Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 31

13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 31


" Baiklah, Ki Lurah - berkata anak muda itu - aku mohon diri. Aku akan mengabdi menurut bidang yang aku kuasai. Memang tidak perlu harus menjadi seorang prajurit."
"Bagus anak muda"
"Aku mohon diri."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya - Selamat jalan." Agung Sedayu melepas anak itu sampai ke halaman. Dipandanginya anak muda itu melangkah ke pintu gerbang. Mengangguk dan berbicara beberapa patah kata dengan penjaga
Namun ternyata anak muda itu masih juga berpaling. Dilihatnya Agung Sedayu masih berdiri memandanginya. Bahkan kemudian mengangkat tangannya.
Sejenak kemudian, anak muda itupun meninggalkan pintu gerbang barak prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.
Namun anak muda itu tidak langsung meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Anak muda itu berusaha mencari padukuhan yang bernama Gemulung.
Setelah bertanya orang-orang yang ditemuinya di jalan, maka akhirnya anak muda itu dapat menemukan padukuhan yang bernama Gemulung. Sebuah padukuhan yang biasa saja seperti padukuhan-padukuhan yang lain di Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah sungai kecil mengalir di pinggir padukuhan itu. Dari sungai kecil itu pula orang-orang Gemulung mengangkat air untuk mengaliri sawah mereka.
Begitu anak muda itu memasuki padukuhan Gemulung, maka ia pun segera menanyakan seorang yang berama Ki Merta.
Seorang remaja yang menuntun kambingnya yang akan digembal-akannya di pinggir sungai kecil itu, tertegun ketika seorang anak muda bertanya kepadanya - Kau kenal dengan seorang yang namanya Ki Merta."
Remaja yang akan menggembalakan kambingnya itu menjawab dengan serta merta - Kenal, Ki Sanak."
" Di mana rumahnya?"
" Ikuti saja jalan padukuhan ini. Kemudian Ki Sanak akan sampai pada sebuah gardu di pinggir jalan. Nah, gardu itu berada di halaman rumah Ki Merta,
" Apakah Ki Merta itu sudah tua atau masih muda?"
Remaja itu termangu-mangu sejenak. Bahkan iapun bertanya - Siapakah sebenarnya yang kau cari?"
"Ki Merta." "Kau kenal atau tidak dengan orang yang bernama Ki Merta."
"Tentu kenal. Tetapi mungkin tidak hanya seorang yang bernama Merta. Karena itu aku bertanya, Merta yang di halaman rumahnya itu terdapat gardu, apakah Merta yang aku cari itu."
" Merta yang di halaman rumahnya terdapat gardu itu masih terhitung muda. Tetapi tidak semuda kau Ki Sanak"
Anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya - Isterinya?"
"Bagaimana dengan isterinya" Istrinya seorang perempuan."
"Maksudku apakah isterinya cantik?"
"Ya isterinya terhitung cantik."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Terimakasih. Orang itulah yang aku cari. Tetapi aku tidak akan pergi ke rumahnya sekarang. Nanti sore saja aku akan menemuinya."
Remaja yang akan menggembalakan kambing itu tidak bertanya lebih banyak tentang anak muda itu. Kambing-kambingnya sudah menjadi gelisah. Karena itu, maka remaja itupun segera beranjak pergi sambil menuntun kambing-kambingnya.
Anak muda yang mencari rumah Ki Merta itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang yang ditemuinya di Kali Praga itu benar-benar bukan Ki Lurah Agung Sedayu meskipun wajahnya mirip sekali,
Karena itu, maka anak muda itupun kemudian meninggalkan padukuhan Gemulung dengan hati yang tidak terbebani. Bahkan anak muda itu harus menahan senyumnya
"Aku hampir tidak dapat membedakan dua orang yang berlainan. Rasa-rasanya aku ingin bertemu lagi dengan Ki Merta untuk melihat perbedaannya dengan Ki Lurah Agung Sedayu. "
Ketika anak muda itu kemudian menuruni tepian sungai kecil di pingir padukuhan itu, ia melihat remaja yang menggembalakan kambing-kambingnya duduk di atas sebuah batu. Dilepaskannya saja kambing-kambingnya untuk makan rumput di tepian.
Remaja itupun melihat anak muda itu menyeberang. Tetapi remaja itu menjadi heran. Pada saat anak muda itu sampai keseberang, ia berpapasan dengan seorang. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya. Apalagi menyapanya meskipun anak muda itu memandanginya sekitas.
Orang itulah yang bernama Merta, yang dihalaman rumahnya terdapat gardu peronda
"Ternyata anak muda itu tidak mengenal Paman Merta"berkata remaja yang menggembalakan kambingnya itu di dalam hatinya.
Tetapi anak itu tidak berlari menyusul Ki Merta Katanya di dalam hatinya"Nanti saja aku akan mengatakannya kepadanya. "
Anak itu tidak mau meninggalkan kambing-kambing yang sedang di gembalakannya Seekor saja kambingnya terpisah, ia tentu akan menjadi bingung.
Di baraknya, Agung Sedayu juga menahan senyumnya. Tetapi ia sudah berusaha untuk tidak membuat anak itu malu atau bahkan merasa sangat bersalah sehingga dapat menggelisahkan untuk waktu yang lama.
" Ceritera yang dapat menjadi oleh-oleh buat sekar Mirah " katanya di dalam hati.
Sebenarnyalah ketika Agung Sedayu pulang, bukan saja Sekar Mirah yang tertarik mendengarkan ceritera itu. Bukan saja Glagah Putih dan Rara Wulan, tetapi Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwanipun tertawa berkepanjangan.
" Kasihan anak itu"berkata Glagah Putih.
" Aku sudah berusaha untuk tidak membuatnya malu " berkata jAgung Sedayu. .
"Seharusnya kakang berterus-terang ~ berkata Glagah Putih bagi anak itu, pengalaman itu akan sangat berarti. " Aku juga berharap demikian, tetapi tidak dengan serta-merta. Mungkin pada suatu saat ia akan mengetahuinya juga. Setidak-tidaknya membuat anak itu memikirkan kemungkinan seperti itu dapat terjadi, sehingga ia tidak lagi bersikap semena-mena terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya. "
"Kalau saja aku yang mengalami"berkata Glagah Putih kemudian.
" Kalau kau yang mengalami, apa yang akan kau lakukan " " bertanya Rara Wulan.
Jilid 324 GLAGAH PUTIH tertawa Katanya " Tidak. Tidak apa-apa." Yang mendengarnyapun tertawa pula.
Namun Glagah Putihpun kemudian minta diri untuk meninggalkan pertemuan itu, karena ia berjanji untuk bertemu dengan Prastawa.
"Apakah ada sesuatu yang penting?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak " jawab Glagah Putih " tetapi kami akan pergi ke padukuhan Sembung untuk menghadiri upacara pernikahan pemimpin pengawal Sembung."
"Siapa namanya?" bertanya Agung Sedayu.
"Wirit." "O " Agung Sedayu mengangguk-angguk " anak muda yang kumisnya tipis itu.
"Ya, kakang "jawab Glagah Putih " Prastawa menganggap perlu untuk hadir. Bukan sekedar ikut bergembira, tetapi ada sesuatu yang memaksaya harus datang."
"Ada apa?" "Isterinya berasal dari sebelah Timur Kali Praga."
"Ya, kenapa kau dari sebelah Timur Kali Praga" Mbokayumu justru berasal dari Sangkal Putung."
"Memang tidak apa-apa kalau gadis itu tidak membawa persoalan tersendiri."
"Persoalan apa ?"
"Seorang anak muda sepadukuhan dengan gadis itu di sebelah Timur Kali Praga, jatuh cinta pada gadis itu. Demikian besar cintanya, sehingga anak muda itu mengancam akan membunuh laki-laki yang akan memperistri gadis itu."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun ia pun kemudian bertanya "Tetapi bagaimana Wirit dapat memperisterinya ?"
"Orang tuanyalah yang memilih calon isterinya itu. Mereka masih mempunyai hubungan darah."
"Seharusnya orang itu gadis itulah yang menjelaskan kepada orang tua anak muda yang merasa kehilangan itu."
"Sudah. Itu sudah dilakukan. Tetapi anak muda itu tidak mempedulikannya. Bahkan anak muda itu tidak tunduk kepada kendali orang tuanya sendiri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya "Datanglah. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Mungkin tiba-tiba saja jantung anak muda itu bergejolak. Tetapi setelah mengendap, maka ia akan dapat menerima kenyataan " namun kemudian Agung Sedayu itupun bertanya "bagaimana sikap gadis itu sendiri?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " aku tidak begitu jelas, kakang. Tetapi menurut kata orang, gadis itu tidak merasa pernah menanggapi keinginan anak muda itu. Tetapi entahlah, apa yang terjadi sebenarnya. "
"Baiklah. Amati keadaan. Jangan biarkan terjadi kericuhan. Sekali lagi aku berharap, bahwa anak muda itu tidak akan mengganggu upacara pernikahan itu. "
Demikian, maka sejenak kemudian-, Glagah Putih pun telah pergi ke Sembung. Tapi ia singgah di rumah Prastawa karena ia sudah berjanji untuk pergi bersamanya.
Ternyata upacara pernikahan itu diselenggarakan sedikit meriah. Di rumah Wirit malam itu diselenggarakan pertunjukkan tari topeng sampai dini hari.
Tidak seperti biasanya, upacara pernikahan itu kebanyakan diselenggarakan di rumah pengantin perempuan. Di rumah pengantin laki-laki hanya diselenggarakan upacara ngunduh penganten. Tetapi pernikahan Wirit itu diramaikan dirumah pengamen laki-laki, sekedar untuk menghindari gejolak yang mungkin terjadi jika keramaian upacara pengantin itu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan disebelah Timur Kali Praga.
Menjelang wayah sepi bocah, rumah Wirit sudah ramai. Para tamu yang diundang untuk merestui pengamen sekaligus nonton tari topeng sudah banyak yang hadir. Sementara itu dihalamanpun telah banyak orang yang ingin menonton pula. Bahkan anak-anak dari padukuhan-padukuhan terdekatpun ada yang datang untuk menonton. Beberapa orang yang berjualan bermacam-macam makananpun telah mulai menggelar dagangannya. Mereka berharap terutama anak-anak akan banyak membelinya.
Sepasang penganten telah duduk diruang dalam, setelah upacara temu selesai. Mereka bahkan sudah berganti pakaian, duduk dikelilingi oleh keluarga terdekat Mereka menunggu para tamu yang datang cukup banyak. Baru mereka akan keluar dan duduk dipringgitan bersama para tamu beberapa lama.
Prastawa dan Glagah Putihpun telah duduk diantara para tamu pula. Mereka berkumpul diantara beberapa orang yang masih terhitung muda agar mereka dapat ikut mengalir pada pembicaraan serta gurau dan kelakar mereka. Mereka tidak akan duduk bersama orang-orang tua yang perhitungannya terarah pada hal yang berbeda dengan perhitungan mereka yang masih terhitung muda.
Ketika para tamu sudah menjadi semakin banyak, maka seorang telah memberitahukan bahwa sepasang penganten akan hadir di pringgitan dan duduk bersama para tamu.
Para tamupun serentak berdiri. Sepasang penganten diiringi oleh orang-orang tua dan keluarga terdekat keluar dari ruang dalam dan duduk di pringgitan bersama para tamu.
Seorang yang dituakan mengadakan sesorah pendek. Kemudian, hidanganpun mulai mengalir, sementara para npyaga sudah duduk ditempatnya, didepan gamelan yang segera mulai berbunyi.
Anak-anak dan orang-orang yang berada di halamanpun mulai bergeser mendekati pendapa. Anak-anak menjadi ramai dan saling mendesak untuk mendapat tempat di paling depan. Sementara itu orangorang tua malahan ada yang sengaja berdiri ditempat yang terlindung dari terang lampu dan oncor yang menyala di halaman.
Sejalan dengan mengalirnya hidangan, maka pertunjukanpun berlangsung. Mengalir pula dari satu adegan ke adegan berikutnya diiringi oleh bunyi gamelan yang bertalu-talu. Kadang-kadang menghentak keras, kuat dan gagah. Namun kemudian menukik, merendah dan bahkan menjadi sangat lembut.
Para tamupun mulai menikmati minuman hangat dan berbagai jenis makanan yang dihidangkan sambil menonton tari topeng yang sangat menarik itu.
Glagah Putih dan Prastawa semakin tenggelam dalam pembicaraan kawan-kawan mereka. Sekali-kali terdengar suara tertawa serentak. Namun kemudian anak-anak muda itu tersadar, bahwa orang-orang yang berada di sekitarnya berpaling kepada mereka
Bahkan Glagah Putih dan Prastawa mulai melupakan kemungkinan buruk yang dapat terjadi.
Demikianlah, waktupun berlalu setapak demi setapak. Hidangan-pun beruntun di suguhkan kepada para tamu. Sehingga menjelang tengah malam, maka kepada para tamu itupun dihidangkan makan.
Sementara itu, tari topengpun berlangsung terus. Berganti-ganti para penari tampil diatas pentas. Disela-sela suara gamelan yang ngera-ngin. terdengar suara tembang mengalun.
Namun tiba-tiba orang-orang yang berada di pendapa itu terkejut. Seorang laki-laki muda dengan serta-merta meloncat ke pendapa.
Para penaripun terkejut pula. Mereka serentak bergeser menjauh. Laki-laki muda yang berdiri di pendapa itupun tiba-tiba berteriak " Manakah anak muda yang bernama Wirit " Ia telah berani mengambil calon isteriku dengan laku yang licik Nah, aku tantang anak muda yang bernama Wirit itu berhadapan dengan aku sebagai laki-laki. "
Glagah Putih dan Prastawa yang juga terkejut, telah bangkit berdiri. Namun sebelum keduanya mendekati laki-laki muda itu, seorang laki-laki separo baya telah lebih dahulu melangkah mendekati laki-laki itu.
Prastawa dan Glagah Putih justru bergeser mendekati orang-orang tua yang duduk di sebelah sepasang penganten yang justru bagaikan mematung itu.
Glagah Putih yang duduk dibelakang seorang yang berkumis putih bertanya " Siapakah orang itu " Yang berteriak-teriak dan yang datang mendekatinya " "
": Laki-laki itulah yang berniat untuk memperisien penganten perempuan ini. Sedangkan laki-laki yang menemuinya itu adalah pamannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, laki-laki yang mendekat itupun berkata "Tangkil. jangan kehilangan akal seperti itu."
" Jangan ikut campur, paman. Aku akan menyelesaikan persoalanku dengan anak muda yang merasa dirinya satu-satunya laki-laki di dunia ini. "
" Kau tidak pantas melakukannya. Apalagi dalam suasana sepera ini. Kau tentu ddak ingin menjadi tontonan di Tanah Perdikan ini. "
" Persetan dengan orang-orang di Tanah Perdikan ini. Aku ingin menantang Wirit. Jika Wirit tidak berani menghadapi aku, biarlah ia menunjuk seorang yang memiliki ilmu tertinggi di Tanah Perdikan ini untuk mewakilinya. Siapakah yang menang, ialah yang pantas untuk mengambil perempuan itu. "
" Tangkil. Kau harus menyadari apa yang kau lakukan itu. "
" Paman. Sekali lagi aku peringatkan. Paman jangan ikut campur."
" Aku memang sudah mendapat pesan dari ayahmu Tangkil. Aku harus mencegahmu. Ingat isteri dan anakmu. "
" Jangan sebut-sebut perempuan gila itu lagi. Aku muak melihatnya. Biarlah ia disambar petir bersama anaknya. "
" Kau dahulu juga tergila-gila kepadanya. Sekarang kau menjadi muak."
" Paman. Minggirlah. Atau aku akan memaksa paman dengan kekerasan. "
" Jangan begitu Tangkil. Sadarilah yang kau lakukan disini. Betapapun tinggi ilmumu, tetapi kau berada di Tanah Perdikan Menoreh. Para petugas disini dapat mengusirmu seperti mengusir anjing liar. "
" Jika itu yang ingin mereka lakukan,biarlah mereka lakukan. Tetapi itu pertanda, bahwa Wirit bukan seorang laki-laki. Ia hanya berani berlindung dibelakang banyak orang. Tetapi itu tidak akan menolongnya. Ia tidak akan dapat berlindung terus sepanjang umurnya. Sementara itu dendamku tidak akan pernah padam sampai ke batas umurku. "
" Pulanglah Tangkil. Renungkan sehari dua hari, apakah yang kau lakukan itu tepat menurut nuranimu. "
" Minggir paman. "
" Tidak " Tiba-tiba saja laki-laki yang dipanggil Tangkil itu mendorong pamannya dengan keras sekali sehingga pamannya itu terlempar dan jatuh dilantai pendapa
Tetapi dengan serta-merta pamannya itu bangkit. Ia sama sekali tak berniat untuk minggir. Ia tetap saja berdiri menghalangi tak berniat untuk melangkah maju.
Tangkil tidak lagi sekedar mendorongnya. TetapiTangkil itu memukul dagu pamannya itu keras sekali, sehingga pamannya itu terbantingjatuh.
Bagian belakang kepala pamannya itu telah terbentur lantai pendapa sehingga pamannya menggeliat dan kemudian pingsan.
Glagah Putih dann Prastawapun telah bangkit berdiri pula Tetapi Wiritpun telah berdiri tegak. Ditahannya Glagah Putih dan Prastawa yang akan bergerak ke tengah-tengah pendapa.
" Akulah yang dicarinya " berkata Wint " Aku akan membuat perhitungan dengan caranya "
" Wirit " desis Glagah Putih.
" Apapun yang akan terjadi. Aku juga- laki-laki seperti orang itu."
" Bagus " teriak Tangkil " Ternyata kau juga mempunyai harga diri. Marilah. Kita membuat perhitungan. "
Wirit tidak menjawab. Tetapi ia melangkah-mendekat "' Kakang " pengantin perempuan itupun berpegangan pada tangannya"jangan. "
" Ia menantangku. "
" Biarlah para bebahu mengusirnya. "
"Tidak Ia menantang aku. Aku harus melayaninya jika aku tidak ingin kehilangan harga diriku. "
"Tetapi ia jahat sekali. "
" Justru aku harus menghentikannya. "
Wirit tidak mau dihentikan. Iapun melangkah mendekati Tangkil yang berdiri di pendapa.
Tetapi Tangkil itupun kemudian berkata " Kita akan mengadu tataran kemampuan kita. Tidak di pendapa, tetapi di tempat yang lebih luas. Di halaman. "
Wint tidak menjawab. Sementara itu Tangkil langsung melangkah turun ke halaman.
Orang-orang yang berada di pendapa dan halaman rumah itu menjadi sangat tegang. Beberapa orang berusaha menolong paman Tangkil yang pingsan.
Sementara itu anak-anak dan orang-orang yang berada di halaman itupun telah menyibak, sedangkan mereka yang berada di pendapa telah turun pula.
Glagah Putih dan Prastawapun telah turun pula dari pendapa. Mereka segera menempatkan diri.
Ketika Wirit telah berhadapan dengan Tangkil, maka beberapa orang telah membawa penganten perempuan masuk keruang dalam meskipun mula-mula perempuan itu tidak mau.
Glagah Putihlah yang kemudian maju mencoba untuk menengahi pertengkaran itu.
" Kenapa kalian akan berkelahi ?"
" Kau siapa " Kau tidak usah turut campur " bentak Tangkil.
" Tangkil. Bukankah perempuan itu satu pribadi yang utuh. Kenapa kau mencoba merebutnya dari suaminya. Sebaiknya sekarang kau bertanya kepada perempuan itu, bagaimanakah sikapnya terhadap kedua orang laki-laki yang menginginkannya. Perempuan itu bukan benda mari yang dapat diperebutkan begitu saja tanpa didengar keinginannya."
" Ia inginkan aku "jawab Tangkil.
" Biarlah perempuan itu sendiri yang mengatakannya. Sementara itu. kau masih harus ingat isteri dan anakmu. He, bukankah kau sudah beristeri."
" Tutup mulutmu. Pergi atau aku akan mengoyak mulutmu dan merontokkan gigimu."
" Jangan kasar begitu. Marilah kita bicara untuk mencan penyelesaian. Menurut pendapatku, biarlah perempuan itu memilih. Bukan kalian berdua berkelahi dengan perempuan itu sebagai taruhan, karena perempuan itu bukan sekedar benda mati."
" Persetan dengan igauanmu. Minggir "
Wiritlah yang kemudian berkata " Minggirlah Glagah Putih. Biarlah aku menyelesaikannya. Kau dapat menilai, apakah aku mengecewakanmu dan mengecewakan Prastawa dalam olah kanugaran atau tidak"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Jika ia benar-benar mencegahnya apalagi dengan kekerasan, tentu harga diri Wirit juga akan tersinggung. Apalagi dihadapan keluarga is-terinya atau bahkan mungkin isterinya akan ikut menyaksikannya pula
Karena itu, maka Glagah Putihpun. justru telah bergeser beberapa langkah surut
" Aku akan melayani Tangkil."
Tidak ada yang dapat mencegah. Kedua orang itupun segera mempersiapkan diri untuk menakar tingkat ilmu mereka masing-masing.
Sejenak mereka saling memandang. Namun kemudian Tangkillah yang menyerang Wirit lebih dahulu sambil berteriak nyaring. Kakinya terjulur lurus mengarah keperut Wirit. Tetapi Wirit dengan cepatnya mengelak. Bahkan sambil memutar tubuhnya kaki Wirit terayun mendatar.
Tetapi Tangkilpun meloncat surut menghindar.
Demikianlah, maka keduanyapun segera berloncatan saling menyerang, menghindar dan bahkan kadang-kadang keduanya telah membenturkan kekuatan mereka sehingga kedua-duanya telah terguncang.
Setelah beberapa saat mereka berkelahi, Glagah Putihpun menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat kelebihan orang yang bernama Tangkil itu. Sebaliknya Glagah Putih melihat bahwa Wirit tidak sia-sia berlatih dengan sungguh-sungguh. Sebagai pemimpin pengawal di padukuhannya maka Wirit adalah anak muda pilihan. Anak rnuda itu beberapa kali mendapat kesempatan mengikuti latihan-latihan bagi para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan.
Karena itu,' Wiritpun tidak mengecewakan". Dengan demikian, maka perkelahian itupun menjadi semakin sengit. Ketika kaki Tangkil sempat menembus pertahanan Wirit dan mengenai lambungnya, maka Wiritpun tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Namun dengan cepat Wirit memperbaiki keadaanya. Ketika Tangkil mengulangi serangannya, Wirit telah membuka kesempatan untuk menghindar. Bahkan dengan cepat ia mengayunkan tangannya mendatar, masuk mengenai rusuk Tangkil.
Terdengar Tangkil mengaduh sambil membungkukkan rubuhnya Namun pada saat itu pula Wirit mengulangi serangannya. Tangannya dengan cepat menyambar kening, sehingga Tangkil terhuyung-huyung kesamping. Bagaimanapun juga ia mencoba mempertahankan keseimbangannya namun Tangkil itupun terjatuh di tanah.
Meskipun Tangki! cepat bangkit, namun jantungnya serasa membara. Anak Tanah Perdikan itu berhasil menjatuhkannya. Kemarahan yang sangat telah membakar seluruh isi dadanya. Darahnya bagaikan mendidih memanasi seluruh tubuhnya
Serangan-serangan Tangkilpun kemudian datang membadai. Tangan dan kakinya tidak henti-hentinya menyerang Wirit Tetapi pertahanan Wirit justru menjadi semakin rapat sehingga serangan-serangan itu sebagian justru tidak menyentuh tubuhnya
Beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi sangat tegang. Mereka melihat serangan datang silih berganti. Keduanyapun berdesah kesakitan silih berganti pula
Dengan demikian, orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu tidak segera dapat mengambil kesimpulan, siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah, kedua-duanya memiliki kesempatan untuk menang dan kesempatan untuk kalah.
Glagah Putih dan Prastawa pun menjadi tegang. Perhatian mereka sepenuhnya terjadi tertuju kepada kedua orang yang sedang berkelahi itu.
Namun ketajaman penglihatan serta penilaian Glagah Putih terhadap kemampuan kedua orang itu membuatnya tidak menjadi terlalu tegang. Menurut perhitungan Glagah Putih, Wirit akan dapat memenangkan perkelahian itu.
Menurut pertimbangan Glagah Putih, jika Wirit sendiri yang mengalahkan Tangkil, maka persoalan akan selesai, Tangkil harus selalu ingat, bahwa ia sudah dikalahkan oleh Wirit dalam satu perkelahian yang jujur menurut permintaan Tangkil itu sendiri.
Tetapi kalau dengan perkelahian itu Wirit membuat sedikit saja kesalahan, maka mungkin saja mengalami kesulitan. Peristiwa yang tiba-tiba itu mungkin saja dapat terjadi.
Karena itu, maka Glagah Putih memperhatikan perkelahian itu dengan sungguh-sungguh.
Namun seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih, maka semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Wirit akan dapat memenangkan perkelahian itu. Beberapa kali serangannya sempat mengenai bagian tubuh lawannya yang paling lemah, sehingga beberapa kali Tangkil harus meloncat mengambil jarak.
Tetapi Wirit tidak pernah memberinya kesempatan. Setiap kali Tangkil berusaha meloncat menjauh, maka Wirit pun selalu memburunya.
Dengan demikian, maka Glagah Putih sempat menarik nafas panjang. Ia mulai memperhatikan sekitas-sekitas orang yang berdiri di seputar arena. Namun perhatiannya pun segera tertarik kepada seorang yang sudah separo baya. Orang yang belum pernah dikenalnya sama sekali.
Memang mungkin saja orang-orang dari padukuhan-padukuhan lain datang untuk menonton keramaian. Tetapi jika orang itu orang Tanah Perdikan Menoreh, maka setidak-tidaknya Glagah Putih pernah melihatnya.
Tetapi orang yang sudah separo baya itu nampak asing. Orang itupun nampaknya menjadi tegang menyaksikan perkelahian yang sengit itu.'
Namun agaknya orang yang sudah separo baya itu tidak sendiri. Ada dua orang yang berdiri di sebelah menyebelahnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukan orang-orang dan anak-anak yang berdiri tegang menyaksikan perkelahian itu.
Glagah Putih yang tidak lagi mencemaskan keadaan Wirit itupun menggamit Prastawa. Tanpa memandang orang separo baya itu, Glagah Putih bertanya"Kau kenal orang separo baya itu, Prastawa ?"
" Yang mana ?" " Jangan memandang ke arahnya dengan serta merta. Orangnya berdiri di dekat pohon Jambu air. Di sebelah menyebelahnya berdiri dua orang yang juga tidak aku kenal. Keduanya lebih muda dari orang yang sudah separo baya."
Prastawa memang tidak segera memandang ke arah orang itu. Namun kemudian ia pun mendapat kesempatan untuk memperhatikan wajahnya.
" Aku belum pernah melihat orang itu " berkata Glagah Putih. Prastawa menggeleng. Katanya "Aku juga belum pernah mengenalnya."
" Aku curiga pada sikapnya. Aku akan mendekatinya.".
"Aku ikut" " Jangan. Kau di sini saja. Perhatikan Wirit dan Tangkil yang sudah menjadi semakin lemah. Jangan ada kecurangan. Tetapi tahan Wirit jika ia kemudian kehilangan kendali. Jika Tangkil sudah tidak berdaya, hentikan Wirit."
Prastawa mengangguk, sementara Glagah Putih pun segera menyelinap di antara orang-orang yang berdiri sekitar arena.
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih sudah berdiri di belakang orang yang sudah separo baya itu.
Beberapa saat perkelahian masih saja terjadi dengan sengitnya. Namun tenaga Tangkil sudah menjadi semakin susut. Serangan-serangan Wirit, meskipun dengan tenaga yang juga sudah menurun, semakin sering mengenai tubuhnya.
Bahkan beberapa kali Tangkil hampir saja kehilangan keseimbangannya.
Namun Wirit pun tidak lagi segarang semula. Ia mulai memperhitungkan tenaganya. Ia tidak menyerang tanpa perhitungan. Ia menyadari, bahwa tenaganya sudah menjadi semakin menyusut.
Tetapi latihan-latihan yang berat yang dilakukan oleh Wirit sangat membantunya. Apalagi Wirit mempunyai pategalan yang di atas bukit Setiap kali dengan sengaja Wirit berlari-lari menuju ke pategalannya.
Dengan demikian, maka ketahanan tubuh Wirit ternyata lebih baik dari lawannya.
Itulah sebabnya, maka pada saat-saat terakhir, setiap orangpun hampir memastikan bahwa Wirit akan dapat mengalahkan lawannya. Dan itu berarti, bahwa orang yang datang menantangnya itu tidak akan mengusik lagi isterinya.
Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, khususnya dari padukuhan itu. mulai bersorak dalam hati. Mereka benar-benar sudah yakin, bahwa Wirit akan mengalahkan lawannya.
Sebenarnyalah Tangkil memang sudah semakin lemah. Namun ia masih berusaha melawan dengan sisa-sisa tenaganya. Setiap kali ia memandang orang yang berdiri didekat pohon jambu air. Orang yang sudah separo baya bersama kedua orang kawannya.
Tetapi orang yang sudah separo baya itu tidak berbuat apa-apa. Di-belakang berdiri Glagah Putih sambil berdesis." Jangan mengganggu perkelahian itu Ki Sanak. Jika kau meloncatkan kerikil itu kearah Wirit dan mengenainya, sehingga mempengaruhi perkelahian itu. maka aku akan menyiapkan para pengawal yang ada di tempat ini. Wirit adalah pemimpin pengawal padukuhan. Para pengawal tentu tidak akan membiarkan kecurangan ini"
Orang yang sudah separo baya itu menggeram. Kedua orang yang berdiri disampingnyapun menggeretakkan gigi mereka. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka harus berpikir ulang untuk mencampuri perkelahian itu. Meskipun orang yang sudah separo baya itu berilmu tinggi, tetapi melawan pengawal dan anak-anak muda sepadukuhan, orang itu harus membuat perhitungan yang sangat cermat
Dalam pada itu, Tangkil menjadi semakin terdesak. Tenaganya sudah menjadi semakin jauh menyusut. Serangan-serangan Wirit menjadi semakin tidak terelakkan lagi.
Setiap kali Tangkal memandang kearah orang separo baya dan kedua orang kawannya itu. Tetapi mereka bertiga sama sekali tidak berbuat apa-apa. Sebab kerikil diantara jari-jari tangannya masih belum dilontarkannya. Karena setiap kali Glagah Putih masih memperingatkannya.
Akhirnya, Tangkil menjadi tidak berdaya. Ketika tangan Wirit menghantam dagunya, maka wajah Tangkilpun terangkat Satu pukulan lagi mengenai dadanya, sehingga tulang-tulang iganya serasa berpatahan.
Tangkil itupun terhuyung-huyung. Ia tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya Tangkil itupun jatuh terlentang.
Ketika Wirit meloncat memburunya, maka langkahnya tertahan.
Prastawa telah meloncat mendekatinya dan menangkap lengannya
"Ia sudah tidak berdaya" berkata Prastawa.
"Anak itu sudah menghinaku."
"Ya Dan kau sudah membalasnya Itu sudah cukup."
Sebenarnya Wirit masih belum puas. Tetapi ia tidak dapat melawan wibawa Prastawa pemimpin pengawal di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga ia harus menghentikan serangan-serangannya.
Namun Tangkil ternyata udak segera dapat bangkit. Ketika ia mencoba untuk berdiri, maka iapun telah terduduk kembali.
"Jangan mencoba melawanku lagi Tangkil " geram Wirit " kalau saja aku tidak di tahan kakang Prastawa aku ingin mematahkan lehermu."
Tangkil tidak menjawab. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia memang kalah. Tetapi orang yang sudah separo baya yang sudah berjanji untuk membantunya ternyata tidak berbuat apa-apa
Tetapi ketika Prastawa kemudian menarik Wirit mundur dan membawanya ke tangga pendapa maka orang separo baya itu bersama kedua orang kawannya berlari-lari mendekati Tangkil.
Meskipun tidak terlalu dekat, tetapi Glagah Putih melangkah beberapa langkah maju.
" Kenapa kau diam saja" bentak Tangkil ketika orang itu berusaha membantunya berdiri.
Orang separo baya itu berdesis " Nanti aku jelaskan,"
" Untuk apa kau jelaskan nanti. Kesempatannya sudah lewat. Aku sudah kalah dihadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang tentu akan mengejekku."
"Marilah kita pergi."
Tangkil tidak menjawab ketika orang separo baya itu membantunya berjalan meninggalkan halaman itu.
Dalam pada itu, tanpa ada yang memerintah, maka hampir berbareng beberapa orang berteriak
"Pergi sajalah. Jangan pernah kembali."
"Pergi, pergi" teriak yang lain
Tetapi Glagah Putih dan Prastawa segera memberi isyarat agar mereka diam.
" Biarlah mereka pergi - kata Glagah Putih.
Sejenak kemudian, halaman rumah Wirit itupun menjadi ribut. Orang-orang yang semula dicekam ketegangan, tiba-tiba saja merasa dadanya terlepas dari himpitan ketegangan.
Beberapa saat kemudian, suasanapun menjadi tenang. Tetapi para penari sudah tidak lagi dapat meneruskan lakon yang sedang mereka mainkan. Sebagian dari mereka sudah tidak lagi mempunyai keberanian untuk tampil.
" Jangan takut - berkata seorang pengawal - kami akan mengawal rumah ini, tidak akan ada apa-apa lagi."
Tetapi ada diantara mereka yang benar-benar tidak lagi berani tampil. Sehingga karena itu, maka dengan menyesal tari topeng itu tidak dapat dilanjutkan lagi.
Anak-anakpun menyesal karenanya. Tetapi sebagian dari mereka sudah beriari-larian pulang ketika terjadi perkelahian.
Namun dalam pada itu, pengantin perempuan yang berada di ruang dalam ditunggui oleh beberapa orang perempuan , dadanya menjadi lapang ketika ia mengetahui, bahwa orang yang memburunya itu dapat dikalahkan oleh suaminya. Dengan demikian perempuan itu merasa dirinya berada dibawah perlindungan yang memberikan ketenangan kepadanya.
Meskipun malam itu tari topeng tidak dapat dilanjutkan, tetapi sanak kadang dan tetangga-tetangga yang datang untuk meramaikan upacara pernikahan itu tidak tergesa-gesa pulang. Mereka menunggu sampai hidangan yang terakhir yang sudah terlanjur disiapkan. Jika mereka pulang lebih dahulu, maka hidangan yang sudah disiapkan itu akan menjadi mubazir.
Baru di dini hari, tamu-tamu yang hadir di rumah Wirit itu minta diri.
Bersama-sama dengan para tamu, maka Glagah Putih dan Prastawa pun telah minta diri pula.
Tetapi rumah Wirit itu kemudian tidak menjadi sepi. Masih ada beberapa orang anak muda yang tinggal. Yang masih meneruskan pembicaraan mereka. Bergurau dan berkelakar dengan riuhnya. Sekali-sekali terdengar suara tawa mereka meledak. Tangkil yang datang dari seberang Kali Praga itupun menjadi bahan kelakar mereka yang dapat mengundang tawa.
Dalam keremangan dini hari, Glagah Putih dan Prastawa berjalan di bulak panjang. Dinginnya terasa semakin menggigit sampai ke tulang. Di langit bintang gemintang nampak berkedipan seakan-akan bersama-sama mengerling ke arah bumi.
" Dinginnya - desis Prastawa.
" Di rumah Wirit tidak terasa dinginnya - berkata Glagah Putih.
" Ya. Kita mendapat suguhan wedang jahe yang hangat. Nasi yang masih mengepul dan makanan berbagai jenis."
Glagah Putih tersenyum. Katanya - Perutku menjadi terlalu kenyang."
" Akibatnya mata menjadi sangat mengantuk."
"Jika saja Tangkil tidak datang. Barangkali aku sudah tidak betah bertahan. Mataku terasa sangat berat."
" Jika Tangkil tidak datang, kita pun tidak akan mengantuk, karena pertunjukan tari topeng itu akan berlangsung terus.".
" Gamelan yang ngerangin justru dapat membuatku tidur." Keduanya berjalan semakin cepat. Dengan demikian mereka dapat mengurangi tusukan dingin malam.
Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Prastawa berjalan sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Sekali-sekali ia berdesah kedinginan.
Namun tiba-tiba saja langkah-langkah mereka terhenti. Empat orang tiba-tiba saja telah meloncat ke tengah jalan, menghentikan Glagah Putih dan Prastawa.
" Bukankah kau yang telah menggangguku di halaman rumah pengantin itu?" bertanya orang yang separo baya, yang menunggui Tangkil berkelahi melawan Wirit.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun bertanya " Dari mana kau tahu bahwa aku akan berjalan lewat jalan ini?"
" Aku punya mulut untuk bertanya kepada seseorang yang berada di halaman rumah Wirit. Orang itu memberitahukan kepadaku, bahwa kau tinggal di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu.maka aku menunggumu di sini."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya - Ya. Aku memang tinggal di padukuhan induk. Apakah kalian mempunyai keperluan dengan aku?"
" Jangan berpura-pura tidak tahu. Kami akan membuat perhitungan dengan kau, anak muda."
" Perhitungan apa?"
" Kau telah menggagalkan usahaku untuk membantu Tangkil. Kau cegah aku melontarkan kerikil yang akan dapat memecahkan pemusatan perhatian Wirit terhadap lawannya. Bahkan kerikil yang aku lontarkan itu juga akan dapat menyakitinya."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya - Aku hanya ingin menyelamatkan kalian. Ki Sanak. Jika aku membiarkan kau melakukannya, maka para pengawal padukuhan itu akan dengan serentak melibatkan diri. Aku tahu kalian adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Tetapi kalian tentu tidak akan dapat melawan para pengawal sepadukuhan. Bahkan semua laki-laki yang ada di rumah itupun akan melibatkan dirinya pula."
" Tidak akan ada orang yang tahu, apa yang aku lakukan."
" Tentu ada. Jika mereka mula-mula tidak melihat itu karena perhatian mereka tertuju sepenuhnya pada perkelahian antara Wirit dan Tangkil. Tetapi jika kau benar-benar melemparkan kerikil-kerikil itu, maka mereka tentu akan mengetahuinya. Maka akan terjadilah malapetaka atas kalian."
" Persetan - geram Tangkil. Tetapi aku harus mendapatkan sasaran untuk melepaskan dendamku. Aku tidak peduli tentang apapun. Tetapi aku harus memukuli anak Tanah Perdikan ini sampai pingsan. Bahkan jika ia mencoba melawan, aku tidak akan segan-segan membunuhnya dan membiarkan mayatmu terkapar di bulak panjang ini sampai saatnya besok ada seseorang yang akan menemukannya."
" Kenapa kau menjadi garang - bertanya Glagah Putih.
Orang itu justru maju selangkah sambil berkata "Berlututlah. Pikullah akibatnya, bahwa kau telah mencampuri urusan orang lain. "
" Aku tidak dapat membiarkan kau menjadi sasaran kemarahan orang-orang se padukuhan. "
" Omong kosong. Tentu bukan itu alasanmu. "
" Seandainya bukan itu, aku berhak mencampuri perkara Wirit dan Tangkil. Wirit adalah orang Tanah Perdikan ini. Kau tidak boleh berlaku curang dengan memecah pemusatan perhatian Wirit terhadap lawannya. Jika hal itu terjadi, maka Wirit akan dapat kalah dan namanya menjadi cemar. Meskipun mungkin orang-orang sepadukuhan" dapat mencegah agar Tangkil tidak membawa isteri Wirit, tetapi Wirit akan merasa dirinya tidak mampu melindungi isterinya dan ia akan menjadi rendah diri. "
" Persetan dengan sesorahmu. Aku akan membungkam mulutmu."
" Ki Sanak " berkata Glagah Putih " aku sudah mengatakan alasanku, kenapa aku mencegahmu. Aku tidak ingin terjadi keributan yang lebih parah. Tetapi aku juga tidak ingin Wirit dicurangi. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau dapat mengerti alasan-alasan itu, atau tidak."
" Aku tidak peduli. Tetapi aku akan melepaskan kemarahanku sekarang ini. "
" Baiklah. Jika kau harus berkeras untuk membuat keributan, aku akan melayanimu. "
Orang itu tidak berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Glagah Putih.
Glagah Putih memang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu ketika orang yang separo baya itu mengayunkan kakinya, maka Glagah Putihpun bergeser kesamping sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Tetapi orang itu tidak berhenti. Iapun berusaha memburunya. Dengan serta-merta iapun telah menyerang pula. Dengan memutar tubuhnya ia mengayunkan kakinya mendatar.
Tetapi sekali lagi serangannya itu tidak mengenalnya


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu menggeram marah. Serangan-serangannyapun kemudian datang membadai. Beruntun susul menyusul.
Namun Glagah Putih tidak membiarkan dirinya diburu oleh serangan-serangan lawannya terus-menerus. Karena itu, maka ketika ia mendapat kesempatan, maka justru Glagah Putihlah yang telah menyerang orang yang sudah separo baya itu.
Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Glagah Putih begitu tangkas, sehingga dapat mempergunakan kesempatan kecil itu untuk membalas menyerang.
Orang yang sudah separo baya itu tidak mengelak. Ia merasa yakin akan tenaga dan kemampuannya. Karena itu. maka dengan sengaja ia membentur serangan Glagah Putih itu.
Tetapi orang itu terkejut sekali ketika benturan itu terjadi. Orang itu terlempar beberapa langkah surut. Bahkan ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga ia jatuh terguling di tanah.
Dengan cepat orang itu melenting berdiri. Ia ingin melihat akibat benturan itu pada lawannya yang masih muda itu.
Terdengar orang itu mengumpat kasar. Ia melihat Glagah Putih sama sekali tidak bergetar surut. Bahkan Glagah Putih justru maju mendekatinya.
Orang yang sudah separo baya itupun menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu tentu orang yang berilmu tinggi.
Karena itu, maka orang yang sudah separo baya itu harus menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak dapat lagi merendahkan lawannya yang masih muda itu.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang sudah separo baya itu telah mengerahkan kemampuannya. Ia ingin segera mengalahkan Glagah Putih sebelum fajar.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru orang itulah yang setiap kali terpental surut. Serangan-serangan Glagah Putihlah yang lebih banyak menembus pertahanan orang itu dan mengenai sasarannya.
Dalam keadaan terdesak, maka orang itupun telah memberi isyarat kepada kedua orang kawannya untuk melibatkan diri dalam perkelahian itu. Bahkan Tangkilpun telah ikut pula turun ke gelanggang.
Tetapi Prastawa tidak membiarkan Glagah Putih bertempur sendiri melawan empat orang. Prastawapun kemudian telah ikut pula bertempur. Bahkan Prastawa itupun kemudian harus melawan Tangkil dan seorang diantara keempat orang itu, sementara orang yang sudah separo baya itu dibantu oleh seorang kawannya bertempur melawan Glagah Putih.
Tetapi dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu tidak dapat dapat berbuat banyak. Bahkan Tangkil yang tulang-tulangnya masih terasa sakit bersama seorang kawannya, segera terdesak oleh Prastawa yang bertempur dengan garang.
Ketika kaki Prastawa mengenai dada Tangkil yang masih lemah itu, maka Tangkilpun telah terlempar jatuh berguling melewati tanggul parit dan tajebur kedalamnya.
Dengan susah-payah Tangkil berusaha merangkak naik ke atas tanggul parit dan bergulir ke pinggir jalan. Pakaiannya menjadi basah kuyup, sementara nafasnya menjadi terengah-engah.
Tangkil memang berusaha untuk berdiri. Tetapi kedua kakinya rasa-rasanya tidak lagi dapat menyangga tubuhnya dengan baik. Apalagi dadanya terasa menjadi sesak, sehingga Tangkil itu menjadi susah untuk bernafas.
Karena itu, maka yang dapat dilakukannya kemudian adalah menonton perkelahian itu. Seorang yang bertempur melawan Prastawa tidak dapat bertahan terlalu lama. Orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk memberikan perlawanan. Setiap kali serangan Prastawa mengenainya dan melemparkannya beberapa langkah surut
Sedangkan kedua orang yang bertempur melawafl Glagah Putihgun sudah menjadi semakin terdesak. Orang yang sudah separo baya itu sudah kehilangan akal untuk mengatasi serangan-serangan Glagah Putih. Apalagi sejenak kemudian, kawannya itu sudah tidak berdaya lagi. Ketika tangan Glagah Putih menyambar keningnya, maka anak itu terdorong beberapa langkah kesamping. Ketika kakinya terantuk batu, maka ia jatuh menimpa sebatang pohon turi yang tumbuh diatas tanggul parit di pinggir jalan.
Orang itu tertatih-tatih berdiri. Tetapi ia sudah tidak sanggup lagi untuk bertempur.
Karena itu, maka sejenak kemudian, lawan Glagah Putih yang seorang lagipun telah meloncat mengambil jarak. Dengan suara yang bergetar orang yang sudah separo baya itupun berkata"Sudahlah anak muda. Aku menyerah. Aku ternyata tidak mampu mengimbangi ilmumu. "
Glagah Putihpun tidak memburunya lagi. Dengan dahi yang berkerut iapun berkata" Kau yakini sikapmu" "
" Ya, anak muda. "
" Kau akui kesalahanmu" "
" Ya, Ki Sanak. Aku dan kawan-kawanku termasuk Tangkil mohon maaf. Kami.memang khilaf. "
Glagah Putihpun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya " Pulanglah, Tetapi jangan mencoba-coba lagi. Adapun yang kalian lakukan, tidak akan berhasil. "
" Baik. Ki Sanak "jawab orang yang sudah separo baya itu.
" Jangan libatkan anak-anak muda di padukuhanmu dalam persoalan ini. Batasi saja sampai sekian, agar tidak menjadi berkepanjangan."
" Ya, Ki Sanak."
" Pulanglah. Jika kalian mengaku salah, maka kalian harus bertanggung jawab atas pengakuan itu. Kalian tidak akan melakukannya lagi."
" Ya. Ki Sanak."
Glagah Putihpun kemudian memberi kesempatan keempat orang itu meninggalkannya bersama Prastawa yang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bulak panjang itu.
Tangkil yang kesakitan berjalan sambil memegangi dadanya yang terasa pepat. Sedangkan seorang kawannya berjalan agak terbungkuk-bungkuk karena punggungnya yang sakit Seorang lagi setiap kali berdesah. Telinganya terasa sakit sekali.
Meskipun demikian, Tangkil itu masih berkata"Anak-anak muda Tanah Perdikan itu menjadi besar kepala. "
" Kita memang tidak dapat berbuat apa-apa. "
" Tetapi aku tidak berhenti sampai disini " berkata Tangkil.
" Kau mau apa" "
"Aku ajak kawan-kawanku mengambil Wirit dan isterinya. Kami akan membawanya keseberang Kali Praga. Kami akan mengikat Wirit dan merendamnya di Kali Praga. Sedangkan isterinya akan aku bawa pulang."
" Sudahlah. Jangan memperpanjang persoalan ini. "
" Aku harus menebus kekalahanku. "
" Tidak ada gunanya. Jangankan anak-anak seberang Timur Kali Praga, sedangkan sepasukan orang-orang terlatih, yang akan menguasai Tanah Perdikan Menoreh itupun dapat dikalahkan. " berkata orang separo baya itu. Lalu katanya pula"Jika aku mengantarmu menemui Wirit, justru karena kita hanya berempat Kau dan Wirit akan berkelahi seorang melawan seorang. "
"Tetapi kita kemudian berkelahi melawan anak padukuhan induk itu."
" Salah kita. Dan kita sudah dikalahkan. Untung, bahwa anak-anak muda itu bukan orang-orang yang bengis sehingga kita dibiarkan meninggalkan Tanah Perdikan itu. "
" Tetapi mereka menyakiti kita."
"Salah kita. Jika kita tidak mencegatnya di bulak panjang ini, maka kita tidak disakiti. Kecuali kau yang memang telah melakukan perkelahian seorang melawan seorang. "
"Tetapi aku mempunyai banyak kawan yang akan bersedia membantuku. "
" Jika kau coba juga, maka tentu akan jatuh korban. Banyak diantara kita akan mati. Dan jika itu terjadi, maka kaulah yang harus bertanggung jawab. "
Tangkil menjadi ragu-ragu. Ia mengakui kebenaran kata-kata orang yang sudah separo baya itu
Tetapi hatinya masih terasa panas. Sakit di punggungnya, di dadanya, di keningnya dan dibanyak tempat itu tidak membuatnya menjadi takut mengalaminya lagi.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Prastawa telah melanjutkan perjalanannya kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun disepanjang jalan, mereka masih saja berbicara tentang Tangkil. Orang yang keras kepala yang tidak mudah mengakui kenyataan yang dihadapinya
" Tetapi aku kira orang itu tidak akan kembali " berkata Prastawa.
" Mudah-mudahan"sahut Glagah Putih.
Ketika keduanya kemudian sampai ke padukuhan induk, fajar telah membayang di langit. Keduanya pun segera berpisah. Masing-masing Iangsung pulang ke rumah mereka,
Keduanya memang tidak sempat untuk tidur barang sekejap, karena mereka harus segera menunaikan kewajiban mereka.
Ketika matahari terbit. Glagah Putih pergi ke sumur untuk mengisi jambangan di pakiwan. Tetapi jambangan itu sudah penuh. Sehingga Glagah Putih justru termangu-mangu.
Sukra melangkah mendekatinya sambil berdesis " Kau pulang pagi"
Glagah Putih mengangguk. " Kau tentu mabuk tuak setelah menari tayub semalam suntuk dengan tledek-tledek cantik. "
Glagah Putih terseyum. Katanya " Tidak ada tari tayub di rumah Wirit. " "
" Jadi kenapa kau. fajar baru pulang " "
" Tidak ada tari tayub. Tetapi di rumah Wirit diselenggarakan tari topeng. "
" Tari topeng tidak semalam suntuk. "
Glagah Putih tertawa. Tetapi ia justru bertanya " Kau yang mengisi jambangan ini. "
" Ya. Seharusnya kaulah yang mengisinya. "
" Aku memang akan mengisi jambangan itu. Tetapi kau sudah mengisi lebih dahulu. "
" Tetapi kau harus menukarnya. "
" Menukar apa " "
" Ajari aku bermain cambuk. "
" Kau yang mabuk"jawab Glagah Putih " kau tahu bahwa ilmu cambukku baru ditataran dasar. "
" Biar saja. " " Tentu aku tidak berhak untuk mengajar orang lain. "
"Tidak ada yang tahu. "
" Inilah yang tabu lagi mereka yang belajar olah kanuragan. Aku akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu bahwa kau ingin mempelajari ilmu cambuk. Aku tidak tahu, bagaimana sikap Kakang Agung Sedayu. Apakah ia segera mengajarimu atau bahkan sebaliknya. "
Tetapi Sukra itu melangkah mendekat sambil berdesis "jangan. Jangan katakan. "
" Kau tentu akan selalu memaksa-maksa aku untuk mempelajari ilmu cambuk. "
" Tidak. Tidak. Aku akan diam. "
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sukra pun melangkah pergi sambil menundukkan kepalanya
Glagah Putih menjadi iba kepada anak itu. Katanya " Jangan cemas. Aku tidak akan mengatakannya "
Sukra itu berpaling- Katanya " Terimakasih. "
Dalam pada itu. Tangkil ternyata masih saja mendendam. Tetapi tidak seorangpun diantara kawan-kawannya yang bersedia membantunya menyeberang Kali Praga untuk membalas sakit hatinya.
" Kami masih belum gila " berkata seorang kawannya yang sudah mendengar dan orang yang separo baya yang mengantar Tangki! pergi ke Tanah Perdikan Menoreh apa yang telah terjadi.
" Kita pergi dengan diam-diam ke rumah Wiru. "
" Pergilah.sendin. "
" Pengecut. " " Kau yang tidak tahu diri. Kita semuanya pernah mendengar, bagaimana anak-anak muda Tanah Perdikan mengusir pasukan yang besar yang terdiri dari gerombolan-gerombolan penjahat dan prajurit yang merasa sakit hati terhadap Mataram. Lalu apakah bobol kita " Tidak lebih dan seekor cleret gombel yang sombong. Yang tidak yakin bahwa sebatang randu alas yang besar kuat menahan tubuhnya, sehingga harus digoyang-goyangkannya lebih dahulu sebelum ia memanjat. "
Tangkil mengerutkan dahinya. Namun akhirnya Tangkil harus mengurungkan niatnya karena tidak seorang pun yang mau membantunya pergi ke Tanah Perdikan dengan diam-diam.
Di hari-hari mendatang, terasa kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh menjadi tenang. Para petani, pedagang, orang-orang yang bekerja di sawahnya sendiri atau diupah oleh orang lain. dan orang-orang dalam tugas mereka masing-masing dapat melakukan kewajiban mereka dengan tenang.
Tidak ada gangguan, baik di siang ban maupun di malam hari. Para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan tidak lagi dicengkam oleh ketegangan.
Meskipun demikian, para pengawal tidak menjadi lengah. Di malam hari. gardu-gardu tetap terisi. Banjar-banjar padukuhanpun tidak pernah menjadi kosong.
Dengan demikian, maka para bebahu padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan mempunyai kesempatan untuk bekerja keras, meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Jalan pun menjadi semakin rata. Jembatan-jembatan, bendungan-bendungan dan parit-parit.
Dalam pada itu, ternyata bukan saja Tanah Perdikan Menoreh yang terasa tenang. Mataram pun terasa damai. Tidak ada gejolak yang muncul di permukaan.
Pemerintahan di Kadipaten-kadipaten pun berjalan dengan baik. Hubungannya dengan Mataram terasa tidak ada masalah.
Sementara itu, Glagah Putih mempunyai banyak kesempatan untuk menuntun Sukra dalam olah kanuragan. Sukra pun bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah. Kapan saja ia mempunyai kesempatan, maka Sukra telah berada di dalam sanggar. Terutama sanggar terbuka di halaman belakang rumah Agung Sedayu.
Dengan demikian, maka ilmunyapun dengan cepat meningkat
Dalam pada itu. Empu Wisanata dan Nyi Dwani, lewat Agung Sedayu mohon kepada Ki Gede untuk memiliki sebidang tanah. Mereka berniat untuk tinggal di Tanah Perdikan Menoreh untuk seterusnya.
Berbeda dengan Ki Jayaraga, yang telah menyatakan kepada Agung Sedayu untuk tinggal bersamanya.
" Jika Ki Lurah tidak berkeberatan, anggap aku sebagai ayahmu yang tinggal di rumah anaknya."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Tentu aku tidak berkeberatan. Apalagi Ki Jayaraga hanya seorang diri."
Memang keadaannya berbeda dengan Empu Wisanata. Empu Wisanata tidak sendiri. Tetapi ia hidup bersama anak perempuannya. Bahkan masih ada kemungkinan anak perempuannya itu menempuh kehidupan sebagai kebanyakan orang. Berumah tangga dan mempunyai anak.
Ki Gede tidak berkeberatan. Diberinya Empu Wisanata sebidang tanah garapan yang dapat dikerjakannya bersama anaknya Nyi Dwani untuk menyangga hidup mereka sehari-hari.
Tetapi ternyata Nyi Dwani tidak hanya dapat membantu ayahnya bekerja di sawah. Tetapi Nyi Dwani juga memiliki kepandaian menganyam perkakas dapur dari bambu.
Ternyata keduanya dapat menyesuaikan dirinya dengan kenyataan yang mereka hadapi. Mereka pun kemudian telah menempatkan dirinya pada satu tataran kehidupan yang sederhana. Bertani dan menganyam perkakas dapur dari bambu.
Ternyata bahwa pekerjaan itu mampu menopang hidup mereka sehari-hari.
Tanpa malu-malu Nyi Dwani membawa hasil anyamannya ke pasar bersama Empu Wisanata.
Di han-han sibuk mengerjakan sawah. Empu Wisanata selalu bertemu dan kadang-kadang berangkat bersama-sama kesawah. Letak sawah yang digarap Empu Wisanata dan sawah Agung Sedayu yang dikerjakan antara lain oleh Ki Jayaraga tidak terlalu jauh.
Rara Wulan yang sering mengirim makanan ke sawah, senng bertemu dan berjalan bersama-sama dengan Nyi Dwani.
Dengan demikian, meskipun rumah mereka kemudian terpisah, tetapi hubungan an.'ara keluarga Empu Wisanata dan keluarga Agung Sedayu masih tetap akrab. Apalagi Empu Wisanata dan Nyi Dwani merasa berhutang budi kepada keluarga Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Dalam pada itu, ketenangan di Mataram terasa pengaruhnya sampai ke mana-mana. Perguruan-perguruanpun berkembang dengan baik. Para pedagang dapat melakukan tugas mereka dengan tenang. Tidak ada bahaya yang menghadang di perjalanan mereka.
Namun ketenangan itu tidak mampu membuat hati Ki Saba Lintang menjadi tenang. Gejolak di jantungnya masih saja membara. Keinginannya untuk membangkitkan satu kekuatan yang besar masih belum pernah padam.
Ia masih saja membidik Swandaru sebagai sasarannya. ." Aku harus mendapatkan seorang perempuan cantik yang cerdas dan mau bekerja sama, paman " berkata Ki Saba Lintang kepada orang yang dimakannya.
Orang yang dipanggilnya paman itu menarik nafas dalam-dalam.
" Sulit Ki Saba Lintang. Biasanya seorang perempuan yang cantik itu sulit untuk diajak bekerja bersama untuk tugas-tugas yang berbahaya seperti ini."
" Tetapi tentu ada."
" Bagaimana dengan Nyi Yatni."
" Tidak, Paman. Aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya. Aku sudah kehilangan Nyi Dwani. Sekarang, aku mempunyai Nyi Yatni yang menurut pendapatku tidak berbeda dengan Nyi Dwani. Mungkin kemampuan Nyi Dwani lebih tinggi dari Nyi Yatni. Tetapi dengan berlatih siang dan malam seperti sekarang ini. aku harap Nyi Yatni akan dapat menyamai kemampuan Nyi Dwani."
" Baiklah. Kau masih harus mencarinya. Tetapi tentu tidak mudah."
" Aku mengerti. Paman. Tetapi bukankah kita tidak tergesa-gesa" Aku tidak mau membuat rencana dan melaksanakan segera tetapi gagal seperti yang sudah pernah terjadi."
" Ya. Itu penanda bahwa kau menjadi lebih matang dalam berpikir dan bersikap. Mudah-mudahan dengan demikian, kau akan berhasil."
" Aku mohon Paman bantu aku mencan perempuan cantik, cerdas, dan bersedia bekerja. Tetapi ia harus setia dan tidak berkhianat seperti Nyi Dwani."
Orang yang dipanggil paman itu tersenyum. Katanya " Jika saja aku bertemu dengan perempuan seperti itu. Tetapi aku sudah tidak mempunyai daya tarik apa-apa untuk membujuk seorang perempuan cantik, cerdas, berani dan setia."
Tetapi Ki Saba Lintang itupun menjawab " Paman tidak perlu mempunyai daya tarik apa-apa. Paman tinggal menunjukkan saja daya tarik yang dimiliki oleh Swandaru. "
" He" " orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata " Ya. Yang harus memiliki daya tarik adalah Swandaru. "
" Dan Swandaru sudah memilikinya. "
Orang tua itupun tertawa. Katanya " Tugasku hanya menunjukkan kepada perempuan cantik itu. "
" Ya " " Sayang. " " Kenapa" "
" Swandaru sudah beristeri dan bahkan beranak. Kebanyakan perempuan tidak mau dimadu. "
" Itu tidak penting bagi perempuan yang bersedia bekerja bersama dengan kita itu. Apakah Swandaru sudah beristeri atau belum, apakah ia mempunyai anak atau belum, sama sekali tidak penting. Isteri dan anaknya itu kelak akan disingkirkan. Bahkan Swandaru sendiri akan disingkirkan. "
" Lalu apa yang tersisa bagi perempuan itu.' "
" Jika perempuan iiu kelak berkeberatan bahwa Swandaru disingkirkan, maka perempuan itu juga akan disingkirkan. "
" He" " " Bukankah perempuan itu sudah tidak berguna lagi" " Orang yang dipanggil paman itu mengerutkan dahinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam iapun berkata " Ya. Perempuan itu tidak berguna lagi. "
" Nah. sekarang tugas kita yang mendesak adalah menemukan perempuan itu "
Orang yang dipanggil paman itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya " Tetapi aku ingin kena! dengan Swandaru. anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Aku ingin tahu. kenapa kau yakin dengan keberhasilan rencanamu itu. "
" Kita akan mengusahakan agar rencana, kita ini berhasil. " Orang yang dipanggil paman itu mengangguk-angguk. Beberapa hari kemudian, maka orang yang dipanggil paman itu sudah terlibat dalam urusan jual beli kuda dengan Swandaru. Lewat seorang saudagar kuda maka orang dipanggil paman itu telah menjual kudanya yang besar dan tegar kepada Swandaru yang memang seorang penggemar kuda.
Demikian melihat kuda orang yang dipanggil paman oleh Ki Saba Lintang itu. maka Swandaru langsung ingin memilikinya.
Setelah beberapa kali tawar-menawar, maka akhirnya hargapun disepakati.
Dengan jual beli itu. maka orang yang dipanggil paman oleh Ki Saba Lintang itupun kemudian dapat mengenal Swandaru.
Bahkan perkenalan itu menjadi semakin lama semakin akrab. Orang itu ternyata memiliki pengetahuan yang luas sekali tentang kuda. Sementara Swandaru adalah seorang penggemar kuda.
Perkenalan yang semakin akrab itu tidak menimbulkan persoalan apa-apa pada Swandaru dan keluarganya. Ki Demang. Pandan Wangi dan orang-orang di sekitarnya tidak mempunyai keberatan apa-apa terhadap kehadiran orang itu di dalam kehidupan Swandaru. karena orang itutlapat mengisi waktu-waktu luang Swandaru dengan berbincang dan menilai kuda
Tidak jarang keduanya berkuda menyusuri jalan-jalan kademangan dan, kadang-kadang berputaran di padang rumput. Kadang-kadang di-larikannya kudanya sekencang-kencangnya, namun kadang-kadang diperintahkannya kudanya menari dengan langkah-langkah kecil.
" Angger Swandaru " berkata orang itu "jika angger Swandaru masih menginginkan kuda yang baik. aku akan dapat mengusahakannya. Tetapi harganya mungkin lebih tinggi dari kuda yang telah angger beli. karena kuda itu adalah satu diantara kuda-kudaku sendin. "
" Berapa ekor kuda yang paman Ambara miliki" " bertanya Swandaru.
" Tidak banyak, ngger. Aku seorang penggemar kuda. Tetapi kegemaranku itu tidak didukung oleh kemampuanku untuk memiliki kuda-kuda yang baik. Aku bukan seorang yang berkecukupan. Karena itu, maka setiap kali aku ingin membeli seekor kuda, maka aku terpaksa melepaskan kudaku yang lain. Tetapi pada umumnya kuda-kudaku adalah kuda yang baik. "
" Apakah aku dapat sekali-sekali datang ke rumah paman Ambara untuk melihat kuda-kuda paman itu?"
" Silahkan ngger. Silahkan singgah di Kajoran. Angger akan dapat melihat kuda-kudaku. "
" Lain kali. paman. Lain kali aku singgah di rumah paman Ambara. "
Ketika keinginan Swandaru itu disampaikan oleh Ki Ambara kepada Ki Saba Lintang, maka Ki Saba Lintangpun berkata "Paman seharusnya mempunyai anak seorang gadis yang sangat cantik."
" Darimana aku mendaparkan seorang anak perempuan yana cantik, cerdas, dan setia itu?"
" Kita akan berusaha. Usahakan agar Swandaru itu tidak terlalu cepat pergi ke rumah paman. "
" Tidak apa-apa. Jika kelak perempuan yang kita inginkan itu kita dapatkan, maka aku akan dapat minta Swandaru datang lagi ke rumahku.Tidak hanya sekali. Tetapi berkali-kali"
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya " Jika demikian, harus dipersiapkan rumah yang memadai di Kajoran. Ki Ambara bukan sekedar orang yang menumpang dirumah sanak kadangnya. Tetapi Ki Ambara memang tinggal di Kajoran. Di belakang rumahnya terdapat kandang kuda yang berisi beberapa ekor kuda yang besar dan tegar vang menarik perhatian Swandaru. "
" Ya. Kau harus mengusahakannya. "
" Bukan satu hal yang sulit. paman. Jauh lebih mudah dan pada mencari seorang perempuan muda yang cantik, cerdas, berani dan setia. "
Ki Ambara tersenyum. Kaianya " Terserah kepadamu Ki Saba Lintang. " .
Sebenarmalah beberapa hari kemudian. Ki Ambara sudah tinggal di rumahnya sendiri. Rumah yang dibeli oleh Ki Saba Lintang. Di-belakang rumah dibuat kandang kuda. Tetapi kandang itu harus tidak berkesan baru. Beberapa ekor kuda berada di kandang itu.
Di rumah Ki Ambara tinggal sepasang suami istri yang bekerja padanya. Suaminya seorang yang memelihara kuda. dan isterinya bekerja di dapur. Sementara itu masih ada lagi seorang anak muda yang membantu membersihkan halaman rumah \ang terhitung luas. Membelah kayu bakar, mengisi jambangan di pakiwan dan mengisi gentong di dapur, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Beberapa hari kemudian. Ki Ambarapun telah siap menerima kedatangan Swandaru. Kepada para pembantunya. Ki Ambara minta agar mereka menganggap bahwa mereka sudah lama tinggal di padukuhan Kajoran.
Kepada tamu-lamuku kalian harus mengatakan, seandainya mereka bertanya kepadamu, bahwa kalian sudah lama bekerja padaku dan aku sudah lama tinggal di Kajoran "
" Bagaimana jika tamu-tamu Ki Ambara itu bertanya kepada tetangga di sebelah menyebelah. "
" Tamu-tamuku tidak mempunyai waktu untuk melakukannya " jawab Ki Ambara.
Demikianlah, maka hubungan antara Ki Ambara dan Swandaru berlangsung terus. Ki Ambara sering berkunjung ke rumah Swandaru, sehingga keluarga Swandaru mengenalnya dengan baik. Pandan Wangipun mengenalnya dengan baik pula.
Ketika Ki Ambara mempersilahkan Swandaru datang kerumahnya untuk melihat-lihat kudanya, maka Swandarupun menyatakan kesediaannya.
" Bersama Nyi Pandan Wangi. Bukankah Nyi Pandan Wangi juga seorang penggemar kuda" "
" Ia bukan penggemar kuda. Ki Ambara. Tetapi Pandan Wangi memang seorang penunggang kuda yang baik. "
" Ajak ia kerumahku. ngger. "
" Baik. paman. Aku akan mengajaknya. "
" Nah. kapan angger akan pergi ke rumahku" Biarlah aku menjemputnya agar angger tidak usah bertanya-tanya sepanjang jalan. "
" Tidak akan terlalu sulit, paman. "
" Jangan ngger. Sebaiknya kita membuat janji. Aku akan datang kemari menjemput angger berdua. "
Swandaru tidak ingin mengecewakan Ki Ambara. Karena itu, maka iapun berkata " Jika demikian, baiklah. Aku akan berkunjung ke rumah Ki Ambara di akhir pekan. Aku akan mengajak isteriku. Mudah-mudahan ia tidak berkeberatan. "
- " Sekali-sekali menjelajahi kademangan-kademangan yang Iam untuk melihat-lihat keadaan. Tetapi aku yakin, bahwa kademangan Sangkal Putung adalah kademangan terbaik di daerah ini, ngger. "
" Mungkin disatu sisi, paman. Tetapi disisi. lain, tentu ada kekurangannya. Kademangan-kademangan itu tentu mempunyai kelebihannya sendiri-sendiri. Itulah yang pantas aku lihat. "
Sebenarnyalah di akhir pekan. Swandaru dan Pandan Wangipun telah bersiap-siap untuk pergi. Ternyata Pandan Wangi merasa senang juga melihat-lihat keadaan di luar kademangannya. karena Pandan Wangi jarang sekali melakukannya. Pandan Wangi jarang sekali bepergian Tetapi jika ia sudah keluar dari regol halaman rumah diatas punggung kuda, maka ia akan sampai di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi diakhir pekan itu. Pandan Wangi akan ikut suaminya pergi mengunjungi seorang sahabatnya di Kajoran.
Memang satu perjalanan yang men\ enangkan. Bagi Swandaru. jalan ke Kajoran itu telah dikenalnya dengan baik. Sedangkan Pandan Wangi memang pernah melewatinya, tetapi hanya sekali sekali saja.
Bersama Ki Ambara Pandan Wangi dan Swandaru berkuda melewati bulak-bulak panjang dan pendek. Mereka berkuda melewati padukuhan yang jarang mereka lihat.
Kajoran memang tidak terlalu jauh. Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah memasuki regol halaman rumah Ki Ambara.
Halaman rumah Ki Ambara adalah halaman yang sejuk. Sepasang pohon nangka yang besar tumbuh di depan pendapa. Sedangkan di sebelah menyebelah pendapa, di depan gandok kin dan kanan.tumbuh pohon belimbing hngir.
Dengan demikian, maka udara di halaman rumah itu terasa dingin.
" Marilah angger berdua. Naiklah. "Setelah menambatkan kuda mereka di patok-patok yang tersedia maka keduanyapun naik ke pendapa.
Ki Ambara melayani tamunya dengan baik rekali. Pembantunya segera menghidangkan minuman dan makanan. Dipersilakannya keduanyapun makan dan minum dengan ramah sekali.
Beberapa saat kemudian, setelah duduk dan berbincang sebentar. Ki Ambara mengajak Swandaru dan Pandan Wangi untuk melihat kuda-kudanya.
Di kandang Ki Ambara terdapat lima ekor kuda. Seperti yang dikatakan, bahwa kuda-kuda Ki Ambara adalah kuda-kuda yang baik. Kuda-kuda yang besar dan tegar.
Bukan saja Swandaru yang senang sekali memperhatikan kuda-kuda Ki Ambara. tetapi Pandan Wangipun tidak jemu-jemunya melihat kuda-kuda itu. Dari yang satu ke yang lain. Namun kemudian kembali lagi pada yang pertama.
" Jika angger Swandaru dan angger Pandan Wangi ingin mencoba, aku persilakan " berkata Ki Ambara.
, " Terima kasih " jawab Pandan Wangi " lain kali saja di Ambara. Lain kali aku akan datang untuk mencoba kuda-kuda Ki Ambara."
" Silakan, ngger. silakan."
" Bukankah Ki Ambara tidak berkeberatan ?"
" Tentu tidak ngger. Aku akan menerima angger dengan senang hati."
Pandan Wangipun tersenyum. Senyumnya membuatnya menjadi semakin cantik.
" Di mana didapat seorang gadis yang cantiknya melebihi, setidak-tidaknya menyamai Pandan Wangi untuk memikat Swandaru " berkata Ki Ambara.
Menurut Ki Ambara kecantikan Pandan Wangi adalah puncaknya kecantikan.
Beberapa lama Swandaru dan Pandan Wangi berada di rumah Ki Ambara. Setelah minum semangkuk dan makan beberapa potong makanan. Swandaru dan Pandan Wangipun mohon diri.
" Sering-sering datang, angger Pandan Wangi."
" Aku senang dapat berkunjung ke rumah Ki Ambara. Lain kali aku tentu akan datang lagi. Bukankah kedatanganku tidak mengganggu kegiatan sehari-hari Ki Ambara ?"
" Tidak. Tentu tidak. Aku sudah tua. Aku tidak lagi pantas bekerja. Pekerjaanku sekarang tinggal bermain-main dengan kuda. Untuk hidupku sehari-hari aku ditopang oleh sebidang tanah yang digarap oleh tetangga sebelah. Kecuali itu, anak-anakku masih membantuku."
" Berapa orang anak Ki Ambara ?" ,
" Ampat. Tiga laki-laki dan seorang perempuan."
" Semua sudah berkeluarga ?"
Ki Ambara itu mengangguk sambil tersenyum. Katanya Ya. Beruntunglah aku. bahwa anak-anakku sangat baik kepadaku."
Pandan Wangi tersenyum. Katanya " Ki Ambara adalah seorang
ayah yang beruntung."
" Tetapi isteriku telah meninggal tiga tahun yang lalu."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya " Masa-masa sepi. Jadi Ki Ambara sendiri di sini ?"
" Ya. Dengan beberapa orang pembantu."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sekali lagi ia minta diri " Kami sudah cukup lama mengganggu Ki Ambara."
" Tidak. Aku sama sekali tidak merasa terganggu."
" Tenma kasih atas sambutan Ki Ambara " berkata Swandaru-kemudian."
" Aku antar angger berdua sampai ke regol padukuhan."
" Tidak usah. Ki Ambara. Terima kasih."
" Tidak apa. Aku ingin menghormati tamu-tamuku." Swandaru dan Pandan Wangi tidak menolak. Merekapun kemudian mengambil jalan sebagaimana mereka datang, hanya arahnya sajalah yang berlawanan.
Demikian mereka sampai di regol padukuhan. maka Ki Ambara yang duduk di punggung kuda itupun berkata " Sampai di sini ngger."
" Terima kasih. Ki Ambara. Terima kasih."
Sejenak kemudian kuda Swandaru dan Pandan Wangipun segera berlari. Tetapi keduanya tidak melarikan kuda mereka seperti sedang berpacu. .
Ketika Ki Ambara sampai di rumahnya kembali, maka Ki Saba Lintang duduk di tangga pendapa. Ki Saba Lintang yang mengenakan pakaian seorang pembantu di rumah itu.
" Satu permulaan yang menjanjikan harapan " berkata Ki Saba Lintang."
" Pandan Wangi selanjutnya tidak akan menaruh curiga jika . Swandaru datang kemari. Juga setelah seorang anak gadisku datang."
" Ki Ambara mengatakan bahwa keempat anak Ki Ambara sudah menikah."
" He?" Ki Saba Lintang tertawa. Katanya " Tidak apa-apa. Gadis itu adalah cucu Ki Ambara. Anak perempuan dari anak Ki Ambara yang tertua."
" Atau anak perempuanku itu berselisih dengan suaminya dan untuk sementara tinggal di rumah ini."
Ki Saba Lintang masih saja tertawa berkepanjangan. Namun tiba-tiba saja Ki Saba Lintang itu bertanya " Ki Ambara. Jika ada seorang perempuan disini. apakah Pandan Wangi ndak menjadi curiga jika Swandaru sering datang mengunjungi Ki Ambara "
" Bukankah perempuan itu sadar, untuk apa ia disini, untuk apa ia berhubungan dengan Swandaru " Dengan demikian, maka akan sangai mudah diatur, bahwa Pandan Wangi tidak akan pemah bertemu dengan perempuan itu "
" Seandainya Pandan Wangi ikut Swandaru datang keman " "
" Bukankah dirumah ini ada beberapa buah biiik yang cukup luas untuk menyembunyikan perempuan itu"
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk.
" Perempuan itu akan bersembunyi dengan sadar, karena ia tahu tujuan hubungannya dengan Swandaru. Akan berbeda iika ia berhubungan dengan Swandaru karena hubungan pnbadi tanpa tujuan yang lebih besar. Mungkin ia justru dengan sengaja menampilkan dinnya pada saat-saat Pandan Wangi datang keman bersama Swandaru Sengaja menyakiti hati Pandan Wangi sehingga akhirnya Pandan Wangi akan meninggalkan Swandaru. "
" Apa salahnya jika perempuan itu berhasil menguasai Swandaru sepenuhnya. "
" Kenapa tiba-tiba kau menjadi bodoh. Ki Saba Lintang. Jika Pandan Wangi pulang ke Tanah Perdikan Menoreh, apakah kau akan dapat memanfaatkan Swandaru dan apalagi Pandan Wangi untuk membujuk Ki Gede Menoreh agar Tanah Perdikan Menoreh menempatkan diri disamping Sangkal Putung. Bukankah kau ingin menguasai Tanah Perdikan Menoreh meskipun yang harus tampil orang lain. Aku misalnya. "
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Ya. Ki Ambara benar. "
" Nah. sekarang cari perempuan itu. Aku kira aku tidak akan sanggup. "
" Aku akan mencari Ki Ambara. "
" Tetapi jangan menimbulkan persoalan dengan Nyi Yatni. Jika perempuan itu sangat cantik, yang akan terlibat bukan hanya Swandaru"
Ki Saba Lintang tertawa pula. Katanya " Ki Ambara agaknya lebih curiga dari Yatni sendiri. Yatni sudah tahu bahwa aku harus menemukan seorang perempuan muda yang cantik, cerdas, berani dan setia'. "
Ki Ambara tertawa pula. Dihari-hari berikutnya, hubungan antara Ki Ambara dan Swandaru menjadi semakin akrab. Beberapa pekan kemudian. Swandaru lelah membeli lagi seekor kuda yang baik bagi Pandan Wangi.
Pandan Wangi sendiri pergi bersama Swandaru untuk melihat kuda itu dirumah Ki Ambara.
Demikian Pandan Wangi melihat kuda itu. maka iapun segera tertarik.
" Kau senang Pandan Wangi " " bertanya Swandaru.
Pandan Wangi mengangguk. Katanya " Aku ingin mencobanya, kakang. "
" Silahkan, Silahkan Nyi. Nyi Pandan Wangi dapat membawa kuda itu barang sepekan. Jika Nyi Pandan Wangi sesuai, aku silahkan untuk mengambilnya. Jika ternyata tidak, tidak apa-apa. "
Pandan Wangi memandang Swandaru dengan kerut didahi.
" Jika kau bawa kuda itu. bagaimana dengan kudamu " "
" Biarlah kuda Nyi Pandan Wangi ditinggal saja disini. Aku akan memeliharanya dengan baik. "
Swandaru tersenyum. Katanya " Terima kasih, Ki Ambara. " Demikianlah, maka kuda itu telah dibawa pulang oleh Pandan Wangi, sementara kudanya ditinggalkannya dirumah Ki Ambara
Sampai pada saat Pandan Wangi membawa kuda Ki Ambara, Ki Saba Lintang masih belum mendapatkan seorang perempuan yang sesuai untuk tinggal bersama Ki Ambara.untuk diaku sebagai cucunya atau anaknya jika perempuan itu sudah tidak lagi pantas disebut seorang gadis


13 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Ki Saba Lintang memang tidak tergesa-gesa Belajar pada pengalaman, maka ia harus cermat dengan rencananya meskipun memerlukan waktu yang cukup panjang.
Dalam pada itu. ternyata Pandan Wangi merasa sesuai dengan kuda yang dibawanya dari Ki Ambara. Karena itu. maka ia minta agar Swandaru membeli kuda itu.
Swandarupun tidak berkeberatan. Swandaru yang pernah merasa bersalah^ ingin menebus kesalahannya dengan sedikit menyenangkan Pandan Wangi. Karena itu. maka setelah sepekan. Swandaru dan Pandan Wangi datang tadi ke rumah Ki Ambara untuk melaksanakan jual beli kuda itu.
" Lalu bagaimana dergan kudaku ." bertanya Pandan Wangi kepada Swandaru.
Biarlah aku menuntunnya. Kuda itu juga baik. Barangkali dapat dipergunakan ayah. "
" Ayah sudah punya kuda sendiri. "
" Tetapi menurut pendapatku. kuda itu masih lebih baik dari kuda ayah. "
Pandan Wangi mengangguk-angguk.
Hari itu Pandan Wangi mendapat seekor kuda yang baru. Kuda yang memang lebih baik dari kudanya yang lama
" Ki Ambara dapat menyelam sambil minum " berkata Ki Saba Lintang.
Ki Ambara tertawa. " Berapa Ki Ambara mendapat keuntungan dari menjual kuda itu ?" bertanya Ki Saba Lintang.
" Cukupan "jawab Ki Ambara " tetapi mereka tentu tidak akan membeli lagi dalam waktu dekat. Tetapi Swandaru telah memberikan gagasan padaku untuk berjual beli kuda Aku sudah mempunyai sumber, dimana aku dapat membeli kuda dengan harga yang agak murah."
" Kepada siapa Ki Ambara akan menjualnya ?"
" Kau harus membeli seekor. Orang-orangmu harus kau wajibkan membeli kuda kepadaku dengan harga yang tinggi."
Ki Saba Lintang tertawa berkepanjangan. Katanya " Itu namanya pemerasan."
Ki Ambarapun tertawa semakin keras sehingga perutnya terguncang-guncang
Demikianlah, hubungan Ki Ambara dengan keluarga Swandaru menjadi semakin rapat. Niat Ki Ambara untuk menjadi pedagang kuda-pun benar-benar dilaksanakannya. Beberapa orang bebahu Sangkal Putung telah terpengaruh pula oleh Swandaru. Mereka ingin juga membeli kuda yang baik seperti kuda Swandaru
Ki Ambara memang seorang yang tahu benar tentang kuda. Ia dapat memilih kuda yang benar-benar baik dan dapat membelinya dengan harga yang pantas, sehingga ia mendapat keuntungan yang baik dari perdagangan kudanya
Bahkan akhirnya bukan saja para bebahu di Sangkal Putung. Ceritera tentang kuda-kuda Ki Ambara menjalar ke kademangan-kademangan lain.
Tetapi ada juga bebahu yang harus menahan keinginannya, karena harga kuda yang baik itu juga cukup tinggi.
" Besok panen aku sudah merencanakan untuk menikahkan anak perempuanku. Mungkin aku harus menunda keinginanku untuk membeli seekor kuda yang baik pada panenan berikutnya atau berikutnya lagi. " berkata Ki Kamituwa di Sangkal Putung.
" Ah. Ki Kamituwa itu tentu hanya sekedar berkelakar. Jangan tunggu uangmu sampai karatan." berkata Ki Jagabaya
" He. bukankah aku harus menabung dari waktu ke waktu. Anakku perempuan sudah dewasa. Aku tidak mau anakku meniadi perawan kasep."
" Berapa umur anakmu ?"
" Sudah tujuh belas."
" Baru tujuh belas."
" Sudah tujuh belas."
Ki Jagabaya tertawa Ki Kamituwapun tertawa pula
Pandan Wangi menjadi semakin tidak menaruh keberatan terhadap hubungan yang semakin akrab antara Swandaru dan Ki Ambara. Ki Demang Sangkal Putungpun menganggap bahwa kegemaran Swandaru terhadap kuda tidak mengganggu kewajiban yang sudah ditekuninya kembali, setelah untuk.beberapa lama ia salah jalan.
Bahkan dengan kudanya yang baru. ia semakin sering berkeliling kademangan untuk melihat-lihat perkembangan yang telah bertunas
kembali setelah beberapa saat lamanya seakan-akan menjadi layu."
. Para bebahu yang telah membeli kudapun menjadi semakin sering pula menyusuri jalan-jalan kademangan. Selain memamerkan kuda-kuda mereka yang baru. para bebahu itu juga ingin meyakinkan diri sendiri, bahwa kuda-kuda yang dibelinya itu memang baik.
Sebenarnyalah bahwa kuda-kuda itu memang baik. Ki Ambara tidak mau menodai namanya, terutama di Sangkal Putung. karena ia berkepentingan sekali dengan kademangan itu.
Dalam pada itu, Ki Saba Lintangpun telah mengajak Ki Ambara untuk menemui seorang pengikut Ki Saba Lintang yang setia dan dapat dipercaya Ia mempunyai seorang anak perempuan yang sedang tumbuh dewasa.
" Mungkin gadis itu dapat Ki Ambara aku sebagai cucu Ki Ambara " berkata Ki Saba Lintang."
" Kita akan menemui gadis itu. Kita akan melihat kemungkinannya. Apakah gadis itu cukup cantik, cukup cerdas dan cukup berani. Tetapi sangat sulit untuk mengetahui kesetiaannya kepada tujuan kita."
" Marilah kita lihat " berkata Ki Saba Lintang " tetapi tentu gadis itu bukan satu-satunya calon."
" Baiklah,Untukrnenemui.kita memerlukan waktu berapa lama Ki Saba Lintang?"
" Mungkin kita harus bermalam dua malam termasuk perjalanannya"
" Baiklah. Tetapi aku harus memberi tahu Swandaru agar ia tidak datang ke rumah selagi aku pergi."
" Bukankah para pembantu Ki Ambara dapat memberitahukan bahwa Ki Ambara sedang pergi."
" Aku tidak ingin Swandaru dan apalagi Pandan Wangi berbicara terlalu panjang dengan para pembantuku. Apalagi dengan tetangga-tetanggaku. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai panggraita yang tajam. Semakin banyak mereka berbicara dengan para pembantu, semakin banyak yang ingin mereka ketahui."
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Aku mengerti."
Karena itu, maka Ki Ambara telah pergi menemui Swandaru untuk memberitahukan, bahwa ia akan pergi selama tiga hari.
Swandaru yang menerima Ki Ambara bersama isterinya di pringgitan itupun bertanya - Ki Ambara akan pergi ke mana?"
" Sudah lama aku tidak menengok anak-anakku, ngger. Tetapi disamping itu. aku ingin mendapat hubungan baru tentang perdagangan kuda . Aku benar-benar ingin memperluas perdagangan kudaku. Jika semula hanya sekedar sambilan, aku ingin benar-benar menjadi seorang pedagang kuda."
" Selamat jalan. Ki Ambara . Mudah-mudahan perjalanan Ki Ambara menyenangkan dan berhasil baik "
" Terima kasih ngger. Aku perlukan minta din. agar angger tidak pergi mengunjungiku selagi aku pergi, sehingga perjalanan angger sia-sia"
" Bukankah jaraknya tidak jauh. Ki Ambara Seandainya aku menemukan rumah Ki Ambara kosong, aku tidak merasa kehilangan banyak waktu dan tenaga."
Demikianlah, maka Ki Ambarapun telah terbebas dari kecemasan bahwa Swandaru akan datang kerumahnya dan berbicara banyak dengan pembantu-pembantunya.
Meskipun Ki Ambara sudah memberikan banyak pesan-pesan seandainya ada orang yang bertanya tentang dirinya, tetapi bagi Ki Ambara lebih baik. Swandaru dan Pandan Wangi tidak pergi ke rumahnya
Perjalanan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang memang agak panjang. Mereka pergi ke Tengaran. Sebuah padukuhan yang terletak dipinggir kaki Kali Gandu, di kaki Gunung Merbabu.
" Kita akan pergi ke sebuah padepokan kecil. Ki Ambara - berkata Ki Saba Lintang diperjalanan.
" Siapa yang berada di padepokan itu?"
" Ki Sekar Tawang. Sebelum mendirikan sebuah padepokan di Tengaran ia pemah menjadi prajurit Jipang. Waktu itu ia masih muda. Ia adalah salah seorang kepercayaan Macan Kepatihan."
Ki Ambara mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya - Siapa namanya waktu ia masih muda?"
"Warayang. Ia seorang prajurit yang baik."
" Warayang?" " Ya. Kenapa?" Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya - Aku telah mengenalnya. Ia memang seorang prajurit yang baik. Ia pantas memimpin sebuah padepokan."
"Jadi Ki Ambara sudah mengenalnya?"
" Ya Aku sudah mengenalnya"
" Itu tidak mustahil. Kita memang bersumber dari perguruan yang sama Dengan demikian, maka hubungan kita dengan Ki Sekar Tawang akan menjadi lebih akrab.
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya - Rencana kita menjadi lebih mapan. Sejak lama aku sudah mengusulkan. agar kita bekerja sama dengan orang-orang yang benar-benar seperguruan. Orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Kita dapat bekerja bersama orang lain yang mempunyai kepentingan yang sama. tetapi kita tidak boleh justru menjadi alat mereka"
"Tentu tidak. Ki Ambara."
" Bayangkan Ki Saba Lintang. Seandainya kita berhasil menguasai Tanah Perdikan Menoreh waktu itu. apakah untuk seterusnya kita akan dapat bekerja sama dengan baik dengan kekuatan seluruh kekuatan yang ada" Kita akan segera terpecah sesuai dengan kepentingan kekuatan-kekuatan yang ada itu sendiri. Seandainya kita dapat mempertahankan kerjasama itu. tetapi langkah berikutnya akan merupakan langkah-langkah yang sangat rumit. Saling mencurigai, saling mendahului dan saling berebut pengaruh."
Ki Saba Lintang menarik nafas panjang. Sejenak ia merenungi kata-kata Ki Ambara. Namun kemudian Ki Saba Lintang itupun berkata -Teiapi bukankah kita akan menyeret Sangkal Putung untuk berjuang bersama-sama dengan kita?"
" Ya. Kita masih akan berjuang bersama beberapa pihak. Tetapi kita akan memilih kawan. Warayang misalnya la memang saudara kita. Mungkin ada beberapa padepokan. Kita juga akan berhubungan dengan kekuatan Jipang yang masih mungkin dikumpulkan. Mungkin kekuatan dari Pati. Kemudian kita telah memilih Sangkal Putung menjadi salah satu unsur kekuatan kita. Tidak seperti saat Ki Saba Lintang menyerang Tanah Perdikan Menoreh. Disamping kekuatan yang memang pantas untuk berjuang bersama-sama dengan kita tetapi unsur-unsur yang lain adalah unsur-unsur yang hitam. Gerombolan-gerombolan perampok, padepokan-padepokan yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak pada tempatnya. Sikap dan pendirian yang tidak mapan, serta orang-orang yang bertualang untuk mencoba-coba mencari kekuasaan."
" Ya. Aku mengakui semuanya itu Ki Ambara."
" Tetapi itu merupakan pelajaran bagi kita. Kita tidak boleh membuat kesalahan serupa lagi. Karena nu. kiia harus memilih kawan yang sadar sepenuhnya untuk apa kita berjuang."
" Ya Ki Ambara."
" Nah. sekarang aku ingin bertanya kepada Ki Saba Lintang Bukankah Ki Saba Lintang berharap bahwa Sangkal Putung akan dapat mengajak Tanah Perdikan Menoreh melibatkan diri dalam perjuangan ini?"
" Ya - jawab Ki Saba Lintang.
" Untuk itu Ki Saba Lintang'harus tidak ada lagi. Tanah Perdikan Menoreh tidak akan dapat menerima kehadiran Ki Saba Lintang
Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya - Aku sadari hal itu. Ki Ambara. Karena itu. seperti yang sudah aku katakan. Ki Ambaralah yang akan berdiri di depan. Aku akan berada di belakang. Jika kelak semuanya sudah terjadi, maka biarlah aku tampil di hadapan orang-orang Tanah Perdikan. Merekalah yang bergantian hilang dari peredaran. Tetapi untuk selama-lamanya"
Satu permainan yang sulit. Setiap orang Tanah Perdikan akan dapat mengenal wajah Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni. meskipun nama kalian berganti "
" Kami tidak akan tampil dihadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Ki Ambara. Bukankah itu sudah aku katakan?"
" Ya. Aku hanya mengingatkan. Aku minta Ki Saba Lintang merencanakan dengan masak, cara Ki Saba Lintang menyembunyikan diri dari penglihatan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Demikian pula dengan Nyi Yatni. Apalagi di Tanah Perdikan sekarang ada Empu Wisanata dan Nyi Dwani."
" Terima kasih. Kami akan sangat berhati-hati. Kami tahu. Bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Setidak-tidaknya beberapa orang pemimpinnya." Ki Ambara mengangguk-angguk
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Kuda mereka berlari diatas jalan berbatu-batu. Tetapi bekas roda pedati telah membuat Jalur-jalur memanjang dijalan itu.
Perjalanan mereka adalah perjalanan yang panjang. Di tengah hari mereka singgah disebuah kedai dipinggir jalan. Kedai yang tidak terlalu baryak dikunjungi orang.
Di kedai itu Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mendengar rerasan orang-orang yang duduk dikedai itu pula. Agaknya tlatah Mataram memang mulai terasa tenang dan tenteram. Bukan saja tidak terdengar lagi berita tentang perang, pengumpulan bahan pangan yang akan dibawa oleh para prajurit dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dalam " usaha mereka mempersatukan mataram. Tidak pula ada pajak-pajak tambahan untuk beaya perang yang besar, tidak ada lagi panggilan bagi anak-anak-muda untuk ikut menjadi prajurit yang akan dikirim ke medan-medan perang ditempat yang jauh.
Para petani benar-benar mendapat kesempatan untuk mengerjakan sawah mereka. Para saudagar tidak lagi merasa cemas untuk berdagang Para peternak tidak kehilangan ternak mereka di kandang-kandangnya.
Dimalam hari di bulak-bulak panjang tidak laci berkeliaran para penyamun. Dipadukuhan-padukuhan tidak lagi dihantui oleh pencuri, perampok, berandal dan kecu.
Bukan saja karena para prajurit ditugaskan berada disudut-sudut negeri yang jauh dari keramaian, tetapi juga karena kesejahteraan rakyat yang meningkat, sehingga tidak perlu ada pencuri, penvamun ataupun perampok.
" Mereka akan segera tertidur - berkata Ki Ambara.
" Maksud Ki Ambara?"
" Jika keadaan tenang dan sama sekali tidak ada gejolak, maka mereka akan segera tertidur. Para prajuritpun tertidur pula. Mereka tidik akan dengan sigap menangani persoalan-persoalan yang tumbuh dan berkembang. Para prajurit di Jati Anompun akan tertidur. Bukankah untuk memecah Mataram maka pasukan Untara di Jati Anom dan pasukan Agung Sedayu di Tanah Perdikan harus dihancurkan" Dalam satu sergapan yang tiba-tiba, tidak sulit adalah menghancurkan pasukan Agung Sedayu. Bukan karena kekuatan Pasukan Khusus itu lebih besar dari kekuatan pasukan Untara. Tetapi Agung Sedayu sendiri sudah merupakan bagian dari Tanah Perdikan Menoreh."
" Jika mungkin justru membawa pasukan yang dipimpin olek Agung Sedayu itu untuk ikut serta bersama kita"
" Kesetiaan Agung Sedayu sulit untuk diungkit."
" Ya - berkata Ki Saba Lintang - tetapi jika kita sudah dapat memegang Swandaru dan Pandan Wangi, maka mereka akan dapat menunjuk Ki Gede Menoreh."
Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya - satu rangkaian yang sulit. Seorang perempuan untuk mempengaruhi Swandaru tanpa diketahui oleh Pandan Wangi. Kemudian Swandaru harus membujuk Pandan Wangi untuk mengikuti niatnya Pandan Wangi harus membujuk ayahnya di Tanah Perdikan Menoreh untuk melawan Mataram. Selebihnya Ki Gede diharapkan akan dapat mempengaruhi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, disamping Swandaru diharapkan akan dapat membujuk adiknya untuk berpihak kepadanya."
" Ya Satu rangkaian panjang yang rurpit. Tetapi kita akan mencobanya. Disamping itu, kita siapkan kawan-kawan kita yang dapat dipercaya. Kita harus menghindari kekuatan-kekuatan yang tidak diketahui arahnya sebagaimana saat kita menyerang Tanah Perdikan.
Ki Ambara tersenyum. Katanya - Ya Itulah kerja panjang yang harus kita lakukan,"
" Sekali lagi aku tegaskan, Ki Ambara. Kita tidak boleh tergesa-gesa
Demikianlah, maka setelah mereka tidak lagi haus dan lapar, maka keduanyapun telah meninggalkan kedai itu setelah mereka membayar, harga makanan dan minuman serta sekedar perawatan dan rumput bagi kuda-kuda mereka
Sejenak kemudian, maka dihadapan mereka telah terbentang lagi jalan yang memanjang menggapai cakrawala
Keduanyapun melarikan kuda mereka lebih kencang. Tetapi mereka tidak mendera kuda mereka seperti sedang berpacu di arena pacuan kuda.
Perjalanan ke Tengaran memang perjalanan yang cukup panjang. Bukan saja jaraknya, tetapi jalanpun semakin lama terasa semakin sulit. Mereka menyusuri jalan melingkar di kaki Gunung Merapi dan kemudian di kaki Gunung Merbabu.
Beberapa kali mereka harus berhenti. Mereka memberi kesempatan kuda-kuda mereka untuk beristirahat. Baru kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka lagi.
Sekali-sekali mereka harus memanjat jalan naik Tetapi kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka lagi.
Sekali-sekali mereka harus memanjat jalan naik. Tetapi kemudian mereka dengan hati-hati meluncur jalan sempit menurun. Bahkan mereka harus berkuda di jalan setapak di pinggir hutan. Tetapi satu saat mereka menyusup memasuki padang perdu yang semak-semaknya berduri.
"Apakah kita harus bermalam dijalan " " bertanya Ki Ambara "Tidak, Ki Ambara. Kita sudah tidak terlalu jauh lagi. " Ki Ambara memandang matahari yang sudah berada di punggung bukit Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam dan malampun akan turun.
Tetapi Tengaran memang sudah ada dihadapan mereka
" Yang dihadapan kita itu adalah Tengaran " berkata Ki Saba Lintang.
Ki Ambara mengangguk-angguk. Tetapi Ki Ambara itupun masih juga bertanya " Tengaran memang sudah nampak dihadapan kita Tetapi beberapa kali lagi kita masih harus menuruni lembah dan kemudi-' an berapa kali lagi kita harus melewati puncak-puncak pebukitan " Yang nampaknya tinggal selangkah itu ternyata masih terlalu panjang. "
Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya " Kami akan segera sampai sebelum wayah sepi uwong. "
" Kuda kita sudah terlalu letih meskipun kita sudah beristirahat beberapa kali. "
" Kita selesaikan perjalanan kita. Tidak usah terlalu cepat. Biarlah kuda-kuda kita berjalan sesuka mereka saja. "
Ki Ambara menank nafas dalam-dalam.
Sementara itu senjapun mulai turun. iKil Ambara tidak ingin memaksa kudanya berjalan terus. Karena itu, maka iapun berkata " Kita benstirahat sejenak. Biarlah kuda-kuda itu minum. Mumpung ada sumber air yang jernih. "
Ki Saba Lintang tidak memaksa Merekapun segera turun dari kuda mereka. Membiarkan kuda-kuda itu minum disebuah sumber air yang jemih. Bahkan kuda-kuda itu sempat makan rumput yang segar sambil beristirahat.
Ki Ambara dan Ki Saba Lintangpun duduk diatas batu padas sambil memandang ke sebuah padukuhan yang mulai menjadi remang-remang. Beberapa lembah dan bukit-bukit kecil masihlharusdilewatise-belum mereka sampai ke padukuhan yang menurut Ki Saba Lintang sudah dekat di hadapan mereka itu.
" Apakah kau sudah sering pergi ke padepokan itu, Ki Saba Lintang?"
" Sudah, paman "jawab Ki Saba Lintang " paman tidak usah cemas, bahwa kita akan tersesat. "
" Aku tidak takut tersesat, meskipun aku sendiri. Apalagi padukuhan itu sudah nampak dari sini."
Yang kita lihat itu adalah padukuhan Tengaran. Padepokan Tengaran tidak berada di padukuhan itu. Tetapi padepokan itu tidak berada terlalu jauh dari padukuhan itu. "
Ki Ambara mengangguk-angguk. Sementara Ki Saba Lintang berkata " padepokan itu hanyalah sebuah padepokan kecil. "
Ki Ambara tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih terangguk; angguk.
Ketika kemudian malam mendesak senja, maka keduanyapun melanjutkan perjalanan mereka.
" Silahkan Ki Ambara dibelakang " berkata Ki Saba Lintang.
" Kenapa?" " Jalan ".kan menjadi semakin rumpil. Batu-batu padas yang miring. Tetapi masih dalam batas yang tidak sangat berbahaya "
Ki Ambara tersenyum. Katanya" Baiklah. Aku akan berkuda dibelakang Ki Saba Lintang. Untunglah langit cerah. Jika hujan turun, nampaknya jalan ini menjadi licin. "
" Ya. JHka hujan turun, mungkin beberapa kali kita harus turun dan menuntun kuda kita. "
Ki Ambara mengangguk-angguk.
Beberapa lama lagi mereka masih harus menyusun jalan yang turun dan naik. Namun akhirnya, seperti yang dikatakan oleh Ki Saba Lintang, menjelang wayafi sepi uwong. mereka mendekati padukuhan Tengaran.
" Kita tidak memasuki jalan ke padukuhan Tengaran itu, Ki Anv bara " berkata Ki Saba Lintang.
" Kenapa " Bukankah jalan itu jalan yang lebih besar dan lebih baik dari jalan yang selama ini kita lalui " Nampaknya jalan itu adalah jalan induk padukuhan Tengaran. "
" Ya. Kita memang ndak akan melewatr padukuhan Tengaran. Kita akan melingkar lewat jalan yang lebih kecil. Tetapi jauh lebih.baik dari jalan yang baru saja kita lalui, meskipun tidak sebesar jalan induk itu.
Ki Ambara tidak menjawab. Diikutinya saja Ki Saba Lintang yang memang mengambil jalan yang lain dari jalan induk padukuhan Tengaran itu.
Ketika mereka memasuki jalan kecil yang melingkari padukuhan Tengaran, Ki Saba Lintangpun berkata"Jika kita memasuki padukuhan Tengaran di malam hari, maka kita akan mendapat banyak pertanyaan dari mereka yang sedang meronda Mungkin gardu-gardu memang belum terisi sekarang,tetapijseandainya sudah, maka kita akan berhenti dua tiga kali untuk menjawab pertanyaan. Meskipun akhirnya kita tidak akan mereka ganggu, tetapi kita akan kehilangan waktu."
Ki Ambara mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun bertanya " Apakah padukuhan itu sering didatangi pencuri atau perampok atau penjahat yang lain ?"
" Tidak Tengaran termasuk padukuhan yang tenang. Tetapi sudah menjadi kebiasaan mereka untuk bertanya kepada orang-orang yang lewat di padukuhan mereka dimalam hari. Mungkin kebiasaan itu timbul ketika Tengaran sebelumnya pernah dibayangi oleh kejahatan. "
Ki Ambara tidak bertanya lebih lanjut
Untuk beberapa saat lamanya keduanya saling berdiam diri. Rasa-rasanya malam menjadi semakin dingin. Titik-titik embun mulai terasa membasahi pakaian mereka
Di parit di sebelah jalan itu terdengar air gemericik mengalir di antara bebatuan. Sementara kuda mereka tidak lagi berlari-lari. Tetapi kuda-kuda yang letih itu berjalan saja terkantuk-kantuk. " Itulah padepokan Tengaran yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang " berkata Ki Saba Lintang kemudian.
Ki Ambara mengangguk-angguk. Di tengah-tengah bulak menyembul padepokan yang mereka tuju, seperti sebuah pulau kecil di tengah-tengan lautan tanaman padi di sawah.
Ketika keduanya menjadi semakin dekat, maka merekapun mulai melihat cahaya lampu minyak yang menyala di regol padepokan. Selebihnya padepokan itu agaknya memang sudah tidur.
Perlahan-lahan Ki Saba Lintang dan Ki Ambara maju mendekati regol padepokan itu. Sejenak mereka berhenti di depan pintu regol yang tertutup.
Keduanyapun kemudian meloncat turun. Namun ketika Ki Saba Lintang menyentuh pintu regol itu, ternyata pintu regol itu tidak diselarak dari dalam.
Karena itu. maka Ki Saba Lintangpun telah mendorongnya sehingga pintu terbuka
Perlahan-lahan keduanya memasuki halaman padepokan yang sudah sepi. Namun pangraita mereka ternyata menangkap isyarat bahwa ada orang yang mengawasi mereka berdua
Karena itu. maka Ki Saba Lintang dan Ki Ambara itupun berjalan saja menuntun kuda mereka menuju ke pendapa
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian keduanyapun telah mengikat kuda-kuda mereka pada patok-patok bambu yang telah disediakan.
Tetapi sebelum mereka naik tangga pendapa mereka telah mendengar suara seseorang "Selamat datang di padepokan kami. Ki Sanak "
Keduanya mengurungkan niat mereka Kaki mereka yang sudah terangkat itupun telah mereka letakkan kembali.
" Selamat malam " berkata Ki Saba Lintang dengan nada rendah.
" Ki Saba Lintang " terdengar suara itu bertanya.
" Ya"Jawab Ki Saba Lintang.
Seorang tiba-tiba saja telah terdiri di bawah sebatang pohon belimbing yang rimbun. Setapak demi setapak ia melangkah maju mendekat Ki Saba Lintang.
" Ki Sekar Tawang "desis Ki Saba Lintang kemudian.
" Marilah. Ki Saba Lintang. Silakan naik ke pendapa. "
" Aku datang bersama Ki Ambara. "
" Ambara " "
" Ya." " Apakah kau lupa kepadaku. Warayang " "
" Ambara. Jadi benar kau Ambara dari pasukan berkuda Jipang pada waktu itu " "
" Ya." Ki Sekar Tawangpun mendekatinya sambil tertawa. Katanya sambil menepuk kedua belah lengan Ki Ambara dengan kedua tangannya " Kau masih seperti dahulu. "
" Aku sudah semakin tua Waryang. Kaulah yang masih nampak muda. "
. " Di dalam gelap. Tetapi terang minyak di pendapa itu akan menunjukkan kerut-kerut di wajahku. Aku juga sudah tua Ambara. " Keduanya tertawa "Marilah, naiklah. "
Ketiga orang itupun naik ke pendapa dan duduk di pringgitan.
" Kedatangan Ki Saba Lintang dan Ambara mengejutkan aku " berkata Ki Sekar Tawang.
" Bukankah aku sudah berpesan, bahwa aku akan datang " " sahut Ki Saba Lintang.
" Ya. Tetapi aku tidak mengira bahwa Ki Saba Lintang datang malam ini. "
" Aku kira Ki Sekar Tawang sengaja menungguku. "
"Tidak, Ki Saba Lintang. Aku terbiasa tidur lewat tengah malam. Sebelum tidur aku memang sering berada di halaman.
Ki Ambaralah yang menyahut " Satu laku prihatin, Warayang. Untuk masa depan anak cucu."
Ki Sekar Tawang tertawa. Dengan nada datar ia jnenyahut " Ya Kita wajib menjalani laku bagi anak cucu. Karena masa depan ada pada mereka"
Ki Ambarapun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dalam pada itu, Ki Saba Lintangpun berkata"Aku datang untuk melanjutkan pembicaraan kita. Sekar Tawang."
Ki Sekar Tawang yang bernama Warayang di masa mudanya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya"Aku mengerti. Tetapi bukankah kita dapat membicarakannya besok?"
"Tentu, Ki Sekar Tawang. Aku tidak tergesa-gesa"
" Sekarang Ki Saba Lintang dan Ki Ambara tentu merasa letih." "
" Tidak. Aku tidak letih "jawab Ki Saba Lintang."
" Dibanding dengan kuda-kuda kami " sahut Ki Ambara." Ketiganya tertawa
Sejenak kemudian, Ki Sekar Tawangpun telah masuk ke ruang dalam, dibangunkannya dua orang cantrik yang tidur di ruang belakang.
" Guru " kedua cantrik itu tergagap.
" Tidak-apa-apa Maaf, aku mengejutkan kalian. Aku hanya minta kalian merebus air bagi dua orang tamuku."
" O. Baik. Baik guru."
Kedua orang cantrik itupun segera pergi ke dapur untuk merebus air.
Ki Sekar Tawangpun kemudian kembali ke pendapa Bertiga mereka berbincang ke sana-kemari.
Sudah lama sekali Ki Ambara dan Ki Sekar Tawang tidak bertemu. Karena itu, maka banyak sekali cerita yang dapat mereka katakan tentang diri mereka masing-masing.
" Kau pantas menjadi seorang pemimpin padepokan, Warayang " berkata Ki Ambara
" Satu pelarian, Ambara Terus-terang aku katakan, bahwa pada suatu saat, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Karena itu, maka akupun telah menyepi. Hidup di tempat yang jauh dari sentuhan kesibukan. Aku memilih tempat ini yang waktu itu masih merupakan padang perdu yang tidak dihiraukan oleh orang-orang Tengaran."
" Tempat ini sekarang nampaknya menjadi sebuah pemukiman yang baik."
" Ya. Berkata kerja keras maka aku telah dapat membangun sebuah padepokan meskipun kecil dan barangkali tidak berarti. Tidak ada orang yang pernah memperhitungkan padepokan kecilku ini."
" Aku selalu menghubungi Ki Sekar Tawang " sela Ki Saba Lintang.
Ki Sekar Tawang tersenyum. Katanya " Ya Ki Saba Lintang selalu menghubungi padepokan kecil ini."
" Bukankah itu berarti bahwa Ki Saba Lintang memperhitungkan padepokanmu ?"
Ki Sekar Tawang tersenyum. Katanya Ya Aku berterima kasih atas perhatian Ki "aba Lintang atas padepokanku ini."
" Kau ikut ke Tanah Perdikan Menoreh pada waktu itu, Warayang?"
" Jika aku ikut. kita bertemu dengan medan."
" Aku tidak ikut " desis Ki Ambara"
" O. Aku juga tidak. Ki Saba Lintang memang tidak memperhitungkan padepokan ini waktu itu."
" Bukan begitu, Ki Sekar Tawang. Waktu itu aku bekerja sama dengan orang-orang yang tidak pasti. Aku tidak mau padepokan ini justru tenggelam ke dalamnya."
Ki Sekar Tawang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Ambara berkata"Waktu ita aku memang dihubungi oleh Ki Saba Lintang. Aku juga menyatakan kesediaanku. Tetapi nampaknya Ki Saba Lintang tergesa-gesa Ia tidak menunggv aku pilang."
" Kau pergi ke mana waktu itu Ambara ?"
" Aku berada di Timur. Dalam perjalanan khususku."
"Jika saat itu aku tidak segera bertindak, maka pimpinan pasukan itu tentu sudah diambil alih oleh orang lain."
" Nampaknya hubungan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain agak kurang serasi " berkata Ki Sekar Tawang.
"Tepat. Itulah sebabnya kami tidak berhasil waktu itu."
" Itu lebih baik " berkata Ki Ambara"jika waktu itu pasukan gabungan itu dapat mengalahkan Tanah Perdikan. ka kelompok-kelompok itu akan segera tercabik-cabik sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Bahkan tentu akan timbul pertikaian yang keras dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain-. Korban akan menjadi lebih banyak lagi, sementara sasaran utamanya tidak akan dapat digapai."
Ki Sekar Tawang mengangguk-angguk
Pembicaraan di antara merekapun ternyata berkelanjutan. Sambil menghirup minuman hangat mereka berbicara ke sana-kemari. Tetapi Ki Saba Lintang masih belum mulai berbicara tentang kepentingannya yang sebenarnya datang ke padepokan itu, karena Ki Sekar Tawang minta' mereka berbicara di keesokan harinya saja
Setelah berbicara beberapa lama, maka Ki Sekar Tawangpun segera mempersilakan tamu-tamunya untuk masuk ke ruang dalam. Katanya " Kami ingin mempersilakan kalian makan seadanya. Nasi dingin, sayur dingin tanpa lauk. Hari sudah terlalu malam untuk menangkap seekor ayam untuk dikorbankan bagi kalian."
Ki Saba Lintang dan Ki Ambara tertawa Dengan nada datar Ki Saba Lintangpun kemudian berkata " Aku sedang lapar, Ki Sekar Tawang. Apapun yang kau hidangkan, akan aku makan. Sebenarnya kami sudah merasa cemas, bahwa kami tidak akan dipersilahkan untuk makan, karena sudah terlalu malam."
" Sudah aku katakan. Aku masih mempunyai nasi dan sayur Tetapi sudah dingin."
Sejenak kemudian, maka mereka bertiga sudah berada diruang dalam. Ki Sekar Tawang minta kepada kedua cantriknya untuk menyediakan nasi dan sayur seadanya
Tetapi para cantrik itu agaknya mengerti apa yang'harus mereka lakukan tanpa mendapat perintah. Ternyata sayur yang dingin itu sudah dipanasi, sehingga menjadi hangat Meskipun nasinya dingin, tetapi dengan sayur keluwih yang hangat, rasa-rasanya dapat juga mengurangi dinginnya malam.
Ternyata Ki Saba Lintang benar-benar lapar. Jika ia mengatakan bahwa ia lapar, bukan sekedar basa basi. Ia memang benar-benar lapar.
Karena itu, maka bersama Ki Ambara. merekapun makan dengan lahapnya.
Setelah makan malam, maka keduanyapun pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tangan mereka, sebelum mereka masuk kedalam bilik yang disediakan bagi mereka di gandok kanan. Para cantrik telah membersihkan bilik itu pula
Ketika keduanya bangun menjelang fajar, maka padepokan itu rasa-rasanya telah terbangun pula Para cantrik telah menjadi sibuk dengan kewajiban mereka masing-masing.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki" Saba Lintang dan Ki Sekar Tawang sendiri, padepokan itu adalah padepokan yang kecil saja Tidak terlalu banyak cantrik yang ada di padepokan itu. Tetapi ternyata di padepokan itu terdapat pula beberapa orang mentrik, yang tinggal di barak yang terpisah oleh dinding bambu yang tinggi.
Menjelang matahari terbit, para cantrik dan mentrikpun telah berkumpul. Agaknya menjadi kebiasaan mereka menjelang matahari terbit, mereka melakukan latihan-latihan ringan untuk memanaskan tubuh mereka Namun ternyata bahwa dalam latihan ringan itu, keringat para cantrik dan apalagi mentrik sudah membasahi tubuh mereka. Lati-han seperti itu. bukan saja dapat memanaskan tubuh mereka tetapi dapat pula meningkatkan daya tahan serta kelenturan tubuh mereka
Nampaknya segala kegiatan para cantrik dan mentnk itu sudah tersusun rapi. Dari satu kewajiban ke kewajiban yang lain. Segalanya dapat berjalan dengan lancar.
Setelah latihan ringan itu, maka para cantrik dan mentrik telah tersebar dalam tugas mereka masing-masing.
. Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mendapat kesempatan untuk melihat-lihat suasana padepokan kecil itu di pagi hari. Semua orang nampak sibuk pada tugas yang sudah dibebankan kepada mereka masing-masing. Sementara itu, di saat matahari terbit, maka beberapa orang telah siap untuk pergi ke sawah.
Mereka yang akan pergi ke sawah itu mendapat kesempatan untuk singgah di dapur. Mereka mendapat makan pagi mereka sebelum mereka
meninggalkan padepokan. Mereka baru akan kembali setelah lewat tengah hari.
Para mentrikpun telah mendapat tugas mereka masing-masing. Ada diantara mereka yang harus pergi ke dapur. Sedang yang lain membersihkan halaman dan perabot-perabot di bangunan induk padepokan itu.
" Kau telah meletakkan tugas yang sangat berat di pundakmu sendiri " berkata Ki Ambara
" Kenapa ?" " Kau memberi kesempatan kepada gadis-gadis itu untuk berada-di padepokan ini."
Pedang Guntur Biru 1 Lupus Kecil Jjs Panggung Kematian 2

Cari Blog Ini