Religi Fiesta 2009 Karya Ndok Asin Bagian 1
Tak Ada Adzan di Akhir Ramadhan Oleh : navigator url cerita : http://www.kemudian.com/node/236549
"Mungkin dia sakit."
"Ya mungkin saja."
"Dia tinggal dengan siapa di masjid itu?"
"Sendirian." "Haa" Sendirian di atas bukit?"
"Iya, kan sudah berpuluh-puluh tahun dia di sana."
"Wah. Kasihan, ya" Mungkin terjadi apa-apa di sana!"
Petang ini, di akhir-akhir Ramadhan, penduduk desa Mayar
sedikit heran, Haji Wakni tak terdengar suaranya, biasanya,
sebagai pertanda berbuka puasa, suara adzan Maghrib yang
dilantunkan Haji Wakni akan menyelimuti desa terpencil itu,
meski dengan speaker seadanya, namun masjid Haji Wakni
yang terletak di puncak bukit itu membuat suara adzan
terdengar merata, suaranya tetap terdengar lantang meski
sudah bertambah usianya, setiap kali cahaya matahari
perlahan turun dan bersembunyi di balik bukit, ketika
burung-burung sudah berbaris rapi terbang searah di langit,
ketika perlahan gelap merayap di setiap tanah di pepohonan,
maka terdengrlah lantunan azdan seorang tua yang tinggal
sendirian, yang tidak pernah lupa untuk mengumandangkan
adzan. Sejak dahulu memang hanya Haji Wakni yang
senantiasa mengumandangkan azdan dari masjid di atas
bukit itu. Desa Mayar terletak di lereng sebuah bukit,
penduduknya hanya sekitar seratusan orang. Dari anak-anak
hingga orang tua, semuanya sangat mencintai Haji Wakni dan
adzannya yang telah familiar di telinga, apalagi di bulan
Ramadhan, tak hanya waktu berbuka, tetapi pada dini hari
pun Haji Wakni senantiasa membangunkan penduduk.
Sewaktu listrik belum masuk ke desa itu, Haji Wakni selalu
naik turun bukit untuk membangunkan penghuni setiap
rumah, dengan sebuah obor ia membelah pekat malam.
Namun ketika listrik telah masuk, warga setempat berinisiatif
menghadiahkan sebuah speaker, agar Haji Wakni tak perlu
lagi naik turun bukit setiap dini hari untuk membangunkan
warga, awalnya beliau keberatan, namun, karena dirasa
tenaganya juga sudah banyak terkuras, akhirnya diterima lah
pemberian itu. Masjid di puncak bukit itu pun menjadi
benderang, jika sebelumnya hanya setitik cahaya perapian
yang bisa terlihat dari kejauhan, kini setidaknya ada sebuah
lampu neon dengan cahaya putihnya yang tampak menyinari
puncak bukit itu. Haji Wakni mulai mengumandangkan adzan lewat speaker,
suaranya yang dari asalnya memang lantang itu kini semakin
keras, menjangkau semua rumah-rumah penduduk di desa
itu. Dan semenjak itu pula, ia tak pernah turun lagi di malam
hari. Ia tak pernah terlihat lagi kecuali suaranya, memang
tinggal suara, namun itu cukup untuk mewakili
keberadaannya di desa Mayar, keberadaannya sebagai
muadzin satu-satunya, di masjid yang juga satu-satunya. Haji
Wakni rupanya sangat cinta kepada masjid itu, meski jarang
ada yang singgah di sana, ia memakluminya, mungkin karena
letakknya ada di ujung bukit dan jauh dari rumah-rumah
penduduk. Ia pun biasa adzan sendiri, iqomah sendiri, sholat
sendiri, berdzikir sendiri, bahkan ketika sholat jum'at pun,
bahkan ketika di bulan Ramadhan pun, tetap tak ada yang
menemaninya, namun entah mengapa juga warga tak
mendirikan masjid lain, di tengah desa, mereka seperti tidak
butuh masjid. Mungkin warga tidak ingin ada yang menyaingi
adzan Haji Wakni yang sudah menjadi tanda mendarah
daging, mungkin warga begitu menghormati Haji Wakni,
mungkin juga itu hanya alasan.
*** Setiap kali Ramadhan, beberapa penduduk desa suka
mengantarkan makanan ke masjid Haji Wakni, di sana ia
memang sendirian, dahulu pernah beberapa tahun ada
seorang anak perempuan yang menemaninya, merawatnya,
ada yang bilang itu cucu Haji Wakni, ada yang bilang Haji
Wakni menemukannya di pinggir jalan, ada yang bilang itu
anak yang sengaja dititipkan orang tuanya untuk menemani
Haji Wakni, karena kecintaannya kepada muadzin satusatunya di desa itu. Namun setelah beranjak dewasa, anak
yang telah menjadi gadis itu pun pamit untuk kemudian
turun, tak hanya turun ke desa, tetapi juga turun ke kota,
dipinang pejabat, konon ceritanya, sampai sekarang gadis itu
tak kembali lagi. Haji Wakni tetap melaksanakan kegiatannya,
dari puncak bukit itu, ia bisa melihat waktu ketika matahari
benar-benar tenggelam, ia tidak butuh jam dinding atau
jadwal-jadwal sholat yang beredar kebanyakan di rumahrumah. Warga pun sebenarnya juga tidak begitu perhatian
apalagi menunggu suara adzan Haji Wakni, semenjak listrik
masuk, setiap rumah berangsur-angsur mulai familiar dengan
televisi, padahal jaman dulu punya radio saja sudah mewah,
kini mereka bisa menyimak siaran televisi sambil menunggu
buka, meski begitu, mereka tetap saja senang ketika pada
akhirnya mendengar juga suara adzan yang khas dari atas
bukit. "Rasanya ada yang kurang sebelum mendengar adzannya
Haji Wakni." Ucap seorang anak yang baru saja menyeruput
es teh sambil menonton acara komedi sesaat setelah
berbuka. "Ya, enak didengar!" Ucap anak yang lainnya lagi.
Suara itu pun menjadi hal yang sangat khusus. Bahkan, ketika
beberapa orang di desa itu memutuskan untuk mengadu
nasib ke kota lain, maka mereka akan sangat merindukan
suara adzan Haji Wakni. "Itu suara Haji Wakni, ya?" Tanya seorang perantau yang
sedang mudik ke desa itu, dengar-dengar, di kota ia sudah
jadi orang, entah orang apa.
"Iya, masak kamu lupa?"
"Rasanya berbeda ya?"
"Ya maklum, Haji Wakni kan semakin tua, jadi tidak begitu
lantang seperti dulu."
"Oooo..." Suatu ketika seorang perantau lain juga datang sambil
membawa calon istrinya dari kota, mereka sedang
berbincang-bincang di depan rumah.
"Eh, suara siapa serak-serak begitu?"
"Itu Haji Wakni, dia muadzin tetap di desa ini, masjidnya ada
di bukit sana itu." "Ooh. Kenapa dipanggil Haji?"
"Ya. karena dia satu-satunya Haji di desa ini."
Namun begitulah yang terjadi, ketika pada suatu petang hari,
sehari sebelum berakhirnya bulan Ramadhan, masjid di
puncak bukit itu senyap, tak ada sayup-sayup suara manusia,
maka warga pun mendadak heran, apa yang terjadi di atas
sana. Belum beberapa jam, tak terdengarnya adzan itu mulai
jadi pembicaraan, apalagi tak hanya Maghrib, ketika waktu
Isya' tiba pun tak terdengar apa-apa, tak ada suara yang
menyebar dari arah bukit, tak ada suara yang menyempil di
antara riuh lagu-lagu di televisi. Kebanyakan warga mulai
mengeluarkan pendapatnya, kemungkinan-kemungkinan
yang bisa saja terjadi, dari yang berpikiran baik sampai yang
tidak berpikiran apa-apa dan tidak ambil ambil pusing.
Sebagian dari mereka mengatakan Haji Wakni sakit, sebagian
yang lain mengatakan pasti Haji Wakni lupa untuk adzan,
namun tak ada satu pun yang berani berkata mungkin saja
Haji Wakni sudah meninggal dunia karena usia yang memang
sudah uzur. "Kita harus menjenguknya. Siapa tahu sakitnya parah dan
butuh bantuan." "Lapor Pak Kades dulu, biar terkoordinasi."
"Paling lambat besok harus ke atas bukit!"
"Ya, kita membawa bingkisan."
"Pak Haji paling suka apa ya?"
"Mangga Indramayu mungkin?"
"Atau nasi liwet Solo?"
"Gudeg Jogja!" "Pak Haji suka apa saja, asal niat kalian ikhlas
memberikannya," ucap seseorang yang boleh dikatakan
paling bijak di antara mereka.
Perbincangan pun berhenti ketika Pak Kepala Desa datang
bersama sebuah mobil bersama anak dan istrinya. Belum lagi
salah satu dari mereka berbicara, Pak Kepala Desa sudah
mendahuluinya. "Saya sudah tahu, tadi tidak terdengar adzan dari Pak Haji."
"Benar, jadi bagaimana?"
"Saya pikir itu bukan masalah besar."
"Lho kok begitu?"
"Kita sudah punya televisi, radio, dan jadwal edaran dari
pemerintah. Kita sudah bisa tahu jadwal berbuka puasa dan
sahur." "Tetapi, urusannya bukan cuma jadwal, urusannya Haji
Wakni, takut dia kenapa-kenapa di bukit sana. Dia kan
sendirian?" "Hmm.. Kalau itu, ya besok sore kita ke atas bukit."
"Pagi saja Pak Kades!"
"Oh, jangan, saya ada rapat di Kabupaten."
Malam itu pun berakhir dengan damai dengan seberkas
tanda tanya yang samar, warga mulai kembali ke rumah
masing-masing, anak-anak kembali ke pangkuan ibunya,
suami-suami kembali ke pangkuan istrinya yang sepanjang
hari tak bisa disentuh. Segalanya kemudian seperti tak
pernah terjadi apa-apa. Mereka kini kekenyangnan dengan
menu makanan di setiap meja, sejenak mereka lupa dengan
suara adzan itu. Bahkan ketika waktu sahur tiba, dari puncak
bukit itu tetap tak ada suara apa-apa.
*** Belum juga terlaksana rencana untuk mengunjungi Haji
Wakni, desas-desus tentang tak terdengarnya adzan ternyata
tak berlangsung lama, keesokan harinya, di hari ketiga puluh
bulan Ramadhan, tepat ketika matahari sedang sumringah di
atas langit, ketika burung-burung kepanasan dan berteduh di
bawah pohon kelapa, ketika udara menyengat pori-pori kulit,
ketika warga sibuk dengan aktifitas masing-masing, ada yang
tidur siang di emperan rumah, ada yang bermain kartu dan
catur di pos ronda sepajang hari, ada yang tetap pergi ke
sawah, tampak seseorang yang berjalan menuruni bukit
sambil memegang sesuatu di tangannya.
"Pak Haji Wakni"!"!" Beberapa orang yang menggarap sawah
berupa sengkedan karena tanah lereng bukit yang miring itu
terheran-heran, kebanyakan tidak percaya bahwa seorang
tua yang bertahun-tahun berada di masjid puncak bukit itu
kini turun kembali, dengan baju putih yang beranjak abu-abu,
dengan rambut yang telah beruban, ia menuruni sebuah
jalan bebatuan dengan langkah yang perlahan-lahan, dengan
sesuatu terbungkus koran yang dipegangnya erat-erat.
"Ya, kenapa?" Haji Wakni balik bertanya.
"Saya dengar anda sakit?" Tanya seorang wanita setengah
tua yang sengaja menghampirinya, wanita itu tampak
keriput, dengan cangkul masih di tangan, sementara
kepalanya dipayungi topi caping yang khas.
"Sakit" Kata siapa itu?"
"Orang-orang semuanya bilang anda sakit, gara-gara tidak
terdengar suara adzan dari masjid sejak kemarin sore."
"Oooh. Tidak. Saya tidak sakit."
"Terus" Kenapa petang kemarin Pak
mengumandangkan adzan seperti biasanya?"
Haji tidak "Saya hanya lelah. Istirahat. Sekarang ingin berjalan-jalan.
Sudah dulu ya. Saya mau turun."
Wanita tua itu pun terdiam. Haji Wakni kembali melangkah,
orang-orang kembali sibuk menggarap sawahnya yang
sebenarnya sangat jarang berhasil dipanen itu. Haji Wakni
berjalan perlahan namun begitu santai, tak lama berselang,
sekitar sepuluh menit, ia sudah sampai di tengah desa,
namun jalan yang dilaluinya tetap sama, jalanan desa penuh
kerikil, tak secuil aspal pun yang melekat di badan jalan, tak
pernah ada pembangunan jalan di sana, Haji Wakni mulai
memasuki daerah yang rumahnya cukup padat, beberapa
saat ia terdiam, seolah berpikir, atau mungkin menikmati
pemandangan, desa yang dicintainya itu sudah banyak
berubah, ia tak ingat lagi kapan terakhir kali turun ke desa,
sekarang segalanya berubah, rumah-rumah bukan lagi dari
triplek atau gedhek, bahkan ada beberapa rumah yang
berlantaikan semen, dan setiap kali lewat di depan rumah,
maka pemilik rumah pun melambaikan tangan, ada juga yang
mengucap salam kepadanya, ada yang bersalaman, Haji
Wakni seperti seorang menteri yang berkunjung ke daerah
bencana. "Jadi, beliau tidak sakit?" Beberapa orang saling berbisikbisik.
"Tidak. Barangkali hanya bosan, tinggal di atas bukit
bertahun-tahun." "Wah, lama tak terlihat, Pak Haji sudah setua itu!"
"Pak Haji! Ingat mendekatinya. dengan saya?" Seorang pemuda "Ha" Kamu siapa, Nak?"
"Saya Memet, yang waktu kecil suka maen layangan di
bukit!" "Ooo... Ya, ya, sudah besar kamu sekarang, kamu jadi bersih
begini, dulu kan kulitmu hitam."
"Sekarang saya di rumah. Jarang ke bukit lagi."
"Sudah tidak pernah main layangan lagi?"
"Sekarang playstation lebih nikmat!"
Haji Wakni mengernyitkan dahi, lalu tersenyum, ia jadi
banyak tersenyum melihat semuanya, meski sesungguhnya ia
tak begitu mengenal orang-orang yang dilihatnya, sudah
habis tahun demi tahun, Haji Wakni hanya sesekali
mendengar kabar orang-orang yang meninggal dunia, namun
ia tak pernah turun ke desa, karena warga juga jarang yang
mau memberitahunya, karena itu lah, desa Mayar, desanya
sendiri, kini tampak asing, ia seperti baru tiba di negeri entah
di mana, ia tak mengenal saudara atau siapapun yang pernah
Religi Fiesta 2009 Karya Ndok Asin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikenal, tak ada lagi Mang Usop yang suka menemaninya
ketika menggarap sawahnya dahulu, tak ada Rasudi yang
suka berkeliling desa dan dianggap gila oleh semua orang, tak
ada warung Sutini tempatnya sering mampir ketika masih
sering pergi ke kota, ia benar-benar tak mengenal siapa-siapa
sekarang, namun setiap orang seperti telah lama menantikan
kehadirannya. "Pak Haji ada apa turun?"
"Pak Haji, kemarin sengaja tidak adzan?"
"Pak Haji sakit, ya?"
"Pak Haji mau ke puskesmas?"
Pertanyaan terakhir membuatnya mengernyitkan dahi
kembali, ia tidak tahu apa itu puskesmas. Ia hanya
menggeleng untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang
sejenis itu. Kemudian ia jarang bicara, ia seperti tak tahu
hendak bicara apa, ia tetap melangkah sambil menggenggam
bungkusan koran di tangannya.
Setelah beberapa saat berjalan, Haji Wakni kini sudah ada di
ujung desa, di sebuah gapura yang berdebu ia berhenti, ia
ingat dahulu tak ada gapura di situ, yang sama hanyalah
jalannya yang masih saja berbatu dan becek ketika hujan.
Matahari belum turun benar ketika ia bersandar di gapura
itu, kemudian duduk sambil tetap memegang sesuatu yang
terbungkus koran begitu rapi.
"Pak Haji Wakni ya?" Seseorang bertanya tiba-tiba, muncul
dari arah luar desa. "Ya." "Pak Haji sedang apa di sini?"
"Sedang duduk saja, menunggu buka puasa."
"Mmm... Dengar-dengar, kemarin sakit sampai tidak bisa
adzan." "Wah, semua orang sudah tahu, ya" Saya kira tidak ada lagi
yang mau menyimak kumandang adzan saya."
"Semua orang merasa kehilangan Pak Haji!"
"Tetapi hanya adzan kenapa sampai kehilangan?"
"Ya kan sudah biasa, meski sekarang sudah ada koran dan
televisi, tetap saja suara Pak Haji dibutuhkan warga."
"Jangan terlalu memuji, tidak baik."
"Lho, saya bicara yang sebenarnya. Kemarin warga bertnyatanya, takut ada apa-apa dengan Pak Haji."
"Saya baik-baik saja."
"Sekarang Pak Haji mau ke mana?"
"Mau pergi sebentar."
"Ooo... Terus" Yang dibawa itu apa?" orang itu kemudian
mengarahkan pandangannya pada bungkusan koran.
"Ini bekal saya."
"Bekal untuk buka" Mmm... Bagaimana kalau berbuka di
rumah saya saja" Ini kan puasa terakhir, hari ke tiga puluh.
Istri saya membuat bermacam-macam makanan, es, dan kue.
Alangkah senangnya kalau Pak Haji mau mampir." Ucap
orang itu, dari awal pembicaraan ia begitu sopan, ia tahu
sedang berbicara dengan siapa di hadapannya.
"Tidak usah. Saya sudah ditunggu."
"Ditunggu siapa?"
"Kamu tidak perlu tahu."
"Jadi, Haji Wakni nanti malam juga tidak datang ke rumah
Pak Kades" Kan ada acara takbir keliling. Ada hiburan juga!"
"Tidak, saya sudah bilang Pak Kades, ijin tidak hadir. Ah
sudah lah, kamu cepat pulang, hampir Maghrib ini. Istri
anakmu pasti sedang menunggumu di rumah."
Setelah mengucap salam, orang itu pun pergi. Haji Wakni
kembali duduk, jalanan kini lengang, kicau burung di
pepohonan, suara angin yang membenturkan daun-daun,
pohon kelapa menjulang, batangnya bergoyang-goyang,
langit tampak cerah, beberapa saat ada gemuruh pesawat
yang melintas, rasanya dekat sekali, hanya beberapa meter di
atas kepala. Kemudian sunyi lagi, tak terasa waktu
melangkah begitu pasti. "Pasti sudah berbuka." Gumamnya sendiri, ia tak mendengar
suara adzan, ia tak bisa lagi melihat apakah matahari sudah
benar-benar dipeluk langit, ia hanya melihat sebuah rumah
yang jendelanya terbuka, di dalam tampak sebuah keluarga
kecil duduk melingkari meja makan, tampak seorang anak
kecil menengadahkan tangannya, berdo'a, lalu mengambil
gelas berisi air putih.. Haji Wakni hanya tersenyum,
kemudian ia beranjak, meninggalkan gapura desa, kini ia
berjalan menjauh dari desanya, dari bukit yang selama ini
didiaminya, ia seperti telah mengetahui jalan yang hendak
dilaluinya. *** Malam lebaran tiba, satu jam setelah berbuka, anak-anak
kecil mulai ramai berkumpul, beberapa dari mereka
membawa obor, menyalakan kembang api, mengenakan
sarung yang dililitkan di badan, tak ketinggalan pemuda dan
ibu-ibu, semuanya keluar rumah, tepatnya berkumpul di
rumah Pak Kepala Desa yang merupakan rumah paling luas
dan mewah di desa tersebut, di sana mereka tertawa-tawa,
sesekali terdengar bunyi petasan, membuat orang-orang
terkejut, namun kemudian tampak riang, wajah yang diliputi
kegembiraan, terutama anak-anak kecil, mereka berkejaran,
berteriak-teriak, menyalakan petasan lagi, ada yang hanya
duduk sambil mengamati bintang-bintang, mereka anak-anak
masa depan desa Mayar. "Akhirnya selesai sudah perjuangan tiga puluh hari ya!"
