Ceritasilat Novel Online

Jurus Tanpa Nama 1

Jaka Wulung 2 Jurus Tanpa Nama Bagian 1


?"Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
JURUS TANPA NAMA (Serial Jaka Wulung 2) Karya : Hermawan Aksan Cetakan Pertama, September 2013
Penyunting: Dhewiberta Perancang sampul: Edi Jatmiko
Ilustrasi Isi: M. Isnaeny Pemeriksa aksara: Nunung Wiyati & Isnaeny Hikmah
Penata aksara: gores_pena Digitalisasi: Riyan Trisna Wibowo PDF Ebook : yoza
Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved.
Diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi Jln. Kalimantan G-9A, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta 55204 Telp. & Faks. (0274) 886010
http://bentang.mizan.com/
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Hermawan Aksan Jurus Tanpa Nama/Hermawan Aksan; penyunting, Dhewiberta Yogyakarta: Bentang, 2013.
ISBN 978-602-8811-69-9 I. Judul. II. Dhewiberta. 899. 221 3
e-Book ini didistribusikan oleh: Gedung Ratu Prabu I Lantai 6 Jln. T.B. Simatupang Kav. 20 Jakarta 12560 Indonesia Phone: +62-21-78842005 Fax.: +62-21-78842009 website: www.mizan.com
Isi Buku 1. Misteri Sang Resi 2. Teror Manusia Siluman
3. Si Pencabik 4. Braja Wikalpa 5. Pesona Putri Kandita 6. Sepasang Elang 7. Ki Antaga
8. Darah Prabu Siliwangi 9. Tiga Lingkaran di Rajatapura 10. Watak Asli Si Rajawali 11. Dendam Melawan Dendam 12. Ilmu Tanpa Nama
13. Hati yang Damai, Dada yang Berdebar Tentang Penulis
Prolog TAHUN 1580-an adalah salah satu masa paling muram dalam sejarah Nusantara, termasuk Tatar Sunda. Bekas wilayah kerajaan yang pernah menguasai hampir separuh Jawa Dwipa ini tercabik-cabik menjadi Sumedang Larang, Cerbon, Banten, dan wilayah-wilayah lain yang merasa diri pantas menjadi ahli waris Prabu Siliwangi.
Sejumlah wilayah saling bertempur demi menguasai satu sama lain. Kesultanan Banten tak lepas dari riuh rendah perebutan kekuasaan. Negeri yang baru seumur jagung ini bahkan harus menghadapi sebuah perang yang menyedihkan: perang saudara.
Dengan latar zaman inilah, kisah Titisan Bujangga Manik berlanjut. []
1 Misteri Sang Resi JAKA Wulung mencangkung memandang permukaan kawah putih kehijau-hijauan di puncak Gunung Sepuh. Pepohonan di sekelilingnya dilapisi warna keemasan matahari menjelang senja. Udara dingin menggigit. Jaka Wulung sesekali menggigil, tapi bukan oleh udara dingin, melainkan sebaliknya, oleh sesuatu yang bergolak di dadanya. Bara dendam.
Masih lekat di kepalanya adegan yang menyayat hati itu, saat-saat akhir pertempuran di Bukit Sagara, ketika dia, seorang bocah berusia lima belas tahun, harus menghadapi dua tokoh sakti yang sudah malang melintang puluhan tahun: Ki Wira dan Brahala. Dia baru saja menghindari hantaman gada Rujak Polo di tangan Brahala ketika keris Ki Wira sudah menjemputnya dari arah yang sama sekali tidak diduga.
Nyawa Jaka Wulung tentulah akan melayang kalau gurunya, Resi Darmakusumah, tidak memapak keris Ki Wira. Tapi, upaya penyelamatan itu membuat pertahanan Resi Darmakusumah terbuka. Ujung selendang salah seorang lawannya, Nyai Purwati, yang berisi jarum-jarum beracun menggores leher Resi Darmakusumah. Dan, itu menjadi titik awal penentuan nasibnya.
Memang, melalui sebuah keajaiban, Jaka Wulung dan Resi Darmakusumah sama-sama menerapkan ilmu andalan yang sama: gulung maung. Kujang Resi Darmakusumah berhasil merobek selendang Nyi Purwati, dan menembus ulu hati nenek siluman cantik itu. Pada kejapan yang sama, ujung kudi hyang di tangan Jaka Wulung menyayat perut Brahala. Nyi Purwati dan Brahala tumbang pada saat yang sama!
Akan tetapi, setelah itu, pertahanan Resi Darmakusumah benar-benar terbuka. Tenaganya seakan terisap habis untuk melakukan serangan terakhir. Secara beruntun, ujung-ujung pedang panjang di tangan Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, yang juga mengeroyok Resi Darmakusumah, menembus tubuh sang Resi!
Jaka Wulung tidak sempat mendengar pekik kesakitan atau menyaksikan tumpahan darah gurunya. Saat itu, dia nyaris hilang harapan dan kesadaran sebelum seseorang yang ternyata Resi Jaya Pakuan menyelamatkannya.
Sepasang Rajawali. Aku harus menuntut balas.
***** MATAHARI tergelincir di balik tonjolan salah satu puncak Gunung Sepuh. Hanya tersisa warna lembayung dan udara yang makin menggigit.
Akan tetapi, Jaka Wulung malah membuka bajunya, memperlihatkan dada yang semakin bidang dalam pertumbuhan tubuhnya. Dihirupnya napas, seakan-akan dia ingin merangkum semua udara di sekitarnya ke dalam dadanya. Matanya terpejam beberapa saat, merasakan rasa hangat yang pelan-pelan mulai memenuhi permukaan relung dadanya.
Dengan daya ingatnya yang luar biasa, setiap hari Jaka Wulung melatih semua jurus yang sudah dia baca dan hafalkan di luar kepala dari kitabkitab yang diberikan Resi Jaya Pakuan.
Jaka Wulung sungguh bocah yang sangat beruntung.
Dia mendapat bimbingan langsung dari Resi Jaya Pakuan, pendekar legendaris yang sudah puluhan tahun, mungkin sekitar setengah abad, lenyap dari hiruk pikuk dunia. Pendekar yang lebih tersohor dengan nama Bujangga Manik.
Bulan purnama sudah lewat. Masih ditunggu beberapa lama munculnya bulan yang sudah mulai memipih di langit timur. Langit dipenuhi bintangbintang. Jadi, sudah satu bulan lebih Jaka Wulung tinggal di pondok Resi Jaya Pakuan di puncak Gunung Sepuh. Dengan ramuan tetumbuhan yang tidak dia ketahui, yang selalu diberikan sang Resi setiap pagi dan malam, Jaka Wulung kini benar-benar pulih seperti sediakala. Racun maut dari ujung keris kusam Ki Wira alias Ki Cambuk Maut, sudah tak ada lagi bekasnya. Luka-lukanya pun sudah lama kering dan nyaris tidak menyisakan apa-apa di permukaan kulit tubuhnya.
Dengan rambut yang makin panjang, berkibar ditiup angin, Jaka Wulung sudah menjelma menjadi seorang pemuda.
Pemuda dengan kesaktian yang sulit dicari tatarannya.
Sebulan lebih itu pula, dia terus mematangkan kesaktiannya baik kecepatan, kekuatan, maupun daya tahan tubuhnya melalui ilmu gulung maung, warisan ilmu Prabu Siliwangi yang diturunkan lewat tangan Resi Darmakusumah, dan kini melalui guru Resi Darmakusumah sendiri, yang tentu saja tataran ilmunya tidak bisa lagi diukur oleh manusia biasa.
Demikianlah, tidak berapa lama kemudian, Jaka Wulung sudah bersimbah keringat memainkan puluhan, atau bahkan ratusan jurus tingkat tinggi. Ilmu gulung maung-nya menjadi lebih kaya setelah ditambah dengan jurus-jurus sakti yang dikembangkan sendiri oleh Resi Jaya Pakuan. Bahkan, kadang dipadukan dengan jurus-jurus gagak rimang yang dia serap beberapa waktu lalu dari murid-murid Ki Jayeng Segara. *****
WULUNG, kata Resi Jaya Pakuan. Kau sudah menguasai ilmu yang kuberikan. Setidaknya, dalam hal tata gerak. Untuk mencapai tataran yang lebih lanjut, terutama mencapai taraf paduan gerak dan batin, kau tinggal mengembangkannya sendiri, melalui latihan dan pengalaman yang terusmenerus.
Ya, Eyang Resi. Senyap. Hanya terdengar gesekan dedaunan di luar pondok.
Jaka Wulung mendongak. Resi Jaya Pakuan memandang Jaka Wulung seakan-akan sedang mempertimbangkan suatu keputusan yang sangat berat.
Apakah Eyang meminta saya segera turun gunung" Resi Jaya Pakuan menarik napas dalam. Ke mana tujuanmu"
Kali ini, Jaka Wulung terdiam beberapa saat. Saya akan mencoba mencari orangtua saya. Tapi, terasa nada keraguan dalam suaranya.
Hanya itu" Eeeh ... saya juga akan coba mencari ... Wulan.
Resi Jaya Pakuan tersenyum di balik kumis dan janggutnya yang putih. Masih ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatimu.
Jaka Wulung tertunduk. Dia sudah mencoba menyembunyikan hal ini. Tapi, tampaknya mustahil Resi Jaya Pakuan tidak mengetahuinya. Saya ... ingin ke Pelabuhan Ratu.
Resi Jaya Pakuan masih memandang Jaka Wulung, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, Eyang sebetulnya tidak sepakat, terutama kalau kau akan melakukannya sekarang. Kau masih kalah tataran dibandingkan dengan Sepasang Rajawali. Perlu waktu lebih lama lagi bagimu untuk mencapai ilmu yang setingkat, apalagi mengalahkan mereka.
Jaka Wulung mengangguk. Tiba-tiba, dalam hatinya tebersit gagasan untuk mencoba menantang Sepasang Rajawali itu dalam pertempuran satu lawan satu. Dan, pikiran demikian rupanya tertangkap oleh tajamnya naluri Resi Jaya Pakuan.
Satu lawan satu, baik melawan Rajawali Jantan maupun Rajawali Betina, kau akan mampu menandinginya. Bahkan, berpeluang menang. Tapi, melawan keduanya sekaligus, kau masih di bawah mereka.
Jaka Wulung belum berkata apa-apa. Tapi, sesuatu dalam dadanya rupanya tidak bisa disembunyikan begitu saja.
Sekarang, tidurlah. Besok, kita menuju sisi barat kawah. *****
RESI Jaya Pakuan sudah berdiri menghadap terbitnya fajar ketika Jaka Wulung tiba. Cahaya fajar yang keperakan memantul di cermin permukaan kawah, memberikan pemandangan yang sangat indah.
Belum pernah sang Resi turun langsung menurunkan ilmunya. Biasanya, Jaka Wulung dibiarkannya membuka lempir demi lempir kitab-kitab milik sang Resi, menghafalnya, dan melakukan latihan sendiri. Sang Resi kadang memperhatikan dari pondoknya, tapi lebih sering tidak ketahuan entah di mana, seakan-akan membiarkan Jaka Wulung melakukan latihan sendirian. Meskipun demikian, setiap Jaka Wulung melakukan kesalahan dalam tata geraknya, sang Resi selalu tahu dan selalu memberitahukannya setiap mereka bertemu.
Tak pernah Resi Jaya Pakuan memberikan petunjuk melalui tata gerak, tetapi hanya melalui kata-kata.
Sesungguhnyalah, kalau saja Jaka Wulung tidak mengalami sendiri pertolongan yang dilakukan oleh Resi Jaya Pakuan dalam saat-saat kritis pertempuran di Bukit Sagara, dia akan menyangka sang Resi tidak lebih dari kakek tua yang sudah tidak memiliki kekuatan apa-apa. Kekuatan luar biasa itu tersimpan dalam tubuh yang kelihatan tidak berdaya.
Kali ini pun, Resi Jaya Pakuan tampak seperti lelaki tua yang rapuh. Kalau saja pandangan matanya tidak menyorot tajam, sang Resi sama saja dengan kakek tua di mana-mana.
Perhatikan. Dan kalau perlu, tirukan, kata Resi Jaya Pakuan.
Sang Resi memulai gerakan tangan, kaki, dan seluruh tubuhnya dengan pelan. Terlalu pelan untuk sebuah ilmu kanuragan dalam tataran tinggi. Dan, nyaris tidak ada upaya untuk mengeluarkan kekuatan apa pun. Gerakan itu seakan-akan hanyalah angin yang bertiup pelan. Sunyi. Tanpa suara.
Dan sangat sederhana. Terlalu sederhana untuk ditiru, bahkan oleh orang kebanyakan.
Kakinya nyaris tidak bergeser dari satu titik. Tangannya hanya mengembang dan merapat dalam gerak yang sangat lambat.
Cobalah lakukan serangan, kata Resi Jaya Pakuan, tanpa menghentikan gerakannya.
Jaka Wulung ragu-ragu sejenak. Jangan ragu.
Jaka Wulung memukul bagian tepi kiri tubuh Resi Jaya Pakuan yang terbuka. Keraguan masih bersemayam di hatinya sehingga dia melakukannya dengan setengah hati. Telapak tangannya melayang dengan maksud sekadar menyentuh baju sang Resi. Jaka Wulung sangat yakin bahwa dia akan dengan mudah melakukannya.
Akan tetapi, aneh ketika tangan Jaka Wulung tinggal menyentuh tubuh sang Resi, entah bagaimana, tangan Jaka Wulung hanya seperti menepuk angin. Tidak mengenai apa-apa. Malah, akibat terbawa tenaganya, meskipun hanya tenaga setengah hati, tubuh Jaka Wulung terbawa ke depan dan nyaris dia terjerembap ke tanah. Dia terpaksa harus melakukan gerakan jungkir balik supaya jatuhnya tidak menyakitkan. Jaka Wulung berdiri dan berbalik menghadap Resi Jaya Pakuan.
Sang Resi masih tetap melakukan gerakan seperti tadi. Lambat, lemah, dan sederhana. Sang Resi bahkan masih dalam posisi membelakangi setelah Jaka Wulung nyaris terjerembap.
Apa sebenarnya yang terjadi tadi" Bagaimana dia sampai gagal menyentuh tubuh sang Resi dan bahkan terbawa tenaganya sendiri"
Jangan hanya menyentuh. Pukullah!
Jaka Wulung berusaha menyingkirkan keraguannya. Meskipun belum sepenuhnya bisa, dia melancarkan pukulan dari belakang ke arah punggung Resi Jaya Pakuan. Jelas tampak bahwa dalam posisi membelakangi, punggung Resi Jaya Pakuan adalah salah satu titik yang paling lemah untuk menjadi sasaran serangan.
Jaka Wulung pun melancarkan pukulan dengan tangan membuka, dengan maksud memukul bagian atas punggung Resi Jaya Pakuan melalui sisi bawah telapak tangannya. Ada sejumput perasaan ragu dan menyesal, sebab pukulannya akan segera mengenai punggung sang Resi yang sekilas tampak sangat rapuh.
Jaka Wulung separuh memejamkan mata.
Akan tetapi, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan Jaka Wulung. Entah bagaimana caranya, permukaan punggung Resi Jaya Pakuan, yang tadinya tegak lurus dengan arah pukulan Jaka Wulung, tiba-tiba menjadi sejajar di sebelah kanan. Benar-benar di luar akal Jaka Wulung. Untuk kali keduanya, pendekar bocah itu hanya memukul udara kosong. Dan, lagilagi, Jaka Wulung terseret oleh tenaganya sendiri sehingga terjerembap ke depan, kali ini dengan tenaga yang lebih besar.
Jaka Wulung kembali harus melakukan gerakan jungkir balik untuk mencegah wajahnya mencium tanah.
Jaka Wulung lekas berdiri, menghadap sang Resi, dan melenting melancarkan tendangan yang sangat cepat. Selama sebulan lebih berada di puncak Gunung Sepuh, kekuatan dan kecepatan Jaka Wulung sudah meningkat pesat dari sebelumnya dalam pertempuran di Bukit Sagara. Meskipun baru mempelajari sekadar tata geraknya, Jaka Wulung meyakini kitab-kitab milik Resi Jaya Pakuan adalah memang kitab-kitab sakti yang tiada taranya.
Oleh karena itu, tendangan Jaka Wulung kali ini adalah tendangan yang sangat cepat dan penuh tenaga. Dia tidak ragu lagi melancarkan serangan kepada Resi Jaya Pakuan.
Dalam posisi miring, tubuh sang Resi lagi-lagi terlihat sebagai sasaran yang sangat terbuka dan empuk bagi tendangan cepat Jaka Wulung. Hanya beberapa kejap ujung kaki Jaka Wulung sudah siap membentur pundak kanan Resi Jaya Pakuan.
Akan tetapi, lagi-lagi, entah apa yang terjadi, tendangan Jaka Wulung meleset dari sasaran. Bahkan, sebelum sempat menyeimbangkan kakinya, terasa sebuah angin pukulan mengenai tumit Jaka Wulung. Jaka Wulung memekik.
Pukulan itu tidaklah keras, bahkan terasa seperti sentuhan angin lembut.
Akan tetapi, kaki Jaka Wulung tertolak jauh dari tubuh Resi Jaya Pakuan, membuat badan Jaka Wulung terputar dua kali putaran sebelum pendekar bocah ini menguasai keseimbangan kuda-kuda kakinya sehingga terhindar dari jatuh terjengkang.
Jaka Wulung memandang sang Resi tanpa berkedip. Kemudian, dia menjatuhkan lututnya seraya menundukkan kepalanya.
Ajari saya ilmu ini, Eyang Resi. Sunyi beberapa kejapan.
Tinggal tirukan saja. Sunyi lagi, hanya angin lembut yang menerpa permukaan kawah. Matahari muncul dari sela-sela perdu.
Jaka Wulung mendongak. Resi Jaya Pakuan sudah tidak ada lagi di tempatnya.
Demikianlah, dalam sekitar tujuh atau delapan hari terakhir, Jaka Wulung mulai mendapat ilmu kesaktian baru dari Resi Jaya Pakuan. Ilmu yang dikembangkan sendiri oleh sang Resi.
Ilmu yang belum dinamai hingga kini. Dengan jurus-jurus tanpa bentuk.
Ilmu ini juga sama sekali bertentangan dengan segala ilmu yang ada. Tidak mengandalkan tenaga, gerak, dan kecepatan.
Itulah tampaknya, puncak dari segala ilmu kanuragan.
Tentu saja, ilmu demikian hanya bisa dimiliki oleh manusia yang sudah benar-benar menguasai ilmu-ilmu lain yang ada. Resi Jaya Pakuan hanyalah sekadar memberikan dasar-dasarnya. Untuk sampai ke taraf menguasainya, Jaka Wulung harus menguasai dulu gulung maung ke tataran sangat tinggi, dan itu boleh jadi akan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Pada saat-saat yang senggang, Jaka Wulung juga terus mendalami kemampuannya menulis naskah, baik di permukaan daun lontar dengan pisau pangot maupun di daun nipah dengan tinta. Jaka Wulung makin kagum dengan kehebatan Resi Jaya Pakuan dalam seni sastra.
Di pondok itu, Jaka Wulung juga berkesempatan mempelajari naskah Bujangga Manik yang dituliskan secara lebih lengkap dan penuh warna, dibandingkan dengan naskah Bujangga Manik yang tersimpan di Keraton Pakuan dan kemudian diselamatkan oleh Resi Darmakusumah, yang hanya berisi garis-garis besar perjalanannya dari Pakuan hingga ke Pulau Dewata.
Resi Jaya Pakuan menjadi legenda karena kerap mengadakan petualangan yang jauh, terutama dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Tanah Jawa. Pada perjalanan kedua, sang Resi malah sampai di Pulau Dewata untuk beberapa lama. Namanya pun menjadi harum di mana-mana.
Dalam naskah Bujangga Manik yang lengkap ini, dituturkan pula banyak pengetahuan tentang hidup dan, tentu saja, inti ilmu kedigdayaan Resi Jaya Pakuan. Bagi Jaka Wulung, semua itu adalah mutiara yang membuat perjalanan hidupnya kian memperoleh dasar yang meyakinkan.
PERGILAH dengan hati yang bersih, Cu, kata Resi Jaya Pakuan. Gunakan waktumu sebaik mungkin untuk menjalani hidup yang berguna bagi orang lain. Kau bisa memutuskan sendiri masa depanmu. Kapan saat yang tepat untuk menyambangi Pelabuhan Ratu, misalnya. Tapi, Eyang pikir lebih baik kau telusuri dulu orangtuamu, leluhurmu. Masa lalu adalah sesuatu yang sangat penting bagi langkahmu di masa depan. Eyang pastilah sudah hampir tiba pada masa akhir perjalanan di dunia.
Kalau nanti kau kembali ke sini, mungkin akan kau temukan petunjuk di mana kitab-kitab ini Eyang simpan.
Hanya satu pesan Eyang: kau jagalah nama baik Eyangmu ini. Pergilah Cucuku, titisanku, Titisan Bujangga Manik!
Jaka Wulung tertunduk dengan mata basah. Apakah ini sebuah perpisahan" Untuk berapa lama" Masihkah dia akan bertemu kembali dengan sang Resi"
Jaka Wulung mendongak. Seperti biasa, Resi Jaya Pakuan sudah tidak ada lagi di hadapannya. Sampai sekarang, Jaka Wulung tidak pernah tahu di mana sang Resi berada kalau sudah menghilang seperti itu. Apakah Resi Jaya Pakuan merupakan sosok yang benar-benar mewujud" Jaka Wulung tetap belum bisa memahami misteri sang Resi. []
2 Teror Manusia Siluman JAKA Wulung menuruni lereng timur Gunung Sepuh menuju kakinya. Menghadap matahari yang belum sepenggalah, langkahnya sangat ringan meskipun masih juga dilanda keraguan. Mulai dari mana aku akan mencari orangtuaku" Tanah Jawa Dwipa terlalu luas untuk ditelusuri.
Seingat Jaka Wulung, dia hanya mengenal daerah di seputar Ci Pamali, sungai yang pernah digunakan sebagai batas timur Kerajaan Sunda. Entah apakah di sebelah timur entah di sebelah barat sungai. Dengan demikian, Jaka Wulung tidak yakin apakah dia berasal dari Tatar Sunda atau dari Tanah Jawa. Dia merasa bukan orang dari Tatar Sunda, tapi juga bukan Tanah Jawa. Tapi, kerap kali pula dia merasa kedua-duanya. Dia merasa sebagai orang Sunda sekaligus orang Jawa.
Apakah dia akan kembali ke seputar Ci Pamali" Sungai itu cukup jauh di timur. Sementara itu, Pelabuhan Ratu tidaklah terlalu jauh di arah barat. Dadanya kembali disulut bara ketika mengingat nama itu: Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu.
Jaka Wulung memejamkan mata sebelum secara mendadak dia memutar arah perjalanannya.
Barat. Kini, dia berada di lereng selatan. Tebing menjulang di sebelah kanan dan ngarai menganga di sebelah kiri. Tak ada jalan setapak. Jaka Wulung hanya berpedoman pada posisi matahari yang menimpa punggungnya. Dia juga mesti menyibak rerumputan atau menebas reranting perdu.
Akan tetapi, Jaka Wulung terhenti ketika tiba-tiba dia mendengar suara gemeresik dedaunan yang terinjak. Ditajamkan telinganya untuk menebak sumber arah dan jarak suara itu.
Di arah barat daya, kira-kira dua puluh depa.
Jaka Wulung melenting, meraih sulur yang menggantung di sebuah pohon, berayun maju meraih salah satu cabang pohon, kemudian meloncat dari cabang ke cabang dan meloncat hinggap dua langkah di depan seorang lelaki. Satu orang lagi berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Orang itu memandang Jaka Wulung dengan mulut ternganga dan mata membeliak. Wajahnya pucat seakan-akan darah tidak pernah sampai ke sana. Bagian celana di bawah perutnya tampak basah.
Akan tetapi, tiba-tiba orang itu menarik golok dari pinggangnya. Kemudian, dia berteriak dengan suara parau, Jahannn ... nam! Ayo, serang!
Golok itu memiliki bilah yang lebar. Bagian depannya mengilat memantulkan cahaya matahari, menandakan betapa tajamnya golok itu. Orang itu pun langsung menerjang Jaka Wulung dengan mengarahkan goloknya untuk menebas kepala. Orang yang ketakutan dan kemudian melancarkan serangan tidak lain adalah orang nekat. Dan, acap kali orang nekat akan melancarkan serangan dengan kekuatan yang lebih besar dari biasanya.
Wuuusss!!! Benar saja, dari kesiur angin yang ditimbulkannya, nyata bahwa golok itu mengarah ke leher Jaka Wulung dengan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan yang bisa dilakukan manusia kebanyakan. Siapa pun yang terkena tebasan demikian, tentulah kepalanya akan menggelinding lepas dari leher.
Untunglah, Jaka Wulung adalah pendekar bocah istimewa, yang pernah berguru kepada Resi Darmakusumah, lalu mendapat kesaktian secara ajaib dari Prabu Niskala Wastukancana di Nusa Larang, dan baru saja mendapat kucuran ilmu dari pendekar legendaris Bujangga Manik.
Dengan menarik tubuhnya, Jaka Wulung dengan mudah menghindari serangan golok itu. Golok itu lewat hanya beberapa jari di depan leher Jaka Wulung, terus melesat dan menebas, hingga putung, sebuah cabang pohon sebesar betis orang dewasa. Orang itu tidak bisa menahan laju goloknya sehingga dia terbawa tenaganya sendiri. Golok itu akhirnya terlepas dari tangannya dan menancap di sebatang pohon. Orang itu pun hanya bisa jatuh terduduk dengan napas tersengal-sengal.
Keparaaat! Jaka Wulung menoleh. Orang yang satu lagi menyerbu Jaka Wulung dengan beliung besar teracung di tangan kanan. Mata beliung itu berkilat keperakan memperlihatkan sisi tajam yang menggiriskan. Tubuh orang itu lebih besar daripada temannya sehingga bisa dipastikan tenaganya juga lebih besar.
Dengan tiga-empat loncatan panjang, orang itu langsung menghunjamkan beliungnya mengarah ke kepala Jaka Wulung. Dari desir angin yang diakibatkannya, jelas betapa besarnya tenaga orang itu, dan bisa dibayangkan, kepala siapa pun akan langsung terbelah menjadi dua kalau terkena hunjamannya.
Akan tetapi, dengan enteng, Jaka Wulung hanya bergeser ke belakang pada saatnya dan mata beliung itu lewat di depan wajah Jaka Wulung. Angin yang ditimbulkannya sempat mengusap wajah Jaka Wulung dan kilau tajam beliung itu terpantul di matanya.
Jaka Wulung menarik napas dalam dan bersamaan dengan itu mata beliung orang tersebut menancap sedalam sejengkal di sebuah akar pohon yang menonjol di permukaan tanah. Orang itu berusaha menarik beliungnya yang tertancap. Tapi, meskipun dia sudah mengeluarkan segenap kekuatannya, beliung itu tetap tertancap di akar pohon.
Jaka Wulung melangkah mendekat. Tapi, kemudian, waspada ketika orang itu bangkit. Tapi, bukannya menyerang Jaka Wulung, orang itu jatuh di atas kedua lututnya.
Ampuuu ... uuun ... ampuuun. Saya ... saya .... Orang itu tidak
meneruskan kalimatnya. Tampaknya kata-kata berjejalan di mulutnya, tapi tidak satu pun yang kemudian keluar dari bibirnya. Kepalanya lantas menghunjam ke tanah, mencium kaki Jaka Wulung.
Beberapa saat Jaka Wulung hanya bisa mematung. Apa yang membuat orang itu ketakutan setengah mati, menyerang dengan nekat, dan sekarang mencium kakinya seperti seorang pesakitan di hadapan hakim"
Pada saat itulah, orang pertama yang menyerang Jaka Wulung melarikan diri terseok-seok menuju lereng sambil berteriak minta tolong dengan teriakan yang parau. Jaka Wulung membiarkannya.
Jaka Wulung kemudian memandang dirinya sendiri. Dia hanyalah seorang bocah, bocah lima belas tahun, menjelang enam belas tahun, dengan celana pangsi hitam dan baju tanpa lengan yang juga hitam. Dia tidak membawa apa-apa, kecuali kantong kecil tempat menyimpan baju ganti serta sebilah pisau pangot. Kudi hyang, senjata pusaka Niskala Wastukancana yang dia terima melalui kejadian yang ajaib, terselip di balik bajunya. Sama sekali tidak kelihatan.
Jadi, apa yang membuat mereka ketakutan hingga terkencing-kencing"
Rambutnya memang tergerai panjang hingga melewati pundak. Kepalanya hanya diikat dengan selembar kain bando hitam. Rambutnya kadang berkibar-kibar ditiup angin dari gunung.
Akan tetapi, orang dengan pakaian hitam-hitam dan berambut panjang yang diikat bandana hitam tergerai tentu bukan pemandangan aneh. Di mana-mana banyak orang berpakaian seperti itu. Jadi, mengapa mereka ketakutan ketika melihatnya"
Ampuni saya, ... Tuan Siluman .... Jaka Wulung membelalak kaget. Siluman"
Ki Dulur, tenanglah. Berceritalah. Mana silumannya"
Bukankah Tuan ... siluman penunggu Gunung Sepuh" Ampuni saya ....
Jaka Wulung memandang laki-laki di depannya, yang masih mencium kaki si bocah, kemudian tertawa.
Ah, Ki Dulur, aku manusia biasa. Aku bukan siluman. Lihatlah, bukankah kakiku menapak di tanah"
Jaka Wulung menarik pundak laki-laki itu. Duduklah, katanya lagi. Laki-laki itu memandang Jaka Wulung masih dengan tidak percaya.
Jaka Wulung tersenyum, lalu berkata, Bukannya siluman tidak muncul pada pagi hari"
Jadi, Tuan ... bukan siluman"
Peganglah tanganku. Kalau perlu, cubitlah. Atau, aku harus berputar supaya kelihatan tidak ada yang mencurigakan"
Orang itu memandang Jaka Wulung dengan wajah merah karena malu. Tapi, Tuan ....
Panggil aku Jaka Wulung. Siapa nama Ki Dulur"
Nama saya Dapin. Tapi, bagaimana Tuan Jaka ... bisa berada di sini" Tidak usah pakai tuan.
Baiklah, Tuan Jaka ... eh, maksud saya, Jaka Wulung .... Aku sudah beberapa bulan tinggal di puncak gunung.
Mata laki-laki bernama Dapin itu membelalak. Kepalanya menggelenggeleng. Dan kau, Jaka, tidak pernah bertemu dengan siluman"
Jaka Wulung lagi-lagi tersenyum. Aku hidup bersama dengan orang yang lebih hebat daripada siluman mana pun. Namanya Resi Bujangga Manik.
Mulut Dapin kembali menganga. Sejak lama Gunung Sepuh, atau ada juga yang menyebutnya Gunung Patuha, dikenal sebagai tempat yang sangat keramat, terutama bagi penduduk perkampungan di sekitar gunung. Hanya orang berilmu sangat tinggi yang berani menyambanginya. Orang-orang kebanyakan hanya berani mendekat sampai kaki gunung. Jarang sekali ada yang berani sampai ke lerengnya, seperti yang telah dilakukan Dapin dan seorang temannya.
Meskipun tidak pernah ada yang melihatnya secara langsung, berpuluh tahun pula penduduk percaya bahwa Bujangga Manik, pendekar yang paling masyhur sepanjang satu abad terakhir, tinggal di puncak Gunung Sepuh.
Bagaimana kau bisa hidup bersama sang Resi" Karena aku titisannya. Titisan Bujangga Manik.
Untuk kesekian kalinya, Dapin membelalakkan mata dan mengangakan mulutnya.
Nah, sudahlah, Ki Dapin, coba ceritakan ada apa sebenarnya.
Ki Dapin kemudian menceritakan betapa kampungnya dan kampungkampung lain di sekitarnya diteror oleh sosok misterius hampir setiap malam selama belasan hari terakhir. Teror itu mula-mula berlangsung secara perlahan, sedikit demi sedikit. Mulanya hanya seorang penduduk kehilangan kambing. Kemudian, terjadi kerusakan di huma milik penduduk lainnya. Pada malam yang lain terjadi kebakaran tanpa diketahui sebabnya, yang menghanguskan sebuah rumah. Sejumlah penduduk mengaku pernah melihat kemunculan sosok menyeramkan berpakaian hitam-hitam dengan rambut panjang tergerai. Kadang-kadang, malah yang muncul dua sosok yang sama-sama menyeramkan.
Sosok misterius itu sempat menangkap seorang penduduk untuk menyampaikan pesan bahwa pada malam bulan purnama dia minta persembahan seorang gadis yang paling cantik. Kalau tidak, dia tak akan segan-segan menghancurkan seluruh kampung di sana.
Malam nanti adalah bulan purnama dan penduduk harus menyediakan apa yang diminta peneror itu, yang diyakini sebagian besar penduduk adalah siluman yang bersemayam di Gunung Sepuh.
Sebagian penduduk nekat melawan keinginan siluman itu. Mereka yang berani mencoba mendaki hingga lereng gunung untuk mencari siluman itu. Hanya saja, mereka melakukannya siang hari dan nyaris tidak ada yang mampu mencapai puncak gunung.
Dan di antara penduduk yang berani itu adalah Ki Dapin dan seorang temannya yang melarikan diri.
Jaka Wulung mengangguk-angguk mendengar cerita Ki Dapin. Tapi, pikiran bocahnya yang sederhana justru bertanya-tanya. Menurut pikirannya, ada sesuatu yang janggal dalam cerita Ki Dapin. Dari cerita itu, bisa diduga bahwa sosok misterius itu, entah manusia entah siluman, memiliki kesaktian yang tinggi. Tapi, anehnya, dia meminta persembahan melalui seorang penduduk. Kalau memang ingin seorang persembahan, atau entah untuk tujuan apa, dia atau dua sosok misterius itu tinggal menculiknya dari perkampungan.
Nah, apakah sudah disediakan persembahan itu"
Ada tiga atau empat gadis yang bakal menjadi persembahan. Tapi, tentu saja kami tidak tega melakukannya.
Lalu, apa yang akan dilakukan penduduk"
Kami tidak tahu, Jaka. Kami sudah putus asa. Mungkin kami akan nekat menghadapi bersama-sama siluman itu, apa pun yang terjadi. Hmmm ... bagaimana kalau disediakan salah seorang gadis itu"
Ki Dapin membelalakkan matanya. Gila! Kau mau menjerumuskan gadis kami"
Jaka Wulung tersenyum. Tenang dulu, Ki Dapin. Biarlah gadis itu dipersembahkan, dan aku akan mengawalnya hingga bertemu dengan siluman itu.
Belum sempat Ki Dapin menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan orangorang dari arah lereng. Mungkin sekitar dua puluh orang tampak berlarian ke arah mereka seraya mengacung-acungkan berbagai perkakas tajam di tangan mereka. Ada golok, gobang, kapak, bahkan cangkul dan linggis. Sungguh semangat perlawanan yang hebat!
Itu silumannya! teriak seseorang, yang ternyata teman Ki Dapin yang tadi melarikan diri.
Terlihat orang-orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian, tidak perlu aba-aba mereka menyerbu berbarengan.
Tunggu! teriak Ki Dapin seraya mengacungkan tangannya.
Orang-orang itu tertahan langkahnya. Tapi, tidak urung beberapa senjata telanjur melayang. Sebilah golok, sebatang bambu runcing, dan sebilah pedang melengkung melesat mengarah Jaka Wulung. Ketiga senjata itu dilemparkan dengan kekuatan penuh mereka.
Ki Dapin ternganga, menyesalkan tindakan orang-orang sekampungnya yang terburu-buru. Ki Dapin tahu bahwa Jaka Wulung bukanlah siluman yang telah meneror kampung mereka.
Untunglah, Jaka Wulung bukan bocah sembarangan.
Baginya, mudah sekali menghadapi senjata-senjata tajam itu meskipun dilemparkan secara bersamaan. Hampir pada saat yang sama, hanya dengan satu tangan, Jaka Wulung menangkap berturut-turut golok, bambu runcing, dan pedang lengkung itu. Kalau mau, bisa saja Jaka Wulung melemparkan kembali senjata-senjata itu kepada para penyerangnya. Tapi, tentu saja pikiran itu tidak tercetus di kepala Jaka Wulung.
Tahan, Teman-Teman! seru Ki Dapin. Dia bukanlah siluman yang kita cari!
Orang-orang itu ternganga menyaksikan kemampuan yang diperlihatkan bocah di hadapan mereka, bocah yang pasti usianya masih sangat muda. Sungguh di luar akal sehat. Mereka ragu oleh rasa takut, tapi juga penasaran.
Lalu, siapa dia" tanya seseorang sambil menunjuk Jaka Wulung. Dia murid Resi Bujangga Manik.
Orang-orang kembali ternganga. Benarkah Resi Bujangga Manik masih hidup" Dan benarkah sang Resi punya seorang murid"
Dialah Titisan Bujangga Manik.
Ki Dapin kemudian menceritakan rencana yang akan dijalankan si bocah pada malam nanti, pada saat bulan purnama.
Betul. Aku tadi sudah menawarkan diri menemani seorang gadis yang akan kita bawa menghadap siluman itu.
Bagaimana kami bisa percaya terhadap rencanamu"
Tentu saja aku tidak sendiri. Penduduk kampung bisa ikut bersamaku nanti malam.
Meskipun masih diliputi rasa sangsi, penduduk kampung sepakat terhadap rencana Jaka Wulung. []
3 Si Pencabik BULAN purnama sudah menggantung tinggi di langit timur, menenggelamkan cahaya kerlap-kerlip bintang. Langit sangat cerah. Awan-awan hanya seperti bercak-bercak kecil di seluruh bidang langit.
Akan tetapi, suasana mencekam makin mencengkeram perkampungan di kaki selatan Gunung Sepuh. Orang-orang tua, anak-anak, dan perempuan memilih berada di rumah masing-masing dengan pintu terkunci. Para pemuda yang memiliki keberanian lebih berjaga-jaga berkeliling kampung.
Seorang gadis sudah dipilih untuk dipersembahkan kepada siluman itu. Dengan hati yang sangat tegar, meskipun sempat meneteskan air mata, gadis itu bersedia menjadi tumbal bagi keselamatan perkampungan di sana. Dia pernah mendengar dongeng yang menuturkan gadis yang bersedia berkorban itu kelak akan hidup bahagia di alam yang lain. Alam yang penuh keindahan.
Yang paling berduka tentu saja adalah keluarga si gadis. Ayah dan ibunya. Gadis itu adalah anak semata wayang. Ibunya sampai histeris dan pingsan demi melihat anak gadisnya hendak menjadi persembahan.
Meskipun harapannya tidak terlalu besar, gadis itu, namanya Nyi Asih, berharap bahwa si bocah bisa menyelamatkan mereka. Bocah itu, kata orang-orang, adalah murid tokoh pendekar terkenal masa lalu, Resi Bujangga Manik. Meskipun entah sudah berapa lama menghilang, nama Bujangga Manik masih diingat sebagian masyarakat. Para orangtua masih kerap menceritakan sepak terjang Bujangga Manik. Sebagian cerita itu lama-lama sudah menjadi mirip dongeng. Dongeng tentang seorang manusia yang dianggap setengah dewa.
Jaka Wulung pun bertekad akan memberikan semua kemampuan yang dia miliki demi menyelamatkan perkampungan itu dan, terutama, masa depan si gadis.
Kini mereka, Jaka Wulung dan Nyi Asih, sudah berdiri menunggu di sisi timur kampung. Di sebuah lahan yang agak lapang. Di sanalah siluman itu akan menjemput si gadis untuk dibawa entah ke mana. Dari kejauhan, penduduk kampung memandang dari kerimbunan pepohonan dengan dada penuh ketegangan menunggu apa yang bakal menimpa mereka. Meskipun begitu, mereka sudah siap dengan segala perkakas tajam di tangan mereka masing-masing.
Sinar bulan yang jatuh miring menimpa wajah Nyi Asih.
Gadis itu memang cantik. Kulitnya kuning bersih. Hidungnya mungil mancung dan bibirnya merah merekah. Umurnya mungkin sebaya dengan Jaka Wulung. Kalau saja dia hidup di sekitar istana, pikir Jaka Wulung, gadis itu akan disangka sebagai putri kerajaan.
Malam merayap pelan. Bulan masih berjalan di antara bercak-bercak awan. Serangga malam terus melantunkan nyanyian.
Jaka Wulung memuji ketabahan Nyi Asih, yang sorot pandangannya tetap memancar tanpa kelihatan jeri atau takut.
Mendadak keadaan menjadi makin mencekam karena tiba-tiba serangga malam menghentikan nyanyian mereka. Suasana sunyi senyap. Bahkan, angin pun seolah ikut berhenti bertiup. Dedaunan pohon diam.
Lalu, terdengar bunyi aneh memecah kesenyapan. Bunyi itu terdengar seperti kaok burung gagak. Tidak. Mungkin lebih tepat seperti lengking burung hantu. Tidak juga. Suara itu mirip dahan kering yang patah. Benar, suara itu memang berubah-ubah.
Dan akhirnya .... Kakakakakakakaaak ...! Suara tawa.
Tawa panjang yang membuat bulu kuduk meremang.
Pecah dan serak, seakan-akan keluar dari sebuah kerongkongan yang rusak.
Sebagian besar penduduk kampung gemetar ketakutan. Mereka yang berada di rumah lebih suka meringkuk di dalam kain sarung mereka. Mereka yang berada di luar hanya bisa menahan tubuh yang menggigil.
Hanya Jaka Wulung yang tampak tenang di tempatnya. Diliriknya Nyi Asih, dan tampak wajah gadis itu memucat.
Jaka Wulung menggenggam tangan gadis itu, mencoba memberikan kekuatan dan ketabahan. Kalau saja dalam suasana yang berbeda, tentu Jaka Wulung akan berdesir dadanya merasakan tangan halus si gadis. Suara tawa menghilang dan keadaan kembali menjadi sunyi senyap.
Tiba-tiba, sebuah sosok tahu-tahu sudah berdiri di sebongkah batu belasan langkah di depan Jaka Wulung dan Nyi Asih. Cahaya bulan jatuh dari atas sehingga wajah sosok itu sama sekali tidak kelihatan jelas. Hanya rambutnya yang tergerai hingga pundak dan pakaiannya yang gelap.
Akan tetapi, Jaka Wulung bisa merasakan betapa tatapan sosok itu menusuk tajam seperti mata burung hantu, memandang ke mata Jaka Wulung tanpa berkedip.
Jaka Wulung balas menatap sosok itu, tanpa berkedip pula. Hanya ada sosok itu. Hanya ada wajah itu. Bahkan, hanya ada matanya.
Jaka Wulung merasakan arus gelombang panas yang memancar kuat, sangat kuat, dari kedua mata sosok itu. Pendekar bocah ini sempat terkejut beberapa kejap. Tapi, dia segera melawannya dengan merangkum hawa dingin di sekitarnya, yang disalurkan melalui pancaran matanya. Dua gelombang beradu di udara malam yang mencekam. Gelombang yang saling berlawanan panas dan dingin.
Bagi siapa pun yang berada di sekitar tempat itu, tidak tampak sama sekali apa yang terjadi. Bagi mereka, yang kelihatan adalah Jaka Wulung dan sosok itu sekadar saling memandang tanpa berkedip.
Akan tetapi, bagi Jaka Wulung, telah dimulai sebuah pertempuran yang dahsyat.
Mula-mula, hawa panas yang dipancarkan dari mata sosok itu menguasai udara di sekitar Jaka Wulung. Tapi, setelah si bocah merangkum hawa dingin di sekitarnya dan balik menyerang, perlahan-lahan hawa panas itu mulai mereda. Bahkan, lama-lama Jaka Wulung bisa mengimbangi serangan hawa panas itu.
Pertempuran dalam diam itu terus berlangsung.
Melalui garis yang tidak kasatmata, Jaka Wulung merasakan gelombang dari matanya dan mata sosok itu berbenturan hanya beberapa langkah di depannya. Tapi, perlahan tapi pasti, titik benturan itu bergeser merayap, menjauh dari hadapannya.
Nyi Asih, yang berdiri hanya setengah depa dari Jaka Wulung, mulai merasakan bahwa di sana tengah berlangsung sebuah pertempuran diam yang sangat dahsyat. Tubuhnya bisa merasakannya dari hawa yang berganti-ganti antara panas dan dingin.
Pada suatu saat, titik itu berhenti nyaris di tengah-tengah. Lalu, bergeser kembali mendekati Jaka Wulung.
Si bocah, yang masih menerka-nerka siapa sebenarnya sosok yang ada di hadapannya itu, berusaha dengan segenap kekuatannya untuk melawan. Untunglah, Jaka Wulung sudah menyerap ilmu kesaktian di puncak Gunung Sepuh dari tokoh sakti yang tiada bandingnya. Meskipun pelan, Jaka Wulung bisa menahan lagi laju serangan lawannya. Malah, titik benturan itu pun berbalik lagi menjauh dari tubuhnya menuju titik tengah di antara si bocah dan sosok misterius itu.
Di titik tengah itulah, terjadi pertempuran mati-matian. Baik Jaka Wulung maupun lawannya sudah mengerahkan kemampuan puncak mereka. Begitu kuatnya pertempuran dalam diam itu sampai-sampai udara di sekitar titik benturan itu terasa bergetar dan bergolak.
Tiba-tiba pada suatu saat, terdengar sebuah suara letupan. Titik itu bergeser dan melesat cepat ke arah lawan Jaka Wulung. Tubuh lawannya itu bergetar, menggigil.
Akan tetapi, yang segera terdengar adalah suara tawa sosok misterius itu.
Jaka Wulung menarik napas lega. Tawa itu hanyalah upaya untuk menutupi kekalahannya.
Jaka Wulung meraih kemenangan penting di tahap awal.
Kakakakakak ...! Namamu memang bukan nama kosong, Bocah! Kakakakak ...! Tapi, cobalah yang ini!
Jaka Wulung tidak sempat berpikir untuk menebak siapa sosok misterius itu meskipun sebersit rasa heran muncul karena tampaknya sosok itu sudah tahu mengenai dia.
Sosok itu meloncat cepat seperti seekor naga, menjulurkan kedua tangannya. Hanya dalam hitungan kejap, serangan mendadak itu sudah mencapai Jaka Wulung. Kecepatan dan kekuatan serangan itu bisa terasa dari desir angin yang ditimbulkannya.
Untunglah, Jaka Wulung sekarang bukanlah si bocah beberapa bulan lalu ketika terjungkal ke jurang Ci Gunung dan nyaris melayang nyawanya. Sebelum serangan sosok itu sampai, Jaka Wulung mendorong Nyi Asih sambil berbisik, Larilah ke balik pohon.
Benar dugaan Jaka Wulung. Sosok itu tidak mengincar si gadis, tetapi menyasar Jaka Wulung sendiri. Jaka Wulung berkelit, menghindari benturan langsung pada jurus awal. Tapi, sosok itu pun tampaknya tidak benar-benar melakukan serangan pertama sebagai serangan maut. Dia seakan-akan hanya ingin melakukan sebuah perkenalan dari sebuah pertempuran yang mungkin akan berlangsung sepanjang malam.
Kini, sosok itu bertolak pinggang di hadapan Jaka Wulung, memandang dengan sorot matanya yang seakan-akan bercahaya.
Cahaya bulan purnama menjelang tengah malam jatuh hampir tegak lurus menimpa rambut hitam lebat sosok itu dan kedua pundaknya yang lebar. Wajahnya masih kelihatan gelap, tapi penglihatan Jaka Wulung, yang sudah sangat terlatih melihat dalam keremangan, sudah bisa mengenali wajah sosok di hadapannya. Wajah yang boleh dikatakan sangat buruk. Hidungnya melesak dan kelihatan hanya dua lubangnya yang gelap pekat. Mulutnya terbuka. Bibir atasnya sumbing, memperlihatkan sebagian giginya yang besar-besar. Di pipi kanannya terdapat goresan luka yang tampaknya dijahit secara sembarangan sehingga menghasilkan bentuk bergerigi yang mengerikan.
Ki Dulur ternyata tidak bertujuan minta persembahan seorang gadis, kata Jaka Wulung, tetap dengan suara pelan dan sopan.
Sosok itu belum menjawab. Tapi, kelihatan mulutnya menyeringai lebar, memperlihatkan lubang gelap yang justru makin membuat wajahnya tampak mengerikan.
Ki Dulur meneror penduduk perkampungan ini hanya untuk memancingku keluar.
Kakakakakaaak ...! Suara tawanya parau, seakan-akan keluar dari lubang bambu yang rusak, tapi memancarkan gelombang yang menggetarkan udara di sekitar. Bahkan, penduduk yang menyaksikan adegan itu, yang bersembunyi puluhan langkah jauhnya, merasakan dada mereka diserang rasa ngilu, seakan-akan relung dada mereka digosok-gosok dengan permukaan kasar daun ki hampelas.
Akan tetapi, bagi Jaka Wulung, suara itu seperti tawa manusia biasa umumnya. Kalau benar hanya memancingku, kenapa penduduk kampung harus mengalami ketakutan yang tidak perlu"
Sosok itu kembali tertawa. Bocah. Dengar. Itu semua hanyalah permainan muridku yang memang masih kekanak-kanakan. Termasuk permainan minta persembahan seorang gadis yang paling cantik.
Dan siapa muridmu, Ki Dulur"
Dia bilang pernah berkenalan denganmu. Dia memang masih muda, masih senang bercanda dengan gadis-gadis cantik. Bukankah kau juga seperti itu"
Jaka Wulung tidak mau terpancing oleh kata-kata manusia berwajah buruk itu. Dan tiba-tiba sebuah nama muncul di kepala Jaka Wulung. Aku pernah bermain-main sebentar dengan anak muda bernama Bratalaras, yang mengaku berjulukan Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana. Hmmm ... rupanya dia benar-benar masih kekanak-kanakan sehingga masih harus dilindungi gurunya, Si Jari-Jari Pencabik.
Sosok itu, yang memang Si Jari-Jari Pencabik, guru Bratalaras, tertawa lagi. Sebenarnya aku ingin berhadapan langsung dengan Resi Bujangga Manik. Sejak kecil, aku sudah mendengar namanya yang tersohor ke mana-mana. Sayang sekali ketika aku sudah siap, dia malah mengundurkan diri. Sampai sekarang, aku penasaran sehebat apa sebenarnya dia.
Jaka Wulung memandang tajam Si Jari-Jari Pencabik. Jangan mengigau, Ki Dulur. Tampaknya Ki Dulur sudah tahu di mana Eyang Resi bermukim. Kenapa tidak Ki Dulur sambangi kediamannya dari dulu" Ki Dulur takut. Ki Dulur masih merasa bahwa ilmumu belum apa-apa dibandingkan dengan Eyang Resi.
Terdengar gemeretak suara gigi-gigi Si Jari-Jari Pencabik yang saling beradu. He, Bocah Pembual! Kau terlalu banyak cakap. Ketahuilah, aku memang memancingmu dengan cara menakut-nakuti penduduk. Tapi, lebih dari itu, aku bermaksud memancing resi tua itu turun gunung dengan cara mencabik-cabikmu!
Dada Jaka Wulung bergetar mendengar kata-kata terakhir manusia berwajah buruk itu. Apalagi kemudian terjadi sesuatu yang sangat mengejutkan.
Secara tiba-tiba, ketika Si Jari-Jari Pencabik mengembangkan jemari kedua tangannya, dari ujung-ujung jemarinya bermunculan kuku-kuku yang sangat aneh dan mengerikan. Diterpa cahaya bulan, kuku-kuku itu berkilat-kilat memantulkan cahaya. Itu adalah kuku-kuku yang terbuat dari logam. Dan logamnya pastilah baja!


Jaka Wulung 2 Jurus Tanpa Nama di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana mungkin hal demikian bisa terjadi"
Tadi sangat jelas bahwa jemari si wajah buruk tidak memiliki kuku setajam itu. Dan kini, kuku-kukunya bermunculan begitu saja, dan bukan kuku biasa seperti manusia umumnya, melainkan kuku baja!
Mungkin benar kabar yang beredar bahwa Si Jari-Jari Pencabik bukanlah manusia biasa, melainkan iblis!
Jaka Wulung kemudian segera mengenali, ujung-ujung kuku Si Jari-Jari Pencabik, selain berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan yang menunjukkan betapa tajamnya, juga diwarnai bercak-bercak kusam. Sangat mengerikan. Bercak-bercak itu pastilah sejenis racun yang sangat mematikan!
Jaka Wulung masih mencoba berbicara dengan nada yang biasa-biasa saja. Begini saja. Kalau mau bertemu Eyang, mari kuantar ke sana.
Akan tetapi, kata-kata sederhana itulah yang justru memantik kemarahan Si Jari-Jari Pencabik. Bocah sombong! Kau benar-benar meremehkan perguruan Gunung Cakrabuana!
Bersamaan dengan selesainya kalimat itu terucap, Si Jari-Jari Pencabik mengibaskan jari-jarinya yang kukunya berlapis baja, menimbulkan angin panas yang menebarkan bau racun yang menyengat. Meskipun dikibaskan seakan-akan dengan gerakan seenaknya, kibasan itu mengandung tenaga yang sangat besar. Jika mengenai tubuh seseorang, dipastikan tubuh si korban akan langsung tercabik oleh lima jarinya.
Jaka Wulung menyadari bahwa serangan itu bukan serangan main-main, melainkan langsung yang mengandung ancaman maut. Jaka Wulung juga sadar bahwa Si Jari-Jari Pencabik bukanlah tokoh sembarangan. Mendengar namanya saja, orang-orang sudah bergidik ngeri. Jejaknya di jagat silat ditandai dengan pembantaian mengerikan yang dilakukannya. Si Jari-Jari Pencabik mampu mengorek-ngorek isi perut seseorang seakanakan ayam yang sedang mengorek-ngorek tanah.
Jaka Wulung pernah merasakan kehebatan Bratalaras alias Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana. Waktu itu tidak mudah bagi Jaka Wulung untuk menaklukkan Bratalaras. Dan sekarang, inilah guru Si Pemetik Bunga, Si Jari-Jari Pencabik, yang pastilah tingkat ilmunya jauh lebih tinggi daripada muridnya!
Untunglah, Jaka Wulung bukan lagi si bocah ketika berhadapan dengan Si Pemetik Bunga. Sejak pertempuran itu, Jaka Wulung sudah mampu melipatgandakan ilmunya melalui peristiwa aneh di Nusa Larang, dan tentu saja, di bawah didikan Resi Bujangga Manik.
Meskipun demikian, Jaka Wulung tidak mau mengambil risiko sekecil apa pun. Karena itu, dia segera menghindar seraya mencabut senjata andalannya, kudi hyang, dan mempersiapkan diri dengan lambaran ilmu gulung maung. Dia juga menghindari benturan yang mungkin terjadi antara senjatanya dan kuku-kuku maut Si Jari-Jari Pencabik.
Meskipun sudah meraih kemenangan awal dalam pertempuran diam tadi, Jaka Wulung tidak tahu seberapa dalam kekuatan tersembunyi Si Jari-Jari Pencabik, seberapa besar tenaga dalamnya, serta seberapa tinggi kedahsyatan jurus-jurusnya. Karena itu, dia langsung bersiap dan waspada dalam tingkat yang paling tinggi.
Tak ada lagi gerak pengenalan. Tak perlu jurus-jurus awal. Keduanya langsung bersiap untuk bertarung dalam tingkat ilmu tertinggi. Sungguh pertarungan yang tidak biasanya!
Dari mulut Si Jari-Jari Pencabik yang berbibir sumbing, terdengar suara desis.
Ssssss ...! Jaka Wulung ingat pernah mendengar suara desisan yang sama dari mulut Bratalaras.
Akan tetapi, suara desisan yang keluar dari mulut Si Jari-Jari Pencabik terdengar jauh lebih mengerikan. Suaranya benar-benar terdengar seperti keluar dari mulut seekor ular besar. Ular naga! Jaka Wulung juga nyaris melihat bahwa dari mulut Si Jari-Jari Pencabik itu menyembur api. Mungkin itu hanya sensasi yang timbul karena suara desis yang bercampur entah ilmu siluman apa. Tapi, jelas bahwa bersamaan dengan suara mendesis itu, dari mulut Si Jari-Jari Pencabik menyembur hawa panas!
Jaka Wulung tak bisa hanya memiringkan tubuhnya. Dia harus melenting ke sisi dua langkah untuk menghindari semburan hawa panas dari mulut Si Jari-Jari Pencabik. Itu pun masih terasa anginnya yang menyentuh wajahnya seraya membawa bau racun. Dan, tidak banyak waktu bagi Jaka Wulung untuk melihat akibat semburan panasnya ketika menerpa dedaunan di belakangnya. Dedaunan itu, dengan cabang dan rantingrantingnya, langsung hangus terkulai dan jatuh!
Si Jari-Jari Pencabik sudah langsung mengembangkan jemarinya, seraya mengangkat kaki kanannya hingga menekuk, dan hanya dalam waktu sekejapan mata, dia kemudian meloncat dan menghantamkan jemarinya ke tubuh Jaka Wulung dari kedua sisi.
Tanpa basa-basi, Si Jari-Jari Pencabik langsung melancarkan ilmu pamungkasnya.
Jari-Jari Naga Maut! Gerakannya sangat cepat dan kuat. Jauh lebih cepat dan kuat daripada yang pernah dilakukan Si Pemetik Bunga. Jaka Wulung tentu saja tidak mau menjadi sasaran empuk begitu saja. Dia cepat menekuk kedua kakinya sedemikian rupa sehingga tubuh bagian atasnya lolos dari sasaran Si Jari-Jari Pencabik. Sambil menghindar itu dengan gerakan cepat sekali, Jaka Wulung menusukkan kudi hyang-nya dari bawah, agak miring dengan maksud menyambut gerakan Si Jari-Jari Pencabik mengarah ke pergelangan tangannya.
Itu adalah gerakan yang membutuhkan ketepatan yang sangat tinggi. Kalau saat dan arahnya meleset sedikit saja, senjatanya akan berbenturan dengan kuku-kuku jari Si Jari-Jari Pencabik yang berlapis baja.
Si Jari-Jari Pencabik terkejut melihat gerakan cepat Jaka Wulung. Sekaligus dalam hatinya, dia memuji betapa hebatnya si bocah. Baru kali pertama dia bertemu dengan lawan yang sangat muda sekaligus sangat hebat, yang mampu menghindari serangan maut pertamanya. Harus diakuinya, perkiraannya meleset. Dari cerita muridnya, Si Pemetik Bunga, Si Jari-Jari Pencabik bisa menerka setingkat apa ilmu Jaka Wulung, yang menamakan dirinya Titisan Bujangga Manik.
Akan tetapi, meskipun dia bisa menebak bahwa ilmu si bocah sudah meningkat semenjak dia mendapat kabar bahwa Jaka Wulung berada di puncak Gunung Sepuh dalam asuhan Resi Bujangga Manik, Si Jari-Jari Pencabik tidak menyangka bahwa kemajuan ilmu si bocah meningkat jauh lebih pesat daripada dugaannya.
Semula, dia menyangka bahwa dengan langsung menerapkan jurus pamungkasnya, Jari-Jari Naga Maut, dia akan bisa segera membereskan Jaka Wulung. Rupanya, lawannya yang masih bocah bau kencur itu mampu menghindar, dan bahkan, nekat melakukan serangan.
Karena itu, sebelum ujung senjata di tangan Jaka Wulung mematuk bagian tubuhnya, Si Jari-Jari Pencabik mengubah arah gerakannya. Sesuai dengan sifat naga dalam cerita-cerita yang dituturkan orang, gerakan Si Jari-Jari Pencabik benar-benar cepat dan buas. Sama sekali tidak mengenal kata menghindar. Dia hanya mengubah gerak untuk melancarkan serangan dari arah yang berbeda secara total. Giliran Jaka Wulung yang terkejut.
Dia tidak menyangka bahwa Si Jari-Jari Pencabik mampu mengubah arah dan jurus serangannya secara berlawanan. Cara demikian, tentu saja, hanya bisa dilakukan oleh orang dengan tingkat ilmu yang sulit dibayangkan. Dengan demikian, harus diakuinya sekali lagi bahwa nama Si Jari-Jari Pencabik bukanlah nama yang dipakai sekadar untuk menakut-nakuti penduduk. Nama Si Jari-Jari Pencabik benar-benar menunjukkan keganasan jurus-jurusnya.
Dalam hal tingkat ilmunya, Jaka Wulung bisa menduga bahwa Si Jari-Jari Pencabik berada pada tataran yang setara dengan Brahala yang pernah menggetarkan Pantai Selatan, dan Ki Wira alias Si Cambuk Maut yang kerap menjadi horor di Pantai Utara.
Jaka Wulung harus cermat dan tepat setiap kali menahan laju serangan Si Jari-Jari Pencabik.
Demikian itulah, di pinggir desa, di tengah malam, terjadi pertempuran yang sangat dahsyat. Bagi penduduk yang menjadi saksi pertempuran itu, yang kelihatan hanyalah dua bayangan hitam yang terus berputar saking cepatnya gerak mereka, seperti kitiran yang diputar cepat dan tidak ketahuan lagi gambar atau ukiran yang terdapat pada kitiran itu. Tidak jelas lagi, mana Jaka Wulung dan mana Si Jari-Jari Pencabik. Yang kelihatan, dua bayangan hitam itu saling membelit, saling menghindar, tapi juga kadang tampak seperti saling menyatu.
Sementara itu, sesekali batang-batang pohon di sekitar pertempuran itu berlangsung harus mengalami nasib nahas. Batang-batang itu berpatahan dan hangus oleh jurus-jurus maut Si Jari-Jari Pencabik yang tidak mengenai sasaran. Dedaunan sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, beterbangan mengikuti angin yang terjadi akibat pertempuran itu sebelum berjatuhan dalam keadaan hangus.
Bulan yang bulat sempurna bergeser dari tempatnya di titik puncak langit. Nini Anteh dan kucing peliharaannya seakan-akan tersenyum mengejek pertempuran hidup mati antara Jaka Wulung.1 Keduanya sudah menjadi saksi dari entah berapa ribu pertempuran di antara sesama manusia. Bagi Nini Anteh dan kucingnya, pertempuran seperti itu sangat menggelikan karena tidak jelas apa yang sebenarnya mereka perselisihkan, kecuali bahwa manusia-manusia itu sejak zaman dulu, dari abad ke abad, selalu dikuasai oleh kesombongan.
Akan tetapi tentu saja, baik Si Jari-Jari Pencabik maupun Jaka Wulung memiliki alasan kuat mengapa mereka bertempur mati-matian.
Si Jari-Jari Pencabik adalah manusia iblis yang tidak mau ada orang lain memiliki ilmu lebih tinggi daripadanya. Dia selalu berambisi menjadi orang nomor satu di Jawa Dwipa ini. Oleh karena itu, dia selalu memburu siapa pun yang sekiranya akan mengancam kedudukannya sebagai tokoh yang paling hebat.
Ketika muridnya, Bratalaras, mengadu bahwa dia dikalahkan oleh seorang bocah yang mengaku sebagai Titisan Bujangga Manik, Si Jari-Jari Pencabik berang dan dia bertekad akan membalas kekalahan muridnya. Dalam pikirannya, si bocah harus dihabisi sebelum berkembang menjadi pendekar yang benar-benar disegani. Dia jeri mendengar nama Resi Bujangga Manik, yang ternyata namanya terdengar lagi setelah puluhan tahun lenyap dalam persembunyiannya. Oleh karena itu, dia hanya berani memainkan rencananya di kaki Gunung Sepuh. Dia yakin dengan cara menakut-nakuti penduduk perkampungan di kaki gunung, murid Resi Bujangga Manik akan turun sendirian. Dan benar, Jaka Wulung alias Titisan Bujangga Manik muncul sendirian, tanpa disertai gurunya.
Sementara itu, Jaka Wulung tentu tidak mau nyawanya melayang begitu saja. Dia baru saja turun gunung dan masih panjang, sangat panjang, jalan yang harus dia tempuh untuk mencapai tujuannya: mencari jejak leluhurnya, sambil menyambangi kediaman Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu. Jaka Wulung sama sekali tidak menduga akan berhadapan dengan tokoh setaraf Si Jari-Jari Pencabik, yang sepak terjangnya sudah puluhan tahun membawa ketakutan kepada siapa pun yang mendengar namanya.
Oleh karena itu, baik Si Jari-Jari Pencabik maupun Jaka Wulung sudah tidak mempertimbangkan lagi keadaan sekeliling, apalagi sekadar senyum sinis Nini Anteh dan kucingnya. Apa yang ada di kepala mereka adalah mengeluarkan segenap kesaktian mereka demi meraih kemenangan atas lawannya.
Seperti umumnya ular, termasuk naga, binatang ini terkenal karena cara berkelahinya yang licik. Seekor ular tidak akan menyerang dengan gerakan secara langsung ke sasaran. Ia akan melakukan berbagai gerak tipu untuk membuat lawannya lengah, dan pada saatnya melancarkan serangan mematikan, dengan patukan atau dengan semburan racunnya.
Seperti itulah, pertempuran yang dilakukan Si Jari-Jari Pencabik. Dia terus mengganggu pemusatan pikiran Jaka Wulung dengan jurus-jurus tipunya yang licik sehingga Jaka Wulung lebih banyak bertahan. Jangankan untuk menyerang, bahkan untuk bertahan pun Jaka Wulung makin kewalahan. Berkali-kali Jaka Wulung nyaris terkena sambitan kuku-kuku baja beracun Si Jari-Jari Pencabik.
Jaka Wulung bahkan kerepotan karena terus-menerus mencium bau racun yang mengembus dari kuku-kuku Si Jari-Jari Pencabik, ditambah hawa panas yang terus-terusan menebar dari desisan mulut lawannya.
Meskipun demikian, Jaka Wulung memang layak mendapat julukan Titisan Bujangga Manik, calon penerus nama besar Eyang Gurunya. Dengan otot-otot mudanya yang lentur dan gerak langkahnya yang sangat cepat, Jaka Wulung seperti harimau muda yang sangat lincah meloncat menghindari semua serangan tipuan Si Jari-Jari Pencabik.
Perlahan tapi pasti, Jaka Wulung mulai bisa mengenali pola serangan tipuan Si Jari-Jari Pencabik. Meskipun kelihatan acak dan semaunya, sesuai dengan sifat serangan tipuan, makin lama serangan-serangan Si Jari- Jari Pencabik itu menunjukkan sebuah pola tertentu. Dan dengan pengenalan inilah, Jaka Wulung mulai bisa mengimbangi sepak terjang lawannya. Bahkan lama-kelamaan, Jaka Wulung bisa sesekali melakukan serangan balik.
Dan satu hal, tampaknya Si Jari-Jari Pencabik tidak menyadari sebuah hukum alam yang tidak pernah berubah sepanjang masa. Atau, barangkali dia mengingkari adanya hukum alam itu.
Makin tua, manusia makin berkurang kekuatan dan keliatan ototnya.
Dan satu kesalahan besar telah dilakukan Si Jari-Jari Pencabik pada serangan awal tadi. Si Jari-Jari Pencabik langsung menyerang dengan ilmu pamungkasnya, Jari-Jari Naga Maut. Padahal, untuk mengeluarkan ilmunya ini dengan serta-merta, dia memerlukan kekuatan dan keliatan otot. Untuk mencapai kekuatan dan keliatan yang diperlukan, seseorang mestinya melakukan serangan-serangan awal yang tidak terlalu menguras tenaga, sebagai pemanasan.
Si Jari-Jari Pencabik, tanpa menjalani tahap pemanasan, langsung menyerang Jaka Wulung dengan tenaga penuh.
Dan itu tentu saja fatal.
Setelah sekian jurus gagal menemui sasarannya, tenaga Si Jari-Jari Pencabik surut dengan cepat. Napasnya tersengal-sengal dan desisan dari mulutnya sudah jauh berkurang. Tulang-tulang persendiannya mulai terasa ngilu dan otot-otot badannya mulai lemas kehabisan tenaga. Jaka Wulung menyadari keadaan itu.
Perlahan-lahan, dia melancarkan serangan-serangan yang mengarah ke berbagai bagian tubuh Si Jari-Jari Pencabik. Kalau saja Si Jari-Jari Pencabik bukanlah tokoh silat yang sudah kawakan, pastilah tubuhnya sudah dikenai ujung kudi hyang di tangan kanan Jaka Wulung. Bocah iblis! Si Jari-Jari Pencabik menggeram.
Jaka Wulung tersenyum. Kemarahan adalah pertanda awal kekalahan. Dan dia mencoba memancing lebih jauh kemarahan lawannya. Jangan mengigau, Ki Dulur. Bukankah kau yang iblis"
Si Jari-Jari Pencabik terpancing. Persetan! teriaknya serak, karena napasnya yang nyaris habis, seraya berupaya meningkatkan seranganserangannya.
Jaka Wulung memanfaatkan peluang itu dengan meningkatkan kecepatan geraknya. Ujung kudi hyang-nya melesat-lesat seperti puluhan anak panah yang mengincar titik-titik lemah tubuh Si Jari-Jari Pencabik. Hingga pada suatu saat ....
Brettt! Ujung kudi hyang Jaka Wulung berhasil memapas rambut hitam Si Jari- Jari Pencabik yang awut-awutan. Bukan hanya itu, dalam lesatan berikutnya, kalau saja Si Jari-Jari Pencabik tidak merendahkan tubuhnya, tentu kudi hyang-nya akan bisa menebas leher si manusia iblis. Tapi, yang kena adalah bagian atas rambut Si Jari-Jari Pencabik. Rambut itu terpotong dari kepalanya. Oh, bukan. Rambut itu lepas dari kepalanya. Rupanya, itu adalah rambut palsu!
Kini yang tampak adalah kepala Si Jari-Jari Pencabik yang botak dan mengilat memantulkan cahaya bulan!
Wajahnya memang tetap mengerikan, tapi juga menggelikan.
Mengerikan karena wajah itu kini semakin gelap oleh kemarahan yang berlipat-lipat. Tidak pernah terbayangkan, dalam mimpi sekalipun, Si Jari- Jari Pencabik, tokoh hitam yang malang melintang di berbagai pelosok Tatar Sunda, sudah mencabik-cabik puluhan, atau ratusan, manusia yang mencoba menantang kesaktiannya, malam ini seakan-akan menjadi bahan mainan seorang bocah yang baru kering ingusnya!
Jaka Wulung memang tersenyum-senyum geli melihat sosok yang menjadi aneh di hadapannya.
Akan tetapi, senyum Jaka Wulung tidak bisa berlama-lama menghiasi bibirnya karena sekejap kemudian Si Jari-Jari Pencabik sudah mendesis dengan suara yang entah mengapa menjadi sangat berlipat kekuatannya, lalu mempermainkan jemarinya yang berkuku baja di depan dada, kembali mengangkat kaki kanannya hingga menekuk, dan meloncat menerkam Jaka Wulung dengan kibasan mautnya.
Jaka Wulung terpaksa melenting ke atas untuk menghindari serangan membabi buta itu. Tapi, Si Jari-Jari Pencabik tidak berhenti di situ, melainkan terus memburu Jaka Wulung seakan-akan manusia iblis itu memperoleh kekuatan cadangan setelah tadi sempat kehabisan napas dan tenaga.
Akan tetapi, Jaka Wulung bisa menebak bahwa serangan membabi buta mestinya serangan menaga buta itu adalah serangan putus asa. Terkadang, dalam keadaan putus asa, orang bisa menjadi nekat, dan ketika itulah, tenaganya bisa kembali berlipat ganda. Itulah tampaknya yang terjadi pada Si Jari-Jari Pencabik.
Meskipun demikian, Jaka Wulung tidak bisa melihat serangan demikian dengan sebelah mata. Sebab, yang melakukannya bukan orang nekat sembarang nekat, melainkan Si Jari-Jari Pencabik!
Jaka Wulung harus tetap memusatkan perhatian pada cakar-cakar maut Si Jari-Jari Pencabik, yang tetap memburunya ke sana kemari seperti seekor naga yang terluka, seakan-akan sedang memamerkan kekuatan pamungkasnya sebelum sampai pada titik sekarat.
Dan secara tiba-tiba, perhatian Jaka Wulung buyar ketika terdengar jeritan melengking dari arah pohon kiara besar di belakangnya.
Tolooonggg ...! Suara perempuan. Suara Nyi Asih!
Dalam sekelebatan, Jaka Wulung melihat perempuan itu, yang memang Nyi Asih, dipondong seseorang berambut panjang berkibar, dengan langkah lari yang cepat dan ringan.
Seakan-akan memberikan kesempatan bagi Jaka Wulung untuk mengetahui siapa si penculik Nyi Asih, orang itu berhenti hanya beberapa langkah di samping Si Jari-Jari Pencabik.
Dia adalah lelaki tampan, berusia kira-kira dua puluh tiga tahun, dengan rambut terurai hingga separuh punggung dan diikat dengan kulit ular sanca. Dia juga mengenakan baju dan celana kulit ular tanpa lengan. Di ketiaknya terselip sebatang tongkat dengan pangkal berwujud kepala ular dan dengan ujung runcing berlapis baja.
Bratalaras, Si Pemetik Bunga dari Cakrabuana, murid Si Jari-Jari Pencabik!
Bratalaras memandang Jaka Wulung seraya tersenyum mengejek, setelah itu dia mundur dan melenggang meninggalkan arena pertempuran itu. Nyi Asih sendiri hanya terkulai di pundak Bratalaras karena sarafnya sudah terkunci.
Jaka Wulung benar-benar menyesal mengabaikan kemungkinan Si Pemetik Bunga berada di sana sejak tadi sehingga dia lengah dan sama sekali tidak meminta agar Nyi Asih pulang ke perkampungan.
Perhatian Jaka Wulung yang buyar itu dengan cepat dimanfaatkan Si Jari- Jari Pencabik. Secepat dan sedahsyat angin puting beliung, Si Jari-Jari Pencabik menghunjamkan jemarinya ke arah kepala Jaka Wulung. Kelengahan, dalam sekejap, bisa menentukan hasil akhir. Jaka Wulung terkesiap.
Beruntung, Jaka Wulung memiliki naluri yang sangat peka, yang membuatnya berkali-kali selamat dari bahaya yang mengancamnya, termasuk ketika dikeroyok Lingga Prawata dan Watu Ageng di tepi Ci Gunung, serta kemudian dalam pertempuran terdahulu melawan Bratalaras.
Hanya dengan naluri, tanpa jurus atau perhitungan apa pun, Jaka Wulung menjatuhkan dirinya ke belakang, berguling-guling seperti tenggiling, dan setelah gulingan yang kelima, mengacungkan secepat kilat kudi hyang-nya menyambut serangan beruntun Si Jari-Jari Pencabik.
Dengan nalurinya yang sangat tajam itulah, Jaka Wulung terhindar dari kuku-kuku baja beracun Si Jari-Jari Pencabik, yang dipastikan akan membuat si bocah tinggal nama dengan kepala yang koyak moyak tidak berbentuk rupa.
Akan tetapi, yang tidak disangka oleh Jaka Wulung sendiri, tusukan kudi hyang yang hanya berdasarkan naluri itu telah pula menyentuh sesuatu yang agak lunak.
Srettt! Ujung senjata Jaka Wulung menggores panjang dalam sekejap.
Sedemikian cepat peristiwanya sehingga ketika Jaka Wulung melenting menjauh dan mendarat dengan kedua kakinya, lalu menatap kudi hyangnya, ujung senjatanya itu sama sekali bersih, tidak berlumur darah. Jaka Wulung kemudian menatap Si Jari-Jari Pencabik.
Si manusia iblis berdiri dengan kaki tegak selebar pundak, memandang Jaka Wulung dengan sorot mata paling gelap yang pernah dilihat si bocah. Ujung kanan bibirnya mengernyit. Dari kepalanya yang mengilat samarsamar keluar semacam asap. Secara keseluruhan, wajah Si Jari-Jari Pencabik benar-benar sangat mengerikan.
Jaka Wulung tanpa sadar bergidik melihatnya.
Si Jari-Jari Pencabik masih berdiri dengan dua kaki selebar pundak. Tapi, kini kelihatan kaki-kakinya goyah, gemetar beberapa saat, kemudian tertekuk. Tubuhnya jatuh di atas lututnya. Darah mengucur dari bagian perutnya, membasahi tanah, bercampur dengan isi kandung kemihnya.
Sebuah luka memanjang lebih dari sejengkal. Menganga, dan tampak ususnya memburai.
Tadi, begitu perutnya tersayat kudi hyang Jaka Wulung, tanpa sadar Si Jari-Jari Pencabik meraba perutnya. Dan itu adalah fatal. Kuku-kukunya menyentuh luka dan racun di ujung-ujung kuku si manusia iblis itu memakan tuannya sendiri. Menyebar langsung ke aliran darah di tubuhnya.
Bocah ... ib .... Si Jari-Jari Pencabik tidak sempat menyelesaikan kata-katanya. Matanya membeliak dan tubuhnya ambruk.
Bulan purnama menggantung di separuh langit barat. Warnanya pucat.
Jaka Wulung melesat ke arah selatan. Memburu tempat menghilangnya Bratalara.[]
4 Braja Wikalpa JAKA Wulung tiba di pinggir sebuah sungai kecil tepat ketika Bratalaras alias Si Pemetik Bunga dari Gunung Cakrabuana ambruk dengan tongkat yang pangkalnya kepala ular menembus perutnya hingga ke punggung. Bratalaras tewas oleh senjatanya sendiri.
Baik Si Jari-Jari Pencabik maupun muridnya sama-sama tewas karena senjata makan tuan.
Seorang laki-laki tampak memeriksa lengan dan leher Nyi Asih. Beberapa saat kemudian, di bawah terpaan cahaya bulan yang makin rebah di lengkung langit barat, lelaki itu membantu Nyi Asih berdiri dan membalikkan badannya.
Lelaki itu berusia tiga puluhan tahun, bertubuh tinggi dan tegap. Tatapan matanya ketika memandang Jaka Wulung terasa tajam dan misterius.
Akan tetapi, sebagai lelaki yang pernah mendapat didikan sopan santun dari kedua gurunya, Jaka Wulung bagaimanapun harus mengucapkan rasa terima kasihnya. Terima kasih atas bantuan Ki Dulur, kata Jaka Wulung sambil membungkuk hormat.
Lelaki itu masih memandang Jaka Wulung. Kemudian menganggukangguk, lalu balas membungkuk. Panggil saja aku Braja Wikalpa, kata lelaki itu. Senang sekali berkenalan dengan Titisan Bujangga Manik. Masih muda, sudah luar biasa.
Ah, hanya punya kemampuan sekadarnya. Dari namanya, Ki Dulur pasti seorang yang berkedudukan tinggi. Mungkin orang keraton" kata Jaka Wulung.
Braja Wikalpa mengerutkan kening, tapi kemudian tertawa. Aku hanya orang biasa. Barangkali bapak dan ibuku dahulu menginginkan aku menjadi orang yang berkedudukan tinggi.
Jaka Wulung, entah mengapa, merasakan bahwa lelaki itu memaksakan diri untuk tertawa. Meskipun demikian, Jaka Wulung turut tertawa.
Sekali lagi, saya merasa beruntung Ki Dulur muncul pada saat yang tepat, kata Jaka Wulung sambil memandang wajah Braja Wikalpa. Jaka Wulung harus sedikit mendongak karena tubuh Braja Wikalpa lebih tinggi beberapa jari. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan gadis itu. Bratalaras sudah terkenal akan kelakuannya yang seperti iblis.
Kalau aku tidak ada, aku yakin kau akan mampu mengejar Bratalaras dan membunuhnya.
Jaka Wulung tertegun. Kata membunuh itu diucapkan dengan nada biasabiasa saja oleh Braja Wikalpa. Tapi, bagi Jaka Wulung terasa menamparnya.
Dia sudah membunuh lagi. Bagi orang lain, tampaknya membunuh adalah suatu tindakan yang lazim. Tapi, tidak bagi Jaka Wulung. Dia tadi sama sekali tidak berniat membunuh. Meskipun Si Jari-Jari Pencabik adalah manusia berhati iblis yang pantas mampus, Jaka Wulung tidak dalam keadaan niat membunuh ketika tadi dia menusukkan kudi hyang-nya. Dia melakukan hal itu lebih karena naluri untuk mempertahankan diri.
Kini, dia sudah dua kali membunuh orang. Yang pertama adalah ketika dia dengan senjata yang sama membunuh Brahala, raksasa dari Segara Anakan. Entah mengapa, Jaka Wulung merasa sedih karena telah menghilangkan nyawa orang lain.
Apakah manusia harus saling menghilangkan nyawa untuk menyelesaikan suatu masalah"
Inilah, sekali lagi, kelebihan sekaligus kelemahan Jaka Wulung.
Hanya satu yang setidaknya menghibur Jaka Wulung. Baik Brahala maupun Si Jari-Jari Pencabik adalah jenis manusia sesat. Dengan demikian, Jaka Wulung berharap, apa yang sudah dia lakukan akan mengurangi korban jatuh sia-sia, korban yang sesungguhnya tidak berdosa. Pendeknya, dengan membunuh mereka, dia berharap mengurangi kejahatan di negeri ini.
Boleh dikatakan aku hanyalah kebetulan tiba di tempat ini, Braja Wikalpa melanjutkan. Aku tertarik ketika mengetahui ada pertempuran seru di sini. Dan aku terkejut ketika melihat siapa yang bertempur. Si Jari- Jari Pencabik adalah tokoh sesat yang sudah sangat terkenal kesaktiannya. Aku memang sedang mencarinya. Tapi, sebelum aku mengetahui hasil akhir pertempuran itu, tiba-tiba aku mendengar jerit menyayat gadis itu, yang ternyata diculik oleh murid Si Jari-Jari Pencabik sendiri. Tanpa pikir panjang aku mencoba mengejarnya. Aku beruntung karena dalam pertempuran, kemudian aku berhasil menyelamatkan gadis itu.
Braja Wikalpa berusaha membetulkan posisi ikat kepalanya yang agak miring. Ikat kepala itu tampaknya terbuat dari kain yang istimewa dibandingkan dengan ikat kepala orang kebanyakan. Apalagi dibandingkan dengan ikat kepala Jaka Wulung yang hanya berupa bandana. Meskipun baju Braja Wikalpa terlihat sederhana, Jaka Wulung menebak bahwa lelaki itu bukan orang kebanyakan. Meskipun demikian, Jaka Wulung tidak bertanya lebih jauh.
Keduanya kemudian meminta kepada penduduk kampung supaya segera menguburkan Si Jari-Jari Pencabik dan muridnya. Meskipun banyak penduduk yang masih diliputi ketakutan, mereka tetap mengubur dua manusia iblis itu. Mereka berharap, dengan dikuburnya dua manusia sesat itu, terkubur juga kejahatan dan teror yang selama ini membuat penduduk perkampungan ketakutan.
Jaka Wulung dan Braja Wikalpa sempat beristirahat beberapa jenak sebelum memutuskan pergi pada pagi itu juga.
Senang sekali kalau Ki Dulur berdua mau tinggal beberapa hari di sini, kata Kepala Kampung.
Terima kasih, kata Braja Wikalpa. Kami masih punya urusan di tempat lain.
Penduduk kampung berkumpul untuk melepas kepergian Jaka Wulung dan Braja Wikalpa, yang sama-sama bertujuan ke arah barat.
Jaka Wulung memandang seorang gadis berkulit langsat. Wajahnya tampak agak pucat, tapi justru kelihatan lebih cantik daripada malam hari sebelumnya.
Nyi Asih, gadis itu, tersenyum malu-malu memandang Jaka Wulung. Kapan kau akan mampir lagi ke sini" tanya Nyi Asih sambil tertunduk.
Mendadak Jaka Wulung berdebar mendengar pertanyaan Nyi Asih dan melihat senyumnya. Manis sekali.
Mudah-mudahan suatu saat aku bisa datang lagi ke sini, jawab Jaka Wulung.
Tiba-tiba, si bocah yang mulai beranjak remaja ini merasakan langkahnya untuk pergi menjadi berat. Perhatian seorang gadis serupa itu jarang sekali dia dapatkan dalam hidupnya yang lima belas tahun lebih, menuju enam belas tahun. Sejuk terasa di dalam dada Jaka Wulung. Tapi, kemudian dia menepis perasaan berdebar-debarnya dengan meyakinkan dirinya bahwa dia masih memiliki tujuan lain yang lebih penting. Jauh lebih penting.
Ketika kemudian Jaka Wulung dan Braja Wikalpa pergi, Nyi Asih merasakan ada sesuatu yang kosong di dalam dadanya.
Pelan-pelan, air bening bergulir dari kedua sudut matanya. *****
JAKA Wulung dan Braja Wikalpa sengaja melalui jalan pinggir hutan sehingga tidak bertemu dengan banyak orang. Jaka Wulung masih merasa bahwa Braja Wikalpa bukan jenis orang yang cepat akrab. Terasa ada jarak di antara mereka. Mungkin karena usia mereka berbeda agak jauh.
Atau, mungkin karena Braja Wikalpa memang sebenarnya punya kedudukan tinggi"
Jaka Wulung mencoba memecah kesunyian, Ki Dulur sempat mengatakan sedang mencari Si Jari-Jari Pencabik"
Braja Wikalpa menghentikan langkah. Jaka Wulung pun melakukan hal yang sama.
Nah, kata Braja Wikalpa, inilah yang sejak tadi akan kukatakan kepadamu, Jaka. Aku sedang berkeliling di daerah selatan ini untuk mengajak para tokoh sakti hadir di Rajatapura. Ya, semula aku memang akan mengajak Si Jari-Jari Pencabik hadir di sana. Tapi, ternyata dia sudah tewas di tanganmu. Karena itulah, sekarang aku mengajakmu untuk hadir di sana.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Setahu dia, Rajatapura adalah sebuah tempat yang sangat istimewa dalam sejarah. Rajatapura adalah Ibu Kota Salakanagara, kerajaan paling tua di tanah Sunda. Memang sekarang negeri ini sudah lama lenyap, tapi namanya masih dikenang banyak orang. Ada apakah Ki Dulur mengajak para tokoh hadir di sana"
Braja Wikalpa terlihat agak ragu-ragu sejenak. Tapi, kemudian katanya, Akan ada sebuah pertemuan para tokoh sakti se-Tatar Sunda.
Kerutan di kening Jaka Wulung belum hilang. Begitulah tandanya kalau masih banyak pertanyaan di kepalanya. Pertemuan seperti apakah" Mengapa para tokoh sakti itu harus bertemu di suatu tempat" Dan mengapa tokoh sesat juga diundang untuk hadir"
Braja Wikalpa memandang Jaka Wulung, seakan-akan ingin mengukur seberapa dalam pengetahuan yang dimiliki pendekar muda belia ini. Dia menarik napas dalam sebelum menjawab, Yang pertama, tentu pertemuan itu akan menjadi ajang keakraban di antara kita. Mereka yang sudah lama tidak bertemu akan bisa melepas kerinduan. Mereka yang belum saling bertemu akan bisa saling mengenalkan diri. Selain itu, kalau bersedia, akan diadakan semacam lomba untuk menentukan siapa tokoh yang paling hebat saat ini.
Kali ini, giliran Jaka Wulung yang memandang wajah Braja Wikalpa untuk mengukur seberapa dalam kebenaran yang terkandung di dalam kata-katanya. Entah mengapa, Jaka Wulung merasa bahwa kata-kata Braja Wikalpa tidak mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Meskipun sulit dijelaskan, Jaka Wulung menduga Braja Wikalpa menyembunyikan sesuatu.
Apa sesungguhnya maksud Braja Wikalpa mengumpulkan para tokoh sakti di Tatar Sunda"
Siapa sebenarnya Braja Wikalpa"
Meskipun demikian, masih terselip rasa sangsi, Jaka Wulung mengangguk-angguk.
Kapan pertemuan itu akan dilaksanakan" tanya Jaka Wulung.
Tepat pada malam bulan purnama berikutnya. Tapi, kalau kau lebih cepat datang, tentu akan lebih baik.
Jaka Wulung mengangguk-angguk lagi. Tawaran Ki Dulur sangat menarik, katanya. Mudah-mudahan aku bisa datang ke sana pada saatnya. Tapi, aku masih punya tujuan yang lain lebih dulu. Aku harap urusanku akan cepat selesai. Jadi, aku bisa cepat mempertimbangkan apakah aku akan bisa hadir atau tidak di sana.
Urusan apa, kalau boleh tahu" Siapa tahu aku bisa membantu.
Jaka Wulung termangu-mangu sejenak karena masih sangsi. Dia belum bisa menyimpulkan apakah Braja Wikalpa tergolong orang yang bisa dipercaya atau sebaliknya. Karena itu, dia kemudian menggeleng. Hanya sedikit urusan pribadi, katanya.
Braja Wikalpa tampak kecewa. Dia tentu tidak tahu urusan apa yang membuat Jaka Wulung terkesan menolak ajakannya. Untuk bertanya apakah urusan itu kira-kira bisa selesai dalam waktu cepat, Braja Wikalpa merasa hal itu kurang pantas.
Kalau saja Jaka Wulung mau datang, pikir Braja Wikalpa, tentu kedatangan pendekar muda yang luar biasa ini dalam pertemuan berbagai tokoh silat di Rajatapura akan sangat semarak. Braja Wikalpa sudah melihat sendiri betapa hebatnya Jaka Wulung ketika menghadapi tokoh besar seperti Si Jari-Jari Pencabik, sesuatu yang mustahil bisa dia lakukan.
Akan tetapi, dengan cepat dia mencoba menghapus kekecewaan itu. Tidak mudah, tentu saja, mengajak seorang pengelana seperti Jaka Wulung untuk hadir dalam sebuah pertemuan seperti itu. Braja Wikalpa bisa melihat kesederhanaan pada diri Jaka Wulung. Meskipun demikian, Braja Wikalpa juga melihat setitik harapan bahwa Jaka Wulung akan datang pada saatnya.
Karena itu, Braja Wikalpa kemudian mengangguk-angguk seraya tersenyum maklum.
Tidak apa-apa, Jaka, ujar Braja Wikalpa. Kudoakan kau bisa cepat menyelesaikan urusanmu. Kalau kau bisa datang, carilah aku di lereng utara Gunung Karang.
Akan kuusahakan, sahut Jaka Wulung pendek.
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Jaka Wulung mengambil jalan agak menyerong ke barat daya. Dalam beberapa kejapan, Jaka Wulung sudah lenyap ditelan kerimbunan pepohonan.
Braja Wikalpa memandang hilangnya Jaka Wulung dengan kepala dipenuhi pertanyaan.[]
5 Pesona Putri Kandita LAUT membentang luas seakan tidak terbatas. Dari kejauhan, ombak berkejaran menuju pantai, lalu pecah ketika membentur deretan karang hitam. Matahari menggantung di langit barat, disaput awan sehingga cahayanya menjadi kemerahan, memantul di permukaan buih putih. Di kejauhan, pohon-pohon kelapa seperti pasukan yang siap bertempur melawan gelombang.
Jaka Wulung nyaris tidak berkedip menikmati pemandangan yang luar biasa itu. Dadanya hangat oleh rasa syukur kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Sunyi senyap alam sekitar.
Di sebuah tanah kering, beberapa puluh langkah dari bibir pantai, Jaka Wulung membuka bajunya, memperlihatkan tubuhnya yang ramping dengan kulit yang bersemu hitam seperti bambu wulung.
Ada yang mengentak-entak dalam dadanya semenjak pertempuran mautnya dengan Si Jari-Jari Pencabik, yang tidak bisa dia tahan-tahan lagi. Demikianlah, sambil memejamkan matanya, Jaka Wulung berusaha mengingat-ingat jurus-jurus yang pernah diperagakan Si Jari-Jari Pencabik. Jaka Wulung adalah pendekar belia yang memiliki kelebihan daya ingat luar biasa. Mungkin tidak semua jurus manusia iblis itu dia ingat, dan sebagian memang tidak hendak dia tiru, tetapi sebagian dia ingat dan akan dia terapkan dalam latihan kali ini.
Dia lakukan jurus-jurus yang sekiranya tidak berbenturan dengan segala ilmu yang telah dimilikinya. Dia serap jurus-jurus yang justru akan memperkuat ilmu miliknya. Inti ilmu Jari-Jari Naga Maut. Itulah yang coba diserap Jaka Wulung dari daya ingatnya yang luar biasa.
Jurus cakar harimau dari ilmu gulung maung-nya tentulah memiliki keterbatasan karena memang sifat harimau yang selalu ingin terus-menerus menyerang. Dipadu dengan Jari-Jari Naga Maut milik Si Jari-Jari Pencabik, maka ilmu gulung maung Jaka Wulung menjadi makin kaya, tidak hanya jurus menyerang, tapi juga jurus bertahan, dan bahkan jurus perangkap.
Demikianlah, menjelang sore, di sebuah titik di Pantai Selatan, Jaka Wulung sedang mulai memadukan dua ilmu dahsyat menjadi satu ilmu yang dahsyatnya berlipat.
Jaka Wulung selangkah lagi lebih maju daripada hari sebelumnya. *****
MATAHARI sudah tinggal sejengkal lagi tergelincir ke balik batas laut ketika Jaka Wulung menyelesaikan latihannya. Keringat membasahi tubuhnya yang telanjang. Angin sore menampar-nampar dan Jaka Wulung merasakan badannya menjadi kembali segar.
Jaka Wulung melangkah mendekati bibir laut. Dia membiarkan kaki telanjangnya melesak ke dalam pasir basah.
Sore yang sangat indah. Di pantai inilah, suatu saat pada masa lalu, seorang putri Kerajaan Pajajaran menceburkan dirinya ke dalam ganasnya ombak laut selatan, demi mengakhiri penderitaan.
Putri itu bernama Putri Kandita, gadis jelita yang baru berusia enam belas tahun, putri Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dari sang permaisuri. Selain cantik, sang putri juga arif dan bijaksana sehingga Sri Baduga berniat mencalonkan Putri Kandita sebagai penggantinya kelak. Tapi, tentu saja rencana sang prabu tidak disukai oleh para selir dan putraputrinya yang lain. Karena itu, mereka bersekongkol mengusir Putri Kandita dan ibunya dari istana.
Para selir dan putra-putrinya itu kemudian meminta bantuan seorang dukun sakti, yang menyihir Putri Kandita dan ibunya dengan penyakit kusta sehingga sekujur tubuh mereka yang semula mulus dan bersih menjadi penuh dengan luka borok dan mengeluarkan bau menjijikkan. Prabu Siliwangi heran melihat penyakit borok itu tiba-tiba menyerang putri dan permaisurinya secara bersamaan. Dia pun segera mengundang para tabib untuk mengobati penyakit tersebut. Tapi, tak seorang tabib pun yang mampu menyembuhkan penyakit Putri Kandita dan sang permaisuri. Sebaliknya, penyakit sang permaisuri semakin hari semakin parah dan menyebarkan bau busuk yang sangat menyengat. Tubuhnya pun semakin lemah karena tidak mau makan dan minum. Selang beberapa hari kemudian, sang permaisuri mengembuskan napas terakhirnya.
Kepergian sang permaisuri benar-benar meninggalkan luka yang sangat dalam bagi seluruh isi istana, khususnya Prabu Siliwangi. Sejak itu, dia selalu duduk termenung seorang diri. Satu-satunya harapan yang dapat mengobati kesedihannya adalah Putri Kandita. Tapi, harapan itu hanya tinggal harapan karena penyakit sang putri tak kunjung sembuh. Keadaan itu pun tidak disia-siakan oleh para selir dan putra-putrinya. Mereka bersepakat untuk menghasut Prabu Siliwangi agar segera mengusir Putri Kandita dari istana.
Jika sang putri dibiarkan terus tinggal di istana, kata mereka, dikhawatirkan penyakitnya akan membawa malapetaka bagi negeri ini.
Mulanya, Prabu Siliwangi merasa berat untuk menerima saran itu. Tapi, karena para selir terus mendesaknya, dengan berat hati sang prabu mengusir Putri Kandita dari istana. Dengan hati hancur, Putri Kandita pun meninggalkan istana melalui pintu belakang istana. Dia berjalan menuruti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan yang pasti.
Setelah berhari-hari berjalan, Putri Kandita tiba di Pantai Selatan. Putri Prabu Siliwangi yang malang itu bingung harus berjalan ke mana lagi. Di hadapannya terbentang samudra yang luas dan dalam. Tidak mungkin pula dia kembali ke istana.
Di sebuah batu karang, sang putri tertidur dan bermimpi bertemu dengan seseorang yang memberinya jalan keluar, yakni, jika ingin sembuh, sang putri harus mencebur ke lautan.
Ketika bangun, Putri Kandita tidak ragu lagi untuk menceburkan diri ke laut. Dan sungguh ajaib! Saat menyentuh air, seluruh tubuhnya yang dihinggapi penyakit kusta berangsur-angsur hilang hingga akhirnya kembali menjadi halus dan bersih seperti sediakala. Tidak hanya itu, sang putri menjadi sakti mandraguna.
Meskipun telah sembuh dari penyakitnya, Putri Kandita enggan untuk kembali ke istana. Dia lebih memilih untuk menetap dan menjadi penguasa di Pantai Selatan wilayah Pajajaran itu, dan dia terkenal dengan nama Nyimas Ratu Kidul.
Penduduk percaya bahwa Nyimas Ratu Kidul pada saat-saat tertentu menampakkan diri, terutama pada saat bulan purnama di bawah cuaca yang cerah.
Sayang sekali purnama sudah lewat, kata hati Jaka Wulung. Kalau saja dia lebih cepat datang ke sini, mungkin dia bisa bertemu dengan sang Putri yang menurut cerita tutur cantik jelita dan abadi dalam kemudaannya. *****
MATAHARI sudah berendam di balik cakrawala. Tinggal menyisakan sinar merah yang makin pudar. Bebintang bermunculan seperti kerjapkerjap orang yang baru saja bangun dari tidur. Ombak terus berdebur, menghantam-hantam bebatuan karang yang makin menghitam.
Tiba-tiba, Jaka Wulung menegakkan tubuhnya. Matanya memandang ke sebuah tonjolan batu karang yang menghitam, dengan latar belakang langit barat yang suram. Pada latar yang temaram itulah, mata Jaka Wulung menangkap sesuatu yang bergerak-gerak pelan, pada jarak sekitar dua puluh depa.
Bukan karang. Bukan tumbuhan. Bukan pula binatang. Itu adalah manusia!
Dan sesuatu yang bergerak-gerak itu pastilah rambutnya yang panjang tertiup angin laut.
Seorang perempuan! Kapan perempuan itu muncul di sana" Dari mana datangnya" Meskipun tidak terlalu jauh dari pantai, karang itu dikelilingi air laut. Kalau perempuan itu datang dari pantai, tentu Jaka Wulung akan mengetahui kedatangannya. Mungkinkah dia muncul dari laut"
Akan tetapi, kalau dia muncul dari kedalaman laut, mengapa dia kelihatan kering" Rambutnya, dan sebagian bajunya, mungkin selendangnya, terus berkibar ditiup angin.
Jaka Wulung berusaha keras mempertajam penglihatannya.
Perempuan itu, kelihatannya, masih sangat muda, mungkin seorang gadis. Meskipun masih samar-samar, makin kelihatan bahwa perempuan itu gadis itu memiliki tubuh yang ramping, dalam balutan busana baju dan celana panjang yang ringkas. Dan di bawah terpaan bintang-bintang, samar-samar tampak wajahnya ... sangat jelita!
Siapa gadis itu" Jaka Wulung berdebar-debar.
Mungkinkah dia Putri Kandita alias Nyimas Ratu Kidul"
Seperti tertarik oleh sebuah kekuatan yang tidak kasatmata, Jaka Wulung tanpa sadar melangkah mendekati perempuan itu. Matanya tidak lepas dari wajah Nyimas Ratu Kidul atau siapa pun dia. Selangkah demi selangkah, Jaka Wulung mendekati perempuan itu. Air laut mulai menjilati telapak kakinya, kemudian mata kakinya, pergelangan kakinya, lalu betisnya. Ujung celananya basah oleh buih. Lidah ombak mulai menghantamnya. Akan tetapi, Jaka Wulung terus melangkah maju.
Dia terus melangkah meskipun gelombang laut sudah merendam tubuhnya hingga sebatas dada.
Dia hanya terhenti sejenak ketika ombak menampar-nampar wajahnya dan menghalangi pandangannya.
Ketika ombak pecah dan menepi, barulah Jaka Wulung terkesiap. Perempuan itu sudah tidak ada di tempat semula.
Jaka Wulung celingukan mencari-cari. Tidak ada, ke mana pun dia melihat. Batu karang yang tadi menjadi tempat berdiri perempuan itu membisu. Hanya suara ombak yang tak henti berdebur-debur.
Apakah dia mengalami sebuah penglihatan" Apakah perempuan tadi hanya sekadar penampakan" Siapa dia" Nyimas Ratu Kidul" Mengapa dia menampakkan diri di hadapan Jaka Wulung"
Akan tetapi, sebelum semua pertanyaan itu terjawab, telinga Jaka Wulung mendengar suara tawa di antara deru debur ombak.
Suara tawa perempuan. Jaka Wulung menoleh dan membalikkan badan. Dia terkejut bukan main.
Perempuan itu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya, di pasir pantai.
Pada jarak yang tidak begitu jauh, kali ini jelas dalam pandangan Jaka Wulung, perempuan itu mengenakan celana dan baju hijau dari sutra yang memperlihatkan sebelah pundaknya. Pundak yang sebelah lagi tertutup oleh selendang putih. Rambutnya panjang, sebagian disanggul di pucuk kepalanya, berhias ikat kepala keemasan, dan sisanya tergerai hingga punggung, berkibar-kibar ditiup angin laut.
Wajahnya yang langsat seakan-akan memancarkan sinar. Matanya memandang lembut. Kedua ujung bibirnya melengkung memberikan senyum yang sempurna.
Sungguh kecantikan yang sangat memesona.
Jaka Wulung bisa saja menjadi patung selamanya kalau saja satu gelombang besar tidak menyeretnya ke tengah laut.
Jaka Wulung separuh tersadar, lalu menjejak dasar laut, melenting ke dalam pasir pantai, hinggap hanya tiga langkah di hadapan perempuan itu.
Giliran perempuan itu yang sekejap terkesiap melihat kemampuan Jaka Wulung meloncat dari kedalaman air laut sebatas dada seperti itu. Tapi, dengan cepat dia menyembunyikan kekagetannya, lalu kembali menyunggingkan senyumnya.
Pada jarak sedekat itu, wajah cantiknya bertambah memesona di mata Jaka Wulung.
Kau ... kau ... Putri Kandita" tanya Jaka Wulung.
Perempuan itu usianya memang tampak masih sangat muda, mungkin sekitar enam belas tahun, usia yang sama dengan ketika Putri Kandita terjun ke samudra demi mengakhiri deritanya tertawa ringan. Sangat renyah terdengar di telinga Jaka Wulung.
Nyimas Ratu Kidul" tanya Jaka Wulung lagi.
Jaka Wulung kembali seperti kehilangan akal sehat. Wajah jelita, busana berwarna hijau, tubuh ramping, dan kulit langsat yang terbuka di bagian pundak kanan, ditambah suasana remang yang sunyi, membawa Jaka Wulung terbang ke alam yang aneh. Alam yang membuat dadanya berdenyar oleh rasa hangat. Darah seperti menyembur ke sekujur tubuh.
Perempuan muda itu tertawa pelan, bibirnya sedikit membuka, memperlihatkan giginya yang seperti deretan mutiara.
Ya, aku memang Putri Kandita, sahut gadis itu. Bahkan, suaranya seperti berasal dari alam lain. Tapi, kau manusia, bukan siluman"
Tentu saja aku manusia, gadis yang menyebut dirinya Putri Kandita itu tersenyum menggoda. Mendekatlah. Kau bisa menyentuh tanganku.
Jaka Wulung mendekat, lagi-lagi seperti ditarik oleh sebuah kekuatan yang di luar nalar. Tidak ada lagi yang bisa didengar dan dilihat Jaka Wulung. Tak ada lagi kesiur angin dan debur ombak. Tak ada lagi pasir kelabu bibir pantai dan langit remang oleh bebintang. Yang ada hanyalah kata-kata sang putri dan sosok itu sendiri. Kata-kata yang merdu di telinga dan sosok jelita yang memesona.
Hanya ada Jaka Wulung dan Putri Kandita. Terlebih ketika digenggamnya telapak dan jemari lembut sang putri. Agak dingin dan basah, tapi memberikan bara yang menghangatkan seluruh rongga dada.
Siapa namamu" tanya sang Putri, sambil memandang Jaka Wulung langsung di mata.
Panggil saja aku Jaka. Jaka Wulung. Hening sekian hitungan.
Terasa ada entakan mendadak pada jemari di genggaman Jaka Wulung. Jemari itu pun kemudian terlepas.
Jaka Wulung terkejut oleh entakan tiba-tiba itu. Kenapa, Putri"
Perempuan yang mengaku bernama Putri Kandita itu dengan cepat menghapus keterkejutannya. Bibirnya lagi-lagi membentuk senyum yang sangat memikat. Jemarinya yang lepas segera mencekal jemari Jaka Wulung.
Kau ... Titisan Bujangga Manik"
Kali ini, giliran Jaka Wulung yang terkejut. Bagaimana mungkin seorang penguasa Laut Kidul pernah mendengar namanya" Meskipun demikian, Jaka Wulung merasa tidak perlu melepaskan pegangan sang gadis. Apakah manusia Laut Kidul mendengar nama tak berarti ini" Namamu sudah menyebar ke segala pelosok.
Termasuk ke Kerajaan Laut Kidul" Mungkin juga sampai Kerajaan Dasar Bumi. Jaka Wulung tertawa. Ah, itu berlebihan.
Sang jelita tidak menyahut, tetapi menyunggingkan senyumnya lagi, lalu perlahan menarik tangan Jaka Wulung.
Debur di dada Jaka Wulung jauh lebih dahsyat daripada debur ombak pantai Laut Kidul.
Jaka Wulung seperti melayang di alam nirwana ketika sebuah teriakan melengking, disusul satu tendangan keras, menerjang tubuh Jaka Wulung hingga terjengkang.
Kakang, dia hendak menggangguku! pekik gadis yang mengaku bernama Putri Kandita itu sambil menjatuhkan diri di dada si penerjang.[]
6 Sepasang Elang DI hadapan Jaka Wulung berdiri seorang lelaki muda. Kira-kira paling tinggi usianya delapan belas tahun. Wajahnya tampan, dadanya bidang, rambutnya tergerai hingga pundak. Baju dan celananya berwarna sama dengan perempuan yang mengaku bernama Putri Kandita, hijau, dan berbahan sama, sutra. Jelas bahwa pemuda ini senang menjaga penampilan.
Matanya tajam memandang Jaka Wulung yang masih terduduk di pasir.
Tangannya kini merangkul pundak si gadis. Si gadis membalas rangkulan itu dengan memeluk pinggang si pemuda erat-erat. Kepalanya dia sandarkan tepat di leher si pemuda. Si pemuda mencium rambut si gadis dengan mesra.
Mereka adalah sepasang kekasih. Berbusana warna sama. Tampan dan cantik. Pasangan yang sangat selaras.
Siapa dia" tanya si pemuda dengan wajah geram.
Entahlah, Kakang. Aku hendak mandi seraya bermain ombak ketika bocah ini tiba-tiba muncul entah dari mana. Dia mengintip dan pasti punya niat buruk. Benar saja, dia malah datang dan hendak ... ah, gadis itu bicara dengan sesenggukan, entahlah, apa yang terjadi kalau Kakang tidak muncul tepat pada waktunya. Gadis itu pun membenamkan wajahnya di rambut si pemuda.
Jaka Wulung terperangah mendengar kata-kata gadis yang tadi mengaku sebagai Putri Kandita alias Nyimas Ratu Kidul. Dia kini sepenuhnya sadar bahwa dia baru saja diperangkap oleh sebuah ilmu pengasihan, atau bahkan mungkin sihir, pada tingkat yang lumayan untuk ukuran gadis semuda itu. Untunglah si pemuda justru menendangnya dan membuyarkan rasa terpesonanya yang membuat Jaka Wulung sempat terbang menuju nirwana.
Dia juga terkejut dengan panggilan bocah yang mendadak terucap dari bibir gadis itu. Tapi, yang paling membuatnya terkejut, tentu saja adalah dusta yang dikatakan si gadis kepada si pemuda. Kini, dia yakin bahwa gadis itu adalah gadis biasa, bukan Putri Kandita.
Si pemuda menarik pedang panjang melengkung dari sarungnya di pinggang. Kau perlu mendapat pelajaran, Bocah!
Si gadis berbisik di telinga si pemuda, Hati-hati, Kakang. Tampaknya dia bukan bocah sembarangan. Dia mengaku sebagai titisan Bujangga Manik.
Si pemuda memandang si gadis, kemudian menatap Jaka Wulung. Keningnya berkerut menandakan sebuah rasa kaget yang menyentak. Benarkah" tanya si pemuda.
Dia mengaku begitu, si gadis mengulangi. Kau tadi bilang tidak tahu.
Hmmm ... tidak tahu yang sesungguhnya.
Si pemuda tertawa terbahak-bahak. Kebetulan sekali kalau begitu. Aku ingin menjajal apakah nama yang hebat ini pantas dia sandang.
Kita, Kakang, kata si gadis sambil melepaskan pelukannya, melemparkan mahkota buatan dari kepalanya, dan segera menghunus pedangnya yang berukuran lebih pendek dan ramping.
Kesadaran Jaka Wulung sudah pulih sepenuhnya. Terlebih ketika pasangan lelaki dan perempuan muda ini sudah mengambil tempat masing-masing pada satu sudut siku-siku. Si pemuda berada di hadapan Jaka Wulung, sedangkan si pemudi tepat di sebelah kiri.
Jaka Wulung segera ingat posisi yang seperti ini. Tidak salah lagi.
Dalam perkelahian di Bukit Sagara, gaya demikian berkali-kali dipertunjukkan oleh sepasang pendekar yang selalu tampil berdua. Sepasang pendekar yang justru sedang dicarinya.
Kalian pasti murid Sepasang Rajawali dari Pelabuhan Ratu, ucap Jaka Wulung. Pastilah keduanya mendengar nama Jaka Wulung dari guru mereka.
Baik si pemuda maupun si gadis sama-sama mengerutkan kening, kaget mendengar kata-kata Jaka Wulung.
Keduanya saling pandang beberapa jenak, seolah-olah hendak memastikan bahwa mereka tidak salah dengar, kemudian keduanya kembali memandang Jaka Wulung.
Kalau begitu, baguslah, kata si pemuda. Kami tidak perlu memperkenalkan diri. Tapi baiklah, mengikuti jalan guru-guru kami, kami menamakan diri kami Sepasang Elang dari Pelabuhan Ratu.


Jaka Wulung 2 Jurus Tanpa Nama di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun sudah menduga bahwa keduanya sepasang kekasih, atau mungkin sudah menjadi sepasang suami-istri, atau sejoli yang hidup bersama meskipun tanpa ikatan perkawinan, itu tidak penting, Jaka Wulung merasakan dadanya sakit oleh tingkah si perempuan. Berlagak seorang putri cantik yang anggun, memberinya kesempatan untuk memegang tangannya dengan senyum yang sangat menggoda, tapi kemudian menuduhnya telah berbuat tidak senonoh.
Akan tetapi, Jaka Wulung tidak sempat merasakan sakit hatinya lebih lama lagi karena Sepasang Elang itu dalam saat yang sama sudah menjulurkan pedang mereka. Tangan kiri sama-sama membentang sedikit ke atas, seperti sayap yang mengembang ketika burung elang siap menyambar mangsanya, sedangkan tangan kanan menusukkan pedang di tangan menuju sasaran masing-masing.
Pedang si Elang Jantan mengarah ke leher Jaka Wulung, sedangkan pedang si Elang Betina mengarah ke ulu hati.
Hiyaaa! Hiyaaaaa! Gerakan mereka cepat sekali, seperti elang raksasa yang siap menyambar anak ayam, disertai tenaga yang besar.
Untunglah, Jaka Wulung sudah pulih kesadarannya sehingga tidak akan mudah terjengkang seperti ketika terkena tendangan pertama si Elang Jantan.
Dengan gerakan sederhana, mundur setengah langkah dengan sudut empat puluh lima derajat ke kiri, Jaka Wulung menghindarkan diri dari dua serangan sekaligus. Tapi, tampaknya Sepasang Elang itu sudah bisa menebak bahwa Jaka Wulung akan menghindar seperti itu. Karena itu, dalam waktu bersamaan, mereka mengubah arah ujung pedang itu pada saat beberapa jengkal lagi sampai di sasaran. Perubahan arah itu sangat cepat, sampai-sampai menimbulkan bunyi seperti siulan.
Akan tetapi, Jaka Wulung juga bukan bocah sembarangan. Perubahan gerak seperti itu baginya sangat sederhana.
Itu adalah gerak ilmu yang mendasar.
Menghadapi cara menghindar Jaka Wulung, siapa pun akan melakukan perubahan gerak semacam itu. Karena itu, Jaka Wulung mencoba memancing dengan melakukan gerakan menghindar berikutnya yang juga mendasar, yaitu mengubah gerak mundur membentuk sudut siku-siku ke kanan.
Tampak kemudian bahwa Sepasang Elang itu terkejut melihat gerak menghindar Jaka Wulung yang sangat cepat. Mereka tidak sempat mengubah arah ujung pedang masing-masing. Si Elang Jantan menyadari lebih dulu dan mencoba mengubah arah pedangnya. Tapi, si Elang Betina terlambat menyadarinya. Pedangnya masih terjulur sehingga nyaris saja berbenturan dengan pedang si Elang Jantan.
Jaka Wulung melenting mengambil jarak, kemudian sudut bibirnya tersenyum.
Kalian belum saatnya menyandang nama Sepasang Elang, kata Jaka Wulung. Mungkin akan lebih tepat memakai lebih dulu nama Sepasang Merpati. Ah, terlampau manis. Yang lebih tepat adalah Sepasang Emprit.
Si pemuda, yang memang menyebut dirinya si Elang Jantan, menggeretakkan giginya menahan geram. Jangan sombong dulu, Bocah. Jaga mulutmu sebelum kami sobek bersama-sama!
Bulan muncul dari batas laut, menerpa segala pemandangan di depan Jaka Wulung. Ah, ya, pikirnya, bulan di langit timur, di belakangnya, pastilah sudah tidak lagi purnama, tapi cukup jelas untuk menerangi wajah-wajah Sepasang Elang itu. Keduanya memang tampan dan cantik, tapi, seperti guru mereka, ketampanan dan kecantikan mereka justru mereka pakai di jalan sesat, memenuhi nafsu sendiri, bukan jalan yang memberikan kebaikan bagi masyarakat.
Sementara itu, si Elang Betina, mengetahui bahwa sinar bulan sudah menerangi wajahnya, mencoba memberikan senyum memikat untuk menggoda Jaka Wulung. Meskipun masih dalam tataran yang rendah, kemampuan sihir si Elang Betina sangat didukung oleh wajahnya yang memang jelita. Tanpa kemampuan ilmu pengasihan pun, seorang perempuan cantik akan mampu menyihir orang lain, lebih-lebih kalau disokong oleh ilmu demikian meskipun hanya selapis tipis.
Itulah yang terjadi terhadap Jaka Wulung ketika tadi dia terpesona oleh si Elang Betina sehingga daya nalarnya tidak berlaku.
Dan, itulah yang coba dilakukan lagi oleh si Elang Betina sekarang. Jaka Wulung terpana.
Akan tetapi, hanya berlangsung dua-tiga kejapan. Setelah itu, Jaka Wulung sadar kembali, dan kemudian menguatkan batinnya dari serangan ilmu yang tidak kasatmata itu.
Kalau Jaka Wulung terlambat sekejap lagi saja, sudah pasti nyawanya akan terancam. Sebab, pada saat si Elang Betina melancarkan serangan tidak kasatmata itu, si Elang Jantan sudah meloncat dengan pedang yang kali ini diputarnya lebih dulu sebelum mengarah sasaran di pundak Jaka Wulung.
Jaka Wulung menunggu ujung pedang itu hingga sejengkal di depan tubuhnya, kemudian memiringkan tubuhnya ke kiri dengan gerakan sangat cepat dengan maksud lawannya tidak sempat lagi untuk mengubah arah gerakan. Dengan demikian, Jaka Wulung akan punya kesempatan untuk melancarkan serangan balik yang juga cepat.
Akan tetapi, sebelum Jaka Wulung menyerang si Elang Jantan, dari arah kiri terdengar siulan yang timbul dari lesatan pedang si Elang Betina. Jaka Wulung menahan serangan baliknya dan melirik sekilas ujung pedang si Elang Betina yang mengincar pinggangnya.
Jaka Wulung mundur menyerong selangkah lagi dan bersiap memapas dari samping lengan si Elang Betina. Tapi, belum sempat Jaka Wulung menyerang balik, ujung pedang si Elang Jantan sudah pula memberikan ancaman baru sehingga Jaka Wulung harus menahan gerakan serangan baliknya.
Begitulah, Sepasang Elang itu menyerang Jaka Wulung susul-menyusul tanpa jeda. Itulah jurus terkenal guru mereka, Lidah Ombak Menjilat Pantai. Tidak pernah berhenti, terus-menerus menerjang seperti ombak pantai Laut Kidul yang terus-terusan menghantam karang.
Pantas, Eyang Guru Bujangga Manik sempat mengingatkan Jaka Wulung, yakni bahwa melawan Pendekar Rajawali berhadapan satu-satu, Jaka Wulung mungkin saja bisa mengatasi. Tapi, melawan Sepasang Rajawali bersama-sama, Resi Bujangga Manik sangsi akan kemampuan muridnya.
Melawan muridnya saja, Jaka Wulung merasakan dahsyatnya ilmu mereka. Kalau sekadar menghindar, bukan sesuatu yang sulit bagi Jaka Wulung. Tapi, Jaka Wulung ingin memberikan pelajaran setimpal atas sakit hatinya dipermainkan si gadis. Hanya saja, sejauh ini dia mengalami kesulitan menembus pertahanan mereka yang berlapis-lapis. Mereka saling mendukung dan saling menutupi lubang pertahanan masing-masing.
Karena itu, pertempuran dua lawan satu itu terus berlangsung jurus demi jurus. Sepasang Elang itu tidak henti-hentinya mengancam titik-titik lemah si bocah. Lidah Ombak Menjilat Pantai sungguh bukan ilmu kosong. Mereka tidak hanya saling membantu, tapi juga saling menguatkan. Kalau diibaratkan dalam ilmu hitung, penjumlahan satu ilmu Elang Jantan dan satu ilmu Elang Betina tidak sama dengan dua ilmu, tetapi tiga ilmu.
Mereka tidak memberikan kesempatan bagi Jaka Wulung untuk sejenak pun bernapas. Si Elang Jantan geram karena menangkap basah Jaka Wulung dalam keadaan berdua. Dalam pikirannya, Jaka Wulung hendak merusak kehormatan sang kekasih, yang dikuatkan oleh pengakuan si Elang Betina sendiri. Kalau dia tidak segera datang, demikian menurut pikiran si Elang Jantan, tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi kepada si Elang Betina.
Si Elang Jantan dan si Elang Betina adalah sejoli yang saling mencinta. Begitulah, pikir si Elang Jantan, dan memang begitulah syarat bagi mereka agar bisa menjadi murid Sepasang Rajawali. Mereka harus sehati, tidak terpisahkan, sampai usia renta, sampai kematian menjemput mereka. Sehidup semati.
Oleh karena itu, si Elang Jantan menggempur Jaka Wulung dengan sepenuh kemampuannya.
Sementara itu, si Elang Betina kecewa bukan kepalang ketika ilmu pengasihannya, yang dia peroleh secara diam-diam dari gurunya si Rajawali Betina, tanpa setahu si Elang Jantan, gagal memerangkap Jaka Wulung. Dia pun melampiaskan kekecewaannya kepada si bocah melalui kemampuannya memainkan pedang jurus-jurus maut dari kedua gurunya.
Akan tetapi, yang mereka hadapi adalah Jaka Wulung, pendekar bocah istimewa yang sudah menyerap ilmu-ilmu dahsyat dari dua guru yang nyaris tiada duanya, Resi Darmakusumah dan Resi Bujangga Manik, ditambah kesaktian yang dia peroleh secara ajaib di Nusa Larang.
Sepasang Elang itu sama sekali tidak pernah bisa menyentuh tubuh Jaka Wulung. Lebih-lebih, ketika lama-kelamaan Jaka Wulung mulai jemu bermain-main dengan mereka. Pada suatu saat, dari tenggorokan Jaka Wulung mengalir gelombang suara, melewati mulut, menggetarkan lidah dan langit-langit, dan keluar dalam bentuk geraman dahsyat, seperti suara harimau ....
Grrrhhh! Kecepatan Jaka Wulung segera meningkat dua-tiga kali lipat. Dia meloncat-loncat dan menerjang dengan kecepatan yang sulit ditahan kedua lawannya. Lebih-lebih ketika di tangannya sudah tergenggam senjata andalannya, kudi hyang, senjata asli Tatar Sunda yang dalam perkembangannya menjadi kujang.
Setelah beberapa jurus, hanya berselisih sepersekian kejapan, terdengar denting beradunya kudi hyang di tangan Jaka Wulung dengan dua pedang andalan Sepasang Elang, menimbulkan percik cahaya yang sekilas menerangi tempat pertempuran.
Tring! Tring! Jaka Wulung meloncat mundur dan telapak kakinya hinggap di pasir tanpa suara. Senjatanya masih tergenggam erat di telapak tangannya.
Di hadapannya, Sepasang Elang hanya bisa saling pandang di antara mereka, kemudian menatap Jaka Wulung dengan wajah sama pucatnya. Mulut mereka sama-sama menganga.
Pedang mereka melenting jauh dan jatuh tanpa kedengaran suaranya, entah di mana.
Kalian masih mau melawan" tanya Jaka Wulung.
Wajah Sepasang Elang itu masih pucat pasi dengan mulut yang tetap menganga. Jaka Wulung tersenyum geli dalam hati. Dalam keadaan begitu, hilang sudah ketampanan dan kecantikan mereka, hanya menyisakan wajah-wajah yang dungu!
Kali ini, kalian benar-benar lebih pantas berjuluk Sepasang Emprit, seloroh Jaka Wulung.
Sepasang Elang itu hanya bisa menggeram penuh kemarahan, tapi mereka harus mengakui bahwa ternyata julukan Titisan Bujangga Manik bukan julukan kosong.
Kau mau bunuh kami" ucap si Elang Jantan akhirnya. Ayo, segera lakukan! Kalau tidak, kau akan menyesal.
Kenapa harus menyesal" Kalian akan segera berlatih keras untuk meningkatkan ilmu kalian, lalu mencariku untuk menuntut balas" Jaka Wulung menyeringai. Aku ke sini bukanlah hendak membunuh kalian.
Bahkan, bertempur pun jauh dari keinginanku. Bukankah kita hanya kebetulan bertemu di sini"
Kau benar-benar bocah sombong, kali ini si Elang Betina bicara.
Jaka Wulung memandang perempuan itu, lalu tersenyum mengejek. Ah, ya, Putri Kandita yang jelita, bukankah kau tadi menerapkan ilmu pengasihan, hendak menjebakku, dan setelah ketahuan, kemudian mengadu bahwa akulah yang hendak berbuat tidak senonoh kepadamu" Wajah si Elang Betina berubah cepat dari pucat menjadi merah gelap.
Si Elang Jantan memandang kekasihnya dengan kening berkerut. Kau ... benarkah"
Bohong! pekik si Elang Betina.
Pantas, tadi kelihatannya kau memperlihatkan sikap mesra untuk seorang gadis yang hendak di ....
Kakang! Kau percaya kata-katanya" Kau tidak percaya lagi kepadaku" Aku hanya ....
Jaka Wulung tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, seakan-akan menyaksikan adegan yang sangat menggelikan.
Sepasang Elang itu menoleh memandang Jaka Wulung.
Sudahlah, sudahlah! Nanti, kalian boleh bertengkar di padepokan kalian. Sekarang, antarkan aku ke sana, menghadap kedua guru kalian. Ada urusan apa kau mau menghadap guru kami" tanya si Elang Jantan.
Ada sedikit urusan yang perlu kami selesaikan. Tapi, kalian tak perlu tahu apa urusan di antara kami.
Kau memang sombong, Bocah. Kau hendak membalas dendam atas kematian gurumu"
Wajah Jaka Wulung berubah menjadi keras. Syukurlah, kau sudah tahu. Antarkan aku ke sana.
Si Elang Jantan tidak langsung menjawab. Kemudian, katanya, Kedua guru kami sedang tidak ada di tempat.
Jaka Wulung mengerutkan keningnya. Kau tidak berbohong" Ke mana mereka pergi"
Mereka tidak memberitahukan ke mana.
Jaka Wulung mengangguk-angguk. Apakah mereka menyebut-nyebut tempat bernama Rajatapura"
Dari mana kau tahu" si Elang Jantan kelepasan kata. Jaka Wulung menyeringai. Haaa, kau tahu, bukan"
Oh, mereka hanya menyebut mau ke sana, tapi tidak memberitahukan apa tujuan mereka.
Kenapa kalian tidak ikut dengan guru kalian ke sana" Bukankah di sana akan terjadi peristiwa yang sangat hebat"
Kami sebenarnya ingin ikut, tapi guru kami melarangnya.
Jaka Wulung kembali menyeringai. Baiklah, katanya. Terima kasih atas keterangan kalian.
Jaka Wulung mengenakan bajunya, kemudian menyimpan kudi hyangnya, mengambil kantongnya, dan membalikkan tubuh hendak pergi.
Tapi, tiba-tiba dia berbalik, mendekati si Elang Jantan, dan berkata setengah berbisik, pelan, tapi tentu saja masih terdengar oleh di Elang Betina yang berdiri tidak jauh dari si Elang Jantan, Ki Dulur, percayalah, tadi kekasihmu itu memakai ilmu pengasihan. Nah, selamat bertengkar.
Jaka Wulung berbalik dan membuat loncatan panjang, lalu lenyap di balik rerumpun semak belukar.
Tungguuu! teriak si Elang Jantan. Tapi, tak ada jawaban lagi.
Malam hening. Bulan merayap naik. Bulan yang tidak lagi purnama.[]
7 Ki Antaga DENGAN berpatokan pada bulan yang makin kecil dan rasi Gubuk Penceng di belahan langit selatan, Jaka Wulung bisa menentukan arah yang hendak dia tuju. Dari Pelabuhan Ratu, berdasarkan pengetahuan yang didapat dari penduduk sepanjang perjalanan, dia harus mengarah ke utara, sedikit menyerong ke barat.
Akan tetapi, entah bagaimana, tanpa disadarinya, bukannya ke utara menyerong ke barat, Jaka Wulung malah bergerak ke utara menyerong sedikit ke timur.
Pagi hari, dia tiba di sebuah kampung bernama Kalapa Nunggal.
Tanah Sunda adalah tanah dengan pemandangan yang sangat indah di mana-mana. Sungai-sungai, besar dan kecil, mengalir memberikan sumber kehidupan yang seakan tiada habis. Hutan menghijau seperti permadani raksasa yang ditebarkan Yang Mahakuasa. Gunung-gunung menjulang dan bukit-bukit memanjang, memberikan rasa aman dan kesejahteraan atas suburnya tanah.
The Hunger Games 3 Rahasia The Secret Karya Rhonda Byrne 3600 Detik 1

Cari Blog Ini