Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 26

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 26


bertanya Kangjeng Sultan.
"Ya. Hamba telah melihatnya" jawab Pangeran Sena
Wasesa. Kangjeng Sultan mengangguk-angguk kecil. Dipandanginya
orang-orang yang mengikut Pangeran Sena Wasesa
menghadap. Seorang demi seorang Pangeran itu menyebut,
siapakah mereka itu. "Perempuan itu adalah isteri hamba" berkata Pangeran
Sena Wasesa. Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Dipandanginya ibu
Daruwerdi dengan perasaan iba, karena menilik ujud
lahiriahnya, perempuan itu tentu mengalami satu pengalaman
yang pahit di dalam hidupnya.
Kemudian ditatapnya wajah Swasti yang tunduk. Gadis itu
memang gadis yang aneh. Nampaknya gadis itu gadis yang
luruh. Tetapi menilik ceritera Pangeran Sena Wasesa, gadis itu
adalah gadis yang garang dan bahkan telah menyelamatkan
hidup isteri Pangeran Sena Wasasa itu.
Sejerak kemudian Kangjeng Sultan ilupun bertanya
"Kakangmas Pangeran telah memperkenalkan orang-orang
yang menolong kakangmas ini seorang demi seorang. Tetapi
dengan sekedar menyebut nama, aku tidak mengenal mereka
lebih dalam" Pangeran Sena Wasesa mengangguk hormat. Katanya
"Baiklah adimas Sultan. Aku akan mencoba memberikan
beberapa keterangan tentang mereka"
Dan Pangeran Sena Wasesapun mulai dari Ki Ajar Cinde
Kuning. Bahkan Pangeranpun sempat memperkenalkan
saudara kembar Ki Ajar Cinde Kuning yang lelah menempuh
jalan yang sesat, serta mengakhiri hidupnya dengan cara yang
paling pahit. Membunuh diri.
Pangeran Sena Wasesa itupun akhirnya menyebut juga
seorang petugas sandi yang ada di dalam lingkungan orangorang
yang telah menolongnya itu, yang sempat menyusup ke
dalam lingkungan orang-orang Sanggar Gading.
Kangjeng Sultan di Demak itu mengangguk-angguk.
Katanya "Aku memang memerintahkan para prajurit mencari
kakangmas Pangeran sejak kakangmas Pangeran dinyatakan
hilang. Tetapi sulit bagi kami untuk melacaknya dan karena
itu, para petugas agak terlambat menemukan kakangmas.
Sokurlah. bahwa kakangmas telah kembali dengan selamat.
Bahkan dalam tekanan pengalaman pahit itu kakangmas telah
menemukan jalan yang paling baik yang harus kakangmas
tempuh" "Hamba Adimas" jawab Pangeran Sena Wasesa "namun
sebenarnyalah petugas sandi itu telah berada di Sanggar
Gading lebih dahulu dari rencana mereka mengambil hamba"
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Katanya "Aku
mengucapkan terima kasih kepadanya. Tetapi dalam rangka
tugas yang manakah, maka orang itu berada di Sanggar
Gading?" "Adimas dapat bertanya kepada orang itu" jawab Pangeran
Sena Wasesa. Ketika Sultan memandangi Rahu yang tunduk Pangeran
Sena Wasesapun berkata "Rahu, kau dapat melaporkan tugas
yang kau jalankan" "Hamba tuanku" desis Rahu sambil menyembah "hamba
mendapat tugas dari Pangeran Jalayuda selaku Panglima
pasukan khusus untuk melakukan tugas sandi, karena
Pangeran Jalayuda mendengar tentang pusaka dan harta
benda yang belum kembali ke istana Kawan hamba yang
seorang tidak berhasil memasuki padepokan Kendali Putih dan
bahkan telah mengalami cidera yang hampir saja merenggut
jiwanya. Untunglah bahwa kawan hamba itu dapat tertolong
dan kembali kepada kesatuannya. Sementara kawan hamba
yang lain telah bersama hamba membayangi Padepokan
Sanggar Gading. Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Aku memerlukan laporan yang lebih terperinci lewat Adimas
Jalayuda. Nanti kau akan dapat menghadap dan kembali
kepadanya dengan laporan yang lebih jelas"
"Hamba tuanku. Hamba akan menjalankan segala perintah"
jawab Rahu. Namun dalam pada itu, ketegangan telah mencengkam
ketika Kangjeng Sultan berkata "Kakangmas Pangeran. Banyak
persoalan yang ingin aku katakan. Tetapi aku hanya ingin
mengatakannya kepada kakangmas Pangeran, sehingga
setelah pertemuan ini, aku akan berbicara khusus dengan
kakangmas Pangeran. Aku tidak ingin memperkecil arti sanak
kadang yang ada disini. Tetapi karena persoalannya
menyangkut hubungan antara aku dan Pangeran Sena Wasesa
yang telah melakukan satu kesalahan, maka aku terpaksa
berbicara tanpa ada orang lain"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia
memang tidak akan luput dari hukuman atas kesalahannya.
Dan itu sudah diketahuinya. Namun bagaimanapun juga ia
telah merasakan satu kemenangan yang dapat memberinya
satu kebanggaan. Ia telah memenangkan perjuangan
melawan ketamakan yang hampir saja mencengkam nalar dan
budinya. Namun dalam pada itu, ternyata Rahu masih juga
mempunyai satu masalah yang ingin disampaikan kepada
Kangjeng Sultan. Karena itu dengan suara bernada ragu, ia
berkata "Ampun tuanku. Dalam kesempatan ini hamba masih
akan menyatakan satu hal kehadapan tuanku"
Kangjeng Sultan di Demak itu memandang Rahu dengan
tajamnya. Kemudian dengan ragu-ragu Kangjeng Sultan itu
bertanya "Apa yang masih ingin kau sampaikan?"
"Tentang diri kami masing-masing Kangjeng Sultan" jawab
Rahu. "Katakan " perintah Kangjeng Sultan.
Rahu memandang Jlitheng sekilas. Kemudian Katanya
"Tentang anak muda ini tuanku"
"Bagaimana dengan anak muda itu?" bertanya Sultan pula.
Rahu menarik nafas dalah-dalam, sementara Jlitheng
menjadi gelisah. Sebenarnya ia tidak ingin disebut apapun
juga di hadapan Kangjeng Sultan. Ia lebih suka dikenal
sebagai Jlitheng, anak Kabuyutan Lumban.
Namun dalam pada itu, Rahu telah berkata "Tuanku. Anak
muda ini mempunyai pertanda Cakra Surya Candra"
"He" Kangjeng Sultan terkejut. Dipandanginya Jlitheng
dengan tajamnya. Kemudian dengan nada dalam ia bertanya
"Benarkah demikian anak muda?"
Jlitheng tunduk dalam-dalam. Namun sambil menyembah
iapun kemudian menjawab "Ampun tuanku. Sebenarnyalah
apa yang dikatakan oleh Wira Murti"
"Siapakah Wira Murti?" bertanya Sultan pula.
"Petugas sandi itu bernama Wira Murti" jawab Jlitheng
"iapun mempunyai pertanda yang serupa"
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Kemudian katanya
"Tetapi siapakah sebenarnya anak muda ini" Ia tentu bukan
seorang prajurit Majapahit pada waktu itu, karena umurnya
masih terlalu muda. Sehingga dengan demikian apa
hubungannya dengan pasukan terpilih yang mempunyai ciri
Cakra Surya Candra?"
"Anak muda itu adalah Candra itu sendiri tuanku. Ia adalah
putera Pangeran Surya Sangkaya yang bergelar Kuda Surya
Anggana di peperangan. Anak muda itu adalah Raden Candra
Sangkaya" jawab Rahu.
Kangjeng Sultan di Demak itu mengangguk-angguk.
Sementara itu beberapa orang yang berada diruang itu telah
memandangi Jlitheng yang menundukkan wajahnya dengan
tajamnya. Ki Ajar Cinde Kuningpun mengangguk-angguk.
Sementara Daruwerdi menjadi tegang.
"Aku sudah mengira" katanya di dalam hati "Anak itu tentu
mempunyai kekuatan tertentu di dalam dirinya.
Namun dalam pada itu. Kiai Kanthi dan Swasti sama sekali
sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah mengetahuinya bahwa
anak muda itu adalah seorang yang memiliki darah keturunan
Majapahit dalam tataran yang tinggi.
Hampir diluar sadarnya Daruwerdi memandang kearah
Swasti. Ada semacam sentuhan dihatinya. Nama itu akan
menarik perhatian Swasti. Justru karena Jlitheng juga seorang
keturunan bangsawan dari Majapahit.
Tetapi Daruwerdi menjadi heran. Swasti seolah-olah t idak
peduli sama sekali terhadap nama dan gelar itu. Tidak ada
kesan apapun yang tergores di wajahnya.
Dalam pada itu, maka Kangjcng Sultanpun kemudian
berkata "Banyak hal-hal yang tidak terduga yang telah kalian
bawa menghadap" Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Memang
mengejutkan, bahwa anak muda itu adalah seorang putera
dari Pangeran Surya Sangkaya. Dengan demikian, maka
Pangeran Sena Wasesa merasa jantungnya bagaikan berkerut
Seolah-olah Pangeran Surya Sangkaya yang bergelar Kuda
Surya Anggara, yang lelah menyerahkan nyawanya untuk
mempertahankan Majapahit, telah melihat apa yang
dilakukannya dengan wajah yang sedih.
"Untunglah bahwa aku masih mendapat kesempatan untuk
menemukan jalan kembali dari kesesatan itu" berkata
Pangeran Sena Wasesa di dalam hatinya. Lalu "Jika tidak,
maka aku benar-benar seorang yang paling hina. Mereka yang
berkorban tanpa pamrih, sementara aku yang tidak berbuat
banyak, telah dikuasai oleh pamrih yang berlebihan"
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Kangjeng
Sultanpun berkata Aku minta kalian tetap tinggal di istana ini
untuk beberapa lama. Bagaimanapun juga sepantasnya aku
mengucapkan terima kasih kepada kalian dengan cara yang
berguna. Bukan sekedar ucapan terima kasih di bibir tanpa
mempunyai arti bagi kalian masing-masing.
"Hamba telah menyaksikan satu peristiwa yang akan
sangat bermanfaat bagi hamba. Hamba merasa mendapat
bekal pada saat-saat terakhir hamba" berkata Ki Ajar Cinde
Kuning "Karena itu. sebenarnyalah hamba sudah merasa
mendapat limpahan kemurahan hati Tuanku. Sehingga dengan
demikian, sebenarnya hamba ingin mohon diri. Apabila setiap
saat tuanku memerlukan hamba, maka hamba akan
menghadap" Tetapi Kangjeng Sultan menggeleng. Katanya "Jangan
sekarang. Sudah aku katakan, aku akan mengatur segala
sesuatunya sebagai ucapan teruna kasihku atas nama
Kerajaan Demak. Jika kau mempunyai sebuah padepokan,
maka padepokanmu perlu dikembangkan. Karena itu, aku
menahanmu barang satu dua hari. Aku akan berbicara dengan
Pangeran Sena Wasesa, dengan Pangeran Jalayuda dan
dengan putera Pangeran Surya Sangkaya yang bergelar Kuda
Surya Anggana. Aku juga minta Kiai Kanthi dan Ki Sanak yang
lain untuk t inggal barang satu dua hari"
Ki Ajar Cinde Kuning tidak dapat memaksa. Karena itu,
maka iapun hanya dapat mengangguk hormat sambil
menyembah. Kacanya "Hamba akan menjalankan segala
perintah tuanku" Demikianlah, maka ternyata orang-orang yang menyertai
Pangeran Sena Wasesa itu masih harus tinggal. Tetapi ada
diantara mereka yang sekaligus menghadapi pimpinan
langsung mereka. Rahu yang bernama Wira Murti itu harus
menghadap Pangeran Jalayuda bersama Semi dan seorang
kawannya. Sementara Jlitheng ternyata masih harus
meyakinkan dirinya kepada orang-orang yang mendapat tugas
untuk menelitinya. "Salah Rahu" berkata Jlitheng di dalam hatinya "Aku tidak
memerlukan apa-apa dengan gelar itu. Sekarang aku harus
dalam keadaan khusus untuk membuktikan diriku sendiri.
Sebenarnya aku lebih senang disebut Jlitheng, anak Lumban"
Tetapi Jlitheng tidak dapat ingkar. Ia harus menjalani
pemeriksaan tersendiri. Namun selama itu Pangeran Sena
Wasesapun telah menjalani pemeriksaan khusus pula tentang
pengakuannya atas pusaka dan harta benda yang
diperebutkan dan telah menimbulkan banyak korban itu.
Dalam pada itu, selagi Pangeran Sena Wasesa harus
menjalani pemeriksaan di tempat yang tidak dapat di kunjungi
oleh siapapun, yang langsung di lakukan oleh Sultan sendiri
bersama beberapa orang kepercayaannya, sementara
Jlithengpun dalam waktu yang lain harus membuktikan
pengakuannya, maka orang-orang lain yang datang bersama
mereka telah di tempatkan di sebuah bangsal di lingkungan
istana Demak. Ibu Daruwerdi yang ada diantara mereka selalu
merasa cemas tentang keadaan Pangeran Sena Wasesa.
Mungkin Sultan telah mengambil satu keputusan yang akan
sangat berat bagi Pangeran itu.
Namun ternyata Pangeran Sena Wasesa sendiri measa,
bahwa dengan demikian beban perasaannya justru menjadi
ringan, la sudah mempertanggung jawabkan kesalahannya
terhadap negerinya. Hampir saja ia telah melakukan satu
kesalahan yang tidak lain dari sebuah pengkhianatan.
"Hamba menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan
adimas Sultan" berkata Pangeran Sena Wasesa "hamba telah
merasa sangat bersalah"
Namun Sultan tidak mengambil keputusan sendiri. Ia telah
berbicara dengan beberapap orang terpenting di Demak.
Dalam pada itu, dengan bukt i-bukti yang ada, maka Sultan
di Demak pada kesempatan lain telah menerima dan meyakini
bahwa Jlitheng memang putera Pangeran Surya Sangkaya
yang bergelar Kuda Surya Anggana. Sehingga dengan
demikian, maka anak muda itu tidak dapat dituduh telah
memalsukan dirinya untuk kepentingan tertentu.
"Kau mendapat kesempatan untuk mengajukan permintaan
bagi dirimu sendiri" berkata Kangjeng Sultan "kau telah
membantu dengan kemauanmu sendiri, tanpa pamrih
menemukan pusaka dan harta benda yang t idak ternilai
harganya. Kau berhak untuk diangkat menjadi Pangeran atas
dasar gelar kehormatan dan Demak akan menyediakan
sebuah istana bagimu"
Jlitheng menundukkan kepalanya. Satu kehormatan yang
tidak ada taranya. Dengan menyembah ia menjawab "Hamba
hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih tuanku"
Namun dalam pada itu, ketika ia berada diantara orangorang
yang datang bersamanya, maka betapa hatinya menjadi
kecewa. Dalam kegelisahan, maka Daruwerdi berusaha untuk


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menenangkan hati ibunya. Bukan saja Daruwerdi, tetapi
Swasti telah ikut pula membantunya. Bahkan hiburan yang
paling memberikan ketenangan kepada ibu Daruwerdi itu
adalah justru hubungan anaknya dengan Swasti, gadis yang
luar biasa yang telah menyelamatkannya dari kematian.
"Mudah-mudahan ikatan yang ada diantara mereka akan
dapat dikukuhkan" berkata ibu Daruwerdi di dalamhatinya.
Sebenarnyalah menurut pengamatan Jlitheng yang diam
diam selalu mengikut i hubungan antara keduanya, rasarasanya
memang tidak akan ada kesempatan lagi baginya.
Karena itu, maka dengan hati yang pahit ia telah menentukan
sikapnya sendiri terhadap kesempatan yang telah diberikan
oleh Kangjeng Sultan, tentang gelar kehormatan dan istana
yang akaa di berikan kepadanya sebagaimana bagi seorang
Pangeran. "Semuanya itu tidak akan ada gunanya lagi bagiku" berkata
Jlitheng di dalam hatinya.
Dalam pada itu, ternyata Kangjeng Sultan dan beberapa
orang pemimpin tertinggi Kerajaan, telah mengambil satu
keputusan bagi Pangeran Sena Wasesa. Kangjeng Sultan telah
mengampuni segala kesalahannya. Penderitaan lahir dan batin
selama ia berada di tangan orang-orang Sanggar Gading telah
diperhitungkan sebagai satu kuhuman yang pantas bagi
Pangeran itu. Kegelisahannya tentang anak perempuannya
yang ditinggalkannya merupakan beban yang paling berat.
Karena itu, maka akhirnya Pangeran Sena Wasesapun telah
mendapatkan kebebasannya.
Pada saat yang demikian, Jlitheng mendapat satu
kepastian. Pangeran Sena Wasesa akan berbicara dengan Kiai
Kanthi tentang anak gadis pengembara itu. Bagaimanapun
juga Pangeran Sena Wasesa tidak akan dapat menolak Ikatan
perasaan diantara anak laki-Iakinya dengan gadis Kiai Kanthi.
"Aku akan mempersilahkan kalian singgah di rumahku"
berkata Pangeran Sena Wasesa.
"Tetapi bagaimana dengan puteri Pangeran?" bertanya ibu
Daruwerdi "Apakah puteri akan dapat menerima kami?"
"Aku akan berbicara kepadanya" jawab Pangeran Sena
Wasesa "apalagi ia sudah tidak beribu lagi. Mudah-mudahan ia
dapat menerima satu kenyataan yang barangkali tidak pernah
dipikirkannya sebelumnya. Karena itu Ki Ajar Cinde Kuning,
Kiai Kanthi dan kalian yang lain bersedia singgah, maka kalian
akan dapat membantuku membuka pikiran anak gadisku. Ia
tentu sudah terlalu lama menungguku"
Ternyata orang-orang itu tidak pernah menolak permintaan
Pangeran Sena Wasesa. Bahkan Kangjeng Sultanpun telah
menganjurkan kepada mereka untuk memenuhi undangan itu.
Namun dalam pada itu, maka Kangjeng Sultan di
Demakpun tidak lupa untuk memberikan pertanda terima
kasihnya kepada orang-orang yang telah dengan tidak
langsung ikut mengembalikan harta benda dan pusaka yang
tidak ternilai harganya itu ke Demak, karena pusaka dan harta
benda itu akan sangat gunanya untuk membina
perkembangan Demak selanjutnya sebagai kelanjutan
kekuasaan Majapahit yang t idak dapat dipertahankan lagi.
Kepada Ki Ajar Cinde Kuning Kangjeng Sultan di Demak itu
berkata "Ki Ajar. Tidak ada yang dapat aku berikan yang lebih
bermanfaat bagi Ki Ajar, selain membangun padepokan yang
telah Ki Ajar miliki"
Ki Ajar itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
sambil menyembah ia menjawab "Ampun tuanku. Memang
tidak ada yang lebih baik bagi hamba selain sebuah
padepokan. Tetapi menurut perasaan hamba, padepokan
hamba telah menjadi cacat seperti tubuh hamba. Hamba sama
sekali tidak mendendam kepada adik hamba, apalagi setelah
adik hamba tidak ada lagi. Tetapi padepokan itu akan selalu
memberikan kenangan pahit bagi hamba dan bagi para
penghuninya" Kangjeng Sultan yang telah mendengar ceritera tentang Ki
Ajar Cinde Kuning itu memaklumi perasaannya, sementara Ki
Ajar meneruskan "Hamba tidak akan dapat memasuki lagi
padepokan yang telah pernah disebut padepokan Macan
Kuning tuanku" "Aku mengerti Ki Ajar" sahut Kangjeng Sultan "Jika
demikian maka aku dapat menduga, bahwa Ki Ajar lebih baik
membuka sebuah padepokan baru daripada mempergunakan
padepokan yang telah ternoda itu"
Ki Ajar Cinde Kuning termenung sejenak. Namun kemudian
katanya "Ampun tuanku. Hamba masih akan merenungi hidup
ini untuk beberapa lama. Pada saatnya mungkin hamba akan
membangun sebuah padepokan yang akan dapat memberikan
tempat kepada hamba umtuk menyalurkan ilmu sederhana
yang ada pada diri hamba"
"Ki Ajar" berkata Kangjeng Sultan "Kau tidak usah
menunggu lebih lama. Bukan maksudku untuk membeli
jasamu. Aku mengerti bahwa kau melakukan pengabdianmu
tanpa pamrih sama sekali. Tetapi akupun mengerti bahwa kau
memerlukan sebuah padepokan itu"
Ki Ajar mengangguk-angguk kecil. Kemudian jawabnya
"Hamba hanya dapat mengucapkan beribu terima kasih
tuanku. Sudah barang tentu hamba tidak akan menolak
hadiah yang akan tuanku berikan. Hamba memang masih
mempunyai beberapa orang adik seperguruan. Mereka tentu
akan dapat membantu hamba untuk beberapa lama, meskipun
mereka sudah mempunyai padepokan mereka masing-masing"
"Aku akan membangun padepokan mereka pula" berkata
Kangjeng Sultan "Aku berharap bahwa padepokan-padepokan
itu akan dapat membantu membangun manusia lahir dan
batinnya. Aku berharap bahwa padepokan-padepokan itu akan
dapat menjadi pelita yang menerangi daerah di sekitarnya,
sehingga bukan saja memberikan tuntunan kepada para
cantrik, menguyu, jejangga dan para pathut yang ada di
padepokan itu sendiri"
Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia menyembah "Tuanku, pesan itu adalah pesan
yang sangat berarti bagi hamba meskipun akan sangat berat
untuk melakukannya. Tetapi hamba mengerti, bahwa hidup
hamba di padepokan memang bukan satu kehidupan yang
terpisah dari kehidupan masarakat disekitar hamba. Karena
itu. apabila memang ada kelebihan pada hamba dan seisi
padepokan, maka kelebihan itu memang sewajarnya
dilimpahkan kepada masarakat disekitarnya"
"Terima kasih Ki Ajar" jawab Kangjeng Sultan "Siapa lagi
yang akan dapat berbuat demikian. Masarakat memang
memerlukan sesuluh. Apalagi bagi mereka yang tinggal
terpencil" Ki Ajar Cinde Kuning mengangguk-angguk. Meskipun ia
sama sekali tidak mengharapkan hadiah apapun juga atas
pengabdiannya, namun jika hal itu akan bermanfaat bagi
kepentingan orang banyak, bukan saja dirinya sendiri dari
para muridnya, maka ia harus menerimanya dengan tangan
terbuka. Namun yang mengejutkan kemudian adalah sikap Jlitheng.
Agaknya Kangjeng Sultan sangat menghargai pula perjuangan
anak muda ini. Ia dengan sengaja telah menempatkan dirinya
dalam tugas yang sangat berat itu. Meskipun bagi Jlitheng apa
yang terjadi di sepasang Bukit Mati itu semula tidak terlalu
jelas, tetapi tangkapan naluriahnya telah memberikan
beberapa gambaran tentang daerah itu.
Karena itu, maka terhadap anak muda ini Kangjeng Sultan
telah mengalangi pertanyaannya "Candra Sangkaya, aku tidak
tahu apa yang sebaiknya aku berikan kepadamu. Karena itu,
katakanlah, barangkali kau memerlukan sesuatu selain gelar
Pangeran dan sebuah istana yang memadai"
Nampaknya Jlitheng memang tidak terlalu berminat lagi
untuk berbuat apapun juga bagi hari depannya. Perasaannya
sedang dikaburkan oleh gejolak jiwanya sebagai seorang anak
muda yang kecewa. Bagaimanapun juga Jlitheng adalah
manusia biasa sebagaimana manusia yang lain, dalam
hubungannya dengan sentuhan yang paling halus pada
perasaannya. Jlitheng sebenarnyalah telah merasa kehilangan.
Namun dalam pada itu, ternyata ia mempunyai sikap
tersendiri menanggapi masa depannya yang buram itu dengan
penalaran yang mapan. Katanya "Tuanku. Alangkah besarnya
kemurahan tuanku atas hamba dan almarhum ayahanda
hamba. Namun bukan karena hamba menolak gelar
kehormatan dan istana seorang Pangeran, tetapi barangkali
ada yang lebih penting bagi hamba daripada gelar kehormatan
dan istana itu, namun apabila tuanku memperkenankan
hamba mengajukan pilihan"
"Kau berhak untuk mengajukan permohonan" jawab
Kangjeng Sultan "apabila permohonanmu itu tidak
bertentangan dengan kepentingan kerajaan, maka aku tentu
akan mengabulkannya"
"Tuanku" jawab Jlitheng "Jika tuanku berkenan, hamba
memang ingin mengajukan satu permohonan yang akan
sangat berharga bagi hamba"
Sejenak suasana menjadi- hening. Seolah-olah semua mata
tertuju kepada Jlitheng yang masih akan mengajukan satu
permohonan. Kiai Kanthi menjadi berdebar-debar Ia mengerti perasaan
Jlitheng terhadap anak gadisnya, sementara iapun mengerti
bahwa hubungan Swasti dengan Daruwerdi menjadi semakin
mendalam menusuk sampai kepusat jantung.
Bahkan Swasti sendiri, merasa sesuatu yang aneh tergetar
di hatinya. Sebagai seorang gadis dewasa, ia merasakan sikap
Jlitheng terhadap dirinya. Sikap seorang laki-laki muda. Tetapi
Swasti tidak pernah merasa tertarik kepada anak muda yang
bergelar Candra Sangkaya itu.
Dalam pada itu, hati didada beberapa orangpun menjadi
semakin tegang ketika Sultan kemudian berkata "Katakanlah.
Jangan ragu-ragu" Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar
sadarnya ia bergeser setapak maju. Kemudian dengan gelisah
ia berkata "Ampun tuanku semoga permohonan hamba ini
dapat dianggap wajar"
Beberapa orang telah menahan nafas. Kiai Kanthi
mendengarkan setiap kata yang diucapkan Jlitheng dengan
jantung yang berdebaran. Tanpa disadari Kiai Kanthi
memandang Pangeran Sena Wasesa yang tunduk itu sekilas.
"Apakah permohonan anak muda itu ada hubungannya
dengan Swasti?" bertanya Kiai Kanthi di dalam hatinya.
Dalam suasana yang hening tegang itu Jlitheng
meneruskan kata-Katanya "Tuanku. Sebenarnyalah bahwa
hamba memang mempunyai satu keinginan. Sudah sekian
lama hamba berada diantara anak-anak muda Lumban yang
tinggal di daerah yang disebut Daerah Sepasang Bukit Mati
Daerah yang ditandai dengan sepesang bukit, meskipun dalam
keadaan yang justru berlawanan. Satu dari kedua bukit itu
gundul dan tandus berbatu padas. Yang lain subur, hijau dan
mengandung air diperutnya, yang kini telah mulai dihuni,
meskipun sebelumnya disebut daerah yang paling gawat.
Jalma mara jalma mat i, sato mara sato mati"
Jlitheng berhenti sejenak. Sementara Kiai Kanthi menarik
nafas yang tertahan. Seolah-olah dadanya menjadi sesak
tanpa sebab. "Adapun permohonan hamba tuanku" berkata Jlitheng lebih
lanjut sementara orang-orang yang mendengarkan menjadi
semakin tegang "berhubungan langsung dengan kehidupan
hamba di Lumban. Selama ini Lumban adalah daerah yang
kering, miskin dan t idak mampu mengembangkan dirinya.
Karena itu, perkenankanlah hamba memohon agar daerah
Lumban itu akan dapat menjadi daerah yang subur. Di
samping kemungkinan untuk membangun sebuah padepokan
kecil yang pantas bagi Kiai Kanthi. Sebenarnyalah bahwa pada
dasarnya, kemungkinan itu ada. Tetapi kami orang-orang
Lumban terlalu miskin untuk berbuat sesuatu. Air di atas bukit
itu baru sebagian kecil mampu kami kuasai. Sedangkan kami
ingin pula memberikan penghormatan dan terima kasih
kepada orang yang menemukannya. Kiai Kanthi"
Sesaat wajah Kiai Kanthi menegang. Namun kemudian
kepalanya telah tertunduk dalam-dalam.
Beberapa orang menarik nafas dalam-dalam. Justru terasa
sesuatu yang menyentuh perasaan mereka. Jlitheng tidak
minta yang mereka cemaskan. Tetapi ia tidak melupakan
kampung halamannya, meskipun sebenarnyalah ia seorang
pendatang. Swasti seolah-olah justru terpukau oleh kata-kata Jlitheng
itu. Memang ada terasa tersinggung perasaannya. Sebagai
seorang gadis ia merasa, Jlitheng tidak memperhatikannya.
Anak muda itu ternyata lebih memperhatikan Lumban dari
dirinya. Kenapa Jlitheng t idak memohon kepada Kangjeng
Sultan agar dirinya meninggalkan Daruwerdi dan menerima
Jlitheng itu dalam hidupnya. Meskipun kemudian ia akan
menolak, tetapi dengan demikian ternyata bahwa Jlitheng
benar-benar telah menaruh hati kepadanya.
Namun sesaat kemudian, Swasti berhasil menyingkirkan
ketamakan di dalam hatinya itu. Ia justru merasa sangat
hormat kepada anak muda yang bernama Jlitheng itu. Ia
menghargai sikapnya, meskipun ia tahu, bahwa hati anak
muda itu tentu terasa pahit.
Swasti menundukkan kepalanya. Terasa matanya menjadi
panas. Dalam waktu yang singkat itu, ia sempat melihat
Jlitheng dalam keseluruhan, sejak ia bertemu dan sejak ia
mengenal anak muda itu. Jlitheng memang terlalu kasar
dalam ujud lahiriahnya. Tetapi ia mempunyai cita-cita, jauh
lebih besar dari cita-cita Daruwerdi.
"Aku sangat menghargainya" berkata Swasti di dalam
hatinya. Tetapi ia benar-benar tidak tertarik kepada anak
muda yang bernama Jlitheng itu pada saat-saat ia masih
berada di atas bukit berhutan Katanya kepada diri sendiri
"Pada waktu itu, aku sama sekali tidak melihat sesuatu
apapun yang baik pada dirinya. Sombong, kasar dan yang
menyakitkan hati, ia sudah mencurigai kami"
Dalam keheningan itu, Sultan memandang J litheng sambil
tersenyum. Dengan suara yang sareh bernada dalam Sultan
berkata "Kau benar-benar seorang anak muda yang mengerti
akan tanggung jawab sebagai anak muda. Permohonanmu
pantas mendapat perhatian. Bahkan juga sebuah padepokan
kecil bagi Kiai Kanthi. Pada kesempatan ini aku menyatakan
kesediaanku untuk membantu membangun Kabuyutan Lumban,


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menguasai air di atas bukit dan membantu membuat
sebuah padepokan kecil"
Jlitheng menundukkan kepalanya sambil menyembah.
Dengan suara sendat ia berkata "Ampun tuanku. Kurnia
tuanku tidak ada taranya. Bukan saja bagi hamba, tetapi juga
bagi Lumban. Adapun tentang hamba, maka hamba mohon
maaf bahwa hamba akan tetap tinggal di Lumban. Hamba
sudah terlanjur merasa satu dengan rakyat Lumban. Bukan
maksud hamba memperbandingkan kemurahan tuanku
dengan keinginan hamba"
"Tidak. Aku akan dapat memberikan keduanya. Sebuah
istana Kapangeranan atas dasar gelar kehormatan yang akan
aku berikan kepadamu, bukan saja karena jasamu, tetapi juga
satu kehormatan bagi Pangeran Surya Sangkaya yang bergelar
Pangeran Kuda Surya Anggana. Sekaligus yang kau inginkan,
perbaikan tata kehidupan di Lumban" jawab Kangjeng Sultan.
"Ampun tuanku. Hamba mengucap beribu terima kasih.
Tetapi hamba mempunyai seorang biyung yang sudah tua.
Biyung tentu tidak akan mau meninggalkan Lumban. Karena
itu, biarlah hamba menungguinya di hari-hari tuanya" sembah
Jlitheng "Kau masih mempunyai seorang ibu?" bertanya Sultan.
"Bukan ibu kandung hamba. Tetapi tiada bedanya bagi
hamba, karena kasihnyapun tidak bedanya dengan kasih
seorang ibu kandung" jawab Jlitheng.
Kanjeng Sultan di Demak memandangi Jlitheng sejenak.
Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia
berkata "Aku kabulkan permohonanmu. Meskipun aku akan
tetap menyediakan apa yang sudah aku janjikan di Kota Raja"
Jlitheng yang tunduk itupun menyembah Katanya
"Demikian besar kurnia itu, sehingga hamba tidak tahu.
bagaimana hamba harus mengucapkan terima kasih"
Sultan hanya tersenyum saja. Ia senang melihat sikap
Jlitheng. Apalagi permohonannya bagi kemajuan tata
kehidupan di Lumban. Jarang sekali terjadi, bahwa seorang
anak muda seusia Jlitheng itu yang ternyata lebih
mementingkan perkembangan sebuah lingkungan yang miskin
daripada kepentingan dirinya sendiri.
Jlitheng menjadi semakin tunduk ketika ia mendengar
Sultan itu memujinya, karena Jlitheng sendiri menyadari,
bahwa sikapnya itu bukannya satu sikap yang murni.
"Aku telah melakukan satu sikap kepahlawanan yang semu"
berkata Jlitheng kepada diri sendiri "Aku tidak tahu, apakah
aku akan dapat berbuat seperti sekarang ini. jika Swasti tidak
lebih dekat dengan Daruwerdi daripadaku. Tetapi agaknya hal
inilah yang terbaik dapat aku lakukan sekarang ini. Aku wajib
mengucap sokur kepada Tuhan, bahwa aku telah mendapat
jalan yang baik untuk meredakan gejolak di dalamdadaku"
Dalam pada itu, ternyata kemurahan Kangjeng Sultan di
Demak itu telah melimpahkan kepada mereka semua yang
telah ikut serta membantu kembalinya pusaka dan harta
benda yang tidak ternilai harganya itu kepada yang berhak.
Demak, yang memikul beban untuk meneruskan kejayaan
Majapahit. Apalagi apabila penghargaan yang diberikan itu bukan saja
berarti kepada seseorang. Tetapi berarti bagi satu lingkungan
dan akan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masa
mendatang. "Perhargaan atau bukan penghargaan, hal itu merupakan
kewajiban bagi Demak Karena itu. mudah-mudahan semuanya
akan mempunyai nilai yang berarti bagi kehidupan rakyat di
Demak" berkata Kangjeng Sultan "dengan demikian maka aku
akan segera memerintahkan untuk melaksanakannya.
Padepokan, pengendalian air dan perbaikan serta
pemeliharaan lingkungan"
Kemurahan Kangjeng Sultan itu merupakan harapanharapan
bagi masa depan, terutama bagi Jlitheng. Dengan
demikian, maka Lumban akan benar-benar dapat menjadi
hijau. Dan dengan demikian pula. tidak akan mudah timbul
perasaan iri dan dengki karena mereka akan melihat seluruh
Lumban menjadi subur. Lumban Kulon dan Lumban Wetan
tanpa kecuali. Harapan itu agaknya dapat sekedar mengurangi perasaan
kecewanya, sehingga ia akan dapat menemukan gairah untuk
tetap berjuang bagi masa depannya yang masih panjang.
Demikianlah, maka setelah Kangjeng Sultan di Demak
menjajikan untuk memberikan penghargaan yang bermanfaat
bagi mereka yang telah membantu mengembalikan pusaka
dan harta benda itu. maka merekapun kemudian telah
bersiap-siap memenuhi undangan Pangeran Sena Wasesa
untuk berkunjung ke rumahnya. Bukan saja sebagi pernyataan
terima kasih, tetapi kehadiran tamu yang banyak itu akan
memberikan pengaruh kepada puterinya untuk bersikap lebih
lunak menghadapi kehadiran Endang Srini.
Sudah menjadi pendapat umum, bahwa ibu tiri merupakan
gambaran dari satu kehidupan yang suram. Ibu adalah
perlambang dari derita dan kepahitan. Namun Pangeran Sena
Wasesa yakin, bahwa puterinya tidak akan mengalami
perlakuan yang kurang baik dari ibu tirinya, karena Pangeran
Sena Wasesa mengerti sepenuhnya watak dan sifat Endang
Srini. "Tidak semua ibu tiri harus ditakuti" berkata Pangeran Sena
Wasesa di dalam hatinya. Justru karena kegelisahannya
menghadapi keadaan itu. Sesuatu yang tentu tidak pernah
dibayangkan sebelumnya oleh puterinya yang remaja itu.
Dalam pada itu, selagi para tamu Pangeran Sena Wasesa
bersiap untuk pergi ke istana Kepangeranan, maka di sebuah
istana Kapangeranan yang lain. seorang Pangeran sedang
berbincang dengan seorang yang sudah menjelang hari
tuanya. Namun pada ujud tubuhnya, sikap dan tingkah
lakunya, masih membayangkan keteguhan badan dan
batinnya. Disebelah mereka telah duduk pula seorang anak muda
yang bertubuh kekar, berdada bidang dan berwajah keras.
Seorang anak muda yang memiliki ketajaman penglihatan
bukan saja secara lahiriah tetapi juga ketajaman
penggraitanya. "Pangeran Gajahnata" berkata orang yang sudah
menjelang usia tuanya "Kita harus berusaha sebaik-baiknya.
Angger Bramadaru merupakan harapan yang paling baik bagi
pemenuhan keinginan Pangeran. Bukankah segala sesuatunya
tentu akan Pangeran arahkan bagi kebahagiaan angger
Bramadaru pula di kemudian hari?"
Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Katanya "Ki Ajar
Wrahasniti. Aku mengerti rencana itu. Tetapi apakah Ki Ajar
yakin bahwa yang dicari itu masih ada pada adimas Sena
Wasesa. Dan apakah adimas Sena Wasesa tidak akan
menyerahkannya kepada adimas Sultan?"
Ki Ajar Wrahasniti tersenyum. Katanya "Agaknya Pangeran
Sena Wasesa tidak akan menyerahkannya kepada siapapun
juga" "Tetapi apakah tidak akan sampai ke telinga adimas Sultan,
bahwa Pangeran Sena Wasesa adalah seseorang yang me
ngetahui tentang pusaka dan harta benda yang sedang
diperebutkan itu" jawab Pangeran Gajahnata "apalagi setelah
adimas Sena Wasesa diculik orang. Ketika ia diketemukan dan
dibebaskan oleh para prajurit Demak, maka tentu akan timbul
satu perkembangan sikap pada adimas Sena Wasesa
seandainya sebelumnya ia sengaja menyembunyikan pusaka
dan harta benda itu"
"Ki Ajar masih tersenyum "Aku mempunyai perhitungan,
bahwa ia tidak akan melepaskan harta benda dan pasi ka yang
tidak ternilai harganya itu. Ia tentu dapat ingkar dan
mempunyai seribu macam alasan jika Kangjeng Sultan
menanyakan tentang pusaka dan harta benda yang
didengarnya ada pada Pangeran Sena Wasesa itu"
"Tetapi adimas Sultan dapat mengambil seribu macam
sikap" berkata Pangeran Gajalinata.
"Memang Pangeran. Lambat laun, Pangeran Sena Wasesa
memang akan dapat dipaksa untuk mengaku jika Kangjeng
Sultan mendapatkan bukti atau saksi. Jika tidak, maka apakah
alasan Sultan untuk memaksanya mengaku" Jika sebenarnya
Pangeran Sena Wasesa tidak mengetahui sama sekali tentang
pusaka dan harta benda itu, apakah perbuatan Kangjeng
Sultan bukan satu perbuatan yang sewenang-wenang?" sahut
Ki Ajar Wrahasnit i. Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Untuk menuduh
Pangeran Sena Wasesa tentu diperlukan saksi atau bukti.
Kangjeng Sultan tidak akan dapat begitu saja memaksa
seseorang untuk mengaku tentang apapun juga hanya
berdasarkan desas-desus. Namun dalam pada itu Pangeran Gajahnata itupun
bertanya "Ki Ajar, apakah kau benar-benar yakin, bahwa
adimas Pangeran Sena Wasesa mengetahui tentang pusaka
dan harta benda itu?"
"Aku yakin Pangeran. Tetapi sekali lagi, tidak ada bukti dan
saksi. Tetapi setiap aku mencoba melihat lewat cara yang
bermacam-macam, maka aku memang melihat pusaka dan
harta benda itu ada pada Pangeran Sena Wasesa"
"Baiklah Ki Ajar" berkata Pangeran Gajahnata "Katakan,
bahwa pusaka itu ada pada adimas Sena Wasesa, dan adimas
Sena Wasesa tidak akan menyerahkan pusaka dan harta
benda itu. kepada Kangjeng Sultan. Lalu?"
"Kita serahkan segalanya kepada anakmas Bramadaru"
jawab Ki Ajar sambil tertawa. Ketika ia berpaling kepada anak
muda yang duduk disebelabnya, anak muda itu menundukkan
kepalanya. "Angger" berkata Ki Ajar Wrahasnlti "Bukankah angger
berhubungan semakin rapat dengan puteri Pangeran Sena
Wasesa itu?" Bramadaru beringsut setapak. Tetapi ia tidak segera
menjawab. Bahkan Ki Ajar Wrahasnit ilah yang berkat
selanjutnya "Pangeran, anakmas Bramadaru sering
mengunjungi puteri yang kesepian itu"
"Aku mengerti maksud Ki Ajar. Ki Ajar berharap Bramadaru
dapat menjadi semakin dekat dengan gadis itu" sahut
Pangeran Gajahnata "Ya Pangeran. Dan nampaknya kedatangan angger
Bramadaru dalam saat-saat yang menguntungkan itu telah
berhasil mengikat hati puteri itu" berkata Ki Ajar Wrahasniti.
"Guru" Anak muda itu memotong "Aku belum dapat
mengatakan demikian. Aku memang sering berkunjung ke
rumah itu sejak guru menyarankannya. Akupun telah
berhubungan dengan gadis itu. Ia terlalu ramah dan baik.
Tetapi aku belum dapat membedakan, apakah ia menganggap
aku sebagai seorang anak muda dalam hubungannya dengan
seorang gadis, atau sekedar merasa bahwa aku adalah
saudara tua yang wajib dihormatinya"
"Ya Ki Ajar, anakku adalah saudara sepupunya. Mungkin
gadis itu menerimanya sebagai saudaranya. Karena itu ia
bersikap ramah dan baik" sambung Pangeran Gajahnata.
"Ah" Ki Ajar itu tersenyum "gadis itu adalah gadis yang
semula adalah gadis pingitan. Ia tidak terlalu banyak
berhubungan dengan laki-laki yang manapun juga, kecuali
para pengawal. Karena itu, maka kehadirannya akan
mendapat perhatian yang sangat besar. Apalagi pada saatsaat
gadis itu kesepian. Pada saat Pangeran Sena Wasesa
tidak ada di istananya"
"Tetapi sekarang adimas Sena Wasesa telah berada di
istana Demak. Bahkan mungkin saat-saat ini adims Pangeran
telah kembali ke istananya" berkata Pangeran Gajahnata"
"Itu bukan persoalan lagi" jawab Ki Ajar "hubungan batin
itu sudah terjalin. Angger Bramadaru harus masih selalu
datang berkunjung. Mungkin sikap gadis itu agak lain, justru
karena ayahandanya sudah ada. Tetapi aku percaya bahwa
pada saatnya gadis itu akan dapat diikat hatinya oleh angger
Bramadaru Jika hal itu terjadi, maka angger Bramadaru kelak
benar-benar dapat menjadi satu-satunya pewaris dari pusaka
dan harta benda itu. Bahkan mungkin angger Bramadaru akan
dapat mengetahui dengan segera dimana pusaka dan harta
benda itu tersimpan. Jika demikian maka terserah kepada
Pangeran dan angger Bramadaru, apakah angger benar-benar
ingin memperistri gadis itu atau tidak"
Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Ia mengerti
sepenuhnya rencana Ki Ajar Wrahasniti, guru dari anak lakilakinya
yang sangat diharapkan akan dapat menjadi seorang
laki-laki yang mumpuni. Apalagi Bramadaru adalah satusatunya
anak laki-laki Pangeran Gajahnata. Saudarasaudaranya
yang lain adalah perempuan semuanya.
Sebenarnyalah yang diharapkan oleh Pangeran Gajahnata
dan Bramadaru bukannya puteri Pangeran Sana Wasesa itu
sendiri. Tetapi kemungkinan yang paling dekat untuk
mendapatkan harta benda dan pusaka itu adalah dengan cara
yang demikian, cara yang disusun oleh Ki Ajar Wrahasniti
-ooo0dw0oooTiraikasih Karya : SH Mintardja Convert by : Dewi KZ Editor : Dino
Jilid 22 BRAMADARU sendiri semula memang tidak menaruh
perhatian terhadap saudara sepupunya itu. Tetapi karena ia
selalu datang atas nasehat gurunya, maka lambat laun, anak
muda itu menganggap bahwa saudara sepupunya itu memang
seorang gadis yang cantik. Tetapi lebih dari pada itu, maka
gadis itu merupakan satu-satunya anak Pangeran Sena
Wasesa yang akan mewarisi semua kekayaan ayahnya,
termasuk yang masih tersembunyi.
"Angger Bramadaru akan mendapatkan kedua-duanya.
Seorang puteri dan pusaka serta harta benda itu" berkata Ki
Ajar Wrahasniti kemudian "Jika kelak angger Bramadaru ingin
mempunyai isteri yang lain lagi, maka itu bukan satu soal yang
sulit apabila segalanya memang sudah dikuasai. Bukankah
tidak aneh jika seseorang memiliki lebih dari seorang isteri?"
Pangeran Gajahnata mengangguk-angguk. Ia mengerti
jalan pikiran dan keinginan Ki Ajar Wrahasniti. Dan agaknya
Pangeran Gajahnata itupun sama sekali tidak berkeberatan
jika anaknya berbuat demikian. Bahkan Pangeran
Gajahmatapun telah memikirkan akibat yang dapat terjadi
kemudian. "Pangeran" berkata Ki Ajar "dalam hubungan ini,
seandainya kelak terjadi perselisihan antara Pangeran dengan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Sena Wasesa karena soal warisan itu dan
penggunaannya, maka Pangeran tidak usah cemas, Angger
Bramadaru telah memiliki segala macam ilmu yang akan dapat
melindungi dirinya. Perselisihan yang demikian tentu akan
dianggap sebagai perselisihan keluarga, sehingga tidak akan
banyak pihak yang mencampurinya. Bahkan seandainya ada
juga orang yang terlibat, maka Pangeran sendiri dan sudah
barang tentu, aku, gurunya akan terlibat pula ke dalamnya"
"Tetapi tidak mustahil bahwa warisan itu baru akan
diberikan setelah Pangeran Sena Wasesa mendekati hari
akhirnya" berkata Pangeran Gajahnata.
"Memang mungkin Pangeran, tetapi rahasianya tentu sudah
diungkapkan sebelumnya" jawab Ki Ajar Wrahasniti "Jika tidak
demikian maka akan dapat terjadi, bahwa Pangeran Sena
Wasesa tidak akan mempunyai kesempatan untuk mewariskan
pusaka dan harta benda itu jika maut memanggilnya tiba-tiba"
Pangeran Gajahnata menganggauk-angguk. Sementara itu
Ki Ajar Wrahasnit i berkata selanjutnya "Dalam pada itu, jika
rahasia itu sudah terungkap dan Pangeran Sena Wasesa masih
saja berumur panjang, maka dapat diusahakan
memperpendek umur Pangeran itu dengan banyak cara"
Pangeran Gajahnata tidak menjawab. Tatapi di dalam
angan-angannya tengah bermain rencana yang disebut oleh Ki
Ajar Wrahasniti. Nampaknya usaha itu memang akan dapat
berhasil jika Bramadaru berhasil.
Karena itu, maka Pangeran Gajahnatapun bertanya kepada
anaknya "Bramadaru, sebagian besar dari rencana ini
tergantung kepadamu. Kau memiliki modal yang dapat kau
pergunakan untuk memikat hati gadis itu. He, apakah kau
tahu nama gadis itu?"
"Tentu ayahanda" jawab Bramadaru "Tetapi yang aku kenal
hanyalah nama panggilannya. Raden Ajeng Ceplik.
"Ceplik?" ulang Pangeran Gajahnata.
"Nama panggilan. Aku tidak pernah bertanya namanya
yang sesungguhnya. Sejak kanak-kanak aku memanggilnya
Diajeng Ceplik. Kemudian untuk beberapa tahun kami jarang
sekali bertemu. Ketika kesempatan untuk berkunjung ke
rumahnya terbuka, pada saat pamanda Pangeran Sena
Wasesa tidak ada, aku masih saja memanggilnya Diajeng
Ceplik. Dan gadis itupun t idak menolaknya" jawab Bramadaru.
"Justru satu panggilan yang akrab" potong Ki Ajar
Wrahasniti. Bramadaru t idak menjawab. Tetapi kepalanya justru telah
menunduk. Memang ada semacam benturan yang terjadi dihati
Bramadaru. Ia memang menganggap bahwa puteri Pangeran
Sena Wasesa itu adalah seorang puteri yang cantik. Tetapi ia
masih belum dapat menilai perasaannya yang paling dalam
terhadap gadis itu. Meskipun demikian, maka ia harus mulai berusaha
mengikat hati gadis itu untuk satu kepentingan yang lain.
Pusaka dan harta benda yang tidak ternilai harganya, yang
menurut gurunya, tidak akan pernah diserahkan kepada
Kangjeng Sultan di Demak.
"Hanya orang gila sajalah yang akan melepaskan pusaka
dan harta benda yang sekian banyaknya" berkata gurunya
ketika ia mulai menyusun rencananya dengan penuh
kepercayaan bahwa Pangeran Sena Wasesa pasti akan dapat
dibebaskan dari tangan penculik-penculiknya oleh prajurit
Demak "sementara itu Sultan Demak tidak akan mendapat
bukti atau saksi yang dapat menjadi alasan untuk memaksa
Pangeran Sena Wasesa mengatakan sesuatu tentang pusaka
dan harta benda itu. Jika Pangeran itu puguh sikapnya dan
menyatakan bahwa ia tidak tahu menahu tentang pusaka dan
harta benda itu, maka ia tentu akan luput dari segala
tuntutan" Atas dasar pikiran itulah, maka segala rencana telah
disusun. Bahkan Ki Ajar itupun berkata pula "Jika kemudian
ada yang mengatakan bahwa pusaka dan harta benda itu
sudah kembali ke Demak, maka berita itu tentu satu ceritera
yang disebar luaskan oleh Pangeran Sena Wasesa sendiri
untuk menghindari usaha-usaha untuk merebutnya"
Demikianlah, maka Pangeran Gajahnata meletakkan
harapannya kepada Bramadaru. Karena menurut Pangeran
Gajahnata, segalanya itu sebenarnya untuk kepentingan
Bramadaru sendiri di kemudian hari.
"Segalanya terserah kepada usahamu Bramadaru. Aku
percaya bahwa kau akan dapat melakukannya dengan baik
bagi hari depanmu sendiri. Jika kau mengalami kesulitankesulitan,
maka biarlah gurumu memberikan petunjukTiraikasih
petunjuk bagimu. Bahkan jika terpaksa kau menghadapi
hambatan yang harus dipecahkan dengan kekerasan, maka
kau akan da pat mengatakannya kepada gurumu dan
kepadaku" pesan Pangeran Gajahnata kemudian.
Bramadaru tidak dapat ingkar. Pusaka dan harta benda itu
memang sangat menarik. Apalagi apabila ia berhasil
mengarahkan perasaannya sendiri untuk tertarik kepada gadis
yang dikenal nama panggilannya Raden Ajeng Ceplik itu.
Dalam pada itu, Pangeran Sana Wasesa dan tamu-tamunya
telah berada di istana Kapangeranan. Puteri Pangeran Sena
Wasesa yang melihat ayahandanya benar-benar datang
sebagaimana sudah didengarnya bahwa ayahandanya berada
di istana Demak, tidak dapat menahan tangisnya. Sambil
memeluk ayahandanya, maka air matanya mengalir tanpa
dapat ditahan-kannya lagi betapapun ia berusaha, karena
bersama ayahandanya telah datang pula beberapa orang
menyertainya. "Sudahlah ngger" suara ayahandanya bernada dalam
marilah. Hari ini kita mendapatkan beberapa orang tamu.
Mereka adalah kawan-kawan ayahanda yang telah ikut serta
menyelamatkan ayahanda"
Puteri itu mengusap matanya. Tetapi isak tangisnya masih
saja tertahan-tahan dikerongkongan.
"Kita akan menerima tamu-tamu kita dengan baik. Kau
harus menyediakan tempat untuk beristirahat di gandok serta
menyediakan jamuan bagi mereka. Ayahanda telah minta agar
tamu-tamu kita itu bermalam barang dua tiga hari di rumah
ini" Puteri itu mengangguk-angguk. Dilepaskannya
ayahandanya. Dengan tidak sengaja puteri itu menebarkan
pandangan matanya, menatap tamu ayahandanya seorang
demi seorang. Ketika terpandang olehnya Rahu dan Jlitheng,
maka hati puteri itu menjadi berdebar-debar. Ia merasa
pernah melihat wajah-wajah itu. Juga wajah Semi yang ikut
pula bersama ayahandanya.
Tetapi ayahandanya telah mengetahui peristiwa yang
terjadi di rumahnya sepeninggalnya. Ia pernah mendengar hal
itu diceriterakan kepadanya. Karena itu, ketika ia melihat sikap
dan pandangan mata puterinya, maka katanya "Kau tentu
pernah mengenal mereka. Mereka adalah orang-orang yang
pernah datang ke rumah kita"
Wajah puteri itu menjadi tegang. Namun ayahandanya
melanjutkan. Mereka adalah orang-orang yang telah ikut
mengambilku dari rumah ini. Tetapi mereka pula yang ikut
menolong aku. Bahkan bukankah ada diantara mereka yang
telah menyelamatkanmu dari tangan-tangan orang yang gila
itu" Puteri itu menarik nafas dalam-dalam. Ia teringat
semuanya. Namun dengan demikian, terasa seluruh kulitnya
meremang. Jika saat itu benar-benar jatuh ke tangan orangorang
Sanggar Gading yang gila itu, maka nasibnya akan lebih
buruk dari ayahandanya. Demikianlah, maka Raden Ajeng Ceplik itupun kemudian
telah mengatur segala sesuatunya untuk menerima tamutamu
ayahandanya. Para pelayanpun ikut menjadi sibuk pula.
Ada yang membersihkan gandok istana itu dan ada pula yang
sibuk di dapur untuk menyiapkan jamauan.
Ternyata bahwa kehadiran Pangeran Sena Wasesa rasarasanya
telah membuat istana itu terbangun kembali.
Meskipun para abdi dengan setia menunggui istana itu serta
puteri Pangeran Sena Wasesa yang tidak mau meninggalkan
istana untuk tinggal di tempat keluarga dan saudara-saudara
ayahandanya, serta para pengawal yang patuh menjalankan
kewajiban mereka meskipun Pangeran Sena Wasesa tidak
ada. di istana, rasa-rasanya istana itu bagaikan tertidur.
Untunglah bahwa saudara-saudara Pangeran Sena Wasesa
memperhatikan keadaan istana itu, sehingga satu dua
diantara mereka sering datang berkunjung ke rumah itu untuk
menengok Raden Ajeng Ceplik.
Namun pada hari itu, kepangeranan itu menjadi ramai.
Suasana yang gembira telah meliputi seisi istana. Puteri
Pangeran Sena Wasesa itupun nampak gembira sekali.
Kerinduannya kepada ayahnya hampar tidak tertanggungkan.
Dan kini, tiba-tiba ayahandanya telah kembali dengan selamat.
Tetapi diantara para tamu, Endang Srini merasa jantungnya
berdenyut semakin cepat. Ia merasa kecil untuk berada
diantara keluarga istana itu. Apalagi setelah ia melihat wajah
puteri Pangeran Sena Wasesa yang cantik tetapi murung.
Gadis itu sudah tidak beribu lagi. Kemudian untuk beberapa
lamanya, ayahandanya telah direnggut oleh tangan-tangan
yang kasar. "Ia telah menemukan ayahandanya kembali" berkata
Endang Srini di dalam hatinya "Apakah aku akan
merampasnya sekali lagi" Apakah kehadiranku disini tidak
akan merusakkan hati gadis yang cantik dan murung itu?"
Pertanyaan itu tidak dapat dijawabnya sendiri. Tetapi
Endang Srini tidak dapat menanyakan hal itu kepada
Daruwerdi. Jika ia berbuat demikian, Daruwerdilah yang akan
dapat tersinggung pula karenanya.
Untuk beberapa saat, ibu Daruwerdi itupun masih saja
menahan hatinya. Ia sama sekali tidak mengatakannya kepada
siapapun juga. Sementara itu, kegembiraan benar-benar telah
menyelimuti istana itu. Bukan saja puteri Pangeran Sena
Wasesa, tetapi Pangeran Sena Wasesa itu sendiri merasa
dirinya terlalu bergembira. Ia telah berada dilingkungan
keluarganya. Bukan saja Raden Ajeng Ceplik yang akan
memanggilnya ayahanda, tetapi seorang anak laki-laki telah
menyertainya pula. Meskipun ada semacam keragu-raguan
untuk menyampaikan hal itu kepada puterinya.
Selain kegembiraaan itu, maka Pangeran Sena Wasesapun
merasa dirinya akan menemukan hidup yang tenang dalam
lingkungan keluarganya, justru karena ia sudah berterus
terang tentang harta benda dan pusaka yang telah menjadi
sasaran perburuan yang tidak henti-hentinya kepada Kangjeng
Sultan. Apalagi setelah ia menerima pernyataan dari Kangjeng
Sultan, bahwa kesalahan itu telah dimaafkan.
Namun dalam pada itu, ketika kemudian malam turun dan
suasana Kapangeranan itu menjadi hening, maka mulailah
Pangeran Sena Wasesa merenungi dirinya sendiri. Ia masih
saja diliputi oleh keragu-raguan untuk mengatakan kepada
anak gadisnya, bahwa diantara para tamunya itu terdapat dua
orang yang mempunyai kedudukan yang berbeda dari tamutamunya
yang lain. Keduanya adalah Endang Srini dan anak
laki-Iakinya. Dalam kebimbangan itu, hampir dlluar sadarnya, Pangeran
Sena Wasesa telah berada di pendapa justru pada saat orangorang
lain tertidur nyenyak. Bukan saja karena kelelahan,
tetapi karena mereka merasa tidak lagi dibelit oleh persoalan
yang dapat membuat mereka menjadi gelisah.
Tetapi sementara itu, terdengar desir kaki seseorang di
halaman. Bukan penjaga yang ada di regol. Tetapi dekat di
bawahi tangga pendapa itu.
Ketika Pangeran Sena Wasesa berpaling, dilihatinya
seorang perempuan berdiri termangu-mangu. Endang Srini.
"O" desis Pangeran Sena Wasesa "kemarilah. Duduklah
disini" Tetapi Endang Srini menggeleng. Jawabnya "Apakah aku
pantas duduk bersama Pangeran di pendapa yang besar ini?"
Pangeran Sena Wasesalah yang, kemudian bangkit dan
turun mendekati Endang Srini. Dengan lembut ia berkata
"Siapapun kau, tetapi kau adalah isteriku"
"Dahulu Pangeran" jawab Endang Srini "Aku dahulu
memang isteri Pangeran. Tetapi aku adalah perempuan
padukuhan. Karena itu barangkali aku memang tidak pantas
berada di pendapa itu. Biarlah putera Pangeran itu saja yang
akan ikut mendapatkan kamukten di istana ini. Biarlah aku
kembali ke padepokan bersama ayah angkatku, Ajar Cinde
Kuning" Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Kita dapat berbicara panjang. Marilah. Duduklah"
"Terima kasih Pangeran" jawab Endapg Srini "sebaiknya
Pangeran melupakan semua peristiwa yang pernah terjadi,
Dahulu pada waktu yang berjarak panjang, atau kemarin. Jika
ada kemurahan hati Pangeran biarlah anakku mengabdikan
diri di istana ini. Sementara itu, kepergianku akan mengurangi
beban perasaan pada putri yang baru saja merasa
menemukan ayahandanya kembali"
"Aku akan berbicara dengan putriku" berkata Pangeran
Sena Wasesa, tetapi tidak sekarang. Memang mungkin terjadi
saat gejolak kecil di dalam hatinya. Namun demikian aku
berharap bahwa akhirnya ia akan dapat mengerti"
"Pangeran" jawab Endang Srini kemudian "Mungkin
Pangeran dapat menempuh satu cara yang lebih baik.
Meskipun hati puteri itu akan terluka pula, tetapi tidak separah
jika puteri itu terpaksa menerima kehadiranku disini. Pangeran
dapat mengatakan, bahwa anak itu lahir bersama dengan kematian
ibunya, sebelum Pangeran kemudian kawin dengan ibu
puteri Pangeran sekarang ini"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian katanya "Aku tidak dapat melakukannya. Ibu
anakku itu sudah tidak ada. Aku berharap bahwa ia dapat
menerimamu sebagai ibunya"
"Aku seorang yang lahir dari darah pidak pedarakan. Dari
darah jelata yang barangkah memang tidak pantas untuk
berada di istana ini sebagai seorang hamba sekalipun"
"Jangan berkata begitu Srini. Aku baru saja menerima
anugerah yang tidak ada taranya. Aku telah dibebaskan dari
segala tuntutan oleh Kangjeng Sultan karena kecuranganku,
dan aku telah merasa berkumpul kembali dengan keluargaku.
Marilah kita mulai dengan satu lembaran kehidupan baru yang


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbuka, tanpa sesuatu yang tersembunyi. Aku ingin hidup
dengan tenang tanpa dibayangi oleh satu rahasia yang selalu
memburu dalam kecemasan. Setiap saat kita dicengkam oleh
ketakutan bahwa rahasia itu pada satu waktu akan terbuka
Karena itu, marilah kita membuka rahasia itu segera. Jika satu
masalah akan timbul, biarlah segera kita ketahui. Dengan
demikian kita akan segera dapat menanganinya"
"Pangeran" jawab Endang Srini "Pangeran tidak akan
diburu oleh ketakutan bahwa pada satu saat rahasia itu akan
terbuka karena perempuan yang pernah melahirkan seorang
anak laki-laki itu dapat Pangeran anggap telah mati"
"Endang Srini" berkata Pangeran Sena Wasesa "Apakah
dengan demikian berarti bahwa aku harus melupakan kau
untuk selamanya?" "Sebagaimana sesesorang yang telah mati, maka ia hanya
dapat dikenang, atau bahkan dilupakan" jawab Endang Srini.
"Tidak. Aku tidak ingin berbuat seperti itu. Aku baru sap
terlepas dari belenggu kegelisahan karena aku merahasiakan
harta benda itu. Sekarang aku tidak mau jatuh lagi dalam
belenggu yang sama karena aku merahasiakan seseorang
dalam sentuhan kehidupanku. Karena itu aku akan
mengatakan segalanya. Besok, jika persoalan harta benda itu
benar-benar telah aku selesaikan. Kalau sudah ada kepastian,
langkah apakah yang akan diambil oleh Kangjeng Sultan,
meskipun, belum dilaksanakan" berkata Pangeran Sena
Wasesa. Endang Srini menundukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya
ia sedang menghadapi satu masalah yang tidak terpecahkan.
Satu beban perasaan yang tidak terangkat.
"Seandainya aku benar-benar telah mati" berkata Endang
Srini di dalam hatinya. Namun perasaan itu tidak
terucapkannya. Sementara itu, Pangeran Sena Wasesa telah berkata pula
"Marilah Srini. Kita dapat berbicara dengan tenang di
pendapa" "Terima kasih Pangeran. Aku mohon diri. Mungkin aku
perlu menenangkan hati" jawab Endang Srini.
Pangeran Sena Wasesa tidak menahannya. Dibiarkannya
Endang Srini kemudian meninggalkan pendapa menuju ke
gandok. Untuk sementara Endang Srini di tempatkan di
gandok bersama Swasti sebelum Pangeran Sena Wasesa
menyatakan kepada puterinya dan kepada seluruh isi istana
itu tentang dirinya yang sebenarnya.
Ketika ia memasuki biliknya, ternyata Swasti telah duduk di
bibir pembaringannya. Ternyata gadis yang berpendengaran
tajam itu, tidak dapat ditinggalkannya dalami keadaan tidur
lelap. Swasti mendengar sejak ibu Daruwerdi itu keluar dari
biliknya. Bahkan gadis itu sempat melihat apa yang dilakukan
oleh Endang Srini. Namun ketika ia melihat Endang Srini itu
berbincang dengan Pangeran Sena Wasesa dari balik pintu
yang renggang setebal lidi, maka iapun mengurungkan
maksudnya untuk menyusul keluar.
"Kau belumt idur ngger?" bertanya Endang Srini.
"Aku mendengar pintu bergerit" jawab Swasti,
Endang Srini tidak bertanya lebih lanjut. Iapun mengerti,
gadis yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang tinggi
itu tentu memiliki pula pendengaran yang tajam, sehingga
karena itu, maka tidak mustahil bahwa gadis itu mendengar
langkahnya keluar dari bilik itu.
Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah berbaring pula
dipembaringan. Tidak ada yang mereka percakapkan. Mereka
telah hanyut dalam arus angan-angan mereka masing-masing.
Bahkan kegelisahan rasa-rasanya semakin dalam menusuk
di jantung Endang Srini. Ia dibayangi oleh keragu-raguan,
apakah ia akan dapat memasuki keluarga Pangeran Sena
Wasesa. Ia adalah seorang gadis padukuhan dan yang sudah
terlalu lama hidup di padepokan. Seandainya, puteri Pangeran
Sena Wasesa itu dapat menerimanya, betapapun hatinya
terasa sakit, namun apakah ia akan dapat menyesuaikan diri
dalam pergaulan hidup Pangeran Sena Wasesa yang harus
berhubungan dengan para bangsawan yang lain. Apakah ia
akan dapat menatap wajah putri-putri dari lingkungan
bangsawan apabila dalam satu kesempatan ia harus menemui
mereka sebagai isteri para Pangeran.
Berbagai persoalan telah bergejolak di dunia angan-angan
Endang Srini. Bahkan seakan-akan ia melihat putri Pangeran
Sena Wasesa itu meratapi dirinya sendiri.
Dengan wajah yang basah oleh air mata, seolah-olah
Raden Ajeng Ceplik itu berlutut di depan makam ibundanya.
Menangis mengadukan kepahitan hatinya. Ayahandanya yang
hilang itu ternyata telah pulang bersama seorang perempuan
yang dikatakannya isterinya.
Diluar sadarnya, Endang Srinilah yang telah mengusap air
matanya yang membasah dipelupuk matanya.
Namun Endang Srini telah bertahan sekuat-kuatnya untuk
tidak menangis, agar Swasti tidak menjadi bingung
menanggapi keadaannya. Sementara itu, di dalami biliknya, Pangeran Sena
Wasesapun menjadi gelisah. Setelah ia merasa letih duduk
sepi sendiri di pendapa, maka ia berusaha untuk tidur barang
sejenak. Tetapi ternyata dipembaringannya matanya sama
sekali t idak dapat dipejamkannya.
"Aku harus berusaha melunakkan hati Endang Srini dan
anakku" berkata Pangeran Sena Wasesa di dalam hatinya
"keduanya harus dapat menerima satu kenyataan tentang diri
mereka. Itu jauh lebih baik daripada kita masih harus saling
membohongi diri kita sendiri"
Namun Pangeran Sena Wasesa masih memikirkan cara
yang paling baik yang akan ditempuh.
Akhirnya sambil berdesah Pangeran Sena Wasesa itupun
bangkit. Katanya kepada diri sendiri "Aku tidak boleh
menunggu. Keputusan Kangjeng Sultan mungkin masih akan
diambil satu dua hari. Jika aku menunggu kejelasan sikap
Kangjeng Sultan, baru aku akan menyelesaikan persoalan
keluargaku, mungkin akan terlambat. Lebih baik aku segera
memberitahukan persoalan ini kepada anakku daripada ia
justru akan mendengar dari orang lain yang mungkin akan
dapat membuatnya semakin sakit"
Dengan demikian, maka Pangeran Sena Wasesapun segera
memutuskan bahwa esok ia akan bertemu dengan anak
gadisnya dan berbicara tentang Endang Srini dan Daruwerdi.
Dalam pada itu Daruwerdi sendiri masih belum memikirkan
persoalannya terlalu dalam. Ia masih dapat menunggu
kapanpun ayahnya yang dikiranya sudah mati itu akan
menyampaikan persoalannya kepada adiknya, yang lahir dari
ibu yang berbeda. Bahkan iapun mencoba untuk mengerti,
bahwa Pangeran Sena Wasesa tentu memerlukan waktu untuk
mengatur perasaannya sendiri sebelum ia menyampaikan
persoalan itu kepada puterinya.
Malam yang terasa sangat panjang itupun akhirnya berlalu
juga. Pangeran Sena Wasesa sama sekali tidak berhasil tidur
barang sejenakpun sebagaimana Endang Srini. Di tempat yang
terpisah keduanya dicengkami oleh kegelisahan tentang
hubungan mereka sebagai suami istri yang diantarai oleh
jarak. Jarak waktu yang lama sebelum mereka bertemu
kembali, jarak pangkat dan derajad dan jarak yang dibatasi
oleh satu sekat yang sulit untuk ditembus. Anak gadis
Pangeran Sena Wasesa itu sendiri.
Tetapi Pangeran Sena Wasesa telah memutuskan untuk
menyampaikan persoalan tentang dirinya itu kepada puterinya
pada hari itu juga. Ia ingin puterinya mendengar persoalan itu
dari mulutnya sendiri. Tidak dari mulut orang lain yang
bersumber pada bisik-bisik yang mungkin akan dapat
ditangkap dalam makna yang berbeda.
Karena itu, maka sesudah puterinya menjamu tamutamunya
dengan makan pagi, maka Pangeran Sena Wasesa
telah bersiap-siap untuk memanggilnya di ruang dalam.
Namun Pangeran itu telah mencari kesempatan untuk
berbicara singkat dengan Endang Srini.
"Aku tidak akan menunggu persoalan pusaka itu selesai"
berkata Pangeran Sena Wasesa "Aku akan mengatakannya
sekarang" Endang Srini tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk
dalam-dalam. "Beritahukan Daruwerdi. Mungkin aku memerlukannya"
berkata Pangeran Sena Wasesa.
Endang Srini masih tetap berdiam diri. Tetapi kepalanya
terangguk kecil. Demikianlah, Pangeran Sena Wasesapun menyempatkan
diri pula untuk berbicara dengan Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde
Kuning. Orang-orang tua yang lebih banyak menekuni
masalah kajiwan daripada dirinya sendiri.
"Aku kira sebaiknya memang demikian Pangeran" berkata
Ki Ajar Cinde Kuning "diantara kita, masing-masing telah
mengetahui siapakah sebenarnya perempuan yang bernama
Endang Srini itu dan siapakah angger Daruwerdi. Karena itu
mungkin sekali telah terjadi salah ucap diantara kita yang
dapat didengar oleh para pembantu dan para pengawal di
istana Pangeran ini, sehingga hal yang demikian itu aku kira
akan dengan cepat sekali menjalar dari mulut ke mulut. Jika
kemudian sampai terdengar oleh puteri Pangeran, maka
memang mungkin sekali akan dapat menumbuhkan persoalan
yang gawat jika terjadi salah mengerti. Karena itu, rencana
Pangeran untuk menyampaikannya hari ini adalah sangat
bijaksana" Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk, sementara
Kiai Kanthi berkata "Pangeran, misalnya Pangeran menyimpan
buah yang masak, jangan ditunggu sampai menjadi rusak.
Selagi kita masih ada disini. Mungkin kami akan dapat
membantu Pangeran" Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk Namun
katanya kemudian "Kiai Kanthi, aku berharap bahwa anak
gadismu akan mempunyai pengaruh yang besar bagi
kehidupan dan cara hidup anak perempuanku itu. Kekerasan
jiwanya dan sikapnya yang tangguh jauh berbeda dengan
kehidupan anakku yang selamanya tinggal di dalam satu
lingkungan yang tidak pernah mengalami keprihatinan.
Dengan demikian, mungkin sekali goncangan-goncangan kecil
akan dapat menyeretnya sedalam satu keadaan yang sangat
gawat" "Puteri Pangeran itu baru saja mengalami goncangan yang
sangat berat Ketika Pangeran hilang dari istana ini, maka
puteri itu tentu merasa sangat berprihatin" jawab Kiai Kanthi.
"Kiai benar. Tetapi yang aku maksudkan adalah tempaan
jiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Bukankah dalam waktu
yang singkat, selama aku tidak ada di istana telah
membuatnya menjadi kurus dan kering. Jika aku tidak segera
terlepas dari keadaan ini, mungkin anak gadisku itupun tidak
akan dapat mengatasi persoalannya sendiri" berkata Pangeran
Sena Wasesa. Kemudian "Namun demikian, nampaknya anak
gadisku t idak menjadi akrab dengan anak gadis Kiai"
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya
"Cara dan tata kehidupan yang berbeda yang ada pada anak
gadisku dan anak gadis Pangeran itulah yang telah membatasi
mereka. Anakku adalah seorang perempuan yang hidupnya
mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, atau jika
menetap, maka ia akan menetap di lereng-lereng pegunungan
atau di padukuhan-padukuhan yang jauh. Itulah agaknya yang
membuatnya canggung disini. Sementara puteri Pangeranpun
merasa canggung puli melihat sikap anak gadis itu yang
jarang bergaul" "Apakah sifat keduanya tidak dapat dipertemukan dalam
satu hubungan yang saling mengisi?" bertanya Pangeran Sena
Wasesa. "Aku kira masih mungkin Pangeran" jawab Kiai Kanthi.
"Aku mohon Kiai dapat memberikan beberapa petunjuk
kepada anak gadis Kiai. Aku mencemaskan gejolak yang akan
timbul dihati anakku jika ia mengetahui kehadiran seorang
perempuan yang lain di istana ini. Seorang isteri dari ayahnya
tetapi bukan ibunya. Dalam keadaan yang demikian, ia
memerlukan seorang yang akrab" berkata Pangeran Sena
Wasesa. "Aku akan mencoba Pangeran. Mungkin Swasti akan dapat
meirngajaknya bermain-main dengan jenis permainan yang
belum pernah dikenal langsung oleh puteri Pangeran" berkata
Kiai Kanthi. Lalu "Tetapi sudah tentu bukah gatheng atau jirak
miri. Swasti tidak akan telaten untuk melakukannya"
"Lalu apa yang akan dilakukan oleh Swasti?" bertanya
Pangeran Sena Wasesa. "Mungkin berburu di pinggir Kota Raja. Berburu burung
dengan supit atau berburu kijang dengan busur dan anak
panah" jawab Kiai Kanthi.
Pangeran Sana Wasesa menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian iapun mengangguk-angguk "Apapun yang
dapat dilakukan, asal hal itu akan dapat menghiburnya kelak"
Dengan demikian, maka Pangeran Sena Wasesa telah
mematangkan keadaan untuk sampai pada satu pembicaraan
yang bersungguh-sungguh dengan puterinya. Karena itu,
maka setelah pembicaraannya dengan orang-orang tua itu,
iapun telah memanggil puterinya untuk menghadap.
Tetapi Pangeran Sena Wasesa terkejut, ketika puterinya
kemudian datang menghadap bersama seorang anak muda.
Namun Pangeran Sena Wasesa segera mengenalnya,
karena anak muda itu adalah kemanakannya.
"O, bukankah kau putera kakangmas Pangeran Gajahnata?"
bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Benar pamanda" jawab Bramadaru sambil menundukkan
kepalanya. "Oh, maaf. Bukannya aku menganggap kau orang lain,
tetapi aku lupa, siapakah namamu?" bertanya Pangeran Sena
Wasesa. "Bramadaru pamanda" jawab anak muda.
"O, ya. Bramadaru. Benar. aku ingat sekarang Kau jarang
sekali berkunjung kemari"
"Untuk beberapa tahun aku pergi berguru pamanda.
Agaknya karena itu aku jarang sekali sempat menghadap
pamanda" jawab Bramadaru.
"Sekarang kau sudah selesai?" bertanya Pangeran Sena
Wasesa pula. "Belum ayahanda. Tetapi yang aku lakukan kemudian


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggallah memperdalam ilmu yang sudah aku terima. Dan itu
dapat aku lakukan dimana saja. Juga di rumah. Sementara itu,
kesempatankupun menjadi lebih luas untuk dapat
mengunjungi sanak kadang" jawab Pangeran Sena Wasesa
pula. Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Namun
dengan demikian, ia tidak dapat mengatakan persoalannya
kepada anak gadisnya. Ia harus menunggu sampai Bramadaru
meninggalkan istana itu, karena Pangeran Sena Wasesa tidak
akan dapat mengusirnya. Namun dalam pada itu, puteri Pangeran Sena Wasesa
itulah yang kemudian bertanya "Apakah ayahanda memanggil
aku?" "O, tidak" jawab Pangeran Sena Wasesa "Aku hanya
menanyakan, karena kau tidak kelihatan"
"Aku menemui kakangmas Bramadaru di serambi" jawab
puteri itu. "Baiklah. Silahkan Bramadaru. Kunjunganmu akan
memberikan kegembiraan pada adikmu" berkata Pangeran
Sena Wasesa, Dalam pada itu, maka puteri itupun kemudian
meninggalkan ruang dalam dan kembali ke serambi bersama
Bramadaru. Untuk beberapa saat keduanya masih berbincang dengan
gembira. Banyak persoalan tentang keadaan istana itu yang
mereka percakapkan. Bagaimana perasaan Raden Ajeng
Ceplik itu pada saat ayahandanya kembali.
"Seperti menemukan hidupku kembali" jawab Raden Ajeng
Ceplik. "Menyenangkan sekali" berkata Bramadaru "kehadiran
pamanda. Pangeran Sena Wasesa tidak saja memberikan
kegembiraan diseluruh isi istana ini. Tetapi juga kepadaku dan
keluargaku" "Tentu" jawab Raden Ajeng Ceplik "bahkan seisi Demak.
Kangjeng Sultanpun tentu merasa gembira atas kehadiran
ayahanda kembali" "Ya" jawab Bramadaru "Tetapi lebih-lebih lagi ayahanda
Pangeran Gajahnata" "O, kenapa pamanda Gajahnata menjadi lebih gembira dari
yang lain?" Raden Ajeng itu bertanya hampir diluar sadarnya
Bramadaru menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia
terdiam. Sedangkan pandangan matanya menyapu pohonpohon
bunga di halaman samping istana itu.
Raden Ajeng Ceplik mengerutkan keningnya. Ketika ia
melihat wajah Bramadaru yang menjadi bersungguh-sungguh,
maka iapun menjadi berdebar-debar.
"Kakangmas Bramadaru" desisnya "Apakah pertanyaanku
menyinggung perasaanmu"
"O, tidak, tidak diajeng" jawab Bramadaru dengan serta
merta. "Tetapi nampaknya ada sesuatu yang tiba-tiba saja kau
pikirkan" sambung Raden Ajeng Ceplik.
Bramadaru menjadi ragu-ragu. Tetapi selalu diingatnya
pesan gurunya, bahwa ia harus segera menyampaikan kepada
Raden Ajeng Ceplik mengenai minatnya untuk meminang
puteri itu. Hal itu tentu akan berpengaruh atas perasaannya,
sehingga ia t idak lagi berpaling kepada orang lain. Apalagi
Bramadaru adalah masih sanak kadang sendiri. Dengan
pernyataan itu, maka hati puteri itu tentu akan merasa terikat.
Tetapi Bramadaru tidak segera dapat mengatakannya.
Meskipun hubungannya dengan Radan Ajeng Ceplik menjadi
akrab, apalagi agaknya Pangeran Seria Wasesa juga tidak
mempunyai apapun juga, namun ada semacam keraguraguan.
Justru karena sikap Raden Ajeng Ceplik yang terlalu
akrab. "Agaknya memang tidak ada perasaan apapun di dalam
hatinya" berkata Bramadaru kepada diri sendiri "J ika ada
sesuatu yang menyentuh hatinya dalam, pergaulan ini, ia
tentu akan bersikap lain. Gadis itu justru akan menjadi kaku
dan mengambil satu jarak tertentu"
Selagi Bramadaru dicengkam oleh keragu-raguan, Raden
Ajeng Ceplik benar-benar menjadi cemas. Tetapi ia tidak
berani bertanya lagi terutang perasaan saudara sepupunya itu.
Dalam pada itu, maka Bramadarupun berkata kepada diri
sendiri "Mungkin t idak ada perasaan apa-apa dihati diajeng
Ceplik. Namun jika aku mengatakannya, ia akan
memikirkannya. Baru kemudian akan tumbuh perasaan itu
perlahan-lahan. Aku memang tidak boleh terlalu tergesa-gesa
seperti yang dikehendaki oleh guru"
Sementara itu dalam keheningan, akhirnya Bramadaru
berusaha untuk menyatakan perasaan itu dengan caranya
"Diajeng, aku mohon maaf, bahwa tiba-tiba saja ada sesuatu
yang memaksa aku untuk bersikap lain. Aku memang ingin
berbicara tentang persoalan yang harus direnungi dengan
sungguh-sungguh" "Kau membuat hatiku menjadi berdebar-debar kakangmas"
sahut Raden Ajeng Ceplik.
"Bukan satu hal yang sangat penting" berkata Bramadaru
kemudian "namun sekedar persoalan yang mungkin dapat kau
pikirkan" "Kau membuat aku semakin gelisah" desis Raden Ajeng
Ceplik, "Diajeng" berkata Bramadaru dengan sungguh-sungguh
"Aku mengenalmu sudah sejak lama. Sejak kita masih kanakkanak.
Tetapi untuk beberapa tahun aku terpisah dari
pergaulan para bangsawan karena aku pergi berguru. Baru
beberapa, saat kemudian aku kembali ke istana. Pada saat
yang demikian, kita sudah menginjak dewasa"
Wajah Raden Ajeng CepIiik menjadi tegang. Sementara itu
Bramadaru berkata selanjutnya "Aku menjadi dewasa seperti
ini, dan diajeng Ceplikpun tejah tumbuh menjadi seorang
gadis. Diajeng, aku minta maaf, bahwa pertemuan kita yang
kemudian itu telah menumbuhkan sesuatu di dalam hatiku.
Aku tidak tahu, apakah perasaan yang demikian itu tumbuh
juga di dalam hatimu. Namun untuk waktu yang cukup lama
bagiku, aku harus menahannya, karena kau sedang
dicengkam oleh keprihatinan karena pamanda Pangeran Sena
Wasesa hilang" Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi merah. Jantungnya
serasa berdetak semakin cepat. Namun justru mulutnya rasarasanya
bagaikan tersumbat. Untuk beberapa saat keduanya telah terdiam. Raden Ajeng
Ceplik yang sudah menginjak masa dewasanya itu tahu pasti
apa yang dimaksud oleh Bramadaru,
Bramadaru menyadari, bahwa adik sepupunya itu tentu
tidak akan segera menjawab pertanyaannya. Mungkin Raden
Ajeng Ceplik masih akan memikirkannya. Meskipun seandainya
Raden Ajeng Ceplik itu memang sudah mempunyai sentuhan
perasaan sejak sebelumnya, ia tentu tidak segera menjawab.
Karena itu, maka Bramadaru kemudian berkata "Maaf
diajeng. Aku sama sekali tidak ingin membuatmu menjadi
gelisah. Aku juga tidak ingin memaksamu menjawabnya
sekarang. Tetapi seperti yang aku katakan, kedatangan
kembali pamanda Pangeran Sena Wasesa memberikan
harapan yang lebih cerah bagiku. Pada saatnya, ayahanda
Pangeran Gajahnata tentu akan datang menemui pamanda
Sena Wasesa untuk membicarakan persoalan kita
sebagaimana seharusnya"
Raden Ajeng Ceplik sama sekali tidak menjawab. Tetapi
wajahnya menjadi semakin tunduk.
Dengan demikian, maka pembicaraan diantara
keduanyapun seakan-akan telah terputus. Sikap Raden Ajeng
Ceplik menjadi berubah sama sekali. Justru karena ia telah
mendengar sikap saudara sepupunya.
Karena itu, maka sejenak kemudian Bramadarupun berkata
"Diajeng baiklah aku minta diri. Sekali lagi aku minta maaf.
Tetapi aku minta kau memikirkannya. Pada saat yang
berbahagia bagimu karena kedatangan kembali pamanda Sena
Wasesa, aku telah menyampaikan harapanku"
Raden Ajeng Ceplik masih belum menjawab. Tetapi ia
mengikut i langkah Bramadaru yang meninggalkan istana itu
sampai ke regol. "Aku minta diri diajeng. Tolong sampaikan kepada pamanda
Sena Wasesa, bahwa aku mohon diri. Kegelisahanku membuat
aku lupa menghadap untuk mohon diri" berkata Bramadaru.
Raden Ajeng Ceplik sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia
mengangguk kecil. Demikianlah, ketika Bramadaru hilang dit ikungan. Maka
Raden Ajeng Ceplik itupun dengan tergesa-gesa telah pergi ke
biliknya. Terasa jantungnya masih berdebar terlalu cepat Ia
memang tidak terlalu banyak bergaul dengan anak-anak muda
karena keadaannya. Karena itu, pernyataan Bramadaru yang
tiba-tiba itu terasa menggoncangkan isi dadanya.
Untuk beberapa saat Raden Ajeng Ceplik itu masih
merenung di dalam biliknya. Rasa-rasanya gadis itu sedang
menilai dirinya sendiri. Apakah yang telah menarik perhatian
Bramadaru, bahwa tiba-tiba saja anak muda itu telah
menyatakan perasaannya. Di luar dinding istana itu, masih
banyak gadis-gadis sebayanya. Puteri-puteri bangsawan
seperti dirinya. Tetapi kenapa Bramadaru itu telah memilihnya.
"Apakah aku lebih cantik dari gadis-gadis yang lain?" tiba-tiba
saja telah tumbuh pertanyaan dihati gadis yang menginjak
usia dewasa itu. Namun dalam pada itu, dicobanya pula untuk menilai anak
muda yang bernama Bramadaru itu. Anak laki-laki dari
seorang Pangeran yang bernama Gajahnata, yang seperti juga
ayahnya adalah seorang Senopati prajurit. Dicobanya untuk
menilai ujud lahiriahnya dan juga menilai sifat-sifatnya. Tetapi
Raden Ajeng Ceplik tidak terlalu banyak mengenal anak muda
itu. Yang dikenalnya adalah, bahwa anak muda itu adalah
saudara sepupunya. Tidak lebih"
Dalam kesibukan perasaan itu, Raden Ajeng Ceplik terkejut
ketika pintu biliknya berderit. Ketika ia mengangkat wajahnya
dilihatnya embannya yang setia melangkah masuk. Kemudian
sambil berjongkok embannya itu mendekatinya.
"Puteri" tiba-tiba saja embannya berdesis "Apakah yang
dikatakan oleh ayahanda" Bukankah puteri telah dipanggil
menghadap?" Raden Ajeng Ceplik mengerutkan keningnya. Namun
kemudian Katanya "Ayahanda tidak ingin mengatakan
sesuatu. Ayahanda hanya menanyakan aku yang untuk
beberapa saat tidak nampak karena aku berada di serambi"
"O" emban itu mengangguk-angguk. Tetapi keningnya
menjadi berkerut. Katanya "Aneh. Ayahanda puteri telah
dengan sungguh-sungguh memerintahkan puteri untuk
menghadap. Bukan sekedar mencari puteri karena untuk
beberapa saat ayahanda puteri tidak melihat puteri"
"Tetapi aku telah menghadap ayahanda. Bahkan bersama
dengan, kakangmas Bramadaru. Karena ketika ayahanda
memanggil, aku memang sedang berada diserambi bersama
kakangmas Bramadaru" jawab puteri.
"O, Raden Bramadaru, putera Pangeran Gajahnata itu?"
bertanya embannya. "Ya" jawab Raden Ajeng Ceplik yang tiba-tiba saja telah
menunduk. Seolah-olah embannya telah mengetahui, apa
yang telah dikatakan oleh Bramadaru kepadanya diserambi.
"Raden Bramadaru terlalu sering mengunjungi puteri.
Memang agak lain dengan saudara-saudara pulen yang lain"
gumam embannya. "Kenapa" Bukankah saudara-saudaraku yang lain juga
sering datang mengunjungi aku" Apalagi pada saat ayahanda
tidak ada di istana" berkata puteri itu.
"Tetapi tidak terlalu sering seperti Raden Bramadaru"
berkata emban itu. "Ah" desah Raden Ajeng Ceplik "Ia adalah kakak sepupuku.
Aku mengenalnya lebih baik dari saudara-saudaraku yang lain.
Sejak kami tumbuh remaja. Kemudian kakangmas itu pergi
berguru. Baru setelah kami menjelang dewasa, kami telah
bertemu kembali, dalam keadaan yang tidak menguntungkan,
karena ayahanda tidak ada di istana. Tetapi aku berterima
kasih kepadanya, bahwa ia sering mengunjungi aku dalam
kesepian itu" Emban itu mengangguk-angguk. Sambil duduk dilantai
disebelah pembaringan momongannya ia mengamati gadis
yang duduk di bibir pembaringannya itu.
Namun hampir diluar sadarnya emban itu beritanya "Puteri,
apakah Raden Bramadaru tidak mempunyai kepentingan lain
kecuali sekedar menengok adik sepupunya?"
Wajah puteri itu menegang. Kemudian dengan nada tinggi
ia bertanya "Apa maksudmu emban?"
Emban itu terkejut sendiri. Dengan serta merta iapun
kemudian menyahut "Tidak puteri. Tidak apa-apa"
"Ah, kau sudah menanyakan sesuatu tentang hubunganku
dengan kakangmas Bramadaru" gumam puteri itu.
"Puteri" berkata emban dengan ragu-ragu "Bukan
maksudku untuk mengetahui terlalu banyak tentang puteri.
Tetapi kehadirannya yang terlalu sering itu agaknya memang
terkandung sesuatu maksud tertentu"
"Tetapi aku menerimanya sebagai kakak sepupuku jawab
Raden Ajeng Ceplik. Emban itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian,
sebenarnyalah emban pemomong yang setia itu melihat apa
yang selama itu tersirat pada hubungan antara keduanya.
Terdorong oleh kesetiaannya kepada momongannya, maka
perkembangan hubungan antara kedua anak muda yang
meningkat dewasa itu telah membuat emban itu menjadi
cemas. Apalagi ketika ia mengamati dari kejauhan, apa yang baru
saja terjadi antara keduanya. Meskipun emban itu tidak
mendengar pembicaraan antara keduanya, tetapi menilik sikap
dan wajah Raden Ajeng Ceplik, serta tingkah laku Bramadaru
maka emban yang sudah cukup makan asinnya garam
kehidupain itu dapat menebak, apa yang telah dikatakan oleh
Bramadaru. Namun dalam pada itu, agaknya Raden Ajeng Ceplik sendiri
merasakan bahwa pertanyaan embannya itu mengarah
kepada persoalan yang justru sedang dipikirkannya tentang
Bramadaru Karena itu, maka puteri itupun kemudian
mendesak "Emban. Apakah sebenarnya yang kau ketahui
tentang hubunganku dengan kakangmas Bramadaru" Apakah


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau sedang menduga-duga atau mendengar pembicaraan
kami?" Emban itu bergeser setapak maju. Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia mengusap keringat di keningnya.
"Puteri" berkata emban itu kemudian "sebagaimana puteri
mengetahui, aku adalah emban yang mengasuh puteri sejak
puteri masih kanak-kanak. Apalagi karena aku tidak
mempunyai anak sendiri, sehingga karena aku tidak
mempunyai anak sendiri, sehingga karena itu, seluruh waktu
dan bahkan seluruh hidupku tertumpah bagi kepentingan
puteri. Karena itulah, maka aku menganggap bahwa puteri
bukan saja momonganku, gustiku, dan bendaraku, tetapi
puteri juga bagaikan anakku sendiri. Mungkin aku terlalu
deksura bahwa aku berani menganggap puteri sebagai anakku
sendiri. Tetapi maksudku bahwa sebagaimana seorang biyung
yang siap mengorbankan apa saja bagi anaknya. Bahkan
nyawanya pada saat anak itu lahir"
Raden Ajeng Ceplik menarik nafas dalam-dalam. Ia
semakin merasa bahwa tentu ada sesuatu yang penting yang
ingin dikatakannya. Karena itu, maka katanya "Bibi, agaknya kau tidak hanya
sekedar ingin bertanya, apakah yang dikatakan ayah
kepadaku. Tetapi agaknya kau memang mempunyai sesuatu
yang ingin kau katakan kepadaku"
Emban itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian Katanya
"Puteri. Jika aku mengatakan sesuatu, berkenan atau tidak
berkenan di hati puteri, namun sebenarnyalah hal itu aku
landasi dengan kesetiaanku kepada puteri. Sebagai seorang
buyung yang ingin melihat anaknya berbahagia, maka akupun
ingin melihat puteri tidak pernah mengalami sesuatu yang
dapat membuat hidup puteri kelak tidak berbahagia. Meskipun
belumtentu bahwa kecemasanku itu dapat terjadi"
Raden Ajeng Ceplik menjadi semakin berdebar-debar.
Dengan tidak sabar ia mendesak "Jangan berteka-teki terlalu
lama emban. Coba katakan, apa yang sebenarnya sedang kau
pikirkan tentang aku"
"Puteri, apakah aku boleh bertanya?" desis emban itu
"Tentang apa bibi?" puteri itulah yang justru bertanya.
"Apakah yang telah dikatakan oleh Raden Bramadaru
kepada puteri di serambi?" bertanya emban itu pula.
"Ah" desah puteri itu "Apakah kau mendengarkannya?"
"Tidak puteri. Aku tidak mendengar. Tetapi aku melihat
sikap dan tingkah laku puteri dan Raden Bramadaru" jawab
emban itu. Lalu "Baiklah, tentu puteri akan segan
mengatakannya. Biar aku sajalah yang menebak. Puteri,
apakah Raden Bramadaru menyatakan bahwa ia mencintai
puteri?" Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi merah. Tetapi emban
itu dengan serta merta mengatakan "Sekali lagi puteri. Aku
adalah pemomong puteri. Puteri bagiku adalah gusti, bendara
dan sekaligus anak kekasih jika puteri berkenan"
Raden Ajeng Ceplik itu menundukkan wajahnya dalamdalam.
Dengan sendat puteri itupun kemudian menjawab
tanpa mengangkat wajahnya "Ya bibi"
Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya
"Itu adalah satu hal yang wajar sekali puteri. Seorang anak
muda pada satu saat merasa mencintai seorang gadis.
Demikian sebaliknya. Jika Raden Bramadaru mencintai Puteri
dan sebaliknya itu adalah hal yang sangat wajar. Tetapi masih
ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada puteri"
Raden Ajeng Ceplik sama sekali tidak mengangkat
wajahnya. Seakan-akan tatapan matanya lekat pada lantai
biliknya yang mengkilat. "Puteri" berkata embannya pula "dalam kewajaran itu
puteri harus tetap berhati-hati. Sebenarnya aku hanya ingin
mengatakan, bahwa puteri harus melihat dengan saksama,
kenapa tiba-tiba saja Raden Bramadaru sering berkunjung ke
rumah ini pada saat ayahanda puteri tidak ada. Sementara itu,
sebelumnya, sejak Raden Bramadaru kembali dari
perguruannya, ia sudah terlalu banyak bergaul dengan puteriputeri
bangsawan yang lain. Bahkan Raden Bramadaru
termasuk seorang anak muda yang mempunyai daerah
pergaulan yang luas"
Wajah Raden Ajeng Ceplik menjadi tegang. Dengan nada
tinggi Raden Ajeng itu bertanya "Bibi, bukankah dengan
demikian berarti bahwa kau mencurigai kakangmas
Bramadaru" Kau menganggap bahwa tentu ada sesuatu yang
tidak wajar, bahwa tiba-tiba saja ia menyatakan mencintai
aku, semenara itu, ia mempunyai kawan-kawan perempuan
yang banyak" "Ampun puteri" jawab emban itu "sekali lagi, bahwa hal ini
aku sampaikan kepada puteri, justru karena aku tidak ingin
melihat sesuatu yang akan dapat mengecewakan puteri.
Namun seandainya tanggapanku ini salah, maka masih ada
waktu untuk memperbaikinya"
"Aku tidak mengerti emban" potong puteri itu. Emban itu
menjadi termangu-mangu. Tetapi ia telah didorong oleh satu
perasaan wajib, bahwa ia harus mengatakannya. Karena itu,
tanpa menghiraukan akibat yang dapat terjadi atas dirinya
sendiri, ia memang sudah bertekad untuk mengatakannya,
demi kebaikan Raden Ajeng Ceplik itu sendiri.
"Puteri" berkata emban itu kemudian dengan agak
tersendat "Aku adalah emban di istana Pangeran Sena
Wasesa. Aku mempunyai beberapa orang kawan emban di
istana-istana yang lain. Kadang-kadang kami bertemu dan
berbincang. Mungkin di pasar, mungkin pada saat-saat yang
lain jika diantara kami bertemu di jalan. Dalam pembicaraan
itu, beberapa orang kawan telah membicarakan Raden
Bramadaru yang sering datang ke istana ini"
"Ah, apakah kepentingan mereka dengan kakangmas
Bramadaru?" bertanya Raden Ajeng Ceplik.
"Puteri, kawan-kawan emban itu mengetahui apa yang
telah terjadi di istana ini. Pada saat Pangeran Sena Wasesa
hilang, maka semua orang menjadi sangat kasihan melihat
puteri yang sendiri di istana ini. Dengan demikian maka
diantara mereka banyak yang memperhatikan keadaan pateri.
Mungkin ada beberapa orang paman dan bibi puteri yang
mempercakapkan tentang puteri dengan emban-emban
masing-masing" emban itu berhenti sejenak "Dan pada saat
yang demikian itulah datang Raden Bramadaru, Pada saat
perhatian beberapa orang bangsawan tertuju kepada istana
ini" "Jadi apa salahnya jika kakangmas Bramadaru mengawasi
aku dalam saat-saat yang sepi dan gelisah itu?" bertanya
Raden Ajeng Ceplik. "Jika bukan Raden Bramadaru, atau katakanlah, jika sifatsifat
Raden Bramadaru lain dari sifat-sifatnya, maka tidak akan
ada seorangpun yang berkeberatan" jawab emban itu
memaksa diri. Wajah Raden Ayu Ceplik tiba-tiba saja telah berubah.
Kerut-merut di dahinya menjadi semakin nyata. Dengan ragu
puteri itu bertanya "Bagaimana sifat kakangmas Bramadaru?"
tiba-tiba saja di hatinya telah bergejolak keinginan vntuk
mengetahui lebih banyak lagi tantang Bramadaru.
Emban itu termangu-mangu. Namum akhirnya ia berkata
"Puteri, aku mohon maaf jika aku mengatakan apa yang
dikatakan oleh kawan-kawanku tentang Raden Bramadaru.
Raden Bramadaru adalah seorang anak muda yang
menyenangi gadis-gadis. Sejak Raden Bramadaru kembali dari
berguru, sudah ada beberapa orang gadis yang mula-mula
menjadi sangat rapat. Bahkan ada diantara gadis-gadis yang
diambilnya dari lingkungan para abdi. Dan disaat lain gadisgadis
itu harus segera kawin dengan laki-laki yang sama sekali
tidak dikenalinya, yang harus mengawininya dengan upah,
karena Raden Bramadaru tidak ingin mengawininya"
"O" puteri itupun tiba-tiba menutup telinganya. Katanya
"Cukup emban. Ceriteramu sangat mengerikan"
"Ampun puteri" sahut emban itu "Aku mohon puteri
mendengar kata-kataku sebagi kata seorang biyung. Puteri,
baru kemudian, tiba-tiba semua gadis, termasuk puteri-puteri
bangsawan ditinggalkannya ketika ia mulai, berkenalan
dengan puteri" "Aku sudah mengenalnya sejak masih kanak-kanak" suara
puteri itu meninggi. "Ya. Sejak masih kanak-kanak" jawab emban itu
"maksudku, ia mulai mendekati puteri lagi sejak ia pulang dari
berguru" Raden Ajeng Ceplik menutup, wajahnya dengan kedua
tangannya. Keterangan yang didengarnya dari embannya itu
membuat kulit diseluruh tubuhnya meremang.
Yang dikatakan oleh embannya itu memang mungkin saja
terjadi. Tetapi menilik sikap dan tutur kata Bramadaru selama
dikenalnya sebagai anak muda yang dewasa, sama sekali tidak
mencerminkan sifat-sifat seperti yang dikatakan oleh emban
itu. Bramadaru adalah seorang anak muda yang riang, ramah
tetapi sangat sopan. Untuk sejenak keduanya saling berdiam diri. Dari kedua
mata Raden Ajeng Ceplik telah mengalir air mata. Meskipun ia
sendiri sama sekali belum mengambil satu keputusan, tetapi
keterangan embannya itu membuat hatinya terluka.
Bagaimanapun juga Bramadaru adalah saudara sepupunya.
Ada semacam ketidak-relaan di dalam hati mendengar
tuduhan yang dikatakan oleh emban itu.
Namun sekali lagi emban itu berkata "Ampuni puteri. Yang
aku katakan adalah apa yang aku dengar dari kawankawanku.
Tidak hanya satu dua orang. Bahkan abdi di istana
Pangeran Gajahnatapun telah mengatakan demikian pula.
Karena itu, aku merasa sangat cemas dengan puteri. Bukan
maksudku puteri memutuskan hubungan puteri dengan Raden
Bramadaru, tetapi aku mohon puteri menjadi lebih berhatihati.
Tetapi mungkin apa yang aku dengar itu salah.
Seandainya demikian, sokurlah. Dan aku telah berusaha untuk
berbuat baik bagi puteri yang sudah aku anggap sebagai
anakku sendiri" Raden Ajeng Ceplik masih tetap berdiam diri. Betapapun
juga hatinya tersinggung, tetapi ia mengenal embannya itu
sejak ia masih kanak-kanak. Iapun yakin bahwa emban itu
sangat setia kepadanya. Karena itu, maka iapun mengerti
bahwa maksud emban itu baik. Persoalannya adalah, apakah
yang dikatakan oleh kawan-kawan emban itu benar.
Namun demikian, rasa-rasanya hatinya menjadi buram.
Baru saja ia mendengar pengakuan Bramadaru, bahwa
hatinya mulai tertambat kepadanya, tiba-tiba saja emban itu
telah menceriterakan sifat-sifat Bramadaru yang mengerikan.
Ruang itu menjadi hening sejenak. Raden Ajeng Ceplik
berusaha untuk mengusap pipinya yang basah. Tetapi air
mata itu masih saja mengembun dan mengalir perlahan-lahan.
Tetapi Raden Ajeng Ceplik tidak menjadi terisak karenanya.
Baru sejenak kemudian, embannya itupun berkata "Puteri.
Jika aku tergesa-gesa menyampaikan hal ini kepada puteri,
justru setelah aku melihat sikap dan tingkah laku puteri dan
Raden Bramadaru. Aku tidak ingin terlambat, meskipun
seandainya ceriteraku itu menyinggung hati puteri. Namun
aku mohon, agar puteri yang sekarang sudah dewasa itu
dapat menerima dan mencerna keteranganku secara dewasa
pula" Raden Ajeng Ceplik berusaha untuk mengangguk. Meskipun
demikian ia masih mengusap matanya yang basah.
Dalam pada itu, keduanya telah dikejutkan oleh derit pintu
yang terbuka Dengan berdebar-debar keduanya melihat
Pangeran Sena Wasesa berdiri di muka pintu.
Namun dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesapun telah
terkejut pula. Ia melihat puterinya sedang mengusap air
matanya. Karena itu, tiba-tiba saja jantungnyapun bergejolak.
Yang pertama-tama terbesit di dalam hati Pangeran Sena
Wasesa adalah dugaan bahwa puterinya telah mendengar
kehadiran seorang perempuan yang ternyata adalah isterinya,
yang juga merupakan ibu t iri dari Raden Ajeng Ceplik itu.
Meskipun demikian, Pangeran Sena Wasesa berusaha untuk
mengendalikan perasaannya. Dengan sareh Pangeran itu
bertanya "Apakah kau menangis?"
Raden Ajeng Ceplik berusaha untuk menghilangkan kesan
itu dari wajahnya. Tetapi agaknya ayahandanya sudah melihat
wajahnya yang basah oleh air mata.
"Apakah yang sedang kalian bicarakan?" bertanya Pangeran
Sena Wasesa itu kepada embannya "Mungkin sesuatu yang
menyedihkan, menggelisahkan atau kesulitan yang tidak
teratasi" Emban itu menjadi bingung. Untuk sesaat ia masih tetap
berdiam diri, sementara Raden Ajeng Ceplikpun menunduk
dalam-dalam. Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
ia sadar, bahwa sulit baginya untuk memaksa puterinya
berbicara. Karena itu, maka tiba-tiba saja Pangeran itu berkata
"Emban. Aku ingin berbicara denganmu"
Dada emban itu bagaikan bergejolak. Jantungnya seakanakan
melonjak-lonjak di dalamdadanya itu. Namun sebelum ia
sempat berkata sepatah katapun, Pangeran Seria Wasesa
telah hilang di balik pintu.
"Oh " Raden Ajeng Ceplik mengeluh "Apa yang akan kau
katakan kepada ayahanda bibi"
Emban itu termangu-mangu sebentar. Namun kemudian
Katanya "Puteri. Agaknya tidak baik jika puteri berusaha untuk
merahasiakan sesuatu terhadap ayahanda"
Raden Ajeng Ceplik menjadi bimbang. Kegelisahannyapun
menjadi semakin mencengkam. Sementara itu embannya
berkata lebih lanjut "Ayahanda puteri adalah satu-satunya
orang tua puteri sekarang ini. Ayahanda puteri adalah juga
ibunda. Karena itu, biarlah aku berterus terang. Dengan
demikian, maka ayahanda puteri akan dapat melihat persoalan
yang terjadi atas diri puteri dengan benar. Jika pada suatu
naat ayahanda puteri harus mengambil satu keputusan, maka
Keputusan itu diambil berdasarkan pada keteranganketerangan
yang sebenarnya. Dengan demikian jika terjadi
kesalahan dalam keputusan itu, bukan puteri sendirilah yang
harus memikul tanggung jawab"
Raden Ajeng Ceplik termangu-mangu. Ia masih tetap raguragu.
Namun yang dikatakan oleh embannya itu masuk juga di
dalam nalarnya. Ia lebih baik berterus-terang kepada
ayahandanya. Apapun yang akan terjadi, ayahandanya sudah


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat mengetahuinya. Bahkan seandainya tiba-tiba saja
Pangeran Gajahnata menghubungi ayahnya, sebagaimana
dikatakan oleh Bramadaru, maka ayahnya tidak akan terkejut.
Karena itu, maka katanya kemudian "Terserah kepadamu
bibi. Mana yang kau anggap lebih baik, maka kau dapat
melakukannya" "Tetapi bukankah sebaiknya aku mendapat ijin puteri"
berkata embannya pula. Raden Ajeng Ceplik itpuun mengangguk kecil. Jawabnya
"Baiklah bibi. Kau dapat berterus terang kepada ayahanda.
Tetapi kau tahu, bagaimana sebaiknya kau mengatakannya"
Demikianlah, maka emban itupun kemudian meninggalkan
bilik momongannya. Emban itu tahu, bahwa Pangeran Sena
Wasesa akan menunggunya diruang dalam.
Karena itu, maka emban itupun menyusul Pangeran Sena
Wasesa ke ruang dalam. Sambil berjongkok maka emban itu
telah mendekati Pangeran Sena Wasesa yang duduk
menyamping pintu yang terbuka.
"Emban, mendekatlah" desis Pangeran Sena Wasesa.
Emban itupun bergeser semakin dekat. Ketika dengan tidak
sengaja emban itu memandang wajah Pangeran Sena Wasesa,
hati emban itupun menjadi berdebar-debar. Wajah itu
kelihatan suram dan kerut di dahi Pangeran Sena Wasesa itu
nampaknya menjadi semakin dalam.
Karena itu, maka emban itupun kemudian duduk bersimpuh
sambil menunduk dalam-dalam.
"Emban" berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian "Aku
melihat momonganmu menangis. Apakah kau mengetahui
sebabnya, atau kau memang sedang memperbincangkan
sesuatu yang membuatnya menangis?"
Emban itu menunduk semakin dalam. Dengan suara yang
bagaikan tersangkut ddkerongkongan emban itu menyahut
"Hamba Pangeran. Hamba memang sedang berbincang
dengan puteri Ambarsari"
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia
hampir pasti bahwa puterinya telah lebih dahulu mendengar
kehadiran seorang ibu tiri baginya dari orang lain. Bukan dari
ayahandanya sendiri. Meskipun demikian Pangeran Sena
Wasesa masih mencoba untuk dengan tenang bertanya
"Persoalan apakah yang kau bicarakan dengan Ceplik?"
Emban itu menjadi ragu-ragu. Namun sudah menjadi
tekadnya untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi
dengan momongannya. Karena itu, maka katanya kemudian
"Pangeran, perkenankanlah hamba menyampaikan persoalan
puteri yang sebenarnya. Hamba telah mengatakan kepada
puteri, bahwa hamba telah menyampaikan isi hati hamba
justru karena hamba setia kepada puteri dan keluarga di
istana ini" "Apa yang kau katakan?" bertanya Pangeran Sena Wasesa
tidak sabar. "Gusti" emban itu bergeser setapak. Namun bagaimanapun
juga emban itu menjadi gelisah juga "beberapa saat yang lalu,
Raden Bramadaru telah datang menemui puteri"
"Ya, aku tahu. Bahkan keduanya telah datang menghadap
ketika aku sebenarnya hanya memanggil Ceplik saja" berkata
Pangeran Sena Wasesa. "Itulah Gust i" emban itu melanjutkan "hamba menjadi
gelisah karena hubungan puteri Ambarsari dengan Raden
Bramadaru" "Kenapa" Bukankah Bramadaru itu putera kakangmas
Pangeran Gajahnata?" bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Hamba Gusti" jawab emban itu "Tetapi masalahnya bukan
karena Raden Bramadaru adalah putera Pangeran Gajahnata,
Tetapi karena sifat dan tingkah laku Raden Bramadaru itu
sendiri" "Kenapa dengan Bramadaru?" bertanya Pangeran Sena
Wasesa pula. Emban itupun akhirnya mengatakan juga, betapapun ia
menjadi ragu. Seperti yang dikatakannya kepada Raden Ajeng
Ceplik, maka semuanya itu dikatakannya pula kepada
Pangeran Sena Wasesa. "Gusti. Hamba tidak rela melepaskan momongan hamba ke
tangan yang telah ternoda. Hamba sangat mencintai Raden
Ajeng Ambarsari melampaui diri hamba sendiri" Suara emban
itu tersendat-sendat. Bahkan titik-titik air telah merayap turun
dari sudut mata emban yang setia itu.
Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ada
dua hal yang membuat hatinya justru mengendor. Ternyata
masalah yang menyebabkan puterinya menangis bukanlah
puterinya itu mendengar tentang kehadiran seorang ibu tiri
dari orang lain. Yang kedua, dengan demikian ia akan dapat
lebih berhati-hati menghadapi Bramadaru. meskipun ia tidak
boleh percaya begitu saja kepada laporan embannya yang
hanya didasarkan kepada ceritera kawan-kawannya saja.
Namun iapun tidak boleh mengabaikan sama sekali
keterangan embannya, yang seperti Raden Ajeng Ceplik, maka
Pangeran Sema Wasesapun percaya bahwa embannya itu
memang berniat baik. Karena itu. setelah Pangeran Sena Wasesa mengetahui
bahwa yang dihadapi puterinya adalah persoalannya dengan
Bramadaru, maka katanya kemudian "Terima kasih emban.
Aku akan memperhatikan keteranganmu. Sudah barang tentu,
aku sebagai ayahnya tidak akan membiarkan anak gadisku
satu-satunya itu terjerumus dalam kepahitan hidup dan
kehilangan masa depannya"
"Segalanya terserah kepada kebijaksanaan Pangeran"
berkata emban itu. Pangeran Sena Wasesapun kemudian mengijinkan emban
itu meninggalkannya. Namun demikian, maka rencananya
untuk memanggil anaknya itupun telah diurungkan.
"Ceplik baru mengalami goncangan perasaan yang telah
membuatnya bimbang dan bahkan kebingungan" berkata
Pangeran Sena Wasesa kemudian, sehingga iapun berniat
untuk menundanya sampai hari berikutnya.
Karena itu, maka Pangeran Sena Wasesapun telah
memberitahukannya kepada Endang Srini dan orang-orang tua
yang menjadi tamunya dan berada di gandok.
Dalam pada itu, ketika matahari menjadi semakin rendah di
ujung Barat, Rahu yang dipanggil oleh Pangeran Sena Wasesa
untuk membicarakan tentang pusaka dan harta benda
yang telah diserahkan kepada Kangjeng Sultan di Demak,
namun masih belum mendapatkan penyelesaian sampai tuntas
itu telah mengusulkan agar persoalannya dipercepat.
"Jika harta benda dan pusaka itu masih belum diambil dan
di masukkan ke dalam perbendaharaan istana, maka agaknya
masih akan dapat menumbuhkan persoalan baru Pangeran"
berkata Rahu yang untuk sementara masih juga mengawani
para tamu Pangeran Sena Wasesa tinggal di istana itu,
disamping petugas sandi itu akan dapat diajak berbincang
tentang pusaka dan harta benda itu.
"Jadi, bagaimana sebaiknya menurut pendapatmu?"
bertanya Pangeran Sena Wasesa.
"Pangeran menghadap Kangjeng Sultan dan mohon agar
pusaka dan harta benda itu segera disimpan di dalam
perbendaharaan istana. Jika belum, maka seakan-akan pusaka
dan harta benda itu masih menjadi tanggungan Pangeran"
jawab Rahu. "Aku sependapat. Besok aku akan menghadap" berkata
Kangjeng Sultan kemudian.
Adalah merupakan satu keputusan, bahwa benda-benda
berharga itu harus segera dipindahkan keperbendaharaan
istana, agar tidak akan dapat menumbuhkan persoalanpersoalan
baru yang tidak dikehendaki.
Dalam pada itu, ketika Rahu kemudian meninggalkan ruang
dalam, diserambi ia melihat Raden Ajeng Cepilik duduk
seorang diri merenungi halaman samping yang sejuk. Bungabunga
yang kembang, bergoyang dihembus angin senja.
Namun diserambi itu lampu masih belum dinyalakan.
Di seberang halaman, di serambi gandok seorang anak
muda sedang melintas, kemudian masuk ke dalam gandok.
Seorang anak muda yang sederhana, namun memiliki tekad
untuk memanggul beban yang luhur dipundaknya.
"Apakah puteri sedang merenung" sapa Rahu perlahanlahan.
Raden Ajeng Ceplik terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya
salah seorang tamu ayahnya berdiri ditangga serambi itu.
"O" Raden Ajeng Ceplik mengangguk hormat "maaf Ki
Sanak. Aku tidak melihat Ki Sanak"
"Aku baru saja menghadap ayahanda puteri" jawab Rahu
"Tetapi apakah yang sedang puteri perhatikan" Kawan-kawan
kami di gandok itu?"
"O, tidak Ki Sanak. Aku sedang merenungi pohon-pohon
bunga itu" jawab Raden Ajeng Ceplik.
"Tetapi puteri nampaknya murung hari ini" berkata Rahu
"Biasanya aku melihat puteri gembira setelah ayahanda
kembali" "Ah, bukankah saat ini aku juga gembira" sahut Raden
Ajeng Ceplik. Rahu mengangguk-angguk. Pada saat itu, anak muda yang
memasuki gandok itupun melangkah keluar pula. Di serambi
gandok ia berhenti sejenak. Kemudian diluar sadarnya bahwa
diserambi samping istana Rahu sedang bercakap-cakap
dengan Raden Ajeng Ceplik, anak muda itu duduk diserambi
gandok. "Puteri" berkata Rahu "Apakah puteri mengenal anak muda
itu. Yang duduk diserambi gandok?"
Wajah puteri itu berkerut. Namun kemudian ia berkata
"Aku belum mengenal tamu ayahanda seorang demi seorang.
Meskipun aku sering menghidangkan jamuan untuk mereka"
Rahu menarik nafas dalam-dalam. Satu dua orang lain
nampak pula lewat diserambi. Bahkan Kiai Kanthipun
kemudian duduk pula disamping anak muda itu. Ketika
keduanya bercakap-cakap, maka Rahu berkata "Anak muda itu
pernah datang ke istana ini bersamaku dan sekelompok
orang-orang Sanggar gading untuk mengambil ayahanda
puteri" "O" Raden Ajeng Ceplik mengangguk-angguk. Katanya
"Ayahanda pernah juga berceritera. Tetapi ternyata bahwa
kalian pulalah yang telah menolong ayahanda, karena
sebenarnyalah kalian adalah petugas-petugas dari Demak.
Kalian adalah petugas sandi"
Rahu tersenyum. Lalu katanya pula "Apakah puteri ingat,
bahwa ternyata beberapa orang telah kembali setelah
ayahanda dibawa pergi oleh orang-orang Sanggar Gading itu?"
"Ya, aku ingat" jawab puteri itu. Namun terasa kulitnya
menjadi meremang karenanya "Mereka akan mengambil aku"
"Puteri ingat, siapakah yang menolong puteri waktu itu?"
bertanya Rahu. "Tidak jelas. Tetapi menurut ayahanda adalah kalian pula.
Para petugas sandi" jawab puteri itu sambil menunduk.
"Diantara kami yang menyelamatkan puteri, adalah anak
muda yang duduk diserambi itu" jawab Rahu.
"Aku mengucapkan terima kasih" desis puteri.
"O. Sudah beberapa kali puteri maupun ayahanda
menyatakannya. Sebenarnya itu tidak perlu, karena itu adalah
tugasku. Tetapi ada satu hal yang barangkali belum puteri
ketahui tentang anak muda itu" berkata Rahu.
Tetapi Rahu ternyata keliru. Raden Ajeng Ceplik menjawab
"Ayahanda pernah mengatakan, bahwa anak muda itu adalah
putera Pangeran Surya Sangkaya dan bergelar Candra
Sangkaya. Tetapi anak muda itu telah memilih hidup di sebuah
padukuhan kecil disebelah daerah Sepasang Bukit Mati"
"O" Rahu mengangguk-angguk. Katanya "Ternyata
ayahanda puteri telah banyak berceritera tentang kami"
"Tidak Ayahanda tidak banyak berceritera tentang tamutamunya.
Tetapi yang paling banyak ayahanda ceriterakan
adalah seorang gadis bernama Swasti dan seorang anak muda
yang menyebut dirinya bernama Jlitheng. Anak muda yang
sebenarnya adalah Raden Candra Sangkaya, yang sekarang
telah menerima kemurahan hati Kangjeng Sultan untuk
diperkenankan mempergunakan gelar Pangeran"
"O" Rahu mengangguk-angguk. Katanya di dalam hati
"Puteri telah banyak mengetahui tentang Jlitheng"
Dalam pada itu, maka Rahupun kemudian minta diri untuk
menemui kawan-kawannya digandok itu.
Sepeninggal Rahu. Raden Ajeng Ceplik masih duduk di
tempatnya. Diluar sadarnya dipandanginya anak muda yang
berada di serambi gandok. Anak muda sederhana. Tidak
mengenakan pakaian seperti para bangsawan. Tidak
mengenakan pakaian seperti Bramadaru dan anak-anak muda
bangsawan yang lain. Namun dalam kesederhanaannya anak
muda itu memiliki sesuatu yang tidak dilihatnya pada
Bramadaru. "Tetapi dalam kesederhanaannya itu, ia menyandang gelar
seorang Pangeran" berkata Raden Ajeng Ceplik di dalam
hatinya. Adalah diluar kehendaknya jika kemudian puteri itu telah
memperhatikan anak muda yang bernama Jlitheng dan yang
sebenarnya bergelar Pangeran Candra Sangkaya itu, meskipun
belum mendapat kekancingan. Tetapi dihadapan banyak saksi
Kangjeng Sultan telah menyatakan, bahwa Jlitheng mendapat
gelar kehormatan seorang Pangeran.
Tetapi ketika dengan t idak sadar pula Jlitheng memandang
kearah puteri itu. maka tiba-tiba puteri itupun telah
melemparkan pandangannya kekejauhan.
Namun tiba-tiba- saja terpandang olehnya dua orang lagi
diantara para tamu ayahnya. Seorang gadis yang berjalan
seiring dengan seorang perempuan. Raden Ajeng Ceplik
mengenal nama keduanya, Swasti dan Endang Srini. Namun ia
tidak banyak mengetahui tentang keduanya. Meskipun
ayahandanya pernah mendorongnya untuk mencoba bergaul
dengan gadis yang bernama Swasti itu. Gadis yang memiliki
kemampuan olah kanuragan seperti seorang laki-laki.
Tetapi ada keseganan dihati Raden Ajeng Ceplik. Ia merasa
terlalu bodoh dibandingkan dengan gadis itu. la hanyalah
seorang gadis yang kerjanya sehari-hari merenung dan sedikit
bekerja di dapur dan membersihkan bilik-bilik di dalam, istana
itu. Itupun dibantu oleh beberapa orang pelayan.
Ketika ia memperhatikan, bagaimana Swasti berjalan dan.
bersikap maka hatinya menjadi semakin kecil. Gadis itu benarbenar
menunjukkan keperkasaannya.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara perempuan yang lebih tua itupun tidak banyak
dikenalnya pula. Ayahandanya tidak mengatakan sesuatu
tentang perempuan itu kecuali namanya.
Namun Raden Ajeng Ceplik tidak menduga sama sekali,
bahwa ayahandanya akan secara khusus memberitahukan
kepadanya tentang perempuan yang bernama Endang Srini
Tanda Athena 4 Joko Sableng 30 Pengadilan Neraka Tumbal Cemburu Buta 1

Cari Blog Ini