Ceritasilat Novel Online

Mata Air Dibayangan Bukit 6

Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja Bagian 6


benar ia harus sudah berada di Kota Raja.
"Tetapi waktunya tidak terlalu mendesak," desis Jlitheng
sambil menengadahkan wajahnya, memandang bintangbintang
dilangit. Seperti yang pernah dipelajarinya, ia dapat
melihat waktu dengan memperhatikan letak bintang-bintang
yang bergeser dilangit. Namun demikian, Jlitheng tidak memperlambat lari
kudanya, yang suara derap kakinya, bagaikan mengoyak
kesepian malam yang dalam.
Tetapi tiba-tiba saja Jlitheng mengerutkan keningnya, ia
mulai menarik kekang kudanya, sehingga derap kakinya
menjadi semakin lambat. Sehingga akhirnya berhenti sama
sekali. Beberapa puluh langkah dihadapannya, ia melihat beberapa
orang terlibat dalam perkelahian yang sengit. Tetapi Jlitheng
masih belum mengetahui dengan pasti, apakah yang
sebenarnya terjadi. Karena itu, iapun harus berhati-hati. Mungkin ia tidak
mempunyai kepentingan apapun juga. Tetapi mungkin ia akan
terlibat kedalamnya. Sejenak Jlitheng mengamati perkelahian itu. Meskipun
malam cukup gelap, namun ketajaman matanya dapat
menangkap peristiwa itu dengan jelas.
Sejenak kemudian Jlithengpun meloncat turun dari
kudanya. Ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon
perdu di pinggir jalan. Selangkah-selangkah ia maju
mendekat. Jjatheng ingin melihat, apakah diantara mereka
yang terlibat ada yang pernah dikenalnya.
Dalam pada itu, orang-orang yang sedang berkelahi itupun
telah melihat kehadirannya. Mereka menjadi berdebar-debar,
karena perkelahian yang seakan-akan telah seimbang itu tentu
akan segera berubah, jika ada orang lain yang memilih salah
satu pihak untuk dibantunya.
"Siapa kau he pendatang," tiba-tiba Jlitheng mendengar
seseorang diantara mereka yang bertempur itu berteriak.
Jlitheng mengerutkan keningnya. Tetapi dia sempat
mengetahui, yang bertanya kepadanya adalah seorang yang
bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang bertempur dengan
senjata yang tidak begitu banyak dipergunakan. Dua potong
besi yang satu sama lain dihubungkan dengan seutas rantai.
Namun nampaknya senjata itu sangat berbahaya ditangan
orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu. Sekali kali
kedua potong besi itu berada dikedua tangannya. Namun
kadang-kadang sepotong diantaranya terlepas dan berputar
menyambar-nyambar. "Apa yang kalian perebutkan ?" bertanya Jlitheng
kemudian. "Jangan hiraukan kami," jawab yang lain.
Tetapi jawaban itu benar-benar telah mengejutkan Jlitheng,
Dengan seksama ia memperhatikan orang yang suaranya
pernah dikenalnya itu. "Cempaka," desis Jlitheng yang hanya dapat didengarnya
sendiri. Sejenak Jlitheng termangu-mangu, Ia mencoba menilai,
apakah yang sedang dihadapi, dan apakah sebaiknya yang
harus dilakukan. Tetapi ia sudah berada ditempat yang jauh dari Lumbaa
Wetan dan Lumban Kulon. Ia sudah jauh dari sepasang Bukit
Mati, sehingga Cempaka tentu tidak akan menghubungkannya
dengan orang yang disangkanya pengikut Daruwerdi, yang
pernah dikejarnya, tetapi tidak dapat ditangkapnya.
"Jika kau ingin lewat, lewatlah," terdengar suara orang
yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan yang sedang bertempur
dengan orang yang menyebut dirinya Cempaka itu.
"Pergilah," teriak Cempaka Kemudian.
Tetapi Jlitheng masih tetap berdiri ditempatnya. Dari
pengamatannya yang singkat, ia segera melihat, bahwa
Cempaka bersama dua orang kawannya harus bertempur
melawan lima orang lawan. Namun agaknya keseimbangan
pertempuran itu tidak segera berubah, sehingga sulit untuk
mengetahui, pihak manakah yang akan menang.
Sejenak Jlitheng masih termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Apakah aku dapat berdiam diri melihat perkelahian
semacam ini " Meskipun aku tidak mengetahui persoalannya,
tetapi aku berhak mengajukan permohonan, agar perkelahian
ini dihentikan. Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik dari
berkelahi dan saling membunuh ?"
"Persetan," jawab orang yang kekurus-kurusan itu, "bukan
urusanmu." Tetapi Jlitheng berkata pula, "Itu adalah persoalan setiap
orang. Karena kalian dan aku adalah sesama titah yang
disebut manusia." "Jangan sesorah," bentak orang yang kekurus-kurusan itu
sambil bertempur, "pergilah jika kau tidak ingin mengalami
nasib buruk disini."
Jlitheng terdiam sejenak. Hampir saja ia memanggil nama
orang yang menyebut dirinya Cempaka. Tetapi bibirnya yang
sudah akan bergerak itu terkatub lagi, karena jika nama itu
hanya dipergunakan di bukit gundul itu, maka Cempaka akan
segera menghubungkannya dengan orang yang telah gagal
ditangkap itu. Karena itu, maka Jlithengpun kemudian berkata, "Kalian
tentu bukan anak-anak lagi. Cobalah berpikir. Apakah yang
sebenarnya terjadi."
"Diam kau," orang yang tinggi kekurus-kurusan itu
berteriak. Jlitheng termangu-mangu sejenak. Ia berkepentingan
dengan orang yang disebutnya bernama Cempaka itu. Karena
itu, maka dengan cepat ia mencoba mengambil sikap yang
paling baik. "He orang kurus," teriak Jlitheng, "kau jangan membentakbentak.
Aku bermaksud baik. Dan adalah menjadi kewajibanku
untuk mencegah pertumpahan darah. Dengar, kau tentu
belum mengenal aku. Aku adalah Raden Bantaradi. Seorang
Senapati dalam susunan keprajuritan Demak. Aku dapat juga
berbuat lebih buruk dari yang kau lakukan."
Orang-orang yang sedang bertempur itu agaknya
terpengaruh juga oleh kata-kata Jlitheng. Apalagi pada saat itu
Jlitheng memang mengenakan pakaian sebagaimana dipakai
oleh orang-orang Kota Raja.
Namun tiba-tiba orang bertubuh tinggi itu berkata, "Aku
tidak paduli siapa kau. Tetapi aku harus membunuh kelinci
dari Sanggar Gading ini."
"Sanggar Gading," Jlitheng terkejut.
"Apakah kau pernah mendengar nama perguruan Sanggar
Gading ?" justru Cempaka itulah yang bertanya.
Jlitheng termamgu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menjawab, "Sebagai seorang Senapati aku banyak
mengetahui nama-nama perguruan. Aku kenal Sanggar
Gading sebagai sebuah perguruan yang besar. He, apakah
benar kau anak Sanggar Gading?"
Cempaka tertawa. Ia masih bertempur dengan sengitnya
meskipun derai tertawanya terdengar berkepanjangan.
Diantara derai tertawanya dan dengus nafasnya ia berkata,
"Dari manapun aku datang, tidak ada bedanya bagimu
Senapati. Kami adalah orang-orang yang hidup dalam
keterasingan kami." "Kau benar. Tetapi padepokan dan perguruan bukannya
papan untuk menempa diri sekedar karena nafsu ketamakan
dan kesombongan. Karena itu, apakah sebenarnya yang
menjadn sebab perkelahian ini ?"
Hampir berbareng kedua orang yang sedang bertempur itu
tertawa. Yang terdengar adalah jawaban orang yang kekuruskurusan,
"Pergilah, sebaiknya kau t idak usah melibatkan diri
meskipun aku tahu bahwa kau sebenarnya bukan seorang
Senapati, karena setiap orang akan dengan mudah menyebut
dirinya seorang Senapati."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
"Aku tidak akan memaksamu untuk percaya. Dan akupun tidak
akan memaksamu untuk berhenti berkelahi. Yang akan mati,
matilah dalam pstempuran itu. Yang tetap hidup, biarlah
hidup. Aku t idak mempunyai urusan dengan kalian."
Jlithengpun kemudian melangkah menepi dan duduk diatas
sebuah batu dipinggir jalan sambil memperhatikan perkelahian
itu. "Kenapa kau t idak segera pargi he ?" bertanya orang yang
kekurus-kurusan sambil bertempur.
"Jangan urusi aku. Uruslah tugas dan kewajibanmu sendiri.
Jika kau harus bertempur, bertempurlah. Aku ingin duduk
disini melihat apa yang akan terjadi. Aku ingin tahu pasti
siapakah yang akan kalah dan siapakah yang akan menang.
Aku ingin melihat darah memancar dari luka."
"Persetan," orang yang kekurus-kurusan itu mengumpat,
"jika lawanku sudah terbunuh, dan kau masih ada disitu, maka
kaupun akan aku bunuh."
"Baik. Aku akan memperhitungkan akibat itu. Dan aku akan
tetap berada disini," jawab Jlitheng.
Sikap Jlitheng benar-benar membuat orang yang bertubuh
tinggi kekurus-kurusan itu menjadi semakin marah. Sementara
orang yang bernama Cempaka itu melihat kemungkinan yang
dapat dimanfaatkannya. Karena itu, maka ia tidak lagi
mengumpati orang yang duduk memperhatikan pertempuran
itu dan mengaku sebagai seorang Senapati.
Beberapa saat kemudian, pertempuran itu berlangsung
dengan sengitnya. Meskipun jumlah Cempaka dan kawankawannya
lebih sedikit dari jumlah lawannya, namun untuk
beberapa saat, ia masih mampu bertahan.
Tetapi agaknya Cempaka dan kawan-kawannya itu telah
terlalu memaksa diri memeras segenap kemampuannya.
Karena itu, maka ikemudiah ternyata bahwa tenaganyalah
yang menjadi lebih dahulu susut. Dengan demikian maka
keseimbangan pertempuran itu mulai bergeser.
"Sebentar lagi kau akan mati tikus kecil dari Sanggar
Gading. Jangan menyesal. Kecuali jika kalian bersedia
menyebutkan, siapakah yang kini menyimpan pusaka itu,"
berkata orang yang kekurus-kurusan.
"Kau gila. Sudah aku katakan. Tidak seorangpun yang
mengerti dimana letak pusaka itu," jawab Cempaka.
"Jika demikian, kami sendiri akan pergi ke bukit yang
disebut Sepasang Bukit Mati itu. Kami akan menemui anak
muda yang dianggap sumber dari segala macam keterangan
tentang pusaka itu."
"Jika kau mau pergi, pergilah. Aku tidak mempunyai
sangkut paut. Kenapa kalian memaksa kami bertempur disini?"
bertanya Cempaka. Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata,
"Ternyata kau bertanya pula seperti orang gila yang mengaku
dirinya Senapati itu."
"Ya. Mungkin sebagian benar."
Jlitheng yang duduk dipinggir jalan itu tertawa. Katanya.
"Berbantahlah sambil berkelahi. Menarik sekali untuk dilihat
dan didengarkan. Akupun menunggu jawab atas pertanyaan
itu." "Semua sudah gila," teriak orang yang kekurus-kurusan itu,
"He, tikus dari Sanggar Gading. Aku pasti, bahwa kau baru
datang dari Sepasang Bukit Mati. Kau tentu sudah bertemu
dengan anak muda yang dianggap satu-satunya sumber
keterangan itu. Kau tentu sudah membicarakan sesuatu syarat
bagi penyerahan pusaka itu. Karena itu maka sebaiknya kau
jtidak usah kembali keperguruanmu. Dengan demikian jalur
antara Sanggar Gading dan anak muda itu akan terputus."
"Dan kau akan membuat jalur baru," potong orang yang
menyebut dirinya Cempaka.
"Ya. Aku akan membuat jalur baru. Dan akulah satusatunya
orang yang akan mendengar dari mulutnya,
dimanakah pusaka itu tersimpan."
Orang yang menamakan diri Cempaka itu tertawa. Katanya,
"Aku sudah dapat menebak sejak semula. Pertanyaanmu dan
tuduhanmu bahwa aku mengerti sesuatu tentang pusaka itu
adalah sekedar cara untuk memaksa aku berkelahi."
"Membunuh tanpa alasan memang berat bagiku. Tetapi
membunuh dalam perkelahian apapun alasannya memang
sangat menarik." Orang yang bernama Cempaka itu tidak menjawab katakata
lawannya. Namun bahkan ia berteriak kepada Jlitheng
yang duduk diatas batu, "Nah Senapati. Kau dengar apa
katanya " Aku sudah bertanya hal itu untuk kepantinganmu."
"Terima kasih," jawab Jlitheng.
"Aku tidak peduli," teriak lawan Cempaka, "siapa-pun dan
apapun sebabnya, aku akan membunuh semua orang dengan
caraku. Termasuk kau yang menganggap dirimu sendiri
seorang Senapati. Tetapi itu adalah salahmu karena kau tidak
mau pergi dari tempat ini."
Jlitheng termangu-mangu. Semakin lama ia melihat
keadaan Cempaka dan kawan-kawannya menjadi semakin
sulit. Karena itu, maka tiba-tiba iapun berdiri sambil berkata,
"Sebaiknya aku tidak melihat saja perkelahian ini. Aku akan
ikut serta." Cempaka dan lawannya menjadi berdebar-debar. Mereka
mulai menebak, kepada siapakah orang itu akan berpihak.
"Aku melihat perkelahian yang tidak adil," berkata Jlitheng,
"tiga orang yang harus bertempur melawan jumlah yang lebih
banyak. Karena itu, aku akan bergabung dengan orang yang
lebih sedikit tanpa memperhatikan alasan-alasannya
perkelahian ini, meskipun nampaknya orang yang berjumlah
lebih banyak itulah menyebabkan pertengkaran ini terjadi."
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menjadi
berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang yang ingin melibatkan
diri itupun tentu bukan orang kebanyakan. Mungkin ia bemarbanar
seorang Senapati. Tetapi setidak-tidaknya ia dapat
mengukur diri setelah memperhatikan perkelahian itu.
Dalam pada itu, Jlithengpun ternyata tidak hanya bermainmain.
Iapun kemudian mempersiapkan diri untuk melibatkan
diri dalamperkelahian yang mulai berat sebelah itu.
Sebenarnyalah bahwa ia memang mempunyai kepentingan.
Setelah diperhitungkan untung dan ruginya, maka Jlitheng
menganggap bahwa Cempaka baginya lebih penting dari
orang yang belum dikenalnya sama sekali. Jika ia berhasil
mmyelamatkan Cempaka, maka langkah penyelidikannya lebih


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanjut telah mendapat pancadan. Ia akan dapat mulai dengan
orang yang bernama Cempaka dari Sanggar Gading.
Seandainya ia tidak akan melakukannya sendiri, maka seorang
kawannya akan dapat menelusur, siapakah Cempaka itu
sebenarnya dan siapakah yang akan menjadi sasarannya
sesuai dengan permintaan Daruwerdi. Orang yang disebut
telah membunuh orang tuanya. Dan orang itu adalah seorang
Pangeran. Karena itu, ketika ternyata Cempaka menjadi semakin
terdesak, iapun berkata, "Ki Sanak dari Sanggar Gading yang
tidak aku ketahui namanya. Aku berada dipihakmu."
"Apa kepentinganmu ?" bertanya orang yang menyebut
dirinya Cempaka. "Entahlah. Tetapi karena lawanmu mengumpat-umpat, aku
menjadi benci kepadanya. Aku ingin memanfaatkan
pertempuran ini untuk menangkapnya, hidup atau mati,"
Jlitheng berhenti sejenak, lalu, "tetapi bagaimana jika aku
ingin memanggilmu." "Ia bergelar Cempaka Kuning," orang yang kekuruskurusan
itulah yang menjawab. "Dan kau ?" bertanya Jlitheng kemudian kepada lawan
Cempaka. "Persetan. Masuklah kearena jika kau ingin mati pula,"
geramorang yang kekurus-kurusan itu.
Cempakalah yang kemudian tertawa. Katanya, "Orang itu
adalah keluarga dari padepokan Kendali Putih. Ia merasa
kehilangan orang-orangnya. Dan sekarang ia menjadi gila dan
berbuait apa saja diluar nalar dan perhitungan. Ia ingin
membunuh siapa saja yang mungkin dibunuhnya tanpa
sebab." "Kendali Put ih," gumam Jlitheng.
"Kau kenal perguruan Kendali Putih ?" bertanya Cempaka.
"Seperti aku mengenal perguruan Sanggar Gading, aku-pun
mengenal perguruan Kendali Putih. Perguruan Pusparuri dan
perguraan-perguruan yang lain. Banyak perguruan telah
diketahui oleh kalangan keprajuritan di Demak, sesuai dengan
sifat dan bentuk perguruan. Yang manakah yang menurunkan
ilmu putih dan yang manakah yang diwarnai oleh ilmu hitam."
"Persetan. Jangan banyak bicara. Aku akan membunuhmu,"
geramorang bertubuh kekurus-kurusan itu.
Tiba-tiba saja orang itu telah meloncat meninggalkan
Cempaka yang digelari Cempaka Kuning itu, langsung
menyerang Jlitheng yang menyebut dirinya seorang Senapati.
Cempaka tidak dapat memburunya, karena seorang yang
lainpun segera menyerangnya pula dengan sengitnya,
sehingga iapun harus meloncat menghindar dan kemudian
bertempur melawannya. Jlitheng yang mengaku seorang Senapati itulah yang
kemudian harus bertempur melawan orang yang bertubuh
kekurus-kurusan itu. Seperti yang dilihatnya, maka orang itu
memakai tenaga yang tidak seimbang dengan tubuhnya yang
kurus. Ketika orang itu membenturkan kekuatannya, maka
terasa tubuh Jlitheng tergetar karenanya.
"Orang Kendali Putih ini memang kuat sekali," berkata
Jlitheng didalamhatinya. Sebelumnya ia pernah bertempur melawan dua orang yang
karena tidak ada jalan lain, harus dibunuhnya. Tetapi yang
seorang ini mempunyai tataran ilmu yang lebih tinggi,
sehingga iapun harus mengerahkan kemampuannya untuk
bertempur seorang melawan seorang.
Demikianlah maka pertempuran itupun menjadi semakin
sengit. Cempaka dan kawan-kawannya menjadi lebih mantap
menghadapi lawannya yang jumlahnya berkurang. Bahkan
kemudian mereka bertiga, segera dapat menemukan
keseimbangan pertempuran itu kembali, meskipun mereka
telah memeras segenap kemampuan mereka.
Dalam pada itu, Jlithengpun segera terlibat dalam
pertempuran yang keras. Orang bertubuh kekurus-kurusan itu
ternyata lebih senang membenturkan senjatanya dilambari
dengan kekuatannya yang dibanggakannya daripada meloncat
menghindari serangan yang datang dari lawannya. Orang
yang kurus itu merasa bahwa kekuatannya jarang dapat
dimbangi oleh lawannya. Tetapi melawan Cempaka ia sudah merasa, bahwa ia tidak
dapat membanggakan kekuatannya saja, karena Cempaka
Kuningpun memiliki kekuatan melampaui orang kebanyakan.
Ketika ia mulai dengan serangannya atas lawannya yang
baru, ia menganggap bahwa orang baru itu tentu akan
terkejut membentur kekuatannya. Tetapi orang yang kekuruskurusan
itulah justru yang terkejut. Ternyata seperti Cempaka,
orang yang mengaku bernama Senapati Bantaradi itupun
memiliki kekuatan yang luar biasa.
Semakin lama maka orang yang kekurus-kurusan kupun
bertempur semakin kasar. Bukan saja ia mencoba mendesak
lawannya dengan kekuatannya yang keras dan liar, tetapi ia
juga ingin mempengaruhi lawannya dengan hentakkan dan
teriakan-teriakan yang memekakkan telinga.
"Jangan berteriak-teriak orang kurus," berkata Jlitheng,
"nanti seisi beberapa padukuhan disekeliling bulak ini akan
terbangun dan berdatangan kemari."
"Aku akan membunuh mereka semua," teriak orang
kekurus-kurusan itu. "Membunuh akupun kau tidak mampu. Apalagi orang dari
beberapa padukuhan yang bersenjata. Meskipun seorang demi
seorang, mereka tidak dapat melawanmu, tetapi bersamasama
mereka akan dapat membunuhmu sepertil dalam
rampogan macan di alun-a lun."
"Tutup mulutmu," teriak orang yang kekurus-kurusan itu.
Jlitheng sempat tertawa sambil meloncat menghindari
serangan lawannya yang datang dengan kasarnya, "Jika setiap
orang melemparmu dengan sebuah batu, maka kau akan
berkubur dibawah timbunan batu-batu itu. Betapapun besar
kekuatanmu, tetapi kau tidak akan dapat melawan lontaran
batu dari segala penjuru. Sementara merekapun akan
melemparkan senjata-senjata mereka pula kearahmu."
Orang yang kekurus-kurusan itu menggeram. Namun tibatiba
ia berkata, "Kau terlalu sombong. Tetapi sebenarnya
hatimu sebesar menir. Kau berkhayal bahwa orang-orang
padukuhan akan datang membantumu. He, orang yang
mengaku prajurit. Bagaimana jika orang-orang padukuhan
datang dan justru melemparimu dengan batu."
"Mereka tidak akan melakukan. Mereka tidak akan melawan
prajurit Demak yang sedang mengemban tugas."
"Mereka tidak akan percaya bahwa seorang perwira dari
tatanan keprajuritan Demak dalam pakaian kebesarannya
berkeliaran seorang diri. Kau adalah seorang prajurit yang
memalsukan. Kau bukan prajurit. Dan orang-orang padukuhan
akan segera mengetahuinya."
Tetapi Jlitheng hanya tertawa saja. Sambil menyerang ia
berteriak, "Kau juga pandai berkhayal."
Orang kekurus-kurusan itu tidak menjawab lagi. Iapun
segera menyerang dengan garangnya. Dengan sepenuh
tenaga ia ingin segera mengakhiri peirtempuran yang
menjengkelkan itu, karena kehadiran seseorang yang
mengaku dirinya seorang prajurit.
Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin keras dan
kasar. Orang yang kekurus-kurusan iu benar-benar seorang
yang mempergunakan segala macam cara untuk mengalahkan
lawannya. Kasar, liar dan licik.
Sementara itu Jlitheng menyesuaikan diri dengan
pengakuannya, bahwa ia adalah seorang Senapati. Pakaiannya
memang meyakinkan, bahwa ia seorang Senapati dari Demak.
Karena itu, maka iapun berusaha, untuk tidak tergelincir
dalam sikap dan perbuatannya, sebagaimana seorang
Senapati perang yang berwibawa.
Dengan demikian, maka ia berusaha untuk tidak terseret
oleh kekasaran lawannya. Justru karena itu, maka ia dapat
menilai segala macam tata gerak dan Imu lawannya sebaikbaiknya.
Dengan kecepatan gerak dan kekuatannya, Jlitheng
mampu mengimbangi kekasaran dan keliaran lawannya.
Bahkan dengan pengamatan dan perhitungan yang cermat,
akhirnya ala berhasil mendesak lawannya yang meskipun agak
kekurus-kurusan, tetapi memiliki ilmu yang luar biasa dan
kekuatan raksasa pula. Sementara itu, Cempaka dan kawan-kawannyapun berhasil
tetap bertahan melawan jumlah yang lebih banyak. Mereka
mulai dapat membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Mereka mulai memperhitungkan ketahanan waktu untuk
melawan keempat orang yang kasar dan garang itu.
"Kita tidak dapat memperhitungkan, kapan pertempuran ini
akan selesai," berkata Cempaka didalam hatinya, "mungkin
menjelang pagi, mungkin setelah matahari naik, bahkan
mungkin masih akan berlangsung sehari penuh."
Namun dengan kesadaran yang demikian, ia selalu
berusaha untuk mengamati tata geraknya, sehingga ia
membatasi diri pada tata gerak yang menentukan
pertempuran itu, meskipun bersama dengan kedua orang
kawannya, ia juga berusaha untuk segera mengakhiri
pertempuran yang seru itu.
Tetapi agaknya kedua belah pihak t idak mau membiarkan
senjata lawan menyobek tubuhnya dan menghentakkan
nyawanya dari tubuhnya. Karena itu, maka masing-masing
telah bertempur dengan segenap kemampuan dan ilmu yang
ada. Namun dalam pada itu, lambat laun, Jlitheng berhasil
mendesak lawannya, betapapun orang yang kekurus-kurusan
itu berusaha untuk mempertahankan dirinya dengan kasar dan
liar. Bahkan kadang-kadang ia masih saja meloncat sambil
berteriak. Senjatanya yang agak asing itu berputaran. SekaliTiraikasih
kali tongkat yang terikat pada sepotong rantai itu menyambar,
namun kemudian mematuk dengan cepatnya. Bahkan
kemudian dua potong tongkat besi itu, tiba-tiba saja telah
berada didalamgenggaman seperti sepasang bindi.
Melawan senjata yang demikian, Jlitheng harus berhatihati.
Ia kemudian tidak mempergunakan senjata panjang,
karena dengan demikian, senjatanya akan dapat terbelit oleh
rantai pengikat dua potong besi itu. Yang dipergunakannya
adalah sebuah trisula bertangkai pendek, yang terbuat dari
besi baja pilihan. Dengan trisula bertangkai pendek itu, maka
ia tidak ragu-ragu untuk memukul potongan besi yang
berputaran. Bahkan ialah yang berusaha untuk melihat rantai
lawannya dengan ujung-ujung trisulanya.
Tetapi lawannya cukup cepat pula mempemainkan
senjatanya. Bahkan kadang-kadang Jlitheng harus meloncat
beberapa langkah surut jika senjata lawannya menyambar
mendatar setinggi lambungnya.
Melawan Jiltheng orang yang kekurus-kurusan itu memang
harus membuat perhitungan yang khusus, karena Jlitheng
mampu membentur tongkat besinya yang berputar seperti
baling-baling. Setiap kali, dengan bangga ia berhasil
merenggut atau mematahkan pedang lawannya. Tetapi trisula
Jlitheng ternyata memiliki kekhususan, sehingga setiap
benturan justru membuat tangannya menjadi pedih.
Sementara itu. Cempaka sempat menilai ilmu orang yang
mengaku Senapati dan yang menyebut dirinya bernama
Bantaradi itu. Ternyata bahwa Senapati itu mempunyai ilmu
yang cukup tinggi, sehingga akhirnya ia berhasil mendesak
lawannya. "Aku tidak dapat memperhitungkan, bagaimana akhirnya
jika aku harus bertempur melawannya," berkata Cempaka
didalam hatinya. Kemudian, "Mudah-mudahan ia benar-benar
seorang Senapati. Ia bukan sekedar membantu aku, karena
aku dalam kedudukan yang lemah, yang menurut
perhitungannya, akan lebih mudah dibinasakan pula setelah
kelima orang Kendali Putih itu dapat dilumpuhkan."
Tetapi menilik tata geraknya, maka Cempaka menganggap
bahwa orang yang mengaku Senapati itu sama sekali bukan
dari kelompok orang-orang liar dan kasar yang sekedar
mengaku-aku sebagai seorang Senapati, meskipun seperti
yang dikatakan oleh orang kekurus-kurusan itu bahwa agak
aneh, seorang perwira dalam pakaian kebesaran hanya
seorang diri berkeliaran dimalamhari.
"Nanti, setelah semuanya selesai, aku akan dapat
memperkenalkannya," berkata Cempaka Kuning didalami
hatinya. Sementara itu, benturan-benturan senjata antara Jlitheng
dan orang yang kekurus-kurusan itu terjadi semakin sering.
Justru karena Jlitheng sudah pasti tentang kekuatan
lawannya, maka iapun mulai dengan usahanya untuk
meringkihkan bukan saja genggaman lawannya, tetapi juga
hatinya. Jika setiap kali tangannya terasa pedih dan sakit,
maka iapun akan menjadi gelisah pula karenanya.
Namun kemudian lawannyalah yang berusaha untuk
menghindari benturan. Orang yang kekurus-kurusan itu tidak
lagi memutar tongkat besinya pada ujung sepanjang rantai
pengikatnya. Tetapi ia lebih banyak menggenggam sepasang
senjatanya itu ditangan. Dengan dua potong besi itu, ia
berusaha untuk menyerang lawannya tanpa mengadakan
benturan kekuatan dengan langsung.
Jlitheng yang mengaku seorang Senapati itupun kemudian
bertempur semakin tangkas dan cepat. Trisulanya
menyambar-nyambar dan setiap kali mematuk dada lawan
dengan dahsyatnya. Lawannya mulai terdorong surut oleh serangan-serangan
Jlitheng yang membadai. Ia tidak segan menyerang lawannya
meskipun ia yakin, bahwa lawannya akan mampu
menangkisnya, karena setiap benturan akan memberikan
tekanan kepada lawannya. Dengan segenap kemampuannya, maka orang yang
kekurus-kurusan itu berusaha mempergunakan kecepatannya
untuk melawan kekuatan dan kegarangan Jlitheng. Tetapi
ternyata bahwa Jlithengpun mampu mengimbangi
kecepatannya. Itulah sebabnya, maka semakin lama semakin terasa,
bahwa orang yang kekurus-kurusan itu akan kehilangan
kesempatan untuk mempertahankan dirinya lebih lama lagi.
Tetapi orang yang kekurus-kurusan itu tidak mau
menyerah. Ia adalah seseorang yang mendapat kepercayaan
oleh pimpinannya untuk menentukan sikap terhadap siapapun
juga yang dianggap dapat mempersulit kedudukan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perguruannya. Termasuk orang-orang dari perguruan Sanggar
Gading, yang menurut perhitungannya telah membuat
hubungan khusus dengan anak muda yang berada disekitar
Bukit Mati. Namun ternyata bahwa Jlitheng benar-benar tidak dapat
dimbanginya. Bahkan semakin lama, terasa ujung trisula
lawannya yang bertangkai sangat pendek itu semakin dekat
dari kulitnya. Sekali-kali terasa angin yang berdesir lembut jika
ujung trisula itu menyambar tubuhnya hanya berjarak setebal
daun. Bahkan rasa-rasanya ujung trisula itu sudah mulai
menjamahnya. Orang yang kekurus-kurusan itu terkejut ketika terasa
sentuhan pada pundaknya. Tetapi ternyata bahwa pundaknya
tidak tersayat. Segores tipis warna kemerah-merahan memang
membekas. Tetapi darahnya tidak menitik karenanya.
"Gila," teriak orang kekurus-kurusan itu.
"Menyerahlah," desis Jlitheng, "aku akan membawamu ke
Demak. Kau harus memberikan keterangan tentang
perguruanmu dan usahamu untuk menguasai pusaka yang
belumdikenal di tlatah Sepasang Bukit Mati," sahut J litheng.
"Persetan," geramnya. Dengan buasnya ia justru
menyerang Jlitheng dengan sekuat tenaganya dan segenap
kemampuan ilmunya. Jlitheng surut selangkah. Namun kemudian iapun meloncat
maju. Tepat saat lawannya justru mengayunkan tongkat
ditangan kirinya. Jlitheng tidak menghindar. Dengan trisulanya ia sengaja
menangkis tongkat besi itu. Ketika tongkat besi itu menyusup
disela-sela ujung trisulanya, maka dengan sepenuh tenaganya
ia memutar trisulanya sambil menghentak merenggut tongkat
besi itu dari tangan lawannya.
Tetapi Jlitheng terkejut karena lawannya sama sekali tidak
mempertahankan tongkatnya. Dibiarkannya tongkatnya
terlepas begitu saja dari tangannya. Namun sekejap kemudian
tongkat yang terlepas itu telah berputar justru menyerang
kening Jlitheng yang termangu-mangu.
Namun Jlitheng sempat merendah sambil bergeser. Baru
tersadar, bahwa tongkat itu terikat oleh seutas rantai. Justru
dengan serta merta lawannya telah mempergunakan tongkat
itu untuk menyerang. Jlitheng kemudian semakin tertarik kepada rantai lawannya.
Jika ia ingin melibat, lebih baik langsung pada rantainya. Tidak
pada tongkat-tongkat besi yang terayun-ayun diujung rantai
itu. Namun seperti yang pernah dilakukan, lawannyapun segera
menangkap tongkat-tongkat besi itu dan mengganggamnya
ditangan seperti sepasang pedang.
"Gila," geramJlitheng.
Dengan demikian pertempuran itu masih merupakan
pertempuran yang sengit. Sementara Cempaka dan dua orang
kawannya, masih harus berhadapan dengan jumlah yang lebih
banyak, sehingga Cempaka sendirilah yang kemudian harus
melawan dua orang lawan sekaligus.
Tetapi keduanya bukan orang-orang sekuat orang kekuruskurusan
itu. Sehingga meskipun dengan memaksakan diri dan
memeras segenap tenaga dan kemampuan, Cempaka masih
berhasil mempertahankan dirinya. Sementara kawannya yang
dua orang itupun bertempur dengan memeras kemampuan,
karena lawan merekapun adalah orang-orang yang memiliki
kelebihan dari orang kebanyakan.
Namun dalam pada itu, Jlitheng yang semakin mendesak
lawannya, justru merasa dirinya dikejar pula oleh waktu itulah
sebabnya, maka iapun bertepur semakin garang. Trisulanya
menyambar-nyambar semakin cepat menyusup diantara kedua
ujung tongkat besi orang-orang kekurus-kurusan itu. Bahkan
diantara putaran tongkat yang dahsyat itu diujung rantai
pengikatnya. Ketika Jlitheng berhasil memukul tongkat ditangan kiri
lawannya, maka ia dengan serta merta telah meloncat maju
selangkah. Tiba-tiba saja kakinya terayun deras sekali
mengarah lambung. Tetapi lawannya tidak membiarkan
lambungnya dihantam kaki Jlitheng. Dengan tongkat ditangan
kanan, lawannya menangkis serangan kaki Jlitheng. Tetapi
ternyata bahwa Jlitheng telah menarik serangannya. Ia
meloncat dan berputar setengah lingkaran. Trisulanya
berputar seiring dengan putaran tubuhnya. Kemudian dengan
derasnya terayun langsung kekepala lawannya.
Tetapi ternyata lawannyapun mampu bergerak cepat.
Dengan tangkasnya ia telah menggenggam pangkal
tongkatnya. Dengan merentang rantainya ia melindungi
kepalanya. Sementara itu, trisula Jlitheng telah terayun deras sekali.
Ketika trisulanya menyentuh rantai itu, terasa rantai itu
mengendor. Namun tiba-tiba saja orang kekurus-kurusan itu
menghentakkan tangannya sehingga rantai itu menegang
dengan tiba-tiba. Untunglah bahwa Jlitheng cukup cepat sehingga trisulanya
tidak terpental dari tangannya.
Namun dalam pada itu, lawannya yang kekurus-kurusan itu
akhirnya tidak dapat mengimbangi kenyataan, bahwa akhirnya
ia tidak akan dapat mempertahankan diri lebih lama lagi.
Karena itulah, maka ia mulai memikirkan jalan yang paling
baik untuk menyelamatkan diri.
Jlitheng yang masih belum memperhitungkan kemungkinan
itu, terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar isyarat dari
mulut lawannya. Demikian tiba-tiba dan disusul dengan
loncatan surut dan kemudian langkah-langkah panjang
menghindarkan diri dari arena perkelahian, diikut i oleh
kawannya. Mula-mula Jlitheng berusaha untuk mengejarnya. Namun
akhirnya ia menyadari kepentingannya. Ia harus segera
berada di Demak dan segera pula kembali ke padukuhan
Lumban. Karena itu, maka niatnya untuk mengejar lawannya
itupun diurungkannya. Karena Jlitheng kemudian berhenti, maka Cempaka dan
kawan-kawannyapun berhenti pula. Meskipun demikian,
nampak betapa mereka menjadi kecewa. Namun tidak
seorang-pun diantara mereka yang menanyakannya kepada
Jlitheng, karena mereka sadar, bahwa mereka tidak berhak
untuk menuntut agar Jlitheng melakukan tindakan lebih jauh
lagi dari yang sudah dikerjakan.
Tetapi agaknya Jlitheng mengetahui perasaan Cempaka
dan kawan-kawannya sehingga ia berusaha menjelaskan
sikapnya, "Aku tidak perlu mengejar mereka. Bahwa aku
sudah tahu tenteng mereka, itu sudah cukup. Karena pada
setiap saat aku akan dapat mengambil tindakan atas
perguruan Kendali Put ih."
Cempaka menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
mengangguk sambil berkata, "Terserah kepadamu. Tetapi
apakah kau benar seorang Senapati prajurit dari Demak ?"
Jlitheng tertawa. Katanya, "Apakah pakaianku memang
pantas disebut seorang Senapati ?"
Cempaka mulai ragu-ragu. Dipardanginya wajah Jlitheng
yang tidak memberikan kesan kesungguhan. Bahkan sambil
tertawa ia berkata, "Seharusnya kau dapat membedakan,
apakah aku benar-benar seorang Senapati atau bukan.
Pakaianku memang mirip pakaian seorang prajurit. Tetapi aku
bukan seorang prajurit."
"Siapakah kau sebenarnya ?" bertanya Cempaka.
"Aku adalah orang yang kabur kanginan. Orang yang tidak
mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai kepentingan
apapun juga. Aku melihatkan diri karena aku melihat ketidak
adilan. Kau bertiga harus melawan lima orang sehingga
pertempuran itu menjadi berat sebelah. He, apakah kau
memang dari perguruan Sanggar Gading ?"
"Ya," Cempaka tidak dapat ingkar lagi.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Satu keterangan telah
didapatkannya. Cempaka adalah orang Sanggar Gading.
"Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu,"
berkata Cempaka kemudian.
"Itu tidak pening. Tetapi apakah sebenarnya yang
menyebabkan kalian bertempur dengan orang-orang Kendali
Putih." "Kau sudah mendengar sebagian dari persoalan itu."
"Ya," Jlitheng menarik nafas dalam-dalam, "tetapi apakah
arti pusaka yang kalian perebutkan itu " Apakah pusaka itu
mempunyai nilai gaib yang dapat membuat seseorang menjadi
sesembahan, atau membuat seseorang menjadi pilih tanding,
atau nilai-nilai yang lain?"
Jlitheng mengerutkan keringnya ketika ia melihat Cempaka
tersenyum. Tetapi Cempaka kemudian berkata, "Aku titak
tahu. Tetapi pusaka itu penting sekali bagi perguruan Sanggar
Gading." "Dan kau sudah mendapatkannya ?"
Cempaka itupun tiba-tiba telah tertawa. Katanya, "Belum.
Dan aku berkata sebenarnya, bahwa aku belum mendapatkan
pusaka itu." Jlitheng mengangguk-angguk. Namun iapun kemudan
tertawa pula. Justru berkepanjangan. Diantara deri tertawanya
ia berkata, "Alangkah lucunya. Kalian sudah mempertaruhkan
nyawa kalian untuk sesuatu yang tidak jelas. Apakah artinya
itu bukan suatu kedunguan atau bahkan kegilaan ?"
"Kita memang orang-orang gila. Tetapi memperebutkan
pusaka itu bukan suatu kegilaan yang lebih gila dari
kegilaanmu mencampuri persoalanku yang dapat merenggut
nyawamu juga," berkata Cempaka.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku hanya
ingin menolongmu. Jika kau tersinggung dengan istilah itu,
baiklah aku katakan lagi, bahwa aku tidak senang melihat
ketidak adilan. Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan
pusaka itu dan segala tingkah lakumu kemudian. Aku akan
meneruskan perjalananku. Mungkin aku akan singgah di
Demak. Mungkin tidak. Tetapi mungkin aku justru akan
singgah di perguruan Sanggar Gading."
"Pergilah kesana. Tandangmu membuat aku tertarik
kepadamu. Jika kau bersedia, bergabunglah dengan kami. Ada
tugas penting yang akan kami lakukan," berkata Cempaka.
Jlitheng termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
bertanya, "Tugas apa?"
"Aku belum tahu pasti. Tetapi jika kau bersedia,
datanglah," sambung Cempaka.
Dada Jlitheng menjadi berdebar-debar. Ia teringat
pembicaraan Cempaka dengan Daruwerdi di Bukit Gundul.
Bahkan Daruwerdi menuntut imbalan yang mahal dari pusaka
yang dijanjikan. Karena itu, sejenak kemudian Jlitheng berkata, "Apakah
persoalannya ada hubungannya dengan pusaka itu " Jika ada,
aku lebih baik tidak ikut campur, karena aku tidak mau terlibat
dalam persoalan yang menyangkut banyak pihak. Tetapi jika
persoalan itu benar-benar tugas perguruanmu, aku mungkin
akan dapat mempertimbangkan."
Cempaka memandang Jlitheng sejenak. Tetapi ia tidak
melihat kesan yang mencurigakan pada wajah itu. Dalam
keremangan malam ia melihat, seakan-akan Jlitheng berkata
dengan jujur dan tanpa maksud tertentu. Karena itu, maka
iapun kemudian menjawab, "Tidak. Tidak ada sangkut
pautnya dengan pusaka itu. Tetapi yang harus kami lakukan
adalah persoalan yang menyangkut harga diri perguruan
Sanggar Gading." "Dendam" Kebencian" Atau menyangkut harta, benda?"
"Harga diri," sahut Cempaka, "tetapi aku tidak tahu pasti."
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia melihat satu kemungkinan
untuk maju selangkah dalam tugasnya. Tetapi iapun melihat
bahaya yang tersembunyi dibalik kemungkinan itu.
Sambil mengangguk-angguk iapun kemudian berkata, "Ki
Sanak. Mungkin aku akan benar-benar datang ke
padepokanmu. Mungkin aku akan dapat berbuat sesuatu.
Tetapi keterlibatanku memerlukan kejelasan, sehingga aku
tidak akan salah sasaran. Mungkin yang telah menyentuh
harga dirimu itu justru orang yang pernah aku kenal baik, atau
malahan sahabat-sahabatku. Tetapi hal itu dapat aku
bicarakan kelak jika benar-benar aku sempat datang ke
Sanggar Gading." "Kau orang yang aneh. Apakah keterlibatanmu kali ini
mempunyai alasan dan landasan yang jelas" Kau tidak
mengenal aku dan kaupun t idak mengenal orang-orang
kendali Putih. Tetapi kau langsung terjun digelanggang
perselisihan ini." "Tetapi bagiku cukup jelas. Orang-orang Kendali Putih itu
bukan sanak kadangku. Bukan sahabat-sahabatku dan bukan
saudara-saudara seperguruanku," jawab Jlitheng.
Cempaka mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika kau
ingin datang, datanglah. Tetapi yang akan kami lakukan tidak
akan menunggu sampai waktu yang lebih dari yang sudah
ditentukan." Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan datang
pada waktu yang kau tentukan. Jika dalam sepuluh hari itu
aku tidak datang, maka mungkin aku sudah berada ditempat
yang jauh. Mungkin aku sudah berada di Tuban atau mungkin
di Blambangan. Bahkan mungkin aku sudah menyeberang ke
Bali." Cempaka mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian
mengangguk-angguk. Katanya, "Terserahlah kepadamu.
Tetapi siapa namamu ?"
"Namaku memang Bantaradi. Tetapi aku bukan Senapati
Demak seperti yang aku katakan. Pertemuan kita mungkin ada
gunanya. Tetapi mungkin tidak berkelanjutan apapun juga,"
berkata Jlitheng kemudian, "aku- minta diri. Aku akan
melanjutkan perjalananku yang masih sangat jauh, karena
perjalananku memang tanpa batas."
Cempaka tidak menahannya lagi. Ia memandang Jlitheng
dengan kening yang berkerut. Ia melihat sesuatu yang asing
pada anak muda itu. Dan nampaknya Jlitheng telah berhasil
menimbulkan anggapan, bahwa ia sama sekali tidak
bersangkut paut dengan pusaka yang sedang menjadi rebutan
diantara baberapa golongan itu.
Sejenak kemudian Jlitheng telah meloncat kepunggung
kudanya dan kemudian berkata, "Berhati-hatilah menghadapi
orang-orang Kendali Putih. He, apakah kau akan mengajak
aku datang kepadepokan Kendali Putih sebelum sepuluh hari


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini?" Cempaka menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia
menggeleng. "Tidak. Meskipun aku tidak tahu pasti, apa yang
akan aku lakukan, karena aku hanya akan melakukannya.
Kakak kandungkulah yang mengetahui dengan pasti,
persoalan yang bagaikan mengindap didalam jantung
perguruan." Jlitheng mengangguk-angguk. Kemudian sambil
menggerakkan kendali kudanya ia berkata, "Kita berpisah.
Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi."
Cempaka menarik nafas dalam-dalam, ia hanya
memandangi saja kuda yang kemudian berlari
meninggalkannya membawa Jlitheng dipunggungnya.
"Anak muda yang luar biasa," berkata Cempaka. Kedua
orang kawannya hanya mengangguk-angguk saja.
"Ia memiliki tenaga yang cukup besar dan kecepatan
bergerak yang mengagumkan. Ia akan dapat menjadi kawan
yang baik dalam tugas berat yang mendatang," berkata
Cempaka pula. "Tetapi kita belum mengenalnya dengan baik," berkata
salah seorang dari kawan Cempaka.
"Aku telah dapat menarik kesimpulan, bahwa ia sama sekali
tidak bersangkut paut dengan pusaka yang sedang
diperebutkan itu. Mungkin iapun akan mempunyai tuntutan
tertentu atau sama sekali tidak, namun sudah tentu tidak
berkisar pada pusaka yang bernilai sangat tinggi bagi
perguruan kita itu," sahut Cempaka.
"Agaknya memang demikian. Tetapi jika kemudian ia
mendengar serba sedikit tentang pusaka itu, mungkin
sikapnya akan berubah."
"Kita akan menunggunya," desis Cempaka kemudian,
"seandainya ia mempunyai maksud tertentu, bukan persoalan
yang sulit bagi kita, karena ia hanya seorang diri."
"Maksudmu, setelah kita mempergunakannya, anak muda
itu akan kita singkirkan ?" bertanya seorang kawannya.
"Jika ia akan dapat menjadi pengganggu. Jika tidak, biarlah
ia pergi tanpa kita sakiti hatinya," jawab Cempaka.
Kedua kawannya tidak bertanya lagi. Merekapun kemudian
bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan mereka.
Namun dalam pada itu, Cempaka telah tenggelam kedalam
angan-angannya. Jika ia berhasil mememuhi permintaan
Daruwerdi, maka ia akan mendapatkan pusaka yang sangat
diperlukan oleh saudara tuanya, yang memimpin padepokan
Sanggar Gading Setidak-tidaknya ia akan mendapat petunjuk
pasti, untuk menemukan pusaka itu. Karena pada pusaka itu
terdapat petunjuk yang sangat berharga. Mungkin tergores
pada wrangkanya, atau mungkin pada peti tempat pusaka itu
disimpan, atau pada selembar kain yang terdapat dalam peti
itu pula. Tetapi menurut pendengarannya, bahwa pada pusaka
itu terdapat petunjuk, dimanakah harta benda yang tidak
ternilai harganya telah disimpan.
"Mungkin pusaka itu memang mempunyai pengaruh gaib,"
berkata Cempaka didalam hatinya, "tetapi harta benda yang
tidak ternilai itupun mampunyai daya tarik dapat membuat
banyak orang menjadi gila."
Tetapi Cempaka tidak mengatakan kepada seorangpun
juga dari perguruannya, selain kakak kandungnya. Keduanya
berusaha untuk mendapatkan pusaka itu, apapun yang harus
mereka lakukan. Seperti juga beberapa perguruan dan
beberapa kelompok orang-orang pilihan yang sudah
mendengar serba sedikit tentang pusaka itu, telah berusaha
untuk menemukannya. Apakah mereka tertarik karena mereka
menganggap pusaka itu akan dapat mengangkut mereka
kejenjang kekuasaan tertinggi atau karena mereka memang
sudah mengetahui, bahwa disamping pusaka itu terdapat
harta benda yang sangat besar.
Dalam pada itu, Jlitheng berpacu dengan kencang menuju
ke Kota Raja. Ia sudah mempunyai rencana tersendiri untuk
melaksanakan niatnya. Peristiwa yang baru saja terjadi, telah
menjadi salah satu bahan yang dapat menambah bekal dalam
tugasnya. Sebelum matahari terbit, Jlitheng telah memasuki Kota
Raja. Ia langsung menuju kesebuah rumah yang cukup besar
dengan halaman yang luas, meskipun rumah itu terletak di
bagian yang tidak cukup ramai.
Tetapi Jlitheng tidak turun dihalaman depan dan
menambatkan kudanya pada tonggak disudut pendapa, tetapi
ia langsung memasuki seketeng sebelah kiri dan masuk ke
halaman samping. Seorang penghuni rumah itu terkejut melihat seekor kuda
dengan penunggangnya langsung memasuki seketeng. Karena
itu, maka iapun segera menyongsong dan menghentikannya.
Jlitheng tersenyum. Iapun segera meloncat turun sambil
berkata, "Jangan terkejut. Aku ingin bertemu dengan paman
Sri Panular." Orang itu termangu-mangu. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
"Siapakah Ki Sanak?"
Jlitheng tersenyum. Katanya pula, "Sampaikan pesanku.
Cepatlah sedikit. Matahari sudah akan terbit."
Orang itu masih termangu-mangu. Namun iapun berpaling
ketika seorang perempuan menjelang setengah usia datang
menyapa anak muda yang datang berkuda itu, "Kau ngger.
Marilah. Pamanmu sudah berada disanggar."
Jlitheng mengangguk hormat. Jawabnya, "Terima kasih
bibi. Aku datang agak kesiangan."
Perempuan itu tertawa sambil mendekatinya ia berkata,
"Masuklah. Aku akan memanggil pamanmu."
"Biarlah aku menyusul ke sanggar saja bibi," jawab
Jlitheng. Perempuan itu mengeratkan keningnya. Katanya, "Duduk
sajalah dipringgitan. Biarlah aku memanggil pamanmu."
"Aku tidak ingin mengganggu paman, bibi. Biarlah aku
pergi ke Sanggar." Perempuan itu menarik nafas panjang. Lalu, "Baiklah.
Marilah aku bawa kau ke Sanggar di belakang."
Jlithengpun kemudian menyerahkan kudanya kepada orang
yang masih kebingungan. Kemudian mengikuti perempuan itu
menuju ke longkangan dibelakang. Dibelakang longkangan
terdapat sebuah bilik yang terpisah. Lewat bilik itu mereka
memasuki sebuah ruangan yang cukup luas, berdinding kayu.
Agak lebih rapat dari bagian-bagian yang lain dari rumah yang
besar itu. "Kakang Sri Panular," terdengar perempuan itu berkata
ketika mereka memasuki sebuah pintu, "angger Arya Baskara
datang untuk menghadap."
Sejenak mereka menunggu. Baru kemudian terdengar
jawaban dari keremangan ruangan Sanggar, "Aku senang
sekali oleh kedatangannya. Marilah ngger. Mendekatlah."
"Masuklah," berkata perempuan itu, "aku akan menyiapkan
jamuan bagi angger."
"Ah," desis Jlitheng, "bibi jangan menjadi terlalu sibuk
karena kedatanganku."
Perempuan itu tersenyum. Katanya, "Tidak ngger. Sudah
seharusnya aku menjamu seorang tamu."
"Terima kasih bibi," jawab Jlitheng kemudian.
Sepeninggal perempuan itu, maka Jlithengpun kemudian
memasuki sanggar yang masih remang-remang. Disudut ia
melihat seseorang duduk diatas sebuah batu hitam yang
dialasi dengan sehelai kulit harimau loreng.
"Marilah ngger," orang yang duduk itu mempersalahkan.
Jlithengpun kemudian mendekat. Dengan hormatnya ia
membungkuk dihadapan orang yang duduk diatas batu itu
sambil berkata, "Aku menyampaikan baktiku paman."
Terdengar suasa tertawa tertahan. Lalu, "Silahkan duduk
diamben bambu itu ngger. Kau selalu membuat hatiku
menjadi cerah. Semakin sering kau datang, aku tentu akan
menjadi semakin muda."
Jlithengpun kemudian duduk disebuah amben beberapa
langkah dari batu hitam itu. Diluar sadarnya ia mulai
mengedarkan pandangan matanya keseluruh ruangan yang
menjadi semakin terang disaat matahari mulai terbit.
"Tidak ada perubahan, apapun juga," berkata orang yang
duduk di atas batu hitam itu.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang
sebilah ujung tombak yang tidak bertangkai, yang terpancang
pada sebuah lubang bambu disamping sebuah perisai yang
terbuat dari baja, maka orang yang duduk itu berkata,
"Senjata itulah yang baru bagi sanggar ini ngger. Aku
mendapatkannya dari seorang kawan yang berhasil
merampasnya dari para bajak laut yang kadang-kadang turun
kepantai dan merampok para nelayan yang memang sudah
miskin. Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan
ragu-ragu ia bertanya, "Tetapi menilik bentuknya, senjata dan
perisai itu bukan milik kita paman. Maksudku, bukan prajurit
dan orang-orang Demak."
"Tepat ngger. Senjata dan perisai itu dapat dirampas dari
bajak laut, yang barangkali mendapatkannya dari orang-orang
seberang. Entah dengan cara apa. Apakah senjata itu ditukar
dengan kebutuhan mereka, atau para bajak laut itu merampas
dengan kekerasan." Jlitheng mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia berdesis,
"Dan sekarang senjata dan perisai itu berada ditangan
paman." Orang itu tertawa pendek. Katanya, "Aku mengumpulkan
berbagai jenis senjata. Bukan saja senjata yang aku dapatkan
dari masa kemasa, pemerintahan yang berpindah-pindah di
negeri ini lewat siapapun juga seperti yang kau lihat
bergantung dididing. Tetapi juga senjata dari negeri
seberang." Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Di sanggar itu
memang terdapat senjata sejak jaman purbakala di tanah ini.
Kapak batu, tombak dan sumpit yang sederhana. Tetapi juga
senjata yang sudah berlapis emas dengan teretes berlian dari
masa kejayaan kerajaan demi kerajaan."
Tetapi kedatangan Jlitheng ketempat itu, bukannya untuk
berbicara tentang berbagai macam senjata. Tetapi ia
mempunyai keperluan yang penting, sehubungan dengan
niatnya untuk membayangi Sepasang Bukit Mati yang
bersangkutan dengan pusaka yang mempunyai nilai tersendiri
itu. Karena itu maka sejenak kemudian, setelah memberikan
beterapa penjelasan maka Jlithengpun berkata, "Paman,
kedatanganku adalah satu usaha untuk memecahka rahasia
yang meyelimuti pusaka itu. Aku telah mendapatkan beberapa
bahan yang barangkali penting untuk dibicarakan."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku memang
sudah menduga, bahwa kau sudah menemukan sesuatu yang
barangkali dapat dipakai sebagai sandaran usahamu untuk
memecahkan rahasia pusaka itu. Jika masalahnya tetap
berkepanjangan, maka akan semakin banyak kelompok yang
terlibat kedalamnya, yang akan berarti menambah korban
yang sama sekali tidak berarti. Sesuatu yang kecil dan tidak
berarti, lewat berita dan ceritera mulut kemulut, akan dapat
memjadi sesuatu yang sangat dikagumi. Sepercik api akan
dapat dianggap sebagai panasnya luapan Gunung yang
sedang meledak." "Agaknya demikian juga tentang pusaka itu paman. Setiap
orang menganggap pentingnya pusaka yang sekarang masih
belumditemukan," sahut Jlitheng.
"Apalagi pusaka itu yang memang disertai dengan satu
keterangan tentang harta benda yang disimpan oleh Pangeran
Pracimasanti. Berita dan ceritera tentang pusaka itu tentu
akan berkembang semakin besar, seolah-olah siapa yang
memiliki pusaka itu, adalah orang yang akan dapat menjadi
Maha Raja diatas permukaan bumi," berkata Sri Panular.
Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya, "Kedatanganku
akan mohon petunjuk kepada paman, apakah yang harus kita
kerjakan selanjutnya."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Apa yang
sudah kau ketahui dan bagaimana menurut pendapatmu ?"
Jlithengpun kemudian menceriterakan apa yang ada dan
apa yang telah terjadi di sekitar Sepasang Bukit Mati.
Kedatangan orang-orang dari padepokan Kendali Putih, orangorang
Pusparuri dan orang-orang dari Sanggar Gading yang
telah berhubungan dengan seorang anak muda yang bernama
Daruwerdi. Kemudian, yang masih merupakan teka-teki
baginya adalah dua orang ayah dan anak perempuan yang
berada di salah saru dari Sepasang Bukit Mati itu. Orang yang
menurut pengakuannya harus berpindah dari daerahnya,
karena banjir, gempa dan tanah longsor.
Sri Panular mendengarkan keterangan Jlitheng dengan
saksama. Apalagi ketika Jlitheng menceriterakan apa yang
didengarnya tentang pembicaraan Daruwerdi dan Cempaka,
serta apa yang dialaminya diperjalanannya ke Demak dari
Lumban. Orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia
berkata, "Kau sudah mendapat jalan itu ngger, meskipun kau
harus sangat berhati-hati. Memasuki padepokan Sanggar
Gading bukan satu pekerjaan yang mudah. Bukan pula satu
permainan yang akan menyenangkan."
"Aku sadar paman. Tetapi aku kira itu adalah jalan yang
paling baik. Diluar perhitunganku, kebetulan sekali aku
mendapat kesempatan untuk menolong anak Sanggar Gading
itu," berkata Jlitheng kemudian, "tetapi disamping
kemungkinan yang baik itu, aku harus mempersiapkan diri
menghadapi segala kemungkinan. Akupun harus mendapat
akal untuk meninggalkan Lumban untuk waktu yang agak
lama." "Apakah kau berniat untuk datang kepadepokan Sanggar
Gading ?" "Agaknya aku akan menempuh jalan itu untuk mangetahui,
siapakah yang menjadi sasaran dendam Daruwerdi. Jika
dendam itu tidak benar-benar membakar hati dan jantungnya,
aku kira Daruwerdi tidak akan bersedia menukarnya dengan
pusaka yang menjadi rebutan itu."
"Kau yakin bahwa Daruwerdi benar-benar mengetahui
dengan pasti tentang pusaka itu?" bertanya Sri Panular.
Jlitheng menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
berkata, "Menurut pengakuannya. Jika tidak, apakah ia akan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berani mempertaruhkannya untuk mendapatkan orang yang
dimaksudkan ?" Sri Panular mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah ngger.
Jika kau sudah bertekad untuk melakukannya."
"Tetapi paman," berkata Jlitheng dengan serta merta, "itu
barulah salah satu jalan. Jalan yang semula ingin aku
sampaikan kepada paman, adalah bahwa sebaiknya paman
mencari keterangan, siapakah diantara para Pangeran yang
pernah berhutang nyawa, yang pernah membunuh seseorang
dalam persoalan apapun juga. Jika demikian, maka kita akan
dapat mencari keterangan, siapakah yang telah dibunuh, dan
orang yang dibunuh itulah yang mempunyai hubungan dengan
Daruwerdi, yang menurut pengakuan anak muda itu adalah
ayahnya." Sri Panular mengangguk-angguk. Namun iapun berkata,
"Baiklah. Itu salah satu jalan yang dapat ditempuh. Tetapi
tentu ada jalan lain. Kita akan mencari keterangan tentang
Daruwerdi itu sendiri. Jika orang-orang Pusparuri dapat
menghubunginya, tentu ada diantara mereka yang sudah
mengenalnya sebelumnya. Demikian juga orang Sanggar
Gading itu." "Jalan yang dapat juga dilalui meskipun tentu agak licin.
Tetapi kita memang harus menempuh segala jalan. Sementara
aku akan melalui jalan yang lebih pendek, meskipun sangat
berbahaya." "Kau sudah benar-benar bertekad melakukannya ?"
"Ya paman. Aku kira jalan itu adalah kesempatan yang
paling dekat, meskipun yang paling berbahaya."
Sri Panular mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Semua
jalan akan kita tempuh untuk melacak jejak Pangeran
Pracimasanti. Jika saja pengawalnya yang setia, meskipun
cacat itu dapat diketemukan, mungkin kita tidak akan
kehilangan jejak. Tetapi abdinya yang setia itupun bagaikan
hilang ditelan bumi. Karena itu, tentu ada rahasia tersendiri,
kenapa anak muda yang bernama Daruwerdi itu mengaku
dapat menunjukkan pusaka yang hilang itu. Mungkin anak
muda itu, sengaja atau tidak sengaja, dapat menguasai abdi
yang setia dan cacat itu. Namun bagaimanapun juga, kita
harus menyelamatkan apa yang pernah disimpan oleh
Pangeran Pracimasanti. Dengan demikian kita sudah berbuat
satu kebajikan bagi sesama."
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia sadar sepenuhnya akan
tugas yang akan dilakukannya. Yang tersimpan disamping
pusaka itu tentu harta benda yang tidak sedikit, yang akan
dapat dipergunakan untuk kepentingan Demak yang sedang
tumbuh! Selain pusaka itu sendiri akan kembali ke gedung
perbendaharaan pusaka, maka harta benda itupun tentu akan
sangat bermanfaat. Demak memerlukan banyak sekali beaya
untuk membangun dirinya, sementara beberapa pihak lebih
senang untuk bekerja bagi kepentingan diri sendiri.
Dalam pada itu, maka Jlithengpun kemudian berkata,
"Paman. Sebelum aku memasuki sarang orang-orang Sanggar
Gading, aku harus kembali ke Lumban lebih dahulu. Aku harus
menghapus segala kecurigaan karena aku akan pergi untuk
beberapa hari." "Lakukanlah. Akupun akan melakukan usaha yang lain.
Seperti yang kau maksud, aku akan mencari keterangan
tentang seorang Pangeran yang pernah terlibat dalam
pertentangan dan pembunuhan, sehingga Daruwerdi
mendendamnya." "Itulah yang akan aku sampaikan. Selebihnya, kita akan
mengikut i perkembangan keadaan."
"Dan kau akan berada disini berapa hari ?" bertanya Sri
Panular. "Malam nanti aku harus kembali ke Lumban paman.
Kepergianku yang lama akan menimbulkan pertanyaan bagi
anak-anak muda Lumban. Tetapi juga akan dapat menarik
perhatian Daruwerdi."
Sri Panular mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Waktu itu sangat pendek. Tetapi untuk menambah
bekal tugasmu, biarlah yang pendek ini kita pergunakan
sebaik-baiknya." "Maksud paman?" bertanya Jlitheng.
"Kau tentu sudah mendapat banyak bekal dari kakang
Baskara. Kau tentu sudah memiliki beberapa jenis senjata
yang sering dipergunakan. Tetapi untuk menjaga
keselamatanmu jika kau berada didalam lingkungan lawan
yang banyak. " aku akan memberikan beberapa petunjuk
yang mungkin pernah kau ketahui pula dari kakang Baskara.
Tetapi yang kemudian aku kembangkan."
"Apakah itu paman ?" bertanya Jlitheng.
"Aku mempunyai sejenis paser yang mungkin berguna
bagimu. Jika orang-orang Sanggar Gading kemudian
mengenalimu, dan kau harus menyelamatkan diri dari orangorang
Sanggar Gading, atau di dalam lingkungan yang
manapun juga, maka senjata semacam itu akan sangat
berguna. Kau tidak perlu menganggap dirimu licik, jika kau
berusaha melepaskan diri dari satu kepungan dengan
mempergunakan paser-paser semacam itu."
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa senjata itu
tentu akan sangat berguna, karena Sri Panular adalah salah
seorang ahli senjata dari jenis apapun juga. Jika didinding
sanggarnya tersimpan banyak senjata, bukannya sekedar
sebagai perhiasan. Tetapi semuanya telah dipelajarinya dan
diperhitungkannya untung dan ruginya.
Demikianlah, waktu yang sehari itu telah dipergunakan oleh
Jlitheng untuk menguasai penggunaan senjata kecil yang
dapat dipergunakannya dalam jumlah yang banyak.
Ia tidak saja melemparkan paser satu demi satu. Tetapi ia
akan dapat melemparkan dua, tiga dan bahkan lima buah
paser sekaligus dengan arah yang memencar, sehingga
dengan demikian ia akan dapat membuka jalan dihadapannya,
apabila beberapa orang menghalanginya.
"Aku terpaksa mempergunakan racun," berkata Sri Panular,
"tetapi racunku bukan racun yang membunuh. Seseorang
akan dapat pingsan karenanya. Tetapi seorang yang mengerti
serba sedikit tentang obat-obatan, akan dapat
menyembuhkannya. Memang mungkin akan dapat terjadi
kematian jika seseorang tidak tertolong sama sekali, dan
orang itu tidak mempunyai daya tahan yang cukup. Tetapi
kejadian itu adalah satu dari sepuluh."
Jlitheng mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Sri Panular
bukannya seorang ahli senjata yang tidak
berperikemanusiaan. Meskipun ia selalu bermain-main dengan
senjata, tetapi senjata baginya adalah, alat yang paling buruk
untuk menyelesaikan, persoalan-persoalan yang timbul
diantara sesama. Dengan senjata paser-paser kecil, maka Jlitheng telah
mendapatkan sebuah ikat pinggang yang khusus pula dari Sri
Panular. Ikat pinggang yang dapat dipergunakannya untuk
membawa paser-paser kecil cukup banyak.
"Tetapi berhati-hatilah," berkata Sri Panular, "jangan terlalu
sering dipergunakan. Tetapi juga jangan menganggap bahwa
paser-paser ini akan selalu dapat menyelesaikan tugasmu,
karena banyak diantara orang-orang yang berkeliaran dalam
dunia kekerasan yang mampu menghindari lontaran
tanganmu." Jlitheng mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya
setiap pesan dari Sri Panular. Maka katanya, "Paman,
bagaimanapun juga, paser-paser ini telah menambah bekalku.
Terutama niatku untuk berada ditengah-tengah orang-orang
Sanggar Gading." "Kau akan memasuki daerah yang sangat berbahaya. Aku
akan berada dirumah pada saat-saat yang gawat bagimu itu.
Disekitar sepuluh sampai lima belas hari, aku selalu bersiap
jika aku kau perlukan. Disaat-saat orang-orang Sanggar akan
memenuhi permintaan Daruwerdi itu akan mungkin sekali
terjadi sesuatu yang tidak kau duga sama sekali," berkata Sri
Panular, lalu, "berbuatlah dengan keyakinan. Kau adalah
murid Ki Baskara yang telah menurunkan ilmu pedang yang
luar biasa kepadamu. Kau juga mampu mempergunakan
senjata lentur. Dan sekarang, kau kuasai penggunaan senjatasenjata
kecil itu. Latkukanlah dengan penuh tanggung jawab.
Tetapi segalanya harus kau landasi dengan permohonan
kepada Yang Maha Kasih. Jika kerjamu kau tujukan bagi
kebajikan sesama, maka kau akan selalu mendapat
perlindungannya." Jlitheng mengangguk-angguk. Namun hatinya bagaikan
berkembang. Ia sadar sepenuhnya, apakah yang sedang
dihadapinya. Tetapi iapun menganggap, sudah sewajarnya ia
mempertaruhkan nyawa bagi pusaka dan harta benda yang
akan sangat besar manfaatnya bagi Demak dan sesamanya
itu. Karena Jlithengpun mengerti, bahwa Pangeran
Pracimasanti tidak bermaksud membangun kembali Kajayaan
Majapahit dalam arti yang sempit.
Menurut pendapat Jlitheng, maka Majapahit bukanya nama
dan tempat kedudukan puncak pemerintahan. Tetapi apa yang
sudah pernah dicapainya. Persatuan yang mengikat seluruh
persada Nusantara. Apapun namanya dan dimanapun
kedudukan Kota Raja sebagai tempat pimpinan pemerintahan,
dan siapapun nama orang yang memegang kendali, bukan
masalah yang pertama. Tetapi ujud dan isi Nusantara itulah
yang tentu akan diperjuangkan oleh Pangeran Pracimasanti
dengan bekal yang disediakannya, tetapi tidak sempat
dipergunakannya. "Bekal itu tentu jauh dari pada mencukupi," berkata
Jlitheng didalam hatinya, "tetapi itu lebih baik daripada bekal
itu jatuh ketangan orang-orang yang hanya mement ingkan
pribadi masing-masing."
Karena itulah, maka tekat Jlithengpun menjadi semakin
bulat. Ia adalah murid Baskara, orang yang aneh. Dan iapun
mempunyai kegemaran yang kadang-kadang aneh pula bagi
orang lain. Namun, terhadap tekadnya untuk menemukan
pusaka dan harta benda itu adalah bersungguh-sungguh.
Justru karena Jlitheng memang sudah memiliki ketrampilan
yang tinggi, maka dalam satu hari ia sudah pandai
mempergunakan senjata-senjata kecil itu. Sehingga karena
itu, maka iapun merasa dirinya menjadi semakin kuat untuk
tampil diantara orang-orang Sanggar Gading.
Ketika senja turun, maka Jlithengpun bersiap-siap untuk
meninggalkan rumah Sri Panular. Ia harus kembali lagi ke
Lumban. Kemudian mengatur diri, agar kepergiannya ke
Sanggar Gading untuk beberapa hari tidak menumbuhkan
kecurigaan. "Menjelang saat yang berbahaya itu, lakukanlah latihan
sebaik-baiknya ngger," berkata Sri Panular, "kau sudah
menguasai ilmu pernafasan. Kau harus mematangkan ilmu itu
dalam waktu kurang dari sepuluh hari ini. Kau harus mampu
menguasai segenap bagian dari tubuhmu dalam keadaan yang
gawat. Kau harus melatih diri mempertajam gerak-gerak
naluriah yang terkendali. Kesadaranmu harus dapat dengan
cepat menanggapi keadaan yang berkembang setiap saat."
"Ya Paman," Jlitheng mengangguk-angguk, "aku akan
mempergunakan waktu yang pendek itu sebaik-baiknya."
"Bahaya bagimu bukan saja di Sanggar Gading. Tetapi jika
kau benar-benar akan menyertai mereka memasuki daerah
yang belum kau ketahui itu, maka kaupun akan dapat menjadi
umpan yang mungkin tidak kau sadari. Mungkin kau akan
dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading memasuki sebuah
gapura yang dijaga oleh pengawal-pengawal yang terlatih.
Jika kau berhasil masuk, maka kau akan berhadapan dengan
pengawal-pengawal yang melindungi rumah itu, yang sudah
barang tentu bukannya orang kebanyakan."
"Terima kasih paman," sahut Jlitheng, "aku akan
melakukannya segala pesan paman."
"Kau masih juga harus memperhatikan orang tua yang
datang kebukit bersama anaknya itu. Jangan terlalu percaya.
Tetapi juga jangan terlampau mencurigainya. Mungkin ia
benar-benar orang yang menyingkir dari gempa, banjir dan
tanah longsor. Tetapi mungkin mereka adalah orang-orang
yang juga ingin mendekati Sepasang Bukit Mati."
Jlitheng memperhatikan segala pesan pamannya itu dengan
sungguh-sungguh. Sepeninggal gurunya, maka Sri Panular
adalah orang yang paling dekat dengan dirinya. Dalam olah
kanuragan juga dalam setiap usaha dalam tugas-tugas
kewajibannya. Ketika gelap sudah menyelubungi seluruh Kota Raja, maka
Jlithengpun mohon diri kepada Sri Panular dan isterinya. Ia
harus kembali ke Lumban tanpa diketahui oleh siapa-pun.
Apalagi oleh Cempaka atau orang Sanggar Gading yang lain.
Ketika ia meninggalkan Kota Raja, maka kudanyapun
dipacunya semakin cepat. Dilaluinya padukuhan-padukuhan
kecil dan besar dengan meninggalkan pertanyaan pada orangorang
yang mendengar derap kaki kudanya. Bahkan kadangkadang
Jlitheng benar-benar tidak dapat menghindari anakanak
muda yang sedang berada di gardu-gardu.
Tetapi kesan yang ditinggalkannya adalah, bahwa ia adalah
seseorang yang bepergian jauh dengan tergesa-gesa.
Agar tidak menimbulkan kesan yang mencurigakan, Jlitheng
kadang-kadang terpaksa menganggukkan kepalanya sambil
tertawa dihadapan gardu-gardu yang diterangi dengan obor,
ditunggui oleh beberapa orang yang sedang meronda.
"Selamat malam," Jlitheng mengucapkan salam kepada
orang-orang yang memperhatikannya.
"Siapa ?" seorang anak muda digardu bertanya kepada
kawannya. Kawannya menggeleng. Jawabnya, "Aku belum
mengenalnya." "Tetapi nampaknya ia telah mengenal kami."
"Mungkin saja. Kami adalah pengawal-pengawal yang
banyak dikenal orang, tetapi kami belum tentu dapait
mengenalnya seorang demi seorang."
"Ah. Sombong benar anak ini," desis seorang yang duduk
disudut, "kau baru menjadi pengawal padukuhan kecil. Jika
kau menjadi seorang Bupati, apa saja yang akan kau katakan
tentang dirimu ?" Kawan-kawannya tertawa. Anak muda itu menjadi tegang
sejenak. Tetapi iapun kemudian tertawa pula.
Jlitheng yang berpacu kembali ke Lumban itu telah
mengambil jalan lain dari jalan yang dilaluinya ketika ia


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat ke Kota Raja. Namun iapun harus sampai ke
Lumban sebelum pagi. Disepanjang jalan Jlitheng sudah mulai menganyam anganangan.
Bagaimana sebaiknya ia minta diri kepada kawankawannya
agar tidak memancing kecurigaan Daruwerdi.
Kepada Kiai Kanthi ia dapat mengatakan, bahwa ia akan pergi
untuk lima hari atau lebih dalam usahanya untuk mencari jejak
orang yang dimaksud oleh Daruwerdi tanpa menyebut orangorang
Sanggar Gading dan peristiwa yang ditemuinya
diperjalanan, karena seperti pesan Sri Panular, maka ia tidak
boleh terlalu percaya kepada orang yang kurang diketahuinya
asal-usulnya itu. Tetapi kedua orang yang mengaku ayah dan
anak itu sudah terlanjur mengetahui tentang dirinya.
"Tetapi aku yakin, bahwa keduanya adalah orang yang
baik," berkata Jlitheng kepada diri sendiri, "sayang anak
gadisnya masih terlalu lugu dan kurang mempertimbangkan
sikapnya. Agaknya ia benar-benar seorang gadis yang kurang
bergaul selain dengan ayahnya dan barangkali seorang dua
orang tetangganya ditempatnya yang lama. Meskipun
demikian ia memiliki ilmu yang ngedab-edabi."
Demikianlah, Jlitheng harus melakukannya seperti saat ia
berangkat. Ia harus singgah untuk menitipkan kudanya.
Kemudian iapun segera minta diri kepada saudagar yang
sudah mengenalnya dengan baik itu.
"Aku menjadi bimbang," berkata saudagar itu, "ada
maksudku untuk menyusul anakmas ke Demak. Tetapi janganjangan
kita berselisih jalan. Karena itu aku lebih baik
menunggu saja dirumah sampai anakmas kembali ke
Lumban." "Aku harus segera berbuat sesuatu paman," berkata
Jlitheng kemudian, "aku sudah menghubungi orang yang aku
percaya di Demak, yang dengan sepenuh hati bersedia
membantu membebaskan pusaka yang menjadi rebutan itu
dari tangan orang-orang yang tidak berhak."
Saudagar itu mengangguk-angguk. Namun dengan raguragu
ia bertanya, "Apakah aku dapat mengetahui, siapakah
orang yang pantas untuk dihubungi di Demak itu " Maksudku,
apakah aku boleh ikut campur secara langsung!"
"Paman," berkata Jlitheng, "sebenarnyalah aku tidak ingin
melibatkan paman secara langsung dalam persoalan ini.
Bantuan paman sudah cukup banyak. Tetapi akupun tidak
berkeberatan jika paman mengetahui, siapakah orang yang
aku hubungi di Demak, karena orang itu adalah keluarga
sendiri. Justru orang yang bagiku seperti guruku sendiri."
Saudagar itu mengerutkan keningnya. Ia juga mempunyai
sangkut paut dalam hubungan jalur ilmu kanuragan Karena
itu, maka katanya, "Siapakah orang itu ?"
"Paman Sri Panular."
Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sudah mengira. Tetapi aku t idak dapat menyebutnya sebelum
kau mengatakannya. Tetapi agaknya orang itu adalah orang
yang tepat. Kau tentu tahu serba sedikit tentang perjalanan
hidup Sri Panular, ngger."
Jlitheng mengangguk-angguk.
"Agaknya persoalanmu telah menggelitik hatiku untuk ikut
mencampurinya secara langsung. Tetapi aku tidak akan
berbuat apa-apa. Maksudku, jika kau memerlukan bantuanku,
aku tidak berkeberatan untuk melakukannya. Misalnya kau
memerlukan hubungan dengan kakang Sri Panular, tetapi kau
tidak sempat pergi langsung kepadanya."
"Terima kasih paman. Sejauh ini aku berharap, paman t idak
dengan langsung terlibat, karena tugas paman sehari-hari.
Adalah agak sulit bagi paman untuk memisahkan antara
kewajiban paman dengan tugas-tugas yang sulit ini. Sebagai
seorang saudagar paman memerlukan hubungan seluasluasnya.
Mungkin orang-orang yang berdiri berseberangan
dalam hubungan dengan pusaka itu, ternyata adalah orangorang
yang memerlukan sesuatu dari paman."
"Jika aku mengetahuinya, maka hubungan itu akan dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya," jawab saudagar itu.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Paman
terlalu baik. Tetapi paman jangan berkorban terlalu banyak.
Bantuan paman telah cukup memberikan landasan kerjaku
disini." Saudagar itu tersenyum. Katanya, "Apa yang dapat aku
lakukan, aku ingin melakukan lebih banyak lagi ngger. Tetapi
aku akan menjaga, bahwa aku justru tidak mengganggu
langkah-langkah yang sudah angger tentukan."
Jlithengpun tersenyum. Meskipun ia berkata, "Bukan
maksudku paman. Tetapi baiklah aku mengucapkan banyak
terima kasih." Jlithengpun kemudian minta dari. Seperti ketika datang,
iapun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa. Setelah
menukarkan pakaiannya dan menyembunyikannya, maka
dengan tergesa-gesa pula Jlitheng kembali kerumahnya di
Lumban Wetan. Karena ketika ia datang, hari masih belum pagi, maka
iapun langsung pergi ke kandang dan berbaring diatas
tumpukan jerami kering. Sejenak kemudian, iapun telah
tertidur. Betapa dinginnya malam, namun diatas setumpuk
jerami, rasa-rasanya badan Jlitheng telah menjadi hangat.
Ketika fajar menyingsing, Jlitheng terbangun oleh suara
senggot timba. Karena itu, sambil megusap matanya, iapun
bangkit dengan malasnya. "Biar aku yang mengisinya biyung," berkata Jlitheng kepada
ibunya yang sedang mengambil air.
"He, kau sudah datang?" bertanya ibunya.
Semalam aku turun. Aku tidak betah tidur di bukit yang
banyak nyamuknya itu," berkata Jlitheng.
Sambil menguap ia berjalan kesumur. Kemudian ia mulai
menarik senggot timba dan mengambil air untuk mengisi
jambangan di dapur dan di pakiwan.
"Apakah pekerjaanmu di bukit itu sudah selesai," tiba-tiba
saja ibunya bertanya. "Belum biyung. Ternyata tidak secepat yang kami duga.
Karena itu maka kami putuskan untuk mengerjakannya disiang
hari saja. Dimalam hari, yang kami lakukan ternyata sangat
sedikit. Kecuali malam sangat dingin, nyamuknya banyak
sekali, sehingga kami hanya sempat saling berebut dekat
dengan perapian tanpa berbuat apa-apa."
"Aku tidak mengerti, apakah sebenarnya yang kalian
lakukan dibukit itu " Membuat rumah buat seorang kakek dan
anak gadisnya " Kenapa kalian begitu baik hati dengan
bersusah payah melakukan kerja ini ?" bertanya Ibunya.
"Biyung," berkata Jlitheng kemudian, "aku adalah salah
seorang yang pernah merasakan betapa seseorang merasa
dirinya dalam kurnia yang tiada taranya, apabila ia
mendapatkan kasih dari sesamanya. Aku adalah salah satu
dari banyak orang yang memerlukan pertolongan. Biyung
telah memberikan segala-galanya kepadaku. Karena itulah
rasa-rasanya akupun wajib berbuat demikian sekarang, ketika
aku sudah merasa hidup tenang."
"Ah," ibu Jlitheng berdesah. Tetapi ia tidak mengatakan
apa-apa lagi. Namun sekilas teringat olehnya, bagaimana anak
muda itu datang kepadanya dalam keadaan yang
menyedihkan, sehingga ia menjadi belas kasihan kepadanya.
Menerimanya sebagai anaknya yang disebutnya telah pergi
sejak masa kanak-kanaknya.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam, ia berkeras
mengatakan demikian meskipun ada beberapa orang yang
menjadi heran karenanya. Karena menurut ingatan mereka,
perempuan itu memang tidak mempunyai anak.
"Sekitar duapuluh tahun yang lalu," berkata perempuan itu
kepada tetangga-tetangganya yang meragukannya, "aku
sendiri sudah hampir lupa. Apalagi kalian."
Tetangga-tetangganya tidak menghiraukannya lagi. Apalagi
ternyata kemudian bahwa Jlitheng bersikap baik dan segera
dapat luluh dalam pergaulan anak-anak muda di Lumban
Wetan, sehingga kehadirannya tidak menimbulkan persoalan
apapun juga. Keragu-raguan tetangga-tetangganyapun segera
dapat dilupakannya dan Jlitheng diterima dengan senang
sebagai keluarga sendiri di Lumban Wetan.
Perempuan itupun kemudian meninggalkan Jlitheng dan
masuk kedapur. Pikirannya yang sederhana seperti juga
orang-orang Lumban yang lain tidak pernah menghubungkan
kehadiran anak angkatnya itu dengan segala macam
persoalan yang tidak banyak diketahuinya didaerah itu. justru
dikampung halamannya. Perempuan itu tidak pernah
mengetahui, apakah yang terjadi didaerah yang oleh orangorang
lain disebut Sepasang Bukit Mati itu. Perempuan itu
tidak pernah mempersoalkan dan mengingat-ingat lagi,
apakah di daarah itu pernah dilalui seorang Pangeran trah
Majapahit langsung yang bernama Pangeran Pracimasanti.
Jlitheng yang kemudian melanjutkan mengambil air,
sempat juga bertanya kepada diri sendiri, "Apakah orangorang
Lumban tidak ada yang pernah mendengar ceritera
tentang Pangeran Pracimasanti yang lewat didaerah Sepasang
Bukit Mati, yang membawa bekal cukup banyak dan kemudian
tersimpan disekitar tempat ini.
Sekilas terbayang oleh Jlitheng, seorang anak muda yang
lain yang berada dipadukuhan itu pula. Dan J lithengpun
bertanya pula kepada diri sendiri, "Apakah sebenarnya yang
diketahui oleh Daruwerdi" Apakah ia mengerti dengan pasti
tentang pusaka itu atau ia juga pernah mendengar tentang
harta yang tersimpan dan hanya diketahui oleh orang cacat,
abdi Pangeran Pracimasanti yang setia itu?"
Tetapi Jlithengpun kemudian menyingkirkan masalah itu
dari angan-angannya. Desisnya, "Nanti sajalah, pada saatnya
aku harus menyelidikinya. Bukan sekedar menduga-duga."
Dengan demikian maka tangannyapun menjadi semakin
cepat menarik senggot timba sehingga suaranya berderit
semakin keras. Seperti biasanya maka Jlithengpun mengisi
segala jambangan dan persediaan air sampai penuh.
Baru kemudian ia kembali kekandang dan berbaring diatas
setumpuk jerami kering. Tetapi ia tidak dapat memejamkan
matanya, karena hari menjadi semakin terang.
"Aku harus mempergunakan hari-hariku sebaik-baiknya,"
berkata Jlitheng didalam hati, "sebelum sepuluh hari, aku
harus sudah berada di padepokan Sanggar Gading."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kembali
bukit gundul membayang di angan-angannya. Kembali ia
bertanya-tanya apakah yang sebenarnya dicari Daruwerdi di
bukit gundul itu " Apakah ia sudah pasti bahwa yang
ditinggalkan oleh Pangeran Pracimasanti ada dibulkiit gundul
itu, pusaka dengan beberapa petunjuk mengenai
penyimpanan harta benda, atau justru harta bendanya sendiri
memang berada di bukit gundul itu. Atau bukit itu sekedar
tempat yang baik untuk bertemu dengan orang-orang yang
membuat janji dengannya. Tiba-tiba saja Jlitheng bangkit. Ia ingin menemui kawankawannya
yang akan pergi ke bukit berhutan untuk membantu
Kiai Kanthi menyelesaikan gubugnya dan melihat apakah
sudah waktunya ia menemui Ki Buyut Lumban Wetan dan Ki
Buyut Lumban Kulon. Salelah minta diri kepada ibu angkatnya, maka Jlitheng-pun
kemudian meninggalkan rumahnya mencari kawan-kawannya.
Ternyata kawan-kawannya yang dipesannya untuk bekerja
terus meskipun ia tidak ada, telah bersiap-siap untuk
berangkat kebukit. "He, kau sudah datang," bertanya salah seorang kawannya.
"Ya. Aku tergesa-gesa kembali setelah aku mengetahui
bahwa paman tidak apa-apa. Paman sehat-sehat saja. Bahkan
panen musim basah yang lalu melimpah-limpah. Pategalannya
juga menghasilkan jagung berlipat dari panen yang lalu."
"O," kawan-kawannya mengangguk, "sokurlah."
"Itulah agaknya makna dari banjir sesuai dengan mimpi
biyung," berkata Jlitheng kemudian.
"Banjir dalam arti yang baik," desis seorang kawannya.
Seperti biasanya, maka merekapun kemudian berangkat ke
buikit berhutan yang menjadi pasangan bukit gundul sehingga
daerah itu disebut Sepasang Bukit Mati. Dua bukit yang mati
menurut pengertian yang berbeda. Yang satu mati tanpa
dapat ditanami dan dimanfaatkan hasilnya sedangkan yang
lain mati tanpa dapat dimanfaatkan untuk apapun juga
meskipun daerah itu berhutan lebat, karena dihutan itu
banyak didapat binatang-binatang buas dan binatang melata
yang berbisa. Tetapi orang tua dan anak gadisnya itu telah menembus
batas mati bukit berhutan itu. ia tidak mengindahkan
peringatan beberapa orang kepadanya, termasuk Daruwerdi.
Bahkan kemudian Jlitheng sendiri telah terseret pula naik
keatas bukit itu bersama beberapa orang kawannya.
"Bukit yang sebuah ini telah mulai hidup," desis Jlitheng
didalam hatinya, "bahkan akan dapat menghidupi daerah
sekitarnya. Air yang tersimpan dibukit sudah akan mulai
mengalir." Ketika kemudian mereka memanjat naik, Kiai Kanthi yang
melihat Jlitheng telah berada diantara kawan-kawannya itupun
menyongsongnya sambil berkata, "Kau t idak hadir sehari
ngger. Bagaimana dengan pamanmu yang menurut mimpi
Ibumu rumahnya dilanda banjir itu " Bukan demikian " Aku
mengetahuinya dari kawan-kawanmu."
Jlitheng tersenyum. Ia tahu bahwa Kiai Kanthi ingin
menyesuaikan diri sesuai dengan pengertian kawan-kawannya
tentang kepergiannya. Karena itu, maka kepada Kiai Kanthi
pun ia menjawab seperti jawabannya yang diberikan kepada
kawan-kawannya. "Sokurlah," berkata Kiai Kanthi, "dengan demikian maka
kita akan dapat segera menemui Ki Buyut dan menyerahkan
air itu kepada mereka berdua. Ki Buyut Lumban Kulon dan Ki
Buyut Lumban Wetan."
Jlitheng mengangguk-angguk. Iapun ingin segera
menyelesaikan pekerjaan itu, dan kemudian meninggalkan
Lumban untuk beberapa lamanya masuk kedalam sarang
orang-orang Sanggar Gading.
Karena itu, maka katanya, "Kita harus menyiapkan
segalanya. Jika saatnya datang, maka air yang mengalir
kesungai itu akan kita buka sesuai dengan kemungkinan yang
pertimbangan kita sebanyak-banyaknya yang mungkin dapat
disalurkan agar tidak menganggu kemungkinan-kemungkinan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain. Kemudian, kita harus sudah dapat menyerahkan gubug
kecil itu kepada Kiai Kanthi yang akan membuka sebidang
tanah garapan dibawah bukit, yang akan diairi air dari
belakang itu juga." "Aku tidak terlalu banyak memerlukan air itu, "sahut Kiai
Kanthli, lalu, "meskipun mungkin akan berkembang, sesuai
dengan perkembangan padepokanku."
"Ya," jawab Jlitheng, "namun semuanya sudah jelas. Tanah
garapan Kiai Kanthipun sudah jelas, seperti pathok-pathok
yang telah kita pasang. Demikian pula saluran air bagi tanah
garapan yang tidak begitu luas dibawah bukit itu."
"Dengan demikian, maka kapankah sebaiknya kita akan
menghadap Ki Buyut. Mula-mula Ki Buyut Lumban Wetan
kemudian Ki Buyut Lumban Kulon," bertanya anak-anak muda
yang ikut bersama Jlitheng ke bukit itu.
"Kita segera menghadap. Dengan demikian, kita akan
segera dapat memanfaatkan air," desis Jlitheng.
Kiai Kanthi hanya mengangguk-angguk saja.
"Gubug itu sudah siap," berkata seorang anak muda. "kita
tinggal mengetrapkan pintunya. Malam nanti, jika dikehendaki,
Kiai Kanthi sudah dapat tidur didalam gubugnya meskipun
belumada perabotnya sama sekali."
Kiai Kanthi tertawa. Katanya, "Aku tidak tergesa-gesa
ngger." "Tetapi jika gubug itu memang sudah selesai, bukankah
lebih baik Kiai mempergunakannya?" bestanya Jlitheng.
"Ya. ya. Aku akan mempergunakannya."
"Disaat lain, jika Ki Buyut Lumban Wetan dan Lumban
Kulon sudah dapat mengenyam hasil air yang akan segera
menyusuri parit persawahan padukuhan Lumban. maka ia
tidak akan keberatan untuk membantu membuat sebuah
padepokan kecil di kaki bukit ini," berkata Jlitheng kemudian,
"menurut pendengaranku, bukankah Kiai tidak bersedia
tinggal bersama kami dipadukuhan ?"
"Bukan maksudku ngger. Tetapi aku ingin tidak
mengganggu padukuhan yang sudah mapan itu dengan
persoalan-persoalan baru. Biarlah aku membuat sebuah
padepokan kecil yang terpisah meskipun dalam tata kehidupan
aku merupakan bagian dari Lumban."
"Tetapi bukankah maksud Kiai, meskipun padepokan Kiai
merupakan bagian dari Lumban, namun bukan Lumban Wetan
dan bukan Lumban Kulon," desis Jlitheng.
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
liapun tersenyum. Katanya, "Bagi Ki Buyut di Lumban Wetan
dan Ki Buyut di Lumban Kulon, aku tidak akan ada artinya."
Jlitheng mengerutkan keningnya. Meskipun t idak
terucapkan, tetapi Kiai Kanthi seolah-olah melihat gerak hati
Jlitheng "Bukankah Kiai ingin berdiri tanpa kewajiban tertentu
kepada Ki Buyut sebagai setiap orang di Lumban ?"
Tetapi Kiai Kanthi t idak berkata apapun tentang
tanggapannya itu. Karena Jlitheng tidak mengatakan apa-apa
lagi. maka Kiai Kanthipun kemudian terdiam.
Dalam pada itu, anak-anak muda yang ikut serta bersama
Jlitheng naik kebukit itu sudah mulai mengerjakan pintu gubug
Kiai Kanthi, sementara dua orang diantara mereka telah
memanjat dinding untuk memasang tutup keyong.
"Kalian harus mengikat tutup keyong itu erat-erat," berkata
Jlitheng, "sudah sering terjadi, seekor macan kumbang masuk
kedalam rumah seseorang atau kedalam kandang, lewat tutup
keyong." "Kami membuatnya dengan anyaman khusus dan kami
mengikatnya dengan ijuk rangkap," sahut kawannya yang
sedang memanjat. Jlitheng mengangguk-angguk ia memang melihat anyaman
tutup keyong itu cukup kuat. Beberapa buah bambu
menyilang terkait pada rusuk atap yang terbuat dari anyaman
ilalang. Dalam pada itu, maka Jlithengpun berkata kepada kawankawannya,
"Selesaikan gubug itu. Trapkan pintu. Kalian harus
memperkuat uger-ugernya dengan tali-tali ijuk rangkap,
seperti tali pengikat tutup keyong. Aku dan Kiai Kantihi akan
menyelusuri air. Mudah-mudahan sawah kalian akan cepat
menjadi basah dimusim kemarau."
Demikianlah bersama Kiai Kanthi, Jlithengpun pergi
memanjat tebing menuju kebelumbang yang masih saja
meluap. Sambil berbincang mereka menilai, betapa tingginya
nilai kerja yang sedang mereka lakukan.
"Tetapi Kiai," berkata Jlitheng kemudian, "dalam waktu
dekat aku akan meninggalkan Lumban untuk waktu yang agak
panjang." "Kemana?" bertanya Kiai Kanthi.
Sekilas terngiang pesan Sri Panular, agar ia tidak terlalu
terbuka terhadap siapapun juga. Demikian pula terhadap
kedua orang perantau yang tinggal dibukit itu.
Karena itu, maka katanya, "Aku masih harus melakukan
berbagai macam tugas. Meskipun aku tidak jelas, tugas apa
yang akan dibebankan kepadaku. Tetapi pada suatu saat aku
akan kembali lagi kepadukuhan ini. Sementara sebelum aku
pergi maka parit, gubug dan rencana padepokan Kiai harus
sudah menjadi masak, agar aku dapat ikut membayangkan
masa depan yang baik bagi Kiai dan anak perempuan Kiai
yang garang itu." "Ah," desis Kiai Kanthi, "tentu tugas itu tugas yang penting.
Lakukanlah dengan penuh tanggung jawab. Meskipun aku dan
anakku bukanlah seseorang yang memiliki harga sama sekali,
tetapi jika Kami harus membantumu, kami akan berbuat apa
saja sesuai dengan keadaan dan kemampuan kami."
Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya, "Terima kasih Kiai.
Memang mungkin aku memerlukan bantuan seseorang. Tetapi
sebelum aku tahu pasti, apa yang akan aku lakukan, maka aku
tidak dapat berbuat sesuatu."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya
lagi. Ia sadar, bahwa yang akan dilakukan oleh Jlitheng tidak
perlu diketahuinya. Dalam pada itu keduanyapun pergi kebelumbang yang
airnya melimpah dan seolah-olah hilang dibawah tanah lewat
luweng dan terowongan-terowongan air. Ketika mereka
melalui tempat yang dipergunakan oleh Kiai Kanthi untuk
sementara tinggal dibawah pepohonan dan anyaman ketepe
yang disangkutkan pada dahan-dahan kayu, mereka melihat
Swasti sedang sibuk dengan perapiannya.
Swasti berpaling ketika ia mendengar langkah mendekat.
Dilihatnya ayahnya dan Jlitheng berjalan menuju
kebelumbang. "Kami akan membuka air," berkata Kiai Kanthi.
Swasti menarik nafas dalam-dalam katanya. Kemudian,
"Dan orang-orang Lumbanlah yang pertama-tama akan
menikmatinya." "Tidak," berkata Kiai Kanthi. Lalu, "Kita."
"Kenapa kita " Kita belum mulai membuka sawah dan
ladang dibawah bukit."
"Tetapi kita sekarang sudah mempunyai tempat tinggal.
Rumah itu sudah dapat kita diami sejak hari ini. He apakah
rumah itu bukan hasil dari melimpahnya air ini. meskipun tidak
secara langsung ?" Swasti termangu-mangu, sementara ayahnya tertawa
sambil berkata, "Kita akan merayakan hari yang berbahagia
ini. Kita akan pindah kerumah kita yang baru."
Swasti mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab.
Ia kemudian memalingkan wajahnya ketika ia melihat
Jlithengpun tertawa pula.
Swasti tidak bertanya lagi. Ia kembali sibuk dengan
kerjanya, sementara Kiai Kanthi dan Jlitheng memanjat
mendekati blumbang yang menyimpan air cukup banyak itu.
Sejenak Kiai Kanthi dan Jlitheng memperhitungkan setiap
kemungkinan. Air belumbang itu melimpah lewat beberapa
jalur dari tanggul belumbang yang telah dibuat oleh alam.
"Kita ambil beberapa arah saja Kiai, karena seperti Kiai
katakan sebelumnya, bahwa kita akan dapat menutup air itu
seluruhnya, sehingga kemungkinan yang buruk akan terjadi
atas padukuhan yang meskipun terletak agak jauh dari bukit
ini, tetapi mempergunakan air dari sumber dibelumbang ini,
yang mengalir dibawah tanah, dan muncul kepermukaan
sebagai sumber mata air," bertata Jlitheng kemudian.
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Ia mulai memberikan
beberapa tanda pada jalur air yang meluap pada tanggul
belumbang itu. Sebagian dari luapan air itu akan disalurkan
lewat jalur-jalur padas dilereng bukit itu, yang sebelumnya
telah digarapnya bersama Jlitheng.
"Kita akan mengundang Ki Buyut dari Lumban Wetan dan
Lumban Kulon. Kita dengan beberapa anak muda itu, akan
membuka jalur itu dengan disaksikan oleh Ki Buyut di Lumban
Kulon dan Lumban Wetan," berkata Jlitheng.
"Ah," desis Kiai Kanthi, "apakah itu perlu " Kita buka saja
air itu sekarang. Nanti kau pergi kepada Ki Buyut untuk
melaporkan, bahwa air sudah mengalir kesungai. Besok Ki
Buyut dapat mengerahkan beberapa puluh orang Lumban
Wetan dan Lumban Kulon untuk menyempurnakan bendungan
sungai itu, dan menaikkan airnya kedalam parit. Tetapi hanya
dimusim hujan, tetapi juga dimusim kemarau, meskipun sudah
barang tentu tidak aklan mencukupi segala kebutuhan. Tetapi
air itu akan dapat membantu untuk keperluan yang memakai."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga,
bahwa Kiai Kanthi tentu tidak ingin mempergunakan segala
macam upacara yang hanya akan nampak dalam gelar, tetapi
tidak mempengaruhi isi yang sebenarnya dari peristiwa itu.
Bahkan dengan segala macam upacara, orang tua itu justru
akan menjadi bingung. Apalagi jika ada diantara mereka yang
ingin singgah dan melihat-lihat gubugnya yang dibuat oleh
anak-anak muda dari Lumban itu.
Karena itu, maka Jlithengpun berkata, "Baiklah Kiai. Jika
demikian, nanti aku akan datang kepada Ki Buyut di Lumban
Wetan dan Lumban Kulon untuk mengatakan, bahwa besok
pagi kita akan mulai membuka jalur air yang akan mengalir
kesungai kecil itu. Biarlah Ki Buyut Lumban Wetan berdiri
disebelah Timur sungai, sementara Ki Buyut di Lumban Kulon
akan berdiri di sebelah Barat sungai pada tempat yang
berhadapan, didekat air itu akan dinaikkan kedalam parit.
Biarlah mereka menyaksikan air itu mulai mengalir. Dan
biarlah mereka dengan penuh harapan memerintahkan untuk
menyempurnakan bendungan agar air dapat segera naik."
Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Lalu iapun
mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Biarlah mereka
menunggu disebelah menyebelah sungai. Mereka akan
bergembira melihat ujung air itu mengailir dimusim kering. Air
sungai yang hampir kering itu akan bertambah besar dan
dengan bendungan, air itu akan naik kedalam parit." Namun
kemudian suara Kiai Kanthi menurun, "Mudah-mudahan air itu
tidak justru menumbuhkan persoalan bagi Lumban Wetan dan
Lumban Kulon." Jlitheng mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan
Kiai. Tetapi sampai hari ini kita semuanya dapat melihat,
bahwa kedua Buyut yang sebenarnya adalah saudara kembar
itu dapat menyesuaikan diri masing-masing dengan damai dan
tenang. Tetapi entahlah. Apakah anak-anak mereka akan
dapat juga berbuat demikian."
"Mereka mempunyai anak laki-laki yang menurut katamu,
agak berbeda sifat dan pembawaannya," berkata Kiai Kanthi.
"Ya. Tetapi mudah-mudahan mereka dapat melihat
kepentingan orang-orang Lumban lebih dari kepentingan
mereka masing-masing."
Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Sementara Jlitheng
berkata, "Tetapi itu bukan berarti kita harus tidak berbuat
sesuatu bagi orang-orang Lumban dan bagi Kiai sendiri.
Setelah gubug itu selesai, kita akan membuka hutan perdu
dibawah bukit. Tidak begitu sulit. Kita akan membuat
pematang, membajak dan kemudian mengairi tanah yang
segera dapat Kiai tanami. Kami, orang-orang Lumban tentu
akan dengan senang hati memberikan benih kepada Kiai,
karena Kiaipun telah memberikan air kepada kami, orangorang
Lumban." "Siapakah yang memberikan air ?" bertanya Kiai Kanthi.
"Kiai, Kiai Kanthi. Sebelumnya tidak ada satu usaha sama
sekali untuk memanfaatkan air. Bahkan bukit ini dan bukit
gundul sebelah disebut dengan Sepasang Bukit Mati."
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya, "Tetapi angger harus menentukan, kapan angger
akan pergi kepada Ki Buyut di Lumban Wetan dan Kulon itu.
Kemudian kita akan menentukan hari yang akan membuka
kemungkinan baru bagi tanah persawahan di Lumban.
Setidak-tidaknya sebagian dari Lumban."
"Nanti aku akan menghadap Ki Buyut, Kiai. Aku akan
mohon kesempatan kepada keduanya untuk dapat hadir
dipinggir sungai. Kita akan memecah batu-batu padas yang
merupakan tanggul alam belumbang itu pada tempat yang
sudah Kiai tandai. Air akan mengalir cukup deras, sementara
bagian yang lain masih akan tetap mengalir menembus
kebawah tanah untuk tempat yang jauh."
"Terserahlah kepada angger. Aku akan menunggu, kapan
hal itu akan kita lakukan."
"Baiklah Kiai. Jika patok-patok itu sudah selesai, dan semua
tanda sudah cukup, sebaiknya aku turun saja dan pergi
kepada Ki Buyut," berkata Jlitheng kemudian, lalu, "sementara
itu biarlah, kawan-kawan menyelesaikan gubug itu. Malam
nanti Kiai akan dapat menempatinya."
"Kawan-kawan angger akan menjadi heran. Tiba-tiba saja
kau menjadi seorang yang dengan berani hilir mudik seorang
diri melalu hutan dibukit Mati ini."
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mereka
tidak akan berpikir sampai sejauh itu. Kita berdua juga
menjadi orang-orang berani. Bahkan Swasti tidak mereka
persoalkan, karena menurut mereka Swasti pandai memanjat.
Aku-pun pandai memanjat jika seekor harimau merundukku."
Kiai Kanthi tersenyum. Namun kemudian sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Baiklah ngger. Agaknya
semuanya sudah siap. Semakin cepat hal itu dilakukan akan
menjadi semakin baik. Juga bagiku, karena aku akan segera
berani membuka tanah garapan dibawah bukit ini setelah
orang-orang Lumban Wetan dan Kulon menganggap, aku


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah berbuat sesuatu bagi padukuhan mereka."
Dalam pada itu, maka Jlithengpun segera minta diri. Ketika
ia lewat disebelah perapian Swasti, ia berhenti sejenak sambil
bertanya, "Apa yang sudah masak Swasti ?"
Swasti mengerutkan keningnya. Jawabnya acuh tak acuh,
"Air." Jlitheng mengerutkan keningnya. Swasti memang t idak
begitu ramah terhadapnya. Tetapi menurut dugaan Jlitheng
dan penglihatannya selama ia bersama beberapa anak muda
ikut serta membantu Kiai Kanthi membuat gubug, Swasti
memang tidak terlalu ramah terhadap orang lain.
"Ia sangat sedikit bergaul dengan orang lain. Siang malam
ia sibuk dengan ayahnya yang sudah tua, yang agaknya
dengan bersungguh-sungguh ingin mmurunkan ilmunya
kepada anak gadisnya, yang barangkali karena justru tidak
ada orang lain yang dapat diambil menjadi muridnya," berkata
Jlitheng didalamhatinya. "Terima kasih Swasti," berkata Jlitheng kemudian,
"sebenarnya aku juga sudah haus. Air jambu keluthuk yang
direbus dengan gula kelapa dan sepotong daun sere itu
memang segar sekali. Tetapi biarlah nanti saja aku datang lagi
untuk minum bersama-sama dengan kawan-kawan."
Tetapi Swasti t idak berpaling. Ia masih sibuk dengan
kerjanya. Merebus setandan pisang yang didapatkannya pada
serumpun pisang liar yang tumbuh dilereng bukit itu. Swasti
tidak sabar menunggu pisang itu masak. Apalagi, ia akan
menjadi kehilangan, karena ia harus berebut dengan beberapa
ekor kera. Karena itu, ia lebih senang mengambil pisang itu
sebelum masak benar menyimpannya satu dua hari dan
merebusnya. Jlithengpun kemudian berlari turun tebing menemui kawankawannya,
sementara Kiai Kanthi telah singgah pula melihatlihat
Swasti yang sedang sibuk.
Kepada kawan-kawannya Jlitheng minta diri, untuk
menghadap Ki Buyut di Lumban Wetan dan Lumban Kulon.
"Sekarang?" bertanya seorang kawannya.
"Ya, sekarang," jawab Jlitheng
"Sendiri ?" yang lain bertanya.
Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Keheranan diantara
kawannya memang ada. Namun Jlitheng menjawab, "Ya
sendiri. Kenapa?" "Jika kau bertemu dengan seekor harimau, apakah kau
dapat melawanya seorang diri ?" bertanya yang lain pula.
"Aku pandai memanjat. Harimau tidak akan dapat
memanjat. Apalagi disiang hari jarang sekali ada harimau yang
berkeliaran." "Mungkin sekali kau bertemu dengan seekor harimau."
"Jika tidak terpaksa karena kelaparan, harimau tidak akan
berbuat apa-apa," jawab Jlitheng.
Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Dibiarkannya saja
Jlitheng kemudian menuruni tebing pergi menghadap Ki Buyut
di Lumban Wetan dan Ki Buyut di Lumban Kulon.
Kedatangan Jlitheng kepada Ki Buyut di kedua bagian dari
padukuhan Lumban itu telah disambut dengan baik. Ternyata
kedua orang itu dapat mengerti penjelasan Jlitheng tentang
manfaat air yang akan mengalir untuk sementara langsung
turun kesungai dan kemudian harus diangkat lagi kedalam
parit. "Tetapi kaulah yang bertanggung jawab Jlitheng," berkata
Ki Buyut di Lumban Wetan, "jika penunggu bukit itu marah,
kau harus dapat menjelaskan kepada mereka. Dengan
demikian mereka tidak akan mengganggu orang-orang
Lumban dengan pegebluk misalnya."
"Aku sudah berbicara dengan mereka lantaran orang tua
yang datang bersama anak gadisnya itu Ki Buyut. Nampaknya
orang tua itu sudah mendapat persetujuan."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Jika
memang tidak ada bahayanya, air itu akan sangat bermanfaat
bagi kami." "Tentu Ki Buyut. Air itu sangat berguna bagi Lumban."
Sementara Jlitheng menghadap Ki Buyut di Lumban Kulon,
maka masalah yang dikemukakan oleh Ki Buyut itupun hampir
sama. Jika orang-orang halus yang menghuni Bukit Mati itu
memperkenankan, maka Lumban t inggal menerima saja
sebagai suatu anugerah. "Anugerah dari Yang Maha Agung, Ki Buyut," berkata
Jlitheng. Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun iapun
mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Dari Yang Maha
Agung. Tetapi bagaimana dengan penghuni Bukit Mati itu ?"
"Kuasanya tidak menyamai bahkan mendekatipun tidak dari
Yang Maha Agung itu," jawab Jlitheng.
Ki Buyut di Lumban Kulon itu termangu-mangu. Namun
kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Ya.
Demikianlah." Jlithengpun kemudian minta diri setelah segala sesuatunya
disetujui. Jlitheng telah berbicara tentang hari, tentang tempat
dimana kedua Buyut itu akan berdiri berhadapan diseberang
menyeberang sungai. Kemudian mereka akan menyaksikan air
yang akan mengalir dibawah kaki mereka. Dan Jlithengpun
telah berbicara tentang cara mengangkat air sehingga air itu
dapat mengalir ke bulak-bulak di Lumban Wetan dan Lumban
Kulon. Setelah semua pembicaraan selesai dan ditemukan
kesepakatan waktu, maka Jlithengpun dengan tergesa-gesa
kembali ke Bukit bermata air itu.
Tetapi langkahnya tertegun diujung padukuhan Lumban
Kulon ketika ia bertemu dengan Daruwerdi. Dengan sungguhsungguh
Daruwerdi bertanya kepadanya, "Apa keperluanmu
menghadap Ki Buyut, Jlitheng ?"
Jlitheng tidak menyembunyikan persoalan yang dibawanya.
Ia mengatakan tentang air dan tentang kedua orang Buyut
yang telah bersedia datang kepinggir sungai.
"Kau gila," geram Daruwerdi.
"Kenapa ?" bertanya Jlitheng, "bukankah air itu akan
bermanfaat." "Kau kira orang tua itu tidak mempunyai pamrih apapun
juga" Aku justru mulai curiga bahwa pada suatu saat kedua
orang itu akan berbuat sesuatu yang dapat merugikan
Lumban Kulon dan Lumban Wetan," berkata Daruwerdi.
"Aku kira tidak Daruwerdi," jawab Jlitheng, "tetapi bahwa ia
memang mempunyai pamrih itu sudah dikatakannya. Ia
mohon kepada Ki Buyut di Lumban Wetan dan Lumban Kulon
untuk dapat membuat sebuah daerah garapan dibawah bukit
itu. Kemudian membuat rumah yang lebih baik dari rumah
gubugnya yang sekarang. Dan akan lahirlah sebuah
padepokan dibawah bukit itu."
"Dan kalian akan diperbudaknya. Membuat padepokan
tanpa mendapat keuntungan apapun juga," desis Daruwerdi.
"Keunitungan itu telah kami dapatkan lebih dahulu. Air."
"Tetapi air itu bukan mlik orang tua itu. Tanpa orang tua
itupun kita dapat memanfaatkan air dibukit yang lebat itu."
"Tetapi sampai saat terakhir kita tidak berbuat apa-apa.
Kedatangan orang tua itulah yang telah mendorong kami
untuk melakukannya. Mengendalikan air yang melimpah itu.
Kedua orang Buyut itupun dapat menerimanya meskipun
mula-mula mereka agak cemas juga tentang orang-orang
halus yang menunggui bukit itu."
"Persetan dengan dua orang Buyut tua itu." Daruwerdi
menggeram pula. Namun kemudian, "Dan kau akan
menompang pada keberhasilan orang tua itu menguasai air.
Kau akan berdiri diatas semua orang, terutama anak-anak
mudanya dengan menepuk dada. Seolah-olah kau ikut
menentukan, mengendalikan air bagi bulak-bulak di Lumban
Wetan dan Lumban Kulan."
"Ah," desah Jlitheng, "aku tidak berbuat apa-apa. Aku
hanya perantara yang lari kian kemari dalam hubungan ini.
Tetapi dengan itupun aku sudah cukup bangga akan diriku."
"Pantas sekali," sahut Daruwerdi dalam nada datar, "kau
memang tidak lebih dari budak kecil yang tidak mempunyai
arti. Tetapi nikmatilah kebanggaanmu itu sepuas-puasnya.
Anak-anak muda di Lumban Kulon dan Lumban Wetan pada
saatnya akan dapat menilai, siapakah yang lebih penting bagi
mereka. Kau atau aku."
"Aku atau kau ?" Jlitheng menjadi heran, "aku tidak
mengerti. Apakah hubungan hal ini dengan aku dan kau ?"
"Kau memang dungu. Sengaja atau tidak sengaja kau telah
berbuat sesuatu yang bodoh. Tetapi karena kebodohanmu
itulah aku dapat memaafkannya sehingga aku tidak
menantangmu berkelahi."
"Berkelahi " Mana mungkin," desis Jlitheng dengan suara
gemetar. "Ya kau memang bodoh sekali. Pada saat seperti sekarang,
dimana aku memerlukan pemusatan pikiran terhadap sesuatu
kewajiban yang penting, kau teluh menarik perhatian orangorang
Lumban dengan tingkahmu yang aneh-aneh itu. Kau
telah menarik perhatian mereka dengan air."
"Aku tidak sengaja berbuat sesuatu yang menyakiti
hatimu." "Aku tidak sakit hati. Tetapi aku muak melihat tingkah
lakumu. Jika kau seorang yang memiliki ilmu, maka aku
tantang kau berperang tanding. Tetapi dengan kedunguanmu
itu, hal itu tidak mungkin aku lakukan. Karena orang-orang
akan mengatakan bahwa aku telah berbuat sewenangwenang,
karena dengan sangat mudah aku akan
membunuhmu." "Tetapi, tetapi aku tidak berbuat apa-apa yang dapat
mengganggumu," suara Jlitheng menjadi semakin gemetar.
"Pergilah kelinci dungu. Tetapi jika kau masih tetap dungu,
kau akan menyesal bahwa air sungai yang mengali semakin
deras karena menampung luapan air belumbang dari bukit itu
akan menyeretmu hanyut sampai kekedung yang dihuni oleh
buaya yang buas." "Tetapi, tetapi aku tidak bersalah," Jlitheng menjadi
ketakutan. "Pergi. Pergi. Tetapi hati-hati. Jangan menjadi sombong
dan merasa dirimu orang yang paling berguna di Lumban
Kulon dan Lumban Wetan karena tingkah orang tua itu."
Jlitheng tidak menjawab lagi. Tetapi dengan tergesa-gesa
iapun melangkah meninggalkan Daruwerdi yang berdiri
bertolak pinggang. Namun Daruwerdi t idak melihat, bahwa Jlithengpun
kemudian menggeretakkan giginya sambil menggeram, "Jika
perlu, kaupun harus dipaksa untuk mengerti tentang
kebutuhan orang-orang Lumban."
Namun Jlitheng tidak berpaling. Ia berjalan terus menuju
kebukit berhutan lebat itu. Langkahnya semakin lama menjadi
semakin cepat. Bahkan kemudian ia berlari sekencang angin
semilir di lembah yang akan segera menjadi basah.
Ketika Jlitheng sampai kepada kawan-kawannya diatas
bukit, mereka sudah mengumpulkan alat-alat mereka. Kerja
mereka telah selesai. Pintu telah terpasang, dan tutup
keyongpun telah melekat diujung sebelah njenyebelah dengan
ikatan-ikatan yang kuat. "Sudah selesai," desis Jlitheng sambi tersenyum.
Kiai Kanthipun tersenyum pula. Katanya, "Nanti malam aku
sudah dapat tidur di dalam gubugku yang hangat.
Menyenangkan sekali ngger. Aku mengucapkan beribu terima
kasih." Jlitheng dan kawan-kawannyapun merasa senang pula
karena mereka telah berhasil menyelesaikan kerja mereka.
Gubug itu benar-benar telah berujud, meskipun sederhana
sekali dengan kayu yang mereka dapat disekitar tempat itu.
"Tetapi belum ada perabotnya sama sekali Kiai," berkata
Jlitheng kemudian. "Mudah sekali ngger. Aku dapat membuatnya dengan kayu
dan bambu-bambu liar dilereng."
"Kami masih akan tetap membantu, Kiai," jawab Jlitheng,
"tetapi kitapun harus mempersiapkan saat-saat kita
mengalirkan air kesungai dengan disaksikan oleh Ki Buyut di
Lumban Wetan dan Lumban Kulon itu pula."
Jlitheng pun kemudian menceriterakan hasil pertemuannya
dengan Ki Buyut dikedua bagian dari Lumban itu. Mereka telah
bersetuju untuk datang kepinggir sungai pada saat yang
ditentukan, disebelah menyebelah untuk menyaksikan air yang
akan mengalir disungai itu.
Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Iapun tidak ingkar,
bahwa hal itu akan dapat memberikan kesempatan kepadanya
untuk mendapat tempat di daerah Lumban Wetan dan
Lumban Kulon. "Aku memang mempunyai pamrih, selain aku akan ikut
berbahagia melihat sawah yang hijau disegala musim didaerah
Lumban ini," berkata Kiai Kanthi kemudian.
Sekali lagi Jlitheng dan kawan-kawannya membuat rencana
apa yang akan mereka kerjakan. Pada hari yang sudah
ditentukan mereka akan membawa alat-alat khusus untuk
memecah batu-batu padas pada bibir belumbang. Linggis dan
dandang, selain cangkul dan parang.
Setelah tidak ada lagi yang perlu diperbincangkan, maka
Jlitheng dan kawan-kawannyapun segera minta diri. Besok
mereka tidak akan datang lagi. Tetapi mereka akan datang
pada saat yang ditentukan untuk membuka air belumbang itu.
"Aku mengucapkan beribu terima kasih ngger, bahwa
dengan demikian kami akan dapat tinggal disebuah gubug
yang dapat melindungi kami dari dinginnya malam. Apalagi
jika musim hujan datang, maka gubug ini akan sangat
berguna bagi kami!" "Kiai akan menempatinya untuk satu musim menjelang
musim berikutnya. Mudah-mudahan tanah garapan dibawah
bukit ini segera akan dapat dibuka. Bukankah dengan
demikian, padepokan kecil yang barangkali Kiai inginkan itu
dapat dimulai pembuatannya pula " Padepokan kecil yang
akan berada dibawah bukit yang basah," berkata Jlitheng,
"tentu akan sangat menyenangkan."
Kiai Kanthi tertawa. Jawabnya, "Sebuah mimpi yang indah.
Tetapi sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih
atas segala bantuan kalian."
Jlitheng dan kawan-kawannyapun kemudian meninggalkan
tempat itu. Mereka sibuk membicarakan saat-saat untuk
membuka tanggul belumbang itu, sehingga airnya akan


Mata Air Di Bayangan Bukit Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melimpah mengalir lewat jalur yang sudah dipersiapkan masuk
kedalamsungai. "Ki Buyut dari Lumban Kulon dan Lumban Wetan tentu
akan senang sekali melihat sebagian dari sawah yang gersang
dan kering dimusim kemarau itu akan menjadi hijau disegala
musim." Demikianlah, maka hari-hari yang ditentukan itu selalu
membayang diangan-angan anak-anak muda yang merasa
dirinya ikut mengambil bagian pada kerja yang akan sangat
besar artinya bagi orang-orang Lumban itu. Namun dalam
pada itu, Jlitheng sendiri telah disibukkan dengan saat-saat
yang menegangkan. Dengan waktu yang sangat sempit itu ia
berusaha meningkatkan kemampuannya. Ia sudah bertekad
untuk benar-benar memasuki sarang serigala yang garang.
Sanggar Gading. Dimalam hari, Jlitheng masih harus menampakkan diri
barang sejenak digardu bersama kawan-kawannya. Namun
kemudian dengan berbagali alasan, ia minta diri. Ia
Eyes Wide Open 2 Saksi Bisu Dumb Witness Karya Agatha Christie Pendekar Muka Buruk 12

Cari Blog Ini