Jejak Di Balik Kabut Karya Sh Mintardja Bagian 5
lagi ia berkata, "Kau sengaja membuat persoalan dengan kami, perguruan Goa Lampin?" "Bukan maksudku," jawab laki-laki itu. "Jadi kenapa kau campuri urusan muridku?" "Ialah yang mula-mula mencampuri urusan orang dengan sikap yang tidak adil." "Apapun yang dilakukan, biarlah dilakukan." "Tetapi perempuan itu telah merendahkan harga diri, justru seorang perempuan seperti dirinya." "Sudah aku katakan, apapun yang dilakukan, jangan mencampurinya. Aku tidak senang melihat kelakuanmu seperti itu. Ingat." "Tetapi selama orang-orang dari perguruan Goa Lampin masih tetap mencampuri persoalan orang lain dengan sikap yang tidak adil, maka kami tidak akan tinggal diam." "Sejak kapan gurumu mengajarimu berlaku seperti itu" Kau tentu bukan orang baru di perguruan Sad, menilik kemampuanmu. Justru karena itu kau tentu tahu, apa saja yang dilakukan oleh gurumu. Iblis yang licik dan curang." "Aku menduga bahwa kau adalah guru dari perguruan Goa Lampin sesuai dengan sikap perempuan yang terluka itu. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau dapat menghina guruku." "Lalu apa yang akan kau lakukan, he" Apa" Kau tidak perlu membunuh diri disini untuk sekedar membela nama baik gurumu. Aku sudah mengenal gurumu dengan baik. Kaupun tentu juga sudah mengenalnya. Apalagi?" Laki-laki yang masih terhitung muda dari perguruan Sad itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba orang dari Goa Lampin itu berkata, "Aku ulangi tawaran muridku. Kami mengundangmu untuk datang ke Goa Lampin. Kau pantas tinggal bersama kami." "Cukup," wajah laki-laki dari perguruan Sad itu menjadi merah. Tetapi perempuan yang berpakaian coklat itu tersenyum. Katanya, "Jangan marah. Hanya sebuah tawaran."
"Aku masih mempunyai harga diri sebagai seorang laki-laki. Aku bukan sebangsa laki-laki yang kau kumpulkan di perguruanmu." Tetapi perempuan yang berpakaian coklat itu tersenyum. Orang-orang yang berkerumun dari jarak yang agak jauh itu menjadi berdebar-debar. Perempuan itu memang cantik. Apalagi ketika ia tersenyum sambil melangkah mendekati lakilaki dari perguruan Sad itu. Orang-orang yang menyaksikan sikap perempuan itu menjadi tegang. Paksipun mengerutkan dahinya. Laki-laki dari perguruan Sad itu masih menggenggam senjatanya. Tetapi perempuan cantik itu masih saja tersenyum sambil melangkah lebih dekat lagi. Laki-laki itu tiba-tiba saja telah mengacukan pedangnya. Dengan lantang ia berkata, "Jangan mendekat lagi. Aku dapat membunuhmu." Tetapi perempuan itu menjawab dengan tenang, "Kau tidak akan melakukannya, anak manis." Ketika perempuan cantik dengan pakaian coklat itu menjadi semakin dekat dengan senyumnya yang masih saja mengembang, tiba-tiba saja ujung pedang laki-laki itu menunduk. Semakin dekat perempuan itu daripadanya, maka pedang itupun menjadi semakin merunduk pula. "Nah," berkata perempuan berpakaian coklat itu, "bukankah lebih baik begitu" Kau memang bukan seorang laki-laki yang jahat. Kau adalah laki-laki yang lembut, yang pantas untuk tinggal bersama kami." Laki-laki itu menunduk. "Jangan malu, pandang wajahku," berkata perempuan cantik itu. Laki-laki itu memang mengangkat wajahnya, memandang wajah perempuan cantik itu. Sementara perempuan cantik itu juga memandang mata laki-laki itu seakan-akan tembus sampai ke pusat jantungnya. Paksi menjadi berdebar-debar. Laki-laki dari perguruan Sad itu adalah laki-laki yang tegar. Namun tiba-tiba saja kepalanya
menunduk. Pedangnya terkulai di tangannya yang lemah. Laki-laki itu seakan-akan menjadi tidak berdaya sama sekali. Perempuan cantik berpakaian coklat itu tertawa. Ia benarbenar telah menguasai laki-laki yang masih terhitung muda itu. "Sarungkan senjatamu. Kau tidak akan pernah mempergunakannya lagi." Laki-laki itu seakan-akan telah kehilangan penalarannya. Disarungkannya senjatanya tanpa disadarinya. Paksilah yang benar-benar menjadi tegang. Ia tidak dapat membiarkan laki-laki itu begitu saja jatuh ke tangan perempuan berpakaian coklat itu. Paksipun tahu bahwa perempuan itu adalah perempuan yang cantik. Tetapi Paksipun menyadari bahwa kecantikan itu hanya nampak pada ujud lahiriahnya saja. Sikapnya terhadap laki-laki dari perguruan Sad itu telah menunjukkan wataknya yang sebenarnya. Apalagi sikap itu dilakukannya di hadapan banyak orang tanpa malu. Namun Paksi masih harus memperhitungkan banyak hal tentang perempuan itu. Paksi mulai membayangkan, apa jadinya jika dirinya yang kemudian berdiri dengan kepala tunduk tanpa dapat memberikan perlawanan sama sekali. "Tentu ada kekuatan yang tidak terlawan oleh laki-laki itu," berkata Paksi di dalam dirinya. Namun dalam pada itu, ketika laki-laki dari perguruan Sad itu benar-benar telah kehilangan kesadarannya, sehingga seakan-akan telah menjadi seekor lembu yang telah dicocok hidungnya, tiba-tiba saja terasa angin berhembus perlahanlahan. Tidak terlalu kencang. Namun angin yang tidak terlalu kencang itupun kemudian telah berputar, seperti sebuah angin pusaran kecil. Hanya debu-debu kecil yang terangkat oleh angin pusaran yang lemah itu. Namun angin pusaran yang lemah itu telah bergerak dengan cepat. Tiba-tiba saja angin pusaran itu seakan-akan telah membelit laki-laki dari perguruan Sad yang telah kehilangan kesadarannya itu.
Perempuan cantik dari Goa Lampin itu terkejut. Tiba-tiba ia menengadahkan wajahnya. Beberapa langkah ia bergerak surut menjauhi laki-laki dari perguruan Sad itu. "Setan tua. Kenapa kau selalu menggangguku" Marilah, kita selesaikan persoalan kita sampai tuntas." Tidak terdengar jawaban. Tetapi yang terjadi kemudian adalah, bahwa laki-laki yang kehilangan kesadaran itu tiba-tiba mengangkat wajahnya. Seperti orang terbangun dari tidurnya ia memandang berkeliling. Namun tiba-tiba saja laki-laki itu meloncat mundur sambil menarik senjatanya dari sarungnya. Dengan garang iapun berkata, "Apa yang sudah kau lakukan?" Perempuan yang semula nampak cantik dengan senyum yang selalu menghiasi bibirnya itu mengerutkan dahinya. Wajahnya tidak lagi nampak ramah seperti sebelumnya. "Baik," tiba-tiba perempuan itu melangkah mundur, "aku bebaskan muridmu yang satu ini sekarang. Tetapi jika sekali lagi ia mencampuri urusan muridku tentang apa saja, maka ia akan hanyut ke dalam dunia mimpinya yang indah. Sayang, kau sudah terlalu tua untuk itu." "Cukup," laki-laki yang memegang senjatanya itulah yang membentak. Tetapi perempuan itu tertawa berkepanjangan sambil berkata, "Jangan menyalak begitu garang serigala kecil. Kau dapat melakukannya jika gurumu ada di dekatmu." Laki-laki itu tidak menjawab. Sementara perempuan cantik yang berpakaian coklat itupun melangkah meninggalkan lakilaki itu sambil berkata kepada muridnya, perempuan yang lengannya tergores senjata itu, "Marilah. Biarlah anak itu kita lepaskan kali ini." Laki-laki dari perguruan Sad itu tidak memburunya. Tetapi ketika ia memandang berkeliling, maka wajahnya serasa menjadi panas. Laki-laki itu merasa sangat malu, setelah ia sadari apa yang terjadi atas dirinya.
Karena itu, maka dengan serta-merta laki-laki itupun segera melangkah pergi, meninggalkan lingkungan pasar yang dicengkam oleh ketegangan itu. Demikian laki-laki itu pergi, sementara kedua orang perempuan yang aneh itu tidak nampak lagi, maka orangorangpun menjadi sibuk. Merekapun segera membenahi barang dagangan mereka. Paksi sendiri masih berdiri termangu-mangu. Bahkan kemudian Paksi itu telah berdiri bersandar sebatang pohon di depan pasar yang menjadi semakin sepi. Ketika Paksi melihat seorang penjual makanan yang duduk dengan wajah sendu menunggui dagangannya, iapun melangkah mendekat. Sambil duduk di sebelahnya, Paksi bertanya, "Kau tidak pulang, Bibi?" Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau lihat, Ngger. Daganganku masih banyak. Jika tidak ada orang yang membeli lagi serba sedikit, aku tidak akan dapat berjualan lagi besok, karena aku tidak mempunyai uang cukup untuk membeli bahan-bahannya. Hari ini daganganku hampir masih utuh." "Apakah karena ketegangan tadi, maka makanan yang Bibi jajakan ini tidak laku?" "Siapa yang akan sempat berpaling pada makanan yang aku jajakan?" jawab perempuan itu. Paksi menarik nafas panjang. Sementara perempuan itu berkata, "Aku tidak tahu, apa yang dapat aku lakukan besok." Sejenak Paksi merenungi makanan itu. Ia sendiri sedang menjalani laku. Ia hanya dapat makan tiga jenis bahan pangan setiap hari. Satu jenis makanan itu tentu sudah mengandung tiga atau bahkan lebih jenis bahan pangan. Sepotong wajik terbuat dari ketan, gula, garam dan santan kelapa. Bahkan kadang-kadang dengan penyedap manis jangan.. Tetapi Paksi tidak sampai hati melihat kegelisahan perempuan tua itu. Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Bibi, di rumahku akan ada tamu, kebetulan bahwa
Bibi masih mempunyai makanan yang cukup. Karena itu, aku akan membeli beberapa potong." "Kau akan membeli makananku?" wajah perempuan itu menjadi cerah. "Tetapi tidak terlalu banyak, Bibi." Ternyata Paksi membeli lebih dari separo sisa makanan yang dijajakan itu, sehingga perempuan itu mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil tersenyum berulang kali. Sejenak kemudian, maka Paksipun telah membawa makanan yang dibungkus dengan daun pisang itu. Tetapi Paksi tidak tahu untuk apa makanan sebanyak itu, karena ia sendiri tidak dapat memakannya. Sementara itu, pasar memang menjadi semakin sepi. Perempuan yang menjual makanan itupun telah membenahi dagangannya pula. Nampaknya dengan uang yang didapatnya dari Paksi, ia akan dapat berjualan lagi esok pagi. Sementara itu Paksi masih kebingungan dengan makanannya. Namun akhirnya Paksi berkesimpulan untuk membawa makanan itu pulang. Ketika di jalan pulang ia melihat sekelompok gembala sedang beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang, sementara kambing-kambing merekapun berkeliaran di padang rumput yang hijau, maka Paksi tertegun. Beberapa orang anak di antaranya sudah dikenalnya, karena Paksi pernah berbincang-bincang dengan mereka. Karena itu, maka Paksipun telah mendatanginya. Sambil duduk bersama mereka, Paksi berkata, "He, aku membawa makanan buat kalian." "Makanan apa, Kang?" bertanya seorang anak yang kuncung di ubun-ubunnya memanjang sampai ke dahi. Paksi membuka bungkusan makanannya. Di antaranya beberapa potong wajik, jadah, beberapa bungkus hawughawug dan cemplon. Anak-anak gembala itu nampak ragu-ragu. Sementara Paksi berkata, "Jangan malu. Aku sengaja membelinya untuk
orang yang sedang berkumpul seperti ini. Hari ini hari ulang tahun kelahiranku. Tumbuk." Tetapi dengan tidak terduga seorang dari anak-anak itu bertanya, "Tumbuk berapa" Dua atau tiga. Kalau dua, Kakang nampaknya terlalu tua. Kalau tumbuk tiga, Kakang nampaknya terlalu muda. Ayahku baru saja memperingati ulang tahunnya, pada tumbuk tiga." Paksi tersenyum. Katanya, "Umurku sudah duapuluh ampat, sama dengan umur ayahmu." "Tetapi ayah sudah nampak tua." "Sekarang berapa umurmu?" bertanya Paksi. "Tujuh tahun," jawab anak itu. "Hitung, berapa tahun umur ayahmu ketika ibumu melahirkan, jika sekarang umurnya baru duapuluh ampat." Anak itu termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Paksi. Namun Paksipun bertanya pula, "Siapa yang mengatakan bahwa ayahmu baru saja ulang tahun pada tumbuk tiga" Tentu keliru. Mungkin tumbuk ampat." Anak itu masih saja termangu-mangu. Tetapi Paksipun kemudian berkata, "Nah, lupakan saja umur ayahmu dan umurku. Sekarang, marilah kita makan bersama-sama." Anak-anak itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka segera memungut makanan sesuai dengan selera masingmasing. "Ini masih ada," berkata Paksi. Anak-anak itu hanya saling berpandangan. Masih seonggok makanan yang tersisa. Tetapi anak-anak itu nampaknya enggan untuk mengambil lagi. Paksi tersenyum. Namun iapun segera bangkit sambil berkata, "Aku akan pulang. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan menghabiskan makanan itu atau tidak." Tidak ada yang menyahut. Karena itu, maka Paksipun kemudian berkata, "Sudahlah. Aku minta diri."
Diusapnya kepala beberapa orang anak yang sedang menggembalakan kambing itu. Kemudian Paksi itupun segera melangkah pergi. Ketika Paksi sudah meloncati parit dan berdiri di jalan, maka iapun berpaling. Dilihatnya anak-anak itu sedang sibuk berebut makanan yang ditinggalkan oleh Paksi. Paksi tersenyum. Seorang anak yang melihat Paksi berpaling, menggamit kawan-kawannya. Tetapi ketika mereka melihat Paksi mengangkat tangannya, maka merekapun bersorak sambil melambaikan tangan mereka yang masih menggenggam sepotong makanan. Paksipun menjadi gembira melihat anak-anak itu menjadi gembira. Sekilas memang terbayang kembali masa kanakkanaknya. Ia juga sering berada di dalam satu lingkungan permainan dengan kawan-kawannya. Ia sempat bergembira. Tertawa lepas tanpa kekangan. Bahkan sampai umurnya menginjak tujuh belas. Namun jika ia sudah menginjak ambang pintu rumahnya, maka rasa-rasanya hidupnya menjadi sepi dalam kesendiriannya. Kedua adiknya dapat bergaul rapat dengan ayahnya. Tetapi Paksi sendiri merasa, hubungannya dengan ayahnya terasa renggang. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun masa-masa itu sudah lewat. Ia tidak lagi harus bertanya-tanya tentang dirinya. Di gubuk kecil di kaki gunung itu ia telah berjuang di bawah bimbingan Ki Marta Brewok untuk bukan saja menjadi dirinya, tetapi membentuk dirinya sendiri. Paksi berjalan terus. Panas matahari tidak dihiraukannya. Ia sudah terbiasa terpanggang sinar matahari saat-saat ia berlatih di sanggarnya yang terbuka. Ketika Paksi kemudian sampai di gubuknya, maka iapun segera berbenah diri, sehingga sejenak kemudian ia sudah siap untuk melakukan latihan-latihan ringan, menggerakkan urat-urat darahnya serta melemaskan otot-ototnya.
Paksi tidak terlalu lama berlatih. Iapun kemudian pergi ke sungai untuk membersihkan badannya dan mencuci pakaiannya. Ketika matahari menjadi semakin rendah, Paksi sempat beristirahat, duduk di belakang gubuk kecilnya. Ia melihat seekor ular yang merayap dengan cepat melintas menuju ke semak-semak belukar. Seperti dikatakan oleh Ki Marta Brewok, di sekitar tempat itu memang terdapat banyak sekali ular dari berbagai macam jenis, sehingga karena itu, maka Paksi tidak pernah lupa setiap hari menelan obat yang diberikan oleh Ki Marta Brewok untuk menawarkan racun. Sambil beristirahat, Paksi sempat merenungi apa yang dilihatnya di pasar itu. Ia memang merasa pengalamannya, bahkan pengalaman jiwanya, menjadi semakin kaya. Ia melihat seorang ayah yang ingkar akan kewajibannya, dan bahkan telah menjadi benalu bagi isteri dan anak-anaknya. Iapun melihat dua orang dari dua perguruan yang berbeda. Ia sempat mengenali gaya dan ciri ilmu dua perguruan. Namun iapun sempat mengenali watak dari dua perguruan itu. Terutama perguruan Goa Lampin. Ketika Paksi sempat mengenang apa yang terjadi atas laki-laki yang sempat dihisap ke dalam lingkungan perguruan Goa Lampin, maka rasa-rasanya bulu-bulu tengkuknya meremang. "Laki laki yang terkurung di dalam goa itu akan menjadi apa saja nantinya?" pertanyaan itu telah membuat Paksi merasa ngeri. Sementara itu, ia harus mengakui bahwa perempuan cantik yang berpakaian coklat itu tentu perempuan yang berilmu tinggi. Dalam keadaan yang demikian, rasa-rasanya ia ingin segera bertemu dan berbicara dengan Ki Marta Brewok. Ia ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan lakilaki dari perguruan Sad itu.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian bangkit berdiri. Diraihnya kapaknya yang terselip pada dinding rumahnya. Namun sambil melangkah ke halaman, Paksi teringat pada perempuan tua yang berjualan makanan. Nampaknya hidupnya dan barangkali juga dengan keluarganya, tergantung dari setampah makanan yang dijajakannya itu. Namun sejenak kemudian Paksipun telah tenggelam dalam kerjanya. Dengan kapaknya ia membelah gelondonggelondong kayu bakar. Kemudian kayu yang sudah terbelah itu dijemurnya di sisa panasnya matahari. Tetapi kayu-kayu itu tidak perlu ditempatkan di tempat yang terlindung, karena nampaknya hujan masih belum segera turun. Paksipun kemudian telah mengisi waktunya dengan berlatih pula. Sambil duduk di atas sebongkah batu, Paksi mempertajam kemampuan bidiknya dengan sasaran yang lebih kecil yang pernah dilakukan. Seikat jerami yang digantung di tempat yang lebih jauh dari latihan-latihannya terdahulu. Paksi mengakhiri latihannya ketika senja turun. Tiba-tiba saja ia telah mengharapkan Ki Marta Brewok datang secepatnya. Ternyata Ki Marta Brewok seolah-olah mengetahui keinginan Paksi itu. Demikian gelap turun, Ki Marta Brewok telah berada di tempat itu. "Aku memang mengharap Ki Marta Brewok datang lebih awal," desis Paksi. "Aku juga tahu," jawab Ki Marta Brewok. "Kau tentu melihat peristiwa yang terjadi di pasar itu. Kau tentu melihat murid dari perguruan Goa Lampin dan murid dari perguruan Sad bertempur. Kau juga tahu kedatangan iblis betina, maha guru dari perguruan Goa Lampin itu." "Apakah Ki Marta Brewok juga melihatnya?" "Aku tidak sengaja melihatnya. Tetapi aku mengikuti perkembangan keadaan sejak semula. Aku melihat laki-laki
yang memukul isterinya itu. Aku melihat bagaimana perempuan Goa Lampin itu mencampuri persoalan suami isteri itu dan bagaimana anak dari perguruan Sad itu ikut pula melibatkan diri." "Ki Marta," desis Paksi, "ada yang ingin aku tanyakan. Apa yang sebenarnya terjadi ketika laki-laki dari perguruan Sad itu tiba-tiba kehilangan pribadinya. Ia menjadi seakan-akan pasrah serta melakukan segala perintah perempuan berpakaian coklat itu." "Perempuan itu mempunyai kekuatan semacam kekuatan sihir. Siapa yang dipandangi matanya serta orang yang dipandangi matanya itu memandang matanya pula, maka ia akan terpengaruh oleh kuasa ilmu perempuan itu. Orang yang demikian, tidak lagi tahu apa yang dilakukan. Ia berbuat apa saja sesuai dengan kehendak perempuan yang menyihirnya itu. Bahkan untuk membunuh diri sekalipun." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Marta Brewok berkata, "Ada baiknya kau melihatnya, Paksi. Dengan demikian kau mendapat satu pengalaman baru. Sehingga kau harus belajar, bagaimana menghadapi pengaruh sihir seperti itu." Paksi menganggukangguk kecil. "Di samping itu," berkata Ki Marta Brewok, "kau harus mengenali kedua perguruan itu pula. Serba sedikit kau tentu sudah mendapat gambaran isi dari perguruan Goa Lampin. Goa Lampin sebenarnya adalah nama sebuah goa kecil. Namun padepokan yang dibangun di sekitar goa itu kemudian disebut Padepokan Goa Lampin. Padepokan itu dibangun sedemikian rupa, sehingga goa itu berada di dalam padepokan itu." Paksi masih mengangguk-angguk, sementara Ki Marta Brewokpun berkata, "Sedangkan perguruan Sad adalah perguruan yang samar-samar. Aku tidak dapat mengetahui dengan pasti garis kebijaksanaan pemimpinnya. Tetapi untuk sementara kau harus berhati-hati. Aku melihat sifat-sifat yang agak licik pada perguruan itu."
"Ki Marta," berkata Paksi kemudian, "apakah ada cara-cara khusus untuk mengatasi kekuasaan sihir itu" Ilmu itu sangat mengerikan. Aku tidak pernah menjadi gelisah melihat berbagai macam ilmu. Tetapi aku benar-benar ngeri mengenang kekuatan ilmu sihir itu. Aku selalu dibayangi oleh angan-angan, apa yang terjadi dengan diriku jika aku jatuh ke tangan iblis betina itu. Lebih baik dadaku ditembus oleh ujung tombak daripada terpengaruh oleh ilmu itu." Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan berusaha membantumu. Kau harus melapisi kesadaranmu dengan ketahanan jiwani yang tinggi." "Aku akan menjalani laku apapun untuk menemukan kekuatan yang dapat melawan ilmu sihir itu." "Kau harus menyelesaikan laku yang sedang kau jalani sekarang lebih dahulu, Paksi. Sementara itu, kau dapat mempersiapkan dirimu untuk menjalani laku berikutnya. Kau tidak usah berpikir, kapan kau harus berangkat untuk meneruskan pencarianmu atas cincin itu. Aku yakin bahwa dalam waktu satu dua tahun, cincin itu masih belum diketemukan. Seandainya cincin itu sudah diketemukan, maka masih dapat dipertanyakan, siapakah yang menemukan cincin itu." Paksi mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya ia menjadi semakin mantap. Namun Ki Marta Brewok itu masih berkata pula, "Untuk sementara Paksi, kau dapat menghindarkan diri dari pengaruh sihir itu dengan lembaran ketabahan hati serta berusaha untuk tidak memandang orang yang kau curigai mempunyai ilmu sihir itu pada matanya. Namun menurut pengetahuanku, di perguruan Goa Lampin hanya perempuan iblis yang menjadi pemimpinnya itu sajalah yang memiliki kemampuan ilmu sihir. Sedangkan kau sudah pernah melihat orang itu, sehingga kau dapat berhati-hati seandainya kau karena sesuatu hal berhadapan dengan orang itu. Bukankah sebagaimana kau lihat, perempuan yang lengannya terluka itu sama sekali tidak mempunyai kemampuan ilmu semacam itu?"
Paksi mengangguk-angguk. "Baiklah," berkata Ki Marta Brewok. "Kau harus mempersiapkan diri. Kita akan berlatih lagi. Meskipun sebenarnya kau sudah sampai ke puncak, tetapi kau masih harus berusaha membuka pintu-pintu inderamu lebih lebar lagi, agar ilmumu dapat menjadi semakin berkembang." Sejenak kemudian Paksipun telah tenggelam lagi dalam latihan-latihan yang berat. Ia harus mengasah penglihatan, pendengarannya dan bahkan panggraitanya. Sedikit lewat tengah malam, Ki Marta Brewok mengakhiri latihan itu. Setelah beristirahat sejenak, Ki Marta Brewok sempat makan bersama Paksi. Namun Paksi masih terikat dengan laku yang sedang dijalaninya. "Aku terpaksa harus ikut makan hanya dengan garam," desis Ki Marta Brewok. Paksi tersenyum. Meskipun hanya dengan garam, ternyata Ki Marta Brewok itu makan cukup banyak. Katanya, "Supaya tenaga di dalam tubuh ini tidak menyusut, maka kita harus makan banyak. Menurut pendapatku kau sudah memilih laku yang benar dengan cara yang benar. Setiap hari kau ganti jenis makanan yang tiga itu. Sekali-sekali kau makan bayam rebus saja di samping nasi. Lain kali, ikan air yang kau panggang dengan garam. Kemudian kau makan ketela yang kau rebus dengan gula kelapa." "Dengan demikian aku tidak merasa jenuh dengan satu dua jenis makanan, Ki Marta." "Otakmu cukup terang. Kau dapat melanjutkannya sampai pada suatu saat kau harus melakukan pati-geni." Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, Paksi melanjutkan laku yang dijalaninya. Di samping laku itu, Paksi sekali-sekali juga turun untuk pergi ke pasar. Beberapa orang telah dikenalnya. Anak muda yang hampir setiap hari pergi mengantar dan menjemput ibunya yang berjualan kain lurik, telah dikenalnya dengan akrab pula. Sementara itu, setiap kali Paksi berada di pasar, ia selalu mencari Kinong meskipun hanya untuk berbincang sebentar.
Bahkan dengan diam-diam Paksi telah mengikuti dan melihat, dimana rumah Kinong itu. Rumah Kinong sebenarnya termasuk rumah yang sedang. Meskipun bukan joglo, tetapi di bagian depan rumahnya terdapat pendapa. Namun rumah itu menjadi tidak terpelihara. Sebuah kandang berdiri di sebelah rumah. Tetapi kandang itu juga sudah kosong. Tidak ada seekor lembupun yang berada di dalam kandang itu. Yang masih nampak berkeliaran di halaman adalah beberapa ekor ayam. Sementara itu, Paksi tidak lagi melihat murid-murid dari perguruan Goa Lampin berkeliaran di pasar. Kecuali jika mereka tidak mengenakan ciri-ciri perguruannya sehingga tidak dapat mengenalinya. Demikian pula para cantrik dari padepokan Sad. Namun dengan demikian Paksi sendiri harus berhati-hati agar tidak menarik perhatian orang lain. Terutama orangorang dari perguruan Goa Lampin. Apalagi jika perempuan yang disebut sebagai mahagurunya itu. Dalam pada itu, laku yang dijalani Paksi sudah hampir sampai pada saatnya genap ampat puluh hari ampat puluh malam. Karena itu, maka Ki Marta Brewokpun kemudian berkata, "Paksi, bersiaplah. Kau akan segera sampai pada puncak laku yang harus kau jalani. Kau harus mengetahui apa yang harus kau lakukan saat kau menjalani pati-geni." "Apa yang harus aku lakukan, Ki Marta?" "Kau akan aku bawa ke satu tempat yang tersembunyi, agar selama kau menjalani laku terakhir, kau tidak terganggu. Kau jangan membawa makanan apapun kecuali pisang, kunyit dan kencur. Selama tiga hari tiga malam, sehingga selama kau menjalani laku itu, kau hanya boleh makan tiga buah pisang." Paksi menyadari, bahwa laku yang harus dijalaninya tentu sangat berat. Tetapi Paksi tidak akan ingkar. Apapun yang harus dilakukan, akan dilakukan menurut kemampuannya. Namun dalam pada itu Ki Marta Brewokpun berkata, "Tetapi apapun yang kau lakukan, kau tidak boleh melupakan kewajibanmu terhadap Sumber Hidup-mu."
Paksi mengangguk-angguk. Sejak kecil ibunya telah memperkenalkannya dengan Sumber Hidup-nya, sehingga Paksi tumbuh di dalam ikatan yang semakin lama semakin erat. Sikap ayahnya yang mendorong Paksi semakin dekat dengan ibunya, membuat Paksi semakin dekat pula dengan Yang Maha Agung sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh ibunya. Ketika Paksi berada di gubuk kecil di kaki gunung itu, maka ia justru merasa hubungannya menjadi semakin erat dengan Sumber Hidup-nya itu. Demikianlah, maka Ki Marta Brewokpun nampak menjadi semakin berhati-hati membimbing Paksi. Laku yang dijalaninyapun menjadi semakin berat. Ia tidak lagi harus melakukan latihan-latihan yang berat di sanggar terbukanya. Tetapi di setiap tengah malam, Paksi duduk di atas sebuah batu yang besar bersama Ki Marta Brewok. Tuntunan yang diberikanpun mulai berkisar. Ki Marta Brewok mulai memperkenalkan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam diri Paksi. Ki Marta Brewok mulai mengajarkan, bagaimana Paksi dapat mengungkapkan kekuatan-kekuatan itu. Latihanlatihan mengatur pernafasan sebagai landasan untuk melakukan sikap dan perbuatan selanjutnya dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Ki Marta bahkan menilik setiap gerak yang terjadi di dalam tubuh Paksi. Menjelang hari ke empat puluh maka latihan-latihanpun menjadi semakin khusus, latihan-latihan kewadagan pun menjadi semakin sedikit. Ki Marta Brewok menganjurkan agar Paksi memanfaatkan waktu yang luang di siang hari untuk melakukan latihan-latihan kewadagan. Dengan demikian, maka Paksipun telah mengalami tempaan lahir dan batin. Dengan segenap kemampuan yang ada, Paksi melakukan segalanya dengan kesungguhan. Akhirnya Paksipun telah sampai pada hari ke empat puluh. Paksi menyadari, bahwa ia akan sampai pada puncak laku yang berat.
Tetapi Ki Marta Brewok telah mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya. Lahir dan batin. Ketika senja turun, maka Paksipun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan kemudian. Ia sudah menyediakan tiga buah pisang sebagaimana dipesankan oleh Ki Marta Brewok. Kemudian kunyit dan kencur serba sedikit. Ketika kemudian Ki Marta Brewok itu datang, Paksipun benar benar telah siap. "Nampaknya kau telah mempersiapkan diri dengan baik, Paksi. Sudah waktunya kau menjalani puncak laku yang akan membuka kemungkinan bagimu untuk mengendalikan semua unsur kekuatan di dalam dirimu sesuai dengan kehendakmu. Kekuatan yang bagi banyak orang tersimpan dan tidak dapat dipergunakan karena mereka tidak mengenali diri mereka sendiri seutuhnya, akan dapat kau pergunakan sebaikbaiknya. Tetapi ingat Paksi. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang baik, yang hidup di dalam lingkungan sesamanya. Karena itu, jika Yang Maha Agung memperkenankan kau memiliki kemampuan yang lebih dari orang lain, kau dapat mempergunakannya dengan sebaikbaiknya sesuai dengan martabat kita. Kita tidak boleh mempergunakannya dengan semena-mena. Bukan saja atas sesama, tetapi juga atas lingkungan kita. Karena kita dan lingkungan kita adalah satu keutuhan yang saling bergantung dan saling mempengaruhi." Paksi mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Ya, Ki Marta. Aku mengerti." "Nah, baiklah. Sekarang, ikut aku." Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Marta Brewok berkata selanjutnya, "Tutup pintu rumahmu. Simpanlah barang-barang terpentingmu. Benahi alat-alat dapurmu. Kita akan pergi selama tiga hari tiga malam." Demikianlah, maka Paksipun kemudian telah mengikuti Ki Marta Brewok meninggalkan gubuknya. Mereka berjalan di dalam kegelapan, melalui lereng dan tebing gunung yang rumit yang belum pernah dikenal oleh Paksi. Namun
betapapun gelapnya, maka Paksi yang sudah terlatih dengan baik, masih mampu melihat keadaan di sekelilingnya. Ia masih dapat mengenali beberapa ciri yang akan dapat diingatnya jika ia harus berjalan melalui tempat itu lagi. Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia harus menuruni sebuah tebing. Sebelum ia sampai ke tempat yang dituju, telinganya yang juga sudah menjadi semakin tajam telah mendengar gemuruhnya air terjun. Beberapa saat kemudian, Paksi telah sampai ke sebuah aliran sungai. Dalam keremangan malam ia melihat air terjun dari ketinggian. Meskipun tidak terlalu besar, tetapi suaranya yang bergelora berkepanjangan terdengar seirama dengan hembusan angin di lereng gunung. "Kita akan bersembunyi dalam goa di belakang air terjun itu. Dengan demikian, maka kau tidak akan terganggu selama tiga hari tiga malam penuh." Paksi mengangguk kecil. Demikianlah, maka merekapun kemudian menyusuri lereng berbatu-batu padas mendekati air terjun itu. Tetapi Paksi tidak melihat sebuah goa di sekitar air terjun itu. Namun Paksi mengira, bahwa ketajaman penglihatannya saja yang masih belum dapat menangkap mulut goa yang dimaksud oleh Ki Marta Brewok. Tetapi ternyata dugaan Paksi keliru. Ki Marta Brewok telah membawa Paksi menembus air terjun itu, karena mulut goa itu berada di belakangnya, tertutup oleh air yang meluncur dari ketinggian. Dengan demikian, maka keduanya menjadi basah kuyup ketika mereka kemudian berdiri di sebuah mulut goa. "Marilah," berkata Ki Marta Brewok. Namun iapun mengingatkan pula, "Juga di dalam goa ini terdapat banyak ular dari berbagai jenis. Tetapi jika kau sudah minum obat itu, maka kau tidak usah menjadi cemas." Paksi tidak menjawab. Ia melangkah dengan hati-hati di belakang Ki Marta Brewok.
Di dalam goa itu gelap terasa menjadi semakin pekat. Tetapi perlahan-lahan penglihatan Paksi yang tajam mulai membiasakan diri dengan kegelapan itu. Meskipun sangat samar, namun Paksi mulai dapat melihat isi goa itu. Yang nampak tidak lebih dari bebatuan. Batu-batu yang tajam menggantung dan yang lain mencuat dari bawah. Keduanya melangkah semakin lama menjadi semakin dalam. Titik-titik air menetes dimana-mana sehingga di bawah kaki mereka, air itu berkumpul dan mengalir keluar. Beberapa saat kemudian, Ki Marta Brewok telah membelok memasuki cabang goa yang lebih kecil, memanjang menusuk perut bumi. Di ujung cabang goa yang dalam itulah kemudian Ki Marta Brewok memerintahkan Paksi untuk mencari tempat duduk. "Di sebelah ini ada sebuah ruang yang agak luas," berkata Ki Marta Brewok. "Nanti kau dapat melihatnya sendiri. Tetapi itu tidak penting. Kau untuk sementara tidak memerlukan ruangan yang luas. Kau hanya memerlukan tempat duduk yang cukup memuat tubuhmu saja, karena selama tiga hari tiga malam, kau akan melakukan latihan-latihan dengan sifat halusmu serta pemahaman-pemahaman terpenting dari laku yang kau jalani." Paksi mengangguk kecil. -ooo00dw00ooo
Jilid 05 DEMIKIANLAH, maka Paksi mulai menjalani puncak lakunya. Bersama Ki Marta Brewok ia berada di dalam goa yang gelap pekat. Namun Paksi sama sekali tidak merasa terganggu pernafasannya. Ia yakin bahwa ada lubang-lubang udara yang membuat ruangan-ruangan di dalam goa itu tetap mendapat udara yang segar meskipun ruangan itu tetap saja terasa pengap.
Ternyata laku yang dijalani Paksi memang berat. Ia harus melakukan gerakan-gerakan khusus dan bahkan kemudian pemusatan nalar budi yang harus dilatihnya tataran demi tataran. Dengan tekun dan bersungguh-sungguh pula orang yang menyebut dirinya Ki Marta Brewok itu memberikan tuntunan setapak demi setapak. Sekali-sekali ia bersikap lembut seperti kepada kanak-kanak yang baru belajar berjalan, namun kadang-kadang ia bersikap keras. Bentakan-bentakan kasar telah menyengat telinga Paksi yang sedang memusatkan nalar dan budinya itu. Namun dengan dengan perlahan-lahan Paksi telah memasuki sikap samadi. Laku yang dijalani tidak lagi bersifat semata-mata wadag. Paksi yang duduk di atas batu karang di hadapan Ki Marta Brewok itu mulai membayangkan gerakangerakan perlahan-lahan sebagaimana diungkapkan oleh Ki Marta Brewok. Sekali dua kali, namun kemudian Paksi harus dapat menuntun penglihatan batinnya sendiri. Diucapkannya apa yang telah diucapkan oleh Ki Marta Brewok tentang makna dari unsur-unsur gerak itu serta watak dan sifatsifatnya. Kekuatan dan kelemahannya serta beberapa perbandingan unsur-unsur gerak yang sejajar. Dengan demikian, maka beberapa unsur gerak yang paling rumit telah dilakukan tanpa kesertaan wadagnya. Namun unsur-unsur itu bagaikan telah terpahat di dinding jantungnya, sehingga tidak akan pernah dilupakannya. Demikianlah terjadi untuk waktu yang terasa panjang. Panjang sekali. Begitu banyak unsur-unsur yang harus dikuasainya. Bukan sekedar kemampuan untuk melakukannya, tetapi juga penguasaan sampai ke kedalamannya. Waktu yang tiga hari tiga malam itu terasa betapa panjang. Tetapi yang panjang itu rasa-rasanya masih belum cukup untuk menampung segala-galanya. Di hari pertama dan kedua, Paksi masih mendapat kesempatan untuk beristirahat di tengah malam untuk makan sebuah pisang dan minum beberapa teguk air yang menetes
dari ujung-ujung batu karang yang mencuat. Namun kemudian pada hari yang ketiga, Paksi harus memasuki puncak dari segala laku yang telah dijalaninya. Demikian ia duduk di tempatnya, maka Ki Marta Brewok telah menuntunnya untuk memasuki alam halusnya. Paksi yang duduk di atas sebongkah batu padas dengan mata terpejam itu seakan-akan telah melihat dirinya sendiri bangkit berdiri. Kemudian dengan mendengarkan perintahperintah Ki Marta Brewok, Paksi Pamekas melihat dirinya sendiri menjalani sikap dan gerak sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok. Sekali dua kali dan satu unsur gerak ke unsur gerak yang lain. Sekali dua kali ia melihat dirinya sendiri mengulangi dan mengulangi. Kemudian melakukan tingkat selanjutnya dan selanjutnya. Tingkat demi tingkatpun telah dijalani. Menurut penglihatan batin Paksi yang wadagnya masih tetap duduk di atas batu karang itu, ia melihat dirinya melakukan latihan yang semakin berat. Setiap gerak mengandung tenaga yang semakin lama menjadi semakin besar dan semakin kuat, sehingga di ujung dari puncak laku yang dijalaninya itu, Paksi melihat dirinya sendiri mampu mengungkapkan inti kekuatan yang terangkum di dalam diri dan kemudian mengangkat ke permukaan. Demikian puncak laku itu dijalani, maka terasa betapa seluruh tubuh Paksi itu bergetar. Ia melihat dirinya sendiri bergetar, namun ia mulai merasakan wadagnyapun bergetar. Perlahan-lahan mata batin Paksi melihat dirinya sendiri itu bergerak perlahan-lahan seakan-akan melayang tanpa batasan bobot dan ruang. Batu-batu yang tajam bergayutan serta yang mencuat dari permukaan, sama sekali tidak menyentuhnya. Perlahan-lahan ia masih sempat melihat dirinya itu semakin dekat pada wadagnya yang semula bagaikan terlupakan adanya. Namun tiba-tiba terjadi benturan yang sangat dahsyat. Dirinya sendiri yang nampak di mata hatinya itu seakan-akan lebur dan luluh di dalam ujud kewadagannya.
Tubuh Paksi benar-benar telah bergetar. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi ujud wadagnya. Namun terasa betapa kesadaran dirinya menjadi baur. Paksi masih mendengar suara Ki Marta Brewok, "Paksi, jangan tenggelam ke dalam kesamaran dirimu. Kau harus segera bangun dari samadimu. Kau harus segera kembali kepada kesadaran unsur wadagmu sebelum wadagmu kehilangan arti sama sekali dan tenggelam ke dalam kebekuan." Paksi merasakan goncangan yang keras pada wadagnya, sehingga dengan serta-merta Paksipun telah terbangun dan serasa telah terhempas kembali dari dunia pemusatan nalar budinya yang terdalam. Tiba-tiba saja Paksi akan bangkit berdiri. Tetapi Ki Marta Brewok dengan cepat menahannya sambil berdesis, "Duduklah." Paksi merasakan tubuhnya yang gemetar. Paksi merasakan tubuhnya menjadi sangat lemah. Seandainya Ki Marta Brewok tidak mencegahnya, maka demikian ia berdiri, maka ia akan terjatuh terhempas pada batu-batu padas yang tajam di bawah kakinya. Kepala Paksi terasa pening. "Kau masih mempunyai sebuah pisang Paksi," berkata Ki Marta Brewok. Setelah minum beberapa teguk, maka Paksipun makan sisa pisang yang dibawanya. Tetapi pisang itu tidak cukup untuk membuat tubuhnya yang lemah itu pulih kembali. Namun Ki Marta Brewok kemudian berkata, "Kau telah berhasil mengatasi semua hambatan di dalam dirimu. Laku yang kau jalani sudah selesai. Kau sudah memiliki ilmu yang pada dasarnya sudah sampai ke puncak. Tetapi belum berarti bahwa dengan ilmumu ini kau adalah orang yang tidak terkalahkan. Banyak orang yang mampu mencapai puncak kemampuan sebagaimana kau capai sekarang. Tetapi sedikit orang yang mampu mengembangkannya dengan baik, sehingga kemampuan itu kemudian benar-benar mencapai
tataran yang sulit dijangkau oleh orang lain. Dengan kata lain, orang itu akan memiliki kelebihan. Dengan demikian, maka untuk selanjutnya terserah kepadamu. Kau sudah mempunyai landasan dan bahan yang cukup. Namun pengalaman yang akan mematangkan ilmumu itu." Paksi mengangguk-angguk kecil. Tubuhnya masih lemah. Terasa urat-uratnya masih tegang. Namun terasa inderanya menjadi semakin jernih. Penglihatannya, pendengarannya, peraba dan panggraitanya serta penciumannya. "Nah, Paksi. Kau dapat beristirahat sampai esok pagi. Kau dapat melihat ruang yang luas di sebelah. Besok, jika langit jernih dan matahari bersinar, kau akan dapat melihat ruangan yang cukup luas itu. Ada lubang di atasnya, sehingga serba sedikit cahaya dapat masuk ke dalam ruang itu." Dalam pada itu, Paksi yang telah minum beberapa teguk air dan makan sebuah pisang, berusaha untuk bangkit. Ki Marta Brewok melangkah mendekat dan mengamatinya. Namun Paksi Pamekas itupun berjalan sendiri sambil berpegangan pada batu-batu karang yang mencuat. Di sebelahnya memang terdapat sebuah ruang. Beberapa saat Paksi sempat mengamati ruang itu. Namun karena malam masih kelam, maka tidak ada cahaya seleret pun yang masuk dan menerangi ruang itu. Namun menurut Ki Marta Brewok, di siang hari, ada sinar matahari yang sempat menyusup dari celah-celah batu padas di atasnya. Beberapa saat Paksi berdiri termangu-mangu. Namun kemudian terdengar Ki Marta Brewok berkata, "Marilah, kita keluar dari tempat ini. Besok kau dapat datang kemari lagi." Paksi tidak menjawab. Dengan tubuh yang lemah, maka iapun melangkah di atas batu-batu padas perlahan-lahan menuju ke pintu goa di bawah sebuah air terjun. Ki Marta Brewok masih harus membimbing Paksi yang lemah itu. Apalagi ketika kemudian mereka keluar dari mulut goa dan menyusup di bawah air terjun itu. Meskipun dengan agak sulit, namun akhirnya Paksi sampai di rumahnya. Demikian ia melangkah masuk, maka iapun
segera menjatuhkan dirinya duduk di atas ketepe belarak yang dipakainya alas tidur. "Nah, sekarang tolong dirimu sendiri. Kau dapat berbuat sesuatu agar kau tidak menjadi kelaparan, bahkan aku sudah membayangkan untuk ikut makan bersamamu. Sebenarnyalah aku juga lapar. Meskipun aku tidak harus memeras tenaga, nalar, dan budi sebagaimana kau lakukan, tetapi aku ikut serta pati-geni bersamamu meskipun sebenarnya itu tidak harus aku akukan. Tetapi karena aku tidak memerlukan tenaga sebagaimana kau perlukan, maka aku tidak mengalami keletihan sebagaimana kau. Akupun dapat minum sebanyak aku inginkan selama berada di dalam goa itu. Apalagi sebelumnya aku memang menyembunyikan beberapa potong gula kelapa di dalam kantong bajuku." Paksi mengerutkan keningnya sambil memandangi Ki Marta Brewok. Tetapi Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, "Kau tidak boleh iri. Kau sedang menjalani laku. Sedang aku tidak." Paksi menarik nafas dalam-dalam. "Nah," berkata Marta Brewok kemudian, "sekarang kau harus berganti pakaian, kemudian membuat perapian. Bukankah kau masih mempunyai persediaan beras?" Paksi mengangguk-angguk. Pakaiannya memang basah kuyup ketika ia menyusup di bawah air terjun. Namun iapun juga bertanya, "Bagaimana dengan Ki Marta" Bukankah pakaian Ki Marta juga basah?" "Nanti aku juga akan mengambil ganti pakaian. Sekarang, buat saja api. Aku akan beristirahat di luar." Paksi mengangguk-angguk. Ketika Ki Marta Brewok sudah berada di luar gubuknya, maka Paksipun segera berganti pakaian. Tubuhnya masih terasa sangat lemah, sehingga rasa-rasanya ia ingin segera membaringkan dirinya. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia memang merasa lapar. Dalam kegelapan Paksi mencari batu titikan dan emput gelugut aren. Untunglah bahwa batu titikan dan emput
gelugut aren itu tidak dibawanya ke dalam goa sehingga tidak ikut menjadi basah. Beberapa saat kemudian, Paksi sudah membuat perapian. Ki Marta Brewok yang beristirahat di luar membiarkannya bekerja sendiri dalam keadaan letih. Ketika api sudah menyala, maka Paksi masih harus mencuci berasnya. Tertatih-tatih ia pergi ke sebuah belik kecil tempat ia terbiasa mengambil air. Malam itu Paksi tidak menanak nasi seperti biasanya. Ia tahu bahwa perutnya sudah cukup lama kosong, sehingga ia harus mulai mengisinya dengan makanan yang lunak. Karena itu, maka Paksi telah membuat bubur beras yang agak cair. Ki Marta tentu juga lebih baik makan makanan yang lunak seperti dirinya. Ketika Paksi kembali dari belik kecil, maka dilihatnya Ki Marta Brewok sudah duduk di depan api untuk memanaskan tubuh dan pakaiannya yang basah. Sambil menunggu bubur berasnya masak, Ki Marta Brewok sempat memberikan beberapa pesan kepada Paksi. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Paksi justru bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Sumbernya. "Paksi, arti dari ilmu yang kau kuasai kemudian tergantung kepadamu. Apakah ilmumu itu akan berarti bagi sesama atau justru menjadi racun, itu tergantung kepadamu. Jika kau selalu menyadari, bahwa kau terhitung satu di antara mereka yang mendapat kurnia kelebihan dari orang kebanyakan, maka sebagai ungkapan terima kasihmu, maka kau harus mempergunakan ilmu itu di jalan-Nya." Paksi mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti sepenuhnya pesan Ki Marta Brewok yang bukan untuk pertama kalinya dikatakannya. Tetapi seperti Ki Marta Brewok yang tidak jemujemunya menyampaikan pesan itu, maka Paksipun tidak jemujemunya pula mendengarkannya dan menekankan ke dalam jantungnya. Ketika kemudian bubur beras itu masak, maka keduanyapun telah makan bersama-sama. Meskipun mereka
hanya makan bubur hangat yang diberi sedikit garam, namun mereka merasa betapa nikmatnya. Paksi dan Ki Marta Brewok tidak makan terlalu banyak. Tetapi yang sedikit itu telah membuat tubuh mereka menjadi segar. "Beristirahatlah," berkata Ki Marta Brewok. "Kau tentu letih sekali lahir dan batinmu." Paksi mengangguk. Namun ia masih bertanya, "Bagaimana dengan Ki Marta?" "Aku akan beristirahat di luar gubukmu." Paksi tidak menjawab. Setelah memadamkan api, maka Paksi memang berbaring di dalam gubuknya. Tetapi karena anak muda itu merasa sangat letih, di luar sadarnya, Paksi telah tertidur di ujung malam itu. Ternyata Paksi terlambat bangun. Tidak biasanya ia bangun setelah cahaya matahari nampak merah di langit. Tetapi saat itu Paksi yang merasa sangat letih itu ternyata terlambat bangun. Ketika ia keluar dari gubuknya, maka dilihatnya cahaya matahari telah menebar di langit meskipun mataharinya masih berada di balik bukit. Angin pagi telah mulai mengalir menyentuh dedaunan yang basah oleh embun. Suara burungburung liar di hutan lereng gunung terdengar bersahutan menyanyikan kidung pagi menyambut matahari yang mulai memanjat naik. Di ujung rerumputan, embun yang menggantung seperti butir-butir mutiara yang berkilau memantulkan cahaya matahari pagi. Namun Paksi sudah tidak melihat Ki Marta Brewok lagi. Seperti biasanya, Ki Marta Brewok telah hilang bersamaan dengan datangnya dini hari. Paksi yang sudah merasa terlambat bangun itu duduk di atas sebuah batu di sebelah gubuknya. Sejenak ia sempat mengingat, apa yang telah dilakukannya selama ampat puluh hari ampat puluh malam dan kemudian tiga hari tiga malam menjalani puncak laku di dalam goa di balik air terjun itu.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun di dalam hatinya ia mengucap sukur, bahwa ia termasuk salah satu di antara mereka yang mendapatkan kurnia kelebihan dari yang Maha Agung sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok. Baru beberapa saat kemudian, Paksi bangkit dan melangkah pergi ke sungai setelah menutup pintu gubuknya. Demikian Paksi selesai mandi dan mencuci pakaiannya yang semalam basah kuyup, terasa tubuhnya menjadi segar kembali. Apalagi ketika kemudian sesudah ia makan bubur berasnya yang masih tersisa, terasa tenaganya perlahan-lahan telah tumbuh kembali. Hari ini Paksi sengaja tidak melakukan latihan apapun. Ia benar-benar beristirahat. Meskipun demikian, jika Paksi duduk termenung, maka bayangan-bayangan yang lewat di dalam benaknya adalah bayangan-bayangan laku yang ditempuhnya di dalam goa. Setiap kali serasa ia masih saja melihat dirinya sendiri bergerak dengan cepat, memeragakan unsur-unsur yang rumit. Meskipun kemudian geraknya menjadi semakin lama semakin lamban, namun terasa pada setiap geraknya, memancar tenaga yang semakin besar, sehingga akhirnya Paksi itu mampu mengungkapkan inti kekuatan yang sebelumnya seakan-akan tersembunyi di dalam dirinya. Satu kurnia yang sangat besar baginya. Paksi Pamekas itu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian bangkit dan melangkah turun ke jalan sempit yang jarang sekali dilalui orang. Bahkan orang mencari kayu sekalipun. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk menuruni kaki gunung itu. Sambil berjalan, Paksi membenahi pakaiannya. Kemudian melihat apakah ia sudah membawa uang beberapa keping. Ternyata Paksi kemudian hampir di luar sadarnya telah turun sampai ke pasar. Karena matahari sudah menjadi semakin tinggi, maka keramaian pasar itu mulai menyusut. Meskipun
demikian, penjual dawet di dekat pintu gerbang pasar itu masih duduk di belakang dagangannya. Penjual dawet itu tersenyum melihat Paksi yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Dengan ramah ia bertanya, "He, sudah beberapa hari kau tidak nampak, anak muda?" "Aku sedang sibuk, Paman," jawab Paksi sambil duduk di sebelahnya. "Sibuk apa" Bukankah sekarang tidak sedang musim tanam?" bertanya penjual dawet itu. "Aku sedang sibuk memagari pategalan pamanku yang sudah rusak sekaligus membuat lanjaran kacang panjang," jawab Paksi. "Dan karena itu, kau tidak membeli cendol dawetku?" "Aku sekarang akan membeli dawet saja, Paman. Bukan hanya cendolnya." "Nampaknya kau sudah jemu meramu dawet sendiri." Paksi tertawa pula. Sementara penjual dawet itu menuang santan ke dalam mangkuk. Kemudian cendol dan legen kelapa. Ketika Paksi meneguk dawet itu, terasa alangkah segarnya setelah beberapa hari ia menempa dirinya dengan mengekang jenis bahan makan yang masuk ke dalam mulutnya dan yang pada ujungnya, Paksi harus menjalani pati-geni. Sementara Paksi minum dawet, ia melihat Kinong lewat sambil menjinjing keranjangnya. Maka dipanggilnya anak itu dan ditawarinya untuk minum dawet pula. "Terima kasih, Kang," jawab Kinong sambil duduk di sebelah Paksi. "Kalau dua hari yang lalu Kakang datang ke pasar ini, maka Kakang akan melihat keributan lagi." "Keributan apa lagi?" bertanya Paksi. "Orang-orang yang itu juga?" "Bukan hanya orang-orang itu. Tetapi ada yang lain," penjual dawet itulah yang menjawab. "Apalagi yang mereka ributkan?" bertanya Paksi pula. "Aku tidak tahu. Tetapi mereka nampaknya sedang mencari sesuatu."
"Mencari apa?" desak Paksi. "Mereka mengatakan bahwa semalam sebelumnya mereka telah melihat ndaru meluncur dari langit dan jatuh di sekitar tempat ini." "Tetapi kenapa mereka jadi bertengkar?" "Itulah yang terjadi. Perempuan aneh itu datang lagi. Kemudian datang pula dua orang yang garang. Tidak seorang pun yang tahu apa sebabnya mereka telah berselisih. Tetapi seorang perempuan yang dahulu berpakaian lurik coklat itu datang lagi dan membawa perempuan yang berpakaian asing itu pergi sebelum terjadi perselisihan yang semakin memburuk." "Mereka bertengkar memperebutkan ndaru itu," berkata Kinong. Paksi tertawa. Katanya, "Siapa yang dapat memperebutkan ndaru" Kenapa mereka tidak berebut dahulu menemukannya, seandainya ndaru itu berujud. Katakanlah sebuah bintang yang meluncur dan jatuh di bumi." Kinong menggeleng. Katanya, "Entahlah." Sementara penjual dawet itu berkata, "Kami orang-orang yang tinggal di sekitar tempat ini, tidak ada yang melihat sesuatu jatuh dari langit. Malam itu aku juga berada di sawah menunggui air yang mengalir ke kotak sawahku. Tetapi aku tidak melihat apa-apa. Sementara orang-orang asing itu ribut mempersoalkannya." Paksi mengangguk-angguk. Ia juga pernah melihat ndaru yang meluncur dan seakan-akan jatuh di sekitar tempat ini. Tetapi menurut Ki Marta Brewok ndaru itu bukan benda mawujud. Berbeda dengan gumpalan bintang yang meluncur jatuh dari langit yang memang pernah terjadi. Tetapi Paksi tidak mengatakan apa-apa. Namun yang kemudian diingat oleh Paksi bahwa dua hari yang lalu, ia sedang berada di dalam goa di belakang air terjun itu. Namun dalam pada itu, Kinongpun berkata, "Aku mendengar setelah perempuan asing itu pergi, orang-orang
yang nampak garang seperti ayah itu menyebut-nyebut cincin bermata tiga butir batu akik." "O," Paksi menjadi tertarik mendengar ceritera Kinong. Tetapi ia menahan diri agar Kinong tidak justru segan untuk melanjutkan ceriteranya. "Orang-orang itu mengatakan bahwa yang meluncur dan disebut ndaru itu mungkin sebuah cincin yang bertuah." "Cincin meluncur dari langit?" Paksi tertawa. Tetapi wajah Kinong menjadi gelap. Katanya, "Aku hanya menirukan orang-orang itu." "O, ya," Paksi mengangguk angguk lagi. "Sudahlah," berkata Kinong, "aku akan mencari embokku." "Tunggu. Kau belum selesai dengan ceriteramu," berkata Paksi. "Aku mau membelikan kau dawet lagi." "Sudah. Ceriteraku sudah habis." Kinongpun segera bangkit dan berlari-lari meninggalkan Paksi. Anak itu melihat ibunya menggendong beban yang cukup berat dari seseorang yang sudah terbiasa mengupahnya. "Aku bantu, Mbok," berkata Kinong. Ibunya berpaling. Sambil tersenyum ia berkata, "Tidak usah Kinong. Tidak terlalu berat." Tetapi orang yang mengupahnya itu tersenyum pula kepada anak itu sambil berkata, "Nah, kau bawa saja kreneng ini." Kinong mengangguk. Dimasukkannya kreneng itu di dalam keranjangnya dan kemudian diusungnya di atas kepalanya. Paksi memandanginya dari kejauhan. Namun merekapun kemudian hilang di antara banyak orang. Penjual dawet itulah yang kemudian masih berceritera serba sedikit tentang orang-orang yang berselisih dan bahkan hampir saja terjadi perkelahian lagi. "Laki-laki itu memang berwajah garang," berkata penjual dawet itu. "Tetapi perempuan-perempuan yang wajahnya nampak cantik dan mengenakan pakaian yang asing itu ternyata tidak kalah garangnya."
"Menurut pendengaranku waktu itu, mereka datang dari sebuah perguruan yang disebut Perguruan Goa Lampin. Sedangkan laki-laki itu datang dari Perguruan Sad." "Ya. Perempuan asing itu memang datang dari Goa Lampin. Tetapi laki-laki yang berwajah garang itu bukan orang-orang dari Perguruan Sad sebagaimana yang terdahulu." "Mereka datang dari mana?" bertanya Paksi. Penjual dawet itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak mendengar dengan jelas. Tetapi mereka memang menyebut sebuah perguruan." Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mendesak lagi. Jika ia tidak dapat mengekang diri maka penjual dawet itu dapat mencurigainya. Karena itu, maka Paksipun tidak bertanya lagi. Ketika hari menjadi semakin siang, maka Paksipun meninggalkan pasar itu setelah ia membeli beberapa beruk beras dan kebutuhan-kebutuhannya yang lain. Di rumah kecilnya, Paksi mulai melihat-lihat tanah yang terbentang di sekitarnya yang sudah digarapnya menjadi kebun yang menghasilkan jagung dan bahkan padi gaga. Pada pagar yang mengelilingi kebunnya, Paksi menanam kacang panjang yang batangnya merambat. Namun Paksi mulai menjadi khawatir, bahwa orang-orang yang berkeliaran di lingkungan itu untuk mencari ndaru, akan sampai ke rumah kecilnya. Tetapi Paksipun kemudian berkata kepada diri sendiri, "Biar saja mereka datang. Justru akulah yang akan pergi. Aku tidak akan dapat tinggal di sini untuk seterusnya." Meskipun demikian, Paksipun kemudian menyadari ketergantungannya kepada Ki Marta Brewok. Tetapi Paksi tidak menyesal. Ki Marta Brewok telah memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya dan bagi masa depannya. Hari itu Paksi mulai lagi memanjat pohon-pohon kelapanya untuk mengambil legennya. Sudah beberapa hari ia tidak
melakukannya, sehingga seakan-akan ia harus memulainya lagi. Di hari berikutnya Paksi sudah mulai dengan kehidupannya sehari-hari sebagaimana sebelum ia menjalani laku. Tetapi masih ada satu lagi kegiatan yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, bahwa di dalam goa di belakang air terjun itu terdapat sebuah ruangan yang agak luas, yang mendapat sinar dari lubanglubang batu padas di atasnya. Ketika Ki Marta Brewok datang ke gubuknya di malam hari, maka Paksipun menyatakan keinginannya, bahwa esok ia akan memasuki goa itu lagi. "Lakukanlah," jawab Ki Marta Brewok. "Mungkin ada manfaatnya bagimu. Tetapi ingat, jangan ada orang lain yang sempat melihat kau memasuki goa itu." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Bukankah tempat ini jarang sekali atau bahkan tidak pernah dikunjungi orang?" "Tetapi akhir-akhir ini ada beberapa orang yang berkeliaran di sekitar tempat ini," berkata Ki Marta Brewok. "Mereka menyangka bahwa di daerah ini telah jatuh dari langit ujud yang mereka kenal dengan ndaru sebagaimana pernah kau lihat sebelumnya. Mereka menganggap bahwa ada hubungan antara ndaru itu dengan sebuah cincin bermata tiga butir batu akik sebagaimana pernah aku katakan kepadamu." "Apakah itu benar, Ki Marta Brewok?" Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, "Cincin itu sebuah benda yang kecil. Sementara itu yang mereka lihat adalah benda langit yang meluncur." "Tetapi apakah ndaru itu termasuk benda langit yang jatuh" Bukankah Ki Marta juga membedakan antara benda langit yang jatuh dan sebuah ndaru yang bersinar kehijauhijauan atau kebiru-biruan?" Ki Marta Brewok tertawa pula. Katanya, "Sudahlah. Yang penting berhati-hatilah. Aku kira kau juga tidak pernah menemukan cincin di sini. Padahal sebelum mereka datang, kau sudah ada di sini. Bahkan kau pernah melihat setahun
yang lalu, ndaru yang meluncur dari langit dengan sinarnya yang menyilaukan itu, seakan-akan juga jatuh di sini." Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Marta Brewok itu berkata, "Meskipun demikian, apakah kau merasa menemukan sesuatu yang lain kecuali sebuah cincin atau tidak?" Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi Ki Marta Brewok itu berkata, "Kau tidak usah sibuk memikirkannya sekarang. Yang penting, apakah nasimu sudah masak?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah bangkit dan melihat periuk yang masih berada di atas api yang sudah dikecilkannya. Malam itu, Ki Marta Brewok tidak membawa Paksi untuk melakukan latihan. Tetapi ia lebih banyak berceritera tentang sebuah perjalanan yang pernah ditempuhnya. Ki Marta Brewok menyebut beberapa tempat yang pernah dikunjungi. Ia berceritera tentang arah dan jalan yang dilaluinya serta kebiasaan serta adat orang-orang yang tinggal di daerah yang pernah dilewatinya itu. Paksi mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia sadar, bahwa Ki Marta Brewok sedang memberikan beberapa petunjuk kepadanya tentang sebuah pengembaraan. Karena itu, maka Paksi berusaha untuk mengingat-ingat semuanya itu dengan baik. Paksi memang memerlukan bekal bagi satu pengembaraan. Ketika ia meninggalkan rumahnya, sama sekali tidak terbayang apa yang harus dilakukannya dan apa yang bakal terjadi pada sebuah pengembaraan yang panjang dan bahkan seakan-akan tidak diketahui batas akhirnya. Namun tiba-tiba Ki Marta Brewok itu berkata, "Sudahlah. Aku harus pergi. Ada sesuatu yang memerlukan kehadiranku." Sebelum Paksi menjawab, Ki Marta Brewok itu sudah bangkit dan melangkah meninggalkan Paksi memasuki kegelapan. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah berbaring pula di dalam gubuk kecilnya di atas selembar
ketepe yang dianyamnya dari lembaran-lembaran belarak kelapa. Di hari berikutnya, maka seperti yang sudah dikatakan kepada Ki Marta Brewok, Paksipun telah pergi ke goa di belakang air terjun itu. Mengingat pesan Ki Marta Brewok, maka Paksi memasuki goa itu sebelum matahari terbit, sehingga ia yakin, bahwa tidak seorang pun yang melihatnya. Tetapi Paksi harus menunggu sampai matahari memanjat tinggi di langit. Baru kemudian ia benar-benar melihat berkasberkas cahaya matahari yang menyusup masuk ke dalam ruangan yang memang agak luas itu. Dengan demikian, maka ruangan itu menjadi lebih terang. Sehingga dengan demikian, maka Paksipun dapat melihat lekuk-lekuk dinding ruangan yang luas itu. Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia melihat bagian dinding goa yang datar Paksi tidak mengerti, apakah dinding itu memang datar secara alami, atau dibuat oleh tangan seseorang. Tetapi pada dinding yang datar itu Paksi melihat lekuk-lekuk yang sangat menarik perhatiannya. Hampir di luar sadarnya Paksi menyentuh dinding itu. Namun debu yang tebalpun telah runtuh. Yang sangat menarik bagi Paksi kemudian bukannya debu yang runtuh itu. Tetapi di balik debu itu ia melihat goresangoresan yang cukup dalam. Goresan-goresan yang nampaknya bukannya tanpa arti. Karena itu, maka Paksipun kemudian telah mencoba menghapus debu yang melekat pada dinding itu pada permukaan yang agak luas. Yang nampak kemudian ternyata sangat mengejutkannya. Ia melihat beberapa lukisan pada dinding goa itu. Lukisan yang menggambarkan sekelompok orang yang sedang berburu lembu liar. Namun ketika Paksi membersihkan permukaan yang lebih luas lagi, maka ia melihat lukisan beberapa orang yang sedang berkelahi. Paksi menjadi semakin berdebar-debar ketika kemudian ia melihat lukisan itu. Ia melihat unsur-unsur gerak yang
dikenalnya. Lukisan orang yang berkelahi itu meskipun nampaknya sekedar coretan-coretan, namun jelas bagi Paksi. Ia melihat bagaimana unsur-unsur gerak itu ditrapkan dalam benturan ilmu. Paksi menjadi semakin sibuk membersihkan debu itu. Bahkan kemudian ia telah melepas bajunya yang basah. Dengan bajunya itu Paksi membersihkan permukaan dinding itu semakin luas. Bahkan kemudian seluruh wajah dinding yang datar itu telah dibersihkannya, sehingga ia dapat melihat lukisan-lukisan yang terpahat di dinding itu semakin jelas. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan melihat dan mengamati dengan sungguh-sungguh lukisan itu, maka seakan-akan Paksi melihat bagaimana unsur-unsur gerak yang telah dikuasainya itu ditrapkan dalam benturan ilmu yang sebenarnya. Sementara itu, matahari yang bergerak perlahan di langit telah mencapai puncaknya. Cahaya yang tegak meluncur langsung menggapai lantai ruangan yang agak luas itu. Untuk beberapa saat lamanya Paksi masih dapat melihat lukisan-lukisan di dinding itu dengan jelas. Dengan daya angannya yang sangat kuat, Paksi yang memperhatikan lukisan di dinding itu dengan seksama, seakan-akan telah melihat pertempuran yang sebenarnya terjadi. Seorang yang memiliki ilmu sebagaimana telah dikuasainya, bertempur melawan seorang yang juga berilmu tinggi. Paksi kemudian tidak lagi melihat lukisan yang patah-patah dari satu adegan ke adegan yang lain. Tetapi Paksi serasa melihat lukisanlukisan itu menjadi hidup dan bergerak sebagaimana dirinya sendiri. Paksipun kemudian tenggelam ke dalam ketajaman daya angannya. Yang dilihatnya itu seakan-akan telah terjadi pada dirinya. Paksi tidak tahu sudah berapa lama ia berada di ruang itu. Namun kemudian ia menyadari keadaannya ketika sinar matahari perlahan-lahan menjadi pudar.
Namun Paksi memang sudah menjadi letih. Meskipun ia tidak bergerak dengan wadagnya, tetapi yang dilakukan oleh daya angannya itulah yang membuatnya letih. Karena itu, maka Paksipun kemudian telah menghentikan pengamatannya atas lukisan-lukisan itu. Namun ia sudah mendapat bekal yang akan dapat dipergunakan untuk melengkapi latihan-latihannya malam nanti. "Aku harus membicarakannya dengan Ki Marta Brewok," berkata Paksi kepada diri sendiri. Beberapa saat kemudian, maka Paksipun telah meninggalkan ruang yang sudah menjadi suram itu. Tetapi ketika ia berada di belakang air terjun, ia menjadi ragu. "Apakah tidak ada orang yang berada di sekitar tempat ini?" bertanya Paksi kepada diri sendiri. Namun Paksi memang yakin, bahwa ia tidak pernah melihat seseorang berada di sekitar tempat itu. Sebenarnyalah, ketika kemudian Paksi menembus air terjun itu, maka ia memang tidak melihat seorang pun berada di sekitar tempat itu. Juga panggraitanya tidak menyentuh getar seseorang. Di malam hari, ketika Ki Marta Brewok itu datang kepadanya, maka Paksipun segera menceriterakan apa yang dilihatnya di dalam goa itu. "Inilah salah satu ujud keberuntunganmu setelah kau melihat ndaru itu," berkata Ki Marta Brewok sambil tertawa. Paksi mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apakah Ki Marta Brewok itu bersungguh-sungguh atau sekedar bergurau. Tetapi Paksi sendiri merasa bahwa ia memang menemukan keberuntungan di tempat itu. Justru karena ia bertemu dengan Ki Marta Brewok. Namun Ki Marta Brewokpun kemudian berkata, "Baiklah. Kita akan berlatih malam ini. Mudah-mudahan kau dapat mencerna apa yang telah kau saksikan di dalam goa itu." Ketika kemudian Paksi melakukan latihan bersama Ki Marta Brewok, maka Paksi merasakan perkembangan dari ilmu yang telah dipelajarinya. Tenaga yang dapat diungkapkannya pun
menjadi jauh lebih besar. Sementara ketahanan tubuhnya pun rasa-rasanya menjadi berlipat. Ketika keduanya kemudian selesai berlatih, maka Ki Marta Brewokpun berkata, "Aku bangga dengan kemajuan yang sudah kau capai, Paksi. Tetapi aku masih berharap kau berada di goa itu untuk beberapa hari lagi." "Baik, Ki Marta," jawab Paksi. "Bagus. Nah, sekarang, mana nasimu?" Demikianlah, maka hari-hari berikutnya Paksi selalu berada di dalam goa itu. Dengan demikian, maka untuk beberapa hari ia tidak turun ke padukuhan dan tidak pula pergi ke pasar. Namun kerjanya sehari-hari tidak dilewatkannya. Setiap pagi dan sore ia masih saja memanjat pohon kelapanya untuk mengambil legen, meskipun kadang-kadang ia hanya sempat melakukannya sekali dalam sehari. Namun jika Paksi tidak mengambil legennya dengan teratur pagi dan sore, maka hasilnya akan menyusut. Dari hari ke hari, penguasaan Paksi atas ilmunya benarbenar menjadi semakin matang. Di siang hari ia memperhatikan lukisan-lukisan yang ada di dinding, sementara di malam hari ia melakukan latihan yang lebih berat dengan Ki Marta Brewok. Di dalam goa Paksi melihat lukisan seorang yang harus bertempur melawan dua atau tiga orang. Bahkan lebih banyak lagi. Sedangkan di bagian lain, Paksi melihat lukisan dari orang-orang yang sedang berburu yang kadang-kadang ada yang terpaksa berkelahi melawan binatang-binatang buas buruannya. Namun semuanya itu ternyata mampu memperluas wawasan Paksi tentang olah kanuragan, khususnya tentang ilmu yang disadapnya. Ketika Paksi merasa bahwa ia sudah melihat dan mempelajari lukisan-lukisan yang ada di dinding goa itu seluruhnya, maka hal itu telah disampaikannya pula kepada Ki Marta Brewok.
"Bagus, Paksi. Waktunya memang hampir tiba. Kau dapat melanjutkan usahamu untuk menemukan cincin itu. Tetapi sebaiknya kau tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Justru orang lain berdatangan kemari." Paksi mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baiklah, Ki Marta. Aku akan menunggu perkembangan keadaan di sini sebelum aku meninggalkan tempat ini." "Bagus," berkata Ki Marta Brewok. Namun katanya kemudian, "Tetapi selanjutnya aku tidak merasa perlu untuk datang setiap malam. Mungkin dua malam atau tiga malam sekali, jika aku ingin makan nasimu atau ketela pohonmu yang kau rebus dengan legen." Paksi mengangguk-angguk pula meskipun ia menjawab, "Tetapi bukankah Ki Marta Brewok tidak akan meninggalkan aku begitu saja?" Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, "Kita masih terikat oleh sebuah perjanjian. Kau harus menemukan cincin itu dan kelak menyerahkan kepadaku di alun-alun Pajang. Bukankah dengan demikian aku tidak akan meninggalkanmu sebelum hutangmu itu lunas" Selama ini aku sudah memberimu bekal. Karena itu, kau tidak dapat begitu saja pergi tanpa imbalan apapun." Paksi tersenyum. Tetapi ia mengangguk sambil menjawab, "Baiklah, Ki Marta." Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Marta Brewok, maka sejak malam itu, ia tidak lagi datang setiap malam. Tetapi dua atau tiga malam sekali. Sedangkan Paksi sudah mulai lagi turun ke padukuhan dan ke pasar. Meskipun demikian, dua hari atau tiga hari sekali, Paksi masih juga masuk ke dalam goa untuk lebih memahami lukisanlukisan yang terdapat di dalam dinding goa itu, sehingga tidak ada sebuah garispun yang luput dari pengamatannya. Dalam pada itu, ternyata sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok, semakin banyak orang asing yang sering nampak berkeliaran di pasar itu. Paksi sendiri yang sudah
sering berada di pasar itu, sudah tidak dianggap orang asing lagi. Ia mengenal semakin banyak orang yang terbiasa berada di pasar itu. Sedangkan Kinong menjadi semakin terbiasa pula berhubungan dengan Paksi. Bahkan dalam keadaan yang memaksa, Kinong pernah minta Paksi membelikan nasi tumpang, karena Kinong tidak dapat menahan lapar. "Aku tidak berani mengambil uang di dalam tabunganku," berkata Kinong. "Aku takut ayah melihatnya dan merampasnya, sehingga aku tidak akan dapat menyisakan sama sekali. Uang Embok benar-benar sudah habis." "Bagaimana dengan kakak perempuanmu?" bertanya Paksi. "Embok masih menyisakan sebuah ketela pohon yang akan dapat direbusnya setelah ayah pergi." Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Makanlah. Bagaimana dengan embokmu?" "Embok sedang mengikat dan membawa barang-barang belanjaan. Mudah-mudahan embok mendapat uang yang dapat dibelikannya nasi atau apapun bagi embok sendiri." Paksi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Paksi mempunyai kepuasan tersendiri melihat Kinong makan, namun Paksi menyadari, bahwa masih banyak anak-anak yang mengalami kesulitan sebagaimana dialami Kinong, meskipun sebabnya tidak selalu sama. Kinong yang sedang makan nasi tumpang itu terkejut ketika ia mendengar suara ibunya memanggilnya. "Kau sedang apa, Kinong?" "Makan nasi tumpang, Mbok. Kakang Paksi membelikan nasi tumpang buatku." Ibu Kinong memandang Paksi dengan kerut di dahinya. Namun kemudian iapun berdesis, "Terima kasih, Ngger." "Apakah Bibi tidak makan sama sekali?" Paksi menawarkan. Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Aku sedang mencari Kinong. Ia belum makan sama sekali sejak kemarin sore. Aku membawa uang jajan buatnya. Tetapi ternyata kau sudah berbaik hati, membelikan nasi buat Kinong."
"Sudahlah," berkata Paksi. "Uang itu dapat Bibi belikan apa saja buat Bibi sendiri atau buat kakak perempuan Kinong." Mata perempuan itu berkaca-kaca. Tetapi ia tersenyum. Katanya, "Kau baik sekali, Ngger." "Ah sudahlah. Lupakan saja, Bibi," sahut Paksi. "Tetapi Angger tidak hanya sekali ini membelikan makanan dan jajan bagi Kinong." Paksi tersenyum. Katanya, "Kebetulan saja, Bibi." Kinong yang telah selesai makan itupun kemudian membuang pincuk daun kelapanya sambil berkata, "Terima kasih, Kakang. Aku sekarang sudah kenyang. Aku sudah dapat membantu Simbok." Paksi mengusap kepala anak itu sambil berdesis, "Bagus. Bantu embokmu." Kinongpun kemudian melangkah pergi bersama ibunya setelah berulang kali mengucapkan terima kasih. Namun di pasar itu, Paksi juga mendengar ceritera tentang orang-orang yang berkeliaran di pasar itu. Orang-orang asing yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali. Penjual nasi tumpang itu menyatakan kecemasannya, bahwa kehadiran orang-orang itu akan dapat menimbulkan persoalan. "Mereka meributkan ndaru yang jatuh di sekitar tempat ini," berkata penjual nasi tumpang itu. Seperti penjual dawet, maka penjual nasi itupun mengatakan. "Sementara itu, tidak seorangpun di antara kita di sini yang melihat ndaru itu jatuh. Apalagi menemukannya." Paksi hanya mengangguk-angguk saja Sementara itu, selama Paksi duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu, ia sudah melihat dua orang yang memang menarik perhatian lewat. Penjual nasi itu mengamatinya sambil berbisik, "Nah, kau lihat orang itu" Bukankah kita belum pernah melihat sebelumnya?" Paksi mengangguk-angguk. Kedua orang itu memang nampak garang dengan senjata di lambung.
Namun Paksipun sempat bertanya, "Kenapa mereka berkeliaran di pasar ini" Apa mereka mengira bahwa ndaru itu jatuh di tengah-tengah pasar ini?" "Tentu tidak," jawab penjual nasi tumpang itu. "Tetapi itu pertanda bahwa mereka berkeliaran di sekitar tempat ini. Jika mereka pergi ke pasar itu karena mereka harus membeli makan atau makanan. Tetapi kami menjadi cemas, bahwa mereka akan berbuat sewenang-wenang. Sudah ada di antara mereka yang membayar tidak sewajarnya." "Maksudmu?" bertanya Paksi. "Ada di antara mereka yang hanya membayar separo dari harga yang seharusnya ketika mereka membeli minum dan makan di kedai itu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Kehadiran orang-orang yang dianggap orang orang asing itu ternyata tidak memberikan penghasilan tambahan bagi orang-orang di sekitar tempat itu, tetapi justru merugikan mereka. Sementara itu mereka tidak berani berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang dianggap asing, tetapi yang pada umumnya orang-orang garang itu. Tetapi Paksi masih belum ingin melibatkan diri. Ia masih saja bersikap seperti biasanya. Meskipun demikian, di gubuk kecilnya Paksi masih saja merenungi orang-orang yang mencari ndaru di sekitar tempat itu. Bahkan mereka menghubungkannya dengan hilangnya cincin dari istana Pajang itu. Ketika kemudian malam turun, maka Paksipun telah membuat perapian seperti biasanya. Ia mulai menjerang air dan menanak nasi. Paksi masih mempunyai pepes ikan bader yang ditangkapnya kemarin di sungai. Nampaknya Paksi baru mujur, karena ia mendapat ikan lebih banyak dari biasanya. Namun ketika Paksi baru asik menunggui perapiannya, tibatiba saja ia terkejut. Telinganya yang tajam, yang sudah diasahnya dengan baik, telah mendengar desir langkah seseorang di belakang dinding gubuknya.
Paksipun segera menduga bahwa seseorang telah datang mendekati gubuknya itu dan orang itu tentu bukan Ki Marta Brewok, karena Ki Marta Brewok tidak pernah berbuat demikian. Sebenarnyalah, sekali lagi Paksi terkejut. Tiba-tiba saja pintu rumahnya itu telah terbuka. Seseorang telah menghentakkannya dari luar. Ketika Paksi kemudian bangkit berdiri, maka dalam kegelapan di luar gubuknya yang tidak dapat digapai oleh sinar dlupaknya, seseorang berdiri bertolak pinggang. Ketajaman mata Paksi mampu melihat orang itu seutuhnya. Tetapi Paksi tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas. "Siapa kau?" bertanya Paksi. Orang yang berdiri di luar pintu itu tertawa, "Jadi ada juga orang yang tinggal di sini. Agaknya bukan baru kemarin kau berada di sini, anak muda. Aku sudah melihat tanaman jagungmu, kacang panjangmu dan ketela pohon yang di pinggir hutan itu." "Ya," jawab Paksi. "Aku memang tinggal disini sejak lama." "Bagus. Jika demikian, kau tentu tahu, di mana ndaru itu jatuh." "Ndaru apa?" bertanya Paksi. "Aku sama sekali tidak melihat ndaru." "Jangan bohong. Ndaru itu meluncur dari langit dan jatuh di sekitar tempat ini." Paksi memandang orang itu dengan tajam. Dengan nada berat Paksi berkata, "Aku tidak melihat ndaru itu, Ki Sanak. Aku selalu berada di dalam gubukku ini. Seandainya ada ndaru turun di sekitar tempat ini, maka aku tentu tidak melihatnya." "Apakah kau sudah memungut ndaru itu" Aku tahu bahwa yang jatuh sebagai ndaru itu tentu cincin kerajaan yang hilang. Siapa yang memakai cincin itu akan dapat menurunkan seorang yang akan menguasai tanah ini. Apakah ia laki-laki atau perempuan."
"Aku juga tidak tahu apa-apa tentang cincin kerajaan yang kau katakan itu. Selama aku tinggal di sini, aku hanya bergumul dengan lingkungan kecil ini." "Sudahlah. Jangan banyak bicara. Sekarang, serahkan cincin itu kepadaku." "Kenapa kau mengigau seperti itu?" "Ndaru itu adalah wahyu. Karena itu, dengan cara apapun juga ndaru itu harus aku miliki." "Ki Sanak. Aku tidak akan memperebutkan wahyu. Aku tidak percaya bahwa wahyu itu dapat diperebutkan seperti orang memperebutkan benda-benda mawujud." "Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?" "Wahyu itu berhubungan erat dengan sikap, tingkah laku dan laku yang dijalaninya. Tetapi terakhir, kuasa Yang Maha Agung." "Tetapi itu tidak akan dapat datang dengan sendirinya. Seseorang harus berjuang untuk mendapatkannya." "Bukan dengan cara yang kau tempuh, Ki Sanak. Seolaholah dalam sehari kau akan mendapatkannya. Bahkan mungkin merebut dari orang lain. Wahyu akan datang kepadamu bukan berdasarkan kerja sehari apapun yang kau kerjakan. Tetapi atas penilaian yang panjang dari sikap, tingkah laku dan laku yang dijalaninya." "Jadi aku harus bertapa di goa-goa atau bersamadi di lereng gunung seperti yang kau lakukan ini?" Paksi menggeleng. Katanya, "Tidak, Ki Sanak. Menurut guruku, bukan laku seperti itu. Tetapi laku yang kita jalani akan nampak pada sikap dan tingkah laku. Apa yang kita yakini dan apa yang kita lakukan sesuai dengan hubungan kita dengan Yang Maha Agung bagi sesama." "Jadi kenapa kau berada di sini" Kau tentu sedang bertapa pada saat-saat tertentu di goa goa yang ada di sekitar tempat ini. Kau tentu juga menjalani laku, menyiksa diri di sini. Dengan demikian kau mengharap bahwa ndaru itu akan jatuh kepadamu. Cincin itu akan kau ketemukan dan kau pakai
sehingga kau akan dapat menurunkan penguasa di atas tanah ini." "Jika aku menjalani laku di sini, itu adalah laku yang sangat sempit dibanding dengan lingkup kehidupan. Menurut guruku, apa yang aku dapatkan dengan laku yang aku jalani ini tidak lebih dari sekedar bekal untuk menjalani laku yang lebih luas dalam garangnya arus kehidupan." "Jadi kau bermaksud mengatakan bahwa laku yang kau jalani di sini sekedar untuk mendapatkan ilmu yang kemudian harus kau amalkan?" "Ya," jawab Paksi. Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau telah berbicara tentang hal-hal yang tidak kau ketahui sendiri. Sekarang, berikan cincin itu kepadaku. Kau akan selamat." "Jangan berpandangan picik tentang wahyu." "Tetapi aku tahu pasti apa yang aku lakukan. Sedangkan kau tidak. Apa yang kau katakan itu tidak lebih dari tangkapanmu yang dangkal terhadap ajaran-ajaran orang yang kau sebut gurumu itu. Kau masih harus mendalami maknanya, bukan sekedar permukaannya saja." Paksi mengerutkan dahinya. Orang itu tentu orang yang aneh. Jika ia menganggap bahwa tangkapannya atas ajaran gurunya terlalu dangkal, bagaimana mungkin ia sendiri berusaha untuk mencari wahyu dengan caranya. Mencari sebuah cincin yang dipercaya akan memberikan arti yang sangat tinggi kepada pemakainya. Bahkan orang yang memakainya akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini. "Kenapa kau menjadi bingung?" orang itu tiba-tiba bertanya. "Sekarang berikan cincin itu. Seandainya cincin itu bukan ujud dari wahyu tertinggi, maka setidak-tidaknya aku akan mendapatkan sesuatu yang berarti bagi hidupku. Pada dasarnya ndaru itu akan memberikan keberuntungan padaku. Itu saja. Karena itu berikan cincin itu." "Sudahlah, Ki Sanak," berkata Paksi yang menjadi curiga terhadap sikap orang itu. "Apa maumu sebenarnya" Aku yakin bahwa kau tidak sedang sekedar mencari ndaru itu."
"Jadi kau kira aku sedang mencari apa?" bertanya orang itu. "Justru itulah yang ingin aku tanyakan kepadamu." "Jangan banyak bicara lagi. Berikan cincin itu atau aku akan menghancurkan tatanan kehidupanmu di sini dan bahkan jika kau tetap berkeras kepala, aku akan membunuhmu. Nilai cincin itu jauh lebih berharga dari nyawamu." "Kau kira aku akan membiarkanmu melakukannya?" bertanya Paksi. "Setan kau," geram orang itu. "Jadi kau benar-benar tidak mau memberikannya?" "Tidak ada yang dapat aku berikan kepadamu." Tiba-tiba saja orang itu menggapai sepasang uger-uger pintu gubuk Paksi. Sambil mengguncang gubuk kecil itu ia berkata, "Kau tahu bahwa aku akan dapat merobohkan gubukmu ini dalam sekejap." Tetapi Paksi tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia lelah meloncat menyerang orang itu. Ia tidak ingin gubuknya roboh dan terbakar karena perapiannya. Orang itu terkejut. Dengan cepat ia meloncat surut, sementara Paksipun telah meloncat keluar gubuknya. Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Paksi yang marah itu telah menyerang dengan garangnya, sehingga orang itu berloncatan menghindar. Namun kemudian, orang itu menjadi mapan, sehingga dengan demikian, maka merekapun telah bertempur dengan sengitnya. Dengan keras orang itu membalas serangan Paksi dengan serangan pula. Beberapa kali orang itu sengaja tidak menghindar dari serangan-serangan Paksi. Tetapi dengan sengaja orang itu justru telah membentur serangan dengan serangan pula. Dengan demikian, baik orang itu maupun Paksi dapat menjajagi kekuatan lawan di samping menjajagi pula tingkat ilmu mereka.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka berloncatan di atas lereng-lereng berbatu karang di kaki gunung itu. Semakin lama semakin cepat. Benturan-benturan pun menjadi semakin sering terjadi, sehingga jika benturan itu terjadi, maka keduanya beberapa kali terdorong surut. Paksi yang baru saja selesai menjalani laku, telah menunjukkan kemapanan ilmunya yang tinggi. Ternyata menghadapi orang yang mencari ndaru itu, Paksi mampu mengimbanginya. Meskipun orang itu meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Bahkan keduanyapun kemudian telah mengungkap tenaga dalam mereka masing-masing, sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. "Demit kecil," geram orang itu. "Darimana kau mendapatkan ilmu itu he?" Paksi tidak menjawab. Tetapi anak muda itu justru bertempur semakin sengit. Dalam pertempuran itu, Paksi justru seakan-akan mendapat kesempatan untuk mencoba kemampuannya. Apa yang telah diwarisinya dari gurunya yang terdahulu, kemudian yang dituangkan oleh Ki Marta Brewok, yang kemudian seakan-akan diuraikan dengan terperinci oleh lukisan-lukisan di dinding goa itu, telah dicoba untuk diuapkan dalam keadaan yang sesungguhnya. Ternyata bahwa Paksi tidak mengecewakan. Ia mampu mengimbangi lawannya yang berilmu tinggi, yang kadangkadang bergerak cepat seakan-akan tidak berjejak di atas tanah, namun kemudian sepasang kakinya seakan-akan menghunjam dan berakar di dalam bumi. Namun di setiap geraknya, telah menggetarkan udara di seputarnya. Orang itu seakan-akan tidak lagi bergerak berputar, meloncat atau melenting dengan cepat. Tetapi berdiri tegak dan hanya sekedar beringsut setapak-setapak.
Namun apapun yang dilakukan oleh orang itu, Paksi masih mampu mengimbanginya. Bahkan ketika orang itu meningkatkan ilmunya, Paksi masih belum dapat dikuasainya. Dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Berganti-ganti keduanya saling menyerang. Benturanbenturan kekuatan terjadi semakin sering, sehingga keduanya saling mendesak dan saling bertahan. Semakin lama mereka bertempur, Paksi menjadi semakin curiga terhadap lawannya. Meskipun kadang-kadang keduanya berdiri berhadapan, namun Paksi masih belum berhasil melihat wajah lawannya dengan jelas. Bahkan kemudian Paksi sempat menduga bahwa orang itu adalah Ki Marta Brewok sendiri yang ingin mengujinya. Tetapi Paksi tidak mau salah duga. Jika ia keliru dan mengira bahwa orang itu tidak bersungguh-sungguh, maka ia akan dapat terjerat dalam kesulitan. Karena itu, maka pertempuran itu menjadi semakin keras. Serangan-serangan mereka mulai menembus pertahanan lawan. Sehingga sekali-sekali seorang di antara mereka terdorong beberapa langkah surut. Bahkan ketika serangan Paksi tepat mengenai dada lawannya, maka orang itupun terhuyung-huyung sesaat. Namun paksi telah mengulangi serangannya dengan ayunan kaki mendatar sambil berputar. Kaki Paksi tepat mengenai lambung orang itu, sehingga orang itu benar kehilangan keseimbangannya dan jatuh berguling di tanah. Tetapi ketika paksi memburunya, maka dengan cepat orang itu meloncat bangkit. Demikian Paksi mengayunkan tangannya ke arah kening, maka orang itu sempat merendahkan diri. Kakinya justru terjulur menyamping menghantam bahu Paksi. Tubuh Paksi bagaikan diputar. Tetapi demikian lawannya mengulangi serangannya, Paksi justru menjatuhkan dirinya dan bergulir menjauh. Namun lawannya tidak melepaskannya. Dengan sigapnya ia meloncat memburu. Namun Paksi justru meluncur dengan
cepat. Kakinya memutar tubuhnya, maka lawannya itupun jatuh terbanting di tanah. Tetapi sekejap kemudian, keduanya telah meloncat melenting berdiri. Keduanya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ternyata orang yang datang untuk mencari ndaru itu sudah kehilangan kesabaran. Dengan geram ia berkata, "Anak yang tidak tahu diri. Jika kau tetap keras kepala dan tidak mau menyerahkan ndaru itu kepadaku, maka kau akan menyesali nasibmu yang buruk. Kau akan mati dan terkubur di sini tanpa ditunggui oleh orang tuamu." Tetapi Paksi sama sekali tidak menjawab. Dipersiapkannya dirinya untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih berat. Sebenarnyalah bahwa tidak terhenti sampai sekian. Mata Paksi yang menjadi setajam mata burung hantu di malam hari melihat lawannya itu mempersiapkan serangan dengan tataran ilmu yang semakin tinggi. Paksi telah mendapat tuntunan yang lengkap dari Ki Marta Brewok. Ia telah melihat dirinya sendiri pada puncak lakunya, mengetrapkan ilmu yang lebih tinggi dari sekedar kekuatan dan kemampuan kewadagan. Paksipun telah melihat, bagaimana ilmu seperti itu ditrapkan dalam pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, ketika ia melihat lawannya mengatupkan telapak tangannya, maka Paksipun segera memusatkan nalar budinya, memasuki puncak kemampuannya sebagaimana pernah dilakukannya dalam samadinya. Paksi belum pernah mengetrapkan ilmunya dalam pertempuran yang sebenarnya. Tetapi ia tidak mau begitu saja dihancurkan oleh lawannya dalam benturan ilmu. Karena itu, apapun yang terjadi, Paksi berusaha untuk melindungi diri sebaik-baiknya. Paksipun kemudian melihat kedua telapak tangan lawannya itu bagaikan membara. Dalam gelap malam, nampak asap
putih yang tipis mengepul dari antara kedua telapak tangan itu. Namun dalam pada itu, Paksipun segera menyilangkan kedua tangan di dadanya. Namun di saat terakhir, Paksi mengangkat kaki kirinya dan mengayunkannya sambil meloncat menyongsong serangan lawannya. Satu benturan ilmu dahsyat telah terjadi. Paksi terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya jatuh terbanting di tanah berbatu padas. Dadanya menjadi sesak seakan tertindih oleh batu hitam sebesar gubuknya itu. Sementara itu, kulitnya yang terluka oleh tajamnya batu-batu padas, terasa menjadi sangat pedih. Tetapi paksi masih memaksa dirinya untuk bangkit. Ia masih melihat lawannya yang juga terpental jatuh. Namun seperti Paksi orang itupun berusaha untuk bangkit dengan susah payah. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah berdiri berhadapan pula. Tetapi keduanya seakan-akan sudah tidak mampu lagi berdiri tegak. Tenaga dan kekuatan mereka telah terkuras habis. Benturan yang terjadi seakan-akan membakar isi dada mereka, memusnahkan tenaga yang tersimpan di dalam diri mereka. "Kau anak iblis," geram orang itu. "Ternyata kali ini kau mampu mengimbangi ilmuku. Tetapi jangan tertawa lebih dahulu. Pada suatu saat aku akan datang untuk membunuhmu jika kau tidak mau memberikan ndaru itu kepadaku." Paksi tidak menjawab, nafasnya terengah-engah. Bahkan hampir saja ia tidak dapat bertahan untuk tetap berdiri. Tetapi Paksi tidak mau jatuh di hadapan lawannya. Ia harus tetap bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan sisasisa tenaga yang ada padanya. Orang yang datang kepadanya, agar Paksi memberikan ndaru yang dianggapnya telah dimilikinya itu melangkah surut. Ternyata orang itupun nampaknya menjadi sangat lemah. Meskipun demikian, ia masih berkata lantang, "Tunggu. Dalam waktu dekat aku akan kembali."
Namun kedua orang yang sudah hampir kehabisan tenaga itu terkejut. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara orang tertawa. Tidak terlalu keras. Namun cukup menggetarkan udara malam di lereng gunung itu. Ketika keduanya berpaling, maka mereka melihat Ki Marta Brewok bergerak selangkah demi selangkah mendekati Paksi. Namun kemudian iapun berhenti sambil berkata kepada orang yang baru saja bertempur melawan Paksi, "Jadi kau ganggu anakku, he?" "Kau siapa?" bertanya orang itu. "Aku yang telah memelihara anak ini. Itulah agaknya hatiku selalu merasa berdebar-debar. Sebenarnya malam ini aku tidak berniat datang kemari. Tetapi ternyata kau di sini sekarang. Nah, jika kau memang seorang yang berilmu tinggi, kau jangan hanya berani mengganggu anak-anak. Sekarang, biarlah yang tua berhadapan dengan yang tua." Orang yang datang mencari ndaru itu mengumpat. Katanya, "Kau akan memanfaatkan saat aku kelelahan. Baiklah. Aku terima tantanganmu. Tetapi tidak sekarang." "Bagus. Tetapi jangan datang seperti seorang pencuri justru saat aku tidak ada di sini." "Bagaimana aku tahu bahwa kau ada di sini?" "Bertanyalah kepada anakku. Jika aku tidak ada, jangan mengganggu anak-anak. Biarlah ia bermain sesuai dengan caranya. Kita yang tua akan berhadapan dengan cara orangorang tua." "Jangan menyesal jika aku datang pada kesempatan lain. Persoalan kita akan kita selesaikan dengan cara orang tua." "Sekarang pergilah sebelum aku menjadi semakin muak melihatmu. Jika tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk membunuhmu, maka kau benar-benar akan mati." "Persetan kau," geram orang itu. Tetapi tertatih-tatih orang itu melangkah meninggalkan tempat itu. Demikian orang itu lenyap dalam kegelapan, maka Ki Marta Brewokpun telah mengajak Paksi masuk ke dalam biliknya.
Paksi yang pernafasannya masih terasa sesak itu kemudian terduduk di atas ketepenya. Tenaganyapun bagaikan terkuras habis. "Atasi kesulitan di dalam dirimu, Paksi," berkata Ki Marta Brewok. Paksi tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian duduk tegak dengan menyilangkan kaki dan tangannya. Paksipun kemudian telah mengatur pernafasannya. Ki Marta Brewok membiarkan Paksi mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Sementara itu Ki Marta Brewok justru menyurukkan kayu bakar pada perapian Paksi yang hampir padam untuk merebus air dan menanak nasi. Meskipun Paksi kemudian berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya, namun ketahanan tubuhnya yang tinggi masih belum mampu mengatasi perasaan sakit dan nyeri di bagianbagian tubuhnya. Bahkan di beberapa tempat nampak kulitnya memar kebiru-biruan. Keningnya terasa lebam dan tulang punggungnya terasa sakit. Selain nyeri-nyeri pada tulang dan dagingnya, maka luka-lukanyapun terasa pedih. Ketika ia terbanting jatuh, maka batu-batu padas telah menggores kulitnya yang tidak menjadi kebal. Menjelang fajar, Paksipun mengakhiri usahanya mengatasi kesulitan di dalam dirinya. Ketika ia kemudian bangkit, ia tidak melihat Ki Marta Brewok. Yang ada hanyalah sebuah mangkuk yang telah dipakainya untuk makan. Daun pembungkus pepesan ikan bader dan periuk nasi yang sudah diturunkan dari atas perapian. Apipun telah padam dan air yang sudah mendidih itu masih hangat. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menggeliat, terasa tulang-tulangnya masih nyeri. Perlahan-lahan Paksi melangkah keluar gubuknya. Pintunya masih terbuka lebar sehingga angin malam yang berhembus di lereng gunung itu menyusup masuk Dlupak minyak kelapa di atas ajug-ajugnya masih menyala. Sinarnya seperti terayun dibuai angin.
Paksi tertegun. Ternyata Ki Marta Brewok tidak pergi. Ia justru berbaring di atas batu di luar gubuknya. Ketika Ki Marta Brewok itu melihat Paksi melangkah keluar, maka iapun segera bangkit. Dengan nada dalam ia bertanya, "Bagaimana keadaanmu, Paksi?" Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sudah menjadi semakin baik Ki Marta." "Bagus. Sebenarnya aku mempunyai keperluan lain malam ini. Tetapi aku harus menunggu, apakah kau berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirimu." "Tetapi tulang-tulangku masih terasa nyeri, Ki Marta." Ki Marta Brewok itupun kemudian mengambil sebutir obat yang dibungkus dengan selembar kelaras daun pisang. "Setelah kau makan nasi, maka makanlah obat ini. Mudahmudahan keadaanmu bertambah baik." "Terima kasih," desis Paksi sambil menerima obat itu. "Nah, sekarang aku akan pergi. Selanjutnya kau akan dapat mengatasi keadaanmu dengan baik. Orang itu tidak akan kembali dalam waktu dekat, karena ia juga mengalami kesulitan di dalam dirinya sebagaimana kau alami. Seandainya ia ingin datang lagi, maka ia akan datang setelah keadaanmu pulih kembali." Paksi mengangguk. Sementara itu Ki Marta Brewok berkata lebih lanjut, "Paksi, jika orang itu datang lagi, aku kira kau akan dapat mengatasinya. Jika kau mampu mengungkit lebih dalam tenaga yang tersimpan di dalam dirimu, maka kekuatan ilmumu akan menjadi semakin besar. Kau harus lebih memahami kekuatanmu yang berlandaskan pada pijakan bumi. Api yang mengalir dan menghangatkan darahmu. Udara yang berhembus di dalam dadamu dan air yang menggairahkan dan menyegarkan tubuh serta otakmu. Tetapi ingat, bahwa api, udara dan air bahkan bumi akan dapat melambungkan kemampuanmu, tetapi tanpa memahami wataknya dengan baik, maka dalam keseimbangan yang goyah, justru akan dapat menimbulkan malapetaka pada
dirimu. Karena itu, setelah kau selesai menjalani laku, bukan berarti bahwa segala-galanya telah selesai. Masih banyak sekali yang harus kau kerjakan." Paksi mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam iapun berkata, "Baiklah, Ki Marta. Aku akan mencobanya." Ki Marta Brewok itupun kemudian menengadahkan wajahnya. Cahaya merah menjadi semakin menyala di langit. Karena itu, maka katanya, "Sudahlah. Aku tidak ingin terlambat. Makanlah obat yang aku berikan itu setelah kau makan nasi. Tetapi aku masih ingin memperingatkanmu, kau tidak boleh lupa menelan obat penawar racun itu. Di sini ular berkeliaran tanpa mengenal waktu." Paksi tidak sempat menjawab. Ki Marta Brewok itupun kemudian bangkit dan melangkah meninggalkan Paksi yang berdiri termangu-mangu ditempatnya. Ia hanya dapat memandangi Ki Marta Brewok yang berjalan dengan cepat meninggalkannya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia menduga, bahwa orang yang datang dan minta kepadanya agar ia memberikan ndaru yang disangkanya ada padanya itu adalah Ki Marta Brewok yang ingin menjajagi peningkatan ilmunya. Ternyata orang itu adalah orang lain. Meskipun demikian, Paksi masih saja dibayangi oleh perasaan aneh terhadap orang-orang yang tiba-tiba saja datang menyerangnya. Seakan-akan yang terjadi itu telah tersusun dalam satu perencanaan yang mapan. "Aku tidak boleh terjebak pada perasaan seperti itu," berkata Paksi kepada diri sendiri. "Jika aku kemudian terbuai dalam mimpi yang demikian, maka pada suatu saat aku akan benar-benar dihancurkan lawan sebelum aku sampai pada puncak perlawanan." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia kembali masuk ke dalam gubuknya. Dibenahinya mangkuk, periuk dan tenong kecilnya. Namun Paksi sendiri kemudian
menyempatkan diri untuk makan serba sedikit, agar ia dapat menelan obat yang diberikan oleh Ki Marta Brewok. Baru kemudian, setelah ia minum obat, maka Paksi melakukan kewajibannya sehari-hari menjelang fajar. Ketika kemudian matahari terbit, Paksi sudah berada di sungai untuk mandi dan mencuci pakaiannya. Seonggok daun dilam telah disiapkannya untuk menyedapkan pakaiannya setelah dicuci bersih. Setelah minum obat yang diberikan oleh Ki Marta Brewok, tubuh Paksi terasa menjadi semakin segar. Perasaan nyeri pada tulang-tulangnya telah jauh menyusut. Tetapi Paksi masih harus mengobati luka-luka pada kulitnya yang tergores batu-batu padas. Setelah mandi, maka tubuh Paksi terasa menjadi segar. Sambil beristirahat, Paksi menunggui pakaiannya yang dijemurnya di belakang gubuk kecilnya. Namun Paksipun kemudian telah bangkit. Tiba-tiba saja ia telah teringat sesuatu. Diambilnya tongkat kayunya yang diberikan oleh pengemis ketika ia harus bertempur melawan orang-orang yang garang di sebuah kedai nasi. Sejenak Paksi merenungi tongkatnya itu. Namun kemudian, Paksipun mulai menimang-nimang tongkatnya. "Aku akan pergi ke goa itu," berkata Paksi tiba-tiba saja kepada diri sendiri. Sambil membawa tongkatnya Paksipun telah menuruni lereng, meloncati bebatuan dan batu-batu padas, menuju ke mulut goa yang tersembunyi di balik air terjun. Ketika Paksi berada di dalam ruang yang cukup luas di dalam goa itu, maka matahari telah memanjat semakin tinggi. Sinarnya mulai menusuk lubang-lubang batu padas di atas goa itu, sehingga ruang yang cukup luas di dalam goa itu menjadi semakin terang. Seperti hari-hari yang telah lewat, paksi memperhatikan lukisan-lukisan yang terdapat di dinding itu dengan seksama, ia melihat beberapa macam senjata yang dipergunakan oleh
orang-orang yang nampak dalam lukisan itu, di antaranya adalah tongkat. Paksi semakin memperhatikan, bagaimana orang-orang itu memegang tongkat. Arah gerak tongkat dan bagaimana mereka menyerang dan menangkis dengan tongkat itu. Paksi memperhatikan lukisan itu dengan seksama. Di dalam lukisan itu, ia akan mendapat kesempatan untuk mempelajari penggunaan berbagai macam senjata. Meskipun yang paling menarik bagi Paksi di antara senjata-senjata itu adalah tongkat, namun Paksi juga tertarik untuk mempelajari penggunaan senjata yang lain. Dengan demikian, maka beberapa hari mendatang, Paksi masih akan datang lagi ke tempat itu. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Marta Brewok, bahwa meskipun ia sudah selesai menjalani laku, tetapi masih banyak yang harus dikerjakannya. Tetapi di hari-hari mendatang, Paksi tidak berada di goa itu setiap hari. Paksi lebih banyak berlatih di sekitar gubuknya. Sehari ia mengamati lukisan-lukisan itu, dua tiga hari ia berlatih mempergunakannya. Meskipun Paksi tidak mempunyai lawan, namun ia mampu mewujudkannya di dalam ketajaman angan-angannya. Bahkan di malam hari, jika Ki Marta Brewok kebetulan datang ke gubuknya, ia tidak berkeberatan untuk membantu Paksi mematangkan latihan-latihan penggunaan senjata. "Kau harus mematangkan bersama-sama, Paksi," berkata Ki Marta Brewok. "Menggunakan senjata dan mengungkapkan ilmumu yang akan mempunyai kemampuan yang tidak kalah dahsyatnya dengan senjata di tanganmu. Tetapi pada suatu saat, kedua-duanya akan dapat luluh menyatu, sehingga senjata di tanganmu akan mampu memuat kekuatan ilmumu itu pula." Paksi mengangguk-angguk kecil. Ternyata memang masih sangat banyak yang harus dipelajarinya. Namun dalam pada itu, di sela-sela hari-hari latihan yang bahkan sekali-sekali dilakukan di dalam ruangan yang cukup
luas di goa itu, Paksi masih sempat pergi ke pasar. Ia masih sempat berbincang dengan Kinong, dengan penjual dawet, penjual nasi tumpang dan beberapa orang yang kemudian dikenalnya dengan baik, Paksipun telah melihat pula beberapa orang yang dianggapnya asing selain orang-orang dari Perguruan Goa Lampin dan dari Perguruan Sad. Paksipun kadang-kadang juga melihat orang-orang itu berbuat sesuatu yang menyinggung perasaan dan bahkan merugikan beberapa orang yang berjualan di pasar itu. Tetapi Paksi masih menahan diri. Ia tidak mau segera terlibat karena hal itu akan menyibak keberadaannya di kaki gunung itu. Namun setiap kali ia berada di pasar itu, ia selalu teringat bagaimana perempuan berbaju coklat yang disebutnya sebagai pemimpin Perguruan Goa Lampin itu mampu mempengaruhi orang lain dengan pandangan matanya. Namun setiap kali ia juga teringat pesan Ki Marta Brewok, jangan pandangi matanya jika tidak ingin jatuh di bawah pengaruh sihirnya. Namun untuk beberapa lama, Paksi tidak melihat perempuan itu lagi. Tetapi ketika hal itu disampaikan kepada Ki Mana Brewok, maka Ki Marta Brewok telah berkata, "Kau sudah menjalani laku. Kau sudah menempa dirimu sendiri lahir dan batin. Karena itu, selama kau teguh akan sikap dan keyakinanmu, maka sihir itu tidak akan mempengaruhimu meskipun kau tatap mata perempuan itu. Tetapi kau tidak perlu memamerkannya dan bahkan dengan sengaja mencarinya untuk menunjukkan bahwa sihirnya tidak mampu menundukkan ketahanan kesadaranmu atas pribadimu." Paksi mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Marta Brewokpun berkata, "Duduklah. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu." Paksipun kemudian duduk berhadapan dengan Ki Marta Brewok di dalam gubuk kecilnya. Ia melihat kesungguhan di wajah Ki Marta Brewok. Tetapi ia tidak pernah dapat memandang wajah itu dengan jelas. Sengaja atau tidak
sengaja, wajah itu tentu terlindung di bawah bayang-bayang apapun. Bahkan Ki Marta Brewok lebih banyak duduk membelakangi lampu minyak yang cahayanya samar-samar. Tetapi satu hal yang dapat ditangkap oleh penglihatan Paksi, wajah orang yang wajahnya tertutup oleh brewok yang tebal itu adalah wajah yang cacat. Agaknya karena itulah, maka Ki Marta Brewok membiarkan jambang, kumis dan janggutnya tumbuh melingkari mulutnya serta menutup keningnya. Sementara itu, ikat kepalanyapun dipakainya terlalu rendah melekat di atas kupingnya. Dalam pada itu, maka Ki Marta Brewok itupun kemudian berkata, "Paksi. Kau sudah cukup lama berada di tempat ini. Menurut ingatanmu, apakah kau sudah genap setahun berada di sini?" Paksi mengangguk sambil menjawab, "Sudah Ki Marta. Bahkan sudah lebih dari setahun." "Jadi, berapakah umurmu sekarang?" bertanya Ki Marta Brewok itu pula. Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Ketika aku meninggalkan rumahku setahun yang lalu, umurku menginjak tujuh belas." "Jika demikian, umurmu sekarang sudah delapan belas." Paksi mengangguk. Katanya, "Ya. Umurku sudah delapan belas sekarang." "Kau sudah menjadi semakin dewasa, Paksi. Meskipun kau belum dewasa penuh, namun kau sudah harus dapat mendudukkan dirimu pada tiga landasan. Kau harus sudah benar-benar menyadari bahkan kau sudah waktunya untuk mandiri. Kemudian kau harus sudah dengan jernih dapat membedakan antara buruk dan baik. Selanjutnya, kau sudah harus mempertanggung-jawabkan sikap dan tingkah lakumu. Baik kepada dirimu sendiri, kepada sesamamu dan kepada Yang Maha Agung." Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Marta Brewok itupun berkata selanjutnya, "Paksi. Sudah tentu aku tidak akan selalu bersamamu, sebagaimana kau tidak akan dapat
selamanya bergantung kepadaku. Aku merasa bahwa bekal yang aku berikan kepadamu sudah cukup. Selanjutnya segala sesuatunya tergantung kepada dirimu sendiri. Karena itu, untuk selanjutnya aku akan menjadi semakin jarang datang ke gubuk ini. Bahkan aku tidak dapat mengatakan, apakah aku masih sempat atau tidak. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepadamu. Apakah kau masih merasa perlu untuk tinggal lebih lama lagi atau tidak. Mungkin sebulan dua bulan. Tetapi mungkin kau memandang perlu untuk tinggal lebih lama lagi. Segalanya terserah kepadamu. Kalau kau masih terikat oleh goa itu, lakukanlah. Mungkin masih ada yang dapat kau sadap pada dinding goa itu. Tetapi jika kau merasa perlu untuk meninggalkan tempat ini dan mencari cincin bermata tiga butir batu akik itu, lakukanlah." Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Ki Marta. Namun perkenankan aku mohon. Sebenarnya sudah lama aku ingin menyampaikan permohonan ini." "Apa yang akan kau minta?" "Apakah aku diperkenankan menyebut Ki Marta sebagai guruku. Aku pernah berguru kepada seseorang. Tetapi karena aku harus pergi dari rumah dan meninggalkan keluargaku, maka hubunganku dengan guruku telah terputus. Tetapi aku masih tetap menganggapnya sebagai guruku. Jika Ki Marta berkenan, maka aku akan merasa mempunyai dua orang guru." Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, "Itu terserah saja kepadamu. Tetapi rasa-rasanya jantungku seperti digelitik jika seseorang memanggilku guru. Karena itu, aku tidak berkeberatan jika kau menganggap aku sebagai gurumu. Tetapi panggil aku Ki Marta begitu saja." Paksi memandang Ki Marta Brewok sekilas. Katanya, "Aku mengucapkan terima kasih. Tetapi aku merasa lebih mantap jika aku diperkenankan memanggil guru."
Iblis Cebol 1 Pendekar Mabuk 056 Pembantai Raksasa Senopati Pamungkas I 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama