Jaka Wulung 2 Jurus Tanpa Nama Bagian 2
Jaka Wulung memandang Gunung Halimun yang men-jega di sebelah kirinya. Lembahnya dikelilingi kabut putih, sedangkan puncaknya dijatuhi sinar matahari, yang memulas warna birunya menjadi hijau kekuningan. Seperti sebongkah batu biru raksasa yang mengapung di awan. Jaka Wulung terkejut.
Dia sekarang menghadap utara. Seharusnya Gunung Halimun berada di sebelah kanan, bukan kiri. Apakah dia salah jalan" Sungguh aneh. Rasanya dia sudah berpatokan dengan benar pada kedudukan bintang-bintang di langit, terutama rasi Gubuk Penceng yang sudah sejak lama digunakan sebagai patokan untuk menentukan arah selatan.
Apa yang terjadi" Baru kali ini dalam perjalanannya, Jaka Wulung salah mengambil arah.
Akan tetapi, Jaka Wulung harus menunda lebih dulu mencari jawaban atas keanehan ini.
Kalapa Nunggal adalah kampung yang ramai. Tampaknya daerah ini merupakan tempat pertemuan dari penduduk kampung-kampung lain di sekitarnya. Orang-orang bertemu, melakukan jual-beli di sini. Para petani membawa hasil tani berupa padi, sayur-mayur, dan buah-buahan untuk dijual kepada masyarakat dan pembeli lain. Di pusat keramaian, di pasar, bahkan sudah terlihat orang menjual pakaian dan perkakas kebutuhan rumah tangga.
Sudah lama juga aku tersaruk-saruk di hutan atau daerah lain yang jauh dari keramaian.
Akan tetapi, tersembul juga kalimat yang lain: Sudah lama juga aku tidak makan enak.
Jadi, Jaka Wulung memutuskan untuk masuk ke sebuah kedai makan.
Kedai itu berdiri di sebuah persimpangan jalan, menghadap arah matahari terbit. Dindingnya hanya sebatas kira-kira perut orang dewasa, terbuat dari anyaman bambu dengan tiang kayu yang kelihatan kokoh. Atapnya terbuat dari jalinan rumbia. Jadi, pengunjung bisa bebas memandang ke berbagai arah, kecuali ke arah dapur, tentu saja.
Jaka Wulung memesan nasi dengan ikan bakar ditambah kecap dan sambal secukupnya. Itulah makanan kesukaannya.
Barangkali mau minum lahang, Den" kata si pemilik kedai, seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal tapi wajahnya ramah.
Tak usah. Cukup air putih saja, sahut Jaka Wulung.
Tiga meja lain dari tujuh meja di kedai itu sudah diisi oleh sekitar tujuh atau delapan orang. Ada dua orang yang membantu melayani. Salah satunya adalah gadis berusia sekitar lima belas tahun berwajah cukup manis. Dia bertambah manis karena senyumnya selalu menghiasi wajahnya.
Dari tempat duduknya yang dekat dengan pintu keluar, Jaka Wulung memutar pandangannya keluar. Orang-orang melakukan berbagai kegiatan mereka dengan wajah yang riang. Sungguh kampung yang damai dan menyenangkan.
Dada Jaka Wulung juga merasa damai ketika si gadis manis datang dengan membawa pesanannya, nasi dan ikan bakar, yang disajikan di atas piring kayu dengan alas daun pisang.
Silakan, Den, mudah-mudahan menikmati sajian kami, kata si gadis manis dengan senyumnya yang memang manis.
Terima kasih, Nyi, Jaka Wulung balas tersenyum.
Nasi dan ikan itu masih mengepulkan asap. Jaka Wulung memuji dalam hati. Lalu, dengan jari telanjang, sesuap demi sesuap nasi dan ikan, serta lalap dan sambal, masuk ke perutnya. Jaka Wulung makan dengan lambatlambat, menikmati tiap kunyahan dan merasakan tiap kenikmatan yang diberikan makanan itu. Dia makan hingga permukaan alas daun pisang itu bersih tandas. Hanya menyisakan duri-duri ikan dan sisa-sisa lalapan.
Di dekat dapur, si gadis manis memandang Jaka Wulung sambil tersenyum, seakan-akan bertanya, Bagaimana rasa makanan kami" Jaka Wulung mengangguk seraya tersenyum juga, seolah-olah menjawab, Luar biasa. Nikmat sekali.
Akan tetapi, Jaka Wulung mengerutkan keningnya karena senyum di wajah gadis itu mendadak sirna. Matanya memandang ke arah pintu dan darah seakan-akan lenyap dari wajahnya. Suasana di kedai makan itu pun mendadak hening. Orang-orang makan dengan suara yang sangat pelan seraya menunduk seperti ingin menyembunyikan wajah mereka.
Si pemilik kedai pun mematung di dekat pintu belakang, memandang ke arah pintu depan dengan wajah yang juga pias.
Jaka Wulung memutar lehernya.
Di pintu masuk, berdiri seorang lelaki yang berpenampilan aneh. Tubuhnya pendek dibandingkan dengan kebanyakan orang, gempal dan bulat, perutnya mengembung seperti perempuan hamil, dan pantatnya menonjol. Yang lebih aneh adalah wajahnya. Matanya besar melotot, hidungnya pesek melesak, dan mulutnya sangat lebar, seakan-akan melintang dari telinga kiri hingga ke telinga kanan. Tidak jelas apakah mulutnya itu sedang tersenyum atau menyeringai. Dia hanya mengenakan celana sebatas lutut dan sarung yang diikatkan di pinggang, sama sekali tidak memakai baju. Di pinggangnya terselip golok yang sangat lebar dan panjang, hampir menyentuh lantai.
Orang itu melangkah menghampiri si pemilik kedai dengan gaya seperti itik berjalan. Kalau saja semua orang lain tidak dalam keadaan ketakutan, Jaka Wulung pastilah tertawa terbahak-bahak. Orang itu tampak seperti pelawak yang menggelikan ketimbang seseorang yang menakutkan. Si ... silakan duduk, Ki Antaga, kata si pemilik kedai.
Hehehe, aku sudah makan. Aku datang untuk minta uangmu, kata orang itu, yang dipanggil Ki Antaga. Suaranya sangat serak, tak ubahnya seperti suara papan kayu retak.
Jaka Wulung terkejut. Dia baru ingat, pernah mendengar seorang pendekar berpenampilan seperti tokoh wayang bernama Togog Tejamantri. Dan benar, dia menggunakan nama asli Togog, yaitu Antaga, sebagai namanya. Kabarnya, meskipun penampilannya menggelikan, Ki Antaga adalah tokoh sesat yang sangat kejam. Dia bisa mencincang orang sambil terkekehkekeh.
Tapi, ... kami baru saja buka, belum banyak pelanggan yang datang. Hehehe ... kau pasti punya simpanan. Jadi, berikan itu kepadaku. Tapi, Tuan ....
Hehehe ... cepatlah. Jangan banyak alasan. Aku perlu uang untuk pergi ke Rajatapura.
Jaka Wulung terkejut mendengar kata-kata Ki Antaga. Rajatapura" Tapi, ....
Brakkk! Telapak tangan Ki Antaga menggebrak meja di depannya. Meja itu langsung retak dan nyaris terbelah menjadi dua! Padahal, meja itu terbuat dari kayu yang sangat keras. Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ki Antaga!
Cepat! Untung pagi ini, aku sedang tidak ingin membunuh. Kalau tidak ....
Si pemilik kedai benar-benar sudah pucat pasi. Ya, ... ya, ....
Si pemilik kedai merogohkan tangannya ke bawah meja, mengeluarkan sebuah kantong hitam, kantong uangnya, dan meletakkannya di mejanya yang retak.
Ki Antaga merebut kantong itu, mengintip isinya, kemudian berbalik pergi.
Hehehe ... aku bisa bersenang-senang dalam perjalanan menuju Rajatapura.
Diam-diam, sambil tetap menunduk seperti orang-orang lain, Jaka Wulung memungut sepotong duri ikan dari piringnya. Duri itu kecil saja. Panjangnya kira-kira separuh kelingking. Dia membawa duri itu dengan tangannya ke bawah meja.
Tepat ketika Ki Antaga melenggang di sebelah Jaka Wulung, pendekar belia ini menjentikkan jemarinya dan meluncurlah duri ikan itu, langsung menancap tepat di ibu jari kaki kiri Ki Antaga.
Aaauuuwww! pekik Ki Antaga sambil terloncat.
Ki Antaga mengangkat kaki kirinya sambil memutar-mutar tubuhnya, mirip gasing raksasa, matanya membeliak dan mulutnya makin lebar saja.
Oh, ada apa, Ki Antaga" tanya Jaka Wulung sambil tergopoh-gopoh menghampiri Ki Antaga, dan mencoba memapahnya.
Ki Antaga kemudian membungkuk, memeriksa ibu jari kakinya yang sakit tak terkira. Jaka Wulung membantu memeriksa dan mencabut duri ikan yang menancap di ibu jari kaki kiri Ki Antaga. Tampak darah menetes dari lukanya.
Uh, duri kurang ajar! ucap Jaka Wulung sambil memperlihatkan duri itu, kemudian membuangnya ke luar kedai. Duri itu tadi menancap hampir sedalam separuh panjangnya.
Ki Antaga berdiri dan mendongak memandang Jaka Wulung. Dia menyeringai sangat lebar. Katanya, Terima kasih, Bocah.
Jaka Wulung melepaskan napas lega, lalu membungkuk, Sama-sama, Ki Antaga.
Akan tetapi, tiba-tiba Ki Antaga berbalik memandang si pemilik kedai. Lalu, telunjungnya menuding, Lain kali, kalau menyapu lantai yang bersih! Kemudian, dia berbalik dan keluar dari kedai itu dengan langkah lebar, bahkan terkesan meloncat-loncat seperti katak, tapi setelah di luar dia segera melesat sangat cepat, dan dalam beberapa kejap sudah lenyap dari pandangan.
Kalau saja yang mengalami peristiwa itu bukan Ki Antaga, para pendatang di kedai itu pastilah sudah segera melepaskan tawanya.
Ternyata, orang sakti dan kejam sekalipun bisa kesakitan hanya gara-gara duri ikan!
Jaka Wulung sengaja mengupas pisang pelan-pelan di tempat duduknya. Dia menunggu kalau-kalau Ki Antaga akan muncul lagi. Setelah habis dua buah pisang, Jaka Wulung yakin Ki Antaga sudah pergi jauh. Beberapa orang datang untuk makan, dan tampaknya Ki Antaga tidak akan kembali.
Lagi pula, pikirnya, Ki Antaga ternyata sudah menyimpan beberapa kantong uang di pinggangnya.
Tadi, diam-diam Jaka Wulung hanya mengambil kembali kantong uang milik si tukang kedai dari Ki Antaga.
Jaka Wulung bangkit dari bangkunya melangkah pelan menuju bangku si tukang kedai. Wajahnya sudah tidak pucat seperti tadi, tapi tampak jelas kesedihan pada sorot matanya. Tentu saja, uang yang dia kumpulkan berhari-hari, berminggu-minggu, lenyap dalam sekejap.
Dia tidak pernah bermimpi akan mengalami nahas pada hari itu. Selama ini, Kalapa Nunggal adalah kampung yang damai. Kali terakhir, Ki Antaga muncul sudah berlalu lebih dari setahun yang lalu. Setiap kedatangannya memang selalu menimbulkan kengerian bagi penduduk. Tidak jelas tinggalnya di mana. Ada yang bilang di Gunung Halimun, ada yang bilang di Gunung Kendeng, tapi ada juga yang bilang di Gunung Salak.
Jaka Wulung membayar makanan lebih dulu, kemudian merogoh ke balik bajunya, mengeluarkan sebuah kantong hitam.
Lelaki pemilik kedai itu memandang Jaka Wulung dengan kening berkerut.
Apa ini" tanya si pemilik kedai. Uang Ki Dulur, sahut Jaka Wulung. Ba ... bagaimana ....
Sudahlah. Tadi, aku kebetulan melihat kantong ini di pinggangnya, jadi aku ambil saja diam-diam. Syukurlah, dia tidak tahu. Coba lihat dulu, apa benar uangnya masih sama jumlahnya.
Pemilik kedai itu hanya membuka sedikit kantongnya, kemudian mengangguk-angguk.
Tapi, bagaimana kalau dia kembali lagi ke sini" Jaka Wulung menggeleng. Aku yakin tidak.
Si pemilik kedai kemudian meraup segenggam keping-keping uang di kantongnya. Katanya sambil menyodorkan uang itu kepada Jaka Wulung, Sebagai tanda terima kasih, saya hanya bisa memberi sejumlah ini ....
Jaka Wulung menggeleng. Tidak usah, Ki Dulur. Jangan. Aku tidak berniat mendapat upah dengan cara begitu. Simpan saja. Simpanlah. Aku cuma ingin tahu, kalau mau ke Rajatapura aku harus lewat mana"
Si pemilik kedai memandang Jaka Wulung lagi-lagi dengan kening berkerut. Lalu, menggeleng-gelengkan kepalanya. Siapa bocah aneh ini"
Lelaki itu kemudian menjelaskan jalan yang mesti ditempuh. Sudah tiga orang dalam dua hari ini yang bilang hendak ke Rajatapura. Ada apa di sana"
Jaka Wulung tidak langsung menjawab. Dia menggaruk kepalanya sejenak, lalu katanya, Entahlah. Mungkin kebetulan saja. Anehnya, ketiga orang itu semuanya pendekar sakti, kata si pemilik kedai. Sekarang, Ki Dulur juga mau ke sana. Dan kau, meskipun masih sangat muda, pasti pendekar sakti juga.
Jaka Wulung tertawa dan berkata, Ada-ada saja Ki Dulur ini. Aku hanya bocah gelandangan yang senang bertualang ke mana saja. Jaka Wulung berhenti sebentar ketika muncul si gadis manis. Hmmm, ... ya, sudah, Ki Dulur, aku permisi.
Tunggu, kata si pemilik kedai, yang kemudian berbisik kepada gadis manis yang membantu di kedai itu.
Si gadis manis masuk ke belakang. Tak lama kemudian, muncul lagi dengan sebuah bungkusan daun di tangannya, yang lantas diserahkannya kepada Jaka Wulung. Samar-samar tercium bau harum nasi dan ikan bakar di dalamnya.
Terimalah, Ki Dulur, kata si pemilik kedai. Sekadar bekal seadanya buat di perjalanan.
Jaka Wulung memandang si pemilik kedai, kemudian memandang si gadis manis, sebelum menerimanya dengan sedikit ragu. Terima kasih, terima kasih, kata Jaka Wulung.
Kamilah yang harus berterima kasih, kata si gadis manis.
Jaka Wulung kembali tersenyum sebelum berpamitan kepada si pemilik kedai dan si gadis manis.
Gadis manis itu menatap Jaka Wulung dengan dada yang hangat. Dari matanya terpancar sebuah pertanyaan: mungkinkah dia kembali lagi ke sini"
8 Darah Prabu Siliwangi AKAN tetapi, sekali lagi Jaka Wulung mengalami keanehan.
Dia sudah berpatokan pada kedudukan matahari, bulan, dan rasi Gubuk Penceng di selatan, ditambah dengan keterangan penduduk yang dia tanya di jalan. Dia pun sudah menetapkan arah yang dia tuju. Arah utara menyerong ke barat. Tepatnya barat laut. Tapi, tanpa disadari Jaka Wulung melangkah ke arah yang berbeda. Dia mengarah ke utara menyerong ke timur.
Apa yang terjadi" Jaka Wulung, entah mengapa, seakan-akan ditarik oleh sebuah kekuatan gaib yang membuatnya melangkah menuju arah yang salah.
Apalagi ketika hari-hari selanjutnya, langit mendung pekat menghalangi matahari pada siang hari dan bintang-bintang pada malam hari. Kadang turun hujan. Ketika di tempat lain sedang musim kemarau, di sini setiap hari turun hujan, pikirnya. Jaka Wulung mengalami kesulitan untuk mencari arah yang dia tuju.
Dia tinggal mengandalkan naluri, berdasarkan petunjuk seadanya dari orang yang bisa dia tanya.
Demikianlah, tanpa disadarinya, bukannya melewati sisi barat Gunung Salak, dia malahan melewati sisi timurnya.
***** LANGIT masih tersaput awan-awan kelabu ketika Jaka Wulung tiba di sebuah sungai kecil yang mengalir tenang. Airnya bening, memperlihatkan dasarnya yang berkerikil. Jaka Wulung tergoda untuk menceburkan diri. Ada keanehan dari air sungai itu. Entah mengapa, meskipun sangat samar, Jaka Wulung merasa bahwa air sungai itu berbau harum. Tentu saja, ini sebuah keajaiban lagi.
Karena kehausan, Jaka Wulung meraup dengan tangannya dan meminumnya beberapa teguk. Dalam tegukan-tegukan awal, air itu terasa biasa saja. Tapi, aneh, pada tegukan-tegukan berikutnya terasa bahwa air itu pahit. Makin lama makin pahit!
Jaka Wulung terkejut bukan main.
Dia mencoba untuk memuntahkan air sungai itu. Tapi, tidak bisa. Air itu sudah sepenuhnya dia minum. Apakah air itu mengandung racun"
Jaka Wulung segera memanjat ke tepi seberang. Apa yang terjadi kemudian, Jaka Wulung seperti kehilangan seluruh tenaganya. Kepalanya berat dan pening. Dunia di sekitarnya seperti berputar, makin lama makin cepat. Suhu tubuhnya meninggi. Tanpa sadar, dia menggigil. Keringat membanjir, tapi juga kedinginan.
Apakah aku akan mati saat ini" Betapa singkat perjalanan hidupku, dan aku mati bukan di arena pertempuran, melainkan hanya karena minum air beracun, begitulah kali terakhir apa yang ada dalam pikiran Jaka Wulung sebelum dia kehilangan kesadarannya.
***** JAKA Wulung menggeliat. Entah sudah berapa lama, dia tenggelam dalam keadaan pingsan. Ketika dia membuka mata, jarum-jarum gerimis terasa menggelitik permukaan wajahnya. Rasa pusing kepalanya sudah sirna. Begitu pula gigil tubuhnya. Tapi, dia masih merasa lemas, nyaris tanpa tenaga untuk sekadar bisa duduk bersandar di sebatang pohon.
Jaka Wulung mencoba mengatur pernapasannya. Menarik dan melepaskannya dengan irama tertentu. Mulutnya masih terasa pahit, tapi jalan napasnya menjadi sangat lega. Apa yang terjadi" Jaka Wulung mencoba mengingat-ingat lagi kenapa dia bisa terkapar di pinggir sungai. Setelah dia bisa mengingat, dipandanginya situasi sekitar.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Pepohonan tampak terjajar rapi, mengikuti garis lurus, diselingi berbagai tumbuhan semak belukar. Jajaran pepohonan itu sangat lurus dan jaraknya sangat teratur. Kalau saja tidak banyak dahan patah dan dedaunan membusuk yang berserakan dan menumpuk, Jaka Wulung akan segera menyimpulkan bahwa hutan itu dibuat oleh manusia dan di sekitar tempat ini ada perkampungan penduduk.
Masih dengan tenaga yang belum pulih, Jaka Wulung melangkah tanpa tujuan. Dia hanya menuruti ke mana kakinya bergerak. Dia masih belum menyadari apa sebenarnya yang terjadi.
Hutan itu begitu aneh. Terlalu rapi untuk disebut sebagai hutan alam biasa. Jenis pepohonannya banyak yang sama. Begitu pula semak belukarnya. Tapi, hutan ini juga terlalu kotor untuk disebut sebagai kebun yang dibuat oleh manusia. Tapi, kalaupun ditanami secara sengaja oleh manusia, hutan ini sangat berbeda dengan kebun atau ladang biasa. Di sini, pepohonan yang ditanam tergolong keramat, seperti pohon samida. Di antara pepohonan itu ditanam pula berbagai tanaman bunga.
Apakah ini hutan buatan yang sudah lama ditinggalkan"
Jaka Wulung masih merasakan dirinya seakan-akan ditarik oleh sebuah kekuatan tidak kasatmata ketika kakinya akhirnya terantuk pada sebongkah batu besar. Mungkin sebesar kerbau. Atau, lebih. Batu itu berwarna kusam kehitaman. Tapi, ada yang aneh pada batu itu. Salah satu permukaannya datar.
Jemari Jaka Wulung meraba permukaan itu. Kasar. Terasa ada lekukanlekukan teratur pada permukaan batu itu.
Dibersihkannya lumut yang nyaris memenuhi bagian permukaan datar itu. Berdebar-debar dadanya entah oleh kekuatan apa.
Ketika permukaan datar itu sudah bersih, Jaka Wulung terpana.
Jaka Wulung mundur dua langkah dan mulai mengeja barisan kalimat yang terukir pada permukaan batu:
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Prabu Ratu Suwargi. Dia dinobatkan dengan gelar Prabuguru Dewataprana; dinobatkan dia dengan gelar Sri Baduga Maharaja, ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit di Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, mengeraskan jalan dengan batu, membuat samida, membuat Telaga Rena Mahawijaya. Ya, dialah. Pada Saka 1455.
Selesai membaca kata-kata pada permukaan batu itu, Jaka Wulung merasa tubuhnya gemetar hebat. Begitu hebatnya, sampai-sampai dia seperti menggigil. Lebih hebat dibandingkan dengan gigilan akibat minum air sungai yang pahit. Keringat membanjir dari segenap pori-porinya. Sri Baduga Maharaja.
Cucu Niskala Wastu Kancana.
Tentu tidak salah lagi. Dialah yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi, Maharaja terbesar dari Pajajaran.
Siapa yang mengukir batu ini dan menyusun tulisan pepujian bagi Prabu Siliwangi" Mungkinkah anaknya, Prabu Surawisesa"
Ketika gigilan tubuh Jaka Wulung mereda, dia merasakan sebuah kekuatan yang aneh meresap ke setiap sel di sekujur tubuhnya. Tubuhnya pulih seperti sediakala. Bahkan, lebih dari itu, dia merasakan kekuatannya seakan-akan bertambah berlipat ganda. Penglihatannya menjadi lebih tajam dan pendengarannya lebih peka.
Apa lagi yang terjadi"
Jaka Wulung tidak mau menebak-nebak. Sebaliknya, dia bersyukur karena belum tiba pada akhir hidupnya. Air sungai yang terasa pahit itu pastilah mengandung getah pohon, entah apa, yang justru memberinya kekuatan hebat meskipun awalnya dia harus mengalami kehilangan kesadaran. Dan kalimat-kalimat yang terukir di batu itu, entah dengan cara bagaimana, melengkapi apa yang sudah dia serap: sebuah tenaga sakti yang luar biasa! *****
JAKA Wulung melanjutkan langkahnya berkeliling di hutan yang penuh dengan pohon samida. Gerimis tetap turun dalam bentuk garis-garis yang sangat kecil. Kabut mengambang di udara, menyamarkan segala yang ada. Tatapannya terhalang oleh tirai kabut. Tapi, anehnya, langkah Jaka Wulung dengan pasti menuju arah tertentu. Dan akhirnya, tibalah dia di sebuah tempat yang juga aneh. Ada barisan bebatuan yang disusun dengan teratur dan rapi meskipun permukaannya sebagian besar sudah nyaris tertutup oleh lumut dan semak belukar. Barisan yang satu terdiri dari bebatuan yang lebih besar dibandingkan dengan barisan yang di sebelahnya.
Panjangnya mencapai ratusan langkah. Ketika Jaka Wulung menyelusurinya, diketahui kemudian bahwa baris bebatuan itu membuat bentuk segi empat yang sangat luas.
Jaka Wulung menyimpulkan bahwa bebatuan itu menjadi semacam batas dari sebuah tempat atau bangunan tertentu.
Jaka Wulung mengira-ngira tempat seperti apakah yang sedang dia injak saat ini.
Inilah tampaknya tempat yang menariknya sedemikian kuat, sampaisampai dia jauh menyimpang dari tujuan yang sebenarnya.
Di dalam barisan bebatuan segi empat itu, Jaka Wulung menjumpai pepohonan yang lebih muda dibandingkan hutan yang penuh pohon samida. Tapi, di sini, pepohonan itu tumbuh tidak secara teratur, seakanakan pepohonan itu tumbuh begitu saja.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Di antara pepohonan yang tumbuh secara tidak teratur itu, dia menjumpai banyak sekali potongan kayu lapuk, berbaris atau membuat bentuk-bentuk segi empat yang berbeda-beda ukurannya. Kayu-kayu lapuk itu diperkirakan sudah berumur bertahuntahun, sudah hampir mengeras seperti batu, berwarna hitam. Seperti arang.
Bukan. Itu memang arang! Jaka Wulung berdebar-debar.
Tentu saja, hutan samida, batu bertulis, dan puing-puing kayu .... Di sinilah, beberapa puluh tahun lalu, pernah bertakhta penguasa besar yang sangat disegani di Tatar Sunda dan sekitarnya: Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi.
Inilah reruntuhan Keraton Pakuan, keraton yang terkenal dengan nama Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati, yang kemudian dibumihanguskan oleh pasukan dari Banten di bawah komando Sultan Maulana Yusuf.
Ya, keraton yang pernah memancarkan cahaya gemilang ke seantero wilayah itu kini hanyalah reruntuhan tidak berharga, tertutup oleh semak belukar yang rapat. Bukan tidak mungkin, sisa Istana Pakuan ini akan segera lenyap ditelan zaman. Mungkin nanti kayu-kayunya semakin rapuh dan lapuk dimakan rayap dan belatung. Batu-batunya boleh jadi kelak akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang menemukannya, entah untuk apa.
Jaka Wulung memejamkan mata karena merasakan sesuatu berdesir di dadanya. Perasaan duka yang sangat dalam.
Mendadak dia membuka matanya ketika telinganya menangkap sebuah suara gemeresik pelan. Sangat pelan. Seperti langkah seseorang. Atau, sesuatu. Kemudian, berhenti, sunyi. Berjalan lagi beberapa langkah. Berhenti lagi. Berjalan lagi. Berhenti lagi.
Lalu, tersibaklah segerumbul semak belukar. Sebuah sosok keluar.
Seluruh permukaan tubuhnya berbulu putih dengan belang-belang hitam.
Sepasang mata berwarna kebiruan memandang tajam Jaka Wulung, seperti memancarkan ungkapan kemarahan.
Harimau putih. Maung Lodaya! ***** HARIMAU putih itu memiliki tubuh yang beberapa kali lipat besarnya daripada manusia dewasa. Panjangnya sekitar satu depa. Ekornya panjang dan menyentuh tanah.
Ketika sang Maung Lodaya menganga, tampak dua baris gigi-geligi tajam. Gigi-gigi taringnya seperti ujung-ujung beliung dari baja putih. Bisa dibayangkan, sekali kunyah, akan remuklah kepala manusia sekeras apa pun.
Jaka Wulung hanya bisa memandang harimau itu tanpa bisa melakukan apa-apa. Badannya diam seperti patung batu. Dia tidak tahu seberapa besar tenaga dan kecepatan harimau itu. Jaka Wulung belum sepenuhnya pulih akibat beberapa peristiwa aneh yang dialaminya. Tenaganya baru mencapai kekuatan seadanya. Dia juga tidak tahu seberapa pulih kecepatan yang dimilikinya. Karena itu, dia juga tidak tahu apakah tenaga dan kecepatannya bisa mengimbangi tenaga dan kecepatan harimau itu.
Dirabanya kudi hyang di balik bajunya. Hanya itulah yang bisa diandalkannya saat ini. Dia berharap senjata pusaka itu bisa memberinya perlindungan dari ujung-ujung taring yang seperti ujung beliung.
Satu hal justru membuat Jaka Wulung ragu-ragu. Dia tidak sepenuh hati menempatkan harimau putih itu sebagai musuh. Dia menyadari bahwa bagi masyarakat Tatar Sunda, harimau adalah binatang yang menempati kedudukan tertentu. Harimau adalah hewan terhormat. Dia juga pernah mendengar tuturan bahwa harimau dianggap sebagai leluhur manusia Tatar Sunda.
Apakah dia harus melawan harimau itu"
Akan tetapi, kalau dia tidak melawan, apakah dia akan rela menjadi santapan sang Maung Lodaya"
Harimau putih itu melangkah pelan. Mulutnya bergetar dan terdengar suara geram yang mendirikan bulu roma.
Grrrhhh ...! Kedua kaki belakangnya tampak bersiap membuat tumpuan untuk meloncat. Dalam kedudukan seperti sekarang, Jaka Wulung menduga sekali loncat saja harimau itu akan mampu menerkamnya.
Jaka Wulung mundur dua langkah, mempersiapkan diri menghadapi serangan harimau itu, dan terutama memberikan jarak yang lebih jauh. Tanpa disadarinya, dari tenggorokan Jaka Wulung mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman yang tak kalah dahsyatnya.
Grrrhhh! Langkah harimau itu terhenti. Mata birunya masih memandang tajam Jaka Wulung. Tapi, entah mengapa, harimau itu tampak seperti ragu-ragu. Keduanya kini saling menunggu.
Jaka Wulung tidak mau menyerang lebih dulu. Sejak tadi, dia hanya menempatkan diri dalam kedudukan bertahan. Mungkin saja dia bisa melarikan diri dan mengerahkan ilmu cepatnya. Tapi, Jaka Wulung belum bisa memperkirakan kecepatan sang harimau.
Sebaliknya, harimau itu juga diam, seakan-akan menunggu datangnya serangan.
Mulut harimau itu kembali bergetar untuk menimbulkan suara geraman. Grrrhhh!
Jaka Wulung membalas dengan geraman serupa, tapi yang anehnya keluar bukan karena ungkapan marah, melainkan sebaliknya ungkapan yang dilandasi rasa kasih sayang.
Grrrhhh .... Harimau itu masih menatap Jaka Wulung. Tapi, kali ini tatapan itu tidak lagi tajam dan memancarkan kemarahan. Sebaliknya, tatapan itu pelanpelan menjadi lembut.
Kedua kaki belakangnya sedikit terangkat, tidak lagi bersiap melakukan loncatan. Perlahan-lahan, harimau itu melangkah mendekati Jaka Wulung dalam gerak yang sama sekali tidak menunjukkan permusuhan.
Pada jarak yang tinggal dua langkah lagi, harimau itu tertunduk, menekuk keempat kakinya, lalu duduk bersimpuh di depan Jaka Wulung, dan dengan sebuah geraman pelan, sang harimau memandang pendekar belia itu seakan-akan meminta untuk disentuh.
Jaka Wulung memahami apa yang diinginkan harimau itu. Dia melangkah maju, kemudian membungkuk dan mengelus kepala sang harimau. Sang harimau membalas perlakuan itu dengan cara menyentuh-nyentuhkan pipinya di tubuh Jaka Wulung. Jaka Wulung kemudian menepuk-nepuk pelan pucuk kepala harimau itu.
Sang harimau menggeram pelan sekali lagi sebelum berdiri, membalikkan tubuh, kemudian masuk ke semak belukar dan lenyap di kedalaman hutan.
Jaka Wulung lama memandang titik tempat menghilangnya sang harimau. Dilepaskannya napas lega. Bagi Jaka Wulung, ini benar-benar pengalaman yang luar biasa. Harimau inikah yang menariknya terus-menerus sehingga dia datang di tempat ini, menyimpang dari tujuan Jaka Wulung sebelumnya" Apakah harimau itu sekadar binatang hutan" Ataukah, merupakan penjelmaan dari leluhurnya"
Sebelum bisa menerka-nerka apa jawabannya, Jaka Wulung mendengar suara deham di belakangnya.
Jaka Wulung membalikkan tubuhnya.
Seorang lelaki yang mengenakan jubah putih berdiri hanya dua atau tiga langkah di depannya. Usianya separuh baya. Wajahnya tampan dan bersih, dan bahkan seakan-akan memendarkan cahaya, memandang Jaka Wulung tanpa berkedip. Siapa lelaki itu" Bagaimana bisa dia tiba-tiba muncul di sana tanpa ketahuan kedatangannya" Orang itu tentulah bukan manusia sembarangan. Secara keseluruhan, lelaki itu benar-benar memancarkan wibawa yang membuat Jaka Wulung bergetar dadanya.
Jaka Wulung kemudian menekuk lututnya seraya membungkuk dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Siapa pun Tuan, salam hormat dari saya, kata Jaka Wulung.
Lelaki itu tersenyum tipis dan mengangguk. Tapi, tidak terdengar sepatah kata pun dari bibirnya. Meskipun demikian, Jaka Wulung merasa bahwa dia berhadapan dengan orang yang sangat penting, siapa pun dia.
Apakah Tuan Petinggi Pajajaran yang mengasingkan diri" tanya Jaka Wulung memberanikan diri.
Lelaki itu tersenyum tanpa menjawab. Sebaliknya, dia malah bertanya, Kau siapa, Anak Muda"
Jaka Wulung sebenarnya agak dongkol juga, pertanyaannya malahan dijawab dengan pertanyaan. Tapi, Jaka Wulung menahan diri dan menjawab dengan sopan, Saya seorang pengembara, Tuan. Nama saya Jaka Wulung.
Apa yang kau cari dalam pengembaraanmu"
Saya berusaha mencari jejak leluhur saya, untuk mengetahui siapa sebenarnya saya.
Lelaki itu mengangguk-angguk. Lalu, katanya, Aku sudah melihat kejadian yang menimpamu sejak kau datang kali pertama di sungai kecil itu, kemudian pingsan, hingga yang baru saja terjadi, ketika kau berhadapan dengan sang Maung Lodaya. Ketahuilah, air sungai yang kau minum itu tercampur dengan getah pohon Dewadaru, getah yang memiliki khasiat luar biasa, membuatmu memiliki tenaga dan daya tahan berlipatlipat ....
Lelaki itu diam beberapa jenak.
Jaka Wulung belum menanggapi. Tapi, dadanya berdebar-debar mendengar keterangan dari lelaki berjubah putih itu. Dewadaru. Bukankah pohon ini hanya ada dalam dongeng"
Kamu memiliki sesuatu dalam aliran darahmu, yang tidak dipunyai oleh sembarang orang, kata lelaki itu. Aku bisa melihatnya meskipun hanya dengan mata hatiku. Jadi, ..., lelaki itu berhenti sambil menarik napas, kau jagalah sesuatu dalam aliran darahmu itu. Nah, aku ingin memberikan sedikit tambahan bekal supaya kau bisa menjaganya. Duduklah bersila dan pejamkan matamu.
Jaka Wulung menuruti kata-kata lelaki itu.
Beberapa kejap kemudian, Jaka Wulung merasakan sesuatu menghantam matanya. Panas luar biasa! Jaka Wulung memekik. Tapi, dia mencoba terus bertahan. Dan perlahan-lahan rasa panas itu mereda. Makin lama makin berkurang menjadi hangat.
Jangan buka matamu sampai hitungan seratus, kata lelaki itu. Dengan bekal ini, kau kini memiliki pandangan setajam Maung Lodaya.
Tuan, terima kasih atas bekal yang saya terima, kata Jaka Wulung masih tetap memejamkan mata. Kalau boleh tahu, siapa sebenarnya Tuan dan apa yang Tuan maksudkan dengan sesuatu dalam aliran darah saya"
Lelaki itu mendeham. Tentang siapa aku, tak perlu kau tahu. Sesuatu dalam aliran darahmu adalah ... kau memiliki darah Prabu Siliwangi. Hening.
Angin seperti mati. Jaka Wulung membuka mata setelah hitungan seratus. Akan tetapi, lelaki itu tidak ada lagi di depannya.
Benarkah apa yang dikatakannya" Bahwa dia memiliki darah Prabu Siliwangi" Tidak mungkin. Aku hanyalah seorang pengelana yang tidak jelas orangtuanya.
Lagi pula, bagi Jaka Wulung, kalau memang benar bahwa dia memiliki darah Prabu Siliwangi, tentu itu bukan berkah, melainkan beban yang sangat berat. Dari mana dia akan memulai menelusurinya" Bahkan, ayahibunya, dia sama sekali tidak tahu, dan tidak ada petunjuk sedikit pun untuk mengetahuinya.
Langit masih tersaput kabut dan awan tebal. Tapi, aneh, Jaka Wulung mampu melihat bundaran matahari di balik awan pekat itu. Mula-mula hanya berbentuk samar bulatan, tapi makin lama makin nyata, baik garis lingkarannya maupun bidang cahayanya, dan akhirnya, tampak jelas serupa bulan purnama.[]
9 Tiga Lingkaran di Rajatapura
BULAN tanggal tujuh suklapaksa (paruh terang) muncul dari balik pucuk rasamala. Bulan Purnama. Nini Anteh dan kucingnya mengintip dari dedaunan. Tapi, sinar bulan berwajah nenek tua itu tetap tumpah menyebar di sebuah tanah lapang, jauh dari kampung terdekat, hampir di pinggir hutan bebukitan.
Di tengah tanah lapang itu, sudah dibuat tiga lingkaran dengan bubuk kapur putih, masing-masing dengan lebar sepuluh langkah.
Angin meniup pelan wajah-wajah, sekitar tiga puluh orang, yang berkumpul nyaris tanpa kata. Merekalah para pendekar terkenal di seluruh wilayah bekas Kerajaan Pajajaran, yang kini sudah tercacah-cacah menjadi Banten, Cerbon, Sumedang Larang, dan sebagainya.
Mereka berkumpul di sebuah tempat yang sampai kini tetap dihormati. Rajatapura.
Di sinilah, lebih dari seribu tahun yang lalu berdiri sebuah kota bernama Rajatapura, Ibu Kota Kerajaan Salakanagara, kerajaan tertua di Tatar Sunda. Dan sepantasnyalah, mereka berbangga karena boleh jadi inilah juga kerajaan tertua di Nusantara.
Kerajaan ini hanya berdiri sekitar dua ratus tahun. Tapi, namanya terkenal hingga negara-negara lain, terutama pada masa Raja Dewawarman VIII. Saat itulah, keadaan ekonomi penduduk negeri ini sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Jayasinghawarman, menantu dan penerus Raja Dewawarman VIII, kemudian memindahkan ibu kota kerajaan dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara pun berubah menjadi kerajaan daerah dari Tarumanagara.
Meskipun sudah tidak ada lagi bekasnya, Rajatapura tetap dianggap sebagai tempat yang sangat diagungkan. Bekas Keraton Raja Dewawarman pun kemudian menjadi kabuyutan, tempat keramat bagi masyarakat sekitar. Tanah lapang ini berada hanya beberapa puluh langkah dari kabuyutan.
***** DI sisi barat tanah lapang itu, berdiri tiga lelaki yang berusia hampir sama, sekitar tiga puluh atau tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi dan tegap, dengan sorot mata yang sama-sama tajam di bawah alis mereka yang tebal. Tubuh mereka sama-sama terbungkus jubah abu-abu. Ketiganya samasama berwibawa, terutama yang berdiri di tengah. Dialah yang dikenal dengan nama Braja Musti, tokoh yang sangat disegani di kawasan Banten.
Di sebelah kanan dan kiri Braja Musti adalah adik-adik perguruannya: Braja Denta di kanan dan Braja Wikalpa di kiri.
Sebagai juru bicara, Braja Wikalpa mendeham sebelum berkata, Terima kasih kami haturkan atas kedatangan dulur semua, para pendekar terpilih dari belahan barat Jawa Dwipa. Kami tentu saja sangat senang dan merasa terhormat, Ki Dulur semua sudi datang ke tempat terpencil ini.
Braja Wikalpa berhenti sebentar menarik napas. Perasaannya memang sangat bahagia. Tapi, juga hatinya berdebar-debar. Dia bahagia karena tidak menyangka bahwa hampir semua tokoh sakti yang dia ajak bergabung ternyata datang. Hampir separuh dari mereka datang atas ajakan Braja Wikalpa sendiri. Sebagian datang diajak oleh temannya. Tapi, sebagian lain malah datang atas kehendak mereka sendiri setelah mengetahui atau mendengar akan ada pertemuan besar yang melibatkan para pendekar sakti.
Akan tetapi, Braja Wikalpa juga berdebar-debar sekaligus agak ngeri karena sebagian dari mereka yang datang adalah tokoh-tokoh golongan hitam. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Rencana mempertemukan semua pendekar dari berbagai golongan sungguh merupakan rencana yang sangat berbahaya. Terutama, karena setidaknya ada tiga pendekar golongan hitam dan mereka adalah orang-orang yang namanya sangat ditakuti.
Sayang sekali, kata Braja Wikalpa dalam hati, beberapa orang tidak bisa datang memenuhi ajakannya, antara lain tentu saja Si Jari-Jari Pencabik, yang tewas di tangan pendekar belia yang luar biasa.
Ah, di mana pendekar bocah berjuluk Titisan Bujangga Manik itu" Demikian kata hati Braja Wikalpa.
Braja Wikalpa juga agak kesulitan menyusun kata-kata selanjutnya. Dia tidak mengenal secara dekat satu per satu para tokoh itu. Dia hanya mengenal nama mereka. Selalu saja begitu, nama mereka menyebar ke mana-mana, padahal orangnya sendiri entah sedang berada di mana.
Braja Wikalpa memandang berkeliling satu per satu tokoh-tokoh yang hadir. Kemudian, katanya, Kami mohon maaf kalau tidak semua yang kami undang ke sini mengetahui apa tujuan kami mengundang dulur sekalian. Pertama-tama, kami ingin kita semua, sebagai sesama tokoh yang berasal dari belahan barat Jawa Dwipa, saling mempererat persaudaraan. Kami tidak memandang dari golongan apa Ki Dulur berasal. Bagi kami, yang penting adalah kita semua berasal dari tatar yang sama. Untuk maksud kami mempererat persaudaraan itu, kemudian akan kami adakan semacam lomba ketangkasan secara persahabatan.
Terdengar suara-suara memenuhi udara. Sebagian besar menyambut dengan senang lomba seperti ini. Mereka memang baru kali pertama menghadiri ajang seperti ini. Sebagian lagi tetap diam menunggu apa yang akan dikatakan oleh Braja Wikalpa.
Setelah keadaan kembali tenang, Braja Wikalpa meneruskan, Tentu saja lomba seperti ini bukanlah merupakan ajang untuk saling memamerkan kehebatan, melainkan kami lebih menekankan pada saling mengisi kekurangan dan menambah pengalaman. Dan yang terutama, itu tadi, adalah mempererat persatuan di antara sesama orang satu daerah. Karena itu, kami syaratkan dalam lomba nanti tidak diperkenankan menggunakan senjata apa pun. Kita semua berlaga menggunakan tangan kosong.
Braja Wikalpa berhenti sebentar. Sebetulnya, kami ingin agar di sini hanya ada satu lingkaran arena sehingga kita semua masing-masing bisa menyaksikan mereka yang sedang berlaga. Tapi, karena waktu yang sangat mendesak, kami ingin malam ini juga kita semua bisa menyelesaikan perlombaan ini. Karena itu, kami menyediakan tiga lingkaran arena. Silakan dulur yang ingin menunjukkan kebolehan segera menempati arena dan mencari lawan masing-masing. Pemenangnya nanti akan berhadapan dengan pemenang dari lingkaran yang lain.
Braja Wikalpa mendeham lagi, lalu katanya, Oh, ya, kami tentukan lomba ini paling banyak berlangsung dalam tiga puluh jurus saja. Mudahmudahan dalam tiga puluh jurus itu sudah bisa diketahui siapa pemenangnya. Kalau dalam tiga puluh jurus itu belum ada pemenangnya, lomba boleh dilanjutkan dalam dua puluh jurus. Kalau dalam dua puluh jurus itu belum ada juga pemenangnya, dilanjutkan dengan sepuluh jurus. Kalau masih belum juga ada pemenangnya, maka keduanya dianggap sebagai pemenang dan berhak untuk maju melawan peserta lain. Sebelum pertandingan selesai, siapa pun yang keluar dari lingkaran, dia dinyatakan kalah. Kami berharap acara lomba ini akan selesai menjelang tengah malam. Pemenangnya akan mendapat hadiah dari kami. Tapi, siapa pun yang sudah berlaga, baik yang kalah maupun yang menang, kami harap tetap berada di sini. Nanti akan disampaikan sesuatu yang sangat penting oleh Kakang Braja Musti. Braja Wikalpa menoleh kepada Braja Musti, kakak seperguruannya. Apakah dulur semua mengerti"
Semua yang hadir mengangguk-angguk mengerti.
Nah, kata Braja Wikalpa lagi. Siapa saja yang mau lebih dulu tampil, silakan menempati lingkaran yang sudah disediakan.
Hening sejenak. Angin berembus dari lereng barat, membawa aroma dedaunan hutan.
Keheningan itu pecah ketika sesuatu menggelinding ke tengah arena dan langsung berhenti di salah satu lingkaran.
Yang menggelinding ternyata bukan sesuatu.
Ketika berdiri, jelas bahwa dia manusia. Tubuhnya pendek dibandingkan dengan kebanyakan orang. Gempal dan bulat. Perutnya mengembung seperti perempuan hamil dan pantatnya menonjol. Matanya besar melotot, hidungnya pesek melesak, dan mulutnya sangat lebar. Tidak jelas apakah mulutnya itu sedang tersenyum atau menyeringai. Dia hanya mengenakan celana sebatas lutut dan sarung yang diikatkan di pinggang. Di pinggangnya terselip golok yang sangat lebar dan panjang. Ki Antaga.
Orang-orang berdebar menyaksikan siapa orang yang akan berlaga lebih dulu itu. Sebagian besar peserta merasa jeri kalau harus berhadapan dengan manusia aneh ini. Ki Antaga adalah jenis manusia golongan sesat yang memiliki ilmu iblis yang serbalicik. Perlu berpikir ribuan kali untuk menghadapinya, meskipun sudah disebutkan bahwa perlombaan ini tidak dibolehkan memakai senjata.
Tolong senjatanya, Ki Antaga, ucap Braja Wikalpa.
Ki Antaga memandang Braja Wikalpa, lalu menyeringai dan tertawa, Hehehe ...! Senjata ini tidak pernah terpisah dari tubuhku. Jadi, aku tidak akan mencopotnya. Tapi, jangan khawatir, aku yakin tidak perlu menggunakannya. Hehehe ...!
Braja Wikalpa memandang Braja Musti, juga wajah-wajah para pendekar yang hadir. Meskipun dengan berat hati, Braja Wikalpa tampaknya tidak punya pilihan lain sehingga akhirnya mengangguk.
Tak lama kemudian, terdengar siutan panjang sebelum muncul seseorang yang meloncat dengan kecepatan sangat mengagumkan dan kemudian berdiri di lingkaran yang sama dengan Ki Antaga tanpa menimbulkan suara.
Di hadapan Ki Antaga, berdiri seorang tokoh sakti dari Hujung Kulon. Namanya Badak Pamalang. Dia berdiri dengan kaki agak mengangkang, bertelekan pada tongkatnya yang terbuat dari bambu kuning. Wajahnya agak gelap, sebagaimana umumnya orang-orang pantai, tapi wajahnya cukup tampan, dengan tubuh yang ramping. Usianya sekitar empat puluh tahun dan selama belasan tahun, dia sangat disegani, terutama oleh manusia-manusia sesat di kawasan Hujung Kulon. Boleh jadi orangtuanya ingin agar si anak meniru jejak langkah seorang kesatria Pajajaran bernama sama, Badak Pamalang, yang tumbuh menjadi lalaki langit lalanang jagat. Badak Pamalang memang berarti manusia sempurna.
Badak Pamalang menyelipkan tongkat bambu kuningnya di pinggang. Kekekekek ...!
Terdengar tawa terkekeh, dan hampir pada saat yang sama, meloncatlah seorang perempuan tua berpenampilan aneh, lalu menempati salah satu lingkaran lainnya. Wajahnya putih mengerikan, matanya hanya seperti dua lubang hitam, hidungnya penyok, tapi bibirnya merah menyala, seperti seorang perempuan pesolek saja. Dia juga mengenakan baju berwarna merah yang umumnya dipakai oleh perempuan muda. Mungkin dia merasa masih muda meskipun usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun. Orang-orang berdebar melihat siapa gerangan nenek berwajah tukang sihir itu. Dan memang itulah julukannya. Nenek Sihir dari Krakatau.
Dia nyaris seperti manusia dalam dongeng belaka. Kemunculannya tidak pernah diduga. Seakan-akan, dia bisa berada di mana saja. Dan di mana saja dia berada, dia selalu menimbulkan bencana.
Braja Wikalpa pun terkejut ketika melihat kemunculan si Nenek Sihir. Ketika dia menyambangi Gunung Krakatau, si Nenek Sihir tidak dijumpainya. Dan dari tadi pun, Braja Wikalpa tidak tahu bahwa perempuan mengerikan itu ada di sekitar tempat itu. Mungkin saja dia bersembunyi entah di mana. Si Nenek Sihir dikenal dengan kemampuannya untuk menyembunyikan diri dari pandangan orang lain.
Nenek Sihir dari Krakatau berkacak pinggang, menantang siapa saja yang punya nyali untuk berhadapan dengannya. Memang keadaan menjadi hening beberapa saat. Tapi, tak lama kemudian, seseorang bangkit dari tempat duduknya di sebongkah batu besar. Ah, bukan bangkit, melainkan melenting tinggi, hinggap di tanah, kemudian melenting tinggi lagi seperti bola karet, dan akhirnya, hinggap tepat di depan si Nenek Sihir.
Dia adalah seorang lelaki berpenampilan tidak kalah aneh dari si Nenek Sihir. Perawakannya kecil, seperti seorang bocah, tapi wajahnya yang sudah keriput menunjukkan bahwa usianya sudah tua. Nama aslinya tidak diketahui. Dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Pendekar Jaka Kendil. Meskipun perawakannya seperti bocah kecil yang lucu, Pendekar Jaka Kendil adalah sosok yang sangat disegani, terutama bagi para pendekar golongan sesat. Ya, Pendekar Jaka Kendil dari Gunung Gede adalah pendekar golongan putih yang sakti. Kecil-kecil cabai rawit. Dua lingkaran sudah langsung terisi.
Beberapa saat kemudian, meloncat dua sosok secara bersamaan dari sudut yang sama, hinggap di lingkaran ketiga. Keduanya adalah sepasang lelaki dan perempuan yang sama-sama berpakaian putih. Yang satu adalah lelaki berwajah tampan dengan kumis tebal dan sorot mata tajam. Sekilas, usianya tampak di sekitar empat puluh lima tahun. Di sisinya adalah perempuan cantik yang juga kelihatan berusia sekitar empat puluh lima tahun. Pakaiannya ketat, memperlihatkan bentuk tubuhnya yang masih langsing. Rambutnya sebagian diikat di belakang kepala, sebagian lagi terurai dan melambai-lambai hingga di bawah punggung. Keduanya samasama membawa pedang panjang di punggung mereka.
Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu.
Meskipun kelihatan masih berusia empat puluhan, keduanya adalah tokoh silat tataran tua, dengan usia sekitar enam puluh tahun. Mereka memang kelihatan awet muda. Tapi, juga awet seram. Maksudnya, kedatangan mereka selalu menimbulkan suasana seram. Kedatangan mereka kali ini pun menjadikan arena itu lebih menyeramkan.
Pasangan pendekar ini tidak jelas berada di mana, apakah golongan putih atau golongan hitam. Mereka kerap bertempur melawan siapa saja yang menghalangi niat mereka. Dan apabila sudah berhadapan dengan mereka, dari golongan mana pun, dipastikan mereka tak akan pulang dengan selamat. Mereka tidak pernah peduli apa kata orang. Yang penting adalah mencapai tujuan mereka: menjadi pendekar nomor satu!
Suasana sunyi sekaligus menegangkan.
Nyaris tidak ada yang bergerak.
Di dua arena yang sudah terisi, keempat pendekar itu sama-sama menunggu untuk mengetahui siapa yang akan menjadi lawan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu. Tapi, setelah ditunggu beberapa jenak, tidak ada satu pun dari para pendekar yang datang itu bersedia melawan.
Si Rajawali Jantan tertawa terbahak-bahak. Katanya kemudian, Tidak adakah yang bersedia mencari keringat bersama kami"
Kata-kata Rajawali Jantan itu bergema di kejauhan. Tapi, tidak ada satu pun yang menyahut kata-katanya.
Dalam hitungan sepuluh, keadaan tetap sunyi. Hanya terdengar bisik-bisik sangat pelan di antara para pendekar.
Deham Braja Wikalpa memecah kesunyian. Maaf, Ki Dulur berdua, katanya sambil menjura. Barangkali tidak ada yang berani kalau Ki Dulur tampil berdua. Sepasang Rajawali tentu tidak akan menemukan lawan sepadan di sini. Sekali lagi mohon dimaafkan. Bagaimana kalau salah seorang saja dari Pendekar Rajawali yang tampil lebih dulu"
Sepasang Rajawali itu saling pandang di antara mereka dengan kening berkerut. Braja Wikalpa memang memiliki kemampuan dalam mengolah kata-kata. Pujiannya yang tersamar berhasil membuat Sepasang Rajawali itu tersanjung. Tak lama kemudian, kerutan di kening mereka mengendur, dan akhirnya, keduanya tertawa bersama-sama.
Oh, tentu saja kami akan mematuhinya kalau memang peraturannya begitu, kata Si Rajawali Jantan. Kau dulu, ya, katanya kepada Si Rajawali Betina seraya meloncat ke tempat semula, di bawah sebatang pohon kiara sehingga wajahnya kembali diteduhi bayangan dedaunan.
Si Rajawali Betina meloloskan pedangnya, kemudian melemparkannya kepada Si Rajawali Jantan, lalu berdiri dengan gagah di tengah lingkaran, menunggu siapa gerangan lawan yang akan datang. Rambutnya yang panjang berkibar ditiup angin yang mulai beranjak malam.
Masih belum juga ada yang datang menantang. Para pendekar tampaknya ragu-ragu apakah mereka mampu menandingi Si Rajawali Betina. Kalaupun mampu, mereka tampaknya berpikir apakah Si Rajawali Jantan nantinya tidak akan datang membantu.
Hmmm ... apakah tetap tidak ada yang berani" tantang Si Rajawali Betina. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang manis, sekaligus mengandung seringai yang seakan-akan meremehkan para pendekar di sana.
Tiba-tiba dari sudut utara berkelebat sesosok manusia dengan kecepatan mengagumkan. Yang terlihat hanyalah pakaiannya yang kuning, sampai kemudian dia hinggap di hadapan Si Rajawali Betina.
Seorang pendekar perempuan.
Hampir semua yang datang memandang si penantang tanpa berkedip. Kalau hanya melihat sosoknya, siapa pun di sana tidak akan menyangka bahwa dia memiliki kemampuan kanuragan, apalagi masuk ke lingkaran untuk berhadapan dengan Si Rajawali Betina.
Pendekar perempuan itu memiliki wajah yang sangat cantik. Kulitnya putih, seolah bersinar disiram cahaya bulan. Matanya sipit, nyaris seakanakan hanyalah dua garis tipis. Bibirnya yang merah tipis menyunggingkan senyum yang sangat menawan. Rambutnya seperti air terjun yang lembut. Usianya pastilah masih sangat muda. Mungkin baru lima belas tahun.
Perempuan belia itu menjura kepada Si Rajawali Betina. Harap Nyonya Pendekar sudi memberikan pelajaran kepada saya, katanya. Nama saya Ciang Hui Ling. Saya datang mewakili guru saya, Tan Bo Huang, yang dikenal dengan julukan Naga Kuning dari Ci Liwung. Beliau berhalangan hadir karena ada sebuah urusan yang mendesak di Kalapa. Harap saya tidak mengecewakan.
Terdengar suara bisikan di antara para pendekar yang hadir. Nama Tan Bo Huang atau Naga Kuning dari Ci Liwung tentu saja bukan nama sembarangan. Nama pendekar gagah ini sudah belasan tahun disegani di kawasan sepanjang Ci Liwung hingga ke muaranya di Laut Jawa. Leluhurnya adalah Laskar Ceng Ho yang pernah singgah dan kemudian menetap di Kalapa lebih dari seratus lima puluh tahun yang lalu. Tan Bo Huang berhasil mempertahankan ciri ilmu silat Tiongkok yang mengandalkan kecepatan tangan dan kaki, kemudian dipadukan dengan unsur-unsur gerak daerah setempat yang lebih mengandalkan tenaga dalam. Jadilah ilmu paduan antara kecepatan dan tenaga dalam yang sangat hebat.
Akan tetapi, apakah Ciang Hui Ling lihai seperti gurunya, tentu harus dibuktikan di lingkaran arena.
Nah, kata Braja Wikalpa. Sekarang, semua lingkaran sudah terisi. Tuan-Tuan bisa segera memulai. Kami bertiga akan mengawasi masingmasing satu lingkaran.[]
10 Watak Asli Si Rajawali TIGA lingkaran kini sudah terisi oleh enam pendekar yang akan memperlihatkan kemampuan mereka. Di lingkaran pertama, Ki Antaga sudah berhadapan dengan Badak Pamalang. Di lingkaran kedua, Nenek Sihir dari Krakatau bertemu dengan Pendekar Jaka Kendil. Dan di lingkaran ketiga, Si Rajawali Betina dari Pelabuhan Ratu akan dijajal Ciang Hui Ling, murid Naga Kuning dari Ci Liwung.
Di lingkaran pertama, Ki Antaga tidak mau berbasa-basi, tetapi langsung mengeluarkan jurus andalannya meskipun masih dalam taraf pembukaan. Meskipun bentuk tubuhnya gemuk dan pendek serta terkesan sulit bergerak karena perutnya yang besar, Ki Antaga mampu bergerak cepat melancarkan jurus Bagong (Babi Hutan) Ngamuk. Semua bagian tubuhnya, mulai dari kepala, tangan, lutut, hingga ujung kaki, dipakainya untuk menyerang. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga yang sangat besar sehingga menimbulkan kesiur angin yang mengerikan.
Badak Pamalang menghadapi serangan itu dengan ketenangan seekor badak bercula satu dari Hujung Kulon. Dia tidak ingin menghindar dan bersiap beradu tenaga, bagai badak yang menunduk dan mempersiapkan culanya. Dan memang itulah salah satu jurus andalannya, Badak Menunduk Cula Menanduk.
Brakkk!
Jaka Wulung 2 Jurus Tanpa Nama di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dua kekuatan yang dahsyat segera bertemu, menimbulkan bunyi seperti benturan dua batang pohon besar.
Kedua petarung itu sama-sama terlontar mundur beberapa langkah. Badak Pamalang terjengkang hingga selangkah saja dari garis lingkaran.
Sementara itu, Ki Antaga bahkan jatuh dan menyentuh garis putih.
Akan tetapi, keduanya segera bangkit lagi seakan-akan benturan dahsyat itu tidak memberikan pengaruh pada tubuh mereka. Karena itu, pertarungan pun kembali berlangsung dengan seru.
Di lingkaran kedua, Nenek Sihir dari Krakatau terkekeh-kekeh melihat siapa lawannya. Kekekekek ...! Tuyul kecil, kamu berani melawanku, ha" Kekekekek!
Pendekar Jaka Kendil tidak mau terpengaruh. Dia sudah hafal luar dalam kelakuan si Nenek Sihir. Dia pernah dua atau tiga kali menghadapi si Nenek Sihir di masa lalu dan ilmu mereka berada dalam taraf yang selalu seimbang. Apa pun yang dilakukan si Nenek Sihir, Pendekar Jaka Kendil tahu, pastilah mengandung ilmu sihir. Kekehnya itu pun mengandung gelombang yang akan mampu membuat orang terbius kehilangan kesadaran.
Untunglah, Pendekar Jaka Kendil bukan orang kebanyakan. Meskipun tubuhnya seperti bocah enam tahun, dia adalah lelaki berusia enam puluh tahun, sudah banyak makan asam garam dunia persilatan yang penuh dengan berbagai cara licik yang selalu dilakukan para pentolan golongan sesat.
Jangan banyak tawa. Ketawamu jelek. Bau! kata Jaka Kendil.
Tawa si Nenek Sihir langsung terhenti. Dari dulu suaramu bikin kupingku gatel. Si Nenek lalu memekik, Hiaaat! seraya melancarkan serangan melalui kedua tangannya. Tangan dan jari-jari si Nenek Sihir tampak kurus kering, seperti tulang belulang belaka. Tapi, dari suara yang ditimbulkan oleh gerakannya yang gesit bisa disimpulkan bahwa tenaganya sangat besar. Siapa pun yang kena hantam jemarinya akan merasakan seakanakan dihantam besi baja.
Pendekar Jaka Kendil paham apa yang terjadi kalau dia terhantam jemari si Nenek Sihir. Karena itu, dengan memanfaatkan bentuk tubuhnya yang mungil, Pendekar Jaka Kendil berkelit dengan gesit. Dia tidak hanya menghindar, tapi juga menyelusup di sela-sela kaki si Nenek Sihir, sembari menyentilkan telunjuknya mengarah ke bagian pangkal selangkangan si Nenek Sihir.
Kurang ajarrr! pekik si Nenek Sihir sambil terpaksa melenting tinggi untuk menghindari sentilan Pendekar Jaka Kendil. Si Nenek Sihir melakukan satu putaran di udara sebelum turun dan menghantamkan tinjunya ke kepala Pendekar Jaka Kendil. Jaka Kendil sudah menduga serangan seperti ini sehingga dengan cepat berkelit sambil bergulingan di tanah seperti tenggiling.
Si Nenek Sihir dan Pendekar Jaka Kendil tampaknya sudah saling mengenal tata gerak lawannya. Setelah kali terakhir bertempur lebih dari sepuluh tahun lalu, tampaknya kini pertemuan di antara keduanya kembali berlangsung pada tataran ilmu yang seimbang. Karena itu, setelah beberapa jurus, pertempuran mereka berjalan seru dan sulit untuk bisa dipastikan siapa yang akan lebih unggul di antara keduanya. Keduanya saling menyerang dengan gesit dan belum satu pun serangan mereka mengenai lawan. Dari kejauhan, gerakan mereka tampak seperti dua bayangan yang saling melibat, berputar-putar seperti angin puyuh, disertai teriakan-teriakan yang kadang kasar dan saru, terutama dari bibir keriput si Nenek Sihir.
Di lingkaran ketiga, Si Rajawali Betina memandang gadis belia di depannya dengan kening berkerut sangat dalam, dengan sudut-sudut bibir melesak, memudarkan cahaya kecantikannya. Si Rajawali Betina adalah perempuan yang tergolong istimewa, yakni dalam usia enam puluhan tahun, dia tampak masih berusia empat puluhan tahun, masih kelihatan langsing dan kulitnya masih kencang. Wajahnya pun masih tergolong rupawan. Tapi, tentu saja, dibandingkan dengan Ciang Hui Ling, Si Rajawali Betina ibarat burung blekok dibandingkan dengan burung nuri. Orang akan dengan segera menyukai si burung nuri yang berwarna-warni.
Dan itulah yang membuat dadanya panas oleh bara. Rasa iri yang mengiris hati.
Hmmm, Si Rajawali Betina mendeham. Kamu mestinya tahu siapa aku, Bocah Manis, jadi tidak akan menyesal masuk ke lingkaran ini.
Sepasang Rajawali tentu saja sudah terkenal ke mana-mana, ujar Ciang Hui Ling dengan suara yang tetap tenang. Justru karena itulah saya mohon mendapat pelajaran, buat bekal saya di kemudian hari. Ketenangan gadis keturunan negeri Tiongkok ini betul-betul mengagumkan. Dilihat dari kulitnya yang langsat dan lembut, serta tubuhnya yang mungil, siapa pun akan bertanya-tanya, apa bekal yang dimiliki Ciang Hui Ling untuk menghadapi pendekar yang terkenal tak kenal ampun seperti Si Rajawali Betina.
Baiklah, kata Si Rajawali Betina. Terimalah seranganku. Hiyaaa! Perempuan dari Pelabuhan Ratu ini segera mengembangkan kedua tangannya, melancarkan salah satu jurus andalannya, Sayap Rajawali Mengibas Dedaunan. Dia tidak mau berbasa-basi, tetapi ingin segera menyelesaikan pertarungan pertamanya sesingkat mungkin. Tangannya berputar, kemudian mengibas-ngibas, seakan menimbulkan angin topan yang mampu menerbangkan apa pun yang menghalangi.
Ciang Hui Ling sudah menduga akan datangnya serangan maut. Dengan ketenangan dan kegesitannya, pendekar belia bermata sipit ini meloncat menghindar sambil memainkan jemarinya untuk memecah datangnya angin ribut.
Gerakan sederhana Ciang Hui Ling langsung mendapat perhatian dari hampir semua orang di luar lingkaran. Tampak segera, meskipun masih sangat muda, Ciang Hui Ling memiliki kegesitan yang sulit diikuti mata manusia biasa. Dia seperti burung walet yang melesat-lesat membelah udara.
Si Rajawali Betina terkejut melihat kenyataan serangan pertamanya bisa dihindari si gadis remaja. Tapi, dia segera menyadari bahwa murid Tan Bo Huang alias Naga Kuning dari Ci Liwung itu memiliki bekal yang tidak bisa dianggap enteng. Oleh karena itu, Si Rajawali Betina segera mengeluarkan jurus lain yang lebih dahsyat, Cakar Mencengkeram Remukkan Tulang. Jurus ini, selain mengandalkan kecepatan dan kekuatan, juga diselingi gerak tipu yang akan membuat lawannya kebingungan.
Hal itu segera terbukti. Ciang Hui Ling terkejut melihat tata gerak aneh yang baru kali pertama dilihatnya. Oleh karena itu, Ciang Hui Ling hanya mampu melenting-lenting menghindar dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, atau menurut bahasa mereka, ginkang.
Meskipun demikian, sampai delapan atau sembilan jurus Si Rajawali Betina belum juga mampu menyentuh lawannya. Ini tentu sangat mengejutkan, baik bagi Si Rajawali Betina sendiri maupun bagi para pendekar di luar lingkaran yang sedang memperhatikan pertempuran ini. Si Rajawali Betina mengira bahwa dia akan bisa menang dalam dua atau tiga jurus saja. Tapi, ternyata Naga Kuning dari Ci Liwung tidak sedang bermain-main mengutus muridnya yang masih sangat belia untuk mewakilinya hadir di sini.
Sementara itu, di lingkaran pertama, pertempuran antara Ki Antaga dan Badak Pamalang dengan cepat sudah melewati tiga puluh jurus dan keduanya masih tampak berimbang. Kalau saja dalam dua puluh jurus berikutnya tidak ada yang kalah, keduanya akan bertempur lagi dalam sepuluh jurus, dan kalau tetap imbang, keduanya akan dinyatakan samasama menjadi pemenang, dan masing-masing menunggu lawan berikutnya.
Ki Antaga dan Badak Pamalang tetap mengandalkan kekuatan mereka. Pada setiap jurus, mereka nyaris tidak pernah menghindar satu sama lain. Keduanya terus-menerus membenturkan hampir setiap bagian tubuh mereka. Telapak bertemu dengan telapak, tulang tangan beradu dengan tulang tangan, tulang kering berbenturan dengan tulang kering, terusterusan menimbulkan bunyi yang keras. Setiap terjadi benturan, keduanya akan sama-sama terjengkang beberapa langkah, menunjukkan bahwa benturan itu terjadi dengan kekuatan yang sangat hebat. Tapi, begitu terjengkang, mereka akan sama-sama berdiri lagi dan mempersiapkan jurus berikutnya.
Pandangan mata yang tajam akan bisa melihat bahwa tangan dan kaki mereka sudah mulai dipenuhi bilur-bilur berwarna gelap akibat benturan yang terjadi.
Akan tetapi, keduanya tampaknya tidak pernah kehabisan tenaga. Begitu bangun, mereka seakan-akan memiliki kekuatan baru, yang mereka gunakan untuk benturan berikutnya.
Sungguh, pertempuran yang menggiriskan hati siapa pun yang melihatnya. Dan sungguh aneh, sampai sejauh ini, tidak pernah terdengar kata-kata yang saling melecehkan seperti biasa terjadi dalam suatu pertempuran. Bahkan, pekikan atau desisan dari mulut mereka tidak juga terdengar. Seakan-akan pertempuran itu bagi mereka hanyalah permainan yang mengasyikkan. Tak perlu bicara, tapi banyak bekerja.
Di lingkaran kedua, berbeda dengan pertempuran di lingkaran pertama, pertempuran antara si Nenek Sihir dari Krakatau dan Pendekar Jaka Kendil terus-menerus diselingi dengan pekikan, umpatan, dan tawa terkekehkekeh, terutama yang keluar dari mulut keriput si Nenek Sihir. Mereka rupanya lebih suka dengan peribahasa banyak bicara, banyak bekerja.
Akan tetapi, seperti di lingkaran pertama, tampaknya ilmu si Nenek Sihir dan Pendekar Jaka Kendil berada pada taraf yang juga seimbang. Sampai sejauh ini, beberapa kali pukulan maut si Nenek Sihir mengenai bagianbagian tubuh Pendekar Jaka Kendil meskipun belum menyentuh bagian yang mematikan. Selain itu, Pendekar Jaka Kendil memiliki semacam ilmu kebal yang membuatnya seolah-olah tidak merasakan sakit ketika pukulan si Nenek Sihir mengenainya. Sebaliknya, beberapa kali pula hantaman dan tendangan Pendekar Jaka Kendil mengenai bagian-bagian tubuh si Nenek Sihir meskipun belum sampai taraf membahayakan.
Dengan demikian, di lingkaran ini pun tidak bisa dipastikan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Di lingkaran ketiga, pertempuran juga masih berlangsung sangat sengit. Si Rajawali Betina benar-benar dibuat penasaran oleh kegesitan Ciang Hui Ling. Dan hal itu membuatnya bertambah geram. Karena itu, Si Rajawali Betina tidak mau lagi bermain-main. Kalau semula dia memandang sebelah mata lawannya, kali ini dia kerahkan seluruh kemampuan, segenap kekuatan, segala tipu daya yang dimiliki, dan semua jurus maut miliknya sehingga serangan Si Rajawali Betina benar-benar membabi buta. Oh, mungkin lebih tepatnya merajawali buta .
Ke mana pun Ciang Hui Ling menghindar, Si Rajawali Betina terus mencecar. Meskipun tidak bersama pasangannya, itulah keistimewaan jurus Lidah Ombak Menjilat Pantai. Terus-menerus, sambungmenyambung, tak pernah ada jeda. Lama-kelamaan, jelas bahwa Si Rajawali Betina hanya tinggal menunggu waktu untuk menaklukkan lawannya yang jauh lebih muda dan lebih jelita.
Tepat pada jurus ketiga puluh, sebuah kibasan Si Rajawali Betina yang datang beruntun tidak bisa dihindari Ciang Hui Ling.
Brettt! Kuku-kuku panjang Si Rajawali Betina merobek lengan baju Ciang Hui Ling, menembus hingga permukaan kulitnya, dan membuat gadis itu memekik dan terpaksa melenting jauh hingga keluar dari garis lingkaran.
Kecuali empat pendekar yang sedang terlibat dalam dua pertempuran di dua lingkaran yang lain, semua mata termasuk tiga pasang mata Braja Musti, Braja Denta, dan Braja Wikalpa terpusat pada Ciang Hui Ling yang jatuh terduduk.
Celakanya, meskipun Ciang Hui Ling sudah terlempar ke luar arena, yang berarti kalah, Si Rajawali Betina masih terus meloncat untuk memburu lawannya.
Braja Wikalpa berseru, Tahaaan!!!
Akan tetapi, seruan Braja Wikalpa, yang memang bertugas mengawasi lingkaran ketiga, hanya memecah udara. Jaraknya terlampau jauh baginya untuk menahan gerak Si Rajawali Betina. Dan tampaknya, Si Rajawali Betina sudah tidak mau lagi menuruti peraturan yang sudah ditetapkan. Apa yang ada dalam hatinya adalah ingin menyelesaikan pertempuran dengan caranya sendiri. Caranya adalah menuntaskan kegeraman dalam dadanya menghancurkan Ciang Hui Ling. Menghancurkan kecantikannya!
Ciang Hui Ling hanya bisa memandang Si Rajawali Betina dengan wajah yang penuh tanda tanya. Dia sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan lanjutan karena dia tadi sudah meloncat keluar dari lingkaran dan itu berarti pengakuan kalah secara kesatria. Karena itu, pendekar belia yang jelita ini sama sekali tidak mempersiapkan pertahanan apa pun. Tangan kanannya, yang sedang meremas kulit lengan kirinya yang terluka sepanjang beberapa jari dan meneteskan darah segar, memerahi lengan bajunya yang kuning, hanya bisa membeku.
Braja Wikalpa seperti terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Braja Musti dan Braja Denta. Para pendekar lain tidak ada satu pun yang bergerak. Mereka seperti deretan patung di tempat masing-masing.
Bagi mereka, tampaknya nasib Ciang Hui Ling sudah tergurat di telapak tangan Si Rajawali Betina. Kalau tidak nyawa melayang, setidaknya pendekar jelita itu akan menderita luka yang sangat parah.
Sebagian orang yang menyaksikan merasa tidak tega sehingga tanpa sadar memejamkan mata mereka seraya dalam hati berkata, inilah watak asli Si Rajawali Betina. Tidak punya sama sekali perikemanusiaan namanya juga rajawali.
Pada detik yang menentukan itulah, berkelebat sangat cepat sesosok bayangan hitam-hitam, demikian cepatnya sehingga nyaris tidak bisa diikuti mata para pendekar di sana, dan memapas pukulan maut Si Rajawali Betina dengan pukulan juga.
Duarrr! Terdengar bunyi menggelegar akibat berbenturannya dua pukulan yang sangat dahsyat!
Si Rajawali Betina terpental mundur beberapa langkah dan jatuh terjengkang dengan punggung lebih dulu. Dadanya serasa sangat sesak dan pandangannya gelap gulita beberapa saat. Hanya karena memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, disertai pengaturan napas yang segera dia lakukan, Si Rajawali Betina segera mampu bangkit lagi meskipun agak sempoyongan dan berusaha memandang untuk mengenali siapa yang muncul tanpa diduga.
Keparaaat ...! Si Rajawali Betina memaki dengan suara serak, seakan sebutir batu telah menyumbat tenggorokannya dan melukai pita suaranya. Tangan kanannya serasa lumpuh dari ujung jari hingga pangkal lengan sehingga seakan-akan hanya bisa menggantung di sisi tubuhnya.
Sementara itu, sosok berbaju hitam-hitam itu sudah pula berdiri tegak. Tadi akibat benturan dahsyat itu, dia terdorong mundur dua langkah. Tangannya yang memapas Si Rajawali Betina terasa kesemutan. Pendekar tua yang genit ini memang luar biasa, katanya dalam hati.
Ketika matanya sudah mulai pulih, dan bisa memandang sosok yang datang memapas pukulannya, Si Rajawali Betina terkejut bukan main. Kau"" []
11 Dendam Melawan Dendam BULAN terus mendaki di lengkung langit.
Mata Si Rajawali Betina membelalak. Dalam sekejap dia teringat ketika beberapa bulan lalu dia dan pasangannya, Si Rajawali Jantan, juga beberapa tokoh silat golongan tua yang sudah malang melintang di jagat silat, dikejutkan oleh kemunculan seorang pemuda belia yang memiliki kemampuan di luar nalar. Bagaimana tidak, pemuda itu berhasil mengalahkan Brahala, tokoh sakti bertubuh raksasa dari Segara Anakan. Pemuda itulah yang kemudian dikenal sebagai Titisan Bujangga Manik.
Jaka Wulung berdiri memandang Si Rajawali Betina tanpa berkedip. Inilah, kata hati Jaka Wulung, orang yang telah menewaskan gurunya, Resi Darmakusumah. Meskipun saat itu, Resi Darmakusumah menghadapi beberapa lawan sekaligus, Si Rajawali Betina inilah, bersama pasangannya, Si Rajawali Jantan, yang sama-sama melesakkan pedang panjang mereka ke tubuh sang Resi sehingga tubuh gurunya itu tumbang dan kemudian menjadi sasaran pembantaian.
Wajarlah kalau Sepasang Rajawali itu adalah musuh besar yang pantas menjadi sasaran balas dendamnya.
Hmmm ... Titisan Bujangga Manik rupanya, kata Si Rajawali Betina dengan suara serak yang pelan. Sepelan embusan angin malam yang menyentuh dedaunan.
Akan tetapi, suara sepelan bisik angin itu seperti gelegar halilintar di telinga sebagian pendekar yang berkumpul di sana.
Orang yang kali pertama terperanjat adalah Si Rajawali Jantan. Matanya memandang lekat orang yang baru datang memapas serangan pamungkas pasangan hidupnya. Dadanya berdentam oleh berbagai perasaan. Kagum, sekaligus cemas. Dia sudah pernah melihat sendiri bagaimana pendekar bocah itu mampu menumbangkan pendekar hebat seperti Brahala. Tapi, dia juga dilanda kecemasan setelah melihat betapa akibat benturan itu, Si Rajawali Betina tampak lebih menderita dibandingkan dengan pendekar belia itu, sebuah bukti bahwa ilmu si bocah tampaknya sudah berkembang sejak diselamatkan sosok misterius di Bukit Sagara sosok yang juga entah bagaimana berhasil membawa Kitab Siliwangi yang waktu itu menjadi ajang rebutan.
Karena itu, Si Rajawali Jantan bergeser mendekat untuk bersiap-siap membantu Si Rajawali Betina.
Braja Wikalpa memandang pemuda belia itu dengan kening berkerut, tapi kemudian mukanya terasa hangat oleh rasa senang, meskipun kedatangan si pemuda sama sekali tidak diduga dan berbeda dengan para pendekar lainnya. Dia kemudian berbisik kepada dua kakak seperguruannya, Braja Musti dan Braja Denta, yang kemudian mengangguk-angguk.
Sebagian pendekar di sana terkejut karena pernah mendengar nama Titisan Bujangga Manik mulai disebut-sebut kalangan persilatan sebagai sosok baru yang bakal menggemparkan. Mereka nyaris tidak mengedipkan mata untuk memandang lebih jelas seperti apa rupa manusia yang berjuluk Titisan Bujangga Manik itu. Bisik-bisik mulai mendengung di udara malam. Dari mana bocah ini datang" Dari awal, dia tidak terlihat di antara mereka.
Ciang Hui Ling, yang sebenarnya sudah pasrah terhadap nasib buruk yang tadi akan menimpanya, seakan-akan dipaku kakinya oleh rasa tak percaya. Aku masih hidup, diselamatkan oleh seorang pemuda. Entah dari mana pemuda ini muncul, dan dengan kecepatan serta kekuatannya yang mengagumkan berhasil mematahkan pukulan maut Si Rajawali Betina.
Gadis muda yang jelita ini memang pernah mendengar dari gurunya kisah mengenai pendekar terkenal bernama Bujangga Manik, tetapi dia belum pernah mendengar nama Titisan Bujangga Manik. Tapi, apakah dia pantas menyandang nama pendekar besar meskipun hanya titisannya"
Kemunculan Jaka Wulung juga menghentikan dua pertempuran sengit di dua lingkaran yang lain.
Di lingkaran pertama, baik Ki Antaga maupun Badak Pamalang segera menahan gerak mereka dan sama-sama menoleh untuk mengetahui seperti apa orang yang disebut sebagai Titisan Bujangga Manik.
Ki Antaga membelalak dengan mulut menganga lebar sehingga kepala sebesar Badak Pamalang pun bisa saja melesak masuk seluruhnya. Matanya menyipit dan keningnya berlipit-lipit. Rasanya, aku pernah melihatnya. Di mana, ya" pikir Ki Antaga. Tak lama kemudian, dia menepuk-nepuk jidatnya. Ya, betul ..., katanya sambil menunjuk Jaka Wulung.
Badak Pamalang menoleh kepada Ki Antaga. Apanya yang betul" tanyanya.
Aku pernah bertemu dengannya di ..., ya, di sebuah kedai makan di Kalapa Nunggal ....
Kau kenal dia, Ki" Ki Antaga menggeleng.
Keduanya mungkin tidak menyadari bahwa itulah percakapan pertama mereka sejak kali pertama bertemu di lingkaran pertama tadi. Dan aneh, percakapan itu seakan-akan terjadi antara dua orang kawan. Padahal jelas, Badak Pamalang dan Ki Antaga adalah dua orang yang berada di golongan yang berbeda.
Mendadak Ki Antaga menggeram, Apakah dia yang ..."
Di lingkaran kedua, si Nenek Sihir dari Krakatau dan Pendekar Jaka Kendil juga sama-sama menghentikan pertempuran mereka. Tapi, mereka berhenti bukan karena munculnya sosok bernama Titisan Bujangga Manik. Kedua pendekar ini, meskipun berada pada kedudukan berseberangan, yakni yang satu masuk golongan hitam dan yang lain golongan putih, sama-sama belum mendengar kemunculan pendekar muda yang menghebohkan ini. Si Nenek Sihir memang sudah belasan tahun bersembunyi di sebuah gua terpencil di lereng Gunung Krakatau. Tentu saja terpencil karena pulau kediamannya dikelilingi lautan luas yang selalu berombak besar. Nyaris tidak ada orang yang nekat mengunjungi Gunung Krakatau, yang belakangan kerap menyemburkan lahar panas. Sementara itu, Pendekar Jaka Kendil juga nyaris tidak pernah lagi turun dari kediamannya di dekat puncak Gunung Gede selama bertahun-tahun.
Memang, keduanya juga mendengar ledakan keras tadi, tapi ledakan keras dalam pertempuran adalah hal biasa. Jadi, kedua pendekar aneh ini berhenti bertempur hanya karena melihat di lingkaran lain juga pertempuran terhenti.
Ada apa" tanya si Nenek Sihir.
Pendekar Jaka Kendil mengangkat bahunya yang mungil.
Keduanya sama-sama memandang sekeliling, memandang wajah-wajah orang yang ternyata sedang memandang ke arah yang sama. Keduanya pun mengikuti arah pandangan orang-orang.
Seorang pemuda, sangat muda, berdiri tegak dengan kaki selebar pundak, dua jemari tangannya terkepal di sisi tubuhnya, memandang sosok lain di depannya yang, entah karena apa, tampak menyeringai kesakitan. Barulah kini, baik si Nenek Sihir maupun Pendekar Jaka Kendil sama-sama terkesiap karena mulai memahami apa yang terjadi. Si Rajawali Betina, pendekar kelas kakap yang sangat disegani di kalangan pendekar hebat sekalipun, terluka akibat berbenturan dengan si pemuda!
Dan rupanya, Si Rajawali Betina masih penasaran oleh kekalahannya pada pukulan pertama.
Kau tampaknya mengalami kemajuan pesat, Bocah, katanya. Pelanpelan, dia mulai bisa memulihkan tenaganya. Tangan kanannya pun sudah bisa digerakkan meskipun masih terasa ngilu. Tapi, jangan besar kepala dulu. Kau tadi menyerangku ketika aku tidak dalam keadaan siap.
Jaka Wulung memandang Si Rajawali Betina nyaris tanpa berkedip. Bukankah tadi Nyonya Pendekarlah yang menyerang lawan yang dalam keadaan tidak siap menerima pukulan lagi"
Hmmm ... tampaknya kau mulai senang ikut campur urusan orang. Ini pertempuran kami.
Nyonya menyerang lawan tidak berdaya yang sudah berada di luar lingkaran. Itu sudah bukan pertempuran kalian lagi.
Oh, sudah pintar pula kau bersilat kata. Aku hanya melayani silat kata Nyonya Pendekar.
Si Rajawali Betina kehabisan kata-kata. Dia terdiam dan menatap tajam Jaka Wulung. Mereka yang dapat memandang dengan jelas di bawah cahaya bulan, tentu akan bisa melihat wajah Si Rajawali Betina berubah menjadi merah. Darah dari jantungnya seakan dipompa dengan cepat untuk memenuhi wajahnya. Dia merasa dipermainkan oleh seorang bocah yang baru saja lepas dari tetek ibunya.
Oleh karena itu, tanpa menunggu tenaga dan urat-urat tubuhnya pulih seperti sediakala, Si Rajawali Betina langsung menyerang Jaka Wulung. Ilmu silat Si Rajawali adalah ilmu silat dahsyat yang mengandalkan kecepatan dan kekuatan kedua kaki dan kedua tangannya. Kedua kakinya bersiap dengan tendangan dahsyat seperti kaki burung rajawali yang siap mencengkeram dan menendang lawan, sedangkan kedua tangannya mengembang seperti sayap-sayap rajawali yang mengibas dan siap menyapu musuh seperti daun-daun kering saja.
Dan itu kesalahan pertama Si Rajawali Betina. Dia terlampau memandang tinggi dirinya dan memandang rendah Jaka Wulung.
Jaka Wulung kini sudah berbeda dengan Jaka Wulung beberapa waktu lalu tatkala bertempur di Bukit Sagara. Dia sudah menyerap ilmu dari Resi Bujangga Manik sendiri, kemudian dalam perjalanannya mengalami sejumlah kejadian ajaib, antara lain telah meminum secara tidak sengaja air sungai yang pahit, yang tidak lain adalah karena tercampur getah pohon Dewadaru, yang membuat ketahanan dan tenaga dalam Jaka Wulung meningkat secara aneh.
Jaka Wulung juga sudah menduga bahwa Si Rajawali Betina akan menyerangnya segera sehingga dia sudah mempersiapkan bukan hanya pertahanan, melainkan juga serangan. Jaka Wulung langsung membalas serangan tatkala serangan Si Rajawali Betina belum mencapai sasarannya!
Sebuah serangan tenaga penuh yang dibangun di atas satu keyakinan, tanpa ragu sedikit pun, bahwa cara inilah yang harus ditempuh Jaka Wulung untuk memecah kekuatan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu!
Semua orang di tanah lapang itu, yang kini sama-sama menjadi penonton, tidak ada yang menduga bahwa Jaka Wulung alias Titisan Bujangga Manik akan melakukan serangan demikian. Tidak juga Si Rajawali Jantan, yang terlambat hanya sekian kejap ketika sebuah kibasan Si Rajawali Betina sebagai bagian jurus Sayap Rajawali Mengibas Dedaunan disambut dengan juluran tangan Jaka Wulung yang menyimpan inti ilmu peninggalan Prabu Siliwangi, gulung maung, sekali lagi menimbulkan sebuah benturan kekuatan yang lebih dahsyat daripada benturan yang pertama tadi.
DUARRR! Yang terjadi kemudian adalah Si Rajawali Betina terpental mundur tidak kurang dari sepuluh langkah dan jatuh berdebam di tanah dengan jerit yang singkat memenuhi udara. Si Rajawali Betina jatuh telentang dengan wajah menyeringai kesakitan. Dadanya sesak sehingga mulutnya megapmegap untuk mengambil zat asam dari udara. Tulang tangan kanannya retak. Seluruh pembuluh darah tubuhnya seakan-akan disergap oleh aliran panas yang membuat sekujur tubuhnya seperti dibakar bara. Dia berusaha bangkit untuk berdiri lagi. Tapi, tampaknya kedua kakinya kehilangan tenaga. Dia terjatuh di atas kedua lututnya.
Nyimaaas! Si Rajawali Jantan meloncat dan menubruk tubuh Si Rajawali Betina. Hatinya tersayat menyaksikan perempuan yang telah menjadi pasangan hidupnya setidaknya dalam empat puluh tahun itu, bersama-sama membangun nama besar, tidak pernah berpisah barang sekejap pun jatuh tidak berdaya di tangan seorang pemuda yang belum kering ingusnya. Apakah ini akhir riwayat Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu" Kakang ....
Nyimas .... Keduanya berpelukan seraya sama-sama menangis sesenggukan, seperti sepasang kekasih remaja yang hendak saling berpisah. Tapi, kemudian tubuh Si Rajawali Betina tegak dan matanya berubah menyala lagi.
Kakang, ... aku belum akan segera mati. Belum, sebelum menyaksikan Kakang membalaskan kekalahan ini.
Si Rajawali Jantan memandang perempuan yang dicintainya itu seakanakan sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dia menegakkan tubuhnya seolah-olah baru bangun dari mimpi paling buruk dalam hidupnya. Dia pun meloncat berdiri dan memandang Jaka Wulung.
Sreeettt! Dihunusnya pedang panjang dari punggungnya.
Pada jarak belasan langkah, Jaka Wulung berdiri tegak memandang Sepasang Rajawali itu dengan kedua kaki selebar pundak.
Akibat benturan dahsyat tadi, Jaka Wulung terpental dua atau tiga langkah dan kuda-kudanya goyah. Jaka Wulung jatuh terduduk, tapi mampu segera bangkit berdiri untuk menghadapi kemungkinan seperti sekarang: pembalasan dari Si Rajawali Jantan.
Jaka Wulung merasakan betapa tangannya yang tadi berbenturan seperti kehilangan hampir semua tenaganya. Dadanya panas dan penglihatannya gelap beberapa kejap.
Keputusan Jaka Wulung untuk mendahului menyerang Si Rajawali Betina dengan sepenuh tenaga adalah keputusan tepat, sekaligus keliru!
Tepat, karena dengan serangan itu dia berhasil mematahkan sebelah sayap rajawali. Kekuatan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu adalah ketika keduanya bertarung bersama-sama. Dalam rumus mereka, satu ditambah satu bukanlah dua, melainkan tiga, empat, bahkan lima! Kini, Si Rajawali Betina sudah tidak berdaya meskipun belum tewas, dan Si Rajawali Jantan harus bertempur sendirian.
Akan tetapi, juga keliru karena dengan serangan tadi tenaga Jaka Wulung langsung terbuang lebih dari separuhnya.
Meskipun tinggal bernilai satu, Si Rajawali Jantan tetap bukanlah pendekar kebanyakan. Dalam tataran ilmu, dia selapis lebih tinggi dibandingkan dengan Si Rajawali Betina sendiri, belum lagi secara alamiah dia memiliki tenaga yang lebih kuat. Sejak masih belia, dia sudah menimba ilmu dari sejumlah guru di berbagai sudut Tatar Sunda. Bersama Si Rajawali Betina, dia juga tidak pernah berhenti mematangkan ilmu sehingga mereka muncul menjadi sepasang pendekar yang sangat disegani meskipun, sayangnya, tidak jelas apakah mereka termasuk golongan putih atau golongan hitam.
Si Rajawali Jantan mengacungkan pedang panjangnya, lalu dengan pekik burung rajawali yang merobek udara, dia meloncat menerjang dengan kekuatan yang sangat dahsyat karena dilambari lapisan dendam atas kekalahan Si Rajawali Betina.
Jaka Wulung tentu saja tidak mau menjadi sasaran empuk lawannya. Nyaris tidak terlihat oleh pandangan mata, tangannya dengan cepat mencabut kudi hyang di balik bajunya. Dia bersiap menghadapi lawannya dengan dada yang tentu saja masih berbalut dendam.
Dendam melawan dendam! Kemudian, yang segera terjadi adalah pertempuran yang sangat dahsyat. Mereka bertempur tidak lagi di dalam lingkaran. Tiga lingkaran di tanah lapang itu sudah kosong. Mata semua pendekar yang hadir kini terpusat pada pertempuran antara dua manusia yang mewakili kelompok yang sangat berbeda usia. Arena untuk menentukan siapa yang paling hebat sudah tidak lagi berlaku karena baik Si Rajawali Jantan maupun Jaka Wulung sudah menggenggam senjata di tangan masing-masing.
Pertempuran ini juga sudah tidak lagi bertujuan untuk mempererat persahabatan di antara para pendekar di Tatar Sunda, tetapi sudah menjadi pertempuran antara hidup dan mati.
Teriakan yang keluar dari mulut keduanya adalah ungkapan bara dendam yang harus menemukan muaranya hingga lepasnya nyawa.
Yang tampak kemudian adalah bayangan putih dan bayangan hitam yang saling melibat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata biasa.
Tak ada yang bisa menghentikan pertempuran maut itu. Termasuk para pendekar kelas satu, seperti Ki Antaga, Badak Pamalang, si Nenek Sihir, dan Pendekar Jaka Kendil. Apalagi sejumlah pendekar lain sisanya.
Tidak juga tiga pendekar tuan rumah, Braja Musti, Braja Denta, dan Braja Wikalpa. Ketiganya tentu saja menyesalkan ajang untuk mempererat persaudaraan itu berubah menjadi pertempuran hidup atau mati. Tapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Inilah risiko bertemunya pendekar gagah dan pendekar sesat dalam sebuah arena.
Dalam hati kecil mereka, sebenarnya timbul keinginan untuk turun tangan membantu Jaka Wulung yang makin lama makin kelihatan mengalami kesulitan karena telah lebih dulu kehilangan kekuatannya akibat benturan dengan Si Rajawali Betina. Tapi, mereka merasa bahwa, sebagai tuan rumah acara, mereka harus berlaku adil terhadap peserta mana pun.
Sementara itu, Badak Pamalang, di luar sadarnya, beringsut mendekat. Bagaimanapun, nalurinya memberitahukan bahwa dia mestinya membantu pendekar satu golongan. Tapi, pada saat yang sama, Ki Antaga, juga di luar sadarnya, beringsut mendekat sehingga Badak Pamalang harus menahan diri.
Hal yang sama terjadi ketika Pendekar Jaka Kendil melangkah maju. Si Nenek Sihir menoleh. Mau apa kamu, Bocah Tua" desisnya. Aku cuma ingin lihat lebih jelas, sahut Jaka Kendil pelan. Si Nenek Sihir terkekeh, Jangan coba-coba ....
Rembulan terus memanjat perlahan-lahan. Nini Anteh dan kucingnya tak henti mengawasi. Seakan mereka menumpahkan cahayanya khusus ke arena pertempuran itu, supaya semuanya bisa menyaksikan apa yang akan terjadi malam ini.[]
12 Ilmu Tanpa Nama MULA-MULA samar, tapi makin lama makin nyata, Si Rajawali Jantan lebih unggul dalam kebugaran dibandingkan dengan Jaka Wulung yang sudah kehilangan sebagian kekuatannya. Lambat laun, Jaka Wulung hanya mampu menghindar dan bertahan, sama sekali tidak diberi kesempatan untuk melancarkan serangan.
Si Rajawali Jantan menyadari bahwa dia sedang dalam kedudukan lebih unggul. Karena itu, dia terus menambah kecepatan dan kekuatan serangannya. Pedang panjangnya seakan-akan berubah menjadi lima buah, saling bergulung menimbulkan angin puyuh beraroma kematian. Tangan kiri dan kedua kakinya tidak henti-henti memberikan serangan beruntun, seolah-olah empat lima orang mengeroyok Jaka Wulung. Lidah Ombak Menjilat Pantai.
Jaka Wulung tetap memusatkan perhatiannya pada setiap gerakan Si Rajawali Jantan. Meskipun dalam kedudukan terdesak terus-menerus, dia tidak mau menjadi sasaran serangan lawannya. Setidaknya, kalaupun dia pada akhirnya akan kalah juga, dia ingin kekalahan itu berlangsung melalui sebuah pertarungan yang layak dikenang oleh mereka yang datang.
Dalam situasi seperti itulah, mendadak sebuah gagasan gila muncul di kepala Jaka Wulung. Pada sebuah jeda sekian kejap setelah dia melenting jauh menghindar dari serangan Si Rajawali Jantan, Jaka Wulung melakukan tata gerak yang serupa dengan tata gerak lawannya. Semua berlangsung seakan-akan di luar sadar Jaka Wulung. Dia hanya mengandalkan ingatannya yang sangat kuat dan beberapa latihan yang dia lakukan setelah menghadapi Sepasang Elang, murid Sepasang Rajawali, beberapa waktu lalu.
Jaka Wulung memakai tata gerak Perguruan Rajawali dari Pelabuhan Ratu yang masih mentah untuk melawan tokoh sakti yang sudah menguasai ilmu tersebut dalam tataran tertinggi!
Sungguh sebuah cara bunuh diri yang sangat gila!
Anehnya, gagasan gila itu ternyata memberikan keuntungan bagi Jaka Wulung. Dalam sekian kejap, Si Rajawali Jantan terpana seperti arca. Mulutnya menganga. Tangannya menggantung di udara. Sesuatu yang aneh mengguncang isi kepalanya. Hatinya tertawa terbahak-bahak. Benarbenar bocah gila!
Pikiran Si Rajawali Jantan yang terguncang beberapa saat itulah yang digunakan Jaka Wulung untuk melakukan serangan dengan jurus Cakar Mencengkeram Remukkan Tulang, salah satu jurus andalan Sepasang Rajawali yang, selain mengandalkan kecepatan dan kekuatan, juga diselingi gerak tipu yang akan membuat lawannya kebingungan. Jaka Wulung memakai sebuah jurus untuk menghadapi si pemilik jurus!
Tidak pernah terjadi peristiwa seperti ini di jagat persilatan, terutama karena Jaka Wulung justru tengah berada dalam kedudukan terdesak!
Dan celakanya, Jaka Wulung melakukan tata gerak yang sedikit menyimpang dari tata gerak jurus yang sebenarnya! Dia mencampurnya dengan gerakan dari jurus Jari-Jari Naga Maut milik Si Jari-Jari Pencabik!
Akan tetapi, itulah keterkejutan Si Rajawali Jantan, dan tata gerak yang menyimpang, memberikan keajaiban bagi Jaka Wulung. Si Rajawali Jantan sudah hafal harus melakukan gerak apa untuk menghadapi jurusnya, tetapi Jaka Wulung melakukan gerakan yang sedikit menyimpang sehingga sepersekian kejap Si Rajawali Jantan terkejut lagi. Sepersekian kejap itu cukup bagi Jaka Wulung untuk mengirimkan kibasan ala sayap rajawali.
Pletak! Auw! Tidak terlalu keras, tapi pukulan jemari Jaka Wulung di kening Si Rajawali Jantan itu membuat sang lawan terhuyung. Diperlukan pengerahan tenaga yang besar bagi Si Rajawali Jantan untuk menahan supaya tubuhnya tidak terjengkang, melenting jauh, dan kemudian, dengan sangat cepat menyiapkan kuda-kuda menghadapi kemungkinan serangan susulan.
Benjolan sebesar telur burung puyuh menyembul di kening Si Rajawali Jantan. Rasa sakitnya tidak seberapa, tapi rasa terhina jauh lebih terasa. Giginya gemeretak menahan marah, lalu dengan pekikan burung rajawali yang memekakkan telinga, Si Rajawali Jantan kembali menyusun jurus dengan cepat dan tidak hendak lagi terkecoh oleh segala kejutan yang dibuat Jaka Wulung.
Keaaaaakkk! Jaka Wulung mengeluh. Kalau saja yang kena hantam jemarinya itu manusia biasa, dipastikan tulang tengkorak kepalanya akan retak dan isi kepalanya akan mengalami luka yang parah. Tapi, lawannya kali ini adalah Si Rajawali Jantan, seorang pendekar kawakan yang tingkat ilmunya sulit diimbangi siapa pun!
Jaka Wulung juga tidak mungkin menggunakan kejutan seperti tadi. Kejutan yang diulang bukan kejutan lagi namanya.
Karena itu, sebelum serangan Si Rajawali Jantan tiba, Jaka Wulung mempersiapkan ilmu andalannya pula, gulung maung. Dari tenggorokan Jaka Wulung mengalirlah gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman dahsyat harimau ....
Grrrhhh! Beberapa saat kemudian, pertempuran sengit kembali berlangsung di tengah angin malam yang makin menggigit. Si Rajawali Jantan berkelebatkelebat dengan cepat seakan-akan telapak kakinya tidak pernah menyentuh tanah. Pedang panjangnya berputar-putar seperti kitiran raksasa, diikuti dengan kibasan-kibasan tangan kirinya yang tidak kalah mengerikan, mengincar titik-titik lemah di tubuh Jaka Wulung.
Jaka Wulung tidak kalah gesit meloncat-loncat seperti Maung Lodaya dengan kudi hyang di tangannya.
Rajawali melawan harimau.
Semua mata para pendekar tidak pernah lepas dari apa pun alur pertempuran yang terjadi. Tak ada yang bersuara. Bahkan, napas pun seakan-akan ditahan-tahan supaya tidak kelepasan. Bulan purnama tersenyum menjelang tiba di titik langit tertinggi. *****
JALAN hidup manusia tidaklah seperti rembulan, yang lintasannya di langit bisa diperhitungkan secara sederhana.
Jalan hidup Jaka Wulung dan Si Rajawali Jantan, siapa yang bisa menduga"
Meskipun sudah mengerahkan segala upayanya, melalui simpanan ilmu yang ada pada dirinya, Jaka Wulung merasa bahwa tenaganya terus menyusut. Terutama tangan kanannya, makin lama makin ngilu setiap terjadi benturan antara kudi hyang-nya dan pedang panjang lawannya.
Sebaliknya, meskipun sudah berusia lebih dari setengah abad, Si Rajawali Jantan seakan-akan tidak kehilangan kekuatan dan kecepatannya. Teriakannya terus membikin telinga pekak. Serangannya terus bergelombang, seperti ombak laut selatan. Apa pun jurusnya dan dari mana pun datangnya, serangan Si Rajawali Jantan membawa ancaman maut yang sama.
Hanya karena lawannya Jaka Wulung, bocah yang dalam waktu singkat menggegerkan jagat silat, pertempuran berlangsung lebih lama.
Akan tetapi, melihat jalannya pertempuran, jejak langkah Jaka Wulung tampaknya tidak akan jauh lagi. Boleh jadi mereka yang menyaksikan pertempuran ini menyayangkan akhir nasib seorang pendekar belia yang luar biasa. Sebab, tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk, misalnya, menolong dia.
Ciang Hui Ling, yang sejak awal sudah menyimpan kekaguman terhadap pemuda belia ini, memandang pertempuran itu dengan hati yang galau. Pemandangannya bahkan kemudian kabur. Air bening merebak di kedua matanya yang bening. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih untuknya, batin Ciang Hui Ling.
Jaka Wulung sendiri sudah tidak berharap adanya pertolongan dari siapa pun, apalagi dari orang-orang di sekelilingnya meskipun dia yakin banyak di antara mereka adalah pendekar golongan putih. Pertama, dia tidak pernah berharap akan adanya keajaiban seperti itu. Kedua, dia sudah mengalaminya dua kali, ketika ditolong oleh Resi Darmakusumah di jurang Ci Gunung, dan kemudian oleh Resi Jaya Pakuan alias Resi Bujangga Manik di Bukit Segara.
Tak akan ada lagi keajaiban ketiga.
Pertahanan Jaka Wulung makin lama makin terbuka, dan berkali-kali beberapa bagian tubuhnya terkena pukulan lawannya. Baju hitamnya sudah tercabik di beberapa tempat dan tangannya makin gemetar untuk mempertahankan cengkeraman jemarinya pada gagang kudi hyang.
Sebuah sambaran kaki Si Rajawali Jantan tak bisa lagi dihindari Jaka Wulung. Hanya nalurilah yang memberi Jaka Wulung peluang terakhir untuk melenting sejauh yang dia mampu sehingga sambaran kaki itu mengenai pundaknya tidak secara telak.
Jaka Wulung bergulingan beberapa putaran. Maafkan aku, Eyang Resi ....
Pada titik inilah, ketika Jaka Wulung bergulingan, wajah Resi Jaya Pakuan terpampang jelas dalam kepalanya. Eyang Resi, aku telah mengerahkan seluruh ilmu yang kau limpahkan kepadaku, tapi aku gagal memenuhi harapanmu ....
Oh, ... tidak! Tiba-tiba, seleret cahaya melintas di kepalanya.
Ada satu ilmu yang belum pernah dia terapkan dalam pertempuran mana pun.
Dia sudah melatihnya terus-menerus sepanjang perjalanan, tapi dia belum pernah menerapkannya!
Jaka Wulung melenting berdiri, dan Si Rajawali Jantan hanya beberapa langkah di depannya untuk memberikan pukulan pamungkas!
Jaka Wulung melepaskan udara dari hidungnya, mengosongkan pikirannya. Membersihkan hatinya.
Pundaknya melemas, kedua tangannya menggantung, bahkan kudi hyang di jemarinya seakan-akan hendak terkulai jatuh.
Orang-orang, pepohonan, semak belukar, dan bebatuan di sekitarnya mengabur dan kemudian lenyap, menjadi latar bidang hitam. Yang tinggal hanyalah sosok Si Rajawali Jantan.
Kesiur angin, jerit kera di kejauhan, bahkan dengus napas orang-orang di sekitarnya menghilang, menyisakan hanya suara dengus napas dan gerak tubuh Si Rajawali Jantan.
Di hadapannya hanya ada satu benda. Satu sosok.
Si Rajawali Jantan. Jaka Wulung menggerakkan kaki dan tangannya tanpa membentuk jurus mana pun. Gerak itu seperti asal-asalan saja.
Gerak seadanya. Jurus tanpa bentuk.
Si Rajawali Jantan sempat mengerutkan keningnya melihat keadaan Jaka Wulung yang sedemikian aneh. Pertahanan yang sangat terbuka. Sikap tubuh yang ceroboh. Gerak tangan dan kaki yang sangat lambat dan tidak beraturan. Tapi, kerutan di keningnya segera menghilang dan dia gembira karena berkeyakinan bahwa inilah saatnya dia mengakhiri pertempuran ini. Sebuah penyelesaian yang sangat mudah.
Jurus Sayap Rajawali Mengibas Dedaunan, sebagai jurus terakhir Si Rajawali Jantan, segera menyasar leher Jaka Wulung. Sudah terbayang di kepala Si Rajawali Jantan, betapa dia akan segera mengakhiri pertempuran dengan pedang panjangnya menembus leher Jaka Wulung. Sebuah pembalasan yang setimpal.
Akan tetapi, Si Rajawali Jantan terkesiap ketika terjadi sesuatu yang di luar nalar. Dia yakin seharusnya ujung pedangnya sudah mencapai sasaran, menembus leher Jaka Wulung. Tapi, yang terjadi adalah ujung pedangnya hanya menembus udara kosong. Meleset selebar satu jari saja dari kelebatan pedangnya. Apakah leher Jaka Wulung bergerak menghindar" Kapan"
Si Rajawali Jantan tidak sempat menjawab pertanyaannya sendiri karena dia justru tersedot oleh tenaganya sendiri. Dia bahkan tidak sempat menoleh untuk mempersiapkan serangan selanjutnya ketika tahu-tahu kulit tangannya terasa perih. Sebuah luka memanjang tercipta dari pangkal lengan hingga pergelangan tangan tanpa bisa dia mengerti mengapa hal itu bisa terjadi.
Si Rajawali Jantan menyeringai menahan perih. Darah menetes, membasahi lengan baju putihnya yang terkoyak. Di ujung kudi hyang Jaka Wulung, yang tampak tetap menggantung di tangan kanannya, menetes satu-satu darah merah. Darah Si Rajawali Jantan. Kapan Jaka Wulung memainkan senjatanya"
Bocah iblis .... Jaka Wulung tersenyum tipis pada salah satu sudut bibirnya. Ah, sebut lagi aku bocah iblis. Sudah lama tak kudengar sebutan manis ini.
Bocah setan, hiyaaaaaa ...! Si Rajawali Jantan membalikkan tubuhnya dan dengan gerak sangat cepat, dia kembali melompat, menerjang, dan menyabetkan pedang panjangnya. Di bawah bulan yang tetap benderang, pedang itu berkilauan memantulkan cahaya.
Kaki Jaka Wulung tetap menapak di titik semula. Dia juga hanya menggerak-gerakkan tubuhnya seadanya. Pada saat yang sangat menentukan itu, Jaka Wulung benar-benar menghadapi Si Rajawali Jantan tanpa mengandalkan tenaga, gerak, dan kecepatan yang seharusnya. Semua apa yang dilakukan Jaka Wulung itu sama sekali bertentangan dengan segala ilmu yang ada.
Di situlah intinya. Ilmu tertinggi ciptaan Eyang Gurunya, Resi Jaya Pakuan. Ilmu yang belum dinamai. Atau, mungkin tidak perlu dinamai. Ilmu tanpa nama.
Pada saat Si Rajawali Jantan merasa berhasil mengibaskan pedangnya ke pinggang kanan Jaka Wulung yang kelihatan sama sekali tanpa pertahanan, pada saat itulah pendekar besar Pelabuhan Ratu ini memekik merobek langit ketika sesuatu yang dingin, dengan kecepatan yang tak bisa dilihatnya, menembus ulu hatinya.
Si Rajawali Jantan hanya bisa memandang nanar wajah Jaka Wulung, yang juga tengah memandangnya dengan tatapan dingin, sebelum kemudian tubuhnya ambruk dengan wajah lebih dulu menghunjam tanah. Di tangan Jaka Wulung tergenggam kudi hyang-nya. Darah membasahi sekitar ujung senjata itu.
Kakaaaaaang ...! Hanya itulah suara yang bisa didengar Si Rajawali Jantan. Beberapa kejap kemudian, dia sudah tidak merasakan lagi tubuh Si Rajawali Betina yang ambruk di atas tubuhnya.
Tangan Si Rajawali Betina kemudian meraba-raba gagang pedang yang masih tergenggam di jemari pasangannya. Sekejap kemudian, pedang itu sudah berpindah tangan. Wajahnya merah gelap ketika memandang Jaka Wulung dengan sorot yang mengerikan. Diacungkannya pedang itu, tetapi ujungnya mengarah ke jantung sendiri. Tak ada yang mampu menghentikannya.
Si Rajawali Betina ambruk memeluk tubuh Si Rajawali Jantan.
Mereka benar-benar sehati, tidak terpisahkan, sampai kematian menjemput mereka atau mereka menjemput kematian. Sehidup-semati.
Di titik tertinggi di lengkung langit, rembulan tak juga mengedip memandang akhir pertempuran itu.[]
13 Hati yang Damai, Dada yang Berdebar
SIANG yang suram. Matahari kadang muncul, tapi lebih sering bersembunyi di balik gerumbul awan kelabu, seakan-akan enggan menumpahkan cahayanya yang tegak lurus ke sebidang luas tanah lapang tidak berapa jauh di sebelah utara batas Kotaraja.
Hari itu, udara Banten dicabik-cabik oleh pertempuran antara laskar kesultanan dan pasukan pendatang dari Jepara. Sebuah perang antarsaudara yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Seperti yang kerap terjadi dalam sejarah, pertempuran itu pun pecah hanya karena dilandasi sifat rakus manusia. Rakus akan harta. Atau, kekuasaan.
Jaka Wulung berdiri memandang pertempuran itu dari sebuah bukit kecil dengan wajah yang muram.
Kenapa kau menolak ikut ajakan Braja Wikalpa"
Jaka Wulung menoleh memandang Ciang Hui Ling yang duduk di sebongkah batu seraya menyandarkan tubuhnya di sebatang pohon rindang.
Siang yang terang makin menegaskan wajah Ciang Hui Ling yang jelita. Sekali lagi, Jaka Wulung terpesona memandangnya.
Aku benci peperangan. Malam itu, seusai pertempuran Jaka Wulung melawan Si Rajawali Jantan, setelah ketegangan mereda, Braja Wikalpa memberikan penjelasan agak panjang mengenai alasan mengapa dia dan dua kakak seperguruannya, Braja Musti dan Braja Denta, mengundang para pendekar datang ke Rajatapura di Salakanagara.
Aku mewakili bertiga akan menjelaskan bahwa kami ini bagian dari Laskar Kesultanan Banten. Kami mendapat tugas langsung dari Sultan Maulana Muhammad, yang sekarang memimpin Kesultanan Banten, untuk meminta bantuan para pendekar di wilayah Kesultanan Banten dan sekitarnya, Braja Wikalpa berhenti sejenak untuk memberikan jeda supaya kata-katanya bisa dipahami. Kesultanan Banten sedang menghadapi ancaman.
Tak ada yang menanggapi kata-katanya meskipun wajah-wajah para pendekar itu jelas diliputi pertanyaan. Para pendekar itu tampaknya menunggu penjelasan lebih lanjut dari Braja Wikalpa.
Latar belakangnya begini, Braja Wikalpa menarik napas sejenak. Penguasa Banten sekarang, Sultan Maulana Muhammad, adalah anak sultan terdahulu, yaitu Maulana Yusuf. Sultan Maulana Yusuf sendiri punya seorang adik yang sekarang menjadi pangeran di Jepara karena kawin dengan putri Ratu Kali Nyamat, dan kemudian bergelar Pangeran Arya Jepara. Maulana Yusuf dan Pangeran Arya Jepara itu sama-sama anak pendiri Kesultanan Banten, yakni Maulana Hasanuddin, yang tidak lain putra tokoh besar Sunan Gunung Jati. Maulana Yusuf mangkat beberapa waktu lalu dan Pangeran Arya Jepara, sebagai adiknya, merasa berhak untuk menggantikannya. Entah apa pertimbangannya. Yang kudengar, Pangeran Arya Jepara menganggap Maulana Muhammad masih terlalu muda. Entahlah. Mungkin juga semua itu bagian dari lika-liku kehidupan para penguasa, yang tidak pernah lepas dari nafsu untuk saling menjatuhkan.
Wajah Braja Wikalpa tampak muram. Nah, kami, maksudku Laskar Kesultanan, diharap bersiap-siap karena telik sandi kami memperoleh bukti bahwa tak lama lagi pasukan Jepara di bawah pimpinan Pangeran Arya Jepara sendiri akan menyerbu untuk merebut takhta dari tangan keponakannya sendiri. Di sana, kabarnya sudah dilakukan berbagai persiapan. Kapal-kapal sudah siap buang sauh untuk membawa pasukan ke sini.
Di antara pasukan Jepara, kata Braja Wikalpa kemudian, kabarnya terdapat banyak tokoh silat yang terkenal karena kesaktiannya. Kabarnya, mereka lebih suka berangkat dengan jalan darat. Kita tahu, para pendekar memang lebih suka bertualang sendiri. Tapi, itulah yang menjadi bahan pemikiran kami. Meskipun kadang susah diatur, keberadaan para tokoh silat yang sakti itu tentu akan menjadi kekuatan penting bagi mereka. Belum terdengar tanggapan dari para pendekar.
Kami tentu saja tidak mau menjadi pecundang karena kami yakin bahwa kami berada di jalan yang benar. Kemudian, disepakati bahwa kami juga harus meminta bantuan dari para tokoh silat di seputar Kesultanan Banten, syukur-syukur bisa pula mengajak para pendekar di Tatar Sunda. Kami kemudian meneliti siapa saja nama yang pantas diminta bantuannya.
Lagi-lagi, Braja Wikalpa memberikan jeda waktu sebelum meneruskan kata-katanya.
Sambil bersandar di bawah pohon, Jaka Wulung memandang Braja Wikalpa. Inilah rupanya jawaban atas kepergian Braja Wikalpa berkeliling untuk mengajak Si Jari-Jari Pencabik, Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, Ki Antaga, dan lain-lain. Pertanyaannya, mengapa para tokoh sesat itu diajaknya juga"
Nah, kata Braja Wikalpa. Kami dengan merendah bermaksud mengajak dulur-dulur semua untuk bergabung dengan kami Laskar Kesultanan Banten, untuk berjuang melawan Laskar Jepara. Tentu saja kami tidak bisa memaksa. Siapa yang menolak, kami persilakan dengan besar hati. Tapi, siapa yang bersedia, mari sekarang juga ikut dengan kami ke Kotaraja.
Mulai terdengar bisik-bisik di antara para pendekar. Mula-mula pelan, makin lama makin keras.
Jaka Wulung merenung. Selama ini tidak pernah dia membayangkan dirinya menjadi bagian dari sebuah pasukan kerajaan. Dia adalah manusia yang senang bepergian ke mana pun sesuai dengan keinginannya sendiri. Dia adalah manusia bebas. Menjadi anggota pasukan kerajaan tentu saja akan membuat kebebasannya menjadi terbatas.
Sesuai dengan gejolak jiwanya, dia ingin terus menikmati kebebasannya bertualang ke mana saja, seperti yang pernah dilakukan Eyang Guru Bujangga Manik, mengasah ilmunya, baik dalam kanuragan maupun dalam sastra, di berbagai pelosok Jawa Dwipa.
Memang sempat juga tebersit keinginan untuk mencoba mengalami dan merasakan kehidupan sebagai laskar kerajaan.
Hanya saja, Jaka Wulung, entah mengapa, masih merasa bukan bagian dari Kesultanan Banten. Jauh di lubuk hatinya, dia masih menyimpan semangat Kerajaan Sunda warisan dari Prabu Siliwangi, kerajaan yang sekarang sudah musnah karena justru dibumihanguskan oleh Banten!
Mungkin karena dia banyak mendengar cerita, baik dari Resi Darmakusumah maupun Resi Bujangga Manik, dua gurunya, yang tidak lain adalah orang-orang yang memang memiliki darah Pajajaran, tentang masa kejayaan Pajajaran.
Lagi pula, ini yang juga penting, dia merasa perang dengan Jepara itu bukanlah perangnya.
Akan tetapi, yang pasti, Jaka Wulung merasa bahwa dia masih mempunyai tujuan lain yang lebih utama: menelusuri siapa sebenarnya dia, siapa orangtuanya, dan siapa leluhurnya.
***** JAKA Wulung memandang Laut Jawa yang seperti kaca. Bersama Ciang Hui Ling, dia menunggu kedatangan kapal yang akan membawa mereka menuju Pelabuhan Kalapa. Dari sana, dia akan mengantar pendekar jelita itu pulang menyusuri Sungai Ci Liwung.
Jaka Wulung menoleh memandang Ciang Hui Ling. Tangannya menggamit tangan gadis itu. Lembut dan hangat. Diterpa angin laut, rambut Ciang Hui Ling melambai dengan damai.
Hati Jaka Wulung merasa damai.
Dia juga berharap Kesultanan Banten kembali damai setelah pasukannya berhasil memukul mundur Laskar Jepara.
Jaka Wulung tersenyum. Ciang Hui Ling balas tersenyum.
Dada keduanya sama-sama berdebar-debar. []
TAMAT Nantikan petualangan Jaka Wulung selanjutnya..
Tentang Penulis Hermawan Aksan lahir di Brebes Jawa Tengah, telah cukup lama malang melintang di dunia literasi dan jurnalistik. Beberapa cerpen karyanya dimuat di sejumlah media massa, antara lain Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo, majalah Horison, Koran Sindo, dan lain-lain. Hermawan juga menulis beberapa cerpen dalam bahasa Sunda. Karya-karyanya itu bisa ditemukan di majalah Mangle, Cupumanik, Galura, dan Kujang. Adapun novel-novelnya antara lain Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit (C Publishing, Desember 2005), Niskala, Gajah Mada Musuhku (Bentang Pustaka, Yogyakarta, Juni 2008). Pernah bekerja sebagai editor bahasa pada tabloid Detik, Bola, Raket, dan Detak. Kini ia menjadi redaktur di harian Tribun Jabar. []
Naga Beracun 17 Fear Street - Sagas Iv Lambang Kegelapan The Sign Of Fear Arwah Penasaran 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama