Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 15
keinginan untuk menjajagi sebagian dari kawan-kawannya di
Lumban Kulon dan Lumban Wetan, ia setuju dengan
permainan yang akan sangat menarik itu.
Karena itu. maka katanya kemudian "Aku terima syarat itu.
Kita akan membuat arena. Kita akan mulai dengan anak-anak
muda yang bagi Lumban Kulon bukan orang-orang terbaik.
Pada saatnya akulah yang akan tampil jika keadaan memang
menjadi gawat. Tetapi jika kawan-kawanku telah berhasil,
maka aku akan menjadi penonton saja malam ini"
Demikianlah, maka anak-anak muda Lumban Kulon dan
anak-anak muda Lumban Wetan itu segera mempersiapkan
sayembara tanding. Mereka membuat lingkaran. Separo
lingkaran terdiri dari anak-anak muda Lumban Kulon dan yang
separo adalah anak-anak muda Lumban Wetan. Sementara
itu, yang akan menjadi penengah adalah Daruwerdi, yang
ditunjuk oleh anak-anak muda Lumban Kulon dan Semi yang
ditunjuk oleh anak-anak muda Lumban Wetan.
Ketika semua persiapan sudah selesai, dan obor telah
ditancapkan diseputar arena, maka sayembara tanding untuk
memperebutkan keputusan atas bendungan itupun segera
dimulai. . Ternyata Lumban Kulon dan Lumban Wetan tidak
melepaskan orang-orangnya yang terbaik. Mereka mulai
dengan anak-anak muda yang meskipun tergolong kuat,
namun belum pada tataran tertinggi.
Lumban Wetanlah yang harus dengan serta merta
menentukan sikap. Mereka telah terlanjur memilih satu saja
orang terbaik. Tetapi mereka harus melepaskan orangnya
yang lain. Yang pertama tampil ke arena, justru orang yang ditunjuk
oleh pemburu kawan Semi itu. Bukan yang terbaik dari yang
sepuluh, tetapi yang termasuk tataran terbaik dari antara
anak-anak muda yang berlatih padanya, tidak kepada Semi.
Sejenak kemudian, maka dua orang anak muda telah
berhadap-hadapan. Ketika sorak anak-anak Lumban Wetan dan Lumban Kulon
bagaikan memecahkan langit, maka perkelahian itupun segera
dimulai. Anak muda Lumban Kulon yang sedang berkelahi itu telah
mendapat dasar-dasar kemampuan membela dirinya dari
Daruwerdi, sementara anak Lumban Wetan itu belajar pada
kawan Semi. Agaknya keduanya ternyata memiliki kemampuan yang
seimbang. Keduanya telah memahami dasar-dasar dari ilmu
masing-masing. Sebenarnyalah bahwa anak-anak muda Lumban Kulon tidak
menyangka, bahwa anak-anak muda Lumban Wetan itu
mampu mengimbangi kemampuan merek . Anak-anak muda
Lumban Kulon merasa, bahwa mereka mendapat kesempatan
berlatih untuk waktu yang lebih lama. Namun mereka tidak
menyadari bahwa anak-anak muda Lumban Wetan telah
mempergunakan seluruh waktu terluang mereka selama itu
setiap hari. Dengan demikian maka mereka telah berhasil
menyusul t ingkat kemampuan anak-anak muda Lumban
Kulon. Demikianlah perkelahian yang terjadi itu semakin lama
menjadi semakin seru. Anak-anak muda Lumban Wetan dan
anak-anak muda Lumban Kulon yang ada diseputar arena
itupun bersorak-sorak dengan riuhnya. Sementara Danrwerdi
dan Semi mengawasi perkelahian itu agar tidak terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan. Beberapa saat kemudian keduanya telah basah oleh
keringat. Butir-butir pasir tepian sungai melekat pada tubuh
mereka yang basah. Setiap kali salah seorang dari mereka,
atau keduanya berguling di tanah, maka tubuh dan pakaian
merekapun bagaikan dilumuri oleh pasir dan tanah yang
besah. Dalam pada itu, Jlithengpun telah memperhatikan
perkelahian itu dengan saksama. Ada semacam kegelisahan di
dalam hatinya. Jika dua kali berturut-turut anak muda Lumban
Wetan tidak dapat mengalahkan seseorang, maka orang
ketiga itu tentulah dirinya, untuk menjaga agar t idak terjadi
kesewenang-wenangan sikap anak-anak muda Lumban Kulon,
karena apabila mereka memenangkan perkelahian, berarti
bahwa apa yang mereka kehendaki akan terjadi. Dengan
demikian maka Lumban Wetan tidak akan berani melepaskan
orang lain dengan akibat yang paling pahit itu. Apalagi bagi
Jlitheng sendiri yang telah bekerja keras bersama kakek d atas
bukit itu untuk menghijaukan sawah yang terhampar diselasela
padu-kuhan-padukuhan di Lumban yang gersang dan
kemerah-merahan. Tetapi Jlithengpun sadar, bahwa apabila ia melakukannya,
maka akan timbul banyak sekali tanggapan dan bahkan
kecurigaan kepadanya. Ia tidak" termasuk yang sepuluh orang
yang dianggap anak-anak muda terbaik di Lumban Wetan.
Jika ia memaksa diri untuk memasuki arena sayembara
tanding itu, maka ia telah melanggar tataran yang dianggap
ada diantara anak-anak muda Lumban Wetan sendiri.
Namun ia tidak akan rela melihat ketidak adilan itu akan
berlaku. "Meskipun jika hal itu harus terjadi, tanggapan anak-anak
muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan akan berbeda dan
berubah, tetapi aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk
menegakkan keadilan itu" berkata Jlitheng di dalam hatinya.
Sementara itu perkelahian mash berlangsung terus. Anakanak
muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan masih
berteriak-teriak dengan riuhnya. Mereka dengan gairahnya
telah berusaha memberikan dorongan kepada kawan masingmasing
untuk memenangkan perkelahian itu.
Namun sejenak kemudian, setelah keduanya mengerahkan
segenap kemampuan masing-masing, maka mulailah nampak,
bahwa anak muda Lumban Wetan itu memiliki pernafasan
yang lebih baik. Meskipun sebenarnya ia tidak mempunyai
ilmu yang dapat dianggap lebih tinggi dari lawannya, namun
ternyata bahwa kelelahanlah yang telah membuat lawannya
itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
Pada saat-saat terakhir, dimana tenaga keduanya sudah
susut, anak muda Lumban Wetan itu masih sempat
menyerang lawannya yang telah kelelahan sehingga lawannya
itupun terhuyung-huyung dan jatuh berguling diatas pasir.
Ketika lawannya itu berusaha untuk bangkit, maka dengan
sisa tenaga yang masih ada, anak muda Lumban Wetan itu
menyerang langsung menghantam dadanya dengan kakinya.
Ternyata serangan ku telah mengakhiri perkelahian. Anak
muda Lumban Kulon itu jatuh sekali lagi terlentang. Namun ia
tidak lagi mempunyai sisa tenaga untuk bangkit.
"Cukup " Semilah yang menghentikan perkelahian itu.
Anak muda Lumban Wetan itupun berdiri dengan nafas
terengah-engah. Dipandanginya lawannya yang terbaring
diam meskipun ia tidak pingsan. Tetapi nafasnya rasa-rasanya
telah terputus dikerongkongan, sementara tubuhnya rasarasanya
menjadi remuk, "Ya cukup" sahut Daruwerdi "Kita semuanya menyaksikan,
bahwa anak muda Lumban Kulon ini telah kalah"
Nugata menggeram. Katanya "Akan maju lagi seorang dari
antara kami. Ia akan meremukkan tulang-tulang anak Lumban
Wetan yang sombong itu"
Daruwerdi mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga
hatinyapun tersentuh oleh kekalahan itu. Meskipun dengan
tidak langsung, setiap orang akan segera menghubungkan
kekalahan itu dengan dirinya dan dengan pemburu yang
berada di Lumban Wetan itu, karena kemampuan anak-anak
muda Lumban Kulon bersumber dari Daruwerdi sementara
anak-anak muda Lumban Wetan bersumber dari pemburu
yang seolah-olah telah menetap di Lumban Wetan itu.
Nugata yang marahpun segera menunjuk orang kedua.
Katanya "Kau hancurkan kesombongan anak muda itu"
Seorang anak muda yang berkulit agak kehitam-hitaman
mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Katanya "Senang sekali
sempat bermain-main dengan anak-anak muda Lumban
Wetan. Tetapi yang terjadi itu tidak masuk akal. Bahwa anak
muda Lumban Kulon telah dikalahkan oleh anak muda Lumban
Wetan, jika tidak karena kawan kami dari Lumban Kulon ini
tidak sedang pada tataran kemampuannya yang sebenarnya
Mungkin ia terlalu banyak kerja siang tadi, sehingga
tenaganya sudah jauh susut"
"Ya" potong Nugata "Dan tugasmu sekarang, mematahkan
kesombongan itu. Bukan sekedar berbicara tanpa ujung
pangkal" Anak muda yang berkulit agak kehitam-hitaman itupun
segera membenahi dirinya, sementara kawan-kawannya yang
lain telah mengangkat anak muda Lumban Kulon yang tidak
dapat bangkit lagi di arena itu.
"Kita beristirahat sebentar" berkata Semi kemudian "
biarlah yang baru memenangkan perkelahian ini sempat
beristirahat. "Kelemahan dapat saja dipakai alasan jika ia kalah nant i"
geram Nugata "Tetapi jangan pedulikan" pesannya kepada
kawannya yang akan memasuki arena "kalahkan anak itu
meskipun ia akan mengelak dengan seribu alasan"
Semi tidak menanggapinya. Kepada anak-anak muda
Lumban Wetan ia berkata "Carikan air bening. Biarlah ia
minum sebelum anak itu harus menghadapi lawannya yang
kedua" Beberapa orang anak muda Lumban Wetan segera berlarilarian.
Mereka mencari sesobek daun pisang diantara rumpunrumpun
pisang yang tumbuh liar di lereng-lereng tebing.
Kemudian dengan daun itu mereka membawa air dari belik
ditebing pula. Tetapi, anak Lumban Wetan itu benar-benar telah
kelelahan seakan-akan nafasnya sudah hampir terputus pula.
Meskipun seteguk air itu dapat menyegarkan tubuhnya, tetapi
untuk berkelahi lagi rasa-rasanya sudah tidak dapat lagi
dilakukan. Namun ia terikat pada ketentuan, bahwa ia harus
menerima awan kedua. Dalam pada itu, pemburu yang seorang lagi dengan diamdiam
mendekatnya sambil berbisik "Jangan memaksa diri. Jika
kau memang kalah, menyerah sajalah meskipun t idak dengan
semata-mata. Kau dapat menjatuhkan dirimu dan tidak
bangun lagi sampai kau digotong keluar arena. Orang
berikutnya yang akan mengalahkan lawanmu itu"
Anak muda Lumban Wetan itu termangu-mangu. Namun
iapun akhirnya mengangguk-angguk mengerti.
Sejenak kemudian maka Nugatalah yang berteriak "Cepat.
Kita akan melihat perkelahian berikutnya"
Anak muda dari Lumban Kulon yang berkulit agak kehitamhitaman
itupun segera melangkah maju. Langkahnya tetap
dan tegap. Sementara itu, anak muda Lumban Wetan yang
sudah kelelahan itu berusaha untuk tetap berdiri tegak pula.
Air yang beberapa teguk itu memang telah membuatnya agak
segar, sementara tubuhnyapun telah diusapnya dengan
beberapa titik air yang sejuk.
Ternyata serangan itu telah mengakhiri perkelahian. Anak
muda Lumban Kolon itu jatuh sekali lagi terlentang.
Sementara itu, bintang-bintang telah bergeser semakin ke
Barat. Angin malam mengayun nyala obor yang dibawa oleh
anak-anak muda Lumban Wetan yang telah ditancapkan
diseputar arena. Dua orang anak muda sudah berdiri tegak ditengah-tengah
arena. Namun demikian, baik Semi maupun Daruwerdi sudah
melihat, bahwa perkelahian itu sama sekali tidak akan
seimbang. Meskipun demikian mereka tidak akan dapat
merubah peraturan yang sudah dibuat.
Sejenak kemudian maka Daruwerdi dan Semipun
memberikan isyarat bahwa sebentar lagi perkelahian akan
dapat dimulai. Keduanya diminta untuk segera bersiap-siap.
Dengan menghitung sampai tiga kali, maka Daruwerdi
membuka perkelahian itu. Ternyata anak muda Lumban Kulon
itu terlalu garang bagi lawannya yang kelelahan. Demikian
isyarat hitungan diucapkan pada hitungan ke tiga. maka anak
muda berkulit kehitam-hitaman itu telah meloncat menyerang
dengan dahsyatnya. Tanpa memberi kesempatan sama sekali
kepada lawannya, maka serangannya yang beruntun benarbenar
telah melemparkan anak muda Lumban Wetan itu.
Terasa kemarahan yang luar biasa telah megnhentak
jantungnya. Namun serangan yang beruntun itu benar-benar
telah merampas segenap kekuatannya untuk dapat bangkit
lagi. Anak Lumban Wetan itu menyeringai menahan sakit
ditubuhnya. Namun agaknya anak muda Lumban Kulon itu
benar-benar anak muda yang keras hati. Dengan tangkasnya
ia meloncat. Tangannya tiba-tiba saja telah meraih rambut
lawannya dan menariknya. Meskipun lawannya sudah
terlampau payah, tetapi anak muda Lumban Kulon itu telah
memukul wajah anak muda itu dengan kerasnya.
Anak muda Lumban Wetan yang sudah tidak dapat
melawan lagi itu mengaduh tertahan. Kepalanya terodrong
dengan kerasnya. Untunglah bahwa kepalanya itu membentur
tanah berpasir sehingga dengan demikian kepalanya tidak terluka
karenanya. Ketika anak muda Lumban Kulon itu sekali lagi
mengulurkan tangannya, hampir berbareng Semi dan
Daruwerdi melancarkan sambil berteriak "Cukup"
Anak muda Lumban Kulon itu mengurungkan niatnya.
Namun ia masih menjawab "Aku belum meremukkan
kepalanya" "Itu tidak perlu" Daruwerdi hampir membentak
"perkelahian ini hanya sampai pada satu keadaan, dimana kita
dapat menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang"
"Apakah anak itu sudah kalah?" bertanya anak muda
Lumban Kulon itu. Daruwerdi mengerutkan keningya Namun nampak bahwa
hatinya tidak senang melihat sikap anak muda Lumban Kulon
yang licik itu. Anak-anak muda Lumban Wetan benar-benar merasa
tersinggung karenanya. Hampir serentak mereka berteriak
mengumpat. Tetapi Semilah yang kemudian menenangkan
mereka. Katanya "Bawalah ia menepi. Ambil air dan rawatlah
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebaik-baiknya. Usap wajahnya dengan air. Tetapi hati-hatilah.
Beberapa orang anak muda melangkah memasuki arena.
Betapa kemarahan nampak di wajah mereka. Namun anak
Lumban Kulon benar-benar tidak merasa melakukan satu
kesalahan. Mereka justru bersorak-sorak melihat kemenangan
kawannya. Dalam pada itu. kemarahan benar-benar telah menghentak
anak-anak muda Lumban Wetan. Anak muda yang berkumis
tipis menggeram "Biarlah aku yang menyelesaikannya"
"Jangan tergesa-gesa" Jlitheng yang selama itu hanya
dapat menggeretakkan giginya itupun berkata "Bukankah
permainan ini baru dimulai.
"Tetapi mereka telah berbuat curang" jawab kawannya.
"Percayakan kepada pemburu itu" sahut Jlitheng.
Anak-anak Lumban Wetan yang marah itupun akhirnya
mulai membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Mereka
mulai dapat menilai, apa yang sedang mereka hadapi. Baru
dua orang anak muda Lumban Kulon yang tampil. Mungkin
dalam perkelahian ini beberapa anak muda yang lain harus
tampil seorang demi seorang. Jika mereka tidak menghiraukan
kemungkinan-kemungkinan dalam jenjang kemampuan
mereka, maka mungkin sekali mereka akan kehabisan orang
yang akan dapat tampil disaat-saat terakhir.
Karena itulah, maka Lumban Wetanpun menampilkan
seorang anak muda yang lain. Tetapi mereka sudah mulai
memasuki seorang dari sepuluh orang terbaik dari Lumban
Wetan. Karena menurut perhitungan mereka perkelahian
selanjutnya tidak akan lebih dari sepuluh orang lagi.
Atas persetujuan pemburu kawan Semi itu. maka seorang
anak muda bertubuh sedang, berkulit kuning telah melangkah
memasuki arena. Anak itu memang termasuk satu dari
sepuluh orang terbaik di Lumban Wetan. Tetapi menurut
penilaian kawan Semi, anak muda berkumis tipis itu memiliki
kelebihan meskipun hanya selapis.
Yang kemudian berdiri diarena adalah anak muda Lumban
Kulon yang berkulit kehitam-hitaman berhadapan dengan anak
muda Lumban Wetan yang berkulit kuning.
Sejenak mereka saling memandang. Keduanya adalah
kawan yang sebelumnya termasuk kawan yang baik. Namun
demikian air dari bukit itu mengaliri sawah mereka, hubungan
mereka justru menjadi semakin renggang.
Semi yang melihat salah seorang dari sepuluh anak muda
terbaik yang mengikuti latihan-latihannya, menarik nafas
dalam-dalam. Anak-anak muda Lumban Wetan benar-benar
tidak dapat menahan diri lagi. Sekilas dipandanginya pemburu
kawannya yang berdiri di pinggir arena. Kemudian dilihatnya
Jlitheng diantara kawan-kawannya. Sementara itu Raru duduk
terkantuk-kantuk seakan-akan tidak menghiraukan apa yang
terjadi disekitarnya. "Kita akan segera dapat mulai dengan putaran ketiga ini"
berkata Daruwerdi kemudian.
Semi mengangguk-angguk. Sentuhan yang tajam terasa di
jantungnya. Yang dilakukan itu benar-benar berbahaya. Yang
memasuki arena itu bukan sekedar seekor ayam jantan. Tatapi
mereka adalah anak-anak muda.
Namun Semi tidak dapat berbuat lain. Yang terjadi itu
adalah kemungkinan yang paling baik yang dapat diusahakan.
Jika hal itu tidak dikehendaki oleh anak-anak muda Lumban
maka yang terjadi adalah perkelahian antara mereka
semuanya, yang tentu akan sangat sukar dikendalikan.
Dalam pada itu. Daruwerdilah yang kemudian memberikan
aba-aba. Demikian ia menghitung sampai tiga. maka kedua
anak muda itupun segera bersiap.
Namun anak muda Lumban Kulon nampaknya ingin
mengulangi caranya. Dengan serta merta, iapun telah
meloncat langsung menyerang dengan dahsyatnya.
Anak muda Lumban Wetan itu terkejut. Tetapi ia masih
sempat bergeser menghindar. Namun lawannya tidak
memberinya kesempatan. Ketika serangannya yang pertama
gagal, maka tiba-tiba saja iapun berputar pada tumit. Kakinya
terangkat dan berputar mendatar.
Serangan beruntun itu benar-benar tidak terduga akan
terjadi pada langkah pertama. Karena itu. maka anak muda
Lumban Wetan itu tidak sempat lagi mengelak. Namun
demikian ia masih berusaha untuk menangkis serangan itu.
Tetapi serangan itu demikian keras dan cepat. Karena
itulah, maka ketika kedua tangan anak muda Lumban Wetan
itu membentur kaki lawannya, maka ia telah terdorong
beberapa langkah surut. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh anak
muda Lumban Kulon yang berkulit kehitam-hitaman itu. Selagi
anak muda Lumban Wetan itu belum dapat memperbaiki
keadaannya, maka anak muda Lumban Kulon itu telah
menyerangnya sekali lagi. Dengan loncatan panjang,
tangannya telah terjulur menghantam dada.
Anak muda Lumban Wetan itupun masih sempat
menangkis. Tetapi ternyata bahwa kekuatan serangan
lawannya yang menghentak itu benar-benar telah
melemparkannya sehingga iapun kemudian jatuh terguling
diatas tanah berpasir. Sorak anak-anak Lumban Kulon bagikan meledak. Mereka
melihat bagaimana anak muda Lumban Wetan itu terguling.
Sementara itu anak muda Lumban Kulon itupun sama sekali
tidak membuang waktu lagi. Dengan sepenuh hati iapun
memburu lawannya yang berguling.
Tetapi anak muda Lumban Wetan itu menyadari
keadaannya. Ia sejak benturan pertama dari perkelahian itu
telah dikejutkan oleh serangan yang tiba-tiba dan serta merta,
sehingga ia sama sekali belum sempat membalasnya. Karena
itu, maka sambil berguling ia berusaha untuk membuat
perhitungan-perhitungan. Ia sempat melihat lawannya
memburunya. Namun dengan sengaja ia tidak segera
meloncat berdiri, karena iapun sadar, bahwa jika ia berbuat
demikian, maka demikian ia tegak, serangan berikutnya akan
melemparkannya sekali lagi.
Karena itu. ia justru menunggu. Ia bersiap menghadapi
segala kemungkinan sambil berbaring di tanah berpasir.
Lawannya yang menunggu anak muda Lumban Wetan itu
meloncat bangkit menjadi agak kecewa. Tetapi nafsunya
untuk segera ia mengalahkan lawannya telah membakar
jantungnya. Karena itu, ia tidak sempat berpikir terlalu
panjang. Karena lawannya masih saja terbaring di tanah, maka tibatiba
saja iapun meloncat sambil menjulurkan kakinya untuk
menginjak dada anak muda Lumban Wetan itu.
Serangan itulah yang ditunggu. Anak muda Lumban Wetan
itu sudah bersiap untuk beringsut. Demikian kaki itu terjulur,
maka iapun segera beringsut dan dengan cepat menangkap
pergelangan kaki lawannya.
Sebuah putaran yang keras telah memutar tubuh anak
muda Lumban Kulon itu pula. Demikian cepatnya, sehingga
anak muda Lumban Kulon itupun telah terbanting jatuh pula
diatas tanah berpasir. Namun dengan serta merta, iapun segera berguling sambil
merenggut kakinya dengan satu hentakan. Kaki itu memang
terlepas. Namun dengan demikian, anak muda Lumban Wetan
itupun telah mendapat waktu untuk melenting berdiri
bersama-sama dengan anak muda Lumban Kulon, sehingga
iapun telah bersiap sepenuhnya ketika lawannya berdiri tegak
sambil menggeletakkan kakinya.
Keduanya kemudian berhadapan. Namun keduanya samasama
bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan,
sehingga anak muda Lumban Wetan itu tidak akan lengah lagi
dan kehilangan kesempatan untuk menghindari seranganserangan
itu akan datang membadai seperti yang telah terjadi.
Semi yang telah menahan nafas untuk beberapa saat,
sempat menarik nafas panjang. Seolah-olah ia sendirilah yang
telah mendapat kesempatan yang sama dengan lawannya
yang garang itu. Sejenak keduanya berdiri tegak saling berpandangan. Mata
mereka bagaikan membara, dan tangan mereka rasa-rasanya
menjadi gatal. Namun di wajah anak muda Lumban Kulon itu
nampak betapa ia menjadi kecewa bahwa lawannya sempat
memperbaiki keadaannya, sehingga ia tidak dapat
mengalahkannya dengan segera. Jika ia berhasil
mengalahkannya dalam waktu dekat, berarti bahwa ia sudah
memenangkan dua perkelahian. Jika ia masih harus
berhadapan dengan orang ketiga, maka tenaganya masih
cukup segar, sehingga mungkin ia akan dapat
memenangkannya sekali lagi. Jika demikian, maka perkelahian
itupun sudah berakhir. Lumban Kulon sudah dapat dinyatakan
menang dan dapat menentukan kehendak mereka atas
bendungan dan air dari bukit sebelah.
Tetapi ia telah salah langkah karena ketergesa-gesaannya
sehingga lawannya itu seolah-olah telah berhasil lepas dari
tangannya yang sudah membelit leher. Dan kini anak muda
Lumban Wetan itu berdiri tegak menghadapinya.
Tetapi mereka berdua tidak terlalu lama berdiri berhadaphadapan.
Sejenak kemudian, keduanya sudah siap untuk
menentukan akhir dari perkelahian itu.
Anak muda Lumban Kulon dan anak muda Lumban Wetan
itu bergeser setapak setapak. Mereka beringsut sambil
menunggu kesempatan. Dan sekejap kemudian, anak muda
Lumban Kulon itu telah bertindak lebih dahulu dari lawannya.
Tetapi keadaan memang sudah berubah. Anak muda
Lumban Wetan yang hampir saja dikalahkannya itu benarbenar
telah bersiap. Karena itu maka iapun sempat bergeser
menghindar. Demikian kaki lawannya mematuk dadanya, ia
memiringkan tubuhnya sambil bergeser. Dengan sekuat
tenaganya ia sempat memukul kaki lawannya yang terjulur itu.
Namun lawannya telah memperhitungkannya. Karena itu,.
maka secepatnya kaki itu ditariknya. Meskipun demikian,
tangan anak muda Lumban Wetan itu masih juga
menyinggung kaki lawannya. Kaki itu memang terdorong,
sehingga anak muda Lumban Kulon itu terputar sedikit. Tetapi
sama sekali tidak mempengaruhinya. Dengan demikian ketika
anak muda Lumban Wetan itu menyerangnya dengan satu
langkah kedepan dan tangan kanan terjulur menghantam
kening, anak muda Lumban Kulon itu masih sempat meloncat
kesamping, sehingga tangan lawannya sama sekali tidak
menyentuhnya. Demikian perkelahian itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Namun akhirnya, anak muda Lumban Wetan yang
termasuk salah seorang dari sepuluh orang terbaik itu nampak
semakin berhasil menguasai lawannya. Perlahan-lahan tetapi
pasti, ia akan dapat mengalahkan lawannya. Betapapun
lawannya mengerahkan segenap kemampuannya, namun
anak muda Lumban Wetan itu memiliki ketrampilan dan
ketahanan tubuh yang lebih tinggi dari anak muda Lumban
Kulon itu. Tetapi anak muda Lumban Kulon itupun telah bertahan
dengan sejauh-jauh sisa kemampuannya. Meskipun pada saat
terakhir ia menjadi kehilangan keseimbangan, tetapi anak
muda Lumban Wetan itupun telah memeras segenap
kemampuannya pula, sehingga seperti yang pernah terjadi
atas kawannya. Ia berhasil mengalahkan lawannya, namun
tenaganya benar-benar telah terperas habis.
Yang telah terjadi itupun terulang kembali. Semi dan
Daruwerdi melihat peristiwa seperti yang pertama terulang.
Ketika muncul anak muda berikutnya dari Lumban Kulon,
maka anak muda Lumban Wetan itu sama sekali tidak mampu
melawannya lagi. Ia harus menyerah, dan membiarkan dirinya
dibanting diatas tanah berpasir tanpa sempat melawan. Jika
Semi dan Daruwerdi tidak cepat mencegahnya, maka iapun
akan mengalami nasib buruk karena tingkah laku anak muda
Lumban Kulon. Dengan demikian, maka anak muda Lumban Wetan harus
menurunkan anak muda berikutnya. Dan yang terjadi itupun
telah terulang kembali seperti yang terdahulu.
Ketika hal itu terulang sampai lima kali, maka Nugata
menjadi tidak telaten lagi, Sementara langitpun menjadi
semakin merah. Jika perkelahian yang demikian itu
berlangsung terus menerus, maka akibatnya masalahnya tidak
akan terpecahkan. Tetapi pada perkelahian yang keenam, ternyata telah
terjadi sedikit perbedaan. Anak muda Lumban Wetan, orang
kelima dari sepuluh orang terbaik, telah berhasil
memenangkan perkelahian dengan tenaga yang masih cukup
segar. Lawannya, anak muda Lumban Kulon yang bertubuh
lebih besar daripadanya dapat dikalahkan dengan mudah
tanpa menghabiskan tenaga seperti kawan-kawannya yang
terdahulu. Karena itu, maka ia siap menghadapi lawan
berikutnya dengan kemampuan yang masih utuh.
Nugata menjadi berdebar-debar. Jika anak muda Lumban
Wetan itu menang, berarti ia telah memenangkan dua kali
perkelahian. Maka perkelahian berikutnya akan sangat
menentukan. Karena itu, maka anak muda Lumban Kulon yang turun
kearena adalah anak muda yang dianggap memiliki
kemampuan yang lebih baik dari anak muda yang telah
dikalahkan itu. Karena itulah, maka dengan wajah tengadah ia
maju kearena. Sebelum ia meloncat menyerang, ia masih
sempat berkata "Ingatlah, bahwa aku dapat berbuat apa saja
atasmu. Menglahkanmu selagi kekuatanmu masih segar, atau
dengan kemampuanku, aku mengalahkanmu dengan akibat
yang paling parah" Anak muda Lumban Wetan tidak menjawab. Tetapi ia
bersiap sebaik-baiknya. -0oo0dw0oo0- Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 13 "Aku dapat membunuhmu" desis anak muda Lumban Kulon
itu, lalu "Tidak seorangpun dapat menyalahkan aku, karena
yang akan terjadi itu seolah-olah tidak aku sengaja"
Anak muda Lumban Wetan itu masih tetap berdiamdiri.
Sejenak kemudian, maka isyaratpun telah diberikan oleh
Semi dan Daruwerdi, bahwa perkelahian sudah dapat dimulai.
Namun anak muda Lumban Kulon itu masih bicara "Untuk
kepentinganmu, sebaiknya kau menyerah saja dan biarlah
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang kedua melawanku"
Anak muda Lumban Wetan itu tidak menjawab. Tetapi ialah
yang justru bertindak lebih dahulu.
Serangannya yang pertama cukup mengejutkan. Meskipun
anak muda Lumban Kulon itu sempat mengelak, namun
tangan anak-anak Lumban Wetan itu masih menyentuh ujung
bajunya. "Gila" geram anak muda Lumban Kulon "Kau benar-benar
ingin mati" Anak muda Lumban Wetan itu tidak menjawab. Tetapi
dengan tiba-tiba pula ia merubah serangannya dengan ayunan
tangan mendatar mengarah keperut lawannya.
Sekali lagi lawannya terkejut. Tetapi iapun sempat
merendahkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya. Ia
menangkis serangan itu dengan kedua sikunya.
Tetapi lawannya justru telah menarik serangan tangannya.
Dengan tiba-tiba saja ia telah memiringkan tubuhnya dan
melontarkan serangan kaki yang keras.
Anak muda Lumban Kulon yang mendapat serangan
beruntun itu mengumpat. Namun serangan kaki itu demikian
kerasnya. Meskipun anak muda Lumban Kulon itu sempat
melipat tangannya disisi tubuhnya untuk melindungi lambung
dengan sikunya, namun demikian kerasnya serangan itu,
sehingga iapun terdorong beberapa langkah dan terbanting
jatuh. Tetapi anak muda Lumban Kulon itu cukup tangkas. Ketika
anak muda Lumban Wetan mengejarnya, maka iapun telah
sempat melent ing berdiri.
Demikianlah maka keduanya telah berhadap-hadapan.
Anak muda Lumban Kulon itu tidak mau untuk seterusnya
hanya sekedar menjadi sasaran serangan. Namun ia sudah
bertekad untuk menyerang kembali.
Tetapi ternyata anak muda Lumban Wetan itu memang
lebih tangkas dan lebih cepat. Sebelum ia mulai, maka anak
muda Lumban Wetan itu pulalah yang telah mulai dengan
serangan-serangannya yang beruntun seperti mengalirnya
banjir bandang. Beberapa saat kemudian, anak-anak muda Lumban Kulon
dan anak-anak muda Lumban Wetanpun segera melihat,
bahwa untuk kedua kalinya, anak muda Lumban Kulon itu
mulai terdesak. Betapapun ia berteriak dan mengumpat, dan
betapapun kawannya mencoba untuk mendorongnya dengan
teriakan-teriakan yang bagaikan meretakkan langit.
Anak muda Lumban Wetan yang tidak banyak bicara itu
terus saja mendesaknya. Iapun sadar, bahwa ia harus
berkelahi untuk yang ketiga kalinya jika ia memenangkan
perkelahian itu. Karena itulah maka ia ingin menyelesaikan
perkelahian itu sebelum nafasnya habis diujung hidungnya,
sehingga seperti kawan-kawannya yang lain, maka
perkelahian berikutnya, tidak akan dapat memberikan
perlawanan sama sekali. Semi menyaksikan perkelahian itu dengan tegangnya. Anak
ini memang mempunyai beberapa kelebihan dari kawannya
yang sepuluh. Anak ini mampu bergerak cepat dan ketahanan
tubuh yang menyakinkan. Sementara itu, Daruwerdipun menjadi berdebar-debar
seperti juga Nugata. Namun dada Nugata terasa lebih panas,
seolah-olah jantungnya akan meledak dan darahnya menjadi
mendidih. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus
melihat kenyataan, bahwa kawannya yang kedua itupun
ternyata tidak dapat mengimbangi kemampuan anak Lumban
Wetan yang termasuk dalam satu diantara sepuluh orang
terbaik, sementara anak itu memang memiliki kelebihan dari
yang sepuluh itu. Karena itulah, maka tiba-tiba Nugata itupun berteriak
nyaring "Cukup. Kau memenangkan perkelahian yang kedua.
Perkelahian berikutnya akan menentukan"
Semua orang berpaling kearahnya. Namun anak muda
Lumban Kulon yang meskipun sudah sangat terdesak tetapi
masih belum benar-benar dikalahkan itu menyahut "Aku
belum kalah" "Tetapi kau akan kalah. Pasti. Kau tidak usah ingkar.
Biarlah aku yang menyelesaikannya. Permainan ini sudah
terlalu lama. Dan aku sudah menjadi jemu karenanya" geram
Nugata. Semi, pemburu yang lain, Rahu dan anak-anak muda
Lumban Wetan memang menjadi tegang. Jlithengpun menjadi
tegang pula. Ia belum mengerti sampai berapa jauh
kemampuan Nugata yang sombong itu. Nampaknya ia
memang memiliki ilmu, bukan saja yang dipelajarinya dari
Daruwerdi. Sementara itu Daruwerdi sendiri menjadi termangu-mangu.
Setelah melihat perkelahian dari anak-anak muda Lumban
Kulon dan anak-anak muda Lumban Wetan itu, ia benar-benar
menjadi bimbang. Seharusnya ia merasa, bahwa orang-orang
yang pernah berlatih padanya itu telah dikalahkan.
Seharusnya ia menjadi marah dan tersinggung. Namun menilik
perkembangan keadaan, maka ia tidak dapat marah dan
tersinggung. Bahkan iapun tanpa disadarinya, berharap bahwa
anak-anak Lumban Wetanlah yang menang. Karena jika
demikian, anak-anak Lumban Wetan itu tentu akan
menegakkan keadilan. Pintu air itu akan dikembalikan seperti
semula. Air yang dituangkan ke Lumban Kulon akan sama
banyaknya dengan air yang menang, maka mereka tentu akan
tetap pada sikap mereka yang sekedar menuruti keinginan
mereka sendiri. "Persoalan itu tentu akan berkepanjangan" berkata
Daruwerdi di dalam hatinya. Tetapi keraguan yang lain telah
tumbuh pula. Katanya di dalam hati "Tetapi jika anak muda
Lumban Wetan yang menang, apakah anak-anak muda
Lumban Kulon akan bersedia memenuhi janjinya, memberikan
kesempatan kepada anak Lumban Wetan untuk menentukan
sikap mereka terhadap bendungan itu?" Atau bahkan
persoalan itu akan tidak dapat diselesaikan, karena anak muda
Lumban Kulon masih akan jejap menuntut pada masa-masa
mendatang?" Dalam keragu-raguan itu, Daruwerdi melihat Nugata
memasuki arena sambil beikata "Aku lawanmu yang ketiga"
Anak muda Lumban Wetan yang masih berada diarena
itupun menjadi ragu-ragu pula. Tetapi ia tidak dapat ingkar, la
harus berkelahi dengan orang ketiga untuk menentukan,
apakah Lumban Wetan akan dapat memenangkan perkelahian
itu. "Jika aku menang sekali lagi, maka perkelahian ini akan
selesai" berkata anak muda Lumban Wetan itu di dalam
hatinya. Tetapi iapun menyadari, yang kemudian memasuki arena
adalah Nugata. Msskipun anak-anak Lumban Wetan itu belum
mengetahui, apa yang dapat dilakukan oleh Nugata, tetapi
bahwa Nugata terlalu percaya akan kemampuannya tentu
bukannya tidak beralasan.
Karena itu, maka anak muda Lumban Wetan itu menjadi
berdebar-debar. Bahkan mulai timbul keragu-raguan di dalam
hatinya, apakah ia akan dapat mengalahkan Nugata.
Tetapi anak muda Lumban Wetan itu tidak mengalah.
Iapun segera mempersiapkan diri menghadapi Nugata yang
sedang dibakar oleh kemarahan yang memuncak.
Kehadiran Nugata diarena itu tentu membuat anak-anak
muda Lumban Wetan dan Lumban kulon menjadi berdebardebar.
Anak-anak Lumban Kulon telah mulai bersorak-sorak.
Mereka mengetahui bahwa Nugaita memiliki kelebihan dari
mereka. Karena disamping Daruwerdi, sebelumnya Nugata
memang sudah memiliki bekal olah kanuragan. Untuk
beberapa saat lamanya, ia pernah berguru kepada saudara
muda ibunya, yang tinggal diluar Lumban. Ketika ia mengenal
Daruwerdi, maka ia telah mendapat beberapa latihan khusus
ia menentukan dirinya menjadi orang terbaik diantara anakanak
muda Lumban Kulon dan Lumban Wetan.
Dan kini Nugata itu berdiri diarena berhadapan dengan
seorang muda Lumban Wetan yang sudah mulai lelah.
Namun dalam pada itu Nugata berkala lantang "Jika kau
ragu-ragu, atau karena merasa sudah terlalu letih karena
perkelahian sebelumnya, minggirlah. Biarlah orang lain
memasuki arena tanpa diperhitungkan, atas kekalahanmu.
Aku akan melawan orang baru sebagai orang pertama, dan
aku akan melawan dua orang lainnya yang akan memasuki
arena ini berturut-turut"
Anak muda Lumban Wetan yang semula ragu-ragu itu.
justru menjadi tersinggung karenanya. Dengan lantang ia
berkata "Aku akan mengakhiri perkelahian yang menjemukan
ini. Kau akan aku kalahkan, dan karena itu maka Lumban
Kulon harus menerima keputusan kami atas bendungan itu.
"Jangan terlalu sombong" geram Nugata "Tetapi jika kau
ingin membuktikan, aku juga tidak berkeberatan. Agaknya kau
sudah salah menilai dirimu sendiri. Bahkan kau sudah
memenangkan dua kali pertarungan, kau anggap bahwa kau
pasti akan menang pada perkelahian berikutnya"
"Aku memang menduga demikian" jawab anak muda
Lumban Wetan itu. "Jangan menyesal. Tubuhmu akan menjadi merah biru.
Tulang-tulangmu akan retak dan untuk sebulan kau akan
berbaring dipembaringan" ancam Nugata.
Anak Lumban Wetan itu tidak menjawab. Meskipun hatinya
menjadi berdebar-debar juga, tetapi ia tidak beringsut dari
tempatnya. Yang juga menjadi berdebar-debar adalah Daruwerdi dan
Semi. Nampaknya Nugata benar-benar meyakinkan. Tetapi
karena ketentuan itu harus berlaku, maka merekapun
kemudian memutuskan untuk mempersilahkan keduanya
mulai dengan perkelahian mereka. Namun Semi masih juga
berpesan "kalian hanya berkelahi untuk menentukan siapa
yang kalah dan siapa yang menang. Tidak lebih dari itu"
Nugata menggeretakkan giginya. Ia sadar, bahwa Semi
berusaha memperingatkannya, agar ia tidak menyakiti
lawannya jika ia sudah menyatakan kalah.
"Aku akan meremukkan tulang-tulangnya pada sentuhan
pertama" katanya di dalam hati.
Sejenak kemudian, keduanya telah bersiap. Rahu yang
terkantuk-kantuk tiba-tiba saja. telah berdiri tegak di lingkaran
yang pepat itu. Sementara kawan Semipun menjadi tegang
pula. Bahkan kemudian iapun telah memanggil Jlitheng sambil
berbisik "Tidak ada orang lain"
"Jangan Gila" bisik Jlitheng "Aku bersembunyi untuk waktu
yang lama. Kau kira tiba-tiba saja aku harus menelanjangi
diriku?" "Bukan begitu. Aku akan dapat mengatakan, bahwa kau
adalah muridku secara khusus dan diam-diam. Karena itu,
kaupun hanya melayani sekedarnya, asal kau dapat
mengalahkan Nugata sebagai orang ketiga. Nampaknya tidak
akan ada yang dapat mengibanginya" berkata kawan Semi itu
perlahan-lahan di telinga Jlitheng.
Jlitheng memang melihat sikap dan langkah Nugata. Sejak
lama ia memang sudah menduga, bahwa Nugata. memiliki
kelebihan dari kawan-kawannya dibalik sikapnya yang
sombong dan tinggi hati. Sejenak kemudian, maka perkelahian itupun segera
dimulai. Anak muda Lumban Wetan itu menjadi sangat
berhati-hati. Ia sadar, dengan siapa ia berhadapan.
Namun Nugatalah yang dengan serta merta telah
menyerang dengan garangnya. Sambil meloncat kedepan ia
telah menjulurkan tangannya. Tidak dengan jari-jari
tergenggam, tetapi justru dengan jari-jari terkembang.
Semi dan Daruweidi menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka bergeser mendekat untuk menjaga, agar anak muda
Lumban Wetan itu tidak mengalami keadaan yang sangat
buruk. Tetapi anak muda Lumban Wetan itu sempat mengelak.
Justru sambil merendahkan diri, ia sempat menyerang
lambung Nugata dengan kakinya. Namun Nugata cukup
tangkas. Ia bergeser dan terhindar dari sentuhan serangan
lawannya. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meloncat pula dan
menyerang langsung dengan kakinya kearah pundak anak
Lumban Wetan itu. Serangan itupun masih dapat dihindarinya, sehingga
Nugata menjadi semakin marah karenanya.
Ternyata satu dari sepuluh anak terbaik dari Lumban Wetan
itu tidak terlalu lemah, dihadapan Nugata, Ia bukannya sama
sekali tidak dapat melawan. Namun sebenarnyalah, bahwa
tangannya yang telah susut sejak ia mulai dengan perkelahian
itu, benar-benar tidak menguntungkannya. Ia sudah melawan
dua orang dan, Nugata adalah orang ketiga. Justru orang
yang memiliki kelebihan dari setiap anak nluda Lumban Wetan
dan anak muda Lumban Kulon sendiri
Karena itu, anak muda Lumban Wetan itu tidak dapat
bertalian lebih lama lagi. Sejenak kemudian ia sudah mulai
berdesak, meskipun ia masih tetap mampu melindungi dirinya
Namun anak muda Lumban Wetan itupun merasa, bahwa
yang dapat dilakukannya itu tidak akan dapat bertahan lebih
tema lagi. Sebenarnyalah bahwa Nugatapun mengerti, bahwa
lawannya sudah kehabisan tenaga. Karena itu, maka iapun
segera mendesaknya. Ia harus segera menyelesaikan tanpa
membuang tenaga terlalu banyak. Karena ia bertekad untuk
mengakhiri perkelahian itu. Ia akan mengalahkan tiga orang
anak muda Lumban Wetan berturut-turut.
Karena itulah, maka ketika anak muda Lumban Wetan itu
kemudian terdesak dan terdorong jatuh, Nugata tidak
mengejarnya. Ia tidak membuang tenaganya untuk menyakiti
lawannya. Dibiarkannya lawannya berusaha untuk bangkit
dengan susah payah, namun ketika ia sudah berdiri, maka
dampaklah bahwa keseimbangannya masih belum dapat
dipulihkannya. "Apakah kau masih akan melawan?" bertanya Nugata.
Anak Lumban Wetan itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak
beranjak dari tempatnya. Meskipun ia harus kalah, tetapi
untuk kepentingan kawan berikutnya, ia harus mengurangi
tenaga Nugata sebanyak-banyaknya.
Tetapi dalam pada itu, Daruwerdilah yang berkata "Kau
sudah kalah. Nugata tidak perlu membukt ikannya lebih jelas
lagi, agar kau tidak benar-benar harus berbaring sebulan di
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembaringan" Semi tidak mencegah ketika kemudian Daruwerdi
memimpin anak itu keluar dari arena.
Dalam pada itu, maka kawan Semilah yang telah menunjuk
seorang anak muda lagi dari Lumban Wetan untuk memasuki
arena. Salah satu dari orang-orang terbaik diantara sepuluh
orang terpilih dari Lumban Wetan.
"Hati-hatilah" pesan kawan Semi itu "jaga tenagamu
sebaik-baiknya. Jika kau terpaksa kalah, kau harus berusaha
menguras tenaga lawanmu sejauh-jauh dapat kau lakukan,
Tetapi kaupun jangan memaksa diri. Aku yakin, bahwa masih
ada orang yang akan dapat mengalahkan Nugata itu"
"Kau sendiri?" bertanya anak muda Lumban Wetan itu.
"Tidak. Tentu aku tidak boleh turun kearena" jawab
pemburu itu "Tetapi percayalah kepadaku"
Anak muda Lumban Wetan itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya "Apakah kau yakin bahwa aku tidak
akan dapat mengalahkannya?"
"Bukan, bukan begitu" jawab pemburu itu "Aku hanya
berkata wajar dan melihat segala kemungkinan yang dapat
terjadi. Kau dapat menang, tetapi kau akan dapat juga kalah.
Jangan ingkari kemungkinan-kemungkinan itu. Tetapi jangan
menjadi lemah dan t idak berpengharapan"
Anak muda Lumban Wetan itu menarik nafas dalam-dalam.
Iapun kemudian melangkah dengan langkah tetap memasuki
arena, berhadapan dengan Nugata.
"Kau" desis Nugata.
Anak muda Lumban Wetan itu menarik nafas dalam-dalam.
Sebelumnya ia tidak pernah membayangkan, bahwa pada
suatu saat ia harus berkelahi melawan Nugata. Meskipun ia
sudah mengenal sebelumnya, namun karena sifat-sifat
Nugata, maka ia tidak pernah bergaul rapat dengan anak
muda itu. Tidak seperti dengan anak-anak muda Lumban
Kulon yang lain. Meskipun demikian, namun akhirnya orang yang dikenalnya
baik-baik itupun harus berhadapan sebagai lawan dalam
sayembara tanding untuk kepentingan Kabuyutan masingmasing.
Untuk sesaat keduanya saling berhadapan dengan tegang,
sampai saatnya Daruwerdi dan Semi memberikan isyarat
bahwa perkelahian dapat dimulai.
Anak-anak Lumban Wetan dan apak-anak muda Lumban
Kulon sudah menjadi semakin tegang. Mereka sudah melihat
beberapa perkelahian. Tetapi belum dapat menentukan akhir
dari sayembara itu. Sehingga dengan demikian maka mereka
hampir-hampir kehilangan kesabaran.
Rasa-rasanya mereka ingin meloncat memasuki arena dan
berkelahi bersama-sama, agar segera dapat ditentukan,
siapakah yang menang dan siapakah yang kalah.
Tetapi mereka masih berusaha untuk menahan diri.
Terlebih-lebih anak-anak muda Lumban Kulon. Mereka
percaya bahwa Nugata akan dapat menyelesaikan perkelahian
itu dengan mengalahkan t iga orang berturut-turut.
Sejenak kemudian, maka perkelahian itupun telah dimulai.
Nugata yang masih ingin berhadapan dengan seorang anak
muda lagi dari Lumban Wetan dan mengalahkannya, ternyata
cukup berhati-hati. Ia tidak kehilangan perhitungan untuk
menghemat tenaganya. Karena itulah maka ia berkelahi
dengan memperhitungkan segenap kemungkinan.
Sebenarnya bahwa Nugata memang memiliki kelebihan dari
lawannya. Meskipun perkelahian itu rasa-rasanya menjadi
lamban, karena kedua-duanya berusaha memperhitungkan
daya tahan masing-masing, namun Nugata semakin lama
menjadi semakin yakin, bahwa iapun akan dapat
memenangkan perkelahian itu.
Dengan demikian, maka anak-anak muda Lumban Wetan
menjadi sangat gelisah. Anak muda yang berkelahi melawan
Nugata sebagai orang kedua itu termasuk orang terbaik diantara
sepuluh orang terpilih dari anak-anak muda Lumban We
tan. Jika iapun dapat dikalahkan, maka kemungkinan yang
sangat pahit akan dapat terjadi pada akhir perkelahian itu.
Jika seorang lagi anak muda Lumban Wetan dikalahkan, maka
sayembara itu akan merupakan permulaan dari masa-masa
yang sulit bagi Tanah Lumban Wetan untuk masa-masa
mendatang. Untuk berpuluh tahun dan bahkan mungkin untuk
beratus tahun. Lumban Kulon akan menjadi hijau subur,
sementara Lumban Wetan akan tetap menjadi gersang dan
kering. Kehidupan di Lumban Kulon akan segera mekar
dengan kesejahteraan yang akan meliputi seluruh Kabuyutan,
sementara kemelaratan akan tetap menyelubungi Kabuyutan
Lumban Wetan. "Alangkah bodohnya kita yang hidup pada saat-saat yang
menentukan ini" desis salah seorang dari anak muda Lumban
Wetan. Namun anak-anak muda Lumban Wetan tidak akan dapat
mengingkari satu kenyataan yang terjadi. Nugata berhasil
mendesak lawannya. Meskipun ia tetap bersikap hati-hati
dengan menghemat tenaganya.
Meskipun demikian, anak muda Lumban Wetan itu t idak
segera menyerah. Iapun berusaha untuk bertahan sejauh
mungkin dapat dilakukan. Iapun telah membuat perhitunganperhitungan
tertentu, agar Nugata kehilangan sebagian
dengan tenaganya, sehingga jika ia harus melawan orang
ketiga, ia tidak lagi mempunyai sisa tenaga.
Tetapi ternyata Nugatapun mempunyai perhitungan yang
mapan. Ia sadar bahwa ia masih harus berkelahi sekali lagi
dan mengalahkan lawannya agar perkelahian itu segera
berakhir dan kemenangan ada dipihaknya. Dengan demikian
maka ia akan dapat menentukan sesuai dengan kehendaknya
atas bendungan dan pintu air yang membawa air ketanah
persawahan di Lumban Kulon dan Lumban Wetan.
Karena itu, maka iapun cukup berhati-hati. Ia tidak
terpancing untuk mengerahkan tenaganya melumpuhkan
lawannya meskipun hatinya bagaikan terbakar melihat sikap
anak Lumban Wetan yang tidak segera mengakui
kekalahannya. Namun akhirnya anak muda Lumban Wetan itu tidak dapat
bertahan lebih lama lagi. Betapapun ia mencoba untuk
memancing agar lawannyapun mengerahkan tenaganya,
ternyata sama sekali tidak berhasil. Bahkan akhirnya, ketika ia
berusaha menyerang, sementara Nugata hanya sekedar
menghindarinya, maka anak muda Lumban Wetan itu telah
terjatuh menelungkup. Sesaat ia masih mencoba untuk bangkit. Tetapi ternyata
tenaganya telah terkuras habis, sehingga Daruwerdilah yang
kemudian berkata "Perkelahian ini sudah selesai"
Semilah yang kemudian mengangkat dan membimbing
anak muda Lumban Wetan itu untuk menepi. Namun dalam
pada itu, ia sempat berbisik kepada kawannya yang berada diantara
anak-anak Lumban Wetan " Bagaimana dengan
Jlitheng?" "Aku akan berusaha" desis kawannya.
"Jangan orang lain. Jika tidak, anak-anak Lumban Wetan
akan menyesal. Keadilan akan diinjak-injak disini" sahut Semi.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya "Aku akan
mencoba meyakinkannya"
Semi yang kemudian kembali ketengah-tengah arena
berkata kepada Nugata "Kau mendapat kesempatan untuk
beristirahat barang sesaat. Adalah tidak adil jika kau harus
langsung berkelahi untuk ketiga kalinya.
"Aku sudah siap" geramNugata "Jika perlu, dua orang anak
muda Lumban Wetan sekaligus memasuki arena"
Ternyata kawan Semipun mendengar kata-kata itu. Karena
itu, maka iapun segera menemui Jlitheng sambil berkata "Kau
dengar apa yang dikatakannya. Ia tidak sekedar
menyombongkan diri" "Ya. Aku sudah melihat sendiri" desis Jlitheng,
"Jadi bagaimana" Apakah kau relakan bendungan itu jatuh
ke tangannya dan membiarkan Lumban Wetan akan
mengalami, malapetaka sepanjang umurnya" bertanya kawan
Semi. Dalam pada itu, terdengar Nugata berteriak "Aku t idak
memerlukan istirahat"
Anak-anak Lumban Wetan menjadi gelisah. Sisa dari
sepuluh orang terbaik segera mengerumuni kawan Semi.
Namun mereka terkejut ketika lawan Semi itu berkata "Aku
minta Jlitheng untuk tampil"
"Jangan bergurau" desis salah seorang dari sisa yang
sepuluh itu "Kita dalam keadaan gawat. Ternyata Nugata
memang memiliki kelebihan tanpa kita ketahui lebih dahulu"
"Aku tidak bergurau" berkata kawan Semi "tergantung
kepada Jlitheng" Jlitheng menjadi tegang. Sementara kawan Semi itu
berkata "Aku telah melakukan sesuatu yang selama ini aku
sembunyikan. Aku yang melihat Jlitheng mempunyai
kemungkinan yang sangat baik, atas persetujuan kawanku,
telah aku latih dengan diam-diam tanpa sepengetahuan
kalian. Menurut perhitunganku, ia memiliki kelebihan dari
kalian semuanya, sehingga aku telah memilihnya untuk
menghadapi Nugata. Terserah, apakah ia mempunyai jiwa
besar untuk melakukannya. Apakah ia mempunyai tanggung
jawab atas hari depan Lumban Wetan dan atas air yang telah
dikendalikannya sendiri. Anak-anak muda Lumban Wetanpun menjadi tegang.
Mereka sama sekali tidak mengira bahwa Jlitheng memiliki
kelebihan dari mereka, setidak-tidaknya menurut pemburu itu.
Dalam pada itu, Jlithengpun menjadi tegang. Ia merasa
berada dalam keadaan yang paling sulit. Ia sudah
bersembunyi sekian lama di padukuhan itu. Tiba-tiba saja ia
harus menunjukkan dirinya sendiri meskipun belum
seluruhnya. Tetapi jika ia ingkar, maka Lumban Wetan benarbenar
akan mengalami bencana. Tidak hanya untuk satu dua
hari. Tetapi untuk puluhan, bahkan mungkin untuk ratusan
tahun mendatang. Karena itu, betapapun beratnya, akhirnya ia berkata
"Baiklah. Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan aku dapat
memenuhi harapan kalian. Tetapi jika tidak, aku mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Taruhannya memang terlalu mahal"
"Menurut perhitunganku, kau memiliki kesempatan terbaik
dari setiap orang yang ada sekarang" sahut kawan Semi.
Dalam pada itu, Nugata yang masih berada diarena
berteriak "He, siapakah yang akan memasuki arena. Aku tidak
perlu beristirahat. Aku ingin segera menyelesaikan permainan
yang menjemukan ini. Jika mata hari nanti terbit, kami akan
segera melanjutkan kerja kami, menyelesaikan pintu air dan
parit induk untuk menampung air yang akan segera
melimpah" Sebenarnyalah jantung Jlitheng telah tersentuh pula. Bukan
karena sesumbar itu saja, tetapi yang terpenting adalah
karena air yang telah dikendalikannya itu ternyata akan
disalah gunakan oleh anak-anak muda dari Lumban Kulon.
Sementara itu, Daruwerdipun menjadi gelisah. Hari yang
akan datang adalah akhir pekan seperti yang disanggupkan
oleh Cempaka. Jika orang-orang Sanggar Gading itu menjadi
salah paham menanggapi peristiwa yang terjadi di bendungan,
mungkin mereka akan mengambil satu sikap tertentu. Karena
itu, maka iapun menjadi gelisah dan tergesa-gesa, sehingga
iapun ikut berteriak "He, siapakah dari Lumban Wetan yang
akan memasuki arena"
Sebenarnyalah anak-anak Lumban Wetan, Lumban Kulon
dan Daruwerdi telah dikejutkan oleh hadirnya seseorang yang
sama sekali tidak mereka duga sebelumnya, Jlitheng.
Justru karena itu, Nugata tertegun sejenak. Dipandanginya
Jlitheng dan Semi berganti-ganti. Dengan nada rendah ia
bertanya "Apakah yang kalian lakukan tidak keliru?"
"Terserah anak-anak Lumban Wetan" jawab Semi.
Daruwerdipun terheran-heran melihat Jlitheng yang berdiri
diarena. Sikapnya yang enggan memang t idak meyakinkan.
Bahkan nampak kegelisahan yang menggelitiknya, sehingga
iapun tidak berdiri mapan.
Beberapa orang anak muda Lumban Wetan sendiri saling
berbisik diantara mereka. Bahkan seorang yang bertubuh
tinggi kekar berkata "Apakah ini bukan satu permainan yang
kotor. Mungkin justru Jlitheng adalah pengikut Nugata yang
sengaja dipasang dalam saat yang menentukan"
"Ah, aku yakini bukan" jawab yang lain "Kita melihat
bagaimana ia bekerja keras untuk mengarahkan air itu"
"Tetapi kenapa ia telah melakukannya sekarang" desis yang
tinggi "seharusnya ia sadar, apa yang sedang dihadapinya"
"Tetapi pemburu itu setuju. Meskipun aku tidak tahu, apa
yang mereka lakukan diantara sepuluh kawan kita yang
terbaik, namun pemburu itulah yang menentukan, siapakah di
antara kita yang akan tampil. Agaknya ia mempunyai penilaian
tersendiri terhadap Jlitheng"
Kawannya tidak menjawab. Namun jantungnyapun menjadi
berdebar-debar. Sebenarnyalah sikap Jlitheng yang gelisah
memang tidak meyakinkan. Dalam pada itu, Jlitheng memang gelisah. Tetapi iapun
sadar, bahwa jika anak-anak Lumban Wetan gagal, maka air
itu akan melimpah sebagian besar ke Lumban Kulon.
Sementara itu, ia tidak akan dapat berbuat apapun lagi atas
sumber air diatas bukit, karena anak-anak Lumban Kulonpun
menganggap bahwa bukit itu adalah hak mereka.
Sekilas terbayang seorang kakek yang tinggal di bukit itu
bersama seorang anak gadisnya. Jika kakek itu dapat diminta
untuk bekerja sama dengan anak-anak Lumban Wetan,
mungkin anak-anak Lumban Kulon akan mengalami satu sikap
tersendiri. Tetapi jika tidak, maka kesulitan bagi Lumban
Wetan akan bertambah-tambah.
"Ia orang baik" desisnya. Namun bagaimanapun juga
Jlitheng tidak akan dapat mengetahui, apa yang tersirat dihati
orang tua itu. Dalam pada itu. Nugata yang tnelihat Jlitheng termangumangu
berkata "Jlitheng. Mumpung masih belum terlanjur
terjadi sesuatu atasmu. Kau masih sempat
mempertimbangkan, apakah kau akan meneruskan sikap
sombongmu yang tidak kau pertimbangkan dengan nalar, atau
kau akhirnya akan menyadari keadaan dirimu setelah kau
berdiri diarena. Aku masih memberimu waktu untuk
menyingkir dan memberi kesempatan kepada orang lain"
Jlitheng memandang Nugata sejenak. Sementara itu, anakanak
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lumban Wetanpun menjadi semakin tegang. Bahkan
seseorang hampir saja meloncat maju untuk menggantikan
Jlitheng yang nampak sangat gelisah.
Tetapi dalam pada itu, jawaban Jlithengpun mengejutkan
"Nugata. Aku menyadari sepenuhnya, siapa aku dan siapa
kau. Tetapi akupun menyadari, bahwa aku adalah orang yang
paling banyak berbuat atas air itu. Karena itu, maka aku telah
menganggap air itu merupakan bagian dari hidupku. Dengan
demikian, maka akupun telah bertekad untuk berbuat apa saja
bagi kepentingan Lumban Wetan yang menyangkut
hubungannya dengan air, Karena pada saat aku mengarahkan
air itu dengan bekerja keras, bukannya aku tidak mempunyai
maksud tertentu basi kesejahteraan Lumban Wetan. Karena
itu, jika kesejahteraan itu akan direnggut sebelum muliai
mekar, r maka aku tidak akan dapat merelakannya"
"O" tiba-tiba saja Nugata tertawa "Kau sesorah seperti
seorang guru kajiwan disebuah padepokan. He, apakah kau
tidak melihat kenyataan yang kau hadapi sekarang. Akui tidak
ingin mendengar dongeng tentang air itu. Tetapi aku ingin
manfaat dari air itu. Karena itu, kita sudah turun ke-arena
dengan ketentuan yang sama-sama kita sepakati. Nah, kau
dapat memilih. Maju, atau kau tunjuk saja kawanmu yang
lebih meyakinkan menghadapi persoalan sekarang. Bukan
kemarin, pekan lalu, bulan yang lalu, atau, pada mulanya
siapakah yang mengarahkan air itu"
"Baiklah" berkata Jlitheng "Aku akan tetap pada
pendirianku. Aku yang sudah mulai dengan mengarahkan air
itu, akan berjuang terus sehingga aku berhasil membuat
Lumban Wetan menjadi hijau"
Nugata tertawa semakin keras. Katanya "Apa boleh buat.
Kau nampaknya memang seorang pemimpi. Tetapi mimpimu
akan sangat mengecewakanmu jika kau kemudian terbangun
dan berdiri diatas kenyataanmu"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dilihatnya
Daruwerdi dan Semi berdiri tegang. Justru karena itu, mereka
tidak segera memberikan tanda bahwa perkelahian itu dapat
dimulai. Karena keduanya masih mematung, maka Nugatalah yang
bertanya "Apakah kami dapat mulai?"
Daruwerdi menarik nafas panjang. Lalu katanya "Baiklah.
Kalian dapat mulai. Akupun mempunyai tugas-tugas laki yang
harus aku selesaikan. Semalam suntuk aku disini. Mudahmudahan
aku masih mempunyai waktu untuk beristirahat"
"Tetapi jika aku menang" sahut Jlitheng "perkelahian belum
berakhir" "Gila" geram Nugata. Lalu katanya kepada Daruwerdi dan
Semi "Cepat Beri isyarat"
Semilah yang kemudian berkata "Salahkan. Mulailah. Tetapi
ingat bahwa kalian adalah anak-anak Lumban Kulon dan
Lumban Wetan yang masih mempunyai hubungan kadang
Karena itu, apa yang kalian lakukan adalah sekedar untuk
mengambil satu keputusan. Bukan menjadi tujuan"
"Persetan" geram Nugata "perkelahian ini adalah Aku
mempunyai banyak waktu untuk menentukan saatnya, anak
Lumban Wetan yang gila ini disebut kalah"
Anak-anak muda Lumban Wetan menjadi berdebar-debar.
Mereka, bahkan, sepuluh orang terbaik di Lumban Wetan,
tidak tahu alasan yang sebenarnya, kenapa pemburu itu telah
memilih Jlitheng. Namun karena biasanya pemburu itu selalu
berbuat baik dan tidak menyesatkan, maka merekapun telah
melepaskan pula Jlitheng untuk melawan Nugata.
Demikianlah, dua orang anak muda sudah berhadaphadapan
di arena. Yang seorang telah membuktikan
kelebihannya dan sudah mengalahkan dua orang anak muda
dari Lumban Wetan. Jika anak muda dari Lumban Wetan yang
ketiga ini juga dapat dikalahkannya, maka patahlah harapan
anak-anak Lumban Wetan untuk menghijaukan sawah dan
ladang mereka yang kering.
Beberapa saat terakhir, sawah dan ladang itu sudah dapat
disentuh barang sedikit air yang telah naik dibendungan.
Meskipun belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan, tetapi
sebagian dari sawah dan ladang di Lumban Wetan telah dapat
dibasahi sehingga tanamannya menjadi hijau segar. Tetapi
sebentar lagi, tanaman itu akan kembali menjadi kuning
gersang karena air yang naik kebendungan sebagian besar
akan mengalir ke Lumban Kulon.
Dalam pada itu, kini yang berdiri diarena untuk
mempertaruhkan kemungkinan merebut air itu adalah
Jlitheng, seorang anak muda yang telah bekerja keras untuk
mengendalikan air yang melimpah tanpa arti diatas bukit
berhutan itu. Namun bagi anak-anak muda Lumban Wetan,
kemampuan Jlitheng masih diragukan, sementara anak-anak
muda Lumban Kulon dan apalagi Nugata, menganggapnya
sama sekali tidak berarti
Sebenarnyalah Jlitheng sendiri sama sekali tidak ingin
menunjukkan kelebihan ilmunya. Jika ia turun kearena, adalah
karena ia menganggap, tindakan anak-anak muda Lumban
Kulon itu sama sekali tidak adil.
Nugata yang telah berada diarena itupun mulai bergerak.
Ia bergeser mendekat, sementara Jlitheng justru melangkah
surut. "Jika kau takut, pergilah" geram Nugata.
Jlitheng tidak menjawab. Tetapi yang menjawab adalah
pemburu, yang telah memilih Jlitheng untuk maju. Katanya "Ia
akan mengalahkanmu Nugata. Jlitheng adalah muridku yang
terpercaya. Aku memberikan ilmu kepadanya dengan diamdiam.
Ternyata hal itu sangat berarti sekarang ini "
"Persetan" teriak Nugata. Dan tiba-tiba saja ia sudah
meloncat menyerang. Jlitheng sudah menduganya. Dari langkah-langkah
lawannya itu mengerti, bahwa Nugata akan meloncat
menyerang. Karena itu, maka iapun segera menghindar.
Sebenarnyalah bahwa Nugata memang bukan lawan
Jlitheng. Jlitheng yang telah menempatkan dirinya berhadapan
dengan persoalan pusaka yang sedang diperebutkan di daerah
Sepasang Bukit Mati itu, masih harus berkelahi melawan anakanak
muda pedukuhan Lumban. Namun karena persoalannya
adalah persoalan yang dianggapnya cukup besar dan
menentukan bagi masa depan, maka iapun telah meluangkan
waktunya dan bahkan ia telah mengungkapkan sebagian dari
dirinya. Demikianlah, karena Jlitheng mengelak, maka Nugata telah
memburunya dengan serangan-serangan berikutnya, sehingga
Jlitheng harus berloncatan menghindarinya puh,. Bahkan
kemudian Jlitheng hampir berlari-lari kecil untuk mengambil
jarak dari lawannya. "Gila" geram Nugata "Kau berkelahi dengan cara pengecut"
"Aku hanya belum mapan" sahut Jlitheng.
Nugata yang segera ingin mengalahkan lawannya itupun
kemudian berteriak "Kemari, kita berkelahi ditengah arena,
Jangan bersembunyi dan lari"
Jlitheng dengan ragu-ragu melangkah maju. Langkahnya
lambat dan sangat berhati-hati. Namun dengan demikian,
Jlitheng memang nampak t idak meyakinkan sama sekali.
Nugata yang tidak sabarpun segera menyerangnya. Ia ingin
segera menjatuhkan Jlitheng dan memberikan hukuman atas
kelancangannya. Ia sudah tidak perlu menghemat tenaganya
lagi, karena anak itu adalah anak yang terakhir.
Tetapi ternyata Nugata tidak segena dapat
mengalahkannya. Jlitheng masih selalu mampu menghindari
serangan-serangannya. Bahkan rasa-rasanya serangannya
belum sempat menyentuh anak itu, meskipun Jlithengpun
nampaknya sama sekali tidak mampu membalasnya.
Namun yang demikian itu agaknya telah memancing
kemarahan Nugata. Karena itulah, maka iapun telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera dapat
mengalahkan anak muda yang bernama Jlitheng itu.
Jlitheng yang melihat kemarahan mulai membakar tata
gerak Nugata, segera bersiap-siap untuk memancing dan
menguras tenaga itu sampai kering. Ia ingin mengalahkan
Nugata tidak dengan serangan-serangan yang dapat
melumpuhkannya. Tetapi ia ingin mengalahkan Nugata
dengan cara yang lain. "Jika tenaganya telah habis, maka ia akan dapat disebut
kalah" berkata Jlitheng di dalamhatinya.
Perkelahian selanjutnya nampaknya memang tidak
seimbang. Jlitheng sama sekali tidak sempat menyerang. Ia
hanya dapat mengelak dan kemudian memancing serangan.
Jika Nugata mulai berpikir, bagaimana sebaiknya menghadapi
Jlitheng, maka Jlithengpun segera berbuat sesuatu yang dapat
mengungkap serangan-serangan Nugata sehingga dengan
demikian maka lawannya itu sama sekali tidak sempat berpikir
dan melihat kenyataan dari anak muda Lumban Wetan yang
bernama Jlitheng itu. Karena itulah, maka yang terjadi diarena itu benar-benar
telah membakar jantung Nugata. Rasa-rasanya ia berhadapan
dengan anak muda yang paling dungu, licik dan pengecut.
Tetapi rasa-rasanya ia tidak mempunyai kesempatan untuk
segera membanting dan mencekik lehernya, meskipun anak
itu akan mat i. "Gila" setiap kali Nugata menggeram. Namun betapapun ia
mengerahkan segenap kemampuannya, Jlitheng masih selalu
sempat mengelak dan kemudian berusaha menjatuhkan
dirinya. Demikianlah kemarahan yang membakar dada Nugata itu
telah melepaskannya dari pengamatan diri. Ia telah
mengerahkan segenap kemampuan tenaganya tanpa
diperhitungkan lagi. Karena itu, maka sebelum ia berhasil
mengalahkan lawannya, nafasnya terasa bagaikan saling
memburu dilubang hidungnya.
Sambil terengah-engah maka sekali lagi berteriak "Kau licik,
pengecut. Mari kita berkelahi secara jantan"
"Kau tidak memberi kesempatan" jawab Jlitheng "Tetapi
menghindari serangan adalah bagian dari berkelahi secara
jantan pula" Nugata menggeram. Jantungnya bagaikan terbakar oleh
kemarahan yang tidak terkendalikan. Apalagi karena serangan
serangannya yang telah dilepaskan dengan segenap
kemampuannya itu sama sekali tidak berhasil menjatuhkan
lawannya. Bahkan rasa-rasanya menyentuhpun tidak.
Dalam pada itu, Jlithengpun telah memperhitungkan setiap
kemungkinan sebaik-baiknya. Yang memperhatikan
perkelahian bukan saja anak-anak muda Lumban Wetan dan
Lumban Kulon, tetapi Daruwerdipun memperhatikan
perkelahian itu dengan seksama. karena itulah, ia harus
mempunyai cara tersendiri untuk mengelabuhinya.
Semilah yang agaknya menolongnya mengurangi perhatian
Daruwerdi. Setiap kali Semi berlari-lari mendekati kedua anak
muda yang berkelahi itu, sebagaimana Jlitheng yang lebih
banyak menghindar dengan loncatan-loncatan yang panjang.
Bahkan kadangHkadang Semi dengan sengaja telah menarik
perhatian Daruwerdi dengan gumam-gumam pendek yang
memberikan kesan tertentu.
Pada saat-saat terakhir itulah, maka Jlithengpun mulai
membalas serangan-serangan Nugata. Namun ia harus
memperhitungkan tenaganya dengan cermat, sehingga
sentuhan-sentuhan serangannya tidak menimbulkan kesan
tersendiri. Disaat-saat tenaga Nugata sudah menjadi semakin susut
maka Jlitheng mulai mengenainya dengan serangan-serangan
tangannya. Tetapi serangan-serangan itu seolah-olah tidak
terasa sama sekali oleh Nugata. Ketika tangannya menyentuh
pundak, maka Nugata telah mengumpatinya. Bukan karena
perasaan sakit, tetapi justru diluar dugaannya, bahwa Jlitheng
berhasil menyerangnya dengan tiba-tiba, menyusup diantara
pertahanannya. "Aku kurang berhati-hati" berkata Nugata di dalam hatinya
"untunglah bahwa tenaganya sama sekali tidak berarti bagiku.
Jika saja aku berhasil mengenainya satu kali saja, ia tentu
akan mati" Namun bagaimanapun Juga, kemampuan Jlitheng
menghindari serangan-serangan Nugata itu memang sudah
menarik perhatian. Betapapun juga Jlitheng berusaha
memberikan kesan, seolah-olah ia memang kurang tanggon
dan agak licik. Tetapi betapapun menjengkelkan lawannya.
Pada saat-saat terakhir, ternyata Jlitheng tidak lagi terlalu
banyak berlari-lari. Ia berusaha menghindar dengan jarak
pendek. Dan bahkan ia menjadi semakin sering menyerang,
meskipun jarang sekali serangan mengenai sasaran. Namun
dengan demikian ia telah memaksa Nugata untuk bekerja
lebih keras justru pada saat terakhir.
Ternyata usaha Jlitheng itupun berhasil. Nugata telah
kehilangan sebagian besar dari tenaganya. Selain karena ia
sudah berkelahi lebih dahulu melawan dua orang anak muda
Lumban Wetan yang memiliki kemampuan yang cukup, karena
mereka termasuk sepuluh anak muda terbaik di Lumban
Wetan, Jlithengpun telah berhasil memeras tenaga lawannya
sampai tuntas. Karena itulah, maka pada langkah-langkah terakhir, Nugata
hampir tidak berdaya lagi, ketika Jlitheng justru mempercepat
serangan-serangannya. "Gila" Nugata berteriak. Ia mengayunkan tangannya.
Namun sama sekali tidak menyentuh tubuh Jlitheng yang
melangkah setapak surut. Justru karena itu, maka iapun telah
terseret oleh ayunan kekuatannya sendiri selangkah maju.
Jlitheng telah memanfaatkan keadaan itu. Ia bergeser
kesamping, kemudian dengan serta merta mendorong tubuh
lawannya dengan jari-jarinya yang terkembang.
Dorongan itu t idak terlalu keras. Tetapi karena Nugata
memang sudahi kehilangan keseimbangan, maka dorongan itu
telah melemparkannya, sehingga iapun jatuh tertelungkup.
Perasaan anak-anak Lumban Wetan bagaikan meledak.
Demikian mereka melihat Nugata terjatuh, maka dengan serta
merta, mereka telah bersorak bagaikan meruntuhkan langit.
Bahkan beberapa orang diantara mereka telah meloncatloncat
sambil berteriak-teriak tidak menentu.
Sementara itu, anak-anak Lumban Kulon telah terpukau
oleh keadaan yang sama sekali tidak mereka duga
sebelumnya, Mereka sama sekali t idak menyangka, bahwa
Jlitheng akan mampu mengalahkan Nugata meskipun Nugata
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah berkelahi melawan dua orang berturut-turut sebelumnya.
Namun ternyata bahwa karena kelelahan, Nugata telah dapat
didorong jatuh oleh Jlitheng
Nugata sendiri sama sekali tidak mau mengakui kenyataan itu.
Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk bangkit. Disaatsaat
ia sedang mengerahkan sisa tenaganya, Jlitheng
melangkah mendekatinya. Namun Semi telah melangkah pula
memotong sambil berkata "Tunggulah sampai ia berdiri"
Jlitheng tertegun. Dipandanginya Semi sekilas. Namun
iapun kemudian melangkah surut.
Dalam pada itu, Daruwerdilah yang justru mendekati
Nugata sambil berdesis "Apakah kau sudah tidak mampu lagi
melawannya" "Aku akan membunuhnya" teriak Nugata. Daruwerdi yang
gelisah karena langit yang menjadi kemerah-merahan berkata
"Kau harus mengakui kekalahanmu"
"Aku belum kalah" Nugata berteriak sekali lagi sambil
menghentakkan dirinya dan berdiri dengan terhuyung-huyung.
Daruwerdi menengadahkan kepalanya. Kemudian
dipandanginya Rahu yang berdiri di pinggir arena. Niamun
Rahu itupun agaknya melihat kegelisahan Daruwerdi. Maka
katanya "Kau harus menyelesaikan tugasmu dismi lebih
dahulu" "Bagimana dengan mereka?" bertanya Daruwerdi.
"Mereka tidak akan datang pagi-pagi buta seperti ini.
Mungkin siang hari atau bahkan sore hairi" jawab Rahu.
Tidak seorangpun yang tahu, apa yang sedang mereka
bicarakan. Karena itu, anak-anak muda Lumban Wetan dan
Lumban Kulon sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka
lebih tertarik untuk memperhatikan keadaan Nugata yang
terenggah-engah. "Bagaimana?" Semi bertanya.
"Minggir kalian" geram Nugata "Aku akan melumatkannya"
Semi melangkah surut sambil berkata kepada Daruwerdi
"Biarlah ia meyakini kekalahannya"
Daruwerdi tidak menjawab. Bahkan iapun memberi isyarat,
bahwa perkelahian dapat dilanjutkan.
Jlitheng melihat kebencian yang menyala dimata Nugata.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lain, kecuali mengalahkannya.
Karena bagi Lumban Wetan, apa yang dilakukan itu akan
menentukan buat masa yang sangat panjang.
Nugata yang telah kehilangan sebagian besar dari
tenaganya itu masih berusaha menyerang Jlitheng. Sementara
Jlitheng sudah bertekad untuk segera mengakhiri perkelahian
itu. Apa lagi dengan kemenangannya atas Nugata, maka
Jlitheng akan berkelahi lagi melawan dua orang anak muda
Lumban Kulon. Sementara itu, ia masih harus berusaha untuk
tidak menyatakan dirinya sepenuhnya.
Karena itu, ketika Nugata menyerangnya, ia tidak
menghindarinya. Ia menangkis serangan itu sambil berdesis
lirih "Nugata, kau jangan kehilangan akal. Kau harus mengakui
kenyataan ini, agar aku tidak bertindak lebih kasar lagi.
Bukankah kita masih tetap berkawan untuk waktu yang akan
datang" Yang kita lakukan ini adalah sayembara yang jujur"
Tetapi Jlitheng terkejut ketika ia mendengar Nugata
berteriak "Kubunuh kau anak gila"
Jlitheng mengatupkan giginya. Ia masih harus menekan
diri. Benturan yang terjadi, adalah benturan yang tidak berarti.
Tenaga Nugata sudah semakin lemah, sementara Jlitheng
berusaha menangkis dengan lunak.
Namun karena Nugata masih tetap keras kepala, maka
Jlitheng berniat untuk bertindak lebih keras pada saat-saat
terakhir. Jika ia menyerang dan menjatuhkan Nugata sekali
lagi, maka yang dilakukan itu tidak akan sangat menarik
perhatian. Dalam pada itu, yang mengejutkan justru sikap Daruwerdi.
Ketika Daruwerdi berdiri dekat disisi Jlitheng, iapun berdesis
"Kau dapat mengalahkannya segera, sehingga kau tidak akan
kehabisan tenaga untuk perkelahian berikutnya"
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. la mengerti, bahwa
Daruwerdi agaknya digelisahkain oleh hari-hari terakhir pekan
yang dijanjikan oleh orang-orang Sanggar Gading.
Sebenarnyalah bahwa Jlitheng tidak mempunyai pilihan
lain. Karena itu, ketika Nugata terhuyung-huyung
menyerangnya, sekali lagi Jlitheng menangkis serangan itu.
Lebih keras dari yang sudah dilakukannya.
Dalam benturan itu, Nugata benar-benar tidak lagi dapat
bertahan. Ia terdorong selangkah surut. Dalam keadaan yang
demikian, Jlitheng telah memburunya. Ketika ia menyerang
sekali lagi kearah pundak Nugata, maka anak muda Lumban
Kulon itu terputar sekali kemudian sekali lagi ia terbanting
jatuh. Sekali lagi anak muda Lumban Wetan bersorak bagaikan
meruntuhkan langit. Namun sementara itu, anak-anak muda
Lumban Kulon menjadi sangat cemas. Jika Nugata sudah
dikalahkan, maka tidak akan ada orang lain yang akan dapat
berbuat lebih baik daripadanya.
"Ia sudah sangat letih setelah da berkelahi melawan dua
orang berturut-turut" desis seorang anak Lumban Kulon
ketelinga kawannya. "Tetapi ia masih nampak segar ketika ia mulai dengan
perkelahiannya yang terakhir" sahut kawannya yang lain.
Anak-anak muda Lumban Kulon itupun kemudian hanya
termangu-mangu saja melihat apa yang terjadi diarena.
Jlitheng berdiri tegak selangkah disampiing Nugata yang
terbujur ditanak Dengan susah payah Nugata masih berusaha
untuk bangkit. Namun setiap kali ia berusaha, maka setiap kali
ia terkulai kehabisan tenaga.
"Tidak ada gunanya" desis Daruwerdi yang kemudian
berdiri disebelahnya pula.
"Aku tidak kalah. Aku masih mampu membunuhnya" geram
Nugata. "Jangan menjadi Gila" Daruwerdipun menggeram. Lalu
tiba-tiba saja ia berkata "Aku sudah jemu melihat tingkah laku
kalian. Aku masih mempunyai seribu macam pekerjaan yang
lebih penting dari menunggui kalian berkelahi disini"
Nugata tercenung sejenak. Ia melihat perubahan sikap
Daruwerdi. Seakan-akan Daruwerdi tidak lagi berdiri
dipihaknya. Dipihak anak-anak muda Lumban Wetan.
"Nugata" berkata Daruwerdi kemudian "bagaimanapun juga
seorang laki-laki jantan tidak akan ingkar dari kenyataan. Kau
sudah kalah. Jika kau memaksa diri, maka kau sendiri yang
akan mengalami nasib yang buruk. Jlitheng yang meskipun
tidak memiliki ilmu setingkat dengan kau, tetapi ia memiliki
ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga ia tidak dapat kau
kalahkan. meskipun ia harus berlari-lari menghindar. Tetapi ia
tidak melakukan kesalahan. Dan ia telah memenangkan
perkelahian ini" Nugata menggeretakkan giginya Ketika ia berhasil berdiri
meskipun dengan terhuyung-huyung, maka dipandanginya,
wajah Jlitheng dengan penuh dendam dan kebencian.
"Kau tidak akan dapat mengalahkan aku" geram Nugata.
"Aku sekarang menang" jawab Jlitheng "sementara itu
perjanjian yang dibuat tetap berlaku. Pemburu-pemburu itu,
Daruwerdi dan anak-anak muda Lumban Kulon dan Lumban
Wetan menjadi saksi"
"Kau baru memenangkan sekali perkelahian" geram Nugata
"itupun karena kau berbuat licik, dan aku sudah berkelahi dua
kali berturut-turut lebih dahulu"
"Aku akan memenuhi segala ketentuan. Aku siap untuk
berkelahi lebih lanjut melawan dua orang berturut-turut"
jawab Jlitheng. Nugata memang tidak mungkin berkelahi lagi, betapapun ia
bernafsu dan dibakar oleh dendam. Tulang-tulangnya
bagaikan saling terlepas dari sendi-sendinya. Nafasnya seolaholah
hampir terputus dikerongkongan. .
"Tetapi kau harus dikalahkan" geram Nugata. Lalu katanya
"pilihlah seorang yang akan dapat memutar lehernya. Jika
yang seorang belum berhasil, maka orang berikutnya akan
mencekiknya, karena anak gila itu tentu sudah kehabisan
nafas" Daruwerdi menjadi semakin gelisah. Ia tidak dapat
mengukur kekuatan Jlitheng sebenarnya, meskipun ia mulai
curiga. Bahkan ia kurang yakin, bahwa betapapun pemburu itu
menempanya siang dan malam, namun ilmunya tidak akan
melonjak dengan tiba-tiba.
Dalam pada itu, seorang anak muda Lumban Kulon telah
bangkit. Seorang anak muda yang bertubuh tegap kekar. Ia
tidak membiarkan Jlitheng mendapat kesempatan untuk
beristirahat. Ia harus berkelahi dan memeras tenaga-Jlitheng,
sehingga apabila ia tidak dapat mengalahkannya, maka orang
berikutnya akan dengan mudahnya membanting Jlitheng
diatas tanah berpasir dan kemudian membenamkan wajahnya
kedalampasir itu. Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan. Nugata
yang sudah kehabisan tenaga., menghempaskan dirinya
duduk diantara beberapa orang kawannya di pinggir arena.
Namun dengan suara lantang ia masih berteriak " Peras
tenaganya sampai habis. Biarlah orang yang kemudian
melumatkan tulang-tulangnya"
Orang bertubuh kekar itu ternyata tidak menunggu
Daruwerdi atau Semi memberikan isyarat. Tiba-tiba saja,
tanpa diduga-duga sebelumnya oleh Jlitheng, bahkan oleh
anak-anak Lumban Wetan dan anak-anak Lumban Kulon
sendiri, orang bertubuh tegap kekar itu langsung menyerang.
Jlitheng yang tidak menduga, bafiwa hal itu akan dilakukan
oleh anak muda yang bertubuh tegap kekar ku terkejut.
Namun ternyata bahwa ia masih cukup sigap untuk berbuat
sesuatu. Demikian erangan itu datang, maka Jlitheng masih
sempat mdindungi dadanya dengan kedua tangannya.
Tetapi justru karena Jlitheng agak tergesa-gesa, maka ia
kurang memperhitungkan lontaran tenaganya. Sehingga
karena itulah, maka tangan lawannya itu seakan-akan telah
menghantam dinding baja. Dan dorongan yang kecil dari
tenaga Jlitheng ternyata telah melontarkan anak itu beberapa
langkah surut dan bahkan kemudian telah jatuh terguling.
Jlitheng sendiri terkejut melihat hentakan tenaganya.
Untunglah bahwa ia cepat berpikir. Demikian ia melihat
lawannya terdorong surut, maka iapun kemudian melangkah
terhuyung-huyung. Demikian lawannya jatuh terguling, maka
Jlithengpun dengan lemahnya telah terjatuh pula diatas tanah
berpasir. Arena itu tiba-tiba saja telah menjadi hening. Setiap orang
telah dicengkam oleh ketegangan. Mereka menyaksikan kedua
orang yang berada diarena itu terbaring diam untuk sesaat.
Namun Jlithengpun akhirnya mulai bergerak. Demikian pula
lawannya. Perlahan-lahan keduanya berusaha untuk bangkit
berdiri. Akhirnya keduanya telah tegak kembali. Daruwerdi yang
gelisah itu menjadi semakin gelisah. Ia melihat kedua anak
muda itu menjadi letih sekali.
"Jika Jlitheng tidak dapat mengalahkan kedua lawan
berikutnya, maka aku tidak akan mengurusinya lagi" berkata
Daruwerdi di dalam hatinya "biarkan pemburu-pemburu itu
menjadi saksi penyelesaian yang mungkin akan makan waktu
tiga hari tiga malam. Orang terbaik dari Lumban Kulon telah
lewat. Namun ia tidak mengakhiri perkelahian yang
menjemukan ini. Sementara kewajibanku sendiri telah
menunggu. Kewajiban yang yang lebih berharga daripada
sekedar melihat tikus-tikus berkelahi berebut sepotong
makanan" Sejenak kemudian kedua orang yang berada diarena itu
telah bersiap. Betapapun mereka nampak letih, tetapi mereka
masih akan melanjutkan perkelahian itu. Sementara Nugata di
pinggir arena berteriak dengan marah " Peras tenaganya
Biarlah ia mati dengan anak yang akan melawannya
kemudian. Anak muda Lumban Kulon itupun bergeser selangkah.
Dipandanginya wajah Jlitheng dengan tegang. Dengan nada
berat ia berkata "Kau akan menyesali perbuatanmu"
Jlitheng sama sekali tidak teringsut. Tetapi ia sudah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Bahkan iapun telah
memutuskan bahwa perkelahian itupun harus segera berakhir,
karena warna merah dilangit menjadi semakin tegas.
Karena itu, demikian lawannya menyerang, Jlitheng
beringsut menghindar. Kemudian dengan kekuatan yang
cukup besar, Jlitheng telah mendorong lawannya.
Akibatnya sangat mengejutkan. Anak muda Lumbaa Kulon
itu terdorong demikian kerasnya dan terlempar diantara
kawan-kawannya sendiri. Demikian kerasnya sehingga oleh
dorongan itu beberapa orang anak muda Lumban Kulon telah
terjatuh berdesakan dan saling menindih.
"Gila" geram anak-anak muda itu. Seorang diantaranya
berteriak "Ia Telah menyakiti aku. Biarlah aku
melumatkannya" Dalam pada itu, Jlitheng yang telah mendorong lawannya
cukup keras itupun berdiri terhuyung-huyung diarena. Tetapi
ia tidak terjatuh. Ia masih tetap berdiri dengan nafas
terengah-engah. Lawannya ternyata mengalami kesulitan untuk dapat
bangkit dengan cepat. Ketika ditolong oleh kawan-kawannya
ia berdiri tertatih-tatih, maka dengan tergesa-gesa Daruwerdilah
yang mengambil kcputusan "Kau sudah kalah"
"Belum" teriak anak muda itu. Disusul oleh Nugata "belum.
Ia masih dapat berkelahi. Jlitheng sudah hampir kehabisan
nafas pula" Ketika Daruwerdi tetap pada pendiriannya, anak-anak
muda Lumban Kulon telah berteriak-teriak dengan keras
"Belum. Ia belum kalah"
Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Betapa ia tergesagesa,
tetapi ia menganggap bahwa tidak bijaksana untuk
memaksakan keputusannya. Jika anak-anak Lumban Kulon itu
tidak mengakui kcputusan itu, maka akan timbul persoalan
lain yang gawat. Karena itu, maka iapun berkata kepada Semi "Apakah
masih perlu diyakinkan?"
"Masih ada waktu" Rahulah tiba-tiba saja menyahut
"biarlah mereka yakin bahwa keputusanmu benar"
Karena itu, Daruwerdi tidak menyegah lagi. Katanya
"Terserah. Jika kau merasa dirimu belum kalah. Lakukanlah
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkelahian berikutnya"
Lawan Jlitheng itupun melangkah tertatih-tatih maju. Sekali
lagi ia meloncat menyerang. Dan sekali lagi Jlitheng telah
menghindar dan mendorongnya. Namun karena ia sudah
jemu, maka ia tidak sekedar mendorong orang itu. Tetapi ia
telah memilih tempat tertentu yang ditekannya dengan ujungujung
jarinya pada saat ia mendorong lawannya
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu t idak
melihat, apa yang telah terjadi sebenarnya. Yang mereka lihat,
anak muda Lumban Kulon itu terdorong lagi dengan kerasnya
dan jatuh keatas tanah berpasir. Namun untuk beberapa saat
lamanya, ia tetap terbujur diam. Ternyata anak itu telah
pingsan. "Anak itu dibunuhnya" teriak Nugata dengan marah sekali.
Seandainya tulang-tulangnya tidak terasa terlepas satu sama
lain, ia akan meloncat bangkit dan menyerang Jlitheng. Tetapi
ia tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu kecuali berteriakteriak
saja. Daruwerdilah yang kemudian melangkah maju. Ialah yang
menolong anak muda itu bersama Semi. Katanya kepada
anak-anak muda Lumban Kulon "Ia pingsan. Ia benar-benar
telah kehabisan tenaga. Ia memaksa diri karena ia ingin
memenuhi permintaan Nugata untuk memeras habis tenaga
lawannya. Tetapi akibatnya, ia menjadi pingsan. Yang
bertanggung jawab atas peristiwa ini bukannya Jlitheng.
Tetapi justru Nugata"
"Gila" teriak Nugata, baginya Daruwerdi telah benar-benar
berubah. Namun dalam pada itu. Semi berkata "Bawalah menepi.
Rawatlah. Titikkan air dimulutnya. Sedikit saja"
Beberapa orang anak muda Lumban Kulon telah mengambil
kawannya yang pingsan itu. Kemudian membawanya
menjauh, sementara seorang diantara mereka telah berlari-lari
mengambil air dibendungan.
Dalam pada itu, Sebelum anak-anak muda Lumban itu
terpukau melihat peristiwa itu, Nugata dengan tergesa-gesa
berkata "Cepat. Selesaikan anak gila dari Lumban Wetai itu,
sebelum ia sempat bernafas"
"Siapa yang kau tunjuk Nugata" bertanya seorang yang
bertubuh tinggi kekurus-kurusan.
Nugata termenung sejenak. Namun kemudian katanya
"Kau. Kau pantas untuk mendapat satu kehormatan,
mengalahkan anak gila itu"
"Terima kasih" jawab anak muda itu sambil meoncat
memasuki arena. Dengan tangkasnya ia bersiap sambil
berkata "Kau akan menyesal Jlitheng.
"Akulah yang menguasai air itu untuk pertama kali. Aku
pulalah yang akan menentukan, apa yang akan terjadi dengan
air itu" geramJlitheng.
"Jangan sombong" teriak anak yang bertubuh tinggi
kekurus-kurusan itu. Tetapi Jlitheng telah benar-benar menjadi jemu. Bahkan ia
berkata kepada diri sendri "Aku tidak peduli tanggapan
Daruwerdi atasku. Tidak ada kesempatan lagi. Hari mi adalah
hari yang menentukan bagi Daruwerdi itu, dan barangkali juga
bagiku" Anak yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu mempunyai
perhitungan seperti Nugata. Ia tidak ingin memberi
kesempatan kepada Jlitheng untuk beristirahat. Selagi
nafasnya masih tersendat-sendat, ia ingn menjatuhkannya dan
bahkan melepaskan sakit hati atas kekalahan dua orang
kawannya yang terdahulu. Karena itu, maka iapun dengan serta merta telah
menyerang Jlitheng dengan garangnya.
Tetapi perhitungannya itu ternyata keliru. Jlitheng tidak
sedeng terengah-engah. Jlitheng tidak sedang kelelahan dia
kehilangan kemampuan untuk melawannya. Demikian
serangan itu datang, Jlitheng dengan sigapnya telah
menghindarinya. Lawannya yang tinggi kekurus-kurusan itupan telah
tergeser. Berbagai macam pertimbangan bergelepar
dikepalanya. Namun dalam pada itu ia masih tetap
menganggap bahwa Jlitheng telah kehabisan tenaga.
"Ia dapat memaksa dirinya untuk bergerak pada langkahlangkah
pertama. Tetapi ia akan segera kehabisan tenaga dan
jatuh terkulai tidak berdaya. Aku akan dapat mencekiknya dan
meyakinkan setiap orang, bahwa J litheng bukan orang yang
perlu disegani. Namun bersamaan dengan itu, kejemuan J litheng telah
sampai dipuncaknya. Karena itu, iapun telah menunggu
lawannya itu akan menyerangnya lagi.
Seperti yang diperhitungkannya, maka sejenak kemudian
anak muda yang tinggi kekurus-kurusan itupan telah meloncat
pula menyerangnya dengan garangnya.
Jlitheng memang sudah ingin mengakhiri perkelahian.
Langit sudah menjadi semakin merah. Bahkan diujung Timur,
digaris cakrawala, nampak cahaya pagi yang semakin terang.
Karena itu, demikian orang itu meloncat menyerang, maka
Jlitheng telah berusaha menghindarinya. Namun demikian ia
meloncat, maka iapun telah mengayunkan tangannya.
Memang tidak banyak orang yang mengerti, bahwa yang
dilakukan itu memang sudah diperhitungkan. Diperhitungkan
bukan saja akan dapat mengakhiri pertempuran, tetapi yang
terjadi itu seolah-olah telah dilakukan tanpa disengaja. Seolaholah
Jlitheng demikian saja melakukan gerakan yang da pat
menghantam tubuh lawannya yang sedang meloncat
menerkamnya, dan tanpa dikehendakinya. sendiri, tangan itu
telah menghantam tempat yang gawat.
Karena itu, lawannya yang menerkamnya tanpa berhast
menyentuhnya itu telah terdorong dengan derasnya. Ia telah
kehilangan keseimbangannya dan jatuh terbanting di tanah
berpasir. Demikian cepatnya hal itu terjadi. Dengan serta merta,
anak-anak- Lumban Wetanpun telah bersorak bagaikan
menggugurkan langit Seakan-akan bukan satu kebetulan, bahwa sorak yang
meledak itu telah mendorong cahaya pagi yang memancar
dari balik cakrawala Sejenak kemudian, maka langitpun
menjadi cerah. Matahari mulai menjenguk pedahan-lahan.
Nugata yang letih itu terkejut. Orang itu adalah orang
ketiga. Jika ia kalah, maka akan jatuh keputusan. Karena itu,
demikian kuatnya hentakkan di dalam hatinya, sehingga tibatiba
saja ia bangkit berdiri. Namun ketika ia terhuyunghuyung,
kawan-kawannya telah membantunya untuk tetap
berdiri. "Gila, Apa yang terjadi?"Ia menggeram.
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Lumban
Kulon kalah menurut perjanjian, namun ia tidak peduli lagi.
Hari itu adalah hari yang ditentukan oleh orang-orang Sanggar
Gading. Dan jika psrsoalan pusaka itu selesai maka selesai
pulalah hubungannya dengan orang-orang Lumban Kulon
ataupun Wetan. Ia tidak peduli, apa yang telah dilakukan oleh
Jlitheng, meskipun sebenarnya ia menaruh perhatian. Bahkan
ia agak curiga, bahwa dengan pimpinan pemburu tu. Jlitheng
memiliki kelebihan yang jauh dari anak-anak muda Lumban
Kulon, bahkan dari Nugata sendiri.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah berkata "Semuanya
telah berakhir. Kita akan bersikap sebagai seorang laki-laki
yang memegang janji. Anak-anak Lumban Wetan telah
memenangkan perkelahian ini, sehingga segala keputusan
mengenai bendungan dan air ini akan kami serahkan kepada
anak-anak muda Lumban Wetan"
"Tidak" teriak Nugata "Anak itu belum kalah. Ia masih
bangkit dan siap untuk berkelahi lagi"
Tetapi setiap orang melihat, bahwa orang yang bertubuh
tinggi kekurus-kurusan itu sudah terlalu lemah. Ia memang
berusaha untuk bangkit. Namun ia tidak akan mampu lagi
untuk berkelahi. Apalagi Jlitheng nampaknya masih cukup
segar dan siap untuk melakukan perkelahian lagi.
Ternyata sentuhan tangan Jlitheng benar-benar
menentukan. Anak muda yang bertubuh tinggi kekuruskurusan
itu benar-benar tidak dapat berbuat ana-apa lagi.
Ketika ia mencoba untuk melangkah, maka ia hampir saja
kehilangan keseimbangannya. Namun meskipun ia dapat
bertahan untuk tetip berdiri, tetapi ia tidak berani lagi
menggerakkan kakinya untuk melangkah maju. Jika sekali ia
melangkah, maka ia ter. akan terjatuh dan sulit untuk dapat
berdiri tegak lagi. "Cepat, lakukan" teriak Nugata "mumpung lawanmu masih
kelelahan" Tetapi anak muda yang bertubuh tinggi kekurus-kurusa itu
tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ketika sekali lagi Nugat
berteriak, terdengar anak muda itu mengeluh tertahan.
"Semuanya sudah berakhir" Daruwerdilah yang kemudian
berteriak "Jangan mengelabui diri sendiri. Apa yang kalian
lihat sudah jelas. Jangan membuat anak muda itu pingsan,
atau bahkan mati karena ketamakanmu Nugata"
Nugata memandang Daruwerdi dengan tajamnya. Ia
melihat anak muda itu sudah benar-benar berubah.
Tetapi Nugata tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika ia
melihat kedua pemburu itu berganti-ganti, Jlitheng dan
seorang lagi yang tidak jelas baginya, maka Nugata mengerti,
bahwa saat itu, semua kesempatan telah tertutup.
Dalam pada itu, anak-anak Lumban Wetan yang merasa
mendapat kemenangan itupun telah bersorak berkepanjangan.
Mereka merasakan satu kesempatan ikut serta menentukan
untuk waktu yang panjang bagi padukuhan mereka. Air adalah
lambang kesuburan bagi tanah yang kering dan tandus yang
sudah berpuluh tahun lamanya bagaikan ladang gersang yang
mati. Dalam pada itu, selagi anak-anak muda Lumban Wetan
bersorak dengan gembira, maka anak-anak muda Lumban
Kulon mengumpat sejadi-jadinya. Mereka merasakan satu
kekalahan yang paling menusuk perasaan. Namun merekapun
menyadari, bahwa mereka harus menerima kekalahan itu
karena mereka tidak akan dapat lagi memaksakan kehendak
mereka Dalam keriuhan kegembiraan anak-anak Lumban Wetan,
maka Semipun kemudian berkata lantang " Dengarlah. Beri
kesempatan aku berbicara"
Anak-anak muda Lamban Wetanpun kemudian berusaha
untuk menguasai perasaan mereka. Kegembiraan merekapun
kemudian mereda, sehingga akhirnya mereka diam sama
sekali. "Permainan kita sudah selesai" berkata Semi "Kita adalah
anak-anak muda yang teguh memegang janji dan
menghormat i keputusan yang sudah dibuat bersama. Karena
itu, masalah bendungan dan pintu air dapat kita anggap
selesai. Pintu air akan dikembalikan seperti semula. Air yang
akan mengalir ke Lumban Wetan akan sama banyaknya
dengan air yang akan mengalir ke Lumban Kulon"
Beberapa orang anak muda Lumban Wetan bergeser
setapak maju. Rasa-rasanya itu tidak adil. Jika anak-anak
muda Lumban Kulon menang, mereka berhak membuka pintu
air lebih besar. Tetapi jika anak-anak muda Lumban Wetan
yang menang, maka pintu air itu akan dikembalikan saja
seperti semula. Anak-anak Lumban Wetan tidak mempunyai
wewenang untuk membuka pintu air itu lebih lebar seperti
yang akan dilakukan oleh anak-anak Lumban Kulon dalam
keadaan yang sama. Tetapi dalam pada itu, Semi berkata selanjutnya
"Nampaknya itu adalah satu ujud kebesaran jiwa anak-anak
muda Lumban Wetan. Mereka memang tidak menuntut
sesuatu yang berlebih-lebihan. Yang mereka perjuangkan
diarena sayembara ini adalah keadilan. Bukan kesempatan
untuk berbuat sewenang-wenang.
Anak-anak muda vang merasa diperlukan tidak adil itupun
tertegun karenanya Jlitheng yang telah bekerja keras
mengarahkan air, dan kini berdiri diarena dan berhasil
menentukan akhir dari sayembara itupun t idak menolak
keterangan Semi. Karena itu, merekapun kemudian tidak
berbuat apa-apa ketika Semi melanjutkan "Matahari sebentar
lagi akan naik. Sebaiknya, kita kembali ke rumah masingmasing
dengan pengakuan di dalam hati, bahwa yang paling
baik akan berlaku di Kabuyutan Lumban. Air akan dibagi
dengan adil. Dan kedua bagian dari Lumban akan bersamasama
berkembang. Jika terjadi perpacuan dihari-hari
kemudian, maka yang terjadi itu adalah wajar dan adil pula.
Kelebihan yang satu akan ditentukan bukan karena kelebihan
kesempatan, tetapi tentu karena hasil kerja anak-anak
mudanya" Ternyata bahwa sebagian dari anak-anak muda Lumban
Kulonpun sempat mendengar kata-kata Semi itu. Namun
Nugata yang marah sama sekali tidak menghiraukannya.
Dengan sisa tenaganya maka iapun kemudian sambil
mengumpat melangkah meninggalkan bendungan. Bahkan ia
masih sempat berteriak "Aku tidak peduli lagi. Aku akan
pulang" Anak-anak Lumban Kulon termangu-mangu sejenak.
Namun sebagian dari merekapun kemudian mengikutinya
meninggalkan kawan-kawannya yang masih berkerumun di
bendungan Dalam pada itu, Semipun kemudian berkata "Kita memang
sudah selesai. Yang ingin pulang, segeralah pulang. Aku kira
anak-anak Lumban Wetanpun tidak akan tergesa-gesa
memperbaiki pintu air. Karena itu, pulang sajalah. Sebaiknya
hari ini kalian berada di rumah. Beristirahat dan menenangkan
hati. Besok, aku akan membantu kalian memperbaiki pintu air
yang sudah terlanjur dirombak ini"
Jlitheng yang masih berdiri diarena mengerti maksud Semi.
Hari itu adalah hari yang mempunyai arti tersendiri bagi
Daruwerdi dan orang-orang Sanggar Gading. Meskipun
nampaknya Semi tidak mempunyai hubungan langsung
dengan persoalan itu, namun ia dapat menangkap
maksudnya. Memang sebaiknya anak-anak Lumban Wetan
dan Lumban Kulon berada di rumah mereka pada saat-saat
orang-orang Sanggar Gading berada di daerah Sepasang Bukit
Mati. Dalam pada itu, Daruwerdi yang memerlukan persiapan
khusus itupun kemudian berkata "Akupun akan pulang. Aku
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlu beristirahat. Semalam suntuk aku melakukan pekerjaan
tidak berarti disini"
"Bukan tidak berarti Daruwerdi" sahut Semi "Kau sudah ikut
menegakkan keadilan disini. Kau kira nilai keadilan ini kecil
dari nilai-nilai lain yang sedang kau harapkan?"
Wajah Daruwerdi menegang sejenak. Namun La t idak
menanggapinya. Bahkan Katanya "Apapun yang kau katakan,
aku merasa sangat letih. Aku akan pulang"
"Silahkan" Rahulah yang menjawab sambil melangkah
mendekatinya "Aku akan memberitahukan kepadamu, apa
yang akan terjadi hari ini"
Daruwerdi memandang Rahu sekilas. Namun kemudian
katanya "Aku menunggu. Dan aku memang sudah siap"
Rahu mengangguk-angguk, sementara Daruwerdipun
melangkah sambil berkata "Lakukanlah apa yang baik menurut
kalian atas bendungan ini. Aku tidak mempunyai banyak
kepentingan lagi" Semi tidak menjawab. Ia memandangi saja Daruwerdi yang
meninggalkan anak-anak muda Lumban Wetan dan sebagian
anak-anak Lumban Kulon yang masih tinggal.
Dalam pada itu, Semi, kawannya yang telah mengatur
anak-anak muda Lumban Wetan, Rahu dan Jlithengpun
kemudian bersepakat untuk mempersilahkan anak-anak itu
segera pulang dan beristirahat di rumah seperti yang
dikatakan oleh Semi. "Besok kita mulai lagi dengan kerja" berkata Jlitheng
kepada kawan-kawannya. Kawan-kawannya, dan bahkan anak-anak muda Lumban
Kulon menjadi semakin segan kepada Jlitheng. Tanpa usaha
Jlitheng dan orang tua di kaki bukit, maka air itu tentu masih
belum dapat dikuasai. Sementara itu, Jlitheng pulalah yang
lelah menggagalkan usaha anak-anak muda Lumban Kulon
untuk membagi air dengan tidak adil.
Demikianlah, maka anak-anak Lumban Kulon yang tersisa,
dan anak-anak Lumban Wetan itupun segera bersiap-siap
untuk meninggalkan bendungan. Merekapun bersepakat untuk
mengerjakan bendungan dan pintu air dihari berikutnya.
Ketika anak-anak Lumban itu kembali ke padukuhan
masing-masing, maka beberapa orang anak muda dari
Lumban Kulon mulai menilai semua peristiwa yang telah
terjadi. Mereka mulai melihat, bahwa anak-anak Lumban
Wetan sama sekali tidak bermaksud untuk berbuat sewenangwenang
dengan kemenangannya. Bahkan dengan demikian
mereka mulai melihat, bahwa sebenarnya anak-anak Lumban"
Kulonlah yang ingin merusak kerukunan antara Lumban Kulon
dan Lumban Wetan. "Nugataiah yang bersikap demikian" desis salah seorang
dari anak-anak Lumban Kulon itu.
Yang lain mengangguk-angguk. Rasa-rasanya ia muiai
mendapat kesempatan untuk menilai, apa yang telah mereka
lakukan dalam saat-saat terakhir.
"Membuka pintu air lebih lebar bagi Lumban Kulon memang
tidak adil" desis yang lain pula.
Sementara itu merekapun mulai menelusuri, bagaiamna air
dapat tertumpah disungai yang sebelumnya hampir kering
sama sekali itu. Sehingga dengan demikian, maka mereka
menjadi semakin menghormati sikap Jlitheng. Selain karena
usahanya sehingga air itu dapat dimanfaatkan bagi sawah dan
ladang di padukuhan Lumban, iapun sama sekali tidak ingin
memanfaatkan kemenangannya untuk kepentingan yang tidak
adil seperi yang dikehendaki oleh anak-anak Lumban Kulon.
"Anak itu memang luar biasa" desis salah seorang anak
muda Lumban Kulon yang sedang dalam perjalanan pulang itu
"Ia orang kuat, cerdas, tetapi tidak sewenang-wenang"
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka mulai
melihat pertentangan watak antara Jlitheng dan Nugata.
Namun dalam pada itu, anak-anak Lumban Kulon itupun
berkata kepada diri sendiri "Anak laki-laki Ki Buyut di Lumban
Wetan tidak banyak berperan"
Sementara itu, ketika anak-anak Lumban Wcan telah
memasuki pedukuhan masing-masing di daerah Kabuyutan
Lumban Wetan, maka Jlitheng berada bersama di daerah
kabuyutan Lumban Wetan, maka Jlitheng berada bersama
kedua pemburu dan Rahu di banjar. Mereka masih harus
bersiap-siap untuk menghadapi satu saat yang penting dan
mungkin bahkan akan sangat menentukan.
Tetapi tiba-tiba saja Jlitheng berkata "Aku akan pergi
kekaki bukit, "Apa kau akan menemui orang tua itu?" bertanya Semi.
"Ya. Aku akan memberitahukan apa yang baru saja terjadi
dengan air yang telah kami arahkan bersama-sama" jawab
Jlitheng. "Kau juga akan berbicara tentang orang-orang Sanggar
Gading?" bertanya Semi. .
"Apakah aku tidak boleh mengatakannya kepada "raag tua
itu?" Jlitheng ganti bertanya.
"Itu tidak perlu" desis Rahu "mungkin orang itu dapat
dipercaya. Tetapi mungkin pula ia mempunyai sikap lain yang
dapat mengganggu rencana orang-orang Sanggar Gading dan
selanjutnya mengganggu tugas kita sendiri"
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia mengerti perasaan kawan
kawannya itu. Ia sendiripun t idak tahu pasti apakah
sebenainya orang tua itu benar-benar seorang yang terusir
oleh bencana alam seperti yang dikatakan, dan yang
kemudian mencari tempat pemukiman baru di lereng bukit itu,
atau bencana alam yang mungkin memang terjadi itu
hanyalah alasan yang men- dorongnya untuk melakukan
tugas-tugas yang besar di daerah Sepasang Bukit Mati ini
"Kenapa ia tidak mencari tempat lain yang mungkin lebih
baik dan lebih banyak memberikan kemungkinan untuk
diperkembangkan dari pada di daerah Sepasang Bukit Mati
ini?" pertanyaan itupun tumbuh pula dihati Jlitheng.
Namun rasa-rasanya ia tidak dapat mengekang dirinya
untuk berlari ke bukit dan berbicara tentang apa saja dengan
orang tua itu. "Pergilah" berkata Rahu kemudian "Tetapi berhati-hatilah.
Kau mempunyai kewajiban yang kau angkat sendiri
kepundakmu. Jangan kau kembangkan untuk sesuatu yang
kurang pasti" Jlitheng mengangguk-angguk. Dipandanginya Rahu
sejenak. Lalu katanya "Kau tahu apa yang pantas bagiku. Dan
akupun tahu apa yang baik bagiku"
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu adalah
anak muda yang keras hati, meskipun dalam persoalanpersoalan
tertentu hatinya menjadi lunak dan lembut. Tetapi
jika telah tumbuh tekad di dalam hatinya, maka ia akan
melakukannya dengan mempertaruhkan apa saja.
Meskipun Rahu tidak banyak mengenal anak muda itu
sendiri, tetapi apa yang tercermin pada anak muda itu adalah
sifat-sifat ayahandanya. "Lakukanlah tegas kalian berkata Jlitheng kemudian "hari
ini adalah hari terakhir dalam pekan ini. Mungkin hari ini
mereka akan datang. Masih belum dapat dibayangkan apa
yang akan terjadi dengan Pangeran itu dan apapula yang akan
dilakukan oleh Daruwerdi. Mungkin ia akan mengalami
persoalan yang rumit setelah pusaka yang dijanjikan itu
diserahkan. Tetapi mungkin oleh dendam yang membara
dihatinya, nasib Pangeran itulah yang harus kalian perhatikan.
Aku akan dapat ikut campur dengan langsung, tetapi mungkin
aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain bagi
keselamatan pusaka itu. Rahu memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian
iapun mengangguk sambil berkata "Kita masing-masingpun
masih belum tahu, apakah pada suatu saat kepentingan kita
tidak saling bertentangan"
Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
tersenyumsambil berkata "Aku akan pergi kelereng bukit "
Dengan langkah panjang Jlitheng meninggalkan banjar itu,
dan langsung pergi ke lereng bukit. Rasa-rasanya setiap
peristiwa penting, harus dilaporkannya kepada orang tua itu.
Ia tidak tahu pasti, pengarah apakah yang sudah
mencengkamnya Namun sampai saat terakhir, ia belum
pernah merasa dirugikan oleh orang tua di lereng bukit itu.
Ketika ia Mendekati gubug kecil di lereng bukit, ia melihat
gadis penghuni gubug itu justru baru saja melangkah
memasuki gubugnya. Tiba-tiba saja ia tertegun dan
jantungnya menjadi berdebar-debar. Namun akhirnya Iapun
melangkah mendekati pintu gubug yang terbuka itu.
Langkahnya terhenti di muka pintu. Lewat lobang pintu
yang terbuka ia melihat Kiai Kanthi duduk dialas amben
bambu. Dihadapannya terdapat semangkuk air panas yang
masih mengepul. Beberapa gumpal gula kelapa dan beberapa
potong ketela pohon rebus.
"Alangkah muktinya" desis Jlitheng yang berdiri di muka
pintu. Orang tua itu tersenyum. Kemudian iapun turun dari amben
sambil, mempersikhkan anak muda itu "Marilah ngger.
Silahkan" Jlithengpun melangkah masuk. Dipandanginya sekeliling
ruangan itu. Namun ia tidak melihat Swasti. Nampaknya gadis
itu langsung pergi kebelakang.
"Nampaknya ada sesuatu yang telah terjadi ngger?"
bertanya Kiai Kanthi. "Kenapa Kiai menebak demikian?" bertanya Jlitheng
"Aku melihat sorot mata angger yang nglayup. Angger tidak
tidur semalamsuntuk" jawab Kiai Kanthi.
"Aku sudah biasa melakukannya. Aku kira tidak ada
pertanda khusus padaku, apakah aku telah tidak tertidur
semalam suntuk atau tidak" jawab Jlitheng sambil duduk "Jika
Kiai melihat sesuatu padaku, tentu tidak pada mataku"
Kiai Kanthi tertawa. Lalu iapun bertanya "Dimana aku harus
melihat hal itu pada angger"
"Entahlah. Tetapi tidak pada sorot mataku" jawab Jlitheng.
Namun kemudian "Atau barangkali Kiai memang melihat
sesuatu. Tidak pada sorot mataku, tetapi dibendungan?"
Kiai Kanthi tertawa semakin panjang. Katanya "Salahkan
duduk dahulu. Angger tentu akan berceritera tentang
bendungan. Tetapi akupun akan berceritera pula tentang hal
yang lain" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai
Kanthipun telah pergi kebelakang menemui Swasti. Katanya
"Kita mempunyai tamu. Apakah kau masih mempunyai air sere
yang hangat dan gula kelapa?"
Swasti tidak menjawab. Tetapi iapun telah mempersiapkan
semangkuk air hangat dan kemudian mengikuti ayahnya untuk
menghidangkan air hangat itu.
Gadis itu sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun.
Jlithengpun hanya memandang sekilas. Kemudian anak muda
itu menundukkan kepalanya.
Dalam pada itu, Kiai Kanthipun kemudian mempersilahkan
Jlitheng untuk minum air hangat itu sambil makan ketela
rebus yang juga masih hangat.
"Segarnya" desis Jlitheng "semalam suntuk aku memang
tidak tidur. Air hangat, ketela pohon yang masih mengepul.
Rasa-rasanya memang nikmat sekali"
"Silahkan" sahut Kiai Kanthi "Kita akan minum, makan
sambil berceritera. Kau mempunyai ceritera menarik tentang
anak-anak Lumban Kulon dan Lumban Wetan yang
bertengkar" "Nampaknya Kiai sudah tahu" desis Jlitheng.
"Aku memang melihat peristiwa itu. Tetapi dari kejauhan
ngger. Aku tidak melihat dengan pasti, apa yang telah terjadi.
Hanya diakhir permainan itu, aku mendapat kesan bahwa
anak-anak Lumban Wetan telah memenangkan perkelahian
sampai orang yang terakhir. Dan akupun melihat angger
dalam saat-saat terakhir" berkata Kiai Kanthi "Apakah dengan
demikian berarti bahwa anak-anak muda Lumban Wetan dan
Lumban Kulon akan mengenal Jlitheng sebagai mana
adanya?" "Tidak Kiai" jawab Jlitheng dengan serta rnerta "Apa yang
nampak hanyalah sekedar untuk menyelamatkan Lumban
Wetan dari ketidak adilan. Yang aku lakukan tidak lebih dari
apa yang dimiliki oleh anak-anak Lumban Wetan dan anakanak
Lumban Kulon" Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya "Jadi angger
masih tetap terselubung bagi anak-anak Lumban"
"Ya. Tetapi nampaknya tidak akan lama lagi" jawab
Jlitheng. Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Sementara itu, Jlitheng
seolah-olah tidak menyadari lagi apa yang dilakukannya.
Dihadapan orang tua itu, seolah-olah Jlitheng merasa
mempunyai kewajiban untuk melaporkan apa saja yang
diketahuinya. Meskipun semula ia sama sekali tidak
bermaksud mengatakan sesuatu tentang orang-orang Sanggar
Gading, namun terloncat juga kata-katanya "Hari ini adalah
hari yang menentukan Kiai"
"Apa?" bertanya orang tua itu "Apakah yang angger
maksud menentukan itu?"
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Tetapi serasa memang
diluar kuasanya untuk menahan diri. Maka katanya "Orangorang
Sanggar Gading akan datang memenuhi permintaan
Daruwerdi yang sudah menunggu. Pusaka yang
disembunyikannya akan ditukarkannya dengan seorang yang
menurut anggapannya, telah membunuh ayahnya"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Peristiwa
yang gawat sekali. Angger, mungkin ada sesuatu yang dapat
aku ceriterakan kepadamu. Aku sudah menduga, bahwa
masalahnya akan menjadi bersusun seperti ini"
"Apa yang Kakek maksudkan?" bertanya Jlitheng.
"Aku memang melihat apa yang terjadi di bendungan"
berkata Kiai Kanthi "Tetapi sebenarnya yang menarik
perhatianku bukan peristiwa dibendungan itu sendiri. Karena
itulah, maka aku tidaK dapat melihat dengan pasti, apa yang
telah terjadi" "Lalu, apakah yang menarik perhatian kakek pada saat
itu?" bertanya Jlitheng.
"Aku melihat dua orang yang berada disekitar arena
perkelahian itu" berkata Kiai Kanthi "Aku tidak tahu pasti,
siapakah mereka itu. Namun nampaknya kedua orang itu
adalah orang-orang yang datang seperti yang pernah terjadi
Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya. Di daerah Sepasang Bukit Mati ini telah pernah
datang orang-orang dari, padepokan Kendali Put ih, orangorang
Pusparuri yang telah berhubungan langsung dengan
Daruwerdi, dan sekarang akan datang orang-orang Sanggar
Gading. Agaknya kedua orang yang aku lihat itu juga
mendengar tentang kedatangan orang-orang Sanggar Gading
itu" Jlitheng menegang sejenak. Dipandanginya wajah Kiai
Kanthi dengan tatapan mata yang tajam Kemudian terdengar
ia berdesis "Kiai melihat kedua orang itu?"
"Ya. Aku melihat mereka. Tetapi nampaknya mereka tidak
terlalu dekat dengan arena. Karena itu pulalah aku tidak tahu
pasti apa yang telah terjadi diarena itu pula meskipun aku
dapat menduga-duga" berkata Kiai Kanthi.
"Apakah Kiai melihat, kemana kedua orang itu pergi?"
bertanya Jlitheng. Kiai Kanthi menggelengkan kepalanya. Jawabnya "Aku tidak
dapat mengikuti mereka ngger. Selain hari menjadi semakin
cerah, akupun menduga, bahwa keduanya memiliki ketajaman
perasaan. Jika keduanya mengetahui bahwa aku
mengikut inya, maka persoalannyapun akan segera bergeser
Putri Kesayangan Ayah 5 Pendekar Mata Keranjang 3 Malaikat Berdarah Biru Melacak Pesawat Misterius 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama