PROLOG Mungkin aku tak pernah bercerita bagaimana sesungguhnya kehidupan mereka pada zaman dahulu, saat
napas masih menjadi penggerak hidup mereka. Sebenarnya,
ada beberapa hal yang mereka ceritakan padaku. Tak banyak,
memang, mereka hanya bercerita sekilas, lalu membiarkan
kepalaku berimajinasi tentang kehidupan mereka pada
masa lalu. Aku selalu penasaran terhadap kehidupan kelima
sahabat kecilku. Kehidupan yang sebenarnya, bukan
kehidupan lain setelah kematian, seperti yang kulihat
dari diri mereka selama ini. Kepalaku membayangkan,
bagaimana Peter saat menghadapi papanya, yang katanya
sih galak, atau William saat berbicara pada mamanya yang
menurutnya agak menyebalkan, atau bagaimana sibuknya
Hans saat membantu neneknya memasak di dapur. Ah, aku
ingin sekali melihatnya. Aku saja berpikir seperti ini. Sudah tentu, kalian pun
pasti penasaran dengan kehidupan mereka dulu. Bisa
saja ada hal"hal yang membentuk karakter anak"anak itu
menjadi seperti sekarang, saat aku mengenal mereka. Ada
keinginan dalam hatiku untuk mencari tahu tentang begitu
banyak peristiwa yang pernah terjadi dalam hidup mereka.
Aku benar"benar penasaran!
Sesekali mereka bercerita, walau kadang sulit bagi
telingaku untuk mendengar jelas kejadian sebenarnya,
apa yang ingin mereka sampaikan. Aku hanya ingin
merangkumnya dan membiarkan kalian semua ikut berimajinasi bersamaku, masuk ke dalam lorong waktu. Jangan
terlalu memercayai isi tulisan ini, karena mereka hanya
anak"anak kecil yang kadang terlalu pintar membual. Aku
pun tak sepenuhnya percaya pada cerita-cerita itu.
Pikiranku mencoba masuk ke dalam obrolan-obrolan
singkat mereka, mengembangkannya menjadi sebuah
rangkaian cerita yang bisa kalian semua ikut rasakan.
Mungkin kalian akan mempertanyakan, ini benar atau tidak
ya" Sudahlah, nikmati saja kisah-kisah yang akan kututurkan ini. Tentu saja, beberapa nama yang kutulis di dalamnya
telah kusamarkan. Aku tak mau mengusik masa lalu para sahabatku dengan
pertanyaan-pertanyaan kritis dan rasa ingin tahu, melebihi
kalian. Setidaknya, jika itu baik untuk kita bayangkan,
mengapa tidak" Lagipula, aku tahu betul... diam-diam, kalian
semua juga merindukan mereka, betul kan tebakanku ini"
Aku yakin kalian semua mengangguk setuju!
Jika sebelumnya telah kuceritakan tentang kehidupan
Peter saat masih hidup, kali ini aku ingin mengajak kalian
semua menelusuri kehidupan seorang Hendrick, yang
bagiku agak misterius. Bagaimana tidak, dia jarang sekali
serius, terlebih saat ada Hans di sampingnya. Aku tak pernah
bisa mengorek informasi dari bibirnya....
Semoga saja, diam-diam, aku bisa kembali ke sana, ke
kehidupannya, yang tak pernah dia ungkap pada siapa pun.
Selamat datang kembali, Teman. Kali ini, bukan gerbang
dialog yang sudah kubuka"
Selamat memasuki lorong waktu....
%;" JWM Vll $"%?""3$5"%?"%
WWW &"8338183535 ]1ka dibandingkan empat anak lainnya, bisa dibilang
Hendrick-lah yang paling tidak terbuka. Aku bahkan tak
pernah tahu nama lengkap anak itu, dan tak ada satu pun
yang mengerti apa sebenarnya yang terjadi pada Hendrick
semasa hidupnya. Anak itu kadang terlihat sombong dan arogan"
walaupun tak searogan Peter yang seringkali bertindak
sewenang"wenang. Mulut Hendrick yang nyinyir adalah
ciri khasnya. Hampir seperti anak perempuan! Dia bisa
mengejek siapa pun yang melintas di hadapannya, tak
peduli hantu atau manusia. Akulah yang sekarang sering
jadi bulan-bulanan anak ini, entah mengenai fisikku yang
gemuk, atau perangaiku yang menurutnya seperti nenek tua.
Mulutnya tak pernah berhenti mencemooh.
Meskipun begitu, jika diperhatikan memang wajah
Hendrick terlihat tampan dan penampilannya rapi jika
dibandingkan hantu-hantu kecil lainnya. Tak heran jika dia
sering menyombong bahwa dulu, saat masih bersekolah,
banyak anak perempuan yang tergila-gila kepadanya. Hanya
saja, karena mulutnya yang nyinyir, tak ada satu pun di
antara kami yang mau mengakui ketampanan Hendrick.
Hans selalu bilang bahwa wajah Hendrick sangat
kotor, terlalu banyak bintik"bintik di sana. Sementara
]anshen yang sering dia jahili selalu menganggap potongan
rambut Hendrick mirip dengan potongan rambut jongos
tua yang dulu bekerja di rumah keluarganya. "Rambutmu
seperti kakek"kakek, Hendrick!" Begitulah ]anshen selalu
meledeknya. Hendrick agak sensitif dibandingkan anak"anak lain,
aku tahu. Tak jarang dirinya terlihat marah dan pergi
meninggalkan yang lain, saat salah satu dari mereka menyinggung perasaannya. ]ika kalian masih ingat, dulu anak
itu sempat memusuhi William karena merasa cemburu
melihat kedekatan William dengan hantu perempuan
bernama Norma yang dia sukai. Walau sekarang mereka
sudah berdamai, kadang"kadang Hendrick masih saja
terlihat cemberut jika Will bercengkerama dengan Norma di
hadapannya. Sesekali anak itu melamun, memandangi dedaunan
hijau kesukaannya. Anak itu begitu menyukai daun, dan
warna-warna benda lain yang serba hijau. Menurut
Hendrick sendiri, sejak kecil matanya terbiasa melihat
daun-daun teh yang terhampar luas di tanah perkebunan
tempat ayahnya bekerja. ]ika kebanyakan teman kecilku berasal dari keluarga
tentara yang bertugas di tanah ini, lain halnya dengan
Hendrick yang mengaku bahwa ayahnya adalah seorang
ilmuwan yang meneliti tanaman kina di Jawa Barat. "Kau
tahu, Risa, papaku fasih berbahasa Sunda. Seandainya saja
kau bisa bertemu dengannya, tentu kau juga akan terkagumkagum melihat kemampuan Papa memainkan alat musik
Sunda!" Hanya satu kali saja dia bercerita tentang keluarganya,
tidak lebih. Selanjutnya, yang bisa kulakukan adalah mencoba kasak"kusuk ke sana kemari, mengorek lebih dalam
tentang kehidupan seorang Hendrick.
Aku mulai mengingat"ingat lagi..., astaga! Benar! Hanya
Hans dan Hendrick yang saat itu tak memperlihatkan
penampakan badan tanpa kepala. Mereka berdua ikut
telungkup dalam tumpukan badan William, ]anshen, dan
Peter, ketika untuk kali pertamanya mereka mengungkapkan
kepadaku bahwa mereka berbeda"bahwa mereka adalah
hantu. Saking ketakutannya aku saat itu, sampai-sampai
aku menganggap tak satu pun dari kelima tubuh yang
saling bertumpuk itu memiliki kepala. Saat itu aku hanya
bisa memejamkan mata sambil menjerit dan menangis,
memandangi kondisi asli fisik mereka, dan tak mampu
berpikir dengan jernih. Kurasa Hendrick dan Hans memang lahir jauh sebelum
Peter, Will, dan ]anshen lahir. Mereka lebih lama mengetahui kondisi kota ini, kondisi negara ini. Mungkin semasa
hidupnya Hendrick sebenarnya tak mengalami kekejaman
Nippon yang dirasakan oleh tiga sahabatnyaTapi aku sangat
yakin, bahwa dia menyaksikan yang terjadi kepada orangorang Netherland saat itu dengan mata kepalanya sendiri.
Karena, kini dia sama seperti yang lain... begitu membenci
kekejaman Nippon. Hans sering bercerita padaku, katanya dulu dia dan
Hendrick bersekolah di tempat yang sama. Pantas saja,
rasanya ada yang berbeda dari kedua anak ini, yaitu gaya
berpakaian mereka! Ya, aku tahu. Entah mengapa aku baru
menyadari sekarang bahwa di antara semua teman kecilku,
gaya berpakaian Hans dan Hendrick memang lebih kuno.
Aku benar-benar penasaran sekarang. Rasanya ingin sekali
masuk ke dalam kehidupan mereka saat itu.
Sebenarnya, sulitbagiku untuk melakukan itu, apalagi ] i ka
yang memiliki cerita tidak mengizinkanku masuk ke masa
lalunya, yang mungkin tak ingin dia ungkapkan. Hendrick
paling sulit diajak bicara serius, dengan gaya khasnya yang
penuh lelucon, dia selalu saja berhasil mengecohku agar tak
lagi bertanya-tanya mengenai kehidupannya dahulu.
Satu kepingan kecil informasi lagi-lagi kudengar dari
William. Menurut Will, "Risa, dia tak pernah mengenal
Nippon, tapi dia menyaksikan semua penderitaan kami." Itu
saja, hanya satu kalimat. Aku tak mendapat banyak cerita
dari William. Entah Will memang tak tahu apa-apa, atau
mungkin dia telah berjanji untuk tidak bercerita mengenai
kisah hidup Hendrick yang begitu misterius padaku. Belum
apa-apa, kepalaku sudah pusing mencari-cari cara untuk
mengorek informasi tentang Hendrick. Berkali-kali, aku
terpaksa menutup laptopku lagi dan berhenti menuliskan
kisahnya. 'VI/lunq/cin dia tak mau membagi
ceritanya kepadaku, atau para
pembaca buku ini.... "
Dan tiba-tiba, pada suatu malam dia datang. Tanpa
banyak bicara, hanya menatapku sambil tersenyum, dan
terus mengangguk seolah berkata, "Aku tak keberatan."
Tiba-tiba saja, seperti sebelumnya, dengan cekatan
tanganku mulai menuliskan kisah tentang seorang anak
bahagia yang tengah berlarian di sebuah bangunan sekolah
tempo dulu. Aku sempat berpikir keras, siapa dia" Apa makna
tulisan tentang anak ini" Aku bahkan tak mengenalnya
seperti aku mengenal sahabat"sahabat kecilku. Hendrick
yang sesekali mendekatiku yang sedang menulis berbisik
pelan. "Itu aku, Risa. Itu alat yang
dulu.... " Seketika, aku berpaling dan menatapnya. "Benarkah" Itu
kau?" aku bertanya dengan agak kaget.
Kepalanya mengangguk mantap. "Tampan, ya?"
GN! ax / /]/ rAx [y/"a '" Ax X v <") 83% Pembawa Berkah Rambutnya terlihat sangat rapi, dibelah pinggir
seperti gaya khas anak Belanda tahun 1890-an. Dengan
wajah tirus, bentuk hidung, dan mata yang sempurna, dia
tampak menonjol dan cemerlang dibanding anak-anak lain.
Matanya berwarna cokelat tua, giginya tersusun rapi bagai
dipahat. Meski wajahnya dipenuhi bintik, tetap saja dia
terlihat sangat bersinar.
Benar, dia sangat tampan.
Ketika dia berjalan santai di koridor sekolah, beberapa pasang mata anak perempuan terlihat menatapnya
dengan tajam. "Hendrick begitu bersinar, ya!" beberapa
anak perempuan berbisik. Bisikan itu terdengar jelas oleh
Hendrick, gaya berjalannya langsung berubah menjadi lebih
tegap, bibirnya tersenyum puas.
Setelah seharian ini dia beraktivitas di sekolah, tetap
saja rambutnya yang licin oleh minyak rambut itu terlihat
rapi. Berjalan menyusuri koridor menuju gerbang sekolah
adalah saat yang selalu dia nantikan setiap hari. Bagaimana
tidak, pujian-pujian yang ditujukan kepadanya memuncak di
koridor itu. ]ika biasanya, diam-diam, anak-anak perempuan
sering membicarakannya di kelas masing-masing, lain
halnya saat di koridor. Anak"anak perempuan terlihat lebih
ekspresif dan dengan cueknya bisa berteriak"teriak memuji
Hendrick. Hendrick Konings menjadi anak yang dipuja di sekolah,
karena tak hanya pintar, dia juga tampan, dan berasal
dari keluarga yang cukup disegani di Bandoeng. Umurnya
sekarang baru delapan tahun, tapi tubuhnya menjulang
tinggi seperti seorang atlet. Kepada orang-orang yang belum
mengenalnya, Hendrick akan sangat menjaga wibawa
dengan cara berpura-pura pendiam dan tak banyak ulah.
Namun, jika dia sudah benar-benar akrab dengan seseorang, Hendrick akan menunjukkan sifat aslinya yang jahil
dan humoris. "Mama, aku pulang!" anak itu berteriak gembira. Seorang
wanita menyambutnya dengan penuh suka cita dari dalam
rumah, merentangkan kedua lengannya untuk memeluk
sang anak. "Sayang, bagaimana di sekolah tadi?" dia bertanya
dengan mesra. Anak itu melepaskan diri dari pelukan ibunya,
lalu berlompatan seperti seekor jangkrik.
"Nilai ujianku tak ada yang jelek! Semuanya bagus!
Berkali-kali Nyonya Madeline memuji nilai-nilai yang
kuperoleh! Haha! Aku memang pintar, ya"!" dia bercerita
dengan ekspresi manja di hadapan ibunya.
"Tentu saja, kau sama sepertiku. Selalu unggul di kelas,
tak pernah mendapatkan nilai buruk!" sang ibu tak mau
kalah, ikut menyombong. "Tapi, Mama tak pernah dipuji seperti aku, kan" Mama,
percayalah, aku ini anak paling tampan di sekolah! Tadi, lagilagi kudengar anak"anak perempuan berbisik, mengatakan
jika aku bersinar! Coba bayangkan itu, Mama, bersinar!
Seperti ada lampu menerangi wajahku yang tampan!"
Hendrick kembali berteriak girang.
Ibunya tak mau kalah. "Tunggu dulu, kau tak tahu aku
ini Nina Sang Primadona" Semua orang di Kaysersberg tahu
aku. Kepopuleranku tak hanya di sekolah saja. Selain pintar,
aku cantik, dan aku sangat pandai bernyanyi. Hohoho, kau
kalah, Hendrick Sayang!" Wanita itu tertawa puas, semen
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tara anak laki-laki kecil di sebelahnya kini terlihat cemberut.
Tiba-tiba anak itu melotot, dan kembali ceria. "Tapi,
Mama, untuk yang satu ini, Mama pasti akan kalah dariku!
Hahahaha!" Dia tertawa puas.
Ibunya mengerenyitkan kening. "Apa itu?" dia bertanya
pada sang anak. Hendrick kembali tertawa. "Di sekolah, aku memenangi
perlombaan kencing paling jauh. Air kencingku bisa menyembur sejauh dua meter, Mama! Mama pasti tak bisa
mengalahkanku!" Ekspresi Hendrick tampak sangat puas.
Alih-alih merasa kalah, ibunya malah tertawa keras dan
kembali memeluk sang anak, sembari jemari tangannya
menjitaki kepala Hendrick. "Kau memang anak yang sangat
nakal, Hendrick! Aku selalu kalah oleh kenakalanmu."
ucapnya dengan mesra. Nina Roux namanya, perempuan paling cantik di
Kaysersberg, Prancis. Perempuan cantik ini merupakan
anak seorang pengusaha kebun anggur di sana. Dia adalah
putri kesayangan keluarga Roux. Bahkan produk wine yang
diproduksi perkebunan milik keluarganya ini diberi nama
"Nina". Dia terkenal baik hati dan periang. Walau gayanya
agak tomboy, itu tak menyurutkan kecantikan Nina, yang
semakin ramai menjadi pembicaraan di kalangan para
pemuda setempat. Tak hanya itu, Nina yang berprestasi
di sekolah juga seringkali menjadi guru pengganti bagi
junior-juniornya. Tak salah memang jika julukan "Nina Sang
Primadona" melekat pada dirinya.
Perempuan ini mempunyai sepasang adik kembar,
bernama Immanuel dan Manuella. Dengan sangat telaten,
dia mengasuh kedua adiknya, menggantikan peran sang ibu
yang meninggal dunia pada saat melahirkan mereka. Nina
adalah paket istimewa bagi para laki-laki yang mendambakan seorang istri sempurna.
Namun, di balik sosoknya yang sempurna, Nina memiliki kekurangan, terselubung dalam jiwanya. Perempuan
ini sangat rapuh, mudah depresi, dan dia butuh waktu
lama untuk kembali normal. Ketika ibunya meninggal saat
melahirkan Immanuel dan Manuella, dia diserang perasaan
marah, terluka, dan depresi berlebihan. Lama setelahnya,
baru dia menerima kematian Mama yang begitu dia cintai.
Sempat beberapa bulan dia tak mau melihat adik kembarnya.
Menurut pikirannya, penyebab kematian ibunya adalah dua
anak kembar itu. Tapi, waktu pula yang akhirnya meluluhkan hati Nina, karena sang ayah berhasil menuntun anak
itu dan meyakinkan bahwa kematian itu adalah kehendak
Tuhan, bukan kesalahan anak"anak kecil tak berdosa.
Nina Roux juga merupakan perempuan yang sulit untuk
jatuh cinta, bahkan dia pernah berkata, dia tak ingin menikah.
Begitu yang dikatakan orang-orang. Dia lebih tertarik untuk
menjaga ayah dan kedua adiknya, dibandingkan harus pergi
meninggalkan mereka dan membina keluarga baru. Nina
sangat sulit didekati. jika ada yang mencoba mendekatinya,
dia akan menghindar dan menutup diri dengan cepat. Tak
ada seorang pun laki-laki yang mampu menaklukan Nina
Roux. Sementara itu, di belahan lain Benua Eropa, ada
seorang laki-laki muda yang tergila-gila pada minuman wine
favoritnya, dan dibuat penasaran oleh nama wine itu, Nina.
Rasa minuman dari anggur itu manis, sedikit asam, pahit,
namun begitu istimewa, karena dia tak pernah bisa berhenti
untuk meneguknya. Ada perasaan yang tak tertahankan
untuk mencari tahu siapa sebenarnya N ina, karena dia yakin
ada alasan di balik nama minuman ini. Dia berharap sosok
Nina memang ada, tak semata-mata sebuah nama.
Laki-laki itu bernama ]eremy Konings, anak seorang
pengusaha ternama di Netherland. Saat itu dia masih
bersekolah di Rotterdam, mempelajari seluk"beluk tanaman
perkebunan tropis. Cita-citanya adalah menjadi seorang
ilmuwan. Dia tak tertarik menggeluti bidang bisnis keluarga
besarnya. Belakangan, dia tertarik untuk bekerja di Hindia
Belanda dan mengamalkan ilmunya di negeri tropis jajahan
bangsanya. Berbekal sedikit info, dia berkelana ke tempat produksi
minuman favoritnya itu di Perancis, tepatnya ke daerah
kecil bernama Kaysersberg. Dia mengalami perasaan aneh,
merasa begitu kenal dengan "Nina" walaupun sama sekali
tak mengetahui siapa dia. Berbekal beberapa botol anggur
di tangannya, dia bertanya pada orang-orang di Kaysersberg
soal Nina. Dan benar saja, Nina adalah nama anak pemilik
pekebunan anggur. Pemuda itu merasa mendapat angin
segar. Dan dia berhasil mengantongi beberapa informasi
penting tentang Nina, termasuk Nina yang tak mau didekati
laki-laki. Matanya terkagum-kagum melihat perkebunan anggur
yang terbentang luas. "Inikah perkebunan Nina?" Dalam
benaknya, sosok Nina terus terbayang. Kakinya melangkah
melewati gerbang perkebunan, matanya menyapu keadaan
di sekelilingnya, mencari letak rumah keluarga perkebunan
kaya itu. Tiba-tiba, sesuatu menjegal langkahnya hingga ia jatuh
terjerembap ke tanah. "Ough!" dia berteriak, sesaat setelah
merasakan lutut sebelah kanannya sakit. "Astaga, Immanuel!
Tidak boleh begitu!" Suara seorang perempuan terdengar
mendekatinya. Kini, di hadapannya tampak seorang anak
laki-laki tinggi dan seorang perempuan cantik yang tubuhnya tak kalah tinggi. "Maaf, Tuan, adik saya memang sangat nakal. Maaf
karena adik saya sudah membuat Anda terjatuh, maaf, Tuan."
Perempuan itu terlihat sangat menyesal.
Namun, ekspresi berbeda terpancar di wajah anak lakilaki yang ada di sampingnya. "Dia pencuri, aku yakin dia
pencuri anggur!" seru anak itu dengan kesal.
"Tidak, tidak, aku bukan pencuri," ]eremy berusaha
menjelaskan. "Lalu, Anda mau apa?" tanya perempuan itu dengan
tatapan yang tiba-tiba berubah menjadi curiga. ]eremy
tersenyum melihat ekspresi cantik perempuan itu.
"Saya mencari Nina, Nona?" jawabnya sambil terus
tersenyum. Kedua orang yang ada di hadapannya kini saling
bertatapan. "Mau apa?" perempuan itu bertanya dengan
ketus. ]eremy diam-diam mulai sadar, sepertinya sosok yang
selama ini dia cari berdiri di depan matanya. "Ini pasti Nina,"
batinnya berbisik. ]eremy bukan orang bodoh, dia harus
mencari celah untuk mengenal lebih dalam Nina Roux.
Sambil menepuk"nepuk celananya yang berdebu
akibat terjatuh tadi, ]eremy berlagak tidak acuh di depan
keduanya. "Ah tidak, saya hanya ingin tahu bagaimana
karakter pemilik nama wine favorit saya ini," ujarnya
sambil menunjukkan isi tasnya yang disesaki botol anggur
perkebunan Roux. "Maksud Anda apa, ya?" Perempuan itu tampak penasaran sekaligus ketakutan.
"Tenang, Nona, tujuan saya kemari adalah mencari Nina,
bukan mencari Anda. Tak usah terlihat takut. Aku hanya ingin
tahu, sebenarnya Nina itu seperti apa, sih" Menurut kabar,
dia perempuan paling membosankan yang dihindari banyak
orang karena dia juga menyebalkan. Belum lagi dia itu ketus
dan galak, persis seperti minuman yang biasa kuminum ini.
Galak," jawab ]eremy sambil tersenyum sinis.
Seorang anak perempuan cantik mendatangi mereka.
"Nina" aku lapar sekali!" Dengan polos, anak itu menariki
rok sang kakak yang sekarang terlihat kikuk akibat dipanggil
namanya. "Oh, jadi Anda yang bernama Nina" Hmmm... seperti
yang sudah saya bayangkan sebelumnya," ]eremy seolah
sedang berbicara sendiri.
Tanpa memedulikan permintaan adik perempuannya,
Nina merengut marah pada si laki-laki asing yang belum
sampai lima menit dia kenal. "Kau, orang asing tak tahu
diri! Datang dengan tujuan yang aneh! Dan sekarang
mengatai orang lain seenaknya! Kau tak tahu siapa aku!
Dan kau tak berhak berpendapat apa-apa tentang aku. Kau
hanyalah orang asing! Pergi dari perkebunan ini! Atau harus
kupanggilkan penjaga untuk mengusirmu dengan cara
kasar?" ]eremy terkekeh puas melihat reaksi kemarahan Nina.
Sementara itu, kedua adik Nina, si kembar lmannuel dan
Mannuela tampak ketakutan melihat reaksi marah sang
kakak. Tanpa sadar, kedua anak itu malah berlindung di
balik celana ]eremy. "Haha, lihat! Bahkan adik"adikmu ini
ketakutan melihatmu marah. Kau memang Nina, si lezat
yang galak." ]eremy terbahak-bahak kini.
Nina menarik kedua lengan adiknya, dan tak mengucapkan sepatah kata pun lagi. Dia menatap sinis laki-laki
brengsek itu, sebelum akhirnya berbalik menerobos perkebunan anggur milik keluarganya. Sementara itu, ]eremy
terus tertawa puas. Keinginannya untuk bertemu Nina
akhirnya terwujud, sesuai harapannya. Namun, perasaan
dalam hatinya semakin berkembang. Kini, dia ingin memiliki
Nina Roux, menjadikannya sebagai pendamping hidup.
Dengan cara yang tak biasa, ]eremy terus menerus
datang ke perkebunan itu. Nina yang awalnya sangat
membencinya pun lama-lama luluh melihat ]eremy yang
semakin akrab dengan kedua adiknya. Bahkan, tak jarang
kedua adiknya menanti-nanti kedatangan ]eremy dengan
tak sabar. Laki-laki itu memang pintar, kegigihannya untuk
mendapatkan hati Nina mendapat respons yang sangat
positif dari Tuan Roux, ayah Nina. Tuan Roux mengizinkan
]eremy tinggal di perkebunan miliknya, untuk meneliti
tumbuhan anggur yang ada di sana.
M.....OJ-J Lama kelamaan, Ninajaiuh hati pada
laki"Iaki itu. Tanya menanti lama,
Jeremy berhasil menaklukan Nina dan
memi'nangnya. Wanita itu ya:; kelak
akan menemaninya hidup di india
Belanda. Hendrick Konnings lahir di Hindia Belanda, tepatnya
di kota bernama Bandoeng. Lahir dari pasangan suami istri
bernama ]eremy Konnings dan Nina Roux, yang kini sudah
berganti nama menjadi N ina Konnings.
Sebelum Hendrick lahir, sebenarnya pasangan muda
itu sempat memiliki seorang putri yang diberi nama
Angeline. Sayang, usia Angeline hanya bertahan selama
dua hari, akibat organ-organ dalamnya yang belum tumbuh
sempurna. Saat kematian Angeline, Nina dan ]eremy merasa
sangat terpukul. Bagaimana tidak, hampir selama delapan
bulan mengandung, tubuh Nina terus sakit-sakitan, sehingga
selama kehamilan dia harus terus-menerus berbaring di
atas tempat tidur. Setelahnya, Angeline terpaksa harus lahir
pada usia kehamilan delapan bulan. Dan bayi mungil itu tak
mampu untuk bertahan hidup.
Bisa dikatakan, Nina Konnings menangis sepanjang
tahun. Menangisi kepergian putri pertamanya. Dia kembali
depresi, sama seperti saat kehilangan ibunya dulu. ]eremy
kehilangan cara untuk menghibur istrinya yang terus menerus menangis. Manuella dan lmannuel didatangkan dari Prancis untuk
menghibur kakak mereka yang sedang berduka. Namun,
ternyata kedatangan kedua adik kembarnya pun tak mampu
mengusir rasa sedih dan trauma Nina.
Namun, lama kelamaan luka itu hilang juga, tergantikan
oleh kehamilan kedua Nina. Berbeda dengan sebelumnya,
kehamilan kedua ini tak mengalami kendala, bahkan Nina
terlihat sehat dan sangat bersemangat.
Tahun 1887, lahirlah anak kedua mereka, seorang bayi
lelaki yang diberi nama Hendrick Konnings. Anak itu terlihat
sehat dan kuat. Wajahnya sangat mirip dengan Nina, namun
bentuk tubuhnya persis ]eremy. Saat dia lahir, orang-orang
berdecak kagum melihat lekuk tubuh dan wajahnya yang
sempurna. Dokter bahkan menyebutnya si anak malaikat.
Sejak kehadirannya, keluarga Konnings seperti mendapat berkah bertubi-tubi. Selain rumah yang kini menjadi
hangat dan penuh tawa, penelitian tanaman kina ]eremy
mendapat respons yang sangat baik dari pengusaha ternama di Bandoeng. Dia menjadi peneliti yang bekerja di
lab besar sebuah perusahaan pengekspor tanaman kina.
Tak hanya itu, sang istri Nina Konnings yang kini jauh lebih
bersemangat pun ikut dipekerjakan, untuk membantu
perusahaan kina itu mengekspor hasil olahannya ke luar
negeri. Koneksi yang dia miliki dari ayahnya ternyata bisa
berguna bagi perusahaan tempat suaminya bekerja.
Pasangan suami-istri itu terkenal baik pada semua orang,
tak terkecuali pada para Inlander yang bekerja bersama
mereka.Tak ada yang tak mencintai keluarga Konnings.
M oooooooo __" "Semua adalah berkah Tuhan, yang dibawa
oleh Hendrick ke dalam keluar a kami," itu
yang selalu Nina ucap an.
wc/D oXVZo Jangan Permaiaka Hendnck "763" Rumah keluarga Konnings di kota Bandoeng berada
di sebuah komplek perumahan orang Netherland. Rumah
yang terlalu sederhana bagi seorang Konnings. Orangtua
]eremy yang pernah mengunjungi cucu mereka di Hindia
Belanda pun sempat memprotes pilihan anaknya untuk
bertempat tinggal di rumah sederhana itu. Namun, ]eremy
dan istrinya bersikukuh bahwa mereka membutuhkan
rumah itu untuk kepentingan anak mereka, Hendrick.
Berbeda dengan orang berada lainnya, suami-istri itu
lebih suka membesarkan anak mereka dengan fasilitas
sederhana. Mereka sadar, Hendrick perlu dibimbing agar
tidak tumbuh menjadi anak keluarga kaya yang sombong
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan tinggi hati. Rumah itu sebenarnya tak sesederhana yang
dibayangkan orang"orang zaman sekarang. Di dalamnya
terdapat enam kamar, dua ruang keluarga, dan halaman
belakang seluas lima ratus meter persegi. Mereka masih bisa
melihat Hendrick kecil tertawa ke sana-kemari, berkejaran
dengan pengasuhnya. Pusat pengolahan hasil kebun kina memang ada di kota
ini, sedangkan perkebunannya terletak beberapa puluh
kilometer di bagian selatan kota Bandoeng. Sesekali, ]eremy
mengajak keluarganya untuk mengunjungi perkebunan
itu, untuk mengambil sampel kulit, dahan, batang, dan
ranting kina untuk dia teliti kualitasnya. Ada sebuah
rumah peristirahatan yang disediakan untuk mereka saat
berkunjung ke perkebunan.
Berlibur ke perkebunan adalah saat yang paling
disukai Hendrick. Tak hanya perkebunan kina, dia juga bisa
menikmati pemandangan perkebunan teh yang terletak tak
jauh dari tempat peristirahatan mereka. Hampir sebulan
sekali dia merengek pada orangtuanya untuk berkunjung
ke perkebunan. Berkali"kali dia merengek, meminta pindah
ke tempat peristirahatan itu, tapi kedua orangtuanya hanya
bisa tertawa menanggapi permintaannya.
"Enak saja kau minta pindah ke sana, di sana kau bisa
main sepuasnya bersama teman-temanmu. Lalu aku"
Bagaimana" Sendirian di rumah menunggumu pulang"
Oh tidak, Hendrick. Aku tidak mau!" Nina mengerenyitkan
kening dengan ekspresi lucu, saat Hendrick lagi-lagi minta
pindah ke rumah peristirahatan.
"Mama, dengarkan aku, kulit Mama terlalu pucat.
Mungkin Mama perlu bekerja bersama para pegawai perkebunan agar kulit Mama tak terlihat seperti orang sakit
kolera!" Hendrick menahan tawa karena hal itu sesungguhnya tak pantas dilakukan oleh ibunya.
Nina terlihat melamun sesaat, lalu dia mengangguk
perlahan, seolah menyetujui pendapat anak laki-lakinya.
"Baiklah, boleh juga idemu. Aku terlihat seperti orang sakit,
ya" Hmmm, baiklah." Lagi-lagi Nina mengangguk tanpa
menatap Hendrick. Anak itu kini terlihat penasaran atas
reaksi aneh ibunya. Tiba-tiba, Nina Konnings menundukkan kepala, dan
mulai terisak. "Aku tak bisa berpura-pura lagi kepadamu,
Hendrick. Secara tidak sadar, rupanya kau tahu bahwa aku
memang sakit. Kulit pucat dan kering ini, memang karena
penyakit yang sudah lama kuderita.?" Nina terbatuk"batuk
kecil sambil terus menangis.
Awalnya Hendrick kebingungan, tetapi tiba-tiba dia
panik. "Mama! ]angan bercanda, Mama, jangan membohongiku!" teriaknya sambil mengguncangkan tubuh sang
ibu. Nina korminqs tale bergeming,
matanya lurus menatap tembok.
"Kau tahu, lelah rasanya menanggung beban ini
sendirian. Apalagi aku hidup bersama anak laki-laki yang
punya terlalu banyak keinginan. Sementara, aku sendiri tak
bisa terlalu banyak bermimpi, karena dokter bilang... aku tak
akan bertahan hidup lama dengan penyakit yang semakin
lama melemahkanku." Nina menutupi wajahnya dengan
tangan, tangisnya terdengar semakin keras.
Hendrick kelimpungan dibuatnya. Dia mencoba menutup kedua telinganya menggunakan tangan. "Berhenti
berbicara seperti itu, Mama! Kau tak akan mati, Mamaa!!!"
dia berteriak-teriak panik. Beberapa pembantu di rumah
keluarga Konnings mendekat ke arah mereka, namun tak
seorang pun berani berbicara. Tak pernah mereka melihat
nyonya rumah dan tuan kecil keluarga Konnings seperti itu.
"Sekarang katamu, aku yang kurus dan pucat ini harus
ikut bekerja di perkebunan. Kau memang ingin aku cepat
mati, dan tak mengganggumu lagi, kan" jika memang itu
maumu, aku akan bilang pada papamu agar menuruti
keinginanmu, pindah ke sana." Nina menjerit histeris.
Hendrick di sampingnya ikut histeris, meminta ibunya
berhenti bicara. Alih-alih diam, Nina malah semakin
meracau, seperti orang gila. "Lalu nanti aku akan mati, dan
papamu jatuh cinta lagi pada wanita lain. Kau akan punya
ibu tiri, yang mungkin akan menyiksamu dengan kejam!"
Nina memelototi Hendrick dengan galak.
Anak itu terus menerus menutup kedua telinganya.
Dengan air mata berlinang, dia meminta ibunya agar berhenti berbicara. M....coo.?""M "Tidak, Mama! Tolan berhenti bicara!!!
Aku tidak mau mama am! Aku tak ingin
pindah dan" rumah ini! fjku mau kau
selamangajadi mamakuuuu!"
Nina tiba-tiba berhenti menangis. Wajahnya masih
terlihat merah dan bengkak, namun bibirnya tak kuasa
menyembunyikan sesuatu. Lama-lama, dia tak tahan lagi.
Tawanya pecah dengan sangat keras. Kini dia tertawa
terbahak-bahak. Semua yang ada di situ kaget sekaligus
kebingungan. Hendrick yang sejak tadi menangis pun
menatap ibunya dengan heran, dengan dada yang masih
berguncang karena tersedu.
"Hahahaa, aku menang!!! Ya, ya, si Nakal berhasil kutipu!
Hahahahaha, aku puas sekaliii!" Nina melanjutkan tawanya. Hendrick mulai mengerti, dia sedang dipermainkan
oleh ibunya yang memang sangat jahil. Tangis itu berubah
menjadi kekesalan yang siap meledak.
Tawa Ibunya mereda tatkala melihat reaksi sang anak.
"Kau baik"baik saja, Hendrick?" Nina Konnings bertanya
pada anaknya. "Tidak, Mama, sama sekali tidak baik. Kau jahat, Mama.
Jahat sekali!" Hendrick berlari, masuk ke kamar, dan
menguncinya dari dalam. (ww "Tadi siang aku berbuat salah pada Hendrick," lapor
Nina pada suaminya. ]eremy terkekeh sambil mengusapi
kepala istrinya. "Aku sudah mendengarnya dari Bahrun. Orang-orang
belakang hari ini sibuk bergosip tentang drama yang
kauperankan di depan anakmu. Kau memang wanita yang
sangat jahil, Nina." ]eremy mengecup kening sang istri
dengan lembut. Nina memejamkan kedua matanya, masih
ada perasaan sedih mengingat reaksi Hendrick siang tadi.
"Anak itu sangat marah kepadaku. Aku takut dia
membenciku, ]eremy. Sebenarnya, kupikir dia akan tertawa
seperti biasa, tapi ternyata reaksinya berbeda dengan yang
kubayangkan." Nina kini terdengar sangat murung dan
lemah. ]eremy kembali menciumi kepala istrinya. "Sayang,
sudahlah.... Dia hanya anak kecil, yang kebetulan bersifat
sangat mirip denganmu. Mungkin kau juga akan marah
jika dipermainkan seperti itu. Yakinlah, besok dia akan
bersikap biasa saja. Besok aku akan mengajaknya jalan-jalan
ke Lembang, dia pasti akan kembali bersemangat." ]eremy
menggenggam tangan istrinya dengan erat.
M....ooo-J Wanita itu tersenyum, menatap maia laki"
laki yang dicintainya dengan lekat. Lalu.
matanya memandang pigura berisi potret
keluar a kecilnya. ada erasaan menohok
di alam dada, sakit arena lzerasaan
bersalah terhadap Hendrick, yang tidak
seharusnya dirasakan. (ww Pagi itu adalah akhir pekan, tak ada sekolah untuk
Hendrick , dan tak ada pekerjaan menumpuk untuk ]eremy
dan Nina Konnings di pabrik. "Aku ingin berlibur ke Lembang,
dan bersenang-senang bersama kalian. Aku juga ingin
mengunjungi makam Tuan ]unghuhn, sudah lama aku tidak
ke sana. Sudah kuperintahkan Bahrun untuk menyiapkan
sado untuk kita." ]eremy terdengar sangat bersemangat.
Istrinya Nina terlihat sangat antusias, sementara sang
anak yang biasanya bersemangat tiba-tiba terlihat lesu.
"Papa, aku sedang tak ingin bepergian. Lebih baik di
rumah saja, menghabiskan waktu di sini, daripada berlamalama di jalan. Aku tak mau Mama sakit. Mengertilah, Papa."
Hendrick mengemukakan pendapatnya.
]eremy mendelik pada Nina, sambil menggelenggelengkan kepalanya. "Hendrick, mamamu sangat sehat. Dia
hanya bercanda, sengaja membuatmu khawatir. Dia hanya
ingin tahu seberapa besar kau menyayanginya." ]eremy
menarik tubuh anaknya, mendudukkan tubuh jangkung
Hendrick di sebelah pahanya.
"Tapi, jika dilihat-lihat, Mama memang sangat kurus dan
pucat, aku takut dia benar-benar sakit. Dan cepat mati...."
Kepala Hendrick tertunduk sedih.
Nina terdiam, anaknya benar-benar tak mau kehilangan
dia. Matanya berkaca-kaca, merasa bersalah atas sikap
konyolnya terhadap Hendrick.
Segera setelah menghapus air mata yang tergenang,
Nina Konnings melompat sambil berteriak"teriak girang.
"Kau jangan menyepelekan aku, Hendrick! Kenapa tiba-tiba
jadi cengeng begini" Kau seperti anak perempuan! Lihat! Aku
sangat sehatttt! Rasanya siap untuk berlari seratus kilometer
ke atas bukit! Kalau perlu, aku siap memetik pucuk daun teh
berhektar"hektar!"
Hendrick tak tersenyum sama sekali, hanya terus
menunduk. Nina yang tadi terlihat sangat riang sontak
merasa kebingungan, hatinya kacau tak keruan, melihat
Hendrick yang biasanya ceria mendadak kehilangan
gairah. Dia merapatkan tubuh ke tubuh Hendrick, ]eremy
pun melakukan hal yang sama. Tangan mereka mengelusi
punggung Hendrick. "Maafkan aku, Sayang. Sungguh aku tak bermaksud
membuatmu seperti ini." Nina menangis. Ini sangat jarang
terjadi pada Nina. Namun tetap saja, Hendrick seolah tak
peduli, kepalanya tertunduk semakin dalam.
"Bicaralah, kau anak laki-laki, harus bermental kuat.
Tidak cengeng dan pemarah seperti ini," ]eremy terdengar
kesal. Hendrick menengadah, menatap mata kedua orangtuanya, lalu menatap nanar ke arah Nina. "Kau tahu, Mama,
berapa banyak air mataku yang menetes seharian kemarin"
Bahkan semalaman aku tak bisa tidur. Kau sangat keterlaluan, Mama. Aku tak suka Mama bercanda seperti itu. Biar
bagaimanapun, aku tak ingin kehilangan Mama." Wajahnya
dingin dan kaku, tak seperti Hendrick yang mereka kenal.
"Sayang, aku benar-benar menyesal. Aku berjanji takkan
melakukannya lagi padamu. Sungguh, Sayang, aku berjanji
untuk tak bercanda seperti itu lagi. Apa yang sekarang
harus kulakukan untuk menebus kesalahanku, Hendrick
Sayang?" Nina mengelus"elus kepala anaknya sambil tak
henti menangis. "Kirim aku ke Netherland, Mama. Aku ingin bersekolah
di sana, dan berpisah dengan kalian!" jawabnya ketus,
sambil memandangi wajah orangtuanya.
"Tidaaaaaaak, Hendrick, yang satu itu jangan! Umurmu
masih delapan tahun, aku tak akan mengizinkannya!" Nina
menjerit histeris. ]eremy yang sejak tadi ada di sisi mereka hanya bisa
terbengong"bengong melihat percakapan penuh emosi ibu
dan anak ini. Dia hanya bisa membungkam.
"Salahmu sendiri, Mama, kau berbuat seperti ini
kepadaku agar aku jauh darimu, kan" Aku mengerti, Mama.
Biarkan aku pergi dan tinggal bersama Opa di sana. Mereka
lebih menyayangiku daripada Mama." Hendrick mendengus kesal. ]eremy yang sejak tadi diam pun akhirnya angkat bicara,
"Cukup! Kalian ibu dan anak sama-sama keras kepala. Tak
ada yang tak memedulikanmu, Hendrick! Mamamu ini
sangat sayang kepadamu! Dia tak mau kau pergi!" ]eremy
membentak anaknya dengan suara terengah-engah, menahan emosi. Hendrick langsung memelototi kedua orangtuanya. "Aku
benci Papa!" Dia langsung berlari. Tangisan Nina semakin
keras, sementara ]eremy merasa menyesal telah membentak anaknya. "Kau lagi, kenapa membentak anak itu" Kau kan tahu
dia tak suka dimarahi!" Nina tiba-tiba berteriak kepada
suaminya. ]eremy tercengang, tak menyangka bahwa
akhirnya akan seperti ini. Dua orang yang dia sayangi kini
marah kepadanya, padahal dia merasa melakukan hal yang
benar M ........ _"_M "Hendrick dan Nina meman bukanlah
orang yang mudah di men er &. keduan a
sama"sama memdiki saFa yang keras an
tak mau kalah $"8Q25355f833 &"8"QQZQ%W"$
Sudah dua hari ini Hendrick mendekam di dalam
kamar. Sesekali, jika merasa lapar, dia berjalan cepat
ke dapur dan mengambil makanan sekenanya. Liburan
sekolah dia habiskan dengan berdiam diri, mengutuk kedua
orangtuanya yang dia anggap tak sayang lagi kepadanya.
Hendrick memang begitu, di balik sikap cerianya, dia ternyata memiliki sifat pemarah
dan pendendam. Kepalanya sibuk memikirkan cara
untuk membalas perlakuan Nina dan ]eremy Konnings,
orangtuanya sendiri. Sang ibu sudah berkali-kali mencoba mendatangi
kamar Hendrick, tapi tak pernah sekali pun digubris. Lamalama, perempuan itu kesal, lalu berhenti membujuk sang
anak. Alih-alih memperbaiki hubungan, Nina memilih untuk
ikut diam seribu bahasa. Sekarang hanya tinggal ]eremy, sang kepala keluarga
yang kebingungan bagaimana harus bersikap, menghadapi
anak dan istrinya. (ww Kadang, berdiam diri sepanjang hari di dalam kamar
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat Hendrick merasa jenuh, jadi dia mengendapendap ke luar rumah. Tak ada yang tahu kapan dia pergi,
karena biasanya anak itu berjingkat-jingkat saat yang lain
sudah terlelap tidur, dan kembali saat mereka semua masih
tertidur. Malam ini, dia kembali keluar dari kamarnya, menuju
taman belakang rumah. Dengan langkah yang hampir tak
terdengar oleh siapa pun, dia melangkah sambil bertelanjang kaki. Sudah terpikir sebelumnya untuk dudukduduk di atas benteng halaman belakang, yang membatasi
rumahnya dengan rumah keluarga lain.
Selama ini, keluarga Konnings hanya akrab dengan
keluarga Willer dan Furgenn yang berada di kanan dan kiri
rumah mereka. Begitupun Hendrick yang hanya mengenal
anak"anak keluarga tetangganya itu. Mereka adalah anakanak perempuan seusianya yang gemar mencari perhatian,
hilir-mudik mengirimkan aneka ragam makanan yang
konon khusus ditujukan untuknya.
jika mereka datang, biasanya Hendrick mengurung diri
di dalam kamar. Menurutnya, anak"anak perempuan genit
itu sama sekali tak menarik.
Saat bergelantungan di tangga kayu milik jongos
penjaga taman keluarga Konnings, dia merasa penasaran.
Apa yang ada di balik benteng belakang" Selama ini, dia tak
pernah mengenal siapa yang tinggal di balik benteng rumah
itu. Beberapa hari terakhir ini, dia mencium aroma kue dari
arah sana. Rasa penasaran memuncak seiring perutnya yang
sering bergejolak akibat wewangian itu.
Hendrick bukan anak yang takut ketinggian. Benteng
setinggi tiga meter itu berhasil dia taklukkan dengan terus
berpijak pada anak tangga. Kepalanya mendongak, mencoba menyelidik. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh
malam, orangtuanya sudah terlelap. Namun, dari balik
benteng itu, telinganya masih bisa mendengar suara orang
yang sedang bercakap-cakap. Rasa penasarannya semakin
membuncah, tatkala aroma kue yang biasanya dia hirup sore
hari mulai tercium lagi. Perutnya kembali bergejolak tak karuan. Dia baru ingat,
sejak tadi sore dia tak memasukkan sedikit pun makanan
ke dalam perutnya. Aroma kue itu membuatnya bergegas
terus menaiki tangga, dan kini kepalanya sudah benar-benar
mencapai bagian atas benteng. Matanya menyapu keadaan
dengan cepat, mencari yang ingin dia lihat.
Seorang wanita tua tersenyum dari bawah benteng itu,
menatap ke arahnya. Di belakang wanita tua itu ada seorang
anak yang sebaya dengannya, ikut menengok ke arahnya
sambil membelalak. Hendrick kaget bukan main, cepat-cepat dia menarik
kepalanya ke belakang. Hatinya berdegup kencang, telinganya dia pasang dengan awas.
"jangan takut padaku!" Suara perempuan tua dengan
bahasa Netherland yang halus terdengar jelas di kedua
telinganya. "Ya, Hendrick! Kami tahu siapa kamu! Kemarilah!" Suara
seorang anak laki-laki bisa dia dengar dengan jelas. Hendrick
tak hanya kaget, dia merasa heran saat itu. Bagaimana bisa
mereka mengenalnya" Mungkinkah mereka teman Mama
dan Papa" Dengan sedikit malu-malu, kepalanya kembali muncul
dari balik benteng. "Maaf aku mengintip kalian, sungguh
tidak sopan. Maafkan aku... Nyonya," ucapnya pelan. l"lari
sudah malam, suaranya dapat ditangkap dengan baik oleh
kedua orang itu. Tanpa dia duga, kedua orang itu membalas
ucapannya dengan senyuman ramah. Juga si anak kecil yang
tadi sempat memelototinya.
"Ayo, turunlah, Hendrick! Kami baru saja membuat
kue wortel! Sangat enak!" teriak anak itu riang. Hendrick
tersenyum, tetapi kemudian keningnya berkerut.
Wanita tua itu seperti tahu apa yang sedang Hendrick
pikirkan. Dengan cekatan dia berjalan ke arah belakang dan
kembali dengan membawa tangga kayu, sama persis seperti
tangga yang sedang dinaiki oleh Hendrick. "Turunlah melalui
tangga ini, kau berani, kan?" seru wanita tua itu sambil terus
tersenyum. Hendrick mengangguk mantap, dengan cekatan dia
melangkahi benteng, lalu turun menggunakan tangga kayu
yang disediakan oleh dua orang baik hati itu.
Hendrick terus menunduk, dan tak banyak bicara
seperti biasanya. Wanita tua itu tertawa melihat tingkahnya
yang malu-malu. "Biasanya kami mendengar derai tawamu
dari balik benteng ini. Kenapa belakangan ini rumahmu
terdengar sepi?" dia bertanya dengan wajah berseri-seri.
Hendrick menengadah, dan sekarang menatap wanita
itu dengan heran. "Anda juga suka menguping suara di balik
benteng ini, Nyonya?" dia bertanya.
Anak laki-laki di samping wanita tua itu tersenyum dan
ikut berbicara. "Suaramu terdengar keras, Kawan. Tanpa
menguping pun sudah terdengar sangat jelas. Tak ada anak
lain di balik benteng ini selain dirimu, bukan?" tanya si anak
laki"laki dengan gaya sok tahunya. Hendrick tertawa kini,
kepalanya mengangguk pelan.
"Masuklah, kue wortelnya masih hangat. Kami baru
menghabiskan dua potong, kau boleh menghabiskan sisanya!" Wanita tua itu kini tertawa-tawa.
Si anak laki"laki ikut tertawa, "Oma, mana mungkin dia
bisa menghabiskan kue sebanyak itu! Hahahaha!" Mau tak
mau Hendrick ikut tertawa, meski belum tahu sebesar apa
kue wortel yang sejak tadi mereka bicarakan.
Wanita tua itu menuntunnya masuk ke rumah, mempersilakannya duduk di dapur mereka yang hangat dan
dipenuhi aroma kue. Hendrick tertawa-tawa sendiri kini,
saat melihat kue wortel yang tinggi dan besar di atas sebuah
meja. "Benar, kan! Kau takkan mungkin sanggup menghabiskannya!" Anak laki-laki yang baru dikenalnya itu kini
ikut tertawa lagi. "Kalian tertawa bersama seperti sudah saling mengenal,
sudah berkenalan sebelumnya?" Si wanita tua tersenyum
sambil menatap keduanya. Hendrick berhenti tertawa. Benar juga, pikirnya. "Namaku Hendrick, Nyonya..." ucapnya pelan.
"Tak ada yang tak tahu tentangmu, Hendrick. Satu
sekolah begitu memujamu! Si anak emas! Hahahaha" Anak
laki-laki itu berbicara dengan lantang.
Hendrick menyipitkan mata. "Kau satu sekolah
denganku?" dia bertanya ragu.
"Ya! Satu sekolah. Tapi, aku satu tahun di bawahmu.
Anak-anak perempuan di kelasku selalu membicarakan
dirimu!" anak itu kembali bicara.
"Rupanya kau ini anak populer, Sayang." Wanita tua di
sebelah si anak ikut menimpali.
Wajah Hendrick memerah, "Ah tidak, Nyonya..." jawabnya malu-malu. "Namaku Rosemary. Panggil aku Oma Rose, anggap saja
aku ini oma-mu.Tak usah terlalu formal," ujar wanita tua itu
dengan lembut. "Dan namaku, Hans. Kau mungkin tak tahu aku, tapi aku
tahu siapa dirimu. Kau mau jadi temanku, kan?" Anak lakilaki bernama Hans itu mengulurkan tangan untuk menjabat
tangan Hendrick. Hendrick tersenyum, tangan kanannya membalas
uluran tangan Hans dengan mantap. "Tentu saja, Kawan?"
jawabnya pelan. Malam itu, Hendrick bersenang-senang bersama temanteman barunya. Oma Rose, dan Hans. Para tetangga yang
selama ini tak dikenalnya itu ternyata orang"orang baik hati
yang suka bercerita. Mereka mengisahkan banyak hal yang
sebelumnya tak pernah dia dengar, terutama tentang kehidupan orang-orang Inlander yang dekat dengan keluarga
ini. Mereka juga meminta dirinya untuk bercerita tentang
Papa, Mama, dan kegiatan mereka. Dengan sukacita, anak
itu menceritakan segala hal, seolah telah lama mengenal
mereka. Rupanya, tanpa disadari, mereka berbincang terlalu
lama. Dia pamit sebelum fajar tiba. Sebelum dia pulang, Oma
Rose menatap matanya lekat"lekat sambil berkata, "Aku tahu,
ada sesuatu yang terjadi denganmu di rumah. Suara tawa
kalian jarang terdengar lagi. Perbaikilah, Sayang. Manusia
bisa pergi kapan saja. Aku tak mau akhirnya kau menyesal
karena tak melakukan banyak hal terhadap orang-orang
yang ada di sekelilingmu."
Meski tak terlalu memahami kata-kata Oma Rose itu,
Hendrick tetap mengangguk. Rasanya, amarah yang selama
ini dia pendam terhadap kedua orangtuanya, hilang begitu
saja. Oma Rose dan Hans berhasil
membuat Hendrick lupa akan
reneana-rencana balas dendam
pada Nina, Ibunya. "jangan simpan tangga kayu ini jauh-jauh, Oma. Besokbesok aku akan datang lagi kemari!" ujarnya riang.
wea Keajaiban terjadi keesokan paginya di rumah keluarga
Konnings. Hendrick keluar dari kamar dengan wajah berseri-seri. Nina dan ]eremy Konnings yang sedang sarapan
di ruang makan pun tercengang melihat kehadiran anak
mereka pagi itu. "Selamat pagi, Hendrick." ]eremy berusaha bersikap
senormal mungkin di depan anaknya.
"Selamat pagi, Papa. Selamat pagi, Mama," Hendrick
menjawab dengan berseri-seri. "Aku rindu kalian...." Hendrick
memeluk kedua orangtuanya.
Setelah beberapa hari ini tak banyak bicara, bahkan
pada ]eremy sekalipun, akhirnya Nina kembali tertawa. "Aku
juga merindukanmu, Sayang." Selanjutnya, Nina tak henti
tersenyum. "Maaf kalau selama ini aku bersikap kurang ajar
terhadap Mama dan Papa. Maafkan aku, ya. Tapi, kumohon
jangan mempermainkan aku seperti itu lagi, Mama." Matanya
menatap sesekali ke arah ]eremy, lalu kembali ke arah Nina.
Kedua orangtuanya mengangguk. Hendrick bergelayut
manja di tangan Ibunya. "Apa gerangan yang membuatmu jadi manis seperti ini,
Hendrick?" Nina penasaran.
"Sudahlah, Sayang, jangan banyak bertanya kepadanya.
Nanti dia marah lagi pada kita," ]eremy menyela pertanyaan
istrinya sambil memasang wajah serius.
Nina mengangguk cepat. Sikap kedua orangtuanya itu
membuat tawa Hendrick meledak. "Mama, Papa, kalian
aneh! Aku tidak apa-apa, aku sangat bahagia sekarang. Tapi,
aku tidak akan sarapan di rumah ini. Aku akan memanjat
benteng halaman belakang, untuk mengunjungi Oma Rose
dan Hans!" ujarnya girang.
Nina dan ]eremy saling bertatapan, kentara sekali bahwa
mereka merasa heran melihat sikap Hendrick yang tak
seperti biasanya. Memanjat benteng halaman belakang"
Oma Rose" Hans" Siapa mereka" Sangat tidak masuk akal!
Tanpa menunggu komentar kedua orangtuanya, anak
itu melesat, berlari ke arah taman belakang dan mulai
menaiki tangga kayu, melompati benteng, lalu menghilang
di baliknya. Nina dan ]eremy mengikuti anak mereka,
memperhatikannya dengan saksama. Tanpa sadar, Nina
terus berjalan ke arah tangga dan ikut naik. ]eremy berteriakteriak meminta istrinya untuk turun dari tangga. Namun,
Nina tak menggubris, dia terus naik hingga ke tepi benteng.
Hanya beberapa menit dia terpaku, tak melompati
benteng itu seperti yang dilakukan Hendrick. Wanita itu
tampak kepayahan saat kakinya bergantian menuruni
tangga, mungkin karena saat itu dia mengenakan gaun
panjang. Saat kedua kakinya sudah menjejak tanah dengan
mantap, dia berbalik dengan cepat sambil tersenyum lebar.
"Dia berteman dengan tetangga belakang rumah kita,
]eremy! Mereka sepertinya orang-orang baik. Aku bisa tahu
karena aku melihat Hendrick yang tadi begitu baik terhadap
kita!" lapor Nina dengan santai.
]eremy yang kini kebingungan. "Apa maksudmu, Nina"
Anak itu melompati benteng tinggi, dan berteman dengan
orang asing, tapi kau sama sekali tidak khawatir! Ini aneh!"
Nina menggeleng sambil tetap tersenyum. "Kau tak akan
merasa heran jika melihatnya sendiri. Naiklah! Mereka tidak
terlihat seperti orang jahat, kok."
Bagai kerbau dicocok hidung, suaminya menurut saja
saat diminta menaiki tangga kayu di tepi benteng halaman
belakang. ]eremy pun menirukan istrinya tadi, mengintip
apa yang ada di balik benteng.
"Hei, Konnings, kemarilah! jangan bersusah payah
mengintip seperti itu! Ayo susul anakmu kemari!" Tibatiba saja terdengar teriakan suara seorang wanita dari balik
benteng. ]eremy kaget, begitu pula istrinya yang langsung
kalang kabut di bawah. Tanpa sadar, didorong refleks ]eremy
menurunkan kaki ke anak tangga di bawah pijakannya
sekarang. Keseimbangannya hilang, tubuhnya jatuh saat
itu juga ke tanah. Bunyi berdebum terdengar cukup keras,
belum lagi teriakan Nina yang kaget melihat suaminya jatuh.
]eremy mengerang, membuat orang-orang di balik
dinding merasa khawatir dan penasaran atas apa yang
terjadi di balik dinding mereka.
"Papa?" Terdengar suara Hendrick yang muncul dari
atas benteng. ]eremy meringis sambil menatap anak lakilakinya. Sementara itu, di sampingnya Nina berlutut, sangat
khawatir. M ........ ___M "Bawa aku ke rumah sakit, Nina. Ada
yang tak beres dengan yeraelanaan kaki
kiriku... " eyang Jeremy lemah.
kirinya. Dia terlihat kesusahan berjalan dengan menggunakan bantuan tongkat kayu itu. Sesekali, Nina dan
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hendrick kegelian melihat kondisi ]eremy. "Papa, kau seperti
masih berumur tujuh tahun!" teriak Hendrick, diiringi derai
tawa Nina. Mau tak mau, ]eremy ikut tertawa.
Mereka benar, seharusnya ]eremy tak usah terkagetkaget sampai harus terjatuh. Kekagetannya membuatnya
tampak konyol, seolah dia adalah seorang pencuri yang
tepergok oleh pemilik rumah. Beberapa hari ini Rosemary
dan Hans si tetangga belakang rumah mengiriminya kue
cokelat sebagai permintaan maaf karena telah membuatnya kaget hingga terjatuh. Sebenarnya, mereka tak bersalah, toh saat itu Oma Rose hanya mencoba bersikap ramah
terhadap ]eremy. Namun, kejadian itu membuat hubungan keluarga
Konnings menjadi akrab dengan keluarga Rosemary.
Hendrick tak lagi perlu meminta izin untuk bermain
bersama Hans karena orangtuanya menganggap Hans dan
Oma Rose adalah orang-orang baik yang tak perlu dicurigai.
Seingat mereka, rumah belakang itu dulu kosong. Baru kali
ini mereka tahu di sana ada keluarga yang menempati. Tak
mungkin ]eremy tak mengenal tetangga"tetangga di sekitar
rumah Konnings, jadi wajar jika awalnya mereka keheranan
melihat Hendrick melompat ke balik benteng.
Sejak hari itu, Hendrick dan Hans bagai dua orang
sahabat lama yang tak bisa dipisahkan. Meski berbeda usia,
mereka bersahabat layaknya anak seumuran. Hampir setiap
pagi Hans datang ke rumah keluarga Konnings, mengajak
Hendrick untuk sama-sama pergi ke sekolah dengan berjalan
kaki. Sebuah perubahan yang sangat baik, karena dulu
Hendrick selalu meminta Bahrun, seorang jongos di rumah
Konnings, untuk mengantarnya ke sekolah menggunakan
sepeda. l"lans tak pernah banyak bercerita tentang kehidupannya, keluarganya, atau apa yang terjadi pada dirinya sebelum
datang ke kota itu untuk menetap berdua saja bersama
Oma Rose. Aneh memang, tapi Hendrick tak mengacuhkan
masalah itu.Tak pernah sekali pun dia berusaha mengorek
lebih jauh tentang kehidupan sahabat barunya. Baginya,
memiliki teman dekat seperti Hans sudah cukup membuat
hari-harinya menjadi lebih menyenangkan.
wea Tak seperti biasanya, hari ini Hans tidak datang
menjemputnya untuk sama-sama pergi ke sekolah. Hendrick
terlihat senewen saat Oma Rose datang tergopoh-gopoh
menitipkan surat kepada Hendrick untuk disampaikan
ke sekolah. "Cucuku sedang demam, dia tak bisa sekolah
hari ini, Sayang. Dia memaksa ingin pergi, tapi aku tak
mengizinkannya. Kau bisa menemuinya nanti sepulang
sekolah," pesan Rosemary pada Hendrick.
Karena sudah terbiasa berjalan kaki, anak itu memutuskan untuk tetap melakukannya pagi itu, meski tanpa
Hans. Lagipula, dipikir-pikir semenjak gemar berjalan ke
sekolah, Hendrick merasa tubuhnya semakin sehat. Dan
yang paling penting, dia bisa melihat lebih banyak lagi anak
perempuan terkagum-kagum menatapnya.
]alanan sudah mulai ramai. Kota ini memang tak pernah
sepi manusia. Semenjak mulai berkembang, Bandoeng
menjadi tempat orang-orang mengadu nasib. Tak peduli
itu Inlander atau orang-orang bangsanya yang mencoba
peruntungan di Hindia Belanda. Beberapa perempuan muda
berambut pirang tampak berlalu lalang menaiki sepeda.
Pakaian mereka sama sepertinya, memakai seragam sekolah.
Sesekali anak itu mengangguk sambil tersenyum, saat
perempuan-perempuan berseragam sebayanya memanggilmanggil namanya tanpa malu.
Tengah asyik berjalan, tiba-tiba sebuah benda keras
menubruk tubuhnya dari belakang hingga dia terjatuh.
Hendrick menjerit kaget, disusul rasa sakit yang menjalar
hebat di punggung. "Aduhhhhhhhhh!" teriaknya sambil tak
henti mengeluh. Seorang gadis berambut pirang menghampirinya
dengan wajah penuh rasa takut dan khawatir. "Maafkan
aku, maafkan aku. Aku tak sengaja, aku terlalu asyik melihat
ke arah lain tadi. Kau tak apa-apa" Ayo jawab, kau tak
apa-apa?" Perempuan itu mengguncang-guncang tubuh
Hendrick dengan cukup keras, terlihat jelas air mata mulai
menggenang. "Awwwwwww! Sakit sekali! jangan sentuh tubuhku!"
Hendrick berteriak kasar. Rasa sakitnya sekarang kian
hebat. Tanpa sadar, dia mendorong tubuh gadis itu.
Namun, dorongannya terlalu keras, hingga gadis itu ikut
jatuh terduduk seperti dirinya. Gadis itu terdiam sesaat,
menunduk, dan tiba-tiba meraung dengan keras, menangis
hingga membuat orang-orang yang melewati mereka berdua
mulai berkerumun. Seorang polisi yang sedang berpatroli tak jauh dari
sana mendekati mereka. "Kalian kenapa" Apa yang terjadi?"
dia bertanya dengan bingung. Hendrick yang sejak tadi
mengaduh tiba-tiba merasa sangat malu, saat sadar bahwa
anak perempuan yang ada di sampingnya tak berhenti
menangis. "Tidak apa-apa, hanya saja dia menabrakku," jawab
Hendrick sambil menahan sakit di tubuhnya.
"jangan bohong, kau disakiti anak laki-laki ini, Nona?"
Alih-alih memercayai Hendrick, polisi itu malah tak memedulikannya dan mengalihkan pandangan pada anak
perempuan yang menjadi sumber perkara.
"Ya, aku menabraknya tadi dengan sepedaku. Tapi
dia kasar, mendorongku hingga terjatuh dan tak mau
memaafkanku," jawab si gadis sambil lanjut menangis.
Mata Hendrick melotot seketika. "Siapa bilang aku tak
memaafkanmu" Siapa bilang aku kasar" Kau tadi memegang
punggungku! Sakit sekali! jadi aku mendorongmu!" dia
berteriak-teriak kesal. Anak perempuan itu menangis keras, lebih keras
daripada sebelumnya, akibat teriakan Hendrick. Polisi yang
tadi hanya menanyai kini mengambil tindakan pada anakanak itu. "Kalian ikut ke kantorku. Biar orangtua kalian
menjemput kalian di sana!" ujarnya dengan tegas.
"Sial!" Hendrick mengumpat.
(win Nina Konnings setengah berlari masuk ke dalam pos
polisi. Tadi, seorang laki-laki pribumi mendatangi rumahnya
untuk mengabarkan bahwa anaknya kini sedang berada di
pos itu. Laki-laki yang datang itu tak menceritakan apa-apa
saat ditanyai Nina, selain berkata, "Anak Nyonya tertabrak
sepeda." Nina berteriak memanggil Hendrick, dan mendapati
anaknya tengah duduk sambil menunduk di salah satu kursi
pos polisi. "Ada apa ini?" teriaknya pada polisi yang berjaga.
Seorang anak perempuan yang duduk tak jauh dari tempat
Hendrick menengadah, menatap Nina dengan wajah penuh
sesal. "Aku penyebab semua ini, Nyonya. Aku tak sengaja menabrak anak Nyonya saat bersepeda tadi, dan aku juga yang
membuatnya marah. Tuan Polisi ini menangkap kami berdua
karena anak Nyonya marah-marah kepadaku. Ini semua
salahku, Nyonya?" Nina menggeleng, matanya lantas menatap si polisi.
Seolah mengiyakan perkataan si anak perempuan, polisi itu
mengangguk tanda setuju. "Kau tidak apa-apa, Hendrick?" dia beralih pada sang
anak. "Sakit sekali, Mama," jawab Hendrick sambil terus
tertunduk. "Tuan, boleh saya bawa pulang anak saya?" Nina
bertanya pada polisi. "Tentu saja, Nyonya. Saya tadi mengajaknya ke pos
karena terlalu banyak orang yang mengerumuni mereka,
dan sepertinya anak Anda terlihat sangat marah. Saya tak
ingin melihat kedua anak ini bertengkar di jalanan."
Nina tersenyum sekarang, ditatapnya anak perempuan
yang sejak tadi tak dia hiraukan. "Kau sendiri baik"baik
saja, Nona" Sakitkah?" dia bertanya dengan khawatir. Anak
perempuan itu hanya menggeleng. "Mana orangtuamu,
Sayang?" tanya Nina lagi.
Anak itu kembali menggeleng. "Aku tinggal di panti
asuhan, Nyonya. Suster-suster di sana terlalu sibuk, kasihan jika harus menjemputku kemari," jawabnya sambil
tersenyum. Nina kaget mendengar kata-kata anak perempuan itu.
"Oh, Sayang, sekarang bagaimana" Kau akan tetap pergi ke
sekolah" Atau ikut pulang dulu ke rumah kami?"
Hendrick dengan cepat menarik lengan ibunya sambil
berkata, "Tidak, Mama!" Namun, Nina menepis lengan
Hendrick dengan cepat, tanpa bicara.
Anak perempuan itu tersenyum tetapi menatap
Hendrick dengan ekspresi takut, lalu tatapannya beralih ke
Nina. "Tidak Nyonya, terima kasih. Aku akan tetap pergi ke
sekolah setelah ini. Semoga kau cepat sembuh ya, Hendrick.
Maafkan aku tadi menabrakmu." ucapnya sambil menatap
Hendrick. Hendrick tak bergeming, tetapi Nina kemudian mencubit tangannya. "Kau punya mulut, kan" Dia meminta maaf
kepadamu, Nak. Apa jawabanmu untuknya?" tanya Nina
dengan tegas. Mau tak mau, Hendrick mengangguk. "Iya, aku maafkan,"
jawabnya asal-asalan. Anak perempuan itu kini tersenyum.
Setelah bercakap-cakap sebentar dengan polisi yang
berjaga, Nina Konnings dan anaknya kini berjalan pulang.
Hendrick berjalan tertatih-tatih akibat rasa sakit di punggungnya. Anak perempuan itu mengikuti mereka dari
belakang, sambil mendorong sepedanya. Sebelum naik sado
yang membawa mereka pulang, Nina bertanya pada si anak
perempuan. "Sayang, siapa namamu?"
Gadis itu menjawab sambil tersenyum. "Helena, Nyonya."
Nina kembali turun, lalu berlari kecil ke arah Helena.
Disisipkannya beberapa gulden ke tangan si anak perempuan. "Untuk kaubelikan biskuit. Rumahku tak jauh dari
pabrik kina. Datanglah kapan-kapan, cari saja rumah
keluarga Konnings," bisiknya dengan lembut.
Helena mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih,
Nyonya." (wafe) Bukan basa-basi, Helena si anak perempuan yang
mencelakakan Hendrick benar-benar datang ke rumah
keluarga Konnings pada akhir pekan. Menggunakan sepeda
kumbangnya, dia datang membawa sekaleng susu kental
untuk diberikan kepada keluarga Konnings.
]eremy Konnings yang kali pertama membukakan pintu
untuknya tampak kaget melihat kedatangan seorang anak
perempuan berambut pirang ke rumahnya. "Cari siapa?" dia
bertanya pada Helena. "Benarkah ini rumah keluarga Konnings" Aku mencari
nyonya rumah ini," jawab Helena dengan polos.
Nina menyusul ]eremy ke pintu karena penasaran
mendengar suara anak perempuan di depan rumahnya.
"Helena! Oh, Sayang, masuklah. ]eremy, ajak dia masuk. Dia
Helena, anak yang kuceritakan tempo hari kepadamu," ujar
Nina sambil menggandeng tangan Helena untuk masuk.
]eremy hanya melongo, merasa lupa bahwa Nina pernah
bercerita tentang anak ini. Kakinya masih tertatih-tatih
menggunakan penopang. Helena yang awalnya tak menyadari kondisi ]eremy baru
melihat jelas kondisi laki-laki itu. "Tuan! Apa yang terjadi
pada Anda?" dia bertanya dengan khawatir.
]eremy tersenyum melihat ekspresi anak ini, lucu sekali.
"Tidak apa-apa, ini hanya akibat kecerobohan laki-laki
dewasa. Aku baik"baik saja, Nona Kecil," jawabnya santai.
Helena masih memasang ekspresi ngeri saat tiba-tiba
Hendrick Konnings melintas.
"Untuk apa kau datang kemari" Anak perempuan
pembawa sial!" teriak Hendrick kencang. Nina dan ]eremy
kaget mendengar anak mereka berbicara seperti itu,
sedangkan Helena mundur karena ketakutan melihat sikap
Hendrick yang sangat kasar.
"Hendrick, jaga sopan santunmu!" ayahnya memperingatkan. Sementara itu, Nina menarik tangan Helena yang
mencoba kabur ke luar rumah. "Helena, ikut denganku
ke belakang rumah, yuk" Biarkan saja anak itu, mungkin
perasaannya sedang buruk," ajak Nina.
Anak perempuan itu menurut saja saat Nina menggandengnya. Namun, Hendrick terlihat murka melihat keakraban keduanya. Si anak kesayangan diam-diam merasa cemburu karena
sikap kedua orangtuanya pada anak asing yang baru
mereka kenal. wcg Eoopoammoz63798632"BE
oXVZo Kau Bukan AageHae "763" Sudah satu minggu anak perempuan bernama Helena
itu selalu berkunjung ke rumah keluarga Konnings. Tak
hanya Nina, ]eremy juga lama-lama merasa sayang terhadap
anak yatim piatu yang belum lama dia kenal. Hanya Hendrick
Konnings yang masih belum bisa menerima kehadiran
Helena di rumah. Tak habis pikir, anak perempuan yang
mencelakainya bisa menjadi kesayangan baru di rumahnya
sendiri. Setelah kedatangan Helena, Hendrick jadi semakin
sering kabur ke rumah Hans.
Hari ini, sepulang sekolah, dia kembali melompati
benteng belakang, padahal sejak pagi dia sudah bersamasama Hans pergi dan pulang sekolah. Ibunya bilang hari ini
Helena akan datang lagi, membantu Nina belajar menjahit.
Helena memang piawai menjahit, karena suster-suster di
panti asuhan membekali banyak ilmu untuk anak-anak
asrama. Nina yang tak pernah bisa menjahit pun akhirnya
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertarik untuk diajari cara-cara menjahit oleh Helena.
Kemarin, dia memaksa ]eremy untuk membelikannya mesin
jahit. Sudah beberapa hari ini Nina membicarakan jahitmenjahit, dan itu membuat anak laki-lakinya merasa kesal.
"Anak perempuan itu akan datang lagi ke rumah. Aku di
sini saja seharian boleh, ya?" tanya Hendrick pada Hans.
Hans mengangguk. "Biasanya juga kau tak pernah minta
persetujuanku untuk berlama"lama di rumah ini. Santai
saja, lagipula Oma sedang ada urusan di luar. jika ada kau,
setidaknya aku tak sendirian di rumah" jawab Hans santai.
Sampai saat ini, Hans belum pernah bertemu Helena,
hanya mendengar cerita-cerita buruk tentang gadis itu dari
mulut Hendrick. Entah kenapa, Hendrick tak mau Hans
mengenal gadis itu. Sepertinya dia takut Hans akan menyukai
Helena, seperti kedua orangtuanya yang kini terlihat benarbenar menyayangi Helena. "Hari ini Mama belajar menjahit bersama Helena.
Aku benci anak perempuan itu! Kenapa orangtuaku tak
membencinya juga, ya" Tahu tidak, Hans, dia menangis
setelah menabrakku waktu itu. Anak itu sangat cengeng!
Dan pengadu! ]angan-jangan dia mengarang-ngarang cerita.
Papa yang biasanya tak acuh juga ternyata sekarang ] adi lebih
peduli padanya jika dibandingkan kepadaku. Aku sangat
tersiksa tinggal di rumah itu!" Dengan berapi-api Hendrick
terus mengomel. Hans masih saja asik menulis di atas buku yang sejak
tadi dia pegang. "Hans, kau dengar tidak, sih?" Hendrick
kesal melihat sikap Hans yang seperti tak peduli kepadanya.
Hans menghentikan kegiatannya, lalu memandang ke
arah Hendrick sambil berkata serius. "Aku dengar kok. Tapi
Hendrick, hampir setiap hari kau membahas soal ini. Helena
lagi, Helena lagi. Aku sampai kehabisan kata-kata harus
berpendapat apa. Lagipula, aku kan tak kenal dia secara
langsung." Hendrick mengembuskan napas panjang, "Tak usah
bertemu. Aku takut kau kena sial!" dia berkata asal.
"Sudah, jangan marah-marah terus. Oma tadi pagi
membuat kue jahe, tuh di atas meja makan. Ambil dan
makanlah, aku sudah makan banyak tadi!" ujar Hans sambil
menunjuk ke dapur. Seketika itu juga wajah Hendrick terlihat cerah. "Kue
jahe! Ah aku suka sekali!" serunya sambil berlari ke arah
dapur. Hans mengerenyitkan keningnya sesaat, kemudian
tersenyum. Dia sadar betul, sesungguhnya Hendrick adalah
anak yang sangat manja. (ww Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, dan
menghabiskan waktu seharian di rumah Hans membuat
Hendrick mengantuk. Kalau tak ada Oma Rose, rasanya
rumah itu sangat membosankan.
"Hendrick Sayang, kemarilah," Nina memanggil anaknya
untuk bergabung bersamanya dan suaminya di ruang kerja
]eremy. Dengan bermalas-malasan, Hendrick masuk ke ruang
kerja sang papa. "Ya Mama, Papa. Ada apa?" dia bertanya.
Nina tampak semringah, di tangannya ada sehelai
kemeja berwarna putih. "Aku membuatkan ini untukmu!"
seru Nina dengan ceria. Hendrick menyipitkan mata. "Oh..." hanya itu
komentarnya. "Kau tidak senang" Aku sudah bersusah-payah menjahitkan kemeja ini, Sayang. Aku tak sabar untuk membuat
baju-baju lain! Untukmu, untuk Papa, dan untukku sendiri!"
kata Nina. "Helena memang anak yang sangat pandai, dia bisa
mengajarimu menjahit dengan cepat. Mana pernah terbayang kalau kau akhirnya bisa menjahit baju," ]eremy ikut
menimpali sambil tertawa, tangannya sibuk menulis sesuatu di atas kertas. Hendrick menoleh ke arah ]eremy, lalu mendengus
sebal. "Helena lagi! Helena lagi! Anak perempuan sialan itu
telah mencelakakan aku! Kalian tidak mengerti" Dia tidak
baik! Dia nakal sekali!" Hendrick berteriak kesal, sambil
merenggut kemeja putih yang N ina pegang.
Amarah membuatnya lepas kendali. Dia menarik kemeja
itu sangat keras, lalu mengoyak kemeja itu tepat di depan
mata Nina dengan mudah. N ina terlihat sangat kaget, dan dia
merebut cabikan kemeja dari tangan Hendrick. Tangannya
melayang sesaat setelah itu, ke pipi Hendrick. Sebuah
tamparan pertama dalam hidup Hendrick Konnings.
M-oooooo."J Suasana megadi hening, hanya dem
napas Hendrick yang terdengar keras"
Nina dan Jeremy terpaku, ada yang salah
di sini" sangat salah"
"Kalian benar-benar keterlaluan! Mulai detik ini jangan
pernah pedulikan aku! Dengar baik"baik, Mama, Papa.
]angan anggap lagi aku anak kalian! jangan cari aku! Aku
akan pergi dari hidup kalian! Dan dengar, Mama, Helena
bukan Angeline! Dengar, Papa, dia bukan Angeline! Dia
bukan kakakku! Dia bukan anak kalian!" Hendrick sangat
marah dan kecewa. Tanpa berbicara lagi, dia berlari ke luar
rumah, meninggalkan kedua orangtuanya yang masih diam
terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
Anak itu berlari dengan cepat, menggerakkan kedua
kakinya tanpa menoleh ke belakang. Entah tempat mana
yang ingin dia tuju, dalam keadaan sangat marah. Tadinya,
dia akan menuju rumah Hans, tapi dia urungkan niat itu.
Kedua orangtuanya pasti akan mencarinya ke rumah Hans,
karena hanya Hans sahabat terdekat Hendrick yang mereka
tahu. Kepalanya sekeras batu, emosinya meletup-letup bagai
gunung vulkanik yang siap meletus kapan saja. Hendrick
Konnings memang manja, dan sering sekali marah. Tetapi,
rasanya hari itu dia merasakan amarah yang paling hebat.
Selama beberapa saat, kedua orangtuanya masih mematung,
tapi sejenak kemudian Nina mulai berteriak. "Hendrick.
jangan lari! Kemarilah, Sayang!" Nina memanggil sambil
berlari mengejar Hendrick yang sudah tak terlihat lagi.
]eremy yang masih tertatih pun segera berlari ke halaman
belakang, menuju benteng. Rumah belakang, pasti dia ke
rumah l"lans. Itu yang ada dalam pikirannya.
Nihil, Hendrick menghilang entah ke mana. Tak ada di
sudut mana pun di sekitar rumah mereka. Bahkan, kini Hans
dan neneknya pun ikut sibuk mencari anak itu. Menanyai
rumah demi rumah yang ada di sekitar kompleks perumahan tempat tinggal mereka. Helena juga ikut mencari bersama mereka. Sore itu, Helena memang kembali mengunjungi rumah
itu, dan dia mendapati keluarga yang mulai dia sayangi
tengah kebingungan mencari anak mereka. Helena tak tahu
menahu tentang masalah yang menyebabkan Hendrick
Konnings melarikan diri. Dengan panik, dia bersepeda berkeliling kota sambil terus meneriakkan nama Hendrick.
Helena juga meminta Hans ikut mencari bersamanya.
Dia duduk di jok belakang sepeda jelek milik Helena. Baru
kali ini Hans mengenal Helena, itu pun tak sengaja, karena
Helena datang saat dia dan Oma Rose sedang berada di
rumah keluarga Konnings, berusaha menenangkan Nina
yang tampak terpukul akan kepergian si anak kesayangan.
"Kau Hans" Pasti kau tahu tempat-tempat kesukaan
Hendrick. Ayo, ikut denganku mencarinya!" Hans yang polos
hanya mampu menatap neneknya dan menunggu sang
nenek mengizinkannya. Tentu saja Rosemary mengangguk
padanya. Secepat kilat, anak itu lantas berlari menyusul
Helena yang sudah lebih dulu berada di halaman depan
rumah keluarga Konnings, menunggu di sepeda.
"Hans, kau tahu di mana biasanya Hendrick menghabiskan waktu?" Helena bertanya pada Hans sambil terus
mengayuh sepedanya. Sejenak, Hans memikirkan jawaban pertanyaan itu.
"Kalau tidak di rumahku, ya di kamarnya," jawab l"lans sambil
setengah berteriak. Dia harus berbicara lebih keras supaya
kata-katanya terdengar oleh Helena. Keadaan jalanan yang
masih ramai dan tiupan angin yang kencang mengaburkan
suara mereka. "Ah, ya ampun! Tentu saja selain tempat-tempat itu!
Masa kau tidak tahu apa-apa, sih?" teriak Helena kesal. Hans
kembali berpikir, tangannya semakin keras mencengkeram
pinggang Helena saat sepeda yang dikayuh Helena terasa
melaju lebih kencang. "Perpustakaan sekolah?" jawab Hans sekenanya.
Helena berteriak, "Ayo kita ke sana!"
wafe) Suasana sekolah begitu sunyi, bagai tak ada kehidupan.
Helena turun dari sepedanya, disusul oleh Hans. Mereka
berdua menuntun sepeda Helena, lalu menyimpannya di
bawah pohon besar di halaman depan sekolah.
Gerbang sekolah itu terkunci oleh gembok. "Bagaimana
mungkin bisa masuk ke dalam?" Hans ketakutan.
Helena menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Kau
takut" Tak ada yang perlu ditakuti dari sebuah gedung
kosong. Tak ada apa-apa di sana. Kalau kau pikir Hendrick
akan berada di perpustakaan sekolah, aku percaya karena
kau adalah sahabatnya. Pasti ada jalan masuk selain dari
gerbang utama. Coba pikirkan baik"baik!"
Ada rasa tenang yang mengalir dalam aliran darah Hans
saat mendengar anak perempuan itu berbicara. Helena tak
seburuk yang dibicarakan Hendrick, pikirnya.
"Seharusnya ada penjaga di gedung ini, tapi kalau sudah
sore begini, biasanya mereka pulang ke rumah. Hmmm
sebenarnya ada sebuah jendela yang katanya sulit sekali
untuk ditutup, siapa pun bisa masuk lewat sana," jawab Hans
terbata-bata. "Bagus! Ayo kita ke sana! Kau tahu di mana letaknya?"
tanya Helena dengan antusias. Hans menjawab pertanyaan
itu dengan anggukan. Segera keduanya berlari ke samping gedung sekolah.
Benar saja, ada sebuah jendela yang terbuka di sana. Dengan
mudah keduanya masuk ke dalam jendela itu, lalu berlari
menuju ruang perpustakaan.
Pintu ruangan itu terbuka, seperti ada seseorang yang
tadi masuk ke sana. Sebenarnya, tak pernah sekali pun Hans
menemani Hendrick masuk ke dalam perpustakaan sekolah,
karena Hendrick tak pernah mengajaknya.
Menurut Hendrick, dia punya tempat rahasia di
dalam perpustakaan itu. Tempat yang hanya dirinya yang
tahu, tempat persembunyian rahasia. Tempat itu selalu
didatangi Hendrick saat terlalu banyak anak perempuan
berusaha mengejar dan mencarinya. Hendrick pernah
berkata, "Kadang-kadang aku kesal juga dikejar anak"anak
perempuan di sekolah ini. Walaupun yah, seringnya sih
senang. Tapi, saat sedang bosan, aku akan bersembunyi di
tempat rahasiaku. Setidaknya sampai jam istirahat selesai."
Helena lebih dulu masuk ke dalam perpustakaan itu,
langsung berteriak"teriak memanggil nama Hendrick.
"Hendrick! Hendrick! Kau ada di sini" ]ika ya, keluarlah!"
teriaknya keras. Hans pun mengikuti Helena meneriakkan
nama sahabatnya. Tak ada jawaban, keadaan begitu sepi. Bahkan diamdiam bulu kuduk Hans meremang karenanya.
"Kau yakin perpustakaan ini tempatnya?" Helena kembali bertanya setelah berkali-kali berteriak, dan Hendrick
masih saja belum ditemukan.
Hans mengangguk. "Benar, Helena, hanya tempat ini
yang kutahu merupakan tempat persembunyian Hendrick.
Tapi, dia tak pernah mengajakku kemari, makanya aku tak
tahu di mana pastinya."
"Sekarang, kita berpencar. Kau ke bagian kanan, aku ke
bagian kiri, oke" Kau berani, kan?" tanya Helena.
Hans terlihat ragu, namun akhirnya mengangguk. Bagaimanapun, ada perasaan gengsi jika mengungkapkan ketakutannya dengan jujur pada Helena yang terlihat sangat
berani. Ruang perpustakaan itu sangat besar, bentuknya lebih
menyerupai aula olahraga yang mampu menampung
banyak siswa. Buku-buku bertebaran di sana, beberapa
kursi kayu juga tampak berjejer, berpasangan dengan
meja yang ikut berderet di depannya. Dalam hati, Helena
sebenarnya mengagumi gedung sekolah ini sejak pertama
kali masuk ke dalam. Gedung yayasan sekolahnya terlihat
sangat kecil jika dibandingkan gedung sekolah ini. Belum
lagi perpustakaannya. Tapi, tak ada waktu untuk mengagumi tempat"tempat ini, karena yang ingin dia lakukan saat
ini hanyalah menemukan Hendrick, agar Nina dan ]eremy
tak lagi sedih. "Hendrick, keluarlah, Kawan. Kau tidak sendirian, ada
aku dan Hans yang akan menemanimu. Papa dan mamamu
sangat sedih, mereka terus mencarimu. Keluarlah, Hendrick.
Bicarakan baik"baik, apa yang sebenarnya mengganggu
pikiranmu." Helena terus bicara sendiri. Kakinya melangkah
menelusuri koridor demi koridor.
Sementara di bagian koridor lain, tampak Hans
yang berjalan pelan sambil sesekali meneriakkan nama
sahabatnya. "Hendrick, beritahu kami, kau ada di mana. Kau
tahu kan, aku tak suka tempat sepi, keluarlah!"
Helena menyipitkan mata, melihat sebuah sudut yang
sangat gelap di ujung sebuah koridor, tak ada buku-buku
seperti koridor lainnya. Kakinya melangkah menuju sana
tanpa rasa takut, intuisinya berkata, Hendrick ada di sana.
"Hendrick... Kau ada di situ?" dia bertanya sambil terus
mendekat. "Beri kami petunjuk, bicaralah padaku," ujarnya
lagi. M"oooooo._"__M "Perempuan sialan! kan bukan dn eline,
kau bukan kakakku! Jangan ganggu hidu
keluargaku! kau penghantar ke uargaku.
aku benci kamu Helena!"
Teriakan itu menggema di seluruh ruang perpustakaan.
Dua anak yang sedang mencari Hendrick itu terlonjak
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget. Helena sangat terpukul mendengarnya. Dia terdiam
seribu bahasa, berusaha mencerna kata-kata itu. Benar, itu
Hendrick. Dan kata-kata yang keluar dari mulut Hendrick
ditujukan kepadanya. Eoopoammoz63798632"BE
a"aaaefata &&W%"QQ&W%W"$
Sejak hari itu, Helena takpernah lagi muncul di rumah
keluarga Konnings. Dia berlari meninggalkan perpustakaan
itu sambil menangis. Saat itu, akhirnya dia mengerti, dialah
penyebab kemarahan Hendrick Konnings terhadap Tuan
dan Nyonya Konnings. Tanpa berpikir lama, anak itu pergi
mengayuh sepedanya. Dia sempat memberi tahu Nina dan
]eremy, bahwa Hendrick ada di ruang perpustakaan
sekolah. Lalu dia pergi, tak pernah lagi kembali.
Hendrick pulang, kembali ke pelukan kedua orangtuanya. Dengan perasaan menyesal, Nina dan ]eremy berjanji
takkan lagi menyebut-nyebut nama Helena di hadapannya.
Anak itu senang, apa yang diinginkannya telah terkabul. Dia
berhasil menghalau Helena dari kehidupan keluarganya.
Sejak kepergian Helena, Hans yang waktu itu menemaninya pulang juga mendadak jadi pendiam. Hatinya
resah melihat perlakuan Hendrick terhadap anak perempuan itu. Dia ingat betapa khawatirnya Helena memikirkan
keluarga Konnings, hati kecilnya berkata bahwa sebenarnya
anak perempuan itu tak bersalah. Tapi, lagi-lagi Hans memilih untuk diam, karena Hendrick bukan anak yang dapat
dengan mudah menerima segala alasan. Sekali membenci
Helena, dia tidak akan bisa mengubur perasaannya itu.
Meski Hendrick sudah kembali, keadaan rumah
keluarga Konnings tak lagi sama. Hanya dia yang tampak
biasa seperti dulu, berbeda dengan kedua orangtuanya
yang terlihat tak banyak bicara. Kepala mereka masih
dipenuhi bayangan tentang Helena yang begitu baik
terhadap mereka. Ada pesan Helena yang selalu ]eremy
dan Nina ingat saat memberitahu di mana anak mereka, dan
pergi tanpa kembali lagi ke kehidupan mereka.
"Tuan, Nyonya. Aku sekarang tahu siapa pe"
nyebab kepergian Hendrick. Aku mengerti benar
bahwa dia benar"benar tak suka kepadaku. Tolang,
biarkan aku pergi dan tak lagi kembali ke rumah
ini. Bagaimanapun, Hendrick membutuhkan kalian
berdua. Dia merasa perhatian Tuan dan Nyonya
terbagi kepadaku. Percayalah, aku tahu betul
bagaimana rasanya kehilangan sosok orangtua.
Aku tak ingin Hendrick merasa sendirian karena
aku. Biarkan aku pergi, jangan mencaw'ku. Terima
kasiin karena telah membuatku bahagia dan
merasakan bagaimana rasanya diperhatikan oleh
orangtua yang baik seperti kalian. Aku tak akan
pernah melupakannya."
Helena menangis terisak"isak. Tanpa memeluk Tuan dan
Nyonya Konnings, dia berbalik lalu pulang. ]eremy dan Nina
tak pernah tahu di mana dia tinggal, tak tahu dia pergi ke
mana. Namun, kata-kata Helena itu ada benarnya. Hendrick
mungkin marah karena merasa perhatian mereka terebut
oleh Helena. Mulai saat ini, mereka akan mencoba melupakan Helena dan kembali memusatkan perhatian mereka terhadap Hendrick. Diam-diam Hendrick sadar, ada yang berubah di rumah
itu semenjak dia pulang ke rumah. Sejujurnya dia cukup
senang, karena di rumah itu tak terdengar lagi nama Helena.
Namun, bermain dengan Hans pun tak lagi sama, karena anak
itu jadi lebih tertutup kepadanya, seperti menyembunyikan
sesuatu. Hans pernah mencoba berbicara mengenai kekhawatiran Helena saat dia menghilang, tapi baru saja sedikit
berbicara... Hendrick langsung marah dan meminta Hans
untuk tak lagi membahasnya. Sejak saat itu, Hans memang
tak lagi membicarakan Helena. Tapi, dia juga berubah
menjadi anak yang lebih banyak diam, tidak terlalu senang
tertawa dan bermain-main dengan Hendrick.
"Kau mau ke mana sepulang sekolah nanti?" tanya
Hendrick pagi itu pada Hans. Hans hanya menggeleng, tak
tahu mau ke mana. "Aku ingin jalan-jalan ke stasiun. Ikut aku,
yuk!" ajak Hendrick. Hans hanya mengangguk sambil terus
berjalan. "Kau tidak antusias" Biasanya kau senang kalau
mendengar stasiun dan kereta?" Hendrick terdengar ketus
kini. Tak ada jawaban dari mulut Hans. Anak itu terus
berjalan, seolah tak peduli pada Hendrick.
"Hans, kenapa kau jadi menyebalkan begitu" Sebenarnya apa yang sedang kaupikirkan, sih" Aku berbuat
salah padamu?" Hendrick bertanya lagi pada Hans. Anak
laki-laki itu hanya menggeleng sebentar, lalu memusatkan
lagi perhatian pada jalanan. Hendrick mengguncang tubuh
sahabatnya, penasaran melihat sikap Hans yang belakangan terasa semakin menjauh darinya. "Kau kenapa sih, Hans"
Aku salah apa kepadamu" Kau membenciku" Ayo katakan
kepadaku, atau..." teriaknya kesal.
"Atau apa" Ayo katakan! Aku serba salah menghadapimu. Anak keras kepala! Kau sangat egois! Manja! Dan selalu
ingin dinomorsatukan! Kau mau apakan aku" Ayo katakan?"
Tiba-tiba Hans balas berteriak dengan kesal.
Hendrick tak mampu berkata-kata, karena baru kali ini
dia melihat l"lans bersikap seperti itu. Hans yang biasanya
ramah berubah menjadi sosok yang berbeda.
Namun, sejenak kemudian, amarah Hendrick pun
terpicu. Dia balik berteriak pada Hans dengan kasar. "Oh,
jadi begini sikapmu kepadaku" Baik, jika memang tak suka
padaku, mulai sekarang berhenti jadi temanku! Kau anak
laki-laki tapi mirip anak perempuan! Selalu berlindung di
bawah ketiak nenekmu! Tidak berguna!" teriaknya keras.
Beberapa orang menoleh ke arah mereka, penasaran melihat pertikaian kedua anak itu.
Tanpa disadari, kata-kata Hendrick membuat air mata
Hans meleleh. Dadanya terasa sesak, hatinya terasa sakit.
Kata"kata Hendrick begitu menusuk, menghancurkan perasaan Hans. "Kau tak tahu apa-apa tentang hidupku! Kau hanya
peduli pada hidupmu sendiri, dasar anak sombong! jangan
bawa-bawa nenekku kalau kau jahat padaku. Aku benci
kau, Hendrick Konnings! Helena seribu kali jauh lebih baik
daripada kau!" Hans balas meneriaki Hendrick, lalu berlari meninggalkan anak itu sendirian.
&"; Hendrick berjalan sendirian menuju rumah. Sepanjang
jam pelajaran di sekolah, kepalanya tak henti mencerna
kata-kata Hans. Sebenarnya dia sangat kesal, terlebih saat
Hans menyebut"nyebut Helena.
Tapi, jika dipikir-pikir lagi, benar kata l-lans. Dia tak tahu
apa-apa tentang kehidupan sahabatnya, seolah tak peduli
dengan apa yang terjadi pada Hans dan kedua orangtuanya.
Tak pernah sekali pun dia bertanya mengapa orangtua
Hans tidak ada, dan kenapa hanya ada Oma Rose di rumah
itu. Dia agak malu, merasa gagal menjadi sahabat yang baik
bagi Hans. Tapi, perasaan gengsinya lebih besar. Di sela rasa
bersalahnya, muncul perasaan kesal karena Hans sudah
membentaknya seperti itu. "Sialan!" dia mengumpat dalam
hati. (wea "]adi ke stasiun?" tanya Nina saat Hendrick tiba di
rumah. Hendrick menggeleng. "Tidak, Mama. Aku jadi malas,
tak mau ke mana-mana," jawabnya dengan tidak acuh.
Nina heran. Tak biasanya si anak kesayangan tak bersemangat. "Padahal Papa sudah menyiapkan sado dan
seorang jongos untuk menemani kau dan Hans main ke
stasiun sore ini. Ada apa, Sayang" Tidak enak badan?" tanya
Nina lagi. "Sudah kubilang tidak mau ya tidak mau, Ma. Aku sedang
ingin di rumah saja." Tanpa melihat kiri-kanan, Hendrick
berlari ke arah kamarnya, lalu membanting pintu dengan
sangat keras. Nina hanya bisa terdiam sambil menggeleng.
Seharian ini Hendrick hanya mendekam di dalam
kamar, tak seperti biasanya. Padahal, tadi pagi dia terlihat
sangat antusias untuk berjalan-jalan ke stasiun bersama
sahabatnya. "Coba tanyakan pada Hans, Sayang. Mungkin l-lans tahu
apa yang sedang terjadi pada Hendrick," ujar ]eremy saat
istrinya bercerita tentang anak mereka hari ini.
"Oh, benar juga. Kenapa tak terpikirkan olehku sejak
tadi?" Nina bergumam pelan. Perempuan itu berjalan ke arah
benteng halaman belakang, lalu berteriak-teriak memanggil
Hans, karena rok panjang yang dia kenakan membuatnya
mustahil menaiki tangga kayu.
Tak ada jawaban dari balik benteng itu. Suasana di sana
sepi sekali. Suara Oma Rose yang biasanya ikut menyahut
pun tak terdengar sama sekali. Mungkin mereka berdua
sedang pergi. Nina akhirnya kembali ke dalam rumah
sambil cemberut. Wanita itu tampak kecewa, tetapi sangat
penasaran, ingin tahu apa yang terjadi pada diri Hendrick.
"Kau jelek sekali jika cemberut seperti itu, Sayang."
]eremy mengalihkan perhatiannya dari buku yang sejak tadi
dia baca pada Nina yang berjalan dengan lunglai mendekati
dirinya. "jika sudah seperti ini, aku gundah, aku khawatir dia
akan pergi lagi meninggalkan kita," keluh Nina sambil
bersandar di bahu suaminya.
]eremy tersenyum dan mengelus-elus kepala sang istri.
"Kau tahu, anak itu sangat mirip denganmu, Nina. Sangat!
Segala tingkah lakunya mengingatkanku padamu saat
kita belum menikah. Kau sangat keras kepala dan sering
membuatku kesal. Tapi, ada satu hal yang membuatku
yakin tentangmu. Kau adalah perempuan kuat yang sangat
bertanggung jawab terhadap keluargamu. Kau begitu
menyayangi ayah dan adik"adikmu. Aku yakin, sejauh apa
pun dia pergi... Hendrick akan tetap kembali ke rumah. Dia
laki-laki yang bertanggung jawab, hanya sedikit keras kepala
saja. Saat dewasa nanti, dia pasti akan menjadi laki-laki
hebat seperti harapan kita berdua."
N ina mengecup pipi suaminya, air matanya menggenang.
Dipeluknya sang suami dengan erat, batinnya bersyukur atas
sikap baik ]eremy terhadap dirinya dan keluarganya.
"]eremy, bagaimana kalau kita berlibur ke perkebunan"
Sudah lama kita tidak ke sana. Selalu saja gagal. Anak
kita sepertinya membutuhkan liburan, agar dia bisa menenangkan pikiran. Mungkin beberapa minggu ini dia merasa tertekan karena kejadian-kejadian yang mengganggu
pikirannya," Nina memohon.
]eremy mengelus lagi kepala istrinya, sambil mengangguk dengan mantap. Senyum Nina terkembang lebar,
tangannya kembali mendekap tubuh ]eremy, lebih kencang
daripada sebelumnya. "Seandainya Helena ada" dan bisa ikut dengan kita,"
bisik Nina. "Sudah, Sayang, jangan membahas Helena lagi. Mengingat anak itu hanya akan melukai perasaanmu, juga
perasaan anak kita," ]eremy memohon.
win Pagi tadi, Nina sudah membicarakan perihal perjalanan ke perkebunan pada Hendrick. Anak itu tak menolak,
namun sikapnya muram. Padahal, jika mendengar akan
berlibur di perkebunan, biasanya dia sangat girang dan
bersemangat. Anak itu hanya mengangguk sambil berjalan
sendirian ke sekolah. "Mana Hans?" tanya Nina penasaran.
Hendrick sama sekali tak menggubris, pergi begitu saja
dengan kepala tertunduk. "Hati-hati, Sayang, jangan pulang terlambat!" Nina
setengah berteriak agar Hendrick dapat mendengarnya.
Namun, Hendrick tak menggubris. Lagi-lagi Nina menggeleng. Anak semata wayangnya itu benar-benar susah
dimengerti belakangan ini.
Nina kembali berseru memanggil Rosemary dari balik
benteng halaman belakang rumahnya. Dia tahu, Hans tentu
sudah pergi ke sekolah. Dia ingin mengobrol dengan nenek
sahabat anaknya itu, mencari tahu tentang apa yang terjadi
kepada mereka berdua. janggal rasanya melihat Hendrick
pergi ke sekolah sendirian tanpa Hans.
"Nyonya Rose, kau ada di sana?" Nina berseru. Aroma
kue yang sangat menyengat menguar dengan cepat, dan
seketika itu juga perut Nina bergejolak, penasaran ingin
mencicipi kue lezat buatan tetangganya.
"Nina Sayang, kemarilah. Kau mau mencicipi kue
buatanku?" Terdengar suara Oma Rose dari balik benteng.
"Mau sekali, Nyonya. Aku akan menaiki tangga ini, ya?"
Nina menimpali. "Hati-hatil, Sayang, aku tak mau kau terkilir seperti
]eremy," Oma Rose terdengar terkekeh pelan. Nina tertawa
mendengarnya. Dia berbalik, memanggil seorang jongos
untuk membantunya memegangi tangga kayu itu.
Nina Konnings dan Oma Rosemary asyik mengobrol
di dapur rumah yang mungil dan hangat. Nina menikmati
kebersamaannya dengan wanita tua itu, karena Oma Rose
bisa sedikit menenangkan perasaannya. Dari Oma Rose pula,
akhirnya dia tahu bahwa anak kesayangannya dan Hans
sejak kemarin bersitegang. Berkali-kali Nina meminta maaf,
karena dia tahu Hans adalah anak yang baik, dan sudah
pasti Hendrick yang jadi biang keladinya.
"Nina, Hendrick adalah anak yang baik. Saat pertama
kali melihatnya, aku melihat mata polosnya menyorotkan
itu. Dia hanya belum mampu menekan sedikit sikap egoistisnya. Wajar, karena kau dan ]eremy memanjakan anak itu."
Rosemary berusaha memberikan pengertian pada Nina.
"Dia selalu marah setiap kali aku memberikan perhatian
lebih kepada orang lain. Padahal, dia yang selalu menjadi
prioritas bagiku dan ]eremy. Begitu sulit menerka isi
pikirannya, sehingga aku kebingungan menghadapi anak
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu." Nina menunduk malu-malu.
"Tak perlu bingung menghadapi anakmu sendiri,
Nina. ]ika orangtuanya saja bingung, bagaimana Hendrick
mampu menghadapi dirinya sendiri" Dia pasti semakin
sulit mengarahkan emosi dan keinginannya. Kau wanita
yang sangat pintar, Nina. Aku yang belum lama mengenalmu
pun tahu, kau pasti mampu menghadapi Hendrick dengan
cerdik." GN! ax / [y/"a ") Sado milik keluarga Konnings sudah siap mengantar
mereka ke perkebunan yang terletak di sebelah barat kota
Bandoeng saat mereka berkemas. Butuh waktu beberapa
jam untuk mencapai perkebunan dengan menggunakan
kendaraan itu. Ketika Nina sibuk mengemasi barang, ]eremy malah
asyik membaca buku sejak pagi. Sementara itu, anak
mereka, Hendrick Konnings, masih saja terdiam sambil
cemberut di kamarnya. Nina sudah mengatur sebuah rencana bersama Rosemary. Dengan segala upaya, mereka berhasil membujuk
Hans untuk ikut dalam perjalanan keluarga Konnings kali
itu. Hendrick tak tahu-menahu soal itu, dan Hans pun belum
bisa memaafkan temannya. Namun, anak baik itu menurut
juga. ]ika Rosemary sang nenek berkata A, maka dia akan
menjalankannya. Hans sangat patuh pada sang nenek, satusatunya kerabat yang dia miliki.
Sambil mengendap-endap, Nina menuntun tangan
Hans ke pintu kamar Hendrick. Hans diberi kode agar tetap
diam dan mengikuti rencana Nina. Wajah Hans menunjukkan keraguan, tapi, bagaimanapun, dia tak bisa menolak
permintaan neneknya. Dia masih kesal pada Hendrick, tapi
ya sudahlah.... Toh beberapa hari ini juga dia merasa kesepian tanpa kehadiran sahabatnya.
Nina mengetuk pintu kamar Hendrick. Ada jawaban
dari dalam. "Ya, Mama. Sudah mau berangkat sekarang?"
Hendrick bertanya dari balik pintu. Alih-alih menjawab
pertanyaan itu, Nina tetap diam dan mendorong anak lakilaki di sampingnya untuk masuk ke kamar Hendrick.
l"lans terlihat kaget dan takut untuk masuk. Dia belum
tahu bagaimana sikap Hendrick kepadanya. Belum sempat
menolak, anak itu sudah terdorong masuk ke dalam kamar
Hendrick Konnings. "Hans, kaukah itu?" Tanpa diduga, reaksi Hendrick
sama sekali tidak seperti yang dia bayangkan. Hendrick
melompat girang, lalu menghampirinya dan memeluknya
kencang. "Maafkan aku, Kawan. Aku memang salah, tolong,
bertemanlah lagi denganku. Aku bingung harus bicara apa.
Tolong maafkan aku, Hans!" Begitulah dia mengungkapkan
penyesalan dan kerinduannya pada l-lans.
Hans tersenyum, lalu balas memeluk Hendrick sambil
mengedipkan mata ke arah Nina Konnings. "Aku juga
merasa sedih kehilanganmu, Hendrick. Bolehkah aku ikut
ke perkebunan" Sebagai bentuk permintaan maafmu, kau
harus mengajakku berkeliling di sana. Kau mau, kan?" Hans
menjauh sedikit dan menatap Hendrick dengan ekspresi
bertanya. "Tentu saja boleh! Dengan senang hati aku akan
menunjukkan tempat-tempat favoritku di sana! Kau akan
menyukainya, Hans! Percayalah!" Hendrick terdengar sangat
girang. Ditatapnya wajah Nina, dengan ekspresi memohon
seolah meminta ibunya menyetujui keinginan Hans.
Nina mengangguk sambil tersenyum, tanda setuju.
Hendrick menghambur dan memeluk ibunya sambil terus
mengucapkan terima kasih. "Terima kasih, Mama, kau benarbenar baik kepadaku!"
w<" Perjalanan yang ditempuh selama empat jam itu
terasa cepat bagi Hendrick, l"lans, dan pasangan Konnings.
Sepanjang perjalanan, mereka banyak bercanda dan tertawa. Kekakuan rupanya telah mencair, Nina dan ]eremy
sudah mampu menghalau rasa rindu dan bersalah mereka
pada Helena, sementara Hans juga sudah memaafkan
Hendrick. Tak ada kesunyian, yang ada hanya gelak tawa
mereka. "Segar sekali di sini! Sejuk!" Hans tampak girang
saat menginjakkan kaki di perkebunan itu. Sebuah vila
keluarga menjulang tinggi di hadapannya. "Ini semua milik
keluargamu?" tanya Hans pada Hendrick dengan penasaran.
Hendrick menggeleng. "Bukan, ini Vila dan perkebunan
milik kantor Papa. Kami hanya datang sesekali ke sini, kalau
Papa sedang ada pekerjaan di sini, atau saat keluargaku
sedang ingin berlibur. Ya, seperti sekarang ini!" Hendrick
menjelaskan secara diplomatis.
Hans mengangguk, bibirnya tak henti berdecak kagum.
"Aku dulu pernah hidup di desa, tapi tak seindah ini.
Perkebunan di sini seperti tertata rapi," Hans bergumam
sendiri. Hendrick menoleh ke arah Hans. "Aku baru tahu kau
pernah tinggal di desa. Di manakah itu?" tanya Hendrick
pada sahabatnya. Seolah kaget, Hans menggeleng dengan cepat. "Tidak...
tidak, aku sedang tak ingin membicarakan itu. Kau kan akan
mengajakku jalan-jalan, bagaimana kalau kita lakukan itu
sekarang saja?" l"lans menarik tangan Hendrick menuju
perkebunan. "Kalian tidak akan makan dulu?" Nina berteriak dari
depan vila. Hendrick dan Hans menoleh ke arah Nina dan
menggeleng kompak. Nina mengerti, anak"anak itu sedang
tak mau diganggu. ]eremy tiba-tiba memeluk tubuhnya dari belakang,
membuat senyum Nina merekah seketika. "Kau bahagia,
Sayang?" tanya ]eremy pada istrinya.
"Sangat bahagia, Suamiku," jawab perempuan itu
singkat. "Aku suka sekali warna hijau!" Hendrick berteriak-teriak
kegirangan. Tangannya tak henti menyentuh dedaunan yang
ada di sekelilingnya. l-lans tertawa-tawa melihat kelakuan Hendrick yang
saat itu terlihat sangat kekanakan. "Aku suka warna putih!"
Hans tak mau kalah. Hendrick menyipitkan mata. "Putih" Membosankan sekali!" ledeknya. Sambil tersenyum, Hans bercerita. "Kalau memandang
langit yang awannya berwarna putih, aku merasa hidupku
baik"baik saja. Tak ada awan hitam pertanda akan turunnya
hujan," jawabnya sambil melayangkan pandangan ke langit.
Hendrick tertawa geli. "Kau lucu, Hans. Kata-katamu
seperti orang dewasa. Sesusah apa hidupmu sampai harus
berpikir seperti itu" " Dia tak henti tertawa. Hans menekuk
bibirnya ke bawah tanda kecewa. N amun, rupanya Hendrick
masih takut Hans marah dan meninggalkannya. "Ah, Hans,
aku hanya bercanda. Kadang, aku juga tak tahu hidupku
akan seperti apa. Masa depan masih terbentang panjang.
Aku masih punya segudang cita-cita. Tapi, aku juga tak
tahu nantinya akan senang atau susah," dia berkata sambil
mengangguk-angguk. Hans menyipitkan mata, menatap Hendrick dengan
heran. "Kau bicara apa, sih?" Tawanya pecah seketika.
Hendrick juga sebenarnya bingung, dia tadi hanya mencoba
mengimbangi Hans dengan kata-kata yang menurutnya
sepuitis kata"kata Hans. Kedua anak itu berlarian semakin
dalam ke semak"semak, mencari hal-hal yang belum tentu
bisa mereka temui di kota.
Dua anak Londo itu terus berjalan tanpa lelah. Sejauh
apa pun melangkah, sepertinya mereka tak juga merasa
letih. Kaki mereka berhenti di sebuah gerbang di atas
perkebunan. Di hadapan mereka tampak sebuah taman.
Dari kejauhan, mereka berdua bisa melihat ada sebuah
makam di dalam sana. Di sana juga ada sebuah tugu putih
menjulang, bagaikan sedang menjaga kuburan itu. Hans
mengerenyit ketakutan. "Apa itu" Siapa yang dikuburkan di
sana?" Berbeda dengan Hans, sorot mata Hendrick berbeda,
seperti memancarkan haru dan bangga. "Itu makam Franz
Wilhem ]unghuhn. Dia adalah seorang ilmuwan asal ]erman
yang sangat dikagumi oleh Papa. Dia pemilik perkebunan
ini. Tahu tidak" Karena orang inilah Papa memutuskan
meninggalkan Netherland. jangan takut, Tuan ]unghuhn
adalah laki-laki yang sangat baik. ]ika dia jadi hantu pun,
sosoknya pasti bukan hantu yang jahat."
Hans hanya manggut-manggut, berlagak memahami
cerita sahabatnya. Namun, sesaat kemudian, keningnya
berkerut. "Hantu" Tak ada hantu yang baik. Orang baik tak
mungkin jadi hantu," dia berkata dengan bingung.
Hendrick pun mengerutkan kening, berpikir sejenak,
kemudian mengangguk setuju. "Benar juga katamu. Hantu
mengganggu orang-orang yang masih hidup. ]ika tidak
mengganggu, mungkin itu malaikat," Hendrick mencoba
menganalisis. Sahabatnya masih saja mengerutkan kening,
belum bisa memahami kata-kata Hendrick.
"Sudahlah, jangan bahas hantu. Bulu kudukku jadi
merinding! Aku tertarik pada Tuan ]unghuhn, Hendrick.
Aku memang pernah mendengar, dia adalah ilmuwan pintar
yang membuat pemerintah Netherland semakin kaya karena
tanaman kina. Tapi, hanya itu yang kuketahui. Apakah dia
memang benar-benar hebat?" Hans penasaran.
Hendrick senang sekali karena sahabatnya tertarik pada
Franz Wilhelm ]unghuhn. "Baiklah, akan kuceritakan betapa hebat dan bersahajanya seorang ]unghuhn. Tapi, aku
akan menceritakannya nanti, di samping makamnya."
Hans kembali mengerenyit takut, namun tangan
Hendrick telanjur menariknya masuk ke taman.
(&& "Hiduplah dengan dirimu sendiri. jangan bergaul
dengan siapa pun. jangan campuri urusan tetek-bengek dan
intrik. jangan takut berkaok-kaok dengan orang-orang yang
mengejar sesuatu yang baru. jangan mencari kepuasan hati
pada orang-orang lain, jangan mencari kebahagiaan di luar
dirimu, jangan mendewa-dewakan sesuatu selain alam raya.
Kebahagiaanmu, hiburanmu, harapan dan kepercayaanmu
hendaklah berakar semata-mata pada alam raya yang secara
diam-diam, namun tetap abadi, bergerak di dalam makhlukmakhluk-Nya." Bukan seorang pujangga yang menulis kalimat-kalimat
tersebut, melainkan seorang dokter muda bernama Franz
Wilhelm ]unghuhn saat mengembara ke Hindia Belanda.
Dalam menunaikan tugas sebagai dokter militer di negara
jajahan ini, dia hanya kuat bertahan selama tiga tahun. Ada
sesuatu yang membuatnya jenuh dengan pekerjaannya saat
itu. Di kemudian hari, ]unghuhn muda lebih memilih untuk
berkelana, menjelajahi pulau demi pulau di negeri yang kaya
ini. Sebagai peneliti yang sangat pintar, ]unghuhn tertarik
untuk menelusuri jarak dan letak geografis pulau-pulau
Hindia Belanda, dan akhirnya menghasilkan empat jilid
buku yang menceritakan pulau ]awa"geografi, geologi,
flora dan faunanya, lengkap dengan peta-peta, gambar, serta
profil pemandangan alam dan bentuk bebukitan.
]unghuhn kembali ke Eropa saat menyusun buku-buku
itu, namun setelah menikah, dia memutuskan untuk kembali
ke Hindia Belanda. Dia memilih menetap di dataran tinggi
]awa Barat, tepatnya di kaki Gunung Tangkuban Perahu. Dia
tidak datang begitu saja tanpa tujuan, karena dia membawa
bibit tanaman kina yang dia dapatkan saat singgah di India
sebelum tiba di Hindia Belanda.
Zaman dahulu kala, nyamuk sempat menjadi musuh
utama bangsa mereka. Bahkan selama lima puluh tiga
tahun, antara tahun 1714 hingga 1767, tercatat ada 72.816
penduduk Hindia Belanda berkebangsaan Eropa yang
meninggal akibat penyakit malaria karena penyakit inilah
Hindia Belanda, tepatnya Batavia, sempat dijuluki sebagai
"Hetgrafvan het Oosten" atau kuburannya negeri timur.
]unghuhn yang saat itu sedang dalam perjalanan
menuju Hindia Belanda berpikir, mungkin tanaman kina
yang sudah diketahui merupakan obat malaria bisa tumbuh
subur di tanah Priangan. jika itu benar, tentu saja itu akan
menjadi solusi untuk menekan angka kematian manusia di
Hindia Belanda. Prediksinya ternyata benar, kina yang dia
tanam tumbuh pesat. Tak hanya menekan angka kematian,
temuannya pun membuat Hindia Belanda menjadi penghasil
kina terkenal di dunia, salah satu pengekspor terbesar
tanaman kina yang banyak dibutuhkan dalam Perang Dunia
ke-2. ]unghuhn menanam kina di beberapa daerah di
jawa Barat, di antaranya di bagian barat dan selatan kota
Bandung. Dan dia terus mencari dataran-dataran tinggi dan
pegunungan lain di jawa Barat untuk ditanami kina.
Penjelajahan ini membuat kecintaannya terhadap
tanah Sunda menjadi semakin besar. Sering kali dia
berteriak, "Hanya di ketinggian pegunungan
saya dapat bahagia! Betapa senangnya, betapa mudahnya hati ini
tersentuh saat berada di atas gunung.
Sementara, angin berembus sepoi
menerpa pohon kasuarina dan
bintang berkelip menembus atap
gubuk hijau tipis. T iada genting yang
menghalangi kita dari tatapan langit
yang ramah. T iada tembok gelap
yang menyesakkan kita. Di sini, kita
bernapas lega dan bebas. "
Di makam ]unghuhn, Hendrick mulai bercerita. "Sebuah
pabrik yang dibangun oleh Tuan ]unghuhn berdiri di dekat
sini. Dulu, Papa datang ke Bandoeng hanya untuk mengikuti
jejak Tuan ]unghuhn, idolanya. Sayang sekali Tuan ]unghuhn
sudah telanjur meninggal saat keluargaku datang. Papa
sempat bertemu keluarganya, yang menerima Papa dengan
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan terbuka. Dan akhirnya, pemerintah Netherland
menugaskan Papa untuk bekerja di Bandoengsche Kinine
Fabriek sebagai peneliti.
"Yang kusukai dari seorang ]unghuhn adalah kecintaannya pada alam dan semangatnya untuk menyelamatkan banyak jiwa. Kau tahu, Hans, karena itulah
aku suka sekali warna hijau. Melihat warna hijau selalu
mengingatkanku pada perkebunan yang terhampar luas.
Ada kedamaian di dalamnya, menenangkan perasaanku
yang sebentar senang, sebentar sedih, sebentar marah."
Hendrick tak kuasa menahan tawa karena malu mengakui
kekurangannya di hadapan Hans.
Hans tercengang mendengar kata-kata Hendrick. Dia
kagum mendengar pengetahuan Hendrick tentang Franz
Wilhelm ]unghuhn, meskipun tidak dia akui secara langsung.
Pantas saja Hendrick berprestasi di sekolah. Selain itu, l"lans
yang semakin dalam mengetahui siapa Franz Wilhelm
]unghuhn pun mulai terkagum-kagum pada sosok sang
ilmuwan. "Kenapa dia meninggal?" dia bertanya lagi pada
Hendrick. Hendrick menjawab sambil sesekali tangannya mengelus nisan makam ]unghuhn. "]unghuhn meninggal di
Lembang pada usia 55 tahun karena infeksi usus buntu.
Kau tahu, sebelum meninggal, dia mengajukan permohonan
terakhir yang begitu puitis pada sahabatnya." Hendrick
tersenyum sambil menatap Hans.
"Apa pesannya?" tanya Hans antusias.
Tanpa menunggu lama, Hendrick melanjutkan ceritanya.
"Dia berkata: Aku ingin berpamitan denqan
qununq-qununq/cu tercinta.
untuk terakhir kalinya, aku
ingin memandang hutan-hutan.
Aku ingin menghirup udara
pegunungan. " Hendrick memejamkan mata sambil menghirup udara
segar di dataran tinggi itu. Hans ikut tersenyum mendengarnya, menirukan tindakan Hendrick. Tidak ada lagi
rasa takut pada makam di sampingnya. Kemudian, Hans
berbaring di rumput, dan matanya terpejam. Hendrick yang
sejak tadi duduk pun menirukannya.
"Hendrick, jika kau mati... apa yang ingin kau minta
dariku?" tanya Hans pada sahabatnya sambil tetap memejamkan mata. Hendrick tersenyum. "Aku ingin mati seperti ]unghuhn.
Dikenang dengan baik."
jawaban singkat Hendrick membuat Hans tersenyum
senang. Dia merasa, itu adalah kalimat paling bijaksana yang
pernah dia dengar dari mulut sahabatnya.
"Kau sendiri bagaimana?" Hendrick balik bertanya.
l-lans duduk seketika, keningnya kembali berkerut.
"Aku belum mau mati. jadi, jangan tanyakan sekarang!"
Dia terbahak, menarik rambut Hendrick, kemudian berlari
kencang meninggalkan Hendrick yang terkejut. Namun, tak
lama kemudian, Hendrick mengejar Hans sambil berteriak
namun terbahak-bahak. "Anak nakaaaaal!"
100 oXVZo ia yang Mu Cerita demi cerita tentang Hendrick si anak
misterius mulai bermunculan. Betapa kewalahannya aku,
karena semua muncul bertubi-tubi dalam waktu yang
berdekatan. Tanganku hanya dua, otakku hanya satu.
"Rasanya melelahkan juga
masuk lee dalam mesin waktumu,
Hendrick. " Entah apa yang menyebabkan dia menjadi sangat terbuka kini. Hampir setiap pagi dia muncul. Cerita demi cerita
merasuki pikiranku yang langsung sibuk merangkai katakata agar sesuai dengan yang dia sampaikan. Belakangan,
wajahnya memancarkan keceriaan, saat mengatakan bahwa
kisah tentang perkebunan adalah yang paling dia sukai
sepanjang hidupnya. 102 Sebenarnya, aku masih penasaran dengan Helena
yang tiba-tiba menghilang. Kemarin, kutanyakan itu pada
Hendrick, namun dia memintaku untuk bersabar. Katanya, Helena akan muncul lagi dalam sisa hidupnya. Ini
semakin membuatku penasaran. Kenapa dia tidak langsung
menceritakannya" Sungguh, aku sangat ingin tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya.
Mcoooooo-J "Jika bukan karena Nippon, kenapa hidupmu
berakhir, Hendrick" Lantas, apa yang terjadi
pada Hans" Bukankah usia kalian berdua
hampir sama" kalian mati bersama"sama?"
N)% "Kau sangat tidak sabaran." Hendrick cemberut saat
aku terus menanyainya tentang Helena dan penyebab
kematiannya serta Hans. "Nanti akan kuceritakan. Walaupun,
sebenarnya aku tak suka bagian itu. Tapi tenang saja,"
jawabnya dengan kesal. Sekarang, giliranku yang cemberut. Namun, rupanya
dia tidak suka melihat ekspresiku. Dia sedikit mengancam,
"Kalau kau cemberut seperti ini terus, aku tak mau lagi
bercerita apa-apa." 103 Kupamerkan senyum termanisku, merasa bersalah.
"jangan, dong. Kau harus menceritakan semuanya padaku.
Selama ini aku tak terlalu memperhatikanmu, Hendrick.
Maafkan aku. Sekarang, aku begini karena penasaran dengan
hal-hal yang baru kuketahui tentang dirimu. Begitu juga
tentang Hans." Pandanganku menerawang, membayangkan tampang mereka berdua saat itu.
"Kami tak mengenal Nippon. Orang-orang jahat itu tak
sempat mencelakai keluarga kami. Tapi, bukan berarti kami
tak membenci mereka. Aku dan Hans sama-sama melihat
kekejaman mereka terhadap orang-orang Netherland. Ingin
rasanya membantu, tapi kami bisa apa?" Tatapan Hendrick
kosong, suaranya bernada getir.
"Mungkin sebaiknya kita takmembahas ini sekarang. Aku
tak mau kau jadi sedih," aku menyela sambil mendekatinya.
Anak itu melompat, lalu berlarian mengitari kamarku.
"Tak ada waktu untuk bersedih. Aku ingin terus bercerita
tentang hidupku yang menyenangkan!" teriaknya.
Hendrick memang pandai menguasai keadaan. Mungkin
itu sebabnya, dia hampir selalu terlihat baik"baik saja.
&c./0 "Kau dulu sangat manja, ya?" tanyaku beberapa hari
kemudian. Anak itu tersenyum bangga. "Dan sangat tampan."
104 Mataku mendelik, kesal. "Ya, tentu saja kau tampan. Tapi
sangat keras kepala."
Dia terkekeh agak malu. "Tapi, aku kan anak semata
wayang. Wajar jika Mama dan Papa begitu sayang padaku.
Seperti apa pun sikapku, aku sangat menyayangi mereka,
Risa. Dan sungguh, aku sangat merindukan Mama dan
Papa...." Lagi-lagi, aku menghadapi situasi sulit. Perasaanku
sangat tidak enak karena melihatnya tertunduk dan
bersedih. Sementara, aku tak tahu apa-apa tentang solusi
masalahnya. Ingin rasanya benar-benar memeluk anak ini,
tapi bahkan untuk menyentuh jemarinya saja aku tak bisa.
Hendrick mengetahui ini, dia mengerti bahwa aku tak bisa
melakukan apa-apa. Dia tidak membutuhkan pelukanku, dia
hanya ingin didengarkan. "Helena datang lagi, Risa. Setelah akhirnya aku sadar
bahwa sikapku kepadanya sangat konyol. Kau tahu, bagiku
dia adalah malaikat. Gadis baik yang sangat mengagumkan.
Aku menyesal telah bersikap kasar padanya. ]ika bukan
karena Helena, mungkin aku akan sangat terpuruk." Tibatiba saja dia berkata begitu. Padahal, aku tidak berniat
membahas Helena. Aku diam saja, menunggu Hendrick bercerita lebih
lanjut. "Aku tak pernah mengenal kakakku, Angeline. Tapi,
kurasa Tuhan mengirim Helena ke kehidupanku sebagai
105 pengganti Angeline yang lebih dulu kembali." Kepalanya
semakin tertunduk. ")"/can kuceritakan tentang
Helena kepadamu, Risa. "
(&& 106 $"8Q25355f833 &&W%"Q"a&2!%.3"g
Udara pagi di ruang makan Vila peristirahatan terasa
sangat dingin, namun orang-orang yang ada di sana dilingkupi kehangatan. Gelak tawa menemani kegiatan sarapan Hans dan keluarga Konnings yang berkumpul di sana. Ini
sudah hari ketiga liburan mereka di perkebunan.
Hendrick yang masih merasa kerasan memohon kepada
orangtuanya untuk menambah waktu liburan selama dua
hari. Awalnya, ]eremy berkeras untuk tetap pulang, tapi
anak itu memaksanya agar mau tetap berada di sana. ]ika
Hendrick sudah memaksa, suami-istri Konnings tak bisa
menolaknya. Biar bagaimanapun, suasana di perkebunan
yang masih asri memang layak untuk dinikmati berlamalama. Menenangkan hati dan pikiran.
"Bukankah seharusnya besok kau harus bekerja ke
daerah perkebunan lain, ]eremy?" Nina bertanya pada
suaminya, sambil membongkar barang-barang bawaannya
untuk disimpan ke dalam lemari lagi.
108 "Iya, memang seharusnya begitu. Tapi, melihat anak
itu begitu bahagia ada di sini, rasanya tak apa jika harus
membolos satu atau dua hari saja," jawab ]eremy sambil
tersenyum. Nina berjalan mendekati suaminya, lalu menggelayut
manja di bahu ]eremy. "Kau baik sekali, Sayang. Terima
kasih karena telah menyayangiku dan anak kita dengan
sangat besar. Seandainya tidak ada kau, aku belum tentu
bisa sebahagia sekarang," ucapnya sambil memeluk tubuh
suaminya. Laki-laki itu ikut tersenyum menerima perlakuan
istrinya. "Kau tahu, Nina, belakangan kau terasa semakin
dewasa. jauh berbeda dari si nakal Nina yang dulu kukenal.
Aku menyukai dirimu yang dulu, tapi sekarang aku jauh
lebih menyukainya. Dari hari ke hari, kau berubah menjadi
lebih baik lagi. Aku bersyukur kepada Tuhan karena telah
mempertemukan kita." ]eremy meneteskan air mata.
Nina sedikit terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut suaminya, tanpa sadar air matanya ikut
meleleh karena terharu. "]ika bukan karena sikapmu yang
sangat sabar, mungkin aku akan tetap nakal, ]eremy. Nakal
seperti anak laki-lakimu itu"' ujarnya sambil tersenyum,
membayangkan Hendrick yang selalu membuatnya pusing.
]eremy menarik tubuh istrinya, memandang perempuan itu lekat"lekat. "Dia tidak nakal, Sayang. Hanya butuh
perhatian ekstra. Sama seperti kau dulu, butuh perhatian
109 dariku. ]aga dan sayangi dia dengan sepenuh hatimu, Sayang.
Anak itu tak bisa dilepas sedetik pun. Suatu saat dia akan jadi
orang hebat. Aku yakin itu." Air mata ]eremy terus menetes,
dan dia berharap bisa menghentikan air mata yang terus
membasahi wajahnya. "Kenapa kau jadi melankolis begini, ]eremy" Sudah,
jangan menangis. Nanti anak nakal itu akan menertawakan kita berdua!" Nina tertawa kecil, namun sama seperti
]eremy, air matanya tak henti mengalir.
Mereka adalah sepasang manusia yang saling melengkapi,
dan orangtua gang sangat menyayangi anak mereka. Seharian ini, entah ke mana Hans dan Hendrick. Mereka
muncul di vila hanya jika butuh makan atau minum. Sesekali,
]eremy mencari mereka dengan berkuda ke perkebunan,
melihat apa yang sedang mereka lakukan, sambil memeriksa para pekerja perkebunan.
Nina menghabiskan waktunya dengan menyulam di
halaman belakang vila. Hanya itu satu-satunya yang bisa
dia lakukan di sana. Sebetulnya dia ingin menjahit kemeja110 kemeja baru untuk suami dan anaknya, tapi sayang, tak ada
mesin jahit di sana. ]eremy menghampirinya, tampak kelelahan setelah
berkeliling perkebunan dengan menunggang kuda. "Apa
yang sedang kau buat, Sayang?" dia bertanya pada Nina.
Nina menoleh, lalu menjawab sambil lanjut menyulam.
"Membuat sulaman buah anggur di atas kain ini. Aku rindu
anggur-anggur di kebun Papa," jawabnya singkat.
]eremy menatap istrinya sambil terdiam sejenak.
"Hendrick belum pernah kita ajak ke sana, Nina. Kita terlalu
sibuk di sini, sampai-sampai lupa mengenalkannya pada
tanah leluhur. Bagaimana kalau kita pulang ke rumahmu"
Sekalian mengunjungi keluargaku di Netherland?" dia
bertanya dengan antusias.
Nina langsung berhenti menyulam. Dia melempar kain,
benang, dan jarum yang sejak tadi menyibukkan dirinya.
"Ide yang sangat brilian, ]eremy! Aku juga sangat rindu udara
Eropa! Ayo, kapan kita lakukan itu?" teriaknya senang.
]eremy kembali berpikir. "Bulan depan" Tapi, bagaimana
dengan sekolah Hendrick" Mungkin kita akan pergi lama
sekali." Nina mengangguk. "Atau kita tinggal saja dia?" tanya
Nina sambil tersenyum jahil.
]eremy tertawa kecil, "Nina si nakal mulai muncul. Tentu
saja tidak, Sayang. Aku tak akan tenang meninggalkannya
Hendrick Karya Risa Saraswati di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
111 sendirian di sini. Nanti akan kupikirkan matang"matang
rencana ini, oke" Oh ya, kita harus bertanya dulu padanya.
Siapa tahu dia ternyata tak mau bepergian ke Eropa dan
meninggalkan pelajaran di sekolah."
Nina mengangguk sambil tersenyum. Matanya terpejam.
Belum apa-apa, dia sudah membayangkan udara Eropa yang
sejak kecil dihirupnya. Bandoeng memang nyaman, tapi
tanah kelahiran selalu terasa lebih nyaman dibandingkan
kota-kota lain di seluruh dunia.
(x")t/Q "Kau tahu, Sayang, Papa mengajak kita berlibur ke
Eropa!" Nina berseru kegirangan malam itu.
Hendrick yang mendengarnya terlonjak kaget. "Eropa"
Benarkah" Aku tidak sedang bermimpi?" dia juga berteriak.
]eremy mengangguk. "Iya, benar, Sayang. Tapi, nanti
dulu, bagaimana sekolahmu nanti" Kita akan butuh waktu
berbulan-bulan untuk pergi dan kembali ke Bandoeng. Kau
akan sangat ketinggalan pelajaran." ]eremy memandangi
wajah anaknya lekat-lekat.
Hendrick tampak termenung, hati kecilnya melonjak
senang saat mendengar kabar itu, tapi di sisi lain, dia juga
tak ingin ketinggalan pelajaran.
112 Hans tiba-tiba ikut bicara. "Kalau kau ketinggalan, ya
tidak apa-apa. Nanti kau akan sekelas denganku, Kawan,"
ujarnya dengan santai. Hendrick membelalak, mendekati Hans lalu memeluk
anak itu erat-erat. "Kau sungguh jenius. Sekelas denganmu
adalah ide yang sangat cemerlang!" Dia langsung tertawatawa senang. "Papa, dengar kan" Papa tak perlu mengkhawatirkan sekolahku." Hendrick tersenyum mantap di
hadapan papa dan mamanya, membuat kedua orangtuanya
tertawa geli. "Ayo, cepat tidur, sudah terlalu malam. Besok mau
sarapan apa?" tanya Nina pada kedua anak itu.
Mereka berdua menggeleng. "Apa saja," mereka menjawab hampir serempak. Nina kembali tersenyum. "Baiklah, sampai jumpa besok
pagi dengan menu sarapan yang sangat enak!"
Sebelum Hendrick dan Ham meninggalkan ruangan
itu, tiba-tiba ]eremy menarik tangan anaknya, lalu memeluk
anak itu dengan cepat. Hendrick tak nyaman dengan sikap
papanya itu. "jangan, Papa! Aku malu!" katanya sambil
mencoba melepaskan diri dari pelukan ]eremy. Hans tertawa di sebelahnya, merasa terhibur melihat mereka. "Papa,
dengar! Aku bukan anak kecil lagi! " Hendrick merengek
kesal. 113 Alih-alih melonggarkan, ]eremy malah memeluk anak
itu semakin kencang. "Biarkan aku memelukmu begini sebentaaaar saja!" Air mata laki-laki itu menggenang. Semua
orang yang ada di sekitar mereka terkejut melihat sikap
aneh ]eremy. Hendrick pun ikut terkejut, dia mendadak diam, tak
lagi meronta dalam pelukan sang papa. "Papa, kau baik-baik
saja?" Suaranya melembut kini.
]eremy memejamkan mata sesaat, lalu mengangguk
sambil menjawab, "Aku baik"baik saja. jauh lebih baik
daripada sebelumnya. Aku bahagia. Ini adalah tangisan
kebahagiaanku karena bisa memiliki Mama, dan memilikimu." Tangan laki-laki itu kian erat memeluk anak kesayangannya. Hendrick balas memeluk ]eremy kini, bibirnya tersenyum. "Papa, jangan cengeng begini.... Kau seperti anak
kecil, Papa. Malu, ada Hans di sini. Bisa-bisa dia nanti
memberitahu seisi sekolah bahwa ayah Hendrick Konnings
ternyata cengeng seperti anak kecil!"
]eremy tertawa keras sekali mendengar penuturan
anaknya. "Dasar kau anak nakal, sungguh tak peduli pada
papamu yang sedang ingin dimanja. Dia benar-benar
anakmu, Nina! Mirip sekali denganmu!"
Tak hanya ]eremy yang tertawa keras. Nina, Hendrick,
dan Hans jadi ikut tertawa bersama Tuan Konnings. Aneh
sekali suasana malam itu, meski dipenuhi gelak tawa, tapi
114 seperti ada kesedihan yang terpancar dari mata ]eremy,
entah apa. Sebelum akhirnya Hendrick dan Hans benar-benar
masuk ke dalam kamar mereka, lagi-lagi ]eremy menarik
tangan Hendrick. Namun, kali ini ]eremy mendekatkan
mulut ke telinga Hendrick untuk membisikkan sesuatu.
M......OUJ "Hendrick, kau hamsJ'adi laki"laki gang
kuat. Jaga mamamu dengan baik se er 1"
aku menja anga den an scienuh ati.
Ingatlah, aki"laki & u tida cengeng.
Jangan pernah mengarah, seberat aya [mn
masalah gang sedang kauhadalzi."
Hendrick mengangguk sambil tersenyum. Sekarang
bibirnya yang mendekat ke telinga ]eremy, balas berbisik.
"Ya Papa, aku tak akan cengeng. Tapi, Papa, sebenarnya
laki-laki cengeng itu adalah dirimu," dia tertawa. "Aku
menyayangimu." Setelah itu, dia menarik tangan Hans, yang
penasaran dengan kelakuan ayah dan anak itu.
wcfo 115 "Tidaaak!!! ]eremy, bangun, ]eremy, jangan bercanda
denganku! ]eremy bangunlah, Sayang, cepatlah bangun!"
Teriakan Nina Konnings memecah kesunyian keesokan
harinya. Beberapa jongos perkebunan serta pembantu yang
ada di sana mengerubungi kamar tempat Tuan dan Nyonya
Konnings berada. Hans yang baru bangun ikut panik saat mendengar
teriakan itu. Dia berlari keluar kamar, dan semakin panik
saat melihat begitu ramai orang-orang berkumpul di
depan kamar Tuan dan Nyonya Konnings. Dia sadar, harus
membangunkan Hendrick secepatnya! Ada sesuatu yang
tidak beres, dan sahabatnya tentu harus tahu.
"Hendrick, bangun! Bangun! Ada sesuatu yang terjadi!"
Hans mengulang"ulang kata-kata itu sambil tak henti
mengguncang tubuh Hendrick.
Hendrick menguap sambil menggeliat. "Ada apa" Ini
masih terlalu pagi, ayo tidur lagi!" jawab Hendrick sambil
kembali memejamkan mata. "Sesuatu terjadi di kamar papa-mamamu! Cepat! Tadi
aku mendengar mamamu berteriak sangat keras!" Hans
kembali mengguncang tubuh sahabatnya, kali ini lebih kuat.
Hendrick terlonjak seketika, tanpa bicara lagi dia
langsung berlari menuju kamar orangtuanya, menerobos
kerumunan orang-orang yang mulai memadati kamar itu.
"Mamaaaa!" Anak itu berteriak sangat keras.
116 Nina merespons panggilan itu dengan balas berteriak,
"Hendrick!" Dia berdiri, lalu menarik lengan anaknya, dan
mendekati tubuh suaminya yang masih tampak tertidur
tenang di tempat tidur. "Kenapa, Mama" Ada apa?" Hendrick berseru panik
tatkala sadar bahwa ibunya tengah menangis hingga wajah
dan matanya terlihat bengkak.
"Papa, Sayang. Papa...." Nina terus menangis, kini kedua
tangannya menutupi wajah, tak sanggup melihat ekspresi
Hendrick yang terlihat sangat bingung.
Hendrick menoleh ke arah tubuh ]eremy, lalu mendekat.
"Papa, Papa!" Tangannya mulai mengguncang tubuh ]eremy
dengan keras. Namun, laki-laki itu bergeming, tetap tertidur
pulas. "Kenapa Papa, Mama?" tanya Hendrick lagi.
Nina menggeleng. "Aku tidak tahu, dia tak mau bangun."
Kembali Nina menangis, bahkan lebih keras daripada
sebelumnya. Hendrick benar-benar panik kini, tangannya kembali
mengguncang tubuh ]eremy yang tak bergerak."Papa!
Dengarkan aku! Bangun, Papa! Bangun!" Dia mulai menangis. "Papaaaaaa!!!" Hendrick sekarang histeris kini,
melihat papanya tak bergerak sama sekali, atau merespons
teriakannya. Beberapa orang termasuk l-lans mencoba menarik
tubuh Hendrick saat seorang laki-laki keturunan Belanda
117 datang di tengah suasana panik itu. Laki-laki itu rupanya seorang dokter yang bertugas tak begitu jauh dari
perkebunan. "Tolong periksa suamiku, Tuan. Tolong
sembuhkan dia, tolong bangunkan dia!" Nina memohon
pada sang dokter sambil terus menangis. Hendrick terlihat
resah, air matanya tak berhenti mengalir.
Sang dokter hanya membutuhkan waktu satu menit
untuk memeriksa kondisi ]eremy Konnings. Kepalanya
tertunduk, cukup lama terdiam sebelum akhirnya bicara.
"Nyonya..." ucapnya pelan, "saya turut berduka...."
Meski pelan, kalimat itu berhasil memecah kembali
tangis Nina dan Hendrick yang sempat tertahan. Mereka
langsung memeluk tubuh kaku ]eremy Konnings. Menurut
sang dokter, ]eremy meninggal karena serangan jantung.
Mungkin ada pembuluh darah ]eremy yang tersumbat
karena tubuhnya terlalu lelah. "Kematian bisa datang
Golok Naga Kembar 5 Joko Sableng 18 Bara Di Kedung Ombo Kuman Pengacau Rachel 3