Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 9

01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 9


Sementara itu Kiai Badra dan Kiai Soka, setelah membantu Sambi Wulung dan Jati Wulung membebaskan diri dari para prajurit Pajang yang telah mengejarnya, kemudian menyingkir ke tempat yang tersembunyi. Keduanyapun segera mengerti maksud Sambi Wulung dan Jati Wulung. Mereka agaknya telah menyelamatkan Puguh dan selanjutnya membawanya kembali ke tempatnya. Mungkin di sebuah padepokan, persembunyian atau tempat apapun juga.
"Agaknya keduanya telah berhasil," berkata Kiai Badra.
Kiai Soka mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan keduanya benar-benar dapat melacak sampai ke tempat tinggal anak itu. Mungkin anak itu cerdik dan justru mencurigai keduanya sehingga anak itu akan dapat menjebak mereka."
"Memang satu kemungkinan," sahut Kiai Badra. Tetapi katanya kemudian, "Juga mudah-mudahan keduanya tidak tergoda untuk membinasakan anak muda itu. Meskipun mungkin orang tuanya atau kakeknya tidak tahu, apa yang terjadi dengan Puguh, namun dendam mereka akan dengan mudah tertuju kepada Risang. Sementara itu Risang belum siap untuk berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri."
"Tetapi hancurnya Song Lawa tentu akan segera didengar oleh orang tua Puguh. Seandainya Sambi Wulung dan Jati Wulung terdorong mengambil langkah-langkah yang keras terhadap anak itu, maka orang tuanya tentu mengira bahwa anaknya telah binasa di Song Lawa."
"Jika satu saja pengawalnya lolos atau masih hidup dan kelak dibebaskan, maka persoalannya akan lain apabila pengawalnya itu dapat mengatakan bahwa Puguh telah melarikan diri bersama dengan dua orang yang lain, serta anak muda itu tidak tertawan di Pajang."
Kedua orang tua itu agaknya mendapat persesuaian pendapat, bahwa tidak ada keuntungan bagi Risang, jika Puguh diselesaikan oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk menghindari persaingan antara kedua orang anak Wiradana itu.
Namun ternyata bahwa Sambi Wulung dan Jati Wulungpun berpendapat sebagaimana kedua orang tua itu. Merekapun telah membicarakannya dengan hati-hati sesaat setelah mereka terlepas dari tangan para prajurit Pajang. Namun merekapun berkesimpulan untuk membawa Puguh kembali ke kediamannya.
Ketika kemudian mereka menjadi semakin jauh dengan lingkungan perjudian Song Lawa, maka Sambi Wulung mulai bertanya tentang arah perjalanan mereka kepada Puguh.
"Kita tidak akan dapat berjalan tanpa tujuan," berkata Sambi Wulung.
"Lebih baik aku pulang. Terima kasih atas pertolongan kalian," sahut Puguh tiba-tiba.
"Marilah," berkata Jati Wulung, "aku antar kau sampai ke rumahmu. Kami sudah terlanjur berusaha melarikan diri bersama-sama. Aku tidak tahu, apakah ada orang lain yang juga berhasil melarikan diri atau tidak. Karena itu, apapun yang akan kita alami di perjalanan, akan kita alami bertiga, sampai saatnya kau benar-benar bebas dari segala kemungkinan buruk. Kau masih terlalu muda. Seandainya kita bersama-sama anak-anak muda yang lain."
Puguh termangu-mangu. Namun katanya kemudian, "Aku akan dapat menempuh perjalanan kembali seorang diri. Aku sudah dapat menjaga diriku sendiri."
"Jangan mengira sedemikian mudah kita menempuh perjalanan saat ini," berkata Jati Wulung, "aku tidak tahu kenapa di Song Lawa kali ini hadir orang-orang seperti Kepala Besi, Sikatan Putih. Kelompok Macan Ireng dan barangkali masih ada yang lain yang tidak kita ketahui. Agaknya tentu ada hubungannya dengan perkembangan keadaan di luar Song Lawa, terutama yang menyangkut kemelut di Pajang itu sendiri."
"Mereka sudah terbiasa berada di Song Lawa. Malah justru kalian berdua merupakan orang baru di lingkungan itu," jawab Puguh.
"Kepala Besi dan Sikatan Putih?" bertanya Sambi Wulung.
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Aku memang melihat beberapa orang baru termasuk kalian berdua. Tetapi kenapa kalian bersusah payah menyelamatkan aku?"
"Kau terlalu baik kepada kami," jawab Jati Wulung, "tetapi sebenarnya memang ada dorongan lain yang telah memaksa kami berusaha menolong anak-anak muda. Karena bagi kami anak-anak muda akan sama artinya dengan masa depan."
"Apa kepentingan kalian dengan masa depan, sementara kalian berdua juga berada di Song Lawa?" bertanya Puguh.
Sambi Wulung dan Jati Wulung saling berpandangan sejenak. Ternyata bahwa Puguhpun seorang anak muda yang mempergunakan nalarnya dengan baik. Ia tidak sekedar berbuat. Tetapi ternyata bahwa iapun berpikir.
"Puguh," berkata Sambi Wulung kemudian, "kami berdua adalah orang-orang tua. Kami memang sudah terlanjur rusak, bahkan seakan-akan lahir dan batin. Tetapi terhadap anak-anak kami, kemenakan kami dan orang-orang muda yang berhubungan dengan kami, kami tidak pernah mengatakan bahwa kami berada di tempat-tempat seperti Song Lawa. kami selalu mengatakan bahwa kami telah mengembara untuk menambah pengetahuan kami. Kami tidak ingin, anak-anak kami, kemenakan-kemenakan kami dan anak-anak muda yang lain terjerat dalam perjudian. Karena itu, ketika kami melihat beberapa orang anak muda termasuk kau di Song Lawa, kami memang agak menyesal."
"Terima kasih atas perhatianmu," jawab Puguh, "tetapi aku tidak usah membuat kalian terlalu sibuk mengurusi aku."
"Tidak," jawab Sambi Wulung, "tetapi kita belum terlepas dari bahaya yang mungkin menerkam kita setiap saat."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Baiklah. Kita akan berjalan bersama-sama."
Sambi Wulung dan Jati Wulung hanya mengangguk-angguk saja. Namun merekapun kemudian telah berjalan bersama-sama. Mereka tidak menempuh jalan yang biasa dipergunakan oleh mereka yang akan memasuki Song Lawa. Tetapi mereka menempuh jalan-jalan sempit di antara padukuhan-padukuhan kecil di lereng Gunung.
Namun sambil melingkar, maka merekapun mulai menuruni lereng.
Ternyata perjalanan mereka bukannya perjalanan yang mudah. Bahkan mereka merasa, tatapan mata kecurigaan dari orang-orang padukuhan. Betapapun rapinya pakaian Puguh sebelumnya, tetapi setelah menempuh perjalanan yang panjang, maka pakaian itupun telah menjadi kotor oleh keringat dan debu tanpa dapat berganti yang lain.
Tetapi ketiga orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka sama sekali tidak memerlukan orang-orang padukuhan itu. Sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata masih membawa uang cukup. Bukan saja uang yang mereka bahwa memasuki Song Lawa, tetapi mereka justru telah memenangkan beberapa permainan di tempat itu.
Dalam pada itu, Puguhpun sempat bertanya, "Bagaimana kau sempat membawa semua uangmu?"
"Apakah kau tidak?" bertanya Sambi Wulung.
Puguh menggeleng. Katanya, "Aku tidak sempat mengambilnya. Tetapi ada juga dugaanku, bahwa kita akan dapat mempertahankan lingkungan perjudian itu sebagaimana pernah kita lakukan beberapa malam sebelumnya. Namun agaknya pasukan Pajang jauh lebih kuat dari segerombolan perampok yang datang malam itu."
"Sudahlah," berkata Sambi Wulung. "Berdua cukup untuk keperluan selama perjalanan."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, "Terima kasih. Kalian terlalu baik kepadaku."
Dengan hati-hati Sambi Wulung berkata, "Sebenarnya sejak aku memasuki lingkungan perjudian itu aku memang sangat menaruh perhatian kepada anak-anak muda. Aku mencoba menghubungi mereka seorang demi seorang. Namun nampaknya mereka telah terlalu dalam tenggelam dalam dunia perjudian sehingga sulit untuk dapat diangkat kembali. Bahkan mereka berusaha untuk menjauhi aku. Hanya kau sajalah yang tidak berbuat demikian, bahkan kau telah banyak memberi kepada kami berdua selama kami berada di Song Lawa."
Puguh mengangguk-angguk. Suaranya menjadi dalam, "Tetapi aku tidak ingin digiring oleh orang-orang Pajang seperti sekelompok itik di jalan-jalan menuju ke Pajang."
"Namun sangat memalukan," desis Jati Wulung, "itulah sebabnya kita melarikan diri. Meskipun sebenarnya lari bukanlah sifat laki-laki. Tetapi dalam keadaan seperti ini, pilihan yang paling baik adalah memang lari."
Puguh tidak segera menyahut. Namun ia memandang jalan di hadapannya dengan tatapan mata yang tajam. Jalan yang membujur sangat panjang tanpa ujung.
Tetapi Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak tergesa-gesa bertanya, Puguh akan menuju ke mama" Menurut pengenalan mereka, setelah mereka menjauhi Song Lawa, maka mereka justru menuju ke arah Barat, menuruni kaki Pegunungan.
Namun demikian mereka bertiga harus tetap berhati-hati dalam perjalanan. Mereka akan dapat bertemu dengan bahaya yang mungkin tidak diperhitungkan lebih dahulu. Sementara itu Puguhpun tidak segera berusaha benar-benar memisahkan diri dari kedua orang yang bersamanya keluar dari Song Lawa, justru karena kebiasaannya berjalan bersama-sama dengan beberapa orang pengawal. Apalagi ketiga orang itu sama sekali tidak dibatasi oleh waktu, sehingga mereka berjalan menurut keinginan dimana saja mereka ingin beristirahat. Di pinggir-pinggir hutan, di pategalan, di tanggul sungai atau di bawah pepohonan.
Tetapi bagaimanapun juga mereka tidak ingin terlalu banyak bertemu dengan siapapun juga, karena mereka tidak dapat mengingkari pengenalan mereka atas diri sendiri, bahwa mereka adalah buronan prajurit Pajang. Setiap mereka bertemu dengan siapapun juga yang meskipun tidak mereka kenal sama sekali, terutama bagi Puguh yang muda itu, rasa-rasanya mata mereka selalu tertuju kepadanya. Mengawasinya dengan penuh curiga dan mengikutinya apa saja yang mereka lakukan.
Karena itulah, maka perjalanan mereka menjadi sangat lambat. Jati Wulung harus menahan diri untuk berjalan selamban itu. Namun Sambi Wulung nampaknya sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan seakan-akan perjalanan yang dilakukan itu adalah perjalanan yang paling sesuai dengan kebiasaannya.
Jati Wulung yang mencoba menghilangkan kejemuannya, sempat tertidur di bawah sebatang pohon yang besar ketika mereka berhenti di sudut sebuah hutan kecil. Namun ketika ia terbangun, maka yang pertama kali diucapkannya adalah, "Aku lapar sekali."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bertanya kepada Puguh, "Apakah kau lapar?"
Puguh mengangguk. Tetapi jawabnya, "Tetapi tidak terlalu mendesak."
Namun ternyata Jati Wulung tidak ingin ditunda lagi. Karena itu maka merekapun telah melanjutkan perjalanan. Mereka dengan hati-hati justru menuju ke sebuah padukuhan, karena Jati Wulung berharap bahwa di padukuhan itu akan didapatinya sebuah kedai makanan.
"Kita akan makan," berkata Jati Wulung, "di Song Lawa aku beberapa kali telah membayar makanan dan minuman kami. Nah, sekarang sampailah pada giliran kami. Justru kami sempat membawa uang kami keluar dari Song Lawa."
"Nampaknya perutmu sudah tidak dapat bertahan lebih lama lagi," desis Sambi Wulung.
"Tubuhkulah yang merasa gemetar," jawab Jati Wulung, "jika di padukuhan itu tidak ada sebuah kedaipun, maka rasa-rasanya aku tidak akan dapat berjalan lagi."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Sementara itu Puguh tersenyum sambil berkata, "Itulah agaknya kau terlalu sering aku jumpai sedang berada di kedai ketika kau berada di Song Lawa."
Jati Wulung hanya mengangguk kecil. Tetapi wajahnya memang nampak menjadi pucat.
Untunglah bahwa mereka sempat menemukan sebuah kedai yang cukup besar di padukuhan itu. Meskipun matahari sudah menjadi semakin rendah, namun ternyata kedai itu masih juga terbuka dan nasi yang ada di dalamnya masih berasap.
"Jalan ini tentu jalan yang ramai dari satu tempat ke tempat lain yang cukup penting," berkata Sambi Wulung.
"Ya," jawab Puguh, "di dalam kedai itupun terdapat banyak orang. Apakah kita tidak dapat mencari kedai yang lebih kecil?"
"Kenapa harus menghiraukan orang lain," sahut Jati Wulung, "aku sudah tidak dapat berjalan lagi. Jika kita tidak makan disini dan tidak menemukan kedai yang lain, maka aku akan pingsan. Nah, kepalaku mulai pening, pandanganku mulai berkunang-kunang."
"Apa peduliku," berkata Sambi Wulung, "jika kau pingsan, di parit itu mengalir air meskipun agak keruh."
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Namun tanpa berbicara lagi, iapun telah melangkah mendekati kedai itu. Bahkan kemudian masuk ke dalamnya.
Sambi Wulung dan Puguh tidak mempunyai pilihan lain. Merekapun kemudian telah mengikuti Jati Wulung memasuki kedai itu.
Ternyata mereka benar-benar terkejut melihat orang-orang yang sudah berada di kedai itu. Beberapa orang dengan wajah dan sorot mata yang menggetarkan.
Tetapi Jati Wulung akhirnya tidak mempedulikan mereka. Perutnya memang sudah merasa sangat lapar. Bahkan ketika dilihatnya nasi yang berasap, rasa-rasanya ia sudah tidak sabar lagi.
Bersama Sambi Wulung dan Puguh iapun kemudian duduk di sudut kedai itu. Merekapun telah memesan wedang jahe dan nasi hangat, sementara pelayan di kedai itu telah menghidangkan beberapa macam makanan, sementara mereka menunggu minuman dan nasi yang mereka pesan.
Jati Wulung memang tidak sabar lagi. Ia telah memungut beberapa potong makanan dan disuapinya mulutnya dengan lahapnya.
Namun, demikian ia memasukkan makanan itu di mulutnya, maka iapun telah sempat melihat beberapa wajah di kedai itu yang mengawasinya. Mata-mata yang tajam itu memandanginya dengan penuh perhatian. Namun Jati Wulung sempat menghibur dirinya sendiri untuk tidak menjadi gelisah, "Agaknya mereka heran melihat caraku makan."
Setelah menunggu beberapa saat, maka yang mereka pesanpun telah dihidangkan. Minuman dan nasi hangat.
Sementara itu Jati Wulung benar-benar tidak menghiraukan orang-orang lain yang ada di kedai itu. Ia makan saja sebagaimana diinginkannya karena perutnya memang lapar. Bahkan iapun kemudian telah minta tambah semangkuk lagi.
Ketika ketiganya kemudian sudah selesai, ternyata orang-orang yang ada di kedai itu, yang telah berada di tempat mereka lebih dahulu, masih juga belum beranjak dari tempat mereka. Tetapi ketiga orang itu tidak menghiraukannya lagi, lebih-lebih Jati Wulung.
Namun ternyata bahwa orang-orang yang ada di kedai itu menaruh perhatian terhadap ketiga orang itu. Mereka melihat pakaian yang baik tetapi kotor oleh keringat dan debu yang dikenakan oleh Puguh.
Sedangkan dua orang kawannya adalah orang-orang yang sudah jauh lebih tua dengan mengenakan pakaian yang lebih sederhana, namun juga sudah kotor dan lusuh.
Tetapi orang-orang yang ada di kedai itu terkejut ketika mereka melihat Sambi Wulung mengeluarkan kampil dari kantong bajunya. Membuka talinya dan mengeluarkan beberapa keping uang untuk membayar harga makanan dan minuman mereka bertiga.
Menurut pendapat orang-orang yang ada di kedai itu adalah bahwa uang yang dibawa oleh Sambi Wulung ternyata terlalu banyak. Sekampil uang itu tentu bernilai sangat besar. Bahkan orang-orang itu juga berpendapat, bahwa yang membawa uang dan mungkin juga barang-barang berharga tentu tidak hanya seorang saja di antara ketiga orang itu.
Karena itu, maka ketika Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh keluar dari kedai itu, maka orang-orang itupun telah membayar pula harga makanan yang mereka makan dan minuman yang mereka minum. Tetapi karena ternyata orang-orang itu sudah terlalu biasa makan dan minum di kedai itu, maka ketika ada di antara mereka yang belum mempunyai uang cukup untuk membayar telah berkata sambil tersenyum, "Sabarlah. Aku akan segera kembali dan membayar dengan uang yang berkelebihan."
"Jangan bohong. Seberapapun kau mendapat uang, tetapi di hari itu juga uang itu habis," berkata pemilik kedai itu.
Orang itu tertawa. Katanya, "Kali ini jangan cemas."
Orang-orang itupun kemudian telah meninggalkan kedai itu pula. Mereka masih melihat arah Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh berjalan.
"Mereka memang menarik perhatian," berkata orang tertua dari beberapa orang yang keluar dari kedai itu, "apalagi ketika mereka kemudian mengeluarkan uang sekampil hanya untuk membayar beberapa keping makanan dan minuman bagi mereka bertiga."
"Apakah mereka sengaja memancing perhatian kami?" bertanya salah seorang di antara mereka.
"Entahlah. Tetapi ketika mereka masuk, mereka nampak terkejut melihat kami," jawab yang tertua.
"Hati-hatilah terhadap mereka," berkata seorang yang bertubuh tinggi. Meskipun nampaknya masih muda, tetapi agaknya ia sudah cukup berpengalaman. Lalu katanya pula, "Meskipun tidak menjadi jalan utama, tetapi ada juga orang-orang yang pergi dan kembali dari Song Lawa lewat jalan ini."
"Agaknya pasukan yang lewat beberapa hari yang lalu benar-benar telah menghancurkan Song Lawa meskipun sebelumnya sekelompok perampok telah gagal merampas harta benda yang tidak terhitung jumlahnya di dalam lingkungan perjudian itu," berkata orang yang tertua di antara mereka.
"Dan ketiga orang itu adalah mereka, yang sempat melarikan diri," sahut yang lain.
Orang yang tertua di antara mereka mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya mereka tidak tahu sama sekali, bahwa jalan inilah yang telah dilalui oleh pasukan Pajang itu. Memang tidak terduga bahwa untuk mencapai Song Lawa dari Pajang telah dilalui jalan ini. Tetapi agaknya justru hal itulah yang dikehendaki oleh pasukan itu."
Sementara itu seorang yang lain dari antara mereka bertanya, "Lalu apa yang akan kita lakukan terhadap mereka" Ternyata mereka membawa uang cukup banyak. Dari atau tidak dari Song Lawa uang itu tetap bernilai bagi kita."
Orang tertua di antara mereka itupun berkata, "Aku sependapat, bahwa kita harus berhati-hati terhadap mereka."
"Kita semuanya tujuh orang," berkata seorang yang masih cukup muda, berbadan tegap tinggi dan tegar.
Tetapi kawannya yang bertubuh tinggi, sekali lagi memperingatkan, "Kita harus berhati-hati. Agaknya mereka bukan orang kebanyakan. Aku condong menduga mereka adalah pelarian dari Song Lawa jika pasukan yang kita lihat lewat jalan ini benar-benar telah menyerang. Atau bahkan mereka telah meninggalkan Song Lawa sebelum tempat itu disergap oleh para prajurit."
"Menilik pakaian mereka serta keadaan mereka tanpa seikat bawaanpun di tangan mereka, maka agaknya pasukan Pajang memang telah menyergap dan mereka adalah pelarian dari Song Lawa yang sempat membawa uang mereka," berkata orang yang tertua di antara mereka.
"Jadi, apakah yang akan kita lakukan" Jangan menunggu mereka semakin jauh dan hilang dari pengamatan kita," desak anak muda yang bertubuh tegap kekar.
Orang tertua di antara mereka itupun berkata, "Kita akan mengikuti mereka dari jarak yang cukup. Jalan ini tidak banyak bercabang, sehingga kita tidak akan kehilangan mereka. Kitapun tidak akan berjalan dalam kelompok yang banyak ini. Dua orang akan berada di depan."
"Baiklah," berkata orang yang bertubuh tegap kekar, "aku akan berada di paling depan."
"Pergilah," sahut orang yang tertua di antara mereka, "bawa seorang kawan. Ingat, sebentar lagi senja akan turun. Kita harus mengambil keputusan, apakah kita akan bertindak setelah matahari tenggelam atau sebelumnya begitu kita keluar dari padukuhan ini."
Orang yang bertubuh tegap kekar itu mengangguk. Iapun kemudian bersama seorang kawannya mendahului kawan-kawannya yang lain mengikuti perjalanan Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh.
Namun ternyata bahwa orang yang bertubuh kekar itu agaknya tidak terlalu memperhatikan pesan kawan-kawannya, sehingga ia agak kurang berhati-hati. Sehingga karena itu, maka ketika mereka berjalan semakin jauh, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguhpun mengetahui, bahwa mereka telah diikuti oleh dua orang yang belum mereka kenal.
"Agaknya mereka adalah orang-orang yang ada di kedai itu," berkata Jati Wulung.
"Mungkin. Tetapi jika demikian itu adalah urusanmu," sahut Sambi Wulung.
"Kenapa urusanku?" bertanya Jati Wulung.
"Kaulah yang berkeras untuk memasuki kedai itu," jawab Sambi Wulung.
"Ah kau," desis Jati Wulung. Namun kemudian katanya, "Tetapi jika kedua orang itu diserahkan kepadaku, aku tidak berkeberatan."
Puguhlah yang menyahut, "Wanengpati akan dapat menyelesaikan mereka."
"Tetapi aku kira mereka tidak hanya berdua," berkata Sambi Wulung, "mungkin ada beberapa orang lainnya di belakang. Agaknya mereka melihat kampilku yang berisi uang, sehingga mereka berniat untuk mengambil uang itu."
Puguh mengangguk-angguk. Katanya, "Kau memang terlalu ceroboh. Kenapa kau tidak menyediakan uang di kantongmu beberapa keping saja, sehingga kau tidak perlu mengeluarkan kampilmu itu dari kantong bajumu?"
"Aku mempunyai dua kampil. Wanengpati juga membawa dua kampil," jawab Sambi Wulung.
"Maksudku, berapapun kalian membawa, tetapi kalian tidak perlu memamerkannya kepada orang lain, agar tidak timbul masalah seperti sekarang ini," berkata Puguh.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun pada satu kesempatan, selagi Puguh berjalan agak menepi sambil memperhatikan lereng yang agak curam Sambi Wulung berdesis, "Mudah-mudahan mereka benar-benar menginginkan uang kita."
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung hampir berbisik.
"Sekedar membuktikan kepada Puguh, bahwa perjalanan ini masih berbahaya. Dengan demikian maka ia akan tetap memerlukan kita," sahut Sambi Wulung perlahan-lahan sekali.
Namun Jati Wulungpun kemudian mendekati Puguh sambil berkata, "Hati-hati. Jangan terjun ke dalam jurang itu. Kau tahu, bahwa jurang itu dalam dan curam."
Puguh mengangguk-angguk Namun tiba-tiba ia justru memungut sebuah batu yang cukup besar dan melontarkannya ke dalam jurang itu.
Jati Wulung berdiri termangu-mangu. Namun ketika beberapa lama kemudian mereka mendengar suara batu itu terjatuh, maka iapun berdesis, "Jurang itu cukup dalam."
"Tempat yang baik untuk melemparkan orang-orang itu. Dengan demikian kita tidak perlu menguburkannya," berkata Puguh.
"Atau kitalah yang akan mereka lemparkan setelah kampil-kampil uang kita diambilnya," sahut Jati Wulung.
Puguh tertawa. Katanya, "Memang mungkin. Tetapi hanya mereka yang membawa uang saja yang akan dilemparkannya. Bukan aku."
Jati Wulungpun tertawa juga. Justru sambil berpaling ke arah kedua orang yang berjarak beberapa puluh langkah. Namun agaknya kedua orang itu telah menepi dan berlindung di balik pohon perdu.
"Mereka adalah orang-orang dungu," berkata Jati Wulung, "mereka mengikuti kita pada jarak yang terlalu dekat. Agaknya mereka takut kehilangan kita. Mungkin di antara mereka tidak terdapat yang ahli menelusuri jejak."
"Kau mampu melakukannya," bertanya Puguh.
"Tentu," jawab Jati Wulung.
Pembicaraan itupun kemudian terhenti ketika keduanya telah melangkah melanjutkan perjalanan. Satu sisi jalan adalah bulak yang luas, sedangkan di sisi lain terdapat jurang yang dalam. Sementara itu padukuhan berikutnya terletak di tempat yang agak jauh.
Dalam pada itu, agaknya orang bertubuh kekar itu benar-benar tidak sabar lagi. Apalagi iapun menyadari, bahwa ketiga orang itu sudah melihatnya berdua. Karena itu, maka iapun telah menunggu orang tertua di antara mereka.
"Kenapa kau berhenti?" bertanya orang tertua itu.
"Kita sudah keluar dari padukuhan," jawab orang bertubuh kekar, "kita harus cepat mengambil keputusan."
"Jalan ini jalan yang banyak dilalui orang yang bepergian dengan jarak panjang. Lewat jalan ini pula pasukan Pajang bergerak menuju ke Song Lawa meskipun agak melingkar," berkata orang tertua itu.
"Mereka justru memilih jalan lain untuk menghindari pengamatan petugas sandi yang dipasang oleh para pemimpin Song Lawa itu," jawab orang bertubuh kekar itu, "namun agaknya kita tidak akan memerlukan waktu terlalu lama. Kita dengan cepat menyelesaikan mereka, sementara jurang di sebelah itu akan tetap ternganga."
Ketika orang tertua di antara mereka sedang berpikir. Maka seorang lain berkata, "Jangan lepaskan mereka. Mungkin kita tidak akan dapat menemukan orang-orang yang membawa uang cukup banyak seperti mereka."
"Kita memang tidak akan melepaskan mereka," berkata kawannya, "tetapi mungkin kita akan menjumpainya pula jika ada orang lain yang sempat lari dari Song Lawa dengan membawa sisa uang mereka."
"Jangan bermimpi. Sekarang yang ada adalah mereka," berkata orang yang bertubuh kekar, "apa yang harus kita lakukan segera."
"Baiklah," berkata orang tertua di antara mereka, "senja mulai turun. Hentikan mereka di tengah-tengah bulak. Kita harus bekerja cepat dan melemparkan tubuh mereka ke dalam jurang."
Kedua orang yang mengikuti Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh itupun tidak menunggu lebih lama lagi. Merekapun segera melangkah menyusul ketiga orang yang sudah berada di tengah-tengah bulak panjang.
Dalam pada itu, ketiga orang itupun menjadi heran ketika mereka tidak melihat lagi kedua orang yang mengikuti mereka. Namun ketajaman penalaran merekapun segera dapat menduga apa yang akan terjadi.
"Agaknya keduanya telah menemukan tempat yang paling tepat," berkata Sambi Wulung.
"Ya. Mereka sedang mengambil ancang-ancang. Sebentar lagi mereka akan datang, mungkin tidak hanya berdua. Mereka menganggap bahwa tempat ini adalah tempat yang paling tepat. Apalagi di saat-saat matahari mulai bersembunyi di balik pebukitan. Orang-orang yang ada di sawah telah pulang, sementara yang akan menunggui air di malam hari masih belum, datang," sahut Jati Wulung.
Puguhpun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya memang demikian. Jadi, apakah kita justru akan menunggu mereka?"
"Kita tidak usah menunggu. Dengan demikian akan dapat menimbulkan kecurigaan. Kita berjalan terus, tetapi tidak tergesa-gesa," jawab Sambi Wulung. Ia memang mengharap orang-orang di kedai itu memburu mereka untuk merampas uangnya. Dengan demikian maka Puguh akan menganggap bahwa perjalanannya bersama dua orang yang dikenalnya sebagai Wanengbaya dan Wanengpati itu ada artinya. Jika demikian maka tidak mustahil bahwa Puguh tidak akan berkeberatan untuk menunjukkan tempat tinggalnya serta tempat tinggal orang tuanya.
Demikianlah ketiga orang itu telah berjalan dalam keremangan senja. Sementara itu dua orang yang berjalan beberapa puluh langkah di belakang mereka telah mempercepat langkah mereka.
Bahkan ketika keduanya menjadi semakin dekat, terdengar orang yang bertubuh kekar itu justru memanggil, "Ki Sanak. Aku minta kau berhenti sejenak."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Namun Jati Wulung berdesis, "Ternyata mereka adalah orang yang sangat kasar. Mereka tidak sekedar menyusul kita. Tetapi mereka menghentikan kita."
Sambi Wulung mengangguk. Katanya, "Kita akan menunggu."
Ketiga orang itupun kemudian telah berhenti untuk menunggu kedua orang yang dengan tergesa-gesa menyusul mereka. Namun dalam pada itu ketiga orang itupun telah melihat pula lima orang lainnya yang berjalan menuju ke arah mereka pula.
"Nah," berkata Sambi Wulung, "itulah kawan-kawannya."
"Ya," desis Puguh, "ternyata bahwa setelah kita keluar dari Song Lawapun masih juga ada persoalan yang harus diatasi."
"Bersiaplah," berkata Sambi Wulung pula, "agaknya mereka tidak bermain-main. Menilik wajah dan tatapan mata mereka sebagaimana kita lihat di kedai itu, maka mereka adalah orang-orang yang garang."
"Ternyata Pajang harus lebih banyak membenahi diri," berkata Jati Wulung, "namun agaknya perhatian Pajang mulai tertuju kepada sikap orang-orang dalam yang kecewa."
"Bagaimanapun juga, rakyat yang jauh dari Kotaraja memerlukan perlindungan. Bukan saja tempat-tempat seperti Song Lawa yang harus dihancurkan. Tetapi harus diusahakan untuk membatasi tingkah laku orang-orang yang lepas dari jangkauan paugeran seperti orang-orang ini." gumam Sambi Wulung seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri.
Namun dalam pada itu di luar dugaan Sambi Wulung dan Jati Wulung, wajah Puguhpun telah berubah pula. Ada semacam persoalan yang tiba-tiba mencengkam jantungnya.
Tetapi agaknya anak muda itu berusaha menyembunyikannya meskipun ia tidak dapat melepaskan pengamatan Sambi Wulung dan Jati Wulung yang sekilas telah menangkap perasaannya yang nampak pada wajahnya itu.
Dalam pada itu, kedua orang yang dengan tergesa-gesa mendekatinya itu telah berhenti beberapa langkah dari ketiga orang yang menunggu mereka. Dengan nada berat Sambi Wulungpun kemudian bertanya, "Ada apa Ki Sanak" Ki Sanak telah menghentikan perjalanan kami."
"Siapakah kalian bertiga?" bertanya orang yang bertubuh tinggi kekar.
"Kami adalah pengembara yang berjalan tanpa tujuan," jawab Sambi Wulung.
Orang bertubuh kekar itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Pengembara sekalipun tentu mempunyai keterangan tentang dirinya. Namanya, asal usulnya dan barangkali tujuannya."
"Siapakah kami dan asal usul kami tidak penting bagi Ki Sanak. Sementara tujuan kami adalah sekedar mengembara mengikuti gerak dan langkah kaki saja," jawab Sambi Wulung pula.
"Penting atau tidak penting, tetapi sebutkan," bentak orang bertubuh tinggi kekar itu.
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah akan ada artinya bagimu Ki Sanak" Bukankah aku akan dapat penyebut nama apapun juga dan asal-usul, asal saja berucap. Karena itu daripada aku harus berbohong, maka lebih baik aku tidak menyebut apapun juga."
"Persetan," geram orang itu, "kau akan menyesal dengan kesombonganmu. Kami adalah para pengawal padukuhan ini. Jika kalian tidak mau mengatakan nama dan asal usul kalian dengan sebenarnya, maka kalian harus kami tangkap dap kami hadapkan kepada para bebahu."
Tetapi Sambi Wulung tertawa. Katanya dengan nada tinggi, "Kau kira aku percaya bahwa kalian adalah pengawal padukuhan" Para pengawal padukuhan tentu terdiri dari anak-anak muda, berwajah keras tetapi bersih dan bersinar oleh ketegaran niatnya yang bersih. Tanpa pamrih bagi dirinya sendiri. Sudah ratusan padukuhan kami jelajahi. Dan sudah ratusan kali pula kami temui kelompok-kelompok pengawal padukuhan, sehingga dengan demikian kami mempunyai gambaran yang terang atas para pengawal itu. Tidak ada sekelompok pun pengawal padukuhan yang ujudnya seperti kalian itu."
Orang bertubuh tinggi kekar itu menggeram. Jika saja ia tidak mengingat orang tertua di kelompoknya yang selalu mengekangnya, maka ia tentu sudah meloncat menerkam dan mencekik leher Sambi Wulung.
Namun orang bertubuh tinggi kekar itupun kemudian berkata, "Kau harus menebus kesombonganmu dengan harga yang sangat mahal. Tetapi biarlah pemimpin kami yang kemudian berbicara."
"Siapakah pemimpinmu itu" Ki Bekel atau Ki Demang?" bertanya Jati Wulung tiba-tiba.
"Persetan," geram orang yang hampir kehabisan kesabaran itu.
Namun dalam pada itu, kelima orang yang lainpun telah mendekat pula. Orang tertua di antara merekapun melangkah maju. Dengan suara yang lebih lunak ia berkata, "Selamat malam Ki Sanak."
"Malam belum turun," sahut Jati Wulung seenaknya.
Tetapi adalah di luar dugaan, bahwa orang itu justru tertawa. Katanya, "Tetapi sore sudah lewat."
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Tetapi tiba-tiba iapun tertawa juga. Katanya, "Kita memang berada di batas antara sore dan malam hari."
"Kau benar," sahut orang tertua dari sekelompok orang yang menghentikan perjalanan Sambi Wulung bertiga itu. Lalu, "Kita berada di batas. Tetapi baiklah, kita tidak usah mempersoalkannya. Yang penting Ki Sanak, kami mempunyai kepentingan dengan Ki Sanak. Jika tadi sambil berjalan mendekat, agaknya aku mendengar kalian mengelakkan menyebut keterangan tentang diri Ki Sanak bertiga, maka sebaiknya aku langsung saja pada kepentinganku. Serahkan uang kalian. Aku tidak peduli siapakah kalian yang barangkali termasuk pelarian dari Song Lawa."
Sambi Wulung mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya, "Kenapa kau menyangka bahwa kami adalah pelarian dari Song Lawa?"
"Kami melihat sepasukan prajurit Pajang melewati jalan ini yang agaknya menuju ke Song Lawa beberapa hari yang lalu. Nah, agaknya mereka telah memasuki tempat perjudian yang terkutuk itu. Dan kalian adalah di antara mereka yang melarikan diri," berkata orang tertua di antara perampok itu.
"Kenapa kau dapat menyebut, bahwa tempat itu adalah tempat yang terkutuk?" bertanya Sambi Wulung.
"Jangan berpura-pura. Bukan saja tempat itu, tetapi padukuhan-padukuhan di sekitarnya dan yang terletak di jalan yang menuju ke Song Lawa telah mengalami pengaruh buruk," jawab orang itu.
"Jika demikian, apa katamu tentang pekerjaan yang kau lakukan ini" Apakah itu lebih baik dari mereka yang berjudi di Song Lawa" Yang berjudi dengan uang mereka sendiri tanpa mengganggu orang lain?" bertanya Sambi Wulung.
Tetapi orang tertua itu tertawa. Katanya, "Siapa bilang mereka berjudi dengan uang mereka sendiri" Dari mana mereka mendapatkan uang itu" Ada seorang Tumenggung yang mempunyai kesenangan berjudi. Akhirnya ternyata bahwa perbendaharaan yang dipercayakan kepadanya telah dihabiskannya. Akibatnya ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Tetapi ia sempat melarikan diri dan akhirnya, ia justru menjadi perampok yang paling ditakuti di lingkungannya."
"Apakah kau berbicara tentang dirimu sendiri?" bertanya Sambi Wulung.
Orang tertua itu termenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Sekarang berikan uangmu. Semuanya, jangan ada yang kau sembunyikan sehingga aku harus mengambilnya sendiri. Jangan pula berusaha mempertahankannya, karena itu adalah sia-sia. Bukankah uangmu itu sebenarnya akan kau habiskan juga di barak-barak permainan judi?"
Jati Wulunglah yang kemudian tertawa. Katanya, "Kau aneh. Kau tebak asal saja menebak. Sebagian dari tebakanmu memang benar. Kami adalah pelarian dari Song Lawa. Tetapi jika kami berada di Song Lawa, kami tidak akan menghabiskan uang kami, justru di Song Lawa kami mendapatkan uang banyak sekali. Kami menyesal bahwa Song Lawa telah dihancurkan. Padahal tempat itu merupakan sumber penghasilan kami."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Mana mungkin seseorang dapat mencari penghasilan di Song Lawa. Bukankah di Song Lawa justru disediakan satu bilik khusus untuk membunuh diri bagi mereka yang menjadi putus asa karena semua kekayaannya terkuras habis."
"Justru ada di antara mereka yang membunuh diri, maka tentu ada pula yang menang. Dan kami adalah orang-orang yang selalu menang," jawab Jati Wulung.
"Yang menang adalah orang-orang Song Lawa sendiri," geram orang tua itu.
"Jangan membantah," bentak Jati Wulung tiba-tiba, "kamilah yang mengalami. Kamilah yang tahu pasti. Seperti sekarang ini. Kami sudah memenangkan perjudian itu, meskipun seharusnya kami masih akan dapat menang lebih banyak lagi seandainya prajurit-prajurit Pajang itu tidak datang."
"Persetan," geram orang tertua itu, "berikan uang itu kepada kami."
Adalah juga di luar dugaan jika Jati Wulung justru tertawa. Katanya, "Kau nampaknya memang mempunyai kebiasaan menunggu orang-orang Song Lawa keluar dari lingkungan perjudian itu setiap habis musim judi. Kau cegat orang-orang yang kau anggap menang, dan kemudian kau ancam agar mereka memberikan uang kemenangannya itu kepadamu. Sayang, nampaknya kau belum pernah membentur orang-orang seperti Kepala Besi, Sikatan Putih atau gerombolan Macan Ireng. Atau, kami bertiga."
Wajah orang tua itu memang berubah. Dalam keremangan senja nampak orang itu merenungi kata-kata Jati Wulung. Bahkan di luar kehendaknya ia berdesis, "Kepala Besi, siapakah yang kau maksud?"
"Orang Hutan berkepala Besi dari pesisir Utara," jawab Jati Wulung.
"Apakah orang itu ada disini sekarang?" bertanya orang tua itu.
"Ia ada di Song Lawa. Aku tidak tahu, apa yang terjadi dengan orang itu di hadapan sepasukan Pajang yang kuat dan berjumlah besar," jawab Jati Wulung. Lalu katanya, "Nah, sekarang pikirkan sekali lagi. Apakah kau akan merampok kami?"
Orang tua itu memang termangu-mangu. Tetapi kemudian ia menggeram, "Berikan uang itu. Cepat. Atau kalian aku lemparkan ke dalam jurang di sebelah jalan ini?"
Sambi Wulunglah yang menjawab, "Aku akan mempertahankan uang kami. Uang yang dengan susah payah kami dapatkan di Song Lawa, bahwa dengan susah payah pula kami bawa melarikan diri sekarang ini."
"Kalian agaknya sudah jemu hidup," bentak orang tua itu.
"Orang yang sudah berani mengunjungi Song Lawa adalah orang-orang yang khusus. Nah kita bertemu sekarang," geram Sambi Wulung.
Kata-kata itu memang merupakan satu tantangan bagi ketujuh orang itu. Ternyata ketiga orang yang mengaku pelarian dari Song Lawa itu sama sekali tidak menjadi gentar melihat mereka bertujuh.
Orang tertua di antara ketujuh orang itu memang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera memberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk mengepung ketiga orang itu di tiga sisi. Sementara di sisi yang lain terdapat jurang yang cukup dalam dan terjal.
"Kalian benar-benar tidak mau menyerahkan uang kalian?" bertanya orang tertua itu.
Tetapi Jati Wulunglah yang menyahut, "jadi kalian benar-benar akan merampok kami?"
Orang tertua di antara ketujuh orang itu menggeram. Katanya kepada para pengikutnya, "Bunuh mereka. Kita memerlukan uangnya. Lalu lemparkan mereka ke dalam jurang. Kita tidak usah mendengar keributan esok jika orang-orang pergi ke pasar lewat jalan ini. Atau jika prajurit Pajang kembali dari Song Lawa lewat jalan ini pula."
Ketujuh orang itu mulai bergerak. Sementara itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung berdiri di sebelah menyebelah Puguh. Merekapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Orang-orang yang akan merampas uang yang dibawa oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung itu telah mulai bergerak. Nampaknya tiga orang yang akan mereka rampok itu akan bertempur berpasangan, sehingga mereka akan menyusun satu pertahanan bersama.
"Berhati-hatilah," desis Sambi Wulung, "nampaknya orang tua itu cukup berbahaya."
Dengan pedang di tangan Puguh telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu Sambi Wulung dan Jati Wulung memang memujinya di dalam hati, bahwa menghadapi ketujuh orang itu, Puguh tetap tenang. Sama sekali tidak nampak kegelisahan, apalagi ketakutan di wajahnya. Bahkan ketika ia mulai menggerakkan pedangnya, maka ilmu pedangnyapun masih nampak utuh. Tidak gugup.
Dengan demikian maka Sambi Wulung dan Jati Wulung dapat menilai bahwa Puguh yang telah mengembangkan kemampuan ilmu pedang dan oleh kanuragan yang lain itu, ternyata memiliki pula ketahanan jiwa yang tinggi.
Sejenak kemudian, maka ketujuh orang itupun mulai menyerang. Mereka ternyata mempergunakan berbagai jenis senjata yang menggetarkan. Orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang serta kekar itu ternyata membawa sepotong besi yang berujung runcing. Sedangkan seorang kawannya yang lain telah membawa bindi yang berat. Seorang lagi membawa golok yang besar dan panjang. Sementara itu, orang tertua di antara mereka itu memegang sebilah pedang yang tajam di kedua sisinya.
Sambi Wulung sempat memperhatikan pedang itu. Pedang yang lurus dan bermata dua berujung runcing tajam. Dalam keremangan senja sekali-sekali nampak daun pedang itu berkilat lemah.
"Pedang pilihan," desis Sambi Wulung.
Namun ia tidak sempat terlalu lama memperhatikan jenis-jenis senjata lawan-lawannya. Iapun segera terlibat dalam pertempuran yang cepat. Beberapa ujung senjata telah terjulur ke arahnya.
Jati Wulungpun kemudian telah bertempur pula. Mereka masih juga membawa pedang yang mereka pergunakan di Song Lawa, sehingga dengan demikian, maka merekapun telah bertempur dengan senjata sewajarnya.
Di tengah-tengah Puguh telah bertempur dengan gigihnya. Pedangnya berputaran dengan cepat. Benturan-benturan tajam senjata yang kemudian terjadi, telah memercikkan bunga api.
Sekali lagi Sambi Wulung dan Jati Wulung memuji ketabahan hati Puguh menghadapi lawan-lawannya. Bahkan keduanya sempat berangan-angan sekilas, bahwa Puguh telah mendapat kesempatan mematangkan dirinya jauh lebih baik dari Risang. Risang selama ini hanya ditempa di dalam sebuah lingkungan tertutup. Siang dan malam ia melatih diri untuk meningkatkan ilmunya. Namun ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengalami benturan kekuatan yang sebenarnya melawan kekuatan yang besar sebagaimana terjadi pada Puguh. Risang hanya berkesempatan untuk berkelahi dengan anak-anak padukuhan yang nakal dan membuat mereka jera.
Namun Sambi Wulung dan Jati Wulung sendiri tidak hanya harus menilai kemampuan Puguh. Tetapi merekapun harus bertempur melawan kekuatan yang cukup besar.
Tujuh, orang yang ingin merampas uang mereka itupun telah bertempur dengan sengitnya. Senjata mereka telah terayun susul menyusul menyambar tubuh ketiga orang yang bertahan di bibir jurang itu.
Ketika orang yang bertubuh agak pendek mendesak maju dan menusuk dengan goloknya ke arah dada Puguh, maka Puguh sempat menangkisnya. Tetapi bersamaan waktunya, datang pula serangan dari arah lain menyambar lengah Puguh. Untunglah bahwa Jati Wulung yang memiliki ilmu yang tinggi itu sempat melihatnya. Dengan dorongan tenaga cadangannya, maka Jati Wulung telah bergerak cepat sekali memukul serangan itu.
Kedua serangan itu ternyata tidak menyentuh tubuh Puguh, sementara Jati Wulung dan Sambi Wulung telah meningkatkan kecepatan gerak mereka. Mereka mulai membangunkan tenaga cadangan mereka yang semakin lama menjadi semakin besar, sehingga merekapun mampu bergerak semakin cepat di antara ayunan dan putaran senjata lawan mereka yang menggetarkan.
Demikianlah, maka semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit. Namun ternyata bahwa ketujuh orang itu mengalami kesulitan menembus kepekatan putaran senjata ketiga orang pelarian dari Song Lawa itu.
Tetapi ketujuh orang itupun ternyata adalah orang-orang yang memiliki pengalaman yang luas. Orang yang bertubuh tinggi tegap itupun telah memutar potongan besinya yang runcing sehingga menimbulkan desing angin yang menggetarkan. Bahkan dengan nada tinggi ia berkata, "Ternyata kalian telah mempersulit jalan kematianmu sendiri. Ujung besiku, ini telah membunuh lebih dari lima orang. Sekarang, agaknya harus aku tambah lagi dengan setidak-tidaknya seorang di antara kalian."
"Jadi kau pernah benar-benar membunuh orang?" bertanya Jati Wulung.
"Kau mulai ketakutan?" bertanya orang bertubuh tegap itu. Lalu katanya, "semua orang di antara kami pernah membunuh mereka yang tidak mengikuti perintah kami. Paling sedikit di antara kami telah membunuh tiga orang korban. Sementara pemimpin kami telah membunuh lebih dari sepuluh orang."
"Gila," geram Jati Wulung, "jika demikian, maka tidak ada hukuman lain yang pantas dijatuhkan atas kalian kecuali hukuman mati."
Pemimpin kelompok itu tertawa. Orang tua itupun berkata, "Kalian tidak berhak menjatuhkan hukuman apapun atas kami. Apalagi sebentar lagi kalian sudah akan kami lemparkan ke dalam jurang."
"Apakah benar kau pernah membunuh lebih dari sepuluh orang Ki Tumenggung" Bahkan mungkin di antara mereka terdapat perempuan dan anak-anak," berkata Sambi Wulung.
"Kau boleh memanggil aku Ki Tumenggung. Memang menyenangkan sekali dipanggil dengan sebutan itu. Tetapi itu tidak akan menolongmu. Kau akan menjadi orang yang terbunuh berikutnya oleh senjataku ini. Aku memang sudah membunuh lebih dari sepuluh orang. Bahkan lebih dari limabelas orang. Jika di antara mereka terdapat perempuan dan anak-anak, itu adalah karena salah mereka sendiri," jawab orang tertua di antara mereka.
"Apaboleh buat," berkata Sambi Wulung, "sesuai dengan pengakuan kalian sendiri, maka kalian memang harus mati. Jika kalian masih juga diampuni dan mendapat kesempatan untuk hidup, maka kalian tentu akan membunuh lagi."
Hampir berbareng beberapa orang di antara mereka tertawa. Tetapi mereka sama sekali tidak mengendorkan serangan-serangan mereka yang datang beruntun, susul menyusul semakin lama terasa menjadi semakin cepat. Bahkan orang tertua di antara mereka itupun telah bergeser pula setiap kali.
Sekali menghadapi Sambi Wulung, kemudian bergeser untuk menyerang Puguh dan kadang-kadang ia berhadapan dengan Jati Wulung. Ternyata orang tua itu terlalu yakin akan kemampuannya sendiri, sehingga dengan demikian ia menganggap bahwa lawan-lawannya itu akan menjadi kebingungan.
Tetapi dugaan itu ternyata salah. Ketiga orang itu sama sekali tidak menjadi bingung. Apalagi Sambi Wulung dan Jati Wulung. Bahkan Puguhpun tidak menjadi bingung meskipun ia memang mengalami kesulitan. Tetapi setiap kali Sambi Wulung atau Jati Wulung telah menolongnya, menyelamatkannya dari ujung-ujung senjata lawan.
Ternyata ketika pertempuran itu menjadi semakin seru, Sambi Wulung dan Jati Wulung meyakini bahwa lawan-lawan mereka itu memang benar-benar berusaha untuk membunuh mereka. Yang mereka katakan bukan sekedar membual dan menakut-nakuti, tetapi benar-benar akan mereka lakukan.
Karena itu, maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun tidak lagi sekedar bermain-main. Cara mereka menghadapi orang-orang itu memang berbeda dengan cara yang mereka pergunakan untuk menghadapi prajurit-prajurit Pajang yang memburu mereka di saat mereka melarikan diri dari Song Lawa.
Ketika tangan mereka telah mulai berkeringat, maka gerak mereka berduapun menjadi semakin lama semakin cepat. Tenaga cadangan yang mereka pergunakan menjadi semakin mereka tingkatkan pula, sehingga ketujuh orang lawan mereka itupun merasa menjadi semakin sulit.
Tetapi orang tua di antara ketujuh orang itupun tiba-tiba saja telah berteriak, "Sudah waktunya kalian melakukannya. Jangan menunggu lagi."
Keenam orang yang menerima perintah itupun telah dengan serentak mengerahkan kemampuan puncak mereka. Senjata mereka terayun-ayun semakin mengerikan. Sepotong besi yang runcing itupun berputar bagaikan baling-baling. Sementara golok yang besar dan berat terayun-ayun mendatar dan kadang-kadang menyilang, sementara sebuah bindi yang berat, bergerigi, menyambar-menyambar seperti cakar-cakar garuda yang besar, sedangkan ujung-ujung pedang mematuk seperti mulut ular bandotan.
Puguh memang terkejut melihat gerak senjata yang bergelora bagaikan angin prahara itu. Selangkah ia bergeser surut untuk melihat lebih jelas lagi dalam keremangan ujung malam yang mulai turun. Kilatan-kilatan pedang orang tertua dari gerombolan itu kadang-kadang memang membuat getar di hati anak yang masih sangat muda itu. Betapapun tabah hatinya, namun gerak serentak yang bagaikan banjir bandang melandanya itu, adalah wajar jika telah membuatnya berdebar-debar.
Tetapi Sambi. Wulung dan Jati Wulung yang mengetahui bahwa hal serupa itu akan terjadi, justru tidak beranjak dari tempat mereka. Senjata merekapun telah mengimbangi kecepatan gerak senjata lawan mereka. Meskipun hanya dua buah pedang. Tetapi yang dua itu ternyata mampu bergerak di luar perhitungan lawan-lawannya. Pedang itu berputar, berayun mendatar, menyilang dan menyambar. Juga mematuk dengan cepatnya. Bahkan jika serangan lawannya bergerak bersamaan, pedang itu berputar melingkari lingkungan pertahanan mereka, seperti sebuah perisai kabut yang putih. Namun sulit untuk ditembus meskipun hanya seujung duri sekalipun. Dua buah pedang itu ternyata telah membingungkan ketujuh lawan mereka. Seolah-olah mereka telah melihat sepuluh buah pedang yang berterbangan di sekitar arena yang semakin gelap itu.
Orang tertua di antara mereka itupun mengumpat kasar. Namun ia masih berharap untuk dapat mengatasi lawannya. Mereka bertujuh berharap akan dapat bertahan lebih lama dari ketiga orang lawannya. Jika lawan mereka mengerahkan tenaga sepenuhnya, maka ketiga orang itu akan segera menjadi letih sehingga kemampuan mereka akan segera mengendor.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sambi Wulung dan Jati Wulung ternyata semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Bahkan ketika orang yang bertubuh tegap kekar itu berusaha untuk menyambar tengkuk Jati Wulung dengan tongkat besinya, Jati Wulung sempat merendah. Demikian tongkat besi itu terayun di atas kepala, maka Jati Wulung telah menjulurkan pedangnya.
Orang itu berusaha untuk mengelak. Namun meskipun dengan cepat ia melenting mundur, ternyata bahwa ujung pedang Jati Wulung sempat menyentuh dadanya.
Luka itu tidak begitu dalam. Tetapi goresan itu telah mengoyak kulit orang yang bertubuh tegap itu, sehingga darahpun mulai mengalir.
Orang bertubuh tinggi tegap itu segera meloncat mundur dan berada di belakang garis pertempuran. Dirabanya lukanya yang tidak begitu dalam itu. Namun oleh keringatnya yang mengalir, luka itu memang terasa terlalu pedih.
Dengan kemarahan yang bergelora sampai ke ubun-ubunnya ia menggeretakkan giginya. Dengan langkah yang dibebani dendam dan kebencian ia bergerak memasuki arena pertempuran itu kembali.
Namun, demikian ia mulai menggerakkan tongkat besinya, ternyata seorang kawannya yang bertubuh agak gemuk dan bersenjata kapak dengan kait di punggung mata kapaknya, telah terdorong surut dan bahkan kemudian telah mendorong dua orang kawannya yang lain pula. Untunglah mereka dapat bertahan untuk tidak jatuh terlentang. Tetapi ternyata orang yang bersenjata kapak berkait itu, merintih kesakitan.
"Kenapa?" bertanya seorang kawannya yang bersenjata bindi.
Orang yang bersenjata kapak itu mengumpat. Katanya, "Orang itu telah melukai aku."
Orang bersenjata bindi itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian melihat, bahwa lengan kawannya itu telah menganga.
Dalam pada itu, orang tertua di antara mereka telah berteriak nyaring, "Apa yang kalian lakukan he" Cepat, selesaikan ketiga tikus-tikus busuk itu."
Orang bersenjata bindi itupun segera meninggalkan kawannya yang terluka di lengannya. Bindinyapun segera telah terayun kembali.
Sambi Wulung dan Jati Wulung benar-benar merupakan dua orang yang sulit diimbangi. Meskipun keduanya belum merambah ke ilmunya yang lebih tinggi, tetapi ketujuh orang itu sudah merasakan kesulitan untuk mengalahkan mereka.
Bahkan Puguhpun sempat menjadi heran. Bagaimana mungkin Sambi Wulung dan Jati Wulung dapat melawan ketujuh orang itu dengan tanpa mengalami kesulitan. Ia sendiri hampir tidak banyak berbuat. Puguh sendiri hanya harus bertahan jika ada satu dua orang sempat menyusup di sela-sela pedang Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Selebihnya, Sambi Wulung dan Jati Wulung yang dikenalnya bernama Wanengbaya dan Wanengpati itulah yang mengatasi perlawanan ketujuh orang itu.
Ketika pengikutnya telah terluka, maka rasa-rasanya Jantung orang tertua di antara mereka itupun akan meledak oleh kemarahan. Tetapi bagaimanapun juga ia berusaha bersama orang-orangnya, namun sulit baginya untuk dapat melumpuhkan perlawanan itu.
Akhirnya, orang tertua itu sampai pada keputusan terakhir untuk mempergunakan senjata andalannya. Senjata yang jarang sekali dipergunakan jika ia tidak tersudut ke dalam kesulitan.
Apalagi ketika kemudian ternyata seorang lagi pengikutnya telah terluka. Seorang anak muda yang bertubuh tinggi yang dianggapnya seorang yang berpengetahuan luas.
Dalam gejolak kemarahannya, orang tertua itu sempat berteriak, "He, orang-orang yang tidak tahu diri. Kalian sangka bahwa setelah kalian berhasil melukai orang-orangku kalian akan memenangkan pertempuran ini, he" Sudah saatnya aku tidak lagi menahan diri untuk bersabar. Kalian memang harus mati di tanganku."
Dalam pada itu, orang tertua itu tiba-tiba saja telah memindahkan senjatanya di tangan kiri. Dengan tangkasnya tangan kanannya telah bergerak. Ternyata sebuah lingkaran kecil yang bergerigi tajam telah meluncur dari tangannya.
Sambi Wulung yang menjadi sasaran serangan itu sempat menangkisnya. Bahkan ia sempat berkata lantang. "Hati-hatilah. Lawan kita ternyata seorang yang licik."
Puguh yang mendengar seruan Sambi Wulung itupun menjadi semakin berhati-hati. Baginya agaknya masih terlalu sulit untuk menangkis serangan lingkaran besi baja yang bergerigi tajam itu. Namun masih mungkin bagi Puguh untuk mencoba menghindari.
Tetapi disamping serangan lingkaran bergerigi itu, ia masih menghadapi serangan-serangan dari lawan-lawannya yang bersenjata bindi, kapak, pedang, golok dan yang lain, meskipun beberapa orang di antara mereka sudah terluka.
Karena itu, maka Sambi Wulunglah yang berusaha menghadapi langsung orang tertua dari kelompok orang-orang kasar itu. Sementara itu ia mengharap Jati Wulung akan tanggap pada keadaan.
Sebenarnyalah Jati Wulung memang menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan ilmunya pula. Bahkan iapun telah bersiap-siap mempergunakan ilmu puncaknya apabila diperlukan.
Tetapi agaknya Jati Wulung telah mampu mengatasi keadaan dengan mengerahkan tenaga cadangannya. Dengan gerak yang semakin cepat, maka lawan-lawannya benar-benar telah menjadi kebingungan. Pedang Jati Wulung berputaran bagaikan segumpal awan putih yang bergerak di sepanjang medan.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambi Wulung lebih memusatkan perhatiannya kepada pemimpin dari sekelompok lawan-lawannya itu. Ia berusaha untuk menangkis setiap serangan lingkaran bergerigi yang terbang menyambarnya, bahkan menyambar kawan-kawannya. Dengan kemampuannya yang sangat tinggi, maka Sambi Wulung telah mendesak dan berusaha bertempur pada jarak yang dekat.
Dalam pada itu, Puguh memang terhindar dari serangan-serangan yang sangat berbahaya itu. Sambi Wulung yang telah berhasil mendekat, tidak memberi kesempatan kepada orang tertua itu untuk menyerang Puguh dan Jati Wulung. Serangan-serangannya hanya tertuju kepada Sambi Wulung yang menjadi sangat berbahaya baginya.
Sementara itu Jati Wulung seakan-akan telah mengambil alih semua orang yang tersisa. Puguh memang mampu berusaha untuk melindungi dirinya. Namun Jati Wulunglah yang harus berloncatan kian kemari.
Namun dengan demikian maka pertempuranpun menjadi semakin mendekati akhirnya. Jati Wulung benar-benar tidak mengekang diri lagi. Pedangnya terayun-ayun mengerikan. Bahkan sejenak kemudian, maka ujung pedangnya telah menjadi merah oleh darah lawannya ketika ia berhasil menusuk lambung orang yang berwajah kasar dan berkepala botak, yang mengenakan ikat kepala sekenanya saja.
Luka itu cukup dalam, sehingga lambungnya bagaikan telah menganga. Karena itu, maka orang itupun telah terjatuh tertelungkup. Darah yang mengalir dari lukanya itu bagaikan arus sebatang parit kecil yang menumpahkan airnya ke sawah.
Tetapi orang yang bertubuh tinggi ternyata memang cerdik.
Ia melihat bahwa kelemahan dari ketiga orang itu terletak pada anak muda yang agaknya selalu mendapat perlindungan dari kedua orang yang lain.
Karena itu, maka pada satu kesempatan ia berbisik kepada orang yang bertubuh tinggi tegap dan yang juga sudah terluka pula, "Kita bantai anak itu."
Orang yang bertubuh tinggi tegap itupun mengerti rencana itu. Dengan kemarahan yang memuncak, maka ia memang ingin membalas dendam karena luka-lukanya.
Ketika Jati Wulung sedang sibuk melayani lawan-lawannya yang lain, maka kedua orang yang sudah terluka itu dengan sisa tenaganya telah menyerang Puguh.
Puguh terkejut. Tetapi ia tidak dapat meloncat mundur, karena ia sudah terlanjur terlalu dekat dengan bibir jurang. Karena itu, maka ia harus berusaha untuk menangkis serangan-serangan itu.
Jati Wulung melihat bahaya yang mengancam anak muda itu. Adalah dorongan nalurinya untuk menolong seseorang yang menghadapi bahaya maut tanpa mengingat lagi siapakah orang itu. Karena itu, maka dengan sigapnya ia menguak kepungan lawan dan bahkan dengan satu ayunan yang kuat, Jati Wulung telah berhasil melemparkan kapak di tangan lawannya yang memang sudah terluka itu.
Dengan cepat ia meloncat justru menyerang orang yang bertubuh tinggi tegap dan bersenjata tongkat besi yang runcing itu.
Namun Jati Wulung terlambat selangkah. Meskipun ujung tongkat besi itu tidak mengenai lawannya, tetapi senjata orang yang bertubuh tinggi itulah yang telah menyambar pundak Puguh.
Terdengar Puguh berdesah tertahan. Namun pada saat yang bersamaan terdengar orang bertubuh tinggi itu berteriak nyaring. Ternyata pedang Jati Wulung telah menyambarnya. Demikian kerasnya sehingga orang itu seakan-akan telah terdorong tanpa dapat menahan diri lagi. Di dalam gelapnya malam, maka orang itu justru telah terperosok masuk ke dalam jurang.
Kawannya yang bertubuh tinggi tegap itu tidak mampu menolongnya. Bahkan Jati Wulung yang bagaikan mengamuk itu telah berdiri menghadap ke arahnya.
Puguh berdiri termangu-mangu. Terasa darah yang hangat telah mengalir dari luka di pundaknya. Justru pundak kanannya. Dengan demikian maka terasa tangannya menjadi lemah.
Tetapi ketabahan anak muda itu memang terpuji. Ia tidak mau menyerah pada keadaannya. Meskipun pundaknya terluka, tetapi ia masih juga mengangkat ujung pedangnya teracu ke arah lawannya.
Sementara itu, Sambi Wulung masih bertempur melawan pemimpin gerombolan perampok yang kasar itu. Bahkan ia harus bertempur melawan dua orang sekaligus, sementara orang tertua itu masih saja di setiap kesempatan mempergunakan senjatanya yang sangat berbahaya itu.
Meskipun ia masih sempat sekali-sekali menyerang dengan lingkaran baja yang bergerigi itu, namun ia masih juga mengumpat-umpat. Ternyata Sambi Wulung benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Dengan demikian, maka keadaan para perampok itu menjadi semakin sulit. Tetapi ternyata mereka justru menjadi semakin liar. Orang-orang yang sudah terluka tidak menyerah karena lukanya. Namun mereka telah bertempur dengan liarnya.
Di saat-saat terakhir, baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung benar-benar tidak mau mengekang diri lagi. Menurut pendapat mereka orang-orang yang merampok itu, benar-benar pembunuh yang sangat berbahaya. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka selain menyelesaikan mereka yang tersisa.
Tetapi sebelumnya Sambi Wulung masih juga berpikir untuk mengambil jalan lain. Katanya, "Menyerahlah. Jika kalian menyerah, maka kalian tidak akan mati. Tetapi kalian akan kami serahkan Ki Bekel di padukuhan berikut itu."
"Persetan," geram orang tertua di antara mereka, "kami tidak mempunyai pilihan lain kecuali membunuh kalian bertiga."
"Jadi bagi kita sudah tidak ada kesempatan mengambil jalan lain kecuali saling membunuh?" bertanya Sambi Wulung.
Ternyata orang tertua itu tidak menjawab. Tetapi dua lingkaran geriginya meluncur sekaligus. Demikian cepatnya terbang di dalam kegelapan sementara Sambi Wulung yang tidak menyangka bahwa orang itu akan dengan tiba-tiba menyerang dengan dua buah lingkaran sekaligus, agak terhambat menghindar. Karena itulah, maka sebuah di antara kedua lingkaran baja itu telah menyentuh lengannya.
Sambi Wulung terkejut. Lengannya terasa bagaikan tersentuh bara api. Dan ternyata kemudian luka telah menganga dan darah mengalir dari lukanya itu.
Sambi Wulung menjadi semakin marah. Hampir saja ia telah melepaskan ilmu puncaknya yang akan dapat membakar lawannya menjadi hangus. Namun ia masih harus menyembunyikannya dari penglihatan Puguh agar tidak menumbuhkan kecurigaan jika anak muda itu berceritera tentang dirinya kelak.
Karena itulah, maka Sambi Wulungpun telah mengerahkan tenaga cadangannya. Dengan demikian, maka iapun telah bergerak semakin cepat. Berloncatan menghindar dan menangkis serangan-serangan yang kemudian datang susul menyusul. Agaknya lawannyapun berusaha untuk mempergunakan kesempatan yang ada menghujani Sambi Wulung dengan senjatanya itu.
Tetapi usaha itu sia-sia. Sambi Wulung yang marah, ternyata tidak mengampuninya lagi. Sambil menangkis dan menghindar, akhirnya Sambi Wulung dapat juga mencapai lawannya. Sebuah ayunan yang keras menebas ke arah dada.
Orang tertua itu masih sempat menghindar. Ketika Sambi Wulung siap meloncat menerkam dengan ujung pedangnya, maka seorang yang lain telah menyerangnya.
Sambi Wulung menghindar dengan berjongkok rendah. Demikian senjata lawannya terayun di atas kepalanya, maka pedangnya telah terjulur, tepat menembus lambung mengoyak isi perutnya.
Orang itu tidak sempat mengeluh. Namun ketika Sambi Wulung menarik pedangnya, sebuah lingkaran bergerigi telah menyambarnya.
Dengan demikian maka Sambi Wulung harus dengan cepat menghindar. Tetapi akibatnya justru pedangnya bagaikan dihentakkannya, sehingga luka di lambung lawannya yang seorang itu menjadi semakin menganga.
Maka pada saat-saat terakhir, Sambi Wulung telah bertempur melawan orang tertua di antara ketujuh orang itu. Memang tidak ada pilihan, apalagi Sambi Wulung telah dilukai oleh lawannya itu.
Sesaat kemudian, maka keadaanpun menjadi hening. Angin malam yang basah bertiup di sela-sela pepohonan. Seakan-akan tiba-tiba saja langit menjadi gelap oleh mendung.
Puguh duduk di atas sebuah batu di bibir jurang. Ternyata lukanya telah terasa pedih dan nyeri.
"Kita akan mengobati luka kita," berkata Sambi Wulung kemudian.
Puguh tidak menjawab. Tetapi dipandanginya di dalam gelapnya malam yang menjadi semakin pekat oleh mendung, lima sosok tubuh terbaring. Ternyata mereka telah terbunuh dalam pertempuran yang garang itu. Dua orang di antara mereka telah terlempar jatuh ke dalam jurang.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Puguh telah diobati luka-lukanya oleh Jati Wulung yang sempat berkata, "Hanya aku yang tidak terluka."
Sambi Wulung berdesis, "Kau cari lawan yang paling lemah."
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Kita bertempur bercampur baur."
Sambi Wulung tidak menjawab lagi. Tetapi ketika serbuk obat yang dibawanya ditaburkan di lukanya, maka terasa luka itu sangat pedih. Demikian pula luka dipundak Puguh yang ternyata lebih parah dari luka Sambi Wulung. Apalagi daya tahan tubuh merekapun berbeda.
"Bagaimana dengan tubuh orang-orang yang terbunuh itu?" bertanya Jati Wulung kemudian.
"Apakah kita akan menguburkan mereka?" sahut Puguh dengan nada rendah.
Sambi Wulung termangu-mangu. Namun katanya, "Terpaksa sekali kita tidak dapat melakukannya. Tetapi kita berharap bahwa besok ada orang yang bersedia menguburkan mayat-mayat itu. Kita tidak mempunyai alat untuk melakukannya, sementara jika hujan turun, maka obat di luka kita akan hanyut dan tidak berarti lagi."
"Kita cari tempat untuk berteduh," berkata Jati Wulung.
Mereka bertigapun kemudian dengan berat hati terpaksa meninggalkan kelima sosok mayat yang sudah mereka angkat menepi. Mereka baringkan berjajar di rerumputan di bibir jurang. Ternyata mereka tidak sampai hati untuk melemparkan mayat-mayat itu begitu saja ke dalam jurang.
"Bukan pekerjaan kami membunuh," desis Sambi Wulung kepada Puguh, "tetapi kita tidak mempunyai pilihan lain. Sementara itu, jika mereka lepas dari tangan kita, maka akan lebih banyak lagi korban yang akan jatuh. Mereka tentu akan membunuh dan membunuh."
Puguh hanya termenung saja. Ternyata perjalanannya ke Song Lawa yang terakhir itu telah mempertemukannya dengan pengalaman yang sangat berkesan di hatinya.
Namun ketika titik-titik air mulai jatuh, merekapun mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Ternyata bahwa Puguh telah terpengaruh oleh luka-lukanya yang agaknya banyak mengeluarkan darah.
Karena itu, maka Jati Wulung telah membantunya, memapahnya berjalan menelusuri jalan yang terasa menjadi sangat gelap, sementara di sebelah jalan itu terdapat jurang yang terjal.
Hanya karena ketajaman mata mereka yang melampaui kebanyakan orang sajalah, maka mereka tidak menjadi cemas akan terperosok ke dalam jurang itu.
Ketika mereka melihat sebuah gubug di tengah-tengah sawah, tetapi tidak terlalu jauh dari jalan, maka merekapun telah meniti pematang menuju ke gubug itu.
Tepat di saat orang terakhir memanjat naik ke gubug itu, maka hujanpun turun bagaikan dicurahkan dari langit. Sekali-sekali kilat menyambar, melontarkan cahaya yang seribu kali lebih terang dari cahaya lampu.
Dalam pada itu Puguh sempat berbaring di gubug yang meskipun tidak begitu besar, tetapi cukup longgar itu. Meskipun titik-titik air ada juga yang didorong angin menyusup ke dalam gubug itu, tetapi mereka dapat menyembunyikan luka-luka mereka dengan baik sehingga obat yang ditaburkannya tidak dihanyutkan oleh air hujan itu.
"Nampaknya orang-orang yang terbunuh itu tidak terlalu asing disini," berkata Jati Wulung.
"Kenapa?" bertanya Sambi Wulung.
"Sikapnya di kedai itu, juga sikap pemilik kedai itu menunjukkan bahwa ketujuh orang itu sudah terbiasa berada di kedai itu," jawab Jati Wulung.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian dengan nada rendah, "Apakah kita menganggap perlu untuk mengetahui siapakah mereka sebenarnya?"
Jati Wulung menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Siapa pun mereka, namun mereka telah berusaha untuk merampok kita. Hal yang sama tentu dilakukan pula terhadap orang lain yang dianggapnya membawa uang atau barang-barang berharga."
Namun tiba-tiba saja Puguh bertanya, "Apakah kalian memang memancing persoalan" Dengan menunjukkan bahwa kalian membawa banyak uang, maka kalian mendapat kesempatan untuk membunuh mereka."
"Tentu tidak," jawab Sambi Wulung meskipun hatinya agak berdebar-debar juga, "aku tidak sadar, ketika aku mengambil kampil uang itu dari kantong bajuku."
Puguh menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya masih saja terasa lemah. Sementara itu hujanpun masih saja turun dengan lebatnya. Bahkan terasa angin menjadi semakin kencang bertiup.
Ketika gubug kecil itu bagaikan terguncang oleh angin yang kencang, maka Puguhpun menjadi berdebar-debar, "Bagaimana jika gubug ini roboh?"
"Tidak," jawab Jati Wulung, "karena gubug ini tidak berdinding agaknya angin tidak terlalu garang mendorongnya. Mungkin atapnya dapat diterbangkan. Tetapi rasa-rasanya angin tidak akan bertiup semakin keras."
Puguh tidak menjawab. Sekali-sekali di langit masih memancar lidah api yang panjang. Guntur terdengar menggelegar.
"Tidak terlalu dekat," berkata Sambi Wulung. Ketiga orang itupun kemudian terdiam. Seakan-akan mereka tengah tenggelam memperhatikan air hujan yang tumpah dari langit tidak henti-hentinya. Berapa banyak air yang tersimpan di dalam mendung yang kelabu itu.
Ternyata bahwa hujan itupun tidak segera teduh. Sementara itu ternyata Puguhpun tertidur di luar kehendaknya. Tubuhnya yang lemah Serta perasaan letih telah membuatnya terlena. Tetapi dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung tetap berhati-hati. Mereka tidak berbicara tentang sesuatu yang dapat membuka rahasia mereka, karena bagaimanapun juga mereka sadari, bahwa Puguh selain anak muda yang tabah, berani, juga seorang yang cerdik.
Karena itu, maka Jati Wulung justru ikut berbaring di sisi Puguh yang tertidur. Sementara Sambi Wulung masih saja duduk sambil sekali-sekali meraba kulit di sekitar lukanya yang meskipun tidak parah, tetapi cucuran darahnya jika tidak pempat, akan dapat mengganggunya pula.
Tetapi agaknya obat yang dibawanya adalah obat yang baik, sehingga baik luka-lukanya, maupun luka Puguh yang lebih parah, telah tidak berdarah lagi.
Ternyata bahwa mereka bertiga harus menunggu untuk beberapa saat lamanya. Baru menjelang tengah malam, maka hujanpun mulai reda. Tetapi suara guntur dan petir masih saja menggelegar meskipun di tempat yang jauh.
"Kita sudah cukup lama beristirahat," berkata Sambi Wulung.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 09 JATI WULUNG yang berbaring di sebelah Puguhpun telah bangkit pula. Ditengadahkannya tangannya yang terjulur keluar gubug terbuka itu. Katanya, "Hujan memang sudah berhenti. Nah, apakah kita akan melanjutkan perjalanan?"
"Kita jauhi tempat ini sebelum ada orang yang melihat sosok-sosok mayat itu," jawab Sambi Wulung.
Jati Wulung mengangguk. Karena itu, maka disentuhnya Puguh yang masih tertidur nyenyak.
Puguhpun segera terbangun. Sambil mengusap matanya, iapun bangkit.
"Apakah hujan sudah berhenti?" bertanya anak muda itu.
"Ya. Hujan memang sudah berhenti," jawab Jati Wulung.
"Lalu, apakah kita akan melanjutkan perjalanan?" bertanya Puguh itu pula.
"Marilah," desis Sambi Wulung, "kita jauhi tempat ini."
Demikianlah, maka mereka bertigapun segera melanjutkan perjalanan. Kesempatan tidur yang tidak terlalu lama itu agaknya telah memberikan kekuatan pada tubuh Puguh yang lemah, sehingga rasa-rasanya ia akan sanggup berjalan lagi sampai pagi.
Ketika Puguh menengadahkan wajahnya ke langit, maka dilihatnya bintang bagaikan menguak awan yang kelabu gelap. Satu-satu muncul dan mulai bercahaya. Sementara itu di cakrawala mendung masih nampak bergantung rendah. Dan sekali-sekali kilat memancar dengan terangnya.
Ketiga orang itu berjalan sambil berdiam diri. Namun seperti sudah berjanji, mereka berusaha untuk menghindari jalan-jalan yang menembus padukuhan, Jika di mulut-mulut jalan yang memasuki padukuhan itu terdapat regol dan gardu, maka mereka tentu akan mendapat seribu macam pertanyaan oleh para peronda.
Karena itu, maka kadang-kadang merekapun telah menyusuri jalan-jalan sempit dan bahkan tanggul-tanggul parit, pematang dan sidatan-sidatan setapak.
Sedemikian jauh, Sambi Wulung dan Jati Wulung masih juga belum bertanya, kemana mereka sebenarnya akan pergi. Tetapi mereka lebih banyak mengikuti saja langkah-langkah Puguh yang nampaknya dengan tidak sengaja telah memilih arah tertentu.
Apalagi ketika pundaknya terluka cukup dalam. Meskipun setelah tertidur nyenyak beberapa saat tubuhnya terasa lebih segar, tetapi luka itu masih juga mempengaruhi keadaan tubuhnya. Bahkan rasa-rasanya darahnya menjadi panas dan urat-uratnya melemah.
Beberapa kali Sambi Wulung memang membubuhkan obat di luka Puguh yang memang cukup dalam. Darahnya memang sudah pempat, tetapi pengaruh pada tubuhnya masih terasa sekali. Tubuhnya dengan cepat merasa letih dalam perjalanan yang lambat. Bahkan rasa-rasanya perasaannya kadang-kadang seperti melayang tanpa dapat dikendalikan. Seperti mimpi meskipun disadarinya.
"Apa yang terjadi dengan diriku," berkata Puguh.
"Kau kenapa?" Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi cemas.
"Rasa-rasanya kesadaranku tidak utuh. Kadang-kadang aku merasa seperti mabuk tuak. Juga pening dan mual. Rasa-rasanya sulit untuk mengendalikan diri," berkata Puguh.
"Tetapi kau masih sadar sepenuhnya," berkata Sambi Wulung, "usahakan agar kau tetap sadar dan tidak kehilangan penalaran. Kita akan menempuh perjalanan panjang."
Puguh mengangguk. Karena itu, dengan sisa kesadarannya ia telah berjuang untuk tetap dalam kesadaran. Ia tidak mau pingsan atau seperti seorang yang mabuk. Lupa diri dan tidak tahu apa yang telah dilakukannya sendiri.
"Baiklah," berkata Sambi Wulung selanjutnya, "jika demikian maka kau harus segera sampai ke tujuanmu. Tetapi kau belum mengatakan, kita akan pergi ke mana. Bagi kami berdua, kemanapun kami pergi tidak akan ada permasalahan. Tetapi bagi kau tentu lain."
Puguh benar-benar merasa dirinya sulit untuk dikuasainya. Namun ia masih tetap sadar untuk tidak mengatakan sesuatu tentang tempat tinggalnya. Namun ia mengerti, bahwa ia memang harus segera sampai ke tujuan.
Karena itu, maka Puguh hanya sekedar memilih arah. Dengan nada rendah ia berkata, "Kita menuju ke Gantar."
"Gantar," Sambi Wulung mengulang.
"Ya. Setelah sampai di Gantar, maka aku harap aku sudah dapat melanjutkan perjalananku sendiri," berkata Puguh.
"Kenapa kau harus berjalan sendiri?" bertanya Jati Wulung.
"Kalian bukan keluarga kami. Karena itu, maka kalian tidak perlu mengetahui tempat tinggal kami. Para pengawalku itupun tidak tahu banyak tentang tempat tinggalku yang sebenarnya," jawab Puguh.
"Aku tidak berkepentingan dengan tempat tinggalmu. Aku hanya akan mengantarkanmu sampai ke orang tuamu atau siapapun yang pantas menerimamu dalam keadaan seperti ini," berkata Jati Wulung.
Namun Puguh berkata, "Bukankah kau ingin menemui orang tuaku dan membicarakan tentang aku" Tentang anak-anak muda yang berada di tempat maksiat seperti itu?"
Sambi Wulung dan Jati Wulung menarik nafas dalam-dalam.
Dengan ragu-ragu Sambi Wulungpun berkata, "Apakah kau berkeberatan jika aku berbicara dengan orang tuamu?"
Dengan wajah yang tegang Puguh menjawab, "Aku berkeberatan."
"Apakah orang tuamu tidak mengetahui, bahwa kau sering berada di Song Lawa di musim-musim perjudian?" bertanya Jati Wulung.
Puguh tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya terasa semakin pening. Sekali-sekali dipijitnya keningnya sambil berdesis.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memandanginya dengan cemas. Bahkan Sambi Wulung kemudian berkata, "Kita berhenti sejenak. Nampaknya langit menjadi terang. Agaknya hujan tidak akan turun lagi."
Mereka bertigapun kemudian berhenti dan duduk di atas sebuah batu yang besar di pinggir sungai. Ternyata bahwa Puguh memang perlu beristirahat lagi.
"Aku haus sekali," berkata Puguh.
"Aku tidak tahu, apakah disini ada semacam belik yang dapat diambil airnya," jawab Jati Wulung.
"Aku akan minum di sungai itu," berkata Puguh dengan suara bergetar.
"Tunggulah disini. Aku akan melihatnya. Jika ada belik disepanjang tepiannya, maka kau dapat minum. Jika tidak, agaknya kau perlu bertahan sejenak. Kita akan menelusuri sungai itu sampai menemukan sebuah belik kecil agar kau tidak minum air yang sudah menjadi kotor," berkata Jati Wulung.
Puguh tidak menjawab. Tetapi Jati Wulunglah yang kemudian bangkit dan turun ke sungai. Beberapa langkah ia menelusuri tepian sungai itu untuk menemukan sebuah belik kecil yang airnya tentu lebih bersih dari air yang mengalir di batang sungai itu.
Ternyata Jati Wulung menemukannya. Karena itu, maka iapun dengan tergesa-gesa kembali ke tempat Puguh menunggu.
"Aku mendapatkan belik kecil itu di atas tebing berbatu padas," berkata Jati Wulung.
Maka Sambi Wulung dan Jati Wulungpun kemudian telah membimbing Puguh turun ke tepian dan menelusuri sungai kecil tetapi berbatu-batu besar itu, sehingga akhirnya mereka sampai ke sebuah belik kecil.
"Jangan terlalu banyak minum," berkata Sambi Wulung memperingatkan.
Puguh memang tidak minum terlalu banyak. Tetapi lehernya yang serasa kering itu menjadi segar.
"Kita berjalan terus," berkata Puguh tiba-tiba.
Sambi Wulung dan Jati Wulung menangguk. Tetapi Sambi Wulung sempat bertanya, "Apakah kau mengenal jalan ke Gantar" Setidak-tidaknya arah perjalanan ke Gantar?"
Puguh termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menengadahkan wajahnya ke langit.
Beberapa kelompok bintang memang nampak. Tetapi Puguh tidak menemukan bintang Gubug Penceng yang ternyata masih tertutup mendung.
"Aku kehilangan arah," jawab Puguh.
"Tetapi kau lihat bayangan Gunung itu?" desis Jati Wulung.
"Ya. Tetapi kita berada di sebelah mana dari Gunung itu. Apakah kita ada di sebelah Barat, Utara atau Selatan" Kita memang bergerak ke Barat mula-mula. Tetapi aku tidak yakin bahwa arah kita tidak bergeser," jawab Puguh.
"Kau cari bintang Gubug Penceng?" Sambi Wulung menebak.
"Ya," jawab Puguh. "Tetapi bintang itu agaknya masih tertutup mendung. Jika kita menemukan bintang itu, maka kita akan tahu arah selatan. Sedangkan bintang Wulukupun tidak nampak pula."
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Iapun mengerti, bahwa bintang yang dapat menunjuk arah itu tidak kelihatan di langit yang sebagian masih tertutup mendung.
Karena itu maka ketiga orang itu melangkah terus tanpa tahu ke arah mana mereka berjalan.
Tetapi mereka memang hanya melangkah perlahan-lahan. Selain karena tubuh Puguh yang lemah, juga karena mereka masih harus memperhitungkan, agar mereka tidak berjalan ke arah yang semakin jauh dari tujuan.
Beberapa saat kemudian, angin yang semilir seakan-akan telah mendorong mendung dari langit. Perlahan-lahan maka awan yang hitam kelabu itupun terhembus dan hanyut menjauh.
"He," tiba-tiba Puguh berseru, "kau lihat bintang itu?"
Sambi Wulung dan Jati Wulung menengadahkan kepalanya. Mereka memang mulai melihat bintang Gubug Penceng.
"Ternyata aku tidak bingung," berkata Puguh, "aku mengenal arah dengan tepat. Jika aku menunggu bintang itu aku hanya sekedar ingin meyakinkan, bahwa arah yang aku ambil benar."
Sambi Wulung berdesis, "Kita berada di sebelah Barat Gunung."
"Benar. Kita memang akan menuju ke sebelah Barat. Gantar berada di arah Barat," desis Puguh.
"Jika demikian kita akan melanjutkan perjalanan di arah ini," gumam Jati Wulung.
"Ya. Tetapi kita sebaiknya tidak mengikuti arah sungai ini yang agar bergeser dari arah yang kita kehendaki," berkata Puguh.
Ketiga orang itupun kemudian telah mengambil arah yang tidak sejalan dengan arah sungai kecil itu meskipun tidak terlalu tajam. Namun mereka telah mengambil arah Barat sepenuhnya.
Perlahan-lahan ketiga orang itu berjalan terus. Berpegang pada arah yang ditunjukkan oleh bintang Gubug Penceng.
Tetapi keadaan Puguh ternyata memaksa mereka untuk setiap kali beristirahat. Tubuhnya yang lemah membuatnya cepat merasa letih dan bahkan setiap kali terasa lehernya bagaikan kering. Sehingga dengan demikian Sambi Wulung dan Jati Wulung setiap kali bergantian harus mencari air untuk minum.
"Di siang hari keadaanku akan menjadi semakin buruk," berkata Puguh ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit yang mulai kemerah-merahan.
"Tidak," berkata Sambi Wulung, "semakin lama kau tentu akan menjadi semakin baik."
Puguh mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan hati-hati Sambi Wulung dan Jati Wulung membawanya berjalan menuruni kaki Gunung. Tetapi jalanpun semakin lama menjadi semakin datar dan lebih baik.
Ketika satu-satu mereka mulai bertemu dengan orang-orang yang akan pergi ke sawah, maka Sambi Wulungpun mengisyaratkan agar mereka bertiga membenahi pakaian mereka. Bahkan ketika mereka melintasi parit yang berair bening, maka merekapun telah mencuci muka, tangan dan kaki mereka. Membenahi rambut dan ikat kepala.
Sebenarnyalah sebentar kemudian, mereka memang bertemu dengan iring-iringan orang yang pergi ke pasar membawa beberapa macam barang dagangan. Ada yang membawa hasil sawah, kebun dan ada pula yang akan menjual beberapa ekor ternak untuk dibelanjakan keperluan sehari-hari yang lain.
Tetapi tidak ada yang menaruh curiga kepada tiga orang yang berjalan di pagi-pagi buta itu.
"Mereka tentu akan ke pasar," berkata Sambi Wulung.
"Ya," jawab Jati Wulung, "agaknya pasar tidak lagi terlalu jauh."
"Kita ikuti mereka," berkata Sambi Wulung kemudian.
"Untuk apa?" bertanya Puguh.
"Kita mencari makan. Mungkin makan dan minum akan dapat memberimu sedikit kesegaran sehingga kau tidak akan merasa terlalu letih berjalan," sahut Sambi Wulung.
"Masih sepagi ini?" bertanya Puguh pula.
"Tetapi tentu sudah ada orang berjualan makan dan minum di pasar itu."
Puguh tidak menjawab. Ia sependapat dengan Jati Wulung. Mungkin dengan makan dan minuman hangat akan dapat memberinya sedikit kekuatan, sehingga mereka akan dapat berjalan lebih cepat.
Dengan demikian maka merekapun telah mengikuti orang-orang yang berjalan ke pasar. Mereka memang sedikit menyimpang dari arah yang mereka tuju. Tetapi mereka yakin bahwa mereka tidak akan menyimpang terlalu jauh.
Pasar itu memang tidak terlalu jauh. Setelah melewati sebuah padukuhan kecil, maka merekapun telah menuju ke sebuah padukuhan yang ramai. Sementara itu, gardu-gardu perondan pun telah menjadi kosong, karena anak-anak muda yang meronda telah pulang ke rumah masing-masing.
Meskipun matahari belum terbit, tetapi pasar itu telah menjadi ramai. Ternyata hari itu adalah justru hari pasaran sehingga pasar itu menjadi penuh dan bahkan beberapa orang terpaksa berjualan di pinggir-pinggir jalan di sekitar pasar itu.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung, bahwa ternyata di pasar itu sudah terdapat bukan hanya sebuah, tetapi beberapa orang berjualan makan dan minuman hangat.
"Kita memilih kedai yang paling baik," berkata Jati Wulung.
"Kenapa?" bertanya Sambi Wulung.
"Bukankah kita mempunyai uang banyak," sahut Jati Wulung.
Sambi Wulung hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab.
Seperti dikatakan oleh Jati Wulung, maka mereka memang menuju ke sebuah kedai nasi yang cukup besar dan ramai, justru tidak berada di dalam pasar. Tetapi kedai itu dibuka di sebuah rumah di depan pasar.
"Beruntunglah orang-orang yang tinggal di dekat pasar," berkata Jati Wulung, "mereka dapat memanfaatkan halamannya untuk mendirikan sebuah kedai. Ternyata kedai itu cukup banyak dikunjungi orang."
Sambi Wulung mengangguk. Sambil melangkah ke arah pintu kedai itu, ia berkata, "berhati-hatilah. Kita belum mengenal kebiasaan di tempat ini."
"Aku kira kebiasaan disini tidak akan berpaut banyak dengan kebiasaan dimana-mana. Bagi seorang pengembara, hal itu tidak akan banyak berpengaruh," jawab Jati Wulung.
Tetapi sebenarnyalah bahwa ia telah menangkap isyarat Sambi Wulung. Karena itu, maka Jati Wulungpun harus bersiap-siap. Mereka berdua telah sepakat untuk menimbulkan kesan kepada Puguh, bahwa disepanjang jalan, mereka masih akan dapat selalu bertemu dengan hambatan-hambatan. Dengan demikian, maka Puguh merasa bahwa ia memang memerlukan kawan untuk pulang sampai ke rumahnya atau mendekati rumahnya.
Di kedai yang paling ramai kemungkinan yang dikehendaki itu akan lebih besar daripada di kedai-kedai yang lebih kecil.
Demikianlah, maka merekapun telah memasuki kedai itu. Ruangannya memang cukup luas. Beberapa lincak bambu teratur rapi dihadapkan pada paga-paga bambu rendah untuk meletakkan beberapa jenis makanan.
Jati Wulung yang berada di paling depan tertegun ketika dilihatnya sebuah ruangan yang khusus dibatasi oleh sebuah rana yang tidak terlalu tinggi.
Pengenalannya atas tempat-tempat seperti itu mengatakan kepadanya, bahwa tempat-tempat khusus itu hanya disediakan untuk tamu-tamu yang sangat khusus pula.
Namun justru karena itu, maka Jati Wulung telah melangkah langsung menuju ke tempat itu.
"Tunggu," salah seorang pelayan di kedai itu tiba-tiba telah menegurnya. Lalu katanya, "Ki Sanak, silahkan duduk di ruang ini."
"Kenapa?" bertanya Jati Wulung.
"Ruang ini hanya kami sediakan untuk tamu-tamu kami tertentu saja," jawab pelayan itu.
"Apakah aku harus membayar makanan dan minuman dengan harga yang lebih mahal" Jika demikian, aku akan membayarnya," jawab Jati Wulung.
"Bukan begitu. Tetapi tempat itu tidak kami sediakan untuk orang lain kecuali orang-orang yang memang pantas untuk berada di bilik itu," jawab pelayan itu.
Tetapi Jati Wulung melangkah terus sambil berkata, "Anakku sedang sakit. Aku memerlukan tempat yang tenang."
"Tetapi jangan di situ," cegah pelayan itu.
Jati Wulung tidak menghiraukannya. Iapun langsung menuju ke tempat yang disekat itu diikuti oleh Puguh yang merasa tubuhnya masih lemah dan kemudian Sambi Wulung. Meskipun Sambi Wulung tahu akibat yang mungkin timbul, namun seperti Jati Wulung, hal itu memang dikehendakinya.
Pelayan yang mencoba mencegahnya itupun menjadi ragu-ragu ketika mereka melihat pedang yang tergantung di lambung orang-orang itu. Meskipun hampir setiap orang membawa parang atau golok di lambungnya, namun pedang itu mempunyai bentuk yang agak lain dari parang atau golok yang kebanyakan dibawa oleh hampir setiap laki-laki.
Ternyata bahwa selama pelayan itu ragu-ragu, Jati Wulung, Puguh dan Sambi Wulung telah berada di dalam ruangan yang disekat itu.
"Nah," berkata Jati Wulung kepada Puguh, "jika kau merasa letih berbaringlah. Tempat ini tersekat, sehingga tidak akan mengganggu orang lain."
Puguh yang duduk di sebuah amben panjang merasa ragu-ragu. Tubuhnya memang merasa lemah. Tetapi dengan duduk bersandar, maka rasa-rasanya ia sudah beristirahat dengan sebaik-baiknya.
"Makanlah," Sambi Wulunglah yang mempersilahkan. Di hadapan mereka terdapat sebuah paga yang rendah dengan berbagai makanan di atasnya.
Namun sebelum Puguh sempat mengambil sepotong makananpun, pemilik kedai itu sendiri telah datang kepada mereka.
"Ki Sanak," berkata pemilik kedai itu, "bukankah pelayan kami telah memberitahukan bahwa tempat ini adalah hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu?"
"Ya. Dan kamilah di antara orang-orang tertentu itu," sahut Jati Wulung.
"Maaf Ki Sanak. Bahwa orang-orang tertentu itu adalah orang-orang yang sangat disegani disini. Jika aku mohon Ki Sanak tidak mempergunakan tempat ini, semata-mata karena kami ingin berbuat sebaik-baiknya pada tamu-tamu kami. Daripada terjadi sesuatu yang tidak kalian inginkan, maka sebaiknya kalian berada di ruang yang luas itu bersama-sama dengan para pembeli yang lain. Kami akan tetap melayani kalian dengan sebaik-baiknya," berkata pemilik kedai itu.
Jati Wulung mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia berkata, "Anakku sakit. Biarlah aku disini."
"Tetapi...," kata-kata pemilik kedai itu terputus ketika Sambi Wulung melemparkan beberapa keping uang ke paga yang rendah hampir penuh dengan makanan itu.
"Ambillah," berkata Sambi Wulung, "itu belum terhitung harga makanan dan minuman yang akan kami pesan. Kau dapat menaikkan harga makanan dan minumanmu sampai dua kali lipat bagi kami. Tetapi jangan ganggu kami. Kemenakanku itu memang sedang sakit."
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Tetapi keping-keping uang itu memang sangat menarik. Apalagi orang-orang itu akan bersedia membayar harga makanan dan minuman sampai dua kali lipat.
Akhirnya pemilik kedai itu berkata, "Ki Sanak. Aku sudah memperingatkan kalian. Jika terjadi sesuatu, maka hal itu bukan tanggung jawab kami. Mudah-mudahan orang-orang yang khusus itu tidak datang pagi ini, sehingga kalian dapat mempergunakan tempat itu sebaik-baiknya."
"Kami akan mempertanggung-jawabkannya," berkata Sambi Wulung.
Pemilik kedai itupun kemudian telah memungut beberapa keping uang yang diletakkan di atas paga yang rendah itu. Kemudian iapun telah kembali ke tempatnya. Kepada pelayan yang memberitahukan kepadanya, pemilik kedai itu berkata, "Agaknya mereka telah memaksa. Biarlah mereka bertanggung jawab atas tingkah laku mereka sendiri jika orang-orang yang biasanya berada di tempat itu nanti datang. Ki Wirit sulit diajak berbicara. Juga Ki Demang yang sering datang bersama Ki Wirit. Mudah-mudahan mereka tidak datang pagi ini. Atau mungkin agak siang."
"Tetapi anak muda itu sedang sakit," berkata pelayan itu. "agaknya mereka akan sedikit lama berada di kedai ini."
"Sudahlah," berkata pemilik kedai itu, "Jangan hiraukan. Kita sudah berusaha sebaik-baiknya. Tetapi orang-orang itu tidak mau mendengar. Jika mereka harus menebus kesombongan mereka dengan mahal, itu bukan salah kita."
Pelayannya mengangguk-angguk. Sementara itu pemilik kedai itu berkata, "bertanyalah kepada mereka. Apa saja yang mereka pesan."
Pelayan itu mengangguk. Namun ketika ia melangkah menuju ke tempat yang disekat itu, ia melihat seorang yang bertubuh kekar, berwajah keras berdiri di mulut penyekat itu.
Pelayan itu menarik nafas dalam-dalam. Ia kenal benar kepada orang itu. Ki Prajak. Seorang yang sangat ditakuti di tempat itu.
"Salah mereka sendiri," berkata pelayan itu kepada diri sendiri.
Sebenarnyalah orang yang bernama Ki Prajak itu merasa tersinggung melihat sikap Sambi Wulung, Jati Wulung dan Puguh. Karena itu, maka iapun kemudian menggeram, "He, orang-orang sombong. Kenapa kalian tidak mau mendengarkan peringatan pemilik kedai itu. Ruang yang disekat dengan rana ini adalah ruang yang khusus. Aku, yang ditakuti oleh orang-orang sepasar, tidak berani duduk dan makan di ruang ini. Kenapa kalian tidak mau mendengarkannya?"
"Sudah aku katakan alasannya," jawab Sambi Wulung.
"Sekarang aku yang memperingatkanmu. Keluarlah dari ruang ini dan duduklah di ruang yang luas itu. Jika kau mau duduk sambil menjulurkan kaki, tempatnya masih cukup. Ada banyak amben dan lincak yang kosong. Bahkan jika kalian ingin tidurpun dapat kalian lakukan," berkata Ki Prajak.
"Kami ingin tenang disini. Anakku sakit," berkata Jati Wulung.
"Aku tidak peduli," berkata Ki Prajak, "pergilah. Orang-orang yang pantas duduk di situ adalah orang-orang yang luar biasa. Akupun tidak berani melanggar ketentuan yang mereka buat."
"Tetapi aku berani," jawab Jati Wulung.
"Persetan. Aku ingin merobek mulutmu," geram Ki Prajak, "sekarang pergilah. Atau aku memaksamu."
Jati Wulunglah yang kemudian berdiri. Ia melangkah mendekati orang yang ditakuti oleh semua orang yang mengenalnya itu sambil berkata, "Kau jangan ikut campur."
"Setan. Kau belum mengenal aku. Aku Ki Prajak yang kata-katanya menjadi paugeran disini. Sekali lagi aku perintahkan kalian untuk pergi," bentaknya.
Tetapi Jati Wulung menjawab, "Aku tidak peduli, apakah kau ditakuti orang atau tidak. Aku tidak takut kepadamu. Jika kau ingin meyakinkan kata-kataku, turunlah ke jalan. Kita akan berkelahi. Jika kau menang, aku akan pindah dari ruang yang disekat ini. Tetapi jika kau kalah, maka kau tidak berhak mencampuri persoalanku. Jika orang-orang yang biasanya berada di bilik itu datang, biarlah aku yang berurusan dengan mereka."
Wajah Ki Prajak menjadi merah. Sambil menggeram ia berdiri bertolak pinggang.
Tetapi tanpa menghiraukannya Jati Wulung melangkah maju. Justru mendorongnya ke samping sambil berkata, "Jangan disini. Nanti kita merusakkan perabot-perabot yang ada di kedai ini. Kita berkelahi di luar."
Kiai Prajak yang terdorong ke samping mengumpat. Tetapi ia melihat dengan tenang Jati Wulung melangkah keluar dari kedai itu. Sementara Jati Wulung itu sempat berpesan kepada Sambi Wulung, "Mintalah minuman dan makan. Jika aku sudah menyelesaikan perkelahian ini, akupun ingin minum dan makan tanpa terganggu."
Sambi Wulung tidak menjawab. Tetapi ketika ia memandang sekilas wajah Puguh, ternyata wajah itu nampak tegang. Agaknya sikap Jati Wulung itu membuatnya berdebar-debar juga.
Ki Prajak yang tersinggung itu segera mengikuti Jati Wulung yang turun ke jalan. Sementara itu, matahari pun sudah mulai memancarkan sinarnya ke langit, sehingga pagipun menjadi semakin terang.
Demikian Jati Wulung turun ke jalan yang cukup ramai, maka iapun segera bersiap sambil berkata, "Mari. Jangan membuang waktu. Aku sudah ingin minum dan makan nasi hangat."
Ki Prajak benar-benar tersinggung. Ia tidak pernah diperlakukan seperti itu. Sementara orang-orang sepasar memang takut kepadanya. Mereka menganggap Ki Prajak sebagai seorang yang tidak dapat dikalahkan oleh sepuluh orang sekalipun. Karena itu, apa yang dikatakannya, harus dilakukan oleh orang-orang di pasar itu. Bahkan para pedagang di pasar itu menganggapnya berhak memungut pajak.
Karena orang-orang di pasar itu tidak mau membuat keributan dengan Ki Prajak, maka tidak pernah ada orang yang berani membantahnya.
Apalagi orang-orang sepasar itu tahu, bahwa Ki Prajak adalah tangan kanan Ki Demang dan Ki Wirit yang lebih ditakuti lagi. Keduanya adalah orang yang bukan saja memiliki kemampuan yang tidak dapat diukur oleh orang-orang di pasar itu, namun Ki Demang adalah orang yang paling berkuasa.
Karena itu, ketika orang-orang di luar kedai itu melihat sikap Jati Wulung menghadapi Ki Prajak, mereka menjadi heran. Bahwa ada juga orang yang berani menentangnya. Apalagi menilik ujudnya, Jati Wulung bukannya orang yang pantas untuk berkelahi melawan Ki Prajak itu.
Karena itu, maka peristiwa itu segera menarik perhatian. Beberapa orang segera berkerumun. Namun ada juga yang justru menjadi ketakutan dan merasa lebih aman untuk menyingkir. Bahkan orang-orang yang ada di kedaipun telah beringsut keluar. Mereka agaknya juga ingin menyaksikan apa yang terjadi. Bagi orang-orang yang ada di kedai itu, sikap ketiga orang yang berada di ruang yang tersekat itu memang merupakan kesombongan yang pantas dihukum.
Dalam pada itu, Jati Wulungpun telah benar-benar bersiap. Namun Ki Prajak masih juga sempat berbicara kepada orang-orang yang semakin banyak berkerumun, "perhatikan orang ini baik-baik. Orang ini adalah orang yang belum pernah pergi ke pasar ini. Ia tidak tahu siapa aku. Dan karena itu, maka ia berani menantangku. Apalagi ia sudah berani memaksa untuk duduk di ruang yang disekat di dalam kedai itu, ruang yang khusus dipergunakan oleh Ki Wirit, Ki Demang dan orang-orang yang dikehendakinya atau keluarga mereka. Karena itu, maka orang ini harus sedikit mendapat pelajaran."
"Cukup," Jati Wulung membentak, "buat apa kau sesorah" Sebentar lagi kau akan pingsan disini."
"Anak iblis," orang itu mengumpat pula. Namun iapun mulai bersiap-siap. Selangkah demi selangkah ia mendekati Jati Wulung yang memang sudah bersiap lebih dahulu.
Dengan garangnya Ki Prajakpun kemudian telah menyerang. Tangannya terayun keras sekali ke arah pelipis Jati Wulung.
Tetapi Jati Wulung benar-benar sudah bersiap. Dengan tangkas ia merendahkan diri, sehingga ayunan tangan Ki Prajak itu tidak mengenainya. Bahkan sambil merendahkan diri, Jati Wulung seakan-akan telah menyusup maju sambil memukul lambung Ki Prajak yang terbuka dengan tangan kirinya.
Jati Wulung tidak mengerahkan kekuatan dan kemampuannya. Namun demikian pukulan itu benar-benar telah menyakiti lawannya. Beberapa langkah Ki Prajak terdorong surut. Bahkan hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Namun ia berhasil tetap tegak sambil memegangi lambungnya yang terasa menjadi sangat sakit.
Jati Wulung tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Prajak memperbaiki keadaannya dan mempersiapkan dirinya kembali.
Kiai Prajak yang marah menjadi semakin marah. Tetapi iapun segera mempersiapkan dirinya pula. Ia menjadi lebih berhati-hati karena ternyata lawannya bukan orang kebanyakan sebagaimana diduganya.
Sejenak kemudian, Ki Prajakpun telah menyerang pula. Ia tidak membiarkan dirinya justru menjadi sasaran lawannya yang bergerak cepat. Karena itu, maka Ki Prajakpun telah mempersiapkan diri dan mengerahkan kemampuannya sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi perkelahian yang sengit di depan kedai itu. Sambi Wulung dan Puguh ternyata ingin juga melihat apa yang akan dilakukan oleh Jati Wulung terhadap orang yang ditakuti oleh orang-orang sepasar itu. Karena itu setelah memesan makanan dan minuman, maka merekapun telah keluar pula.
Puguh yang letih itu seakan-akan telah melupakan keletihannya. Ia berdiri bersandar dinding kedai, menyaksikan perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit itu.
Namun, hampir semua orang melihat, bahkan mereka yang tidak pernah melihat perkelahian sekalipun, bahwa ternyata Jati Wulung telah mempermainkan lawannya. Ia seakan-akan tidak dengan sungguh-sungguh berkelahi. Kadang-kadang ia hanya bergeser ke samping, sementara kedua tangannya tergantung saja di sisi tubuhnya. Sekali-sekali meloncat-loncat menghindar. Namun tiba-tiba saja ia telah melenting sambil memutar kakinya. Jika putaran kakinya itu mengenai tubuh lawannya, maka lawannya itupun telah terdorong surut. Bahkan sekali-sekali Ki Prajak itu justru terbanting jatuh.
Ki Prajak itu mengumpat kasar. Dikerahkannya segenap kekuatan dan kemampuannya. Namun ia tidak mampu mengimbangi kemampuan Jati Wulung yang dengan sengaja ingin memperlihatkan kelebihannya dari lawannya.


01 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puguh yang berdiri bersandar dinding di sebelah Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa dua orang yang mengawaninya itu benar-benar orang berilmu tinggi.
Tetapi bagaimanapun juga Puguh tetap merasa cemas, bahwa kedua orang itu akan membawanya kepada orang tuanya, dan berpendapat bahwa tidak sepantasnya anak-anak muda berada di tempat perjudian di Song Lawa.
"Orang tuaku tidak pedulikan aku," katanya di dalam hati.
Namun Puguh terkejut ketika ia melihat Ki Prajak itu terlempar dengan kerasnya ke arah beberapa orang yang mengerumuni perkelahian itu. Beberapa orang turut terjatuh pula bersamanya. Tetapi ketika beberapa orang yang lain berusaha menolongnya berdiri, ia menghentakkan tangannya sambil berkata kasar, "Aku dapat bangkit berdiri sendiri."
Ki Prajak itu berusaha untuk berdiri. Tetapi kepalanya rasa-rasanya memang menjadi pening. Tangan Jati Wulung yang mengenai pelipisnya benar-benar terasa sakit dan membuat matanya berkunang-kunang.
"Bersiaplah. Aku sudah sampai ke babak akhir," berkata Jati Wulung, Lalu katanya, "Ingat, jika kau kalah, kau tidak boleh mengusik aku lagi."
Ki Prajak itu mengumpat kasar. Tetapi ia masih harus berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya lebih dahulu. Sambil menunggu kepalanya tidak lagi terasa berputar, ia melangkah perlahan-lahan mendekati Jati Wulung.
Untuk menutupi kesulitannya, maka iapun mengancam, "Jika kau tetap tidak mau mendengarkan aku, maka lebih baik aku membunuhmu."
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Itikpun tahu, bahwa kau tidak berdaya. Bagaimana mungkin kau akan membunuhku?"
"Setan," geram Ki Prajak, "aku belum bersungguh-sungguh. Sebenarnya aku masih memberimu kesempatan. Tetapi ternyata kau memang dungu. Kau telah memaksa aku untuk bersungguh-sungguh. Dan itu berarti kematianmu."
Jati Wulung masih tertawa. Katanya, "Kau masih saja membual. Cepat, lakukan apa yang dapat kau lakukan, atau aku memukulimu di hadapan banyak orang yang merasa takut kepadamu."
Ki Prajak benar-benar merasa terhina. Karena itu, maka dikerahkannya sisa tenaga yang ada padanya. Dengan serta-merta maka iapun telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Tetapi Jati Wulung tidak menjadi terdesak karenanya. Dengan sikap yang masih saja seenaknya, ia telah mengelak, sehingga serangan Ki Prajak itu tidak mengenainya. Bahkan ketika Ki Prajak itu terdorong selangkah di hadapannya, Jati Wulung sempat mengayunkan tangan kirinya ke tengkuk lawannya.
Ayunan tangan itu tidak terlalu keras. Tetapi karena searah dengan tarikan kekuatan Ki Prajak sendiri yang tidak mengenai sasaran, maka Ki Prajak itu telah terdorong beberapa langkah ke depan. Sekali lagi ia telah membentur lingkaran penonton yang mengelilingi arena. Beberapa orang telah roboh pula bersamanya.
Ki Prajak masih juga berusaha untuk bangkit. Mulutnya masih saja mengumpat-umpat. Namun ia mulai mencemaskan dirinya sendiri.
"Nah, apakah kau belum mengaku kalah?" bertanya Jati Wulung.
Ki Prajak benar-benar tidak dapat mengekang diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah menarik goloknya.
"Pergunakan senjata di lambungmu," geram Ki Prajak, "jika kau berani menarik pedangmu, maka kau tentu akan semakin cepat mati. Atau jika kau tidak mau mati, tinggalkan tempat ini."
"Kau akan mempergunakan senjatamu?" bertanya Jati Wulung dengan dahi yang berkerut.
"Kalau takut, pergilah," bentak Ki Prajak, "sebelum aku kehilangan kesabaran."
"Kau mempercepat penyelesaian. Bahkan ujung-ujung pedang akan dapat membunuh seseorang," berkata Jati Wulung.
Tetapi Ki Prajak yang merasa dirinya ditakuti oleh seisi pasar harus mempertahankan anggapan bahwa ia memang tidak terkalahkan, atau setidak-tidaknya anggapan orang bahwa ia akan dapat mengalahkan sepuluh orang sekaligus.
Karena itu, maka ia masih saja bersikap garang, meskipun ia menjadi berdebar-debar, ketika Jati Wulungpun benar-benar telah mencabut pedangnya.
Dalam pada itu, Jati Wulung berkata, "Kau telah semakin menyiksa dirimu sendiri dengan golokmu. Jika kau tidak mau mendapat malu karena kau sudah terlanjur ditakuti, maka sebaiknya kau tidak mempergunakan senjata."
"Persetan," geram Ki Prajak yang merasa dirinya memiliki ilmu pedang yang baik.
Sejenak kemudian, maka golok Ki Prajak yang besar telah terayun-ayun mengerikan. Sambaran anginnya berdesing bagaikan siulan dari daerah maut.
Tetapi Jati Wulung masih saja nampak tenang. Bahkan sekali-sekali nampak senyumnya sekilas tersungging di bibirnya.
Ketika Ki Prajak kemudian menyerang, maka Jati Wulung benar-benar ingin menunjukkan kelebihannya. Ia tidak memerlukan waktu yang lama. Sekali golok itu terayun, maka Jati Wulung telah menangkisnya. Memutarnya, kemudian mengungkitnya dengan cepat.
Golok di tangan Ki Prajak itu bagaikan dilontarkan dengan kekuatan yang tidak terlawan. Jari-jari Ki Prajak terasa hampir berpatahan, sehingga dengan demikian maka ia sama sekali tidak dapat mempertahankan goloknya.
Ternyata bahwa golok Ki Prajak itu melenting tinggi sekali. Ketika golok itu kemudian meluncur jatuh ke arah orang-orang yang berkerumun di sekitar arena, maka merekapun telah berlari-larian menjauh. Bahkan beberapa orang telah terdorong jatuh dan terinjak kaki kawan-kawannya.
Ki Prajak bagaikan orang kebingungan melihat goloknya itupun kemudian jatuh di tanah. Daun goloknya yang lebar dan panjang itu justru menancap di tanah. Untunglah bahwa orang-orang yang berkerumun telah berlari berpencaran, sehingga golok itu tidak menimpa salah seorang di antara mereka.
Yang terjadi itu benar-benar telah menggetarkan jantung Ki Prajak. Ia menganggap bahwa lawannya memang orang yang luar biasa. Bukan saja kemampuannya dalam olah kanuragan, kecepatan geraknya dan unsur-unsur gerak yang sulit diketahuinya, namun ia adalah orang yang memiliki kekuatan yang sangat besar. Meskipun ujud Ki Prajak itu jauh lebih tegar dari lawannya, tetapi ternyata bahwa ia tidak berdaya apa-apa.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar pula. Dengan demikian akan ada orang baru yang berkuasa melampaui Ki Prajak. Tetapi mereka tidak tahu apakah orang itu akan menjadi lebih baik atau justru lebih buruk dari Ki Prajak, yang menjadi alat Ki Wirit dan Ki Demang untuk memungut pajak.
Kitab Mudjidjad 11 Pendekar Rajawali Sakti 161 Siluman Tengkorak Gantung Rahasia 180 Patung Mas 17

Cari Blog Ini