15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3
Sukra mengangguk. Dengan nada dalam iapun bertanya, "Bagaimana dengan kalian ?"
"Sebagaimana kau lihat, kami baik-baik saja Sukra."
"Dimana Ki Lurah Agung Sedayu ?"
"Ki Lurah masih berada di barak. Masih ada yang harus dilakukan di baraknya."
"Apakah perjalanan kalian ke Demak menyenangkan ?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Ya. Perjalanan yang menyenangkan."
"Jika saja aku dapat ikut."
"Lain kali kau akan mendapat kesempatan."
"Apakah lain kali masih ada Pangeran yang akan pergi ke Demak?"
Glagah Putih tertawa. Sekar Mirah dan Rara Wulanpun tertawa. Sambil melangkah mendekati anak itu, Sekar Mirah berkata, "Seandainya tidak ke Demak Sukra, mungkin kita bertugas ke Pati atau ke Kudus atau kemana saja."
Sukra menarik nafas panjang. Ia tahu bahwa Sekar Mirah hanya ingin menyenangkan hatinya. Namun Sukra tidak menyahut lagi. Bahkan kemudian Sukrapun melangkah keluar sambil berkata, "Aku masih belum selesai menimbun kayu."
Glagah Putih mengikuti Sukra beberapa langkah. Sampai diluar pintu iapun bertanya, "Bagaimana dengan latihan-latihanmu selama ini?"
"Nanti malam kita pergi ke Sanggar. Lihat, seberapa jauh ilmuku meningkat."
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil sekali lagi menepuk bahu anak itu, "Ya. Nanti malam kita pergi ke sanggar."
Glagah Putih melihat kesungguhan di mata anak itu, sehingga ia tidak ingin mengecewakannya.
Namun Glagah Putih, masih berkata lagi, "Tetapi setelah aku menghadap Ki Gede Menoreh."
Sukra mengangguk. Namun Sekar Mirah ternyata minta agar mereka menundanya sampai esok malam.
"Kita menunggu kesempatan kakang Agung Sedayu pergi menghadap bersama kita."
"Ya," Glagah Putih mengangguk. Tetapi ia tidak merasa perlu untuk menemui Sukra untuk membetulkan acara kepergiannya menghadap Ki Gede Menoreh.
Namun malam itu, sejak lewat senja, beberapa orang telah mendatangi rumah Glagah Putih. Anak-anak muda yang sudah agak lama tidak bertemu, yang mendengar berita bahwa Glagah Putih telah kembali bersama para prajurit dari Pasukan Khusus.
Tetapi diantara anak-anak muda yang datang itu tidak terdapat Prastawa.
"Bukankah Prastawa tidak apa-apa ?" bertanya Glagah Putih kepada salah seorang kawannya.
"Tidak. Aku tadi siang melihat Prastawa di bendungan bersama dua orang yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarganya."
"Siapa ?" "Kami belum pernah melihat sebelumnya. Yang kami tahu, namanya Soma dan Tumpak. Mereka datang bersama ayahnya, Ki Kapat Argajalu. Apakah kau pernah mendengar?"
Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, "Aku belum pernah mendengar nama itu."
Ketika anak-anak muda itu kemudian meninggalkan rumah Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Jayaragapun berkata kepada Glagah Putih. Ki Argajaya nampaknya mempunyai tiga orang tamu. Prastawa menjadi sibuk melayani tamu-tamunya. Agaknya tamu-tamunya minta Prastawa mengantar melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Sekar mirahpun bertanya, "Darimana Ki Jayaraga mengetahuinya ?"
"Anak-anak muda itulah yang mengatakannya. Tetapi aku memang pernah melihat Prastawa bersama tiga orang saudaranya itu. Saudara yang hubungan darahnya sudah tidak terlalu dekat lagi."
"Ki Jayaraga melihat mereka " Maksudku ketiga orang tamu Ki Argajaya itu ?"
"Aku tidak melihat wajah mereka. Ketika aku memperhatikan mereka di saat mereka lewat di dekat sawah kita, mereka sudah membelakangi aku, sehingga aku hanya melihat punggungnya saja."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang tidak begitu menghiraukan, karena ia tidak berkepentingan dengan tamu-tamu Ki Argajaya itu.
Malam itu, Glagah Putih menepati janjinya terhadap Sukra. Sebelum tengah malam, sedikit lewat wayah sepi uwong, keduanya telah berada di sanggar.
"Nah, aku ingin melihat kemajuan ilmumu Sukra."
"Kau harus bersikap jujur," berkata Sukra.
Glagah Putih tertawa. Namun Glagah Putih itupun bertanya, "Maksudmu ?"
"Kalau kau sepantasnya memuji, kau harus memuji. Tetapi jika seharusnya kau mencela, kau harus mencela. Tetapi dengan menunjukkan kekurangan-kekurangannya. Pada kesempatan lain, kau harus mengajari aku, menutup kekurangan-kekurangan itu."
"Kau jangan membujuk dengan cara yang licin itu. Tetapi sekarang, mulailah."
Sukrapun segera bersiap. Sejenak kemudian, maka Sukra itupun mulai berloncatan. Dikerahkannya kemampuannya untuk ditunjukkan kepada Glagah Putih.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata Sukra telah mendapatkan kemajuan yang pesat sekali. Niatnya yang bagaikan membara di dadanya, telah membuatnya bertekun.
Namun Glagah Putih juga melihat pengaruh unsur-unsur gerak dari Ki Jayaraga terselip di ilmunya yang sudah menjadi semakin tinggi.
"Tentu wajar sekali," berkata Glagah Putih di dalam hatinya, "Ki Jayaraga tidak akan sampai hati membiarkan anak itu selalu berlatih sendiri, sehingga kadang-kadang Ki Jayaraga akan bersedia menemaninya berlatih."
Lewat tengah malam, Sukra berhenti. Keringatnya membasahi pakaiannya, seperti baru saja kehujanan.
"Bagaimana pendapatmu, kakang ?" bertanya Sukra.
"Aku berkata sejujurnya," jawab Glagah Putih, "kau sudah mendapat banyak sekali kemajuan. Kau tentu juga sering berlatih dengan Ki Jayaraga, sehingga pengaruhnya nampak di dalam unsur-unsur gerakmu."
"Ya. Ki Jayaraga jika tidak pergi ke sawah, sering menunggun aku berlatih disanggar terbuka. Bahkan Ki Jayaraga sering bersedia menjadi kawan berlatih dan sekaligus memberikan petunjuk-petunjuk yang berarti."
"Sukra," berkata Glagah Putih, "kau mempunyai beberapa kelebihan. Tubuhmu ternyata terlalu besar bagi anak muda seumurmu. Kau yang masih terhitung remaja ditilik dari umurmu, wujudmu sudah lebih besar dan lebih tinggi dari anak-anak muda pada umumnya. Tenagamu besar sekali sementara kau memiliki ketrampilan yang tinggi."
"Kau berkata sejujurnya atau kau hanya sekedar ingin menyenangkan hatiku."
"Kau dapat menjawabnya sendiri. Lihat tubuhmu. Bandingkan dengan anak-anak sebayamu, yang sering bermain pliridan di kali. Sekarang seberapa besarnya mereka dibanding dengan tubuhmu."
Sukra mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, "Aku percaya. Tetapi tentang ilmuku, tentang tenagaku dan ketrampilanku."
"Aku sudah mengatakan, bahwa aku berkata sejujurnya. Karena itu, aku berpengharapan, bahwa kau akan dapat menjadi seorang anak muda yang berilmu tinggi."
"Terima kasih. Tetapi kepada siapa aku harus berguru. Kakang Glagah Putih jarang sekali berada di rumah."
"Kau dapat berlatih sendiri setelah aku tunjukkan dasar-dasarnya, arahnya dan cara yang harus kau tempuh. Kau minta saja Ki Jayaraga kadang-kadang membimbingmu jika aku tidak ada. Bukankah aku juga murid Ki Jayaraga ?"
Sukra itu mengangguk-angguk.
Namun Sukra itupun berkata, "Tamu kakang Prastawa juga seorang yang berilmu tinggi."
"Darimana kau tahu ?"
"Kemarin mereka bermain-main di lereng bukit."
"Kau pergi ke bukit ?"
"Kebetulan. Aku sedang mencari daun Pati-Urip. Ki Jayaraga sedang meramu obat.
"Kau cari daun Pati Urip sampai ke bukit " Bukankah di kebun kita sudah ada pohon Pati-Urip ?"
Sukra mengangguk. Katanya, "Ya. Tetapi Ki Jayaraga membutuhkan daun Pati Urip agak banyak, sehingga aku harus mencarinya ke bukit."
"Apa yang dilakukan oleh para tamu Ki Argajaya itu ?"
"Seorang yang tertua diantara mereka, memperagakan ilmu yang tinggi. Orang itu dapat menyemburkan api dari mulutnya, lidah api yang meluncur ke arah sasaran."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
"Segumpal batu padas di lereng bukit yang menjadi sasaran lidah api itu pecah berserakan."
"Apakah Prastawa berguru kepadanya ?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya melihat permainan itu di lereng bukit."
"Apakah mereka melihat kau disana waktu itu ?"
"Tidak. Mereka tidak memperhatikan aku sama sekali."
"Mereka tidak memperhatikan keberadaanmu atau mereka tidak tahu kalau kau ada disana pula waktu itu ?"
"Nampaknya mereka tidak tahu kalau ada orang yang memperhatikan mereka. Aku memang mengurungkan niatku untuk mencari daun Pati-Urip."
"Kau sudah mengatakan kepada Ki Jayaraga ?"
"Sudah." "Ki Jayaraga belum bercerita kepadaku."
"Mungkin Ki Jayaraga menunggu Ki Lurah Agung Sedayu."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi Glagah Putih memang tidak menaruh perhatian yang terlalu besar terhadap ceritera Sukra itu. Bagi Glagah Putih, peningkatan ilmu bagi Prastawa memang perlu sekali.
Dalam pada itu, beberapa saat kemudian, keduanya telah keluar dari sanggar. Setelah keringatnya kering, Sukrapun berkata. Aku akan pergi ke sungai."
"Untuk apa ?" "Mandi." "Kenapa harus ke sungai" Bukankah ada pakiwan " "
"Aku ingin melihat anak-anak membuka pliridan."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Kemudian iapun bertanya, "Jadi kau masih juga membuka pliridan."
Sukra tersenyum. Katanya, "Sekedar main-main bersama kawan-kawan."
"Terserah kamu," sahut Glagah Putih.
Sejenak kemudian, Sukrapun telah berlari kedalam gelap.
Ketika Glagah Putih masuk kedalam biliknya, tiba-tiba saja ia teringat kepada ceritera Sukra tentang Prastawa dan tamu-tamunya. Bahkan Glagah Putihpun telah menceriterakan pula kepada Rara Wulan yang sudah berbaring di pembaringannya.
"Siapakah tamu-tamu Ki Argajaya itu sebenarnya ?"
"Masih ada hubungan darah meskipun sudah agak jauh. Besok mungkin Prastawa akan datang menemui kita. Kita dapat bertanya kepadanya tentang tamu-tamunya itu."
"Apakah itu perlu " "
"Jadi?" "Prastawa akan dapat menjadi salah paham. Ia dapat mengira bahwa kami mencampuri persoalan di lingkungan keluarganya."
"Tetapi bukankah kita hanya bertanya tentang tamu-tamunya yang mengunjungi keluarganya " Bukankah itu wajar-wajar saja ?"
"Ya. Agaknya perasaan kita sendiri yang merasa aneh. Sebenarnya bukankah tidak ada persoalan apa-apa " Seandainya tamu-tamu Prastawa itu ingin menyombongkan dirinya dengan ilmunya, bukankah itu wajar-wajar pula ?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja iapun membaringkan dirinya sambil berkata, "Pokoknya sekarang tidur."
Pagi pagi sekali, seperti biasanya, sebelum Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan bertugas ke Demak, mereka sudah bangun. Merekapun segera melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Glagah Putih sudah berada di sumur untuk menimba air mengisi jambangan, sementara Sukra sibuk membersihkan kandang. Rara Wulan sibuk pula mencuci mangkuk dan perkakas dapur yang kotor, sedangkan Sekar Mirah mulai mempersiapkan membuat minuman sambil menanak nasi.
Di halaman depan terdengar derit sapu lidi. Ki Jayaraga seperti biasanya pula telah menyapu halaman.
Ketika Glagah Putih sedang sibuk mengisi jambangan, banyak semalam."
"Kau sekedar melihat anak-anak menutup pliridan, atau kau juga melakukannya ?"
"Sekali-sekali. Sayang pliridanku yang baik dan mapan di tempat yang baik pula. Bahkan anak Ki Sudagar yang kaya itu, ingin membeli pliridan itu"
"Membeli ?" Glagah Putih tertawa, "bukankah tepian sungai begitu panjangnya, sehingga siapapun dapat membuat pliridan sesuka hati."
"Tetapi sulit untuk mendapatkan tempat seperti pliridanku itu."
"Apakah sampai tua kau masih akan bermain-main dengan pliridan ?"
"Tetapi itu tidak penting."
"Apa yang penting ?"
"Prastawa." "Kenapa dengan Prastawa ?"
Sukra termangu-mangu sejenak. Nampaknya Sukra menjadi agak ragu. Namun iapun kemudian berkata, "Prastawa dengan dua orang tamunya yang muda semalam menyusuri sungai itu. Mereka nampaknya memperhatikan padukuhan induk ini di sebelah menyebelah sungai. Mereka mengamati beberapa pepohonan besar yang tumbuh di pinggir sungai. Lorong-lorong sempit yang turun ke sungai dari padukuhan disebelah menyebelah."
"Apakah kau belum pernah melihat Prastawa melakukan semua itu ?"
Sukra menggeleng. Katanya, "Baru sekali ini aku melihatnya."
"Mungkin karena ia sedang mendapat tamu. Agaknya tamunya itulah yang ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini di malam hari."
000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000
"Nampaknya banyak juga orang jahat di daerah Mataram ini."
"Ya. Tetapi kami merasa bersukur, bahwa korban yang jatuh terhitung sedikit. Yang lain, sebagian terbesar dari kami, masih tetap mendapat perlindungan."
"Ya. Ki Lurah memang harus bersukur."
"Ya Ki Jayaraga. Kamipun telah dapat menyelesaikan tugas kami sampai tuntas. Pangeran Puger telah sampai dan memangku jabatannya di Demak."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Jayaraga-pun berkata, "Selama Ki Lurah pergi, Tanah Perdikan ini telah mendapatkan tiga orang tamu."
"Tamu?" "Ya. Masih ada hubungan darah dengan Ki Argapati dan Ki Argajaya."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga telah menceritakan pula apa yang dilihat oleh Sukra di lereng bukit.
"Ketiga orang itu telah memamerkan kelebihannya kepada Prastawa."
"Sukra melihatnya ?"
"Ya. Dan Sukra bercerita kepadaku. Tetapi aku belum berceritera kepada Glagah Putih."
"Sukra tentu sudah berceritera kepadanya."
"Ya. Yang aku cemaskan, jangan-jangan Glagah Putih mengambil sikap sendiri sebelum Ki Lurah datang."
"Tetapi bukankah Glagah Putih tidak berbuat apa-apa" "
"Tidak." "Aku akan berbicara dengan Glagah Putih. Tetapi bukankah yang dilakukan oleh ketiga orang tamu itu masih wajar-wajar saja sehingga tidak perlu menimbulkan kecurigaan " Mungkin para tamu itu memang sedikit sombong tanpa maksud apa-apa. Mereka hanya ingin menunjukkan kelebihan mereka kepada Prastawa."
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan."
"Apakah Glagah Putih sudah tahu, bahwa ada tiga orang tamu yang masih terhitung keluarga Ki Argapati dan Ki Argajaya ?"
"Sudah. Kawan-kawannya juga sudah bercerita. Akupun sudah menyilakan kepadanya, kepada Nyi Lurah dan Rara Wulan. Yang belum aku katakan adalah ceritera Sukra yang melihat tamu-tamu itu memamerkan kelebihan mereka."
"Aku akan memanggil mereka. Aku akan minta Sukra bercerita tentang apa yang dilihatnya."
Sebentar kemudian, seisi rumah itu sudah berkumpul di ruang dalam. Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian minta Sukra untuk berceritera tentang ketiga orang tamu yang datang di Tanah Perdikan Menoreh, yang telah mempertunjukkan kelebihan-kelebihannya di lereng bukit.
Sukrapun segera berceritera. Tetapi tidak hanya pameran ilmu dan kemampuan di lereng bukit, tetapi juga apa yang dilihatnya semalam di sungai, pada saat ia menunggui wuwu yang telah dipasang di pliridannya.
"Terima kasih Sukra. Tetapi aku berpesan kepada kalian semuanya. Kita jangan mengambil kesimpulan apa-apa lebih dahulu. Kita anggap saja perbuatan itu wajar-wajar saja."
"Kakang," berkata Glagah Putih kemudian, "sampai saat ini Prastawa juga belum datang kemari. Mestinya ia tahu, bahwa aku sudah datang. Biasanya ia sering datang meskipun hanya sebentar. Sementara beberapa orang kawan yang lain telah datang semalam dan pagi tadi."
"Kita juga belum menghadap Ki Gede. Apakah kalian semalam sudah menghadap?"
"Belum kakang," Sekar Mirah menggeleng, "kami memang menunggu kakang untuk bersama-sama menghadap."
"Nanti malam kita akan menghadap. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dengan Prastawa dan ketiga orang tamu itu."
"Ketiganya bermalam di rumah Ki Argajaya, Ki Lurah," sahut Sukra.
"O. Itulah sebabnya Prastawa terikat kepada mereka. Aku kira mereka hanya sekedar ingin menunjukkan kepada Prastawa keberhasilan mereka tanpa maksud apa-apa."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Dengan demikian, maka seisi rumah itu memang tidak mengambil kesimpulan apa-apa tentang sikap dan tingkah laku ketiga orang tamu Ki Argajaya itu. Namun ketika Glagah Putih meninggalkan ruang dalam dan pergi ke belakang, Sukra mengikutinya sambil berkata, "Waktu para tamu itu memamerkan kelebihan mereka, Prastawa nampak terkagum-kagum. Mereka berbicara bersungguh-sungguh. Mereka menunjuk ke beberapa arah di Tanah Perdikan ini."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Bukankah kau dengar, bahwa menurut kakang, sikap itu tidak lebih dari sikap sombong. Tamu-tamu itu ingin menunjukkan kelebihan mereka. Itu saja."
"Ah tentu tidak hanya terbatas pada sikap sombong itu. Jika mereka memamerkan kelebihan mereka sampai ke puncak kemampuan mereka, agaknya mereka mempunyai maksud-maksud tertentu."
"Jangan berprasangka dahulu. Kita masih harus menunggu."
"Tetapi buat apa Prastawa semalam menelusuri sungai itu. Apa yang dicarinya ?"
"Tamu-tamunya ingin melihat sungai di Tanah Perdikan ini di waktu malam."
Sukra memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun sambil tertawa Glagah Putih menepuk bahu anak itu, "Jangan gelisah. Mudah-mudahan nanti malam aku bertemu dengan Prastawa. Ia tentu akan berceritera kepadaku, apa saja yang telah dilakukannya. Ia tentu juga akan berceritera tentang ketiga orang tamunya itu."
Malam itu, seperti yang direncanakan, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan, memerlukan menghadap Ki Gede Menoreh. Pimpinan Tanah Perdikan Menoreh yang sudah menjadi semakin tua. Ketuaannya itu mau tidak mau sangat mempengaruhi unsur kewadagannya."
Seperti yang diharapkan, ketika mereka memasuki regol halaman rumah Ki Gede, maka mereka melihat beberapa orang duduk di pringgitan. Diantara mereka adalah Prastawa dan dua orang yang masih terhitung muda di temui oleh Ki Gede Menoreh.
Ki Gede yang melihat Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan segera bangkit dan menyongsong mereka sampai di tangga.
"Marilah Ki Lurah," Ki Gede itupun mempersilahkan. Sementara itu Prastawa dan kedua orang yang lainpun telah bangkit pula. Seperti Ki Gede merekapun menyongsong sampai ke tangga.
"Terima kasih Ki Gede," sahut Ki Lurah Agung Sedayu.
Namun yang mengejutkan adalah sikap Prastawa. Seperti Ki Gede pun mempersilahkan tamu-tamu itu naik. Tetapi Prastawa sendiri kemudian justru berkata, "Marilah, Ki Lurah. Silahkan naik. Aku tadi sudah minta diri. Maaf, bahwa kami tidak dapat ikut menemui Ki Lurah dan yang lain."
"Kakang Prastawa," berkata Glagah Putih kemudian. "kau akan kemana " Sudah lama kita tidak bertemu."
Prastawa memaksa diri untuk tersenyum. Katanya, "Maaf Glagah Putih. Aku sudah terlanjur berjanji untuk pergi ke padukuhan Sambisari."
"Ada apa " Biarlah nanti aku ikut."
"Kau tentu masih letih. Biarlah kami pergi bertiga. Kedua orang ini adalah saudara-saudaraku yang sudah lama tidak bertemu, yang sekarang sedang mengunjungi keluarga Tanah Perdikan ini."
Glagah Putih terdiam, sementara Ki Gede berkata, "Sebaiknya kalian duduk dahulu sebentar. Dengarlah cerita Ki Lurah yang baru pulang dari perjalanannya."
"Kemana ?" bertanya Soma yang kebetulan berada di rumah Ki Gede.
"Ke Demak. Mereka adalah Ki Lurah Agung Sedayu dan keluarganya."
"O. Jadi inilah mereka itu."
"Ya," Prastawa mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, Soma hampir tidak berkedip memandang Rara Wulan yang mengenakan pakaian sewajarnya sebagai seorang perempuan. Bajunya lurik hijau pupus, sedang kainnya juga lurik, hijau daun.
"Ternyata perempuan ini cantik sekali," berkata Soma di dalam hatinya.
Sikap Prastawa dan kedua orang saudaranya itu memang menimbulkan berbagai pertanyaan di hati Ki Lurah Agung Sedayu serta keluarganya. Apalagi Glagah Putih yang sudah mendengar cerita tentang Prastawa dan orang-orang yang disebut saudara-saudaranya yang sedang berkunjung itu.
Prastawa ternyata tidak dapat dicegah lagi. Ia benar-benar meninggalkan rumah Ki Gede tanpa memperkenalkan kedua orang saudaranya itu kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan keluarganya.
Ki Gede Menoreh menarik nafas panjang. Namun iapun membiarkan saja Prastawa dan kedua orang saudaranya itu pergi. Ketika keduanya minta diri, maka Ki Gede justru langsung menjawab, "Baik. Silahkan."
Ki Lurah Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Ia merasakan nada yang sumbang dari jawaban Ki Gede terhadap kedua orang yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga penguasa di Tanah Perdikan Menoreh itu.
Sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dan keluarganya itu sudah duduk di pringgitan ditemui oleh Ki Gede Menoreh yang nampak gembira menerima kedatangan mereka.
Ki Lurah Agung Sedayu telah menceriterakan perjalanannya ke Demak dari awal sampai akhir. Sekali-sekali diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan Ki Gede Menoreh, yang kadang-kadang menjadi tegang mendengarkan ceritera Ki Lurah Agung Sedayu.
"Kami bersukur, bahwa kami telah dapat menyelesaikan tugas kami dengan selamat sehingga tuntas."
"Perjalanan yang mendebarkan," desis Ki Gede sambil mengangguk-angguk, "tetapi Yang Maha Agung telah melindungi perjalanan Ki Lurah."
"Ya, Ki Gede. Sementara itu, bukankah Tanah Perdikan ini baik baik saja selama kami pergi?"
"Ya," Ki Gede mengangguk-angguk, "semuanya berjalan wajar. Selama ini aku sering berhubungan dengan Ki Jayaraga jika aku memerlukan kawan berbincang. Maksudku, kawan yang umurnya tidak terpaut banyak dari umurku."
"Ki Jayaraga juga mengatakan, Ki Gede."
"Selain itu, barangkali perlu kau ketahui, bahwa dua orang yang pergi bersama Prastawa itu adalah anak-anak dari seorang yang masih mempunyai hubungan darah dengan aku dan Argajaya. Sudah lama sekali kami tidak bertemu. Ia datang untuk mempertautkan hubungan diantara kami."
"Prastawa tidak memperkenalkan mereka kepada kami. Tetapi justru dibawanya mereka pergi."
Ki Gede menarik nafas panjang. Dengan nada dalam iapun berkata, "Ada sesuatu yang tidak aku mengerti dengan sikap Prastawa akhir-akhir ini. Anak itu nampaknya terlalu sibuk dengan tamu-tamunya. Soma dan Tumpak."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih nampak menjadi gelisah.
Tetapi Glagah Putih tidak mengatakan apa-apa. Meskipun sebenarnya ia ingin bertanya, apakah Ki Gede Menoreh sudah mengetahui, apa saja yang dilakukan oleh ketiga orang tamu itu bersama-sama dengan Prastawa.
Malam itu, Agung Sedayu dan keluarganya berada di rumah Ki Gede sampai wayah sepi bocah. Keempat orang itupun kemudian minta diri setelah terasa angin malam yang dingin berhembus mengusap tubuh mereka.
"Begitu tergesa-gesa," berkata Ki Gede.
"Sudah malam, Ki Gede. Ki Gede tentu akan segera beristirahat."
"Kalianlah yang tentu masih letih. Baru kemarin, bahkan Ki Lurah baru hari ini pulang."
"Aku juga pulang kemarin, Ki Gede. Tetapi aku terhenti di barak."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Baiklah. Terima kasih atas kunjungan kalian."
Namun ketika Ki Gede itu mengantar mereka menuruni tangga, iapun berdesis perlahan, "Tolong, mungkin angger Glagah Putih dapat mencari keterangan, apa saja yang dilakukan oleh Prastawa akhir-akhir ini bersama Soma dan Tumpak. Terus terang. Aku tidak begitu menyukai tamu-tamuku itu. Ayah Soma dan Tumpak itu bernama Ki Kapat Argajalu. Nampaknya ia datang tidak sekedar ingin menyambung hubungan keluarga yang hampir terputus. Tetapi setiap kali ia mengungkit keterlibatan kakeknya saat tanah ini mulai tumbuh sehingga akhirnya menjadi Tanah Perdikan Menoreh. Kapatpun beberapa kali bertanya tentang Pandan Wangi dan tentang suaminya, yang menurut Ki Kapat, hanyalah anak seorang Demang saja."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Ki Gede. Aku akan mencobanya."
"Terima kasih, ngger. Aku minta maaf bahwa aku telah melibatkan kau dalam persoalan yang agaknya berkisar pada keluargaku saja."
"Tidak apa-apa Ki Gede. Bukankah sudah menjadi kewajibanku untuk membantu Ki Gede. Didalam batas kemampuanku, aku akan melakukannya Ki Gede."
"Terima kasih ngger. Mudah-mudahan tidak ada masalah apa-apa. Mungkin justru jantungkulah yang berbulu sehingga aku sempat berprasangka buruk."
"Aku akan mencari keterangan Ki Gede. Mudah-mudahan memang tidak ada apa-apa."
Demikianlah, maka sejenak kemudian keempat orang itupun meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Menoreh, menyusuri jalan padukuhan induk yang gelap.
Namun disana-sini, di beberapa regol halaman terdapat lampu obor yang menyala.
Disepanjang jalan pulang, mereka berempat masih juga berbicara tentang sikap Prastawa yang berubah. Bahkan Ki Gede Menorehpun menyatakan bahwa ia tidak dapat mengerti sikap Prastawa pada saat-saat terakhir.
"Tetapi kau harus berhati-hati, Glagah Putih. Nampaknya tamu-tamu Prastawa yang telah memamerkan ilmunya kepada Prastawa itu memang orang-orang yang sombong. Yang dengan sengaja ingin memperlihatkan kelebihan mereka. Jika mereka mempunyai alasan betapapun kecilnya, mereka tentu akan memanfaatkannya untuk memamerkan tingkat kemampuannya yang tinggi itu. Karena itu, jangan mudah terpancing Glagah Putih. Jika perselisihan itu terjadi mereka akan merasa berhasil. Umpannya termakan."
Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, "Ya, kakang."
"Kau juga masih terhitung muda, sehingga darahmu masih mudah disulut oleh sikap yang kau rasa menyinggung perasaanmu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, kakang."
"Kau memang dapat bertanya kepada seseorang. Tetapi kau harus memilih. Mungkin orang itu adalah orang yang ikut berkepentingan dengan sikap Prastawa itu.
"Aku mengerti, kakang."
Pembicaraan tentang Prastawa memang tidak ada putusnya. Bahkan setelah mereka berada di rumah, mereka masih saja memperbincangkan sikap Prastawa dihubungkan dengan ceritera Sukra.
Bahkan Ki Jayaraga telah ikut pula berbincang tentang Prastawa.
Baru menjelang tengah malam mereka berhenti berbincang. Merekapun kemudian telah pergi ke bilik mereka masing-masing.
Tetapi Ki Jayaraga justru mengambil cangkulnya dan dimalam yang gelap itu, Ki Jayaraga pergi ke sawah untuk menelusuri air.
Ternyata bukan hanya Ki Jayaraga sajalah yang pergi keluar. Sukrapun telah pergi ke sungai pula untuk melihat anak-anak yang lebih kecil dari dirinya, menutup pliridan di tengah malam. Sukra sendiri malam itu tidak ingin menutup pliridannya meskipun ia sempat membukanya di sore hari. Ia ingin membiarkan anak-anak yang berada di sungai untuk menutup, mengambil ikannya dan membagi diantara mereka.
Demikian Sukra turun ke sungai, maka dilihatnya anak-anak yang sedang sibuk menutup pliridan. Dengan lantang ia pun berkata, "He, siapa yang mau menutup pliridanku."
Anak-anak itu berpaling kepadanya. Seorang diantara mereka berteriak, "Aku kang Sukra."
Tetapi anak yang lainpun berteriak pula sambil bergeser mendekat, "Aku, kang."
Ternyata ada beberapa orang anak yang menyatakan kesediaannya untuk membuka pliridan itu. Sehingga akhirnya Sukra berkata, "Kalian tutup saja bersama-sama."
"Tetapi siapakah yang berhak memasang wuwu ?"
"Hanya ada satu wuwu. Kalian akan membagi ikan yang berada di wuwu. Sedangkan mereka yang menangkap langsung ikan yang berada di dalam pliridan itu, dapat memilikinya."
Anak-anak itu saling berpandangan. Satu dua diantara merekapun berbisik. Kemudian beberapa orang diantara mereka berteriak, "Baik, kang Sukra. Kami akan menutup pliridanmu."
Sejenak kemudian, anak-anak itupun sibuk menutup pliridan Sukra. Mereka memang hanya memasang satu wuwu.
Dalam pada itu, Sukra yang berada diantara anak-anak itu melihat tiga orang menuruni tebing yang landai di pinggir sungai itu. Iapun segera dapat mengenali, bahwa seorang diantara mereka adalah Prastawa. Sedangkan keduanya tentu saudaranya yang datang dari jauh itu.
Sukra sengaja tidak memperlihatkan dirinya. Ia masih saja berada diantara anak-anak yang sibuk dengan pliridannya.
Ketika Prastawa dan kedua orang itu lewat di dekat anak-anak yang sibuk itu, Prastawapun bertanya, "Apa yang kalian lakukan disini malam-malam begini ?"
Anak-anak itupun sudah mengenal Prastawa. Karena itu, seorang diantara mereka menjawab, "Kami sedang menutup pliridan kang Sukra."
"Dimana Sukra sekarang."
"Aku disini, kakang," jawab Sukra sambil berdiri.
Tiba-tiba saja Prastawa meraih leher bajunya dan menariknya, "Kenapa malam-malam kau disini, he ?"
"Menutup pliridan, kakang Prastawa," jawab Sukra.
"Itu pekerjaan anak-anak. Bukan pekerjaanmu."
"Pliridan ini adalah pliridanku, kakang. Tetapi aku biarkan anak-anak itu menutupnya."
"Kau jangan membohongi aku, Sukra. Siapa yang menyuruhmu malam-malam begini disini. Apakah kau sengaja mengintai aku ?"
"Untuk apa aku mengintai kakang Prastawa. Aku hampir setiap malam memang ada disini."
Prastawa melepaskan baju Sukra sambil menggeram, "Kau jangan mencoba mengintai aku. Aku sedang menjalankan tugasku."
"Kakang Prastawa. Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan kakang Prastawa. Karena itu, untuk apa aku melakukannya."
"Marilah kita pergi," berkata Prastawa kepada Soma dan Tumpak.
Tetapi ternyata Tumpak berpendirian lain. Ia justru melangkah mendekati Sukra sambil bergumam, "Anak ini harus sedikit mendapat peringatan."
"Sudahlah kakang," Prastawa mencoba mencegahnya, "marilah, kita pergi."
Tetapi Tumpak seakan-akan tidak mendengarnya. Tumpaklah yang kemudian mencengkram baju Sukra sambil menggeram, "Lain kali kau tidak boleh mengintai kami lagi, kau dengar ?"
"Aku tidak berniat mengintai siapa-siapa. Bertanyalah kepada anak-anak ini, bahwa aku hampir setiap malam ada disini."
"Kau kira aku mempercayaimu dan dapat mempercayai anak anak yang berada di bawah pengaruhmu itu."
"Sungguh." "Kau mau mengaku atau tidak ?"
Sebelum Sukra menjawab, tiba-tiba Tumpak sudah menampar wajahnya.
Sukra menyeringai kesakitan. Namun Tumpak justru mengulanginya lagi.
"Sudahlah, kakang Tumpak. Jangan lakukan lagi. Anak itu tinggal bersama Ki Lurah Agung Sedayu."
"Apa katamu di " " justru Somalah yang bertanya.
"Anak itu tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu."
"Jika demikian ia tinggal bersama Glagah Putih dan isterinya itu."
"Ya." "Bagus. Anak itu memang perlu mendapat peringatan yang agak keras. Nanti aku yang akan menyerahkan anak itu kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih di rumahnya."
"Jangan kakang. Mereka adalah orang-orang pilihan."
Soma tertawa. Katanya, "Aku akan melihat, bagaimana mereka marah."
Soma tidak menghiraukan lagi Prastawa. Kepada Tumpak, Soma itupun berkata, "Lemparkan anak itu kemari."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tumpakpun kemudian melemparkan Sukra kepada kakaknya, Soma.
Soma segera menangkap tangan Sukra. Dengan sekali putar, Sukra itu terpelanting jatuh, bahkan tubuhnya berguling ke dalam air.
Bagaimanapun juga, Sukra tidak mau membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu. Dengan tangkasnya ia meloncat bangkit sambil berkata, "Aku tidak merasa bersalah. Kalian tidak dapat memperlakukan aku seperti ini."
"Kau mau apa " " geram Soma.
"Aku berhak melindungi diriku sendiri."
Soma tertawa. Selangkah demi selangkah ia mendekati Sukra. Katanya, "Apa yang dapat kau lakukan ?"
Sukra tidak menjawab. Tetapi ia bertekad untuk melawan apapun yang terjadi.
Ketika Soma menjadi semakin dekat, Sukrapun benar-benar telah bersiap menghadapinya.
Sikap Sukra itu sangat menjengkelkan Soma, sehingga iapun menjadi semakin marah.
Karena itu, maka sambil meloncat tangan Somapun terayun ke arah kening Sukra.
Tetapi Sukra tidak membiarkan keningnya disambar tangan Soma. Dengan sigapnya ia mengelak dengan merendahkan dirinya.
Tetapi Sukra tidak menduga sama sekali, bahwa tiba-tiba saja Soma itu berputar. Kakinyalah yang kemudian terayun ke wajah Sukra. Sukra tidak sempat mengelak lagi. Kaki Soma itu benar-benar mengenai wajah Sukra, sehingga Sukra itupun terpelanting jatuh ke dalam air.
Sukra mengaduh kesakitan. Tetapi iapun segera bangkit pula. Bahkan ketika Soma datang mendekatinya, Sukralah yang meloncat menyerang dengan kakinya yang terjulur menyamping.
Tetapi dengan cepat, Soma justru menangkap pergelangan kaki Sukra. Ketika kaki itu diputar, maka Sukrapun bagaikan dibanting dengan kerasnya. Untunglah bahwa ia jatuh di tepian berpasir sehingga punggungnya tidak menjadi patah.
"Kau telah melakukan kesalahan yang tidak dapat diampuni," geram Soma, "kau sudah mengintip kami bertiga. Kemudian kau telah mencoba melawan kami. Sementara itu kautahu, bahwa adi Prastawa adalah putera Ki Argajaya. Ia termasuk salah seorang calon Kepala Tanah Predikan di Menoreh."
Tetapi Sukra masih belum berhasil berdiri tegak karena tulang-tulangnya yang terasa sakit. Namun Sukra tidak membiarkan dirinya tergolek di pasir tepian. Dengan susah payah, akhirnya Sukrapun telah berdiri tegak.
Tetapi Soma, seorang Putut yang memiliki kemampuan yang tinggi itu memang bukan lawan Sukra. Karena itu, Sukra tidak berhasil melindungi wajahnya yang menjadi sasaran pukulan Soma yang bertubi-tubi.
"Sudahlah, kakang," Prastawa berusaha untuk mencegahnya. Tetapi Soma seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian iapun berkata kepada anak-anak yang melihat dengan ketakutan, "Siapa yang berani melaporkan peristiwa ini, akan aku bunuh dan mayatnya akan aku lemparkan ke pinggir hutan untuk dimakan binatang buas."
Anak-anak itu memang menjadi ketakutan.
"Pulang. Sekarang kalian pulang. Tetapi ingat, kalian harus langsung pulang."
Demikian anak-anak itu menghambur pergi, Somapun berkata, ":Mari, kita antar anak ini pulang. Jangan takut kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Jika mereka marah, maka untuk seterusnya mereka tidak akan mengganggu Tanah Perdikan ini lagi. Mereka tidak akan dapat menghalangi langkah adi menuju ke puncak kekuasaan."
"Apa yang akan kakang lakukan ?"
"Jika mereka marah, kami akan melayaninya sesuai dengan cara yang akan mereka pilih."
Namun Somapun kemudian berbisik di telinga Prastawa, "Aku juga ingin bertemu dengan perempuan yang bernama Rara Wulan."
"Kakang jangan meremehkan mereka."
Jangan takut. Jika aku gagal, ayah akan menyelesaikannya.
Tidak seorangpun di Mataram, Pajang, Demak, Pati dan bang Wetan dapat mengimbangi kemampuan ayah. Dengan diam-diam ayah menyerap ilmu yang tidak dimengerti oleh siapapun, karena salah seorang guru ayah adalah jin bermata tiga."
"Jin bermata tiga ?"
" Ya. Namanya Kiai Landep."
Prastawa menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, Tetapi sebaiknya kita tidak pergi ke rumah Ki Lurah malam ini. Kita akan berbicara besok. Kita akan memberikan alasan, kenapa kita memperlakukan anak itu seperti ini."
"Tidak. Lebih baik kita pergi ke rumahnya. Bukan Agung Sedayu dan Glagah Putih yang pergi menemui kita. Aku memang mempunyai kepentingan yang lain."
Prastawa tidak dapat mencegahnya lagi. Somapun kemudian mendekati Sukra yang terduduk dengan lemahnya. Ditariknya rambutnya yang sudah tidak tertutup oleh ikat kepalanya yang terlepas.
"Bangkit. Kami akan mengantarmu pulang. Kami justru ingin melihat Ki Lurah Agung Sedayu itu marah. Apa yang dapat dilakukannya dalam kemarahannya."
Sukra yang ditarik rambutnya terpaksa berusaha bangkit berdiri meskipun tubuhnya terasa sangat lemah. Kemudian Soma telah mendorongnya agar anak itu berjalan naik tebing yang landai.
Dengan tertatih-tatih Sukra berjalan pulang. Untunglah bahwa tubuh Sukra terlatih dengan baik. Daya tahannyapun sudah menjadi semakin tinggi, sehingga meskipun sambil berdesis menahan sakit, ia mampu berjalan pulang.
Soma, Tumpak dan Prastawa mengikuti di belakangnya. Tidak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang lorong yang gelap itu. Namun terasa pada getar suara Prastawa yang menjadi cemas.
Beberapa saat kemudian, merekapun telah memasuki halaman rumah Agung Sedayu yang nampak sepi. Agaknya semua sudah tertidur nyenyak.
Tumpaklah yang kemudian naik ke pendapa dan dengan serta merta mengetuk pintu pringgitan dengan kerasnya.
Ketukan itu memang sangat mengejutkan, sehingga seisi rumah itupun segera terbangun.
Ki Lurah Agung Sedayu segera bangkit dan keluar dari biliknya, diikuti oleh Sekar Mirah. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Siapa di luar " " bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
"Kau masih juga bertanya, siapa yang diluar " " Tumpak justru bertanya.
Glagah Putih nampaknya tidak sabar. Namun ketika ia melangkah ke pintu, Ki Lurah Agung Sedayu sudah berada di depan pintu. Tetapi Ki Lurah masih bertanya pula, "Siapa di luar ?"
"Aku. Tumpak." Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih berdesis, "Salah seorang dari tamu Prastawa itu."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian meraih selarak pintu dan mengangkatnya.
Demikian pintu terbuka, Ki Lurah Agung Sedayu dan orang-orang yang berada di ruang dalam itu terkejut. Sukra yang wajahnya nampak lebab kebiru-biruan telah didorong masuk. Hampir saja Sukra jatuh tertelungkup. Untunglah, bahwa Glagah Putih dengan cepat menangkapnya.
"Ada apa " " bertanya Ki Lurah Agung Sedayu dengan serta merta.
"Anak itu. Ajari anak itu unggah-ungguh."
"Apa yang telah dilakukan ?"
"Bertanyalah kepada Prastawa."
Prastawa sendiri terkejut. Ia tidak mengira bahwa di hadapan Ki Lurah Agung Sedayu, ia harus memberikan alasan, kenapa wajah Sukra menjadi lebam.
"Kenapa Prastawa ?" bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak.
"Telah terjadi salah paham, Ki Lurah," berkata Prastawa kemudian.
"Salah paham bagaimana ?"
Kakang Soma dan kakang Tumpak semula tidak tahu, bahwa Sukra adalah anak yang ikut Ki Lurah di rumah ini."
"Ada apa dengan Sukra ?"
"Aku tidak tahu, apakah disengaja atau tidak, Sukra rasa-rasanya seperti sedang memata-matai kami. Karena itu, mula-mula aku mencoba untuk memperingatkan. Tetapi anak itu justru bersikap menantang. Kakang Soma yang tidak mengenalinya, tidak dapat menahan diri."
"Lalu apa yang dilakukannya atas anak ini ?" bertanya Glagah Putih dengan nada tinggi.
"Kakang Soma memang telah memukulnya. Tetapi Sukra memang telah memancing kemarahannya."
"Bohong," tiba-tiba Sukra menyahut dengan suara yang bergetar, "Semuanya bohong."
"Siapa yang berbohong ?" bertanya Prastawa.
"Kau jangan mengada-ada. Kau harus bersukur bahwa aku tidak membunuhmu. Seandainya aku membunuhmu, aku tidak dapat dianggap bersalah. karena kaulah yang menantangku. Seandainya adi Prastawa tidak memberitahukan kepadaku, siapa kau itu, maka kau tentu sudah tentu mati Aku terbiasa membunuh orang-orang yang menantangku."
"Tetapi ia masih terlalu muda. Kau tidak pantas memperlakukan seperti itu," berkata Glagah Putih.
"Jadi siapakah yang pantas aku perlakukan seperti itu ?"
Jantung Glagah Putih terasa bergetar. Namun Ki Lurah Agung Sedayu yang mendahuluinya, "Aku tidak hanya harus mendengar dari satu pihak. Aku juga ingin mendengar keterangan Sukra. Tetapi nampaknya Sukra memerlukan pengobatan segera, sehingga esok pagi, kita akan membicarakan persoalan ini."
"Kapan saja Ki Lurah," 'jawab Tumpak, "aku masih akan tetap berada di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang tidak ditentukan. Kesimpulan apapun yang kau ambil tentang peristiwa ini, Ki Lurah. Kami tidak akan berkeberatan. Dengan demikian, maka kami tidak berkeberatan pula membuat penyelesaian dengan cara apapun juga."
"Kenapa kita harus menunggu esok, kakang."
"Aku ingin berbicara dengan Sukra. Tetapi biarlah ia mendapat pengobatan lebih dahulu."
"Apa yang mereka katakan, semuanya bohong."
"Aku percaya kepada Sukra," geram Glagah Putih.
"Bagus," sahut Soma, "lalu apa yang akan kau lakukan ?"
"Pergilah," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian. Lalu katanya kepada Prastawa, "Aku belum menganggap persoalannya selesai. Aku akan melacak persoalan ini, Prastawa."
Ternyata gejolak di dada Prastawa bagaikan menghentak-hentak jantung. Namun sebelum ia menjawab, Somalah berkata, "Kami menunggu dengan senang hati."
"Sekarang pergilah."
"Kami akan pergi. Tetapi kami akan memperingatkanmu, Ki Lurah. Sebenarnya bukan kau yang berhak mengusir aku. Tetapi akulah yang berhak mengusirmu. Aku adalah kemenakan Ki Gede Menoreh yang berkuasa di Tanah ini. Prastawa adalah salah seorang yang mempunyai hak untuk menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh. Sedangkan kau " Kau orang asing disini. Kau tidak mempunyai akar sama sekarang untuk berada di tanah ini. Demikian pula Glagah Putih dan yang' lain. Agak berbeda dengan Rara Wulan. Perempuan cantik itu mempunyai kesempatan lebih baik dari kalian semuanya untuk tinggal disini."
Telinga Glagah Putih bagaikan tersentuh api. Dengan geram ia bertanya, "Apakah ini satu tantangan ?"
"Terserah. Bagaimana kau mengartikannya," jawab Soma sambil tertawa.
Jantung Glagah Putih rasa-rasanya hampir meledak. Tetapi ternyata bukan hanya Glagah Putih yang tersinggung. Rara Wulan-pun tiba-tiba berkata, "Jangan kau kakang. Biarlah aku menyelesaikan persoalan ini."
"Apa yang akan kau lakukan Rara Wulan ?" bertanya Soma.
"Aku menantangmu. Aku tidak peduli, bahwa kau akan membunuh orang-orang yang menantangmu."
Soma tertawa berkepanjangan. Katanya, "Ternyata kau seorang perempuan yang keras hati. Tetapi sikap seperti itulah yang sangai menarik bagiku."
Tetapi yang tidak terduga telah terjadi. Dengan gerakan yang sangat cepat, Rara Wulan meloncat maju. Tiba-tiba saja tangannya telah menampar mulut Soma.
Soma terkejut sekali mengalami perlakuan keras seperti itu dari seorang perempuan cantik yang baru bangun dari tidurnya. Selangkah ia meloncat surut. Namun sentuhan tangan Rara Wulan ternyata telah membuai benar-benar kesakitan.
"Kau menyakiti aku," geramnya.
"Kau tidak saja menyakiti tubuhku, tetapi kau telah menyakiti hatiku," jawab Rara Wulan.
Prastawa yang melihat keadaan menjadi semakin panas berkata, "Marilah, kakang. Kita pergi."
"Kita pergi begitu saja," geram Tumpak, "jadi kau membiarkan dirimu, kemanakan Kepala Tanah Perdikan ini diusir."
Namun jawaban Prastawa juga mengejutkan kedua kakak beradik itu, "Aku akan pergi. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan pergi atau tidak."
Prastawa tidak menunggu lagi. Iapun kemudian turun ke halaman dan langsung melangkah ke pintu regol.
Soma dan Tumpak termangu-mangu sejenak. Dengan geram Soma pun berkata, "Aku setuju dengan kau Ki Lurah. Persoalan kita masih belum selesai. Kita akan menyelesaikannya kelak."
Soma dan Tumpak itupun kemudian meninggalkan rumah itu pula.
Di sepanjang jalan, Soma dan Tumpak menyatakan kekecewaannya atas sikap Prastawa.
"Jika kau selalu mengalah, adi. Mereka akan menjadi semakin kokoh kedudukan mereka. Merekapun akan semakin meremehkan kau. Padahal, kau adalah pewaris Tanah Perdikan ini jika Pandan Wangi berhalangan."
Dengan nada tinggi Prastawa menjawab, "Orang-orang yang tinggal di rumah itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Tidak hanya Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan itupun berilmu tinggi pula."
"Sudah aku katakan, jangan cemaskan ilmu mereka. Seberapa tinggi ilmu seorang Lurah Prajurit. Jika kau membiarkan kami bertempur, maka kau akan melihat, bahwa bagi kami, mereka bukan apa-apa. Meskipun mereka bertempur berempat, kami tidak akan mendapat kesulitan. Bahkan satu kesempatan untuk membunuh Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah."
"Berapa kali aku katakan, jangan meremahkan mereka. Agung Sedayu mempunyai kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas."
"Selama ini kau telah dibayangi oleh kelebihan Agung Sedayu. Selama ini tidak ada orang lain yang pernah datang kemari dan mencoba kelebihannya, sehingga bagimu, Agung Sedayu adalah orang yang ilmunya tertinggi di seluruh dunia. Tetapi jika kami mendapat kesempatan, maka kau akan melihat, bahwa kemampuannya belum setinggi awan di langit. Apalagi jika ayah turun tangan. Ayah yang memiliki ilmu ajaib dan diwarisinya dari sosok Jin yang berilmu tinggi."
"Tetapi malam ini paman Kapat Argajalu tidak ada disini."
"Jadi adi tidak yakin akan kemampuan kami berdua " Bukankah pernah menunjukkannya di sebelah bukit kecil itu ?"
"Ya." "Nah, apalagi. Pada kesempatan lain, aku akan menunjukkan ilmu yang lebih baik kepadamu, adi."
Prastawa tidak menjawab. Tetapi mereka berjalan semakin cepat.
Sepeninggal Prastawa, Soma dan Tumpak, Glagah Putih membimbing Sukra dan mendudukkannya di atas tikar yang sudah terbentang.
Sekar Mirahlah yang kemudian pergi ke dapur untuk mengambil air masak meskipun sudah dingin.
Dengan air itulah luka-luka di wajah dan di tubuh Sukra dibersihkan.
Sekali-sekali Sukra menyeringai menahan pedih.
Agung Sedayupun kemudian menggosok wajah Sukra yang lebam dengan cairan reramuan beberapa jenis dedaunan. Kemudian tubuhnya pula.
Baru kemudian, Glagah Putihpun bertanya, "Apa yang sebenarnya sudah terjadi, Sukra ?"
Sukra berdesah tertahan. Dengan suara yang bergetar, iapun menceriterakan apa yang sudah dialaminya di sungai pada saat ia menunggui anak-anak yang sedang menutup pliridannya.
"Kau dapat memanggil mereka untuk bersaksi ?"
"Aku tidak yakin, bahwa mereka akan berani bersaksi. Soma dan Tumpak sudah mengancam, jika ada diantara mereka yang berani melaporkan, mereka akan dibunuh."
Glagah Putih menggeram. Katanya, "Mereka memang licik, tetapi kita akan mencoba."
"Baik," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "besok kita akan meng'hadap Ki Gede. Kita akan melaporkan apa yang telah terjadi. Kita akan memanggil anak-anak itu untuk bersaksi. Tetapi jika mereka memang tidak berani, apaboleh buat. Kita harus mencari cara lain."
Sukra mengangguk-angguk. Katanya, "Kasihan jika anak-anak itu dicengkam oleh ketakutan."
"Karena itu, kita tidak akan memaksa. Kita hanya akan mencoba."
Sebenarnyalah dikeesokan harinya, Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah bersiap. Ki Lurah minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan berada di rumah bersama Ki Jayaraga."
"Aku ikut, kakang. Aku ingin bertemu lagi dengan orang itu. Aku akan menantangnya di hadapan Ki Gede Menoreh."
"Sudahlah Wulan," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "biarlah kami menyelesaikan persoalan ini dengan baik. Jika kau ikut hadir, maka persoalannya akan berkembang."
"Itu lebih baik, kakang. Persoalan seperti itu harus segera diselesaikan."
"Jika tidak ada jalan lain, apaboleh buat. Tetapi kita akan mencobanya."
Rara Wulan terdiam. Tetapi ia tidak puas dengan sikap Ki Lurah.
"Kakang Agung Sedayu masih saja terlalu banyak pertimbangan. Sudah lama ia menjadi lurah prajurit. Tetapi sifat itu masih saja di sandangnya sampai sekarang," berkata Rara Wulan di dalam hatinya.
Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian telah minta diri pula kepada Ki Jayaraga yang telah diberinya keterangan tentang peristiwa yang dialami Sukra.
"Ki Jayaraga," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "nampaknya mereka termasuk orang-orang yang meremehkan orang lain. Tidak mustahil jika mereka justru datang kemari. Jika mereka datang kemari sebelum kami pulang, terserah kepada Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Rara Wulan."
"Aku justru mengharap mereka datang kemari, kakang," sahut Rara Wulan.
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti perasaan Rara Wulan. Tetapi Agung Sedayu tetap minta agar perempuan itu tinggal di rumah bersama Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.
Demikian, sejenak kemudian merekapun telah pergi ke rumah Ki Gede Menoreh. Wajah Sukra masih nampak lebam kebiru-biruan.
Ketika ia berpapasan dengan seorang kawannya, maka kawannya itupun bertanya, "Sukra. Kenapa kau he ?"
"Aku jatuh semalam, tergelincir di sungai," jawab Sukra.
"Kau masih saja selalu sibuk dengan pliridanmu itu. Kau sudah terlalu tua untuk bermain pliridan."
Sukra mencoba untuk tersenyum. Tetapi terasa pipinya menjadi sakit.
-ooo0dw0ooo- Jilid 353 KETIKA mereka sampai di rumah Ki Gede, Ki Gede yang baru saja mandi dan duduk di serambi sambil mendengarkan burungnya berkicau, terkejut ketika seorang pembantu di rumahnya memberitahukan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu datang untuk menemuinya.
"Ki Lurah?" "Ya." "Sepagi ini " Dengan siapa ?"
"Dengan Glagah Putih dan Sukra. Anak yang tinggal bersamanya itu."
Ki Gedepun segera membenahi pakaiannya. Sejenak kemudian, Ki Gede sudah menemui Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sukra.
"Ada apa ?" bertanya Ki Gede.
Ki Lurah pun kemudian menceriterakan apa yang sudah terjadi dengan Sukra di tepian sungai.
"Jadi demikian, panggil anak-anak itu. Aku akan memanggil Prastawa serta kedua orang anak Kapat Argajalu itu."
"Tetapi agaknya anak-anak itu tidak akan berani bersaksi Ki Gede. Anak-anak itu sudah diancam oleh Soma, siapa yang berani melaporkan peristiwa itu akan dibunuhnya."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku percaya kepada keterangan Ki Lurah. Aku percaya bahwa Sukra tidak berbohong. Tetapi jika tidak seorangpun yang berani bersaksi, aku akan mengalami kesulitan."
"Aku mengerti, Ki Gede."
"Tetapi aku akan mencobanya. Sekaligus untuk menguji kejujuran Prastawa sekarang, setelah kakang Kapat Argajalu datang menemuinya."
"Silahkan, Ki Gede. Akupun ingin mengerti, apakah Prastawa masih memiliki sifat-sifat kesatrianya atau tiba-tiba saja telah diterbangkan angin."
"Baik. Aku akan memanggil Prastawa dan kedua orang anak Ki Kapat itu."
"Biarlah aku memanggil anak-anak itu, Ki Gede," berkata Glagah Putih.
Ketika seorang pembantu di rumah Ki Gede pergi ke rumah Prastawa, maka Glagah Putihpun telah pergi dengan tergesa-gesa pula. Sukra telah menyebutkan beberapa nama yang semalam ikut berada di sungai itu pula.
Tetapi apa yang dikatakan oleh Sukra benar. Glagah Putih mengalami kesulitan untuk mendapatkan saksi. Ketika Glagah Putih pergi ke rumah Supo. Yang menemuinya adalah ayahnya."
"Supo ada paman?" bertanya Glagah Putih.
"Supo masih tidur, ngger," jawab ayahnya.
"Apakah anak itu dapat dibangunkan" Aku akan minta tolong, paman."
"Minta tolong apa ngger?"
"Aku ingin Supo bersaksi, apa yang semalam terjadi di tepian atas Sukra."
"Supo baru sakit ngger. Badannya panas dan dingin. Tetapi bersaksi tentang apa yang angger maksudkan" Semalam Supo tidak pergi ke mana-mana. Ia tidur sejak sore."
Semalam ia berada di sungai bersama Sukra, paman. Mereka sempat menutup pliridan."
"Tidak. Supo tidak kemana-mana. Ia tidur bersamaku semalam suntuk. Kadang-kadang tubuhku dingin sehingga Supo menggigil meskipun sudah berselimut kain panjang rangkap tiga. Kemudian panas dan berkeringat, sehingga pakaiannya seakan-akan baru saja dicuci langsung dikenakannya."
Tetapi menurut Sukra, ia berada di tepian, paman."
"Tentu tidak mungkin. Supo baru sakit."
Glagah Putih tidak dapat memaksa untuk mengajak Supo ke rumah Ki Gede. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah paman. Aku minta diri."
Dari rumah Supo, Glagah Putih pergi ke rumah Kuat. Tetapi ketika Glagah Putih menyatakan maksudnya. Kuat itupun menggeleng sambil berkata, "Aku tidak mau, kakang. Aku tidak melihat apa-apa semalam karena aku baru sibuk menutup pliridan."
"Tetapi kau tahu, bahwa Prastawa dan kedua orang yang datang bersamanya telah memukuli Sukra."
"Tidak. Aku tidak melihatnya. Nampaknya tidak terjadi apa-apa di sungai semalam."
"Jangan begitu. Kuat. Jika kau mau bersaksi, maka orang-orang yang nakal itu dapat dihukum. Ia tidak melakukannya atas orang lain lagi nantinya."
"Aku tidak tahu apa-apa, kang. Jangan ajak aku ke rumah Ki Gede."
Mata Kuat sudah menjadi basah dan kemerah-merahan. Karena itu Glagah Putih tidak dapat memaksanya. Jika Kuat menangis, maka orang yang melihatnya akan mempunyai dugaan yang mungkin keliru. Ia akan dapat dianggap menggoda anak-anak sehingga menangis.
"Baiklah," berkata Glagah Putih kemudian, "jika kau berkeberatan, aku tidak akan memaksamu."
Ternyata bukan hanya Supo dan Kuat. Anak-anak yang lain juga berkeberatan dan bahkan menjadi ketakutan untuk pergi ke rumah Ki Gede. Mereka takut karena ancaman Soma yang akan membunuh siapa saja yang berani melaporkannya.
Karena itu. maka Glagah Putih tidak berhasil mengajak seorang anakpun untuk menjadi saksi.
Ketika Glagah Putih kembali ke rumah Ki Gede, maka iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Tidak seorangpun yang bersedia, Ki Gede."
"Mereka benar-benar ketakutan atas ancaman orang yang bernama Soma itu," berkata Sukra.
"Baiklah. Jika mereka nanti ingkar, kita terpaksa mencari jalan lain untuk membuktikannya," berkata Agung Sedayu.
Ketika sejenak kemudian Prastawa, Soma dan Tumpak datang, maka jantung Glagah Putih terasa berdetang semakin cepat. Rasa-rasanya ia ingin langsung menerkam seorang diantara mereka dan meremas lebernya.
Dengan tanpa merasa bersalah, Soma dan Tumpak duduk pula di pringgitan sambil tersenyum-senyum. Sementara itu Prastawa menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan mata Ki Gede.
"Paman memanggil kami?" Somalah yang bertanya.
"Ya," jawab Ki Gede pendek.
"Apakah ada sesuatu yang penting?"
"Ya," ternyata Ki Gede tidak lagi memakai basa-basi. Ia langsung saja bertanya, "Kau kenal anak ini?"
Soma memandang Sukra yang wajahnya masih lebam. Sambil mengangguk-angguk Soma menjawab, "Ya. Jadi Ki Gede sudah menangkapnya?"
"Menangkap" " Ki gede terkejut, tetapi terasa betapa liciknya pertanyaan itu.
"Bukankah Ki Gede telah menangkapnya" Semalam anak itu telah mengganggu kami bertiga. Maksudku, aku, Tumpak dan adi Prastawa. Ketika kami mencoba memperingatkannya ia justru menantang."
"Ya. Ki Gede mengangguk-angguk, "keteranganmu sesuai dengan keterangan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih."
Soma justru mengerutkan dahinya.
"Tetapi bukan aku yang menangkap anak itu. Ki Lurah dan Glagah Putih telah menyerahkan anak yang telah berbuat jahat itu. Keduanya ingin anak itu dihukum atas perbuatannya."
Soma justru termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Gede berkata, "Aku mengundang kalian untuk bersaksi, agar aku dapat menjatuhkan hukuman yang pantas bagi anak ini."
Soma berpaling kepada Prastawa, tetapi Prastawa masih saja menundukkan kepalanya.
Pernyataan Ki Gede itu justru telah membingungkan Soma dan Tumpak. Apalagi Prastawa yang masih saja menunduk. Terasa jantungnya bagaikan bergejolak.
"Prastawa," terdengar suara Ki Gede dengan nada berat.
"Ya. paman," sahut Prastawa. Suaranya seakan-akan tertahan di mulutnya.
"Aku minta kau bersaksi, apa yang sudah terjadi di tepian semalam. Kau adalah saksi yang pantas aku dengar keteranganmu. Beberapa orang anak yang semalam ada di tepian tidak bersedia menjadi saksi. Mereka menjadi ketakutan."
Soma dan Tumpak menjadi tegang. Mereka memandang Prastawa yang nampak menjadi sangat gelisah.
Karena Prastawa tidak segera menjawab, maka Soma itupun berkata, "Aku juga bersedia menjadi saksi, paman."
"Aku minta Prastawa bersaksi sekarang," sahut Ki Gede.
"Berkatalah apa adanya, di," berkata Tumpak, "seorang saksi tidak boleh berbohong. Katakan apa adanya tentang Sukra. Kesombongannya, tantangannya dan sikapnya yang sangat meremehkan kita. Katakan bagaimana kita sudah mencoba mengalah. Tetapi sikap itu disalah artikan. Ia mengira bahwa kita menjadi ketakutan."
Tanggapan Ki Gede sempal membuat Tumpak dan Soma menjadi berdebar-debar. Sedangkan Prastawa menjadi sangat gelisah. Katanya, Nah, kau dengar Prastawa. Bagaimana Tumpak mengajarimu. Bukankah kau tidak mampu untuk menentukan kesaksian menurut pendapat sendiri" Bukankah kau tinggal menirukannya" Katakan, apapun yang ingin kau katakan."
Prastawa justru menjadi semakin gelisah. Mulutnya terasa sulit untuk digerakkannya.
"Biarlah aku saja yang bersaksi paman," berkata Soma.
"Aku minta Prastawa bersaksi. Kalau kau mengajarinya, ajarilah. Tetapi yang aku minta bersaksi adalah Prastawa. Mungkin kau dapat mengucapkan kata demi kata, selanjutnya Prastawa akan menirukannya."
Wajah Soma menjadi tegang. Tetapi ia harus menahan diri.
"Prastawa," Ki Gede menjadi semakin kehilangan kesabarannya, "Apa yang terjadi pada dirimu. Katakan, apa yang terjadi semalam di tepian?"
Prastawa tidak dapat ingkar lagi. Pamannya sudah mulai marah. Karena itu, maka iapun berkata, "Paman. Yang terjadi seperti yang tadi dikatakan oleh kakang Tumpak."
"Aku minta kaulah yang mengatakan. Aku tidak berkeberatan jika Soma dan Tumpak mengajarimu, karena kau adalah anak ingusan yang baru belajar berbicara."
Wajah Prastawa menjadi merah padam. Namun ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Telah terjadi salah paham, paman. Sukra tidak menanggapi teguran kami atas kelakuannya yang tidak sepantasnya."
"Apa yang dilakukannya sehingga kau sebut tidak sepantasnya itu?" berkata Ki Gede.
"Anak itu mengawasi kami seperti sedang mengawasi sekelompok pencuri, paman." Somalah yang menyahut.
Tetapi Ki Gede seakan-akan tidak mendengarkannya. Ia mengulangi pertanyaannya, "Prastawa. Apa yang telah dilakukan oleh Sukra sehingga kau dapat mengatakan, bahwa yang dilakukan itu tidak sepantasnya."
"Paman," Soma menyela.
"Aku tidak akan mendengarkan kata-katamu Soma. Aku bertanya kepada Prastawa. Karena itu hanya kata-kata Prastawa yang aku dengar."
"Sukra seolah-olah mencurigai kami. paman," berkata Prastawa dengan suara bergetar, "seolah-olah kami adalah sekelompok penjahat."
"Lalu. apa yang terjadi?"
Soma beringsut setapak. Tetapi Ki Gede sama sekali tidak berpaling kepadanya.
"Sukra mengawasi kami sambil sembunyi-sembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu. Ketika kami menegurnya, terjadi salah paham. Sukra telah menantang kami, paman."
"Lalu?" "Kakang Soma berkelahi melawan Sukra."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Dengan demikian, ternyata Sukra telah bersalah. Ia telah berani menantang Soma sehingga keduanya berkelahi. Nah, Prastawa. Kau adalah pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan ini. Kau adalah panutan anak-anak muda. Karena itu, kau pantas mendapat limpahan sebagian dari kuasaku."
Prastawa terkejut. Namun terasa jantungnya menegang.
"Aku berikan wewenang kepadamu untuk menghukum Sukra. Karena Sukra bersalah, maka ia harus dihukum. Sekarang, hukumlah anak itu."
Keringat dingin mengalir diseluruh tubuh Prastawa. Dengan gagap ia bertanya, "Hukuman apa yang harus aku berikan kepadanya, paman."
"Kau yang melihat dengan mata kepala sendiri kesalahan yang telah dilakukan oleh Sukra. Kau aku beri wewenang untuk menghukumnya sesuai dengan rasa keadilanmu. Sesuai dengan kata hati nuranimu. Nah lakukanlah. Biarlah Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi saksi, bahwa kau telah menghukum orang yang bersalah dengan adil. Ki Lurah dan Glagah Putihpun tidak akan melindunginya."
Wajah Prastawa menjadi pucat. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih tanggap akan maksud Ki Gede. Sukra sendiri, merasa ragu. Tetapi justru ada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih, Sukra seakan-akan sudah pasrah apapun yang akan terjadi atas dirinya.
"Prastawa," berkata Ki Gede, "kenapa kau diam saja. Lakukan atas namaku."
"Tidak, paman," jawab Prastawa dengan suara yang patah-patah, "pamanlah yang berhak memutuskan. Seandainya aku harus melaksanakan, tetapi biarlah paman yang menentukan."
"Aku tidak melihat apa yang terjadi, Prastawa. Sementara itu tidak ada saksi lain yang dapat meyakinkan aku. Karena itu, aku berikan wewenang kepadamu, hukumlah anak itu sesuai dengan rasa keadilanmu. Bukankah perintahku sudah jelas. Apapun yang kau lakukan, tidak akan dianggap salah, karena yang kau lakukan itu adalah atas namaku."
"Tidak, paman," bukan saja dada Prastawa yang bergetar, tetapi tubuhnyapun telah bergetar pula. Gejolak yang dahsyat telah terjadi di dalam rongga dadanya, ia tidak mengira, bahwa ia akan dihadapkan pada satu pilihan sikap yang sangat rumit, yang bahkan telah membakar pertentangan didalam dirinya.
Dalam pada itu, Somapun berkata, "Limpahkan wewenang itu kepadaku, adi Prastawa. Jika kau tidak sampai hati melaksanakan hukuman terhadap anak yang tidak tahu diri dan tidak mengenal unggah-ungguh itu, biarlah aku yang melakukannya."
"Apa hakmu untuk melakukannya" Aku melimpahkan wewenangku kepada Prastawa. Ia tidak dapat melimpahkannya kepada siapapun juga."
"Jika demikian kenapa paman tidak melimpahkan saja kepadaku, bukankah aku terhitung kadang paman sendiri."
"Aku dapat memberikan wewenang kepada siapapun yang aku kehendaki. Kepada Prastawa atau kepada Ki Lurah Agung Sedayu atau kepada Glagah Putih, atau kepada siapapun saja yang aku kehendaki."
"Kenapa tidak kepadaku?"
"Karena aku tidak mempercayainya bahwa rasa keadilanmu tegak. Aku tidak mempercayai bahwa hatimu bersih menanggapi peristiwa ini."
"Paman," wajah Soma menjadi merah, sementara itu Tumpak beringsut setapak maju.
"Katakan apa yang ingin kau katakan. Aku Kepala Tanah Perdikan disini."
Darah Soma rasa-rasanya bagaikan mendidih. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa pamannya akan mempermalukannya di hadapan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Bahkan bibir Tumpak rasa-rasanya menjadi gemetar.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia sadar, bahwa Ki Gede Menoreh benar-benar sedang marah. Sementara itu, hati Prastawa ternyata lentur. Ia tidak berani menghadapi tantangan pamannya itu. Jika Prastawa melakukan apa yang dikatakan pamannya, maka ia tidak akan dapat dianggap bersalah. Bahkan seandainya Prastawa membunuh Sukra sekalipun. Tanggung jawabnya akan dipikul oleh Ki Gede.
Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, maka Ki Gedepun berkata sekali lagi kepada Prastawa. "Prastawa. Jika kau akan melakukannya atas dasar wewenang yang aku berikan, lakukan sekarang atau tidak sama sekali."
Prastawa itupun menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Maaf paman. Aku tidak dapat melakukannya."
"Lalu apa sebaiknya yang kita lakukan atas anak itu."
"Biarlah anak itu pulang."
"Inilah keputusan itu. Kau yang telah menjatuhkan putusan, biarlah anak itu pergi. Dengan demikian, maka kau menganggap bahwa anak itu tidak bersalah, sehingga anak itu tidak harus dihukum."
"Tidak begitu paman," Tumpak hampir berteriak, "keputusan itu didasarkan pada rasa belas kasihan. Bukan satu pengakuan bahwa anak itu tidak bersalah."
"Aku tidak mengerti seperti itu. Jika Prastawa tidak menghukumnya berdasarkan rasa keadilan, bukan belas kasihan, itu berarti bahwa Sukra tidak bersalah. Nah, pulanglah, Sukra, Prastawa menyatakan, bahwa kau tidak bersalah."
"Tidak. Aku tidak dapat menerima kesimpulan yang paman ambil. Paman sudah memutar balikkan pengertian dari sikap adi Prastawa."
"Prastawa. Bukankah kau tidak dapat menghukum anak ini ?"
"Ya, paman." "Nah, kau dengar Soma dan Tumpak. Karena itu aku perintahkan untuk membawa anak itu pulang."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman, aku mempunyai pengertian yang berbeda."
"Aku tidak peduli seandainya orang sepasar itu mempunyai pengertian seribu macam yang berbeda-beda."
"Tetapi aku bukan orang lain disini."
"Dalam perkara ini, kau tidak ada bedanya dengan orang-orang dipasar itu."
"Aku menjadi saksi dari peristiwa itu."
"Tetapi Prastawa sudah menjatuhkan keputusan atas namaku. Nah sekarang bawa anak itu pulang."
"Tetapi perkara ini aku anggap belum selesai."
"Memang belum selesai. Masih ada pertanyaan yang harus dijawab. Siapakah yang ternyata bersalah."
Jantung Soma dan Tumpak terasa berdegub semakin keras. Namun dalam pada itu, wajah Prastawapun menjadi pucat. Rasa-rasanya apapun yang dilakukan serba salah.
Dalam pada itu. terdengar Ki Lurah Agung Sedayu bertanya, "Jadi, kami dapat membawa Sukra pulang, Ki Gede?"
"Ya," jawab Ki Gede, "anak itu dapat Ki Lurah bawa pulang. Ternyata ia tidak bersalah. Selanjutnya kita harus menjawab pertanyaan, "Lalu siapakah yang bersalah?"
"Terima kasih. Ki Gede," berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian. Lalu katanya, "Sukra, kaupun wajib mengucapkan terima kasih kepada Ki Gede dan kepada kakang Prastawa yang telah menyatakan bahwa kau tidak bersalah."
"Ki Gede," berkata Sukra kemudian, "aku mengucapkan terima kasih. Kakang Prastawa, aku juga berterima kasih kepada kakang."
Prastawa tidak menjawab. Tetapi Ki Gede telah menjawab, "Hati-hatilah Sukra. Jangan terjebak dalam perbuatan yang dapat membuat wajahmu menjadi lebam."
"Ya, Ki Gede," jawab Sukra.
Namun Soma dan Tumpak masih saja menggeretakkan giginya. Dengan geram Soma berkata, "Telah berlaku ketidak adilan di sini. Di rumah Ki Gede Menoreh, penguasa Tanah Perdikan."
"Soma dan Tumpak," berkata Ki Gede, "kau tamu di Tanah Perdikan ini. Kami penghuni Tanah Perdikan ini terbiasa menghormati tamu-tamunya, siapapun mereka. Tentu saja kalau tamu-tamu itu juga menghormati kami. penghuni Tanah Perdikan ini. Jika seorang tamu tidak menghormati kami, penghuni Tanah Perdikan ini, maka kamipun tidak akan menghormati mereka."
"Terima kasih atas sikap paman dan rakyat Tanah Perdikan ini. Kami dan ayah akan merasa menerima penghormatan yang tinggi dari keluarga kami yang sudah lama tidak berhubungan sama sekali. Kami datang untuk menyambung hubungan yang hampir terputus sama sekali itu. Dan ternyata kami mendapat sambutan yang hangat di Tanah Perdikan ini," sahut Soma.
"Nah, katakan kepada ayahmu apa yang telah terjadi. Katakan bahwa telah terjadi ketidak adilan disini, di Tanah Perdikan ini. Apa kata Bapakmu nanti."
"Baik paman. Sekarang jika sudah tidak ada kepentingan lagi, biarlah kami minta diri. Kami akan kembali ke rumah paman Argajaya, yang agaknya dapat mengerti tentang niat kami yang baik, sehingga kami tempuh jarak yang panjang sampai ke Tanah Perdikan ini."
"Silahkan," jawab Ki Gede.
Sementara itu Prastawapun berkata, "Aku iuga mohon diri paman."
"Baik Prastawa. Hati-hatilah dengan sikapmu."
"Baik, paman." "Kau adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan ini. Kau adalah pemimpin dari anak-anak muda yang pada saatnya akan mewarisi tugas-tugas yang berat diatas Tanah Perdikan ini."
"Ya, paman." Demikianlah ketiga orang itupun kemudian turun dari pendapa. Mereka berjalan dengan cepat menuju ke regol halaman rumah Ki Gede Menoreh."
Demikian mereka turun ke jalan, Somapun berkata, "Kau sia-siakan kesempatan itu, adi."
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Kau hukum anak itu."
"Kenapa aku harus menghukumnya" Apa pula keuntungan kita jika kita menghukum anak itu?"
"Bukan kita. Tetapi adi Prastawa. Dengan demikian maka kedudukan adi Prastawa akan menjadi semakin mapan. Lebih dari itu, kita dapat memancing kemarahan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Jika mereka melibatkan diri, maka kita mempunyai alasan untuk menghancurkan mereka."
"Sekali lagi aku ingatkan, mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Ki Lurah Agung Sedayu adalah pemimpin sepasukan prajurit dari pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu. Jika kira berani melawan Ki Lurah berarti kita akan melawan para prajurit itu."
"Aku kira jumlah anak-anak muda Tanah Perdikan ini sepuluh kali lipat dari jumlah prajurit yang ada di barak itu. Sedangkan sebagaimana adi katakan, bahwa kemampuan anak muda Tanah Perdikan ini tidak ubahnya kemampuan para prajurit dan Pasukan Khusus itu."
"Jika kita berani melawan para prajurit, itu berarti kita akan melawan Mataram."
"Kita tidak bersalah. Kita tegakkan keadilan di Tanah ini."
"Siapa yang tidak bersalah" Telusuri sumber dari persoalan ini. Bukankah Sukra sebenarnya memang tidak bersalah" Jika sekarang aku menghukumnya untuk memancing kemarahan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih, bukankah kita juga yang bersalah dalam hal ini" Jika kemudian terjadi perang dengan Mataram, siapakah yang dapat menyebut kita menegakkan keadilan di Tanah ini."
"Adi memang sangat perasa," sahut Tumpak, "jangan memandang persoalan yang adi hadapi sepotong-sepotong. Dalam keseluruhannya yang bulat, adi Prastawa memang menuntut keadilan. Kekuasaan atas Tanah Perdikan ini. Bukankah segala perbuatan kita itu mengarah kepada tegaknya keadilan di Tanah Perdikan ini" Adi Prastawalah yang seharusnya memegang kekuasaan itu."
Prastawa menggeram, "Jangan singgung lagi kekuasaan atas Tanah Perdikan itu."
"Adi," Soma seakan-akan tidak mendengar kata-kata Prastawa, "ada dua jalan yang dapat adi tempuh. Menikah dengan Pandan Wangi atau menyingkirkannya sama sekali. Untuk menikah dengan Pandan Wangi agaknya sudah tidak mungkin lagi. Tetapi menyingkirkan Pandan Wangi masih mungkin sekali."
"Kalian menjadi semakin gila," bentak Prastawa.
Soma terdiam. Tumpakpun tidak berkata apa-apa lagi. Demikianlah mereka berjalan semakin cepat Prastawa berjalan di paling depan. Rasa-rasanya ia ingin menghindari pembicaraan dengan ke dua orang yang mengaku masih mempunyai pertautan darah itu.
Demikian mereka sampai di rumah, maka Ki Argajayapun segera bertanya kepada Prastawa, "Apakah kepentingan pamanmu memanggil kalian bertiga ?"
"Tidak apa-apa ayah."
"Pamanmu jarang sekali memanggilmu menghadap. Tetapi tiba-tiba saja kau harus datang menghadapnya pagi ini."
"Hanya sedikit salah paham tentang anak muda yang tinggal di rumah Ki Lurah Agung Sedayu."
"Salah paham bagaimana?"
"Anak itu semalam telah berselisih dengan kakang Soma. Pagi-pagi Ki Lurah Agung Sedayu membawa anak itu menghadap Ki Gede. Yang dikatakan oleh anak itu tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi malam tadi. Aku di panggil paman untuk bersaksi."
Ki Argajayapun kemudian berpaling kepada Soma dan Tumpak. Dengan nada berat iapun bertanya, "Apakah benar begitu ?"
"Adi Prastawa adalah seorang yang hatinya sangat lembut."
"Maksudmu?" Soma menarik nafas panjang. Katanya, "Adi Prastawa lebih senang menyalahkan diri sendiri daripada menyalahkan orang lain, meskipun yang terjadi sebenarnya justru orang lain itulah yang bersalah."
Ki Argajaya menarik nafas panjang. Sementara Tumpakpun berkata, "Tetapi akibat sikap adi Prastawa itu justru menusuk perasaannya sendiri. Adi Prastawalah yang justru dianggap bersalah dan mendapat marah dari paman Argapati."
Tetapi sikap Ki Argajaya tidak seperti yang diharapkan. Ia tidak menjadi kecewa terhadap sikap kakaknya itu. Bahkan seakan-akan Ki Argajaya tidak menghiraukannya.
Ki Kapat Argajalulah yang menyahut. "Ada perbedaan latar belakang kehidupan kita dengan kehidupan pamanmu Argajaya."
"Makaud ayah ?"
"Selama ini kita hidup di sebuah padepokan. Hitam putihnya harus kita tanggung sendiri. Kita bertanggung jawab penuh terhadap sikap dan perbuatan kita. Tetapi disini tidak. Disini yang berkuasa Kepala Tanah Perdikan. Pamanmu Argajaya adalah seseorang yang berada di bawah kekuasaan Kepala Tanah Perdikan itu, sehingga sikap dan perbuatannya akan tetap berkait dengan kekuasaan yang membayanginya."
"Kau benar, kakang," berkata Ki Argajaya, "kehidupanku tentu sangat berbeda dengan kehidupan kakang di padepokan yang seakan-akan mandiri. Tetapi apakah juga berlaku sikap seperti itu pada setiap orang di padepokan kakang Kapat Argajalu" Apakah setiap orang dapat menentukan kehendak mereka masing-masing tanpa menghiraukan kuasa dan wewenang kakang di padepokan itu."
"Aku hanya mengatur, adi. Mereka bebas untuk menentukan sikapnya masing-masing."
"Bagaimana jika kau katakan, bahwa kakang Argapati juga hanya mengatur sesuai dengan tatanan dan paugeran yang ada, agar tidak terjadi benturan-benturan kepentingan dari rakyat Tanah Perdikan ini ?"
"Apakah adi Argajaya juga bebas menentukan sikap meskipun dalam bingkai tatanan dan paugeran."
"Ya." "Kenapa adi Argajaya tidak dapat berbuat apa-apa meskipun adi Prastawa diperlakukan tidak adil?"
"Dari sisi manakah kakang memandang keadilan yang kakang sebutkan itu" Dari sisi pandang kakang Kapat Argajalu" Bahkan mungkin sisi pandang kakang berkait pula dengan kepentingan kakang Kapat Argajalu sendiri."
Ki Kapat Argajalu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya. "Aku tidak dapat menyalahkan adi Argajaya. Bukankah adi Argajaya saudara muda Ki Gede Menoreh."
"Ya. Aku adalah saudara muda Ki Gede Menoreh."
"Baiklah adi. Segala sesuatunya terserah kepada adi Argajaya sendiri."
"Ayah," berkata Prastawa kemudian, "aku minta diri. Aku akan pulang sebentar ayah."
"Pulanglah. Mungkin kau memang perlu beristirahat."
Ketika Prastawa kemudian meninggalkan ayahnya, Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknyapun telah beringsut pula. Ki Kapat itupun berkata, "Perkenankan kami bertiga beristirahat di gandok, adi."
"Silahkan, kakang."
Sepeninggal Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya, Ki Argajaya masih duduk merenungi sikap ketiga orang tamunya itu.
Bagaimanapun juga, sebagai seorang ayah, Ki Argajaya tersentuh juga perasaannya karena sikap anaknya yang berubah. Kecurigaannya terhadap tamu-tamunya menjadi semakin besar. Apalagi mengingat keadaan yang sudah menjadi keruh, namun tamu-tamunya itu masih juga belum ada tanda-tandanya untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kedua orang anak laki-laki Ki Kapat itu menjadi lebih sering keluar bersama Prastawa.
Semisal pisau yang setiap hari diasah, maka semakin lama akan menjadi semakin tajam. Demikian pula sikap Prastawa. Betapa licin dan liciknya Soma dan Tumpak membujuknya untuk memandang masa depan Menoreh dari sisi pandang mereka.
Bahkan di benak Prastawa pernah singgah bisikan iblis lantaran mulut Soma, "Singkirkan saja Pandan Wangi."
"Mbokayu Pandang Wangi sudah mempunyai seorang anak laki-laki."
"Singkirkan pula anak itu."
Suara iblis itu sempat bergaung di dalam dada Prastawa.
Meskipun Prastawa masih tetap ragu, namun yang sudah mulai dilakukannya adalah berbicara dengan beberapa orang pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan yang terletak agak jauh dari padukuhan induk. Bersama Soma dan Tumpak yang memiliki kemampuan berbicara, mereka mulai menanamkan satu keinginan bahwa Prastawalah yang kelak akan menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh.
"Ya. Pandan Wangi tidak pernah berada di Tanah Perdikan ini lagi. Ia sudah bukan penghuni Tanah Perdikan ini. Tetapi ia adalah isteri dari orang yang kelak bakal menjadi Demang di Sangkal Putung. Dengan demikian, maka suami Pandan Wangi itu tidak akan pernah dapat memegang jabatan yang akan ditinggalkan oleh Ki Gede Menoreh," berkata seorang anak muda yang berpengaruh di padukuhannya.
"Karena itu, maka kita semuanya harus mendukung agar adi Prastawa dapat menduduki jabatan yang pada suatu saat pasti akan ditinggalkan oleh Ki Gede."
"Tetapi bagaimana dengan Ki Lurah Agung Sedayu dan keluarganya?"
"Mereka juga bukan orang Tanah Perdikan ini. Mereka adalah pendatang yang tidak mempunyai hak apa-apa disini."
"Tetapi mereka berilmu tinggi. Mereka mempunyai pendukung Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini."
"Jangan takut kepada ilmu mereka," sahut Tumpak.
Dalam pada itu, dalam setiap kesempatan Soma dan Tumpak sengaja memamerkan kelebihan mereka. Ilmu mereka yang tinggi serta membisikkan harapan-harapan bagi masa datang.
Dalam kecemasan yang semakin mencengkam, maka tanpa setahu Prastawa. Ki Argajaya telah pergi menemui kakaknya Ki Argapati.
"Kakang," bertanya Ki Argajaya tiba-tiba, "apakah anak seorang pencuri itu juga harus menjadi pencuri?"
"Apa maksudmu, Argajaya?"
"Kakang. Aku mencemaskan Prastawa. Selain itu aku juga mencurigai Kakang Kapat Argajalu serta kedua orang anaknya."
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jangan menyalahkan diri sendiri. Argajaya."
"Kakang. Aku pernah menjadi seorang pengkhianat. Seorang yang paling jahat dan barangkali sepantasnyalah bahwa aku dihukum mati pada waktu itu. Tetapi kakang sudah memaafkan aku. Aku masih kakang perkenankan hidup sampai sekarang di bumi Tanah Perdikan ini."
"Tanah ini adalah tanah leluhurmu, Argajaya. Tanah kita bersama."
"Kakang. Apakah Prastawa juga harus menjadi seorang pengkhianat" Sungguh, aku tidak pernah mengajarinya melakukan perbuatan yang terkutuk itu Kakang. Mungkin Prastawa masih sempat mengingat dan membayangkan apa yang pernah aku lakukan. Tetapi seharusnya Prastawa juga mengingat bagaimana aku sudah bertaubat. Bagaimana aku telah menyesali semua perbuatanku pada waktu itu."
"Kau belum terlambat, Argajaya. Panggil anakmu. Ajak ia bicara sampai tuntas. Ceriterakan apa yang pernah kau lakukan. Meskipun Prastawa tentu sempat mengingatnya pula, tetapi kau tentu dapat menekankan sisi-sisi yang dapat memberinya kesadaran atas perbuatannya."
Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku sudah beberapa kali berbicara dengan Prastawa."
"Masih ada waktu untuk berbicara lagi dengan anak itu."
Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya, "Kakang. Mungkin aku memerlukan bantuanmu. Mungkin kita bersama-sama dapat memanggil anak itu dan berbicara tentang sikapnya itu."
"Aku tidak berkeberatan. Argajaya. Kapan kita akan berbicara dengan Prastawa?"
"Bagaimana kalau nanti malam, kakang. Aku akan memberitahukan kepada Prastawa, bahwa nanti malam kakang memanggilnya."
"Baik. Nanti malam, beberapa saat setelah lewat senja aku tunggu kau dan anakmu kemari."
Demikianlah Ki Argajaya kemudian telah minta diri. Namun sebelum ia beranjak dari tempatnya, dua orang anak muda telah datang dan langsung naik ke pendapa untuk menghadap Ki Gede.
"Ada apa ?" bertanya Ki Gede.
"Kebetulan Ki Argajaya ada di sini."
"Apa yang terjadi?"
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Sebelumnya aku mohon maaf kepada Ki Argapati dan Ki Argajaya."
"Katakan," suara Ki Gede terasa berat menekan.
"Ki Gede. Ada sesuatu yang perlu kami laporkan."
Ki Gede tidak menjawab. Ia ingin segera mendengar laporan anak-anak muda itu.
"Anak-anak muda dari padukuhan Sembojan bersikap aneh."
"Bersikap aneh" Apa yang mereka lakukan?"
"Mereka telah mengadakan tatanan sendiri diantara mereka. Mereka telah menyelenggarakan latihan-latihan olah kanuragan sendiri. Hubungan dengan anak-anak muda di padukuhan induk ini serasa telah terputus."
"Apakah Prastawa sudah mengetahuinya?"
Anak muda itu memandang Ki Argajaya dengan wajah yang gelisah. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi seakan-akan tertahan di kerongkongannya.
"Katakan. Aku ingin mendengar kau berkata sejujurnya. Apapun yang ingin kau katakan. Jika kau berkata jujur, maka kita akan dapat mencari pemecahannya dengan benar. Tetapi jika kau tidak berkata dengan benar maka langkah yang kita ambilpun tentu salah pula," berkata Ki Argajaya. Namun rasa-rasanya ia sudah menduga, bahwa yang akan dilaporkan itu tentu menyangkut sikap Prastawa yang berada di bawah pengaruh Soma dan Tumpak.
"Maaf Ki Argajaya," berkata anak muda itu, "Prastawa dan dua orang saudaranya yang bernama Soma dan Tumpak itu sering sekali berada di Sembojan."
"Aku sudah mengira," desis Ki Argajaya. Dengan nada tinggi Ki Argajaya itupun berkata, "Apakah ada kegiatan serupa di padukuhan lain?"
"Setelah kami sempat melihat keanehan yang terjadi di Sembojan, maka kamipun telah mengamati padukuhan yang lain. Ternyata sudah ada tiga padukuhan yang telah dibayangi oleh suasana seperti di Padukuhan Sembojan."
"Padukuhan mana saja?" bertanya Ki Argajaya.
"Padukuhan di sekitar bukit Laras. Padukuhan Pasiraman dan padukuhan di sekitar Tlaga Simping."
"Padukuhan itu terhitung padukuhan-padukuhan besar. Semuanya terletak di Kademangan Pudak Lawang."
"Ya, Ki Gede." "Demang Pudak Lawang yang baru, yang ditetapkan belum setengah tahun yang lalu, masih terhitung muda. Umurnya sebaya dengan Prastawa. Bahkan Demang Pudak Lawang itu adalah sahabat Prastawa sejak semula."
Ki Argajaya menarik nafas panjang. Katanya, "Agaknya kakang Kapat telah membawa malapetaka di Tanah Perdikan ini."
"Kita dapat menduga, Argajaya. Tetapi kita jangan menetapkan dahulu kakang Kapat bersalah. Karena itu, ajak Prastawa malam nanti kemari. Kita akan dapat berbincang panjang dengan anak itu."
"Ya, kakang." "Nah," berkata Ki Gede kepada kedua orang anak muda itu, "terima kasih atas keteranganmu. Aku sangat memperhatikannya. Aku dan Ki Argajaya akan mencari jalan pemecahan yang sebaik-baiknya."
"Kami mohon diri Ki Gede."
"Baiklah. Untuk selanjutnya aku menunggu keteranganmu lebih lanjut."
"Tetapi jangan katakan kepada Prastawa bahwa kami telah datang menghadap Ki Gede dan Ki Argajaya. Jika hal ini kami lakukan, semata-mata karena kecemasan kami, bahwa akan terjadi hal-hal yang kurang baik di atas Tanah Perdikan ini."
"Aku mengerti, anak muda. Aku dan Ki Gede Menoreh tidak akan mengatakan kepada Prastawa, bahwa kalian telah datang untuk memberikan laporan tentang perkembangan terakhir Tanah Perdikan ini."
Demikianlah, sejenak kemudian, kedua orang anak muda itu telah pergi. Namun ternyata mereka masih juga singgah di rumah Ki Lurah Agung Sedayu dan Giagah Putih untuk memberitahukan perkembangan terakhir di kademangan Pudak Lawang."
Dalam pada itu, Ki Argajaya masih belum jadi meninggalkan rumah Ki Gede. Dengan nada yang berat menekan, Ki Argajaya berkata, "kakang. Jika aku pernah berkhianat, aku tidak bermimpi untuk mengajar anakku berkhianat. Aku telah bertaubat dan berusaha mencari jalan yang lurus. Tetapi sifat khianat itu ternyata telah menurun kepada anakku lantaran orang lain."
"Adi Argajaya. Sudah aku katakan, jangan menyalahkan diri sendiri. Masih ada waktu untuk berbicara dengan anakmu, Prastawa, malam nanti."
"Ya, kakang." "Sekarang pulanglah. Beristirahatlah lahir dan batinmu. Jangan kau biarkan perasaanmu menyakiti hatimu sendiri."
"Tetapi Prastawa membuat jantungku akan terlepas."
"Seandainya Prastawa bersalah, kau tidak dapat ikut dianggap bersalah. Jika kau ajari anak itu memberontak, maka kau dapat ikut ditangkap dan dihukum. Tetapi bukan kau yang mengajarinya. Aku tidak percaya bahwa anak seorang pencuri pasti menjadi pencuri. Atau bahwa seorang pencuri tentu anak pencuri."
Ki Argajaya menarik nafas panjang.
Namun sejenak kemudian, Ki Argajaya itupun segera minta diri, ia harus bertemu dengan anaknya dan mengajaknya menghadap Ki Gede Menoreh malam nanti.
Dalam pada itu, kedua orang anak muda yang telah melaporkan keadaan padukuhan Sembojan, padukuhan disekitar Bukit Laras, padukuhan Pasiraman dan padukuhan disekitar Tlaga Simping yang kesemuanya terletak di kademangan Pudak Lawang, telah berada di rumah Ki lurah Agung Sedayu.
Seperti yang telah dilaporkannya kepada Ki Gede, maka keduanya-pun telah melaporkannya pula kepada Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Meskipun keduanya bukan keluarga Kepala Tanah Perdikan Menoreh, namun keduanya telah berbuat banyak sekali bagi Tanah Perdikan itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah terjun langsung membina anak-anak muda Tanah Perdikan itu. Mereka pulalah yang membuat Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh menjadi sekuat sekarang ini. Bukan saja anak-anak mudanya, tetapi orang-orang yang lebih tua, pada masa muda mereka, juga telah ditempa dalam rasukan Pengawal Tanah Perdikan.
"Nampaknya mereka sedang menyusun kekuatan yang terpisah. Ki Lurah," berkata anak muda itu.
"Terpisah dari kekuatan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan ini maksudmu?" bertanya Ki Lurah.
"Ya. Prastawa dengan kedua orang saudaranya yang bernama Soma dan Tumpak itu telah menyelenggarakan latihan-latihan tersendiri bagi keempat padukuhan yang terhitung besar itu. Bahkan aku yakin bahwa tidak lama lagi, seluruh kademangan Pudak Lawang akan terhisap kedalam lingkungan mereka."
"Kademangan Pudak Lawang termasuk kademangan yang kuat di Tanah Perdikan ini."
"Ya. Sementara itu Demang Pudak Lawang yang baru adalah sahabat Prastawa."
"Apa kata Ki gede Menoreh dan Ki Argajaya ketika kau menghadap mereka?"
"Mereka minta aku mengamati kademangan itu. Setiap terjadi perkembangan baru, kami harus memberikan laporan."
"Berhati-hatilah. Kau tidak dapat melakukannya sebagai prajurit dalam tugas sandi, karena pada umumnya anak-anak muda Tanah Perdikan ini sudah saling mengenal. Anak-anak muda dari Pudak Lawang tahu, bahwa kalian berdua adalah anak muda dari padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya. Ki Lurah. Tetapi untunglah pamanku tinggal di Pasiraman. Anak-anak Pasiraman tahu bahwa hampir sepekan sekali aku datang ke rumah paman. Pamanku memang sakit-sakitan. Jika aku pergi ke Pasiraman bukan hanya sejak saat-saat terakhir. Aku sudah selalu pergi ke padukuhan itu sejak berbulan bulan yang lalu. Karena itu, mereka tidak akan mencurigai aku jika aku kelihatan berada di Pasiraman."
"Meskipun demikian, kau harus berhati-hati. Jika benar anak-anak muda Pasiraman bahkan anak muda kademangan Pudak Lawang berniat menempuh jalan sesat, maka kehadiranmu di Pasiraman akan tetap menjadi perhatian anak-anak muda padukuhan itu. Mungkin saja setelah kau berada di Pasiraman, kau tidak dapat keluar dari padukuhan itu."
"Ya, Ki Lurah."
Sementara itu Glagah Putihpun berkata, "Jika keadaan memaksa, maka padukuhan-padukuhan yang lain harus mengimbangi sikap anak-anak muda dari kademangan Pudak Lawang."
"Jangan tergesa-gesa Glagah Putih," cegah Ki Lurah Agung Sedayu, "sebelum kita mendapatkan keyakinan bahwa akan ada penyimpangan, sebaiknya kita belum mengadakan gerakan-gerakan yang akan dapat memperuncing suasana."
"Tetapi kita tidak boleh terlambat, kakang."
"Aku mengerti. Tetapi langkah yang kita ambil harus berhati-hati. Jika kita justru terperosok kedalam padukuhan yang mempunyai sikap yang sama dengan padukuhan-padukuhan di kademangan Pudak Lawang, maka keadaan akan menjadi bertambah buruk."
"Aku mengerti kakang. Tetapi setelah kita mengetahui keadaan di Pudak Lawang, kita masih akan tetap berdiam diri?"
"Kita akan berbicara dengan Ki Gede."
Keduanya memang tidak ingin terlambat. Karena itu, maka keduanyapun segera bersiap-siap untuk dengan segera menghadap Ki Gede Menoreh.
"Jangan mengatakan kepada Prastawa, bahwa kami berdualah yang memberikan laporan tentang perkembangan keadaan di Pudak Lawang."
"Baik," sahut Glagah Putih, "seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, kita akan berhati-hati."
Demikian kedua orang anak muda itu meninggalkan rumah Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Lurah dan Glagah Putihpun segera minta diri kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk pergi ke rumah Ki Gede.
"Dimana Ki Jayaraga?"
"Ia berada di sanggar, kakang."
"Di Sanggar?" Sudah sejak pulang dari sawah, sebelum mandi dan membersihkan diri, Ki Jayaraga langsung masuk ke dalam sanggar."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun Ki Jayaraga tidak terbiasa berbuat seperti itu, meskipun Ki Jayaraga masih juga selalu menjaga tingkat kemampuannya.
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu tidak bertanya lebih lanjut. Bersama Glagah Putih, Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.
Ketika Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih memasuki regol halaman rumah Ki Gede, mereka melihat Ki Gede itu duduk sendiri merenung diatas amben bambu di serambi gandok.
Demikian Ki Gede melihat kedua orang itu memasuki halaman rumahnya, maka iapun segera bangkit berdiri.
Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih justru melangkah langsung menuju ke serambi gandok.
"Marilah, Ki Lurah. Naiklah ke pendapa."
"Disini saja Ki Gede. Nampaknya udara lebih segar."
Ki Gedepun kemudian mempersilahkan keduanya naik ke serambi gandok.
Setelah keduanya duduk, maka Ki Gedepun bertanya. "Dari-mana Ki Lurah ?"
"Dari rumah, Ki Gede. Kami sengaja datang untuk menghadap Ki Gede."
Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya. "Ada sesuatu yang penting atau Ki Lurah dan Glagah Putih sekedar singgah ?"
"Ada sedikit kepentingan Ki Gede," jawab Ki Lurah yang kemudian menceriterakan kedatangan kedua orang anak muda di rumahnya yang menurut keterangan mereka, keduanya sudah datang menghadap Ki Gede.
"Ya. Keduanya sudah datang kepadaku untuk membelikan laporan tentang kademangan Pudak Lawang."
"Ya. Karena itulah, maka aku segera menghubungi Ki Gede sekarang ini."
"Terima kasih atas perhatian Ki Lurah dan kau Glagah Putih," berkata Ki Gede selanjutnya, "aku menjadi sangat prihatin mendengar laporan itu. Aku teringat apa yang pernah terjadi di atas Tanah Perdikan ini pada saat Argajaya kehilangan kendali nalar budinya."
"Apakah Ki Gede sudah berbicara dengan Ki Argajaya?"
"Argajaya datang kepadaku dengan penyesalan yang sangat mendalam atas tingkah laku anak laki-lakinya. Bahkan Argajaya telah menyalahkan dirinya sendiri, seolah-olah bahwa apa yang dilakukan oleh anaknya adalah tetesan dosa yang telah dilakukannya. Argajaya itu bertanya kepadaku, apakah anak seorang pencuri harus menjadi pencuri meskipun ayahnya sama sekali tidak mengajarinya mencuri. Kodrat akan menentukan, lewat siapapun juga, bahwa anak itu akan terjerumus kedalam kejahatan pula sebagaimana pernah dilakukan oleh ayahnya."
"Tetapi bukankah tidak begitu, Ki gede?" bertanya Glagah Putih.
"Ya. Tentu tidak begitu. Aku juga sudah mengatakan kepada Argajaya bahwa ia tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri."
"Ya, Ki Gede. Aku berpendapat bahwa Ki Argajaya tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri."
"Ki Lurah," berkata Ki Gede kemudian, "nanti malam aku minta Ki Argajaya mengajak Prastawa datang kemari. Aku ingin berbicara langsung dengan anak itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya."
"Apakah kami juga boleh mendengarkan pembicaraan itu Ki Gede?" bertanya Glagah Putih.
"Tentu tidak Glagah Putih," Ki Lurah Agung Sedayulah yang menyahut, "pembicaraan itu tidak akan terbuka jika ada orang lain yang ikut hadir didalam pertemuan itu. Besok saja kita datang lagi menghadap Ki Gede. Kita akan tahu, apa yang sudah dibicarakan malam nanti antara Ki Gede dengan Prastawa dan Ki Argajaya."
"Benar, Glagah Putih. Aku minta maaf bahwa sebaiknya biarlah kami saja yang berbicara agar hati kami lebih terbuka."
Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia sendiri, bahwa pertanyaannya adalah pertanyaan yang bodoh sekali.
Demikianlah setelah berbincang beberapa lama, maka keduanya-pun segera minta diri. Ki Gede tidak berkeberatan jika besok mereka datang lagi untuk mengetahui, apa saja yang telah dibicarakan antara Ki Gede dengan Prastawa dan Ki Argajaya.
"Bahkan aku sangat mengharapkan Ki Lurah dan Glagah Putih besok datang kemari. Mungkin ada sesuatu yang harus dilakukan segera."
"Baik, Ki Gede," jawab Ki Lurah Agung Sedayu.
Demikianlah, maka mereka berduapun telah minta diri pulang ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Namun keduanya sengaja menempuh jalan utama padukuhan induk meskipun sedikit melingkar. Keduanya sengaja berjalan lewat di depan banjar padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Di muka banjar, beberapa orang anak muda sedang berkumpul. Ketika mereka melihat Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih lewat, maka merekapun segera menghambur keluar regol halaman banjar, untuk menemui Ki Lurah dan Glagah Putih.
"Senu tadi berkelahi dengan Kina, Ki Lurah," berkata seorang di antara anak-anak muda itu.
"Kenapa ?" bertanya Ki Lurah.
"Tidak seorangpun yang dapat mengatakan sebabnya yang pasti, kenapa keduanya terlibat dalam perkelahian itu."
Glagah Putihlah yang kemudian bertanya, "Senu yang tinggal di ujung padukuhan ini" Yang disudut halaman rumahnya terdapat sebatang pohon sukun yang besar itu?"
"Ya." "Dan Kina anak dari padukuhan Minggir kademangan Pudak Lawang?"
"Dimana mereka berkelahi"
"Di bulak Prau."
"Tentu ada sebabnya. Mereka tentu tidak tiba-tiba saja berkelahi."
"Ya. Tentu ada sebabnya. Tetapi tidak begitu jelas bagi kami. Senu juga segan mengatakan, kenapa ia berkelahi dengan Kina. Tetapi yang aku ketahui, Senu nampaknya telah bertemu dan berbincang bahkan sedikit bergurau dengan Prenik."
"Mereka bertemu di bulak Prau?"
"Ya. Prenik dari pasar menjual jahe. Seorang penjual jamu telah memesan jahe kepadanya. Pulang dari pasar, ia bertemu dengan Senu. Sudah lama mereka berkenalan. Tetapi agaknya Kina, anak muda sepadukuhan dengan Prenik tidak senang melihat hubungan itu, sehingga mereka telah bertengkar."
"Apa yang dilakukan Prenik?"
"Menurut Senu, Prenik hanya dapat lari pulang ke Minggir."
"Tidak ada yang melerai perkelahian itu?"
"Ada. Dua orang yang sedang disawah melihat kedua anak muda itu berkelahi. Mereka memang berhasil melerai mereka. Tetapi keduanya masih tetap dendam."
"Kenapa tiba-tiba saja anak Minggir itu jadi galak?"
"Bukan saja anak Minggir. Anak Pasiraman, disekitar Bukit Laras, Tlaga Simping dan bahkan padukuhan-padukuhan di Pudak Lawang menjadi galak. Pemarah dan selalu berusaha memisahkan diri."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Biarlah sore nanti aku menemui Senu. Ia harus tahu bahwa persoalannya tidak terbatas pada pertemuannya dengan Prenik. Ada masalah yang agaknya lebih luas dari sekedar bertemu dengan Prenik. Persoalan yang meliputi kademangan Pudak Lawang."
"Ya. Agaknya Ki Lurah dan kakang Glagah Putih perlu memperhatikan kademangan itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya anak-anak muda di padukuhan induk sudah banyak yang mengetahui, bahwa anak-anak muda dari kademangan Pudak Lawang bertingkah laku aneh.
"Baiklah," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "kita akan memikirkannya lebih jauh."
"Terima kasih, Ki Lurah. Nampaknya persoalannya memang agak menarik perhatian."
"Jika kalian melihat sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi, laporkan kepada Ki Gede atau kepada kami."
" Ya, Ki Lurah."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Puuhpun segera melanjutkan perjalanan. Namun nampaknya Glagah Putih ingin segera bertemu dengan Senu. Karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Lurah Agung Sedayu, "Kakang. Aku akan singgah sebentar di rumah Senu. Dari pada nanti aku harus berangkat lagi dari rumah, lebih baik aku langsung singgah di rumahnya. Biarlah kakang pulang saja lebih dahulu."
"Baiklah," sahut Agung Sedayu, "tetapi jangan mengambil sikap lebih dahulu."
"Baik, kakang."
Disimpang tiga, keduanyapun berpisah. Agung Sedayu berjalan terus langsung pulang, sementara itu Glagah Putih berbelok ke kanan. Ketika Glagah Putih sampai di rumah Senu, ia melihat beberapa orang berada di rumah itu. Dua orang laki-laki yang masih terhitung muda. Seorang adalah kakak kandung Senu, yang seorang kakak iparnya. Seorang pamannya juga berada di rumah itu.
"Marilah, ngger," ayah Senu mempersilahkan.
"Dimana Senu ?"
"Silahkan duduk."
Glagah putihpun kemudian duduk di serambi bersama ketiga orang laki-laki yang berada di rumah Senu. Baru sejenak kemudian Senupun keluar dari ruang dalam.
"Kakang Glagah Putih," desis Senu.
"Aku mendengar dari anak-anak di banjar, kau tadi berkelahi, Senu."
"Memalukan, kakang. Sebenarnya aku tidak ingin berita ini tersebar."
"Kenapa memalukan ?"
"Persoalannya adalah persoalan perempuan."
"Prenik maksudmu?"
"Darimana kakang Glagah Putih tahu?"
"Seseorang mengatakan kepadaku."
"Sudahlah, kakang. Persoalannya nanti semakin tersebar kemana-mana. Aku benar-benar menjadi malu."
"Soalnya bukan soal Prenik, Senu. Tetapi kita sedang memperhatikan anak-anak muda dari beberapa padukuhan dikademangan Pudak Lawang. Itulah yang lebih menarik perhatian daripada persoalan Prenik."
Senu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berdesis, "Ya. Anak-anak Pudak Lawang."
Tiba-tiba saja kakak Senu itupun berkata, "Ya. Anak Pudak L.awang. Mereka sekarang menjadi garang. Pembagian air disawah juga menjadi agak kacau sekarang karena pokal anak-anak Pudak Lawang."
"Kita harus berhati-hati menghadapi mereka. Mungkin persoalannya tidak sederhana yang kita duga."
"Ya, kakang." "Nah. Aku minta untuk sementara kau tidak keluar dari padukuhan, Senu. Bukan maksudku untuk mengatakan bahwa kau menjadi ketakutan karena Kina. Tetapi kita harus melihat persoalannya dalam bingkai yang lebih luas."
"Aku mengerti kakang."
Beberapa saat lamanya Glagah Putih berada di rumah Senu. Dari kakak, kakak ipar dan paman Senu, Glagah Putih mendengar beberapa ceritera yang membuatnya semakin yakin, bahwa pengaruh buruk telah bertiup diatas kademangan yang dianggap kademangan terkuat di Tanah Perdikan Menoreh itu.
Setelah beberapa lama Glagah Putih berbincang dengan keluarga Senu, maka Glagah Putihpun segera minta diri.
Di rumah, kepada Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih mengatakan, "Kita tidak akan dapat menunggu terlalu lama, kakang."
"Tidak terlalu lama. Nanti malam Ki Argajaya akan mengajak Prastawa menghadap Ki Gede. Besok pagi kita dapat menghadap dan mendengar, apa yang sebenarnya terjadi dengan Prastawa."
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti petang, aku ingin pergi ke Pudak Lawang, kakang."
"Jangan Glagah Putih. Kau harus lebih sabar sedikit. Jika kau salah langkah, justru kaulah yang akan terjebak, sehingga semua orang akan menganggap bahwa kaulah yang telah menyulut persoalan."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Ki Jayaraga yang ikut duduk bersama merekapun berkata, "Jangan ngger. Kita harus lebih berhati-hati menghadapi pesoalan ini. Ketika aku melihat orang yang disebut Ki Kapat Argajalu lewat di jalan bulak bersama Prastawa dan kedua anaknya yang bernama Soma dan Tumpak itu, tiba-tiba saja aku telah teringat sesuatu."
"Teringat apa, Ki Jayaraga?"
"Dahulu, telah cukup lama terjadi, aku mengenal meskipun tidak secara pribadi, seorang berilmu tinggi yang hidup dalam bayangan kegelapan. Mereka berada dalam satu lingkungan dengan beberapa orang muridku yang lepas dari kendali. Bahkan hampir semua muridku telah melintas di jalan sesat, sehingga akhirnya aku menemukan Glagah Putih. Beruntunglah aku bahwa jiwa Glagah Putih sudah terbentuk pada saat aku menemukannya, sehingga aku tidak merasa cemas bahwa Glagah Putihpun akan kehilangan kendali. Dengan demikian aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa seandainya aku berhasil mewariskan ilmu kanuragan kepada murid-muridku, namun ternyata aku tidak mampu memberikan tuntunan jiwa kepada mereka."
Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang, sementera Glagah Putih menundukkan kepalanya.
"Orang itu, yang disebut Kapat Argajalu adalah salah seorang yang berilmu tinggi yang sempat menghimpun beberapa orang yang diantaranya adalah muridku. Aku tidak tahu, apa yang dilakukannya sekarang. Waktu itu aku juga tidak tahu bahwa Kapat Argajalu adalah seorang yang masih mempunyai hubungan darah dengan Ki Gede Menoreh. Tetapi keberadaannya di Tanah Perdikan ini akan dapat menyulut api yang dapat membakar kehidupan tentram dan damai di Tanah Perdikan ini."
Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Ia mulai mengerti, karena Ki Jayaraga menjadi lebih akrab dengan sanggar dan waktu ke waktu sebelumnya.
Agaknya Ki Kapat Argajalu telah mengingatkannya pada suatu keadaan yang sangat merisaukannya, karena menurut pengenalan Ki Jayaraga, Ki Kapat Argajalu telah sempat membawa muridnya ke jalan yang gelap.
"Ki Jayaraga yakin bahwa Kapat Argajalu itu benar-benar orang yang pernah Ki Jayaraga kenal?"
"Nampaknya memang demikian, Ki Lurah. Tetapi seperti yang aku katakan, aku tidak mengenalnya secara pribadi. Namanyapun bukan nama yang dipergunakannya sekarang."
"Jika demikian, kita memang harus menjadi semakin berhati-hati."
"Tetapi Kapat Argajalu itu sama sekali tidak memperhatikan aku ketika ia lewat di jalan bulak. Kebetulan aku berada di sawah, mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di antara batang-batang padi muda dengan mengenakan caping untuk melindungi kepalaku dari teriknya panas matahari."
"Baiklah Ki Jayarga," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "besok aku akan berbicara dengan Ki Gede Menoreh."
"Kita harus sudah mengambil langkah-langkang, kakang. Kasihan anak-anak Pudak Lawang juka terlanjur dihimpun oleh Ki Kapat Argajalu untuk mendukung niatnya yang sesat."
"Aku lebih kasihan lagi kepada Prastawa, apabila ia benar-benar telah terpengaruh oleh Ki Kapat Agajalu."
"Seharusnya Prastawa dapat mengingat pengalaman buruk yang pernah terjadi. Tidak saja karena sikap perlawanan ayahnya terhadap Ki Gede, tetepi sikap Prastawa dari pada waktu itu," desis Glagah Putih.
"Besok kita akan berbicara panjang dengan Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede berhasil melurusakan jalan Prastawa yang mulai merambah jalan sesat itu."
Ketika matahari menjadi semakin rendah, Ki Argajaya telah melintasi kebun di belakang rumahnya, menyusup pintu butulan memasuki kebun belakang rumah Prastawa.
"Ayah," desis Prastawa yang sedang duduk di serambi belakang bersama isterinya. Nampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh.
Ki Argajaya itupun melangkah mendekati mereka.
"Silahkan ayah," berkata isteri Prastawa sambil bangkit berdiri.
"Duduk sajalah. Kau tidak usah kemana-mana," berkata Ki Argajaya.
"Aku akan ke dapur ayah."
Ki Argajaya tersenyum. Katanya, "Kau tidak usah menjadi sibuk karena kedatanganku. Bukankah aku bukan tamu."
Isteri Prastawa tersenyum. Namun iapun kemudian meninggalkan serambi.
Prastawalah yang kemudian duduk menemui ayahnya.
"Prastawa," berkata Ki Argajaya, "aku hanya sebentar. Aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa nanti malam kita berdua dipanggil menghadap oleh pamanmu Argapati."
"Ada apa lagi, ayah?"
"Mungkin ada sesuatu yang penting yang akan dibicarakan dengan kita."
"Kenapa tidak ayah sendiri saja yang datang menghadap paman Argapati?"
"Yang dipanggil adalah aku dan kau. Kita berdua. Sebaiknya kita berdua datang menghadap."
"Ayah sajalah."
"Prastawa. Sebelumnya kau rajin menemui pamanmu. Bahkan kau lebih lama berada di rumah pamanmu dari pada di rumah ayahmu atau bahkan di rumahmu sendiri. Kenapa tiba-tiba sekarang kau merasa malas untuk pergi menghadap pamanmu?"
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku sedang pening ayah."
"Kenapa ?" "Mungkin karena udara buruk. Tetapi mungkin karena letih atau sebab-sebab lain yang aku tidak tahu."
"Kau harus memaksa diri untuk datang menemui pamanmu itu."
"Kenapa ayah tidak dapat mengerti keadaanku. Kepalaku pening. Perutku terasa mual."
"Kau harus dapat mengatasinya. Malam nanti kita pergi ke rumah pamanmu. Nanti lewat senja kita berangkat. Aku menunggumu. Jika pada saatnya kau tidak datang, akulah yang akan datang kemari."
Prastawa tidak dapat mengelak lagi. Ia hanya dapat mengangguk sambil menjawab, "Baiklah, ayah. Nanti aku akan singgah di rumah ayah."
"Baiklah. Aku akan menunggumu lewat senja."
Namun ketika Ki Argajaya akan minta diri, maka isteri Prastawa itu telah datang sambil membawa minuman hangat.
"Minum dahulu, ayah." menantu Ki Argajaya itu mempesilahkan.
"Terima kasih. Sudah aku katakan kau tidak usah menyibukkan diri. Bukankah aku bukan tamu?"
"Hanya minuman saja ayah."
Ki Argajaya tidak mau mengecewakan menantunya. Karena itu, maka iapun menghirup minuman hangat itu.
"Segarnya minuman hangatmu, nduk," desis Ki Argajaya sambil mengusap keringatnya yang mengembun di kening.
Namun sejenak kemudian, Ki Argajaya itu benar-benar minta diri meninggalkan Prastawa dan isterinya di serambi.
"Apa yang ayah katakan?" bertanya isteri Prastawa.
"Ayah mengajak kau malam nanti menghadap paman Argapati."
"Bukankah itu satu kebetulan, kakang."
"Kenapa kebetulan ?"
"Kau dapat menyampaikan langsung kepada Ki Gede, bahwa kakang Swandaru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Tanah Perdikan ini, karana ia tentu akan mementingkan Kademangannya sendiri. Kademangan Sangkal Putung adalah sebuah kademangan yang besar yang menyimpan beratus persoalannya sendiri, sehingga kapan kakang Swandaru dapat mengurusi Tanah Perdikan ini" Karena itu, kakang dapat mengajukan persoalan itu sendini mungkin kepada paman Argapati."
"Kenapa aku harus mempersoalkannya?"
"Bukankah jelas apa yang dikatakan oleh uwa Kapat Argajalu" Kemarin malam uwa Kapat Argajalu sudah menguraikan dengan jelas, apa yang sebaiknya kakang lakukan. Bukankah kakang tidak dapat memilih jalan untuk menikahi mbokayu Pandan Wangi " Untuk memilih jalan kedua dengan menyingkirkan mbokayu Pandan Wangi, agaknya kakang juga merasa ragu. Apalagi yang harus disingkirkan sedikitnya harus dua orang. Mbokayu Pandan Wangi dan anak laki lakinya. Karena itu, jalan yang lain adalah berterusterang kepada paman Argapati. Atau pilihan berikutnya adalah mengerahkan kekuatan yang telah siap mendukung niat kakang untuk mengambil alih kekuasaan."
Prastawa terdiam. Sementara isterinyapun berkata, "Menurut pendapatku, jalan terbaik adalah berkata terus terang kepada paman Argapati. Jika paman setuju, maka tidak akan ada yang harus dikorbankan. Bahkan barangkali kakang Swandaru akan berterima kasih kepadamu karena bebannya berkurang."
Namun Prastawa itupun menggeleng. "Aku tidak akan memberontak Nyi."
"Ini bukan satu pemberontakan, kakang. Tetapi kakang tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa tanpa langkah-langkah yang pasti, hari depan Tanah Perdikan ini akan menjadi suram."
"Untuk membicarakannya tentu kakang Swandaru dan mbokayu Pandan Wangi harus hadir."
"Mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari kepentingan pribadi mereka."
"Jika demikian kenapa kau dapat mengatakan bahwa kakang Swandaru akan berterima kasih karena bebannya berkurang?"
Isteri Prastawa itu terhenyak sejenak. Namun kemudian ia masih juga sempat mengelak. "Tergantung kepada kejujuran kakang Swandaru. Jika ia jujur, ia akan berterima kasih kepadamu. Tetapi jika ia tidak nijur dan bahkan seorang yang tamak maka ia akan menolak untuk menyerahkan warisan dari mertuanya. Nah, dalam keadaan yang demikian, kau dapat mempergunakan cara terakhir. Berlandaskan dukungan yang sudah sempat kau himpun, kau ambil hak dengan kekerasan."
Medali Wasiat 8 Wiro Sableng 181 Selir Pamungkas Pendekar Pemanah Rajawali 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama