Pendekar Wanita Baju Merah 2
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 2 tidak ada sambungannya lagi, mengerti?" Suaranya terdengar keras dan kaku, tanda bahwa ia tidak suka mendengar nama kecilnya disebut-sebut. Han Le beberapa kali memandang kepada wajah Bu Pun Su penuh perhatian. Biasanya, pandangan mata Han Le tajam sekali dan dengan melihat wajah orang, ia akan dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi tarikan wajah Bu Pun Su demikian sukar dimengerti, seakan-akan kulit muka orang sakti itu memakai kedok. Hanya garisgaris yang memenuhi muka dan rambut serta alis yang sudah tidak begitu hitam lagi saja yang bercerita bahwa selama ini, Bu Pun Su mengalami tekanan dan penderitaan batin yang hebat. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 28 "Suheng, kau telah banyak mengalami penderitaan. Maafkan Sute, biarpun Sute seorang yang bodoh dan lemah, namun Sute menyediakan raga dan nyawa untuk membantu Suheng memecahkan semua kesulitan itu." Bu Pun Su menoleh kepada adik seperguruan ini, untuk beberapa detik sepasang matanya hanya memandang, seakan-akan hendak mengalirkan air mata. Akan tetapi tiba-tiba sepasang mata itu berseri-seri dan meledaklah suara ketawa Bu Pun Su. Suara ketawanya demikian nyaring dan keras sehingga kalau di situ terdapat orang lain yang tidak berilmu tinggi, pasti orang ini akan lumpuh terkena daya tenaga lwee-kangnya yang disalurkan dalam suara ketawa ini! Baiknya Han Le sendiri telah memiliki tenaga lwee-kang yang tinggi, namun tetap saja ia merasa jantungnya memukul keras dan terpaksa ia menahan napasnya agar jangan terkena getaran hebat dan melukai jantungnya. "Ha, ha, ha, kau masih tidak berubah, Sute! Kau masih dikuasai oleh perasaanmu, kau lemah dan baik hati. Tidak, Sute. Aku tidak menderita sesuatu. Bagaimana Bu Pun Su bisa menderita" Kalau si lemah Lu Kwan Cu yang sudah mampus memang dia itu lemah hati, mudah dikuasai oleh nafsu, dia buta dan tuli, terlalu mengandalkan kepandaiannya yang tidak berarti, terlalu membanggakan tenaganya yang sebetulnya lemah. Ha, ha, Lu Kwan Cu sudah mampus demikian pula orang-orang yang seperti dia. Akan selalu mengalami suka duka dan hidup bagaikan benda mati yang dipermainkan oleh alam. Akan tetapi aku sekarang bukan seperti dia, aku sudah menguburkan Lu Kwan Cu. Aku Bu Pun Su hidup bukan sebagai bujang perasaan, aku hidup bebas, mempergunakan akal budi dan pertimbangan, mengeluarkan segala yang pernah kupelajari untuk membantu pekerjaan alam!" Han Le dapat mengerti akan kata-kata yang kedengarannya tidak karuan ini. Dia sendiri sudah banyak mengalami kepahitan hidup, sudah banyak menderita dan kecewa. Maka ia dapat menduga bahwa suhengnya ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat sekali, hal-hal yang menghancurkan hatinya, mungkin sekali telah melakukan dosa yang dianggapnya amat berat dan besar sehingga suhengnya ini mematikan diri sendiri, mematikan dan menghilangkan semua ingatan tentang diri Lu Kwan Cu, dan seakan-akan hidup baru merupakan seorang bernama Bu Pun Su atau Si Tiada Kepandaian, manusia aneh yang hidupnya hanya untuk membantu pekerjaan alam, yakni tegasnya membantu manusia lain. Han Le menjura kepada suhengnya dan berkata girang, "Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Suheng. Dan demi Thian Yang Maha Kuasa, aku pun hendak mencoba sedapat mungkin untuk meniru perbuatanmu yang mulia ini. Tadi suheng bilang hendak menyampaikan sesuatu yang amat penting, apakah gerangan urusan itu?" Karena sudah lupa lagi akan hal-hal dahulu mengenai diri Lu Kwan Cu, Bu Pun Su kembali pula kegembiraannya. "Sute, aku perlu sekali bantuanmu, juga bantuan semua orang yang masih berbangsa dan berkebudayaan." "Eh, apakah yang terjadi, Suheng?" tanya Han Le terkejut, karena kata-kata suhengnya ini terdengar menyeramkan. Bu Pun Su mengajak sutenya duduk di dekat pantai Sungai Huang-ho di mana tumbuh sebatang pohon besar yang akarnya bergantungan dan bermain-main di permukaan air sungai. Tempat itu amat indahnya dan setiap orang, apalagi para pemancing ikan, pasti akan suka sekali duduk di situ. "Sute, di dunia kang-ouw telah terjadi hal yang hebat dan amat membahayakan kedudukan orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan putih. Apalagi bagi mereka yang menganut sesuatu kepercayaan atau agama." "Mengapa, Suheng" Bukankah golongan Mo-kauw (Agama Sesat) pada hakekatnya tidak begitu kuat dan selalu dapat dikendalikan oleh golongan Beng-kauw (Agama Asli), Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 29 sedangkan golongan Beng-kauw biarpun agama dan kepercayaannya berlainan dan banyak sekali macamnya namun dapat menjaga kerukunan dan menghormati kepercayaan masing-masing?" "Betul kata-katamu itu, akan tetapi hal itu adalah keadaan pada beberapa tahun yang lalu. Memang jarang ada orang kang-ouw yang mengetahui kejadian ini, karena hal itu mereka sembunyikan dan menjaga penuh rahasia agar jangan sampai bocor." "Eh, apa sih sebetulnya yang terjadi, Suheng" Aku menjadi tertarik dan ingin sekali lekas mendengar penjelasanmu." Bu Pun Su 1alu menceritakan apa yang telah ia ketahui. Di dalam dunia kang-ouw terbagi menjadi dua golongan yang biasa disebut golongan putih dan hitam. Golongan putih adalah para pendekar atau mereka yang memiliki kegagahan dan yang sepak terjangnya selalu bersih, sebaliknya golongan hitam adalah mereka yang selalu disebut pengikut hek-to (jalan hitam) atau lebih tepat lagi orang-orang yang mempunyai pekerjaan jahat seperti perampok-perampok, bajak-bajak, maling, copet dan lain-lain. Antara kedua golongan itu telah dapat diselesaikan dengan kemenangan pihak golongan putih. Untuk dapat mengendalikan golongan hitam ini banyak tokoh besar dunia kang-ouw yang sengaja menjadi perampok atau maling, yakni menjadi ketuanya dan selalu mengawasi sepak terjang anak buahnya sehingga mereka itu tidak menyeleweng, yakni dengan lain kata, tidak merampok atau mengganggu orang-orang yang dianggap tak patut diganggu. Bagi orang-orang gagah di waktu itu, merampok harta orang kaya yang pelit, membunuh mati orang yang berwatak jahat dan kejam, dianggap sebagai perbuatan yang bersih dan mulia juga. Pendeknya golongan penjahat pun terpecah dua, yakni jahat yang dilakukan demi memberantas kejahatan, dan jahat karena memang pada hakekatnya jahat dan keji. GOLONGAN-GOLONGAN ini hanya kecil saja, atau boleh disebut golongan perorangan yang meliputi tokoh-tokoh yang hidup menyendiri. Akan tetapi ada pula golongangolongan besar seperti perkumpulan-perkumpulan, terutama sekali perkumpulan agama dan partai-partai besar persilatan yang tidak lepas dari agama dan kepercayaan, dan justeru golongan-golongan besar ini yang menjadi induk dari golongan-golongan kecil. Dan di dalam golongan-golongan besar ini terdapat perpecahan pula! Perpecahan ini tadinya meluas sehingga antara partai dengan lain partai terjadi bentrokan dan permusuhan hebat, hanya karena kepercayaan atau agama mereka berlainan. Akan tetapi, ratusan yang lalu, ketika muncul tokoh-tokoh besar seperti Tiat Mouw Couwsu dan lain-lain tokoh dari See-thian (Dunia Barat), bentrokan-bentrokan ini dapat diselesaikan dengan jalan rukun, sungguhpun kepercayaan mereka, bahkan ajaran limu silat mereka berlainan. Dan oleh tokohtokoh besar itu diletakkan garis yang memisahkan antara golongan yang disebut penganut Beng-kauw dan mereka yang menganut Mo-kauw. Golongan Beng-kauw atau agama aseli ini tentu saja mempunyai anggauta yang paling banyak. Semua partai persilatan, seperti Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kunlun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain menyebut diri sebagai golongan Beng-kauw. Hal ini tentu saja dapat dimengerti karena siapakah yang mau menyebut diri bukan penganut "agama aseli?" Golongan ini terdiri dari partai-partai besar yang menganut Agama Buddha, penganut ajaran Locu atau To-kauw, penganut ajaran Khong Hu Cu, penganut Kwan Im Pouwsat, dan lain-lain. Siapakah gerangan yang termasuk agama Mo-kauw" Sebetulnya tidak ada golongan yang mau mengaku sebagai penganut Agama Sesat, akan tetapi golongan-golongan yang tidak beragama atau orang~orang kasar, atau juga mereka yang pernah melakukan pelanggaran dan dianggap jahat, mereka inilah yang disebut golongan Beng-kauw, sebagai golongan Kaum Sesat! Mereka ini sebagian besar merupakan kelompok orang yang menyembunyikan diri, yang bersakit hati dan karena mereka didesak ke sudut oleh mereka yang menganggap diri Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 30 bersih, mereka ini dengan sengaja lalu berlaku keaneh-anehan, sengaja mereka membentuk sekumpulan tokoh-tokoh yang lihai ilmu silatnya, memisahkan diri dan tidak mau peduli lagi dengan urusan agama. Mereka melakukan apa saja yang mereka suka, dan hidup berkeliaran tidak tentu tempatnya akan tetapi mereka tidak pernah mendengar atau mencari perkara dengan golongan Beng-kauw, karena maklum bahwa golongan ini mempunyai banyak orang pandai. Akan tetapi, jangan kira bahwa golongan Mo-kauw ini sedikit jumlahnya anggautanya. Mereka makin lama makin banyak, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang putus asa, sakit hati, dan orang-orang yang berwatak aneh. Beberapa tahun yang lalu, muncullah tiga orang aneh dari See-thian (Dunia Barat) yang sebentar saja sudah dapat merebut kekuasaan di golongan Mo-kauw. Tiga orang ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, tidak saja kepandaian limu silat mereka tinggi sekali juga mereka adalah ahli-ahli hoatsut (ilmu sihir) yang aneh. Dalam beberapa bulan saja mereka dapat mengangkat diri di dalam golongan Mo-kauw sehingga semua orang penganut agama sesat ini menganggap mereka bertiga sebagai ketua atau pemimpin. Tiga orang aneh ini tahu akan keadaan orang-orang kang-ouw di golongan Mo-kauw yang amat terdesak dan dianggap orang-orang jahat oleh orang-orang kang-ouw umumnya, maka mempergunakan rasa dendam dan sakit hati ini, mereka sebentar saja dapat membentuk sebuah perserikatan yang amat kuat. Hal ini terjadi tanpa banyak ribut, karena memang penghidupan para penganut Mo-kauw ini tersembunyi, tidak diketahui oleh masing-masing kang-ouw. Kalau sampai di situ saja persoalannya, kiranya tidak akan ada perubahan dan tidak akan menggegerkan, akan tapi ternyata bahwa tiga orang aneh ini mempunyai niat dan cita-cita yang lebih besar. Mereka ingin menguasai seluruh dunia kangouw ingin menaklukkan partai-partai besar dan ingin mengangkat diri menjadi ketua perkumpulan yang paling berpengaruh di Tiongkok! Setelah orang-orang Mokauw ini berada di bawah pimpinan mereka, terjadilah hal-hal yang aneh di dunia kang-ouw. Kitab pelajaran limu silat yang amat dipuja-puja oleh partai Siauwlim-pai, yakni kitab peninggalan dari Tat Mouw Couwsu, pada suatu hari telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Selagi Siauw-lim-pai, geger dan semua tokoh Siauw-lim-pai berusaha mencari kitab yang hilang ini, tiba-tiba puncak Kun-lun-pai juga geger karena hilangnya pedang pusaka Pek-kong-kam yang ditaruh di ruangan suci kelenteng partai besar itu! Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partai-partai besar yang sudah berpuluh tahun terkenal sebagai partai persilatan yang berpengaruh dan mempunyai banyak orang pandai. Oleh karena itu, kehilangan dua benda pusaka ini tentu saja membuat mereka menjadi amat penasaran dan juga malu. Mereka menjaga rapat peristiwa ini agar jangan sampai tersiar di luaran, dan di samping itu mereka mengerahkan orang-orang pandai untuk mencari benda pusaka yang lenyap itu. Akan tetapi, betapapun rapat mereka menjaga rahasia, berita itu tetap bocor juga dan sebentar saja seluruh kang-ouw mendengar bahwa kitab peninggalan Tiat Mouw Couwsu dari Sauw-lim-pai dan pedang pusaka Pek-liong-kiam dari Kun-lun-pai telah dicuri orang dan ini merupakan hal yang menggegerkan pula, karena biasanya tidak seorang pun anggauta Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai yang berani membocorkan hal yang dirahasiakan. Maka timbullah dugaan bahwa hal ini memang sengaja dibocorkan oleh orang atau orang-orang yang melakukan pencurian itu. Akan tetapi apa kehendak mereka" Tokoh besar di dunia persilatan, yang baru belasan tahun muncul namun namanya sudah dijunjung tinggi dan disegani dengan penuh kekaguman dan hormat oleh semua ketua partai besar, yakni Bu Pun Su mendengar pula akan hal ini dan ia cepat menyelidiki. Dengan kepandaiannya akhirnya Bu Pun Su menaruh hati curiga kepada golongan Mo-kauw. Bahkan ia mendengar pula akan adanya tiga orang aneh di golongan Mo-kauw ini yang kabarnya memiliki kepandaian luar biasa tingginya. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 31 "Demikianlah, Sute," kata Bu Pun Su kepada Han Le setelah menuturkan itu semua. "Kiranya tidak akan meleset terlalu jauh dugaanku bahwa tiga orang aneh itu mempunyai hubungan dengan dua pencurinya ini. Siapa lagi kalau bukan mereka yang berani dan begitu gegabah mencuri dua barang pusaka keramat yang dipuja-puja oleh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai" Dan aku mendengar kabar pula, bahwa Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, itu tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi dan bertabiat ganas, telah diambil murid oleh tiga orang itu. Kalau Hek Pek Mo-ko dua saudara yang berkepandaian begitu tinggi masih menjadi murid mereka, dapat diduga bahwa kepandaian mereka memang betulbetul tinggi. Selain ini, aku masih mendengar kabar lagi bahwa kecuali Hek Pek Mo-ko, mereka bertiga masih mempunyai seorang murid perempuan yang jauh lebih jahat, bahkan lebih pandai daripada Hek Pek Mo-ko. Kalau pihak Mo-kauw mempunyai begitu banyak orang-orang pandai, sedangkan sepak terjang mereka selalu disembunyikan, aku merasa kuatir sekali." "Suheng, urusan itu sebetulnya tidak amat besar, akan tetapi mengapa tadi Suheng menyebut-nyebut tentang kebangsaan dan kebudayaan" Apa hubungannya kehilangan kitab dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai itu dengan kebangsaan dan kebudayaan?" Bu Pun Su menarik napas panjang, "Belum kuceritakan semua keterangan yang dapat kukumpulkan, Sute. Aku mendengar berita yang tentu saja masih belum dapat dipercaya betul, bahwa tiga orang yang kini telah menguasai golongan Mo-kauw itu, bercita-cita untuk menaklukkan semua orang kang-ouw di negeri ini. Mereka adalah orang-orang dari barat, dan mereka berhasil menaklukkan semua orang kangouw, dan hal ini bukan tidak mungkin melihat kelihaian mereka yang kudengar memang luar biasa sekali tentu saja urusan ini dekat sekali hubungannya dengan kebangsaan dan kebudayaan kita. Tidak ingatkah kau betapa orang orang asing selalu mengilar dan ingin mencaplok negara kita" Kalau sampai orangorang kangouw berada di bawah kekuasaan tiga orang ini sehingga dapat mereka perintah dan pergunakan, apa sukarnya merampas negara kita" Dan kalau sampai kepandaian mereka itu dapat disebar dan menggantikan ilmu silat dari bangsa kita sendiri bukankah berarti kebudayaan kita akan terpengaruh oleh kebudayaan asing pula" Ini bukan soal kecil, Sute, karenanya aku sengaja mencarimu agar kau suka membantuku, demikian pula kita harus mendatangi semua ketua partai persilatan itu untuk bersama-sama menghadapi mereka itu." "Siapakah sebetulnya mereka itu, Suheng" Dan orang-orang macam apakah mereka itu." "Aku sendiri belum pernah bertemu dengan mereka akan tetapi aku sudah rnendapat keterangan serba terbatas tentang mereka. Kabarnya mereka itu adalah saudarasaudara segolongan. Yang pertama bernama atau berjuluk Hek-te-ong (Raja Tanah Hitam), yang kedua berjuluk Pek-in-ong (Raja Awan Putih) dan yang ketiga berjuluk Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau). Mereka datang dari barat dan begitu datang mereka merobohkan semua tokoh Mo-kauw sehingga para tokoh Mo-kauw itu takluk dan mengangkat mereka menjadi pemimpin dan menyebut mereka Thian-te Sam-kauwcu (Tiga Ketua Agama Bumi dan Langit). Selain itu, rnereka mengajar agama baru yang berpusat pada penyembahan dan pemujaan terhadap Bumi, Langit dan Laut. Selanjutnya aku tidak mendengar jelas dan karenanya aku ingin menyelidikinya sendiri." "Sekarang apa yang hendak kaulakukan Suheng?" "Aku hendak mengajak engkau untuk membantuku membubarkan sarang murid dari Thian-te Sam-kauwcu." "Sarang dari muridnya" Di sini?" "Ya, di lembah Huang-ho sebelah selatan itu. Kira-kira lima puluh li dari sini. Thian-te Sam-kauwcu menyebar anak buahnya untuk mendirikan cabang di mana-mana untuk membujuk dan mengadakan hubungan dengan orang-orang kang-ouw. Dengan secara kebetulan sekali aku mendengar bahwa muridnya, Hek Pek Mo-ko, bersarang di daerah ini. Aku tidak tahu sampaidi mana kelihaian mereka, namun mendengar akan kehebatan kepandaian Thian-teSam-kauwcu, aku tidak mau berlaku sembrono dan lebih menguntungkan kalau kau ikut Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 32 serta." Han Le merasa agak terheran. Ia percaya akan kepandaian suhengnya yang sepuluh kali lipat lebih tinggi daripada kepandaiannya, mengapa suhengnya mengajaknya" "Suheng, bukankah kau mengajak aku untuk menjadi saksi agar sepak terjangmu terhadap mereka itu tidak akan disalah-tafsirkan oleh tokoh-tokoh kang-ouw?" Bu Pun Su tersenyum. "Kau makin cerdik, Sute. Memang demikianlah. Kita tahu bahwa sejak dulu Hek Pek Mo-ko biarpun menjadi tokoh Mo-kauw yang amat terkenal, namun belum pernah dua orang itu mengganggu kita orang-orang kang-ouw, bahkan mereka dapat disebut sebagai tokoh-tokoh Mo-kauw yang selalu menjauhkan diri dan Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menjaga agar jangan sampai timbul bentrokan antara mereka dengan Beng-kauw. Akan tetapi sekarang aku hendak menyelidiki dan kalau perlu membasmi sarang mereka, maka amat baik kalau kau ikut menyaksikannya." Berangkatlah dua orang sakti ini menuju ke tempat yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su. Tempat yang dimaksudkan itu adalah sebuah dusun di tepi Sungai Huang-ho, yang dikelilingi oleh hutan-hutan kecil dan kelihatannya menyeramkan. Begitu kedua orang ini tiba di luar dusun mereka berjalan biasa saja. Berturut-turut, beberapa orang dusun, ada yang berpakaian seperti petani ada pula seperti nelayan, bertemu dengan mereka. Setiap orang dusun ini melayangkan pandang mata dan mereka ini kelihatan bercuriga. Bahkan ada beberapa orang nelayan yang masih muda dan kelihatannya kuat-kuat diam-diam mengikuti Han Le dan Bu Pun Su. Tentu saja dua orang sakti ini mengetahui hal itu, akan tetapi mereka berpura-pura tidak melihat dan berjalan dengan biasa dan tenang. Sebuah kelenteng besar yang berada di dusun itu sungguh tidak sesuai dengan rumah-rumah penduduk yang kecil lagi miskin. Kelenteng ini agaknya belum lama diperbarui dan anehnya, yang kelihatan membersihkan kelenteng itu bukanlah hwesio-hwesio seperti pada kelenteng-kelenteng lain, melainkan orang-orang dusun, laki-laki perempuan yang bekerja di halaman depan, di kanan kiri dan di dalam kelenteng itu! Mereka ini ketika melihat Bu Pun Su dan Han Le memasuki pekarangan kelenteng, segera melarikan diri ke dalam kelenteng seperti orang ketakutan. Bu Pun Su tersenyum dan berbisik kepada Han Le, "Lihat, Sute, betapa besar pengaruh dan kekuasaan mereka. Agaknya rakyat dusun juga terkena tipu daya mereka dan sudah mulai memeluk agama baru itu." Han Le memandang ke dalam kelenteng. Dari pintu yang terbuka, kelihatan tiga buah arca sebesar manusia, merupakan tiga orang laki-laki tua yang pakaiannya seperti hwesio-hwesio dari Tibet, bertubuh tinggi besar dan angker. Yang tengah benar-benar amat tinggi besar seperti raksasa, yang berdiri di kiri agak kurus sehingga mukanya seperti tengkorak, sedangkan yang berdiri di kanan punggungnya bongkok dan matanya sipit sekali seperti meram. "Itulah agaknya patung-patung Thian-te Sam-kauwcu yang dipuja-puja semua pengikutnya," kata Bu Pun Su pula kepada Han Le. Dari pintu dalam muncullah dua orang dan Han Le hampir tertawa geli ketika ia melihat dua orang itu. Yang seorang bertubuh pendek dan kate sama sekali, telinganya besar seperti telinga gajah, pakaiannya serba hitam. Adapun orang ke dua bertubuh tinggi besar, telinganya kecil seperti telinga tikus, sedangkan pakaiannya serba putih. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan dari mata mereka, Han Le dapat menduga bahwa mereka adalah ahli-ahli lwee-keh yang memiliki kepandaian tinggi. Juga, melihat pakaian mereka biarpun ia belum pernah bertemu dengan dua orang ini, Han Le dapat menduga bahwa mereka tentulah Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko. Hek Mo-ko yang bertubuh kecil pendek itu tertawa bergelak melihat dua orang pendekar itu. "Ha, ha, ha, selamat datang, Bu Pun Su dan Han Le, Ji-wi Tai-hiap! Sungguh kami mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan Ji-wi ini, dan ketiga orang guru besar kami tentu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 33 akan berterima kasih sekali!" Bu Pun Su dan Han Le tertegun. Bagaimana dengan sekali pandang saja iblis hitam kate itu dapat mengenal mereka" Padahal selamanya mereka belum pernah bertemu muka dengan sepasang iblis hitam putih ini dan keadaan Bu Pun Su maupun Han Le tidak sedemikian aneh seperti Hek Mo-ko sehingga mudah dikenal orang. Berbeda dengan Hek Mo-ko yang suka tertawa dan mukanya lucu, Pek Mo-ko selalu bersungut-sungut dan wajahnya murung. "Kalian ini orang-orang Beng-kauw ada urusan apakah mengunjungi kami yang kalian anggap sebagai orang-orang busuk dari Mo-kauw?" tanyanya sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang sipit. Bu Pun Su tidak biasa memutar-mutar omongan dan ia selalu bicara dan bertindak secara langsung. Sambil tersenyum ia berkata terus terang, "Hek Pek Mo-ko, baru kali ini kita kebetulan saling bertemu dan keadaan kalian ternyata tetap dan sesuai sekali dengan nama kalian yang terkenal jahat dan aneh. Ketahuilah, aku dan suteku ini datang ke sini karena kami mendengar tentang adanya tiga orang See-thian yang kini mencengkeram Mo-kauw, tiga orang See-thian yang sombong dan bercita-cita menaklukkan dunia kang-ouw kita. Aku mendengar pula tentang hilangnya kitab rahasia dari Siauw-lim-pai dan pedang pusaka dari Kun-lun-pai, dan aku mendengar pula bahwa banyak tokoh Mo-kauw yang tadinya biarpun berbeda paham dengan Beng-kauw namun tetap menjaga kegagahan, sekarang bersaing dan berebut untuk menikah dengan gadis-gadis muda, yang tentu saja dipaksanya! Dan aku mendengar pula bahwa kalian iblis-iblis tua ini pun telah menikah." Pek Mo-ko mengeluarkan suara gerengan dari tenggorokannya akan tetapi Hek Mo-ko tertawa geli. Suara ketawanya mula-mula rendah dan perlahan, akan tetapi makin lama makin meninggi dan nyaring sehingga menyakitkan telinga. Mendengar ini saja Han Le maklum bahwa lwee-kangnya dari Hek Mo-ko ini amat tinggi sehingga dia sendiri belum tentu dapat menandinginya. "Bu Pun Su, baru kali ini aku mendengar kau menaruh perhatian kepada nasib golongan Mokauw! Ada apakah kau mencampuri urusan dunia orang golongan kami" Memang guru besar kami telah datang, sengaja dari barat mereka datang untuk memberi bimbingan kepada kami dan untuk menjaga agar kami tidak selalu dihina dan dipandang rendah oleh golongan lain. Apakah kau iri hati" Ha, ha, ha, agaknya kau benar-benar iri hati, apalagi tentang pernikahan-pernikahan kami dengan gadis-gadis muda yang cantik manis, karena kau sendiri sampai tua tidak laku, ha, ha, ha!" "Ngaco!" Han Le membentak marah. "Bagaimana jawabanmu tentang hilangnya kitab rahasia Siauw-lim-pai dan pedang pusaka Kun-lun-pai?" Hek Mo-ko memandang kepada Han Le dan tersenyum sindir. "Hilangnya kitab dan pedang, ada hubungan apakah dengan kami" Kau dan suhengmu ini terkenal sebagai orang-orang sakti, masa untuk mencari benda-benda yang hilang harus bertanya kepada kami" Carilah sendiri kalau memang pandai." "Baiklah, Hek Pek Mo-ko, aku akan mencari ke dalam kelenteng ini!" kata Bu Pun Su. "Jangan kau berani menginjak kotor tempat suci kami...!" kata Pek Mo-ko marah dan ia bergerak untuk menghalangi. Akan tetapi ia melongo karena gerakan Bu Pun Su luar biasa cepatnya sehingga sebelum Pek Mo-ko tiba di depan pintu untuk menghadang, Bu Pun Su sudah berkelebat masuk ke dalam kelenteng! Pek Mo-ko hendak mengejar ke dalam, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh Hek Mo-ko. "Sute, tak perlu dikejar, biarkanlah dia melihat-lihat tempat kita!" Tadinya Han Le sudah bersiap-siap untuk bertempur, akan tetapi melihat mereka tidak jadi mengganggu Bu Pun Su, ia pun diam saja, berdiri tenang sambil tersenyum. Dengan cepat sekali Bu Pun Su memasuki kelenteng. Tiga orang yang agaknya menjadi Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 34 pelayan atau pembantu Hek Pek Mo-ko, orang-orang lelaki yang berpakaian seperti pendeta dan gerakannya cepat dan kuat, maju menubruknya. Akan tetapi mereka berseru kaget sekali dan bulu tengkuk mereka berdiri ketika tiba-tiba mereka bertiga itu terjengkang ke belakang sebelum tangan mereka menyentuh pakaian Bu Pun Su, seakan-akan ada tenaga aneh keluar dari pendekar sakti ini yang mendorong mereka ke belakang! Bu Pun Su tidak pedulikan mereka, terus ia menyelidiki keadaan di dalam kelenteng dengan mata yang awas dan tajam. Setiap kamar diselidikinya, akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Kalau kitab dan pedang itu disembunyikan di dalam kelenteng, kiranya takkan terlepas dari pandang mata pendekar ini. Di dalam dua kamar, ia melihat dua orang wanita cantik yang masih muda dan bermuka pucat. Mereka ini tidak menjerit melihat dia datang, hanya memandang dengan mata terbelalak. "Apakah kau isteri Hek Mo-ko?" tanyanya kepada wanita di dalam kamar pertama. Wanita itu menggeleng kepalanya, "Aku isteri Pek Mo-ko, kau siapakah berani berlancang memasuki kamarku?" Kemudian wanita ini tertawa menyeringai sehingga muka yang tadinya cantik ini berubah seperti muka iblis. Bu Pun Su berdebar kaget. Ternyata isteri Pek Mo-ko ini agak miring otaknya! Ia tidak bertanya lebih lanjut dan ketika ia bertemu dengan wanita ke dua di kamar lain ia bertanya pula, "Hm, kau agaknya isteri Hek Mo ko." "Benar," jawab wanita itu, "Kau siapakah dan bagaimana suamiku mengijinkan kau masuk ke sini?" Bu Pun Su sebetulnya segan untuk bicara dengan isteri orang lain, akan tetapi melihat wanita ini masih amat muda dan cantik, sedangkan Hek Mo-ko demikian buruk rupa dan setengah tua, ia tak dapat menahan hatinya untuk tidak bertanya. "Apakah Hek Mo-ko telah menculik dan memaksamu menjadi isterinya?" Untuk sejenak wanita itu diam saja, kemudian ia berdiri dan berkata marah, "Kau ini manusia dari manakah begini kurang ajar" Aku menikah dengan suamiku secara baik-baik dan sah, ada sangkut-paut apakah dengan kau maka kau bertanya-tanya?" Bu Pun Su merasa seperti ditampar pipinya. Mukanya menjadi merah sekali. Inilah tak disangka-sangkanya sama sekali dan baru sekarang ia melihat atau dapat menduga bahwa isteri Hek Mo-ko ini sedang mengandung. "Maaf, maaf..." katanya perlahan dan ia lalu keluar lagi dari kamar itu. Setelah puas menyelidiki di dalam kelenteng dan tidak mendapatkan sesuatu, ia lalu keluar lagi. Setibanya di ruang luar, ia berdiri menghadapi tiga patung yang sebesar manusia itu. Buatan patung ini demikian halus sehingga menyerupai manusia benar-benar. la memandang kepada wajah patung yang mewakili Thian-te Sam-kauwcu itu untuk memperhatikan mereka. Benar-benar mereka ini kelihatan angker dan dari sikap mereka ia dapat menduga bahwa tiga orang ini bukanlah orang sembarangan. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Siapa tahu kalau-kalau dua benda yang dicuri dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai itu disembunyikan di dalam patung-patung ini" Ia melangkah maju dan meraba pundak patung Pek-in-ong yang berdiri di kiri, yakni patung yang tinggi kurus mukanya seperti tengkorak. Tiba-tiba terdengar suara mendesis dan dari mulut patung itu menyambar keluar sinar hitam yang menyerang ke arah leher dan muka Bu Pun Su! Pendekar ini bukan sembarangan ahli silat, melainkan seorang sakti yang mewarisi ilmu silat dan ilmu-ilmu aneh dari IM-YANG-BU-TEK-CINKENG. Seorang ahli silat tinggi lainnya belum tentu dapat menghindarkan serangan tiba-tiba dari mulut patung itu, akan tetapi Bu Pun Su dengan amat tenang miringkan kepalanya sehingga sinar hitam itu menyambar lewat. Ia mencium bau yang amat amis, maka diam-diam ia bergidik. Tahulah Bu Pun Su bahwa yang menyambar lewat tadi adalah segenggam jarum-jarum halus berwarna hitam yang mengandung bisa yang amat jahat. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 35 Bu Pun Su tersenyum. Ia maklum bahwa dua patung yang lain tentu mengandung alat rahasia pula, akan tetapi dia bukan Bu Pun Su kalau merasa gentar. Orang lain mungkin akan merasa khawatir dan tidak berani mengganggu dua patung yang lain, akan tetapi Bu Pun Su bahkan tertarik dan ingin tahu sekali bagaimana cara dua patung yang lain akan menyerangnya! Ia mau coba-coba dan ini pun tidak aneh, karena orang seperti Bu Pun Su ini memang sudah biasa menantang dan bermain-main dengan maut! Ia menghampiri patung di kanan, yakni patung dari Ceng-hai-ong yang bertubuh kurus bongkok dan matanya sipit itu. Dengan tenang Bu Pun Su menepuk pundak patung itu dan secepat kilat kedua tangan patung itu bergerak, dengan kukunya yang panjang patung itu mencengkeram ke depan, kedua tangan menyambar dari kanan kiri! "Aha, kau ahli gulat kiranya!" Bu Pun Su mengejek sambil bergerak melangkahkan kaki mundur, mengelak dari cengkeraman itu. Akan tetapi, tiba-tiba dari jarijari tangan itu menyambar keluar benda ciri berwarna hijau yang baunya harum! Bu Pun Su kali ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan ujung lengan baju sebelah kiri darimana keluar tenaga Pek-in-hoat-sut yang mengepulkan uap putih, sehingga benda cair itu terpercik kembali dan membasahi muka patung. "Hm, kiranya semua ahli racun yang berbahaya," pikir Bu Pun Su. Ia pikir bahwa patung di tengah, yang amat menyeramkan dan tinggi besar itu, tentulah yang paling lihai. Namun ia tidak gentar, bahkan gembira dan sambil tersenyum ia melangkah menghampiri patung ini. "Coba perlihatkan kelihaianmu!" katanya sambil menepuk dada patung tinggi besar ini. Patung ini besar dan tinggi sekali sehingga Bu Pun Su hanya sampai di leher tingginya. Begitu tangan kanan Bu Pun Su menepuk dada patung, terdengar suara keras dan dada patung itu tiba-tiba terbuka, dari mana keluar menyambar uap hitam yang menyerang ke depan. Ini masih disusul dengan bergeraknya kaki kanan patung yang melakukan tendangan kilat ke depan, kemudian dari mata, hidung, telinga dan mulut patung itu menyambar keluar asap hitam sedangkan kedua tangan memukul pula ke depan. Inilah serangan sekaligus yang amat luar biasa dan berbahaya sehingga Bu Pun Su sendiri menjadi terkejut. Pendekar sakti ini tidak berani menangkis, melainkan melompat mundur cepat sekali sambil menggoyang-goyang kepalanya. "Kau jahat sekali... jahat sekali..." Setelah berkata demikian, ia lalu melompat keluar dari kelenteng. Ia sudah puas karena ketika tangannya menepuk patungpatung tadi, ia telah mengerahkan lwee-kangnya sehingga kalau di situ tersembunyi benda keras seperti pedang mustika, tentu terdengar bunyi pedang itu. Namun tadi ia hanya mendengar suara mendengung tanda bahwa di dalam patung itu hanya terisi hawa, maka ia telah mengerahkan tenaga dan merusak patung itu dengan diam-diam. Ia benci melihat tiga patung itu, bukan benci kepada orang karena macamnya, akan tetapi benci kalau mengingat betapa tiga orang dari barat ini telah menguasai Mo-kauw dan menyebar pelajaran atau agama baru yang sesat. Di mana ada pendeta-pendeta suci yang menganjurkan pemeluk-pemeluk agamanya memuja dan menyembah mereka sendiri" Setibanya di luar kelenteng, Bu Pun Su disambut oleh Pek Mo-ko dengan muka merah. "Bu Pun Su kau telah menghina kami, kau telah mengotori kelenteng kami yang suci. Biarpun namamu sudah terkenal di seluruh kolong langit, jangan kira bahwa aku Pek Mo-ko takut melawanmu!" "Habis, kau mau apa?" tanya Bu Pun Su, "Seperti sudah kukatakan tadi, aku datang mencari kitab dan pedang dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang hilang dan terus terang saja aku mencurigai Thian-te Sam-kauwcu. Akan tetapi sayang aku tidak dapat menemukannya di dalam kelenteng ini." Hek Mo-ko terdengar tertawa mengejek. "Kau memang gatal tangan dan suka mencampuri urusan orang lain. Bu Pun Su, setelah kau datang dan mengacau kelenteng kami, sebagai tuan rumah terpaksa kami harus membela diri dari hinaan ini. Kedatanganmu mengacau kelenteng Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 36 ini berarti sebuah tantangan, kalau kami tidak melayani bukankah kami akan ditertawai orang" Nah, bersiaplah, kita boleh main-main sebentar." Sambil berkata demikian, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko masing-masing mengeluarkan senjata mereka. Dua orang Iblis Hitam Putih ini lihai dan senjata mereka juga bukan senjata sembarangan. Di tangan kanan mereka memegang sebatang pedang yang ujungnya bercabang. Pedang ini bukan saja amat ampuh dan kuat karena terbuat dari bahan yang baik akan tetapi juga ujungnya yang bercabang itu dapat dipergunakan untuk mengait dan merampas serta merusak senjata lawan. Akan tetapi, betapapun lihainya pedang di tangan kanan, masih lebih lihai lagi senjata aneh yang berada di tangan kiri mereka. Senjata ini berupa seuntai tasbeh dari logam hitam. Tasbeh ini dapat dimainkan begitu saja, akan tetapi dapat pula dilepas sambungannya sehingga merupakan sebuah pian atau senjata rantai yang hebat. Masih dapat dipergunakan dalam lain cara, yakni batu-batu tasbeh itu dapat diloloskan keluar dari untaiannya dan dipergunakan sebagai senjata yang berbahaya! Melihat sikap Hek Pek Mo-ko yang menantang ini, Han Le mendahului suhengnya. Ia melompat ke depan menghadapi mereka sambil mencabut pedangnya yang jarang keluar dari sarung itu. "Hek Pek Mo-ko, kalian berdua dan kami pun berdua. Biarlah kita mencoba kepandaian masing-masing, seorang daripadamu boleh melawan aku dan yang seorang lagi nanti menghadapi Suheng Bu Pun Su." "Hek Pek Mo-ko dua saudara tak pernah berpisah," kata Hek Mo-ko, "Kami sudah bersumpah hidup bersama mati berdua, dalam pertempuran kami selalu maju bersama." "Itu tidak adil!" kata Han Le. Dia tidak gentar menghadapi seorang di antara mereka akan tetapi kalau dikeroyok dua, selain berat juga tidak adil. "Suheng, biarlah kali ini aku menghadapi dia sendiri!" kata Pek Mo-ko yang Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berwatak berangasan dan baru saja ia berkata demikian tasbeh di tangan kirinya sudah bergerak menyambar kepala Han Le. "Bagus!" seru pengemis sakti ini dan cepat ia mengelak sambil menggerakkan pedangnya yang menusuk ke arah ulu hati lawannya. Akan tetapi Pek Mo-ko ternyata memiliki gerakan yang gesit sekali. Tusukan pedang ini ia tangkis dengan pedangnya yang berujung aneh itu. Cabang ujung pedangnya menempel dan diputar demikian rupa untuk mengait badan pedang Han Le dan hendak mematahkannya. Akan tetapi Han Le bukanlah murid Ang-bin Sin-kai kalau ia tidak bisa menghindarkan diri dari serangan lawan ini. Dengan gerakan Sian-jin-khai-in (Dewa Membuka Awan) ia melakukan gerakan "membuka" dari ilmu pedang Hun-khaikiam-hoat ajaran Ang-bin Sinkai, dan pedangnya yang terkait itu secara aneh telah membuka serangan lawan sehingga Pek Mo-ko bukannya dapat merampas atau mematahkan pedang lawan, bahkan telapak tangannya merasa panas sekali sehingga ia cepat-cepat menarik pulang pedangnya. Sebagai gantinya, kembali tasbeh menyambar ke lambung Han Le. Han Le terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa lawan ini dapat bergerak secepat itu, cepat melakukan serangan lanjutan begitu serangan pertama ditangkis. Ia lalu memutar pedangnya dan mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk menghadapi lawan yang amat lihai ini. Di lain pihak, Pek Mo-ko diam-diam harus mengakui kelihaian kiam-hoat lawannya. Tidak saja lihai, akan tetapi juga aneh sekali dan mempunyai gerakan yang otomatis setiap kali menghadapi desakannya. Ia tentu saja tidak tahu bahwa selain telah mewarisi Hun-khai-kiam-hoat dan ilmu-ilmu silat tinggi dari gurunya, yakni Ang-bin Sin-kai, juga Han Le telah mempelajari dengan tekunnya lukisan-lukisan di Pulau Pek-le-tho sehingga biarpun hanya kulitnya, ia telah sedikit-sedikit mempelajari ilmu-ilmu yang lihai dari Im-yang-bu-tek-cin-keng! Pelajaran ini membuat gerakan Han Le menjadi otomatis dan matanya amat tajam dapat mengikuti semua arah tujuan serangan lawan. Pek Mo-ko menggereng keras dan kedua senjatanya yang aneh itu diputar cepat, bertubi-tubi Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 37 dan berganti-ganti melakukan serangan maut. Namun, dengan pedangnya, Han Le dapat membendung gelombang gerakan serangan ini sehingga sampai lima puluh jurus lebih mereka bertempur, tidak ada yang terdesak. Kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, namun tingkat mereka boleh dibilang seimbang sehingga pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang amat seru. Saking penasaran menghadapi lawan yang amat tangguh ini, Pek Mo-ko melepaskan sambungan tasbehnya sehingga tasbeh ini sekarang bukan merupakan lingkaran, melainkan menjadi sebatang pian yang lemas dan panjang. Pek Mo-ko dan suhengnya sudah melakukan ratusan pertempuran dan mereka jarang sekali dikalahkan orang. Di sebelah barat atau selatan dari Tibet, mereka berdua merupakan sepasang iblis yang ditakuti dan disegani, bahkan golongan-golongan partai persilatan besar di barat seperti Go-bi-pai dan Kun-lun-pai, semua mengakui kelihaian Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi sekarang menghadapi Han Le, Pek Mo-ko tidak berdaya, bahkan tidak dapat mendesak, sungguhpun ia tak dapat dikatakan kalah oleh pengemis sakti itu. Saking marahnya, dalam jurus ke tujuh puluh, Pek Mo-ko berseru keras dan secepat kilat pedangnya membacok dari kanan ke kiri. Ketika Han Le mengelak, pedang ini cepat sekali membalik dan menyambar ke leher. Inilah gerakan yang tidak terdugaduga, apalagi ketika tasbeh yang sudah menjadi pian itu menyambar ke lambung! Han Le maklum bahwa tidak mungkin ia menghindarkan diri dari dua serangan yang dilakukan sekaligus ini, maka ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang amat lihai dan keberaniannya yang luar biasa. Pedang yang menyambar lehernya ditangkisnya dengan pedangnya sendiri, sambil mengerahkan tenaga, "menempel" sehingga dua pedang itu begitu bertemu lalu tak dapat terpisah kembali, seakan-akan besi berani dengan besi! Adapun tasbeh yang menyambar ke lambung kirinya, cepat ditangkis dengan tangan kiri, lalu ia mengerahkan tenaga membetot. Kini keadaan dua orang itu benar-benar aneh. Keduanya tidak bergerak, seperti patung dalam kuda-kuda yang amat kuat. Tangan kanan yang memegang pedang saling mendorong akan tetapi tangan kiri yang memegang tasbeh saling membetot. Pertarungan kini beralih kepada pertarungan tenaga lwee-kang, akan tetapi bukan pertandingan lwee-kang yang biasa, karena tenaga di seluruh tubuh disalurkan menjadi dua bagian, atau terpecah menjadi dua. Sebagian disalurkan ke tangan kanan yang mendorong, sebagian pula disalurkan ke tangan kiri yang menarik! Hal ini tak dapat dilakukan oleh sembarang ahli silat yang belum tinggi tenaga lweekangnya. Sampai beberapa puluh detik mereka tidak bergerak, dan nyata sekali bahwa masing-masing mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya untuk mencapai kemenangan. Sekarang sudah tidak ada jalan untuk mundur lagi, karena siapa yang mundur lebih dulu, banyak bahaya akan menderita luka hebat! Tidak ada jalan lain lagi kecuali mengerahkan tenaga dan mendesak lawan dengan lwee-kang. Pertandingan ini berubah menjadi perjuangan mati hidup! Dari kepala dua orang jago ini sudah mengepul uap putih, tanda bahwa mereka telah mengerahkan tenaga yang terakhir! Tiba-tiba Hek Mo-ko tertawa bergelak, "Sute, mengapa kau sekarang begini lemah?" katanya dan dengan ringan dan cepat sekali ia telah melompat di belakang Pek Moko sambil menepuk-nepuk punggungnya seakan-akan orang yang mencela dan menegur. Akan tetapi Han Le terkejut bukan main ketika pada saat Hek Mo-ko menepuk punggung sutenya, ia merasa tubuhnya bergetar dan kuda-kudanya tergempur! "Hek Mo-ko, tidak malukah engkau?" tiba-tiba Bu Pun Su menegur. Pendekar sakti ini berdiri di belakang Han Le sejauh satu tombak lebih. Dia tidak menghampiri sutenya untuk membantu, menggerakkan kedua tangan ke arah sutenya itu seperti orang mendorong, dan dari kedua tengannya keluar uap putih. Inilah ilmu Pek-inhoat-sut yang tiada taranya di dunia! Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 38 Hek Mo-ko yang masih menempelkan tangan di punggung sutenya tiba-tiba terdorong oleh tenaga yang hebat, yang keluar dari sepasang tangan Han Le, sebaliknya Han Le merasa betapa punggungnya kemasukan hawa hangat yang menyegarkan semangat dan tubuh sehingga ia mengerahkan tenaganya lagi. Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko hendak mempertahankan diri, namun tenaga bantuan dari Bu Pun Su benar-benar hebat sehingga mereka berteriak keras dan tubuh mereka terlempar ke belakang berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih sampai dua tombak lebih! Pedang dan tasbeh di tangan Pek Mo-ko tadi terlepas dari tangan dan jatuh di tanah, menimpa batu menimbulkan suara berkerontangan! Baiknya Bu Pun Su tidak berniat mencelakai dua orang iblis ini sehingga mereka tidak terluka hebat, hanya Hek Mo-ko yang terkena langsung pembalikan tenaga Pek Mo-ko sehingga wajahnya pucat dan mulutnya menyemburkan darah. Akan tetapi, setelah mengatur napas ia pulih kembali. Sambil memandang dengan terheran-heran, Hek Mo-ko menghadapi Bu Pun Su dengan melompat berdiri. "Bu Pun Su, benar-benar kau lihai. Aku dan suteku terima kalah," katanya sambil menjura. Akan tetapi Bu Pun Su tidak mempedulikannya, hanya berpaling kepada Han Le. "Sute, kita tidak mempunyai urusan lagi di sini, mari kita pergi." Pada saat kedua orang sakti itu hendak pergi, tiba-tiba dari atas genteng kelenteng melayang turun bayangan tubuh yang ramping dan tercium bau yang harum. Tahu-tahu seorang wanita berdiri menghadang Bu Pun Su dan Han Le. Dua orang sakti ini berdiri bengong, tertegun dan takjub, bukan karena kecantikan luar biasa dari gadis itu, melainkan melihat cara gadis itu melompat turun dari genteng seakan-akan melayang atau terbang! Inilah menandakan bahwa gin-kang dari gadis ini telah mencapai puncak kesempurnaan. Bahkan Bu Pun Su yang menjadi ahli waris dari Im-yang-bu-tek-cin-keng dan memiliki gin-kang yang jauh melebihi kebanyakan ahli silat tinggi, menjadi terheran-heran. Orang yang melayang turun itu adalah seorang gadis cantik sekali, pakaiannya mewah dan indah, rambutnya yang panjang dan hitam disanggul dalam cara yang amat menarik, kulit mukanya putih kemerahan, nampak halus dan segar, sepasang matanya bagaikan bintang di langit cerah, bibirnya tersenyum-senyum manis sekali. Pendeknya, selama hidupnya, baik Han Le maupun Bu Pun Su sendiri, belum pernah melihat seorang gadis secantik ini. Melihat muka dan potongan badannya, orang akan menaksir bahwa gadis ini paling banyak berusia dua puluh tahun, akan tetapi orang itu akan terkejut dan tidak mau percaya kalau diberi tahu bahwa gadis ini adalah seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih! Inilah dia murid terpandai dan terkasih dari Thian-te Sam kauwcu, yang disebut Bi Sian-li (Bidadari Cantik) Pek Hoa Pouwsat! Tadinya Han Le dan Bu Pun Su sendiri tidak dapat menduga siapa adanya gadis ini, akan tetapi ketika Bu Pun Su melihat setangkai bunga yang bentuknya indah dan aneh, berwarna putih seperti salju menghias rambut yang digelung indah itu, tiba-tiba ia teringat. Akan tetapi ia masih ragu-ragu dan kemudian bertanya, "Apakah kami berhadapan dengan Pek Hoa Pouwsat?" Gadis itu tersenyum lebar. Bibirnya merah bergerak-gerak dan terlihatlah deretan gigi yang bersih dan berkilau seperti mutiara. "Bu Pun Su benar-benar bermata tajam sekali, sayang kau terlalu ganas dan gatal tangan sehingga kau berani merusak tiga patung dari guru-guruku. Untuk kedosaan ini kau harus menerima hukuman! Hek Pek Sute, mari kita gempur dia ini yang telah merusak patung Sam-wi Suhu!" Sambil berkata demikian, kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah memegang sepasang siang-kiam (sepasang pedang), kemudian tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan kedua pedang itu yang meluncur dan menyerang leher dan dada Bu Pun Su! Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 39 Hek Pek Mo-ko sudah gentar menghadapi Bu Pun Su dan mereka telah maklum pula akan kelihaian pendekar sakti ini, akan tetapi ketika mereka mendengar bahwa Bu Pun Su telah merusak patung tiga orang suhu dan pemimpin mereka, Hek Pek Mo-ko menjadi marah sekali. Apalagi sekarang mereka dibantu oleh Pek Hoa Pouwsat, hati mereka menjadi tabah dan semangat besar. Sambil mengeluarkan suara mengancam, sepasang iblis hitam putih ini lalu menyerbu dan mengeroyok Bu Pun Su. Melihat suhengnya dikeroyok, Han Le tentu saja tidak mau tinggal diam. Ia mencabut pedangnya, namun tiba-tiba Bu Pun Su berkata, "Simpan kembali pedangmu, Sute. Perempuan ini lihai sekali, kau takkar menang. Biarkan aku menghadapi mereka bertiga, hitung-hitung mengukur kepandaian Thiante Sam-kauwcu!" Han Le percaya akan kata-kata suhengnya, karena ia memang melihat betapa sepasang pedang dari Pek Hoa Pouwsat itu amat lihai, sepasang pedang ini bergerak terus susul-menyusul dalam serangannya, merupakan serangan berantai yang tiada habisnya. Akan tetapi ia lebih percaya akan kesaktian Bu Pun Su maka ia melompat ke pinggir dan berdiri menonton pertempuran itu dengan hati tenang. Pertempuran itu berjalan seru sekali, jauh lebih ramai daripada pertempuran antara Pek Mo-ko dan Han Le tadi. Akan tetapi pertandingan ini sebetulnya berat sebelah. Tidak saja Bu Pun Su dikeroyok tiga, juga ketiga orang lawannya mempergunakan senjata pasangan sehingga bertiga mempergunakan enam buah senjata, sedangkan Bu Pun Su sendiri bertangan kosong! Akan tetapi di sinilah terlihat kelihaian Pendekar sakti ini! Tiga orang pengeroyoknya adalah tokoh-tokoh dari tingkat tinggi, boleh dibilang duduk dalam tingkatan ke satu dalam deretan tokoh-tokoh persilatan di masa itu, akan tetapi ia masih mampu menghadapi mereka dengan mengandalkan sepasang tangan berikut ujung lengan baju saja! Di sini pula terlihat kehebatan dari pelajaran Im-yangbu-tek-cin-keng, dan terbukti bahwa ilmu silat Pek-in-hoat-sut yang diciptakan oleh Bu Pun Su benar-benar luar biasa. Menghadapi keroyokan tiga orang lawannya, tidak hanya sepasang lengannya yang mengeluarkan uap putih bahkan seluruh tubuhnya diliputi uap putih yang mengandung tenaga mujijat. Patut sekali ilmu silat ini disebut Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih), karena pengaruhnya seperti ilmu sihir saja. Setiap serangan senjata yang digerakkan oleh lawan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi, begitu terbentur oleh sambaran uap putih itu, terpental membalik kepada penyerangnya sendiri. Ini masih belum hebat, yang membuat Pe Hoa Pouwsat kadang-kadang berseru kaget adalah ketika Bu Pun Su membalasnya dengan serangan yang sama seperti gerakannya sendiri! Bagaimana Bu Pun Su bisa meniru limu silatnya" Ilmu silat pedang dari Pe Hoa Pouwsat adalah asli dari barat, bukan ilmu silat Tiongkok. Sungguhpun sumbernya memang ada hubungan, bahkan boleh dibilang sama, namun perkembangannya sudah demikian berbeda sehingga jauh bedanya kalau dipandang begitu saja. Semenjak kecilnya Pek Hoa Pouwsat hidup di Nepal, bahkan belajar ilmu silat di sana pula, dari Thian-te Sam-kauwcu, akan tetapi bagaimanakah sekarang Bu Pun Su dapat menyerangnya dengan ilmu silat yang gerakannya serupa" Ia tidak tahu bahwa inilah kehebatan ilmu silat dari Im-yang-bu-tek-cin-keng. Di dalam ilmu silat yang dipelajarkan oleh kitab rahasia ini, terdapat pelajaran dari pokok gerakan semua ilmu silat dan semua gerakan kaki tangan, sehingga belum tiba, serangan lawan, dari gerakan pundak dan pangkal paha saja Bu Pun Su sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh lawan dalam penyerangannya. Ini ditambah oleh ketajaman mata dan kecerdikan ingatannya sehingga sekali lihat saja ia sudah dapat pula menangkap inti sari setiap serangan dan dapat melakukan serangan semacam itu pula dengan sama hebatnya, kalau tidak boleh dibilang lebih sempurna lagi! Di lain pihak Bu Pun Su memuji ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat. Ilmu pedang ini dalam kelihaiannya tidak kalah oleh Hun-khai-kiam-hoat ciptaan Ang-bin Sin-kai, dan dia tadi tidak membohong ketika menyatakan bahwa Han Le takkan dapat menang dari Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 40 gadis ini. Juga yang membikin gadis itu sukar dilawan adalah gin-kangnya yang luar biasa seakan-akan gadis ini benar-benar seorang bidadari yang dapat terbang. Setelah bertempur beberapa puluh jurus dan memperhatikan gerakan Pek Hoa Pouwsat, barulah Bu Pun Su tahu mengapa gadis itu dapat bergerak sedemikian ringan dan cepatnya, setiap gerakan yang cepat didahului oleh terbukanya pangkal lengan dan matanya yang tajam dapat melihat bahwa di punggung gadis ini, tersembunyi di balik pakaian, terdapat semacam alat yang terisi angin. Agaknya semacam alat penggerak yang mengandung tenaga yang kerjanya seperti sepasang sayap. Memang harus diakui bahwa gin-kang dari gadis itu lebih tinggi daripada Han Le, akan tetapi tanpa bantuan alat tidak mungkin gadis itu dapat bergerak seperti terbang! Dalam menghadapi tiga orang pengeroyoknya, Bu Pun Su memang hanya bermaksud menguji kepandaian mereka saja, sama sekali tidak bermaksud melukai atau membunuh mereka. Biarpun tidak mudah baginya akan tetapi kalau dia mau ia mampu merobohkan tiga orang lawannya ini. Biarpun demikian, tangkisan-tangkisan dari tenaga Pek-inhoat-sut telah membuat Hek Pek Mo-ko menjadi pucat mukanya. Ini adalah akibat dari benturan tenaga Pek-in-hoat-sut yang membuat setiap serangan tenaga lweekang mental kembali dan menghantam penyerangnya sendiri. Tidak demikian dengan Pek Hoa Pouwsat. Gadis ini maklum bahwa dalam hal lwee-kang ia tidak mampu menandingi Bu Pun Su, maka serangannya ia andalkan kepada kegesitan tubuhnya dan tiap tusukan atau sabetan pedangnya hanya dilakukan tenaga lemas sehingga ia tidak terserang oleh tenaganya sendiri yang membalik. Dipandang dari sudut ini saja sudah dapat diketahui bahwa gadis ini jauh lebih cerdik daripada Hek Pek Mo-ko, dan juga Bu Pun Su mendapat kenyataan bahwa biarpun dalam hal tenaga lwee-kang, kedua iblis itu lebih kuat daripada Pek Hoa Pouwsat, namun kepandaian gadis ini masih lebih tinggi. Setelah menyerang sampai enam puluh jurus lebih, tahulah Pek Hoa Pouwsat bahwa ia dan dua orang kawannya takkan mungkin menangkan Bu Pun Su. Ia telah berkalikali mengeluarkan hoat-sutnya, berkemak-kemik dan berkali-kali menyebar hawa beracun yang berbau harum sekali. Lain orang apabila terkena serangan ini pasti akan menjadi lemas dan jatuh pingsan, namun berkat hawa Pek-in-hoat-sut, semua serangan ilmu hitam ini buyar tidak ada pengaruhnya terhadap Bu Pun Su! "Ombak pasang! Buka layar dan mendarati!" tiba-tiba Pek Hoa Pouwsat berseru. Inilah bahasa rahasia dari perkumpulan mereka dan tiba-tiba gadis ini membanting sesuatu antara dia dan Bu Pun Su. Pendekar sakti ini sudah dapat menduga, maka cepat-cepat ia melompat mundur. Terdengar ledakan keras asap hitam memenuhi tempat itu, membuat pandangan mata menjadi gelap. Setelah asap hitam membuyar, tidak kelihatan lagi bayangan Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko! Sebagai gantinya, di sekeliling tempat itu, penduduk dusun itu telah mengurung Bu Pun Su dan Han Le. Mereka ini membawa senjata dan memandang dengan sikap mengancam! "Sute, kau pergilah ke Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, beritahukan agar mereka dan semua partai persilatan golongan Beng-kauw berhati-hati terhadap Thian-te Sam-kauwcu. Kurasa mereka mengandung maksud kurang baik. Biar aku mencari kitab dan pedang yang hilang!" Sehabis berkata demikian, sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari situ. Semua petani yang sudah dipengaruhi oleh agama baru itu, menjadi terheran-heran, akan tetapi kini mereka mengurung dan mendekati Han Le dengan sikap mengancam, seakan-akan hendak mengeroyoknya. Han Le tertawa pahit, kemudian sekali melompat, ia pun lenyap Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo melalui atas kepala para pengurungnya sehingga kembali para penduduk dusun itu melongo dan saling pandang! Bu Pun Su menyelinap ke dalam kelenteng hendak mencari Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko untuk dipaksa mengaku di mana adanya kitab dan pedang, atau di mana adanya Thian-te Sam-kauwcu, akan tetapi setelah tiba di dalam kelenteng, ia tidak melihat lagi bayangan mereka, bahkan dua orang isteri Hek Pek Mo-ko sudah tenyap pula. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 41 *** Kita kembali ke dusun Sui-chun yang sungguhpun hanya sebuah dusun namun besar menyerupai kota yang cukup ramai. Di rumah keluarga Song pada malam hari itu amat sunyi. Song Lo-kai, atau sekarang lebih terkenal dengan sebutan Song-lo-wangwe karena ia memang kaya raya, sudah tidur pulas. Para pelayan juga sudah tidak kelihatan lagi. Akan tetapi kalau orang mau menengok ke dalam taman bunga yang luas di belakang gedung itu, ia akan melihat bahwa di dalam kebun itu masih ada beberapa orang bercakap-cakap. Mereka ini bukan lain adalah Song Bi-Li, Ceng Si pelayannya, dan seorang pemuda yang tampan. Pemuda ini bukan lain adalah Cia Sun, siucai miskin yang mencinta Bi Li. Atas bantuan Ceng Si pelayan dari nona itu, Cia Sun pada malam hari ini berhasil memasuki taman. Tadinya Song Bi Li terkejut, marah dan amat khawatir melihat pemuda itu lancang memasuki tamannya, akan tetapi Cia Sun segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu! "Song-siocia, kau benar-benar berhati kejam. Ambillah sebatang pedang dan bunuhlah saja Cia Sun yang miskin dan malang ini. Untuk apa hidup lebih lama lagi di dunia ini?" Demikian Siucai tampan itu menangis. Song Bi Li yang masih hijau itu tentu saja dapat dikelabuhi dan merasa amat terharu. "Cia-siucai, mengapa kau begini berduka" Jangan begitu dan kau pergilah, kalau Kong-kong tahu bahwa kau masuk ke sini, kau tentu akan mendapat kesukaran." "Lebih baik diketahui oleh Kong-kongmu agar aku dibunuh! Song-siocia, kau benarbenar kejam sekali. Bagaimana kau dapat menerima pinangan orang lain" Kalau kau menjadi isteri orang lain, bagaimana dengan aku, Cia Sun yang bodoh dan miskin?" Song Bi Li menjadi merah mukanya. Ia bingung dan bibirnya gemetar, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Akhirnya Ceng Si yang mewakili nonanya bicara, "Cia-kongcu, sudahlah jangan kau terlalu berduka. Nona terpaksa menerima kehendak kong-kongnya, karena dalam pernikahan, apakah daya seorang gadis terhadap kehendak orang tua" Adapun tentang kau, Kongcu, Siocia tentu saja takkan melupakan begitu saja. Bahkan Siocia sudah berjanji kepadaku untuk memberi bekal padamu agar kau melanjutkan pelajaranmu di kota raja, agar kelak kau bisa meniadi seorang berpangkat." Cia Sun menangis lagi. "Bagaimanakah seorang miskin seperti aku ini dapat melanjutkan pelajaran di kota raja" Tidak saja biaya perjalanan ke sana amat besar, juga penghidupan di kota raja amat mahal. Apakah kau ingin aku menjadi seorang pengemis kelaparan di sana?" "Bukan begitu, Cia-sicu," kata Bi Li, "Biarpun aku tidak terlalu kaya, akan tetapi kiranya aku akan dapat membantumu. Aku sudah merencanakan hal ini dengan Ceng Si, dan inilah sedikit uang untuk bekal di perjalanan, kalau kiranya tidak mencukupi, kelak dengan perantaraan Ceng Si, aku akan dapat membantumu lagi." Sambil berkata demikian, Bi Li rnemberi tanda dengan matanya kepada Ceng Si. Pelayan ini lalu mengeluarkan sekantung uang emas yang memang disediakan oleh nonanya, memberikan itu kepada Cia Sun. Pemuda itu menerimanya lalu berpura-pura marah dan berduka. Ia melemparkan kantung uang itu ke atas lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Apa artinya uang bagiku" Apa artinya kalau aku bisa melanjutkan pelajaran sehingga menerima pangkat tinggi sekalipun" Apa artinya hidup tanpa kau di sampingku, Song-siocia" Cinta kasihku tidak semurah ini, tidak akan terbeli oleh harta dunia, takkan dapat ditukar dengan emas segunung Thai-san!" "Cia-siucai, harap kau dapat berpikir lebih panjang dan jangan membikin susah padaku," kata Bi Li. "Memang sudah menjadi kehendak Thian bahwa di dunia ini kita tidak berjodoh. Harap kau suka menaruh kasihan kepadaku. Terimalah uang itu dan kelak akan kutambah sewaktu-waktu kau memerlukannya." Pada saat itu kelihatan sinar lampu di kamar Kakek Song yang tadinya padam gelap. "Nah, Loya agaknya bangun..." kata Ceng Si ketakutan. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 42 "Cia-siucai, lekas pergi, Kong-kong bangun..." kata Bi Li. Ceng Si mengambil kantung uang itu dan menarik tangan Cia Sun menuju ke pintu taman. Pemuda ini cepat-cepat membawa kantung uang itu dan keluar dari taman. "Ceng Si, jangan lupa bujuk dia memberikan mainan indah, hiasan rambut berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang ia terima dari calon suaminya itu," katanya perlahan ketika mereka hendak berpisah. Ceng Si mengangguk. "Asal kau jangan lupa kelak mengawiniku," jawabnya. Kemudian pemuda itu menyelinap di dalam gelap, sedangkan Ceng Si kembali ke dalam taman. Akan tetapi, baru saja beberapa langkah Cia Sun berjalan dengan hati girang sambil membawa sekantung uang emas itu, tiba-tiba menyambar bayangan yang amat ringan. Cia Sun terkejut sekali ketika melihat bayangan orang menyambar turun di depannya dan tercium bau yang amat harum olehnya. Saking kagetnya hampir saja ia berteriak, akan tetapi begitu bayangan itu mengulur tangan dan jari-jari yang halus menyentuh lehernya, pemuda ini tidak dapat mengeluarkan apa-apa. Jalan darah Ah-tai-hiat di lehernya telah ditotok! Maka ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak. "Hm, kau hendak mempermainkan seorang gadis kaya" Bagus sekali, orang macam kau harus dicokel kedua matanya!" terdengar bentakan yang halus merdu, "Kau rebah dulu di sini, hendak kulihat gadis macam apa dia yang hendak kaupermainkan itu." Kembali jari-jari halus bergerak menotok pundak dan robohlah Cia Sun, roboh dengan tubuh lemas tak dapat bergerak, karena kini jalan darah Thian-hu-hiat yang ditotok secara istimewa sekali. Cia Sun tidak tahu siapa yang melakukan perbuatan ini, karena keadaan amat gelap. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah seorang wanita yang memiliki suara merdu, serta berbau harum sekali. Wanita ini bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia telah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan berhasil melarikan diri sambil melepas semacam alat peledak yang menimbulkan asap hitam tebal. Akan tetapi, setelah melarikan diri beberapa hari kemudian ia merasa seperti selalu dikejar-kejar atau diikuti oleh Bu Pun Su! Sungguhpun ia tidak pernah melihat pendekar sakti ini mengikutinya, namun penasarannya selalu tidak enak dan demikianiah, malam hari itu ia terus melanjutkan perjalanannya sampai di dusun Sui-chun. Melihat rumah gedung Song Lo-kai, ia tertarik dan ingin mencuri masuk dan beristirahat di situ, secara kebetulan ia melihat pertemuan antara Song Bi Li dan Cia Sun dan kemudian ia membikin pemuda itu tidak berdaya. Pek Hoa Pouwsat atau lebih singkat disebut Pek Hoa karena memang demikianlah nama asalnya, melompat ringan dan tiba kembali di dalam taman bunga. Keadaan di situ hanya remang-remang belaka maka ia tidak dapat melihat jelas bagaimana wajah Bi Li, Ceng Si dan juga Cia Sun. Kini setelah Cia Sun pergi Bi Li berani menyuruh pelayannya menyalakan lampu taman sehingga keadaan di situ terang. Melihat wajah Bi Li, Pek Hoa amat kagum. Tak terasa ia berseru, "Ayaa, tidak tahunya gadis ini cantik jelita sekali..." Suaranya terdengar oleh Bi Li dan Ceng Si sehingga dua orang gadis itu terkejut sekali. Selagi mereka bingung dan terheran-heran, muncullah Pek Hoa dari balik batang pohon, muncul bagaikan seorang peri, cantik jelita dan menyiar kan bau harum melebihi bunga-bunga di taman. Ceng Si buru-buru berlutut. "Ampunkan hamba, Pouwsat yang baik..." ratapnya. Pek Hoa tersenyum lalu berkata, "Memang, orang yang mengandung dosa di hatinya paling mudah ketakutan dan paling mudah minta ampun kepada Kwan Im Pouwsat!" Tadinya Bi Li tertegun dan ia pun amat kagum melihat seorang wanita yang demikian cantiknya. Kini melihat sikap Ceng Si dan mendengar kata-kata Pek Hoa, timbul dugaannya bahwa memang yang datang ini tentulah Dewi Welas Asih Kwan Im Pouwsat yang sering Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 43 muncul di dalam dongeng kuno. Maka ia pun lalu melanjutkan diri berlutut di depan Pek Hoa. "Hamba mohon berkah dari Kwan Im Pouwsat yang mulia," kata gadis ini perlahan. Pek Hoa melangkah maju dan mengangkat bangun gadis itu. "Song-siocia, bangunlah. Aku memang seorang dewi, akan tetapi bukan Kwan-Im Powsat, melainkan Pek Hoa Pouwsat. Kau cantik sekali, Nona. Siapakah namamu?" Bi Li mengangkat muka dan memandang dengan terheran. Mengapa sikap seorang dewi kahyangan seperti ini" Begini biasa seperti sikap seorang gadis biasa" Akan tetapi alangkah cantik jelitanya, alangkah harum baunya. "Nama hamba Song Bi Li, dan tentang kecantikan... biarpun hamba mendapat berkah Kwan Im Pouwsat, namun kalau dibandingkan dengan Paduka, hamba kalah jauh...." Bukan main girangnya hati Pek Hoa Pouwsat. Gadis ini memang semenjak usia belasan tahun, amat gila untuk menjadi cantik dan selalu ia merasa khawatir kalau kecantikannya sampai berkurang atau hilang. Oleh karena ini, dengan kepandaiannya, ia berhasil menemukan cara pengobatan untuk merawat kecantikannya, bahkan untuk membuat ia kelihatan selalu muda belia. Oleh karena inilah maka biarpun usianya sudah tiga puluhan, ia masih kelihatan seperti seorang gadis muda yang demikian ayu, tentu saja ia merasa amat terpuji dan bangga. Dengan hati bangga dan girang ia menggandeng tangan Bi Li, kemudian ia bergerak cepat dan tahu-tahu Ceng Si telah kena ditotok sehingga menjadi kaku seperti patung. Akan tetapi dalam pandangan mata Bi Li, ia hanya melihat Pek Hoa menunjuk dengan jarinya ke arah Ceng Si yang masih berlutut dan pelayannya itu lalu menjadi kaku! "Jangan bergerak dan berlutut di situ sampai kami selesai bercakap-cakap!" kata Pek Hoa. Peristiwa ini membuat Bi Li makin percaya bahwa ia sedang bercakap-cakap dengan seorang dewi tulen! Ia menurut saja ketika Pek Hoa mengajaknya duduk di atas bangku-bangku yang dipasang di dekat kolam ikan emas, di bawah penerangan lampu minyak yang berwarna merah. "Bi Li, biarlah selanjutnya aku menyebut namamu saja, dan kau boleh menyebutku cici," kata Pek Hoa. Bi Li terkejut. Bagaimana ia boleh menyebut cici (kakak) kepada seorang bidadari" "Akan tetapi..." "Jangan membantah. Ini perintahku, mengerti" Aku lebih tua daripadamu." Bi Li menjadi berani mendengar ini. "Akan tetapi, sesungguhnya kau kelihatan lebih muda dariku, maka lebih pantas kalau aku menyebut moi-moi." Pek Hoa memandang tajam sambil tersenyum girang sekali. "Adikku yang baik! Betul-betulkah kata-katamu ini?" "Bagaimana aku berani membohong" Begini cantik jelita, seperti bunga baru mekar, paling banyak usiamu tujuh belas tahun dan aku sudah delapan belas!" jawab Bi Li. Pek Hoa tertawa geli, akan tetapi girang sekali hatinya. Dipuja oleh laki-laki, baginya tidak aneh dan dianggapnya bahwa semua laki-laki hanya tukang membohong untuk membujuk dan mengambil hati, akan tetapi dipuji oleh seorang gadis yang begini cantik ini lain lagi. "Tidak, Li-moi aku lebih tua. Usiaku sudah... sembilan belas tahun. Li-moi, sebetulnya kedatanganku ini hendak memberi berkah dan pertolongan kepadamu dengan Siucai she Cia itu, akan tetapi aku lebih suka mendengar dari mulutmu sendiri. Sebenarnya, apakah yang terjadi antara kau dan dia?" Bi Li terkejut, akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia berhadapan dengan seorang bidadari, ia tidak merasa aneh, bahkan tidak malu-malu untuk membuat pengakuan. "Aku sudah lama kenal dengan Cia-siucai, Cici Pek Hoa. Dan dia itu... dia menyatakan cinta kepadaku." "Apa kau tidak cinta kepadanya?" Bi Li termenung dan ragu-ragu. "Entahlah, Cici, kau lebih tahu tentunya. Aku tidak mengerti tentang cinta ini." Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 44 "Teruskan, lalu bagaimana?" "Kemudian, atas kehendak Kong-kong, aku harus menikah dengan seorang she Kiang dari kota Sian-koan, seorang pemuda gagah, perkasa yang pernah menolong nyawa Kong-kong." "Dan kau tidak suka kepadanya?" Kembali Bi Li termenung bingung. "Ini pun aku tidak bisa memastikan, Cici. Kelihatannya dia gagah dan baik budi, juga... tampan, bahkan lebih tampan daripada Cia-siucai. Karena aku tidak mungkin menolak kehendak Kong-kong, tadi Cia-siucai datang, menyatakan kehancuran hatinya dan hendak nekat membunuh diri. Baiknya aku dan pelayanku Ceng Si dapat membujuknya agar dia melanjutkan sekolah di kota raja dan akulah yang akan membiayainya sampai tercapai maksudnya. Calon suamiku itu orang yang amat kaya, sedangkan Kong-kong juga bukan orang miskin, maka kiraku jalan inilah yang terbaik, yakni untuk menghibur hatinya." Pek Hoa mengangguk-angguk. "Kau anak baik, dan kau amat cantik jelita. Kau layak hidup bahagia dan mendapatkan seorang suami yang baik dan tampan. Kau bilang tadi calon suamimu lebih cakap daripada Cia-siucai?" Merah muka Bi Li, akan tetapi dia mengangguk. "Bukan aku saja yang menganggap demikian, Cici, juga pelayanku Ceng Si menganggap demikian pula." "Dan kau bilang gagah perkasa" Apakah dia itu pandai ilmu silat?" "Tentunya pandai. Kong-kong pernah bilang kepadaku bahwa dia adalah murid dari seorang sakti dan aneh yang bernama Han Le yang menjadi murid dari seorang sakti yang dipuja-puja Kong-kong, yakni mendiang Ang-bin Sin-kai. Akan tetapi aku sendiri tidak kenal siapa adanya orang sakti yang bernama Han Le itu." Kalau Pek Hoa tidak tinggi ilmunya. dan dapat mengerahkan lwee-kang dan menyalurkan darah ke mukanya, tentu Bi Li akan melihat perubahan air mukanya ketika ia mendengar nama Han Le ini. "Jadi calon suamimu itu she Kiang dan tinggal di kota Sian-koan?" tanya pula. Bi Li mengangguk, Pek Hoa berdiri, memandang wajah Bi Li sekali lagi lalu berkata, "Adikku yang manis kelak kalau kau sudah punya anak, mungkin kita bertemu lagi karena aku ingin sekali melihat wajah anakmu." Bi Li hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba dengan sekali menggerakkan kaki, Pek Hoa sudah melompat di depan Ceng Si, membebaskan totokannya kepada tubuh pelayan ini dan sekali berkelebat ia lenyap dari pandangan mata! Ceng Si menjatuhkan diri berlutut mengangguk-anggukkan kepalanya sepe ayam makan padi, sambil mengeluh panjang pendek, "Pouwsat yang mulia, ampunkan hamba... jangan mencabut nyawa hamba..." Bi Li juga menjatuhkan diri berlutut mulutnya berkemak-kemik menghaturkan terima kasih kepada bidadari yang mengaku kakak kepadanya itu. Kemudian terpaksa ia menyeret Ceng Si berdiri karena pelayan yang ketakutan ini masih saja berlutut sambil sesambatan. Kita ikuti perjalanan Pek Hoa. Setelah melompat keluar dari taman bunga keluarga Song, ia menghampiri Cia Sun. Sekali tepuk saja ia sudah membikin pemuda ini sadar kembali. Sebelum Cia Sun sempat membuka mulut, tahu-tahu ia merasa tubuhnya terapung tinggi dan ternyata ia telah dikempit dan dibawa lari oleh Pek Hoa. Setibanya di tempat terang, yakni sudut jalan yang diterangi oleh lampu, Pek Hoa menurunkan pemuda itu, memandangi wajah dan tubuhnya. Agaknya ia puas dan senyumnya manis sekali. Di lain pihak, Cia Sun menjadi bengong, terpesona ia oleh kecantikan gadis ini dan bau harum yang luar biasa mendebarkan jantungnya. "Hm... kau tampan juga..." terdengar gadis itu berkata sambil meraba-raba pipinya. Dari takut dan kaget, Cia Sun menjadi girang. Tak disangkanya bahwa orang yang disangkanya setan dan yang sudah mengganggunya itu adalah seorang gadis muda yang demikian cantik jelitanya bahkan jauh lebih cantik daripada Ceng Si, juga lebih cantik Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 45 menarik daripada Bi Li yang pendiam dan malu-malu. Gadis ini sebaliknya kelihatan "berani" sekali, berani memuji ketampanannya, bahkan berani membelai-belai pipinya. "Aduh, Nona. Bukankah kau bidadari dari kahyangan yang turun dari bulan purnama" Apakah hendak mencabut nyawa hamba...?" katanya setengah bergurau. Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Melihat pandangan mata Cia Sun, pandangan mata yang penuh arti, sekonyongkonyong Pek Hoa menjadi jemu. Wanita ini semenjak usia belasan tahun sudah sering kali bertukar kekasih, hidupnya demikian busuk dan kotor, dan terkenal sebagai seorang wanita yang cabul. Hubungannya dengan banyak sekali orang laki-laki membuat ia menjadi jemu apabila melihat sikap laki-laki yang kurang ajar dan melihat laki-laki binal dan ceriwis, ia menjadi bosan dan mual. Kalau sekiranya Cia Sun bersikap takut-takut atau malu-malu, atau marah-marah melihatnya, mungkin Pek Hoa akan jatuh hati kepada pemuda yang tampan ini. Pek Hoa tidak membutuhkan laki-laki yang ceriwis, karena ia telah bosan dengan sikap seperti ini. Ia membutuhkan laki-laki yang alim, laki-laki yang tidak mudah tergoda oleh kecantikannya. Maka dengan sebal hati ia melemparkan tubuh Cia Sun ke pinggir jalan, merampas kantung uang pemberian Bi Li tadi, lalu pergi dengan cepat meninggalkan pemuda itu yang terlampau kaget dan takut untuk dapat mengeluarkan suara! Baru saja bayangan Pek Hoa berkelebat pergi, di belakangnya kira-kira sepuluh tombak jauhnya, berkelebat bayangan lain yang tidak kalah gesitnya, yang mengikuti perjalanan gadis itu secara diam-diam tanpa diketahui oleh yang diikutinya. *** Kiang Liat merasa berbahagia sekali. Tak pernah disangka-sangkanya bahwa nasibnya demikian baik dan menyenangkan. Tidak saja ia beruntung bertemu dengan pengemis sakti Han Le dan menjadi muridnya selama satu tahun mewarisi ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga kepandaiannya yang sudah lihai itu menjadi makin maju, juga terutama sekali ia bertemu dengan Song Lo-kai dan diambil cucu mantu. Yang membuat ia benar-benar merasa bahagia adalah ketika ia bertemu dengan Song Bi Li. Siapa pernah mengira bahwa cucu seorang kakek bekas pengemis demikian cantik jelitanya" Tidak hanya cantik, juga sikapnya demikian halus lemah-lembut, menimbulkan kasih sayang dan begitu bertemu muka, Kiang Liat terus saja jatuh cinta! Ia telah mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi pernikahannya yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Ia telah mengatur rumahnya yang selama ini hanya ia tinggali bersama inang pengasuhnya, telah mengatur semua persiapan agar isterinya kelak suka dan kerasan tinggal di rumahnya ini. Kemudian ia menyuruh inang pengasuhnya dan beberapa orang pembantu dari kotanya untuk berangkat lebih dulu ke Sui-chun, ke rumah keluarga Song untuk membuat segala persiapan. Ia sendiri sibuk membagi-bagikan undangan kepada sahabat-sahabat baiknya agar mereka suka datang dan mengantarnya ke Sui-chun untuk menambah kegembiraan. Persiapan terakhir telah dilakukan dan Kiang Liat merasa gembira sekali. Besok pagi-pagi ia akan berangkat ke Sui-chun, bersama beberapa belas orang kawankawan baik yang akan menjadi pengiringnya. Sehari itu ia telah pergi jauh ke luar kota, mengunjungi kawan-kawannya yang paling jauh rumahnya. Ia merasa agak lelah ketika sore hari itu ia pulang, melompat turun dari kudanya yang indah, menuntun kuda itu dan menghampiri pintu depan. Karena di rumahnya telah kosong tidak ada orang lain, maka rumah itu pintunya selalu ditutup. Semua pelayan telah dikirim ke Sui-chun agar setelah pernikahan dilangsungkan dapat mengiringkan sepasang pengantin itu pulang ke Sian-koan. Oleh karena itu, selama beberapa hari ini, Kiang Liat tinggal seorang diri di rumahnya. Akan tetapi, kesepian ini takkan lama lagi, hanya tinggal semalam lagi dan besok pagi-pagi ia akan berangkat ke rumah calon isterinya! Berpikir sampai di sini, terutama membayangkan wajah Bi Li yang cantik manis, Kiang Liat menjadi berseri wajahnya. Sambil tersenyum-senyum ia membuka pintu. Ia Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 46 tidak tahu bahwa semenjak tadi, sepasang mata yang bening dan indah selalu mengintainya dan mata ini bersinar-sinar ketika melihat potongan tubuh pemuda yang amat ganteng ini, tubuh yang tegap dan gagah, wajah yang tampan dengan kulit muka putih bersih, sepasang alis yang hitam tebal berbentuk golok melindungi sepasang mata yang lebar dan bersinar-sinar penuh semangat. Memang Kiang Liat seorang pemuda yang amat gagah dan tampan. Setelah meninggalkan kudanya di depan pintu, Kiang Liat masuk ke dalam rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Ia hendak mandi, berganti pakaian, kemudian keluar lagi. Memang tidak enak duduk seorang diri di dalam rumah tanpa kawan, apalagi menghadapi peristiwa yang demikian hebat, yakni pernikahannya dengan Nona Song Bi Li! Ia hendak pergi ke beberapa orang sahabat baiknya, mengajak mereka datang ke sini lalu memesan makan minuman dari rumah makan. Akan tetapi, ia masih belum tahu bahwa pada saat itu, sepasang mata bening dan jeli terus mengintainya! Mata yang memandangnya penuh kekaguman, penuh nafsu, dan kadang-kadang penuh kebencian! Kiang Liat melangkah tegap ke arah kamarnya, mendorong daun pintu kamar tidurnya, melangkah masuk dan.... "Siapa kau...?" tanyanya terkejut sekali dan terheran-heran. Di atas pembaringannya duduk seorang gadis yang berpakaian indah, seorang gadis sebaya dengan Bi Li yang cantik sekali, yang duduk menggoyang-goyangkan kedua kaki kecil yang tergantung dari pembaringan sambil miringkan kepala memandang kepadanya dan bibirnya tersenyum-senyum manis sekali! Tadinya untuk sesaat Kiang Liat mengira bahwa inilah yang disebut orang siluman wanita, yang sering muncul dalam dongeng-dongeng, kalau tidak demikian, bagaimanakah seorang dara juita seperti itu tahu-tahu dapat memasuki kamar tidur seorang pemuda dan duduk di atas pembaringan dengan kakinya ongkang-ongkang dan senyum manis menantang" Akan tetapi, ketika melihat gagang siang-kiam tersembul dari balik punggung gadis itu Kiang Liat berpikir lain. Tentu seorang gadis kang-ouw dan kedatangannya tentu mempunyai maksud tertentu, entah baik entah buruk, akan tetapi lebih condong kepada maksud yang tidak baik. "Kau siapakah, Nona" Dan apakah kehendakmu memasuki kamarku?" tanyanya lagi, kini, suaranya tidak sekeras tadi karena pemuda ini cepat dapat menekan perasaannya. Ia tak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat gadis yang demikian cantiknya dan pandang mata kagum ini menyenangkan hati gadis itu yang memperlebar senyumnya. "Jawab dulu, senangkah kau melihat aku di kamar tidurmu?" gadis ini bertanya, suaranya merdu merayu dan pandang matanya mencuri hati dengan kerling tajam menyambar. Kiang Liat mengerutkan keningnya. "Bagaimana aku bisa menyatakan senang atau tidak kalau aku belum tahu siapa adanya kau ini dan apa keperluanmu datang ke sini?" Gadis manis itu tertawa kecil. "Kau betul juga, sekarang jawablah pertanyaan yang lebih mudah. Cukup cantikkah aku dalam pandanganmu?" Kini merahlah wajah Kiang Liat. Hatinya berdebar. Selama hidupnya belum pernah ia melihat gadis secantik ini, kecuali Bi Li, dan gadis yang berani seperti ini. Akan tetapi, sikap genit dan kecabul-cabulan ini tidak menyenangkan hatinya. Kiang Liat bukan sebangsa pemuda pemogoran yang mudah menjadi gila melihat wajah cantik! "Nona, omongan apakah ini" Aku bukan orang yang biasa menilai kecantikan orang lain! Sekarang katakan siapa kau dan apa perlumu masuk ke kamarku?" Biarpun jawaban ini ketus dan membayangkan kemarahan hati, namun aneh sekali, gadis ini tidak marah, bahkan sebaliknya ia kelihatan gembira sekali. "Ha, kau gagah ganteng, tampan dan baik sekali, tidak seperti segala macam hidung belang yang menjemukan!" gadis itu berseru, kemudian ia sekali menggerakkan tubuh telah melompat turun, gerakannya ringan sekali sehingga mengejutkan hati Kiang Liat. "Kiang Liat, aku tahu siapa kau. Kau adalah murid dari Han Le si pengemis hina itu, bukan" Dan kau Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 47 akan menikah dengan Nona Song Bi Li yang cantik jelita, bukan?" King Liat kembali terkejut dan mengerutkan kening. "Benar semua dugaanmu itu, sungguhpun aku tidak mengerti bagaimana kau bisa ketahui semua itu. Akan tetapi, siapakah kau, Nona?" "Orang-orang di dunia barat biasa menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, akan tetapi bagimu, kau boleh memanggil aku Pek Hoa saja, atau Hoa-moi, bukankah itu lebih enak dan manis terdengarnya?" Kiang Liat belum pernah mendengar nama ini, akan tetapi sikap Pek Hoa yang makin binal dan genit ini, benar-benar menyebalkan hatinya. Ia tidak dapat menyangkal bahwa gadis ini amat cantik, lagi menyiarkan bau yang amat harum memenuhi kamarnya, akan tetapi kegenitan gadis ini melenyapkan kekagumannya. Alangkah jauh bedanya dengan Bi Li calon isterinya! Biarpun dalam kecantikan, agaknya Bi Li sendiri pun tidak akan menang dari gadis luar biasa ini yang memiliki kecantikan seperti bidadari. "Jangan kau mengacau tidak karuan!" Kiang Liat membentak marah. "Aku tidak kenal kau siapa dan tidak peduli tentang semua panggilan itu. Lekas katakan, apa maksudmu datang ke kamarku?" Pemuda ini sekarang menjadi curiga dan juga amat marah. Watak Pek Hoa memang aneh. Kalau sekiranya Kiang Liat bersikap lemah seperti yang diperlihatkan oleh pemuda Cia Sun, kalau saja Kiang Liat terpesona oleh kecantikannya, memuji-mujinya dan mencoba untuk bersikap kurang ajar, mungkin sekali Pek Hoa akan menjadi sebal dan mungkin akan segera turun tangan membunuhnya, karena dia adalah murid Han Le yang amat dibenci oleh Pek Hoa. Di dunia ini hanya dua orang yang dibenci oleh Pek Hoa, yakni Bu Pun Su, dan Han Le, terutama sekali Bu Pu Su. Akan tetapi, oleh karena sikap Kian Liat keras dan sama sekali tidak tunduk oleh kecantikannya, hati Pek Hoa menjadi runtuh! Baru sekarang gadis ini bertemu dengan seorang pemuda yang begini tampan dan gagah, yang tidak bertekuk lutut menghadapi kecantikannya. Inilah pemuda yang diidam-idamkannya, pemuda yang dicari-carinya! Maka, menghadap bentakan yang penuh kemarahan dari Kiang Liat, ia menjadi makin tertarik dan makin gembira. "Kiang Liat, kau menjadi makin gagah kalau marah-marah. Kau mau tahu mengapa aku datang ke kamar tidurmu" Karena aku tiba di rumah ini tidak melihat seorang pun manusia, maka aku memilih kamar tidur ini untuk mengaso." "Apa maksudmu mengunjungi aku?" tanya Kiang Liat gemas melihat sikap genit dan mendengar jawaban melantur itu. "Kau adalah murid pengemis tua bangka Han Le dan dia itu musuhku maka tentu saja aku datang untuk mengambil nyawamu. Akan tetapi, melihat mukamu, aku menjadi kasihan sekali dan aku akan mengampuni dan tidak mengganggumu, sebaliknya aku ingin sekali membikin kau bahagia. Permusuhan antara kita akan hilang kalau saja kau mau membatalkan pernikahanmu dengan Song Bi Li dan sebagai gantinya, kau mengambil aku sebagai isterimu..." "Tutup mulutmu yang kotor!" Kiang Liat marah sekali dan mencabut pedangnya. "Kau ini perempuan jalang berani sekali bermain gila di sini...?" Kian Liat benarbenar marah sehingga ia mendamprat gadis itu. "Kiang Liat, butakah matamu" Buka matamu baik-baik dan lihatlah, apakah aku tidak lebih muda dan jauh lebih cantik daripada Bi Li. Selain lebih cantik, aku lebih gagah, lebih kaya! Kalau kau menjadi suamiku, apa yang kurang bagimu" Ingin senang" Aku cukup cantik dan aku tahu bagaimana untuk menyenangkan hatimu. Kau ingin hidup mewah" Kekayaanku jauh lebih besar daripada kekayaanmu atau kekayaan Bi Li. Atau kau menghadapi musuh-musuh besar" Tak usah khawatir, kalau aku Pek Hoa menjadi isterimu, tanpa aku turun tangan semua musuh-musuhmu akan melarikan diri tunggang-langgang!" "Jangan ngoceh lagi! Lekas kau minggat dari sini, aku tidak sudi melihat mukamu atau Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 48 mendengar suaramu! Pergi...!!" Pek Hoa mulai marah. Pipinya yang halus dan putih itu kini menjadi merah. Ia tidak suka melihat laki-laki lemah yang mudah jatuh oleh kecantikan, akan tetapi ia pun tidak suka melihat laki-laki yang memandang rendah kecantikannya. Apalagi hinaan yang keluar dari mulut Kiang Liat sudah melampaui batas. Kalau menuruti kemarahannya, ingin ia sekali turun tangan merampas nyawa pemuda ini, akan tetapi kalau ia memandang muka yang tampan dan gagah itu, hatinya tidak tega. Bagaimanapun juga, ia harus mendapatkan laki-laki ini sebagai suaminya atau sebagai kekasihnya. Sukar mencari seorang pemuda seperti Kiang Liat ini. "Kalau aku tidak mau pergi, kau mau apa sih?" tanyanya sambil tersenyum mengejek. "Aku akan memaksamu dengan pedangku!" Kiang Liat membentak. "Aha, kau mau main-main senjata dengan nonamu" Mari-mari, anak manis, mari keluar, kita boleh main-main sedikit!" Sambil berkata demikian, Pek Hoa melambaikan tangannya dan sekali berkelebat ia telah menerobos keluar dari jendela. Diam-diam Kiang Liat terkejut sekali melihat gin-kang yang luar biasa ini, akan tetapi ia bukan seorang penakut. Cepat iapun melompat keluar melalui jendela, mengejar wanita aneh itu. Ternyata Pek Hoa telah menantinya di luar rumah, di pekarangan yang lebar dan diterangi oleh lampu minyak yang tergantung di bawah genteng. Gadis ini memandang ringan sekali kepada Kian Liat. Karena pikirnya kepandaian Han Le saja ia tidak takut dan masih sanggup menangkan, apalagi kepandaian muridnya! Ia tidak tahu bahwa Kiang Liat hanya satu tahun menjadi murid Han Le, dan bahwa sebelum menjadi murid Han Le pemuda ini telah memiliki kepandaian yang tinggi juga. Melihat Pek Hoa telah berdiri dengan lagak menantang, bertolak pinggang tanpa mengeluarkan senjata, Kiang Lia membentak, "Perempuan rendah, keluarkan senjatamu kalau kau hendak mencoba kelihaianku!" "Mengapa harus mengeluarkan senjata" Apa kaukira dapat mengalahkan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat biarpun aku hanya bertangan kosong" Orang muda, maju dan seranglah, tak usah ragu-ragu, jangan takut kalau kulit tubuhku akan lecet terkena pedangmu yang tumpul!" Kiang Liat marah sekali. "Lihat pedang!" teriaknya dan ia mulai menyerang. Mulamula, pemuda ini tidak menyerang sungguh-sungguh, karena betapapun gemasnya melihat gadis genit dan cabul ini, ia tidak tahu permusuhan apakah yang ada antara gadis ini dengan gurunya, dan ia tidak tega serta merasa malu untuk melukai seorang gadis muda yang melawannya dengan bertangan kosong saja. Akan tetapi, segera ia menjadi terheran-heran dan kaget. Tak disangkanya bahwa gadis itu ternyata luar biasa dan selain gerakannya cepat sekali, juga ilmu silatnya amat lihai. Baru beberapa gebrakan saja, hampir pedangnya kena dirampas oleh gerakan mencengkeram dari Pek Hoa! Setelah melihat kelihaian lawannya, Kiang Liat tidak beriaku sungkan-sungkan lagi. Cepat ia menggerakkan pedangnya dan kini ia bersilat dengan ilmu pedang keluarga Kiang yang kini sudah diperkuat dan diperbaiki setelah ia belajar setahu lamanya pada Han Le. Pek Hoa makin kagum melihat Kian Liat. Tak disangkanya bahwa ilmu silat pemuda ini benar-benar hebat, tidak kalah jauh oleh Han Le. Bahkan kalau dilihat-lihat, ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda ini sama sekali bukan ilmu pedang Han Le, ilmu pedang yang di mainkan Kiang Liat amat indah gerakan-gerakannya. Tentu saja seorang pemuda yang demikian ganteng dan tampan mainkan ilmu pedang yang indah ini, kelihatan seperti seorang penari ulung tengah menari, amat menarik hati dan indah dilihat. Makin sayanglah Pek Hoa kepada kepada pemuda ini, dan ia tahu bahwa kalau ia menghadapi dengan tangan kosong saja, akan sangat berbahaya baginya. Timbul kegembiraan hati Pek Hoa untuk menguji terus sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Ia mencabut sepasang pedangnya. "Kau lihai sekali, orang muda. Akan tetapi coba kautahan siang-kiamku!" Setelah berkata Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 49 demikian ia memutar sepasang pedangnya dengan cepat, melakukan serangan balasan yang sesungguhnya bukan serangan benar-benar hanya untuk menguji saja. Kiang Liat kaget. Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis itu juga hebat, apalagi lawannya menggunakan sepasang pedang yang tentu saja lebih cepat menyerangnya daripada sebatang pedang. Pemuda ini diam-diam mengeluh dan merasa malu kepada diri sendiri. Masa ia, yang telah terkenal sebagai Jeng-ciang-sian (Dewa Bertangan Seribu), kemudian sudah mendapat gemblengan selama setahun oleh pengemis sakti Han Le, hanya dalam tenaga lwee-kang, ia tidak kalah, akan tetapi ia kalah jauh dalam kecepatan gerakan, dan dalam hal ilmu silat, agaknya gadis ini mempunyai kepandaian yang luar biasa sekali. Namun Kiang Liat tidak mau menyerah kalah, biarpun ia seakanakan dikurung oleh laksaan ujung pedang lawan ia masih mempertahankan diri, memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga tubuhnya seperti dilindungi oleh tembok baja yang kokoh kuat. Berkali-kali Pek Hoa memuji dan mulutnya mengoceh terus, "Kau gagah, ilmu pedangmu lihai... kau patut menjad suamiku..." Kata-kata seperti ini memperbesar api kemarahan Kiang Liat sehingga kini ia bertanding dengan nekat, tak takut mati. Ini membuat Pek Hoa kewalahan. Memang ilmu pedang dari pemuda ini sudah tinggi, sukar baginya untuk merobohkan, Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo apalagi menawan. Sekarang ditambah oleh kenekatan pemuda itu, maka Pek Hoa lalu mengeluarkan saputangannya yang berwarna merah, mengeluarkan seruan nyaring dan ketika saputangan itu dikebutkan, tiba-tiba Kiang Liat mencium bau harum yang amat keras dan tak lama kemudian ia terhuyung-huyung dan roboh tak sadarkan diri dengan pedang masih di tangannya! Pek Hoa tertawa girang. Ia membungkuk, merampas pedang, mengelus-elus pipi pemuda itu, tertawa lagi lalu menotok jalan darah di pundak Kiang Liat untuk menjaga kalau pemuda itu siuman kembali. Biarpun siuman kembali, setelah ditotok, Kiang Liat takkan berdaya, tubuhnya sudah lemas dan ia takkan dapat memberontak lagi. Sambil kadang-kadang membelai rambut dan muka pemuda itu, Pek Hoa tertawa-tawa dan memanggul tubuh Kiang Liat dengan mudahnya, lalu berlarilah ia menghilang di dalam gelap malam yang mulai menyelimuti alam. Akan tetapi, baru saja beberapa li ia lari, setelah ia keluar dari kota Siankoan dan tiba di tempat sunyi, tiba-tiba Pek Hoa merasa pundaknya yang kanan ditowel orang. Ia memanggul tubuh Kiang Liat di pundak kirinya, maka merasa towelan ini, mula-mula ia tidak bercuriga dan berlari terus. Sekonyong-konyong, pundaknya ditowel lagi dan terdengar suara perlahan, "Siluman cabul, kau masih tidak mau melepaskan Kiang Liat?" Pek Hoa terkejut, melompat ke depan sejauh empat tombak lebih lalu membalikkan tubuhnya. Di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki setengah tua yang pada saat itu ia harapkan berada di neraka. Satu-satunya orang yang tak ingin ia melihatnya pada saat seperti itu, yakni bukan lain adalah Bu Pun Su Si Pendekar Sakti! Karena tahu menghadapi lawan yang amat berat, yang biarpun dikeroyok dengan kedua sutenya masih saja ia kalah, Pek Hoa tidak mempunyai nafsu untuk melawan Bu Pun Su. Ia melepaskan tubuh Kiang Liat yang dipanggulnya itu ke atas tanah, mencabut pedang Kiang Liat yang dirampasnya. Niatnya hendak sekali bacok menewaskan pemuda ini, karena kalau ada Bu Pun Su di situ, tak mungkin kehendaknya menjadikan pemuda itu sebagai permainannya. Setelah maksud ini digagalkan oleh Bu Pun Su, tidak ada jalan lain baginya kecuali membunuh Kiang Liat, sehingga dengan demikian, ia dapat melakukan sedikit pembalasan atas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su dan Han Le. Akan tetapi, baru saja ia mencabut pedang rampasan itu, tiba-tiba pedang itu terlepas dari tangannya yang menjadi kaku. Ia mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia merasa bahwa tidak hanya tangan kanan, bahkan setengah bagian Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 50 tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh! Terdengar olehnya suara ketawa yang tenang dari Bu Pun Su. Pek Hoa melompat mundur sambil menjerit. Tahulah ia sekarang. Tadi ia telah kena ditowel dua kali pundak kanannya oleh Bu Pun Su dan ternyata bahwa towelan itu merupakan totokan yang amat lihai, yang baru terasa pengaruhnya setelah ia menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga. Sambil berdiri, Pek Hoa cepat mengerahkan lwee-kang untuk membebaskan diri dari totokan itu, namun tidak berhasil. Terpaksa gadis ini menekan hawa kemarahan yang naik ke dadanya, lalu bersila di atas tanah. Selagi ia berusaha membebaskan diri dari pengaruh tiam-hoat yang dilakukan secara lihai oleh Bu Pun Su, pendekar sakti ini menghampiri Kiang Liat. Dua kali tepukan ke pundak dan punggung membuat pemuda itu terbebas, dan Kiang Liat cepat berlutut di hadapan paman gurunya. "Kiang Liat, aku bangga melihatmu. Kau memang patut menjadi murid Han Le. Sekarang lekas-lekas kau pulang dan langsungkan pernikahanmu. Kelak aku akan datang memberi hadiah dua tiga pukulan kepadamu." Kiang Liat girang sekali, setelah menghaturkan terima kasih, ia mengambil pedangnya dan pergi dari situ. Ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Pek Hoa, karena sesungguhnya, betapapun marahnya terhadap gadis itu, ia tidak tega melihat kalau-kalau Bu Pun Su akan membunuh Pek Hoa. Akan tetapi, Bu Pun Su bukanlah seorang yang mudah saja membunuh orang. Ia melangkah maju, tersenyum melihat gadis itu masih berjuang untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan. "Pek Hoa, totokan itu takkan dapat dibebaskan kalau tidak dengan suling ini," katanya sambil mencabut keluar sebatan suling bambu yang sudah tua. Tadi ia memang menotok pundak gadis itu dengan sulingnya, karena Bu Pun Su merasa segan untuk melakukan hal ini dengan tangannya. Ketika ujung sulingnya menyentuh jalan darah di pundak Pek Hoa seketika gadis ini pulih kembali keadaannya. Dengan berang ia melompat berdiri memandang kepada Bu Pun Su seperti seekor harimau betina hendak menubruk mangsanya, lalu berkata, "Bu Pun Su, aku benci sekali kepadamu!" "Bagus!" kata Bu Pun Su tersenyum "Seribu kali lebih aman kaubenci daripada kaucinta. Kecantikan dan kasih sayangmu jauh lebih berbahaya dari watak buruk dan kebencianmu, Pek Hoa." Setelah berkata dernikian, Bu Pun Su termenung, teringat ia akan semua pengalamannya di waktu muda, betapa dia menjadi korban dari kecantikan dan kasih sayang palsu dari seorang wanita yang cantik dan jahat seperti Pek Hoa ini. Pek Hoa membanting-banting kakinya saking gemas. "Jadi selama ini kau selalu mengintaiku" Sungguh tak tahu malu! Kalau memang kau gagah berani, mengapa tidak melawan guru-guruku" Mengapa kau menghina seorang perempuan?" Pek Hoa hampir menangis. Ingin ia mencabut siang-kiamnya atau mempergunakan senjata rahasia atau senjata berbisa, namun ia cukup maklum bahwa semua ini takkan ada gunanya terhadap Bu Pun Su. "Memang aku hendak mencari guru-gurumu, itu Thian-te Sam-kauwcu yang ternama," jawab lagi pendekar sakti itu. "Jadi kau mengikuti aku untuk mengetahui di mana adanya guru-guruku?" "Bukan hanya demikian, akan tetapi yang penting untuk melihattingkah-lakumu, untuk menjaga agar kau jangan sampai mengganggu orang-orang seperti yang tadi kaulakukan. Tentang guru-gurumu, agaknya mereka itu takut kepadaku maka tidak berani muncul." Kata-kata ini sengaja diucapkan oleh Bu Pun Su untuk membakar hati gadis itu. Maksudnya berhasil karena Pek Hoa memandangnya dengan marah. "Bu Pu Sun, kau sombong! Kau menggunakan kepandaian untuk menghinaku, seorang perempuan lemah! Awas kau, akan datang saatnya aku membalas semua ini, membalas kepadamu dan kepada Han Le! Akan tiba saatnya aku menghancurkan kau dan semua orang yang ada hubungannya denganmu! Kalau kau memang berani, datanglah di lembah Sungai Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 51 Yalu-cangpo, tepat di mana sungai suci itu berbalik ke barat. Disanalah kau akan kami tunggu dan kalau kau tidak berani datang, ternyata Bu Pun Su hanya seorang pengecut besar yang berani dan berlagak di tempat dan kandang sendiri saja!" Sehabis mengeluarkan kata-kata ini, Pek Hoa lalu melompat dan menghilang di dalam gelap. Bu Pun Su tidak mengejar. Ia percaya bahwa keterangan itu tidak bohong. Memang ia pernah mendengar bahwa tempat tinggal tiga orang aneh dari barat itu adalah di sekitar barat Gunung Heng-tuan-san dan sebagai seorang perantau besar ia pernah mengunjungi daerah ini. Ia tahu bahwa daerah ini dekat sekali dengan daerah-daerah asing seperti Nepal, Bhutan dan India, maka sudah sepatutnya kalau tiga orang itu mendirikan tempat pusat di sana. *** Upacara pernikahan antara Kiang Liat dan Song Bi Li dilangsungkan dengan meriah. Banyak sekali tamu yang datang memberi selamat, dan di antaranya bahkan terdapat Han Le Si Pengemis Sakti. Oleh karena Cap-si Kai-pangcu, empat belas orang ketua perkumpulan pengemis yang lihai juga hadir, maka para tamu tentu saja terheran-heran melihat begitu banyak orang-orang tua berpakaian pengemis, akan tetapi mendapat penghormatan terbesar dari pihak tuan rumah! Tentu saja mereka yang terheran-heran ini adalah orang-orang biasa, karena orang-orang kang-ouw yang hadir di situ tentu saja mengenal tokoh-tokoh besar ini. Siapakah yang tidak mengenal It-gan Sin-kai pengemis tinggi kurus yang bermata satu itu, yang pernah membikin geger istana karena mencuri masuk ke dalam dapur istana untuk menikmati hidangan-hidangan raja. Siapa pula tidak mengenal Pat-jiu Siauw-kait pengemis kate berperut gendut seperti orang cacingan itu, yang kini duduk menghadapi meja sambil minum arak begitu saja dari guci yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya" Masih banyak sekali tokoh-tokoh besar, seperti Tiat-tho Mo-kai dan terlalu banyak untuk disebutkan di sini. Pendeknya, empat belas orang pemimpin pengemis yang disebut Cap-si Kai-pangcu, hadir semua. Juga masih ada belasan orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah kenal dengan Kiang Liat, hadir di situ. Mereka semua ini, termasuk Cap-si Kai-pangcu, menghormati Han Le yang merupakan tokoh tertinggi di tempat itu. Setelah upacara pernikahan selesai, Han Le mendengar dari muridnya tentang Bu Pun Su, maka ia lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari suhengnya. Han Le sudah menyelesaikan tugasnya, sudah memberi tahu kepada tokoh-tokoh pimpinan partai besar untuk berhati-hati dan siap siaga menghadapi pengaruh-pengaruh asing dari barat. Semenjak saat pertemuan kedua mempelai, Bi Li yakin bahwa ia benar-benar telah mendapatkan seorang suami yang baik. Dan dugaannya ini ternyata tepat, karena memang Kiang Liat amat mencintanya. Tidak mengherankan apabila suami isteri ini hidup penuh kerukunan, saling mencinta dan amat sedap dipandang mata betapa sepasang suami isteri yang keduanya sama tampan ini setiap hari berjalan-jalan di taman bunga sambil tersenyum-senyum dan mengeluarkan kata-kata bermadu. Karena Kiang Liat sudah tidak ada ayah bundanya, maka Kakek Song, dibantu pula oleh Bi Li membujuknya agar jangan buru-buru sepasang suami isteri itu pindah ke Sian-koan. Kiang Liat tidak keberatan, karena baginya tidak ada perbedaannya. Hidupnya sekarang hanya untuk isterinya seorang, di mana saja ia tinggal asalkan bersama isterinya, ia sudah puas dan bahagia. Juga ia tidak keberatan ketika isterinya menyatakan kesayangannya kepada Ceng Si dan hendak menjadikan gadis ini pelayannya dan juga kawannya bercakap-cakap apabila Kiang Liat sedang keluar rumah. Akan tetapi, diam-diam Kiang Liat tidak suka kepada gadis pelayan ini. Sikap gadis ini mengingatkan ia kepada Pek Hoa, wanita siluman itu. Senyuman dan lirikan mata Ceng Si yang juga manis sekali itu, apabila ditujukan kepadanya, bukan lagi merupakan senyum dan kerling sopan dari seorang pelayan wanita terhadap majikannya, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 52 melainkan senyum dan kerling seorang wanita muda yang berusaha memancing hati seorang pria! Di bagian depan telah dituturkan betapa lihai dan licin adanya pelayan muda ini, Ceng Si telah melihat keadaan Kiang Liat, tentu saja memilih majikannya ini daripada Cia Sun. Ia pikir lebih baik memikat hati majikannya ini yang terangterangan sudah menjadi suami nona majikannya. Kalau ia bisa menarik hati Kiang Liat dan menjadi kekasih atau bini mudanya, hidupnya terjamin dan ia akan menjadi seorang nyonya ke dua yang terhormat. Dengan kecantikannya yang lumayan ia berdaya upaya untuk menarik hati Kiang Liat. Akan tetapi alangkah kecewa dan mendongkolnya hati gadis pelayan ini ketika pada suatu hari, dalam pertemuan empat mata dengan Kiang Liat di ruang belakang, majikannya ini membentaknya perlahan, "Ceng Si, jangan kau main gila! Aku tidak suka kau tersenyum dan memandang kepadaku seperti itu. Nyonyamu akan menjadi salah mengerti dan akan marah kepadamu. Jangan kau berani ulangi lagi, mengerti?" Tentu saja Ceng Si merasa seakan-akan mukanya ditampar. Sambil menangis ia berlari masuk ke dalam kamarnya, di mana ia membanting diri di atas pembaringan dan mengangis terisak-isak. Hatinya perih sekali, apalagi kalau ia teringat bahwa impiannya buyar seperti asap tertiup angin. Ternyata suami nonanya itu bukan laki-laki biasa, bukan laki-laki mata keranjang seperti kebanyakan lakilaki di masa itu. Akan tetapi Ceng Si tidak kehilangan akal. Ia mulai membujuk Bi Li, bahkan akhirnya berani mengancam dengan menyindir bahwa kalau Bi Li tidak mau membantunya, ia akan membuka rahasia tentang hubungan nonanya ini dengan Cia Sun dahulu sebelum menikah! Akhirnya, Bi Li menjumpai suaminya dan ketika mereka bercakap-cakap gembira, Bi Li berkata perlahan, "Suamiku, kelak kalau kau mempunyai niat untuk mengambil seorang isteri ke dua, aku baru merasa rela dan senang hati kalau kau mengambil Ceng Si sebagai bini mudamu." Kiang Liat terkejut sekali dan ia membelalakkan matanya. "Eh, apa, apa yang kauucapkan ini" Bagaimana kau bisa bicara seperti ini, isteriku" Bagaimana kau bisa bicara tentang aku mengambil bini muda?" Bi Li memeluk suaminya dan terseyum. "Mengapa begitu saja kau kaget" Bukankah sudah menjadi kebiasaan umum di kalangan bangsawan dan hartawan untuk mengambil bini muda sampai tiga empat orang" Tentu saja aku lebih bersukur kalau kau tidak melakukan ini, akan tetapi kalau terpaksa... ambillah Ceng Si, pelayanku yang setia itu." "Omongan apa ini" Aku takkan menikah lagi dengan siapapun juga! Aku cinta kepadamu dan kau seorang bagiku sudah cukup. Mengapa mesti menurut kebiasaan gila itu" Apalagi harus mengambil Ceng Si" Ah...! Tidak, seribu kali tidak!" kata-katanya ini diucapkan keras-keras dan mereka tidak tahu bahwa Ceng Si mendengarkan di luar jendela. Gadis ini menjadi pucat mendengar ucapan keras dari Kiang Liat dan untuk kedua kalinya, ia menangis di kamarnya. Setelah yakin bahwa usahanya mendekati Kiang Liat tidak berhasil dan harapannya untuk menjadi isteri ke dua dari Kiang Liat sudah tidak mungkin lagi, Ceng Si mengambil jalan ke dua. Kini ia mengalihkan perhatiannya kepada Cia Sun dan mulailah ia mengadakan hubungan dengan siucai itu. Mulailah ia memeras Bi Li untuk memberi uang dan perhiasan kepada Cia Sun melalui dia. Bahkan ia berani menyampaikan pesan Cia Sun, minta perhiasan rambut kupu-kupu dan bunga cilan yang amat indahnya itu. Bi Li tidak berani menolak. Nyonya muda ini maklum bahwa ia telah berada dalam kekuasaan Ceng Si dan Cia Sun. Sekali saja ia menolak permintaan mereka dan mereka menyampaikan rahasianya kepada suaminya, akan celakalah dia! Bi Li terlalu mencinta suaminya dan baru sekarang terbuka matanya bahwa dahulu dia tertipu. Bahwa Cia Sun mencintanya karena dia cantik dan terutama sekali karena dia kaya. Dan ia pun kini tahu pula bahwa antara Cia Sun dan Ceng Si terdapat perhubungan yang kotor. Baru terbuka matanya betapa rendah dan jahatnya siasat dua orang itu terhadapnya, dan dia menyesal. Pernikahannya dengan Kiang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 53 Liat membuat Bi Li merasa berbahagia sekali, akan tetapi ia menjadi gelisah kalau teringat akan ancaman-ancaman dari Ceng Si dan Cia Sun. Ia tahu bahwa nasibnya terletak di dalam genggaman tangan Ceng Si, pelayan ini telah berhasil mendapatkan surat yang dahulu ia tulis untuk Cia Sun, dan dengan surat inilah Ceng Si selalu mengancamnya apabila minta sesuatu. Bi Li tidak berani membuka semua rahasia ini kepada suaminya. Kalau saja ia berani melakukan hal ini, kiranya semua akan beres dan takkan timbul urusan besar. Ia belum dapat menyelami jiwa yang gagah dari suaminya, tidak mengenal akan watak orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjunjung tinggi kegagahan dan menghargai kejujuran. Bi Li merasa ngeri untuk menceritakan tentang urusannya dan kesulitannya itu kepada suaminya. Ia takut kalau-kalau disangka yang bukan-bukan, disangka berlaku tidak senonoh di waktu dahulu. Padahal, kalau ia bercerita terus terang, Kiang Liat akan dapat mempertimbangkannya dengan bijaksana. Sayang seribu sayang bahwa Bi Li tidak berani membuka rahasia, bahkan menutupinya dengan penuh rasa khawatir, dan ia memberikan apa saja yang dikehendaki oleh Ceng Si dan Cia Sun sehingga banyak uang dan perhiasan mengalir keluar! Keadaan ini berlangsung terus tanpa diketahui oleh Kiang Liat dan beberapa bulan kemudian Kiang Liat mengajak isterinya pindah ke Sian-koan. Tadinya Kiang Liat segan mengajak Ceng Si, akan tetapi atas desakan Bi Li, terpaksa Ceng Si ikut juga, menjadi pelayan pribadi Bi Li. Setahun kemudian, Bi Li melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami isteri itu merasa girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im Giok. Mula-mula Bi Li memang khawatir kalau suaminya kecewa, karena pada masa itu, para ayah ingin melihat anaknya lahir laki-laki. Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Ia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih. Cinta kasihnya terhadap suaminya makin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun. Cia Sun telah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka. Setelah Bi Li dan suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar di dalam sebuah hotel itu. Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap hari hanya berpesiar! Perhubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada halangan. Pada suatu hari, ketika Bi Li dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li berkata dengan nada penuh keheranan, "Suamiku, Im Giok mempunyai muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa." Kiang Liat terkejut bukan main. "Apa katamu" Pek Hoa siapa...?" Bi Li juga terkejut, merasa bahwa ia telah kelepasan bicara, maka dengan muka kemerahan ia berkata, "Enci Pek Hoa adalah seorang dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau mentertawakan aku dan mengira aku tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka selama ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau-kalau kau akan mentertawakan aku." "Coba ceritakan, isteriku. Aku takkan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?" tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar gelisah. Bi Li lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat yang dipuji-pujinya sebagai seorang dewi yang amat cantik jelita. Kiang Liat mendengarkan penuturan isterinya itu dengan mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak sekali. Tahulah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa dapat datang mencarinya ke Sian-koan setelah mendengar dari Bi Li bahwa dia adalah murid dari Han Le! "Pek Hoa-cici baik sekali, suamiku. Dia bilang bahwa kelak dia akan datang menjenguk kalau aku sudah mempunyai anak..." Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 54 Makin gelisah hati Kiang Liat. Akan tetapi dia diam saja, tidak berani ia menerangkan kepada isterinya yang lemah itu bahwa sebenarnya orang yang dikira dewi oleh isterinya itu bukan lain adalah seorang iblis wanita yang amat jahat! Semenjak mendengar penuturan isterinya itu, Kiang Liat selalu bersikap waspada. Tiap malam ia diam-diam melakukan penjagaan, takut kalau-kalau iblis wanita itu datang mengganggunya. Oleh karena kewaspadaannya inilah maka ia mulai melihat sesuatu yang amat mencurigakan di waktu malam. Kadang-kadang ia mendengar suara kaki kuda yang datang dari jauh kemudian berhenti di belakang rumahnya, agak di luar pagar kebun bunga kecil yang berada di belakang rumah. Kadang-kadang pula ia mendengar suara orang bercakap-cakap di tengah malam menjelang pagi! Hatinya mulai curiga dan pada malam hari itu, ketika mendengar suara kuda berhenti di belakang, ia diam-diam turun dari pembaringan lalu berjalan keluar melalui pintu belakang. Waktu itu telah menjelang fajar dan ia membuka pintu perlahan-lahan, mengintai keluar. Ia melihat sesosok bayangan keluar dari pintu samping, berlari-lari ke arah taman bunga. Kemudian, bayangan ini bertemu dengan bayangan lain yang memasuki pintu pagar yang agaknya sudah dibuka dari dalam. Hati Kiang Liat berdebar gelisah. Melihat gerak-gerik dua orang itu, mereka adalah orang-orang biasa dan sama sekali tidak seperti gerakan orang yang pandai ilmu silat, apalagi kalau yang datang Pek Hoa tentu tidak demikian caranya. Ketika ia menyelinap dan bersembunyi di balik batang pohon kembang, Kiang Liat merasa mendongkol bukan main karena ia mengenal bahwa bayangan yang keluar dari pintu samping itu adalah Ceng Si. Pelayan wanita yang muda, genit dan cantik ini telah mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki muda yang datang menunggang kuda! "Hm, benar-benar sial!" pikirnya. "tidak tahunya pelayan kita ini adalah seorang Pendekar Muka Buruk 5 Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pendekar Naga Mas 7