Pendekar Wanita Baju Merah 9
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 9 yang paling baru dan menyisir rambutnya. Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya berdebar ketika ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi tegap dan berwajah keren duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu. Ia cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata, "Mohon dimaafkan banyak-banyak bahwa boanpwe telah membuat Tai-hiap menanti sampai lama." Kiang Liat perlahan-lahan berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut. Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Akan tetapi setelah ia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah. Tak salah lagi, pemuda sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi hormat kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun! Cia Sun sastrawan yang dulu mempermainkan isterinya dan yang telah dibunuhnya! Baik wajah maupun bentuk badan dan gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya sekarang ini tidak ada bedanya dengan mendiang Cia Sun. "Kau... Cia Sun..." tak terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya berdebar dan jantungnya terasa sakit. Tiauw Ki memandang heran. "Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki..." "Jadi kau yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?" "Betul, Tai-hiap" "Dan kau... kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu...?" Suara Kiang Liat setengah berbisik dan sepasang matanya memandang dengan cara yang menakutkan sekali. Tiauw Ki memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian ia dapat menetapkan hatinya dan berkata dengan suara tegas, "Kalau Tai-hiap tidak menolak, memang boanpwe mohon persetujuan Tai-hiap untuk meminang tangan Adik Kiang Im Giok..." "Kau..." Kau Cia Sun jahanam keparat telah menjelma pula di dunia ini untuk mengganggu kepadaku" Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya hidupku" Kau bahkan masih hendak merusak hidup anakku?" Sambil berkata demikian, Kiang Liat berjalan maju menghampiri Tiauw Ki perlahan-lahan, sikapnya mengancam dan menyeramkan. Tiauw Ki melangkah mundur, "Kiang-taihiap, apa artinya kata-katamu itu" Boanpwe adalah Gan Tiauw Ki dan boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun..." "Jahanam! Biarpun kau memakai nama siapapun juga, aku selamanya akan mengenal macam mukamu. Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, aku Kiang Liat akan tetap mengenalmu dan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk maju, kedua tangannya bergerak cepat bertubi-tubi memukut dada dan kepala Tiauw Ki. Kasihan sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah. Seorang jagoan sekalipun belum tentu akan dapat menghindarkan diri dari serangan Kiang Liat itu, apalagi seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki. Ia tak berdaya sama sekali dan sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat mengeluarkan keluhan lemah dan tubuhnya terlempar ke belakang, menumbuk dinding dan roboh tak berkutik lagi. Nyawanya telah melayang berbareng dengan keluhannya tadi! Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 219 "Ha, ha, ha, anjing Cia Sun! Anjing macam engkau ini hendak melamar puteriku" Ha, ha, ha!" Sambil tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan pulang. Para pelayan kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja ruangan tamu itu telah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan yang rebah tak bernyawa di atas lantai. Di antara para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi jalan ketika melihat bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok-gan Niocu Song Kim Lian. Kim Lian hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian ia cepat berlari-lari pulang, napasnya terengah-engah. Langsung ia berlari memasuki kamar Im Giok di mana gadis itu tengah bersisir menghadapi cermin. "Su-moi, celaka besar...!" Kim Lian memeluk adik seperguruannya dan menangis terisak-isak. Im Giok biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, akan tetapi akhir-akhir ini setelah bertengkar dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang gugup. Mukanya berubah pucat melihat keadaan sucinya itu, maka tanyanya tak sabar lagi, "Suci, apakah yang terjadi?" Akan tetapi Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga Im Giok hilang sabar. Digoyang-goyangnya dua pundak Kim Lian. "Apa yang terjadi?" "Celaka... Sumoi... Gan-siucai... oleh Suhu..." "Apa" Gan-siucai mengapa" Bagaimana Ayah...?" Im Giok mendesak, wajahnya pucat, jantungnya berdebar keras. "Suhu telah membunuh Gan-siucai di rumah penginapan..." Im Giok mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat didekapnya mulutnya sendiri, lalu bagaikan kilat ia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju ke rumah penginapan Liok-nam. Ruangan depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan Liok-nam masih dikerumuni orang ketika Im Giok tiba di situ. "Minggir...!" Serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang laki-laki terpelanting ke kanan kiri. Im Giok terus menerjang masuk dan ia berdiri terpaku di atas lantai ketika ia melihat tubuh kekasihnya menggeletak miring di dekat dinding ruangan itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri, berlutut dan sekali raba saja tahulah ia bahwa kekasihnya telah tewas, kepalanya retak dan tulang dadanya patah-patah. "Gan-ko..." Bisiknya. Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena pukulan hebat sekali mengguncangkan jantungnya. Kalau tidak kuat-kuat ia menahan tentu Im Giok sudah roboh pingsan! Sampai lama ia berlutut sambil memejamkan mata, kemudian setelah kepalanya yang pening menjadi sembuh kembali, ia membuka matanya. Bagaikan hujan gerimis, air matanya bertitik turun, menetes melalui pipi dan dagu dan ada yang jatuh bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat sekelebatan, dengan air mata di atas pipi, mayat pemuda itu seperti ikut menangis. "Koko..." kembali Im Giok berbisik. Makin deras turunnya air matanya ketika ia teringat betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya, dan kini dalam menghadapi keputusan perjodohan mereka, pemuda ini telah terbunuh oleh ayahnya. "Ayah...!" Im Giok menahan isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya. Tubuhnya berkelebat dan kembali tiga orang pemuda terguling roboh ketika gadis itu mendesak keluar dengan cepat lalu berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa mempedulikan kepada Kim Lian dan para pelayan yang memandangnya dengan mata terbelalak, Im Giok berlari terus menuju kamar ayahnya. Pintu kamar ayahnya terpentang lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu, berdiri Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 220 di situ dengan kedua kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke dalam. Ia melihat ayahnya sedang duduk di atas kursinya dan memegang pedang terhunus yang dipukul-pukulkan ke atas meja! "Ayah...!" Suara Im Giok terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah. Ayahnya memandang. Dua pasang mata berpandangan, dua pasang mata yang sama tajam, sama berapi-api pandangannya. Sunyi di situ. Hanya terdengar ketukan-ketukan pedang pada meja, makin lama makin melambat. "Kau mau apa?"" akhirnya terdengar suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah digumam, seakan-akan lidah dan bibirnya sukar digerakkan. "Ayah, mengapa kau membunuh Gan-siucai?" Suara Im Giok nyaring tinggi dan tergetar. Kiang Liat diam saja untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba ia bangkit berdiri, membacokkan pedangnya ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah dan roboh menimbulkan suara berisik. "Ha, ha, ha, ha, memang kubunuh mampus anjing itu! Ha, ha, betapa mudahnya, sekali pukul saja jahanam keparat pemakan tinta itu mampus!" "Ayaahhh...!" Im Giok tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya digerakkan dan tahu-tahu pedangnya telah ia cabut dan tangan yang memegang pedang menggigil. "Kau... kau pengecut besar! Kau... kau membunuh dia yang tidak berdosa. Kau manusia tidak tahu malu, membunuh orang yang kau tahu tak dapat melawan, seorang yang tidak mempunyai kepandaian ilmu silat. Kau pengecut!" Bagaikan gila Im Giok memaki-maki ayahnya sendiri. Untuk sejenak ayahnya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut pendekar itu meringis, seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya menjadi pucat sekali. Kemudian ia membuka matanya dan mata itu sekarang berputaran amat mengerikan. Dari bibirnya keluar busa dan ia tertawa kembali terbahak-bahak. "Ha, ha, ha, cacing buku yang busuk itu hendak menikah dengan puteriku" Ha, ha, ha, menjadi tukang membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Ha, dia patut mampus, anjing Cia Sun harus mampus biarpun beberapa ratus kali dia menjelma. Puteriku harus menjadi isteri Liem Sun Hauw pemuda gagah perkasa..." "Tidak sudi! Kau manusia keji, kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!" Mendengar makian ini, Kiang Liat menjadi marah sekali. Dalam pandangan matanya, yang berdiri di depannya itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang berani menentangnya. "Kau hendak membunuh aku dan Sun Hauw" Ha, ha, ha, bocah lancang, kaulah yang akan mampus lebih dulu!" Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya sendiri. Im Giok pada saat itu juga sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak ingat apa-apa lagi, tahunya hanya marah dan duka teraduk menjadi satu dalam hatinya. Melihat ayahnya menyerangnya, ia pun cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Maka terjadilah pertempuran yang hebat di dalam kamar itu antara ayah dan anak gadisnya sendiri! Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah memperoleh kemajuan pesat sehingga ia bahkan melampaui ayahnya. Hal ini adalah karena ilmu-ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok melalui Kiang Liat, oleh Kiang Liat hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi tidak berani ia melatih diri dengan ilmu itu. Maka tentu saja Im Giok yang dapat memetik sari pelajaran ilmu silat tinggi dari Bu Pun Su itu, sedangkan Kiang Liat hanya tahu "kulitnya" belaka. Maka makin lama pedang Im Giok mendesak makin hebat, gulungan sinar pedangnya makin menekan gulungan sinar pedang ayahnya. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar pekik, "Im Giok!" Akan tetapi dua orang yang sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar pekik ini dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 221 melanjutkan pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian. "Im Giok...!" Orang itu yang bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara jeritan lagi, dan kali ini ia menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan nekad. Pedangnya menangkis gulungan pedang Im Giok dan terkejutlah ia karena ia terpental ke belakang. "Im Giok... Sumoi... apakah kau sudah gila melawan ayahmu sendiri...?" Kim Lian menegur dengan suara nyaring. Tangkisan dan jeritan ini membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang tadinya sudah saling menempel. Apalagi seruan ini membuat Im Giok sadar dari keadaannya seperti kemasukan iblis tadi, akan tetapi masih belum melenyapkan kemarahan dan nafsu membunuhnya. Ia melompat mundur dan masih memasang kuda-kuda dengan tangan kiri terbuka jari-jarinya menengadah ke atas dan tangan kanan memegang pedang di depan dada, dalam sikap hendak menusuk. Adapun Kiang Liat juga berdiri memasang kuda-kuda seperti patung, tangan kiri menempel di dada kiri dan tangan kanan memegang pedang melintang di dada. Wajahnya meringis seperti orang kesakitan dan hidungnya kembang kempis. "Sumoi, kau gila! Bagaimana kau menyerang ayahmu sendiri" Lepaskan pedangmu!" teriak Kim Lian, akan tetapi Im Giok seperti dalam mimpi, tidak mau melepaskan pedang dan memandang ke depan dengan mata terbelalak marah. "Sumoi, lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus membantu Suhu!" teriak pula Kim Lian dengan suara keras sambil melangkah maju dengan pedang di tangan. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah kalau dibandingkan dengan sumoinya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus berani membantu suhunya. Ketika Im Giok tetap tidak bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata, "Kau membandel" Baik, lihat serangan pedangku!" "Traangg...!" Pedang di tangan Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu berseru kaget. "Kim Lian, pergi kau! Jangan ikut-ikut!" Kiang Liat membentak setelah menangkis pedang muridnya sehingga terlepas. Dengan wajah kecewa dan juga gelisah Kim Lian terpaksa mengundurkan diri keluar dari kamar itu. Sementara, tadi ketika menangkis pedang muridnya, Kiang Liat telah sadar kembali dari keadaan gilanya sehingga mukanya menjadi biasa, bahkan nampak ia berduka bukan main. Sepasang matanya memandang sayu dan mulai membasah dengan air mata, bibirnya bergerak gemetar seperti menahan isak tangis. Melihat ini, Im Giok tiba-tiba sadar dan teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan ayahnya ini. Ia bahkan terkejut sekali mengapa ia sampai bisa menyerang ayahnya seperti itu. Melihat ayahnya seperti orang hendak menangis, runtuhlah hatinya dan ia tidak berani memandang lebih lama lagi. Ia berdiri seperti patung dan memejamkan matanya, air matanya bercucuran bagaikan hujan. "Ayah... aku berdosa... kaubunuhlah aku... Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk dadaku... biar aku ikut kekasihku." Im Giok melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan di atas lantai, lalu ia melangkah maju sambil meramkan mata, memasang dada untuk ditusuk pedang. "Gan-koko... kautunggulah aku..." bisiknya sayu. Akan tetapi tusukan yang dinanti-nantinya tak kunjung tiba. Bahkan terdengar keluhan panjang, disusul oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat di atas lantai. Im Giok membuka matanya dan... ayahnya telah menggeletak, dan dari mulutnya mengalir darah yang dimuntahkannya tadi. "Ayaaaahhh...!" jerit Im Giok menubruk dan memeluk tubuh ayahnya. Diangkat kepala ayahnya yang sudah lemas itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah yang dimuntahkan oleh ayahnya tadi menodai pakaiannya. Diraba-rabanya jidat ayahnya kemudian dadanya... "Ayaaaahhh...!" Dunia serasa gelap kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok roboh pingsan di dekat ayahnya yang ternyata telah putus nyawanya. Karena tekanan batin yang luar Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 222 biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal mati isterinya telah menderita sakit jantung, tak kuat menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal dunia di saat itu juga. Kim Lian datang berlari-lari dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya keadaan Kiang Liat dan ia pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan. "Suhuuu...!" Kim Lian benar-benar berduka kali ini. Di dalam hatinya ia memang memuja suhunya dan menganggap suhunya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan lebih dari itu, dahulu pernah ia mengagumi suhunya dan "ada hati" kepadanya. Sekarang melihat keadaan suhunya yang meninggal dunia secara demikian menyedihkan, bagaimana hatinya tidak merasa hancur" Setelah puas menangisi Kiang Liat dan semua pelayan datang bertangisan pula, Kim Lian lalu menubruk dan memeluki sumoinya. Ia amat sayang kepada Im Giok yang semenjak kecil menjadi saudara seperguruan, kawan bermain-main dan dianggap sebagai adik kandungnya sendiri. Kini ia hanya hidup berdua dengan Im Giok, tak berayah tak beribu, tidak berhandai taulan pula. Dengan hati hancur Kim Lian memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah sempoyongan. Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan Kim Lian di atas pembaringang, Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan cepat ia bangkit duduk dan bertanya, "Ayah..." Bagaimana...?" Kim lian tidak dapat menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk pundak Im Giok. Im Giok seketika menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat turun dari atas pembaringan. "Ayaaaahhh!" Akan tetapi Kim Lian cepat memeluknya dan sambil menciuminya berkata, "Adikku... adikku sayang... tenangkanlah hatimu, ayahmu sudah... meninggalkan kita dan sekarang Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sedang dirawat. Tenanglah Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu..." Im Giok memejamkan matanya. Ia teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk kalap terhadap desakan hati, maka ia lalu mengatur napasnya dan kedua orang gadis dengan berdiri saling berpelukan untuk beberapa diam tak bergerak. Akhirnya Im Giok berkata lemah, "Suci, aku harus dekat dengan jenazahnya..." Kim Lian mengangguk dan dengan masih saling peluk dua orang gadis ini lalu berjalan ke ruangan tengah di mana jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka duduk berlutut memandang dengan wajah pucat, mata sayu dan kadang-kadang air mata menggelinding keluar. Sampai jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim Lian tidak meninggalkan tempat itu, bahkan malamnya mereka tidak mau pergi dari situ, biarpun dibujuk-bujuk oleh para pelayan dan tetangga yang datang melayat. Lewat tengah malam, setelah para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang bertugas menjaga duduk di ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya tinggal Im Giok dan Kim Lian berdua! Mereka duduk di dekat peti mati, menjaga agar hio tidak padam, demikian pun api lilin, dan kemudian terdengar mereka berbisik-bisik, "Suci, sekarang aku tahu..." Kim Lian memandang kepadanya, matanya bertanya, "Aku tahu mengapa Ayah membunuhnya." Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat ia mempergunakan saputangan untuk menyusut air matanya. "Mengapa, Sumoi?" "Aku ingat akan riwayat ibuku dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti menjadi gila itu adalah karena perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Karena itu Ayah membenci para siucai dan kiranya... kiranya wajah Gan-siucai hampir serupa dengan wajah Cia Sun." Im Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 223 Giok menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Kim Lian tidak berkata apa-apa, karena ia tidak tahu bagaimana harus menghibur adik seperguruannya. Ia tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan hati sumoinya. "Aku berdosa besar terhadap Ayah... dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan sering kali dadanya terasa sakit... tentu Ayah telah menderita penyakit jantung semenjak kehilangan ibu. Dan tadi... ah..." Im Giok kembali menutupi mukanya seperti orang merasa ngeri membayangkan kejadian tadi pagi, "biarpun ayah meninggal karena penyakit itu, akan tetapi sebenarnya aku yang membunuhnya... Ayah, ampunkan anakmu yang berdosa, Ayah..." Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti mati ayahnya, menangis tersedu-sedu. Kim Lian memeluknya dan menariknya. "Sudahlah, Sumoi, segala kejadian sudah ditentukan oleh Thian." Im Giok mengangguk-angguk dan mengerahkan tenaga untuk menenteramkan hatinya yang berguncang keras. "Aku berdosa kepada Ayah... akan tetapi Ayah... Ayah juga berdosa terhadap Gankoko... kasihan sekali Gan-koko yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam keadaan penasaran. Ahhh, Suci, tolong kau menyuruh seorang pelayan untuk mengirim hio dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Liok-nam. Biar arwah Gan-ko tahu betapa aku menderita karena kematiannya..." Kim Lian mengangguk dan perlahan meninggalkan sumoinya untuk melakukan permintaan sumoinya itu. Adapun Im Giok sepeninggal Kim Lian lalu berlutut di depan peti mati ayahnya dan diam tak bergerak seperti patung. Hanya bayangannya saja yang bergerak-gerak karena api lilin bergerak perlahan tertiup angin, yang dapat menerobos masuk ke dalam ruangan itu. *** Enam bulan telah lewat semenjak peristiwa itu terjadi. Akan tetapi Im Giok masih saja berkabung, berpakaian serba putih sederhana sekali dan setiap hari orang tentu mendapatkannya di tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di depan kuburan ayahnya atau di depan kuburan Gan Tiauw Ki secara bergiliran. Kadang-kadang nampak ia menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau hanya duduk bengong seperti orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang diberikan oleh Kim Lian sama sekali tidak ada artinya karena tidak pernah diacuhkan. Selama enam bulan ini, Im Giok tidak mempedulikan pula makan dan tidur sehingga hidupnya tidak teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awutawutan. Sebaliknya, Kim Lian dengan cepat dapat melupakan kesedihannya. Setelah lewat tiga bulan, ia telah melepas pakaian berkabung dan kembali memakai pakaian yang indah-indah. Bahkan kini ia kembali menjadi binal karena tidak ada yang mengawasinya. Suhunya sudah meninggal dan Im Giok orang satu-satunya yang disegani keadaannya seperti gila dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian menyeleweng dan melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gadis baik-baik. Pada suatu hari pagi-pagi sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di depan bong-pai (batu nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong dan tidak pernah bergerak sehingga kelihatan dari jauh seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya. Gadis ini, tak dapat melupakan wajah kekasihnya dan wajah ayahnya. Dua orang ini adalah orang-orang yang dicintanya, dan sekarang keduanya telah meninggalkannya, dan keduanya tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan. Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya, "Im Giok, kau masih hidup mengapa semangatmu berkeliaran di alam baka" Kembalilah ke dunia!" Kalimat terakhir diucapkan sebagai perintah dan suaranya mengandung tenaga dan pengaruh yang luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan disambar petir dan sadar seketika itu juga. Gadis ini terkejut dan menengok. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 224 "Susiok-couw...!" Im Giok menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang ternyata bukan lain adalah Bu Pun Su. Kakek ini mengelus-elus jenggotnya sambil menundukkan muka memandang kepada gadis yang bercucuran air mata di depannya itu. Terdengar helahan napasnya sampai tiga kali. "Hemmm, memang banyak hal-hal yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan kekuasaan indah dari kekuasaan Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga, akan tetapi tak dapat keluar dari ikatan karena yang menimbulkan nasib tersendiri." Im Giok masih menangis terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena kakek sakti ini maklum bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok adalah menangis sepuasnya, tangis yang sungguh-sungguh sebagai peluapan perasaan yang mendesak memenuhi dada, sebagai pelepas hawa berbahaya yang mengancam isi dada. Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang ia hadapi selama enam bulan ini dan berkali-kali ia menghela napas. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah-belahan di antara orang-orang gagah agar tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat pergi ke Go-bi-pai, menemui Twi Mo Siansu. Dia sendiri pergi ke Pulau Pek-le-tho untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun mau pergi ke Kun-lun-pai. Dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia menemui kekecewaan luar biasa di Pulau Pek-le-tho, di mana ia mendapatkan Han Le berada di bawah pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan dengan bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-tho! Kemudian dalam marahnya, Bu Pun Su menghajar Han Le dan mengusir Pek Hoa Pouwsat, kemudian menghukum Han Le tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati mengkal sekali Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san. Akan tetapi, baru saja ia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san, ia bertemu dengan serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia terus saja mengepung dan menyerangnya! Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai, jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali. "Tahan...! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?" serunya akan tetapi ia harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya. Para tosu Kun-lunpai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tidak mau memberi hati, tidak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan serentak. Akan tetapi mereka kecele kalau mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja. Melihat betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya dan melanjutkan serangan-serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa. Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung, yang aneh sekali gerakannya dan tiap kali menyambar dan menyambut pedang atau golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patahpatah! Adapun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi lambatlambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu melompat mundur! Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 225 Putih). Sekaligus dua tangan dapat mainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat melakukannya! Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya Bu Pun Su sama sekali tidak melukai para pengeroyoknya, kalaupun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak berarti saja. Namun, tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau karena pedang dan golok mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan ataupun dibikin terpental entah ke mana. Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari seorang kakek tua. Kakek ini seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti seorang tua renta yang amat lemah. Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran karena biarpun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap takkan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di belakangnya saking cepatnya ia lari. "Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?" Kakek itu menegur setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepatcepat berdiri di pinggiran sambil memberi hormat. Bu Pun Su tertawa bergelak, "Ha, ha, ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah mengenalku, benarbenar lihai sekali matamu." "Kaupun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau datang-datang hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?" "Ha, ha, ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu. Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suhengmu Seng Thian Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain." "Apa maksudmu?" "Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang. Eh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, dan masing-masing menghadiahi sebatang golok atau pedang! Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan sekali?" Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada hujan tiada angin tahu-tahu ia diserang begitu hebat oleh begini banyak tosu Kun-lun-pai, tanpa diberi kesempatan untuk membela diri. Kalau dia tidak pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya sudah hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya" Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkatnya di depan kakinya. Para tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata mereka. Diam-diam Bu Pun Su terkejut melihat ini dan tidak mau main-main lagi melainkan mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai. "Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang penekar sakti yang bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto kecewa. Tadi kau menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, bukankan begitu?" "Benar, Kheng Thian Siansu." "Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekaslekas Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 226 mengakui dosa-dosamu?" Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah. "Eh, eh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah yang tidak menumpuk dosa" Akan tetapi kalau dosaku tidak ada sangkutpautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku yang dulu-dulu dihadapanmu" Memangnya siapakah kau ini" Wakil dari Giam-lo-ong?" "Bu Pun Su, tak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau telah membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih bilang tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?" Bu Pun Su yang mempunyai kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-tho! Akan tetapi bagaimanakah Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh dia" Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapapun juga, Han Le ikut bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia mengalah dan berlaku sabar. "Keng Thian Siansu, nanti dulu. Tentang kematian Cin Giok Sianjin aku dapat memberi penjelasan. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu cepatnya" Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?" "Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa." Bu Pun Su menarik napas panjang. Ia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa bekerja cepat. "Hemm, tentu siluman betina itu baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?" Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti Iblis Betina. "Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia bicara sambil menggoyang-goyang tubuh seperti pohon yang liu tertiup angin musim chun, matanya mengerling-ngerling seperti bintang-bintang di langit dan bibirnya tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi percaya penuh?" Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biarpun agak berlebihlebihan semua dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh Bu Pun Su! "Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi" Dan pula, apa perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong" Ditambah lagi kedatanganmu di sini benar-benar kesemuanya menimbulkan kecurigaan kami. Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-tho. Apakah betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?" "Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-tho terlambat," jawab Bu Pun Su. Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai. "Siapa yang membunuhnya?" tanya Keng Thian Siansu. "Ketika aku mendarat di Pek-le-tho, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan orang yang tinggal di Pulau Pek-le-tho itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!" Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh, "Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 227 macam Pek Hoa Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-pai?" "Memang ada yang membantu..." kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan. "Siapa..." Keng Thian Siansu mendesak. Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu. "Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku seperti ini saja" Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini" Ah, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang tidak manis budi..." Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata, "Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tatasusila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kunlun-san!" Bu Pun Su balas menjura. "Terima kasih!" Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini semua tosu Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh sedemikian hebatnya. Keng Thian Siansu berseru, "Kau memang hebat Bu Pun Su." Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling pandang dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak. Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu Pun Su. Mereka ini yang dua orang adalah murid Keng Thian Siansu, sedangkan yang seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-tho. Ia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-letho. "Hm, kalau begitu sutemu itu yang menjadi pembunuh!" kata Keng Thian Siansu. "Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang telah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku membela suteku yang juga berdosa, akan tetapi harus diingat bahwa suteku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa. Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat: Kalau orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang kuat sekali, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le telah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh tiga orang itu di Pulau Pek-le-tho dalam keadaan tidak sadar seperti dibawah pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum suteku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-tho. Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?" Kiang Thian Siansu dan anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala dan mereka terpaksa mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le takkan dapat melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman ini pada hakekatnya bahkan lebih berat daripada hukuman mati. "Bu Pun Su, kami memang sudah mendengar penuturanmu dan kami percaya penuh Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 228 kepadamu. Akan tetapi masih ada satu hal yang kaulah orangnya yang harus membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Kalau memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar telah datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk bukti kebenaran semua penuturanmu, kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!" Bu Pun Su nampak terkejut. "Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!" "Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau kau melakukan barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su." Bu Pun Su tertawa bergelak, "Ha, ha, ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?" Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, "Saudara dari Siauw-lim-si berlaku sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?" Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan gerakan yang cepat, akan tetapi biarpun kedua kakinya tidak menimbulkan suara apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar hebat seakan-akan dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya! Semua orang memandang dan yang orang ini adalah seorang hwesio gundul yang bertubuh tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pun mukanya licin limis seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang amat memburukkan rupanya adalah telinga kirinya yang sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak seperti orang murung dan duka. Usianya sebetulnya sudah enam puluh tahun lebih akan tetapi oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda. Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah ahli silat dari Siauw-lim-pai akan tetapi siapakah dia ini" Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini belum pernah mereka kenal. Kalau yang datang ini seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak mengherankan apabila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lwee-kang dan gin-kang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah saja dilihat bahwa dia adalat seorang yang berkepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai. "Bu Pun Su," kata hwesio itu dengar muka tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan menggetarkan anak telinga. "Biarpun kaum Kun-lun-pai berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tidak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai menerima hukuman atas dosa-dosamu!" Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian Siansu dan tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali. Apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, mereka tidak ambil pusing, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan rumah, benar-benar sudah melanggar peraturan kangouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 229 Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu lebih dulu dan tentu telah mempergunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan sampai di ruangan lian-buthia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama. Ke dua, hwesio ini sama sekali tidak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurangajaran yang menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tidak memandang mata kepada Kun-lun-pai dan merupakan pelanggaran ke tiga. Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat ia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi ia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata, "Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu betapa Siauw-lim-si adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki pintu langit! Akan tetapi mengapa kau ini hwesio yang mengaku-aku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?" Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, kemudian terdengar suaranya yang keras dan parau, "Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?" Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek, "Hwesio, kelirunya denganmu ini saja membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini siapakah?" "Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?" Setelah berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan kagetlah Sun Giok Sianjin karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai hampir tak tertahankan lagi. Baiknya ia cepat-cepat mengerahkan lwee-kangnya untuk menjaga keselamatan bagian halus dari telinganya dari kerusakan akibat suara yang mengandung getaran tenaga lwee-kang ini. Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun Su telah mengerahkan tenaganya dan dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya. "Pernah dahulu Suhuku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah itu dapat mempelajari isi kitab tanpa persetujuan para ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selamanya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam gua di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang memiliki tenaga I-kin-keng demikian tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?" Juga Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget, "Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu. Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 230 Hwesio keparat ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio itu memiliki sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya, hwesio itu dapat dikalahkan oleh Suheng dan sahabat-sahabatnya dan biarpun tidak dapat dibinasakan, sudah diberi peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!" Hwesio itu mukanya tidak berubah akan tetapi sinar matanya makin berapi-api. Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, "Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh Suhu!" "Sun Giok Sianjin, awas!" teriak Bu Pun Su dan tosu ini cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio gundul itu sudah menyerangnya dengan pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali. Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Cin Giok Sianjin dan lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian murid-murid Keng Thian Siansu. Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main. Biarpun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lwee-kang dari Si Gundul ini masih jauh melampaui tingkatnya. Cepat tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu ia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok di punggugnya. Sun Giok Sianjin terkenal lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan tangan kirinya. Memang tosu ini adalah seorang kidal yakni seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil menggunakan tangan kiri daripada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran menghadapi seorang yang mainkan senjata dengan tangan kiri. Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka dari hwesio telinga buntung ini. Biarpun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tidak memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja! "Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu" Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi baru menghadapi pinceng!" Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini. "Hwesio siluman lihat pedang!" Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar, dengan gerak tipu Hek-in-koan-goat (Awan Hitam Menutup Bulan) gerakan ini disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu-sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai). Akan tetapi sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali. Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan setelah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa pukulan ahli lwee-kang I-kin-keng ini, ia lalu berseru keras dan tiba-tiba pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher dari samping! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya sehingga apabila hwesio itu berani menangkis, sungguhpun tidak dapat ia menangkan tenaga lwee-kang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan ketajaman pedang setidaknya tentu akan melukai tubuh lawannya! Akan tetapi hwesio itu benar-benar lihai sekali. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi berat itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang menyambar lewat, tangan kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong macam Siok-lui-kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan tetapi bukan digerakkan untuk Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 231 menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang. Sungguh luar biasa sekali. Biarpun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapapun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lwee-kang dikerahkan dan "krakk!" pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai! Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih! Kong Mo Taisu tertawa bergelak sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah kalah oleh hwesio itu, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar biasa lihainya. Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biarpun tingkat Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada murid keponakannya itu, namun kalau disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang amat berat. Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin ia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apalagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-limpai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit ia bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang. "Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?" Kong Mo Taisu memandang tajam. "Kau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?" "Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu" Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang kuat dan alasan yang tepat." Keng Thian Siansu menyeringai. "Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi" Kau tidak tahu malu, yang sudah kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang kau karena takut kepadanya bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng" Pertama-tama memang pinceng hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan hatiku menebus hinaan waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!" Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini hwesio ini berkata benar. Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya daripada Hok Bin Taisu sendiri dan kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya. Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang sudah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucu-cucu muridnya. Keng Thian Siansu mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san, menjadi mendongkol sekali. Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, melainkan puncak kepandaiannya, yakni tentu saja kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu. Kata-kata ini sama halnya dengan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 232 menantangnya, apalagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan hinaan potong telinga oleh mendiang suhengnya, Seng Thian Siansu. "Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suhengku membuntungi telinga kirirnu. Kau mau membalas dendam dahulu" Baikiah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga keledaimu yang sebelah lagi!" Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan menghina orang. Kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja hendak memanaskan hati dan membuat hwesio itu marah, karena hanya kalau hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan harapan menang. Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga lwee-kang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sukar sekali untuk mengumpulkan hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sin-kang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang. Ejekan tentang telinga itu benar-benar tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras ia yang tadinya tidak mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dibuat ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam. "Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suhengmu!" bentaknya sambil mengirim serangan. Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung rantai menghantam lantai dan debu berhamburan ke atas karena lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai. "Traangg...!" Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat di tangan Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar. Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw dapat menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat, tenaga lwee-kang, maupun gin-kang yang sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya. Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja ia tidak memiliki sin-kang yang kuat tentu kulit dan daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas bagaikan api membara. Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, tahu-tahu rantai itu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini. Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali. Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan ilmu silat Kun-lun-kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian. Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah, mengeluarkan seluruh Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 233 kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya. Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu mengandalkan kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia dapat menangkis serangan lawan yang tentu saja mempergunakan sistim setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada di pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan. Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan kini tempat itu telah terkurung oleh puluhan orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan siap sedia menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana. Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa kalau sampai Ketua Kun-lun-pai roboh binasa, tentu hwesio gundul itu takkan dapat keluar dari situ dalam keadaan selamat. Biarpun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia dapat menghadapi pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu. Mereka pun tidak akan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang tamu terhormat, melainkan sebagai seorang pencuri yang datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau tamu mereka itu terhormat dan pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup takkan dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan. Adapun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu dan empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang maju, dahulu juga Seng Thian Siansu pasti kalah olehnya. Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia telah salah duga. Kiranya, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja ia takkan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya, ia dapat menangkan Keng Thian Siansu hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya! Aku harus menangkan dengan tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar dengan sodokan ke arah dada, ia tidak mengelak, bahkan sodokan tongkat itu dengan pengerahan tenaga lwee-kang dan dengan ujung rantai melibat ujung tongkat. "Buk!" ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa-apa, dan sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapapun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka. Tiba-tiba terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan datangnya kepalan tangan kirinya yang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai! Keng Thian Siansu tadinya telah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap lambang kekuasaannya sebagai ketua besar maka sudah tentu kehilangan tongkat terampas lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa. Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat tangan kanannya, menggunakan gerak tipu Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan kiri Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 234 hwesio itu sehingga di lain saat dua tangan itu jari-jarinya telah saling cengkeram! Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lwee-kang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai, tarik-menarik dan sebelah lagi saling cengkeram. Muka hwesio tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dari kepalanya sudah mengepul uap, tanda pengerahan lwee-kang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali. Tenaga lwee-kang dari hwesio itu yang terdapat karena latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang masih menang setingkat lebih, maka setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan lwee-kang sudah dapat dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lunpai itu takkan tertolong lagi! Pertandingan lwee-kang biarpun dilakukan tanpa mengeluarkan suara, tanpa bergerak namun bahayanya melebihi silat. Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lwee-kang, orang bertanding mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang "tidak kelihatan" namun yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan maut. Bu Pun Su maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan biarpun tongkatnya lenyap, berarti ia akan selamat nyawanya. Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia yang kagum kepada Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar daripada nyawanya! Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan tiba-tiba kakek sakti ini meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lwee-kang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu. Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan! "Ayaaaa..." Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dah melompat ke belakang. Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tosu tua ini terhuyung-huyung dan cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah mempergunakan lwee-kang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya. Kini Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka, nampaknya seperti iblis yang marah sekali. "Bu Pun Su, kau memang pengecut dan tak tahu malu!" Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak akan tetapi tidak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata! Bu Pun Su tersenyum mengejek, "Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus dan dipergunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!" "Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau sendiri seorang keji yang sudah membunuh dua orang cucu muridku dan sekarang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 235 kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku" Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara menggelap" Apakah itu perbuatan laki-laki?" Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini. "Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus diadakan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhah nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa kesopanan pula." "Jahanam, kau memaki aku anjing?" "Siapa memaki" Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kaubilang aku membunuh dua orang cucu muridmu?" "Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa kepalamu ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng." Bu Pun Su tertawa geli. "Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dulu" Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya mana ada setan yang suka?" Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. "Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!" Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. "Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Aku yang hendak kaubunuh tidak tergesa-gesa, mengapa kau yang mau membunuh begitu tidak sabaran" Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain" Sejak kapan kau menjadi hakim di Siauwlim-pai" Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?" "Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun- lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam." Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak, suara ketawanya bergema sampai jauh dan lapat-lapat suara ini yang mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, dijawab oleh auman binatang-binatang buas! "Kong Mo Taisu, kaukira aku tidak dapat menduga" Kiranya siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-limsi pasti tidak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki guamu dan membujuk rayu dengan matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau... ah, mana bisa lain" Kau dengan segala senang hati melaksanakan permintaannya, untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?" Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su, seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali. Pek Hoa setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, lalu langsung menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar ia hanya diterima di ruang depan sekali, tidak diperbolehkan masuk. Di mana wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-letho. Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidakpercayaannya. "Apapun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su daripada kepada Pek Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!" kata Hek Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 236 Bin Taisu. Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauwlim-si dan mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu. Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheranheran, juga ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke guanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si. Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari gua dan untuk menolong wanita itu membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, ia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Kong Mo Taisu biarpun telah menjadi seorang hwesio dan sudah bertapa bertahun-tahun akan tetapi pada dasarnya ia mempunya kelemahan batin. Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apalagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggungnyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu! Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang menimbulkan marahnya. "Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapapun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!" Setelah berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su. Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lwee-kang dan ilmu I-kin-keng, maka serangan-serangannya tentu amat berbahaya. Akan tetapi di samping ini, ia pun maklum bahwa limu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur. Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudiah berkatalah Bu Pun Su, "Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan sehingga kau dihukum oleh Siauw-lim-si, kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat sehingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan telah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu sudah memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!" Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja. Sekali saja kakek ini menggeser kaki, miringkan tubuh atau menundukkan kepala, menekuk lutut atau menggoyang pinggang, serangan-serangan itu mengenai tempat kosong, dan hanya sejari terpisah dari anggauta tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran. "Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?" Bu Pun Su bicara terus dan cepat menggunakan tenaga Pek-in-hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu bagaikan terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan. "Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu berahi Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 237 didahului dengan penggundulan rambut kepala." Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Akan tetapi kau biarpun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!" Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkat tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja, sampai dua puluh jurus lebih serangan-serangannya tak pernah berhasil" Apalagi Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu! Pukulan rantai ke arah kepala kali ini amat kuatnya, dilakukan dengan pengerahan tenaga Ikin-keng sepenuhnya. Biarpun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasai sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat. "Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat..." kata kakek sakti ini dan cepat ia mengulur tangan kanan menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya. Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su saja yang berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andaikata setingkat saia, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata! Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang-bu-tek-cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil (baca Pendekar Sakti). Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biarpun kelihatannya gerakannya biasa saja, namun lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat dan menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah dan tanpa mengeluarkan suara ujung baja itu sudah digenggamnya. Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar amat aneh. Rantai itu biarpun terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkok-bengkok. Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lwee-kang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biarpun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi baja. Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh tangan kaki, bahkan dengan senjata sekalipun, masih belum begitu menegangkan seperti pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya! Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini sudah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia dapat menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu. "Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak takkan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan melupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!" Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya. Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 238 ia tahu bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia sendiri sudah mengerahkan seluruh tenaga Ikin-keng yang ada padanya, akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkatakata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang dikerahkan paling banyak hanya setengahnya. Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya. Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras ia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya! Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su. "Curang...!" Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan tetapi maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya eraterat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu. Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu, Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan waspada. Ia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya kalaukalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya. Diam-diam ia telah menyediakan tenaganya di pundak. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu dengan nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak tangan, menyambut datangnya tenaga dorongan lawan. Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali. Terdengar suara "krek... krek... krek....!" dan satu demi satu mata rantai itu hancur! Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan ketika mata rantai terakhir di dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Ia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram. "Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri." kata Bu Pun Su menarik napas panjang, Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Biarpun sepak terjang Kong Mo Taisu amat jahat dan tak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga lwee-kangnya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti bahwa selamanya ia takkan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan. Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan dan penjagaan di tapal barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lunpai untuk menerima hukuman. Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu ke pada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai tentang kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat. Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan tolong Bu Pun Su untuk menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di Siauw-lim-pai dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 239 *** Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni mencari dan menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai. Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat telah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran. Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki" Benar-benar aneh sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Siankoan, selain hendak menanyakan tentang Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar itu. Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika ia tiba di Sian-koan ia mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian ia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun Su, lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedusedu mencurahkan seluruh kesedihan hatinya. "Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah..." Ia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi. Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya, terharu dan ikut berduka. Sebelum ia menjumpai Im Giok, lebih dulu kakek ini telah mencari keterangan tentang terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini. "Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka bumi ini... teecu tidak kuat menanggung dosa..." gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur dengan tangis. "Kiang Im Giok, omongan apakah yang kaukeluarkan itu" Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu, usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkat muka dan dada, arahkan pandang ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini" Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?" Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuatnya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di depannya dengan mata penuh harap dan tanya. Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa amat kasihan. Ia harus akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini. "Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi yatim piatu dan dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah amat buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan mati hidup" Setiap pertemuan pasti akan diakhiri perpisahan, demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain." Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar kembali, lalu menjawab, Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 240 "Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang untuk mengajukan pinangan untuk teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa kira, dia tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh teecu..." Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah. "Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tak perlu penasaran. Adapun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari semua sebab dan akibat, mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Kau semenjak kecil dilatih tentang kegagahan, kau pun harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, mengapa terbenam dalam lamunan dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di depan mata" Beginikah sikap seorang pendekar?" Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Ia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata, "Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan" Teecu mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk." "Banyak sekali yang dapat kaulakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di dunia ini." "Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas itu, Susiok-couw." Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas penting, tugas yang sukar, merupakan hiburan, yang menarik dan dapat melupakan orang akan kedukaannya, mendatangkan, perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak. "Baiklah, Im Giok. Aku pun sedang membutuhkan bantuanmu, maka kebetulan sekali kalau kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan selain membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang persatuan, terjadi hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara Butong-pai dan Kim-san-pai terjadi bentrok dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai adalah seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan terkenal sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki tentang pertentangan antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai itu dan sedapat mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai." Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 241 "Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw," katanya, kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan kuburan ayahnya, juga di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati dan pikirannya, setelah ia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couwnya. "Di mana adanya sucimu?" tiba-tiba Bu Pun Su bertanya setelah Im Giok selesai bersembahyang. "Kalau tidak pergi, tentu ada di rumah," jawab Im Giok yang selama ini seakanakan sudah lupa akan sucinya itu. "Hemm, aku ingin bertemu dengan dia." Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan. Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberitahu kepada siapapun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa sucinya itu telah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda bahwa sucinya itu pergi jauh dan mungkin sekali takkan kembali. Ia menarik napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su. "Im Giok, disamping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamatamati sucimu itu. Jangan sampai dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan menyemarkan nama baik kita. Betapapun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itupun anak muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas sepak-terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat." Setelah banyak-banyak memberi nasi hat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Setelah kakek ini pergi, Ang I Niocu lalu menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san. Ia memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan kedukaan belaka, maka ia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, disamping memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas. *** Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu mengenakan pakaian putih sederhana sekali, adalah sekarang dalam perjalanannya, ia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Pulih kembali kecantikannya dan kesegarannya yang dahulu dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan memandang penuh kekaguman. Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu meruncing manis dan pipi tanpa cat selalu kemerah-merahan, merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan rambut yang panjang itu masih ada sisanya yang dibiarkan menggantung di belakang leher. Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dahulu selalu dibelikan ayahnya yang memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu. Sepasang telinganya yang sebagian atas tertutup rambut, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 242 digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari emas bermata kemala. Antinganting ini bergerak-gerak selalu, bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata. Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh kemanisan dan keindahan yang tidak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu. Mata ini sekarang agak berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu selalu membayangkan kejenakaan, kegembiraan, dan kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat. Mungkin dahulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya seperti sinar mata kanak-kanak nakal, akan tetapi sekarang, orang akan berpikir masakmasak dulu sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu. Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang dahsyat sesuatu yang merupakan ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang matanya, akan dapat menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu. Akan tetapi, kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana kadang-kadang waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah matanya ataukah mulutnya. Baju dalamnya, yang nampak hanya bagian leher dan lengan baju, berwarna biru. Kemudian bajunya terbuat dari sutera berwarna merah muda, amat lemas dan membayangkan bentuk tubuhnya yang molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas. Ikat pinggang ini yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapapun menariknya gadis jelita ini, orang tidak berani sembarangan berlaku kurang ajar karena Ang I Niocu selain bersikap agung, juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya. Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, kuda bulu putih kesayangannya. Dalam perjalanannya menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pekhong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya. Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang. Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah sucinya ini yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu makin sayang kepada Pek-hong-ma. Pada suatu hari ketika ia tiba di sebuah dusun, ia mendengar suara orang wanita menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, maka ia berani meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon. Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk. "Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu dan kau masih ada suka untuk merengek-rengek" Benar-benar anjing yang tidak tahu malu!" laki-laki itu memaki dan kakinya Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 243 menendang sehingga perempuan itu roboh terguling. Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali dan diantara tangisnya terdengar ia berkata, "Suamiku, mengapa kau begini kejam" Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku" Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminangku" Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?" "Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!" Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, "Suamiku, mengapa kau begitu keji...?" "Siapa keji" Kaulah yang mendatangkan sial" Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!" Kembali lakilaki itu menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu tergulingguling dan mengaduh-aduh. Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak dan berdiri, matanya berapi-api. "Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!" "Jangan banyak cerewet...." Kata-kata si suami ini terhenti dan ia berdiri melongo ketika tiba-tiba ia melihat seorang gadis baju merah yang cantik luar biasa seperti bidadari, tahutahu telah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat munculnya yang tiba-tiba itu, ia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan! Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi. "Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?" Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun ia pun percaya akan tahyul dan mengira bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan, "Ampunkan hamba... dia itu, adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan gadis itu mengajukan permintaan agar hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba menggunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai turunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba..." Sejak tadipun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek. Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya" Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana jalannya" "Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?" "Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?" perempuan itu bertanya heran. "Biarpun andaikata ia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekalipun?" "Apapun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya..." jawab isteri yang setia ini. Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah "Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya" Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah" Orang macam engkau harus Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 244 diberi hajaran. Rasakan ini!" Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat meraba ke bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur dan laki-laki ini sekarang memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah. "Lihat baik-baik daun telingamu!" kata Ang I Niocu sambil menyimpan kembali pedangnya. "Lain kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!" Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala di atas pangkuannya. Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada gadis itu sambil berkata, "Aku sengaja membuntungi telinganya agar ia kapok. Pula kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudahmudahan rumah tanggamu baik kembali." Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat! Sambil duduk di atas kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan semua peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek, "Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya suami isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh karena mencintaiku. Perempuan tadipun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang keji." Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam hatinya telah terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk tidak menikah selama hidupnya, untuk hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan perbuatanperbuatan besar sebagai seorang li-hiap (pendekar wanita). Pandangannya terhadap cinta kasih, menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu daripada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apalagi yang palsu! Bergidik kalau ia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi. Perjalanan menuju ke Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-sanpai, melalui daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dan Cing-hai. Daerah ini adalah daerah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai daerah yang amat liar dan berbahaya. Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena sudah berpuluh tahun tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam. Gerombolan perampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka memiliki kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing. Pernah ada beberapa orang gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san dan menyerbu Min-san Sam-kui ini, akan tetapi para pendekar itu terpukul mundur dan terpaksa lari turun gunung menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik lagi. Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 245 mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, tokoh-tokoh besar tidak mau mengganggu mereka oleh karena memang tiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim (berandal) yang gagah perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim dan kang-ouw. Mereka melakukan perampokan tidak membuta tuli dan hanya beroperasi di daerah Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain. Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwa-kang (tenaga luar) yang amat hebat. Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya sepelukan orang dan goloknya saja yang amat tebal besar dan tajam, beratnya tidak kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan. Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih dan tampan sekali. Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka ia dijuluki Si Tangan Putih. Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi lebih baik tidak dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau sedang marah. Gelang Kemala 4 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Pedang Siluman 2