Titik Nol Karya Agustinus Wibowo Bagian 7
Agama berbeda, warna kulit berbeda, derajat berbeda, membuat minoritas bagaikan hewan yang menunggu hari penyembelihan. Toko-toko dijarah, kerja keras seumur hidup bisa lenyap hanya dalam hitungan menit. Masih untung kalau nyawa tidak sampai melayang. Dibayangi ketakutan, orang hanya bertahan dengan segala cara. Pengungsian, perjalanan jauh ke luar negeri, sesungguhnya hanyalah wujud ketidakberdayaan.
Kami sekeluarga tidak akan ke mana-mana. Mau ke mana lagi" Paspor tak punya, uang tak ada, toko juga tak mungkin ditinggal. Mama memanggil aku dan adikku, menceramahi bahwa sekarang keadaan lagi gawat, pulang sekolah harus langsung ke rumah, jangan sampai bertengkar dengan siapa-siapa. Peringatan ini khususnya buat adikku yang sering jadi jagoan di
sekolah. Mama cerita soal anak temannya yang terjebak kerusuhan, karena matanya yang sipit langsung bangkitkan kemarahan massa yang sudah mengacungkan kepalan tangan. Dalam keadaan genting, massa mengajukan pertanyaan: Nyo, kamu cinta Cino apa Indonesia"
Kalau kamu ditanyai seperti itu, bisa kamu menjawab", tanya Mama.
Indonesia, kataku. Indonesia, kata adikku.
Kami tahu, itu jawaban cari selamat.
Mama bilang, si anak temannya itu pintar, bukan pengecut. Dia jawab: Ya bagaimana lagi, mbah-mbahku memang dari Cino, tapi aku makan berasnya Indonesia, minum airnya Indonesia, menghirup udaranya Indonesia, hidup-mati cuma di Indonesia.
Dan selamat" Iya, selamat.
Memang sudah ada garis batas yang begitu tebal antara kami dan mereka. Pertanyaan identitas Siapa aku" yang selalu kami pendam dalam hati selama ini, kini harus dibenturkan pada realita. Jawaban yang salah maka ganjarannya adalah nyawa.
Demonstrasi adalah kata seram. Pemilik toko paling takut demo. Begitu dengar mau ada demo, serentak semua toko tutup, seperti kura-kura membenamkan kepala dalam tempurung. Demo sudah menyerang kota-kota tetangga di Jawa Timur, histeris Mama bercerita. Ada teman di vihara yang bilang, toko punya temannya temannya temannya ludes dijarah perusuh. Kok tidak tutup saja", tanyaku.
Tidak bisa, kata Mama. Perusuh itu memang punya cara.
Mereka kirim orang pura-pura jadi pembeli di toko, tanya ini tanya itu, tidak pergi-pergi. Begitu demo datang, toko sudah tak bisa ditutup. Dan puluhan orang yang lebih banyak lagi langsung menyeruak masuk, semua dijarah, uang dirampok, toko dibakar. Masih untung tak sampai mati.
Aku bergidik. Kapan giliran Lumajang kota kita" Bagaimana kalau itu terjadi pada rumah kita" Kita pindah saja ke Jakarta, ibukota pasti aman, di sana banyak tentara.
Bodoh kau, kata Mama. Tempat paling aman itu justru yang paling tidak aman.
Buat apa takut" Semua harus dihadapi!, kata Papa. Kita memang takkan lari ke mana-mana. Kita tetap akan di sini, di kota kita sendiri. Papa sudah mencopot pegangan pintu ruko kami, supaya tak bisa dipasangi rantai besi dan ditarik lalu dirobohkan massa. Sudah pula dibubuhkan tulisan cat besarbesar: PRIBUMI. Hanya itu yang kami bisa, seraya berdoa agar nasib tragis tidak menimpa.
Oh, mengapa harus terlahir berbeda"
Hidup bagaikan melayarkan perahu di samudra luas. Terkadang laut tenang dan semilir angin bersenandung, terkadang ombak besar menerjang. Kita boleh mengembangkan layar, boleh melempar jangkar, atau mendayung kuat-kuat. Semua itu hanya untuk bertahan, demi lintasi perjalanan. Ada yang karam, ada yang babak belur, ada yang mencapai tepian. Kita tak punya kuasa untuk mengubah sang laut berkemelut. Kita rakyat kecil hanya mengubah diri kita, karena hanya itu yang kita mampu.
Juga adalah kemelut akbar yang mengawali kisah lahirnya negeri ini, peristiwa yang tak pernah disangka-sangka para rakyat jelata, namun jadi takdir yang harus dijalani semua.
Ketika jarum jam, jarum menit, dan jarum detik bertemu di titik yang sama, tepat di tengah malam yang menjadi garis batas antara 14 Agustus dan 15 Agustus 1947, dunia menyambut datangnya kelahiran dua anggota baru. Dua bayi kembar! Si kakak bernama Pakistan. Si adik bernama Hindustan.
Partition. Batwara. Taqsim. Demikian tanggal itu selalu dikenal. Partisi, pengirisan, pembelahan, pembagian, pemecahbelahan, perceraian: negeri India dibelah dua atas nama agama. Pakistan berdiri di atas impian mendirikan negeri Islami sempurna, sesuai usulan Jinnah yang menginginkan negeri Muslim terpisah dari tanah Hindu India. Nama Pakistan berarti Negeri yang Suci atau Tanah yang Murni , konon adalah singkatan dari nama suku-suku Muslim pembentuk negeri mereka: Punjab, Afghan, Kashmir, Sindh, Balluchistan. Negara baru, harapan baru, impian baru. Orang-orang bersorak, yakin nasib bakal lebih baik.
Yang terjadi justru pembantaian terbesar dalam sejarah. Partisi menyebabkan dua puluhan juta orang berpindah, merenggut satu setengah juta jiwa. Umat Hindu dan Sikh berbondong-bondong minggat dari Pakistan. Muslim meninggalkan India. Perpindahan yang terpaksa, sebuah pengungsian akbar dibarengi ledakan gelombang manusia, ketakutan, pembakaran, kerusuhan, pembantaian massal. Orang-orang dengan agama yang salah di sisi perbatasan yang salah harus menjalani nasib mengenaskan. Perjalanan adalah pertaruhan hidup-mati. Kereta para pengungsi Muslim dicegat para bandit Sikh, lalu dibakar
habis, para penumpangnya dibantai. Hindu dan Sikh bantai Muslim, Muslim bantai Hindu. Memori orang-orang yang mengalami partisi adalah seputar lengan ditebas, kaki buntung, potongan tubuh berserakan, mayat bertumpukan di jalan, kebakaran dahsyat, pelecehan seksual, perkosaan, perampokan, keberingasan, tsunami pengungsi.
Oh, Bunda India tercinta kini hancur berkeping-keping. Seonggok tubuh Hindustan di tengah, satu Pakistan di kiri, satu Pakistan di kanan. Pujangga mengibaratkan, India adalah kupukupu dengan sayap patah, bagaimana dia bisa lagi mengangkasa"
Manusia tercerai-berai, darah tertumpah atas nama agama, dalam nama Tuhan.
Yang aku sesalkan, kata Tante Ning, mamamu masih belum percaya Tuhan. Yeye sudah menerima Tuhan, Emak sudah menerima Tuhan. Taciknya juga sudah menerima Tuhan. Nanti mereka tidak bisa berkumpul bersama dengan Bapa di surga, keluarga kita tercerai-berai.
Mama dari dulu selalu percaya Tuhan, sanggahku. Tuhan itu cuma Tuhan Yesus.
Mama juga sudah baca Alkitab. Dia baca semua. Ya, tapi belum dibaptis....
Badai pasti berlalu, percayakan saja pada sang nakhoda. Begitu Presiden kita selalu berpariwara di televisi pada setiap sela-sela acara.
Kita berdoa, agar segala kekacauan ini selesai sudah. Tapi kenyataannya, badai itu bukan berlalu, malah menghancurleburkan seluruh kota. Semua terjadi terlalu cepat. Jakarta membara, api di mana-mana.
Para perusuh itu akhirnya datang juga ke apartemen tempat Emak tinggal. Nenekku itu menyebut para perusuh sebagai rame-rame. Ya, dia yakin betul, gerombolan rame-rame itu tak bakalan bisa naik ke apartemen, karena para satpam sudah berjaga. Padahal, di bawah sana, perusuh melemparkan batu dan kerikil, setelah mereka menjarah habis supermarket lantai dasar.
Gelisah, takut, kakak sepupu yang menjaga Emak langsung mengambil teropong, mengintip lewat jendela. Oh, apakah bisa selamat melewati hari genting ini" Desas-desus dan rumor sudah beredar. Katanya apartemen tetangga sudah diserbu, toko-toko dan mal dirampok terus dibakar, orang-orang disiksa, wanita diperkosa, lalu disembelih dan dibuang di jalan-jalan.
Emak masih santai saja berkipas-kipas di kursi goyang. Dia bilang: Ngapain bingung" Buat apa takut" Ini kan gak ada apaapanya. Nanti..., kalau Suharto turun, nah itu baru rame.... Eeeh, benaran itu dia bilang: Buat apa bingung" Sesantai-santainya dia, seberani-beraninya dia bilang tidak takut sedikit pun, insiden itu justru terjadi. Penyakit jantung Emak tiba-tiba kumat!
Puncak kerusuhan adalah waktu terburuk untuk jatuh sakit. Bahkan ke rumah sakit pun susahnya setengah mati. Tak ada kendaraan, tak ada orang berani mengantar.
Emak koma. Tapi sebelumnya dia masih sempat telepon ke kampung, khusus untuk memaki-maki Mama: Anak durhaka! Tak tahu diuntung! Tak pernah mikirin orangtua! Cuma repot
jaga toko sendiri! Pelit! Egois! Tak ada balas budinya sama orangtua! Terkutuk! Percuma punya anak seperti kamu!
Mendengar itu semua, Mama menangis sesenggukan. Langsung menyiapkan koper, memasukkan baju, memesan mobil, berangkat dari kampung, meluncur ke bandara, siap terbang ke Jakarta.
Semua itu sekelebat, seperti kemelut yang di saat bersamaan melanda ibukota. Hari ini Emak diopname, malamnya koma, besoknya sungguhan mati.
Selangkah terlambat, Mama mendengar berita duka saat menunggu pesawat di bandara. Tangisnya lebih pecah lagi, sedusedannya lebih menggelegar lagi. Penerbangan dua jam ini adalah perjalanan paling berat dalam hidupnya. Ketika semua orang berbondong-bondong kabur dari Jakarta, dia justru datang mendarat. Dia sudah tak peduli dengan pemandangan terobrak-abrik seperti kota perang. Dia tak peduli lagi dengan tangisan orang-orang dan bandara kumuh berantakan. Dia tak peduli dengan kengerian, kalau-kalau taksi ini dihentikan di jalan. Dia sempat bergidik sedikit, melihat barisan toko gosong, bangkai mobil, mayat, asap, teriakan, penjarahan, tembok-tembok yang ditulisi Cina bangke pergi mati aje! , Pro Reformasi , Pribumi ,....
Tapi perhatiannya hanya pada satu penyesalan. Bahkan selang beberapa tahun dari kerusuhan itu pun, Mama masih sering bercerita kepadaku tentang hari nahas itu: Terlambat! Aku terlambat! Kalau saja aku datang sehari lebih awal! Memang benar kata Emak, aku ini anak durhaka! Bahkan sampai Emak mati, aku tidak di sisinya!
Di Jakarta, dia mendapati jenazah ibunya sudah terbujur
kaku, menunggu hari pemakaman. Dalam sepi tanpa pelayat, ketika masih mencekam huru-hara di luar sana, Emak hanya ditemani gumaman lagu-lagu gereja sendu dari para anak dan cucu.
Berpuluh tahun telah berlalu, rakyat jelata tetap menjalani hidup, sambil mengenangi sejarah kelam kerusuhan akbar yang kini tentukan takdir mereka.
Salah satu peninggalan kebencian atas nama perbedaan itu adalah sebuah garis batas tak tertembus. Dari ribuan kilometer perbatasan antara India dan Pakistan yang digambar oleh kolonialis Inggris puluhan tahun lalu itu, hanya perbatasan Wagah/Attari dekat Lahore ini saja yang dibuka untuk perlintasan darat. Biasanya perbatasan normal lebih banyak dilalui penduduk kedua negeri bertetangga sendiri yang saling berinteraksi, atau ditutup sama sekali apabila keduanya bermusuhan. Tapi Wagah/Attari tetap buka, yang melintas kebanyakan malah orang asing, turis-turis bule menggendong ransel. Sebagian besar waktu, perbatasan ini melompong bagaikan stadion kosong tanpa atlet tanpa penonton, karena walaupun visa Pakistan nyaris gratis buat orang India (demikian pula sebaliknya), tapi untuk mendapatkannya jauh lebih susah daripada badak menerobos lubang jarum (demikian pula sebaliknya), karena harus melewati birokrasi panjang dan menyediakan tumpukan dokumen (demikian pula sebaliknya), hanya berlaku untuk kota-kota tertentu saja (demikian pula sebaliknya), dan si pengunjung
wajib melapor ke polisi dalam dua puluh empat jam pertama begitu tiba di Pakistan (demikian pula sebaliknya).
Pakistan dan India bagaikan dua saudara kembar yang dibesarkan oleh orangtua yang bercerai, masing-masing menempuh jalannya sendiri-sendiri, lalu saling bersaing jadi yang paling hebat paling kuat. Kedua negara memang bermusuhan, tapi tindakan mereka simetris, balas-membalas. Jika India menjajal nuklir, maka Pakistan langsung siapkan bom atom lebih dahsyat. Pakistan bikin serial drama anti-India, maka India pun tidak mau kalah dengan sederetan film Bollywood yang menggambarkan Pakistan sebagai negeri para bajingan. Kalau India memenangkan piala kriket, maka kiamat bagi fans Pakistan, sementara kalau tim kriket Pakistan keok, maka seluruh India akan berdansa. Ketika orang Pakistan memelesetkan Hindustan sebagai Gandustan (negeri para homo), orang India pun melafalkan nama Pakistan dengan huruf F . Ketika warga India mengumpati manusia brengsek dengan makian superkejam: Chalo, Pakistan! (Enyahlah kamu sana ke Pakistan!), setidaknya di Pakistan sini mereka belum tebersit ide untuk mengumpat dengan kalimat Chalo, India! (yang di sini artinya: Mari pergi ke India!).
Cermin. Ya, tak salah jika orang bilang, hidup itu adalah sebilah cermin. Dunia di matamu sesungguhnya adalah cerminan dari hatimu sendiri. Caramu memandang dunia adalah caramu memandang diri. Jika dunia penuh kebencian dan musuh ada di mana-mana, sesungguhnya itu adalah produk dari hatimu yang dibalut kebencian. Jika kaukira dunia penuh orang egois, itu tak lain adalah bayangan dari egoisme egomu sendiri. Dunia yang muram berasal dari hati yang muram. Sedangkan
kalau dunia di matamu selalu tersenyum ramah, berterimakasihlah pada hatimu yang diliputi cinta. Ada aksi pasti ada reaksi. Ada perbuatan pasti ada balasan. Semua itu simetris.
Tiga kali sudah aku datang ke perbatasan ini. Sekali aku di sisi India, sekali aku melintasinya, dan sekali ini aku di sisi Pakistan. Tidak salah memang kalau aku sebut perbatasan ini sebagai stadion yang setiap hari memainkan komedi satir. Di mana lagi di antara perbatasan negeri-negeri dunia, ada tribun khusus untuk para penonton dan sajian tontonan seru dua negeri berseteru" Menjelang matahari tenggelam, tribun di kedua sisi perbatasan dibanjiri para suporter nasionalis plus para turis, karena atraksi ini juga sudah masuk daftar must-see di buku panduan wisata. Pecah sudah kesunyian, stadion kini disesaki para penonton dan bendera yang mereka kibar-kibarkan.
Ribuan pendukung India meluberi tribun di seberang gerbang sana. Di sisi Pakistan pun sama, tapi jumlahnya jauh lebih sedikit, dan masih dibagi berdasarkan ya, seperti kau duga jenis kelamin: suami dipisahkan dari istrinya, saudara lelaki dipisahkan dari saudara perempuan, dan masih dibagi-bagi lagi menjadi kelas VIP, turis, warga lokal. Di seberang sana mereka menabuh genderang dan meneriakkan Hindustan Zindabad, di sini kami menjerit Pakistan Zindabad. Mereka di sana menarinari seperti karnaval, di sini kami khidmat meneriakkan pekik takbir Allahu Akbar!, Ya Rasulullah!, Ya Ali! Mereka nyanyikan lagu kebangsaan Jana Gana Mana yang bergelora, di sini kami pun tidak kalah, punya kakek berjenggot putih berbaju hijau bawa bendera yang terus-menerus marah-marah karena suara jeritan slogan-slogan kami kurang kencang.
Tontonan kita semua, baik dari sisi Pakistan maupun India,
adalah upacara penurunan bendera. Para atlet kita adalah para tentara yang semua pakai topi seperti kipas menghadap angkasa, entah untuk mengipasi apa atau siapa, yang berjalan dengan langkah angsa tegap berjingkat-jingkat dibuat-buat, sedikit termental-mental, dengan sorot mata terpancar ganas. Begitu berlebihannya langkah kaki ini, seolah tentara kedua negeri berlomba kaki siapa yang paling lurus, dengkul siapa yang paling sanggup menabrak wajah sendiri. Setiap gerakan harus dilakukan dengan gagah, dengan cepat, dengan terhormat. Seperti mimikri, gerak-gerik tentara negara tetangga pun selalu sama persis pada posisi yang tepat sama. Mereka menurunkan bendera perlahanlahan, kedua bendera merayap diagonal pada ketinggian yang selalu sama, karena tidak satu pun negara beserta suporternya yang terima kalau benderanya lebih rendah daripada negara seterunya. Tentara bertemu di garis batas, menerima bendera masing-masing, bersalaman sekilas, menutup kedua lapis gerbang perbatasan rapat-rapat. Semua ini adalah refleksi sempurna, seperti seseorang yang melihat saudara kembarnya di balik cermin. Entah siapa membeo siapa, siapa membebek siapa, sudah tak penting lagi. Pengirisan negeri dan pengotakan manusia yang dilakukan atas nama agama itu kini telah diterima sebagai takdir, justru diamini sebagai alasan persaingan sepanjang hayat, bahkan jadi atraksi rame-rame untuk mengencangkan otot-otot nasionalisme, mengukuhkan memori akan kemelut masa lalu dan peringatan akan musuh tangguh di seberang garis batas.
Atraksi berakhir. Gerbang ditutup, perbatasan tetap tak tertembus. Kalau kau pulang ke negeri India, maka kau akan disambut tulisan: India, demokrasi terbesar di dunia, menyambut Anda dalam empat bahasa, termasuk Urdu. Jangan lupa,
jumlah penduduk Muslim di India bahkan hampir menyamai jumlah seluruh penduduk Pakistan. Sedangkan aku kembali menembus pintu Gerbang Kemerdekaan, dengan foto besar Jinnah di tengah, tulisan di sebelah kanan berupa pertanyaan: Apa artinya Pakistan" , dan tulisan di sebelah kiri adalah jawabannya: kalimat syahadat lengkap la ilaha illallah, bahwa mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.
Si kakek nasionalis itu berseru di hadapanku sambil mengacung-acungkan telunjuknya: Arti dari nama Pakistan itu adalah la ilaha illallah! Titik!
Riuh rendah suara India mereda, India kembali bersembunyi ke alam imajinasi orang-orang Pakistan (demikian pula sebaliknya).
Kanker itu sudah mencapai otaknya, dia sudah lepas kontrol akan pikirannya sendiri.
Aku lihat cahaya terang. Di situ..., suara Mama terdengar lemah. Iya, Hwie. Lu pergi ke sana. Ke arah terang itu, kata Tante Ning, kakak Mama, Berangkatlah dengan tenang.
Cik, aku mau berangkat ya.... Kamu hati-hati, jaga diri.... Mama kembali hilang sadar dan mengigau.
Ayo... ayo! Ayo bawa aku!!! Dia berseru, sementara matanya terpejam rapat.
Lalu suara itu melemah, hingga sama sekali lenyap. Senyap.
Semua bilang, Emak sewaktu hidup selalu suka keramaian, karena itulah, Emak memang tak ingin dikubur dalam kesunyian.
Zaman sudah berganti, siapa lagi yang mau menggelar prosesi kolosal seperti masa penguburan kakek-nenek buyut belasan tahun silam, saat kami semua berparade sepanjang Jalan Raya dengan kain belacu bertopi kuncung seperti siluman film horor dari Dinasti Qing" Lagi pula, agama pun sudah berganti, hio kini sudah ditukar salib. Tak ada lagi uang-uangan kertas yang dibakar, tiada pula lilin putih panjang yang harus terus menyala tanpa padam sepanjang malam. Siapa pula yang masih bicara tradisi di saat seperti ini" Jenazah Emak masih utuh saja sudah harus kita syukuri. Tante Ning cerita soal kejadian nahas di gedung sebelah, ketika persemayaman peti mati dijarah para perusuh, mayatnya diacak-acak lalu dilemparkan begitu saja ke tengah jalan. Trauma masih membilur, siapa pula para teman dan kerabat yang berani meninggalkan rumah hanya demi meng hadiri sebuah acara pemakaman"
Hari penguburan, yang dikira bakalan sunyi, ternyata jadi penuh berita.
Hari ini, Suharto mengumumkan mundur.
Hari ini, sorak-sorai bergemuruh di berbagai pelosok negeri, merayakan bergantinya bab dalam hidup kita selama ini.
Hari ini, digelar penguburan massal untuk ratusan mayat gosong dari para penjarah yang terjebak dalam mal terbakar. Sirene ambulans meraung-raung, menjadi musik latar belakang perjalanan ke liang lahat.
Atraksi belum berhenti. Mana lubangnya" Mana lubangnya" Bahkan liang lahat pun masih lagi digali! Cepat! Ayo, cepat!
Semua berteriak panik. Semua kelabakan di menit-menit terakhir.
Ini adalah prosesi penguburan paling kacau dalam sejarah keluarga kami, di saat-saat yang juga paling kacau dalam sejarah negeri ini.
Seperti kata almarhumah Emak beberapa hari sebelumnya: Kalau Suharto turun, nah... itu baru rame!
Kami sudah hampir yakin, dia bakal berangkat.
Kami sudah bersiap, kami berdoa untuk melepas kepergiannya. Orang Buddha menyebut mati sebagai kembali ke kekosongan . Berdasar hitung-hitungan dari vihara, pukul 23:30 nanti adalah waktu terbaik, karena ini hari raya Ibunda Agung .
Pada saat bersamaan, nun jauh di kampung halaman sana, pu luhan umat bersujud di hadapan altar melewati tengah malam, me nangis bersama di tengah lantunan doa, harapkan jalan Mama ma lam ini mulus adanya, diselamatkan oleh Sang Ibunda, kembali berkumpul dengan-Nya di rumah yang abadi.
Kepada kekosongan yang maha kosong itulah, dia segera ter angkat.
Kau sudah diperingatkan, begitu menginjakkan kaki ke Pakistan, kau akan berada di sebuah dunia lain. Kau diperingatkan, Pakistan bukanlah dunia normal kita. Ingat, jangan lupa, Pakistan adalah sebuah negeri tanpa wanita.
Kalau kau masih di Amritsar, India, mungkin kau takkan percaya. Pakistan hanya tiga puluh kilometer jauhnya, sedangkan di sini para perempuan tampil begitu mencolok berkerudung dan bersari warna-warni. Kau mungkin malah terpingkal-pingkal, mana ada negeri tanpa wanita" Lalu dari mana mereka dilahirkan"
Tapi begitu kau menyeberang perbatasan, ke Lahore apalagi sampai ke dusun-dusun pedalaman Punjab, kau baru tahu, sungguh ini sebuah dunia lain. Penjaga toko adalah laki-laki. Pedagang sayur adalah laki-laki. Pembeli di pasar adalah lakilaki. Pegawai di bank, laki-laki. Penjual karcis, semua laki-laki. Orang-orang yang berjongkok dan berhajat di pinggir tembok, tentu cuma laki-laki. Pemandangan di jalan adalah para laki-laki dengan celana kombor shalwar yang ditengarai tanpa celana dalam, dengan asyik bin vulgar menggaruk-garuk bagian terlarang, untungnya masih disamarkan oleh jubah kamiz panjang. Eh iya, mana wanitanya"
Walaupun Indonesia dan Pakistan adalah dua negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, guncangan culture shock setiap kali aku memasuki Pakistan selalu dahsyat. Di Pakistan, segala sesuatu dipisahkan berdasar gender. Mulai dari sekolah sampai warung, dari bus sampai ke bank. Kata perempuan dalam bahasa Urdu adalah aurat . Bukan hanya bagian dari tubuh, tapi sekujur tubuh mereka secara keseluruhan adalah aurat. Perempuan disinonimkan dengan ketelanjangan yang memalukan yang tidak boleh dipertontonkan. Kaum hawa tidak keluar rumah, kecuali kalau dibarengi ayah atau suaminya atau anggota keluarga yang laki-laki. Banyak mereka yang mengenakan cadar pekat yang menutup dari kepala sampai kaki, biasanya berwarna hitam dan hanya menyisakan sepasang mata. Ada ulama yang bahkan menyuruh para perempuan selalu mengenakan kacamata hitam, sarung tangan, kaus kaki, bahkan untuk berhadapan dengan sepupu sendiri sekalipun. Perempuan seperti makhluk keramat. Jangan tatap mata mereka! Jangan bicara dengan mereka! Awas, jangan berani-berani kurang ajar memotret mereka!
Kali pertama aku termangu lihat perempuan Pakistan adalah di gerai restoran piza internasional, di pinggir jalan utama Mall Road (restoran ini kemudian hancur dalam kerusuhan kartun Denmark itu). Sapi, yang begitu didewakan di seberang perbatasan tiga puluh kilometer dari sini, sekarang terhidang manis di atas piring datar, bersama potongan jamur dan paprika. Penyajinya adalah gadis seayu fotomodel, berhidung mancung berbibir merah merona, rambut sepundak tergerai, pakai rok mini merah memamerkan sepasang paha mulus, berucap bahasa Inggris fasih. Aku mengucek mata berkali-kali. Benar" Ini Pakistan"
Kawanku bilang, begitu keluar pintu, para perempuan ini akan langsung tertutup kembali dengan kerudung, bahkan cadar atau purdah, siapa tahu malah burqa. Mereka tak mungkin turun jalanan Lahore dengan pakaian begini, karena dunia mereka tidak bersinggungan dengan dunia Pakistan yang sebenarnya.
Dunia Pakistan yang sebenarnya! Setidaknya memang ada lebih dari satu dunia paralel yang berjalan di atas negeri ini. Pakistan punya pemimpin wanita setangguh Benazir Bhutto. Pakistan juga punya banyak model cantik seksi aduhai, berani buka baju di depan kamera buat majalah-majalah, tapi tak bakal pernah kau temui mereka di tengah jalanan ramai. Seperti halnya gurauan yang selalu orang bilang, fakta istimewa tentang negeri ini adalah ibukota Pakistan sebenarnya terletak sepuluh kilometer jauhnya dari Pakistan. Berada di negeri ini, semua orang sadar bahwa ada dunia-dunia yang berkontradiksi, semua orang harus tahu akan zona dan garis batas mereka masingmasing.
Kedamaian tak berlangsung lama.
Adikku berteriak sambil mengguncang-guncang tubuh Mama. Jangan, Ma! Jangan! Dia buru-buru mengubah posisi tangan Mama yang terlipat dalam posisi doa orang Kristen, menjadi ke posisi pai seperti orang Buddha.
Mama jangan berangkat sekarang. Harus jam sebelas malam nanti. Tunggu ya, Ma, sabar.
We, Mama sudah ndak kuat, We, kata Mama lemah. Ndak kuat. Matanya kembali terpejam.
Diam-diam, ia mengembalikan lagi lipatan tangan ke posisi doa.
Perempuan Dilarang Masuk tertempel di pintu warung internet. Ini adalah zona tanpa perempuan, dunia khusus lelaki. Dalam dunia yang terkotak-kotak, setiap zona tentu punya misterinya sendiri. Aku menyalakan komputer tua. Komputer bekicot semakin lambat dengan virus iklan-iklan pop-up yang selalu menggiringku ke situs-situs porno. Terlihat pula jejak para pengunjung warnet sebelum aku, sembilan puluh persen seputar pornografi. Tak heran, statistik Google Trends menunjukkan, Pakistan menduduki peringkat wahid dunia yang melakukan pencarian dengan kata kunci: sex, sexy, children sex, animal sex, sex movie, fuck.... Para pengunjung pun dimanjakan fasilitas akses langsung ke komputer pemilik warnet. Ini layanan spesial, megakoleksi film biru internasional yang rutin diperbarui setiap minggu. Tak heran, para lelaki ini bisa betah duduk berjam-jam tak keluar-keluar.
Bioskop adalah tempat misterius lainnya. Lollywood, industri film Lahore yang digadang menandingi Bollywood dan Hollywood, ternyata sudah hampir sekarat. Film India dilarang diputar di bioskop seluruh negeri ini, sedangkan film yang populer tak jauh dari lelaki bawa bedil, kisah asmara, perempuan menari-nari. Tunggu! Perempuan menari" Di dunia nyata Pakistan,
ini sama sekali tak terlihat, diharamkan, ada wanita sampai dirajam hanya gara-gara menari. Tapi di film, para penonton disuguhi gambar perempuan gemuk berbaju basah agak transparan goyang pinggul di atas air mancur, memeragakan gerakan erotis sanggama begitu eksplisit, bagi orang tertentu ini justru jauh lebih merangsang dari film porno mana pun. Kenapa perempuan gemuk" Aneh, tapi memang seperti itu seleranya di sini. Adegan menari berlangsung lima belas menit tanpa jeda, kemudian bluuurp, dengan kasarnya adegan dipaksa pindah ke gambar yang sama sekali nggak nyambung: para lelaki tembak-tembakan ala koboi. Dor, dor, dor, lima belas menit non-stop, blurrrp, langsung balik lagi ke alunan musik merdu dan gambar perempuan yang memendal-mendalkan tubuh di atas air mancur yang menohok-nohok bagian kemaluannya. Lewat lima belas menit... bluurrp, balik lagi ke adegan action. Bingung kan, mana suguhan utama, mana yang selingan"
Di balik kedisiplinan gender, nuansa masa lampau karena semua orang pakai baju tradisional, serta citra religius yang terlihat gamblang di jalan terang, adegan erotis justru jadi tontonan ramai-ramai di bioskop gelap. Teman dari Lahore cerita pernah menonton film porno yang you-can-see-everything, di bioskop! Juga diselang-seling adegan potongan film action tembak-tembakan. Penontonnya mulai dari kanak-kanak, remaja, sampai kakek tujuh puluhan tahun. Malah ada petugas yang khusus berkeliling, untuk memastikan jangan sampai ada yang bermasturbasi!
Tentu ada rasa misterius di balik ketertutupan itu. Semakin tertutup, otak lelaki terus membayangkan sesuatu yang terlarang, fantasi-fantasi liar bergelantungan. Korban pelecehan seksual di perkotaan Pakistan juga termasuk ibu tua yang sudah menutup
diri rapat-rapat dengan kerudung dari ujung kepala sampai ujung kaki, duduk di zona khusus perempuan di dalam bus. Anak-anak geng motor histeris kegirangan melihat sosok gadis dalam cadar pekat, lalu memencet-mencet klakson dan bersoraksorak. Serapat apa pun kerudung dan cadar menutup, seketat apa pun zona khusus, ternyata belum aman juga.
Masih ada zona misterius istimewa sekaligus ironis di kota ini. Kawasan prostitusi Lahore yang terbesar dan tersohor di seluruh negeri justru terletak di bawah kemegahan masjid kuno raksasa. Sejak ribuan tahun, Heera Mandi tetap eksis, legendaris, misterius. Sayang, susah sekali bagiku menembus ke sini. Keingintahuanku akan Heera Mandi sering kali hanya terjawab dengan kisah desas-desus belaka. Nama Heera Mandi memang selalu disebut, tapi tak seorang pun kawan bersedia menemaniku, ataupun mengaku pernah datang sendiri ke tempat ini, karena mereka bilang: lokasi prostitusi bisa merusak reputasi, orang baik-baik mana yang melewatkan waktu di sini"
Kesempatan memang sering tiba di tempat-tempat tak terduga. Aku mengusap peluh kala matahari menggoreng Lahore pada suhu empat puluh dua derajat, untungnya Badshahi Masjid menawarkan kesejukan. Tiba-tiba datanglah lelaki, bersalaman denganku, mengelus-elus tangannya sendiri lalu bersalaman lagi denganku sampai tiga kali, mengaku bernama Jawad berprofesi guru bahasa Inggris, dan menawarkan keramahtamahan khas Pakistan. Sudikah datang ke rumahku" Tidak jauh, cuma lima menit dari sini. Kita minum teh. Di sana kamu bisa potret ibuku dan saudara-saudara perempuanku. Kamu pasti suka.
Eeeh" Ini sungguh tawaran yang tak biasa di Pakistan. Mana
ada orang menawarkan ibu dan saudara perempuannya untuk dipotreti lelaki asing" Lagi pula, lima menit dari sini" Bukankah itu Heera Mandi"
Setelah menunaikan salat magrib di masjid, pria berkulit hitam berkumis tebal itu mengajakku menumpang rickshaw, menyusuri lorong-lorong bak labirin. Apa benar di sini banyak pekerja seks" aku bertanya saat kami memasuki gang gelap dan sempit dalam perjalanan menuju rumahnya. Buru-buru dia mendesis. Sssssh! Jangan keras-keras!
Rumah-rumah berbaris sepanjang lorong, semua tampak seragam dan sederhana. Semua terbuka daun pintunya. Kamar dipisahkan dari jalan umum hanya dengan selembar tirai. Tanpa basa-basi, Jawad masuk salah satu rumah, seperti pembeli masuk toko. Seorang perempuan tua sedang tiduran di atas karpet, terloncat kaget. Tapi tak marah. Dia merapikan selendang dupatta sebagai kerudung untuk menutupi rambutnya. Jawad dan perempuan itu bercakap dalam bahasa Punjabi yang tak kumengerti. Tapi jelas terlihat, ada jarak dalam interaksi. Dari gerak-gerik dan kesopanan itu, perempuan ini pasti bukan ibunya. Jawad lalu naik loteng, meninggalkanku di ruang ini. Kamu rileks saja, anggap rumah sendiri! , tiba-tiba ucapannya berganti dari bahasa Urdu ke Inggris, And now on, only English, please. Don t speak any Urdu, OK"
Di mana aku sekarang" Semua begitu aneh. Wanita tua ini juga tidak banyak bicara, duduk terus memandangiku. Kamar ini cuma berukuran 2x3 meter, dindingnya dicat biru. Foto-foto keluarga hitam-putih bergantungan di dinding.
Mengapa pintu rumah tak ditutup" aku bertanya. Ibu itu tidak menjawab, hanya tersenyum.
Jawad kembali turun, untuk membawaku naik. This not my house, dia berbisik, that woman not my mother. Shut up, no asking. Now, go upstairs! Kami sampai ke atap rumah yang datar. Ada ranjang kayu di sudutnya. Charpoy, kasur yang populer di Anak Benua, terbuat dari kayu dan bambu, dengan jalinan tali tambang sebagai dipan. Bintang berkelap-kelip di langit kelam. Kubah-kubah megah Badshahi Masjid berkilauan di kejauhan, diterangi lampu warna-warni.
Aku mau lihat anu-mu! suara Jawad mendadak membuatku terloncat. Berapa ukurannya" Boleh kupegang"
Sebelum dia melangkah terlalu jauh, aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan ke sejarah dan kehidupan Heera Mandi. Dia menampakkan raut tak suka.
Kamu bukan jurnalis, kan" Bukan penulis" Jangan cobacoba memotret siapa pun di sini! Jangan tanya macam-macam dengan orang mana pun di sini! Dia lalu duduk di sampingku. Tangannya meraba-raba. Geli, aku terus berusaha mengembalikan tangan nakalnya ke tempat semestinya. Tempat ini memang rumah untuk bercinta, dia berkata. Putri-putri perempuan tua itu tadi adalah pekerja seks. Aku membawamu ke sini untuk bersenang-senang, just for fun. Tapi, aku bukan germo! Maksudku, kalau kamu bisa dapat harga istimewa. Kamu bayar 1000 rupee, aku 500 rupee, kita bisa patungan untuk satu cewek. Aku sudah langganan di sini, ini sungguh harga murah.
Aku heran, mengapa sekarang dia malah begitu tertarik padaku" Dari tadi tangannya tidak lepas dari selangkanganku. Tanpa tedeng aling-aling dia memintaku membuka baju, karena dia ingin melakukan check-up pada diriku. Memangnya dia
dokter" Apa lagi yang mau diperiksa" Aku tidak sudi tubuhku dipegang-pegang tidak jelas begini.
Tentu dia kecewa. Biarkan dia kecewa!
Dia berseru, Kamu teman, aku teman, apa lagi yang kamu takutkan"
Teman" Hubungan pertemanan antarlelaki di Pakistan memang sudah biasa kalau sampai taraf pegang-memegang, pelukmemeluk, cipika-cipiki, aku bisa maklum bisa menerima (hasil dari adaptasi berbulan-bulan tinggal di negeri ini). Tapi tak sampai tahap saling periksa, bukan" Jawad gelisah. Sekali-sekali dia berdiri, memandang barisan rumah kumuh di bawah. Kemudian duduk lagi, memohon aku berubah pikiran, mengelus-elus tanganku yang katanya semulus perempuan. Oh, jadi itu sebabnya tadi dia hobi bersalaman.
Sekarang dia menuruni anak tangga. Hanya untuk dua menit, katanya, untuk bersenang-senang dengan si gadis. Dua menit" Kelihatannya, dia terlalu pesimis dengan kemampuannya sendiri. Tak sampai juga dua menit, Jawad sudah naik lagi. Dan datanglah pemandangan paling luar biasa itu. Seorang gadis hitam manis, bermata lebar, berbibir merah merekah, tersenyum malu-malu begitu menggoda ke arah kami para lelaki. Aku degdegan, Jawad belingsatan. Dia menerjang si gadis yang masih mengintip di tangga, meremas-remas seluruh tubuhnya. Aku memalingkan muka, si gadis langsung turun lagi.
Jawad menyeringai ke arahku, penuh kebanggaan. Itu dia pacarku!
Jawad minta uang dariku, katanya untuk bayar teh yang disajikan ibu tua. Aku melirik arloji. Sebenarnya kami baru sepuluh menit di loteng sini. Tapi karena harus melewatkan waktu dengan lelaki aneh, rasanya seperti berjam-jam. Aku tak tahan lagi, aku memaksa pulang. Lupakan foto ibu dan saudarasaudara perempuan. Lupakan kisah-kisah Heera Mandi.
Kamu bukan jurnalis, kan" Bukan penulis" Jawad berkalikali bertanya saat mengantarku keluar dari lorong-lorong labirin sesat ini. You forget me, I forget you, OK"
Kami berpisah. Kontak usai, kontrak berakhir. Aku hanya mendapat sekelebat bayangan samar perempuan di kompleks prostitusi, dan Jawad memuaskan secuplik rasa penasaran menggerayangi kulit halus lelaki luar negeri. Ada banyak tanda tanya belum terjawab, ada keinginan masih terpendam, ada nafsu belum terpuaskan.
Punggung lelaki itu menghilang di balik bayang-bayang malam. Bulan bersinar terang, membasuh remang-remang Heera Mandi, bersama fantasi-fantasi yang justru menggeliat makin liar merayapi dunia misterius di balik tembok padat.
Sepuluh menit berselang, matanya terbuka lagi. Cik, kok ndak bisa ya" Kok aku ndak bisa berangkat sekarang"
Hwie, kamu berdoa, minta sama Tuhan. Hanya Tuhan yang bisa izinkan kamu pergi, kata Tante Ning.
Tangan Mama kembali terlipat dalam doa. Adikku buru-buru mengubah lipatan tangan kurus itu ke posisi pai. Mama kembali mengubah lipatan tangannya, adikku mengembalikannya lagi.
Doa, pai, doa, pai.... Begitu berulang kali.
Adikku menangis tersedu-sedu. Ma... jangan, Ma! Mama kan sudah ikut
Buddha. Mama sudah bersumpah vegetarian di hadapan Ibunda Agung. Mama jangan ganti agama! Mama...
Perjalanan adalah tentang sudut pandang. Semua itu tergantung dari kaca mata mana kita memandang. Seorang mahasiswa Lahore (laki-laki) mengatakan padaku, melarang perempuan keluar tembok rumah itu adalah demi kebaikan mereka sendiri, supaya mereka tidak diganggu lelaki. Katanya itu adalah perlindungan dan penghormatan buat wanita. Lihatlah, di sini selalu ada tempat khusus perempuan dalam bus, dalam restoran, di bioskop. Para perempuan selalu mendapat perlakuan istimewa, tidak perlu mengantre dalam urusan apa pun. Ini perlakuan spesial buat mereka.
Orang Pakistan sering berkomentar padaku, Indonesia adalah negara miskin. Lihatlah di Saudi Arabia sana, para perempuan Indonesia terpaksa bekerja begitu jauh. Mereka bertanya: Mana para lelaki Indonesia" Mengapa mereka tidak kerja demi perempuan" Mengapa mereka tidak melindungi perempuan"
Sudut pandang itu relatif. Perjalanan itu bukan untuk bicara benar salah, bukan untuk mengubah dunia. Perjalanan menembus zona bukan untuk memaksakan sudut pandang kita pada mereka, ataupun menelan mentah-mentah semua sudut pandang mereka. Perjalanan adalah belajar untuk melihat dari berbagai sudut pandang, memahami sudut pandang, dengan menjadikan mereka orang-orang biasa dalam kehidupan biasa sebagai tokoh utama kisah.
Bicara tentang perempuan, kita tentu harus melihat dari
sudut pandang perempuan, karena merekalah subjek cerita. Sayang, zona ini sama sekali tak tertembus bagiku. Beruntung si Lam Li, sebagai perempuan asing, dia seperti memiliki gender ketiga. Dengan leluasa dia bercakap dengan para lelaki, tanpa kesulitan dia pula merambah hingga bertatap langsung dengan para perempuan di sudut paling tersembunyi, paling pribadi di dalam rumah. Berhari-hari dia tinggal di rumah tukang rickshaw Lahore yang menawarinya menginap.
Keluarga itu mengajak Lam Li menonton bioskop bersama (film tembak-tembakan dan perempuan gemuk menari). Ini acara besar, mereka bawa semua bayi dan bocah di rumah. Para perempuan sibuk sedari sore untuk memilih pakaian, mematutkan diri di kaca, menghiasi sekujur wajah dan tangan dengan berbagai pewarna, belum lagi lusinan gelang, anting, cincin. Hanya untuk menonton bioskop mereka perlu tiga jam berdandan. Dan begitu keluar, simsalabim, rombongan Sinderela cantik itu berubah jadi barisan sosok tubuh dalam balutan kain hitam pekat. Yang terlihat cuma pasang-pasang mata besar. Istri, para ipar, para anak, Lam Li berdesakan dalam rickshaw sempit milik sang suami. Ketika sampai, si lelaki pergi beli karcis, Lam Li yang kepanasan pun ikut meloncat keluar. Sontak para perempuan Pakistan menjerit histeris: Jangan! Jangan! Ayo, cepat masuk lagi! It is very dangerous!
Mengapa mereka selalu hidup dalam ketakutan", Lam Li selalu penasaran. Begitu ada lelaki lewat, mereka pasti buru-buru menyembunyikan wajah dengan kain, atau memalingkan badan. Para perempuan ini tak pernah menginjakkan kaki keluar rumah sendirian, percaya bahwa dunia luar memang terlalu berbahaya, laki-laki terlalu liar.
Ruang paling aman adalah di dalam rumah, di mana para perempuan berkumpul, melewatkan hari, dalam zona tertutup, dunia mereka yang eksklusif. Diskusi favorit mereka adalah kecantikan: kosmetik paling baru, pelembab paling bagus, teknik paling manjur untuk hilangkan bulu dan rambut di sekujur badan. Walaupun di jalanan mereka selalu adalah sosok tertutup anonim tanpa wajah, tapi mereka tetaplah makhluk pencinta kecantikan. Setelah menyiapkan sarapan, memasak, bersih-bersih rumah, sisa waktu mereka adalah untuk berhias. Alis mata dicukur rapi, lalu kuku dan tangan dicat mengilap. Mereka saling mengecat, sambil merumpi, bisa berjam-jam hanya untuk menggambarkan dekorasi henna di atas kulit. Bagaimana mereka melihat hidup Lam Li yang terlalu jauh berbeda" Kagumkah mereka pada keberanian sesama wanita yang sudah sendirian mengelana melihat luasnya dunia"
Kamu punya kakak laki-laki" Adik laki-laki" , tanya para perempuan itu.
Lam Li menggeleng, dibalas dengan pandangan penuh simpati.
Mana suamimu" Aku tak kawin, jawab Lam Li.
Kamu perlu kerja" Kamu perlu cari uang sendiri" Iya. (Jawaban ini disambut dengan mulut menganga ngeri) Kamu juga harus bersihkan rumah" Masak" Cuci baju sendiri"
Tentu saja. Para perempuan menghela napas, mengelus-elus pundak Lam Li, merangkulnya, menghiburnya, menempelkan dahi mereka ke dahi wanita petualang itu sebagai tanda belas kasihan.
Cik, lu jangan marah ya. Aku sudah mengerti semua yang lu omongkan. Aku dari dulu percaya Yesus. Cuma cara sembahyang kita saja yang beda. Semua itu sama, Mama bicara patah-patah di hadapan Tante Ning.
Aku tahu Hwie, keadaanmu, aku mengerti kesulitanmu. Suamimu belum percaya Tuhan. Anak-anakmu belum ikut Tuhan, kata Tante Ning, bagaimana mungkin bisa mulus jalanmu" .
Sejak Mama sakit, Tante Ning rajin mengirim kutipan ayat Alkitab kepada Mama melalui SMS, memberi penguatan melalui janji-janji Allah. Mama selalu minta aku membacakannya. Semua ayat, tak boleh kurang satu pun, kalau tidak ingin dia marah.
Benarkah aku rela membacakan ayat-ayat itu" Siapkah aku membiarkan orang yang paling kusayangi itu berpindah dari kepercayaan yang selama ini dianut" Tidakkah aku munaik"
Ini adalah sebuah medan perang, pergulatan batin.
Konlik ini meletus dalam hatiku, adikku, para saudara, dan tentunya juga, dalam hati Mama.
Orang-orang ini telah kehilangan agama mereka, kata seorang lelaki warga kota Gilgit di pegunungan utara. Dari seratus Muslim, mungkin hanya satu orang saja yang benar Muslim!
Yunus memperkenalkan dirinya padaku hanya sebagai Muslim , tanpa embel-embel lain. Tak perlu kau tanya aliran apa, sekte apa, mazhab apa. Sunni atau Syiah sama saja. Islam, cukup Islam, bas! Titik! Agama memang penting, agama adalah arah perjalanan hidup, tapi jangan sampai, agama justru membunuh kemanusiaan.
Konflik antar-umat beragama, untuk kesekian kalinya, kembali meletus di sini pada bulan Ramadhan tahun ini. Sunni dan Syiah bunuh-bunuhan, di tengah bulan yang seharusnya penuh kedamaian. Konflik menyebabkan puluhan orang tewas, sehingga curfew diberlakukan. Dalam bahasa Indonesia, curfew diterjemahkan sebagai jam malam , tapi di sini seharusnya jam pagi-siang-malam , dua puluh empat jam setiap harinya, setiap hari berturut-turut. Guru dan murid terperangkap di sekolah, pasien di rumah sakit, pekerja di kantor, pedagang terkurung di toko, pembeli terjebak di pasar. Semua beku seperti kena sihir, tak boleh bergerak, berminggu-minggu.
Ingatan tentang masa-masa sulit yang hanya terjadi beberapa bulan lalu itu masih membekas di benak warga. Kerusuhan terjadi gara-gara ada imam Syiah dibunuh, yang kasusnya bermula dari kontroversi perubahan kurikulum dan teks buku pelajaran agama Islam bagi anak sekolah, sehingga memancing ketegangan kedua kubu, yang sama-sama meneriakkan jihad, yang diidentikkan dengan pertumpahan darah.
Saat Yunus masih muda dulu, ulama di masjidnya bilang bahwa darah dari ulama sekte lain itu halal. Dia juga pernah
ikut kerusuhan menyerang kelompok tetangga. Dia beralasan, waktu itu dia masih kecil, belum mengerti.
Negeri ini penuh orang munafik, ujarnya, sebenarnya mereka tak peduli dengan Islam, mereka hanya peduli pada kepentingan diri mereka sendiri. Kau lihat, Pakistan ini Republik Islam, tetapi prostitusi di mana-mana. Zamannya Ali Bhutto dulu, prostitusi hanya ada di tempat khusus, lokalisasi. Ketika datang pemimpin garis keras, si Zia itu, prostitusi dilarang, lokalisasi ditutup. Tapi, ini kan kebutuhan lelaki" Tak mungkin prostitusi dihapus total, seks itu kebutuhan alami manusia. Hasilnya" Prostitusi malah bermunculan di semua sudut kota! Apa lagi ini namanya kalau bukan munafik"
Ini adalah negeri yang penuh penyangkalan. Ketika mulut mereka selalu menggembar-gemborkan agama, pelecehan seksual justru begitu gamblang dan intens. Jangan-jangan, aturan yang terlalu ketat itu yang bikin orang-orang jadi depresi, butuh pelampiasan. Bukan cuma bagi para perempuan, bahkan kami laki-laki pun mengalami, khususnya yang masih muda, berkulit mulus, bertubuh kurus, berwajah imut, tak pakai kumis. Seorang polisi yang kuwawancara sempat menjilat batang leherku, saat aku memeluknya untuk mengucap salam perpisahan Khuda Hafiz (Tuhan melindungi). Sudah tak terhitung berapa kali pantatku diremas, atau penumpang di bus sesak sengaja menggesek-gesekkan benda itu di selangkanganku. Oom-oom dengan mobil mewah mengikutiku sepanjang jalan sepi di malam hari untuk menawariku tumpangan . Mereka bilang, hubungan antar-lelaki yang begitu dekat dan terkadang erotis itu sama sekali bukan seksual, itu cuma pertemanan, just for fun. Yunus berkomentar, ini adalah Republik Islam yang selalu
mendengungkan Islam, tapi sama sekali jauh dari nilai-nilai Islam. Agama justru jadi senjata melanggengkan kekuasaan. Pemerintah sengaja membiarkan, biar semua rakyat sibuk sendiri dengan urusan-urusan seperti ini. Pemimpin berpura-pura jadi orang suci pelindung agama, padahal bobrok teramat sangat di balik topeng religius itu. Kenyataannya, ketidakpuasan terhadap satu identitas bikin orang membanggakan identitas lain yang dimilikinya. Ketika orang-orang luntur kebanggaannya terhadap pemerintah yang korup dan intrik politik yang kotor, marah terhadap kemiskinan yang merajalela dan keterbelakangan, terhadap ketidakadilan, intervensi asing dan tekanan pada umat seiman, maka mereka pun berpaling mencari solusi lain. Dalam kasus Pakistan, itu adalah agama.
Yunus makin berapi-api. Kalau orang-orang ini terus bawa nama Islam, tapi mereka tidak bertindak dalam cara Islam, maka ini akan bawa nama buruk pada agama kita. Contoh, memelihara jenggot dan memakai sarung atau lungi adalah sunah rasul, tapi ketika teroris bunuh orang juga pakai lungi dan berjenggot tebal, akibatnya orang pun jadi takut pada lungi dan jenggot. Kalau merek terkenal disalahgunakan penjiplak palsu berkualitas jelek, maka merek terkenal ini jadi diasosiasikan dengan kualitas jelek. Nah, inilah yang terjadi dengan Islam.
Di negeri ini, semua hal dibawa ke ranah agama, dan agama masuk ke dalam semua hal. Agama adalah identitas utama, pembeda mereka dari India. Sejarah Pakistan begitu carut-marut dengan kudeta tak henti-henti, dan kartu agama selalu dimainkan. Setelah Republik Islam diproklamirkan, Bhutto dibunuh Zia, Zia mendadak mati gara-gara kecelakaan pesawat, digantikan oleh Benazir putri si Bhutto. Setelah itu adalah periode pingpong: Benazir diganti Nawaz Sharif, yang kemudian diganti lagi oleh Benazir, yang kemudian diganti lagi oleh si Nawaz, akhirnya keduanya sama-sama dituduh korupsi, ditendang ke luar negeri. Kebetulan negara tetangga adalah medan perang Afghanistan. Demi melawan komunis Soviet, Amerika di belakang Pakistan mendidik dan memberi bedil pada para pejuang Mujahiddin. Agama jadi senjata, pemersatu, pembangkit semangat. Madrasah menjamur, para pelajar agama terjun langsung dalam jihad ke negeri perang (beberapa alumni internasional malah meneruskan aksi radikal sepulangnya ke Asia Tenggara). Zaman Benazir, Pakistan melahirkan Taliban demi mengontrol Afghanistan, dan ironisnya malah Pakistan yang ter-Talibanisasi dan teradikalisasi. Ini ibaratnya membesarkan harimau di rumah untuk menakuti tetangga, dan si harimau malah menerkam tuannya sendiri.
Sebagai Republik Islam pertama dunia, Pakistan jadi laboratorium bagi sistem pemerintahan Islami, dengan segala eksperimen religiusnya: pendidikan Islami, perekonomian Islami, ilmu pengetahuan dan teknologi Islami, media Islami, hukum Islami, toilet Islami, arsitektur rumah Islami, bom nuklir Islami. Pakistan berjuang begitu keras untuk menanggalkan kultur India dan jejak kolonialisme Inggris, menguatkan karakter tunggal: Islam. Pemurnian adalah kata suci. Sufisme semakin terdesak oleh Wahabi. Perampok diamputasi. Kasus pemerkosaan membutuhkan empat saksi lelaki Muslim saleh dewasa, sehingga perempuan korban bisa-bisa malah dihukum sebagai pelaku
zina karena kurangnya saksi. Pemeluk Ahmadiyah dikafirkan, dihalalkan darahnya. Pindah agama masuk Islam jadi pemberitaan di koran layaknya pahlawan, sedangkan keluar dari Islam bisa dikucilkan, dibunuh, atau dianggap sakit mental. Penghujat Al Quran diancam penjara seumur hidup, penghujat Nabi diganjar hukuman mati, untuk yang ini tak ada kompromi.
Dengan identitas religius yang sama, mereka pun berbagi musuh bersama dengan saudara-saudara seiman di Timur Tengah. Seumur-umur mereka belum pernah melihat wujud rupa orang Yahudi. Tapi siapa yang tak tahu Konspirasi Yahudi" Itu adalah kata kunci untuk semua kemelut yang tak ada habishabisnya ini. Contohnya penjaga warnet mengeluhkan koneksi internet yang sangat lambat, juga listrik di Pakistan yang sering padam. Ini gara-gara konspirasi Yahudi!, katanya yakin, Pakistan jadi hancur karena Konspirasi Yahudi!
Ini teori klise yang kudengar bertalu-talu, mulai dari mahasiswa di Lahore, aktivis di Karachi, penumpang kereta di Punjab, sampai relawan gempa di Kashmir. Kalau Pakistan sekarang amburadul, terbelakang, banyak orang miskin, jalanan rusak, maka kambing hitam mereka sudah tersedia: Yahudi. Para pemuda sudah hafal sampai mengelupas di luar kepala bagaimana intrik kotor Konspirasi Yahudi, teori mengapa tidak ada Yahudi yang tewas dalam peristiwa 11 September, sampai bahwasanya Taliban dan Osama itu sebenarnya agen Yahudi yang sengaja diciptakan untuk mencoreng nama Islam.
Rata-rata keluarga di sini punya lima anak atau lebih. Aku bertanya pada para relawan, apakah Pakistan tidak punya program Keluarga Berencana. Mereka jawab, program KB adalah konspirasi Barat dan Yahudi untuk mengontrol atau mengurangi jumlah umat Muslim.
Tapi bukankah untuk memelihara anak juga butuh biaya yang mahal"
Mahal" tangkis si relawan. Tidak ada kata mahal untuk urusan anak. Kalau kita beriman, kita harus yakin sepenuhnya bahwa Tuhan pelihara anak-anak kita. Kamu lihat serigala di gunung, mereka tak punya uang, dan Allah pelihara mereka. Kamu lihat pohon-pohon di hutan hijau, mereka sama sekali tak khawatir, Allah juga pelihara. Allah berkata, kalau engkau sedang menyantap makan malam, janganlah engkau khawatirkan apa yang hendak engkau makan esok paginya. Pandangan kami berbeda dengan pandanganmu. Kalau orang-orang di negara lain memikirkan untuk jangka pendek, hanya hidup di dunia, kami memikirkan lebih jauh ke depan, jangka panjang. Sejauh mana ke depan, tanyaku.
Kami pun tak tahu, karena kami mempersiapkan diri untuk akhirat dan kiamat.
Lalu bagaimana dengan pembangunan" Pendidikan" Kesejahteraan material"
Itu penting, tapi bukan yang paling penting. Buat kami, akhiratlah yang paling penting.
Agama, Tuhan, persiapan demi akhirat, semua itu merasuk sampai ke sendi kehidupan yang paling mikroskopis sekali pun. Di jalanan Lahore, aku pernah diteriaki orang karena makan di pinggir jalan sambil berdiri. Haram! Haram! , seru mereka. Makan sambil duduk, pakai tangan tanpa sendok, adalah sunah rasul. Menggosok gigi dengan potongan kayu adalah sunah rasul. Duduk di lantai tanpa kursi, memelihara jenggot sementara
mencukur bulu ketiak dan kemaluan, memakai sarung, pipis sambil berjongkok bagi lelaki, larangan memotret wajah perempuan, larangan berbicara dengan lawan jenis, seruan untuk tidak menonton televisi, sampai mencoreng-moreng wajah fotomodel perempuan di atas baliho iklan, semua dilakukan dengan dalih agama.
Di meja warung biasanya selalu tersedia satu gelas dari logam. Semua orang yang makan di situ minum dari gelas yang sama. Tidak takutkah kena penyakit"
Seorang lelaki Pashtun menjelaskan padaku begini: Dulu ada ilmuwan Inggris yang tangannya diolesi liur anjing. Ilmuwan itu lalu membersihkan tangannya dengan segala cara. Pakai sabun, dicuci, digosok, lalu diteliti lagi di bawah mikroskop. Ternyata kumannya tak hilang. Dicuci berkali-kali pun tak hilang. Tetapi seorang mullah, tangannya juga dilumuri liur anjing. Dia hanya membaca doa, lalu meludahi tangannya, dan dikeringkan. Ajaib! Tak satu pun kuman terlihat di bawah mikroskop. Itu kehendak Allah. Jadi kalau Allah mau engkau sakit, engkau akan sakit. Allah mau engkau sehat, kamu pasti sehat! Dan makan bersama sesama Muslim, engkau takkan pernah sakit! Si ilmuwan Inggris itu pun akhirnya masuk Islam. Mashallah!
Di titik ini, orang pun tidak tahu pasti mana yang budaya lokal, mana yang mitos, mana yang logis, mana yang irasional, mana yang agama, mana yang sekadar justifikasi belaka. Tapi bagaimana pun juga, iman adalah kekuatan mereka. Tidak ada sedikit pun rasa gentar atau khawatir, bahkan dengan cobaan sebesar apa pun, kecuali ketakutan yang hanya bagi Allah. Orang beriman lebih bersyukur, berserah, merasa aman. Aku pernah membaca hasil riset yang menunjukkan, orang beragama
lebih bahagia daripada yang tidak. Mungkin kuncinya adalah pada penyerahan. Keyakinan adalah pegangan yang bisa memberi kekuatan, rasa aman, tak perlu lagi mencari-cari. Mereka yakin penuh, ada Sesuatu yang jauh lebih berkuasa, yang mengatur kehidupan. Sebagaimana orang-orang di negeri ini meyakinkanku, definisi Islam adalah Total submission berserah sepenuhnya kepada sang Malik.
Islam pulalah yang selalu mereka sebut sebagai alasan dari setiap tindak-tanduk mereka. Di negeri ini, hampir tidak pernah aku ditipu oleh tukang rickshaw, atau menjumpai pedagang yang menjual dengan harga tinggi hanya karena aku orang asing seperti yang sering terjadi di negeri sebelah. Kejujuran itu nomor satu. Pernah aku kehilangan uang saat menginap di rumah orang (yang sering kedatangan tamu), si tuan rumah kemudian diam-diam menyelipkan uang yang lebih banyak ke dalam tasku untuk menggantinya. Kejujuran dan keramahan orang Pakistan ini sungguh membuatku malu. Tak berlebihan kalau kupastikan, dari semua negara yang pernah kukunjungi, Pakistan adalah yang paling ramah. Orang mengatakan, mehmannavazi atau keramahtamahan itu adalah ajaran terpenting dalam Islam. Semua bilang: seperti itulah wajah Islam.
Berdasarkan survei terbaru, delapan puluh persen Muslim Pakistan mengatakan bahwa identitas keislaman lebih penting daripada identitas kebangsaan mereka. Mereka pertama-tama adalah sebagai Muslim, barulah sebagai orang Pakistan. Seperti kata Zia, semua adalah demi agama.
p u s t a k a i n d o . b l o g
Seorang famili mengirim utusan jemaat untuk meneguhkan iman Mama. Kami bersama berdoa demi kesembuhan Mama.
Setelah amin terucap, dia bertanya apakah Mama mau membuka hati menerima Tuhan. Mama mengangguk. Dia mengentakkan tangan Mama keras-keras sambil berseru, Cik! Kalau sudah percaya Tuhan, jangan sampai berdoa lagi pada dewa-dewa lain. Ingat! Allah itu pencemburu! Mama menjawab, Aku dari dulu juga selalu percaya Tuhan. Wanita itu menukas, Oh, tidak bisa, Cik. Tidak sama! Tuhan yang benar itu cuma ada satu! Buang semua patung-patung itu! Hanya pada Tuhan doa itu!
Oh, mengapa orang-orang yang katanya beriman selalu merasa yang paling benar"
Melihat raut muka Mama yang cemberut, aku buru-buru berkata, Maaf, Tante, Mama sudah terlalu capek, mau tidur dulu.
Zaman berubah, manusia berubah, konsep-konsep dan kepercayaan pun tiada abadi.
Pakistan yang kini adalah Republik Islam, dulunya adalah tempat lahirnya peradaban manusia di Sungai Indus, yang pada zaman ribuan tahun lalu telah membangun kota modern di Mohenjo Daro dan Harappa, lengkap dengan patung-patung dan dewa pujaan mereka. Kota Multan yang kini menjadi kota suci umat Muslim, dulunya adalah pusat ziarah umat Hindu. Reruntuhan kota Taxila di dekat Rawalpindi, pernah menjadi pusat peradaban Gandhara pengikut Buddha Mahayana.
Mengunjungi Taxila di hari ini sungguh membutuhkan imajinasi tingkat tinggi untuk membayangkan kejayaan peradaban
masa lalu itu dari bebatuan dan petak-petak yang berserakan. Di lokasi ini telah ditemukan ribuan patung, artefak, dan koin Buddha yang dilukis berbentuk tubuh manusia. Peradaban Gandhara di Taxila ini berkaitan dengan patung Buddha raksasa di Bamiyan, Afghanistan, yang dihancurkan oleh Taliban dengan dinamit hanya beberapa tahun lalu, karena dianggap sebagai berhala dan tidak Islami.
Sejarah sebelum kedatangan Islam semakin pudar dalam memori kebanyakan orang. Dalam versi resmi pemerintah dan buku-buku pelajaran sekolah, sejarah Pakistan baru dimulai setelah jenderal Arab, pahlawan besar Muhammad bin Qasim, menaklukkan Sindh dan Multan pada abad ke-8, menghancurkan kerajaan Brahmanabad yang dipimpin para pertapa Brahmana Hindu, membakar kuil-kuil dan berhala mereka. Dari situlah awal masuknya Islam, titik nol Pakistan, dari sanalah sejarah mulai dihitung. Sedangkan sebelum garis itu, tak ada sejarah, tak ada peradaban, tak ada kebanggaan, hanya masa lalu zaman jahiliyah yang gelap. Secuplik memori tentang kakek-nenek moyang dihapus begitu saja.
Mengunjungi reruntuhan kuil Hindu di Katas, masih di Punjab, seperti merambahi sejarah Pakistan yang terlupakan. Kuil itu pastinya pernah sangat megah pada masa jayanya. Bahkan dari reruntuhannya saja masih terlihat jejak ukiran yang teramat cermat. Nama Katas berarti sumber air mata dewa , yaitu tetes air mata Dewa Syiwa yang menangisi kepergian istrinya, Sati.
Dua tetes kembar air mata dewata yang jatuh ke bumi itu punya nasib yang jauh berbeda. Setetes jatuh di Pushkar, India, sekarang masih menjadi danau suci umat Hindu pemuja
Brahma, booming sebagai destinasi wisata top, dengan atraksi Festival Unta setiap tahun, menyedot segala jenis turis dan traveler dari berbagai negara. Setetes satunya, jatuh di Katas, Pakistan. Danau suci kini menjadi tempat berenang pemuda desa, menggenang dalam kesepian dikelilingi reruntuhan kuil kuno terlupakan. Menemani barisan bebek, para bocah melompat riang ke air hanya dengan memakai celana shalwar kombor, menggelembung seperti balon begitu tercemplung. Tak ada patung tersisa di kuil. Yang ada hanyalah lorong gelap, bau, penuh coretan grafiti si Ahmad atau si Mahmud yang pernah berkunjung ke sini tanggal segini. Hanya di lorong-lorong tersembunyi, gambar dewa-dewi yang hampir pudar masih bertahan, lolos dari tangan-tangan jahil.
Terlupakan. Terbengkalai. Itulah takdir kuil agung Hindu yang teronggok di sini setelah Pakistan berdiri di muka bumi, ketika tanah Punjab terbelah dua. Para pemuja Hindu sudah berbondong-bondong mengungsi ke India. Sekarang yang tinggal adalah umat Muslim yang tak kenal lagi siapa itu Syiwa, siapa Sati, siapa para pahlawan dalam epos Mahabharata. Pusat ziarah suci yang mati, Katas meredup di tengah kepungan bukitbukit garam Punjab yang suram. Perlahan, lumut dan sulur-suluran menenggelamkan. Serangga bersarang di dalamnya. Atapnya ambruk, temboknya bolong.
Entah berapa lama dia masih akan bertahan.
Selama ini dia selalu menekan perasaannya. Tapi siksaan penderitaan itu telah membuatnya tak kuat lagi. Mama mengejan, menjerit, menjejak-jejak, menangis, meraung, melolong, memanggil semua nama Tuhan.
Dan tubuh lemah itu pun kini seperti telah jadi medan perang agamaagama. Paman betah berceramah sampai berjam-jam tentang kebenaran Yesus, kepada Mama sekaligus kepadaku. Sementara tepat di sampingnya, sahabat Mama khusyuk, duduk tertunduk, berkomat-kamit membaca mantra Buddha.
Saat bersamaan, adikku berusaha memanggil pandita dari vihara, agar Mama langsung disumpah menjadi vegetarian seumur hidup melalui upacara suci.
Sementara orang-orang mengingatkan, awas bantuan sumbangan dana jangan sampai bikin Mama pindah agama.
Dalam perjalanan bangsa-bangsa, pergantian agama adalah momen penting yang secara drastis mengubah arah perjalanan. Iran yang semula adalah pemuja api pengikut Zarathustra, menjadi Muslim pasca invasi Arab, lalu mengkonversi diri menjadi Syiah sehingga tetap berseberangan dari dominansi Arab yang Sunni. Korea, negeri Buddhis tapi kini terkenal sebagai negara pengirim misionaris Nasrani yang paling gigih ke berbagai medan sulit di seluruh dunia. Juga Mongolia, bangsa barbar penakluk dunia luas, tiba-tiba menjadi jinak setelah masuknya Buddhisme, diatheiskan oleh komunisme, sekarang berusaha mempertahankan tradisi di tengah terjangan kristenisasi para misionaris Korea itu.
Perjalanan negeri-negeri dalam pencarian identitas religius
sebenarnya juga serupa dengan perjalanan umat manusia dalam menemukan siapa Tuhan-nya.
Perkenalanku dengan Tuhan dimulai sejak aku masih sangat kecil. Tradisi kami memiliki begitu banyak dewa-dewi. Setiap dua minggu sekali, Mama membawaku ke vihara yang penuh umat. Patung-patung berjajar di altar, di balik tebalnya asap dupa yang menyesakkan hidung memerihkan mata. Semua huruf yang terpajang di dinding ruang sembahyang adalah kaligrafi China yang begitu eksotik. Hanya ada satu tulisan Latin, digantung besar-besar di atas altar, di atas semua patung dewa: TUHAN MAHA ESA . Lilin-lilin suci berkedap-kedip di samping mangkuk-mangkuk persembahan yang berisi buah segar dan biskuit. Di deretan altar yang paling terhormat adalah patung lelaki botak gendut dengan perut seperti mau meledak, kepala bundar dilengkapi tawa lebar yang juga meledak. Kata Mama, Buddha ini selalu tertawa, tak peduli keadaan apa pun, karena dia menelan derita dunia. Mi-le-fo alias Maitreya bahkan masih tertawa walaupun diludahi dan dipukuli, dihina ataupun dilempari batu. Dengan tokoh Buddha ini sebagai idola, Mama mengajarkan padaku filosofi kesabaran dan menelan kemarahan, memaafkan dan selalu berbagi kegembiraan. Bila kau marah, telanlah ludah, begitu katanya. Di samping Maitreya masih ada Dewi Kwan Im yang ayu, Dewa Perang Kwan Kong dengan wajah garang merah membara seperti orang mabuk, plus masih banyak lagi warga negeri kahyangan. Di hadapan patung-patung itu, Mama memakai jubah putih bersih seperti dalam film-film kungfu, sepatu hitam dari kain, bersimpuh di atas bantalan. Bersujud dalam posisi kowtow, mengetuk-ngetukkan kepala dan tangan di tanah sampai ribuan kali, diiringi bacaan doa dalam
bahasa Mandarin kepada lusinan Buddha, Nabi, Bodhisattva yang kebanyakan aku tak kenal.
Agama adalah kebanggaan kami. Kakek buyutku, alias kakek dari Papa, adalah pendiri vihara pertama di kampung. Pada awalnya, seratus persen anggota keluarga besar kami menuliskan Buddha pada kolom agama di KTP. Itu agama leluhur, seperti agama para buyut yang menerjang samudra luas dari negeri Tiongkok sampai ke Nusantara.
Bagi banyak orang Tionghoa, agama dan tradisi bercampur aduk, sampai tak jelas lagi mana batasnya. Apakah membakar uang-uangan kertas di makam itu agama" Apakah mengayunkan hio di hadapan patung-patung untuk meminta rezeki dan keselamatan itu Buddhisme" Apakah bersembahyang memuja leluhur dan kakek buyut itu ritual religi"
Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya pengetahuan, satu per satu anggota kerabat kami pun menemukan Tuhan mereka masing-masing. Ada yang terselamatkan oleh kekuatan doa, lalu seketika berpantang memegang hio dan membuang patung-patung di altar yang selama ini disembahyangi, langsung ke tong sampah pinggir jalan. Ada yang mengucap kalimat syahadat karena menikahi gadis Muslim di kampungnya. Ada yang mengucap sumpah vegetarian dan menetap dalam vihara. Ada yang masuk sekolah misonaris jadi pendeta. Ada yang rajin menelepon dengan membacakan kutipan ayat-ayat, agar kami mengikuti agama yang dianutnya. Ada pula sepupu yang sampai mengalami gangguan jiwa, gara-gara dilarang keluarganya untuk pergi ke gereja. Bahkan diriku pun hingga hari ini setidaknya telah dua kali berpindah agama.
Sebaliknya, Mama selalu bangga dengan kepercayaan leluhurnya. Di antara kakak-beradik, hanya dialah yang masih bertahan. Di antara semua cucu kakek buyut, semua sudah pindah agama. Dia bilang, kalau bukan kita, siapa lagi yang masih mewariskan tradisi leluhur" Mama tak pernah bicara kemurnian. Tradisi Buddhis yang dipegangnya adalah: berpuluh ribu jalan akhirnya akan berujung pada hakikat yang Satu. Mama baca Alkitab, Tao Teh Ching, riwayat reinkarnasi, sekaligus selalu mengulangulang kata mendiang Gus Dur: Tuhan Tidak Perlu Dibela.
Menggebu-gebu, seorang paman gembira meyakinkanku, katanya Mama sudah membisikinya, setuju menerima Tuhan Yesus.
Tegas, adikku membantah, Itu bohong! Mama dibaptis dalam keadaan koma, tidak sadar. Mana boleh seperti itu"
Melihat kerabat yang lain datang membawa salib besar, adikku pontangpanting mencari bantuan dari vihara. Pandita Buddha langsung meneleponku, menangis tersedu-sedu seperti orang berkabung, Ming! Jangan sampai, Ming! Jangan sampai Mama meninggalkan kepercayaannya. Amal dan pahala sudah dibina berpuluh-puluh tahun! Ingat karma! Kasihan mamamu....!
Sejarah pembantaian atas nama agama telah berlangsung ratusan tahun di Anak Benua. Raja-raja Moghul dan Afghan berdatangan, menumbangkan patung-patung yang mereka sebut berhala, menjarah emas yang melapisi kuil-kuil Hindu, sembari meneriakkan kebesaran nama Tuhan. Beberapa tahun lalu, di India, para fundamentalis Hindu melakukan pembalasan, merobohkan Masjid Babri yang sudah ada sejak abad ke-16, yang katanya berdiri di atas kuil suci Ayodya tempat kelahiran Rama yang dulu dirobohkan Muslim. Kerusuhan agama langsung merebak, dua ribuan orang tewas, mayoritas Muslim. Insiden ini merembet ke Pakistan, di mana umat Muslim merespons dengan membakari kuil-kuil Hindu.
Kalaulah memang Tuhan yang menciptakan agama, mengapa justru manusia saling bunuh atas nama-Nya" Mengapa sejarah agama-agama malah penuh dengan halaman hitam perang dan tragedi"
Ini adalah sebuah kotak pandora. Agama bisa jadi rahmat semesta alam, tapi agama juga bisa jadi pembunuh yang paling kejam. Agama bisa membuat manusia tahu akan dosa dan segala kelemahannya, tapi agama juga bisa menjadikan manusia merasa sehebat Tuhan. Agama mengajarkan cinta dan kasih sayang, namun karena agama pula dendam dan kebencian bisa berkobar. Agama bisa bangkitkan kebudayaan, tapi agama juga mungkin hancurkan peradaban. Agama bisa jadi hubungan yang paling tulus antara manusia dengan Sang Pencipta-nya, agama bisa pula jadi identitas dan senjata ampuh demi puaskan nafsu dan keserakahan. Agama boleh mempersatukan ummah, tapi mungkin juga malah memecah belah manusia yang mengotak-ngotakkan siapa kita siapa mereka. Agama bisa menjanjikan damai dan keselamatan, namun juga bisa menjelma jadi tragedi penindasan barbar ketika orang-orang merasa hanya dirinyalah yang paling murni, paling suci, paling benar.
Rousseau berkata: Manusia dilahirkan bebas, tapi di manamana ia dibelenggu. Belenggu yang dibawa bersama setiap langkah ke mana-mana itu adalah berupa garis batas, yang membuat
manusia tak lagi bebas, tak lagi setara dan merdeka. Garis batas itu ternyata juga berlapis-lapis. Pakistan terbelah dari India karena dikotomi Islam dan non-Islam. Di dalam negeri Pakistan, Muslim terpecah antara Sunni dan Syiah. Di kalangan umat Sunni pun masih terbagi-bagi menjadi berbagai aliran, partaipartai dan mazhab. Umat Syiah jadi target serangan bom dan pembantaian berdarah di tengah perkabungan hari besar Ashura. Ismaili sering dipertanyakan keislamannya. Aliranaliran saling melabeli sesat atau kafir satu sama lain. Bunuhbunuhan antar-sekte makin marak. Baru-baru ini meledak bom di tengah umat yang sedang sembahyang di masjid saat memperingati Maulid Nabi di Karachi, korban tewas lima puluh orang lebih.
Bagi kaum minoritas, yang paling anyar adalah kasus rusuh di Sangla Hill, juga di Punjab, ketika dua ribuan orang merusak semua gereja, sekolah Kristen, rumah-rumah penduduk Nasrani di kota itu, plus membakari ratusan Alkitab. Kerusuhan ini terjadi karena ada isu (yang tidak benar) tentang seorang Kristen membakar beberapa halaman Quran.
Di Bahawalpur, jantung provinsi Punjab, Pakistan, aku ditemani seorang pemuda Muslim setempat mengikuti misa hari Minggu di sudut gereja. Tak pernah kukira, untuk datang ke gereja, ternyata semua orang harus melewati pemeriksaan keamanan ekstraketat dari tentara bersenjata. Gereja ini begitu melompongnya. Tak pakai kursi, para jemaat yang cuma berapa gelintir itu beribadah dengan bertekuk di atas lutut, menjatuhkan diri di hadapan Tuhan. Jemaat dipisah berdasar jenis kelamin, yang laki-laki semua mengenakan shalwar kamiz, yang perempuan berkerudung dan berjilbab seperti perempuan Muslim. Musik
pengiring puja-puji menggunakan tetabuhan kendang dan harmonium, persis seperti alunan qawwali dalam tradisi Sufi Muslim.
Lima tahun lalu gereja ini jadi saksi tragedi. Pukul sembilan pagi kurang sedikit, jemaat Protestan baru saja mengakhiri kebaktian di gereja Katolik. Pendeta melangkah keluar, diikuti semua umatnya yang berbaris untuk bersalaman. Tiba-tiba, dua lelaki tak dikenal menyergap dari pintu gerbang, memuntahkan tembakan senapan otomatis. Mayat bergelimpangan. Darah membanjir. Enam belas nyawa meregang. Ini adalah teror berdarah pertama, tapi pastinya bukan yang terakhir. Semua garagara Amerika, kata Pastor Nadeem. Serangan Amerika ke Afghanistan untuk membalas 11 September itu yang membangkitkan kemarahan di Pakistan. Orang-orang marah pada Amerika, tapi justru kamilah yang menjadi sasaran dendam. Kami selalu dianggap orang asing! Kami hanya warga kelas dua! Didiskriminasi hanya karena kami beda agama.
Walaupun pendidikan di sekolah Kristen terkenal sangat bagus, citra umat Kristen Pakistan adalah seputar kemiskinan: penjual alkohol, perumahan kumuh, profesi sebagai pembersih jalan. Mereka dipandang sebagai kelas bawah dan terpinggirkan. Mereka susah dapat kerja layak. Bahkan mau jadi juru masak atau pelayan di warung pun tak mungkin, karena orang takut makanan langsung najis kalau disentuh tangan kafir . Minoritas Hindu dan Kristen di negeri ini juga sering diancam supaya ganti agama, malah ada yang dibunuh gara-gara menolak.
Dari penampilan fisik, mereka tidak ada bedanya dengan umat Muslim. Kerudung, baju gamis, bahasa yang sama, tulisan aksara Arab Urdu yang sama, wajib belajar Islamiyat yang sama,
penghormatan pada bendera bulan-bintang yang sama. Terlebih lagi, mereka semua adalah sama-sama umat manusia.
Tapi mengapa harus ada garis batas itu" Mengapa sesuatu yang tak terlihat di lubuk hati itu harus menjadi penentu takdir"
Biarkan saja! Biarkan Hwie pilih sendiri jalannya! Hanya hati Hwie yang tahu pilihannya sendiri, kata Bibi Ying yang selama ini selalu membaca mantra di pinggir Mama.
Bibi Ying juga punya teori. Dia bilang, di surga nanti, Tuhan akan menanyai Mama, mau masuk pintu yang mana. Kalau mau masuk pintunya orang Kristen, monggo. Mau pintunya orang Buddha, silakan. Tuhan bukakan semua pintu. Tuhan itu murah hati dan penyayang.
Ucapannya itu langsung didamprat oleh kakaknya yang pandita. Kamu jangan ikut campur! Kalau nggak ngerti, nggak usah ngomong!
Api perselisihan terus berkecamuk di antara para kerabat, semua serukan nama Tuhan.
Bukankah keagungan Tuhan itu justru adalah karena sifat universalnya, sehingga Dia-lah Tuhan yang Maha Besar, rabi bagi semesta alam" Aku yakin, Tuhan ada di mana-mana, kebesaran-Nya hadir dalam segala rupa, untuk semua, tanpa sekatsekat garis batas.
Termasuk di sini, di sudut sebuah masjid di Islamabad. Aku menginap di rumah seorang imam Sunni, dan dia membawaku ke masjid ini. Aku percaya, dalam perjalanan hidup ini, kita
semua adalah musafir, dan perjalanan membawa kita melintasi berbagai garis batas, untuk menemukan kembali hakikat keuniversalan kemanusiaan ciptaan Allah. Sejak dulu, aku memang selalu terkesima dengan ibadah umat Muslim ketika ratusan umat bersujud dalam keseragaman dan kesederhanaan yang paling hakiki, terpekur di hadapan kebesaran Allah. Kekhusyukan di tengah keheningan membawa kedamaian di dalam hati, dan ini adalah kedamaian yang universal.
Kebetulan imam itu adalah seorang syed, yang dipercaya sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, sehingga semua umat langsung menciumi tangannya ketika dia datang. Roh dari agama, Mazhab ki Ruh, Syed Asmat mengawali khotbahnya dalam bahasa Urdu, sebenarnya adalah merasakan keberadaan Tuhan di dalam hatimu. Syed mengatakan, setiap agama itu terdiri atas tiga bagian: syariat (peraturan agama), tarekat (jalan atau aliran), dan hakikat (kebenaran). Syariat itu penting, tarekat itu penting, tapi yang harus diutamakan adalah tujuan akhir dari semua ini: hakikat, kebenaran.
Agama itu asalnya harus dari hati, dan kembali lagi ke hati. Dalam hati, kau temukan Tuhan. Kita berangkat dari hati, mengembara mencari-cari, sampai akhirnya kita berpulang lagi pada hati. Hati adalah inti dari ajaran agama, demikian sang Syed mengakhiri ceramah.
Semua itu dari hati, dan kembali ke hati. Itulah hakikat perjalanan semua kita. Bukan topeng-topeng identitas dan garis batas, bukan kebanggaan-kebanggaan palsu, bukan teori-teori akan masa lalu dan masa depan. Tapi hati, hati yang paling sederhana, hati yang paling telanjang.
Kata-kata ini mengingatkanku pada ajaran para sufi: agama adalah jalan, bukan tujuan. Agama, pencarian akan Tuhan, sebenarnya juga sebuah perjalanan, sering kali berliku-liku penuh kelokan. Masing-masing kita melalui jalan yang berbeda, masingmasing kita punya kisah perjalanan berbeda-beda, berjumpa dengan berbagai Guru yang berbeda, tapi tujuan kita semua adalah Esa, seperti halnya asal kita semua pun adalah Esa.
Orang yang terlalu terpaku pada jalan, lupa pada hakikat dari perjalanan itu sendiri. Orang-orang ini sibuk membandingbandingkan jalannya dengan jalan orang lain, berteori dan berdebat tentang jalan, memaksa-maksa orang lain untuk mengikuti jalannya, bahkan sampai tega membunuh orang lain yang tidak sejalan. Mereka hanya berhenti di jalan, akhirnya malah lupa meneruskan perjalanannya menuju tujuan perjalanan: hakikat.
Para sufi bilang: ketika orang bijak menunjuk ke bulan, yang dilihat oleh orang bodoh hanyalah jari.
Mengapa, oh, mengapa seonggok tubuh lemah ini masih harus jadi medan laga" Perseteruan antara pandita dan pendeta" Mengapa se mua jadi geger karena agama" Bergaduh dan bercekcok demi nama Tuhan"
Masing-masing dari kami mengklaim telah memikirkan jalan ter baik buat Mama, jalan yang paling mulus dan paling menjanjikan keselamatan nirwana. Masing-masing kami berteori, berdebat soal iman, meramalkan keputusan Tuhan, di saat Mama bergumul di ga ris batas hidup-mati. Siapa yang sebenarnya harus kubela"
Tuhan Yang Maha Kuasa" Agama" Mama" Ataukah egoku sen diri" Aku tak kuat lagi.
Aku hanya meratap. Mama... mengapa jalanmu harus seberat ini"
Di Balik Selimut Debu Mentari pagi mengusap wajah. Mataku yang masih lengket perlahan terbuka. Dalam perjalanan panjang ini, sering kali aku terbangun tanpa tahu berada di mana. Tanpa yakin apakah aku benar terjaga. Sering pula aku bertanya sendiri, apakah ini semua hanya mimpi belaka atau benar adanya. Terkadang aku menepuk-nepuk pipi, memastikan mana yang realita, mana yang hanya fatamorgana. Terkadang aku harus bertahan terbaring bermenit-menit, menatap langit-langit, sementara otakku berputar merangkai-rangkai kisah yang berlangsung dalam hitungan hari dan bulan yang telah lalu. Hingga aku benar-benar tersadar, sampai di mana cerita perjalanan panjang ini berlanjut. Tajikistan-kah ini" Kirgizstan" Uzbekistan"
Duuum.... Ledakan. Guncangan. Getaran seperti gempa. Kaca-kaca pun mau copot dari kusen.
BOM!!! Ini Kabul, Afghanistan. Aku berlari seperti dikejar setan. Naluri justru membawaku ke sumber ledakan. Jantungku berdebar kencang. Hampir aku
terpelanting ketika meloncati trotoar bolong-bolong dan bergerunjal di sepanjang pertigaan Sedarat. Dari kerasnya ledakan, bom seharusnya tak jauh dari sini. Tapi aneh, orang-orang terlihat tenang. Toko roti masih tetap buka. Penjual sate kebab memulai rutinitas memanaskan arang. Mereka tentu dengar suara bom menggelegar, tapi sama sekali tak pakai acara panik atau gelisah.
Titik Nol Karya Agustinus Wibowo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lututku bergetar saat aku menyaksikan bangkai bus gosong depan Markas Besar Polisi. Mayat bergelimpangan. Darah, darah, darah... lengket, menghitam di atas trotoar panas. Kematian begitu dekat di tengah kepanikan dan sirene memekakkan kuping. Orang-orang berlarian mengerubung, para polisi menggebukkan pentungan atau menendangkan kaki pada kerumunan. Seorang korban masih mengerang dengan suara menyayat ketika digotong ke ambulans. Ada usus terburai, ada potongan telinga di atas pohon, ada wajah tak bernyawa yang masih menampilkan ekspresi menahan sakit tak terkira. Ada raungan tangis para wanita dan laki-laki yang melengking-lengking di hadapan kematian, berharmoni bikin merinding. Bom ini membuat 35 polisi muda dalam bus mati seketika. Ini adalah serangan teroris terbesar pertama yang pernah disaksikan Kabul, tapi tentu bukan yang terakhir.
Para taruna ini adalah bintang utama berita hari ini, menjelma menjadi deretan angka dalam laporan para pewarta. Di negeri kita, setidaknya nama-nama korban kecelakaan lalu lintas pun masih didaftar dan diumumkan. Di negeri perang, orang mati hanya sebagai angka. Tak ada nama tertinggal, tak ada sebab, tak ada bekas, mati yang sia-sia sebagai seonggok bangkai
tanpa alasan tanpa guna. Seperti kata Joseph Stalin, kematian satu orang adalah tragedi, kematian berjuta orang cuma statistik.
Orang sini sadar nyawa mereka bisa dipanggil kapan saja. Pergi ke pasar untuk belanja sayur, tahu-tahu tak pernah pulang lagi karena sudah pindah ke alam baka. Ini membuat ucapan salam orang Afghan terasa begitu bermakna: Zinda boshi! , alias Hiduplah kau selalu!
Seorang fotojurnalis lokal menyeringai penuh kemenangan setelah berhasil menyelinap menembus kepungan polisi, langsung memanjat bangkai bus, mendapat foto-foto eksklusif mayat-mayat yang masih segar. Dia menepuk pundakku. Hey, Augustine, did you take good photos" Did you enjoy today"
Enjoy"! Nyawa memang murah. Kamera dan kartu pers yang terkalung di leherku telah menjadikan semua pemandangan ini bagian dari profesi. Aku khawatir, pekerjaan yang katanya demi kemanusiaan ini justru akan membunuh rasa kemanusiaanku.
Tegakah kamu"! Semua bertanya ketika aku membuat keputusan ini. Tak tega pun harus tetap dijalani. Sudah tak ada pilihan lagi! Biaya pengobatan Mama sudah membuat kami megap-megap. Belum lagi para kreditor yang justru berlomba-lomba menagih, seolah tak ada lagi waktu tersisa. Suara keluhan Papa begitu berat, semua malu itu memang harus ditelan bulat-bulat. Tubuhnya semakin lemah, deraan bertubi-tubi telah mulai merongrong kesehatan. Kekalutan, kesedihan, kekhawatiran. Jangan-jangan, aku takut dia pun bakal ambruk seperti Mama.
Kapal karam kami masih tetap butuh bahan bakar untuk terus berlayar. Setidaknya sampai ke tepian, jangan sampai kami semua tenggelam, habishabisan tanpa sisa. Di tengah terjangan badai, harus tetap ada yang menakhodai perjalanan.
Memang dalam realita hidup, selalu ada yang terpaksa dikorbankan, perjalanan yang harus dihentikan, impian yang harus dilepaskan.
Keputusan yang paling menyakitkan pun tetap mesti diambil, terserah orang mau bilang apa.
Lokasi, lokasi, lokasi... perjalanan adalah tentang lokasi.
Perjalanan hidup memang laksana labirin. Di pangkal jalan, titik tujuan itu terlihat begitu gamblang di kejauhan. Jalan lempang terbentang. Engkau berjalan dan berjalan, melangkah penuh keyakinan, lurus menuju tujuan. Langkah demi langkah mengalir lancar, titik tujuan terlihat makin dekat, makin nyata.
Tapi sekonyong-konyong, di hadapanmu melintang dinding tak tertembus. Jalanmu terhalang. Kau harus berbelok, tak ada pilihan.
Engkau berjalan semakin jauh. Belokan lagi. Lalu belokan lagi. Belokan demi belokan, tak habis-habisnya. Tak ada jalan lurus, ternyata. Semakin dijalani, jalan semakin berliku. Semakin dipandang, titik tujuan semakin mengabur. Labirin membawamu berkeliling semua penjuru, melewati negeri-negeri, dengan rute seperti benang kusut. Engkau berputar-putar, seperti takkan pernah sampai. Seiring waktu, semakin engkau bertanya: Apakah itu tujuan yang sebenar-benarnya" Masih perlukah perjuangan untuk mencapainya" Masih pentingkah tujuan itu"
Begitu pula dengan perjalananku. Sebelas bulan sejak kutinggalkan Beijing, telah kulewati negeri-negeri Himalaya, dari
kota-kota India sampai gunung-gunung Pakistan. Empat bulan berikutnya adalah petualangan paling gila dalam hidup: menumpang truk berkeliling negeri perang Afghanistan dengan jubah lusuh, tak pernah mandi, wajah cemong kulit berkerak, bicara bahasa lokal, tidur di lantai kedai-kedai teh di pedalaman paling terpencil. Dalam genggaman adalah buku panduan kuno dari era 1970-an, yang menjadikan perjalananku bagaikan menyusuri nostalgia memori para hippies. Aku termabuk oleh Afghanistan, negeri misterius yang senantiasa menyajikan kejutan pada setiap langkah.
Cita-citaku semula adalah menggapai Afrika Selatan. Itu berarti, negara berikutnya adalah Iran, Turki, lalu berbelok ke Suriah, Yordania, Mesir, dan sampailah aku ke tanah Afrika yang kuidamkan. Tapi, aku tak ingin lagi buru-buru. Magnet Asia Tengah terlalu kuat. Mulutku sudah berucap bahasa kuno Persia, hatiku dipenuhi bait-bait puisi ala sufi, fantasiku adalah legenda Sohrab dan Rustam. Biarlah negeri-negeri lain menunggu, toh aku tak dikejar-kejar batas waktu. Bukannya melangkah meneruskan rute yang rasional itu, aku malah tertarik pada sang Amu Darya, sungai akbar legendaris yang mengiring peradaban sejarah manusia hingga ribuan tahun, memisahkan negeri-negeri antah-berantah di Asia Tengah. Kuputuskan untuk bergerak ke utara, menyeberang Sungai, menembus perbatasan republik-republik baru: Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan. Perjalanan di pecahan Uni Soviet menyuguhkan tantangan ala film laga, semakin membangkitkan adrenalin dengan debar petualangan: menghadapi perampok, nyaris ditangkap agen KGB karena dikira mata-mata, diserang pemabuk beringas, terperangkap di rumah pelacur, tersesat di
padang salju, menyelundup tanpa paspor, tidur di peron stasiun dan diusir polisi, disergap tentara korup, jatuh dari punggung kuda, hampir masuk jurang,....
Dan kulihat dompetku. Astaga! Mengapa yang tersisa hanya uang receh" Ke mana empat lembar seratus dolar yang seharusnya ada" Semua raib begitu saja!
Ceroboh! Ceroboh! Aku memaki diriku berkali-kali. Adakah orang yang lebih ceroboh daripadaku" Makcik Lam Li dulu sering bilang, kecerobohanku itu sebegitu parahnya, seolah di dahiku sudah tercetak tulisan besar: ROB ME! RAPE ME! Please.... Aku kecopetan, sudah bukan berita baru. Sudah berkali-kali aku menjadi korban pencurian, sampai-sampai kedutaan pun bosan mendengar laporanku. Ini adalah kali keempat aku mengadukan masalah dengan pelaku kriminal di Uzbekistan, hanya dalam kurun tiga bulan. Saking parahnya, aku bahkan tidak tahu bagaimana dan di mana uang ini dicuri. Sialnya lagi, aku hanya punya uang tunai, dan itu adalah semua uangku yang tersisa.
Satu per satu diplomat duduk di hadapanku, saksama mendengar ceritaku, sambil geleng-geleng. Mungkin ini sudah kehendak Tuhan, kata seorang dari mereka, Dengan cara ini Tuhan mengingatkanmu, percayalah, semua rencana Tuhan bakal indah pada waktunya.
Di Tashkent yang dingin, berhari-hari aku dilanda kehancuran, keterpurukan, keputusasaan. Ketakutan membayangi: Apakah ini akhir perjalanan" Haruskah aku pulang"
Pepatah China bilang, kemenangan terbesar itu bukan berarti tak pernah jatuh. Sang pemenang itu juga jatuh. Tapi dia
selalu bisa bangun. Tak masalah seberapa lambat kau berjalan, yang penting jangan sampai kau berhenti. Cita-cita yang tak tergapai memang akan membawa penyesalan, tapi penyesalan itu justru lebih menyiksa kalau sudah menyerah sebelum kalah. Kupaksa mengatakan pada diriku sendiri di depan kaca, berkalikali setiap pagi: Kau belum kalah! Kau tak boleh menyerah!
Mungkin ini memang jalan yang harus kulewati, sesuatu untuk menyadarkanku bahwa perjalanan itu bukan fantasi petualangan dan eksplorasi tanpa habis. Perjalanan akan mengantar kembali pada realita pahit, bahwa di dunia materialisme ini hidup butuh duit. Tibalah saat untuk menetap, bekerja, mencari uang, demi melanjutkan langkah. Perjalanan itu begitu realistis. Keputusanku sudah bulat. Negara berikut: Afghanistan. Afghanistan, lagi-lagi Afghanistan, dan kembali lagi ke Afghanistan. Kisah cintaku dengan negeri perang ini ternyata belum usai. Hanya setengah tahun meninggalkannya, aku sudah kembali ke pelukannya. Dengan delapan dolar tunai yang tersisa di dompet, aku melewati pos pemeriksaan Uzbekistan yang terkenal seram karena petugasnya mencari barang terlarang sampai ke lipatan celana dalam. Aku kembali menyeberangi Amu Darya melintasi Jembatan Persahabatan. Pintu gerbang lain menyambut, dengan foto Hamid Karzai dan sang pahlawan mujahiddin Ahmad Shah Massoud, bertuliskan besar-besar dalam bahasa Inggris: GOOD BOY, plus tulisan Persia: Khuda Hafiz (Tuhan Adalah Pelindung).
Semua terjadi begitu cepat. Tersesat dalam labirin kehidupan, siapa yang pasti ke mana arah langkah" Seketika, aku kembali ke Kabul. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menjadi orang yang menanti-nantikan datangnya akhir bulan. Tuhan
pasti sedang bercanda: gajiku sama persis dengan jumlah uang yang dicopet di Tashkent, minus pajak lima belas dolar. Di leherku terkalung sebuah kartu dengan pas foto, tertulis: PAJHWOK AFGHAN NEWS
SENIOR PHOTOGRAPHER Lokasi, lokasi, lokasi...
Kuputuskan untuk pergi, meninggalkannya. Ke Jakarta, lalu Beijing. Tak perlu dia tahu alasannya, tak sedikit pun beban batin ini kubagikan padanya.
Kuakhiri bacaan Safarnama. Bahkan si Shahrazad juga harus berhenti setelah ribuan cerita. Setiap kisah, perjalanan, penantian, perjuangan, pengharapan dan kekuatan, tentu ada batas akhirnya.
Lokasi, lokasi, lokasi... Perjalanan bukanlah tentang lokasi.
Di sini aku berhenti, menetap, mengais rezeki. Aku belajar mencintai kota yang akrab dengan maut ini, belajar menyebutnya sebagai rumah .
Kuistirahatkan ranselku dalam lemari sudah berkarat. Gelarku memang ekspatriat, orang mengira itu adalah hidup yang serbahebat dan terhormat, tak mungkin melarat. Toh kenyataannya tidak benar tepat. Semua baju dan bawaanku ada dalam lemari tua ini. Hanya inilah semua hartaku sekarang. Secara ekonomi, aku nol kosong. Aku tak punya buku tabungan, kartu kredit, kekayaan terpendam lainnya. Cuma ini, ransel yang cukup untuk menjalani hidup seadanya. Perjalanan telah mengajarkan, barang-barang bawaan hanyalah beban memberatkan. Makin ringan bawaan, makin ringan pula langkah kaki. Kini, semua pun akhirnya tertambat dalam lemari. Saatnya untuk berhenti berpikir tentang lokasi dan lokasi, perjalanan berikutnya berlangsung pada satu titik stasioner: Kabul.
Direktur Kantor Berita menunjukkan, ini kamarku. Karpet kelabu yang mengalasi agak lembap, sepertinya sering ketumpahan teh yang tak pernah mengering. Kecoak berlarian ke sana ke sini. Aku mendapat matras merah kumal hanya selebar badan, yang akan mengalasi tidurku pada bulan-bulan mendatang. Juga bantal berkutu plus selimut bau.
Ketika pagi menjelang, matras harus cepat-cepat digulung rapi, karena para staf sudah berdatangan. Pada jam kerja, kamarku ini kembali ke fungsi normalnya: sebagai kantor. Tak ada lagi ruang privasi, komputer-komputer zaman pra-Pentium di atas meja semua kembali beroperasi. Di sini, aku bekerja dengan para fotojurnalis Afghan dua perempuan, dua laki-laki. Fotografi, yang dulunya adalah alat bagiku untuk melihat dan mengenal dunia, kini jadi jalanku mencari makan. Orang bilang, pekerjaan terbaik itu adalah yang sama dengan hobi. Tapi, seiring dengan perubahan status dari hobi menjadi profesi, rasa pun ikut berubah. Dari yang sebelumnya cinta sempurna dan ideal, bebas lepas, kini sudah disusupi unsur perhitungan untung-rugi, tugas, rutinitas, aturan-aturan, politik kantor. Pertemuan redaksi disambung liputan ke gedung-gedung kementerian untuk memotret wajah para pejabat yang rajin rapat, esai foto kehidupan korban perang, deadline, lobi ke koran-koran lokal, wejangan dari bos besar.
Setelah jam kerja, kantor kembali sepi, ruangan ini kembali jadi kamar pribadi. Jam delapan, tak ada cahaya bisa menerobos, tak ada listrik. Aku membiasakan diri dengan lilin dan lampu petromaks, seperti halnya mayoritas warga Afghan yang masih hidup dalam gulita. Remang-remang, bayang-bayang diri pun berkedip-kedip di dinding hitam, dalam hening justru membangkitkan nuansa spiritual. Sebuah keheningan malam tanpa suara tanpa beban pikiran, yang sudah begitu lama lenyap dari kehidupanku selama ini. Ajaran Zen bilang, kita takkan melihat bayangan refleksi di atas sungai yang mengalir. Bayangan itu baru terlihat di air yang tenang. Berhenti sejenak, berhenti berpindah, duduklah, beristirahatlah. Dalam perhentian, lihatlah dirimu sendiri.
Perjalanan bukan melulu tentang kebebasan. Justru kebebasan yang terlalu mudah didapat membuat orang tak lagi menghargai kebebasan. Aku memang pernah merasakan kegalauan, yang umum dirasakan musafir yang berpindah di jalan terlalu lama, saat masing-masing mulai mempertanyakan makna perjalanan panjang yang dilalui selama ini. Aku sempat bertanya, sampai kapan aku kuat terus berpindah seperti ini, dan buat apa.
Itu karena selama ini kebebasan perjalanan datang terlalu mudah padaku, keberuntungan yang bertubi-tubi justru membuat mental jadi lemah. Padahal, makna perjalanan yang dicari itu seharusnya sudah harus disadari ketika melangkahkan kaki keluar pintu rumah dan pergi mengembara untuk pertama kali. Perjalanan bukan cuma berpindah, tapi ada juga saat berjuang, ada saat untuk menghentikan langkah. Di Kabul, aku berhenti, bekerja, mengumpulkan dana sedolar demi sedolar demi langkah berikutnya. Ini juga bagian perjalanan, demi membeli kemerdekaan berikutnya.
Bukankah tanpa perjuangan, kemerdekaan pun tak banyak bermakna"
Kucium keningnya, kuucap selamat tinggal. Kujanjikan pengobatan terbaik. Kupastikan, ucapan maafnya akan kusampaikan di hadapan nisan. Kukatakan, dia pasti segera sembuh, keluar dari rumah sakit, hidup normal seperti sediakala.
Mamaku yang paling kuat, pasti selalu semangat, ujarku. Perempuan itu menatapku nanar, tersenyum getir, lalu menghujaniku dengan doa-doa. Pergilah, Nak, ujarnya. Pergilah. Baik-baiklah kau bekerja di sana. Jaga badan. Semoga jalanmu lancar dan selamat!
Dengan tenaga yang masih tersisa, dia melambaikan tangan, perlahanlahan, seperti ketika sepuluh tahun lalu tangan itu melepas kepergian seorang anak yang menuntut ilmu ke negeri seberang. Tanpa tahu kapan perjumpaan berikutnya akan terulang.
Di sudut bandara, air mataku membeludak. Oh, apakah yang dikatakannya itu tadi adalah wasiat terakhir" Aku terus membatin, Mama pasti sembuh! Mamaku yang kuat itu pasti akan sembuh!
Sementara pesawat sudah menanti, segera membawaku pergi, jauh-jauh dari sini.
Semua orang punya jalan masing-masing. Perjuangan berbeda, lintasan berbeda, penggapaian impian dan ambisi hidup dengan
cara yang berbeda-beda, membuat kisah hidup perjalanan manusia begitu berwarna.
Satu demi satu mimpi memang telah terwujud. Ini adalah fantasi masa kecilku untuk menjadi pengelana, ikut sang surya keliling dunia. Aku telah bertransformasi dari backpacker, turis, trekker, fotografer, sukarelawan, dan sekarang berhasil mewujudkan mimpi muluk jadi jurnalis. Siapa sangka, ya siapa sangka" Tanpa pendidikan formal, tanpa kursus ataupun pelatihan, aku belajar sepenuhnya dari apa yang diajarkan oleh perjalanan. Betapa perjalanan adalah guru yang paling agung. Dan aku harus berterima kasih pada seorang sahabat istimewa, nun jauh di sana, diawali oleh pertemuan yang serba tak disengaja. Dia bagaikan tangan tak terlihat yang menentukan takdir perjalananku.
Memang layak aku menghormatinya sebagai travel guru . Melalui surat-surat yang dikirim secara sporadis, Lam Li terus memperbarui kisah pengembaraannya. Belakangan ini, suratnya menjarang. Semakin kita berjalan, perjalanan semakin melebur ke dalam realita hidup. Rontoklah sudah eksotisme destinasidestinasi turisme, perjalanan semakin lugas dan alamiah. Kisahkisah pun semakin melekat ke esensi keseharian.
Salaams, Lama betul aku tak tulis apa-apa update pada sesapa, tapi rasanya macam makin lama aku berjalan, makin sikit yang boleh aku ceritakan, susah pula nak jelaskan. Sebenarnya aku malu kalau dengar kau kata aku pernah ajar kau apa-apa, sebab rasanya kaulah orang yang banyak bagi aku inspirasi lagi-lagi macam
mana nak mendekati orang, macam mana nak buka pintuku besar-besar so orang dapat masuk. Walaupun aku selalu macam kak guru bila bercakap dengan kau, tapi aku pun ada belajar dari kau. walaupun aku tau dah lambat, tapi aku masih nak ucap trims.
Saat perjalanan aku dah nak sampai penghujung, aku dah jadi makin malas. Aku dah rentas raksasa Russia naik kereta api trans-siberia, lepas itu lalu Mongolia, lepas itu sampai Beijing, China. Tadi aku cakap penghujung perjalanan ya" Lebih kurang lah. Aku dah dapat kerja kat Beijing and tak tau berapa lama aku akan tinggal. Ini masa untuk aku isi balik tabunganku yang dah kosong and berlabuh sekejap.
Ada orang tanya kenapa Beijing" Agaknya aku tengah cuba cari grey area . Penat berjalan dua setengah
tahun; walaupun rasa memang fulilling, tapi ikiran,
emosi and badanku dah penat sangat. Aku belum lagi nak bubuh noktah akhir pada pengembaraanku, tapi, sekarang ini aku perlu cari jalan untuk stabilkan lagi diriku. Selama ini, dalam diriku ada terkumpul entah energi apa yang perlu sesuatu pelampiasan. well, boleh kata ini masa untuk aku memberi dan bukan selalu asyik menerima saja, seperti selama ini. Beijing ini separuh jalan ke rumah jauh dari rumah mencegah aku balik lagi ke comfort zone; dengan terus dalam keadaan ketakpastian macam ini, memungkinkan aku takkan terlena. Apa aku ini terobsesi sangat dengan kerisauan yang aku buat-buat sendiri" probably :)
And one more thing, kau jaga diri baik-baik, aku tengok keadaan di Afghanistan tu macam dah makin teruk saja. Stay safe.
lam li Akhir sebuah jalan! Di saat yang hampir bersamaan, kami berdua mengucapkan, inilah end of the road. Aku di Kabul, dia di Beijing. Kami sama-sama memulai pekerjaan menetap di lokasi baru, sama-sama kembali menoleh ke belakang, ke gejolak lika-liku dari berbagai negeri-negeri yang telah dilalui selama ini, dan sama-sama berlindung di tengah stabilitas temporer dan mengumpulkan energi untuk menghadapi ketidakpastian berikutnya.
Perjalanan adalah sebuah point of no return. Tak ada istilah kembali ke sediakala. Setelah melewati perjalanan panjang ini, segala sesuatunya tak akan pernah sama lagi. Tiada guna salahkan nasib, sumpahi bencana, sesali langkah, pertanyakan keadilan Tuhan. Semua memang adalah skenario megah yang kita takkan pernah paham. Justru aku harus berterima kasih pada maling duitku di Tashkent itu.
Orang China percaya, di balik musibah ada keberuntungan, di balik keberuntungan ada musibah. Itu semua bagian dari lika-liku hidup. Tak perlu marah, tak perlu gundah, tak perlu memburu langkah. Nikmati saja, jalan berliku yang penuh kejutan tak terduga.
Kematian memang rasanya hanya beberapa sentimeter jauhnya dari kulit. Maut, tak mungkin diingkari, adalah bagian keseharian di sini.
Pagi ini, semua perempuan di kantorku menangis. Seorang kawan, mati.
Perjuangan seorang figur wanita hebat berakhir dengan sebuah kematian tragis. Pemimpin stasiun radio swasta, Radio Perdamaian, ditemukan bersimbah darah ditembak di kamarnya sendiri, di atas ranjangnya sendiri.
Pertanyaannya: siapa yang bunuh Zakia Zaki" Tak ada yang bisa jawab.
Misteri ini tampaknya akan berlalu begitu saja. Seperti kematian seorang gadis cantik presenter berita televisi swasta, hanya lima hari sebelumnya. Kabarnya, pembunuh adalah orang dekat, gara-gara si gadis setiap hari menampilkan wajah di depan publik, dianggap membawa aib. Honor killing, pembunuhan atas nama kehormatan dan sekadar demi kehormatan yang entah seperti apa bentuknya dan seberharga apa nilainya, perempuan pun dibunuh demi nama baik para lelaki. Kasus ini kemudian dibumbui dalil agama dan pembenaran tradisi, menjadi berita sekilas, lalu menguap, hilang dalam memori.
Hari yang muram. Semua rekan wanita sekantor pergi melayat. Si fotojurnalis pulang dengan menunjukkan foto wajah Zakia yang tidur dalam kedamaian abadi dibungkus kafan, sementara tangan-tangan para pelayat terkulai lemas di sekeliling. Sebuah foto yang begitu mengguncang, mengerikan, traumatis, namun ironisnya, sekaligus indah dan terhormat. Sebagai editor, tentu aku langsung mengirimkan foto ini ke berbagai media, dan meyakini foto ini sungguh sempurna dari segi nilai berita, aktualitas, emosi, komposisi, teknik, artistik, eksklusivitas. Esok paginya, seperti kuduga, foto ini dimuat di halaman depan koran-koran lokal dan internasional dalam ukuran besar, menjadi headline utama. Kantor Berita kami jadi terkenal, karena kedekatan dengan Zaki itu kami punya akses untuk fotofoto eksklusif , yang dicari-cari semua outlet media lainnya. Direktur pun senang, ada bisnis bisa dijual, dan yang lebih membanggakan, foto ini memenangkan lomba fotojurnalisme internasional di Eropa. Foto jenazah Zakia Zaki mengangkat karier fotografer muda rekan kami Safia Safi, yang langsung melejit namanya diwawancara di mana-mana. Sebagai sesama perempuan, Safia selalu mengenang perjuangan Zakia, menekankan bahaya menjadi jurnalis wanita di negeri ini, sekaligus bercerita tentang impian karier masa depannya.
Seorang wartawan menjadi jenazah, membuat wartawan lain malah dapat piala.
Kedengerannya sungguh kejam, tapi memang begitulah realita.
Betapa panjang perjuangan demi mempertahankan sebuah nyawa.
Aku sempat mengira, aku anak yang berbakti. Telah kuhapus air matanya, kudengarkan keluh kesahnya, kuajak dia tertawa. Kubersihkan najisnya, kubawakan makanan terbaik, kutemani detik-detik berat saat tubuhnya seperti robot dengan ratusan slang mengerikan selepas operasi.
Aku sempat menepuk dada dibuai keberhasilan, ketika dia menyebutku sebagai penyelamat nyawanya. Kukira hari-hari akan jadi lebih baik, kehidupan pun akan kembali normal.
Tapi kini, terdesak di hadapan cul-de-sac yang menjadi realita, semua kebanggaan pun sirna.
Seiring berjalannya waktu, satu per satu imajinasi dan fantasi berguguran, realita semakin menampakkan wujud aslinya.
Saat Taliban jatuh, orang-orang merayakan penuh kegembiraan. Laki-laki bergegas mencukur jenggot, mereka bebas mendengarkan musik dan memakai baju apa pun yang disuka. Dunia ikut terharu, percaya sebentar lagi seluruh perempuan Afghan akan terbebas dari kungkungan burqa. Aku teringat gegap gempita penyambutan di pintu gerbang negeri saat aku datang pertama kali, betapa antusias mereka melihatku si orang asing. Aku teringat optimisme dalam tatap mata, keyakinan para pengungsi yang baru pulang dari Pakistan, bahwa hidup akan segera membaik. Mereka percaya, Afghanistan akan kembali indah. Bukankah Afghanistan sejak zaman dahulu adalah
Pedang Asmara 18 Dewa Arak 27 Kembalinya Raja Tengkorak Lauw Pang Vs Hang Ie 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama