15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 19
"Jika mereka menemukan kalian, maka kalian akan menjadi debu."
"Tentu tidak malam ini, Ki Panji. Tetapi jika itu terjadi pada kesempatan lain, kami memang akan menjadi debu."
"Pikirkan itu. Apakah kau akan pergi meninggalkan Seca atau kalian mempunyai pertimbangan lain?"
Sutasuni menggeleng. Namun seperti yang sudah disinggungnya serba sedikit, maka Sutasuni itupun mengulanginya, "Bagaimana dengan sepasang suami isteri yang aku sebutkan itu" Nampaknya mereka masih sangat lugu. Tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdas, sehingga dalam waktu singkat, mereka sudah akan memiliki bekal yang lengkap, apa yang harus mereka lakukan jika mereka berada di lingkungan kita."
"Kau percaya kepada sepasang suami isteri itu?"
"Ya. Aku mempercayai mereka."
"Kau belum menyebutkan namanya."
"Namanya Carangkerep. Tetapi dengan bangga ia sebut dirinya Nagagundala."
"Nagagundala?" "Ya. Ki Panji."
"Dari mana ia mendapatkan nama yang seram itu?"
"Entahlah. Mungkin ia pernah mendengar nama seperti itu. Yang ia tahu, nama itu baik dan memberikan kesan yang garang."
"Baiklah. Bukankah kita tidak akan mengecewakannya hanya karena pilihan namanya. Mungkin banyak diantara kita yang mempunyai nama sampai dua atau tiga."
"Bahkan nama Ki Panji sendiri."
"Hus. Kau tidak usah berkata begitu."
"Maaf Ki Panji."
"Aku memakai namaku dengan resmi. Bukankah saat itu kita yang masih bersarang di hutan dan di goa-goa, aku memerintahkan untuk membuat jenang abang, jenang putih dan jenang baro-baro serta jajan pasar untuk meresmikan namaku" Ki Panji Kukuh."
"Tetapi Ki Panji sudah memakai nama yang lain sebelumnya."
"Sudah. Sudah. Apa peduli kita tentang nama. Yang penting, kau berani mempertanggungjawabkan keberadaannya diantara kita?"
"Aku akan bertanggungjawab Ki Panji."
"Jika demikian, panggil sepasang suami isteri itu kemari."
"Baik. Ki Panji."
Sutasunipun kemudian meninggalkan Ki Panji, sementara kawannya yang tidak ikut bersama Sutasuni. masih sempat menceriterakan kelebihan Glagah Putih dan Rara Wulan.
Beberapa saat kemudian. Glagah Putih dan Rara Wulan telah menghadap Ki Panji Kukuh di penginapannya.
Mereka berada di sebuah bilik yang khusus, satu-satunya bilik tang terpisah dari ruangan-ruangan yang panjang yang berisi amben-amben yang panjang pula.
"Kalian tertarik untuk ikut bersama kami dalam pekerjaan kami yang berat dan bahkan mempertaruhkan nyawa?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Aku tertarik kepada pekerjaan yang mempunyai tantangan yang tinggi. Demikian pula isteriku. Kami berdua ingin memanfaatkan ilmu yang telah beberapa tahun kami pelajari."
"Dimana kalian berdua berguru?"
"Kami berguru di Bukit Wahyu."
"Bukit Wahyu" Aku belum pernah mendengar nama Bukit itu."
"Salah satu puncak Bukit di daerah Pegunungan Kidul, sebuah Bukit Karang yang satu sisinya menghadap ke laut. Di Gunung Wahyu ada sebuah goa yang cukup luas. Disitulah guruku tinggal. Sedangkan padokan Cahya Andadari yang dipimpin oleh guruku itu, terletak di sekitarnya. Kami para cantrik harus mencari tempat berteduh kami sendiri-sendiri dalam ereng-ereng Bukit Wahyu dan sekitarnya.
Ki Panji Kukuh memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kemudian iapun bertanya, "Siapakah nama gurumu yang memimpin padepokan Cahya Andadari itu?"
Glagah Putih tidak ingin dicurigai. Karena itu, ia menjawab dengan lancar, "Namanya Ki Ageng Cahya Raina."
"Cahya Raina," desis Ki Panji Kukuh, "semuanya terdengar asing. Kalau aku belum pernah mendengar namamu itu wajar-wajar saja karena agaknya kau baru saja memasuki dunia petualangan. Tetapi aku yang sering berkeliaran sampai kemana mana sebelum aku menemukan jalur perdagangan yang memikat ini, juga belum pernah mendengar nama gurumu."
"Guru adalah seorang yang jarang sekali keluar, Ki Panji. Sejak guru berada di goanya, seingatku, baru sekali menempuh sebuah perjalanan yang jauh. Waktu itu guru pergi ke Gersik."
"Gersik" Untuk apa?"
"Aku tidak tahu, Ki Panji."
Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Demikian lancarnya Glagah Putih menjawab pertanyaan-pertanyaannya, sehingga sama sekali tidak berkesan bahwa jawaban-jawaban itu hanyalah sekedar isapan jempol saja. Bahkan jika saja Rara Wulan tidak mengetahui sendiri, masa-masa lalu Glagah Putih, maka mungkin sekali ia ikut mempercayainya."
"Baiklah," berkata Ki Panji Kukuh kemudian. Lalu katanya, "Menurut laporan Sutasuni, kau telah terlibat dalam perkelahian di penginapanmu?"
"Ya, Ki Panji. Orang-orang yang datang kemudian itu mencoba mengganggu isteriku. Sementara itu, Ki Sutasuni agaknya juga merasa sangat terganggu, sehingga kami dapat bekerja sama menghadapi mereka."
"Sebelum kalian bertemu dengan Sutasuni, apa sebenarnya yang akan kalian lakukan di Seca ini?"
"Kami telah berhubungan dengan Jati Ngarang. Kami ingin ikut serta berada dalam garis perdagangan gelapnya. Jati Ngarang mempunyai sumber yang dapat memberinya pasokan barang-barang terlarang itu."
"Jati Ngarang adalah seekor kecoa kecil bagi perdagangan terlarang ini."
"Ya. Ternyata menurut Ki Sutasuni, Jati Ngarang tidak mempunyai arti apa-apa. Tetapi orang-orang perguruan Kedung Jati itulah yang harus mendapat perhatian lebih bersungguh-sungguh."
"Kenapa?" "Menurut pendengaranku, yang tadi sudah aku katakan kepada Ki Sutasuni dalam perjalanan kemari, mereka akan membuat salah satu landasan bagi perjuangan mereka."
"Aku yang mengatakan itu kepadamu?" sahut Ki Sutasuni.
"O. Maksudku kita sama-sama mendengarnya," sahut Glagah Putih, "bukankah salah seorang dari mereka menyebut-nyebutnya ketika ia berteriak-teriak mengendalikan orang-orangnya yang berkelahi melawan kita?"
Ki Panji Kukuh tertawa. Ia mendapat kesan bahwa orang yang menyebut dirinya Nagagundala itu adalah seorang yang lugu. Nampaknya ia memang baru turun dari perguruannya dengan membekali dirinya dengan ilmu yang tinggi. Tetapi pandangannya terhadap dunia yang luas ini masih sangat sempit.
"Baiklah," berkata Ki Panji Kukuh, "aku tidak keberatan kau berada di lingkunganku. Tetapi kau harus menurut segala perintahku, yang kadang-kadang aku berikan lewat Sutasuni."
"Ya, Ki Panji."
Tetapi untuk sementara kau jangan berada di Seca. Kau dan Sutasuni harus menyingkir untuk dua tiga hari selama orang-orang dari perguruan Kedung Jati ada disini, karena kau dan Sutasuni telah membuka permusuhan dengan mereka. Meskipun persoalan adalah persoalan yang sangat kecil, tetapi permusuhan itu akan dapat berkembang jika kau bertemu dengan para pengikut Ki Saba Lintang. Sementara itu perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang sangat besar."
"Kenapa kita tidak mengusir mereka?"
"Mengusir mereka?" Ki Panji Kukuh mengerutkan dahinya.
"Ya, mengusir mereka. Bukankah kita dapat melakukannya sekarang?"
Ki Panji Kukuh memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun kemudian iapun tertawa, "Kau benar benar belum mempunyai wawasan sama sekali tentang dunia olah kanuragan. Jika kau ingin melakukankan petualangan, maka kau harus mempelajari dunia yang akan kau ambah, agar kau tidak tersuruk ke dalam serigala yang lapar."
"Tetapi, bukankah kita mempunyai kekuatan cukup sekarang" Sementara itu, Ki Saba Lintang berada di Seca hanya dengan beberapa orangnya saja, karena mereka mengira bahwa Seca itu aman tanpa ada gejolak?"
"Pikirannya masuk akal Ki Panji," sahut Sutasuni.
"Kau sependapat" Kau ingin membunuh diri dengan memusuhi perguruan Kedung Jati?"
"Ki Panji. Jika kita membunuh ular dengan meremukkan kepalanya, maka tubuh dan ekornya tidak akan berbahaya lagi."
"Apa maksudmu?"
"Satu kelemahan dari Ki Saba Lintang. Tetapi barangkali karena ia menganggap bahwa Seca itu adalah daerah yang aman tentram."
"Jadi?" "Jika benar Ki Saba Lintang akan membuat salah satu landasan bagi perguruannya di Seca, maka jalur perdagangan kita tentu akan berhenti Lambat atau cepat, Ki Saba Lintang akan mengetahui jalur perdagangan kita itu. Karena itu sebelum mereka benar-benar membuat landasan di Seca bagi perguruan Kedung Jati, maka sebaiknya kita menggagalkannya."
"Maksudmu, kita memberikan kesan bahwa Seca tidak aman. Kita akan mengganggu keberadaan Ki Saba Lintang dengan menimbulkan kekacauan di Seca?"
"Tetapi tidak tanggung-tanggung. Ki Panji. Kita hancurkan kepala ular yang kita bunuh itu."
Ki Panji Kukuh mengerutkan dahinya. Sementara Glagah Putih berkata, "Jika kita berhasil membunuh Ki Saba Lintang malam ini, maka perguruan Kedung Jati tentu akan menjadi kacau. Bahkan perguruan manapun yang kehilangan pemimpinnya, akan menjadikan perguruan itu seperti sarang semut ngangrang yang diperciki air. Semut-semut yang garang itu akan buyar dan berlarian kemana-mana tanpa arah."
Ki Panji tertawa. Katanya, "Otakmu terang juga Carangkerep."
"Gelarku Nagagundala," sahut Glagah Putih.
Ki Panji tertawa semakin keras, sehingga Sutasunipun berdesis, "Ki Panji dapat mengganggu ketenangan tidur orang lain."
"Bagaimana menurut pendapatmu, Sutasuni?"
"Ki Panji. Jika kita berhasil, maka perguruan Kedung Jati tentu akan pecah. Para pemimpinnya tentu akan berebut, siapakah yang akan menjadi pemimpin tertinggi. Mereka tidak akan sempat mencari keterangan, siapakah yang telah menyerang pada saat mereka berada di Seca. Bahkan beberapa orang akan merasa berterima kasih kepada kita. karena Ki Saba Lintang kita musnahkan ketika ia sedang lengah dan berada di Seca dengan kekuatan yang kurang memadai."
"Kau tahu. seberapa besar kekuatan Ki Saba Lintang di Seca sekarang ini?"
"Sebagian mereka berada di banjar padukuhan, sebagian lagi di penginapan yang sering aku pergunakan itu."
"Apakah menurut perhitunganmu, kekuatan kita cukup untuk menghancurkan mereka, sebagaimana kita membunuh ular?"
"Kekuatan mereka terpecah. Kita akan menyerang banjar . Sementara itu, ada tenggang waktu bagi para pengikutnya yang ada dipenginapan untuk datang ke banjar."
"Kau sudah perhitungkan para petugas di kademangan ini?"
"Mereka tidak akan banyak berpengaruh. Jika orang-orang kita terlibat dalam pertempuran yang sengit dengan para pengikut Ki Saba Lintang, mereka akan membuat pertimbangan dua tiga kali untuk terjun ke dalamnya."
"Sutasuni. Apakah kau yakin akan berhasil?"
"Aku yakin, Ki Panji. Apalagi orang-orang yang berada di penginapan itu sedang mabuk. Hampir semuanya. Bagi kita yang akan kita lakukan adalah satu perjuangan untuk mempertahankan jalur perdagangan kita. Mungkin mereka bahkan tidak sekokoh kekuatan Guntur Ketiga."
"Jika demikian, besok kau persiapkan orang-orang kita. Besok malam kita akan menyerang banjar itu."
"Kenapa besok malam. Ki Panji" Para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan itu sebagian besar mabuk. Itu sekarang. Belum tentu besok mereka juga mabuk lagi. Apalagi setelah Ki Saba Lintang sendiri berusaha mencegahnya."
"Jadi menurut pendapatmu. sekarang kita menyerang mereka?"
"Ya, sekarang. Mereka tentu benar-benar lengah."
Ki Panji Kukuh nampak ragu-ragu. Tetapi akhirnya iapun berkata, "Baiklah. Tetapi kita memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri."
"Masih ada waktu, Ki Panji. Di dini hari kita menyerang mereka. Yang mabuk tentu masih berada dalam pengaruh tuak. Bahkan mungkin ada diantara mereka yang menjadi semakin mabuk. Mereka agaknya membawa tuak ke dalam bilik-bilik mereka."
"Jika demikian, hubungan orang-orang kita di semua penginapan dan mereka yang berada di rumah Sura Kenthus. Semuanya, agar kita tidak menyesal nanti."
"Baik, Ki Panji," sahut Sutasuni.
Sutasunipun bergerak cepat. Beberapa orang telah membantunya menyampaikan perintah Ki Panji Kukuh.
Ternyata alur kepeimpinan Ki Panji Kukuh berjalan dengan baik. Dalam waktu yang singkat, semua pengikutnya telah siap.
"Kita akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang sendiri dengan beberapa orang petugas terlatih dari kademangan ini. Dalam waktu yang tidak terlalu lama. maka orang-orang yang menginap di penginapan itupun akan berdatangan di banjar pula."
"Ya. Mereka yang sedang mabuk," sahut Sutasuni.
"Baiklah. Kita harus memilah orang-orang kita. Kita harus memilih, siapakah yang patas menghadapi Ki Saba Lintang dan para pengawal terpilihnya itu."
"Aku menawarkan diri," berkata Glagah Putih, "aku akan mencoba apakah pemimpin tertinggi dari perguruan yang besar seperti perguruan Kedung Jati itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi."
"Menurut pendengaranku, Ki Saba Lintang sendiri bukanlah orang yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi satu dua pengawalnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi."
"Bukankah diantara kita ada Ki Panji Kukuh, ada Ki Sutasuni dan beberapa orang yang lain."
"Baik. Kau akan berhadapan dengan Ki Saba Lintang. Biarlah aku dan orang-orangku mengamankan pertarunganmu dengan Ki Saba Lintang agar tidak terganggu."
"Terima kasih," jawab Glagah Putih.
"Lalu. bagaimana dengan isterimu?"
"Bukankah kita tidak akan memasuki arena perang tanding " Jika perlu, biarlah isteriku membantuku melawan Ki Saba Lintang. Tetapi jika hal itu tidak perlu, maka biarlah ia mencari lawannya sendiri."
Ki Panji Kukuhpun kemudian berkata kepada Rara Wulan, "Nyi. Kau dengar kata-kata suamimu?"
"Ya, Ki Panji," jawab Kara Wulan, "aku akan mencari lawan sendiri di medan. Tetapi aku akan mempersiapkan diri membantu suamiku jika ia memerlukannya."
"Baiklah. Jumlah kita cukup banyak. Tugaskan sekelompok diantara kita untuk menghalau para petugas dari kademangan ini."
"Ya, Ki Panji," jawab Sutasuni.
Demikianlah, maka menjelang dini hari, pasukan Ki Panji Kukuhpun telah bergerak menuju ke banjar. Mereka menyusup dengan diam-diam di jalan-jalan yang sepi. Setiap kelompok telah memilih jalan mereka sendiri-sendiri.
"Semuanya harus segera berada di sekitar banjar. Hindari bentrokan dengan para peronda, agar tujuan kita untuk mengepung banjar tidak ketahuan lebih dahulu, sehingga para peronda itu mengirimkan isyarat. Jika keadaan memaksa, maka kalian harus berusaha membungkam para peronda itu," berkata Ki Panji Kukuh jika aku memberi isyarat, semuanya akan bergerak menurut tugas mereka masing-masing. Yang harus menghalau para petugas kademangan Seca berbeda orangnya dengan mereka yang akan menghadang orang-orang dari penginapan. Meskipun mereka sedang mabuk, namun pada dasarnya mereka adalah orang yang berilmu tinggi."
Semuanya menjadi jelas. Para pemimpin kelompokpun segera membawa kelompok mereka masing-masing menuruni jalan. Mereka memencar dan memilih jalan yang berbeda-beda.
Ki Panji Kukuh sendiri telah menyusuri sebuah lorong kecil yang justru merupakan jalan pintas. Ki Panji Kukuh bersama Sutasuni, Glagah Putih, Rara Wulan dan beberapa orang terbaik itu akan berada di seberang jalan, di depan banjar. Merekalah yang akan memasuki halaman banjar mendahului para pengikut Ki Panji Kukuh yang lain, agar mereka dapat langsung berhadapan dengan Ki Saba Lintang dan para pengawalnya yang terbaik."
Beberapa saat kemudian, dengan menghindari pertemuan dengan tiga orang peronda, maka Ki Panji Kukuhpun telah berada di mulut lorong, didepan regol halaman rumah di sebelah banjar itu.
Dengan hati-hati Ki Panji Kukuh dan orang-orang yang bersamanya, justru memasuki halaman rumah di depan banjar itu dengan mengendap-endap.
"Kita tunggu sebentar, Ki Panji," desis Sutasuni, "mungkin kawan-kawan kita masih berada di perjalanan."
Ki Panji mengangguk. Perlahan-lahan Ki Panji itupun berbisik, "Banjar itu kelihatannya sepi sekali. Hanya ada dua orang petugas kademangan ini yang berdiri di regol. Mungkin ada juga yang duduk-duduk didalam. Tetapi penjagaan di banjar ini sama sekali kurang memadai."
"Satu kelengahan. Ki Panji. Mereka dan bahkan siapa saja tidak akan mengira, bahwa kita akan mendatangi banjar malam ini. Setiap orang telah terlena dalam satu anggapan, bahwa kademangan Seca adalah kademangan yang aman dan tenang, tanpa ada gejolak sama sekali."
"Perkelahian di penginapanmu agaknya tidak banyak mempunyai pengaruh terhadap orang-orang dari perguruan Kedung Jati, meskipun kau dan kedua orang suami isteri itu menunjukkan ilmu yang memadai."
"Mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka, sehingga mereka tentu meremehkan orang lain. Apalagi di Seca yang diam ini."
Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba iapun bertanya, "Apakah kira-kira semua orang kita sudah berada di tempatnya?"
Sutasuni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Agaknya sekarang semuanya sedang merangkak ke tempat sebagaimana sudah kita rencanakan."
"Kalau begitu, kita akan segera memberikan isyarat."
Sutasuni mengangguk sambil berdesis, "Biarlah anak panah sendaren itu dilontarkan."
"Kau yakin bahwa semua orang akan mendengarnya?"
"Ya. Ki Panji. Suara panah sendaren itu akan terdengar dari sekeliling banjar ini. Bahkan kita tidak akan menerbangkan satu panah sendaren. Tetapi tiga yang akan dilontarkan ketiga arah yang berbeda."
"Bagus." "Namun sementara itu. kita harus sudah memasuki halaman banjar. Begitu mereka tergerak oleh anak panah sendaren yang tentu akan mereka dengar, kita sudah berada di hadapan hidung mereka, sehingga mereka tidak mempunyai banyak kesempatan. Sementara itu orang-orang kitapun sudah memasuki lingkungan banjar itu pula."
Sejenak kemudian, maka Ki Panji Kukuh serta para pengikutnya yang menyertainya telah bersiap. Demikian pula Glagah Putih yang telah menawarkan diri untuk menghadapi Ki Saba Lintang serta Rara Wulan yang akan memilih lawannya di medan pertempuran.
Sejenak kemudian, maka tiga orang pemanah telah siap dengan anak panah sendaren. Mereka mengarahkan panah sendaren mereka ketiga arah yang berbeda. Satu akan terbang di atas banjar. Satu di sebelah kiri dan satu lagi disebelah kanan.
Sutasuni berdiri di belakang ketiga orang pemanah itu. Bagaimanapun juga nampak ketegangan di wajahnya. Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang besar, yang tidak ada bandingnya. Kini gerombolannya telah menyulut permusuhan dengan perguruan yang terbesar itu. Jika mereka gagal membunuh pemimpin perguruan Kedung Jati. maka mereka harus menepi untuk beberapa lama.
Tetapi segala sesuatunya sudah disiapkan. Karena itu, maka Sutasuni itupun berkata kepada orang pemanah itu, "Jika kami mencapai pintu gerbang dan membunuh kedua orang petugas itu, maka kalian harus melontarkan panah sendaren itu ke arah yang telah ditentukan."
"Baik, Ki Sutasuni," jawab ketiganya hampir bersamaan. Demikianlah, sejenak kemudian, Ki Panji Kukuh serta orang-orang yang bersamanya termasuk Glagah Putih dan Rara Wulan telah bergerak dengan cepat menuju ke pintu gerbang banjar padukuhan.
Kedua orang yang bertugas di pintu gerbang di terkejut. Tetapi mereka tidak mempunyai waktu untuk merenungi kedatangan beberapa orang yang berloncatan dari balik dinding halaman di seberang jalan.
Ketika orang-orang itu tiba-tiba saja menyerang, maka kedua orang itupun mencoba untuk membela diri mereka. Sebagai seorang petugas yang telah terlatih, maka mereka tidak dengan mudah mengulurkan leher mereka untuk ditebas.
Ketika kedua orang itu bertempur melawan dua orang pengikut Ki Panji Kukuh, maka Ki Panji Kukuh sendiri dengan beberapa orang pengikutnya serta Glagah Putih dan Rara Wulan, telah mema suki regol halaman banjar. Pada saat yang bersamaan, maka tiga buah panah sendaren telah terlepas dari busurnya, meluncur naik ke angkasa yang gelap.
Anak panah sendaren itu memang mengejutkan. Beberapa orang petugas kademangan Seca yang berjaga-jaga di banjar itu terkejut, serentak mereka bangkit dan mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka tidak tahu. siapa yang telah melepaskan panah sendaren. serta dengan maksud apa. namun naluri mereka sebagai petugas yang berpengalaman, telah memberikan peringatan bahwa mereka sedang dalam bahaya.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka beberapa orang telah menghambur ke halaman. Sebagian dari mereka telah berlarian menuju kearah mereka. Namun yang lain langsung berlari ke pendapa banjar.
Pertempuran pun segera terjadi. Para petugas yang ada dibanjar itu jumlahnya terlalu sedikit. Namun sebagai petugas yang sudah terlatih mereka mencoba untuk mengatasi kesulitan yang terjadi. Sementara itu, seorang diantara merekapun telah sempat berlari ke serambi serta meraih pemukul kentongan.
Sesaat kemudian terdengar suara kentongan dalam irama titir telah mengumandang diseluruh kademangan. Peristiwa yang langka terjadi di kademangan Seca itu telah membuai rakyat Seca menjadi ketakutan. Kentongan yang berbunyi dengan irama dara muluk itu benar-benar telah mengguncang kademangan Seca.
Beberapa orang yang berada di banjar itupun terkejut. Ki Saba Lintang yang memang berada di banjar itupun terkejut pula. Dengan sigapnya Ki Saba Lintang dan beberapa orang pengiringnya yang berada di banjar itupun segera bangkit berdiri.
Sebagai seorang yang berpengalaman sangat luas, maka Ki Saba Lintang dan para pengiringnya yang berada di banjar itu, tidak segera kehilangan akal.
Dua orang pengawal Ki Saba Lintang segera memasuki biliknya sambil berkata, "Agaknya sesuatu yang tidak kita kehendaki telah terjadi, Ki Saba Lintang."
"Ya. Bersiaplah " .
"Kami sudah siap, Ki Saba Lintang."
Ki Saba Lintangpun mengangguk-angguk sambil berkata, "Bagus. Kita harus keluar dari banjar ini. Jangan terjebak di ruangan yang sempit ini."
Para pengawalnyapun tidak menjawab. Merekapun segera mengiringi Ki Saba Lintang yang keluar dari dalam biliknya.
Ketika ia berada di ruang dalam, maka beberapa orang berilmu tinggi yang datang bersamanya, telah bersiap pula. Diantara mereka terdapat pula Ki Murdaka yang datang mendahului Ki Saba Lintang.
"Lingkungan yang tidak pernah nampak bergejolak dipermukaan itu, tiba-tiba saja telah terguncang," desis seorang pembantu terdekat Ki Saba Lintang.
"Aku mohon maaf, Ki Saba Lintang," berkata Murdaka, "kami yang datang mendahului Ki Saba Lintang, sama sekali tidak melihat kemungkinan buruk ini bakal terjadi."
"Aku tahu. Aku tidak menyalahkan kalian yang datang lebih dahulu. Agaknya ada orang yang mempunyai perhitungan yang tajam yang menyergap kita malam ini. Mereka yang menyadari bahwa kedatangan mereka tidak akan diperhitungkan lebih dahulu."
"Hal itu dapat terjadi karena kebodohan kami."
"Tidak ada gunanya menyalahkan diri sendiri. Sekarang kita sudah terjebak ke dalam satu serangan yang tidak kita duga sebelumnya. Kita akan melawannya. Kita harus yakin, bahwa kekuatan kita cukup besar untuk menghadapi gerombolan yang manapun juga. Orang-orang yang berada di penginapan itu tentu akan segera berdatangan pula."
Dalam pada itu, pertempuranpun telah terjadi di halaman banjar. Para petugas kademangan yang jumlahnya tidak terlalu banyak, tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Seorang diantara merekapun berlari ke ruang dalam sambil berkata, "Ampun Ki Saba Lintang. Kami tidak dapat menahan mereka yang dalang menyerang banjar ini."
"Apakah mereka terlalu banyak jumlahnya?"
"Dibandingkan dengan kami, para petugas dari kademangan, jumlah mereka memang terlalu banyak."
Ki Saba Lintangpun kemudian telah berteriak memberikan aba-aba, "Jangan biarkan mereka memasuki ruangan ini. Kitalah yang akan menyongsong mereka di luar."
Sejenak kemudian, dua orang pengawal telah mendahului keluar lewat pintu pringgitan. Mereka masih melihat orang-orang terakhir dari pasukan di kademangan itu bertempur melawan beberapa orang yang telah memasuki halaman kademangan.
Namun orang-orang terakhir itupun sempat berpengharapan ketika mereka melihat orang-orang yang berada diruangan dalam itu berloncatan keluar. Mereka tahu, bahwa orang-orang yang berada di ruang dalam itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Namun, demikian orang-orang yang berada di ruang dalam itu menghambur turun ke halaman, maka beberapa orang yang lain telah berlari-larian di halaman samping dan bahkan di halaman belakang. Mereka berloncatan dari luar dinding halaman banjar itu.
Pertempuran yang keraspun tidak dapat dihindarkan. Ki Saba Lintang, para pengawalnya serta orang-orang berilmu tinggi yang menjadi pembantu kepemimpinan Ki Saba Lintang pun segera terlibat dalam pertempuran itu.
Sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka mampu bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan. Tenaga dalam merekapun melampaui tataran tenaga dalam orang-orang yang terlatih sekalipun.
Karena itulah, maka Ki Panji Kukuh, Sutasuni serta orang-orang terbaiknya segera memilih lawan-lawan mereka. Sedangkan mereka yang ilmunya tidak terlalu tinggi, telah bergabung dua atau tiga orang bersama-sama menghadapi seorang lawan.
"Jika kita membunuh ular, maka kita harus meremukkan kepalanya," pesan itu terngiang disetiap telinga para pengikut Ki Panji Kukuh.
Dalam pada itu, seorang yang telah dikenal oleh Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai Ki Murdaka pada saat mereka merunduk untuk melihat orang-orang yang berada di banjar itu justru sebelum Ki Saba Lintang datang, bertempur dengan garangnya. Dengan garang pula orang itupun berteriak nyaring, "Setan alasan. Siapakah kalian yang telah dengan licik menyergap kami, he" Bukankah kami tidak mempunyai persoalan dengan kalian. Seandainya ada persoalan diantara kita, bukankah kita dapat membicarakannya?"
Tidak seorangpun yang menjawab. Namun pertempuran berlangsung terus.
"Baik. Baik. Jika kalian semuanya bisu atau barangkali tuli. Ketahuilah, inilah pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati. Akulah yang bergelar Ki Saba Lintang. Siapa yang ingin aku penggal kepalanya, marilah. Mendekatlah."
Beberapa orang yang mendengar suara Ki Murdaka itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum melihat Glagah Pulih langsung menghadapinya seperti yang dijanjikannya.
Namun yang datang menghadapi orang yang mengaku Ki Saba Lintang itu adalah justru Rara Wulan sambil bertanya, "Kaukah yang bergelar Ki Saba Lintang?"
"Ya," sahut Ki Murdaka.
"Kau begitu setia kepada pemimpinmu sehingga kau telah menjadikan dirimu sasaran serangan ini justru untuk melindungi Ki Saba Lintang yang sebenarnya."
"Persetan. Siapakah kau, he?"
"Namaku Nyi Naga... Nagagemulung, eh, bukan. Naga ?"
Ki Mandarakapun membentak, "Cukup. Aku tidak perlu tahu namamu. Jika kau sebut sebuah nama yang kau sendiri tidak ingat, itu tentu bukan namamu. Nah, sekarang jika kau sengaja mati tanpa nama, majulah. Jarang sekali aku menemui perempuan binal seperti kau ini."
"Memang jarang sekali. Tetapi apakah kau pernah mendengar nama Nyi Yatni atau Nyi Dwani atau barangkali nama beberapa orang perempuan yang lain yang tentu juga kau sebut binal ?"
"Darimana kau kenal nama-nama itu ?"
"Perempuan-perempuan binal biasanya saling mengenal, meskipun hanya namanya."
"Persetan. Bersiaplah. Kau akan segera mati."
"Mudah-mudahan tidak. Aku akan berubah untuk melindungi nyawaku."
"Setan betina," Murdaka itupun menggeram.
"Nah Ki Murdaka, aku sudah siap. Kita dapat mulai sekarang. Lihat, Ki Saba Lintangpun telah berhadapan dengan lawannya pula. Bukankah orang yang berdiri di tangga terakhir pendapa banjar itu yang bernama Ki Saba Lintang."
Murdaka memang menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya perempuan itu pernah bertemu, setidak-tidaknya melihat orang yang bernama Ki Saba Lintang sehingga ia tidak dapat berpura-pura lagi. Apalagi perempuan itu sudah tahu namanya pula. Karena itu, maka Ki Murdakapun tidak merasa perlu untuk mendapatkan penjelasan dari perempuan yang dinilainya sangat sombong itu.
Sekejap kemudian, maka dengan serta-merta Ki Murdakapun telah meloncat menyerang Rara Wulan.
Tetapi Rara Wulan sudah bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka Rara Wulanpun dengan tangkasnya menghindari serangan-serangan Ki Murdaka. Bahkan Rara Wulanpun segera membalas menyerangnya pula.
Di depan pendapa, Ki Saba Lintang yang sebenarnya telah berhadapan dengan Glagah Putih. Dengan kerut di dahinya, Ki Saba Lintang memandangi Glagah Putih dengan seksama
"Mungkin kita pernah bertemu. Ki Saba Lintang. Setidak-tidaknya kita pernah saling melihat di Tanah Perdikan Menoreh. Kau sudah beberapa kali mengunjungi Tanah Perdikan itu."
"Ya. Agaknya kau sengaja datang dari Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui aku disini."
"Aku memang sedang memburumu."
"Kau mendendam ?"
"Bukan karena dendam. Tetapi Nyi Agung Sedayu yang pernah kau palsukan itu, kini justru menginginkan tongkat baja putih yang kau bawa. Mbokayu Agung Sedayulah yang berniat memimpin perguruan Kedung Jati. sehingga sepasang tongkat baja putih itu harus berada di tangannya."
"Persetan dengan perempuan yang tamak itu. Seharusnya ia dapat bekerja sama dengan aku. Kami berdua akan menjadi pemimpin perguruan ini. Pemimpin yang dihormati bahkan oleh Sultan di Mataram."
"Mbokayu Agung Sedayu ingin memimpin perguruan Kedung Jati bersama-sama dengan suaminya, kakang Agung Sedayu. Tidak dengan kau."
"Persetan, itu pikiran yang bodoh. Agung Sedayu tidak mempunyai garis keturunan dari Jipang. Baik dari Kangjeng Adipati Harya Perangsang maupun Ki Patih Mantahun."
"Itu tidak akan menjadi soal. Keturunan siapapun jika memiliki sepasang tongkat baja itu, maka ia akan menjadi pemimpin perguruan Kedung Jati."
"Omong kosong."
"Mbokayu juga tidak mempunyai garis keturunan dari Jipang. Kenapa kau berniat untuk bersama-sama mbokayu Agung Sedayu memimpin perguruan Kedung Jati?"
"Persetan. Agaknya kaulah yang telah menggerakkan segerombolan orang ini untuk menyergap kami."
"Ya. Mereka adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka datang memburumu. Memburu tongkat baja putih itu. Karena itu, jika kau serahkan saja tongkat baja putih itu, maka tidak akan ada persoalan lagi."
"Mulutmu lancang sekali. Aku tahu bahwa kau tentu mempunyai bekal ilmu yang cukup jika kau berani memburuku. Tetapi agaknya malam ini kau akan mati."
"Aku sudah siap untuk menjawab. Tetapi ia mulai bergeser beberapa langkah.
Beberapa saat kemudian, keduanyapun sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sebagai orang yang berilmu tinggi. maka keduanyapun segera telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi pula.
Dalam pada itu, pertempuran di halaman banjar itupun menjadi semakin seru. Apalagi ketika orang-orang yang berada di penginapan sudah berdatangan. Merekapun segera melibatkan diri dalam pertempuran pula.
Jumlah para pengikut Ki Panji Kukuh memang lebih banyak. Tetapi para pengikut Ki Saba Lintang mempunyai ilmu yang rata-rata lebih tinggi.
Meskipun demikian, para pengikut Ki Panji Kukuh yang memiliki pengalaman pada jalur perdagangan gelap itupun menggenangi halaman banjar itu dan memaksa para pengikut Ki Sabat Lintang untuk memeras kemampuan mereka.
Namun sebagian besar dari pada pengikut Ki Saba Lintang yang berada di penginapan itu sedang mabuk Bahkan ada yang menjadi mabuk berat, sehingga dengan demikian mereka tidak dapat meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.
Sela Aji dan Demung Pugut telah berada di arena pertempuran itu pula. Ketika seorang yang mabuk berdiri terhuyung-huyung di sebelahnya, Sela Aji itupun telah menampar wajahnya sambil berteriak, "Nah, inilah hasilnya jika kau tidak mau mendengarkan perintah Ki Murdaka. Kau yang mabuk itu kini berada di medan pertempuran. Terserah kepadamu, apakah kau akan tetap mabuk sehingga ujung pedang lawan akan mengoyak jantungmu, atau kau berusaha untuk bangkit dan melindungi dirimu sendiri."
Orang itu memang terkejut sejenak. Tetapi kemudian matanya menjadi redup lagi. Meskipun demikian, karena ia memang berilmu tinggi, maka iapun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang semakin seru.
Tetapi orang-orang yang mabuk itu tidak dapat mengerahkan ilmunya sampai ke puncak. Kepalanya yang pening, tulang-tulangnya yang terasa menjadi lemah, merupakan hambatan yang mengekang mereka.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu memiliki beberapa kelebihan. Tetapi selain jumlah mereka lebih sedikit, sebagian dari merekapun sedang dalam keadaan mabuk.
Sementara itu, Rara Wulanpun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Ki Murdaka. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sekali-sekali Ki Murdaka harus berloncatan beberapa langkah surut. Namun sekejap kemudian, keduanya telah terlibat kembali dalam pertempuran yang keras.
Ki Panji Kukuh sempat melihat pertempuran itu sekilas. Bagaimanapun juga Ki Panji Kukuh harus mengagumi kemampuan Rara Wulan yang berloncatan seperti anak kijang di rerumputan. Namun Ki Murdakapun bertempur dengan garangnya. Sekali-sekali terdengar orang itu menggeram seperti seekor harimau yang marah.
"Kenapa justru perempuan itu yang harus bertempur melawan Ki Saba Lintang," bertanya Ki Panji Kukuh didalam hatinya.
Sambil bertempur diantara beberapa orang lawannya, Ki Panji Kukuhpun telah melihat pula Glagah Putih yang sedang bertempur melawan seorang yang berilmu sangat tinggi pula.
"Agaknya lawan Ki Nagagundala itu juga seorang yang akan menentukan perjalanan perguruan Kedung Jati pula."
Tetapi Ki Panji Kukuh tiba-tiba saja telah menghadapi seorang yang janggutnya jarang dan tidak begitu panjang, yang tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya. Orang tua itu bertubuh kecil. Tingginya sedang-sedang saja. Namun geraknya nampak sangat ringan. Tubuhnya bagaikan kapuk randu yang diterbangkan angin pusaran, berputaran di arena pertempuran itu, sehingga akhirnya hingga di hadapan Ki Panji Kukuh.
Namun sebelum Ki Panji Kukuh menyapanya, orang itu sudah bertanya lebih dahulu, "Kau siapa Ki Sanak. Kau mengamuk seperti harimau lapar."
Ki Panji Kukuh memang tidak berniat menunjukkan jati dirinya serta gerombolannya. Karena itu, maka iapun menjawab sekenanya, "Namaku Singa Wereng. Kau siapa ?"
"Apakah kau pernah mendengar nama Watu Kenari ?"
"Watu Kenari ?"
"Ya." Ki Panji Kukuh mengangguk-angguk. Ia belum pernah mendengar nama itu. Meskipun demikian, ia harus berhati-hati. Menilik sikapnya maka orang itu agaknya berilmu sangat tinggi.
"Nah, sebaiknya kau bujuk Ki Saba Lintang untuk menyerah." Tetapi orang yang menyebut dirinya Watu Kenari itu tertawa pendek. Katanya, "Agaknya kau belum berkenalan dengan perguruan Kedung Jati, sehingga kau dan kawan-kawanmu berani membuat persoalan dengan kami."
"Persetan dengan perguruan Kedung Jati. Kami tidak ikhlas melepaskan Seca ini ke dalam pengaruhnya. Selama ini kamilah yang berpengaruh disini."
"Kau harus mempelajari keseimbangan kekuatan lebih banyak lagi. Suatu gerombolan yang betapapun besarnya, yang berani melawan perguruan Kedung Jati, itu berarti telah membunuh dirinya."
"Tetapi ternyata kalian termasuk Ki Saba Lintanglah yang akan mati malam ini."
Watu Kenari itu tertawa. Katanya, "Kau agaknya telah bermimpi. Bangunlah dan lihatlah kenyataan di halaman banjar ini."
"Kau lihat, bahwa Ki Saba Lintang sendiri sudah tidak berdaya," desis Ki Panji Kukuh.
Watu Kenari meloncat surut. Hampir diluar sadarnya iapun segera berpaling kepada Ki Saba Lintang.
Ki Panji Kukuh mengikuti pandangan matanya. Ternyata orang itu memperhatikan lawan laki-laki yang dengan bangga mengganti namanya dan Nagagundala itu.
Namun tiba-tiba orang itu berpaling kepada Ki Murdaka yang bertempur dengan isteri Nagagundala sambil berkata hampir berteriak, "Ternyata Ki Saba Lintang ada disana. Perempuan yang sangat sombong dan mencoba menghadapinya itu akan segera dihancurkan."
Ki Panji Kukuh memang menjadi agak bingung. Yang manakah sebenarnya yang bernama Ki Saba Lintang.
Tetapi ia tidak sempat merenungi mereka terlalu lama.
Sejenak kemudian, maka Watu Kenari itupun telah meloncat menyerangnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Tetapi Ki Panji Kukuhpun telah bersiap sepenuhnya sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Bahkan Ki Panji Kukuh yang garang itupun dengan cepat pula membalasnya menyerang.
Demikianlah, maka pertempuranpun segera menjadi semakin seru. Keduanyapun berioncatan dengan cepat sehingga kaki mereka seakan-akan tidak berjejak lagi diatas tanah.
Beberapa saat kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi di mana-mana. Ki Sutasuni telah terlibat pula melawan seorang yang beril mu tinggi. Sedangkan orang-orangnyapun bertempur dengan garangnya pula.
Para pengikut Ki Panji Kukuh itu tetap saja berpegang pada pesan, bahwa jika mereka membunuh ular, maka mereka harus meremukkan kepalanya.
"Karena itu, maka setiap orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh itu berniat untuk membunuh lawan-lawan mereka.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang berilmu tinggi yang sedang mabuk itupun segera mengalami kesulitan. Kepala mereka masih terasa pening, sementara kesadaran mereka belum pulih sepenuhnya. Dalam keremangan cahaya lampu minyak di kejauhan, maka mata mereka yang redup itupun menjadi semakin kabur.
Agaknya Sutasuni telah memilih waktu yang tepat, justru pada saat orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu banyak yang mabuk.
Ki Murdaka menjadi sangat marah kepada mereka. Ia sangat benci kepada orang-orang yang tidak menuruti perintahnya.
"Mampuslah kau pemabuk," geramnya sambil berloncatan.
"Ya. Mereka akan segera mampus. Kaukah yang mengajari mereka mabuk ?" bertanya Rara Wulan.
"Persetan kau perempuan binal," geram Murdaka.
Rara Wulan justru tertawa sambil menjawab, "Kau memang akan banyak kehilangan pengikut-pengikutmu. Jika mereka tidak menyerah, mereka akan mati."
"Jangan membual. Sebentar lagi kau akan terbaring diam di halaman banjar ini. Kau tidak akan sempat lagi menyesali kesombonganmu. Orang-orangmupun akan hancur menjadi debu."
Rara Wulan tertawa pula. Katanya, "Ki Murdaka. Begitu pastikah bahwa kau akan mengalahkan aku ?"
"Aku adalah Murdaka yang digelari Alap-alap Alas Roban."
"Alap-alap Alas Roban," Rara Wulan mengulang.
"Nah, jika kau merasa sebagai seekor burung merpati, maka kau akan segera tercengkam oleh kuku-kukuku."
"Tidak. Aku tidak pernah merasa diriku seperti burung merpati. Tetapi akulah kakek penyumpit, yang setiap hari berburu burung di hutan. Burung alap-alap adalah burung yang paling menyenangkan untuk diburu, justru karena kelincahannya."
"Persetan dengan bualanmu, perempuan binal."
"Tetapi sumpitku tidak pernah gagal. Aku adalah pembidik terbaik di tlatah Mataram ini."
Ki Murdaka tidak memberi kesempatan Rara Wulan lebih banyak berbicara. Karena itu, maka iapun segera menyerangnya pula dengan garangnya.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi Rara Wulan benar-benar seorang perempuan yang tangkas. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi ia memiliki banyak kelebihan. Tenaga dalamnya yang sangat besar, membuat perempuan itu udak ter getar sama sekali jika terjadi benturan-benturan. Bahkan serangan-serangan Murdakapun jarang sekali dihindari oleh Rara Wulan, tetapi dengan lambaian tenaga dalamnya, Rara Wulan telah membentur serangan-serangan Murdaka yang sangat berbahaya itu.
Dengan demikian, maka Murdakapun harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbangi lawannya. Ditingkatkannya ilmunya menjadi semakin tinggi.
Namun tataran ilmu Murdaka yang ditingkatkan itu tidak pernah dapat menjadi lebih tinggi dari tataran ilmu Rara Wulan.
Karena itulah, maka serangan-serangan Ki Murdaka tidak terlalu menyulitkan bagi Rara Wulan, meskipun Rara Wulan harus selalu berhati-hati.
Namun Murdaka yang merasa bahwa serangan-serangannya sulit menguak pertahanan Rara Wulan yang rapat dan kokoh itupun tiba-tiba telah menarik pedangnya. Sebilah pedang yang berkilat-kilat agak kemerah-merahan.
Rara Wulan melenting surut selangkah. Diamatinya pedang Murdaka yang seakan-akan bercahaya di keremangan malam.
"Kau akan menjadi santapan yang agak berbeda dan pedangku ini. Seingatku, aku belum pernah membunuh perempuan dengan pedangku. Bukan berarti bahwa aku tidak pernah membunuh perempuan. Meskipun ia seorang perempuan, tetapi jika berani menghalangi aku, sebagaimana kau lakukan sekarang ini, maka ia akan mati. Tetapi yang pernah terjadi, aku membunuh perempuan dengan tanganku. Tetapi kau pun perempuan binal. Kau mempunyai kelebihan dari kebanyakan perempuan yang pernah aku kenal."
"Pedangmu pedang yang luar biasa," desis Rara Wulan.
"Kau menjadi ketakutan karenanya ?"
"Tidak. Aku tidak menjadi ketakutan. Tetapi aku justru mengaguminya. Tetapi aku tidak ingin memilikinya. Jika kau mau, biarlah pedangmu diketemukan oleh orang-orang Seca yang esok akan membersihkan halaman banjar ini."
Telinga Murdaka menjadi bagaikan disentuh api. Dengan geram ia membentak, "Tutup mulutmu. Atau aku yang akan mengoyaknya."
"Jangan marah, Ki Murdaka. Menurut guruku, jika seseorang bertempur tanpa dapat mengendalikan kemarahannya, maka ia tidak akan dapat melakukan perlawanan dengan baik."
Murdaka meloncat mundur selangkah. Dipandanginya Rara Wulan sambil berdesis, "Kau benar perempuan binal. Aku harus mengendalikan kemarahanku."
Namun Rara Wulan tidak sempat menjawab. Murdakapun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar, menebas ke arah lambung.
Rara Wulan meloncat surut, sehingga pedang lawannya itu terayun setebal jari di depannya tanpa menyentuh pakaiannya
Rara Wulan tidak meremehkan senjata lawannya. Pedang itu adalah pedang yang sangat baik. Tentu pedang yang sudah sangat akrab dengan pemiliknya.
Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah mengurai selendangnya pula. Selendang yang menjadi andalannya menghadapi segala jenis senjata.
"Anak setan kau perempuan sombong. Kau kira pedangku tidak dapat menebas putus selendangmu itu. Kapuk yang ditiupkan ke mata pedangkupun akan terbelah. Apalagi selendangmu itu."
"Kita lihat saja nanti, Ki Murdaka."
Murdaka tidak menjawab lagi. Kemarahannya bagaikan membakar ubun-ubunnya. Namun justru ia mencoba melakukan sebagaimana dipesankan oleh lawannya. Jika ia kehilangan akal, maka ia tidak akan dapat menghadapi lawannya dengan penalaran yang jernih, sehingga segala sesuatunya akan menjadi kabur.
Karena itu, bagaimanapun juga jantungnya bergejolak, Ki Murdaka berusaha untuk dapat mengendalikan dirinya serta mempergunakan penalarannya yang jernih.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi semakin seru. Ketika Rara Wulan mulai memutar selendangnya maka lawannyapun mulai menyadari, bahwa selendang di tangan perempuan itu bukan selendang kebanyakan. Apalagi Murdakapun mengerti, bahwa perempuan itu memiliki tenaga dalam yang sangat besar. Sehingga selendangnya itu dapat terjulur mematuknya seperti sebatang tombak. Menebas seperti pedang namun selendang itu dapat pula menjerat seperti seutas tali.
"Gila. Dari mana ia mendapatkan ilmu serta tenaga dalam sebesar itu ?" bertanya Murdaka di dalam hatinya.
Namun Murdaka tidak sempat mencari jawabannya. Selendang itu berputaran semakin cepat. Menebas, mematuk dan sekali-sekali menjerat pedangnya seperti tangan-tangan gurita raksasa yang mengerikan.
Sementara itu, Glagah Putihpun bertempur melawan Ki Saba Lintang yang meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Sambil tertawa pendek Ki Saba Lintang itupun berkata, "Apakah kau menjadi heran" Ilmuku memang sudah menjadi berlipat dua kali. Jika sebelumnya kau sudah mengagumi aku, maka sekarang aku akan merasa dirimu tidak berharga sama sekali."
"Ya," Sahut Glagah Putih, "ilmumu memang sudah meningkat semakin tinggi. Aku memang menjadi semakin kagum kepadamu. Tetapi belum sampai pada batas kecemasan. Karena setinggi-tinggi ilmumu, aku masih akan dapat menjangkaunya."
Ki Saba Lintang tertawa pula. Katanya, "Kau tidak tahu, apa yang sedang kau hadapi. Bahkan seandainya kau panggil Agung Sedayu sekalipun, ia tentu akan terheran-heran sampai saat jantungnya tertembus tongkat baja putihku."
"Tetapi kenapa kau mempergunakan orang lain sebagai kedok keberadaanmu di sini " Kenapa Murdaka itu harus mengaku, bahwa ia adalah Ki Saba Lintang."
"Kau memang terlalu dungu untuk dapat mengerti ?"
"Bukankah itu mencerminkan betapa ketakutannya kau menghadapi seranganku malam ini."
"Kenapa aku menjadi ketakutan" Aku justru merasa senang dapat bertemu kau dan orang-orangmu di sini, sehingga aku tidak perlu memburumu sampai ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi bukankah kau tentu merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?"
"Buat apa aku pergi ke Tanah Perdikan itu jika aku dapat membunuhmu di sini."
"Tetapi tongkat baja putih yang berada di tangan mbokayu Sekar Mirah itu berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Wajah Ki Saba Lintang menegang. Kemudian ia pun berkata dengan nada berat, "Ya. Aku akan mengambilnya. Jika terpaksa aku akan membunuh Sekar Mirah dan Agung Sedayu."
"Kau tidak akan dapat melakukannya."
"Kenapa " Kau ragukan kemampuanku serta kekuatan perguruan Kedung Jati setelah aku bekerja keras akhir-akhir ini?"
"Ya. Justru kau akan mati di sini. Pengikutmu yang hanya dapat mabuk-mabukan itupun akan dilindas oleh kekuatan Tanah Perdikan Menoreh."
Tetapi Ki Saba Lintang masih juga tersenyum. Sambil berloncatan menghindari serangan-serangan Glagah Putih, Ki Saba Lintang itupun berkata, "Baiklah. Kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang lebih baik setelah kemampuanmu menjadi berlipat."
Keduanyapun bergerak semakin cepat. Serangan-serangan Ki Saba Lintang datang seperti angin prahara. Namun Glagah putih tidak terguncang karenanya.
Pertempuran di halaman banjar itupun berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan untuk menguasai medan.
Beberapa orang petugas dari kademangan Seca masih sempat menyaksikan pertempuran itu. Ki Demang, Ki Jagabaya dan beberpa orang bebahu telah berada di halaman banjar itu pula. Namun mereka justru mencegah para petugas yang tersisa, serta kawan-kawan mereka yang baru berdatangan untuk tidak tergesa-gesa melibatkan diri.
"Keduanya mempunyai kekuatan yang sangat besar," berkata Ki Demang, "keduanya mempunyai orang-orang yang berilmu tinggi. Ki Saba Lintang dan Ki Murdakapun telah terlibat pula dalam pertempuran Ki Saba Lintang dan Ki Murdaka. Bahkan Ki Sela Aji, Ki Demung Pugut dan yang lain-lain juga telah menghadapi lawan-lawan yang seimbang. Sementara itu mereka yang datang menyerang banjar itu jumlahnya lebih banyak. Bahkan hampir berlipat."
Ki Jagabaya dan para bebahu itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dengan nada berat Ki Jagabaya berkata, "Ternyata kita telah lengah. Selama ini kita tidak melihat kekuatan yang ada di Seca, yang ternyata mampu mengimbangi kekuatan perguruan Kedung Jati."
"Tidak. Yang ada disini hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh kekuatan perguruan Kedung Jati. Mereka tidak mengira bahwa disini mereka akan mendapat gangguan dari satu kekuatan yang cukup besar, yang sebelumnya tidak pernah nampak di Seca," sahut Ki Demang.
"Perguruan Kedung Jati tentu akan menyalahkan kita," desis Ki Kabayan.
"Mungkin mereka akan menyalahkan kita, bahwa kita memberikan keterangan bahwa Seca adalah satu kademangan yang aman."
"Karena itu, agaknya lebih baik melibatkan diri. Kita mempunyai beberapa orang petugas yang akan dapat membantu Ki Saba Lintang."
"Tetapi itu akan menimbulkan dendam dari kekuatan yang sebelah. Jika Ki Saba Lintang tidak mampu bertahan, maka pihak yang lain itu akan menghancurkan kita pula, karena kita berpihak kepada Ki Saba Lintang."
Para bebahu itu mengangguk-angguk. Sementara itu pertempuran di halaman banjar itupun menjadi semakin garang. Kedua belah telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bahkan Ki Saba Lintangpun telah memutar tongkat baja putihnya untuk melawan Glagah Putih.
"Kaulah yang menjadi heran melihat kemampuanku sekarang," berkata Glagah Putih sambil mengurai ikat pinggangnya.
Ki Saba Lintang tidak lagi tersenyum-senyum. Tetapi wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Sambil memutar tongkat baja putihnya maka Ki Saba Lintang itupun berkata, "Kemampuanmu memang mengejutkan. Tetapi tongkat baja putihku akan mengakhiri kesombonganmu itu."
Glagah Putih melangkah surut beberapa langkah. Diurainya ikat pinggangnya sambil berdesis, "Marilah Ki Saba Lintang. Kita akan menuntaskan pertempuran itu."
Ki Saba Lintang menggeram. Iapun segera meloncat menyerang sambil mengayunkan tongkat baja putihnya ke arah ubun-ubun Glagah Putih.
Namun Glagah Putih sudah siap menghadapinya. Dengan tangkasnya Glagah Putih meloncat menghindar, sehingga tongkat baja putih Ki Saba Lintang itu tidak mengenainya.
Namun Ki Saba Lintang tidak memberi kesempatan. Ki Saba Lintang itupun dengan cepat pula memburunya sambil menjulurkan tongkat baja putihnya mematuk ke arah dada.
Glagah Putih tidak sempat menghindar. Karena itu, maka Glagah Putih telah menangkis serangan itu dengan ikat pinggangnya.
Satu benturan yang keras sekali telah terjadi. Tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang adalah tongkat baja putih yang jarang ada duanya. Sementara itu, ikat pinggang Glagah Putih adalah bukan ikat pinggang kulit kebanyakan.
Keduanyapun berloncatan surut. Tangan Ki Saba Lintang terasa menjadi panas. Demikian pula telapak tangan Glagah Putih. Benturan yang keras sekali itu telah membuat senjata keduanya tergetar.
Ki Saba Lintang mengumpat didalam hatinya. Ia tidak mengira bahwa anak Tanah Perdikan Menoreh itu sudah mampu meningkatkan ilmunya sampai ketataran yang sangat tinggi. Bahkan dalam pertempuran bersenjatapun Ki Saba Lintang telah diimbangi oleh kemampuan Glagah Putih yang hanya bersenjata ikat pinggangnya.
Di sisi-sisi lain dari pertempuran itu, orang-orang Ki Panji Kukuh lebih banyak menguasai arena. Selain jumlah orang-orangnya lebih banyak dari orang-orang perguruan Kedung Jati, orang-orang dari perguruan Kedung Jati yang tidak terlalu banyak itu, diracuni oleh tuak di kepalanya, sehingga mereka tidak dapat berpikir jernih.
Karena itu, maka keadaan orang-orang dari perguruan Kedung Jati semakin menjadi sulit Mereka mulai terdesak. Dan bahkan korbanpun telah berjatuhan.Dengan demikian, maka para pengikut Ki Panji Kukuh menjadi semakin percaya diri. Orang-orang yang mulitmya berbau tuak itu, seorang demi seorang menjadi semakin menyusut.
Namun orang-orang berilmu tinggi dari perguruan Kedung Jati itulah yang kemudian mengejutkan. Mereka telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Tidak ada orang yang dapat menghentikan Sela Aji yang mengamuk seperti seekor harimau yang lapar di tengah-tengah kawanan serigala liar. Sementara itu Demung Pugut telah menghadang Sutasuni yang bertempur dengan garangnya.
Ketika Sela Aji itu berhasil melumpuhkan lawannya, maka iapun kemudian bergerak seperu kuda liar. Tidak ada yang dapat mengendalikannya. Ia berloncatan dari satu tempat ke tempat yang lain, melonjak, menerjang dan menyepak dan bahkan menginjak-injak siapa saja yang mencoba menghalanginya.
Kawan-kawannya yang sudah menjadi cemas, tiba-tiba saja telah bangkit pula. Mereka menjadi semakin garang menghadapi lawan-lawan mereka. Mereka telah menunjukkan tataran mereka yang sebenarnya sebagai pengikut dari perguruan Kedung Jati.
Para pengikut Ki Panji Kukuhpun terhentak. Tetapi korban telah berjatuhan silang melintang di halaman banjar itu.
Sementara Ki Panji Kukuh sendiri masih terikat dalam pertempuran melawan Watu kenari. Seorang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi, yang dapat membuat tubuhnya seringan kapas.
Korban di kedua belah pihak bertebaran di mana-mana. Sementara itu Ki Demang dan Ki Jagabaya tetap menahan para petugasnya untuk tidak berpihak lagi.
"Tetapi beberapa orang kawan kita sudah terbunuh, Ki Demang." berkata seorang petugas yang hampir tidak mampu lagi mengekang diri.
"Ya. Mereka telah menjadi korban, karena mereka bertugas di banjar pada saat serangan itu datang. Tetapi dalam kekalutan yang tidak kita mengerti itu, sebaiknya kita tidak turut campur. Jika kita terlibat dalam permusuhan yang tidak kita mengerti, maka kita akan terseret kedalam permusuhan yang berkepanjangan. Seca tidak lagi akan dapat menjadi sebuah kademangan yang tenang yang akan dapat berpengaruh pada arus perdagangan. Jika arus perdagangan datang dan pergi ke Seca ini terhalang, maka Seca akan menjadi satu lingkungan yang tidak ada bedanya dengan kademangan-kademangan lain yang berada dibawah bayangan para perampok. Apalagi jika Seca berada di bawah bayangan pertentangan antara dua kekuatan yang besar.
Petugas yang merasa kehilangan beberapa orang kawannya itu tidak dapat memaksakan kehendaknya, ia memang melihat pertempuran yang sengit. Korban berjatuhan di mana-mana dari kedua belah pihak.
Di sengitnya pertempuran itu, ternyata Sutasuni yang telah dihadang oleh Demung Pugut itu mengalami kesulitan yang semakin mendesaknya. Demung Pugut ternyata seorang yang menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi. Pedangnya yang berputar itu seakan-akan merupakan gumpalan asap kelabu yang mengelilinginya. Namun senjata Sutasuni mengalami kesulitan untuk menembus gumpalan asap kelabu itu.
Ujung pedang Demung Pugutlah yang mulai tergores di Tubuh Sutasuni. Semakin lama semakin banyak.
Meskipun dengan kekuatannya yang sangat besar, sekali-sekali Sutasuni berhasil menguak pertahanan Demung Pugut dan menggoreskan senjata di tubuhnya, namun ujung pedang Demung Pugutlah yang lebih sering menyentuh tubuh Sutasuni.
Darahpun mengalir semakin lama semakin banyak.
Sutasuni mulai meragukan keyakinannya sendiri, bahwa para pengikut Ki Panji Kukuh itu akan dapat menghancurkan orang-orang dari perguruan Kedung Jati.
Keseimbangan pertempuran di halaman banjar itu masih belum menentu. Jika semula para pengikut Ki Panji Kukuh yang jumlahnya lebih banyak itu telah mendesak lawannya, namun Sela Aji dan beberapa orang berilmu tinggi, mulai mengubah keseimbangan itu. Mereka mengamuk tanpa dapat dihambat lagi, sehingga beberapa orang berilmu tinggi yang lain, yang mulai menjadi cemas telah menemukan kepercayaan diri mereka kembali.
Tetapi mereka menghadapi lawan yang jumlahnya lebih banyak, yang telah bertempur dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga satu dua orang dari perguruan Kedung Jati itu tidak mampu mengatasinya.
Sementara itu Ki Murdaka masih terikat dalam pertempuran melawan Rara Wulan. Selendang Rara Wulan berputar melingkar. Namun kadang-kadang nampak menggeliat dan menggapai-gapai. Pada kesempatan yang lain, selendang itu terjulur mematuk seperti sebatang tombak berlandean panjang.
Ki Murdaka yang menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi itu harus mengerahkan kemampuannya. Ternyata ketajaman pedangnya tidak mampu memotong selendang Rara Wulan yang aneh itu. Bahkan sentuhan-sentuhan ujung selendang itu telah mulai mengoyak pakaiannya dan bahkan melukai kulitnya.
Namun pedang Ki Murdaka yang bagaikan membara itupun sangat mengerikan. Di kegelapan pedang itu bagaikan lidah api yang panjang yang terjulur dari tangan Ki Murdaka.
Tetapi Ki Murdaka tidak segera berhasil menguasai perempuan yang bersenjata selendang itu. Bahkan Ki Murdaka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Ki Murdaka mulai mengalami kesulitan.
Agaknya memang tidak ada pilihan lain bagi Ki Murdaka. Meskipun yang dihadapi adalah seorang perempuan, tetapi ia adalah seorang perempuan yang berbeda dengan kebanyakan perempuan.
Apalagi ketika Ki Murdaka sempat memperhatikan arena pertempuran yang tidak menentu. Korban yang bergelimpangan di halaman banjar, sehingga kemungkinan buruk akan dapat terjadi pada Ki Saba Lintang yang sebenarnya.
Ki Murdaka itu menyempatkan diri meloncat surut. Sekilas ia melihat, bahwa Ki Saba Lintang sendiri masih terikat dalam pertempuran yang sengit. Bahkan Ki Saba Lintang telah mempergunakan tongkat baja putihnya. Namun lawannyapun agaknya memiliki senjata yang mampu mengimbangi tongkat baja putihnya itu.
"Aku tidak mempunyai pilihan lain," berkata Ki Murdaka didalam hatinya, "aku tidak akan mampu menghentikan perlawanan perempuan ini dengan pedangku"
Karena itu, maka Ki Murdakapun telah sampai pada keputusan untuk mempergunakan ilmu pamungkasnya.
Karena itu, maka Ki Murdaka itupun telah mencoba menghentakkan ilmu pedangnya yang sangat tinggi. Namun ia tidak berhasil menyelesaikan pertempuran. Ia hanya sempat mendesak Rara Wulan beberapa langkah surut. Namun Rara Wulanpun segera menemukan kembali keyakinannya dan bahkan mulai menekan Ki Murdaka kembali.
Jilid 366 KI MURDAKAPUN akhirnya sampai pada satu pilihan yang menentukan. Dengan geram iapun bergumam, "Aku tidak peduli jika tubuh perempuan itu akan menjadi lumat."
Dengan tangkasnya Ki Murdakapun segera berloncatan surut untuk mengambil jarak. Tiba-tiba saja dilepaskannya pedang pusakanya itu.
Rara Wulan terkejut. Ia segera menyadari, apa yang akan dilakukan oleh lawannya.
Karena itu dengan cepat dikalungkannya selendangnya di lehernya, serta mempersiapkan diri menghadapi ilmu puncak lawannya yang belum diketahuinya seberapa tingginya.
Dengan demikian, maka Rara Wulan tidak berani meremehkan lawannya, ia tidak ingin hancur dalam benturan ilmu yang tidak akan dapat dielakkannya lagi.
Sebenarnyalah Ki Murdaka telah memusatkan nalar budinya. Dengan sepenuh daya kemampuan ilmunya, Ki Murdaka itu telah melontarkan serangannya ke arah Rara Wulan. Seleret sinar kemerah-merahan telah meluncur dari telapak tangannya, mengarah ke dada Rara Wulan.
Namun pada saat yang hampir bersamaan, Rara Wulanpun telah meluncurkan ilmu puncaknya pula. Ilmunya yang disebutnya Aji Namaskara.
Kedua kekuatan ilmu yang nggegirisi itupun akhirnya saling berbenturan. Udara di halaman banjar itupun telah terguncang. Glagah Putih dan Ki Saba Lintang yang sedang bertempurpun sempat berloncatan surut untuk mengambil jarak.
Akibat dari benturan itupun ternyata sangat mendebarkan jantung. Rara Wulan tergelar beberapa langkah surut. Sejenak ia terhuyung-huyung untuk mempertahankan keseimbangannya. Namun ternyata Rara Wulan itupun jatuh pada lututnya
Untuk beberapa saat Rara Wulan berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun masih agak goyah, namun akhirnya Rara Wulanpun berhasil berdiri tegak.
Sementara itu, ternyata Aji Namaskara benar-benar memiliki kekuatan yang sangat tinggi. Kekuatan ilmu Ki Murdaka tidak mampu menembus kekuatan Aji Namaskara.
Ki Murdaka tidak saja tergetar surut. Tetapi Ki Murdaka telah terlempar beberapa langkah dan kemudian terbanting jatuh.
Agaknya kekuatan serta daya tahannya benar-benar tidak mampu mengatasi getar kekuatan ilmu lawannya yang meskipun telah tertahan dalam benturan dengan ilmunya sendiri, namun Aji Namaskara itu masih mampu menusuk sampai ke jantung.
Tubuh Ki Murdaka memang tidak hancur lumat menjadi debu. Tubuhnya masih tampak utuh tergolek di halaman banjar. Namun nafas Ki Murdaka itupun telah putus.
Sela Aji berlari kearahnya. Iapun segera berjongkok dan mencoba untuk mengangkat kepala Ki Murdaka. Namun Ki Murdaka itu telah tidak bernafas lagi.
Sela Aji menggeram. Tetapi iapun tidak dapat mengingkari kenyataan. Setinggi-tinggi ilmu Sela Aji, masih belum setataran dengan ilmu Ki Murdaka.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Rara Wulan berdiri tegak memandanginya dengan tajamnya. Wajahnya yang tegang nampak menantangnya. Perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan akibat dari benturan yang baru saja terjadi.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Demung Pugutpun mendekatinya.
"Kau tidak akan dapat melawannya," desis Demung Pugut.
"Bagaimana dengan paman ?"
"Aku sudah menyelesaikan lawanku."
"Kita lawan perempuan itu berdua."
"Lihat keadaan Ki Saba Lintang. Nampaknya keadaan kita akan menjadi sulit."
"Aku telah membunuh banyak orang."
"Tetapi lawan Ki Saba Lintang itu adalah orang yang sangat tinggi ilmunya. Sementara perempuan itu telah menghentikan perlawanan Ki Murdaka."
"Jadi?" Sejenak keduanya termangu-mangu. Sementara Rara Wulan yang masih berdiri tegak itupun sedang mengatur pernafasannya. Jika kedua orang itu siap melawannya, maka Rara Wulan harus mempergunakan sisa-sisa tenaganya. Benturan yang telah terjadi itu sangat mempengaruhinya.
Tetapi Rara Wulan berhasil menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya setelah benturan itu terjadi.
Meskipun demikian, jika terpaksa, ia masih akan sanggup bertempur melawan kedua orang itu.
Sejenak suasana menjadi sangat tegang sepeninggal Ki Murdaka. Beberapa orang berilmu tinggi dari perguruan Kedung Jati yang masih bertahan, menjadi berdebar-debar pula.
Dalam pada itu, Ki Panji Kukuh yang bertempur melawan Watu Kenaripun menjadi gelisah. Ia melihat Sutasuni tersungkur di tanah. Sementara itu, lawannya benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Dengan demikian maka harapan Ki Panji Kukuh tinggal suami isteri yang mengaku bernama Nagagundala itu.
Ketika Rara Wulan dapat menghentikan perlawanan Ki Murdaka, Ki Panji Kukuhpun bergumam, "Habislah ceritera tentang Ki Saba Lintang."
"Bodoh kau," geram Watu Kenari, "orang itu bukan Ki Saba Lintang."
"Ia menyebut dirinya Ki Saba Lintang."
"Kau memang dungu," geram Watu Kenari. Sementara itu, iapun meningkatkan serangan-serangannya pula.
Agaknya Watu Kenaripun menjadi tidak sabar lagi. Ia melihat Ki Saba Lintang yang sebenarnya juga mulai mengalami kesulitan. Meskipun tongkat baja putihnya berputaran menyambar-nyambar, namun agaknya senjata lawannya mampu mengimbangi kegarangan tongkat baja putih itu.
Karena itu, maka Ki Watu Kenaripun ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan cepat.
"Jika aku berhasil, biarlah aku segera berhasil. Jika aku harus mati, biarlah aku tidak melihat Ki Saba Lintang mengalami tekanan yang tidak teratasi."
Dengan demikian, maka Watu Kenaripun segera meningkatkan ilmunya hingga ke puncaknya.
Panji Kukuh adalah seorang pemimpin dari sekelompok orang yang berada pada jalur perdagangan terlarang. Ki Panji Kukuhpun memiliki ilmu yang diandalkan pula.
Karena itu, sejenak kemudian, maka keduanya telah siap dengan ilmu pamungkas mereka.
Ketika masing-masing melontarkan serangan yang dilandasi dengan ilmu puncak mereka, maka dua percik sinar meluncur dari arah yang berlawanan.
Benturan yang dahsyatpun telah terjadi. Kedua ilmu yang tinggi yang berbenturan itu seakan-akan telah meledakkan halaman banjar. Udarapun bergetar. Dedaunan berguncang, sehingga daun-daun yang kuningpun telah runtuh berguguran.
Ternyata ilmu Watu Kenari lebih tinggi selapis tipis dari ilmu Ki Panji Kukuh. Karena itu, maka Ki Panji Kukuh itupun telah terlempar beberapa langkah surut Tubuhnya terhuyung-huyung sejenak. Kemudian Panji Kukuh itupun terguling di tanah.
Tiga orang pengikutnya dengan cepat berlarian mendekatinya. Seorang segera berjongkok di sampingnya.
"Gila orang itu," Ki Panji Kukuh menggeram. Namun dadanya terasa sangat sakit. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka seorang pengikutnya yang berjongkok itu membantunya. Tetapi iapun berkata, "Jangan bangkit berdiri dahulu, Ki Panji. Duduk sajalah untuk mengatur pernafasan."
Ki Panji sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ia melihat Nyi Nagagundala masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu, Watu Kenari juga terguncang dan jatuh terlentang. Tetapi dibantu oleh seorang kawannya dari perguruan Kedung Jati, Watu Kenaripun bangkit berdiri. Keadaannya ternyata masih lebih baik dari Ki Panji Kukuh.
Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintanglah yang benar-benar mengalami kesulitan. Glagah Putih ternyata mampu mendesak Ki Saba Lintang sehingga Ki Saba Lintang setiap kali harus berloncatan mundur.
Tetapi kesetiaan para pengikutnya benar-benar mengagumkan. Dalam keadaan yang rumit, itu, maka perhatian para pengikutnya tertumpah seluruhnya kepadanya.
Sela Aji, Demung Pugut dan bahkan kemudian Watu Kenan telah berloncatan mendekati Ki Saba Lintang yang terdesak.
Glagah Putih harus bergeser surut untuk mengambil jarak. Ia mencoba untuk menilai lingkaran pertempuran yang dihadapinya. Beberapa orang telah siap bertempur melawannya. Meskipun Watu Kenari yang baru saja berbenturan ilmu dengan Ki Panji Kukuh itu masih nampak goyah, namun ia telah memaksa diri untuk membantu Ki Saba Lintang.
Beberapa orang pengikut Panji Kukuh masih bertempur dengan garangnya. Namun korban yang jatuh ternyata sudah sangat banyak. Demikian pula orang-orang perguruan Kedung Jatipun telah kehilangan banyak orang pula.
Ketika Glagah Putih sedang memperhitungkan kemungkinan yang dihadapinya, tiba-tiba saja Rara Wulan berdiri beberapa langkah daripadanya, "Kita akan menyelesaikannya kakang."
Glagah Putih mengerti bahwa keadaan Rara Wulan masih belum pulih kembali. Tetapi keadaannya sudah menjadi berangsur baik.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Saba Lintang dan beberapa orang yang berada di sekitarnya telah mengambil keputusan lain. Mereka tidak lagi berniat meneruskan pertempuran. Tetapi dengan isyarat yang kurang di mengerti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka telah mengambil satu sikap.
Sela Aji dan Demung Pugut tiba-tiba saja telah menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan dengan garangnya. Mereka menerkam seperti seekor singa yang lapar.
Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mengira bahwa kedua orang itu akan menyerangnya dengan serta merta. Karena itu, maka keduanya telah bergeser surut untuk mengambil jarak.
Namun Sela Aji dan Demung Pugut tidak memberi keduanya waktu. Dengan tangkas keduanyapun telah meloncat menyerang pula. Serangan mereka datang beruntun. Demikian cepatnya, sehingga sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan bergeser surut
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak membiarkan diri mereka terdesak lagi. Dengan tangkasnya keduanyapun sengaja membentur serangan yang berikutnya.
Rara Wulan yang masih belum pulih sepenuhnya itu masih juga goyah. Beberapa langkah ia terdesak surut Sementara itu Demung Pugutpun telah tergetar pula.
Namun dalam pada itu, Sela Aji yang serangannya telah terbentur tenaga Glagah Putih yang menangkis serangan itu, telah terlempar dan terpelanting jatuh.
Tetapi sementara itu, Glagah Putih telah melihat Ki Saba Lintang telah melarikan diri dibawah perlindungan Watu Kenari serta dua orang pengikutnya yang lain.
"Gila Ki Saba Lintang," geram Glagah Putih yang berusaha untuk memburunya.
Tetapi Glagah Putih itupun berhenti ketika ia melihat Watu Kenari itu berbalik menghadap kearahnya.
Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia melihat Watu Kenari bersiap untuk melontarkan Aji Pamungkasnya
Tidak ada pilihan lain bagi Glagah Putih. Iapun segera mempersiapkan diri pula.
Ketika seleret sinar meluncur kearahnya maka Glagah Putihpun telah meluncurkan serangannya pula.
Akibatnya telah menggetarkan jantung mereka yang sempat menyaksikannya. Serangan Watu Kenari yang baru saja membenturkan ilmunya dengan Ki Panji Kukuh itu masih terlalu lemah untuk meluncurkan serangannya lagi. Apalagi serangannya itu telah membentur kekuatan ilmu pamungkas Glagah Putih.
Karena itu, maka benturan itu telah benar-benar menghancurkan Watu Kenari. Tubuhnya terlempar jauh kebelakang, membentur dinding halaman banjar. Terdengar derak dinding halaman banjar yang tertimpa tubuh Watu Kenari itu roboh.
Ki Watu Kenari tidak sempat mengaduh. Beberapa ruas tulangnya benar-benar berpatahan. Tetapi karena daya tahan tubuh Watu Kenari yang tinggi, maka tubuh itu tidak lumat menjadi debu.
Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang sudah tidak nampak lagi. Dua orang pengikutnya telah membawanya lari ke dalam gelap. Kemudian meloncati dinding halaman belakang banjar kademangan Seca itu.
Glagah Putih memang tidak mendapat kesempatan. Ketika ia siap meloncat berlari untuk memburu Ki Saba Lintang sampai ke luar halaman, maka Sela Aji telah menyerangnya.
Kemarahan Glagah Putih tidak tertahankan lagi. Ketika Sela Aji meloncat menerkamnya, maka Glagah Putih telah mengangkat dan kemudian mengayunkan tangannya dengan lambaran Aji Sigar Bumi.
Sela Aji masih sempat menjerit. Namun kemudian terdiam. Bukan saja suaranya, tetapi juga detak jantungnya.
Glagah Putih menggeram marah. Namun ia masih berniat untuk mencari Ki Saba Lintang yang tentu belum terlalu jauh.
Tetapi ketika ia berpaling, ia melihat Rara Wulan terjatuh pada lututnya. Dengan susah payah Rara Wulan mencoba bertahan untuk tidak jatuh terlentang.
Glagah Putih tidak berpikir panjang. Iapun segera berlari ke arah isterinya itu. Dilihatnya orang yang bernama Demung Pugut itu telah terbaring diam di hadapan Rara Wulan.
"Rara. Bagaimana keadaanmu?"
Rara Wulan terduduk. Glagah Putih mencoba untuk menahan agar Rara Wulan tetap duduk.
"Duduklah. Atur pernafasanmu. Aku akan menungguimu."
Rara Wulan tidak menjawab. Iapun mencoba untuk duduk bersila di halaman banjar itu untuk mengatur pernafasannya.
Glagah Putih kemudian bangkit berdiri di belakangnya sambil mengawasi keadaan halaman banjar kademangan Seca itu.
Halaman itu telah menjadi lengang. Kedua belah pihak yang tersisa telah meninggalkan banjar. Sementara itu tubuh Ki Panji Kukuhpun sudah tidak ada lagi di halaman banjar kademangan itu.
"Kita telah ditinggalkan oleh orang-orang yang bertengkar itu, Rara." desis Glagah Putih.
Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun dadanya masih terasa sakit. Seakan-akan ada sepucuk duri yang terselip diantara tulang-tulang iganya.
"Apa yang akan kita lakukan, kakang ?"
"Kitapun akan meninggalkan tempat ini."
"Bagaimana dengan mayat-mayat itu ?"
"Itu adalah tugas Ki Demang dan KiBekel."
Glagah Putihpun kemudian telah membantu Rara Wulan berdiri. Mereka segera berjalan perlahan-lahan ke pintu. Rara Wulan yang terluka itu bergayut di pundak suaminya, sedang suaminya mencoba untuk memapahnya.
Ketika mereka melangkah melewati regol halaman banjar, mereka melihat dalam kegelapan, sekelompok orang yang mengawasinya.
Perlahan-lahan hampir berbisik Rara Wulanpun bertanya, "Siapakah mereka kakang ?"
"Agaknya mereka adalah para petugas di kademangan Seca."
"Apakah mereka akan menangkap kita?"
"Entahlah, Rara. Tetapi agaknya mereka tidak bergerak sama sekali."
Rara Wulan itupun menyahut perlahan, "Ya Agaknya mereka tidak akan bergerak. Tetapi kakang harus tetap berhati-hati. Biarkan aku berjalan sendiri, kakang. Agar kakang dapat bergerak lebih cepat jika sesuatu terjadi."
"Kau masih terlalu lemah."
"Tetapi aku sanggup berjalan sendiri Perlahan-lahan."
"Tidak akan ada apa-apa. Nampaknya mereka tidak ingin terlibat langsung. Mereka tidak tahu siapakah yang telah menyerang Ki Saba Lintang. Mereka tidak akan berani menerima akibat buruk dari satu kelompok yang telah berani menyerang perguruan Kedung Jati."
Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun bertanya, "Sekarang kita akan pergi kemana kakang. Tentu tidak ke penginapan."
"Tentu tidak," jawab Glagah Putih, "kita akan langsung meninggalkan kademangan Seca. Kita akan mencari tempat yang aman, setidak-tidaknya untuk memberimu kesempatan memperbaiki keadaanmu. Mengatur pernafasanmu serta tatanan urat syaratmu."
Keduanya berjalan di kegelapan malam, menyusuri lorong sempit di kademangan Seca langsung menuju ke bulak panjang.
Demikian mereka keluar dari regol butulan di ujung lorong sempit itu, maka terasa udara menjadi bertambah segar.
"Kita akan mencari tempat yang terpisah dari kesibukan kademangan ini."
"Kemana?" "Ke ujung hutan itu. Ketempat yang menjadi arena pertempuran antara gerombolan Ki Panji Kukuh dengan gerombolan Guntur Ketiga."
"Apakah Ki Panji Kukuh tidak pergi ke sana ?"
"Agaknya ia tidak akan pergi ke sana. Ki Panji Kukuh terluka. Ia akan dibawa oleh para pengikut setianya ketempat yang jauh untuk menghindari perburuan yang akan dilakukan oleh Ki Saba Lintang."
"Tetapi orang-orang Kedung Jati akan mengalami kesulitan untuk mencari keterangan tentang gerombolan Ki Panji Kukuh."
"Jika ada seorang diantara pengikut Panji Kukuh yang dapat ditangkap dan dibawa oleh orang-orang dari perguruan Kedung Jati."
"Apakah kita tidak memburu salah seorang pengikut Ki Saba Lintang yang mungkin terluka " Mungkin orang itu dapat memberikan petunjuk kepada kita, kemana kita harus melacak dimana letak pusat perguruan Kedung Jati yang besar itu."
"Di halaman banjar itu terdapat beberapa sosok yang tergolek diam. Mungkin mereka sudah mati. Tetapi mungkin ada satu dua yang masih hidup. Tetapi menilik kesetiaan orang-orang dari perguruan Kedung Jati, mustahil ada diantara mereka yang bersedia berkhianat. Demikian pula orang-orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh. Mereka akan memilih mati daripada harus berbicara tentang pemimpin mereka serta kedudukan mereka."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Sementara itu, mereka masih saja berjalan menuju ke ujung hutan. Mereka melintasi jalan-jalan sepi. Kemudian merekapun melintasi padang perdu. Mereka menuju ke sebuah tebing sungai yang tidak begitu besar. Di tepian sungai itulah gerombolan Ki Panji Kukuh dan gerombolan Guntur Ketiga terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Namun pagi itu, seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih, tepian sungai itu nampak sepi-sepi saja. Tidak ada seorangpun yang turun ke sungai atau melewati jalan setapak diatas tanggul sungai menuju ke ujung hutan.
"Kita akan beristirahat di sini Rara. Kau harus mencoba memperbaiki keadaanmu. Sebaiknya kau menelan sebutir obat yang akan dapat membantu memperbaiki keadaan bagian dalam tubuhmu. Bukankah kau juga membawanya ?"
"Ya kakang." Rara Wulanpun kemudian mengambil sebutir obat dari bumbung kecil yang dibawa di dalam kampilnya dan diselipkan di setagennya.
Setelah menelan obat itu, maka Rara Wulanpun segera duduk bersila, kedua tangannya diletakkan dialas lututnya.
Sejalan kerja obat yang ditelannya serta sikapnya mengatur pernafasannya, maka terasa keadaan tubuhnya menjadi berangsur mapan kembali. Terasa darahnya mengalir semakin lancar. Detak jantunyapun mulai teratur. Suhu badannya tidak lagi bergejolak tidak menentu.
Meskipun nyeri-nyeri di tubuhnya masih terasa, namun Rara Wulan menjadi berangsur baik.
Sementara itu, Glagah Putihpun tidak jauh dari Rara Wulan yang sedang memusatkan nalar budinya. Dengan seksama Glagah Putih memperhatikan perkembangan keadaan Rara Wulan. Dari tarikan nafasnya, serta sikap duduknya, Glagah Putihpun mengetahui, bahwa keadaan Rara Wulan sudah berangsur menjadi baik.
"Bagaimana keadaanmu Rara"," bertanya Glagah Putih. Rara Wulan menarik nafas panjang. Kalanya, "Sudah berangsur baik, kakang."
"Apakah aku sudah dapat turut campur untuk memulihkan setidaknya memperbaiki keadaanmu " "
Rara Wulan nampak agak ragu. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berdesis, "Sudah, kakang."
Glagah Putihpun kemudian duduk di belakang Rara Wulan. Ia mulai menyentuh-nyentuh punggung dan bahu Rara Wulan dengan jari-jarinya.
Beberapa kali ia menekan dengan kedua ibu jarinya, simpul syaraf di sebelah menyebelah tulang belakangnya. Namun ketika ujung jarinya menekan pundaknya. Rara Wulan menggeliat.
"Sakit kakang," desis Rara wulan.
"Ada yang masih belum mapan," sahut Glagah Putih. Beberapa lama Glagah Putih memperbaiki keadaan Rara Wulan langsung dengan menyentuh simpul-simpul syarafnya, sehingga akhirnya seluruh tubuhnya terasa menjadi longgar kembali. Tidak terasa lagi ketegangan didalam tubuhnya. Bahkan tulang-tulang yang nyeri.
"Rasa-rasanya keadaanku telah pulih kembali kakang. Meskipun tenaga dan kekuatanku belum terasa utuh."
"Bersokurlah, Rara."
"Aku bersokur kakang. Ternyata aku dan kakang masih mendapat perlindungannya."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Tetapi aku menyesali apa yang sudah terjadi."
"Kenapa kakang?"
"Kau lihat Korban begitu banyak. Sementara itu kita tidak berhasil mengambil tongkat baja putih itu. Bukankah dengan demikian korban itu menjadi sia-sia."
"Tetapi orang-orang dari gerombolan Ki Panji Kukuh itu adalah orang-orang yang hidupnya seutuhnya sudah diserahkan kepada sikap-sikap yang mengandalkan kekerasan. Mereka adalah orang-orang yang telah siap mengalami nasib buruk di setiap pertarungan yang sering terjadi, sebagaimana terjadi pertarungan berebut jalur perdagangan gelap antara Ki Panji Kukuh dengan Ki Guntur Ketiga."
"Benar Rara. Tetapi kali ini kitalah yang telah menyeret mereka ke dalam pertarungan yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali kematian di kedua belah pihak."
"Bukankah kita sedang berusaha " Kali ini usaha kita gagal, kakang."
"Dalam usaha kita ini, kita telah menyebabkan kematian sekian banyak orang."
Rara Wulan terdiam. Ia melihat kepedihan yang dalam di wajah Glagah Putih yang menyesali langkah yang diambilnya. Ia telah menyeret gerombolan Panji Kukuh dengan berbagai macam cara untuk terlibat dalam pertempuran melawan orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Namun pertempuran yang menelan banyak korban itu tidak menghasilkan apa-apa. Sehingga kematian dari para pengikut Ki Panji Kukuh dan orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu sia-sia saja.
Namun pendapat Rara Wulan agak berbeda. Katanya, "Kakang. Dari sisi tugas kita, kita memang telah gagal. Kematian itu seakan-akan adalah kematian yang sia-sia. Tetapi jika kita lihat dari sisi yang lain, maka kematian itu mempunyai arti pula. Kita telah ikut membersihkan jalur perdagangan gelap yang berada di bawah permukaan di kademangan Seca yang tenang ini. Bukankah dengan demikian, kita telah ikut mengaduk kotoran yang mengendap didasar itu, mengangkatnya dan sekaligus menguranginya."
"Kita memang dapat menghibur penyesalan kita dengan kenyataan itu, Rara. Kitapun sudah mengurangi kekuatan orang-orang terbaik dari perguruan Kedung Jati. Tetapi kenyataan itu tidak akan berarti apa-apa. Sesaat lagi, Panji Kukuh telah membangun jalurnya kembali. Perguruan Kedung Jati telah melengkapi lagi kelompok kepercayaan Ki Saba Lintang."
"Tetapi satu hal yang pasti, kakang. Ki Saba Lintang tidak lagi berniat membangun salah satu landasan kekuatannya di Seca."
"Bukankah dengan demikian, Panji Kukuh atau orang lain yang mempunyai pikiran sejalan dengan Panji Kukuh justru akan menguasai perdagangan gelap di bawah permukaan di Seca ini ?"
"Setidak-tidaknya kita sudah mengetahuinya. Pada kesempatan lain, mungkin dengan sosok yang lain, kita dapat memperingatkan Ki Demang di Seca tentang perdagangan gelap yang akan dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar itu, kakang."
"Ya. Kita akan memanfaatkannya. Perdagangan gelap itu tidak kalah berbahayanya dengan semakin berkembangnya perguruan Kedung Jati yang akan menempatkan diri berseberangan dengan kuasa Mataram. Berbeda dengan sebuah kadipaten yang kasat mata, yang dengan jelas dapat dijajagi kekuatannya serta diketahui dengan pasti keberadaannya, sehingga Mataram dapat bertindak dengan perhitungan yang lebih cermat, maka perguruan Kedung Jati itu mempunyai sifat yang sangat berbeda."
"Ya, kakang." "Kita memang sedikit dapat terhibur dengan keberhasilan kita melihat arus perdagangan gelap di bawah permukaan yang tenang dan tenteram di Seca ini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba iapun bertanya, "Lalu sekarang, apa yang akan kita lakukan " "
Glagah Putih menarik nafas panjang.
"Apakah kita akan melacak perjalanan Ki Saba Lintang yang telah meninggalkan Seca " Ki Saba Lintang yang kehilangan sebagian besar pengawal-pengawal terbaiknya itu tentu akan menjauhi Seca dalam penyamaran yang lebih ketat."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Tentu akan sangat sulit melacak perjalanan Ki Saba Lintang, Rara Jika saja kita tidak terlalu bodoh untuk menyerangnya Jika saja kita bersabar menunggu Ki Saba Lintang meninggalkan Seca dalam keadaan damai. Mungkin kita akan dapat melacaknya. Atau jika kita bersabar bahwa pada suatu saat Ki Saba Lintang akan berada kembali di Seca sehingga kita dapat minta kakang Agung Sedayu dan pasukannya datang untuk menangkapnya. Tetapi sekarang kita justru telah kehilangan kesempatan itu."
"Tetapi bukankah apa yang kita lakukan bukannya tidak kita perhitungkan" Kita melihat satu kesempatan. Kita mencoba untuk menangkap kesempatan itu. Tetapi kita gagal."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Aku mengerti."
"Kakang. Apa yang kita lakukan adalah suatu kegagalan. Bukankah wajar jika dalam satu usaha itu mempunyai kemungkinan berhasil, tetapi juga mempunyai kemungkinan gagal " Tetapi jika kita tidak berbuat apa-apa sama sekali, maka hanya ada satu kemungkinan. Kita tidak menghasilkan apa-apa."
Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar, Rara."
"Nah. Sekarang kita pikirkan, kita akan pergi kemana?"
"Rara. Bagaimana menurut pendapatmu, jika kita membelokkan arah pengembaraan kita ke Selatan ?"
"Ke Selatan. Jika kita terus ke Selatan, maka kita akan sampai ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya. Kita melaporkan kegagalan kita. Bukankah dengan kegagalan kita kali ini, kita harus mulai dari permulaan lagi."
"Ya. Kita akan mulai dari permulaan. Tetapi bukankah kita sudah beberapa kali mulai perburuan ini dari permulaan ?"
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Kau benar, Rara."
Ternyata keduanyapun sepakat untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memberikan laporan kegagalan mereka di kademangan Seca. Selain itu, mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa bekal merekapun sudah hampir habis pula. Di Seca mereka telah memboroskannya untuk menginap di penginapan yang terhitung mahal. Sedangkan sebenarnya mereka terbiasa bermalam di pategalan atau di banjar-banjar padukuhan.
"Tetapi tanpa menginap di penginapan itu, kita tidak akan mengetahui gerak di bawah permukaan di Seca Kitapun tidak mengetahui bahwa Ki Saba Lintang berada di Seca," desis Glagah Putih.
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja iapun berkata, "Yang menjadi sangat sibuk adalah para petugas di kedemangan Seca. Mereka harus membersihkan halaman banjar. Menyelenggarakan penguburan mereka yang terbunuh dan merawat mereka yang terluka berat dari kedua belah pihak."
"Yang terluka agaknya telah dibawa oleh kawan-kawannya," sahut Rara Wulan.
"Apakah mereka sempat melakukannya ?"
"Pada saat-saat terakhir, mereka tidak bertempur lagi. Mereka sibuk melarikan kawan-kawan mereka yang terluka."
"Yang parah ?" "Bukankah kakang tahu kebiasaan mereka " Pada saat kakang menyelesaikan pertempuran dengan Ki Saba Lintang, maka yang tidak kita bayangkan itu terjadi. Sekilas aku melihatnya. bagaimana seorangg yang terluka parah justru harus mengakhiri penderitaannya karena tangan kawan sendiri."
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Ya. Agaknya hal seperti itu terjadi pada kedua belah pihak."
"Untung aku tidak diperlakukan seperti itu ketika aku terpelanting dalam benturan ilmu dengan orang yang bernama Murdaka itu."
"Kau tidak kehilangan kesempatan. Kau masih dapat segera bangkit, meskipun kau menjadi lemah. Apalagi kau bukan pengikut yang sebenarnya dari Ki Panji Kukuh. Kau tidak banyak mengetahui tentang gerombolan itu."
Rara Wulan tersenyum. Sementara Glagah Putih masih melanjutkannya, "Jika kau akan diperlakukan seperti itu, maka kaulah yang akan membunuhnya."
Rara Wulan bahkan tertawa Katanya, "Tentu saja tidak kakang. Aku tidak terkapar dalam keadaan parah."
Glagah Putih menarik nafas panjang.
Dalam pada itu, maka langitpun menjadi merah. Glagali Putih masih duduk di rerumputan kering. Sementara Rara Wulan justru berbaring. Katanya, "Anggap saja kita tidur di dalam bilik yang hangat di penginapan itu. Suara gemercik air dengan iramanya yang khusus itu kita dengar sebagai suara gamelan yang ngerangin. Burung-burung liar yang mulai berkicau itu adalah suara pesinden yang merdu."
"Tetapi sekarang kita berada di wayah gagat raina. Tidak di wayah sepi uwong."
"Ya. Itulah bedanya. Tetapi bukankah suara burung-burung liar itu terdengar penuh gairah dan ketegaran menyambut datangnya hari yang baru?"
"Ya. Kitapun dapat bersiul seperu burung-burung itu."
"Ya. Aku juga dapat bersiul kakang."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Jarang aku mendengar perempuan bersiul."
"Kakang tidak percaya ?"
Glagah Putih tertawa semakin keras. Katanya, "Percaya. Aku percaya Rara. Karena aku pernah mendengar kau bersiul."
Rara Wulan memandang Glagah Putih dengan kerut di dahinya. Namun kemudian Rara Wulan itupun tertawa pula.
Namun kemudian Rara Wulan itupun bertanya, "Lalu, apakah kita mengurungkan niat kita pergi ke Gunung Sumbing yang menghadap ke Gunung Sindara?"
"Menemui Kiai Pupus Kendali?"
"Ya. Bukankah kita ingin mempertanyakan Golek Pusaka yang disebut Kiai Naga Padma?"
"Kita akan pergi ke kaki Gunung Sumbing pada kesempatan pertama Rara. Tetapi bukankah sebaiknya kita melaporkan keadaan kademangan Seca ini lebih dahulu kepada kakang Agung Sedayu bahkan kemudian kepada Ki Patih Mandaraka?"
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Sebaiknya kita memang melaporkannya lebih dahulu kepada Kakang Agung Sedayu."
"Baiklah. Kita akan pulang."
"Apakah kita dapat mencapai Tanah Perdikan Menoreh dalam sehari perjalanan?"
"Jika kita berjalan terus, mungkin kita akan dapat mencapainya. Tetapi perjalanan kita akan menempuh daerah yang agaknya kurang bersahabat."
"Maksud kakang, kita tidak perlu memaksa diri untuk sampai di Tanah Pcrdikan malam nanti?"
"Ya. Kita tidak terlalu tergesa-gesa. Seandainya kita besok siang sampai di Tanah Perdikan, bukankah laporan kita tidak terlalu lambat?"
"Jadi kita berjalan seenaknya saja. Jika kita ingin berhenti, kita akan berhenti."
Glagah Putih mengangguk. Katanya, "Bukankah itu lebih baik" Kita akan berjalan pulang sambil melepaskan segala keutegangan kita selama ini."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putihpun berkata, "Nah, marilah kita berbenah diri. Bukankah keadaanmu sudah berangsur baik sehingga kita dapat mulai dengan perjalanan pulang?"
"Sudahlah, kakang. Aku siap menempuh perjalanan pulang. Bukankah kita akan berjalan seenaknya saja?"
Demikianlah keduanyapun segera berbenah diri. Bersiap untuk menempuh perjalanan panjang. Tetapi mereka akan menempuh jalan pintas ke Tanah Perdikan Menoreh meskipun mereka akan melintasi jalan yang agak sulit. Mereka akan melewati daerah pegunungan, melintasi hutan, jurang dan ngarai. Menyeberang sungai besar dan kecil, serta padang perdu yang luas.
Tetapi di beberapa bagian dari perjalanan mereka, mereka akan melewati kademangan dan pedukuhan besar dan kecil. Melintasi daerah yang terhitung padat penghuninya.
Ketika langit menjadi semakin terang, maka keduanyapun telah bersiap. Keduanyapun segera menapak melangkah meninggalkan tempat itu.
Keduanyapun telah memilih jalan, menghindari padukuhan Seca. Mereka merasa bahwa para petugas di Seca tentu ada yang sempat memperhatikan mereka semalam ketika terjadi pertempuran di Banjar. Beberapa orang petugas yang memperhatikan pertempuran itu dari luar halaman akan dapat mengenalinya, jika mereka memasuki pedukuhan Seca siang hari.
Setelah terjadi pertempuran semalam, para petugas tentu akan memperketat penjagaan di mana-mana.
"Mudah-mudahan kita tidak bertemu dengan Ki Panji Kukuh atau pengikutnya," desis Rara Wulan, "mereka tentu tidak lagi bersikap bersahabat dengan kita, setelah mereka kehilangan beberapa orang pengikut mereka di halaman banjar itu."
"Agaknya Ki Panji Kukuh telah berada ditempat yang lebih jauh lagi, Rara. Apalagi agaknya Ki Panji Kukuh sendiri telah terluka."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Dengan demikian, maka keduanyapun menghindari untuk tidak melewati pedukuhan Seca meskipun mereka sebenarnya ingin. Tetapi mereka sengaja melewati jalan yang menuju ke arah Seca.
Ketika matahari terbit, beberapa orang tengah berjalan menuju ke pasar Seca. Meskipun tidak di hari pasaran. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulanpun juga berpapasan dengan orang yang agaknya sudah pulang dari pasar. Seorang laki-laki yang memikul gula kelapa berjalan diikuti oleh seorang perempuan yang agaknya adalah isterinya.
"Mungkin dalam dua atau tiga hari itu masih sepi, Nyi." berkata laki-laki yang memikul gula kelapa.
"Sia-sia saja kita berjalan di pagi-pagi buta," sahut isterinya.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengar pembicaraan itu dapat mengambil kesimpulan, bahwa pada hari itu pasar Seca menjadi sepi. Orang-orang yang berdatangan dari jauh tidak tahu apa yang telah terjadi semalam, sehingga seperti biasanya mereka datang untuk menjual dagangan atau hasil tanah mereka.
"Kita tidak tahu, apakah peristiwa semalam akan mempunyai pengaruh yang dalam di padukuhan ini," berkata Glagah Putih.
"Seca memang harus mendapat peringatan kakang. Jika mereka masih saja terlena tanpa mengetahui bahwa ada urusan perdagangan gelap di bawah permukaan, maka pada suatu saat, pengaruh perdagangan gelap itu justru akan menelan Seca.
Glagah Putihpun mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan melaporkannya kepada kakang Agung Sedayu. Mungkin kakang Agung Sedayu dapat memberikan petunjuk. Meskipun kakang Agung Sedayu seorang pemimpin dari satu kesatuan prajurit, bukan seorang yang memimpin pemerintahan atas suatu daerah, tetapi kakang Agung Sedayu tentu mempunyai wawasan yang lebih luas dari kita berdua."
"Ya, kakang," sahut Rara Wulan.
Sementara itu, merekapun telah berbelok turun ke jalan simpang, sehingga mereka tidak memasuki padukuhan Seca.
Ketika mereka berjalan dibelakang dua orang perempuan yang menggendong bakul di punggungnya, mereka menjadi semakin yakin bahwa pasar Seca menjadi sepi. Bahkan seorang di antara kedua perempuan itu mengatakan, kedai-kedai di sekitar pasarpun tidak membuka pintunya.
Dua orang laki-laki yang berjalan bersama dengan seorang perempuan justru mengatakan bahwa semalam di Seca telah terjadi ontran-ontran.
"Geger, yu," berkata laki-laki itu.
"Darimana kau tahu ?" bertanya perempuan itu.
"Petugas di pasar itu yang bercerita. Seorang diantara petugas di pasar itu kan kemenakanku. Kemenakanku mengatakan bahwa mayat tergeletak terbujur lintang di halaman banjar."
"Mengerikan." "Orang Seca hari ini tidak berani keluar rumah, yu."
"Uh. Sudah, sudah. Jangan ceriterakan lagi tentang mayat-mayat itu."
"Aku kan sudah tidak bercerita tentang mayat. Aku hanya mengatakan bahwa orang-orang Seca hari ini tidak berani keluar rumah."
"Tetapi kau bercerita tentang mayat-mayat yang terbujur lintang di halaman banjar."
"Tadi. Tetapi bukankah ceriteraku tidak berlanjut."
"Tetapi anak siapa saja yang mati di halaman banjar itu ?"
Laki-laki yang seorang lagi yang menyahut, "Kau sendiri yang bertanya, yu."
"Ya sudah. Sudah."
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Namun perempuan itulah yang berkata lebih dahulu, "Aku membawa uwi jero dan melinjo. Sekarang aku bawa pulang lagi. Padahal aku memerlukan garam dan terasi."
"Mungkin dua atau tiga hari lagi, yu."
"Tetapi aku memerlukan garam. Apakah kau dapat pisah dengan garam sampai dua atau tiga hari ?"
"Nanti suruhan saja anakmu yang kuncungan itu pergi ke rumahku. Aku masih mempunyai persediaan sedikit."
"Terima kasih, adi. Nanti aku suruh si Kuncung pergi ke rumahmu."
"Baik, yu," jawab laki-laki itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanlah yang justru mengangguk-angguk. Perlahan-lahan Rara Wulan berkata, "Kasihan perempuan itu. Ia kehabisan garam."
"Untungnya tetangganya itu baik hati."
"Mungkin bukan sekedar tetangga. Tetapi ada hubungan keluarga di antara mereka."
Namun keduanya tidak mengikuti ketiga orang itu lebih jauh lagi. Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan tidak secepat perempuan dan kedua orang laki-laki yang baru saja pulang dari pasar Seca yang sepi.
Bahkan ketika mereka sampai di simpang ampat, Glagah Putih dan Rara Wulan mengambil jalan yang lain dari perempuan dan kedua orang laki-laki itu.
Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin cerah. Matahari yang mulai memanjat langit melontarkan sinarnya yang hangat kesegenap penjuru. Di kejauhan masih terdengar burung-burung liar yang berkicau menyambut datangnya hari baru. Angin yang semilir menyentuh dedaunan.
Air yang jernih mengalir di parit yang menjelujur sepanjang jalan bulak. Agaknya air di parit itu mengalir sepanjang musim.
Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus. Semakin lama mereka menjadi semakin jauh dari Seca. Kademangan yang sebelum disentuh oleh Ki Saba Lintang adalah kademangan yang tenang dan tenteram. Namun yang luput dari perhatian para bebahu di Seca adalah arus perdagangan gelap yang berada di bawah permukaan.
Menjelang tengah hari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan mulai menapaki jalan-jalan yang semakin sulit. Mereka mulai mendaki jalan-jalan di perbukitan. Mereka mulai melintasi jalan jalan yang sulit diantara padukuhan-padukuhan kecil yang agaknya berada di lingkungan yang tanahnya tidak begitu subur.
"Kenapa penghuni padukuhan ini tidak mencari tempat yang lebih baik ?" desis Rara Wulan, "nampaknya di sini tanahnya tidak begitu subur. Bukankah mereka dapat mencari tempat yang lebih baik dengan menebas hutan yang luas di dataran yang lebih rendah ?"
"Kadang-kadang kita tidak dapat mengerti jalan pikiran mereka, Rara. Agaknya mereka masih merasa terikat dengan kampung halaman tempat mereka dilahirkan. Mereka masih terikat kepada kesetiaan mereka terhadap keluarga besar mereka yang menghuni satu padukuhan tanpa menghiraukan keadaan tempat tinggal mereka. Tanah warisan itu merupakan beban kewajiban bagi mereka untuk tetap merawat dan memeliharanya."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Bahkan seandainya mereka hidup dalam kesulitan. Panen yang kurang memadai. Air yang tidak cukup, bahkan sumur-sumur yang sangat dalam. Mereka harus bekeja keras untuk dapat makan ajeg setiap hari."
"Ya. Jika saja mereka bersedia berbicara dengan Ki Demang untuk mendapatkan ijin membuat daerah pemukiman baru. Mereka dapat melakukannva bersama-sama seluruh padukuhan jika mereka tidak ingin terpisah-pisah yang satu dengan yang lain."
Sebenarnyalah padukuhan kecil itu nampak kekeringan. Dedaunan menjadi agak ke kuning-kuningan. Sawah yang menghampar di sebelah pedukuhan itu ditanami jagung yang nampak tidak begitu subur.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan utama padukuhan itu, mereka melihat anak-anak yang nampaknya tidak begitu gembira. Meskipun ada pula diantara mereka yang sibuk bermain. Mereka pada umumnya tidak berbaju, agak kekurus-kurusan dengan rambut yang agak kemerah-merahan.
Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus, mereka melihat kesibukan di ujung padukuhan. Beberapa orang sedang sibuk di sebuah sungai kecil yang mengalir lewat ujung padukuhan mereka. Agaknya orang-orang padukuhan itu sedang membendung aliran sungai yang tidak begitu besar itu untuk dinaikkan ke dalam parit sehingga airnya dapat mengaliri sawah mereka.
"Sokurlah," desis Glagah Putih, "agaknya lahir juga seorang yang berani mengambil langkah-langkah penting di padukuhan kecil yang tandus itu."
"Ya, kakang. Alam yang keras telah menempa penghuninya untuk tidak saja bekerja keras, tetapi juga berpikir keras."
Seakan-akan diluar kehendaknya, Glagah Putih dan Rara Wulanpun berhenti sejenak melihat orang-orang yang sibuk mengisi brunjung bambu dengan bebatuan. Kemudian meletakkannya menyilang aliran air di sungai itu. Onggokan slangkrah yang diikat dengan kuat diletakkan disela-sela brunjung bambu itu untuk menutup celah-celah agar air tidak menyusup melewati celah-celah itu.
Glagah Putih tersenyum. Ia merasa seakan-akan ikut serta membantu orang-orang yang sedang bekerja keras itu. Namun kemudian keduanyapun meninggalkan orang-orang padukuhan yang membuat bendungan di ujung padukuhan, dekat jalan utama yang membujur menusuk bulak panjang yang kering.
Pohon-pohon perindang yang tumbuh di sebelah menyebelah jalanpun daunnya nampak agak ke kuning-kuningan. Satu-satu berguguran di sentuh angin pebukitan. Glagah Putih dan Rara Wulanpun berjalan terus. Ada beberapa padukuhan yang nampak tandus telah dilewati. Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah memasuki padang perdu yang luas. Dengan mengikuti jalan setapak, maka keduanyapun berjalan menuju ke tepi sebuah hutan yang masih nampak lebat dan jarang di sentuh kaki manusia. Nampaknya masih banyak binatang buas yang menghuni hutan itu.
Tetapi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, hutan tidak harus dijauhi. Mereka pernah tinggal di hutan untuk menjalani laku. Bahkan mereka pernah hidup sebagai bagian dari keutuhan hutan itu ketika mereka menjalani laku dengan tapa ngidang. Karena itu, ketika mereka mendengar aum harimau, keduanya sama sekali tidak terkejut, apalagi menjadi ketakutan. Mereka tahu bahwa jika dalam keadaan yang khusus, harimau itu tidak akan menyerangnya, meskipun mereka mencium bau manusia.
Bahkan seandainya seekor harimau yang kelaparan, yang tidak mendapatkan mangsa lain, datang menyerang mereka, keduanyapun akan siap melawannya. Beberapa saat lamanya mereka berjalan di pinggir hutan. Mereka merasakan jalan itu menurun. Hutan itupun terasa tumbuh lebat di tanah yang miring. Beberapa lama mereka menyusuri jalan di pinggir hutan. Namun ketika matahari menjadi semakin tinggi sehingga sampai di puncak, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah meninggalkan hutan itu. Mereka memilih jalan setapak yang memasuki padang perdu menuju ke dataran yang lebih rendah. Jalan setapak itu agaknya sering dilalui orang yang mencari kayu di hutan.
"Apakah orang-orang yang mencari kayu itu tidak takut bertemu dengan binatang buas"," desis Rara Wulan.
"Biasanya mereka tidak seorang diri, Rara. Tetapi merekapun mencermati kebiasaan binatang buas, terutama haarimau. sehingga mereka mengerti kapan mereka dapat pergi ke hutan untuk mencari kayu."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu mereka telah berada di seberang padang perdu dan mulai merambati tanah ngarai yang luas.
"Jalan yang kita lalui ini agak aneh, kakang," berkata Rara Wulan kemudian.
"Apa yang aneh ?" bertanya Glagah Putih.
"Nampaknya jalan ini sering sekali dilalui orang. Padahal jalan ini menuju ke ujung hutan yang menjorok itu."
"Mereka adalah pencari kayu dari padukuhan terdekat."
"Tetapi padukuhan yang terdekat itu letaknya jauh sekali kakang. Apakah mereka memerlukan mencari kayu sampai ke ujung hutan ini?"
Glagah Putih yang semula tidak begitu memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya itu, mulai tertarik pula. Bahkan tiba-tiba saja dia berdesis, "Kau lihat jejak kaki kuda ?"
"Ya." Glagah Putih semakin memperhatikan jalan setapak yang dilaluinya itu. Jalan setapak di padang perdu yang banyak ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar. Beberapa batang pohon yang lebih besar tumbuh pula di padang perdu itu. Beberapa onggok batu padas yang mencuat terdapat di mana-mana, terbalut oleh tanaman perdu yang liar, yang bahkan sering terdapat pepohonan perdu yang berduri.
"Tentu ada sesuatu di ujung hutan yang menjorok itu, Rara." berkata Glagah Putih.
"Apakah kita akan melihatnya ?"
"Lain kali saja, Rara. Sebaiknya kita berjalan terus menuju ke Tanah Perdikan. Rasa-rasanya semakin cepat kita membuat laporan tentang Ki Saba Lintang, akan menjadi semakin baik Mungkin kakang Agung Sedayu akan membawa kita menghadap Ki Patih Mandaraka."
"Ki Patih itu tentu sudah menjadi semakin tua, kakang."
"Ia memang sudah tua. Bahkan sangat tua."
"Tetapi ia masih nampak tegar."
"Ya. Ia masih nampak tegar."
Keduanyapun berjalan terus menyusuri jalan setapak yang menarik perhatian mereka itu. Mereka melihat jejak kaki kuda yang berjalan ke kedua arah yang berlawanan. Bahkan jalan setapak itu nampaknya memang sering dilalui oleh orang-orang berkuda. Orang-orang itu tentu akan sangat menarik perhatian.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya tidak ingin mendapat hambatan di perjalanan. Mereka ingin segera sampai ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka sadari, bahwa mereka akan kemalaman di perjalanan.
Namun langkah merekapun tiba-tiba terhenti. Mereka melihat sebatang lembing bambu yang tertancap di sebelah sebatang pohon cangkring tua yang daunnya sudah menjadi sangat jarang. Pohon yang besar itu nampak meranggas dan bahkan beberapa ujung dahannya mulai nampak mengering.
"Lembing itu, kakang," desis Rara Wulan.
Glagah Putih yang juga sudah melihat lembing itu melangkah mendekatinya, tetapi ia tidak menyentuhnya.
"Satu pertanda, Rara."
Rara Wulan mengangguk. Ia melihat seikat benang lawe putih terikat pada lembing bambu itu. Beberapa buah batu yang dirangkai dengan benang puuh pula serta sepotong tulang yang sudah kering bergayut pada lembing bambu itu.
Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan lembing itu. Namun Glagah Putihpun kemudian berbisik, "Ada beberapa orang bersembunyi di balik gerumbul disekeliling kita, Rara."
"Ya," sahut Rara Wulan, "tentu mereka yang telah memasang lembing ini."
"Jika kita tidak menyentuhnya, agaknya kitapun tidak akan diganggu."
Rara Wulan mengangguk-angguk.
Meskipun demikian, keduanyapun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih. Karena mereka tidak menyentuh dan tidak mengganggu lembing itu, maka merekapun tidak diganggu pula.
"Agaknya lembing ini merupakan satu pertanda, bahwa daerah ini merupakan daerah kekuasaan sebuah gerombolan. Entah gerombolan apa yang agaknya menghuni ujung hutan yang menjorok itu."
Rara Wulan mengangguk. "Marilah, kita tinggalkan tempat ini, Rara. Kita tidak berkepentingan dengan mereka."
Rara Wulan tidak menjawab. Namun iapun beranjak dari tempatnya berdiri.
Keduanyapun kemudian melintas padang perdu itu mengikuti jalan setapak, tetapi yang sudah sering dilalui para penunggang kuda.
Ternyata keduanya memang tidak diganggu oleh orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu yang liar itu. Orang-orang yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu itu membiarkan saja Glagah Putih dan Rara Wulan lewat
Ternyata tidak hanya ada satu lembing yang ditancapkan sepanjang padang perdu itu. Selain lembing yang ditemuinya di sebelah sebatang pohon cangkring tua itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menjumpai beberapa batang lembing lagi yang menancap di sebelah menyebelah jalan setapak itu. Agaknya daerah itu benar-benar telah dikuasai oleh sebuah gerombolan yang kokoh.
"Jangan-jangan daerah ini adalah alas kekuasaan Ki Panji Kukuh," desis Rara Wulan.
"Terlalu jauh dari Seca, Rara."
"Tidak. Baru setengah hari perjalanan. Mungkin mereka telah membangun landasan baru yang lebih dekat."
"Nampaknya watak gerombolan ini agak lain. Gerombolan ini tentu gerombolan yang lebih keras dan lebih kasar dari gerombolan Ki Panji Kukuh. Tetapi itu bukan berarti bahwa kemampuan gerombolan ini lebih tinggi dari kemampuan gerombolan Ki Panji Kukuh."
Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, "Ya. Menilik benda-benda yang mereka kaitkan pada lembing-lembing mereka itu. gerombolan ini adalah gerombolan yang keras."
Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berjalan diantara sepasang pohon jambe yang juga sudah tua. Mereka melihat beberapa macam benda yang ditempelkan pada sepasang pohon jambe itu. Bahkan pedang yang sudah karatan, bebatuan dan berbagai macam akar, tulang-tulang yang sudah kering dan yang telah membuat tengkuk Rara Wulan meremang, di sepasang pohon jambe itu bergantung pula masing-masing tengkorak manusia yang sudah kering pula.
"Kakang," desis Rara Wulan. "Agaknya sepasang pohon jambe ini merupakan gapura dari pintu gerbang keluar dan masuk lingkungan gerombolan itu. Jika benar, maka kita sekarang sudah berada di luar lingkungan mereka, Rara."
"Ya, kakang. Tetapi apakah mereka pasti tak akan mengganggu kita setelah kita berada di luar daerah kekuasaan mereka di padang perdu ini?"
"Mudah-mudahan, Rara. Tetapi kita tidak boleh menjadi lengah. Jika saja tiba-tiba mereka menyerang, maka kita harus mempertahankan diri."
"Aku tidak akan berbaik hati terhadap gerombolan yang telah menggantungkan sepasang tengkorak manusia di pintu gerbangnya. Aku siap melontarkan Aji Namaskara pada seranganku yang pertama. Apalagi jika jumlah mereka cukup banyak."
Namun Glagah Putipun berdesis, "Agaknya kita sudah menjadi semakin jauh dan orang-orang yang mengendap-endap mengamati kita itu."
Tangan Geledek 16 Pendekar Rajawali Sakti 157 Dendam Pendekar Pendekar Gila Pendekar Kedok Putih 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama