02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 29
Di sela-sela kerumunan orang-orang yang akan menonton pertandingan ketrampilan itu Kasadha menggeram, "Setan orang-orang Madiun."
Tetapi Risang masih dapat berpikir lebih tenang. Katanya, "Jangan terlalu dipikirkan. Kita memang tersinggung melihat seorang petugas sandi Mataram yang ditangkap itu. Tetapi bukankah itu wajar sekali" Di Mataram, seorang petugas sandi dari Madiun tentu juga akan ditangkap. Juga di Pajang dan bahkan di Tanah Perdikan Sembojan. Kedudukan seorang petugas sandi memang lain dari seorang prajurit yang memang mendapat tugas untuk datang ke Mataram, Pajang atau bahkan ke Tanah Perdikan Sembojan dalam tugas yang khusus. Sebagai utusan yang berwenang untuk berbicara tentang sesuatu atau utusan yang hanya menyampaikan surat atau untuk kepentingan-kepentingan yang lain."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kau benar. Tetapi bagaimana para petugas sandi itu diperlakukan akan menjadi ukuran derajat kemanusiaan kita."
"Ya. Dan kita memang belum tahu, apa yang dilakukan oleh Madiun terhadap para petugas sandi yang tertangkap."
Kasadha mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan Madiun tidak memperlakukan mereka dengan kasar."
Risang tidak menyahut. Tetapi diedarkannya pandangan matanya ke seluruh alun-alun sejauh dapat dijangkau, karena orang sudah menjadi semakin banyak.
Ketika matahari mulai menggatalkan kulit, maka orang-orang yang berkerumun di alun-alun itu menjadi semakin gelisah. Rasa-rasanya mereka menjadi tidak sabar lagi menunggu upacara itu dimulai. Sementara itu, di pinggir alun-alun telah dibangunkan satu panggungan yang akan dipergunakan untuk membuka upacara tahunan itu.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 61 BARU beberapa saat kemudian, maka terdengar suara bende yang bergaung berkepanjangan. Satu pertanda bahwa upacara akan segera dimulai.
Yang mula-mula memasuki alun-alun adalah sepasukan prajurit berkuda. Kemudian disusul oleh barisan dari beberapa kesatuan yang berbeda. Bahkan kemudian disusul oleh barisan prajurit dari kesatuan-kesatuan yang datang dari luar Madiun.
Beberapa saat kemudian, pasukan-pasukan itu berdiri rampak menghadap ke panggungan menunggu upacara yang akan segera dimulai.
Sejenak kemudian terdengar bunyi gamelan yang mengumandang menggetarkan udara di atas alun-alun Madiun. Bahkan suaranya bergema menyusuri hijaunya daun pohon beringin yang rimbun yang ditanam di seputar alun-alun. Sedangkan dua batang ditanam di tengah-tengahnya.
Panembahan Mas sendiri telah hadir untuk membuka upacara tahunan untuk menilai perkembangan kemampuan dan ketrampilan prajurit Madiun.
Kasadha dan Risang memperhatikan upacara itu dengan seksama. Mereka dapat melihat langsung betapa besarnya wibawa Panembahan Mas atas rakyatnya.
Kecuali memperhatikan Panembahan Mas, maka Kasadha juga memperhatikan orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka tengah memperhatikan apa yang terjadi di panggungan di saat-saat dilakukan upacara pembukaan.
Dalam keheningan sikap itu, Kasadha melihat dua orang yang bergeser dari tempatnya. Mereka saling memberikan isyarat yang satu kepada yang lain.
Orang-orang di sekitarnya memang tidak memperhatikan mereka. Mereka benar-benar sedang dicengkam oleh upacara yang sedang berlangsung. Namun karena Kasadha tidak tenggelam dalam upacara itu sebagaimana Risang, maka mereka melihat sikap yang memang menarik perhatian itu.
Begitu orang itu bergeser menjauh, maka Kasadha pun berdesis, "Orang-orang dungu. Aku mencurigai mereka. Seandainya aku prajurit Madiun atau petugas sandi Madiun dalam tugas mengawasi para penonton yang ada di alun-alun, kedua orang itu pasti aku tangkap."
Risang tidak segera menyahut. Ia masih memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Namun agaknya mereka benar-benar terpukau oleh acara demi acara yang sedang berlangsung. Sementara itu Panembahan Mas telah menyatakan bahwa pertandingan ketrampilan itu dengan resmi sudah dinyatakan dimulai.
Penontonpun segera menjadi riuh. Mereka mulai berdesakan untuk mendapat tempat yang terbaik.
Namun suasana kembali menjadi hening. Orang-orang yang berada di alun-alun itu seakan-akan menjadi terbius. Sejenak kemudian gamelan telah ditabuh kembali.
Kasadha dan Risang memang bertanya-tanya. Siapa lagi yang akan datang. Jika Panembahan Mas, seorang pemimpin tertinggi sudah berada di panggungan, maka tentu tidak ada orang yang lebih menarik perhatian daripadanya.
Yang kemudian muncul dan mendapat tepuk tangan gemuruh bukan seorang pemimpin yang naik ke panggungan. Bahkan orang-orang yang duduk di panggungan tetap duduk di tempatnya.
Namun perhatian orang-orang yang berada di alun-alun itu dengan serta-merta telah terhisap oleh seorang penunggang kuda yang diiringi oleh beberapa orang prajurit pilihan memasuki arena di alun-alun di depan panggungan di hadapan para prajurit yang digelar dan berdiri tegak di tempatnya.
Kasadha dan Risang memperhatikan orang berkuda itu dengan jantung yang berdebaran, sebagaimana semua orang yang berada di alun-alun.
Yang berkuda di paling depan di antara mereka adalah justru seorang perempuan. Seorang perempuan yang mengenakan baju berwarna hijau pupus, berkain batik latar putih yang disingsingkan. Mengenakan celana beludru berwarna hitam dengan pelisir berwarna kuning emas.
Untuk sesaat kedua anak muda itu tercenung. Namun kemudian keduanya ingin mengetahui, siapakah perempuan yang berbaju hijau pupus itu. Kemudian seorang perempuan yang lain, berbaju merah muda dan kain panjang latar ireng.
Keduanya masih muda. Mungkin keduanya masih gadis. Tetapi keduanya, terutama yang berbaju hijau pupus itu tentu seorang puteri bangsawan tinggi di Madiun.
Namun sebelum keduanya bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, seorang laki-laki yang gemuk di depan mereka berdesis, "Retna Dumilah memang seorang gadis yang sangat cantik."
"Memang cantik. Tetapi lebih dari itu, ia juga seorang prajurit linuwih," jawab seorang kawannya. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
"Retna Dumilah," Kasadha dan Risang mengulang di dalam hati.
Kedua orang yang berada di depannya itupun berbicara terus tentang kedua orang gadis menunggang kuda itu. Ternyata seorang adalah Retna Dumilah, puteri Panembahan Mas dari Madiun, sedangkan yang seorang, yang mengiringi adalah Wara Suweni. Anak Tumenggung Kuda Larapan.
Keduanya secara resmi bukan termasuk salah seorang dari Panglima atau Senapati Perang dari Madiun. Namun keduanya mendapat kehormatan yang besar di dalam lingkungan keprajuritan Madiun. Bukan saja karena Retna Dumilah adalah anak perempuan Panembahan Mas, tetapi Retna Dumilah adalah seorang gadis yang memiliki ilmu yang tinggi.
Demikianlah, maka kedua orang gadis itu diiringi oleh beberapa orang prajurit melintas di hadapan pasukan yang berdiri tegak memberikan penghormatan kepada mereka. Baru kemudian keduanya menuju ke panggungan. Retna Dumilah dan Wara Suweni itupun kemudian turun dari kuda mereka. Menyerahkan kuda mereka kepada para prajurit dan kemudian keduanya naik ke panggungan pula.
Sejenak alun-alun itu bagaikan dicengkam oleh keheningan. Semua mata tertuju kepada gadis yang memakai baju hijau pupus dan merah muda itu. Namun, demikian keduanya duduk di belakang Panembahan Mas, maka suara gamelan menjadi semakin perlahan. Tetapi tiba-tiba menghentak sedikit. Lalu terdengarlah suara gong yang menggelegar menutup suara bunyi gamelan itu.
Namun sebelum keduanya bertanya kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, seorang laki-laki yang gemuk di depan mereka berdesis, "Ratna Dumilah memang seorang gadis yang sangat cantik. Tetapi lebih dari itu ia juga seorang prajurit linuwih."
Semua matapun seakan-akan telah tertuju kepada kedua gadis itu. Namun kemudian acara demi acarapun segera dimulai.
Panembahan Mas sendiri berkenan menyaksikan pertandingan yang pertama dari serangkaian pertandingan yang akan diselenggarakan kemudian.
Acara yang pertama itu ternyata telah menarik banyak perhatian, sehingga banyak pula pesertanya.
Pertandingan yang kemudian membuka upacara tahunan itu adalah sodoran berkuda.
Karena pesertanya cukup banyak, maka sodoran itu akan memakan waktu yang lama. Pada pembukaan itu akan diselenggarakan babak pemilihan, siapakah yang patut ikut dalam pertandingan penentuan yang akan diselenggarakan pada acara terakhir dari serangkaian pertandingan-pertandingan. Dalam acara terakhir itu, Panembahan Mas juga berkenan menghadiri dan kemudian menutup seluruh rangkaian upacara tahunan. Namun seperti biasanya, maka menjelang acara penutup akan dilakukan rampogan. Tiga atau empat ekor harimau yang garang dan lapar akan dilepaskan dari kandangnya di alun-alun. Kemudian sekelompok prajurit terpilih dengan bersenjata tombak akan mengepung dan berusaha membunuh harimau-harimau itu.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, beberapa kelompok prajurit yang semula digelar di alun-alun itu telah meninggalkan tempat mereka. Yang kemudian turun ke alun-alun adalah para prajurit berkuda yang membawa tombak di tangan. Tetapi tombak-tombak itu bukan tombak yang sebenarnya. Tidak ada mata tombak yang tajam.
Bahkan ujung tombak yang dipergunakan untuk sodoran itu telah dibungkus dengan semacam kain yang di dalamnya telah diberi segenggam kapuk randu, sehingga jika ujung tombak itu mengenai tubuh, tidak menjadi sangat berbahaya.
Demikianlah, maka beberapa orang prajurit yang bertugas menyelenggarakan pertandingan itu sudah bersiap.
Dua orang prajurit berkuda masuk ke dalam arena. Mereka akan menunjukkan ketrampilan mereka berkuda dan bermain dengan tombak sehingga mampu menjatuhkan lawannya.
Dalam pertandingan pendahuluan itu, maka terdapat tiga arena sodoran di alun-alun itu. Arena yang dilingkari dengan tali ijuk yang kuat, yang terikat pada patok-patok bambu yang kuat pula.
Ketika kemudian bende terdengar bergaung, maka sodoran itupun segera dimulai.
Tiga pasang prajurit berkuda telah berhadapan di arena. Demikian aba-aba terdengar, maka kuda-kuda itu pun mulai bergerak dengan cepat. Para prajurit yang ada di punggung kuda itu dengan tangkas mempermainkan tombak tumpul mereka dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang kendali untuk mengemudikan kuda-kuda mereka.
Risang dan Kasadha berdiri di dekat salah satu dari ketiga arena itu. Dengan cermat mereka memperhatikan pertandingan ketangkasan itu. Kasadha sebagai prajurit Pajang tanpa disadarinya telah memperbandingkan ketangkasan prajurit Madiun itu dengan kemampuan rata-rata prajurit Pajang.
Setelah pertandingan sodoran itu berlangsung beberapa lama, maka Kasadhapun berbisik di telinga Risang, "Bukankah kemampuan para prajurit disini tidak terpaut dengan kemampuan para prajurit Pajang."
Risang mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Aku juga berharap bahwa para pengawal di Tanah Perdikan juga tidak terlalu jauh ketinggalan."
"Tentu tidak. Aku pernah bertempur bersama para pengawal Tanah Perdikan. Bahkan aku juga pernah bertempur melawan para pengawal Tanah Perdikanmu."
Risang tertawa tertahan. Sementara itu, sodoranpun berlangsung semakin ramai. Beberapa orang mulai berteriak-teriak mendorong dan membesarkan hati prajurit-prajurit yang dianggapnya paling pantas untuk menang.
Apalagi mereka yang sudah kenal dan bahkan salah seorang yang masih tersangkut pada alur keluarga.
Panas matahari semakin menyengat. Ujung-ujung tombak tumpul itupun mulai menyengat tubuh prajurit-prajurit berkuda itu.
Arena itu menjadi semakin riuh dan teriakanpun meledak ketika salah seorang dari ketiga pasangan sodoran itu terlempar dan jatuh dari punggung kudanya.
Dengan demikian, maka pertandingan yang sepasang itupun selesai. Orang yang tetap duduk di punggung kudanya itulah yang menang. Ia akan mendapat kesempatan untuk bertanding dalam putaran berikutnya.
Beberapa saat kemudian, maka muncullah pasangan berikutnya. Dua orang prajurit yang kedua-duanya bukan prajurit Madiun yang ikut dalam pertandingan itu.
Kasadha dan Risang masih sempat menyaksikan pertandingan itu. Namun tataran kemampuannya tidak terpaut dengan para prajurit Madiun yang bertanding sebelumnya. Demikian pula pasangan-pasangan yang lain di ketiga arena itu. Bahkan kemudian setelah pasangan-pasangan itu berganti.
Kasadha dan Risang masih menyaksikan beberapa putaran dan bahkan berpindah-pindah dari satu arena ke arena yang lain. Namun kemudian Risangpun berkata, "Marilah kita berteduh sejenak di bawah pohon beringin. Jika mungkin kita temui paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung. Apa yang telah mereka lihat di alun-alun ini."
Ternyata Kasadha sependapat. Ia mulai jemu menyaksikan pertandingan dalam irama yang sama. Kecuali kejemuan itu, panas matahari serta saling berdesakan di antara para penonton telah menjemukannya pula.
Demikianlah mereka berdua telah menyusup di antara para penonton untuk menepi. Merekapun kemudian berjalan menyusuri bayang-bayang pohon beringin di seputar alun-alun untuk mencari Sambi Wulung dan Jati Wulung yang menurut dugaan mereka juga tidak akan menonton sodoran itu tanpa berpindah-pindah tempat.
"Sebaiknya pertandingan itu dilangsungkan tidak hanya satu jenis saja," berkata Kasadha.
"Ya," sahut Risang. "Mungkin sodoran dan yang lain ketrampilan memanah dengan sasaran diam dan bergerak."
Kasadha mengangguk-angguk sambil menyahut, "Alun-alun ini cukup luas untuk menyelenggarakan dua atau bahkan tiga jenis pertandingan sekaligus."
Namun pembicaraan merekapun terhenti. Tiba-tiba saja Risang menuding ke bawah sebatang pohon beringin yang besar. Dua orang yang sudah mulai ubanan duduk di atas akar pohon beringin besar itu. Di sebelahnya ada beberapa orang remaja dan anak-anak yang berdiri sambil memegangi mangkuk berisi dawet cendol.
Kasadha tertawa. Sambi Wulung dan Jati Wulung yang nampaknya kehausan sedang duduk di bawah sebatang pohon beringin untuk membeli dawet cendol.
Ketika keduanya melihat Risang dan Kasadha mendekat, maka keduanyapun tertawa pula.
"Marilah Ngger," desis Sambi Wulung.
Risang dan Kasadha memandang ke sekelilingnya. Tidak ada orang yang dikenal dan mengenal mereka.
Karena itu, meskipun yang seorang adalah Lurah prajurit dan yang lain Kepala Tanah Perdikan yang terhitung besar, namun keduanyapun telah ikut duduk pula di sebelah Sambi Wulung untuk membeli dawet cendol yang diberi pemanis legen kelapa.
"Alangkah segarnya," desis Kasadha.
Sambil meneguk dawet, Sambi Wulung berdesis perlahan, "Aku melihat seorang petugas sandi dari Mataram tertangkap."
"Aku juga melihatnya," sahut Kasadha.
"Tetapi itu merupakan akibat yang tentu sudah diperhitungkan oleh para petugas sandi," berkata Sambi Wulung pula.
"Ya. Agaknya para petugas sandi itu telah mempersiapkan diri, baik unsur kewadagan maupun unsur kejiwaan mereka untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk," sahut Risang.
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Sementara itu Kasadhapun berkata, "Aku juga melihat dua orang yang pantas dicurigai. Petugas sandi dari Mataram yang nampaknya kurang berhati-hati atau mereka memang orang-orang dungu yang tidak dapat menempatkan dirinya."
"Apakah keduanya juga ditangkap?" bertanya Jati Wulung.
"Tidak. Keduanya tidak ditangkap. Nampaknya para petugas sandi Madiun juga tidak berpandangan tajam," jawab Kasadha.
"Mungkin," sahut Sambi Wulung. "Tetapi mungkin para petugas sandi Madiun justru membiarkan mereka. Madiun ingin memanfaatkan mereka, membawa berita upacara tahunan ini ke telinga para prajurit Mataram dan Pajang. Permainan yang diselenggarakan besar-besaran kali ini juga merupakan pameran kekuatan agar Mataram mempertimbangkan kembali langkah-langkah yang telah dipersiapkan."
"Tegasnya, Madiun ingin menakut-nakuti Mataram. Karena itu harus ada orang yang memberitahukan pameran kekuatan ini," sambung Jati Wulung.
Kasadha mengangguk-angguk kecil. Namun katanya kemudian, "Tetapi tidak ada yang perlu dicemaskan. Kemampuan para prajurit Madiun dan bahkan prajurit-prajurit yang datang dari luar Madiun tidak berkelebihan dibandingkan dengan prajurit Pajang. Tentu juga prajurit Mataram dan Demak."
"Ya," Sambi Wulung mengangguk-angguk. "Jika ada kelebihannya, tentu dalam jumlah prajurit."
"Tetapi masih dapat dipertanyakan, apakah jumlah yang demikian banyaknya itu benar-benar terdiri dari prajurit yang sebenarnya. Mataram, Pajang dan Demak tentu juga dapat mengumpulkan semua orang laki-laki dalam batasan umur tertentu untuk ikut pergi ke medan perang di samping prajurit-prajurit yang sebenarnya. Bukankah cara itu wajar dan sering dilakukan?" berkata Kasadha kemudian.
Yang lainpun mengangguk-angguk. Namun pembicaraan merekapun terputus. Terdengar isyarat dari panggung kehormatan. Agaknya Panembahan Mas akan meninggalkan alun-alun.
Setelah membayar harga dawet cendol yang mereka minum, keempat orang itupun bangkit berdiri dan kembali memasuki kerumunan orang-orang yang sedang memperhatikan panggung kehormatan itu.
Sebenarnyalah Panembahan Mas telah bangkit berdiri diikuti oleh para pemimpin Madiun yang lain. Tetapi ketika Panembahan melangkah menuju ke tangga panggungan, maka para pemimpin itupun menyibak.
Yang berjalan di belakang Panembahan kemudian adalah dua orang putri yang justru menjadi pusat perhatian orang-orang yang sedang memperhatikan panggung kehormatan itu.
Beberapa saat kemudian, mereka telah menuruni tangga yang tidak begitu tinggi. Kemudian beberapa orang prajurit menuntun kuda mereka.
Demikianlah, sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan alun-alun Madiun. Sekelompok prajurit pengawal terpilih telah mengawal Panembahan serta kedua orang putri itu memasuki istana.
Sepeninggal Panembahan dan para pemimpin yang semula berada di panggung kehormatan itu, maka pertandinganpun dilanjutkan.
Ternyata perhatian para penonton tidak menjadi susut. Sekali-sekali terdengar mereka berteriak-teriak. Tetapi kadang-kadang terdengar suara tertawa menghentak jika terjadi sesuatu yang lucu di arena. Seorang prajurit yang baru saja mulai, ternyata telah dilemparkan justru oleh kudanya yang terkejut tersentuh ujung sodor lawannya.
Namun Risang, Kasadha, Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak tertarik lagi melihat pertandingan itu.
Mereka lebih banyak berada di pinggir alun-alun. Namun kemudian Risang dan Kasadha bahkan telah sepakat untuk meninggalkan alun-alun.
"Kemana?" bertanya Sambi Wulung ketika Risang memberitahukan niatnya itu.
"Melihat-lihat saja," jawab Risang.
"Tetapi berhati-hatilah. Para prajurit dan petugas sandi Madiun tentu lebih banyak mengamati keadaan di luar alun-alun ini," pesan Sambi Wulung.
Risang tersenyum sambil mengangguk. "Kami akan berhati-hati paman."
"Baiklah. Kami akan mencari Ki Resa yang tentu ada di alun-alun ini juga bersama kedua anaknya," berkata Sambi Wulung.
Demikianlah, maka Risang dan Kasadhapun telah meninggalkan alun-alun yang dipenuhi oleh orang-orang Madiun yang bukan saja berasal dari kota itu.
Tetapi demikian keduanya keluar dari alun-alun, maka mereka segera merasa, betapa para prajurit dan para petugas sandi mengawasi keadaan dengan teliti. Sebagai seorang prajurit Kasadha mengetahui bahwa di antara mereka yang berjalan di jalan-jalan yang menjadi sepi itu, meskipun tidak dengan pakaian keprajuritan, namun mereka adalah prajurit dalam tugas sandi mengamati keadaan kota.
Sementara itu, Risang yang juga pernah menjadi seorang prajurit, dapat merasakan pula sebagaimana Kasadha.
"Kita memang harus berhati-hati," berkata Kasadha.
Risang mengangguk. Sambil melangkah terus ia berkata, "Beberapa pasang mata nampaknya sedang mengawasi kita."
Kasadha tidak menjawab. Mereka berusaha untuk tidak menunjukkan kesan apapun juga. Di luar sadar maka mereka berdua telah menuju ke pasar Madiun.
Seperti juga jalan-jalan yang sepi, maka pasarpun tidak begitu ramai seperti biasanya. Nampaknya semua orang tertarik untuk pergi ke alun-alun. Bahkan juga perempuan dan anak-anak. Meskipun demikian, masih juga ada beberapa kelompok orang yang berjual beli di pasar.
Di pasar, Risang dan Kasadha merasa dapat melepaskan diri dari pengamatan. Mereka sempat menunggui seorang pande besi yang sibuk menyelesaikan sebuah kejen bajak yang dipesan oleh seorang petani yang nampaknya sangat memerlukannya.
"Aku harus segera menyelesaikan kerja di sawah," berkata orang itu. "Sudah sebagian tanah dibajak. Namun kejen bajakku tiba-tiba patah. Sementara itu, sawah tetangga sudah selesai dikerjakan dan siap ditanami. Jika besok sehari aku membajak menyelesaikan sisa pekerjaanku, maka besok lusa aku masih harus meratakan tanah itu dengan garu."
Pande besi yang sedang menyelesaikan kerjanya itu menyahut, "Karena kau tergesa-gesa ingin menyelesaikan kerjamu, aku terpaksa tidak dapat nonton pembukaan upacara tahunan di alun-alun."
"Bukankah besok, lusa dan hari berikutnya masih ada?" jawab petani itu.
"Tetapi upacara pembukaan itu hanya berlangsung hari ini," jawab Pande Besi itu.
"Tetapi bukankah kau akan mendapat uang dengan kerjamu ini?" bertanya petani itu.
"Besok, lusa, hari-hari berikutnya, masih ada kesempatan untuk mencari uang. Tetapi tidak dengan upacara pembukaan ini," jawab pande besi itu.
Petani itupun menyahut, "Aku tidak peduli. Tetapi besok aku harus dapat bekerja lagi."
Pande Besi itu tertawa. Namun ia masih juga berkata, "Kau hanya mementingkan dirimu sendiri."
Risang dan Kasadha yang berjongkok dekat dengan bengkel itu ikut tersenyum. Tetapi mereka tidak ikut mencampuri pembicaraan itu.
Ketika mereka keluar dari pasar, maka merekapun telah singgah di sebuah kedai. Satu-satunya kedai yang tidak menutup pintunya. Sedangkan beberapa kedai yang lain ternyata sama sekali tidak membuka pintu sejak pagi.
Para pemiliknya dan juga para pelayannya memerlukan pergi ke alun-alun untuk melihat upacara tahunan yang diselenggarakan lebih besar dari biasanya.
Ketika Risang dan Kasadha duduk di dalam kedai itu, maka mereka menyadari bahwa tidak ada orang lain yang berada di kedai itu.
"Nampaknya sepi hari ini," berkata Risang kepada pemilik kedai yang bekerja sendiri itu.
"Ya," jawab pemilik kedai itu. "Semua orang berada di alun-alun. Pelayan-pelayanku juga berada di alun-alun. Aku memang tidak dapat mencegahnya. Upacara yang hanya diselenggarakan setahun sekali ini memang pantas mendapat perhatian."
"Tetapi Ki Sanak sendiri tidak pergi?" bertanya Kasadha.
"Hari ini aku sendiri tinggal di kedai ini. Setelah masak dan menyiapkan segala sesuatunya, semua orang pergi ke alun-alun. Bahkan isteriku juga pergi ke alun-alun. Karena itu, masakan yang kami sediakanpun hanya sekedarnya saja," jawab orang itu. Namun orang itupun kemudian bertanya, "Ki Sanak berdua tidak melihat upacara tahunan itu?"
"Kami baru saja dari alun-alun," jawab Risang. "Kami ternyata tidak tahan menunggu sampai acara pertandingan hari ini selesai. Adikku ini tiba-tiba merasa kepalanya menjadi pening. Panasnya bukan main, sementara itu kami harus berdesak-desakan."
"Ya," sambung Kasadha. "Hausnya."
"Bukankah banyak orang berjualan di tepi alun-alun sehingga kalian tidak perlu pergi kemari?"
"Kami minum dawet cendol. Mungkin santannya terlalu kental, sehingga membuat kepalaku pening dan perutku menjadi mual," berkata Kasadha.
Pemilik kedai itu tertawa. Katanya, "Baiklah, mungkin wedang jae hangat akan dapat menyembuhkan pening kepala dan mual perut Ki Sanak."
Kasadha dan Risangpun kemudian memesan makan dan minum bagi mereka berdua.
Sementara keduanya makan, maka dua orang telah memasuki kedai itu pula. Dua orang yang tertegun sejenak di depan pintu kedai. Namun kemudian keduanya melangkah masuk dan duduk di sudut kedai itu.
Risang dan Kasadha memandang kedua orang itu dengan kening yang berkerut. Keduanya sekali-sekali telah berpaling dan memandangi Risang dan Kasadha itu pula.
Tetapi Risang dan Kasadha kemudian tidak menghiraukan keduanya. Mereka sibuk dengan makan dan minuman mereka masing-masing.
Namun Risang dan Kasadha menjadi tertarik kepada mereka, ketika pemilik kedai itu mendekati mereka.
Mereka berbicara perlahan-lahan. Nampaknya yang mereka bicarakan itu mengandung rahasia.
Risangpun kemudian berdesis, "Apakah mereka mencurigai kita karena mereka mengenali kita dari penampilan kita, bahwa kita bukan orang Madiun?"
Kasadha mengangguk kecil. Katanya, "Mungkin. Tetapi baiklah, kita menunggu perkembangan sikap mereka."
Risang tidak berbicara lebih jauh. Ia kembali menyuapi mulutnya dan meneguk minuman hangatnya.
Namun keduanya terkejut lagi. Tiba-tiba ketika orang itu menjadi gelisah. Pemilik kedai itu berdesis, namun sempat didengar oleh Risang dan Kasadha, "Prajurit yang sedang meronda. Cepat, pergi ke dapur."
Kedua orang itupun kemudian telah bergegas masuk ke dapur. Sementara itu pemilik kedai itu dengan tenang kembali ke tempatnya menyiapkan pesanan para pembelinya.
Empat orang prajurit peronda memang lewat di muka kedai itu. Namun ternyata mereka berhenti di muka kedai itu. Seorang di antara mereka masuk ke dalam.
Risang dan Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Prajurit yang masuk itu dengan lantang bertanya, "Kenapa tidak kau tutup kedaimu" Sementara kedai yang lain tutup?"
"Mereka pergi ke alun-alun, Ki Sanak," jawab pemilik kedai itu.
"Kenapa kau tidak pergi" Apakah kau tidak tertarik pada upacara tahunan yang kali ini menjadi lebih besar karena diramaikan pula oleh para prajurit yang datang dari luar Madiun?" bertanya prajurit itu.
"Seisi rumah ini pergi ke alun-alun. Aku harus menunggui rumah ini. Daripada duduk termenung, maka aku membuka kedai ini meskipun daganganku hanya sepertiga dari biasanya. Aku tahu bahwa tidak akan banyak orang yang singgah di kedai ini."
Prajurit itu termangu-mangu. Dipandanginya Risang dan Kasadha. Ternyata prajurit itupun bertanya, "He, kau Ki Sanak. Kenapa kau tidak pergi ke alun-alun?"
"Kami baru saja dari alun-alun," jawab Risang. "Tetapi kami harus singgah di pasar, untuk memesan kejen bajak kami yang patah. Sementara kami menyerahkan pekerjaan itu kepada Pande Besi yang kebetulan tidak menutup bengkelnya, kami singgah disini. Minuman hangat ini membuat kepalaku yang pening menjadi sedikit ringan. Dari sini, sambil membawa kejen bajak, kami akan singgah lagi di alun-alun."
Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menaruh kecurigaan. Karena itu, maka iapun bersama kawan-kawannya segera berlalu.
Demikian para prajurit itu hilang, maka dua orang yang bersembunyi di dapur itupun segera keluar. Mereka masih nampak gelisah. Sekali-sekali mereka mengusap keringat mereka yang mengembun di kening.
"Sudahlah," berkata salah seorang dari mereka, "kami akan pergi."
"Hati-hatilah," desis pemilik kedai itu. Namun kemudian iapun bertanya, "Kalian tidak makan dahulu?"
"Terima kasih. Kabar itu harus segera sampai."
Kedua orang itupun kemudian telah minta diri dan meninggalkan kedai itu.
Ternyata kedua orang yang keluar lebih dahulu dari kedai itu masih dapat mereka lihat. Keduanya sepakat untuk mengikuti kedua orang itu kemana mereka pergi.
"Mereka tentu orang Mataram," desis Kasadha.
Risang mengangguk sambil berdesis, "Kita lihat, apa yang akan mereka lakukan."
Dengan demikian, maka Risang dan Kasadhapun telah mengikuti kedua orang yang diduganya adalah petugas sandi dari Mataram itu. Namun Kasadha kemudian juga berdesis, "Jika mereka bukan petugas sandi dari Mataram, maka keduanya tentu bukan prajurit Madiun."
Risang mengangguk pula. Katanya, "Ya. Memang ada beberapa kemungkinan. Namun yang pasti, pemilik kedai itu tentu termasuk kelompok dari kedua orang itu."
Kasadha tidak menjawab. Kedua orang itu ternyata menuju ke pintu gerbang kota. Beberapa orang petugas berdiri di sebelah pintu gerbang. Tetapi mereka tidak menghentikan dan bertanya kepada setiap orang yang lewat.
Risang dan Kasadhapun mengikuti kedua orang yang keluar dari kota itu. Mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan. Namun kemudian mereka turun ke sebuah bulak yang agak panjang.
"Kita harus lebih berhati-hati. Mereka tahu bahwa kita mengikuti mereka. Mereka sengaja mencari tempat untuk berbicara langsung dengan kita," berkata Kasadha.
Risang mengangguk-angguk. Namun mereka berdua berjalan terus mengikuti kedua orang itu.
Seperti yang diperhitungkan oleh Kasadha dan Risang, maka kedua orang itu memang berhenti di tengah-tengah bulak sepi. Agaknya para petanipun lebih senang pergi ke alun-alun daripada berjemur di terik matahari di sawah.
Risang dan Kasadha memang menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka berjalan terus.
"Mereka sengaja menunggu kita," desis Risang.
"Jika benar mereka orang-orang Mataram, maka yang mereka lakukan tentu tidak akan tanggung-tanggung. Mereka tidak akan membiarkan seseorang dapat mengenali jejak mereka. Apalagi jika mereka masih tetap bertugas di Madiun," sahut Kasadha.
Risang mengangguk-angguk. Karena itu, maka merekapun menjadi sangat berhati-hati.
Ketika Risang dan Kasadha lewat di depan kedua orang itu, maka salah seorang dari merekapun telah menegur, "Anak-anak muda. Kenapa kalian mengikuti kami?"
Risang dan Kasadha berhenti. Dengan nada tinggi Risang bertanya, "Siapa yang mengikuti Ki Sanak berdua?"
"Sejak di kedai tadi kalian memperhatikan kami. Kenapa?"
"Kenapa kalian berprasangka seperti itu" Jalan ini bukan milik kalian saja. Tetapi jalan ini adalah jalan orang banyak. Jalan milik Panembahan Mas. Kami berdua setiap hari berjalan lewat jalan ini ke kota dan kemudian pulang di siang hari seperti sekarang ini. Kenapa tiba-tiba kau menuduh kami mengikuti kalian berdua, sementara kalian berdua agaknya memang baru kali ini lewat jalan ini," jawab Risang.
"Dimana rumah kalian?" bertanya salah seorang dari mereka berdua.
Risang memang tergagap sekejap. Tetapi ia segera mengatasi kesulitan itu dan menjawab asal saja menyebut nama sebuah padukuhan, "Aku tinggal di Wedikengser."
"Sebut nama padukuhanmu," desis orang itu.
"Wedikengser. Maksudku bukan Wedikengser yang terletak di bekas aliran sungai yang bergeser. Tetapi nama padukuhan kami adalah Wedikengser. Mungkin dahulu padukuhan kami memang bekas aliran sungai yang telah berpindah agak jauh dari aliran semula," jawab Risang.
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka bertanya pula, "Tetapi nampaknya kalian berkepentingan terhadap kami. Apa kepentinganmu?"
"Tidak ada," Kasadhalah yang menyahut. "Kami hanya lewat."
"Apakah kalian petugas sandi dari Madiun?" tiba-tiba orang itu bertanya.
"Pertanyaan yang sangat bodoh," berkata Kasadha di dalam hati. Sementara itu Risangpun bertanya, "Kenapa kau dapat mengambil kesimpulan seperti itu?"
Tetapi jawaban orang itu mengejutkan, "Aku sudah menduga bahwa kalian adalah petugas sandi dari Madiun. Jika kalian tidak berbuat sesuatu di kedai itu, karena kalian mengetahui bahwa kalian tidak akan dapat melawan tiga orang bersama-sama."
Kasadha tidak dapat menahan dirinya. Katanya, "Kenapa kalian demikian dungunya. Jika kami ingin menangkap kalian karena kami petugas sandi dari Madiun, kenapa tidak kami lakukan ketika para prajurit itu memasuki kedai" Kami dapat minta bantuan mereka untuk menangkap kalian."
"Kalian ingin melakukannya sendiri, karena kalian ingin mendapat hadiah," jawab seorang yang lain.
"O," Kasadha mengangguk-angguk, "jadi menangkap petugas sandi dari luar Madiun itu mendapat hadiah. Baru sekarang kami mengetahuinya."
"Jangan terlalu banyak bicara. Kami tidak mempunyai banyak kesempatan. Kami tahu bahwa jika kami tertangkap, maka hukuman kami sangat berat. Bahkan mungkin kami dapat dihukum mati. Karena itu, maka kami tidak akan bersedia menanggung akibat seperti itu. Untuk melindungi nyawa kami, maka kami terpaksa mengorbankan nyawa kalian."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Bayangan dari peperangan selalu menampakkan ujudnya dalam kebengisan sebagaimana perang itu sendiri. Betapa nyawa tidak berharga bagi sesama.
Dalam pada itu, maka Risangpun berkata, "Ki Sanak. Jangan mudah sekali mengucapkan kata-kata itu. Kau membuat kami menjadi gemetar. Kenapa kalian akan membunuh kami. Sementara itu, kami tidak mengerti apa-apa tentang tugas-tugas sandi."
"Cukup. Kau tidak usah terlalu banyak bicara. Kita mempunyai kesempatan yang sama. Jumlah kitapun sama banyaknya. Kami berdua atau kalian berdualah yang akan mati," jawab salah seorang dari mereka.
"Kalian ternyata terlalu garang," berkata Risang. "Jika kalian biarkan kami lewat, maka kami tidak akan mengetahui bahwa kalian adalah petugas sandi dari manapun juga. Tetapi justru sikap kalian memberitahukan kepada kami bahwa kalian adalah petugas sandi dari Mataram atau Pajang atau Demak."
"Jangan membual. Kami sadari kesalahan kami ketika kami menyembunyikan diri di kedai itu karena kami tidak memperhitungkan kalian berdua. Adalah kebetulan bagi kami, bahwa kalian telah mengikuti kami dan berusaha menangkap kami tanpa minta bantuan para prajurit itu. Dalam hal ini, kalianlah yang harus menyesali kesalahan kalian, bahwa kalian telah mengikuti kami."
"Ki Sanak," berkata Kasadha kemudian, "sudahlah. Lupakan saja kecemasan kalian bahwa kami akan menangkap kalian. Meskipun kemudian kami mengetahui bahwa kalian datang ke Madiun dalam tugas sandi, namun kami tidak mempunyai sangkut paut tentang hal itu. Karena itu, maka biarlah kami berlalu. Kita tidak akan saling mengganggu. Adalah salah dugaan kalian bahwa kami akan menangkap kalian."
"Jika kami melepaskan kalian, maka kami telah melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. Tugas kami di Madiun belum selesai. Karena itu, kami tidak mau diganggu oleh siapapun juga."
"Tetapi kami sama sekali tidak bersangkut paut dengan tugas sandimu. Jika kalian membunuh kami, maka kami akan menjadi korban yang sia-sia," berkata Risang.
"Jika benar demikian, nasib kalianlah yang sangat buruk. Tetapi korban yang tidak bersalah dapat saja jatuh dalam masa-masa seperti ini," berkata salah seorang dari kedua orang itu.
"Begitu ringankah kalian berbicara tentang kematian, Seperti kalian sedang mengucapkan sebuah dongeng kepada anak-anak kalian?" bertanya Kasadha.
"Ya. Kematian tidak banyak berarti dalam tugas-tugas sandi. Bahkan kematian kami sendiri," jawab orang itu.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang itu berkata selanjutnya, "Nah, bersiaplah. Kalian tidak mempunyai pilihan lain. Kita akan mengakhiri pertemuan kita dengan cara yang sebenarnya sudah kalian ketahui, karena kalian tidak akan dapat ingkar, bahwa kalian adalah petugas sandi dari Madiun."
Risang dan Kasadha melangkah surut. Tetapi mereka melihat kedua orang itu sudah bersiap. Seorang di antara mereka berkata, "Kalian tidak usah berpura-pura lagi. Bukankah seperti ini yang memang kalian kehendaki sejak kalian mengikuti perjalanan kami."
Memang tidak ada gunanya bagi Kasadha dan Risang menjawab. Mereka harus berusaha mengimbangi kedua orang itu. Namun baik Risang maupun Kasadha merasa bahwa tugas mereka menjadi lebih berat dari kedua orang petugas sandi itu, karena mereka tidak tahu siapa yang mereka hadapi. Sedangkan Risang dan Kasadha mengetahui, bahwa keduanya bukan orang yang pantas dibunuh.
Sementara itu baik Risang maupun Kasadha memang bukan pembunuh.
Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi. Sebagai petugas sandi, maka kedua orang yang diikuti oleh Risang dan Kasadha itu telah mendapat tempaan ilmu yang berat. Karena itu, maka ketika terjadi benturan-benturan, maka Risang dan Kasadhapun segera memahami, bahwa lawan mereka benar-benar orang yang telah dipersiapkan untuk tugas-tugas yang berat.
Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru.
Lawan Risang adalah seorang yang bertubuh tinggi tegap. Namun pakaian yang dikenakan adalah pakaian orang kebanyakan, sebagaimana pakaian yang dikenakan oleh Risang. Namun demikian, sikapnya kemudian ternyata bahwa ia bukan orang kebanyakan.
Tetapi orang yang bertubuh tinggi tegap itupun segera menyadari pula, bahwa anak muda yang menjadi lawannya itu adalah anak muda yang berilmu. Karena itu, maka orang itupun semakin yakin, bahwa anak muda itu adalah petugas sandi dari Madiun.
"Ternyata petugas-petugas sandi dari Madiun telah dipersiapkan dengan sangat baik," berkata orang itu di dalam hatinya.
Karena itulah maka orang yang bertubuh tinggi tegap itu harus meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Meskipun demikian, ia tidak segera mampu mengatasi ilmu lawannya yang masih terhitung muda itu.
Sementara itu, lawan Kasadha adalah seorang yang bertubuh sedang. Namun dari matanya seakan-akan memancar ketajaman panggraitanya. Seperti lawan Risang, orang ini juga mengenakan pakaian sebagaimana dikenakan oleh orang kebanyakan.
Demikianlah, maka pertempuran itupun menjadi semakin cepat. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke tataran yang semakin tinggi. Kedua orang petugas sandi dari Mataram itu nampaknya memang ingin segera menyelesaikan pertempuran. Mereka berloncatan dengan cepat. Tenaga merekapun semakin kuat pula, sementara itu kemampuan merekapun menjadi semakin tinggi.
Tetapi mereka harus mengakui, bahwa kedua orang anak muda itu masih tetap mampu mengimbangi mereka.
Orang yang bertubuh tinggi tegap, yang merasa memiliki kekuatan yang sangat besar, berusaha untuk menundukkan lawannya dengan mengerahkan kekuatannya. Tetapi tenaga dalam Risang yang besar, justru telah mendesak kekuatan tenaga lawannya itu. Ketika orang itu meloncat menyerang dengan menjulurkan kakinya lurus ke arah lambung Risang, maka Risang telah menangkisnya dengan sikunya.
Satu benturan telah terjadi. Ternyata orang yang bertubuh tinggi dan tegap itu telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ketika lawannya terguncang, Risang tidak memburunya dan tidak menyusuli serangannya dengan serangan pula.
Ketika orang itu sempat memperbaiki keseimbangannya, ia memang menjadi heran. Kenapa lawannya yang muda itu tidak menyerangnya dan berusaha sekaligus menyelesaikan pertempuran.
"Agaknya anak itu memang dungu dan kurang berpengalaman meskipun ia memiliki dasar ilmu yang tinggi," berkata orang yang bertubuh tinggi tegap itu di dalam hatinya. Tetapi sebuah pertanyaan segera timbul, "Jika ia memang seorang petugas sandi dari Madiun, ia tentu tidak akan ragu-ragu lagi."
Namun orang itu tidak ingin tenggelam ke dalam keragu-raguannya. Iapun segera meningkatkan serangan-serangannya dengan kekuatannya yang sangat besar. Namun anak muda itu masih saja mampu mengimbanginya.
Bahkan kemudian orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia justru telah terdesak.
Demikian pula lawan Kasadha yang bermata tajam itu. Dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, ia tidak dapat mendesak lawannya. Bahkan semakin lama Kasadha semakin menguasainya.
Tetapi sebagai prajurit dalam tugas sandi yang sudah ditempa wadag dan jiwanya, maka keduanya tidak segera kehilangan akal.
Pertempuran masih saja berlangsung dengan sengitnya. Dengan pengalamannya yang luas, kedua petugas sandi itu berusaha untuk dapat mengatasi lawan-lawan mereka yang masih muda itu. Tetapi setiap kali mereka selalu terdesak. Serangan-serangan anak-anak muda itu rasa-rasanya datang terlalu cepat, melampaui kemampuan mereka, sehingga karena itu, maka serangan-serangan itu mulai menyentuh tubuh mereka.
Orang yang bertubuh tinggi tegap, yang bertempur melawan Risang, beberapa kali harus berloncatan mundur untuk mengambil jarak. Demikian cepatnya serangan kaki Risang terjulur ke arah dadanya. Orang yang bertubuh tinggi tegap itu masih sempat mengelak menyamping. Namun tiba-tiba saja Risang itu berputar dengan cepat bertumpu pada kakinya yang baru saja berjejak di tanah itu.
Dengan cepatnya, sehingga kakinya yang lain, yang terayun berputar dengan derasnya menyambar bahunya.
Orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
Bahkan kemudian orang itu justru melangkah mengambil jarak.
Risang seakan-akan sengaja memberi kesempatan kepadanya untuk memperbaiki keadaannya. Baru ketika ia sudah tegak berdiri dan bersiap untuk bertempur, Risangpun meloncat mendekat serta mulai menyerang lagi.
Betapapun orang itu terdesak, tetapi keheranannya atas sikap lawannya, juga semakin bergejolak di dalam hatinya.
Dengan bersungguh-sungguh ia sudah berusaha untuk menghabisi lawannya itu, tetapi lawannya masih saja seolah-olah sedang melakukan latihan di dalam sanggar.
Namun orang yang bertubuh tinggi tegap itu menggeram di dalam hatinya, "Ia tentu dengan sengaja menghinaku. Ia harus menebus kesombongannya dengan penyesalan yang tidak berkeputusan."
Karena itulah, maka orang yang bertubuh tinggi tegap itu telah menghentakkan kemampuannya sampai tataran yang tertinggi.
Tetapi lawannya adalah anak muda yang memang perkasa. Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu telah membekali dirinya dengan ilmu Janget Kinatelon. Karena itu, maka betapapun orang yang tinggi tegap itu mengerahkan segala kekuatan dan kemampuannya, serta menyerangnya seperti semburan badai di mangsa kasanga, namun Risang sama sekali tidak tergoyahkan.
Di putaran pertempuran yang lain, Kasadha juga semakin mendesak lawannya dengan serangan-serangan yang menentukan. Bahkan Kasadha lebih banyak membiarkan lawannya menghindari benturan dan serangan-serangannya.
Tetapi semakin lama, tenaga lawan Kasadha itu nampak mulai menyusut. Serangan-serangan Kasadha yang kuat serta benturan-benturan yang terjadi memaksa lawannya mengerahkan segenap tenaganya.
Keringat telah membasahi tubuh dan pakaiannya.
Perasaan sakit mulai mengganggunya pula. Serangan-serangan Kasadha semakin lama semakin sering menjamah tubuhnya.
Lawan Kasadha itu harus mulai menyadari, bahwa lawannya meskipun masih muda, tetapi ia adalah seorang yang berilmu tinggi sehingga sulit untuk dapat diatasinya.
Ketika orang bermata tajam itu kemudian juga mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak, maka sadarlah ia bahwa takaran ilmunya masih tetap berada di bawah ilmu anak muda itu. Dengan demikian, sebagai petugas sandi maka kedua orang itu menyadari apa yang akan terjadi atas diri mereka, jika mereka gagal mempertahankan diri. Karena itu, maka mereka harus bertempur sampai kesempatan terakhir.
Kedua orang itu juga tidak melihat kemungkinan untuk melarikan diri. Kedua orang anak muda itu tentu akan mampu mengejar mereka. Apalagi tenaga mereka berdua sudah mulai menyusut, sementara anak-anak muda itu masih saja nampak segar sebagaimana saat mereka mulai bertempur.
Meskipun demikian, kedua orang lawan Risang dan Kasadha itu setiap kali menjadi heran. Anak-anak muda itu mempunyai beberapa kesempatan yang tidak dipergunakan. Mula-mula mereka menganggap bahwa anak-anak muda itu kurang berpengalaman sehingga beberapa peluang telah mereka lewatkan. Keduanya menganggap bahwa meskipun dasar ilmu mereka berada di bawah kemampuan ilmu anak-anak muda itu, tetapi pengalaman mereka akan dapat memberikan peluang kepada mereka.
Tetapi setelah hal seperti itu terjadi beberapa kali, maka mereka mulai berpikir lain. Mereka mengira bahwa anak-anak muda itu adalah anak-anak muda yang sangat sombong yang berusaha untuk mempermainkan mereka, sebelum mereka menangkap dan membawa mereka kepada Senapati prajurit dalam tugas sandi Madiun.
Tetapi dugaan itupun kemudian telah meragukan mereka. Anak-anak muda itu tidak berusaha menangkap dan mengikat mereka.
Dalam pada itu, karena kedua orang itu telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka, maka akhirnya mereka tidak lagi dapat menyembunyikan kesulitan mereka. Tenaga mereka yang telah susut, serta tubuh mereka yang disengat oleh rasa sakit dimana-mana.
Sementara itu keduanya tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk melarikan diri.
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, ketika mereka benar-benar telah kehabisan tenaga, maka perlawanan mereka menjadi semakin tidak berarti.
Lawan Risang yang bertubuh tinggi tegap itu, yang memang tidak ingin untuk menyerah, masih berusaha untuk melawan dengan sisa tenaganya. Tetapi ketika tangannya terayun menyerang ke arah kening, tetapi tidak menyentuh sasaran, maka orang itu justru telah terhuyung-huyung terhisap oleh gerak tangannya sendiri. Ketika Risang menyentuh punggungnya dengan jari-jari tangannya yang merapat, maka orang itu benar-benar kehilangan keseimbangannya, sehingga orang itu telah jatuh tertelungkup.
Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka kaki Risang tiba-tiba saja menginjak punggungnya. Rasa-rasanya kaki anak muda itu bagaikan sebongkah batu sebesar kerbau yang menindih tubuhnya.
Ketika Kasadha melihat Risang mengakhiri pertempuran, maka Kasadhapun telah menghentak lawannya. Satu serangan yang cepat telah meluncur menghantam dada orang yang bermata tajam itu.
Orang itu sama sekali tidak lagi mampu bertahan.
Tubuhnya telah terlempar beberapa langkah dan jatuh menimpa tanggul parit di pinggir jalan, kemudian berguling masuk ke dalam air yang meskipun tidak begitu deras, tetapi telah membuat pakaiannya menjadi basah kuyup.
Kedua orang itu benar-benar tidak berdaya lagi.
Risang dan Kasadha telah menarik mereka dan melemparkan mereka agar mereka duduk di pinggir jalan.
Kasadha yang kemudian berdiri di hadapan kedua orang itu sambil bertolak pinggang telah berkata dengan lantang, "Nah, kau lihat sekarang, bahwa kami dengan mudah akan dapat membunuh kalian berdua."
"Kenapa tidak kau lakukan?" tantang orang yang bermata tajam.
Tetapi Kasadha menjawab, "Sudah aku katakan, aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan kalian. Untuk apa kami harus membunuh" Membunuh bagi kami akan dapat menjadi beban jiwani yang tidak berkeputusan. Hanya karena sebab yang tidak dapat dihindari maka seseorang dapat membunuh. Kami memang pernah juga membunuh. Tetapi tentu dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Bukan sekedar ingin membunuh."
Kedua orang itu termangu-mangu. Tetapi keduanya tidak ada yang menjawab.
"Baiklah," berkata Kasadha kemudian, "pergilah kemana kalian inginkan. Aku tidak akan mencampuri persoalanmu dengan Madiun. Tetapi katakan, apakah kalian dikirim oleh Mataram, Demak atau Pajang?"
Pertanyaan itu begitu tiba-tiba. Sementara mereka baru merenungkan sikap kedua orang anak muda itu.
Meskipun keduanya terancam kematian, tetapi mereka tidak juga berbuat lebih jauh.
Karena itu, hampir di luar sadar, maka seorang di antara mereka menjawab dengan singkat, "Pajang."
"Pajang," Kasadha mengulang dengan tekanan khusus. Ia memang sedikit terkejut mendengar jawaban itu. Namun Kasadhapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat mengenal semua prajurit Pajang. Juga para prajurit dalam tugas sandi. Bahkan ia belum pernah merasa melihat dan apalagi bertemu dengan kedua petugas sandi itu.
Namun kemudian Kasadha itupun berkata pula, "Pergilah. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan kalian. Aku tidak bersangkut paut dengan peperangan yang manapun juga. Aku sudah merasa senang jika aku sekeluarga dapat makan, sandang dan papan secukupnya."
Kedua orang itu masih saja berdiam diri, sementara Kasadhapun kemudian memberi isyarat kepada Risang untuk meneruskan perjalanan.
Namun sebelum beranjak, Risang berkata, "Mungkin kita akan bertemu lagi dimanapun. Tetapi kita tidak akan saling mengenal lagi. Tetapi jangan mencoba mengancam kami lagi. Apalagi berusaha membunuh kami, karena dalam suasana yang berbeda, sikap kami dapat juga berbeda."
Bahkan Kasadha sempat menyambung, "Misalnya, jika kami sedang bingung diburu oleh orang-orang yang menagih hutang kami."
Risang sempat pula tersenyum. Namun kemudian, keduanya telah meninggalkan kedua orang yang masih terduduk di pinggir jalan itu.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya tetap duduk mematung memandangi kedua orang anak muda yang berjalan menjauh itu. Baru kemudian, orang yang bertubuh tinggi besar Itu berkata, "Anak-anak muda yang aneh."
Orang yang bermata tajam itupun bertanya, "Kau percaya bahwa mereka tidak mempunyai sangkut paut dengan peperangan yang mungkin terjadi antara Mataram dan Madiun?"
Orang yang bertubuh tinggi itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Justru mereka tentu orang-orang penting yang akan terlibat dalam peperangan itu."
"Menurut pendapatmu, apakah mereka memang orang Madiun?" bertanya orang yang bermata tajam.
"Tidak. Mungkin mereka justru petugas sandi dari Mataram," jawab kawannya yang bertubuh tinggi tegap itu.
Orang yang bermata tajam, yang pakaiannya menjadi basah kuyup itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil bangkit berdiri ia mencoba menggeliat. Tulang-tulang rusuknya masih terasa sakit. Namun justru air telah membuat badannya menjadi sedikit segar, meskipun tenaganya masih terasa sangat lemah.
"Aku harus berjemur," berkata orang itu.
"Kita berjemur sambil berjalan. Untung panasnya terasa menyengat tubuh. Pakaianmu tentu sudah menjadi kering sebelum kita sampai ke padukuhan itu."
Kawannya mengangguk-angguk. Sementara Orang bertubuh tinggi tegap itupun berusaha untuk bangkit meskipun tulang punggungnya bagaikan menjadi retak.
Perlahan-lahan keduanya berjalan searah dengan perjalanan Risang dan Kasadha. Tetapi kedua orang anak muda itu telah hilang di kelok jalan. Meskipun mereka berada di bulak, tetapi pepohonan perdu dan batang-batang turi yang tumbuh di pinggir jalan, telah menghalangi pandangan mereka. Apalagi jarak di antara kedua orang anak muda itu dengan kedua orang petugas sandi dari Pajang itu menjadi semakin jauh.
Di perjalanan Kasadha masih juga sempat bergeremang. Dengan nada berat ia berkata, "Para petugas sandi masih harus mendapat latihan-latihan khusus untuk melakukan tugas mereka. Apalagi mereka yang akan di susupkan langsung ke lingkungan lawan."
"Agaknya mereka dipersiapkan dengan tergesa-gesa. Mungkin mereka tiba-tiba saja mendapat tugas khusus itu karena di Madiun diselenggarakan upacara tahunan ini, sehingga karena itu, maka bekal yang diberikan kepada mereka kurang mencukupi."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku justru ingin bertemu dengan pemilik kedai itu."
"Untuk apa?" bertanya Risang.
"Ia harus menjadi lebih berhati-hati. Apalagi agaknya orang itu memang orang Madiun atau orang Pajang yang sudah lama berada di Madiun," jawab Kasadha.
"Bagaimana jika terjadi salah paham," desis Risang.
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia memang merenungkan kata-kata Risang itu.
Beberapa saat merekapun kemudian telah berbelok di sebuah simpang tiga. Keduanya tidak tahu dimana mereka berada. Namun naluri pengembaraan mereka telah membawa keduanya kembali ke kota tanpa harus melalui jalan yang telah mereka lalui.
Ketika keduanya sampai di alun-alun, maka suasanapun memang sudah terasa letih. Orang-orang yang menonton sudah banyak yang bertebaran di pinggir alun-alun mengerumuni para penjual beberapa jenis minuman dan makan.
Kasadhapun kemudian telah menggamit Risang ketika ia melihat Ki Resa dan kedua orang anaknya yang sedang duduk diakar sebatang pohon beringin. Kedua orang anaknya sedang sibuk minum dawet cendol sambil memegang makanan di tangannya.
Kasadha dan Risangpun kemudian telah duduk pula di samping mereka.
Demikian kedua anak itu selesai minum, maka sebelum ia mengunyah makanannya, maka kedua orang anak Ki Resa itu telah berceritera tentang petugas sandi Mataram yang telah tertangkap.
"Mereka orang jahat," desis anaknya yang kedua. "Sepantasnya mereka dihukum berat. Nanti atau besok tentu ada lagi yang tertangkap."
Jantung Risang dan Kasadha menjadi berdebaran.
Sementara itu, Ki Resa berkata, "He, bukankah sodoran itu masih berlangsung" Marilah, kita menonton lagi."
Tetapi kedua anaknya menggeleng. Yang terbesarpun berkata, "Aku letih ayah. Nanti saja, jika matahari telah turun."
"Sebentar lagi sodoran untuk hari ini akan diakhiri."
"Kita akan melihat lagi esok," jawab anaknya.
Sedangkan anaknya yang kecil berkata, "Besok kita nonton lagi. Besok tentu ada penjahat yang tertangkap."
"Bukan penjahat," sahut yang besar. "Petugas sandi."
"Tetapi menurut ayah, petugas sandi dari Mataram itu juga penjahat."
"Sudahlah," potong ayahnya yang mulai berkeringat. "Kita melihat sodoran itu lagi. Ayah ingin melihat prajurit yang berkumis lebat itu di arena."
Tanpa menunggu jawaban, maka Ki Resapun segera menggandeng kedua anaknya ke tengah lapangan. Sambil berpaling kepada Risang dan Kasadha, Ki Resa berkata, "Marilah Ngger. Kita menonton lagi."
"Silahkan Ki Resa," sahut Risang. "Nanti aku menyusul."
Ki Resapun kemudian bergegas membawa kedua anaknya ke tengah-tengah alun-alun untuk menyaksikan pertandingan selanjutnya.
Di pinggir alun-alun, Risang dan Kasadha justru duduk di bawah bayangan rimbunnya pohon beringin.
Dengan nada rendah Kasadha berkata, "Aku tidak dapat menyalahkan Ki Resa jika ia mengajari anaknya untuk bersikap bermusuhan dengan para petugas sandi dari Mataram atau barangkali juga Pajang."
"Ya. Bagaimanapun juga Ki Resa adalah orang Madiun," desis Risang.
"Tetapi bagaimana pendapatmu atas sikap Ki Resa terhadap kita?" bertanya Kasadha.
Risang menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang yang berlalu lalang di sekitarnya dan orang-orang yang masih berkerumun di sekitar arena-arena pertandingan. Sorak yang gemuruh kadang-kadang masih terdengar meskipun tidak lagi menghentak sebagaimana saat pertandingan itu dimulai.
Meskipun dengan agak ragu, Risangpun kemudian menjawab, "Aku kira Ki Resa tidak akan mengkhianati kita meskipun ia bersikap sebagai orang Madiun. Nampaknya ia akan memisahkan persoalan kita dengan persoalan yang terjadi antara Mataram dan Madiun."
"Tetapi ia mengetahui bahwa kita orang-orang yang setidak-tidaknya merupakan bagian dari Mataram," berkata Kasadha. "Apalagi jika Ki Resa memperhitungkan nilai benda-benda berharga itu bagi kepentingan Madiun. Apalagi ia tahu bahwa harta-benda berharga itu milik perguruan Wukir Gading. Jika ia merasa murid dari perguruan itu, maka sepeninggal gurunya, Ki Remeng dan beberapa orang terpenting yang lain dari perguruan Wukir Gading, maka Ki Resa Podang dapat saja merasa dirinya juga berhak atas harta-benda itu."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Memang perubahan sikap itu dapat saja terjadi atas Ki Resa Podang yang merasa dirinya orang Madiun. Upacara tahunan ini akan dapat menggugah kesetiaannya kepada kampung halamannya. Apapun yang pernah terjadi atas perguruan Wukir Gading, namun ia agaknya tetap merasa sebagai orang Madiun. Dan kita tidak dapat menyalahkannya."
"Ya. Kita tidak dapat menyalahkannya," desis Kasadha. Namun katanya kemudian, "Aku merasa tidak enak untuk tetap berada di rumah Ki Resa dalam keadaan seperti ini."
"Ya," sahut Risang. "Aku juga merasa demikian. Kita akan berbicara dengan paman Sambi Wulung dan Jati Wulung."
Kasadha mengangguk-angguk. Iapun kemudian berdesis, "Kita cari saja mereka sekarang."
Keduanyapun kemudian bangkit. Orang-orang yang ada di alun-alun itu sudah mulai menyusut. Meskipun demikian, alun-alun itu masih juga nampak terlalu sibuk.
Risang dan Kasadha sudah tidak menghiraukan lagi pertandingan di arena. Mereka justru menelusuri bagian tepi alun-alun untuk menemukan Sambi Wulung dan Jati Wulung.
"Apakah mereka sudah meninggalkan alun-alun ini?" desis Risang.
Kasadha tidak menyahut. Tetapi ia masih saja mencari di celah-celah banyak orang.
Namun Risang terkejut ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling, justru Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berdiri di belakangnya. Sambil tersenyum Sambi Wulung itupun bertanya, "Apakah kalian mencari kami?"
Risang dan Kasadhapun tersenyum pula. Risanglah yang menjawab, "Ya. Kami memang mencari paman berdua."
"Tetapi bukankah Angger berdua meninggalkan alun-alun dan melihat suasana di kota?" bertanya Jati Wulung.
"Ya, paman. Kami mempunyai cerita menarik bagi paman berdua," berkata Risang.
"Tentang apa?" bertanya Sambi Wulung.
"Marilah, kita duduk di bawah pohon beringin itu," ajak Risang.
Keempat orang itupun kemudian duduk bersama di bawah sebatang pohon beringin pula yang banyak terdapat di sekeliling alun-alun itu.
Dengan singkat Risang menceriterakan pertemuan mereka dengan dua orang petugas sandi dari Pajang serta seorang pemilik kedai yang nampaknya membantu tugas-tugas sandi itu.
"Tetapi apakah Angger berdua menyatakan diri kepada mereka berdua?" bertanya Sambi Wulung.
"Tidak paman," jawab Kasadha. "Mereka tetap tidak mengetahui tentang diri kami berdua."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, Risangpun telah menceriterakan pula pernyataan anak-anak Ki Resa Podang, yang tentu tidak akan lepas dari sikap batin ayahnya.
Sambi Wulung dan Jati Wulung termangu-mangu sejenak. Namun seperti Risang dan Kasadha, maka Sambi Wulungpun berkata, "Kami dapat mengerti sikap itu, Ngger."
"Ya, paman. Tetapi kemudian apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang" Apakah kita masih akan tetap tinggal di rumah Ki Resa Podang" Upacara tahunan ini agaknya memang mampu membangkitkan gelora jiwa orang-orang Madiun untuk semakin mencintai kampung halamannya. Apakah dengan demikian, kita tidak akan terancam bahaya" Mungkin Ki Resa Podang sama sekali tidak menghiraukan lagi harta-benda yang bernilai sangat tinggi itu. Tetapi Ki Resa memandang kita sebagai orang yang berpihak kepada Mataram," berkata Risang kemudian.
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Namun Sambi Wulung kemudian berkata, "Tetapi Ki Resa Podang adalah orang yang cukup dewasa menghadapi persoalan-persoalan yang rumit sekalipun. Sebaiknya kita berbicara berterus-terang, bagaimana sikapnya terhadap kita."
Risang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menyahut, "Baiklah. Sore nanti kita berbicara dengan terbuka."
Kasadhapun kemudian berkata pula, "Ya. Sebaiknya kita berbicara berterus-terang."
Sementara itu, mataharipun menjadi semakin rendah.
Sejenak kemudian, maka pertandingan di hari pertama itupun segera diakhiri. Namun masih ada beberapa macam pertandingan yang akan diselenggarakan di hari-hari berikutnya.
Beberapa saat kemudian arus penonton yang keluar dari alun-alun itu bagaikan arus bendungan yang pecah.
Lewat beberapa pintu gerbang dan menghadap beberapa arah, maka orang yang berada di alun-alun itu menjadi semakin susut sehingga akhirnya alun-alun itupun menjadi lengang. Hanya tinggal orang-orang yang berjualan yang membenahi sisa-sisa dagangan mereka yang pada umumnya telah habis terjual. Apalagi mereka yang berjualan minuman dan makanan.
Risang dan Kasadha juga telah meninggalkan alun-alun. Sementara Sambi Wulung dan Jati Wulung telah memilih jalan yang lain.
Sore itu, baik Risang dan Kasadha, maupun Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berada di rumah Ki Resa Podang. Bahkan mereka telah kembali lebih dahulu dari Ki Resa Podang dan kedua anaknya..
Demikian Ki Resa Podang memasuki regol, maka anak-anaknya yang lebih kecil telah berteriak-teriak, "Besok ganti aku yang ikut ke alun-alun."
Ki Resa Podang mengelus kepala anak-anaknya sambil berkata, "Di alun-alun panasnya bukan main. Orang berdesak-desakan berebut tempat. Nanti jika kalian pergi, maka kalian dapat terhimpit di antara orang-orang yang besar."
"Tetapi ayah sudah janji," rengek salah seorang anaknya.
Ki Resa tersenyum. Katanya, "Baiklah. Besok kita pergi beramai-ramai."
"Tetapi apakah kau tidak akan menjadi ketakutan?" tiba-tiba anak yang kedua, yang ikut pergi ke alun-alun itupun bertanya dengan nada tinggi.
"Kenapa?" adiknya bertanya.
"Ada penjahat di alun-alun," jawab kakaknya.
"Penjahat?" bertanya adiknya pula.
Tetapi kakaknya yang sulung menyahut, "Bukan penjahat. Tetapi petugas sandi dari Mataram."
"O," adiknya mengerutkan dahinya.
"Lebih berbahaya dari penjahat," berkata kakaknya pula.
"Sudahlah," Ki Resa Podang memotong. "Marilah. Kita masuk ke ruang dalam."
Namun Ki Resa Podang itu sempat berpaling ke serambi gandok. Risang, Kasadha, Sambi Wulung dan Jati Wulung duduk di amben bambu sambil menghirup udara segar.
Ki Resa Podang itu berhenti sejenak. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Apakah kalian sudah lama kembali?"
"Belum," jawab Kasadha. "Baru saja kami mencuci kaki dan tangan di pakiwan."
Nyi Resa yang berdiri di tangga pendapa itu menyahut, "Mereka memang belum lama. Bahkan air yang aku jerang belum mendidih."
"O," Ki Resapun kemudian berkata, "Silahkan beristirahat. Aku akan pergi ke pakiwan."
"Silahkan Ki Resa," berkata Sambi Wulung. "Hendaknya kami tidak mengganggu."
"Tentu tidak," jawab Ki Resa Podang yang kemudian menggandeng anak-anaknya masuk ke ruang dalam.
Menjelang senja, setelah semuanya mandi serta minuman hangat telah dihidangkan, lima orang duduk di pringgitan rumah Ki Resa Podang itu. Sambil sekali-sekali menghirup minuman hangat serta mengunyah makanan, maka mereka masih saja berbicara tentang pertandingan yang diselenggarakan di alun-alun.
Namun Risang, Kasadha, Sambi Wulung dan Jati Wulung merasakan bahwa sesuatu agaknya telah mengganggu perasaan Ki Resa Podang. Meskipun ia berusaha untuk bersikap wajar dan bahkan menanggapi setiap pembicaraan tentang pertandingan di alun-alun dengan lancar, namun sekali-sekali Ki Resa berusaha untuk menyembunyikan sesuatu yang mencuat ke permukaan perasaannya.
Namun justru karena itu, maka Sambi Wulung menganggap bahwa saat itu adalah saat yang paling tepat untuk berbicara secara terbuka tentang kehadirannya berempat di rumah Ki Resa Podang yang berada di Madiun itu.
Dengan sangat berhati-hati Sambi Wulung telah menyinggung tentang seorang petugas sandi yang tertangkap di alun-alun.
Ki Resa Podang menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang panjang dalam hidupnya yang panjang pula, maka Ki Resa Podangpun segera tanggap arah pembicaraan tamu-tamunya itu.
Karena itu, maka Ki Resa Podangpun berkata, "Aku mohon maaf atas sikap anak-anakku terhadap para petugas sandi dari Mataram. Aku tidak ingkar, bahwa sikap mereka merupakan bayangan dari sikapku sebagai orang Madiun."
Sambi Wulung mengangguk-angguk kecil sambil menjawab, "Kami dapat mengerti Ki Resa. Namun demikian, sebaiknya kami berterus-terang. Meskipun selama ini kita dapat bekerja bersama dengan baik, namun dalam persoalan lain, kita tidak berdiri di satu pihak. Ki Resa adalah orang Madiun, sedangkan kami adalah orang yang berdiri di pihak Mataram."
Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak dapat ingkar bahwa persoalan ini merupakan persoalan yang sulit bagiku. Selama ini aku memberikan tempat bagi kalian karena kalian datang bersama Ki Remeng, saudara seperguruanku. Seorang yang menurut pendapatku dapat dipercaya. Namun kemudian setelah aku mengerti, siapa kalian sebenarnya, aku harus mengurai persoalan yang aku hadapi. Aku mencoba untuk memisahkan kepentingan kalian datang ke Madiun dengan kedudukan kalian sebagai orang-orang yang dalam sengketa antara Madiun dan Mataram, akan berdiri di pihak Mataram. Tetapi menurut pendapatku, kalian datang ke Madiun tidak dalam rangka tugas kalian sebagai orang Mataram yang akan berperang dengan Madiun."
Keempat orang yang mendengarkan keterangan Ki Resa itu mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Resa berkata selanjutnya, "Karena itu sikapku kepada kalian juga berbeda dengan sikapku terhadap prajurit sandi dari Mataram."
Sambi Wulung yang memahami sikap Ki Resa itu berkata, "Kami mengucapkan terima kasih atas sikap Ki Resa. Namun bagaimanapun juga ada jarak di antara kami. Bukan kami tidak percaya kepada Ki Resa, tetapi justru kami berpikir tentang Ki Resa. Seandainya ada orang yang mengetahui bahwa kami yang berada di rumah Ki Resa ini adalah orang-orang Mataram atau yang berpihak kepada Mataram, maka keadaan Ki Resa akan menjadi sulit. Mungkin Ki Resa akan dapat dituduh melakukan hubungan dengan lawan atau tuduhan-tuduhan lain semacam itu."
Ki Resa mengangguk-angguk. Seakan-akan di luar sadarnya ia menjawab, "Kemungkinan itu memang dapat terjadi meskipun kecil sekali. Siapapun yang akan dapat mengerti bahwa kalian adalah orang-orang yang berpihak kepada Mataram."
"Ada beberapa orang perwira Madiun yang pernah mengenal kami," desis Risang. "Namun selama ini kami memang belum pernah bertemu dengan salah seorang dari mereka. Kamipun berharap jika mereka melihat kami berkeliaran di jalan-jalan kota Madiun, mereka tidak akan menyangka bahwa yang berkeliaran itu adalah kami. Karena itulah maka kami berusaha untuk tidak menarik perhatian dengan sikap dan pakaian kami."
Ki Resa Podang termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah ia berkata, "Seandainya kalian pada satu ketika dikenali oleh para perwira itu, maka kalianlah yang mengalami nasib paling buruk, Meskipun aku tentu juga tidak akan mengelak. Tetapi aku yakin bahwa penyamaran kalian cukup baik. Menurut penglihatanku dan orang-orang Madiun, bahkan para perwira yang pernah mengenai kalian sebelumnya, kalian adalah orang-orang pedesaan yang tidak pantas mendapat perhatian khusus."
"Mudah-mudahan demikian, Ki Resa," sahut Kasadha. Namun katanya kemudian, "Jika nasib buruk itu kemudian menerkam kami, maka sebenarnyalah kami tidak ingin mempersulit keadaan Ki Resa sekeluarga."
"Yakinlah," berkata Ki Resa dengan sungguh-sungguh, "kita tidak akan terjerat dalam kesulitan karena kalian berada disini."
Namun kemudian Kasadhapun berkata, "Sebenarnyalah kami percaya sepenuhnya terhadap Ki Resa. Meskipun demikian, dengan berbagai macam pertimbangan, menurut pendapat kami, sebaiknya kami meninggalkan rumah ini dan bahkan meninggalkan Madiun."
"Tetapi bukankah kalian masih akan menonton pertandingan-pertandingan di alun-alun."
"Kami sudah menyaksikan pertandingan di hari pertama. Agaknya kami sudah merasa cukup, Ki Resa. Kamipun merasa cemas, jika kami berkeliaran di alun-alun, maka ada satu kemungkinan kami bertemu dengan perwira prajurit Madiun yang telah mengenal kami, sehingga kami akan mendapatkan kesulitan."
Ki Resa Podang itupun menarik nafas dalam-dalam.
Dengan ragu-ragu iapun bertanya, "Jadi maksud kalian?"
"Besok pagi kami akan mohon diri, Ki Resa," berkata Kasadha meskipun juga ragu, karena ia masih belum membicarakannya dengan sungguh-sungguh bersama Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Namun agaknya Risangpun sependapat. Bahkan kemudian Risang itupun berkata, "Kami akan dapat dianggap terlalu lama pergi."
Ki Resa Podang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apapun yang akan kalian lakukan, tetapi aku ingin mengatakannya, bahwa aku tidak akan pernah mengkhianati kalian."
Hampir bersamaan Risang dan Kasadha menyahut, "Kami percaya sepenuhnya Ki Resa."
Sementara Kasadha melanjutkan, "Aku akan menyampaikannya kepada Ki Lurah Mertapraja."
Ki Resa Podang menari-nafas panjang. Terdengar ia bergumam, "Ki Lurah Mertapraja itu telah kehilangan segala-galanya."
"Ya. Berita tentang kematian pamannya akan dapat mengguncang jiwanya yang memang rapuh. Tetapi kenyataan itu tidak akan dapat disembunyikan lagi."
Ki Resa mengangguk-angguk. Katanya, "Kekalutan yang terjadi di perguruan Wukir Gading telah merusak tata hubungan di antara saudara seperguruan. Harta-benda yang diharapkan dapat mendukung tumbuh dan berkembangnya perguruan, justru sebaliknya. Wukir Gading hancur karena keserakahan dan ketamakan orang-orang yang justru diharapkan akan dapat membina perguruan itu kemudian."
"Bukan hanya harta benda itu saja, Ki Resa," desis Kasadha.
"Ya. Aku mengerti. Ada di antara mereka yang telah menjerumuskan perguruan Wukir Gading ke dalam mimpi yang sangat buruk. Kedudukan dan kekuasaan," nada suara Ki Resa merendah.
Demikianlah, maka Risang dan Kasadha telah memutuskan untuk meninggalkan rumah Ki Resa di keesokan harinya. Mereka akan berangkat di dini hari untuk mendapat kesempatan keluar dari kota di luar pengamatan para prajurit dan petugas di pintu-pintu gerbang kota.
Meskipun pada dasarnya tidak ada larangan untuk keluar kota, tetapi justru karena arus orang-orang yang lewat menuju ke kota dan kemudian ke alun-alun, maka menempuh perjalanan berlawanan dengan arus akan dapat menimbulkan pertanyaan para petugas.
Ketika Risang dan Kasadha keluar pintu gerbang kota untuk mengikuti dua orang petugas sandi Pajang, mereka memang tidak mendapat kesulitan. Tetapi ketika mereka keluar, hari telah tinggi, sehingga arus orang tidak lagi mengalir deras ke satu arah.
Tetapi untuk menempuh perjalanan panjang, agaknya lebih baik berangkat sebelum matahari terbit.
Ki Resa tidak dapat menahan mereka untuk lebih lama tinggal di rumahnya. Sebenarnya bahwa Ki Resa tidak dapat menjamin keselamatan mereka selama mereka berada di Madiun. Persoalannya tidak lagi ada hubungannya dengan perguruan Wukir Gading. Apalagi ketika Risang dan Kasadha mengaku, bahwa ada beberapa orang perwira Madiun yang telah mengenal mereka, sehingga meskipun kecil, ada kemungkinan secara kebetulan Risang dan Kasadha itu bertemu dengan para perwira yang telah mengenalinya itu.
Ketika kemudian hal itu disampaikan kepada Nyi Resa, maka Nyi Resa memang menjadi kecewa. Tetapi dengan alasan-alasan yang dibuatnya, maka Risang dan Kasadha dapat meyakinkannya, bahwa mereka memang harus segera meninggalkan Madiun.
Malam itu, adalah malam yang pendek bagi seisi rumah Ki Resa, kecuali anak-anak. Sedikit lewat tengah malam Nyi Resa sudah bangun untuk menyiapkan minuman dan makan pagi bagi tamu-tamunya, meskipun sebenarnya mereka sudah mencoba mencegahnya.
"Seharusnya Nyi Resa tidak usah menjadi terlalu sibuk," berkata Risang yang pergi ke pakiwan.
"Tidak. Sudah menjadi kebiasaanku bangun pagi-pagi," jawab Nyi Resa.
"Tetapi ini masih belum pagi," sahut Risang.
Nyi Resa tersenyum. Katanya, "Sebaiknya kalian minum dan makan nasi hangat sebelum menempuh perjalanan panjang."
Demikianlah, maka ketika terdengar ayam jantan berkokok di dini hari, maka keempat orang tamu Ki Resa itu telah minta diri. Mereka telah mendapat petunjuk Ki Resa agar mereka dapat keluar dari kota tanpa melalui pintu gerbang yang mendapat penjagaan yang cukup ketat. Apalagi selama ini alun-alun diselenggarakan upacara tahunan yang sangat menarik banyak perhatian itu.
Nyi Resa masih saja selalu mengucapkan terima kasih kepada tamu-tamunya yang dianggapnya telah menyelamatkan nyawa Ki Resa ketika Ki Resa dan bahkan kemudian Ki Remeng ditangkap oleh beberapa orang dan kemudian dibawa oleh mereka.
"Kami selalu berharap bahwa kalian akan sering berkunjung kemari," berkata Nyi Resa sambil melepas tamu-tamunya sampai ke halaman.
"Ya, Nyi," jawab Kasadha. "Pada satu kesempatan kami memang ingin berkunjung kemari."
"Nanti, jika genduk bangun, ia tentu akan menanyakan kalian," berkata Nyi Resa kemudian.
Risang dan Kasadha saling berpandangan sejenak.
Gadis kecil yang terbiasa menghidangkan minuman dan makanan, bahkan mendengarkan Risang atau Kasadha berceritera, terasa sangat akrab dengan keduanya.
"Tolong, pamitkan kepada anak itu," desis Risang kemudian, "lain kali kami akan datang menengoknya serta seluruh keluarga ini."
Ketika kemudian mereka keluar lewat pintu regol halaman, Ki Resa Podang masih juga berpesan, "berhati-hatilah. Madiun dalam kesiagaan penuh saat ini."
"Terima kasih Ki Resa," Sambi Wulunglah yang menjawab.
Sejenak kemudian, maka keempat orang itu telah meninggalkan rumah Ki Resa. Sisa-sisa malam masih melindungi mereka. Dengan cepat mereka menyusuri jalan sebagaimana dikatakan oleh Ki Resa. Sebelum fajar mereka memang sudah sampai di dinding kota. Seperti yang dikatakan oleh Ki Resa, maka lingkungan itu terasa sepi.
Ketika mereka yakin tidak ada orang yang melihat dan apalagi prajurit peronda, maka merekapun segera berloncatan ke atas dinding dan kemudian turun keluar. Untunglah bahwa mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga dinding kota itu bukan merupakan hambatan yang sangat berarti.
Sejenak kemudian, setelah keempat orang itu berada di luar kota, maka merekapun dengan cepat menelusuri lorong yang sepi menjauhi kota Madiun.
Seperti yang mereka perhitungkan, bahwa jalan menuju ke pintu gerbang utama, dialiri oleh orang-orang yang ingin pergi ke alun-alun untuk melihat pertandingan. Di hari kedua, pertandingannya akan berbeda dengan pertandingan di hari pertama, meskipun hasil akhir dari pertandingan di hari pertama akan diselesaikan pada hari terakhir upacara tahunan yang telah dikembangkan itu.
Tetapi pertandingan di hari kedua juga akan menghadirkan pertandingan yang sangat menarik.
Namun keempat orang itu tidak menghiraukan pertandingan itu lagi, mereka sudah dapat memperhitungkan kemampuan para prajurit Madiun dan bahkan prajurit yang datang dari luar Madiun. Selain itu, maka petugas sandi dari Mataram dan Pajang akan dapat memberikan laporan yang lebih terperinci. Apalagi para pemimpin di Madiun dengan sengaja melepaskan beberapa orang petugas sandi dan bahkan Madiun berharap bahwa ada petugas sandi dari Mataram dan Pajang yang dapat memberikan laporan tentang upacara tahunan yang sudah dikembangkan itu.
Dalam keremangan fajar, keempat orang itu berjalan semakin lama semakin jauh. Mereka sama sekali tidak mencemaskan perjalanan mereka, karena menurut perhitungan mereka, jalan itu tentu tidak pernah atau jarang sekali dilalui prajurit peronda dari Madiun.
Namun perhatian mereka tertarik kepada dua orang yang meloncati tanggul parit dan kemudian berdiri di atas tanggul di sebuah bulak yang panjang.
Tetapi keempat orang itu kemudian tidak menghiraukan mereka lagi. Keempat orang itu mengira bahwa kedua orang itu tentu para petani yang ingin mengairi sawah mereka pagi-pagi benar, karena mereka ingin segera pergi ke alun-alun untuk melihat upacara tahunan di hari kedua.
Tetapi demikian mereka lewat di hadapan kedua orang itu, maka seorang di antara mereka berkata, "Tolong Ki sanak, berhentilah sejenak."
Keempat orang itupun berhenti. Sambi Wulunglah yang kemudian bertanya, "Apakah Ki Sanak mempunyai kepentingan dengan kami berempat."
"Sebenarnya tidak, Ki Sanak. Sebenarnya aku menunggu kalau ada orang yang lewat justru ke arah yang sebaliknya."
"Jika demikian," berkata Sambi Wulung selanjutnya, "kenapa Ki Sanak menghentikan kami?"
"Akhirnya kami tidak lagi mementingkan kemana arah kalian pergi. Apakah ke kota atau sebaliknya," jawab salah seorang dari mereka. Orang yang wajahnya ditumbuhi jambang dan kumis yang lebat.
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Sambi Wulung pula.
"Jika kami menunggu orang-orang yang pergi ke alun-alun, kami berharap bahwa kami akan dapat merampas uang dan barangkali bekal mereka yang lain. Tetapi karena sampai saat ini belum ada orang yang lewat jalan ini menuju ke kota, maka daripada kami tidak mendapat apa-apa, maka kami telah menghentikan Ki Sanak berempat. Nah, sebaiknya Ki Sanak tidak usah berbuat aneh-aneh. Siapapun Ki Sanak dan kemanapun Ki Sanak bepergian, sebaiknya lebih dahulu Ki Sanak memberikan apa saja yang Ki Sanak bawa kepada kami. Seterusnya kami tidak akan mengganggu Ki Sanak."
Sambi Wulung menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Jati Wulung tersenyum sambil berkata, "Ah, Ki Sanak. Ketika semua orang Madiun sibuk menyambut upacara tahunan yang kali ini diselenggarakan lebih besar dari biasanya, kalian masih saja melakukan perbuatan tercela."
"Kau tidak berhak membuat penilaian atas diri kami," bentak orang yang berjambang dan berkumis lebat itu.
Tetapi sambil tertawa Jati Wulung berkata, "Jika kalian ingin mencegat orang-orang yang akan pergi ke alun-alun, kenapa kalian berada di jalan yang sepi ini" Kenapa kalian tidak berdiri di pinggir jalan yang menuju ke pintu gerbang utama sisi Selatan itu?"
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka melihat bahwa keempat orang itu sama sekali tidak terkejut apalagi nampak ketakutan ketika mereka menyatakan niat mereka untuk merampas apa saja yang mereka bawa.
Namun seorang di antara mereka menjawab, "Ki Sanak tentu tahu, bahwa jalan itu terlalu ramai di saat seperti ini. Arus orang lewat yang akan pergi ke alun-alun itu tidak memungkinkan kami merampas bekal mereka. Tetapi kami berharap bahwa ada juga orang yang berjalan lewat jalan ini. Tetapi ternyata sampai saat ini, jalan ini masih belum dilalui orang yang pergi ke kota. Tetapi agaknya nasib kalianlah yang buruk, sehingga kalian justru berjalan di jalan ini."
Jati Wulung justru tertawa semakin panjang. Katanya, "Ternyata perhitungan kita sama. Sebaiknya terhadap kalian kami tidak usah berbohong. Sebenarnyalah kami juga sedang melakukan pekerjaan kami sebagaimana yang kalian lakukan. Tetapi karena kami tidak telaten menunggu, maka kami telah menyusuri jalan ini menyongsong jika ada orang yang lewat. Tetapi justru kami bertemu dengan kalian disini."
Wajah orang-orang itu menjadi tegang. Sejenak mereka terdiam. Namun kemudian salah seorang dari mereka, orang yang agak gemuk dan berwajah keras seperti batu padas menggeram, "Satu persoalan yang tidak pantas untuk ditertawakan. Ternyata kalian berempat memang bernasib buruk. Kalian telah memasuki daerah kami dengan tidak seijin kami."
"Jangan begitu Ki Sanak," berkata Jati Wulung. "Jalan ini bukan milik kalian. Jalan ini milik semua orang. Karena itu, siapa yang lewat di jalan inipun bukan milik kalian. Kalian dapat saja merampok mereka. Tetapi kami pun dapat pula melakukannya. Karena itu, biarlah aku meneruskan perjalanan kami. Kami akan menyongsong orang-orang yang lewat. Tidak sekedar menunggu. Sebentar lagi fajar menyingsing. Dunia kami, juga dunia kalian akan berakhir. Kecuali jika kita masih belum mendapat apa-apa, maka apaboleh buat. Meskipun matahari sudah terbit, tetapi jika masih ada kemungkinan kami akan melakukannya juga."
"Cukup," bentak orang yang agak gemuk itu. "Kami tidak sedang bergurau. Kami berkata sebenarnya. Daerah ini, jalan ini, adalah milik kami. Daerah kuasa kami. Jika kau ingin melakukan, lakukanlah di lingkungan yang lain. Jalan yang pantas kita anggap sebagai ladang bukan hanya jalan ini."
Tetapi Jati Wulungpun kemudian menjawab dengan tidak kalah kerasnya, "Setan kau. Aku sudah berusaha menahan diri. Sebenarnyalah bahwa kamilah yang harus mengusir kalian. Kami sudah melakukan pekerjaan ini turun temurun. Ayahku juga melakukan pekerjaan ini. Kakekku bahkan buyut dan canggahku."
Kedua orang itu menjadi sangat marah. Yang berjambang dan berkumis lebat membentak kasar, "Kau jangan mengada-ada. Sekarang dengar perintahku. Pergi dari lingkungan ini, atau kami bunuh kalian berempat agar tidak mengganggu ladang kami yang sudah menjadi semakin gersang ini."
Tetapi Jati Wulung menjawab, "Kami yang berhak mengusirmu. Jika kailan menantang kami berkelahi, maka kami akan berkelahi. Jika kalian ingin membunuh kami, maka kami akan membunuh kalian. Kau lihat, bahwa kami berempat. Kalian hanya berdua. Sedangkan dua orang di antara kami adalah anak-anak muda yang sedang berlatih untuk kelak meneruskan pekerjaan kami. Tenaga mereka sedang tumbuh sampai ke puncak. Karena itu, jika kalian menantang kami, maka nasib kalianlah yang akan menjadi sangat buruk."
Tetapi kedua orang itu menjadi semakin marah. Yang bertubuh agak gemuk itu berkata lantang, "Bersiaplah kalian berempat. Kami akan memilin kepala kalian. Sebenarnya kami merasa kasihan terhadap anak-anak itu. Mereka tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi."
"Bagus," berkata Jati Wulung. Kemudian sengaja ia memperlihatkan isyarat yang diberikannya kepada kawan-kawannya, "Cepat, bersiaplah. Kita akan berkelahi melawan kedua orang ini. Kita harus mempertahankan ladang kita meskipun aku sependapat, bahwa ladang ini sudah menjadi semakin gersang."
Sambi Wulung, Risang dan Kasadha tidak ingin mengecewakan permainan Jati Wulung. Karena itu, maka merekapun segera berloncatan memencar mengepung kedua orang itu.
Orang yang berjambang dan berkumis lebat itu masih juga menggeram, "Kelinci-kelinci yang tidak tahu diri. Jika kalian terbunuh di arena ini, adalah tanggung jawab kalian sendiri."
Jati Wulungpun kemudian berkata lantang, "Kita selesaikan mereka menurut cara kita."
Tetapi suaranya terputus ketika tiba-tiba orang yang gemuk itu menyerangnya. Kakinya terjulur lurus menghantam dada Jati Wulung. Satu tendangan yang keras dan tiba-tiba.
Jati Wulung terlempar beberapa langkah. Tubuhnyapun kemudian telah jatuh berguling di tanah. Hampir saja Jati Wulung terjerumus ke dalam parit yang dialiri air yang meskipun tidak terlalu banyak, tetapi akan dapat membuat pakaiannya basah kuyup.
Sambi Wulung, Risang dan Kasadha terkejut. Namun ketika kemudian mereka melihat Jati Wulung itu bangkit, berjalan dengan timpang dan kedua tangannya bertelekan pada lambungnya sambil menyeringai, maka tahulah mereka, bahwa Jati Wulung benar-benar sedang bermain-main.
"Nampaknya paman Jati Wulung ingin menghangatkan badannya di pagi-pagi yang dingin ini," berkata Risang di dalam hatinya.
Namun orang yang gemuk yang merasa berhasil melemparkan Jati Wulung itupun berkata, "Nah, untuk selanjutnya, tulang-tulang igamu akan retak dan jantungmu yang akan rontok di dalam rongga dadamu akan menghapus segala kesombonganmu."
"Jangan sesumbar seperti itu," jawab Jati Wulung. "Kita akan melihat, apa yang terjadi selanjutnya."
Sekali lagi orang yang agak gemuk itu meloncat dengan cepat. Tangannya terayun dengan derasnya.
Dengan punggung telapak tangannya ia menampar kening Jati Wulung.
Sekali lagi Jati Wulung terdorong ke samping. Kemudian jatuh terduduk di tanah. Kedua tangannya memegangi keningnya yang telah dikenai punggung telapak tangan orang yang gemuk itu.
Ketika kemudian Jati Wulung bangkit sambil berdesah, maka orang yang gemuk itu berkata, "Jika kau tidak segera meninggalkan tempat ini, maka kau benar-benar akan mati."
Jati Wulung itu kemudian menjawab dengan suara parau, "Ternyata meskipun kau seorang penyamun, tetapi hatimu masih cukup longgar untuk memberi kami kesempatan. Tetapi sayang, bahwa kami tidak dapat mempergunakan kesempatan itu."
Hampir saja orang itu meloncat menyerang lagi. Tetapi Jati Wulung mengangkat kedua tangannya sambil berkata, "Tunggu, tunggu Ki Sanak. Aku masih akan berbicara sedikit lagi."
Ternyata orang itu mengurungkan serangannya. Katanya, "Cepat katakan sebelum aku koyakkan mulutmu."
"Ki Sanak," berkata Jati Wulung, "aku hanya akan memberi kesempatan kepadamu sebagaimana kau memberi kesempatan kepada kami. Larilah. Tinggalkan kami supaya kalian berdua selamat."
"Iblis kau," geram orang itu. Wajahnya menjadi merah.
Namun Jati Wulung kemudian justru berbicara kepada Sambi Wulung, Risang dan Kasadha, "Marilah. Jangan hanya menonton saja."
Sambi Wulung itupun menjawab, "Tetapi aku tidak dapat bermain-main seperti kau."
Jati Wulung tertawa. Katanya, "Baiklah. Kita tidak bermain-main lagi. Langit sudah semakin merah. Waktu kita akan segera habis."
Orang yang agak gemuk itu termangu-mangu sejenak.
Namun ia merasa bahwa nampaknya keempat orang itu tidak bersungguh-sungguh. Nampaknya mereka masih saja bermain-main dan bahkan agak berlebihan.
"Jika benar mereka hanya sekedar bermain-main, maka alangkah sombongnya mereka itu," berkata orang gemuk itu di dalam hatinya.
Sementara itu, kawannya yang berjambang dan berkumis lebat itupun sudah menjadi sangat marah pula. Katanya dengan suara yang bergetar, "Marilah. Kita tidak mempunyai pilihan lain."
Kedua orang itupun tiba-tiba telah meloncat hampir bersamaan. Orang yang agak gemuk itu telah menyerang Jati Wulung, sedangkan yang berjambang dan berkumis lebat menyerang Sambi Wulung.
Tetapi keduanya terkejut. Serangan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran. Orang yang agak gemuk itupun telah gagal menyentuh tubuh Jati Wulung yang telah dikenainya dua kali sebelumnya.
Tetapi baik orang yang berjambang dan berkumis lebat, maupun yang agak gemuk itu tidak mau melepaskan lawan-lawan mereka. Karena itu, maka merekapun telah berusaha memburunya.
Namun dalam pada itu, kedua orang anak muda yang semula lebih banyak berdiam diri, telah ikut berkelahi pula bersama kedua orang kawan mereka.
Dengan demikian, maka orang yang berjambang dan berkumis lebat serta kawannya yang agak gemuk itu harus berkelahi melawan empat orang.
Sambi Wulung, Risang dan Kasadha ternyata berusaha menyesuaikan diri dengan sikap Jati Wulung. Mereka tidak segera mengakhiri pertempuran meskipun mereka dapat melakukannya. Tetapi mereka berusaha meyakinkan kedua orang itu, bahwa mereka menjadi bingung menghadapi keempat orang itu. Keempat orang itu berloncatan dengan cepat menyambar-nyambar. Sentuhan-sentuhan mereka sangat membingungkan. Sekali-sekali sentuhan tangan salah seorang dari keempat orang itu memang terasa sakit. Namun kadang-kadang mereka hanya sekedar menggamit dari arah yang tidak diketahui.
Dengan demikian, meskipun kedua orang itu tidak mendapat serangan-serangan yang menentukan sehingga menghentikan perlawanan mereka, namun mereka benar-benar menjadi bingung sehingga mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Kedua orang itu akhirnya menjadi pening. Yang nampak di mata mereka hanyalah bayangan yang berputaran.
Sentuhan-sentuhan yang tidak mereka mengerti datangnya. Namun yang mereka sadari, bahwa keempat orang itu ternyata tidak bersungguh-sungguh. Jika mereka benar-benar menghendaki, maka mereka dapat berbuat apa saja terhadap kedua orang yang akhirnya harus menerima kenyataan itu.
Kedua orang itu memang tidak berdaya. Sehingga akhirnya orang yang bertubuh agak gemuk itupun telah berlutut sambil memegangi kepalanya.
"Aku menjadi pening," desisnya.
Kawannyapun berdiri dalam keseimbangan yang goyah. Meskipun tubuh mereka tidak terasa sakit, tetapi mereka merasa bahwa mereka memang tidak berdaya apa-apa.
"Kami menyerah," berkata orang yang bertubuh agak gemuk itu.
Jati Wulung telah memberi isyarat untuk menghentikan pertempuran. Sementara itu, kedua orang itu telah duduk di tanah dengan kepala tunduk.
"Nah Ki Sanak," berkata Jati Wulung kemudian, "apakah kita masih akan berkelahi lagi?"
"Kami menyerah," berkata orang yang bertubuh gemuk itu pula.
"Jadi, apakah kami harus pergi dari lingkungan ini?" bertanya Jati Wulung pula.
"Tidak. Kami tidak berani lagi mengatakan demikian," jawab orang yang agak gemuk itu.
"Jika demikian, maka kalianlah yang harus pergi," berkata Jati Wulung.
"Tetapi kemana?" bertanya orang berjambang dan berkumis lebat itu. "Yang kami kenal hanya lingkungan ini. Sudah bertahun-tahun kami membuka ladang disini sehingga kami tidak pernah berpikir untuk mencari ladang yang lain."
"Tetapi kau harus pergi dari lingkungan ini," berkata Jati Wulung. "Bukan saja dari lingkungan ini. Tetapi kalian harus menghentikan pekerjaan kalian yang hina ini."
"Yang hina?" orang yang berjambang dan berkumis lebat itu bertanya, "pekerjaan ini adalah pekerjaan laki-laki. Aku tidak mau menjadi pencuri yang hanya berani melakukan pekerjaannya jika sasarannya lengah. Aku tidak mau menjadi penipu yang licik. Tidak pula sudi mengemis. Pekerjaan inilah yang aku pilih, karena dengan pekerjaan ini aku tidak merasa kehilangan harga diri."
"Apakah kau sama sekali tidak mengenal baik dan buruk?" bertanya Jati Wulung.
Kedua orang itu terdiam. Sementara Sambi Wulung berkata selanjutnya, "Jika kau sedikit saja mengenal baik dan buruk, maka kau tentu mengetahui, bahwa pekerjaan yang kau lakukan itu termasuk pekerjaan yang buruk."
Kedua orang itu mengangguk. Tetapi seorang di antara mereka bertanya, "Tetapi bukankah kalian juga melakukan pekerjaan seperti yang kami lakukan?"
"Kami adalah petugas-petugas sandi dari Madiun. Kami mendapat tugas untuk mengamankan upacara tahunan itu dari gangguan apapun termasuk sebagaimana kau lakukan," jawab Jati Wulung.
"Jadi kalian berempat itu petugas sandi dari Madiun?" bertanya orang yang agak gemuk dengan kata-kata sendat.
"Ya. Kami dapat membawa kalian dan menyerahkan kepada pemimpin kami. Dalam keadaan sekarang, orang yang melakukan pekerjaan sebagaimana kalian lakukan itu, hukumannya sangat berat," jawab Jati Wulung.
"Kami mohon ampun," kedua orang itu hampir bersamaan memohon sambil mengangguk dalam-dalam.
"Aku ampuni kalian kali ini. Tetapi jika kami menemukan kalian kembali melakukan pekerjaan seperti ini, maka hukuman kalian akan sama beratnya dengan para petugas sandi dari Mataram atau Pajang atau daerah manapun yang memusuhi Madiun."
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami berjanji," desis orang yang berjambang dan berkumis lebat itu.
Risang hampir tertawa melihat wajah orang itu. Wajah yang garang itu nampak demikian ketakutan sehingga kesannya menjadi sangat aneh. Demikian pula orang gemuk yang wajahnya sekeras batu padas itu.
Namun kemudian Risang itu justru bertanya, "Ki Sanak. Kenapa kau melakukan pekerjaan seperti ini" Apakah kau sudah menjadi kelaparan, sehingga kau harus merampok orang" Apakah kau tidak mempunyai sawah dan ladang?"
Orang berjambang itupun menjawab dengan nada dalam, "Aku mempunyai sawah dan ladang, Ki Sanak."
"Jadi kenapa kau lakukan juga pekerjaan ini" Seandainya tetanggamu atau sanak saudaramu ada yang mengetahuinya, apakah kau tidak merasa malu?"
"Sampai saat ini mereka tidak mengetahuinya," jawab orang itu.
"Apakah alasanmu merampok orang-orang lewat didaerah ini" Atau hanya satu penyakit keturunan saja?" desak Risang.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Keluarga kami adalah keluarga yang besar. Sementara itu, Ki Sanak tentu juga mengetahui, kami harus menyerahkan sebagian hasil sawah dan ladang kami untuk kesiapan masa-masa paceklik. Lebih dari itu, jika perang benar-benar terjadi. Bahkan, tentu Ki Sanak juga sudah mengetahui, lumbung-lumbung prajurit di Madiun harus terisi. Ada berapa puluh ribu prajurit yang sekarang berada di Madiun. Bukankah setiap hari mereka makan" Sementara itu persediaan bahan makanan yang dibawa oleh prajurit-prajurit dari luar Madiun itu tentu tidak akan mencukupi."
"Jadi sebagai warga yang baik, kalian serahkan sebagian hasil sawah dan ladang kalian?" bertanya Kasadha.
"Ya Ki Sanak," jawab orang itu.
"Apakah tetangga-tetanggamu, seisi padukuhanmu dan orang-orang Kademanganmu juga merupakan warga yang baik dengan menyerahkan bahan hasil sawah dan ladangnya?" bertanya Kasadha.
"Ya, bukankah peraturan itu berlaku umum bagi semua orang yang tinggal di Madiun dan sekitarnya?"
Kasadha mengangguk-angguk. Sementara Jati Wulung berkata, "Di satu sisi kau menjadi warga yang baik. Tetapi di sisi lain kau menjadi perampok."
"Kami terpaksa melakukannya Ki Sanak. Sebagian memang penyakit keturunan. Namun sebenarnya kami sudah pernah sembuh dari penyakit ini. Tetapi ketika kami merasa kekurangan, maka penyakit ini menjadi kambuh."
Sambi Wulunglah yang kemudian berkata, "Matahari sebentar lagi terbit. Pulanglah. Hentikan kegiatanmu ini. Kalau kau ingin menjadi orang yang baik bagi Madiun, jangan hanya baik di satu sisi. Dengan demikian kau tidak lebih dari seorang yang bertopeng untuk menutupi wajahmu yang asli. Topengmu topeng panji yang tampan, tetapi wajahmu yang sebenarnya adalah wajah raksasa yang bertaring tajam."
Orang itu sama sekali tidak menjawab.
Dalam pada itu, Risangpun berkata, "Baiklah. Pergilah. Kami akan meneruskan tugas kami melihat-lihat, apakah selama upacara tahunan itu berlangsung, segala sesuatunya berjalan dengan baik. Kami akan berusaha melupakan apa yang kalian lakukan, selama kalian tidak mengulanginya. Tetapi jika terjadi lagi, maka kebencian kamipun akan berlipat sepuluh kali, sehingga beban hukumanmupun akan berlipat sepuluh pula."
Keempat orang itu tidak menunggu lebih lama lagi.
Merekapun kemudian telah meninggalkan kedua orang yang sudah berputusasa itu.
Demikian keempat orang itu melangkah menjauh, maka Risangpun berkata, "Satu kelemahan dari Madiun."
"Ya," sahut Kasadha. "Nampaknya pada waktu yang agak panjang, Madiun akan dapat mengalami kesulitan makan. Sekian banyak orang yang bertumpuk di Madiun itu memang memerlukan bahan makan yang sangat banyak."
"Berapa lama Madiun akan dapat bertahan dalam keadaan seperti itu?" desis Risang.
"Jika saja Mataram dapat mengulur waktu, maka Madiun akan menjadi semakin kesulitan menyediakan bahan makanan bagi prajurit-prajuritnya, sementara prajurit-prajurit yang sekian banyaknya itu akan tetap berada di Madiun untuk menghadapi Mataram. Dengan demikian maka Madiun akan menjadi semakin lemah dari dalam."
Demikianlah maka di sepanjang jalan mereka justru mendapat bahan pembicaraan yang berarti bagi Kasadha.
Meskipun ia bukan petugas sandi, tetapi laporannya lewat Ki Rangga Dipayuda akan dapat dipertimbangkan.
Meskipun demikian Kasadha itu berkata, "Mudah-mudahan persoalan ini juga menjadi perhatian oleh para petugas sandi, sehingga mereka akan dapat memberikan laporan terperinci tentang persediaan bahan makan dan perlengkapan bagi para prajurit Madiun dan prajurit dari luar Madiun yang berkumpul di Madiun."
Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin terang, cahaya matahari mulai nampak menguning, disambut oleh kicau burung di pepohonan.
Keempat orang itu masih berjalan di jalan kecil. Namun merekapun tidak menjadi bingung, kecuali mereka sudah mendapat petunjuk dari Ki Resa Podang, merekapun memiliki kemampuan untuk mengenali arah. Benda-benda langit dapat menuntun mereka ke arah mana mereka harus berjalan. Setelah bintang-bintang tidak nampak lagi di langit, maka mataharipun dapat mereka pergunakan untuk menjadi petunjuk arah. Sambi Wulung ternyata mempunyai pengetahuan tentang mangsa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui di arah mana matahari terbit.
Karena itu, maka mereka berjalan tanpa ragu-ragu tentang arah. Namun yang mereka ragu adalah, jika saja ada prajurit peronda yang melewati jalan itu.
Namun Sambi Wulung kemudian berkata, "Jarak ini sudah cukup jauh. Aku kira para prajurit peronda tidak secara ajeg meronda daerah ini. Mungkin sekali dua kali sekelompok prajurit dengan tidak sengaja melalui lingkungan yang sepi ini."
Namun dalam pada itu, Risangpun bertanya, "apakah kita akan langsung meninggalkan Madiun dan kembali ke Tanah Perdikan Sembojan" Atau barangkali ada rencana lain?"
Meskipun agak ragu, namun Kasadhapun menjawab, "Rasa-rasanya lebih bagi kita untuk sekali lagi melihat, apakah harta-benda berharga itu masih ada di tempatnya. Maksudku, tidak ada orang lain yang pernah menemukannya."
Risang mengangguk. Memang mungkin sekali ada orang lain yang mengetahui tempat persembunyian itu, kemudian mengambilnya. Bahkan Ki Remengpun terpaksa memenuhi keinginan orang-orang yang menawan Ki Mawur untuk menunjukkan harta-benda itu disembunyikan, justru karena Ki Remeng berusaha menyelamatkan Ki Mawur.
"Aku sependapat meskipun bukan maksudku untuk tidak mempercayai Ki Resa Podang," berkata Risang.
Demikianlah, maka merekapun kemudian sepakat untuk melihat kembali harta-benda yang mereka sembunyikan itu.
"Tetapi kita harus sangat berhati-hati. Tidak boleh seorangpun mengetahui bahwa kita telah memasuki hutan perdu dan lingkungan bukit kecil berbatu padas itu," berkata Sambi Wulung.
Karena itu, maka merekapun telah mencari jalan untuk dapat sampai ke tempat yang mereka tuju tanpa diketahui oleh seseorang.
Memang bukan sesuatu yang mudah. Tetapi dengan pengalaman yang panjang dan ketajaman penalaran mereka, maka akhirnya merekapun sampai kesatu tempat yang mereka kenal akan dapat sampai ke tempat yang mereka tuju.
Sambi Wulung dan Jati Wulunglah yang berjalan lebih dahulu menuju ke tempat mata air di padang perdu itu. Baru kemudian Risang dan Kasadha. Dari belik kecil itu mereka akan bersama-sama menuju ke tempat benda-benda berharga itu disembunyikan.
Keempat orang itu memang memerlukan waktu yang agak panjang. Namun akhirnya mereka berkumpul di belik kecil. Mata air yang terdapat di sela-sela batu padas itu masih mengalir. Airnya yang jernih membuat keempat orang itu tidak menjadi kehausan.
Keempat orang itupun kemudian berhasil meyakinkan bahwa benda-benda berharga yang mereka simpan masih berada di tempatnya yang cukup terlindung. Dengan ciri-ciri tempat yang tidak menarik perhatian, namun dapat dikenali dengan baik oleh keempat orang itu.
Mereka tidak terlalu lama berada di tempat itu. Ketika mereka kemudian melangkah meninggalkan tempat yang tersembunyi itu, Kasadha menyempatkan diri bersama Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung menengok kuburan seorang pemimpin kelompok yang dianggap sangat baik bagi Kasadha. Ia bukan saja seorang pemimpin kelompok yang selalu menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Tetapi ia juga seorang yang banyak memberikan petunjuk tentang hidup dan kehidupan kepada Kasadha.
Namun Kasadha hanya dapat menundukkan kepalanya. Orang itu telah pergi dan tidak akan pernah kembali.
Justru karena orang itu sudah dipanggil oleh Penciptanya.
Ketika kemudian mereka meninggalkan padang perdu itu, maka perjalanan mereka tidak lagi tersendat. Mereka melangkah dengan ringan menempuh perjalanan panjang meninggalkan tlatah Madiun.
Di perjalanan itulah mereka memutuskan untuk langsung pergi ke Pajang. Kasadha minta agar Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung bersedia bertemu dengan Ki Rangga Dipayuda.
"Aku harus berkata jujur, bahwa keberhasilanku, bukanlah karena kelebihanku. Tetapi kau, paman Sambi Wulung dan paman Jati Wulung justru lebih banyak berbuat demi keberhasilan itu."
"Tidak," jawab Risang. "Kami tidak banyak berbuat. Yang terjadi adalah hasil perbuatan kita bersama-sama."
"Seandainya demikian, maka biarlah kami bersama-sama menghadap Ki Rangga Dipayuda. Bahkan kita akan menghadap Ki Tumenggung Jayayuda."
Risang sebenarnya sama sekali tidak tertarik untuk menghadap dan barangkali mendapat pujian atau ucapan terima kasih. Baginya, apa yang dilakukannya adalah merupakan satu kewajiban. Lebih dari itu, maka Risang merasa bahwa adalah kewajibannya pula untuk membantu adiknya yang menurut pendapatnya telah banyak membantunya pula. Bahwa adiknya selama ini tidak pernah mempersoalkan kelahirannya dan apalagi haknya sebagai salah seorang anak laki-laki pewaris Tanah Perdikan Sembojan.
Namun ketika tiba-tiba saja ia teringat kepada Riris, maka di luar sadarnya ia berkata, "Baiklah. Kami akan menyertaimu sampai ke Pajang. Setidak-tidaknya kami akan dapat bersaksi, apa yang telah terjadi. Sebagaimana Ki Rangga Dipayuda pergi ke Tanah Perdikan Sembojan, maka sebaiknya kami juga ikut melapor, bahwa tugas ini sudah selesai."
Kasadha memang nampak menjadi gembira. Dengan demikian ia tidak harus menempuh perjalanan kembali seorang diri dari Tanah Perdikan Sembojan ke Pajang karena seorang kawan yang dibawanya telah ditinggalkannya di Madiun.
Dengan demikian, maka mereka berempat telah menempuh jalan yang langsung menuju ke Pajang tanpa harus singgah di Tanah Perdikan. Mereka mengambil jalan pintas yang mereka anggap lebih dekat. Namun merekapun sadar, bahwa justru karena kabut tebal yang menggantung di antara Pajang dan Madiun, maka mereka harus berjalan dengan sangat berhati-hati.
Mereka menyadari, bahwa antara Pajang dan Madiun itu tentu terdapat kesibukan yang luar biasa dari para petugas sandi, baik dari Mataram, Pajang maupun Madiun. Mereka akan saling mengamati keadaan, perkembangan dan tentu saja gerakan prajurit agar masing-masing tidak akan terlambat menghadapi setiap gerakan sehingga masing-masing pihak tidak akan menjadi terkejut dan menyesali kelengahannya.
Namun semua kesibukan itu tentu dilakukan di bawah permukaan.
Kasadha, Risang, Sambi Wulung dan Jati Wulung menjadi sedikit berlega hati ketika mereka melihat, tatanan kehidupan di padukuhan-padukuhan yang terletak di antara Pajang dan Madiun itu belum terlalu banyak mengalami perubahan. Jika mereka melewati pasar, maka pasar itu masih nampak ramai dikunjungi orang. Jalan-jalanpun, terutama jalan-jalan yang besar, masih juga banyak dilalui orang. Demikian pula kotak-kotak sawah. Para petani masih nampak sibuk bekerja dengan tenang.
Dengan demikian, maka mereka tidak akan terlalu banyak menarik perhatian jika mereka berjalan melewati jalan-jalan utama antara Pajang dan Madiun, meskipun mereka sadar, bahwa mendekati perbatasan mereka harus mencari jalan yang lebih aman bagi mereka, karena di perbatasan, pengawasan tentu menjadi lebih teliti.
Ternyata perjalanan kembali ke Pajang dari Madiun itu dapat mereka tempuh dengan tidak mengalami banyak hambatan. Mereka memang harus bermalam di perjalanan. Tetapi hal itu sama sekali tidak merupakan persoalan bagi mereka. Meskipun mereka tidak ingin bermalam di banjar-banjar padukuhan, tetapi bermalam di tempat-tempat yang terbuka di padang perdu, sama sekali tidak menyulitkan mereka.
Pendekar Pengejar Nyawa 11 Goosebumps - 7 Boneka Hidup Beraksi Misteri Gadis Bisu 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama