Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 5

16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 5


"Entahlah. Tetapi yang terjadi di Sima itu sangat merugikan aku dan kita semuanya. Mungkin kau dapat mengikhlaskannya karena kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Tetapi aku tetap saja menyesali kerugianku di Sima."
Kawannya yang berbeda sikap itupun terdiam. Apalagi ketika kemudian pelayan kedai itu mulai menghidangkan minuman dan makan bagi mereka. Nasi Cething, dengan berbagai macam lauk-pauknya.
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja makan dan minum sambil mendengarkan pembicaraan itu. Agaknya berita tentang perang di Sima itu baru saja sampai di telinga para pedagang yang sering pergi ke Sima atau bahkan yang sudah menanamkan uangnya di Sima. Namun perang di Sima itu tidak terjadi dengan tiba-tiba saja. Di Sima sudah beberapa lama menyelenggarakan latihan-latihan keprajuritan. Sementara itu, prajurit Pajangpun telah berkemah pula di sebelah Sima sebelum perang itu terjadi.
Namun agaknya orang tidak mengira, bahwa yang terjadi adalah perang yang sebenarnya. Perang yang telah mengerahkan prajurit segelar sepapan. Bahkan kemudian dengan perang yang telah terjadi itu. Sima sealah-olah telah menjadi daerah tertutup di bawah kekuasaan Demak Satu daerah kekuasaan Demak yang berada jauh di arah Selatan.
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah selesai makan dan minum itupun segera minta diri kepada pelayan di kedai itu sambil membayar makan dan minum bagi mereka berdua.
Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke Mataram.
"Ternyata ada pedagang yang memberikan tanggapan tidak jujur terhadap perang yang terjadi di Sima itu, kakang," berkata Rara Wulan.
"Ya. Ada diantara mereka yang mementingkan diri sendiri. Tetapi yang lain mempunyai tanggapan yang lain terhadap perang itu."
"Ada yang menolak perang hanya karena kepentingan diri sendiri. Ada yang membenci perang bukan karena orang itu memikirkan rakyat kecil yang menjadi korban. Tetapi yang mereka pikirkan adalah uang mereka yang sudah terlanjur tertanam di daerah yang terjadi perang itu."
"Tetapi mereka yang mendapat keuntungan karena perang, justru akan selalu berharap perang itu terjadi."
"Ya. Mereka yang memasok berbagai jenis senjata kepada pihak-pihak yang berperang. Bahkan apa yang mereka sebut pusaka dan sipat kandel, sehingga mereka yang memilikinya menjadi kebal dan tidak dapat dikenai senjata jenis apapun juga."
"Bagi mereka yang memburu harta, apapun yang terjadi, sama sekali tidak mereka pedulikan. Bahkan sesamanya yang saling membunuhpun tidak menggetarkan jantung ntereka, asal mereka mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Baru jika kepentingannya sendiri tersinggung, maka ia akan berdoa agar perang itu berhenti."
"Ya. Mereka tidak sempat memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Keselamatan persatuan dinegeri ini. Tegaknya tatanan dan paugeran, bahkan keadilan."
Keduanyapun terdiam sesaat. Namun Glagah Putihpun kemudian berdesis, "Tetapi sebagaimana kita lihat, ada yang bersikap lain. Ada juga yang mempunyai wawasan yang lebih luas dari keuntungan semata-mata."
"Ya. Sikap semacam itu pantas kita hargai." Keduanyapun berjalan semakin cepat. Matahari yang sudah berada di puncak, panasnya terasa telah menusuk ubun-ubun.
"Jika kita melewati orang yang berjualan caping bambu, aku akan membeli kakang."
"Kenapa" Kau kepanasan?"
"Bukan karena kepanasan. Biar kulit wajahku tidak menjadi terlalu hitam."
Glagah Putih tertawa tertahan. Katanya, "Sejak kapan kau memikirkan kulit wajahmu agar tidak terlalu hitam."
"Sejak kita berniat kembali ke Mataram," jawab Rara Wulan sambil tersenyum pula.
"Kenapa?" "Biar Ki Patih Mandaraka tidak menjadi cemas melihat wajahku yang terbaklar sinar matahari."
Glagah Putihpun tertawa semakin keras.
Sementara itu, keduanyapun berjalan terus menuju ke Mataram. Tetapi mereka sepakat untuk singgah di Jati An om dan bahkan jika waktunya memungkinkan, mereka akan dapat singgah di Sangkal Putung, kecuali jika pamannya atau ayahnya bersedia untuk mengirimkan utusan ke Sangkal Putung, untuk memberitahu tentang perkembangan keadaan yang terjadi di Sima dan bahkan kemungkinan prajurit Demak bergeser lagi ke Selatan untuk menguasai Pajang. Meskipun untuk menyerang Pajang, Demak masih harus berpikir berulang kali.
Sedikit lewat tengah hari, merekapun telah mengambil jalan pintas. Mereka mengikuti jalan yang lebih sempit, tetapi akan lebih dekat jaraknya untuk mencapai Jati Anom.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tidak langsung pergi ke barak prajurit Mataram di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara. Tetapi mereka lebih dahulu singgah di padepokan kecil di Jati Anom, peninggalan Kiai Gringsing yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura.
Demikian mereka sampai di regol padepokan kecil itu, Rara Wulan sempat berkata, "Kita tidak perlu membeli caping bambu. Di padepokan itu tentu terdapat banyak caping bambu."
Glagah Putihpun tersenyum pula sambil mengangguk, "Ya. Nanti kita membawa sepuluh caping bambu."
Ketika Rara Wulan bergeser mendekatinya, Glagah Putih justru menjauh sambil berdesis, "Sst, Kau lihat cantrik yang sedang sibuk membelah kayu itu."
Rara Wulan tidak menjawab. Namun mereka herdua-pun kemudian melangkah memasuki regol padepokan kecil itu.
Ketika cantrik yang sedang membelah kayu bakar dan kemudian menjemurnya di halaman itu terkejut melihat Glagah Putih dan Rara Wulan tiba-tiba saja sudah berada di halaman.
"Kakang, Mbokayu," desis cantrik itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tersenyum pula. Dengan nada dalam Glagah Putihpun bertanya, "Apakah ayah ada?"
"Ada, kakang. Marilah. Silahkan naik."
Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah duduk di pnnggitan ditemui oleh Ki Widura yang wajahnya nampak gembira menerima kedatangan anak dan menantunya.
"Sukurlah bahwa kalian selamat selama menjalankan tugas yang berat itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah menceritakan perjalanannya itu mengangguk hormat. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata, "Yang Maha Agung melindungi perjalanan kami, ayah."
"Sekarang, apa yang akan kalian lakukan?"
"Aku akan bertemu dengan kakang Untara. Dalam keadaan yang gawat, mungkin kakang Untara akan menerima perintah khusus. Mungkin Pajang memerlukan bantuan. Atau mungkin justru Demak akan langsung menuju ke Mataram."
"Apakah Demak demikian kuatnya sehingga Demak akan benar-benar berani menghadapi Mataram?"
"Demak memang merasa sangat kuat, ayah. Didukung oleh perguruan Kedung Jati serta semua laki-laki bukan saja penghuni daerah di sebelah Utara Gunung Kendeng, tetapi bahkan sudah mengalir ke Selatan. Semua laki-laki, bukan hanya anak-anak mudanya, tetapi juga setiap laki-laki yang dianggap masih kuat, telah dikerahkan dalam tugas keprajuritan."
Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat membayangkan jika arus banjir bandang itu melanda daerah di sebelah Selatan Sima. Termasuk Pajang atau Banyudana langsung lewat Jatinom ke Gondang dan kemudian ke Taji dan Prambanan.
"Kau memang harus bertemu dengan kakangmu Untara. Sebelum Untara resmi mendapat perintah dari Mataram, ada baiknya Untara mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
"Aku juga akan memberitahu kakang Untara. Para pengawal kademangan Sangkal Putung akan sangat membantu. Jumlah mereka tentu masih tetap besar seperti dahulu. Bahkan pasukan Pengawal Kademangan Sangkal Putung, menurut penglihatanku, jauh lebih baik dari pasukan yang dapat dihimpun oleh Demak dari sebelah menyebelah Pegunungan Kendeng itu."
"Kau juga akan pergi ke Sangkal Putung."
"Ya. Kecuali jika ada yang dapat diutus untuk menyampaikan kabar ini ke Sangkal Putung."
"Kau sudah terlanjur menempuh perjalanan jauh, Glagah Putih. Sebaiknya kau sendirilah yang menyampaikan kabar ini kepada kakangmu Swandaru. Ia akan mempunyai tanggapan yang lain, jika yang datang ke Sangkal Putung bukan kalian berdua."
"Baik, ayah. Aku akan segera menemui kakang Untara. Selanjutnya akan pergi ke Sangkal Putung."
"Kau dapat bermalam di Sangkal Putung. Esok pagi-pagi kau meneruskan perjalananmu ke Mataram."
"Ya, ayah. Sebaiknya aku pergi menemui kakang Untara."
"Tetapi duduklah lebih dahulu. Kau perlu beristirahat. Minum dan barangkali makan. Baru kemudian kau menemui kakangmu Untara."
"Aku sudah makan dijalan ayah."
"Tetapi belum disini."
Glagah Putihpun tersenyum. Sambil berpaling kepada Rara Wulan iapun berkata, "Kita akan beristirahat sebentar di sini sambil menunggu nasi masak."
Rara Wulanpun tertawa. Demikian pula Ki Widura.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan sempat pergi kepakiwan bergantian. Terasa tubuh merekapun menjadi segar.
Demikian mereka selesai berbenah diri, maka makan dan minumanpun telah dihidangkan.
Sambil makan Glagah Putih dan Rara Wulan sempat berceritera lebih terperinci lagi tentang apa yang dilihatnya di Sima waktu itu berangkat, kemudian di Demak dan Sima di saat ia kembali dari Demak Bahkan ia sempat ikut bertempur bersama pasukan Pajang yang nampaknya tergesa-gesa menyerang Sima dengan bekal pengamatan yang sangat kurang, sehingga hampir saja pasukan Pajang itu terjebak dalam kesulitan sehingga akan menelan banyak korban. Untunglah, bahwa keadaan yang sangat pahit itu dapat dihindari.
Demikianlah setelah makan, minum, serta beristirahat sejenak, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri untuk menemui Untara di baraknya.
"Nanti, dari barak kakang Untara, aku akan singgah lagi kemari sebentar ayah. Aku akan pergi ke Sangkal Putung dan seperti ayah katakan, aku akan bermalam di Sangkal Putung. Esok aku akan langsung pergi ke Mataram."
"Baiklah. Tetapi kau tentu letih sekali. Kau belum beristirahat sejak kemarin, setelah kau bertempur bersama prajurit Pajang."
"Nanti malam aku akan tidur nyenyak," demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkan padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing itu untuk pergi menemui Untara di baraknya.
Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mengejutkan Untara pula. Karena itu, maka Untarapun langung menemuinya.
"Kau membawa perintah?" bertanya Untara.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian bercerita dengan singkat, tentang perjalannya ke Demak serta kegagalan Pajang untuk mengambil alih Sima dari tangan orang-orang Demak.
Ki Tumenggung Untarapun segera tanggap akan maksud Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka iapun berkata, "Baiklah. Aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya sambil menunggu perintah dari Mataram."
"Aku juga akan pergi ke Sangkal Putung untuk menghubungi kakang Swandaru."
"Bagus. Kau memang perlu memberitahukan kepadanya."
Glagah Putih dan Rara Wulan t^dak berada dibarak Untara terlalu lama. Mereka tidak datang berkunjung sebagai seorang adik yruig datang ke rumah kakak sepupunya. Tetapi mereka datang sebagai seorang petugas sandi menemui seorang Senapati untuk menyampaikan satu berita penting dalam tugas keprajuritan.
Untarapun menyadari akan hal itu. Karena itu, ketika adik sepupunya ituminta diri, maka ia tidak menantinya lagi.
"Kalian akan langsung pergi ke Sangkal Putung ?"
"Ya, kakang. Tetapi aku masih akan singgah di padepokan sebentar."
"Sebaiknya paman Widura juga mempersiapkan diri. Memang ada kemungkinan orang-orang Demak itu bergerak lewat daerah ini, justru untuk menghindari Pajang. Tetapi dapat juga terjadi, bahwa mereka justru akan menguasai Pajang lebih dahulu. Karena itu. kita semuanya sebaiknya mempersiapkan diri termasuk adi Swandaru di Sangkal Putung."
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera meninggalkan barak keprajuritan Mataram di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara.
Glagah Putih dan Rara Wulan memang singgah sebentar di padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing itu. Namun keduanyapun segera minta diri lagi untuk pergi ke Sangkal Putung.
"Kami akan langsung kembali ke Mataram, ayah." berkata Glagah Putih.
"Baiklah. Tetapi berhati-hatilah. Jika benar Demak akan bergerak terus ke Selatan, mereka tentu sudah mengirimkan petugas-petugas sandinya."
"Ya, ayah." Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian meninggalkan Jati Anom. Sementara mataharipun telah menjadi muram. Langit di arah Barat sudah menjadi merah menjelang senja.
Perjalanan ke Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Tetapi ketika malam turun, mereka masih berada di perjalanan.
"Kakang Agung Sedayu di waktu remajanya adalah seorang penakut," berkata Glagah Putih, "ketika kakang Agung Sedayu terpaksa sekali pergi ke Sangkal Putung sendiri di malam hari, maka kakang Agung Sedayu hampir pingsan karena ketakutan. Di pinggir jalan menuju ke Sangkal Putung terdapat sebatang pohon randu alas raksasa. Bekas dahan yang telah lama sekali patah, membuat bundaran seperti mata, sehingga pohon randu alas itu dianggap dihuni oleh genderuwo bermata satu."
Rara Wulan tersenyum. Katanya, "Tetapi akhirnya kakang Agung Sedayu dapat mengatasi perasaan takut itu."
"Ya. Sekarang kakang Agung Sedayu tentu sudah tidak merasa takut lagi lewat dibawah randu alas tempat tinggal genderuwo bermata satu itu. Jika kakang Agung Sedayu masih juga ketakutan, apalagi pada saat kakang Agung Sedayu membawa pasukannya, maka pasukannya tentu akan bubar bercerai berai."
Keduanyapun tertawa. Menjelang wayah sepi bocah, maka keduanyapun telah sampai ke Sangkal Putung. Mereka berdua langsung memasuki regol halaman rumah Ki Demang di Sangkal Putung.
Seorang pembantu di rumah Ki Demang yang melihat dua orang laki-laki dan perempuan memasuki regol halaman setelah wayah sepi bocah, segera menemuinya dan bertanya, "Siapakah Ki Sanak berdua, dan siapakah yang kalian cari ?"
"Kami ingin bertemu dengan kakang Swandaru."
"Siapakah kalian ?"
"Namaku Glagah Putih, dan ini isteriku, Rara Wulan."
"Baiklah. Silakan duduk, Aku akan memberitahukan kedatangan kalian kepada Ki Swandaru yang sedang berada di serambi belakang."
"Bukankah kakang Swandaru belum tidur ?"
"Belum. Ki Swandaru masih duduk-duduk di serambi bersama Nyi Swandaru."
Keduanyapun kemudian dipersilakan naik ke pendapa dan menunggu di pnnggitan, sementara orang itu pergi ke belakang, lewat pintu seketeng.
Swandaru dan isterinya memang terkejut ketika seseorang jeemberitahukan kepada mereka, bahwa dua orang suami isteri datang untuk mencarinya.
"Kau tanyakan namanya ?"
"Namanya Glagah Putih," jawab orang itu.
"Glagah Putih. Jadi adi Glagah Putih suami isteri datang kemari ?"
Swandaru dan isterinyapun dengan tergesa-gesa segera pergi ke pringgitan.
Sebenarnyalah bahwa yang telah menunggu di pringgitan adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Selamat malam kakang dan mbokayu," berkata Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng ketika Swandaru dan Pandan Wangi keluar dari pintu pringgitan.
"Selamat malam adi berdua," keduanyapun menjawab hampir berbareng pula.
Kedua pihakpun kemudian telah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing.
Baru kemudian Swandaru bertanya, "Kedatangan adi berdua malam-malam begini memang agak mengejutkan. Barangkali ada keperluan yang penting atau adi berdua sekedar datang berkunjung ke kademangan kami ini ?"
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berkata, "Kakang. Memang ada sedikit kepentingan sehingga malam-malam aku singgah di Sangkal Putung."
Swandaru dan Pandan Wangi mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
"Kakang," berkata Glagah Putih kemudian, "sebelum kami menyampaikan kepentingan kami, maka kami ingin menyampaikan permohonan kepada kakang berdua."
"Permohonan apa ?" bertanya Swandaru dengan kerut di kening.
"Kami mohon ijin, bahwa malam ini kami akan bermalam di Sangkal Putung."
"He ?" dahi Swandaru berkerut. Namun kemudian iapun tertawa lepas. Pandan Wangipun tertawa pula.
"Jangankan malam ini, adi," jawab Swandaru, "bahkan seandainya adi Glagah Putih akan tinggal disini, kami tentu tulak akan berkeberatan."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula.
"Terima kasih, kakang," desis Glagah Putih.
"Nah, barangkali adi kemudian dapat menceriterakan kepentingan adi seterusnya selain untuk minta ijin bermalam disini."
Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja tertawa. Baru kemudian Glagah Putihpun menceriterakan perjalanannya ke Demak lewat Sima, kemudian perjalanan mereka pulang juga lewat Sima. Glagah Putihpun menceriterakan keterlibatannya bertempur bersama pasukan Pajang yang agaknya dengan agak tergesa-gesa datang ke Sima, sehingga Pajang tidak mempunyai keterangan yang cukup lengkap tentang perkembangan di Sima. Bahkan hampir saja pasukan Pajang dapat dikoyakkan oleh pasukan Demak yang bergabung bersama pasukan dari perguruan Kedung Jati. Bahkan mereka telah mengerahkan Wiratani yang jumlahnya banyak sekali untuk menghantam pasukan Pajang.
"Untunglah bahwa Senapati Pajang yang semula keras kepala, akhirnya dapat melihat kenyataan yang dihadapinya, sehingga pasukannya tidak dihancurkan oleh prajurit Demak. Bahkan bersama-sama dengan perguruan Kedung Jati. Jika itu yang terjadi, maka korban tentu tidak akan dapat dihitung lagi. Prajurit Pajang tentu akan dihancurkan tapis tanpa tilas."
Swandaru dan Pandan Wangi itupun berpandangan sejenak. Dengan nada berat Swandarupun kemudian berkata, "Terima kasih atas pemberitahuanmu, adi. Bukankah dengan demikian kamipun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya" Kemenangan Demak atas Pajang di Sima itu akan membuat para prajurit dari Demak itu menjadi semakin yakin akan kemampuan mereka. Karena itu, mereka tentu tidak akan menghentikan gerak mereka ke Selatan. Meskipun kita tidak tahu, yang manakah yang akan mereka datangi lebih dahulu. Pajang, atau justru menghindari Pajang dan langsung ke Mataram. Jika mereka menghindari Pajang, maka mungkin sekali mereka akan melewati jalur di sekitar tempat tinggal kita. Mungkin Sangkal Putung, mungkin Jati Anom atau daerah-daerah di sekitarnya."
"Ya, kakang. Kakang Untarapun akan segera bersiap-siap pula. Bahkan mungkin kakang Untara akan memikirkan kemungkinan untuk menyelenggarakan pertahanan bersama. Namun tentu saja kakang Untara akan mengirimkan petugas-petugas sandinya lebih dahulu untuk mengetahui, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh prajurit Demak di Sima, yang aku yakin dalam satu dua hari ini, kekuatan Demak di Sima itu tentu sudah semakin bertambah."
"Baik, adi. Aku akan membuat hubungan dengan kakang Untara."
"Mungkin juga Ki Widura. Meskipun padepokan itu kecil, namun ada beberapa orang berilmu yang ada di dalamnya. Mungkin padepokan kecil itu akan dapat membantu jika terpaksa kakang Swandaru dan kakang Untara mengadakan perlawanan."
"Ya. Aku tahu, bahwa padepokan kecil itu menyimpan tenaga yang sangat besar."
Untuk beberapa saat mereka masih berbincang-bincang di pringgitan. Beberapa saat kemudian seorang pembantu di rumah Ki Demang itu telah menghidangkan minuman hangat dan bahkan dengan beberapa potong makanan.
Baru kemudian Swandarupun berkata, "Adi berdua. Kami akan mempersilahkan adi berdua. Kami akan mempersilahkan adi berdua nanti beristirahat di gandok sebelah kanan. Namun sebelumnya, mungkin adi masih akan pergi ke Pakiwan dan setelah itu kami akan mempersilahkan adi berdua makan malam. Sebenarnya kami telah makan malam sebelum adi berdua datang. Tetapi nanti kami akan menemani adi berdua makan."
"Terima kasih, kakang."
Demikianlah maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah dibawa ke gandok sebelah kanan. Sebuah bilik yang cukup luas dan bersih telah disiapkan bagi mereka berdua.
Bergantian keduanyapun kemudian telah pergi ke pakiwan. Baru kemudian mereka duduk di ruang dalam untuk makan malam.
Sambil makan, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat bercerita lebih terperinci tentang kekuatan prajurit Demak, orang-orang dari perguruan Kedung Jati serta para Wiratani yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
"Meskipun demikian, aku tetap saja menganggap sikap Kanjeng Adipati Demak itu aneh. Kangjeng Adipati Demak yang sebelumnya juga berada di Mataram itu tentu tahu kekuatan Mataram yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin Kangjeng Adipati Demak berani melawan Mataram."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Meskipun aku tidak melihat sendiri, tetapi keterangan adi Glagah Putih dan Rara Wulan dapat memberi gambaran yang jelas tentang keadaan terakhir menyangkut hubungan Demak dan Mataram. Jika Kangjeng Adipati Demak melakukan sebagaimana dilakukannya sekarang, mungkin Kengjeng Adipati telah diracuni oleh pendapat orang-orang yang berpengaruh di Demak."
"Ya, kakang. Antara lain Kangjeng Adipati berada di bawah pengaruh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Bahkan mungkin masih ada orang-orang lain yang mempengaruhinya dan memberikan gambann yang salah tentang keadaan yang sebenarnya di Demak dan Mataram. Yang pengaruhnya tidak dapat diabaikan adalah pengaruh Ki Saba Lintang. Agaknya Ki Saba Lintang telah bekerja sama dengan para Tumenggung yang mempunyai kepentingan pribadi jika terjadi benturan antara Mataram dan Demak. Bahkan mungkin pula orang-orang yang telah mempengaruhinya itu memberikan keterangan yang salah tentang sikap para Adipati di daerah Timur, seakan-akan para Adipati itu akan bergerak serentak jika Demak bergerak."
"Agaknya memang demikian adi Glagah Putih. Tetapi bagaimanapun juga, pemberitahuan adi Glagah Putih itu akan sangat berarti bagi kami di Sangkal Putung. Kami akan dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi kemungkinan apapun juga. Jika pasukan Demak yang kuat itu akan menuju ke Mataram dan membuat pijakan kekuatan dengan menaklukkan Pajang, maka kita disini harus benar-benar menyusun kekuatan. Mungkin kami harus bekerja sama dengan kakang Untara, dengan paman Widura dan kekuatan-kekuatan lain yang ada di sekitar daerah ini. Tetapi tentu itu belum cukup."
"Pasukan Mataram akan bergerak dengan cepat, kakang. Setidak-tidaknya pasukan berkuda akan dapat bergerak lebih dahulu. Tetapi bahwa Demak masih ada di Sima sekarang, sementara itu Demak masih harus memperhitungkan kekuatan Pajang yang ternyata cukup besar, maka kita masih mempunyai waktu untuk menyusun diri. Mungkin Mataram sempat memberikan perintah dan petunjuk-petunjuk ke Sangkal Putung dan daerah di sekitarnya. Untunglah bahwa di Sangkal Putung sudah tersusun pasukan pengawal sejak semula, sehingga kita tidak usah membentuknya dan melakukan latihan-latihan lagi."
"Tetapi mungkin kademangan-kademangan di sekitar Sangkal Putung masih harus dibangunkan lagi, adi. Tetapi itu tidak akan terlalu lama. Tentu lebih lama untuk menyusun pasukan Wiratani sebagaimana dilakukan oleh Demak di Gunung Kendeng dan bahkan di Sima."
Glagah Putihpun mengangguk-angguk.
Demikianlah pembicaraan merekapun masih berkepanjangan. Bahkan setelah mangkuk-mangkuk nasi dan mangkuk-mangkuk yang dipergunakan untuk makan malam itu sudah disingkirkan, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berbincang dengan Swandaru dan Pandan Wangi.
Namun setelah malam menjadi semakin larut, Swandarupun berkata, "Adi berdua, silahkan adi berdua beristirahat. Adi berdua tentu letih. Apalagi besok adi berdua akan melanjutkan perjalanan ke Mataram. Karena itu, maka silahkan ke bilik di gandok."
"Terima kasih, kakang. Kami justru mulai merasa letih, setelah kami duduk beristirahat, mandi dan makan. Mudah-mudahan esok kami tidak menjadi malas untuk melanjutkan perjalanan."
"Untuk mempercepat perjalanan adi, serta mengurangi rasa letih, adi berdua dapat mempergunakan kuda-kuda kami."
"Terima kasih, kakang. Mungkin kuda-kuda itu diperlukan disini."
"Masih ada yang lain."
"Terima kasih. Biarlah, kami berjalan kaki saja esok pagi."
Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat tidur nyenyak. Mereka tahu, bahwa ada beberapa anak muda yang meronda di gardu di depan rumah Ki Demang Sangkal Putung. Apalagi menurut Swandaru, Sangkal Putung sampai hari itu masih aman-aman saja.
"Kita tidak usah berjaga-jaga bergantian. Anak-anak muda di gardu itu akan meronda sampai pagi," berkata Glagah Putih.
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja sambil membaringkan tubuhnya di sebuah amben yang cukup besar bagi mereka berdua.
Sebelum matahari terbit, keduanya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Keduanya sudah mandi dan berbenah diri.
Namun ternyata bahwa Swandaru dan Pandan Wangipun telah bangun pula. Ketika kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri, maka Pandan Wangipun sempat mempersilahkan keduanya untuk minum minuman hangat lebih dahulu.
Dalam pada itu, Ki Demang yang sudah menjadi semakin tua sempat menemui Glagah Putih dan Rara Wulan sebentar menjelang keberangkatan mereka ke Mataram.
Demikianlah, menjelang matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkan Sangkal Putung. Mereka tidak lagi akan singgah di mana-mana. Mereka akan langsung pergi ke Mataram melalui jalan yang terbiasa ditempuh oleh orang-orang yang bepergian ke Mataram.
Jalan itupun sudah menjadi ramai meskipun hari masih pagi. Sudah banyak orangyang turun ke jalan. Ada yang pergi ke pasar, tetapi ada pula yang nampaknya akan menempuh perjalanan jauh sebagaimana Glagah Putih dan Rara Wulan.
Meskipun jarak antara Sangkal Putung sampai ke Mataram cukup jauh, tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan, yang telah menempuh perjalanan dari Demak, merasa bahwa mereka sudah hampir sampai ke tujuan. Apalagi jalan yang dilewatinya adalah jalan yang sudah sering kali di lewatinya. Mereka akan melewati Gondang, kemudian Taji, Prambanan dan melew ati jalan yang meskipun sudah terhitung ramai, tetapi masih saja dianggap gawat adalah jalan yang melewati Alas Tambak Baya.
Tetapi di siang hari, orang tidak lagi merasa segan untuk melewati jalan itu, karena pada masa-masa terakhir, hampir tidak pernah terjadi tindak kejahatan yang dilakukan siang hari.
Glagah Putih dan Rara Wulan berharap, jika tidak terjadi hambatan di perjalanan, mereka akan sampai di Mataram pada sore hari. Mereka akan dapat langsung menghadap Ki Patih Mandaraka.
Ketika keduanya meninggalkan Sangkal Putung, matahari masih belum memancarkan sinarnya. Namun kemudian, cahayanyapun mulai menyentuh mega-mega di langit. Kemudian turun mengusap ujung pepohonan.
Masih terdengar kicau burung liar yang hinggap di pepohonan yang tinggi. Sementara sekelompok burung bangau terbang dalam tatanan yang rapi menuju ke Barat.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun nampak segar pula di cerahnya pagi hari. Apalagi mereka telah sempat minum-minuman hangat sebelum mereka meninggalkan rumah Ki Demang di Sangkal Putung.
Menjelang tengah hari, keduanya telah menempuh perjalanan yang jauh. Mereka telah melewati lebih dari separo perjalanan. Sementara langitpun menjadi semakin panas oleh cahaya matahari yang hampir mencapai puncaknya.
Sebelum mereka sampai di alas Tambak Baya, maka keduanyapun sempat singgah di sebuah kedai yang tidak terlalu besar. Tetapi kedai itu terhitung ramai. Agaknya orang-orang yang menempuh perjalanan untuk memasuki alas Tambak Baya sebagian telah berhenti di kedai itu pula.
Di senja hari, di kedai itu terdapat beberapa orang yang siap mengantar orang-orang yang akan melewati alas Tambak Baya di malam hari. Tetapi siang hari, orang-orang yang lewat alas Tambak Baya tidak memerlukan pengantar lagi, karena jalan yang menerobos alas Tambak Baya itu sudah menjadi semakin ramai.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang lebih senang duduk di sudut jika mereka singgah di kedai, ternyata sudah tidak lagi mendapat tempat yang kosong di sudut. Karena itu, maka merekapun telah duduk hampir di tengah-tengah. Di sebuah lincak panjang, yang diujungnya telah duduk seorang laki-laki separo baya. Rambutnya sudah nampak berwarna dua. Demikian pula kumisnya yang lebat menyilang dibawah hidungnya. Tetapi tubuhnya masih nampak kekar dan sikap-nyapun masih tetap tegar.
Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah kehabisan tempat itu berniat duduk di sebelahnya, maka orang itupun bergeser. Dengan ramah iapun mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan duduk.
Demikian keduanya duduk, maka orang itupun bertanya, "Kalian akan pergi ke mana. Ki Sanak?"
"Kami akan pergi ke Mataram," jawab Glagah Putih.
"Kalian datang dari mana ?"
"Kami dari Sangkal Putung."
"Apakah kalian tinggal di Sangkal Putung ?"
"Tidak. Kami tinggal di Jati Anom. Tetapi seorang saudara kami tinggal di Sangkal Putung."
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Orang itupun segera sibuk menikmati minuman dan makanan yang dipesannya.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang yang berada di kedai itu sedang makan dan minum, tiba-tiba saja dua orang laki-laki yang nampak garang memasuki kedai itu.
Untuk beberapa saat ia mengamati tempat duduk yang sudah penuh itu. Yang masih adalah tempat duduk yang terselip-selip di antaranya orang-orang yang telah lebih dahulu duduk di kedai itu.
Dengan garang seorang di antara merekapun berteriak kepada pemilik kedai, "He, di mana aku harus duduk ?"
"Maaf Ki Sanak," sahut pemilik kedai itu, "tempat kami memang sangat terbatas."
"Setan kau. Kenapa kedaimu tidak kau perluas ?"
"Biasanya tempat duduk di kedai ini tidak sampai penuh seperti ini, Ki Sanak."
"Suruh dua orang di antara mereka pergi."
Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Dengan gelisah iapun menjawab, "Mana mungkin aku mengusir orang-orang yang sedang membeli makan dan minuman dikedai ini. Ki sanak."
"Aku tidak peduli."
"Semuanya tentu belum selesai. Jika sudah selesai, maka mereka akan dengan sendirinya meninggalkan kedai ini."
"Usir dua orang pembeli di kedaimu."
"Kau dengan " "orang yang lain itupun berteriak.
Seorang yang duduk tidak jauh dari kedua orang yang berdiri di depan pintu itu berkata, "Baik. Baik Ki Sanak. Silahkan, aku sudah selesai."
Orang itupun kemudian bangkit berdiri. Ia menggamit kawannya yang juga segera berdiri.
Sekali lagi orang yang berdiri itupun berkata, "Silahkan, Ki Sanak."
Tetapi seorang diantara mereka itupun menggeram sambil melangkah mendekati pemilik kedai yang sedang sibuk."
"Tidak mau mendengar perintahku, he ?"
"Ki Sanak. Dua orang itu sudah selesai makan dan minum. Silahkan duduk."
"Tetapi mereka pergi atas kehendak mereka sendiri. Seandainya mereka tidak pergi, maka kalian sangat meremehkan aku. Kalian tidak mendengarkan perintahku untuk mengusir dua orang pembeli."
"Aku sudah melakukannya. Dua orang itu sudah bangkit berdiri dan mempersilahkan kalian duduk."
"Tutup mulutmu. Aku tidak berbicara tentang kedua orang yang hampir berdiri atas kemauan mereka sendiri. Aku ingin mengatakan, bahwa kau telah sangat meremehkan kami, sehingga kau tidak mau melakukan perintah kami."
"Aku tidak tahu maksud Ki Sanak berdua. Ki Sanak berdua ingin dua tempat duduk. Dan dua tempat duduk itu sudah disediakan. Silahkan."
"Cukup. Aku tidak berbicara tentang tempat duduk. Tetapi aku mau kau melakukan segala perintahku, kau dengar."
Pemilik kedai itu terdiam. Seorang dari kedua orang itupun membentak, "Sekarang, suruh orang orang yang membeli makan dan minum di kedaimu ini pergi semuanya. Kau dengar."
"Bukankah itu tidak mungkin Ki Sanak. Mereka sedang makan dan minum. Bahkan ada yang baru saja kami layani, sehingga mereka baru mulai makan dan minum. Bagaimana mungkin aku minta mereka pergi."
"Aku tidak peduli. Dengar perintahku. Sebentar lagi, aku akan menerima tiga orang tamu. Kau harus melayani tiga orang tamuku itu dengan sangat baik. Karena itu, sekali lagi aku perintahkan, kosongkan kedai ini sekarang juga."
"Tidak mungkin," jawab pemilik kedai itu.
"Aku akan menghitung sampai sepuluh. Jika sampai sepuluh hitungan kedaimu belum kosong, maka akulah yang akan mengusir mereka."
Wajah pemilik kedai itu menjadi sangat tegang. Sementara itu, seorang diantara kedua orang itu mulai menghitung, "satu."
Tetapi pemilik kedai itu memotongnya, "Kau tidak usah menghitung sampai sepuluh. Sekarang kau mau apa " Aku tidak akan mengusir mereka. Aku justru akan mengusir kalian berdua."
Kedua orang itupun terkejut. Apalagi ketika pemilik kedai itupun kemudian bertolak pinggang sambil melangkah mendekat.
"Kau berani melawan kami berdua ?"
"Sebenarnya aku tidak ingin berselisih dengan siapapun. Aku mencari makan dengan membuka kedai ini. Sejak bertahun-tahun aku berusaha untuk mengikat langganan-langgananku agar mereka tidak pergi meninggalkan kedaiku. Bahkan jika mungkin aku berusaha mendapatkan langganan baru. Tiba-tiba saja kalian berdua datang untuk merusak usahaku yang sudah bertahun-tahun itu."
"Diam. Diam. Aku sobek mulutmu nanti."
Tetapi pemilik kedai itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia justru berteriak sambil menunjuk pintu kedainya, "Keluar dari kedai ini, atau aku akan melemparkan kalian seperti melempar kucing sakit-sakitan."
Kedua orang yang berwajah garang itu menjadi sangat marah. Seorang diantaranya, demikian marahnya sehingga kata-katanya terasa tidak lagi runtut, "Kau berani melawan kami berdua, he. Kau kira aku ini siapa " Kau kira kau ini siapa ?"
"Persetan dengan kalian berdua. Pergi."
Seorang diantaranya hampir saja menganyunkan tangannya. Tetapi pemilik kedai itupun berkata, "Jika kalian ingin berkelahi, mari, turun ke halaman."
Pemilik kedai itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera melangkah keluar kedainya dan turun ke halaman. Sementara itu ia masih sempat berpesan kepada pelayannya, "Layani yang lain dengan sebaik-baiknya. Siapkan pesanan mereka. Biar aku menghajar kedua orang yang tidak tahu aturan ini."
Kedua orang berwajah garang itu benar-benar merasa terhina. Karena itu, demikian keduanya turun di halaman, maka seorangpun berkata, "Bersiaplah. Aku akan melumatkanmu."
"Kalau kau melumatkan aku. tidak akan ada yang dapat melayani tamu-tamu yang kau katakan akan datang itu."
Kedua orang berwajah garang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang berkata, "Aku tidak peduli. Aku ingin tubuhmu menjadi salah satu anak tangga di pintu kedaimu itu."
Dengan garang pula orang itu menyerang. Tangannya terayun mendatar mengarah ke kening pemilik kedai itu.
Namun ternyata dengan tangkas pemilik kedai itu menghindar, bahkan dengan tangkas pula kakinya terjulur lurus.
Orang yang menampar keningnya tetapi luput itu sama sekali tidak mengira, bahwa pemilik kedai itu dengan serta-merta telah membalas menyerangnya. Karena itu, maka iapun justru terdorong beberapa langkah surut ketika kaki pemilik kedai itu mengenai lambungnya.
Orang yang terdorong surut itu mengumpat kasar. Kawannya dengan tiba-tiba telah meloncat menerkam dada pemilik kedai itu. Namun pemilik kedai itu masih sempat pula mengelak.
Demikian, beberapa saat kemudian, pemilik kedai itu telah bertempur dengan sengitnya melawan dua orang berwajah garang yang berlaku semena-mena di kedainya itu.
Beberapa orang yang berada di kedai itupun tidak lagi dapat duduk tenang. Merekapun telah keluar dari kedai itu. Mereka tidak ingin tersangkut dalam persoalan yang tidak di mengertinya itu.
Yang belum membayar makan dan minumannya, telah menitipkan uang kepada pelayan kedai itu sebelum mereka menyingkir.
Meskipun demikian, orang-orang itu tidak menyingkir terlalu jauh. Mereka masih ingin melihat apa yang akan terjadi kemudian dengan pemilik kedai itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah keluar dari kedai itu pula. Tetapi mereka tidak pergi terlalu jauh. Mereka berdiri di sudut kedai itu untuk menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit.
Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak mengira, bahwa ternyata pemilik kedai itupun memiliki ilmu yang memadai. Meskipun ia harus bertempur melawan dua orang yang ujudnya sangat garang, namun ternyata bahwa ia mampu mengimbangi keduaorang lawannya itu. Bahkan semakin lama semakin nampak, betapa kedua orang yang garang itu menjadi semakin terdesak.
Kedua orang yang berwajah garang itupun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tetapi pemilik kedai itu setiap kali mampu mendesak mereka. Serangan-serangannya semakin sering mengenai sasarannya sehingga kedua orang itu beberapa kali terdorong surut.
Meskipun sekali-sekali pemilik kedai itu dapat juga dikenai oleh kedua orang-orang yang garang itu, namun ternyata bahwa pemilik kedai itu semakin lama semakin menguasai arena pertempuran.
Ketika seorang diantara kedua orang itu terlempar dan jatuh di tanah, maka seorang yang lain telah meloncat dengan kaki terjulur. Tetapi pemilik kedai itu justru mampu menangkap pergelangan kaki lawannya dan sekaligus memilinnya.
Terdengar orang itu berteriak kesakitan. Untunglah bahwa kawannya yang terpelanting itu sudah sempat bangkit dan langsung menyerang punggung pemilik kedai itu.
Hentakkan yang keras telah melemparkan pemilik kedai itu, sehingga iapun jatuh berguling di tanah. Untunglah bahwa ia dengan cepat menguasai tubuhnya sehingga ia tidak jatuh terjerembab.
Namun dengan demikian, maka pergelangan kaki lawannya justru telah terlepas.
Kedua orang yang garang, yang tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa pemilik kedai itu sulit ditundukkan, justru telah menarik senjata mereka. Kedua-duanya membawa sebilah golok yang besar dan berat.
Pemilik kedai yang melihat kedua lawannya telah menggenggam senjata, segera berteriak, "Pedangku. Cepat."
Pelayan kedai itupun tanggap akari keadaan. Iapun segera berlari mengambil pedang yang disangkutkan di dinding kedai itu. Kemudian pelayan itupun meloncat ke arena untuk menyerahkan pedang itu kepada pemilik kedai itu.
"Bagus," berkata pemilik kedai itu, "aku juga pernah berlatih ilmu pedang."
Kedua orang berwajah garang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Keduanyapun segera meloncat menyerang bersamaan dari arah yang berbeda.
Namun pemilik kedai itupun bergerak dengan tangkas pula sehingga serangan keduanya tidak sempat menggoresnya.
Pertempuran bersenjata itupun menjadi semakin sengit. Ternyata pemilik kedai itupun memiliki ilmu pedang yang memadai untuk melawan dua golok di tangan lawan-lawannya.
Bahkan yang pertama-tama terluka adalah salah seorang dari orang berwajah garang itu. Sebuah goresan telah melukai pundaknya. Namun pemilik kedai itupun telah tergores pula lengannya oleh golok lawannya.
Demikianlah, pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru. Goresan demi goresan telah melukai ketiga orang yang sedang bertempur itu. Meskipun demikian, pemilik kedai itu masih saja menunjukkan perlawanan yang sangat menyulitkan kedua orang lawannya.
Bahkan lambat laun, kedua orang yang garang itu seakan-akan menjadi kebingungan karena apapun yang mereka lakukan, mereka tidak dapat segera menguasai lawannya. Bahkan darah telah membasahi pakaian mereka sebagaimana pakaian pemilik kedai itupun telah basah oleh darahnya pula.
Namun orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat tiga orang berkuda yang mendekati halaman kedai itu.
Ketiga orang berkuda itu telah mempercepat lari kuda mereka, demikian mereka melihat perkelahian di depan sebuah kedai yang dijanjikan untuk menerima kedatangan mereka.
Demikian ketiga orang berkuda itu berhenti di halaman, maka seorang diantara merekapun berteriak, "berhenti Ada apa" Kenapa kalian berkelahi ?"
Salah seorang dari kedua orang yang garang itupun menjawab disela-sela nafasnya yang terengah-engah- Pemilik kedai ini telah meremehkan kami, Raden. Itu berarti bahwa mereka telah meremehkan Raden pula."
"Apa yang telah dilakukannya.?"
Orang berwajah garang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata sambil memandangi pemilik kedai itu dengan tajamnya, "Orang ini telah menolak mengosongkan kedainya. Ia tidak mau mendengar perintahku meskipun aku sudah mengatakan, bahwa aku akan menerima tiga orang tamu terhormat."
"Jadi kau minta pemilik kedai ini mengusir orang-orang yang sedang membeli makan dan minum di kedainya ?"
"Ya. Bukankah Raden memerintahkan untuk menyiapkan tempat bagi Raden bertiga. Kemudian mungkin masih ada yang akan menyusul lagi ?"
Ketiga orang berkuda itu saling berpandangan sejenak. Seorang diantara mereka bertanya, "Jadi kau sudah membuat semacam wara-wara bahwa kami akan datang dan akan mengadakan pembicaraan disini."
"Tidak, Raden. Tidak."
Namun pemilik kedai itupun menyahut, "Sadar atau tidak sadar, namun demikianlah yang tersirat dari sikap dan kata-katanya. Tetapi siapakah Raden ini sebenarnya?"
"Bodoh kau," bentak orang berwajah garang itu, "Raden Suwasa adalah seorang yang sangat penting. Kedudukannya sangat tinggi. Jika kau tahu, maka kau tentu akan pingsan karenanya."
"Tanah ini adalah tanah Mataram. Apakah Raden ini juga seorang pemimpin dari Mataram?"
"Mataram akan segera dikubur," geram salah seorang vang berwajah garang itu.
Namun tiba-tiba saja tangan orang yang disebut Raden Suwasa itu telah menyambar mulutnya, sehingga orang yang berwajah garang, yang tubuhnya sudah dilukai oleh pemilik kedai itu terkejut sekali. Orang itu terdorong beberapa langkah surut.


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Raden," orang itu menjadi keheranan.
"Kalian memang orang-orang dungu. Sekarang, ikut kami."
"Kemana ?" "Ada sesuatu yang ingin aku beritahukan kepada kalian berdua," berkata orang yang disebut Raden Suwasa itu.
Kedua orang itu termangu-mangu. Namun Raden Suwasa itu membentak mereka, "Ikut kami."
Keduanya tidak sempat bertanya lagi. Keduanyapun segera berlari-lari di belakang ketiga orang berkuda yang melarikan kudanya tidak begitu kencang, agar orang-orang yang berlari-lari kecil itu tidak harus mengerahkan tenaganya terlalu banyak.
Akhirnya merekapun hilang dari penglihatan orang-orang yang berada di sekitar kedai itu.
Sementara itu, Glagah Putih dan kara Wulanpun memperhatikan peristiwa itu dengan sungguh-sungguh. Demikian orang-orang itu pergi, maka Glagah Putihpun berdesah, "Kedua orang yang berwajah garang yang tidak mampu mengalahkan pemilik kedai itu nampaknya dua orang yang sangat menarik perhatian. Mereka dianggap oleh ketiga orang berkuda itu sebagai orang-orang dungu."
"Ya. Mereka memang orang-orang dungu," sahut Rara Wulan, "agaknya orang yang disebut Raden Suwasa itu seorang petugas sandi. Tetapi kedua orang berwajah garang itu tidak tahu, bagaimana mereka harus menyambut dan memperlakukan petugas sandi. Agaknya Raden Suwasa itu seorang petugas sandi dari Demak."
"Kita harus mencari kedua orang itu. Jika kita dapat menemukan mereka, mungkin kita dapat menelusuri jaringan petugas sandi dari Demak atau dari perguruan Kedung Jati."
"Kemana kita akan mencari mereka ?"
"Apakah kau siap untuk melangkah ke lintasan berbahaya hari ini."
"Bukankah kita sudah siap sejak kita berangkat "
"Maksudku, jika kita mencoba menelusuri jejak ketiga ekor kuda itu, maka kita sengaja memasuki daerah berbahaya."
"Aku siap kakang."
"Baiklah. Marilah kita mencoba mencari jejak kaki ketiga ekor kuda itu. Kita akan mengikuti ke mana saja jejak itu pergi."
"Kalau jejak itu menuju ke sarang petugas sandi dari Demak di sekitar tempat ini" Bukankah dengan demikian kita terjebak sehingga mudah bagi mereka untuk menangkap kita dan kemudian memperlakukan kita tidak selayaknya."
"Itulah maksud pertanyaanku. Apakah kita sudah siap jika kita masuk ke dalam jebakan mereka ?"
"Apa boleh buat. Jika kita benar-benar terperosok ke dalam jebakan mereka, maka kita akan mengerahkan segenap kemampuan kita Bukankah begitu, kakang?"
"Ya. Kita tidak mempunyai pilihan lagi." Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian berusaha untuk menemukan jejak kaki kuda yang terbaru. Keduanyapun kemudian mengikuti jejak itu. Selain jejak kaki kuda, juga jejak kedua orang garang yang mengikuti jejak ketiga ekor kuda itu.
Beberapa lama mereka menelusuri jejak itu. Di sebuah tikungan kuda-kuda itu telah berbelok mengikuti sebuah lorong sempit yang panjang."
"Mungkin kita akan berjalan jauh, kakang," berkata Rara Wulan.
"Mungkin. Tetapi kedua orang berwajah garang itu juga hanya berjalan kaki. Mudah-mudahan perjalanan yang mereka tempuh tidak terlalu jauh."
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itupun terkejut ketika mereka melihat dua sosok mayat yang terbaring di jalan sempit itu.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun cepat-cepat mendekati kedua sosok mayat itu. Namun Glagah Putihpun kemudian berdesis, "Hati-hati Rara. Aku mendapat firasat kurang baik. Agaknya kita sedang diawasi."
"Ya, kakang. Tentu ada yang melihat kita mengikuti jejak orang-orang berkuda itu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berjongkok di sisi mayat yang terbaring di tengah jalan kecil itu.
"Dua orang yang berada di kedai itu. Yang membunuh, tentu orang yang disebut Raden Suwasa, yang tadi nampak sangat kecewa terhadap sikap kedua orang yang justru terlalu menghormatinya. Tetapi kedua orang itu memang dungu, sehingga mereka tidak tahu, bagaimana mereka menyikapi para petugas sandi. Bahkan agaknya kedua orang itu justru berbangga, bahwa mereka mengenal para petugas sandi dari Demak."
"Mereka tentu dari Demak atau orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Salah seorang diantara kedua orang ini mengatakan bahwa Mataram sudah akan dikubur."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun telinga mereka yang sangat tajam apalagi jika mereka mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, mendengar desir lembut di belakang gerumbul-gerumbul perdu di sekitar mereka.
Karena itu, Glagah Putihpun memberikan isyarat kepada Rara Wulan yang agaknya juga sudah menduga, bahwa ada beberapa orang sedang merayap mendekat.
Sebenarnyalah, ketika terdengar aba-aba dari belakang rumpun perdu, beberapa orang telah bangkit berdiri. Mereka berada di segala arah, mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kita memang tidak mempunyai pilihan, kakang," desis Rara Wulan.
"Ya. Jika mereka bertindak kasar, maka apabileh buat."
Demikianlah, seorang diantara mereka yang mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan itupun bertanya, "Siapakah kalian ?"
Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera bangkit berdiri. Orang yang disebut Raden Suwasa itupun ada pula diantara mereka.
Sekali lagi orang yang rambutnya sudah mulai memutih, yang berdiri di sebelah Raden Suwasa itupun bertanya, "Siapakah kalian ?"
"Kami orang dari Jati Anom. Kami sedang mencari dua orang paman kami yang sudah lama pergi sampai sekarang belum kembali."
"Jadi kenapa kau mengikuti kami ?"
"Kami mengira, bahwa salah seorang dari kedua orang yang tadi mengikuti kalian adalah pamanku. Kami mencoba menelusuri jejak mereka. Tetapi kami menemukan mereka berdua terbaring disini."
"Apakah benar bahwa salah seorang dari kedua orang itu pamanmu?"
"Ternyata bukan, Ki Sanak. Kedua-duanya bukan pamanku. Karena itu, aku tidak berkepentingan dengan mereka."
"Sekarang kalian mau apa ?" bertanya orang yang disebut Raden Suwasa.
"Tidak apa-apa. Kami akan pergi."
"Kalian tinggalkan kedua sosok mayat itu begitu saja ?"
"Jadi. apa yang harus kami lakukan ?"
"Begitu enaknya kalian membunuh orang lalu kau tinggalkan begitu saja."
"Membunuh " Raden mengatakan bahwa kami telah membunuh keduanya."
"Ya. Jika bukan kalian lalu siapa " Yang ada disini hanya kalian berdua."
"Kami menemukan sosok mayat ini sudah terbaring disini. Raden. Seandainya kami datang sebelum mereka mati, apakah kami mampu membunuh mereka berduii. Mereka adalah orang-orang yang nampaknya garang."
"Tetapi mereka sudah terluka saat mereka berkelahi dengan pemilik kedai itu. Luka mereka tentu parah. Agaknya keduanya beristirahat disini ketika kalian datang dan membunuh keduanya yang sudah tidak berdaya."
"Bukankah keduanya tadi ikut bersama Raden. Mereka berlari-lari kecil mengikuti kuda Raden."
"Aku tinggalkan mereka di simpang tiga. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka. Justru karena mereka terlalu parah dan tidak mampu lagi mengikuti kuda-kuda kami."
"Tetapi kenapa tiba-tiba saja Raden sekarang berada di sini " Bukankah Raden dengan sengaja menunggu kami, karena Raden atau orang-orang Raden melihat kami menelusuri kaki kuda Raden yang masuk ke lorong ini " Tetapi ternyata Raden sudah membunuh kedua orang ini dan Radenpun menunggu kami berdua. Tentu tidak sekedar mencari kambing hitam, siapakah yang telah membunuh kedua orang ini, karena Raden dapat meninggalkan mereka tanpa dapat ditemukan oleh siapapun. Jika Raden menjebak kami, maka tentu Raden mempumai maksud yang lain."
Raden Suwasa itu tersenyum. Katanya, "Dugaanku benar. Kalian bukan orang-orang dungu yang sedang mencari paman kalian di daerah ini. Tetapi kalian tentu berkepentingan justru karena kedunguan kedua orang itu."
"Berkepentingan apa maksud Raden ?"
"Kenapa kalian mengikuti kami " Jangan katakan bahwa kalian sedang mencari paman kalian, karena kebohongan itu tidak berarti sama sekali."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Aku hanya berbohong kepada orang-orang yang suka berbohong dan memfitnah."
"Apa maksudnya ?"
"Bukankah kau juga berbohong dan bahkan memfitnah jika kau menuduh aku telah membunuh kedua orang ini " Jangan katakan bahwa kau tidak tahu menahu tentang kematian mereka, karena kebohongan itu tidak akan berarti sama sekali."
"Gila. Kalian adalah orang-orang gila. Nah, sekarang kalian mau apa?"
"Kami akan pergi dari tempat ini."
"Cukup. Aku ingin mengoyak mulutmu itu."
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Kamipun akan melakukan apa yang ingin kami lakukan."
Orang yang disebut Raden Suwasa itu menjadi sangat marah. Dengan lantang iapun berkata, "Tangkap kedua orang ini, aku ingin mereka tertangkap hidup-hidup. Aku ingin mereka mengatakan, siapakah mereka sebenarnya."
"Kalau itu yang kau inginkan, kau tidak perlu menangkapku. Aku akan mengatakan kepadamu, bahwa aku adalah petugas sandi dari Mataram aku bekerja untuk Mataram. Akulah yang justru akan menangkapmu. Terutama orang yang bernama Raden Suwasa ini, aku ingin mendengar keteranganmu, apakah kau petugas sandi dari Demak atau dari perguruan Kedung Jati."
"Karena kalian berdua akan menjadi tawanan kami, maka kami akan berterus-terang karena kalian tentu sudah menduganya. Kami adalah petugas sandi dari Demak. Tetapi aku sendiri adalah murid dari perguruan Kedung Jati. Nah, sekarang kalian mengerti, dengan siapa kalian berhadapan."
"Bagus. Kaupun akan berhadapan dengan murid dari perguruan Kedung Jati. Namun yang akan kau hadapai adalah murid dari perguruan Kedung Jati yang sejati. Bukan murid perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Ia adalah pemimpin palsu yang akan menjerumuskan perguruan Kedung Jati ke dalam bencana dan kehancuran."
Raden Suwasa itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeram, "Kau telah memfitnah. Bukan kami yang telah memfitnah, tetapi kau."
"Jika kau katakan bahwa kami telah membunuh kedua orang ini, apakah itu bukan fitnah. Sedangkan kelakuanmu memang tidak mencerminkan sikap dan sifat murid perguruan Kedung Jati yang sejati. Karena itu, maka murid perguruan Kedung Jati yang sejati akan menangkapmu hidup atau mati."
"Persetan. Siapakah murid perguruan Kedung Jati yang kau maksud ?"
"Isteriku telah mengemban tugas dari perguruan Kedung Jati yang sejati. Ia harus membersihkan orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Mereka adalah orang-orang yang justru telah mencemarkan nama baik perguruan Kedung Jati yang sejati."
Raden Suwasa termangu-mangu sejenak. Ia pernah mendengar dari Demak, bahwa ada orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati yang justru memburu orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati. Seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.
"Apakah perempuan inilah yang dimaksud ?" bertanya Raden Suwasa itu didalam hatinya.
Namun Raden Suwasa anpun kemudian berkata kepada orang-orang yang bersamanya mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan, "Selesaikan mereka. Seperti perintahku tadi, tangkap mereka hidup-hidup. Aku ingin mendengarkan pengakuannya yang sebenarnya."
Demikianlah, maka beberapa orang yang mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan itupun mulai bergerak. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Rara Wulanpun telah menyingsingkan kain panjangnya sehingga iapun kemudian telah mengenakan pakaian khususnya.
Raden Suwasapun menjadi berdebar-debar. Menilik kesiapan perempuan itu, maka ia tentu seorang yang berilmu tinggi.
"Apakah benar ia mengemban tugas dari perguruan yang disebutnya perguruan Kedung Jati yang sejati ?" bertanya Raden Suwasa didalam hatinya.
Namun siapapun mereka, maka Raden Suwasapun yakin, bahwa orang-orangnya akan segera dapat menangkap kedua orang itu. Apalagi diantara mereka terdapat Ki Jayengwira Seorang diri Ki Jayengwira tentu akan dapat menangkap kedua orang yang mengaku petugas dari Mataram Kedua orang yang masih sangat muda itu, tentu masih belum memiliki pengalaman yang cukup dibanding dengan pengalaman Ki Jayengwira.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian berdiri saling membelakangi. Keduanya sudah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Sementara Glagah Putihpun berkata, "Jika perlu, kita akan sampai ke puncak ilmu kita."
"Ya, kakang. Tetapi sebelumnya aku ingin memperlihatkan, bahwa aku adalah murid dari perguruan Kedung Jati."
"Hati-hati Rara. Nampaknya orang ubanan ini memiliki ilmu yang tinggi. Biarlah aku menghadapi agar kau mempunyai kesempatan untuk menunjukkan aliran ilmu Kedung Jati."
Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, "Baik, kakang. Tetapi disamping orang itu masih ada beberapa orang yang lain."
"Mudah-mudahan mereka bukan orang-orang andalan yang berilmu sangat tinggi."
Dalam pada itu orang yang ubanan itupun melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan. Wajahnya memang tidak nampak seram sebagaimana kedua orang yang terbaring di jalan itu. Tetapi wajah itu nampak menyakitkan hati. Senyum di sudut bibirnya membayangkan sikapnya yang sangat meremehkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Menyerah sajalah," berkata orang itu, "tidak ada gunanya kalian memberikan perlawanan. Jika kalian merasa mampu melawan kami, maka kalian benar-benar sudah kehilangan kiblat. Otak kalian sudah terbalik, sehingga kalian tidak dapat melihat kenyataan."
"Kenyataan apa yang telah aku lihat?" bertanya Glagah Putih.
"Kenyataan tentang diriku, tentang kawan-kawanku dan tentang Raden Suwasa. Meskipun kau mampu terbang seperti elang atau menyambar-nyambar di rerumputan seperti sikatan, tetapi kau akan menelungkup di tanah. Punggungmu akan menjadi alas tempat Raden Suwasa itu berdiri. Kakinya tidak akan beranjak dari tubuhmu sebelum kau mengatakan, siapakah kalian sebenarnya sehingga kalian telah memberanikan diri mengikuti jejak kami."
"Aku kira kalian tidak tuli," sahut Glagah Putih, "sudah aku katakan, bahwa aku adalah petugas sandi dari Mataram."
"Petugas sandi dari Mataram tidak akan semuda kalian berdua. Mereka tentu dapat menempatkan dirinya, karena mereka mengemban tugas yang sangat penting. Sedangkan kalian justru berbangga berceritera kepada seseorang bahwa kalian adalah petugas sandi dari Matataram. Bukankah itu suatu tindakan bodoh?"
"Kalianlah yang berbangga diri mengatakan bahwa kalian adalah petugas sandi dari Demak bahkan orang yang kau sebut Raden Suwasa itu mengaku murid perguruan Kedung Jati."
"Kedua orang gila ini sudah membocorkannya. Karena itu mereka pantas mati."
Namun dalam pada itu, Raden Suwasapun berteriak, "Cepat. Tangkap keduanya. Kita tidak mempunyai banyak waktu."
"Baik, Raden," sahut Ki Jayengwira.
Ki Jayengwira itupun kemudian melangkah maju. Glagah Putih sengaja menempatkan diri dihadapannya, sementara Rara Wulan berdiri di belakangnya menghadap ke arah yang berlawanan. Ki Jayengwira itupun dapat melihat, bahwa kedua orang laki-laki dan perempuan itu nampaknya akan mampu bertempur dalam keija sama yang sangat rapi.
"Bersiaplah untuk mati," geram Ki Jayengwira. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Jayengwira itupun telah bergeser mendekati Glagah Putih, sementara yang lainpun telah bergerak pula. Dengan geram, Ki Jayengwira itupun kemudian meloncat menyerang Glagah Putih dengan kakinya. Tetapi Glagah Putih yang sudah siap menghadapinya itupun segera bergeser mengelak dengan cepat. Sementara Ki Jayengwira menyerang Glagah Putih, maka dua orang diantara mereka yang mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan itupun berloncatan menyerang Rara Wulan dari arah yang berbeda.
Namun dengan tangkasnya Rara Wulan menghindari serangan itu. Bahkan yang tidak diduga oleh orang-orang yang mengepungnya, dengan serta-merta Rara Wulanpun telah berloncatan, menyerang mereka seperti badai.
Seorang diantara mereka tidak sempat berbuat apa-apa ketika kaki Rara Wulan terjulur mengenai lambungnya. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian iapun jatuh terduduk di tanah. Sedangkan seorang yang lain dengan susah payah berloncatan surut menghindari tangan Rara Wulan yang terayun mendatar ke arah dadanya. Tetapi orang itu tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari garis serangan Rara Wulan, karena tangan Rara Wulan masih mengenai pundaknya.
Dengan demikian, maka pertempuranpun segera berkobar dengan sengitnya. Kedua belah pihak ingin segera menyelesaikan pertempuran itu secepatnya.
Namun ketika pertempuran itu berlangsung beberapa saat, Raden Suwasa benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia melihat perempuan yang bertempur bersama laki-laki yang masih terhitung muda itu, benar-benar mengetrapkan ilmu dari aliran Kedung Jati. Bahkan ilmunya nampak bersih dan semakin lama semakin rumit.
"Apakah benar seperti yang dikatakannya, bahwa perempuan itu murid perguruan Kedung Jati yang sejati?" pertanyaan itu semakin mengganggu perasaan Raden Suwasa.
Semakin cermat Raden Suwasa mengamatinya, maka semakin jelas, bahwa perempuan itu memiliki ilmu perguruan Kedung Jati pada tataran yang sangat tinggi.
Sementara itu, Glagah Putih yang sering berlatih bersama Rara Wulanpun mengenal unsur-unsur gerak dari perguruan Kedung Jati. Karena itu, maka di setiap kesempatan Glagah Putihpun dengan sengaja telah menunjukkan unsur-unsur gerak dari aliran perguruan Kedung Jnti itu.
"Gila," geram Raden Suwasa, "keduanya ternyata memiliki ilmu sangat tinggi, sehingga Ki Jayengwira itu tidak akan mampu menandinginya."
Tetapi Ki Jayengwira tidak sendiri. Ki Jayengwira bertempur bersama beberapa orang kawannya, sehingga Raden Suwasa itu masih berpengharapan, bahwa bersama-sama beberapa orang, Ki Jayengwira akan dapat menguasai kedua orang itu.
Pertempuranpun kemudian menjadi semakin sengit. Ki Jayengwira bersama tiga orang kawannya telah bertempur melawan Glagah Putih. Sementara itu, tiga orang yang lain bertempur melawan Rara Wulan, sehingga masing-masing akan bertempur sendiri-sendiri.
Agaknya usaha mereka itupun berhasil. Tiga orang diantara mereka mencoba menghentak Rara Wulan sedang yang lain menekan Glagah Putih ke arah yang berbeda.
Sebenarnyalah bahwa bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, tidak mempunyai banyak pengaruh apabila mereka bertempur berpasangan atau mereka harus bertempur terpisah yang satu dengan yang lain. Masing-masing dengan penuh percaya diri, akan menghadapi lawan mereka dengan cara apapun juga.
Jayengwira dengan ketiga orang kawannya itupun berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk menguasai Glagah Putih, Mereka menyerang dari arah yang berbeda-beda. Susul menyusul dengan cepat.
Namun Glagah Putih mampu bergerak lebih cepat dari mereka. Glagah Putih berloncatan dengan sigapnya. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara mereka telah terlempar dari arena. Tubuhnya terbanting jatuh di tanah. Demikian kerasnya, sehingga orang itu menyeringai kesakitan.
Iapun berusaha segera bangkit. Kedua tangannya menekan pinggangnya yang bagaikan menjadi patah.
"Gila orang ini. Iblis manakah yang telah menurunkan ilmu itu kepadanya," geram orang itu.
Namun sejenak kemudian, meskipun pinggangnya masih terasa sakit, iapun kembali memasuki arena pertempuran.
Tetapi demikian ia tampil lagi, maka seorang kawannya yang menjulurkan tangannya ke arah dada Glagah Putih sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Bahkan Glagah Putih dengan cepat menangkap tangan itu. Sambil memutar tubuhnya, Glagah Putih menarik tangan orang itu lewat di-atas pundaknya.
Orang itupun terangkat. Sekali tubuhnya melingkar diu-dara. Kemudian dengan derasnya terbanting di tanah.
Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Tetapi Ki Jayengwira dengan cepat menyerang Glagah Putih, sehingga Glagah Putih harus meloncat menghindar Sementara orang yang terbanting di tanah itu berusaha untuk dapat bangkit dan duduk di tanah.
Wajah orang itu masih menunjukkan, betapa ia merasakan kesakitan. Bahkan hampir saja ia tidak dapat lagi bangkit berdiri.
Ki Jayengwira yang merasa dirinya orang terbaik diantara kawan-kawannya telah berusaha menunjukkan bobot kemampuannya. Dengan garangnya ia menyerang. Jari-jarinya yang mengembang dengan kuku-kuku bajanya, sangat membahayakan bagi lawan-lawannya. Jika jari-jarinya yang mengembang itu sempat menyentuh wajah lawannya, maka wajah itupun akan mendapatkan empat goresan yang tajam, sehingga dagingnya akan terkoyak. Matanya akan dapat menjadi cacat atau bibirnya tersayat, atau telinganya terlepas.
Tetapi jari-jari Jayengwira dengan kuku-kuku bajanya itu masih belum berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih. Bahkan ketika Jayengwira itu meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi sambil menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka menerkam wajah Glagah Putih, maka Glagah Putihpun justru telah menyentuhkan dirinya. Kakinya yang bergerak dengan cepat, telah mengenai perut Jayengwira. Demikian telah terlempar keudara, terputar sekali, kemudian terbanting di tanah pada punggungnya.
Terdengar orang yang sudah ubanan itu mengaduh.
Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Namun demikian tertatih-tatih ia berdiri, Glagah Putih meluncur seperti anak panah. Kakinya terjulur dengan derasnya. Tanpa dapat dibendung lagi, maka kedua kaki Glagah Putih itu telah menghantam dada Jayengwira.
Sekali lagi Jayengwira itu terdorong surut. Tubuhnya terbanting jatuh dengan derasnya. Dadanya yang dikenai kedua kaki Glagah Putih itu bagaikan dihentak oleh sebongkah batu hitam.
Sekali lagi Jayengwira itu mengaduh. Namun darahpun telah mengalir dari sela-sela bibirnya. Agaknya Jayengwira itupun mengalami luka yang sangat parah.
Ketiga orang kawannya serentak menyerang Glagah Putih. Mereka bermaksud memberi kesempatan kepada Ki Jayengwira untuk berusaha memperbaiki keadaannya yang gawat.
Bahkan ketiga orang kawan Jayengwira itupun telah menggenggam senjata di tangan mereka sehingga karena itu, maka tiga batang senjata telah terjulur ke tubuh Glagah Putih.
Glagah Putih dengan tangkasnya berloncatan. Ketiga pucuk senjata itu sama sekali tidak ada yang dapat menyentuhnya.
Jayengwirapun berusaha untuk bangkit. Dengan lengan bajunya ia mengusap darah yang meleleh dari sela-sela bibirnya.
Kemarahan yang tidak tertanggungkan telah membuat jantungnya hampir meledak.
Karena itu dengan nafas yang terengah-engah iapun berteriak, "Bunuh orang itu."
Jayengwira tidak peduli lagi kepada perintah Raden Suwasa untuk menangkap Glagah Putih hidup-hidup. Tentu sulit, bahkan hampir tidak mungkin bagi Jayengwira dan ketiga orang kawannya untuk menangkap laki-laki itu hidup-hidup.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin sengit. Jayengwira dan ketiga orang kawannya itupun kemudian telah mengayun-ayunkan senjata mereka dengan cepat. Bergantian senjata-senjata itu terjulur, menebas, mematuk dari segala arah.
Namun keempat orang itupun terkejut pula, ketika tiba-tiba saja senjata-senjata mereka yang mereka andalkan itu membentur ikat pinggang orang yang mengaku sebagai petugas sandi dari Mataram itu.
"Benar-benar ilmu iblis," geram Jayengwira.
Sebenarnyalah senjata-senjata itu seakan-akan tidak berdaya melawan ikat pinggang di tangan laki-laki yang masih terhitung muda itu.
Setiap kali senjata-senjata mereka membentur ikat pinggang itu, maka rasa-rasanya senjata mereka itu telah membentur lempeng baja yang tebal.
Sementara itu, orang-orang yang bertempur melawan Rara Wulanpun telah mengalami kesulitan pula. Ketika kemudian mereka mempergunakan senjata-senjata mereka, maka Rara Wulanpun telah mengurai selendangnya pula.
Mula-mula lawan-lawannya tidak mengerti, apa yang akan dilakukan oleh Rara Wulan dengan selendangnya. Namun kemudian mereka sadari bahwa selendang itu merupakan senjata yang sangat berbahaya. Bahkan selendang itu dapat mematuk seperti ujung bindi bertangkai panjang.
-ooo0dw0ooo- Jilid 380 SATU-SATU lawan Glagah Putih itupun telah terlukai Ikat pinggang Glagah Putih itu selain dapat membentur senjata lawan seperti lempengan baja. ujungnya juga mampu menggores kulit lawan seperti ujung pedang yang sangat tajam.
Karena itu, maka Jayengwira dan ketiga orang kawannya itu semakin lama menjadi semakin terdesak.
Demikian pula. lawan-lawan Rara Wulan. Selendang Rara Wulan yang berputar itu, tiba-tiba telah terjulur mematuk dada. Rasa-rasanya dada lawannya yang tersentuh ujung selendang Rara Wulan itu bagaikan tertimpa sebongkah batu padas
Semakin lama keseimbangan pertempuran itupun menjadi semakin berat sebelah. Jayengwira dan kawan-kawannya tidak dapat lagi menghindari kenyataan, bahwa mereka tidak akan mampu mengatasi kedua orang yang mengaku petugas sandi dari Mataram itu.
Raden Suwasa menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Namun ternyata bahwa Raden Suwasa bukanlah seorang laki-laki yang bertanggungjawab. Dengan tegang ia menyaksikan bahwa Rara Wulan benar-benar mampu memperlihatkan, bahwa dirinya adalah murid dari perguruan Kedung Jati. Bahkan ilmunya adalah ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati pada tataran yang sangat tinggi. Bahkan laki-laki muda yang berjalan bersamanya itu, juga mampu menunjukkan bahwa ia juga menguasai ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati.
Karena itu. maka Raden Suwasa itupun menjadi semakin lama semakin berdebar-debar. Ia merasa tidak akan dapat mengimbangi tataran ilmu kedua orang itu. Bahkan ia-pun menjadi cemas, bahwa perempuan itulah yang kemudian justru akan menangkapnya, karena ia dianggap telah mencemarkan nama baik perguruan Kedung Jati yang sejati.
Karena itu. Raden Suwasa itupun tidak mempunyai pilihan lain. Dengan diam-diam selagi Jayengwira dan kawan-kawannya masih bertempur melawan kedua orang laki-laki dan perempuan yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati yang sejati itu, maka Raden Suwasapun telah meninggalkan arena.
Namun ketika beberapa saat kemudian terdengar derap kaki kuda yang berlari dari belakang segerumbul rumpun pohon perdu, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera menyadari, bahwa Raden Suwasa telah meninggalkan arena.
Glagah Putihlah yang lebih dahulu meloncat meninggalkan lawan-lawannya. Sekejap kemudian ia melihat Raden Suwasa di punggung kudanya dengan kecepatan tinggi telah turun ke lorong sempit itu.
Tetapi Glagah Putih tidak mau melepaskannya. Sebelum Raden Suwasa sempat lari meninggalkan arena, maka Glagah Putih yang ilmunya sudah benar-benar mapan itu, telah melepaskan ilmu puncaknya.
Glagah Putih tidak membidik Raden Suwasa. Ia juga tidak membidik kudanya. Tetapi Glagah Putih telah membidik dahan sebatang pohon yang cukup besar, yang tumbuh di pinggir jalan itu.
Dalam waktu sekejap maka seleret sinar telah meluncur mengenai dahan pohon yang cukup besar itu, sehingga dahan itupun gemeretak patah.
Dahan itupun telah jatuh melintang di jalan yang kecil itu. Demikian tiba-tiba sehingga Raden Suwasa tidak mampu menguasai kudanya.
Glagah Putih sendiri tidak menghendaki bahwa kuda Raden Suwasa yang tidak terkendali itu kakinya menerpa dahan kayu yang patah dan melintang di jalan itu. Sementara kuda itupun berlari dengan kencangnya.
Yang tidak dikehendaki itupun ternyata telah terjadi. Kuda Raden Suwasa yang berlari kencang serta terkejut sekali karena tiba-tiba saja dahan kayu yang besar itu tumbang, maka kuda itupun telah melanggar dahan kayu yang melintang itu.
Kuda itupun terpelanting dengan kerasnya. Sementara Raden Suwasa telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya yang melayang itupun telah membentur sebatang pohon yang lain yang tumbuh di pinggir jalan kecil itu sehingga pohon itu bergetar.
Jayengwira dan kawan kawannya sempat melihat Raden Suwasa itu terlempar dari punggung kudanya. Karena itu, hampir berbareng sebagian dari mereka telah berlari memburunya. Sementara itu. beberapa orang yang lain sudah tidak mampu lagi bangkit berdiri.
Jayengwirapun kemudian telah berjongkok di sebelah tubuh Raden Suwasa. Demikian pula kawan-kawannya yang mampu melangkah mendekatinya.
"Raden," desis Jayengwira.
Namun Raden Suwasa itu sudah tidak mampu lagi menjawab. Tubuhnya terkulai lemah. Darahpun telah meleleh dari sela-sela bibirnya.
Raden Suwasa itu telah meninggal.
Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-niangu. Sejenak mereka berdiam diri. Namun kemudian Glagah Putihpun melangkah mendekati Jayengwira itu sambil berdesis, "Raden Suwasa itu telah meninggal."
"Ya. Ki Sanak."
"Sebenarnya aku tidak ingin membunuhnya. Aku hanya berniat menghalangi agar ia tidak meninggalkan tempat ini. Tetapi inilah yang terjadi," Glagah Putihpun berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata pula, "Sekarang, bagaimana dengan kalian" Apa yang akan kalian lakukan" Apakah kalian akan menuntut balas atas kematian pemimpinmu itu?"
"Kami sudah tidak berdaya. Ki Sanak. Terserah kepada Ki Sanak Apa yang akan Ki Sanak lakukan terhadap kami."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Jika demikian, maka aku akan membawamu ke Mataram."
"Ke Mataram?" bertanya Jayengwira dengan wajah yang tegang.
"Ya. Kau akan kami bawa ke Mataram. Bukankah Mataram sudah tidak jauh lagi?"
"Kenapa kami tidak kalian bunuh saja di sini" Bukankah kalian berhak membunuhku" Aku sudah siap membunuhmu, sehingga karena itu, maka kaupun dapat membunuhku pula."
Tetapi Glagah Putih menggeleng. Katanya, "Tadi kau dengar Raden Suwasa memerintahkan kepadamu untuk menangkap aku hidup-hidup. Sekarang kaupun tentu tahu, kenapa aku ingin membawamu ke Mataram hidup-hidup."
"Orang-orang Mataram akan memeras keterangan dari mulutku."
"Tentu. Kaupun harus siap menghadapi pemeriksaan seperti itu. Karena itu, lebih baik kau berkata berterus-terang, sehingga kau tidak akan mengalami perlakuan yang buruk."
Jayengwira tidak dapat mengelak lagi. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak akan mampu melawan kemauan orang yang mengaku petugas sandi dari Mataram itu.
Sementara itu Glagah Putihpun berkata, "Aku akan membawamu dan seorang lagi diantara kalian ke Mataram. Yang lain akan aku tinggalkan. Biarlah mereka mengurus kawan-kawan mereka, serta Raden Suwasa yang terbunuh."
Kawan-kawan Jayengwirapun menjadi tegang. Siapakah diantara mereka yang akan dibawa oleh orang Mataram itu.
Ternyata Glagah Putih menunjuk seorang yang masih nampak lebih baik dari kawan-kawannya. Lukanya masih belum terlalu parah.
"Marilah. Kita akan segera melanjutkan perjalanan."
Demikianlah maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera memaksa Jayengwira dan seorang kawannya untuk bangkit dan melanjutkan perjalanan ke Mataram.
Namun sebelum mereka berangkat, Glagah Putihpun berkata kepada orang-orang yang ditinggalkannya, "Kalian jangan melaporkan bahwa Jayengwira dan seorang kawannya kami bawa ke Mataram kepada kawan-kawanmu. Jika ada diantara kalian atau kawan-kawanmu yang menyusul perjalanan kami. maka kedua orang ini akan aku bunuh. Kemudian aku akan membunuh kawan-kawanmu yang menyusul kami itu. Kau lihat, bahwa aku mampu mematahkan dahan kayu itu tanpa aku sentuh. Isteriku juga mampu melakukannya. Karena itu, jika ada sekelompok orang menyusulku, maka mereka akan mengalami nasib yang sangat mengerikan sebagaimana dahan kayu yang runtuh itu."
Kawan-kawan Jayengwira yang ditinggalkan itu tidak menyahut. Namun jantung mereka terasa berdebaran semakin cepat.
Demikianlah, maka sejenak kemudian. Glagah Putih dan Rara Wulanpun membawa kedua orang tawanannya melanjutkan perjalanan menuju ke Mataram. Sambil berjalan Glagah Putihpun berkata, "Jangan memperlihatkan diri kalian sebagai tawanan. Jika orang-orang dipinggir jalan mengetahuinya, apalagi setelah kau memasuki kota Mataram, maka kau akan mereka rebut dari tangan kami. Kau tentu tahu. apa yang akan mereka lakukan terhadap seorang pengkhianat."
Bulu-bulu Jayengwira dan seorang kawannya yang dibawa oleh Glagah Putih dan Rara Wulan itu meremang Mereka membayangkan, betapa buruk nasib mereka jika mereka jatuh ketangan rakyat yang menganggap mereka sebagai pengkhianat.
Karena itu. maka Jayengwira dan seorang kawannya itupun berusaha agar mereka tidak nampak sebagai seorang tawanan. Merekapun berusaha untuk menyembunyikan noda-noda darah di pakaian mereka seria luka-luka di tubuh mereka.
Ketika keduanya memasuki hutan Tambak Baya yang sudah tidak nampak terlalu menyeramkan, apalagi di siang hari. Glagah Putih dan Rara Wulan. justru turun ke jalan simpang yang sempit yang memasuki hutan Tambak Baya.
"Kenapa kita mengambil jalan ini?" bertanya Jayengwira.
"Jika kawan-kawanmu menyusul kita, maka mereka tidak akan menemukan kita. Mereka tentu akan menelusuri kita dijalan yang menjadi semakin ramai dilalui orang itu. Mereka tidak akan mengira bahwa kita telah mengambil jalan simpang yang justru lebih dekat sampai ke Mataram."
"Tetapi kita akan melewati hutan yang masih liar."
"Tidak. Kita akan menelusuri jalan sempit ini. Mungkin jalannya memang lebih buruk dari jalan yang besar itu. Tetapi aku pernah lewat jalan pintas ini. Jangan cemas. Jika kita bertemu dengan binatang buas, bukankah kita tidak akan menjadi ketakutan. Aku yakin bahwa kau sendiri akan dapat mengalahkan seekor harimau loreng dengan ilmumu itu."
Jayengwira itupun terdiam. Ia tidak dapat berbuat lain dari pada berjalan bersama kawannya di depan. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di belakang.
"Aku belum pernah melewati jalan ini. Kalian harus momberitahu jika kita harus berbelok ke kiri atau ke kanan. Akupun menjadi bingung dan tidak mengenal kiblat. Dimana arah Barat dan dimana arah Timur."
"Baik. Baik," jawab Glagah Putih.
Demikianlah merekapun berjalan semakin lama semakin dalam memasuki jantung hutan Tambak Baya Namun jalan sempit itu tidak menjadi buntu. Jalan itu masih saja menjelujur di tengah-tengah hutan itu.
Sebenarnyalah, pada waktu itu, seorang diantara pengikut Raden Suwasa telah berusaha mendapatkan kudanya yang disembunyikan di belakang gerumbul-gerumbul perdu. Sejenak kemudian orang itu sudah memacu kudanya menuju ke sarang para petugas sandi dari Demak.
Dengan singkat orang itupun telah melaporkan peristiwa yang terjadi sehingga Raden Suwasa telah terbunuh.
Seorang yang berkumis melintang, berwajah keras serta mata yang dalam, bertanya dengan nada tinggi, "Suwasa terbunuh"'"
"Ya Kiai." "Gila. Siapa yang membunuhnya?"
"Ia mengaku petugas sandi dari Mataram."
"Petugas sandi dari Mataram?"
"Ya. Kiai. Bahkan orang itu telah membawa Ki Jayengwira bersama mereka."
Orang yang bermata dalam itupun menggeram. Wajahnya bahkan menjadi merah membara.
"Mereka pergi kemana?"
"Menurut mereka, mereka akan pergi ke Mataram."
"Orang itu berkuda?"
"Tidak Mereka hanya berjalan kaki."
Orang berkumis melintang itu tiba-tiba saja berteriak. Siapkan kudaku. Kalian akan pergi bersamaku memburu orang-orang itu. Jika mereka hanya berjalan kaki, maka aku harap kita akan dapat menyusul mereka sebelum atau sejauh-jauhnya saat mereka berada di Alas Tambak Baya. Kita akan mengambil Jayengwira dan kawannya itu. Jika gagal, kita akan membunuh mereka berdua. Mereka akan dapat menjadi sumber malapetaka jika benar mereka sampai ke Mataram."
Orang-orang yang berada di sarang para petugas sandi dari Demak serta orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati itupun segera mempersiapkan diri serta mempersiapkan kuda-kuda mereka. Sehingga sejenak kemudian. maka beberapa orang berkuda beriringan memacu kuda mereka menuju ke arah Mataram.
Iring-iringan orang berkuda itu sempat menarik perhatian orang-orang yang melewati jalan menuju ke Alas Tambak Baya itu. Namun mereka sempat mendapatkan keterangan tentang mereka.
Ketika mereka mendekati Alas Tambak Baya. maka orang berkumis melintang itu rasa-rasanya menjadi tidak sabar lagi. Seakan-akan ia ingin meloncat dan terbang memasuki jalan yang menerobos hutan itu.
Namun mereka masih belum dapat menyusul orang yang mengaku petugas sandi dari Mataram serta yang telah membawa Ki Jayengwira.
Bahkan setelah mereka memasuki Alas Tambak Baya, mereka masih belum menemukan orang-orang yang mereka cari.
"Mereka tentu berbohong," berkata orang berkumis melintang itu, "mungkin mereka tidak pergi ke Mataram. Jika mereka pergi ke Mataram, kita tentu sudah menyusulnya."
Orang yang melapor, yang kemudian diikutsertakan dalam perburuan itupun berkata, "Menurut mereka, mereka adalah petugas sandi dari Mataram."
Orang yang berkumis melintang itupun membentaknya, "Bodoh kau jika orang itu benar-benar petugas sandi dari Mataram, maka ia tidak akan mengatakan dengan berterus-terang bahwa ia petugas sandi dari Mataram. Mungkin orang itu justru orang Pajang Jayengwira mungkin justru telah dibawa ke Pajang."
Orang yang melapor itupun berdiam.
"Tetapi jika benar mereka pergi ke Pajang, maka kita tentu sudah terlambat. Kita tentu tidak akan dapat mengejarnya lagi."
"Mereka hanya berjalan kaki," berkata salah seorang dari mereka, "jika kita memacu kuda kita menuju ke Pajang, mungkin kita masih dapat menyusul mereka."
Tetapi seorang yang lainpun berkata, "Kenapa kita tidak maju beberapa ratus patok lagi" Mungkin orang-orang yang kita kejar itu sudah berada di hadapan hidung kita."
"Kita akan memasuki daerah perondan pasukan Mataram."
"Tetapi mereka jarang-jarang meronda sampai di pinggir Alas Tambak Baya."
Tetapi orang berkumis melintang itupun berkata, "Tidak ada gunanya. Mereka sudah menjadi semakin dekat dengan gardu-gardu penjagaan prajurit Mataram. Apalagi dalam keadaan gawat seperti sekarang ini Para pemimpin di Mataram tentu sudah mendapat laporan meskipun belum lengkap tentang sikap Kangjeng Adipati di Demak."
"Jadi, kita sekarang pergi ke mana?"
"Kita akan pergi ke arah Pajang. Jika saja kita dapat menyusul mereka."
"Kuda-kuda kita akan menjadi sangat letih."
"Bukankah tidak setiap hari kuda-kuda itu harus menempuh perjalanan panjang?"
Demikianlah iring-iringan itupun telah memacu kuda-kuda mereka menuju ke arah Pajang. Beberapa orang yang berpapasan memang menjadi heran. Belum lama iring-iringan orang berkuda itu memacu kuda mereka, mendahului orang-orang yang keheranan itu. Tetapi belum lama berselang, orang-orang berkuda itu memacu kuda mereka kearah yang berlawanan.
Namun seorang diantara mereka berkata, "Tentu ada yang mereka cari. Ketika mereka yakin bahwa buruan mereka tidak melalui jalan ini. maka merekapun segera kembali untuk memburu ke arah yang lain."
"Seharusnya mereka berpencar dan memburu kesegala arah."
"Jika kekuatan mereka memadai. Tetapi jika kekuatan mereka terlalu kecil, mereka tidak akan berani berpencar. Apalagi jika yang mereka buru itu mempunyai kekuatan yang terhitung besar."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi karena mereka tidak berkepentingan, maka mereka tidak menghiraukannya lagi.
Dengan kecepatan penuh, iring-iringan orang berkuda itu memacu kuda mereka ke arah Pajang. Namun setelah mereka berpacu semakin dekat dengan Pajang, namun mereka tidak menyusul orang-orang yang dikatakan oleh orang yang memberikan laporan itu, maka merekapun segera menghentikan kuda-kuda mereka yang menjadi sangat letih Mereka telah menempuh perjalanan jauh. Namun semuanya itu sia-sia saja.
"Kita berhenti disini?" bertanya seorang diantara mereka.
"Kuda kita sudah terlalu letih. Seandainya kita melanjutkan perjalanan, maka nafas kuda-kuda kita akan dapat putus dijalan. Karena itu, sebaiknya kita berhenti Biarlah kuda-kuda kita minum dan makan rumput di tepian sungai itu."
Sambil memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk minum, makan rumput dan beristirahat, maka para penunggangnyapun beristirahat pula di tanggul sungai itu.
Sementara itu. Glagah Putih, Rara Wulan serta dua orang tawanannya masih saja berjalan melalui jalan setapak menuju ke Mataram. Mereka melintasi jalan-jalan hutan yang lembab. Beberapa batang pohon yang roboh melintang dijalan setapak itu.
Namun mereka rasa-rasanya tidak menghiraukannya. Mereka berjalan tanpa berhenti. Sekali-sekali meloncati batang pohon yang roboh, sekali meniti batang yang melintang diatas rawa-rawa.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pernah hidup di tengah hutan belantara. Karena itu. mereka sama sekali tidak merasa canggung berjalan di jalan setapak yang melintas di hutan Tambak Baya itu. Namun kedua orang tawanannya itu sekali-sekali mengalami kesulitan sehingga mereka maju terlalu lamban.
"Kenapa kau tidak dapat berjalan secepat perempuan?" bertanya Rara Wulan yang tidak telaten, "kenapa kalian harus merangkak secepat siput" Lihat aku Aku harus menyingsingkan kain panjangku. Tetapi aku dapat berjalan lebih cepat dari kalian."
"Kami sudah berusaha," jawab Jayengwira yang memang menjadi heran melihat Rara Wulan dapat berjalan lebih cepat dari mereka.
Namun meskipun lambat mereka maju juga semakin mendekati Mataram.
"Kenapa kita harus memilih jalan seperti ini?" bertanya Jayengwira, "jalan yang lebih baik itu, meskipun lebih jauh, tetapi kita dapat berjalan lebih cepat. Bahkan kita akan lebih cepat sampai di Mataram daripada memilih jalan pintas tetapi seperti ini.
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Jangan berpura-pura dungu seperti itu Ki Jayengwira. Bukankah kau tahu, bahwa kita tidak semata-mata ingin melewati jalan yang lebih dekat " Tetapi kita ingin menghindari orang-orang yang mungkin akan menyusul kita."
"Bukankah itu hanya angan-anganmu saja " Kawan-kawanku tidak akan menyusul kita."
"Mungkin kawan-kawan Raden Sabawa. Kau sendiri agaknya memang bukan orang penting yang harus dibela. Jika ada orang yang menyusulmu, bukan untuk melepaskanmu, tetapi tentu mereka akan membunuhmu, karena kau dan kawanmu itu akan dapat menjadi sumber keterangan yang akan sangat merugikan gerombolan petugas sandi dari Demak serta mereka yang mengaku para murid Ki Saba Lintang itu."
Jayengwira menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Demikianlah mereka berempatpun berjalan semakin lama semakin dalam di Alas Tambak Baya. Tetapi setelah mereka melewati jalan yang paling sulit di tengah-tengah hutan itu. maka hutan itupun semakin lama terasa menjadi semakin tipis.
Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak mengalami kesulitan melewati jantung Alas Tambak Baya. Jayengwira dan kawannya sempat menjadi heran melihat ketangkasan perempuan yang beijalan bersama dengan mereka itu. Setelah menyingsingkan kain panjangnya, sebagaimana saat ia bertempur, maka perempuan itupun menjadi setangkas anak kijang. Tetapi juga seterampil seekor kera di pepohonan. Pada saat mereka melalui rawa-rawa di tengah hutan, maka perempuan itu dengan tanpa mengalami kesulitan bergayutan sulur-sulur pepohonan, terayun dan kemudian meloncat turun pada batang-batang kayu yang rebah melintang diatas rawa-rawa itu. Sementara Jayengwira dan kawannya harus berjalan menyeberangi rawa-rawa berlumpur hitam. Kadang-kadang keduanya masih juga berdesah tertahan sambil berusaha menyingkirkan lintah yang melekat di kakinya.
Dengan pakaian yang basah dan kotor, para tawanan itupun kemudian berjalan semakin menepi, sehingga akhirnya merekapun keluar dari hutan yang lebat itu.
Jayengwira dan kawannya itu menarik nafas panjang. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan memandangi mereka sambil tertawa.
"Perjalanan yang menyenangkan, Ki Sanak," berkata Glagah Putih.
Keduanya tidak menjawab. Tetapi mereka mengumpat di dalam hati.


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudian merekapun melanjutkan perjalanan mereka. Di hadapan mereka terbentang padang perdu yang agak luas. Gerumbul-gerumbul liar tumbuh di antara gundukan-gundukan batu padas. Satu dua batang pohon yang besar tumbuh mencuat di antara batang ilalang.
Perjalanan mereka berempat ternyata merupakan perjalanan yang berat. Meskipun jaraknya lebih dekat, tetapi mereka memerlukan waktu yang lebih lama.
Karena itu, maka ketika mereka mendekati pintu gerbang Kota Raja, maka langitpun sudah menjadi suram. Cahaya kemerahan membayang di langit, menyakitkan mata.
Demikian senja turun, maka mereka bi-iempatpun memasuki pintu gerbang kota.
Namun ada juga untungnya. Dalam keremangan cahaya senja, maka pakaian mereka yang kotor tidak begitu mendapat perhatian para petugas di pintu gerbang.
"Kami akan kalian bawa kemana " bertanya Ki Jayengwira.
"Kalian akan kami bawa menghadap Ki Patih Mandaraka. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan atas kalian. Agaknya kalian akan diserahkan kepada prajurit yang bertugas di Kepatihan untuk disimpan di dalam penjara.
Kedua orang itu tidak dapat mengelak lagi. Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar membawa mereka berdua ke kepatihan.
Yang hari itu bertugas di kepatihan, ternyata telah mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka seorang diantara para petugas itupun segera melaporkan kedatangan mereka kepada Narpacundaka yang bertugas saat itu.
Ketika Narpacundaka itu menyampaikan kepada Ki Patih Mandaraka, maka Ki Patih yangg sedang duduk beristirahat di serambi belakang berkata, "Bawa mereka kemari."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian menghadap Ki Patih Mandaraka di serambi belakang. Sementara itu, Glagah Putih telah menitipkan kedua orang tawanannya di gardu prajurit yang bertugas."
Kepada Lurah prajurit yang bertugas Glagah Putihnya berpesan, "jangan sampai hilang, Ki Lrrah Keduanya harganya mahal."
Ki Lurah yang bertugas itu tersenyum. Katanya, "Kami akan mengawasi mereka dengan baik. Jika keduanya atau salah satu diantaranya hilang, kami tentu tidak akan dapat membayar ganti ruginya."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Namun Glagah Putih sempat menjawab, "Jika Ki Lurah mau, Ki Lurah akan dapat membayar ganti ruginya."
"Apa yang akan aku pakai untuk membayar ?"Glagah Putih berbisik di telinganya, "Leher Ki Lurah.
Ki Lurah itupun tertawa sambil memjawab, "Isteriku masih memerlukannya."
Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah menghadap Ki Patih Mandaraka di serambi belakang kepatihan pada saat Ki Patih sedang beristirahat.
"Marilah, Glagah Putih dan Rara Wulan," Ki Patihpun mempersilahkan keduanya duduk di sebuah amben kayu yang besar dan rendah di serambi belakang.
"Kapan kalian berdua datang ?"
"Kami baru saja datang, Ki Patih."
"Maksudmu kalian baru datang dari pengembaraan kalian ke Utara ?"
"Ya, Ki Patih. Kami berdua baru datang langsung menghadap Ki Patih. Karena itulah, maka mungkin keadaan kami berdua serta cara kami berpakaian tidak sepantasnya."
"Baiklah Glagah Putih dan Rara Wulan. Jika demikian, biarlah abdi kepatihan membawa kalian ke bilik yang dapat kalian pergunakan untuk beristirahat. Kalian dapat mandi dan berbenah diri. Bukankah kalian akan bermalam disini ?"
"Ya, Ki Patih. Jika Ki Patih berkenan, kami akan mohon diijinkan bermalam di kepatihan."
Ki Patih itu tersenyum. Katanya, "Ada banyak tempat disini, Glagah Putih dan Rara Wulan. Kalian dapat bermalam disini meskipun hanya disediakan tempat seadanya."
"Terima kasih, Ki Patih," sahut Glagah Putih, "tetapi kali ini kami tidak hanya berdua."
"Kalian datang bersama siapa " Berapa orang ?"
"Kami datang dengan membawa dua orang tawanan, Ki Patih ?"
"Dua orang tawanan " Darimana kalian mendapatkan tawanan ?"
"Di seberang Alas Tambak Baya, Ki Patih."
"Baik. Baik. Sebaiknya kau berbenah diri lebih dahulu. Biarlah para tawanan itu diurus oleh para prajurit yang sedang bertugas. Nanti, setelah badanmu menjadi segar, maka kau akan dapat memberikan laporan yang lebih jelas dan terperinci."
Ki Patihpun kemudian memerintahkan Narpacundaka yang sedang bertugas untuk menghubungi Lurah prajurit di gardunya.
"Perintahkan untuk mengurus dua orang tawanan itu," berkata Ki Patih Mandaraka.
Malam, setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mandi serta berbenah diri, maka Ki Patih Mandaraka teiah mengajak mereka makan malam bersama. Sambil makin Ki Patih ingin mendengarkan laporan perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan yang ditugaskan untuk mengamati beberapa tempat yang mempunyai hubungan dengan perguruan Kedung Jati dibawah pimpinan Ki Saba Lintang.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian menceriterakan pengalaman perjalanan mereka. Yang mereka amati justru lebih banyak perkembangan kadipaten Demak daripada perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang.
Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Dengan nada dalam Ki Patih Mandaraka itupun berkata, "jadi menurut penglihatan kalian berdua. Demak benar-benar akan memberontak melawan Mataram ?"
"Ya. Ki Patih. Kami berdua melihat perkembangan kesiapan Kangjeng Adipati di Demak yang dapat membahayakan Mataram. Kangjeng Adipati di Pajang yang dengan tergesa-gesa berusaha mengusir kekuatan Demak di Sima, hampir saja mengalami bencana."
"Ya. Sebenarnya Mataram memang sudah mendapatkai beberapa laporan tentang tingkah laku Kangjeng Adipati Demak. Tetapi aku memang menunggu kedatanganmu, Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku sudah mengira, bahwa kalian berdua tentu akan mengamati perkembangan Demak pula."
"Apakah Pajang telah memberikan laporan ?"
"Sudah. Tetapi Pajang agaknya masih malu-malu mengakui kekalahannya di Sima."
"Mungkin laporan itu baru akan sampai hari ini atau esok pagi, Ki Patih. Yang sudah dilaporkan tentu baru pengamatan para petugas sandinya di Sima. Tetapi Pajang tentu sedang menyusun laporan tentang usahanya untuk mengusir kekuatan Demak dan perguruan Kedung Jati yang berada di Sima."
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Sementara itu Glagah Putih bertanya, "Apakah seorang pejabat di Demak yang bernama Raden Yudatengara sudah menghadap ?"
"Sudah," jawab Ki Patih, "Raden Yudatengara telah memberikan laporan yang agak luas tentang perkembangan Ki Demak. Raden Yudatengara juga memberikan laporan tentang keberadaan kalian di Demak. Usaha kalian menyelamatkan Raden Yudatengara serta anak laki-lakinya."
Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.
"Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku ingin mengajak kalian berdua esok menghadap ke istana."
"Lalu bagaimana dengan kedua orang tawanan itu ?"
"Bukankah keterangan mereka juga tidak akan berbeda jauh dari keterangan kalian berdua."
"Mereka melakukan pengamatan di seberang Alas Tambak Baya."
Ki Patih mengangguk-angguk.
"Mereka akan dapat memberikan sedikit keterangan tentang kekuatan para petugas sandi di seberang Alas Tambak Baya."
"Besok pagi, sebelum kita berangkat menghadap ke istana, kita akan berbicara dengan mereka."
"Ya. Ki Patih."
Sementara itu. Glagah Putih dan Rara W ulaiipuu sempat menceriterakan bahwa mereka telah melibat latihan di Demak.
Latihan keprajuritan besar-besaran yang diselenggarakan di Demak itu memang menarik perhatian Ki Patih Mandaraka. Latihan besar-besaran itu tentu mengesankan bahwa Demak memang bersungguh-sungguh untuk melawan Mataram. Apalagi peristiwa yang terjadi di Sima. Bahkan Pajang telah mendahului Mataram menyerang pasukan Demak serta pasukan dari perguruan Kedung Jati yang berada di bawah kepemimpinan Ki Saba Lintang.
Namun ketika malam sudah menjadi semakin larut, maka Ki Patih Mandaraka itupun berkata, "Nah, sekarang waktunya kalian untuk beristirahat. Nasinya tentu sudah turun, sementara kalian tentu merasa letih. Tidurlah. Besok pagi kita menghadap Panembahan Hanyakrawati."
"Kangjeng Sultan maksud Ki Patih."
"Ya. Tetapi Kangjeng Sultan sendiri menyebut dirinya Panembahan Hanyakrawati."
Menjelang tengah malam, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di dalam bilik yang bersih dan agak luas di dalam kepatihan. Mereka merasa tenang dan tidak merasa dibayangi oleh keraguan Karena itu, maka keduanya tidak mei asa perlu untuk tidur bergantian.
Pagi-pagi sekali keduanya telah terbangun Merekapun segera berbenah diri menghadapi hari baru yang akan segera datang.
Namun ternyata Ki Patih Mandarakapun telah terbangun pula.
Sebelum matahari naik, maka Ki Patih Mandaraka telah mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan untuk makan pagi. Merekapun segera bersiap untuk pergi ke istana menghadap Panembahan di istana.
Meskipun bukan waktu pasowanan, namun Panembahan Hanyakrawatipun telah menerima Ki Patih Mandaraka untuk menghadap bersama Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan Pangeran Purbayapun berada di istana pula.
"Apakah ada kabar yang penting, eyang?" bertanya Panembahan Hanyakrawati.
"Panembahan. Kedua orang ini baru pulang dari Demak. Banyak hal yang telah didengar dan dilihat. Karena itu, maka aku ajak mereka menghadap, agar mereka dapat melaporkan hasil perjalanan mereka. Sementara itu, keduanya juga membawa dua orang tawanan yang dapat mereka tangkap di seberang Alas Tambak Baya. Mereka adalah para pengikut orang yang disebut Raden Suwasa yang mengaku petugas dari Demak. Sebenarnya kami ingin mendengar keterangan dari keduanya. Tetapi akhirnya kami putuskan bahwa kami akan menghadap saja lebih dahulu. Agaknya keterangan kedua orang itu juga tidak akan banyak berarti. Jika mereka dapat menunjukkan sarang para petugas sandi dari Demak, maka sarang itu tentu sudah dikosongkan."
Panembahan Hanyakrawati serta Pangeran Purbaya yang mendengarkan pernyataan Ki Patih Mandaraka itu menarik nafas panjang. Dengan nada rendah Panembahan Hanyakrawatipun berkata, "Baiklah, eyang. Biarlah Glagah Putih dan isterinya memberikan laporan yang mungkin akan dapat lebih terperinci dari laporan yang pernah disampaikan kepadaku. Baik oleh para petugas sandi, oleh para pemimpin di Pajang dan oleh paman Yudatengara yang pada waktu itu bertugas menyertai Kakangmas Kangjeng Pangeran Puger ke Demak."
"Glagah Putih," berkata Ki Patih kemudian, "kau sudah diperkenankan untuk menyampaikan laporanmu. Biarlah isterimu nanti melengkapinya."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian menyampaikan laporan mereka. Mereka menceriterakan apa yang telah didengar, yang telah dilihat dan bahkan pernah dialaminya sendiri dalam tugas mereka. Mereka memang tidak lebih banyak mengamati padepokan-padepokan yang bersangkut-paut dengan perguruan Kedung Jati. Tetapi mereka justru lebih banyak mengamati perkembangan kadipaten Demak, meskipun didalamnya sudah dapat mencakup serba sedikit sikap perguruan Kedung Jati.
Panembahan Hanyakrawatipun mengangguk-angguk kecil. Wajahnya nampak muram. Hatinya memang menjadi bimbang, apakah yang sebaiknya dilakukan.
"Bagaimana menurut eyang Patih dan Kangmas Pangeran Purbaya," suaranya merendah, "kakangmas Pangeran Puger adalah saudaraku sendiri. Bahkan saudara tua. Jika aku harus menghadapi orang lain, maka sikapku akan dapat lebih jelas."
"Kami dapat mengerti kebimbangan cucunda Panembahan," sahut Ki Patih Mandaraka, "tetapi bagaimanapun juga, Mataram tidak akan dapat membiarkannya. Kita semuanya memang bersedih melihat kenyataan ini. Aku adalah salah seorang yang mendukung sekali kebijaksanaan wayah Panembahan untuk mengirim Kangjeng Pangeran Puger ke Demak. Tetapi sama sekali tidak terlintas didalam penalaranku, bahwa pada suatu waktu Kangjeng Pangeran Puger justru akan menentang Mataram."
"Aku mengerti kesulitan yang dimas Panembahan sandang sekarang," berkata Pangeran Purbaya, "namun seperti yang dikatakan oleh eyang Patih, maka Panembahan memang harus bertindak. Apapun langkah yang akan Panembahan ambil."
Panembahan Hanyakrawati itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah, eyang. Langkah pertama yang akan aku ambil, aku akan mengirimkan utusan ke Demak. Aku ingin meyakinkan, apakah kakangmas Pangeran Puger benar-benar akan melawan Mataram. Atau orang-orang yang ada disekitarnyalah yang sebenarnya ingin melakukannya."
Ki Patih Mandarakapun mengangguk-angguk. Katanya, "Cara yang bijaksana untuk meyakinkan apakah Kangjeng Pangeran Puger akan melawan Mataram atau tidak."
"Apakah yang harus dilakukan oleh utusan itu ?"bertanya Pangeran Purbaya.
"Kangmas. Aku akan minta kangmas Pangeran Puger untuk menghadap ke Mataram. Ia harus memenuhi kewajibannya sebagai seorang Adipati di wilayah kesatuan Mataram. Ia harus datang menghadap sebagai satu pernyataan, bahwa Demak masih tetap menjunjung hubungan yang sudah ada antara Mataram dan Demak."
"Aku setuju. Dimas. Itu adalah langkah yang bijaksana. Aku bersedia untuk memimpin utusan ke Demak."
"Tidak. Bukan kangmas Pangeran Purbaya. Kedudukan kangmas terlalu tinggi untuk bertindak sebagai utusan yang sekedar memperingatkan kedudukan kangmas Pangeran Puger. Biarlah seorang Tumenggung saja yang pergi ke Demak untuk menyampaikan perintahku, agar kangmas Pangeran Puger menghadap."
"Apakah Tumenggung itu akan mendapat perlakuan yang wajar di Demak?"
"Tumenggung itu datang atas namaku. Ia akan membawa pertanda bahwa ia adalah utusanku. Karena itu, maka ia dapat bertindak atas namaku meskipun sangat terbatas. Lain halnya jika aku akan mengirimkan duta ngrampungi. Seorang utusan yang berhak untuk mengambil sikap dan keputusan karena kuasa yang aku limpahkan kepadanya. Mungkin aku akan minta kangmas Pangeran Purbaya melakukannya, atau seorang Pangeran yang lebih muda."
Pangeran Purbaya itu menarik nafas panjang. Tetapi ia mengetahui maksud Panembahan Hanyakrawati. Ia benar-benar akan menguji Kangjeng Pangeran Puger. Jika ia tetap merasa satu dengan Mataram, Kangjeng Pangeran Puger tidak akan tersinggung jika utusan itu dipimpin oleh seorang Tumenggung. Seandainya ia tersinggung, maka ia akan menyampaikan perasaannya itu langsung kepada Panembahan Hanyakrawati setelah ia menghadap. Tetapi jika Pangeran Puger benar-benar akan menentang, maka sikapnya akan menjadi semakin jelas.
"Siapakah yang akan wayah utus ke Demak ?" bertanya Ki Patih Mandaraka.
"Aku justru ingin bertanya kepada Eyang Patih."
"Bagaimana pendapat cucunda, jika yang diutus ke Demak itu Ki Tumenggung Derpayuda."
"Ki Tumenggung Derpayuda ?"
"Ya." "Aku sependapat, dimas," sahut Pangeran Purbaya, "Ki Tumenggung Derpayuda adalah seorang yang berwibawa. Ia akan dapat bertindak dengan bijaksana."
Panembahan Hanyakrawati itu mengangguk angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan mengutus Ki Tumenggung Derpayuda untuk pergi ke Demak. Selain berwibawa dan bijaksana, Ki Tumenggungpun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika kebetulan di Demak ada setan lewat, maka utusan itupun harus bersikap."
"Itulah yang ingin aku sampaikan kepada wayah Panembahan. Aku yakin jika Pangeran Puger tidak akan berbuat curang. Seandainya Kangjeng Pangeran akan memberontak sekalipun, tetapi ia akan tetap berpijak pada sikap seorang kesatria. Yang aku cemaskan adalah orang-orang yang ada disekitarnya. Mungkin saja orang-orang itu berbuat licik di luar pengetahuan Kangjeng Pangeran Puger. Mereka akan dapat berbuat curang terhadap Ki Tumenggung Derpayuda."
"Ya, eyang. Aku sependapat. Karena itu. sebaiknya Ki Tumenggung Derpayuda dilengkapi dengan perlindungan penyelamatan baginya."
"Aku setuju dimas. Ki Tumenggung sebaiknya mendapat perlindungan sepasukan prajurit dan Pasukan Khusus yang tersamar. Mereka akan bertebaran di Demak pada saat Ki Tumenggung menghadap. Kemudian mereka akan meninggalkan Demak pada saat Ki Tumenggung itu meninggalkan Demak. Mereka akan mengamati perjalanan sekelompok utusan itu."
"Baiklah. Kita akan mengangkat seorang Senapati dalam tugas sandi ini. Segala sesuatunya akan kita serahkan kepada Senapati itu untuk mengatur perlindungan bagi Ki Tumenggung Derpayuda dengan sekelompok pengiringnya. Bahkan aku ingin menunjuk Raden Yudatengara akan mendesak kangmas Pangeran Puger itu lebih terbuka."
Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 2 Ms. Jutek Vs Mr Rese Karya T. Andar Pendekar Muka Buruk 10

Cari Blog Ini