Maya Karya Ayu Utami Bagian 2
Bahkan akal budi tak memberi pemahaman. Hanya kasih yang sanggup meliputi segala hal.
Seperti sebuah lukisan tentang neraka, wajah-wajah itu memandang kepadanya. Mata-mata yang tidak simetri, matamata yang berlebihan. Hidung-hidung yang dikalahkan oleh gigi-geligi, sehingga mereka tampak lebih ganjil dari binatang. Dan di antara mereka ada rupa dalam kulit bergelembung. Manakala punggung mereka berbalik, tersibak pula yang semula mereka tekuni. Pada lantai batu ada seekor ayam menggelepar. Ceker kuningnya masih terjepit di bawah telapak kaki pucat dempal. Lehernya baru saja disayat. Pisau dilepaskan dan tangan itu menahan kelejat terakhir sayap, sementara tangan yang lain membungkam pembuluh. Di sekitarnya ada beberapa ekor lagi yang telah terkulai. Leher mereka ditadahkan pada baskom, yang menampung genangan yang mancur atau tetes dari tebasan. Merah yang anyir. Wajah-wajah monsteriah. Genangan darah. Momen itu terasa beku.
Tapi ia telah memutuskan untuk mencintai. Seperti Saman telah mencintai. Cinta memberi ia kekuatan dan rasionalisasi: mengapa kau menganggap biadab pejagalan padahal kau mendoyani daging" Tidakkah dunia modern telah memisahkan engkau dari apa yang sesungguhnya terjadi demi yang kau santap penuh kenikmatan untuk menunjang kehidupanmu" Sebelum ayam goreng kriuk yang gurih dan bertabur kremes, inilah yang terjadi: penyembelihan. Darah yang ditumpahkan, bagimu. Tapi sejauh-jauhnya kau kini hanya tahu daging yang telah bersih dalam putih stereofom dan bening plastik di supermarket. Apa yang Yasmin lihat kini itulah yang disembunyikan peradaban.
Yasmin mengucapkan salam yang ia bisa. Orang-orang itu terkejut, seperti bangsa kusta yang cemas akan nasib tamunya. Mata mereka seperti berkata: jangan engkau ke sini, di sini tak ada apapun selain kutuk dan keburukan.
Raden Ayu, kenapa datang ke sini"
Dalam gugupnya Yasmin menjawab bahwa ia ingin berterima kasih dan berkenalan dengan para penari yang telah memberinya keharuan. Dan ia langsung menyebut Maya sebagai penari favoritnya. Perlahan-lahan satu per satu penyembelih kembali ke pekerjaannya. Sosok berkulit gelembung pergi sambil membawa baskom penuh darah samar-samar Yasmin tahu cairan kental itu akan diolah menjadi saren, puding darah. Sesosok wanita raksasa nan poleng dan berambut di sana-sini datang kembali dengan seember air mendidih. Perempuan besar itu meletakkan ember yang mengepul di hadapan Maya. Tak lama kemudian, hanya ada Yasmin dan perempuan kerdil putih itu di pelataran.
Maya mencelupkan ayam mati ke dalam air mendidih. Bau menyengat bersama bayangan tentang jeritan kulit. Lalu ia mengangkatnya lagi dan mulai mencabuti bulu-bulu.
Yasmin sesungguhnya canggung sebab ia tak pernah mela ku kan pekerjaan itu. Ia hanya tahu membeli daging dalam kemasan klinis di supermarket. Hendak masak apa" ia bertanya.
Mau masak opor. Oh! Untuk padepokan" Maya menggeleng.
Ndoro-ndoro tidak makan iwak. Untuk makan kami sendiri.
Para terhormat tidak makan daging. Yasmin baru ingat bahwa Suhubudi vegetarian. Tak ada menu daging di padepokan itu. Tapi, Suhubudi membiarkan makhluk-makhluk ini melanjutkan jejak binatang buas, seperti kasta yang rendah. Yasmin bergidik menyadari bahwa, dalam hal makanan, ia satu klan dengan laskar kerdil serta bangsa monster.
Maya bertanya apakah Yasmin juga tidak makan daging, seperti Suhubudi dan Parang Jati. Yasmin menjawab, ia makan daging (tapi sekarang dalam hatinya ia ingin berhenti menjadi
karnivora). Dengan polos Maya berkata bahwa, kalau begitu Yasmin juga biasa menyembelih dan membului ayam" Yasmin menjawab, ia biasanya membeli daging potongan.
T-tapi, boleh saya mencoba ikut membului" Yasmin memberanikan diri.
Maya memberikan ayam yang dipegangnya kepada Yasmin. Dengan menahan ngeri, Yasmin mencoba menirukannya. Amis ayam seperti tangan-tangan menyeruak dari air panas, hendak menjamahnya, setiap kali hewan mati itu dicelupkan. Tubuh unggas itu pucat kemerahan, jejak lubang-lubang bulunya membentuk rinding. Ia melihat betapa kulit itu sangat mirip dengan kulit sang penari cebol yang kini ada di sebelahnya. Ia mencoba membuang pandangan itu. Ia ingin mengenang Maya sebagai jiwa yang mengatasi tubuh. Jiwa yang membuat raga menari dalam keharuan. Tak lama kemudian, mereka saling tertawa. Yasmin bahagia bahwa ia telah mengatasi ketakutan dan kini bisa belajar sesuatu dari perempuan kerdil sederhana. Pelan-pelan ia melihat, Maya tidak buruk seperti pada pandangan pertama. Perempuan itu memiliki jiwa yang manis dan rentan. Inikah yang dirasakan Saman ketika mulai mengenal Upi...
Perempuan cebol itu pun terharu. Ia tak pernah merasa begitu berharga selain ketika menari. Dalam tari, ia melambung dan menjadi mulia sebagai Sita. Setelah itu ia jatuh ke tanah lagi. Di tanah, sesekali ada yang membuat ia berharga, namun juga dengan rasa terpuruk setelahnya yang ia coba sangkal. Ia akan merona setiap kali si Tuyul menunjukkan ketegangan. Pentung yang mengacung itu menunjuk pada benda yang menimbulkan hasrat. Dan benda yang menimbulkan hasrat adalah benda yang berharga. Dengan demikian, ia berharga. Sebab ia membangkitkan hasrat. Tapi pentung itu tak pernah
menunjuk terlalu lama. Setelahnya ada rasa dicampakkan dan sisa liur yang ia ingin bilas segera. Tapi ia selalu kembali merindukan itu: pengakuan bahwa ia benda berharga. Lalu ia ingin malam segera datang dan ia menari.
Kini di sampingnya ada manusia cantik yang anehnya membuat ia merasa tinggi, sekalipun perempuan itu berkaki panjang. Sebab perempuan itu belajar padanya. Membubuti bulu ayam. Ia mengira hanya orang buruk rupa yang makan daging. Hal itu tak pernah diucapkan, tapi tanpa kata-kata ia tahu: di kompleks utama padepokan tidak ada orang memakan daging. Hanya keturunan siluman yang menyembelih hewan. Ia takjub bahwa perempuan berkaki panjang itu juga ternyata seagama dengannya dalam hal makanan. Itu membuatnya bahagia. Sekarang, perempuan itu juga belajar padanya.
Yasmin bertanya tentang asal-usul dan surat identitasnya, tapi Maya sama sekali tidak memahami pertanyaan-pertanyaan itu. Ia asyik dengan apa yang ia pikirkan sendiri: tentang tamu terhormat yang ikut membului ayam bersama dia.
Belum pernah ia duduk sebegitu dekat dan intim, berdua, dengan manusia berkaki panjang. Aneh rasanya melihat kecantikan begitu dekat dan begitu nyata. Kulit itu sungguh berwarna langsat yang mulus. Rambutnya setebal ijuk namun lembut seperti satin, begitu mengundang untuk dipegang. Hidungnya mancung. Semua giginya tersimpan rapi di dalam bibir; tak ada satu pun yang mencuat. Lengannya, yang kini belajar membului ayam, dan tungkainya yang menahan sungguh ramping dan sempurna. Kaki-kaki itu begitu panjang, sehingga jika dilipat pun masih lebih panjang dari kaki orang kerdil. Seperti tiangtiang pendopo yang diraut demikian halus dan diminyaki sehingga telapakmu pasti senang mengusapnya dan hidungmu ingin mengendus-endus. Bagaimana mungkin ada manusia diciptakan demikian indah"
Ia merasa Limbuk yang melihat Drupadi, atau bahkan Sita.
Di titik itu tiba-tiba ada sebersit sedih, bahwa jika Dewi Sita boleh memilih raga, wanita mulia itu akan memilih perempuan kaki panjang ini dan bukan dia. Dia hanya akan tergeser untuk memerankan punakawan. Selalu begitu. Setiap kali. Ia melambung dan ada rasa syur seperti jika tubuhmu sungguh melambung lalu ia jatuh kembali ke tanah. Semua hal yang indah akan mengembalikan ia pada keburukan. Segala kekayaan yang ia lihat di dunia mengembalikan ia pada kemiskinan yang ia punya.
Kini muram menguasai dia. Rasa terbenam kembali ke dalam tanah. Tiba-tiba tangannya berhenti bekerja. Ia terseret lamunan kosong. Kehampaan yang menyelamatkan ia dari dunia yang tak adil. Pada saat demikian, ada yang kerap datang menyelamatkannya. Seorang eyang terasa hadir mengelus punggungnya. Seorang simbah yang tidak harus kakung atau putri, tidak harus di sini atau di sana. Ia tua dan tak memiliki rupa; perutnya buncit dan kakinya pendek. Ia dewa tapi ia pelayan. Ialah danyang penjaga nusantara, yang bisa berkata tanpa kata-kata: bahwa setiap makhluk memiliki tujuan pengabdian. Kau bisa mengabdi kejahatan atau kebaikan, tapi pada dasarnya setiap makhluk adalah abdi. Tapi sebaiknya kau mengabdi kebaikan. Seperti aku, sang eyang, mengabdi kebaikan. Jangan terlalu lama bersedih tentang kaki cebol dan wajah jelekmu. Sebab aku, sang eyang, juga cebol dan jelek. Janganlah kekerdilan membuat kamu memilih mengabdi pada kejahatan. Sebab dalam kekerdilan aku, sang eyang, bisa luhur dan mulia.
Maya menghela nafas, membuang kesedihan. Eyang itu selalu ia sebut dalam tiap sembahyangnya. Eyang Semar.
P arang j ati memandang kepada dua perempuan. Apa yang bisa kau katakan tentang keduanya" Kenyataan aneh yang tak enak, yang ia alami sendiri di padepokan. Suatu kontras. Perempuan yang satu mendapat segalanya ketika lahir ke dunia: ayah-ibu, kecantikan, kecerdasan, jaminan kartu identitas. Perempuan yang lain dirampas segalanya manakala terperosok ke dunia. Ia tak memiliki ayah dan ibu, wajah rupawan tak ada padanya, tak seorang pun menaruh benih pengetahuan pada waktunya (dan kini waktu itu telah lewat seperti musim yang disia-siakan); tak siapapun menjamin kartu identitasnya. Ada rasa sakit yang tak manusia mau akui dalam hubungan seperti itu. Parang Jati mengetahuinya sendiri (sebab, tidakkah itu pula hubungan antara dia dan si Tuyul di padepokan ini").
Parang Jati menarik nafas dalam-dalam dan menghem buskannya pelan-pelan, seolah ia sedang mengatur sistem tubuhnya. Ia punya banyak tugas: menjaga tamu ayahnya, memastikan bahwa batu mulia dari lelaki yang hilang itu itu tidak ikut hilang, menemukan rahasia tentang siapa yang ingin mencuri
dan kenapa, menanti jawaban tentang di mana Wisanggeni atau Saman; dan menanggung semua kegelisahan itu dari tamu ayahnya.... Kini Yasmin ingin berbuat baik kepada Sita-daribangsa-cebol. Bagaimana mungkin di zaman ini manusia bisa hidup tanpa kartu identitas" kata si wanita. Tamu ayahnya itu memastikan untuk mengurus surat identitas Maya dan para pemain sendratari. Agar rombongan itu bisa pelesir ke luar negeri untuk festival Ramayana dunia.
Dan hari ini, Parang Jati, kenapa tidak kita ajak Maya jalan-jalan melihat candi Lara Jonggrang" Seperti yang ditawarkan Pak Vinod, ia mau menceritakan perbedaan versi India dan Indonesia. Kasihan sekali Maya tidak pernah melihat dunia. Barangkali malamnya ada sendratari Ramayana juga di sana" Bagus untuk perbandingan! Pasti akan jadi pengalaman berharga buat Maya. Yasmin mengajukan itu di hadapan Vinod Saran, yang segera menyambut. Lelaki itu masih senang memanggil Yasmin Ibu Melati. Jika Parang Jati menolaknya, ia akan tampak bagai seorang tiran.
Tak lama kemudian mereka telah berada dalam kendaraan. Sepanjang jalan Yasmin dan Vinod Saran ramai bertukar pikiran: sesekali menjelaskan ini-itu kepada Maya. Percakapan cerdas itu menyelamatkan Yasmin dari momen-momen sedih kehilangan kekasih. Tapi Parang Jati tahu Maya hampir tak mengucapkan satu patah kata pun. Kita tak tahu apakah ia bersyukur atau tidak tentang pengetahuan yang melintas-lintas di antara Yasmin dan Vinod Saran. Barangkali Maya tidak merasa bersyukur. Mungkin ia justru menjadi terasing.
Parang Jati memarkir mobil di pelataran kendaraan di kompleks candi Prambanan-Sewu. Dari kejauhan Maya mulai menyaksikan: ketiga bangunan batu hitam itu telah menjulang anggun. Mengapa sesuatu yang menjulang tampak anggun dan agung" Mengapa yang cebol tidak demikian"
Silakan! kata Parang Jati, dan ketiga penumpang turun dari mobil. Dua yang jangkung telah biasa melanglang buana.
Tapi bagi satu yang kerdil, ini kali pertama ia menapak ke luar padepokan. Matahari menyengat, mau membutakan matanya. Ia seperti makhluk goa, bening tak berwarna, yang pertama kali melihat dunia luar. Dalam goanya, ia hidup bersama sesama makhluk-makhluk yang tak diterima oleh dunia sebab terlalu tak punya rupa. Bajul, tobil, tuyul, jenglot, mambang, gendruwo, siluman. Dalam keteduhan dan bebayang, ia yang cebol biasa bersenda-gurau dengan si raksasa berkulit bintil. Ia yang albino selalu memasak bersama perempuan yang tubuhnya penuh tompel hitam. Dan ia ingat si Tuyul bermata merah yang mencampurkan birahi dan cemooh ke dalam cairan tubuh yang menjijikkan sekaligus menggairahkan. Semua dalam keremangan yang menyihir kejelasan jadi permainan makna-ganda.
Tapi di sini panas terik. Bayang-bayang dikalahkan oleh kebenaran matahari. Keganjilannya menjadi jelas. Tak ada yang ambigu: orang-orang memandang dia dengan mata geli atau merendahkan.
Mereka berjalan melalui deretan kios cinderamata. Ia men dengar para pedagang berceteluk. Ono bule cebol. Koyo genjik. Ada orang putih kerdil. Seperti anak babi. Celoteh itu berlanjut sepanjang gang. Mereka mengira ia tidak mengerti. Parang Jati menoleh pada seorang dari penjaja dan berkata dalam bahasa halus bahwa rombongan ini dari Jawa dan bisa berbahasa Jawa. Orang-orang bukan meminta maaf melainkan cengengesan karena menyadari kesalahan. Orang Jawa lebih suka tertawa daripada minta maaf.
Parang Jati membayar karcis masuk. Pemuda itu harus menjelaskan bahwa yang berkulit putih itu bukan orang bule, sehingga tidak perlu membayar harga turis asing. Malah yang harus bayar harga tinggi adalah pria yang berkulit gelap itu,
pemegang paspor India. Tapi tak ada kartu identitas bagi Maya yang bisa ditunjukkan.
Si penjaga memandang sebelah mata, lalu iseng menguji, Bisa bahasa Jawa atau Indonesia, mbak-nya"
Rasa tak nyaman menyergap Maya, sebelum akhirnya ia menjawab, Saget. Bisa.
Bisa nyanyi Indonesia Raya"
Maya terkesiap. Ia tak bisa menyanyikan itu. Ia bukan orang sekolah. Ia menjadi sangat gugup.
Parang Jati mencairkan suasana, Bisa nembang malah. Macapatan&
Masa" Coba" Meski ragu, Maya menyanyi. Ia menembang dengan terpaksa. Ana kidung, rumeksa ing wengi. Tak pernah ia merasa asing seperti sekarang. Selama ini ia bernyanyi karena cinta, bukan untuk diperiksa. Si penjaga mengagumi suaranya dan mempersilakan mereka masuk sambil berkata jahil. Gudel bule bersuara kutilang. Parang Jati ingin memarahi penjaga kios dan semua pedagang, tapi itu pun hanya akan merusak suasana.
Ada sebongkah arca tua yang telah lapuk, di tepi lapangan. Pahatannya telah tak tajam sehingga kau hanya akan melihat sosoknya samar. Tapi Maya mengenali bentuk itu. Itu adalah Eyang Semar. Perutnya buncit dan jaritnya menyungging di belakang.
Ki Lurah Semar adalah leluhur kita demikian Suhubudi berkata. Leluhur yang tak pernah mati; selalu menyertai. Ia tercipta dari telur cahaya. Alkisah dalam Kitab Manikmaya, telur itu terpecah menjadi tiga. Yang pertama menjadi langit dan bumi. Laksana kelir dan gadebog dalam pagelaran wayang. Yang kedua menjadi teja dan nyala. Seperti blencong dan sinarnya. Yang ketiga menjadi Manikmaya. Sedangkan
Manikmaya terdiri dari dua: Sang Manik adalah Batara Guru, dan Maya adalah Semar. Keduanya laksana dalang dan wayang. Semua itu perkara-perkara yang tak terpisahkan. Suhubudi menamai dia Maya.
Maya tergetar. Ada rasa rindu yang terkejutkan, seperti melihat sendiri jejak purba leluhur. Ia berhenti untuk memberi sembah. Ia menyesal tidak membawa tangkai dupa. Suhubudi menyuruh ia selalu mengingat Eyang Semar. Pandanglah sang Semar, yang telah turun ke Tanah Jawa. Seperti apakah sosoknya" Ia berkaki pendek. Seperti dirimu. Perutnya maju, padahal ia tidak serakah. Ia menunjukkan bahwa tak apalah menjadi tak indah. Jika wujudmu memenuhi prasangka buruk, tidak berarti kau buruk. Dalam kecebolan tetap terkandung kebijaksanaan. Dalam keterbatasan manusia, Gusti Allah tetap mengungkapkan diri. Dalam kekerdilanmu, para dewata tidak berpaling.
Ah. Ia terlalu asyik memuja. Orang-orang yang terus berjalan sambil berdiskusi tersadar bahwa ia telah tertinggal. Mereka kembali untuk menjemputnya sebab wisata harus dilanjutkan ke candi utama.
Yasmin berkata setelah tahu Maya memberi sembah pada Semar: Itu... Saya kira itu bukan Semar, ya" Patung apa itu, Parang Jati" Bukan Semar, kan"
Bukan. Itu arca dwarapala. Raksasa penjaga pintu. Ah, jadi itu pun bukan Semar.
m alam . s ewugunung kembali suwung. Bayang-bayang meng undang siapapun untuk larut di dalamnya. Kaki-kaki pendeknya letih karena berkeliling di seribu dan tiga candi tadi siang. Tapi bukankah kaki-kaki itu biasa bekerja di sawah" Barangkali hatinya yang lelah. Seharusnya ia telah bersimpuh dan melakukan puja malam yang tentram. Ia biasa sembahyang tiga kali sehari: menyalakan tangkai dupa, memasangnya pada lumpang, lalu mendaras puja dan mantra. Guru Suhubudi yang mengajarnya. Sang Hyang Maha Tak Terbatas Sang Sunya memancar dalam Trimurti. Brahma Wishnu Syiwa. Ia diajar untuk memusatkan kesadaran pada lingkaran kehidupan yang tak akan selesai: penciptaan, pemeliharaan, penghancuran. Tugas manusia adalah yang di tengah-tengah; maka hanya Wishnu yang lahir sebagai manusia dari zaman ke zaman di antara tiga dewa itu. Wishnu selalu turun ke bumi sebagai lelaki tampan. Misalnya Sri Rama. Ya, Rama yang kepadanya ia arahkan hati manakala menarikan sendratari Ramayana. Rama yang selalu menyebabkan pipinya merona.
Meski yang memerankan adalah si Tuyul, ia tahu Rama yang dahulu kala pernah lahir di Tanah Jawa tidaklah seperti itu. Ia dan si Tuyul hanya menari, tarian yang disaring oleh layar sebagai bayang-bayang. Yang indah adalah bebayang itu. Bukan dirinya. Sedangkan ia dan para penari yang lain makhluk cebol maupun raksasa terutul bagi merekalah Gusti Kang Murbeng Dumadi memancarkan refleksinya yang lain. Sang Hyang Maha Tak Terbatas semburat dalam sebuntal makhluk, tidak pria tidak wanita, berjambul namun berdada gemuk, berkaki pendek dan berperut buncit. Dewa baik hati itu bernama Semar. Mahaguru yang memberi martabat pada wujud-wujud tidak rupawan. Semar tidak lahir dan mati sebagai manusia. Semar menjelma sebagai sosok aneh misterius dalam hidupmu, datang lalu pergi.
Dulu, tatkala masih gadis remaja dan belum nrima, pernah ada momen ia sangat muram karena dilahirkan begitu jauh dari rupawan. Ia bersimpuh dan membiarkan hatinya menangis. Lalu ia merasa sehelai tangan mengelus. Ia tak berani membuka mata. Sebab Suhubudi pernah berkata: manakala matamu ingin tahu, bebayang akan lari. Kamu tidak bisa melihatnya dengan matamu; hanya dengan batinmu. Sesaat ia ingin berontak. Mengapa tak boleh ia melihat siapa yang meraba kepalanya" Tapi ia tak punya pegangan selain Suhubudi. Ia biarkan pelupuknya terpejam.
Telapak itu tidak mengelus kepalanya. Tidak menyentuh permukaan tubuhnya. Sesuatu itu membasuh sumsum sedih sepanjang tulang belakangnya, membuatnya jadi tenang dan segar. Barangkali ia jatuh tertidur. Ia mendengar ada yang berkata: Janganlah melihat pada rupa dirimu; apalah hidup jika tidak melayani" Bahkan sang dewata menjelma untuk melayani. Ia tak segan menjadi buruk rupa. Ia mendengar suara Suhubudi: Bangunlah! Setiap makhluk harus mengabdi sesuatu. Dan tugasmu, Maya, adalah menjadi pelayan seni, abdi
sendratari. Ramayana. Jika kau tak mampu membayangkan bahwa kau melakukannya untuk Sang Maha Indah dan Tak Terbatas, lakukanlah demi Sri Rama. Ia kekasih spiritualmu. Ia telah belajar dari pagelaran wayang: Semar pun menjadi punakawan bagi Rama maupun Pandawa, bagi raja-raja Tanah Jawa, sekalipun ia sesungguhnya dewata.
Dengan kaki-kaki pendeknya ia menari, menciptakan bayang-bayang pada kelir, menghidupkan rasa-rasa terdalam pada bentuk-bentuk luar tak biasa. Bertahun-tahun. Perlahanlahan ia menemukan makna. Ia barangkali tidak indah, tapi ia adalah pelayan keindahan. Tidakkah itu indah"
Ia tak pernah tahu di luar sana ada dunia lain. Mengapa pula ia harus tahu" Hidupnya penuh di sini. Tempat yang oleh orang disebut Padepokan Suhubudi tapi baginya tak perlu bernama, sebab untuk apakah nama jika engkau utuh dan satusatunya dunia"
Tapi hari itu dunianya dihancurkan. Tamu Guru Suhubudi yang lancang telah meruntuhkannya. Makhluk betina berkaki panjang itu mengajaknya keluar. Kau tak terbayang apa artinya keluar jika kau ternyata cebol dan tak ada perlindungan bagi orang cebol.
Ia masih merasakan sisa panas pada kulitnya yang transparan. Rambutnya yang tipis mengerisut terpanggang. Terik membuat matanya berkunang-kunang. Sementara itu Yasmin menurunkan kaca mata hitam yang sebelumnya terpacak di rambutnya yang legam tebal. Di dadanya tersilang selempang dengan balita mendekap bahagia. Perempuan cantik dengan anak; demikian sempurna. Mengapa ia tidak bisa seperti itu" Menjadi ibu jelita" Memiliki suami tampan yang memberinya bocah indah" Mereka berjalan sepanjang lorong kios cenderamata dan orang-orang berbisik tentang genjik atau gudel bagal. Sementara perempuan kaki panjang itu melenggang.
Lalu ia menyaksikan apa yang disebut Lara Jonggrang. Ada bangunan batu hitam serupa itu di padepokan, tapi yang ditemuinya kali ini begitu jangkung, sehingga yang ada padanya jadi tampak cebol. Ia memandang kepada Parang Jati, satusatunya penjamin rasa amannya, tapi pemuda itu diam saja. Perempuan kaki panjang dan lelaki India itu membawanya berkeliling melihat tembok dan langkan candi. Pada mulanya cukup menyenangkan. Pada dinding-dindingnya ditatahkan kisah yang baginya teramat suci: Ramayana. Lelaki India itu menerangkan gambar pahatan. Sungguh indah. Sungguh hidup bala tentara kera Sugriwa dan Subali. Lalu ia berdebar-debar menantikan puncak cerita: Pembakaran Sita.
Mana gambar Sita Obong" ia memberanikan diri bertanya.
Justru di situ menariknya! Pembuat candi ini tidak mau menggambarkan adegan pembakaran Sita! lelaki India itu berkata. Mungkin terlalu kontroversial bagi orang Jawa.
Pembakaran Sita tak ada. Itu adegan yang memberi ia nikmat dan syahdu. Bagaimana mungkin bisa tidak ada" Candi ini menyelewengkan cerita! Ia kecewa dan ingin marah. Belum pernah ia merasa geram begini. Hinaan yang tadi dialaminya tak seberapa.
Masa kamu tidak tahu, Maya, bahwa cerita Ramayana yang kamu tarikan dengan sangat bagus itu, dan yang ditatahkan dalam relief candi ini, itu bukan cerita asli Jawa, melainkan dari India" kata Yasmin, yang baru menyadari bahwa Maya tak punya perspektif historis dan geografis sedikitpun.
Maya tak bisa memahami kalimat itu. Parang Jati menyarankan agar Yasmin tidak bicara dengan banyak anak kalimat.
Rama dan Sinta itu bukan orang Jawa. Kisah itu asalnya dari India. India itu jauh sekali. Bukan termasuk Indonesia. Ini, Pak Vinod ini orang India. Kamu tak tahu India"
Tidak. Ia tidak tahu. Kenapa ia harus tahu, sedangkan kartu identitas pun ia tak punya.
Tapi sekarang ia mulai tahu. Ia dibawa ke dalam konfe rensi dan dipaksa mendengarkan perdebatan. Sebagian besarnya ia tak faham. Tapi bahkan yang sedikit itu sudah cukup membuatnya sakit. Kitab sucimu hanyalah salinan sepotong-sepotong dari kitab suci orang lain. Kitab Manikmaya mencomot-comot kitab Tantu Panggelaran dan menambah-nambahkan. Serat Rama hanyalah saduran, bukan karya Yasadipura ataupun Sunan Kalijaga. Yang ada padamu hanyalah bayang-bayang. Yang kamu punya hanyalah tiruan.
Dan, di mana Eyang Semar" tanyanya kemudian. Sebab yang tadi ia sembah pun ternyata dwarapala.
Siapa" Eyang Semar. Tak seorang pun menyebut Semar sebagai Eyang atau Ki Lurah. Mereka bicara seolah Semar hanyalah badut rekaan orang Jawa. Bukan sosok yang sungguh ada.
Semar belum digambarkan di sini, jawab Parang Jati. (Pemuda itu ingin melanjutkan bahwa sosok punakawan baru mulai terlihat di candi-candi Jawa Timur, seperti Penataran, yang dibangun jauh kemudian; tapi ia segera sadar itu terlalu rumit untuk difahami Maya.)
Semar pun tak ada. Betapa menyakitkan semua yang dikatakan orang. Betapa pahit rasa pengetahuan.
Kini lewat tengah malam. Biasanya ia telah menyelesaikan puja malamnya dengan syahdu. Dupa seharusnya telah mengharumkan ruangan. Tapi ia hanya termenung-menung. Ia duduk di sudutnya, tapi matanya tidak terpejam. Tak juga memandang ke mana pun. Dalam kekosongannya terlintas-lintas fragmen drama tari Ramayana yang tadi ia saksikan di panggung dengan cahaya mewah. Penutup wisata hari itu. Di latarnya, Candi
Prambanan yang jonggrang bermandikan kerlingan sinar. Para penari berpakaian manik-manik emas. Wajah mereka dilukis indah dan gagah. Tubuh mereka semampai. Mereka bukanlah bayang-bayang. Mereka adalah keindahan itu sendiri. Tiba-tiba ia merasa, yang ia tarikan selama ini sungguh redup dan kusam. Tiba-tiba ia merasa tidak berharga. Ia tak bisa lagi melihat keindahan pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar.
P intu terbuka . s egumPal makhluk menendangkan diri ke dalam. Ia menggelinding, seolah senang memamerkan kecepatan. Ataukah kegesitan, yang merupakan bukti ketidaksabaran. Sekejap ia telah berkacak pinggang.
Tuyul... Perempuan itu tak tampak terlalu kaget. Aku ini Gatoloco! sahut yang baru datang. Lalu ia mendekat. Ayam! Aku mau ajak kamu kerja sama. Kamu pasti mau. Kamu harus mau.
Ia ingin berkata bahwa namanya bukan Ayam. Ingat, Suhubudi memberinya nama yang cantik: Maya. Tapi ia sedang merasa hampa. Bahkan tariannya sia-sia. Barangkali ia memang serupa ayam dibului seperti kata si Tuyul tapi si Tuyul suka mempertontonkan atraksi makan ayam demikian dalam sirkus, dan begitu rakus. Ia menarik dan membuang nafas. Kemarin Tuyul berkata akan pergi dari tempat ini dan meni kahi perempuan sungguhan. Perempuan berkaki panjang. Kini lelaki itu mengajak kerja sama.
Kamu tahu... Ia tahu lelaki itu selalu penuh tipu daya. Kadang ia memben cinya. Tapi ia rindu juga saat-saat si Tuyul memandang ganas kepadanya, seperti seekor pemburu terhadap mangsa. Ia ingin diinginkan. Ia ingin ditangkap, dicabik-cabik, ia ingin memberi rasa kenyang serta kuasa bagi si hewan buas. Ia ingin meneteskan darah. Bulu romamu akan berdiri saat pertama kali melihat si Tuyul merobek-robek daging ayam pucat merah dengan gigi-giginya yang tajam dalam suatu pertunjukan sirkus manusia aneh Klan Saduki. Tapi setelah kengerian terlewati, kau mulai bisa melihat syahwat yang seru di matanya yang bulat. Makhluk itu berubah jadi gumpalan nafsu: menjijikkan tapi mendebarkan. Birahi tanpa bentuk. Ada waktu-waktu perempuan itu ingin bahwa setan syahwat itu menelannya lumat. Ia ingin menjadi dewi bulan. Dilahap Betara Kala sebagai gerhana, lahir lagi. Ditelan lagi, lahir lagi. Ditelan lagi, lahir lagi. Sampai mereka tak punya tenaga.
Setan kecil itu bukan makhluk yang dungu. Ia mungkin berpikiran pendek, namun cepat. Ada nafsu dan kecerdikan padanya, dalam bentuk biang dan miang. Ia telah mengasah diri dengan latihan kepekaan tertentu, yang dulu dibukakan Suhubudi tapi kini ia gunakan untuk kepentingan sendiri. Kamu tahu"
Perempuan itu termenung saja. Si Tuyul terheran, sebab Maya jarang berhati tawar. Matanya dulu selalu penuh mim pi dan harapan. Dilihatnya pandangan itu kosong. Tuyul mengerenyitkan dahinya yang kaku dan bertaruk. Disodor kan nya ke palanya pada tatapan Maya, seolah melongok apa yang di dalam pikiran perempuan yang berduka. Maya tidak bereaksi. Tuyul memutar-mutar bola matanya sendiri dan mengakhiri dengan anak matanya di tengah-tengah. Ia menjulurkan lidah. Wajahnya sungguh lucu dan mengerikan.
Jelek. Maya memalingkan wajah. Tuyul ngakak.
Memang! katanya. Memang kita ini jelek! Kok baru tahu" Kita ini buruk rupa. Karena itu kita tidak boleh sedih. Manusia kok tidak boleh sedih!
Kita bukan manusia, tahu! Maya menghela nafas.
Kita ini makhluk halus yang dikutuk! Tuyul me nyeringai.
Dikutuk siapa. Dikutuk oleh orang-orang asing yang menghancurkan kerajaan-kerajaan Jawa.
Kamu omong apa. Tuyul tertawa jahil lagi. Pokoknya, sudah tahu kita ini jelek. Dan orang jelek itu tidak boleh sedih. Karena kalau sedih toh tidak ada yang memperhatikan. Ia mencolek pipi Maya, mencoba membangkitkan semangatnya. Ia tahu kelemahan Maya. Perempuan itu diam-diam ingin dirindukan. Ayolah, Ayam Asam Manis.
Maya mengibaskan bahunya, seolah tak mau dihibur. Tapi gerak megol itu sudah suatu pratanda bagi Tuyul. Kau tahu si Tuyul. Sekecil apapun kesempatan, tak akan ia lewatkan. Hanya itu yang membuat ia bertahan hidup. Ia menembang asalasalan: Ayam asam manis, keripik jengkol. Genduk mlenuk manis, temp...
Maya berdecak sebal. Nyanyian jorok. Tapi bagi Tuyul goyangnya semakin bahenol.
Begini, Tuyul meneruskan rayuan. Aku ini Gatoloco. Ayo kita nembang bergantian, adegan waktu Gatoloco masuk ke goa para bidadari.
Tanpa persetujuan Maya, si Tuyul menyanyikan pupuh yang mereka hafal luar kepala. Sebab mereka biasa melakukannya. Setelah beberapa bait dan colekan-colekan mentah, akhirnya Maya mulai bernyanyi. Pelan-pelan api di matanya menyala kembali.
Mereka menembang tentang makhluk buruk rupa namun sakti yang masuk ke goa para bidadari. Para peri itu mengejek dan mengusirnya, tetapi lelaki bau dan korengan itu menolak pergi. Ia malah menantang diberi teka-teki. Jika bisa menjawab maka ia mengawini kelima bidadari itu. Teka-teki itu lucu sekaligus sok bijak, sehingga Maya dan Tuyul tertawa-tawa genit. Demikianlah, akhirnya Gatoloco mengalahkan semua dewi. Lima bidadari dijajar sebagai istrinya.
Lalu, ini bagian yang paling mendebarkan bagi dua makhluk yang sedang menembang. Si lelaki menasihati para istri un tuk takluk kepadanya. Sudah lumrah lelaki jadi panutan istri. Walau buruk rupa, ia harus dihormati. Walau bau harus diciumi. Istri tidak boleh keluar rumah barang sebentar tanpa izin suami. Janganlah istri merengut, tapi bersikaplah merendahkan diri. Setelah itu Gatoloco menyuruh kelima istrinya melepas kan kain, bertelanjang memperlihatkan kelamin. Jika tak manut, ia akan merotan dan mengutuk. Sebab suami berhak mencambuk dan menghukum istri-istri. Lima bidadari menjadi takut. Mereka pun melakukan perintah sang suami. Dengan malumalu membentangkan rahasia. Gatoloco menonton sambil duduk menaikkan satu kaki. Kembang-kembang kewanitaan aneka rupa...
Tapi ketika itu kain Maya telah lepas pula ke lantai. Tuyul telah menjadi Gatoloco, dan Maya bidadari. Mereka telah sering memainkannya. Kini Maya berperan sebagai kelima bidadari berturutan. Ia menjadi dewi bulan, dilahap gerhana lima kali.
Setelah mereka tak lagi terengah, dan selagi kebahagiaan masih meliputi Maya, Tuyul menembang lagi. Siapa yang harus diturut lelaki"
Gusti, Maya menyahut. Siapa yang harus diturut istri" Laki.
Tuyul menyeringai. Mereka bercakap sebentar tentang apa
itu perempuan mulia. Perempuan yang menjaga kehormatannya. Patuh kepada guru-laki. Seperti Sita. Betapa Maya seperti Sita, Tuyul meyakinkan itu sambil meremas-remas dada si pe rempuan. Setelah itu, bagian yang telah ia tunggu-tunggu: Kamu tahu"
Tahu apa" Perempuan itu, kata si Tuyul dengan gigi-gigi tajam. Tamu padepokan itu, yang cantik dengan anak kecil itu, dia bukan wanita baik-baik.
Maya menyimak. Perempuan kaki panjang yang hari ini memaparkan ia pada pengetahuan yang menyakitkan itu bukan wanita baik-baik"
Anak yang bersamanya itu anak jadah. Bukan dari suaminya. Benihnya ia dapat dari lelaki lain! Malah, lelakinya dulu pernah ke sini.
Maya terkesiap. Betapa menjijikkan! Seperti yang mereka bicarakan baru saja, wanita yang tak menjaga kehormatannya adalah perempuan sundal kotor najis menjijikkan. Terbit rasa mualnya membayangkan perempuan berkaki panjang itu telah mengangkangkan paha kepada lelaki yang bukan suaminya. Ia ingin meludah. Ia tak pernah tahu apakah ia sesungguhnya cemburu; tapi ia tahu ia kini merasa jijik dan benci. Karena itu kamu harus membantuku, berkata si Tuyul. Apa"
Kita harus menghukum perempuan itu.
Hukuman apa gerangan yang pantas untuk wanita yang menodai kehormatan diri dan suaminya" Bahkan Sita terjun ke dalam api untuk membuktikan kesucian.
Si Tuyul menengok ke kanan ke kiri, memastikan tak ada mata-mata di sana, lalu mendekatkan mulutnya ke hidung lawan bicaranya dan berkata-kata dalam suara bisik yang bau.
Dulu s ebelum surat surat misterius itu datang Yasmin telah mendengar bisik-bisik. Dalam suasana seperti ini, banyak kabar adalah desas-desus. Ia telah biasa dengan keadaan itu. Siapapun yang hidup di bawah rezim militer harus biasa dengan itu. Berita harus disigi sembunyi-sembunyi di antara suara-suara cemas dan lirih. Pada bulan Februari dan Maret yang lalu, para aktivis demokrasi telah saling melaporkan bahwa beberapa teman hilang. Kebanyakannya adalah mahasiswa yang dianggap kiri. Yasmin merasa bahwa ini bukan tidak berhubungan dengan peristiwa dua tahun yang silam: perburuan mahasiswa Marxis oleh pemerintah, yang menyebabkan hilangnya Saman. Sebelum surat-surat itu tiba...
Ia melajukan mobilnya perlahan, dari sebuah pertemuan rahasia di daerah Tebet, kini melewati Pasar Rumput. Sepedasepeda bekas dan curian berjajar di pinggir jalan. Sebentar lagi ia akan terpaksa berhenti di lampu merah depan markas Polisi Militer di ujung jalan Guntur. Ia pun melirik gedung tua itu dengan nyeri di ulu hati. Terbayang olehnya ruangruang muram bertembok tebal, tempat orang-orang dianiaya. Wajah kekasihnya selalu melintas-lintas di antara bayangan ruang-ruang penyiksaan. Sen kendaraannya berketak-ketik. Ia akan berbelok ke kanan, menuju kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di jalan Latuharhary. Ia bergidik, ngeri membayangkan bahwa gedung, yang kini menjadi salah satu benteng perjuangan hak asasi, itu pun pernah menjadi milik badan intelijen dan militer. Di sana juga orang-orang pernah diinterogasi secara kejam dan rahasia.
Ada kemarahan, kesedihan, dan putus asa yang menggumpal di dadanya. Suatu rasa membentur tembok. Tapi dalam letih, ia selalu mencoba memelihara harapan. Meski tak jelas betul apa yang ia harapkan. Air matanya menitik lagi. Baru saja ia menghadiri pertemuan rahasia yang memberi cercah baru di antara bisik-bisik nan rambang. Lembaga Bantuan Hukum telah berani menggunakan kata itu: penculikan. Maret lalu beberapa LSM membentuk Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, yang mereka singkat KontraS. Telah terjadi gelombang penculikan para aktivis. Oleh siapa" Tak ada instansi resmi yang menyatakan bertanggung jawab. Artinya, ini operasi rahasia militer. Tapi apa dan siapa dalam militer yang melakukan ini, orang-orang tak bisa menunjuk.
Setelah hampir tiga bulan sejak laporan nama-nama yang hilang sejak Februari, ia mulai mendengar bahwa ada beberapa yang dibebaskan. Ada suatu harapan bahwa Saman akan termasuk yang dilepaskan, meskipun lelaki itu hilang dua tahun silam, bukan dua bulan. Lalu kilat asa itu sirna. Kabarnya, anak-anak yang kembali itu pun mengalami trauma. Mereka takut untuk mengatakan apa yang terjadi. Perlahan ada yang mengaku bahwa mereka dibebaskan dengan ancaman; keluarga mereka akan dibuat menderita jika mereka membikin pengakuan. Telepon teror juga masih terus mereka terima. Tapi, ada satu dua yang mulai letih dengan rasa takut dan bersedia
untuk bicara dalam perjumpaan tertutup. Di sanalah Yasmin baru saja hadir. Di sebuah rumah yang sepi dan biasa di daerah Tebet.
Ia bertemu dua anak muda itu. Kira-kira seusia mahasiswa yang dulu Saman coba selamatkan. Masih ada gentar di wajah keduanya; bibir mereka pucat dan kering. Seorang pendamping hukum menanyakan sekali lagi apakah mereka sudah siap memberi kesaksian yang direkam. Yang satu menggigit bibir, yang satu lagi menahan nafas sejenak sebelum mengiya. Seandainya Saman ada di antara dua anak itu...
Tape recorder diletakkan di meja. Kesaksian dibuat bergiliran. Setidaknya pengakuan dibuat sedini mungkin, agar ingatan tidak pudar atau keberanian hilang dalam penundaan; entah kapan kejujuran ini bisa berarti. Jika kau tak bisa membuat langkah besar, kau harus maju dengan langkah-langkah kecil. Selama tiga bulan mereka disekap di sebuah tempat yang untuk sementara dicatat dengan kode X . Di sana mereka mendengar derap sepatu lars baris-berbaris, dan suara-suara yel militer. Beberapa data mengindikasikan wilayah di selatan Jakarta. Tampaknya Cijantung, seseorang berspekulasi. Markas pasukan khusus. Mereka diinterogasi dan disiksa dengan pelbagai cara. Pertanyaan berkisar hubungan dengan lawan politik Soeharto seperti Megawati Sukarnoputri dan Amien Rais, bahkan Sofyan Wanandi dan Benny Moerdani; lantas organisasi-organisasi kiri PRD, SMID, juga Solidarlit yang anggotanya antara lain tiga anak yang dulu Saman coba selundupkan; dan nama-nama para aktivis lain, yang tampaknya menjadi target operasi.
Pemuda itu menyebut nama-nama yang ditanyakan oleh interogator. Para pemeriksa mengorek info di mana mereka bersembunyi dan apa kebiasaannya. Sebagiannya Yasmin pernah dengar, sisanya tidak. Tapi jantungnya nyaris berhenti ketika telinganya menangkap anak itu menyebut nama yang ia kenal betul. Larung Lanang.
Larung Lanang" Yasmin tak tahan tidak menegaskan. Mereka menanyakan tentang Larung Lanang"
Ya. Saya juga kaget. L-Larung kan orang yang disebutsebut hilang, kalau tidak salah, dua tahun lalu. 1996 bukan" Ada nama lagi" Saman" Atau Wisanggeni"
Anak itu menggeleng. Cuma satu kali saya ditanya tentang Larung. Dalam interogasi yang menjelang akhir penyekapan. Waktu itu saya sudah tidak disiksa lagi. Hanya diikat dan mata tetap ditutup. Tapi saya kira yang menginterogasi saya saat itu adalah perwira tinggi yang memegang jabatan penting... Ia tidak menyebut Saman"
Tidak. Mengapa Larung disebut dan Saman tidak.
Maka air mata Yasmin menitik lagi saat ia telah bersendiri dalam perjalanan sehabis perjumpaan rahasia. Ia sekarang me nuju ke pertemuan terbuka di Komnas HAM. Mereka juga mem bicarakan perihal acara terbuka ini tadi. Ada yang pro, ada yang kontra. Acara yang akan ia hadiri ini sangat penting seka ligus berbahaya. Ada salah satu dari aktivis yang diculik dan telah dibebaskan yang berani membuat pengakuan publik. Bah kan dengan kehadiaran wartawan. Konferensi pers itu akan menjadi yang pertama dalam sejarah rezim Orde Baru: seorang korban penculikan membuat kesaksian terbuka tentang operasi di luar hukum yang dilakukan Negara.
Sebagian orang memuji keberaniannya. Tapi sebagian lagi cemas dengan akibat lanjutannya. Dua aktivis yang baru saja membikin kesaksian tertutup termasuk yang khawatir. Masih ada orang-orang yang mereka tahu juga disekap dan belum ter bukti dibebaskan. Tidakkah pengakuan terbuka sebaiknya dibuat setelah semua dilepaskan" Tidakkah konferensi pers itu terlalu tergesa" Akankah yang masih disekap jadi dibebaskan setelah ini"
Adakah waktu yang tepat bagi kejujuran"
Yasmin melangkah masuk ke dalam ruangan yang telah dipenuhi aktivis dan wartawan. Seorang purnawirawan polisi ang gota komisi memohon para hadirin untuk tidak menyebut acara ini sebagai konferensi pers. Itu menunjukkan kecemasannya. Yasmin melihat pemuda itu, duduk di belakang meja di depan hadirin. Seorang yang ringkih tetapi nekad. Pius namanya. Akankah yang belum dikembalikan akan dikembalikan setelah ini" Hanya Saman yang ia ingat di antara mereka yang hilang.
s egala hal mengingatkan Yasmin pada Saman. Tapi yang ia ingat barangkali hanyalah maya.
Ah. Dulu, ia dan lelaki itu suka menyebutnya post-coital intimacy. Kemesraan pasca persetubuhan, ketika kau dan kekasihmu bercakap-cakap lembut, dalam ketelanjangan nan utuh, setelah birahi luruh. Ia suka meremas-remas rambut lelaki itu; memandangi wajahnya yang sederhana. Lalu Saman berkata, Kamu mungkin tak percaya, betapa kesedihan dan cinta datang bersama-sama.
Yasmin akan meletakkan tangannya di dada lelaki itu dan merasakan jantung.
Lalu lelaki itu bercerita. Tentang seorang perempuan yang dituduh gila. Padahal barangkali perempuan itu hanya jujur. Tapi apakah kejujuran itu"
1984. Pemuda itu tak bisa tidur nyenyak lagi. Namanya belum
Saman. Namanya Wisanggeni. Perabumulih, kota itu begitu kecil. Di Sumatera Selatan. Kasur tipis dan bed sederhana di kamar tidur pastoran itu kini terasa terlampau empuk sehingga ia terpental ke dalam mimpi buruk. Punggung kaus oblongnya basah, sepenuhnya. Mungkin ia harus berganti, sebab melanjutkan tidur dengan baju seperti itu akan menyebabkan masuk angin. Hari apa sekarang" Senin" Tidakkah kemarin Minggu dan ia memimpin misa seperti biasa" Tiba-tiba ia bergidik: ia teringat ataukah semua hanya terjadi dalam mimpi" ia mempersembahkan misa, tapi wajah-wajah umat tampak palsu. Ada yang tak dapat ia kenali lagi. Ia merasa berhadapan dengan sederet patung-patung kayu yang diberi mesin sederhana dalam sebuah seni rupa pertunjukan. Mereka bisa berdiri, berlutut, membuat tanda salib, dan menggerakgerakkan mulut. Tapi jika kau dekati wajah-wajah itu, kau tahu mereka tak berkedip dan mata mereka tak melihat apapun. Mereka bahkan tak punya bau mulut.
Bau kayu mati meruap. Mencekam ruangan. Dengung tonggeret menguar, mengepung di luar. Ia mencoba berdoa, tapi doanya terasa imitasi. Ia berganti singlet dan membaringkan diri kembali. Kasur empuk itu menolak tidurnya. Kasur itu melontarkan ia ke dalam mimpi paling buruk seorang hamba Tuhan. Yaitu ketika kau, wahai sang imam, tak lagi bisa membedakan Iblis dari orang yang menderita. Sebab penderitaan orang itu membuat engkau meragukan keadilan Tuhan. Sesuatu berbisik di dalam kepalanya. Wis menegakkan punggungnya seketika. Sekarang gadis itu muncul lagi di matanya. Gadis yang menderita...
Namanya Upi. Tapi sebelum tiba di rumahnya, untuk menuju ke sana, ada sebuah sungai kecil yang kelak akan menyatu dengan Ogan. Di situ ada sebuah legenda, tentang ikan bilis pamali. Ialah bilis yang memiliki larit metal kebiruan. Warna yang biasanya ada
pada kumbang. Orang tak boleh memakannya. Jika kau tak sengaja memancingnya, segeralah kembalikan ia hidup-hidup pada air tanpa kau tersentuh. Siapapun yang membunuh ikan itu akan mati oleh air. Dan siapa yang terkena atau memakan ikan itu akan tersusupi racun: sesiapa itu akan berubah wujud. Demikianlah kutukannya.
Barangkali si gadis berasal dari sungai itu. Wajahnya ikan tubuhnya manusia. Jika kau melihatnya dalam gelap sekilas saja. Dahinya tipis dan mulutnya haus. Seolah ia hanya bisa bernafas dalam air. Seperti ikan, ataukah janin. Mereka bertemu dalam suatu kecelakaan yang ganjil, yang terjadi di pinggir kota pengilangan minyak. Gadis itu masuk ke dalam sumur mati. Wis, satu-satunya orang yang menyaksikan peristiwa itu, tak punya pilihan selain mengeluarkan gadis malang itu dari dalam sana. Sesuatu berbisik-bisik di dalam kepalanya: apakah yang masuk ke sana dan yang ia keluarkan sesungguhnya adalah makhluk yang sama" Ataukah gadis itu sudah mati tertelan dasar sumur, dan yang ia angkat keluar adalah penggantinya" Lalu Wis punya waktu lebih lama untuk memperhatikan anak itu. Wajahnya tidak simetris. Sedikit pipih dan matanya agak jauh ke samping. Ke arah telinga, yang menyerupai insang. Itu yang membuat dia sepintas ikan.
Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, ia mengantar perempuan itu pulang, naik jip trooper pinjaman. Rumahnya menuju hutan, di perkebunan karet dekat sungai bernama Kumbang yang airnya meriapkan cerita rakyat rahasia perihal ikan berkilap biru. Penunjuk jalan meminta ia berhenti di depan sebuah gubuk penyadap karet. Dari balik dinding papan dan bambu nan reyot keluar seorang ibu yang mulai bungkuk, seperti seorang penyihir dari dongeng kanak yang tak adil. Dua lelaki muda mengikut di belakangnya. Pisau sadap di tangan mereka, seolah siap membunuh. Yang seorang tampak biasa. Tapi yang satu berwajah setengah manusia. Separuh lagi
rautnya lumer seperti manekin yang terbakar. Merah muda dan kehilangan pori.
Lalu pria berwajah setengah manusia itu, dibantu oleh lelaki yang lain, menyeret gadis berkepala ikan ke dalam sebuah bilik kecil di samping belakang gubuk mereka. Gadis yang baru saja Wis serahkan kepada mereka. Anak itu menggelepar. Bilik yang menelannya terbuat dari bambu dan jeruji kayu, seperti bubu penangkap ikan, namun terpacak sedikit lebih tinggi dari tanah. Dari kolongnya menguar bau tinja dan kencing. Ada lalat beterbangan. Gadis itu berhenti meraung ketika lelaki setengah manusia menggembok rantai kandangnya.
Wis menjerit, Kalian tidak bisa memasungnya begitu... Ia merasa seperti dalam mimpi.
Adik kami gila. Ia kesetanan.
Gadis itu suka menggosok-gosokkan selangkang pada pepohonan dan menyakiti hewan. Barangkali gadis itu hanya jujur. Tapi apakah kejujuran"
Gadis itu yang dahulu menyiramkan asam sulfat ke wajah kakaknya: lelaki bermuka separuh manusia. Apakah kejujuran jika itu berarti meraub-raubkan selangkangan atau menyiramkan air keras" Dan mengapa yang menghukum gadis ikan itu adalah lelaki berwajah setengah manusia" Ia tak tahu lagi. Yang ia saksikan itu tak bisa ia fahami sehingga Wis tak bisa tidur nyenyak lagi. Ada kengerian yang membuat ia ingin kembali untuk menghadapi. Ada kesedihan yang demikian dalam yang membuat ia ingin menjadi juruselamat. Ia tak tahu lagi. Ataukah di rumah itu ia telah disuguhi ikan bilis pamali dan memakannya sehingga ia harus menyerahkan diri kepada kehidupan baru"
Kelak ia berkata kepada Yasmin: Kau barangkali tak percaya, Yasmin, tapi aku jatuh cinta kepadanya. Pada gadis berkepala ikan"
Saman memandangi ia seperti melihat sesosok dewi.
Kamu mungkin tak faham. Tentang cinta yang tak di dorong birahi, namun juga tak menyangkal birahi. Yasmin menampakkan raut tak mengerti.
Kamu cantik. Kamu terlalu cantik untuk mengerti& apa artinya keburukan. Atau kemiskinan.
Terangkan padaku. Saman menggeleng. Seperti tak mungkin. Kasih datang setelah kesedihan yang dalam.
Yasmin diam. Kamu tahu betapa Upi mengubah hidupku. Yasmin termenung. Ada sedikit cemburu yang aneh, bahwa bukan ia yang mengubah hidup Saman, melainkan gadis berkepala ikan. Tiba-tiba ia merasa kecantikannya sia-sia. Ah, ia boleh saja sesumbar, bahwa ia yang memerawani lelaki itu. Dan lihat betapa lelaki itu menakjubi tubuhnya. Dengar bagaimana si lelaki melenguh. Tetapi tetaplah bukan ia yang mengubah Wis menjadi Saman. Ia tercenung.
Tapi itu kelak. Sekarang adalah malam ini. Pemuda itu, namanya pun masih Wisanggeni. Lalu cengkerik dan tonggeret tiba-tiba berhenti berbunyi. Sepi membentangkan bayangan ruang hampa. Kau bisa terhisap ke dalamnya. Berhati-hatilah. Lalu sepi mengatupkan dirinya kembali, memuntahkan suara kata-kata dari dalam mimpi. Seperti panggilan yang tak juga bisa ia mengerti.
Pelan-pelan Wis teringat sesuatu. Ada dari masa lalu yang kini menjalari tubuhnya. Nubuat yang perlahan tersingkap. Sebelum semuanya jelas dalam kesadarannya, ia telah bangkit dari ranjang. Ia berjalan seperti orang bermimpi yang dipanggil, menuju lemari. Ia mulai tahu apa yang ia ingin temukan kembali. Wis mengambil koper kecil tempat ia menyimpan segala dokumen pribadi terpenting. Dibukanya kotak itu. Tangannya meraih selembar kantong kecil berkatup retsleting. Jemarinya mengambil sesuatu dari dalamnya. Sebutir batu
yang telah diasah. Batu seperti untuk cincin. Atau liontin. Ia angkat ke arah cahaya kecil. Bola yang sempurna sebagai mata ketiga. Mata berwarna api dengan pupil hitam di tengahnya. Bulatan itu mengerling kepadanya.
Batu itu dari padepokan Suhubudi.
Ia tepatkan batu itu pada jarak pandangnya. Mata pemuda itu sejenak memicing sejenak menerawang. Lalu tengkuknya meremang. Samar-samar dilihatnya raut Upi. Di sana. Semakin jelas. Di dalam batu itu. Sungguh.
k amu bisa melihat roh. Pemuda itu terdiam.
Kamu pasti pernah melihat roh.
Suhubudi menatap Frater Wis dalam-dalam. Kebanyakan orang Jawa akan menganggap itu sebagai pujian, dan segera menyambut dengan ya yang syur. Wis tersenyum sambil menundukkan matanya. Ia tak ingin menceritakan apa yang pernah ia alami di masa kecil. Kecuali kelak, pada Yasmin; berbelas tahun kemudian. Tapi ini masih tahun 1981. Ia masih seorang calon imam. Ia datang ke Padepokan Suhubudi bukan untuk bicara mengenai lelembut. Ia ke sini untuk mendalami spiritualitas dalam pertanian.
Sang guru kebatinan mengerti bahwa tamunya tak hendak membuka diri dalam perkara itu. Terkadang ia prihatin bahwa pemikiran dan agama baru membuat orang modern tak lagi menghargai kemampuan untuk berhubungan dengan leluhur dan dunia halus.
Apa pandangan seorang calon pastor mengenai jagad
halus" tak tahan Suhubudi menguji sedikit.
Pada dasarnya... sejauh kita dan mereka tidak saling mengganggu, maka tidak ada persoalan. Wis ragu sebentar, menilai masa lalunya sendiri. Kehamilan ibunya yang misterius serta adik-adik yang tak pernah lahir, adakah itu gangguan atau bukan"
Jika mereka mengganggu" tanya Suhubudi lagi. J-jika mereka mengganggu, biasanya kami menyebutnya roh jahat.
Apa yang kalian lakukan terhadap roh jahat" K-kami coba mengusirnya.
Hm. Jika kita yang mengganggu"
Wis mengangguk. Kitalah manusia jahat. Dan... kita harus diusir.
Suhubudi tersenyum. Dan siapa yang mengusir kita" Ya. Kita sendiri. Kesadaran kita, seharusnya. Frater, orang-orang yang berbakat sesungguhnya dilahirkan untuk menjadi penghubung antara dunia yang terpisah itu. Mereka bisa menjadi duta perunding tentang siapa yang mengganggu siapa. Sayangnya, pengetahuan modern me nafikan bakat ini sebagai takhayul. Dan agama-agama kalian menyederhanakan hubungan baik ini sebagai syirik.
Saya kira Bapak Suhubudi benar. Karena itu saya datang ke sini untuk belajar... bagaimana pertanian menjadi laku spiritualitas.
Sebenarnya Frater bisa menjadi penghubung. Tidak semua dilahirkan orang berbakat, kata Suhubudi. Semakin dewasa biasanya bakat itu semakin pudar, tertimpa oleh pengetahuan rasional. Sayang tak semua orang berbakat mau mengasahnya.
Mungkin karena bakat seperti itu lebih merupakan beban. Wis merasa Suhubudi sedang membujuknya ke arah itu. Ia mencoba mengelak. Bakat semacam itu biasanya berat
bagi anak-anak. Yang terlihat kerap kali yang berwajah buruk menyeramkan.
Suhubudi mengangguk-angguk perlahan, tetapi rautnya serius. Para pemain sendratari wayang Ramayana yang semalam kamu lihat, tidakkah menurutmu mereka buruk rupa"
Wis tercekat, tak bisa menjawab.
Tidakkah mereka mengurangi selera makanmu" Ia ingin berkata tidak, tapi ia tahu itu dusta pada diri sendiri.
Yang dianggap buruk rupa, Frater, tidak hanya ada di jagad halus. Yang berwajah buruk ada di dunia kita juga. Cuma, kita menyembunyikan mereka.
Malam itu pintu kamarnya diketuk. Ada sedikit ragu, tapi ia buka. Yang ada di ambangnya adalah seorang anak kecil. Itu bocah yang muncul di lobi ketika ia mendaftar kemarin. Anak yang menyangkutkan sepatu pada ransel dan pulang membawa sekantung batu-batu. Putra Suhubudi. Namanya bagus sehingga Wis ingat: Parang Jati. Bocah itu menyeringai, menampakkan lesung pipit yang manis. Wis jatuh cinta pada anak itu sejak pertama. Sesuatu padanya mengingatkan ia pada dirinya sendiri di masa kanak.
Eh! Belum tidur, Jati"
Anak itu menggeleng. Saya disuruh Romo. Romo pesan, kalau Mas Frater Wis belum ngantuk, sekarang ditunggu Romo...
Di mana" Saya antarkan. Wis segera mengenakan sandalnya dan berjalan bersama bocah itu. Mereka melalui koridor dan tempat terbuka menuju
bangunan lain. Rumahmu besar sekali, Jati. Kamu tidak takut tidur sendiri" Kebanyakan anak dalam tradisi Jawa tidur bersama-sama. Ndak, jawab si bocah. Kamu tidak pernah melihat yang aneh-aneh" Jati kecil menyahut: Di sini semuanya aneh. Saya juga aneh! Saya punya jari dua belas! Jawaban itu membuat Wis tersengat. Bahkan yang paling rupawan di tempat ini pun tidak normal. Lalu, apakah normal itu. Ia sedikit meremang.
Remang-remang rasa itu masih tersisa ketika ia sarapan esok paginya. Parang Jati kecil menemaninya makan pagi. Wis mencoba memikat anak itu dengan beberapa trik sederhana, yang ia pelajari dari seorang tukang sulap yang juga aktivis Gereja. Lihat, bagaimana kita bisa membuat para pahlawan yang wajahnya ada dalam uang lembaran itu tersenyum atau merengut. Mudah sekali: dengan melipatnya seperti akordeon dan membolak-balik arah untuk melihatnya. Atau tipuan karet gelang di jari-jari (ia takjub melihat jumlah jari sempurna anak itu). Parang Jati kecil terpukau dan matanya yang bidadari berbinar-binar. Sesungguhnya Wis sama sekali terlalu percaya diri bahwa ia bisa memikat orang-orang di sini dengan sulapan sederhana, terutama mengingat apa yang ia lihat dua malam ini.
Sekarang waktu terasa berbaur di dalam kepalanya. Malam itu Suhubudi membawanya ke suatu peristiwa. Bocah Parang Jati telah disuruhnya kembali ke kamarnya sendiri. Guru kebatinan itu membawa Wis ke sebuah pelataran terbuka berubin batu kasar. Seperti dapur bersama di masa lalu, di mana orang membersihkan isi perut binatang. Tempat itu agak jauh dari kompleks utama padepokan. Suhubudi tidak berkata apa-apa, tapi gerak tubuhnya menyarankan tunggulah. Ada dorongan aneh dalam padepokan ini agar kita tidak bercakapcakap.
Tak lama kemudian terdengar bunyi kerosak. Ada suara
seperti terkekeh, tapi kemudian Wis sadar bahwa itu bunyi seekor ayam. Hewan itu tersimpan dalam sebuah tas jago dari pandan, dan keranjang itu berada dalam kempitan sesosok makhluk ganjil yang tiba-tiba telah muncul di pelataran. Ia mulai ragu apakah makhluk itu ataukah ayam itu yang tertawa mengejek. Lelaki itu sebesar anak kecil. Tingginya mungkin sepusar Wisanggeni. Tapi besar kepalanya menunjukkan bahwa ia bukan seorang bocah. Ia mewujudkan dengan seketika apa yang kau bayangkan sebagai tuyul.
Angin mati, seperti hampa udara.
Makhluk tuyul mengeluarkan ayam dari keranjang. Hewan jantan itu berwarna hitam penuh. Tanpa berkata apapun si sosok bajang mengeluarkan pisau dari sisi cawatnya dan menyembelih dengan fasih. Ada suara terkekeh, ataukah bunyi sekarat. Sayap-sayap berderu. Seperti roh hendak terbang. Lalu makhluk tuyul mengangkat tubuh ayam pada kakinya dan menempatkan leher putus itu persis di atas mulutnya. Ia meneguk darah yang mengalir seperti meminum cairan yang gurih dengan bunyi slurp dan gluk. Wis teringat sepotong ayat, yang berkata bahwa roh berdiam di dalam darah. Sayap mengepak sedikit lagi lalu mati.
Pada siang harinya ia merasa melihat sepasang sayap hitam berderu dan hidup kembali. Sepasang itu terbang dari balik buluh-buluh padi; mengibaskan bulu-bulu gabah dan serbuk bunga glagah. Burung gagak... masih ada di sini. Begitu pula ular sawah dan kodok ngorek. Sebab kami tidak menggunakan insektisida. Suhubudi berkata-kata. Mereka berjalan pada pematang, di antara petak-petak sawah yang ditumbuhi padi purba . Padi purba membutuhkan waktu lebih lama untuk matang. Ketika mereka telah tinggi dan berisi, mereka merunduk. Bernas dan rendah hati.
Lihatlah benih baru yang mengisi sawah-sawah di luar padepokan ini. Padi modern. Mereka telah jadi gendut ketika
masih pendek. Seperti anak yang mangkak sebelum waktunya. Seperti buah yang dikarbit. Mereka tidak menundukkan kepala. Pendek dan congkak, gemuk tidak berjiwa. Mereka hanyalah kehidupan dalam bentuknya yang menyedihkan. Keserakahan.
Tapi, bukankah mereka bisa lebih cepat memberi makan rakyat"
Betul. Tapi, sekali kau memberi makan pada keserakahan, keserakahan tak akan bisa kenyang.
Tuyul itu meminum darah seolah tak bisa kenyang. Semalam. Matanya tidak menutup, seperti hendak memastikan bahwa tak ada tetes yang tersisa. Setelah itu ia mencabik paha ayam hingga terlepas dan memakan dagingnya. Mentah dan penuh bulu. Kau seperti melihat seekor hewan dari dunia ataukah zaman lain: berkaki dua, plontos, buas. Ia mengunyahngunyah dan melepehkan helai-helai bulu hitam yang tersangkut di geligi.
Wis seperti berada dalam mimpi. Suhubudi berkata: kamu melihat apa yang umumnya disembunyikan dari para tamu padepokan. Orang mau mencari spiritualitas, tapi tak mau melihat yang mengerikan pada manusia. Mereka hanyalah manusia-manusia permukaan. Kamu lain. Kamu bisa melihat. Tapi, siapa dia" Dan kenapa dia"
Saya menerimanya telah begitu.
Ada yang tak bisa kamu mengerti dengan akal rasional, kata Suhubudi. Bahkan dengan akal budi.
Bisakah akal budimu mencerna keburukan"
Samar-samar, di suatu pojok di perbatasan wilayah, ia seperti melihat Gatoloco sedang meloco. Matanya melotot, seperti akan mencelat bersama muntahannya.
Mereka telah berada di beranda. Cangkir teh jahe dan sepiring rebusan tertata di atas meja. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang-sarang yang tersembunyi di cecabang. Putra sang guru kebatinan berselonjor di lantai sambil mem baca. Tapi orang dewasa tahu bahwa anak kecil yang berbuat begitu biasanya menguping percakapan. Mereka telah bercakap-cakap banyak tentang pertanian spiritual. Sejenis yang kemudian hari disebut pertanian organik, namun dengan motif-motif spiritual. Motif-motif yang didasarkan pada kepercayaan bahwa jagad kasar bukanlah satu-satunya yang hidup dan menghuni dunia.
Pada hari Wisanggeni harus meninggalkan padepokan, Parang Jati kecil berdiri di samping ayahnya. Di tangannya ada kotak kecil dari anyaman pandan. Tapi anak itu tidak mau memberikannya langsung pada Frater Wis. Tidak mau, mes kipun Suhubudi menyuruhnya. Parang Jati kecil hanya mau memberikan hadiah itu melalui ayahnya. Sampai dewasa dorongan utamanya akan begitu: tidak mau melangkahi ayah nya.
Suhubudi mengambil besek itu, lalu membukanya dalam pandangan Wisanggeni. Di dalamnya tampak sekeping batu, seperti mata cincin. Atau liontin. Jenis akik berwarna lapislapis kuning dan putih, dengan bintik hitam seperti anak mata kucing di tengahnya. Suhubudi menyunting-nyunting dan batu itu mengerling.
Wisanggeni berdecak. Aduh! Saya mungkin tak pantas menerimanya" Ia terheran. Betul kamu mau berikan untuk saya, Jati" Kenapa"
Soalnya saya nemunya waktu Mas Frater Wis datang. Nemu"
Suhubudi memastikan bahwa Parang Jati kecil tidak mencuri.
Orang Jawa percaya bahwa batu mustika hanya akan menampakkan diri pada mereka yang layak. Kau mungkin tak percaya bahwa bukan hanya Gusti Allah yang bisa memberi tanda. Hewan dan sesama manusia pun memberi tanda kepada
kita. Demikian pula jagad halus. Mereka mengirimkan pesan kepada kita, melalui air, angin, tanah, api, dan bebatu. Ada pintu-pintu rahasia yang menghubungkan dua dunia. Ketika pintu itu terbuka, sebuah tanda akan beralih dari jagad halus ke dunia kasat kita.
Parang Jati mendapatkan batu itu di tepian sungai Luk Ulo tak jauh dari Karang Sambung, sebentang kawasan yang menyingkapkan banyak formasi geologi. Ketika ditemukan, wujudnya sudah cukup bulat seperti liontin purba. Permukaannya sedikit tidak rata. Tapi bahkan melalui kasapnya, Parang Jati bisa melihat bentuk serat yang istimewa. Parang Jati menyebutnya fosil Semar.
Kalau begitu batu ini pasti istimewa sekali! seru Wis. Ya, jawab Suhubudi dengan suara sangat dalam. Frater, panggil sang guru kebatinan, bawalah batu itu. Mustika itu memang untuk Frater. Lalu ia diam sebentar sebelum mengucapkan sesuatu dengan suara sangat serius, Dalam batu itu Frater menemukan wajah yang akan mengubah jalan hidup Frater.
k ini yang ia lihat bukanlah wajah Semar, melainkan wajah Upi. Ada yang berdesir di tulang belakangnya. Ingatan pelan-pelan kembali. Pernah ia berniat untuk membuat batu itu menjadi cincin dan mengenakannya pada upacara pentahbisan. Tapi ia lupa. Terlalu banyak hal menyibukkan ia. Perhiasan adalah hal terakhir yang dipikirkan seorang rohaniwan. Di jurang malam ini batu itu memanggilnya lagi. Di kota yang jauh: Perabumulih. Tahun berapakah ini" 1984.
Batu itu mengerlingkan cahaya kecil. Wis menyimak kabut bentuk di dalam kristal kekuningan. Tidak, itu bukan raut Semar lagi. Itu raut perempuan ikan. Ia mencoba menyangkal: tidakkah itu hanya formasi serat kimiawi. Kebetulan menciptakan wajah dempak: muka dengan proporsi hidung pendek, kepala lebar ke belakang sehingga mata terpacak jauh dari hidung, telinga besar, rahang sedikit maju. Tapi, tidakkah semua rinci itu mengarahkan ia kepada wajah Upi (meski juga wajah Semar). Dalam kehampaan malam, kabut itu menyatakan raut sang
gadis malang. Tidakkah itu wajah yang akan mengubah garis hidupnya"
Wis bergidik, tapi ia menyangkalnya. Ia seorang imam sekarang. Ia menghargai spiritualitas, tapi hidupnya tidak boleh dipengaruhi takhayul. Ia percaya bumi tidak hanya dihuni oleh manusia, dan alam semesta memiliki banyak rahasia, tapi hanya ada satu ketidaktahuan yang padanya ia boleh menyerahkan diri: Tuhan. Satu-satunya Misteri yang kepadanya ia boleh setia.
Jika kau gentar, janganlah kau tidur. Jika kau gentar, baiklah kau terjaga.
Wis mencoba berdoa. Tapi malam itu sungguh ia merasa segala doanya imitasi. Ia menarik nafas dan mengambil Kitab Suci. Ia biasa mencemooh orang yang suka memperlakukan Alkitab seperti kartu ramalan: mereka membuka lembarnya secara acak, jika perlu dengan mata tertutup; setelah itu mencari pesan semesta dari ayat-ayat yang terdadah di sana. Ada gerakan begitu di antara orang awam. Bagaimana mungkin orang beriman membuat Kitab Suci jadi seperti tarot" Tapi malam ini ia takut bahwa ia akan melakukan yang sama. Ia ingin membuka sembarang halaman dan membacanya, apapun yang tertulis di sana. Ia hanya ingin membaca, tak hendak meramal. Tapi betulkah" Betulkah ia hanya hendak membaca dan tak ingin mencari kebetulan lalu menebak makna" Betapa tipis bedanya. Betapa tak terbedakan.
Kitab itu terbuka di tangannya. Yesaya: Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi demikianlah ia akan membuat tercengang banyak bangsa...
Ia tutup lagi. Ia buka lagi. Matius: ...Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku...
Ia berdebar. Sungguh keduanya adalah ayat yang sangat biasa dibacakan. Betapa menakjubkan bahwa keduanya mengarah pada satu makna: pada yang terhina dan menderita, di sanalah Tuhan hadir di hadapanmu. Tapi dalam rasa tercekam malam ini, yang terhina dan menderita menegaskan rupanya pada perempuan berwajah ikan. Dan batu mustika itu pun telah memberi tanda. Serat kabutnya menyatakan yang partikular: bukan sekadar Semar, melainkan Upi.
Wis merasa bersalah, sebab ia telah berbuat yang sama. Membuka lembaran seperti mengambil kartu, menyerahkan diri pada petunjuk jemarinya sendiri, dan setelah itu mencari makna. Apa beda ia dengan juru ramal tarot" Tidakkah hanya mediumnya yang berbeda" Samar-samar ia tahu, itu jalan yang tidak benar. Tapi... tapi mengapa ia bisa membaca kebenaran di sana" Mengapa dua lembaran yang ia buka secara acak menunjuk sangat jelas kepada satu makna, yang juga ditunjuk oleh batu itu" Tuhan ada pada yang paling menderita. Kebetulan belaka" Ia cemas bahwa ia telah menempuh jalan yang tidak benar untuk sampai pada kebenaran.
s eekor alaP alaP terbang dari ujung tebing-tebing Sewugunung yang kelak dipanjat Parang Jati manakala telah dewasa. Tapi sekarang Parang Jati masih enam tahun. Ia telah minta izin ayahnya untuk pergi mengasah batu ke tukang cincin langganan sang ayah. Rumah orang itu di jalan menuju Yogyakarta. Batu tersebut ia temukan bagai telur dari perut ular raksasa Luk Ulo yang meliuk-liuk. Kuning keemasan dan bulat. Bagian tengahnya menggelap dan hitam. Pada awalnya ia berharap mendapat kristal dengan fosil serangga terjebak di dalamnya, seperti pernah ia lihat dalam gambar dan museum. Tapi dalam bening batu ini ia justru melihat bentuk serupa Semar.
Ia mau memberikannya kepada tamu yang datang pada hari penemuan. Ia senang pada pemuda itu. Lelaki dewasa yang tampak asyik. Seperti jagoan yang melakukan perjalanan kembara, seorang diri, siap menderita, dan memiliki suatu tujuan besar. Hidup seperti itu terasa hebat. Kelak ia akan lupa
bahwa pada suatu usia ia suka menghadiahi tamu ayahnya yang ia kagumi dengan batu-batuan.
Tapi kini ia dalam perjalanan untuk memoles akik itu. Ia duduk di sebelah Bandowo yang menyetir Colt pelan-pelan. Jati memanggil Paklik, Bapak Cilik, kepada lelaki yang biasa menjaga di meja resepsionis itu. Seorang pria yang sangat setia dan bangga mengabdi pada bendoronya. Orang Jawa itu hidup dalam hubungan kawula-gusti. Sesekali Bandowo memandang pada Jati, mengagumi anak tuannya sebagai seorang pangeran. Ia berkata: Raden, mendapatkan batu akik dengan gambar Semar di dalamnya itu tidak sembarangan. Hanya manusia terpilih yang bisa kedapatan berkah itu! Bandowo tak bisa ingat lagi kepada siapa saja telah ia ceritakan penemuan yang mengagumkan tersebut. Rasanya kepada setiap orang yang ia temui dua hari ini. Cerita mengenai hal-hal gaib cepat menyebar di Sewugunung...
Mobil mereka melewati sejurus jalan yang merendah di kaki bukit. Dekat puncaknya bertengger sebuah rumah yang sedang direnovasi, sehingga memiliki pilar-pilar putih gaya Spanyol. Itu rumah Pak Pontiman Sutalip, kata Bandowo. Sebuah rumah yang memata-mati seluruh desa. Parang Jati kecil tahu sosok yang disebut. Kepala desa yang mengingatkan Jati pada Bilung, tokoh punakawan yang lebih suka mengabdi pada satria serakah. Jika Semar adalah abdi para Pandawa, Bilung bekerja bagi Kurawa. Pipinya menggantung dan matanya awas terhadap untung dan rugi. Barangkali pagi ini ada yang mengintai, dari rumah di tinggi bukit, perjalanan mobil Colt yang berisi Bandowo dan Parang Jati.
Parang Jati merasa ayahnya tak terlalu senang dengan Kepala Desa. Tapi hal-hal demikian tak pernah dibicarakan secara terbuka. Ia hanya merasa. Ia ingat, suatu hari Pontiman Sutalip bertandang. Lelaki itu mengenakan seragam hijaunya; ia memang seorang anggota Angkatan Darat. Lelaki tambun
itu didampingi seorang perwira yang tampak lebih sungguhan sebagai militer. Orang itu adalah komandan pasukan AMD yang sedang ditempatkan di Sewugunung. Selain itu ada beberapa orang mengenakan jas dokter. Para tamu mengucapkan kulonuwon dengan kesantunan Jawa. Suhubudi menyambutnya dengan unggah-ungguh yang setara, tapi dengan segera ia me nyu ruh bocah Parang Jati meninggalkan tempat itu. Maka Parang Jati merasa. Sebagai anak ia mempelajari sesuatu. Jika ayahnya membiarkan dia berselonjor di lantai sambil membaca buku dan menguping percakapan, maka tamu itu dapat dipercaya. Jika tidak, maka kita harus berjarak dan curiga.
Ayahnya menyuruh ia bermain di luar padepokan. Ia senang saja. Seperti biasa, ia keluyuran dengan sepeda, mencari batubatu. Sesekali terdengar lengking alap-alap. Ia akan menoleh ke langit dan melihat burung itu berselancar pada angin. Seperti pagi ini, manakala ia dan Paklik Bandowo berkendaraan ke arah Yogyakarta.
Setelah melewati rumah Pontiman Sutalip di tinggi bukit, mereka melihat bangunan puskesmas yang baru selesai dibangun. Barisan genteng tanah liat di atapnya dicat dalam tulisan AMD. Jati tahu, itu singkatan dari ABRI Masuk Desa. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia masuk desa. Barubaru ini ada program pemerintah yang dinamakan demikian. Tentara tidak dikirim ke daerah perang, melainkan ke desadesa. Mereka membangun jembatan, jalan, pos kesehatan, sekolah, mesjid, dan menyukseskan program-program pemerintah. (Tapi apakah program-program pemerintah itu" Pada umur ini Jati belum sampai mempertanyakannya.) Ia tahu nama-nama yang banyak ditulis pada atap bangunan di desa-desa Jawa: Puskesmas, PKK, KB, dan kini AMD. Semua itu nama program pemerintah. Puskesmas, Pusat Kesehatan Masyarakat. PKK, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. KB, Keluarga Berencana.
Samar-samar ia merasa. Orang-orang yang memakai jas dokter, yang datang bersama komandan AMD, adalah petugas Puskesmas atau PKK atau KB. Yang Jati tahu, kadang mereka memberi suntik vaksin atau khitanan massal. Ia sendiri belum disunat. Orang Jawa di masa itu mengkhitan anak lelaki menjelang akil balik. Ia berdebar-debar membayangkan apa yang sesungguhnya terjadi ketika seorang anak lelaki disunat. Sekilas ia berdebar-debar pula, mengira bahwa tamu-tamu yang datang itu hendak melakukan sesuatu pada kelaminnya. Tapi ternyata ayahnya menyuruh ia pergi.
Jati tidak mendengarkan percakapan ini. Ia hanya samar-samar merasakan ketegangannya, yang tertinggal di uda ra padepokan seperti temperatur. Pontiman Sutalip berkata kepada Suhubudi bahwa mereka semua harus sungguh-sungguh menjadikan Sewugunung daerah yang sukses men jalankan program pemerintah. Lelaki tambun itu berdehem dan menyatakan bahwa ia tidak akan mengganggu pertanian di dalam wilayah padepokan. Sekalipun pemerintah mengharuskan petani menanam varietas unggul , Suhubudi adalah guru kebatinan terhormat, yang memiliki previlese untuk memelihara padi nenek moyang di tanahnya. Tapi kami mohon pengertian, ujarnya. Mengenai pengendalian penduduk. Ia kini telah menyebut dirinya sebagai kami .
Kami mengerti bahwa Pak Suhubudi berbuat amal dan menjalankan laku batin dengan memelihara sekawanan manusia aneh dalam padepokan ini. Mereka orang-orang yang dising kirkan keluarganya tetapi justru diberi kehidupan di sini. Tapi, mohon pengertian bahwa mereka bukanlah bibit-bibit unggul bagi bangsa kita. Bangsa Indonesia membutuhkan pe muda-pemudi yang tangguh, sehat, dan cerdas untuk menyam but masa depan gemilang. Bukan monster-monster yang sakit dan menyimpang. Bagaimanapun, mereka telah lahir. Tidak mungkin dikembalikan ke perut ibunya, yang juga
sudah membuang mereka sejak kecil. Maka, sekarang adalah bagaimana caranya agar mereka tidak berkembangbiak...
Kalimat itu sudah sangat jelas bagi orang Jawa di Sewugunung. Suhubudi tahu bahwa itu berarti Pontiman Sutalip sudah tahu caranya, dan sudah datang bersama cara itu. Maka operasi dijalankan hari itu juga. Para tamu pun dibawa ke arah barat. Seluruh lelaki dalam Klan Saduki menjalani vasektomi suatu operasi yang membuat mani mereka tidak berbenih lagi. Perempuannya tidak diapa-apakan. Sebab Pontiman Sutalip berpikir bahwa perempuan-perempuan seperti itu tidak akan membangkitkan hasrat kecuali lelaki dari Klan Saduki sendiri. Jadi, jika kaum lelakinya sudah matibenih, kaum perempuannya tidak akan hamil.
Suhubudi menyaksikan peristiwa itu dengan kesedihan yang ia simpan di tempat rahasia. Bukan lantaran mereka tak bisa lagi berketurunan. Tetapi karena mereka sungguh seperti bangsa siluman yang dikalahkan. Bahkan yang bertubuh paling besar, yang bersosok bagai raksasa Mahishashura, tak punya sedikit pun jiwa perlawanan.
Tapi ada sebuah kilat mencercah. Dan Suhubudi jadi senang dengan cara yang aneh. Ada satu yang melawan. Dialah Gatoloco yang suka meloco bahkan di tepi sawah. Si Tuyul punya jurus yang aneh. Ia bisa menggumpal dan melenting seperti bola. Bola itu akan membidik ke arah lawannya dengan cepat, lalu menggigit sebelum mendarat kembali ke tanah. Suhubudi berharap bahwa si Tuyul bisa melarikan diri. Setidaknya itu cukup melecehkan orang-orang yang terlampau berkuasa. Tapi diam-diam ia tahu bahwa makhluk bajang itu pada akhirnya akan dikalahkan juga. Si Tuyul dipopor hingga pingsan oleh prajurit yang menyetir mobil, yang tadi tidak ikut masuk ke ruang tamu. Setelah itu ia disuntik anestesi dan operasi dijalankan juga terhadap dirinya.
Malam itu, ketika Parang Jati kecil telah kembali di
rumah, ia mendengar suara melolong yang belum pernah ada sebelumnya. Suara manusia-serigala yang menangisi bulan yang jauh. Tapi serat-serat dalam suara itu ia kenali sebagai milik si Tuyul. Ia meremang membayangkan si Tuyul berdiri pada empat kaki, membaung dengan bulu-bulu kuduk yang panjang dan tegak.
Ada sebutir batu yang mengandung gambaran itu. Ia pernah melihatnya di rumah pengasah akik langganan ayahnya. Sekeping lapislazuli dari Turki. Dalam kristalnya kau bisa melihat langit malam dan sebutir bulan. Di depan bulan itu ada setitik makhluk hitam, yang jika diperhatikan kau akan melihat manusia-binatang. Barangkali ia berkepala hewan dan bertubuh manusia. Tapi bisa juga ia berkaki empat namun berkepala manusia. Ia melolong menangisi kekasihnya yang menjelma bulan. Jika kau pecah batu itu, suara sedihnya akan terlepas dan kau bisa mendengarnya. Hatimu akan tersayat. Sesungguhnya ia ingin sekali memecahkan batu-batu demikian. Batu-batu ajaib yang di dalamnya sesosok makhluk semayam, ataukah terjebak. Jika ia meminta si tukang akik membelah batu yang kemarin dulu ia temukan, akankah selembar Semar melompat keluar" Lalu Semar itu bergerak-gerak seperti sedaun wayang. Atau sosok itu sesungguhnya tiga dimensi" Lalu Semar kecil berjalan ke arahnya dan berkata dengan suara kumur-kumur: mbegegeg ugeg-ugeg, piye kabare, le tole" Sebelum sosok itu lenyap sebagai bayangan.
Juru asah batu akik meneropong batu itu dengan kaca pembesar lalu berseru, Duh Gusti! Kamu mendapatkan batu Supersemar, Nak! Supersemar Hitam!
Lelaki itu masih menjerit sedikit lagi, tapi Parang Jati kecil nyengir saja. Ia asyik dengan bayangannya mengenai Semar yang melompat dari dalam batu. Semar Mini. Dua lelaki dewasa saling berpandangan. Bandowo segera tahu arti kalimat itu.
Maya Karya Ayu Utami di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi ia tahu, Parang Jati belum mengerti.
Hati-hati! Harganya bisa mahal sekali! Mau kamu apakan ini"
Mau saya berikan kepada seseorang. He! Benar" Sudah matur Romo" Sampun.
Romo Suhubudi sudah setuju" Bandowo ikut-ikut memastikan.
Sampun, Paklik! Si juru asah mengaku agak takut menyimpan batu ini. Ia memoles-moles dengan khidmat, bagai terhadap benda bertuah. Berkali-kali ia menyebut duh gusti.
Duh Gusti! Tapi Nak Jati tahu ceritanya" Cerita apa"
Cerita tentang batu ini" Parang Jati menggeleng.
h ari itu adalah peringatan Supersemar. Surat Perintah Sebelas Maret. Penyambutan pasukan baru AMD di Sewugunung diatur bertepatan dengan tanggal istimewa itu, agar upacaranya men jadi lebih bermakna. Balai untuk tamu kehormatan sudah di selenggarakan. Suhubudi duduk di jajaran yang sama dengan anggota musyawarah pimpinan desa.
Kepala Desa Pontiman Sutalip berdiri di podium, membe rikan sambutan yang berputar-putar. Hari ini kita mempe ringati 15 tahun Supersemar, ia membuka. Supersemar ada lah naskah pusaka bangsa terpenting kedua setelah Pro klamasi Kemerdekaan. Jika dengan Proklamasi Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, merdeka dari penjajah; dengan Supersemar Indonesia merdeka dari kominisme! Pontiman Sutalip mengepalkan tangan.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Letjen. Soeharto, yang telah berhasil memimpin penumpasan kudeta oleh PKI tahun sebelumnya, akhirnya mendapat mandat dari Presiden Sukarno untuk mengambil alih kekuasaan. Dengan Surat Perintah
Sebelas Maret itu maka Pak Harto memegang kendali negeri ini secara sah, dalam keadaan negara darurat, sebelum pemilihan umum...
Pontiman Sutalip melirik ke arah tamu-tamu kehormatan. Matanya berhenti sebentar pada Suhubudi. Sang kepala desa memberi tanda dengan sorotnya bahwa ia tahu sesuatu. Ia telah mendengar berita tentang batu yang ditemukan putra guru kebatinan itu di dekat sungai Luk Ulo. Di antara pembacaan pidato, pikiran Pontiman Sutalip beralih-alih kepada perkara mustika tersebut.
Sebagai militer ia tahu bahwa Presiden Soeharto juga punya penentang. Kelompok oposisi ini sering mempertanyakan keabsahan Supersemar. Para sejarawan tak yakin bahwa surat perintah itu benar-benar ada. Dicurigai, Sukarno tidak pernah membuat surat itu. Kalaupun ia menandatangani menurut ceri ta, Sukarno menyerahkan surat itu di kediaman negara di Istana Bogor kepada tiga jenderal ia menandatanganinya karena dipaksa. Bahkan ditodong oleh jenderal yang datang. Surat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret. Menurut para oposan, Supersemar bukanlah legitimasi kekuasaan Soeharto, melainkan justru tindak kudeta Soeharto terhadap presiden pertama. Tapi, para pembangkang itu tak layak didengar. Mereka itu kominis! Pontiman Sutalip selalu menyebut komunis dengan kominis.
Pontiman Sutalip percaya bahwa komunisme tidak punya tempat di bumi nusantara ini. Roh-roh leluhur menolak komunisme karena ideologi ini mengajarkan materialisme dan atheisme, padahal bangsa ini religius dan spiritualis. Bagi orang Jawa, roh para leluhur nusantara itu kerap mewujud dalam sosok Ki Lurah Semar.
Orang-orang percaya bahwa Surat Perintah Sebelas Maret yang asli telah hilang. Yang ada hanyalah salinannya. Tapi, para juru klenik bercerita bahwa pada saat itulah batu mustika
tersebut muncul begitu saja. Sebutir batu akik dengan wajah Semar dan dua garis seperti angka sebelas di dalamnya. Itulah batu Supersemar, yang hadir secara gaib, sebagai tanda restu roh nusantara terhadap pemerintahan militeristis yang diberi nama Orde Baru, yang mengalahkan komunisme.
Konon, batu itu pernah hilang. Yaitu di tahun 1974. Ketika itu langsung terjadi demonstrasi besar-besaran pertama terhadap pemerintah. Yang dinamakan Peristiwa Malari, atau Malapetaka 15 Januari. Mobil-mobil dibakar. Ibukota rusuh. Para juru klenik berkumpul dan sepakat bahwa batu Supersemar harus ditemukan lagi. Orang mulai percaya bahwa tanpa batu ini, kekuasaan akan goyah. Untunglah ditemukan batu sejenis yang lain. Sekeping akik siwalan yang juga mengandung citra Semar di dalamnya. Di antara dukun-dukun hebat ada beberapa yang berkata bahwa sebuah batu Supersemar baru harus ditemukan tiap sepuluh tahun. Batu Supersemar mengandung restu kekuasaan untuk satu dasawarsa. Legitimasi dari rakyat bisa diperoleh lewat pemilu setiap lima tahun. Tapi restu dunia gaib harus didapat setiap sepuluh tahun. Maka, diam-diam terjadilah perburuan terhadap batu Supersemar...
Dan sekarang kita ucapkan selamat datang kepada pasukan AMD yang baru! seru Pontiman Sutalip sambil mengacungkan kepal. Yang sudah tiba di lapangan itu baru beberapa sa tuan. Yang lain masih akan menyusul. Lalu Pontiman Sutalip memimpin yel-yel. Hidup dwifungsi ABRI! AMD jaya! Supersemar, sakti! Ganyang kominisme!
Dalam acara ramah tamah mereka membicarakan tentang upaya menyukseskan program pemerintah. Parameternya jelas: peningkatan produksi beras, pengurangan jumlah kehamilan dan kelahiran, penurunan angka buta huruf, kemenangan Golkar dalam Pemilu.
Sambil mencicipi hidangan Pontiman Sutalip menghampiri
Suhubudi. Orang Jawa di masa itu menghindari kata-kata yang terlampau jelas.
Apa kabar bocah ganteng Parang Jati" Itu yang diucapkan mulut Pontiman Sutalip.
Yang dikatakan matanya adalah ini: Tidakkah putramu mendapatkan mustika Supersemar" Sekeping batu cincin dengan Semar menampakkan diri di dalamnya" Tidakkah kau tahu apa artinya itu" Kita bisa bagi hasil.
Tentu Suhubudi tahu bagaimana kristal semacam itu dihargai oleh pasar yang haus akan tanda-tanda dari dunia halus dan berkat ilahi. Ia juga bisa membaca nubuat apa yang ada pada sekeping batu. Tapi yang lebih tampak di matanya sekarang adalah keserakahan sang Bilung. Lelaki itu tahu apa harga batu mulia yang ditemukan Parang Jati kecil. Mustika itu bisa dijual dengan harga tinggi sekali ke lingkar politik terdalam negeri ini. Atau, jika kau bisa berikan langsung kepada RI-1, mungkin upahmu akan besar sekali.
Suhubudi menjawab: Parang Jati baik-baik sekali. Ya, namanya anak-anak, saya biarkan dia bermain seperti yang dia inginkan. Dia itu tidak perlu diatur-atur.
Bagi orang Jawa itu jawaban yang sangat jelas: Batu itu menampakkan dirinya pada Parang Jati. Batu itu milik Parang Jati dan anak itu telah memilih kepada siapa ia mau berikan batu itu.
Mata Pontiman Sutalip berkilat-kilat tidak percaya. Mulutnya menganga ke bawah, terberati oleh pipinya yang menggantung.
Parang Jati dan Paklik Bandowo telah berada dalam perjalanan pulang. Lelaki yang dewasa mencoba membuat bocah itu berpikir ulang tentang memberikan batu kepada tamu baru.
Yakin kamu, Den Bagus"
Ya. Kecuali kalau Romo tidak setuju. Tapi Romo sudah setuju.
Nanti coba ditanyakan ulang. Itu batu sangat berharga lho.
Bandowo selalu menyetir dengan sangat pelan. Seolah ia takut menyerempet bahkan selembar hantu pun. Tiba-tiba mereka melihat seperti suatu keributan di depan. Sederet iringiringan kendaraan militer sedang henti. Para prajuritnya turun. Seingat Jati, dalam pengamatan sambil ngobrol sebelumnya, ada sebuah minibus ngebut yang menyalip iringan truk itu setelah menyusul Colt mereka. Agak was-was Bandowo menghentikan mobil persis di belakang truk tentara yang terakhir.
Beberapa prajurit menghampiri dengan senjata teracung. Jati kecil belum paham apa yang terjadi. Tapi suasana kini terasa tegang. Satu prajurit melongok ke dalam, melihat kepada dua penumpang dan memindai adakah orang lain. Mau ke mana"
Mau pulang ke Sewugunung, Ndoro. Jangan berhenti di sini! Maju! Maju cepat!
Orang-orang berseragam itu kemudian memberi tanda agar Colt segera meninggalkan tempat. Mereka membentak dan menggebuk bagian belakang mobil agar melaju lebih lekas. Bandowo yang gugup malah melepas kopling terlalu cepat sehingga mobil meloncat dan mesin mati. Wajah seorang prajurit muncul di jendela dan menghardik: Kamu mau melawan aparat" Mau dihajar seperti orang yang tadi juga!
Terdengar yang lain: Orang sipil pembangkang. Dilarang menyalip iringan militer, malah nekad menyalip. Yang ini disuruh melaju malah sengaja berhenti!
Bandowo gemetar sambil meminta ampun. Parang Jati kecil terkejut sekali. Di tengah rasa takutnya ia menoleh ke arah minibus yang tadi ia lihat menyalip. Supirnya telah diseret ke
pinggir jalan. Lelaki itu dihajar oleh puluhan orang ramai-ramai. Wajahnya telah penuh darah. Beberapa lelaki berseragam yang lain menyeret sisa penumpang bus kecil itu keluar. Di antaranya ada perempuan... Bandowo berhasil menyalakan mesin kendaraan mereka dan Colt itu segera melaju meninggalkan peristiwa. Parang Jati kecil masih terpana dan pandangannya terpaku ke belakang. Lehernya hampir terpuntir. Itulah kali pertama ia melihat orang dianiaya.
Tiba-tiba ia merasa paham apa arti penjajahan.
t eologi P embebasan . t iba tiba kata itu berdenting di kedalaman telinganya.
Malam itu sang imam muda ingin menjadi rasional, bukan spiritual. Kejawaannya memberitahu dia bahwa spiritualitas juga bisa menggelincirkan orang pada rasa syur terhadap takhayul. Ia merasa ada suara-suara ganjil yang hendak menggapai ia. Tapi, yang menggapai-gapai dari dunia seberang itu tangan-tangan dan suara-suara itu adakah mereka minta tolong" Ataukah mereka hendak menguasai"
Wisanggeni menampar pipinya sendiri, menyadarkan diri agar bangun ke dalam rasionalitas. Lalu kata yang pertama ia ingat adalah Teologi Pembebasan. Ia berdiri dan menuang air putih ke dalam gelas. Ia berkumur-kumur sebelum mene guknya, seolah ia ingin membersihkan diri ke dalam diri sendiri. Tidakkah seorang imam harus menelan habis isi cawan pengorbanan ke dalam dirinya" Ia mencoba menyadari apa yang bergumul dalam pikirannya.
Ia ingat percakapan tentang itu beberapa waktu lalu, di
antara rohaniwan dan aktivis mahasiswa: Teologi Pembebasan. Banyak pastor muda tertarik pada konsep itu, termasuk Wis juga. Dekade 80-an adalah zaman yang ramai tentang itu. Ini adalah era rezim militer di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 1980 seorang uskup ditembak mati ketika sedang mengangkat cawan di puncak perayaan misa, di El Savador, Amerika Latin. Ia ditembus peluru setelah mengucapkan kata-kata Kristus: Inilah darahKu, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Pasukan penembak jitu dipastikan berada di belakang pembunuhan berencana itu. Oscar Romero, sang uskup yang ditembak mati, adalah seorang pembela rakyat kecil yang sangat lantang mengkritik rezim militer El Savador dukungan Amerika Serikat. Uskup Romero adalah salah satu nama dalam pergerakan Teologi Pembebasan, sekalipun ia sama sekali bukan yang paling heroik. Ia pernah menulis surat kepada Presiden AS agar tidak lagi mendanai junta militer karena begitu banyak kekejaman yang dilakukan rezim. Tapi AS tetap mendukung rezim-rezim militer dalam Perang Dingin melawan komunisme. Sebelum dan setelah Romero, berjajar rohaniwan dan aktivis yang diculik, dianiaya, dibunuh karena berpihak pada rakyat miskin.
Kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan rezim-rezim politik di Amerika Latin menyebabkan para rohaniwan di kawasan itu merumuskan Teologi Pembebasan. Pemikiran mereka sangat memikat Wisanggeni. Ia sendiri seorang pastor muda yang berapi-api. Negeri-negeri Amerika Selatan pun punya kemiripan dengan tanah airnya: sama-sama miskin, dikuasai rezim militer dukungan AS, penuh korupsi dan kesenjangan sosial-ekonomi. Para rohaniwan menyadari bahwa Gereja harus berpihak pada yang miskin. Sebab, nyata bagi mereka, kemiskinan itu terjadi akibat ketidakadilan. Teologi, dengan demikian, adalah teologi yang mengusahakan pembebasan
manusia dari jerat ketidakadilan dan kemiskinan itu. Dan harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
Wis ingat betul bagaimana ia berdebat dengan seorang pastor yang kolot. Lelaki tua itu bilang bahwa idenya memang bagus, tapi praksisnya akan mudah tergelincir jadi gerakan mesianik temporal. Ingat, Yesus dulu juga diharapkan orang banyak sebagai mesias temporal, menyelamatkan bangsa Yahudi dari penjajahan Romawi. Tapi penyelamatan yang ditawarkan bukan itu. Lagipula, sebagian teolog pembebasan menjadi sangat bersifat Marxis.
Tapi mereka tetap menolak jalan kekerasan! bantah Wis. Lalu pastor kolot yang dekat dengan think tank pemerintah itu menutup perdebatan dengan sikap pragmatis yang sulit dibantah: Kita ini di Indonesia, Nak. Mau apa dengan nama Teologi Pembebasan yang bahkan oleh Vatikan saja sudah disinyalir dekat dengan Marxisme, hah" Pertama, umat Katolik di negeri ini minoritas. Kedua, begitu kau dicap Marxis atau komunis di negeri ini, mati kutulah kamu. Lalu pastor tua itu menceramahi dia tentang jalan lain: Ajaran Sosial Gereja. Tapi, di balik khotbah pribadi itu, Wis merasa imam senior itu berkata: janganlah membikin susah posisi Gereja di negeri ini.
Udara di kamar itu jadi sesak sekarang. Wis membuka pintu dan pergi ke teras. Ia memandang ke kegelapan, membayangkan masa kanak-kanaknya dulu di kota ini. Perabumulih. Ajaran Sosial Gereja memang memberi konsep-konsep yang bagus untuk mengkritik kapitalisme maupun sosialisme; tapi kenapa kemiskinan tidak juga tersembuhkan" Teologi Pembebasan menginginkan perbuatan yang lebih nyata dan terprogram.
Wis selalu mencoba mengikuti perkembangan perkara itu. Tahun ini juga, Maret 1984, Vatikan mengecam beberapa elemen Teologi Pembebasan. Argumennya lebih tajam daripada yang dikutip pastor senior itu. Meski tak terlalu senang, Wis tahu juga bahwa Gereja di Asia hidup dalam konteks yang sangat
berbeda dengan Eropa dan Amerika. Kristianitas adalah satu dari banyak minoritas di Asia. Begitu banyak agama di benua ini. Agama Kristen tidak bisa mendaku sebagai satu-satunya jalan keselamatan syukurlah, tentang ini Konsili Vatikan II di tahun 60-an telah menegaskannya. Sebagai imam Katolik ia boleh, bahkan harus, terbuka pada spiritualitas lain yang terdapat di muka bumi; yang begitu banyak perwujudannya di benua ini. Seharusnya Gereja di Asia menyumbang dalam dialog antar-kepercayaan. Teologi Pembebasan di Asia hendaknya adalah dialog antar-iman untuk membebaskan manusia dari kemiskinan dan kekerdilan. Karena itulah dulu ia datang ke padepokan Suhubudi...
...dan dulu ia pergi dari sana membawa sekeping batu cincin, yang malam ini memanggilnya dari tidur tak nyenyak. Lalu terbangkit kembali kata-kata Suhubudi: Dalam batu itu Frater akan menemukan wajah yang mengubah jalan hidup Frater.
Tengkuk Wisanggeni kembali meremang. Bukan spi ritualitas macam ini yang ia inginkan dalam suatu pertemuan antar iman. Ia tak tertarik ramalan garis hidup, sama seperti ia tak tertarik perbintangan. Ia tak penasaran dengan dunia gaib. Bahkan sekalipun ia sesungguhnya memiliki bakat. Ia hanya ingin menyerahkan diri kepada Tuhan. Tapi ia tak bisa lagi sama seperti semula, setelah ia bertemu dengan gadis cacat yang dipasung karena kemiskinan tak menyediakan jalan keluar. Ia tak bisa lagi sama seperti sebelumnya. Dan wajah itu ditemukannya pada batu yang dinubuatkan Suhubudi.
Kata-kata Suhubudi, yang tak ia kehendaki, sedikit membuat ia kesal pada guru kebatinan itu. Kenapa lelaki itu harus mengatakannya" Kenapa tak ia simpan saja ucapan itu bagi diri sendiri" Tapi, lalu Wis teringat bocah manis itu, putra Suhubudi. Parang Jati. Dialah yang tidak berkata-kata tetapi berbuat. Dialah yang mendapatkan batu itu dan menentukan
bahwa keping mustika itu diberikan kepadanya.
Anak yang manis. Anak lelaki kecil yang mencari rolmodel dan melihat Wis sebagai sosok itu. Sebagai frater Wis tahu ia punya kharisma dan anak-anak serta remaja mengagumi dia. Parang Jati menulis beberapa surat kepadanya, dan ia membalasnya. Surat-surat itu menunjukkan kematangan di atas rata-rata anak seusia. Anak yang kutubuku pula. Wis menerima banyak surat dari remaja, terutama putri, yang meng idolakan dia. Wis mencoba mengingat-ingat kenapa korespondensi dengan Parang Jati kecil berhenti. Tiba-tiba ia tersadar bahwa ada satu surat dari anak itu yang belum sempat ia buka. Itu di sekitar ia ditahbiskan, dan ia sangat sibuk. Ia berniat membacanya ketika telah tenang, tapi rencana itu tertimbun tugas-tugas lain.
Sesuatu seperti menyengat Wis sekarang. Rasanya ia masih menyimpan dan membawa amplop itu dalam tas dokumennya. Ia berbalik, meninggalkan teras, dan kembali ke kamarnya.
k angmas F r a thanasius Wisanggeni yang saya cintai,
Pekan ini kesedihan saya rasanya tak mungkin bisa dika lah kan oleh apapun. Kemarahan telah menghanguskan sebagian hati saya sehingga cacat selamanya. Maafkanlah saya jika berbagi penderitaan ini pada Frater.
Pada awalnya adalah kebahagiaan. Paklik Bandowo dan saya selalu senang bercakap-cakap tentang alap-alap. Alapalap itu makan tikus; sedangkan tikus adalah hama padi. Ayah selalu mempercayai beliau untuk menemani saya ke tempat yang jauh. Ia adalah laki-laki yang menjaga di meja penerima tamu di wisma. Ia telah bekerja pada ayah sejak saya belum ada di dunia ini.
Bandowo memiliki rumah dan keluarga di luar padepokan. Tak begitu jauh, kira-kira tiga kilometer. Mereka punya beberapa petak sawah, yang ditanami padi terutama untuk makan sendiri. Kadang Paklik membawa saya ke rumahnya untuk bermain dengan anak-anaknya. Ada satu anaknya yang sekelas dengan saya di sekolah desa. Selain itu, ada beberapa kemenakan
Century 1 Wiro Sableng 173 Roh Jemputan Tamu Dari Gurun Pasir 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama