Ceritasilat Novel Online

Titik Nol 1

Titik Nol Karya Agustinus Wibowo Bagian 1


MEMBERI ARTI PADA PERJALANAN
Pria itu mencerocos panjang lebar dengan bahasa Indonesia, Kuku-kuku kaki kakak-kakak kakekku kaku-kaku..., pada beberapa orang Nepal yang heran kebingungan di depan kedai teh pinggir jalan di jantung kota Kathmandu yang bising. Orangorang Nepal yang tak mengerti ocehannya tertawa terbahakbahak sehabis presentasi nya, lalu menyuguhinya teh susu. Beberapa menit yang lalu, mereka cuma orang asing, yang kebetulan berbagi kursi panjang dari kayu untuk menikmati sarapan. Namun trik untuk mencairkan suasana ini berhasil, sehingga pria itu bisa melintasi batas dan penghalang bahasa dan budaya agar dapat saling bertukar salam secara terus terang dengan penduduk lokal.
Pria itu adalah Agustinus Wibowo pada awal usia 20-an, tapi bentuk tubuhnya yang mungil serta sikap dan perilakunya membuat Agustinus lebih mirip anak remaja. Anak lelaki lucu yang tak sabar ingin menjalin hubungan dengan orang-orang yang ditemuinya, tanpa prasangka buruk dan selalu percaya pada kebaikan orang. Itulah kesan pertamaku ketika kami bertemu pertama kalinya di ibu kota Nepal. Sejak saat itu, jalan kami berpapasan beberapa kali bahkan sempat melakukan perjalanan
bersama di beberapa tempat berbeda India, Pakistan, Afghanistan, dan China. Hingga akhirnya, aku menjuluki Agustinus si ceroboh yang selalu selamat .
Sepertinya di dahimu tertera besar-besar tulisan 3 R rob me, rape me, rescue me! rampok aku, perkosa aku, tolong aku! Dengan bergurau aku sering menggodanya seperti itu. Dalam perjalanannya selama bertahun-tahun melintasi negara, dia pernah dirampok, atau barang-barang berharganya dicuri oleh orang-orang yang baru dikenal dan tak dicurigainya, dia sudah mengalami pelecehan seksual lebih sering daripada yang dialami petualang perempuan sepertiku; dia pernah berada dalam situasi-situasi berbahaya dan mengundang maut. Namun dia selalu berhasil lolos dan tak pernah kehilangan kepercayaannya pada manusia, dan kelemahannya karena dengan lugu serta mudah percaya pada orang sahabat atau orang tak dikenal entah bagaimana berhasil menjadi kekuatannya, yang justru menolongnya keluar dari masalah pelik. Dia selamat dari zona perang, penyakit mematikan, dll, bukan karena dia pintar atau waspada sepanjang waktu, tapi karena dia bisa menjalin ikatan dengan penduduk setempat di tempat-tempat yang dikunjunginya, dan sering kali, dia diberkahi kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal dan niat baik.
Catatan perjalanannya tidak banyak menekankan pada petualangan pribadi atau beragam keberhasilan yang dicapainya, melainkan berisi orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan. Tulisan-tulisannya lebih memberi penghormatan pada kenangan-kenangan tentang mereka yang telah menyentuh, memperkaya, mencerahkan hidupnya. Merekalah yang menjadi alasan kenapa Agustinus bisa lolos dari zona perang tanpa terluka sedikit pun, melewati wilayah-wilayah sulit dengan mudah, dan melakukan perjalanan panjang dengan dana amat terbatas. Dengan menceritakan kisah-kisah mereka dan merefleksikan pelajaran-pelajaran dari orang-orang yang ditemuinya dalam perjalanan, Agustinus juga memberi arti pada apa yang sesungguhnya ia peroleh dari petualangannya di negeri-negeri yang jauh. Nilai perjalanan tidak terletak pada jarak yang ditempuh seseorang, bukan tentang seberapa jauhnya perjalanan, tapi lebih tentang seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orangorang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan.
Melalui tulisannya, Agustinus tidak hanya berhasil mengingatkan dirinya pada kenyataan dalam perjalanannya sendiri, tapi ia juga membantu para pembaca merasa ikut terhubung dengan orang-orang di negeri-negeri nun jauh di sana yang dalam kenyataannya tak pernah mereka temui.
Lam Li Oktober 2012 (diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Hetih Rusli)
Penantian Aku pulang. Udara panas menyengat, walaupun langit sudah temaram. Penuh sesak orang berjubel, menanti bagasi muncul di atas pita yang bergerak selambat bekicot. Bercicit-cicit suara tante-tante kebingungan mencari barang hilang, para porter merumpi sembari menunggu rezeki, ramai kegaduhan bercampur dan berbaur.
Tapi hatiku sepi. Begitu berat, kuseret tas ransel berdebu yang telah menemani perjalanan panjangku selama ini. Tas yang telah mengikutiku berkeliling dunia. Lubang di sini, jebol di sana, jahitan lepas, tongkat penyangga sudah melengkung, warna hitam sudah menjelma jadi abu-abu berlapis debu.
Semua memang berubah bersama Waktu. Termasuk juga perasaanku dengan kota ini, dengan negeri ini. Aku mesti belajar kembali menyesuaikan diri dengan panas, lembap yang membuat bulir keringat sebesar kacang menggelegak dari balik kulit, uang kumal rupiah yang beberapa lembar di antaranya tak kukenali, mobil yang bercampur aduk dengan sepeda motor dan gerobak di atas jalanan Surabaya yang berlubang dan meliuk-liuk, serta udara yang penuh dengan gas hitam yang begitu mencekik.
Di ruang suram rumah sakit, kutemukan sesosok tubuh terbaring. Matanya terpejam, ia larut dalam lelap. Kepalanya tersandar di atas bantal mungil merah jambu bergambar Hello Kitty yang selalu menemaninya. Wajah dengan pipi cekung dan mulut menganga itu tampak damai, namun ini adalah kedamaian sesaat setelah tiga hari berturut-turut yang dilewatkan hanya dengan meronta menahan derita perut yang sudah mengeras seperti batu.
Aku tak kuasa lagi. Ransel terempas. Aku terempas. Bersujud di samping ranjang, jidatku berhadapan dengan dinginnya ubin.
Mama..., lirih kudengar suaraku sendiri. Air mata terasa hangat di pipi.
Sepuluh tahun! Sepuluh tahun penuh telah kuhabiskan di jalanan negeri-negeri, dari gunung-gunung Atap Dunia, gurun pasir gersang tak berbatas, medan perang, kota-kota kuno... ribuan kilometer telah kulewati, berbagai kisah hidup telah kujalani. Aku datang dengan segala panji-panji kebanggaan, kisahkisah tinggi, berbicara selusin bahasa.
Seketika, semua jadi tanpa arti. Di titik ini, kata-kata indah mendadak menjadi barisan aksara acak yang kehilangan makna. Tanganku bergetar. Aku tak punya kuasa apa pun untuk menyelamatkannya.
Kanker, untuk keempat kalinya datang dalam setahun ini, kini telah menggerogoti tubuhnya, menyebar dari ovarium hingga ke usus besar, dari dinding perut sampai ke limpa, memadatkan usus halus, menembus kulit menjadi gumpalan-gumpalan bernanah, menghantam ginjal, beredar bersama darah, menyusuri nadi, bersiap memangsa seluruh tubuh. Penyakit itu telah menghajar wajahnya, yang dulu selalu cantik dalam rona riasan bedak dan gincu, optimis mengikuti mode dan gaya rambut terbaru. Dia kini sudah menjadi perempuan tua yang kuyu, cekung, letih. Berdoalah agar Waktu boleh berwelas asih, janganlah kiranya terburu-buru mengizinkan penyakit ganas itu menghancurkan otaknya. Karena itu berarti kami akan kehilangannya, untuk selamanya.
Mama.... Aku terpekur, seraya mengumpati Sang Waktu yang tak mau sejenak memberi kami sedikit lagi kesempatan. Aku mengumpati diriku sendiri. Terlambat! Kenapa aku selalu datang hanya di saat-saat seperti ini" Hanya menatapnya ketika sekujur perutnya dibalut gelembung-gelembung kutil seram" Masihkah aku punya muka menemuinya, setelah membiarkannya hidup dalam penantian dan kekhawatiran begitu lama" Masihkah aku tega membohonginya dengan cerita-cerita indah dan kabar-kabar generik yang selalu baik, hanya agar dia tidak mengkhawatirkanku yang hidup di negeri seberang" Atau, justru akulah si pembunuh sebenarnya, yang dengan ketidakhadiranku selama ini telah memberinya terlalu banyak beban pikiran, hingga akhirnya kanker itu datang menyerang" Siapakah aku yang berani tak mengindahkan ajaran Nabi Konghucu: Selagi ayahbundamu masih ada, jangan engkau pergi jauh "
Kelopak matanya perlahan membuka. Buru-buru kuhapus air mata di pipi agar tak terlihat olehnya. Kupasang senyum semanis mungkin, senyum percaya diri seorang anak yang pulang. Kupegang tangannya, kutempelkan di kedua pipiku. Jari-jari itu perlahan merayapi pipiku, telingaku, dahiku, kepalaku.
Kamu baik-baik di sana" Baik, Ma. Semua baik. Kamu sehat-sehat di sana" Sehat. Semua sehat.
Buat apa kamu datang jauh-jauh dari Beijing" Suara itu begitu serak, terbata.
Tak apa, Ma, kuusap rambutnya yang menipis. Semua demi Mama. Sudah mendingan"
Usus Mama cuma lengket. Kamu tak perlu pikirkan, sebentar juga sembuh.
Aku tersenyum kecut. Usus lengket! Tak ada dari kami yang tega memberitahu bahwa penyakitnya jauh lebih serius daripada sekadar usus lengket.
Kamu bawa minyak itu"
Iya. Ini, Ma. Minyak parafin dari rumah sakit di Beijing. Buat melancarkan usus, kataku, menyerahkan botol berisi air bening. Aku sudah mafhum, minyak ini tanpa guna. Tapi dia percaya, minyak ini penuh mukjizat. Cairan ini hanya untuk melipur permintaan yang sangat tak berharga dari seorang ibunda yang tengah berjuang di garis batas hidup-mati.
Ia menatap sekilas, lalu menutup kedua kelopak matanya. Ia kembali dalam tidur, menahan sakit yang tak dideskripsikannya.
Tak ada gunanya menangis sekarang! Percuma saja! Adikku, kini sudah tumbuh menjadi lelaki tinggi besar berparas jauh lebih dewasa daripada mukaku, menggiringku keluar, memaksaku menghadapi tamparan realita yang sungguh tak ingin kudengar. Selama kamu pergi, tak pernahkah kamu peduli dengan keluarga kita" bentaknya. Tak tahukah kamu utang-utang sudah begitu berat. Rumah disita bank. Para rentenir mengejar,
menagih tanpa peduli. Satu miliar! Dari mana kita dapat uang sebanyak itu" Papa dan Mama menutupi semua darimu, hanya demi mimpi-mimpimu di luar sana. Tapi, pernahkah kamu peduli aku" Aku mengurus dua orangtua yang sakit! Umurku baru dua puluh tiga, dan aku harus menanggung beban ini semua. Aku masih ingin senang-senang! Aku belum pernah ke manamana! Sekarang aku jadi tumbalmu. Sejak kamu pergi, tak pernah kamu kembali! Jalan-jalan terus, berpelesiran, menghabiskan uang! Aku" Aku hanya tinggal di desa! Aku juga bosan! Ko! Aku tidak kuat hidup seperti ini! Maukah kamu menjalani hidup sepertiku" Tentu tidak! Kamu tak pernah peduli ini semua! Kamu tega! Kamu egois!!!
Matanya menyipit, memancarkan kebencian yang begitu lama terpendam.
Jalan-jalan" Berpelesiran" Bersenang-senang menghabiskan uang" Aku tak ingin berbantahan dengan tuduhan-tuduhannya. Apa gunanya kami beradu mulut sekarang" Dulu, orang yang senantiasa mendamaikan pertengkaran kami dua bersaudara selalu adalah Mama. Sekarang, kami kembali bertengkar, atas nama Mama. Masing-masing kami merasa sudah melakukan yang terbaik buat Mama. Kami pun dirundung ketidakberdayaan menghadapi cobaan bertubi-tubi ini, juga karena Mama.
Aku kembali ke tepi ranjang. Kurasakan jemarinya yang pucat dan dingin, kurus memanjang. Tak kulepaskan genggamanku. Aku takut, tidak banyak lagi hari-hari tersisa.
Ada Waktu untuk dilahirkan, ada Waktu untuk mati. Ada Waktu untuk menanam, ada Waktu untuk mencabut. Ada Waktu untuk membunuh, ada Waktu untuk menyembuhkan. Ada Waktu untuk menangis, ada Waktu untuk tertawa. Ada Waktu untuk mencari, ada Waktu untuk melepaskan.
Waktu, betapa makhluk tak terjamah itu punya kuasa menampilkan segala kontradiksi. Akankah Waktu membawa kesembuhan" Ataukah Waktu sungguh tega membunuhnya" Akan kah perempuan itu bangkit dari ranjang, dan berteriak, Aku sembuh! " Atau justru sebaliknya, raungan ratapan kami yang akan pecah, mengiring tubuh yang menjadi jenazah"
Entahlah. Waktu selalu misterius. Seperti halnya Dia selama ini, yang selalu sedikit demi sedikit menguakkan jawaban misteri akan makna hidup. Sekarang pun aku hanya bisa pasrah mengikuti permainan-Nya.
Berdetak detik jam dinding, menandai setiap tapak yang dilalui sang Waktu.
Aku membetulkan letak bantal. Mama meninggikan kepalanya, lalu memiringkannya ke arahku. Slang gemuk keluar dari hidungnya, seperti belalai menyedot isi lambung. Dengan matanya yang besar, ia menatapku. Kedua tangannya bertemu di atas perut. Mulutnya terkatup, ia seolah menanti sesuatu. Apakah itu, entah aku pun tak tahu.
Aku paling suka kamu temani, Ming, kata Mama. Karena kamu ndak pernah nangis. Tidak seperti adikmu atau si Yah. Tambah stres aku kalau mereka yang jaga.
Adikku sudah pulang ke kampung, untuk menemani Papa. Menjaga Mama sekarang jadi tugasku. Bagaimana aku bisa menangis" balasku. Aku punya Mama yang begitu hebat. Siapa dulu dong mamanya"
Dia berusaha tertawa. Dia berusaha keras untuk itu. Tetapi, tawa itu justru menyiksa. Ketika menggerakkan otot wajah, uraturat di sekitar perut pun ikut tertarik, menghasilkan rasa sakit luar biasa. Dia kembali mengerut, lalu memijat-mijat perutnya dengan gerakan berputar, karena dia percaya, pijatan bisa melonggarkan usus yang lengket.
Keheningan menyambung. Waktu terus memburu, setiap detik kini teramat berharga, walau aku pun tak tahu harus berbuat apa.
Di tengah ketidakberdayaan, kubuka sebuah buku kumal. Dari sisi ranjang ini, setengah berbisik, kubacakan isinya.
Ini adalah catatanku selama mengembara ke negeri-negeri, kuberi judul Safarnama. Nama ini berasal dari bahasa Persia. Safar berarti perjalanan , nama berarti tulisan, surat, kitab. Catatan perjalanan. Sederhana, tak ada yang istimewa dari kumpulan serpihan-serpihan memori perjalanan ini. Tapi kata demi kata akan terus kubaca. Tentang tawa riang dan tangisan. Tentang kejatuhan dan kebangkitan. Tentang kehilangan dan penemuan. Tentang keputusasaan dan semangat baru. Tentang kenangan, harapan, impian, ambisi, realita.
Apakah kisah ini akan membawa sesuatu manfaat baginya, itu sudah tak penting lagi. Apakah ini juga akan menjadi pelepasan dari penyesalanku selama ini, aku pun tak mengharapkannya lagi. Yang kutahu, cerita-cerita ini adalah misteri gelap yang senantiasa berkutat dalam benaknya, selama ini membangkitkan ketakutan dan kekhawatiran, membayangi tidurnya, membuat jantungnya berdebar kencang dan air matanya meleleh. Inilah kisah perjalanan seorang anak yang pergi, melanglang, jarang memberi kabar. Sebuah memori tentang perjalanan panjang yang telah mengubah hidup kami semua perjalananku sekaligus perjalanannya. Kenangan ini yang akan menemani dalam penghujung perjuangannya.
Dan inilah ceritaku. Inilah Safarnama. Safarnama Senandung Pengembara Kisah ini dimulai dengan sebuah alkisah, konon kabarnya, pada suatu ketika....
Pada suatu ketika, di tanah Arabia, putri cantik Shahrazad mulai mendongengkan rangkaian kisah untuk memperpanjang umurnya. Setiap hari, satu cerita. Agar sang baginda raja bersabar menunda keinginan untuk memenggal kepalanya. Potongan kisah terus mengalir, satu cerita berarti satu hari tambahan hidup bagi Shahrazad. Demikian berlangsung terus hingga seribu satu malam.
Bagai Shahrazad yang membawa cerita dari negeri antah-berantah, aku menggumamkan dongeng tentang perjalanan menuju Himalaya.
Dalam hati aku pun berdoa, satu cerita berarti tambahan hari dari Waktu yang bermurah hati.
Siapa tahu, hingga seribu satu malam....
Dia yang menyebut dirinya sendiri sebagai petualang, sesungguhnya adalah sesosok lelaki kurus kecil yang mencangklong ransel setinggi kepalanya, terseok menenteng tas plastik berisi tiga botol minuman bersoda dan lima bungkus mi instan seduh, berlari buru-buru takut kereta segera berangkat. Dia, si calon penakluk dunia, terjungkal lalu tersungkur mencium lantai peron gara-gara menginjak tali sepatu yang lepas dari bot kedodoran sumbangan teman, lalu kikuk memunguti mi instan yang menggelinding dan bungkusan roti yang terpelanting sampai lima meter. Dia, si penggapai mimpi-mimpi setinggi langit, cuma mengumpat dalam hati, mengapa tidak satu pun dari ribuan orang lalu lalang ini ada yang peduli, mengapa setiap orang hanya sibuk dalam perjalanan masing-masing, apakah dunia memang sudah sesadis ini. Dia sejatinya adalah seorang sarjana pengangguran, berambisi mewujudkan mimpi perjalanan akbar yang akan dikenang sepanjang hidupnya sendiri. Ada yang bilang itu berani, ada yang bilang itu nekat, tidak sedikit yang mencemooh itu gila. Dia hanya membawa dua ribu dolar dan berkhayal menuju Capetown di ujung Afrika Selatan seorang diri, hanya karena itu adalah titik terjauh yang mungkin dicapai dari Beijing sini dengan lintasan darat tanpa naik pesawat.
Jauh. Katanya di tempat jauh di balik cakrawala sana, ada sebuah tanah harapan. Seperti halnya ibu yang melepas anaknya yang pergi merantau, dia pun percaya, di tempat yang jauh itu, suatu hari nanti, segenap nasib akan berubah, manusia baru akan tercipta, semua mimpi akan menjadi nyata, hidup bakal bahagia.
Jauh adalah kata yang mengawali perjalanan. Jauh menawarkan misteri keterasingan, jauh menebarkan aroma bahaya, jauh memproduksi desir petualangan menggoda. Jauh adalah sebuah pertanyaan sekaligus jawaban, jauh adalah sebuah titik tujuan yang penuh teka-teki. Marco Polo melintasi jalan panjang dari
p u s t a k a i n Venesia hingga takhta kaisar Mongol di negeri China. Para pengelana lautan Eropa bertahun-tahun mengarungi samudra luas, menyabung nyawa, menjinakkan suku primitif di belantara. Para astronot dan kosmonot berlomba menginjakkan kaki di bulan, menguak tabir angkasa. Deretan pengembara akbar menghiasi sejarah peradaban. Semua terjerat pesona kata itu: jauh.
Seberapa jauhnyakah jauh itu" Berapa lama untuk mencapainya" Imajinasi liar manusia terus menggerus dimensi ruang dan waktu, terus berkelana menembus batas. Tentang kehidupan yang paling asing, paling berbeda, eksotis, ajaib, unik, pelik, antik, eksentrik,.... Jauh.
Si petualang pun bermimpi, dalam lintasan yang begitu jauh menuju titik terjauh, dia akan melewati sebuah rute musafir legendaris dari zaman berabad silam. Jalur Sutra yang membaurkan berbagai kebudayaan Timur dan Barat, membangkitkan imajinasi dan romantisme, bayangan tentang barisan karavan unta yang melintasi gunung gersang, atau perompak di tengah kengerian malam, fatamorgana oasis, sampai kubah-kubah megah masjid dan makam dengan biru lazuardi dari dongengan Arabia. Permadani terbang, harta karun tersembunyi, putri cantik, pangeran rupawan....
Perjalanan.... Petualangan.... Kita berangkat....
Mengapa Safarnama" Setiap kita dibesarkan dengan Safarnama. Dari generasi ke generasi, dalam berbagai tradisi.
Sindbad sang pelaut menaklukkan tujuh samudra dan mengalami tujuh pengalaman menakjubkan. Ali Baba nekat menembus sarang penyamun, mengucap mantra magis, Sesam, buka pintu! Juga Aladdin yang dibawa jin super mengelana Baghdad di atas permadani terbang.
Safarnama dikisahkan, membuai mimpi manusia. Safarnama mengiring hidup, menciptakan obsesi dan fantasi. Safarnama adalah inspirasi petualangan para jagoan dan keberanian para pahlawan di negeri antahberantah, tentang kebenaran mengalahkan kejahatan, tentang cinta dan kesetiaan.
Ketahuilah, Safarnama memang bukan sekadar kisah semata.
Kau bilang perjalanan hanyalah bagi sang pemberani. Kau bilang perjalanan keliling dunia itu eksklusif bagi para lelaki gempal jagoan yang kuat melibas semua musuh. Kau bilang petualangan adalah perjuangan macho melintasi bahaya, atau khusus bagi kaum masokis yang menemukan kenikmatan justru dengan menyiksa diri.
Namun bagiku, ujian pertama dalam perjalanan adalah pembuktian kesabaran.
Tentu, kau perlu teknik spesial untuk bisa menyelinap di antara kerumunan para penumpang kereta api di negeri berpenduduk paling banyak di muka bumi ini. Angka populasi satu koma tiga miliar itu memang bukan main-main. Satu stasiun kereta api di kota Beijing bisa mengangkut sampai sejuta
penumpang dalam sehari. Manusia dijejal-jejalkan ke dalam setiap sudut kereta, mulai dari koridor sampai toilet. Bahkan tempat berdiri pun tidak ada. Tentu, butuh sedikit kecerdikan untuk mencari ruang kosong di antara buntelan dan mendesak berbongkah-bongkah tas para penumpang. Tentu, kau butuh kengototan luar biasa untuk mengusir para lelaki desa yang duduk santai tanpa dosa di atas bangku yang seharusnya menjadi tempat dudukmu. Tentu, keringat bercucuran deras setelah perjuangan panjang di gerbong panas ini.
Tapi cukup sabarkah kau menghadapi tantangan sesungguhnya" Kereta ini akan melintasi tiga ribu tujuh ratus enam puluh delapan kilometer, berjalan tanpa henti selama empat puluh tiga jam plus lima puluh lima menit, dari Beijing menuju Urumqi nun jauh di barat sana. Semua ini harus dilewatkan di atas bangku keras yang sandarannya tegak lurus. Setegak itu pula seharusnya punggung, bahu, kepalamu sepanjang perjalanan panjang ini. Hampir tak ada kesempatan untuk berdiri meregangkan kaki, karena setiap tempat lowong di lorong sudah dipenuhi manusia malang yang terpaksa menggelesot dan berbaring. Empat puluh empat jam tanpa kursi! Tubuh macam apa yang sanggup melewati ujian fisik seberat itu" Belum lagi ketika petugas penjual makanan dengan kereta dorong metalik mulai berteriak garang. Minggir! Ada yang mau beli mi instan" Kuaci" Minuman" Makan malam..., makan malam, sekotak dua puluh yuan! Minggir!!! Kerumunan yang sudah kehabisan energi diayun dan diguncang getaran gerbong kereta api, serta-merta harus mengingsut perlahan, merapatkan badan, berdiri tegak mengempiskan perut menarik pantat, berdesak-desak dan mengumpat-umpat, semua hanya demi si penjual lewat.
Kereta bukan sekadar alat transportasi. Kereta sesungguhnya adalah wajah sebuah negeri. Kereta China adalah China itu sendiri, dengan segala dinamikanya, dengan segala keteraturannya di tengah kekacauan. Simfoni dengkur lelaki gendut bertelanjang dada, tangisan bayi, persewaan on the spot mesin televisi-cum- VCD-cum-karaoke mini made in China, suara sumbang para mahasiswa yang berlagak penyanyi profesional, petugas berseragam yang menjual pistol mainan dan bolpoin kelap-kelip, alunan instrumentalia O Sole Mio dan Bengawan Solo, juga promosi tempat-tempat wisata sepanjang rute yang dilewati, siaran propaganda tentang tanah air yang semakin kaya dan berjaya, diselingi pertengkaran memaki-maki yang memekakkan kuping. Ini semua adalah paket all-in-one.
Para penumpang yang tercinta, kita bersama menjalani perjalanan yang penuh derita. Anda diingatkan dengan lembut untuk menjaga kebersihan kereta, tidak meludah atau membuang sampah sembarang tempat. Stasiun berikutnya adalah.... Suara perempuan mengalun dari pengeras, diiringi musik latar belakang yang lambat.
Aku membersihkan mata yang lengket. Masih dua puluh tujuh jam lagi! Matahari sudah tenggelam, terbit, lalu tenggelam lagi. Masih kurang sekali terbit, sekali tenggelam, dilanjutkan sekali terbit lagi. Perjalanan ini seakan tanpa akhir. Perjalanan ini hanya berarti duduk, dan menanti. Berhari-hari di dalam kereta, kita masih berada di balik tirai bambu. Pemandangan bergeser seperti spektrum mulus, dari kota-kota yang dibungkus kabut kelabu, lalu pencakar langit menjarang, digantikan pabrikpabrik yang menyemburkan asap hitam, bersambung dengan sungai keruh, bukit gundul, diselingi desa-desa bertebaran, sampai akhirnya padang gersang dengan gunung bertudung salju di kejauhan.
Manusia tangguh yang paling luar biasa sesungguhnya adalah para petugas kereta berseragam biru-biru yang menyusuri setiap gerbong, menyibak kerumunan penumpang. Mereka membawa sapu lidi, membersihkan lantai, membilas toilet kering tapi pesing. Kalau perjalanan adalah perpindahan, merekalah yang paling berhak mengklaim kata itu, karena mereka tentu termasuk orang-orang dengan rekor total jarak perjalanan tertinggi di dunia. Kereta inilah hidup mereka. Bersama kereta, semua sel tubuh mereka berpindah tiga ribuan kilometer, istirahat beberapa jam, langsung dilanjutkan perjalanan empat puluhan jam lain kembali menuju kampung halaman. Seminggu pergi pulang sudah tujuh ribu kilometer. Berapa dalam sebulan" Setahun" Sepanjang karier" Sudah berapa jarak keliling bumi yang mereka lalui"
Rutinitas membunuh manah. Tubuh dan impresi pun mati rasa. Kemonotonan memang bagian dari perjalanan. Siapa bilang kehidupan backpacker itu seperti film laga yang setiap menit menyuguhkan petualangan mendebarkan" Dalam tiga lusin jam terakhir, hidupku cuma tidur, makan mi instan, baca buku, mengobrol, mengantuk, tidur, makan mi instan.... Waktu begitu berlimpah, seakan tiada habisnya. Para pejalan tentu pernah berfantasi apabila hidup bisa dikontrol seperti film membosankan yang dimainkan dengan opsi fast forward 32x. Musafir gurun mendambakan kegersangan segera berakhir digantikan segarnya mata air. Pelayar yang berminggu-minggu mengarungi samudra sepi bisa gila merindukan bayangan daratan. Perambah hutan
rimba menantikan peradaban. Nyanyian sunyi mengiring pendaki yang terengah menggapai puncak gunung megah.
Di atas kereta ini, aku bertanya pada penumpang sebelah, Berapa menit lagi kita sampai di Urumqi"
Menit" Ratusan juta menit! Hahaha.... Lelaki tua itu terbahak-bahak. Serpihan kuaci di mulutnya terciprat ke wajahku.
Leherku kelu, bibirku pecah berdarah-darah, kepalaku serasa berputar, aku hampir ambruk. Dengan memanggul ransel yang menghunjam badan, aku berjalan terbungkuk mencari penginapan di dekat stasiun Urumqi. Melihat turis datang, lusinan calo mengerubung.
Cari hotel" Cari taksi"
Mau ke mana" Murah! Murah! Ikut aku! Aku enggan meladeni. Aku berjalan maju terus seolah para calo itu tidak kasatmata. Wajahku tersontak karena rasa panas mendadak, hasil dari tempelengan yang tanpa basa-basi.
Ditanya baik-baik, tidak dijawab! seru lelaki gemuk berwajah garang. Aku mengusap pipi, meneriakkan makian sekencang-kencangnya, sementara lelaki itu sudah menghilang di tengah kerumunan.
Penginapan termurah yang kutemukan adalah losmen pas sebelah stasiun, khusus untuk penduduk lokal. Berkat kartu pelajar, aku menyamar sebagai orang China daratan. Untuk harga 10 yuan (sekitar 1,20 dolar), aku mendapat satu kasur di
kamar gelap, pengap, becek, berisi empat ranjang susun (total delapan kasur). Saking sempitnya, satu-satunya tempat untuk meletakkan ranselku adalah di atas perutku. Teman sekamarku adalah para lelaki compang-camping dengan wajah sangar penuh luka dan mulut menebarkan aroma bir. Kami memang tidur dalam kamar yang sama, tapi tanpa bertukar sedikit pun suara dan kata.
Esoknya, seporsi tantangan berikut sudah menanti: tiga puluh satu jam empat puluh empat menit perjalanan kereta dari Urumqi menuju Kashgar, masih di Xinjiang juga. Inilah kota yang disebut sebagai jantung kebudayaan Uyghur, terkenal untuk bazar hari Minggu dan masjid-masjid kunonya.
Orang China biasa mendeskripsikan Xinjiang dengan kata kacau . Di benak mereka, ini adalah daerah liar yang sangat berbahaya dan bergejolak. Begitu seramnya, bom-bom bisa meledak kapan saja. Lihatlah, kata mereka, orang-orang Uyghur dari Xinjiang itu rata-rata jadi pencuri kecil dan pencopet, atau pedagang sate yang badannya cuma bau kambing. Tapi sesungguhnya Xinjiang juga menawarkan eksotisme. Orang China selalu membanggakan suku-suku minoritas yang jago menari dan lihai menyanyi, apalagi punya wajah rupawan bak orang Eropa, plus kultur yang begitu eksentrik. Mereka juga bilang, kalau belum ke Xinjiang maka kau belum mengerti seluas apa tanah air kita.
Begitu masuk gerbong, aku sungguh seperti berada di negara lain. Kelihatannya hanya aku penumpang yang berkulit kuning dan bermata sipit. Semua yang memenuhi tempat duduk dan berjongkok di lantai adalah orang kulit putih, mata lebar, hidung mancung. Merekalah Uyghur yang diakui kerupawanannya di seluruh China, etnis minoritas yang sudah menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Tapi setidaknya, di gerbong kereta murah ini, mereka adalah mayoritas.
Pandangan tak bersahabat dari ratusan pasang mata terhunus ke arahku. Begitu mengempaskan diri di bangku, aku langsung mengeluarkan songkok hitam. Identitas adalah senjata. Aku orang Indonesia! Orang Indonesia! ucapku berkali-kali.
Assalamualaikum. Indonosia! Indonosia! Muslim yang bagus! penumpang sebelahku berseru. Penumpang-penumpang yang lain langsung mengerubutiku. Tua, muda, kakek, nenek, balita, remaja,.... Semua.
Oh, inikah rasanya jadi selebriti" Indonosia!!!
Walaupun ini masih China, kebanyakan mereka tidak bisa bicara bahasa China. Demi komunikasi, kukeluarkan senjata andalan lainnya: brosur pariwisata Indonesia. Gambar pantai, orangutan, pura, masjid, komodo. Tapi yang jadi primadona adalah foto lelaki Papua berkoteka. Nenek berkerudung sampai menjerit histeris, lalu dengan tawa membahana membawa brosur itu keliling sampai ke ujung gerbong, dipamerkan kepada semua orang. Suara tawa bergaung sambung-menyambung bak tongkat estafet. Sekarang, tak ada dari dua ratusan penumpang di gerbong ini yang tidak mengetahui kehadiranku.
Kamu enak, dari negara Muslim yang bagus. Kami sudah banyak dengar tentang Indonosia, kata lelaki tua berpeci putih.
Di dekat sini kan ada negara Muslim juga. Pakistan. Kakek pernah ke sana"
Ah... kamu masih anak-anak. Kamu tidak bakal mengerti, katanya ketus.
Aku terdiam. Tudingan sebagai anak-anak ini seketika membuat komunikasi terputus.
Setelah hening begitu lama, penumpang lain melanjutkan omongan si kakek. Kami tak bisa dapat paspor! Mereka tak beri kami paspor! Kami tak bisa ke luar negeri! Kamu sungguh beruntung sebagai orang Indonosia, bisa ke mana-mana. Di sini kami selalu dicurigai. Ke Mekkah naik haji pun susah sekali, kami tak punya koneksi. Anak-anak kami tidak boleh belajar salat, di sekolah tidak boleh sembahyang....
Penumpang di sekitar mengangguk-angguk. Atmosfer terasa begitu berat. Aku sungguh tak tahu harus bagaimana bereaksi. Bagi mereka, kaum minoritas, perjalanan bukanlah sesuatu yang bisa diraih begitu saja. Ada kekuatan lain yang membatasi: aturan-aturan negara, hukum, paspor, visa, kekangan penguasa.
Perjalanan sesungguhnya adalah simbol kebebasan dan kemerdekaan. Salah jika kau anggap kebebasan perjalanan adalah hak universal semua umat, anugerah yang sudah ada dari sananya. Paspor, buku mungil kumal yang kini terselip di sakuku, pintu gerbang kemerdekaan perjalananku, untuk mendapatkannya juga harus melibatkan perjuangan dan penghinaan. Di sini cukup aku memakai songkok lalu menyebut diriku sebagai Indonosia, semua orang sudah percaya, sementara di negeriku sendiri identitas itu justru selalu dipertanyakan. Aku ingat betul betapa tebal tumpukan dokumen yang harus kuserahkan, persyaratan surat bukti kewarganegaraan yang begitu merendahkan arti nasionalisme, meja yang digebrak, ancaman dan bentakan petugas yang menudingku sebagai penduduk asing ilegal, plus uanguang yang wajib dibayar yang katanya demi menguatkan kewarganegaraanku dan kecintaanku pada negeri yang selama ini kupercaya sebagai tanah airku sendiri.
Ada sebuah bahasa yang sama yang menghubungkan kami para minoritas. Minoritas di mana-mana sama, perbedaan selalu menciptakan garis batas. Sejak kecil aku dirundung pertanyaan tentang identitas: Siapa aku" , Mengapa aku" . Para minoritas juga punya impian yang sama akan sebuah tanah lain , Tanah Suci , perubahan nasib yang menawarkan kemerdekaan sebagai manusia normal, juga keluh kesah tentang kebanggaan dan identitas yang disangkal. Apa daya, di daerah perbatasan sensitif ini, setiap komentar yang berbau politik sangat berbahaya. Aku hanya terdiam.
Ah, aku benar-benar masih anak-anak .
Petugas berseragam biru datang dengan sapu lidi dan pengki. Perempuan itu langsung menjerit melihat ada bayi buang air besar di dalam gerbong. Tidak beradab! Bodoh! Jorok sekali! serunya nyaring melengking. Dia mencampakkan sapu lidi dan pengki ke arah si ibu, memerintahkan untuk membersihkan kotoran anaknya yang menggunung dan bau. Petugas itu terus menggumam dengan suara yang sengaja dikeraskan. Orangorang bodoh! Percuma saja kalian dilahirkan! Ia berkeliling gerbong sambil terus berteriak memerintah, Bersihkan! Bersihkan! Punguti sampah dari lantai! Ayo! Turunkan tas dari gantungan! Bodoh! Itu gantungan baju, bukan gantungan tas! Bodoh! Turunkan! Para penumpang Uyghur sama sekali tidak membalas makian itu. Tutup jendelanya! Tutup!!! Si petugas yang dari etnis mayoritas Han itu akhirnya dengan kesal menarik jendela kaca tebal ke bawah. Penumpang memasang muka merengut dan tanpa berkata-kata, langsung menaikkan lagi kaca
penutup jendela itu dengan kasar. Dari luar berembus angin gurun memenuhi gerbong. Kereta jadi penuh debu, kami diselimuti badai pasir. Orang-orang terbatuk karena debu masuk tenggorok. Aku bilang tutup kalian tidak menurut. Terserah kalian! Makan itu debu! Dasar tidak punya budaya! Petugas itu bergegas pergi, umpatan dan makian masih menghiasi mulutnya. Para penumpang tak peduli, mungkin memang malah ada kepuasan di balik pembangkangan ini.
Di luar sana, di langit biru kelam yang menangkupi daratan luas, terpampang sebusur pelangi penuh. Seratus delapan puluh derajat, setengah lingkaran sempurna, berujung dan berpangkal di batas cakrawala luas. Sebelas stasiun sudah terlewati. Malam merambah, penumpang Uyghur semakin larut dalam kegembiraan. Bagi mereka perjalanan bukanlah penderitaan, melainkan perayaan. Uyghur sendiri adalah bangsa yang dibesarkan perjalanan. Dari nenek moyang mereka di Siberia sana, terus berpindah selama ribuan tahun hingga ke tanah Turkistan. Dari pemuja Buddha hingga menjadi pengikut Muhammad, dari pencipta huruf Mongol sampai menjadi pengguna alif-ba-ta alfabet Arab. Dari bangsa pengembara dan penakluk, sampai menjadi etnis minoritas yang meredup di sudut negeri China. Mereka telah melewati begitu kontrasnya drama perjalanan.
Aku tak pernah lihat gerbong kereta semeriah ini. Semua penumpang tertawa terbahak dalam permainan tebak-tebakan yang menyakitkan dan kekanak-kanakan. Mungkin ini tradisi khas Uyghur yang diwariskan sejak zaman pengembaraan. Orang ditutup matanya, lalu ditabok punggungnya, dan harus menebak siapa yang tadi memukulnya. Kalau salah, matanya ditutup lagi, punggungnya dipukul lagi. Begitu terus-menerus,
sampai tebakannya betul. Semua orang terlibat dalam permainan: kakek berpeci, nenek berkerudung, mahasiswa, gadis-gadis, bocah sampai bayi yang sempat buang hajat di lorong. Bahkan petugas yang tadi memaki-maki dan kebetulan melintas juga ikut menabok gratis, lalu melenggang pergi, tentu saja tidak bakal tertebak oleh si korban malang. Para penumpang tertawa terbahak. Sumpah serapah tadi sudah terlupakan. Semua kembali jadi sahabat.
Mataku ditutup. Boaakkk.... Satu tabokan mendarat di punggungku. Cenut-cenut-cenut. Sakitnya menjalar sampai ke sendisendi. Tidak salah kalau permainan ini dinamai dengan onomatope: Dum-Dum suara tubuh dipukul seperti beduk ditabuh.
Siz! Kamu! Aku menuding lelaki berjenggot berperut buncit yang mengulum senyum. Emes! Bukan! Para penumpang tertawa terpingkal-pingkal melihat aku yang terpaksa menungging lagi. Boakkk.... kali ini tabokan yang tidak kalah perihnya, membuat pandangan mengabur dan urat nadi di leher berdenyut keras. Aku menatap deretan wajah yang lagi-lagi begitu jago berakting memasang tampang suci tanpa dosa, lalu menunjuk ke ibu gempal.
Emesss!!! Mereka bersorak lagi. Enam tabokan menyakitkan kuterima bertubi-tubi. Sakitnya merambat, pasti punggungku merah semua. Tapi justru rasa sakit inilah benang merah yang mengakrabkan seluruh penumpang di gerbong ini. Perasaan persaudaraan muncul dari empati senasib sepenanggungan, karena kita adalah kawan seperjalanan, dalam satu karavan.
Sekarang kamu sudah berkenalan dengan semua orang di sini, kata pemuda berpeci terkekeh ketika aku mengusap-usap punggung.
Dongeng Safarnama yang dikisahkannya saat aku masih ingusan adalah tentang perjalanan akbar, penuh marabahaya menuju tanah India, demi menerima kitab suci sang Buddha. Pelakunya adalah sang biksu suci Hsuan Tsang alias Tong Samcong bersama murid-muridnya: kera sakti Sun Gokong, babi Ty Patkay, dan rahib Sam Cheng.
Gurun gersang Taklamakan, gunung membara yang menghanguskan, Gunung Kunlun yang tak tertaklukkan, siluman kerbau dan bocah api, negeri para wanita, dunia kahyangan, Dewi Kwan Im....
Satu bab demi satu bab Mama bacakan setiap hari, menjadi kisah berseri yang selalu kunanti, laksana baginda raja yang selama seribu satu malam mendengar dongengan dari si cantik Shahrazad. Diselingi lamunan, kapan mimpi perjalanan itu bakal sungguhan jadi kenyataan.
Dari dusun gersang berdebu di sudut selatan Xinjiang yang dijuluki Kilometer Nol ini, jalan panjang menuju Tibet bermula.
Di pinggir jalan terpasang baliho raksasa bergambar sepasang polisi, bertuliskan: Orang asing dilarang melintasi jalan ini tanpa izin. Ancaman itu bukan gertakan sambal terasi. Pelanggar aturan bakal berhadapan langsung dengan seramnya Biro Keamanan Publik atau Tentara Pembebasan Rakyat. Tibet adalah sebuah barak raksasa. Di mana-mana ada pangkalan tentara, pos pemeriksaan, mata-mata, tank dan parade truk militer, pagar berduri, papan peringatan, slogan-slogan komunis, kecurigaan, ketakutan, represi. Apalagi buat pendatang ilegal seperti
aku orang asing yang menyelundup tanpa dokumen lengkap, tanpa mengurus izin apa pun dan membayar ongkos ini-itu, tanpa kendaraan sewaan, tanpa pemandu. Kami adalah kelompok pendatang yang dicurigai bakal melakukan aktivitas subversif, seperti: menyulut demonstrasi, mengibarkan bendera Free Tibet, membawa buku panduan Lonely Planet yang menyebut Tibet adalah tanah jajahan, atau berlagak Sinterklas membagikan foto Dalai Lama pada penduduk minoritas.
Terlarang. Sungguh ada daya tarik misterius dari kekuatan itu. Sepertinya otak manusia memang diciptakan untuk berorientasi menerjang sampai ke limit, mengukir rekor maksimal, menembus garis batas larangan. Siapa yang tidak terpukau pada kisah petualangan abad ke-19 dari Sir Richard Burton, orang pertama yang menerjemahkan kisah 1001 Malam ke bahasa Inggris, sekaligus kafir Eropa pertama yang menginjakkan kaki di tanah suci Mekkah, menyamar sebagai Muslim Afghan dan menyelinap dalam rombongan haji. Kisah petualangannya sendiri pun selevel dengan legenda seribu satu malam itu, bernapaskan embusan deru petualangan dari sebuah tanah terlarang.
Penyelundupan dimulai. Misiku adalah Tibet, yang sejak berabad-abad adalah Tanah Suci di Atap Dunia, negeri terlarang yang selalu tertutup dari dunia luar. Kutarik erat-erat gendongan ranselku. Kurapatkan jaket tipisku. Kulesapkan topiku. Kuatur nada bicaraku sesempurna dan semirip mungkin dengan orang China. Aku bermain dengan dualisme identitas. Aku bukan si orang Indonosia berpeci, melainkan mahasiswa asal provinsi Guangdong. Untuk penyamaran ini, aku sungguh harus berterima kasih atas wajah Mongoloid warisan nenek moyang.
Dari informasi penting yang kudapat, tentara China mengurusi warga China, sedangkan polisi mengurusi dokumen orang asing. Kalau bertemu tentara, aku harus mengaku sebagai orang asing. Kalau ketemu polisi, aku akan jadi orang China. Selangseling, aku mesti waspada, kapan harus jadi Agustinus, kapan harus jadi Xiao Weng. Dan berdoa saja, supaya sang tentara dan polisi jangan sampai muncul bersama.
Semua penumpang lelap di atas bus kumuh berbau anyir yang berguncang seperti dilanda gempa lima skala Richter. Semua tersekap di atas ranjang sempit masing-masing. Saking sempitnya, lutut harus ditekuk sepanjang jalan, dua hari tiga malam. Tiga saf, enam baris, dua susun, plus lima deret tubuh berjajar di baris paling belakang persis ikan pindang. Bus merangkak perlahan, menapaki terjal dan gersangnya pegunungan Kunlun.
Tiga puluh jam, aku semakin mati rasa, mirip mayat hidup tanpa ekspresi. Kabut tebal menyelimuti pandangan. Gersang. Cadas, Angkuh. Angin berembus kencang, menderu seram, membawa bulir-bulir debu berputar-putar. Pemandangan di sini sudah bukan seperti alam manusia, lebih mirip panorama bulan atau planet Mars. Begitu banyak puncak gunung dan dasar lembah kami lewati. Kudi, Chiragsaldi, Mazar, Saidula, Kirgizjangal, Sanshili. Nama-nama antik eksotik, tapi tidak simpatik. Berada pada ketinggian lebih dari 4.500 meter, aku sadar, ini bukanlah habitat manusia normal.
Titik paling berbahaya dalam perjalanan ini adalah sebuah tempat yang dijuluki Parit Orang Mati. Penumpang yang terbaring di sampingku berkisah, pada saat Tibet akan dibebaskan , sekelompok Tentara Pembebasan berjalan melintasi jalan ini, berkemah di sini. Esok paginya, sudah tak ada lagi yang bangun.
Mereka semua mati. Ya, begitu saja. Tanpa sebab, tanpa alasan. Mati yang sangat misterius, dalam tidur yang nyenyak.
Kematian begitu mudah. Ada orang meloncat dari truk, begitu mendarat di tanah langsung mati. Ada yang berenang di danau, mati. Berlari di gunung, mati. Desas-desusnya, itu ulah hantu dan setan pencabut nyawa.
Mataku berkunang-kunang. Napasku pendek seperti penderita asma. Kepalaku berat, aliran darah melambat. Lambung menggelegak ingin melontarkan isi. Tak berakhir... tak berakhir.... Kepala seperti dipukul palu godam. Bayang-bayang kabur satu per satu muncul mengisi gelap.
Kupaksa membuka mata, berat sekali. Jendela tak bisa tertutup rapat. Udara dingin tersembur ke wajah. Kupaksa kelopak mataku terus terbuka, karena tempat paling mematikan itu justru luar biasa indah. Mahakarya Atap Dunia. Langit biru begitu rendah, seakan awan pun bisa terjamah. Puncak-puncak gunung salju yang membundar, diselingi permadani lembah hijau, kelihatan justru begitu jinak.
Dunia seketika berubah. Xinjiang yang gersang dan berdebu itu kini menjadi padang datar dengan gunung-gunung di kejauhan. Pegunungan Kunlun itu sungguh adalah tembok raksasa ajaib. Di sisi satu adalah gurun luas Taklamakan yang saking ganasnya sampai dijuluki siapa yang masuk tidak akan pernah kembali lagi , di baliknya adalah Negeri Atap Dunia yang ketinggiannya mematikan.
Aku sudah di Tibet! Mama tertidur. Aku membelai rambutnya yang semakin kesat.
Aku jadi terkenang, betapa posisi ini berkebalikan pada belasan tahun silam, ketika aku justru sering ketiduran di pangkuannya saat dia membacakan serial Perjalanan ke Barat yang langsung diterjemahkannya dari bahasa asli. Aku sering menguap bosan menunggu Mama merenung lama untuk menemukan kata bahasa Jawa yang pas menggambarkan tanah fantastis dan siluman mustahil yang dijumpai si Kera Sakti. Tapi, aku selalu tak rela kalau Mama berhenti, cerita bersambung ini tidak boleh diakhiri di sini.
Bagaimana dengan Putri Kipas Besi" Ke mana Sun Go Kong pergi setelah Gunung Kunlun" Raja Neraka" Kaisar Langit" Gurun membakar" Sembilan matahari" Bagaimana mereka menyeberang sungai tak bertepi" Melintasi padang salju"
Aku terus merengek penasaran.
Mama mengulum senyum. Lanjutannya tunggu besok, katanya, sembari menutup kitab mungil dari negeri leluhur.
Seperti apakah dunia misterius di balik Kunlun itu"
Aku melompat dari bus, mengibas-ngibaskan debu yang menyelimuti sekujur tubuh. Bus bergetar, roda-roda berputar, menyemburkan lebih banyak debu ke wajahku yang masih lusuh. Hanya aku dan seorang backpacker lelaki dari Beijing yang turun di sini, sedang para penumpang lain meneruskan perjalanan ke Ngari. Ransel hitamku sudah berubah warna menjadi cokelat.
Rambutku kusut. Dalam perjalanan ini, aku harus membiasakan diri dengan kenyataan bahwa mandi adalah sebuah kemewahan. Berminggu tanpa mandi bakal jadi rutinitas. Dan bukankah mereka bilang, orang Tibet hanya mandi tiga kali seumur hidup: saat lahir, kawin, mati"
Pada ketinggian 4.300 meter ini, danau biru Pangong-Tso menghampar. Bentuknya mengular, dari Tibet hingga masuk ke perbatasan India di Kashmir. Orang China bilang, air danau yang tawar di Tibet ini berubah jadi air asin dan amis begitu masuk ke India. Tapi siapa tahu" Mereka pun belum pernah melihat sisi lain dari danau yang sama, karena itu tanah sama sekali terlarang. Biru kelam air danau menjadi semakin mistis dikelilingi gunung-gunung yang dibilas sinar keemasan mentari senja. Ratusan camar berparuh merah beterbangan di permukaan air. Mereka berombongan, mendarat di air bersamaan, lalu terbang ke angkasa membentuk parade burung yang seperti menantang keagungan gunung-gemunung bertudung salju.
Sayang kamu terlambat, kata lelaki pemilik warung di sebelah danau, coba kamu datang sebulan lalu, tempat ini penuh burung. Sekarang hawa sudah dingin, burung bangau sudah terbang ke selatan.
Ini adalah surga bagi para burung. Di tengah danau bahkan ada Pulau Burung. Sekarang bangau-bangau Siberia sudah berombongan terbang ke selatan, sampai ke Teluk Benggala. Musim panas tahun depan, kawanan ribuan bangau akan kembali ke Himalaya, menjejakkan kaki di Pangong yang sejuk ini.
Betapa burung-burung itu punya hidup yang boleh membuat manusia iri. Betapa bebas mereka berkelana, bertualang menikmati surga-surga di muka bumi. Sedangkan kami manusia
fana, tersekat begitu banyak batas. Batas-batas itulah yang terus memenjarakan diriku dalam identitas yang senantiasa disangkal. Di negeri kelahiranku, aku dianggap sebagai orang luar. Bahkan hingga ke tanah leluhur pun, aku tetaplah hanya sebagai orang asing. Siapa yang sebenarnya menggambar garis-garis batas negeri di muka bumi, yang kemudian mengklaim ini punyaku itu punyamu" Siapa yang membuat alam raya terpetak-petak dibatasi berbagai dinding tak kasatmata" Siapa yang menentukan suku-suku, bangsa-bangsa, ras dan etnis" Siapa pula yang tega mengobarkan perang dan pertumpahan darah, demi garis-garis batas itu"
Kertas-kertas dokumen menentukan jenis manusia mana yang boleh bebas merambah Tibet, manusia mana yang harus didepak jauh-jauh. Aku termasuk jenis kedua, dan benar-benar harus waspada karena ini daerah supersensitif, tepat di pinggir garis putus-putus di atas peta yang menandai sengketa. Empat puluhan tahun lalu, India dan China pernah terlibat pertempuran demi kawasan danau ini. Sekarang, pasukan perbatasan rutin berpatroli dengan kapal di tengah danau. Rakyat sipil cuma boleh sampai sekitaran Pulau Burung.
Kampung ini hanya terdiri dari dua atau tiga rumah sederhana. Selain penghuni gubuk dan beberapa tentara, tak ada lagi manusia lain yang hidup di sekitar sini. Satu-satunya toilet adalah sebuah bilik kayu rapuh, dengan lubang menganga dan tumpukan kotoran mengering, dikerubungi lusinan lalat hijau sebesar ujung jempol, bersimfoni sumbang ngung-ngung-ngung. Danau Pangong terkenal akan ikannya yang lezat, bertubuh gemuk namun berduri kecil. Di bawah kelip lilin, sumpit-sumpit
beradu liar. Dalam sekejap, tiga ikan gemuk berubah menjadi tumpukan duri kecil di pinggir piring.
Warung semakin ramai dengan kedatangan empat pesepeda dari Perancis. Mereka juga punya cita-cita perjalanan darat akbar, dari Eropa sampai ke Singapura. Tujuh bulan perjalanan ini, melintasi Rusia dan negeri-negeri Asia Tengah, telah mengubah wajah mereka menjadi begitu berkerak, ditutupi gumpalan jenggot liar berdebu.
Hati-hati! Hati-hati! Dan selalu hati-hati! Itulah pesan mereka tanpa henti kepadaku. Di Rutog, perhentian berikut, ada pos pemeriksaan, jangan sampai kau tertangkap.
Petualangan ini mirip permainan polisi mengejar pencuri, dan kami semua adalah pencurinya. Tapi ini bukan permainan, kami adalah pelanggar hukum sungguhan.
Lilin dipadamkan. Esok pagi, petualangan lain sudah menanti.
Nuansa Tibet ini terlalu kontras dengan kondisi tubuhnya. Mama terus mengeluh kepanasan. Penyakitnya sudah menginfeksi semua organ dalam, menimbulkan sensasi terbakar.
Kukecup keningnya. Aroma tubuhnya, setahun lalu masih selalu wangi dengan bedak dan parfum. Kini baunya begitu menyesakkan, serupa nasi berjamur yang siap dibuang. Tak kuasa aku menahan bulir air mata. Kupalingkan kepala agar tak terlihat olehnya.
Ini adalah perjuangan di antara kisah dan realita, perjalanan di tengah kemelut mimpi dan ketidakberdayaan, penantian di sisi ranjang derita mendamba mukjizat seribu satu malam.
Lengang. Hanya ada siulan angin menderu-deru. Rumput menari-nari, gunung membisu. Jalan raya mulus membentang, dari balik gunung ke balik gunung. Tak ada kendaraan, tak ada makhluk lain, tak ada suara lain kecuali simfoni alam.
Katanya, tak jauh dari sini ada sebuah negeri yang hilang.
Katanya, itulah Shangri-La yang misterius. Katanya, negeri itu mampu membangun peradaban luhur di balik lekukan gunung dan gua-gua cadas. Lalu, seperti angin, peradaban itu lenyap begitu saja. Yang tersisa hanyalah reruntuhan mirip barisan rumah hantu.
Di persimpangan jalan ini, sama sekali tidak terbayang kemegahan dan fantasi itu. Lelaki Jerman tinggi besar berbagi cerita. Hans, lima puluh tahunan umurnya, sudah tiga bulan ini berkeliling Tibet sendirian. Dia mendaki gunung, mengunjungi tempat-tempat tersembunyi, mengagumi dan mencintai Tibet karena kemegahan alam yang tiada duanya. Dia pun sepertiku, berencana menuju Zanda, reruntuhan kerajaan Guge yang sekitar dua ratusan kilometer jauhnya dari pertigaan ini. Tapi sudah sedari pagi dia menunggu, tak ada satu kendaraan pun melintas.
Perjalanan di Tibet adalah sebuah tantangan, katanya. Perjalanan ini memang berat, tapi yang akan kaudapatkan sebanding dengan semua perjuanganmu. Sebagai lelaki kulit putih, tantangan yang dihadapinya tentu berlipat ganda daripadaku yang bisa menyamar. Kebanyakan sopir di Tibet tidak mau mengangkut orang asing, sekalipun surat-surat izin sudah lengkap di saku. Itu tak berguna, karena peraturan di Tibet juga selalu berubah seperti jejak pasir yang ditiup angin gurun. Dengan pengalamannya yang sarat, Hans adalah gudang nasihat. Awas, di Barga ada pos pemeriksaan! Awas, polisi berkeliaran di Lhatse! Bepergian dari Tibet Barat ke Lhasa lebih mudah daripada sebaliknya!
Topik perjalanan berikut selalu adalah obrolan favorit para
pengembara di tengah penantian yang seperti tak ada ujungnya ini.
Sejam berlalu, angin terus berkecamuk.
Dua jam berlalu, perut mulai keroncongan, badan menggigil kedinginan.
Tiga jam berlalu, aku baru sadar ini adalah hari ulang tahunku. Hari ini, umurku tepat dua puluh empat. Hans terkekeh, Semoga ulang tahunmu akan membawa keberuntungan bagi kita semua!
Keberuntungan" Kalau beruntung tentunya aku cukup memejamkan mata, mengucap doa, dan ketika kubuka mata tahutahu sudah ada mobil dengan sopir ramah menawari tumpangan. Tapi, yang ada di hadapanku tetaplah jalan bisu dan gunung angkuh.
Keberuntungan hinggap bersama truk pengangkut barang yang datang ke pertigaan. Tetapi Keberuntungan seketika kabur begitu saja. Sang sopir cuma mengerem truknya sejenak, langsung tancap gas, ketakutan melihat orang kulit putih yang identik dengan denda , polisi , kesialan .
Empat jam sudah, ransel masih teronggok di pinggir jalan. Aku mulai mengagumi siapa yang membangun jalan semulus dan sebagus ini di tengah kekosongan padang rumput luas dan sunyi.
Lima jam menunggu, kami digerayangi keputusasaan. Langit makin gelap, aku tak siap berkemah di alam liar. Tak ada jalan lagi selain berbalik badan menuju Ngari, kota yang selama ini selalu kuhindari. Tepat ketika ide ini tercetus dari mulut Hans, dari kejauhan datanglah sebuah truk yang disopiri lelaki Tibet, menuju Ngari. Bukankah ini pertanda bahwa ide kami mendapat anggukan alam" Gara-gara Hans yang kulit putih, si sopir pun tegas mematok harga tinggi, 150 yuan hanya untuk setengah jam perjalanan di bak belakang bersama kambing-kambing yang tak henti mengembik.
Ngari termasuk kota besar di Tibet. Di sini ada pusat pemerintahan, ada jalan raya dan barisan toko, juga pasar, pemandian air panas, hotel, sebentar lagi akan dibangun bandara. Markas polisi dan tentara juga tersedia. Mata-mata terus mengintai di mana-mana, mengincar para penyelundup ilegal seperti kami.
Ulang tahunku berlalu dalam sendu. Aku melewatkannya seorang diri, hanya dengan menu termurah berwujud semangkuk nasi sayur bayam di restoran Sichuan, yang cuma diterangi lilin remang-remang.
Tak ada istimewa dari hari yang tak istimewa bagi seorang petualang yang juga tak istimewa, yang harus mulai menyadari segala keterbatasannya.
Sayup-sayup suara ringkih memecah kesunyian.
Oh, lezat... enaknya! Enaknya! Matanya masih terpejam, tetapi mulutnya mengecap-ngecap, seolah sedang menikmati santapan luar biasa. Dari igaunya itu, dia pasti sedang terlena di alam mimpi, menghadiri jamuan makan bersama dewa-dewi kahyangan.
Enak ya, Ma, makanannya" Kugenggam tangannya yang lemah saat sepasang mata itu kembali terbuka.
Ia mengangguk. Ada markisa" Ada apel" Ada pir"
Dia mengangguk, tambah semangat, seperti pegas tua yang kembali bergetar.
Mama makan sama siapa" Sama para Buddha dan Arahat" Ada Maitreya" Kwan Im"
Ada burung-burung yuanyang juga, berpasang-pasangan. Cantik sekali, tambahnya. Dia tersenyum sambil menutup mata, seolah masih ingin meneruskan mimpi indah barusan.
Dari sini, nirwana memang terasa begitu dekat.
Aku sempat menepuk-nepuk pipi, meyakinkan ini bukan sekadar mimpi buruk. Dalam perjalanan menuju Gunung Dewa, aku justru berhadapan dengan momok paling seram, horor yang ditakuti segala jenis penyelundup.
Aku tahu siapa kalian! Kalian sudah kami awasi sejak kemarin! Perempuan itu berbicara dari balik masker putih yang menutup wajah misteriusnya. Di topi hitamnya tertempel lencana, tertulis: Biro Keamanan Umum. Alias: polisi.
Jantungku seperti berhenti berdegup. Adakah kesialan yang lebih parah daripada ini" Penyelundup asing yang duduk semobil dengan polisi Tibet, tertangkap basah sedang berbicara dengan dua turis Korea dalam bahasa Inggris, membicarakan rencana penyelundupan. Moga-moga aku tadi tidak keceplosan, karena si polisi ternyata mengerti isi percakapan kami. Diberangus ketakutan, aku cuma bisa menutupinya dengan tawa terbahak. Ha! Ha! Ha! Aku bukan orang asing! Aku asli dari Guangdong! Pernah ke sana" Di sana banyak gedung tinggi. Kota besar!
Kalau begitu dua temanmu ini, mereka dari Korea, kan" Mereka mau ke Gunung Dewa, kan" Bu Polisi terus menginterogasi. Kamu kasih tahu mereka, semua orang asing yang masuk ke Tibet harus didaftar. Ini sudah peraturan. Ini semua demi keselamatan kalian! Kalau kalian tiba-tiba hilang atau kecelakaan, dan kami tidak punya catatan, bagaimana kami bisa menolong kalian"
Bah! Hanya demi keselamatan kami! Itulah yang selalu diucapkan para polisi China. Mereka selalu bilang, tugas utama mereka adalah demi kami, para sahabat internasional . Justru berada di sisinya, aku merasa sangat-sangat tidak selamat.
Demi keselamatan kami pula, Bu Polisi sudah menyiapkan hidangan utama: denda. Itu kata sakti. Dia sudah hafal kata denda dalam bahasa Inggris, Jepang, Perancis, Jerman, dan sekarang minta diajari istilah bahasa Korea dari kedua turis itu. Kim dan Seum sungguh lihai bermain dengan kegentingan. Mereka merengek-rengek tidak punya uang untuk bayar polchil, lalu memuji-muji kehebatan Bu Polisi, menyanjung Tibet, mengutip ajaran Buddhisme, memuliakan Gunung Dewa.
Suasana yang semula tegang pun seketika melunak. Si Ibu Polisi itu melepas maskernya. Ternyata dia suka bercerita, sekali bicara tanpa titik-koma. Umurnya empat puluh tahun lebih sedikit. Dia orang Tibet asli, religius, sudah melakukan kora keliling Kailash sampai tujuh kali. Sekarang kesetiaannya memang pada Republik Rakyat dan Partai Komunis, tapi bagaimana lagi, sebagai orang Tibet, kepercayaan religius itu sudah mengalir bersama darahnya. Dia mengklaim dirinya terkenal di kalangan orang asing (mungkin banyak yang menjulukinya sebagai: Si Ratu Denda). Dia pernah diwawancara wartawan majalah dari
Guangdong. Katanya sudah terbit. Apakah aku pernah melihat majalah itu" Dia minta tolong aku mencarikan majalah itu dan mengirimkan padanya. Dia ingin lihat fotonya di majalah. Dia ingin lihat kota besar. Beijing adalah mimpinya. Dia menyanyikan lagu tradisional padang rumput yang melengking dan bergetar panjang, khas nada puja-puji kaum gembala.
Lagunya terputus mendadak, berubah jadi seperti lolongan serigala panik. Mobil kami oleng di tengah sungai yang mengalir deras. Sungai ini adalah luberan salju kelima yang kami seberangi, meruah menutupi jalan. Ban selip, mobil tersangkut tepat di tengah-tengah. Tepian depan dan belakang masih dua puluh meter lagi, sedangkan kedalaman air dingin dan keruh itu sampai sepinggang. Air merembes masuk ke lantai mobil.
Para penumpang menjerit histeris. Bu Polisi menjulurkan kepala ke luar jendela, kepalanya menggeleng seratus delapan puluh derajat dalam frekuensi seperti bandul jam. Ke depan, ke belakang, ke atas, ke bawah. Para lelaki Tibet bertubuh kekar meloncat turun, dengan gagah mendorong van, sampai akhirnya mobil berhasil keluar dari kubangan. Para penumpang mendengus kesal, gara-gara barang di bagasi belakang kotor semua. Paling kasihan Bu Polisi: sekarung beras punyanya sudah bercampur lumpur, entah apa masih enak dimakan.
Tak mengapa, katanya, Pengabdian tetap paling utama, ini bagian tugas mulia. Selamat datang di Darchen! Senyum lebar Bu Polisi terkembang saat kami tiba di dusun di bawah kaki Gunung Dewa. Sekarang, kalian bertiga ikut aku. Kita urus dulu pelanggaran-pelanggaran ini. Semua yang melanggar hukum harus didenda. Tanpa kecuali!
Kami digiring ke pos polisi. Sayang (lebih tepatnya, untung),
pintunya terkunci. Bu Polisi menggedor-gedor, tak ada jawaban. Ternyata semua petugas keluar karena ada acara di puncak bukit. Akhirnya kedua turis Korea disuruh menginap di hotel mahal yang khusus menerima orang asing. Mereka diperingatkan, harus, wajib, jangan sampai lupa, awas kalau berani mangkir, besok pagi-pagi mesti datang lagi ke sini, buat bayar denda.
Bagaimana denganku" Kamu orang sendiri, tak masalah tidur di mana saja. Kamu jalan sedikit ke bawah, di sana banyak warung yang juga merangkap penginapan murah, katanya, masih percaya kalau aku ini sungguhan produk lokal.
Lelaki tinggi pemilik warung menyambutku dengan senyum lebar mengisi pipi. Aku memperkenalkan diri. Senyumnya semakin lebar. Kamu betul-betul beruntung. Hari ini juga ada dua turis lain dari Guangdong. Nanti kalian bisa ngobrol dengan bahasa daerah kalian! Senang sekali bukan"
Aku menelan ludah. Aku tak bisa bahasa Guangdong sama sekali! Sekali buka mulut pasti terbongkar. Terlanjur basah, satu kebohongan harus disambung kebohongan lain. Otakku berputar keras mencari identitas baru. Mahasiswa Guangdong yang diungsikan ke luar negeri sejak bayi" Atau mahasiswa Guangdong yang diasuh orang asing" Atau mahasiswa lupa ingatan" Keringat dingin membasahi pelipis, di tengah sejuknya Himalaya.
Aku terenyak. Bahkan sesendok makanan pun bisa jadi nikmat yang luar biasa.
Kemarin ia minta apel yang sudah kukunyah, lalu dikunyah sebentar di mulutnya, dan kemudian diludahkan kembali. Setetes percikan air apel yang mengaliri kerongkongan, hanya itu yang boleh dan bisa ia nikmati.
Sungguh ingin kuwujudkan mimpinya, membuatnya menyantap segala jenis hidangan yang disukanya. Tapi bahkan keinginan sesederhana ini pun sudah terlalu muluk. Saluran pencernaan sudah buntu, sekadar air pun tak bisa menembus usus.
Seberapa lama lagi tubuh ini bisa bertahan"
Dari kursi plastik putih di samping ranjang, sembari mengipasi tubuh Mama yang terbaring miring, sayup-sayup kumulai ceritaku tentang negeri nirwana.
Nirwana ini dingin. Nirwana ini tinggi di awang-awang. Nirwana ini sunyi, tersembunyi, mematikan. Di Atap Dunia, langit biru menangkup, lembah-lembah hijau menghias di tengah kepungan gunung-gunung yang berwujud barisan kurva bulat ditudungi salju. Sungai jernih bergemercik membelah padang.
Gunung suci Kailash bagaikan sebuah piramida raksasa, bentuknya nyaris kerucut sempurna, menyembul dari balutan selimut awan. Dia menjulang di tengah barisan bukit gersang, serasa jadi primadona karena rupanya yang istimewa, ditambah nuansa magis gara-gara puncaknya yang ditudungi salju tebal laksana mahkota. Gurat-gurat garis horizontal pada satu mukanya tampak seperti barisan anak tangga menggapai puncak, bak undak-undakan dari bumi manusia menuju nirwana.
Gunung ini begitu suci. Kita manusia hanya boleh menatap, tidak boleh menyentuhnya. Saking keramatnya, tidak pernah ada manusia yang mendakinya, apalagi sampai berani kurang ajar menginjakkan kaki di puncaknya. Orang Tibet beribadah hanya dengan mengelilinginya. Ziarah mengelilingi tempat suci, disebut kora, adalah pembersihan dosa sepanjang hayat. Mengelilinginya seratus delapan kali adalah jalan menuju nirwana.
Namun jangan pernah kau kira, perjalanan menuju nirwana itu penuh ingar-bingar gegap-gempita. Di tanah suci yang sunyi ini, kakiku melangkah perlahan. Aku bernapas, tapi rasanya nyaris tak ada oksigen yang terserap. Mataku berkunang-kunang, pikiranku berkeliaran ke seluruh penjuru.
Aku memulai perjalanan ini lima jam lalu, ketika bintang masih bertabur di angkasa. Langit menangkup seluruh batas cakrawala. Lolongan anjing gembala bersahutan. Bulan bulat purnama. Padang rumput terhampar luas, dikelilingi gunung-gunung salju. Kawanan yak melintas, bagaikan ribuan noktah menghiasi permadani hijau. Terhampar pemandangan di kejauhan, dua danau raksasa bersebelahan. Yang biru di kiri itu Danau Dewa, airnya juga konon berkhasiat magis, sedang yang hitam di sebelahnya itu Danau Setan, dikuasai roh jahat, tempat tinggalnya Rahwana, menyentuh airnya saja sudah bisa bawa petaka. Setelah pendakian lima belas kilometer, perjalanan mulai berganti nuansa. Bukan lagi senyum bersahabat di tengah buaian panorama, tapi menjadi deraan beban.
Napas semakin lama semakin pendek, setiap satu tarikan satu embusan begitu berharga. Jantungku berdebar begitu cepat, jiwaku seakan ingin berontak keluar. Sepi. Sunyi. Membosankan. Melelahkan. Kakiku lepas kendali, tak kuat lagi menyangga.
Aku ingin berlari, segera menggapai titik di puncak gunung sana, segera mengakhiri semua derita.
Tetapi tubuh badaniku sudah tak kuat.
Aku ambruk. Terduduk bersimpuh di tepi gemercik sungai kecil yang airnya begitu membekukan.
Orang China menyebutnya sebagai Shenshan Gunung Dewa. Orang Buddha Tibet menyebutnya sebagai Kang Rinpoche, artinya Mustika Agung dari Tanah Salju , tempat bertakhtanya Buddha Sakyamuni. Kailash adalah poros dunia, pusat semesta, tanah suci agama-agama. Bagi umat Hindu, di sinilah singgasana Sang Dewa Syiwa bersama istrinya, Parwati, putri dewa Pegunungan Himalaya. Kailash adalah jelmaan gunung khayalan Meru, perlambang nirwana, namanya disebut-sebut dalam kitab Ramayana dan Mahabharata, tempat bersumbernya semua sungai agung: Gangga, Brahmaputra, Indus, Sutlej. Hanya para pemberani dan orang suci yang berani menyusuri sungai-sungai itu untuk mencari sumbernya.
Kailash begitu jauh, begitu terpencil di negeri Atap Dunia. Tapi Gunung Suci itu sesungguhnya begitu dekat. Di kampung halamanku, kota kecil Lumajang di pesisir selatan Jawa Timur, terletak gunung api tertinggi di Pulau Jawa. Pagi yang cerah, bayang-bayang gunung raksasa terbang melayang-layang seperti siluman yang menangkupi seluruh kota. Segi tiga biru tipis, dengan kepulan asap membumbung namun terlihat beku. Mistis, misterius. Dia juga seram laksana monster yang siap melumat
kami kapan saja. Kala itu aku masih balita. Bersama Mama, aku menumpang becak entah ke mana.
Ma, Semeru, itu Semeru, Ma..., aku berseru girang, menunjuk ke arah bayang-bayang di angkasa itu.
Mama malah marah-marah dan menapiskan tanganku. Dia berkata, Jangan ditunjuk, nanti mbledhos, duooor, matek kabeh.... Mampus semua!
Jika Semeru meletus, kata guru sekolah dasar, maka seluruh Jawa akan tenggelam dan kota ini akan dibanjiri lahar mendidih dan magma. Panasnya seperti neraka, semua yang dilewati akan langsung gosong, seperti daging sate. Siapa tidak takut" Hampir setiap malam dalam doaku, nama Semeru kusebut: Ya Tuhan, lindungi kami, jangan sampai Semeru meletus. Atau kalau meletus, jangan keras-keras. Aku mau tidur dulu ya, Tuhan. Amin.
Ketakutan itu membangkitkan segala macam fantasi, takhayul, mitos, kepercayaan, penghormatan terhadap sang Gunung. Dialah sang pemusnah sekaligus pemelihara kehidupan, sang penghancur sekaligus penjamin kesuburan, sang penghukum sekaligus pemberi harapan, sang bencana sekaligus anugerah, sang akhir sekaligus awal.
Pada mulanya, Pulau Jawa yang kita tinggali ini konon mengambang di samudra luas, terombang-ambing bagaikan kapal diamuk ombak, berkelana dari laut ke laut. Sang Batara Guru, alias Dewa Syiwa, memerintahkan para dewa memaku Pulau Jawa, tertancap dan tidak lagi bergoncang. Maka dipindahkanlah secuplik Gunung Mahameru dari India itu, digendong oleh Dewa Wisnu yang menjelma jadi kura-kura raksasa, dibelit oleh Dewa Brahma yang jadi naga raksasa. Sebagian jatuh di barat pulau, sebagian lagi tercecer di timur, namun yang paling
mulia adalah Sang Semeru, Meru yang Sempurna , Paku Bumi yang kini menjadi gunung berapi tertinggi sekaligus yang paling menakutkan di Jawadwipa, kegoncangan dan bencana dahsyat yang mengawali benih kehidupan di pulau kita.
Lihatlah Meru ada di mana-mana di sekeliling kita. Konsep pemandangan yang sudah otomatis terpatri dalam benak anakanak kreatif di seluruh negeri kita adalah lukisan gunung-lancipplus-jalan-lurus-plus-sawah-plus-matahari-tersenyum-di-tengahtengah. Kebanggaan bangsa kita, Borobudur, sesungguhnya adalah tiruan meru: tingkat-tingkat kehidupan makhluk dari alam neraka, dunia fana, sampai swargaloka tempat bersemayamnya para Buddha Bodhisattva. Ibadat di Borobudur juga sama seperti Kailash: mengelilinginya, setapak demi setapak. Meru ada di kerucut nasi tumpeng yang dikelilingi sayur tujuh rupa disanding dengan bubur tujuh warna, yang disiapkan Mama ketika keluarga kami menggelar upacara selamatan di hari aku disunat. Walaupun sekarang yang mengiring adalah doa-doa bahasa Arab dari mulut imam Muslim, tapi itu adalah Meru yang sama, titisan dari kultur Hindu yang sudah melesap dalam darah Jawa, bercampur budaya Islam, juga diadopsi Tionghoa lokal. Masih ada pula rumah joglo, tingkap-tingkap atap surau, gunungan pembuka wayang, Prambanan, pura Hindu, gapura, candi-candi, ritual sesaji di gunung api keramat, kemegahan Angkor Wat, pagoda keemasan Burma dan Thailand.... Lebih jauh lagi bisa dirunut sampai tradisi kuno orang Sumeria, juga ziggurat pujaan bangsa Babilonia.
Berbagai bangsa, berbagai dimensi zaman, berbagai agama dan peradaban, tetap diliputi kepercayaan akan sebuah pusat dunia . Sebuah penghormatan dan pemujaan yang berpadu
dengan ketakutan. Dari dunia khayal sampai ke wujud fisik di muka bumi.
Itulah tanah suci. Di sini, dia bernama Kailash.
Lintasan ziarah mengelilingi Kailash adalah sepanjang lima puluh empat kilometer, mendaki celah di puncak gunung sampai ketinggian 5.600 meter. Memulai ziarah di alam seperti ini berarti menandatangani sebuah kontrak mati. Banyak peziarah Hindu dari India yang meregang nyawa. Oksigen begitu tipis, jalan gunung begitu terjal mendaki, udara dingin menusuk sampai ke sumsum. Kejamnya medan membinasakan mereka yang tak kuat. Kau bilang itu kasihan. Tapi para peziarah India justru bilang, adalah rahmat tak terkira untuk meninggal di tempat sesuci ini, sekalipun semua mayat wajib digotong pulang balik ke India. Orang-orang Hindu itu memang butuh perjuangan luar biasa untuk datang ke Kailash, tanah suci mereka yang sayangnya berada di luar negeri, di negara yang pernah jadi musuh bebuyutan dalam perang. Hanya yang super-beruntung dari undian miliaran orang serta sanggup membayar mahal saja yang bisa ke sini.
Para peziarah lokal, penghuni asli Atap Dunia, tentu jauh lebih tahan banting daripada orang-orang dataran rendah. Seperti lagi piknik, wajah mereka menampilkan kebahagiaan begitu gamblang. Mereka berjalan dalam kelompok-kelompok kecil. Topi koboi, kalung, gelang, beragam manik-manik menjadikan tubuh mereka seperti kanvas bermozaik. Sesekali terdengar tawa lepas di tengah langkah kaki penuh semangat,
laksana pacuan mobil balap. Tangan mereka terus memutar roda doa atau tasbih. Bahkan nenek delapan puluh tahunan masih lincah meloncati bebatuan sepanjang jalan. Wajah mereka hitam kemerahan, mengilap. Tempat tinggi sungguh memberi efek bakaran matahari yang mengerikan.
Pegunungan dan padang ini bisu. Desau angin terdengar jelas. Embusan dan tarikan napas terdengar jelas. Mantra yang tergumam dari bibir para peziarah terdengar jelas. Kepakan sayap elang di langit luas, terdengar jelas. Bahkan batu mani bertatahkan tulisan Om Mani Padme Hum juga seperti terdengar menggemakan mantra sakti itu. Perlahan, tapi tak pernah henti. Aku tak perlu lagi mata. Karena telinga pun tahu di mana gunung, di mana sungai, di mana batu. Kulit, hidung, tungkai, lengan, hati, perasaan, semua jadi sensitif.
Punggungku seolah remuk ketika tiba di tenda kecil di samping kuil Drira Phuk, sepertiga jalan lintasan kora, peristirahatan malam ini. Gurat garis-garis sejajar horizontal menghias wajah utara Gunung Kailash. Tiang doa didirikan. Para peziarah bersujud dan bersembah, hingga posisi benar-benar telungkup di atas tanah, di hadapan gunung suci. Takzim mereka memasang bendera doa. Bintang bertabur di langit cerah.
Kalau perjalanan itu berupa gen, mungkin kodenya bisa ditemukan dalam DNA orang Tibet. Perjalanan sudah mendarah daging dalam kultur mereka sejak ribuan tahun. Gunung, danau, kuil, pohon, istana, mata air, ribuan kilometer akan mereka jalani untuk mencapai tempat suci. Seorang wanita peziarah menunjukkan semua barang bawaannya: untaian tasbih, roda doa, bendera suci, dan sebungkus serbuk tsampa yang kalau diseduh air bakal mirip bubur bayi instan. Betapa minimalisnya.
Peziarah hanya datang sebagai seonggok manusia, tak lebih. Mereka bahkan tidur di alam terbuka, bertudung langit, beralas bumi. Jangan bandingkan dengan rombongan turis asing yang dipandu guide, membawa tenda, kompor, bumbu masak, toilet portabel, ransel berkuintal-kuintal, menunggang yak, dan membebankan semua bawaan keduniawian mereka kepada para porter.
Kata ziarah buat orang Tibet dibawa pada artian yang paling ekstrem. Bukan lagi berjalan kaki, peziarah bahkan merayap. Mereka bersimpuh pada lutut, lalu sekujur tubuh telungkup. Dahi menempel ke tanah. Tubuh perlahan-lahan diangkat, berdiri, maju selangkah, komat-kamit membaca doa, mengatupkan telapak tangan, lalu kembali tengkurap di tanah. Demikian seterusnya, maju selangkah, tengkurap, maju selangkah, tengkurap... melintasi padang, bongkahan batu, bahkan menyeberangi sungai dingin. Telapak tangan dilindungi sarung dan sandal, lutut juga dibalut karet tebal. Lihatlah goret-goretan jidat yang tergores bebatuan, baret-baret luka sekujur tubuh, tulang-belulang yang menonjol dari balik siku dan lutut, juga sarung tangan yang sudah jebol dan kulit wajah yang rusak hingga berkerak.
Untuk apa" Kita yang awam ini bertanya. Untuk apa semua derita itu"


Titik Nol Karya Agustinus Wibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ziarah bukan pembuktian diri, bukanlah penaklukan tantangan, bukan penyingkapan misteri. Tak ada kebanggaan pasca ziarah. Tak ada penginapan khusus dan kendaraan khusus. Tak ada gelar kehormatan istimewa di depan nama. Tak ada busana khas, tak ada pula bonus. Mereka tak bicara tentang kenyamanan atau fasilitas plus. Mereka bukan untuk memecahkan rekor tercepat, bujet terminim, atau menjadi yang paling hardcore. Setelah perjuangan panjang di garis batas hidup-mati, mereka kembali lagi ke kampungnya. Sebagai orang biasa.
Filosofi ini juga terlihat dalam kesenian lukisan pasir Tibet. Para biksu menghabiskan berbulan untuk bersama menyelesaikan lukisan mandala raksasa yang sangat rumit di atas lantai. Satu demi satu bulir pasir dicurahkan diiringi doa dan mantra. Satu orang saja kehilangan konsentrasi dalam sedetik, maka lukisan raksasa ini akan hancur berantakan. Satu embusan napas bisa mengacaukan semua hasil jerih payah. Begitu besar pengorbanan untuk menghasilkan sebuah karyatama. Tapi, karya agung ini tidak untuk bertahan lama. Begitu selesai, doa dibacakan, dan para biksu akan bersama menyapu lukisan pasir yang mereka buat dengan berpenat-penat. Hasil kerja keras mereka, doa-doa mereka, curahan jiwa seni mereka, kembali lagi menjadi bulir-bulir pasir tanpa makna, hanya dalam seketika.
Itulah kalachakra, Roda Waktu. Seperti halnya perjalanan hidup kita yang juga diiringi perjuangan untuk menghasilkan karya-karya besar dan berbagai pencapaian, tetapi semuanya tetap akan kembali lagi pada kekosongan.
Kembali menjadi bulir pasir yang hampa.
Mati. Bagi kami orang Tionghoa, itu adalah kata tabu. Tidak boleh diucap sembarangan. Pernah Mama membatalkan rencana liburanku ke Surabaya saat aku berumur tujuh tahun, hanya gara-gara malam sebelumnya aku bercanda dengan para pembantu: Besok kalian semua tidak akan menemukan aku, aku mau menghilang, aku mau mati. Mama terkejut. Perjalanan tidak
boleh dimulai dengan ketakutan. Kata mati adalah irasat buruk, ndak ilok. Aku menangis meronta-ronta, marah pada Mama yang tidak peduli bahwa ucapanku itu cuma guyon.
Di samping Mama yang sudah sekarat hari ini, kata itu seseram mimpimimpi yang membayangiku. Ketakutan yang terus mencengkeramku.
Aku menggenggam tangannya. Bagian berikut adalah kisah yang paling ingin kuloncati.
Tapi akhirnya kubacakan juga.
Ziarah Kailash adalah perjalanan untuk merasakan kematian. Di tengah rute ziarah, ada tempat khusus untuk itu. Para peziarah meninggalkan barang-barang mereka: potongan baju, kalung, tasbih, darah, rambut, sebagai simbol matinya manusia lama dan lahirnya manusia baru. Berbukit-bukit sampah duniawi menghampar, bau busuk seperti bangkai begitu memuakkan. Sepasang suami-istri mengais-ngais tanah untuk memendam rambut ayah mereka. Aku turut mencabut sejumput rambut, menaburkannya di sini. Beberapa peziarah Tibet membaringkan tubuh di atas gundukan berbau menusuk itu, memejamkan mata, bermeditasi merasakan kematian. Kematian adalah bagian dari ritual Tibet, mereka bahkan punya buku panduan tentang kematian, yang selalu dibisikkan di telinga jenazah yang baru mati. Wahai jiwa! Kematian telah datang! Jangan takut, engkau tidak sendirian, semua manusia akan mengalami....
Di kejauhan, kaok elang begitu seram, seperti tak sabar menanti jasad berikut untuk disantap.
Perjalanan setelah ini adalah pendakian bukit curam, melintasi tanah batu berzig-zag. Dua turis Korea yang ternyata berhasil lolos dari kejaran Ibu Polisi itu kehabisan napas dalam perjalanan menuju puncak. Kim si perempuan bahkan wajahnya sudah seputih mayat, berjalan dengan kecepatan seperti merangkak dituntun kekasihnya yang sabar. Mereka berhenti dengan mulut menganga setiap lima langkah. Padahal kemarin, Kim berjalan seperti kesurupan, hilang sadar, nyaris berlari demi mencapai Drira Phuk, dan langsung terkapar mendekati pingsan. Di Atap Dunia, ketika otak sudah lepas kendali, itu artinya lampu kuning kalau tak ingin mati.
Tak habis-habis. Tak habis-habis. Aku berjalan menyeret kaki. Kepala terus menunduk, sehingga terlihat cuma batu-batu yang tepat di bawah sepatu, dan semangatku tak usah padam memikirkan titik tujuan di atas sana yang dekat di mata tapi jauh di kaki.
Puncak Drolma-La, pada ketinggian 5.630 meter, adalah kulminasi perjalanan ini. Bendera doa warna-warni begitu ramai, semua berkibar mengarah ke Gunung Dewa. Orang Tibet percaya, semakin tinggi tempatnya, semakin manjur pula doanya. Aku tenggelam dalam alunan mantra yang terus bergema dari mulut para biksuni botak. Ketika buruan napas mulai mereda, otak pun mulai jernih diliputi perayaan kemenangan. Hatiku melambung ke awang-awang, seperti kibaran bendera doa diterpa angin menderu. Aku bak baterai yang baru di-recharge, penuh energi Atap Dunia yang ajaib, entah dari mana datangnya. Semangatku pulih seketika, aku berlari buru-buru turun gunung, supaya segera sampai ke dusun Darchen di bawah sana untuk merayakan kemenangan ini. Aku terpeleset, menggelinding di atas bebatuan tajam di tepi jurang. Kakiku terpelintir. Untuk jalan pun susah. Kaki kiri tak bisa digerakkan lagi, hanya diseret dengan tangan. Aku sendirian, tak tahu arah, peta pun tak punya. Sret... sret... sret... suara kaki diseret dan degup jantung yang keras menjadi musik pengiring perjalanan.
Sudah tiga jam, aku sama sekali tak melihat tanda-tanda perjalanan ini akan berakhir. Aku malah sendirian di tepi sungai yang lebar dan deras, dengan bunyi air menderu menerjang bebatuan. Sialan! Salah jalan! Rute kora seharusnya di seberang sungai sana. Itu gara-gara aku menyeberang sungai kecil ke sisi timur untuk mencari jalan yang mudah, tapi kemudian lupa menyeberang kembali ke sisi barat. Sungai kecil mungil yang jinak itu sudah berubah menjadi jeram kuat yang mematikan. Walaupun seram tetap harus diseberangi, aku tak mungkin mundur lagi dan membuang enam jam sia-sia. Toh masih ada barisan batu yang bisa dititi.
Satu batu telah kuloncati. Batu berikut lebar, datar, rata. Hop. Berhasil. Batu ketiga berbentuk bulat tapi ujungnya meruncing, dengan buih air menutup puncaknya. Kakiku sudah ngilu, sama sekali tidak lincah.
Hop. Aku terpeleset, terseret. Tanganku menggapai batu, tapi lumut licin seperti menolak dipegang.
Dalam gejolak air sungai, aku terbenam. Apakah ini jalan menuju kematian"
Apakah kematian itu memang berupa kegelapan sempurna" Dingin yang tiada tara" Tanganku menggapai-gapai. Mulutku dipenuhi air, wajah ditampar riak-riak. Kepalaku timbul-tenggelam, kelelap-kelelep. Arus menyeretku di tengah bongkah-bongkah batu raksasa. Suaraku tenggelam dalam gemuruh gelegak air. Sebuah tangan menggenggam jemariku.
Pemuda gembala Tibet menyeretku keluar dari sungai. Aku berusaha menggapai bebatuan. Aku terpeleset kedua kalinya. Sebelum aku terhanyut lagi, si pemuda kembali mencengkeram pundakku dan menarikku keluar. Hebatnya, dia sama sekali tidak kehilangan keseimbangan di atas batu besar walaupun hanya bertumpu satu kaki.
Aku menggigil di tepian. Memang belum tiba waktuku. Melihat sungai yang mengalir ke bawah, lalu bertemu dengan anak sungai lain menjadi sungai deras yang geloranya menenggelamkan semua suara... sungguh tak terbayang kalau aku sampai terhanyut tanpa nyawa di sana.
Kamera basah. Paspor basah. Duit dan dompet basah. Sekujur kepala sampai kaus kaki, dari jaket sampai celana dalam, semua basah. Tapi siapa yang peduli lagi sekarang" Perjalanan masih jauh, masih dua puluh kilometer, sedangkan matahari sudah menghilang di balik tebing-tebing gunung cadas. Di sekelilingku hanya batu, batu, dan batu. Tanah suci ini sebenarnya cuma kumpulan batu, pasir, kerikil, kerakal. Kesucian yang berasal dari hakikat kehampaan yang gersang. Setiap langkahku diiringi erangan kesakitan, tapi aku memaksa tetap berjalan secepat
mungkin. Kalau keburu gelap, aku nanti hanya bisa meraba jalan di tepi jurang, atau bermalam di alam liar. Tak ada selimut, tak ada makanan, tak ada air. Bagaimana kalau yang datang malah binatang buas"
Sekarang kaki kanan pun ikut lumpuh. Sttt... kedua tanganku menyeret kaki kiri, maju selangkah. Lalu jemariku menggenggam paha kanan. Sttt... maju selangkah lagi. Setapak demi setapak. Lima jam sudah aku berjalan. Darchen masih jauh! Delapan kilometer lagi! kata lelaki Tibet yang meluncur seperti atlet maraton.
Dari arah berlawan, terlihat peziarah datang merayap. Perempuan berkulit legam itu megap-megap ke arahku, dalam bahasa yang tidak aku pahami.
Dia minta obat, kawannya menerjemahkan. Dia sakit perut. Kamu punya obat" Aku menggeleng.
Obat apa pun boleh. Obat apa pun....
Apa pun obatnya tak penting. Kapsul, pil, tablet, puyer apa pun ditelan dengan kepercayaan menyembuhkan segala penyakit. Iman adalah obat paling mujarab. Sayang, aku tak bisa memberi sugesti sekecil apa pun. Aku bahkan tak cukup sugesti untuk diriku sendiri, dalam perjalananku sendiri. Aku kembali menyeret langkah, melanjutkan jalan dalam kesendirian.
Langit menghitam. Lolong anjing (atau serigala") bersahutan. Semangatku ikut meredup bersama gelapnya angkasa. Kegelapan, bagiku adalah pembunuh asa. Tanpa panduan cahaya aku kehilangan pegangan, kehilangan rasa aman. Aku tak punya iman sekuat para peziarah. Tak punya sugesti apa-apa. Aku takut.
Aku sudah hampir kehabisan tenaga dan keberanian, ketika di kejauhan terlihat berkas-berkas sinar berkelap-kelip. Darchen!!!
Suaraku parau melengking, tenggorokanku sudah terlalu kering tanpa setetes pun air sejak terbenam di sungai tadi. Aku terjerembap, kakiku sudah tidak sanggup berjalan. Sekarang tangan yang menggantikan fungsi kaki, aku merangkak menuju cahaya.
Kelap-kelip di kejauhan sana terlihat begitu indah. Titik akhir... aku merangkak dalam haru membuncah. Air mata berderai begitu saja, bahkan hingga ketika aku tergeletak habis energi di sebilah kasur keras. Perjalanan keliling adalah lingkaran sempurna: awal adalah akhir, tiada awal tiada akhir. Aku kembali ke titik nol.
Sama saja. Sama saja, kata Mama datar. Itu perjalanan hidup. Dari nol kembali ke nol. Tidak peduli di Tibet, di Indonesia, di mana pun, semua perjalanan itu sama. Aku ndak percaya gunung itu adalah pusat dunia.
Saat mengelilingi Kailash, aku merasakan ada Mama berjalan di sampingku, kataku sambil mengusap kepalanya. Memang mimpi, memang khayal, tapi aku tahu Mama pasti bakal bahagia di sana. Serasa dekat dengan Buddha dan para dewa. Ma, aku sungguh ingin membawa Mama ke Kailash. Mama cepat sembuh ya" Kita sama-sama ke Gunung Suci.
Ndak usah sudah. Ndak perlu ke sana. Aku sudah menjalani semua itu. Sudah cukup.
Wajah pucatnya tanpa ekspresi. Ia sama sekali tak terpesona.
Semangat yang meredup itu memang lebih membunuh daripada fisik yang remuk redam. Tiada hari yang kulalui dengan tenang, gonta-ganti identitas itu menyakitkan, kebohongan itu menyebabkan mimpi buruk setiap malam. Hampir selalu mimpi yang serupa berulang-ulang: dikejar polisi, atau tercebur sungai
karena dikejar polisi, atau masuk penjara karena dikejar polisi, atau jatuh dari jurang karena dikejar polisi....
Aku bertemu kembali dengan Ibu Polisi yang dulu itu, di dusun Darchen ketika langkahku masih terpincang-pincang gara-gara kora. Dia menggiringku ke kantor polisi, menawariku minum teh, dan nyata-nyata menunjukkan kecurigaannya bahwa aku juga adalah orang asing yang menyelundup. Aku tertawa terbahak-bahak, menanyakan bagian mana dari mukaku ini yang mirip orang asing. Kutunjukkan kartu pelajarku, yang kebetulan diterbitkan universitas nomor satu di negeri Tiongkok, nun jauh di Beijing sana. Ibu Polisi terperangah, menganggukangguk, memujiku, lalu menanyakan kampung halamanku dan masa laluku. Aku selalu berkelit dengan mengalihkan topik. Si Ibu Polisi rupanya masih mengincar dua turis Korea itu, dan meringis gemas begitu tahu pasangan Kim dan Seum itu telah mengelilingi Kailash. Awas nanti kalau tertangkap, pasti akan aku denda seberat-beratnya! ujarnya sambil memukulkan kepalan tangan kiri ke telapak tangan kanan, keras-keras.
Dua orang Korea itu sungguh hebat. Mereka tak perlu menyamar, mereka jelas-jelas orang asing yang sama sekali tak bisa bahasa China selain kalimat Saya tidak bisa bahasa China . Tapi mereka bisa mengelabui Ibu Polisi dengan berlagak bodoh, lari dari hotel khusus turis sejak subuh-subuh dan mendaki gunung, kini aku dengar mereka malah telah mendahuluiku dan berhasil menumpang truk sampai ke Purang dekat perbatasan Nepal. Ibu Polisi" Dia sudah kalah dengan skor telak tiga-kosong.
Sebaliknya, pengalamanku menumpang truk sampai ke Lhasa tidak mulus. Semua kendaraan yang mengangkutku cuma
berhenti ke desa terdekat. Ini berarti, pada setiap desa, aku harus buru-buru mencari informasi tepercaya: Aman tidak" Ada pos polisi" Ada pos tentara" Ada mata-mata"
Sampai akhirnya aku menyerah. Menunggu kendaraan dari Kailash ke arah timur sungguh susah. Ada orang Hong Kong yang sudah menunggu seminggu penuh di dusun gersang ini, masih tidak ada juga truk lewat. Dia sudah stres, sampai tertawa sendiri setiap melihat ada kepulan debu di kejauhan. Jangan-jangan hampir gila" Daripada gila sungguhan, kami akhirnya sepakat memilih solusi paling mudah: mengenolkan semua perjuangan kami dalam seminggu terakhir, mundur teratur sampai ke Ngari (lagi-lagi, Ngari!), lalu mengambil bus langsung nonstop empat puluh delapan jam menuju Lhasa.
Terlalu naif diriku jika menganggap ini adalah solusi cepat dan tepat.
Bus besar melaju lambat, berupaya mengarungi jarak total 1.760 kilometer. Dalam dua puluh jam pertama, kami baru sampai di Gertse, sekitar empat ratus kilometer. Perut keroncongan hanya bisa kusumpal dengan minuman bersoda, bibirku jadi berdarah-darah. Di luar tak ada manusia. Cuma puncak gunung, padang rumput, kegersangan, danau, awan, rintik hujan, jalan berlumpur, lubang-lubang yang membuat bus berguncang-guncang, sambung-menyambung tanpa henti. Dulu waktu pertama kali jadi backpacker, aku sangat mengagumi keindahan alam yang paling alamiah persis seperti ini di Mongolia, rasanya sanggup menciptakan segudang bait puisi memuja-muji. Sekarang cuma kemonotonan yang mahaluas. Bosan" Masih perlu kau bertanya"
Di hari ketiga, seharusnya kami sudah sampai ke Lhasa. Tak
usah mimpi, Kawan! Lhasa" Separuh jalan pun belum terlewati! Cuma enam ratus kilometer dari Ngari, ini Coqen: jalan beraspal, barisan tiang listrik, toko-toko, restoran Sichuan, karaoke, kelab malam. Peliharalah persatuan bangsa, lawanlah perpecahan bangsa dan berbagai slogan propaganda sejenis bertebaran di seluruh penjuru. Tentara dan polisi di mana-mana, lagi-lagi aku harus meringkuk tanpa suara. Nuansa revolusi masih menggelora. Pagi-pagi ketika matahari masih merah, pengumuman sudah melengking dari loudspeaker yang membawa pesan tentang Sang Matahari Merah Mao Zedong. Lengkingan kamerad wanita meneriakkan semangat kebangkitan, persatuan, pembebasan Tibet secara damai, kemajuan tanah air, mars komunis, antifeodalisme, warna merah yang menyelimuti seluruh negeri.
Tidak sampai sejam sejak meninggalkan Coqen, bus mogok, as roda patah. Semua penumpang terdampar di padang rumput. Para penumpang lelaki dan perempuan turun membuang hajat. Padang luas adalah toilet mahabesar. Kaum perempuan tak sungkan memelorotkan celana di padang, bundaran-bundaran mulus terlihat jelas. Laki-lakinya tentu lebih tidak perlu basabasi lagi. Sehabis ritual toilet massal, para penumpang Tibet dan Han mengelompok sendiri-sendiri, bicara bahasa masingmasing. Yang Tibet, setelah bergiliran menggigiti daging sapi liat yang sudah kering dan berbulu, sibuk meneliti peci khas Indonesia milikku, yang Tuhan-tahu-kenapa harus mereka ludahi dulu sebelum dijajal ke kepala masing-masing, dan alhasil setelah diteliti sepuluh orang, baunya jadi semakin memualkan. Sedangkan para lelaki China, ada yang main kartu di atas batu, ada yang sibuk berdiskusi tentang militerisasi, Taiwan merdeka,
separatis Xinjiang, pemberontak Tibet, konspirasi Amerika, minyak Iran, perang Irak....
Semboyan perusahaan bus Tibetan Antelope yang tertulis besar-besar di badan kendaraan: Tiada susahnya perjalanan, hanya ada kenikmatan rumah tinggal , terasa seperti gurauan tak lucu di sini. Rumah apak, bergoyang doyong-doyong, dan selalu mogok" Bus rusak parah, lima jam kami menunggu sia-sia. Bahkan menjelang senja, ketika akhirnya bus bergemuruh berhasil meninggalkan padang, sudah tak terasa lagi kegembiraan. Semuanya sudah terlucuti oleh kemonotonan dan kekosongan tiada batas.
Hari keempat perjalanan, semangatku mendekati padam. Bus masih rewel, merayap lambat-lambat lalu berhenti, lalu merayap lambat-lambat, lalu berhenti.... Hujan deras mengguyur sepanjang jalan, menjadikan perbukitan sebagai lautan lumpur, bus terhanyut seperti berlayar. Kami baru sampai di dusun Sangsang, tepat separuh jarak menuju Lhasa. Belasan bocah bersimbah ingus kering datang menyerbu, menyembah-nyembah dan meminta uang. Hari ini adalah hari ulang tahun RI ke-60. Betapa sunyi hatiku. Terbayang meriahnya Agustusan di kampung halaman. Sudah lima tahun aku tak pernah melihat karnaval, yang biasanya menyedot perhatian seluruh penduduk kampung. Indonesia tanah air beta... pusaka abadi nan jayaaaaa..., aku bergumam sendiri di tengah getar-getar goyangan bus.
Hati ini pun bertanya, sampai mana limit kekuatan diriku yang tersisa, apakah perjalanan mengejar mimpi ini tak bakal sia-sia belaka.
Justru kita perlu bermimpi, kataku, Karena mimpi itu yang menentu kan perjalanan. Mimpi itu yang mengubah manusia.
Mimpi, kalau cuma mimpi tok, ya tidak berguna, balas Mama. Tapi tanpa mimpi, tanpa cita-cita, orang tidak akan ke mana-mana. Sejak kecil aku sudah ingin keliling dunia. Dengan membawa mimpi itu, aku berjalan, aku sungguh berjalan. Dan sekarang aku benar sudah lihat dunia. Hidupmu jadi seperti mimpi.
Justru karena masih ada mimpi, kita jadi punya alasan untuk terus hidup, terus maju, terus berjalan, terus mengejar. Tanpa mimpi sama sekali, apa pula arti hidup ini"
Semua orang yang kenal aku tentu tidak percaya, aku nekat melakukan perjalanan seperti ini. Semua dari mereka bilang, aku sejatinya bukan dilahirkan sebagai bahan baku pengeliling dunia.
Lihat saja, waktu aku genap berumur satu tahun, aku ditempatkan di tengah tempayan yang berisi mobil-mobilan, kue kering, bola tenis, uang logam, buah apel, tumbukan jamu, mainan robot-robotan, boneka, baju. Ini adalah tradisi untuk meramal masa depan si bayi. Kalau si bayi memilih makanan, katanya akan jadi gembul. Kalau dia memilih koin, nanti bisa mata duitan. Kalau memilih jamu, siapa tahu dia bakal jadi dokter. Yang kupilih ternyata adalah sebuah kitab setebal 989 halaman berjudul Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Dalam tujuh belas tahun pertama hidupku, memang aku tak pernah lepas dari buku. Tas yang kubawa ke sekolah sejak SD selalu adalah yang paling berat, minimal berisi Atlas Dunia, Buku Pintar, kamus. Sepulang sekolah pun masih disambung les pelajaran sekolah, les bahasa Inggris, les bahasa Mandarin, sampai les mengetik. Belajar dan belajar, demi ranking di kelas, demi masa depan yang jelas. Dunia yang menemaniku adalah kamar sempit tiga kali tiga meter, tempat aku membenamkan diri di antara tumpukan ensiklopedi, mempelajari koleksi prangko, menghafalkan peta, menyimak siaran Dunia Dalam Berita , atau membalasi surat dari seratus dua puluh lima sahabat pena yang tersebar di tujuh puluh satu negara di lima benua.
Mengintip dunia, hanya itu yang kubisa. Buat aku yang tinggal di desa, bahkan naik pesawat pun adalah mimpi yang terlalu muluk. Lagi pula, mereka bilang, dunia luar itu muram dan seram, bahaya selalu mengincar. Naik sepeda motor, nanti kamu dibegal. Naik sepeda, nanti kamu ketabrak truk. Awas dihipnotis kalau naik bus! Awas dirampok! Awas diculik! Siap kamu dikeroyok" Ada kerusuhan, rumah-rumah dibakar, dan orangorang sipit dipukuli.... Tempat yang paling menakutkan itu adalah justru di sekitar kita, karena selalu kita dengar peringatan bahaya dari mulut orang-orang terdekat. Tempat yang paling aman itu adalah rumah tak peduli betapa kotor dan sempitnya. Tapi aku ingin melihat dunia.
Semua bilang, itu mustahil. Jauh-jauh keliling dunia" Memangnya berani" Lagipula, uang dari mana" Ayahku cuma sinshe otodidak merangkap pedagang telur, yang pernah berkalikali terpikir untuk merantau ke luar pulau (yang aku pun tak
tahu apa artinya) demi mengakhiri tagihan utang-utang yang terus menerjang. Ibuku sepanjang hari menjaga toko siang-malam, katanya juga buat lunasi utang-utang. Rumah tua kami ini merangkap toko, merangkap tempat praktik tusuk jarum, merangkap balai pengobatan penuh ramuan herba tanaman lapuk dan bangkai ular, merangkap dapur kue dan gudang penyimpan ratusan peti telur, sehingga disesaki aroma amonia yang harus kami hirup dua puluh empat jam sehari tujuh hari seminggu, dengan lantai lengket berserak kuning telur, putih telur, gumpalan telur busuk, yang semakin meriah dengan hewan-hewan sahabat setia si telur antara lain lalat, nyamuk, belatung, ugetuget, lintah, tikus. Mereka berdua juga tak bermimpi mulukmuluk mau jalan-jalan, karena mereka terperangkap sepanjang hari dalam kesibukan.
Melihat dunia" Ah, mimpi....
Perkenalanku pada dunia adalah ketika aku berumur lima tahun, saat Papa datang ke kamar membawa selembar atlas. Ini Uni Soviet, katanya, negara terluas di dunia. Dia menunjuk ke si raksasa warna merah yang membentang di bagian atas. Di sampingnya ada Kanada, yang nomor dua. Amerika nomor tiga, negeri leluhur Chungkwok nomor empat. (belakangan baru kutahu dia keliru, karena Buku Pintar bilang, Chungkwok masih lebih luas daripada si Amerika).
Aku termangu, tak mengerti apa itu negara, apa itu luas, apa itu atlas. Papa bilang, di luar negeri gedung-gedung tinggi mencakar angkasa, ada orang-orang dengan warna kulit berbeda, bicara bahasa macam-macam, memakai uang dolar yang tidak banyak angka nolnya. Tapi aku lebih suka warna biru, warna
yang mendominasi halaman. Biru yang indah, biru yang membentang, biru yang menjadi latar belakang.
Itu laut, kata Papa, Kau belum pernah lihat laut, itu air yang sangat luas. Laut lebih hebat daripada danau, lebih kuasa daripada sungai, meraksasa jadi samudra. Cuma di laut, kau bisa lihat luasnya dunia, ada garis cakrawala, ketika langit bertemu bumi. Ujung dunia.
Aku masih tidur lelap, Papa memaksaku bangun dan menyeretku naik ke mobil pinjaman yang sudah lengkap dengan sopirnya. Aku dibawa dalam perjalanan memabukkan ke selatan, melintasi desa-desa kumuh dan sawah, hanya untuk melihat laut. Matahari pelan-pelan naik, warna alam bergeser perlahan dari hitam pekat, lalu biru muram, sedikit memerah, sampai akhirnya terlihat jelas hijaunya hutan-hutan, putihnya buih ombak, kumuhnya gua peninggalan perang Jepang, juga pulau kecil di kejauhan. Kotaku ini berhadapan dengan Samudra Hindia, kami menyebutnya sebagai Laut Selatan . Ini pertama kali aku melihat ganasnya air yang menabrak karang, tertawa karena gelinya kaki disiram sapuan ombak lalu disambung jeritan melengking karena terseret menuju badan air yang membentang menakutkan. Burung-burung pantai bersayap lebar berkaok-kaok, masih kalah dengan suara gelombang pecah. Papa bercerita tentang legenda Ratu Penunggu Laut Selatan yang haus korban, kalau ada lelaki yang disukai pasti akan diusung ombak menuju istana Sang Ratu di dasar lautan. Aku menggenggam erat-erat tangan Papa, khawatir kalau ombak yang setinggi lututku ini akan menyeretku ke istana Ratu, aku belum ingin jadi pangeran. Papa tertawa, lagi-lagi mengejekku sebagai pengecut.
Papa menunjuk garis cakrawala. Itulah garis batas langit dan bumi, katanya.
Ada apa di balik sana, tanyaku.
Australia, kata Papa. Australia ada di balik sana, kalau kau renang dari sini, terus lurus ke sana, kamu akan sampai Australia.
Berarti itu sudah luar negeri" Berarti bendera di sana sudah bukan merah putih lagi"
Papa mengangguk. Iya, luar negeri.
Aku mau luar negeri, mau, mau. Aku mau lihat orang-orang kulit putih, gedung-gedung tinggi, robot dan Superman. Kita ke sana.... Sekarang"
Papa tergelak. Sekarang" Mana mungkin" Kamu bisa renang" Sungguh menggebu mimpiku untuk melihat negeri di balik garis ufuk itu. Itulah awal dari sebuah mimpi baru: menembus cakrawala, ke luar negeri. Tapi ternyata mimpi juga harus ada aturannya. Harus ikut pakem dan pagu. Mimpi, sudah diberikan pilihan dari berbagai profesi: dokter, guru, tentara, pedagang, insinyur, presiden, seniman,.... Guru di kelas mengajarkan, mana pekerjaan yang tinggi dan mulia, mana yang bisa dijadikan cita-cita. Cita-cita harus setinggi langit. Tidak, tak boleh kau jawab pertanyaan Ibu Guru dengan menjadi pengemis, tukang becak, pembantu, Superman, atau Robin Hood.
Cita-citaku adalah jadi turis.
Ibu Guru memotong, Tapi turis itu bukan cita-cita, kamu harus pilih jadi dokter, jadi guru, atau jadi insinyur. Mengapa"
Ibu Guru bilang, Turis juga harus kerja, turis tidak mungkin
jadi turis tanpa kerja, turis itu di rumahnya juga jadi dokter, jadi guru, atau jadi insinyur.
Tapi, bantahku, Kemarin di tivi aku lihat ada orang keliling dunia dalam delapan puluh hari, benar-benar keliling dunia!
Ibu Guru mendesah, Ah, itu cuma film, cuma khayalan. Ayo, kau pilih cita-cita lain!
Sebuah buku yang selalu kukenang berjudul Ikut Sang Surya Keliling Dunia , kupinjam dari perpustakaan sekolah, berisi kumpulan dongeng dari negeri-negeri dan bangsa-bangsa dunia, mulai dari Amerika, Asia, Afrika, sampai Eropa. Ada dongeng tentang raja Inggris yang menggelar sayembara, barang siapa bisa jawab akan diganjar limpahan harta. Pertanyaannya sangat pelik: berapa waktu yang diperlukan untuk keliling dunia" Tak ada yang tahu jawabnya, selain seorang cerdik bijak yang bilang: dua puluh empat jam. Keliling dunia cuma dalam dua puluh empat jam" Mungkinkah"
Dongakkan kepalamu!, dia berkata. Lihatlah matahari di atas sana. Berjalanlah mengikuti sang surya, tepat di bawah sang surya, berjalanlah bersamanya melintasi semua penjuru bumi. Kau akan lewati negeri-negeri, gurun luas, padang rumput, laut lepas. Dakilah gunung, seberangilah sungai, arungilah samudra, alamilah petualangan. Hanya dua puluh empat jam kau butuhkan, bersama sang surya kau keliling dunia.
Mimpimu selalu berubah, balas Mama. Aku ingat betul, dulu waktu masih TK, kamu ingin jadi polisi.
Polisi" Ke mana-mana kamu selalu pakai seragam polisi. Ingat" Lengkap dengan pangkat-pangkat di saku. Juga pakai topi dan sempritan.
Aku menggeleng, berhenti sejenak, tapi akhirnya aku mengangguk perlahan.
Lalu kamu kepingin jadi guru, suka bicara sendiri di kamar, mengajar murid-murid khayalan. Setelah itu, jadi juri putri kecantikan, atau pilot. Lalu, jadi pendeta misionaris, lalu...
Semua yang disebutkan Mama ini sudah hampir hilang sama sekali dari memoriku. Cita-cita yang pernah muncul, lalu menghablur begitu saja seiring waktu.
Dia benar. Mimpiku memang selalu berubah, bahkan hingga hari ini. Terlalu banyak mimpi, sampai aku pun tak tahu pasti mana mimpi yang benar-benar harus kukejar, mana yang tugasnya hanya menghiasi tidur malam.
Inilah luar negeri. Serasa mimpi, tapi bukan mimpi.
Pesawat mendarat di Beijing yang gelap gulita. Dinginnya bandara menamparku bertubi-tubi. Lukisan raksasa dari pualam membentang di dinding yang menyambung dari lantai atas sampai dasar, menggambarkan para dewi yang sedang terbang dengan selendang bersulur-sulur melintasi lapangan Tiananmen, istana Potala, kepala Buddha raksasa, kuil-kuil kuno, barisan patung Terakota. Selamat datang di negeri Tiongkok. Salju tak turun, hanya dingin yang merasuk-rasuk hingga ke sumsum. Uap udara mengepul setiap kali mulut terbuka. Kering mencekik tenggorokan, darah mengucur dari lubang hidung.
Pertama kali kakiku menginjak luar negeri, pertama kali aku melihat kibaran bendera yang bukan merah putih. Sampahsampah plastik beterbangan, tak jarang menyasar ke wajah. Debu menyelinap sampai ke rongga mulut, orang menggaruk dasar tenggorokan dengan ber-aaargghk lalu melontarkan dahak yang menggumpal, menyisakan sebenang saliva kental lengket memantul-mantul naik-turun, diusap dengan lengan baju yang sudah berkerak.
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 4 Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Nama Tuhan Yang Keseratus 1

Cari Blog Ini