13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 26
Karena itu, maka pasukan itupun berjalan dengan cepat menyusuri jalan Tanah Perdikan menuju ke perbatasan.
Demikian mereka melintasi perbatasan, maka Agung Sedayu telah membawa pasukan berkudanya mendahului para pengawal yang berjalan kaki. Tetapi Glagah Putih dan Sabungsari yang juga berkuda serta tiga orang pemimpin pengawal, telah ikut mendahului Tetapi Prastawa justru menyerahkan kudanya kepada orang lain dan bersama-sama dengan para pengawal berjalan kaki menempuh jalan memintas. Kadang-kadang iring-iringan pasukan itu harus meniti pematang, melalui jalan setapak disela-sela gumuk-gumuk kecil. Melewati padang perdu sehingga akhirnya mereka menuju ke pategalan yang sudah diketahui letaknya oleh para petugas sandi sebelumnya, sehingga mereka dapat langsung menuju ke-sasaran
.Sementara itu para prajurit dan mereka yang berkudapun telah lebih dahulu mendekau sarang gerombolan itu.
Dalam pada itu, dua orang diantara gerombolan yang berada di padukuhan Sambisari yang sedang mengamati keadaan di sekitar padukuhan, telah melihat iring-iringan orang berkuda mendekati pategalan. Karena itu, maka keduanyapun segera berlari ke sarang mereka untuk memberitahukan kehadiran beberapa orang berkuda itu.
" Apakah mereka akan datang kemari?" bertanya seorang yang berkepala botak.
" Mungkin sekali. Dimana Ki Sura sekarang ?"
" Ki Sura baru tidur."
" Bangunkan, cepat"
" Nanti Ki Sura marah. Agaknya ia baru letih."
"Tetapi ini penting sekali. Jika kita terlambat maka perkemahan kita akan dilumatkan."
" Apakah jumlah orang berkuda itu terlalu banyak?"
" Tidak terlalu banyak. Tetapi mereka membawa tunggul ciri keprajuritan Mataram."
" Kita akan menghancurkan mereka."
" Tetapi bangunkan Ki Sura."
Orang berkepala botak itu memang agak segan. Tetapi nampaknya keadaan memang menjadi gawat. Karena itu. maka orang itupun telah pergi ke bilik di ujung perkemahan.
Dengan hati-hati orang berkepala botak itu mengetuk pintu bilik itu. Namun yang terdengar adalah bentakan kasar " Demit, siapa yang mengganggu itu ?"
" Aku, Ki Sura. Ada berita penting yang harus aku sampaikan kepada Ki Sura "
"Berita penting apa ?"
" Sekelompok prajurit Mataram berkuda mendekati sarang kita"
" Apa kau tidak dapat mengatasinya?"
" Seorang pengawas melihat mereka mendekati perkemahan kita ini."
" Setan alas " geram Ki Sura. Tetapi ia bangkit dari pembaringannya dan keluar dari biliknya.
" Siapa yang mengatakan itu kepadamu ?"
" Dua orang yang bertugas mengamati keadaan disekitar padukuhan Sambisari."
"Aku ingin mendengarnya langsung." Orang berkepala botak itupun kemudian telah memanggil kedua orang yang melihat kedatangan sekelompok orang berkuda dengan ciri-ciri keprajuritan Mataram.
Demikian Ki Sura mendengar laporan itu, maka iapun segera berteriak " Bersiaplah. Jika kita mempunyai kesempatan, kita akan pergi. Meskipun hanya sekelompok kecil, tetapi yang datang itu adalah prajurit-prajurit Mataram. Mungkin prajurit-prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Namun kita jangan berhadapan langsung dengan para prajurit. Tetapi jika kita tidak sempat pergi, apa boleh buat. Kita tidak akan menyerahkan leher kita untuk dipenggal tanpa perlawanan."
Demikianlah, maka gerombolan yang berkemah di pategalan itupun segera bersiap. Mereka mengirimkan dua orang untuk mengamati keadaan di luar pategalan. Namun demikian mereka bergerak, maka mereka telah melihat beberapa ekor kuda yang berkeliaran di pategalan itu.
Seorang diantara merekapun segera kembali ke barak perkemahan mereka dan melaporkan kepada Ki Sura " Kita sudah dikepung. Ki Sura. Tetapi jumlah mereka hanya sedikit Meskipun mereka membawa tunggul dan kelebat ciri-ciri keprajuritan, tetapi kita akan dapat menembus kepungan itu."
Ki Sura Landak termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata " Siapkan semua orang yang ada. Kita menerobos kepungan. Kita akan memilih jalan yang paling sulit dilalui seekor kuda."
Orang-orang diperkemahan itupun telah bersiap sepenuhnya. Mereka akan menyingkir dari barak perkemahan mereka dan menghindari dari pertempuran melawan para prajurit Mataram.
" Ki Bekel ingkar janji " desis Ki Sura " ia akan menerima hukumannya Seharusnya ia memberitahukan rencana kedatangan prajurit Mataram itu. Para prajurit itu tentu sudah memberitahukan kepada Ki Bekel, setidak-tidaknya kemarin."
Demikianlah, maka Ki Sura Landak telah membawa orang-orangnya menuju ke sebuah gumuk kecil. Mereka akan menyingkir lewat disela-sela gumuk itu. Pasukan berkuda dari Maiaram akan mengalami kesulitan untuk mengejar mereka, karena lingkungan alam yang rumit. Para prajurit dari pasukan berkuda itu justru harus menuntun kuda mereka jika mereka akan memburu gerombolan itu lewat jalan yang sama.
" Kita jangan muncul di sebelah padukuhan diujung gumuk ini" berkata Ki Sura Landak " prajurit berkuda itu akan dengan mudah menyusul kita. Tetapi kita berbelok ke kiri menempuh jalan di tebing yang curam itu. Kita kemudian akan menyusuri sungai dan menghilangkan jejak ke seberang."
Dengan demikian maka iring-iringan sekelompok gerombolan itu kemudian menyusuri jalan-jalan sempit yang rumpil menuruni tebing berbatu-batu padas yang terjal dan licin. Mereka memperhitungkan bahwa pasukan berkuda tidak akan dapat memburu mereka melalui jalan itu pula.
Tetapi Ki Sura Landak tidak memperhitungkan kemungkinan lain dari kedatangan pasukan berkuda itu. Ki Sura Landak tidak mengira bahwa pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh yang berjalan kaki telah menempuh jalan memintas. Karena para petugas sebelumnya sudah mengamati dengan cermat kedudukan gerombolan itu, maka mereka telah memecah pasukan pengawal itu menjadi kelompok yang masing-masing mendekati sarang gerombolan itu dari arah yang berbeda
Satu kelompok diantara mereka ternyata telah menempuh jalan pintas menyusuri tepian sungai menuju ke celah-celah tebing yang berbatu-batu padas.
Dua orang yang mendahului para pengawal Tanah Perdikan itu sempat melihat iring-iringan di depan mereka melewati celah-celah tebing. Karena itu, maka keduanya segera menarik diri dan memberikan laporan kepada Prastawa yang memimpin langsung kelompok itu, bahwa mereka akan berpapasan dengan sebuah iring-iringan yang menurut dugaan mereka adalah gerombolan yang akan menyingkir.
" Agaknya mereka telah melihat kehadiran pasukan berkuda itu, sehingga mereka mencoba untuk mengelak"
" Bersiaplah. Yang membawa anak panah dan busur, bersiaplah. Demikian mereka muncul dari celah-celah tebing, kita akan menyerang dengan anak panah. Sementara itu, sebagian dari kita akan memanjat dan melingkar. Jika mereka berniat kembali, maka mereka akan menutup jalan kembali."
Dengan cepat para pengawal itu melaksanakan perintah itu. Prastawa sendiri, yang baru saja sembuh dari luka-lukanya, telah siap untuk ikut bertempur.
Seorang pengawal telah memperingatkannya, bahwa sebaiknya Prastawa tidak langsung terjun kedalam pertempuran.
" Aku sudah sembuh. Segala-galanya telah pulih mencoba memaksanya, maka justru akan dapat timbul salah paham."
Sementara itu, Prastawapun telah memerintahkan tiga orang pengawal yang membawa anak panah sendaren untuk bersiap. Demikian pertempuran terjadi, maka mereka harus melontarkan anak panah sendaren itu ke kedua arah untuk memberikan isyarat kepada para pengawal yang lain, serta pasukan berkuda.
"Pasukan berkuda itu akan dapat mencapai tempat ini lewat jalan diseberang sungai itu. Mereka harus menyeberang dan turun dari kuda mereka, karena kita akan bertempur dicelah-celah tebing itu.
Demikianlah, para pengawal itupun telah mencari perlindungan agar orang-orang dalam gerombolan itu tidak segera melihat mereka. Para pengawal yang sebagian kecil itu, harus memperhitungkan kekuatan mereka dengan cermat. Jika kekuatan gerombolan itu jauh lebih besar dari kekuatan mereka, maka sebelum para pengawal yang lain sempat datang membantu, mereka sudah tidak berdaya untuk bertahan.
Karena itu, maka demikian gerombolan itu muncul dari celah-celah tebing yang berbatu padas itu, mereka harus mendahului menyerang sambil melontarkan isyarat.
Sementara itu, sebagian dari sekelompok pengawal itu telah memanjat tebing untuk memotong jalan jika gerombolan itu akan mundur kembali ke arah tebing.
Prastawa memang menjadi berdebar-debar. Jika isyarat yang dilontarkannya tidak segera diketahui oleh sekelompok-sekelompok yang lain, maka kelompoknya akan mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, pasukan berkuda yang telah sampai di sarang para perampok di pategalan itupun ternyata hanya menemukan beberapa barak sederhana yang kosong. Semua orang didalam barak itu telah pergi
Agung Sedayu duduk termangu-mangu diatas kudanya. Ternyata gerombolan itu cukup tangkas sehingga pasukan berkuda yang ingin mendahului untuk mengepung agar gerombolan itu tidak luput dari tangan mereka, justru tidak menemukan apa-apa
" Kita telusuri jejak mereka" berkata Glagah Putih.
" Marilah" berkata Ki Jagabaya yang juga datang bersama dengan pasukan berkuda itu" aku akan ikut bersama kalian."
Ki Jagabaya yang telah mengenal lingkungan itu dengan baik, berada di paling depan untuk mengikuti jejak gerombolan yang telah menyingkir itu.
Namun tiba-tiba saja Ki Jagayaba ilu terhenti. Katanya "mereka tidak menempuh jalan sewajarnya. Mereka berbelok melalui jalan sempit ini."
Glagah Puuh termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jagabaya-pun kemudian memanggil Ki Bekel untuk mendekat
" Apakah jalan ini dapat dilalui iring-iringan berkuda ini ?"
" Tidak, Ki Jagabaya. Jalan ini akan melalui tebing yang sulit. Tebing yang berbatu-batu padas. Jika kita lewat melalui jalan ini, maka kita akan terjebak kedalam kesulitan."
" Tetapi kalau lihat jejak kaki kuda itu memasuki jalan ini," berkata Ki Jagabaya.
Ki Bekel menjadi ragu-ragu. Hampir saja ia menjerumuskan iring-iringan pasukan berkuda itu. Tetapi jika demikian, ia sendiri akan mengalami kesulitan, karena Ki Jagabaya tentu akan memerintahkannya untuk ikut pula.
Karena itu, maka Ki Bekel itupun berkata "Jika kita mengikuti jalan itu, maka kita harus menuntun kuda kita. Terutama jika kita sampai ke celah-celah tebing berbatu padas."
"Jika demikian, gerombolan itu juga harus menuntun kuda-kuda mereka. "
" Ya." " Kenapa mereka memilih jalan ini " Kenapa mereka tidak saja berpacu di atas punggung kuda mereka lewat jalan yang dapat dilalui kuda" "
"Jumlah kuda mereka tidak sebanyak jumlah orangnya. " jawab Ki Bekel.
Adalah diluar dugaan Ki Bekel ketika tiba-tiba saja Ki Demang berdesis "Kau memahami benar mereka Ki Bekel " "
Wajah Ki Bekel yang tegang itu menjadi semakin tegang. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan Ki Demang itu.
Dalam pada itu, Ki Jagabayapun bertanya "Jika mereka menempuh jalan ini, di mana mereka akan muncul nanti " "
" Di ujung lorong disebelah padukuhan sebelah atau di celah-celah batu padas di pinggir sungai. Mereka akan dapat turun ke sungai, dan menyeberang untuk menghilangkan jejak atau mengikuti tepian sungai lebih dahulu beberapa ratus patok, baru menyeberang. "
"Jika demikian, kita tidak akan mengikuti mereka dan harus menuntun kuda-kuda kita di jalan yang rumit Kita akan melingkari gumuk-gumuk kecil ini saja dan langsung menyongsong mereka di mulut lorong atau dicelah-celah tebing itu. "
Ki Jagabayalah yang kemudian menjadi penunjuk jalan. Sementara Ki Demang berkata kepada Ki Bekel " Marilah Ki Bekel. Kita akan memburu mereka. "
Ki Bekel tidak menjawab. Tetapi kecemasan semakin mencengkam jantung.
Yang dapat dilakukan Ki Bekel kemudian adalah justru berbuat sebaik-baiknya untuk mengurangi kesalahan yang pernah dilakukannya. Agaknya Ki Demang dan Ki Jagabaya telah memutuskan bahwa ia memang bersalah.
Ketika pasukan berkuda itu berpacu mengitari gumuk-bumuk kecil, maka dua kelompok pasukan Tanah Perdikan Menoreh merayap maju mendekati sarang gerombolan di pategalan. Disetiap kelompok terdapat satu dua orang yang telah memahami jalan menuju ke sasaran.
Sementara itu, sekelompok pengawal yang dipimin oleh Prastawa menunggu dengan jantung yang berdebaran. Rasa-rasanya mereka sudah setahun bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu dan bebatuan.
Namun akhirnya yang mereka tunggu itupun muncul dari celah-celah tebing.
Sebuah iring-iringan orang bersenjata berjalan dengan tergesa-gesa diantara celah-celah tebing menuju ke tepian.
Diantara mereka terdapat beberapa orang yang menuntun kuda mereka. Kuda-duka tunggangan dan ada pula kuda-kuda beban.
Namun pada saat yang bersamaan, para pengawal Tanah Perdikan-pun telah mempersiapkan diri. Demikian sebagian dari mereka sudah berada di luar celah-celah, maka Prastawapun segera memberikan isyarat.
Para pengawal yang bersenjata anak panah dan busurpun segera menyerang mereka. Mereka melepaskan anak panah mereka secepat dapat mereka lakukan. Mereka tidak perlu membidik terlalu lama. Sasaran mereka adalah sebuah iring-iringan.
Orang-orang yang baru keluar dari celah-celah itu terkejut. Namun karena mereka tidak mengira sama sekali, maka beberapa orang diantara merekapun segera jatuh terbaring ditanah dengan anak panah menancap ditubuh mereka.
Sementara itu, maka anak panah sendarenpun telah meluncur pula ke udara sebagai isyarat kepada kelompok-kelompok yang lain serta pasukan berkuda yang berpacu melingkari gumuk.
Ternyata suara sendaren pada anak panah yang dilontarkan itu dapat terdengar oleh pasukan berkuda yang memang sedang melarikan kuda mereka menuju ke arah mereka.
Dalam pada itu, Ki Sura Landak menjadi sangat marah. Tetapi ia masih menyadari, bahwa isyarat yang terlontar ke udara itu agaknya isyarat untuk memanggil kawan-kawan dari pasukan yang telah menghadangnya
Karena itu, maka Ki Sura Landak telah mengisyaratkan kepada orang-orangnya untuk bertempur sambil bergerak menyingkir.
Sejenak kemudian, maka periempuranpun telah menyala dengan sengitnya Jumlah pengikut Ki Sura Landak memang lebih banyak dari pasukan Tanah Perdikan yang menghadangkan. Meskipun beberapa orang yang dikenai anak panah itu terkapar mati, namun kekuatan gerombolan Ki Sura Landak itu masih jauh lebih besar dari kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan yang dipimpin oleh Prastawa sendiri itu.
Sementara itu, sebagian pengawal yang memanjat tebing dan mencoba menghalangi jika pasukan Ki Sura Landak itu akan berbalik telah menyerang pula dari belakang. Tetapi pengaruhnya tidak begitu besar.
Prastawa dan pasukan pengawalnya tidak mampu menahan arus gerombolan yang bergerak ke arah sungai itu. Pertempuran yang terjadipun menjadi berat sebelah. Pasukan Prastawa yang mencoba menghalangi gerak maju itu, sama sekali tidak berdaya Jika mereka memaksa, maka korbankan akan menjadi sangat banyak Bahkan mungkin seluruh pasukan itu akan punah.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Prastawa hanya sekedar mengganggu, agar perjalanan mereka terhambat Para pengawal itu sengaja menyerang dari arah lambung. Namun kemudian dengan cepat mengundurkan diri. Sementara gerombolan itupun tidak mengejar, karena mereka menyadari, bahwa sekelompok pengawal itu hanya bagian kecil dari seluruh pasukan yang datang untuk menghancurkan mereka. Justru karena itu, maka Ki Sura Landakpun telah memerintahkan para pengikutnya untuk semakin cepat bergerak. Hanya beberapa yang berkuda sajalah yang setiap kali melayani serangan-serangan pasukan yang dipimpin oleh Prastawa itu.
Sementara itu seorang penghubung telah mengusulkan kepada Prastawa untuk sekali lagi melepaskan anak panah sendaren. Mungkin isyarat mereka yang pertama masih belum didengar oleh kelompok-kelompok yang lain.
"Baiklah. Lontarkan anak panah sendaren itu lagi." Sejenak kemudian, maka tiga batang anak sendaren telah meluncur ke langit. Suaranya meraung tinggi menggetarkan udara.
Pasukan berkuda yang telah melarikan kuda mereka melingkari gumuk kecil itu telah mendengar anak panah sendaren yang kedua Merekapun telah menduga, bahwa kelompok yang melontarkan anak panah itu memerlukan kehadiran kelompok yang lain segera.
Agung Sedayu yang berada disebelah Ki Jagabayapun berdesis " Apakah kita dapat lebih cepat lagi, Ki Jagabaya"
Ki Jagabaya menghentakkan kendali kudanya, sehingga kudanya itupun berlari semakin cepat.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah menyeberangi sebuah sungai kecil. Mereka menyusuri sungai itu beberapa lama. Namun kemudian, merekapun kembali harus menyeberangi sungai itu setelah melalui jalan yang berkelok-kelok.
Namun merekapun segera melihat, pertempuran yang terjadi di seberang sungai itu.
"Itulah mereka"berkata Glagah Putih.
Gerombolan itu berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi kelompok itu memang terlalu kecil untuk dapat mencegahnya.
Karena itu, maka pasukan berkuda itupun segera memacu kuda mereka menyusul iring-iringan gerombolan diseberang sungai yang berniat untuk melarikan diri itu.
Para prajurit dari pasukan berkuda yaitu memang tidak banyak. Selain para prajurit dari Pasukan Khusus juga terdapat Glagah Putih, Sabungsari, dua orang pemimpin pengawal disamping, Ki Demang, Ki Jagabaya, dan Ki Bekel kebingungan.
Ki Sura Landak pun segera melihat pasukan berkuda yang datang itu. Karena itu, maka iapun segera memerintahkan para pengikutnya yang berkuda untuk menyongsong kedatangan lawan mereka, sedangkan beberapa orang yang lain, akan menunggu di tepian.
Perintah serta isyarat yang diberikan oleh Ki Sura Landak itupun sudah jelas bagi para.pengikutnya. Karena itu, maka merekapun segera melaksanakan perintah itu.
Beberapa orang berkuda itupun telah menyeberangi sungai menyongsong lawan-lawan mereka yang juga sudah siap menyeberang. Namun ketika mereka melihat orang gerombolan berkuda itu juga menyeberang, maka merekapun telah menunggu.
Demikian beberapa orang gerombolan berkuda itu mencapai tepian, maka pertempuran telah terjadi. Tetapi gerombolan itupun segera menarik diri menyeberangi sungai itu pula.
Para prajuritpun berusaha untuk mengejar, mereka Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari berada didepan. Namun Agung Sedayupun segera memberikan isyarat untuk berhenti. Kemudian terdengar aba-abanya " Berpencar. Dihadapan kita menunggu ujung tombak."
Para prajuritpun telah berpencar. Sebenarnyalah, beberapa orang pengikut Ki Sura Landak telah menunggu ditepian. Demikian kuda-kuda anggaula gerombolan yang lain lewat, maka tombak dan lembing itu akan dilontarkan kepada para prajurit yang mengejar mereka.
Tetapi para prajurit itu tidak langsung memburu para pengikut Ki Sura Landak. Justru karena mereka berpencar, maka beberapa orang yang sudah siap dengan tombak ditangan, telah kehilangan sasaran.
Namun dengan demikian, maka pertempuran yang sebenarnya dari orang-orang berkuda itu telah terjadi di pinggir sungai. Kedua belah pihak telah naik keatas tebing yang rendah. Dengan berbekal kemampuan berkuda serta ilmu mempergunakan senjata, maka kedua belah pihak telah terlibat dalam pertempuran.
Sementara itu, beberapa puluh langkah dari medan pertempuran antara kedua kelompok orang berkuda itu, Prastawa dan para pengawal Tanah Perdikan telah bertempur pula melawan sebagian dari gerombolan itu.
Karena jumlah lawannya menyusut, maka Prastawa telah memberanikan diri untuk bertempur langsung beradu dada.
Dengan demikian, telah teradi dua lingkaran pertempuran yang sengit Para penunggang kuda mereka. Sambar-menyambar seperti sekelompok garuda yang bertempur melawan sekelompok rajawali.
Namun dalam pada itu, Prastawa dan para pengawal masih saja mengalami kesulitan menghadapi lawan-lawannya. Ki Sura Landak mengamuk seperti seekor harimau yang lapar.
Namun sementara itu, para pengikut Ki Sura Landak yang bertempur dialas punggung kudanya, segera mengalami kesulitan. Satu persatu mereka terlempar jatuh. Sedangkan kawan-kawannya yang tidak berada dipunggung kudanya, berusaha untuk membantu. Mereka berusaha untuk menyerang para prajurit berkuda yang bertempur berputar-putar di-atas punggung kuda. Sementara itu senjata mereka terayun-ayun mengerikan.
Agung Sedayu yang berada di arena pertempuran itu pula, telah berteriak nyaring "Menyerahlah. Jika kalian menyerah, maka akan dipertimbangkan pengurangan hukuman atas kalian. Tetapi jika kalian tetap melawan, maka kalian akan dihancurkan. "
Tidak ada tanggapan. Tetapi para pengikut Ki Sura Landak itu bertempur semakin garang. Apalagi mereka yang bertempur dalam kelompok melawan para pengawal yang dipimpin langsung oleh Prastawa. Mereka masih mampu mendesak pasukan pengawal yang jumlahnya memang tidak begitu banyak.
Glagah Putih dan Sabungsari yang melihat kesulitan yang dialami pasukan pengawal dibawah pimpinan Prastawa itu, segera meninggalkan arena pertempuran berkuda itu. Keduanya bergerak dengan cepat, mendekati arena pertempuran antara para pengikut Ki Sura Landak melawan pasukan pengawal yang dipimpin oleh Prastawa itu.
Tetapi Glagah Putih yang sangat menyayangi kudanya tidak menerjang lawan-lawannya diatas punggung kudanya. Iapun segera meloncat turun demikian ia mendekati arena pertempuran itu.
Ternyata Sabungsaripun telah meloncat turun pula. Setelah keduanya mengikat kuda mereka pada sebatang pohon perdu, maka keduanyapun segera memasuki arena pertempuran.
Namun bersamaan dengan itu, sekelompok pengawal yang lain, telah melintasi gumuk kecil menuju ke arena pertempuran. Panah sendaren yang dilontarkan sampai dua kali telah menuntun mereka kearah yang benar.
Dengan serta-merta sekelompok pengawal itu telah berlari-lari menuju ke arena pertempuran sambil berteriak-teriak nyaring.
Kedatangan sekelompok pasukan pengawal itu telah mengguncang medan. Para pengikut Sura Landak menjadi cemas. Kawan-kawan mereka yang bertempur diatas punggung kuda agaknya mengalami kesulitan melawan para prajurit berkuda yang dipimpin langsung oleh Agung Sedayu itu, sementara sekelompok pengawal itu tentu akan bergabung dengan kawan-kawannya yang sedang terdesak itu.
Ki Sura Landak yang justru berada bersama pengikutnya yang tidak bertempur diatas punggung kudanya, sama sekali tidak berpenghargaan lagi. Karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat kepada para pengikutnya Satu teriakan nyaring yang tidak dimengerti artinya oleh lawan-lawannya telah menggetarkan arena pertempuran itu.
Namun Agung Sedayu sudah menduga, bahwa isyarat itu adalah isyarat untuk melarikan diri Karena itu Agung Sedayu sekali lagi memperingatkan "Menyerahlah. Jangan berusaha melawan atau melarikan diri Jika kesempatan ini tidak kalian pergunakan, maka kami benar-benar akan menghancurkan kalian."
Tetapi Ki Sura Landak tidak menghiraukannya. Sekali lagi ia meneriakkan isyarat itu.
Sebenarnyalah, maka para pengikut Sura Landak pun segera bersiap-siap. Demikian pasukan pengawal yang datang itu mendekat, maka para pengikut Sura Landak itupun segera melarikan diri. Seorang diantara pengikutnya yang berkuda telah melarikan kudanya menghampiri Sura Landak dan memberikan kuda itu kepadanya, agar Sura Landak dapat melarikan diri dengan cepat
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Demikian Sura Landak melarikan kudanya dalam kekacau-balauan pertempuran itu, Glagah Putih yang dapat membaca apa yang akan dilakukannya, segera berlari dan meloncat ke punggung kudanya pula.
Glagah Putih tidak menghiraukan lagi para pengikut Sura Landak yang lain. Glagah Putih yang sejak melibatkan diri dalam pertempuran antara para pengikut Sura Landak dan para pengawal yang tidak berkuda itu, telah menduga, bahwa orang itu adalah pemimpin gerombolan yang telah mengacaukan Tanah Perdikan Menoreh dan bersaing di padukuhan Sambi Sari. Apalagi ketika seseorang telah menyerahkan kudanya kepada orang itu, sementara ia sendiri harus melarikan diri dengan kakinya, maka Glagah Putih pun menjadi pasti, bahwa orang itu adalah pemimpin gerombolan itu. Salah seorang diantara gerombolan itu yang tertangkap telah menyebut nama pemimpinnya bernama Sura Landak.
" Nama yang pernah terdengar pula di medan pertempuran disisi Barat Tanah Perdikan Menoreh" desis Glagah Putih di dalam hatinya Namun nama itu tenggelam diantara nama-nama orang berilmu tinggi yang lain.
Sejenak kemudian, maka kuda Glagah Putihpun telah dipacu untuk menyusul Ki Sura Landak, sementara para prajurit telah mengejar pada penunggang kuda yang lain. Sedangkan mereka yang tidak berkuda, harus melarikan diri sambil berusaha melindungi diri mereka dari ujung senjata para pengawal yang memburu mereka
Beberapa orang yang berputus-asapun telah menyerah dengan melemparkan senjata mereka Tetapi ada yang sempat mencapai padang ilalang dan berusaha bersembunyi di dalamnya
Ki Sura Landak yang dikejar oleh Glagah Putih memacu kudanya seperti angin. Kemampuannya menunggang kudapun mengagumkan. Kudanya dibawanya berlari memanjat tebing sungai, kemudian melintasi tanggul. Menyeberang jalan kecil dan meloncat parit dan berlari di padang rumput yang luas. tempat anak-anak menggembalakan kambing dan kerbau mereka.
Sementara itu, Glagah Putihpun berpacu pula mengikutinya Ia tidak mau kehilangan orang yang harus bertanggungjawab atas segala perbuatan gerombolannya di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putihpun telah memburu lawannya kemanapun ia pergi
Ki Sura Landak yang terlalu percaya kepada kudanya merasa dirinya sudah terbebas dari tangan para prajurit Mataram. Namun agaknya seorang diantara para prajurit itu tidak mau melepaskannya dan memburunya kemana ia pergi.
"Kuda orang itu cukup baik" desis Ki Sura Landak.
Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih justru menjadi semakin dekat. Kuda yang memburunya itu mampu berlatih lebih cepat.
Ketika Ki Sura Landak itu menoleh, iapun terkejut. Orang yang mengejarnya itu sudah berada dekat dibelakangnya
"Setan kuda itu" geramnya
Ki Sura Landak memang menjadi gelisah setelah ia melihat kuda yang mengejarnya itu. Seekor kuda yang besar dan tegar. Jarang ada orang yang memiliki kuda seperti itu.
Semakin lama Glagah Putih memang menjadi semakin dekat Sura Landak menyadari bahwa ia tidak dapat hanya sekedar terkejut dan heran. Tetapi ia harus melawan orang yang mengejarnya itu
Karena itu, maka Ki Sura Landak yang menyadari, bahwa kecepatan berlari kudanya tidak akan mampu melebihi kecepatan lari kuda yang mengejarnya maka Sura Landak harus mempergunakan kepandaiannya menunggang kuda untuk melawan orang yang menyusulnya itu.
Karena itu, maka Sura Landak tidak berlari terus. Tetapi ia mulai membelokkan kudanya mengitari padang rumput yang terhitung luas itu.
Glagah Putih segera tanggap. Ia harus bertempur melawan Sura Landak diatas punggung kuda
Sejenak kemudian kedua ekor kuda itu saling menyambar dengan serunya. Sura Landak telah menggenggam tongkat besinya yang berujung runcing bergerigi. Sementara Glagah Putihpun telah menggenggam pedangnya pula.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka kedua orang penunggang kuda itupun telah bertempur dengan sengitnya diatas punggung kuda. Berputaran dan kadang-kadang memotong putaran dan langsung saling menyambar. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan. Sekali-sekali terjadi benturan antara kedua senjata itu dengan kerasnya.
Sura Landak memang memiliki tenaga yang sangat besar. Dalam benturan senjata yang terjadi, maka genggaman tangan Glagah Putih menjadi goyah. Namun demikian kemudian Glagah Putih mengerahkan tenaga dalamnya, maka setiap benturan yang terjadi justru getaran yang kuat seakan-akan merambat sampai mengguncang isi dada Ki Sura Landak.
Beberapa lama keduanya saling menyambar diatas punggung kuda. Ternyata keduanya memiliki kemampuan menunggang kuda yang tinggi, sementara ilmu merekapun memadai pula
Namun ternyata ketrampilan tangan Glagah Putih mampu membuat lawannya kesulitan. Glagah Putih tidak saja mengayunkan senjata dil-ambari dengan kekuatan yang besar, tetapi dengan cerdik Glagah Putih memutar senjatanya sehingga ayunan tongkat lawannya tidak disentuhnya. Namun dengan cepat Glagah Putih menjulurkan pedangnya menggapai tubuh Sura Landak.
Glagah Putih memang agak terlambat Kudanya berlari kencang. Sehingga ujung pedangnya tidak menggores dada lawannya. Tetapi hanya sekedar mengenai pundaknya
Meskipun demikian, luka di pundak Sura Landak itu membuatnya menjadi seperti orang yang mabuk. Kemarahannya memuncak membakar ubun-ubunnya. Dengan keras sekali ia berteriak "Anak demit Aku bunuh kau dan aku cincang tubuhmu sampai lumat "
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa Sura Landak yang marah itu tentu akan meningkatkan serangan-serangannya
Sebenarnyalah, bahwa Sura Landak menjadi sangat garang. Namun segala sesuatunya terpengaruh pula oleh solah kudanya Karena itu, maka tiba-tiba saja Sura Landak itu telah meloncat turun.
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Jika ia tidak turun pula dari kudanya, maka mungkin sekali Sura Landak akan menyerang kudanya untuk memaksanya turun. Karena itu, sebelum kudanya terluka, Glagah Putihpun telah meloncat turun pula dan membiarkan kudanya dilepas di padang rumput
Agaknya kudanya tidak menghiraukan apa yang terjadi, Kuda-kuda itu lebih senang menikmati rumput yang hijau daripada memperhatikan kedua orang yang kemudian bertempur tidak jauh dari mereka
Pertempuran antara Sura Landak dan Glagah Putih itupun semakin lama menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka yang lebih tinggi.
Tongkat besi Sura Landak yang berujung runcing dan bergerigi itu berputaran dengan cepat. Ayunannya yang deras telah mengaduk udara di sekitar arena Semakin lama semakin cepat.
Namun Glagah Putihpun mampu bergerak cepat pula sehingga tongkat besi itu tidak menyentuh kulitnya.
Meskipun demikian, Glagah Putihpun kemudian merasakan ilmu lawannya yang tinggi. Putaran tongkat besi yang seakan-akan telah memutar udara di sekitar arena pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin terasa Bahkan kemudian udara yang berputaran sebagaimana tongkat besi lawannya itu terasa semakin lama menjadi semakin hangat
Dengan demikian, Glagah Putihpun harus berusaha keras, agar lawannya tidak sempat meningkatkan ilmunya untuk membuat udara di sekitarnya menjadi panas.
Tetapi usaha Glagah Putih itupun sia-sia. Udara di arena itu semakin lama terasa semakin panas.
Keringatpun mengalir semakin deras dari tubuh Glagah Putih. Selain karena ia harus berloncatan bertahan dan menyerang, udara panas itu serasa telah memanggangnya.
Semakin lama Glagah Putihpun menjadi semakin sulit untuk bertahan. Apalagi ketika tubuh lawannya itupun seakan-akan telah menjadi bara Semakin dekat jarak antara Glagah Putih dan Sura Landak, maka panas itu terasa semakin menyengat
Sementara itu, serangan-serangan Sura Landakpun menjadi semakin garang. Apalagi ketika Sura Landak itu melihat, bahwa Glagah Putih yang kepanasan itu telah kehilangan banyak tenaga, sehingga per-lawanannyapun menjadi semakin kendor.
Dalam keadaan yang semakin terjepit, Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Ia tidak mau menjadi hangus oleh panas yang memancar dari ilmu yang telah diuapkan oleh Sura Landak.
Karena itu, ketika Glagah Putih merasa tidak lagi mampu melawannya, sementara tangannya sudah menjadi pedih karena benturan-benturan senjata sehingga hampir saja senjatanya terlepas, maka Glagah Putih itupun telah meloncat mengambil jarak.
Ki Sura Landak tidak segera memburunya Ia sempat berdiri bertolak pinggang sambil berdesis "Kau telah melukai tubuhku, anak muda Karena itu, tidak ada lagi jalan untuk keluar dari arena ini. Kau akan terkapar mati. Tubuhmu akan hangus seperti di panggang di atas api. "
Glagah Puuh memandang orang itu dengan tatapan mata yang tajam. Dengan nada berat Glagah Putih itupun berkata"Aku masih belum ingin mau, Sura Landak. "
"Aku tidak bertanya, apakah kau ingin mati atau tidak. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa aku akan membunuhmu sekarang disini. Aku tidak ingin mendengar pendapatmu apakah kau ingin atau tidak ingin mati. "
Dahi Glagah Putih berkerut. Namun kemudian iapun berkata " Baik. Kita akan berpegang kepada rencana kita masing-masing. Sekarang bersiaplah. Aku akan membunuhmu. "
Sura Landak mengerutkan dahinya. Wajahnya menegang. Anak muda yang dihadapinya itu sama sekali tidak nampak menjadi gentar meskipun ia sudah terpanggang panas ilmunya sehingga keringatnya terperas dari tubuhnya.
" Kau terlalu sombong anak muda" geram Sura Landak. Tetapi Glagah Putih tidak menjawab.
Selangkah demi selangkah Sura Landak itu mendekati Glagah Putih. Panas yang memancar dari ilmunya itu sudah terasa di kulit Glagah Putih. Sementara itu Sura Landakpun telah memutar tongkat besinya pula
Glagah Putih sama sekali tidak beranjak dan tempatnya. Ia berusaha meningkatkan daya tahannya untuk melawan panas yang memancar dari ilmu Sura Landak.
Namun ternyata Glagah Putih tidak mampu mengatasinya Apalagi ketika Sura Landak itu meloncat menyerangnya
Karena itu, maka Glagah Putihpun segera berloncatan mengambil jarak. Dipusatkannya nalar budinya untuk mengetrapkan ilmu pamungkasnya. Glagah Putih tidak mau terkapar mati menjadi korban keganasan Sura Landak.
Karena itu, ketika ia melihat Sura Landak itu meloncat menyerang dengan pancaran udara panas dari ilmunya, maka Glagah Putih telah terdiri tegak dengan sedikit merendah pada lututnya serta menancapkan pedangnya di tanah. Kemudian diangkatnya tangannya dan menghadapkan telapak tangannya ke arah Sura Landak yang sedang meloncat menyerangnya
Sura Landak terkejut melihat sikap Glagah Putih. Apalagi ketika ia melihat selera sinar yang memancar dari telapak tangan anak muda itu. Tetapi sudah terlambat untuk menghindarinya
Seleret sinar itu telah menghantam tubuh Sura Landak yang sedang meloncat menyerangnya itu. Yang dapat dilakukan oleh Sura Landak adalah meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak.
Tetapi segalanya sia-sia. Tubuh Sura Landak itu terlempar beberapa langkah. Kemudian jatuh terbanting di tanah.
Daya tahan Sura Landak memang luar biasa. Orang itu masih menggeliat sambil mengerang. Tongkatnya terlempar beberapa langkah dari tubuhnya.
Glagah Putihpun kemudian menarik pedangnya yang ditancapkannya di tanah di depan tubuhnya dan melangkah mendekati Sura Landak yang terkapar itu.
Sambil mengacukan pedangnya dengan hati-hati Glagah Putih mendekati Sura Landak yang terbaring, la tidak boleh terjebak, seandainya Sura Landak hanya berpura-pura saja
Tetapi Sura Landak benar-benar tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Bagian dadanya seolah-olah telah menjadi hangus. Bahkan bagian dalam tubuh nyapun bagaikan telah hancur.
Namun Sura Landak yang memiliki daya tahan yang luar biasa itu masih sempat menggeram "Anak iblis."
Glagah Putih berdiri saja termangu-mangu.
" Aku akan membunuhmu. Kau akan menyesali kesombonganmu."
Glagah Putih masih tetap berdiri tegak, selangkah dari tubuh Sura Landak. Ia melihat Sura Landak yang marah dan mendendam itu menggeliat sambil menyeringai menahan sakit
Bertelekan pada pedangnya, Glagah Putihpun kemudian berjongkok di sebelah tubuh Sura Landak. Glagah Putih masih melihat Sura Landak itu menggeretakkan giginya. Namun kemudian orang itupun terdiam. Sura Landak telah meninggal.
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih itupun bangkit berdiri. Ia mendengar derap beberapa ekor kuda mendekatinya
Agung Sedayu, Sabungsari dan dua orang prajurit berkuda telah menyusulnya
Merekapun kemudian meloncat turun dari kuda mereka Dengan nada rendah Agung Sedayu bertanya " Siapakah orang ini ?"
"Orang inilah yang memimpin gerombolan yang masih berusaha untuk membuat Tanah Perdikan Menoreh tidak tenang. Dengan caranya ia berusaha menimbulkan keresahan. Perampokan, pembunuhan dan kekerasan-kekerasan yang lain."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Bekel Sambisari bersama dua orang prajurit yang lain telah sampai pula ke tempat itu.
Dengan lantang Ki Jagabaya bertanya "Siapakah orang ini ?"
"Orang inilah yang memimpin gerombolan yang tinggal di kademangan ini "jawab Glagah Putih.
" Benar Ki Bekel ?" desak Ki Jagabaya.
Dengan kepala tunduk Ki Bekel itupun menjawab " Ya, Ki Jagabaya"
" Siapa namanya ?"
" Sura Landak."
Ki Jagabaya yang sudah turun dari kudanya itupun telah mendekati tubuh Ki Sura Landak. Sambil mengangguk-angguk iapun bergumam " Jadi orang inilah yang memimpin gerombolan yang telah mencemari kademangan ini ?"
" Benar begitu Ki Bekel ?" bertanya Ki Demang yang berdiri di sebelah Ki Bekel.
Ki Bekel menjadi semakin gelisah. Tetapi iapun mengangguk sambil berdesis " Ya Ki Demang."
" Bagus. Persoalannya tidak akan berhenti sampai kematiannya saja "berkata Ki Demang selanjutnya
Ki Bekel menjadi semakin menunduk. Ia tahu benar arti kata-kata Ki Demang.
Tetapi penyesalan yang bergejolak di hati Ki Bekel tidak lagi banyak gunanya. Nampaknya Ki Demang dan Ki Jagabaya benar-benar ingin menuntutnya karena Ki Bekel telah mencemari nama baik kademangan itu. Untunglah bahwa para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh masih dapat menahan diri dan berpikir dengan akal yang jernih, sehingga Tanah Perdikan Menoreh tidak mengambil langkah-langkah yang kasar. Dalam hal ini ia tidak akan dapat mengadu kepada Mataram, karena Mataram justru akan menyalahkannya. Apalagi gerombolan Sura Landak adalah gerombolan yang dianggap telah melawan kekuasaan Mataram.
"Bawa tubuh ini ke padukuhan" berkata Ki Demang kepada Ki Bekel " Kita tidak dapat membiarkan tubuh ini menjadi makanan burung gagak disini."
Ki Bekel yang sudah merasa bersalah itu tidak membantah. Dinaikkannya tubuh Sura Landak itu ke atas kuda Sura Landak sendiri yang masih berkeliaran di padang rumput itu. Kemudian, Ki Bekel akan menuntun kuda itu sampai ke padukuhan.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan mereka yang berada di padang rumput itupun telah kembali kebekas arena pertempuran yang sudah padam. Beberapa orang telah tertangkap, beberapa orang yangiain terbunuh dan ada juga yang berhasil melarikan diri dan hilang dibalik padang ilalang dan gemmbul-gerumbul perdu
Namun gerombolan Ki Sura Landak itu benar-benar telah dihancurkan.
Namun dalam pertempuran itu ada juga pengawal yang terluka, bahkan ada pula yang gugur.
Dalam pada itu, para pengawal Tanah Perdikan yang terpisah-pisah itupun telah berkumpul semuanya. Merekapun segera memerintahkan kepada para tawanan untuk membawa kawan-kawan mereka yang terbunuh dan terluka.
" Kawan-kaawanmu itu perlu perawatan " berkata Agung Sedayu " sedangkan yang terbunuh akan dikuburkan."
Orang-orang yang tertawan itu tidak dapat menolak mengusung kawan-kawan mereka. Sementara itu, para pengawal yang terluka dan bahkan yang gugur, telah dibawa di atas punggung kuda.
Ketika mereka memasuki padukuhan Sambisari, senja telah turun. Untunglah bahwa Tanah Perdikan tidak terlambat sehingga gelap malam tidak dapat menyelamatkan para pengikut Sura Landak.
Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit tidak ingin bermalam di padukuhan Sambi Sari. Meskipun gelap telah turun, tetapi mereka akan meneruskan perjalanan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Ki Demang tidak membiarkan para pengawal dari prajurit mengalami kesulitan perjalanan karena mereka yang gugur dan terluka. Karena itu, maka Ki Demang telah memerintahkan mengumpulkan pedati yang ada di Sambisari untuk membawa mereka.
Digelapnya malam, iring-iringan itupun telah merambat dari padukuhan Sambisari menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Perjalanan mereka menjadi semakin lambat karena pedati-pedati yang merangkak seperti siput Tetapi mereka tidak lagi mengalami kesulitan membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka. Apalagi yang parah, karena mereka dapat dibaringkan diatas pedati yang diberi alas jerami kering dan tikar pandan yang putih.
Sekali lagi Tanah Perdikan Menoreh harus berkabung karena kehilangan beberapa orang pengawal yang terbaik. Tetapi itu lebih baik daripada para pengawal itu terbunuh di Tanah Perdikan sendiri oleh gerombolan yang memasuki Tanah Perdikan itu dengan diam-diam seperti pencuri. Mereka merampok, merampas dan membunuh. Kemudian melarikan diri.
Namun gerombolan itu telah dihancurkan, sehingga bahaya perampokan, perampasan dan pembunuhan itu sudah tidak ada lagi. Seandainya hal itu terjadi, namun peristiwa tertentu sudah menyusut jauh sekali.
Dikeesokan harinya, maka para pengawal dan prajurit yang gugur-pun telah dimakamkam dengan upacara penuh. Sementara itu. para pengikut gerombolan itu yang terbunuh telah dikuburkan pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun telah memerintahkan dua orang prajurit untuk pergi ke Pajang, memberikan laporan tentang tindakan yang telah diambil oleh Tanah Perdikan Menoreh, didukung oleh para prajurit dari Pasukan Khusus terhadap sisa-sisa gerombolan yang masih mendendam terhadap Tanah Perdikan.
Namun setelah gerombolan yang bersembunyi di Sambisari itu dihancurkan, maka di Tanah Perdikan benar-benar menjadi tenang. Tetapi bukan berarti bahwa anak-anak muda serta para pengawalnya menjadi lengah. Dapat saja sekelompok penjahat yang memanfaatkan keadaan itu untuk keuntungan mereka sendiri. Justru pada saat Tanah Perdikan merasa bahwa gerombolan yang sering mengganggu ketenangan di Tanah Perdikan sudah dihancurkan, maka justru pengamanannya menjadi kendor.
Namun ternyata bahwa keadaan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar menjadi tenang.
Dimalam hari selain yang bertugas meronda di setiap padukuhan, rakyat Tanah Perdikan Menoreh dapat tidur dengan tenang. Di siang hari, mereka dapat bekerja di bidang mereka masing-masing tanpa merasa diganggu. Pasar-pasar di Tanah Perdikanpun menjadi semakin berkumandang di pagi hari. Suara para pande besi yang menempa membuat alat-alat pertanian di perapiannya, serta suara perempuan yang menumbuk padi, memenuhi seluruh Tanah Perdikan. Disawah, kerbau dan lembu menarik bajak dan garu menyusuri tanah berlumpur.
Sementara itu suara seruling para gembala di padang rumput seakan-akan terayun di ujung daun nyiur yang meliuk di tiup angin.
Ketenangan dan ketentraman serta peningkatan kesejahteraan itu telah menjadi Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin gemah ripah.
Ketika hal itu dilaporkan ke Mataram, maka Ki Patih Mandaraka-pun telah mengucapkan selamat kepada Ki Gede Menoreh.
Sementara itu, setelah keadaan benar-benar menjadi tenang, maka Ki Wijii, Nyi Wijil dan Sayogapun telah minta diri untuk kembali pulang.
" Apakah Glagah Putih dan Sabungsari perlu mengantar agar ada kawan berbincang diperjalanan ?" bertanya Agung Sedayu.
" Bukankah aku tidak sendiri ?" sahut Ki Wijil " aku sudah mempunyai kawan berbincang disepanjang jalan.
"Jika Ki Wijil memerlukannya"
" Terima kasih. Kami sudah mengenal jalan yang harus kami, tempuh dengan baik. Kamipun berniat untuk singgah di Mataram, menghadap Ki Patih Mandaraka"
"Ki Patih tentu akan senang sekali" desis Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Ki Wijil, Nyi Wijil dan Sayoga itupun telah minta diri kepada Ki Gede serta para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh sebelum mereka berangkat.
Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan hanya dapat mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya
" Jika Ki Wijil dan Nyi Wijil memerlukan kami untuk keperluan apa saja, jangan segan-segan menyampaikan kepada kami. Jika ada kemampuan kami untuk melakukannya akan kami lakukan dengan senang hati" berkata Ki Gede Menoreh.
Ki Wijil tersenyum. Katanya "Terima-kasih Ki Gede. Kami tidak akan pernah melupakannya."
Demikianlah, pagi-pagi sekali, ketiganya bersiap meninggalkan rumah Agung Sedayu. Sekar Mirah dan Rawa Wulan memang merasa kehilangan. Lebih-lebih Rara Wulan, karena kadang-kadang Nyi Wijil menemaninya di sanggar.
Empu Wisanata dan Nyi Dwanipun melepas mereka dengan berat. Ki Wijil masih sempat bertanya kepada Empu Wisanata "Apakah Empu tidak akan pulang dan menetap di Tanah Perdikan ini" "
Empu Wisanata tersenyum. Katanya " Kami adalah kleyang kabur kanginan, Ki Wyil. Kami tidak mempunyai rumah tempat tinggal. Karena itu, maka mungkin sekali kami tidak akan pergi dari Tanah Perdikan ini lagi. "
" Ki Gede tentu tidak akan berkeberatan"berkata Ki Wijil. Namun katanya pula " Tetapi jika Empu Wisanata ingin tinggal di rumah kami, kami tentu akan menerimanya dengan senang hati. "
Empu Wisanata tertawa meskipun terasa betapa jantungnya tergetar. Katanya " Terimakasih Ki Wijil. Tetapi pada suatu saat kami ingin berkunjung ke rumah Ki Wijil dan Nyi Wijil. "
" Kami menunggu, Empu" sahut Nyi Wijil.
Sambil menepuk bahu Nyi Dwani, Nyi Wijil itupun berkata " ingatkan ayah jika ayahmu lupa. "
Namun Sayoga menyahut " Kecuali Nyi Dwani lupa mengingatkan Empu Wisanata. "
Nyi Dwani dan yang mendengar gurau Sayoga itupun tertawa.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Ki Wijil, Nyi Wijil dan Sayoga itupun telah meninggalkan rumah Agung Sedayu menempuh perjalanan panjang. Namun mereka akan singgah di Mataram untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.
Ketika Ki Wijil, Nyi Wijil dan Sayoga sudah tidak kelihatan lagi, Empu Wisanatapun berdesis "Kami sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan jika Empu benar-benar akari menetap di Tanah Perdikan ini, aku akan berbicara dengan Ki Gede. "
Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian " Aku akan memikirkannya, Ki Lurah. Jika aku sampai pada kesimpulan itu, maka aku akan menyampaikannya kepada Ki Lurah. Tetapi untuk sementara, kami mohon diijinkan untuk tinggal disini. "
" Silahkan Empu. Kami tidak mempunyai keberatan apa-apa. " Dengan demikian, maka Empu Wisanata dan Nyi Dwani masih tetap tinggal dirumah Agung Sedayu untuk sementara. Tetapi gagasan untuk tinggal di Tanah Perdikan itu telah disampaikan kepada Ki Gede mendahului keputusan Empu Wisanata sendiri.
Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, Ki Gede tidak berkeberatan. Meskipun demikian, Ki Lurah Agung Sedayu itupun berkata " Tetapi segala sesuatunya aku akan menunggu pernyataan Empu Wisanata Ki Gede. Jika aku yang menawarkannya, Empu Wisanata dapat menjadi salah paham, seakan-akan akulah yang ingin memindahkannya dari rumahku "
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Lurahpun tertawa pula.
Namun untuk beberapa lama Empu Wisanata masih belum menyatakan sikapnya Agaknya ia masih tetap ragu-ragu.
Yang mengejutkan kemudian adalah kedatangan Pandan Wangi yang tiba-tiba saja bersama dua orang bebahu kademangan Sangkal Putung yang sudah separo baya. Tetapi Pandan Wangi tidak langsung pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi Pandan Wangi justru langsung pergi ke rumah Agung Sedayu.
Sekar Mirah yang ada di rumah terkejut atas kedatangannya. Dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya dan mempersilahkannya naik ke pendapa
"Kapan mbokayu datang?" bertanya Sekar Mirah. "Baru saja Sekar Mirah. "
"Mbokayu Pandan Wangi langsung datang ke rumah ini" " Pandan Wangi mengangguk. "Dimana kemanakanku" "
"Aku tidak mengajaknya. Anak itu aku titipkan kepada kakeknya di Sangkal Putung.
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sekar Mirah itupun mengajaknya duduk di ruang dalam, sementara itu ia minta Glagah Putih dan Sabungsari menemui dua orang bebahu dari Sangkal Putung.
Diperkenalkannya Pandan Wangi dengan Nyi Dwani. Namun Nyi Dwani itupun kemudian pergi ke dapur bersama dengan Sekar Mirah.
Pada pandangan mata Pandan Wangi, Sekar Mirah melihat sesuatu yang bagaikan menyelimuti kecerahan pandangannya Tetapi Sekar Mirah tidak menanyakannya. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Pandan Wangi.
Namun Sekar Mirah itupun telah menanyakan keselamatan keluarga di Sangkal Putung. Sebaliknya Pandan Wangipun kemudian telah menanyakan keselamatan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.
" Aku belum menghadap ayah " berkata Pandan Wangi kemudian.
" Kenapa" "
Pertanyaan Sekar Mirah itu agaknya telah mengungkit perasaan Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi itu berusaha untuk mengendalikan diri.
Namun agaknya Sekar Mirah dapat membaca gejolak perasaan Pandan Wangi. Karena itu, maka ia pun tidak mendesaknya. Bahkan Sekar Mirah itu pun berkata " Kakang Agung Sedayu masih berada di barak. Di sore hari ia baru pulang. "
" Di ruang dalam rumahmu itu, udaranya terasa sejuk, Sekar Mirah. " desis Pandan Wangi.
" Hari ini udara memang terasa agak sejuk. Apalagi mbokayu tadi kepanasan di sepanjang jalan. Namun pada waktu yakg lain, ruangan ini panasnya bagaikan perapian. "
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya " Namun keluargamu nampaknya juga selalu sejuk. "
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam, la merasa sesuatu yang asing bergetar di jantung kakak iparnya itu. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat langsung bertanya. Mungkin hal itu lebih baik bagi Pandan Wangi, karena ia segera dapat menumpahkan persoalan yang mengganjal di dadanya Tetapi dapat juga berakhir sebaliknya.
Karena itu, Sekar Mirah memilih lebih baik menunggu dari pada terjadi salah paham.
Dalam pada itu, Rara Wulan pun telah menghidangkan minuman dan makanan. Sambil tersenyum randan Wangi itupun berdesis " Kau menjadi semakin cantik, Rara "
" Ah, mbokayu. "
" Aku berkata sebenarnya. Bertanyalah kepada mbokayu Sekar Mirah."
Rara Wulan menunduk. Namun kemudian ia pun bergeser mundur. "Duduk sajalah Rara" minta Pandan Wangi
"Nanti mbokayu. Masih ada kerja di dapur. "
" Kau akan menjadi seorang gadis yang lengkap. Seorang gadis yang trampil di dapur, tetapi juga tangkas di medan. "
"Ah, mbokayu masih saja memuji. "
Rara Wulan itupun kemudian telah bangkit dan pergi ke dapur
"Minumlah, mbokayu " Sekar Mirah mempersilahkan.
Pandan Wangi itupun kemudian telah mengangkat mangkuknya dan meneguk minuman hangat yang dihidangkan, sementara Rara Wulan menghidangkan minuman bagi kedua bebahu yang duduk di pringgitan bersama Glagah Putih dan Sabungsari.
Ketika Pandan Wangi meletakkan mangkuknya, ia pun kemudian bertanya dengan nada dalam " Tersiar berita di Sangkal Putung, bahwa di Tanah Perdikan ini baru saja terjadi pertempuran yang terhitung besar."
" Ya mbokayu "jawab Sekar Mirah.
" Kenapa kakang Agung Sedayu tidak mengirimkan utusan untuk memberitahukan kepadaku" "
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Bukankah tidak seharusnya Agung Sedayu, seorang Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini memberikan laporan kepada Pandan Wangi"
Namun Sekar Mirah tidak mengatakannya. Agaknya Pandan Wangi pun tidak sadar atas ucapannya sendiri.
Dengan hati-hati Sekar Mirah justru bertanya " Apakah Ki Gede tidak mengirimkan utusan ke Sangkal Putung" "
Pandan Wangi mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba ia menyadari kekeliruannya Karena itu ia pun dengan serta merta menyahut " Ya. Yang aku maksud adalah pemimpin Tanah Perdikan ini. Bukan Ki Lurah Agung Sedayu. Dalam hal ini sebaiknya ayah memberitahukan kepadaku, apa yang terjadi, sehingga kami di Sangkal Putung tidak selalu gelisah. "
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Sekar Mirah masih juga bertanya-tanya " Agaknya karena kegelisahan ini, mbokayu bersusah payah datang ke Tanah Perdikan ini. Jika saja hal ini kami sadar sebelumnya,"kami dapat minta Glagah Putih pergi ke Sangkal Putung sekaligus mengunjungi ayahnya yang sudah agak lama tidak pernah dilakukannya "
" Antara lain memang karena kegelisahan itu, Sekar Mirah.Tetapi aku pun mempunyai kepentingan yang lain. "
" Kepentingan apa, mbokayu. Jika saja aku dapat membantu. Wajah Pandan Wangi pun menunduk. Kemudian dengan suara yang bergetar ia pun berdesis " Kakang Swandaru."
" Kakang Swandaru" Kenapa dengan kakang Swandaru" "
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Tetapi nampak di wajahnya, betapa ia menahan perasaannya
Sekar Mirah pun bergeser mendekatinya Sikap Pandan Wangi itu telah mendebarkan-jantungnya pula. Sebagai seorang perempuan yang memiliki ketahanan tubuh dan ketahanan jiwani, perasaan Pandan Wangi tidak lagi dapat disembunyikan, tentu ada sesuatu yang rumit dan bahkan mungkin gawat
" Mbokayu " desis Sekar Mirah " kenapa dengan kakang Swandaru" "
" Sekar Mirah. Aku tidak dapat mengatakannya kepada ayah. Karena itu, aku datang kemari. Aku sengaja ingin menemuimu dan menyampaikan persoalan ini kepadamu. Aku ingin kau dapat membantuku memecahkan persoalan ini. "
" Katakan mbokayu. Aku akan membantumu sejauh dapat aku lakukan."
Adalah di luar dugaan ketika Pandan Wangi kemudian mengusap matanya yang basah. Namun Pandan Wangi berusaha untuk tidak menangis.
Sekar Mirahpun menjadi semakin yakin, bahwa tentu ada persoalan yang penting yang terjadi pada keluarga Pandan Wangi sehingga serasa menjadi beban yang tidak terangkat oleh Pandan Wangi sendiri.
" Sekar Mirah " berkata Pandan Wangi " kedua bebahu yang datang bersamaku itu tidak tahu, apa yang sebenarya menjadi beban perasaanku. Aku mengatakan kepada mereka, bahwa aku ingin melihat keluarga Tanah Perdikan ini setelah perang yang menurut pendengaran kami di Sangkal Putung terhitung perang yang besar."
" Perang itu memang terhitung besar, mbokayu. Prastawa terluka parah. Untunglah bahwa nyawanya masih dapat diselamatkan."
" Sukurlah" desis Pandan Wangi.
Adalah diluar sadarnya jika Sekar Mirahpun kemudian bertanya "Kenapa kakang Swandaru tidak mengantar mbokayu sehingga mbokayu harus mengajak kedua orang bebahu itu " "
Pandan Wangi memandang Sekar Mirah dengan sorot mata yang ganjil Bahkan mata Pandan Wangi itupun kemudian menjadi berkaca-kaca.
" Mbokayu. Apa yang terjadi " " Sekar Mirah menjadi semakin gelisah "Apa yang terjadi dengan kakang Swandaru " "
Pandan Wangi bertahan untuk tidak menane:s. Namun kata-katanya menjadi semakin sendat dan patah-patah " Kakang Swandaru telah berusaha, Sekar Mirah. "
" Berubah " Apanya yang berubah " "
" Kakang Swandaru tidak mau mengantarku. Jika hanya itu yang dilakukan, aku dapat menunda kepergianku ke Tanah Perdikan. Untuk menenangkan hatiku, aku dapat mengirimkan dua tiga orang untuk mencari berita keselamatan keluarga Tanah Perdikan ini. Tetapi kakang Swandru benar-benar telah terbenam kedalam satu putaran kehidupan yang tidak pernah dijamahnya sebelumnya. "
" Apa yang terjadi "
Pandan Wangi terdiam sejenak. Namun kemudian dengan sendat iapun berkata " Kakang Swandaru telah menempuh jalan kehidupan yang seharusnya dijauhi. "
"Maksud mbokayu " "
"Kehidupan malam seakan-akan telah menelannya "
"Judi?" bertanya Sekar Mirah. Pandan Wangi menggeleng.
Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Iapun bergeser lebih dekat sambil bertanya "Jadi apa" "
" Sejenak kakang Swandaru mendapat undangan dari seorang saudagar ternak yang sedang menyelenggarakan upacara pernikahan anaknya Dalam perayaan yang berlangsung tiga hari tiga malam, saudagar itu menyelenggarakan tari tayub. "
" Tari Tayub ?" bertanya Sekar Mirah.
" Tari tayub dengan beberapa orang penari cantik. Seorang diantaranya sangat cantik. Ternyata kakang Swandaru telah diracuni oleh kecantikan tledek itu. Tiga malam kakang Swandaru terus-menerus datang kcrumah saudagar ternak itu untuk menari tayub. Bahkan selelah itu, kakang Swandaru sering menyelenggarakannya sendiri, memanggil penari cantik itu."
" Mbokayu tidak menghentikannya " "
" Aku sudah mecoba. Bahkan telah terjadi salah paham. "
"Bagaimana dengan ayah. "
" Ki Demang menjadi marah kepada kakang Swandaru. Tetapi kakang Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan Ki Demang yang semula telah menyerahkan segala macam tugasnya kepada kakang Swandaru, sebagian telah diambilnya kembali" Pandan Wangi berhenti sejenak. Namun kemudian katanya "Tetapi ayah sudah tua. Aku kira lebih tua dari ayah, Ki Gede Menoreh."
Wajah Sekar Mirah menjadi tegang. Katanya " Itu harus dihentikan."
" Tetapi jika aku dan Ki Demang sudah tidak mampu menghentikannya, apa yang dapat kami lakukan di kademangan Sangkal Putung ?"
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam, sementara Pandan Wangi berkata selanjurnya "Karena aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, maka aku sengaja menemuimu, Sekar Mirah. "
Jantung Sekar Mirah terasa berdebar semakin cepat, sementara Pandan Wangi semakin sibuk mengusap matanya yang basah meskipun ia tidak menangis.
" Sekar Mirah " berkala Pandan Wangi kemudian dengan suara yang terputus-putus "Aku berharap bahwa kau mau membantuku mencari jalan keluar. "
Aku akan berbicara dengan kakang Agung Sedayu.
"Sebenarnya aku merasa sangat malu dengan kakang Agung Sedayu, seperti juga aku malu menyampaikannya kepada ayah. Tetapi aku sudah tidak mempunyai tempat lagi untuk mengadu, selain kepadamu, Sekar Mirah."
" Mbokayu " berkata Sekar Mirah " aku tidak akan berdiam diri. Sekarang aku belum dapat mengatakan, apa yang akan aku lakukan. Tetapi setelah aku berbicara dengan kakang Agung Sedayu, maka aku akan menentukan langkah yang akan aku tempuh. Tetapi aku kira, sebaliknya aku menemui kakang Swandaru. "
" Terima kasih, Sekar Mirah. Aku sangat mengharapkan bantuanmu."
" Nanti kita bicarakan dengan kakang Agung Sedayu."
" Kau sajalah yang menyampaikannya, Sekar Mirah. "
Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya. Sebaiknya kita berdua bersama-sama menyampaikan kepada kakang Agung Sedayu. "
" Tolong, kau sajalah yang menyampaikannya. Aku nanti akan pergi menghadap ayah. Tetapi aku tidak akan mengatakan, bahwa kakang Swandaru telah berubah. "
" Kenapa " "
" Ayah tentu akan menyalahkan aku. Jika seorang istri pandai melayani suaminya, maka suaminya tidak akan berpaling kepada perempuan lain."
"Kau dapat menceritakan kenapa hal itu terjadi. "
" Tetapi ayah tidak akan menerima alasan-alasan itu. Tetapi jika terjadi sebaliknya, ayah tidak akan menyalahkan laki-laki. "
"Maksudmu " "
"Jika seorang perempuan menyeleweng. "
" Biarlah nanti kakang Agung Sedayu yang menjelaskan kepada Ki Gede."
" Tetapi sebaiknya tidak usah. Akupun akan mengatakan kepada ayah, bahwa aku belum singgah kemari. "
" Mbokayu " desis Sekar Mirah " kenapa mbokayu tidak berterus-terang kepada Ki Gede " Jika mbokayu tidak mengatakan yang sebenarnya, maka untuk selanjurnya mbokayu harus mempertahankan ketidak benaran itu. "
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Sementara Sekar Mirah-pun bertanya "Lalu apa kata mbokayu tentang kedua pengawal itu dan kenapa kakang Swandaru tidak ikut datang kemari " "
Pandan Wangi menundukkan kepalanya Katanya "Aku menjadi bingung, Sekar Mirah. "
" Tunggulah disini. Nanti jika kakang Agung Sedayu datang, kita berbicara. Mbokayu tidak usah merasa malu. bukankah yang mbokayu hadapi itu satu kenyataan " Demikian pula terhadap Ki Gede. Yang penting, bagaimana mbokayu mencari jalan keluar. "
Pandan Wangi masih terdiam. Sementara Sekar Mirah bertanya" Adakah kedua orang bebahu itu tahu, apa yang sering dilakukan kakang Swandaru di rumah" "
Pandan Wangi mengangguk. " Jika demikian, meskipun mbokayu tidak mengatakan kepada mereka, agaknya kedua orang bebahu itu sudah dapat menduga Mereka tentu sudah dapat meraba, kenapa kakang Swandaru tidak mengantar mbokayu kemarin. "
" Mungkin, Sekar Mirah. Tetapi aku tidak berterus-terang kepada mereka"
" Mbokayu " desis Sekar Mirah kemudian " sebaiknya mbokayu tidak menyembunyikan kenyataan ini kepada Ki Gede dan kepada kakang Agung Sedayu. Mungkin mbokayu memang tidak perlu mengatakan kepada kedua orang bebahu itu. Jika mereka mengerti dengan sendirinya, terserah saja kepada tanggapan mereka " *
" Agaknya seluruh Kademangan menjadi kecewa terhadap sikap kakang Swandaru. Tetapi ada juga segolongan orang yang ingin mencari keuntungan dengan perubahan sikap yang terjadi pada kakang Swandaru itu. Mereka adalah orang-orang yang selalu datang kerumah, ikut dalam penyelenggaraan tayub, minum tuak, mabuk dan akhirnya mereka tenggelam dalam kehangatan sikap para penari itu. "
" Mbokayu. Disini juga sering ada pertunjukan tayub dengan penari-penari cantik. Tetapi akibatnya tidak seburuk yang mbokayu katakan."
" Memang tidak semua penari tayub berkelakuan buruk seperti yang sering dipanggil kakang Swandaru itu, Sekar Mirah. Aku tahu. Tetapi demikianlah yang terjadi dengan kakang Swandaru. "
" Sudahlah, mbokayu. Sebaiknya mbokayu menunggu kakang Agung Sedayu. "
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata "Baiklah. Aku akan menunggu kakang Agung Sedayu. "
" Sekarang, silahkan mbokayu beristirahat di dalam bilik itu. Bilik itu baru saja ditinggalkan penghuninya "
" Siapa?" " Ki Wijil dan Nyi Wijil. Dua orang berilmu tinggi yang telah membantu Tanah Perdikan ini melawan orang-orang yang berniat merebut Tanah Perdikan ini. Mereka berniat menyusun landasan yang kUat untuk meloncat ke Mataram. " ;
Pandan Wangi mengangguk-angguk Katanya "Jika saka aku berada disini waktu itu. "
" Nyi Wijil ternyata memiliki ciri-ciri Srigunting Kuning. Tetapi ia bukan Sri Gunting Kuning yang terkenal di pesisir Utara. Nyi Wijil justru berusaha memperbaiki citra Sri Gunting Kuning. Tetapi orang banyak sudah terlanjur membedakan antara Sri Gunting Kuning yang hitam dan Sri Gunting Kuning yang putih. "
Pandan Wangi menganguk-angguk. Katanya " Tenma kasih, Sekar Mirah. Aku akan berganti pakaian saja Pakaian khusus ini hanya pantas dipakai dalam perjalanan berkuda. "
"Silahkan mbokayu. "
Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Ki Jayaraga telah berada dipringgitan pula menemui kedua orang bebahu kademangan Sangkal Putung. Justru Glagah Putihlah yang telah meninggalkan pringgitan. Ia masih mempunyai kewajiban mengisi jambangan pakiwan. Sementara Sukra mengisi gentong di dapur.
Kedua bebahu yang menemani Pandan Wangi itupun telah mendengarkan ceritera tentang perang yang baru saja terjadi di Tanah Perdikari Menoreh dari Sabungsari. Sekali-sekali Ki Jayaraga dan Empu Wisanatapun telah melengkapinya.
"Yang terjadi adalah perang yang besar" desis bebahu itu.
" Kami memang harus mengerahkan segenap kekuatan untuk menghadapinya. Bahkan Mataram telah memerintahkan prajurit. Mataram yang berada di Ganjur untuk membantu kami disini disamping prajurit Mataram yang memang sudah berada di Tanah Perdikan ini."
Kedua bebahu itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata " Peristiwa seperti ini pernah terjadi juga di Sangkal Putung, ketika Tohpati yang digelari Macan Kepatihan berusaha merebut Sangkal Putung yang subur untuk dijadikan landasan perjuangan mereka selanjutnya."
Yang lainpun kemudian meneruskan "Waktu itu pasukan Pajang yang dipimpin oleh Ki Widura dan Ki Untara telah berada di kademangan Sangkal Putung pula"
Yang mendengarkan cerita itu mengangguk-angguk. Namun seorang dari bebahu itu bertanya "Apakah Tanah Perdikan tidak memperhitungkan kemungkinan mereka akan datang kembali ?"
" Memang mungkin"jawab Ki Jayaraga " tetapi tentu tidak untuk waktu yang singkat. Mereka telah dihancurkan. Diantara mereka banyak yang tertangkap dan menyerah. Namun untuk jangka waktu yang panjang kemungkinan itu memang ada."
Namun pembicaraan mereka terputus ketika Pandan Wangi dan Sekar Mirah keluar lewat pintu pringgitan dan duduk pula diantara mereka Pandan Wangi telah berganti pakaian. Meskipun agak ragu Pandan Wangi itupun berkata " Kakang berdua. Aku masih menunggu kakang Agung Sedayu. Aku mohon kakang berdua untuk tinggal disini sampai besok."
"Jadi kami harus bermalam disini Nyi?"
" Sebaiknya begitu. Jika kalian pulang hari ini, selain kuda kalian masih lelah, kalianpun akan kemalaman di jalan. Bukankah lebih baik bermalam disini daripada bermalam di jalan meskipun kalian berdua dapat saja bermalam di banjar padukuhan yang kalian lewati atau berjalan terus meskipun sampai lewat tengah malam."
Yang tertua diantara kedua bebahu itupun menjawab "Baik, Nyi. Kami akan bermalam disini. Besok pagi-pagi benar, kami akan mohon diri."
" Baik. Sekar Mirah tentu tidak akan keberatan kalian bermalam."
"Selanjurnya kapan kami harus menjemput?" Yang menyahut adalah Sekar Mirah " Kalian berdua tidak usah menjemput mbokayu Pandan Wangi. Aku dan kakang Agung Sedayu akan menemaninya pulang. Jika karena sesuatu hal aku tidak dapat pergi ke Sangkal Putung, maka biarlah Glagah Putih yang pergi." Kedua bebahu itu mengangguk.
" Sudah lama aku tidak menengok keluarga di Sangkal Putung. Mungkin kakang Agung Sedayu juga ingin bertemu dengan paman Widura dan melihat padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing itu "
"Terima-kasih. Kami akan menyampaikan kepada Swandaru."
"Terima-kasih" desis Sekar Mirah.
Adalah diluar sadarnya jika salah seorang dari kedua orang bebahu kademangan Sangkal Putung itu bergumam seolah-olah kepada diri sendiri "Memang ada baiknya Nyi Lurah pergi ke Sangkal Putung "
Orang itu justru tergagap. Namun kemudian jawabnya - Bukankah Nyi Lurah sudah agak lama tidak menengok keluarga di Sangkal Putung "Sekar Mirah menarik nafas panjang. Tetapi ia dapat menangkap apa yang tersirat dari gumam bebahu itu. Agaknya iapun mencemaskan perkembangan terakhir di kademangan itu. Tentu dalam hubungannya dengan tingkah laku kakaknya Swandaru Geni,
Sementara itu, Pandan Wangipun berkata " Tolong, katakan kepada kakang Swandaru, bahwa aku berada di sini sekitar dua pekan. Aku akan pulang bersama Sekar Mirah."
"Dua pekan atau lebih" sambung Sekar Mirah.
Tetapi Pandan Wangi tersenyum, meskipun terasa senyumnya masam. Katanya "aku tidak dapat terlalu lama meninggalkan anakku. Ia tentu akan selalu menanyakan ibunya"
" Seharusnya kau ajak anakmu" desis Sekar Mirah. Pandan Wangi tidak menjawab. Salah seorang bebahu itulah yang kemudian berkata " Kami akan menyampaikannya kepada Swandaru."
"Terima kasih" desis Pandan Wangi.
Namun Pandan Wangipun kemudian berkata "Silahkan kakang berdua merawat kuda kakang yang agaknya letih dan lapar. Aku akan minta Glagah Putih menyediakan rumput"
"Baik, Nyi "jawab kedua bebahu itu hampir berbareng. Sementara Sabungsaripun berkata "Aku akan memanggil Glagah Putih. Sukra akan dapat menghubungi orang yang setiap hari mencari rumput untuk kuda-kuda kami disini"
" Aku akan menunggu kakang Agung Sedayu disini " berkata Pandanwangi kemudian.
Kedua orang bebahu itupun segera turun ke halaman bersama Sabungsari yang kemudian menuntun kuda Pandan Wangi ke belakang.
Sementara kedua orang bebahu itu telah menuntun kuda mereka masing-masing.
Glagah Putih dan Sukra yang kemudian dipanggil telah membantu kedua bebahu itu merawat kuda mereka. Sementara Glagah Putih pun berkata kepada Sukra "Kau nanti pergi ke rumah, Ija Katakan bahwa kita membutuhkan rumput lebih banyak. Biarlah Ija mengajak Ganggeng mencari rumput.
Dalam pada itu, kedua bebahu itu merasa lebih bebas berada di belakang bersama Glagah Putih dan Sabungsari daripada duduk di pendapa. Sementara itu Rara Wulan telah diminta untuk membersihkan bilik di gandok kiri bagi kedua bebahu yang mengantar Pandan Wangi dan akan bermalam semalam di rumah itu. Sedangkan Sekar Mirah dan Nyi Dwani sibuk menyiapkan makan bagi tamu-tamu mereka.
Sambil menunggu kedatangan Agung Sedayu, maka Sekar Mirah telah mempersilahkan Pandan Wangi dan kedua orang bebahu yang mengantarkannya itu makan diruang dalam.
Ketika matahari kemudian menjadi semakin rendah, maka Agung Sedayupun pulang dari barak. Seperti Sekar Mirah ketika melihat kedatangan Pandan Wangi, maka Agung Sedayupun terkejut pula ketika ia melihat Pandan Wangi duduk diruang dalam rumahnya bersama dua orang bebahu. Sejak mereka selesai makan, mereka masih duduk diruang dalam bersama dengan Sekar Mirah. Dari mereka Sekar Mirah mendengar perkembangan terakhir kademangannya tanpa menyinggung tingkah laku Swandaru disaat-saat terakhir.
"Pandan Wangi" desis Agung Sedayu.
Hampir saja Pandan Wangi tidak dapat mempertahankan air di matanya yang akan tumpah Meskipun tenggorokannya serasa tersumbat, tetapi Pandan Wangi tidak menangis. Ia hanya bangkit berdiri termangu-mangu. Sementara kedua orang bebahu yang mengantarkannya itu bangkit berdiri pula
" Silahkan duduk" Agung Sedayu mempersilahkan. Sejenak kemudian mereka telah duduk kembali diruang dalam.
Dengan ragu Agung Sedayupun bertanya "Dimana adi Swandaru" "
" Kakang Swandaru tidak dapat ikut datang kemari, kakang. Kakang Swandaru baru sibuk sekali. Ada beberapa tugas yang tidak dapat ditinggalkannya "
" O" Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun terasa sesuatu berdesir didadanya
Sebelum Agung Sedayu bertanya lebih lanjut, maka Pandan Wangi itupun berkata " Kakang. Aku telah mendengar bahwa telah terjadi perang di Tanah Perdikan ini."
Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab " Ya. Beberapa waktu yang lalu. "
" Aku sudah mendengar banyak dari Sekar Mirah " Pandan Wangi berhenti sejenak. Lalu katanya pula "Kabar tentang perang itu telah menggelisahkan aku. Karena itu, aku datang untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi di sini. "
"Kami memang harus mengerahkan tenaga dan kemampuan untuk memenangkan perang itu. "
" Aku tidak berani langsung menghadap ayah. Aku tidak ingin terkejut jika ada kabar yang kurang menyenangkan Karena itu, aku langsung datang kemari. Baru nanti aku menghadap ayah. Setelah aku mendengar kabar tentang perang yang terjadi, maka aku tidak lagi merasa cemas untuk datang mengunjungi ayah. "
" Nanti kami antar kau pergi menghadap Ki Gede " berkata Sekar Mirah.
"Ya sebentar lagi, setelah aku mandi."
" Aku tidak tergesa-gesa kakang. Mungkin kakang perlu beristirahat. Nanti lewat senja sajalah kita pergi"sahut Pandan Wangi
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai merasakan, bahwa ada sesuatu yang kurang wajar terjadi pada Pandan Wangi.
Dalam pada itu, kedua orang bebahu yang mengantar Pandan Wangi setelah berbicara beberapa patah kata dengan Agung Sedayu, maka yang seorang diantara merekapun berkata "Maaf, Ki Lurah. Perkenankan kami duduk diluar saja. Udaranya terasa agak panas disini. ".
Agung Sedayupun segera tanggap. Katanya "Baiklah. Silahkan. Biarlah Glagah Putih menemani kalian. "
" Terima kasih Ki Lurah. Kamilah yang justru akan pergi ke kandang."
" O, silahkan. "
Kedua orang bebahu itupun segera keluar dari ruang dalam. Mereka bahkan langsung turun kehalaman dan pergi ke belakang. Sementara Glagah Putih, Sukra dan Sabungsari masih berada di kandang.
Diruang dalam, Sekar Mirahlah yang mulai membuka pembicaraan dengan Agung Sedayu " Kakang, sebenarnyalah ada hal yang penting yang akan disampaikan oleh mbokayu Pandan Wangi. "
" Barangkali kakang Agung Sedayu akan beristirahat lebih dahulu "desis Pandan Wangi.
" Aku tidak letih Pandan Wangi. Katakan. Agaknya memang ada satu hal yang penting yang kau bawa kemari. "
" Ya, kakang"jawab Pandan Wangi sambil menundukkan wajahnya.
Agung Sedayu tidak memotong kata-kata Pandan Wangi. Tetapi ia menunggu dengan sabar, sementara dada Pandan Wangi terasa bagaikan bergejolak.
"Kakang" berkata Pandan Wangi kemudian. Agung Sedayu mengerutkan dahinya. "Kakang Swandaru sekarang telah berubah."
"Apa yang berubah ?"
Pandan Wangipun kemudian menceriterakan kembali apa yang sudah diceriterakannya kepada Sekar Mirah. Dengan suara yang tersendat iapun berkata "Aku dan Ki Demang Sangkal Putung sudah tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Karena itu, aku datang kemari. Mungkin kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih mempunyai pengaruh terhadap kakang Swandaru."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya " Jika demikian aku harus menemui adi Swandaru."
"Ya. Agaknya memang demikian" sahut Pandan Wangi.
" Baiklah. Aku dan Sekar Mirah akan pergi ke Sangkal Putung. Tetapi segala sesuatunya masih menunggu isyarat dari Ki Gede."
" Aku masih saja ragu-ragu. Apakah aku harus menyampaikannya kepada ayah atau tidak."
" Sebaiknya kau beritahu Ki Gede, agar Ki Gede dapat mengetahui keadaan keluargamu yang sebenarnya Jika Ki Gede tidak mengetahuinya tetapi tiba-tiba ia dihadapkan pada satu kenyataan yang tidak diinginkannya Ki Gede akan menjadi sangat terkejut. Karena itu, biarlah Ki Gede mengetahui sejak awal. Ki Gede tentu akan sangat bergembira jika persoalan ini kemudian dapat dipecahkan dan dapat diatasi."
Pandan Wangi nampak ragu-ragu. Dengan nada rendah Sekar Mi-rahpun berkata "Jangan kau sembunyikan persoalanmu itu dihadapan Ki Gede, mbokayu."
"Sudah aku katakan, ayah tentu akan menyalahkan aku."
"Tetapi kau dapat mengatakan apa adanya. Tanpa dikurangi tanpa ditambahi. Apapun tanggapan Ki Gede, tetapi kau sudah tidak menyembunyikan apa-apa lagi"
Pandan Wangi memandang Sekar Mirah dengan sorot mata yang dimuati oleh kebimbangan hatinya. Namun Sekar Mirah itupun berkata " Aku juga sudah mengatakan, bahwa sebaiknya kau tidak menyembunyikan kenyataan ini."
" Baiklah " berkata Pandan Wangi " nanti aku akan menyampaikannya kepada ayah."
" Baiklah. Sekarang, aku akan ke pakiwan. Nanti kita pergi ke rumah Ki Gede."
Demikianlah lepas senja, Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengantar Pandan Wangi pergi menghadap Ki Gede Menoreh. Pandan Wangi minta kedua bebahu yang menemaninya ke Tanah Perdikan untuk tinggal dirumah Agung Sedayu.
" Jika nanti aku tidak kembali kemari, maka besok pagi-pagi sebelum berangkat kembali ke Sangkal Putung, kalian hendaknya singgah dahulu di rumah Ki Gede" pesan Pandan Wangi.
Kedua bebahu itu tidak bertanya lebih jauh. Mereka mengerti, bahwa Pandan Wangi sedang dicekam oleh kegelisahan karena tingkah laku suaminya
Kedatangan Pandan Wangi bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mengejutkan Ki Gede. Demikian mereka duduk diruang dalam, Ki Gedepun langsung bertanya "Jadi kau langsung pergi ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu?"
"Ya ayah. Aku ingin segera bertemu dan berbicara dengan Sekar Mirah."
"Kau sendiri?" "Dua orang bebahu Sangkal Putung menemani aku sepanjang perjalanan."
"Maksudku, suamimu?"
"Kakang Swandaru tidak dapat mengantarkan.aku."
Sebagai orang tua, Ki Gede langsung dapat menebak, bahwa keluarga anaknya sedang diliputi oleh mendung yang kelabu.
Tetapi Ki Gede tidak ingin mendahului mempertanyakan persoalan yang sebenarnya. Yang ditanyakan kemudian adalah justru keadaan dan kesehatan keluarga di Sangkal Putung.
"Baik, ayah. Semuanya sehat-sehat saja"
" Bagaimana dengan cucuku" Sebenarnya aku ingin mendukungnya Seharusnya kau bawa anakmu itu kemari."
" Aku sudah merencanakannya ayah. Tetapi aku belum sempat Lain kali aku akan mengajaknya kemari."
Ki Gede tersenyum. Katanya " Menunggu kalau anak itu sudah pandai naik kuda sendiri?"
" Ah, ayah " desis Pandan Wangi. Pandan Wangipun mencoba untuk tersenyum. Tetapi senyumnya terasa hambar sekali.
Namun akhirnya Ki Gede itupun bertanya "Apakah suamimu sibuk sekali, sehingga tidak dapat mengantarmu kemari?"
" Ya, ayah. Akulah yang tidak sabar. Ketika aku mendengar kabar bahwa telah terjadi perang di Tanah Perdikan ini, maka aku segera ingin melihatnya Aku sudah menunda keberangkatan karena kakang Swandaru sedang sibuk. Tetapi akhirnya aku tidak dapat menundanya lagi."
" Apa saja kesibukan suamimu sehingga ia membiarkan kau pergi sendiri meskipun bersama dua orang bebahu?"
Ketika Pandan Wangi mendengar pertanyaan yang sama dari Sekar Mirah dan dari Agung Sedayu, Pandan Wangi masih dapat menahan gejolak perasaannya Tetapi ketika hal itu di tanyakan oleh ayahnya maka jantungnya terasa berdenyut semakin cepat. Matanya menjadi panas dan kerongkongannya bagaikan tersembut
Bagaimanapun juga Pandan Wangi bertahan, namun dari kedua matanya telah meleleh air matanya
"Pandan Wangi" berkata ayahnya "aku tahu. Tentu telah timbul persoalan didalam keluargamu. Nah, katakan."
Pandan Wangi terdiam sesaat. Dengan susah payah ia bertahan agar tangisnya tidak terhambur keluar. Ah matanya agar tidak meluncur dengan derasnya seperti bendungan pecah.
Dengan sendat, Pandan Wangi itupun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi pada keluarganya
" Jadi Swandaru tidak lagi mempedulikanmu lagi " " bertanya Ki Gede kemudian.
" Ya ayah." Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Agaknya kau tidak pandai melayani suamimu. Pandan Wangi. Semakin lama kalian berumah tangga, seharusnya kau menjadi semakin mengerti, apa yang harus kau lakukan."
Jantung Pandan Wangi bagaikan tersengat duri. Tetapi ia sudah menduga bahwa ayahnya'akan menyalahkannya. Demikian pepat hatinya maka Pandan Wangi itupun berkala "Ayah. Aku memang sudah ragu-ragu untuk menyampaikan hal ini kepada ayah. Aku tahu, yang tentu hanya akan menyalahkan aku. "
" Aku tidak menyalahkan kau, Pandan Wangi " sahut ayahnya "tetapi bukankah menurut nalarnya demikian " Jika kau dapat membuat hati suamimu cerah, maka keluargamupun akan menjadi cerah. Suamimu tidak akan berpaling kepada perempuan yang manapun, secantik apapun. Mungkin seorang laki-laki dapat saja mengagumi kecantikan perempuan. Tetapi tidak lebih daripada mengagumi keindahan yang lain. Bunga pemandangan, warna-warna yang digelar diatas cakrawala. "
" Ki Gede " Sekar Mirah memberanikan diri menyela " aku mohon maaf, jika aku mencampuri pembicaraan ini, karena aku juga seorang perempuan. "
"Bagaimana menurut Nyi Lurah " "
" Bunga yang indah, pemandangan, gunung dan matahan terbit serta warna-warna yang digelar di cakrawala adalah keindahan alam yang menunggu untuk dikagumi. Tetapi perempuan akan berbuat lebih dari itu. Bahkan ada perempuan yang dengan sengaja telah menggoda Mereka dengan sengaja memanasi hati seorang laki-laki yang dikehendaki. Mungkin karena orang itu berpangkat, kaya dan berkedudukan dan disegani banyak orang. Perempuan yang demikian tidak lagi menghiraukan tatanan kehidupan yang berlaku. Ia tidak menghiraukan lagi apakah laki-laki yang diingininya itu sudah beristeri atau belum. Yang penting keinginanya dapat dicapainya dengan segala macam cara. "
"Aku mengerti. Nyi Lurah, Tetapi jika seorang isteri dapat mendudukkan dirinya tepat pada yang sebenarnya, maka godaan yang demikian itu tidak akan dapat menyeretnya kedalam jalan yang sesat"
"Ayah" Pandan Wangi menjadi semakin sulit menahan tangisnya "apakah demikian juga jika terjadi sebaliknya " Apakah salah laki-laki jika seorang isteri berpaling dari suaminya "
Wajah Ki Gede menegang. Namun Agung Sedayupun kemudian berkata "Ki Gede. Pandan Wangi datang menghadap Ki Gede untuk mohon petunjuk. Apakah yang sebaiknya dilakukan. "
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Katanya "Tidak baik lagi seorang isteri yang lari dari rumahnya pulang kerumah orang tuanya Riak-riak kecil seperti itu adalah wajar sekali terjadi dalam masa perkawinan. Sebentar lagi segala sesuatunya akan kembali seperti semula Karena itu, aku justru ingin minta kepada Pandan Wangi, jangan terlalu lama berada di Tanah Perdikan. Sebaiknya kau segera kembali. Jika suaminya itu tenggelam dalam satu kehidupan yang liar, tanpa kau dirumah, maka ia akan menjadi semakin tidak terkendali. Karena itu, Pandan Wangi, kau haruys segera pulang. Perlakuan suamimu dengan baik. Hatinya tentu akan menjadi lunak dan melihat jalan kebenaran."
Pandan Wangi ingin menjerit Tetapi ia masih tetap berjuang untuk tetap menguasai perasaannya
Sekar Mirahpun yang kemudian berkata " Ki Gede. Aku dan kakang Agung Sedayu akan mengantarkan Pandan Wangi pulang. "
" Nyi Lurah " berkata Ki Gede dengan nada rendah " aku adalah orang tua Karena itu, maka aku wajib memperingatkan Nyi Lurah dan Ki Lurah. Sebaiknya kalian berdua tidak mencampuri persoalan yang terjadi dalam keluarga Pandan Wangi. "
Tetapi Sekar Mirah dengan cepat menyahut " Maaf, Ki Gede Kakang Swandaru adalah kakak kandungku. Aku mempunyai kewajiban untuk membantunya menemukan kembali ketenangan hidup dalam keluarganya Aku dapat berbicara dengan kakang Swandaru dan ayah karena aku adalah bagian dari darah daging mereka "
"Sementara itu Swandaru adalah adik seperguruanku, Ki Gede. Akupun mempunyai kewajiban untuk memperingatkannya. Meskipun hubunganku dengan adi Swandaru tidak serapat hubungannya dengan Sekar Mirah, namun aku berhak pula untuk berbicara dengan adik seperguruanku itu."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata " Baiklah. Kalian memang berhak berbicara dengan angger Swandaru. Tetapi aku mohon, kalian tidak terlalu dalam mencampuri persoalan rumah tangga Pandan Wangi. Sebaiknya Pandan Wangi sendiri menyelesaikan persoalannya dengan suaminya "
Tetapi Pandan Wangi menggeleng. Sambil menahan tangisnya dengan susah-payah ia berkata patah-patah "Aku sudah tidak sanggup lagi ayah. Aku pasrah jika ayah menganggap bahwa aku yang bersalah."
" Sejak tadi aku katakan, bahwa aku tidak menyalahkanmu, Pandan Wangi. Tetapi sebaiknya kau berani melihat kedalam dirimu sendiri. Apakah masih ada yang kurang. Jika yang kurang itu kemudian dapat kau isi, maka aku yakin bahwa keluargamu akan segera pulih kembali. Dan bahkan seperti tanaman yang baru saja dirabuk. Cinta dan kesetiaan kalian akan semakin berkembang. "
" Baik ayah. Aku akari melihat kedalam diriku sendiri. Aku akan mencari, yang manakah yang masih kurang sesuai dengan keinginan kakang Swandaru. Mungkin aku harus belajar menjadi tledek tayub."
"Kau salah paham, Pandan Wangi" desis ayahnya
"Ki Gede" berkata Sekar Mirah yang juga seorang perempuan "Mungkin kita memang harus membedakan, apakah yang sekarang menyala dihati kakang Swandaru itu karena cintanya kepada mbokayu Pandan Wangi sudah kering, atau sekedar hatinya dibakar oleh nafsu. "
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Nyi Lurah. Agaknya memang ada baiknya Nyi Lurah dan Ki Lurah pergi menemani Pandan Wangi pulang ke Sangkal Putung " lalu Ki Gedepun bertanya kepada Pandan Wangi "kapan kau akan pulang Pandan Wangi" "
" Aku ingin menenangkan hatiku lebih dahulu disini. ayah. Mungkin dua atau tiga pekan. "
Ki Gede terkejut Katanya " Begitu lama" Aku kira kau hanya akan tinggal satu atau dua malam saja disini, Pandan Wangi. Bagaimana dengan anakmu dan seperti aku katakan, semakin lama kau tinggalkan suamimu, maka ia akan merasa semakin bebas. Ikatan diantara kalian akan menjadi semakin kendor. "
Pandan Wangi termangu-mangu. Kata-kata ayahnya itu memang ada benarnya. Semakin lama ia pergi, maka Swandaru akan menjadi semakin gila.
Karena itu, maka iapun menjawab " Aku akan mempertimbangkannya kembali ayah. Mungkin dua hari, mungkin tiga hari lagi aku akan pulang."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya " Baiklah. Kau dapat mempergunakan waktumu yang dua atau tiga nan itu untuk benar-benar beristirahat lahir dan batin disini. Biarlah bilik bagimu disediakan. Bilikmu dahulu. "
"Tidak usah, ayah. Aku akan tidur di rumah Sekar Mirah. "
Ki Gede terkejut. Hampir diluar sadarnya iapun bertanya " Apa maksudmu, Pandan Wangi" "
" Aku ingin mempunyai kawan berbincang seorang perempuan. Seorang perempuan yang mengerti tentang diriku dan memberikan pengharapan untuk dapat mengekang tingkah laku kakang Swandaru. "
" Disini juga ada beberapa orang perempuan yang dapat menemanimu, Pandan Wangi "
" Mereka tidak akan dapat memberikan pertimbangan dengan jujur. Mereka tentu lebih banyak mengiakan kata-kataku, atau mengulang-ulang pendapat ayah bahwa aku harus mawas diri dan memberikan pelayanan lebih baik kepada kakang Swandaru tanpa mempertimbangkan tingkah laku serta pengaruh yang sedang mencengkamnya"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa sikapnya telah sangat mengecewakan Pandan Wangi.
Karena itu ia tidak ingin semakin mengecewakannya. Katanya "Baiklah Pandan Wangi. Jika itu yang kau anggap terbaik dihari-hari istirahatmu ini. Tetapi kau tentu tidak akan rupa menengokku besok, lusa dan selama kau berada di Tanah Perdikan ini."
" Baik, ayah. Besok aku akan kemari. "
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Pandan Wangi bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun telah minta diri. Meskipun sekali lagi ayahnya minta Pandan Wangi tetap berniat untuk tidur di rumah Sekar Mirah.
Ketika Pandan Wangi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sampai dirumah Agung Sedayu, maka Rara Wulan, Nyi Dwani, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata sedang duduk diruang tengah. Ketika Sekar Mirah dan Nyi Dwani akan bangkit, Sekar Mirahpun berkata " Duduk sajalah Nyi "
Nyi Dwani dan Sekar Mirah memang tidak lagi meninggalkan ruang itu. Mereka bahkan terlibat dalam satu pembicaraan yang panjang tentang berbagai macam persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh dan kademangan Sangkal Putung.
Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsari menemani kedua orang bebahu kademangan Sangkal Putung duduk diserambi gandok. Seperti mereka yang berbincang di ruang dalam, merekapun membicarakan pula perkembangan Tanah Perdikan Menoreh dan kademangan Sangkal Putung.
13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, malampun menjadi semakin dalam. Glagah Putihlah yang kemudian mempersilahkan kedua orang bebahu itu beristirahat.
" Besok, kalian berdua akan menempuh perjalanan panjang " berkata Glagah Putih.
Salah seorang bebahu itupun tersenyum sambil berkata " Ya. Tetapi kami tidak dikejar waktu. Kami dapat berangkat agak siang, karena Nyi Pandan Wangi tidak jadi bermalam di rumah Ki Gede, sehingga kami dari rumah ini dapat langsung kembali ke Sangkal Putung. "
"Tetapi Sangkal Putung bukan jarak yang dekat" desis Glagah Putih.
"Kami dapat beristirahat beberapa kali di perjalanan" jawab bebahu itu " kami tidak takut terlambat sampai ke tujuan. "
Glagah Putih tersenyum. Sabungsari dan kedua orang bebahu itupun tersenyum pula
Meskipun demikian kedua bebahu itupun masuk pula kedalam bilik yang telah disediakan bagi mereka. Mereka memang harus beristirahat. Jika tidak sempat tidur, maka besok mereka akan tertidur diperjalanan
Sementara itu, Ki Jayaraga, Empu Wisanata Nyi Dwani, dan Rara Wulan telah masuk kedalam bilik mereka. Tetapi Pandan Wangi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih duduk diruang tengah untuk beberapa lama
"Tledek itu memang cantik" desis Pandan Wangi.
"Mbokayu pernah melihatnya" "
" Ya Sudah beberapa kali ia menari dirumah. Kakang Swandaru memanggilnya bersama rombongannya. Dipanggilnya pula kawan-kawannya yang tidak aku sukai. Mereka menari dengan mulut berbau tuak. Sementara itu, tugas-tugas kakang Swandaru yang telah dilimpahkan oleh Ki Demang tidak lagi sempat dikerjakannya, sehingga Ki Demang harus mengambil alih kembali meskipun ia sudah menjadi semakin tua."
Wajah Sekar Mirah menjadi tegang. Ia tidak mengira bahwa pada satu saat kakaknya telah terjerumus kedalam kehidupan yang kasar itu.
Karena itu, maka Sekar Mirah itu sudah bertekad untuk pergi menemui kakaknya Meskipun ia lebih muda dari Swandaru, tetapi Sekar Mirah merasa berkewajiban untuk meluruskan jalan kakaknya yang sesal itu.
Menjelang dini, Agung Sedayu telah mempersilahkan Pandan Wangi untuk masuk kedalam biliknya Cobaan yang harus dihadapi memang cukup berat
Dipagi hari berikutnya ketika Agung Sedayu siap pergi ke barak, kedua orang bebahu dari Sangkal Putung telah siap untuk berangkat pula Setelah minta diri kepada semua penghuni dirumah Agung Sedayu, maka kedua orang bebahu itupun menuntun kudanya ke regol halaman rumah Agung Sedayu bersama-sama dengan Agung Sedayu.
Di regol halaman Pandan Wangi masih berpesan lagi kepada kedua orang bebahu itu "Katakan kepada Ki Demang dan kepada kakang Swandaru, bahwa aku akan kembali bersama Sekar Mirah dan kakang Agung Sedayu."
"Kapan Nyi" " bertanya salah seorang bebahu.
"Katakan, aku akan beristirahat di Tanah Perdikan Menoreh. "
Kedua bebahu itu mengangguk. Sekali lagi mereka minta diri dan sejenak kemudian bersama-sama Agung Sedayu mereka melarikan kuda mereka tidak terlalu cepat menyusuri jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika keduanya bersama dengan Agung Sedayu keluar dari gerbang padukuhan, seorang diantara mereka berkata" Swandaru memang telah tergelincir ke dunia yang keruh. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam iapun bertanya " Apakah adi Swandaru telah melupakan kewajiban-kewajibannya" Baik sebagai anak seorang Demang yang sudah dipersiapkan untuk mengganti kedudukan ayahnya, maupun sebagai seorang suami dan seorang ayah" "
" Ya Nampaknya memang demikian. Hampir setiap hari Ki Demang marah-marah. Hampir setiap hari pula Swandaru dan isterinya bertengkar. Akibatnya memang buruk bukan saja bagi keluarga Ki Demang, tetapi juga bagi wibawa Ki Demang dan Swandaru sendui
" Siapa saja kawan-kawan adi Swandaru yang sering ikut bermabuk-mabukan serta menari tayub?"
" Sebagian juga orang-orang Sangkal Putung. Sebagian lagi orang-orang yang tidak kami kenal. "
" Sayang sekali Sangkal Putung yang telah tumbuh dengan baik harus mengalami kemunduran."
" Kemunduran yang jauh, Ki Lurah. Kademangan-kademangan yang lebih kecil kini mulai meremehkan Sangkal Putung. Para pengawal kademangan tidak lagi menunjukkan keperkasaannya, karena sebagian besar dari mereka menjadi sangat gelisah, kecewa dan akhirnya tidak peduli lagi. Yang memprihatinkan, ada diantara para pemimpin pengawal Tanah Perdikan yang semula dikenal tangguh dan berjiwa kokoh, telah ikut terseret dalam arus kehidupan yang mencemaskan itu. Sementara itu, agaknya tidak ada lagi orang yang sanggup menghentikannya"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi benar-benar khawatir. Jika tingkah laku Swandaru itu berkepanjangan, maka Sangkal Putung benar-benar akan kehilangan-masa depannya. Kademangan itu tidak akan dihargai lagi oleh kademangan-kademangan tetangganya.
" Baiklah " berkata Agung Sedayu"aku akan menemui adi Swandaru. Aku akan mencoba untuk memperingatkannya. Jika bukan aku, biarlah Sekar Mirah mencobanya."
"Ya, Ki Lurah. Rakyat Sangkal Putung sangat mengharapkan: Ki Demang rasa-rasanya sudah tidak sanggup lagi mengendalikannya Sedap kali Swandaru beralasan, bahwa ia sudah bukan anak-anak lagi. Ia sudah menjadi orang yang mempunyai wewenang atas dirinya sendiri. Bahkan ketika Ki Demang mencabut beberapa wewenang yang telah diberikan kepada Swandaru, Swandaru tidak menghiraukannya."
Namun mereka tidak dapat berbincang lebih panjang. Mereka telah sampai di sebuah jalan simpang sehingga mereka harus berpisah. Arah perjalanan kedua orang bebahu Sangkal Putung itu berbeda dengan arah perjalanan Agung Sedayu.
"Sampai jumpa Ki Sanak" berkata Agung Sedayu.
"Sampai jumpa Ki Lurah. Kami menunggu kedatangan Ki Lurah dan Nyi Lurah di Sangkal Putung. Mudah-mudahan kedatangan Ki Lurah akan dapat membawa perubahan bagi tatanan kehidupan kademangan kami yang sudah diracuni oleh kehidupan malam yang kotor itu"
" Kami akan berusaha secepatnya, Ki Sanak. Tetapi kami tidak dapat memaksa Pandan Wangi untuk segera pulang jika ia masih ingin tinggal disini beberapa hari."
Bebahu itu tersenyum. Katanya " Ya. Nyi Pandan Wangi memang sangat tertekan. Kepada kami Nyi Pandan Wangi tidak mengatakan, bahwa ia mempunyai persoalan dengan Swandaru. Tetapi Nyi Pandan Wangi mengatakan bahwa ia ingin melihat akibat dari perang yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan ini."
" Ya. Pandan Wangi juga mengatakan begitu. Tetapi Pandan Wangipun sudah tahu, bahwa sebenarnya kalian mengetahui keperluan Pandan Wangi yang sebenarnya."
" Baiklah, Ki Lurah " berkata salah seorang dari kedua bebahu itu " mudah-mudahan kedatangan Ki Lurah dan Nyi Lurah dapat merubah suasana itu"
"Kami hanya dapat berusaha, Ki Sanak."
Demikianlah, maka kedua orang bebahu itupun segera mengambil jalan simpang menuju ke penyeberangan untuk melintasi Kali Praga menuju ke Sangkal Puntung, sementara Agung Sedayu melanjutkan perjalanannya ke baraknya. Barak .prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun sehari-harian, Agung Sedayu tidak dapat melepaskan ingatannya kepada Swandaru. Di baraknya, Agung Sedayu agak terlalu banyak merenung dibilik khususnya. Beberapa orang pembantunya hanya dapat menduga-duga, bahwa agaknya ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Agung Sedayu.
Tetapi tidak seorangpun yang menanyakannya.
Dirumah, Sekar Mirah juga tidak pergi ke dapur. Nyi Dwani dan Rara Wulanlah yang sibuk. Pagi-pagi Rara Wulan pergi ke pasar untuk berbelanja, sementara Nyi Dwani menanak nasi. Kemudian setelah Rara Wulan pulang dari pasar, mereka berduapun segera memasak sayur serta lauk-pauknya.
Di belakang, Glagah Putih dan Sabungsari sibuk membelah kayu bakar dengan kapak, sementara Sukra mengisi gentong didapur.
Namun Rara Wulanpun kemudian minta Sukra untuk memetik dua butir kelapa
" Bukankah disudut itu kelapanya yang sejanjang sudah tua ?" bertanya Rara Wulan..
"Aku akan memetiknya semua saja. Tidak hanya dua"
" Tetapi aku hanya membutuhkan satu. Jika kau memetik dua, yang satu butir akan dapat dipergunakan besok."
" Bukankah besok lusa juga membutuhkan kelapa?" sahut Sukra "tanggung jika aku hanya memetik dua butir, sementara sejanjang semuanya sudah tua hampir kering."
"Ah, terserah kamu "jawab Rara Wulan.
Sukrapun pergi ke sudut kebun belakang untuk memetik kelapa. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia tidak hanya memetik dua butir. Tetapi sejanjang penuh telah dirontokannya.
" Hanya delapan butir" desisnya.
Ketika Sukra membawa kelapa itu ke dapur, ia justru berkata "Di sebelah, ada sejanjang lagi. Biar aku petik sekalian."
" Buat apa?"bertanya Rara Wulan.
"Bukankah Nyi Lurah sering membuat minyak goreng ?"
" Tetapi mbokayu Sekar Mirah tentu tidak sempat membuatnya. Bukankah mbokayu baru menerima tamu"
" Apakah Nyi Lurah harus menemuinya terus-menerus siang dan malam."
" Sst " desis Nyi Dwani " tamu itu datang dari jauh "
" Aku sudah mengerti. Bukankah Nyi Pandan Wangi itu anak perempuan Ki Gede " Tetapi kenapa ia bermalam disini ?" desis Sukra
" Karena disini ada kamu" sahut Rara Wulan.
Sukra mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil bersungut ia meninggalkan dapur
Rara Wulan tersenyum melihat langkah Sukra. Nyi Dwanipun tersenyum pula. Sementara Glagah Putihpun bertanya " Ada apa Sukra?"
" Tidak ada apa-apa" jawab Sukra tanpa berpaling.
Tetapi Glagah Putih sudah mengenal Sukra dengan baik. Karena itu, ia tidak tersinggung sama sekali. Bahkan kemudian Glagah Putihpun tersenyum sambil berkata " He, kapan kau pergi ke sawah membawa makan dan minum Ki Jayaraga dan Empu Wisanata ?"
" Apa yang dibawa" Api baru dinyalakan. Kelapa baru dipetik. Apakah aku harus membawa kelapa sejanjang ke sawah."
Glagah Putih tertawa. Sabungsaripun tertawa pula Dalam pada itu, di ruang dalam, Pandan Wangi masih duduk berdua dengan Sekar Mirah. Mereka masih berbicara tentang rencana mereka pergi ke Sangkal Putung.
Namun Sekar Mirahpun kemudian memperingatkan Pandan Wangi " Bukankah kau akan pergi ke rumah Ki Gede."
" Ya. Kau jadi pergi ?"
" Baiklah. Aku temani kau pergi ke rumah Ki Gede." Keduanyapun kemudian segera bersiap untuk berangkat. Keduanya minta diri kepada Rara Wulan dan Nyi Dwani yang sibuk di dapur. " Maaf, aku telah mengganggu Nyi Lurah " berkata Pandan Wangi"sehingga Rara Wulan dan Nyi Dwani harus bekerja keras didapur."
" Aku sudah terbiasa bekerja didapur, mbokayu "jawab Rara Wulan.
" Kau memang seorang gadis yang lengkap, Rara. Sebentar lagi, setelah nasi masak dan dihidangkan bersama sayur dan lauk pauknya, Rara pergi ke sanggar."
" Ah, mbokayu, " desis Rara Wulan.
Demikianlah, maka Sekar Mirahpun mengantar Pandan Wangi pergi ke ramah Ki Gede. Setiap kali Pandan Wangi masih juga menyebut tikungan, simpang tiga atau simpang empat di padukuhan itu sebagai bekas tempatnya bermain sesama kanak-kanak.
Namun tiba-tiba saja Pandan Wangi itu bertanya " Darimanakah asal Nyi Dwani itu, Sekar Mirah."
Sekar Mirah mengerutkan dahinya Namun kemudian iapun menjawab " Aku tidak tahu pasti, mbokayu."
" Apakah perempuan itu dapat dipercaya?"
" Aku kira ia dapat dipercaya Ayahnya juga dapat dipercaya. Seorang kakaknya laki-laki tertawan didalam perang yang baru saja terjadi."
"Jadi kakaknya berpihak kepada lawan?"
Semuanya pernah berpihak kepada lawan. Mereka adalah pengikut Ki Saba Lintang, seorang yang merasa dirinya mewarisi hak untuk memimpin perguruan Kedung Jati."
" Perguruan Kedung Jati?"
" Ya, Perguruan yang pernah dipimpin oleh pepatih Jipang, saudara seperguruannya dan kerabatnya yang lain."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata selanjuynya "Tetapi Empu Wisanata, ayah Nyi Dwani serta Nyi Dwani sendiri telah meninggalkan Ki Saba Lintang."
"Apakah demikian tiba-tiba mereka dapat dipercaya?"
" Tidak tiba-tiba, mbokayu. Ceriteranya memang panjang. Aku pernah menghadapi Nyi Dwani dalam perang tanding."
"Perang tanding?"
" Ya. Seandainya kami sama-sama berpegang pada kesepakatan perang tanding, maka salah seorang dari kami akan dapat terbunuh di arena"
" Tetapi kalian berdua masih tetap hidup. Bahkan dapat menjadi rukun."
Sekar Mirahpun tersenyum. Katanya " Certteranya cukup panjang " Sekar Mirah kemudian dengan singkat menceriterakan hubungannya dengan Nyi Dwani sejak Sekar Mirah bertemu dengan perempuan itu untuk pertama kalinya, sehingga Nyi Dwani dengan bersungguh-sungguh menyerahkan dirinya setelah beberapa kali ia gagal berbuat licik dan berusaha memiliki tongkat baja putih milik Sekar Mirah.
"Tetapi apakah anda suatu kali sifat-sifat buruknya itu tidak akan kambuh lagi?"
"Menilik urut-urutan peristiwa yang pernah dialaminya, agaknya tidak mbokayu. Meskipun demikian, aku juga menjadi sangat berhati-hati. Aku telah menyimpan tongkatku di tempat yang tidak mungkin dapat diketemukannya."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berkata " Tetapi kau harus tetap berhati-hati, Sekar Mirah. Dalamnya lautan dapat dijajagi."
Sekar Mirah tersenyum. Lalu disambungnya "Dalamnya hati siapa tahu."
Keduanyapun tertawa. Namun keduanya tidak dapat melanjutkan perbincangan mereka. Sejenak kemudian mereka telah berdiri didepan regol halaman rumah Ki Gede.
Meskipun Pandan Wangi menapak ke halaman rumahnya sendiri, tetapi hatinya menjadi berdebar-debar. Ia merasa tidak dapat meyakinkan ayahnya, bahwa Swandaru telah melakukan kesalahan yang besar.
Pandan Wangipun disambut oleh ayahnya yang sedang duduk di pringgitan. Dipersilahkannya Pandan Wangi dan Sekar Mirah naik. Prastawa yang kebetulan ada di rumah Ki Gede itupun telah ikut menemuinya pula.
"Kenapa mbokayu tidak bermalam disini" " katanya Prastawa kemudian.
Pandan Wangi tersenyum. Katanya "Tidak apa-apa, Prastawa. Aku ingin bermalam ditempat dimana aku dapat berbincang dengan perempuan. "
"Apakah disini tidak ada perempuan" "
"Tetapi disini tidak ada Sekar Mirah. Tidak ada Rara Wulan dan tidak ada Nyi Dwani. "
" Akan aku ajak isteriku kemari. Ia akan dapat menemui mbokayu disini. "
Pandan Wangi tertawa pendek. Katanya " Bukankah tidak ada bedanya" Bukankah begitu, ayah" "
Ki Gede mengangguk sambil menjawab hampir diluar sadarnya " Ya, Pandan Wangi. "
"Nah, kau dengar" "
" Tetapi sebaiknya, mbokayu bermalam disini, nanti akan aku ajak isteriku kemari. "
Pandan Wangi mengangguk sambil menjawab " Baiklah. " Tetapi jangan nanti malam. Masih ada yang akan aku bicarakan dengan Sekar Mirah. Mungkin besok malam aku akan tidur disini. "
Prastawa menarik nafas panjang. Tetapi Ki Gedelah yang kemudian berbicara " Biarlah Pandan Wangi memilih. Dimana-mana agaknya sama saja. Disini di rumah ayahnya Sedangkan di rumah Ki Lurah, Pandan Wangi berada di rumah iparnya. "
" Ipar" " " Ya Bukankah Nyi Lurah Sekar Mirah itu saudara perempuan suaminya" "
Prastawa mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Nyi Lurah adalah adik perempuan kakang Swandaru. "
Namun dalam pada itu, Pandan Wangipun berkata " Prastawa, Apakah kau bersedia mengajakku berkeliling Tanah Perdikan" Aku merasa rindu untuk melihat lingkungan permainan masa kecilku. "
" Mbokayu tidak pernah kemana-mana dimasa kecil. "
" Ah, hampir setiap pagi aku dibawa ayah berlari-lari mengelilingi beberapa padukuhan di Tanah Perdikan ini berganti-ganti, sehingga dalam beberapa pekan, aku sudah menginjak semua jalur jalan yang ada di Tanah Perdikan ini. Kemudian di pekan berikutnya aku akan mengulangi lagi jalan-jalan yang pernah aku lalui. "
Prastawa mengangguk-angguk. Sementara Ki Gedepun berkata " Pandan Wangi sangat akrab dengan lingkungan di Tanah Perdikan ini. "
Prastawa mengangguk-angguk, sementara Pandan Wangi berkata " Setelah matahari naik, maka aku harus masuk ke dalam sanggar. Baru setelah matahari sepenggalah, ayah memperkenankan aku ke luar dari sanggar."
" Kau termasuk anak yang tekun Pandan Wangi "
" Baru kemudian setelah mandi dan berbenah diri, aku boleh keluar menemui kawan-kawan sepermainanku, sedang ayah mulai dengan tugas-tugasnya sebagai kepala Tanah Perdikan. "
" Ya, aku ingat itu" desis Prastawa
" Tetapi aku tidak pernah merasa puas bermain dengan kawan-kawanku, karena menurut pendapatku, ada jarak antara aku dengan kawan-kawanku itu. Meskipun umur mereka sebaya dengan umurku, namun rasa-rasanya mereka masih berada jauh di belakangku. Karena itu, maka aku lebih banyak bermain dengan kawan-kawan yang agak lebih besar dan lebih tua dari aku."
Prastawa mengangguk-angguk. Namun Pandan Wangi itu berkata selanjutnya " Tetapi dengan demikian, rasa-rasanya ada bagian hidupku yang terselip dan tidak lagi dapat aku telusuri. Aku memang merasa kehilangan."
Ki Gedelah yang menyahut "Yang hilang bukan masa lampaumu itu. Pandan Wangi. Tetapi justru sekarang kau merasa kehilangan. Tetapi kau akan dapat menemukan kembali yang hilang itu. "
Pandan Wangi mengerutkan dahinya Dengan nada rendah iapun berkata "Mungkin ayah benar."
Maling Budiman Berpedang Perak 3 Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock Sang Penebus 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama