik para prajurit Pajang maupun pasukan gabungan yang ingin menguasai Pangeran Benawa itu. Kedua pasukan yang baru saja bertempur itu memang sudah tidak memiliki kekuatan yang utuh lagi untuk menghadapi pasukan Harya Wisaka yang segar. Sementara itu, Harya Wisakapun telah menutup jalan masuk ke Pajang untuk mencegah para penghubung memberitahukan keadaan di medan dan minta bantuan kepada pasukan berkuda yang pada hari-hari terakhir meningkatkan pengawasan mereka didalam kota Pajang. Namun dalam pada itu, para prajurit Pajang telah mempergunakan isyarat yang lain untuk mendatangkan bantuan yang memang sudah dipersiapkan. Justru pada saat para penghubung Harya Wisaka melontarkan anak panah sendaren, para petugas sandi dan penghubung prajurit Pajangpun telah melakukan hal yang sama. Namun arahnya sajalah yang berbeda, sehingga para pengikut Harya Wisaka tidak sempat memperhatikannya. Perhatian mereka lebih tertarik kepada anak panah sendaren yang ditujukan kepada mereka daripada anak panah sendaren yang lain. Apalagi anak panah sendaren yang dilepaskan oleh para penghubung dari Pajang, menuju kearah yang lain. Sebenarnyalah isyarat beranting sebagaimana direncanakan berlangsung dengan lancar. Panah yang terakhir yang dilepaskan oleh seorang penghubung tepat meluncur dan jatuh di halaman depan barak pasukan berkuda sebagaimana telah dirancang. Isyarat itu merupakan perintah bagi pasukan
berkuda untuk segera berangkat menuju ke hutan Jabung yang letaknya tidak terlalu jauh dari pintu gerbang kota. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, iring-iringan pasukan berkuda itupun telah berderap melintasi gerbang utama langsung menuju ke hutan Jabung. Demikian mereka melintasi jalan bulak yang panjang, sekelompok prajurit, pengikut Harya Wisaka. terkejut melihat pasukan berkuda itu. Mereka adalah sekelompok prajurit yang bertugas untuk menutup jalan, agar tidak seorangpun memasuki gerbang kota, untuk mencegah agar pasukan berkuda itu tidak dapat dihubungi. Namun justru pasukan berkuda itu melintas dengan garangnya menuju hutan jabung. Karena itu, maka sekelompok prajurit itu justru telah meninggalkan tempatnya menyusul ke hutan Jabung. Dalam pada itu, dua orang penghubung berkuda yang ditugaskan untuk mencari jalan lain menghubungi pasukan berkuda jika cara yang terdahulu gagal, telah sampai ke barak pula. Tetapi merekapun segera mendapat pemberitahuan, bahwa pasukan berkuda sudah berangkat. "Sukurlah" berkata penghubung itu. Keduanya menyadari bahwa keadaan medan tentu sangan gawat bagi para prajurit Pajang yang sudah berada disana Keadaan itu akan sangat membahayakan pula bagi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Sebenarnyalah, pertempuran di tepi hutan Jabung itu menjadi semakin sengit. Namun para prajurit Pajang yang sudah berada ditempat itu tidak kehilangan hubungan yang satu dengan yang lain. Dengan bahasa sandi serta isyaratisyarat rahasia, mereka tetap berhubungan yang satu dengan yang lain. Dalam pada itu, para prajurit Pajang yang sudah berada di perkemahan itu, harus mengerahkan segenap kemampuan mereka. Sementara Ki Waskita dan Ki Panengah telah melepaskan lawan-lawan mereka karena kelompok-kelompok pengikut Harya Wisaka yang bagaikan banjir bandang melanda medan pertempuran itu.
Sima Pracima ternyata tidak sempat memburu Ki Panengah karena ia segera terjebak dalam kepungan para pengikut Harya Wisaka Beberapa orang pengikutnya segera bergabung dengan Sima Pracima untuk melawan sekelompok orang yang mengepungnya. Sementara itu, Ki Waskita dan Ki Panengah telah berada didekat Pangeran Benawa. Demikian pula Raden Sutawijaya Melaya Werdi dan Megar Permatipun harus menghadapi lawan-lawan mereka yang baru. Beberapa orang prajurit pilihan, pengikut Harya Wisaka. "Berhati-hatilah Pangeran" desis Ki Panengah. Pangeran Benawa tersenyum. Katanya "Pertempuran yang meriah, guru" Ki Panengah mengerutkan dahinya. Sementara Pangeran Benawa bertanya "Dimana Paksi?" "Aku melihat tongkatnya berputaran" sahut Raden Sutawijaya. Pangeran Benawapun kemudian melihat Paksi pula bersama para cantrik dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang memang ditempatkan di bangunan utama itu untuk melindungi Pangeran Benawa. Ki Waskita dan Ki Panengah sependapat, bahwa kekuatan Harya Wisaka jauh lebih berbahaya dari kekuatan gerombolangerombolan dan perguruan-perguruan yang memburu Pangeran Benawa itu. Dengan demikian, maka kekuatan perguruan Ki Panengah yang sedang membangun padepokan itu seakan-akan telah berkumpul. Bahkan Ki Kriyadamapun telah berkumpul pula dalam satu kelompok untuk menghadapi terutama para pengikut Harya Wisaka. Dalam pada itu, para prajuritpun seakan-akan telah ditarik dan berkumpul disekitar perkemahan. Ki Rangga Suratama sudah tidak lagi bertempur melawan Wira Bangga. Tetapi kedua-duanya justru sudah bertempur menghadapi sekelompok prajurit yang menjadi pengikut Harya Wisaka.
Sementara itu, seseorang telah memberitahukan kepada Harya Wisaka, bahwa Pangeran Benawa berada diantara sekelompok orang yang nampaknya memang sedang melindunginya. "Dimana mereka?" bertanya Harya Wisaka. "Marilah" desis orang yang telah melihat Pangeran Benawa. "Sukurlah bahwa Pangeran Benawa masih berada disini" berkala Harya Wisaka kemudian. Namun sebelum mencari Pangeran Benawa, Harya Wisaka berkata kepada Ki Rangga Suraniti "Aturlah orang-orangmu" "Siapakah mereka sebenarnya?" pertanyaan itupun mulai menggelitik mereka yang harus memeras kemampuan mereka menghadapi orang-orang yang dikira sekedar blandong kayu itu. "Semuanya sudah siap melaksanakan perintah berikutnya" jawab Ki Rangga Suraniti "Ki Rangga Surareja juga sudah siap dengan orang-orang pilihannya" "Bagaimana dengan Ki Nukilan?" "Ki Nukilan sudah menunggu perintah" "Pasukan kita harus diatur. Sebagian harus membinasakan orang-orang dari perguruan-perguruan sesat itu, sebagian menahan para prajurit dan membinasakan mereka, sebagian lagi bersamaku, memecah perlindungan atas Pangeran Benawa. Aku sendiri yang akan menangkap Pangeran Benawa itu. Ki Rangga Suranitipun telah memberikan isyarat kepada orang-orang terpenting didalam pasukan Harya Wisaka yang sudah mengambil ancang-ancang untuk langsung menangkap Pangeran Benawa. Dalam pada itu, Pertempuran disekitar perkemahan itupun menjadi semakin sengit. Orang-orang dari gerombolangerombolan serta perguruan-perguruan sesat itupun benarbenar sudah tidak merasa mampu untuk melawan arus para pengikut Harya Wisaka. Meskipun para pemimpin mereka masih dapat melindungi diri mereka sendiri, tetapi keadaan para pengikutnya menjadi sangat parah. Sebelum para
pengikut Harya Wisaka itu datang, maka sudah berada dalam kesulitan. Apalagi setelah arus kekuatan pasukan Harya Wisaka yang segera itu melanda mereka. Karena itu, tanpa berjanji lebih dahulu, maka para pemimpin itu telah memberikan isyarat kepada pengikutnya untuk meninggalkan arena pertempuran. Sebenarnya masing-masing berniat untuk pergi tanpa memberitahukan kepada yang lain. Mereka akan membiarkan gerombolan dan perguruan yang lain binasa dalam pertempuran itu. Namun diluar kehendak mereka, maka setiap pemimpin mempunyai pikiran yang sama sehingga seolah-olah mereka mendapat aba-aba untuk serentak meninggalkan arena'' Namun para pengikut Harya Wisaka yang mendapat perintah untuk menghancurkan lawan mereka tanpa kecuali begitu saja membiarkan mereka melarikan diri. Beberapa kelompok diantara mereka berusaha mengejar orang-orang yang melarikan diri itu. Sebagian dari mereka memang tidak mampu melepaskan diri. Punggung merekapun telah dilubangi dengan ujung pedang atau tombak sehingga mereka jatuh me-nelungkup dengan berlumuran darah. Namun demikian, para pemimpin mereka akhirnya dapat keluar dari neraka itu. Merekapun menyusup diantara pepohonan hutan yang lebat menjauhi api pertempuran yang masih menyala di perkemahan. "Ternyata kita tidak dapat melawan Harya Wisaka" desis Kebo Serut yang berhasil melarikan diri bersama beberapa orang pengawalnya yang terpercaya. "Kita benar-benar dihancurkan hari ini, Ki Kebo Serut" desis salah seorang kepercayaannya itu. "Setan Harya Wisaka. Ia benar-benar licik. Ia sempat membuat perhitungan yang cermat untuk mengambil keuntungan dari sergapan kita untuk menangkap Pangeran Benawa" Kepercayaannya itu mengangguk-angguk. Katanya "Nampaknya Harya Wisaka akan berhasil menangkap
Pangeran Benawa. Bahkan mungkin Pangeran Benawa itu akan dibunuhnya ditempat" "Beberapa orang berilmu tinggi melindunginya. Jika saja Harya Wisaka itu tidak datang" "Seandainya Harya Wisaka tidak datang, apakah kita akan dapat menangkap Pangeran Benawa?" Kebo Serut menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Prang berewok itu ilmunya sangat tinggi. Aku tidak tahu, apakah aku mampu mengalahkannya atau tidak" "Jika saja ada kesempatan" desis kepercayaannya itu. "Orang berewok itu bukan satu-satunya. Sebelum Harya Wisaka datang, kitapun sudah terjebak. Orang-orang Pajang itu sempat membuat hambatan, jerat dan jebakan-jebakan disekeliling perkemahan. Ada beberapa orang kawan kita yang tidak sempat sampai di perkemahan kita. Kelompok-kelompok yang lainpun demikian. Bahkan mungkin masih ada kawankawan kita yang sampai saat ini masih berada di lubang jebakan yang dalam dan belum dapat membebaskan dirinya" "Orang Pajang juga licik" "Orang-orang yang kita anggap pekerja-pekerja kasar itu ternyata adalah prajurit-prajurit" "Orang-orang Pajang yang licik itu kini mengalami perlakuan yang licik lagi. Mereka akan dibantai habis oleh kekuatan Harya Wisaka" Sambil menarik nafas dalam-dalam Kebo Scrutpun berdesis "Semuanya memang licik. Kita juga licik. Kelompok-kelompok lain juga licik" "Namun Harya Wisakalah yang akan dapat menikmati kemenangan hari ini" Kebo Serut tidak menjawab. Katanya "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini. Besok kita akan mendengar kabar, apa yang terjadi di perkemahan ini" Bukan hanya Kebo Serut yang berpendapat bahwa Harya Wisaka akan berhasil menangkap Pangeran Benawa Para pemimpin dari gerombolan dan perguruan-perguruan yang terlibat dalam pertempuran disebelah hutan Jabung itu
berpendapat bahwa Harya Wisaka akan berhasil menangkap Pangeran Benawa Betapa kuatnya pengawalan atas Pangeran Benawa, tetapi pasukan Harya Wisaka itu jumlahnya tidak terhitung. "Bagaimana mungkin Harya Wisaka dapat bekerja serapi itu dimuka hidung kekuasaan Panjang" berkata Sima Pracima kepada orang-orang terdekat. "Satu keajaiban" desis orang terdekat itu "tetapi pengaruh Harya Wisaka dilingkungan keprajuritan Pajang juga cukup besar" "Ia dapat memikat dan kemudian mengikat kelompokkelompok prajurit untuk menjadi pengikutnya dengan menaburkan uang" "Darimana ia mendapat uang sebanyak itu" Namun orang terdekat yang lain berdesis "Bahkan Harya Wisaka berhasil menguasai sebagian prajurit Pajang hanya dengan janji-janji. Jika saja ia berhasil menyingkirkan Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang mulai kurang disukai oleh banyak orang pada saat-saat terakhir masa pemerintahannya" Sima Pracima mengangguk-angguk. Namun untuk sementara ia harus melepaskan nafsunya untuk menguasai Pangeran Benawa dengan cincinnya yang bermata tiga itu. Di tempat lain, Melaya Werdi dan Megar Permati yang juga berhasil lolos dari tangan Harya Wisaka dalam kekalutan perang segi tiga itu sempat beristirahat pula setelah mereka luput dari tangan orang-orang yang mengejarnya. Kasihan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya "desis Melaya Werdi" "Salah mereka sendiri" sahut Megar Permati "jika Raden Sutawijaya mau mendengar ajakan kita serta mengajak Pangeran Benawa pula, mereka tidak akan terlibat dalam kesulitan seperti sekarang. Memiliki kekuatan yang dibawa oleh Harya Wisaka, sulit bagi Pangeran Benawa dan tentu juga Raden Sutawijaya untuk meloloskan diri. Meskipun semua kekuatan yang ada dikerahkan untuk melindungi keduanya, tetapi arus kekuatan harya Wisaka tidak terbendung"
"Nampaknya Harya Wisaka telah mengerahkan semua kekuatan yang dimilikinya" berkata Melaya Werdi "para pendukungnya telah dikumpulkannya beserta para prajurit Pajang yang berhasil dipengaruhinya" "Pertarungan antara hidup dan mati" desis Megar Permati. "Nampaknya Harya Wisaka kali ini akan berhasil" Sebenarnyalah pertempuran di perkemahan itupun masih berlangsung dengan sengitnya. Setelah para pemimpin gerombolan dan perguruan yang menyerang perkemahan di hutan Jabung itu melarikan diri, maka para pengikut Harya Wisaka tidak banyak mengalami kesulitan untuk menghancurkan para pengikut mereka. Tanpa ampun maka merekapun telah dibantai habis-habisan. Hanya orang-orang yang berhasil melarikan diri sajalah yang selamat, sementara yang terjebak dalam pertempuran, tidak mendapat ampun sama sekali meskipun mereka menyerah. Tinggal para prajurit Pajang serta para cantrik sajalah yang masih bertempur dengan gigihnya. Mereka sama sekali tidak terlalu jauh dari Pangeran Benawa. Beberapa orang pengawal khususnya berusaha menyibakkan medan agar Harya Wisaka dapat berhadapan langsung dengan Pangeran Benawa. Namun Pangeran Benawa tidak berdiri sendiri. Disebelah kanannya berdiri Raden Sutawijaya sedangkan disebelah kirinya adalah Paksi Pamekas. Sementara pertempuran disekitarnya masih berlangsung terus, Harya Wisaka itupun berteriak nyaring "Pangeran Benawa. Menyerahlah. Aku hanya ingin cincin yang kau bawa. Jika kau menyerahkan cincin itu, maka kau akan bebas untuk meninggalkan tempat ini. Atau akulah yang akan menarik orang-orangku. Kau dapat melanjutkan membangun sebuah padepokan yang memadai di hutan Jabung ini" "Apakah paman mengira, bahwa dengan demikian persoalannya sudah selesai?" "Aku tidak terlalu dungu sebagaimana yang kau duga, Pangeran. Aku tahu, bahwa ayahandamu. Sultan Hadiwijaya akan memburuku. Tetapi itu tidak apa-apa. Aku mempunyai
landas an tempat berpijak. Aku mempunyai orang-orang yang aku percaya. Akupun mendapat dukungan dari para Senapati yang sakit hati terhadap ayahmu. Senapati yang dengan terpaksa menyerahkan anak-anak gadisnya ke istana. Bahkan ada diantara mereka yang harus merelakan istrinya untuk dipersembahkan kepada Kangjeng Sultan" "Omong kosong" geram Pangeran Benawa. "Jangan berpura-pura tidak tahu" "Dengan fitanahmu itu kau berhasil mempengaruhi banyak pemimpin prajurit Pajang, paman" sahut Raden Sutawijaya. Harya Wisaka tertawa. Katanya "Kau juga jangan pura-pura tidak tahu Raden. Tetapi agaknya kau juga memiliki kesamaan dengan ayah angkatmu itu" "Itu adalah fitnah yang paling keji, paman" Harya Wisaka tertawa. Katanya "Menyerahlah" "Aku juga prajurit, paman" jawab Pangeran Benawa. "Bagus. Jika demikian kita akar bertempur. Aku tahu, bahwa Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya berilmu sangat tinggi. Tetapi aku sendirilah yang akan menangkapmu dan membunuhmu jika kau keras kepala. Sementara itu, saudaraku ini akan memisahkan Raden Sutawijaya dari Pangeran Benawa. Dua orang saudaraku ini akan mampu melaksanakannya. Sedangkan saudaraku yang lain ini mendapat tugas khusus untuk membunuh anak muda yang bernama Paksi itu" "Kenapa Paksi harus dibunuh?" bertanya Pangeran Benawa "Satu pesan khusus" jawab Harya Wisaka "ternyata , Paksi juga termasuk orang penting yang harus mendapatkan perhatian khusus dari pasukanku" Pangeran Benawa tidak menjawab. Namun iapun segera mempersiapkan dirinya. Sebatang tombak pendek tergenggam di tangannya sebagaimana Raden Sutawijaya. Sementara itu, Ki Panengah, Ki Marta Brewok, ki Lurah Yudatama Ki Rangga Suratama, Ki Kriyadama dan para prajurit dari pasukan khusus telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka Ternyata Harya
Wisaka telah membuat perhitungan dengan tepat Harya Wisaka telah mempersiapkan orang-orang khusus yang akan menghadapi orang-orang berilmu tinggi itu. Raden Sutawijaya memang terpancing untuk bertempur melawan dua orang yang disebutnya sebagai saudara Harya Wisaka. Keduanya berilmu tinggi. Mereka bergerak dengan tangkas dan cepat. Kekuatan mereka melampaui kekuatan orang ke-banyakan. "Gila" geram Sutawijaya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia harus bertahan. Jika ia gagal maka kedua orang itu akan membantu Harya Wisaka menangkap Pangeran Benawa. Sementara itu, Paksi harus menghadapi lawannya yang agaknya memang sudah dipersiapkan untuk membunuhnya. Dengan tongkatnya Paksi bertempur mengimbangi kemampuan lawannya. Sementara itu, Pangeran Benawa harus menghadapi Harya Wisaka yang berniat menangkap Pangeran Benawa dengan tangannya sendiri. "Sebenarnya aku ingin beradu kepandaian bermain kuda. Pangeran" berkata Harya Wisaka "tetapi ternyata aku tidak mempunyai kesempatan lagi. Ketika aku mendengar bahwa orang-orang sesat itu berburu di hutan Jabung, akupun telah me-lakukannya pula" Ternyata Pangeran Benawa cukup tenang menghadapi Harya Wisaka. Karena itu, maka sambil berloncatan menghindari serangan-serangan Harya Wisaka yang bersenjata pedang, Pangeran Benawa sempat menjawab " Paman tidak akan dapat memenangkan pertandingan bermain kuda melawan aku. Aku adalah penunggang kuda terbaik di Pajang" "Omong kosong" jawab Harya Wisaka sambil meloncat menyerang. Tetapi serangannya sama sekali tidak menyentuh sasaran. Pangeran Benawa sempat menghindar kesamping. Bahkan tombak pendeknya yang berputar, kemudian terjulur lurus kearah dada. Namun Harya Wisaka memiringkan tubuhnya, sehingga ujung tombak Pangeran Benawa tidak menyentuhnya.
"Akulah penunggang kuda terbaik" geram Harya Wisaka "aku pulalah orang yang menguasai ilmu pedang terbaik di Pajang dan bahkan seluruh Demak" "Aku tidak peduli. Tetapi aku adalah orang yang memiliki kemampuan tertinggi bermain tombak disamping kakangmas Sutawijaya yang telah mampu menghunjamkan ujung tombaknya ke lambung paman Harya Penangsang. Nah, sekarang adalah giliranku untuk melakukannya atas paman Harya Wisaka" "Anak setan kau Pangeran" geram Harya Wisaka "bukankah Sultan Hadiwijaya itu tidak ubahnya sosok setan yang telah merampas tahta Demak dan membawanya ke Pajang. Kakangmas Harya Penangsanglah yang sebenarnya berhak atas tahta itu. Tetapi dengan licik Karebet anak Tingkir itu berhasil menguasainya. Sekarang sudah waktunya untuk mencabut kembali tahta yang dirampasnya itu" Pangeran Benawa meloncat kesamping. Tombaknya berputar dengan cepat. Ayunan mendatar menyambar kearah dada. Namun Harya Wisaka sempat mengelak. "Dongeng paman itu bagus untuk menidurkan anak-anak di ujung malam. Tetapi tidak untuk digelar di medan pertempuran seperti ini" Harya Wisaka tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya datang beruntun sehingga Pangeran Benawa harus bergeser surut. Dalam pada itu, para prajurit Pajang dan para cantrik benarbenar berada dalam kesulitan. Mereka telah dikepung dengan rapatnya. Sebuah lingkaran yang tidak terputus bergerak semakin menyempit. Ujung-ujung senjata mencuat seperti ujung daun ilalang. "Kau tidak akan dapat menghindar kemanapun, Pangeran" geram Harya Wisaka. "Aku tidak akan lari kemana-mana. Aku akan membunuh paman disini" Harya Wisaka menghentakkan senjatanya sambil membentak Kau memang anak yang sombong. Aku akan
membunuhmu. Cincin itu akan menjadi miliku. Kematianmu serta hilangnya cincin kerajaan itu akan menjadi lambang berakhirnya kekuasaan Pajang. Karena sudah diramalkan, bahwa keraton Pajang tidak akan berumur lebih dari satu keturunan saja. Kau, anak Hadiwijaya tidak akan sempat menjadi raja di Pajang" Harya Wisaka terkejut. Ujung tombak Pangeran Benawa hampir saja menyentuh bibirnya. Untunglah Harya Wisaka dengan tangkas meloncat selangkah surut. Dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang berhadapan dengan dua orang lawan harus mengerahkan kemampuannya pula. Tetapi Raden Sutawijaya adalah seorang yang ilmunya seakan-akan tidak terbatas. Karena itu, maka iapun mampu mengimbangi kedua orang lawannya yang berilmu tinggi itu. Meskipun sekali-sekali Raden Sutawijaya harus meloncat surut dan mengambil jarak jika ia mengalami kesulitan, namun kemudian justru Raden Sutawijayalah yang menyerang keduanya dengan garangnya. Ternyata dua orang yang dipersiapkan oleh Harya Wisaka untuk menyingkirkan Sutawijaya itu tidak segera berhasil. Kemampuan Sutawijaya tidak segera dapat diredam oleh kedua orang lawannya. Bahkan sebaliknya, kedua orang lawan Raden Sutawijaya itu segera mengalami kesulitan. -ooo00dw00ooo Jilid 19 DI SISI lain, Paksi bertempur melawan seorang yang umurnya menjelang separo baya. Tubuhnya yang tinggi dan kekar nampak sangat meyakinkannya. Ditangannya tergenggam sebuah bindi yang berat. Tetapi ditangan orang itu, bindi itu berputaran dengan cepatnya. "Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Paksi" geram orang itu. "Kau siapa?" bertanya Paksi.
"Aku adalah salah seorang kepercayaan Harya Wisaka" "Kenapa Harya Wisaka ingin membunuhku" bertanya Paksi. "Tidak hanya kau, Paksi. Harya Wisaka ingin membunuh semua orang yang bekerja bersama dengan Pangeran Benawa" "Aku mengerti. Tetapi nampaknya ada sesuatu yang khusus sehingga ia telah menunjuk seseorang untuk melakukannya" "Nasibmu memang buruk. Jangan terlalu banyak bertanya, agar kau dapat mati dengan tenang. Jika kau tahu kenapa kau harus dibunuh, maka perasaanmu akan tersiksa menjelang kematianmu" "Persetan dengan igauanmu. Tetapi kau belum menyebut namamu" geram Paksi. "Namaku Gana Warak" "Baiklah" berkata Paksi kemudian "jika kau benar-benar ingin membunuhku, maka akupun benar-benar ingin membunuhmu" Gana Warak itu tertawa. Katanya "Kau anak kemarin sore yang masih berbau pupuk lempuyang. Kau tidak mempunyai pilihan apapun sekarang ini kecuali mati" Tetapi Paksi sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan iapun ikut tertawa pula sambil menjawab "Kaulah yang agaknya sengaja membunuh diri. Kenapa kau menjadi jemu untuk berjuang disamping Harya Wisaka" "Setan bekasakari kau" "Jangan marah. Aku adalah tidak marah meskipun kau mengumpati aku atau menghina. Marah adalah satu pantangan besar bagi orang yang sedang bertempur. Nah, bukankah aku telah berbaik hati memberimu peringatan" "Tutup mulutmu. Atau aku yang harus mengoyaknya" Paksi yang masih muda itu tertawa semakin keras. Ternyata orang yang sudah separo baya, yang seharusnya sudah mengendap itu lebih cepat marah daripada Paksi. Namun dengan demikian, orang itupun kemudian telah menyerang Paksi dengan bindinya, seperti prahara yang menerjang pepohonan.
Tetapi Paksi berdiri teguh seperti batu karang. Betapapun gerangnya serangan-serangan yang menerjangnya, namun Paksi letap bertahan dengan teguh. Putaran bindi lawannya yang melibatnya dapat ditepisnya. Ayunan bindi itu dapat dilangkis-nya dengan tongkatnya. Benturan-benturan yang terjadi telah mengejutkan lawannya. Gana Warak yang garang itu tidak menduga, bahwa anak muda yang akan dibunuhnya itu mempunyai kekuatan yang sangat besar, serta ketangkasan gerak yang sangat cepat. Namun Gana Warak tidak sempat menilai kemampuan lawan dengan cermat. Ia harus bertemput dengan cepat, mengimbangi kecepatan gerak lawannya yang masih terlalu muda baginya itu. Namun dalam pada itu, kepungan pasukan para pengikut Harya Wisaka itu menjadi semakin mengecil. Para cantrik dan para prajurit yang bertahan itu semakin mengalami kesulitan. Jumlah lawan ternyata terlalu banyak. Sementara itu, pasukan berkuda yang meluncur dari pintu gerbang Panjang sudah menjadi semakin dekat dengan hutan Jabung. Derap kaki Kuda yang gemuruh itu bagaikan menggancang bumi menimbulkan gempa. Semakin lama pasukan berkuda itu menjadi semakin dekat. Tetapi mereka yang bertempur di hutan Jabung tidak segera mendengarnya. Hiruk pikuk pertempuran, teriakan-teriakan nyaring, sorak yang sekali-sekali terdengar, dentang senjata dan bentakanbentakan lantang, memenuhi seluruh arena. Baru kemudian, ketika pasukan berkuda itu menjadi sangat dekat, orang-orang yang bertempur, terutama para pengikut Harya Wisaka, terkejut karenanya. Tetapi mereka tidak mempunyai banyak kesempatan. Demikian mereka menyadari bahwa pasukan berkuda itu datang, maka pasukan berkuda itu telah bergerak melingkar. Mereka te-lah membuat lingkaran di luar kepungan para pengikut Harya Wisaka. Harya Wisaka yang bertempur melawan Pangeran Benawa mengumpat kasar. Dengan kemarahan yang menggelegak di dadanya, Harya Wisaka itupun berteriak "Apa kerja kelompok
yang menutup jalan masuk ke Pajang sehingga prajurit berkuda itu mendapat laporan tentang pertempuran di hutan ini?" Tidak ada yang menyahut. Orang-orang yang bertempur didekat Harya Wisaka juga mempunyai pertanyaan seperti yang diteriakkan oleh Harya Wisaka. Namun segala sesuatunya sudah terjadi. Pasukan berkuda itu telah berada di hutan Jabung, bahkan telah mengepung pasukannya. Justru Pangeran Benawalah yang bertanya sambil meloncat surut "Kau bertanya kepada siapa, paman" Kepadaku atau kepada orang lain?" Harya Wisaka tidak menjawab. Tetapi ia justru menggeram "Anak yang malang. Kedatangan mereka akan mempercepat kematianmu. Semula aku masih memikirkan kemungkinan untuk memaafkanmu asal kau serahkan cincin itu kepadaku. Tetapi sekarang, kesempatan itu telah tidak ada sama sekali. Aku harus segera membunuhmu, kemudian menyapu pasukan berkuda itu sampai orang yang terakhir" Tetapi Pangeran Benawa tertawa. Katanya "Dalam keadaan seperti ini, paman masih sempat bermimpi. Lihat paman, pasukan paman sudah terkurung. Pasukan paman memang mungkin mendesak kedalam kepungan karena jumlah pasukan paman jauh lebih banyak dari pasukan kami. Tetapi kedatangan pasukan berkuda itu tentu akan membawa perubahan" " Jangan banyak bicara. Kau lebih baik mempergunakan kesempatan ini untuk berdoa. Sekejap lagi nyawamu akan terpisah dari ragamu" Namun Harya Wisakalah yang terkejut. Demikian mulutnya terkatub, ujung tombak Pangeran Benawa terjulur kearah mulutnya. Hampir saja Harya Wisaka terlambat. Namun ia masih sempat meloncat surut sambil merendah. Bahkan Harya Wisaka sempat menjulurkan senjatanya kearah lambung Pangeran Benawa. Namun Pangeran Benawa dengan tangkasnya menggeliat, sehingga ujung senjata itu tidak menyentuhnya.
Harya Wisaka yang kemudian mengerahkan kemampuannya mencoba untuk dengan cepat menghabisi perlawanan Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran Benawa yang menyadari keadaan telah meningkatkan ilmunya. Ternyata Harya Wisaka tidak segera mampu mengakhiri perlawanan Pangeran Benawa yang jauh lebih muda dari dirinya itu. Meskipun pedangnya berputaran seperti baling-baling yang mengitari tubuhnya, sehingga seakan-akan tubuh Harya Wisaka itu terbalut oleh awan yang putih kelabu, namun ujung pedang itu sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Pangeran Benawa. Namun Pangeran Benawapun mengalami kesulitan untuk menembus kabut yang menyelimuti tubuh Harya Wisaka itu. Sementara itu, pasukan berkuda yang telah mulai memasuki arena itupun segera menambah keseimbangan pertempuran. Jika semula para pengikut Harya Wisaka yang mengepung para cantrik dan prajurit yang jumlahnya lebih kecil dari para peng-ikut Harya Wisaka, sehingga mereka semakin terhimpit dalam kepungan yang menyempit, maka justru pasukan Harya Wisakalah yang kemudian telah terjepit. Dibagian dalam mereka harus menghadapi prajurit Pajang dan para cantrik yang sudah berada di hutan Jabung, sedangkan keluar mereka menghadapi para prajurit dari pasukan berkuda yang tegar, yang tenaga dan kekuatannya masih utuh. Sementara itu, kaki-kaki kuda yang beriari-lari mengelilingi medan itupun akan dapat melukai para pengikut Harya Wisaka yang menjadi lengah. Pertempuran di arena itu menjadi semakin sengit. Para prajurit berkuda yang bersenjata pedang, bertempur dengan garangnya. Pedang mereka menyambar-nyambar seperti kuku-kuku elang yang tajam mencengkam anak ayam yang berlari ketakutan. Tetapi para pengikut Harya Wisaka itu bukannya tidak memberi perlawanan. Merekapun berusaha untuk meruntuhkan para prajurit yang ada dipunggung kuda itu. Beberapa orang telah melemparkan tombak mereka. Ternyata
ada juga yang ber-hasil. Seorang prajurit berkuda yang dadanya tertembus tombak telah terlempar jatuh dari kudanya. Tetapi prajurit yang lain sempat menangkis dengan pedangnya, sehingga tombak itu terlempar jatuh ditanah tanpa menyentuh sasarannya. Tetapi para pengikut Harya Wisaka yang marah karena tidak berhasil mengenai penunggangnya, telah menyerang kudanya dengan sengaja. Mereka tidak menghiraukan siapakah sebenarnya lawan mereka. Tetapi kuda-kuda yang menjadi tunggangan itu mereka anggap ikut bersalah. Dengan demikian, maka beberapa ekor kuda telah jatuh terguling. Ujung tombak telah menembus tubuh mereka. Sementara penunggangnya telah terpelanting jatuh. Namun merekapun dengan tangkasnya meloncat bangkit. Senjata mereka yang masih tetap dalam genggamanpun segera berunduk. Mereka juga tidak menjadi tanggung jika mereka harus bertempur dengan kaki menginjak bumi. Dengan demikian, maka pertempuran di hutan Jabung itupun menjadi semakin sengit. Pasukan yang dikerahkan oleh Harya Wisaka tidak lagi dapat menekan lawan-lawan mereka. Para cantrik dan para prajurit dari pasukan khusus yang memang dikirim untuk melindungi para cantrik, terutama karena di hutan Jabung itu hadir juga Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, tidak lagi mengalami tekanan yang sangat berat. Sebagian lawan mereka telah bergerak surut untuk menghadapi pasukan berkuda yang datang bagaikan arus banjir bandang itu. Harya Wisaka yang mengetahui langsung dan kemudian mendapat laporan tentang keadaan medan, berteriak nyaring "Tutup mulutmu, dungu. Kau kira aku buta dan tidak dapat melihat apa yang terjadi?" Penghubung itu terdiam. Namun iapun harus segera tanggap akan keadaan disekitamya. Karena itu, maka penghubung itupun harus bertempur untuk melindungi dirinya.
Pangeran Benawa yang masih harus bertempur melawan Harya Wisaka berkata "Jangan marah kepada penghubungmu, paman. Ia melakukan kewajibannya untuk memberitahukan bahwa pasukan paman dalam kesulitan" "Kau juga harus menutup mulutmu, Benawa" teriak Harya Wisaka. Tetapi betapapun Harya Wisaka mengerahkan kemampuannya, tetapi Pangeran Benawa benar-benar menguasai ilmunya dengan mapan. Bahkan ketika Harya Wisaka sampai pada puncak ilmunya. Pangeran Benawa sama sekali tidak beranjak surut. Pangeran Benawa tidak menjadi gentar melihat cahaya yang berkilatkilat pada daun pedang lawannya sehingga membuatnya kadang-kadang menjadi silau. Namun dengan ilmu Sapta Panggraita. Pangeran Benawa dapat mengetahui dengan tepat, apa yang dilakukan oleh Harya Wisaka. "Kau selama ini berguru kepada siapa, Benawa" geram Harya Wisaka. "Kepada ayahanda, paman" "Omong kosong. Pekerjaan ayahmu hanyalah bercanda dengan perempuan-perempuan itu" "Ia menyisihkan sedikit waktunya, untuk mengajariku bermain tombak bersama kakangmas Sutawijaya" "Setan. Tentu Pamanahan yang mengajarimu sehingga kau menjadi sangat sombong seperti juga Sutawijaya. Tetapi sebentar lagi Sutawijayapun akan mati" Tetapi Pangeran Benawa itu berkata "Lihat paman. Kedua orang lawan kakangmas Sutawijaya itu sama sekali tidak berdaya. Mereka justru mulai terdesak. Sementara itu, Paksipun tidak dapat dikalahkan oleh lawannya. Itukah saudara-saudara paman yang paman banggakan?" Harya Wisaka tidak menjawab. Tetapi diapun meloncat dengan pedang terjulur lurus kearah dada Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran Benawa dengan cepat mengelak. Bahkan tombaknyapun berputar dengan cepat. Landeannya terayun menyentuh lengan Harya Wisaka. Tetapi sentuhan itu tidak
menyakitinya. Sambil meloncat mundur, Harya Wisaka telah menyiapkan serangan. Demikian Pangeran Benawa meloncat maju dengan ujung tombak menikam kearah dada, Harya Wisaka sempat menangkisnya dengan menebas ujung tombak itu kesamping. Pertempuran diantara keduanyapun menjadi semakin sengit. Kemarahan Harya Wisaka rasa-rasanya akan meledakkan dadanya. Meskipun ia tahu bahwa Pangeran Benawa berilmu tinggi, tetapi ia tidak mengira bahwa Pangeran Benawa iiU mampu mengimbangi kemampuannya bermain pedang dengan unsur-unsur gerak yang semakin rumit. Bahkan kekuatan ilmunya telah memancar dari daun pedangnya yang dapat membuat lawannya menjadi silau oleh kilatan-kilatan yang tajam. Tetapi pertahanan Pangeran Benawa sekali tidak terguncang karenanya. Pangeran Benawapun masih tetap tangkas. Serangan-serangannya masih tetap garang dan berbahaya. Disisi lain. Raden Sutawijaya masih menghadapi kedua orang lawannya. Namun kedua orang lawannya yang disebut saudara-saudaranya oleh Harya Wisaka itu, tidak segera dapat menguasai keadaan. Bahkan semakin lama Raden Sutawijaya telah semakin menekan mereka. Apalagi ketika pasukan berkuda semakin mendesak dan menguasai medan. Kegelisahan pasukan Harya Wisaka telah merembet pula ke jantung kedua lawan Raden Sutawijaya. Sementara itu, Paksi berloncatan dengan tongkatnya yang berputaran menghadapi lawannya yang garang. Setiap kali tongkatnya telah membentur senjata lawannya yang berat. Tetapi bindi lawannya itu tidak juga berhasil mematahkan tongkat Paksi yang ujudnya tidak lebih dari sebatang kayu yang seolah-olah begitu saja dipatahkan dari dahannya. Lawan Paksi itupun menjadi semakin gelisah pula sebagaimana kawan-kawannya. Ia tahu pasti, bahwa pasukan Harya Wisaka tidak akan mampu bertahan menghadapi pasukan berkuda itu, kecuali jika Harya Wisaka dengan cepat dapat membunuh Pangeran Benawa, kedua orang lawan
Raden Sutawijaya juga segera dapat menghentikan perlawanannya dan ia sendiri mampu segera mengakhiri perlawanan Paksi, anak muda yang garang itu. Dengan demikian Harya Wisaka, kedua lawan Ra-den Sutawijaya dan Gana Warak itu sendiri akan dapat langsung terjun melawan para prajurit, maka kematian Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya akan dapat mengecilkan hati para prajurit dan para cantrik. Bahkan orang-orang berilmu tinggi yang berada di* ntara para cantrik itupun akan dicengkam oleh kegelisahan dan kebingungan. Tetapi ternyata hal itu tidak dapat mereka lakukan. Bahkan Gana Warak itu sendiri telah mendapat tekanan yang besar dari Paksi. Sebenarnyalah tongkat Paksi yang berputaran semakin cepat itu telah mampu menyentuh tubuh Gana Warak. Meskipun sentuhan itu belum menyakitinya, tetapi Gana Warak merasa benar-benar terkejut. Karena itu, maka Gana Warak itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ayunan bindinyapun kemudian bagaikan menimbulkan angin prahara yang dengan kerasnya melanda tubuh Paksi. Paksi harus bertahan terhadap hembusan angin prahara itu. Bahkan kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi angin pusaran yang melingkarnya. Debu dan sampah dedaunan berter-bangan disekitarnya. Bahkan angin itu seakan-akan mengangkatnya keudara. "Ilmu iblis mana lagi yang dipergunakan Warak gila ini" geram Paksi. Namun Paksi telah mengenal ilmu seperti itu. Mungkin orang yang pernah menyerangnya dengan ilmu serupa adalah saudara seperguruan Gana Warak. Tetapi mungkin juga bukan. Mungkin mereka adalah sempalan-sempalan dari pergu man yang semula mempunyai satu lajer. Justru karena itu, Paksi telah mendapat petunjuk, bagaimana ia harus melawannya. Sambil berdiri tegak dengan lutut yang sedikit merendah, Paksipun telah memutar tongkatnya dilambari dengan ilmu yang telah pernah
disadapnya. Tongkatnyapun kemudian berputar berlawanan arah dengan angin pusaran yang melandanya. Semakin lama semakin cepat semakin cepat. Ternyata Paksi memang luar biasa. Putaran tongkatnya yang melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin kencang itu, mampu mempengaruhi putaran ilmu lawannya. Angin pusaran itu semakin lama menjadi semakin mengecil, sehingga akhirnya yang terjadi adalah gejolak angin yang kacau tanpa arah. Debu dan sampah berhamburan kesegala arah. Hembusan udara yang tidak menentu dan kacaunya penglihatan oleh debu dan sampah dedaunan. Gana Warak mengumpat kasar. Namun kemudian dihentakkannya bindinya langsung mengarah ke tubuh Paksi. Namun Paksipun telah bersiaga sepenuhnya. Dengan cepat ia mengelak. Bindi itu terayun sejengkal dari keningnya. Bahkan Paksi masih sempat menjulurkan ujung tongkatnya. Gana Warak tidak menduga, bahwa Paksi justru menyerangnya dengan ujung tongkatnya. Karena itu, ujung tongkat itu telah mengenai lambungnya. Gana Warak segera meloncat mengambil jarak. Namun Paksi justru memburunya. Serangannyapun telah menyusul pula. Tongkatnya itupun terayun mendatar menyambar kcarah lututnya. Gana Warak melenting tinggi. Sekali ia berputar di udara, kemudian jatuh tepat pada kedua telapak kakinya, sementara tubuhnya seakan-akan menjadi lentur. Sekali lagi tubuhnya melenting dan terayun diudara. De-ngan sebuah putaran diudara, maka Gana Warak telah mengambil jarak. Sehingga ketika Paksi memburunya, Gana Warak telah bersiap sepenuhnya. Namun dalam pada itu, para prajurit berkuda, semakin menguasai arena. Para pengikut Harya Wisaka semakin terhimpit antara kekuatan yang ada didalam kepungan mereka dan kekuatan yang kemudian yang ada di dalam kepungan mereka dan kekuatan yang kemudian justru mengepung mereka. Karena itu, maka keutuhan pasukan para pengikut Harya Wisakapun menjadi semakin rapuh. Sementara itu para
prajurit dari pasukan berkuda yang datang dalam keadaan yang bugar itu, bertempur semakin garang. Harya Wisaka yang terkepung itu memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur. Tetapi ia masih dapat berusaha. Tiba-tiba saja Harya Wisaka itu telah meneriakkan aba-aba sandi yang meskipun telah disepakati oleh para pemimpin pasukan Harya Wisaka, namun mereka sama sekali tidak berniat untuk melontarkannya. Namun ternyata isyarat sandi itu terlontar juga. Para cantrik dan para prajurit Pajang tidak ada yang mengetahui arti dari isyarat itu. Namun merekapun lelah mempersiapkan diri pula. Mereka memperhitungkan bahwa pasukan Harya Wisaka itu akan berusaha meninggalkan medan. Tetapi yang terjadi kemudian agak berbeda dari perhitungan mereka. Harya Wisaka tidak beranjak dari lawannya. Demikian pula kedua lawan Sutawijaya yang menjadi semakin sulit. Lawan Paksipun tidak meninggalkan anak muda itu pula. Namun yang terjadi adalah guncangan di medan pertempuran. Ternyata isyarat itu adalah usaha pasukan Harya Wisaka mengerahkan kekuatan disatu sisi. Pasukan mereka seakanakan telah bergeser dan memusatkan perlawanan mereka pada sisi yang mereka anggap lemah. Isyarat berikutnya telah terlontar pula, dan pertempuranpun segera berubah bentuknya. Pasukan Harya Wisaka telah menggempur dinding kepungan yang mereka anggap lemah. Dengan demikian, maka hentakkan itu telah mendesak para prajurit dan pasukan berkuda disatu sisi untuk bergeser surut. Namun sebelum lingkaran itu pecah, para prajurit berkuda dengan cepat memperkuat dinding kepungan yang hampir koyak itu. Namun gerak pasukan Harya Wisaka telah berubah lagi. Pada dasarnya pasukan Harya Wisaka telah mengacaukan garis pertempuran. Sebagian dari mereka sengaja menyusup masuk disela-sela pasukan lawan. Yang lain. Bahkan ada diantara mereka yang sengaja bergerak dengan cepat menyilang garis
pertempuran. Namun para prajurit dari pasukan berkuda segera menanggapinya. Mereka menyadari, bahwa lawan telah memancing perang brubuh. Sehingga dengan demikian, maka para pemimpin prajurit Pajang itu menduga, bahwa itu adalah usaha terakhir dari pasukan Harya Wisaka untuk menyelamatkan diri. Dalam pada itu, Harya Wisaka sendiri masih ingin mempergunakan kesempatan yang ada untuk menangkap atau membunuh sama sekali Pangeran Benawa. Namun ternyata Pangeran Benawa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari dugaannya. Karena itu, maka Harya Wisakalah yang mengalami kesulitan. Tetapi Harya Wisaka sama sekali tidak berputus-asa. Dikerahkannya segenap ilmunya untuk mematahkan perlawanan Pangeran Benawa. Yang nasibnya lebih buruk dari Harya Wisaka adalah Gana Warak. Seorang yang diaku saudara oleh Harya Wisaka. Seorang yang berasal dari sebuah perguruan di seberang Gunung Kendeng. Ternyata Paksi yang bersenjata tongkat itu mampu mematahkan ilmu yang berkembang dan bersumber dari Aji Sapu Angin. Karena itu, maka justru Gana Waraklah yang kemudian mengalami kesulitan. Sekali-sekali tongkat Paksi telah dapat menyentuhnya. Bahkan ketika ujung tongkat Paksi menyambar lambungnya, Gana Warak terdorong beberapa langkah surut. Perutnya terasa menjadi mual. Namun sebelum Gana Warak sempat memperbaiki keadaannya, tongkat Paksi yang terayun mendatar menyambar kearah kening. Gana Warak masih sempat menangkis dengan bindinya yang berat sehingga ujung tongkat itu tidak mengenainya Namun dengan sangat cepat Paksi memutar tongkatnya. Tongkat itu terjulur lurus, menggapai dadanya. Gana Warak terdorong dengan derasnya. Kali ini ia tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga Gana Warak itu jatuh terbanting ditanah. Namun dengan cepat
Gana Warak itu meloncat bangkit. Dengan berteriak nyaring, Gana Warak memusatkan nalar budinya. Sekali lagi ia mencoba menyerang Paksi dengan Aji Sapu Anginnya yang sudah berkembang dan menjadi semakin berbahaya. Tetapi sekali lagi, Paksi mampu meredamnya. Angin pusaran itupun bagaikan lenyap dihalau oleh gelar kekuatan yang berputar kearah yang sebaliknya, sesuai dengan puratan tongkat Paksi. Namun serangan yang kedua itu membuat Paksi semakin marah. Karena itu, demikian angin pusaran itu pecah berhamburan, maka serangan Paksipun datang bagaikan banjir bandang. Ternyata Gana Warak memiliki kemampuan untuk bergerak secepat Paksi. Karena itu maka ujung tongkat Paksipun lelah mengenainya pula. Bahkan menjadi semakin sering. Ketika tongkat itu benar-benar mengenai keningnya, maka pandangan mata Gana Warak bagaikan menjadi gelap. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka tongkat paksi itu telah memukul tengkuknya, sehingga Gana Warak itu jatuh tertelungkup. Sekali lagi Paksi mengangkat tongkatnya. Namun kendali nalarnya mampu mencegahnya. Baginya orang itu akan menjadi penting jika Paksi menghubungkannya dengan rencana khusus orang itu untuk membunuhnya. Karena itu, maka Paksi mengurungkan niatnya untuk membunuhnya. Ketika Gana Warak itu mencoba untuk bangkit, sekali lagi paksi memukul tengkuknya. Tetapi tidak dengan tongkatnya. Paksi memukul tengkuk orang itu dengan tangannya, agar ia dapat memperhitungkan, bahwa orang itu tidak akan mati karenanya. Sebenarnyalah bahwa Gana Warak telah menjadi pingsan. Paksipun kemudian memanggil salah seorang prajurit yang kehilangan lawannya. "Bantu aku mengikat orang ini. Aku memerlukannya" Prajurit itupun kemudian telah melepaskan kamus dan ikat pinggang orang itu. Dengan kamus dan ikat pinggangnya
sendiri, maka tangan dan kaki orang itu telah diikat. Dalam pada itu, perangpun menjadi semakin sengit. Medan itupun telah menjadi kacau balau. Tetapi para pengikut Harya Wisaka yang berlari-lari menyusup disela-sela lawan dan kawan itu, justru mampu memperpanjang perlawanan. Namun yang terjadi itu tidak akan memperngaruhi akhir dari pertempuran itu. Harya Wisakapun akhirnya menyadari, bahwa tidak ada gunanya lagi bertempur berlama-lama. Justru hanya akan mengurangi jumlah kawan-kawannya yang menjadi korban ujung-ujung senjata lawan. Perang brubuh yang kacau itupun ternyata mampu ditanggapi dengan baik oleh para prajurit yang memang sudah memiliki pengalaman yang luas itu. Sehingga para prajurit dan para cantrik itu tidak menjadi bingung atau kehilangan pegangan. Karena ilu, maka sejenak kemudian, telah terdengar isyarat yang dilontarkan oleh Harya Wisaka disahut oleh beberapa orang diantara mereka. Isyarat yang kemudian terdegar di seluruh medan itupun menimbulkan berbagai pertanyaan pada para cantrik dan prajurit Pajang. Sementara itu, medan pertempuran itupun nampaknya menjadi semakin kacau. Para pengikut Harva Wisaka berlarilari, menyerang dan menghindar dengan berbagai macam cara yang kadang-kadang kasar. Namun pada saat yang demikian ilu, kedua lawan Raden Sutawijaya justru mengalami nasib yang buruk. Ketika keduanya mencoba menghentakkan kemampuan mereka, ternyata Raden Sutawijayapun telah siap dipuncak kemampuannya. Karena itu, maka kedua orang lawannya itu sama sekali tidak berhasil mengacaukan perlawanan Raden Sutawijaya yang agaknya memang tidak menghiraukan suasana seluruh medan, karena Raden Sutawijayapun yakin, bahwa para cantrik dan para prajurit akan dapat menguasai keadaan. Dalam pertempuran yang semakin cepal, seria kemampuan yang diluar perhitungan nalar, maka kedua orang lawan
Sutawijaya itu lelah kehilangan kesempatan. Seorang diantaranya yang mencoba untuk menyerangnya dari samping, justru telah terjerumus kedalam keadaan yang paling buruk. Tombak Raden Sulawijaya lelah menghunjam langsung kedalam perutnya. Kawannya yang melihat keadaan iiu, sama sekali tidak berusaha menolongnya. Ia tahu bahwa usaha itu tentu akan sia sia. Karena itu, maka iapun justru berusaha melarikan diri dan hanyut kedalam kekacau-balauan pertempuran. Telapi Raden Sutawijaya tidak melepaskannya. Dengan loncatan panjang, maka ujung tombak Raden Sutawijaya itu lelah menggapai punggung orang yang berusaha melarikan diri itu. Terdengar teriakan nyaring. Namun kemudian diam. Pada saat yang demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin kacau. Namun para pengikut Harya Wisakapun telah mempergunakan kesempatan uniuk itu bergerak keluar dari arena. Mereka bergerak kearah hulan Jabung yang masih lebal. Harya Wisaka yang tidak lagi mempunyai kemungkinan uniuk berhasil menangkap atau membunuh Pangeran Benawapun berusaha untuk mempergunakan kesempatan itu, melarikan diri dalam perlindungan kekacau-balauan itu. Namun dalam pada itu, terdengar Ki Rangga Yudapranata berteriak "Menyerahlah. Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi" Tetapi para pengikut Harya Wisaka tidak segera memenuhi perintah itu. Mereka masih berusaha untuk melepaskan diri. Mereka menyadari, bahwa jika mereka menyerah, mereka akan diadili dengan tuduhan pemberontakan. Sementara ilu, Harya Wisaka sendiri masih mencari kesempatan untuk dapat menghindari lawannya yang masih muda itu. Ketika arus kekacauan itu seakan-akan melanda arena tempat Harya Wisaka bertempur, karena para pengikut Harya Wisaka sengaja ingin memberi kesempatan kepada pemimpinnya uniuk melarikan diri, maka Harya Wisaka telah berusaha untuk
hanyut dalam arus yang bergejolak keras itu. Namun demikian ia meloncat surut, maka langkahnyapun segera terhalang. Ternyata Raden Sutawijaya telah berdiri dengan tombak pendek ditangannya menghadangnya. Harya Wisakapun segera bergerak kesamping. Namun sekali lagi langkahnya terhenti. Dihadapannya berdiri Paksi dengan tongkatnya siap untuk menghadapinya. Harya Wisaka menjadi berdebar-debar. Sementara itu arus gelombang kekacauan telah berlalu. Para prajurit Pajang telah menghalau para pengikut Harya Wisaka dengan meninggalkan korban yang terbujur lintang di medan. "Kalian licik" geram Harya Wisaka "kalian hanya berani bertempur dengan kelompok seperti ini" "Menyerahlah, paman" desis Pangeran Benawa "bukankah selama ini kita telah bertempur seorang melawan seorang" Ternyata paman tidak dapat mengalahkan aku" "Kau telah menyadap ilmu iblis" geram Harya Wisaka. Pangeran Benawa tersenyum. Katanya "Apakah yang paman katakan. Aku mohon paman menyerah. Ayahanda bukan pendendam" "Kalau saja kalian jantan, aku akan menantang salah seorang diantara kalian untuk berperang tanding" "Paman mempunyai persoalan dengan aku" berkata Pangeran Benawa "karena itu, perang tanding itu hanya dapat paman lakukan untuk melawan aku" " Tetapi jika paman kehendaki, akupun siap melayani paman" desis Raden Sutawijaya. Harya Wisaka termangu-mangu. Sementara itu Pangeran Benawapun berkata "Sebelum kita berperang tanding paman, aku ingin menantang paman untuk berlomba ketangkasan naik kuda. Aku ternyata seorang pendendam. Sebelum kita berlomba ketangkasan naik kuda, aku masih belum puas. Baru kemudian kita akan berperang tanding jika paman inginkan" Wajah Harya Wisaka terasa menjadi panas. Tetapi ia memang tidak akan dapat berbut apa-apa menghadapi ketiga orang yang telah mengepungnya itu. Sementara itu, pasukan Harya
Wisaka itupun telah hanyut dari arena. Sebagian dari mereka tidak sempat melarikan diri. Mereka tertangkap dan dipaksa untuk menyerah. Mereka harus meletakkan senjata mereka di tanah. Karena mereka tidak mau menyerah dengan suka-rela sehingga masih memberikan perlawanan sampai mereka tidak mempunyai kesempatan lagi atau terluka, maka para prajurit telah mengikat tangan mereka. Ki Rangga Yudapranata yang melihat keadaan medan bersama Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyatama telah menemukan tubuh Ki Rangga Suraniti yang terbaring diam. "Sayang sekali" Ki Rangga Yudapranata berjongkok disisinya "Ia seorang prajurit yang baik. Ia memiliki ilmu yang tinggi" Namun merekapun terkejut pula ketika mereka melihat Ki Rangga Suratapa terbaring tidak terlalu jauh dari tubuh Ki Rangga Suraniti. Tetapi Ki Rangga Suratapa itu masih bertahan. Nafasnya masih mengalir lancar dari lubang hidungnya. Dengan cepat Ki Waskita merawatnya. Ia membawa obat yang untuk sementara akan dapat menolongnya. "Ki Lurah Yudatama" desis Ki Ranngga Suratapa. "Kenapa?" "Ia juga terluka parah" Ki Panengahlah yang kemudian bangkit. Sementara dengan sendat Ki Rangga berkata "Ia berada tidak jauh dari tempat ini" Ki Panengah dan Ki Kriyadamapun segera mencarinya. Ketika mereka akhirnya menemukannya, ternyata Ki Lurah itu sudah tidak bernafas lagi. "Seorang prajurit yang sangat baik" desis Ki Panengah. Sementara itu, seorang prajuritnya duduk disisinya sambil mengusap air matanya. Prajurit itu sendiri terluka. Tetapi ia sempat berdesis ketika Ki Panengah dan Ki Kriyadama mendekatinya "Ia seorang pemimpin yang baik. Aku berhutang nyawa kepadanya" Ki Panengah mengangguk. Katanya "Ya. Ki Lurah Yudatama adalah seorang prajurit yang baik"
Death Dujour 8 Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Perjodohan Busur Kumala 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama