02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja Bagian 31
Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan sendiri, ternyata ada yang membantu mereka. Ada orang tertentu yang mengumpulkan bahan pangan itu dari orang-orang padukuhan. Kemudian menyerahkan bahan pangan itu dari orang-orang padukuhan. Kemudian menyerahkannya kepada pedagang-pedagang gelap itu dengan mendapat keuntungan yang baik.
Namun akhirnya ada juga orang-orang yang mengeluh karena harga beras dan jagung menjadi semakin tinggi.
Bahkan orang-orang yang semula menjual beras dan jagungnya dengan harga yang menurut perhitungannya cukup baik, ketika pada suatu saat mereka membutuhkannya, maka mereka harus membeli dengan harga yang lebih tinggi lagi.
Sedikit demi sedikit akhirnya Gandar, Sambi Wulung dan Jati Wulung mampu menguak permainan para pedagang gelap itu. Namun tidak mudah untuk dapat menangkap mereka dengan bukti-bukti yang meyakinkan.
Para pedagang gelap, yang di antaranya mendapat bantuan dari orang-orang Sembojan sendiri, seakan-akan mempunyai mata di antara petugas Tanah Perdikan. Usaha untuk menemukan mereka, ternyata tidak semudah yang mereka duga.
Yang justru mereka ketahui lebih dahulu adalah tempat bahan pangan itu dikumpulkan dan ditimbun sebelum dibawa dengan beberapa buah pedati ke Utara.
"Perdagangan gelap itu harus dihentikan," berkata Risang dengan geramnya. "Yang dapat dilakukan lebih dahulu adalah mengamati jalan keluar dari Tanah Perdikan itu. Tidak boleh ada bahan pangan yang dibawa keluar oleh orang-orang yang tidak berhak."
Tetapi memang sangat sulit untuk melakukannya. Masih saja ada jalan yang dapat mereka tempuh.
Risang masih berusaha untuk dapat menguasai keadaan dengan baik. Ia masih berusaha menemukan orang-orang Sembojan sendiri yang terlibat di dalamnya. Beberapa orang memang sudah memberikan isyarat untuk membantu.
Namun yang tidak dikehendaki itupun terjadi. Jantung Risang bagaikan terbakar ketika diketemukan seorang perempuan yang telah membantu untuk berusaha menjebak para pedagang gelap itu diketemukan terbunuh di sebuah lorong kecil yang menembus perbatasan dengan Kademangan Jerukgede.
Kemarahan Risang seolah-olah tidak tertahankan lagi. Dengan susah payah Sambi Wulung dan Jati Wulung serta Gandar berusaha untuk menahan Risang agar tidak langsung pergi ke Kademangan Jerukgede untuk membuat penyelesaian.
"Kita masih harus berhati-hati mengambil langkah," berkata Sambi Wulung.
"Tetapi bahwa mereka telah melakukan pembunuhan, agaknya sudah tidak dapat dimaafkan lagi," jawab Risang.
"Itu benar. Tetapi siapakah yang tidak dapat dimaafkan lagi itu?" berkata Sambi Wulung kemudian.
"Aku sependapat, bahwa kita akan pergi ke Jerukgede. Tetapi kita akan menemui Ki Demang. Kita akan berbicara dengan baik. Mungkin Ki Demang di Jerukgede sama sekali tidak mengerti atau tidak menghiraukan apa yang telah terjadi di lingkungannya."
Gejolak perasaan Risang agaknya dapat diredakan, sehingga Risang bersedia untuk menemui Ki Demang dengan menyingkirkan prasangkanya. Bahkan ibunyapun telah memperingatkan Risang, agar ia datang sebagai seorang tetangga yang baik.
Bersama Sambi Wulung dan Jati Wulung, maka Risangpun telah berkunjung ke Kademangan Jerukgede untuk menemui Ki Demang.
Ketika ia memasuki padukuhan induk Kademangan Jerukgede, maka mereka telah banyak menarik perhatian.
Ki Demang yang berada di rumahnya, telah menerima ketiga orang tamunya dengan ramah. Dipersilahkannya tamunya duduk di pringgitan. Dua orang bebahu yang kebetulan berada di rumah Ki Demang, ikut menemuinya pula.
Setelah mengucapkan selamat datang, maka Ki Demang Jerukgede itupun berkata, "Rasa-rasanya kami telah menerima anugerah yang tinggi karena kedatangan Anakmas Risang. Meskipun kita bertetangga, tetapi karena kesibukan kita masing-masing, maka rasa-rasanya kita menjadi sangat jarang bertemu."
"Ya Ki Demang," jawab Risang, "aku minta maaf. Seharusnya aku yang muda inilah yang sebaiknya datang berkunjung. Tetapi benar seperti yang Ki Demang katakan, kita mempunyai kesibukan kita masing-masing."
"Karena itu, maka ketika Anakmas datang, maka aku sudah mengira bahwa Anakmas tentu mempunyai kepentingan yang mendesak."
Risang mengangguk kecil. Namun kemudian iapun mengutarakan persoalannya, bahwa beberapa orang pedagang gelap telah membeli bahan pangan yang berlebihan. Menurut pengamatan para petugas di Tanah Perdikan Sembojan, maka bahan pangan itu telah dibawa masuk ke Kademangan Jerukgede.
Ki Demang mendengarkan dengan sungguh-sungguh pernyataan Risang itu. Namun kemudian Ki Demang itupun berkata, "Tetapi apakah keberatannya Anakmas. Bukankah jual beli seperti itu memang sudah berlangsung sejak lama" Bukankah pedagang bahan pangan memang sering datang ke Kademangan ini dan juga ke Tanah Perdikan Sembojan?"
"Tetapi kali ini agak berlebihan Ki Demang. Pengaruhnya terasa di seluruh Tanah Perdikan. Bahan pangan di Tanah Perdikan menjadi mahal."
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia bertanya kepada kedua bebahunya, "Apa yang kau ketahui tentang perdagangan bahan pangan itu?"
"Tidak ada apa-apa Ki Demang. Biasa-biasa saja seperti saat-saat sebelumnya."
Namun Risangpun kemudian menceriterakan, bahwa di Tanah Perdikan Sembojan telah jatuh korban. Nampaknya sebuah gerombolan pedagang gelap telah memasuki Tanah Perdikan Sembojan.
"Tetapi apa hubungannya dengan Kademangan ini?" bertanya Ki Demang.
"Bahan pangan yang mengalir dari Tanah Perdikan nampaknya ditimbun lebih dahulu di Kademangan ini sebelum dibawa keluar."
"Ah, itu alasan yang dicari-cari," berkata salah seorang bebahu. "Di Kademangan ini memang banyak terdapat lumbung-lumbung yang terisi. Bukan saja lumbung paceklik, tetapi juga karena kelebihan hasil sawah dan pategalan kami. Jika hasil sawah dan pategalan itu kemudian dijual kepada para pedagang bahan pangan, bukankah itu wajar?"
"Kami mengerti," jawab Risang. "Tetapi pembelian itu sangat berlebihan. Harganyapun tidak wajar lagi. Maksud kami, kami mohon kesempatan untuk bekerja bersama di perbatasan untuk mencegah mengalirnya bahan pangan keluar dari Tanah Perdikan."
Namun yang menjawab adalah bebahu itu, "Bukankah itu kewajiban Anakmas" Bagi kami perdagangan bahan pangan itu tidak menjadi persoalan."
"Begini Ki Demang," Sambi Wulungpun telah menyambung pembicaraan itu, "kami memang akan melakukannya. Tetapi karena persoalannya akan menyangkut Kademangan ini, maka kami telah mencoba menghubungi Ki Demang."
Tetapi Ki Demang itu berkata, "Anakmas. Nampaknya kita masing-masing mempunyai kesibukan yang memerlukan penanganan yang bersungguh-sungguh. Karena itu, aku minta maaf, bahwa Kademangan ini tidak akan dapat secara khusus menangani persoalan pedagang-pedagang bahan pangan yang menurut pendapat kami wajar-wajar saja."
Telinga Risang terasa panas. Namun sebelum ia menyahut, maka Sambi Wulung telah mendahuluinya, "Jika demikian Ki Demang. Biarlah kami menanganinya sendiri. Tetapi kami mohon ijin, jika ada orang-orang Kademangan Jerukgede yang terlibat, maka kami terpaksa memperlakukannya menurut paugeran kami."
"Apakah Anakmas akan melarang perdagangan bahan pangan" Itu sudah melanggar kebebasan pribadi, Ngger?" bertanya Ki Demang kepada Risang.
"Ki Demang," jawab Risang, "kebijaksanaan yang akan kami tempuh adalah kebijaksanaan yang menguntungkan seluruh rakyat Tanah Perdikan. Karena itu, jika kebijaksanaan ini terasa membatasi tingkah laku sekelompok kecil orang-orang Tanah Perdikan dan juga orang-orang dari luar Tanah Perdikan, maka hal itu terpaksa kami lakukan."
Ki Demang Jerukgede memandang Risang dengan tajamnya. Dengan nada berat iapun berkata, "Kami akan melihat perkembangan keadaan Anakmas. Mudah-mudahan apa yang Anakmas lakukan tidak menyakiti perasaan kami."
"Kami akan berusaha membatasi persoalannya, Ki Demang," jawab Risang.
"Tetapi kamipun merasa berkeberatan jika kebijaksanaan yang Angger trapkan di Tanah Perdikan itu akan menjerat orang-orang kami," berkata Ki Demang.
Risangpun kemudian telah minta diri. Ia menganggap bahwa pembicaraannya dengan Ki Demang Jerukgede tidak banyak berarti. Karena itu, maka Risangpun telah mengetrapkan paugeran yang lebih tegas untuk membatasi gerak para pedagang gelap yang telah memungut korban itu.
Dengan ketentuan itu, maka para petugas di Tanah Perdikan Sembojan telah bekerja lebih keras. Para pengawal harus mengawasi perbatasan lebih ketat lagi.
Namun agaknya di kalangan para petugas itu sendiri terdapat orang-orang yang bekerja bersama dengan para pedagang gelap. Ternyata bahwa mereka mampu mencari celah-celah pengawasan para pengawal Tanah Perdikan.
Namun akhirnya Gandar telah berhasil menemukan ujung jalur penyelusuran itu. Seorang pengawal kepercayaannya, berhasil menyusup ke dalam lingkaran perdagangan gelap itu.
Tetapi untuk memasuki lingkungan perdagangan gelap itu, maka pengawal kepercayaan Gandar itu harus mengalami perlakukan buruk lebih dahulu. Pengawal itu telah mendapat hukuman langsung dari Gandar. Gandar yang marah karena kegagalan pengamatan pengawal itu langsung menghukumnya.
Wajah pengawal itu menjadi merah biru. Bahkan untuk beberapa saat ia sempat pingsan. Gandar telah memukuli wajahnya tanpa ampun.
"Gandar telah kehilangan kendali dirinya," berkata salah seorang kawan pengawal itu.
"Ia tidak pernah berbuat seperti itu," sahut yang lain, "tetapi agaknya Risang telah menjadi sangat marah."
Keadaan pengawal yang parah itulah yang memberi kesempatan kepadanya berhubungan dengan para pedagang gelap. Pengawal yang menunjukkan kekecewaan yang sangat itu, telah mendapat tawaran dari seorang kawannya, yang semula sama sekali tidak diduganya, untuk bekerja bersama.
Tawaran itu segera diterimanya dengan senang hati. Bahkan pada awalnya, pengawal yang telah mendapat hukuman dari Gandar itu mampu berbuat lebih baik dari kawan-kawannya yang telah terlibat lebih dahulu.
Jalur yang dipasang Gandar itulah yang telah memungkinkannya untuk dapat mengenali jalur perdagangan gelap itu.
"Ternyata jaringan yang telah dipasang oleh para pedagang gelap itu sangat rumit. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan ini telah terlibat di samping beberapa orang bebahu Kademangan Jerukgede," lapor Gandar kepada Risang dan para pemimpin Tanah Perdikan.
"Kita harus dapat menangkap saat penyerahan bahan pangan itu, agar kita dapat membuktikan bahwa perdagangan gelap itu sudah terjadi," berkata Risang.
*** Kontributor eBook: DJVU: Haryono & Kuncung (dimhad.co.nr)
Editor: Dimhader (di dimhad.co.nr, maaf... tidak tahu kontributornya), dan Dewi KZ (dewikz.com)
Spell Check & Minor Edit:
ePub Lover (facebook.com/epub.lover)
SAYAP-SAYAP YANG TERKEMBANG
Karya: SH Mintardja Penerbit: Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta
JILID 63 "BEBERAPA orang pengawal Tanah Perdikan ini yang sudah menjadi mabuk oleh uang dan kesenangan, justru yang mengatur arus bahan pangan itu sehingga sulit untuk dapat ditangkap. Namun laporan dari pengawal yang berhasil menyusup itu memberikan sedikit kesempatan yang mudah-mudahan dapat kita pergunakan sebaik-baiknya."
"Apa yang dapat kita lakukan?" bertanya Sambi Wulung.
"Sulit bagi kita untuk mempercayai para pengawal, khususnya dari padukuhan-padukuhan di sebelah Utara. Bukan maksudku mengatakan bahwa sebagian besar dari mereka terlibat. Namun sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah yang terlibat itu, sehingga jika kesempatan kecil ini sampai ke telinga mereka, maka kita akan gagal lagi."
"Kita dapat memerintahkan para pengawal dari daerah lain," berkata Risang.
"Tetapi itu akan dapat menyinggung perasaan para pengawal di daerah itu, terutama mereka yang merasa tidak bersalah. Mereka akan merasa tidak dipercaya lagi."
Risang yang kemarahannya sudah memuncak itupun bertanya pula, "Jadi bagaimana" Apakah kita akan membiarkan saja hal itu terjadi dan terjadi?"
"Risang," berkata ibunya, "kita memang sedang membicarakan persoalan yang rumit yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Bagimu, ini adalah satu pengalaman, bahwa kau tidak boleh hanyut dalam kemudaanmu. Tugasmu memerlukan pendalaman untuk menanggapi satu persoalan."
Risang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun bertanya, "Menurut ibu, apa yang sebaiknya kita lakukan?"
"Mungkin pamanmu Sambi Wulung dapat memberikan pendapatnya," jawab ibunya.
Sambi Wulung termangu-mangu sejenak. Sambil berpaling kepada Gandar iapun bertanya, "Berapa besarkah kekuatan mereka?"
"Ada beberapa orang berilmu yang melindungi para pedagang gelap itu. Tetapi aku belum mendapat laporan yang pasti."
"Jadi kapan rencana kita dapat kita lakukan?" desak Risang yang nampaknya masih saja kurang sabar.
"Menurut laporan, maka penyusupan itu akan dilakukan malam hari besok. Masih ada waktu hari ini dan besok untuk menyusun penyergapan itu."
"Nampaknya memang rumit. Tetapi bagaimana menurut pendapatmu jika kita sendiri langsung turun ke medan" Untuk menghindari agar para pengawal yang tidak bersalah tidak tersinggung jika kita membawa para pengawal dari lingkungan lain. Kecuali itu, maka akan dapat timbul permusuhan antara para pengawal dari satu lingkungan dengan pengawal dari lingkungan yang lain."
"Aku setuju," berkata Gandar. "Kita sendiri akan turun kelapangan. Mudah-mudahan kita dapat menyelesaikannya."
Dengan demikian, maka akhirnya Risang memutuskan untuk bertindak langsung terhadap orang-orang yang setiap kali menyusupkan bahan pangan keluar Tanah Perdikan Sembojan. Bahkan yang telah membawa korban.
Dengan demikian, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu tidak mencemaskan bahwa rencana mereka akan didengar oleh para pedagang gelap itu. Mereka yakin, bahwa para pemimpin Tanah Perdikan itu akan dapat memegang rahasia sebaik-baiknya.
Namun darah Risang menjadi seakan-akan mendidih ketika di pagi harinya, diketemukan lagi seorang korban. Seorang yang menurut keluarganya, menolak untuk menyerahkan bahan pangan yang ada padanya kepada para pedagang gelap.
"Kakang semula memang ikut dalam perdagangan gelap ini," berkata isterinya. "Bahkan Kakang telah berhasil mengumpulkan beberapa pikul beras padi dan jagung yang disimpan di dalam lumbung dan sebagian lagi di dapur. Namun melihat gelagat yang kurang baik bagi kehidupan orang-orang Tanah Perdikan ini sendiri, maka Kakang telah menghentikan usahanya serta tidak mau menyerahkan bahan pangan yang sudah terkumpul."
"Siapakah yang telah membunuhnya?" bertanya Gandar. "Apakah ada di antara mereka yang kau kenal?"
Isterinya menggeleng. Katanya, "Kakang dibawa keluar oleh empat orang yang semuanya belum aku kenal."
"Tetapi apakah kau mengenal orang-orang yang pernah berhubungan dengan suamimu" Apakah ada di antara mereka orang-orang Tanah Perdikan ini sendiri?"
"Kakang tidak pernah membicarakan perdagangan gelapnya di rumah. Ia selalu keluar untuk menemui orang-orang yang terlibat dalam perdagangan ini."
Gandar tidak bertanya lebih lanjutnya, iapun kemudian ikut sibuk menyelenggarakan penguburan orang yang terbunuh itu. Beberapa orang pengawal telah ikut menjadi sibuk.
Namun Gandar yakin, bahwa ada di antara mereka adalah orang-orang yang justru terlibat. Di dalam kesibukan itu, Gandar juga melihat pengawal kepercayaannya yang justru pernah mendapat hukuman daripadanya, yang memberikan kesempatan kepada pengawal itu untuk melibatkan diri dalam perdagangan gelap bahan pangan itu.
Justru karena itu, Gandar tidak berbuat banyak. Ia sengaja membatasi persoalan, agar tidak mempengaruhi rencana para pedagang gelap itu malam nanti. Jika mereka merasa mulai dicurigai atau tercium jejaknya, maka mereka akan merubah rencana mereka.
Dua kematian telah membuat Tanah Perdikan itu berkabung. Namun orang-orang di daerah Utara menjadi ketakutan karena peristiwa itu. Mereka yang sudah terlibat ke dalamnya, tidak akan berani untuk menarik diri, karena para pedagang gelap yang dilindungi oleh orang-orang berilmu dan bahkan berhati beku itu, tidak lagi menghargai nyawa orang lain. Mereka lebih menghargai keuntungan yang dapat mereka teguk dari perdagangan gelapnya daripada nyawa sesama.
Dalam pada itu, pada malam yang sudah ditentukan, maka Risang telah mengatur satu rencana penyergapan. Risang tidak melibatkan para pengawal. Tetapi ia bersama Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar akan menanganinya langsung.
"Aku akan bersama kalian," berkata Nyi Wiradana kepada Risang.
Risang mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, "Tapi ibu tidak usah terlibat dalam penyergapan ini. Biarlah kami yang melaksanakannya."
"Ingat Risang. Berapa puluh tahun aku memangku jabatan Kepala Tanah Perdikan disini?"
Risang hanya menarik nafas panjang. Sambi Wulung yang semula juga akan mencegah niat Nyi Wiradana itu justru tertegun pula. Hampir saja ia mengatakan bahwa Nyi Wiradana sudah menjadi semakin tua sebagaimana dirinya. Tetapi Sambi Wulung adalah seorang laki-laki.
Tetapi niat itu diurungkan. Ia tahu, bahwa ia akan menyinggung perasaan Nyi Wiradana jika ia mengatakan hal itu langsung kepadanya.
Dalam pada itu, maka rencanapun telah disiapkan sebaik-baiknya. Gandar telah mendapat laporan terperinci dari pengawal kepercayaannya.
"Bagaimana kau dapat bertemu dan berbicara panjang dengan pengawal itu?" bertanya Nyi Wiradana.
"Di bendungan, Nyi," jawab Gandar. "Kami memang sering bertemu di bendungan. Anak itu terbiasa mandi di bendungan. Sementara aku bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu."
Nyi Wiradana mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan kita dapat menghentikan perdagangan gelap itu."
Ketika mereka siap untuk berangkat ke sasaran, setelah senja turun, maka Risang telah memanggil beberapa orang bebahu.
Demikian mereka datang, maka merekapun segera dilibatkan dalam penyergapan itu tanpa mereka ketahui lebih dahulu. Dengan demikian, maka rahasia penyergapan itu tidak akan pernah didengar oleh orang lain.
Kelompok para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu dengan hati-hati merayap mendekati tempat penyeberangan para pedagang gelap itu. Ternyata mereka tidak melewati lorong yang paling sempit sekalipun. Mereka telah mempergunakan padukuhan yang hampir dekat dengan perbatasan untuk memindahkan bahan pangan itu dari Tanah Perdikan ke Kademangan Jerukgede. Seorang yang halamannya cukup luas, telah membuka dinding halamannya dengan membuat pintu butulan yang besar justru menghadap ke perbatasan.
Pada jarak yang pendek itulah, para pedagang gelap memindahkan bahan pangan yang mereka beli dari Tanah Perdikan dan demikian mereka melintasi perbatasan, mereka lebih aman, karena para bebahu Kademangan Jerukgede hampir seluruhnya telah terpengaruh oleh perdagangan itu pula.
Untuk mengamati arus bahan pangan itu, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu memang harus memasuki perbatasan Kademangan Jerukgede.
Dengan terpaksa Risang memang harus menyeberangi perbatasan bersama beberapa orang agar mereka dapat mengawasi usaha untuk mengeluarkan bahan pangan itu dari Tanah Perdikan Sembojan dengan jelas. Karena itu, maka mereka harus menjadi sangat berhati-hati. Jika mereka dapat diketahui oleh para petugas dan pengawas dari Kademangan Jerukgede, maka mereka akan mengalami dua kesulitan. Mereka akan dapat dituduh melakukan pelanggaran memasuki Kademangan Jerukgede dengan niat buruk, serta mereka akan kehilangan kesempatan untuk menangkap langsung di tempat orang-orang yang menyusupkan bahan pangan keluar Tanah Perdikan. Bahan pangan yang mungkin akan mengalir ke Madiun, karena orang-orang kaya di Madiun berusaha untuk mengisi lumbung-lumbung di Madiun untuk menghadapi kesulitan pangan karena ribuan prajurit yang sedang berkumpul di Madiun.
Seorang demi seorang, maka sekelompok kecil orang-orang Tanah Perdikan itu menyusup perbatasan, mendekati tempat yang diperkirakan akan menjadi lintasan penyeberangan bahan pangan itu. Namun mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Sementara beberapa orang be-bahu yang oleh Risang disertakan dalam tugas itu, diperintahkan untuk menunggu di perbatasan. Mereka akan mendapat isyarat jika saatnya telah datang.
Sementara itu, di sebuah halaman yang luas, yang mempunyai sebuah pintu butulan menghadap ke perbatasan, telah terjadi kesibukan. Meskipun pintu butulan itu masih tertutup, tetapi segala persiapan telah dilakukan sebaik-baiknya di belakang dinding halaman yang cukup tinggi.
Dalam pada itu, Gandar telah merayap dengan sangat berhati-hati mendekati halaman itu. Dengan sangat berhati-hati pula ia telah memanjat sebatang pohon di luar halaman itu untuk melihat apa saja yang terjadi di dalamnya.
Meskipun di malam hari, namun ketajaman mata Gandar dapat melihat beberapa pedati yang sudah dimuati bahan pangan siap untuk bergerak. Sepasang lembu telah dipasang di setiap pedati yang berjajar berurutan.
Gandar dengan tegang menyaksikan persiapan itu. Iapun melihat beberapa orang bersenjata hilir mudik di sekitar pedati-pedati itu. Tetapi juga di pintu butulan yang masih tertutup itu.
Ternyata apa yang dilaporkan oleh pengawal kepercayaannya yang berhasil menyusup ke lingkungan para pedagang gelap bahan pangan itu benar. Malam itu akan terjadi penyusupan besar-besaran bahan pangan keluar Tanah Perdikan Sembojan, yang agaknya bukan yang pertama kali terjadi.
Dengan demikian maka apa yang dilakukan oleh para pemimpin Tanah Perdikan itu agaknya tidak sia-sia. Mereka akan dapat melihat langsung apa yang sebenarnya telah terjadi di perbatasan.
Karena itu, maka Gandarpun kemudian telah memberikan laporan kepada Risang, apa yang telah dilihatnya.
Para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan itu kemudian telah beringsut mendekati sasaran. Mereka memang terpaksa melintas di seberang perbatasan agar mereka tidak langsung dapat diketahui oleh orang-orang yang bertugas untuk mengamati keadaan.
Risang telah merencanakan untuk menghentikan iring-iringan itu tepat di perbatasan, setelah satu atau dua pedati melintas. Namun Risangpun telah menentukan, bahwa tempat penyergapan itu harus berada di perbatasan.
Demikianlah, maka Risang dan para pemimpin tanah Perdikan itu menunggu. Menurut perhitungan mereka, maka merekamkan dapat mengatasi sejumlah pengawal dari bahan pangan yang akan dibawa melintasi perbatasan itu bersama para bebahu yang masih menunggu isyarat.
Ketegangan terasa semakin mencengkam. Pintu butulan itu masih juga belum terbuka. Rasa-rasanya mereka sudah menunggu terlalu lama. Bahkan bintangpun rasa-rasanya telah bergeser semakin ke Barat.
Namun ternyata mereka terkejut ketika mereka mendengar langkah mendekat. Bahkan orang yang sedang berbicara, justru dari arah Kademangan Kleringan.
Risang dan para pemimpin Tanah Perdikan itu bersembunyi semakin baik. Dengan sungguh-sungguh mereka memperhatikan orang-orang yang lewat itu.
"Empat orang," desis Risang ketika ia melihat empat orang berjalan dengan tergesa-gesa melintasi perbatasan menuju ke pintu butulan yang masih tertutup itu.
Sejenak kemudian, dalam keremangan malam Risang dan para pemimpin Tanah Perdikan yang lain itu melihat orang-orang itu mengetuk pintu butulan. Bahkan mereka dengan jelas mendengar ketukan itu yang agaknya dilakukan dengan isyarat sandi. Ketukan itu terdengar dua kali, tiga kali berturut-turut.
Sejenak kemudian, maka pintu butulan itu terbuka sedikit. Nampaknya sedang terjadi pembicaraan antara orang-orang yang datang itu dengan orang-orang yang ada di belakang pintu.
Namun kemudian, maka pintu itupun terbuka. Tidak hanya sebagian, tetapi pintu yang cukup lebar itu terbuka sepenuhnya.
Risang dan para pemimpin Tanah Perdikan yang lainpun segera bersiap. Nampaknya iring-iringan pedati yang membawa bahan pangan itu akan segera bergerak. Empat orang yang datang itu tentu membawa pesan atau isyarat, bahwa pedati-pedati itu sudah dapat berangkat melintasi perbatasan. Agaknya mereka menganggap bahwa keadaan aman. Sementara pengawas-pengawas merekapun tidak memberikan laporan apa-apa, sehingga mereka menganggap bahwa penyerahan bahan pangan itu tidak akan terganggu.
Sebenarnyalah seperti yang diduga, bahwa pedati-pedati yang berisi bahan pangan itu mulai bergerak. Empat orang yang datang dan mengetuk pintu butulan itulah yang berjalan di paling depan. Kemudian, dua orang yang lain di belakangnya. Baru kemudian pedati yang pertama keluar dari pintu butulan itu.
Risang menjadi berdebar-debar. Sebagaimana dilaporkan oleh Gandar, bahwa pengawal bahan pangan itu cukup banyak. Di antara mereka tentu terdapat orang berilmu tinggi.
Sementara itu, para pemimpin Tanah Perdikan serta para bebahu yang pada saat terakhir dipanggil oleh Risang, jumlahnya tidak sebanyak mereka itu.
Namun Risang merasa, bahwa yang dilakukannya itu adalah kewajibannya. Karena itu, maka Risang tidak berniat untuk mundur dari rencananya.
Demikianlah, maka iring-iringan itupun merayap dengan lamban. Keempat orang yang berjalan terdahulu itu rasa-rasanya tidak sabar. Mereka berjalan mendahului. Namun kemudian berhasil dan memberi isyarat untuk berjalan lebih cepat.
Tetapi lembu yang menarik pedati itu tidak mengerti syarat yang diberikan. Meskipun punggungnya dicambuk beberapa kali, tetapi lembu itu memang tidak dapat berjalan lebih cepat lagi.
Risang dan para pemimpin Tanah Perdikan itu sudah bergeser sampai ke perbatasan. Mereka siap untuk meloncat bangkit untuk menghentikan iring-iringan itu.
Namun Risang memang menunggu pedati yang pertama melintasi perbatasan dan ketika pedati yang kedua tepat berada di perbatasan maka Risangpun memberi isyarat kepada para pemimpin Tanah Perdikan.
Serentak merekapun telah berloncatan dari balik perdu. Dengan lantang Risang berkata, "Berhenti. Berhentilah."
Orang-orang yang berada di depan pedati itu terkejut. Ketika mereka berpaling, maka dilihatnya beberapa orang berdiri tegak di perbatasan.
Keempat orang itu segera berloncatan mendekat. Seorang di antara mereka bertanya lantang, "He, siapakah kalian?"
Tetapi seorang yang lain dengan suara bergetar berdesis, "Angger Risang."
"Ya, Ki Bekel," jawab Risang. Ternyata orang yang mengenalinya itu adalah Ki Bekel dari padukuhan terdekat dengan perbatasan tetapi di lingkungan Kademangan Jerukgede.
"Inikah sebabnya, maka tanah yang membentang sampai ke perbatasan di lingkungan padukuhan Ki Bekel menjadi tanah bera yang tidak pernah ditanami. Aku kira tanah ini menjadi kering karena jaringan airnya rusak. Tetapi agaknya ada kesengajaan agar tanah kering ini dapat menjadi jalur jalan bahan pangan ini."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang yang lain, yang juga dikenal oleh Risang sebagai bebahu Kademangan Jerukgede berkata, "Apa salahnya" Itu adalah hak Ki Bekel. Apakah tanahnya akan ditanami atau dibiarkan bera atau digali sedalam jurang jero sekalipun, itu orang lain tidak akan dapat melarangnya."
"Aku tidak akan pernah melarangnya. Aku memang tidak berhak melarang. Bukankah aku juga tidak berhak berusaha melakukannya" Aku hanya mengatakan bahwa itulah sebabnya maka tanah ini dibiarkan menjadi tanah kering."
"Itu bukan urusanmu. Nah, sekarang, kenapa kau hentikan iring-iringan ini?" bertanya bebahu itu.
"Aku tidak ingin bahan pangan dari Tanah Perdikan dikuras keluar," jawab Risang.
"Tetapi yang kami lakukan adalah perdagangan yang sah. Kami dan para pedagang bahan pangan ini membeli bahan pangan dari orang-orang Tanah Perdikan. Kemudian bahan pangan yang sudah kami beli itu kami bawa keluar karena itu sudah menjadi milik kami."
Risang menggeleng. Katanya, "Tidak. Aku sudah menentukan bahwa bahan pangan tidak boleh dibawa keluar. Tanah Perdikan menjadi kekurangan pangan, terutama di sisi Utara ini. Harga pangan menjadi semakin naik. Aku harus melindungi orang-orang yang kekurangan. Yang sawahnya sempit sehingga nanti panennya tidak mencukupi sehingga mereka harus membeli kekurangan bahan pangannya. Juga mereka yang memilih pekerjaan lain dan tidak bertani."
"Aku tidak peduli. itu adalah persoalanmu dengan orang-orangmu."
"Aku adalah Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Aku berhak membuat peraturan, bahwa bahan pangan tidak boleh keluar dari Tanah Perdikan."
"Itu adalah pertanda bahwa peraturanmu bertentangan dengan keinginan rakyatmu sendiri. Mereka masih juga menjual bahan pangan kepada kami."
Tetapi Risangpun langsung mengatakan, "Dua orang korban telah cukup. Itukah yang kau katakan bahwa rakyatku memang menghendaki perdagangan gelap ini dengan suka rela?"
"Apakah yang kau maksud dengan korban itu!?" bertanya bebahu Jerukgede itu.
"Apakah kami masih harus menjelaskan" Aku kira kalian lebih mengetahui tentang kedua orang korban itu. Siapakah mereka, karena apa, dan siapa yang telah membunuhnya," jawab Risang.
"Kau mengigau anak muda. Sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan, kau tidak boleh kehilangan kendali perasaanmu. Itu tentu akan sangat membahayakan bukan saja bagimu sendiri, tetapi justru bagi Tanah Perdikanmu."
"Aku tidak berkeberatan akan pernyataanmu itu. Tetapi sekarang aku perintahkan, bahan pangan itu tidak boleh dibawa keluar Tanah Perdikan Sembojan."
"Aku tidak peduli. Itu adalah hak kami," berkata orang yang tidak mengenal Risang itu.
"Sekali lagi aku perintahkan, pedati-pedati itu harus kembali dengan muatannya. Tidak sebutir padipun yang keluar dari Tanah Perdikan."
"Itu pedati-pedatiku," berkata orang itu.
"Setelah muatannya dibongkar, bawa pergi pedati-pedati itu. Tetapi aku juga ingin menangkap orang-orang yang telah membunuh rakyat Tanah Perdikan."
"Anak muda," berkata orang itu, "kami adalah pedagang-pedagang yang berpengalaman. Kami tidak pernah mengalami perlakuan yang demikian buruknya sebagaimana perlakuan Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Karena itu, aku minta kau cabut semua persyaratanmu itu," geram orang itu.
"Aku justru harus menegaskan. Bawa bahan pangan itu kembali, atau kami harus mempergunakan kekerasan."
"Bagus," jawab orang itu. "Kami akan mempertahankan hak kami apapun yang akan terjadi. Semua orang tentu akan mengutuk Tanah Perdikan Sembojan yang telah melanggar hak para pedagang. Dengan demikian, maka Sembojan akan terpencil dari dunia perdagangan antar daerah yang tentu sangat diperlukan bagi Tanah Perdikan."
"Tidak," jawab Risang. "Kami membuka arus perdagangan. Tetapi bukan perdagangan gelap seperti ini. Sekarang, sekali lagi aku perintahkan, bawa kembali bahan pangan kami."
Orang itu ternyata tetap bertahan. Karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap.
Namun Ki Bekel padukuhan sebelah yang termasuk lingkungan Kademangan Jerukgede itu berkata terbata-bata, "Nanti dulu. Apakah kita tidak dapat membicarakannya?"
"Maaf Ki Bekel," berkata Risang, "tidak ada pilihan lain."
Tetapi pedagang yang marah itu juga berkata, "kami akan mempertahankan hak kami."
Kepada orang-orangnya pedagang itu berteriak, "lanjutkan perjalanan. Kita membawa milik kita sendiri. Jika Kepala Tanah Perdikan akan merampok milik kita, maka kita akan mempertahankannya. Apapun yang akan terjadi."
Para pengawal pedati itupun segera mempersiapkan diri. Jumlah mereka memang cukup banyak.
Namun Ki Bekel masih berkata, "Tahan dahulu. Kenapa kita harus mempergunakan kekerasan?"
"Tergantung kepada para pedagang gelap itu Ki Bekel. Tergantung pula kepada Ki Bekel dan para bebahu Kademangan Jerukgede. Apakah kami harus mempergunakan kekerasan atau tidak," jawab Risang.
Tetapi yang menyahut adalah pedagang gelap itu, "Aku tidak peduli. Tetapi kami tidak mau dirampok, apalagi oleh seorang Kepala Tanah Perdikan."
Risang tidak menjawab lagi. Iapun segera memberi isyarat pula kepada para bebahu yang menyertainya, yang masih menunggu perintah.
Demikian isyarat itu mereka terima, maka para bebahu itupun segera mulai bergerak. Mereka berjalan di sepanjang bibir padukuhan mendekati iring-iringan pedati yang terhenti itu.
Pedagang gelap itu melihat keadaan yang nampaknya akan menjadi semakin buruk. Karena itu, maka iapun segera berteriak, "Bawa milik kita ke seberang perbatasan. Orang-orang Jerukgede lebih mengenal tatanan perdagangan daripada orang-orang Tanah Perdikan Sembojan."
Tetapi Risang, para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan serta para bebahu segera mempersiapkan diri. Mereka telah berdiri berderet di perbatasan. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, tetapi mereka benar-benar telah bersiap untuk mencegah arus perdagangan gelap itu.
Sementara itu, beberapa orang pengawal Tanah Perdikan sendiri yang terlibat dalam perdagangan itu menjadi bingung. Seharusnya mereka ikut mengamankan bahan pangan itu sampai lewat perbatasan. Namun ketika mereka mengetahui bahwa Kepala Tanah Perdikan Sembojan sendiri yang ada di perbatasan, maka rasa-rasanya mereka kehilangan keberanian untuk melakukannya.
Karena itu, sebelum segala sesuatunya terjadi, maka pengawal kepercayaan Gandar yang berada di antara para pengawal yang telah terbius oleh uang itu telah menyebarkan gagasannya, "Kita lebih baik menghindar dari benturan kekerasan ini. Apakah kita akan melawan para pemimpin kita sendiri" Bahkan mungkin kawan-kawan kita yang dapat dikerahkan oleh Kepala Tanah Perdikan kita jika mereka merasa memerlukannya."
Para pengawal yang terlibat itu memang ragu-ragu. Tetapi seorang di antara mereka berkata, "Kita sudah mereka bayar untuk ikut mengamankan bahan pangan ini sampai ke seberang perbatasan."
Kepercayaan Gandar itu berkata, "Tetapi kita kini telah gagal. Ternyata iring-iringan ini telah berhasil disergap. Siapapun yang menang dalam benturan kekerasan ini, kita akan mengalami kesulitan jika kita tetap berada disini. Jika para pedagang itu menang dan berhasil menyeberang, kita tentu dituduh tidak mampu melindungi mereka sehingga rahasia mereka dapat diketahui oleh Kepala Tanah Perdikan Sembojan. Nasib kita tentu akan seperti dua orang yang sudah terbunuh itu, sementara kita tidak akan dapat minta perlindungan kawan-kawan kita karena dengan demikian mereka akan mengetahui bahwa kita telah terlibat dalam perdagangan gelap. Sebaliknya jika para pemimpin Tanah Perdikan ini yang menang, sementara kita berada disini, maka kitapun akan ditangkap dan dianggap sebagai pengkhianat."
Ternyata gagasan itu dapat diterima oleh para pengawal yang telah terlibat. Sehingga karena itu, maka mereka yang sebagian masih berada di antara pedati-pedati yang berderet terhenti di dalam halaman rumah yang luas itu, berusaha untuk dengan diam-diam meninggalkan tempat itu. Mereka telah memberitahukan pula kepada kawan-kawan mereka yang sudah berdiri di luar halaman dan bahkan ada di antara mereka yang sudah bersiap untuk ikut melindungi bahan pangan itu.
Dengan demikian, maka satu demi satu para pengawal itu dengan diam-diam meninggalkan tempat penimbunan bahan pangan itu.
Sementara itu para pedagang gelap yang memimpin pengangkutan bahan pangan itu telah memerintahkan orang-orang itu melindungi pedati-pedati yang akan melanjutkan perjalanan.
Dalam pada itu, dua orang yang agaknya juga termasuk sebagai pedagang gelap itu bergerak mendekati para pemimpin dari Tanah Perdikan itu. Keduanya terkejut. Dalam keremangan malam di tempat terbuka, maka keduanya merasa sudah pernah bertemu dengan anak muda yang disebut sebagai Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu.
Selagi orang itu termangu-mangu, maka tiba-tiba saja Sambi Wulung bertanya, "Kenapa kau memandang Kepala Tanah Perdikan Sembojan seperti itu?"
Orang itu tidak segera menjawab. Namun Risanglah yang berkata, "Kita memang pernah bertemu."
"Jadi kau Kepala Tanah Perdikan ini anak muda?" bertanya seorang di antara mereka.
"Sekarang kau tidak akan menertawakan kuda kami lagi," sahut Jati Wulung.
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka segera berkata kepada kawannya yang telah mengisyaratkan untuk melanjutkan perjalanan, "Kita memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali melindungi hak milik kita dengan cara apapun."
Sebenarnyalah, maka pedagang gelap yang datang bersama Ki Bekel itu telah meneriakkan aba-aba, agar pedati-pedati itu mulai bergerak.
Tetapi pada saat yang bersamaan, seorang bebahu Tanah Perdikan dengan tangkas telah meloncat ke depan pedati yang berada di perbatasan, menarik dan berusaha memutar arah pedati itu kembali ke Tanah Perdikan.
Namun seorang pengawal perdagangan gelap itu telah meloncat menyerangnya. Untunglah bahwa bebahu yang lain melihatnya, sehingga ia sempat memotong serangan itu.
Demikianlah maka pertempuranpun mulai menyala. Para pedagang gelap beserta pengawalnya segera menyerang orang-orang Tanah Perdikan Sembojan. Mereka menyadari, bahwa waktunya tidak terlalu banyak. Sementara pertempuran berlangsung, mereka harus sudah membawa pedati-pedati itu ke seberang, sehingga jika para bebahu itu memanggil para pengawal, pedati-pedati itu sudah berada di seberang.
Ternyata para pengikut pedagang-pedagang gelap itu cukup banyak. Mereka berlari-larian membantu kawan-kawan mereka yang sudah terlibat dalam perkelahian.
Namun ada juga yang teringat kepada para pengawal Tanah Perdikan sendiri yang telah mereka bayar untuk membantu mengamankan penyeberangan bahan pangan itu. Tetapi mereka sudah hilang ditelan gelapnya malam.
"Orang-orang Tanah Perdikan itu telah berkhianat," teriak salah seorang pedagang gelap itu. "Kita sudah membayar mereka dengan upah yang tinggi. Tetapi dalam keadaan seperti ini mereka telah menghilang."
Para pedagang gelap serta pengikutnya itupun mengumpat-umpat. Tetapi mereka tidak dapat sekedar marah-marah. Di hadapan mereka para pemimpin dan bebahu Tanah Perdikan Sembojan telah mulai bertempur.
Demikianlah, maka pertempuran itupun segera meluas. Para pedagang gelap itupun segera menyerang Risang dan para pemimpin yang lain. Orang yang pernah mengejek kuda-kuda Risang. Sambi Wulung dan Jati Wulung telah melibatkan diri pula dalam pertempuran itu. Seorang di antara mereka, yang bertempur melawan Risangpun berkata, "Kau ternyata seorang pembohong."
"Kenapa?" bertanya Risang.
"Kau tidak berani mengaku, bahwa kau adalah Kepala Tanah Perdikan Sembojan pada waktu itu."
"Aku menganggap bahwa hal itu tidak perlu. Tetapi ternyata kita sekarang bertemu lagi. Dalam keadaan seperti ini, maka aku harus mengatakan siapakah aku sebenarnya."
"Kenapa waktu itu kau tidak mengaku bahwa kau adalah Kepala Tanah Perdikan Sembojan."
"Buat apa aku berceritera tentang kedudukanku kepada orang-orang yang bertemu di perjalanan" Apakah aku harus dengan menengadahkan kepalaku berkata, aku adalah Kepala Tanah Perdikan."
"Bohong. Kau memang pembohong dan juga penakut. Kau takut bertanggung jawab atas jabatan yang kau emban."
Risang tidak menjawab. Orang yang sedang kecewa dan marah dapat berkata apa saja. Tetapi ia tidak perlu menghiraukannya.
Bahkan Risang telah mulai menyerang orang itu agar orang itu tidak lagi banyak berbicara.
Demikianlah, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Para bebahu segera mengerahkan kemampuan mereka. Namun ternyata bahwa lawan memang terlalu banyak. Sehingga dengan demikian, maka para bebahu itupun mulai terdesak.
Namun dalam pada itu, Sambi Wulung, Jati Wulung dan Gandar telah bertempur dengan garangnya. Ilmu mereka yang tinggi memang tidak tertandingi. Bahkan para pemimpin dari mereka yang berusaha untuk melakukan perdagangan gelap itupun segera mengalami kesulitan, sehingga mereka harus menyusun kelompok-kelompok kecil untuk bertahan. Sambi Wulung dan Jati Wulung memang harus menghentak lawan-lawan mereka untuk menghisap lawan, jika tidak demikian, maka para bebahu akan menjadi semakin sulit menghadapi lawan yang jumlahnya lebih banyak itu.
Kecuali mereka, seorang lagi telah bertempur dengan tangkasnya. Orang yang sama sekali tidak ikut berbicara di antara para pemimpin Tanah Perdikan itu dengan para pedagang gelap.
Tidak seorangpun di antara para pedagang-gelap itu yang menduga bahwa orang itu adalah seorang perempuan. Apalagi di malam hari dalam pakaian yang tidak berbeda dengan pakaian orang yang lain yang hadir di tempat itu.
Namun ternyata bahwa orang itu, Nyi Wiradana, bertempur dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh lawan-lawannya.
Karena itu, maka kemudian ada tiga orang yang berkelompok untuk melawan orang itu.
Dalam pada itu, para bebahu Kademangan Jerukgede serta Ki Bekel padukuhan sebelah tidak mempunyai pilihan lain. Merekapun telah terlibat pula dalam pertempuran itu. Namun Ki Bekel dan para bebahu Kademangan Jerukgede bukan saja menjadi gelisah karena pertempuran yang semakin sengit itu, tetapi akibat dari peristiwa itu bagi padukuhannya dan bagi Kademangan Jerukgede.
Mereka tidak dapat ingkar bahwa Tanah Perdikan Sembojan adalah sebuah Tanah Perdikan yang kuat. Tanah Perdikan Sembojan memiliki sejumlah pengawal yang tidak kurang dari satu kesatuan prajurit yang berpengalaman. Jika saja pada saat yang lain, dendam menyala di jantung Tanah Perdikan itu, maka Kademangan Jerukgede tidak akan dapat berbuat sesuatu.
Tetapi hal itu sebenarnya telah dipikirkan oleh Ki Demang Jerukgede yang juga terlibat dalam perdagangan gelap itu. Bukan saja salah seorang di antara pedagang gelap itu yang pernah menjanjikan perlindungan, tetapi ternyata bahwa seorang Senapati dari Madiun, yang memang mendapat tugas untuk mempersiapkan bahan makanan dan perbekalan, pernah berkunjung ke Kademangan Jerukgede. Senapati itulah yang telah menyatakan kesediaannya untuk mengirimkan perlindungan.
"Kami memerlukan bahan pangan itu. Karena itu, maka kami akan melindungi jalur arus bahan pangan itu," berkata Senapati yang pernah datang ke Kademangan Jerukgede itu.
Janji itulah yang kemudian menjadi pegangan Ki Demang Jerukgede sehingga ia berani melibatkan diri dalam perdagangan gelap itu bersama para bebahu dan beberapa orang bekel, terutama yang berbatasan dengan Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pada itu, pertempuran di perbatasan itu menjadi semakin sengit. Risang yang dengan cepat berhasil mendesak lawannya, kemudian harus menghadapi tiga orang lawan. Pedagang gelap yang terdesak itu telah memanggil dua orang pengikutnya untuk bersama-sama menghadapi anak muda yang ternyata adalah Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu.
Namun dengan demikian, maka tugas para bebahupun menjadi semakin ringan. Mereka tidak lagi harus berhadapan dengan terlalu banyak orang. Apalagi ketika Sambi Wulung, Jati Wulung, Gandar dan Nyi Wiradana mulai mengurangi jumlah lawan. Beberapa orang pengikut dan bahkan beberapa orang di antara pedagang gelap itu telah terluka. Satu dua orang terpaksa menghentikan perlawanan, karena lukanya ternyata cukup parah, sehingga mereka harus berusaha untuk menahan darah yang terus mengalir.
Sementara itu, Risang sendiri telah berhasil mendesak ketiga orang lawannya. Meskipun harus dengan meningkatkan kemampuannya.
Para bebahu yang tidak lagi harus bertempur dengan lawan yang terlalu banyak, mulai mendesak lawan mereka pula. Meskipun ada juga satu dua di antara mereka yang terluka. Tetapi bebahu Tanah Perdikan Semboyan, sebagaimana para pengawalnya, memiliki kemampuan prajurit yang tangguh. Sebagian dari mereka sebelumnya adalah juga para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Sembojan.
Dengan demikian, maka para pedagang gelap serta beberapa orang pengikutnya bersama beberapa orang bebahu Jerukgede tidak dapat lagi mengingkari kenyataan. Betapapun mereka memeras kemampuan mereka dengan jumlah yang lebih banyak, namun akhirnya mereka telah terdesak dari medan.
Dalam keadaan yang demikian, maka orang yang dituakan oleh para pedagang gelap itu telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya dan kepada para pengikutnya untuk dengan cepat meninggalkan medan.
Demikianlah, maka para pedagang gelap itu pun segera berusaha melarikan diri bersama para bebahu Jeruk gede. Dalam kegelapan malam, mereka telah memasuki lingkungan Jerukgede lebih dalam lagi untuk menjauhi perbatasan.
Ketika para bebahu Tanah Perdikan Sembojan akan mengejar mereka, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu hampir bersamaan telah mencegah mereka. Terutama Nyi Wiradana sendiri.
"Kita tidak perlu mengejar mereka sampai ke padukuhan -padukuhan di daerah Jerukgede. Dengan demikian, kedudukan kita akan menjadi lemah karena kita sudah melintasi batas meskipun kita punya alasan yang kuat," berkata Nyi Wiradana.
Risangpun sependapat dengan ibunya. Karena itu, maka iapun segera memerintahkan orang-orang Tanah Perdikan kembali ke halaman rumah yang luas yang mempunyai pintu butulan menghadap ke perbatasan.
"Kita bawa kembali semua pedati. Yang sudah terlanjur memasuki daerah Jerukgede itu juga akan kita ambil kembali," berkata Risang.
Dua orang bebahu kemudian telah memasuki daerah Jerukgede untuk membawa kembali pedati yang berisi bahan pangan yang sudah terlanjur menyeberangi perbatasan.
Selain membawa pedati yang bermuatan bahan pangan itu, maka para bebahu Tanah Perdikan Sembojan itu juga membawa beberapa orang tawanan. Bahkan di antara mereka adalah para pengikut pedagang-pedagang gelap itu terluka cukup parah.
Seorang di antara para tawanan itu adalah bebahu Kademangan Jerukgede. Sebenarnya Risang tidak ingin menahannya dan membiarkannya kembali ke Kademangan Jerukgede. Namun orang itu terluka agak parah, sehingga orang itu tidak dapat berjalan sendiri. Sementara itu, kawan-kawannya telah meninggalnya di medan begitu saja.
"Kau dapat memilih," berkata Risang kepada bebahu itu, "jika kau ingin kembali ke Kademangan, kembalilah. Tetapi jika kau tidak dapat berjalan sendiri, kami tidak berkeberatan kau tinggal di Tanah Perdikan sampai kau dapat pulang sendiri."
"Biarlah aku beristirahat disini lebih dahulu," berkata orang itu.
"Kami tidak berkeberatan," jawab Risang. "Tetapi bukan maksud kami menawanmu."
"Aku mengerti," orang itu berdesis.
Risangpun kemudian telah memerintahkan para bebahu untuk membawa para tawanan dan orang-orang yang terluka ke padukuhan induk. Mereka yang tidak lagi dapat berjalan, telah dibawa dengan pedati yang masih tersisa di halaman rumah yang tuas itu.
Sementara itu, para pemimpin Tanah Perdikan itu masih akan tinggal untuk berbicara dengan pemilik rumah itu. Seorang yang terhitung kaya di padukuhan itu.
Ketika Risang, Nyi Wiradana dan yang lain memanggil pemilik rumah itu untuk duduk bersama di pendapa, maka wajah orang itu menjadi pucat.
"Maaf Ki Sanepa bahwa kamilah yang telah mempersilahkan Ki Sanepa, bukan sebaliknya meskipun rumah ini adalah rumah Ki Sanepa," berkata Nyi Wiradana.
"Akulah yang mohon ampun," sahut Ki Sanepa. "Aku sudah merasa bersalah."
"Nanti dulu," sahut Jati Wulung. "Jangan seperti sulung masuk ke dalam api. Menyurukkan kepalanya seperti itu. Kita belum membicarakan persoalan yang gawat ini. Kita baru berbicara tentang unggah-ungguh."
"Ya, ya, Ki Jati Wulung," sahut orang itu.
"Nah, sekarang duduklah dengan baik," berkata Risang. "Kita akan berbincang dengan baik pula."
"Aku mohon ampun," berkata orang itu pula tanpa menghiraukan penjelasan Risang.
Risang tidak mengulanginya lagi. Tetapi kemudian ia justru bertanya, "Apa yang sudah terjadi disini, Ki Sanepa?"
Ternyata Ki Sanepa tidak berusaha untuk ingkar. Ia sadar bahwa tidak ada gunanya untuk berbohong. Karena itu, maka katanya kemudian, "Tempat ini telah menjadi penampungan bahan pangan yang akan disusupkan keluar Tanah Perdikan."
"Kau sadar akan hal itu Ki Sanepa?" bertanya Nyi Wiradana.
"Kesadaran itu datang terlambat. Baru ketika tempat ini disergap, aku merasa betapa besar kesalahanku terhadap kampung halamanku ini."
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Risang yang mengangguk-angguk itupun kemudian berkata, "Selama ini kami tidak dapat mengenali jejak Ki Sanepa. Namun akhirnya jejak itu dapat kami telusuri juga. Tetapi seperti Ki Sanepa, kamipun ternyata telah terlambat."
"Tidak. Belum terlambat. Bahan pangan itu masih ada disini. Bukankah pedati-pedati itu dapat dihentikan di perbatasan dan kemudian dibawa kembali?"
"Kali ini memang belum terlambat, Ki Sanepa. Tetapi apakah usaha untuk menyusupkan bahan pangan baru dilakukan kali ini?" bertanya Risang.
Ki Sanepa tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
"Apakah Ki Sanepa juga pernah mendengar tentang dua orang keluarga kita yang terbunuh?" bertanya Risang pula.
Wajah Ki Sanepa tunduk semakin dalam. Sedangkan Risang masih bertanya, "Apakah Ki Sanepa juga pernah mendengar bahwa usaha yang kau lakukan ini telah menggoyahkan segi kecintaan anak-anak muda kepada kampung halaman mereka" Beberapa orang pengawal yang seharusnya menjaga agar usaha penyusupan ini tidak terjadi, justru telah terlibat di dalamnya. Sehingga dengan demikian maka usaha untuk menelusuri jejak Ki Sanepa dan para pedagang gelap itu menjadi sangat sulit. Segala usaha untuk menjebak para pedagang gelap itu selalu gagal, karena para pengawal yang harus melakukannya sudah terbius oleh keping-keping uang."
Tubuh Ki Sanepa menjadi bergetar. Kata-kata Risang itu bagaikan duri-duri tajam yang menusuk jantungnya.
"Ki Sanepa," berkata Risang selanjutnya, "kami terpaksa untuk sementara menguasai rumah Ki Sanepa. Pada saatnya tentu akan kami kembalikan. Kami masih memerlukan banyak keterangan tentang perdagangan gelap ini. Sementara itu, kami akan membawa Ki Sanepa ke padukuhan induk dan untuk sementara Ki Sanepa akan berada disana."
"Aku mohon ampun. Aku memang bersalah."
"Bersiaplah Ki Sanepa, mungkin ada yang akan kau bawa. Sebaiknya kau minta diri kepada keluargamu."
Ki Sanepa memang tidak dapat berbuat lain kecuali menjalankan perintah itu.
Di hari berikutnya, maka Tanah Perdikan Sembojan menjadi sibuk. Atas nama Kepala Tanah Perdikan Sembojan, Gandar memanggil para pengawal yang telah terlibat dalam perdagangan gelap itu untuk menyerahkan dirinya.
"Kami sudah mengetahui semua orang yang terlibat dalam perdagangan gelap itu. Namun kamu masih belum akan melakukan penangkapan. Kami masih memberikan kesempatan kepada mereka yang terlibat untuk menyatakan diri dengan sukarela. Namun jika batas waktu sepekan sudah dilampaui, maka terhadap mereka yang tidak mentaati perintah ini akan diambil tindakan tegas," berkata Gandar kepada para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Sembojan, terutama yang bertugas di sisi Utara Tanah Perdikan itu.
Para pengawal itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Satu demi satu mereka datang untuk menyerahkan diri mereka. Dengan menyesal mereka mengaku, bahwa mereka telah terlibat dalam perdagangan gelap dengan orang-orang Kademangan Jerukgede.
Gandar yang bertugas untuk menerima penyerahan itu dibantu oleh beberapa bebahu padukuhan, tidak menahan mereka. Mereka diberi kesempatan untuk tetap berada di rumah mereka masing-masing. Namun Gandar memerintahkan agar mereka tidak meninggalkan padukuhan mereka.
"Setiap saat kalian kami perlukan untuk memberikan keterangan dan kesaksian," berkata Gandar kepada mereka.
Bahkan pengawal yang sengaja ditanam Gandar dian-tara mereka yang terlibat itupun telah datang pula untuk menyerahkan dirinya.
Tugas para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan selanjutnya adalah mencari keterangan tentang perdagangan gelap itu dari orang-orang yang dapat ditangkap.
Bebahu Kademangan Jerukgede yang tertangkap itu ternyata tidak mempersulit para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan. Ia menjawab segala macam pertanyaan sesuai dengan yang diketahuinya. Dari bebahu itu pula, Risang mengetahui, bahwa memang sudah ada hubungan antara Jerukgede dan beberapa pedagang yang memanfaatkan keadaan yang panas antara Madiun dan Mataram. Kebutuhan bahan pangan yang sangat banyak bagi prajurit-prajurit yang bertimbun di Madiun memberi kesempatan kepada mereka untuk menjaring keuntungan yang sebesar-besarnya.
Namun satu hal yang mendapat perhatian khusus dari para pemimpin di Tanah Perdikan Sembojan adalah keterangan bebahu Jerukgede itu, bahwa jika terjadi persoalan antara Jerukgede dan Tanah Perdikan Sembojan, maka sekelompok prajurit Madiun akan bersedia melindungi Kademangan Jerukgede.
"Janji itulah yang agaknya membuat Ki Demang dan para bebahu Jerukgede terjerumus ke dalam perdagangan gelap itu," berkata Risang kepada ibunya yang mengikuti setiap perkembangan keadaan dengan saksama.
"Dengan demikian, kau harus semakin berhati-hati Risang. Persoalan ini akan dapat berkembang menjadi Persoalan yang gawat. Jika kau memandang perlu, maka kau dapat melaporkan persoalan ini kepada para pemimpin di Pajang. Sebab persoalannya bukan sekedar perdagangan gelap, tetapi sudah menyangkut persoalan dalam hubungannya dengan permusuhan antara Pajang dan Madiun," berkata ibunya.
"Tetapi aku akan mencoba mengatasi persoalan ini ibu. Baru jika persoalannya benar-benar berkembang menjadi semakin gawat, aku akan melaporkannya ke Pajang," jawab Risang.
"Aku setuju Risang. Tetapi sejak semula kau harus menganggap bahwa persoalannya adalah persoalan yang gawat. Karena itu, maka kau harus menanggapinya dengan sungguh-sungguh."
"Ya ibu. Nampaknya persoalannya memang tidak akan berhenti sampai sekian," jawab Risang.
Demikianlah, maka Risang justru semakin berhati-hati menghadapi Kademangan Jerukgede. Beberapa hari setelah usaha penyusupan itu digagalkan, maka Ki Demang di Jerukgede sendiri telah datang menemui Risang untuk membicarakan tentang bebahunya yang ada di Tanah Perdikan.
"Kau culik bebahu Kademangan kami," berkata Ki Demang.
"Aku mohon agar Ki Demang mau melihat kenyataan," sahut Risang.
"Kenyataan yang mana?" bertanya Ki Demang.
"Bebahu Jerukgede itu akan dapat berceritera, kenapa bebahu itu akan berada disini," jawab Risang.
"Kau tentu sudah mengancamnya, sehingga ia akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan jawaban sebagaimana kau kehendaki agar kami tidak dapat melihat apa yang sebenarnya telah terjadi disini."
"Seandainya kau tetap tidak percaya kepada bebahumu sendiri, itu adalah persoalanmu. Tetapi seandainya ia takut ancamanmu, maka nanti jika orang itu sudah berada kembali di rumahnya, bertanyalah kepadanya."
"Ia tentu kena pengaruh sihirmu atau pengaruh ilmu iblismu. Kau tentu juga mengancamnya, jika ia akan mengatakan yang sebenarnya," berkata Ki Demang.
"Ki Demang," berkata Risang dengan nada berat, "kenapa Ki Demang menjadi kasar" Kita sudah lama saling mengenal. Kita sudah lama berhubungan."
"Kaulah yang lebih dahulu bersikap kasar. Kau culik bebahuku dari lingkungan Kademanganku sendiri. Bukankah itu perbuatan kasar?"
"Kau lihat sendiri ha! itu?" bertanya Risang.
"Aku punya saksi," jawab Ki Demang.
"Aku juga punya saksi. Jika saksi Ki Demang penghuni sekademangan, maka saksiku penghuni setanah perdikan yang jumlahnya lebih banyak."
"Aku tidak akan berbicara tentang banyak hal. Serahkan kembali bebahuku itu."
"Tanpa kau minta, aku sudah melepaskannya sejak ia berada di Tanah Perdikan ini. Tetapi karena luka-lukanya, maka ia minta lukanya disembuhkan lebih dahulu."
"Omong kosong. Apapun yang kau katakan, aku minta orangku itu."
Risang menarik nafas panjang. Ia berusaha untuk mengendapkan perasaannya yang bergejolak. Namun bagaimanapun juga sikap Ki Demang itu tidak dapat diterimanya.
Dengan nada tinggi Risang bertanya, "Ki Demang. Yang Ki Demang kehendaki, bebahu Kademangan Jeruk-gede itu saja atau semua orang yang telah aku tawan disini termasuk para pedagang gelap itu beserta orang-orangnya?"
Ki Demang justru menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah Risang yang nampak bersungguh-sungguh.
Tetapi Ki Demang tidak segera mengerti arti tawaran Risang itu.
"Apa maksudmu dengan tawaranmu itu?" bertanya Ki Demang kemudian dengan ragu-ragu.
Dengan tegas Risangpun kemudian berkata, "Ki Demang. Tidak seorangpun yang akan aku lepaskan sebelum persoalan ini benar-benar selesai."
Wajah Ki Demang menjadi tegang. Ia melihat sikap Risang yang tiba-tiba berubah. Apalagi sorot mata Risang itupun seakan-akan telah memancarkan cahaya api kemarahan.
Namun Ki Demang tidak ingin menunjukkan getar di dadanya yang menjadi semakin cepat. Karena itu Ki Demang itu masih berkata dengan tantang, "Bukankah kau mengatakan bahwa tanpa aku minta kau akan melepaskannya" Nah, sekarang serahkan orang itu kepadaku. Aku hanya memerlukan bebahuku itu."
"Tidak. Aku berubah pikiran. Aku tidak akan melepaskan seorangpun termasuk bebahumu itu. ia sudah terlibat dalam perdagangan gelap. Semua pihak yang tersangkut harus mempertanggungjawabkannya," berkata Risang dengan suara bergetar.
"Jadi haruskah perkataanmu tidak dipercaya?"
"Setiap orang dapat merubah pikirannya. Jika ia melihat langkah yang lebih baik, maka ia akan merubah langkahnya yang terdahulu."
Jantung Ki Demang terasa menjadi panas. Sikapnya justru membuat hati Kepala Tanah Perdikan Sembojan yang masih muda itu membantu. Usahanya untuk menggertak anak muda itu, justru berakibat sebaliknya.
Ki Demang memang agak menyesal. Jika ia datang dan berbicara dengan baik, mungkin akibatnya akan lain. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Harga diri Ki Demang itu tidak akan dikorbankannya. Karena itu maka katanya, "Anak muda. Jika kau tidak menyerahkan bebahu Kademanganku itu, kau akan menyesal."
"Apakah Ki Demang mengancam?" bertanya Risang.
"Ya. Aku memang mengancam," jawab Ki Demang.
"Jika Ki Demang akan memaksakan kehendak Ki Demang untuk mengambil bebahu itu dengan ancaman-ancaman, maka itu tidak ada gunanya. Ki Demang sudah mengenai Tanah Perdikan ini dengan baik, sebagaimana aku mengenal Kademangan Jerukgede dengan baik."
"Tidak. Kau mengenai Kademangan Jerukgede hanya pada permukaannya saja. Kau tidak mengenal Jerukgede dalam arti yang sesungguhnya. Kau tidak melihat apa yang tersimpan di dalamnya."
"Aku melihatnya dengan jelas Ki Demang. Aku melihat kekuatan sekelompok prajurit yang akan melindungi Kademangan Jerukgede. Tetapi itu tidak banyak berarti."
Wajah Ki Demang menjadi merah. Tetapi ia masih berusaha mengguncang ketahanan hati Risang, "Aku akan membawa pulang bebahu itu."
Namun jawaban Risang masih tetap, "Apakah Ki Demang masih melihat gunanya dengan permintaan seperti itu?"
Dada Ki Demang terasa menjadi semakin panas. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka iapun segera minta diri. Meskipun demikian ia masih tetap mengancam, "Hati-hatilah anak muda. Tanah Perdikan Sembojan ini tidak dapat kau anggap sebagai alat untuk mencari kepuasan bagi dirimu sendiri."
"Itu akan lebih baik daripada memberikan kepuasan kepadamu, Ki Demang," jawab Risang.
Ki Demang menggeretakkan giginya. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi.
Namun Risanglah yang berkata, "Tetapi ingat Ki Demang, jika persoalannya menyangkut Ki Demang, maka persoalan di antara kita masih belum selesai."
Ki Demang memang tidak menjawab. Tetapi jantungnya rasa-rasanya akan pecah. Anak muda itu benar-benar keras kepala. Ia sama sekali tidak dapat digetarkan oleh ancaman-ancaman apapun juga.
Ki Demang yang gagal menakut-nakuti Risang itu, benar-benar menjadi marah. Ia menganggap bahwa waktunya telah datang untuk menagih janji, agar Kademangan Jerukgede mendapat perlindungan.
Karena itu, maka Ki Demang itu telah memerintahkan dua orang bebahunya untuk menghubungi Senapati Madiun yang telah menjanjikan perlindungan itu.
Sementara itu, Risangpun menyadari, bahwa tindakannya itu akan dapat mempercepat keterlibatan para prajurit Madiun. Tetapi Risang memang tidak mempunyai pilihan lain.
Meskipun demikian, ibunya telah berkata kepadanya, "Seharusnya kau lepaskan bebahu Jerukgede itu."
"Sebenarnya aku memang berniat demikian ibu. Tetapi sikap Demang itu sangat menyakitkan hati, sehingga aku telah membatalkannya."
Nyi Wiradana menarik nafas dalam-dalam. Anaknya memang masih muda, sehingga keputusan-keputusannya masih sangat dipengaruhi oleh gejolak perasaannya.
Tetapi Nyi Wiradana tidak langsung menegurnya, agar anaknya tidak kecewa. Jika Nyi Wiradana terlalu sering menyalahkannya, maka Risang akhirnya akan selalu ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
Meskipun demikian, Nyi Wiradanapun memperingatkan anaknya, dengan nada yang lunak, "Baiklah Risang. Tetapi berhati-hatilah. Setiap saat kita akan dapat terlibat dalam permusuhan dengan Kademangan Kleringan. Tetapi bukan hanya itu, karena di Kademangan Kleringan akan banyak dihuni oleh orang asing."
"Orang asing?" bertanya Risang.
"Ya. Prajurit-prajurit dari Madiun. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan sumber bahan pangan yang sangat dibutuhkan bagi ribuan prajurit yang ada di Madiun. Sementara daerah Selatan yang subur ini akan dapat menjadi sumber bahan pangan itu."
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan bersiap menghadapi kemungkinan buruk itu."
"Jika keadaan menjadi semakin gawat, maka kau memang harus memberikan laporan ke Pajang," berkata ibunya. "Bukan karena kita tidak memiliki kemampuan untuk melindungi diri sendiri, tetapi laporan itu perlu bagi Pajang untuk membuat penilaian menyeluruh atas pertentangan yang telah terjadi antara Mataram dan Madiun. Juga penilaian Pajang atas beberapa daerah yang nampaknya telah meninggalkan kesetiaannya kepada Pajang karena gemerincing keping-keping uang."
"Baik ibu. Pada saat yang tepat, aku akan pergi ke Pajang," jawab Risang.
Dengan demikian, maka Risangpun semakin meningkatkan kesiagaannya. ia mulai memanggil dan memeriksa para pengawal yang terlibat. Dalam keadaan yang semakin gawat, keutuhan dan kesatuan sikap para pengawal sangat dibutuhkan. Demikian pula kesediaan mereka untuk mematuhi setiap paugeran yang berlaku.
Tanpa ragu-ragu Risang telah menjatuhkan hukuman bagi mereka yang bersalah. Risang sadar, bahwa jika ia tidak bertindak demikian maka kewibawaannya akan terusik.
Di hari-hari berikutnya, maka Risang telah mempersiapkan para pengawal Tanah Perdikan untuk tugas-tugas yang lebih berat. Kepada para pengawal Risang mengatakan, meskipun ada beberapa orang pengawal yang telah menodai nama baik pengawal Tanah Perdikan Sembojan, namun kepercayaan Risang kepada para pengawal sama sekali tidak terpengaruh.
Dalam pada itu, selagi Risang disibukkan oleh tingkah laku para pedagang gelap, maka di Pajang Ki Rangga Dipayuda telah melihat perkembangan hubungan anak gadisnya dengan Kasadha sebagaimana diharapkannya. Nampaknya Riris mulai memperhatikan Kasadha yang sering datang ke rumahnya. Sekali-sekali bersama ayahnya, namun kadang-kadang Kasadha datang sendiri.
Jangkunglah yang justru menjadi murung melihat perkembangan hubungan antara adiknya dan Ki Lurah Kasadha itu. Setiap kali ia membayangkan betapa kecewanya Risang jika ia mengetahuinya.
Tetapi Jangkung memang tidak dapat berbuat sesuatu. Yang dihadapi adalah satu kenyataan, bahwa adiknya nampaknya menjadi semakin dekat dengan Kasadha yang memang lebih sering datang ke rumahnya daripada Risang yang jauh.
Ki Rangga Dipayuda menjadi semakin berpengharapan, agar anaknya yang sudah dewasa sepenuhnya itu akan segera dapat mengakhiri masa kesendiriannya dengan seorang prajurit muda yang memang diinginkannya.
Jika Ki Rangga memilih Kasadha, bukan berarti bahwa Ki Rangga membenci Risang. Risang bagi Ki Rangga juga dianggapnya seorang anak muda yang baik. Tetapi di antara yang baik itu, ia memang hanya dapat memilih seorang saja. Dan yang seorang itu adalah Kasadha.
Dari hari ke hari, hubungan Kasadha dan Riris memang menjadi semakin rapat. Pengenalan Riris terhadap ayahnya yang juga seorang prajurit, rasa-rasanya dapat dikenalinya pula pada Kasadha.
Dalam pada itu, ibu Ririspun bersikap sangat baik kepada Kasadha. Kadang-kadang Jangkung menjadi heran, bahwa apa yang dilakukan ibunya terhadap Kasadha, melampaui perlakuan ibunya terhadap dirinya.
Namun dalam kesendiriannya, Jangkung memang sering menilai dirinya sendiri. Ayah dan ibunya agaknya menginginkan salah seorang dari keturunannya dapat meneruskan pengabdian Ki Rangga di bidang keprajuritan. Jika ia sendiri tidak menjadi seorang prajurit, sedang Riris adalah seorang perempuan, maka kehadiran seorang prajurit muda di dalam keluarganya tentu diterimanya dengan sepenuh hati.
Sementara itu, Kasadha sendiri masih belum menyampaikan persoalan yang tumbuh dan berkembang di hatinya itu kepada ibunya. Tetapi beberapa kali Kasadha sudah mengatakannya kepada gurunya. Setiap kali gurunya itu menganjurkan kepadanya, untuk segera melamar gadis itu.
"Kau bukan kanak-kanak lagi," berkata gurunya. "Kaupun sudah mempunyai pegangan bagi hidup keluarga yang akan kau bangunkan kelak."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia menjawab, "Tetapi apakah saatnya tepat sekarang, guru. Sebagai seorang prajurit, aku berada dalam kesiagaan tertinggi, justru karena suasana yang panas dalam hubungan antara Mataram termasuk Pajang dengan Madiun."
"Kapan saja pernikahan itu dapat saja dilakukan. Sebelum atau setelah perang terjadi. Tetapi sebaiknya, segala sesuatunya menjadi jelas, jika kau sudah melamarnya, maka segala rangkaiannya dapat ditentukan kemudian. Misalnya setelah perang selesai."
Kasadha termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis, "Belum tentu aku dapat keluar dari perang yang tentu akan berlangsung dengan sengitnya. Jika hal itu terjadi, bukankah hati gadis itu akan tersiksa. Ia akan menjadi janda sebelum melakukan pernikahan."
"Jangan berpikir terlalu jauh, Kasadha. Bukankah kau yakin, bahwa batas hidupmu itu akan dapat terjadi dimana saja" Di peperangan, di rumah atau di barakmu?"
Kasadha mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, "Ya, guru."
"Nah, jika demikian, maka persoalan yang satu itu harus kau singkirkan. Kau harus bersandar kepada Sumber Hidupmu," berkata gurunya pula.
Kasadha memandang gurunya dengan penuh keraguan. Namun kemudian iapun bertanya, "Jadi, apakah sebaiknya aku melamar gadis itu?"
"Ya. Menurut pendapatku, itu adalah yang terbaik."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia bertanya pula, "Guru. Jika aku benar-benar ingin melamarnya, siapakah yang harus melakukannya" Aku sendiri atau guru?"
"Kasadha," desis gurunya, "sebaiknya kau penuhi adat yang berlaku. Biarlah orang tuamu datang melamar gadis itu."
"Ibu maksud guru?" bertanya Kasadha.
"Ya. Kau harus menemui ibumu dan minta agar ibumu datang untuk melamar gadis itu. Bukankah demikian adat yang berlaku?"
"Tetapi tidak harus ibu sendiri. Maksudku, tidak harus orang tua itu sendiri yang datang. Ibu dapat minta tolong kepada guru, misalnya."
"Itu memang dapat saja dilakukan. Tetapi bagaimana juga, hal itu dilakukan atas-nama orang tuamu."
Kasadha menundukkan kepalanya. Suaranya merendah dan bahkan hampir tidak terdengar, "Guru. Guru mengenal orang tuaku dengan baik. Apa kata gadis itu jika pada suatu saat ia mengerti apa yang pernah ditakutkan oleh ibuku."
"Kau tidak boleh mengingkari kenyataan itu, Kasadha. Apa yang pernah terjadi dengan ibumu itu kini sudah lewat. Ibumu sekarang adalah seorang petani yang baik. Ia hidup rukun dan damai dengan tetangga-tetangganya bersama bibimu."
"Tetapi apakah ibu dapat menghapus tingkah lakunya di masa yang lewat itu?" bertanya Kasadha.
"Yang dihadapi oleh orang tua gadis itu adalah orang tuamu sekarang. Bukan orang tuamu di masa lampau itu."
Kasadha terdiam. Tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Kasadha tidak dapat mengesampingkan begitu saja Risang, yang menurut penglihatannya juga tertarik kepada Riris. Jika pengamatannya itu benar, dan kemudian Risang menjadi kecewa dan bahkan marah dan kehilangan kendali akalnya, apakah tidak mungkin Risang akan mengungkapkan noda-noda kehidupan keluarganya yang telah lama dikuburnya itu.
Tetapi Kasadha masih belum dapat mengatakan hal itu kepada gurunya.
Yang kemudian diucapkannya adalah, "Baiklah guru. Aku akan memikirkannya dengan bersungguh-sungguh."
"Pergilah menemui ibumu. Kau dapat membicarakan hal ini. Bagaimanapun juga, kau tidak akan dapat terus-menerus dicengkam oleh kegelisahan, keraguan dan bayangan-bayangan yang kau bangunkan di dalam angan-anganmu sendiri."
Kasadha menundukkan kepalanya. Ia memang harus mengatakannya kepada ibunya dan mohon pertimbangan, tetapi sekali lagi ia terbentur pada sikap bibinya yang sudah pernah menyebut seorang gadis yang diharapkan akan dapat menjadi sisihannya.
"Jika bibi kecewa," berkata Kasadha di dalam hati ternyata langkah yang ditempuhnya bukan langkah yang manis di jalan yang lapang, halus dan datar. Tetapi di hadapannya terbentang jalan yang terjal, berbatu-batu dan sempit.
"tetapi apakah aku harus melangkah surut?" pertanyaan itu telah mengetuk hatinya pula.
"Sudahlah, beristirahatlah Kasadha," berkata gurunya. "Mudah-mudahan kau segera mendapat pijakan yang kuat. Meskipun secara lahiriah pijakan itu sudah kau miliki, tetapi secara jiwani kau masih harus membangunkannya."
"Ya, Guru," Kasadha mengangguk. Namun Kasadha masih saja merenungi bayangan-bayangan yang gelap yang membentang di hadapannya. Sekilas membayang wajah Risang, namun kemudian membayang wajah bibinya yang penuh dengan harapan-harapan.
Jika kemudian malam turun, Kasadha hanya dapat berangan-angan di pembaringan.
Ditatapnya rusuk-rusuk atap biliknya. Sekali-sekali terdengar ia berdesah, sementara pemimpin kelompok di dalam pasukannya yang sering diajaknya berbincang tentang hidup dan kehidupan sudah tidak ada lagi.
Di saat-saat Kasadha digelisahkan oleh gejolak perasaannya terhadap Riris, perasaan rendah diri dan kecemasan atas masa lampau ibunya, maka Risang masih tetap digelisahkan oleh sikap Ki Demang Jerukgede. Bahwa jalur perdagangan gelap yang dilakukan oleh para pedagang gelap bersama Ki Demang Jerukgede serta bebahunya itu ternyata telah menimbulkan persoalan yang terhitung gawat bagi Tanah Perdikan Sembojan.
Risang terkejut ketika ia harus menghadapi kenyataan, bahwa perdagangan itu tidak saja terjadi di Kademangan Jerukgede. Tetapi juga beberapa Kademangan sebelah menyebelah.
"Demikian tipiskah kesetiaan mereka terhadap Pajang, sehingga dalam keadaan yang gawat ini mereka tidak lagi menghiraukan apa yang sedang mereka lakukan?" geram Risang ketika ia bersama-sama para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan membicarakan tentang perkembangan hubungan Tanah Perdikan itu dengan beberapa Kademangan di sekitarnya.
"Beberapa Kademangan masih membuka perdagangan hasil bumi. Tetapi karena hasil bumi di Kademangan mereka sendiri tidak begitu banyak sehingga tidak mencukupi permintaan, maka mereka telah menembus dinding Tanah Perdikan ini dengan cara yang tidak wajar," berkata Gandar.
"Kita harus cepat bertindak. Jangan sampai terjadi lagi peristiwa sebagaimana terjadi di sisi Utara Tanah Perdikan ini," berkata Risang.
"Aku telah berusaha," berkata Gandar. "Aku telah menghubungi para pemimpin pengawal di perbatasan."
Risang mengangguk-angguk. Sementara Gandar berkata selanjutnya, "Aku telah memberitahukan kepada mereka, apa yang terjadi dengan beberapa orang pengawal di sisi Utara Tanah Perdikan ini, sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi Tanah Perdikan. Setidak-tidaknya harga bahan pangan menjadi sulit dikendalikan."
"Pengalaman pahit itu akan dapat menjadi pelajaran bagi kita semuanya," desis Nyi Wiradana. "Justru karena itu, maka kita harus menjadi lebih berhati-hati."
"Namun akibat yang lain dari pemutusan perdagangan itu, maka kita akan dapat tersudut di daerah ini, ibu," berkata Risang. "Jika beberapa Kademangan di sekitar kita telah diracuni dengan cara yang sama sebagaimana terjadi di Kademangan Kleringan, maka persoalan lain akan kita hadapi."
Ibunya mengangguk-angguk. Perdagangan yang terjadi antara Tanah Perdikan Sembojan dengan Kademangan-kademangan di sekitarnya memang akan dapat terganggu. Namun demikian, Tanah Perdikan Sembojan tidak boleh menyerah dan hanyut ke dalam perdagangan yang dapat menyulitkan kehidupan rakyat Tanah Perdikan itu sendiri, karena Tanah Perdikan akan menjadi kekurangan beras.
Namun pengaruh perdagangan dengan pedagang-pedagang gelap itupun mulai menekan Tanah Perdikan Sembojan. Beberapa Kademangan yang terpengaruh oleh para pedagang gelap, mulai menyudutkan Tanah Perdikan Sembojan di bidang perdagangan. Mereka mulai mempersulit arus perdagangan dengan Tanah Perdikan. Beberapa orang pedagang yang terbiasa membeli hasil kerajinan tangan dari Tanah Perdikan Sembojan mulai mengurangi jumlah pembeliannya. Kemudian perdagangan ternak dan telur. Bahkan gula kelapa.
"Sebelum Tanah Perdikan Sembojan membuka perdagangan bahan hasil buminya, maka perdagangan yang lain akan tetap dipersulit," berkata Demang Jerukgede.
Menghadapi sikap itu, Risang memang menjadi sedikit cemas. Tetapi keputusan para pemimpin Tanah Perdikan adalah, tidak menyerah oleh tekanan-tekanan yang demikian. Jika ia membuka perdagangan bebas atas hasil bumi, maka itu akan berarti Sembojan telah berkhianat terhadap Pajang.
Untuk menentukan sikap bagi seluruh rakyat Sembojan, maka Risang telah memanggil para Demang yang tinggal dan mendapat limpahan kekuasaan di Tanah Perdikan Sembojan.
Dalam pertemuan itu, Risang telah memantapkan sikapnya untuk tidak bekerja bersama dengan para pedagang gelap.
Para Demang yang termasuk di dalam wilayah Tanah Perdikan Sembojan, ternyata dengan bulat mendukung kebijaksanaan Risang yang menjadi bagian dari ujud kesetiaannya kepada Pajang.
"Kita tidak akan dapat digetarkan oleh ancaman-ancaman dari luar Tanah Perdikan," berkata salah seorang dari mereka. "Bahkan seandainya semua jenis perdagangan berhenti, Tanah Perdikan tidak akan tergoyahkan. Kita dapat memenuhi segala kebutuhan kita sendiri, meskipun untuk sementara kita tidak dapat menjual kelebihan dari hasil kerajinan, ternak dan gula kelapa keluar. Tetapi pengaruhnya tidak akan begitu besar bagi kesejahteraan Tanah Perdikan ini dalam keseluruhan."
Kesempatan para Demang itu membuat Risang semakin berketetapan hati. Namun kepada mereka Risangpun berkata, "Yang kita hadapi bukan saja sekedar Kademangan Jerukgede, Kademangan Jati Arang dan Kademangan-kademangan lain yang telah kehilangan pegangan, tetapi di tengah-tengah mereka telah hadir pula kekuatan-kekuatan para pedagang gelap yang berhasil mempengaruhi beberapa orang Senapati Madiun dan melibatkannya dalam perdagangan gelap itu."
Dengan demikian, maka para bebahu Tanah Perdikan itupun menyadari, bahwa semua kekuatan, baik kekuatan kewadagan, kekuatan kepemimpinan serta kekuatan perdagangan harus dikerahkan sebaik-baiknya untuk melawan tekanan-tekanan dari beberapa Kademangan yang ternyata telah kehilangan pegangan.
Namun tidak semua Kademangan di seputar Tanah Perdikan memusuhi Tanah Perdikan Sembojan karena pengaruh para pedagang gelap itu, sehingga dengan demikian, jalur perdagangan keluar tidak mutlak terputus.
Kademangan Kedungjero ternyata tidak terpengaruh oleh perdagangan gelap yang menghisap bahan pangan sebanyak-banyaknya. Kademangan Kedungjero memang bukan Kademangan yang terlalu subur dengan bahan pangan, sehingga luput dari perhatian para pedagang gelap itu. Bahkan Kademangan Kedungjero menggantungkan sebagian kebutuhan bahan pangannya dari Tanah Perdikan Sembojan.
Menghadapi keadaan itu, ternyata Risang masih akan berusaha mengatasinya sendiri. Ketika ibunya bertanya kepadanya, apakah ia akan melaporkannya kepada Pajang, maka Risang itupun menjawab, "Ibu, aku masih mempunyai keyakinan untuk dapat mengatasinya sendiri. Seperti pendapat para Demang di lingkungan Tanah Perdikan bahwa kami tidak menggantungkan diri kepada siapapun. Kami dapat berdiri sendiri, mencukupi kebutuhan sendiri dan terutama kami akan tetap berdiri sebagai bagian dari keutuhan kuasa Pajang di dalam lingkungan kesatuan Mataram."
"Baiklah Risang. Jika kau akan mengatasi persoalan ini, itu tentu lebih baik. Jika segala sesuatunya kita menggantungkan diri kepada Pajang, maka kita tidak akan pernah menjadi Tanah Perdikan yang dewasa. Kecuali jika dengan terbuka Madiun menyerang Tanah Perdikan, maka sudah tentu kita akan minta Pajang melibatkan dirinya."
"Menurut perhitunganku, Madiun tentu tidak akan dapat mengirimkan bantuan prajurit terlalu banyak kepada Kademangan Jerukgede, karena Madiun terikat pada persiapan melawan Mataram. Jika-prajurit-prajuritnya ada di luar Madiun sendiri, maka jika kekuatan Mataram dan Pajang menyerangnya, maka Madiun akan mengalami kesulitan."
"Baiklah. Namun dengan demikian maka kau harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan Tanah Perdikan ini," desis Nyi Wiradana. "Kemudian kau harus mengatasi kekuatan Kademangan-kademangan yang sudah mengingkari kesetiaannya kepada Pajang yang tentu akan dibantu oleh kekuatan prajurit Madiun."
"Ya ibu," jawab Risang.
"Juga hambatan di bidang perdagangan," berkata ibunya pula.
"Ya, ibu," jawab Risang. "Juga tentang kewibawaan."
"Kau memang harus selalu menjaganya," berkata ibunya.
Risang mengangguk-angguk. Ia sudah bertekad bulat untuk menyelesaikan persoalannya dengan beberapa Kademangan yang sudah terbius oleh gemerincingnya keping-keping uang para pedagang bahan pangan yang justru mengambil kesempatan dalam gejolak yang terjadi antara Mataram dan Madiun.
Namun ketika Kiai Badra mendengar persoalan itu, maka iapun menasehati Risang untuk memberitahukan persoalan yang timbul itu ke Pajang.
"Kau tidak akan menggantungkan dirimu kepada Pajang. Kau akan menyelesaikan persoalan Tanah Perdikan ini sendiri sebagai satu lingkungan yang dewasa. Tetapi persoalan yang kau hadapi ini sebaiknya memang diketahui oleh Pajang. Dengan demikian, maka tindakan-tindakan yang kau ambil tidak akan mengejutkan para pemimpin di Pajang," berkata Kiai Badra.
Risang mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Kek. Aku akan minta paman Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk pergi ke Pajang. Mereka akan dapat menghubungi Kasadha yang akan membawa laporannya kepada para pemimpin keprajuritan yang lebih tinggi."
Akhirnya Risang memang minta agar Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk pergi ke Pajang, menemui Kasadha untuk menyalurkan laporannya tentang keadaan di Tanah Perdikan Sembojan.
"Kami masih berusaha untuk menyelesaikan persoalan ini sendiri," pesan Risang. "Kecuali jika Madiun langsung mencampuri persoalan ini."
Sambi Wulung dan Jati Wulung itupun mengangguk mengiakan. Mereka sendiri memang sependapat dengan petunjuk Kiai Badra itu.
Namun Risang masih juga berpesan, "Tetapi paman berdua harus segera kembali. Kita memerlukan kehadiran paman berdua di Tanah Perdikan ini."
Demikianlah, di hari berikutnya, menjelang fajar, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah memacu kuda mereka menuju ke Pajang untuk menemui Kasadha. Sementara itu, di Tanah Perdikan, Risang telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi perkembangan keadaan yang nampaknya memang menjadi semakin suram.
Namun dalam keadaan yang demikian, Risang justru masih belum melepaskan bebahu Jerukgede yang berada di Tanah Perdikan. Yang semula berada di Tanah Perdikan karena keadaan wadagnya, namun yang kemudian justru karena persoalan yang timbul antara Tanah Perdikan Sembojan dengan Kademangan Jerukgede.
Tetapi bebahu yang masih tertahan di Tanah Perdikan itu sendiri justru dapat mengerti sikap Risang. Apalagi ia diperlakukan dengan baik di Tanah Perdikan. Bebahu itupun mengerti sepenuhnya sikap Risang yang tidak mengijinkan bahan pangan dari Tanah Perdikan Sembojan itu mengalir keluar.
Sementara itu Risang, masih juga memeriksa para pengawal yang terlibat ke dalam perdagangan gelap itu. Risang dengan teliti menelusuri kematian kedua orang Tanah Perdikan yang terbunuh dalam hubungannya dengan perdagangan gelap itu.
"Kami harus menemukan orang yang bersalah dan menghukumnya," berkata Risang.
Dalam pada itu, nampaknya para pedagang gelap itu telah mendendam kepada Risang yang bersikap keras terhadap mereka. Bersama para bebahu dari Jerukgede dan Jati Arang, para pedagang gelap itu masih saja berusaha untuk mempengaruhi, membujuk dan menakut-nakuti rakyat Tanah Perdikan, terutama yang tinggal di dekat perbatasan untuk menjual bahan pangan kepada mereka.
Memang masih ada saja orang-orang Tanah Perdikan yang tergelitik untuk menerima uang lebih banyak dari hasil penjualan bahan pangan di lingkungan Tanah Perdikan sendiri. Namun para pengawal Tanah Perdikan yang namanya telah dinodai oleh beberapa orang kawan mereka sendiri, menjadi lebih berhati-hati. Mereka melakukan pengawasan lebih ketat lagi terhadap lalu lintas perdagangan terutama keluar dari lingkungan Tanah Perdikan.
Dalam pada itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah menjalankan perintah Risang dengan baik. Demikian mereka menemui Kasadha, maka merekapun segera minta diri.
"Tunggu," cegah Kasadha. "Kita akan bertemu dan berbicara dengan Ki Rangga Dipayuda."
"Apakah tidak cukup Angger Kasadha saja yang menyampaikannya?" bertanya Sambi Wulung.
"Sebaiknya paman berdua bertemu langsung dengan Ki Rangga," jawab Kasadha.
Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Ki Rangga, maka Ki Rangga itupun bertanya, "Apakah maksud Risang, kami harus mengirimkan bantuan beberapa kelompok prajurit ke Tanah Perdikan untuk mengatasinya?"
"Perintahnya belum sampai, sekian, Ki Rangga. Kami hanya diperintahkan untuk melaporkan peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu. Sementara Angger Risang masih berusaha untuk menyelesaikan persoalan ini dengan kemampuan yang ada di Tanah Perdikan sendiri, kecuali jika Madiun langsung ikut campur dalam persoalan ini atau Tanah Perdikan sudah tidak mampu lagi mengatasinya," jawab Sambi Wulung.
Ki Rangga mengangguk-angguk. Namun Ki Ranggapun kemudian telah minta Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk tinggal lebih lama lagi di Pajang.
"Aku minta kalian menunda perjalanan kalian semalam lagi," berkata Ki Rangga.
"Tetapi Tanah Perdikan itu sangat mengharapkan kami cepat-cepat kembali. Tanah Perdikan membutuhkan setiap orang untuk berada di tempatnya," berkata Sambi Wulung.
"Aku mengerti. Tetapi persoalannya tidak terlalu sederhana. Bukan sekedar Tanah Perdikan dapat menjaga dirinya sendiri atau Tanah Perdikan Sembojan tidak dapat digoyahkan oleh keadaan itu. Tetapi yang akan dianggap penting oleh Pajang justru sikap beberapa Kademangan di sekitar Tanah Perdikan Sembojan. Jika mereka terlihat dalam perdagangan gelap yang menguntungkan Madiun, bahkan mereka telah mengundang perlindungan prajurit Madiun meskipun tidak melalui jalur yang sewajarnya, karena hal itu tentu hanya dilakukan oleh satu dua Senapati yang memiliki kekuasaan atas sepasukan prajurit, sementara perlindungan itu akan menghasilkan keuntungan kebendaan, maka soalnya menjadi tidak terlalu sederhana! Dengan demikian maka beberapa Kademangan itu telah mengingkari kedudukannya sebagai bagian dari lingkungan wilayah Pajang."
Sambi Wulung dan Jati Wulung mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Rangga Dipayuda. Karena itu, maka keduanyapun setuju untuk menunda perjalanan mereka kembali ke Tanah Perdikan Sembojan sampai ke hari berikutnya.
Hari itu Ki Rangga Dipayuda telah bertemu dengan Ki Tumenggung Jayayuda untuk menyampaikan laporan yang dibawa oleh Sambi Wulung dan Jati Wulung.
Ternyata Ki Tumenggung tertarik sekali dengan laporan itu. Dengan cepat Ki Tumenggung menghubungi pimpinan keprajuritan Pajang untuk menyiapkan surat kekancingan bagi Risang yang memberi wewenang kepada Tanah Perdikan Sembojan, justru memulihkan kewibawaan Pajang di Kademangan-kademangan yang ternyata sudah berpaling dari ikatan kesatuannya dengan Pajang.
Sambi Wulung dan Jati Wulung memang menjadi berdebar-debar ketika kemudian ia tahu tugas yang dibebankan kepada Tanah Perdikan Sembojan. Bukan sekedar menegakkan kewibawaan Tanah Perdikan itu sendiri. Tetapi justru mengemban tugas yang lebih besar yang diberikan oleh Pajang.
Surat kekancingan yang melimpahkan wewenang itu merupakan tugas yang didasari atas kepercayaan yang sangat besar dari Pajang kepada Tanah Perdikan Sembojan. Sehingga dengan demikian justru menuntut pertanggungan jawab yang berat.
"Kami menunggu laporan berikutnya," berkata Ki Tumenggung Jayayuda. Lalu katanya pula, "Jika memang diperlukan Pajang akan mengirimkan bantuan langsung ke Tanah Perdikan. Jika perang memang harus dimulai dari arah Selatan, maka Pajang akan siap melakukannya."
Namun seperti yang dipesankan oleh Risang, bahwa untuk sementara Tanah Perdikan Sembojan masih belum memerlukan bantuan.
"Tanah Perdikan Sembojan akan berusaha untuk mengatasinya. Juga dalam mengemban tugas yang dibebankan oleh Pajang," berkata Sambi Wulung.
Demikianlah, dengan beban tugas itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung minta diri di keesokan harinya, menjelang fajar sebagaimana ia berangkat dari Tanah Perdikan Sembojan.
"Salamku kepada Risang," pesan Kasadha, "dan baktiku kepada ibu dan semua sesepuh di Tanah Perdikan Sembojan."
Sambil tersenyum Sambi Wulung menjawab, "Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Risang dan kepada para sesepuh."
Kasadha menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika kemudian Sambi Wulung dan Jati Wulung itu melarikan kudanya meninggalkan barak keprajuritan itu, Kasadha mengerutkan dahinya. Ia membayangkan bagaimana sikap Risang jika ia mengetahui, bahwa Kasadha itu telah menjadi semakin dekat di sisi Riris.
Kasadha itu mengibaskan kepalanya, seakan-akan ingin mengusir angan-angannya itu. Namun ia tidak dapat ingkar, bahwa ia tahu benar apa yang diharapkan Risang di saat Riris itu hadir dalam upacara saat Risang diwisuda menjadi Kepala Tanah Perdikan Sembojan.
Namun Kasadha itupun tidak mau terlalu lama dicengkam oleh kegelisahan itu. Iapun segera turun ke sanggar untuk melemaskan urat-urat di tubuhnya sebelum ia memasuki tugas-tugasnya sebagai seorang Lurah prajurit di hari itu.
Sementara itu, Sambi Wulung dan Jati Wulung telah berpacu dengan cepatnya meninggalkan Pajang. Keduanya ingin secepatnya sampai di Tanah Perdikan Sembojan, meskipun mereka menyadari bahwa perjalanan mereka adalah perjalanan yang panjang, sehingga memerlukan waktu untuk beristirahat di perjalanan.
Keinginan Sambi Wulung dan Jati Wulung untuk segera menyampaikan surat yang memberikan kewenangan kepada Risang itu telah mendorong mereka untuk segera sampai di Tanah Perdikan. Tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan akan keterbatasan kekuatan kuda-kuda mereka.
"Kasihan," desis Jati Wulung. "Kita tidak dapat memaksa kuda-kuda itu untuk berlari tanpa beristirahat."
Sambi Wulung tersenyum sambil menjawab, "Ya. Aku kasihan juga kepada tenggorokanku yang kering dan perutku yang mulai menggelitik."
Jati Wulungpun tertawa, Iapun telah merasa haus dan lapar pula.
Namun perjalanan mereka memang terhitung lebih cepat dari perjalanan-perjalanan yang sama, yang pernah mereka tempuh sebelumnya. Tetapi mereka kemudian menyadari, bahwa kuda-kuda mereka menjadi sangat letih. Karena itu, ketika mereka sampai di rumah, maka merekapun minta kepada orang yang merawat kuda-kuda mereka untuk memperlakukan kuda-kuda itu dengan baik.
"Kuda-kuda itu menjadi sangat letih," berkata Jati Wulung.
Ternyata Sambi Wulung dan Jati Wulung tidak menunggu sampai esok. Demikianlah mereka datang, maka mereka telah menyerahkan surat kekancingan bagi Risang yang memberikan wewenang yang luas itu langsung kepada anak muda itu.
Risang sendiri terkejut mendapat surat kekancingan itu. Ketika ia menyampaikan hal itu kepada ibunya, maka ibunya itupun berkata, "Itu adalah lambang kepercayaan Pajang kepadamu Risang. Karena itu, kau harus mengembannya dengan penuh tanggung jawab."
Risang mengangguk kecil. Katanya, "Tugas yang berat ibu."
"Tetapi sejalan dengan tugasmu sendiri di Tanah Perdikan ini. Justru dengan surat kekancingan itu, maka kau mempunyai kewenangan untuk bertindak di luar batas Tanah Perdikan ini atas nama Pajang. Namun dengan demikian mungkin kau harus berhadapan dengan sikap keras beberapa Kademangan dan tentu saja beberapa kelompok prajurit Madiun."
Risang mengangguk-angguk pula. Ia menyadari penuh apa yang harus dilakukan itu.
Namun sejak ia menerima wewenang yang dilimpahkan Pajang itu, maka Risang telah melakukan persiapan-persiapan sebaik-baiknya. Ia telah memanggil pula para bebahu Tanah Perdikan, termasuk para Demang dan bahkan para bekel di padukuhan-padukuhan. Mereka telah diberitahu sejauh manakah wewenang yang dimiliki oleh Tanah Perdikan untuk mengembalikan kewibawaan Pajang di sekitar Tanah Perdikan Sembojan.
"Aku memerlukan dukungan kalian," berkata Risang.
Para bebahu itu menyadari sepenuhnya apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka merekapun segera mempersiapkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Sembojan. Seperti saat-saat yang gawat yang pernah mereka hadapi, maka kekuatan para pengawal Tanah Perdikan telah dihimpun dengan sebaik-baiknya.
Latihan-latihanpun dilakukan lebih banyak dari sebelumnya. Sementara itu pengawasan di perbatasanpun dilakukan semakin bersungguh-sungguh.
Sikap Tanah Perdikan itu memang menimbulkan ketegangan bagi Kademangan-kademangan di sekitarnya. Ternyata Risang memang keras kepala. Kepala Tanah Perdikan yang muda itu sama sekali tidak menghiraukan sikap beberapa Kademangan yang telah mengancam akan memencilkan Tanah Perdikan itu dari lingkungannya. Tetapi Tanah Perdikan Sembojan seakan-akan justru mencabut dan mengasah pedangnya menantang tetangga-tetangganya.
Tetapi beberapa Kademangan itu tidak menjadi cemas. Mereka dapat bergabung dan bahkan beberapa orang Senapati di Madiun benar-benar menepati janjinya. Mereka mengirimkan kelompok-kelompok prajurit Madiun untuk berada di Kademangan-kademangan di sekitar Tanah Perdikan Sembojan. Kepada Senapati yang lebih tinggi kedudukannya, maka Senapati yang membawa prajuritnya ke Kademangan-kademangan itu melaporkan, bahwa mereka berkewajiban untuk membantu dan melindungi para pedagang bahan pangan dan perbekalan yang lain bagi kepentingan prajurit yang jumlahnya sangat banyak di Madiun.
Para Senapati yang memimpin kelompok-kelompok prajurit itu justru telah mendapat keuntungan dari tugasnya. Para pedagang gelap itu telah memberikan pelayanan yang sangat baik kepada mereka dengan memenuhi segala kebutuhan mereka.
"Kita harus dapat memecahkan dinding yang dibuat oleh Kepala Tanah Perdikan Sembojan," berkata salah seorang pedagang bahan pangan itu kepada seorang Senapati Madiun. "Selama ini, bahan pangan yang terbanyak kita dapatkan dari Tanah Perdikan Sembojan. Namun sejak perbatasan ditutup, maka kita hanya mendapatkan bahan pangan terlalu sedikit, sehingga nampaknya kurang dapat mencukupi kebutuhan prajurit Madiun dari hari ke hari. Apalagi nanti jika perang benar-benar pecah."
"Lakukan apa yang baik menurut pendapatmu," berkata Senapati itu. "Jika Tanah Perdikan itu bersandar kepada kekuatan Pajang, maka jaraknya tentu terlalu jauh. Pajangpun kini tengah memusatkan kekuatan prajuritnya untuk melawan Madiun. Apalagi jumlah prajurit yang dapat dikumpulkan oleh Madiun jauh lebih banyak dari prajurit Mataram, Pajang dan Demak sekalipun."
Pedagang itu mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin mantap. Karena itu, maka ia berniat untuk bertemu dengan beberapa orang Demang yang telah bersedia bekerja bersamanya.
"Baik. Lakukan. Aku akan mengikuti pertemuan itu dan menjelaskan kepentingan kami hadir di daerah Selatan ini."
Pedagang gelap itu tidak menunggu terlalu lama. Iapun kemudian telah mengumpulkan kawan-kawan mereka, para pedagang gelap dan bersama-sama mengundang beberapa orang Demang yang telah terlibat dalam perdagangan bahan pangan itu.
Seperti yang direncanakan, maka Senapati Madiun itu telah hadir pula dalam pertemuan yang diselenggarakan di Kademangan Jerukgede itu. Senapati itu telah menjanjikan kekuatan prajuritnya untuk kepentingan perdagangan gelap bahan pangan itu.
"Kita akan mendatangi beberapa padukuhan di Tanah Perdikan Sembojan," berkata Ki Wimba Gelar, salah seorang di antara para pedagang gelap yang paling berpengaruh.
"Terserah kepada Ki Wimba," jawab Senapati itu. "Jika karena itu timbul benturan kekerasan, maka itu adalah kewajibanku untuk menyelesaikannya. Bukan sekedar menghadapi para pengawal di padukuhan, tetapi jika kalian dan para Demang harus menghadapi Tanah Perdikan dalam keseluruhan, maka kami akan berada di antara kalian. Agaknya benturan kekerasan yang demikian itulah yang terbaik. Kita mendapat alasan untuk menundukkan Tanah Perdikan dan memaksa mereka memenuhi kebutuhan bahan pangan bagi kita. Sekali lagi aku tegaskan, Pajang tidak akan dapat ikut campur dengan segera."
Ki Wimba Gelar menjadi semakin mantap. Karena itu, maka katanya, "Kita sudah kehilangan beberapa pedati bahan pangan. Kita harus mendapatkan gantinya dan bahkan berlipat ganda."
"Aku mempunyai alasan untuk memaksakan kekerasan terhadap Tanah Perdikan," berkata Ki Demang Jerukgede.
"Apa alasanmu" Beberapa pedati yang dirampas oleh Kepala Tanah Perdikan yang masih terlalu kanak-kanak itu?"
"Bukan hanya itu," jawab Ki Demang, "seorang bebahuku masih ditahan di Tanah Perdikan. Aku akan mengambilnya dengan paksa. Bukankah kemudian akan timbul perselisihan dan benturan kekerasan, sehingga kami akan dapat memaksa Risang itu, tunduk kepada kemauan kita?"
"Bagus," berkata Senapati dari Madiun itu. "Kita lakukan rencana itu. Kita akan menyusunnya dengan rapi, sehingga Tanah Perdikan Sembojan benar-benar akan tunduk kepada kita."
Kencana itu ternyata mendapat dukungan dari para Demang, pada pedagang dan Senapati Madiun yang ada di Jerukgede.
Dengan demikian, maka merekapun telah menyusun rencana yang sebaik-baiknya untuk akhirnya dapat menundukkan dan menguasai Tanah Perdikan Sembojan, terutama di segi perdagangan bahan pangannya.
Sementara itu kegiatan yang dilakukan oleh para Demang, para pedagang dan kehadiran prajurit Madiun telah didengar oleh Risang dan para pemimpin dan bebahu Tanah Perdikan. Dengan demikian maka para bebahu, termasuk para Demang dan Bekel di lingkungan Tanah Perdikan Sembojan telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Bayangan permusuhan antara Mataram dan Madiunpun kemudian telah nampak di Tanah Perdikan Sembojan dan sekitarnya, meskipun dorongan utamanya adalah justru memanfaatkan keadaan untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga tidak lagi tahu dimana harus berpijak. Sementara itu, Tanah Perdikan Sembojan berusaha untuk tetap tegak di atas kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran serta kesatuan nilai-nilai perjuangan.
Seperti yang direncanakan maka Ki Demang Jeruk-gede telah bersiap-siap untuk pergi ke Tanah Perdikan Sembojan. Ki Demang ingin memaksakan kehendaknya untuk membawa kembali bebahunya yang menurut pendapatnya telah ditahan di Tanah Perdikan. Jika terjadi perbedaan pendapat dan perselisihan, maka hal itu akan dijadikan alasan untuk memaksakan kekerasan dan kemudian bahkan menundukkan Tanah Perdikan Sembojan.
Tetapi Ki Demang itu menjadi sangat kecewa. Pada saat ia sudah siap berangkat bersama dua orang bebahunya, tiba-tiba saja bebahu yang ditahan di Tanah Perdikan itu datang menghadapnya di rumahnya.
"Kau?" mata Ki Demang terbelalak. Sementara Senapati Madiun yang ada di rumah itu pula bertanya, "Siapa orang itu?"
"Orang itulah yang akan kita jadikan sebab perselisihan," jawab Ki Demang dengan suara bergetar oleh gejolak perasaannya.
Namun kemudian dengan lantang ia bertanya kepada bebahu yang tiba-tiba saja pulang itu, "Apakah kau dilepaskan atau melarikan diri?"
"Aku telah dilepaskan, Ki Demang," jawab bebahu itu.
"Kenapa?" bertanya Ki Demang.
"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku telah dipanggil dan diberitahu bahwa aku boleh pulang hari ini."
"Kau telah mengacaukan segala rencana kami," geram Ki Demang.
"Aku tidak mengerti maksud Ki Demang?" bertanya bebahu itu.
"Kami sudah siap untuk menjemputmu sebagai alasan untuk memaksa Tanah Perdikan Sembojan tunduk."
"Apakah Ki Demang akan memaksakan kehendak Ki Demang dengan kekerasan?"
"Ya," jawab Ki Demang.
"Itu tidak mungkin. Tanah Perdikan Sembojan mempunyai kekuatan yang sangat besar. Kademangan ini tidak akan dapat berbuat apa-apa menghadapi Tanah Perdikan Sembojan."
"Kau memang dungu. Kademangan ini tidak berdiri sendiri. Ada beberapa Kademangan yang memihak Tata. Lebih dari itu sepasukan ada di pihak kita pula. Merekalah yang akan membantu kita semuanya, jika kita pada suatu saat nanti bertempur melawan Tanah Perdikan Sembojan."
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, "Maaf Ki Demang. Aku tidak tahu. Meskipun demikian aku berpendapat, bahwa bermusuhan dengan Tanah Perdikan Sembojan tidak akan ada gunanya."
"Kau tentu telah disihirnya atau dengan menakut-nakutimu agar kau mengatakan sebagaimana dikehendaki oleh orang-orang Tanah Perdikan Sembojan."
"Tidak Ki Demang. Aku masih utuh. Aku juga tidak disihir atau menjadi gila. Tetapi aku masih waras. Namun karena aku yang telah melihat dan mendengarkan keterangan langsung dari para pemimpin Tanah Perdikan Sembojan, maka aku mempunyai pendapat lain tentang Tanah Perdikan itu."
"Cukup," bentak Ki Demang. "Jika kau sudah kehilangan sikap kepahlawananmu justru karena kau telah pernah ditahan oleh orang Sembojan, maka sebaiknya kau minggir saja."
Orang itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, "Apakah yang Ki Demang maksudkan dengan sikap kepahlawanan itu" Walaupun perdagangan gelap atau perbuatan-perbuatan tercela yang lain?"
"Kau benar-benar menjadi gila," geram Ki Demang. "Jika demikian, maka kau akan menjadi orang yang berbahaya bagi kami. Pengaruh sihir orang-orang Tanah Perdikan benar-benar membuatmu kehilangan kepribadianmu."
"Aku tidak kehilangan apa-apa Ki Demang. Tetapi justru hatiku sekarang terbuka. Aku melihat berbagai macam cacat dalam usaha yang kita lakukan selama ini."
"Jangan mengigau lagi," berkata Ki Demang yang kemudian berkata kepada bebahu yang lain, "Orang ini sudah terkena sihir jahat oleh orang-orang Tanah Perdikan. Jangan biarkan orang ini berkeliaran di Kademangan Jerukgede."
"Maksud Ki Demang?" bertanya bebahu itu.
"Kau harus ditahan sampai keadaan menjadi baik. Sampai Tanah Perdikan Sembojan tunduk kepada keinginan kami."
02 Sayap Sayap Yang Terkembang Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Justru apa yang akan kau lakukan ini Ki Demang, perbuatan yang tidak masuk akal," berkata bebahu yang baru saja dilepaskan oleh Risang itu.
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan. Bukan saja bebahu Jerukgede yang menangkap dan menahannya, tetapi dua orang prajurit Madiun telah berdiri di sebelah menyebelah bebahu yang mendapat perintah untuk menahan kawannya sendiri itu.
"Marilah," berkata bebahu itu.
Kawannya yang akan ditahan itu memang merasa tidak akan ada artinya jika ia melakukan perlawanan. Karena itu, maka bebahu itupun menurut saja, melakukan semua perintah yang diberikan kepadanya. Ia menurut saja ketika ia digiring ke sebuah bilik di gandok sebelah kiri rumah Ki Demang yang besar itu.
"Kepala Tanah Perdikan itu memang licik," geram Ki Demang kemudian, "ia melepaskan bebahu itu justru pada saat keberadaannya di Tanah Perdikan itu kita perlukan."
"Lalu, apa yang akan kita pakukan sekarang?" bertanya Ki Wimba Gelar. "Bebahu itu sudah tidak lagi dapat kita pergunakan sebagai alasan."
"Aku masih dapat," jawab Ki Demang. "Aku akan datang minta bebahu yang gila itu dilepaskan. Aku tidak akan mengakui bahwa orang itu sudah datang menghadapku sekarang disini."
Ki Wimba Gelar tersenyum. Katanya, "Terserah saja jika Ki Demang pergunakan."
"Alasan apapun dapat kita pergunakan," jawab Ki Demang. "Bukankah kita sekedar mencari alasan untuk memaksakan kekerasan terhadap Tanah Perdikan Sembojan."
Ki Wimba Gelar masih tersenyum, sementara Senapati Madiun yang ada di Jerukgede itu berkata, "jika demikian, pergilah ke Tanah Perdikan hari ini juga. Kita tidak ingin menunda-nunda persoalan ini. Bahan pangan itu kami perlukan setiap hari. Bahkan jika mungkin Madiun harus mempunyai persediaan yang cukup jika perang pecah."
Ki Demang Jerukgede itupun memutuskan untuk hari itu juga pergi ke Tanah Perdikan. Sementara itu, para Demang yang terlibat dalam perdagangan gelap itu harus menyiapkan orang-orang mereka yang setiap saat harus siap turun ke medan bersama para prajurit Madiun yang akan membantu mereka.
Namun di samping para Demang yang kehilangan penalarannya itu, masih juga ada beberapa orang bebahunya yang menyadari apa yang sedang terjadi itu. Seorang bebahu di Kademangan Jati Arang telah mencoba untuk memperingatkan Ki Demang di Jati Arang, bahwa dalam keadaan yang sulit, Tanah Perdikan Sembojan selalu tampil untuk membantu mengatasi kesulitan. Bebahu itupun memperingatkan bahwa di Tanah Perdikan Sembojan itu tersimpan kekuatan yang besar.
Tetapi Ki Demang Jati Arang itu membentaknya, "Kau jangan bodoh. Betapapun kuatnya Tanah Perdikan Sembojan, tetapi Sembojan akan mengalami kesulitan menghadapi beberapa Kademangan sekaligus dan terutama hadirnya prajurit Madiun di antara kami."
Kereta Berdarah 4 Raja Silat Lahirnya Dedengkot Silat Karya Chin Hung Ikat Pinggang Kemala 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama