Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 21
Ki Panengah dan Ki Kriyadama itupun kemudian bangkit berdiri dan beringsut ketika Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi datang mendekat. Diantara mereka berdiri Harya Wisaka yang sudah tidak bersenjata. Demikian prajurit yang menangisi Ki Lurah Yudatama itu melihat Harya Wisaka, maka tiba-tiba saja ia meloncat bangkit. Pedangnya terangkat dan terayun dengan derasnya sambil berteriak "kaulah sumber dari malapetaka ini" Tetapi pedang itu membentur landean tombak pendek Pangeran Benawa. Demikian kerasnya, apalagi orang itu tidak mengira bahwa akan terjadi benturan, maka pedang itu telah terlepas dari tangannya. Orang itu terkejut. Selangkah ia surut. Dengan wajah yang tegang prajurit itupun bertanya "Kenapa Pangeran menghalangi aku?" "Prajurit" desis Ki Kriyadama "kau berbicara dengan Pangeran Benawa" "Ya, aku tahu. Justru karena itu aku bertanya. Bukankah Harya Wisaka ini sumber dari malapetaka ini?" "Kau telah kehilangan unggah-ungguh" berkata Ki Kriyadama. Orang itu terdiam, sementara Pangeran Benawa berkata "Aku tahu, hatinya sedang bergejolak" Prajurit itupun kemudian menundukkan kepalanya, sementara Pangeran Benawa berkata "Aku memerlukan Harya Wisaka hidup-hidup. Aku ingin mendengar paman Harya berceritera tentang ketegeran kudanya. Tentang mimpi-mimpinya dan tentang dunianya" Prajurit itu menunduk semakin dalam. Sementara Pangeran Benawa menepuk bahunya sambil berkata "Kau adalah seorang prajurit yang baik. Aku berterima-kasih kepadamu dan kepada kawan-kawanmu yang telah dengan gigih bertempur melindungi kami" Prajurit itu tidak menjawab. Sementara itu, seorang cantrik telah menemui Ki Panengah sambil berkata "Saudara-saudaraku sudah berkumpul, guru"
"Baik. Aku akan segera menemui mereka" Ki Panengahpun kemudian telah memberitahukan kepada Ki Kriyadama, bahwa ia akan menemui para cantrik lebih dahulu. "Marilah Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan kau, Paksi. Kita temui saudara-saudaramu, para cantrik" Ki Kriyadamalah yang kemudian bersama-sama para prajurit yang lain mengangkat tubuh Ki Lurah yang gugur di medan pertempuran itu. Selain Ki Lurah, beberapa orang para prajurit yang lain mengangkat tubuh Ki Lurah yang gugur di medan per-tempuran itu. Selain Ki Lurah, beberapa orang prajurit telah gugur pula. Selebihnya, berserakan tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa. Selain para pengikut Harya Wisaka, juga para-para pengikut orang-orang yang sangat bernafsu untuk memiliki cincin yang ada ditangan Pangeran Benawa itu. Didalam barak yang dipergunakan untuk sementara itu, berkumpul para murid Ki Panengah. Tujuh orang diantara mereka terluka. Tiga orang terluka berat. Ki Panengah merasa sangat prihatin atas peristiwa itu. Tetapi ia masih bersukur, bahwa tidak ada diantara mereka yang gugur dalam pertempuran itu. Agaknya para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Yudatama itu telah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk melindungi para cantrik. Namun Ki Lurah Yudatama sendiri harus menyerahkan nyawanya. Sementara Ki Suratapa terluka berat. Dalam pada itu, meskipun ada tiga orang cantrik yang terluka parah, namun Ki Panengah masih berharap, bahwa ketiganya dapat ditolong nyawanya, jika Tuhan Yang Maha Pemurah berkenan. Namun dalam pertempuran yang sengit itu, Pajang dapat menangkap hidup-hidup Harya Wisaka. Harya Wisaka tidak akan dapat mencuci tangan atas apa yang sudah dilakukannya. Jika sebelumnya, Harya Wisaka tidak dapat ditangkap karena tidak dapat dibuktikan bahwa ia sudah melakukan kesalahan dengan melanggar paugeran, maka saat itu Harya Wisaka langsung dapat ditangkap justru saat ia memimpin pasukannya untuk membunuh Pangeran Benawa.
Tuduhan yang dikenakan kepada Harya Wisaka adalah tuduhan yang sangat berat. Melakukan pemberontakan. Meskipun demikian. Pajang gagal untuk menangkap para pemimpin kelompok dan perguruan yang telah menyerang perkemahan itu. Tetapi mereka telah dapat dikenali di pertempuran itu, sehingga Pajang dapat mengirimkan pasukan ke sarang mereka untuk menghancurkannya. Dalam pada itu, Paksipun kemudian telah teringat kepada seseorang yang mengaku saudara Harya Wisaka yang telah berusaha hiembunuhnya. Ia dapat membuat orang itu pingsan dan kemudian memerintahkan beberapa orang prajurit untuk mengikatnya. Paksipun kemudian minta diri untuk mencari orang yang mengaku bernama Gana Warak itu. Namun Paksi menjadi sangat kecewa. Ternyata orang yang mengaku bernama Gana Warak itu sudah terbujur membeku. "Siapa yang membunuhnya?" bertanya Paksi " bukankah saat ia diikat, ia hanya pingsan?" "Ya, Paksi" jawab seorang prajurit" tetapi ketika arus kekacauan itu melanda tempat ini, dan kemudian dapat kami singkirkan, orang itu kami dapati sudah mati. Dadanya telah ditusuk langsung dengan sebilah pedang atau semacamnya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia tclah memerintahkan kepada orang itu secara khusus untuk membunuhnya. Ketika Paksi kemudian kembali kedalam baraknya, maka iapun langsung mendekati Harya Wisaka yang duduk bersandar tiang. Sementara tangannya yang melingkari tiang itu terikat dengan eratnya. "Harya Wisaka" geram Paksi "bukankah Gana Warak itu kau aku atau mengaku saudaramu?" Harya Wisaka memandang wajah Paksi yang tegang. Namun Harya Wisaka yang terikat itu justru tersenyum. Katanya "Kenapa kau nampak menjadi sangat gelisah" Apakah kehilangan sesuatu di medan?"
"Kenapa kau secara khusus telah memerintahkan Gana Warak itu membunuhku?" Harya Wisaka itu bahkan tertawa. Katanya "Aku ingin kau mati" "Kenapa?" "Kenapa" Kenapa aku ingin kau mati" Kau adalah bagian dari kekuatan lawanku. Apakah ada yang aneh?" Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya mendekatinya. Dengar nada berat Raden Sutawijaya itu bertanya "Ada apa Paksi?" "Harya Wisaka telah memerintahkan seseorang secara khusus untuk membunuhku" "Iapun telah berbuat demikian atas diriku. Dua orang yang diakunya sebagai saudaranya, berusaha untuk membunuhku" "Tentu ada sebabnya. Sebenarnya aku dapat menangkap orang itu hidup-hidup. Ia hanya pingsan ketika aku minta para prajurit mengikatnya. Tetapi seseorang telah membunuhnya" "Siapa yang telah membunuhnya?" bertanya Pangeran Benawa. "Tidak tahu. Tetapi dapat dipastikan bahwa yang membunuh adalah kawan orang itu sendiri. Bukan seorang prajurit atau seorang cantrik" "Paman tentu mengetahuinya" desis Pangeran Benawa. "Aku memang memerintahkannya untuk membunuh Paksi. Bukankah Paksi yang telah menemukan cincin itu dan menyerahkannya kepada Pangeran?" "Tidak. Paksi menyerahkan cincin itu kepada ayahnya" jawab Pangeran Benawa. Tetapi Harya Wisaka itu masih saja tertawa meskipun tangannya terikat "Siapapun yang diserahi cincin itu, namun akhirnya cincin itu telah jatuh ke tangan Pangeran. Aku menjadi tidak senang karenanya. Untuk mendapat keputusan batin, aku perintahkan Gana Warak untuk membunuhnya. Ia bukan saudaraku. Tetapi ia adalah orang upahan. Aku telah mengupahnya dengan uang serta janji, bahwa kelak ia akan menjadi seorang Lurah Prajurit. Untunglah bahwa ia mati,
sehingga kelak aku tidak perlu memenuhi janjiku untuk mengangkatnya menjadi Lurah Prajurit karena ternyata ia tidak berguna sama sekali" Paksi menggeram. Tetapi Pangeran Benawa justru tertawa pula. Dengan nada tinggi iapun bertanya "Seandainya orang itu tidak mati, apakah paman sempat mengangkatnya menjadi Lurah Prajurit?" "Ya" "Kapan?" bertanya Pangeran Benawa. "Pada suatu hari setelah aku mengambil alih pimpinan pemerintahan Pajang dari tangan Kangjeng Suitan Hadiwijaya" Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Namun ia sama sekali tidak nampak marah, sehingga Paksi menjadi heran karenanya. Paksi sendiri hampir tidak dapat menahan diri menghadapi sikap Harya Wisaka. Tetapi Pangeran Benawa sendiri bahkan kemudian tertawa berkepanjangan. Demikian pula Raden Sutawijaya. Dengan ringan Pangeran Benawa bertanya "Kapan itu kirakira terjadinya, paman?" Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Tetapi ia mulai jengkel terhadap sikap Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Mereka sama sekali tidak menunjukkan kemarahan mereka. Pembicaraan itu mereka anggap sebagai sendau gurau saja, atau lebih buruk lagi keduanya menganggapnya hanya sekedar sebagai lelucon yang pantas ditertawakan. Karena itu, maka harya Wisaka tidak tertawa lagi. Ia tidak berasil membuat Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya marah. Memang Paksi nampak menjadi marah. Tetapi yang lain justru mentertawakannya. Ternyata dugaan Harya Wisaka benar. Pangeran Benawa itupun kemudian berkata "Paman memang seorang yang Jenaka. Dalam keadaan seperti ini, paman masih sempat bergurau. "Aku tidak bergurau" Harya Wisaka justru mulai membentak "aku berkata sebenarnya. Aku akan merebut singgasana dari tangan Karcbct, anak Tingkir itu"
"Jangan marah, paman. Aku juga tidak marah, meskipun yang paman sebut Karebct anak Tingkir itu adalah ayahandaku yang sekarang bertahta di Pajang" "Kau tidak akan dapat marah, karena yang aku katakan itu benar" "Aku tahu paman bahwa yang paman katakan itu benar. Aku tidak akan marah. Aku justru bangga bahwa seorang gembala dari Tingkir akhirnya dapat menjadi Raja di Pajang. Nah, bukankah nalarnya begitu" "Cukup" bentak Harya Wisaka "jika saja tanganku tidak terikat" "Pada saatnya aku akan melepaskan ikatan tangan paman untuk melakukan lomba menunggang kuda. Aku sudah mendapat seorang pengikut lagi. Kakangmas Sutawijaya. Jadi kita akan berlomba bertiga. Aku tidak mengajak Paksi, karena menurut perhitunganku, Paksi masih belum dapat menyamai paman dalam hal menunggang kuda" "Cukup. Diam kau Benawa?" Tetapi Raden Sutawijayapun justru bertanya "Kenapa paman menjadi marah" Sebaiknya paman sedikit sabar, agar paman tidak mengalami goncangan perasaan, karena kemarahan paman itu tidak akan berarti apa-apa. Tidak akan menimbulkan perubahan pada keadaan paman sekarang" "Diam. Diam" Harya Wisaka itu berteriak. Tetapi yang terdengar kemudian adalah Pangeran Benawa dan Sutawijaya tertawa. Dengan nada tinggi Pangeran Benawa berkata "Pamanlah yang mulai mengajak kami bergurau. Sekarang paman pulalah yang mulai menjadi marah. Untunglah bahwa kami tidak marah. Keadaan kami sekarang jauh lebih baik dari keadaan paman, sehingga jika kami bertindak lebih jauh dari sekedar mentertawakan paman, paman tidak mencegahnya" "Kalian mau apa" Kalian ingin membunuhku" Kenapa tidak kau lakukan?" "Kami masih memerlukan paman. Sudah aku katakan. Aku adalah pendendam. Aku harus menunjukkan kelebihaku
bermain kuda. Baru kemudian akan dipertimbangkan, langkahlangkah yang akan kami ambil" Harya Wisaka menggeram. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu Pangeran Benawalah yang berkata kepada Paksi "Sudahlah Paksi. Jangan kau paksa paman Harya Wisaka sekarang berbicara tentang saudaranya yang secara khusus diperintahkannya untuk membunuhmu. Besok alau lusa kita masih mempunyai waktu" Paksi mengangguk kecil. Katanya "Baiklah Pangeran. Tetapi hamba tidak dapat melupakan hal ini" "Aku mengerti" berkata Pangeran Benawa. Mereka bertigapun kemudian telah meninggalkan Harya Wisaka yang masih terikat. Sementara itu, Ki Rangga suratapapun telah dibawa ke dalam barak itu. Lukanya juga sangat parah. Sedangkan para prajurit yang terluka lainnya telah dibawa ke barak sebelah. Para tabib yang bertugas dalam lingkungan keprajuritan yang menyertai pasukan berkuda itupun segera bekerja keras untuk mengobati dan merawat mereka. Sementara itu para prajurit yang lainpun sibuk mengumpulkan para prajurit yang gugur. Sedangkan yang lain lagi mengurus mereka yang tertangkap. Baik para pengikut Harya Wisaka maupun para anggauta gerombolan dan para murid dari perguruan yang ingin memiliki cincin yang berada di tangan Pangeran Benawa itu. Dalam pada itu, selain seorang tabib dari lingkungan keprajuritan yang terbaik, maka Ki Waskita dan Ki Panengah telah ikut menangani langsung para cantrik yang terluka. Apalagi mereka yang parah. Hari itu, adalah hari yang sangat sibuk bagi para prajurit. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Disamping itu mereka harus mengurus dan kemudian mengawasi para tawanan yang mengumpulkan para pengikut gerombolan dan perguruanperguruan yang ingin menangkap Pangerang Benawa serta para pengikut Harya Wisaka yang terbunuh, kemudian
menguburkannya, serta membawa mereka yang terluka ke barak. Sementara itu, dua orang prajurit berkuda telah berpacu ke Pajang untuk memberikan laporan, akhir dari permainan yang rumit dihutan Jabung itu. "Yang gugur akan dibawa ke Pajang dan dimakamkan dengan upacara resmi" berkata Ki Tumenggung Wirayuda. Namun upacara pemakaman tidak dapat dilangsungkan pada hari itu juga, karena senja telah turun. Dalam keremangan senja itulah, Pangeran Benawa sendiri bersama Raden Sutawijaya dan Paksi telah membawa Harya Wisaka ke Pajang. Mereka langsung membawa Harya Wisaka menghadap Ki Gede Pamanahan. Tetapi di hadapan Ki Gede Pemanahan, Harya Wisaka itupun berkata dengan lantang "Untuk apa aku dibawa kemari?" Paman Harya Wisaka harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatan paman" jawab Pangeran Benawa. "Tetapi kenapa aku harus menemui Ki Gede Pemanahan" Ia tidak berhak menuntut pertanggung-jawabanku. Hanya mereka yang sederajat atau lebih tinggi dari derajadku yang dapat memeriksa aku dan apalagi menurut tanggung-jawabku. Aku hanya mau berbicara dengan Sultan Hadiwijaya" "Maksud paman, Karebet gembala dari Tingkir itu" Nanti paman juga tidak mau berbicara dengan orang yang menurut paman adalah keturunan pihak pedarakan itu" berkata Pangeran Benawa. "Setan kau Pangeran. Siapapun orang itu, tetapi orang itu sekarang menjadi Sultan di Pajang" " Paman Pemanahan sekarang adalah orang yang mendapat kepercayaan dari kangjeng Sultan untuk mempertanggung-jawabkan keamanan Pajang dalam arti yang seluas-luasnya selain kedudukannya sebagai Panglima seluruh pasukan Pajang, paman" "Aku tidak peduli. Aku hanya mau berbicara dengan Sultan" "Baiklah. Jika demikian, persoalan paman tidak akan pernah selesai, karena Kangjeng Sultan telah menugaskan
paman Pemanahan untuk menangani persoalan paman Harya Wisaka" "Aku akan bertemu dengan Sultan sendiri" Harya Wisaka itupun berteriak marah. Tetapi Pangeran Benawa hanya tersenyum saja. Karena Ki Gede Pemanahan, Pangeran Benawa itupun bertanya "Bagaimana menurut pertimbangan paman?" "Jika Harya Wisaka tidak mau berbicara dengan aku, apaboleh buat" "Maksud paman?" "Simpan saja Harya Wisaka di ruang tahanan" "Sampai kapan, paman?" dengan sengaja Pangeran Benawa bertanya. Ki Gede Pemanahan tersenyum pula. Jawabnya "Sampai Harya Wisaka mau berbicara" "Kalau ia tidak juga mau berbicara dengan paman?" "Ia tidak akan pernah keluar dari bilik tahanannya" "Itu tidak adil. Itu sewenang-wenang. Inikah cara yang ditempuh Pajang untuk menegakkan paugeran?" "Jika paman tidak mau berbicara, lalu apa gunanya untuk mengeluarkan paman dari tahanan?" berkata Raden Sutawijaya. "Aku mau bicara dengan Sultan" "Ayahanda Sultan sangat sibuk" sahut Raden Sutawijaya. "Omong Kosong. Karebet hanya sibuk dengan perempuan" " Nah, bukankah paman tahu bahwa ayahanda sibuk dengan perempuan sehingga ayahanda tidak sempat menemui paman" "Itu tidak adil. Itu sewenang-wenang" "Bukankah Paman memahami tata pemerintahan" Bukankah paman tahu, bahwa tidak semua persoalan harus ditangani oleh Kangjeng Sultan sendiri" Dalam hal ini Kangjeng Sultan sudah menugaskan paman Pemanahan. Karena itu kedudukan paman Pemanahan tidak ada ubahnya dengan kedudukan ayaharda Sultan sendiri"
"Diam kau, diam" Kalian tidak tahu apa-apa tentang pemerintahan. Ki Gede Pemanahan juga tidak tahu apa-apa" "Menurut paman, yang diketahui oleh ayahanda Sultan tentu juga hanya perempuan. Bukankah begitu?" "Setan kau Sutawijaya" Raden Sutawijaya tertawa. Sementara Ki Gede Pemanahanpun berkata "Masukkan kedalam bilik tahanan. Beri kesempatan Harya Wisaka merenungi perbuatannya sampai ia mau berbicara" "Tidak, itu tidak adil. Aku tidak mau sebelum aku berbicara dengan Sultan" Tetapi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak menghiraukannya. Bersama Paksi mereka membawa Harya Wisaka kedalam bilik tahannya. Para pemimpin prajurit di Pajang menyadari, bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Karena ilu, maka disekitar bilik tahannya telah diletakkan penjagaan yang kuat. Disamping lima orang prajurit, telah dilugaskan seorang perwira yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi untuk mengawasi Harya Wisaka. Perwira itu bersama-sama dengan para prajurit setidak-tidaknya akan dapat menghambat jika Harya Wisaka berniat melarikan diri, sementara dengan isyarat akan dapat dipanggil kelompok-kelompok prajurit yang lain yang bertugas didalam istana Pajang. Sementara itu, Ki Gede Pemanahanpun telah memerintahkan untuk memisahkan Harya Wisaka dari lingkungan keluarganya. Tidak seorangpun yang boleh mengunjunginya. Bahkan Raden Ayu Sekarsari, isterinya, juga tidak boleh menemuinya. Dengan demikian, maka Harya Wisaka benar benar merasa dipisahkan dari kehidupannya. Bukan saja niatnya uniuk memiliki cincin kerajaan itu tidak tercapai, namun iapun merasa telah kehilangan segalagalanya. Sementara itu, kerja di hutan Jabungpun telah dilanjutkan. Pembangunan sebuah padepokan yang besar. Bukan sekedar untuk lima-belas orang. Tetapi para pemimpin dan para canirik
sudah membayangkan, bahwa padepokan itu akan menjadi padepokan dan sebuah perguruan yang berpengaruh di Pajang. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi bersama para cantrik telah tenggelam lagi didalam kerja bersama para prajurit demikian masa berkabung lewat. Meskipun gerombolan-gerombolan dan perguruanperguruan yang menginginkan Pangeran Benawa serta kekuatan Harya Wisaka sudah dihancurkan, namun para pemimpin di Pajang masih juga merasa perlu untuk menempatkan para prajurit di hutan Jabung. Kecuali untuk membantu pembangunan padepokan yang terhitung besar itu, juga dianggap perlu bagi keselamatan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Dalam pada itu, setelah pertempuran yang sengit terjadi di hutan Jabung, Paksi pernah sekali mengunjungi keluarganya. Kedatangannya disambut dengan gembira sekali oleh ibu serta adik-adiknya yang telah mendengar peristiwa yang mendebarkan di hutan Jabung. "Yang Maha Maha Penyayang masih melindungi aku, ibu. Sebagaimana saat-saat pengembaraanku, aku selamat" "Sukurlah, Paksi" berkata ibunya dengan mata yang berkaca-kaca "aku sangat mencemaskanmu. Bahkan seluruh keluarga ini. Ayahmu juga menjadi sangat tegang sehingga dimalam harinya, ayahmu sama sekali tidak dapat tidur. Bahkar mondar-mandir diruang dalam. Selongsong lombaknyapun telah dilepasnya sehingga tombak itu dapat dipergunakannya setiap saat. Ayahmu merasa seolah-olah ia berada di medan pertempuran itu pula" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya "Dimana ayah sekarang, ibu?" "Ayahmu baru pergi ke tempat tugasnya di istana. Sebentar lagi ayahmu tentu akan pulang" "Bukankah biasanya yang sudah pulang?" "Sejak terjadi pertempuran di hutan Jabung, ayahmu nampak semakin sibuk. Bahkan ayahmu nampak gelisah sejak
sebelum pertempuran itu berlangsung. Nalurinya sebagai seorang prajurit seakan-akan telah memberitahukan kepadanya, bahwa akan terjadi sesuatu atas dirimu, bahkan ayahmu pernah berkata kepadaku, bahwa ada semacam dorongan untuk menengokmu sehari sebelum pertempuran itu terjadi. Tetapi karena kesibukannya, maka ayahmu belum sempat melakukannya" Paksi mengangguk-angguk. Sementara adik perempuannyapun berkata "Kenapa kakang tidak pulang saja" Bukankah sangat berbahaya berada di pinggir hutan itu?" "Kenapa kakang Paksi harus pulang" Bahkan ayah telah menjanjikan, bahwa akupun akan dikirim ke padepokan itu pula kelak" sahut adik Paksi yang laki-laki. "Untuk apa kau pergi kesana?" bertanya adik perempuannya. "Berguru, seperti kakang Paksi. Aku ingin berbuat sesuatu bagi negara ini sebagaimana telah dilakukan oleh kakang Paksi. Bukankah kakang Paksi yang telah berhasil menemukan kembali cincin kerajaan yang hilang itu" "Sudahlah" berkata Paksi "besok pada saatnya kau akan dikirim ke padepokan itu. Sekarang padepokan itu baru dibuat. Bahkan masih lama padepokan baru itu akan siap. Disamping bangunannya, juga kelengkapan pendukungnya. Terutama sawah dan pategalan, agar padepokan itu dapat mandiri" Kapan padepokan itu siap, kakang. Sebulan" Dua bulan?" Paksi tertawa. Katanya "Jauh Jebih lama lagi. Mungkin setahun segala-galanya baru siap" "Jadi selama ini?" "Segala-galanya serba sementara. Kami tinggal di padepokan yang bangunannya dibuat untuk sementara. Dindingnya yang diperbaharui karena dalam pertempuran itu telah dirobohkan, juga untuk sementara. Kami masih mendapat sumbangan bahan pangan dari Pajang. Tetapi kami sudah mulai menggarap tanah yang semula padang perdu. Kami telah mengalirkan air dengan parit melintasi padang
perdu itu. Air yang kami dapat dari kebaikan hati petani disebelah padang perdu itu" "Apakah para petani itu sudah tidak memerlukan air?" "Tentu masih. Tetapi air di parit itu cukup melimpah, sehingga kami telah mendapat bagian pula. Sementara itu, kami sedang mengatur arus air dari rawa-rawa di dalam hutan Jabung, yang bersumber dari dua mata air yang terhitung besar di dalam hutan itu. Jika kami dapat menyalurkan air itu untuk sementara ke sungai terdekat, maka rasa-rasa rawarawa didalam hutan itu akan menyusut. Hutan itu akan dapat ditebang dan dibuat tanah pernah mengering meskipun di musim kemarau" "Kakang" berkata adik laki-laki Paksi "aku ingin ikut kakang sekarang saja. Jika nanti kakang kembali ke padekokan, aku akan ikut serta" Paksi tertawa. Katanya "Jangan sekarang. Padepokan kami untuk sementara masih belum menerima cantrik lagi" "Jika saja ayah bersedia menyampaikan kepada pemimpin padepokan itu" Ibunyalah yang kemudian menyahut "Jangan tergesa-gesa. Masih banyak waktu sementara padepokan itu sudah siap untuk menerima cantrik baru" Adik Paksi itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia nampak kecewa. Sementara adik perempuannya berdesis "Di padepokan itu tidak ada ibu yang dapat melayanimu. Menuang minuman, menyenduk nasi, mengumpulkan pakaian kolor" Kata-katanya terputus. Ketika adik laki-laki Paksi itu bangkit berdiri, maka adik perempuannya itupun segera bergeser dan bersembunyi dibclakang ibunya" "Ibu" desisnya. "Sudahlah" berkata ibunya" kakakmu tentu ingin beristirahat. Ia ingin merasakan satu perubahan dari yang dialaminya sehari-hari di padepokannya yang masih sementara itu"
Tetapi Paksi itupun menyahut "Aku senang berada diantara para cantrik. Disana juga tinggal Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya" "Tetapi mereka tentu mendapat tempat serta pelayanan khusus di padepokan itu" "Tidak ibu. Mereka diperlakukan sama seperti para cantrik yang lain. Seandainya umur mereka berdua tidak lebih tua dari rata-rata para cantrik, maka mereka akan di perlakukan dengan cara yang sama seperti yang lain-lain. Tetapi karena umur mereka, terutama Raden Sutawijaya, maka mereka memang diperlakukan agak berbeda. Namun semata-mata karena umur mereka. Kami memang harus menghormati orang-orang yang lebih lua dan kita. Telapi apa yang kami kerjakan, juga harus mereka kerjakan" Ibunya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya "Baiklah. Duduklah bersama adik-adikmu. Aku akan pergi ke dapur. Aku harus membantu memasak agar sesuai dengan selera ayahmu" Paksi mengangguk sambil menjawab "Silahkan ibu. Aku hari ini akan berada di rumah sampai sore. Aku mendapat ijin kembali ke barak sampai senja" "Kau tidak bermalam disini malam ini?" bertanya adik perempuannya. "Tidak. Aku harus kembali ke barak" "Kembali saja esok, kakang" Paksi tersenyum. Katanya "Nanti aku dimarahi" "Kalau sudah terlanjur mau apa. Biar saja pemimpin kakang itu marah. Tetapi kakang sudah terlanjur bermalam disini" "Nanti aku dihukum" "Dihukum" Apakah mereka berhak menghukum seseorang?" "Ya. Seorang pemimpin perguruan berhak menghukum cantrik-cantriknya yang tidak mematuhi peraturan" "Kenapa pemimpin perguruan itu galak sekali?" "Ah, kau tahu apa" potong adik Paksi yang laki-laki "jika mereka yang bersalah tidak dihukum, maka semua cantrik
yang ada diperguruan itu akan berbuat salah. Mereka menjadi tidak patuh dan paugeran yang ada bukan untuk memagari ketaatan para cantrik, tetapi sekedar untuk dilanggar"' Adik perempuannya mengerutkan dahinya. Justru ibunya yang tertawa sambil berdesis "Ternyata kau lantip juga" "Aku harus mempelajarinya sejak sekarang" Paksipun tertawa. Tetapi adik perempuannya mencibirkan bibirnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, adik laki-laki Paksi itu berdesis "Ayo, kau mau bilang apa?" Adik perempuannya menggeleng. Tetapi iapun kemudian berpegangan pada baju ibunya sambil berkata "Aku ikut ke dapur, bu" Sepeninggal ibu dan adik perempuannya, maka Paksi dan adik laki-lakinyapun turun ke halaman. Mereka duduk di tangga pendapa. Sementara adik laki-laki Paksi itu minta Paksi menceriterakan apa yang terjadi ketika padepokan sementaranya diserang oleh beberapa pihak. Ketika Paksi kemudian berceritera, adik laki-lakinya itu mendengarkannya dengan saksama. Beberapa saat kemudian, mereka melihat seekor kuda dengan penunggangnya memasuki regol halaman. Adik Paksi itupun segera bangkit berdiri sambil berdesis "Ayah" Paksipun berdiri pula. Seorang pembantu dirumah itupun kemudian telah menyongsong Ki Tumenggung untuk menerima kudanya, sementara adik Paksi berlari-lari mendapatkannya sambil berkata "Ayah. Kakang Paksi datang" "Ya. Aku melihatnya" sahut ayahnya. Paksipun mendekati ayahnya pula. Dengan nada tinggi ayahnya itupun bertanya "Kapan kau datang Paksi?" "Tadi siang ayah" jawab Paksi. "Bagaimana keadaanmu?" "Baik, ayah" "Aku sudah berniat untuk pergi menengokmu ke hutan Jabung. Tetapi aku belum mempunyai waktu"
"Ya. Ibu juga mengatakannya. Bahkan sejak sebelum terjadi serangan itu" Ayahnya mengerutkan keningnya. Namun ia tidak bertanya lagi. Sambil melangkah ke tangga pendapa, ia berdesis "Marilah. Kita duduk didalam" Paksi dan adiknyapun kemudian mengikuti ayahnya yang melangkah naik kependapa, langsung ke pintu pringgitan dan masuk keruang dalam. Paksi dan adiknyapun duduk diatas tikar pandan di ruang dalam, sementara ayahnya pergi kebiliknya untuk berganti pakaian serta menyimpan kerisnya. Baru kemudian ayahnya itu telah duduk di ruang dalam pula. Sementara seorang pembantunya telah menyiapkan makan siang diawasi oleh Nyi Tumenggung sendiri. Sambil meneguk minuman, ayah Paksi itupun berkata "Aku telah mendengar secara terperinci, apa yang telah terjadi di hutan Jabung itu, Paksi. Satu perjuangan yang sangat berat. Untunglah bahwa pasukan berkuda itu tidak terlambat datang. Jika saja mereka terlambat, agaknya mimpi tentang padepokan itu akan segera pudar" "Bukan hanya itu ayah. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tentu sudah terbunuh" "Ya. Agaknya Pangeran Benawa telah melakukan satu kesalahan besar dengan membawa cincin itu ke hutan Jabung. Seharusnya ia menyadari, bahwa cincin itu sedang diburu oleh banyak orang. Kenapa cincin itu tidak disimpan saja di Bangsal Pusaka" "Tetapi rencana Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya justru berhasil ayah" "Apa yang berhasil?" "Pajang dapat menghancurkan gerombolan-gerombolan dan perguruan-perguruan yang memusuhi pajang itu. Nafsu mereka untuk memiliki cincin itu adalah ujud dari nafsu mereka untuk menghancurkan kuasa Pajang dan kemudian memiliki kuasa itu, karena mereka percaya bahwa siapa yang memiliki cincin itu akan dapat memegang kendali pemerintahan di tanah ini. Setidak-tidaknya keturunannya
kelak. Namun hasil yang terpenting dari pancingan Pangeran Benawa itu adalah tertangkapnya Harya Wisaka" Wajah Ki Tumenggung itupun berkerut. Tetapi hampir diluar sadarnya ia berdesis "Harya Wisaka itulah yang bodoh. Seharusnya ia membuat perhitungan yang lebih matang. Ia harus meyakini bahwa pasukan berkuda itu tidak akan sempat pergi ke hutan Jabung. Setidak-tidaknya Harya Wisaka perlu membuat hambatan agar pasukan berkuda itu tidak akan sampai ke hutan Jabung secepatnya" "Ya" jawab Paksi "jika Harya Wisaka dapat menghambat beberapa lama sehingga pasukan berkuda itu datang terlambat, maka ia tidak akan dapat tertangkap. Mungkin Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya telah gugur" Ayah Paksi itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata "Tetapi sukurlah, bahwa hal itu tidak terjadi, sehingga Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya dapat diselamatkan" "Akupun harus mengucap sukur pula ayah" "Ya. Semua para cantrik, termasuk pemimpin padepokan itu harus mengucap sukur" "Terlebih-lebih aku" "Kenapa?" bertanya ayahnya. "Ternyata Harya Wisaka telah memberikan tugas secara khusus kepada seseorang untuk membunuhku" "He?" Ki Tumenggung nampak terkejut "seseorang secara khusus untuk membunuhmu?" "Ya, ayah" "Kenapa?" bertanya ayahnya dengan nada berat. "Aku tidak tahu, ayah. Tetapi ketika hal itu aku tanyakan langsung kepada Harya Wisaka, ia mengatakan, bahwa ia merasa sangat kecewa terhadapku, karena aku telah menemukan cincin itu sehingga cincin itu kembali ke tangan Pangeran Benawa" Wajah ayah Paksi nampak berubah. Katanya "Sayang, aku tidak ada di medan pertempuran saat itu. Lalu, bagaimana dengan orang itu?"
"Orang itu dapat aku tangkap, ayah" "Kau dapat menangkapnya" Hidup-hidup?" "Ya, ayah" "Dimana orang itu sekarang. Agaknya ia ingin menantangku" "Orang itu sekarang sudah mati" "Mati" Bukankah kau dapat menangkapnya hidup-hidup?" "Ya. Tetapi saat aku bersama Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menangkap Harya Wisaka, maka orang yang sudah tertangkap dan diikat itu, justru terbunuh. Tentu oleh kawannya sendiri" "Kawannya sendiri" Bagaimana mungkin" "Sebenarnya tidak aneh, ayah. Jika orang itu mati, maka rahasia yang diketahuinya akan ikut terkubur bersamanya" Ayah Paksi itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata "Ya. kau benar. Sayang sekali orang itu terbunuh" "Mudah-mudahan dapat dicari jalur lain untuk mengetahui apakah maksud orang upahan itu sesungguhnya. Apakah ia melakukan hal itu dengan alasan sebagaimana dikatakan oleh Harya Wisaka, atau ia mempunyai alasan yang lain" Ki Tumenggung itu masih mengangguk-angguk. Tetapi ia justru bertanya tentang hal yang lain "Paksi. Bagaimana pembangunan padepokanmu sekarang" Bukankah dapat berjalan dengan lancar?" "Ya, ayah. Dengan bantuan para prajurit, pembangunan padepokan itu dapat berjalan dengan cepat sebagaimana diharapkan. Sebagian dari para prajurit menebangi hutan untuk membuka sawah dan pategalan. Sedangkan yang lain beserta para cantrik membangun padepokan serta bangunanbangunan kelengkapannya. Termasuk beberapa buah sanggar. Sanggar terbuka dan sanggat tertutup" "Sukurlah" desis ayahnya. Namun ia masih bertanya lagi "Apakah kegiatan perguruanmu sudah dapat berjalan selagi kalian sibuk membangun padepokan itu?"
"Dapat ayah. Kami dapat membagi waktu dengan baik. Para prajurit dan para pekerja yang sebenarnya, memaklumi kegiatan kami" "Sukurlah, sehingga keberadaan kalian di perguruan itu tidak banyak membuang waktu. Tetapi masih beruntung bagi mereka yang datang kemudian. Mereka tidak perlu harus bekerja keras membangun padepokan. Mereka dapat langsung menimba ilmu di padepokan itu" "Tetapi yang datang kemudianpun mempunyai tugasnya masing-masing ayah. Mereka harus menggarap sawah, berternak, belajar menjadi pande besi untuk dapat membuat alat-alat pertanian sendiri serta melatih diri untuk menguasai berbagai macam ketrampilan" Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya "Paksi. Aku justru berpikir untuk menarik kau dari padepokan itu" Paksipun terkejut. Adik laki-lakinya yang ingin segera dikirim ke padepokan itupun terkejut pula. "Kenapa ayah?" "Kau banyak kehilangan waktu di padepokan yang segalagalanya baru mulai itu. Bukankah lebih baik kau berguru ditempat lain yang lebih langsung menerima ilmu lahir dan batin" "Tetapi kami, para cantrik, dapat membagi waktu dengan baik, ayah. Kehadiran kami di padepokan latihan secukupnya. Pagi-pagi sekali, setelah kami melakukan kewajiban kami, kami akan mendapat pengetahuan tentang olah kanuragan. Jika kami sudah memahami ilmu yang kami terima, maka kami akan mendapatkan peningkatan ilmu seterusnya sesuai dengan lapisan-lapisan yang harus dilalui. Kemudian, kami akan turun ke dalam kerja. Kami akan mendapatkan pengalaman yang berharga. Kami akan ikut serta secara langsung menangani pekerjaan pembangunan. Kami mulai dapat mengerjakan pekerjaan batu dan kayu. Kami juga langsung ikut membuat alas dan bebatur dari batu. Kamipun langsung ikut menangani pekerjaan kayu dan yang berhubungan dengan itu. Kami juga diajari membuat alat-alat dari besi yang dipergunakan oleh para pekerja yang
mengerjakan kayu. Tetapi kamipun diajari membuat alat-alat pertanian pula. Meskipun pada dasarnya kami diajari untuk melakukan itu semua, tetapi kami dapat memilih. Yang manakah yang paling sesuai dengan diri kami. Kami dapat mengkhususkan diri untuk salah satu atau dua jenis ketrampilan. Yang masih belum dapat diberikan dengan memadai adalah pengetahuan tentang ilmu pertanian, karena kami baru mulai membuka sawah. Sambil melaksanakan, kami akan dapat memperdalam ilmu pertanian itu nanti semakin mendalam. Selebihnya kami juga mempelajari pengetahuan untuk mengenali musim dan pertanda-pertanda alanryang lain dalam hubungannya dengan pertanian. Selain itu, kami juga diperkenalkan dengan kesusasteraan dan pengetahuanpengetahuan lain serba sedikit. Tentu saja masih sangat terbatas karena keadaan. Tetapi apa yang kami dapatkan sekarang cukup memadai, ayah" "Aku akan melihat sendiri, apa yang kalian lakukan di padepokanmu itu, Paksi. Tetapi aku tidak ingin anakku menjadi seorang tukang kayu, pande besi atau seorang petani. Jika hal itu yang aku inginkan, aku tidak akan mengirimkan kau ke sebuah perguruan. Yang aku inginkan adalah, anakku menjadi seorang yang memiliki pengetahuan yang luas sebagai bekal bagi masa depannya serta seorang yang memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi" "Ayah" desis Paksi "aku yakin, bahwa perguruan kami akan menjadi perguruan yang baik. Ki Panengah dengan para pembantunya dan sekarang Ki Waskita yang juga berada di padepokan itu, akan sangat berarti bagi masa depan kami. Sementara itu Ki Kriyadamapun agaknya tidak berkeberatan untuk menularkan pengetahuannya kepada kami, para cantrik. Selain mereka, Ki Panengah tidak akan berkeberatan untuk mengundang beberapa orang lain yang ahli dihidangnya masing-masing untuk membantunya, mematangkan kami para cantrik" "Semua itu barulah terwujud dalam mimpi. Mimpi Ki Panengah yang disebarkan kepada cantrik-cantriknya"
"Tetapi perguruan ini telah mendapat restu dari ki Gede Pemanahan dan Kangjeng Sultan sendiri. Selain secara resmi hal itu sudah dinyatakannya, merekapun telah mengirimkan putera-putera mereka ke perguruan ini" Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "Baiklah. Aku akan memikirkannya. Tetapi aku benar-benar ingin melihat, apa yang telah kalian lakukan di padepokan kalian" Paksipun mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak menjawab. Dalam pada itu, makanpun telah siap. Karena itu, maka Nyi Tumenggungpun telah mempersilahkan suaminya dan anakanaknya makan bersama di ruang dalam. Nyi Tumenggung sendiri justru lebih banyak sibuk melayani suami dan anakanaknya daripada makannya sendiri. Tetapi wajah Nyi Tumenggung nampak cerah melihat keluarganya yang utuh sedang makan bersama-sama. "Jangan berbicara saja" desis Nyi Tumenggung ketika adik Paksi yang laki-laki selalu saja bertanya kepada Paksi. Anak muda itu mengangguk. Tetapi setelah diam beberapa saat, ia mulai bertanya-tanya lagi. "Nanti kau terbatuk" ayahnyapun memperingatkannya. Beberapa saat setelah mereka selesai makan, maka Ki Tumenggungpun kemudian berkata "Beristirahatlah dahulu, Paksi. Aku akan berada di serambi. Udaranya terasa panas disini", "Silahkan ayah" sahut Paksi "aku juga akan melihat burungburung di halaman samping" "Aku mempunyai bekisar baru, Paksi" berkata ayahnya. "Aku sudah mendengar kokoknya ayah. Tentu bekisar yang bagus" Paksipun kemudian telah pergi kehalaman samping bersama adik laki-lakinya ketika Ki Tumenggung pergi ke serambi, sementara ibunya membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor.
"Bawalah ke belakang" berkata ibunya kepada adik Paksi yang perempuan. Meskipun gadis kecil itu anak seorang Tumenggung, tetapi ibunya mengajarinya untuk melakukan tugas seorang gadis agar kelak ia menjadi seorang perempuan yang tidak canggung menangani rumah tangganya. Sementara itu, Ki Tumenggung duduk diserambi sambil merenung. Ada sesuatu yang tersangkut dihatinya. Bahkan menggelisahkannya. Di halaman samping, Paksi dan adik laki-lakinya melihatlihat beberapa ekor burung yang terkurung didalam sangkarnya. Di tiga sangkar yang lebih besar, terdapat tiga ekor bekisar yang tidak henti-hentinya berkokok. "Burung-burung itu tidak henti-hentinya bernyanyi, kakang" berkata adik laki-laki Paksi. Paksi mengangguk-angguk, sementara adiknya berkata selanjurnya "Dan bekisar itu selalu berkokok menantang" "Kau yakin bahwa burung-burung itu bernyanyi karena hatinya gembira?" "Tentu. Jika burung-burung itu tidak sedang bergembira, mereka tidak akan bernyanyi" Bagaimana jika rnereka tidak sedang bernyanyi, tetapi mereka sedang meratap" Meneriakkan kepedian mereka karena mereka terkurung didalam sangkar. Betapapun bagusnya sangkar yang diperuntukkan bagi mereka, tetapi arti sangkar itu bagi mereka sama saja dengan sangkar yang buruk" "Ah, tentu tidak kakang. Sangkar yang bagus tidak sama dengan sangkar yang buruk" "Mungkin bagi kita yang memandang kelincahan burungburung itu serta mendengarkan kicaunya, apakah burungburung itu sedang bergembira atau sedang menangis. Tetapi bagi mereka, sangkar itu telah membatasi kebebasan mereka. Perampasan atas kemerdekaan mereka" Adik Paksi itu merenung sejenak. Tetapi iapun berkata "Apakah burung-burung itu tidak lebih senang berada didalam sangkar" Mereka tidak perlu bersusah payah mencari makan"
"Tetapi mereka terpisah dari keluarganya. Mungkin pada saat burung-burung itu ditangkap, anaknya masih terlalu kecil untuk ditanggalkannya sehingga anak-anak burung itu menunggu tanpa akhir terpisah dari alamnya. Dari dunianya yang luas seluas langit yang biru" Adik Paksi itu mengangguk-angguk kecil. Dengan ragu-ragu ia berdesis "Tetapi banyak orang yang memelihara burung didalam sangkar" "Sudahlah. Marilah kita lihat kuda-kuda ayah di kandang." "Kuda kakang juga berada di kandang" Paksi tersenyum. Namun tiba-tiba adiknya bertanya "Apakah kuda-kuda itu juga tidak merasa dirampas kebebasannya" Bahkan setiap kali mendapat beban di punggungnya" "Ya" Paksi mengangguk-angguk "kuda, kerbau, lembu. Bahkan dengan dicocok hidungnya" Adiknya memandang Paksi dengan tajamnya. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar ia berdesis "Begitu burukkah peringai kita, kakang" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Asal kita tahu saja. Dengan demikian kita jangan menambah beban mereka. Kita harus bersikap baik terhadap kuda kita, kerbau kita, lembu kita dan binatang-binatang peliharaan kita yang lain. Apalagi binatang-binatang kita yang dapat membantu tugastugas kita" Tetapi adiknya menyambung " Dan yang dapat menghibur hati kita" Paksi tertawa, didorongnya kening adiknya dengan jarijarinya. Namun Paksi kemudian berkata "Mari, kita pergi ke sanggar. Sudah lama aku tidak melihat sanggar itu" "Sanggar itu jarang dipakai. Tetapi setiap hari selalu dibersihkan" "Kau tidak pernah berlatih didalam sanggar?" "Apa yang dapat aku lakukan" Meloncat-loncat" Bergulingguling?" "Tetapi bukankah kau sudah memiliki dasar ilmu kanuragan" Kita pernah berlatih serba sedikit waktu itu"
Adiknya mengangguk-angguk. Katanya "Hanya itulah. Aku selalu mengulang-ulang. Tidak bertambah" "Setidak-tidaknya kau dapat meningkatkan daya tahan serta menjaga kelenturan tubuhmu. Unsur-unsur yang sangat penting bagi olah kanuragan" "Itulah yang aku lakukan setiap hari, kakang" "Apakah tidak ada perhatian sama sekali dari ayah?" "Semula memang ada. Tetapi akhir-akhir ini ayah nampaknya menjadi sangat sibuk. Bukankah kakang juga mengetahui, sejak kakang pulang dari pengembaraan kakang yang panjang, sehingga kakang masuk kembali ke padepokan, ayah selalu nampak sibuk dan tegang" Paksi mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah. Peliharalah apa yang sudah kau miliki. Pada saatnya aku masuk ke sebuah perguruan, kau akan dengan mudah mengikuti tuntunan olah kanuragan" Adik Paksi itupun mengangguk-angguk. Sejenak kemudian, keduanya telah berada di dalam sanggar. Sanggar itu memang nampak bersih. Semua peralatan tertata rapi. Namun terlalu rapi sehingga nampak bahwa sanggar itu memang jarang dipergunakan. Paksipun kemudian berkata kepada adiknya "Nah, lakukan apa yang dapat kau lakukan. Aku ingin mengetahui apa yang sudah kau miliki" "Belum ada, kakang" "Sudah. Aku tahu kau sudah memiliki landasan itu sejak aku belum pergi mengembara hampir dua tahun yang lalu" "Masih seperti itu" "Tunjukkan kepadaku" Adik Paksi itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun melangkah ketengah-tengah sanggar itu. "Lakukan apa saja yang dapat kau lakukan. Bukankah kau setiap hari melakukannya di sanggar ini" "Tidak selalu di sanggar ini. Sekali-sekali di dekat belumbang itu. Sekali-dekali di halaman samping. Bahkan
kadang-kadang aku lakukan didekat kandang kuda. Suasananya justru sangat mendukung" "Kau memang dapat melakukannya dimana saja. Memang tidak harus di sanggar. Tetapi jangan kau biarkan sanggar ini tidak memberikan arti apa-apa bagimu, sementara didalam sanggar yang meskipun kecil ini mempunyai peralatan yang memadai" Adiknya itu mengangguk. "Nah, sekarang mulailah" berkata Paksi kemudian. Adiknya itu mulai bersiap. Ia mulai dengan tarikan nafas. Kemudian tangannya bergerak perlahan-lahan. Baru kemudian kakinya dan seluruh tubuhnya. Adik Paksi itu mulai meloncat ketika tubuhnya sudah merasa hangat. Darahnya sudah terasa memanasi pembuluh-pembuluhnya. Sejenak kemudian, maka adik Paksi itupun mulai melakukan gerakan-gerakan dasar sebagaimana pernah dipelajarinya sejak dua tahun yang lalu. Seperti yang dikatakan oleh adiknya, bahwa penguasaan unsur gerak adiknya itu seakan-akan tidak bertambah. Namun yang agak melegakan hati Paksi, penguasaan tubuh, kelenturan dan ketahanannyalah yang bertambahtambah. Justru karana adik Paksi itu melakukan latihan, meskipun sendiri tanpa tuntunan orang lain, maka ketahanan tubuhnyalah yang menjadi semakin tinggi. Demikian pula penguasaan dan kelenturan tubuh itu. Paksi membiarkan adiknya bergerak beberapa lama. Sejauh dapat dilakukan, maka adiknya itupun sudah melakukannya. Menurut Paksi, hasilnya tidak mengecewakan. Demikian tubuh adiknya itu sudah menjadi basah kuyup, seakan-akan baru saja kehujanan lebat, Paksipun segera menghentikannya. Adik Paksi itupun kemudian mengurangi kecepatan geraknya. Perlahan-lahan. Kemudian sekedar menjadi gerakan tangan untuk mengatur pernafasannya. Sehingga akhirnya berhenti sama sekali. "Bagus" desis Paksi.
"Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku" "Tidak. Tetapi aku benar-benar melihat sesuatu pada dirimu. Ketahanan, penguasaan dan kelenturan tubuhmu cukup baik. Karena itu kau harus berusaha meningkat sendiri dengan melakukan latihan-latihan setiap hari" "Bagaimana aku dapat melakukannya dengan baik kakang. Aku hanya memiliki bekal yang tidak berarti sama-sekali. "Lakukan apa yang dapat kau lakukan. Bahkan kau jangan mengada-ada. Itu akan dapat membahayakan dirimu sendiri. Yang penting bagimu dalam keadaanmu sekarang ini adalah menyempurnakan yang sudah kau miliki. Kau tingkatkan daya tahan, penguasaan serta kelenturan tubuhmu" "Aku tidak tahu caranya, kakang" Paksi termangu-mangu sejenak. Lalu katanya "Baiklah. Aku tunjukkan kepadamu, bagaimana kau harus melakukannya. Wajah adik Paksi itu menjadi cerah, la berharap bahwa kakaknya akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk agar bekal yang dimilikinya dapat bertambah meskipun sedikit. Paksipun kemudian melangkah ketengah sanggar, itu. Iapun mulai dengan gerak-gerak dasar sebagaimana dimiliki oleh adiknya. Namun kemudian ada beberapa unsur gerak yang baru yang belum dikenalnya sebelumnya. Dengan sungguh-sungguh adik Paksi itu menirukannya. Terasa sesuatu yang bergetar pada tubuhnya, seakan-akan sebuah simpul yang sebelumnya tertutup telah terbuka karenanya. Ketika adik Paksi itu kemudian melakukan unsur gerak itu berulang-ulang, maka akhirnya iapun memahaminya. "Lakukanlah disamping unsur-unsur yang telah kau kuasai" berkata Paksi "memang masih belum banyak berarti dalam ilmu kanuragan. Tetapi setidak-tidaknya tubuhmu akan menjadi bertambah baik. Seimbang dan lebih dari itu, kau dapat menguasai dirimu, tubuhmu dan kelenturannyapun akan bertambah. Dengan demikian pada saatnya kau benar-benar mempelajari ilmu kanuragan, maka kau akan dapat dengan cepat menyadapnya" "Terima-kasih kakang"
"Setiap aku mempunyai kesempatan untuk pulang, aku akan dapat menambah sedikit demi sedikit. Kau tentu akan semakin kuat, daya tahanmu semakin tinggi dan kau benarbenar akan menguasai dan menjaga kelenturan tubuhmu" "Ya, kakang" "Itu adalah bekal yang paling baik bagimu jika kau kelak benar-benar memasuki sebuah perguruan. Lebih lebih jika kau diperkenankan ayah memasuki perguruanku" "Tentu boleh. Ayah sudah mengatakan, bahwa kelak aku akan dikirim ke perguruan kakang jika keadaannya sudah mapan" "Sukurlah. Tetapi agaknya ayah tidak begitu senang terhadap perguruanku" Adiknya termangu-mangu, sementara Paksipun berkata "Bukankah ayah telah mengatakan bahwa aku justru akan ditarik dari perguruan itu" Adiknya menarik nafas dalam-dalam. Sedang Paksi berkata selanjutnya "Aku tidak mengerti, kenapa tiba-tiba ayah berniat demikian. Sebelum kami membuka hutan Jabung, ayah termasuk salah seorang yang mendorong agar kami segera membuka bagian tepi hutan Jabung untuk membangun sebuah padepokan" "Mungkin ayah menjadi cemas, bahwa serangan seperti yang pernah terjadi itu akan terulang" "Setidak-tidaknya untuk saat ini, tidak akan ada yang berani mengutik-utik padepokan itu. Gerombolan-gerombolan serta perguruan-perguruan yang terlibat telah dihancurkan. Demikian pula pasukan Harya Wisaka" "Ya, kakang" "Yang dalam serangan itu tidak nampak adalah Repak Rembulung dan Pucuk Rembulang. Apakah ia memang tidak dapat, atau para cantrik dan para prajurit tidak dapat mengenali ciri-cirinya sehingga mereka menduga bahwa keduannya tidak nampak di arena pertempuran di hutan Jabung itu"
"Tetapi aku akan mohon kepada ayah, agar aku diperkenankan untuk memasuki perguruan itu. Kakang sendiri nampaknya telah dapat menguasai ilmu sampai tataran yang memadai. "Akupun berharap agar aku tidak ditarik dari perguruan itu" "Apa sebenarnya maksud ayah?" "Entahlah" "Paksilah yang kemudian mengajak adiknya keluar dari sanggar. Keduanyapun kemudian duduk dibawah sebatang pohon gayam yang tinggi di halaman belakang. Ketika matahari semakin turun di sisi Barat, maka Paksipun segera teringat, bahwa ia harus kembali ke barak. Setelah minta diri kepada ayah, ibunya dan adik-adiknya, maka Paksipun segera melarikan kudanya menuju ke hutan Jabung. Ia tidak ingin kemalaman di perjalanan. Dalam pada itu, ayah Paksi memang nampak terlalu gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan kepada siapapun kenapa ia menjadi demikian gelisah. Juga kepada Nyi Tumenggung itu selalu ganti bertanya "Aku kenapa" Bukankah aku tidak apaapa?" Nyi Tumenggung memang tidak dapat memaksa suami untuk berbicara. Jika terjadi salah paham, maka Ki Tumenggung itu justru akan dapat menjadi marah kepadanya. Karena itu, Nyi Tumenggung memang merasa lebih baik untuk menunggu sehingga pada suatu saat Ki Tumenggung menceriterakan persoalannya kepadanya. Dalam pada itu, ketika Paksi telah berada di hutan Jabung, maka iapun telah menceriterakan rerasan ayahnya kepada Ki Panengah dan Ki Waskita. "Kecemasan seorang ayah, Paksi" berkata Ki Panengah "peristiwa yang baru saja terjadi di padepokan ini agaknya telah membuat ayahmu menjadi sangat cemas, bahwa peristiwa serupa akan terjadi lagi. Bahkan mungkin dalam peristiwa serupa, kau tidak berhasil menyelamatkan diri" Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita berkata "Sudahlah, Paksi. Jangan terlalu kau pikirkan. Seperti
dikatakan oleh gurumu, ayahmu dihinggapi oleh kecemasan itu. Tetapi setelah keadaan menjadi tenang kembali, serta peristiwa itu sudah dilupakannya, maka ia tidak akan mempersoalkannya lagi" Paksi mengangguk-angguk. Katanya "Ya, guru. Mudahmudahan ayah segera melupakannya" Dihari-hari berikutnya Paksi telah melakukan kewajibannya bersama-sama dengan saudara-saudara seperguruannya. Diantara mereka terdapat Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Agaknya kegelisahan Paksi yang mencengkam jantungnya itu tidak dapat diredamnya sendiri, sehingga iapun telah membicarakannya dengan Pangeran Benawa, seorang yang sudah demikian akrabnya dengan dirinya, sehingga iapun telah membicarakannya dengan Pangeran Benawa, seorang yang sudah demikian akrabnya dengan dirinya, setelah mereka melakukan pengembaraan bersama-sama. Bahkan ia tidak merahasiakannya pula kepada Raden Sutawijaya. Tetapi seperti Ki Panengah dan Ki Waskita, keduanya juga berusaha menenangkan hatinya. "Beberapa hari lagi, ayahmu tentu sudah melupakannya" Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya pada kesempatan lain berkata pada Pangeran Benawa "Agaknya ada hubungannya dengan perintah khusus Harya Wisaka untuk membunuh Paksi" Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Hampir diluar sadarnya ia bergumam "Apa sebenarnya yang dikehendaki ayah Paksi itu terhadap anaknya. Hampir dua tahun yang lalu, saat itu Paksi masih terlalu muda serta landasan ilmunya masih sangat terbatas, ayahnya telah memerintahkannya untuk mencari cincin yang disebut-sebut hilang dari istana itu. Bukankah sikap ayah Paksi itu tidak masuk akal" Sementara itu, kawan-kawannya, juga anak-anak Tumenggung, yang sebaya dengan umurnya masih asyik bermain seperti kanakkanak. Berkumpul di alun-alun dengan membawa kuda masing-masing. Melarikan kuda-kuda mereka di sepanjang
jalan tanpa menghiraukan orang-orang lewat yang menjadi ketakutan. Sementara Paksi harus bergulat mengatasi bahaya maut yang selalu mengintipnya" "Apakah Ki Panengah dan Ki Waskita tidak mengetahui alasan yang sebenarnya kenapa Paksi mengalami perlakuan yang demikian?" "Agaknya banyak yang mereka ketahui. Tetapi yang mereka ketahuinya itu masih tetap saja mereka rahasiakan. Keduanya memang serba sedikit telah memberitahukan kepadaku. Tetapi terbatas pada hubungan yang kurang baik antara ayah dan anak. Ki Waskita pulalah yang membawa aku menemui Paksi didalam pengembaraan itu dan bahkan membayangi perjalanan kami" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya "Pada suatu saat, rahasia ini akan tersibak. Aku bahkan menghubungkan hubungan buruk antara ayah dan anaknya itu sudah sedemikan jauhnya, sehingga aku telah menghubungkan hal itu dengan perintah khusus paman Harya Wisaka. Tetapi aku tidak berani mengatakan panggraitaku itu kepada Paksi. Jika aku keliru, maka Paksi akan dapat menjadi salah paham terhadapku" "Aku juga berpikir sejauh itu, kangmas. Juga berdasarkan dugaan bahwa ayah Paksi itu mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka" Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian "Tetapi juga dapat terjadi, bahwa seperti yang dikatakan, perintah itu memang datang dari Harya Wisaka yang tidak senang melihat hubungan Paksi dengan kita. Karena dengan demikian Paksi akan menjadi sangat berbahaya karena Paksi akan dapat membuka rahasia hubungan Harya Wisaka dengan ayah Paksi" "Setahu ayah Paksi?" Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "kasihan Paksi. Tetapi tentu ada rahasia yang menyelimuti keluarganya. Persoalannya tambah berbelit karena ayahnya
berhubungan dengan Harya Wisaka yang sekarang tertangkap" Sementara itu Paksi sendiri masih juga dibayangi oleh sikap ayahnya yang sulit untuk dimengerti. Sejak kanak-kanak Paksi tidak pernah membantah perintah ayahnya. Bahkan perintah ayahnya yang sangat sulit untuk dilakukannya, dilakukannya juga. Untunglah bahwa ibunya banyak melindungi dan membantunya, sehingga Paksi masih juga merasa dirinya keluarga Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Demikian pula sikap adik-adiknya yang manis kepadanya. Sehingga puncak dari perintah ayahnya yang tidak masuk akal itu ialah memerintahkannya mencari cincin kerajaan yang hilang itu. Kini ayahnya juga sudah mulai berbicara tentang kemauannya yang tidak masuk akal. Menarik Paksi dari perguruannya. Tetapi kali ini Paksi sudah bertekad untuk tidak mematuhi perintah ayahnya. Jika ayahnya tetap memerintahkannya untuk mundur dari perguruannya, maka Paksi tidak akan mematuhinya, apapun akibatnya. "Mungkin aku akan diusir ayah dari rumah" berkata Paksi didalam hatinya. Paksi sendiri tidak akan terlantar karena ia akan berada di padepokannya. Tetapi jika demikian halnya, maka ia akan terpisah dari ibu dan adik-adiknya. Tetapi di padepokan ia mempunyai lebih banyak saudara. Para cantrik dan lebih-lebih lagi ada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Tetapi Paksipun tahu, bahwa keberadaan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya di perguruan itu tentu tidak akan terlalu lama. Jika Padepokan yang sebenarnya sudah siap untuk ditempati, maka agaknya Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itu akan meninggalkan padepokan. Paksipun tahu bahwa kehadiran Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya adalah usaha untuk memacu para cantrik agar mereka menjadi lebih bersungguhsungguh. Kehadiran Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya adalah ujud dari restu Kangjeng Sultan dan Ki Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, hari-hari Paksi berikutnya diisinya dengan kerja bersama para cantrik dan bahkan juga Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Para cantrik yang baru sembuh dari luka-lukanya masih diminta untuk beristirahat meskipun mereka ingin sekali segera terlibat dalam kesibukan. Mereka yang benar-benar telah sembuh, diberi kesempatan untuk melakukan tugas-tugas yang lebih ringan. Seperti yang dikatakan oleh Paksi kepada ayahnya, meskipun para cantrik itu sibuk dalam kerja membangun padepokan bersama para prajurit yang diperbantukan kepada mereka, para cantrik itupun telah mendapat tuntunan untuk meningkatkan ilmu mereka. Pagi-pagi sekali dan lewat sore hari. Namun Ki Panengah dan Ki Waskita telah memperhitungkan tenaga para cantrik agar mereka tidak memaksa diri untuk bekerja dan belajar serta berlatih melampaui kekuatan wadag mereka, sehingga kerja yang keras itu tidak justru merusak unsur ke wadagan mereka justru diumur-umur mereka yang masih muda itu. Dalam pada itu, setelah pertempuran terjadi di hutan Jabung, maka ada beberapa orang tua dari para cantrik yang memerlukan datang untuk menengok anak-anak mereka. Apalagi mereka yang berniat untuk menarik anak mereka dari perguruan itu. Bahkan para orang tua itu justru telah mendorong dan membesarkan hati anak-anaknya. Sebenarnyalah bahwa Ki Panengah bukan seorang guru yang menutup diri. Karena itu, ia tidak berkeberatan menerima orang tua para cantrik yang ingin melihat keadaan anak-anaknya. Tetapi dalam batas yang wajar, sehingga mereka tidak mengganggu ketekunan anak-anak itu. Atau bahkan mengurangi rasa kemandirian mereka sehingga mereka masih banyak menggantungkan diri kepada orang tua mereka. Tetapi Ki Pane-ngahpun tidak ingin memisahkan mereka dari keluarga mereka sehingga hubungan para cantrik dan keluarganya menjadi asing.
Dalam kesibukan kerja itu, Ki Panengah telah menerima kedatangan seorang yang mengaku sebagai utusan K i Tumenggung Sarpa Biwada untuk menemui Paksi. "Apa ada persoalan yang penting?" bertanya Ki Panengah. "Mungkin sekali, Ki Panengah. Aku hanya mendapat pesan untuk menyampaikannya kepada Paksi, bahwa Paksi diminta untuk pulang hari ini" Ki Panengah menarik nafas panjang. Tetapi dipanggilnya juga Paksi untuk menemui utusan ayahnya itu. "Kau paman" desis Paksi demikian ia menemui orang itu. "Ya, ngger. Aku mendapat perintah dari Ki Tumenggung untuk minta angger hari ini pulang. Besok pagi angger dapat kembali lagi ke padepokan ini" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian berpaling kepada Ki Panengah untuk minta pertimbangan. Ki Panengah itu tersenyum sambil berkata "Pulanglah. Bukankah ayahmu berpesan, bahwa besok pagi kau sudah boleh kembali kepadepokan ini" Paksi mengangguk sambil berdesis "Ya, guru" Namun Paksipun kemudian berkata kepada utusan itu "Paman. Kembalilah. Katakan kepada ayah, bahwa aku akan pulang hari ini. Tetapi masih ada sesuatu yang harus aku selesaikan" "Tetapi kau akan benar-benar pulang hari ini, Paksi" "Ya. Aku pasti pulang" Orang itupun kemudian minta diri untuk mendahului pulang dan memberitahukan kepada Ki Tumenggung atas kesediaan Paksi untuk pulang hari itu juga. Sepeninggal utusan ayahnya itu, maka Paksipun telah minta diri kepada Ki Panengah, Ki Waskita, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya serta saudara-saudara seperguruannya. "Bukankah kau besok akan kembali, Paksi?" bertanya salah seorang saudara seperguruannya. "Ya. Besok pagi aku akan kembali ke padepokan ini" Namun ketika Paksi sudah siap untuk berangkai, Ki Waskitapun berpesan "Paksi. Kau telah ditempa dengan laiihan-latihan yang berat. Sebenarnya ilmumu sudah lengkap.
Kau tidak memerlukan lagi berguru kepada siapapun juga dengan cara yang terbiasa dilakukan dalam perguruan yang terbuka. Kau memerlukan satu atau dua orang guru yang khusus. Tetapi sebenarnyalah ilmumu sudah memadai, sehingga kau lelah memiliki alat pelindung yang baik bagi dirimu sendiri. Pengalamanmupun juga sudah cukup luas. Kau sudah mengenali berbagai macam ilmu dari berbagai macam perguruan yang mempunyai landasan yang berbeda. Setidaktidaknya kau pernah melihat dan memperhatikan berbagai jenis ilmu. Karena ilu, aku percaya bahwa kau mampu melindungi dirimu sendiri terhadap orang lain asal mereka tidak memiliki tingkatan ilmu yang khusus sebagaimana Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya" Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Panengah berkata Bawa Tongkatmu. Senjata itu seakan-akan lelah menyatu dengan tanganmu" "Baik guru" sahut Paksi sambil mengangguk hormat. Demikianlah, maka sejenak kemudian Paksipun telah melarikan kudanya dengan kencang menuju ke Pajang. Disepanjang jalan Paksi tidak kehilangan kewaspadaannya. Mungkin ada orang yang berniat buruk. Bahkan mungkin para pengikut Harya Wisaka yang sudah tertangkap. Meskipun orang yang datang memanggilnya sudah dikenalnya, tetapi hubungan ayahnya dengan Harya Wisaka membuat Paksi harus berhati-hati. Bagaimanapun juga kecurigaan Paksi terhadap ayahnya sulit untuk disisihkannya, bahwa ayahnya adalah salah seorang pendukung Harya Wisaka apapun alasannya. Namun ternyata Paksi tidak mengalami hambatan di perjalanan. Sebelum senja, Paksi telah berada dirumahnya. Demikian ia masuk lewat pintu seketeng, maka yang pertama kali ditemuinya adalah ibunya. "Ibu, ayah memanggil aku pulang hari ini" Ibunya mengangguk. "Apakah ada sesuatu yang penting?"
"Aku kurang tahu, Paksi. Tetapi ayah sekarang sedang menerima seorang tamu" "Tamu" Aku tidak melihat seorangpun di pringgitan" "Ayah menerima tamunya diserambi kanan. Agaknya kau nanti juga akan diperkenalkan dengan tamunya itu" "Apakah ibu tidak tahu; apakah yang sedang dibicarakan ayah dengan tamunya?" "Tidak Paksi. Akhir-akhir ini ayahmu menjadi menjadi semakin tertutup. Aku tahu bahwa seorang istri tidak selalu perlu mengetahui seluruh persoalan suaminya, tetapi kadangkadang terbersit juga keingin-tahuan itu jika terjadi perubahan sikap suaminya" "Dan ibu tidak bertanya kepada ayah?" "Aku tidak ingin hubungan keluarga di rumah ini dibayangi oleh kesalahan-pahaman. Karena itu, ibu lebih banyak menunggu saat-saat pintu hati ayahmu terbuka" Paksi mengangguk-angguk. Namun terasa bahwa ada sesuatu yang memang dirahasiakan oleh ayahnya. Ketika Paksi kemudian masuk keruang dalam, dilihatnya adik lakilakinya duduk merenung sendiri. "Dimana adikmu?" bertanya Paksi. Adik laki-lakinya itu terkejut. Segera ia bangkit dan berdesis "Kakang?" "Kenapa kau merenung sendiri disitu?" Adiknya menggeleng. Namun diwajah itu tidak lagi nampak pencaran kegembiraan masa remajanya. "Apakah anak ini juga akan mengalami nasib seperti aku?" bertanya Paksi didalam hatinya. Paksipun kemudian duduk pula diruang dalam bersama adik laki-lakinya. Dengan nada dalam Paksi bertanya "Apakah yang dibicarakan oleh tamu itu dengan ayah?" "Entahlah, kakang. Tetapi agaknya tentang sebuah perguruan. Aku tidak tahu apakah ada hubungannya dengan niat ayah menarik kakang dari perguruan kakang yang sekarang"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Katakan kepada ayah, bahwa aku sudah datang" Adiknya mengangguk. Iapun kemudian pergi ke serambi kanan untuk memberitahukan kepada ayahnya, bahwa Paksi sudah datang. "Suruh ia kemari" sahut ayahnya. Sejenak kemudian Paksipun telah duduk bersama dengan ayahnya dan seorang tamu. Seorang yang sudah separo baya. Wajahnya nampak suram. Matanya yang agak redup memandang Paksi dengan pancaran kecurigaan. "Inikah anak itu?" bertanya orang itu kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Ya, Ki Semburwangi, inilah anak yang aku katakan itu. Orang itu mengangguk-angguk. Paksipun segera mengetahui bahwa orang itu bernama Ki Semburwangi. Dengan nada rendah orang itu berdesis "Namamu Paksi, kan?" Paksi mengangguk hormat sambil menjawab "Ya, Ki Semburwangi" "Sejak kapan kau berguru kepada Ki Panengah?" bertanya orang itu tiba-tiba. Paksi terkejut menerima pertanyaan itu. Rasa-rasanya pertanyaan itu begitu tiba-tiba sehingga ia belum siap untuk menjawabnya. Karena Paksi tidak segera menjawab, maka Ki Tumenggunglah yang menjawabnya "Sejak tiga atau ampat tahun yang lalu, Ki Semburwangi" Tetapi Ki Semburwangi itu mengulangi pertanyaannya "Paksi. Sejak kapan kau berguru kepada Ki Panengah?" Ki Tumenggung Sarpa Biwadapun tahu, bahwa Paksilah yang harus menjawabnya. Karena itu, dibiarkannya Paksi yang menjawabnya sendiri. Debar didada Paksi sudah mulai mereda. Iapun kemudian menirukan saja jawab ayahnya "Sejak sekitar tiga atau ampat tahun yang lalu, Ki Semburwangi" "Kau haya menirukan jawab ayahmu" "Sebenarnyalah memang demikian"
"Tetapi kau pernah berhenti berguru lebih dari setahun" "Ya, Ki Semburwangi" "Kenapa kau berhenti berguru?" Paksi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ayahnya yang juga termangu-mangu. Namun Paksi itupun kemudian menjawab "Aku kemudian mengembara lebih dari setahun" "Kenapa kau mengembara" Kau tentu malas berguru. Kau lebih senang berkeliaran. Bukankah kau menyangka bahwa berkeliaran itu menjanjikan kebebasan kepadamu sehingga kau tidak lagi terikat kepada paugeran-paugeran di sebuah perguruan" Tetapi apa yang kau dapatkan dalam pengembaraanmu itu" Akhirnya kau kembali pulang. Kau siasiakan saja waktumu yang hampir dua tahun itu. Ketika kau mulai mengembara kau berumur sekitar tujuh belas tahun, sedangkan sekarang kau berumur sembilan belas tahun" Paksi tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya saja. Ia tidak tahu, apakah ayahnya sudah berbohong tentang masa pengembaraannya, itu, sehingga Ki Semburwangi menyangkanya, bahwa ia sekedar berkeliaran tanpa tujuan" "Paksi" berkata Ki Semburwangi kemudian "apakah kau benar-benar ingin berguru?" Pertanyaan itu juga mengejutkannya. Dengan dahi yang berkerut Paksipun menjawab "Aku memang sedang berguru kepada Ki Panengah" "Omong kosong. Apa yang dilakukan Panengah sekarang" Ia memanfaatkan beberapa orang muridnya itu untuk kepentingannya sendiri. Ia telah berhasil mengelabui Ki Gede Pemanahan, bahkan Kangjeng Sultan sendiri, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar. Bahkan bantuan yang tidak terhitung jumlahnya. Uang, peralatan, bahan-bahan bangunan dan bahan pangan, tenaga dan wewenang. Tetapi jika padepokan itu sudah berdiri, maka segala-galanya itu akan diakunya, seakan-akan miliknya sendiri yang dibuatnya dengan tenaga dan beaya yang dikeluarkannya sendiri"
Paksi mengerutkan dahinya. Ia tidak senang mendengar pendapat itu. Tetapi ketika ia memandang ayahnya sekilas, maka Paksipun segera menundukkan kepalanya. "Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, apakah kau benar-benar ingin berguru pada sebuah perguruan yang memiliki bobot yang memadai. Bukan sekedar arena untuk memenuhi kepentingan diri sendiri?" Paksipun segera mengetahui, persoalan apakah yang sebenarnya sedang dihadapinya. Karena itu, maka sikapnyapun justru menjadi semakin tegas. Ia sudah menentukan sikapnya, bahwa ia tidak akan meninggalkan perguruannya. Karena itu, maka iapun menjawab, meskipun Paksi harus berhati-hati "Maafkan Ki Semburwangi. Aku memang ingin berguru dan aku sudah berguru" "Jawab pertanyaanku" Ki Semburwangi itu membentak "apakah kau ingin berguru di perguruan yang tepat yang memiliki bobot yang tinggi?" "Ya. Dan aku sudah berguru pada sebuah perguruan yang tepat dan memiliki bobot yang tinggi" "Diam kau" Ki Semburwangi itu hampir berteriak "aku tidak mau mendengar jawaban seperti itu. Jawaban yang tidak jujur dan dapat memberikan arti yang salah. Calon muridku harus jujur. Berani mengatakan apapun sesuai dengan nalar dan keyakinannya" Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara itu, adik lakilaki Paksi yang kemudian berada di ruang dalampun terkejut. Ia mendengar tamu ayahnya itu membentak keras. "Apa yang terjadi?" bertanya anak muda itu didalam hatinya. Paksi memang terdiam sejenak. Jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekilas-sekilas dipandanginya wajah ayahnya. Namun ia tidak dapat membaca apa sebenarnya maksud ayahnya. "Sekarang, jawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah kau ingin berguru pada seorang guru yang mumpuni yang memimpin sebuah perguruan yang namanya sudah semerbak
diseluruh Pajang" Perguruan yang telah berhasil menempa puluhan orang-orang terkenal dan disegani diseluruh Pajang?" Tiba-tiba saja Paksi justru ingin tahu, apa yang akan dikatakan orang itu selanjurnya. Karena itu, maka iapun menjawab singkat "Ya" "Nah, kejujuran dengan penalaran yang matang seperti itulah yang aku inginkan dari sikap seorang murid yang baik" Paksi tidak menyahut. Tetapi ia harus mengatur perasaannya menghadapi persoalan yang akan menjadi semakin rumit apabila ayahnya ikut menyatakan sikapnya. Namun dalam pada itu, jantung Paksipun tergetar ketika ia mendengar orang yang bernama Ki Semburwangi itu berkata "Tetapi tidak mudah untuk dapat menjadi murid dari perguruanku. Aku mendapat wewenang sepenuhnya dari Ki Ajar Wisesa Tunggal untuk menilai apakah kau pantas atau tidak pantas untuk diterima di perguruan kami" Jantung Paksi menjadi semakin cepat bergelar. Kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Semburwangi itu berkata "Ki Tumenggung. Anak Ki Tumenggung agak meragukan bagi perguruan kami. Ia sudah mulai dengan sikap yang tidak jujur, meskipun sikap itu kemudian diperbaikinya. Karena itu, untuk membuat pertimbangan yang mapan, maka aku ingin tahu, apa saja yang pernah diterimanya dari gurunya diperguruan yang sama sekali tidak berbobot sebagaimana perguruan Ki Panengah" Wajah Ki Tumenggung berkerut. Hampir diluar sadarnya iapun bertanya "Apakah dengan demikian dapat berarti bahwa Paksi mungkin ditolak?" "Aku ingin melihat. Jika ternyata terdapat banyak kekurangannya, serta sikapnya yang tidak jujur itu, maka Paksi akan dapat diterima dengan syarat" Ki Tumenggung menarik nafas panjang. Dari pembicaraan itu, Paksi dapat menarik kesimpulan, bahwa ayahnya telah memutuskan untuk memindahkan Paksi dari perguruannya ke sebuah perguruan lain yang agaknya dipimpin oleh orang yang disebut Ki Ajar Wisesa Tunggal.
Sedangkan Ki Semburwangi adalah salah seorang kepercayaan Ki Ajar Wisesa Tunggal. "Ki Tumenggung" berkata Ki Semburwangi "apakah Ki Tumenggung mempunyai sanggar yang memadai?" "Maksud Ki Semburwangi?" "Kita akan pergi ke sanggar. Aku akan menilai kemampuan Paksi dalam olah kanuragan. Ki Tumenggung tidak usah menjadi cemas, jika sesuatu terjadi atas Paksi. Aku akan dapat mempertimbangkan sejauh mana aku akan mengujinya" "Baiklah, Ki Semburwangi" jawab Ki Tumenggung "di belakang ada sebuah sanggar kecil. Aku tidak tahu apa sanggar kecil itu memadai atau tidak" "Baiklah" berkata Ki Semburwangi. Lalu katanya kepada Paksi "kita akan pergi ke sanggar. Aku melihat kesombongan di matamu. Juga dalam sikapmu yang tidak jujur itu. Nah, karena itu, maka aku ingin meredam kesombonganmu itu dan mengetahui, apakah kau memiliki bekal yang memadai untuk menyombongkan diri. Baru kemudian aku akan menentukan, apakah kau langsung dapat diterima menjadi murid di perguruan kami atau harus menempuh berbagai macam syarat" Paksi tidak menjawab. Ketika ia memandang ayahnya, maka ayahnya itupun berkata "Kita pergi ke sanggar, Paksi. Jika saja kau bersikap jujur dan tidak sombong, maka penilikan seperti ini tidak perlu" Paksi tidak menjawab. Tetapi getar di jantungnya itu justru semakin terasa. "Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh ayah" Apakah ini merupakan satu permainan yang gagasannya timbul dari kepala Harya Wisaka, yang meskipun sudah berada didalam tahanan?" bertanya Paksi didalam hatinya "tetapi tidak seorangpun diperkenankan menemui Harya Wisaka. Bahkan isterinyapun tidak. Dan seandainya demikian, apalagi sampai pada rencana pembunuhan, apakah ayah sama sekali tidak berkeberatan?" Paksipun kemudian teringat akan kecemasannya saat ia harus pergi mencari cincin itu. Pada saat itu iapun bertanya
didalam hati, apakah ayahnya memang ingin menyingkirkannya. Pertanyaan yang serupa kini telah tumbuh lagi. Tetapi agaknya ayahnya telah mempergunakan cara yang lebih langsung. Namun Paksipun kemudian berkata didalam hatinya "Tidak. Seandainya ayah ingin menyingkirkan aku, ayah tidak perlu membunuhku dengan cara ini. Apalagi dirumah sendiri sehingga ibu dan adik-adikku dapat melihatnya. Bukankah keberadaanku di perguruanku itu juga sudah merupakan satu kenyataan bahwa aku tidak berada dirumah?" Tetapi pikiran Paksi merambat semakin jauh lagi "Meskipun aku pergi, tetapi selagi aku masih hidup, maka pada suatu saat aku akan kembali lagi ke rumah ini. Tetapi bukankah diperguruan yang baru ini, pada suatu saal juga kemungkinan aku pulang" Atau aku akan mati di perguruan yang baru itu dengan seribu macam alasan?" Tetapi Paksi tidak sempat merenung berlama-lama. Iapun kemudian bersama ayah dan tamunya pergi ke sanggar dibelakang. Sanggar yang bersih dan tertata rapi. Namun justru menunjukkan bahwa sanggar itu jarang sekali dipergunakan dengan bersungguh-sungguh. Adik laki-laki Paksi yang serba sedikit mendengar pembicaraan itupun segera berlari menemui ibunya dan berceritera bahwa Paksi akan mengalami pendadaran ilmu di sanggar. "Tetapi bukankah ayahmu juga pergi ke sanggar?" "Ya, ibu" "Kenapa kau nampak cemas?" Adik laki-laki Paksi itu menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian menggeleng sambil menjawab "Tidak, ibu. Aku tidak cemas" Ibunya tersenyum sambil berdesis "Bukankah pendadaran seperti itu wajar-wajar saja" "Ya, ibu" Adik Paksi itupun tidak bertanya lagi. Apalagi kelika adik perempuannya muncul dari longkangan samping. Bahkan adik laki-laki Paksi itupun kemudian berlari ke halaman belakang.
Ia masih melihat Paksi, orang yang discbul Ki Semburwangi dan ayahnya memasuki sanggar. Ki Semburwangi yang sudah berada didalam sanggar, memperhatikan isi sanggar itu dengan dahi yang berkerut. Dengan nada tinggi ia berkata "Sanggar yang sangat sederhana bagi seorang Tumenggung" "Aku sendiri jarang mempergunakannya" jawab Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Bukankah Ki Tumenggung seorang prajurit?" "Ya. Tetapi kesibukanku tidak memungkinkan aku berada di sanggar ini setiap hari" Ki Semburwangi itu mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Paksi "Paksi, kau tunjukkan kepadaku, apakah kau pantas menjadi murid diperguruanku" Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menemukan gagasan untuk menghindar dari rencana ayahnya menyerahkan kepada perguruan lain dengan cara tidak semata-mata. "Kalau aku mengecewakan orang ini, maka aku akan sulit dapat diterima" Sejenak kemudian, maka Paksipun sudah melepas bajunya. Ia sudah siap berdiri ditengah-tengah sanggar itu. "Sekarang, tunjukkan kepadaku, bahwa kau sudah memiliki dasar pengetahuan olah kanuragan. Jika kau dapat menunjukkan yang pantas, maka kau akan dapat aku terima" Paksi masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Semburwangi itupun membentaknya "Cepat, lakukan. Kenapa kau menjadi bingung" Paksipun seperti terbangun. Iapun dengan tergesa-gesa mulai melangkahkan kakinya dan menggerakkan tangannya. Dengan kasar Paksi menunjukkan kemampuannya dalam olah kanuragan. Langsung tanpa memanaskan tubuh dan darahnya lebuh dahulu. Tetapi beberapa saat kemudian, tata gerak Paksi justru mengendor. Geraknya tidak lagi cepat dan mapan. Bahkan
kadang-kadang ia telah membuat kesalahan-kesalahan. Meskipun kesalahan kecil. Ki Semburwangi itupun melangkah mendekati Paksi. Tibatiba saja ia tertawa sambil berkata "Inikah murid Ki Panengah yang dipercaya oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya serta Ki Gede Pamanahan untuk membuka sebuah perguruan bagi anakanak para pemimpin di Pajang?" Paksipun tiba-tiba berhenti dan bergeser surut. Dengan kepala tunduk ia berdiri termangu-mangu. "Ki Tumenggung. Kau lihat sendiri, bagaimana anakmu ini menunjukkan kemampuannya setelah berguru sekitar tiga ampat tahun" Tetapi Ki Tumenggung nampaknya mengetahui cara Paksi untuk menolak agar ia tidak dipindahkan dari perguruannya yang lama. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun berkata "Ia tidak pernah bersunggung-sungguh, Ki Semburwangi. Itulah sebabnya maka aku ingin anak itu berguru di perguruan Ki Semburwangi, agar ia terbiasa mematuhi peugeran, bersungguh-sungguh dan benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi" "Bukannya tidak bersungguh-sungguh. Tetapi bobot perguruan Panengah memang hanya sampat sekian. Meskipun kemudian anakmu berguru sampai sepuluh atau lima belas tahun, kemampuannya tidak akan meningkat" "Kemungkinan itupun lelah menjadi pertimbanganku. Bobot yang rendah, kemalasan dan kebodohan" "Ki Tumenggung. Aku akan memaksa anakmu untuk meningkatkan ilmunya sampai kepuncak kemampuannya. Aku kira, anak ini memang anak yang sangat malas" "Maksud Ki Semburwangi?" "Aku akan turun ke arena. Aku tantang anak itu berkelahi. Dengan demikian, ia akan terpaksa meningkatkan ilmu sampai kepuncak kemampuannya. Ia tidak akan bermain-main dengan malas, karena serangan-seranganku benar-benar menyakitinya. Dahi Ki Tumenggungpun berkerut.
Tetapi Ki Semburwangipun berkata "Jangan takut. Anakmu tidak akan mati. Aku hanya akan memaksanya menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Tanpa dipaksa anak yang malas ini tidak akan melakukannya" Ki Tumenggung mengangguk-angguk sambil berkata "Silahkan, Ki Semburwangi. Segala sesuatunya aku serahkan kepada Ki Semburwangi" Paksilah yang menjadi berdebar-debar. Iapun menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan tetap menunjukkan kedunguannya sehingga ia tidak akan dapat diterima di perguruan Ki Semburwangi yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal, atau ia akan melindungi dirinya agar tidak disakiti oleh Ki Semburwangi, karena Paksi sadar, bahwa untuk memaksanya meningkatkan ilmunya sampai kepuncak orang itu akan benarbenar menyakitinya. Tetapi sebelum Paksi dapat memastikan sikapnya, maka Ki Semburwangipun telah berdiri dihadapannya. Tanpa menyingsingkan kain panjangnya, iapun berkata " Bersiaplah Paksi, aku akan memaksamu menunjukkan kepadaku, tataran kau, tidak akan dapat melakukannya sendiri tanpa dipaksa dengan kekerasan. Paksi berdiri termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja diluar dugaan Paksi, orang itu telah menjulurkan tangannya langsung kearah dada Paksi. Paksi masih belum bersiap. Iapun belum memutuskan, apakah ia akan membiarkan dirinya babak belur dan merah biru dan wajahnya menjadi lembab sedang matanya menjadi bengkak, apakah ia harus melawan. Namun jika ia harus melawan, maka ia harus menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Dalam kebimbangan itu, pukulan tangan Ki Semburwangi itupun ternyata mampu mengenai sasarannya. Pukulan itu cukup keras. Tetapi sebenarnya masih mampu diatasi oleh daya tahan Paksi yang tinggi. Namun ternyata Paksi itu membiarkan dirinya terdorong surut selangkah dan kemudian terhuyung-huyung jatuh d tanah.
Ki Semburwangi itu berdiri tegak dengan kaki renggang. Dipandanginya Paksi dengan bibir yang seakan-akan tercibir. Dari mulurnya terdengar orang itu berkata "Bangkit murid Panengah. Inikah ukuran keberhasilan perguruanmu itu" Jantung Paksi menjadi panas. Tiba-tiba saja ia mempunyai gagasan baru. Ia tidak hanya sekedar akan melindungi diri. Tetapi ia benar-benar akan melawan orang itu dengan segenap kemampuannya. Jika aku menang, maka tidak akan pantas baginya untuk menerimaku sebagai murid, karena ilmuku lebih tinggi dari ilmunya. Sebaiknya jika aku kemudian kalah, maka ia tentu akan mengambil beberapa keputusan. Antara lain, aku akan diterima dengan syarat. Aku akan mengalami cobaan yang berlapis, karena orang itu tentu benar-benar akan marah kepadaku" Tetapi Paksi tidak sempat berpikir lebih panjang. Terdengar Ki Semburwangi itu berteriak lagi "Bangkit, murid Panengah" Paksipun kemudian berusaha untuk bangkit. Sementara Ki Tumenggung Serpa Biwada itupun berkata "Paksi, Hanya itulah yang kau miliki setelah kau berguru selama empat tahun" Paksi tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia cenderung untuk melawan dan bahkan mengalahkan Ki Semburwangi jika mungkin. Karena Ki Semburwangi tentu juga seorang yang berilmu tinggi. Ia adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari orang yang menyebut dirinya Ki Wisesa Tunggal yang memimpin perguruannya. Jika ia ternyata kemudian kalah, apaboleh buat. Tetapi sama sekali tidak terbersil niatnya untuk meninggalkan perguruannya. Sejenak kemudian, Paksipun telah berdiri berhadapan dengan Ki Semburwangi. Meskipun Paksi telah bertekad untuk melawan sekuat-kuatnya, namun ia tidak dengan serta-merta meningkatkan ilmunya sampai kepuncak. Ia harus menjajagi kemampuan lawannya untuk menentukan sikap terakhirnya. Karena itu, maka Paksipun mulai melawan Ki Semburwangi dari tataran yang paling sederhana, mengimbangi tataran ilmu
Ki Semburwangi, karena Ki Semburwangi memang menganggap Paksi baru memiliki dasar-dasar kemampuan olah kanuragan. Ketika kemudian Ki Semburwangi menyerangnya lagi, Paksi sudah siap untuk menghindar, sehingga serangan Ki Semburwangi tidak mengenai sasarannya. Ki Semburwangi justru tertawa. Katanya "Ternyata kau tangkas juga. Kau mampu menghindari seranganku" Paksi tidak menyahut. Tetapi iapun sudah bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya, la sadar sepenuhnya, bahwa Ki Semburwangi tentu akan meningkatkan tataran ilmunya selapis demi selapis. Sebenarnyalah ketika beberapa kali serangan Ki Semburwangi tidak menyentuh tubuh Paksi, maka Ki Semburwangipun telah meningkatkan kemampuannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan keras. Paksi tidak ingin langsung mencengangkan Ki Semburwangi. Selagi tatanan gerak Ki Semburwangi masih sederhana, maka Paksipun sekali-sekali membiarkan dirinya dikenai serangan Ki Semburwangi. Ketika kaki Ki Semburwangi terayun menyamping, maka kaki itu telah mengenai lambung Paksi. Tubuh Paksi itupun terdorong beberapa langkah surut. Nampaknya Paksi hampir saja kehilangan keseimbangannya. Tetapi Paksi mampu bertahan dan tidak terjatuh di lantai sanggar. "Bagus" Ki Semburwangi memuji. Namun seranganserangannyapun kemudian datang beruntun. Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Tetapi ia tidak menunjukkan kemampuannya itu. Beberapa kali Paksi meloncat surut mengambil jarak, kemudian Paksipun seakanakan memperbaiki kedudukannya yang menjadi sulit. "Mari anak muda" berkata Ki Semburwangi "tunjukkan kemampuanmu sebagai murid Panengah"
Paksi tidak menjawab. Tetapi iapun mencoba menyerang Semburwangi. Namun setangannya sama sekali tidak mengenai sasaran. Dengan tangkasnya Ki Semburwangi meloncat menghindar. Ketika Paksi memburunya dan menyerang dengan ayunan tangannya menyamping, maka serangan itu telah ditangkis. Namun benturan yang terjadi memang agak mengejutkan Ki Semburwangi. Tenaga anak muda itu terasa berat menekan. Tetapi bagi Ki Semburwangi, tekanan itu hanyalah satu kebetulan. Iapun yakin, bahwa tangan Paksi tentu juga terasa sakit oleh benturan yang terjadi itu. Setelah beberapa saat Ki Semburwangi menjajagi kemampuan Paksi, maka Ki Semburwangi itupun berniat untuk memaksa Paksi mengerahkan kemampuan puncaknya. Kemudian meruntuhkan kesombongan anak muda itu dan memaksanya berlutut dihadapannya serta berserah diri. Karena itu, maka Ki Semburwangipun telah meningkatkan ilmunya pula. Ia benar-benar ingin menunjukkan kepada Paksi, bahkan kemampuan Paksi yang telah disadapnya dari Ki Panengah itu bukan apa-apa bagi dirinya. Paksi merasakan peningkatan ilmu Ki Semburwangi itu. Karena itu, maka Paksipun telah meningkatkan ilmunya pula untuk mengimbangi kemampuan Ki Semburwangi. Dengan demikian, maka serangan-serangan Ki Semburwangi kemudian telah menggelisahkannya. Paksipun nampaknya justru menjadi semakin tangkas. Tingkat ilmunya yang lebih tinggi itu tidak menekannya dan menyusutkannya dalam kesulitan. Tetapi anak muda itu rasa-rasanya justru menjadi semakin tegar. Ki Semburwangi menjadi gelisah. Ia memang belum sampai kepuncak ilmunya. Tetapi bahwa untuk melawan anak-anak yang baru mulai belajar olah kanuragan saja, apakah ia harus mengerahkan ilmunya" Tetapi Ki Semburwangi memang menjadi semakin gelisah. Serangan-serangannya justru tidak lagi dapat menyentuh tubuh anak muda itu. Bahkan anak muda itu mulai membalas
menyerangnya. Serangan-serangannya semakin lama justru menjadi semakin berbahaya. "Aku harus benar-benar menghajar anak yang sangat sombong ini" gerang Ki Semburwangi didalam hatinya. Karena itu, maka ia telah meningkatkan tataran ilmunya selapis lagi. Dengan garangnya ia menyerang Paksi seperti banjir bandang. Telapi ternyata Ki Semburwangi tidak mampu memecahkan pertahanan Paksi. Serangan-serangannya masih saja belum dapat mengenai sasarannya. Bahkan Ki Semburwangi itu terkejut bukan kepalang, ketika tiba-tiba saja kaki Paksi telah mengenai lambungnya. Dengan serta-merta, hampir diluar sadarnya, Ki Semburwangi itu meloncat surut untuk mengambil jarak, sementara Paksi tidak memburunya. Seakan-akan Paksi sengaja memberikan kesempatan kepada Ki Semburwangi untuk meyakini apa yang baru saja terjadi. Namun dalam pada itu, Paksi sudah memperhitungkan masak-masak. Ki Semburwangi akan dapat menjadi sangat marah dan bertempur bersungguh-sungguh. Tetapi jika itu yang terjadi, apaboleh buat. Ia sudah bersiap untuk menghadapinya dan siap pula menanggung akibatnya. Bahkan seandainya Ki Semburwangi itu akan membunuhnya. Sejenak Ki Semburwangi berdiri tegak sambil memandang Paksi dengan tajamnya. Dengan suara parau Ki Semburwangi itupun berdesis "Kau ternyata benar-benar anak yang sombong" Adalah diluar dugaan pula bahwa Paksi berani menjawab "Aku adalah murid Ki Panengah. Aku hanya ingin menunjukkan tataran kemampuan murid Ki Panengah. Bukankah itu yang kau kehendaki sejak tadi" Beberapa kali kau sebut nama guruku" "Cukup" bentak Ki Semburwangi "aku akan memaksamu bertekuk lutut dihadapanku. Tetapi itupun belum pasti, bahwa kau akan dapat aku terima sebagai muridku"
"Paksi" berkata Ki Tumenggung "kau jangan berbuat sebodoh itu. Kau memerlukan seorang guru yang mumpuni" "Aku memang sedang menjajaginya ayah" "Setan kau" gaeram Ki Semburwangi. "Jika kau berhak menjajagi kemampuan calon muridmu, akupun berhak menjajagi calon guruku. Jika aku berhak menolak aku karena tidak memenuhi syarat yang kau tetapkan, akupun mempunyai wewenang untuk memilih seorang guru yang aku anggap pantas karena ilmunya jauh melamapaui ilmuku" "Krnapa tiba-tiba saja kau menjadi seperti orang kesetanan, Paksi?" ayahnyalah yang hampir berteriak. Paksipun menjawab tanpa berpaling "Aku adalah murid Ki Panengah" Tetapi sebelum mulut Paksi terkatup, Ki Semburwangi itu telah meloncat menyerangnya. Kakinya terjulur lurus mengarah kedada Paksi. Namun Paksi sudah siap menghadapinya. Karena itu dengan cepat ia bergeser kesamping sambil memiringkan tubuhnya sehingga serangan itu tidak mengenainya. Tetapi dengan cepat, Ki Semburwangi menggeliat. Bertumpu pada kakinya yang baru saja menyentuh tanah, ia berputar. Kakinya yang lain terayun mendatar dengan derasnya. Tetapi Paksi dengan cepat merendahkan diri sehingga kaki lawannya terayun diatas kepalanya. Sementara itu, Paksipun telah menjatuhkan dirinya. Tangannya menapak lantai sanggar sedang kakinya menyapu kaki Ki Semburwangi dengan derasnya. Serangan yang tidak terduga itu sangat mengejutkan pula. Tetapi Ki Semburwangi terlambat mengelak. Karena itu, sapuan itu telah menghentak kakinya demikian kerasnya, sehingga Ki Semburwangi itu terpelanting. Ki Semburwangi itu berguling menjauh sambil meloncat bangkit. Demikian ia tegak diatas kedua kakinya, maka iapun telah bersiap menghadapi serangan Paksi. Paksipun tidak melewatkan kesempatan itu. Dengan cepat Paksi meloncat menyerang. Tangannya terayun mengarah ke
kening. Namun Ki Semburwangi sempal menangkis serangan itu. Dengan garangnya, iapun berganti menyerang. Tangannya terjulur lurus mengarah kedada Paksi. Tetapi Paksipun menepis tangan itu kesamping. Sementara kakinya terjulur lurus kearah lambung. Ki Semburwangi meloncat selangkah surut sehingga kaki Paksi tidak sempat menggapainya. Namun demikian kakinya menyentuh lantai, Ki Semburwangi itu bagaikan dilontarkan, meluncur dengan cepat dengan kaki terjulur menyamping. Tetapi Paksipun sempat mengelak, sehingga serangan Ki Semburwangi itu tidak menyentuhnya sama sekali. Dalam pada itu, wajah Ki Tumenggung Sarpa Biwada menjadi semakin tegang. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Paksi memiliki ilmu demikian tingginya sehingga mampu mengimbangi ilmu Ki Semburwangi. Namun Ki Tumenggungpun menyadari, bahwa dengan demikian Ki Semburwangi akan menjadi sangat marah dan bahkan mungkin tidak terbendung lagi. Jika Ki Semburwangi kehilangan kendali, sehingga terjadi malapetaka atas Paksi, maka Ki Tumenggung harus mempertanggung-jawabkannya terhadap keluarganya. Nyi Tumenggung dan anak-anaknya yang lain, yang sangat akrab dengan Paksi akan menuntutnya jika ia tidak mencegahnya. "Paksi memang gila" geram Ki Tumenggung. Penjajagan yang dilakukan oleh Ki Semburwangi telah berubah arah. Kemarahan Ki Semburwangi benar-benar membuatnya kehilangan kendali. Tetapi Paksipun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Didadanya telah menyala pula kebanggaan, bahwa ia adalah murid Ki Panengah dan Ki Waskita yang dikenalnya dimasa pengembaraannya yang panjang. -ooo00dw00oooJilid 20 DENGAN demikian, maka yang terjadi kemudian adalah pertarungan yang keras dan bersungguh-sungguh. Ki Semburwangi tidak lagi mengekang dirinya, apapun yang bakal terjadi dengan Paksi, seorang anak muda yang semula ditiliknya, apakah ia akan dapat diangkat menjadi muridnya. Namun yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sebenarnya. Paksi memang tidak mau mengalah. Orang yang menyebut dirinya Semburwangi itu telah beberapa kali merendahkan guru dan perguruannya. Karena itu, maka iapun ingin membuktikan, bahwa guru dan perguruannya bukan sebagaimana dikatakan oleh Ki Semburwangi itu. Dengan demikian, maka pertarungan di dalam sanggar itu semakin lama menjadi semakin keras. Ki Semburwangi tidak akan membiarkan dirinya dihina oleh anak ingusan itu. Namun Paksipun tidak mau kehilangan kebanggaannya atas guru dan perguruannya. Dengan demikian, maka Ki Semburwangi itupun telah mengerahkan ilmunya untuk segera mengatasi lawannya yang masih sangat muda itu. Bahkan Ki Semburwangi tidak menghiraukan lagi, seandainya anak muda itu terbunuh dalam putaran yang seharusnya tidak lebih dari sebuah pendadaran. Paksipun merasakan, betapa udara di sanggar itu serasa menjadi semakin panas. Ki Semburwangi bergerak semakin cepat. Tangannya seakan-akan tidak lagi hanya sepasang, tetapi beberapa pasang. Serangannya datang beruntun dari tangan yang seakan-akan menjadi beberapa pasang itu. Tetapi Paksipun tidak membiarkan dirinya dilindas oleh kemarahan lawannya. Serangan-serangannyapun menjadi semakin kuat pula. Tangan dan kakinya seakan-akan menjadi semakin keras, bahkan sekeras batu hitam. Benturan-benturan yang kemudian terjadi, seakan-akan telah mengguncang sanggar itu. Tiang-tiangnya menjadi bergetar dan beberapa utas tali ijuk pengikat dindingpun menjadi putus.
Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri membeku di tempatnya. Ia sungguh-sungguh tidak mengira, bahwa kemampuan Paksi telah menjadi sedemikian jauhnya. Dalam pada itu, Ki Semburwangipun telah sampai ke puncak ilmunya. Dengan garangnya ia telah mempersiapkan serangannya yang akan menentukan akhir dari pertempuran itu. Dengan lantang Ki Semburwangi itupun berkata, "Bukan salahku jika tubuhmu menjadi lumat" Tetapi Paksipun telah bersiap. Iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya pada ilmu puncaknya. Sekejap kemudian, maka Ki Semburwangi itu telah meloncat sambil mengayunkan tangannya, mengarah ke kening Paksi dilambari dengan segenap kemampuan ilmunya. Sementara itu, Paksipun telah bersiap pula. Dikerahkannya daya tahan tubuhnya, dibarengi dengan kekuatan ilmu puncaknya, Paksipun telah meloncat pula membenturkan kedua belah tangannya yang bersilang. Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Sanggar itupun benar-benar berguncang. Pintunya bagaikan dihentakkan terbuka. Ikatan dinding di sudut sudut sanggar itu telah terlepas. Palang-palang kayu sebagai alat berlatih di sanggar itupun terpelanting jatuh. Sanggar itu telah berderak-derak bagaikan diguncang oleh gempa. Untunglah bahwa sanggar itu terletak di belakang. Nyi Tumenggung yang sedang berada di dapur tidak begitu menghiraukan suara derak sanggar yang terguncang itu. Adik laki-laki Paksilah yang berteriak oleh suara yang aneh itu. Dengan ragu-ragu ia pergi ke halaman samping. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Sanggar itu masih tetap berdiri disana. "Suara itu berasal dari sanggar itu" katanya di dalam hati. Namun adik laki-laki Paksi itu menjadi termangu-mangu ketika ia melihat pintu sanggar itu terbuka. Selangkah demi selangkah ia mendekat. Tetapi ia tidak dapat langsung melihat isi sanggar itu. "Ada apa, Kakang?" tiba-tiba adik perempuannya sudah berada di belakangnya.
"Tidak ada apa-apa" jawab kakaknya. "Aku mendengar suara yang aneh dari sanggar itu" "Mungkin. Tetapi ayah ada disana" Adik laki-laki Paksi itupun kemudian mengajak adik perempuannya justru masuk ke serambi sambil berkata, "Jangan ganggu mereka yang sedang berada di sanggar" Adik perempuannya mengangguk-angguk. Dalam pada itu, di dalam sanggar, Paksi harus berjalan tertatih-tatih ke sebuah lincak panjang yang terletak di pinggir sanggar itu. Iapun kemudian duduk dengan menyilangkan kakinya mengatur pernafasannya yang bagaikan bekerja di lubang hidungnya. Sementara itu, Ki Tumenggung telah mengangkat tubuh Ki Semburwangi dan membaringkannya di sudut sanggar itu. Ketika ia meletakkan telinganya di dada Ki Semburwangi, ia masih mendengar detak jantung Ki Semburwangi meskipun tidak teratur. Ki Tumenggung itupun kemudian berpaling kepada Paksi sambil menggeram, "Anak setan. Kau lukai bagian dalam tubuh Ki Semburwangi. Seharusnya kau tahu diri. Ki Semburwangi hanya ingin menjajagi kemampuanmu. Tetapi kau bersungguh-sungguh sehingga bagian dalam tubuhnya terluka parah" Keadaan Paksi sudah menjadi berangsur baik. Diangkatnya tangannya perlahan-lahan, kemudian diturunkannya di samping tubuhnya. Kakinya yang bersilang pun telah diurainya. Paksipun kemudian turun dari lincak itu. "Ki Semburwangi tidak sekedar main-main, Ayah" sahut Paksi. "Tetapi iapun bersungguh-sungguh. Jika aku tidak melawan ilmunya, aku tentu sudah mati" "Omong kosong" sahut ayahnya. "Ia tahu apa yang dilakukannya" "Ia telah mengerahkan puncak ilmunya. Aku tahu itu" "Tidak" "Jika Ayah tidak yakin, aku akan menunggu sampai keadaannya menjadi baik. Besok, besok lusa atau kapan saja. Jika penjajagan ini diulangi, maka ia tidak akan dapat berbuat
lebih baik dari yang dilakukan sekarang. Ayah harus yakin itu. Jika Ki Semburwangi memang dapat menjadi lebih baik dari tataran ini, biarlah aku menanggung akibatnya" Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Paksi tidak pernah membantahnya. Sekali-sekali Paksi memang sering mencoba menghindar. Tetapi jika Ki Tumenggung mulai menekannya, Paksi selalu tunduk kepadanya. Tetapi saat itu Paksi dengan tegas menolak pendapatnya. Bahkan Paksi itu berkata selanjutnya, "Seharusnya Ayah tidak mudah percaya kepada orang-orang seperti Ki Semburwangi. Ternyata seperti yang Ayah lihat, ia tidak lebih baik dari aku. Dengan demikian Ayah dapat membayangkan, apa jadinya jika aku diambilnya menjadi muridnya. Ilmuku tidak menjadi semakin baik. Tetapi justru menjadi semakin buruk" "Cukup" bentak ayahnya. "Kau tidak usah menggurui aku" Tetapi Paksi masih juga menjawab, "Aku sama sekali tidak bermaksud menggurui Ayah. Tetapi aku hanya ingin menunjukkan kenyataan ini" "Diam kau" bentak ayahnya. Namun Paksi masih belum mau diam. Ia masih juga berkata, "Ternyata Ayah telah salah menilai kemampuan Ki Semburwangi. Ia bukan apa-apa, Ayah. Apalagi dibanding dengan Ki Panengah, dengan Ki Waskita, dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Jika Ki Semburwangi itu dilepaskan di perguruan Ki Panengah, ia tidak lebih dari seekor kelinci yang kebingungan di antara sekumpulan harimau yang garang" Kata-kata Paksi itu bagaikan gumpalan-gumpalan batu padas yang menghentak-hentak dadanya. Ki Tumenggung itupun kemudian justru telah terduduk di sebelah tubuh Ki Semburwangi. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya serta menutup telinganya ia berkata tidak terlalu keras, "Sudah, sudah" Paksipun terdiam. Tetapi perlahan-lahan ia melangkah mendekati ayahnya dan Ki Semburwangi yang terbaring.
"Aku akan mengambil air" berkata Paksi kemudian. Paksipun melangkah keluar dari sanggarnya untuk mengambil semangkuk air di dapur. Ibunya yang masih sibuk di dapur bersama seorang pembantunya, serta tidak tahu apa yang telah terjadi di sanggar bertanya, "Kau cari apa, Paksi?" "Air, Ibu. Air masak tetapi yang sudah dingin" Dengan semangkuk air, Paksipun kembali ke sanggar. Ketika di bibir Ki Semburwangi diteteskan beberapa titik air, maka bibir itupun mulai bergerak-gerak. Bahkan kemudian, matanyapun mulai terbuka. Titik-titik air itu diteteskan lagi di bibir Ki Semburwangi sehingga orang itupun kemudian menjadi sadar. Ki Semburwangi mulai mengingat-ingat, apa yang telah terjadi. Ketika ia melihat Paksi, iapun berusaha untuk bangkit sambil mengumpat kasar. Namun dadanya terasa menjadi sangat sakit. "Berbaring sajalah, Ki Semburwangi" "Aku akan membunuh anak iblis itu" "Jangan mengigau. Kau sudah kalah, Ki Semburwangi" bentak Paksi. "Jika kau ingin aku membunuhmu, aku sudah dapat melakukannya. Bahkan sekarang pun aku dapat membunuhmu" "Paksi" bentak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. "Orang seperti Ki Semburwangi harus diyakinkan, bahwa ia sudah kalah. Otaknya harus menerima kenyataan ini atau aku benar-benar akan membunuhnya" "Paksi, kau tidak boleh menjadi gila" "Ki Semburwangi harus mengakui kekalahannya. Dan itu berarti aku tidak akan memilihnya menjadi guruku. Aku tidak ingin belajar kepadanya, karena ilmunya lebih rendah dari ilmuku" "Cukup" bentak Ki Tumenggung. Tetapi Paksi sudah bertekad untuk menjatuhkan harga diri Ki Semburwangi sehingga ia mengakui apa yang telah terjadi. Karena itu, Paksipun masih saja berkata lantang, "Kau harus
mengakui kekalahan itu, Ki Semburwangi atau aku akan membunuhmu sekarang juga" "Jangan bunuh aku" minta Ki Semburwangi. Permintaan itu memang tidak terduga sebelumnya akan terloncat dari bibir Ki Semburwangi. Permintaan itu sekaligus merupakan pengakuan, bahwa ia memang sudah dikalahkan dengan anak yang masih terlalu muda itu. Yang sebelumnya ingin dijajaginya, apakah ia pantas untuk menjadi muridnya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Orang yang menyebut dirinya Ki Semburwangi itu sudah benar-benar kehilangan harga dirinya dan mengakui kekalahannya. Dengan nada berat Paksipun berkata, "Aku tidak membunuhmu karena kau adalah tamu ayahku. Adalah kewajibanku untuk menghormatimu. Tetapi dalam kesempatan lain, jika kau berurusan langsung dengan aku, aku benar-benar akan membunuhmu" Paksi tidak menunggu jawaban Ki Semburwangi. Sambil melangkah ke pintu, Paksipun berdesis, "Aku mohon diri, Ayah. Aku harus kembali ke barak" Ki Tumenggung tidak menjawab. Jantungnya serasa berdentang di dadanya. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa Paksi memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga telah mempermalukan Ki Semburwangi. Seorang yang akan diajaknya bekerja bersama untuk melemparkan Paksi ke tempat yang tidak diharapkannya. Paksi yang kemudian keluar dari sanggar itupun telah pergi ke pakiwan untuk mencuci muka, tangan dan kakinya. Kemudian dibenahinya pakaiannya dan ikat kepalanya. Sejenak kemudian, Paksipun telah mencari ibunya yang ternyata sudah tidak berada lagi di dapur. Ketika Paksi menemui ibunya di ruang dalam, maka kedua adiknyapun ikut menemuinya pula. "Aku akan mohon diri, Ibu" berkata Paksi. "Bukankah kau akan bermalam disini meskipun hanya semalam?" bertanya ibunya. Paksi tersenyum. Katanya, "Aku akan kembali ke barak"
"Dimana ayahmu sekarang?" "Ayah masih ada di sanggar bersama Ki Semburwangi. Masih ada yang mereka bicarakan" "Apakah kau sudah minta diri kepada ayahmu?" "Sudah, Ibu. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, aku dapat pulang lagi. Tetapi tentu tidak dapat terlalu sering" "Aku mengerti, Paksi" desis ibunya. Namun tiba-tiba saja ayah Paksi telah muncul dari pintu butulan. Dipandanginya Paksi dengan mata yang bagaikan menyala. Dengan nada geram Ki Tumenggung itupun berkata, "Kau akan menyesali kesombonganmu, Paksi" Paksi yang tidak terbiasa menjawab kata-kata ayahnya ternyata telah keluar dari kebiasaan itu. Sambil menatap wajah ayahnya bahkan langsung ke matanya, Paksi itu menjawab, "Aku akan menanggung segala akibatnya, Ayah. Sekarang aku sudah puas, bahwa aku dapat menunjukkan kepada orang yang menyebut dirinya Semburwangi itu, tataran kemampuan murid Ki Panengah dan Ki Waskita. Biarlah orang itu mempunyai takaran terhadap perguruan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu" Ki Tumenggung itupun menggeretakkan giginya. Dengan suara bergetar iapun berkata, "Bukan saja tataran ilmu yang kasar itu yang kau peroleh dalam perguruan yang dipimpin oleh Ki Panengah, tetapi juga ajaran agar kau berani menentang orang tuamu" "Apakah aku menentang Ayah?" Paksi justru bertanya. "Ki Semburwangi sendirilah bahkan atas persetujuan Ayah, ingin menjajagi kemampuanku sesuai dengan tataran yang sebenarnya. Nah, aku sudah melakukannya. Jika ternyata ilmuku lebih tinggi dari ilmu Ki Semburwangi, tentu itu bukan salahku. Bukan salah Ki Panengah dan Ki Waskita. Tetapi salah Ki Semburwangi. Kenapa dengan ilmu yang rendah itu ia sudah berani menyatakan dirinya salah seorang dari pemimpin sebuah perguruan yang disebutnya besar dan berbobot" Sebelum Ki Tumenggung menyahut, Nyi Tumenggung yang ikut menjadi tegang itupun bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
Da Vinci Code 8 Pendekar Slebor 61 Samurai Berdarah Harpa Neraka 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama