Maya Karya Ayu Utami Bagian 1
Kini 1 Dulu 87 Kelak 159 Kini 1998. Perempuan itu bermimpi. Ia berada dalam perut sebuah gereja. Lengkung-lengkung menyangga kubahnya bagai rerusuk ikan purba, yang dahulu menelan seorang nabi selama tiga hari mengarungi samudra. Ada cahaya, menerobos dengan aneh, lewat jendela-jendela yang jauh. Terang jatuh. Terang yang bergelombang. Seolah terang yang menembus lapisan air, serta ikan-ikan pada kaca patri. Ikhtous.
Tiga pemuda berdiri di depan altar, tetapi barangkali kaki mereka rapuh. Ia kenal yang tengah, semudah ia mengenal Kristus yang disalib di antara dua penjahat. Bayang-bayang memanjang, gamang. Tiga lelaki tak berkasut itu lalu telungkup mencium ubin yang dingin. Litani orang kudus dinyanyikan. Satu per satu disebut namanya. Satu per satu mengucapkan kaulnya. Dan yang di tengah itu bukan Isa, atau Yoshua, atau Yesus; melainkan Athanasius Saman Wisanggeni.
Ia lihat hati yang membara dan merasakan duri, merah dan api, manakala pemuda itu berjanji untuk hidup miskin dan
murni bagi Tuhan. Hanya bagi Tuhan. Dinding memantulkan gaung, tetapi relung mencuri dan menyimpan kata-katanya. Ia jadi gentar. Sebab ceruk-ceruk tak dikenal itu menyerap ucapannya, yang kelak akan ditagih sebagai janji. Di sana ada pori dan lubang yang sinis dan tak berbelas kasih. Di sanalah sembunyi sang iblis, di pori-pori tempat yang sekalipun teramat suci.
Di pori-porinya. Di pori-porimu.
Lalu kubah berubah. Langit-langit dipenuhi rasi bintang, seperti planetarium. Ataukah ini sebuah stasiun. Persinggahan.
Dan lelaki itu kini telah ditelanjangi, seperti orang yang akan dilukai. Tapi tak ada algojo, melainkan hanya perempuan itu. Serta birahi, yang datang dengan aneh, setelah orang mengalami kesedihan. Lalu lelaki itu jadi gurih. Keringatnya seperti embun dari uap yang matang. Ketelanjangannya adalah ketelanjangan di mana birahi tak dicari tetapi juga tak disangkal.
Dibiarkannya lelaki itu terkulai pada pahanya yang bersimpuh. Dan kepalanya pada dadanya yang penuh. Tak lama kemudian mereka bersetubuh. Mata dengan mata, lekap dengan lenguh. Tapi ada sedih yang menyelimuti keduanya. Kesedihan karena sesuatu yang rapuh&
Yasmin terbangun, dengan lembab di mata dan antara kakinya. Jendela menampakkan kekosongan. Ia tahu bahwa kekasih gelapnya, yang tadi hadir dalam mimpinya, takkan pernah kembali. Saman tak pernah berkabar sejak lelaki itu pergi, ke perairan Riau atau mungkin laut Cina Selatan, untuk menyelamatkan tiga aktivis mahasiswa dari perburuan militer. Dua tahun silam.
Tapi pada hari itu sesuatu terjadi. Selembar amplop terpacak di meja konsol, agak lusuh; pembantu yang meletakkannya di sana. Berprangko Amerika. Ia mengenal tulisan tangan pada kertas di dalamnya. Jemarinya gemetar dan dingin. Ia dapati secarik kertas tempel berwarna kuning. Yasmin yang baik, semoga surat ini sampai padamu... Itu tulisan lelaki gelapnya. Saman.
P enjara C iPinang itu terasa rapuh, sekalipun mereka memasang pagar tembok dan kawat berduri. Sebuah bangunan sisa zaman penjajahan yang muram. Tapi bahkan dalam kera puhannya tempat ini membelenggu para tahanan politik ter penting. Pemimpin pemberontak Xanana Gusmao antara lain. Itu menambah rasa getir bagi Yasmin. Seorang sipir ber tubuh lembek mengantar ia ke ruang tunggu yang apek. Ia datang men dadak. Tapi dengan uang pelicin orang selalu bisa men jenguk tahanan, asalkan sedang tidak ada sidak.
Ia duduk dengan pikiran merambang. Penjara ini rapuh, jorok, dan busuk. Tapi penyiksaan tidak terjadi lagi di sini. Bagai manapun ini lembaga sipil. Ia mendengar tentang bangunanbangunan militer, di mana para aktivis diikat, digan tung pada tangan atau kaki, disundut, disetrum, dibenamkan, dibaringkan pada bongkah es, dijepit dengan pelbagai alat... dan pelbagai me tode penyiksaan lain yang dilakukan secara rahasia, tanpa hukum, tanpa batas. Semua bayangan tentang itu mengarahkan ia pada Saman dan ia ingin menangis.
Ia datang ke penjara ini untuk menemui tiga aktivis yang dua tahun silam ia coba selundupkan ke luar Indonesia lewat bantuan Saman. Pelarian itu terbongkar di perairan Riau. Ketiga mahasiswa tertangkap oleh polisi. Mereka diadili dan dihukum 12 tahun penjara. Tapi dua orang yang menyelenggarakan misi itu di lapangan, Saman dan Larung, tak pernah diketahui rimbanya lagi.
Satu anak muda jangkung yang ditunggunya muncul di ambang pintu. Yasmin segera berdiri dan menyebut namanya. Wapangsar Kogam Sebayang.
Mana yang lain" Belum dapat izin. Dikhawatirkan akan ada pemeriksaan mendadak. Anak itu bicara dengan suara pelan.
Lalu Yasmin menyerahkan tas plastik yang ia bawa. Nasi campur kesukaan mereka. Ia tahu makanan dalam penjara sangat tidak manusiawi. Nasi dan sayur yang terasa seperti basi. Nara pidana selalu mengharapkan kiriman pada hari bezuk. Anak itu berbinar dan mengucapkan terima kasih.
Kalian sudah dengar, beberapa aktivis yang dilepaskan dari penculikan mulai memberi kesaksian tentang apa yang ia alami"
Ya. Satu yang membikin konferensi pers langsung dilarikan ke Belanda agar tidak ditangkap lagi. Selama ini mereka disekap dan disiksa di tempat rahasia, milik militer. Telah ada beberapa aktivis yang dilepaskan. Tapi masih banyak nama-nama yang belum kembali.
Saman di antaranya. Betapa menyakitkan itu bagi Yasmin. Saya ke sini untuk bertanya sesuatu. Perempuan itu melirihkan suara, sambil memindai adakah yang mungkin mencuri dengar.
Ya" Adakah yang belum kalian ceritakan kepada saya tentang... detik-detik terakhir, menit-menit terakhir sebelum kalian terpisah dari Saman"
Anak muda itu mengerenyitkan dahi sejenak. Rasanya semua sudah kami ceritakan pada Mbak. Juga pada pengacara. Meski pada pengacara sekalipun kami tidak bilang bahwa Mbak terlibat dalam perencanaan pelarian kami. Ia mencoba meng ingat-ingat, tapi ia hanya bisa mengulangi. Kami ter - tangkap ketika naik kapal motor kecil meninggalkan Bintan. Polisi yang menangkap kami. Lalu kami diikat dan dipin dah - kan ke kapal mereka. Tapi, tak lama kemudian ada dua ka pal lain menghentikan perjalanan. Mereka bukan polisi, me lainkan Angkatan Darat.
Yasmin menggigit bibir. Ia sering mendengar hal itu. Seperti desas-desus bahwa pemimpin gerilya Timor Timur sesungguhnya ditangkap oleh polisi tetapi diambil alih oleh militer.
Anak itu melanjutkan: Kemudian mata kami ditutup. Rasanya kami dipindahkan ke kapal motor militer tanpa bisa melihat apapun. S-aya tidak mendengar suara Saman ataupun Larung semenjak itu. Saya kira, kami ditempatkan pada dua kapal yang berbeda. Saya tidak tahu ke mana Saman dan Larung dibawa... Anak itu terdiam sebentar. Maaf, Mbak. Tapi sebe tulnya saya sudah lama ingin bertanya ini. Siapa mereka sebenarnya"
Maksudmu" Siapa sebenarnya Saman dan Larung" Kami kenal dengan Mbak Yasmin, tapi sebenarnya kami kan tidak kenal mereka sebelum pelarian itu.
Yasmin sesungguhnya terkejut dengan pertanyaan yang demikian dasar. Ia merasa agak bodoh, baru menyadari luang itu sekarang. Saman dulu di LSM perkebunan karet Sumatera Selatan. Kemudian dia bekerja di Human Rights Watch di New York. Larung ada di gerakan pers bawah tanah. Dia memang
tak muncul sebagai aktivis di permukaan, sehingga terkesan misterius.
Oh. Hmm. Tapi dari oh dan hm itu Yasmin merasa bahwa anak itu punya sebersit rasa tak nyaman.
Sisa informasi dari percakapan itu sama dengan yang Yasmin telah dengar. Ketiga aktivis itu dikembalikan pada polisi dan menjalani pemeriksaan yang cukup terbuka. Setelah beberapa hari, mereka boleh ditemani pengacara. Tapi tak ada satu mulut pun dari pihak interogator yang bicara tentang Saman. Atau tentang Larung. Polisi tidak menganiaya dengan cara-cara kejam, tapi mereka juga bungkam mengenai hadirnya orang-orang berseragam militer di tengah operasi itu. Yasmin tidak mendapatkan data baru. Tapi kenapa aku menerima surat baru"
Petugas bertubuh lembek itu datang lagi dan berkata bahwa waktu kunjungan telah habis.
a Pakah mati sesungguhnya "
Sebuah goncangan dalam renggang udara. Airbus A320 menuju Yogyakarta itu telah stabil kembali. Lampu kenakan sabuk pengaman telah diredupkan. Mesin pesawat berdengung. Genangan tipis sesekali pecah dari pelupuk matanya; berulang kali ia hapus sebelum mengalir. Di jendela ada sebintik air, yang letik lalu meluncur pada kaca. Setitik pula menyulur pada pipinya. Betapa aneh. Ia menginginkan rasa sedih ini. Seolah kesedihan menghubungkan ia kembali pada kekasih. Sebab hubungannya dengan lelaki itu tak mungkin lagi mewujud dalam rasa-rasa lain. Hanya sedih yang bisa menjelmakan lelaki itu. Ia mengucap nama itu lirih.
Yasmin mengalihkan matanya dari jendela mendung pesawat itu kepada bocah yang tertidur di kursi sebelahnya. Wahai, ia boleh bersedih sebab anak itu tertidur. Jika bayiku menyala, tak ada waktu buat duka. Betapa aneh cahaya anak kecil; bisa mengusir kekelaman. Juga kekelaman yang indah. Semakin hari semakin ia melihat mata Saman pada bayinya
yang bertumbuh. Bahkan sekalipun itu anak perempuan. Sepasang mata yang penuh serta lengkung alis yang sama, namun dalam ukuran mungil dan kelembutan tak terkira. Pada matalah kemiripan jadi mencekam. Pada mata kau temukan jiwa yang lahir kembali. Kau ngeri, sekaligus bahagia. Bayi itu lahir pada bulan kesepuluh setelah persetubuhan terakhirnya dengan Saman, di apartemen lelaki itu yang sahaja di New York.
Ia ingat betul: ia merasa seperti tomat yang rekah. Merah. Matang. Tipis, tinggal terkelupas. Ia adalah yang dikatakan teori, ataukah mitos, bahwa pada pekan tertentu masa tertentu tubuh dan jiwa seorang perempuan akan menjadi begitu ranum untuk berbuah. Apa yang disebut jam biologis wanita. Dentangnya adalah kerinduan untuk dibuahi. Bukan birahi, melainkan kepekaan tak terperi. Sungguh, rahimnya membayangkan se suatu yang bertumbuh, dadanya haus untuk menjadi penuh, putiknya ingin merekah. Betapa aneh, tapi kesuburan punya rasa. Dan Saman memenuhinya. Dalam persetubuhan yang sederhana.
Setelah itu ia terbang ke tanah air, kembali pada suaminya, Lukas, yang kebas tentang perasaan istrinya. Lelaki yang sah itu, yang senantiasa percaya diri, menghujani ia dengan kegagahan yang selama ini mereka banggakan. Yasmin tak tahu kenapa ia tak juga mengandung dalam tujuh tahun pernikahannya dengan Lukas. Kenapa ia merasa sesuatu bertumbuh dalam tubuhnya baru sekarang.
Ia tak pernah pasti benih siapa yang menjadi. Setelah persetubuhan rahasia terakhirnya, rasanya ia masih menemukan bercak darah. Tidak banyak memang. Tak seperti biasa. Ia kira itu menstruasi dari batin yang tegang oleh rasa bersalah, datang lebih cepat dan pergi lebih cepat. Sepuluh ataukah sebelas bulan bisa saja terjadi. Ia sungguh tak tahu. Ia mengalami masamasa cemas dan rasa berdosa. Ia disengat mual yang kadang terarah pada diri sendiri. Ia bukan perempuan baik-baik yang ia bayangkan, yang ia inginkan. Tapi Lukas yang aman dan
tebal rasa menyambut pertumbuhan perutnya dengan kegembiraan tanpa pertahanan. Lelaki itu menerimanya seperti anugerah yang sudah dinanti-nanti. Yasmin bahkan tak berani mengabarkan perkembangan itu pada kekasih rahasia. Ia dan Saman bersurat-suratan tentang gerakan bawah tanah. Tentang percetakan rahasia dan rencana menyelamatkan beberapa mahasiswa. Tapi& lalu berita itu datang sebelum bayinya lahir. Kekasihnya tak berkabar lagi sejak lelaki itu pergi ke perairan Riau, ataukah Laut Cina Selatan&
Setitik kenangan pecah, mengalir ke arah hatinya. Ia meli hat laut. Ia telah melalui hari-hari paling menyakitkan. Harihari panjang yang mengulang-ulang diri sehingga ia akhirnya hafal kenyataan pahit itu: Saman tak ada lagi. Saman hilang. Tapi, apakah hilang itu" Ada yang lebih mengerikan pada kehilangan bahkan dibanding kematian. Kehilangan adalah kekosongan tanpa dasar. Kekosongan tanpa kepastian apapun. Kau tak punya pegangan. Dan harapan menganiaya dirimu. Kau menduga-duga. Adakah kapalnya dihantam badai dan ia ditelan laut. Adakah ia ditangkap dan dibunuh seketika. Adakah ia dibawa ke daratan dan disiksa. Adakah sesungguhnya ia masih ada"
Di saat-saat itu rahimnya berkata, ssh, yang kamu cintai kini tumbuh di dalam dirimu. Lalu ia rasakan keindahan bertunas dalam kesedihan. Sejak itu seluruh hidupnya berpusat pada yang meranum dalam rahimnya. Ia simpan segala misteri. Ia pendam segala harapan bahwa suatu hari ia akan bisa bertemu kekasih rahasia. Lalu bayi itu lahir. Perempuan cantik. Lalu bayi itu berkembang, seperti bunga ataukah buah yang membuatmu terlampau bahagia sehingga kau lupa dosa-dosamu.
Lalu, setahun setelah kelahiran yang menakjubkan itu, kotak posnya dihampiri pucuk-pucuk surat yang tak pernah ia harapkan. Itu mulai terjadi tiga pekan lalu. Pembantunya meletakkan sampul yang sedikit lusuh di atas meja konsol.
Seolah surat biasa, seperti tagihan telepon dan kartu kredit. Yasmin; tangannya gemetar saat ia melihat tulisan yang ia kena betul. Kepada Yasmin Moningka. Serta prangko Amerika. Ia baca lelayang itu dengan tangan gugup. Ah. Ucapan salam dalam bahasa Jawa yang tak ia kenal. Tanpa tanggal. Tanpa tempat. Matanya beralih pada secarik kertas tempel kuning bertuliskan: Yasmin yang baik, semoga surat ini sampai padamu. Mohon bantuanmu menyampaikannya kepada ayahku. Terima kasih banyak.
Yasmin ingin menangis. Tapi Lukas ada di sana. Dengan Samantha, buah hati mereka.
Beberapa hari kemudian, sepucuk surat tiba lagi. Tepitepi amplopnya sedikit kecoklatan, seolah terbakar ketika me - masuki atmosfir bumi. Sekali lagi ia mendapati beberapa lembar surat berbahasa Jawa, serta secarik kertas tempel berisi permohonan yang sama. Mohon bantuanmu menyampaikan ini kepada Bapak. Kali itu ia bisa menangis. Sebab ia sendiri. Ia menangis sebab ia menerima surat dari kekasih yang telah mati. Meskipun surat itu bukan untuknya. Ia menangis sebab lelaki rahasianya masih hidup. Ia menangis sebab ia tak tahu apa arti semua ini.
Pada kali ketiga menerima surat serupa, ia tak hanya mendapati lembar-lembar kertas. Amplop ketiga berukuran besar. Dengan pelapis plastik udara. Di sana ada sebutir batu mulia. Sebutir yang pantas untuk cincin. Atau liontin. Kristal kwarsa berserat-serat putih kuning, dengan bintik hitam di tengahnya. Yasmin memutuskan untuk menemui satu orang pintar yang bisa membantu menjelaskan ini. Suhubudi namanya.
s uhubudi adalah seorang guru kebatinan. Bisik-bisik menga takan bahwa ia adalah satu dari beberapa tokoh spiritual yang kadang, atau setidaknya pernah, dimintai pendapat oleh RI-1. Orang-orang percaya bahwa Presiden tak hanya mencari informasi dari penasihat rasional, tetapi juga dari penimbang dunia gaib. Yasmin datang kepadanya karena dua sisi lelaki itu. Ia bisa mengharapkan terawangan batin. Ia juga boleh mendambakan informasi intelijen tentang para aktivis yang diculik. Ia bukan orang yang percaya klenik, tapi pada saat-saat seperti ini apapun jadilah.
Pesawatnya mendarat di Bandara Adisucipto yang sempit dan berbahaya. Hujan dan angin menggetarkan sayap-sayap dan hatinya. Dulu ia tak pernah setakut ini. Usianya kini tiga puluh tiga. Di batas pelabuhan ada sawah dan makam. Setelah cemas pertama lewat, ia rapikan dandanannya di kamar kecil bandara; rambutnya sedikit berantakan terkena percik air. Ia mengenakan celana kain dan atasan yang feminin. Sedikit gugup ia periksa tasnya, memastikan bahwa surat-surat serta sebutir
batu misterius itu masih aman di sana. Lalu Yasmin mengambil taksi resmi. Ia menyukai segala hal rapi dan sah. Ia ingin menjalani hidup yang beres dan legal. Penyelewengan dengan Saman adalah suatu perkecualian. Ia segera menyangkal kata itu: penyelewengan. Aku mencintai dia dengan cinta seorang perempuan pada lelaki yang luka.
Setengah jam kemudian taksinya tiba di tujuan. Gerbang itu serupa candi bentar yang kau temukan di Trowulan. Badai melontarkan lapis-lapis tirai air sehingga yang ada di balik gapura besar bata merah itu jadi sayup. Mereka menembus lorong yang dibentuk oleh runduk bambu-bambu raksasa. Ia merasa masuk ke dalam kerajaan Jawa masa silam. Adakah ini Mataram atau Majapahit atau negeri yang lebih purba. Ia menyangkal suatu rasa ganjil. Hujan deras, Nak, katanya. Lalu si kecil Samantha mengulangi kata hujan dengan lidahnya yang masih cedal dan suaranya yang murni.
Saman pernah di sini. Saman pernah bercerita tentang Padepokan Suhubudi. Ketika masih calon imam, pemuda itu datang dalam studi spiritualitas Jawa. Ketika itu namanya masih Wis. Frater Wisanggeni. Seorang pastor harus memahami dan menghargai kebatinan masyarakat tempat ia hidup. Saman selalu menyebut nama Suhubudi dengan takzim. Yasmin ingat itu. Ia ingat betul bagaimana Saman berkata: Orang Jawa punya spiritualitas yang sangat dalam. Suhubudi adalah modelnya. Saat itu Yasmin tak merasa faham dan tak peduli juga. Ia bukan dari keluarga Jawa. Ia anak kota besar pula. Ia tak begitu tahu apa itu spiritualitas. Baginya cukuplah ia punya agama; semua orang normal di Indonesia berlangganan agama.
Tapi di lorong ini ia seperti perlahan berganti dimensi. Apa yang dulu tak relevan samar-samar mulai bermakna. Jajaran bambu yang mengatupkan pepucuk itu bukan sekadar pohon peneduh. Mereka adalah sesuatu yang hidup, yang menya dari kehadiranmu melalui pori-pori tak terlihat. Mereka
adalah pemberi hidup bagi serangga tak kasat yang mendiami pelepahnya. Si kecil Samantha menunjuk-nunjuk dan Yasmin merasa pohon-pohon berkata bahwa di ujung lorong itu akan ada istana ataukah kota, ataukah desa yang dihuni para peri.
Jalan itu bermuara di sebuah perumahan, yang meng hidupkan lagi kota kuna Jawa. Bagi Yasmin, susunannya me nyerupai kompleks pura di Bali. Bangunan berwarna batu, bata, dan kekayu. Vila-vila limasan mengelilingi pusatnya, yang terbentuk dari beberapa joglo utama pada tanah berbukit. Bukan kemegahan, melainkan keasrian yang menghadirkan wibawa alam dan rasa angker. Beringin ki dan nyai berjaga di mataangin, disaput-saput hujan.
Yasmin berdebar. Ia raba kembali surat-surat dan batu misterius. Semua itu masih ada dalam amplop di dalam tasnya. Ah. Dulu Saman pernah di sini. Di ruang tamu, pria resepsionis yang ramah dan bersahaja memeriksa catatan pesanan. Lalu, lelaki itu menyodorkan kunci kamar dengan tangan kirinya, hal yang nyaris tak mungkin dilakukan oleh orang Jawa. Yasmin mendapat kunci dengan gantungan berbentuk Semar. Lelaki itu seperti mengedipkan suatu arti, lalu berkata bahwa Bapak bisa menerima dia setelah pukul delapan malam dan sebelum sembilan, seperti yang dijanjikan. Tapi, maaf, di wilayah jeron Ibu tahu peraturannya ya" Jeron berarti dalam.
Yasmin mengangguk. Di sana tidak boleh berbicara. Sama sekali tak boleh bicara"
Boleh konsultasinya dengan tulisan saja, Ibu. Tanpa suara. Nanti, kertas dan semuanya sudah disediakan di sana.
Pria itu menuliskan namanya dalam buku catatan dengan tangan kiri. Ketika itu Yasmin melihat bahwa lengan kanannya tidak memiliki telapak; tanggal di pergelangan. Apa yang terjadi; ia tak berani bertanya. Pria itu menambahkan, malam ini sedang tidak banyak tamu di padepokan. Tapi, barangkali
putra Bapak bisa ditemui di saat makan malam. Namanya Parang Jati.
Yasmin menyadari si kecil Samantha telah lepas dari gandengannya. Ia menolah-noleh dan menemukan anak itu di sebuah koridor.
Betul. Arah kamarnya memang ke sana, Ibu. Lelaki di meja tamu tersenyum sambil menunjuk dengan bujari, seperti yang biasa dilakukan orang Jawa. Hanya ia melakukannya dengan mengidal. Sayup-sayup sepertinya si resepsionis berkata: anak kecil, jika tak dihalangi, punya akses langsung pada pengetahuan. Tapi gaya bahasa demikian tidak pantas datang dari lelaki itu. Seperti ada suara lain. Yasmin mulai merasa, sesuatu sedang berbicara langsung ke dalam kepalanya. Ia berlari menyusul bocahnya. Samantha tersihir ke arah yang memanggil-manggil.
Tiba-tiba dari ujung koridor tampak satu ataukah sehelai sosok melaju, samar di balik sisa tirai hujan. Seorang pe rempuan berkebaya putih. Kain jaritnya pun putih. Rasa terkejut membuat Yasmin mengira melihat peri, ataukah siluman dari keraton Laut Selatan, yang tak pernah ia percaya. Mereka bertatapan. Perempuan itu tersenyum dan mengangguk dengan mata lembut, tak mengucap sepatah kata pun, lalu berlalu. Semua tanpa suara. Wajahnya ayu seorang ibu tanpa pulasan. Tapi ada sedih di matanya.
Barangkali kesedihan di dalam diri sendiri mengizinkan Yasmin menangkap kesedihan di mata perempuan lain dalam perjumpaan nan sekejap.
Saman pernah di sini. Dulu. Tiba-tiba ia tidak berhenti pada bayangan tentang kekasih. Detik itu, entah kenapa, ia membayangkan ibunda sang kekasih. Ia berkhayal bahwa baru saja ia melihat wanita yang melahirkan lelaki rahasia. Wanita yang melahirkan lagi beberapa anak rahasia yang tak terlihat. Saman pernah cerita, ya, tentang anak-anak yang tak tampak.
Seusai berkelindan, ia dan Saman berbaring-baring di ranjang dan lelaki itu berkisah tentang adik-adik rahasia. Tapi kamu kan anak tunggal" tukas Yasmin sambil meremas rambut lelakinya. Ia menyukai wajahnya yang sederhana. Saman mengusap kelopak mata perempuannya. Yasmin, percayakah kamu pada yang tak terlihat" Hmm. Seperti apa itu" Seperti, misalnya, cinta&
Ia ingin menjawab, siapa tak mau percaya cinta. Bisakah manusia hidup tanpa percaya cinta.
Ia merasa berada dalam lapis-lapis waktu yang bertumpuk. Siapa wanita itu.
Samantha menangis keras. Suaranya menarik Yasmin kembali dari sebuah pintu dunia lain. Dilihatnya anak itu telah terjatuh.
s unyi . Tak ada larangan, tetapi ia tahu di sini ketenangan lebih dihargai ketimbang percakapan. Ia merasa padepokan ini menyerupai rumah retret atau biara yang ia kenal. (Bukankah ia bertemu Saman pertama kali dalam suatu retret sekolah") Ke sana orang datang untuk berhening; mendengarkan batin dan suara-suara yang tak pernah datang dengan pengeras atau sebagai teriakan. Tapi, membayangkan konsultasi tertulis dengan orang yang ada di hadapan, itu sangat aneh. Bagaimana mungkin kau tak boleh bicara dengan orang yang ada di mukamu" Ia merasa Suhubudi sosok yang eksentrik. Yasmin tak terpikat spiritualitas. Ia suka sesuatu yang jelas dan ia bisa faham. Ia khawatir guru kebatinan ini bukan jenis yang ia mudah mengerti. Tapi Saman selalu menyebut nama itu dengan hormat. Dan ia percaya Saman. Ia ada di sini karena Saman. Ia menelan keraguannya pada Suhubudi; yang tersangkut di leher seperti duri.
Ruang makan itu lengang. Di tengah ada meja prasmanan.
Orang melayani diri sendiri. Tak ada daging merah tersedia dalam menu. Tapi hari itu ada telur dan ikan tawar mas, mujair yang agaknya dipanen dari lahan sendiri. Dalam hal makanan, Suhubudi bukan tipikal orang Jawa. Orang Jawa sangat menghargai daging yang mereka sebut sebagai iwak. Mereka hanya tak makan daging karena berhemat. Saman suka gudeg dengan ayam dan krecek. Apalagi ditambah kepala santan. Di padepokan ini gudeg tanpa gurih kaldu, berteman sayur kacang tolo sebagai ganti sayur rambak. Tentu ada tahu, tempe, dan sambal. Saman suka tempe bacem yang bagi Yasmin terlalu manis. Dimakan dengan ketan bakar, yang disebut juadah. Sambil minum kopi. Saman&
Ia duduk dan mulai menyuapi Samantha. Lalu seseorang masuk dan menyapa, Selamat sore, Ibu Yasmin" Pemuda itu tersenyum ramah dan memperkenalkan diri. Dalam sepi dan langut begini, lesung pipitnya sungguh bagus. Namanya Parang Jati.
Oh! Putranya Pak Suhubudi, ya"
Pemuda itu tidak mengangguk, hanya tersenyum usianya duapuluhan lalu berkata, Tidak mengganggu kalau saya duduk di sini"
Yasmin mempersilakan. Ia menyadari kesegaran pada bangun tubuh anak muda itu. Ia takjub bahwa usia duapuluhan itu telah usai bagi dirinya. Parang Jati menyapa Samantha, seolah tahu bahwa manusia harus selalu memberi perhatian pada yang paling lemah.
Saya kira di sini tidak boleh bicara, seperti di biara pertapaan" kata Yasmin.
Di sini boleh. Nanti, di wilayah jeron memang& Saya mengerti. Kami juga ada suster dan rahib pertapa yang sama sekali tidak bicara. Mereka hanya berdoa, bekerja, cocok tanam& Saya faham. Suara-suara dari luar membuat kita tuli untuk mendengar suara-suara dari dalam.
Ya. Kadang-kadang berguna juga tidak bicara sama sekali. Lalu Parang Jati menanyakan sesuatu yang sepele pada Samantha, sekadar membuat anak itu tidak merasa ditinggalkan. Tentu anak itu tidak betul-betul bisa menjawab.
Orang lebih suka bicara daripada mendengarkan, kata Yasmin sambil memandangi bagaimana anak muda itu mengajak malaikat kecilnya bercakap. Saman kecilnya.
Iya, Parang Jati beralih kepadanya. Meskipun itu artinya orang suka memberi daripada menerima& khusus dalam hal kata-kata. Hehe. Itu juga berarti orang lebih suka menerima daripada memberi& dalam hal perhatian.
Yasmin merasa kalimat itu memberi pembalikan yang menggelitik.
Kamu guru spiritual juga, Parang Jati"
Oh, tidak! Bukan. Saya& saya hampir tahun terakhir. Geologi ITB. Mereka bertatapan sejenak. Mereka berbincang sedikit tentang pendidikan. Bapak bilang& Bapak mau me mastikan bahwa ia tidak terlambat untuk bertemu Bu Yasmin.
Yasmin tersenyum kecut bahwa kini semua orang memanggil dia Ibu. Tapi ia memang bersama anak. Ia agak cemas bahwa tubuhnya bukan lagi yang dulu bersetubuh dengan Saman. Berubahkah ia" Bagaimana jika Saman melihatnya te lah berubah" Pinggangnya telah berparut jejak kehamilan. Tiba-tiba ia merasa gugup. Seolah kekasih akan menemukan ia tak secantik semula. Tiba-tiba ia merasa cemas. Sebab jikakah sang kekasih akan kembali.
Yasmin. Ia merasa mendengar namanya diucapkan tanpa Ibu . Suara siapakah itu. Yasmin. Suara siapa.
Ibu Yasmin" Y-ya" Kalau ada yang bisa saya bantu& semoga saya bisa bantu. Wajah Parang Jati menjadi jelas kembali. Yasmin mene mukan ketulusan yang bermagnet pada mata pemuda itu.
Ketulusan yang membaca dan membangunkan dukanya. Ia sudah terlampau lama menyimpan kesedihan dan harapan. Kini duka itu terangkat, dari dasar tempat ia mengendap.
Lalu Yasmin menangis. Ia tak bisa menahan ratap yang seketika menuntut. Ia memalingkan tubuhnya dari Samantha, menangkup wajah, mencoba agar tak pecah. Ia berusaha menelan tangisnya, tetapi itu membuatnya merasa tenggelam. Ia tak bisa bernafas. Air matamu masuk ke dalam dirimu sendiri dan membuatmu tercekik terbenam.
Samantha berhenti dari makannya, memandang kepada ibunya. Kau bisa melihat ketakutan merebut anak itu, dan ia meledak dalam air mata. Hal yang paling mengerikan bagi anak adalah mendapati ibunya menangis atau tidak bergerak lagi.
Parang Jati berpindah ke sebelah anak itu. Ia coba mengatakan bahwa, cup cup, ibumu memang sedang sedih, tapi tak apa, semua orang bisa sedih. Namun sia-sia. Samantha tak bisa ditawar dan anak itu kembali dalam pelukan mamanya. Pemandangan itu mengharukan Parang Jati: seorang ibu yang tersedak dalam tangis, dengan bocah melekat di dada, takut dan tak berdaya.
Yasmin mencoba berkata di antara sedak dan air mata: bagai mana, Parang Jati, bagaimana aku bisa bertemu dengan ayahmu dalam keadaan begini" Bagaimana aku bisa menahan suaraku" Bagaimana aku bisa bercakap tanpa bunyi" Bagaimana aku bisa meninggalkan bayiku yang cemas ini" (Bagaimana aku bisa mengakui dosa-dosaku dan membukakan harapanku")
Tak ada orang di ruangan itu selain mereka. Yasmin tak tahan untuk terus menutup diri. Ia bercerita pada Parang Jati seperti seorang yang membutuhkan pengampunan dosa dan penyelamatan. Kata-katanya barangkali tak jujur. Tapi kesedihannya telanjang. Ia datang sebab ia menerima surat dari sahabat yang mati, sahabat yang hilang. Tapi dari caranya berkata kau tahu bahwa itu bukan sekadar sahabat. Sekalipun sahabat itu pernah ke sini. Dahulu sekali. Siapakah yang mengi rim surat" Apakah ia masih hidup, dalam darah daging, seperti Kristus yang bangkit" Tapi di mana" Mengapa ia menyembunyikan alamatnya" Mengapa ia tidak menelepon atau menulis email" Mengapa ia tidak muncul saja. Mengapa ia memberi tanda yang nyata tetapi kehadiran yang maya"
Parang Jati memegang satu tangan Yasmin yang terjulur di meja, dengan ketulusan yang sama dengan yang ada di matanya. Lalu ia berkata, Ya. Tentu saya ingat dia. Ia beberapa kali ke sini. Frater Wisanggeni&
1981. Athanasius Wisanggeni namanya.
Frater, seorang suster tua yang masih bibinya pernah ber kata, ada masanya orang melayani kekasih, ataupun Tuhan, dalam romantisme. Waktu itu akan lewat, dan kita tak merasakan apa-apa lagi. Karena itu, nikmatilah rasa romantis itu selagi kamu muda. Lalu suster tua itu memberi tanda salib di dahi keponakannya.
Kata-kata itu demikian kuat. Seolah sebuah peringatan. Ataukah ancaman. Sekarang lelaki muda itu sedang merasa begitu romantis. Jantungnya memiliki api dan merasakan duri. Usianya pertengahan duapuluh. Ia adalah sebutir benih yang siap dilepaskan dari sebuah pohon, untuk bertumbuh di manapun ia diutus. Dua tahun lagi ia akan mengucapkan kaul kekal, yang ia nantikan dengan berdebar. Ia akan rebah pada lantai, mengecup ubin yang dingin, menyerahkan diri kepada Tuhan, dan penyerahan itu diterima oleh suatu komunitas purba yang memelihara misteri dari lelaki yang disalib. Ia pun
akan memanggul salib perutusannya. Dan lihatlah biji-biji mahoni yang diterbangkan angin itu; mereka membuat kitiran indah ke tempat jauh. Satu jatuh dekat kakinya.
Ia berdiri di muka gapura besar bata merah. Raut dan tubuhnya sederhana. Di balik gerbang itu ada jalan yang menurun lalu menanjak. Rumpun bambu raksasa berjajar di kedua sisi; pucuknya membentuk lengkung seperti lorong gereja barok. Sinar matahari jatuh dari celah-celahnya, bersusun-susun, menciptakan bentuk-bentuk ajaib dan lapis-lapis dimensi. Bau hutan menguar. Ia merasa Tuhan hadir, sebagai sang misteri dan yang menggetarkan.
Dan inilah salah satu perutusan pertamanya. Ia datang ke padepokan ini untuk memperkenalkan diri dengan rendah hati, sebab ia mau mempelajari spiritualitas pertanian yang dikembangkan Suhubudi. Selain studi filsafat dan teologinya, Wis belajar pertanian. Ia mendengar tentang guru kebatinan di selatan Yogyakarta yang menolak menanam benih padi pemerintah yang sangat produktif, bisa dipanen dalam tiga bulan. Sang guru justru menanam varietas purba yang dihi dupkannya dari bulir-bulir dalam kotak peripih di sumur sebuah candi kuna. Pemerintah memaksa petani menanam padi modern yang cepat berbuah, demi swasembada pangan. Tapi Suhubudi memilih padi purba yang lambat. Dan pilihan itu bukanlah politis, melainkan spiritual.
Wis melewati gapura besar bata merah. Ia merasakan energi yang baik, seperti datang bersama zat asam yang dihembushembus dedaun. Tapi, seraya berjalan, pelan-pelan ada rasa lain yang menyusup ke dalam dirinya. Semakin ia mendekat ke pusat, bau humus dan sejenis semak-semak meniupkan ingatan masa silam. Tentang hutan di masa kecilnya, yang dihuni bukan malaikat melainkan bangsa peri dan siluman. Ia berdebar dan sedikit meremang. Ia merasa sedang menempuh perjalanan menuju sebuah biara purba di mana ruh kebenaran
tersimpan secara rahasia, dalam bentuk lidah api; tapi untuk tiba ke sana, kini ia harus melalui suatu lapisan yang dihuni ruh-ruh jenis lain. Ruh yang tidak kudus. Roh yang fana, meski lebih purba lebih tua dari manusia. Langkahnya terasa berat. Ia teringat lapisan dengan sedikit oksigen menjelang puncak gunung. Seolah bangsa halus itu telah menghabiskan zat asam sebelum dia.
Ingatan masa silam meliputinya. Ataukah ia masuk ke irisan masa lampau. Lorong ini berdimensi. Hutan di masa kecilnya. Di baliknya ada mata air yang kemriciknya tak terdengar sebab peri dan mambang yang menjaganya tak mau sumber itu diketahui orang. Ke sana, ke antara kemerlap air, ibunya suka pergi. Ibuku yang cantik. Di sana, di kemilau percik, Ibu bermain dengan adik-adik rahasia, adik-adik yang tak pernah dilihatnya. Adik-adik yang datang dari ayah yang tak diketahui&
Dan sekarang ia melihat apa yang ia kerap lihat dalam mim pinya. Melalui sinar dari barat, kuning keemasan, yang me nembus renggang daun, sesosok perempuan berjalan tipis dan anggun. Ia begitu lembut bagai sehelai jiwa. Cahaya yang sama menembus tepi-tepi rambut dan kainnya, membinarkan garis tipis kemilau sepanjang siluetnya. Seolah makhluk itu datang dari kahyangan. Ia memakai kebaya putih, serta batik yang dican tingkan pada dasar putih. Wis tercekat. Ia tak terlalu siap dengan yang dilihatnya. Perempuan itu mengangguk lembut padanya sambil tersenyum dan menangkupkan tangan di dada.
Dengan gugup Wis membalas salam sembah itu. Sugeng siang, ia menyapa dalam bahasa Jawa. Selamat siang. Saya mau bertemu dengan Bapak Suhubudi.
Perempuan itu tidak bersuara. Ia hanya mengangguk lagi dan menunjuk dengan bujarinya ke arah bangunan terbesar yang tampak dari situ. Setelah itu ia mengatupkan tangan di dada lagi, lalu pergi. Perempuan itu tak mengucapkan sepatah
kata pun. Wajahnya ayu tanpa pulasan.
Wis bimbang tentang perjumpaan itu, tetapi ia tak punya pilihan selain mengikuti petunjuk perempuan tadi. Ia naik ke rumah limasan dan bertemu lelaki bersahaja di meja resepsionis. Wis datang tanpa menelepon. Lelaki penerima tamu melihat registrasi, lalu memberikan kunci kamar (gantungannya berbentuk Semar) sambil berkata bahwa ia akan mendaftarkan pemuda itu dalam jadwal pertemuan dengan Suhubudi. Jika Mas diterima di wilayah luar, berarti Mas bisa bercakap-cakap biasa dengan Bapak. Tapi, kalau Bapak menerima Mas di wilayah jeron, berarti komunikasi hanya bisa tertulis. Lelaki itu mencatat namanya seperti rutin pekerjaannya. Di jeron orang tak boleh bercakap dengan suara. Tiba-tiba Wis teringat wanita tanpa suara yang tadi ditemuinya. Kini ia merasa dua perkara itu berhubungan. Tapi nanti kertas dan bolpen telah disiapkan di sana. Bagaimana"
Lelaki resepsionis mengulangi kalimatnya. Lalu, se andainya Bapak Suhubudi belum bisa bertemu malam ini& nanti malam ada pertunjukan kecil. Masih latihan sebetulnya. Tapi, tamu padepokan dipersilakan kalau mau menonton. Kalimat itu datar tetapi nadanya memberi tanda bahwa pertunjukan itu adalah sesuatu yang istimewa.
Oh, tentu saya ingin menonton& Pertunjukan apa" Sendratari.
Sendratari apa" Ramayana&
Tepat pada saat itu seorang bocah enam tahun masuk ke sana. Ia memakai seragam sekolah dasar. Kemeja putih dan celana pendek merah. Anak lelaki kecil itu tidak memakai alas kaki. Sepatunya diikatkan pada tas, sepertinya baru bermain di lelumpuran. Si resepsionis protes: Bagaimana ini, Nak, kok sepatunya tidak dipakai"
Paklik, lihat. Aku nemu fosil Semar! kata anak itu. Dengan bersemangat ia mengosongkan satu kantong plastik berisi batubatu di atas meja. Matanya berbinar-binar. Ia mengambil satu keping batu akik dengan lapis-lapis kuning putih. Fosilnya ada di sini! katanya.
Eh, Jati. Kenalan dulu. Ada tamu. Ini Mas-nya mau bertemu ayahmu. Mas anu& siapa tadi"
Wisanggeni. Atau Wis saja.
Ini Parang Jati, putranya Bapak Suhubudi. Satu-satu nya. Frater Wisanggeni dan bocah Parang Jati kecil bersalaman. Yang muda memandang ke atas. Yang tinggi memandang ke bawah. Yang dewasa berwajah halus sahaja. Yang kanak-kanak bermata bidadari. Wis menggenggam tangan itu. Ia merasa ada yang lain di sana. Tangan itu terasa besar untuk tubuh sekecil itu. Anak itu tersenyum dengan lesung pipit yang bagus. Tibatiba Wis merasa terharu. Ia membayangkan dirinya di usia itu. Ia ingat kesedihannya di usia itu. Ibunya. Dan adik-adik rahasia&
Kamu kenal S-& Kamu kenal Frater Wisanggeni" kini Yasmin telah sedikit reda dari serangan tangis.
Parang Jati mengangguk. Matanya bidadari terperangkap di bumi.
M-menurutmu, apakah ia masih hidup"
Parang Jati menelan ludah, memandangi harapan di raut perempuan itu. Semua kemungkinan masih bisa terjadi& Bu Yasmin.
Yasmin. Ia seperti kembali mendengar namanya dipanggil tanpa Ibu .
Tapi, tentang itu ayah saya pasti lebih bisa menjawab, lanjut Parang Jati buru-buru.
Yasmin termangu. S-saya sendiri tidak boleh& saya tak punya& kemampuan untuk melihat. Parang Jati terbata. Angin berhembus, membelai rambutnya yang bergelombang, seolah membenarkan kebimbangan lelaki itu.
Kamu bisa bahasa Jawa" Yasmin tak menyerah. Ya.
Bisa kutunjukkan surat-surat itu. Yasmin meraih tasnya. Dan ada sebutir batu.
S-saya kira sebaiknya ditunjukkan lebih dulu kepada Bapak. Parang Jati cepat-cepat mencegah. Saya ini bukan orang yang bisa melihat.
Yasmin agak kecewa. Sebagai pengacara ia tak pernah mencegah klien menunjukkan dokumen, bahkan saat ia junior. Ia selalu merasa berhak memeriksa apapun yang disodorkan kepadanya. Bahkan yang junior akan membuat laporan kepada yang senior. Demikian pekerjaan diringkaskan. Tapi ini padepokan kebatinan Jawa. Berlaku hukum yang berbeda. Barangkali Parang Jati akan jadi lancang jika menerima pengaduannya. Ia terpaksa menghormati penolakan pemuda itu.
Parang Jati pun tahu ia mengecewakan si ibu muda. Begini, katanya, Nanti malam sebetulnya ada sedikit pertunjukan kecil. Tepatnya semacam latihan. Tapi akan ada penonton dari luar. Tamu-tamu padepokan boleh ikut melihat, jika berminat. Saya kira baru akan mulai setelah jadwal konsultasi Bapak selesai. Kalau Bu Yasmin tertarik, sangat dipersilakan. Kalimatnya datar, tetapi sesuatu pada nadanya menandakan bahwa pertunjukan itu akan istimewa.
Oh. Tentu saya ingin menonton. Latihan apa" Semacam sendratari.
Sendratari apa" Ramayana& R amayana . Sisa mendung menciptakan bayang-bayang terang yang aneh pada langit malam. Tanah masih basah oleh hujan. Pelataran diperciki kilap-kilap kecil, seperti danau. Sebidang layar dibentangkan di permukaannya, seperti perahu ganjil di raut air. Kain itu sangat besar untuk pertunjukan wayang kulit. Tapi ini memang sendratari manusia, bukan boneka.
Ia duduk di tempat yang telah disediakan, di muka layar. Oncor dan obor telah murub. Ramayana akan dimainkan, dalam bagian yang paling romantis. Mulai dari pembuangan Rama ke hutan Dandaka. Sita sang istri dan Laksmana sang adik memutuskan untuk menyertai. Ini adalah kisah tentang kesetiaan. Rama setia pada kata-kata. Sita pada suami. Laksmana pada saudara.
Tapi siapakah ia, sang penonton"
Seorang pemuda, seorang calon pastor yang akan segera mengucapkan kaul kekal, akan menyatukan dirinya pada Rama dalam hal setia pada janji. Atau pada Laksmana, dalam hal
tidak menyentuh perempuan yang ia cintai. Tapi seorang istri yang menginginkan lelaki lain akan bercermin pada Sita.
Sang penonton mengakui, Suhubudi sosok yang sangat unik. Lelaki itu menciptakan dunianya sendiri di padepokan ini. Suatu dunia mimpi, ataukah replika negeri yang hilang. Sunya di pusatnya: tempat orang puasa bersuara. Suhubudi menciptakan juga keseniannya sendiri. Seperti yang dipentaskan malam ini: sebuah perpaduan antara wayang kulit dan orang. Samarsamar penonton ini tahu bahwa mereka akan menyaksikan bayangan orang yang menari di balik layar itu. Jadi ini adalah pertunjukan wayang, bayangan, tetapi dengan manusia sebagai gantinya.
Seorang frater yang telah belajar filsafat Yunani akan teringat pada kisah goa Plato. Tentang orang-orang yang hidup tanpa terang matahari, yang menemukan kenyataan pada bayangan. Tapi kini sang frater jadi bersimpati pada orang-orang dalam goa yang menyedihkan itu, sebab dalam pertunjukan ini ia menemukan betapa menakjubkan kenyataan yang dibangun oleh bayang-bayang.
Suara gamelan menggantung di udara, seolah loncenglonceng yang sembunyi di lipat-lipat angin. Makhluk-makhluk yang kini muncul di layar itu mengingatkan ia pada wayang Bali, bukan wayang Jawa. Wayang Jawa bertubuh tipis dan runcing, tetapi bayangan-bayangan ini dempal dan berkaki pendek. Ia merasa memasuki dunia dongeng makhluk lain. Makhluk punakawan: Semar dan anak-anaknya serta segala abdi. Dengan kisah yang ia ketahui: Rama dan Sita. Setelah beberapa menit rasa ganjil, ia sepenuhnya masuk ke dalam estetika baru. Bukan estetika satria, melainkan estetika punakawan. Manusiamanusia buncit dan kerdil atau berkaki pengkor. Mereka tak lagi terasa buruk rupa.
Rasa itu agak menakjubkan. Rasa ketika kau beralih selera dan memahami sesuatu yang sebelumnya tak bisa kau fahami.
Kau tiba-tiba bisa merasakan keharuan pada sesuatu yang telah kau anggap tak sempurna. Ia pun menyapukan pandangannya pada penonton lain. Adakah mereka juga merasakan hal yang sama&
Samar-samar sang frater merasa melihat seorang perempuan. Duduk di tengah kerumunan, perempuan itu terserap pertunjukan. Seorang ibu muda, dengan bocah tertidur di dada; perempuan itu menangkupkan tangan pada kedua pipi. Ada duka di wajah perempuan itu. Mengapa duka itu berbicara kepadanya; Wisanggeni terpana. Tapi musik menyentak, adegan beralih, dan ada permainan api.
Yasmin membayangkan Sita yang diam-diam jatuh cinta kepada Laksmana. Ah, itu tema rahasia dalam cerita ini. Pada momen ini ia sudah lupa pada nilai-nilai keindahan yang mengagungkan tubuh semampai dan kaki panjang. Makhluk-makhluk kate itu menari sedemikian rupa sehingga ia merasa terharu. Ia pun melirik kepada para penonton lain. Adakah mereka juga merasakan hal yang sama. Samar-samar ia melihat seorang lelaki muda yang membuat jantungnya hampir berhenti. Bibirnya mengucapkan nama itu: Frater Wis. Sebab sosok samar itu sungguh mengingatkan ia pada Frater Wis yang menjadi pembimbing dalam retret sekolah. Seorang lelaki di tahun 1981. Tapi sekarang adalah tahun 1998. Musik menyentak, adegan beralih, dan ada permainan api. Dan barangkali itu adalah putra Suhubudi yang terselubung keremangan. Sungguh, darahnya tadi membeku.
Lihat. Sita lulus dari ujian pembakarannya. Ia dibakar untuk membuktikan kesuciannya. Ujian yang sangat tak adil dan tak bisa Yasmin fahami. Tapi bahkan rasa keadilan yang terganggu tak bisa membuat ia tidak trenyuh malam itu. Sita berkaki pendek itu menghidupkan rasa dalam segala geraknya: kesedihan dan kerinduan, ketidakberdayaan dan pergulatan.
Perasaan yang manusiawi sekaligus hewani. Pertunjukan selesai. Orang-orang bertepuk tangan riuh. Mereka pun ingin melihat langsung dan menyalami para penari.
Itu menjelma detik yang paling mengguncangkan bagi penonton. Mereka tetap di tempat duduk. Satu per satu penari tampil di muka layar untuk pertama kalinya. Lalu yang maya dan indah menjadi banal dan menakutkan. Tampaklah makhlukmakhluk yang tak pernah muncul di siang hari sebagai manusia wajar. Makhluk-makhluk deformasi. Hampir semua berkaki pendek, lurus ataupun melengkung. Kecuali sosok-sosok bongsor yang bermain sebagai raksasa. Wajah mereka tidak dewasa, melainkan ada pada usia ganjil yang mempertemukan kekanakan dan keuzuran sekaligus. Wajah-wajah tepi usia, ketika manusia baru mulai hidup atau nyaris mengakhirinya. Sang pemeran Rahwana adalah lelaki besar dengan kulit bersisik. Rama akan mengingatkanmu pada tuyul. Dan Sita. Sita yang mengharukan itu adalah seorang perempuan kerdil albino. Matanya memicing dan mulutnya meringis. Rambutnya betapa tipis.
Tepuk tangan semakin riuh, seolah masing-masing menyem bunyikan rasa bersalah. Yasmin menitikkan air mata dari segala rasa yang bercampur: haru, sedih, langut, ngeri, dan rasa berdosa karena di dalam hatinya menganggap makhlukmakhluk itu buruk rupa. Ia ikut berbaris untuk menyalami para artis. Sekalipun ia jeri. Matanya mencoba lari dari para penari, dan mencari-cari lelaki yang tadi mengingatkan dia pada Frater Wis: seorang calon imam muda seperti saat ia pertama kali melihatnya. Dulu. Saat ia masih SMP dan itu tahun 1981. Tapi Samantha terbangun dan pelan-pelan menjadi tegang melihat satu per satu penari itu dari dekat. Si Tuyul. Si Muka Celeng. Si Kerdil Pucat. Ketika Yasmin hampir menyelesaikan salutasinya, persis saat ia akan menyalami Rahwana, bocah
ke cil nya menangis keras. Samantha meraung dan menendang sebab ibunya tetap menyalami raksasa berkulit sisik. Mata bocah itu seperti merasa dikhianati.
Pertunjukan itu menyentuh sekali, Parang Jati. Tapi, siapa mereka"
Ibu Yasmin betul-betul suka, atau sebetulnya merasa terganggu"
Yasmin ragu sejenak. Tapi ia datang ke sini untuk mendapatkan jawaban yang sebenar-benarnya tentang kekasih rahasia. Ia harus jujur juga.
Pertunjukannya sangat sangat bagus. Bayang-bayang mereka sungguh menakjubkan. Apalagi yang digarap adalah ideal keindahan yang lain sama sekali. Itu luar biasa. T-tapi.. m-memang cukup mengguncangkan saat saya bertemu langsung dengan para penari&
Parang Jati menerawang. Mereka agak& sangat jauh dari keindahan. Semoga saya tidak menyinggung kamu, lanjut Yasmin. Samantha menangis. Dia belum pernah belajar apa-apa tentang kecantikan atau ketampanan. Saya tidak pernah mengajari dia rupa yang cantik dan yang jelek. Tapi dia betul-betul takut.
Parang Jati mengangguk faham, lalu menarik nafas panjang. Kita tidak tahu dari mana datangnya selera keindahan. Dan kenapa ada orang-orang yang sangat jauh dari sana. Ia terdiam sebentar. Ayahku sebetulnya sangat berambisi menciptakan pertunjukan yang membuktikan bahwa ada keindahan yang lain&
Ia berhasil. Ya, sahut Parang Jati. Tapi hanya dalam bayang-bayang. Yasmin terdiam. Tiba-tiba ia merasa sangat sedih.
Hanya orang-orang seperti Ibu Yasmin yang bisa mengerti. Hanya orang-orang yang datang ke sini yang bisa merasakan keindahan yang begitu tipis. Tapi di luar sana, pemuda itu menelan ludah seolah ada getir yang mencekat lehernya, di luar sana orang hanya bisa terhibur dengan menertawakan orang-orang cacat.
Kini Yasmin yang merasa tercekat. Tiga jam lalu dialah yang mengadu pada pemuda itu. Dia yang membuka perasaannya. Kini anak muda itu mulai membuka kerentanannya padanya. Yasmin mulai membaca titik-titik jejak luka di jiwa pemuda itu. Ia sendiri berduka karena kekasih yang hilang. Tapi Parang Jati bersedih karena ketidakadilan alam. Mereka terdiam.
Dalam momen-momen sunyi itu sebuah ingatan perlahan menampakkan diri. Tidakkah ia mengenal seorang gadis terbelakang mental, yang dirawat Saman di tengah perkebunan karet di suatu desa di Sumatra" Ia merasa mengenal, meski ia belum pernah bertemu dengannya. Siapakah namanya" Upi" Ya, Upi. Sosok anak itu hidup dalam kenangannya. Barangkali karena Saman kerap bercerita, dan ia pernah melihat fotonya. Seorang gadis dengan wajah seekor ikan. Matanya seolah menatap tanpa ingatan, dan mulutnya mencuatkan gigi-gerigi. Saman mengatakan dengan tak berdaya, tentang birahi gadis itu yang begitu jujur pada apapun. Kita semua memiliki birahi. Ayah-ibu kita memiliki birahi. Para rohaniwan memiliki birahi. Demikian juga dengan orang kerdil, orang deformasi, orang imbesil, atau yang berwajah ikan. Kenapa kita berdua hanya mengaitkan birahi dengan keindahan"
Siapa perempuan cantik itu, Parang Jati" tiba-tiba Yasmin melompat tema.
Yang mana" Yang pakai kebaya putih itu. Saya papasan dengannya tadi siang.
Itu& Oh. Itu istri Bapak. Itu& ibu saya.
Yasmin melihat satu dua garis raut perempuan itu ada pada Parang Jati. Tapi ia merasa pemuda itu menjawab dengan cara yang ganjil. Orang tidak biasa menjawab begitu tentang ibunya sendiri. Yasmin melihat perempuan itu bersama-sama para penari, berjalan menjauh.
Kalau boleh tahu, bagaimana konsultasi dengan Bapak tadi" suara Parang Jati memecahkan lamunannya lagi.
i tu adalah konsultasi pertamanya dengan seorang guru kebatinan. Yasmin merasa aneh bahwa ia bisa melakukannya. Ia, se orang pengacara, rasional, modern. Meminta nasihat dukun juga tak ada dalam ajaran agamanya. Tapi, ah, Suhubudi bukan dukun. Saman menghormatinya, bahkan ketika ia masih rohaniwan. Lagipula apa itu agama" Ia termenung. Pada tahuntahun terakhirnya, Saman pun telah meragukan agama. Lelaki itu bukan lagi Frater atau Pastor Wis. Lelaki itu telah mengganti namanya menjadi Saman.
Gong berbunyi. Tanda ia dipersilakan masuk. Ia berdebar, seperti memasuki ruang sidang untuk pertama kali. Ia takut mendengar vonis, tentang nasib kekasihnya, yang berbeda dari keinginannya. Ia bimbang. Ia tak ingin percaya, tapi adakah jalan lain. Ruang itu luas dan lengang. Lelaki itu tampak, bagai seorang hakim, duduk di balik sebuah meja besar. Di belakangnya ada sebuah gambar lebar: pola geometris yang melingkar. Sunyi mencekam dan menakjubkan. Sebuah tungku kecil berkaki logam menyala di samping meja, membuat
kesunyian di ruang itu bergerak-gerak dan hidup. Samantha telah dititipkan pada Parang Jati.
Lelaki itu tua dan elegan. Posturnya seorang suhu pesilat, yang menguasai rahasia pernafasan. Ia tersenyum anggun dan menangkupkan tangan setinggi mulut. Sebuah salam sembah. Sebuah tanda bertarak suara. Sebuah tanda hormat untuk ditiru. Yasmin balas melakukannya, dengan sedikit canggung. Suhubudi mengajak hening cipta sejenak, lalu mempersilakan Yasmin mengambil kertas dan pena yang tersedia di sana. Semua ia lakukan dengan gerak tubuh dan ekspresi mata.
Saya datang ke sini sebab saya mendapat surat dari sahabat yang telah dianggap mati dua tahun silam. Ia pernah ada di sini& Yasmin mulai menulis. Ia sodorkan tiga amplop yang tak bisa ia fahami. Jemarinya bergetar halus.
Suhubudi membaca pengantarnya, memandang padanya, membaca lagi, memandang ia lagi, membuka surat lalu tak memandangnya lagi. Lelaki itu larut dalam lembar-lembar kertas, seolah lupa pada tamunya. Ia bagai membaca kabar dari seorang sahabat lama. Yasmin berdebar. Suhubudi membuka surat terakhir, mengambil butir batu dari dalamnya dan, Yasmin yakin, bukaan mata lelaki itu membesar sejenak, seperti kamera bersensor yang mendeteksi sesuatu. Suhubudi mengangkat batu itu sedikit, ke arah cahaya, dan mengamati serat-seratnya. Batu itu tampak mengerling. Kristal kekuningan dengan sebentuk warna hitam seperti anak mata di pusatnya. Lelaki itu mengangguk.
Yasmin ingin bertanya ada apa, tapi ia tak boleh bersuara. Jangan-jangan ia akan kehilangan suaranya detik itu. Ia khawatir lelaki itu menemukan makna. Makna yang menakutkan. Ia sungguh gentar.
Suhubudi mengambil kertas, menulis kalimat pendek, dan menyodorkannya kepada Yasmin.
Kamu mengasihi Wisanggeni, Nak"
Yasmin menutupkan tangan ke wajah. Ia tak bisa menahan tangisnya lagi. Ia mengangguk sambil menahan suara. Ia ingin menjerit mengatakan bahwa bahkan ia tak tahu siapa ayah dari malaikat kecilnya. Ia tersengguk dan tersedak, dan tiba-tiba Suhubudi telah mengelus kepalanya dari belakangnya. Dengan air mata terurai, Yasmin mengambil kertas dan menulis dalam gemetar: Guru, apakah Wisanggeni masih hidup"
Suhubudi membiarkan perempuan itu menangis beberapa saat lagi, sampai sedikit reda.
Hidup dan mati, Nak, adalah milik Tuhan. Tapi apakah hidup" Apakah mati" Kita tak tahu betul batasnya. Karena itu aku tak berhak menjawabnya. Setidaknya sekarang. Tapi bebe rapa hal dapat kukatakan kepadamu. Kamu harus menye rahkan surat-surat kepada ayahnya. Tapi batu cincin ini jangan kamu berikan kepadanya. Simpanlah. Atau, jika kamu berkenan, sebaiknya simpanlah di sini. Lebih aman di sini. Aku akan bercerita tentang batu itu. Tidak di ruang ini, melainkan dengan suaraku...
Sesuatu terlepas dari langit-langit, lalu berkitar-kitaran dan terbang keluar lewat jendela. Seekor kelelawar yang mematai percakapan rahasia. Jangan cemas, sebab kelelawar lebih mendengar daripada melihat. Dan percakapan di ruangan itu melalui aksara. Tapi Suhubudi selalu membaca tanda-tanda. Ia mengajak Yasmin mengikuti dia: meletakkan kertas-kertas bertulisan ke tungku kecil yang sedari tadi menyala. Tungku yang sejak tadi membuat kesunyian jadi bergerak dan hidup. Betapa aneh, percakapan mereka pun mengerisut dan menjadi abu.
Padepokan Suhubudi terletak di sebuah wilayah yang utaranya dibatasi gunung-gunung gamping dengan tiang-tiang batuan vulkanik. Selatannya mengarah ke Segara Kidul. Dari
puncak tebing bebatu itu kau bisa melihat Merapi di atas dan samudra di bawah; gunung dan laut yang keramat. Di lipitlipit gegunung gamping tersimpan goa-goa, yang sebagiannya rahasia. Kelelawar tinggal di sana. Ribu-ribu, dalam kawanan, yang berpencaran ke pepohon dan rumah-rumah setiap malam.
Lalu lihat. Sesosok bayangan kecil melintas di jalan setapak. Jika kau percaya makhluk halus, kau yakin bahwa itu adalah tuyul. Seperti orang desa di sekitar padepokan suka percaya. Penduduk Sewugunung itu kebanyakan adalah petani, penderes nira, dan penambang batu kapur. Jika ada satu di antara mereka yang menjadi kaya, yang lain percaya bahwa orang itu memelihara tuyul. Tuyul itu berwujud anak kecil, yang tak akan besar. Tuyul tak pernah dewasa. Maka mereka bisa disuruh mengambil uang. Yang bisa melihat makhluk halus bisa melihatnya.
Bayangan makhluk kecil itu menelusup semak dan muncul kembali di setapak. Ia mendaki sedikit dan tiba di sebuah rumah dekat puncak bukit. Bangunan batu dengan ubin keramik licin pada lantai dan temboknya. Rumah yang paling mengi lap di seluruh desa. Memang kediaman kepala desa. Si makhluk menyelinap ke samping dan tiba di sisi belakang. Di sana ia mengetuk-ngetuk pintu buritan.
Daun pintu terkuak dan muncul seorang pria. Jika kau pecinta wayang, kau akan melihat Bilung pada sosok yang menyeruak itu. Lelaki itu pendek, meski normal. Tingginya sekitar seratus enam puluh senti. Perutnya buncit. Kelopak matanya berat tetapi bola matanya menyala. Seringainya lebih maju daripada hidungnya, seolah ia akan lebih dulu melahap daripada mengendus. Tapi jangan kau terburu menilai dari yang tampak.
Bos. Suara itu serak dan kecil, sekecil tubuh yang mengeluarkan suara itu. Lapor.
Tuyul! Apa kali ini" Batunya sudah datang. Apa"
Batu yang Bos tunggu-tunggu sudah datang. Lelaki Bilung segera menyuruh tamu ganjil itu masuk. Mata kesalnya berganti binar-binar. Pintu dan tirai pun ditutup.
i a dahulu ditemukan tanpa nama dan tanpa usia. Hitam dan demikian kecil, seperti seonggok tahi gajah. Kini tingginya pun tak sampai delapan puluh senti. Dalam gelap, kau lihat dahinya bertaruk. Semua orang memanggil dia Tuyul. Ia memiliki mata yang memantulkan ketidakadilan dunia.
Kini ia muncul lagi dari pintu belakang rumah Kepala Desa yang menyembunyikan rencana rahasia. Lalu ia melesat dalam lompat-lompat. Ia meniti lereng dan masuk ke dalam semaksemak di mana ada jalan potong menuju Padepokan Suhubudi. Ia masuk lewat gerbang belakang. Sebab di situlah, di belakang, ia tinggal. Ia berumah bersama para penari sendratari wayang Rama dan Sita: makhluk-makhluk cebol dan manusia-manusia aneh.
Di Padepokan Suhubudi ada suatu tempat yang tak pernah dikunjungi para tamu. Kecuali tamu yang sangat istimewa. Letaknya jauh di belakang, di ujung barat, tempat matahari tenggelam. Lokasinya rendah, seperti lembah. Perumahan itu baik dan sehat, hanya saja tersembunyi. Di sana Suhubudi
memelihara satu laskar manusia aneh, jika bukan manusia cacat. Laskar itu dinamai Klan Saduki, entah apa artinya. Ke - lompok ini berisi orang-orang yang biasa dibuang oleh masya rakat, atau digunakan untuk mengemis. Tapi tidak, penghuni kompleks buritan itu bukanlah manusia bertangan bun tung atau berkaki kutung. Mereka adalah sosok-sosok yang terlampau menakutkan sehingga para calo tidak mau mempekerjakan mereka sebagai peminta-minta. Orang takkan suka memberi pada makhluk-makhluk yang penampakannya begitu menyerang mata dan membuat engkau cemas pada penyakit menular. Kau khawatir perwujudan mereka akan mempengaruhi janin dalam kandungan. Kau akan menemukan perempuan dengan kulit bergelembung, manusia kadal, makhluk elephantiasis, lelaki dengan jemari bagai akar bakau, selain pasukan cebol.
Kini kau lihat. Sosok kecil itu masuk ke dalam jangkauan cahaya. Matanya berkilat terkena nyala lentera. Kau mungkin tak ingin percaya bahwa keburukan bisa datang bersama-sama. Sebab betapa tak adilnya. Tapi, ya, pada seringainya kau lihat keserakahan. Ia masuk ke rumah orang kate dan menutup pintu dengan membanting.
Seorang perempuan kerdil lain kulitnya putih dan wajahnya agak meringis jadi terkejut oleh debumnya. Rambut bening nan tipis terkipas oleh anginnya. Dialah yang tadi me merankan Sita. Dialah yang malam itu membuat Yasmin ter haru oleh keindahan yang ganjil bayang-bayangnya. Ia, yang malam itu membukakan mata Yasmin bahwa tubuh kate bisa meng - ungkapkan keindahan perasaan-perasaan terdalam. Ia sedang menyalakan dupa di sudut ruangan ketika lelaki Tuyul membanting pintu.
Ia menoleh pada si Tuyul. Habis kelayapan ke mana sih" Ah! Mau tahu saja! Perempuan cebol tak usah kau merindukan bulan. Si Tuyul berkata seolah dirinya sendiri tidak
termasuk golongan cebol. Perempuan kerdil berwarna putih itu diam. Lalu ia membalik punggung dan mendaraskan puja di hadapan bakaran dupa. Matanya setengah tertutup, dan bola matanya bergerakgerak seolah mencapai mimpi. Ia memanggil nama Syiwa, Wishnu, dan Brahma. Ia mengakhiri semuanya dengan nama Semar. Eyang Semar.
Di belakangnya si Tuyul pergi ke ruang lain sambil membanting pintu. Beberapa saat kemudian ia kembali, juga sambil membanting pintu. Debumnya seolah sengaja menyakiti orang lain, terutama yang sedang sembahyang. Kini si perempuan albino telah selesai dengan ritualnya. Ia menoleh lagi pada Tuyul.
Mas. Kamu kan tidak usah banting pintu& Hah!
Mas Tuyul... Aku Gatoloco! Tak usah berkotek-kotek, Ayam! Dari dulu juga aku selalu begitu. Pintunya tidak bisa nutup kalau tidak dibanting.
Jangan panggil aku begitu. Namaku bukan itu. Guru Suhubudi memberi aku nama Maya.
Tuyul terkekeh-kekeh dengan suaranya yang kering dan ringan. Ya itu karena MAYA dibalik jadi AYAM. Ia tertawa semakin keras, seolah baru saja melakukan penemuan jenius. Kamu sebenarnya adalah Ayam. Ayam terbalik. Karena kamu memang mirip ayam. Persisnya ayam yang sudah dibului. Lelaki cebol itu menutup dengan berkotek.
Perempuan itu, Maya, menelan ludah. Suhubudi tidak makan daging, tapi klan makhluk aneh diizinkan. Di kompleks buritan, mereka kadang menyembelih ayam. Perempuan itu tahu menyiapkan hewan. Saat-saat ia membului ayam dengan air mendidih, Tuyul suka berkata betapa mirip kulitnya dengan ayam mati itu: pucat dan merinding. Ia tidak suka cara lelaki
cebol itu mengatakannya. Tapi, diam-diam ia percaya bahwa sesungguhnya Tuyul menyukai kulitnya yang putih kemerahan. Apalagi si Tuyul itu kehitaman. Ia merasa di balik agresivitas Tuyul ada birahi. Ia perempuan. Sesuatu mengajari dia bahwa lelaki menunjukkan nafsunya dengan perilaku kasar. Birahi adalah sesuatu yang kasar. Dan bukankah dalam pertunjukan lain, yaitu sirkus Klan Saduki yang diadakan di luar padepokan, si Tuyul suka menampilkan atraksi memakan ayam mentah"
Ayam, kata Tuyul dengan sumbar. Sebentar lagi aku tidak tinggal di sini lagi.
Maya menoleh. Ia biasa mendengar bualan lelaki kerdil
itu. Sebentar lagi aku akan punya uang banyak. Aku mau pergi dari sini, jadi bos untuk diriku sendiri. Tapi, sesekali aku bisa datang untuk menari sebagai Rama bersama kamu, ia mencolek pipi perempuan itu dengan kegenitan yang mentah. Hei! Aku akan mengawini perempuan betulan& Perempuan betulan itu yang macam apa sih" Tuyul tertawa. Ya perempuan yang kakinya panjang. Bukan perempuan cebol kayak kamu.
Engkau mungkin heran bahwa si perempuan tidak membalas. Atau setidaknya mengatakan bahwa lelaki hitam kecil itu juga bagian dari laskar cebol. Tapi ia tidak dilatih demikian. Perempuan dilatih untuk menerima nilai, bukan untuk memberi nilai...
Tahukah engkau mengapa ia bisa menarikan Sita begitu indah" Semua yang menyaksikan berkata bahwa ia mengatasi tubuhnya. Jiwanya memancar sempurna, sehingga pemirsa abai pada kakinya yang pendek dan tangannya yang sedikit bengkok. Ia akan meninggalkan dirinya yang ia kenal dalam cermin. Tubuh fana dengan kulit kemerahan dan bulu-bulu
tipis itu ia tanggalkan. Ia terbang sebagai cahaya. Orang hanya melihat gerak bayang-bayang. Dalam pertunjukan malam Ramayana.
Ia bisa mencapai itu sebab dalam hidupnya ia telah meng - ambil sikap nrima. Ia tak lagi menggugat mengapa ia dilahirkan pucat dan bulat, seperti seekor biul goa. Lagipula ia wanita. Wanita ada dalam posisi menerima. Mereka menerima lamaran, menerima benih. Mereka tanah yang digarap. Dengan menerimalah mereka jadi mulia. Ia melantunkan wejangan tentang kewanitaan, dalam kidung atau macapat, seperti yang ia pelajari dari para sinden dan nayaga. Wanita itu wani ditata, berani ditata.
Maya tak pernah lagi keluar padepokan, semenjak ia dibawa ke sini suatu entah. Ia nrima. Ia bahagia. Pagi hari ia mem bersihkan rumah. Lalu pergi ke sawah untuk pekerjaan perempuan: menanam, menyiangi, menuai dan menampi. Ia me nyiapkan makanan, sesekali menyembelih ayam. Dengan ber debar ia menantikan malam, seperti seorang remaja menantikan saat-saat masturbasi.
Ketika remang telah tiba, itulah waktunya ia berganti rupa. Ia keluar, telah berbasuh dan menjelma Sita. Kemuliaannya akan memancar. Seorang dalang yang kerap datang pernah berkata bahwa kisah Rama digubah oleh pujangga Jawa; maka berbanggalah sebagai orang Jawa, bisa menganggit cerita adi. Tentang raja bijak Rama yang beristana di Ngayodhya (tentu itu adalah Nga-yodhya-karta). Dan istrinya yang suci lagi setia: Sita. Maya. Maya. Sita.
Ia keluar dengan berdebar-debar. Telah mulai ia tinggalkan dirinya yang buruk rupa. Kini ia adalah wanita utama. Rasa syur yang pertama pun menjalar lembut ketika ia melakukan gerakan sembah, sebab ia sedang menyerahkan diri kepada Sri Rama sang suami. Penyerahan terasa demikan ah; menjalar dari ujung jemari melintasi ketiak ke pucuk dada. Ia ingin
menyediakan dirinya sebagai alas kaki di siang hari, alas tidur di malam hari seperti ditembangkan para sinden dan nayaga.
Ia rasakan kenikmatan karena kepasrahan. Pengurbanan tubuh bagi sang maha seni. Rasa-rasa itu makin menguat menuju klimaks tarian: Pembakaran Sita. Ujian puncak seorang wanita adalah membuktikan kesucian. Begitu syur, begitu mendebarkan. Lihatlah, api telah murub. Sita berjalan mendaki pada anjungan. Ia harus melangkah anggun, namun ketakutan dan keindahan menggumpal di balik pusarnya sebagai benih ketegangan. Embun pun meleleh di tempat rahasia. Seluruh pori dan putiknya meremang, sebab sebentar lagi ia harus melompat kepada jilatan maut. Dan ketika ia telah menyediakan diri dilalap api, ketegangan yang semula ditahan tak bisa dikendalikan lagi. Ia meledak dalam tarian kejang. Lalu ia tersuruk, lunglai, sebelum bangkit lagi mengalahkan api. Wajahnya merona oleh puncak rasa yang ia lewati. Rasa syur wanita mulia. Wanita nrima.
Tiba-tiba Tuyul menepuk bokongnya. Sebelum Maya menyadari rasa terkejutnya, lelaki itu telah berkata: Bagaimana kalau aku mengawini kamu dulu, Yam"
Pipi Maya memerah. Tepukan pada bokong itu memberi nya rasa malu, kesal, senang, sekaligus ah, ia tak ingin mengakuinya nikmat. Kita tak tahu lagi dari mana datangnya, tetapi sesuatu mengajar perempuan untuk menolak rayuan tingkat awal. Dalam menghadapi rayuan, seorang perempuan mulia pertama-tama harus menolak. Gombal kamu, Mas! kata Maya sambil mengenyahkan tangan Tuyul dari bokongnya.
Si Tuyul malah memeluknya dari belakang. Ah! Kamu kan Sita. Kamu memang istriku. Aku adalah Rama.
Lepas tho! Kamu istimewa. Montok kayak anak kerbau bule dari
Keraton. Tuyul mengeratkan dekapan, menekankan perutnya, bawah perutnya, pada tulang belakang Maya.
Perempuan itu menggeliat kecil, seolah ingin melepaskan diri tetapi tidak. Katanya kamu mau mengawini perempuan betulan!
Mereka itu mau aku kawini di luar sana! Tapi, di sini kamu per maisuriku. Lagi pula, Sita kan tidak mata duitan. Sita kan berhati emas. Tidak perlu uang lagi... Sambil mengucapkannya Tuyul merogoh dan meremas ke sana kemari.
Maya pun kembali menjelma Sita. Sita ada untuk Rama. Ia ada untuk melayani lelaki itu. Seharusnya ia bersyukur jika pria itu hendak mencumbuinya. Sebab Rama kerap bersemadi, melakukan puja yang menjauhkan lelaki itu dari kenikmatan badani. Manakala lelaki itu jeda dari pujanya, lalu berhasrat menghampiri perempuannya, sudah selayaknya Sita berbahagia dan penuh terima kasih.
Mereka mengendap ke dalam kamar. Sebuah bilik dalam gubuk kecil di tengah hutan Dandaka, belantara tempat mereka harus mengembara. Rama diusir dari istana setelah satu dari tiga istri ayahnya menuntut agar putra mahkota diganti. Semula Rama hendak menjalani pembuangannya seorang diri. Tapi Sita istri yang setia dan penuh cinta. Ia mendampingi tuannya. Lalu mereka terdampar di gubuk kecil ini, milik seorang resi. Resi Suhubudi. Malam itu, di tengah kesyahduan alam nan asli, Sita membiarkan Rama memasukinya. Harum bunga cempaka meruap dalam jiwa, dan suara cengkerik menyamarkan erangan cinta. Meskipun, dari luar, jika kau melihat dengan mata materialismu, bukan mata hatimu, peristiwa itu akan tampak sebagai perbuatan cabul orang cebol.
Sesekali Maya membayangkan, dirinya adalah permaisuri; mes kipun lelakinya memiliki perempuan-perempuan jalang ber kaki panjang di luar sana, yang dibayar dengan uang. Lelaki boleh saja menikmati perempuan-perempuan maksiat.
Tetapi dirinya tetaplah sang wanita mulia. Bayangan tentang pengorbanan wanita mulia mengirimkan rasa syur ke pucuk dan relung dirinya.
Sementara itu mata Tuyul berputar-putar. Di antara hentakan-hentakan, dalam benak lelaki cebol itu melintas fantasi tentang setumpuk uang. Sebuah peti penuh uang kertas biru bergambar Presiden. Tadi, Pontiman Sutalip si kepala desa berwajah Bilung telah menjanjikan jumlah yang sangat menggiurkan bagi ukurannnya. Ia akan mendapat dua puluh lima juta jika berhasil menyerahkan batu akik siwalan istimewa. Jika Pontiman Sutalip terpaksa menyuruh orang lain untuk mengambil batu mustika itu, ia hanya akan mendapat uang info sebesar sepuluh juta. Besok atau lusa ia sudah akan jadi orang kaya. Liurnya mengalir, jatuh ke leher perempuannya.
Maya membayangkan Rama. Tapi, betulkah Rama akan ber cinta hingga ludahnya tercurah seperti seekor anjing" Sesung guhnya itu agak menjijikkan. Satu dua detik ia tidak percaya bahwa ia sedang melayani Rama. Tapi ia harus per caya bahwa yang sedang menyetubuhinya adalah Rama. Ia tak boleh mengeluh tentang liur yang mengaliri tubuhnya. Itu cair an suami dan tuannya sendiri. Ah, jika sang abang bercinta dengan cara begini, bagaimana dengan adiknya" Rama me miliki adik, yang juga setia. Dan bukankah sang adik juga menemani pembuangan mereka di hutan Dandaka ini. Laksmana namanya, yang berjaga di sekitar gubuk ini. Di sana, di luar rumah. Laksmana yang patuh dan penuh pengabdian. Akan kah Laksmana bercinta dengan ludah tumpah seperti abang nya" Tidak. Tampaknya tidak. Pasti tidak. Tak mungkin Laksmana seperti anjing& Yang terbayang di benaknya kini adalah Parang Jati&
P arang j ati memandang kepada malam. Ia seperti memiliki mata yang pernah mengetahui kemurnian namun telah kehilangan. Selalu ada sebuah titik untuk yang rahasia. Ia selalu siap untuk yang tak diketahui.
Seperti malam ini. Ayahnya, atau orang yang ia panggil Ayah, memberi ia perintah untuk berjaga-jaga. Tadi, seusai konsultasi bagi ibu muda itu, Suhubudi memanggil putranya dan berkata: Malam ini kamu jangan tidur, Nak. Amankanlah tamu kita itu, wanita yang membawa bocah kecil. Parang Jati mengangguk, Inggih. Kalau boleh tahu, apa kiranya yang harus saya waspadai" Suara Suhubudi menjadi lebih serius: Ada banyak yang saya ingin katakan pada ibu itu. Tapi ia sedang sangat rentan. Kamu tahu, Nak, ia membawa surat dari, hm, lelaki yang, hm& Parang jati mengangguk. Ia tahu bahwa Yasmin mengasihi lelaki itu, dan keduanya tampak punya asmara rahasia. Hm, Suhubudi melanjutkan, lelakinya pernah ke sini. Parang Jari mengangguk lagi, Frater Wisanggeni. Saya ingat. Suhubudi mengiyakan: Dalam surat itu ada sebuah batu
cincin. Batu itu& Suhubudi terdiam sebentar, seolah mencari kata yang tepat. & bermakna. Ya, batu itu bermakna.
Adakah yang tak bermakna di dunia ini" Tapi Parang Jati tidak mengucapkannya.
Batu itu bermakna dan ada yang ingin mencurinya. Demikian pesan Suhubudi. Tugas Parang Jati adalah mencegah itu terjadi. Setidaknya malam ini. Sebab aku dipanggil ke Jakarta malam ini juga, kata sang guru kebatinan. Tak ada waktu untuk menjelaskan semuanya. Maka, putranya harus menurut tanpa banyak tanya. Dan Parang Jati sudah biasa melakukannya. Ia selalu siap untuk sesuatu yang tidak diketahui.
Maya Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Betapa dia putra yang penurut. Tapi, apakah Parang Jati punya pilihan" Jika kau tahu bahwa kau adalah anak pungut, ditemukan dalam kardus atau keranjang dekat mata air; apakah kau punya pilihan untuk melawan orangtuamu" Ayah yang merawatmu itu tidak bertanggung jawab atas kehadiranmu di muka bumi. Bukan ia yang menyebabkan kamu ada di sini. Ia hanya merawatmu. Ia tak berhutang padamu. Tak ada orgas menya yang membuatmu terprucut ke dunia. Sebaliknya, kau adalah budak nasib sepenuhnya. Dalam suasana fatalistik pun, kau tak pernah bisa menggugat orangtuamu bahwa kau tak minta dilahirkan. Paling jauh, kau hanya bisa menggugat, kenapa ia mengambilmu dan tak membiarkan engkau mati waktu bayi. Itu pun sia-sia. Apakah Parang Jati punya pilihan selain jadi anak penurut"
Ia terlatih untuk sesuatu yang ia tidak tahu. Betapa aneh padepokan ini sesungguhnya. Penuh dengan makhlukmakhluk yang dipungut. Makhluk-makhluk yang tak berakar, dan Suhubudi memberi mereka akar&
Suhubudi berangkat. Tak ada pesawat lagi. Lelaki itu naik mobil bersama supir andalan, yang bisa membawanya dengan aman tiba di Jakarta sebelum subuh. Parang Jati tidak bertanya, tapi ia curiga ayahnya dipanggil ke Cendana yaitu kediaman
Presiden. Suhubudi pasti bukan satu-satunya, tetapi ia adalah salah satu guru kebatinan yang kadang didengar oleh RI-1. Siapakah yang bisa menolak Sang Jenderal" Tapi Suhubudi juga punya kepentingan untuk mencari informasi tentang kenalan lamanya, lelaki yang hilang itu. Lelaki yang mengirim surat. Frater Wisanggeni. Saman.
Maka Parang Jati memandang kepada malam. Ia tidak akan mengkhianati tugasnya. Tapi ia punya dua pilihan. Kau bisa menjaga sesuatu dari maling dengan berjelas-jelas seperti hansip. Kau berkitar-kitar di seputar objek, jika perlu mendentangkan tiang listrik, bagai memberi peringatan pada calon pencuri untuk membatalkan niat. Atau, kau mengawasi dalam sembunyi, dengan tujuan memergoki si pencoleng. Sebagai pemuda duapuluhan, ia lebih suka yang kedua. Lebih gagah. Kau menjaga sekaligus meringkus si biang kerok. Tapi, pilihan itu bukan tanpa risiko. Bukankah Suhubudi ingin agar sang tamu tidak tahu ada bahaya" Jika ia sampai harus berkelahi, Yasmin akan sadar bahwa padepokan ini tidak aman. Ah. Darah mudanya ingin mengambil risiko.
Tapi ia terlatih untuk menahan diri. Meskipun begitu, ia tak suka takut mengambil risiko. Ia pun mencoba mencari tanda. Suhubudi juga selalu mencari tanda-tanda. Misalnya, bahwa Yasmin mendapat kamar dengan gantungan kunci Semar. Itu adalah sebuah tanda. Suhubudi tak percaya ada kebetulan yang tidak bermakna. Tanda itu tak bisa dibaca sendiri, melainkan harus digabungkan dengan tanda-tanda lain.
Parang Jati memasukkan satu tangannya ia punya enam jari di setiapnya ke dalam baskom kaca yang ada di sana. Baskom itu berisi recehan. Siapapun boleh menaruh maupun mengambil uang logam untuk kenang-kenangan. Siapapun dipersilakan. Tamu padepokan berasal dari banyak negara. Kau bisa menemukan keping dari negeri lain dan itu menyenangkan. Parang Jati menjepit satu dengan jari manisnya yang berjumlah
dua. Satu yang teksturnya kasar. Ia periksa. Sekeping uang logam dari India. Dengan aksara nagari. Ia tak menemukan makna. Tapi baiklah. Ia putuskan untuk melempar keping itu. Jika keluar gambar, berarti ia akan berjaga sambil sembunyi untuk menangkap si maling jika memang muncul.
Ia lempar. Keluar gambar. Parang Jati menyeringai senang. Agak konyol sih, tapi tak apalah; katanya dalam hati. Ia kantongi koin itu.
Ia memandang kepada malam. Lentera di kebun dan koridor menyala seperti wajarnya. Bahkan penjaga meja resepsion tak boleh sampai tahu. Ia menempati kamar kosong, yang ia biarkan gelap, di sebelah ruang tidur Yasmin. Untuk melawan kantuk ia harus awas dan terus berpikir. Ia telah menaruh genta kecil di lantai, persis di depan pintu kamar Yasmin. Bulatan itu akan berbunyi jika ada yang membuka pintu. Sementara ini, ia mengawasi halaman, dari jendela.
Ini padepokan spiritual. Letaknya di Sewugunung. Di sana orang masih percaya takhayul dan tuyul-tuyul. Bukan tak mungkin ada usaha mencuri batu bermakna itu dengan ilmu hitam. Ayahnya mengajari ia beberapa hal. Tak banyak. Sebab Suhubudi menyimpulkan bahwa Parang Jati tidak terlalu berbakat dengan dunia gaib. Putranya lebih kuat dalam kepekaan rasa dan akal budi. Suhubudi melatih Parang Jati meditasi, puasa, tirakat, tapi pada akhirnya, katanya, kemurnian hati menentukan segalanya. Ada dua hal yang membuatmu kebal santet. Hati yang murni dan rasa humor. Ilmu hitam tak akan mengenai orang yang melihat dunia dengan lucu. Lebih mudah memiliki humor daripada hati murni. Tapi berusahalah agar hatimu murni.
Masalahnya, bagaimana jika Yasmin yang disirap" Orang yang sedang rentan, yang melihat dunia dengan sedih, serta
menyembunyikan sesuatu sangat mudah dipengaruhi gelombang-gelombang asing. Lihatlah Yasmin. Ia seperti telur yang retak. Begitu berat bebannya merahasiakan hubungan gelap. Barangkali saja malaikat kecilnya adalah benih cinta lelaki itu. Begitu besar kesedihannya kehilangan kekasih. Begitu gawat pula ketidakpastian yang ia hadapi manakala surat-surat misterius itu datang. Parang Jati juga pernah dengar, ada ilmu yang bisa menukar benda dari tempat yang berjauhan. Mereka menyebutnya dengan macam-macam nama. Ajian malih barang. Ilmu ijol-ijolan. Sejenak ia cemas. Sejenak kemudian akalnya membuat ia tenang kembali. Untuk hal-hal yang di luar rasio, biarlah Ayah yang memasang kuda-kuda. Perihal ilmu gaib yang dikerjakan dari jauh, biar Suhubudi yang menangkalnya. Itu bukan bagiannya. Tugas Parang Jati adalah mengamankan yang kasat.
Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang aneh. Tak jauh dari sana, sebatang pohon cempaka bergoyang kecil. Angin mati, tak ada tumbuhan lain yang bergerak. Parang Jati mempertajam intainya. Pokok cempaka itu kembali diam. Naluri pemuda itu mengatakan bahwa ada sesuatu di sana. Ayahnya benar. Ada yang mau mengambil mustika itu dari Yasmin. Semula ia tak begitu yakin bahwa upaya itu akan dilakukan malam ini juga. Seberapa berharga batu itu sesungguhnya. Siapa yang menginginkannya. Tapi ia tidak boleh memikirkan itu agar konsentrasinya tidak terganggu. Pada saat begini, ia harus menerima mentah-mentah wahyu sang ayah: batu itu bermakna dan ada yang ingin mencurinya.
Kini pepohonan tenang. Seolah-olah semua sedang mengintai. Ia hampir bosan tatkala tiba-tiba ia melihat ada gerakan baru di rerimbunan lain. Parang Jati meraih pentung yang telah ia siapkan. Ia lebih suka tongkat daripada benda tajam. Pisau atau golok hanya berguna untuk melukai. Pentung panjang lebih bisa melindungi atau mengusir tanpa harus
merobek lawan. Lalu sesosok bayangan muncul dan mengendap mendekat. Baru Parang Jati hendak membuka jendela, tiba-tiba sesosok wujud lain, bulat, menggelinding cepat, bagaikan bola, lalu menabrak bebayang yang pertama. Sesuatu yang bulat itu bergerak bagai anjing menggigit telinga musuh.
Parang Jati telah membuka jendela. Ia melompat keluar sambil menyorotkan senter besar ke arah dua makhluk yang bergumul. Keduanya terkejut, lalu saling melepaskan diri dan kabur ke dua arah yang berbeda. Yang satu setinggi manusia biasa. Yang satu kecil seperti kera. Parang Jati tak mungkin me ngejar. Tugasnya adalah mengamankan Yasmin. Bukan mengejar maling.
Ia ingin membangunkan Yasmin, memintanya memeriksa apakah batu akik itu masih ada. Tapi tamu ayahnya tidak boleh sampai tahu ada yang tidak beres. Ia menyorotkan senter sekali lagi, memberi tanda pada siapapun di sana bahwa ia menjaga tempat ini. Jadi jangan coba-coba lagi. Setelah itu ia terpaksa membangunkan penjaga di lobi dan memerintahkan orang itu untuk membangunkan beberapa pelayan untuk berjaga-jaga tanpa membikin keributan. Semua harus setenang malam agar tamu Guru Suhubudi tetap merasa damai.
Parang Jati merogoh sesuatu yang kini terasa mengganjal di kantong celananya. Ah. Koin yang bergeser letak lantaran ia melompat dan berlari tadi. Kini ia punya waktu untuk lebih mengamati lempeng logam itu. Keping uang India. Tetapi bukan Republik India. Melainkan India kuno. Angkanya nagari. Dan gambarnya seperti relief candi. Wahai, ini uang antik. Nilainya pasti tinggi sekali. Siapa dermawan yang menyumbangkannya ke baskom suvenir. Beruntunglah orang yang mengambilnya sebagai kenang-kenangan. Parang Jati memasukkannya kembali ke dalam saku celana.
b egitu y asmin munCul dari kamar pagi hari itu, Parang Jati langsung menyertainya. Mata perempuan itu agak sembab. Parang Jati bertanya apakah tamunya bisa tidur dengan nyaman dalam kamar yang sahaja. Penuh semangat perempuan itu menjawab: kesederhanan yang damai adalah kemewahan. Syukurlah jika Ibu Yasmin dan Samantha bisa istirahat. Yasmin tersenyum lebar: Kami tidur nyenyak. Aneh sekali. Padahal aku sedang gelisah.
Mereka sarapan bersama. Ayah saya pergi ke Jakarta tadi malam, setelah konsultasi. Ada yang mendesak. Ia titip Bu Yasmin pada saya& Yasmin tercenung sebentar.
Parang Jati melanjutkan, & misalnya, kalau Bu Yasmin mau menitipkan surat dan batu cincin itu kepada kami untuk sementara. Sesungguhnya ia ingin memastikan bahwa mustika itu masih ada. Setelah itu, ia ingin mengamankannya. Kamu kenal Wisanggeni, Jati" Kamu kenal dia" Ya. Frater Wisanggeni cukup sering ke sini dulu. Eh, saya
terus memanggil dia Frater meskipun kemudian dia sudah jadi pastor.
Setelah dia tak jadi pastor lagi, dia tak pernah ke sini" Rasanya tidak. Atau mungkin dia tidak bicara itu kepada saya. Parang Jati mencoba mengingat-ingat. Biasanya ia ngobrol tentang spiritualitas agraris, hm, spiritualitas pertanian. Itu saya kira ketertarikannya.
Yasmin mudah terbawa lamun. Kamu tetap tidak mau membaca surat-surat yang ia kirim kepadaku"
Tentu mau, Bu Yasmin. Asalkan setelah ayah saya. Parang Jati sudah menunggu-nunggu permintaan ini. Ia ingin memegang surat itu dan memeriksa adakah batu itu masih aman.
Ayahmu membacanya semalam& Yasmin mengeluarkan kantong yang menampung amplop-amplop itu. Ia bilang aku harus mengirimkan surat-surat ini kepada bapaknya Saman, hm, Wisanggeni. Sedangkan batunya&
Parang Jati segera mengecek batu itu. Masih ada. Ia sedikit lega.
Pak Suhubudi bilang, ia mau bercerita tentang batu itu. Apa ya kira-kira"
Persis pada saat itu sepasang tangan mendarat pada pundak Parang Jati. Keduanya menoleh kepada pemilik lengan itu.
Seorang lelaki India tersenyum lebar, menampakkan sebaris gigi yang putih dan rapi alami.
Good morning, Parang Jati! Salam-mat pagi, Madam! Parang Jati agak terganggu, tetapi ia segera jadi bersemangat melihat lelaki itu. Hai! Pak Vinod! What a surprise! Kapan datang"
Lelaki yang baru tiba itu bercerita bahwa ia menginap di Yogyakarta sejak kemarin malam, untuk suatu konferensi tentang Ramayana. Sebetulnya ia ingin langsung menginap di padepokan dan menemui sahabat-sahabatnya Suhubudi,
Parang Jati, dan seluruh keluarga besar tapi ia tiba dengan pesawat terakhir yang terlambat. Dan ia tidak memberi kabar sebelumnya. Sekarang, pagi-pagi ia langsung ke sini. Sebab ia sangat kangen. Orang-orang di Padepokan Suhubudi adalah famili keduanya di dunia ini.
Parang Jati memperkenalkan Yasmin kepada Vinod Saran dan sebaliknya. Ah, Jasmine! Jasmine dalam bahasa Indonesia adalah melati, bukan" Lalu ia memanggil Yasmin sebagai Melati. Lelaki itu seorang diplomat dan antropolog. Seperti umumnya orang India, ia banyak berbicara. Ia nyaris tidak berhenti jika bukan karena disela atau ia sendiri hendak bertanya. Percakapan serius Parang Jati dan Yasmin tentang batu mulia itu jadi terganggu.
Pak Vinod. Pak Vinod silakan ambil minum dan makanan dulu. Ayo kita sarapan bareng. Parang Jati mencoba mengusir lelaki itu sebentar saja, agar ia bisa menyelesaikan pesannya pada Yasmin. Sebagai orang Jawa, ia tidak bisa berterus terang dalam hal begini.
Sebetulnya saya sudah makan. Sang tamu bercerita sedikit tentang makanan di hotel; sebuah cerita yang ternyata panjang juga tentang pelayan baik hati yang memasukkan potongan beef ham ke dalam telur dadar sebagai cara untuk menghormati tamunya, padahal ia tidak makan daging sapi, tapi orang sederhana di Jawa tidak percaya ada orang tak makan daging sapi, sebab beberapa orang malah diam-diam makan anjing dan babi, mereka hanya tak ngaku; dan ia pun makan omelet itu sambil sembunyi-sembunyi menyisihkan daging agar tidak mengecewakan pelayan baik hati, dan di hotel itu ada kucing sebab ia sarapan di area terbuka dan akhirnya si kucing mendapatkan potongan daging. Lalu pelayan baik hati bilang bahwa kucing itu istimewa karena belangnya membentuk tulisan Arab, meskipun di sisi lain belangnya juga tampak sebagai lambang Omkara, dan di punggungnya ada tanda mirip
salib. Begitulah kita selalu mencari tanda-tanda. Tapi, baiklah, saya kira sekarang saya mau makan bubur kacang hijau di sini. Ia beranjak. Begitulah, ceritanya selalu sangat panjang.
Parang Jati melihat batu itu dengan tergesa-gesa, tapi tak sempat mengamatinya. Sejenis akik berwarna kuning atau oranye putih. Ia segera memasukkannya kembali ke dalam amplop, khawatir jika Vinod Saran kembali dan ikut mem bicarakan batu itu secara terbuka. Siapa bilang tidak ada matamata di sekitar mereka. Saya kira baik kalau Ibu Yasmin me nitipkannya kepada kami sampai Bapak pulang. Kalau dibawa-bawa, takut jatuh.
Vinod Saran yang periang sudah tiba lagi di meja mereka. Apakah Ibu Melati juga rutin ke padepokan ini" Yasmin menjawab agak tergagap.
Tiba-tiba Parang Jati teringat sesuatu. Dirogohnya saku celananya dan diperlihatkannya sekeping rupe itu kepada tamu yang baru datang. Keping yang tadi mengganjal celananya. Coba! Tanda apakah ini" Saya mengambilnya tanpa sengaja di baskom koin kenang-kenangan semalam. Lalu pagi ini Pak Vinod muncul.
Vinod Saran bersiul dan berdecak. Ini benda antik, Jati! Ini mahal sekali! Ini berasal dari sekitar abad ke-17! Siapa yang menaruhnya"
Tidak ada yang tahu. Mungkin seseorang yang bernadar untuk mengurbankan benda bermakna&
& sebagai tanda tentang orang yang mengambilnya, sambung Vinod Saran.
Yang mengambilnya adalah saya, kata Parang Jati dengan senang. Lalu Pak Vinod muncul. Itu sangat bermakna!
Tapi, untuk apa kamu mengambilnya" Kamu kan tuan rumah" Itu kan koin kenang-kenangan untuk pengunjung" Vinod Saran bermaksud menggodanya.
Parang Jati tak bisa mengakui alasan yang sesungguhnya.
Oh my God! Percaya tidak! Gambar koin ini adalah Rama, Sita, Laksmana, dan Hanuman! Vinod Saran berseru setelah mengamati koin itu. Koin ini bergambar Ramayana!
Padahal Pak Vinod datang untuk konferensi tentang Ramayana!
Mengagumkan! Tanda ada di mana-mana! Luar biasa bukan, Ibu Melati" Nah, hm, bubur kacang hijau ini enak sekali! Harum dengan cengkeh!
Parang Jati dan Yasmin bertatapan mata sekilas. Masingmasing dengan lamunannya.
Parang Jati, saya mau mengundang teater wayang orang Ramayana yang kalian punya itu ke India. Teater tari bayangbayang dengan penari-penari orang kecil-kecil itu. Luar biasa. Ibu Melati, apa Ibu telah sempat melihatnya"
Saya menontonnya semalam. Memang istimewa! Yang paling mengharukan saya adalah si Sita. Dia menari begitu menakjubkan.
Nah! Bagaimana Parang Jati" Kami akan ada seminar dan festival internasional Ramayana di Chennai. Akan ada pementasan Ramayana dari pelbagai versi di dunia. Saya mengusulkan teater dari padepokan ini untuk diundang. Wajib diundang. Sekarang, saya mau minta izin padamu.
Parang Jati terdiam. Jangan kamu bilang ayahmu yang berhak memberi izin. Ka mu kan putranya! Kalau kamu ya, Suhubudi-ji pasti ya juga.
Parang Jati menyeringai. Pasti seru sekali. Semoga ada waktu untuk mengurus paspor mereka. Pak Vinod tahu, tak semua mereka punya surat lahir dan kartu penduduk.
Betulkah" tiba-tiba Yasmin menyela dengan hati penuh. Ia seorang pengacara. Ia selalu sadar pentingnya dokumen.
Parang Jati bercerita bahwa sebagian besar anggota teater adalah orang ataupun anak yang dibuang. Ia tidak mengatakan
bahwa dirinya sendiri adalah bayi yang ditemukan di dekat mata air. Sebagian dari mereka malah tidak pernah keluar dari kompleks ini. Yang memerankan Sita, misalnya, ia tak pernah keluar dari perumahannya kecuali untuk menari& Aduh! Kasihan amat! jerit Yasmin.
Baiklah. Nanti kita bicarakan dengan Suhubudi-ji, ya! kata Vinod Saran.
Tapi Yasmin memikirkan perempuan itu, yang transparan dan berkaki pendek, yang bagai tak punya asal-usul, dan tak punya kartu identitas.
b agaimana mungkin di zaman ini manusia hidup tanpa kartu identitas" Tapi barangkali ia lupa bahwa ada makhluk-makhluk yang tak terbedakan dari siluman. Mereka ada di belakang mata, mengintai, seperti bebayang yang menyembunyikan wajah seram. Yasmin hanya mengingat Saman. Rautnya yang se derhana. Di bawah lengkung alisnya mata lelaki itu seolah ber kata: kau mungkin tak percaya, kau mungkin tak bisa faham.
Sekarang kesedihan membuatnya seperti pelan-pelan mengerti. Kesedihan telah mengantarnya ke sebuah dunia yang tak akan ia kunjungi jika tak berduka. Ia perlahan menerima realma yang berbeda: lelaki resepsionis yang tak memiliki telapak tangan kanan, perempuan cantik yang bisu, guru spiritual dan wilayah pantang bersuara, pemuda tampan yang ternyata berjari dua belas... mereka sepintas tampak normal, bahkan rupawan. Lalu, sekelompok laskar cebol dan monstermonster horor yang menarikan tarian mambang. Serta dunia yang pararel. Ada suatu pertahanan diri yang selapis-selapis luruh.
Jika ia membiarkan rasa-rasa melarutkannya, ia akan merambang. Kesadarannya butuh pegangan: Saman. Barangkali kenangan akan Saman. Tidak, bukan sekadar kenangan. Ia telah memasuki wilayah di mana orang tak boleh bersuara. Ia keluar dari sana dengan suatu rasa yang lebih terbuka ketimbang dari ruang pengakuan dosa. Suatu rasa persatuan. Jantung Saman berdebar di jantungnya. Seperti jantung Kristus yang membara dan merasakan duri. Denyut nadinya adalah denyut sang kekasih. Saman hidup dalam dirinya. Dia ada dalam dirinya: jantung mereka bersatu, mata dia sedikit di belakang matanya, tubuh dia sedikit menembus keluar punggungnya, laksana jubah yang menaungi. Yasmin tak pernah mengalami kesedihan dan kebahagiaan yang demikian senyawa.
Lalu ia rasakan: jantung Saman yang hidup dalam jantungnya melonjak melihat perempuan kerdil sepucat binatang goa. Ah. Inikah yang dirasakan Saman tatkala bertemu dengan seorang gadis berwajah ikan di suatu perkebunan karet ataukah tepi kota pengilangan minyak di Sumatera Selatan" Sosok yang tak memiliki rupa dan dipalingkan dunia. Terbelakang dan disingkirkan. Sosok yang membuat engkau meragukan keadilan; sekaligus membuat engkau mau mencintainya. Sosok yang mengubah hidupmu. Yasmin menyadari air matanya menggenang. Bukan hanya ia terharu pada perempuan cebol yang menari, tapi terutama sebab ia boleh mengalami perasaan Saman. Dulu ia mencicipi tubuh lelaki itu, kini ia merasakan jiwanya. Ia tak menyangka bisa demikian bersatu dengan kekasih. Air matanya menitik.
Suatu rasa ingin mencintai kini membimbing geraknya. Seperti Saman mencari di mana rumah perempuan imbesil itu, Yasmin melangkah sepanjang jalan setapak menuju perkampungan para kerdil. Ia merasakan dunia yang pararel.
Tadi lelaki tanpa telapak tangan kanan telah memberikan arah. Orang itu menunjuk-nunjuk dengan bujari kirinya. Ia
tinggal mengikuti. Ia tak bertemu dengan perempuan cantik bisu. Tempat ini dihuni begitu banyak rumpun bambu. Daunnya berdesir-desir dihembus angin, seperti berbisik-bisik; suarasuara lirih dari lapis-lapis waktu dan irisan ruang-ruang rahasia. Saman ingin memanusiakan gadis itu siapa namanya" Upi. Ia ingin memanusiakan gadis ini Maya, perempuan cebol yang menari. Bagaimana mungkin di zaman ini orang hidup tanpa dokumen" Ia mau memberinya kartu identitas, sebuah bukti kemanusiaan di alam modern.
Ia datang tanpa izin. Sebab memang tidak ada larangan. Tapi ia tidak tahu bahwa dari semua tamu padepokan, mungkin hanya satu yang pernah diajak Suhubudi berkunjung ke sana: Saman. Kesadarannya tak tahu itu, tapi barangkali perasaannya ataukah dunia pararel membimbing ia ke sana.
Ada suatu wilayah yang melandai ke bawah. Ia tahu ia akan turun ke seperti lembah. Di titik itu perasaannya berubah. Tibatiba ada jeri yang menyengatnya. Ia teringat satu cerita Alkitab nan purba. Tentang sebuah zaman ataukah ruang" sejak ribu tahun silam, ketika ataukah di mana" orang-orang kusta diasingkan. Orang-orang yang tak berbiji dan tak pantas berbuah diringkuskan ke tempat rendah. Mereka tak boleh tampak di jalan-jalan atau bersentuhan dengan manusia utuh. Sebab mereka menyerang kesempurnaan. Wujud mereka menentang ide tentang ciptaan sempurna. Mereka makhluk-makhluk yang menajiskan peradaban. Segala yang menyentuh dan melihat mereka akan terkena cemar. Cemar sebab menanggung pe ngetahuan tentang keburukan. Ada yang mengerisut di permukaan kulitnya. Tapi ia tahu Kristus mentahirkan yang najis. Dan Saman menghampiri Upi. Ia menguatkan diri masuk ke sebuah perkampungan manusia siluman.
Lingkaran rumah-rumah itu sama sekali tidak kumuh. Sahaja seperti sebuah desa yang tak berkekurangan. Memang tak ada joglo di sana, tapi ada satu pendopo beratap limasan.
Sisanya adalah rumah-rumah sederhana, dengan dinding separuh bata separuh gedek yang asri, beratap pelana dengan genting susun tak berikat. Jika kau melihat bangunannya, kau lega sebab itu sebuah desa yang sehat. Tapi ada bau yang tak biasa. Seperti bau hewan, yang hidup maupun yang mati. Barangkali karena di dekat kau berdiri ada kandang.
Yasmin ingin menarik nafas panjang, tapi bau itu me nyengat. Ia pun mengambil nafas pendek-pendek dan permukaan, seperti jika kau ingin menyedot hanya zat asam dan tidak gas ampas. Ia berjalan ke arah ada suara-suara. Meski suara-suara itu dalam bahasa yang tak ia mengerti. Sejenis bahasa Jawa, tapi pada lapisan yang ia tak faham. Apalagi ia bukan orang Jawa. Bau hewan. Seperti amis darah. Saman pun pernah mencium bau menyengat...
Yasmin tiba di sebuah pelataran batu ceper. Seperti sebuah perluasan dapur bersama. Inilah yang ia lihat; ia datang dari belakang: beberapa tubuh sedang memunggungi dia. Punukpunuk itu deformatif. Rambut-rambut tergelung ke atas, seperti pada orang yang sedang bekerja. Salah satu punggung itu berwarna pucat dan rambutnya helai-helai bening. Amis merambang.
Tahukah kau bahwa punggung leher memiliki mata perasa, yang bisa mengetahui manakala ada pengintai di belakang" Maka tubuh-tubuh itu membalik badan ke arah tamu yang datang. Mereka melihat Yasmin. Yasmin melihat mereka. Muka dengan muka. Ia merasa berhadapan dengan dunia yang ia tak faham. Akalnya tidak bisa mencerna apa yang ia lihat; sehingga ada semburat rasa ingin muntah, seperti jika tubuhmu mau mengeluarkan sesuatu yang perutmu tak sanggup memamah. Mual itu menimbulkan rasa berdosa. Sebab tak seharusnya ia merasa demikian pada makhluk Tuhan. Ia seperti mendengar suara Saman-kah": Dalam keadaan begini, akal tidak menyelamatkan. Hanya cinta yang menyelamatkan.
Hex Hall 4 Golok Bintang Tudjuh It Kiam Tjeng Tjhim Karya Chung Sin Pemburu Mahkota Dara 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama