Api Di Bukit Menoreh 9

Api Di Bukit Menoreh 9

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 9


" Ki Lurah Agung Sedayu."
Agung Sedayu mengangguk hormat Sebagai seorang lurah prajurit maka ia harus menghormati Ki Panji Secapraja. Tetapi sebelumnya ternyata mereka sudah saling berkenalan. Ki Panji Secapraja mengenal Ki Lurah Agung Sedayu di rumah Ki Patih Mandaraka. Meskipun ia hanya seorang lurah prajurit tetapi ia mempunyai pengaruh yang besar di lingkungan beberapa orang pemimpin di Mataram. Bahkan Ki Patih Mandarakapun sangat menghargainya.
Karena itu, maka Ki Panjipun dengan tergesa-gesa meloncat turun dari kudanya Kedua orang pengawalnya yang melihat Ki Panji tergesa-gesa turun, telah turun pula dari kuda mereka. Bahkan Ki Panjipun kemudian telah melemparkan tombaknya kepada salah seorang pengawalnya " Bawa tombak itu. Aku tidak memerlukannya"
Anak Ki Panji menjadi bingung. Demikian pula ketiga orang kawannya. Orang itu memang lurah prajurit. Tetapi anak muda itu melihat, ayahnya menaruh hormat kepada lurah prajurit itu lebih dari kebiasaannya bersikap terhadap seorang lurah.
" Tetapi siapa saja yang bersama-sama dengan Ki Lurah ?" bertanya Ki Panji.
" Kami sedang mengemban tugas. Besok atau lusa, Ki Panji akan mendengar apa yang telah terjadi di Jati Anom."
Ki Panji Secapraja mengerutkan dahinya. Iapun kemudian bertanya "Bukankah Ki Tumenggung Untara ada di Jati Anom ?"
" Ya. Aku diperbantukan kepada Kakang Tumenggung, Ki Panji. Sekarang tugas itu sudah selesai. Kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun kami akan singgah di Mataram untuk menghadap Ki Patih Mandaraka."
"Jika demikian, aku persilahkan Ki Lurah dan saudara-saudaraku yang lain untuk singgah di Sambisari."
" Terimakasih, Ki Panji. Kami akan melanjutkan perjalanan kami. Waktu kami tidak terlalu banyak. Bahkan sebenarnya kami tidak ingin berhenti disini, apalagi mohon Ki Panji datang ke tempat ini. Tetapi nampaknya putera Ki Panji itu berkeras untuk minta kami menunggu Ki Panji."
Ki Panji memandang anaknya dengan sorot mata yang tajam. Terasa jantung anak muda itu berdesir. Ayahnya tidak pernah memandangnya seperti itu. Rasa-rasanya sorot mata ayahnya itu menghunjam menusuk ke jantungnya
"Aku sudah mengira bahwa anak itu telah membuat perkara. Apa yang sudah dilakukannya, Ki Lurah ?"
"Tidak apa-apa, Ki Panji. Nampaknya putera Ki Panji itu tertarik kepada kuda adikku, Glagah Putih."
" Glagah Putih. Aku pernah mendengar namanya"
" Mungkin Ki Panji. Ia tinggal bersamaku di Tanah Perdikan. Aku sering mengajaknya menghadap Ki Patih Mandaraka."
" O. Apakah anakku memaksanya untuk memiliki kuda itu ?"
" Tidak, Ki Panji. Putera Ki Panji ingin membeli kuda itu. Tetapi adikku berkeberatan, karena kuda itu pemberian seseorang yang dihormatinya sebagai kenang-kenangan."
" Apa yang dilakukan anakku kemudian ?"
" Tidak apa-apa. Putera Ki Panji hanya mengatakan, bahwa ia adalah putera Ki Panji Secapraja Karena aku pernah mengenal Ki Panji, maka ada baiknya aku bertemu dengan Ki Panji agar tidak terjadi salah paham."
" Aku minta maaf atas tingkah laku anakku, Ki Lurah. Aku memang harus membimbingnya lebih jauh lagi. Mungkin ia terlalu manja, karena kebetulan anakku hanya seorang itu. Tetapi aku sadari, bahwa kemanjaannya tidak boleh melampaui batas."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya " Masih ada kesempatan, Ki Panji."
" Kadang-kadang anakku itu merasa lebih berkuasa dari aku sendiri di Sambisari."
Wajah anak muda itu menjadi pucat. Keringatnya mengalir membasahi punggungnya.
Namun sambil tersenyum Agung Sedayu itupun berkata " Ki Panji tentu akan menemukan cara terbaik untuk merubah sikap putera Ki Panji itu. Mudah-mudahan Ki Panji segera berhasil."
Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata " Marilah Ki Lurah. Aku minta Ki Lurah dan Ki Sanak yang lain singgah barang sebentar."
" Terima kasih Ki Panji. Kami justru akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Ki Panji dapat menghubungi kakang Untara untuk mengetahui apa yang baru saja terjadi di Jati Anom. Selanjutnya kami akan singgah barang sebentar di Mataram."
" Baktiku kepada Ki Patih Mandaraka."
" Baik, Ki Panji."
" Selamat jalan, Ki Lurah dan Ki Sanak semuanya Sayang kalian tidak bersedia singgah barang sebentar."
" Terima kasih, Ki Panji."
Sekali lagi Agung Sedayu dan sekelompok orang yang bersamanya menuju ke Mataram itu minta diri. Anak Ki Panji memandang iring-iringan itu dengan bingung, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan ayahnya.
Namun anak muda itu terkejut. Tiba-tiba saja cemeti kuda ayahnya telah mengenai punggungnya
Anak itu mengaduh kesakitan. Ketika ia memandang wajah ayahnya sorot mata ayahnya bagaikan membara
" Untunglah kau tidak dibantai oleh Ki Lurah Agung Sedayu atau oleh anak muda yang bernama Glagah Putih itu."
Anak muda itu menyeringai menahan pedih di punggungnya. Sementara itu ayahnyapun berkata " Jika kau masih berbuat seperti itu, maka kau akan aku titipkan di padepokan yang dapat membuatmu berubah. Aku mengenal seorang pemimpin Padepokan yang mampu berbuat demikian dengan caranya."
Anak muda itu menundukkan kepalanya. Namun ia masih saja menahan sakit
" Kita pulang " berkata Ki Panji.
Anak muda itu tidak membantah. Sementara itu, Ki Panjipun telah meloncat ke punggung kudanya dan berpacu pulang diikuti oleh kedua orang pengawalnya. Dibelakang mereka, anak muda itu mengikutinya bersama ketiga orang kawan-kawannya.
Demikian mereka sampai di rumah, maka Nyi Panji menyongsong kedatangan suaminya di tangga pendapa. Dengan nada tinggi Nyi Panji itupun bertanya " Lurah prajurit darimana yang telah berani menantang Ki Panji itu ?"
" Anakmu yang harus dibuat jera dengan tingkah-tingkahnya itu."
" Kenapa ?" " Untung saja anak itu tidak dibantai oleh Ki Lurah Agung Sedayu."
" Siapa?" " Ki Lurah Agung Sedayu."
Wajah Nyi Panji nampak menjadi tegang. Dengan nada tinggi iapun berkata " Kenapa dengan Lurah Agung Sedayu " Kenapa Ki Panji justru berkata, bahwa untung saja anak itu tidak dibantai oleh lurah itu " Seandainya lurah itu berani berbuat demikian, apakah Ki Panji tidak dapat melumatkannya menjadi debu ?"
" Lurah yang satu ini tidak."
" Kenapa " Apa bedanya dengan lurah prajurit yang lain. Bukankah kakang seorang Panji " Lurah yang manapun di Mataram akan tunduk menghormati kakang."
" Lurah yang satu ini berbeda. Ia memiliki kemampuan tidak ada duanya di lingkungan para prajurit Mataram."
"Tetapi ia seorang Lurah."
" Tetapi ia mempunyai kedudukan yang khusus dimata para pemimpin di Mataram."
" Melebihi seorang Panji ?"
" Melebihi seorang Panji. Melebihi seorang Rangga dan bahkan melebihi seorang Tumenggung."
" Aku tidak percaya " berkata Nyi Panji sambil mencibirkan bibirnya.
" Katakan kepada anakmu, agar ia mencoba sekali lagi mengganggu Ki Lurah Agung Sedayu. Anak itu akan menjadi bahan tertawaan banyak orang di pinggir jalan."
" Kakang memang tidak pernah memberi hati kepada anakmu. Jika ia berani melawan anakmu, bukankah Ki Panji akan menghukumnya?"
" Aku yang akan dihukum menjadi pengewan-ewan. Pokoknya tidak seorangpun Panji di Mataram yang sudah mengenal Ki Lurah Agung Sedayu akan berani mengusiknya meskipun dalam ujud kewadaga pangkat dan kedudukannya lebih tinggi."
" Itu suatu kebiasaan buruk bagi Mataram."
" Kebiasaan anak-anak Panji seperti anakmu itu adalah kebiasaan yang lebih buruk lagi."
" Tergantung kepada sikap Ki Panji."
" Cukup - tiba-tiba saja Ki Panji membentak
Nyi Panji terkejut Ki Panji tidak pernah membentaknya. Beberapa kali anaknya dianggapnya bersalah. Tetapi setiap kali Nyi Panji mendesak, maka Ki Panji itupun berkata selanjutnya " Aku sudah berkata kepada anakmu. Jika ia tidak menghentikan tingkah lakunya serta sikapnya yang seakan-akan lebih kuasa dari kuasaku di Sambisari, ia akan aku kirim ke padepokan Sawangan."
"Ki Panji." "Aku bersungguh-sungguh."
Nyi Panji memandang Ki Panji dengan tatapan mata yang aneh. Namun Ki Panji tidak menghiraukannya lagi. Iapun segera melangkah masuk ke ruang dalam langsung ke serambi.
Nyi Panji memandanginya dengan kerut di kerung. Kemudian dipanggilnya anaknya. Hampir berbisik Nyi Panji itupun bertanya " Kenapa dengan ayahmu ?"
"Entahlah. Tetapi nampaknya ayah sangat hormat kepada orang yang disebut Ki Lurah Agung Sedayu itu. Menurut Ki Lurah, Ki Lurah itu akan singgah di Mataram bertemu dengan Ki Patih Mandaraka. Ayahpun minta Ki Lurah menyampaikan baktinya kepada Ki Patih Mandaraka."
" Ki Lurah itu akan langsung menghadap Ki Patih " Omong kosong. Jarak antara seorang lurah dan seorang Pcpatih itu jauh sekali."
" Tetapi ayah percaya."
Nyi Panji termangu-mangu sejenak. Namun mulutnyapun masih berkumat-kamit " Lurah apa itu?"
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu bersama kelompoknya telah melanjutkan perjalanannya. Mereka memang akan singgah di Mataram. Ki Lurah akan langsung bertemu dan berbicara dengan Ki Patih Mandaraka.
Memang jarang sekali seorang Lurah prajurit dapat langsung bertemu dan berbicara dengan Ki Patih tanpa dipanggil, kecuali lurah prajurit yang memang bertugas di Kepatihan.
Iring-iringan itu memang tidak berpacu terlalu cepat. Kuda-kuda itu berlari-lari kecil menyusuri jalan yang panjang. Namun mereka memang tidak dapat berkuda lebih cepat lagi. Mereka yang terluka mulai mereka letih oleh perjalanan mereka itu.
Ketika iring-iringan itu memasuki gerbang kota, beberapa orang memang memperhatikan dengan kerut di dahi. Bahkan demikian pula para prajurit yang bertugas di pintu gerbang. Namun ketika mereka melihat Ki Lurah Agung Sedayu, maka para prajurit itu tidak bertanya lagi.
Iring-iringan itupun langsung menuju ke rumah Ki Patih Mandaraka. Prajurit yang bertugas di kepatihanpun menghentikan iring-iringan itu di pintu gerbang. Namun kemudian karena diantara mereka terdapat Agung Sedayu, maka iring-iringan itupun dipersilahkan langsung masuk ke halaman
" Ki Patih tidak ada di rumah, Ki Lurah."
" O, dimana ?" " Di istana" " Di istana ?" " Ya. Sejak semalam Ki Lurah. Menjelang tengah malam, Ki Patih dipanggil ke istana"
" Bagaimana keadaan Panembahan Senapati ?"
Prajurit yang bertugas di Kepalihan itupun berdesis dengan agak ragu " Nampaknya keadaannya menjadi semakin gawat. "
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata " Biarlah saudara-saudaraku berada disini. Aku titipkan mereka di Kepatihan Aku akan ke istana."
" Silahkan Ki Lurah " berkata prajurit itu.
Agung Sedayupun kemudian minta diri kepada Sekar Mirah dan orang-orang yang berada didalam iring-iringan itu. Kepada Ki Jayaraga Agung Sedayu memberikan beberapa pesan dan menitipkan mereka semua kepadanya.
" Baiklah, K i Lurah " jawab Ki Jayaraga " Tetapi bukankah Ki Lurah tidak terlalu lama?"
" Tidak. Aku hanya ingin melihat keadaan Panembahan Senapati saja."
Prajurit yang bertugas itupun kemudian lelah mempersilahkan mereka yang ditinggalkan di Keputihan itu untuk berada di serambi gan-dokkiri. Sementara Agung Sedayu telah menuntun kudanya keluar pintu gerbang Kepatihan dan melarikannya ke istana.
Di istanapun Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam. Kepada prajurit yang bertugas, Agung Sedayu minta agar disampaikan kepada Ki Patih Mandaraka, bahwa ia ingin menghadap.
Prajurit itupun kemudian lewat pelayan dalam menyampaikan pesan itu kepada Ki Patih yang bersama-sama dengan beberapa orang keluarga istana berada di sebuah ruangan didepan bilik Kangjeng Panembahan Senapati yang sedang dalam keadaan sakit. Bahkan keadaannya menjadi semakin gawai dan mengkhawatirkan.
Dua orang tabib yang paling baik di Mataram berada di dalam bilik itu. Namun agaknya mereka hanya wenang berusaha. Namun apa yang harus terjadi akan terjadi pula. Saat-saat datang dan pergi seseorang memang tidak ditentukan oleh sesamanya.
" Bawa Ki Lurah masuk."
Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayupun telah berada diantara mereka. Ki patih Mandaraka memberikan isyarat agar Ki Lurah Agung Sedayu maju mendekatinya.
Di ruangan itu duduk pula Pangeran Pati yang telah ditetapkan untuk menggantikan kepemimpinan Panembahan Senapati.
" Marilah Ki Lurah " desis Putera Mahkota itu.
Agung Sedayupun menyembah sambil menyahut " Hamba Pangeran."
" Keadaan ayahnda menjadi semakin gawat. Apakah Ki Lurah akan melihat keadaannya" Jarang sekali ayahanda menanyakan seseorang. Tetapi dalam ketidak sadarannya, ayahanda menyebut nama Ki Lurah. Mungkin karena ayahanda pernah melakukan pengembaraan bersama Ki Lurah Agung Sedayu dimasa mudanya."
Agung Sedayu berpaling kearah Ki Patih Mandaraka untuk minta pertimbangannya.
Ki Patihpun mengangguk sambil berkata " Masuklah kedalam bilik itu, Ki Lurah. Kangjeng Panembahan Senapati memang menyebut-nyebut namamu."
Agung Sedayupun kemudian dengan berjalan sambil berjongkok memasuki bilik Panembahan Senapati yang ditunggui oleh dua orang tabib yang paling baik di Mataram.
Agung Sedayu terkejut melihat keadaan Panembahan Senapati yang pucat sekali. Badannya nampak kurus, sementara matanya terpejam.
Agung Sedayupun kemudian duduk bersila di lantai, disisi pembaringan Panembahan Senapati. Salah seorang tabib yang menunggui itupun berdesis ditelinga Panembahan Senapati "Panembahan. Ki Lurah Agung Sedayu datang menghadap" Bukankah kemarin Panembahan menyebut namanya?"
Tetapi Panembahan Senapati tidak bergerak sama sekali. Matanya masih tetap terpejam.
Sekali lagi tabib itu menyampaikan kepada Panembahan Senapati bahwa Agung Sedayu menghadap. Tetapi Panembahan Senapati yang sudah berada dalam keadaan yang gawat itu tidak mendengarnya.
" Sudahlah " desis Agung Sedayu " biarlah Kangjeng Panembahan Senapati tidur nyenyak."
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian menyembah sambil berdesis " Hamba sudah menghadap, Panembahan. Perkenankan hamba berada diluar bersama Putera Mahkota dan Ki Patih Mandaraka serta para keluarga istana yang lain."
Namun ketika Agung Sedayu bergeser, maka tabib yang menyampaikan kehadirannya itu berdesis " Ki Lurah. Panembahan Senapati mendengar suaramu."
Ternyata Panembahan Senapati itu membuka matanya.
Agung Sedayupun kemudian berdiri pada lututnya disisi pembaringan Panembahan Senapati. Sambil menyembah sekali lagi Ki Lurah itupun berkata " Hamba menghadap, Kangjeng Panembahan."
Panembahan Senapati itu memandanginya sambil tersenyum. Perlahan-lahan bibirnya bergerak menyebut nama Agung Sedayu.
" Hamba Kangjeng Panembahan,"
Tetapi Panembahan Senapati tidak berkata apa-apa lagi. Matanya kembali terpejam. Namun senyumnya masih tersangkut di bibirnya yang kering.
" Apakah ada titah Panembahan " desis Agung Sedayu.
Tetapi Panembahan Senapati itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia sudah dalam keadaan sebagaimana sebelum Agung Sedayu memasuki bilik itu.
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sekali lagi ia menyembah. Kemudian iapun berdesis "Hamba akan berada diluar bilik ini, Panembahan."
Panembahan Senapati masih tetap diam. Bibirnya yang masih nampak tersenyum itu bergerak. Tetapi tidak ada suara apapun yang terdengar, sementara matanya tetap terpejam.
Dengan isyarat, kedua orang tabib yang menunggui Kangjeng Panembahan Senapati itu mempersilahkan Ki Lurah Agung Sedayu untuk keluar.
" Apakah ayahanda menyadari kehadiranmu, Ki lurah" " bertanya Putera Mahkota yang masih tetap berada di depan bilik.
" Kangjeng Panembahan Senapati menyebut nama hamba satu kali " jawab Agung Sedayu "namun kemudian Kangjeng Panembahan Senapati tertidur kembali."
" Ayahanda tidak tertidur" desis Putera Mahkota itu " tetapi kesadaran ayahanda kadang-kadang timbul. Namun kadang-kadang hilang."
Agung Sedayu menarik nafas panjang. seKau lagi ia menyembah. Kemudian iapun berdesis. Hamba akan berada di luar bilik ini, Panembahan
" Hamba Pangeran " desis Ki Lurah.
" Ki Lurah " bertanya Ki Patih Mandaraka kemudian " apakah kau mempunyai keperluan lain, atau kau sengaja datang untuk menengok keadaan Kangjeng Panembahan Senapati?"
" Kedua-duanya, Ki Patih " jawab Ki Lurah.
" Baiklah. Marilah kita berbicara diserambi luar.
Ki Patih Mandaraka itupun kemudian mohon diri kepada Putera Mahkota yang ada di ruang itu untuk berbicara dengan Agung Sedayu di serambi luar.
" Silahkan eyang " desis Putera Mahkota yang nampak letih itu. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka
sudah duduk di serambi luar. Dengan nada berat Ki Patih Mandaraka itupun bertanya " Ada persoalan penting yang ingin kau laporkan?"
" Ya, Ki Patih. Kami baru saja datang dari Sangkal Putung."
" Kami siapa?" " Kami, beberapa orang langsung singgah di Kepatihan. Tetapi Ki Patih tidak ada. Akupun kemudian menyusul Ki Patih ke istana ini."
" Apa yang terjadi di Sangkal Putung?"
Dengan singkat Ki Lurahpun segera melaporkan, apa yang telah terjadi di sisi Utara Hutan Lemah Cengkar. Bahkan pasukan Mataram di lati Anom yang dipimpin langsung oleh Ki Tumenggung Untara serta pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung telah menghancurkan pasukan Ki Saba Lintang. Namun Ki Saba Lintang sendiri masih berhasil meloloskan diri.
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya " Sokurlah bahwa pasukan Ki Saba Lintang itu sudah dapat dihancurkan. Memang sayang, bahwa Ki Saba Lintang sendiri tidak dapat tertangkap."
" Ki Saba Lintang bersembunyi di balik punggung orang-orangnya Ia membiarkan orang-orangnya mati untuk melindunginya."
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Patih itupun bertanya " Ki Saba Lintang masih membawa tongkat baja putihnya?"
" Ya, Ki Patih."
" Tongkat baja putih itu harus dapat diambil dari tangannya Selama ia masih membawa tongkat baja putih itu, ia masih akan selalu membuat keributan. Bahkan pada suatu saat, Ki Saba Lintang itu akan yakin, bahwa siapa yang memiliki tongkat baja putih itu, akan dapat memegang kendali kekuasaan tertinggi di Mataram. Karena Ki Saba Lintang meyakini, bahwa tongkat baja pulih itu berasal dari Jipang. Sedangkan menurut pendapatnya, jalur kekuasaan itu sebenarnya dari Demak mengalir ke Jipang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
" Sudahlah, Ki Lurah. Kiui akan dapat membicarakannya lebih panjang lagi pada kesempatan lain. Sekarang, perhatian semua keluara istana tertuju kepada Panembahan Senapati.
" Aku mengerti, Ki Patih."
" Aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat pulang ke Kepalihan segera. Tetapi jika kalian ingin menginap, aku persilahkan kalian menginap. Biarlah kalian dilayani seperlunya oleh para abdi di Kepalihan. Mereka sudah uihu, siapakah Ki Lurah Agung Sedayu."
" Aku akan berbicara dengan saudara-saudaraku yang dalang bersamaku."
" Mereka tentu tidak berkeberatan. Biarlah nanti aku mengirimkan orang dari istana untuk menyampaikan perintahku, bahwa Ki Lurah dan beberapa orang yang bersamanya akan menginap di Kepati-han."
" Kami mengucapkan terima kasih, Ki Patih."
" Aku juga mengucapkan terima kasih. Nampaknya kehadiranmu juga memberikan sentuhan sendiri kepada Panembahan Senapati."
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian mohon diri. Ki Patih yang melemasnya di pintu serambi itupun berkata " Hati-hatilah di jalan besok, Ki Lurah. Orang-orang yang terluka itu harus mendapat perhatian khusus di perjalanan."
" Ya, Ki Patih " jawab Ki Lurah Agung Sedayu " aku mohon disampaikan kepada Pangeran Adipati Anom serta para keluarga istana, bahwa aku mohon diri. Kami berterima kasih bahwa kami mendapat kesempatan untuk bermalam di Kapatihan."
Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya " Baiklah. Akan aku sampaikan kepada wayah Pangeran Adipati Anom serta para keluarga istana, bahwa Ki Lurah mohon diri dari istana dan bermalam di Kepatihan."
Sejenak kemudian maka Agung Sedayupun telah melarikan kudanya ke Kepatihan. Namun ada sesuatu yang rasa-rasanya tetap menahannya di istana.
Ketika Ki Lurah Agung Sedayu sampai di Kepatihan dan menyampaikan pesan Ki Patih, bahwa mereka diperkenankan bermalam di Kepatihan, Ki Jayaraga menjadi ragu-ragu. Demikian pula Sekar Mirah. Namun ketika mereka melihat keadaan Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang letih lahir dan batinnya, maka Ki Jayaragapun akhirnya berkata -Baiklah. Kita akan menginap semalam di Kepalihan. Apalagi Ki Patih sendiri sudah memberikan pesan, agar kita bermalam."
Sebenarnyalah Empu Wisana dan Nyi Dwani merasa berterima kasih atas keputusan Ki Jayaraga. Mereka benar benar telah merasa letih, meskipun mereka sempat beberapa kali beristirahat.
Malam itu, iring-iringan yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh itu bermalam satu malam di Kepatihan. Seperti yang dikatakannya, Ki Patih telah memerintahkan seorang abdi di istana untuk menyampaikan pesannya kepada abdi Kepatihan untuk melayani Ki Lurah Agung Sedayu dan rombongannya dengan sebaik-baiknya, sementara Ki Patih sendiri masih belum dapat meninggalkan istana.
Dengan demikian, maka keadaan Empu Wisanata dan Nyi Dwanipun menjadi semakin baik. Apalagi Glagah Putih, yang seakan-akan benar-benar telah sembuh, meskipun lukanya masih basah.
Malam itu mereka dapat tidur nyenyak sekali di Kepatihan. Selain mereka mendapat tempat bermalam yang baik, merekapun tidak perlu cemas, bahwa mereka akan mengalami gangguan pada malam itu. Di Kepatihan terdapat sejumlah prajurit yang bertugas berjaga-jaga.
Meskipun demikian , Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga telah mengatur waktu bagi mereka berdua, agar salah seorang di antara mereka ada yang tetap berjaga.
Pagi-pagi sekali mereka yang akan melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh itu sudah bangun. Mereka segera menyelesaikan kewajiban mereka masing-masing serta berbenah diri. Mereka berniat untuk meninggalkan Kepatihan sebelum matahari terbit.
Dalam pada itu, ternyata para abdi di Kepatihan itupun telah menyiapkan segala-galanya sebelum mereka berangkat. Para abdi telah menyiapkan makan pagi serta minuman hangat bagi mereka.
Bahkan ketika mereka sedang makan pagi di serambi samping , Ki Patih Mandaraka telah datang dari istana.
Ketika Ki Patih masuk ke serambi, maka mereka yang ada di serambi itupun serentak berdiri. Namun Ki Patihpun berkata " Silahkan. Kalian harus makan dan minum secukupnya sebelum menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh."
" Terima kasih, Ki Patih. Kami telah mendapat kesempatan sebaik-baiknya di Kepatihan. Kami dapat tidur dengan nyenyak, serta makan bukan saja secukupnya, tetapi lebih dari itu."
Ki Patih tertawa. Katanya " Bukan apa-apa. Aku datang juga sekedar untuk melepas kalian kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, serta kesempatan berganti pakaian. Aku harus segera kembali ke Istana."
Demikianlah, setelah makan pagi dan minum minuman hangat secukupnya, maka Agung Sedayu dan rombongannyapun segera minta diri.
" Selamat jalan. Pada kesempatan lain, aku menunggu laporan dari Ki Tumenggung Untara."
" Ya, Ki Patih. Mungkin hari ini akan datang penghubung dari Jati Anom."
" Sayang aku tentu belum dapat menemuinya. Tetapi biarlah Ki Tumenggung Wirareja menerimanya."
Demikianlah, Ki Patih melepas mereka di pintu gerbang Kepatihan. Sebuah iring-iringan yang akan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Seorang-seorang mereka minta diri serta mengucapkan terima kasih kepada Ki Patih Mandaraka.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun sudah meninggalkan Kepatihan
Sementara itu, Ki Patihpun dengari tergesa-gesa pergi ke pakiwan. Ia harus membenahi pakaiannya dan segera kembali ke istana.
" Ketika iring-iringan itu keluar dari gerbang kota, maka mata-haripun telah memanjat langit sepenggalah. Sinarnya sudah mulai terasa gatal di kulit. Sementara itu, demikian mereka keluar dari gerbang kota, maka iring-iringan itupun melarikan kuda mereka sedikit lebih cepat, meskipun mereka masih harus selalu menjaga keadaan Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Namun keadaan mereka sudah menjadi berangsur semakin baik.
Dalam pada itu, diperjalanan, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih saja selalu membicarakan keadaan Panembahan Senapati. Nampaknya Panembahan Senapati sendiri sudah memperhitungkan hari-hari terakhirnya, sehingga sebagai seorang yang memegang kuasa di Mataram, Panembahan Senapati telah mempersiapkan penggantinya, agar pada saat Panembahan Senapati itu pergi, tidak akan timbul persoalan diantara para pewarisnya.
Menjelang tengah hari, maka iring-iringan itu sudah berada di tepian Kali Praga. Tidak semua orang dalam rombongan itu bersama kudanya dapat dibawa dalam satu rakit. Karena itu, maka merekapun menyeberang ke sebelah Barat Kali Praga dengan dua rakit. Diantara mereka masih ada satu dua orang lain yang menyeberang bersama mereka.
Kedatangan iring-iringan itu di Tanah Perdikan disambut dengan gembira oleh para pemimpin dan bahkan para penghuni Tanah Perdikan itu. Agung Sedayu mengajak rombongannya langsung menghadap Ki Gede di rumahnya.
" Sokurlah " berkata Ki Gede " Yang Maha Agung masih melindungi kita semuanya. Mudah-mudahan keadaan Swandaru dan Pandan Wangipun menjadi semakin baik untuk seterusnya."
" Mudah-mudahan, Ki Gede " jawab Agung Sedayu." Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu minta diri, maka Ki Gedepun telah mencegahnya. Ki Gede telah memerintahkan para pembantu di rumahnya untuk memotong beberapa ekor ayam untuk menyambut mereka yang baru datang dari Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun sempat pula memberitahukan bahwa keadaan Panembahan Senapati menjadi semakin parah.
" Segala sesuatunya diserahkan kepada Yang Maha Agung " berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
" Ya. Apalagi yang dapat kita lakukan" Kita memang wenang berusaha. Namun keputusan terakhir berada di tangan Yang Maha Agung."
Demikianlah, maka Ki Gedepun kemudian telah menjamu mereka yang baru pulang dari Sangkal Putung. Ki Gede telah memanggil Ki Argajaya, Prastawa dan para pemimpin Tanah Perdikan itu yang lain." Baru kemudian, Ki Gede melepaskan mereka yang baru datang dari Tanah Perdikan itu untuk kembali ke rumah meieka masing-masing. Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang terluka itu sebenarnya dipersilahkan oleh Sekar Mirah untuk tinggal dirumahnya selama luka mereka masih belum sembuh benar. Namun keduanya berkeras untuk langsung pulang ke rumah mereka sendiri.
" Baiklah, Empu " berkata Agung Sedayu " selama Empu dan nyi Dwani masih belum sembuh benar, biarlah setiap kali rumah Empu diamati oleh para pengawal. Aku, atau Ki Jayaraga atau Glagah Putih atau Sekar Mirah dan Rara Wulan, atau siapapun akan sering datang untuk menengok keadaan Empu."
" Terima kasih " jawab Empu Wisanata " aku sudah menjadi berangsur baik."
" Luka-lukapun sudah hampir sembuh, Ki Lurah " berkata Nyi Dwani.
" Sokurlah " desis Ki Lurah Agung Sedayu.
Dengan demikian,maka merekapun segera berpisah, Empu Wisanata dan Nyi Dwani pulang ke rumah yang disediakan bagi mereka, sementara Agung Sedayu dan yang lain-lain telah pulang ke rumah Ki Lurah
Dalam pada itu, luka Glagah Putih sudah menjadi semakin baik. Bahkan Glagah Putih sendiri sudah tidak terlalu banyak terpengaruh oleh luka-lukanya itu, meskipun Glagah Putih tidak pernah terlambat mengobati luka-lukanya serta minum obat untuk meningkatkan daya tahannya serta menguatkan tubuhnya.
Agung Sedayupun merasa lega setelah ia berada di rumahnya. Ki Lurah itu tidak habis-habisnya mengucap sokur kepada Yang Maha Agung , yang selalu melindungi. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi keluarganya, sanak kadangnya dan orang-orang yang terdekat dengan dirinya. Namun Agung Sedayupun tidak pernah melupakan, bahwa ada diantara mereka yang bersama-sama berjuang melawan pasukan Ki Saba Lintang telah gugur. Beberapa pengawal Sangkal Putung dan bebenpa orang prajurit Mataram di Jati Anom.
Namun bagi Agung Sedayu sendiri, satu lugas yang berat telah terlampaui. Meskipun Agung Sedayu sadar, bahwa tugas-tugas yang lain, pada saatnya tentu akan dalang menuntut kesediaannya untuk melakukannya.
Tetapi rasa-rasanya pada hari itu, semua beban sempat diletakkan. Di sore hari, ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah duduk di serambi samping, mereka sempat menikmati minuman hangat serta ketela pohon rebus yang masih mengepul. Ketika Rara Wulan ikut duduk bersama mereka, maka Agung Sedayupun bertanya " Kau lihat Ki Jayaraga?"
" Ki Jayaraga pergi ke sawah, kakang."
" Ke Sawah?" " Ya. Katanya Ki Jayaraga sudah rindu kepada batang padi yang ditinggalkannya beberapa hari di Jati Anom."
" Dimana Glagah Putih?"
" Bersama Sukra, di belakang."
Sebenarnyalah Glagah Putih duduk di depan sanggar di halaman belakang bersama Sukra. Dengan nada berat Sukrapun berkata " Aku selalu berlatih sendiri. Tidak pernah ada hari yang kosong."
" Bagus " jawab Glagah Putih.
" Sekarang, marilah kita masuk ke dalam sanggar."
" Kau jangan melihat dari sisi kepentinganmu saja. Aku leuh, dan ikupun terluka di pundakku."
" Terluka?" Glagah Putihpun menyingkapkan baju dan menunjukkan luka kepada Sukra."
" Pundakmu berlubang?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya " Sebagaimana kau lihat. Tetapi keadaannya sudah jauh lebih baik. "
" Jenis senjata apakah yang telah menusuk pundakmu, sehingga bekas lukanya seperti itu" "
" Akik. Batu akik. "
" He " Aku bertanya dengan sungguh-sungguh. "
" Ya. Batu akik. Dengan sejenis ilmu tertentu, batu akik itu dilontarkan lewat mulutnya. Batu akik itu meluncur dengan kecepatan dan kekuatan yang sangat tinggi. "
Sukra menarik nafas dalam-dalam.
" Apakah luka itu sudah tidak sakit lagi" "
" Masih. Masih terasa nyeri. Tetapi sudah jauh berkurang. Karena itu, jangan ajak aku masuk ke sanggar hari ini. Mungkin besok, meskipun aku hanya sekedar melihat apa yang kau lakukan. "
Sukra bangkit berdiri. Iapun kemudian melangkah ke pakiwan sambil berdesis " Aku harus mengisi jambangan. Dengan alasan pundakmu terluka, kau tentu tidak mau membantu aku menimba air. "
Glagah Putih tertawa Sementara itu langitpun menjadi buram. Seperti yang diduga oleh Sukra, maka seorang demi seorang seisi rumah itupun pergi ke pakiwan untuk mandi. Namun ternyata meskipun pundaknya terluka, Glagah Putih serba sedikit juga membantu Sukra mengisi jambangan. Bahkan Sedayupun ikut menimba air pula.
Dalam pada itu, setelah malam turun, Ki Jayaraga baru pulang dari sawah sambil memanggul cangkul. Wajahnya nampak cerah, bahkan sambil berdendang perlahan-lahan, Ki Jayaraga pergi ke pakiwan.
Setelah mandi serta duduk diruang dalam menghadapi makan malam, Sekar Mirah sempat berkata " Wajah ki Jayaraga nampak begitu cerah malam ini. "
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya " Tanaman di sawah kita nampaknya tidak terganggu meskipun kita pergi beberapa hari.
" Bukankah ada Sukra dan anak sebelah yang membantu kita merawat tanaman di sawah " "
" Ya. Tetapi semula aku cemas bahwa mereka tidak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ternyata mereka juga mencintai tanaman di sawah itu seperti aku. "
Agung Sedayu yang mendengarkan pembicaraan itu tertawa. Katanya " Setiap petani, bahkan aku yang sudah berada dilingkungan keprajuritan, mencintai tanaman di sawah, karena tanaman di sawah itu akan memberikan bahan makan bagi kita. "
" Ya " Ki Jayaraga mengangguk-angguk "jika kita mencintai tanaman itu, maka tanaman itupun akan memberikan yang terbaik bagi kita "
" Ki Jayaraga benar"Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika mereka kemudian makan malam, maka pembicaraan merekapun lelah beralih kepada Panembahan Senapati yang sakitnya menjadi semakin parah.
Malam itu, ternyata seisi rumah itu dapat tidur dengan nyenyak. Iebih nyenyak dari saat mereka tidur di Kepatihan. Rasa-rasanya tidak lagi ada persoalan yang tersangkut di hati mereka.
Di hari berikutnya, seperti biasanya Agung Sedayupun telah bersiap di saat matahari terbit. Kudanyapun sudah siap pula di halaman. Sebentar lagi Agung Sedayu akan pergi ke barak setelah beberapa hari meninggalkannya.
Namun sebelum Agung Sedayu berangkat, justru seorang prajuritnya telah datang bersama dua orang prajurit dari Mataram.
Jantung Agung Sedayu berdebar. Dipersilahkan tamunya duduk di pringgitan rumahnya.
" Pagi-pagi kalian telah sampai disini " berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
" Kami mendapat perintah dari Ki Patih Mandaraka. Ketika kami sampai di barak, Ki Lurah masih belum datang. Sementara itu kami tahu, bahwa Ki Lurah sudah kembali ke Tanah Perdikan. Karena itu, kami datang kemari. "
" Apakah ada keperluan yang sangat penting ?"
" Ya " jawab seorang diantara mereka " kami mendapat tugas untuk menyampaikan berita duka bagi seluruh rakyat Tanah Perdikan ini liwat Ki Lurah Agung Sedayu.."
Dada Agung Sedayu berdesir. Dengan wajah yang tegang iapun Mendengarkan salah seorang diantara kedua orang utusan ki Patih itu berkata " Ki Lurah. Semalam, Kangjeng Panembahan Senapati telah mangkat. "
" Kangjeng Panembahan Senapati telah mangkat" " ulang Ki nah dengan suara yang bergetar.
" Ya. Dengan tenang Kangjeng Panembahan Senapati mangkat" Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ki Lurah memang suit menduga, bahwa saat itu akan segera datang menilik keadaan Kanjeng Panembahan Senapati. Meskipun demikian tidak seorangpun yang dapat memperhitungkan dengan tepat saat-saat seseorang dipanggil kembali menghadap Penciptanya.
" Ki Patih ada di istana waktu itu " " bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
" Ya, Ki Lurah. Semuanya keluarga istana lengkap. Juga Ki Patih Mandaraka serta beberapa orang terdekat. "
" Apakah ada titah yang lain " "
Prajurit dari Mataram itu menggeleng. Katanya " Tidak ada titah yang lain, Ki Lurah. "
" Baiklah. Aku dan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus akan segera berangkat ke Mataram. "
" Kami mohon diri untuk mendahului kembali ke Mataram, Ki Lurah."
" Silahkan. Kami akan segera menyusui. "
Kedua orang prajurit itupun segera mohon diri. Sementara itu, prajurit yang dari barak Pasukan Khusus itupun telah mohon diri pula. Kepada prajurit dari Pasukan Khusus itu, Agung Sedayu berpesan untuk disampaikan kepada empat orang yang akan diajak pergi bersamanya ke - Mataram.
Sepeninggal para prajurit itu, maka Agung Sedayupun minta diri kepada keluarganya untuk tidak saja pergi ke barak, tetapi ia akan langsung pergi ke Mataram.
" Aku tidak tahu, apakah sore nanti aku dapat kembali, apa tidak " berkata Agung Sedayu.
" Sebaiknya kakang menyesuaikan diri dengan keadaan di Mataram. "
" Ya " Agung Sedayu mengangguk-angguk Lalu katanya " Sekar Mirah. Sebaiknya kau sendiri pergi menemui Ki Gede untuk menyampaikan berita duka ini. Rakyat Tanah Perdikan sudah sepantasnya berkabung atas mangkatnya Kangjeng Panembahan Senopati. "
" Baik, kakang. Aku akan pergi menghadap sendiri. " Demikianlah, maka Agung Sedayupun meninggalkan rumahnya dilepas oleh seluruh keluarganya, termasuk Ki Jayaraga.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayupun telah berpacu menuju ke baraknya dan selanjurnya bersama dengan ampat orang prajurit pilihan, merekapun segera pergi ke Mataram.
Hari itu Mataram benar-benar berkabung. Para Adipati dari Timur dan dari pesisir Utara telah diberi tahu semalam demikian Kangjeng Panembahan Senopati mangkat.
Pertanda duka tidak hanya nampak di Kota Rejo. Tetapi di Kadipaten-kadipaten, di lingkungan-lingkungan yang lebih kecil, bahkan di-padesan nampak pernyataan rakyat Mataram yang sedang berkabung.
Sebelum mangkat, Panembahan Senapau masih sempat berpesan kepada Ki Patih Mandaraka, untuk menjaga ketenangan keluarganya. Sekali lagi Kangjeng Panembahan menekankan, bahwa Putera Mahkota sebaiknya segera ditetapkan menjadi penggantinya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu tidak dapat pulang pada hari itu juga. Ia sempat bertemu dan berbicara dengan Untara dan beberapa orang Senapati yang lain. Para Senapati telah membicarakan pengamanan seluruh negeri, di bawah Ki Patih Mandaraka.
" Perhatian kita jangan semuanya tertumpah kepada mangkatnya Panembahan Senapati disini. Semua Senapati harus diperingatkan, bahwa ada kemungkinan orang-orang yang ingin memanfaatkan kesempatan ini."
Dengan demikian, maka para Senapatipun telah sibuk menempatkan pasukannya di tempat-tempat penting. Bukan saja disekitar Kota Raja Bahkan Ki Patih telah mengirimkan penghubung ke beberapa tempat yang jauh. Penghubung berkuda yang memacu kuda-kuda mereka menempuh perjalanan yang panjang, menghubungi para Senapati Mataram yang bertugas di tempat-tempat yang jauh itu.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara itu, bersamaan dengan para penghubung yang memberitahukan mangkatnya Panembahan Senapati kepada para Adipati dan Bupati, Ki Patihpun telah berpesan, agar mereka berhati-hati menanggapi keadaan.
Pada saat jenazah Panembahan Senapati dibawa ke makam, rakyat Mataram bagaikan tumpah sepanjang jalan. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Kanjeng Panembahan Senapati yang menjadi cikal bakal, lajer kekuasaan di Mataram.
Dalam pada itu, maka Ki Patih Mandaraka mengumumkan bahwa Mataram akan berkabung selama empat puluh hari empat puluh malam. Kemudian, Mataram akan segera mempersiapkan penobatan seorang raja yang baru di Mataram sebagaimana dipesankan oleh Kanjeng Panembahan Senapati.
Seperti juga ditempat-tempat lain, maka suasana berkabung itupun terasa di Tanah Perdikan Menoreh. Namun seperu di tempat-tempat lain pula, maka Tanah Perdikan Menoreh telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Ki Lurah Agung Sedayu sendiri berada di Mataram selama tiga hari tiga malam. Baru kemudian Ki Lurah Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan bersama dengan keempat prajurit yang pergi bersamanya ke Mataram.
Namun pada saat Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan, Ki Patih Mandarakapun berpesan " Dalam waktu dua pekan, aku minta kau kembali menemui aku, Ki Lurah. "
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menyahut " Baik, Ki Patih, Sepuluh hari lagi aku akan menghadap di Kepatihan. "
" Ya. Datanglah ke Kepatihan. Jika aku tidak ada di rumah, biarlah seorang prajurit menyusulku ke Istana, karena agaknya aku tidak akan pergi ke mana-mana kecuali ke istana dalam waktu dekat ini.
" Ya, Ki Patih."
" Salamku buat Ki Gede Menoreh serta buat seluruh keluargamu".
Ketika kemudian Agung Sedayu memacu kudanya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka pesan Ki Patih itu rasa-rasanya masih didengarnya. Dua pekan lagi ia harus menghadap Ki Patih Mandaraka di, Mataram.
" Tentu ada yang penting " berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu, Agung Sedayupun kemudian telah memerintahkan keempat orang prajuritnya langsung kembali ke barak, sementara Agung Sedayu sendiri langsung kembali ke rumahnya di padukuhan induk Tanah Perdikan.
Demikian ia sampai dirumahnya, maka Agung Sedayupun telah menceritakan, upacara agung pemakaman Kanjeng Panembahan Senapati.
Namun kemudian Agung Sedayupun berkata pula " Ketika aku mohon diri, maka Ki Patihpun berpesan, agar dalam waktu dua pekan lagi, aku datang menghadap Ki Patih di Mataram. "
" Ada apa, kakang" " bertanya Sekar Mirah.
" Aku belum tahu, Sekar Mirah. Sebenarnya bahwa aku juga merasa berdebar-debar memikirkannya. Tentu saja perintah yang penting yang harus aku lakukan. "
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun menyadari, bahwa suaminya adalah seorang prajurit. Bagi seorang prajurit, maka perintah yang dibebankan kepadanya, harus dilaksanakannya
Di hari-hari berikutnya, meskipun masih terasa betapa rakyat Mataram berkabung, namun kehidupan sehari-hari berjalan sebagaimana biasa. Mereka yang mempunyai kewajiban di sawah, telah pergi ke sawah. Para pedagang juga pergi ke pasar sebagaimana biasanya Tetapi mereka yang mengadakan kesuka-riaan, telah dibatalkan atau ditunda setelah empat puluh hari empat puluh malam mangkatnya Panembahan Senapati.
Ki Lurah Agung Sedayu sendiri juga melakukan tugasnya sehari-hari di baraknya. Setiap pagi, seperti biasa ia pergi ke barak. Di sore hari Ki Lurah itu pulang ke rumahnya.
Namun sebenarnyalah Agung Sedayu setiap kali masih saja berdebar-debar. Dari hari ke hari, ia masih saja memikirkan, tugas apalagi yang akan dibebankan kepadanya, justru pada saat Panembahan Senapati mangkat.
Pada hari yang kesepuluh, seperti perintah Ki Patih Mandaraka, maka Agung Sedayupun telah pergi ke Mataram disertai dua orang prajuritnya.
Ketiganyapun langsung menuju ke Kepatihan. Agung Sedayu harus menghadap Ki Patih pada hari itu juga
Ketika Agung Sedayu sampai di Kepatihan, maka Ki Patih Mandaraka memang sedang berada di istana. Karena itu, maka Agung Sedayu telah minta tolong, agar salah seorang prajurit yang bertugas di Kepatihan pergi ke istana untuk memberitahukan kehadirannya
Tetapi ternyata prajurit itu kembali tanpa Ki Patih Mandaraka. Bahkan prajurit itu membawa perintah, agar Ki Lurah Agung Sedayu langsung pergi ke istana
Jantung Ki Lurah Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar.
Ia pun kemudian bersama kedua orang prajuritnya langsung pergi ke istana.
Ki Patih Mandaraka kemudian menerima Ki Lurah Agung Sedayu diserambi samping kiri. Ki Lurah menjadi semakin berdebar-debar ketika bukan saja Ki Patih Mandaraka yang menerimanya, tetapi ternyata bahwa Pangeran Adipati Anom juga hadir di serambi itu.
" Ki Lurah " berkata Ki Patih Mandaraka " sebenarnya perintah ini sudah diberikan oleh Kangjeng Panembahan Senapati, pada saat Kangjeng Panembahan Senapati yang menjadi semakin parah tidak menyinggungnya lagi. Namun karena Pangeran Adipati Anom mendengar pula niat Kangjeng Panembahan Senapati untuk memberikan perintah itu, maka agaknya sekarang Pangeran Adipati Anom menganggap perlu untuk membicarakannya lagi. "
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Iapun kemudian menyembah sambil berkata " Hamba menunggu perintah Pangeran Adipati Anom. "
Pangeran Adipati Anom itu memandanginya dengan tajamnya. Putera Mahkota yang masih terhitung muda itu sudah mengenal Ki Lurah dengan baik, tetapi pengenalannya tidak setajam ayahandanya. Bahkan ayahandanya pernah melakukan pengembaraan bersama dengan Ki Lurah Agung Sedayu itu meskipun tidak terlalu lama.
" Ki Lurah"berkata Pangeran Adipati Anom.
" Hamba Kangjeng Pangeran. "
Ternyata perintahnya singkat dan tegas "Ayahanda menghendaki tongkat baja putih di tangan Ki Saba Lintang itu."
Di luar sadarnya Ki Lurah Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Namun kemudian wajah itu telah tertunduk lagi.
" Ki Lurah " berkata Ki Patih menjelaskan " maksud Kangjeng Pangeran Adipati Anom, kau dapat memerintahkan siapa saja untuk mencari tongkat baja putih peninggalan Macan Kepatihan Jipang itu. "
" Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat iapun berkata " Apakah maksud Kangjeng Pangeran, hamba harus membawa prajurit hamba untuk mencari tongkat baja putih itu"
Ki Patih menggeleng sambil berkata " Bukan itu maksudnya, Ki Iurah. Kau tentu akan mengalami kesulitan jika kau bawa pasukanmu untuk mencari tongkat baja putih itu. "
Ki Lurah Agung Sedayu masih saja menunduk dan mendengarkan dengan saksama.
" Ki Lurah " Ki Patih meneruskan " kau dapat memerintahkan satu,dua orang yang paling kau percaya untuk menjalankan perintah itu. Misalnya kau dapat minta satu atau dua orang prajurit pilihan untuk melakukannya. Tetapi kau juga dapat minta misalnya Glagah Putih untuk mencari tongkat baja putih itu, karena aku yakin kau tidak akan mungkin minta Sekar Mirah yang juga memiliki tongkat yang sama untuk memburunya. "
Terasa jantung Ki Lurah Agung Sedayu berdesir. Perintah ini adalah perintah yang sangat khusus. Bahkan mungkin ada hubungannya dengan tongkat baja putih yang berada di tangan Sekar Mirah. Jika Ki Patih menyebut nama isterinya, bukannya secara kebetulan semata-mata.
Namun agaknya Ki Patih telah menyebut pula nama Glagah Putih. Ki Patih tahu pasti kemampuan Glagah Putih. Karena itu, maka agaknya nama Glagah Putih bukannya sekedar contoh saja. Tetapi agaknya Ki Patih memang telah menunjuk Glagah Putih untuk melakukannya.
Ternyata dugaan Ki Lurah itu tidak luput. Sejenak kemudian Ki Patihpun berkata " Ki Lurah. Bukankah Glagah Putih masih belum terikat oleh tugas tertentu" "
" Belum Ki Patih. "
" Aku tahu, bahwa Glagah Putih adalah seorang anak muda yang mumpuni. Apakah terbersit didalam hatimu, untuk menugaskan Glagah Putih mencari tongkat baja putih itu" "
" Aku akan berbicara dengan Glagah Putih, Ki Patih. "
" Baiklah. Kau masih mempunyai waktu. Berbicaralah dengan Glagah Putih. Jika Glagah Putih bersedia, ajak anak muda itu kemari. Aku dan Kangjeng Pangeran Adipati Anom akan memberikan pesan-pesan kepadanya. Tetapi jika Glagah Putih tidak bersedia atau karena pertimbangan lain kau tunjuk orang lain, maka bawa orang itu kemari. "
" Ya Ki Patih. "
" Ingat, Ki Lurah " suara Pangeran Adipati Anom berat " tongkat baja putih itu harus kau bawa kemari, karena tongkat baja putih itu selalu menimbulkan persoalan dihari-hari mendatang. Tongkat itu akan selalu mengungkit kekuasaan atas bumi Mataram yang dianggap kelanjutan dari kekuasaan yang tumbuh di Pajang. Kekuasaan yang tidak sah karena aliran kekuasaan dari Demak seharusnya menuju ke Jipang."
" Hamba Pangeran"jawab Ki Lurah Agung Sedayu.
" Terserah caramu dan siapapun yang akan melakukannya. Aku tidak mempersoalkan tongkat baja putih yang ada di tangan isterimu, karena aku yakin, bahwa kau akan mampu mengendalikannya."
" Hamba Pangeran. "
" Ki Lurah " berkata Ki Patih Mandaraka " Glagah Putih merupakan seorang anak muda yang mempunyai landasan kemampuan yang cukup tinggi. Ia adalah sahabat Pangeran Rangga pada masa hidupnya. Kalau Pangeran Rangga mempunyai ilmu yang seakan-akan tidak ada batasnya, maka Glagah Pulih tentu sudah terpercik ilmu Pangeran Rangga itu pula. "
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ki Patih, Aku akan membawa Glagah Putih menghadap. "
" Pangeran Adipati Anom tidak memberikan batasan waktu. Mungkin sebulan, mungkin setengah bulan, bahkan mungkin setahun. Yang penting pada suatu saat, tongkat baja putih itu diserahkan kepada Pangeran Adipati Anom."
" Ya, Ki Patih. "
" Nah, Ki Lurah. Biarlah eyang Patih Mandaraka memberikan penjelasan yang lebih terperinci. "
" Hamba Pangeran. "
Demikianlah, maka Pangeran Adipati Anom yang masih terhitung muda itu meninggalkan serambi samping kiri, masuk ke ruang dalam istana. Sementara Ki Patih Mandaraka masih tinggal bersama Agung Sedayu di serambi.
" Pangeran Adipati Anom masih terlalu muda untuk memegang jabatannya " desis Ki Patih Mandaraka.
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara Ki Patihpun berkata selanjutnya " Ia akan memikul beban yang cukup berat. Mataram yang sedang memantapkan diri, tentu akan banyak menghadapi tantangan. "
" Ya, Ki Patih. Kangjeng Panembahan Senapati sedang memanjat ke puncak kekuasaannya di Mataram. "
" Tidak seorangpun dapat memperhitungkan umur seseorang. Ternyata umur Kangjeng Panembahan Senapati tidak terhitung panjang. Akulah yang sebenarnya telah terlalu tua untuk ikut mengendalikan pemerintahan di Mataram. "
" Ki Patih Mandaraka masih sangat dibutuhkan oleh Mataram. "
" Mungkin dalam satu dua tahun ini. Sementara itu, banyak para Pangeran yang mempunyai kebijaksanaan yang tinggi, yang akan membantu Pangeran Adipati Anom kelak setelah memegang kepemimpinan di Mataram. "
" Nampaknya memang begitu, Ki Patih. Tetapi Pangeran Adipati Anom yang muda itu memerlukan lanjaran yang lurus agar pemerintahan di Mataram tidak menjadi lentur. Untuk itu, Ki Patih Mandaraka masih sangat dibutuhkan."
Ki Patih itu tersenyum. Katanya " Mungkin masih diperlukan untuk melengkapi paseban di saat di selenggarakan Paseban Agung. "
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.
" Nah, Ki Lurah " berkata Ki Patih kemudian " menurut pendapatku, sebaiknya kau minta Glagah Putih untuk pergi dan menemukan tongkat baja putih yang dibawa oleh Ki Saba Lintang itu. Tetapi ingat, jangan kau paksa Glagah Putih untuk mendapatkannya. Yang harus mendapatkan tongkat baja putih itu adalah Ki Lurah. Dengan demikian, jika " Glagah Putih itu tidak berhasil, jangan bebankan tanggung jawab kepadanya. Ia masih muda. "
" Ya, Ki Patih. "
" Ki Lurah dapat memerintahkan kepada orang lain untuk melakukannya. Bukankah Pangeran Adipati Anom tidak memberikan batas waktu " "
" Sekarang, memang tidak Ki Patih " namun tiba-tiba saja Ki Lurah itu terdiam.
Sambil tersernyum justru Ki Patih Mandarakalah yang melanjutkan " Mungkin besok atau lusa Pangeran Adipati Anom itu menjatuhkan perintah agar tongkat baja putih itu dalam sepekan ada di tanganmu. "
Ki Lurah Agung Sedayupun tersenyum pula.
" Nah, Ki Lurah. Seandainya Glagah Putih bersedia, ajak anak muda itu kemari. Tetapi sebaiknya kau bawa Glagah Putih menemui aku lebih dahulu di Kepatihan. "
" Ya, Ki Patih. "
" Nah, sekarang pulanglah. Ajak Glagah Putih berbicara. Jelaskan persoalannya. Tunjukkan bahayanya agar ia tidak merasa terjebak pada saat-saat ia menjalankan tugas itu. "
" Baik, Ki Patih. Aku akan datang bersama anak itu. "
Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayupun segera mohon diri. Dua orang prajurit yang menyertainya, yang menunggu di gardu para petugas di istanapun telah minta diri pula kepada para prajurit yang bertugas.
Sejenak kemudian, keduanya telah melarikan kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Di sepanjang jalan, Ki Lurah Agung Sedayu tidak terlalu banyak berbicara. Ia lebih banyak diam sambil merenungi perinlah Pangeran Adipati Anom untuk menemukan tongkat baja putih itu.
Agung Sedayu sempal menjadi bimbang. Ia harus memilih diantara beberapa orang yang mungkin melakukannya. Dirinya sendiri, Glagah Putih atau Ki Jayaraga. Ia tidak dapat minta tolong Empu Wisanata, yang tentu dengan serta-merta akan dicurigai oleh Ki Saba Lintang.
Namun terbersit juga di kepalanya pertanyaan " Bagaimana jika Nyi Dwani " Nyi Dwani mempunyai hubungan yang khusus dengan Ki Saba Lintang. Nyi Yatni yang kemudian telah menengahinya, telah terbunuh di Lemah Cengkar. "
Namun Ki Lurah Agung Sedayu itupun menggeleng. Jika ketahanan jiwani Nyi Dwani yang justru goyah, maka usaha untuk mendapatkan tongkat baja putih itu menjadi semakin jauh.
Karena itu, maka akhirnya Ki Lurah kembali lagi kepada Glagah Putih. Nampaknya tidak ada orang lain yang lebih baik dari Glagah Putih.
Tetapi Ki Lurah memang agak mencemaskan keselamatan Glagah Putih. Meskipun Glagah Putih mempunyai ilmu yang tinggi, namun tugas yang akan diembannya adalah tugas yang sangat berat
" Sebaiknya aku berbicara dengan Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Pulih sendiri " berkata Ki Lurah didalam hatinya.
Ketika mereka sampai di Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu tidak singgah lebih dahulu di baraknya. Tetapi ia langsung pulang ke rumahnya. Sementara itu, kedua orang prajurit yang menyertainya diperintahkannya kembali ke barak mereka.
Sampai di rumah, Ki Lurah tidak segera menyampaikan perintah Pangeran Adipati Anom itu kepada Glagah Putih. Namun Ki Lurahpun telah minta seisi rumahnya uniuk berkumpul dan berbicara setelah lewat senja.
Demikianlah, seperti yang diminta oleh Ki Lurah Agung Sedayu, lewat senja seisi rumahnya telah berkumpul. Ki Lurah Agung Sedayu sendiri, Sekar Mirah, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan.
Kepada mereka Agung Sedayupun telah menyampaikan perintah Pangeran Adipati Anom untuk menyerahkan tongkat baja putih yang pada saat itu masih berada di tangan Ki Saba Lintang.
" Apakah kita harus menangkap Ki Saba Lintang " " bertanya Ki Jayaraga.
" Yang penting, kita harus merampas tongkat baja putih itu dari tangannya dan menyerahkannya kepada Pangeran Adipati Anom. " jawab Ki Lurah Agung Sedayu.
" Kenapa dengan tongkal baja putih itu " " bertanya Sekar Mirah.
" Tongkat itu akan dapat selalu menimbulkan persoalan. Tongkat itu akan dapat menjadi lambang kebangkitan satu kekuatan untuk menentang Mataram. Bahkan mungkin pada suatu saat tongkat itu akan dapat. menjldi lambang kekuasaan Jipang yang mengaku, lajer dari kuasa raja-raja di Tanah ini. "
" Tetapi tongkat itu lambang dari sebuah perguruan " berkata 'Sekar Mirah.
" Yang dicemaskan adalah ada kesenjangan untuk memberikan arti yang berbeda untuk kepentingan tertentu. "
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Tongkat baja putih itu tidak lagi menjadi lambang sebuah perguruan yang dikenal sebagai Perguruan Kedung Jati, tetapi pada suatu saat tongkat itu akan dapat menjadi lambang kekuasaaan tandingan dari kekuasaan di Mataram.
" Karena itu, maka tongkat baja putih itu harus diserahkan kepada Pangeran Adipati Anom yang beberapa saat lagi akan menjadi raja di Mataram, menggantikan Kangjeng Panembahan Senapati". "
Namun Sekar Mirahpun berkata " Aku akan dapat menjelaskan, bahwa tongkat itu sama sekali bukan lambang kekuasaaan di atas tanah frii, karena aku juga memilikinya. "
"Tetapi jika keyakinan itu sengaja dihembuskan oleh segolongan tertentu sehingga tersebar di satu lingkungan yang luas, maka akan sulit bagi kita untuk mengimbanginya. "
Sekar Mirahpun mengangguk mengiakan. Dengan nada berat iapun berkata " Apakah tugas itu akan dibebankan kepadaku, karena aku juga memiliki tongkat yang serupa " "
" Tidak Sekar Mirah. Perintah itu diberikan kepadaku. Tetapi memang tidak harus aku sendiri yang melaksanakannya. "
" Jadi, siapa menurut kakang yang pantas untuk melakukannya ?"
" Ada beberapa orang yang pantas untuk mencobanya. Tetapi tidak mengikat. "
" Maksud kakang " "
" Salah seorang dari kita. "
" Ki Lurah " berkata Ki Jayaraga"beri aku kesempatan. Biarlah aku berbuat sesuatu dalam hidupku, sehingga hidupku pernah mempunyai arti, meskipun hanya selembut debu, "
Namun sebelum Ki Lurah Agung Sedayu menjawab, maka Glagah Putihpun berkata " Kakang. Aku menunggu perintahmu. Sebaiknya bukan Ki Jayaraga yang pergi. Biarlah Ki Jayaraga tetap tinggal di sini. Ki Jayaraga sudah terlalu lama mengembara. Aku adalah yang termuda di antara kita semuanya. "
Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. "Ki Patih Mandaraka memang menyebut nama Glagah Putih. Sementara itu, agaknya Glagah Putih.sendiri telah menyatakan, bukan sekedar bersedia untuk melakukannya, tetapi Glagah Putih sendiri telah memintanya. "
"Kakang " berkata Glagah Putih kemudian " beri aku kesempatan. Jika aku yang melakukannya, maka itu akan berarti bahwa Ki Jayaraga telah melakukannya pula Jika muridnya menjalankan tugas, maka itu berarti bahwa gurunya telah melakukannya pula. "
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia mengucapkan sepatah kata jawaban, maka Rara Wulanpun menyela " Aku akan menyertai kakang Glagah Putih, kakang Agung Sedayu. "
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya " Rara Wulan. Seandainya aku menyetujui, Glagah Putih pergi untuk menemukan tongkat baja putih itu, maka aku tentu akan berkeberatan jika kau ikut pergi bersamanya. "
"Kenapa " "
"Tugas itu adalah tugas yang sangat berbahaya. Bahkan kita semuanya sama sekali tidak dapat membayangkan, apa yang akan ditemui oleh Glagah Putih diperjalanannya"
"Apapun yang akan ditemuinya, namun aku bertekad untuk menyertainya. "
"Jangan Rara " berkata Sekar Mirah " seandainya Glagah Putih yang harus berangkat, itu berarti bahwa Glagah Putih akan mengemban tugas dari Pangeran Adipati Anom, yang sebentar lagi akan naik tahta di Mataram. Sementara itu, jika kau pergi bersamanya, kau tidak akan dapat membantunya. Jusuu kau akan menghambat Glagah Putih menjalankan perintah dari Kangjeng Pangeran Adipati Anom. "
" Aku tidak akan mengganggunya. Aku justru ingin membantunya Mungkin ilmuku masih terlalu rendah dibandingkan dengan kakang Glagah Putih, tetapi aku akan dapat menjadi kawan di sepanjang perjalanannya. Aku akan dapat ikut memikul bebannya "
" Ada beberapa keberatan jika kau pergi bersamanya " berkata Agung Sedayu kemudian "Perjalanan Glagah Putih adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Kepergian Glagah Putih bukanlah sekedar pengembaran biasa. Ia mengemban perintah Kangjeng Pangeran Adipati Anom yang sebentar lagi akan duduk di atas singgasana di Mataram. Selebihnya, renungkan Rara. Apakah pantas Rara Wulan, seorang gadis, pergi mengembara bersama seorang anak muda yang bukan suaminya dan bukan pula sanak kadangnya " "
" Kakang " Rara Wulan memang terkejut. Baru kemudian ia menyadari, bahwa Glagah Putih itu masih tetap orang lain baginya
Tiba-tiba saja Rara Wulan itu menutup wajahnya. Di luar sadarnya air matanya mengalir dipipinya.
" Kakang " berkata Rara Wulan disela-sela isaknya " aku mengerti, kakang. Tetapi apakah kakang menduga bahwa aku tidak akan mampu menjaga jarak " "
" Tidak. Bukan aku. Tetapi apa kata orang nanti disepanjang perjalananmu. Jika seseorang bertanya kepadamu, siapakah laki-laki muda yang bersamamu itu, maka apa jawabmu " "
Rara Wulan terdiam. Sementara Agung Sedayupun berkata " Sebaliknya, jika seseorang bertanya kepada Glagah Putih, siapakah perempuan muda yang bersamanya itu " Mungkin kalian dapat mengelabui mereka Tetapi sampai kapan " "
Ruangan itupun menjadi hening sesaat. Rara Wulan menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih nampaknya menjadi gelisah.
Tiba-tiba sambil masih menundukkan kepalanya Rara Wulanpun berkata " Kakang. Bukankah kakang Glagah Putih dapat mengaku aku sebagai adiknya. "
Sekar Mirah Menarik nafas panjang. Dengan sareh iapun berkata " Mungkin orang lain pada satu saat dapat mempercayaimu Rara. Tetapi bukankah sudah banyak orang yang tahu bahwa kau bukan adik Glagah Putih " Sementara itu kau sendiri juga tahu, bahwa kau bukan adik Glagah Putih. "
Mata Rara Wulan masih basah. Disela-sela isaknya iapun berkata " Tetapi aku ingin ikut kakang Glagah Putih. Aku ingin melihat, apa yang ada dibalik cakrawala"Aku tidak mau dikungkung dalam kehidupan yang sempit di Tanah Perdikan ini uja. "
" Kau akan mendapat kesempatan, Rara. Tetapi tidak sekarang. Bukankah kau masih muda sehingga waktumu masih panjang."
" Jika kakang Glagah Putih pergi, aku juga akan pergi. Jika kakang Glagah Putih tidak mengijinkan aku mengikutinya, aku ikan pergi sendiri. "
" Jangan begitu, Rara. Kau menjadi tanggung jawabku disini berkata Sekar Mirah " kau tidak boleh menuruti kehendakmu sendiri. "
" Mbokayu " tangis Rara Wulan " ijinkan aku pergi mengikuti kakang Glagah Putih. Aku akan menanggung segala akibatnya tanpa menuntut tanggung jawab siapapun. Bahkan tanggung jawab kakang Glagah Putih. "
" Rara " " Bukankah aku juga berhak melihat dunia ini seperti orang lani. "
" Tentu, tentu Rara Tetapi sudah aku katakan, pada saatnya nanti Rara akan mendapat kesempatan. "
" Aku tidak mau kesempatan itu datang setelah aku menjadi tua dan tidak lagi mempunyai gairah untuk mengenali kehidupan di balik cakrawala."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki inyaragapun berkata " Rara. Beri waktu sedikit untuk mematangkan ilmumu. Beri batasan waktu, Glagah Putih akan menjeemputmu. "
Tetapi rasa-rasanya hati Rara Wulan sudah mengeras. Sambil menggeleng iapun berkata " Aku akan ikut kakang Glagah Putih, sudah lama aku bermimpi untuk mengembara, melihat isi dunia ini jika aku tidak mempergunakan kesempatan ini, maka aku tidak akan mendapatkannya lagi. "
" Rara " Glagah Putihpun kemudian berkata " aku minta kau mempertimbangkan baik-baik. Bukan aku berkeberatan mengajakmu melihat isi dunia ini. Tetapi kali ini, seandainya kakang Agung Sedayu memerintahkan aku pergi, aku akan mengemban tugas Kangjeng Pangeran Adipati Anom. Jika kau pergi juga bersamaku, maka kesannya bagi Kangjeng Pangeran Adipati Anom, aku tidak bersungguh-sungguh mengemban tugasku. "
Rara Wulan mengangkat wajahnya. Dipandanginya Glagah Putih dengan tajamnya. Katanya "Jika kau tidak mau membawa aku samamu, aku akan pergi sendiri. Aku sudah cukup dewasa, sehingga aku akan dapat melindungi diriku sendiri. Biarlah aku melihat lingkungan yang lebih luas dari Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan lebih luas dari Mataram dan sekitarnya,"
"Jangan begitu. Rara. Kau tidak dapat sekedar menuruti keinginanmu sendiri. "
Rara Wulan tidak menjawab. Namun itu bukan berarti bahwa ia bersedia untuk tinggal di Tanah Perdikan.
Bahkan Agung Sedayupun kemudian berkata " Rara. Aku belum menentukan bahwa yang aku minta untuk pergi adalah Glagah Putih. "
" Kakang " berkata Rara Wulan " aku tahu, bahwa kakang tentu akan memerintahkan kakang Glagah Putih untuk pergi. Jika niat itu batal, tentu akulah yang menyebabkannya. Karena itu, maka lebih baik aku pergi saja dari rumah ini. Tetapi aku tidak akan pulang ke Mataram. "
" Hatimu keras seperti batu " berkata Agung Sedayu. Rara Wulan tidak menjawab.
Meskipun demikian Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tahu pasti, bahwa Rara Wulan tidak ingin mengurungkan niatnya.
Karena itu, untuk meredakan niatnya, Agung Sedayupun berkata " Rara. Jika kau berkeras untuk pergi bersama Glagah Putih, apa boleh buat. Tetapi aku menentukan satu syarat. "
Dengan serta-merta Rara Wulan mengangkat wajahnya sambil bertanya " Apa syaratnya, kakang " "
" Kalian harus sudah menikah. "
" He " Rara Wulan terkejut. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah.
Berbeda dengan Rara Wulan, wajah Glagah Putih justru menjadi pucat. Tetapi Glagah Putih menyadari, bahwa yang dimaksud oleh Agung Sedayu tentu hanya merupakan cara untuk menahan agar Rara Wulan tidak memaksa untuk mengikutinya.
Tetapi jawaban Rara Wulan sangat mengejutkan semua orang yang ada di ruang itu. Tiba-tiba saja Rara Wulan itupun berkata "Aku tidak berkeberatan, kakang. Asal kakang datang menghubungi orang tuaku. Aku tidak memerlukan upacara besar-besaran. Yang penting kami sudah menikah dengan sah dan pantas untuk pergi bersama-sama kemanapun kami kehendaki."
Karena jawaban yang tidak terduga-duga itu, ruangan itupun telah dicengkam oleh ketegangan. Agung Sedayu untuk sesaat justru tidak dapat berkata apa-apa. Ditatapnya Rara Wulan dengan tajamnya.
Baru beberapa saat kemudian, setelah getar di jantung Agung Sedayu meresa, Agung Sedayu itupun bertanya"Kau sadari apa yang kau katakan itu, Rara."
" Aku sadari sepenuhnya, kakang. "
" Rara " berkata Sekar Mirah. Suaranya masih terasa bergetar oleh getar didadanya "Seharusnya kau tahu nilai pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. "
" Aku tahu, mbokayu. Pernikahan adalah ikatan antara seorang laki-Iaki dan seorang perempuan untuk hidup bersama "
" Hanya itu " " bertanya Sekar Mirah.
" Tidak. Pernikahan adalah satu ikatan janji yang agung antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mungkin masing-masing mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Tetapi keduanya harus menyesuaikan dirinya. Keduanya akan memberikan pengorbanan yang seimbang untuk menegakkan ikatan pernikaan itu, dilandasi dengan kasih yang bersumber dari Yang Maha Kasih. "
" Jika demikian, kita tidak akan dapat dengan serta-merta menyatakan kesediaan kita untuk menikah."
" Kami, yang mbokayu maksudkan " Aku dan kakang Glagah Putih yang sudah lama saling mengenal " "
" Ya " " Mbokayu. Jika aku memutuskan untuk bersedia menikah, tentu bukan keputusan yang serta-merta. Kami sudah lama mempersiapkan itu lahir dan batin. Kami sudah lama saling menjajagi dan berusaha untuk menyesuaikan diri."
Glagah Putih yang menjadi sangat gelisah dengan gagap menyela. "Tetapi aku masih belum siap menurut ukuran kewadagan, Rara Aku belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana aku dapat menghidupi keluarga"
" Kakang " sahut Rara Wulan"pernikahan kita adalah syarat untuk dapat mengembara bersama Kita tidak akan segera menyusun sebuah keluarga dan hidup di dalamnya. Kita akan mengembara. Kau dan aku. Aku tidak memerlukan sebuah rumah betapapun kecilnya. Aku tidak memerlukan uang belanja untuk keperluan kita sehari-hari. Aku tidak memerlukan pakaian selain yang aku pakai, apalagi perhiasan. Aku tidak memerlukan apa-apa yang harus kau penuhi. Kita akan hidup disepanjang jalan. Di bulak-bulak panjang. Mungkin di hutan-hutan atau disepanjang lereng pegunungan. Kita hanya memerlukan bekal sekedarnya untuk mulai dengan pengembaraan ini. "
" Bukan itu yang akan terjadi jika menikah. "
" Ya. Itulah yang akan terjadi. "
" Jika demikian apakah artinya, perjanjian agung sebagaimana kau katakan " "
" Apakah kita tidak dapat melakukannya di dalam pengembaraan kita " Apakah kita tidak dapat saling menyesuaikan diri dalam perjalanan yang panjang itu. Apakah kita tidak dapat saling memberikan pengorbanan dengan ikhlas serta saling mengasihi " Lalu apa lagi " "
" Rara " Sekar Mirah masih berusaha untuk berbicara dengan lembut " Nampaknya kau tahu benar arti dari sebuah pernikahan, Rara. Semua itu kau katakan dengan lancar. Tetapi seperti gejolak air dipermukaan. Tidak terasa kedalamannya. "
" Aku berkata sebenarnya menurut kata nuraniku, mbokayu. Aku tidak mempertentangkan pernikahan kami dengan pengembaraan yang akan kami lakukan bersama-sama. "
Sekar Mirah, Agung Sedayu dan Ki Jayagara menjadi kebingungan untuk mengatasi niat Rara Wulan. Agaknya ia benar-benar sudah mengambil keputusan untuk pergi bersama Glagah Putih untuk melihat luasnya cakrawala. Selama ini Rara Wulan merasa terkungkung di dalam bingkai Tanah Perdikan Menoreh. Jarang sekali ia pergi melihat dunia di luar batas Tanah Perdikan.
Agung Sedayupun akhirnya berkata " Baiklah. Besok kita akan berbicara lagi. "
" Kenapa besok, kakang ?"bertanya Rara Wulan.
" Kita akan sempat menenangkan jantung kita masing-masing Mudah-mudahan besok kita dapat berbicara dalam suasana yang lebih tenang. "
" Kakang berharap aku benibah sikap " "
" Ya "jawab Agung Sedayu.
Rara Wulan menggeleng. Katanya " Aku tidak akan berubah sikap. Lagi kakang Agung Sedayu sendiri yang menentukan syaratnya, sementara aku bersedia memenuhinya. Jika besok kakang Glagah Putih menolak, maka semuanya akan berakhir sampai disini. "
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hati Rara Wulan telah menjadi sekeras batu. Maka bagi Glagah Putih tidak ada jalan lain kecuali memenuhi keinginannya itu.
Namun Agung Sedayupun kemudian berkata "Sudahlah. Beristitahatlah. Besok kita akan berbicara lagi. "
Rara Wulanpun segera bangkit berdiri. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke biliknya. Dijatuhkannya dirinya di pembaringannya menelungkup. Disembunyikan wajahnya dibalik kedua telapak tangannya
Rara Wulan itupun menangis pula
Sementara itu, Glagah Putih masih duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, sedangkan Sekar Mirah menyusul Rara Wulan ke biliknya.
Di dalam bilik Rara Wulan, Sekar Mirahpun duduk di bibir pembaringan. Dibelainya kepala gadis yang menangis sambil berkata lembut "Sudahlah, rara. Jika Rara memang berkeras untuk pergi, apaboleh buat. Tetapi seperti yang dikatakan oleh kakang Agung Sedayu, sebaiknya Rara Wulan menikah lebih dahulu. Karena Rara masih mempunyai orang tua, maka biarlah persoalannya dibicarakan dengan orang tua, Rara. Apalagi orang tua Rara bukan orang kebanyakan. Karena orang tua Rara Wulan adalah seorang pejabat di Mataram."
Rara Wulan itupun kemudian bangkit dan duduk disebelah Sekar Miiah. Disela-sela isak tangisnya, Rara Wulan itupun berkata " Apakah dengan demikian, kakang Agung Sedayu ingin bersandar kepada orang tuaku."
" Maksud Rara Wulan ?"
" Kakang Agung Sedayu memperhitungkan bahwa orang tuaku tidak akan mengijinkannya."
"Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi kakang Agung Sedayu dan tentu saja orang banyak, akan membicarakan kepergianmu berdua dengan Glagah Putih. Jika kalian masih tetap orang lain, maka kalian tentu akan menjadi bahan pembicaraan yang berkesan kurang baik."
" Aku mengerti, mbokayu. Tetapi seandainya orang tuaku tidak mengijinkan, aku akan tetap pergi."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Aku hargai kekerasan hatimu, Rara. Tetapi aku minta kau tidak terlalu surut dalam arus perasaanmu. Selebihnya, kakang Agung Sedayu masih harus menghadap Ki Patih Mandaraka untuk menyampaikan pilihannya siapakah yang akan pergi mencari tongkat baja putih itu. Bahkan mungkin Glagah Putih tidak akan sendiri. Jika Ki Mandaraka menghendaki seseorang untuk pergi bersama Glagah Putih, maka Glagah Putih tidak akan dapat menolak."
" Mbokayu " berkata Rara Wulan " mungkin ada banyak cara untuk mencegahku. Tetapi aku sudah mengambil keputusan untuk pergi."
" Apa yang sebenarnya mendorongmu untuk dengan tiba-tiba berniat pergi mengikuti Glagah Putih " Bukankah kemungkinan bagi Glagah Putih mengembara juga baru saja kau dengar ?"
" Mbokayu. Sebenarnya keinginan ini sudah lama tumbuh didalam hatiku. Karena itu ketika mbokayu dan kakang Agung Sedayu pergi ke Jati Anom untuk menghadapi para pengikut. Ki Saba Lintang, akupun ingin sekali untuk kut serta. Sekarang, tiba-tiba saja aku mendengar bahwa kakang Glagah Putih akan mendapat tugas untuk mencari tongkat baja putih itu. Bukankah ini kesempatan pula bagiku untuk melihat-lihat! luasnya cakrawala ?"
" Rara " berkata Sekar Mirah " seharusnya kau tidak tergesa-gesa Bukankah kau sedang berguru, memperdalam ilmu, khususnya ilmu kanuragan " Kau sebaiknya bersabar sampai kau memiliki landasan ilmu yang kokoh."
" Aku akan dapat meningkatkan ilmu disepanjang perjalananku bersama kakang Glagah Putih. Serba sedikit aku sudah mempunyai bekal."
Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas panjang. Nampaknya sulit untuk mencegah Rara Wulan agar tidak ikut dalam pengembaraan yang akan dilakukan oleh Glagah Putih.
Dalam pada itu, Agung Sedayu sudah memberitahukan kepada Glagah Putih, bahwa ia akan diajak bersama-sama menghadap Ki Patih Mandaraka.
" Kau akan mendapatkan pesan-pesannya."
" Baik, kakang"jawab Glagah Putih.
Namun tidak seorangpun yang dapat mencegah niat Rara Wulan. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun akhirnya mengalah. Tetapi agar mereka tidak harus menanggung beban tanggung jawab sepenuhnya, maka mereka akan menghubungi orang tua Rara Wulan. Bahkan Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun benar-benar ingin mengatur agar keduanya menikah lebih dahulu sebelum mengembara bersama-sama.
Ketika Glagah Putih menghadap Ki Patih Mandaraka, maka Agung Sedayu telah berterus-terang menyampaikan kepada Ki Patih, bahwa Glagah Putih akan menjalankan tugasnya bersama dengan seorang gadis yang bernama Rara Wulan. Agung Sedayupun mengatakan, bahwa keduanya akan menikah lebih dahulu sebelum keduanya berangkat menjalankan tugas itu.
Ki Patih tersenyum. Katanya " Baiklah. Jika itu yang mereka kehendaki. Tetapi kau harus memberitahukan kepada Rara Wulan, bahwa tugas ini sangat berat."
" Ya, Ki Patih."
" Glagah Putih " berkata Ki Patih kemudian " perjalananmu bukan perjalanan tamasya dan berbulan madu."
" Ya, Ki Patih."
" Nah, matilah kita menghadap Pangeran Adipati Anom. Tetapi kepada Pangeran Adipati Anom, kalian tidak perlu menceritakan, bahwa Glagah Putih akan pergi bersama dengan Rara Wulan yang akan menjadi isterinya."
" Ya, Ki Patih."
" Biarlah Glagah Putih menerima perintah ini langsung dari Pangeran Adipati Anom."
Jilid 333 GLAGAH PUTIH diantar oleh Ki Patih Mandaraka dan Agung Sedayu telah menghadap Pangeran Adipati Anom. Ia langsung mendengar perintah Pangeran Adipati Anom kepadanya "Bawa tongkat baja putih itu ke Mataram, dan serahkan padaku."
Glagah Putih menunduk dalam-dalam. Terdengar suaranya bergetar " Hamba Pangeran. Hamba akan membawa tongkat baja putih itu ke Mataram. Semoga Yang Maha Agung memberi kemampuan kepada hamba. Doa restu Kangjeng Pangeran yang hamba mohon."
"Perincian perintah itu akan diberikan oleh eyang Patih Mandaraka."
"Hamba Pangeran."
Perintah Kangjeng Pangeran Adipati Anom singkat dan tegas. Kemudian Kangjeng Pangeran itupun meninggalkan Ki Patih Mandaraka yang masih akan memberikan beberapa pesan khusus kepada Glagah Putih.
Ki Patihpun kemudian memberikan beberapa pesan lagi kepada Glagah Putih. Bahkan Ki Patih itupun telah minta agar Glagah Putih bermalam dikepatihan.
"Aku ingin memberikan sedikit petunjuk khusus tentang ikat pinggangmu itu, Glagah Putih."
"Hamba akan sangat berterima kasih."
"Sementara itu, biarlah kakangmu Agung Sedayu kembali lebih dahulu ke Tanah Perdikan. Bukankah kakangmu Agung Sedayu akan mengurus segala sesuatunya berhubungan dengan hari pernikahanmu dengan Rara Wulan."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian, maka ketiganyapun telah kembali ke Kepatihan. Ki Patih Mandaraka minta agar Glagah Putih ditinggal saja di Kepatihan selama tiga hari tiga malam.
" Ia akan menjalani laku khusus."
Agung Sedayu tidak berkeberatan. Setelah beristirahat beberapa saat di Kepatihan, maka Agung Sedayupun segera minta diri.
" Besok aku akan kembali bersama Sekar Mirah Ki Patih. Jika Ki Patih tidak berkeberatan, kami akan mohon diijinkan bermalam disini, sementara kami akan menghubungi orang tua Rara Wulan,"
" Tentu aku tidak berkeberatan" berkata Ki Pulih Mandaraka.
"Setelah tiga hari tiga malam, maka kami akan mengajak Glagah Putih langsung ke Jati Anom untuk menemui paman Widura dan kakang Untara, sehubungan dengan pernikahannya. Mereka akan mengerti, bahwa upacara ini akan berlangsung sangat sederhana. Besok. jika segala sesuatunya sudah selesai, maka tidak ada salahnya keluarga Rara Wulan dan keluarga Agung Sedayu menyelenggarakan upacara meriah dengan mengundang banyak orang."
Demikianlah hari itu juga. Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia minta Sekar Mirah bursiap-siap untuk pergi ke Mataram. Mereka akan mewakili orang tua Glagah Putih menemui orang tua Rara Wulan, seorang yang terpandang di Mataram
Persoalan yang dikemukakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang sangat mengejutkan. Mula-mula orang tua Rara Wulan sungat berkeberatan. Namun Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun menjelaskan bahwa mereka tidak dapat lagi mencegah Rara Wulan. Sementara itu, tentu bukan pilihan yang baik, jika Glagah Putih dan Rara Wulan perrgi mengembara berdua, sementara mereka masih belum terikat dalam perkawinan.
" Bukannya kami tidak percaya kepada keduanya, tetapi kami hanya ingin meredam kata orang"
Kakek Rara Wulan yang sudah menjadi semakin tua, Ki Lurah Branjangan, ternyata mendukung rencana Agung Sedayu itu. Sehingga akhirnya orang tua Rara Wulanpun tidak mempunyai pilihan lain.
" Tetapi kami ingin bertemu dengan Rara Wulan lebih dahulu " minta orang tua Rara Wulan.
Dalam waktu sebulan, segala sesuatunya telah selesai. Tidak ada upacara yang meriah. Yang diundangnya hanya sanak kadang terdekat
Namun dalam waktu yang sebulan itu telah banyak sekali yang terjadi. Kecuali perkawinan Glagah Putih dengan Rara Wulan, maka keduanyapun telah sempat menempa diri pada saat-saat menjelang perjalanan yang gawat. Terutama Rara Wulan. Agung Sedayu sendiri bersama Ki Jayaragalah yang telah membuka kemungkinan bagi Rara Wulan untuk meningkatkan ilmunya disepanjang perjalanannya
Sementara itu, Glagah Putihpun telah menjalani laku khusus. Ki Patih Mandaraka telah memberikan petunjuk terperinci tentang ikat pinggang yang telah diserahkannya kepada Glagah Putih beberapa waktu sebelumnya.
Pangeran Adipati Anom sendiri seakan-akan sudah melupakan perintahnya kepada seorang anak muda yang bernama Glagah Putih. Kangjeng Pangeran Adipati Anom memang tidak memberikan batasan waktu. Segala sesuatunya tentang tongkat baja putih itu sudah diserahkan kepada kebijaksanaan Ki Patih Mandaraka.
Pada hari-hari terakhir menjelang keberangkatan Glagah Putih, maka Ki Patih Mandaraka telah memberikan bekal secukupnya Bahkan Ki Patih itupun berpesan "Jika perlu datanglah ke kepatihan. Aku tidak berpesan, bahwa kalian tidak boleh kembali sebelum membawa tongkat baja putih itu. Tidak. Kembalilah kapan saja jika perlu. Mungkin bekalmu habis. Mungkin kau memerlukan nasehat dan petunjuk, atau ada kemungkinan-kemungkinan yang lain yang kau perlukan."
Glagah Putih mengangguk dalam-dalam. Dengan nada dalam iapun berkata "Terima kasih atas segala kemurahan Ki Patih Mandaraka Hamba .akan melakukan apa saja yang dapat hamba lakukan untuk melaksanakan perintah ini."
" Yakinkan dirimu. Sementara itu disetiap saat kaupun harus mendekatkan dirimu kepada Yang Maha Agung. Kau harus selalu mohon petunjuk serta perlindungannya. Tugas yang kau emban adalah tugas yang mulia. Yang penting bukan tongkat baja putih itu sendiri. Tetapi akibat dari keberadaannya diantara orang-orang yang tamak dan kehilangan kendali diri. Jika kau berhasil, maka itu berani bahwa kau telah menghindarkan benturan-benluran kekerasan yang akan dapat menelan banyak korban. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti persoalannya. "
Sekali lagi Glagah Putih mengangguk dalam-dalam
" Nah, kau dapat berangkat kapan saja. "
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Mereka sepakat untuk berangkat dan Tanah Perdikan Menoreh, dari rumah Agung Sedayu
Bekal yang dibawa oleh Agung Sedayu dan Rara Wulan, selain uang yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka. mereka juga membawa berbagai jenis obat-obatan. Bahkan Agung Sedayu telah membekali sedikit pengetahuan tentang obat-obatan sehingga jika diperlukan, Glagah Putih akan dapat meramu obat obatan sendiri, meskipun terbatas sekali.
"Perjalananmu panjang Glagah Putih dan Rara Wulan" berkata Agung Sedayu" hati-hatilah disepanjang jalan Aku katakan atau tidak aku katakan, kalian seharusnya sudah tahu, bahwa taruhan dari perjalanan kalian adalah seluruh hidup kalian."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk.
Sebenarnyalah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Jayaraya tidak begitu banyak memikirkan kepergian Glagah Putih. Glagah Putih sendiri sudah mempunyai pengalaman yang akan dapat memberikan tuntunan kepadanya. Namun rasa-rasanya jantung mereka tergetar jika mereka melihat Rara Wulan yang akan menyertai kepergian G;agah Putih itu
Bahkan hampir semalam suntuk Sekar Mirah tidak dapat tidur, menjelang keberangkatan Glagah Putih dan Rara Wulan di pagi harinya
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan juga minta ijin kepada Ki Gede Menoreh sehari menjelang keberangkatan mereka.
Tetapi Glagah Putih tidak menyebutkan tugas kepergiannya secara terbuka. Bagaimanapun juga tugas yang diembannya adalah tugas khusus.
Kepada Empu Wisanata dan Nyi Dwani, Glagah Putih juga tidak menyebutkan dengan jelas, tugas apa yang sebenarnya diembannya. Bagaimanapun juga, Glagah Putih sadar, bahwa keduanya pernah berada didalam lingkungan mereka yang menginginkan kebangkitan sebuah kekuatan dengan landasan sebuah perguruan dengan lambang kepemimpinannya sepasang tongkat baja putih.
Pada saatnya Glagah Putih dan Rara Wulan berangkat meninggalkan rumah Agung Sedayu, maka pagi-pagi sekali seisi rumah itu sudah terbangun. Bahkan Sekar Mirah yang hampir tidak tidur semalam suntuk, telah menyiapkan minuman hangat serta makan pagi bagi keduanya.
Sukra merasa sangat kecewa, bahwa Glagah Putih akan pergi untuk waktu yang tidak diketahui. Namun Glagah Putih sudah memberikan beberapa pesan dan petunjuk kepadanya, sehingga Sukra itu dapat berlatih sendiri meningkatkan ketrampilan yang landasannya telah dimilikinya.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah siap untuk berangkat.
Sekar Mirah yang memiliki pengalaman yang luas itu, rasa-rasanya tidak sampai hati melepaskan Rara Wulan pergi. Ketika mereka sudah turun ke halaman, maka dipeluknya Rara Wulan yang telah menjadi isteri Glagah Putih itu. Titik-titik air matanya membuat mata Sekar Mirah berkaca-kaca.
" Hati-hati diperjalanan Rara"desis Sekar Mirah.
Mata Rara Wulanpun menjadi basah. Namun Rara Wulan itupun tersenyum sambil berkata"Doakan aku mbokayu."
Sekar Mirah mengangguk. Katanya" Ya. Aku akan selalu berdoa untuk kalian berdua"
Ketika mereka sudah melintasi halaman, maka merekapun berhenti di regol. Glagah Putih dan Rara Wulan telah mencium tangan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Jayaraga
Sukra yang juga melepas Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri bagaikan membeku.
" Kau harus rajin berlatih, Sukra" pesan Glagah Putih. Sukra mengangguk.
Sejenak kemudian, maka kedua orang suami isteri itupun melangkah meninggalkan regol halaman rumah Agung Sedayu. Yang melepas mereka diregol halaman masih berdiri termangu-mangu.
Agung Sedayu yang berpaling kepada isterinya, melihat mata yang masih berkaca-kaca itu. Dengan nada dalam Agung Sedayupun berkata " Aku percaya kepada mereka."
Sekar Mirah mengangguk. Namun iapun bertanya dengan suara yang bergetar " Kemaim tujuan mereka pertama-tama ?"
" Tentu ke Jati Anom. Keduanya akan menghadap Paman Widura dan kakang Untara. Merekapun akan mulai pelacakan mereka dari keterangan orang-orang yang tertangkap di lemah Cengkar.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Semoga mereka dapat melakukan tugas mereka dan berhasil dengan baik."
" Yang Maha Agung akan membimbing mereka." desis Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang menempuh pengembaraan mereka dengan berjalan kaki, telah meninggalkan pintu gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Justru karena perjalanan mereka akan panjang tanpa batas, maka mereka tidak nampak tergesa-gesa. Mereka berjalan sambil memindangi hijaunya sawah yang membentang di bulak yang panjang. Embun masih nampak bergayut diujung daun padi yang hijau.
Di tengah bulak mereka berpapasan dengan seorang anak muda yang baru pulang dari sawahnya melihat apakah air telah cukup banyak menggenang di sawahnya, yang bertanya dengan nada tinggi "Kemana Glagah Putih ?"
Glagah Putih tersenyum sambil menjawab "Aku akan pergi menemui ayah."
"O.Dimana?" " Di Jati Anom."
" Bukankah Jati Anom itu jauh dari sini ?"
" Ya Agak jauh."
" Kau hanya berjalan kaki saja " Bukankah kau sering pergi berkuda " Manakah yang lebih jauh, Mataram atau Jati Anom."
Glagah Putih tertawa Jawabnya "Sama jauhnya."
" Dimana kudamu yang besar dan tegar itu ?"
" Kuda kami sedang beristirahat" jawab Glagah Putih.
Anak muda itu tidak bertanya lagi. Baginya, kepergian Glagah Putih dan Rara Wulan itu wajar-wajar saja, karena keduanya telah menikah.
" Agaknya mereka akan menikmati hari-hari bahagia mereka " berkata anak muda itu di dalam hatinya
Pertanyaan serupa ternyata banyak didengarnya ketika mereka melewati padukuhan-padukuhan di lingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang, apalagi anak-anak muda, telah mengenalnya dengan baik. Mereka selalu menanyakan, kenapa mereka berdua hanya berjalan kaki, sementara mereka tahu, bahwa Rara Wulanpun sering sekali naik kuda pula.
Tetapi hampir semua orang berpendapat, justru karena keduanya pengantin baru, maka keduanya ingin menikmati tamasya mereka sebaik-baiknya
Ketika kemudian matahari naik, Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah mengikuti jalan yang agak ramai menuju Kali Praga. Mereka akan menyeberangi Kali Praga di penyeberangan sisi Utara.
Ketika mereka mengikuti jalan yang agak menurun, mereka sudah melihat lajur arus Kali Praga yang kecoklat-coklatan.
Namun persoalan pertama telah mereka temui ketika mereka sampai di tepian. Agaknya pakaian Rara Wulan telah menarik perhatian beberapa orang yang sudah lebih dahulu berada di tepian. Beberapa orang laki-laki yang terhitung masih muda memperhatikan pakaian Rara Wulan dengan tanpa segan-segan. Bahkan seorang diantara mereka melangkah mendekatinya.
Glagah Putih menyadari, bahwa Rara Wulan tentu merasa terganggu dengan sikap orang-orang itu. Sambil berjalan ditepian Glagah Putih-pun berdesis " Biarkan saja mereka itu. Asal mereka tidak berbuat lebih jauh lagi."
Rara Wulanpun mencoba untuk tidak menghiraukan mereka. Namun tiba-tiba saja seorang diantara mereka bertanya " He, nduk. Kau akan pergi kemana?"
Rara Wulan bergeser dari sebelah kiri ke sebelah kanan Glagah Putih tanpa menghiraukan orang yang bertanya itu. Namun ternyata orang itu mendahului mereka berdua dan berhenti beberapa langkah di hadapan Glagah Putih.
Glagah Putih tidak dapat berbuat lain kecuali juga berhenti. Dengan demikian, maka Rara Wulanpun telah berhenti pula.
Orang yang menghentikan keduanya itu tertawa. Dengan nada datar orang itupun bertanya "Kalian akan pergi kemana " "
Sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan menjawab, lima orang telah mengerumuni mereka.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun menjawab " Kami akan pergi ke Mataram, Ki Sanak. Apakah yang aneh pada kami ?"
Orang yang berdiri di hadapan Glagah Putih itu lertawa. Katanya " Kau memang tidak aneh, anak muda. Pegang dilambungmu tidak terasa aneh, karena hampir setiap laki-laki membawa senjata apapun ujudnya, Tetapi perempuan yang berjalan bersamamu itu nampak aneh dimataku. Pakaiannya yang khusus serta pedang dilambung itu memberikan kesan tersendiri."
" Biarlah kami berjalan. Ki Sanak."
Orang itu tertawa. Katanya " Kalian tentu belum mengenal kami. Kami adalah orang-orang Mataram. Kami baru saja pergi untuk bersamadi di Bukit Tugu. Di seberang Pagunungan Menoreh. Buku kecil yang tidak banyak dikenal orang. Tetapi kami mendapat wangsit untuk bersamadi di bukit itu."
" O " Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya Kalian sudah melakukannya ?"
" Sudah anak muda. Tiga hari tiga malam kami berada di atas bukit kecil itu."
-"Sekarang kalian akan pulang?"
" Ya. Kami akan pulang. Kami ingin mempersilahkan kalian berdua singgah di rumah kami."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mendengar ajakan seperti itu. Sikap orang itu adalah permulaan dari sikapnya yang lebih kasar. Sekar Mirah pernah juga mengalaminya
Namun Glagah Putih masih mencoba untuk menghindari perselisihan. Karena itu, maka iapun berkata " Terima kasih Ki Sanak. Tetapi sayang sekali bahwa kami tidak dapat memenuhinya. Kami mempunyai keperluan yang penting yang harus segera kami selesaikan. Mungkin pada kesempatan lain kami dapat singgah. "
Orang itu tertawa. Namun iapun bertanya " Keperluan apa " Apakah begitu pentingnya sehingga kau tidak dapat menundanya barang sehari?"
" Jangankan sehari, Ki Sanak. Kami benar-benar tidak mempunyai waktu sekarang ini. "
" Jangan sombong " berkata orang lain yang berdiri mengitarinya " seharusnya kalian tidak menolak."
Ternyata Glagah Putih masih belum sesabar Agung Sedayu meskipun atas petunjuk kakak sepupunya itu, ia mencobanya Karena itu maka Glagah Putih itupun berkata " Minggirlah. Jangan halangi jalanku."
Kelima orang itu tertawa berbareng. Orang yang berdiri dihadapan Glagah Putih itupun berkata " Jangan terlalu garang anak muda. Kau tahu, bahwa kami baru saja menyepi. Melakukan samadi di Bukit Tugu. Tiba-tiba saja kami bertemu dengan seorang perempuan yang sangat menarik perhatian kami. Apa salahnya jika kami mempersilahkan singgah. "
Glagah Putih menggeram. Sementara orang itu masih juga bertanya " Siapakah perempuan itu" Istrimu " Adikmu atau siapa dan apa hubungannya dengan kau anak muda " "
Glagah Putih tidak menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia melangkah maju. Didorongnya orang itu dengan deras, sehingga orang itu terdorong beberapa langkah surut dan bahkan terjatuh di pasir tepian.
Namun dengan cepat orang itu bangkit-berdiri. Ia masih saja tertawa Suara tertawanya justru terdengar menghentak-hentak.
Beberapa orang yang berada di tepian menyaksikan peristiwa itu dengan jantung yang berdebar. Beberapa orang dengan cepat naik keatas rakit dan mendesak kepada tukang satangnya, agar segera menyeberang ke sebelah Timur.
" Kami tidak ingin melihat keributan. "
Seorang diantara tukang satang itupun berkata "Kelima orang itu telah membuat keributan pula sepekan yang lalu. Dua orang telah menjadi korban mereka. "
" Tidak ada yang berusaha mencegahnya " "
" Tidak ada yang berani melakukannya Mereka tidak segan-segan melakukan kekerasan. "
" Untunglah bukan aku sasarannya " desis seorang perempuan kurus yang sudah separo baya. Rambutnya kusut sedangkan wajahnya nampak pucat
Beberapa orang didalam rakit itu berpaling kepadanya Seorang di antaranya mengelus dadanya. Seorang yang lain menarik nafas panjang. Seorang laki-laki yang duduk disebelahnya mengusap keringat di keningnya
Tetapi perempuan itu sama sekali tidak mengacuhkannya Bahkan kemudian dilepaskan bakul yang digendongnya dan diletakannya di depannya.
"Kelima orang itu merampas uang" berkata tukang satang yang lain.
" O. Kenapa tidak dilaporkan kepada para petugas atau prajurit atau siapapun yang berwenang?"
" Nampaknya mereka menjalankan kegiatan di tempat yang berpindah-pindah. Baru saja sepekan mereka berada disini. Sebelumnya kami belum pernah melihatnya "
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar telah kehilangan kesabaran mereka. Karena itu, maka Glagah Puuhpun berkata " Minggirlah. Jangan ganggu kami. Bukankah kami juga tidak mengganggu kalian."
" Anak ini keras kepala " berkata orang yang telah didorong oleh Glagah Putih " kami harus membuat anak muda ini menyesali tingkah lakunya. Biarlah ia terkapar di tepian. Kita hanya memerlukan perempuan itu. "
Namun orang itu terkejut sekali ketika tiba-tiba saja Rara Wulan telah menyerangnya. Dengan derasnya kaki Rara Wulan menghantam dada orang itu, sehingga orang itu terpental beberapa langkah surut. Tanpa dapat menguasai keseimbangannya maka orang itu jatuh terlentang.
Laki-laki itu tidak tertawa sebagaimana ketika Glagah Putih mendorongnya. Tetapi orang itu menyeringai menahan nyeri di dadanya Nafasnya menjadi sesak dan tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak.
Laki-laki itu tidak dapat meloncat bangkit. Tetapi iapun berdiri tertatih-tatih sambil mengumpat kasar. Sementara Rara Wulan telah berdiri di hadapannya sambil bertolak pinggang.
" Katakan sekali lagi penghinaan itu " geram Rara Wulan.
Ketika keempat kawannya bergeser mendekat. Glagah Putihpun berkata "Jangan ikut campur. Atau kalian akan mengalami penyesalan lebih dalam dari orang itu. "
Jantung keempat orang itu terasa berdegup semakin keras Namun yang berdiri dihadapan mereka hanyalah seorang anak muda. Karena itu, seorang diantara merekapun berkata "Jangan terlalu .sombong anak muda Kaulah yang akan menyesal. "
Glagah Putih tidak banyak berbicara lagi. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi keempat orang itu.
Keempat orang itupun segera mengepung Glagah Putih. Mereka mengira bahwa seorang kawannya yang berhadapan dengan Rara Wulan akan segera dapat menghentikan perlawanan perempuan itu dan bahkan menguasainya. Sementara itu, keempat orang itu ingin melumpuhkan anak muda yang dianggapnya terlalu sombong itu.
Sejenak kemudian, laki-laki yang berhadapan dengan Rara Wulan itupun telah mempersiapkan dirinya pula. Dikerahkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit di dadanya. Dengan demikian, muka aa berharap bahwa ia akan segera memaksa perempuan itu tunduk kepadanya.
" Kau akan merangkak dihadapanku sambil menangis mohon ampun. Kau akan pasrah kepadaku tanpa syarat Sementara itu, anak muda itu apakah ia kakakmu atau suamimu atau siapapun, akan terkapar tidak berdaya. Jika kau mencoba melawan kehendakku, maka laki-laki muda itulah yang akan mengalami bencana. "
Tetapi Rara Wulan tidak menghiraukannya Iapun telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Rara Wulanpun meloncat mengelak ketika laki-laki itu menjulurkan tangannya sehingga tidak menyentuhnya sama sekali. Bahkan dengan cepat Rara Wulan memutar tubuhnya sambil mengayunkan kakinya mendatar.
Orang itu terkejut Ia tidak sempat mengelak ketika kaki Rara Wulan menyambar lambungnya.
Sekali lagi orang itu terdorong surut dan bahkan jatuh terpelanting di tepian. Bahkan hampir saja ia terlempar masuk ke dalam arus Kali Praga.
Beberapa orang yang menyaksikan serangan Rara Wulan itupun terkejut Jantung mereka tergetar ketika mereka melihat laki-laki yang mengganggu perempuan itu terlempar jatuh lagi, bahkan hampir terperosok ke dalam aliran Kali Praga
Orang itu berusaha untuk segera bangkit Nyeri di tulang-tulang iganya masih terasa Sementara itu, lambungnyapun terasa sakit sekali.
Laki-laki itu menggeram. Rasa-rasanya ia ingin memanggil satu dua orang kawannya untuk melawan perempuan itu. Tetapi untuk menjaga harga dirinya, niat itu diurungkannya. Ia merasa malu bahwa untuk melawan seorang perempuan ia harus minta seorang kawannya membantu.
Karena itu, maka orang itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih berusaha untuk mengalahkan Rara Wulan. Menundukkannya dan memaksanya merangkak di hadapannya untuk minta diampuni.
Tetapi usahanya itu ternyata sia-sia. Serangan-serangannya sama sekali tidak dapat menembus pertahanan Rara Wulan. Bahkan serangan-serangan Rara Wulanlah yang hampir selalu dapat mengenai tubuhnya. Semakin lama semakin sering, sehingga semakin lama tubuhnya terasa menjadi semakin sakit di mana-mana Dadanya, lambungnya, perutnya, bahunya dan bahkan keningnya
Namun orang itu masih berpengharapan. Jika keempat kawannya mampu menguasai anak muda itu, maka anak muda itu akan dapat dipergunakannya untuk memaksa perempuan muda itu menyerah.
Sementara itu, Glagah Putihpun harus berloncatan dengan cepatnya menghadapi keempat lawannya. Namun keempat orang itu bagi Glagah Putih tidak cukup berbahaya. Karena itu, maka Glagah Putih sama sekali tidak mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, lawan Rara Wulan yang semakin terdesak itupun tiba-tiba saja berteriak "Lumpuhkan anak itu. Kalian akan dapat memaksa perempuan ini menyerah. Jika perempuan ini menjadi keras kepala, maka laki-laki itu dapat kita bunuh saja di tepian ini."
Glagah Putih justru tersenyum. Ia mengerti, bahwa orang itu menjadi semakin terdesak. Karena itu, maka ia ingin memaksa Rara Wulan untuk menghentikan perlawanannya jika keempat orang Itu dapat menguasainya
Tetapi Glagah Putih justru menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara keempat orang itu telah terpelanting dan jatuh terlentang di tepian. Dengan susah payah ia bangkit berdiri. Tetapi sebelum ia sempat mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya, seorang kawannya telah terdorong surut menimpanya.
Kedua-duanyapun telah jatuh berguling di atas pasir. Meskipun keduanya berusaha dengan serta-merta meloncat bangkit, tetapi keduanya harus menahan nyeri di dadanya
Rara Wulanpun melihat, bahwa keempat lawan Glagah Putih tidak akan dapat mengalahkannya. Karena itu, maka iapun menjadi semakin kuat menekan lawannya
Laki-laki yang bertempur melawan Rara Wulan itupun menjadi semakin sulit menghadapi lawannya yang justru menjadi semakin garang. Beberapa kali tangan Rara Wulan mengenai keningnya. Kakinya menyambar dadanya bahunya atau lambungnya.
Dalam keadaan yang sulit itu, tiba-tiba saja hampir di luar sadarnya, laki-laki itu menghunus kerisnya. Keris yang pamornya berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari.
Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Kau telah mempersulit dirimu sendiri. Jika aku juga menarik pedangku, maka umurmu akan sampai pada batasnya. Kau tahu, bahwa pedangku lebih panjang dan lebih kuat dari kerismu. "
Tetapi orang itu menjawab "Persetan dengan pedangmu. Kerisku adalah keris pusaka yang sangat bertuah. "
" Tetapi kerismu tidak akan berdaya menghadapi pedangku. Karena itu, sarungkan saja kerismu itu. "
Orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja orang itu meloncat menyerang dengan garangnya. Kerisnya menikam kearah jantung Rara Wulan.
Rara Wulan terkejut. Dengan cepat ia bergeser sambil memiringkan tubuhnya, mengelakkan serangan yang sangat tiba-tiba itu.
Tetapi keris lawannya itu tiba-tiba saja menebas kesamping mendatar menyambar kearah dada.
Rara Wulan yang terdesak itu dengan cepat meloncat surut.
Namun lawannya tidak melepaskannya Dengan garang ia memburu. Kerisnya terayun-ayun mengerikan.
Rara Wulan yang harus berloncatan menghindar itu menjadi marah. Dengan kecepatan yang tinggi ia melenting mengambil jarak. Sekali ia berputar di udara Kemudian berdiri tegak dia tas kedua kakinya.
Ketika lawannya meloncat sambil menjulurkan kerisnya. Rara Wulan menangkis keris itu dengan pedangnya.
Benturan yang terjadi telah mengejutkan lawannya. Kerisnya yang ditepis kesamping itu hampir saja terlepas dari tangannya. Terasa telapak tangan menjadi pedih, seperti tersentuh bara.
Rara Wulan yang marah tidak memberinya kesempatan. Rara Wulanlah yang kemudian mengayunkan pedangnya menyerang lawannya Ketika lawannya meloncat surut, Rara Wulanpun mengejarnya.
Dengan derasnya Rara Wulanpun mengayunkan pedangnya menyambar kearah dada lawannya. Dengan tergesa-gesa lawannya itu melenting beberapa langkah untuk mengambil jarak. Namun Rara Wulan memburunya. Pedangnya terjulur lurus kearah jantung.
Lawannya tidak mempunyai banyak kesempatan. Ia berusaha menepis pedang itu dengan kerisnya. Namun pedang itu seakan-akan menggeliat dan berputar. Kemudian mengungkit dengan kerasnya, sehingga keris itu terlepas dari tangan lawannya, terlepas keudara dan jatuh beberapa langkah dari kaki lawannya
Kemarahan Rara Wulan tidak tertahankan lagi. Pedangnya itupun kemudian hampir saja terayun menebas kearah dada
Namun terasa tangan yang kuat telah menahan tangan Rara Wulan dengan menangkap pergelangan tangannya. "Sudahlah, Rara. "
Rara Wulan berpaling, la melihat Glagah Putih berdiri disampingnya sambil memegangi tangannya.
" Laki-laki ini telah menghinaku, kakang. Ia merendahkan derajadku sebagai perempuan. "
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Aku mengerti. Tetapi kau dapat bertanya kepadanya, apakah ia menyesali perbuatannya atau tidak " Apakah ia bersedia minta maaf, atau ia ingin berperang tanding sampai tuntas. "
"Ia akan memaksaku merangkak dihadapannya sambil menangis mohon ampun. "
" Biarlah orang itu yang mohon ampun kepadamu. "
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ketika diluar sadarnya ia berpaling, ia melihat keempat orang lawan Glagali Putih duduk kesakitan diatas pasir tepian. Mereka tidak lagi mampu untuk bangkit berdiri, apalagi melawan.
Rara Wulan itu menyarungkan pedangnya Sambil berdiri bertolak pinggang Rara Wulan itupun berkata " Merangkak di hadap uiku dan mohon ampun. "
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia ini memandang berkeliling, dari kejauhan beberapa orang menonton perkelainan itu dengan jantung yang berdebaran.
"Cepat" bentak Rara Wulan.
Bagaimanapun juga, laki-laki itu masih merasa malu untuk melakukannya dihadapan berpuluh pasang mata orang-orang yang berada di tepian itu.
Rara Wulan menjadi tidak sabar lagi. Iapun melangkah maju. Tiba-tiba saja tangannya terayun menampar wakah laki-laki itu.
" Cepat, atau aku akan membunuhmu. "
Ketika Rara Wulan memegang hulu pedangnya, maka laki-laki itupun dengan gagap berkata "Baik, baik. Aku mohon ampun. "
" Berjongkok dan merangkak dihadapanku." Orang itu masih tetap ragu-ragu.
Sekali lagi tangan Rara Wulan menampar wajah orang itu sehingga orang itu tergetar selangkah surut. Dari sela-sela bibirnya yang pecah, nampak darah yang mengembun.
" Aku akan membuat wajahmu tidak berbentuk " geram Rara Wulan
Orang itu menjadi gemetar. Masih ada rasa malu dihatinya Tetapi nampaknya perempuan itu tidak main-main. Ia akan memukuli wajahnya sampai pengab.
" Kau sendiri yang merencanakan. Merangkak sambil mohon ampun. Lakukan sekarang, atau kau akan mengalami nasib lebih buruk dari kawan-kawanmu itu. "
Orang itu tidak dapat berbuat lain. Jika ia tidak segera melakukannya, maka perlakuan perempuan itu tentu akan menjadi semakin kasar.
Karena itu, maka laki-laki itupun kemudian telah merangkak dan berkata "Aku mohon ampun."
Agaknya Rara Wulan masih belum dapat meredakan gejolak kemarahannya Disambarnya ikat kepala orang itu, kemudian dibantingnya di atas pasir tepian dan diinjak-injaknya.
" Marahlah, Kenapa kau tidak marah. Bangkit dan berbuat sesuatu."
Glagah Putihlah yang kemudian menepuk bahu Rara Wulan sambil berdesis " Sudahlah Rara Wulan. Orang itu sudah merangkak dan minta ampun. Jangan kau paksa untuk melakukan sesuatu yang ia tidak dapat melakukannya "
"Tetapi ia sudah menghinaku, kakang. Ia sudah merendahkan derajadku sampai di bawah telapak kaki. "
" Tetapi ia juga sudah menghinakan dirinya sendiri. Ia sudah merangkak seperti seekor binatang berkaki ampat dan minta ampun kepadamu."
Rara Wulan memandang orang itu dengan tajamnya Dengan lantang iapun berkata "Berjanjilah, bahwa kau tidak akan melakukannya lagi."
"Aku berjanji. "
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia melihat keris laki-laki yang merangkak itu, tiba-tiba saja ia pun meloncat. Diambilnya keris yang tergolek di pasir tepian itu dan kemudian dilemparkannya ke dalam arus kali Praga
"Jangan, jangan. Itu keris pusaka "
" Persetan dengan keris pusaka. Ternyata pusakamu tidak dapat melawan pedangku. "
"Tetapi....." " Diam kau" bentak Rara Wulan. Orang itupun terdiam
"Marilah, kita lanjutkan perjalanan kita "
" Aku ingin agar mereka pergi bersama kita. Orang ini mengatakan akan pergi ke Mataram. "
"Maksudku " sahut laki-laki yang minit ampun itu "aku orang Mataram. Tetapi kami tidak akan pergi ke Mataram. "
" Kalian harus pergi ke Mataram, atau aku cebur kau ke dalam arus Kali Praga."
Orang itu tidak dapat menolak. Sementara itu, lapun berkata " Tetapi kawan-kawanku agaknya tidak dapat bangkit berdiri"
" Siapa yang tidak dapat bangkit berdiri dan pergi bersamaku ke Mataram, akan aku lemparkan ke dalam Kali Praga. "
Ancaman Rara Wulan sangat mencemaskan mereka. Karena itu, ketika Rara Wulan membentak dengan keras, keempat orung itupun berusaha untuk bangkit berdiri
" Kita berangkat sekarang. Kita naik ke rakit yang menepi itu. " Kelima orang itu tidak dapat membantah. Tertaiih-latih mereka melangkah ke rakit yang siap untuk berangkat.
Ketika rakit itu mulai bergerak, Rara Wulanpun berteriak " Jangan berangkat dahulu. "
Tukang satang itu tidak berani menolak. Karena itu, maka rakit itupun menunggu Rara Wulan dan orang-orang yang kesakitan itu.
" Cepat " bentak Rara Wulan " rakit itu jangan terlalu lama menunggu. "
Namun ketika Rara Wulan dan orang-orang yang kesakitan itu mendekati rakit, maka orang-orang sudah terlanjur berada di atas rakit justru berloncatan turun. Nampaknya mereka menjadi ketakutan bahwa akan terjadi sesuatu di atas rakit.
" Kenapa kalian turun " " bertanya Rara Wulan kepada orang-orang itu.
Orang-orang yang turun dari rakit itu menjadi berdebar-debar. Namun seorang diantara mereka memberanikan diri menjawab "Rakit ini akan terlalu penuh. "
" Sudah, Rara. Marilah kita naik. Jika mereka ingin turun, biarlah mereka turun. "
Demikianlah, sejenak kemudian, maka rakit itupun telah bergerak lagi. Yang ada di atas rakit itu hanyalah kelima orang yang dikalahkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, berserta kedua orang itu sendiri.
Kelima orang itupun duduk diatas rakit sambil sekali-sekali berdesah, sementara itu, orang yang dikalahkan oleh Rara Wulan itu sekali-sekali memandang Rara Wulan dengan gigi yang terkatub rapat Perempuan itu sudah menghinakannya. Merendahkan derajadnya. Kemudian melemparkan kerisnya kedalam arus Kali Praga.
Rara Wulan sendiri berdiri agak di tepi rakit, sementara Glagah Putih berdiri dekat tukang satang yang berada di bagian depan rakit
Perlahan-lahan rakit itu menelusuri tepian Kali Praga, justru menentang arus. Perlahan-lahan rakit itu bergerak ketengah. Semakin lama semakin jauh dari tempat mereka mulai bertolak. Namun kemudian rakit itu menyilang arus dan mulai bergerak perlahan-lahan searah dengan arus sambil bergeser menepi.
Dalam pada itu, ternyata gejolak jantung laki-laki yang dikalahkan oleh Rara Wulan itu tidak mereda, justru bagaikan ditiup angin-pusaran. Beberapa lama ia memperhatikan Rara Wulan yang berdiri di bagian tepi rakit yang ditumpanginya
Ketika rakit itu mulai menyilang arus, laki-laki itu berbisik perlahan-lahan kepada kawannya " Aku akan mendorong perempuan itu agar tercebur ke sungai. Arusnya cukup deras untuk menghanyutkannya meskipun seandainya ia pandai berenang.
Wajah kawan-kawannya menjadi tegang. Seorang diantara kawannya itu menggeleng sambil memberi isyarat, agar niat itu diurungkan.
Cintaku Selalu Padamu 3 Roro Centil 22 Tujuh Mahluk Kerdil Penghisap Darah Pedang Kiri 15

Cari Blog Ini