"Eh, puasaku penuh lho, tidak ada yang bolong."
"Lho, kamu kan yang suka sembunyi di warung Bu Masripah
untuk minum?" "Enak aja." "Coba tanya Bu Masripah hayoo..."
"Eh jangan!" Pak Kades belum muncul, padahal halaman rumahnya sudah
penuh warga, meja penuh berisi berbagai macam makanan,
dari es kolak, roti lapis, jus mangga, ada juga tumpukan piring
bersih, bersama sendoknya, karena malam itu juga ada acara
makan bersama, itu acara rutin setiap akhir bulan puasa,
siapa yang menjadi kepala desa wajib untuk mengadakannya,
mungkin karena itulah kepada desa Mayar tidak perganti
selama tiga puluh tahun, kepala desa itu benar-benar tahu
apa yang diinginkan warganya, makan enak yang tidak bayar.
Malam ini juga ada pertunjukan layar tancap dan wayang
kulit. "Biasanya Haji Wakni ada di sini. Dia pasti suka Wayang
kulit." "Lho, bukannya sudah bertahun-tahun dia tidak turun?"
"Tadi dia turun!"
"Beliau tidak bisa hadir, tadi aku bertemu di pintu masuk
desa." "Ah, sudahlah. Tidak penting. Lihat, nasinya mengepul.
Hmmmm...." Saat yang ditunggu-tunggu tiba. Pak Kepala Desa keluar
dengan dandanan resmi, setelah sedikit sambutan, meja
makan pun menjadi pusat perhatian, sebelum kemudian
mereka akan berkeliling ke seluruh desa untuk kemudian
kembali menikmati hiburan dan makanan lagi.
Sementara itu, di sebuah jalan yang dilindungi rindang
pepohonan, Haji Wakni masih terus melangkah, meski
dadanya tampak sesak, nafasnya tersengal, ia sudah agak
jauh dari desanya, di tempat itu ia yakin tak ada warga desa
yang lewat situ, semuanya pasti sibuk merayakan malam
kemenangan, malam lebaran. Ia sempat berpapasan dengan
beberapa orang yang sepertinya baru pulang bekerja dari
kebun atau sawah, namun tak seperti ketika berada di
tengah desa Mayar, orang-orang yang berpapasan
dengannya tak ada satu pun yang menyapa,
Kini, Haji Wakni sudah sampai di sebuah jalan berlumpur,
yang sepertinya sangat jarang dilewati, berbagai daun-daun
kering berserakan, tak ada jejak-jejak kaki, apalagi roda-roda
sepeda, benar-benar tanah yang banyak diselingi belukar,
Haji Wakni berjalan sambil menyingkirkan beberapa
tetumbuhan liar, ia melihat sekeliling, hanya ada beberapa
rumah yang jaraknya tidak rapat dan cukup sepi, ketika itulah
dari kejauhan ia melihat seorang laki-laki tua seperti dirinya,
berbaju putih keabu-abuan, seseorang yang seperti telah
dikenalnya begitu akrab. "Kenapa lama sekali?" Tanya orang itu ketika Haji Wakni
telah mendekat. "Maklum lah, aku kan sudah tua."
"Hmmm... Kau membawa apa itu?" Tanyanya lagi sambil
menunjuk pada sesuatu yang terbungkus kertas koran."
"Ooh... Ini." Haji Wakni kemudian pelan-pelan membuka
bungkusan tersebut, sebuah kitab Al Qur'an yang sampulnya
lusuh kecoklatan. "Ini bekalku satu-satunya," ucapnya lagi.
"Jadi" Kau benar-benar sudah siap?"
"Ya, aku siap sekarang. Mereka di sana tidak butuh suaraku
lagi, mereka sudah menemukan kebahagiaan, silahkan bawa
aku pergi." Keduanya lantas berjalan bersama-sama, beriringan,
kemudian mereka tampak samar-samar di balik kabut,
semakin menjauh, mereka berangsur-angsur hilang,
berangsur-angsur hilang, berangsur-angsur hilang.
Di desa Mayar, suara piring dan gelas berdenting, takbir
mulai berkumandang. Namun tak pernah terdengar lagi
suara adzan. (Selokan Mataram, 2009) Suara Oleh: Akatsukileader url cerita : http://www.kemudian.com/node/235854
*** Nirvena Sarendra Ramadhani
Aku menggoreskan penaku terburu-buru pada lembaran
kertas yang tampak kucel di depanku. Tugas dari Dr. Holmes
belum juga usai kukerjakan, padahal deadline yang
ditentukannya tinggal dua jam lagi.
"Vena-san!" panggil sebuah suara di belakangku, suara yang
sudah tak asing lagi di telingaku.
Seorang laki-laki berkulit putih pucat berdiri di belakangku.
Rambutnya yang di cat coklat tua sedikit tersibak karena
tertiup angin kencang musim gugur, segaris senyum terukir di
wajahnya yang menawan, dia Ryu Hanazawa, teman baikku
di universitas ini. Ryu selalu menambah kata "san" setelah
namaku, seperti kebiasaan orang Jepang pada umumnya,
hanya saja ia hanya menggunakan itu padaku.
"Belum pulang?" tanya-nya sambil duduk di sebelahku.
"Belum, aku masih harus mengerjakan tugas dari Dr. Holmes,
harus dikumpulkan hari ini." Aku mengacungkan lembaran
kertas itu ke arahnya, sekali lagi ia tersenyum.
"Mau kubantu?" tawar Ryu mencoba membantu, aku hanya
menggeleng walaupun yakin pekerjaan ini akan selesai lebih
cepat dengan bantuannya. "Tidak, tidak usah."
Ryu pria yang baik. Wajahnya tampan dengan rambut coklat
seleher dan mata hitam gelapnya, badannya ramping tinggi,
selain itu dia juga sangat sopan. Ryu termasuk mahasiswa
favorit di Universitas ini, tak hanya di kalangan wanita"lakilaki Asia
sedang menjadi favorit di kalangan gadis-gadis Amerika
walaupun tidak semuanya",di
kalangan dosen ia juga cukup terkenal karena otaknya yang cerdas. Walaupun begitu
Ryu sedikit menutup diri dari orang-orang sekitarnya selain
aku, mungkin karena aku satu-satunya orang Asia yang
sejurusan dengannya. Sejauh ini satu-satunya kekurangan"
yang mungkin juga tidak bisa dibilang kekurangan"adalah
Ryu seorang atheis. Atheis mungkin bukan kata yang cocok untuknya"karena
Ryu mempercayai adanya Tuhan"mungkin yang lebih tepat
adalah tidak memiliki Tuhan atau agama, tapi toh Ryu sendiri
yang mengatakan dirinya seorang atheis.
"Ryu sudah ngumpulin?" Ryu mengangguk, aku
menggembungkan kedua pipiku, kebiasaanku jika sedang
suntuk. "Sudah selesai?" tanyanya setelah setengah jam
menemaniku mengerjakan, ia hanya diam selama setengah
jam menemaniku, sesekali ia mengkoreksi kerjaanku, ia
tampaknya juga tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya.
Aku menggeleng perlahan,"Belum, Ryu pulang saja duluan."
Memang sudah kebiasaan aku dan Ryu pulang bersama,
mengingat arah menuju flat kami berada di jalur yang sama,
flat-ku dan Ryu hanya terpisah beberapa blok saja. Akhirnya
tugas itu selesai juga, segera aku berdiri dan melihat jam
tangan yang terpasang di pergelangan tanganku.
"Finish?" Ia mendongak ketika melihatku berdiri girang, aku
mengangguk cepat sebelum berlari kecil menuju ruang Dr.
Holmes. *** "Ada rencana kemana liburan kali ini?" ucap Ryu membuka
pembicaraan siang itu, aku mendongak menatapnya lalu
tersenyum. "Kayaknya aku bakal pulang ke Indonesia tahun ini, kalau
Ryu?" "Entahlah." Aku kembali menggigit hamburger yang ada
ditanganku yang tak lagi hangat.
"Ikut saja denganku, Indonesia is a beautiful country,"
godaku tersenyum jail padanya, lagi-lagi ia hanya tersenyum
sambil sedikit tertawa lalu menyuapkan spagheti ke
mulutnya. Bulan ini benar-benar bulan tersibuk bagiku. Para dosen tak
henti-henti menagih dan memberikan tugas yang tertunda
karena sebentar lagi akan masuk musim liburan. Kalender
yang digantung di atas meja belajarku penuh dengan bulatan
merah tanda deadline yang ditentukan dosen-dosen.
Sudah nyaris tiga minggu aku tidak bertemu dengan Ryu, aku
memang harus datang lebih awal dan pulang lebih telat
daripada biasanya. Ryu juga tampak cukup sibuk belakangan
ini, walaupun aku yakin tidak sesibuk aku.
Ryu menghampiriku di perpustakaan pagi ini. Entah sudah
berapa lama ia berdiri di sudut ruangan itu, ia tak
mengeluarkan suara sedikitpun, membuatku baru menyadari
kehadirannya ketika membalikkan badan untuk mengambil
buku yang ada di rak di sebelahnya.
"Ryu!" seruku sambil menutup mulut agar suaraku tidak
menganggu pengunjung perpustakaan yang lain, Ryu
Religi Fiesta 2009 Karya Ndok Asin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersenyum sambil menegakkan posisinya.
"Sudah lama?" Ryu menggeleng pelan,"Belum, baru saja."
Aku mengangguk singkat lalu mengambil buku bersampul
cokelat tua di sebelahnya. Tanganku yang sebelah lagi
mengambil binder di tasku lalu membuka sebuah halaman
yang sudah kutandai. Aku mencocokkan jawabanku sekali
lagi sebelum meletakkan buku cokelat itu ke raknya dan
memasukkan binderku ke dalam tas.
"Mau ke kantin?"
"Boleh." Aku memesan secangkir kopi, sedangkan dia memesan
segelas jus jeruk. Ryu mengaduk jus-nya tak berminat"
kebiasaannya jika sedang menyembunyikan sesuatu"aku
menatap mata Ryu lekat-lekat.
"Ada apa?" "Aku hanya ingin bertanya apakah tawaran itu masih
berlaku?" ucapnya hati-hati sambil menatap mataku penuh
harap, aku menatapnya bingung.
"Tawaran yang mana?"
"Holliday" Indonesia?"
Aku terkesiap menatapnya, aku sama sekali tidak menyangka
Ryu menganggap serius gurauanku tempo hari. Aku berpikir
sejenak hendak berkata apa, bukannya aku keberatan, aku
tidak keberatan Ryu ikut, aku yakin Ryu tidak bermaksud
macam-macam atau bagaimana, hanya" Aku terkejut dia
menerima tawaran yang tadinya hanya gurauan itu.
"Kau keberatan?" tanya-nya membuyarkan lamunanku, aku
menggeleng cepat. "No, of course! Tapi kau bayar sendiri tiketnya ya?" Aku
tersenyum menggoda sekali lagi, ia tertawa senang
melihatku. "Tentu saja." *** Aku menyeret koperku dari flat, Ryu sudah ada di depan sana
dengan sebuah taksi bewarna hijau tua. Ryu bersandar pada
pintu taksi itu, berbeda dari biasanya, ia hanya menganakan
t-shirt lengan panjang bewarna hitam-kuning dan celana
jeans biru tua. "Sudah siap?" Aku mengangguk lalu masuk ke dalam taksi,
Ryu mengikutiku dengan cepat, ia mencondongkan sedikit
tubuhnya ke arah sang sopir taksi.
"To the airport, please," bisik Ryu, sang sopir mengangguk
singkat lalu menjalankan taksi.
Detik demi detik berjalan lambat sepanjang perjalanan
menuju bandara. Tak ada satupun dari kami yang berinisiatif
memulai pembicaraan, Ryu sibuk memencet-mencet keypad
ponselnya dengan jemar-jemari lembutnya. Aku memandang
deretan gedung-gedung tua sebelum akhirnya taksi ini
berbelok di sebuah tikungan.
"Vena-san?" "Ya?" jawabku dengan nada sedikit terkejut, Ryu terdiam
sejenak sebelum memulai pembicaraan.
"Tell me about Indonesia."
Aku berpikir sejenak, merangkai kata-kata yang cocok untuk
dikatakan. Sungguh aku bukan pemandu wisata yang baik,
tiga tahun sekolah di Singapura lalu kuliah di Amerika selama
empat tahun. Terakhir kali pulang saat aku mau berangkat ke
Amerika, sudah sekitar empat tahun aku tidak pulang ke
tanah air, bahkan aku tidak bisa membayangkan tempattempat wisata yang pernah ku-kunjungi di kotaku lebih dari
lima. "Banyak tempat indah di Indonesia yang tak bisa kau
dapatkan di negara lain, tapi juga banyak tempat yang tidak
bagus untuk dikunjungi." Ryu menggumam singkat, hanya
suara "hmmm" yang terdengar dari bibirnya.
Sepertinya bukan tidak biasa lagi aku berpergian bersama
Ryu, tapi hanya masih di dalam kawasan Massachusetts.
Empat tahun aku mengenal Ryu ia sama sekali tidak pernah
pulang ke negara asalnya, Jepang. Aku yakin ini bukan
masalah uang seperti kasusku yang membutuhkan waktu
empat tahun untuk mengumpulkan uang. Walaupun Ryu
masuk ke Universitas Harvard ini karena beasiswa, Ryu
bukanlah seorang mahasiswa miskin seperti aku. Kakek Ryu
pemimpin sebuah perusahaan besar di Jepang, orangtua Ryu
sudah lama meninggal, katanya karena kecelakaan pesawat
delapan tahun lalu. Sopir menginjak rem pelan, mobil berhenti tepat di depan
terminal keberangkatan. Aku membuka tas selempangan
rajutanku dan mengambil dompet bewarna biru muda
milikku. Ku ambil beberapa uang dolar dari dompet itu.
"Biar aku saja," sergah Ryu sambil menahan tanganku yang
terulur pada sang sopir. "Ini, ambil saja kembaliannya." Ryu memberikan beberapa
lembar uang dolar lalu segera keluar dari taksi.
Aku mengikuti Ryu dari belakang, Ryu membantu sopir
mengambil koper-koper kami yang masih ada di dalam
bagasi. Aku menyambut koperku yang duluan diambilnya lalu
menarik pegangannya. Ryu menyeret sebuah koper
berukuran sedang bewarna hitam gelap, ukurannya kurang
lebih sama dengan koperku, hanya koperku terlihat lebih
menggelembung karena bawaanku lebih banyak.
Aku dan Ryu segera check-in dan masuk ke ruang tunggu.
Panggilan untuk segera memasuki pesawat terdengar
setengah jam setelah check-in, aku berdiri dan kursiku
mengikuti Ryu ke pesawat boeing 747 itu.
*** Ryu Hanazawa Aku menggoyang pelan tubuh Vena pelan, ia terlelap begitu
pesawat lepas landas. Wajahnya terlihat sangat polos,
kelopak matanya terpejam rapat. Beberapa helai rambut
menutupi wajahnya, kusibakkan sedikit rambut itu. Ia sangat
cantik. "Vena-san" Kita sudah sampai." Vena menggeliat pelan lalu
mulai membuka matanya, ia menatap jendela yang kubuka,
mencoba mengumpulkan kesadarannya.
"Kita sudah sampai" Terasa cepat sekali," gumamnya pelan
sambil merapikan rambut, "Aku pasti terlihat sangat
berantakan." Vena mengambil sebuah sisir kecil dan mulai
menata rambutnya, aku hanya bisa tersenyum meelihat
pipinya yang chubby. "Ryu tidak tidur?" tanya-nya penasaran melihatku yang
memang tidak tampak seperti orang bangun tidur. Aku
menggeleng pelan dan dia menggumam kan kata "oh" nyaris
tanpa suara. Kami hanya transit di Jakarta, kami akan menaiki pesawat ke
Yogyakarta, kampung halaman Vena. Vena mungkin sekitar
satu bulan akan berada di Indonesia, aku memutuskan hanya
berlibur satu minggu di Indonesia lalu segera kembali ke
Amerika karena sebenarnya aku tidak ada maksud tertentu
datang ke Indonesia. Vena juga terlihat terkejut ketika aku
menanggapi ajakan"yang sebenarnya gurauan"itu. Tadinya
aku mengira Vena akan mengatakan "Itu hanya gurauan Ryu"
atau "Aku tidak serius dengan ucapanku" tapi justru
tersenyum dan memperbolehkanku.
Mengapa aku mengatakan hal itu" Aku tidak tahu. Aku hanya
merasa senang dan nyaman berada di dekatnya,
dibandingkan orang-orang lain yang (sepertinya) mencoba
mencari perhatianku. Vena tidak pernah mempersalahkan
ke-atheisan ku, tidak pernah bertanya kenapa aku
memutuskan mengambil beasiswa padahal aku bisa
membayarnya sendiri, tidak pernah menanyakan asal-usul
keluargaku dan sebagainya. Ia membuatku nyaman.
"Ryu nginap di rumahku saja dulu malam ini, besok baru cari
hotel," ucap Vena membuyarkan lamunanku ketika taksi
sudah berhenti, aku mengangguk singkat lalu mengikutinya.
Kami berjalan memasuki gang-gang. Rumah-rumah dengan
berbagai warna dan bentuk berjejer di sepanjang gang-gang
itu. Ada yang halamanya sempit ada yang cukup luas, sangat
berbeda dengan suasana di Amerika.
"Maaf ya, gangnya sempit." Vena memohon maaf padaku,
aku menggeleng cepat. "Tidak, tidak apa-apa." Kami berjalan melewati sebuah
bangunan, aku menatap bangunan itu lama, bangunan itu
berbeda dari bangunan lainnya.
Atapnya berbentu kubah. Jendelanya banyak dan besarbesar, begitu pula dengan pintunya. Karpet-karpet berwarna
hijau tua yang digelar di dalamnya, aku dapat melihat
beberapa anak-anak kecil bermain di depan bangunan itu.
Beberapa orang dewasa terlihat di dalamnya, mengenakan
baju yang rapi dan sesuatu seperti topi yang menutupi kepala
mereka. "Allahu akbar" Allahu akbar, Allahu akbar" Allahu akbar.
Asyhadu alla ilaha illallah, asyhadu alla ilaha illallah. Asyhadu
anna Muhammadar Rasulullah, Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah. Hayya 'alash sholah" Hayya 'alash sholah, hayya
'alal falah" Hayya 'alal falah. Allahu akbar, Allahu akbar,
lailaha ilallah." Aku tertegun sejenak, mendengarkan suara
merdu yang melantun dari speaker bangunan ini.
"Vena-san, what is that?" tanyaku tanpa berpaling dari
bangunan itu. "That sound?" "Yes, dan bangunan itu." Vena menatapku seakan ada yang
aneh padaku, lalu ia tersenyum manis dan mendekatiku.
"Itu adalah adzan, panggilan untuk sembahyang bagi umat
islam. Dan bangunan itu adalah masjid, tempat beribadah
umat islam." Aku mengangguk singkat. Tiba-tiba sebuah
pertanyaan terlintas di benakku, selama ini aku tidak tahu
agama yang dianut Vena, betapa banyak yang tidak
kuketahui tentangnya. "Vena-san, jika boleh tau kau menganut agama apa?"
tanyaku hati-hati. Vena tersenyum geli, mungkin ia merasa geli melihatku yang
seorang atheis menanyakan soal agama, "Muslim, aku
seorang muslim." Aku langsung minta ijin untuk beristirahat begitu sampai di
rumah Vena. Bukannya tidak sopan, tapi badanku serasa
lelah sekali. Suara Vena yang masih mengobrol dengan
keluarganya masih terdengar, walaupun ini sudah nyaris jam
24.00 malam. Tapi menurutku itu wajar-wajar saja, sudah
lama Vena tidak berjumpa dengan keluarganya. Aku
memejamkan mataku dan dalam sekejap saja aku sudah
terlelap. Aku terbangun tepat jam 5.00 pagi, memang sudah
kebiasaanku bangun pagi. Aku beranjak keluar kamar dan
segera menuju kamar mandi yang kosong.
"Audzubilla himinas syathonir rojim, bismillah hirohman
nirrohim." Aku mendengar Vena melantunkan kalimatkalimat indah yang dibacanya dari kitab suci yang
dipegangnya. Aku duduk disebelahnya dan menyimak.
Aku sama sekali tidak mengerti arti dari kalimat-kalimat yang
dibacanya. Tapi kalimat-kalimat itu seakan menjadi medan
magnet bagiku, terdengar sangat indah, suara Vena yang
lembut terdengar sangat merdu melantunkan kalimat yang
dibacanya. Vena juga mengenakan kain bewarna putih yang
menutupi tubuhnya, aku tidak pernah melihat itu
sebelumnya. "Shodaqallah hul adzim." Vena mengakhiri bacaannya lalu
menutup kitab yang dibacanya dan mencium kitab itu.
Sepertinya Vena merasakan bahwa sedari tadi aku
memperhatikannya, ia mendongakkan kepalanya dan
tersenyum," Ada apa?"
"Apa itu tadi" Yang kau baca?"
"Itu ayat-ayat suci yang kubaca dari Surat Al-Baqarah di Alquran, kitab suci umat islam," jelas Vena sambil meletakkan
kitab itu ke meja di sebelahnya dan melepas kain itu.
"Lalu yang kau kenakan?"
"Ini mukenah, digunakan saat sedang sholat atau mengaji,
gunanya untuk menutup aurat, aurat."
Aku mengangguk singkat lalu berpikir sejenak. Aku sudah
beberapa kali mencoba memeluk agama, dan hasilnya aku
selalu keluar dan menjadi seorang tanpa agama seperti ini.
Tapi agama ini menarik, aku tidak pernah menemukan yang
seperti ini, aku mendekat ke arah Vena dengan ragu-ragu.
"Vena-san, maukah kau mengajariku agama ini?"
*** Nirvena Sarendra Ramdahani
Aku benar-benar tidak menyangka, Ryu memintaku
mengajarinya soal agama"! Kukira ia sama sekali tidak
tertarik dengan soal agama, kepercayaan, atau hal-hal
semacam menyembah Tuhan dan sebagainya.
Jadi hari ini aku membawa Ryu ke daerah salah satu
universitas terbesar Yogyakarta,UIN, setelah mengantarnya untuk check-in di sebuah hotel. Aku punya
seorang teman baik yang cukup ahli dalam bidang agama"
setidaknya ia fasih berbahasa Inggris jadi kurasa tidak akan
salah mengartikan ayat-ayat Al-quran"seingatku ia masuk ke
UIN. Aku mencoba menghubunginya kemarin dan kami telah
berjanjian jam tiga sore di sebuah restoran seberang
universitas itu. "Assalamuallaikum," sebuah suara laki-laki terdengar, aku
menoleh kebelakang dan mendapati Rehan berdiri di
belakangku sambil tersenyum dengan cengiran khas-nya.
"Wa"allaikumsallam," jawabku berdiri sambil menjabat
tangannya tanpa menyentuh tangannya, Rehan duduk di
kursi depan aku dan Ryu. "Lama tak jumpa ya" Kau pulang-pulang sudah membawa
"seseorang"," goda Rehan aku menatapnya kesal, pipiku
bersemu merah. "Tidak! Aku dan dia hanya berteman baik," bantahku." Oh ya,
Rehan" This is Ryu, Ryu Hanazawa and Ryu, this is Rehan,
Muhammad Rehan," ucapkku memperkenalkan mereka
berdua, aku sengaja menggunakan bahasa Inggris.
"Nice to meet you," ucap Rehan tersenyum manis, Ryu
membalasnya dengan sebuah senyuman sekadarnya.
"Nice to meet you, too."
Pertemuan itu berjalan lancar, aku menjelaskan sedikit
tentang Ryu pada Rehan, Rehan mengangguk-angguk tanda
mengerti. Ryu yang sedari tadi hanya diam disampingku
akhirnya membuka suara juga ketika aku selesai
menjelaskan, ia sedikit mencodongkan tubuhnya, tangannya
Religi Fiesta 2009 Karya Ndok Asin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlipat rapi. "Boleh aku tanya satu hal" Siapa yang kalian sembah?" tanya
Ryu serius, Rehan menarik nafas pelan dan mulai menjawab.
"Allah, hanya Allah yang Maha Esa," jawab Rehan singkat,
Ryu terdiam sejenak lalu melanjutkan pertanyaannya.
"Aku sudah beberapa kali mendengar suara adzan di sini,
kata Vena itu adalah panggilan untuk sembahyang umat
islam, aku ingin tahu sembahyang seperti apa?"
*** Ryu Hanazawa Sudah sekitar dua minggu aku belajar agama ini, aku sengaja
menunda kepulanganku untuk belajar lebih dalam lagi. Aku
tidak pernah tertarik untuk mempelajari sebuah agama
hingga selama ini, Rehan mengajari aku banyak hal dengan
cara yang sangat mudah dimengerti. Vena sering kali ikut
bersamaku, tapi hari ini Vena tidak bisa ikut karena harus
mengurus perpanjangan KTP.
Sebenarnya sudah sekitar beberapa hari lalu aku memikirkan
hal ini. Aku ingin memeluk agama Islam, tapi ketakutanku
akan ke-tidak-bisa-an ku menjalani agama ini seperti
kepercayan lainnya yang pernah kujalani menjadikan
keraguan yang amat sangat.
Aku berjalan menyebrangi jalan besar dari restoran yang
sama ketika aku pertama kali dikenalkan pada Rehan. Suhu
udara di Indonesia terasa sangat panas, ku coba
memicingkan mataku yang silau. Aku berlari kecil
menyebrang zebra cross, tiba-tiba saja aku mendengar suara
dengung mesin panjang dari arah kananku, sebuah motor
melaju dengan kecepatan penuh menyalip beberapa motor
di depannya. Motor itu tampaknya tak berniat mengerem
sedikitpun, motor itu melaju sedikit oleng. Aku dapat
mendengar suara teriakan orang-orang disekitarku sebelum"
"BRAAK." Terdengar sebuah suara keras, sepertinya motor
dengan laju cepat itu menabrak sesuatu, suaranya terdengar
sangat keras. Tunggu! Aku merasakan tubuhku melayang,
motor itu menabrakku! Aku dapat merasakan tubuhku melayang hingga beberapa
meter lalu jatuh dengan seenaknya di aspal panas. Suara
teriakan orang-orang dan derap langkah memenuhi gendang
telingaku. Tapi aku tidak terlalu memperdulikan hal itu, rasa
sakit yang amat sangat mulai menjalar di seluruh tubuhku,
sepertinya beberapa tulangku remuk. Aku mencoba
membuka mataku, tidak berhasil, lalu semuanya gelap.
Semuanya terasa gelap, tapi suara-suara gemuruh terus
terdengar. Seakan-akan kau terjebak dalam sebuah badai
yang luar biasa dashyat sehingga jarak satu langkah di
depanmu sama sekali tidak dapat kau lihat. Aku melihat
sebuah titik cahaya di ujung kegelapan ini, semakin lama
cahaya itu semakin membesar dan mendekat, cahaya putih
yang amat terang. Lalu aku mendengar sebuah suara sayup-sayup, suara adzan.
Suara adzan itu berkumandang sayup-sayup, lembut dan
tenang, suaranya terdengars selembut beledu. Aku dapat
mendengar suara lain, suara ayat-ayat suci yang melantun
indah, suara Vena. Suara-suara itu seakan mengambil alih
diriku, aku terpana, tanpa sadar bibirku bergumam mengikuti
lantunan ayat-ayat suci itu. Mataku menangkap beberapa
orang berjalan ke arah titik cahaya itu, aku mencoba
mengikuti mereka namun sia-sia, seakan ada sesuatu yang
menghalangiku dengan mereka, lalu lagi-lagi semuanya
gelap. *** Tiga bulan sejak kejadian itu, aku langsung diterbangkan ke
Amerika oleh kakekku untuk perawatan selanjutnya begitu
sadar dari koma-ku"walaupun aku sudah mencoba
meyakinkannya aku akan baik-baik saja. Untungnya kakekku
tidak menyalahkan Vena atau siapapun dalam kejadian ini,
tidak seperti sifat ayahku yang bertolak belakang denganku.
Aku menimbang-nimbang kotak yang ada ditanganku,
mataku bolak-balik melirit jam tanganku.
"Ryu!" panggil sebuah suara seseorang yang sudah sangat
kunanti, Vena. Aku memang memanggil Vena ke taman ini.
"Ada apa?" tanya-nya sembari duduk di sampingku, di
bangku taman ini. Aku memutar badanku dalam sekejap dan memposisikan
diriku sedikit berlutut dihadapannya. Aku dapat melihat
ekspresi terkesiap di wajahnya, aku tersenyum tipis lalu
meraih tangannya. "Maukah kau menjadi pengantinku?" Vena terlihat sangat
terkejut, wajahnya memerah, suaranya tergagap-gagap.
"A-aku, a-aku tidak bisa Ryu, ki-kita tidak satu a-agama." Aku
tertawa manis, setelah aku ke Amerika aku sedikit kehilangan
kontak dengannya, dan aku juga menyembunyikan hal ini.
"Kurasa tidak, Vena-san, lihat ini." Aku mengerluarkan
sebuah Al-quran kecil dari saku-ku, sekali lagi Vena terkesiap.
"Kau?" "Ya, sudah dua bulan lebih aku menjadi seorang muslim,"
ucapku sambil tertawa melihat ekspresinya.
*** Hari ini begitu indah. Aku duduk di atas sebuah karpet merah
menjabat tangan wali Vena yang ada di depanku. Aku
menarik nafas, mempersiapkan mentalku, kulepaskan
nafasku cepat seiring dengan ijab kabul yang keluar dari
bibirku. "Saya terima nikahnya Nirvena Sarendra Ramadhani binti
Joko Sarendra dengan mas kawin seperangkat alat sholat di
bayar tunai!" SESAT Oleh: Kajitow url cerita : http://www.kemudian.com/node/235805
Malam ini sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi.
Puluhan lelaki yang kebanyakan membawa senjata itu sedang
menghajar seorang lelaki berbadan kurus yang tengah
meringkuk di tanah. "Hai kafir! Jangan bawa ajaran sesat di kampung ini!"
"Klepakk!!!" "Bukk!!!" "Takk!!!" Lagi dan lagi mereka beramai-ramai memukuli lelaki
tak berdaya itu dengan buas.
Aku terlambat. Mereka telah melakukan penghakiman
pada Ramin, lelaki yang beberapa bulan ini meresahkan
masyarakat dengan pemikiran dan ulahnya yang bertentangan
dengan keyakinan penduduk desa.
"Ada apa ini"!" Tanyaku dengan nafas memburu.
Tadi aku berlari ke tempat ini begitu mendengar istriku
mangatakan bahwa penduduk desa mendatangi rumah Ramin
dengan membawa senjata. "Kami menghukum si kafir ini Pak Ustadz." Jawab
Karlan dengan pongah, lelaki berbadan besar dan berwajah
seram itu biasanya menyapaku ramah setiap kali bertemu
dimana pun. Tapi kali ini dia berubah begitu sadis, sesadis
tampangnya. "Kafir" Dengan bukti apa kalian menuduhnya
begitu"!" Karlan terdiam, beberapa orang lagi mencoba
bersuara tapi tidak berani melihat emosiku yang sudah sampai
ke ubun-ubun. Menghadapi Kyai muda sekaligus menantu
sesepuh desa, membuat mereka memilih diam daripada di-cap
tak punya unggah-ungguh bila membantah ucapanku.
Sebenarnya aku tidak perduli itu, yang jelas saat ini seorang
lelaki menjadi korban keganasan dan kefanatikan berlebihan
mereka. "Kamu Karlan, bukankah kemarin kita sudah
membicarakan ini. Biar aku yang meluruskan semuanya
terlebih dahulu. Apa kamu lupa"!"
"S-saya diajak Roni sama si Reng-go tadi Pak Usstadz. Saya jad-di lup-pa." Jawab Karlan terbata-bata
menyadari kesalahannya. "Sudah sekarang kalian pulang! Tapi jangan berbuat
seperti ini lagi sebelum jelas permasalahannya! Ini melanggar
hukum!" Mereka berlalu meninggalkanku bersama Ramin yang
kini terkapar berlumuran darah. Masih ada beberapa orang
yang tadi bersamaku berangkat dari rumah, dengan bantuan
mereka aku memapah Ramin ke rumahku. Sebagai yatimpiatu, Ramin tidak mempunyai anggota keluarga di desa ini.
Orang tuanya berasal dari luar wilayah desa kami, dan sudah
meninggal sejak Ramin kecil. Keluarga Ramin adalah
pendatang yang beberapa puluh tahun lalu menghuni desa ini.
Usia Ramin memang agak lebih tua dariku, mungkin beberapa
tahun di atasku. Tapi berhubung embel-embel Ustadz yang
melekat padaku membuat Ramin dan umumnya masyarakat
desa merasa segan. Sesampainya di rumahku, istriku tersentak kaget
melihat keadaan Ramin yang telah babak-belur. Mukanya
sudah tidak enak dipandang lagi, bajunya koyak
memperlihatkan tulang iganya yang juga terlihat berdarah.
Dengan cekatan istriku mengambil air hangat, Betadin dan
peralatan P3K lainnya. Pembantuku "Mbok Darmi, dengan
telaten menyeka sisa darah, membuat Ramin terlihat lagi
sebagai manusia. "Ini ada apa to mas?" Tanya istriku di dalam kamar
sesudah kami mengistirahatkan Ramin di kamar belakang
rumah. "Saya ndak tahu dik, lha wong tadi kamu kan yang
ngomong si Ramin dikeroyok masa."
"Maksudku masalahnya apa, kok sampai begini" Apa
karena si Ramin itu dikabarkan membawa ajaran baru yang
namanya islam apalah gitu." Sahut istriku dengan terlihat
sewot. "Mungkin saja, nanti aku Tanya sama Ramin "ah
besok pagi saja, kasihan dia butuh istirahat sekarang."
Jawabku menutup kasus rumit tentang si Ramin.
Sebagai Kyai muda sepertiku, menghadapi
masyarakat memang memusingkan. Dulu aku hanya Ustadz
ngaji di surau beberapa tahun lalu. Ketika Kyai sepuh yang
tak berputra meninggal dunia, masyarakat memilihku. Mautidak-mau aku harus siap karena ini amanah dari mereka,
selain itu menurut mereka hanya aku yang mendalami ilmu
agama. Maka gelar Ustadz masih melekat padaku sampai kini,
kata mereka itu lebih enak diucapkan karena usiaku yang
masih muda. *******************************************
********************* Subuh datang terasa lebih cepat. Tadi malam aku
tidur hanya beberapa jam saja. Aku tidak melihat keberadaan
istriku, mungkin dia telah bangun terlebih dahulu. Aku ingin
mencarinya, tapi baru saja hendak beranjak dari tempat tidur,
istriku telah muncul dengan rambut dalam kondisi basah.
"Aih, malam pengantin yang kembali berulang." Bisikku
dalam hati. Pagi ini aku akan bertanya pada Ramin, atau lebih
tepatnya menegaskan ucapanku sebelumnya kepadanya.
Masyarakat desa ini sangat sensitif dengan hal-hal yang
berbau keagamaan. Apapun yang bertentangan dengan
keyakinan mereka selalu mereka artikan sebagai ancaman.
Akibatnya sering terjadi aksi kekerasan hanya karena hal
sepele yang berawal dari kesalah-pahaman. Meskipun untuk
kasus si Ramin itu memang agak berat. Aku memang pernah
bergaul dengan orang-orang modern dan berpikiran terbuka
beberapa tahun lalu ketika melanjutkan kuliahku di kota,
namun aku juga tidak setuju dengan keyakinan Ramin yang
beranggapan hukum syari"at itu tidak berlaku bagi orangorang yang telah sampai pada ma"rifat seperti dirinya.
Kamar tempat si Ramin tidur tadi malam sudah
dekat. Aku mengetuk pintu agar dia tidak kaget dengan
kemunculanku. "Masuk." Sahutnya dari dalam dengan suara lemah.
Aku masuk ke dalam kamar dengan sikap tenang.
Dengan begitu, setidaknya aku ingin membuat Ramin merasa
nyaman dengan sikap tenang yang kubawa.
"Bagaimana mendingan?" "Baik sekarang." keadaanmu Ustadz, Ramin, lumayan agak sudah agak mendingan Aku tersenyum meski hatiku sebenarnya menjerit saat
melihat wajah Ramin yang bengkak. Bibirnya pecah dan aku
yakin giginya ada yang tanggal. Melihat kondisinya itu, aku
mengurungkan niatku bertanya apalagi menasehatinya untuk
bersikap wajar dalam pergaulan di masyarakat. Sebenarnya
dengan menerapkan hal itu adalah cara satu-satunya untuk
menghindari kejadian serupa terulang lagi pada Ramin. Dia
harus sedikit berubah agar masyarakat tidak merasa jengah
dengan pemikiran dan ulahnya yang aneh. Meskipun mereka
segan kepadaku, tapi dalam keadaan tertentu mereka bisa
lebih gila dari perbuatan mereka semalam. Dalam kondisi
marah, siapa yang mampu berpikir jernih"
"Ada yang ingin Ustadz tanyakan?" Ucap Ramin, saat
melihatku terdiam cukup lama.
Aku tersentak, bukan hanya kaget dengan suaranya
yang tiba-tiba memecah sunyi itu. Tapi lebih kepada
pertanyaannya yang seolah-olah mampu menebak isi
pikiranku. Tapi aku harus bersikap tenang, Ini hanya ke-be-tulan. Bisa saja mimik wajahku tadi membuatnya berpikir
seperti itu. "Ah, tidak penting Min, sekarang kamu istirahat dulu.
Itu makanan-nya dimakan biar cepat sembuh." Ucapku sambil
menunjuk meja yang telah penuh makanan.
"Saya ini ngrowot Pak Ustadz."
Aku tertegun, ngrowot itu setahuku tidak memakan
nasi. Atau dengan kata lain memakan apapun yang selain nasi.
Ternyata ajaran kuno itu masih ada, bahkan si Ramin yang
usianya masih muda melakukannya. Ngrowot itu hanya
sebagian dari keanehan si Ramin dalam memadukan ajaran
islam dengan budaya kejawen atau istilah apapun yang berbau
Religi Fiesta 2009 Karya Ndok Asin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pencampuran ajaran yang dihukumi sesat oleh banyak orang.
"Ya sudah makan saja buah-buahannya, atau nanti
biar Mbok Darmi buatkan makanan yang lain."
"Tidak usah repot-repot Pak Ustadz, kalau boleh saya
minta pulang saja ke rumah saya."
"Lho, kamu kan belum sembuh to Min" Nanti saja
kalau sudah sehat baru pulang." Bujukku dengan sikap heran.
"Tidak Ustadz, saya takut bergantung pada selain
Allah." Kembali suara Ramin menggetarkan hatiku. Sebagai
orang yang di-cap sesat, pengucapan lafaz jalalah dari mulut
Ramin tadi mempunyai penekanan tersendiri. Ucapannya
membuatku terdiam tak mampu sedikitpun berkata-kata. Ada
semacam keyakinan baru tercipta dalam hatiku, aku tak tahu
apakah itu sedikit pembenaran atas keyakinan si Ramin
selama ini. Tapi aku tidak mau berpikiran seperti itu.
Melihat kemauan-kerasnya, aku tidak mampu lagi
mencegah keberadaan-nya di rumahku lebih lama. Dengan
berat hati aku membiarkan Ramin berjalan tertatih-tatih
meninggalkan rumahku. Dia pun menolak dengan halus
keinginanku untuk mengantarkan-nya.
*******************************************
***************** Beruntunglah sesudah kejadian malam itu, tidak
terjadi lagi tindak kekerasan yang sama. Namun Ramin
tetaplah Ramin. Keyakinannya pada kebenaran yang dia
pegang teguh itu sedikitpun tidak tergoyahkan. Bahkan
beberapa hari ini, bujukan halusku agar dia sedikit berbaur
supaya tidak terlalu mencolok selalu ditepisnya dengan bijak.
Aku masih ingat ketika dia berkata, "Tuhan itu ada
sebelum agama kita ada. Aku hanyalah pencari kebenaran
dengan jalan bersatu pada kehakikian, aku bukan pelaku
aturan menuju kebenaran seperti mereka. Apa yang dipakai
orang banyak adalah pandangan umum tentang kebenaran,
bukan wujud sejati dari kebenaran itu sendiri."
Tak kusangka Ramin yang dulu hanya tukang angon
kambing, Ramin yang dulu bocah dekil tak berorang-tua itu
mempunyai pandangan yang mendalam soal ke-tauhidan.
Seharusnya aku malu padanya, mengingat segala fasilitas
yang telah aku terima dari kedua orang tuaku. Seharusnya aku
mampu lebih mendalami agama dari seorang Ramin yang
hanya mengaji dari-surau-ke-surau. Tapi aku harus banyak
bersyukur dan tetap menggenggam keyakinan yang kudapat,
keyakinan yang diajarkan oleh utusan Tuhanku. Biarlah
Ramin tetaplah Ramin, jangan sampai kekagumanku padanya
mengubah pendirianku selama ini.
Syare"at mutlak dijalankan, tanpa pengecualian
sedikitpun. Lamunanku terputus ketika dari arah belakang aku
mendengar teguran istriku, "mas, kenapa kok sering melamun
akhir-akhir ini" Ada masalah apa to?"
Kulihat kecemasan di wajah Ayu "istriku. Itu
tandanya kebiasaanku ini sering terjadi dan sudah
mengganggu pikirannya. Betapa beruntungnya aku, seorang
istri barhati lembut yang sejak dulu kuimpikan kini benarbenar kudapatkan. Segala puji bagimu Tuhan, Engkau Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Pujiku dalam hati.
Dengan senyuman termanis yang kupunya aku
berkata kepadanya, "Ayu, mas hanya sedang berpikir
tentang" ah sudahlah tidak penting kok. Jangan mikir yang
macam-macam, bagiku hanya kamu seorang di hati."
Wajah istriku berubah me-merah. Aih, aku ini
memang perayu ulung kiranya.
*******************************************
******************* Pagi ini, aku mendengar istriku menggerutu di teras
rumah. Sebelumnya memang ada Bulik Mulyani yang
berbicara dengannya ketika aku berjalan mendekat tadi. Bulik
Mul tidak mempunyai sumur, beliau harus mengambil air dari
mata air terbesar di desa ini. Di sumur tua yang menurut
legenda adalah sumur buatan pendiri desa ini. Airnya tidak
pernah kering sepanjang apapun kemarau. Rasanya segar dan
nikmat, meskipun langsung diminum tanpa dimasak terlebih
dahulu tidak ada yang mengeluh mules sesudah meminumnya.
Sebagian orang berpikiran kuno mengeramatkan tempat itu,
termasuk si Ramin. Tahayul yang sampai kini tak mampu aku
perangi. "Ada apa to dik, pagi-pagi kok menggerutu. Tidak
baik loh begitu" "Ah, si mas. Ini kata bulik Mul sumur Nyi Danyang
mulai mengering." "Sumur itu kering"!" Tak kusadari suaraku telah
melonjak tinggi. Melihat reaksi istriku yang kaget, aku
mencoba mengulangi ucapanku. Sengaja kupelankan suaraku,
sekedar usaha untuk menenangkan kekagetannya tadi. "Lha
kok bisa dik" Itu kan katanya sumur keramat, sumur yang
tidak pernah kering seumur-umur?"
"Wallahu a"lam mas, kenyataanya begitu. Saya juga
heran mendengarnya."
"La haula wala kuwwata illa billah.." Desahku
pelan. Sepertinya kemarau kali ini bukan kemarau biasa.
Apalagi sumur tua itu sampai bisa mengering, berarti ada
sesuatu yang hebat tersimpan di balik semua ini. Firasatku,
Tuhan seperti ingin menunjukkan sesuatu pada kami semua.
Sebuah bukti kekuasaannya kini telah terjadi dengan nyata di
hadapan kami. Atau barangkali kemarau ini adalah sebuah
ujian untuk menimbang seberapa mampu kami pasrah pada
Dia Yang Maha melakukan apapun yang dikehendaki-Nya
"Aku akan meminta bapak agar membantuku
mengumpulkan masyarakat desa."
"Bapak" Ada apa mas?" Istriku terlihat heran. Bapak
yang kumaksud itu adalah mertuaku "ayah istriku. Sesepuh
yang paling disegani di desa ini, bahkan lebih dari pak Lurah
atau pak Carik. Orang tuaku sendiri sudah meninggal
beberapa tahun lalu. "Kita harus shalat istisyqo, ini sudah tidak wajar dik.
Kemarau panjang kali ini harus kita sikapi dengan prihatin."
Istriku terlihat mengangguk-angguk pelan. Sudah dua
tahun lebih kami menikah, meskipun dia tidak belajar agama
secara kusus sepertiku. Tapi sedikit banyak ajaranku telah dia
pahami. Untuk ukuran orang kampung, istriku tipikal
perempuan yang cerdas. Saat ini salah satu ujian Tuhan
kepada kami adalah kami belum diberikan-Nya keturunan.
Meski begitu, aku selalu menenangkan istriku agar tidak
berpikir macam-macam. Segala-sesuatu berjalan atas
kehendak Allah. *******************************************
****************** Setelah masyarakat berkumpul di lapangan desa, kami
kembali berdiri melaksanakan shalat istisyqo. Dengan tujuan
meminta limpahan hujan pada allah, memohon belas kasihanNya agar menurunkan karunia dari langit. Hari ini adalah hari
ke-tiga kami melaksanakannya. Sebagai orang yang
mengomandoni mereka untuk berserah diri kepada Allah,
sejujurnya aku merasa cemas karena doa kami belum juga
dikabulkan-Nya sampai kini. Aku takut masyarakat berkurang
keimanan-nya kepada Tuhan. Tapi aku tidak boleh ragu
dengan janji Tuhan, "berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Aku penuhi permohonanmu.."
Masyarakat telah berkumpul di lapangan desa.
Beruntung ada mertuaku yang kata-katanya selalu dipatuhi
penduduk desa ini, jadi aku tidak perlu bersusah-payah untuk
membujuk mereka melakukan shalat istisyqo. Dengan
mencurahkan segenap ketulusan, kami melaksanakan
permohonan kepada Tuhan. Shalat isytisyqo dan khutbah-nya
telah kami laksanakan dengan khusyuk. Doa-doa yang sengaja
kulafalkan dengan bahasa daerah aku panjatkan dengan suara
lirih. Kebanyakan masyarakat yang duduk di belakangku
menangis ketika mendengar doaku. Aku pun tak mampu
menahan air mata yang dengan sendirinya bergulir
membasahi pipiku. Suaraku menjadi semakin parau saat
suara-suara histeris di belakangku tak kuasa menahan ledakan
tangis mereka. Sesudah melakukan ritual tersebut, aku ingin melihat
sumur tua yang katanya mengering itu. Dulu aku sering ke
tempat tersebut, tapi sesudah melihat masyarakat
mengkultuskan sumur itu, aku melawan-nya dan tidak ingin
berkunjung ke sumur tersebut. Ini aku lakukan sebagai bukti
perlawananku pada kesyirikan. Namun hari ini berbeda, ada
dorongan tersendiri yang membuatku harus kesana. Mungkin
rasa rinduku pada masa kecil menuntunku untuk itu.
Di tengah perjalanan beberapa penduduk desa
menyapaku, "mau kemana Pak Ustadz?"
"Mau jalan-jalan saja, melihat-lihat pemandangan
desa yu." Jawabku pada perempuan setengah baya yang
sedang menggendong anaknya dengan selendang batik lusuh.
"Kok sendirian, mana Bu Ustadz-nya." Tanya yang
lain yang berusia lebih muda dengan malu-malu.
"Lha wong ini juga sebentar kok dik. Saya belum
sempat pulang, tadi habis shalat istisyqo."
Perempuan-perempuan itu hanya tersenyum tanpa
memberi sahutan, kemudian berlalu membawa anaknya yang
sedari tadi hanya diam di dalam gendongan. Sebagian yang
lain membawa gentong kecil yang berisi air yang entah
mereka dapat dari mana. Hanya desa seberang yang cukup
jauh letaknya yang masih mempunyai sumber air. Aku
kembali melanjutkan perjalanan ke sumur tua yang tak jauh
lagi di depanku. Setelah sampai, aku lihat sumur tua ini tidak banyak
mengalami perubahan semenjak terakhir kali aku
menyaksikan-nya. Bentuknya memang unik, tidak seperti
sumur pada umumnya, sumur tua ini berbentuk kotak.
Mungkin bentuk kotak akan lebih mudah dibuat pada masa
itu, saat peradaban manusia masih sangat tradisional. Belum
ada teknologi modern yang memudahkan mereka membuat
sesuatu se-sederhana sumur sekalipun. Kelupasan tambalan
semen terlihat disana-sini, begitu juga dengan lumut tebal
yang menjadikan sumur ini terlihat semakin tua. Bahan untuk
menahan bebatuan yang kini dibalut semen itu terbuat dari
kayu jati. Aku juga heran bagaimana kayu itu mampu
bertahan ratusan tahun dalam keadaan terrendam. Ketika air
mengering seperti ini, terlihat jelas ternyata sumur ini tidak
seluruhnya kotak, setengah bangunan ke bawahnya berbentuk
bundar. Tapi bukan hal kuno itu yang kini membuatku resah,
melainkan keringnya sumber air di sumur yang tak pernah
sekalipun kering ini. Satu-satunya jalan sekarang hanya
memohon pada Tuhan untuk menurunkan hujan. "Tuhan,
(hanya) kepada-Mu kami menyembah dan (hanya) kepada-Mu
pula kami meminta pertolongan?"
*******************************************
*********************** Malam ini aku sengaja tak ingin tidur. Sesudah
berpesan pada istriku, aku pergi keluar rumah. Aku ingin
merasakan apa yang masyarakat rasakan saat ini. Aku
beruntung masih bisa mengambil air dari rumah familiku di
desa lain. Jaraknya memang cukup jauh, tapi karena ada
kendaraan pick-up kebutuhan air di rumahku tidak pernah
kurang. Keadaan ini tentu berbeda dengan penduduk yang
terpaksa berjalan jauh hanya untuk sekedar mengambil air
minum. Betapa dadaku terasa perih menyaksikan kenyataan
pahit itu sekarang. Tak terasa langkah kakiku sudah mendekati sumur tua
itu. Entah apa yang mendorongku untuk pergi ke tempat itu
lagi. Aku memang tidak punya tujuan kusus hendak pergi
kemana malam ini, maka sumur itulah yang terlintas dalam
pikiranku. Aku tersentak kaget ketika dari kejauhan melihat
sesosok bayangan mengendap-endap, dia berjalan menuju
arah yang sama "ke sumur tua itu. Aku kurang yakin siapa
dia, banyak yang bertubuh jangkung sepertinya di desa ini.
Mengingat desa ini tidak ada penerangan jalan, keadaan
gelap-gulita, hanya mengandalkan sinar rembulan itu pun jika
tidak mendung seperti malam ini.
Terpaksa aku pun mengendap-endap layaknya
seorang pencuri. Melihat gelagatnya yang mencurigakan itu
timbul pikiran yang aneh-aneh di kepalaku. Sebagai manusia,
rasa curiga sangat sulit untuk kutepiskan dari hatiku. Untuk
ukuran seorang ulama, hal ini tercela jika masih kulakukan.
Cukup dekat kurasa keberadaanku dengannya sekarang, aku
bisa melihat dengan lumayan jelas bahwa sosok itu adalah si
Ramin. Tapi ketika semakin nampak jelas bahwa orang itu
Ramin, kecurigaanku kepadanya semakin menjadi-jadi,
ketidak-masuk-akalan mulai menyerang pikiranku, menghubung-hubungkan ini-dan-itu. Astaghfirullah, ini tidak
boleh terjadi. Aku tak boleh menuduh dia tentang apapun. Ini
adalah bisikan setan! Aku bermaksud mendekat, tapi sebelum kulangkahkan kaki, aku mendengar Ramin berbisik lirih.
"Tuhan, sudah tiga hari mereka meminta hujan kepada-Mu.
Kasihanilah mereka, curahkanlah hujan dari langit-Mu."
Apa yang sedang kudengar ini" Benarkah dia si
Ramin. Ah, keanehan ini semakin membingungkan. Tapi itu
belum apa-apa, sesaat kemudian langit mendadak menghitam.
Tetes-tetes hujan perlahan mengguyur bumi, semakin lama
semakin deras. Di tengah ketakjubanku dengan sepontan aku
berteriak, "subhanallah!"
Mendengar suaraku Ramin membalikkan badan,
melihat keberadaanya telah kuketahui Ramin bukan
menyapaku tapi malah berlari menjauh. Aku mengejarnya,
segala keanehan ini harus terjawab. Sudah lama rasanya aku
tidak berlari, apalagi dalam keadaan hujan lebat seperti ini.
Nafasku mulai tersenggal, aku tak kuasa mengejar sosok
Ramin yang entah bagaimana caranya menghilang dengan
Religi Fiesta 2009 Karya Ndok Asin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cepat dari pandanganku. Padahal sudah sekuat tenaga aku
berlari, seperti pada perlombaan lari agustusan beberapa tahun
lalu ketika gelar Ustadz belum kusandang. Akhirnya aku
menyerah dan memutuskan pulang dengan memendam ribuan
tanya di dalam hatiku tentang kemisteriusan si Ramin.
*******************************************
********************** Keesokan harinya aku memilih berdiam diri di dalam
kamar untuk merenungkan keanehan peristiwa semalam.
Tentang Ramin, tentang kesesatan yang disandangnya,
tentang doanya yang mustajabah, tentang ke-tidak-mengertian-ku selama ini terhadap kelebihannya. Aku kembali meraba
apa saja yang pernah kudapatkan di pesantren atau tempat
kuliah di Universitas islam dulu, namun tetap saja hatiku tidak
dapat menerima kenyataan bahwa si Ramin yang katanya
sesat itu memiliki hubungan yang begitu dekat dengan Tuhan.
Bisa saja semua yang terjadi semalam ada hubungannya
dengan bantuan mahluk ghaib. Dalam dunia kelam Ramin, hal
tersebut bisa saja terwujud.
"Mas, si Ramin meninggal." Ucap istriku dengan
wajah terlihat takut. Lamunanku segera buyar dengan berita
mengagetkan ini. "Apa"! Inna lillahi wa inna ilaihi roji"un.. ini
mustahil!?" Istriku terhenyak tidak mengerti dengan ucapanku
yang seolah-olah menyangsikan kematian Ramin. Maka untuk
menjawab pertanyaan yang saat ini tersimpan di dalam bola
matanya itu aku berkata. "Maksudku tadi malam aku baru
bertemu dia di sumur Nyi Danyang."
"Ramin?" Istriku terlihat ragu.
"Iya, bahkan dia yang berdoa meminta hujan tadi
malam. Dengan ajaib hujan itu turun seketika." Sekarang
giliran istriku yang tercengang mendengar ceritaku.
"Sudahlah aku akan kesana dulu untuk ta"ziah."
Aku berlalu meninggalkan istriku yang masih
terbengong-bengong mendengar penuturanku.
Terus kuayunkan kaki sampai akhirnya masuk ke
halaman rumah Ramin yang telah ramai pen-ta"ziah. Sesudah
kuucapkan salam, aku berjalan menuju rumah tersebut karena
ingin melihat Ramin untuk terakhir kali. Dan keanehan
kembali terjadi. Ketika baru beberapa meter aku mendekati
pintu masuk, kudengar suara teriakan histeris dari dalam
rumah. Aku berlari mendekat untuk mencari tahu apa yang
sedang terjadi. Tapi kakiku terhenti saat melihat seorang
perempuan setengah baya menangis dan menunjuk ke arah
meja panjang tempat jasad si Ramin semula di letakkan.
Hanya selembar kain penutupnya saja yang tersisa, bersama
wangi semerbak yang tiba-tiba memenuhi rumah ini. Jasad
Ramin entah pergi kemana.
Ramadhan (lagi) Oleh : Maximus url cerita : http://www.kemudian.com/node/235807
22 Agustus 2009 Pukul 04:00 WIB KRIIIING!!!! KRIING!!!! KRIIING!!!
Suara itu tak berhenti berbunyi, seakan tak mau menyerah
pada tombol snooze yang ditekan setiap sepuluh menit.
Akhirnya sang pemilik weker tersebut menyerah, dan
terbangun dengan rambut yang kusut dan mata yang
berkantung akibat lelah kurang tidur , karena meyelesaikan
presentasi untuk dia sekolah besok.
Andreas Cakrawinata namanya, dia adalah anak Kelas XI IPAC di SMAN 82 Bandung. Kemarin malam ia tak tidur atau
lebih tepatnya bergadang seharian, karena dia mendapatkan
Pendekar Elang Salju 7 Pendekar Mabuk 024 Malaikat Jubah Keramat A Shoulder To Cry On 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama