01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 8
"Bagus," sahut Kiai Windu, "sesuatu yang jarang terjadi. Bagaimana dengan kawan kita yang lain?"
"Aku kurang tahu. Tetapi nampaknya wajahnya menjadi gelap," jawab kawan Kiai Windu itu.
Kiai Windu berpaling kepada kawannya yang seorang, yang berada tidak jauh dari kawannya yang sedang menang itu. Iapun kemudian bergeser mendekatinya sambil bertanya, "Bagaimana dengan kau?"
"Kalah. Tetapi masih ada uangku untuk bermain terus. Jika sekali-sekali aku menang, maka aku akan dapat mencapai sedikit lewat tengah malam sebelum uangku untuk hari ini habis seluruhnya," jawab kawannya itu.
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Bermainlah sampai kau habiskan uangmu yang kau sediakan untuk hari ini. Aku akan pergi ke bilik untuk melihat Wanengpati."
"Silahkan," sahut kawannya tanpa berpaling.
Kiai Windupun segera meninggalkan tempat itu bersama seorang kawannya yang menyertainya pergi ke kandang kuda. Keduanya langsung pergi ke bilik mereka untuk melihat Wanengbaya dan Wanengpati yang ketika mereka tinggalkan masih berada di bilik itu.
Ternyata ketika Kiai Windu sampai ke biliknya, Wanengbaya dan Wanengpati masih tetap berada di dalam bilik itu, Wanengbaya masih duduk bersandar dinding sementara Wanengpati telah duduk pula di bibir pembaringan.
Ketika keduanya melihat Kiai Windu dan seorang kawannya masuk, maka merekapun telah bergeser menepi.
"Marilah," Sambi Wulung mempersilahkan. Namun iapun kemudian bertanya, "Dimana kawan-kawan yang lain?"
"Mereka masih bermain dadu," jawab Kiai Windu, "sebelum uang yang mereka sediakan buat hari ini habis, agaknya mereka masih belum meninggalkan barak itu."
Sambi Wulung tersenyum. Namun Jati Wulunglah yang bertanya, "Kenapa Kiai sudah tidak lagi bermain dadu?"
"Uangku habis untuk hari ini. aku masih ingin tinggal disini besok dan lusa. Karena itu, aku tidak menghabiskan uangku. Bahkan besok aku ingin menang di arena panahan agar waktuku disini dapat diperpanjang," berkata Kiai Windu. Namun kemudian, "tetapi sudah barang tentu tidak dalam satu lingkaran arena dengan kalian berdua atau salah satu di antara kalian."
"Ada-ada saja kau Kiai," berkata Sambi Wulung, "tetapi besok kita akan bersama-sama mencoba mencari keberuntungan di lapangan panahan kecuali Wanengpati yang tentu tidak akan mendapat lawan lagi."
"Besok aku akan melihat saja," berkata Jati Wulung, "namaku sudah cacat di arena panahan."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Kau masih juga sempat merajuk. Tetapi sebenarnyalah jika kau turun juga ke arena, maka kau tentu tidak akan mendapat lawan."
Jati Wulung tidak menjawab. Sambi Wulunglah yang kemudian tersenyum sambil berdesis, "Sudahlah. Aku akan tidur."
Jati Wulunglah yang kemudian turun dari pembaringan. Ia berjalan beberapa langkah hilir mudik untuk melemaskan kaki-kakinya. Sementara itu Kiai Windupun berkata, "Aku juga akan tidur."
Demikianlah, maka Sambi Wulung dan Kiai Windulah yang telah tertidur nyenyak, sementara Jati Wulung telah pula duduk di pinggir pembaringan bersandar dinding.
Namun dalam pada itu, kedua kawan Kiai Windu yang lainpun telah datang pula. Wajah mereka nampak gembira karena ternyata keduanya tidak menghabiskan uang yang mereka sediakan untuk sehari itu. Bahkan seorang di antara mereka berkata perlahan kepada kawannya yang masih terbangun, "Aku menang malam ini."
Kawannya mengerutkan keningnya. Kepada kawannya yang lain ia bertanya, "Bagaimana dengan kau?"
"Aku belum menghitung dengan cermat. Tetapi nampaknya aku juga tidak kalah. Seandainya kalah, tidak terlalu banyak," jawab kawannya itu.
Sementara itu, iapun telah membuka kampilnya dan mulai menghitung uangnya. Namun kawannya yang lain tanpa mencuci kaki langsung saja berbaring sambil berkata, "Aku sudah mengantuk sekali."
Namun Jati Wulunglah yang bertanya, "Apakah di barak permainan judi itu masih banyak orang sekarang ini?"
"Pada saat aku meninggalkan tempat itu, suasananya masih ramai sekali," jawab kawan Kiai Windu. Lalu iapun bertanya, "Apakah kau akan kesana?"
"Tidak. Baru besok aku akan turun," jawab Jati Wulung.
Kawan Kiai Windu itu tidak bertanya lagi. Ketika yang menghitung uangnya itu selesai, maka iapun telah berbaring pula sambil berkata, "Aku kalah sedikit. Tetapi tidak seberapa," lalu katanya kepada kawannya yang menyertai Kiai Windu ke kandang kuda, "Kau sajalah yang berjaga-jaga mengawani Wanengpati. Aku akan tidur."
Kawannya tidak menyahut. Sementara itu, kedua orang yang baru datang dari permainan dadu itupun segera tertidur pula.
Yang masih berjaga-jaga adalah Jati Wulung dan seorang kawan Kiai Windu. Namun keduanyapun kemudian saling berdiam diri agar mereka tidak mengganggu orang-orang yang tertidur nyenyak.
Tetapi ternyata sejenak kemudian justru di bilik sebelahlah yang terdengar suara orang berbicara. Bahkan agak riuh sehingga dapat mengganggu orang-orang yang sedang tidur. Suara seorang perempuanpun telah melengking di telinga, sehingga orang-orang yang tertidur itupun telah terbangun. Agaknya mereka baru saja datang dari barak permainan judi.
Kawan Kiai Windu yang merasa terganggu tiba-tiba saja mengetuk dinding sambil berkata, "Jangan ribut. Kami sedang tidur. Kami sudah mengantuk."
"Apa peduliku," tiba-tiba terdengar suara perempuan menjawab, "Jika kau merasa terganggu di Song Lawa, kenapa kalian tidak pergi."
"Tutup mulutmu," bentak kawan Kiai Windu. Namun iapun telah berkata, "Aku masih letih. Semalam aku telah membunuh pemimpin perampok itu sehingga tubuhku sendiri terluka. Jika kalian tidak mau diam, maka aku akan membuat perhitungan dengan caraku. Aku sudah terlanjur menjadi liar disini karena pembunuhan semalam."
Tiba-tiba saja suara ribut di bilik sebelah berhenti. Mereka baru sadar, bahwa di sebelah adalah bilik yang dipergunakan oleh Wanengpati. Tetapi mereka tidak sadar, bahwa yang berbicara itu justru bukan Wanengpati sendiri.
Wanengpati sendiri dengan isyarat telah mencoba menghentikan kawan Kiai Windu itu. Tetapi kawan Kiai Windu yang mengetahui akibat dari kata-katanya telah menahan tertawanya sambil menutup mulutnya dengan tangannya.
Malampun kemudian menjadi hening. Memang masih terdengar suara di bilik sebelah. Tetapi hanya sekedar berbisik perlahan-lahan.
Dengan demikian, maka malampun kemudian dilalui dengan tenang sedangkan mereka yang berjaga-jaga di bilik Kiai Windu itu telah bergilir menjelang pagi.
Di hari berikutnya, Kiai Windu telah mencari waktu khusus untuk berbicara di antara ketiga orang kawannya. Adalah kebetulan pada saat Sambi Wulung dan Jati Wulung pergi ke pakiwan.
"Waktu kita sudah terlalu sempit," berkata Kiai Windu, "Kita harus membuat persiapan-persiapan sebaik-baiknya. Malam nanti aku akan berbicara sekali dengan mereka yang berada di luar lingkungan perjudian ini."
"Kedatangan para perampok kemarin malam justru dapat dijadikan ukuran, seberapa besar kekuatan yang ada di lingkungan ini," berkata seorang kawan Kiai Windu.
Tetapi Kiai Windu menggeleng. Katanya, "Sebagian besar dari isi padepokan ini telah terkena sirep yang tajam. Karena itu, maka kita tidak dapat melihat kekuatan yang ada di lingkungan ini sepenuhnya."
"Tetapi setidak-tidaknya kita tahu orang-orang terbaik yang ada disini," berkata kawan Kiai Windu yang lain, "sedangkan orang yang dengan bangga menyebut dirinya Sikatan Putih itupun tidak dapat mengatasi tajamnya sirep."
"Jika pada saat sirep itu datang, orang itu belum tidur, mungkin ia akan dapat melawannya. Tetapi dalam keadaan tidur, kita memang sulit untuk melawannya," desis Kiai Windu.
Tiba-tiba saja salah seorang dari kawan Kiai Windu itu berkata, "Kenapa kita tidak mempergunakan cara seperti yang telah ditempuh oleh para perampok itu" Dengan sirep?"
Kiai Windu menggeleng. Katanya, "Tidak perlu. Tetapi jika diperlukan, hal itu mungkin dapat dilakukan."
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Kiai Windupun berkata, "Sampai sekarang kita belum tahu, apakah niat Wanengbaya dan Wanengpati yang sesungguhnya sehingga mereka berada di tempat ini. Kita sama sekali tidak dapat memperkirakan apa yang mereka lakukan pada saat-saat yang menentukan itu. Lebih jelas bagi kita, apa yang akan diperbuat oleh Kepala Besi dan orang-orang yang lain. Tetapi perhatian Wanengbaya dan Wanengpati yang sangat besar terhadap anak-anak muda merupakan teka-teki bagi kita."
Ketiga kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun kesempatan mereka berbicara menjadi semakin sempit. Karena itu, maka Kiai Windupun berkata, "Untuk sementara, kita anggap keduanya tidak berdiri di pihak kita."
Ketiga kawannya mengangguk-angguk. Namun hal itu sudah diketahui oleh kawan-kawan mereka di luar lingkungan perjudian itu.
Tetapi Kiai Windupun berkata, "Sebaliknya orang-orang di luar telah memberitahukan pula kehadiran dua orang tua yang berilmu tinggi. Kita sama sekali tidak tahu, bahkan kawan-kawan kita yang di luarpun tidak tahu, siapakah mereka dan untuk apa mereka berada di sekitar tempat ini."
Ketiga kawannya masih saja mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak sempat berbicara lebih panjang lagi, karena Wanengbaya dan Wanengpati telah masuk pula ke dalam bilik mereka.
Yang dilakukan oleh Kiai Windu dan ketiga orang kawannya adalah mandi berganti-ganti. Kemudian bersiap-siap untuk turun ke halaman memilih salah satu arena yang paling baik untuk hari itu.
Namun sebelumnya mereka memasuki arena, maka mereka telah singgah lebih dahulu di kedai sebagaimana biasanya.
Hari itu Sambi Wulung telah turun ke arena panahan bersama Kiai Windu, meskipun mereka tidak berada pada satu lingkaran. Ketiga kawan Kiai Windu ternyata berada di arena sabung ayam, sementara Jati Wulung lebih senang duduk bersandar sebatang pohon di luar arena panahan.
Agaknya Jati Wulung tidak lagi tertarik untuk berada di arena, karena setiap orang tentu akan menyingkir. Ia menyesal, bahwa ia telah dengan berlebih-lebihan menunjukkan kemampuannya hanya karena perasaannya menjadi panas melihat sikap Kepala Besi yang sombong itu. Namun yang bahkan telah membuatnya lebih sombong daripadanya.
Suasana di lingkungan perjudian Song Lawa itu telah pulih kembali. Meskipun masih ada satu dua orang yang belum sembuh benar dari luka-lukanya, namun hampir semua orang telah melupakan bahwa pernah datang sekelompok perampok yang hampir saja memusnahkan lingkungan perjudian itu, merampas semua harta benda dan barangkali juga membantai orang-orang yang ada di dalam lingkungan itu tanpa perikemanusiaan.
Jati Wulung yang duduk bersandar pohon itu akhirnya menjadi jemu juga. Sementara itu beberapa orang yang mengitari arena telah bersorak-sorak.
Karena itu, hampir di luar sadarnya Jati Wulung berdiri dan melangkah mendekati arena. Dalam pengamatan sekilas ia melihat, bahwa Sambi Wulung akan mendapat kemenangan dari panahan itu meskipun sebagaimana selalu dilakukannya, tidak menarik perhatian orang lain.
Kiai Windupun agaknya serba sedikit mendapat kemenangan juga sehingga ia akan dapat memperpanjang kehadirannya di Song Lawa itu.
Namun sebagaimana Kiai Windu bimbang menilai Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka Jati Wulungpun bimbang pula menilai Kiai Windu. Meskipun kadang-kadang sikap Kiai Windu kasar sebagaimana orang-orang lain yang berada di Song Lawa, namun agaknya itu bukannya sikapnya sehari-hari.
Ketika Jati Wulung bergeser, maka dilihatnya beberapa orang yang memang memiliki kemampuan memanah. Tetapi ia tidak melihat Kepala Besi ada di arena panahan. Sebagaimana Jati Wulung, maka Kepala Besi tentu sulit juga untuk mendapat lawan karena kemampuan bidiknya yang tinggi meskipun tidak setinggi Jati Wulung.
Jati Wulung yang kemudian bergeser ke arena sabung ayam dan ke barak permainan dadu, ternyata belum tertarik untuk ikut serta, ia hanya berjalan saja menyusuri lingkaran-lingkaran perjudian sambil melihat-lihat. Di arena sabung ayam ia melihat ketiga kawan Kiai Windu tenggelam dalam kericuhan mereka yang menaruh uangnya dalam pertaruhan yang sengit.
Hari itu berjalan sebagaimana hari-hari yang lain tanpa peristiwa yang menarik bagi Jati Wulung dan Sambi Wulung. Ketika Sambi Wulung meninggalkan arena panahan, Jati Wulung telah berada di pinggir lapangan. Berdua mereka sempat berbicara dengan Puguh tentang perkembangan permainan mereka. Agaknya Puguh telah kalah di beberapa lingkaran permainan sehingga lebih dari separo uang yang dibawanya telah dihabiskannya.
"Hati-hatilah," pesan Sambi Wulung. "Jangan terlalu bernafsu."
Tetapi Puguh tertawa. Katanya, "Aku membawa pendok keris dari emas dan timang emas tretes berlian. Bukankah dengan barang-barang itu aku dapat memperpanjang kehadiranku disini?"
"Tetapi bagaimana sikap ayah dan ibumu jika kau pulang tanpa barang-barang berharga itu?" bertanya Jati Wulung.
"Persetan dengan ayah dan ibu," jawab Puguh, "tetapi merekapun menyadari, bahwa barang-barang yang aku bawa itu agaknya tidak akan kembali lagi."
"Jika kau lakukan setiap musim perjudian seperti itu, apakah harta benda orang tuamu tidak akan habis?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak. Barang-barang mereka tidak akan habis," jawab Puguh hampir di luar sadarnya. Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi merah. Katanya dengan serta-merta, "Maksudku, ayah dan ibu adalah orang yang sangat kaya. Aku adalah anak satu-satunya. Buat apa mereka menyimpan harta benda itu jika tidak mereka berikan kepadaku untuk kesenanganku."
"Tetapi bukankah ada kesenangan yang lain yang lebih berarti daripada lingkungan perjudian di Song Lawa ini?" bertanya Jati Wulung.
"Apa bedanya" Dan bukankah disini banyak juga terdapat anak-anak muda" Wikrama, anak yang gemuk dan tidak tahu diri itu. Kemudian anak-anak muda yang lain yang barangkali orang tuanya tidak sekaya ayah dan ibuku," jawab Puguh.
Jati Wulung mengangguk-angguk. Sementara Sambi Wulungpun tidak bertanya lebih jauh. Agaknya Puguh memang tidak begitu senang jika pembicaraan mereka sampai kepada keluarganya.
Namun sejauh itu, dalam pembicaraan-pembicaraan yang kadang-kadang panjang diselingi kelakar yang mengundang senyum dan bahkan tertawa, Jati Wulung dan Sambi Wulung belum berhasil mengetahui di manakah tempat tinggal Puguh atau kedua orang yang dianggap orang tuanya, atau siapa saja yang dapat memberikan petunjuk lebih jauh tentang anak muda itu. Justru untuk itulah keduanya telah berada di lingkungan perjudian Song Lawa.
Tetapi menurut perhitungan Jati Wulung dan Sambi Wulung, mereka masih mempunyai waktu yang cukup untuk melakukannya. Agaknya Puguhpun masih akan berada di tempat itu untuk waktu yang agak lama. Apalagi nampaknya Puguh yang mengagumi Jati Wulung itu akan lebih mudah diajak memasuki pembicaraan. Asal saja mereka sempat memancing tanpa menimbulkan kecurigaan, akhirnya mereka akan dapat mengetahui serba sedikit tentang keadaan dan latar belakang kehidupan keluarganya. Yang terpenting bagi Jati Wulung dan Sambi Wulung adalah mengetahui tempat tinggal atau padepokan atau apapun juga bagi Puguh sehingga untuk waktu-waktu yang akan datang, mereka akan dapat selalu mengawasinya.
Bagaimanapun juga, Puguh masih mungkin digerakkan oleh ibunya untuk mencapai satu tujuan yang tidak wajar atas Tanah Perdikan Sembojan.
Namun ketika Jati Wulung dan Sambi Wulung telah bergaul beberapa lama dengan anak itu, ternyata mereka harus mengakui bahwa anak muda yang bernama Puguh itu memang memiliki ilmu yang mulai mapan, sehingga perlu diperhitungkan tingkat kemampuan ilmu Risang yang pada suatu saat mungkin akan dapat bertemu sebagai lawan dalam perebutan Tanah Perdikan Sembojan.
Namun satu lagi yang menarik perhatian Sambi Wulung dan Jati Wulung adalah, bahwa Puguh ternyata bukan seorang anak muda yang biadab dan bahkan liar sebagaimana mereka bayangkan sebelumnya.
Ketika kemudian malam turun, maka yang menjadi sangat ramai adalah barak permainan dadu. Hampir semua orang berkumpul di tempat itu karena arena permainan yang lain terhenti di waktu malam. Tidak ada panahan dan tidak ada sabung ayam.
Jati Wulung dan Sambi Wulung bersama Kiai Windu dan ketika kawannya telah berada pula di barak itu. Karena Jati Wulung tidak dapat ikut dalam permainan panahan, maka malam itu ia telah turun dalam permainan dadu. Sambi Wulunglah yang kemudian menonton saja di sebelahnya.
Dalam pada itu, sementara tempat permainan itu menjadi sangat ramai, Kiai Windu dan seorang kawannya telah keluar dari barak itu. Ia telah berjanji dengan sekelompok kawannya di luar lingkungan untuk menemuinya di dekat kandang kuda.
Ketika mereka melintasi halaman, mereka sempat melihat dua orang yang agaknya telah berkelahi. Tetapi seperti kebiasaan di song Lawa, keduanya hanya berpaling saja, memperhatikan sejenak, namun kemudian merekapun elah melangkah terus.
Tetapi sekali lagi mereka tertegun ketika mereka melihat seorang perempuan dengan tergesa-gesa mendekati kedua orang yang bertempur itu. Dengan lantang perempuan itu menggeser salah seorang laki-laki yang bertempur sambil berkata, "Soalnya adalah antara orang itu dan aku. bukan kau."
"Tetapi aku tidak tahan mendengar orang itu menghina namamu," jawab laki-laki itu, "kau dikatakannya pernah menipunya setelah kau merayu laki-laki itu."
"Karena itu, biarlah aku menghadapinya," jawab perempuan itu.
Ketika Kiai Windu melangkah meninggalkan tempat itu, kawannya menggamitnya sambil berdesis, "Lihat, bukankah perempuan itu yang disebut Burung Sikatan Putih."
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Katanya, "O, Ya. Sikatan Putih."
"Kita melihat, apa yang dapat dilakukan," berkata kawan Kiai Windu, "agaknya perempuan itu terlalu garang."
Ternyata bahwa Kiai Windupun tidak melangkah terus. Ia masih sempat memperhatikan Sikatan Putih itu dengan garang menyergap lawannya yang berkata, "Kawanmu itu telah memfitnahku. Tetapi jika kau langsung mempercayainya, maka apaboleh buat."
"Jangan banyak bicara," bentak Sikatan Putih yang sebenarnya bernama Rukmi itu. Dengan tangkasnya ia menyerang semakin cepat. Kakinya yang terhitung kecil itu mampu bergerak cepat sekali. Meloncat, melenting dan kemudian menyambar lawannya dengan tangan yang mengembang.
Kawan Kiai Windu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "perempuan itu memang pantas disebut Sikatan Putih."
"Mungkin ia pantas disebut Sikatan, tetapi tidak putih," sahut Kiai Windu.
Kawannya tidak menjawab, ia melihat perkelahian itu menjadi semakin cepat. Sekali-sekali perempuan itu berloncatan mengitari lawannya. Namun tiba-tiba bagaikan menukik menyambar. Memang kadang-kadang sangat mengejutkan.
"Benar-benar seperti Sikatan menyambar bilalang," berkata Kawan Kiai Windu.
"Bilalang yang dungu," berkata Kiai Windu. Lalu, "Marilah. Kita mempunyai tugas sendiri."
"Sebentar. Aku ingin melihat apa yang akan dilakukannya atas laki-laki itu," jawab kawannya yang masih belum mau beranjak dari tempatnya. Meskipun jarang sekali terjadi bahwa seseorang menaruh perhatian begitu besar terhadap perkelahian, namun karena yang berkelahi adalah Sikatan Putih, maka ternyata ada juga beberapa orang yang melihatnya meskipun dari jarak yang agak panjang.
Ternyata bahwa Sikatan Putih itu benar-benar seorang perempuan yang luar biasa. Ia memiliki beberapa kelebihan dari lawannya meskipun lawannya seorang laki-laki. Sikatan Putih mampu bergerak jauh lebih cepat dari lawannya. Agaknya ia memang mampu bergerak lebih cepat dari lawannya. Agaknya ia memang bertumpu pada kecepatan geraknya itulah, sehingga ia mampu memiliki nama yang besar sebagai Sikatan Putih.
"Marilah," ajak Kiai Windu.
"Sebentar Kiai. Aku ingin melihat Sikatan Putih itu mengakhiri pertempuran. Apa yang akan dilakukan atas lawannya jika ia sudah memenangkannya," berkata kawan Kiai Windu.
"Aku tidak tahu kenapa ia disebut Sikatan Putih. Coba apakah kau tahu, yang putih itu apanya" Sikapnya" Hatinya" Pakaiannya atau barangkali rambutnya yang mulai ubanan?" desis Kiai Windu.
Kawannya tidak menyahut. Namun ia melihat beberapa kali Sikatan Putih itu mampu mengenai tubuh lawannya dengan serangan-serangannya yang cepat dan keras, sehingga sekali-sekali lawannya itu terdorong surut.
Namun Kiai Windupun kemudian menjadi berdebar-debar ketika tiba-tiba saja lawan Sikatan Putih itu telah mencabut senjatanya, sehelai pedang yang tidak terlalu panjang.
Kawan Kiai Windupun menjadi tegang. Bahkan hampir di luar sadarnya ia berkata, "Pedang itu dapat membahayakan dirinya sendiri. Jika Sikatan Putih itu menarik goloknya, maka kemungkinan yang lebih buruk dapat terjadi atas dirinya. Tanpa senjata ia akan dapat dikalahkan, bahkan mungkin wajahnya akan menjadi merah biru. Tetapi dengan senjata, bahkan nyawanya akan dapat melayang jika golok perempuan itu menembus jantungnya."
"Marilah," ajak Kiai Windu, "kau tahu, aku berjanji untuk menemui mereka sekarang."
"Waktunya belum sampai Kiai. Bukankah Kiai kemarin mengatakan, waktunya sama dengan kemarin" Dan sekarang bukankah masih terlalu sore?" jawab kawannya.
Kiai Windu hanya menarik nafas. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia ingin juga melihat akhir dari perkelahian itu.
Yang diduga oleh Kiai Windu dan kawannya memang terjadi. Ketika laki-laki itu mempergunakan pedangnya, maka Sikatan Putih itupun nampaknya menjadi semakin marah. Karena itu, maka iapun telah menarik goloknya pula.
Pertempuran itupun kemudian memang menjadi semakin seru. Dengan senjata di tangan, masih juga jelas bahwa Sikatan Putih memiliki kelebihan pula dari lawannya. Goloknya berputar semakin lama semakin cepat sehingga lawannya menjadi bingung karenanya Bahkan dalam pertempuran yang semakin cepat, ujung golok Sikatan Putih itu mulai menyentuh tubuh lawannya.
Terdengar laki-laki itu mengumpat. Namun ia memang tidak dapat berbuat terlalu banyak.
Jika kemudian banyak pula orang yang menyaksikan pertempuran itu, bukannya karena mereka ingin mencampuri persoalan yang terjadi antara mereka yang sedang berkelahi. Tetapi mereka mulai tertarik melihat kedua orang yang memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi itu. Bahkan beberapa orang petugas yang pada umumnya bertubuh raksasa itu telah ikut melihat pertempuran itu pula karena mereka tertarik pada permainan ilmu pedang mereka. Namun sebegitu jauh, masih belum ada seorangpun yang ikut campur. Bahkan laki-laki yang semula bertempur dan digantikan oleh Sikatan Putih itupun sama sekali tidak berbuat sesuatu.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka beberapa luka telah tergores di tubuh laki-laki itu. Bahkan ketika kekuatannya mulai melemah, ia menjadi semakin terdesak. Beberapa kali laki-laki itu bagaikan kehilangan keseimbangan. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah meloncat untuk mendapatkan jarak dari lawannya. Dengan tergesa-gesa ia berusaha untuk memantapkan keseimbangannya kembali.
Namun Sikatan Putih ternyata mampu mengatasinya. Di saat-saat yang gawat, Sikatan Putih telah memburunya. Dalam benturan senjata yang keras, laki-laki yang semakin lemah itu tidak mampu lagi mempertahankan senjatanya, sehingga senjatanya telah terlempar.
Ada usaha untuk memungut senjata itu. Tetapi ketika tangannya hampir meraih tangkai pedangnya di tanah, tiba-tiba telapak tangannya telah terinjak oleh kaki yang berjari-jari kecil dan runcing. Kaki Burung Sikatan Putih.
Laki-laki yang malang itu terkejut. Ketika ia berpaling, maka ujung golok perempuan yang disebut Sikatan Putih itu telah melekat di pangkal lehernya.
Ketika ujung golok itu menekan lehernya lebih keras, maka laki-laki itu telah menjatuhkan diri dan berbaring di tanah.
"Aku dapat membunuhmu sekarang," berkata Sikatan Putih, "tidak ada seorangpun yang dapat mencegah. Di tempat ini tidak ada paugeran yang harus ditaati dalam hubungan antara manusia."
"Bunuh aku," geram laki-laki itu.
"Kau telah menghina aku. Kau kira aku dapat kau perlakukan seperti itu?" geram Rukmi yang disebut Sikatan Putih.
"Aku tidak pernah menghinamu. Laki-laki itu telah memfitnahku. Tetapi aku sekali-sekali tidak menginginkan belas kasihanmu. Aku siap untuk mati. Apalagi aku merasa tidak bersalah. Kematian bukan apa-apa bagiku. Agaknya itu lebih baik daripada aku harus membunuh diri di bilik kecil itu, karena aku sudah kehabisan uang di hari-hari permulaan seperti ini," sahut laki-laki itu.
"Kau tinggal menekan golokmu," berkata laki-laki yang semula bertempur dengan orang yang telah dikalahkan oleh Sikatan Putih itu. Lalu, "Ia akan mati. Lehernya tentu akan terputus oleh gerakan yang kecil saja."
"Diam kau," perempuan itu membentak.
Suaranya menjadi tegang. Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itupun menjadi tegang pula. Orang-orang yang biasanya tidak menghiraukan orang lain, nampaknya semakin tertarik melihat sikap perempuan yang garang itu.
Kiai Windu ternyata juga menunggu. Apa yang akan dilakukan oleh perempuan itu. Beberapa orang petugas yang bertubuh raksasapun telah bergeser mendekat. Perempuan itu jika membunuh dan membiarkan korbannya terkapar, harus membayar ongkos penguburannya, yang kemudian akan dilakukan oleh para petugas.
Mereka yang membunuh harus membiayai penguburannya, kecuali mereka yang membunuh diri. Hal itu sudah diketahui oleh orang-orang yang berada di Song Lawa itu.
Beberapa saat perempuan yang meletakkan ujung goloknya di leher laki-laki itu termangu-mangu. Namun, tiba-tiba ia mengangkat goloknya sambil berkata, "Aku tidak sampai hati membunuhmu, betapapun aku marah kepadamu. Kita pernah berhubungan dengan akrab. Dan kita pernah saling jatuh cinta. Tetapi jika sekali lagi kau menghinaku, maka aku benar-benar akan membunuhmu."
"Bunuh aku sekarang," geram laki-laki itu, "sudah aku katakan, bahwa aku tidak pernah menghinamu. Aku hanya mengatakan satu kebenaran, sama sekali tidak untuk dibelaskasihani."
Sikatan itu merenung sejenak. Iapun kemudian berpaling kepada laki-laki yang semula bertempur sebelumnya. Namun iapun telah berlari meninggalkan tempat itu sambil memasukkan goloknya ke dalam sarungnya.
Laki-laki itu memburunya sambil memanggil namanya. Tetapi Rukmi itu tidak berhenti. Sedangkan laki-laki yang telah dilukainya itupun telah bangkit. Dipungutnya pedangnya dan disarungkannya.
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Kawannya tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Sikatan itu mempunyai kegemaran berlari jika ia pergi. Kemarin ketika ia mengumpati aku, iapun pergi sambi berlari."
"Kau sudah melihat kemampuannya," berkata Kiai Windu.
"Ya. Tetapi agaknya ia termasuk seseorang perempuan yang mudah jatuh cinta," berkata kawan Kiai Windu itu.
"Mungkin. Tetapi agaknya laki-laki yang mengikutinya itulah yang telah mengadu Sikatan Putih dengan laki-laki yang dikalahkannya itu karena cemburu," berkata Kiai Windu.
"Lingkungan ini benar-benar merupakan sarang iblis. Laki-laki atau perempuan sama saja," geram kawannya.
"Termasuk kita," berkata Kiai Windu pula.
Kawannya tidak menjawab. Namun ketika Kiai Windu melangkah meninggalkan tempat itu, kawannya mengikutinya.
Dalam pada itu, Kiai Windu itu masih berkata pula, "Dengan melihat perkelahian ini, maka kau harus memperhitungkan segala kemungkinan jika kau dekat dengannya."
"Bagaimana menurut perhitungan Kiai" Kiai mengetahui dengan pasti kemampuanku. Kiaipun telah melihat kemampuan perempuan itu," desis kawan Kiai Windu.
Kiai Windu tidak menjawab. Tetapi iapun tertawa. Bahkan kemudian katanya, "Sudahlah. Sekarang, apa yang akan kita katakan kepada penjaga regol" Seperti kemarin?"
"Ya. Kita tidak mempunyai cara lain," jawab kawannya.
"Baiklah. Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan mereka tidak mencurigai kami," berkata Kiai Windu pula.
Ketika Kiai Windu mendekati penjaga yang berada di regol pada lapisan yang dalam itu, ternyata yang bertugas bukan orang yang kemarin. Karena itu, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Kepada kawannya ia berbisik, "Syukurlah, bahwa petugasnya sudah berganti. Mereka tentu tidak akan mencurigai kami."
Ternyata petugas itupun telah mengenal Kiai Windu pula. Karena itu, maka ia tidak mengalami kesulitan untuk pergi ke kandang kuda.
Seperti yang dijanjikan, maka kawan-kawan Kiai Windu telah menunggu di luar. Ketika Kiai Windu memberikan isyarat dan mengucapkan kata-kata sandi, kawannya yang berada di luar dinding dilapis yang luar itupun berkata, "Aku sudah menunggu terlalu lama."
"Maaf, ada peristiwa yang menarik untuk ditonton," desis Kiai Windu. Lalu, "Nah, apa pesan terakhir?"
"Kami sudah siap. Kami tinggal menunggu perkiraan kekuatan yang ada di dalam lingkungan ini. Para penjaga dan orang-orang yang menurut penilaian Kiai akan terlibat," berkata orang yang di luar.
Kiai Windupun kemudian telah memberikan keterangan terperinci menurut hasil pengamatannya selama ia berada di Song Lawa. Iapun telah memberikan gambaran orang-orang terkuat atas dasar pertimbangan, mereka yang mampu mengatasi sirep. Tetapi Kiai Windupun memberikan pertimbangan-pertimbangan lain, agar kawan-kawannya yang berada di luar tidak mempunyai penilaian yang salah yang akan dapat menjerumuskan mereka dalam kesulitan.
Namun dalam pada itu, Kiai Windupun bertanya, "Bagaimana dengan kedua orang tua itu?"
"Ada orang-orang khusus yang ditunjuk untuk menjinakkan mereka," jawab orang yang di luar.
"Cara apa yang dipergunakan?" bertanya Kiai Windu.
"Cara terakhir, kekerasan. Tetapi akan ditempuh kemungkinan cara yang lain," jawab orang yang di luar.
"Baiklah. Bukankah kami yang di dalam masih mempunyai waktu dua malam dan sehari besok?" bertanya Kiai Windu.
"Ya. Kalian harus membuat persiapan-persiapan yang matang. Di luar, medan telah kami kuasai dengan baik. Tidak ada yang perlu dicemaskan," jawab kawannya yang di luar.
"Baiklah. Kuasai dua orang tua itu. Aku akan membayangi dua orang yang berilmu sangat tinggi yang ada di dalam dan Kepala Besi dari pesisir Utara, meskipun jelas kami tidak akan mampu menguasai mereka."
"Mereka sudah termasuk perhitungan kami," jawab yang di luar.
Demikianlah, maka Kiai Windupun telah meninggalkan kandang setelah pesan-pesan terakhir diberikan, baik dari dalam maupun dari luar. Mereka tidak akan berhubungan lagi, kecuali jika ada persoalan yang sangat gawat.
Sementara itu, untuk tidak memberikan kesan apapun yang akan terjadi kepada Sambi Wulung dan Jati Wulung yang belum dikenal dengan pasti oleh Kiai Windu, maka iapun menepati janjinya. Sambi Wulung dan Jati Wulung yang dihormati di lingkungan perjudian Song Lawa itu telah mendapatkan pula pertanda sebagai anggota dari sekelompok orang yang memanfaatkan Song Lawa bagi kesenangan mereka yang kadang-kadang dapat merenggut nyawa itu.
Kepada para petugas Kiai Windu mengingatkan bahwa Wanengbaya dan Wanengpati telah menunjukkan sumbangannya yang besar bagi lingkungan Song Lawa.
Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata kemudian merasa senang pula dengan pertanda itu. Keduanya yang sedang berada di barak permainan dadu telah dipanggil oleh seorang yang bertugas ke barak khusus bagi mereka yang mengatur segala sesuatu di Song Lawa.
Mula-mula Sambi Wulung dan Jati Wulung memang merasa heran. Tetapi merekapun telah pergi juga ke tempat itu. Ketika mereka melihat Kiai Windu telah berada di tempat itu, maka keduanya memang menjadi berdebar-debar. Namun ketika mereka mengetahui bahwa Kiai Windu berada di tempat itu untuk kepentingan mereka, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun telah mengucapkan terima kasih pula kepada mereka.
"Pada musim judi yang lain, kau berdua dapat datang tanpa tanggungan siapapun," berkata Kiai Windu, "kini kalian masih menjadi tanggung jawabku. Namun seperti yang dijanjikan, apa lagi setelah kalian menunjukkan bukti kesetiakawanan disini, maka pertanda itu diberikan kepada kalian."
"Terima kasih," berkata Sambi Wulung sambil menimang pertanda itu. Demikian pula Jati Wulung.
"Sekarang silahkan kembali ke barak permainan dadu itu," seorang petugas yang telah memberikan pertanda itu mempersilahkan. Bahkan katanya, "Kami tidak melakukan upacara pada penyerahan pertanda seperti itu. Biasanya juga tidak."
"Itu tidak perlu," berkata Jati Wulung, "yang penting bagi kami adalah, bahwa kami akan menjadi keluarga dari lingkungan ini. Kami tidak lagi selalu diamat-amati dan setiap kami ingin masuk atau keluar dari tempat ini, kami dapat dengan bebas melakukannya."
Demikianlah keduanyapun telah kembali ke barak permainan dadu. Dengan pertanda itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung merasa telah diyakinkan, bahwa akhirnya mereka akan dapat mengetahui lebih banyak tentang Puguh. Jika tidak di musim perjudian saat itu, maka di musim yang akan datang. Dengan pertanda itu, maka tidak ada lagi kesulitan bagi keduanya untuk memasuki tempat itu.
Namun dalam pada itu, Kiai Windu telah berpikir lain. Bahkan kepada seorang kawannya yang menyertainya ia berdesis, "Sayang. Mereka tidak akan mempergunakannya."
Kawan Kiai Windu hanya mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, maka Kiai Windupun telah meninggalkan barak khusus itu pula. Namun mereka memang tertegun ketika mereka berpapasan dengan orang yang agak bongkok yang sudah dikenalinya sebagai seorang yang menyandang tugas sandi di luar Song Lawa, datang menghadap para pemimpin lingkungan Song Lawa itu justru dengan tergesa-gesa.
Kiai Windu yang menggamit kawannya berdesis, "Apalagi yang dilakukan oleh si Bongkok itu?"
Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian Kiai Windu berkata, "Kita kembali ke barak itu."
"Apa yang dapat kita lakukan?" bertanya kawannya.
"Untung-untungan," jawab Kiai Windu.
"Semua rencana sudah tersusun. Kita tidak dapat bekerja untung-untungan," jawab kawannya.
"Hanya dalam masalah ini. Apakah kita akan dapat mendengar sesuatu atau tidak," jawab Kiai Windu.
Kawannya tidak membantah, iapun kemudian mengikuti Kiai Windu kembali ke barak itu.
Tanpa merasa bersalah keduanya begitu saja memasuki ruangan para pemimpin lingkungan Song Lawa itu. Seakan-akan mereka tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalamnya. Dengan sikap yang wajar mereka tiba-tiba saja telah berdiri di pintu ruangan itu.
Orang-orang yang agaknya memang sedang berbincang dengan sungguh-sungguh itu terkejut. Seorang di antara mereka dengan menahan diri melangkah mendekati Kiai Windu yang nampak termangu-mangu.
"Maaf, apakah sedang ada pembicaraan penting disini?" bertanya Kiai Windu.
"Tidak Ki Sanak," jawab orang yang melangkah mendekat itu, "tetapi kenapa Ki Sanak kembali" Bukankah yang kau inginkan sudah diberikan kepada kedua orang itu?"
"Benar," jawab Kiai Windu, "aku hanya ingin bertanya, apakah pada kesempatan lain aku di ijinkan membawa beberapa orang kawanku lagi memasuki lingkungan ini?"
"O, kenapa tidak," jawab orang yang mendekatinya itu. Ia telah memaksa bibirnya untuk tersenyum, "Silahkan. Tetapi dengan tanggung jawab yang berat. Jika orang di bawah tanggungan itu melakukan kesalahan disini yang dapat merugikan seluruh lingkungan, maka Ki Sanaklah yang harus mempertanggung-jawabkannya."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata, "Maaf jika kami mengganggu. Kami tidak tahu, bahwa agaknya ada persoalan yang penting."
"Tidak apa-apa Ki Sanak," jawab orang itu.
Kiai Windupun kemudian meninggalkan tempat itu. Namun iapun kemudian berkata, "Aku sempat mendengar orang bongkok itu menyebut sekelompok orang. Tentu kawan-kawan kamilah yang dimaksud."
"Mungkin," berkata kawan Kiai Windu, "memang tidak mustahil bahwa satu dua orang petugas yang mengawasi bagian luar dari Song Lawa ini melihat sekelompok orang yang memang berada di sekitar tempat ini."
"Kau tahu, bahwa kita tidak menghendaki itu," desis Kiai Windu.
"Ya," jawab kawannya, "tetapi sulit untuk menyembunyikan sekelompok orang di sekitar lingkungan ini. Jika yang terjadi sebagaimana dilakukan para perampok itu, maka memang tidak akan banyak persoalan yang timbul."
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Rasa-rasanya waktu yang tersisa itu menjadi sangat panjang. Dalam waktu sehari semalam serta ujung malam ini ada seribu kemungkinan yang dapat terjadi."
"Kemungkinan yang sangat gawat sekalipun," desis kawannya.
"Tetapi agaknya tugas kita untuk mengatasinya disini," berkata Kiai Windu kemudian.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, "Sulit untuk mengatasi dua orang yang berilmu tinggi itu."
"Wanengbaya dan Wanengpati maksudmu?" bertanya Kiai Windu.
"Ya," jawab kawannya.
Kiai Windu mengangguk-angguk. Katanya, "Bahkan mungkin mereka masih menyimpan ilmu jauh lebih tinggi lari yang diperlihatkan. Apalagi Wanengbaya yang nampaknya lebih dapat mengendalikan diri. Aku tidak percaya bahwa kemampuan memanah Wanengbaya tidak setajam kemampuan Wanengpati. Demikian pula dalam perkelahian dengan para perampok. Nampaknya Wanengbaya sengaja menyembunyikan kemampuannya. Bahkan menurut perhitunganku, Wanengpatipun masih belum sampai ke puncak kemampuannya. Baik ketika ia berkelahi melawan Kepala Besi, maupun dengan pemimpin perampok itu. Bahkan ia membiarkan dirinya terluka, karena ia tahu luka itu tidak berbahaya sama sekali bagi dirinya."
Kawannya mengangguk-angguk pula. Katanya, "Satu kerja yang berat."
"Itu kita sudah tahu sebelumnya," jawab Kiai Windu.
Keduanyapun kemudian terdiam ketika mereka mendekati barak permainan dadu. Ketika mereka masuk ke dalamnya, dilihatnya kedua orang kawannya masih juga sibuk bermain. Demikian pula Jati Wulung yang sudah kembali ke permainan dadunya. Nampaknya mereka masih mempunyai persediaan uang cukup untuk hari itu.
Ketika Kiai Windu mendekati seorang di antara kedua kawannya itu, maka kawannya itupun bertanya, "Kemana Kiai selama ini?"
Kiai Windu berdesis di telinganya, "pertanyaan yang bodoh."
"O, maaf," gumam kawannya.
Namun yang bertanya kemudian adalah Kiai Windu, "Bagaimana dengan kau?"
"Separo uangku aku sediakan untuk hari ini telah habis. Tetapi masih ada kemungkinan untuk menang," jawabnya.
Kiai Windupun bergeser ke kawannya yang seorang lagi. Namun agaknya kawannya yang satu ini lebih beruntung. Katanya, "Aku belum kalah malam ini meskipun agaknya juga tidak menang."
Kiai Windu tertawa. Sambil menepuk bahu kawannya iapun kemudian bergeser pula mendekati Jati Wulung yang duduk hampir di ujung. Sedangkan Sambi Wulung berdiri di belakangnya.
Ketika Kiai Windu mendekatinya Sambi Wulung telah bersungut sebelum mendapat pertanyaan, "Semula Wanengpati menang. Tetapi setelah kami dipanggil ke barak khusus itu dan kemudian kembali lagi, ia justru menjadi kalah."
Kiai Windu tertawa. Katanya, "Bukan salahku. Bukankah disana kau mendapat sesuatu yang-berarti bagimu."
"Ya," jawab Sambi Wulung. Tetapi kemudian katanya, "Wanengpati telah hampir kehabisan uang."
"Apakah ia memerlukan bantuan?" bertanya Kiai Windu.
"Tidak. Siapa tahu di saat-saat terakhir ia menang." jawab Sambi Wulung.
Kiai Windu masih saja tertawa. Katanya, "Kalian dapat mencobanya. Tetapi Wanengpati sudah tidak lagi dapat memungut uang dari arena panahan. Meskipun demikian kau dapat melakukannya. Sedikit demi sedikit, ternyata kau menang cukup banyak di arena panahan."
Sambi Wulung tidak menyahut. Tetapi ia mulai memperhatikan lagi permainan Jati Wulung. Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam ketika uang Jati Wulung yang dipasang telah di ambil pula oleh petugas karena ternyata Jati Wulung telah kalah lagi.
Kiai Windupun menjadi tegang pula menyaksikan permainan itu.
Namun di putaran berikutnya, ternyata Jati Wulung telah menang dan mendapat sebagian dari uangnya kembali.
Kiai Windu sendiri malam itu tidak ikut bertaruh dalam permainan dadu itu. Tetapi ia menunggui sampai saatnya Jati Wulung bangkit sambil menekan lambungnya. Sambil menggeliat ia berdesis, "Uangku habis."
"Apakah kau masih berminat?" bertanya Kiai Windu. "Barangkali aku juga membawa uang meskipun tidak seberapa."
"Tidak," Jati Wulung menggeleng, "akupun telah menyediakan takaran untuk sehari seperti beberapa orang lain. Jika takaran itu habis, maka aku akan berhenti untuk hari ini."
Dengan demikian, maka Sambi Wulung, Jati Wulung dan Kiai Windu serta kawan-kawannyapun telah mengakhiri permainan. Malam memang telah larut. Meskipun masih banyak orang yang tetap berada di permainan dadu yang akan berlangsung sampai menjelang pagi.
Seorang kawan Kiai Windu memang kalah. Tetapi seorang yang lain ternyata malam itu memenangkan permainan.
Namun ketika kemudian mereka sudah berada di bilik dan sebagian dari mereka telah tertidur, Kiai Windu yang duduk bersandar dinding merasa bahwa sisa malam itu agaknya masih terlalu panjang. Apalagi ia masih harus menunggu sehari dan semalam lagi. Sementara itu orang yang bongkok itu telah mondar-mandir menghubungi para pemimpin dari Song Lawa itu.
Menjelang matahari terbit, Kiai Windu sempat pula tidur sejenak ketika kawan-kawannya justru telah bangun. Satu demi satu kawan-kawan Kiai Windu telah pergi ke pakiwan. Namun agaknya yang ingin mempergunakan pakiwan itu terlalu banyak, meskipun di beberapa tempat yang lain telah disediakan pula. Agaknya karena banyak orang yang berkeliaran di sekitar pakiwan itu, maka perempuan-perempuan yang ada di dalamnya cenderung menduga, bahwa ada laki-laki yang sedang mengintipnya. Karena itu, maka ada di antara mereka yang tiba-tiba saja marah tanpa sebab.
Kawan Kiai Windu yang pernah mengalami sebagaimana pernah dialami oleh Jati Wulung berusaha untuk tidak mendekat jika yang ada di dalamnya adalah seorang perempuan, agar mereka tidak diumpatinya lagi.
Ketika matahari mulai naik, maka Kiai Windu yang bangun terakhirpun telah siap pula. Demikian pula Sambi Wulung dan Jati Wulung. Seperti biasanya maka mereka telah pergi ke kedai lebih dahulu sebelum mereka turun ke arena yang mereka pilih.
Ternyata hari itu Kiai Windu telah menyebar kawan-kawannya. Ketiga orang itu harus berada di tempat yang berada untuk membuat pengamatan terakhir. Bahkan seorang di antara mereka ditugaskan untuk mengamati tingkah laku Sambi Wulung dan Jati Wulung. Apakah ada perubahan atau mereka berbuat sebagaimana mereka lakukan sehari-hari.
"Keduanya banyak berhubungan dengan anak-anak muda," jawab salah seorang kawan Kiai Windu.
"Jika itu yang dilakukan, maka ia berbuat wajar sebagaimana dilakukan sejak ia memasuki lingkungan ini," berkata Kiai Windu.
"Tetapi perhatian mereka yang terbesar setuju kepada anak muda yang bernama Puguh itu," berkata kawannya pula.
"Itupun wajar," desis Kiai Windu, "Puguh juga menaruh perhatian sangat mengaguminya. Tetapi anak-anak muda yang lain tidak berbuat sebagaimana dilakukan oleh Puguh."
Kawan-kawan Kiai Windu mengangguk-angguk.
Demikianlah, ketika mereka meninggalkan kedai, maka merekapun mulai memilih sasarannya masing-masing.
"Kalian terpisah-pisah hari ini?" bertanya Jati Wulung.
"Kami mempunyai keinginan yang berbeda-beda," jawab salah seorang kawan Kiai Windu.
Sementara itu Sambi Wulung bertanya kepada Kiai Windu, "Kiai akan berada di mana?"
"Mencari tambahan uang untuk menyambung hari disini," jawab Kiai Windu.
"Panahan?" bertanya Sambi Wulung.
"Ya," jawab Kiai Windu.
Sambi Wulung tersenyum. Iapun telah berniat untuk turun kelapangan panahan. Sementara itu, Jati Wulung telah berniat untuk berada bersama Puguh pada hari itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian merekapun telah terpencar. Sambi Wulung seperti yang dikatakan telah berada di arena panahan sebagaimana Kiai Windu.
Dua orang kawan Kiai Windu berada di arena sabung ayam dan permainan dadu. Sedangkan yang seorang lagi, ternyata telah mengikuti Jati Wulung.
"Aku ikut," berkata kawan Kiai Windu.
"Aku tidak ikut di perjudian manapun," jawab Jati Wulung.
"Kemana saja," jawab kawan Kiai Windu itu.
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung.
"Sedikit meningkatkan wibawa, bahwa aku adalah kawanmu," jawab kawan Kiai Windu.
"Ah kau," geram Jati Wulung. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Kau tentu sedang mengamati aku."
"Mengamati?" kawan Kiai Windu bertanya. Tetapi sebenarnya ia menjadi berdebar-debar.
"Kau selalu curiga bahwa aku pergi menemui Burung Sikatan Putih. He, aku sudah mendengar bahwa perhatianmu tertuju kepada Burung yang buas itu," jawab Jati Wulung.
Kawan Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, "Jika itu soalnya, aku tidak berkeberatan."
Tetapi ia berkata, "Jangan mendekati Sikatan Putih itu. Ia terlalu liar."
"Aku belum pernah melihatnya. Mungkin sudah, tetapi aku tidak tahu bahwa orang itu yang dimaksud dengan Sikatan Putih," jawab Jati Wulung.
"Tentu Kiai Windu yang berceritera tentang Burung liar itu," gumam kawan Kiai Windu.
Jati Wulung tidak menjawab. Namun ketika ia melihat Puguh di pinggir arena sabung ayam, ia mendekatinya.
"Kau," jawab Puguh menjadi gembira, "kita di sini saja."
01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jati Wulung memandang kawan Kiai Windu sambil bertanya, "Bagaimana jika kita disini" Kau keberatan?"
"Tidak. Aku sama sekali tidak berkeberatan," jawab kawan Kiai Windu itu.
Karena itulah, maka keduanyapun telah berada di arena sabung ayam bersama Puguh dan beberapa orang pengawalnya yang mulai membuat penilaian terhadap Jati Wulung. Namun tidak seorangpun yang berani membandingkannya dengan diri mereka. Karena itu, maka tidak seorang yang menaruh keberatan atas kehadiran Jati Wulung sebagai kawan yang semakin dekat dengan Puguh.
Demikianlah, maka haripun merambat terus. Namun bagi Kiai Windu, rasa-rasanya matahari menjadi semakin malas berkisar. Sudah terlalu lama ia duduk di arena panahan, seakan-akan punggungnya hampir patah. Namun matahari juga baru menggeliat melewati puncak langit.
Namun, betapapun lambatnya, maka haripun akhirnya menjadi semakin sore. Sementara itu, Kiai Windu dan Sambi Wulung telah meninggalkan arena setelah mendapat kemenangan meskipun tidak banyak. Beberapa saat kemudian, maka ketika kawan Kiai Windu dan Jati Wulung telah datang pula ke kedai bersama dengan Puguh.
Namun semua itu berlalu tanpa memberikan kesan apapun bagi Kiai Windu. Angan-angannya telah dipenuhi oleh berbagai macam peristiwa yang diperkirakannya hampir terjadi.
Bahkan di luar sadarnya ia telah mengamati wajah Sambi Wulung dan Jati Wulung berganti-ganti. Semakin tajam Kiai Windu mengamati keduanya, semakin yakinlah ia bahwa keduanya bukan orang-orang yang memang terbiasa berkeliaran di tempat-tempat perjudian sebagaimana mereka katakan sendiri.
Demikian mereka selesai, maka merekapun ternyata berniat untuk beristirahat di dalam bilik. Sementara itu Kiai Windupun berkata, "Aku ingin tidur. Nanti malam mungkin aku akan berjudi semalam suntuk."
Sambi Wulung dan Jati Wulungpun ternyata telah pergi ke bilik mereka pula. Namun ketika mereka berjalan agak terpisah dengan yang lain, Sambi Wulung sempat bertanya, "Bagaimana dengan Puguh?"
"Ia tidak mau mengatakan tempat tinggalnya," jawab Jati Wulung, "masih ada yang gelap bagi kita."
"Kita masih mempunyai banyak waktu. Seandainya kali ini ia tetap tidak mau mengatakan dimana ia tinggal, atau di padepokan mana ia berguru, maka pada musim judi yang akan datang, kita akan menemuinya disini. Namun satu hal yang sudah kita ketahui, bahwa ternyata ilmunya tidak kalah dari Risang. Bahkan nampaknya Puguh yang sedikit lebih muda itu, mempunyai bekal pengalaman yang lebih banyak dari Risang. Nampaknya Puguh telah lebih dewasa dan sikapnya lebih masak," berkata Sambi Wulung.
"Ya. Itu yang harus segera diketahui oleh ibunya, kakek dan neneknya serta para pengasuhnya. Mungkin Puguh tidak dikelilingi orang-orang berilmu sedemikian banyaknya. Namun ia benar-benar menghayati berbagai jenis pengalaman. Yang pahit dan tentu juga yang manis," berkata Jati Wulung.
"Tetapi masih belum terlambat. Jika ada selisihnya, selisih itu hanya seujung rambut. Jika Risang kemudian ditempa semakin keras, maka ia tentu akan segera dapat menyusul. Pada dasarnya Risang tidak lebih buruk dari Puguh," berkata Sambi Wulung.
Namun mereka tidak dapat membicarakannya lebih panjang lagi. Sejenak kemudian mereka telah masuk ke dalam barak dan menuju ke dalam bilik masing-masing.
Seperti biasanya, maka tidak seisi bilik itu tertidur nyenyak. Tentu ada dua orang di antara mereka yang berjaga-jaga.
Demikianlah, maka ketika malam tiba, mereka seluruhnya telah berada di barak permainan dadu. Namun Kiai Windu terkejut ketika ia melihat dari kejauhan beberapa orang memasuki regol. Bahkan kemudian baru disadarinya, bahwa kesiagaan orang-orang Song Lawa itu menjadi semakin tinggi. Di beberapa tempat dilihatnya para petugas dalam kesiagaan penuh. Mereka telah benar-benar siap menghadapi segala macam kemungkinan.
Kiai Windu menggamit kawan-kawannya. Dengan isyarat ia memberitahukan kepada mereka kesiagaan para petugas itu. Juga kehadiran orang-orang baru yang belum dikenalnya sebelumnya.
Tetapi Kiai Windu tidak menunjukkan kegelisahannya. Ia kemudian memasuki barak permainan dadu sebagaimana yang lain-lain.
Namun dalam pada itu, Kiai Windu terkejut ketika seorang petugas menggamitnya. Dengan isyarat ia mengajak Kiai Windu bergeser ke tempat yang sedikit luang. Ternyata bukan hanya Kiai Windu saja yang dipanggilnya. Tetapi juga Sambi Wulung, Jati Wulung, Kepala Besi dan dua orang yang lain.
"Ada apa?" bertanya Kiai Windu.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. "Kami tidak ingin membuat orang-orang yang ada di Song Lawa ini menjadi gelisah. Karena itu, kami minta persoalan ini jangan sampai didengar oleh banyak orang."
"Persoalan apa?" bertanya Kepala Besi.
"Kami mendapat petunjuk, bahwa para perampok itu masih berkeliaran di sekitar tempat ini. Petugas kami tidak dapat mengatakan dengan pasti, apakah mereka sebagian dari antara para perampok yang telah kami hancurkan dengan membawa orang-orang baru, atau gerombolan apa lagi. Namun itu adalah satu isyarat bahwa bahaya telah mengancam tempat ini. Bahkan mungkin lebih berat daripada yang pernah terjadi," berkata pemimpin dari para petugas itu, "karena itu, maka kami ingin minta kepada kalian, bantuan sebagaimana telah kalian berikan kepada kami pada saat para gerombolan itu datang."
"Jadi hanya orang-orang yang terbebas dari pengaruh sirep itu?" bertanya Kepala Besi.
"Tidak. Kami memberitahukan kepada kalangan yang jauh lebih luas. Tetapi kami mempergunakan cara ini. Kami hubungi satu dua orang, sehingga merekapun tidak menjadi ribut. Tetapi kami telah minta kepada mereka sang kami hubungi untuk lebih berhati-hati menghadapi sirep. Jika mereka sudah terlanjur tidur, maka mereka tidak akan mungkin dapat mengatasi sirep itu," berkata pemimpin petugas itu.
"Bagus," berkata Kepala Besi, "siapapun yang datang, maka mereka pasti akan kami hancurkan."
"Terima kasih," berkata pemimpin petugas itu. Namun dalam pada itu, Kiai Windupun bertanya, "Siapakah orang-orang yang memasuki regol itu?"
"Mereka adalah sahabat-sahabat kami. Mereka juga termasuk pendiri tempat ini, sehingga mereka ikut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup padepokan ini," jawab pemimpin padepokan itu. Lalu, "Kami telah mengirimkan penghubung untuk memberitahukan mereka sehingga tepat pada waktunya mereka telah datang. Justru ketika para petugas kami di luar tempat ini melihat gerak yang semakin mencurigakan dari sekelompok orang."
Jantung Kiai Windu memang berdebaran. Orang-orang itu tidak termasuk dalam perhitungan kekuatan yang dilaporkannya kepada penghubung dengan kawan-kawannya di luar. Namun Kiai Windu sudah tidak mendapat kesempatan lagi. Malam itu semuanya telah siap dan ledakanpun akan segera terjadi.
Ternyata pemimpin petugas itu telah memberikan beberapa pesan bagi mereka yang berada di Song Lawa, terutama mereka yang dianggap mempunyai kemampuan tinggi.
Demikian pesan itu dianggap selesai, maka Kiai Windupun segera kembali kepada kawan-kawannya. Dengan tanpa menarik perhatian, maka ia telah memberitahukan kepada kawan-kawannya, bahwa Song Lawa benar-benar sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Yang kemudian juga sibuk berbicara di antara mereka meskipun juga dengan hati-hati adalah Sambi Wulung dan Jati Wulung. Jika terjadi benturan kekuatan, apakah yang sebaiknya mereka lakukan.
"Kita akan melihat suasana," berkata Sambi Wulung, "baru kita mengambil keputusan."
Demikianlah, betapapun permainan di barak itu nampaknya berjalan wajar, namun agaknya orang-orang yang ada di dalamnya mulai gelisah. Bahkan menjelang tengah malam, para petugaslah yang justru memperingatkan mereka agar kembali saja ke bilik masing-masing.
Permainan dadu itupun segera berakhir. Kiai Windu dan kawan-kawannya juga kembali ke bilik mereka, namun tidak bersama-sama dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang berjalan agak jauh di belakang mereka. Agaknya kedua belah pihak memang berusaha untuk memisahkan diri di saat mereka sedang berbicara tentang tanggapan mereka atas peristiwa yang bakal terjadi.
Sementara itu, sebuah kekuatan yang besar memang telah dipersiapkan di luar lingkungan perjudian. Kekuatan yang memang dipersiapkan untuk menghadapi kekuatan yang berada di Song Lawa.
Karena itu, menjelang dini hari, maka sepasukan segelar-sepapan telah mulai bergerak mendekati Song Lawa.
Sebenarnyalah, bahwa orang-orang di Song Lawa justru telah menunggu. Mereka mengira bahkan akan ditebarkan lagi kekuatan sirep sebagaimana yang telah terjadi. Orang-orang yang berada di Song Lawa telah berjaga-jaga untuk bertahan atas serangan sirep itu, sehingga sampai dini hari hampir tidak ada orang yang tidur, karena mereka tidak mau kehilangan kesempatan untuk tetap bangun apapun yang akan terjadi.
Namun pada umumnya orang-orang yang berada di dalam lingkungan Song Lawa itu telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Dalam pada itu, pasukan yang besar menjelang dini hari telah berada di sekitar Song Lawa. Tidak ada usaha untuk menebarkan sirep. Namun pasukan itu tidak pula dengan tergesa-gesa berusaha membuka pintu dengan kasar.
Di saat dini hari itu pasukan yang besar itupun telah mengepung Song Lawa. Tidak akan ada yang lolos dari kepungan. Setiap jengkal tanah telah dijaga dengan ketat.
Sebagaimana direncanakan, maka menjelang matahari terbit, pasukan itu harus mulai bergerak. Terutama yang tepat berada di depan pintu gerbang.
Namun agaknya para pengawas di Song Lawa telah melihat gerakan itu. Mereka melihat pasukan yang mengepung lingkungan perjudian itu, sehingga dengan tergesa-gesa para pengawas itu telah melaporkannya.
Song Lawapun segera mempersiapkan diri pula. Para petugas yang pada umumnya bertubuh raksasa. Kemudian orang-orang yang semalam datang di tempat itu yang belum diketahui kekuatannya oleh Kiai Windu dan orang-orang yang kebetulan berada di Song Lawa untuk berjudi.
"Jangan lepaskan harta benda kalian," berkata seorang yang sebelumnya belum dikenal di Song Lawa. Orang yang baru datang semalam bersama sekelompok orang lain, "perampok-perampok menganggap bahwa mereka akan mendapat harta benda dengan mudah disini. Song Lawa dianggapnya dapat mereka ambil kapan saja mereka kehendaki. Tetapi kita harus mempertahankannya. Semua itu adalah milik kita sendiri. Yang ada di sini bukan semacam harta karun yang pantas diperebutkan."
Orang-orang yang berada di Song Lawa yang kemudian telah berkumpul di lapangan yang biasa dipergunakan sebagai arena panahan mengangguk-angguk. Sementara itu, orang yang sebelumnya belum dikenal itu pun berkata, "Untunglah bahwa disini sekarang hadir Wanengpati, Wanengbaya, Kepala Besi dari pesisir Utara yang ditakuti dan orang-orang yang berilmu tinggi lainnya. Yang sudah ternyata kemampuannya di saat para perampok itu datang beberapa hari yang lalu. Kini bukan hanya mereka yang terlepas dari sirep sajalah yang mendapat kesempatan mempertahankan diri. Tetapi kita semuanya."
Orang-orang di Song Lawa itupun kemudian telah membagi diri. Mereka tidak berkumpul di lapangan yang luas sambil menunggu lawan mereka datang. Tetapi mereka telah menebar di seluruh lingkungan.
Para petugas yang bertubuh raksasa itupun telah berada di segala tempat pula. Namun mereka harus memperhatikan isyarat. Jika kekuatan lawan dipusatkan untuk memecahkan regol, maka sebagian besar dari mereka akan ditarik pula ke regol.
*** JILID 08 DEMIKIANLAH, semakin langit menjadi terang, maka keteganganpun menjadi semakin mencengkam.
Dalam pada itu, maka pasukan yang berada di biarpun telah bersiap pula. Beberapa saat sebelum matahari terbit, tiba-tiba saja telah terdengar suara bende yang dipukul dengan irama datar. Tepat di depan regol lingkungan perjudian Song Lawa.
Regol itu memang tertutup rapat. Tetapi beberapa orang pemimpin Song Lawa dan orang-orang yang semalam datang ke tempat itu telah berkumpul pula di depan regol.
Ketika suara bende kemudian menurun dan hilang, maka terdengar suara seseorang yang berkata lantang, "He, orang-orang yang berada di Song Lawa. Dengarkan apa yang ingin aku katakan."
Orang-orang yang ada di belakang regol itu pun menjadi berdebar-debar pula.
Sementara itu suara di luar itupun berkata pula, "bersiaplah untuk menyerah. Buka regol Song Lawa dan tidak seorangpun dibenarkan membawa senjata. Kami adalah prajurit yang mengemban perintah Kangjeng Sultan di Pajang. Pajang telah mengamati perkembangan tempat ini sejak beberapa musim. Pajang telah mendengarkan laporan orang-orang padukuhan di bawah lereng tentang kegelisahan mereka karena adanya tempat perjudian ini. Tempat yang seakan-akan tidak terjangkau oleh segala macam paugeran. Nah, sekali lagi, aku perintahkan kalian menyerah. Membuka regol dan berdiri berderet setelah kalian meletakkan senjata kalian di tanah."
Para pemimpin Song Lawa itu saling berpandangan sejenak. Mereka baru menyadari bahwa yang datang mengepung lingkungan perjudian itu adalah prajurit Pajang. Itulah agaknya maka cara mereka mendekati lingkungan judi itu berbeda dengan cara yang ditempuh oleh para perampok. Yang datang itu tidak pula menebarkan sirep dan berusaha membantai setiap orang yang ada di dalam lingkungan itu. Tetapi kehadiran pasukan itu telah didahului dengan peringatan.
Namun para pemimpin dari Song Lawa itu ternyata berpendirian lain. Mereka tidak akan membiarkan tempat itu dimasuki oleh kekuatan dari manapun juga.
Karena itu, dengan mempergunakan beberapa buah tangga, maka para pemimpin lingkungan itu telah memanjat dinding di sebelah regol di lapisan luar, sementara beberapa orang yang lain telah siap di regol di lapisan dalam. Jika orang-orang yang mengaku prajurit Pajang itu memaksa memecahkan regol pertama, maka mereka akan dengan segera menutup regol kedua dan bersiap bertempur di depan regol demikian para prajurit itu mendesak masuk. Sementara yang lain akan menunggu Jika para prajurit dari arah yang lain akan masuk meloncat dinding.
Namun para petugas yang berada di belakang dinding itu tidak akan menunggu para prajurit begitu saja berloncatan masuk. Beberapa orang di antara mereka telah bersiap di atas gigi tangga atau landasan dan alas apapun sambil membawa busur dan anak panah. Mereka akan menyambut para prajurit yang meloncati dinding pertama dengan anak panah dari dalam dinding lapisan dalam.
Karena beberapa lama tidak terjadi gerakan yang meyakinkan para prajurit, maka terdengar kembali suara di luar. "Aku perintahkan untuk yang kedua kalinya. Menyerahkan dengan tertib agar tidak terjadi benturan kekerasan yang tidak akan berarti, karena benturan yang demikian banyak akan merugikan kedua belah pihak. Korbanpun akan berjatuhan. Padahal kita dapat menghindarinya jika kita sempat berpikir."
Dalam pada itu, pemimpin di tempat perjudian itu telah berteriak pula, "Kami tidak mengenal kalian, karena itu, kami tidak yakin bahwa kalian adalah prajurit Pajang."
Senapati prajurit Pajang yang memimpin pasukannya itupun termangu-mangu sejenak. Namun dalam keremangan pagi iapun telah melihat beberapa kepala yang tersembul di sebelah regol lingkungan yang tertutup itu.
Sambil mengangkat sebuah tunggul dengan kelebet pertanda kuasa Pajang, maka Senapati itu berkata, "Lihatlah. Aku membawa tunggul ini. Tunggul yang menjadi lambang kekuasaan Pajang. Karena itu, maka menyerahlah."
"Setiap orang dapat membuat tunggul yang bagaimanapun ujud dan bentuknya," jawab pemimpin Song Lawa itu.
Tetapi prajurit itupun berkata, "Ada dua pertanda kebesaran Pajang yang kami bawa. Yang pertama adalah tunggul dan kelebet itu. Yang kedua, jika tunggul itu tidak diakui, maka pertanda kebesaran Pajang adalah kekuatan pasukan kami. Kami telah membawa pasukan segelar sepapan. Kami sudah siap menerima kalian yang menyerah dan membawa kalian dengan baik-baik ke Pajang untuk diadili, tetapi juga siap menghancurkan kalian jika kalian menolak uluran tangan kami."
"Persetan," geram pemimpin Song Lawa itu, "Kembalilah ke Pajang. Laporkan kepada Sultan Hadiwijaya, bahwa Pajang tidak berhak bertindak atas kami di lereng Gunung ini."
"Kami memberikan perintah untuk ketiga kalinya. Kali ini terakhir. Menyerahlah. Kami akan memperlakukan kalian dengan baik."
"Tidak," teriak pemimpin Song Lawa itu, "kami cukup kuat untuk melawan kalian."
Jawaban atas perintah terakhir dari Senapati pasukan Pajang itupun cukup jelas. Karena itu, maka Senapati itupun berkata, "Baiklah. Kalian telah menolak niat baik kami untuk membawa kalian tanpa kekerasan. Kami tidak akan memberikan peringatan lagi. Tetapi sebentar lagi kami akan bertindak sesuai dengan tugas keprajuritan kami. Tempat perjudian dengan segala akibat buruknya ini memang sudah waktunya untuk dimusnahkan."
Pemimpin tempat perjudian Song Lawa itupun telah memberikan isyarat pula kepada orang-orangnya. Mereka harus bersiaga untuk bertempur. Bagaimanapun juga, tidak sepantasnya mereka menjadi tawanan dan digiring ke Pajang dan bahkan mungkin dengan tangan terikat.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang sedang berjudi di Song Lawa itupun telah bersiap pula. Kemenangan mereka atas segerombolan perampok membuat mereka yakin, bahwa mereka akan dapat mengatasi keadaan pula. Apalagi saat itu tidak seorangpun yang tidak ikut serta karena tidak ada ilmu sirep yang mempengaruhi mereka sehingga sebagian dari mereka tertidur nyenyak.
Sementara itu, orang-orang itupun merasa bahwa mereka tidak pantas untuk dihinakan oleh pasukan yang mengaku para prajurit Pajang itu. Jika mereka tertangkap, maka mereka tentu akan dibawa pula ke Pajang sebagai penjudi-penjudi yang telah merusak sendi-sendi kehidupan.
Dalam pada itu prajurit Pajangpun telah kehilangan kesabaran. Sementara kemelut yang terjadi di Pajang sendiri karena sikap Ki Gede Pemanahan, maka laporan-laporan mengenai tempat perjudian itu benar-benar membuat para pemimpin Pajang marah.
Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari para prajurit Pajang itu daripada menghancurkan tempat perjudian itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terdengar lagi suara bende. Tetapi dengan irama yang lain. Irama yang lebih cepat dan masih tetap datar.
Di dalam lingkungan tempat perjudian itu, orang-orangpun telah bersiaga pula. Sebagaimana para petugas yang bertubuh raksasa, maka orang-orang yang kebetulan berada di tempat perjudian itu, yang jumlahnya cukup banyak, telah bersiap pula. Mereka memang memilih bertempur daripada menyerah dan dibawa dalam iring-iringan disepanjang jalan menuju ke Pajang. Mereka tentu akan menjadi tontonan orang-orang padukuhan yang mereka lewati, sementara itu, mereka adalah orang-orang yang disegani. Bahkan sebagian dari mereka adalah orang-orang yang telah mendapat gelar yang cukup menggetarkan jantung, sebagaimana Orang Hutan berkepala Besi. Yang lain pernah disebut Sikatan Putih, Ular Bermata Berlian dan ada pula orang-orang yang datang dari gerombolan Macan Ireng.
Dalam pada itu, para prajurit Pajang benar-benar telah bertindak dengan sikap sepasukan prajurit yang mantap. Senapati yang memimpin pasukan itu tidak dengan tergesa-gesa memberikan aba-aba. Tetapi dengan penuh wibawa, Senapati itu telah memberikan isyarat kepada pasukannya.
Para pemimpin kelompok mengenal dengan pasti isyarat yang diberikan oleh senapatinya. Sehingga karena itu, maka merekapun telah bergerak dengan rampak, namun cepat.
Prajurit Pajang itu telah menebar. Meskipun mereka tidak mengelilingi tempat perjudian itu dengan kekuatan yang merata, namun pasukan Pajang telah benar-benar mengepung tempat itu. Sesuai dengan perintah Senapatinya, maka semua orang harus tertangkap. Tidak seorangpun yang boleh lolos. Mereka akan dibawa dan dihadapkan kepada para petugas yang berwenang untuk mengadili mereka. Baik mereka yang datang untuk melakukan perjudian, maupun mereka yang telah menyelenggarakan tempat perjudian itu.
Di depan regol Senapati Pajang itupun kemudian berdiri tegak memandang pintu gerbang yang tertutup rapat itu. Pintu gerbang di lapis pertama. Beberapa orang terpilih berdiri di sebelah-menyebelah. Agaknya Senapati Pajang yang telah mendapat beberapa keterangan tentang-orang-orang berilmu tinggi yang ada di tempat itu, telah membawa pula beberapa orang perwira terpilih, sehingga mereka akan dapat mengatasinya jika mereka benar-benar harus berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi itu. Meskipun mereka tidak akan dapat menghadapi seorang dengan seorang, namun sekelompok orang terpilih itu, tentu akan dapat mengatasi orang-orang berilmu tinggi yang ada di dalam lingkungan perjudian yang disebut Song Lawa itu.
Menurut pengamatan Senapati yang memimpin pasukan Pajang itu, serta laporan-laporan sebelumnya, maka pintu gerbang dilapis pertama itu, bukannya pintu gerbang yang cukup kuat sebagaimana pintu gerbang sebuah benteng pasukan yang memang dipersiapkan untuk kepentingan prajurit.
Karena itu, maka Senapati itupun telah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk memecahkan pintu gerbang itu, sementara sekelompok prajurit yang lain siap melindunginya dengan busur dan anak panah yang siap pula diluncurkan.
Beberapa orang telah mendekati pintu itu dengan membawa kapak. Mereka tidak berusaha memecah pintu dengan sebuah balok yang besar yang diangkat oleh sekelompok orang dan dengan ancang-ancang yang panjang menerjang pintu gerbang itu sehingga pecah.
Tetapi menurut perhitungan Senapati itu serta para perwiranya, maka dengan kapak mereka akan dapat merusak pintu itu dan kemudian dalam kesatuan pasukan yang utuh memasuki lingkungan itu setelah dengan cara yang sama merusak pintu gerbang kedua.
Sebenarnyalah, pintu gerbang itu bukan pintu yang terlalu kuat. Dengan kapak maka para prajurit telah memotong tali-tali pengikat balok-balok kayu yang dipergunakan sebagai pintu itu. Dengan demikian maka ikatan balok-balok kayu itu menjadi longgar dan dengan ayunan-ayunan kapak yang kuat, maka satu-satu balok-balok kayu itu pecah sehingga akhirnya beberapa balokpun telah terserak.
Namun orang-orang yang berada di dalam pintu gerbang itu tidak membiarkan semua itu terjadi tanpa hambatan. Ketika satu dua balok kayu telah terlepas, maka lewat lubang-lubang yang terjadi pada pintu itu, maka orang-orang yang berada di dalampun telah meluncurkan anak-anak panah.
Mula-mula memang mengejutkan. Tetapi para prajurit itu dengan cepat dapat menempatkan dirinya sehingga anak-anak panah itu tidak mengenai mereka, sementara mereka masih saja terus merusak pintu gerbang.
Para petugas di Song Lawa itu memang tidak akan mempertahankan pintu gerbang dilapis pertama itu. Namun merekapun segera bergerak meninggalkan pintu gerbang itu dan berlindung di balik pintu gerbang di lapis kedua.
Sementara itu, di sebelah-menyebelah pintu gerbang, beberapa orang yang memanjat tangga yang sudah dipersiapkan telah siap menyerang setiap prajurit yang memasuki pintu gerbang itu dengan anak panah dan lembing.
Tetapi prajurit Pajang cukup berpengalaman. Karena itu, maka ketika pintu gerbang pertama itu pecah, maka yang mula-mula berada di pintu itu adalah pasukan yang melindungi diri mereka dengan perisai.
Sambil mengangkat perisai maka pasukan itu berderap maju dalam kesatuan yang utuh. Namun yang kemudian telah menebar ke sebelah menyebelah. Sementara itu, maka sekelompok prajurit yang lain justru telah menyerang orang-orang yang berada di tangga di sebelah menyebelah regol itu dengan anak panah pula.
Akhirnya orang-orang di Song Lawa itu tidak berusaha mempertahankan pintu gerbang mereka, karena mereka menyadari, bahwa hal itu tidak mungkin dilakukannya. Namun mereka akan lebih yakin untuk bertempur dengan para prajurit itu langsung dengan senjata pendek. Para petugas itu sadar, bahwa selain mereka, orang-orang yang berada di Song Lawa yang jumlahnya cukup banyak itu tentu memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan para prajurit itu.
Karena itu, ketika para prajurit Pajang merusak regol di lapisan kedua, maka para petugas di Song Lawa serta sekelompok orang yang berada di Song Lawa itu telah bersiap untuk menyambut mereka. Ternyata jumlah merekapun cukup banyak, sementara sebagian di antara mereka yang tersebar telah ditarik pula ke pintu gerbang, karena menurut perhitungan mereka, para prajurit yang mengepung lingkungan perjudian Song Lawa itu tidak akan masuk dengan memanjat dinding. Mereka hanya sekedar mengepung tempat itu, sementara pasukan induknya akan memasuki lingkungan itu lewat pintu gerbang.
Dengan cara yang sama, maka para prajurit Pajang itupun telah merusak pintu gerbang dilapis yang dalam. Memang pintu gerbang itu lebih kuat dari pintu gerbang yang pertama. Tetapi dengan memutuskan tali-tali pengikat yang kuat, serta memotong palang-palang penguatnya, maka pintu gerbang itupun telah dirusakkannya.
Sementara itu pasukan indukpun telah bersiap. Demikian pintu gerbang itu pecah, maka pasukan Pajang yang kuat itupun telah menghambur memasuki pintu gerbang. Yang di paling depan adalah prajurit dari pasukan khusus yang terpilih. Mereka bersenjata pedang dan perisai. Dengan menyusun perisai mereka rapat dihadapkan pasukan terpilih itu, maka pasukan Pajang itupun telah menembus masuk ke dalam lingkungan Song Lawa.
Ketika pasukan berperisai itu kemudian mekar, maka pasukan yang lain ternyata telah berada di dalam pintu gerbang pula. Dalam tatanan yang mapan, kelompok demi kelompok pasukan itu menebar.
Para petugas di Song Lawa memang terpesona sekilas melihat pasukan yang datang itu. Namun tiba-tiba pemimpin mereka berteriak, "Hancurkan mereka. Yang datang adalah pasukan yang hanya pantas melakukan pameran ketangkasan berbaris di alun-alun Pajang. Tetapi mereka tidak akan memiliki kemampuan tempur secara pribadi sebagaimana kita. Uraikan barisan itu dan bunuh mereka seorang demi seorang. Lepas dari barisan, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Para prajurit Pajang sama sekali tidak menyahut. Yang terdengar kemudian adalah sorak para petugas di Song Lawa itu disusul teriakan-teriakan yang menggetarkan jantung. Ternyata beberapa orang yang sedang ikut dalam perjudian di Song Lawa itupun telah menyerang dengan kasar sambil berteriak-teriak pula.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka telah terjadi pertempuran yang seru antara para prajurit Pajang dengan orang-orang yang berada di Song Lawa. Orang-orang dengan kemampuan yang berbeda-beda atas alas ilmu yang berbeda-beda pula. Namun mereka bersama-sama berusaha mempertahankan diri agar mereka tidak dibawa sebagai tawanan yang terikat oleh pasukan itu. Yang akan dapat menjadi tontonan disepanjang jalan yang panjang.
Namun ternyata orang-orang yang ada di lingkungan perjudian Song Lawa itu terkejut ketika benturan benar-benar telah terjadi. Tidak yang seperti mereka duga, bahwa para prajurit Pajang itu tidak memiliki landasan ilmu yang kuat secara pribadi. Ternyata ketika para prajurit itu menebar, maka merekapun mampu bertempur dengan garangnya.
Namun sebagaimana perintah yang mereka terima sebelum mereka memasuki Song Lawa, maka setiap prajurit mendapat perintah untuk tetap berada dalam pasangan-pasangan yang terdiri dari dua atau tiga orang.
"Jumlah kita cukup banyak," berkata Senapati prajurit Pajang, "harus diakui, bahwa dasar kemampuan kita berbeda dengan dasar kemampuan orang-orang yang berada di lingkungan Song Lawa. Namun kita. bukannya tidak terlatih untuk mengatasi orang-orang tersebut. Pengalaman di medan perang yang berat serta latihan-latihan yang lengkap telah membekali kita. Kita tidak akan menjadi bingung karenanya."
Pesan itulah yang mendasari setiap gerak para prajurit Pajang. Sehingga dengan demikian, maka pasukan itu dalam keseluruhannya memang nampak besar dan sangat kuat.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja di antara teriakan-teriakan orang-orang yang ada di Song Lawa terdengar seseorang berteriak, "He, Wanengbaya dan Wanengpati. Satu kesempatan untuk bermain-main. Dimana orang-orang dari Macan Ireng itu atau perempuan-perempuan garang yang selama ini hilir mudik di arena perjudian ini?"
Beberapa orang berpaling ke arah suara itu. Ternyata yang berteriak itu adalah orang yang berkepala botak. Kepala Besi.
Ternyata bahwa Kepala Besi memang seorang yang sangat garang. Bersama beberapa orang kawannya, iapun telah mengamuk di antara prajurit Pajang yang terkejut melihat kehadirannya.
Namun seorang perwira yang melihatnya, segera menyadari, bahwa itu adalah tugasnya.
Tetapi seperti pesan yang diterimanya pula, bahwa ia tidak akan bertempur seorang diri.
Demikianlah maka sejenak kemudian, suara senjatapun telah berdentangan. Pedang, tombak, bindi dan segala macam jenis senjata yang dibawa oleh para penjudi di Song Lawa itu. Bahkan ada yang membawa segulung rantai dengan bandul besi yang besarnya lebih dari sekepal tangan.
Namun para prajurit Pajang adalah prajurit yang terlatih dan memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, maka merekapun segera menyesuaikan diri dengan kekerasan dan kekasaran lawan-lawan mereka.
Perlahan-lahan prajurit Pajang itu bergerak menebar ke seluruh lingkungan. Ternyata jumlah mereka memang cukup banyak, sehingga rasa-rasanya pasukan itu mengalir tidak habis-habisnya.
Dua orang perwira yang bertempur melawan Kepala Besi ternyata masih juga mengalami kesulitan. Kepala Besi itu agaknya memiliki kemampuan yang tidak terduga.
Dengan tangkasnya Kepala Besi berloncatan. Tangannya yang kuat ternyata telah menggenggam senjata. Ia tidak dapat sekedar mempercayakan kekuatannya pada kepalanya, karena ia harus bertempur melawan sepasukan prajurit yang bersenjata, sementara itu, kulitnya bukannya kebal terhadap segala macam senjata.
Namun ayunan senjatanya benar-benar telah mendebarkan jantung lawan-lawannya. Meskipun para prajurit Pajang itu cukup berpengalaman, namun mereka telah membentur kekuatan yang benar-benar tinggi.
Disamping Kepala Besi itu, masih ada beberapa orang yang membuat para prajurit Pajang berdebar-debar. Bahkan seorang perempuan telah bertempur dengan tangkasnya. Dengan pedang di tangan, maka iapun telah berloncatan seperti seekor burung sikatan menyambar bilalang. Sementara seorang perempuan yang lain, yang bertubuh agak gemuk, justru membawa senjata yang aneh. Senjata yang tidak biasa dipergunakan oleh seorang perempuan. Justru dua potong besi yang dipegangnya di kedua belah tangannya.
Di bawah sebatang pohon di pinggir lapangan panahan, seorang anak muda bertempur dengan garangnya di antara orang-orang yang bertubuh raksasa. Sementara orang-orang lain yang sedang berjudi di lingkungan Song Lawapun bertempur pula dengan sengitnya.
Dengan demikian maka pertempuran yang terjadi di lingkungan perjudian Song Lawa itupun menjadi semakin sengit.
Ternyata bahwa kehadiran beberapa orang di malam terakhir menjelang sergapan pasukan Pajang di Pagi hari itu, tidak diketahui lebih dahulu oleh para prajurit Pajang. Kedatangan mereka yang tiba-tiba justru di saat terakhir memang telah meningkatkan kemampuan kekuatan Song Lawa. Sementara hal itu tidak sempat disampaikan oleh para petugas sandi Pajang yang berada di lingkungan Song Lawa itu.
Senapati Pajang yang memimpin pasukan yang menyerbu Song Lawa itu sempat memperhatikan keadaan. Pasukannya memang lebih besar dari para penghuni yang berada di Song Lawa. Namun ketika ia sempat memperhatikan orang-orang yang sedang bertempur itu, maka iapun sempat menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa orang-orang yang sedang berada di Song Lawa beserta para petugasnya, telah bertempur dengan kekuatan yang cukup mendebarkan jantung.
Beberapa saat kemudian pertempuran itupun telah merata hampir di seluruh lingkungan Song Lawa. Bahkan beberapa orang prajurit telah menyusup memasuki barak permainan dadu. Sementara yang lain bertempur di arena sabung ayam. Sedangkan kedai yang ada di Song Lawa itupun telah berserakan. Lincak bambu dan amben-amben telah berpatahan. Paga dan gledegpun telah pecah berkeping-keping.
Beberapa orang penjudi yang berhati kecil menganggap bahwa di Song Lawa itu seolah-olah memang sudah terjadi kiamat. Namun sebagian terbesar di antara mereka yang telah dengan sengaja memasuki lingkungan perjudian itu, adalah memang orang-orang yang berhati baja. Bahkan anak-anak muda yang ada di dalam lingkungan Song Lawa itupun pada umumnya telah merasa memiliki bekal yang kuat, sementara mereka masih juga membawa beberapa orang pengawal.
Karena itulah maka prajurit Pajang memang menghadapi tugas yang berat.
Dalam pertempuran yang riuh itu, Kiai Windu dan ketiga orang kawannya berdiri termangu-mangu. Mereka memang melihat Wanengbaya dan Wanengpati sekilas. Namun kemudian rasa-rasanya kedua orang itu telah menghilang.
"Dimana mereka?" bertanya Kiai Windu.
Kawan-kawannya menggelengkan kepalanya. Seorang di antara mereka menjawab, "Mereka bergeser ke arah lapangan panahan."
"Keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Melampaui Kepala Besi itu. Jika Kepala Besi dan beberapa orang yang lain telah merepotkan para prajurit Pajang, tentu keduanya merupakan lawan yang lebih berat lagi," berkata Kiai Windu. Namun kemudian katanya, "Aku harus menjumpai mereka."
Kiai Windu dan kawan-kawannya kemudian menyusup di antara pertempuran yang semakin sengit. Namun ternyata mereka tidak mengalami gangguan sama sekali. Seakan-akan kedua belah pihak yang bertempur itu tidak menganggap mereka sebagai lawan dari pihak yang manapun juga.
Sebenarnyalah mereka sempat melihat Wanengbaya yang sedang bertempur. Kiai Windulah yang kemudian mendekatinya sambil berdesis, "Wanengbaya, tinggalkan lawanmu. Aku ingin berbicara sebentar."
Wanengbaya tidak meninggalkan lawannya. Ia masih saja bertempur melawan seorang prajurit.
Mula-mula Kiai Windu memang berusaha memanggilnya. Tetapi kemudian iapun melihat sesuatu yang menarik. Nampaknya Wanengbaya tidak bersungguh-sungguh. Ia bertempur dalam keseimbangan dengan seorang prajurit yang seharusnya dapat dihancurkannya dengan cepat.
"Orang ini memang membingungkan," berkata Kiai Windu kepada kawan-kawannya.
Namun dalam pada itu, Kiai Windu terkejut. Justru Wanengpatilah yang menggamitnya sambil berkata, "Apakah tali berwarna putih di lehermu itu satu pertanda?"
Wajah Kiai Windu menjadi tegang. Sebenarnyalah ia mengenakan tali putih yang melingkari lehernya sebagaimana ketiga orang kawannya.
"Kau yang sudah lama menjadi penghuni di lingkungan ini serta tali putih di lehermu, membuat kau tidak harus membela diri terhadap siapapun sekarang ini. Kehadiran para perampok beberapa saat yang lalu telah meyakinkan orang-orang yang berada di tempat ini, bahwa kau adalah kawan yang baik bagi para penghuni Song Lawa. Sehingga dengan demikian, maka mereka tidak akan mencurigaimu sama sekali. Sementara itu, dengan kalung putihmu, maka kau telah mengenakan pertanda tentang kenyataan dirimu sebagai petugas sandi dari Pajang."
Wajah Kiai Windu menjadi tegang. Wanengbaya dan Wanengpati bukan saja orang-orang berilmu tinggi, tetapi merekapun mempunyai ketajaman penglihatan tentang dirinya dan kawan-kawannya. Wanengpati ternyata dapat menduga, apakah yang telah dilakukannya di Song Lawa sehingga karena itu, maka dengan pasti Wanengpati telah menyebut tentang tali putih di lehernya. Sedangkan Kiai Windu tahu pasti kelebihan Wanengbaya dan Wanengpati, sehingga jika keduanya tetap berpihak kepada orang-orang Song Lawa dan berniat untuk melawannya bersama kawan-kawannya, maka ia tidak akan mampu mengatasinya.
Tetapi dalam keragu-raguan itu Wanengpati tiba-tiba saja berkata, "Kiai Windu, atau siapa saja sebenarnya namamu. Baiklah kita berjanji, bahwa kita tidak akan saling mengganggu, apapun yang kita lakukan masing-masing. Aku tidak akan mengganggumu dengan petugas sandi dan tugas-tugasmu yang lain, sementara aku minta kau tidak mengganggu apa yang akan kami lakukan berdua. Aku dan Wanengbaya."
Kiai Windu masih termangu-mangu. Namun Wanengpati itu mendesak, "Ambil keputusan, atau kita akan bertempur."
Kiai Windu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Sanak. Hubungan kita selama ini sangat baik. Karena itu, maka sebaiknya kita akan memakai alasan lain, kenapa kita tidak akan bertempur. Jangan mengancam seperti itu. Aku memang seorang prajurit. Jika ancamanmu itu kau anggap sebagai satu-satunya alasan kenapa aku setuju atau terpaksa setuju, aku tidak mau menerimanya. Seorang prajurit tidak akan surut karena bayangan kematian sekalipun, Tetapi jika kau mempergunakan alasan yang lain, agaknya aku tidak berkeberatan."
Terasa sentuhan lembut di hati Jati Wulung. Kiai Windu memang seorang prajurit. Bagaimanapun juga ia tentu akan mempertahankan martabatnya sebagai seorang prajurit yang baik. Karena itu maka Wanengpati itupun berkata, "Maaf Kiai. Dalam keadaan kalut ini pikirankupun ikut kalut. Baiklah. Keadaan ini jangan merusak hubungan baik kita selama ini. Aku mohon Kiai mengerti apa yang kami lakukan sebagaimana kamu juga mengerti apa yang Kiai lakukan sekarang ini."
Kiai Windu mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya, "Aku mengerti."
"Jika demikian, sebaiknya kita mengambil jalan kita masing-masing," berkata Wanengpati kemudian.
Kiai Windu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, "Kita akan berpisah. Aku tidak tahu, apakah kita masih akan bertemu lagi. Kita masing-masing sadar, bahwa perkenalan kita selama ini telah dibayangi oleh kecurigaan dan ragu, sehingga kita masing-masing tidak mempergunakan nama kita yang sebenarnya. Karena itu, maka setelah kita keluar dari tempat ini, maka kita tidak akan dengan mudah untuk berhubungan lagi, kecuali jika secara kebetulan kita bertemu."
Wanengpati mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi."
Kiai Windu tidak menjawab. Namun iapun kemudian telah meninggalkan Wanengpati yang termangu-mangu. Dengan sengaja Kiai Windu telah menyusup di dekat Wanengbaya yang sedang bertempur. Katanya, "Wanengpati telah mengatakan segala-segalanya."
Wanengbaya yang bertempur dengan sebagian saja dari kemampuannya masih sempat mengangguk sambil menjawab, "Kita akan mengambil sikap kita sendiri-sendiri."
"Aku mengerti," berkata Kiai Windu.
Wanengbaya yang bertempur melawan seorang prajurit Pajang mengangguk. Namun Kiai Windupun kemudian telah meninggalkannya. Bahkan Kiai Windupun kemudian telah menyusup dan hilang di antara para prajurit Pajang. Tali putih di lehernyalah yang telah memberikan pertanda, bahwa ia adalah petugas sandi prajurit Pajang yang memang bertugas di Song Lawa untuk beberapa musim perjudian, untuk mematangkan rencana Pajang, menghancurkan Song Lawa yang merupakan tempat yang untuk waktu cukup lama tidak terjangkau oleh paugeran.
Dalam pada itu, pertempuranpun telah menjadi semakin seru. Bagaimanapun juga prajurit Pajang telah menunjukkan kebesarannya sebagai pasukan yang telah masak. Meskipun di Song Lawa itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi, namun dengan kemampuan sepasukan prajurit yang mendapat kepercayaan untuk menghancurkan tempat yang penuh dengan kemaksiatan itu, maka perlahan-lahan merekapun mulai mendesak.
Dalam pertempuran itu, ternyata Wanengbaya dan Wanengpati tidak dapat berbuat sebagaimana diharapkan oleh orang-orang di Song Lawa. Namun keduanya agaknya telah bertempur di arena yang sangat luas. Keduanya bagaikan burung layang-layang yang terbang dari satu arena ke arena yang lain menyusuri medan yang panjang. Berbeda dengan Kepala Besi yang bertempur dengan mapan dan benar-benar membuat para perwira dari Pajang menjadi semakin berhati-hati menghadapinya.
Beberapa orang petugas di Song Lawa memang heran melihat cara yang dipergunakan oleh Wanengbaya dan Wanengpati. Meskipun sekali-sekali keduanya juga bertempur dengan mendesak lawan-lawan mereka. Namun keduanya nampaknya menjadi sangat gelisah menghadapi keadaan itu.
Namun akhirnya Wanengbaya dan Wanengpati itupun terhenti juga. Ketika keduanya melihat Puguh yang sedang bertempur melawan prajurit Pajang yang mendesaknya. Dua orang prajurit Pajang telah berusaha untuk melumpuhkannya, sementara para pengawalnya tidak mampu melindunginya karena merekapun harus bertempur pula melawan prajurit-prajurit Pajang itu.
"Apa yang akan kita lakukan?" bertanya Jati Wulung.
"Kita selamatkan anak itu," berkata Sambi Wulung.
"Bukankah kita tidak perlu mengambil langkah-langkah penyelamatan. Jika anak itu hancur di peperangan, itu berarti bahwa Risang telah menyelesaikan salah satu tugasnya tanpa harus berbuat sesuatu," sahut Jati Wulung.
"Jika kita tidak menyelamatkannya, kita tidak tahu apa yang terjadi atasnya. Jika ia tidak terbunuh, tetapi tertangkap oleh para prajurit Pajang, kemudian menjalani hukuman, maka pada suatu saat ia akan dibebaskan, sementara itu kita akan kehilangan semua jejaknya. Bahkan ketika ia menjalani hukumannya, dendam di hatinya juga di hati ibunya akan bertambah menyala, sehingga Risang akan dapat menjadi sasaran tumpahan dendamnya," jawab Sambi Wulung, "tetapi jika kita menyelamatkannya, mungkin kita dapat mengetahui di manakah tempat tinggalnya atau barangkali padepokannya atau tempat macam apa saja karena Puguh akan dapat tinggal di sembarang tempat. Bahkan di goa-goa sekalipun tempat orang tuanya menyembunyikan harta benda rampasan mereka."
Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan berusaha untuk mengambil hatinya dan mendapat sedikit kepercayaan daripadanya."
Sementara itu Wanengbaya dan Wanengpati tidak dapat berbincang lebih lama lagi. Ketika keduanya melihat Puguh menjadi semakin sulit melawan dua orang prajurit Pajang yang berpengalaman luas, maka keduanya segera mendekati remaja itu.
Mula-mula keduanya memasuki arena di sebelah menyebelah Puguh yang terdesak. Namun dengan kemampuan yang ada pada keduanya, maka mereka berhasil mendesak dan menjadi semakin dekat dengan Puguh.
Akhirnya Puguh yang mengalami kesulitan itu melihat juga Wanengbaya dan Wanengpati. Bahkan keduanya tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengusir lawan-lawan mereka.
"Bertahanlah," berkata Wanengbaya lantang, "aku segera datang."
Puguh tidak menjawab. Tetapi ternyata Sambi Wulung datang tepat pada waktunya. Sambi Wulung sempat menangkis pedang yang terjulur ke arah punggung anak muda itu selagi Puguh menangkis serangan lawannya yang seorang lagi.
Demikian kerasnya ayunan senjata Sambi Wulung, maka pedang prajurit Pajang yang hampir saja menyentuh punggung Puguh itupun terlempar jatuh.
"Terima kasih," desis Puguh.
Sambi Wulung tidak menjawab. Namun kemudian bersama Jati Wulung keduanya telah bertempur di sebelah menyebelah anak muda itu.
Ketika kemudian pertempuran menjadi semakin sengit dan pasukan Pajang semakin mendesak di segala medan di lingkungan perjudian Song Lawa itu maka Sambi Wulungpun berdesis, "Kita meninggalkan neraka ini. Bagaimanapun juga kita mempertahankannya, namun kita tidak akan mampu melakukannya. Prajurit Pajang terlampau kuat. Bukan secara pribadi, tetapi dalam keseluruhan. Mereka memiliki pengetahuan medan dan pengalaman yang sangat luas."
Puguh tidak sempat berpikir. Katanya, "Baik. Tetapi apakah itu mungkin dilakukannya?"
"Kenapa tidak?" justru Sambi Wulunglah yang bertanya.
"Lingkungan ini sudah dikepung," desis Puguh.
"Kita akan mencoba," jawab Sambi Wulung.
Demikianlah, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung yang melindungi Puguh itupun telah bergeser dari tempat mereka bertempur. Mereka telah mendekati dinding lingkungan itu untuk kemudian berusaha meloncatinya, "Kita akan keluar."
"Apakah kita akan mampu menembus kepungan prajurit Pajang di luar?" Puguh masih selalu ragu-ragu.
"Kita akan mencoba. Tanpa berusaha kita tidak akan dapat berbuat apa-apa," sahut Sambi Wulung. Lalu katanya, "Jika dengan demikian kita akan mati, itu tentu satu akibat yang mungkin saja dapat terjadi."
Puguh memang bukan seorang pengecut. Iapun kemudian telah bergeser semakin dekat dengan dinding lingkungan perjudian itu.
"Wanengpati," berkata Sambi Wulung, "lindungi kami. Kami akan meloncat. Kemudian kau cepat menyusulnya."
Jati Wulung tidak menyahut. Namun ia telah mengetrapkan segenap kemampuan ilmunya untuk mencegah para prajurit Pajang menyerang Puguh yang berusaha untuk meloncati dinding bersama dengan Sambi Wulung.
Dengan kemampuan seorang berilmu tinggi, yang tidak mendasarkan kekuatan dan kemampuannya sekedar pada ketrampilan wadagnya, Jati Wulung berhasil menahan para prajurit Pajang yang ingin menghalangi niat Puguh dan Jati Wulung. Bahkan demikian keduanya hilang di balik dinding, Jati Wulungpun bagaikan terbang telah hinggap pula di atas dinding.
Sebuah tombak memang menyambarnya. Namun Jati Wulung masih sempat mengelak. Dan sekejap kemudian, maka iapun telah hilang di balik dinding dilapis kedua.
Ketiga orang itupun kemudian telah berlari menuju ke dinding di lapis pertama. Namun dari celah-celah dinding kayu mereka dapat mengintip, bahwa di luar dinding di lapis pertama, nampak beberapa orang prajurit yang berjaga-jaga. Prajurit yang mendapat tugas untuk mencegah siapapun yang akan melarikan diri dari lingkungan Song Lawa.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Demikian pula Puguh. Bahkan Puguhpun berdesis, "Jika saja aku sempat membawa kawan-kawanku."
"Sulit untuk melepaskan mereka semuanya dari medan. Tetapi apakah kawan-kawanmu akan dapat mengungkapkan sesuatu yang bersifat rahasia dari padamu. Apakah mungkin para pengawalmu akan memberitahukan bahwa kau melarikan diri dan menunjukkan tempat tinggalmu sehingga memungkinkan kau ditangkap oleh Prajurit Pajang yang dikirim khusus kepadamu?" bertanya Sambi Wulung.
"Aku tidak yakin," jawab Puguh, "tetapi agaknya jika mereka tertangkap hidup, mereka tidak akan banyak dapat berceritera tentang aku. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada lingkungan hidup mereka di bawah pimpinan orang tuaku. Tetapi aku tidak begitu sesuai dengan mereka."
"Bagaimana jika mereka dipaksa untuk menunjukkan tempat tinggal orang tuamu dan dengan sendirinya kau akan tertangkap pula karenanya," berkata Jati Wulung.
"Mereka adalah lapisan terbawah dari lingkunganku. Mereka terpisah beberapa lapis, sehingga apa yang mereka ketahui tentang aku terlampau sedikit. Juga tentang orang tuaku betapapun mereka setia menjadi pengikutnya," berkata Puguh.
"Baiklah," berkata Sambi Wulung, "jika demikian, maka kita tidak akan cemas bahwa mereka akan dapat membuka rahasiamu dan orang tuamu. Terutama tempat tinggalmu yang sebenarnya. Karena itu maka marilah, kita akan melarikan diri."
Puguh memang masih ragu-ragu. Bahkan ia ragu-ragu tentang para pengikutnya. Apakah mereka akan dapat membuka rahasianya jika mereka tertangkap.
Tetapi seperti yang sudah dikatakan, pengikut-pengikut orang tuanya telah disusun berlapis-lapis. Yang dibawanya ke Song Lawa justru bukan orang-orang terdekat meskipun mereka adalah orang-orang terpilih dari salah satu lingkungan kecil di bawah pimpinan seorang kepercayaan orang tuanya, yang menjadi penyekat antara lapisan-lapisan itu.
"Kita tidak sempat berpikir terlalu lama," berkata Sambi Wulung.
"Ya. Marilah," sahut Puguh kemudian.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun telah mengambil ancang-ancang. Mereka harus meloncati dinding dan menembus penjagaan di luar dinding yang agaknya memang tidak terlalu kokoh, karena sebagian terbesar pasukan Pajang telah ditarik memasuki lingkungan Song Lawa yang ternyata cukup kuat untuk bertahan.
Tetapi tanpa Sambi Wulung dan Jati Wulung yang diperhitungkan akan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi keseimbangan pertempuran, ternyata isi dari lingkungan Song Lawa telah benar-benar kehilangan kekuatan yang menentukan.
Sesaat kemudian, maka ketiga orang itu telah meloncat dan hinggap sejenak di atas dinding. Kemudian melayang turun dan dengan cepat menuju ke bagian dari lingkaran yang nampak terlalu tipis di luar dinding dilapis pertama itu.
Prajurit Pajang memang agak lengah. Mereka tidak menduga, bahwa tiga orang dengan demikian cepatnya telah berusaha menembus kepungan. Karena itu, memang ada beberapa langkah tempat yang terbuka.
Namun yang menganga itupun dengan cepat telah terkatup pula. Tiga orang prajurit dengan sangat tergesa-gesa telah siap mencegat ketiga orang yang berusaha melarikan diri itu, sementara beberapa orang kawannya yang lain berlari-lari menuju ke titik yang lemah itu.
Dengan tangkasnya Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh telah berusaha menguak kembali lingkaran yang semula terbuka itu. Dengan segenap kemampuan ketiganya ternyata dengan cepat dapat mengatasi ketiga orang prajurit Pajang itu.
"Maaf Ki Sanak," desis Sambi Wulung, "kami terpaksa melukaimu."
Prajurit Pajang itu tidak mendengar. Tetapi ia memang terdorong surut. Terasa pundaknya telah disengat oleh ujung senjata.
Dua orang prajurit Pajang telah terluka. Seorang yang lain menjadi ragu-ragu untuk mengejar ketiganya. Namun beberapa prajurit yang lain telah bergabung dan bersama-sama mengejarnya.
Lima prajurit Pajang telah mengejar ketiga orang yang melarikan diri itu.
Tetapi lima orang itu memang tidak cukup. Pada jarak beberapa langkah lagi, dua orang memang telah menyusul. Baru di belakang kedua orang itu, kelompok terakhir yang terdiri dari tiga orang telah berlari pula dengan cepat.
Menurut perhitungan mereka, sepuluh orang itu telah cukup. Sementara yang lain harus berjaga-jaga jika ada orang lain lagi yang berusaha untuk melarikan diri.
Sambi Wulung dan Jati Wulung sebenarnya akan dapat berlari lebih cepat dan meninggalkan pengejar-pengejarnya. Tetapi Puguh tidak dapat berbuat demikian. Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung harus menyesuaikan dirinya dan tidak akan mungkin dapat meninggalkan Puguh dalam terkaman prajurit-prajurit Pajang. Namun jumlah prajurit Pajang itu memang terlalu banyak.
Ternyata bahwa kelompok pertama dari prajurit Pajang yang mengejar mereka telah berhasil menyusul. Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh harus bertempur melawan lima orang prajurit. Sambi Wulung dan Jati Wulung telah memancing masing-masing dua orang lawan, sementara Puguh harus melawan seorang prajurit.
Namun jarak waktunya tidak terlalu lama bahwa telah datang pula dua orang lainnya, sementara tiga orang yang lain telah menjadi semakin dekat.
Sambi Wulung dan Jati Wulung benar-benar menjadi bimbang. Dengan ilmu mereka yang tinggi, mereka akan dapat membinasakan lawan-lawannya itu. Namun ada semacam kekangan di dalam dirinya untuk membunuh sepuluh orang prajurit Pajang, atau setidak-tidaknya separo di antara mereka. Sementara itu sangat sulit bagi mereka untuk melawan sepuluh orang tanpa membunuh dan melukai lawan-lawan mereka.
Untuk sementara yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sambil bergeser mundur untuk mendapat kesempatan melarikan diri. Namun sepuluh orang itu telah mengepung mereka dengan ketat.
Sambi Wulung dan Jati Wulung benar-benar menjadi bingung. Sementara Puguh sendiri berusaha benar-benar untuk membunuh lawannya. Tetapi lawan-lawannya adalah prajurit yang memiliki kemampuan bertempur yang cukup masak sehingga Puguhpun tidak segera berhasil melakukannya.
Dalam kebimbangan itu, tiba-tiba saja mereka bertiga terkejut ketika mereka melihat kehadiran dua orang yang tidak dikenal, yang menyelubungi wajah-wajah mereka dengan kain. Dua orang yang tiba-tiba saja telah melibatkan diri melawan sepuluh orang prajurit Pajang yang mengejar Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh.
Dengan demikian maka keseimbangan pertempuranpun segera berubah. Ternyata kedua orang itu benar-benar dua orang yang berilmu sangat tinggi. Dengan gerak yang cepat dan kekuatan yang sangat besar, maka keduanya bersama-sama dengan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang dikenal bernama Wanengbaya dan Wanengpati itu segera dapat mengatasi keadaan. Sepuluh orang prajurit Pajang itu menjadi seakan-akan tidak berdaya. Satu-satu mereka jatuh dan terlempar beberapa langkah. Tulang-tulang mereka serasa retak, sehingga mereka tidak segera dapat bangkit kembali.
Orang terakhir dari sepuluh orang itupun akhirnya tidak berdaya juga ketika ia kehilangan keseimbangan dan jatuh berguling. Meskipun ia masih mampu untuk bangkit, namun ia tidak lagi berniat untuk mengejar lima orang yang kemudian melarikan diri itu.
Sepuluh orang prajurit itu kemudian semuanya masih mampu bangkit dan berdiri betapapun tubuh mereka merasa sakit. Dengan sangat kecewa mereka terpaksa melepaskan buruan mereka yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi itu.
Sementara itu, lima orang yang melarikan diri itu telah berada jauh dari para prajurit Pajang yang mengejar mereka. Karena itu, maka merekapun telah berhenti untuk mengatur pernafasan mereka yang terengah-engah. Terutama Puguh.
Sementara itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung dengan cepat mengenali kedua orang yang telah menolong mereka itu. Keduanya tentu Kiai Soka dan Kiai Badra. Namun dengan cara keduanya hadir di antara mereka, maka keduanya tentu berusaha untuk tidak dikenali. Bukan saja namanya, tetapi juga wajah-wajah mereka.
Karena itu, maka Sambi Wulungpun kemudian bertanya, "Ki Sanak. Terima kasih atas pertolongan Ki Sanak. Tetapi siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua" Kami adalah Wanengpati dan Wanengbaya, anak muda ini adalah Puguh."
Kedua orang yang menyembunyikan wajahnya itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian keduanyapun mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata dengan suara bergetar, "Kami adalah musuh-musuh Pajang. Kami selalu diburu siang dan malam. Adalah satu kesempatan bagi kami untuk dapat melawan sekelompok kecil prajurit Pajang. Namun karena kami melihat keadaan kalian bertiga yang gawat, maka kami memutuskan untuk melarikan diri bersama kalian. Nah, kami telah mengenal nama-nama kalian. Tetapi siapakah kalian sebenarnya?"
"Tidak ada yang dapat menjelaskan. Kami adalah penjudi-penjudi yang hidup kami lebih panjang berada di lingkungan perjudian seperti Song Lawa daripada berada di tempat lain," jawab Wanengbaya.
Kedua orang yang menyembunyikan wajahnya itu mengangguk-angguk. Tetapi keduanya tidak mendesaknya. Bahkan seorang di antara mereka berkata, "Nah, pergilah. Kami akan kembali mendapatkan prajurit-prajurit Pajang itu untuk melepaskan dendam kami."
Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak bertanya lagi. Tetapi merekapun kemudian telah mengajak Puguh untuk meninggalkan tempat itu.
"Jika para prajurit itu sempat mengejar kita lagi. maka kita akan mengalami kesulitan," berkata Sambi Wulung.
Demikianlah, maka mereka bertigapun telah meninggalkan tempat itu. Namun agaknya mereka masih belum menentukan tujuan. Mereka masih saja berjalan asal saja menjauhi lingkungan perjudian Song Lawa yang agaknya telah direbut oleh pasukan Pajang yang kuat.
Sebenarnyalah bahwa para prajurit Pajang memang sudah berada di segala sudut dan bahkan memasuki barak-barak di Song Lawa. Orang-orang yang berilmu tinggi, tidak mampu melawan para perwira yang memang dipersiapkan untuk melawan mereka dalam kelompok-kelompok kecil. Betapa besar kemampuan Kepala Besi, namun ketika ia dihadapkan kepada empat orang perwira terpilih, ternyata lambat laun, ia menjadi kehabisan tenaga juga. Meskipun kepalanya sempat melukai beberapa orang, tetapi tubuhnya sendiri menjadi terluka parah.
Akhirnya, Song Lawa yang telah bertahun-tahun bertahan sebagai tempat perjudian yang tidak terjangkau oleh pangeran, telah benar-benar dikuasai oleh para prajurit Pajang. Sudah terlalu lama orang. orang di sekitar Song Lawa mengeluh karena tingkah laku orang-orang yang memasuki dan keluar dari lingkungan itu. Bahkan kadang-kadang di padukuhan-padukuhan di sekitar Song Lawa itupun telah terjadi benturan kekerasan dan membunuh beberapa orang korban. Tindakan yang semena-mena dari orang-orang yang memiliki ilmu terhadap orang-orang padukuhan yang lemah. Bahkan mereka yang kalah tidak segan-segan untuk sekali-sekali merampas barang-barang yang bahkan tidak berharga sekalipun, namun yang penting sekali artinya bagi orang-orang miskin itu.
Para prajurit Pajang kemudian telah mengumpulkan orang-orang yang tersisa, termasuk mereka yang terluka. Mereka harus bertanggung jawab atas segala tingkah laku mereka. Terlebih-lebih lagi para pengawal dan petugas di Song Lawa itu sendiri yang pada umumnya terdiri dari orang-orang yang bertubuh raksasa.
Kupu Kupu Iblis 2 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Pendekar Aneh Naga Langit 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama