Ceritasilat Novel Online

Sayap Sayap Terkembang 1

02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 1


k bersiap-siap. "Sembojan memang berbeda dengan Gemantar," berkata Ki Rangga, "selain Sembojan memang lebih besar, tetapi Sembojan mempunyai naluri pertahanan yang lebih besar dari daerah-daerah lain di Pajang, justru karena persoalan di dalam lingkungan Sembojan sendiri."
Seorang pemimpin kelompok yang telah cukup lama menjadi prajurit di Pajang telah berkata, "Pada suatu saat, Pajang pernah melindungi Tanah Perdikan ini dari kegarangan orang-orang Jipang."
"Sekarang akan terjadi sebaliknya. Nampaknya Jipangpun akan ikut campur," sahut Ki Rangga.
"Tetapi Jipang terlalu jauh letaknya dari Tanah Perdikan itu," jawab pemimpin kelompok yang lain.
"Ya," jawab Ki Rangga Larasgati, "kita jangan memberi kesempatan."
Dengan perintah Ki Rangga, maka prajurit Pajangpun telah bersiap. Ki Rangga telah memberikan petunjuk kepada para pemimpin kelompok serta para pemimpin kesatuan yang ada di perbatasan, bahwa besok pagi-pagi mereka akan memasuki Tanah Perdikan.
"Nampaknya Tanah Perdikan juga sudah bersiap," berkata seorang perwira salah seorang pimpinan kesatuan prajurit Pajang itu.
"Ya. Mereka bersiap padukuhan pertama. Memang satu sikap sombong seperti para pemimpinnya. Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang seorang perempuan itupun ternyata sombong sekali. Semula aku mengira bahwa perempuan cantik itu akan berbicara lembut. Tetapi ternyata kata-katanya seperti duri yang menusuk jantung," geram Ki Rangga Larasgati.
"Ki Rangga sudah mulai berbicara tentang perempuan cantik. Tetapi ia sudah janda sejak hampir sepuluh tahun yang lalu," berkata seorang prajurit yang lain, yang nampaknya sudah mendengar serba sedikit tentang Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
"Ya. Tetapi ia masih segar dan cantik. Tetapi itu tidak mempengaruhi rencana kita untuk menangkapnya karena ia telah memberontak," berkata Ki Rangga.
Namun yang lain, seorang perwira yang masih muda berkata, "Atau sebaliknya. Justru perempuan cantik itu yang telah mendorong Ki Rangga untuk menangkapnya."
"Ah kau. Meskipun segalanya dapat terjadi, tetapi aku bertugas disini. Hanya secara kebetulan sasaran tugasku seorang perempuan cantik yang kebetulan pula seorang janda," desis Ki Rangga.
Perwira yang masih muda itu tertawa. Tetapi Ki Rangga ternyata kemudian berkata, "Perhatian kita harus kita tujukan terutama kepada pengawal. Nampaknya para pengawal Tanah Perdikan mempunyai susunan tataran yang baik. Dengan cepat mereka telah menempatkan diri. Bahkan pertanda kebesaran Tanah Perdikan itupun telah terpasang pula."
"Tetapi hanya itu," jawab perwira muda itu, "jika besok kita membentangkan gelar, maka mereka akan menjadi kebingungan."
"Mungkin orang-orang Jipang yang ada di Tanah Perdikan ini sudah memberikan tuntunan serba sedikit kepada para pengawal Tanah Perdikan ini menghadapi perang gelar. Atau oleh para pengawal yang agaknya sekarang tentu sudah menjadi semakin tua yang sebelumnya memang telah memiliki kemampuan yang cukup. Bahkan agaknya itulah yang membuat Tanah Perdikan ini menjadi sangat sombong," berkata Ki Rangga Larasgati.
Beberapa orang perwira mengangguk-angguk. Meskipun ada di antara prajurit yang pernah mengetahui bahwa Tanah Perdikan Sembojan memiliki kekuatan yang bukan saja baru lahir sehari atau dua hari, bagaimanapun juga mereka menganggap bahwa kekuatan yang dibawanya cukup besar untuk memaksa Tanah Perdikan Sembojan menyerah dan melakukan apa yang diinginkan oleh Ki Rangga Larasgati, atau memaksa menyerahkan kekancingan atas Tanah Perdikan ini setelah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikannya tertangkap.
Demikianlah, maka Ki Ranggapun telah menyiapkan seluruh kekuatan yang dibawanya. Ia tidak ingin gagal pada langkahnya yang pertama sehingga harus mengulanginya kembali.
Karena itu, maka esok pagi, Ki Rangga Larasgati harus mulai bergerak dan di sore harinya, ia harus sudah berada di rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan serta menangkap Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang cantik itu.
Dalam pada itu, di padukuhan pertama yang berhadapan dengan perkemahan para prajurit Pajang, Risang telah mengatur pertahanannya. Ki Tumenggung Jaladara yang mengagumi ketangkasan berpikir Risang merasa tidak perlu memberikan petunjuk-petunjuknya meskipun setiap kali Risang berbicara dengan Ki Tumenggung untuk meyakinkan kebenaran perhitungannya.
Baik Risang maupun Ki Tumenggung Jaladara berpendapat bahwa prajurit Pajang tentu akan menyerang esok pagi-pagi.
"Aku juga sependapat," berkata Iswari. Namun katanya kemudian, "Tetapi jangan lengah. Mungkin para prajurit Pajang melakukan gerakan tiba-tiba. Meskipun para pengawal masih sempat beristirahat serta mempersiapkan diri sebaik-baiknya hari ini tetapi setiap saat mereka harus mampu bergerak cepat."
Risang mengangguk. Dengan nada yang mantap ia berkata, "Aku akan berada di antara para pengawal."
Ibunya termangu-mangu sejenak. Risang adalah anak satu-satunya yang diharapkannya akan dapat melangsungkan keturunan keluarganya. Ia juga diharapkan untuk kelak menjabat sebagai Kepala Tanah Perdikan itu. Apalagi ia berada di peperangan, maka akibatnya akan dapat mencemaskannya.
Karena itu, maka Iswari itupun kemudian berkata, "Baiklah. Paman Sambi Wulung dan Jati Wulung akan selalu menemanimu."
Risang mengangguk kecil. Ia mengerti bahwa ibunya tentu cemas tentang dirinya. Tetapi ia tidak mau membuat ibunya menjadi semakin gelisah. Karena itu, iapun berkata, "Kami akan bersama-sama memimpin pasukan pengawal."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada suara seorang ibu ia berkata, "Besok menjelang fajar, aku sudah berada di sini."
"Terima kasih ibu," jawab Risang.
Demikianlah, setelah melihat-lihat kesiagaan para pengawal, Iswaripun telah kembali ke padukuhan induk bersama KI Tumenggung Jaladara. Ki Tumenggung akan memerintahkan sepuluh orang prajurit Jipang untuk berada di antara para pengawal Tanah Perdikan. Jumlah itu memang terlalu kecil. Namun yang penting Jipang memang ingin melibatkan dirinya. Dengan menempatkan sepuluh orang perwiranya, maka Jipang akan dapat membantu menyusun pertahanan yang baik serta menilai dari dekat kemampuan yang sebenarnya dari para pengawal Tanah Perdikan. Dengan pengenalan itu, maka Jipang akan dapat menentukan sikapnya lebih lanjut di Tanah perdikan Sembojan itu.
Beberapa saat setelah mereka berada di padukuhan induk, maka sepuluh orang Jipang itupun telah siap. Mereka tidak mengenakan pakaian keprajuritan Jipang. Namun mereka telah mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Mereka akan berada di antara para pengawal Tanah Perdikan yang akan mempertahankan Tanah Perdikannya bersama-sama dengan hampir semua laki-laki yang mampu memegang senjata. Banyak di antara mereka adalah bekas para pengawal yang beberapa tahun yang lampau masih tangkas bertempur di medan-medan yang garang.
Risang kemudian telah menerima sepuluh orang prajurit pilihan dari Jipang itu dan menempatkannya di beberapa kelompok yang justru tidak terdiri atas para pengawal. Namun di dalamnya juga terdapat bekas pengawal yang umurnya telah merambat semakin tinggi, sehingga dalam keadaan yang tenang, mereka sudah melepaskan senjata-senjata mereka.
Namun dalam keadaan yang gawat itu, mereka masih ingin menunjukkan bakti mereka kepada kampung halaman. Sehingga ketika kemelut mulai terasa di Tanah Perdikan itu, merekapun telah mengambil senjata mereka dari simpanan. Kemudian memacu kembali daya tahan tubuh mereka. Setiap hari, mereka telah berusaha untuk membangkitkan kembali kemampuan mereka sebagai seorang pengawal yang baik. Bahkan hampir setiap saat mereka telah berusaha untuk meningkatkan kemampuan dengan cara mereka masing-masing. Seseorang telah mempunyai kebiasaan berlari-lari menuju dan pulang dari sawah. Seorang yang lain telah melatih daya tahan tubuhnya dengan bekerja keras di sawah tanpa beristirahat. Ada yang mempergunakan waktunya di malam hari dengan berlatih mempergunakan senjata yang hampir dilupakannya.
Hari-hari terakhir, Tanah Perdikan Sembojan memang diwarnai dengan latihan-latihan yang semakin berat. Bukan saja mereka yang berada di lereng-lereng bukit, di padang-padang perdu. Tetapi juga di halaman-halaman rumah dan di kebun-kebun.
Malam hari menjelang hari yang mendebarkan, Risang telah memerintahkan para pengawal untuk beristirahat sebaik-baiknya meskipun mereka tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Hanya mereka yang bertugas sajalah yang masih berjalan hilir mudik di luar dinding padukuhan itu untuk mengawasi gerakan para prajurit Pajang.
Tetapi ternyata perkemahan orang-orang Pajang itupun nampak sepi. Perapian masih nampak menyala di dapur mereka. Tetapi ketika dua orang pengawas berusaha mengamatinya dari tempat yang lebih dekat, ternyata para petugas di dapurpun sudah tertidur sambil menghangatkan tubuh mereka.
Namun para pengawas masih melihat para petugas hilir mudik mengelilingi perkemahan mereka yang lengang dengan senjata telanjang di tangan.
Menjelang dini hari, di dapur perkemahan para prajurit Pajang itupun telah nampak sibuk. Para petugas tengah menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit yang sebelum fajar menyingsing harus mulai bergerak memasuki Tanah Perdikan Sembojan.
Pada waktu yang sama, maka para petugas di padukuhan pertama yang menghadap ke perbatasan telah terjadi kesibukan yang sama. Sementara itu, beberapa ekor kuda berderap dari padukuhan induk ke padukuhan pertama yang sedang bersiap-siap menghadapi serangan para prajurit Pajang.
Seperti yang dijanjikan, Iswari dalam pakaian khususnya, telah memenuhi janjinya kepada anaknya, bahwa ia akan berada di antara para pengawal Tanah Perdikan menjelang fajar.
Namun Iswari telah mohon kepada kakek dan neneknya agar mereka tetap berada di padukuhan induk. Hanya dalam keadaan yang sangat gawat orang-orang tua itu akan diminta untuk hadir di arena.
Di padukuhan pertama Risangpun telah berdiri tegak di depan regol padukuhan. Dari regol Risang sama sekali tidak melihat kegiatan yang dilakukan oleh para prajurit Pajang. Apalagi di saat gelap masih menyelimuti Tanah Perdikan Sembojan. Namun angan-angannya yang didasari dengan laporan para pengawas yang berhasil menyusup mendekati perkemahan itu dapat membayangkan apa yang telah terjadi di perkemahan itu.
Menjelang fajar Risang telah mendengar derap kaki kuda yang mendatanginya. Iapun segera tahu bahwa ibunya, sebagai pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan telah datang bersama-sama dengan beberapa orang pengawal pilihan.
Namun sebelum Risang menyambut kedatangan ibunya, ia terkejut ketika seseorang berdiri beberapa langkah daripadanya sambil berdesis, "Risang."
Risang mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, "Bibi sudah ada disini?"
"Aku tidak akan membiarkan kau bertempur sendiri," berkata Bibi.
"Aku tidak sendiri Bibi. Aku berada di medan bersama dengan banyak orang," jawab Risang.
"Ya. Tetapi aku ingin bersamamu," berkata Bibi.
"Bibi dengar derap kaki kuda itu?" bertanya Risang, "tentu ibu dan beberapa orang pengawal."
"Aku tahu. Tetapi aku akan ikut berada di medan," jawab Bibi.
Risang hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, "Aku akan menjemput ibu."
Bibi ternyata mengikutinya, sehingga Iswaripun terkejut pula melihat kehadiran Bibi.
Tetapi Iswari tidak mencegahnya. Ia tahu bahwa Bibipun memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Bahkan melampaui para pengawal kebanyakan. Bahkan Bibi pernah mendapat gelar Serigala Betina.
Ki Tumenggung Jaladara juga berada di padukuhan itu. Tetapi ia berkata kepada Iswari, "Aku tidak akan terjun ke dalam pertempuran. Bagaimanapun juga masih ada keseganan Jipang untuk langsung melibatkan diri. Biarlah sepuluh orang prajuritku berada di antara para pengawal Tanah Perdikan ini."
"Terima kasih," desis Iswari, "kami akan mempersilahkan Ki Tumenggung untuk berada di padukuhan induk saja."
"Aku akan berada disini," jawab Ki Tumenggung, "tetapi aku tidak akan ikut bertempur."
Iswari mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian silahkan. Tetapi di hari-hari mendatang, mungkin kami benar-benar memerlukan keterlibatan langsung Kadipaten Jipang."
"Jipang sedang berbicara dengan Mataram," jawab Ki Tumenggung.
Dalam pada itu, maka cahaya fajarpun mulai membayang di langit. Para pengawal telah menerima bagian makan dan minum masing-masing. Mereka dapat makan sebanyak mereka kehendaki, karena mereka belum tahu sampai kapan mereka akan berada di pertempuran.
Para prajurit yang kenyang itu telah berjalan-jalan hilir mudik untuk membuat perut mereka menjadi mapan, agar mereka justru tidak terganggu di saat mereka berada di medan yang mendebarkan itu.
Pada suatu saat, para pengawal Tanah Perdikan itu pernah berada dalam barisan yang sama dengan para prajurit Pajang untuk melawan Jipang. Namun kini mereka harus berhadapan dengan prajurit Pajang dengan bantuan Jipang betapapun kecilnya.
Setelah selesai dengan makan dan minum, maka Risangpun telah memerintahkan pasukannya bersiap. Ternyata Risang sama sekali tidak berniat untuk mempertahankan padukuhan itu dari dalam dinding padukuhan. Tetapi ia sudah memerintahkan para pengawal keluar dari padukuhan dan mengatur barisan mereka menghadap ke arah perkemahan prajurit Pajang.
Ketika laporan itu didengar oleh Ki Rangga Larasgati, maka Ki Rangga itupun berkata, "Aku sudah menduga, bahwa orang-orang Tanah Perdikan itu begitu dungunya untuk tidak mencoba mencari perlindungan di belakang dinding padukuhan. Agaknya orang Jipang itulah yang memberikan nasehat kepada pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang cantik itu. Namun ternyata bahwa orang Jipang itupun tidak kalah dungunya dengan orang-orang Tanah Perdikan."
"Jumlah mereka cukup banyak," berkata seorang perwira prajurit Pajang.
"Kau sudah mulai menjadi gentar?" bertanya Ki Rangga.
"Tidak. Tetapi bukan berarti bahwa kita tidak mempergunakan perhitungan," jawab perwira itu.
Ki Rangga tertawa. Katanya, "Bagus. Tetapi kita tentu tahu tingkat kemampuan seorang pengawal."
Perwira itu tidak menjawab lagi.
Sementara itu langitpun menjadi semakin terang. Sejenak kemudian, Ki Rangga yang akan memimpin langsung pasukannya telah berada di tengah-tengah para prajurit. Sejenak kemudian, maka Ki Ranggapun telah memberikan perintah untuk membunyikan isyarat dengan bunyi bende sekali.
Ketika para prajurit telah bersiap di kelompoknya masing-masing, maka bende itu telah berbunyi lagi dua kali. Dengan demikian maka setiap orang di dalam pasukan itu telah bersiap untuk berangkat. Senjata-senjata mereka telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Sementara para prajurit itu telah memandang arena yang akan mereka masuki.
Sejenak kemudian maka bendepun telah berbunyi tiga kali. Terdengar derap kaki para prajurit yang serentak melangkah maju memasuki perbatasan Tanah Perdikan Sembojan.
Risang yang memimpin para pengawal mendengar isyarat yang diberikan oleh pimpinan prajurit Pajang meskipun hanya lamat-lamat. Namun dengan demikian, maka Risang tahu pasti, bahwa para prajurit Pajang memang sudah mulai bergerak.
Karena itu, maka Risangpun telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Demikian matahari terbit, maka para prajurit Pajang itu akan memasuki arena pertempuran.
Iswari sendiri memang tidak langsung berada di dalam barisan. Ia berada di belakang garis perang namun tidak terlalu jauh sehingga ia mampu memperhatikan medan dengan sebaik-baiknya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mendapat tugas di ujung sayap pasukan. Sementara itu, Risang sendiri berada di paruh barisannya. Ternyata Bibi benar-benar tidak mau ketinggalan. Ia berada di belakang Risang.
Sesaat sebelum pertempuran mulai, Gandar yang baru datang dari menengok padepokan Risang di Bibis langsung memasuki arena dan menemui Risang tanpa menemui Iswari lebih dahulu.
"Kapan kau datang?" bertanya Risang.
"Baru saja," jawab Gandar, "demikian aku berada di padepokan, rasa-rasanya hatiku tidak mapan. Aku hampir tidak sempat berbuat apa-apa. Ada dorongan untuk segera kembali ke Tanah Perdikan. Dan aku memang segera kembali. Ternyata kau sudah berada di antara para pengawal."
"Untung kau tidak terlambat," desis Risang, "apakah kau sudah memberikan laporan kepada ibu?"
"Belum," jawab Gandar, "aku kira sesaat lagi pertempuran sudah akan mulai. Aku menempuh perjalanan meskipun malam hari. Aku tidak mau terlambat. Karena itu, aku langsung memasuki arena."
"Masih ada waktu untuk memberitahukan kehadiranmu kepada ibu," berkata Risang.
Gandar termangu-mangu. Sementara Risang mendesaknya, "Cepat. Pasukan Pajang telah bergerak maju."
Gandarpun dengan cepat menyelinap ke belakang garis pertempuran. Dari seorang pengawal ia tahu dimana Iswari berada. Karena itu maka iapun telah berlari-lari menemuinya dan melaporkan kehadirannya.
"Aku titipkan Risang kepadamu," berkata Gandar, "tetapi jaga agar ia tidak kehilangan kendali. Cegah jika ia berbuat melampaui kewajaran seorang pengawal di peperangan."
"Ya," jawab Gandar, "aku akan melakukannya"
Dengan berlari-lari pula Gandar segera kembali ke dekat Risang yang berada di paruh pasukannya.
"He, jangan ganggu anakku," desis Bibi yang berada di belakang Risang.
Gandar berpaling. Jawabnya, "Kau berada di sisi kanan Bibi. Aku di sisi kiri."
"Biar aku bersama anakku," geram Bibi.
"Ssst," desis Gandar, "pasukan Pajang itu telah mendekat."
Bibipun terdiam. Tetapi ia memang bergeser di sebelah kanan Risang.
Dalam pada itu, maka langitpun menjadi semakin terang. Prajurit Pajang yang bergerakpun menjadi semakin jelas nampak. Mereka maju dengan cepat langsung menuju ke pertahanan Tanah Perdikan Sembojan.
Sebagaimana yang diperhitungkan oleh para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Sembojan, maka beberapa puluh patok dari pertahanan pasukan Tanah Perdikan, terdengar isyarat. Dengan cepat pasukan dari Pajang itu telah mengatur diri. Mereka telah memasang gelar melebar. Garuda Nglayang.
Risang tidak merasa perlu untuk menyesuaikan gelarnya. Meskipun gelarnya bukan gelar Supit Urang yang utuh, tetapi menurut pendapat Risang, gelarnya sudah cukup baik untuk menghadapi gelar Garuda Nglayang yang menempatkan semacam tenaga cadangan di bagian belakang gelarnya.
Risang tidak menempatkan tenaga cadangan di tubuh gelarnya. Tetapi Risang menyimpan tenaga cadangan meskipun tidak terlalu banyak di padukuhan pertama, karena ia memperhitungkan kemungkinan lain yang dapat terjadi di padukuhan itu jika prajurit Pajang menusuk dari lambung dengan kekuatan yang datang kemudian.
Iswari yang berada di belakang pasukan itu dengan beberapa orang pengawal terpilih memang tidak berada di tubuh gelar. Tetapi ia bergeser dari ujung sampai ke ujung untuk mengamati seluruh pasukannya dan siap mengisi kelemahan yang ada di dalam gelar.
Dalam pada itu, maka para prajurit Pajang dalam gelar Garuda Nglayang dengan cepat bergerak maju. Ki Rangga Larasgati menginginkan agar dengan cepat mencegah pertahanan lawan di padukuhan itu. Kemudian dengan seluruh kekuatan yang ada pasukan Pajang akan segera menusuk langsung ke padukuhan induk Tanah Perdikan.
"Kita harus dengan cepat menguasai padukuhan induk. Dengan demikian kita akan dapat memaksa para pemimpin Tanah Perdikan ini untuk memenuhi perintah kami. Atau Tanah Perdikan ini akan terhapus untuk selama-lamanya," berkata Ki Rangga Larasgati. Lalu katanya selanjutnya, "Kita sudah terlanjur berada disini. Kita harus menyelesaikan rencana kita dengan sebaik-baiknya."
Dua orang Senapati pengapitnya mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata, "Tetapi pertahanan Tanah Perdikan ini cukup mapan. Mereka telah memasang gelar sejak semula dan sama sekali tidak terpengaruh ketika kita menyusun gelar ini."
"Tentu atas petunjuk orang Jipang itu. Mungkin mereka dapat menunjukkan sikap yang baik secara utuh atas petunjuk Tumenggung Jaladara. Tetapi yang penting, bagaimana kita akan menggilas mereka di pertempuran," geram Ki Rangga Larasgati.
Kedua Senapati pengapit itu tidak menjawab lagi.
Mereka mulai memberikan isyarat agar pasukan mereka bergerak lebih cepat, sehingga jika terjadi benturan dengan para pengawal Tanah Perdikan yang bertahan, mereka akan memiliki ancang-ancang yang akan dapat mendesak dan bergeser mundur.
"Ternyata mereka memang dungu," berkata Ki Rangga sambil melambaikan tangannya, "mereka tetap di tempatnya. Kita akan melanda mereka seperti banjir bandang."
Demikianlah, dalam jarak yang semakin pendek, para prajurit Pajang telah berlari-lari dengan senjata teracu menyerang pertahanan pasukan Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan kemudian terdengar para prajurit Pajang itu bersorak gemuruh seperti gelombang lautan menghantam dinding batu karang.
Tetapi mereka telah terkejut ketika tiba-tiba saja beberapa orang pengawal yang ada di lapisan pertama dari pasukan pengawal Tanah Perdikan itu menyibak. Beberapa orang pengawal muncul dari belakangnya dan langsung berjongkok di baris paling depan.
Ki Rangga Larasgati memang terkejut sebagaimana para prajurit yang lain. Ternyata Tanah Perdikan Sembojan tidak bermain-main dengan pertahanannya. Mereka telah mempertaruhkan apa saja untuk melawan prajurit Pajang.
"Jadi orang-orang Tanah Perdikan benar-benar telah memberontak," berkata Ki Rangga kepada diri sendiri. Tetapi Ki Ranggapun telah bersungguh-sungguh pula. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menghentikan pasukannya. Tetapi Ki Rangga sempat berteriak yang kemudian sambung bersambung diucapkan kembali oleh para pemimpin kelompok, "Awas. Mereka mempergunakan anak panah."
Belum lagi gema teriakan itu lenyap, maka sebenarnyalah para pengawal Tanah Perdikan telah melontarkan anak panah yang meluncur bagaikan semburan air.
Lontaran anak panah itu telah benar-benar menghambat gerak pasukan Pajang yang ingin melanda lawannya seperti banjir bandang. Laju pasukan Pajang itu tertahan beberapa puluh langkah dari pasukan pertahanan Tanah Perdikan. Para prajurit yang berperisai dengan cepat telah melindungi dirinya dan para prajurit yang di belakangnya dengan perisai-perisai mereka. Sedangkan yang lain telah berusaha menangkis anak panah yang meluncur itu dengan senjata-senjata mereka.
Meskipun demikian, beberapa orang memang benar-benar telah terluka. Satu dua orang justru terluka di dada mereka, sehingga sebelum pertempuran yang sebenarnya mulai, mereka sudah harus tertinggal di belakang pasukan mereka yang bergerak maju meskipun tidak begitu cepat lagi.
Ki Rangga Larasgati menjadi semakin marah. Ia tidak mengira bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan akan melawan dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, sehingga mereka benar-benar akan bertempur sampai tuntas. Semula Ki Rangga masih menduga, bahwa yang dilakukan oleh Tanah Perdikan Sembojan itu sekedar mendukung pembicaraan para pemimpinnya untuk memperkuat sikap mereka dan untuk mengangkat harga diri serta keberadaan Tanah Perdikan itu sendiri. Tetapi ternyata yang terjadi kemudian menurut Ki Rangga adalah benar-benar satu pemberontakan.
"Tentu Tumenggung gila dari Jipang itulah yang mendorong orang-orang Tanah Perdikan ini untuk memberontak," geram Ki Rangga yang hanya didengarnya sendiri.
Namun Ki Rangga itupun kemudian harus berteriak lagi memberikan aba-aba ketika satu lagi gerakan para pengawal Tanah Perdikan yang mengejutkannya. Demikian serangan anak panah itu mereda, maka tiba-tiba saja para pengawal telah berlari menyerang dengan senjata teracu. Merekalah yang kemudian bersorak gemuruh seperti guruh yang membahana di langit.
"Jawab serangan mereka dengan ujung senjata kalian," teriak Ki Rangga Larasgati.
Ternyata rencana Ki Rangga, untuk melanda pasukan Tanah Perdikan Sembojan telah gagal. Pasukan Tanah Perdikan itupun telah berlari pula menyerang prajurit Pajang yang justru tertahan oleh lontaran anak-anak panah.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan dari dua gelar yang bentuknya hampir sama, meskipun dengan beberapa perbedaan sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Iswari yang belum terlibat dalam pertempuran menyaksikannya dengan jantung yang berdebaran. Ia tidak pernah bermimpi untuk melawan Pajang dengan kekerasan. Tetapi sikap Pajang memang sulit untuk dapat dimengerti. Meskipun demikian Iswari masih mempunyai alasan atas tindakan yang diambilnya. Tanah Perdikan Sembojan sama sekali tidak memberontak melawan Pajang. Tanah Perdikan Sembojan hanya menolak keputusan dari orang yang tidak berhak karena tidak dapat menunjukkan bukti apapun tentang limpahan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Tidak ada pertanda benda kerajaan atau Surat Kekancingan yang baru yang mencabut Surat Kekancingan yang terdahulu. Jika Pajang memang telah menggantikan kedudukan Demak, maka Pajang memang mempunyai wewenang yang sama dengan Demak. Tetapi harus ada pertanda wewenang itu yang dibawa oleh Ki Rangga Larasgati.
Yang terjadi kemudian adalah bahwa Tanah Perdikan Sembojan telah mempertahankan dirinya ketika Ki Rangga Larasgati menyerang. Tidak jelas, apakah Ki Rangga benar-benar membawa perintah dari Pajang atau karena kebijaksanaannya sendiri dan apalagi menyalahgunakan wewenang yang ada padanya.
Pertempuran yang terjadipun menjadi semakin lama semakin sengit. Para prajurit Pajang telah dikejutkan sekali lagi oleh para pengawal ketika benturan terjadi. Ternyata bahwa para pengawal Tanah Perdikan Sembojan memiliki kemampuan secara pribadi tidak kalah dengan kemampuan seorang prajurit.
Di pangkal sayap, para prajurit memang menjumpai pasukan yang agaknya lebih lunak dari para pengawal terlatih. Mereka mendapatkan lawan yang tidak terlalu tinggi bekal ilmunya. Tetapi di antara mereka terdapat orang-orang yang nampaknya umurnya sudah memanjat mendekati pertengahan abad, namun justru merekalah yang menjadi sangat berbahaya. Sementara itu, di samping pemimpin kelompoknya, maka terdapat seorang yang berilmu tinggi sehingga sempat mengacaukan kerapihan kerja sama para prajurit Pajang.
Sebenarnyalah di pangkal sayap itu terdapat kelompok-kelompok yang terdiri dari mereka yang tidak termasuk para pengawal. Tetapi di antara mereka terdapat bekas pengawal yang memiliki pengalaman yang luas, karena mereka pernah menjadi pengawal Tanah Perdikan beberapa tahun yang lampau justru pada saat Tanah Perdikan itu bergejolak.
Sementara itu, orang-orang yang merasa kurang memiliki bekal kemampuan mempergunakan senjata, telah bertempur berpasangan. Dua atau tiga orang bersama-sama menghadapi seorang prajurit yang lebih trampil dari mereka. Dengan demikian, maka prajurit itupun harus mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi dua atau tiga orang sekaligus.
Tetapi mereka yang kebetulan berhadapan dengan orang-orang yang meskipun umurnya sudah mendekati setengah abad namun bekas pengawal sekitar kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, maka prajurit itu harus menjadi sangat berhati-hati. Orang-orang tua itu meskipun sudah agak lama tidak bermain-main dengan senjatanya, tetapi pada saat-saat terakhir mereka telah berusaha mengenali senjatanya lagi. Mereka yang menyimpan senjata mereka di bawah timbunan perkakas yang lain, telah diambilnya sejak keadaan meningkat menjadi gawat. Bukan saja membersihkannya tetapi juga membiasakan kembali mempergunakan senjata itu.
Ternyata mereka masih mampu membuat para prajurit harus mengerahkan kemampuan mereka untuk mengatasinya. Meskipun demikian orang-orang tua yang memiliki pengalaman yang luas itu harus memperhitungkan ketahanan tenaga dan kemampuan mereka. Nafas mereka tentu sudah tidak sepanjang di saat-saat mereka masih muda. Namun di saat-saat terakhir mereka telah berusaha untuk menggali kekuatan dasar mereka dengan mengatur pernafasan mereka. Mereka setiap saat telah berlatih untuk meningkatkan daya tahan mereka yang telah susut.
Dengan demikian, maka prajurit Pajang itu tidak segera dapat mendesak pasukan pengawal Tanah Perdikan. Para pengawal Tanah Perdikan yang terlatih itu dalam jumlah yang cukup, ternyata mampu bertahan di garis benturan kedua gelar itu.
Risang sendiri bertempur dengan garangnya. Saat-saat menempa diri yang berat sangat berarti baginya dalam pertempuran seperti itu. Pengalamannya sebagai seorang prajurit telah membuatnya semakin teguh dan percaya diri.
Risangpun sama sekali tidak menjadi gentar ketika tiba-tiba saja ia telah berhadapan di paruh pasukan dengan Senapati pasukan Pajang. Ki Rangga Larasgati.
"Ternyata kau anak ingusan," geram Ki Rangga.
Risang termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa Ki Rangga tentu berbekal ilmu yang tinggi. Meskipun demikian Risang yakin akan tugas yang diembannya sebagai anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Ketika Ki Rangga Larasgati melangkah maju, Risang memang bergeser untuk mendapatkan pijakan yang lebih mapan di dalam keributan medan. Namun Ki Rangga itu berkata, "Jika kau tidak berani bertempur sendiri, maka panggil Senapatimu yang terbaik di medan ini. Aku akan menunggu."
Tetapi Risang menggeleng. Katanya, "Aku tidak merasa perlu untuk memanggil siapapun. Setiap pengawal Tanah Perdikan yang turun ke medan, ia akan siap menghadapi siapapun."
"Tetapi kau belum mengenal ilmuku sama sekali," berkata Ki Rangga, "jika kau begitu sombong, maka kau benar-benar akan mati muda."
"Apapun yang akan terjadi," jawab Risang.
Ki Rangga itupun menggeram. Namun Ki Rangga itupun kemudian telah menggerakkan pedangnya yang besar yang tajamnya melampaui tajamnya pisau pencukur.
"Kepalamu akan dapat terpisah dari tubuhmu," geram Ki Rangga Larasgati.
Risang telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Namun ia masih sempat melihat sekilas, apa yang terjadi di sebelah menyebelahnya. Risang dan Bibi ternyata telah mendapatkan lawan masing-masing. Senapati pengapit Ki Rangga.
Ketika kemudian Ki Rangga meloncat menyerang dengan pedangnya, maka Risang yang juga bersenjata pedang telah bergeser menghindar. Namun ketika Ki Rangga siap memburunya, maka pedang Risang itulah yang terjulur, sehingga langkah Ki Rangga justru tertahan.
Tetapi dengan cepat Ki Rangga berputar. Pedangnya menyambar mendatar mengarah langsung ke leher Risang.
Untuk menjajagi kekuatan lawannya, maka Risang telah menangkis serang mendatar itu sambil merendahkan diri.
Meskipun Risang menyadari, bahwa Ki Rangga masih belum mempergunakan kekuatannya sepenuhnya, namun dengan benturan itu Risang dapat menduga seberapa besarnya kekuatan lawannya.
Namun sebaliknya Ki Rangga justru terkejut. Anak muda itu ternyata memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mengimbangi kekuatannya.
Tetapi Ki Rangga merasa dirinya memiliki ilmu dan pengalaman yang luas sehingga ia memperhitungkan, bahwa ia akan dengan cepat menyelesaikan anak Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu.
Sementara itu seorang dari Senapati pengapit Ki Rangga Larasgati terkejut ketika ia bertemu dengan seorang perempuan di medan. Dengan lantang Senapati itu berkata, "Jadi Tanah Perdikan ini sudah kehabisan laki-laki?"
Bibi memang tertegun mendengar pertanyaan itu. Namun ia menjawab juga, "Aku memang pengawal Tanah Perdikan. Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan yang sekarang juga seorang perempuan. Apa salahnya?"
"Aku selama ini tidak pernah melawan seorang perempuan," berkata Senapati pengapit itu, "karena itu pergilah. Atau cari saja lawan yang lain."
"Sebaiknya kau mencobanya. Apakah kau akan terkejut atau tidak," jawab Bibi.
"Tetapi melawan seorang perempuan sangat merugikan harga diriku. Jika aku menang, maka setiap orang akan menganggap bahwa hal itu adalah wajar sekali. Tetapi jika aku kalah, maka namaku akan direndahkan," jawab Senapati pengapit itu.
"Jika demikian, kau sajalah yang lari dari medan ini," berkata Bibi, "atau cari lawan yang lain. Aku akan tetap bertempur disini."
Senapati itu menjadi marah. Dengan garang ia berkata, "Kau akan menyesali kata-katamu itu. Sebenarnya aku masih dapat menahan diri. Tetapi kata-katamu itu menyakitkan hati."
Bibi tertawa. Katanya, "Sudahlah. Kita akan bertempur."
Senapati pengapit yang marah itupun dengan garang pula telah menyerang Bibi. Ia ingin dengan cepat menyingkirkannya dari medan agar tidak mengganggunya lagi. Senapati itu menganggap bahwa kehadiran Bibi di medan akan dapat mengurangi kegarangannya sebagai seorang Senapati yang mendapat kepercayaan Ki Rangga Larasgati untuk mendampinginya.
Tetapi Senapati itupun terkejut. Ternyata Bibi yang berpakaian seperti seorang laki-laki itu memiliki ketangkasan yang tinggi. Ketika senjata Senapati itu terjulur maka Bibi sempat bergeser. Bahkan dengan cepat pula Bibi telah mengayunkan pedangnya menyambar ke arah dada.
Senapati itu memang tidak menduga, bahwa Bibi dapat bergerak secepat itu. Karena itu, maka Senapati itupun harus bergerak dengan cepat pula menghindarinya. Namun Bibi telah memburunya. Pedangnya terjulur menggapai perut Senapati itu, sehingga Senapati itu harus bergeser menghindar lagi.
Bibi ternyata memang seorang perempuan yang garang.. Senapati pengapit itu segera menyadari, bahwa perempuan itu memang memiliki kemampuan sebagai bekal kehadirannya di medan perang. Bahkan beberapa saat kemudian, maka terasa bahwa ujung pedang perempuan itu serasa sangat menekannya. Karena itulah maka Senapati itu harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengatasi patukan ujung senjata lawannya yang semula dianggapnya hanya seorang perempuan. Namun yang ternyata kemudian terasa betapa sulitnya mengatasi permainan pedang perempuan itu.
Di sisi yang lain, Senapati pengapit Ki Rangga itupun segera mengalami kesulitan. Gandar yang baru saja datang dari Bibis setelah menempuh perjalanan malam karena dorongan perasaannya yang gelisah, seolah-olah tanpa beristirahat, harus mengerahkan kemampuannya bertempur melawan seorang Senapati pengapit.
Tetapi Gandar memang tangkas. Ia memiliki bekal ilmu yang cukup tinggi. Karena itu, meskipun tenaganya tidak sesegar mereka yang sempat beristirahat di malam hari, namun ilmu Gandar telah terasa menyulitkan lawannya.
Sementara itu pertempuran di seluruh gelar itu memang berlangsung semakin sengit. Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, maka orang-orang yang bertempur itu telah menjadi berkeringat. Ketika telapak tangan mereka menjadi basah, maka mereka seakan-akan memang menjadi semakin garang.
Di pangkal sayap, para prajurit berusaha untuk menembus pertahanan para pengawal. Karena gelar pasukan Tanah Perdikan itu secara keseluruhan tidak dapat didesak mundur oleh para prajurit Pajang, maka mereka berusaha untuk mematahkan pangkal sayap gelar Supit Urang yang memang tidak lengkap itu.
Tetapi ternyata para prajurit Pajang memang mengalami kesulitan. Bekas para pengawal yang telah menjadi semakin tua itu ternyata masih merupakan benteng yang kokoh bagi Tanah Perdikan Sembojan. Mereka justru menjadi semakin matang menghadapi gejolak yang terjadi. Sementara itu, prajurit Jipang pilihan yang menyertai Ki Tumenggung Jaladara, telah bertebaran di pangkal sayap. Meskipun jumlahnya hanya sepuluh orang, tetapi bersama-sama dengan bekas pengawal yang berpengalaman, mereka telah mampu menahan usaha para prajurit Pajang untuk memotong gelar para pengawal Tanah Perdikan itu.
Meskipun demikian, namun terasa bahwa kesulitan terbesar bagi pasukan pengawal Tanah Perdikan adalah ada pada pangkal gelarnya.
Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin garang. Ketika panas matahari telah terasa semakin menyengat kulit, maka para prajurit Pajang telah berusaha untuk mempercepat gerak maju mereka. Tetapi para pengawal Tanah Perdikan sama sekali tidak memberikan kesempatan. Para pengawal telah bertahan dengan sekuat tenaga dan kemampuan mereka tanpa menghiraukan pengorbanan terbesar yang dapat mereka berikan.
Di paruh gelarnya, Risang masih bertempur dengan Ki Rangga Larasgati. Sementara itu kedua Senapati pengapit Ki Rangga telah mengalami kesulitan melawan Gandar dan Bibi. Bahkan yang harus bertempur melawan Gandar telah terpaksa memanggil seorang prajurit untuk membantunya.
Semula seorang pengawal Tanah Perdikan telah melibatkan diri untuk membantu Gandar. Tetapi Gandar sempat berdesis, "Tinggalkan aku. Jika perlu aku akan memanggilmu."
Pengawal itu tahu bahwa Gandar memang memiliki kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka ia telah memanfaatkan tenaganya untuk melawan para prajurit yang lain.
Ki Rangga Larasgati memang tidak menduga sama sekali bahwa di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang seperti Gandar dan perempuan yang agak gemuk namun tangkas itu.
Bahkan Ki Ranggapun tidak menduga, bahwa anak muda yang bernama Risang itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya. Sebagai seorang perwira maka Ki Rangga Larasgati memang merasa malu bahwa seorang pengawal Tanah Perdikan mampu mengimbanginya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Betapa ia berusaha mendesak lawannya yang masih muda itu, namun Risang memiliki ketangkasan yang cukup untuk bertahan.
Sebenarnyalah Risang yang telah siap mewarisi ilmu ketiga orang kakek dan neneknya itu memang menunjukkan tingkat kemampuannya yang tinggi. Tetapi Risang bukan saja murid ketiga orang kakek dan neneknya. Namun ia telah memiliki pengalaman yang cukup pula sebagai seorang prajurit. Risang-pernah berada di medan perang yang bagaikan neraka menghadapi prajurit Mataram. Sedangkan pada kesempatan lain, iapun pernah menghadapi orang-orang yang sedang memburu anak muda yang bernama Puguh.
Dengan demikian, maka Ki Rangga Larasgati benar-benar menjadi tegang. Segala usahanya untuk menyingkirkan anak muda itu dari medan tidak segera berhasil. Bahkan sekali-sekali senjata anak muda itu telah berdesing begitu dekat di telinganya.
Namun dalam pada itu, pangkal sayap dari pasukan pengawal Tanah Perdikan justru di kedua belah sisi telah mendapat tekanan yang semakin berat. Karena itu, maka pangkal sayap kedua sisi gelar Supit Urang yang tidak lengkap itu bagaikan mengendor dan sedikit demi sedikit tergeser surut beberapa lapis dibandingkan dengan garis medan seluruh gelar.
Iswari melihat keadaan itu. Namun sebelum ia memasuki salah satu pangkal sayap untuk membantu meluruskan garis medan, ternyata para pimpinan di ujung sayap telah mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelamatkan pangkal sayap itu.
Tanpa bersepakat, Sambi Wulung dan Jati Wulung yang berada di ujung sapit yang merupakan tajamnya sayap pasukan pengawal Tanah Perdikan telah memperhatikan keadaan pangkal sayap itu pula. Mereka menjadi cemas melihat tekanan yang berat pada pangkal sayap itu. Justru karena memang terdapat kelemahan pada pangkal sayap, maka prajurit Pajang telah berusaha untuk memanfaatkannya sebaik-baiknya. Jika mereka berhasil mematahkan pangkal sayap itu, maka tentu akan ada pengaruh jiwani pada para pengawal, sehingga mereka tidak lagi memiliki cukup keberanian untuk mengambil langkah.
Para pemimpin kelompok prajurit Pajang yang memang memiliki kemampuan bertempur dalam gelar itu telah memerintahkan pasukannya untuk memusatkan serangan-serangannya pada pangkal sayap itu. Beberapa orang bekas pengawal Tanah Perdikan sudah bekerja keras untuk menahan mereka. Prajurit Jipang yang ada di pangkal sayap itupun telah bertempur dengan garangnya sementara orang-orang lain dalam pasukan itu masih juga bertempur berpasangan. Namun tekanan prajurit Pajang memang terasa sangat berat.
Dalam keadaan yang demikian maka baik Sambi Wulung maupun Jati Wulung telah mengerahkan kekuatan pasukan pengawal yang ada di sapit udang dalam gelar Supit Urang untuk membantu kesulitan di pangkal sayapnya. Dengan kemampuan yang tinggi, maka Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menggerakkan ujung supitnya. Sambi Wulunglah yang lebih dahulu berusaha membuka sapit udangnya, sementara Sambi Wulung sendiri telah bertempur dengan garangnya.
Perlahan-lahan sapit udang itu bergerak ke dalam medan. Dengan satu isyarat, maka sapit udang itu berusaha untuk menekan dan menghimpit ujung sayap gelar Garuda Nglayang pada pasukan Pajang.
Kehadiran Senapati di ujung gelar Supit Udang itu ternyata memang sangat berpengaruh. Sambi Wulung yang memiliki ilmu yang tinggi telah mendesak prajurit Pajang yang menghadapinya diikuti oleh para pengawal yang berada di ujung gelar Supit Urang itu.
Tekanan yang diberikan oleh Sambi Wulung dan kemudian juga dilakukan oleh Jati Wulung, memang berpengaruh. Para prajurit Pajang yang berada di ujung sayap, mengalami kesulitan oleh tekanan para pengawal yang dipimpin oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung itu.
Semakin lama sapit udang pada Gelar Supit Urang itu semakin menekan ke dalam. Bahkan kemudian seakan-akan telah mencengkam dan semakin menjepit dengan kuatnya. Kemampuan Sambi Wulung dan Jati Wulung Sendiri memang sangat berpengaruh atas gerak pasukan pengawal di kedua ujung gelarnya. Sementara itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung masih berusaha untuk menyembunyikan ilmu puncaknya yang belum akan dipergunakan jika tidak terpaksa sekali, karena ilmu itu tentu akan sangat menarik perhatian para prajurit Pajang sehingga akan dapat menimbulkan persoalan yang khusus.
Namun dengan kemampuan olah kanuragannya yang tinggi, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah mampu mendesak pasukan Pajang di ujung-ujung sayap gelar Garu Nglayang.
Dengan demikian, maka pengaruh desakan kekuatan pasukan pengawal di ujung gelarnya telah terasa sampai ke pangkal sayap gelar itu. Desakan pasukan pengawal di ujung sayap terasa menekan ke pangkal sayap pasukan Pajang yang mulai mendesak pasukan pengawal.
Namun para pemimpin kelompok prajurit Pajang harus membuat perhitungan-perhitungan baru. Jika mereka tidak melakukan sesuatu, maka sayap pasukan itu benar-benar akan mengalami kesulitan. Bukan saja terdesak mundur dan kemudian terjepit oleh sapit udang dalam gelar Supit Urang yang mempunyai kekuatan yang besar di ujung-ujung sapitnya, namun korban akan berjatuhan sehingga kekuatan Pajang akan benar-benar menjadi cepat susut.
Dengan demikian maka tidak ada pilihan lain dari para prajurit Pajang untuk membuat keseimbangan baru. Kekuatan yang ada di pangkal sayapnya harus bergeser ke ujung sayap untuk mengurangi tekanan pasukan pengawal Tanah Perdikan.
Karena itu, maka tekanan di pangkal sayap pasukan pengawal Tanah Perdikan itupun terasa mulai berkurang. Sebagian dari kekuatan yang ada di pangkal sayap itu telah bergeser ke ujung sayap. Para prajurit Pajang harus menahan dan bahkan kemudian mendesak keluar ujung-ujung sapit udang yang seakan-akan semakin mencengkam lambung.
Para pemimpin dari kedua belah pihak ternyata bukan saja harus bertempur dan mempertahankan diri dari serangan-serangan yang datang, namun merekapun harus mencari pemecahan dari perkembangan yang terjadi di setiap saat.
Para pengawal Tanah Perdikan yang berada di pangkal sayap, rasa-rasanya mendapat kesempatan untuk bernafas. Meskipun mereka harus bertempur terus, tetapi ketegangan tidak lagi terasa mencengkam jantung.
Para bekas pengawal yang ikut dalam pertempuran itu tidak lagi harus mengerahkan segenap tenaganya, sehingga mereka pada keadaan tertentu dapat menghemat tenaga bagi pertempuran yang tentu akan menjadi panjang. Sedangkan orang-orang lain yang masih belum banyak mengalami latihan, merasa bahwa jumlah lawanpun menjadi berkurang, sehingga mereka akan dapat bertempur dalam kelompok-kelompok yang lebih besar.
Dengan demikian, maka pertempuran antara prajurit Pajang melawan para prajurit dari Tanah Perdikan Sembojan itupun masih tetap berada di garis pertempuran sejak benturan kedua kekuatan itu terjadi. Kedua belah pihak masih belum mampu mendesak lawan yang ternyata seakan-akan terasa seimbang. Bahkan ketika pasukan cadangan Prajurit Pajang yang ada di tubuh gelar telah terlibat pula dalam pertempuran untuk mematahkan pangkal sayap pasukan Tanah Perdikan, masih saja para pengawal Tanah Perdikan mampu bertahan.
Sementara itu, Ki Rangga Larasgatipun menjadi semakin marah menghadapi lawannya yang masih muda itu. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun Risang masih saja mampu mengimbanginya. Ketika Risang melihat keadaan pasukannya yang masih belum bergeser dari garis pertempuran, maka Risangpun tidak lagi merasa gelisah. Ia menganggap bahwa ketahanan pasukannya tentu akan mampu mengimbangi para prajurit Pajang. Dengan demikian maka iapun dapat memusatkan perlawanannya kepada Ki Rangga Larasgati.
Apalagi ketika Risang melihat Gandar dan Bibi yang perlahan-lahan mampu mendesak lawan masing-masing. Meskipun Gandar harus bertempur melawan Senapati pengapit yang dibantu oleh seorang prajuritnya, namun Gandar sama sekali tidak terdesak.
Bahkan ketika matahari telah melewat puncak langit, Gandar justru berhasil menyentuh prajurit yang membantu Senapati pengapit itu dengan senjatanya, sehingga prajurit itu telah terlempar jatuh.
Ternyata luka di dada prajurit itu cukup parah, sehingga dua orang kawannya harus menyingkirkannya dari arena. Senapati yang semakin terdesak itu telah memanggil seorang prajurit lagi untuk membantunya. Namun ketika prajurit itu mendekatinya, maka seorang pengawal dengan tangkasnya telah memotong geraknya sehingga untuk sesaat prajurit itu harus bertempur melawan pengawal itu.
Namun dengan tiba-tiba pula seorang prajurit yang lain telah memasuki arena dengan tergesa-gesa. Prajurit itu ternyata kurang berhati-hati, sehingga demikian ia memasuki arena pertempuran antara Senapatinya dengan Gandar, maka senjata Gandar telah menyambutnya.
Prajurit itupun telah terpelanting dan jatuh di kaki kawan-kawannya yang sedang bertempur, sehingga sekali lagi kawan-kawannya harus membawa seorang prajurit keluar.
Beberapa orang prajurit cadangan sempat menggantikan tempatnya. Namun ternyata bahwa sebagian dari prajurit cadangan itu harus bergeser ke ujung sayap. Beberapa kali Sambi Wulung dan Jati Wulung dapat melemparkan lawannya, melukainya dan mendesaknya keluar dari arena. Sementara itu, pasukannya di ujung gelar semakin lama telah semakin menusuk ke sayap lawan.
Ki Rangga Larasgatilah yang kemudian kurang dapat memusatkan perhatiannya pada pertempuran melawan Risang. Anak muda yang memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Sembojan. Apalagi semakin rendah matahari bergeser ke Barat, maka korbanpun semakin banyak berjatuhan pada kedua belah pihak. Namun menurut pengamatan seorang penghubung, bahwa di ujung sayap keadaan pasukan prajurit Pajang menjadi agak mengalami kesulitan.
Ketika hal itu sempat dibawa kepada seorang Senapati yang memimpin pasukan cadangan yang menentukan penempatan para prajurit cadangan itu, maka iapun telah berkata, "Laporkan langsung kepada Ki Rangga."
"Ki Rangga terikat dalam pertempuran dengan seorang anak muda, tetapi ternyata memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan Ki Rangga," jawab penghubung itu.
"Aku akan mengambil alih anak muda itu," berkata Senapati yang memimpin pasukan cadangan itu.
Sebenarnyalah, Senapati itu telah memasuki arena pertempuran antara Ki Rangga melawan Risang. Demikian ia meloncat ke sisi Ki Rangga, iapun berkata, "Seseorang memerlukan Ki Rangga Larasgati untuk memberikan laporan."
Ki Rangga menyadari pentingnya laporan itu. Karena itu, maka iapun berkata, "Tahan anak muda itu sejenak. Aku akan menemui penghubung itu."
Risang memang merasa kecewa bahwa ia kehilangan lawannya yang telah menghina Tanah Perdikannya. Tetapi ia tidak sempat mencegahnya. Senapati itu dengan garangnya telah menyerangnya. Meskipun kemampuannya masih belum setingkat dengan Ki Rangga, namun ternyata bahwa Senapati itu untuk sementara mampu mengikatnya dalam pertempuran.
Ki Rangga memang hanya sebentar. Ia hanya mendengarkan laporan tentang kesulitan di ujung sayap. Kemudian Ki Rangga itu telah berada kembali di medan, menghadapi Risang.
Namun ternyata Ki Rangga telah membawa sikap.
Menghadapi keadaan yang tidak diduganya itu, Ki Rangga tidak boleh mengingkari kenyataan. Ia tidak mau pasukannya benar-benar dihancurkan oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan.
Karena itu, untuk sementara ia harus mengambil satu sikap betapapun pahitnya.
Ketika Senapati yang menggantikannya itu kembali ke pasukan cadangannya yang sudah menipis, maka penghubung itu berkata, "Ki Rangga telah menentukan sikapnya."
"Apa?" bertanya Senapati itu dengan nafas terengah-engah. Meskipun ia hanya sebentar bertempur melawan Risang, tetapi nafasnya serasa sudah akan putus. Bajunya sudah terkoyak oleh ujung pedang, meskipun belum menyentuh kulitnya.
"Ki Rangga berpesan, agar disiapkan gerak mundur," berkata penghubung itu.
"Apa yang harus disiapkan?" bertanya Senapati itu.
"Pertahanan kedua. Semua orang di perkemahan harus bersiap. Petugas-petugas di dapur dan petugas perlengkapan harus mengangkat senjata mereka. Pasukan cadangan yang ada tidak akan mencukupi lagi," jawab penghubung itu.
Senapati itu mengangguk kecil. Katanya, "Pergilah."
Penghubung itupun segera meninggalkan arena pertempuran. Ketika ia berada di perkemahan, maka diperintahkannya semua orang yang ada untuk bersiap. Mereka harus menyesuaikan diri dengan gerak mundur prajurit Pajang.
Ketika semuanya sudah siap, maka penghubung itu telah membunyikan bende bertalu-talu tidak henti-hentinya dengan irama datar.
Isyarat itu memang terdengar dari medan. Ki Rangga Larasgati telah memerintahkan gerakan mundur dari pasukannya. Satu gerakan yang sangat menyakitkan hati, apalagi hanya berhadapan dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan yang seharusnya ditundukkan agar melaksanakan segala perintahnya. Menduduki padukuhan induk dan menangkap pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikannya, yang hanya seorang perempuan.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Kenyataan yang dihadapinya adalah bahwa prajuritnya tidak mampu mengimbangi kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan.
Dengan kemampuan prajurit, maka pasukan Pajang memang bergerak mundur melintasi daerah persawahan. Sebagaimana mereka datang, maka mereka sama sekali tidak menghiraukan tanaman padi yang hijau subur yang kemudian telah berserakan terinjak-injak kaki.
Risang yang melihat gerak mundur pasukan Pajang telah memerintahkan untuk mendesak terus. dari gelar Supit Urangnya mencoba mencengkam ke arah lambung. Tetapi prajurit Pajang yang terlatih itu masih mampu mempertahankan dirinya pada gerak mundurnya. Apalagi pasukan Pajang masih terhitung belum banyak susut. Namun pengamatan yang tajam dari Ki Rangga telah melihat, apabila prajurit Pajang itu memaksakan diri untuk bertempur terus, maka kekuatan mereka benar-benar akan menjadi jauh susut yang pada akhirnya akan dihancurkan oleh para pengawal Tanah Perdikan.
Sementara pasukan Pajang itu mundur, maka orang-orang yang ada di perkemahan telah mempersiapkan diri untuk bergabung dengan para prajurit.
Tetapi pertempuran itu terhenti ketika pasukan Pajang yang mundur itu telah keluar dari perbatasan Tanah Perdikan. Iswari yang langsung memasuki gelar dan minta kepada Risang untuk menghentikan pengejaran.
Semula Risang merasa berkeberatan. Tetapi Iswari kemudian berkata, "Kau dengar perintahku. Bagaimanapun juga, kita harus mempunyai perhitungan dan berusaha untuk mengekang diri."
Risang memang tidak dapat memaksakan kehendaknya. Iapun telah menghentikan pasukannya di perbatasan. Betapapun jantungnya bergejolak, namun Risang harus mematuhi perintah ibunya.
Para pengawal yang sudah melihat kemenangan di depan hidung merekapun menjadi sangat kecewa. Tetapi mereka memang harus patuh kepada perintah Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan itu.
Namun dalam pada itu, Ki Rangga Larasgati yang membawa pasukannya mundur ke perkemahan menjadi sangat marah. Hatinya menjadi sakit sekali menyaksikan kenyataan itu. Ia kecewa bahwa ia agak mengabaikan beberapa keterangan tentang Tanah Perdikan itu sebelumnya dan merendahkannya.
"Kita harus memanggil pasukan yang pernah berada di Gemantar itu. Pasukanku cukup baik. Para Senapati agaknya tidak akan mempergunakannya untuk mempertahankan Pajang dari tekanan Jipang dan Mataram," berkata Ki Rangga Larasgati.
"Pasukan yang dipimpin Lurah Penatus muda itu?" bertanya penghubung yang mendapat perintah menghubungi Pajang.
"Ya. Bawa pasukan yang dipimpin oleh Kasadha itu kemari. Di bawah perintahku, Kasadha tidak akan bersikap sebagaimana dilakukan di Gemantar. Aku tahu, pasukan itu memiliki kekuatan yang cukup besar," berkata Ki Rangga Larasgati.
"Apakah aku harus langsung menemui Lurah Penatus itu," bertanya penghubungnya.
"Jangan bodoh," geram Ki Rangga, "kau harus menganggap Ki Tumenggung Bandapati lebih dahulu. Bukankah Ki Tumenggung yang mengatur segala-galanya?"
Penghubung itu mengangguk-angguk. Katanya, "Sikap Mataram dan Jipang sangat mengganggu semua kegiatan di Pajang."
"Satu kebetulan," desis Ki Rangga, "kau jangan dungu. Bahwa dengan demikian para pemimpin di Pajang tidak terlalu banyak menghiraukan rencana kita. Mereka menyerahkan segala-galanya kepada Ki Tumenggung Bandapati. Juga wewenang untuk menggerakkan prajurit yang belum dinyatakan sebagai kesatuan yang harus berada di perbatasan menghadapi Jipang di satu sisi dan Mataram di sisi lain."
Tetapi penghubung itu berkata, "Tetapi bagaimana sikap kita jika Jipang dan Mataram bersungguh-sungguh" Ketika Adipati Demak ditetapkan untuk mewarisi Pajang, maka sudah nampak sikap kecewa dari Panembahan Senapati dan apalagi Pangeran Benawa."
"Kita harus menyelesaikan Tanah Perdikan ini lebih dahulu. Baru kita akan berbicara tentang Jipang dan Mataram," berkata Ki Rangga. Lalu katanya, "Karena itu, cepat pergi ke Pajang. Dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, Kasadha dan pasukannya harus sudah berada disini."
Penghubung itu tidak menjawab lagi. Bersama dua orang prajurit yang mengawalnya, penghubung itu telah berpacu menuju ke Pajang.
Tetapi kepergian mereka tidak terlepas dari pengamatan para petugas Tanah Perdikan yang mengawasi mereka. Ketika tiga penunggang kuda berpacu ke Pajang.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan, maka Iswaripun berkata, "mereka akan membawa bantuan prajurit dari Pajang."
"Ya," sahut Ki Tumenggung Jaladara, "mereka tentu berniat mengambil bantuan."
"Hal ini harus mendapat pemecahan," berkata Iswari kemudian.
Tetapi Risang yang muda itu berkata, "Kita hancurkan pasukan itu di perkemahannya sebelum bantuan itu datang. Para pengawal menjadi kecewa bahwa kita telah melepaskan kesempatan untuk menghancurkan prajurit Pajang. Apalagi mereka yang terluka di medan. Mereka ingin melihat pasukan Pajang itu hancur. Beberapa pengawal telah menjadi banten. Kita tidak dapat begitu saja melupakan beberapa orang yang telah gugur di pertempuran itu."
"Risang," berkata ibunya, "kita harus mengekang diri. Yang kita lakukan sekarang adalah semata-mata membela diri di kampung halaman kita sendiri. Kita tidak menyerang Pajang di luar batas Tanah Perdikan kita. Tetapi kita semata-mata melindungi diri kita sendiri."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Pajang telah melakukan serangan yang tidak sah atas Tanah Perdikan kita. Adalah hak kita, termasuk untuk membela diri, jika kita menyerang landasan pasukannya meskipun itu berada di luar batas Tanah Perdikan kita."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sambil menggeleng ia berkata, "Aku tidak sependapat Risang."
Risang menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat memaksa ibunya. Meskipun demikian ia masih juga bertanya, "Apa yang dapat kita lakukan jika prajurit Pajang menjadi semakin kuat" Karena sebenarnyalah jika Pajang menjadi kehilangan akal, mereka dapat memanggil prajurit berlipat ganda."
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa betapapun besarnya kekuatan Tanah Perdikan itu, namun Tanah Perdikan itu tidak akan mampu melawan Pajang. Pajang akan dapat memanggil pasukan segelar sepapan.
Tetapi Iswari memang sudah siap. Ia tidak akan menyerahkan Surat Kekancingan. Ia juga tidak akan memenuhi permintaan Ki Rangga Larasgati yang akan memeras Tanah Perdikan itu. Jika dengan demikian Pajang akan datang dengan pasukan segelar sepapan menduduki Tanah Perdikan itu, maka Iswari sudah siap untuk mempertanggung-jawabkannya.
Ketika hal itu dinyatakannya, maka Risang berkata, "Jangan ibu. Akulah yang akan bertanggung jawab. Akulah Kepala Tanah Perdikan ini. Sementara jika benar Pajang datang dengan pasukan segelar sepapan, ibu akan dapat berada di tempat lain membawa serta Surat Kekancingan yang di saat lain dapat ibu pergunakan untuk mengusik kembali hak atas Tanah Perdikan ini."
"Kau berpikir terbalik Risang," berkata ibunya, "jika kau yang dibawa oleh orang Pajang dan kemudian aku berhasil mendapatkan kembali hak ini setelah keadaan menjadi tenang, lalu buat apa. Kau adalah satu-satunya anakku. Sadari itu."
Risang menarik nafas panjang. Ia mengerti jalan pikiran ibunya. Namun ia masih berkata, "Tanah Perdikan Sembojan dan aku adalah dua sosok yang berbeda. Tanpa akupun Tanah Perdikan ini harus hidup dan berkembang. Siapapun yang akan memegang pimpinan."
"Tidak," tiba-tiba suara Iswari meninggi. Wajahnya menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya ia berkata, "Kau adalah anakku. Aku tidak rela jika anak orang lain datang dan menuntut haknya atas Tanah Perdikan ini. Selama ini aku telah berbuat apa saja bagi Tanah ini."
Semua yang mendengar suara Iswari yang meninggi itu memang tersentak. Namun kemudian mereka mengerti, apa yang dimaksud Iswari itu. Ia masih saja dihantui oleh nama yang selama ini sangat dibencinya. Seorang perempuan yang telah merampas segala-galanya dalam kehidupan rumah tangganya. Ia tidak mau Tanah Perdikan ini jatuh ke tangannya atau anaknya yang bernama Puguh. Karena sebenarnyalah bahwa Puguh itu juga berhak atas Tanah Perdikan ini tanpa Risang, menurut garis keturunan ayahnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba Ki Tumenggung Jaladara berkata, "Aku minta waktu untuk berbicara bertiga saja dengan Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan ini dan Risang, anaknya."
Yang lain sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi ketika yang lain akan beranjak pergi, Ki Tumenggung berkata, "Biarlah kami bertiga turun ke halaman."


02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang lain saling berpandangan sejenak. Tetapi merekapun kemudian mengangguk-angguk. Sambi Wulung. Jati Wulung, Gandar dan Bibi. Beberapa pemimpin pengawal terpenting dan satu dua bebahu padukuhan pertama yang kemudian menjadi landasan pertahanan Tanah Perdikan Sembojan itu.
"Apakah kita menganggap perlu untuk berbicara dengan orang-orang tua di Tanah Perdikan ini?" bertanya Ki Tumenggung Jaladara ketika mereka sudah berada di halaman. Ternyata Ki Tumenggung menganggap bahwa berbicara di halaman adalah cara yang paling baik untuk tetap merahasiakan pembicaraan, karena tidak akan ada orang yang mengintip di balik dinding untuk dapat mendengarkan pembicaraan itu.
Iswari memang ragu-ragu. Tetapi ia kemudian menjawab, "Jika kita berbicara tentang sesuatu hal yang harus segera mendapat keputusan, maka aku akan mempertanggung-jawabkan."
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Namun kemudian ia telah mengajak Iswari dan Risang berjalan menyusuri jalan padukuhan. Sambil melihat kesiagaan tertinggi dari para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang berada di padukuhan itu, Ki Tumenggung berkata, "Sebenarnya ada yang ingin aku katakan. Ki Tumenggung Reksapuri yang mendahului perjalanan Pangeran Benawa dan singgah di Tanah Perdikan ini telah pergi ke Pegunungan Kidul untuk ikut dalam satu pertemuan yang sangat penting yang akan menentukan masa depan Pajang."
Iswari mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, "Maksud Ki Tumenggung?"
"Sekali lagi perlu aku ingatkan, yang aku katakan adalah satu rahasia. Tetapi aku kira akan dapat ikut memecahkan persoalan yang timbul di Tanah Perdikan ini karena bagaimanapun akan menyangkut hubungan kalian dengan Pajang," berkata Ki Tumenggung.
Iswari mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung berkata, "Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa telah mengadakan pertemuan di Pegunungan Kidul untuk mengambil sikap terakhir atas Pajang. Ternyata selama ini banyak pemimpin dari Pajang yang meninggalkan tugasnya dan menghadap kepada Panembahan Senapati atau Pangeran Benawa. Mereka mohon agar segera diambil langkah-langkah penyelamatan sebelum Pajang benar-benar jatuh ke dalam keadaan yang parah. Para pemimpin yang ada sekarang ternyata saling berebut harta kekayaan bagi diri mereka masing-masing, sebagaimana yang kita lihat apa yang terjadi di Tanah Perdikan Gemantar dan Tanah Perdikan ini."
Risangpun kemudian bertanya, "Jadi, apakah yang dapat kita lakukan kemudian?"
"Berhubungan langsung dengan Jipang," jawab Ki Tumenggung.
*** JILID 34 RISANG dan Iswari saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka memang tidak melihat kemungkinan lain. Jika Pajang datang dengan pasukan segelar-sepapan, maka Tanah Perdikan itu akan mengalami kesulitan. Apalagi jika pasukan yang datang itu adalah pasukan yang sedang resah karena kedudukan pasukannya yang tidak menentu.
Yang lebih meresahkan lagi jika kemudian Tanah Perdikan itu nanti akan menjadi daerah yang dapat dijarah rayah seperti negeri yang ditundukkan karena perang. Harta benda, ternak dan seisinya akan dirampas oleh prajurit-prajurit yang merasa dirinya menang dan memasuki daerah yang dikalahkannya. Perempuan dan gadis-gadis akan diperlakukan semena-mena.
Karena itu, setelah berpikir sejenak, Iswari itupun bertanya, "Jika kami harus berhubungan dengan Jipang, bukankah itu berarti keterlambatan" Jipang jaraknya tidak terlalu dekat, sementara prajurit Pajang yang dipanggil oleh Ki Rangga itu akan segera datang."
Ki Tumenggung menarik nafas panjang. Merekapun kemudian berhenti di sebuah simpang empat. Dengan perlahan-lahan, bahkan hampir berbisik Ki Tumenggung Jaladara berkata, "Kita tidak perlu pergi ke Jipang. Pasukan Jipang sudah berada di sebelah Timur Pajang."
Iswari dan Risang menjadi tegang. Namun Ki Tumenggung justru tersenyum sambil berkata, "Semuanya telah dipersiapkan. Justru pasukan Mataram tentu juga sudah mendekati Pajang dari arah Barat. Saat-saat ini di Pegunungan Kidul sedang diselenggarakan pertemuan antara Pangeran Benawa dan Panembahan Senapati. Bukan lagi membicarakan masalah kebijaksanaan Jipang dan Mataram terhadap Pajang. Tetapi yang dibicarakan sudah sampai pada tahap pelaksanaan dari kebijaksanaan itu."
Iswari dan Risang mengangguk-angguk. Sementara Ki Tumenggung berkata selanjutnya, "Nah, jika kalian sependapat, masih ada waktu. Perlu aku beritahukan, mendahului kenyataan yang bakal terjadi di Pajang, Panembahan Senapati tidak akan meninggalkan Mataram dan berada di Pajang. Dengan demikian, maka satu-satunya orang yang akan berada di Pajang adalah Pangeran Benawa."
Iswari termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Risanglah yang berpendapat lebih dahulu, "Aku kira ini adalah satu-satunya jalan yang dapat kita tempuh sekarang."
"Baiklah," berkata Iswari, "aku akan berbicara dengan orang-orang tua di Tanah Perdikan ini."
"Apakah masih perlu dipertimbangkan?" bertanya Ki Tumenggung.
"Bukan untuk mendapatkan keputusan. Keputusan sudah diambil. Tetapi sebaiknya orang-orang tua itu mengetahui bahwa aku sudah mengambil keputusan itu," jawab Iswari.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Iapun mengetahui bahwa ada semacam ikatan jiwani yang tidak dapat dihapuskan justru karena orang-orang tua itu adalah kakek dan nenek Iswari sendiri. Selain itu mereka adalah guru-gurunya dalam olah kanuragan. Apalagi mereka selama ini telah membayanginya sebagai Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
"Baiklah," berkata Ki Tumenggung, "jika demikian maka pertemuan Nyai dengan orang-orang tua itu tidak akan mempengaruhi keputusan Nyai."
"Tidak," jawab Iswari.
"Jika demikian maka aku akan dapat memerintahkan orang-orangku menghubungi pasukan Jipang yang ada di sebelah Timur Pajang. Aku akan memanggil beberapa kelompok pasukan untuk memperkuat pasukan Tanah Perdikan yang ada disini," berkata Ki Tumenggung Jaladara, "bagi Jipang, perang dengan Pajang dapat berlangsung dimana saja. Namun tujuan Jipang adalah menghentikan bencana yang merayap tetapi pasti, hendak menelan Pajang. Jika Jipang dan Mataram tidak berbuat apa-apa, maka Pajang akan benar-benar hancur karena kerapuhan yang semakin parah di dalam tubuhnya."
Iswari mengangguk kecil. Ketika ia berpaling kepada Risang, maka Risangpun berkata, "Aku kira semakin cepat semakin baik ibu. Jika orang-orang Pajang itu datang lebih dahulu, maka mereka tentu akan segera menyerang Tanah Perdikan ini. Jika katakanlah, saat ini pasukan pengawal Tanah Perdikan masih mampu mengimbangi kekuatan Pajang, maka mungkin dengan kekuatan baru, Tanah Perdikan ini akan benar-benar dapat dihancurkan oleh Pajang. Meskipun kemudian kedatangan pasukan Jipang mampu merebutnya kembali, tetapi daerah yang pernah berada di tangan Pajang itu tentu sudah menjadi terkoyak-koyak. Bukan saja ujud kewadagan, tetapi perasaan orang Tanah Perdikan Sembojan tentu sudah dihancurkan pula."
"Aku mengerti," berkata Iswari, yang kemudian berkata kepada Ki Tumenggung, "Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Tumenggung memperhatikan nasib Tanah Perdikan ini."
"Baiklah. Aku akan memerintahkan orang-orangku menuju ke sebelah Timur Pajang melalui jalan yang aku harapkan berada di luar pengamatan prajurit Pajang. Mereka akan datang besok lusa malam. Jika di hari berikutnya pasukan Pajang yang sudah diperbesar mulai bergerak, maka pasukan Jipang sudah berada di Tanah Perdikan ini," berkata Ki Tumenggung Jaladara.
"Apakah menurut perhitungan Ki Tumenggung besok pasukan Pajang belum berada disini?" bertanya Risang.
"Belum. Secepatnya mereka besok lusa baru datang. Mereka akan bersiap-siap sebelum mereka menyerang. Mereka tentu juga memerlukan istirahat. Sementara itu, di malam harinya pasukan Jipang akan datang. Mudah-mudahan tidak diketahui sebelumnya oleh orang-orang Pajang," berkata Ki Tumenggung.
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa serupa telah pernah terjadi. Tetapi dalam kedudukan yang kebalikan dari pasukan Pajang dan Jipang.
Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah kembali ke rumah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Tiga orang prajurit Jipang telah diperintahkan untuk menghubungi pasukannya yang sudah berkemah di sebelah Timur Pajang.
Sebagaimana pasukan Mataram yang bergerak dari Barat, maka pasukan Jipang yang bergerak dari Timur itu tinggal menunggu perintah setelah pembicaraan antara Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa selesai dengan tuntas.
Di hari berikutnya memang tidak terjadi sesuatu. Kedua pasukan yang berhadapan saling menahan diri. Pasukan Tanah Perdikan yang memiliki kekuatan cukup untuk menghalau pasukan Pajang dari perkemahannya, tidak melakukan hal itu. Pasukan Tanah Perdikan memang tidak memburu lawannya sampai keluar daerah perbatasannya.
Sebaliknya pasukan Pajangpun merasa, bahwa sulit bagi pasukan itu untuk mampu menembus dan menerobos sampai ke padukuhan induk Tanah Perdikan.
Meskipun demikian, keduanya berada dalam kesiagaan yang tertinggi.
Menjelang senja maka ketegangan mulai sedikit mereda. Kedua belah pihak menganggap bahwa setelah senja tidak akan ada pasukan yang bergerak, kecuali dalam keadaan yang sangat khusus.
Tetapi kedua belah pihak sama sekali tidak mengendorkan kesiagaan mereka. Kelompok-kelompok peronda berkeliaran di perbatasan. Tetapi kedua belah pihak masih berusaha agar mereka tidak saling berbenturan.
Para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan masih juga memperhitungkan bahwa mereka masih akan dapat beristirahat sehari lagi, karena pasukan Pajang yang diharapkan membantu pasukan yang telah ada baru akan datang besok lusa.
Di hari berikutnya, masih juga belum terjadi sesuatu. Sedangkan kesiagaan masih juga berada di tingkat tertinggi. Di padukuhan yang terletak di paling depan, pasukan pengawal Tanah Perdikan dapat digerakkan setiap saat untuk menghadapi segala kemungkinan. Demikian pula para prajurit Pajang di perkemahannya.
Sementara itu di Pajang, sepasukan prajurit memang sudah mulai bergerak. Prajurit yang dipimpin oleh seorang Lurah Penatus yang masih muda. Kasadha.
Sebelum bergerak, hampir semalaman Kasadha tidak dapat tidur sama sekali. Ia sadar, bahwa menjelang dini hari pasukannya harus berangkat. Iapun sadar, bahwa ia memerlukan beristirahat beberapa saat sebelum berangkat. Tetapi matanya sama sekali tidak dapat dipejamkannya.
Tugas yang diembannya terasa sangat berat. Ia sama sekali tidak menyesali tugas-tugas yang harus dilakukan. Tetapi justru karena ia harus berangkat ke Tanah Perdikan Sembojan, maka rasa-rasanya pasukannya akan diberangkatkan ke neraka.
Meskipun pasukannya cukup siap menghadapi pertempuran yang betapapun garangnya, namun hatinyalah yang telah terguncang ketika ia mendengar bahwa ia telah mendapat perintah untuk berangkat ke Sembojan.
Tetapi ia tidak dapat ingkar. Ia harus berangkat melakukan tugasnya. Ia telah melanggar janjinya sebagai seorang prajurit ketika ia berada di Gemantar. Karena itu maka pasukannya telah ditarik dari Gemantar yang kemudian justru mengalami nasib yang lebih buruk.
Puncak dari gejolak hatinya itu terjadi, ketika tanpa tidur sekejappun ia sudah harus bersiap menjelang dini hari di antara pasukannya. Dalam kegelisahan itu telah datang seseorang yang mencarinya dan minta ijin untuk bertemu barang sebentar.
Kasadha terkejut bukan kepalang. Orang itu adalah Ki Rangga Gupita. Orang yang telah mengaku sebagai ayahnya.
"Akhirnya aku menemukanmu, Puguh," berkata Ki Rangga.
Wajah Puguh menjadi tegang. Dengan nada rendah ia bertanya, "Dari mana ayah tahu aku disini?"
"Kau tahu, aku adalah bekas petugas sandi dari Jipang. Aku mempunyai banyak kawan di antara orang-orang Demak dan mengenal beberapa orang Pajang meskipun sebelumnya kami saling bermusuhan," jawab Ki Rangga.
"Dan sekarang, apakah yang ayah kehendaki?" bertanya Kasadha.
"Aku senang bahwa kau menjadi seorang prajurit," berkata Ki Rangga.
"Terima kasih bahwa aku sempat menyenangkan hati ayah," jawab Kasadha.
"Tetapi kau masih dapat berbuat lebih banyak lagi Puguh," berkata ayahnya.
"Apalagi yang harus aku lakukan" Bukankah aku sudah menyenangkan hati ayah karena aku menjadi seorang prajurit" Mudah-mudahan ibu juga menjadi senang karenanya," jawab Puguh.
"Ibumu berada dalam kesulitan sekarang," berkata Ki Rangga, "hanya kau yang akan dapat mengobati luka yang paling dalam di hatinya. Perang tanding yang terakhir dilakukannya dengan Iswari telah membuatnya terluka parah. Meskipun ia sudah sembuh, tetapi ia tidak lagi mampu menguasai kemampuan puncaknya. Ibumu masih seorang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ia sadar bahwa ia tidak lagi mampu mengimbangi tingkat kemampuan Iswari jika ia harus melakukan perang tanding lagi."
"Perang tanding itu sudah tidak perlu lagi," jawab Puguh.
"Bagus," jawab Ki Rangga, "nampaknya kau tanggap akan niat ibumu."
"Niat yang mana?" bertanya Kasadha.
"Kau sekarang mendapat kesempatan itu. Kau hancurkan Tanah Perdikan Sembojan. Kau bunuh Risang dan kemudian beberapa saat kemudian, kau telusuri hakmu atas Tanah Perdikan itu. Kau tinggal satu-satunya anak laki-laki Ki Wiradana, cucu Ki Gede Sembojan. Jika kau bersedia bekerja bersama dengan Ki Rangga Larasgati, maka semuanya akan dapat kau selesaikan dengan baik. Kau akan menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan," berkata Ki Rangga Gupita.
"Tidak ada gunanya ayah. Tanah Perdikan itu akan segera dihapuskan," jawab Kasadha.
Ki Rangga tertawa. Katanya, "Jangan bodoh. Kau tentu tahu bahwa bersama Ki Rangga Larasgati kau dapat membuat permainan yang menarik."
"Tetapi jika Pajang memutuskan demikian?" bertanya Kasadha.
"Apa artinya Pajang sekarang" Yang penting kau kuasai lebih dahulu Tanah Perdikan itu dengan prajurit-prajuritmu. Kau tidak perlu kembali lagi ke Pajang, karena sebentar lagi Pajang sudah akan menjadi reruntuhan."
"Apa yang akan terjadi?" bertanya Kasadha.
Ki Rangga tertawa. Sekali lagi ia berkata, "Aku adalah bekas prajurit sandi. Aku tahu lebih banyak tentang Pajang daripada prajurit Pajang sendiri, termasuk kau. Sekarang Jipang dan Mataram sudah bersiap-siap untuk membuat perhitungan dengan Pajang. Sebentar lagi tentu akan ada pergantian kepemimpinan di Pajang. Karena itu, sebelumnya, selagi kau masih mendapat kesempatan, kau harus merebut kekuasaan di Tanah Perdikan. Pergunakan kekuatan pasukanmu dan manfaatkan pasukan Ki Rangga Larasgati, karena Ki Rangga juga akan memanfaatkan kau."
Wajah Kasadha menjadi merah. Katanya, "Aku tidak senang dengan permainan seperti ini. Kalau perlu, aku justru akan berterus terang dengan para pemimpin di Pajang, atau jika perlu aku menunggu kehadiran prajurit Mataram dan Jipang."
"Kau masih saja bodoh seperti itu," berkata Ki Rangga. Lalu katanya, "Seharusnya kau mengatur dirimu. Di saat pasukan utama Mataram dan Jipang memasuki Pajang, kau harus berada di luar kota Pajang atau sama sekali berkhianat terhadap Pajang. Pasukan utama yang akan memasuki kota ini adalah pasukan yang sangat berbahaya. Apalagi Pajang telah mempersiapkan perlawanan sejauh dapat dilakukan. Penerobosan pasukan utama ke jantung sasaran tentu membawa bahaya yang akan sangat mengerikan bagi prajurit lawan. Prajurit yang menusuk sebagai ujung pasukan, adalah prajurit yang terpilih. Biasanya mereka adalah orang-orang yang wajahnya bagaikan membeku. Aku tahu, bahwa kaupun termasuk orang-orang yang demikian. Sayang, kepercayaan Pajang kepadamu agak menurun karena tingkah lakumu di Gemantar. Tetapi justru suatu kebetulan, karena kau mendapat tugas di Tanah Perdikan Sembojan, tidak digaris perlawanan atas prajurit Mataram atau Jipang."
Jantung Kasadha berdentang semakin cepat. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk berbantah terlalu lama. Pasukannya sudah siap, sementara ayam jantan terdengar berkokok di kejauhan.
"Aku harus berangkat ayah," berkata Kasadha.
"Berangkatlah. Doa dan restuku menyertaimu. Beberapa saat lagi kau adalah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Sebagai orang tua aku hanya dapat ikut berbangga atas keberhasilanmu," berkata Ki Rangga.
Kasadha tidak menjawab. Tetapi giginya terkatup rapat-rapat. Ternyata bahwa rahasia dirinya telah diketahui oleh setidak-tidaknya Ki Rangga Gupita.
"Untung, Bharata sudah tidak ada disini," berkata Kasadha di dalam hatinya, "jika ia tahu, bahwa orang yang bernama Puguh itu adalah aku, maka ia tentu akan menjadi sangat kecewa. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Mungkin ia akan menantangku berperang tanding."
Demikianlah, di dini hari, pasukan Kasadha benar-benar sudah siap untuk berangkat. Ki Tumenggung Bandapati sendirilah yang melepas pasukan yang dianggap pasukan pilihan itu. Namun yang pernah mengecewakan Tumenggung Bandapati karena sikapnya di Gemantar. Karena itu, maka Ki Tumenggung telah berpesan dengan sungguh-sungguh agar Kasadha tetap bersikap sebagai seorang prajurit yang baik di bawah pimpinan Ki Rangga Larasgati.
Setiap kata yang diucapkan oleh Ki Tumenggung Bandapati bagaikan ujung duri yang langsung menusuk jantungnya. Bahkan ia menduga bahwa Ki Rangga Gupita masih sempat mendengarkan sesorah Ki Tumenggung di luar halaman barak itu.
Sebelum fajar, maka pasukan itupun telah mulai bergerak. Mereka akan menempuh perjalanan yang cukup panjang. Tanah Perdikan Sembojan.
Pada saat pasukan yang dipimpin oleh Kasadha itu bergerak, maka Kasadha sudah dibekali beberapa keterangan tentang jalan yang harus mereka tempuh. Tanpa memberikan alasannya Ki Tumenggung sudah memberikan perintah agar pasukan itu tidak menembus arah ke sebelah Timur Pajang. Tetapi pasukan itu harus menuju ke Selatan dan baru kemudian berbelok ke Timur. Agaknya Ki Tumenggung Bandapatipun telah mendapat laporan tentang gerakan pasukan yang diduga adalah pasukan Jipang di sebelah Timur Pajang.
Ketika kemudian matahari menjadi semakin cerah di langit, maka pasukan Kasadha telah jauh dari kota. Mereka menyusuri jalan yang tidak begitu ramai dilalui orang. Bahkan iring-iringan prajurit Pajang itu telah membuat orang-orang padukuhan yang dilaluinya menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya Pajang semakin lama menjadi semakin gawat sehingga setiap saat pertempuran akan dapat pecah lagi. Luka-luka yang timbul dalam peperangan melawan Mataram rasa-rasanya masih belum sembuh. Sedangkan luka-luka baru agaknya sudah akan mengoyak kulit.
Sementara itu, di sebelah Timur Pajang beberapa kelompok prajurit Jipangpun telah bersiap. Ketika matahari terbit di Timur, maka petugas sandi Jipang telah melaporkan, bahwa prajurit Pajang yang bergerak di bawah pimpinan Lurah Penatus muda yang bernama Kasadha membawa seluruh kekuatan dari pasukan yang berjumlah seratus orang itu.
Dengan demikian, maka Jipang telah menggerakkan prajuritnya pula. Bukan hanya seratus orang, tetapi seratus duapuluh lima orang. Sementara itu, prajurit Jipang yang datang dari Sembojan telah melaporkan, bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan itu cukup kuat untuk mengimbangi pasukan Pajang yang sudah berada di Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian, maka para Senapati Jipang yang menerima laporan Ki Tumenggung Jaladara lewat prajuritnya yang datang dari Tanah Perdikan Sembojan menganggap bahwa pasukan yang dikirimkannya ke Sembojan sudah akan mencukupi.
Jipang memang merencanakan untuk mengirimkan pasukannya lebih lambat dari prajurit Pajang. Pasukan Jipang diharap memasuki Tanah Perdikan Sembojan dari arah yang tidak terjangkau oleh pengamatan prajurit Pajang setelah lewat senja. Meskipun dengan demikian, waktu untuk beristirahat bagi para prajurit Jipang itu lebih sempit dari para prajurit Pajang, karena mereka memperhitungkan bahwa pagi hari berikutnya Pajang sudah akan menyerang lagi.
Karena itulah, maka pada hari perjalanan prajurit Pajang dan Jipang itu, keadaan di Tanah Perdikan Sembojan seakan-akan menjadi tenang. Yang ada hanyalah kesiagaan yang tertinggi dari kedua belah pihak.
Sebenarnyalah, prajurit Pajang yang menempuh perjalanan yang cukup melelahkan itu telah mendekati Tanah Perdikan Sembojan ketika matahari telah mulai turun. Panasnya seakan-akan telah membakar kulit. Namun pasukan itu berjalan terus meskipun tidak terlalu cepat. Mereka hanya berhenti sekali tepat di tengah hari.
Dua orang telah mendahului pasukan itu untuk mengabarkan bahwa prajurit Pajang yang dipimpin oleh Lurah Penatus yang masih muda akan segera datang. Dengan demikian maka Ki Rangga Larasgati telah memerintahkan untuk menyiapkan minum dan makan bagi seratus orang yang akan datang itu. Mereka tentu haus dan lapar.
Namun sebenarnyalah para prajurit yang semakin dekat dengan perkemahan prajurit Pajang itu menjadi haus dan lapar. Hanya Kasadha sendirilah yang melupakan perasaan haus dan laparnya. Perasaan gelisah yang sangat telah mencengkam jantungnya. Kasadha sudah tahu siapakah dirinya yang sebenarnya dalam hubungannya dengan Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, maka gejolak perasaannya semakin tajam menggigit hati. Ia merasa semakin benci kepada orang yang mengaku ayahnya yang justru selalu mencambuknya untuk merebut hak yang diwariskan oleh ayahnya sendiri. Bahkan Kasadhapun merasa sangat kecewa terhadap sikap ibunya yang tamak dan tidak tahu diri. Dari gurunya Kasadha tahu latar belakang kehidupan ibunya dalam hubungannya dengan gerombolan Kalamerta.
Kasadha sadar, bahwa gurunya berniat untuk mendekatkannya kepada ibunya. Gurunya mengharap agar ia tidak menimpakan semua kesalahan kepada ibunya yang dibentuk dalam lingkungan yang gelap, sehingga ibunya telah melupakan nilai-nilai kewanitaannya, merebut seorang laki-laki dari isterinya. Namun yang kemudian hidup bersama dengan laki-laki lain yang disebutnya sebagai suaminya.
Bahkan kemudian Kasadhapun telah menjadi benci kepada dirinya sendiri, yang lahir dengan warna yang buram.
Tidak seorangpun yang mengerti tentang dirinya sedalam-dalamnya selain gurunya. Kakeknya memang telah mencoba untuk mendalami sifat-sifatnya. Namun rasanya bahwa ia lebih menyatu dengan gurunya.
Sementara itu, Kasadhapun belum pernah mempunyai seorang sahabat yang rasa-rasanya sepadan dan akrab sebagaimana kawannya yang bersama-sama memasuki dunia keprajuritan. Bharata. Namun yang kemudian telah meninggalkannya tanpa diketahuinya arah kepergiannya.
Sebagai seorang sahabat Kasadha memang merasa heran, bahwa Bharata telah menutup dirinya jika mereka berbicara tentang tempat tinggal dan asal-usul sebagaimana dirinya juga. Sehingga dengan demikian, terasa adanya beberapa kesamaan dengan dirinya sendiri.
Angan-angan Kasadha pecah ketika seorang pemimpin kelompok menyampaikan laporan, bahwa mereka telah mendekati perkemahan.
Kasadha mengerutkan keningnya. Sementara pemimpin kelompok itu berkata, "Penghubung itu ingin berbicara dengan Ki Lurah."
Kasadha mengangguk kecil. Katanya, "Bawa orang itu kemari."
Penghubung yang mengiringi pasukan Kasadha itupun kemudian telah memberitahukan, bahwa di sebelah padukuhan itu prajurit Pajang telah berkemah. Mereka berada beberapa puluh patok dari perbatasan Tanah Perdikan Sembojan. Kemudian beberapa patok lagi di dalam wilayah Tanah Perdikan adalah padukuhan pertama yang merupakan landasan pertahanan garis pertama pasukan Tanah Perdikan Sembojan.
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih. Kita akan menuju ke perkemahan."
Dalam perjalanan yang tinggal beberapa puluh patok lagi itu Kasadha sempat berangan-angan lagi. Apakah yang sebaiknya dilakukan oleh pasukannya. Bersama-sama pasukan Pajang yang telah ada, menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan, atau berbicara lagi dengan para pemimpin di Sembojan"
"Mudah-mudahan orang-orang Sembojan tidak mengenal aku," berkata Kasadha di dalam hatinya, dengan demikian maka ia akan dapat berbuat sepenuhnya sebagai Kasadha di dalam hatinya. Dengan demikian maka ia akan dapat berbuat sepenuhnya sebagai Kasadha, Lurah Penatus Prajurit Pajang yang tidak mempunyai kepentingan pribadi dengan Tanah Perdikan Sembojan.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Pasukannya kemudian telah memasuki padukuhan terakhir di hadapan Tanah Perdikan Sembojan. Orang-orang padukuhan yang tidak termasuk dalam wilayah Tanah Perdikan Sembojan itu hanya dapat menutup diri di dalam rumah mereka masing-masing. Mereka tidak mau terlibat dalam persoalan yang nampaknya telah menjadi semakin keras. Pertempuran telah berkobar di Tanah Perdikan.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan Kasadha itupun telah berada di perkemahan, termasuk Ki Rangga Larasgati sendiri telah menyongsong kedatangan pasukan itu. Meskipun Ki Rangga agak kecewa bahwa prajurit yang dikirim ke Tanah Perdikan itu hanya seratus orang ditambah beberapa petugas yang mengurusi perlengkapan, namun Ki Rangga tahu, bahwa pasukan yang datang itu adalah pasukan terpilih. Yang harus dilakukan adalah menguasai Lurah Penatus muda yang kadang-kadang hanya menuruti kehendaknya sendiri.
"Aku akan memaksanya tunduk kepada perintah," berkata Ki Rangga kepada diri sendiri, "Ia tidak akan bersikap sebagaimana dilakukannya di Tanah Perdikan Gemantar."
Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin dekat.
"Aku memang tidak akan dapat memanggil prajurit lebih banyak lagi. Pasukan Jipang dan Mataram mulai membayangi Pajang," desis Ki Rangga Larasgati.
Tetapi menurut perhitungannya, keseimbangan kekuatan yang hanya berselisih sedikit saja itu tentu akan dapat diatasi dengan seratus prajurit pilihan. Prajurit yang dipimpin oleh Lurah Penatus yang masih muda itu.
Prajurit-prajurit Pajang yang lainpun menjadi berdebar hatinya. Merekapun telah mendengar kekuatan pasukan Kasadha itu. Meskipun Ki Lurah Kasadha sendiri pernah dianggap kurang mematuhi paugeran seorang prajurit ketika ia berada di Tanah Perdikan Gemantar. Namun di bawah pimpinan Ki Rangga Larasgati yang juga dikenal sebagai seorang prajurit yang keras hati, maka keadaannya tentu akan berbeda. Di Gemantar, Ki Lurah Kasadha seakan-akan berdiri sendiri, karena pasukan yang datang ke Tanah Perdikan itu memang tidak lebih dari pasukan Kasadha itu sendiri.
Sejenak kemudian, maka pasukan yang seratus orang ditambah sekelompok petugas pendukung telah sampai di perkemahan. Kasadha yang memberikan laporan kedatangannya telah diterima langsung oleh Ki Rangga Larasgati.
Namun Ki Rangga tidak berlama-lama dalam upacara penerimaan itu. Iapun kemudian telah mempersilahkan pasukan Kasadha itu untuk beristirahat.
"Kami tahu bahwa kalian telah menempuh perjalanan yang melelahkan. Panasnya bagaikan membakar kulit. Karena itu, sekarang kalian dapat beristirahat. Kita dapat berbicara nanti malam. Besok kita sudah akan menyelesaikan tugas kita. Menurut perhitunganku, kita besok sudah berada di padukuhan induk Tanah Perdikan Sembojan," berkata Ki Rangga Larasgati.
Kasadha menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar, bahwa prajuritnya memang lelah, haus dan lapar. Karena itu, ia tidak akan menahan para prajuritnya untuk berdiri lebih lama lagi pada upacara penerimaan itu.
Dalam pada itu, para pengawas dari Tanah Perdikan telah melihat kehadiran prajurit Pajang. Mereka dapat memperkirakan jumlahnya. Kepada Risang para pengawas melaporkan, bahwa yang datang jumlahnya sekitar seratus orang lebih sedikit.
"Mereka berbaris dalam kelompok-kelompok. Masing-masing sepuluh orang. Semuanya ada sepuluh kelompok. Namun ada sekelompok yang lain yang bentuknya agak berbeda. Jumlahnyapun lebih banyak. Sekitar lima belas orang," lapor pengawas itu.
"Mereka tentu para petugas pendukung dari pasukan itu," berkata Risang.
"Ya," jawab pengawas itu, "mereka membawa beberapa ekor kuda dengan perlengkapan bagi pasukan itu."
Risang mengangguk-angguk. Meskipun agaknya ragu-ragu, namun ia masih juga bertanya, "Kau lihat pimpinan dari pasukan itu?"
Pengawas itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak melihatnya. Meskipun sosoknya dapat aku lihat dari jauh, tetapi aku tidak dapat mengenalinya."
Risang masih saja mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa dari jarak yang jauh, pengawas itu tidak dapat melihat dengan jelas orang yang memimpin pasukan yang baru datang itu.
Meskipun demikian pengawas itu masih juga berkata, "Dari jauh aku hanya dapat menduga-duga, bahwa orang yang memimpin pasukan itu tentu orang yang masih muda."
Risang mengerutkan dahinya sambil berdesis, "Kau yakin?"
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Hanya satu perkiraan berdasarkan sikapnya. Itupun dari jarak yang cukup jauh."
"Baiklah," berkata Risang, "dengan demikian, maka kekuatan lawan menjadi lebih besar. Jika yang datang itu pasukan pilihan, maka kita harus mengerahkan segenap kekuatan yang ada di Tanah Perdikan."
Namun Ki Tumenggung Jaladara yang ikut mendengarkan laporan itu berkata, "Kita berharap bahwa prajurit Jipang akan datang malam ini."
"Mudah-mudahan," berkata Risang. Lalu katanya, "Namun lebih dari itu, kita serahkan akhir dari segalanya kepada Yang Maha Agung."
Ki Tumenggung Jaladara menepuk bahu Risang sambil berkata, "Tepat. Kau sudah bersandar di tempat yang seharusnya."
Namun dalam pada itu, pasukan pengawal Tanah Perdikanpun menjadi semakin bersiaga. Bahkan sebagian pengawal cadangan telah ditarik ke pasukan induk. Menurut perhitungan Risang, maka seratus orang prajurit yang segar dari Pajang itu akan merupakan kekuatan yang menentukan.
Ternyata Bibi tidak berdiam diri sambil menunggu kedatangan serangan baru dari Pajang. Ia telah memanggil gadis-gadis untuk menggantikan pekerjaan laki-laki di dapur.
"Biarlah laki-laki membawa tombak di medan," berkata Bibi, "kalian jangan takut. Pasukan pengawal Tanah Perdikan akan melindungi kalian."
Atas pendapat Bibi, maka dapur yang dipergunakan untuk mempersiapkan makanan bagi para pengawal telah dipindahkan ke padukuhan kedua, justru tidak berada digaris serangan ke padukuhan induk seandainya pasukan Pajang berhasil menembus pertahanan pertama. Dengan demikian, jika perlu sekali, maka gadis-gadis itu masih mempunyai waktu untuk diungsikan.
Namun dengan demikian, Bibi memerlukan beberapa buah pedati untuk mengangkut makan dan minum yang telah disiapkan.
Tetapi dengan demikian, maka tenaga para petugas di dapur telah berada di pertahanan pertama. Meskipun jumlahnya tidak lebih dari dua puluh lima orang, namun orang-orang itu akan dapat memperkuat pertahanan. Sementara laki-laki yang rambutnya mulai berwarna rangkappun telah menyatakan diri untuk membantu para pengawal sejauh dapat mereka lakukan.
Ketika malam turun serta lampu-lampu obor telah terpasang, maka Ki Rangga Larasgati telah memanggil Ki Lurah Kasadha. Mereka telah mengatur persiapan untuk membuka serangan esok pagi.
"Apakah kita tidak meyakinkan sikap Tanah Perdikan lebih dahulu Ki Rangga?" bertanya Kasadha.
"Tidak. Jika kau bersikap terlalu lunak seperti yang kau lakukan di Gemantar, maka kau akan gagal lagi. Selama ini kau terhitung seorang pemimpin yang baik. Pasukanmu telah kau bentuk sehingga menjadi pasukan yang dapat disejajarkan dengan pasukan khusus. Tetapi kau tidak mendapat perintah untuk pergi ke Prambanan atau ke Jati Sari untuk menghadapi kemungkinan datangnya pasukan Mataram atau Jipang. Disini kau akan diuji. Jika kau mampu menunjukkan diri bahwa pasukanmu adalah pasukan yang setia kepada Pajang serta paugeran dan janji seorang prajurit, maka kau tentu akan mendapat pekerjaan untuk menghadapi pasukan Panembahan Senapati. Bukankah kau pernah melakukannya" Bertempur melawan Mataram?"
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Rangga berkata, "Disini aku adalah Senapati pasukan Mataram itu."
Kasadha memang tidak menjawab. Ia hanya mendengarkan saja perintah-perintah yang diberikan kepadanya.
Besok, pasukan Kasadha akan dibagi menjadi tiga. Empat kelompok akan berada di induk pasukan bersama Kasadha dan Ki Rangga Larasgati sendiri. Tiga kelompok di sayap kiri dan tiga kelompok di sayap kanan.
"Dalam pertempuran yang terjadi kemarin lusa, kekuatan Tanah Perdikan masih mampu mengimbangi pasukan kita. Meskipun mungkin aku dapat memaksakan kemenangan pada saat itu, tetapi korban tentu akan terlalu banyak. Karena itu, aku menghentikan pertempuran dan sedikit bersabar menunggu kedatangan kalian. Karena itu jangan mengecewakan kami. Jangan mengecewakan Pajang. Ki Tumenggung Bandapati mempercayakan kalian kepadaku," berkata Ki Rangga Larasgati.
Kasadha sama sekali tidak menjawab. Ia tahu, bahwa apapun yang dikatakannya, tidak akan didengar oleh Ki Rangga yang menurut pendengarannya memang seorang yang keras hati.
Justru karena Kasadha hanya mengiakan saja, maka Ki Rangga tidak terlalu lama menahannya dalam pembicaraan. Yang diberikan kemudian adalah perintah-perintah, apa yang harus mereka lakukan jika mereka sampai ke padukuhan induk.
"Kita harus berusaha untuk menangkap pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan serta anak laki-lakinya. Karena itu, jika mereka tidak ada di medan, maka saat kita memasuki padukuhan induk, kita harus membuat gerakan-gerakan tertentu yang dapat menyergap padukuhan induk itu dari beberapa arah," berkata Ki Rangga Larasgati.
Kasadha hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Ki Rangga berkata, "perintah itu akan aku berikan pada saatnya."
"Baiklah Ki Rangga," jawab Kasadha yang tidak mempunyai pilihan, "aku akan mempersiapkan pasukanku sebelum mereka beristirahat dan tidur menjelang tugas mereka esok pagi."
Kasadhapun kemudian telah meninggalkan Ki Rangga. Tetapi Kasadha tidak segera kembali ke pasukannya. Kepada dua orang pemimpin kelompok yang ikut bersamanya menemui Ki Rangga telah diperintahkannya untuk menemui semua pemimpin kelompok untuk menjelaskan perintah Ki Rangga.
"Jangan ada yang salah. Besok semuanya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya," berkata Kasadha.
"Sekarang Ki Lurah akan pergi kemana?" bertanya salah seorang dari kedua orang pemimpin kelompok itu.
"Tidak kemana-mana. Aku merasa sangat panas. Udara malam ini agak berbeda dengan malam-malam sebelumnya," jawab Kasadha.
"Ki Lurah nampak gelisah," desis pemimpin kelompok yang lain, "lebih gelisah daripada ketika kita berada di Gemantar."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia memang mengatakan kepada seseorang tentang beban yang menekan jantungnya. Tetapi karena persoalannya menjadi sangat pribadi, maka iapun telah mengurungkannya. Persoalannya memang berbeda dengan persoalan yang dihadapinya di Gemantar.
Namun ia menjawab, "Tidak. Tidak ada apa-apa. Setiap kali aku memang dihinggapi perasaan gelisah tanpa sebab. Bukan karena pertempuran yang akan terjadi besok."
Kedua orang pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Mereka percaya bahwa Kasadha tidak menjadi gelisah karena harus turun ke medan. Mereka tahu bahwa Kasadha adalah seorang prajurit yang berani dan bertanggung jawab. Tetapi merekapun tahu bahwa Kasadha tidak melaksanakan tugas yang dibebankan di pundaknya kali ini dengan sepenuh hati. Kedua orang pemimpin kelompok itu tahu bahwa Kasadha tidak setuju dengan sikap Ki Rangga Larasgati maupun Ki Tumenggung Bandapati yang karena wewenangnya untuk menyelesaikan masalah Tanah Perdikan telah menyalah-gunakan wewenang itu. Bahkan mereka telah melakukan langkah-langkah jauh di luar wewenangnya.
Namun sebagai seorang prajurit maka Ki Lurah Kasadha memang tidak dapat banyak berbuat apa-apa. Namun nampaknya ia berdiri di jalan simpang antara perintah dan nuraninya.
"Sudahlah," berkata Kasadha kemudian, "pergilah kembali ke pasukan kita. Sampaikan segala perintah itu dengan baik. Kita adalah prajurit-prajurit yang setia."
Kedua orang pemimpin kelompok itupun kemudian telah pergi ke pasukan mereka untuk menemui para pemimpin kelompok yang lain, sementara Kasadha masih saja merenungi gelapnya malam.
Kepada sekelompok peronda yang berkeliling di perbatasan Kasadha bertanya, "Dimana letak landasan pertahanan pasukan Tanah Perdikan Sembojan?"
Pemimpin kelompok peronda itu menjawab, "Di padukuhan pertama. Padukuhan yang ada di hadapan kita sekarang. Yang remang-remang kelihatan dari sini."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih."
"Apakah Ki Lurah mempunyai kepentingan?" bertanya pemimpin peronda itu.
"Pertanyaanmu aneh. Bukankah kita akan menyerang padukuhan itu" Sudah tentu aku mempunyai kepentingan. Kita semuanya mempunyai kepentingan," berkata Kasadha.
Pemimpin peronda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Lurah. Kami akan meneruskan tugas kami."
"Hati-hati," jawab Kasadha.
Sekelompok peronda dari sisi pasukan Pajang itu meneruskan tugas mereka, sementara Kasadha masih saja memperhatikan padukuhan di hadapan mereka. Padukuhan yang hanya kelihatan remang-remang. Meskipun dari kejauhan beberapa buah oncor nampak menyala sebesar api di punggung kunang-kunang.
Tetapi ternyata Kasadha tidak dapat berdiri mematung di tempatnya. Tiba-tiba saja timbul niatnya untuk bertemu dengan orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Terutama para pemimpinnya.
"Aku belum pernah mengenal dan dikenal oleh para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan. Risang dan Iswari juga belum mengenal aku. Mereka tentu menganggap bahwa aku adalah Ki Lurah Kasadha, seorang Lurah Penatus dari Pajang. Sehingga kedatanganku menemui mereka sama sekali tidak menyangkut persoalan pribadi," berkata Kasadha di dalam hatinya.
Namun sejenak ia masih termangu-mangu. Baru kemudian, setelah beberapa saat menunggu, maka Kasadha itu telah melangkah menuju ke padukuhan yang nampak di hadapannya pada jarak beberapa puluh patok, di seberang bulak memang agak panjang.
Dalam kegelapan malam Kasadha berjalan dengan cepat. Ia tidak mau dilihat oleh orang-orang Pajang yang manapun juga, yang akan dapat menyampaikannya kepada Ki Rangga Larasgati bahwa ia telah menemui orang-orang Sembojan.
Ternyata bahwa bulak yang agak panjang itu dapat ditempuhnya dalam waktu yang singkat. Namun menjelang padukuhan yang menjadi landasan pertahanan Tanah Perdikan Sembojan, Kasadha telah diberhentikan oleh empat orang peronda dari Tanah Perdikan Sembojan.
"Aku akan bertemu dengan Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan," berkata Kasadha.
"Kau akan berbuat jahat kepadanya?" bertanya salah seorang pengawal yang sedang meronda itu.
"Jangan bodoh. Jika aku akan berbuat jahat, maka aku tidak akan pergi sendirian dan lewat jalan induk padukuhan, karena aku lihat jalan ini akan sampai ke pintu gerbang," jawab Kasadha.
"Tetapi keadaan menjadi semakin gawat. Pasukan Pajang yang baru telah datang," berkata pemimpin peronda itu.
"Aku adalah Lurah Penatus yang memimpin prajurit Pajang yang baru. Ada persoalan yang ingin aku bicarakan dengan pemimpinmu," jawab Kasadha.
Pemimpin peronda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Kau berusaha mengamati keadaan?"
"Tidak," jawab Kasadha, "apa yang dapat aku lihat di gelapnya malam dan di jalan induk seperti ini. Jika aku ingin mengamati keadaan, maka aku akan datang dengan diam-diam sebagaimana jika aku akan berbuat jahat kepada pimpinan Tanah Perdikan ini. Dan sudah tentu tidak sendiri dan bukan aku pribadi, karena aku mempunyai beberapa orang prajurit yang memiliki kemampuan dalam gerakan sandi."
Pemimpin peronda itu masih bertanya, "Jadi apa yang akan kau lakukan?"
"Aku ingin berbicara dengan Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan. Aku sendiri dan sama sekali tidak bersenjata," berkata Kasadha sambil merentangkan tangannya.
Sejenak pemimpin peronda itu merasa ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "Baiklah aku hadapkan kau kepada pimpinan pengawal yang bertugas malam ini."
"Terserah. Aku sama sekali tidak berniat buruk," jawab Kasadha.
Ketika Kasadha kemudian dihadapkan kepada pemimpin pengawal yang sedang bertugas, maka ia memang menimbulkan keragu-raguan. Namun sikap Kasadha memang meyakinkan. Ia benar-benar tidak bersenjata.
"Baiklah Ki Lurah," berkata pemimpin pengawal yang bertugas, "tunggulah disini. Aku akan memberikan laporan. Yang ada di padukuhan ini agaknya Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan ini dan puteranya, yang memiliki hak untuk mewarisi jabatan itu secara sah."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "beritahukan kepada keduanya, bahwa aku, Ki Lurah Kasadha, seorang prajurit Pajang ingin bertemu dan berbicara dengan mereka sebelum pertempuran yang lebih besar terjadi besok."
Pemimpin pengawal itupun kemudian telah memerintahkan dua orang untuk memberitahukan kedatangan seorang prajurit Pajang kepada Pemangku Jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan serta menunggu perintahnya, apakah seorang prajurit Pajang itu diperkenankan menghadap untuk membicarakan persoalan yang akan terjadi esok. Prajurit itu adalah Ki Lurah Kasadha.
Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan Ki Lurah Kasadha pemimpin pengawal yang bertugas itu telah memerintahkan para pengawal untuk meronda dan mengamati keadaan dengan lebih cermat lagi.
"Mungkin kedatangan Ki Lurah itu hanya sekedar menarik perhatian orang. Sementara itu, petugas sandinya telah menyusup pula untuk mengamati keadaan dan membuat perhitungan khusus tentang keadaan Tanah Perdikan ini," desis pemimpin kelompok itu.
Tetapi seorang pengawal berdesis, "Bukankah Ki Lurah Kasadha adalah pemimpin pasukan yang pernah dikirim ke Gemantar dan kemudian ditarik kembali karena sikapnya."
"Kalau benar orang ini Ki Lurah Kasadha yang datang ke Gemantar," jawab pemimpin pengawal itu.
"Ada berapa Kasadha?" bertanya pengawal itu.
"Bukankah kita belum pernah mengenal Kasadha satupun?" jawab pemimpinnya pula.
Pengawal itu mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita belum pernah mengenalnya."
Sementara itu, dua orang pengawal yang menghadap pimpinan Tanah Perdikan itu telah berada di banjar. Ternyata Iswari dan Risang serta beberapa orang yang lain berada di banjar itu pula, termasuk Ki Tumenggung Jaladara.
Ketika kedua orang pengawal itu menyatakan bahwa seorang prajurit Pajang yang bernama Ki Lurah Kasadha ingin bertemu, maka Iswari menjadi ragu-ragu.
"Ibu," berkata Risang, "sebaiknya kita terima niatnya untuk menemui kita. Tentu ada persoalan khusus yang ingin dibicarakan mengingat sikapnya di Gemantar. Apalagi secara pribadi aku pernah mengenalnya. Aku akan berbicara dengan Ki Lurah Kasadha."
"Aku memikirkan kemungkinan kehadiran prajurit Jipang. Bukankah dengan demikian Ki Lurah Kasadha itu akan mengetahuinya?" desis Iswari.
Ki Tumenggung Jaladara mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, "Aku akan memerintahkan prajuritku pergi ke padukuhan induk. Biarlah prajurit Jipang yang datang itu berada di padukuhan induk. Baru besok menjelang fajar, mereka akan bergerak ke alas pertahanan ini, meskipun kita dapat merencanakan penempatannya disini. Hanya pemimpinnya sajalah yang nanti kita bawa ke padukuhan ini."
Pedang Seribu Romansa 1 Animorphs - 43 Percobaan The Test Pahlawan Harapan 9

Cari Blog Ini