Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 16

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 16


Namun kemudian dengan kepala tunduk dan telapak kedua tangannya menelakup di depan dadanya, maka Iswari telah berdoa kepada Sumber Hidupnya. Yang Maha Agung.
"Semoga apa yang hamba lakukan, berkenan di hati Yang Maha Agung, karena hamba berniat untuk melindungi sesama dan menyingkirkan keangkaramurkaan. Betapa hamba mendambakan kedamaian di atas Tanah ini, namun ternyata bahwa terpaksa sekali harus terjadi kekerasan. Tetapi apa yang hamba lakukan bersama-sama dengan seisi Tanah pemberian Yang Maha Agung ini, semata-mata didorong oleh tanggung jawab hamba atas kewajiban hamba."
Ternyata Iswari berada beberapa lama di dalam sanggarnya. Baru menjelang tengah malam Iswari keluar dari sanggar dengan kepala tunduk. Memang kadang-kadang masih juga terngiang pertanyaan di telinga hatinya, kenapa harus terjadi kekerasan di atas Tanah yang diasuhnya itu. Kenapa darah masih harus tertumpah di atas Tanah yang hijau segar oleh pepohonan dan rerumputan. Kenapa kehidupan masih harus diwarnai dengan permusuhan dan bahkan pembunuhan.
Kadang-kadang Iswari memang merasa bimbang, apakah yang dilakukannya itu sudah sesuai dengan kewajiban dan tanggung jawabnya. Bukan saja sebagai Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, tetapi juga sebagai titah Yang Maha Agung.
Iswari menarik nafas dalam-dalam ketika kemudian ia berada di halaman. Dilihatnya para pengawal benar-benar berada dalam kesiagaan tertinggi. Dua orang pengawal agaknya bertugas khusus untuk mengawasi sanggar selama ia berada di dalamnya tanpa mendapat perintahnya.
"Mereka terlalu baik," berkata Iswari di dalam hatinya. "mereka telah menyerahkan apa saja yang dimilikinya bagi Tanah kelahirannya."
Di ruang dalam Iswari masih bertemu dengan ketiga orang gurunya yang duduk bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung. Ketika mereka melihat Iswari yang sudah keluar dari sanggarnya, maka merekapun kemudian beringsut untuk memberikan tempat kepadanya.
Beberapa saat mereka masih berbincang. Namun tidak seorangpun di antara mereka yang mengetahui, apa yang akan terjadi besok. Namun Iswari memang sudah siap, seandainya Warsi menantangnya sekali lagi berperang tanding.
Namun hampir di luar sadarnya, Iswari berkata, "Mudah-mudahan Risang di masa pemerintahannya kelak tidak mengalami pergolakan seperti ini."
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bagaimanapun juga Risang harus dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan."
"Tetapi ia harus berpegang pada alas kewajibannya," berkata Iswari, "sementara ini aku merasa, seakan-akan pertentangan yang ada sekarang adalah persoalan pribadi. Kadang-kadang aku merasa malu, bahwa darah anak-anak muda terbaik dari Tanah Perdikan ini harus tertumpah karena persoalan pribadi yang timbul antara aku dan perempuan itu. Justru karena seorang laki-laki."
"Tidak. Bukan itu, "sahut Nyai Soka," persoalan itu sudah lama selesai. Apalagi Wiradana sudah tidak ada lagi sekarang. Yang terjadi sekarang adalah persoalan hak dan kewajiban atas Tanah Perdikan ini."
Iswari tidak menjawab. Tetapi kepalanyapun kemudian telah menunduk.
"Sudahlah," berkata Kiai Soka, "beristirahatlah. Kau perlu beristirahat lahir dan batin. Lupakan segala persoalan. Malam ini tidak akan terjadi sesuatu. Kau harus meyakini itu, sehingga kau benar-benar akan dapat beristirahat."
Iswari mengangguk. Iapun kemudian minta diri untuk pergi ke biliknya.
Iswari tertegun ketika ia melihat Bibi masih duduk di bibir pembaringannya.
"Bibi," desis Iswari yang terkejut melihat di mata Bibi tergenang air yang kemudian menitik di pipinya yang mulai menjadi berkeriput oleh umurnya.
"Kenapa kau menangis?" bertanya Iswari.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, Bibi telah memeluk Iswari. Tangisnya tidak dapat ditahannya lagi. Meskipun ia pernah disebut Serigala Betina, tetapi ia adalah seorang perempuan.
"Bibi, kenapa?" bertanya Iswari kemudian setelah Bibi menjadi agak tenang.
"Tidak apa-apa Nyi," jawab Bibi, "tiba-tiba saja aku telah dicengkam oleh kenangan buruk dari tingkah lakuku sendiri. Sementara itu, sebuah pertanyaan telah timbul di dalam hatiku, kenapa kau tidak boleh hidup tenang. Sejak kau kawin dengan Wiradana, kau sudah mengalami cobaan yang berat. Sekarang, ketika umurmu merambat semakin tua, kau masih juga harus mengalaminya. Alangkah mengerikan saat-saat aku berusaha membunuhmu justru ketika kau sedang hamil. Kemudian kau tersingkir untuk beberapa saat. Kaupun pernah mengalami perang tanding sehingga kau menjadi terluka di dalam. Ternyata sekarang kau masih harus mengalaminya lagi." Bibi itu berhenti sejenak, lalu, "Kapan kau dapat hidup tenang seperti kebanyakan orang. Agaknya Ki Wiradana adalah seorang yang menyebabkan hidupmu mengalami goncangan terus-menerus."
"Sudahlah Bibi," berkata Iswari, "yakinlah akan kekuasaan Yang Maha Agung. Kita sandarkan hidup kita kepada-Nya."
Bibi itu mengangguk-angguk. Dengan suara bergetar ia berkata, "Tidurlah Nyi. Kau perlu beristirahat."
Iswaripun berdesis, "Aku akan beristirahat lahir dan batin. Mudah-mudahan besok aku mendapatkan tenagaku yang utuh." Lalu katanya kepada Bibi, "Silahkan Bibi juga beristirahat."
"Aku tidak akan berbuat apa-apa Nyi. Biarlah aku menunggui Nyi Wiradana disini," jawab Bibi.
Nyi Wiradana tersenyum. Pada wajah Bibi masih nampak sikapnya yang keras dan bahkan garang. Di masa umurnya masih lebih muda, maka ia adalah seorang perempuan yang ditakuti. Namun ternyata Bibi itu dapat menemukan jalan yang baik pada sisa hidupnya.
Ketika Iswari kemudian berbaring, maka Bibipun tanpa diminta telah memijit kaki Iswari. Sebagai seorang yang bertualang di dunia yang keras, Bibi mempunyai pengetahuan tentang urat dan syaraf serba sedikit yang diwarisinya dari orang tuanya. Karena itu, maka dengan memijit kaki Iswari, ia berharap dapat membantu memperlancar jalan darah serta membenahi urat syarafnya, sehingga penguasaan Iswari atas tubuhnya menjadi semakin mapan.
Adalah di luar dugaan Iswari, maka tangan Bibi yang besar dan berat itu terasa lunak di kakinya. Rasa-rasanya darahnyapun telah mengalir semakin lancar dan urutan urat syarafnyapun seolah-olah menjadi semakin peka.
Tanpa terasa, maka Iswari itupun kemudian benar-benar telah tertidur nyenyak. Sementara Bibi dengan penuh kesungguhan hati masih saja memijit kaki Iswari. Rasa-rasanya hatinya menjadi berat untuk melepaskannya.
"Sebaiknya kau tidak melakukan perang tanding lagi," bisik Bibi sambil mengelus kaki Iswari, "sepantasnya kau adalah seorang ibu yang mengasuh anakmu di rumah. Menyediakan makan dan minumnya, mendidiknya dengan lembut, mengajarinya mengenal sastra dan berceritera tentang baik dan buruk serta keluhuran budi. Lebih dari itu, kau ajari anakmu mengenal Yang Maha Pencipta dan kau ajari anakmu itu berbakti kepadanya. Aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk melakukannya karena sejak remaja aku sudah tersesat sehingga aku memang tidak pantas mempunyai anak. Tetapi anak itu kau punyai, Iswari. Namun kenapa kau tidak sempat melakukannya, dan bahkan anakmu satu-satunya itu harus disisihkan oleh pertentangan yang tidak berkeputusan."
Tanpa disadarinya, dari mata Serigala Betina itu telah menitik lagi air matanya yang hangat. Namun dengan cepat iapun telah mengusapnya.
Ketika Iswari kemudian telah benar-benar tertidur nyenyak, maka Bibi itupun telah melepaskannya. Ia tidak mau justru akan dapat membangunkannya. Ia ingin Iswari benar-benar beristirahat.
"Tidurlah anak manis," desisnya.
Setiap kali Bibi masih saja bersyukur bahwa ia tidak membunuhnya di saat Iswari mengandung Risang atas perintah Ki Wiradana. Bahkan saat-saat itu adalah garis batas ia melangkah kembali ke jalan lurus setelah untuk waktu yang lama ia menjelajahi jalan-jalan gelap.
Tetapi Bibi tidak keluar dari bilik itu. Iapun kemudian begitu saja berbaring di lantai di sebelah pembaringan Iswari.
Namun Iswari tidak mengetahuinya, karena Bibi itu bangun lebih dahulu dari Iswari. Menjelang dini hari Bibi keluar dari bilik itu dan pergi ke pakiwan. Iswari terbangun di saat fajar mulai menyingsing. Perlahan-lahan Iswari bangkit dari pembaringannya. Ternyata sesuatu telah terjadi pada wadagnya. Ia tidak mengira, bahwa akibat pijitan Bibi pada anggota badannya, maka rasa-rasanya tubuhnya menjadi semakin mapan. Sementara arus darahnya terasa lebih lancar di seluruh tubuhnya.
"Apakah gejala yang terasa ini menguntungkan atau sebaliknya," bertanya Iswari kepada diri sendiri.
Ketika ia kemudian keluar, maka langit pun nampak kemerah-merahan. Ayam mulai berkejaran di halaman.
Tanpa memberitahukan kepada siapapun Iswari telah pergi ke Sanggar untuk mengamati gejala yang terasa pada tubuhnya.
Sejenak Iswari memanaskan tubuhnya dengan meloncat-loncat kecil. Kemudian menggerakkan tangannya dalam putaran yang ajeg. Baru ia mulai mengamati tubuhnya sendiri. Mengamati gejala yang baru dikenalnya sejak ia bangun dari tidurnya.
Ternyata bahwa pengaruhnya memang menguntungkan bagi gerak dan penguasaan tubuhnya. Badannya menjadi terasa semakin ringan sehingga ia mampu bergerak lebih cepat. Bahkan ketika ia mulai merambah pada ilmu andalannya Janget Kinatelon, maka rasa-rasanya keadaan tubuhnya menjadi semakin membantu pancaran ilmunya itu.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata Bibi mempunyai keahlian yang khusus. Ia mengenal dengan cermat tata hubungan urat darah dan susunan syaraf sehingga ia mampu membantu membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengerahan tenaga cadangan di dalam diri lebih baik dari sebelumnya."
Meskipun Iswari hanya sampai pada ujung ilmunya, tetapi ia sudah merasakan kelebihan dukungan wadagnya.
Beberapa saat kemudian, Iswari telah keluar dari sanggarnya. Namun demikian untuk meyakinkan dirinya, maka iapun telah menemui Nyai Soka. Dengan singkat Nyai Soka mendengarkan laporan Iswari tentang pijitan jari-jari Bibi.
Dengan pengetahuan yang ada padanya, maka Nyai Soka telah melihat gejala yang ada di dalam diri Iswari. Namun kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Ternyata Serigala Betina itu memiliki kemampuan yang khusus. Berterima kasihlah kepadanya. Aku sudah berusaha untuk melakukannya, tetapi hasilnya tidak sejauh yang dilakukan oleh Bibi ini."
"Jadi menurut guru, Bibi telah membantu meningkatkan-kemampuanku?" bertanya Iswari.
"Berterima kasihlah kepada Bibi. Penguasaanmu atas ilmu yang ada di dalam dirimu menjadi semakin mapan. Demikian pula ilmu Janget Kinatelon. Kau memang harus mengucapkan terima kasih kepadanya," berkata Nyai Soka.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia berkata, "Aku akan menemuinya."
Iswaripun kemudian telah mencari Bibi ke dapur. Ditemuinya orang itu duduk di depan perapian sambil merenungi api yang menyala memanasi periuk berisi beras yang sedang ditanak.
"Bibi," desis Iswari ketika ia memasuki pintu dapur.
Bibipun berpaling. Sambil bangkit berdiri ia bertanya "Kau sudah bangun?"
"Aku sudah berada di sanggar untuk beberapa lama," jawab Iswari.
"Sepagi ini?" bertanya Bibi pula.
Iswari tersenyum. Kemudian dibimbingnya Bibi duduk di amben yang cukup besar di dapur.
Bibi terheran-heran melihat sikap Iswari. Bahkan kemudian iapun bertanya, "Ada apa?"
"Kau memijit aku semalam Bibi?" bertanya Iswari.
Wajah Bibi menjadi tegang. Katanya dengan gagap, "Ya, kenapa" Apa aku telah melakukan kesalahan sehingga mempengaruhi ilmumu?"
Iswari termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, "Bibi memang sudah mempengaruhi kemungkinan ungkapan ilmu yang ada di dalam diriku. Beberapa titik simpul syarat yang masih tertutup telah terbuka sehingga jalur penguasaan seluruh tubuhku menjadi semakin mapan."
"Nyi," wajah Bibi masih tegang, "apakah dengan demikian akibatnya menjadi lebih buruk?"
"Tentu tidak. Bukankah kau mengetahui bahwa karena itu, maka segalanya menjadi lebih baik" Bibi, aku ingin mengucapkan terima kasih. Kau telah memberikan kemungkinan baru padaku untuk lebih memantapkan perlawananku terhadap ketamakan dan kerakusan itu," jawab Iswari.
Bibi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Syukurlah jika hal itu mempunyai arti yang baik bagimu. Mudah-mudahan justru tidak sebaliknya. Tetapi yakinlah, bahwa aku memang bermaksud baik."
"Semuanya berakibat baik Bibi," jawab Iswari.
"Apakah kau yakin hanya karena kau berada di dalam sanggar beberapa saat saja?" bertanya Bibi.
"Aku sudah menghadap guru. Nenek sudah mengamatinya. Ternyata yang Bibi lakukan memberikan kemungkinan yang jauh lebih baik bagiku. Bahkan guru mengatakan, ia sendiri tidak akan mampu melakukannya. Karena itu, maka guru menganjurkan, agar aku segera menemuimu dan mengucapkan terima kasih kepadamu," jawab Iswari.
Bibi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Aku bersyukur jika dengan demikian aku dapat memberikan sedikit bantuan kepadamu."
"Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih Bibi," berkata Iswari pula.
Bibi masih mengangguk-angguk. Katanya, "Malam nanti bulan penuh. Mungkin sesuatu akan terjadi."
"Aku sudah siap Bibi," jawab Iswari, "apalagi setelah kau membuka simpul-simpul sarafku yang masih tertutup. Yang belum dapat dimanfaatkan akan dapat bekerja dalam tata hubungan jaringan di dalam tubuhku."
"Bagaimanapun juga kau harus hati-hati, Nyi," desis Bibi.
"Ya Bibi. Aku harus berhati-hati sebagaimana seluruh rakyat Tanah Perdikan harus berhati-hati menghadapi lawan yang satu ini," jawab Iswari.
Bibi mengangguk-angguk kecil. Matanya kembali menatap api yang menyala di perapian. Semakin lama nampak menjadi semakin besar. Namun Bibi itupun yakin, bahwa api yang lebih besar telah menyala di hati Iswari, Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja keduanya terkejut. Seorang pengawal telah langsung mencari Iswari di dapur. Katanya sedikit gagap, "Ada. laporan Nyi."
"Tentang apa?" bertanya Nyi Wiradana.
"Petugas sandi itu berada di luar pintu dapur ini," jawab pengawal itu.
"Suruh ia masuk," berkata Nyi Wiradana.
Pengawal itupun kemudian telah memanggil petugas sandi itu dan mempersilahkan duduk pula di amben dapur itu.
"Ada apa?" bertanya Iswari.
Ternyata petugas sandi itu lebih tenang dari pengawal yang gagap itu. Katanya, "Yang akan aku laporkan agaknya memang sudah kita duga sebelumnya Nyi."
"Tentang apa?" bertanya Nyi Wiradana.
"Topeng kecil di regol itu bertambah satu lagi," jawab petugas sandi itu.
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun bertanya, "Apakah kau sudah melaporkan kepada pimpinanmu?"
"Sudah Nyi. Sekarang pemimpin petugas sandi itu sedang berada di regol untuk menyaksikan sendiri topeng-topeng itu. Menurut pendapatnya, maka saatnya sudah tiba untuk menentukan siapakah yang akan hancur malam nanti. Tanah Perdikan ini atau orang-orang yang kini berada di balik bukit," jawab petugas sandi itu.
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Segalanya kita serahkan kepada Yang Maha Agung. Namun menurut perhitungan maka jumlah kita jauh lebih banyak dari mereka. Jika setiap laki-laki menggenggam senjata di tangan, maka pasukan Tanah Perdikan ini jumlahnya akan tidak terhitung."
"Benar Nyi," jawab petugas sandi itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi menurut keterangan yang kami peroleh, sebagian dari orang-orang yang berada di balik bukit itu adalah bekas prajurit serta anak-anak mereka yang kecewa setelah kekalahan Jipang."
"Perang itu sudah terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu," desis Nyi Wiradana, "tetapi dendam masih tetap menyala di hati sebagaimana Ki Rangga Gupita itu sendiri."
"Segala sesuatunya kami serahkan kepada Nyi Wiradana," berkata petugas sandi itu.
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Ia seakan-akan sudah mendapat kepastian, bahwa malam nanti adalah malam penentuan. Bahkan Nyi Wiradana sudah bertekad, jika malam nanti, orang-orang Tanah Perdikanlah yang akan menyerang mereka. Menurut perhitungan Nyi Wiradana, Sambi Wulung dan Jati Wulung yang pernah mendekati sarang itu akan dapat menjadi penuntun jika merekalah yang harus datang ke balik bukit. Bagi Iswari, maka ia sama sekali tidak terikat pada sinar rembulan. Justru menurut rencananya jika orang-orang dari balik bukit tidak menyerang, Iswari akan mendatangi sarang mereka menjelang fajar. Demikian matahari terbit, maka pasukannya akan menyerang sehingga akan terjadi pertempuran di siang hari.
Dalam pada itu, maka Iswaripun kemudian berkata kepada petugas sandi itu, "Baiklah. Aku terima laporanmu. Terima kasih. Aku akan membicarakannya dengan para pemimpin Tanah Perdikan ini. Setelah pimpinanmu nanti datang, mungkin ia membawa keterangan lebih banyak sementara pemimpin pengawal Tanah Perdikan ini sudah datang pula."
Petugas sandi itupun kemudian mohon diri. Ia akan menemui pemimpinnya untuk menyampaikan dari Nyi Wiradana.
Sesaat kemudian, maka Nyi Wiradanapun telah membenahi dirinya. Demikian pula ketiga orang gurunyapun telah berada di ruang dalam. Sambi Wulung dan Jati Wulung masih berada di serambi gandok bersama beberapa orang pemimpin pengawal yang telah berada di rumah itu.
Hampir semua orang sependapat, bahwa orang-orang di balik bukit akan mengadakan gerakan di malam hari. Para pengawas yang bertugas menjelang dini untuk menjaga kemungkinan orang-orang di balik bukit datang dan menyerang di saat matahari terbit, telah memberikan laporan, bahwa mereka tidak melihat gerakan pasukan sama sekali.
"Warsi memang mempunyai kepercayaan yang berhubungan dengan cahaya bulan," berkata Sambi Wulung.
"Ya," jawab seorang yang umurnya sudah setua Sambi Wulung yang masih juga dianggap salah seorang pengawal karena orang itu memiliki kemampuan pengobatan, "tetapi ternyata bahwa ia tidak memperhitungkan kekuatan dan kemampuan bertempur di malam hari meskipun di bawah terangnya cahaya bulan" Sementara itu, para pengikutnya masih harus benar-benar mengenali medan jika pertempuran terjadi di malam hari. Betapapun terangnya bulan, namun di dalam padukuhan, keadaannya tentu cukup gelap bagi mereka yang belum mengenal medan dengan baik."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Ternyata orang itu juga memiliki ketajaman perhitungan tentang medan. Bahkan orang itupun kemudian berkata, "Warsi terlalu mementingkan dirinya sendiri. Yang memerlukan cahaya bulan itu hanya satu orang, Warsi sendiri. Tetapi ia sudah menentukan sikap seakan-akan dirinya sendirilah yang dapat menentukan kemenangan pertempuran itu. Kecuali jika ia menantang perang tanding seperti yang pernah terjadi."
Tetapi Jati Wulung menyahut, "Jika yang dimaksud adalah perang tanding, tentu sudah ada tantangan sampai kepada Nyi Wiradana. Ternyata sampai saat ini tantangan itu belum ada. Entahlah jika Nyi Wiradana masih merahasiakannya karena menganggap belum waktunya di beritahukan kepada kita. Tetapi bagaimanapun juga tentu ada orang yang telah mendengarnya."
Yang lain mengangguk-angguk. Sebenarnya orang-orang Tanah Perdikan sendiri menganggap lebih baik bertempur di siang hari. Mereka akan dapat melihat kawan dan lawan lebih jelas daripada di malam hari meskipun diterangi oleh cahaya bulan yang paling bulat sekalipun.
Sementara itu di balik bukit, Warsipun telah berbenah diri. Wajahnya nampak segar dan sekali-sekali ia tersenyum sambil berkata, "Aku benar-benar sudah siap."
Semalam suntuk Warsi telah bermandikan cahaya bulan. Ia tidur di tempat terbuka, sehingga seakan-akan jambangan kemampuan di dalam dirinya sudah diisi dengan tenaga sepenuhnya.
"Sehari ini kita mempunyai kesempatan menyusun pasukan," berkata Warsi kepada Ki Rangga.
"Kita akan bertempur malam hari sehingga di siang hari ini orang-orang kita harus banyak beristirahat," berkata Ki Rangga.
"Kita mempunyai banyak waktu," berkata Warsi, "anak manis itu tidak akan berani menyergap kita. Mereka hanya dapat menunggu. Kitalah yang menentukan kapan pertempuran akan terjadi."
"Mungkin mereka hari ini bersikap lain, sehingga kita harus lebih berhati-hati," berkata Ki Rangga Gupita.
"Tidak. Mereka tidak akan bersikap lain. Sudah menjadi kebiasaan perempuan-perempuan cantik itu hanya dapat menunggu. Kitalah yang akan bergerak dengan perhitungan dan kepentingan kita."
Rangga Gupita mengangguk-angguk. Nampaknya orang-orang Tanah Perdikan Sembojan memang hanya dapat menunggu dengan gelisah. Bahkan dengan ketakutan. Tetapi pemanasan yang pernah dilakukan menunjukkan kesiagaan para pengawal Tanah Perdikan di setiap padukuhan, sementara merekapun dapat bergerak dengan cepat dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain.
Namun Warsi merasa terlalu yakin akan dirinya. Ia nampak gembira sementara gerakannya pun seakan-akan menjadi lebih cekatan.
Ketika matahari naik ke kaki langit, maka Warsi telah membawa beberapa orang pengawalnya untuk naik ke atas bukit. Sekelompok pengawal telah mendahului mereka untuk meyakinkan bahwa tidak ada bahaya di atas bukit itu.
Dengan sikap dan keyakinan seorang panglima perang Warsi kemudian berdiri tegak di atas punggung bukit diikuti oleh Ki Rangga Gupita.
Dari tempatnya berdiri Warsi melihat lembah yang hijau terbentang luas di bawah bukit itu. Beberapa gumuk dan bukit-bukit kecil nampak di antara hijaunya tanaman di sawah dan ladang. Jalur-jalur air yang mengalir berliku-liku di antara kotak-kotak sawah membuat lukisan alam Tanah Perdikan Sembojan menjadi semakin indah di mata Warsi.
"Betapa suburnya Tanah Perdikan itu," berkata Warsi.
"Ya," sahut Ki Rangga. "Hijaunya sawah dan hutan di lereng pegunungan itu. Hutan yang merambat semakin meluas di lereng-lereng bukit. Pada suatu saat lereng bukit inipun tentu akan menjadi hutan yang lebat pula seperti lereng-lereng pegunungan yang lain. Hutan perdu ini akan segera berubah menjadi hutan pohon-pohon raksasa pada saatnya nanti."
"Tidak," jawab Warsi, "bukit ini memang tandus. Kau lihat batu-batu padas itu" Satu dua batang pohon dapat hidup di celah-celahnya di samping gerumbul-gerumbul perdu. Berbeda dengan bukit-bukit hijau yang lain yang tanahnya memang memungkinkan untuk ditumbuhi pepohonan hutan."
Warsi mengangguk-angguk. Namun wajahnya masih tetap cerah. Dengan nada ringan ia berkata, "Puguh mempunyai hak atas Tanah ini. Tetapi anak itu sulit untuk diharapkan."
"Kitalah yang mengemudikannya," berkata Ki Rangga, "tetapi bagaimanapun juga, kita memerlukannya. Jika pergolakan di Pajang dapat menyala menjadi pertentangan, maka Pajang tidak akan sempat lagi mengurusi Tanah Perdikan ini. Tidak akan ada orang di Pajang yang sempat mengingat pertanda kedudukan Kepala Tanah Perdikan ini, dan bahkan tidak ada lagi pejabat yang menghiraukan apa yang terjadi. Nah, pada saat yang demikian Puguh kita perlukan. Ia harus tampil meyakinkan. Jika malam ini kita dapat membunuh Iswari, serta menghancurkan kemampuan perlawanan Tanah Perdikan ini, maka jalan kita menjadi semakin rata."
"Bagaimana dengan Pajang itu?" bertanya Warsi.
"Nampaknya Pajang mulai disibukkan oleh dirinya sendiri. Seperti yang aku katakan, kita berharap api akan membakar Kerajaan kerdil yang diperintah oleh Jaka Tingkir itu," geram Ki Rangga Gupita.
Warsi mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, keinginannya untuk menguasai Tanah Perdikan itu masih menyala di hatinya. Sedangkan alat yang mungkin dapat dipergunakan, satu-satunya adalah Puguh. Anak yang dilahirkannya dari suaminya Ki Wiradana. Meskipun bagi Warsi Puguh adalah anak yang seolah-olah sama sekali tidak akan dapat diharapkannya, tetapi sebagai alat ia akan dapat dipergunakannya.
Ketika cahaya matahari yang semakin tinggi memantul dari hijaunya dedaunan, maka rasa-rasanya Tanah Perdikan Sembojan memang merupakan tanah harapan. Bukan saja hasil yang dapat dipetik dari Tanah Perdikan itu, tetapi di Tanah Perdikan itu ia juga akan menyandang kekuasaan.
Untuk beberapa saat Warsi masih berdiri di punggung bukit. Ia melihat beberapa orang pengawalnya berada agak jauh di lereng yang menghadap ke Tanah Perdikan. Mereka tidak mau diperbodoh lagi dengan orang-orang yang bersenjata panah dan membunuh beberapa orang di antara mereka.
Ketika Warsi sudah puas memandang Tanah Perdikan yang terhampar di lembah yang berbukit-bukit itu, maka iapun kemudian telah mengajak Ki Rangga kembali ke sarang mereka. Namun beberapa orang pengawas telah ditugaskan untuk tetap berjaga-jaga.
"Mungkin perempuan cantik itu menjadi gila karena ketakutan sehingga ia memerintahkan orang-orangnya untuk menyerbu kita di siang hari," berkata Warsi.
"Tidak seorangpun akan sempat mencapai punggung bukit ini," berkata Ki Rangga Gupita, "pasukan panah yang sudah kita siapkan akan menyapu mereka selagi mereka memanjat tebing. Sementara itu bebatuan dan batang-batang kayu yang ada di atas akan dapat menjadi senjata yang baik. Batu-batu padas itu akan dapat menggelinding turun menimpa dan menghanyutkan bebatuan di bawahnya, sehingga akan terjadi banjir batu padas."
Warsi tertawa. Katanya, "Kita tidak perlu mencemaskannya. Sudah aku katakan, biasanya perempuan cantik seperti Iswari itu hanya dapat menunggu tanpa berani mengambil sikap lebih dahulu."
Demikianlah, maka Warsi dan Ki Rangga Gupita itupun kemudian telah turun kembali ke sarang mereka. Mereka sama sekali tidak menghiraukan kemungkinan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan akan menyerang mereka.
Meskipun demikian orang-orang di seberang bukit itu masih juga menempatkan beberapa orang pengawas. Memang mungkin yang dianggap tidak akan terjadi itu dapat juga terjadi.
Sambil menuruni lereng bukit, Warsi masih juga sempat berkata sambil tertawa, "Aku membayangkan, betapa orang-orang Tanah Perdikan menjadi ketakutan melihat topeng-topeng kecil yang kita pasang. Bukankah kita bukan manusia-manusia licik yang menyerang dengan diam-diam" Kita sudah memberikan peringatan dan sekaligus tantangan kepada mereka."
Ki Rangga mengangguk. Katanya, "Mudah-mudahan mereka mengetahui makna dari topeng-topeng itu."
"Jika mereka tidak mengetahuinya, bukan salah kita. Tetapi kita sudah memberikan pertanda dan kita akan melakukan sebagaimana yang biasa kita lakukan. Topeng-topeng itu adalah pertanda maut." Suara tertawa Warsi telah mengumandang memantul tebing pegunungan.
Ki Rangga Gupita mengangguk-angguk. Namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman, Ki Rangga mempunyai perhitungan yang lebih luas dari Warsi yang terlalu yakin akan dirinya sendiri. Karena itu, maka Ki Ranggapun berkata, "Tetapi kita harus berhati-hati. Di Tanah Perdikan Sembojan terdapat orang-orang yang mempunyai pengalaman yang luas. Orang-orang tua yang meskipun sudah mulai pikun, namun pereka tentu masih sempat memberikan banyak petunjuk kepada Iswari."
"Ya," Warsi mengangguk-angguk, "tugasmulah untuk mengatasi Tanah Perdikan itu dengan kemampuan keprajuritanmu. Aku memang kurang mengetahuinya. Aku hanya tahu, bahwa jika aku sempat berhadapan dengan perempuan cantik itu, aku akan membunuhnya."
"Kau tidak akan dapat melakukannya tanpa dukungan suasana di sekitarmu. Kecuali jika kau menantangnya berperang tanding," jawab Ki Rangga.
"Aku tidak yakin ia mau menerima tantanganku. Mungkin ia akan mengelak dengan alasan bahwa ia baru saja sembuh dari sakit. Alasan yang paling pantas dikemukakan untuk mengelakkan perang tanding tanpa menghancurkan harga dirinya. Tetapi sudah tentu ia akan mengajukan syarat waktu yang lain. Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan nampaknya mengetahui bahwa ada hubungan antara ilmuku dengan bulan yang bercahaya di langit. Karena itu, maka mungkin sekali Iswari akan mengajukan waktu justru di saat langit gelap sama sekali," berkata Warsi. Namun katanya kemudian, "kita akan mengaturnya bersama para bekas perwira Jipang. Segalanya harus tuntas sehingga kita dapat menganggap bahwa yang kita lakukan sekarang ini selesai pada satu tahap sebelum kita akan memasuki tahap berikutnya, bersamaan dengan saatnya Pajang dibakar oleh api pertentangan. Sementara itu Puguh sudah menjadi semakin dewasa, meskipun ia seorang yang dungu dan tidak berarti apa-apa selain sebagai alat yang akan dapat menempatkan kita disini."
"Anak itu tidak boleh terlalu pandai memang," berkata Ki Rangga.
"Ia akan tetap dungu seperti ayahnya," sahut Warsi.
"Itu bukan soal," berkata Ki Rangga Gupita, "semakin dungu anak itu, bagi kita akan menjadi semakin baik."
Warsi termangu-mangu. Namun Ki Ranggapun kemudian tertawa. Katanya, "Untunglah bahwa anak itu dungu seperti ayahnya. Jika ia cerdik seperti ibunya, maka kitalah yang akan diperalatnya kelak."
Warsi tidak ikut tertawa. Wajahnya justru menjadi tegang. Memang terkilas di angan-angannya satu kehidupan yang saat itu dianggapnya paling manis, ketika ia berhasil menjadi isteri bakal Kepala Tanah Perdikan Sembojan dan apalagi ketika ia berhasil membalaskan dendamnya, membunuh ayah Wiradana.
Namun yang kemudian tinggal di dalam kepalanya kini adalah kebencian. Bahkan kebenciannya telah melimpah pula kepada anak Wiradana meskipun anak itu dilahirkannya sendiri. Anak kandungnya. Betapa segannya ia mengasuh anak itu, sehingga anak itu begitu saja diserahkan kepada seorang yang dianggapnya akan dapat mengajari anak itu serba sedikit tentang olah kanuragan. Bahkan didorongnya anak itu untuk melakukan hal-hal yang dapat membentuk sifatnya menjadi kasar dan garang. Tetapi otaknya harus tetap tumpul sebagaimana ayahnya yang memang kurang cepat menanggapi keadaan. Dengan sengaja dibiarkannya anaknya itu berada di tempat-tempat yang kusam sebagaimana Puguh sering berada di Song Lawa.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 15 KARENA Warsi tidak menyahut, maka Ki Ranggapun kemudian berkata, "Sudahlah. Kita memerlukan waktu untuk berbicara dengan para pemimpin kelompok dan para perwira yang menyatukan diri dengan kita."
"Berbicaralah dengan mereka," berkata Warsi, "beritahukan hasilnya kepadaku. Aku kira aku tidak perlu ikut di dalam pembicaraan itu, karena bagiku, yang penting aku dapat berhadapan dan membunuh perempuan itu. Sedang dukungan suasana sebagaimana yang kau maksudkan kau sajalah yang menyusun bersama para pemimpin kelompok-kelompok yang bergabung bersama kita itu."
"Tetapi sebaiknya kau harus hadir, meskipun hanya mendengarkannya. Meskipun kau segan mempercayakan setiap keadaan medan kepada orang-orang kita untuk mengambil sikap sendiri, namun ada baiknya kau memberikan pendapatmu," berkata Ki Rangga.
"Begitukah kau menilai aku?" bertanya Warsi, "apakah aku tidak pernah memberikan petunjuk-petunjuk kepada orang-orangku di setiap keadaan yang apalagi gawat.?"
"Bukan maksudku. Tetapi kau lebih senang berbicara tentang pokok-pokok persoalan," berkata Ki Rangga.
"Orang-orang kita adalah orang-orang dewasa yang sudah matang. Apalagi orang-orang yang berhasil aku himpun dari gerombolan Kalamerta. Memang agak berbeda dengan bekas para prajurit. Mereka terlalu terikat kepada satu paugeran yang kaku. Bahkan di medan perang sekalipun. Mereka memerlukan petunjuk-petunjuk terperinci untuk melakukan tugas mereka," berkata Warsi.
"Tidak seluruhnya benar," berkata Ki Rangga, "jika para prajurit itu terikat pada satu ketentuan, itu adalah karena mereka bertempur dalam satu gelar tertentu yang satu dengan lainnya saling berkait. Tetapi dalam keadaan yang memaksa, maka setiap orang harus mampu juga mengambil sikap masing-masing tanpa mengesampingkan kepentingan bersama."
"Kau kira orang-orangku yang aku kumpulkan dari gerombolan Kalamerta tidak berbuat begitu?" nada suara Warsi meninggi.
"Sudahlah," potong Ki Rangga. "Tetapi aku minta kau hadir."
Warsi termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan hadir."
Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka Ki Ranggapun telah memanggil para pemimpin dari kelompok-kelompok yang bergabung dengan gerombolannya. Juga para pemimpin kelompok dari beberapa padepokan yang berhasil dipengaruhinya di samping padepokan Ki Rangga sendiri.
Ki Rangga yang memberikan pengantar pada pertemuan itu telah mengarahkan sikap mereka pada satu pengharapan yang besar dihubungkan dengan kemelut yang terjadi di Pajang.
"Kita jadikan Tanah Perdikan ini landasan utama dari perjuangan yang lebih besar. Menuntut kembali kekuasaan Jipang. Meskipun kita tidak lagi mempunyai seseorang yang berada pada jalur garis keturunan Demak, tetapi jika kita dapat menunjukkan kekuatan kita, maka kita tentu akan berhasil. Setidak-tidaknya kita akan menguasai satu lingkungan yang lebih luas dari Tanah Perdikan Sembojan dengan kekuasaan yang jauh lebih besar. Jika kita mempunyai tempat berpijak, maka kesempatan untuk mengumpulkan kekuatan menjadi semakin besar."
Ternyata ada beberapa golongan dengan sikapnya masing-masing. Para pengikut Kalamerta yang berhasil dihimpun adalah orang-orang yang setia kepada pemimpinnya apapun yang harus mereka lakukan. Sekelompok yang lain sama sekali tidak memikirkan hari-hari yang akan datang. Namun mereka memerlukan saluran untuk meluapkan dendam mereka. Sedangkan yang lain memang berpengharapan untuk mendapatkan satu alas berpijak sehingga dari alas itu akan dapat dicapai kesempatan yang lebih besar bagi mereka dalam percaturan pemerintahan di Tanah ini. Sementara itu sekelompok yang lain menganggap bahwa yang mereka lakukan itu bukan apa-apa sebagaimana mereka terbiasa merampok dan menyamun. Bahkan sekali-sekali membunuh. Tanpa pertimbangan-pertimbangan yang rumit asal saja mendapatkan harta benda sebanyak-banyaknya.
Kelompok yang terakhir itu tidak terlalu banyak mendengarkan penjelasan Ki Rangga Gupita. Tetapi merekapun tidak mempersoalkannya apapun yang dikatakan oleh Ki Rangga itu.
Namun beberapa orang telah menyatakan pendapatnya. Mereka yang merasa mempunyai pengalaman yang luas, telah memberikan beberapa saran kepada Ki Rangga Gupita.
Sebenarnya Warsi menjadi jemu mendengar orang-orang itu berbicara. Menurut Warsi, jika mereka telah berada di pertempuran, maka mereka akan melupakan semua pembicaraan itu dan bertempur untuk membunuh atau dibunuh.
Tetapi yang paling menarik adalah pendapat beberapa orang tentang pertempuran yang akan datang. Tentang serangan yang sebaiknya mereka lakukan.
"Kita akan langsung menuju ke padukuhan induk," berkata salah seorang dari mereka. Lalu katanya, "Tanah Perdikan Sembojan tidak akan dapat mempergunakan seluruh kekuatan yang ada. Mereka tidak akan dapat mengumpulkan semua pengawal di padukuhan induk, karena setiap padukuhan tentu memerlukan pengawalan. Mungkin sebagian besar para pengawal memang ditempatkan di padukuhan induk. Namun bukan kekuatan seutuhnya dari Tanah Perdikan Sembojan yang tentu terbagi itu."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Pendapat itu sesuai dengan perhitungannya dan bahkan kemudian sebagian besar dari orang-orang yang telah dikumpulkan, meskipun ada di antara mereka yang tidak mempedulikannya.
Bahkan ada orang yang berpendapat, "Apakah kita harus memberikan kesan bahwa kita akan menyerang salah satu padukuhan yang besar sebagaimana kita lakukan kemarin" Dengan demikian maka sebagian pengawal akan ditarik ke padukuhan itu."
"Tidak akan banyak gunanya. Kecuali kekuatan kita juga terbagi, merekapun akan menggerakkan pengawal-pengawal mereka dari satu padukuhan ke padukuhan lain, kecuali pengawal-pengawal yang memang direncanakan untuk tetap berada di padukuhan mereka masing-masing," berkata Ki Rangga.
Orang itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak memaksakan pendapatnya.
Demikianlah, pertemuan itu setelah berbicara banyak, telah menentukan langkah yang paling baik menurut pendapat mereka. Mereka akan langsung menyergap padukuhan induk dari dua arah. Satu kelompok kecil akan memancing perhatian para pengawal dari arah pintu gerbang induk. Sedangkan kekuatan yang terbesar akan datang dari arah lain.
Dalam keremangan malam, meskipun cahaya bulan terang, tetapi mereka tidak akan mampu membuat perhitungan yang baik tentang jumlah kekuatan yang sebenarnya dari orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu. Orang-orang padukuhan induk tidak akan sempat mencurigai jumlah yang mereka hadapi di gerbang utama, sehingga sempat memikirkan datangnya serangan dari arah yang lain.
"Karena itu, kita harus berusaha untuk mengaburkan jumlah kita. Terutama pasukan yang memancing perhatian para pengawal di padukuhan induk itu. Dengan gerakan-gerakan yang bersimpang siur, maka jumlah itu akan nampak lebih besar," berkata Ki Rangga. Lalu, "Dengan demikian maka para pemimpin Tanah Perdikan itu akan terpancing untuk bertahan di pintu gerbang utama itu. Sementara pasukan kita yang lain akan merayap dengan hati-hati mendekati dinding di arah lain."
"Sebenarnya kita salah memilih waktu," tiba-tiba saja seseorang berkata, "sebaiknya kita memilih di saat malam paling gelap."
"Bodoh kau," Warsi yang lebih banyak diam itu telah membentak, "kau kira aku tidak mempunyai perhitungan dengan bulan bulat itu?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kawannya yang ada di sampingnya berdesis, "Sinar bulan itu sangat penting baginya."
Orang itu tidak menyahut, meskipun ia merasa agak tersinggung. Namun orang itupun menyadari, bahwa Warsi adalah seorang perempuan yang garang dan memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Akhirnya pertemuan itupun berakhir. Semua orang memahami apa yang harus mereka lakukan. Sebagai pemimpin dari kelompok mereka masing-masing, maka mereka telah menyampaikan keputusan dari pertemuan itu kepada kelompok mereka. Terperinci dan jelas bagi setiap orang.
Namun orang-orang yang tidak begitu mempedulikan tata cara dalam setiap pertempuran memang tidak mau berpikir terlalu banyak. Mereka hanya memberikan sekedar petunjuk kepada orang-orangnya dan memberitahukan di pasukan yang mana mereka ditempatkan.
"Kita akan menyerang padukuhan induk itu," berkata pemimpin mereka yang tidak mau terlalu banyak berpikir, "kita berada di pasukan kedua yang akan menyerang padukuhan induk itu dari arah lain. Bukan dari arah pintu gerbang utama. Hal-hal lain, tirukan saja orang-orang yang berpikiran rumit. Pokoknya kita menyerang, memasuki padukuhan induk dan mendapatkan harta rampasan. Jika harta rampasan itu harus dikumpulkan, maka kalian harus pandai menyembunyikan sebagian terbesar daripadanya untuk kepentingan kelompok kita, sehingga kita tidak sekedar menjadi alat mereka."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Merekapun orang-orang yang segan berpikir terlalu banyak.
Di kelompok lain, seorang pemimpin kelompok tengah memberikan penjelasan kepada orang-orangnya. Dengan hati-hati, jelas dan terperinci pemimpin kelompok itu menunjukkan kepada orang-orangnya apa yang harus mereka lakukan.
"Kita termasuk kelompok yang pertama. Kelompok yang tidak sebesar kelompok yang kedua. Tetapi kita harus memberikan kesan bahwa jumlah kita banyak. Tugas kita sangat sulit dan berat. Tetapi kita sudah berjanji kepada diri kita sendiri, bahwa kita harus dapat merebut Tanah Perdikan ini untuk menjadi tempat berpijak bagi perjuangan kita selanjutnya. Justru pada saat Pajang mulai surut," berkata pemimpin kelompok itu, yang kemudian disambungnya dengan kata-kata yang penuh dengan hentakan-hentakan kemarahan dan cita-cita.
Jantung orang-orang yang mendengarnya memang berkobar pula menyalakan tekad di dalam dada mereka.
Setiap pemimpin kelompok, dengan cara dan keinginan masing-masing telah berbicara dengan orang-orangnya. Apapun yang mereka katakan, namun semuanya telah mempersiapkan serangan yang bakal mereka lakukan malam nanti.
Ketika matahari mulai turun, Warsi telah mulai bersiap-siap. Demikian pula setiap orang dalam kelompok mereka masing-masing. Mereka sudah cukup beristirahat di hari itu. Sebagian dari mereka telah sempat tidur lelap untuk waktu yang cukup lama.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, Ki Rangga mulai mengatur pasukannya. Ki Rangga sudah membagi seluruh kekuatannya menjadi dua bagian. Sebagian yang lebih kecil akan menyerang pintu gerbang utama, sedangkan yang lain akan menyerang dari samping. Mereka tidak perlu memecah pintu-pintu gerbang, baik pintu gerbang induk maupun pintu gerbang samping. Tetapi mereka merasa mampu untuk meloncati dinding.
Demikianlah, ketika matahari menjadi telah semakin dekat dengan cakrawala, pasukan itu benar-benar telah bersiap.
Ki Rangga Gupita, Warsi dan tiga orang kepercayaannya yang terdiri dari seorang bekas perwira tinggi Jipang, seorang Ajar yang memiliki ilmu yang tinggi yang biasa di panggil Ki Ajar Teluh, dan seorang pemimpin gerombolan Kalamerta yang meskipun sudah tua, tetapi memiliki kemampuan yang dapat diandalkan, yang menyebut dirinya Kala Sembung, telah memeriksa seluruh kekuatan yang telah dihimpunnya. Mereka berdiri berjajar bersusun di lembah di antara bukit-bukit yang banyak memiliki goa-goa yang meskipun tidak terlalu dalam, tetapi dapat mereka pergunakan sebagai tempat berlindung dari teriknya panas dan dinginnya embun malam.
Dengan bangga Warsi dan Ki Rangga melihat wajah-wajah yang garang. Sementara itu, pada mereka masing-masing nampaknya telah tersedia bekal sehingga dalam pertempuran mereka tidak akan kelaparan meskipun mereka akan bertempur semalam suntuk, bahkan sampai besok sehari penuh. Bahkan pasukan itu akan didukung oleh sekelompok kecil orang-orang yang khusus membawa bekal bagi mereka yang akan bertempur. Orang-orang itu jika didesak oleh keadaan, akan mampu pula bergabung dengan kawan-kawan mereka di peperangan. Bukan saja sekedar menyiapkan makan dan keperluan-keperluan lain jika terjadi bencana pada pasukannya.
Orang-orang yang ada di balik bukit itu sama sekali tidak mempergunakan pertanda-pertanda apapun juga. Mereka tidak membawa panji-panji, umbul-umbul atau apapun yang sejenis yang memberikan ciri kepada pasukan itu. Mereka sama sekali tidak memerlukannya. Namun mereka telah memberikan pertanda itu justru sebelumnya.
Warsi dan Ki Rangga telah memasang topeng-topeng kecil di pintu gerbang utama padukuhan induk. Ciri-ciri yang bagi Warsi mempunyai arti yang lebih besar daripada rontek, panji-panji dan umbul-umbul.
Sejenak kemudian, maka langitpun menjadi kemerah-merahan. Cahaya matahari yang mulai redup justru bagaikan membakar langit. Cakrawala telah membara dan ujung-ujung megapun menjadi merah.
"Kita siap untuk berangkat," berkata Warsi kepada Ki Rangga.
"Apakah kau sudah merasa saat itu datang?" bertanya Ki Rangga.
Warsi berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya menghadap ke Timur. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum. Katanya, "Di saat kita mencapai punggung pebukitan ini, bulan tentu sudah terbit. Aku akan mencapai puncak kemampuanku untuk kepentingan apapun juga. Sesaat kemudian kita akan turun di lereng bukit sebelah dan dengan tekad yang menyala di dalam dada kita masing-masing, kita akan menghancurkan padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Warsi. Jika matahari sepenuhnya tenggelam, maka bulan tentu akan terbit.
Demikianlah maka Ki Rangga telah memberikan apa-apa bagi pasukannya. Tidak ada sangkakala. Tidak ada genderang dan tidak ada isyarat perang. Yang terdengar adalah suitan nyaring yang bergema di lembah pebukitan itu.
Suitan itu telah disahut dan sambung bersambung, sehingga suara yang terpantul oleh dinding-dinding padaspun terdengar saling menyusul seperti sebuah lagu yang bernada datar.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan yang cukup panjang itu mulai bergerak. Setiap orang di dalam pasukan itu telah mendapat penjelasan tentang padukuhan induk yang akan menjadi sasaran serangan mereka. Terutama para pemimpin kelompok. Mereka yang sama sekali belum pernah melihat padukuhan induk telah mendapat beberapa petunjuk sehingga rasa-rasanya mereka telah menjadi seorang yang telah memahami segala jalan dan lorong-lorong yang ada di padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan itu.
Sementara itu langitpun menjadi semakin merah. Namun cahaya yang kekuning-kuningan memang mulai memancar di Timur. Demikian matahari tenggelam, maka merekapun mulai melihat bulan memanjat langit.
Warsi tertawa pendek di sebelah Ki Rangga yang berjalan di ujung pasukannya. Katanya, "Kau lihat" Lambang kemenangan itu telah mulai hadir di atas Tanah Perdikan Sembojan yang sebentar lagi akan jatuh ke tanganku."
Ki Rangga mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah Ki Rangga lebih percaya kepada pasukannya yang nampak begitu perkasa. Di lorong-lorong sempit, di lereng bukit, iring-iringan itu bagaikan seekor ular raksasa yang menjalar merambat naik ke punggung bukit itu.
Tetapi Ki Rangga tidak mau mengecewakan Warsi. Ki Rangga pun tahu, bahwa kepercayaan yang tebal di dalam dada Warsi atas pengaruh cahaya bulan itu, memang akan dapat benar-benar mempengaruhinya. Terutama pada segi kejiwaan perempuan yang garang itu. Sedangkan sebagai seorang perwira yang juga pernah bertugas dalam pasukan sandi, Ki Rangga tahu benar arti pengaruh kejiwaan bagi seorang prajurit. Karena pengaruh kejiwaan pula maka seorang prajurit akan kalah sebelum bertempur. Namun seorang prajurit akan dapat menjadi seekor harimau lapar di medan perang yang ganas.
Sebenarnyalah seperti yang diperhitungkan oleh Warsi. Bahkan sebelum ia sampai ke puncak pebukitan itu, bulan telah menerangi lereng-lerengnya dengan cahayanya yang telah menghangatkan darah Warsi.
Beberapa saat kemudian, ujung pasukan itu telah sampai ke atas bukit kecil itu. Warsi dan Ki Rangga memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Dari punggung bukit itu, Warsi telah memandang ngarai yang terbentang. Di bawah terang sinar bulan, padukuhan-padukuhan yang kehitam-hitaman nampak seperti pulau-pulau kecil yang terapung di lautan yang hijau.
Sekali lagi Warsi tertawa melihat Tanah Perdikan Sembojan yang terbentang di hadapannya. "Marilah," berkata Warsi kemudian.
Ki Rangga berpaling kepada tiga orang kepercayaannya sambil berkata, "Demikian kita menuruni bukit, maka kita sudah memasuki lingkungan medan. Kita harus mulai berhati-hati. Kedua bagian pasukan kita tidak boleh salah memilih jalan ke padukuhan induk sebagaimana sudah kita tentukan."
Ketiga orang kepercayaan Ki Rangga itu mengangguk-angguk. Merekalah yang harus memimpin langsung semua gerakan dari pasukan itu. Ki Ajar Tulaklah yang mendapat tugas untuk memimpin pasukan yang harus memancing perhatian lawan dan menyerang pintu gerbang utama. Sementara itu, bekas perwira tinggi Jipang yang sehari-hari disebut Ki Sumbaga dan Ki Kala Sembung akan memimpin pasukan yang benar-benar dipersiapkan untuk memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan. Baru kemudian setelah keadaan memungkinkan, Ki Sumbagapun harus membawa pasukannya masuk ke padukuhan dan membantu pasukan yang telah berada di dalam.
"Nah," berkata Ki Rangga, "pergilah ke pasukan kalian masing-masing. Di bulak itu kita akan membagi pasukan. Kalian akan menempuh jalan kalian masing-masing. Jangan salah memilih jalan. Beri isyarat jika rencana tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Kami berdua akan berada di pasukan kedua. Kami harus dengan cepat memasuki padukuhan induk, agar kami dapat segera menemui para pemimpin mereka."
Ketiga orang itu mengangguk hormat. Sementara itu Ki Rangga berkata pula, "Siapkan dengan baik kelompok-kelompok yang akan berhadapan dengan orang-orang tua di Tanah Perdikan Sembojan, namun yang berilmu cukup tinggi. Lima kelompok harus mampu mengikat lima orang lawan yang berilmu tinggi itu. Mungkin kelima orang itu tidak berada di tempat yang sama, sehingga dengan demikian maka setiap orang wajib memberikan laporan, dimana mereka berada sehingga kelompok-kelompok yang dipersiapkan itu akan segera dapat menghadapi mereka. Sementara itu, Warsi akan langsung berusaha bertemu dengan Iswari."
Demikianlah, maka ketiga orang itupun telah bergeser surut. Mereka telah menuju ke pasukan masing-masing. Satu kelompok dari pasukan itu dipimpin oleh Ki Ajar Tulak akan berusaha memancing perhatian padukuhan induk di pintu gerbang utama, sementara Ki Kala Sembung dan Ki Sumbaga akan memasuki padukuhan induk dari arah lain bersama dengan Warsi dan Ki Rangga. Jika padukuhan induk itu telah menjadi kacau dan kehilangan ketahanannya maka pasukan yang dipimpin Ki Ajar harus dengan cepat berusaha memasuki padukuhan induk pula. Mereka harus menuju ke banjar, sementara pasukan yang lain akan menguasai rumah Kepala Tanah Perdikan.
Perintah yang diberikan oleh Warsi dan Ki Rangga kepada setiap orang adalah bahwa mereka harus segera membunuh jika mereka bertemu dengan seorang remaja yang bernama Risang, anak Iswari. Siapapun juga.
Ketika semuanya sudah berada di tempat masing-masing, maka Ki Ranggapun telah memberikan isyarat agar pasukan itu segera berangkat.
Di lereng bukit di saat pasukan itu bergerak menurun, maka beberapa orang masih nampak berjaga-jaga untuk mengawasi keadaan. Bagaimanapun juga mereka masih juga memperhitungkan kemungkinan orang-orang Tanah Perdikan berusaha mendaki bukit itu dan menyerang mereka di sarangnya. Kehadiran orang-orang Tanah Perdikan yang kemudian membunuh beberapa orang di antara mereka dengan anak panah, telah membuat mereka semakin berhati-hati.
Namun ketika iring-iringan yang memanjang itu lewat, maka orang-orang itu telah mendapat perintah untuk masuk ke dalam pasukan dan berada di dalam kelompok mereka masing-masing.
Karena itu, maka orang-orang itupun segera mencari hubungan dengan para pemimpin kelompok mereka, untuk ikut bergerak turun menuju ke lembah. Selanjutnya mereka dengan cepat akan bergerak ke padukuhan induk.
Namun ketika ujung pasukan itu telah melewati lambung pebukitan, Warsi dan Ki Rangga yang berjalan di paling depan terkejut. Mereka melihat sebuah patok bambu yang berdiri di tengah-tengah jalan sempit yang dilewati oleh iring-iringan pasukannya itu.
"Gila," Warsi mengumpat. Pada patok bambu itu terdapat topeng kecil menghadap ke punggung bukit sebagaimana yang sering dipergunakannya untuk memberikan pertanda atau peringatan bagi pihak lain. Pertanda yang biasanya dihubungkan dengan kematian dan kekerasan.
"Siapa yang memasang patok dan meletakkan topeng kecil ini?" bertanya Warsi.
Ki Ranggapun menggeram. Sambil menggeleng ia menjawab, "Aku tidak tahu. Tentu tidak seorangpun yang tahu. Para pengawaspun tentu tidak tahu. Jika mereka tahu, topeng ini tentu sudah disingkirkannya."
"Anak iblis," Warsi hampir berteriak, "tantangan yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang Tanah Perdikan. Tetapi sebentar lagi Tanah Perdikan itu akan kami hancurkan."
Warsipun dengan marah telah mencabut patok bambu itu dan melemparkannya ke dalam semak-semak.
Sambil menggeretakkan giginya Warsipun melangkah dengan dada tengadah. Terdengar ia berkata dengan geram, "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri."
Ki Rangga tidak menyahut. Tetapi ia lebih banyak memperhatikan lingkungan yang mereka lewati. Mungkin masih akan terdapat hal-hal yang dapat mempengaruhi perasaan mereka. Bahkan mungkin jebakan-jebakan yang akan menghambat gerak pasukan itu.
Ketika pasukan itu mulai bergerak lagi, maka sekali lagi Warsi mengumpat marah sekali. Tiba-tiba saja mereka telah mendengar gonggong anjing hutan sahut-menyahut.
"Setan," geram Warsi, "kita harus menangkap anjing liar itu. Mereka tentu orang-orang Tanah Perdikan."
"Ya," jawab Ki Rangga, "tetapi jangan hiraukan mereka. Jika kita berusaha menangkap mereka, maka kita tentu memerlukan waktu. Mereka mungkin berada di puncak bukit sebelah. Gaung suaranya memang menunjukkan bahwa mereka berada di tempat yang jauh."
"Aku tidak mau dipermainkan seperti ini," geram Warsi.
"Tetapi jika kita mengejar mereka, tertangkap atau tidak tertangkap, maka rencana orang-orang Tanah Perdikan itu berjalan sebagaimana mereka harapkan. Mereka tentu berharap kita menjadi marah atas sindiran itu dan berusaha menangkap mereka. Tetapi dengan demikian maka pasukan kita telah terhambat," berkata Ki Rangga.
Warsi mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita harus cepat-cepat memasuki padukuhan induk. Lihat, bulan yang bulat sudah naik. Aku berada dalam kemampuan puncakku."
Karena itulah, maka Warsi sama sekali tidak berhenti untuk menangkap orang-orang Tanah Perdikan yang di tempat yang agak jauh telah menggonggong sebagaimana seekor anjing hutan. Bahkan bersahut-sahutan.
Demikianlah maka iring-iringan itu telah turun dengan cepat. Beberapa saat kemudian, mereka telah berada di ngarai di bawah bukit.
Ketika pasukan itu seluruhnya telah turun, maka Warsi dan Ki Rangga telah memberikan isyarat, agar semua orang di dalam pasukan itu bersiap-siap. Mereka akan segera memasuki jalan-jalan Tanah Perdikan Sembojan. Di tengah-tengah bulak itu, pasukan akan berpisah. Yang sebagian akan berbelok ke kiri, sedangkan yang lain akan berjalan lurus. Yang berbelok itulah yang justru akan menuju ke pintu gerbang utama. Sedangkan yang berjalan lurus itu akan melingkar dan menuju ke padukuhan induk dari sisi yang lain.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu benar-benar telah memasuki jalan-jalan Tanah Perdikan Sembojan. Padukuhan induk memang bukan padukuhan yang ada di hadapan mereka. Tetapi letak padukuhan induk tidak terlalu jauh.
Dengan dada tengadah maka setiap orang dalam pasukan itu melangkah menyusuri jalan Tanah Perdikan Sembojan yang menjadi tanah harapan bagi para pemimpin mereka. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka bertekad untuk malam itu juga menguasai padukuhan induk dan kemudian di hari berikutnya seluruh Tanah Perdikan. Padukuhan-padukuhan yang tidak tunduk akan dihancurkan, karena jika kekuatan para pengawal di padukuhan induk sudah dipatahkan, maka kekuatan di padukuhan-padukuhan tidak akan berarti lagi.
Ketika kemudian terdengar lagi suara anjing hutan menggonggong dari lereng bukit, yang suaranya bergema oleh pantulan batu-batu padas, maka Warsi dan Ki Rangga Gupita sudah tidak menghiraukannya lagi. Mereka mengira bahwa orang-orang Tanah Perdikan bukan saja sedang mempengaruhi perasaan para pengikutnya, tetapi dengan cara itu mereka telah memberikan isyarat sambung bersambung, bahwa pasukan dari balik bukit telah menyerang.
Tetapi Warsi dan Ki Rangga Gupita sama sekali tidak berkeberatan. Mereka memang telah memberi pertanda bahwa hari itu, di saat purnama penuh, padukuhan induk akan diserang dan dihancurkan. Bagaimanapun juga, orang-orang Tanah Perdikan tidak akan dapat mengumpulkan dan memusatkan semua kekuatan Tanah Perdikannya di padukuhan induknya, karena sebagian dari mereka masih harus tetap berada di padukuhan masing-masing.
Demikianlah maka pasukan dari balik bukit itupun kemudian menjalar di bulak-bulak persawahan. Mereka menyusuri jalan-jalan yang membujur di antara tanaman padi di sawah.
Namun Warsi dan Ki Ranggapun terkejut ketika mereka melihat lagi patok bambu di tengah jalan digantungi oleh topeng kecil pertanda kematian. Topeng yang mereka pasang di depan pintu gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan.
"Gila," geram Warsi. Dengan sangat marah ia mencabut patok bambu itu dan melemparkannya ke tepi sekaligus dengan topengnya. Tetapi ternyata bahwa iring-iringan pasukannya sama sekali tidak berhenti.
Tetapi kemarahan Warsi bagaikan membakar ubun-ubunnya ketika mereka sampai di sebuah simpang empat kecil di tengah bulak itu, sekali lagi mereka menjumpai patok bambu dengan topeng kecil itu pula.
Namun ketika Warsi menghentakkan patok kecil itu sambil mengumpat-umpat. Maka Ki Ranggapun mendekatinya sambil berkata, "Kita berhenti disini."
"Kenapa?" bertanya Warsi.
Ki Rangga tidak menjawab ketika ia memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti.
"Ada apa?" bertanya Warsi pula. "Kita sudah hampir sampai di tempat pasukan kita akan berpencar."
"Orang-orang Tanah Perdikan memang iblis. Pertanda topeng kecil itu sudah genap tiga kali. Kita harus berhati-hati," desis Ki Rangga.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi bukankah kita yang menentukan isyarat itu. Bukan mereka?" bertanya Warsi.
"Itulah gilanya orang-orang Tanah Perdikan," jawab Ki Rangga Gupita.
Warsi mengerutkan keningnya. Ia masih belum begitu jelas apakah yang dimaksud oleh Ki Rangga Gupita itu, sehingga iapun kemudian bertanya, "Apakah sebenarnya yang terjadi?"
Ki Rangga memandang bulak yang luas itu. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita harus berhati-hati."
Warsi masih saja termangu-mangu. Sementara itu Ki Rangga telah memanggil seorang yang berada di antara dirinya dan pasukannya. Seorang yang memang bertugas sebagai penghubung.
"Panggil Ki Sumbaga," berkata Ki Rangga.
"Untuk apa?" bertanya Warsi.
"Ia mempunyai naluri keprajuritan yang sangat tajam," jawab Ki Rangga Gupita.
"Bulan sudah semakin tinggi," berkata Warsi, "aku ingin mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya."
"Jangan tergesa-gesa. Yang kita hadapi adalah iblis yang sangat licik," jawab Ki Rangga.
Sejenak kemudian Ki Sumbagapun telah mendekat. Dengan sungguh-sungguh Ki Rangga Gupita bertanya, "Bagaimana pendapatmu?"
"Kita harus berhati-hati. Kita tidak akan bertempur di padukuhan induk," berkata Ki Sumbaga.
"Apa katamu?" bertanya Warsi.
"Bersiaplah. Perhitungan mereka ternyata lebih rumit dari perhitungan yang kita buat," jawab Ki Sumbaga, "selama ini kita menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang hanya mempercayakan diri kepada kemampuan olah kanuragan. Namun ternyata mereka mempunyai pemikir-pemikir yang sangat baik," jawab Ki Sumbaga.
"Persetan," geram Warsi, "kita hancurkan padukuhan induk itu."
"Kita tidak akan sampai kesana dengan cepat," berkata Ki Sumbaga.
"Kenapa" Jangan berteka-teki," Warsi menjadi tidak sabar lagi. "katakan apa yang kalian ketahui."
Ki Sumbaga memandang Ki Rangga Gupita dengan wajah yang tegang, sementara Ki Ajar Tulak dan Kala Sembungpun telah mendekat pula sambil bertanya, "Kenapa kita berhenti disini?"
"Lihat," berkata Ki Rangga Gupita, "setelah orang-orang Tanah Perdikan memberikan peringatan kepada kita dengan pertanda milik kita sendiri sampai tiga kali. Atur pasukan kalian dan menebarlah sebelum terlambat."
"Apa yang terjadi?" Warsi hampir berteriak.
"Mereka telah menunggu kita di bulak ini," geram Ki Rangga Gupita.
"Siapa?" teriak Warsi.
"Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan," jawab Ki Rangga sambil memberikan isyarat kepada ketiga orang kepercayaannya. "Kita bertempur disini."
Warsipun akhirnya mengetahui maksud Ki Rangga dan Ki Sumbaga. Karena itu, maka justru ialah yang mengumpat paling kasar. Sementara Ki Rangga berkata, "Kita tidak akan memecah pasukan kita. Ki Sumbaga akan berada di tengah. Ki Ajar akan berada di sayap kiri dan Ki Kala Sembung akan berada di sayap kanan. Usahakan menilai gelar lawan agar kita mendapatkan cara yang sebaik-baiknya untuk melawan."
Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Tetapi hanya Ki Sumbaga sajalah yang memahami dengan baik arti sebuah gelar. Ki Ajar Tulak terlalu yakin akan kemampuannya, sementara Kala Sembung tidak merasa perlu untuk memikirkan sebuah gelar.
Tetapi ketiga orang itupun dengan cepat telah kembali ke pasukan masing-masing. Seperti yang diperintahkan oleh Ki Rangga Gupita, maka pasukan yang semula berjalan beriringan itu telah menebar. Ki Ajar Tulak berada di sisi sebelah kiri, sementara Kala Sembung membawa pasukannya ke sebelah kanan. Sedangkan Ki Sumbaga dan orang-orangnya berada di tengah.
Dalam keadaan yang gelisah itu, Ki Sumbaga masih sempat memberi peringatan kepada orang-orangnya, agar kelompok-kelompok yang dipersiapkan untuk melawan orang-orang yang disegani di Tanah Perdikan tetap utuh.
Di sisi kiri, Ki Ajar memang mencoba untuk mengatur orang-orangnya. Mereka menebar tanpa menghiraukan tanaman padi di sawah yang hijau subur. Tanaman itu telah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang bersiap dengan senjata.
Tetapi Ki Ajar memang tidak pernah mempelajari dengan sungguh-sungguh arti sebuah gelar meskipun secara sepintas diketahuinya pula.
"Kita berada di sayap sebelah kiri," berkata Ki Ajar kepada para pemimpin kelompoknya, "kita harus menyesuaikan diri dengan lawan. Mungkin mereka bertempur dalam gelar yang mapan. Tetapi kita tidak perlu gentar. Meskipun demikian kita harus membagi kekuatan dengan merata. Dari ujung sayap, sampai ke pangkal sayap. Namun setiap saat, kelompok-kelompok dapat bergeser menutup kelemahan-kelemahan yang terjadi pada sayap kita dari ujung sampai ke pangkal. Yang penting, setiap kelompok tidak boleh terpecah."
Berbeda dengan Ki Ajar yang berusaha, Kala Sembung telah berpesan kepada para pengikutnya, "Hancurkan dan bunuh setiap orang. Apakah ia sayap atau paruh atau cakar sebuah gelar. Jangan pedulikan. Tetapi ingat, kalian harus saling membantu. Jangan biarkan kawan-kawan kalian terbunuh seorang demi seorang, karena jika demikian akan datang giliran kalian akan terbunuh juga. Karena itu, tidak ada pilihan lain. Bunuh semua orang siapapun yang kalian hadapi dan dalam kedudukan yang manapun."
Orang-orangnya mengangguk-angguk. Orang-orang yang garang itu memang tidak menghiraukan apakah lawannya ada dalam gelar atau tidak. Yang penting bagi mereka adalah membunuh sebanyak-banyaknya.
Tetapi ada di antara mereka yang merasa kecewa, bahwa mereka harus bertempur di bulak yang luas itu. Mereka ingin bertempur di padukuhan. Menghancurkan padukuhan induk dan kesempatan memasuki rumah-rumah orang kaya untuk merampas harta benda yang ada di dalamnya. Jika mereka menghancurkan lawan di bulak itu, maka mereka akan memasuki padukuhan induk dengan tertib dan terkendali oleh Ki Rangga dan Warsi.
Sejenak kemudian, maka pasukan Ki Rangga Gupita itu telah menebar. Mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa pasukan Tanah Perdikan telah menunggu. Betapapun beratnya hati mereka, namun mereka memang harus mengorbankan tanaman di sawah. Pasukan Tanah Perdikan Sembojan ternyata tidak menunggu di padukuhan induk. Para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan telah memperhitungkan bahwa mereka lebih baik menghadapi lawan di bawah bukit daripada harus menunggu di padukuhan induk. Di bawah bukit mereka memang harus mengorbankan tanaman mereka. Tetapi di padukuhan, korban akan semakin besar. Bukan saja rumah-rumah yang rusak, harta benda yang pasti akan dirampok, tetapi juga perempuan dan anak-anak ikut terancam jiwanya.
Lebih daripada itu, maka menurut perhitungan para pemimpin Tanah Perdikan, jika mereka menunggu lawan di bawah bukit, mereka akan dapat mengerahkan pasukan lebih besar. Para pengawal hampir seluruhnya dapat digerakkan. Mereka memperhitungkan bahwa para pengikut Warsi tidak akan sempat memasuki padukuhan-padukuhan yang manapun juga.
Karena itu, maka Iswari telah membawa kekuatan yang ada di Tanah Perdikan hampir sepenuhnya ke bawah bukit. Dengan sangat hati-hati orang-orang Tanah Perdikan itu bergerak. Menjelang senja semua kekuatan sedikit demi sedikit telah mengalir ke padukuhan terdekat. Kemudian di saat matahari terbenam dan bulan mulai naik, pasukan itu bagaikan merangkak memasuki bulak-bulak yang luas. Dengan perhitungan yang cermat, maka para pengawas di lereng bukit memang tidak dapat melihat apa yang terjadi di balik batang padi yang mulai meninggi. Sehingga pada saatnya, pasukan Tanah Perdikan telah menunggu menebar dalam gelar yang mapan. Gelar Wulan Tumanggal. Karena menurut perhitungan para pemimpin dari Tanah Perdikan Sembojan, kekuatan lawan akan berada di induk pasukan, sehingga sayap-sayap pasukannya tentu tidak akan terlalu kuat. Karena itu, maka gelar yang dipergunakanpun adalah gelar yang meletakkan kekuatan terbesar di induk pasukan.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang merasa ragu-ragu untuk ikut langsung memasuki arena. Mereka masih selalu memikirkan kemungkinan bahwa Puguh atau orang-orang yang pernah melihatnya di padepokan itu, ikut pula dalam pasukan yang siap menyerang Tanah Perdikan itu.
Namun akhirnya keduanya mempunyai cara untuk berada di antara para pengawal. Mereka telah membagi diri. Seorang berada di sayap kiri dan seorang yang lain di sayap kanan. Mereka telah memberikan kelainan di wajah mereka masing-masing, sehingga mereka tidak akan mudah dikenal. Sementara itu merekapun telah mengenakan pakaian yang tidak terbiasa mereka pakai.
"Jika ada seorang saja yang mengenaliku, maka usahaku untuk menemukan tempat tinggal Puguh itu akan kehilangan artinya," berkata Sambi Wulung.
Tetapi dengan caranya mereka berharap bahwa mereka tidak akan dapat dikenali lagi.
Di induk pasukan, Iswari duduk di pematang bersama Kiai Badra, Kiai dan Nyai Soka. Beberapa langkah daripadanya adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan yang duduk bersama dua orang pembantunya.
Ketika terdengar pertanda terakhir sebagaimana mereka sepakati dengan suara gonggong anjing hutan, maka Iswaripun menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Mereka telah datang."
"Ya," berkata Kiai Badra, "mereka telah datang. Siapkan pasukanmu. Kita harus menghentikan mereka di sini. Jika mereka berhasil mencapai padukuhan induk, maka keadaan kita akan sulit. Bahkan seandainya kita berhasil mengusir mereka, namun mereka tentu akan merusak dan barangkali membakar rumah-rumah penduduk yang tidak bersalah serta mengganggu perempuan dan anak-anak. Bahkan mungkin membunuh."
"Marilah. Kita bersiap-siap," desis Iswari. Iswari tidak menunggu lagi. Iapun kemudian telah bangkit berdiri bersamaan dengan isyarat yang berbunyi. Tidak lagi gonggong anjing hutan, tetapi suara kentongan dengan nada titir yang dipukul di pasukan induk.
Isyarat itupun segera disahut oleh para penghubung di sayap-sayap pasukan, sehingga dengan demikian, maka terdengar suara titir yang sangat riuh.
Dalam waktu singkat, maka sebuah gelar telah muncul dari balik batang-batang padi dan dari belakang tanggul-tanggul parit. Rasa-rasanya orang-orang Tanah Perdikan itu telah terlalu lama menunggu dengan pakaian yang basah oleh embun di daun padi yang mulai menitik serta basahnya air yang mengalir di parit-parit.
Tetapi orang-orang dari balik bukit tidak terkejut. Bahkan Kiai Soka sempat memuji, "mereka tanggap akan isyarat yang kita berikan dengan topeng-topeng mereka. Ternyata merekapun telah menebar."
"Kita tidak lagi mempunyai hutang kepada mereka. Sebagaimana mereka memberikan isyarat kepada kita saat-saat mereka akan menyerang, maka kitapun telah memberikan isyarat pula. Kita bukan orang-orang yang justru lebih licik dari mereka," desis Nyai Soka.
Kiai Soka mengangguk-angguk. Dalam cahaya bulan mereka melihat orang-orang dari balik bukit itu bergerak maju. Kemarahan benar-benar telah membakar jantung Warsi dan Ki Rangga Gupita. Ternyata orang-orang Tanah Perdikan itu mengenal perhitungan yang tajam untuk menghadapinya. Mereka tidak sekedar menggantungkan kepada kemampuan dan jumlah, tetapi mereka juga berpikir.
Tanpa menghiraukan tanaman padi yang tumbuh dengan suburnya, maka pasukan Ki Rangga yang menebar itu bergerak maju. Mereka tidak memperhatikan lagi apakah mereka akan berjalan di atas pematang. Tetapi batang-batang padi yang subur itu telah terinjak-injak kaki orang-orang yang akan bertempur untuk mengungkapkan permusuhan yang sudah mencengkam seluruh isi dada. Bahkan bukan saja dendam yang menyala, tetapi juga ketamakan dan nafsu untuk menguasai Tanah Perdikan itu.
Sementara itu, orang-orang Tanah Perdikanpun sudah siap pula. Agak berbeda dengan orang-orang dari balik bukit. Orang-orang Tanah Perdikan memang merasa agak ragu-ragu untuk menginjak batang-batang padi yang sudah menjadi semakin besar dan hampir menjadi bunting itu. Tetapi merekapun tidak mempunyai pilihan lain. Mereka memang harus dan terpaksa menginjak-injak tanaman itu justru untuk mempertahankan tanah mereka, agar mereka di hari kemudian dapat menanam padi lagi tanpa mengalami pemerasan atas hasil panenannya.
Demikianlah kedua pasukan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Pasukan Tanah Perdikan Sembojan tidak saja terdiri dari para pengawal yang dikumpulkan dari semua padukuhan, tetapi juga bekas para pengawal dan bahkan semua laki-laki yang meskipun usianya sudah menjadi semakin tua, namun mereka masih mampu bermain dengan senjata. Hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang ditinggalkan di setiap padukuhan sekedar untuk mengamati keadaan dan membunyikan isyarat jika keadaan memaksa, sehingga bantuan dari padukuhan-padukuhan terdekat akan berdatangan.
Bagi Tanah Perdikan Sembojan, menunggu lawan di bawah bukit itu adalah cara yang terbaik dapat mereka lakukan. Selain mampu mengerahkan tenaga lebih banyak, maka kerusakan di padukuhan induk akan dapat dihindari. Namun demikian, para pemimpin Tanah Perdikan sudah mempersiapkan perempuan dan anak-anak untuk mengungsi apabila perlu.
Ketika kedua pasukan itu semakin dekat, maka ternyata bahwa orang-orang di dalam pasukan Tanah Perdikan Sembojan lebih banyak jumlahnya dari pasukan orang-orang di balik bukit. Namun merekapun menyadari bahwa orang-orang dari balik bukit itu adalah gabungan dari orang-orang yang kecewa, penuh kebencian dan dendam serta dibekali dengan pengalaman yang sangat luas tanpa merasa bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya di hari-hari yang abadi.
Tangan dan senjata mereka di hari-hari yang lewat memang telah menjadi merah oleh darah. Dan hati merekapun telah dibasahi oleh air mata dari keluarga mere ka yang terbunuh. Namun mereka tidak pernah merasa kulitnya meremang.
Namun dalam pada itu, para pengawal, anak-anak muda dan semua laki-laki yang berada di dalam pasukan Tanah Perdikan telah meyakini apa yang mereka lakukan. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain, sehingga dengan demikian, maka mereka sama sekali tidak merasa gentar atas apa yang mereka hadapi. Namun mereka tidak ingin menyerahkan kampung halaman mereka ke tangan-tangan orang yang tidak berhak.
Ketika kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, maka terdengar suitan nyaring. Ki Rangga telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiaga sepenuhnya. Kedua pasukan itu akan segera bertemu dan bertempur.
Beberapa orang di dalam pasukan Ki Rangga itu justru tertawa. Mereka melihat orang-orang Tanah Perdikan itu bagaikan melihat batang ilalang. Senjata yang mencuat di atas kepala mereka, dalam cahaya bulan nampak bagaikan gelagah ilalang yang mekar keputih-putihan.
"Kita akan segera menebas ilalang," berkata salah seorang pengikut Kala Sembung.
"Senjataku akan puas minum darah orang-orang dungu itu. Mereka mengira bahwa mereka akan dapat mengimbangi kemampuan kita. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, tetapi sama sekali tidak berarti bagi kita. Semakin banyak mereka turun ke arena, maka semakin menarik bagi kita," sahut yang lain.
Tetapi pemimpin kelompoknya yang mendengar menyahut, "Jangan lengah. Mereka adalah pengawal-pengawal yang terlatih."
Namun yang terdengar adalah suara tertawa berkepanjangan.
Sementara itu, para pemimpin dari kedua pasukan memang berada di induk pasukan. Kecuali di pasukan Tanah Perdikan, Sambi Wulung dan Jati Wulung berada di ujung sayap kiri dan kanan. Mereka bukan saja memimpin kedua sayap itu, tetapi mereka harus merintis keduanya juga mendapat tugas untuk mengawasi sayap-sayap lawan, agar tidak dengan licik meninggalkan arena dan menyerang padukuhan-padukuhan terdekat untuk sekedar menumpahkan kemarahan dan dendam. Meskipun padukuhan-padukuhan terdekat sudah dikosongkan karena perempuan dan anak-anak sudah disingkirkan ke padukuhan-padukuhan lain.
Warsi rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Ia yakin bahwa Iswari berada di antara para pemimpin Tanah Perdikan itu. Sehingga rasa-rasanya ia ingin segera meloncat menerkamnya.
Namun dalam kegelisahan itu ia menggeram, "Apakah iblis betina itu berani keluar dan turun di arena ini?"
"Ia tentu akan datang," sahut Ki Rangga.
"Aku kira perempuan cantik itu hanya dapat menunggu. Tetapi ternyata ia mempunyai keberanian juga untuk keluar dari sarangnya," berkata Warsi sambil menengadahkan kepalanya. Seakan-akan ia sedang mencari perempuan yang disebut-sebutnya itu di antara seleret pasukan yang bergerak maju itu.
Di pihak lain, Iswaripun telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Ia telah berada pada tataran tertinggi dari ilmu yang dikuasainya. Sementara itu, ternyata Bibi telah berhasil membantunya, membuka simpul-simpul syarafnya yang masih tertutup sehingga dengan demikian, maka tingkat ilmunya seakan-akan menjadi semakin tinggi. Tubuhnya menjadi semakin mudah dikuasainya dan kehendaknyapun telah menyatu dengan setiap unsur pada tubuhnya itu.
Di sebelah menyebelah gurunya selalu mendampinginya. Apalagi dalam keadaan yang keras dan gawat. Untuk menghadapi Warsi, maka ketiga gurunya tidak begitu mencemaskannya lagi, meskipun segala kemungkinan dapat terjadi. Warsipun tentu sudah berusaha meningkatkan ilmunya pula untuk menghadapi Iswari pada hari yang telah ditunggunya itu. Namun Iswaripun telah bersiap. Tetapi jika di samping Warsi ada Ki Randukeling dan barangkali satu dua orang kawannya, maka orang-orang tua itu memang diperlukan.
Ketika kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, maka para pemimpin dari kedua belah pihakpun telah memberikan pertanda. Sambi Wulung dan Jati Wulung yang berada di ujung sayap, sekaligus memimpin sayap-sayap itu telah memberikan isyarat pula kepada para pengawal. Sementara itu, pemimpin pasukan pengawal yang memimpin induk pasukan telah memberikan pertanda pula, bukan saja kepada para pengawal di induk pasukan, tetapi juga yang berada di sayap dengan bunyi kentongan.
Demikianlah, maka senjatapun telah mulai merunduk. Orang-orang Tanah Perdikan yang pernah mendapat tuntunan perang dalam gelar telah menyesuaikan dirinya dengan gelar yang mapan. Namun jika keadaan memaksa, maka merekapun telah berlatih untuk bertempur secara pribadi.
Seperti yang diperintahkan, maka orang-orang Tanah Perdikan itu tidak menunggu. Tetapi sebelum lawannya mendahului, maka dengan irama tertentu, pemimpin pengawal itu telah memerintahkan pasukannya menyerang.
Dengan cepat pasukan Tanah Perdikan itu telah bergerak maju. Ujung sayap pasukan Tanah Perdikan yang mempergunakan gelar Wulan Tumanggal itu terdiri dari para pengawal terpilih meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak. Di bawah pimpinan Sambi Wulung dan Jati Wulung di sebelah-menyebelah maka ujung sayap pasukan itu harus berusaha secepat-cepatnya menusuk ke sayap lawan. Sementara itu, di induk pasukan, orang-orang terpilih memang berada di paling depan. Sedangkan bekas pengawal yang telah menjadi semakin tua, namun masih memiliki kekuatan dan kemampuan yang memadai akan berada di lapisan berikutnya. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman meskipun kekuatannya tidak lagi sedahsyat di usia mudanya. Sedangkan di lapisan berikutnya adalah anak-anak muda Tanah Perdikan yang meskipun bukan pengawal yang terpilih, tetapi merekapun telah mendapat tuntunan olah kanuragan cukup memadai. Namun di antara mereka terdapat juga justru orang-orang terpilih, karena hanya orang-orang berilmu sajalah yang akan dapat menyusup lapisan-lapisan sebelumnya hingga sampai lapisan anak-anak muda itu.
Dengan susunan yang telah diperhitungkan dengan masak oleh para pemimpin Tanah Perdikan itu, maka pasukannya dalam gelar Wulan Tumanggal telah bergerak dengan cepat menyerang pasukan lawan yang menebar meskipun tidak berujud gelar.
Namun dalam pada itu, para pemimpin dari pasukan yang datang dari balik bukit itupun telah pula maju dengan cepat. Mereka justru telah berlari-lari dan berteriak-teriak dengan kasarnya. Bahkan ada yang mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor dan tidak pantas diucapkan oleh mulut seseorang yang mengenal sedikit unggah-ungguh.
Iswari memang terkejut mendengarnya. Ia tidak menduga, bahwa ia akan mendengar kata-kata kotor dan sangat kasar itu. Namun ia segera mampu menguasai perasaannya. Apalagi ketika ia melihat ujung senjata di kilatan cahaya bulan.
Sejenak kemudian kedua pasukan itu telah berbenturan. Senjatapun mulai beradu. Hentakan pada benturan pertama telah menguji kemampuan pasukan dari kedua belah pihak.
Pada pasukan Tanah Perdikan, maka orang-orang yang berada di lapisan pertama tidak sekedar mempergunakan keberanian dan kemampuan mereka. Tetapi mereka juga mempergunakan penalaran mereka. Sekali-sekali lapisan pertama itu memang menguak sehingga beberapa orang lawan menyusup masuk. Namun pada lapisan kedua orang-orang itu terkejut. Di lapisan kedua ujung-ujung senjata dari orang-orang yang berpengalaman telah menunggu mereka.
Orang-orang di lapisan kedualah yang harus bertahan. Mereka berusaha agar tidak ada orang yang menyusup ke belakang mereka. Setidak-tidaknya mereka berusaha untuk membatasi orang-orang yang menyusup ke lapisan ketiga sekecil mungkin, meskipun di lapisan ketiga itu terdapat juga orang-orang pilihan. Namun sebagian besar mereka adalah anak-anak muda Tanah Perdikan yang dengan suka rela ikut mempertahankan kampung halaman mereka dari orang-orang yang bukan seharusnya menguasainya.
Sejenak kemudian, maka di sepanjang tebaran pasukan kedua belah pihak itu, telah terjadi pertempuran yang sengit.
Namun dalam pada itu, pemimpin dari kedua belah pihak justru tidak segera dapat bertemu. Ketika kedua pasukan itu maju dengan cepat menjelang benturan terjadi, maka pasukan itu justru telah mendahului para pemimpin dari kedua belah pihak.
Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan memang merasa terganggu oleh teriakan-teriakan dan umpatan-umpatan kasar dari orang-orang yang terutama dipimpin oleh Kala Sembung. Karena itu, maka seorang di antara para pengawal Tanah Perdikan itu justru berteriak nyaring, "Hentikan teriakan-teriakan kasar dan kotor itu."
Ternyata untuk mengimbangi teriakan-teriakan yang menyakiti telinga itu, orang-orang Tanah Perdikanpun telah berteriak pula, "Hentikan mereka. Hentikan mereka."
Jati Wulunglah yang berada di sayap yang kebetulan berhadapan dengan sayap yang dipimpin oleh Kala Sembung itu. Karena itu, maka kemarahannyapun segera telah membakar jantungnya.
Namun sebagai seorang yang telah berpengalaman, maka Jati Wulung tidak segera kehilangan penalaran. Betapapun marahnya, namun ia masih mampu membuat perhitungan-perhitungan yang mapan, sehingga Jati Wulung masih dapat melakukan langkah yang terbaik bagi pasukan di ujung sayap itu.
Namun ternyata bahwa Jati Wulungpun tidak segera bertemu dengan Ki Kala Sembung. Karena itu, untuk beberapa saat lamanya, Jati Wulung harus bertempur dengan orang-orang yang kasar dan kadang-kadang justru menjadi liar.
Tetapi sesuai dengan tugasnya, bersama beberapa orang terpilih di sayap itu, Jati Wulung harus menusuk masuk ke dalam pasukan lawan. Ujung-ujung gelar Wulan Tumanggal itu akan menghunjam dalam-dalam, dan menghancurkan kekuatan lawan di dalam pasukan lawan itu sendiri. Jika tugas itu di kedua sayap berhasil, maka pada saatnya gelar Wulan Tumanggal itu akan berkerut dan bidang gerak lawanpun akan menjadi semakin sempit sejalan dengan susutnya kekuatan mereka.
Tetapi menghadapi lawan yang tidak mengenal gelar dan bertempur dan kasar dan liar, maka Jati Wulung memang agak menemui kesulitan. Namun demikian, hal yang terjadi itu sebelumnya memang sudah diduganya sehingga serba sedikit sudah diberitahukan kepada pasukannya.
Namun, bagaimanapun juga lawan yang dihadapi, Jati Wulung tidak berkisar dari rencana yang telah disepakati. Karena itu maka Jati Wulung dan beberapa orang terpilih benar-benar telah merintis jalan memasuki jantung sayap pasukan lawan.
Namun Jati Wulung memang terhambat ketika ia mendapat laporan bahwa pimpinan sayap lawan itu ada di tengah-tengah benturan kedua sayap itu.
Karena itu maka Jati Wulungpun telah mengatur orang-orangnya. Orang-orang terpilih itu harus meneruskan usahanya untuk menusuk pasukan lawan yang kasar dan liar itu. Sementara Jati Wulung akan menemui pemimpin sayap lawan itu.
"Jangan terpengaruh oleh sikap mereka yang kasar itu. Kalian sedang bertempur. Karena itu, maka yang penting, perhatikan kemampuan tempur mereka. Mereka tidak akan dapat membunuh kalian dengan mulut mereka. Dengan umpatan-umpatan kasar atau dengan sikap yang menakutinya. Mereka akan membunuh kalian dengan senjata mereka. Karena itu perhatikan saja senjata mereka," pesan Jati Wulung kepada para pengawal.
Para pengawal itupun kemudian telah berusaha dengan kemampuan mereka tanpa Jati Wulung yang harus bertempur melawan pimpinan sayap lawan. Namun pesan Jati Wulung itu ternyata sangat berarti bagi mereka. Dengan hanya memperhatikan senjata lawan, maka para pengawal itu tidak terlalu terpengaruh oleh kekasaran dan keliaran mereka. Serta tidak terlalu terganggu oleh ucapan-ucapan dan umpatan-umpatan kotor yang tidak pantas.
Para pengawal terpilih itu ternyata memang mempunyai kemampuan yang cukup untuk melakukan tugasnya. Diikuti oleh para pengawal yang lain, orang-orang yang lebih tua, bekas pengawal yang masih memiliki kekuatan cukup untuk bertempur, baru kemudian anak-anak muda, yang berbekal tekad dan, sedikit tuntunan olah kanuragan.
Perlahan-lahan, tetapi pasti, maka ujung sayap itu memang berhasil menusuk masuk ke dalam sayap pasukan lawan. Tetapi para pengawal terpilih itupun mengerti, bahwa mereka tidak boleh tergesa-gesa. Mereka harus selalu memperhatikan pasukan yang menyangga kekuatan mereka. Jika jalur itu terputus, maka sekelompok pengawal di ujung pasukan itu justru akan terkurung di dalam pasukan lawan.
Namun para pengawal Tanah Perdikan itu mampu melakukan tugas mereka dengan baik. Setapak demi setapak mereka maju. Bahkan kadang-kadang mereka harus berhenti untuk memberikan kesempatan pasukan penyangganya maju.
Sementara itu, pangkal sayap itupun telah bertempur dengan garang pula. Mereka berbenturan pada satu garis pertempuran yang sengit, sehingga ternyata bahwa pertempuran di pangkal sayap itu cukup banyak menghisap tenaga. Dengan demikian maka hambatan pada ujung sayap pasukan Tanah Perdikan Sembojan itu rasa-rasanya telah terpengaruh juga oleh pertempuran di pangkal sayap itu. Karena kekuatannya memang terhisap untuk bertahan dari tekanan pasukan Tanah Perdikan yang kuat. Sehingga dengan demikian maka para pengawal terpilih di ujung sayap itu tidak menjadi terlalu berat mengatasi hambatan itu.
Dalam pada itu, Kala Sembung memang menjadi marah melihat orang-orang Tanah Perdikan yang membentur kekuatannya. Kebiasaan Kala Sembung dan orang-orangnya adalah menakut-nakuti orang-orang padukuhan. Dengan sekelompok kecil saja dari kekuatan yang ada, Kala Sembung telah dapat menguasai seluruh padukuhan dan merampas harta benda yang ada di dalamnya. Dengan tujuh atau delapan orang, seluruh padukuhan telah menjadi ketakutan. Namun saat itu Kala Sembung telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada padanya, kemudian sekelompok bekas prajurit Jipang, yang merupakan bagian dari kekuatan Ki Sumbaga. Beberapa kelompok kecil para penghuni sarang-sarang yang kelam dari orang-orang berilmu hitam yang dapat dipengaruhinya. Baik dengan kata-kata maupun dengan ancaman kekuatan, serta beberapa kelompok yang lain yang memiliki sifat yang bersamaan dengan sifat orang-orangnya. Tetapi orang-orang padukuhan yang termasuk lingkungan Tanah Perdikan Sembojan itu sama sekali tidak gentar. Mereka justru telah membentur kekuatannya pada satu perang gelar yang mapan, sebagaimana dilakukan oleh para prajurit.
Kemarahan itu ternyata telah membuat Kala Sembung menjadi semakin garang. Dengan sebuah bindi yang berduri runcing dari pangkal sampai ke ujungnya, maka Kala Sembung bagaikan telah kehilangan akalnya. Mengamuk tanpa menahan diri sama sekali.
Para pengawal Tanah Perdikan memang menjadi berdebar-debar melihat Kala Sembung yang mengayunkan bindi berputaran seperti angin pusaran. Tidak seorangpun yang berani langsung membentur senjata yang mengerikan itu.
Karena itu, maka para pengawal telah menyusun kekuatan khusus untuk menghadapinya sebelum seorang penghubung berhasil menemukan Jati Wulung untuk memberikan laporan tentang Kala Sembung itu. Jika mungkin Jati Wulung dapat menghadapinya, sedangkan jika ia tidak dapat meninggalkan tempatnya, maka perintahnyalah yang ditunggu sebagai petunjuk untuk mengatasi amuk pemimpin sayap pasukan lawan itu.
Lima orang pengawal telah mengkhususkan diri untuk menghadapi putaran bindi yang dahsyat itu. Namun sekali-sekali orang-orang Kala Sembung itu juga mengganggunya.
Berbeda dengan Jati Wulung yang memperhatikan keadaan seluruh sayap pasukan itu, Kala Sembung yang terbiasa bertempur tanpa menghiraukan gelar itu, menyerahkan segala sesuatunya kepada orang-orangnya. Dengan demikian maka Kala Sembung itu dapat berbuat sesuai dengan keinginannya tanpa memperhatikan orang lain yang berbuat sendiri-sendiri.
Ternyata bahwa para pengawal yang menghadapi Kala Sembung itu mendapat kesulitan. Pedang-pedang mereka tidak akan mampu membentur bindi bergerigi tajam itu, jika mereka tidak ingin pedang mereka terlepas. Ternyata kekuatan Kala Sembung itu sedemikian besarnya sehingga tidak akan mungkin ditahan.
Karena itulah, meskipun para pengawal telah menyiapkan satu kelompok khusus, namun kelompok yang khusus itu setiap kali telah terdesak, sehingga mempengaruhi garis pertahanan seluruh sayap pasukan.
Pada saat yang gawat itu, Jati Wulung yang menyusup di antara pertempuran telah mencapai pangkal sayap. Dari jarak beberapa langkah ia sudah melihat, betapa Kala Sembung mampu menciptakan satu putaran pertempuran yang mengerikan, yang perlahan-lahan mendesak pangkal sayap pasukan Tanah Perdikan Sembojan.
Karena itu, maka Jati Wulungpun telah mempercepat langkahnya mendekati arena yang mendebarkan itu.
Ketika ia muncul di antara kelima pengawal yang khusus menghadapi Kala Sembung itu, maka ia tidak segera memberi isyarat agar para pengawal itu menyingkir. Tetapi Jati Wulung justru telah bertempur di antara mereka.
Tetapi sudah barang tentu, bahwa Jati Wulung tidak sekedar memiliki kemampuan sebagaimana para pengawal itu.
Sambil mengayunkan pedangnya Jati Wulung berbisik, "Untuk sementara biarlah kalian tetap disini."
Para pengawal itu memang tidak meninggalkannya. Mereka masih saja bertempur melawan Kala Sembung itu.
Tetapi Kala Sembung terkejut ketika sekali-sekali bindinya membentur kekuatan yang terasa lebih besar dari kekuatan para pengawal yang lain. Bahkan ketika satu kali Jati Wulung dengan sengaja menangkis serangan bindi Kala Sembung, maka orang itu telah terkejut bukan kepalang. Terasa bindinya telah membentur kekuatan yang sangat besar.
"Setan alas," Kala Sembung mengumpat, "ada juga di antara kalian yang memiliki kekuatan yang pantas."
Jati Wulunglah yang menjawab, "Ki Sanak. Apakah kau pemimpin dari sayap pasukanmu ini?"
"Ya," jawab Kala Sembung bangga, "aku akan menggilas orang-orang Tanah Perdikan Sembojan, menghancurkan mereka dan kemudian menguasai Tanah Perdikan dengan segala isinya."
"Bagaimana dengan Warsi?" bertanya Jati Wulung.
"Ia adalah pemimpin kami. Ialah yang kelak akan memimpin Tanah Perdikan ini," jawab Kala Sembung.
"Dan anak laki-lakinya?" bertanya Jati Wulung pula.
"Anak itu sudah dipersiapkan untuk berkuasa. Nah, menyerahlah. Kalian akan diampuni. Kalian akan dibunuh dengan cara yang terbaik. Tetapi jika kalian melawan, maka kalian akan mati dengan cara yang paling pahit."
Jati Wulung tertawa. Sementara itu serangan-serangan Kala Sembungpun menjadi semakin lamban, sehingga seakan-akan telah berhenti sama sekali, meskipun ia sama sekali tidak mengurangi kewaspadaan, bahkan senjatanya masih saja bergerak-gerak dan siap terayun menghantam tubuh lawan.
Di sela-sela tertawanya, Jati Wulung bertanya, "jadi itukah ukuran diampuni menurut pengertianmu" Siapa yang dibunuh dengan cara yang baik itulah yang diampuni. Sedangkan yang tidak diampuni akan mengalami siksaan menjelang kematiannya?"
"Ya. Itulah akibat yang harus kalian perhitungkan bahwa kalian telah berani melawan kehendak kami." Kala Sembung itu menggeram.
Tetapi Jati Wulung masih saja tertawa, sehingga Kala Sembung itu membentak, "He, kenapa kau tertawa" Apakah kau menjadi gila karena ketakutan?"
"Kau memang pandai bergurau," jawab Jati Wulung, "Kau selalu mengatakan bahwa kau akan membunuh kami dengan cara apapun. Tetapi kau tidak pernah menyebut cara kematian yang kau ingini."
"Tutup mulutmu," Kala Sembung berteriak. Tetapi iapun kemudian bertanya, "Siapa kau" Apakah kau pemimpin dari sayap pasukan Tanah Perdikan Sembojan ini?"
Jati Wulung masih tertawa. Iapun kemudian mengangguk sambil menjawab, "Ya. Aku pemimpin sayap dari pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Sudah beberapa lama aku mencarimu. Sekarang kita bertemu. Karena itu, maka kita akan dapat berhadapan sebagai lawan yang tanggon."
"Bagus," geram Kala Sembung, "majulah kalian berenam. Aku akan melakukan tugasku dengan baik. Membunuh kalian dengan cara yang paling pahit karena kalian melawan."
Jati Wulung telah bergeser. Nampaknya ia memang harus segera mulai. Tetapi tiba-tiba ia justru memberi isyarat kepada kelima orang yang semula bertempur bersamanya agar mereka meninggalkannya.
"Aku akan bertempur seorang melawan seorang," berkata Jati Wulung.
Kala Sembunglah yang kemudian tertawa. Katanya, "Kau terlalu sombong."
"Kita akan melihat, siapakah yang terlalu sombong," jawab Jati Wulung.
Demikianlah maka kedua orang itupun segera mempersiapkan diri. Sementara itu, kelima orang pengawal Tanah Perdikan telah bergeser menjauh. Mereka telah bersiap memasuki perang yang semakin sengit.
Ketika kedua pemimpin sayap pasukan itu telah mulai bertempur, maka orang-orang yang berada di sekitarnya dari kedua belah pihak mulai menjauh. Mereka tidak lagi merasa perlu melindungi kedua pemimpin mereka yang sedang berbicara, karena mereka justru merasa perlu untuk menghindar. Kedua pemimpin yang berilmu tinggi itu akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka, apalagi jika keduanya mengungkapkan ilmu puncak mereka. Jika mereka tidak menguak, maka justru merekalah yang akan mengalami akibat buruk dari serangan-serangan kedua orang pemimpin itu jika keduanya saling mengelakkan diri.
Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian, Kala Sembung dan Jati Wulung telah terlibat ke dalam pertempuran yang sengit. Bindi yang bergerigi tajam di seluruh batangnya itu terayun-ayun mengerikan. Sementara itu pedang Jati Wulungpun berputaran dengan cepatnya. Namun Jati Wulung menyadari bahwa ayunan bindi yang berat itu tentu didorong oleh kekuatan yang besar serta dorongan kekuatan ayunan itu sendiri, sehingga Jati Wulung tidak berusaha langsung membentur bindi itu jika tidak terpaksa sekali. Tetapi bahwa pedangnya lebih ringan dari bindi itu, memberinya kemungkinan untuk dapat bergerak lebih cepat.
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat ke dalam pertempuran yang semakin meningkat. Apalagi ketika tangan-tangan mereka telah menjadi basah oleh keringat.
Di sayap yang lain, Sambi Wulung harus berhadapan dengan seorang pemimpin padepokan yang nampak lebih bersungguh-sungguh. Ki Ajar Tulak yang menurut rencananya harus memancing kekuatan para pengawal di padukuhan induk untuk berkumpul di pintu gerbang utama, sementara yang lain akan memasuki padukuhan induk itu dari samping.
Namun ternyata bahwa orang-orang Tanah Perdikan telah memaksa pasukan Ki Rangga itu merubah rencana mereka dengan tiba-tiba, karena pasukan Tanah Perdikan telah bergerak maju dan menunggu di bawah bukit.
Dengan wajah yang buram Ki Ajar Tulak yang langsung dapat bertemu dengan Sambi Wulung itu telah berkata, "Ki Sanak. Jangan terlalu bodoh untuk menemuiku di pertempuran seperti ini hanya seorang diri."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Ia bergeser setapak surut. Sementara itu pertempuran telah terjadi di sekitarnya. Kedua belah pihak telah mengerahkan kekuatan yang ada untuk melumpuhkan lawan.
"Kau harus mempersiapkan sebuah kelompok untuk melawanku. Sedikitnya terdiri dari sepuluh orang. Jika seorang di antara mereka terbunuh, orang lain harus cepat menggantikannya. Kalau tidak, maka sepuluh orang itu akan segera habis dalam waktu sekejap," berkata Ki Ajar Tulak.
Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Menurut penglihatannya, orang itu memang seorang yang terlalu yakin akan dirinya sendiri. Namun Sambi Wulung sempat bertanya, "Siapa namamu Ki Sanak?"
Ternyata orang itu tidak ingin bersembunyi. Dengan tegas ia menjawab, "Namaku Ajar Tulak. Orang-orang memanggilku Ki Ajar Tulak."
"Kau seorang Ajar. Tentu kau memiliki kebijaksanaan yang lebih dari orang-orang kebanyakan," berkata Sambi Wulung.
"Apapun yang dikatakan orang tentang seorang Ajar, aku tidak pernah menghiraukannya. Siapa kau?" Ki Ajar itu bertanya.
"Namaku Sambi Wulung," jawab Sambi Wulung yang hampir salah menyebut namanya dengan Wanengbaya.
"Apakah kau seorang pemimpin yang terbaik di Tanah Perdikan ini sehingga kau berani menyongsongku?" bertanya Ki Ajar. "Tetapi menurut perhitunganku, kau bukan yang terbaik di pasukanmu. He, apakah kau memiliki ilmu lebih baik dari Ki Rangga Gupita" Dari Warsi atau orang-orang lain di pasukan induk?" bertanya Sambi Wulung.
"Apakah kau tahu tingkat kemampuan Ki Rangga dan isterinya itu?" bertanya Ki Ajar.
Sambi Wulung tertawa. Katanya, "Tetapi kami dapat memperhitungkan. He, apakah Warsi itu isteri Ki Rangga."
"Persetan. Apa urusanmu" Sekarang kau sajalah yang harus memanfaatkan saat-saat terakhirmu dengan sebaik-baiknya. Sebelum mati adakah kau ingin berbuat sesuatu?" bertanya Ki Ajar.
"Ya," jawab Sambi Wulung.
"Apa?" bertanya Ki Ajar pula.
"Membunuhmu," jawab Sambi Wulung, "agaknya kau memang seorang Ajar yang justru dungu. Kau tidak dapat menilai baik dan buruk. Kesalahan dan kebenaran. Ketamakan dan berbudi. Agaknya pada suatu saat kau juga tidak akan dapat membedakan lagi, terang dan gelap. He, lihat. Yang di langit itu matahari atau bulan?"
Wajah Ki Ajar menjadi merah. Ia adalah seorang yang sangat disegani oleh orang-orangnya dan bahkan ia merasa bahwa orang-orang lainpun sangat menghormatinya. Tetapi orang Tanah Perdikan ini telah menghinanya dan memperlakukannya seperti seorang anak kecil.
Karena itu, maka iapun menggeram, "Kau harus dibunuh dengan cara yang khusus karena kau telah menghinaku."
Sambi Wulung justru tertawa. Katanya, "Jangan marah Ki Ajar. Seorang Ajar harus bijaksana, sabar dan berbudi luhur."
Ki Ajar Tulak itu tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Karena itu, maka iapun segera bergeser sambil berdesis, "bersiaplah untuk mati. Kau sudah terlalu banyak berbicara."
Sambi Wulung masih juga menjawab, "He, apakah kau juga dapat menghisap kekuatan dari cahaya bulan?"
Ki Ajar sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia mulai menyerang dengan garangnya. Tetapi Sambi Wulungpun telah bersiap. Ki Ajar Tulak yang sudah berada di medan itu segera memutar senjatanya. Senjata seorang Ajar yang memiliki ilmu yang tinggi. Sebilah keris yang besar melampaui keris kebanyakan. Batangnya yang berkelok dan berwarna kehitam-hitaman memang nampak mendebarkan.
Sementara itu Sambi Wulung telah menggenggam senjatanya pula. Sebilah pedang.
Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur. Nampaknya Ki Ajar yang marah itu berusaha untuk dengan cepat mengalahkan bahkan membunuh lawannya. Kerisnya yang mendebarkan itu dengan cepat berputaran. Sekali-sekali terayun mendatar menebas ke arah dada, namun kemudian menyambar leher dan dengan cepat pula mematuk ke arah jantung.
Tetapi Sambi Wulungpun cukup tangkas. Meskipun pedangnya tidak sebaik senjata lawannya, tetapi di tangan Sambi Wulung, maka pedang itupun menjadi sangat berbahaya. Pedang itu berputar bagaikan segulung asap putih yang menyelubungi tubuhnya. Namun kadang-kadang gulungan asap itu berkisar ke sebelah kanan dan kiri tubuh Sambi Wulung. Sekali-sekali gulungan asap itu bahkan bagaikan terhembus ke arah tubuh Ki Ajar Tulak.
"Setan alas," Ki Ajar itu mengumpat, "ilmu pedangnya luar biasa."
Sambi Wulung tertawa. Namun gulungan putaran pedangnya itu sama sekali tidak mengendor. Bahkan gulungan putaran pedang itu telah menyambarnya sehingga Ki Ajar terpaksa berloncatan menjauh. Namun dengan tangkas pula Ki Ajar itu telah meloncat dengan kerisnya terjulur lurus mengarah ke lambung, menyusup di antara putaran pedang lawannya.
Sambi Wulung ternyata terus bergeser surut. Ki Ajarpun memiliki ilmu pedang yang cepat pula, sehingga senjatanya itu mampu menyerang langsung ke arah lambungnya tanpa tersentuh putaran pedangnya.
Dengan demikian maka pertempuran antara kedua pemimpin sayap itu menjadi semakin sengit. Keduanya mampu menguasai senjata masing-masing dengan baik. Ilmu pedang mereka adalah ilmu pedang pada tataran tertinggi, sehingga untuk kebanyakan orang, pertempuran itu sulit dipahami.
Sementara itu, orang-orang yang berada di sayap itupun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Baik para pengawal dari Tanah Perdikan, maupun orang-orang dari balik bukit. Namun ternyata orang-orang dari balik bukit itu telah salah menilai. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan yang masih muda itupun memiliki kemampuan seorang prajurit yang tangguh. Sementara itu, yang lebih tua, telah memiliki pengalaman yang panjang. Termasuk perang yang serupa di sekitar sepuluh tahun yang lalu ketika Ki Rangga dan Warsi mencoba menguasai Tanah Perdikan itu sebagaimana mereka lakukan sekarang.
Dengan demikian maka para pengawal Tanah Perdikan itupun tidak terlalu mudah untuk didesak. Meskipun di antara mereka ada pula anak-anak muda yang baru mengenal olah kanuragan pada tataran yang permulaan, namun di sebelah menyebelah adalah kawan-kawan mereka yang lebih banyak menarik perhatian lawan. Apalagi anak-anak muda itu telah mendapat beberapa pesan, agar mereka bergerak berpasangan.
Dengan demikian maka pertempuran di sayap kanan itu memang menjadi semakin sengit. Orang-orang dari balik bukit semakin lama menjadi semakin keras dan kasar.
Tetapi para pengawal Tanah Perdikan sama sekali tidak menjadi gentar. Apalagi para pengawal yang telah berpengalaman. Mereka sudah sering mengalami pertempuran dengan cara yang demikian. Namun justru karena itu, maka mereka harus tetap menyadari kedudukan mereka di medan. Mereka tidak boleh kehilangan akal, sehingga tidak mampu lagi mempergunakan penalaran mereka.
Sementara itu, Ki Ajar Tulak mulai menyadari, bahwa lawannya yang bernama Sambi Wulung itu bukan hanya seorang yang pandai membual. Ternyata dalam benturan-benturan senjata selanjutnya. Sambi Wulung benar-benar menunjukkan kemampuannya bermain pedang. Bahkan iapun ternyata memiliki kekuatan yang cukup besar.
Namun dengan demikian, Ki Ajar menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak lagi dengan tergesa-gesa ingin mengakhiri pertempuran itu. Karena ia sadar, jika demikian maka mungkin ia sendiri yang akan terjerat ke dalam kesulitan.
Sementara itu Sambi Wulung masih berusaha untuk menilai bukan saja lawannya. Tetapi seluruh medan di sayap itu. Sekali-sekali ia memang mencari kesempatan untuk memperhatikan pertempuran di sebelah-menyebelah. Namun menurut penilaiannya, para pengawal Tanah Perdikan tidak terlalu banyak mengalami kesulitan meskipun lawannya bertempur dengan garangnya. Bahkan kasar dan liar.
Ki Ajar sendiri memang bertempur dengan keras. Tetapi ia masih menunjukkan sikap seorang yang memiliki harga diri yang tinggi. Ki Ajar tidak mau merendahkan dirinya dengan keliaran sebagaimana dilakukan oleh orang-orangnya.
Dalam pada itu, pertempuran di induk pasukanpun terjadi dengan sengitnya pula, Ki Sumbaga memiliki kemampuan untuk bertempur dalam gelar. Meskipun ia tidak mempersiapkan gelar untuk menghadapi orang-orang Tanah Perdikan, tetapi ternyata bahwa ia mampu dengan aba-aba mengatur orang-orangnya.
Yang menjadi sangat garang justru Warsi yang merasa bahwa dirinya telah dipenuhi oleh kekuatan cahaya bulan. Karena itu, maka Warsi itu telah bergerak dengan garangnya. Ia tidak terikat menghadapi seorang lawan. Tetapi ia meloncat-loncat dari satu tempat ke tempat lain.
Orang-orang Tanah Perdikan memang tergetar melihat sikapnya. Setiap tempat yang disinggahinya, maka korban akan jatuh.
Demikian Ki Rangga Gupitapun telah mengamuk bagaikan harimau yang terluka. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka orang-orang Tanah Perdikan Sembojan mengalami kesulitan untuk menghadapinya. Karena itu, dengan naluri seorang prajurit, orang-orang Tanah Perdikan itu menghadapinya berpasangan. Bahkan tidak hanya berdua, tetapi bertiga atau bahkan berempat.
Kisah Pedang Bersatu Padu 6 Kisah Pengelana Di Kota Perbatasan Karya Gu Long Heng Thian Siau To 1

Cari Blog Ini