Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 4

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 4


saat yang lalu, Daruwerdi telah membunuh dua orang Kendali
Putih." "Bukankah itu bukan maksud angger Daruwerdi. Justru
orang-orang Kendali Putihlah yang telah berusaha menipu
angger Daruwerdi. Bukankah begitu menurut ceriteramu?"
"Benar Kiai. Daruwerdi telah membunuh kedua orang
Kendali Putih yang telah berusaha menipunya. Tetapi bahwa
pertemuan antara Daruwerdi dan orang-orang Pusparuri itu
memang direncanakan ditempat itu. Tetapi yang datang
adalah orang-orang Kendali Putih yang mengaku sebagai
orang dari perguruan Pusparuri."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Dipandanginya sekilas
anak-anak muda Lumban yang sibuk mengunyah gayam dan
meneguk air putih dari bumbung-bumbung bambu. Namun
nampaknya air putih itu demikian segarnya, melampaui air
sere hangat dengan legen atau gula kelapa.
"Angger," berkata Kiai Kanthi kemudian, "apakah dengan
demikian justru ada kesengajaan pula angger memilihkan
tempat bagi kami dilereng itu, agar kami langsung atau tidak
langsung telah menjadi pengawas yang akan dapat membantu
tugas-tugas angger yang belumaku ketahui."
"Ah," tiba-tiba saja Jlitheng tersenyum, "bukan maksudku
Kiai. Tetapi jika terjadi demikian, sudah tentu aku wajib
mengucapkan terima kasih."
"Tentu aku t idak berani berbuat demikian ngger. Jika pada
suatu saat angger Daruwerdi mengetahui, maka nasibku akan
menjadi sangat buruk."
Tiba-tiba saja meledak suara tertawa Jlitheng tanpa dapat
ditahankannya lagi, sehingga kawan-kawannya berpaling
kepadanya dengan heran. "Apa yang kau tertawakan ?" bertanya salah seorang
kawannya. Jlitheng memaksa diri untuk berhenti tertawa. Jawabnya
kemudian, "Kiai Kanthi telah menceriterakan pengalamannya
yang lucu dikala mudanya."
"Apa ?" bertanya kawan-kawannya sekaligus. Bahkan
Swasti yang duduk agak jauhpun telah memandangi ayahnya
dengan kerut dikeningnya.
"Apa yang sudah diceriterakan ayah," bertanya Swasti
didalam hatinya. Tetapi Jlitheng menggeleng. Katanya, "Tidak. Kiai Kanthi
tidak bersedia mengulangi ceriteranya."
"Kau ceriterakan," minta kawan-kawannya.
Tetapi Jlitheng justru menjadi bingung. Ia tidak tahu,
ceritera apa yang dapat dikatakannya kepada kawannya.
Namun Jlitheng t idak kehilangan akal. Katanya, "Nanti sajalah
jika kita pulang." Kiai Kanthi sendiri masih tersenyum. Agaknya Jlitheng telah
menertawakannya ketika ia mengatakan, bahwa Kiai Kanthi
tidak berani berbuat sesuatu karena takut kepada Daruwerdi.
Meskipun demikian, meskipun pembicaraan antara Kiai
Kanthi dan Jlitheng itu diucapkan sambil bergurau, namun
ternyata hal itu telah menjadi perhatian keduanya dengan
bersungguh-sungguh. Dibawah dataran dilereng bukit itulah,
telah terjadi perjanjian antara Daruwerdi dengan orang-orang
Pusparuri yang membicarakan masalah sebuah pusaka yang
tidak diketahui dengan pasti.
Ketika kemudian Jlitheng dan kawan-kawannya
meninggalkan tempat itu, dengan bersungut-sungut Swasti
bertanya kepada ayahnya, "Apa yang ayah katakan kepada
anak muda itu?" Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku tidak
mengatakan apa-apa."
"Tentu tidak. Anak muda itu tertawa dengan serta-meria."
desak Swasti. Kiai Kanthi terpaksa menceriterakan apa yang telah
dipercakapkan dengan Jlitheng. Akhirnya katanya, "Yang
penting Swasti, agaknya Jlitheng mempunyai pertimbangan
tersendiri atas letak padepokan itu justru karena sikap
Daruwerdi." Swasti menarik nafas dalam-dalam. Sambil duduk
bersandar sebatang pohon ia memandang kekejauhan.
Seakan-akan ada sesuatu yang dicarinya.
"Bagaimana pertimbanganmu Swasti ?" bertanya ayahnya
sambil duduk didekatnya. "Anak muda yang bernama Daruwerdi tadi datang kemari,"
tiba-tiba saja Swasti berdesis.
"O," sahut ayahnya, "dan kau menunjukkan arah kerja
kami " Ia juga datang menemui aku."
"Ya," sahut Swasti.
"Apa saja yang dikatakannya kepadamu?"
"Ia menaruh belas kasihan. Nampaknya ia seorang yang
sangat memperhatikan kesulitan orang lain," Swasti seolaholah
bergumam kepada diri sendiri.
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya, "Ia memang
menganjurkan agar kami pindah kepadukuhan Lumban. Tetapi
seperti yang aku katakan, Jlitheng mempunyai perhitungan
lain atas sikap Daruwerdi itu. Bukan karena belas kasihan
tetapi berdasarkan atas kepentingannya."
"Kenapa ia berprasangka buruk?" tiba-tiba saja Swasti
bertanya. Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian
menjawab, "Bukan sekedar prasangka, Swasti. Jlitheng
mempunyai perhitungan tersendiri. Aku tidak mengatakan
bahwa perhitungannya itu tentu benar."
"Nampaknya ayah sudah berada dibawah pengaruh anak
muda yang menyebut dirinya Jlitheng itu."
"Bukan begitu Swasti. Tetapi ia telah bersedia menolong
kita. Ia sudah berbuat banyak."
"Tetapi apakah kira-kira yang akan dilakukan seandainya
aku tidak dapat mengimbangi ilmunya. Bahkan seandainya
ayah berada dibawah kemampuannya ?"
"Sudah aku katakan Swasti. Dalam keadaan yang seakanakan
berkabut ini, kita memang saling mencurigai. Yang
dilakukan adalah sekedar penjajagan. Bukan benar-benar
bermusuhan." Swasti tidak menyahut. Tetapi wajahnya nampak menjadi
buram. Sekilas terbayang kedua anak muda yang sebenarnya
merupakan orang lain bagi padukuhan Lumban itu. Seolaholah
semakin lama menjadi semakin jelas sifat dan tingkah
laku keduanya. Dalam pada itu, Daruwerdi yang telah berada dirumahnya,
duduk termenung sambil memandangi cahaya matahari yang
seolah-olah masih bermain dihalaman meskipun sudah
menjadi semakin condong. Sebentar lagi ia harus pergi ke
bukit gundul untuk memberikan sekedar tuntunan kepada
anak-anak muda Lumban dalam olah kanuragan.
"Pekerjaan gila yang sia-sia," gumamnya.
Tetapi Daruwerdi tidak dapat menolak. Bahkan iapun
mengharap, bahwa dengan demikian, perhatian beberapa
pihak diluar padukuhan Lumban terhadapnya, akan menjadi
baur oleh sikap anak-anak muda Lumban.
"Tetapi yang aku lakukan itu tentu merupakan sekedar
lelucon bagi orang-orang Kendali Putih," desis Daruwerdi.
Sejenak Daruwerdi masih merenung. Namun sejenak
kemudian, iapun bangkit sambil bergumam, "Aku harus pergi
ke bukit gundul. Tetapi malam nanti aku harus dapat bertemu
dengan anak itu. Ia harus memberitahukan kepada orangorang
Pusparuri, hutan itu sudah dihuni orang."
Sambil berjalan perlahan-lahan Daruwerdi masih beranganangan.
Tidak ada niatnya untuk menyingkirkan kedua orang
perantau itu dengan kekerasan. Meskipun mereka berada di
hutan itu, tetapi nampaknya mereka tidak berbahaya.
"Meskipun demikian, aku harus berhati-hati. Aku harus
menemukan tempat lain yang lebih baik untuk berbicara
dengan orang-orang Pusparuri atau orang-orang dari pihak
manapun." Namun Daruwerdi mengerutkan keningnya ketika tiba-tiba
saja tumbuh pertanyaan, "Bagaimana jika orang-orang
Pusparuri menemukan perantau itu dan bertindak langsung
sebelum aku menemuinya?"
Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, "Aku
tidak peduli. Aku sudah memperingatkan kedua orang gila itu
agar mereka menyingkir. Tetapi hutan itu cukup luas. Jika
orang-orang Pusparuri atau pihak manapun juga tidak gila
seperti kedua perantau itu, maka akan dapat diatur tempat
lain yang lebih baik."
Sementara itu, Jlithengpun telah turun pula bersama
kawan-kawannya. Mereka masih sempat pulang sejenak,
sebelum merekapun pergi ke dekat bukit padas yang gundul
untuk berlatih olah kanuragan.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Lumban t idak
terlepas dari pengawasan orang asing. Justru karena
kehadiran orang yang kemudian menetap di Lumban, maka
ketenangan padukuhan itu benar-benar telah terganggu.
Dalam pada itu, selagi Daruwerdi sibuk dengan anak-anak
muda di dekat bukit padas, dua orang yang asing telah
mendekati padukuhan Lumban. Dari kejauhan mereka melihat
dataran di bawah bukit yang dihampari oleh tanah
persawahan yang nampaknya tidak begitu subur.
"Mereka semuanya tidak pernah kembali," desis salah
seorang dari keduanya. "Daerah ini nampaknya seperti neraka. Tanah gersang,
bukit padas yang gundul. Namun dibelakang nampak bukit
yang hijau karena hutan yang barangkali cukup lebat."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
dataran yang luas terbentang diantara bukit padas yang
gundul dan bukit yang berwarna hijau. Tetapi dataran itu
sendiri nampaknya seperti wajah orang yang sakit-sakitan.
Pucat dan gersang. "Kita akan melihat-lihat keadadaannya," berkata salah
seorang dari mereka. "Nampaknya padukuhan itu memang menyimpan kekuatan
yang berbahaya. Tentu kita tidak dapat mengabaikannya. Kau
dengar bahwa orang-orang Kendali Putih yang pernah
menginjakkan kakinya kedaerah ini juga tidak pernah kembali
?" "Tetapi mereka memang tidak berjanji untuk datang
kemari. Berbeda dengan kawan kita yang memang sudah
bersepakat untuk mengadakan sebuah pembicaraan penting,
percaya, bahwa orang-orang Kendali Putih dengan sengaja
telah melakukan kejahatan terhadap orang Pusparuri."
Semuanya tidak jelas, Kita harus menyelidikinya. Tetapi kita
harus berhati-hati. Mungkin kita akan dapat mendengar serba
sedikit apabila kita sudah berada ditempat ini untuk beberapa
hari." "Sulit untuk menghubungi orang-orang didaerah kecil.
Setiap orang baru akan segera dikenal dan karena peristiwaperistiwa
sebelumnya, akan dengan mudah dicurigainya pula."
"Ada dua cara. Kita menanggalkan pakaian kita dan
menjadikan diri kita sebagai pengemis, atau kita dengan diamdiam
mengambil satu atau dua orang dan membawanya
kehutan dilereng bukit itu. Kita memaksanya untuk berbicara,
kemudian mereka kita bunuh tanpa ada seorangpun yang
mengetahuinya." "Aku condong untuk memilih yang kedua. Itu lebih cepat.
Aku kira jika terjadi sesuatu didaerah ini, maka setiap orang
akan segera mengetahuinya."
Keduanya mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika
demikian, marilah kita bersembunyi dihutan dilereng bukit itu.
Kita menunggu seseorang yang mungkin akan berguna bagi
kita." "Tetapi, apakah kita akan melalui padukuhan-padukuhan
yang tersebar itu menuju kehutan dilereng bukit itu?"
Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Sebentar lagi matahari akan turun. Kita akan melanjutkan
perjalanan setelah gelap."
Keduanyapun kemudian berhenti dan duduk dibawah
sebatang pohon yang berdaun lebat menunggu matahari
tenggelam. Dalam pada itu, ketika matahari terbenam di ujung Barat
anak-anak Lumban telah kembali dari bukit padas yang
gundul. Satu dua orang diantara mereka sempat singgah
kesungai kecil yang hanya sekedar mengalir membasahi pasir
dan bebatuan. Namun dipinggir sungai itu terdapat sebuah
belik kecil yang berair jernih.
Sementara anak-anak Lumban itu membersihkan diri, maka
dua orang yang menunggu gelap itupun telah mempersiapkan
diri. Ketika bintang dilangit mulai nampak mereka-pun mulai
melanjutkan perjalanan menyusuri jalan menuju kebukit yang
menjadi kehitam-hitaman di malamhari.
Adalah suatu kebetulan, bahwa malam itu Jlitheng t idak
berniat untuk naik kebukit berhutan yang mempunyai mata air
yang melimpah itu. Ia berjanji kepada Kiai Kanthi dan Swasti
untuk datang dikeesokan harinya bersama beberapa orang
kawan. Sehingga malam itu, Jlitheng berada diruruahnya
sampai menjelang tengah malam. Kemudian iapun minta diri
kepada biyungnya untuk pergi kegardu.
Digardu beberapa orang kawannya telah mendahuluinya.
Tetapi ketika ia sampai, ia masih sempat ikut makan ketela
pohon rebus yang dibawa oleh salah seorang kawannya.
"Aku mencabut tiga batang dihalaman belakang," desis
kawannya yang membawa ketela pohon itu.
Jlitheng mengangguk-angguk sambil mengunyah. Namun
tiba-tiba ia berkata, "Aku tidak melihat Kuncung," desis
Jlitheng. "Ya. Biasanya ia sudah berada digardu sejak sore," sahut
kawannya. "Mungkin ia sakit," yang lain menyahut, "jika t idak ia tentu
datang, ia suka sekali bicara dan sedikit sombong. Tetapi
menyenangkan. Tanpa Kuncung rasa-rasanya memang sepi."
"Kita tunggu beberapa saat," desis Jlitheng.
"Jika ia tidak datang?" bertanya kawannya.
Jlitheng termangu-mangu. Gumamnya, "Apa kita akan
menengok kerumahnya" Itu akan mengejutkannya dan
mengganggu seluruh keluarganya."
"Jadi ?" "Tentu kita akan menunggu sampai besok. Besok pagi-pagi,
salah seorang dari kita yang akan pulang kerumah, singgah


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejenak untuk menanyakannya, kenapa ia tidak datang."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dan perhatian
merekapun kembali kepada ketela pohon ddtengah-tengah
gardu itu. Dalam pada itu, dirumah anak muda yang bernama
Kuncung itu telah timbul kegelisahan. Sejak sore ia telah
pergi. Sampai tengah malam ia belum kembali. Biasanya, jika
ia akan pergi ke gardu, anak itu tentu makan lebih dahulu.
"Tanyakan ke gardu diujung desa," berkata ayahnya
kepada adik Kuncung. "Aku takut," desis anak itu.
"Marilah, aku antar ke gardu. Tetapi kaulah yang bertanya
kepada kawan-kawan Kuncung."
Diantar oleh ayahnya adik Kuncung telah pergi ke gardu.
Ternyata bahwa pertanyaan adik Kuncung itu telah
mengejutkan kawan-kawannya. Salah seorang dari mereka
menjawab, "Ia tidak datang kemari. Justru kami
menunggunya." "Ia belum pulang. Ia pergi kebukit padas yang gundul itu.
Tetapi sampai sekarang ia t idak kembali."
Kawan-kawannya termangu-mangu. Sejenak mereka saling
berpandangan. "Tolonglah," berkata adik Jlitheng, "bantulah mencari
kakang Kuncung. Ibuku menjadi sangat cemas."
Jlitheng mendekati anak itu sambil menepuk pundaknya.
Katanya, "Kami akan mencobanya. Mudah-mudahan kami
menemukannya." "Apakah anak itu dibawa wewe yang kehilangan anak?"
desis salah seorang dari anak-anak itu.
Pertanyaan itu telah membuat beberapa orang kawannya
menjadi semakin berdebar-debar. Seorang yang memang
penakut telah mendesak dan berdiri diantara kawan-kawannya
dengan kaki gemetar. Dalam pada itu J litheng berkata kepada adik anak yang
seakan-akan menghilang itu, "Pulanglah. Kami akan minta
tolong kepada orang-orang padukuhan untuk mencari
kakakmu." Dengan cemas anak itupun memandang wajah Jlitheng.
Sementara ayahnya termangu-mangu dikegelapan. Namun
akhirnya ayahnyapun mendekat. Dengan gagap ia berkata,
"Tolong ngger."
Hanya itulah yang terlontar dari mulutnya. Namun nampak
kegelisahan yang sangat telah mencengkam wajahnya.
Jlitheng memandang orang tua itu. Orang itu pendiam yang
dalam keadaan sehari-hari memang sulit untuk berbicara
diantara banyak orang. Namun tiba-tiba ia sudah dihadapkan
pada suatu keadaan yang membuat hatinya sangat gelisah.
Sepeninggal orang tua itu Jlitheng menjadi bingung.
Apalagi ketika ia melihat kawan-kawannya yang bahkan telah
kehilangan akal. "Apa yang dapat kita lakukan ?" bertanya salah seorang
dari mereka. "Kita akan mencarinya. Kita membawa obor, tampah,
kentongan dan pisau. Kita cari Kuncung kemana saja. Mungkin
ia memang dibawa oleh kuntilanak."
Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun ternyata
mereka t idak mempunyai jalan lain untuk mencarinya.
Namun dalam pada itu, Jlitheng mempunyai pertimbangan
lain. Jika dalam keadaan demikian Daruwerdi tidak berusaha
menolong anak yang hilang itu, maka ia akan berbuat sendiri,
karena menurut perhitungan Jlitheng, Kuncung telah
mengalami nasib seperti yang pernah dialami. Tetapi agaknya
Kuncung tidak akan dapat membebaskan dirinya sendiri jika
benar ia jatuh ketangan orang-orang yang ganas seperti
orang-orang Kendali Putih.
Sejenak kemudian padukuhan Lumban Wetan telah
menjadi ramai. Beberapa orang dalam kelompok-kelompok
kecil berputar-putar dipadukuhan. Mereka berjalan beriring
mendekati tempat-tempat yang dianggapnya wingit. Kuburankuburan
pohon-pohon besar dan gerumbul-gerumbul yang
lebat Dalam hiruk pikuk itulah Jlitheng hilang dari antara kawankawannya.
Tetapi tidak seorangpun yang menghiraukannya,
karena setiap kelompok mengira bahwa Jlitheng berada
dikelompok yang lain. Hiruk pikuk itu akhirnya terdengar pula dari padukuhanpadukuhan
yang lain, bahkan sampai ke Lumban Kulon,
sedangkan Daruwerdi yang tidur nyenyakpun telah terbangun.
"Ada apa ?" anak muda itu bertanya kepada orang-orang
yang sudah turun ke jalan.
"Seorang anak Lumban Wetan telah hilang. Mungkir dibawa
wewe yang kehilangan anaknya. Mereka sedang mencari
berkeliling padukuhan. Bahkan ada yang pergi keluar
padukuhan," jawab salah seorang dari mereka yang berada
dijalan. Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Sekilas terbersit pula
dugaannya, seperti yang diperhitungkan oleh Jlitheng.
Kuncung tentu sudah hilang, karena ia bertemu dengan
orang-orang yang asing bagi padukuhan yang tenang itu.
"Jarang sekali seseorang diterkam harimau didaerah ini,"
berkata Daruwerdi didalam hatinya, "kecuali jika mereka
sengaja mengumpankan diri kehutan seperti kedua orang
perantau itu atau seperti Jlitheng yang sering mencari kayu
dihutan itu meskipun mereka terlalu percaya kepada dongeng
tentang harimau yang terasing itu."
Ketika Daruwerdi masuk kedalam biliknya, maka ia
memutuskan untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Seandainya benar Kuncung ditangkap oleh orang-orang
yang asing bagi padukuhan ini, maka ia tentu akan
mengatakan apa yang diketahuinya tentang kematian orangorang
Pusparuri dan Kendali Putih dipinggir hutan itu.
Seandainya aku tidak keluar mencarinya, maka akulah yang
agaknya akan dicari oleh mereka karena ceritera Kuncung,"
gumam Daruwerdi kepada diri sendiri. Namun tiba-tiba saja
keningnya berkerut, "Tetapi dua orang yang menangkap
Jlitheng itu tidak pernah datang kepadaku " Apakah ada
pertimbangan lain. bahwa mereka sedang menyiapkan
kekuatan yang lebih besar sehingga yang datang sekarang
adalah orang-orang yang yakin akan dapat mengalahkan aku
?" Daruwerdi termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia
memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan melihat keadaan
agar ia tidak terjebak didalam rumahnya yang sempit tanpa
memastikan sebelumnya, apakah ia akan benar-benar ikut
mencari Kuncung atau sekedar bersiaga.
Namun dalam pada itu. baik Daruwerdi maupun orangorang
Lumban Kulon sama sekali tidak mengetahui, bahwa
dari halaman seberang, dibawah rimbunnya dedaunan
seseorang sedang bersembunyi dan mengintai dengan hatiTiraikasih
hati. Ketika orang itu melihat Daruwerdi keluar lagi dari
rumahnya dengan senjata dilambung, maka ia menarik nafas
dalam-dalam. "Mudah-mudahan Daruwerdi dapat menebak apa yang
terjadi dan membawa aku langsung ketempat yang aku cari,"
katanya didalamhati. Sebenarnyalah bahwa Jlitheng telah berusaha mengamati
apa yang akan dilakukan oleh Daruwerdi. Ia sendiri sama
sekali tidak tahu kemana ia harus mencari. Tetapi ia berharap
bahwa berdasarkan atas hubungan yang pernah dilakukan
oleh Daruwerdi dengan orang-orang yang tidak dikenalnya itu,
akan mempermudah pelacakannya terhadap anak yang
malang itu. Sejenak kemudian Jlitheng telah meloncati dinding-dinding
penyekat halaman untuk mengikuti Daruwerdi yang berjalan
tergesa-gesa menyusuri jalan padukuhan. Ia sama sekali tidak
berada diantara anak-anak muda yang lain dan orang-orang
Lumban yang sedang mencari Kuncung dengan caranya.
Ketika Daruwerdi telah berada di bulak, maka Jlitheng
harus menjadi lebih berhati-hati. Daruwerdi bukannya anakanak
Lumban kebanyakan sehingga karena itu, ia harus
berusaha dengan segenap kemampuan yang ada, agar
Daruwerdi tidak menyadari, bahwa ia sedang diikuti oleh
seseorang. Dalam pada itu Daruwerdi berjalan semakin lama semakin
cepat. Dengan demikian, Jlithengpun menjadi semakin cepat
pula mengikut inya. Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika ternyata Daruwerdi
telah menuju kearah bukit padas yang gundul. Rasa-rasanya
memang ada hubungan yang khusus antara Daruwerdi dan
bukit gundul itu. Beberapa orang kawan Jlitheng memang
sering melihat, Daruwerdi pergi ke bukit itu tanpa dapat
mengatakan, apa yang dikerjakannya disana.
Dengan sangat hati-hati Jlitheng mengikutinya. Rasarasanya
semakin dekat dengan bukit padas yang gundul itu,
hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah Jlitheng
akan melihat sekelompok orang yang telah siap menunggu
kedatangan Daruwerdi untuk melakukan segala perintahnya.
Jlitheng segera bersembunyi dibalik semak-semak ketika
Daruwerdi mulai melangkah naik keatas batu-batu padas.
Dengan sangat hati-hati Jllitheng merayap dari balik gerumbul
kebalik gerumbul lainnya, agar ia tidak terpisah terlalu jauh
dari anak muda yang diikutinya.
Namun Jlitheng menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
tidak seorangpun berada di bukit padas itu. Bahkan kemudian
ia mendengar Daruwerdi itu memanggil, "Cempaka.
Cempaka." Tetapi tidak terdengar jawaban apapun juga. Ia masih
mendengar Daruwerdi memanggil beberapa kali. Namun tidak
seorangpun yang menjawab.
Daruwerdipun kemudian menengadahkan wajahnya.
Terdengar ia bergumam, "Masih belum saatnya ia datang."
Jlitheng menjadi berdebar-debar. Ia melihat Daruwerdi
kemudian duduk diatas batu padas.
"Gila," desis Jlitheng didalam hatinya, "apakah ia hanya
akan duduk saja disitu tanpa berbuat sesuatu."
Beberapa saat Jlitheng masih menunggu. Tetapi akhirnya ia
menggeram, "Jika aku menunggu saja disini. anak yang hilang
itu akan diketemukan menjadi mayat. Ternyata Daruwerdi
tidak ada minat untuk menolongnya."
Sekilas ia membayangkan betapa Daruwerdi telah berusaha
menyelamatkan jiwa Kiai Kanthi dan Swasti dari terkaman
seekor harimau dihutan dibukit sebelah. Tetapi kenapa ia tidak
berusaha dengan kesungguhan hati untuk menolong Kuncung
yang hilang. "Agaknya waktu itu secara kebetulan saja Daruwerdi
melihat peristiwa itu. Kehadiran Daruwerdi saat itu dihutan itu
tentu ada kepentingan lain. Tentu karena ia menunggu satu
dua orang dalam hubungan yang khusus dipinggir hutan itu
seperti saat ia menunggu orang Pusparuri yang ternyata telah
dibunuh oleh orang-orang Kendali Putih," J litheng mencoba
menilai keadaan yang sedang dihadapinya. Dan ia-pun yakin
karena ia mendengar Daruwerdi bergumam bahwa orang yang
disebutnya Cempaka itu memang belum saatnya datang,
sehingga yang dilakukan oleh Daruwerdi justru lebih banyak
dihubungkan dengan kehadiran orang-orang yang asing bagi
padukuhan Lumban. Namun dalam pada itu Jlitheng menjadi bingung. Ia tidak
sampai hati membiarkan Kuncung hilang tanpa pembelaan.
Tetapi iapun mempunyai keinginan yang kuat untuk melihat,
siapakah yang bakal datang dibukit padas dan yang disebut
dengan panggilan Cepaka itu.
Sejenak Jlitheng berbantah dengan dirinya sendiri. Namun
akhirnya ia menggeretakkan giginya sambil berkata kepada
diri sendiri, "Nyawa anak itu harus diselamatkan dahulu. Baru
aku akan datang lagi kemari."
Jlitheng tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kernudian
beringsut dengan hati-hati meninggalkan tempatnya.
Ketika ia sudah menjadi semakin jauh dari bukit padas itu.
maka iapun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah
menyusuri bulak. "Tetapi kemana aku mencari anak itu?" ia bertanya kepada
diri sendiri, "daerah ini sangat luas. Mungkin dibulak, mungkin
di padang perdu, mungkin dihutan itu."
Sejenak Jlitheng mengingat-ingat dimana ia terakhir
bertemu dengan Kuncung. Dari bukit gundul setelah mereka
mengikut i latihan-latihan yang diberikan oleh Daruwerdi.
Kuncung singgah sejenak dibelik ditepian.
"Mungkin ketika ia pulang dari sungai itulah, ia bertemu
dengan orang-orang yang tidak dikenal itu," berkata Jlitheng
kepada diri sendiri. Tetapi Jlithengpun tidak segera dapat
menebak, kemana Kuncung itu dibawa pergi.
Ketika Jlitheng kemudian berlari-lari kecil menuju kelereng
bukit, ia melihat dari kejauhan sekelompok orang-orang
Lumban yang sedang mencari Kuncung. Dilihatnya beberapa
buah obor di ujung padukuhan. Sementara diarah yang lain ia
melihat pula beberapa obor dibawah pohon randu alas
raksasa. "Orang-orang Lumban kebingungan," desisnya, "tetapi sulit
untuk menemukannya."
Semula ada niatnya untuk memanjat tebing menemui Kiai
Kanthi. Namun akhirnya iapun mengurungkannya, karena hal
itu hanya akan membuang waktu saja. Sudah barang tentu,
anak itu t idak akan dibawa sampai kelereng yang terlalu
tinggi. Karena ia tidak menemukan sesuatu dilereng bukit itu.
maka J lithengpun segera bergeser. Bahkan kemudian ia
berlari-lari kecil. Dijelajahinya tempat yang dianggapnya
tersembunyi dipinggir hutan itu. Namun ia tidak menemukan
sesuatu. Dengan demikian maka Jlithengpun berusaha mencari
ketempat yang lain. Tanpa mengenal lelah ia berlari menuju
kekuburan yang terpisah dari padukuhan. Meskipun ia tidak
mencari kuntilanak, tetapi ia menganggap bahwa tempat itu
cukup tersembunyi jika ada orang yang sengaja
menyembunyikan diri bersama Kuncung.
Tetapi Jlitheng tidak menemukan yang dicarinya.
Keringat anak muda itu mulai membasahi seluruh
tubuhnya. Bukan saja karena ia berlari-lari. Tetapi
kegelisahannya telah membuatnya seakan-akan diperas,
sehingga keringatnya telah mengalir diseluruh wajah kulitnya.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, ternyata bahwa Jlitheng telah salah hitung.
Justru karena ia mengurungkan niatnya memanjat tebing lebih
tinggi lagi, maka ia tidak berhasil menjumpai anak muda yang
sebenarnya memang dibawa oleh dua orang yang tidak
dikenal. Adalah kebetulan bahwa dua orang yang berjalan menuju
ketempat yang sepi itu telah bertemu dengan Kuncung
seorang diri. Mula-mula Kuncung sama sekali t idak menghiraukan dua
orang yang datang menuju kearah ia berjalan. Bahkan
kemudian iapun berhenti ketika salah seorang dari kedua
onang itu memanggilnya. "Ki Sanak," berkata salah seorang dari keduanya, "apakah
kau dapat menolong kami?"
Kuncung yang tidak berprasangka apapun itu menunggu
keduanya. Baru ia merasa ngeri ketika kedua orang itu
menjadi semakin dekat. Wajah keduanya membayangkan
kekerasan dan kekasaran. Tetapi Kuncung sudah terlambat. Salah seorang dari kedua
orang itu telah melekatkan ujung pisau belati kelambungnya.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat
kematianmu anak muda."
Kuncung menjadi gemetar. Iapun segera teringat peristit
wa yang pernah dialami oleh Jlitheng. Karena itu, maka tubuhnyapun
segera menggigil. Namun demikian, iapun ingat,
bahwa jika ia tidak berbuat sesuatu, maka iapun akan pulang
dengan selamat seperti Jlitheng.
Karena itu, maka Kuncungpun menurut saja apa yang
dikatakan oleh kedua orang itu. Mereka bertigapun kemudian
berjalan menuju kebutan dilereng bukit.
"Disana kita tidak akan diganggu oleh siapapun," berkata
salah seorang dari kedua orang itu.
Kuncung berjalan dengan kaki gemetar. Tetapi ia tidak
dapat menolak. Ketika mereka sudah sampai dikaki bukit, maka kedua
orang itu telah membawa Kuncung untuk naik ketempat yang
lebih tinggi. Salah steorang dari keduanya berkata, "Jika
orang-orang Lumban menyadari bahwa kau tidak kembali,
mereka tentu akan mencari. Aku kira ada orang-orang penting
di Lumban. Bukan berarti bahwa kami berdua menjadi
ketakutan. Tetapi kami ingin berbicara dengan, kau tanpa
terganggu." Kuncung tidak dapat berbuat lain. Dengan menggigil ia
berjalan tertatih-tatih diantara pepohonan hutan yang semakin
lama menjadi semakin lebat. Baru ketika mereka sudah berada
ditempat yang agak tinggi, maka salah seorang dari
keduanya-pun berkata, "Kita berhenti disini. Kita berbicara
dengan hati terbuka. Kau mengerti maksudku ?"
Kuncung yang ketakutan mengangguk. Dalam gelapnya
malam yang seakan-akan semakin kelam didalam hutan,
Kuncung t idak dapat melihat cukup jelas wajah-wajah orang
yang tidak dikenalnya itu.
"Jawab pertanyaanku anak muda," berkata salah seorang
dari keduanya, "apakah kau pernah mendengar kabar tentang
kedatangan orang-orang asing di padukuhan Lumban?"
Kuncung mengerti, yang ditanyakan oleh kedua orang itu
tentu peristiwa yang baru saja terjadi. Pembunuhan yang
dilakukan oleh Daruwerdi di kaki bukit itu.
Karena itu, agar ia segera dibebaskan, iapun berceritera
tentang peristiwa itu menurut pendengarannya. Yang ia
ketahui dengan pasti, saat itu ada tiga sosok mayat yang oleh
orang-orang Lumban telah dikuburkan sebaik-baiknya.
"Aku ikut menyelenggarakan. Semua upacara dilakukan
menurut yang seharusnya," Kuncung mencoba mengambil hati
orang-orang itu. Kedua orang berwajah kasar itu mendengarkan ceritera
Kuncung dengan saksama. Namun kemudian salah seorang
dari mereka bertanya, "Apakah semuanya dibunuh oleh anak
muda yang kau sebut bernama Daruwerdi itu ?"
Sejenak Kuncung tertegun. Ia tidak dapat mengatakan
dengan pasti, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Yang ia
dengar dari kawan-kawannya adalah bahwa Daruwerdi telah
membunuh lawan-lawannya. Karena itu, maka dengan ragu-ragu ia menjawab, "Tiga
orang yang mati." "Kau sudah mengatakannya," orang itu membentak, "tetapi
siapakah yang membunuh " Apakah semuanya dibunuh oleh
anak itu ?" "Ya," Kuncung tergagap. Namun ia nampak semakin raguragu.
Kedua orang itu mulai menjadi panas. Mereka menduga
bahwa salah seorang dari tiga orang itu tentu dari perguruan
Pusparuri. Tetapi anak yang dibawanya itu tidak dapat
mengatakan, siapakah yang telah membunuh mereka.
"Anak gila," bentak salah seorang dari mereka, "apakah kau
tidak pernah mendengar Daruwerdi berceritera, atau kau
dengan sengaja dipesan agar kau tidak mengatakannya
kepada siapapun juga?"
Kuncung menjadi semakin gemetar. Orang-orang itu
beringsut semakin dekat. Bahkan tiba-tiba saja salah seorang
dari mereka telah menerkam rambutnya sambil berteriak,
"katakan Siapa yang telah membunuh mereka."
Darah Kuncung bagaikan berhenti mengalir. Wajah-wajah
itu seolah-olah telah berubah menjadi wajah hantu yang
semakin mengerikan. Dalam kegelapan Kuncung
membayangkan wajah-wajah itu telah berubah menjadi buas.
Giginya telah tumbuh menjadi taring-taring yang tajam.
Matanya menjadi merah seperti bara dan lidahnya menjadi
bercabang seperti lidah ular.
Kengerian yang sangat telah mencengkam hati Kuncung. Ia
teringat kepada ceritera hantu yang sering menerkam dan
menghisap darah. Dan kini rasa-rasanya ia sudah berhadapan
dengan hatu-hantu itu. Dalam pada itu, dilereng bukit, disebelah peristiwa yang
mengerikan bagi Kuncung itu, Kiai Kanthi duduk berselimut
bersandar sebatang pohon. Sementara Swasti tidur diatas
sehelai ketepe yang dianyamnya dari daun-daun ilalang yang
kering. Udara malam yang terasa panas, menyebabkan kedua
orang itu tidak menyalakan perapian. Namun rasa-rasanya
nyamuknya semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga
Kiai Kanthi berusaha untuk menutup seluruh tubuhnya dengan
kain panjangnya. Namun dalam pada itu, Kiai Kanthi tiba-tiba saja telah
beringsut sambil mengangkat wajahnya. Lamat-lamat dari
jauh sekali ia mendengar suara kentongan dalam irama yang
aneh. Bahkan kadang-kadang tidak berirama sama sekali.
"Apakah artinya," pertanyaan itu tumbuh didalamhatinya.
Mula-mula ia tidak menghiraukannya. Mungkin ada sesuatu
yang tidak dimengertinya telah terjadi. Tetapi, bukankah
dipadukuhan itu ada Daruwerdi dan Jlitheng.
Namun suara kentongan yang bagaikan berbisik dikejauhan
itu masih saja terdengar. Masih dalam irama yang timpang
dan aneh. Tiba-tiba saja Kiai Kanthi menjadi gelisah. Tetapi ia t idak
sampai hati membiarkan Swasti seorang diri dalam keadaan
tidur. Karena itulah maka iapun kemudian membangunkan
gadis itu dan berkata, "Hati-hatilah. Aku akan turun sejenak."
"Ada apa ayah ?" Swasti masih mengantuk.
"Dengarlah baik-baik. Kau akan mendengarkan suara
kentongan dalam irama yang aneh."
Sejenak Swasti terdiam. Seperti kata ayahnya, ia mencoba
mendengarkan suara disela-sela desir angin didedaunan.
"Ya. Aku memang mendengar suara kentongan.
Nampaknya dipukul begitu saja tanpa irama tertentu. Dan
bukankah t idak hanya satu atau dua kentongan?"
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Suara yang kadangkadang
agak jelas, namun kadang-kadang hilang itu memang
sangat menarik perhatiannya.
"Swasti," berkata Kiai Kanthi, "aku akan melihat, apakah
yang telah terjadi. Suara itu tentu bukan suara gejog
meskipun mereka yang baru belajar. Juga saatnya tidak tepat
untuk bermain gejog, karena bulan tidak sedang bulat."
"Aku ikut ayah," tiba-tiba Swasti menyahut, "aku juga ingin
melihat suara yang aneh itu. Seperti suara kotekan orangorang
padukuhan mencari anak yang dicuri kunt ilanak."
"He," tiba-tiba saja Kiai Kanthi menengadahkan wajahnya.
Lalu, "Mungkin Swasti. Memang mungkin. Yang kita dengar
dari jauh ini hanyalah suara kentongannya. Mungkin diantara
suara kentongan terdapat suara tampah, gembreng dan
suara-suara yang lain."
Swasti mengangguk-angguk. Gumamnya, "Menarik sekali.
Marilah ayah. Aku ikut bersama ayah."
Tetapi Kiai Kanthi menjadi ragu-ragu. Katanya, "Bagaimana
jika justru kau yang mereka sangka wewe itu ?"
"Ah," Swasti memberengut, "menurut ceritera, wewe itu
cantik sekali. Dan aku sama sekali tidak cantik."
Ayahnya tersenyum. Namun iapun kemudian berkata,
"Marilah. Bersiaplah menghadapi setiap kemungkinan
disepanjang jalan." Swastipun membenahi pakaiannya. Bukan pakaian seorang
gadis sewajarnya. Iapun kemudian menyelipkan senjatanya
dilambung. Senjata yang selalu disembunyikannya diantara
onggokan-onggokan pakaiannya yang sedikit. Dua buah pisau
belati panjang dikedua lambungnya. Namun ia masih juga
membawa beberapa buah pisau belati kecil dikat pinggangnya.
Sejenak kemudian, kedua orang ayah dan anak itu
menuruni tebing dengan hati-hati. Kecuali malam gelapnya
bukan main, merekapun secara naluriah merasakan suasana
yang berbeda. Tiba-tiba saja langkah Kiai Kanthi tertegun. Ia mendengar
suara sesuatu agak dibawah. Sehingga karena itu maka iapun
menjadi semakin berhati-hati.
"Swasti," bisiknya, "kau mendengar suara lain ?"
"Suara orang membentak-bentak ayah," jawab Swasti,
"tetapi tidak tepat dibawah kita sekarang."
"Ya. Itupun tidak kalah menariknya dengan suara
kentongan itu." Sejenak keduanya berhenti termangu-mangu. Namun
kemudian Kiai Kanthipun berkata, "Kita berbelok sedikit.
Swasti. Mungkin suara kentongan itu ada hubungannya
dengan peristiwa dibawah itu."
Keduanyapun kemudian bergeser menempuh jalan yang
lain. Dengan sangat hati-hati mereka beringsut diantara
pepohonan dan batu-batu padas. Tetapi suara-suara yang
terdengar itu telah menuntun mereka ke arah yang benar.
Semakin dekat mereka dengan suara itu, maka
keduanyapun menjadi semakin berhati-hati. Mereka beringsut
setapak demi setapak, sehingga akhirnya mereka dapat
mendengarkan seluruh pembicaraan antara dua orang
berwajah kasar itu dengan Kuncung yang ketakutan.
"Jika kau tidak berterus terang, aku akan membunuhmu
seperti membunuh seekor anjing," geram salah seorang dari
mereka. "Aku tidak tahu," suara Kuncung hampir tidak terdengar,
"aku hanya tahu tiga orang mati dan orang-orang Lumban ikut
menguburnya dengan baik-baik."
Dada Kiai Kanthi menjadi berdebar-debar. Ia pernah
mendengar, pembunuhan dilereng bukit itu, yang dilakukan
oleh Daruwerdi. Dan iapun pernah mendengar ceritera
Jlitheng tentang dua orang Kendali Putih yang datang
kepadukuhan Lumban. "Aku sudah menduga, bahwa persoalannya tidak akan
terhenti sampai kematian dua orang yang dibunuh Jlitheng
itu," berkata Kiai Kanthi dengan berbisik ketelinga anak
gadisnya. Swasti mengangguk kecil. Namun iapun sadar, bahwa ia
harus bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi. Meskipun agak sulit, namun keduanya berhasil mendekat
lagi beberapa langkah. Mereka menjadi semakin jelas setiap
kata yang mengancam. Dan bahkan Kiai Kanthi mendengar,
orang-orang itu agaknya mulai memukul korbannya.
"Hem," desah Kiai Kanthi, "apakah yang mereka lakukan."
Swasti nampaknya tidak sabar lagi. Ia merangkak semakin
dekat. Justru karena kedua orang itu sedang marah dan
perhatiannya sepenuhnya telah terikat kepada anak muda
Lumban itu, maka mereka t idak segera mendengar kehadiran
orang lain disekitar mereka.
"He, katakan. Apakah diantara mereka terdapat orangorang
Pusparuri atau orang Kendali Putih atau orang lain lagi
?" suara orang itu menjadi semakin keras.
Yang terdengar kemudian adalah suara tangis. Agaknya
Kuncung itu mulai menangis, "Aku tidak tahu. Sungguh aku
tidak tahu." "Aku bunuh kau."
"Jangan, jangan," tangis Kuncung semakin keras.
"Anak gila," geram salah seorang dari mereka, "kita harus
mencari orang lain yang lebih tahu tentang hal ini. Mungkin
kita akan langsung berhubungan dengan Daruwerdi. Tetapi
mungkin kita akan mencari keterangan untuk menjajagi
keadaan." "Lalu, anak ini ?" desis yang lain.
"Bunuh saja. Dan lemparkan mayatnya di tempat yang
lebih tinggi, yang tentu tidak akan diketahui orang. Bahkan
mungkin akan menjadi mangsa harimau yang tentu masih ada
dihutan ini." Mendengar jawaban orang berwajah garang itu, tangis
Kuncung menjadi semakin keras. Hampir berteriak ia berkata
disela-sela tangisnya, "Jangan, jangan."
"Berteriaklah," berkata orang berwajah garang itu,
"suaramu akan hanyut oleh angin dihutan ini. Tidak
seorangpun yang mendengar kecuali binatang buas yang
sebentar lagi akan mengoyak tubuhmu."
"Jangan, jangan," Kuncung berlutut sambil berpegangan
kain salah seorang dari kedua orang yang garang itu. Namun
sebuah hentakan kaki telah melemparkan anak yang malang
itu. Adalah diluar kehendaknya bahwa kepala Kuncung telah
terantuk batu padas, sehingga suaranyapun tiba-tiba terputus.
"Kenapa anak itu ?" salah seorang dari keduanya bertanya.
Yang seorang mendekatinya sambil meraba tubuh


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuncung. Katanya, "Anak itu masih hidup. Ia pingsan."
"Kau tinggal mencekiknya. Kemudian melemparkannya
ketempat yang lebih dalam lagi agar tidak seorangpun yang
menjupainya lagi." "Tetapi bahwa anak itu hilang tentu akan menarik
perhatian orang-orang Lumban."
"Mereka tidak akan mengetahui siapakah yang telah
membawanya." "Mungkin. Tetapi Daruwerdi sendiri tentu akan sampai pada
perhitungan yang demikian."
"Aku tidak peduli. Bahkan jika perlu, Daruwerdi akan mati
juga disini." Kawannya terdiam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk
kecil. "Cepatlah. Kita masih mempunyai banyak persoalan."
Kawannyapun kemudian melangkah selangkah maju.
Dipandanginya tubuh Kuncung yang terbaring dalam
kegelapan. Namun kemudian tanpa ragu-ragu orang itupun
berjongkok sambil mengulurkan tangannya untuk mencekik
leher Kuncung yang sedang pingsan.
Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja mereka
mendengar seseorang mendehem. Hampir terlonjak keduanya
melompat surut. "Selamat datang dipadepokanku anak-anak," terdengar
seseorang berkata dari balik gerumbul.
Kedua orang itu benar-benar terkejut. Apalagi ketika
kemudian mereka melihat bayangan dua orang yang menyibak
gerumbul dan mendekati tempat mereka berdiri termangumangu.
"Siapa kau he ?" salah seorang dari kedua orang itu
bertanya. Kiai Kanthi yang mengintip apa yang telah terjadi, tidak
dapat membiarkan pembunuhan itu terjadi. Karena itu maka
iapun telah keluar dari persembunyiannya untuk mencegah
pembunuhan itu. "Siapa kau he " Siapa ?" orang itu membentak semakin
keras. "Kenapa kau berdua berani memasuki padepokanku dan
menginjak-injak taman bunga yang aku pelihara rapi he?"
berkata Kiai Kanthi. "Gila. Apakah kau orang gila ?"
"Aku adalah pemilik padepokan yang asri ini. Kau jangan
merusakkan kebun bungaku. Dan kehadiranmu telah
mengejutkan para cantrik, jejanggan dan para putut yang
masih muda-muda." "He, orang gila. Kenapa kau datang kemari."
"Aku bukan orang gila. Aku adalah pemilik petamanan dan
padepokan ini. Aku datang keduniamu untuk
memperingatkanmu agar kau t idak melanjutkan tingkahmu
yang merusakkan padepokanmu."
"Bunuh saja sama sekali," geram yang seorang dari kedua
orang berwajah kasar itu.
"Aku bukan mahluk dari duniamu sehingga kau tidak akan
dapat membunuhku. Aku datang dengan anak gadisku
kedunia manusia untuk mempertahankan milikku. Mungkin
dari dunia manusia kau melihat daerah ini berupa hutan
belukar. Tetapi sebenarnya ini adalah padepokan yang sangat
asri." Kedua orang itu tidak sabar lagi mendengar kata-kata Kiai
Kanthi. Bahkan Swastipun t idak sabar pula, Katanya, "Ayah
terlalu berbelit-belit. Tangkap saja mereka dan barangkali
ayah dapat membawanya ke Lumban Wetan atau Lumban
Kulon bersama anak yang pingsan itu."
Yang terdengar kemudian adalah kedua orang itu
menggeram. Salah seorang dari mereka berkata dengan suara
bergetar oleh kemarahan, "Jangan banyak tingkah orangorang
gila. Kami terpaksa membunuh kalian pula seperti kami
membunuh anak yang malang ini."
"Apa salahnya kau akan membunuh anak itu," potong
Swasti dengan lantang, "kau sama sekali tidak
berperikemanusiaan. He, apakah kalian orang-orang Kendali
Putih?" Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Hampir
berbareng mereka bertanya, "Kau kenal orang-orang Kendali
Putih?" "Aku tahu bahwa kau sedang memaksa anak itu
menceriterakan apa yang tidak diketahuinya. He, bukankah
kau sedang bertanya tentang orang-orang yang mati dilereng
bukit ini?" "Ya. Apakah kau mengetahuinya " Anak ini menyebut tiga
sosok mayat. Siapakah mereka " Dan apakah ketiga-tiganya
telah dibunuh oleh anak muda yang disebutnya bernama
Daruwerdi ?" "Meskipun kau bunuh sekalipun anak itu tidak akan dapat
mengatakannya, karena yang diketahuinya memang sangat
terbatas." "Apakah kau dapat mengatakannya ?" bertanya salah
seorang dari kedua orang itu.
"Siapa kalian?" t iba-tiba Swasti bertanya.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Gadis itu sama
sekali tidak gentar menghadapi mereka. Kata-katanya lantang
dan sikapnya meyakinkan. Karena itulah maka keduanyapun
menjadi berhati-hati karenanya.
"Siapa kalian ?" suara Swasti semakin keras.
"Kami adalah orang-orang Pusparuri," jawab salah seorang
dari mereka, "karena itu. jangan mencoba mengelabui kami."
Swasti terdiam sejenak. Ketika ia berpaling ke ayahnya,
maka dilihatnya ayahnya bergeser selangkah maju. Dengan
ragu-ragu Kiai Kanthi bertanya, "Apakah benar kalian orangorang
Pusparuri ?" "Ya," geram salah seorang dari mereka, "karena itu jangan
bermain-main dengan kami. Katakan saja apa yang kalian
ketahui tentang kawanku yang terdahulu, yang sampai
sekarang tidak pernah kembali."
"Apakah kau t idak tahu apa yang dilakukan oleh kawanmu
itu ?" "Kami tahu pasti. Kawanku itu telah pergi ke padukuhan ini
untuk suatu tugas." Tiba-tiba saja Swasti menyahut mendahului ayahnya,
"Tentu kau tidak akan membawa anak yang pingsan itu
kemari jika kau tahu pasti apa yang terjadi."
"Aku hanya tahu bahwa seorang kawanku datang kemari."
"Kau tahu tugas apa yang dilakukan disini ?"
Kedua orang yang mengaku dari Pusparuri itu termangumangu.
Namun salah seorang membentak, "Itu bukan
persoalanmu. Jawab pertanyaanku, apa yang kau ketahui
tentang orang Pusparuri yang datang kemari."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
mendengar peristiwa antara orang-orang Kendali Put ih, orang
Pusparuri dan Daruwerdi, ia mengharap bahwa orang-orang
Pusparuri itu memiliki sifat yang berbeda dengan orang-orang
Kendali Putih. Ternyata diantara kedua perguruan itu
nampaknya tidak banyak berbeda. Karena itulah, maka Kiai
Kanthi justru mulai menilai Daruwerdi, yang telah berhubung
an dan bahkan ada tanda-tanda kerja sama dengan orangorang
Pusparuri. "Jawab pertanyaan kami," tiba-tiba orang Pusparuri itu
membentak. Swasti menggeram sambil bergumam, "Jangan
membentak, seperti terhadap anak yang pingsan itu, supaya
mulutmu tidak aku sumbat."
Kata-kata itu benar-benar mengejutkan. Keduanya tidak
mengira bahwa tiba-tiba saja gadis itu menantangnya.
"Kau memang orang-orang gila yang tidak mengetahui
siapa kami. Baiklah. Bersiaplah untuk mati Apapun yang akan
kalian lakukan, kalian akan mati sepertianak. muda itupun
akan mati. Tetapi jika kalian mau menceritakan apa yang
terjadi, maka jalan kematianmu akan sempurna. Terutama
bagi perempuan itu. Kematiannya tidak akan dialaminya dalam
kengerian justru karena ia perempuan."
"Kemarahan Swasti telah melonjak jika ayahnya tidak
menggamitnya. Bisiknya, "Hati-hatilah Swasti. Jangan terbiasa
menurut i perasaan."
Tetapi Swasti berteriak, "Mereka bukan manusia wajar lagi
ayah." "Ketahuilah," berkata Kiai Kanthi tanpa menghiraukan katakata
anaknya, "Kawanmu dari Pusparuri itu memang datang.
Tetapi agaknya orang-orang Pusparuri, seperti kalian, tidak
tahu apa yang dilakukannya disini. Persoalannya mungkin
terbatas antara Daruwerdi dan pimpinan tertinggi Pusparuri
serta orang yang berciri sandi ular sanca bertanduk genap."
"Jangan mengingau. Dimana ia kawanku itu he ?"
Kiai Kanthi termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian menceriterakan apa yang diketahuinya dari Jlitheng
tentang orang Pusparuri dan orang-orang Kendali Putih.
"Gila," orang-orang Pusparuri itu menggeram, "jadi orangorang
Kendali Putih itu telah membunuh kawanku yang
datang untuk menjumpai Daruwerdi ?"
"Ya. Sekarang kembalilah kepada kawan-kawanmu.
Katakan apa yang sudah terjadi disini. Mungkin kau
mempunyai adat tersendiri untuk menyelesaikan
persoalanmu." Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Namun
kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Kami akan
kembali untuk menghancurkan orang-orang Kendali Putih.
Tetapi kami tidak akan dapat membiarkan kalian tetap hidup."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Sejenak ia justru
termangu-mangu, sementara orang-orang Pusparuri itu benarbenar
telah dibakar oleh kemarahan. Salah seorang dari
mereka menggeram, "Tidak ada seorangpun yang akan tetap
tinggal hidup agar semua rencanaku tidak kandas dijalan.
Kami masih akan menjumpai Daruwerdi untuk mencari
kebenaran ceriteramu. Tetapi jika justru Daruwerdilah yang
telah membunuhnya, maka iapun akan dimusnakan."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kalian
orang-orang aneh. Kami sudah mengatakan apa yang kami
ketahui. Seharusnya kalian berterima kasih kepada kami.
Bukan justru sebaliknya. Bahkan jika kalian juga berbaik hati
kalian tentu akan menceriterakan serba sedikit tentang
Perguruan Pusparuri meskipun dalam hubungannya dengan
Daruwerdi itu kau tidak mengerti."
"Cukup," bentak salah seorang dari mereka, "sudah aku
katakan, tidak seorangpun yang akan tetap hidup. Kalian
berdua akan mati. Dan anak itupun akan mati."
Ternyata Swastilah yang tidak sabar lagi. Dengan lantang ia
berkata, "Sudahlah ayah. Jangan merajuk seperti kanakkanak.
Kalau mereka akan membunuh kita, kenapa bukan kita
sajalah yang membunuh mereka lebih dahulu."
"Gila," salah seorang dari kedua orang Pusparuri itu hampir
berteriak, "kalian memang orang-orang gila."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
"Terserah kepadamu Swasti. Apakah memang sudah menjadi
keharusan, bahwa demikian kita menginjak t latah ini, kita
dihadapkan pada keadaan yang sama sekali tidak kita
inginkan." "Sudahlah ayah," potong Swasti, "ayah masih saja merajuk.
Biarlah aku mencoba mempertahankan diri. Jika terpaksa aku
akan membunuh mereka berdua."
Kedua orang Pusparuri itu benar-benar telah dibakar oleh
kemarahan. Karena itu, tanpa menjawab, tiba-tiba saja salah
seorang dari mereka telah meloncat menyerang Swasti.
Tangannya langsung mengarah kedadanya dengan sepenuh
tenaga. Jika tangan itu menyentuh sasaran, maka dada Swasti
tentu akan sekaligus retak karenanya.
Swasti sadar, bahwa orang-orang Pusparuri yang marah itu
tentu akan menghantamnya sampai mati pada pukulan
pertama. Itulah sebabnya, maka iapun sudah bersiaga,
sepenuhnya. Dengan demikian maka ketika tangan orang Pusparuri itu
terjulur kedadanya, Swasti sudah siap untuk meloncat
menghindarinya. Orang-orang Pusparuri memang sudah mengira bahwa
kedua orang itu tentu memiliki bekal kemampuan. Namun
bahwa yang dilakukannya itu adalah tiba-tiba dan dibiar
dugaan, tetapi masih dapat juga dihindari oleh gadis itu, tibatiba
saja telah terbersit pertanyaan, "Apakah keduanya benarbenar
mahluk dari dunia lain yang telah memasuki dunia
manusia." Dalam pada itu, ternyata Swasti tidak hanya sekedar
menghindar. Meskipun malam gelap, apalagi didalam
rimbunnya dedaunan sehingga mata bagaikan menjadi buta,
namun ketajaman mata Swasti masih dapat menembus kelam,
sehingga ia dapat melihat bayangan kedua orang Pusparuri.
Dengan demikian, maka ketika lawannya gagal
menyerangnya, justru Swastilah yang kemudian meloncat
menyerang dengan cepat dan keras pula.
Yang dilakukan Swasti itu telah membuat lawannya
semakin heran. Lawannya yang terkejut karena serangannya,
tiba-tiba saja telah menjatuhkan diri untuk menghindari
sambaran serangan Swasti.
Orang Pusparuri yang lainpun tidak tinggal menontonnya
saja. Meskipun ia juga dijalari oleh keragu-raguan, apakah
yang dihadapinya itu mahluk sejenisnya, atau justru dari dunia
yang lain. Sebelum kawannya yang berguling ditanah itu meloncat
bangkit, maka kawannya telah mendahului menyerang Swasti
pula. Dengan demikian, maka dalam kegelapan itu telah terjadi
pertempuran yang dahsyat. Seorang gadis seorang diri
bertempur melawan dua orang laki-laki yang garang.
Untuk sejenak Kiai Kanthi masih berdiri diluar arena. Yang
dilalukan kemudian adalah mengangkat Kuncung yang masih
pingsan dan membawanya agak menjauh. Bahkan ketika
kemudian Kuncung muliai menggeliat. Kiai Kanthi telah
menyentuh pusat syarafnya, sehingga sekali lagi Kuncung
seolah-olah jatuh tertidur.
"Tidur sajalah anak muda," desis Kiai Kanthi, "agar kau
tidak malah menjadi hambatan kami melawan orang-orang
garang itu." Dalam pada itu. Kiai Kanthipun kemudian menekuni anak
gadisnya yang sedang bertempur. Bahkan kemudian timbul


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

niatnya untuk melihat, apakah Swasti benar-benar dapat
menempatkan diri diantara anak-anak muda yang
mengagumkan di Lumban Kulon dan Lumban Wetan.
Daruwerdi telah berhasil membunuh dua orang Kendali Putih.
Demikian juga Jlitheng. "Apakah anak gadisku juga mampu mempertahankan
dirinya melawan keduanya meskipun mungkin tataran
kemampuan orang-orang Kendali Put ih dan orang-orang
Pusparuri tidak sama," desis Kiai Kanthi didalam hatinya.
Dalam pada itu, pertempuran itupun semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Kedua orang Pusparuri itu telah
mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengalalikan
lawannya yang tidak lebih dari seorang gadis. Namun ternyata
bahwa Swasti benar-benar tangkas, lincah dan bahkan
memiliki kekuatan yang mengagumkan. Jauh melampaui
kekuatan kebanyakan gadis.
Kedua orang lawannyapun kemudian mengambil
kesimpulan bahwa gadis itu memang orang aneh. Mungkin ia
memang sejenis mahluk dari dunia lain. Tetapi mungkin juga
manusia biasa yang pernah mengalami tempaan yang lama
dan bersungguh-sungguh. Namun siapapuin perempuan itu. ia
harus dibinasakan. Kedua orang Pusparuri itu tidak mau bekerja terlalu lama.
Karena ku, ketika mereka menyadari bahwa lawannya adalah
seorang yang tidak sewajarnya, maka merekapun tiba-tiba
saja telah menggenggam senjata ditangaenya. Yang seorang
menggenggam sebilah golok yang besar dan berat, aamentara
yang lain memegang pedang yang tajamnya rangkap t imbal
balik. Kiai Kanthi menjadi berdebar-debar melihat senjata-senjata
itu. Anak gadisnya tidak membawa senjata yang memadai.
Gadis itu hanya membawa pisau belati panjang yang jauh
lebih kecil dari senjata-senjata yang garang itu.
Namun Swasti benar-benar lincah. Dengan mantap iapun
kemudian menggenggam kedua pisau belatinya dikedua
tangannya. Dalam malam yang gelap itu, mereka telah terlibat dalam
pertempuran senjata yang dahsyat. Sebuah golok yang besar
terayun-ayun dengan derasnya, sementara pedang bertajam
rangkap berputaran seperti baling-baling.
Tetapi gelap malam itu justru memberikan kesempatan
lebih banyak pada Swasti untuk mempergunakan batangbatang
pepohonan sebagai perisainya. Sekali ia melenting
menyerang dengan cepatnya, namun ketika kedua lawannya
menyerang bersama-sama, Swasti meloncat diantara batangbatang
pohon yang besar. Kedua lawannya yang garang itu menjadi semakin marah.
Seperti seekor harimau yang diganggu oleh seekor kelinci kecil
diantara keempat kakinya.
Namun ternyata bahwa kedua orang itu akhirnya dapat
mengurung dan membatasi gerak Swasti. Senjata mereka
yang panjang dan tata gerak mereka yang garang dan kasar,
berhasil mendesak Swasti sehingga Swasti lebih banyak
menghindar sambil berloncatan diantara pepohonan.
Meskipun demikian, serangan Swasti yang tiba-tiba masih
tetap merupakan bahaya bagi kedua orang Pusparuri itu.
Bahkan kadang-kadang keduanya seolah-olah telah kehilangan
lawannya yang dengan tiba-tiba saja telah menyerang kearah
lambung dengan pisau-pisau belatinya.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin cepat.
Swasti tidak mempunyai cara lain untuk mengatasi kedua
lawannya selain dengan kecepatannya berloncatan diantara
batang-batang pohon dan gerumbul-gerumbul
Tetapi lawannya yang marah tidak ingin melepaskannya.
Keduanya ternyata mampu bekerja bersama sebaik-baiknya.
Disaat-saat Swasti meloncat menghindari serangan pedang
bermata rangkap, tiba-tiba saja golok yang besar itu telah
terayun menebas lehernya.
Swasti tidak menangkis dengan membenturkan senjatanya
yang kecil. Ayunan tenaga lawannya yang kuat atas
senjatanya yang berat, akan merupakan kekuatan yang besar.
Meskipun dengan mengerahkan kekuatannya, Swasti dapat
membentur senjata lawannya, tetapi dengan demikian ia akan
terlalu banyak memeras tenaganya, sehingga ia akan cepat
menjadi lelah. Yang dilakukan oleh Swasti adalah memukul senjata
lawannya menyamping, namun dengan pisaunya yang lain. ia
berusaha menyerang dada lawannya yang terbuka.
Namun lawannyapun cepat menghindar, sementara yang
seorang lainnya telah menyerangnya pula.
Kiai Kanthi yang menyaksikan pertempuran itu. akhirnya
melihat bahwa keadaan Swasti tidak menguntungkan. Dengan
hati-hati ia melangkah mendekati arena. Namun t iba-tiba saja
Swasti berteriak, "Jangan ganggu aku ayah."
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu kekerasan
hati anaknya. Namun sudah barang tentu dalam keadaan yang
gawat ia tidak akan membiarkan anaknya menjadi korban
perasaannya itu. Dalam pada itu, Swasti masih bertempur dengan sengitnya.
Sementara Kiai Kanthi mencoba menilai kedua lawannya.
"Apakah orang-orang Kendali Putih itu juga memiliki
kemampuan yang sama dengan orang-orang Pusparuri ?" ia
bertanya didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, debar jantung Kiai Kanthi menjadi
semakin cepat. Swasti benar-benar mengalami kesulitan.
Ayunan senjata kedua lawannya yang besar dan berat itu
memang menyulitkan Swasti yang bersenjata sepasang pisau
belati. Akhirnya Swasti tidak dapat mengingkari kenyataan itu. ia
lebih banyak terdesak dan kadang-kadang tangannya mulai
bergetar jika ia terpaksa membenturkan pisau belatinya
menangkis ayunan senjata lawannya yang berat dan panjang.
Kiai Kanthi masih termangu-mangu. Jika ia memaksa
kearena, anaknya tentu akan marah kepadanya dan seperti
biasanya jika ia marah, maka sehari penuh ia tidak akan
mengucapkan sepatah katapun.
Namun selagi Kiai Kanthi terrrtangn-mangu. tiba-tiba saja
wajahnya menegang. Bahkan ia bergeser setapak maju. Ia
melihat Swasti berdiri dalam keadaan yang sulit. Lawannya
berada didua sisi yang berbeda, sementara keduanya sudah
siap untuk menyerang. "Ia akan terpancing pada satu keadaan yang sulit.
Keduanya akan bekerja bersama menjebak perhatian Swasti
pada satu sisi," berkata Kiai Kanthi kepada diri sendiri.
Karena itulah, maka iapun segera mempersiapkan diri pula
jika keadaan memaksa. Ia lebih senang melihat Swasti diam
sehari penuh atau bahkan dua atau tiga hari daripada Swasti
dibantai oleh kedua orang lawannya.
Seperti yang diperhitungkan oleh Kiai Kanthi. maka
keduanya mulai bergerak. Tetapi seorang diantara mereka
mencoba melingkar dengan putaran senjatanya yang bertajam
dikedua sisinya. Demikian keras putaran itu, sehingga seolaholah
menimbulkan angin yang berdesing mengguncang
dedaunan. Perhatian Swasti memang lebih banyak tertuju kepada
pedang yang berputar itu. Namun sementara itu. lawannya
yang bergolok besar, bergeser mnedekat, seperti seekor
harimau yang perlahan-lahan merunduk lawannya.
Namun tiba-tiba terjadi sesuatu diluar perhitungan kedua
orang itu. Meskipun perhatian Swasti lebih banyak tertuju
kepada desing pedang bertajam rangkap, tetapi ternyata
iapun mempunyai perhitungan lain.
Sejenak kemudian, seperti yang diperhitungkan, maka
orang berpedang itupun meloncat menyerang, langsung
menebas kekening. Dengan tangkasnya Swasti merendah
sambil bergeser. Pada saat itulah lawannya yang lain meloncat
menusuk dengan goloknya yang besar.
Yang tidak diperhitungkan oleh orang bergolok itu adalah,
bahwa Swasti tidak berguling atau meloncat jauh-jauh untuk
menghindar, sementara seorang yang lain siap untuk
memburunya. Bahkan Kiai Kanthipun tergetar hatinya melihat sikap
anaknya. Bukan karena Swasti tidak lagi sempat berbuat
sesuatu. Tetapi yang dilakukan adalah justru sangat
mengejutkan. Ketika orang bergolok itu meloncat dengan senjatanya
terjulur lurus, tanpa disangka-sangka Swasti justru telah
melemparkan pisau belatinya. Demikian keras dan dengan
bidikan yang tepat, maka yang terdengar kemudian adalah
keluhan panjang. Ujung golok itul tidak sampai menyentuh
lawannya, karena pisau belati yang menghunjam kepusat
jantung. Yang terjadi itu benar-benar telah menggoncangkan hati
orang berpedang yang menjadi tegang. Ia melihat kawannya
terhuyung-huyung, kemudian jatuh menelungkup, hanya
beberapa jengkal didepan Swasti. Meskipun goloknya masih
tetap ditangan, namun tidak ada kekuatan lagi untuk
menekankan goloknya itu ketubuh gadis yang masih berdiri
merendah. Baru sekejap kemudian kawannya menyadari apa yang
telah terjadi. Karena itu, maka terdengar ia menggeretakkan
giginya. Diantara gemeretak giginya ia menggeram, "Anak
gila, kuntilanak, setan, tetekan. Kau harus mati dan mayatmu
akan dicincang sampai lumat."
Swasti meloncat selangkah menjauh. Ia kemudian harus
bersiap menghadapi lawannya yang seorang lagi. Namun ia
merasa bahwa tugasnya akan menjadi lebih ringan, meskipun
senjatanya tidak lagi genap sepasang.
Sementara itu, Kiai Kanthi maju selangkah mendekati arena
sambil berkata, "Ki Sanak dari dunia wadag. Sudah aku
katakan, bahwa kami adalah penghuni hutan ini yang tidak
akan dapat kau kalahkan. Karena itu, mumpung kau masih
belum cidera oleh kuntilanak itu, pergilah. Tinggalkan tempat
ini." "Gila. Kalian bukan orang halus yang turun kedua wadag.
Tetapi kalian adalah orang-orang gila yang berkesempatan
untuk menyadap ilmu yang tinggi. Jika kalian tidak aku
binasakan, maka kalian akan merupakan bahaya yang paling
besar bagi sesamamu."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Tetapi Swasti sudah
mendahuluinya, "Biarkan apa saja yang akan dilakukan ayah.
Aku akan membunuhnya juga seperti kawannya agar ia tidak
akan dapat berbicara tentang kita kepada siapapun juga."
"Ah," desah Kiai Kanthi, "kita dapat berbuat lain."
Tetapi Swasti tidak menjawab, karena orang berpedang itu
sudah meloncat menyerangnya dengan dahsyatnya.
Ayunan pedangnya yang mengerikan itu, bagaikan badai
yang melanda hutan itu, meskipun hanya selingkar kecil.
Namun dedaunan dan dahan-dahan berpatahan dan runtuh
ditanah. Gerumbul-gerumbul bagaikan ditebas, sementara
pokok-pokok pepohonan telah terkelupas kulitnya.
Namun Swasti mampu mengimbangi kecepatan bergerak
lawannya. Setelah seorang dari mereka terbunuh, maka
Swasti mempunyai kesempatan lebih banyak. Bahkan ia dapat
bertempur berhadapan, meskipun ia hanya membawa sebilah
belati panjang. Kiai Kanthi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Anak
gadisnya memang seorang yang keras hati. Jika ia sudah
bersikap maka sulitlah baginya untuk mengendorkannya.
Karena itu, dengan berdebar-debar Kiai Kanthi
menyaksikan apa yang telah terjadi. Ja hanya dapat
menunggu akhir dari perkelahian itu, meskipun ia tidak
meninggalkan kewaspadaan, karena bagaimanapun juga ia
tidak akan dengan rela kehilangan anak gadisnya.
Dalam pada itu. pertempuran itupun masih berlangsung
dengan sengitnya. Namun Swasti telah berhasil mendesak
lawannya, sehingga lawannya yang bersenjata pedang itulah
yang kemudian lebih banyak berlindung diantara pepohonan.
Namun Swasti memang mampu bergerak dengan cepat dan
tangkas. Pisau belati panjangnya yang tinggal sebilah itu
berputaran dan mematuk-matuk. Rasa-rasanya pisau itu telah
menjadi rangkap sepasang seperti sebelumnya. Bahkan pisau
itu bagaikan bertambah semakin banyak. Seolah-olah menjadi
dua pasang, tiga pasang, dan kemudian seolah-olah berada
diseputar tubuhnya. Sentuhan-sentuhan pertama dari ujung belati, membuat
orang itu menjadi semakin garang dan kasar. Pedangnyapun
berputaran, menebas mendatar, namun kadang-kadang
menusuk dengan dahsyatnya. Namun ternyata bahwa Swasti
mampu bergerak lebih cepat dari lawannya.
Terasa pada beberapa bagian tubuhnya, perasaan pedih
telah menyengat-nyengat. Darah mulai menitik dari lukalukanya,
meskipun luka-luka itu tidak segera membunuhnya.
Namun kematian itu memang sudah membayang. Ia sama
sekali tidak dapat menghindarkan diri dari tusukan pisau belati
panjang Swasti dipunggung, pundak dan kemudian lambung.
Betapa pedihnya luka-luka ditubuh itu. Tetapi lebih pedih
lagi luka diliatinya. Ia datang dengan seorang kawannya untuk
mencari orang yang terdahulu datang dipadukuhan ini. tetapi
tidak kembali. Bahkan kini, ia sendiri telah terjebak dalam
kesulitan dan bahkan kedalam belitan maut.
"Apakah orang-orang ini pula yang telah membunuh orangorang
Pusparuri dan Kendali Put ih ?" pertanyaan itu tumbuh
dihatinya. Tetapi ia tidak dapat mempersoalkan terlalu lama, karena
ujung pisau belati gadis itu telah menggores lengannya.
Kemarahan orang berpedang itu bagaikan telah membakar
otaknya, sehingga ia tidak sempat lagi berpikir. Oleh perasaan
pedih dikulitnya dan pedih diliatinya, maka iapun mengamuk
seperti seekor harimau yang sedang wuru. Pedangnya diayunayunkannya
sambil berteriak sekeras-kerasnya. Meloncatloncat
dan menyerang sejadi-jadinya tanpa menghiraukan apa
yang telah dan akan terjadi atasnya.
Bagaimanapun juga tabahnya hati Swasti, namun melihat
lawannya menjadi gila, hatinya tergetar pula. Tiba-tiba saja ia
merasa berhadapan dengan seseorang yang buas dan liar.
Justru karena itulah, maka Swastipun kemudian justru
terdesak. Bukan karena lawannya berhasil mengerahkan
tenaga cadangan yang dapat mendorong kecepatan geraknya,
tetapi semata-mata karena Swasti menjadi ngeri, melihatnya.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiat Kanthipun menjadi semakin berdebar-debar. Lawan
Swasti telah menjadi putus asa, sehingga karena itu, maka
yajig dilakukannya tidak lebih dari bunuh diri. Tetapi
keliarannya itu ternyata telah membuat Swasti menjadi ngeri.
Namun dengan demikian, maka Swastipun telah kehilangan
pengendalian diri. Jika semula ia masih memikirkan
kemungkinan untuk menghidupi lawannya dan memikirkan
penyelesaiannya kemudian, maka pikiran itu telah lenyap
bersama kengerian yang mencengkamnya.
Pada saat-saat yang gawat karena keliaran orang Pusparuri
itulah, Swasti telah mengambil sikap seperti yang pernah
dilakukannya. Ketika lawannya meloncat sambil memutar
pedangnya dengan gila, gadis itu berdiri tegak menunggunya.
Kemudian, sebuah loncatan yang deras telah melemparkan
pisau belatinya tepat mematuk dada.
Terdengar orang itu berteriak penuh kemarahan. Namun
kemudian suaranya menghilang diantara desir lembut angin
pegunungan. "Ayah," desis Swasti sambil memalingkan wajahnya.
Ayahnya mendekatinya. Ketika ia menyentuh anak
gadisnya, maka tiba-tiba saja Swasti telah memeluknya.
Terasa didada ayahnya, nafas Swasti memburu seperti detak
jantungnya. --ooo0dw0ooo" Jilid 04 SAMBIL menepuk punggung anaknya Kiai Kanthi. berkata,
"Sudahlah Swasti. Beristirahatlah. Kau sudah menyelesaikan
tugasmu dengan baik, meskipun bukan yang terbaik, karena
kedua lawanmu telah kau bunuh."
Swasti tidak menjawab. Ketika ayahnya kemudian
memegang pundaknya dan mendorongnya duduk dibawah
sebatang pohon besar, Swasti seolah-olah tidak mempunyai
sikap lagi menghadapi kenyataan itu.
"Beristirahatlah Swasti. Kau tentu lelah."
Swasti mengangguk. Sementara ia melihat ayahnya telah
memungut pisau belatinya dari tubuh tawannya, dan
menusukkan ketanah beberapa kali, sehingga darah yang
melekat telah menjadi bersih karenanya.
"Inilah senjatamu. Nanti, kau dapat mencucinya di parit
dibawah telaga itu," desis ayahnya.
Swasti hanya mengangguk saja. Namun ia masih gemetat
seperti juga nafasnya masih saling memburu dilubang
hidungnya. "Kau dapat mengatur pernafasanmu. Kau harus menjadi
tenang dan mengerti seluruhnya atas peristiwa yang baru saja
kau alami," berkata ayahnya.
Swasti mengangguk. Dicobanya untuk menguasai
pernafasannya dan mengaturnya perlahan-lahan.
Akhirnya Swasti berhasil menenangkan dirinya. Nafasnya
mulai teratur dan detak jantungnya pun mulai menurun.
Namun dalam pada itu. selagi ia duduk tenang dan
menguasai diri sepenuhnya, perasaannya telah terganggu oleh
suara dikejauhan. Lamat-lamat Swasti mulai mendengar lagi
suara kentongan dalam irama yang tidak teratur.
"Suara kentongan itu ayah," desis Swasti.
Ayahnya mengerutkan keningnya. Katanya, "Agaknya anak
yang dicari itu masih belum diketemukan. Dan mereka akan
tetap mencari meskipun sampai tiga hari tiga malam. Baru
setelah tiga hari tiga malam mereka tidak menemukannya,
maka mereka akan menganggap anak itu benar hilang. Dan
merekapun akan melakukan upacara seolah-olah anak itu
sudah meninggal." "Ayah," tiba-tiba saja Swasti bangkit, "apakah mereka
mencari anak itu?" Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Dipandanginya anak
muda yang terbaring. Tetapi ia tidak pingsan lagi. ia tertidur
karena sentuhan tangan Kiai Kanthi sebelum ia mengerti
apakah yang telah terjadi atasnya.
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin.
Mungkin anak itulah yang dicarinya."
"Jadi, apakah kita akan mengatakannya kepada mereka,
bahwa kita telah menemukannya disini?"
Kiai Kanthi menjadi ragu-ragu. Kemudian katanya, "Jika
demikian, maka akan timbul banyak pertanyaan tentang anak
itu. Jika anak itu sadar, ia akan mengatakan, bahwa ia telah
dibawa oleh dua orang Pusparuri. Dan orang-orang
padukuhan itupun akan mengusut pula, dimana kedua orang
Pusparuri itu. Terutama Daruwerdi. Agaknya ia memang
mempunyai hubungan dengan pimpinan perguruan Pusparuri
meskipun tidak diketahui sepenuhnya oleh orang-orang
Pusparuri sendiri." "Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan dengan anak
muda itu, ayah?" bertanya Swasti.
Tiba-tiba wajah Kiai Kanthi menjadi cerah. Sambil
tersenyum ia berkata, "Marilah kita bermain-main dengan
orang-orang padukuhan Lumban. Kita akan menghilangkan
jejak yang dapat menumbuhkan kecurigaan orang-orang
padukuhan. Kita akan membawa anak muda itu dan
menyerahkan kembali kepada orang-orang Lumban tanpa
menampakkan diri." "Maksud ayah?" "Kita bawa anak muda itu dan kita letakkan di bawah
pohon randu alas di ujung padukuhan sebelah Utara, dibatas
hutan perdu. Kita akan dengan mudah bersembunyi agar tidak
dilihat oleh orang-orang Lumban yang sedang mencari anak
itu." "Bagaimana jika mereka tidak mencarinya kerandu alas itu
?" "Aku akan membawa titikan dan membuat api. Dengan
sepercik belerang, maka api emput itu akan menyala seperti
jika kita menyalakan perapian. Api belerang yang kebirubiruan
itu akan mengundang perhatian mereka."
"Apakah mereka akan melihat api belerang yang kecil itu?"
"Mudah-mudahan. Aku mengira, bahwa mereka masih akan
berputar-putar diseluruh padukuhan Lumban Wetan dan
Lumban Kulon serta sekitarnya. Pada suatu saat tentu ada
sekelompok dari mereka yang akan lewat didekat randu alas
itu meskipun sudah empat lima kali mereka lewati."
Swasti mengangguk-angguk. Katanya, "Marilah kita coba
ayah. Tetapi bagaimana membawa anak muda itu ?"
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Nampaknya iapun
mulai memikirkan bagaimana membawa anak yang tertidur
itu. Tentu tidak mungkin untuk menyadarkannya, kemudian
mengajaknya turun. Dengan demikian, ia tentu akan bercerita
tentang hutan yang dihuni oleh dua orang ayah dan anak gila.
"Swasti," berkata ayahnya, "meskipun aku sudah menjadi
semakin tua, tetapi agaknya aku masih kuat mengangkatnya
turun sampai keujung padukuhan itu."
Swasti termangu-mangu sejenak. Namun katanya
kemudian, "Aku tentu juga dapat membantu ayah. Agaknya
aku-pun kuat mengangkatnya diatas bahu."
"Tetapi itu tidak pantas. Ia seorang anak muda."
"Ah," Swasti berdesah.
Sejenak kemudian. Kiai Kanthipun mencoba mengangkat
anak muda itu di atas pundaknya. Kemudian membawanya
melangkah beberapa langkah.
"Tidak terlalu berat Swasti. Agaknya aku akan dapat
membawanya turun tanpa kesulitan."
Swasti memandang ayahnya sejenak. Tetapi ia tidak
berkata sesuatu. Keduanyapun kemudian menuruni tebing pegunungan yang
sudah tidak begitu tinggi meskipun kadang-kadang curam,
tetapi kadang-kadang bagaikan sudah disediakan tanggaTiraikasih
tangga batu padas. Tetapi keduanya dapat memilih jalan yang
tidak terlalu sulit untuk mencapai dataran dibawah.
Ternyata bahwa Kiai Kanthi yang tua itu masih cukup kuat
dan tangkas. Bagaimanapun juga ia aaalah seorang yang
mumpuni. Seorang yang memiliki kekuatan meiampaui
kekuatan orang kebanyakana Dan iapun mempunyai aaya
tahan melampaui orang kebanyakan pula.
Tanpa mengalami kesulitan. Kiai Kamthn dan Swastipun
kemudian telah berada didataran dibawah butut. Kemudan
dengan hati-hati mereka membawa anak yang tertidur
nyenyak itu kebawah sebatang randu alas yang besar dan
berdaun rimbun. "Letakkan digerumbul dibawah pohon itu ayah," desis
Swasti. "Mudah-mudahan anak itu tidak dipatuk ular."
"Ia tidak bergerak-gerak, tentu ia tidak akan dipatuk ular."
"Jadi, apakah ia akan kita biarkan tidur terus, dan tidak ada
yang akan dapat membangunkannya ?"
"Aku kira, Jlitheng yang sombong itu akan dapat
membangunkannya." "Tetapi biarlah kita menunggu sampai kita yakin akan
diketemukan. Kemudian kita bangunkan anak itu, sementara
itu kita bersembunyi baik-baik."
"Terserah saja kepada ayah," desis Swasti.
Kiai Kanthipun kemudian meletakkan tubuh Kuncung
didalam gerumbul yang tidak terlalu rimbun. Dengan sengaja
ia membiarkan kaki anak muda itu terjulur.
"Kita menunggu. Aku yakin, bahwa salah satu kelompok
dari mereka yang mencari anak yang hilang itu akan datang
lagi kebawah pohon randu alas yang besar ini."
"Tetapi, bagaimanakah jika yang sebenarnya mereka cari
bukan anak ini ayah ?" bertanya Swasti.
"Siapapun juga. tetapi kita telah mengembalikan anak yang
malang ini kepada keluarganya, sementara kita masih
mempunyai pekerjaan mengubur dua sosok mayat yang kita
tinggalkan dihutan itu."
Swasti mengangguk-angguk. Jawabnya, "Mudah-mudahan
kelompok yang kita dengar suara kentongan dan
tetabuhannya itu menuju kemari."
Beberapa saat lamanya keduanya menunggu. Tetapi
ternyata kelompok pertama dari orang-orang yang mencari
anak yang diculik hantu itu tidak lewat dibawah pohon randu
alas itu. Namun beberapa saat kemudian kelompok yang lain telah
mendekat pula. "Suaranya ribut sekali ayah," desis Swasti.
"Ya." Mereka memukul apa saja yang mereka dapat.
Kentongan, tambir, tampah dan mungkin potongan-potongan
besi dan senjata. Mereka membunyikan asal saja
membunyikan tanpa irama tertentu."
"Nah, kalau kelompok yang kemudian ini nampaknya
benar-benar akan melalui jalan ini." gumam Swasti.
Untuk sesaat lagi mereka menunggu. Sejenak kemudian
mereka melihat beberapa buah obor muncul dari padukuhan.
Mereka melalui jalan bulak yang semakin lama menjadi
semakin dekat dengan pohon randu alas itu.
"Aku akan menyalakan api yang berwarna biru agar mereka
tertarik dan datang kemari," berkata Kiai Kanthi.
Kiai Kanthipun kemudian menyalakan api dengan titikan
dan seperingkil belerang. Api yang berwarna kebiru-biruan
telah menyala. Dengan menggerakkan api itu, maka Kiai
Kanthi mengharap, bahwa api itu akan menarik perhatian.
"Mereka akan mengira, api ini kemamang yang terbang
mengitari pohon randu alas ini," desis Kiai Kanthi.
"Jika demikian mereka akan takut mendekat," desis Swasti.
"Tidak. Jika mereka seorang seorang, mereka memang
akan takut mendekat. Tetapi bersama-sama mereka akan
merupakan kelompok pemberani yang justru akan datang
untuk melihat, apakah yang terdapat dibawah pohon randu
alas ini." Ternyata beberapa orang yang berjalan dibulak itu, benarbenar
melihat sepercik api berwarna kebiru-biruan. Api yang
seolah-olah terbang berputaran mengelilingi pohon randu alas,
karena Kiai Kanthi memang membawa api diatas sebuah kulit
kayu mengelilingi pohon randu alas itu. Api yang tidak begitu
besar. Tidak lebih dari sekepalan tangan. Namun dapat dilihat
dari bulak yang pendek, yang tidak begitu jauh dari pohon
randu alas itu, dan api itu mempunyai warna yang khusus.
Karena itu, maka seperti yang diharapkan, maka nyata api
yang kebiru-biruan itu benar-benar telah menarik perhatian.
"He, kau lihat api dibawah pohon randu alas itu," desis
seseorang yang sedang memukul sepotong besi dengan
potongan besi yang lain. Seorang yang memukul kentongan disebelahnya
mengerutkan keningnya. Iapun telah melihat api yang kebirubiruan
itu. Maka katanya, "Ya. Api itu agak aneh. Apakah api
itu mempunyai arti yang khusus."
"Mungkin. Mungkin sekali," sahut yamg lain.
Api belerang itu akhirnya telah menarik perhatian seluruh
kelompok pencari anak yang hilang itu. Seorang yang
berambuti putih berdesis, "Menarik sekali. Apakah benar
cahaya yang kebiru-biruan itu mempunyai arti khusus ?"
"Mungkin sekali," sahut yang lain.
"Marilah kita lihat," berkata orang tua itu lebih lanjut.
Sejenak kawan-kawannya saling berdiam diri. Tetabuhannyapun
terdiam beberapa saat. "Marilah," orang tua itu mendesak.
Kawan-kawannya masih ragu-ragu. Namun akhirnya orang
tua itu berkata, "Aku akan berdiri dipaling muka. Berikan obor
itu kepadaku." Seorang anak muda yang pucat memberikan obor kepada
erang berambut putih itu. Kemudian, beriringan mereka
menuju kepohon randu aitas yang diputari oleh semacam
cahaya yang berwarna kebiru-biruan.
Kiai Kanthi telah memperhitungkan, pada jarak yang mana
ia harus bersembunyi. Sehingga karena itulah, maka
kelompok-kelompok orang-orang itu tertegun ketika mereka
pielihat tiba-tiba saja api yang berwarna kebiru-biruan itu
hilang. Meskipun demikian, orang berambut putih itu berkata, "Kita
akan membuktikannya kebawah randu alas itu. Pukul semua
alat yang ada pada kita sekeras-kerasnya. Jika ada hantu di
randu alas itu, biarlah mereka menyingkir karena telinga
mereka menjadi sakit oleh suara ini."
Dengan demikian, maka tetabuhanpun menjadi semakin
keras. Perlahan-lahan iring-iringan itu maju meskipun dengan
hati yang berdebar-debar.


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mereka mendekati pohon randu alas yang besar itu,
mereka sama sekali tidak melihat sesuatu. Mereka tidak
melihat cahaya yang kebiru-biruan. Mereka tidak melihat
seseorang dan tidak melihat apapun juga.
"Tidak ada apa-apa," desis seseorang.
"Ya. Tidak ada," sahut yang lain.
Tetapi orang berambut putih itu berkata, "Kita akan
mencari disekeliling randu alas ini. Bunyikan tetabuhan itu
sekeras-kerasnya." Sekali lagi ocang-orang dalam kelompok itu memukul
benda-benda yang mereka bawa sekeras-kerasnya. Bunyinya
benar-benaT memekakkan telinga, sehingga jika mereka
berbicara diantara sesama mereka, maka merekapun harus
berteriak sekeras-kerasnya pula.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang dari
mereka menjerit. Suaranya metengking mengatasi suara
tetabuhan yang hiruk pikuk.
"Ada apa ?" bertanya seorang kawannya yang juga menjadi
pucat. "Ya Ada apa ?" desak yang lain.
Orang itu menjadi gagap. Sambil menunjuk kesebuab
gerumbul ditepi jalan, dibawah randu alas itu ia berkata
terputus-putus, "Itu, itu. Lihat."
Semua orang berpaling kearah gerumbul yang ditunjuk.
Merekapun terperanjat ketika mereka melihat dua batang kaki
yang terulur dari gerumbul itu.
Belum lagi jantung mereka mereda, mereka telah
dikejutkan lagi oleh suara yang mengerikan, yang telah
mendirikan bulu tengkuk mereka.
Suara itu adalah suara perempuan. Tetapi suara tertawa
perempuan itu benar-benar suara tertawa hantu yang
menakutkan. Suara tertawa yang bagaikan menghentak
jantung setiap orang yang berada dibawah pohon randu alas
itu. "Itu adalah iblis betina," berkata setiap orang dida-lam hati
mereka masing-masing. Suara tertawa itu semakin lama terdengar semakin keras,
Dan suara tertawa itu bagaikan meretakkan dada mereka.
Setiap orang telah melepaskan benda-benda ditangannya.
Mereka menutupi telinga mereka dengan kedua telapak
tarzan. Bahkan ada diantara mereka yang terduduk lemah
tidak berdaya. "Aku kembalikan anak itu kepada kalian orang-orang
Lumban yang dungu," terdengar suara yang tidak jelas
sumbernya, "aku tidak memerlukan anak yang bodoh dan
penakut. Ambillah salah seorang anakmu ke orang-orang
Lumban. Untuk beberapa saat ia akan tetap tertidur. Tetapi ia
akan bangun pada saatnya. Mungkin untuk sehari dua hari
ingatannya belumpulih. Tetapi itu bukan salahnya."
Orang-orang dibawah pohon randu alas itu menjadi
gemetar. "Ambilah. Aku akan pergi," terdengar suara itu
melanjutkan. Disusul oleh suara tertawa berkepanjangan.
Semakin lama semakin jauh dan akhirnya hilang ditelan desau
angin malamyang dingin. Beberapa saat lamanya orang-orang Lumban itu masih
dicengkam ketakutan. Namun kemudian orang yang berambut
putih dan menggenggam obor ditangannya itu berkata, "Anak
itu sudah diserahkannya. Marilah, kita mengambilnya. Kita
tidak bersalah dan kata tidak akan dikutuknya, karena yang
terjadi adalah oleh kehendak iblis betina itu sendiri."
Beberapa orang masih ragu-ragu. Namun akhirnya
merekapun mendekati gerumbul dibawah pohon randu atas
itu. Mereka masih melihat dua batang kaki yang terjulur.
"Itu tentu kaki Kuncung," berkata orang berambut put ih itu.
Kemudian dibantu oleh beberapa orang yang masih
berdebar-debar, mereka menarik kaki yang mereka lihat.
"Kuncung, benar-benar-Kuncung," desis beberapa orang.
Orang-orang yang kemudian mengerumuninya menarik
nafas dalam-dalam. Mereka telah menemukan anak yang
mereka cari. Tetapi ternyata bahwa Kuncung masih berdiam
diri. ia masih tetap tidur nyenyak.
"Ia mati," desis seseorang.
"Tidak, Ia tidur seperti yang dikatakan oleh iblis betina itu.
ia masih tetap bernafas," sahut orang berambut putih.
"Marilah kita bawa kembali kepadukuhan," berkata yang
lain. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Merekapun
kemudian beramai-ramai menggotong Kuncung yang masih
tertidur nyenyak dengan nafas yang mengalir teratur dari
lubang hidungnya. Ketika anak itu dibawa masuk ke padukuhan, maka
gemparlah padukuhan induk Lumban Wetan. Setiap orang
telah keluar dari rumahnya untuk melihat Kuncung yang baru
saja dicuri oleh hantu betina.
Sementara itu, Jlitheng yang kebingungan, seolah-olah
telah kehilangan akal. Kemana ia harus mencari Kuncung yang
hilang itu. Seluruh daerahl Lumban dan sekitarnya telah
dijelajahinya Namun ia tidak menemukannya. Bahkan
kemudian muliai tumbuh di pikirannya, "Apakah Kuncung
benar-benar dibawa hantu ?"
Dalam kebingungan itu tiba-tiba saja ia teringat kepada
Daruwerdi yang berada di bukit gundul. Nampaknya ia
memang menunggu seseorang.
"Apakah tidak ada sekelompok orang yang mencari kebukit
itu ?" bertanya Jlitheng kepada diri sendiri.
Tetapi Jlitheng menggelengkan kepalanya. Bukit itu benar
benar gundul, sehingga orang-orang Lumban tentu
menganggap bahwa tidak mungkin Kuncung disembunyikan
ditempat itu. Namun Jlithenglah yang kemudaan berlari-lari kebukit
gundul itu. Ia ingin mengetahui, apakah yang dilakukan olehi
Daruwerdi jika orang yang ditunggunya itu sudah datang.
Apakah ada hubungannya dengan hilangnya Jlitheng atau
tidak. Tetapi ia menggeram ketika ternyata Daruwerdi telah tidak
ada di bukit gundul itu. Sambil menghentakkan tangannya
Jlitheng bergumam, "Gila. Aku kehilangan semuanya. Aku
tidak menemukan Kuncung, sementara aku juga kehilangan
Daruwerdi dan orang yang disebutnya Cempaka itu."
Sejenak Jlitheng justru termangu-mangu. Rasa-rasanya
rahasia yang meliputi padepokan Lumban Wetan dan Lumban
Kulon justru menjadi semakin tebal.
Namun dalam pada itui Jlitheng terkejut ketika ia
mendengar suara kentongan dalam nada dara-muhik. Diluar
sadarnya ia bergumam, "Sokurlah. Anak itu sudah dapat
diketemukan." Namun tiba-tiba wajahnya menegang, "Tetapi
hidup atau mati." Dengan serta merta Jlithengpun telah meloncat berlari
dengan sekencang-kencangnya lewat pematang dan jalanjalan
sempit yang memintas, langsung menuju keinduk
padukuhannya. Dengan nafas terengah-engah ia menemukan banyak orang
yang berkerumun di banjar. Orang tua Kuncung duduk
disamping anaknya yang terbujur diamsambil menangis.
"Ia kehilangan jiwanya, meskipun tidak nyawanya," desis
beberapa orang. Kuncung memang masih tertidur nyenyak. Nafasnya
mengalir dengan teratur. Tetapi tidak seorangpun yang dapat
membangunkannya. Untuk sesaat Jlijtheng termangu-mangu. Seorang
kawannya yang melihatnya berlari-lari bertanya, "Kemana kau
selama ini Jlitheng ?"
"Aku ikut mencarinya. Tetapi aku tersesat. Seolah-olah
jalan menjadi asing. Untunglah aku masih mendengar suara
kentongan dan suara hiruk pikuk orang-orang yang mencari
Kuncung," jawabnya. "O, agaknya kaupun hampir disambarnya," desis kawannya
yang lain. Dari kawan-kawannya Jlitheng mendengar, bagaimana
Kuncung itu diketemukan. Ketika sekelompok orang-orang
Lumban lewat didekat randu alas, mereka telah melihat seekor
kemamang berwarna kebiru-biruan terbang mengelilingi
batang randu alas itu. Ketika kemudian mereka mendekat,
mereka menemukan Kuncung, setelah lebih dahulu mereka
mendengar suara hantu betina itu.
Jlitheng mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berdesis, "Mengerikan sekali. He, bagaimana jika aku juga
dibawa oleh hantu betina itu ?" desis Jlitheng.
"Kau akan pingsan untuk waktu yang lama, atau
barangkali, yang sudah dikembalikan baru tubuhnya, belum
jiwanya," sahut kawannya.
Sejenak Jlitheng terdiam. Namun kemudian ia berkata,
"Aku akan melihat, apakah Kuncung terluka atau itidak."
"Tidak. Tidak ada tanda-tanda luka padanya," sahut
kawannya. Namun Jlitheng mendesaknya. Ketika ia menyibakkan
beberapa orang, maka orang-orang itu membentaknya, "He,
apa yang akan kau lakukan Jlitheng ?"
Jlitheng memandang berkeliling. Dilihatnya wajah-wajah
yang tegang dan gelisah. "Aku hanya ingin melihat saja," desisnya.
"Jangan kau ganggu. Kita menunggu ia terbangun."
"Apakah tidak dapat dibangunkan seperti membangunkan
orang tidur nyenyak?" beritanya Jiiitheng.
"Kau memang dungu. Ia tidak tidur sewajarnya tidur."
sahut sallah seorang tua.
"Tetapi nampaknya benar-benar seperti tidur," Jlitheng
membantah. Tanpa menghiraukan orang-orang yang memandanginya
dengan marah, Jlitheng mendekati tubuh Kuncung yang
terbujur. Kemudian dirabanya seluruh tubuh itu.
"Jlitheng, jika kau membuatnya celaka, maka kau akan
dihukum oleh orang-orang disehiruh padukuhan," desis
seorang bertubuh tinggi besar, "kita sedang menunggu Ki
Buyut di Lumban Wetan. Sentuhan tanganmu mungkin akan
menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki."
Jlitheng memandang orang itu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Apakah aku boleh mengguncangnya seperti
mengguncang orang t idur?"
"Jangan," teriak seseorang.
Tetapi Jlitheng sudah melakukannya. Perlahan-lahan
diguncangnya kaki Kuncung yang tertidur nyenyak itu.
Tidak seorangpun yang melihat, Jlitheng telah menyentuh
tengkuk Kuncung disaat ia meraba-raba tubuh anak itu.
Nampaknya Jlitheng menjadi curiga bahwa keadaan Kuncung
disebabkan oleh kemampuan ilmu yang dapat membuatnya
tidur. Ternyata yang dilakukan Jlitheng itu telah mengejutkan
orang-orang yang berkerumun. Mereka hanya melihat Jlitheng
mengguncang kaki Kuncung. Namun kemudian mereka
melihat Kuncung itu perlahan-lahan mulai bergerak dan
membuka matanya. "He, anak itu bangun," tiba-tiba saja Jlitheng berteriak.
Setiap orang terguncang hatinya. Ternyata mereka benarbenar
melihat Kuncung bergerak dan membuka matanya.
Kemudian terdengar anak muda itu merintih.
Dengan cemas orang tua Kuncung bergeser mendekat.
Diusapnya keningnya anaknya yang basah oleh keringat
sambil menyebut namanya, "Supada, ngger Supada."
Tetapi ayahnya kemudian memanggil dengan nama
panggilannya sehari-hari "Cung, Kuncung."
Namun itu lebih tajam menyentuh perasaannya, sehingga
karena itu, maka iapun mencoba untuk bangkit.
Dengan gemetar ayahnya membantunya mengangkat
kepalanya. Kemudian membantunya pula duduk diantara
orang-orang Lumban yang mengerumuninya.
Sejenak Kuncung kebingungan. Dipandanginya orang-orang
yang mengerumuninya. Kemudian terdengar ia bertanya,
"Dimanakah aku sekarang ?"
"Kau berada di banjar ngger. Banjar padukuhan kita
sendiri," sahut ayahnya.
Tetapi nampaknya Kuncung masih bingung. Bahkan tibatiba
saja ia bertanya, "Dimanakah kedua orang yang
mengerikan itu sekarang?"
"Siapa ?" bertanya beberapa orang-orang Lumban hampir
berbareng. Kuncung menggeleng sambil menjawab, "Aku tidak tahu.
Tetapi mereka telah membawa aku naik kebukit itu. Mereka
memaksa aku menceritakan sesuatu yang tidak aku ketahui."
"Apa yang harus kau ceritakan?"
Kuncung menarik nafas dalam-dalam. Beberapa orang
kemudian berusaha untuk mengatur diri, sehingga orangorang
yang mengerumuni Kuncung dapat melihat dan
mendengar ia berceritera.
Kuncunmgpun kemudian menceritakan apa yang
dialaminya. Sejak ia kembali dari sungai yang hampir kering
itu. Bagaimana ia bertemu dengan dua orang yang garang
dan membawanya pergi. Iapun menceritakan apa yang
ditanyakan oleh kedua orang itu kepadanya dan bagaimana ia
mulai memukulnya. Orang-orang Lumban itu mendengarkan ceritera Kuncung
dengan tegang. Bahkan merekapun menjadi ngeri
mendengarnya, seolah-olah mereka melihat dan mengalami
apa yang telah dialami olah anak muda itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar seseorang
tertawa. Ketika orang-orang Lumban itu berpaling, mereka
melihat Jlitheng berusaha menahan tertawanya.
"Kenapa kau tertawa ?" bertanya beberapa orang hampir
bersamaan. Jlitheng terkejut ketika ia menyadari bahwa semua orang
memperhatikannya Dengan gagap iapun menjawab, "Aku geli
mendengar ceritera seseorang yang baru saja dibawa hantu
betina. He, bukankah Kuncung diculik wewe dan dikembalikan
dibawah pohon randu alas ?"
Kata-kata itu telah memperingatkan orang-orang Lumban,
bagaimana mereka menemukan Kuncung. Karena itu, maka
orang-orang Lumban itupun mengangguk-angguk sambil
berkata kepada diri sendiri," ia benar-benar kehilangan
ingatan. Yang diceriterakan itu tentu bayangan yang dibuat


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh hantu betina itu."
Namun tiba-tiba saja salah seorang dara mereka yang
mengerumuni Kuncung itu bertanya, "Jlitheng, jika yang
terjadi itu sekedar khayalan, maka kenapa hal itu pernah
terjadi juga atasmu. Dan itu tentu bukan khayalan karena
banyak orang yang melihat, bagaimana kau dibawa oleh dua
orang yang garang, tepat seperti yang dikatakan oleh
Kuncung." "Itulah yang menggelikan," jawab Jlitheng, "ia pernah
mendengar atau melihat dua orang yang membawa aku.
Dalam ketidak sadarannya, karena ia dibawa oleh hantu
betina, maka ingatan itu muncul seolah-olah terjadi atas
dirinya. Dibantu oleh bayangan semu yang memang
dibangunkan oleh ibhs betina itu, maka seolah-olah yang
terjadi adalah benar-benar telah terjadi."
Orang-orang Lumban mengangguk-angguk kecil.
Penjelasan Jlitheng memang masuk akal. Bahkan seorang tua
berkata, "Darimana kau mendapatkan pengertian itu Jlitheng?"
Pertanyaan itu telah mengejutkan Jlitheng. Namun ia
berusaha menjawab, "Mungkin kek. Mungkin demikian. Aku
hanya menduga-duga."
Tetapi orang-orang Lumban itu semakin mempercayai
Jlitheng karena Kuncung kemudian tidak dapat menjelaskan,
bagaimana mungkin ia berada dibawah pohon randu alas itu.
Bahkan tertidur nyenyak seperti orang yang sedang pingsan."
Dalam pada itu, ketika Ki Buyut Lumban Wetan datang ke
banjar, maka orang yang mengerumuni Kuncung itupun
menyibak. Dihadapan Ki Buyut, Kuncung menceriterakan
kembali apa yang pernah diceriterakan.
Sementara itu, ketika perhatian setiap orang tertuju kepada
Ki Buyut dan Kuncung, maka Jlitheng berbisik kepada
kawannya yang duduk disebelahnya, "Aku akan kesungai."
"Kenapa ?" bertanya kawannya heran.
"Perutku sakit sekali."
"He, kau dapat dibawa wewe seperti Kuncung."
"Sedangkan Kuncung saja telah dikembalikannya. Ia tentu
tidak memerlukan orang lain lagi. Setidak-tidaknya untuk sisa
malamini." Kawannya tidak mencegahnya. Sementara yang lain t idak
memperhatikannya, ketika Jlitheng kemudian meninggalkan
banjar. Tetapi demakian ia sampai ketempat yang sepi maka iapun
segera berlari sekencang-kencangnya. Bahkan ia telah
mengerahkan kemampuan ilmunya untuk mendorong
kekuatan kakinya, sehingga anak muda itupun kemudian telah
berlari kencang sekali menuju kebukit yang berhutan lebat.
Dengan tangkasnya anak muda itu meloncati batu-batu
padas dilereng yang gelap. Didataran-dataran sempit,
pepohonan tumbuh hampir pepat. Tetapi Jlitheng yang
nampaknya sudah terbiasa itu, dapat menempuhnya dengan
cepat seolah-olah ia sedang berjalan dijalan yang datar dan
rata. Ketika ia sampai ketempat Kiai Kanthi, dilihatnya orang tua
itu duduk merenungi perapian yang kecil. Ia berpaling ketika
ia mendengar langkah seseorang mendekati. Namun Kiai
Kanthi seolah-olah sudah mengetahui, bahwa yang datang itu
adalah Jlitheng. Karena itu, maka ia sama sekali t idak bergeser. Hanya
wajahnya sajadah yang bergerak sambil tersenyum.
"Marilah ngger. Silahkan. Aku sudah menduga, bahwa kau
akan datang kemari," berkata Kiai Kanthi.
Jlitheng masih berdiri tegak. Nafasnya terasa memburu.
"Duduklah," sambung Kiai Kanthi.
"Dimana Swasti, Kiai?" bertanya Jlitheng.
"Baru mandi dibalik gerumbul itu. Untunglah kau
mengambil jalan ini. Jika kau mengambil sebelah, Swasti akan
terpaksa membenamkan dirinya," jawab orang tua itu.
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun
duduk disamping Kiai Kanthi. Sejenak ia mengatur
pernafasannya. "Kiai," katanya kemudian, "aku sudah menduga, bukankah
Kiai sudah mengembalikan seorang anak muda Lumban di
bawah pohon randu alas ?"
Kiai Kanthi t idak menyangkal. Sambil mengangguk ia
menjawab, "Ya ngger. Aku sudah bingung, bagaimana caranya
mengembalikan anak itu tanpa menumbuhkan kecurigaan.
Aku sudah membunuh dua orang dilereng bukit itu. Tepatnya,
Swastilah yang sudah melakukannya."
"Aku sudah menduga, bahwa Kuncung tentu dibawa oleh
orang-orang yang asing bagi kami. Siapakah kedua orang itu
Kiai?" beritanya Jlitheng.
Kiai Kanthipun kemudian menceriterakan apa yang dilihat
dan didengarnya. Dari awal sampai akhir.
"Jadi keduanya orang Pusparuri?"
Kiai Kanthi mengangguk. Jawabnya, "Menurut
tangkapanku, keduanya memang orang-orang Pusparuri.
Mudah-mudahan mereka tidak sedang menyelubungi diri
dengan sikap dan sebutan itu."
"Dimana keduanya sekarang ?"
"Aku mengubur mereka dibawah pohon nyamplung yang
besar itu." Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun ia menarik nafas
dalam-dalam ketika ia melihat Swasti menyibak gerumbul dan
berjalan melintas. Seperti biasanya gadis itu tidak mau duduk
bersamanya. Ia duduk beberapa langkah dibelakang ayahnya,
bersandar sebatang pohon menghadap kedalam gelapnya
malam. "Kiai," berkata Jlitheng kemudian, "nampaknya daerah ini
menjadi semakin banyak didatangi oleh orang-orang yang
sebenarnya asing bagi Lumban Wetan dan Lumban Kulon."
"Termasuk kami berdua," tiba-tiba saja Swasti memotong.
"Ya," jawab Jlitheng, "juga termasuk aku dan Daruwerdi.
Bahkan ketika aku mengikuti Daruwerdi kebukit gundul, ketika
kami sedang kebingungan mencari Kuncung, Daruwerdi sudah
menyebut satu nama lagi. Cempaka. Mungkin nama
sebenarnya, tetapi mungkin juga sekedar sebulan seperti Ular
Sanca itu." "Dan apakah angger melihat orang yang disebut Cempaka
?" bertanya Kiai Kanthi.
"Tidak Kiai. Aku lebih berat mencari Kuncung daripada
menunggui Daruwerdi yang sedang menunggu Cempaka,
Ketika kemudian aku kembali kebukit gundul itu, Daruwerdi
sudah tidak ada lagi."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia
berdesah, "Nasibku agaknya memang kurang baik. Aku telah
memasuki daerah yang sedang bergejolak."
Jlitheng tidak menyahut. Namun Swastilah yang kemudian
berkata, "Sudah aku katakan ayah. Apakah tidak sebaiknya
kita mencari tempat tinggal yang lain. Yang tidak dibayangi
oleh kecurigaan dari segala pihak dan tidak selalu dicemaskan
oleh peristiwa-peristiwa seperti yang baru saja terjadi. Kita
berusaha menolong seseorang. Tetapi kita tidak dapat
menyatakan diri kita dengan terus terang."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Memang
tempat ini dapat menumbuhkan ketegangan dihati. Tetap aku
belum memastikan bahwa tempat ini tidak akan dapat menjadi
tempat yang baik Swasti."
"Dugaan-dugaan yang mengandung banyak kemungkinan
itu memang dapat saja kita lakukan. Tetapi kita tidak akan
dapat hidup dengan tenang dalam bayangan kegelisahan
seperti sekarang," Swasti berhenti sejenak, lalu, "yang baru
saja kita lakukan telah membuat kita sangat lelah. Bukan saja
badan kita, tetapi perasaan kita. Suaraku hampir menjadi
serak sama sekali, karena aku harus berteriak-teriak
menirukan suara hantu betina yang belum pernah aku dengar.
Kemudian kita berlari-lari bersembunyi, justru karena kita
sudah menolong seseorang."
"Swasti," berkata ayahnya dengan sareh, "aku masih
berharap untuk menemukan hari kemudian yang baik disini."
"Bukan itu," bantah Swasti, "aku tahu, justru keadaan yang
menegangkan itulah yang sudah menarik hati ayah."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah
hanya aku saja yang sudah tertarik" Seandainya aku
mengiakan permintaanmu untuk meninggalkan tempat ini dan
aku benar berangkat esok pagi, apakah kira-kira kau akan
mengikut i aku atau kau justru akan tetap tinggal disini ?"
"Ah," Swasti berdesah. Sementara ayahnya tersenyum.
Katanya, "Swasti. Aku mengenalmu sejak kau masih bayi. Aku
tahu sifat dan watakmu."
"Ayah selalu berkata begitu," Swasti berdesis.
Tetapi ayahnya masih saja tersenyum. Bahkan Jlitheng-pun
tersenyum pula. Katanya, "Kiai, daerah seperti ini memang
menjemukan, tetapi sekaligus sangat menarik untuk
diperhatikan. Adalah wajar bahwa kita yang sudah terlanjur
mengetahui serba sedikit bayangan-bayangan yang rahasia
didaerah ini, ingin melihat kelanjutan dan apabila mungkin
penyelesaian dari peristiwa ini."
"Sifat ingin tahu seseorang adalah wajar sekali ngger.
Tetapi mungkin diantara kita ada beberapa perbedaan. Jika
kami benar-benar hanya didorong oleh sekedar ingin tahu.
Mungkin kau mempunyai kepentingan yang lain," berkata Kiai
Kanthi. "Atau sebaliknya Kiai. Setidak-tidaknya kita masing-masing
mempunyai kepentingan yang beralasan sudut penglihatan
kita masing-masing," sahut J litheng.
"Itulah ujud kecurigaan yang dikatakan oleh Swasti. Tetapi
itupun wajar. Dan kadang-kadang saling mencurigai adalah
menarik sekali," sahut Kiai Kanthi.
Jlitheng tertawa. Namun kemudian katanya, "Ah, sudahlah
Kiai. Aku hanya ingin meyakinkan, apakah dugaanku benar.
Aku menjadi geli mendengar, bagaimana orang-orang Lumban
menceriterakan tentang hantu betina yang tertawa terkekehkekeh
saat ia mengembalikan Kuncung."
"Tetapi suaraku hampir putus karena aku harus berteriak
keras-keras," tiba-tiba saja Swasti menyahut hampir diluar
sadarnya. Jlitheng tertawa tertahan, sementara Kiai Kanthi tersenyum
sambil berkata, "Kami sadar apa yang kami lakukan. Kami-pun
memang berharap bahwa angger dapat membangunkan anak
yang tertidur itu meskipun kami agak cemas, bahwa yang
menjumpai keadaan anak itu justru adalah angger Daruwerdi."
"Aku masih harus menemukan anak muda itu," berkata
Jlitheng, "tetapi tentu aku sudah kehilangan orang yang
disebutnya bernama Cempaka. Mudah-mudahan pada saat
yang lain aku akan dapat menemukannya dalam keadaan
yang bagaimanapun juga," Jlitheng berhenti sejenak, lalu,
"sudahlah Kiai. Aku minta diri. Mungkin masih ada yang harus
aku lakukan. Jika kawan-kawanku tidak lelah karena hampir
semalam suntuk mereka harus mencari Kuncung, maka aku
akan kembali bersama mereka untuk meneruskan kerja kita,
membuka padepokan kecil itu."
Ketika Jlitheng turun dari bukit itu dengan hati-hati. karena
ia masih memperhitungkan kemungkinan hadirnya Daruwerdi,
maka langit disebelah Timurpun mulai dibayangi oleh warna
merah. Karena itu, maka ketika ia sudah yakin bahwa
seorangpun yang melihatnya, maka iapun segera berlari-lari
menuju kopadukuhannya. Ternyata banjar padukuhan Lumban Wetan telah sepi
ketika ia datang memasuki regolnya. Hanya tiga orang anak
muda yang sedang berbaring digardu. Mereka terkejut ketika
tiba-tiba saja melihat seseorang berdiri dimuka gardu.
"Anak setan," desis salah seorang dari mereka, "kau
mengejutkan kami Jlitheng."
Jlithengpun kemudian duduk diantara mereka sambil
bertanya, "Apakah Kuncung sudah pulang ?"
"Ya. Ia masih saja mengigau tentang dua orang yang
berwajah mengerikan," jawab salah seorang dari mereka.
Namun yang lain menyahut, "tetapi ada bekas biru-biru
pengab diwajahnya. Jika ia tidak berkata sebenarnya, bahwa
kedua orang itu telah memukulnya, maka apakah bekas birubiru
itu benar2 akan terdapat diwajahnya."
"Kau memang bodoh," jawab Jlitheng, "setan betina itu
tentu tidak berhati-hati. Ketika ia membawa Kuncung,
mungkin wajah anak itu telah membentur pepohonan atau
mungkin batu atau apapun, sehingga wajah itu telah menjadi
merah biru." Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Sudahlah. Aku akan tidur.
Semalam suntuk aku tidak tidur sama sekali. Menjelang pagi
aku masih mempunyai waktu. Mudah-mudahan tidak lambat
bangun sehingga orang-orang yang- pulang dari pasar lewat
jalan ini akan membangunkan aku."
"Dan mudah-mudahan kau tidak dibawa hantu betina,"
desis Jlitheng. Tentu saat begini anak muda itu sambil membenai
selimutnya. Jlitheng tidak lama berada digardu itu. Iapun kamudian
bangkit dan melangkah pulang kerumahnya.
Tetapi biyungnya tidak gelisah meskipun semalam suntuk
Jlitheng tidak pulang, karena ia sudah mendengar dari
seseorang, bahwa Jlitheng telah berada di Banjar.
"Orang sudah lama pulang," berkata ibunya, "apa kerjamu
di Banjar ?" "Menemani kawan-kawan yang bertugas digardu," jawab
Jlitheng singkat, "dan aku pergi kesungai barang sebentar."
Ibunya tidak bertanya lagi. Sementara Jlithengpun
kemudian pergi kepakiwan, mengisi jambangan dan kemudian
mandi untuk menghapus keringat dan kotoran yang melekat di
tubuhnya. Namun dalam pada itu, Jlitheng tidak dapat melepaskan
ingatannya kepada peristiwa yang baru saja terjadi. Dua orang
Pusparuri yang terbunuh. Sayang, bahwa mayatnya telah
dikuburkan dan ia malas untuk membuka kembali. Jika belum
terlanjur, maka ia akan dapat memastikan dari ciri-cirinya,
apakah kedua orang itu benar-benar orang-orang Pusparuri,
karena banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin
orang-orang Kendali Putih yang menyebut dirinya sebagai
orang-orang Pusparuri, atau mungkin justru pihak lain sama
sekali, atau bahkan kawan-kawan Daruwerdi.
Sehari itu Jlitheng tidak meninggalkan rumahnya. Siang


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari ia berbaring dibelakang dapur, dibawah sebatang pohon
yang rimbun, diatas sehelai ketepe daun kelapa yang
dianyam. Sambil memandangi dedaunan yang bergetar ditiup
angin, ia telah mencoba mengurai peristiwa yang telah terjadi
dipadukuhan Lumban Wetan dan Lumban Kulon selama ini,
sampai pada saat terakhir. Bahkan sepercik-percik masih juga
membersit kecurigaannya kepada Kiai Kanthi dan anak
gadisnya, Swasti. "Tetapi nampaknya mereka adalah orang-orang yang jujur
dan sederhana dalam sikap," berkata Jlitheng kepada diri
sendiri, "meskipun keduanya ternyata mewarisi cabang ilmu
kanuragan yang luar biasa."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya kedua
orang ayah dan anak itu telah merupakan pesona yang tidak
dapat dilupakannya, sehingga setiap saat, rasa-rasanya ia
angin pergi kebutan itu seperti ia ingin pulang kerumah
sendiri. Tetapi hari itu Jlitheng tidak dapat mengajak kawankawannya
untuk pergi ke bukit, karena Jlitheng mengetahui
bahwa kebanyakan lawan-kawannya lelah dan mengantuk,
karena hampir semalam suntuk mereka telah mencari
Kuncung. Sementara Jlitheng sendiri juga ingin beristirahat
setelah semalam-malaman berlari-lari menyusuri bulak dan
lereng bukit. Dari bukit gundul sampai kebukit yang berhutan
lebat. Hari itu setiap mulut di Lumban Wetan dan Lumban Kulon
masih membicarakan bagaimana seorang anak muda telah
hilang di culik iblis betina. Dari pintu kepintu orang-orang
Lumban membicarakannya, bahkan ceritera itupun telah
mekar dan menjadi semakin mengerikan.
"Kuncung menjadi seperti orang gila. Ia mengigau tentang
dua orang yang bertubuh tinggi kekar bermata merah dan
bersenjata pedang yang besar sekali," berkata seseorang
diantara kawan-kawannya. "Ia memerlukan waktu dua tiga hari untuk dapat pulih
kembali kesadarannya," sahut yang lain.
"Tetapi Kuncung dapat menceriterakan dengan pasti, apa
yang terjadi atasnya berhubungan dengan dua orang yang
dikatakannya itu," yang lain menyambung.
Seorang tua yang berambut putih memotong pembicaraan
itu, "Biasanya memang demikian. Seseorang yang dibawa oleh
hantu perempuan, ia merasa mengalami sesuatu seperti
benar-benar telah terjadi."
Orang-orang yang mendengarkan ceritera itu menganggukangguk. Mereka percaya kepada orang tua yang mereka
anggap, mempunyai banyak pengalaman itu.
Namun dalam pada itu, disaat orang-orang Lumban Wetan
dan Lumban Kulon sibuk berbicara tentang hantu perempuan
yang membawa Kuncung, Daruwerdi mencoba merenungi
ceritera itu dari sudut yang lain. Ia tertarik kepada ceritera
Kuncung tentang dua orang yang datang kepadanya dan
membawanya pergi kebukit.
Karena itu, maka Daruwerdi telah memerlukan datang
kerumah Kuncung untuk mendengar sendiri, apakah yang
dialaminya, yang menurut orang banyak hanyalah sekedar
bayangan yang tumbuh dikepalanya karena ia pernah melihat
atau mendengar peristiwa serupa yang terjadi atas Jlitheng.
Sehingga hantu perempuan itu tinggal mempertajam anganangan
ijtu, sehingga seolah-olah telah terjadi sebenarnya
alasnya. Ceritera Kuncung memang menarik perhatian Daruwerdi.
Meskipun ada juga kebimbangan, bahwa mungkin yang
dikatakan oleh orang-orang Lumban itu benar, namun ada
juga sepercik dugaan, bahwa sebenarnya yang
diceriterakannya itu telah terjadi.
"Dua orang itu benar-benar datang ke Lumban dan
membawa Kuncung ke bukit. Kemudian memaksa Kuncung
berbicara sehingga anak itu menjadi ketakutan. Ketika orangorang
itu mulai memukulnya, maka ia menjadi pingsan. "
Daruwerdi mencoba mencari kesimpulan " baru ketika
Kuncung dit inggalkan, terjadilah sesuatu yang aneh itu. Yang
Pohon Kramat 7 Lima Sekawan 04 Ke Sarang Penyelundup Menerima Tanda Jasa 2

Cari Blog Ini