Pendekar Wanita Baju Merah 8
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 8 menjadi pengkhianat! Memang sikap ini dapat dilakukan oleh seorang pemuda yang amat mencintanya, akan tetapi oleh Im Giok dianggap bukan perbuatan seorang gagah. Membela kekasih boleh dengan taruhan nyawa, akan tetapi sama sekali tidak boleh mempertaruhkan kesetian terhadap negara dan mempertaruhkan nama kehormatan! Kalau Tiauw Ki hendak menolongnya dengan jalan berkhianat, itu baginya bukan pertolongan, melainkan penghinaan besar! Sebagai seorang kepercayaan Kaisar, seorang pemuda yang berjiwa patriot, seharusnya Tiauw Ki mengerti baik akan hal ini. Maka dengan hati marah dan mendongkol Im Giok lalu membalapkan kuda meninggalkan tempat itu! Untuk sejenak Tiauw Ki memandang ke arah bayangan merah di atas kuda itu dengan muka pucat dan wajah muram. Akan tetapi setelah Im Giok tidak kelihatan lagi bayangannya, wajahnya menjadi tenang dan pemuda ini kelihatannya lega dan puas. Tadinya ia memang merasa sakit hati sekali melihat betapa Im Giok marah kepadanya, akan tetapi setelah gadis itu pergi hatinya terhibur. Biarlah, pikirnya, apapun juga yang menimpaku, asal dia itu selamat. Ia lalu memandang kepada Lie Kian Tek dengan mata bersinar dan mulut tersenyum mengejek. "Gan Tiauw Ki, dia telah kami bebaskan. Hayo kau lekas membuat pengakuanmu!" kata putera gubemur itu. Ia ingin Tiauw Ki menjawab cepat-cepat karena masih ada harapan di dalam hatinya untuk nanti mengejar dan menawan bunga cantik itu! Sebaliknya dari menjawab cepat-cepat, Tiauw Ki tertawa bergelak. "Lie Kian Tek, kau telah menyuruh orang membunuh Suma-huciang, kemudian kau menangkap aku dan memaksa aku mengaku tentang pesanan Suma-huciang. Benar-benar perbuatanmu ini sudah melewati batas. Apakah kau tidak tahu apakah hukuman seorang pemberontak?" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 191 "Bangsat besar!" Lie Kian Tek memaki dan tangannya menampar sehingga Tiauw Ki yang kena ditampar pipinya hampir saja terguling dari kudanya. "Jangan banyak cakap, kau ingin hidup atau mampus" Kalau ingin hidup, lekas kau mengaku!" Kembali Tiauw Ki tertawa dan bekas tamparan yang membuat pipinya menjadi matang biru itu tidak dirasakannya."Pemberontak she Lie, kau kira aku tidak mengetahui akal bulusmu" Biarpun aku mengaku, kau tetap akan membunuhku juga." "Jahanam, apakah benar-benar kau tidak mau mengaku" Tadi kau sudah berjanji hendak mengaku kalau aku membebaskan perempuan itu. Aku sudah membebaskannya, kau tidak bisa melanggar janji." "Siapa yang melanggar janji" Lie-siauwjin (manusia rendah she Lie), aku seorang laki-laki sejati, tidak biasa melanggar janji. Dengarlah, Suma-huciang berpesan kepadaku agar supaya terhadap manusia macam engkau aku menutup mulut dan jangan mengatakan apa-apa. Nah, begitulah pesannya kepadaku!" "Keparat, kau menipuku!" "Kau berani bicara tentang menipu" Kiranya aku hanya mencontoh perbuatanmu, orang she Lie. Kau membunuh Suma-huciang lalu menghasut para perwira Tiang-hai dan menuduhku, kemudian kau menyuruh mereka kembali ke Tiang-hai dan pura-pura hendak membawaku ke kota raja, semua itu bukankah akal busuk dan tipuan jahat" Aku hanya minta kau membebaskan Kiang-siocia agar supaya ia selamat dari tanganmu yang kotor dan jahat! Kau mau apa" Mau membunuhku" Bunuhlah, memangnya aku takut mampus" Mau siksa" Hayo, kau boteh lakukan apa saja. Pendeknya yang nyata, Kiang-siocia selamat dan rahasia Sumahuciang dengan Kaisar juga selamat!" Bukan main marahnya Lie Kian Tek. Tangannya yang memegang cambuk kuda diayun. Terdengar ledakan keras dan Tiauw Ki terguling dari kudanya. Ketika ia merayap bangun, jidat dan lehernya terdapat bekas cambukan, merah biru dan mengalirkan darah. Akan tetapi pemuda ini masih tetap tersenyum, matanya bersinar--sinar dan ia berdiri tegak menanti datangnya siksaan selanjutnya yang akan mengantar nyawanya ke tempat asal. Sedikit pun ia tidak mengeluh dan sedikit pun tidak takut. "Jahanam she Gan, kau masih tidak mau mengaku!" Lie Kian Tek melompat turun dari kuda, diikuti oleh para pembantunya. Kini pasukan itu mengundurkan kuda-kuda yang berada di situ dan duduk menonton mengelilingi Tiauw Ki merupakan lingkaran yang lebar. Tiauw Ki hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Lie Kian Tek menggulung lengan baju sebelah kanan dan menggenggam erat-erat gagang cambuknya. "Kau mau mengaku atau tidak?" sekali lagi putera gubemur ini membentak Tiauw Ki yang berdiri di depannya hanya menggeleng kepala sambil tersenyum tabah. Lie Kian Tek mengangkat dan mengayun cambuknya. "Tar! Tar! Tar!" Tiga kali bertubi-tubi cambuk itu mengenai muka Tiauw Ki dan darah muncrat dari bibir dan hidung pemuda she Gan itu, namun ia masih berdiri tegak dan sedikit pun tidak mengeluh. "Jahanam, kau masih keras kepala?" Sekali lagi Kie Kian Tek mengayun cambuknya, kini ke arah mata Tiauw Ki. Tiauw Ki terhuyung dan sepasang matanya tak dapat dibuka lagi, pelupuk matanya menjadi bengkak! Lie Kian Tek terus memukul, bahkan kini tangan kirinya ikut meninju, maka robohlah Tiauw Ki. Biarpun menggeliatgeliat saking sakitnya, tidak sedikit pun pemuda ini mengeluh dan masih mencoba untuk berdiri. Akan tetapi ia jatuh lagi dan menunjang tubuh dengan kedua lengannya yang ditahan pada tanah. Pukulan cambuk masih menghujani tubuhnya dan pakaiannya bagian atas sudah robek dan hancur. Nampak kulit punggung dan dadanya yang putih dan kini darah memenuhi kulit itu, membasahi pakaiannya yang compangcamping. Akhirnya Lie Kian Tek menghentikan siksaannya. Diam-diam ia merasa ngeri juga melihat kekerasan hati Gan Tiauw Ki. Ia merasa lelah dan melempar cambuknya. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 192 "Bedebah, benar-benar menggemaskan!" gerutunya. "Cheng-jiu Tok-ong Locianpwe, harap kau gantikan aku memaksa jahanam ini mengaku. Periksa dulu semua isi sakunya!" Cheng-jiu Tok-ong melangkah maju dan cepat mengeluarkan semua isi saku pakaian Tiauw Ki. Akan tetapi ia tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Isi saku pemuda lni hanya dua buah kitab sajak beberapa helai kertas dan alat tulis dan akhirnya dari saku baju bagian dalam dikeluarkannya sebuah tusuk konde perak. "Kembalikan itu kepadaku!" Tiauw Ki berseru marah sambil mengulur tangan hendak merampas tusuk konde itu, benda keramat pemberian Im Giok. Akan tetapi mana dapat ia merampas benda yang berada di tangan Cheng-jiu Tok-ong" Sekali saja kakek itu menggerakkan tangan, Tiauw Ki telah didorong roboh dan benda ltu diberikan kepada Lie Kian Tek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek, "Hemm, agaknya kau punya kekasih, ya" Bagus, apakah kau tidak ingin hidup untuk dapat bertemu dengan kekasihmu itu?" Sambil berkata demikian, Kian Tek menekuknekuk tusuk konde dan agaknya hendak ia patahkan. Terdengar gerengan marah dan tahu-tahu Tiauw Ki sudah menubruknya dan dengan nekad merampas kembali tusuk konde itu! Saking nekadnya, ia lupa akan segala dan kekuatannya bertambah. Hal ini tidak disangka oleh Lie Klan Tek dan kawankawannya sehingga Tiauw Ki yang lemah itu berhasil merampas kembali tusuk konde pemberian Im Giok. "Kau boleh merampas segala yang ada padaku, akan tetapi benda ini hanya akan berpisah denganku bersama nyawaku!" kata Tiauw Ki sambil memegang tusuk konde itu dengan kedua tangannya dan menekannya di dekat dada kiri. Melihat kelakukan pemuda ini, Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak. "Locianpwe, kaulah yang memaksa dia bicara. Kau tentu ada akal yang baik!" katanya. Cheng-jiu Tok-ong menyeringai sambil menghampiri Tiauw Ki. Kakek ini mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya dan ternyata bahwa yang dikeluarkannya itu seekor ular berwarna hitam! Ular itu menggeliat-geliat diantara jari-jari tangannya dan lidah berwama kemerahan terjulur keluar masuk. "Orang she Gan, sekali aku melepas ular ini dan menggigitmu kau akan mengalami rasa nyeri yang tak pernah dialami orang lain. Tubuhmu akan sakit-sakit semua selama sehari penuh dan kau akan menderita sepenuhnya karena kau takkan pingsan atau mati sebelum sehari penuh. Maka lebih baik kau mengaku, rahasia apakah yang harus kau sampaikan kepada Kaisar. Kau hanya mengaku saja, tak seorang pun akan melihat atau mendengar pengakuanmu ini. Apa sih sukarnya?" "Siluman tua, aku tidak takut mati! Sejak semula aku tidak takut akan ancaman kalian dan tadi aku bersikap lemah hanya untuk memberi kesempatan kepada Giokmoi menjauhkan diri. Setelah dia selamat, keberanianku lebih besar lagi. Kau mau siksa, mau bunuh, mau apa pun, sesukamulah, aku tetap pada pendirianku. Aku seorang laki-laki dan kematian hanya berarti kebebasan daripada berdekatan dengan siluman-siluman macam kalian ini!" Wajah Cheng-jiu Tok-ong menjadi merah dan ia marah sekali. "Kau memang tidak boleh dikasihani. Rasakanlah hukumanku!" Akan tetapi pada saat itu, terdengar beberapa orang menjerit dan dua orang perajurit roboh ketika bayangan merah berkelebat menerjang lingkaran itu. Bayangan merah ini dengan gerakan luar biasa cepatnya telah tiba di dalam lingkaran dan sinar pedang yang berkilauan menyerang Cheng-jiu Tok-ong. Kakek ini terkejut dan dalam gugupnya ia menangkis dengan ular hitam tadi. "Crak!" Tubuh ular itu terbabat putus dan Cheng-jiu Tok-ong berseru marah. "Ang I Niocu, kau berani datang lagi?" Memang, yang datang itu adalah Im Giok. Dengan cepat gadis ini lalu melompat ke dekat Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 193 Tiauw Ki dan berlutut. Air matanya mengucur deras ketika ia melihat keadaan pemuda itu yang memandangnya dengan bibir tersenyum. "Koko..." katanya perlahan. "Giok-moi, mengapa kau kembali...?" "Koko, aku akan mencarikan kebebasan untuk kita berdua, kalau tidak... kita akan mati bersama." Im Giok merangkul leher pemuda yang sudah berlepotan darah itu dan Tiauw Ki mengeluarkan suara sedu sedan yang ditahan-tahannya. Ia terharu bukan main dan berbisik, "Terima kasih, Moi-moi, hati-hatilah..." Im Giok melepaskan pelukannya, lalu mendukung tubuh kekasihnya yang sudah lemas itu, disandarkannya di batang pohon yang tumbuh di situ. Semua orang melihat gerakan gadis ini dengan senjata siap-siap di tangan. Ada pula yang terharu menyaksikan adegan ini. Kemudian Im Giok berdiri, pedang melintang di dada, mata berapi-api dan ia berkata, "Sudah kulihat dan kudengar semua semenjak tadi. Lie Kian Tek, kau ternyata seorang pengkhianat dan pemberontak yang berhati buas laksana srigala. Kau bebaskan Gan-twako, atau aku akan membuka jalan darah! Andaikata gagal usahaku, aku dan Gan-twako akan mati bersama di tempat ini, akan tetapi kiraku tidak sedikit orang-orangmu akan menghadap Giam-kun (Malaikat Maut) lebih dulu sebelum aku roboh!" Memang, tadi setelah dengan hati gemas dan mendongkol Im Giok meninggalkan Tiauw Ki bersama pasukan Lie Kian Tek, di tengah jalan Im Giok merasa tidak enak hati dan menyesal. Ia sudah menyerahkan hatinya kepada Tiauw Ki dan ia sudah percaya betul akan sifat jantan dalam diri kekasihnya itu. Mengapa tiba-tia Kiauw Ti berubah menjadi seorang pengecut" Mengapa Tiauw Ki tidak percaya kepadanya dan apakah artinya mati kalau tidak mati berdua" Mengapa Tiauw Ki menyuruhnya dan membiarkannya pergi dan mengalah hendak membuka rahasia, hendak menjadi seorang pengkhianat" "Tak mungkin! Tak mungkin dia mau berbuat itu," pikir Im Giok dan ia menghentikan larinya kuda. Setelah berpikir sejenak ia lalu melompat turun dari kudanya, menambatkan kendali kuda itu pada sebatang pohon dan berlarilah Im Giok ke tempat tadi. Ia mempergunakan ilmu lari cepat dengan kepandaiannya yang luar biasa ia dapat mendekati pasukan itu sambil bersembunyi dan menyelinap diantara pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu. Ia sempat menyaksikan Tiauw Ki disiksa dan sempat mendengarkan kata-kata Tiauw Ki, melihat pula betapa kekasihnya dengan nekat merampas kembali tusuk konde pemberiannya. Melihat semua ini, Im Giok tak dapat menahan mengalirnya air matanya. Tepat seperti yang diduganya, Tiauw Ki tadi hanya menipu Lie Kian Tek untuk kesempatan kepadanya menyelamatkan diri. Pemuda itu sama sekali bukan seorang pengecut dan sama sekali bukan pengkhianat, bahkan telah membuktikan bahwa dia seorang yang berani mati, seorang gagah dan yang mencintanya sampai di saat terakhir! Demikianlah, Im Giok lalu menghunus pedang dan menerjang masuk, dan kini ia menghadapi Lie Kian Tek dan pasukannya dengan sikap tenang dan gagah. Ia tidak takut apa-apa karena maklum bahwa andaikata ia gagal, ia akan mati bersama kekasihnya! "Kepung dan tangkap dia! Boleh lukai jangan bunuh!" Lie Kian Tek berseru dan serentak Im Giok dikepung, didahului oleh Cheng-jiu Tok-ong yang menyerang dengan golok hijaunya. Sekali lagi Im Giok mengamuk. Tubuhnya berkelebat merupakan bayangan merah, pedangnya menyambar-nyambar lebih dahsyat daripada amukannya yang sudah-sudah karena sekarang selain hati gadis ini amat sakit melihat kekasihnya tersiksa, juga ia nekad untuk mati bersama kekasihnya, para pengeroyoknya menjadi kewalahan. Terlena sedikit saja atau terlalu dekat sedikit saja, pasti pedang di tangan Im Giok mendapatkan mangsa dan roboh seorang pengeroyok. Mereka mengepung dari jauh dan Lie Kian Tek memberi aba-aba. Maka dikeluarkan orang tombak-tombak panjang dan jaring lebar. Dengan dua macam senjata yang biasanya dipergunakan untuk menangkap harimau atau lain binatang buas ini, Im Giok kini Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 194 dikepung! Timbul kegembiraan para perajurit itu dan seperti kalau mereka menangkap harimau, kini mereka bersorak-sorak dan mendesak Im Giok dengan tombak-tombak panjang dan jaring yang amat kuat itu. Lie Kian Tek memang suka sekali memburu binatang, bukan dibunuh melainkan ditangkap hidup-hidup, maka tiap kali pergi dengan pasukannya selalu anak buahnya tidak lupa membawa alat-alat menangkap binatang buas ini, yaitu jaring dan tombak-tombak panjang. Menghadapi serangan istimewa ini, Im Giok menjadi marah sekali, juga amat bingung. Ia mengamuk seperti singa betina, pedangnya menyambar-nyambar dan banyak tombak telah dapat ia patahkan dengan pedangnya. Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu banyak dan Im Giok merasa gugup juga menghadapi pengeroyok yang bersorak-sorak itu, maka setelah melawan mati-matian, akhirnya ia tidak dapat mengelak lagi ketika jaring yang lebar dan kuat dilempar dan menimpanya dari atas. Bagaimana ia dapat mengelak kalau di depan belakang dan kanan kirl belasan tombak menghadangnya" Ia membabat dengan pedangnya, akan tetapi jala atau jaring kedua kembali menimpa sehingga gadis itu kini benar-benar seperti seekor singa betina tertangkap! Ketika Im Giok meronta terdengar suara kain robek dan terkejutlah gadis ini ketika mendapat kenyataan bahwa di sebelah dalam jaring ini dipasangi kaitan-kaitan kecil dari baja sehingga kalau ia berani meronta, tentu pakaiannya akan robek semua dan juga kulitnya akan terkait dan luka-luka. Oleh karena itu, ia terpaksa tidak berani bergerak dan memasang kudakuda setengah duduk, di atas tanah, di dalam jaring-jaring itu. Para perajurit bersorak-sorak gembira sekali. Terdengar suara Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak. "Keluarkan dia dan ikat kaki tangannya!" perintahnya dan suaranya terdengar gembira sekali. Akan tetapi perintah ini hanya mudah diucapkan, sebaliknya amat sukar dilaksanakan. Tadinya para perajurit yang ingin sekali memegang dan membelenggu gadis jelita itu, berebut maju. Celaka bagi mereka, lima orang menjerit roboh dan tak dapat bangun lagi. Seorang roboh ditendang, seorang terpukul oleh tangan kiri dan tiga orang tertusuk pedang! Biarpun berada di dalam jaring, namun Im Giok masih tetap lihai dan sukar didekati. Melihat ini, Cheng-jiu Tok-ong marah sekali. Ia melompat maju dan secepat kilat tangannya bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah di punggung Ang I Niocu Kiang Im Giok. Ia mengira bahwa kalau diserang dari belakang, gadis yang berada di dalam jaring itu tentu sukar mengelak lagi. Akan tetapi, akibatnya dia sendiri yang memekik kesakitan dan telapak tangannya terluka mengeluarkan darah. Dalam keadaan terjepit seperti itu, hanya dengan mendengarkan suara angin pukulan, Ang I Niocu dapat menyusupkan pedangnya dari bawah lengan kiri dan menyambut totokan lawan itu dengan ujung pedang! Karuan saja telapak tangan Cheng-jiu Tok-ong menjadi terluka dan kakek ini berjingkrak-jingkrak saking marahnya. Ia lupa akan pesan Lie Kian Tek agar gadis itu jangan dibunuh. Dalam kemarahannya, Cheng-jiu Tok-ong mencabut golok hijaunya yang beracun dan mengayun golok itu ke arah tubuh Ang I Niocu! "Traaang...!" Golok di tangan Cheng-jiu Tok-ong terpental kembali dan hampir saja terlepas dari tangannya, membuat kakek ini melompat mundur dengan kaget sekali. Pada saat itu, seorang nenek tua yang entah darimana datangnya dan yang tadi telah menangkis golok Cheng-jiu Tok-ong dengan sepasang pedang yang Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berkilauan tajamnya, kini membabat jaring yang menutupi tubuh Im Giok. Gadis ini sendiri pun dengan bersemangat mengerjakan pedangnya, membabat dari dalam sehingga sebentar saja jaring itu rusak dan ia dapat melompat keluar. Di beberapa bagian tubuhnya terluka oleh kaitan, akan tetapi Im Giok tidak mempedulikannya. Baik Im Giok, maupun Cheng-jiu Tok-ong dan semua orang yang berada di situ tidak mengenal siapakah gerangan nenek yang memegang sepasang pedang ini. Wajahnya keriputan, rambutnya sudah putih semua, namun gerakan-gerakannya masih amat gesit dan lincah. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 195 "Serbu...! Bunuh siluman ini!" Lie Kian Tek berseru keras. Akan tetapi ia cepat mengangkat pedangnya ketika tiba-tiba nenek itu menyambar dan menyerangnya dengan pedang kiri, sedangkan pedang kanan merobohkan dua orang perajurit yang menghalang di jalan! Lie Kian Tek menangkis, tangannya tergetar dan pedangnya terlempar! Sinar putih meluncur ke arah lehernya dan putera gubemur ini sudah meramkan mata. Baiknya Cheng-jiu Tok-ong cepat datang menolong. Ditusuknya lambung nenek itu dengan golok hijaunya sehingga nenek itu terpaksa menarik kembali serangannya kepada Lie Kian Tek, kemudian menghadapi Cheng-jiu Tok-ong. Mereka segera bertempur dengan hebat. Adapun Im Giok kini sudah dikepung lagi, para perajurit sekarang maklum bahwa kalau tidak dibunuh, nona baju merah yang cantik jelita ini amat berbahaya, apalagi sekarang tiba bantuan seorang nenek yang seperti setan. Mereka beramai mengeroyok, yang pandai maju di depan, yang kurang pandai hanya membantu di belakang dengan tombak atau toya panjang. Im Giok memutar pedangnya, kini ia menyerang dengan ganas dan sebentar saja lima orang pengeroyok roboh bergelimpangan. Karena Cheng-jiu Tok-ang tidak dapat ikut mengeroyok, tentu saja bagi Im Giok para pengeroyok itu merupakan makanan lunak! Apalagi gadis ini merasa sakit hati dan marah sekali telah menerima hinaan, sekarang pembalasan yang ia lakukan benarbenar hebat dan membuat para pengeroyoknya kalang kabut. Pertempuran antara nenek itu melawan Cheng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh enam orang perwira juga dahsyat sekali. Kepandaian nenek itu tinggi bukan main, sepasang pedangnya menyambar-nyambar amat ganasnya. Telah banyak orang yang roboh olehnya dan perwira-perwira yang membantu Cheng-jiu Tok-ong sudah beberapa kali berganti orang. Diam-diam Cheng-jiu Tok-ong terkejut sekali ketika memperhatikan permainan pedang nenek ini. Ia mengenal gerakan-gerakan ilmu pedang itu akan tetapi kalau ia melihat wajah yang keriputan ini, ia menjadi ragu-ragu. "Tahan! Twanio, siapakah kau dan mengapa kau memusuhi kami?" Chengjiu Tok-ong berseru. Terdengar nenek itu tertawa dan orang menjadi terheran-heran mendengar suara ketawanya, begitu merdu seperti suara ketawa seorang gadis belasan tahun! "Cheng-jiu Tok-ong, kau telah menjadi kaki tangan pemberontak dan berani sekali menghina muridku. Benar-benar keterlaluan!" Seperti juga suara ketawanya, katakatanya ini diucapkan dengan suara yang merdu sekali! Mendengar suara ini, Cheng-jiu Tok-ong dan Ang I Niocu hampir berbareng berseru, "Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat..." Nenek yang berambut putih dan berwajah keriputan itu sekali lagi tertawa merdu, nadanya mengejek. "Pek Hoa... mengapa kau menyerangku" Dia itu muridmu, akan tetapi mengapa berani sekali melawanku" Biarpun demikian, kalau kau menghendaki, aku bisa mengampunkan dia. Mari kita bicara baik-baik, Pek Hoa..." Akan tetapi Pek Hoa Pouwsat atau nenek buruk itu hanya tertawa terkekeh-kekeh dan tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak secara aneh sekali! Gerakan ini disusul oleh seruan kaget dari para pengeroyoknya dan dalam beberapa gebrakan saja empat orang pengeroyoknya telah roboh dan tewas! Cheng-jiu Tok-ong kaget setengah mati, apalagi ketika ia menyaksikan sepasang pedang dari bekas muridnya ini yang benar-benar luar biasa sekali, gerakannya demikian indah dan halus, dan nenek yang tubuhnya masih nampak langsing itu bergerak-gerak seperti orang menari secara amat menggairahkan! Biarpun hal ini nampak lucu karena nenek itu tua, namun tetap saja masih mendatangkan pengaruh yang luar biasa terhadap para pengeroyoknya. Inilah ilmu pedang ciptaan Pek Hoa Pouwsat yang disebut ilmu pedang Bi-jin-khai-i, ilmu pedang yang mengandung kekuatan sihir dan bahkan sudah berhasil merobohkan pendekar sakti seperti Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 196 Han Le! Juga Im Giok terheran-heran. Tidak salah lagi pendengarannyag suara itu adalah suara bekas gurunya, Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi dahulu Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yahg amat cantik jelita seperti bidadari, mengapa sekarang menjadi nenek-nenek tua sekali yang buruk" Betapapun juga, kedatangan nenek yang membantunya ini dan melihat kelihaiannya, hati Im Giok menjadi besar dan pedangnya menjadi sinar bergulung-gulung seperti naga mengamuk. Untuk mengimbangi keindahan permainan sepasang pedang Pek Hoa Pouwsat, Ang I Niocu lalu mainkan limu pedangnya yang seperti tarian indah, akan tetapi kehebatannya luar biasa sekali sehingga tiap kali berkelebat tentu ada lawan yang roboh! Betapapun juga sepak terjang Im Giok, masih belum ada artinya kalau dibandingkan dengan Pek Hoa Pouwsat. Nenek ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Kalau pedang kanan atau kiri di tangannya berkelebat, bukan satu orang yang roboh, sedikitnya ada tiga orang roboh tak bemyawa lagi. Sebentar saja di tempat itu berubah menjadi tempat yang mengerikan di mana mayat bertumpuk-tumpuk dan darah membanjir. Cheng-jiu Tok-ong makin terdesak hebat oleh sepasang pedang bekas muridnya sendiri itu. Ngeri ia memikirkan betapa ia terancam bahaya maut di tangan bekas muridnya sendiri. Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dahulu ketika Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat masih menjadi muridnya. Pek Hoa adalah seorang anak perempuan yatimpiatu, karena ayah bundanya yang menjadi kepala penyamun telah tewas di dalam tangan Cheng-jiu Tok-ong. Melihat bocah perempuan yang berkulit halus putih dan berbibir merah itu, Chengjiu Tok-ong tertarik lalu membawanya pulang dan bocah berusia tujuh tahun ini diambil menjadi muridnya. Pek Hoa menjadi dewasa dalam asuhan orang yang berwatak bejat, bahkan Chengjiu Tok-ong tidak malu, untuk mempermainkan muridnya sendiri sehingga semenjak kecil Pek Hoa sudah diajar segala macam perbuatan buruk dan tak tahu malu. Akhimya Pek Hoa meninggalkannya dan kemudian ia mendengar bahwa bekas murid, juga bekas kekasihnya itu telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu dan memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Sekarang, teringat akan ini semua, Cheng-jiu Tok-ong mengeluarkan keringat dingin. Sangat boleh jadi bahwa Pek Hoa yang kini sudah kenyang akan pengalaman di dunia kang-ouw, dapat menduga bahwa dialah yang telah membunuh ayah bunda dari Pek Hoa. Boleh jadi sekali bekas muridnya ini sekarang datang untuk membalas dendam! Teringat akan hal ini, Cheng-jiu Tok-ong lalu berlaku nekad dan diam-diam ia mengeluarkan jarum-jarumnya yang beracun, juga mengeluarkan Chengtok-see (Pasir Hijau Beracun). Ia maklum bahwa ia tidak akan mendapat ampun dan pula tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri lagi. Maka ketika kembali Pek Hoa Pouwsat merobohkan empat orang kawannya sehingga yang lain-lain menjadi gentar dan menjauhkan diri, Cheng-jiu Tok-ong mempergunakan kesempatan selagi Pek Hoa mencabut pedangnya dari tubuh lawan yang dirobohkan, segera menyerang bertubi-tubi. Jarum dan pasir beracun disambitkannya dan semua ini dibarengi dengar serangan golok Cheng-tok-to secara nekad dan mati-matian. Pek Hoa Pouwsat terkejut juga menghadapi serangan ini. Ia berhasil menangkis golok dan mengelak ke kiri, terus menusukkan pedangnya yang tepat mengenai ulu hati bekas gurunya. Akan tetapi tiga batang jarum juga tepat mengenai leher, pundak, dan dadanya! Tiga batang jarum ini adalah Cheng-tok-ciam dan Pek Hoa tahu bahwa nyawanya takkan tertolong lagi. Ia membiarkan jarum-jarum ini menelusup memasuki dagingnya dan sambil tertawa terkekeh-kekeh melihat gurunya berkelojotan lalu tewas, ia mengamuk terus! Di lain pihak, Im Giok dalam amukannya melihat Lie Kian Tek berlari mendekati Tiauw Ki dengan pedang terangka tinggi. Gadis ini maklum akan maksud putera gubemur ini, tentu hendak membunuh kekasihnya yang masih duduk tak berdaya karena luka-lukanya. Cepat ia melompat bagaikan terbang dan tepat sekali datangnya ini. Terlambat sedikit saja tentu kekasihnya tak dapat ditolong pula. Dengan gemas ia menangkis sambil mengerahkan tenaga. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 197 Terdengar suara keras dan pedang di tangan Lie Kian Tek terbabat putus dan di lain saat tubuh putera gubernur itu terlempar jauh terkena tendangan kaki Im Giok! Im Giok masih marah dan hendak mengejar tubuh Lie Kian Tek yang sudah pingsan itu untuk dibunuhnya, akan tetapi ia dihadang oleh belasan orang perwira sehinggi ia mengamuk lagi. Para perajurit dan perwira-perwiranya melihat betapa Lie Kian Tek sudah terluka hebat dan Cheng-jiu Tok-ong sudah tewas, menjadi lenyap semangat mereka. Apalagi sudah terlalu banyak kawan mereka yang tewas. Maka sambil membawa tubuh Lie Kian Tek yang pingsan, mereka lalu melarikan diri di atas kuda dan membalapkan kuda tunggangan mereka! Im Giok sudah terlalu lelah untuk mengejar mereka. Sebaliknya, ia melihat Pek Hoa Pouwsat mengeluh, melepaskan sepasang pedangnya dan terhuyung-huyung mau roboh. Cepat Im Giok melompat dan memeluk wanita itu. Melihat betapa Pek Hoa telah menjadi seorang wanita yang mukanya tua dan buruk seperti iblis, dan melihat pula betapa bekas gurunya ini sekarang menderita luka berat dalam usahanya menolong nyawanya, hati Im Giok menjadi terharu sekali dan semua kebencian yang timbul di hatinya terhadap bekas guru ini lenyap, terganti oleh kasih sayang yang hangat seperti yang dulu terkandung di hatinya terhadap bekas guru ini. "Enci Pek Hoa..." bisiknya sambil memondong tubuh bekas gurunya itu, dibawa ke tempat yang bersih dari tumpukan mayat. Tiauw Ki menguatkan tubuh dan setengah merangkak ia pun menghampiri tempat itu. Pek Hoa Pouwsat membuka matanya dan terlihatlah oleh Im Giok bahwa nenek ini benarbenar Pek Hoa Pouwsat gurunya. Sepasang mata yang bersinar-sinar dan bening bagus itu memang mata Pek Hoa. Tidak ada wanita kedua yang memiliki mata sebagus mata Pek Hoa, demikian pikir Im Giok. Ketika pandang matanya melihat luka di leher, pundak, dan dada yang mengeluarkan darah hijau, Im Giok menahan isak. "Enci Pek Hoa...!" bisiknya lagi. Pek Hoa tersenyum dan terbukalah mulutnya yang ompong. Im Giok bergidik. Dahulu gigi Pek Hoa bukan main indahnya, berderet rapi dan putih bersih laksana mutiara. "Im Giok, anak baik, kau makin cantik saja..." Kemudian ia muntahkan darah yang wamanya hijau pula. "Im Giok..., aku... aku takkan lama lagi dapat bertahan... kau cantik, sayang sekali kalau lenyap kecantikanmu... kau pergilah ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih) carilah telur Pek-tiauw... campur dengan obat ini... kau minum setengah tahun sekali... selama hidup kau akan tinggal muda dan cantik..." Pek Hoa menghentikan kata-katanya dan tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan, kemudian ia tertawa ha-ha-hi-hi, nampaknya geli dan seperti ada sesuatu yang lucu, tertawa terus akan tetapi suara ketawanya makin lama makin lemah sehingga akhirnya terhenti sama sekali! "Enci Pek Hoa, kau mati karena aku... terima kasih..." bisik Im Giok di dekat telinga bekas gurunya dan tak tertahan pula dua titik air mata menetes di kedua pipinya. Sayang sekali Im Giok tidak sempat mendengar tentang pengalaman Pek Hoa, tidak tahu tentang riwayatnya sehingga ia menyimpan obat pemberian bekas gurunya itu tanpa ragu-ragu lagi. Kalau saja ia tahu... kiranya ia akan membuang obat itu jauh-jauh dengan ngeri hati. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan terusir dari Pulau Pek-le-tho, Pek Hoa-Pouwsat pergi dengan hati perih sekali. Ia tidak berdaya menghadapi Bu Pun Su kakek sakti itu dan betapapun sakit hatinya, ia tak dapat berbuat apa apa. Yang lebih menyakitkan hatinya adalah karena ia telah mengandung. Ia mendekati dan menggoda Han Le bukan sekali-kali karena ia mencinta pengemis Sakti itu. Tadinya ia bermaksud menundukkan Han Le agar cita-citanya membalas dendam tercapai, agar ia mendapat pembantu yang lihai. Memang ia berhasil karena bukankah ia telah berhasil menewaskan Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang dua orang tokoh Siauw-lim-pai, juga Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 198 menewaskan Cin Giok Sianjin tokoh Kun-lun-pai atas bantuan Han Le! Sayang sekali bahwa biarpun bantuan dari Han Le, tetap saja ia tidak mampu mengalahkan Bu Pun Su yang amat lihai itu. Dan semua itu dibelinya dengan penghinaan hebat. Tadinya ia hendak mengganggu Han Le, tidak tahunya ada juga rasa kasih sayang di dalam lubuk hatinya terhadap Han Le, apalagi ia telah mengandung! Dan kini ia terusir dari pulau itu, terpisah dari Han Le dan sama sekali tidak dapat membalas dendamnya. Bukan main marah dan kecewanya hati Pek Hoa. Ia bersembunyi di dalam hutan lebat, menanti saat kelahiran anak yang dikandungnya. Wanita ini memang berhati keras dan merupakan seorang yang luar biasa sekali. Tanpa bantuan siapa-siapa, berkat lwee-kangnya yang tinggi dan kepandaiannya yang sudah sampai di tingkat puncak, ia dapat melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat. Akan tetapi apa yang terjadi" Setelah anaknya terlahir, terjadi perubahan hebat pada dirinya! Kulitnya mengeriput, rambutnya yang hitam panjang berubah menjadi putih, sebaliknya kulitnya yang putih menjadi hitam dan tubuhnya menjadi kurus kering! Pek Hoa Pouwsat semenjak kecil mengutamakan kecantikan dan untuk menjaga kecantikannya ia bahkan setengah tahun sekali makan telur Pek-tiauw yang dicarinya dengan susah payah. Dengan obat ini ia memang tidak pemah tenjadi tua dan selalu tetap cantik dan muda. Sekarang ia berubah menjadi demikian tua dan buruk, tentu saja hal ini merupakan pukulan yang hebat sekali baginya. Ia tidak mengira sama sekali bahwa khasiat obat itu akan musnah bahkan menjadi sebaliknya, merusak semua kecantikannya apabila ia mempunyai anak! Kini baru ia tahu dan saking marah dan sedihnya, Pek Hoa Pouwsat seperti orang gila lalu membanting mati anaknya sendiri! Kemudian ia lalu berlari-lari seperti orang gila, merantau ke sana ke mari sampai akhimya ia bertemu dengan Im Giok yang dikeroyok oleh Cheng-jiu Tok-ong dan orang-orangnya. Melihat Cheng-jiu Tok-ong, timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit, maka ia mengambil keputusan untuk membunuh bekas gurunya ini. Juga melihat Im Giok yang cantik jelita, Pek Hoa tersenyum seorang diri dan berkata, "Dia harus menggantikan aku..., ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku pula..." Demikianlah, Pek Hoa Pouwsat lalu menyerbu dan berhasil membunuh Cheng-jiu Tokong juga berhasil memberikan obatnya kepada Im Giok. Biarpun untuk tercapainya dua maksud ini dia harus mengorbankan nyawanya. Setelah Pek Hoa Pouwsat meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya berpelukan dan keduanya mengeluarkan air mata. "Aduh, Giok-moi, sama sekali aku tidak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam keadaan hidup," kata Tiauw Ki. Im Giok meraba muka Tiauw Ki yang penuh luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian Tek, menjamah luka-luka itu dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang. "Kasihan sekali kau, Koko... kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang diri..." "Tidak ada yang harus dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau marah dan pergi, agar kau selamat..." "Aku tahu, Koko, aku mengerti... alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku." "Aku mencintamu lebih dari mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi..." Setelah keharuan mereka mereda, Tiauw Ki bertanya, "Nenek yang menolong kita itu, siapakah dia?" "Dahulu, di waktu kecil, dia pemah menjadi guruku. Tadinya dia yang berjalan sesat, akan tetapi selalu aku tahu bahwa di dalam hatinya, ia amat sayang kepadaku. Dan ternyata benar..." Suara Im Giok menjadi lambat penuh keharuan. "Dia mengorbankan nyawa untukku... Aku harus merawat jenazahnya baik-baik, Twako. Dia harus dikubur baik-baik..." Tiauw Ki menyetujui dan sibuklah mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek Hoa Pouwsat. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 199 "Bagaimana dengan mereka itu" Sudah sepatutnya mereka itu dikubur juga, bukankah mereka manusia?" Tiauw Ki menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di sana-sini dan suaranya gemetar. Ngeri ia melihat mayat manusia yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu. Benar-benar hebat amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa Pouwsat. Im Giok memandang dan menarik napas panjang. "Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berdua dapat mengubur mayat sebanyak itu" Apalagi tanpa ada alat untuk menggali lubang." "Akan tetapi hatiku tidak menginginkan mereka itu ditinggalkan begitu saja menjadi makanan binatang buas..." Tiauw Ki membantah. "Jangan khawatir, Koko. Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya. Pula, mereka itu adalah anggauta pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan mereka akan datang kembali untuk mengurus mayat mereka. Dan lagi, kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Kalau mereka datang lagi membawa bala bantuan, celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat melawan lagi..." Kebetulan sekali mereka masih dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya lari kacau-balau, maka cepat mereka menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju ke utara, ke kota raja. Di tengah perjalanan, Tiauw Ki berkata, "Giok-moi, aku ingin sekali lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu pergi ke Sian-koan menemui ayahmu. Kalau... kau sudah menjadi isteriku, kau harus membuang jauh-jauh pedangmu dan selanjutnya kita hidup dalam damai dan tenteram. Aku tidak bisa membiarkan isteriku merenggut nyawa manusia sedemikian banyaknya...!" Im Giok tersenyum. Hatinya membantah, karena dalam hal pertempuran, membunuh atau terbunuh adalah hal biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut karena maklum bahwa kekasihnya yang lemah itu baru saia terlepas dari bahaya maut dan baru mengalami sesuatu yang benar-benar menakutkan. Perjalanan dilakukan cepat dan ketika mereka lewat di sebuah kota, Im Giok membeli obat di toko obat untuk mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki. *** Kiang Liat yang melakukan perjalanan ke Go-bi-san untuk menyampaikan surat dari Bu Pun Su kepada Ketua Go-bi-pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak gunung itu dengan selamat. Ia menghadap ciangbunjin dari Go-bi-pai, yakni Twi Mo Siansu, seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih dan sikapnya halus, tubuhnya tinggi kurus dan alisnya putih semua. Kakek ini setelah membaca surat dari Bu Pun- Su, mengangguk dan tersenyum. "Bu Pun Su benar-benar mengagumkan sekali. Sudah tua masih berhati muda, bergelora dan bersemangat. Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa, orang-orang seperti kita ini mau bisa apakah?" Mendengar kata-kata ini, di dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali. Alangkah lemah dan pikunnya ketua Go-bi-pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani bilang apa-apa, hanya mendengarkan lebih lanjut. Juga para murid Go-bi-pai yang berada di situ, yang jumlahnya belasan orang, tidak ada yang mongeluarkan suara. Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan mengandung tenaga. "Maafkan teecu, Susiok. Teecu sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan bicara dalam urusan yang sama sekali teecu tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, sungguhpun teecu tunduk dan setuju akan kata-kata Susiok tadi bahwa apapun yang diusahakan oleh manusia, akhimya keputusan berada di tangan Thian, namun, sebagai manusia yang berakal budi, apalagi yang menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan seperti kita, teecu rasa sudah sepatutnya kalau kita berusaha demi keadilan dan kebajikan. Adapun akibat dan keputusannya, memang terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan kalau pendapat teecu keliru dan selanjutnya mohon petunjuk, Susiok." Semua orang memandang kepada pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa yang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 200 bicara itu adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah, patut sekali menjadi seorang pendekar. Pakaiannya indah, pedangnya tergantung di pinggang, alisnya hitam dan matanya berapi-api. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun. Kalau Kiang Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda ini, adalah lain-lain murid Go-bi-pai yang berada di situ memandang dengan muka merah dan ada yang khawatir. Mereka menduga bahwa Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali, karena sudah merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para anak murid tidak sekali-kali boleh mencampuri percakapan antara guru besar ini dengan tamu yang datang. Apalagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh para anak murid. Akan tetapi pemuda ini telah berlancang mulut, tidak saja mencampuri percakapan, bahkan terang-terangan berani mencela pendirian Twi Mo Siansu! Suasana menjadi sunyi dan tadinya Twi Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang mata yang masih amat tajam berpengaruh itu memandang kepada pemuda gagah itu dengan marah. Akan tetapi ketika bertemu dengan wajah yang tampan terbuka, mata yang berani menentangnya penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali dan ia tersenyum. "Bagus sekali, Liem Sun Hauw. Biarpun pendirianmu itu pikiran orang muda jalan dan tidak sejalan dengan pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Gobi-pai dari luar kuil, tentu tidak tahu akan peraturan di dalam kuil, maka kelancanganmu itu kumaafkan. Sayang Suheng telah meninggal, kalau tidak tentu ia akan bangga sekali mendengar ucapan muridnya di depanku." Kakek ini lalu tertawa dengan girang. "Harap maafkan, Susiok. Sesungguhnya teecu tadi telah lancang tanpa dipikir dulu, harap banyak maaf." "Tidak apa, tidak apa. Bahkan kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa gerangan orangnya yang dapat mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biarpun tidak sejalan dengan pikiranku, aku setuju sekali dengan pendirianmu. Karena itu aku pun setuju dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu minta bantuanku agar supaya kita dari Go-bi-pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak penyerang mendatangi dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara berada dalam bahaya dan ancaman musuh berbagai pihak. Hal ini dapat dilakukan oleh semua anak murid yang berada di sini melakukan penjagaan di sepanjang tapal batas sebagai pengawas. Akan tetapi tentang permintaan ke dua dari Bu Pun Su agar supaya aku turun gunung dan menghubungi kawan-kawan untuk memperkokoh persatuan dan melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri, sungguh tak dapat kulakukan. Kaulah, Sun Hauw, kau yang harus mewakili aku turun gunung!" "Teecu siap sedia menjalankan perintah Susiok. Mohon nasihat dan petunjuk selanjutnya agar teecu dapat melakukan tugas dengan baik," jawab pemuda itu dengan suara tegas dan bersemangat. "Kau hubungi semua tokoh besar dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri sudah menyatakan setuju sekali akan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti ini kita semua harus bersatu. Jangan sampai ada perpecahan diantara kita dan kalau misalnya ada, urusan itu harus dibereskan secara damai. Persatuan harus ditujukan untuk melindungi negara dan rakyat dari bahaya. Apabila benar-benar terjadi perang, tentu muncul banyak manusia jahat dan perlu sekali kita melindungi rakyat jelata dari penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku kepada mereka dan pertama-tama lebih tepat kalau kau pergi ke Bu-tong-san mengingat bahwa partai Bu-tong-pai pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan dengan Kim-san-pai. Katakan kepada Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-tong-pai bahwa kalau dia mau mengadakan pertemuan damai dengan pihak Kim-san-pai, boleh mempergunakan kuil kita di Go-bi-san sini." "Teecu sudah ingat akan semua pesan Susiok dan akan mentaati," kata Sun Hauw, pemuda gagah itu. Tiba-tiba seorang di antara para anak murid Go-bi-pai yang duduk di situ, berdiri dan berkata Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 201 dengan suara lantang, "Maaf, Suhu. Teecu merasa kurang puas dengan diangkatnya Liem-sute sebagai wakil Suhu. Hal ini menyangkut nama baik partai kita, maka teecu merasa ragu-ragu apakah kelak nama baik partai kita tidak akan terancam bahaya. Liem-sute baru saja datang di Go-bi-pai, baru tiga hari dan hanya menurut pengakuannya sendiri Suhu tahu bahwa dia adalah murid Thian Mo Siansu Supek. Bagaimana kalau dia itu sebenamya bukan murid Supek" Sungguhpun andaikata dia itu benar-benar murid Supek, masih belum boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-bi-pai, mengingat bahwa antara Suhu dan Supek..." "Cukup!" Twi Mo Siansu membentak dan murid yang bicara tadi, seorang tosu pula berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tak berani melanjutkan kata-katanya dan duduk kembali. "Tek Sin, aku mengerti akan maksud kata-katamu. Kita telah menerima tugas untuk menjadi tukang menggalang persatuan, bagaimana kita masih ingat akan perpecahan sendiri" Tidak, bagaimanapun juga, murid Suheng adalah murid Go-bi-pai pula. Keraguanmu tentang kemampuan Sun Hauw, memang tepat. Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya apakah benar dia itu anak murid Go-bi-pai, dan apakah kiranya dia sudah cukup kuat untuk melakukan tugas mewakili aku." Tek Sin Tojin terkejut. Tak disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat suhunya marah dan ia kini diharuskan menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid pertama dari Twi Mo Sian-su dan tadi mendengar tugas mewakili suhunya diberikan kepada pemuda itu, tentu saja ia merasa tidak senang. Sekarang, ada jalan baginya untuk memperlihatkan bahwa pandangannya tepat dan bahwa gurunya telah berlaku keliru menyerahkan tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti Liem Sun Hauw yang baru saja datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu. "Teecu tidak berani menolak perintah Suhu," katanya sambil berdiri, lalu katanya kepada Liem Sun Hauw. "Liem-sute, kau sudah mendengar sendiri perintah Suhu bahwa pinto harus mengujimu. Oleh karena itu, marilah kita pergi ke lian-bu-thia (tempat berlatih silat)." Liem Sun Hauw tersenyum dan menjura kepada tosu yang tubuhnya tinggi besar ini. "Twa-suheng, siauwte mana berani menolak" Hanya mengharap belas kasihan Suheng dan jangan berlaku terlalu keras kepada siauwte yang masih hijau." Sambil berkata demikian, Liem Sun Hauw lalu bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke lian-bu-thia. "Tidak usah ke lian-bu-thia, di ruangan inipun cukup lebar kalau hanya untuk menguji kepandaian saja, Tek Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini saja," kata Twi Mo Siansu. Semua anak murid Go-bi-pai lalu mengundurkan diri berdiri di pinggir untuk memberi tempat yang lega bagi dua orang yang hendak mengadu kepandaian itu. Juga Kiang Liat yang sebagai tamu tidak berani turut bicara lalu minggir. Ia melihat Tek Sin Tojin sebagai seorang tosu tinggi besar yang jelas sekali bertenaga kuat dan dari pandang mata tosu ini ia dapat mengetahui bahwa Tek Sin Tojin mempunyai lwee-kang dan kepandaian yang tinggi. Maka diam-diam ia mengkhawatirkan keadaan pemuda tampan itu. Kiang Liat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa Tek Sin Tojin merasa iri hati kepada Sun Hauw dan dalam ujian silat ini tentu saja tosu itu berusaha untuk membikin malu dan merobohkan Sun Hauw. Liem Sun Hauw menanggalkan jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas, menambah kegagahannya karena nampak bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Ia berdiri di tengah ruangan menghadapi Tek Sin Tojin dengan tubuh direndahkan dan kepala ditundukkan, tanda menghormat kepada saudara tua. "Liem-sute, pinto lihat ada pokiam (pedang pusaka) tergantung di pinggangmu. Dalam ujian ini, apakah kau hendak mempergunakan pedang?" Liem Sun Hauw menjura. "Siauwte serahkan pada kebijaksanaan Suheng saja, bagaimana cara Suheng hendak menguji, siauwte siap mentaati perintah." "Hemm, kalau begitu cabut pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 202 kosong saja." Liem Sun Hauw patuh. Ia menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan, tanda bahwa pedang itu adalah pedang yang baik. Ia memutar pedangnya dengan gerakan indah dan cepat, tahu-tahu pedang itu kini telah dipegang di bagian pucuknya dan gagangnya disodorkan ke arah Tek Sin Tojin, tangan kiri dibuka terpentang di depan dada. Melihat ini, Kiang Liat tahu bahwa biarpun kelihatannya aneh sekali memegang ujung pedang secara terbalik, namun gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan tentu saja mempunyai arti tertentu. "Ketika Suhu memberikan gin-kiam (pedang perak) ini kepada siauwte, Suhu berpesan siauwte jangan sekali-kali menggunakan pedang ini untuk menghina orang dan melawan bertangan kosong dalam pibu," kata pemuda itu dengan sikap hormat. Twi Mo Siansu mengangguk-angguk girang. "Ah kiranya Suheng masih ingat akan pesan Sucouw, masih ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya." Memang Go-bi-pai terkenal keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang anak murid sama sekali tidak boleh memamerkan ilmu pedangnya, juga tidak boleh menghadapi lawan dalam pibu (pertandingan persahabatan) yang bertangan kosong dengan pedang. Kalau terjadi lawan itu bertangan kosong menantang, ia harus menyerahkan pedang itu dengan sikap dan gerakan tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Sun Hauw ini. Tadi memang Tek Sin Tojin menguji apakah pemuda ini mengerti akan peraturan ini dan ternyata Sun Hauw mengerti baik! "Kau memberikan pedangmu kepadaku" Baik, kuterima dan awas terhadap caraku mengembalikannya!" kata Tek Sin Tojin. Tangan kanannya menyambar dan di lain saat pedang itu telah berpindah ke dalam tangannya, tosu tinggi besar itu lalu membuat gerakan melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali, kemudian pada jungkiran terakhir, ia menggerakkan tangannya dan pedang itu meluncur seperti anak panah menyambar ke arah dada Liem Sun Hauw! Pemuda itu cepat meloloskan sarung pedangnya dan dengan gerakan indah namun cepat sekali ia menyambut pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung pedang dan... tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarungnya, mengeluarkan suara keras! Indah sekali gerakan dua orang itu. Tek Sin Tojin melakukan gerakan menyambit yang merupakan jurus terakhir dari ilmu pedang Go-bi-pai, yakni gerakan yang digebut Sin-liong kian-hwe (Naga Sakti Mengulur Ekor) yang dimaksudkan untuk dipergunakan pada saat terakhir atau pada saat sudah amat terdesak oleh lawan yang lebih tangguh. Timpukan pedang yang tidak terduga-duga ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil merobohkan lawan, sedikitnya memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan diri! Adapun Sun Hauw yang sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung pedangnya dan cepat memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-bi-pai, melakukan jurus ilmu silat yang disebut Sin-liong siu-cu (Naga Sakti Menyambut Mustikanya). Memang, dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sun Hauw benar-benar seorang anak murid Go-bi-pai yang jempol. Adapun Kiang Liat yang juga seorang ahli pedang terkemuka, melihat petunjukan ilmu pedang ini, diam-diam merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Go-bi-pai memang cabang yang memiliki ilmu pedang indah dan aneh-aneh, maka menyaksikan demonstrasi tadi, ia merasa gembira dan memuji, "Bagus sekali!" Ia tidak tahu bahwa memang di dalam ilmu pedang cabang Go-bi-pai terdapat pelajaran terakhir, yakni bersilat dengan sarung pedang. Hal ini dipelajari untuk menjaga kalau-kalau pedang terampas lawan, maka biarpun dengan sarung pedang, masih dapat anak murid Go-bi-pai melakukan perlawanan hebat. Sementara itu, sekarang Tek Sin Tojin dan Liem Sun Hauw sudah mulai bertempur dengan tangan kosong. Gerakan mereka cepat dan indah, setiap pukulan ditangkis atau dielakkan dengan tepat dan cepat. Dilihat sepintas lalu, mereka seakan-akan dua orang anak murid Gobi-pai sedang berlatih silat, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian, karena Tek Sin Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 203 Tojin mendesak dan menyerang dengan sungguh-sungguh. Sekali saja Liem Sun Hauw meleset dalam menangkis atau mengelak, ia akan terpukul dan mendapat luka di dalam tubuh yang tidak ringan! Akan tetapi ternyata Liem Sun Hauw hafal akan semua jurus serangannya sehingga pemuda ini dapat menangkis atau mengelak dengan tepat, serta melakukan serangan balasan sebagaimana mestinya dalam jurus dan gerak yang dilakukannya menghadapi suhengnya ini. Kalau tadi melihat demonstrasi ilmu pedang Kiang Liat merasa kagum, sekarang melihat ilmu silat tangan kosong yang diperlihatkan, ia tidak merasa heran atau kagum. Ilmu silat itu memang cepat dan indah lagi kuat gerakannya, akan tetapi tidak terlalu hebat dan Kiang Liat merasa bahwa ilmu silatnya sendiri, ilmu silat keturunan keluarga Kiang atau ilmu silat yang ia dapat dari Han Le dan Bu Pun Su, tidak usah kalah menghadapi ilmu silat yang dimainkan oleh kedua orang itu. Lima puluh jurus telah lewat dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak sutenya, apalagi mengalahkannya! Tiba-tiba tosu itu merubah gerakannya dan kagetlah Liem Sun Hauw. Biarpun ia sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-bi-pai, tapi baru kali ini ia melihat ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin. Ilmu silat ini hebat sekali dan gerakannya seperti seorang kakek tua memberi pelajaran menulis dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw terdesak. Akan tetapi pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya. Kini Twi Mo Siansu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu silat yang cepat sekali gerakannya akan tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Go-bi-pai! Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena mengeluarkan ilmu silat "simpanan". Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin adalah ilmu silat Go-bi-pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang dicalonkan menjadi ketua apabila ketua yang sekarang meninggal dunia, maka tidak sembarangan dikeluarkan. Bahkan Thian Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi pelajaran ilmu silat ini maka tentu saja Liem Sun Hauw tidak mengenalnya. Akan tetapi Twi Mo Siansu yang merasa senang melihat kegagalan Sun Hauw, tadinya ingin sekali tahu sampai berapa lama Sun Hauw dapat mempertahankan diri. Alangkah kagetnya ketika ia melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar biasa dan yang agaknya dapat menandingi ilmu silat simpanan Go-bi-pai itu! "Tahan! Tek Sin dan Sun Hauw, cukuplah ujian ini!" seru Twi Mo Siansu. Ia khawatir kalau-kalau sampai terjadi korban dan ia merasa malu kalau sampai akhirnya Tek Sin Tojin kalah, apalagi di situ terdapat seorang tamu. "Tek Sin, bagaimana pendapatmu" Sudah puaskah kau?" Tek Sin Tojin adalah seorang jujur. Ia cepat berlutut di depan suhunya dan berkata, "Dalam hal ilmu silat Go-bi-pai, Liem-sute sudah memperlihatkan bahwa dia benar-benar anak murid Go-bi-pai dan tidak kalah oleh teecu sendiri. Bahkan agaknya Liem-sute sudah mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih hebat!" Kata-kata ini mengandung sindiran bahwa sebagai murid Go-bi-pai, tidak selayaknya Sun Hauw menjadi murid partai lain tanpa seijin Ketua Go-bi-pai. "Liem Sun Hauw, apakah kau menjadi murid dari partai lain?" tanya Twi Mo Siansu dengan suara keren. Sun Hauw berlutut, "Teecu hanya menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu, tidak menjadi murid partai lain." "Sute, jangan kau bohong! Kalau menjadi murid partai lain, lebih baik mengaku saja, mungkin Suhu masih dapat mempertimbangkan!" tegur Tek Sin Tojin. "Mana siauwte berani membohong di depan Susiok, Suheng?" "Ilmu silatmu dalam jurus-jurus terakhir bukan ilmu silat Go-bi-pai! Apakah kau hendak menyangkal?" "Memang bukan ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi siauwte menerima pelajaran ilmu silat itu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 204 dari Suhu pula, dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh yang sakti bernama Hok Peng Taisu di Hong-lun-san." Twi Mo Siansu terkejut mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di antara tokoh-tokoh terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping Bu Pun Su dan Han Le. "Sun Hauw, mengapa kau tadi mengeluarkan ilmu silat itu" Apakah kau hendak memamerkannya dan menganggap bahwa ilmu silat itu lebih unggul daripada ilmu silat Go-bi-pai?" "Tidak sekali-kali teecu berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi teecu tibatiba menghadapi serangan jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali tidak teecu kenal, yang hebat dan membingungkan teecu. Karena merasa bahwa tidak ada jurus ilmu silat Go-bi-pai yang teecu kenal dapat menghadapi serangan Suheng itu, terpaksa teecu mengeluarkan ilmu silat lain itu... harap Susiok sudi memaafkan." Twi Mo Siansu menarik napas panjang. "Sudahlah. Di dunia ini memang banyak sekali ilmu silat tinggi, mana bisa Go-bi-pai berani mengangkat dada mengagulkan kepandaian sendiri" Hanya pesanku, Sun Hauw, apabila kau mengeluarkan ilmu silat yang tadi, kau sekali-kali tidak boleh mengaku sebagai anak murid Gobi-pai! Pantangan besar bagi murid Go-bi-pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan ilmu silat Go-bi-pai." "Teecu mentaati perintah Susiok," kata Sun Hauw. Twi Mo Siansu berpaling kepada Kiang Liat. "Sicu, sampaikan kepada sahabat baik Bu Pun Su bahwa permintaannya sudah kuterima dan kusetujui. Tentang penjagaan di bagian utara, aku berianji akan mengerahkan anak murid Go-bi-pai. Dan tentang usaha mempersatukan sahabat-sahabat segolongan, kaulihat murid Liem Sun Hauw mewakili aku dan akan berusaha mendamaikan urusan antara Kim-san-pai dan partai Bu-tong-pai." "Terima kasih, Locianpwe. Setelah saya melihat sikap saudara muda Liem ini, saya merasa kagum dan tertarik. Oleh karena perjalanan menuju Bu-tong-san sejalan dengan perjalanan saya, maka ingin sekali saya menemani Saudara Liem di perjalanan," kata Kiang Liat. Setelah membuat persiapan dan minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah Kiang Liat dan Liem Sun Hauw turun gunung. Mereka merupakan dua orang jantan yang sama-sama gagah perkasa, hampir seimbang kokoh kekar bentuk tubuhnya, samasama tampan dan gagah, hanya bedanya, Kiang Liat sudah setengah tua, rambutnya sebagian sudah putih dan mukanya sudah berjenggot berkumis, sedangkan Liem Sun Hauw masih muda, mukanya masih halus. Kiang Liat sengaja mengerahkan ilmu lari cepat dan Liem Sun Hauw yang muda tahu bahwa dirinya di"jajal" oleh utusan Bu Pun Su ini. Sudah lama Liem Sun Hauw mendengar nama besar Bu Pun Su yang dipujapuja oleh mendiang suhunya, Thian Mo Siansu, maka sekarang ia girang sekali dapat berkenalan dengan seorang yang masih ada hubungan dengan Bu Pun Su. Melihat dirinya diuji, ia pun mengerahkan gin-kang dan berlari secepat terbang mengimbangi kecepatan Kiang Liat. Mereka menuruni Gunung Go-bi-san, melompati jurang dan melalui jalan yang sukar dengan enak saja seperti orang berlari-lari di atas tanah rata. Kiang Liat pernah menerima latihan ilmu lari cepat Yan-cu-hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng, maka dalam ilmu lari cepat, ia sudah mencapai tingkat tinggi. Oleh karena ini, biarpun Liem Sun Hauw juga lihai, masih pemuda ini kalah setingkat. Namun Kiang Liat juga tidak bermaksud membikin malu pemuda itu dan sengaja mengurangi kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng. Setelah bercakap-cakap, keduanya makin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa ilmu lari cepat orang tua ini masih melampauinya, merasa kagum. Ia makin merasa suka karena Kiang Liat ternyata tidak meninggalkannya dan tidak memamerkan kemenangannya. Tiba-tiba di sebuah tikungan jalan, mereka melihat seorang tosu gemuk pendek berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan setelah dekat, Liem Sun Hauw mengenal tosu ini sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu. Melihat sikap tosu yang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 205 bermuka kuning dan bertubuh gemuk pendek ini, diam-diam Sun Hauw merasa tak enak hati. "Agaknya Suheng ada keperluan penting maka menanti siauwte di sini," kata Sun Hauw sambil memberi hormat. "Memang ada keperluan penting sekali," kata tosu itu, suaranya tinggi dan menggetar. Mendengar suara ini dan melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam Kiang Liat terkejut karena maklum bahwa tosu yang kelihatannya tidak seberapa ini ternyata adalah seorang seorang ahli lwee-keh yang memiliki tenaga lwee-kang tinggi. "Barangkali kau belum tahu, pinto adalah Tek Le Tojin, murid kedua dari Ciangbunjin (ketua) Gobi-pai." Melihat sikap ini, Sun Hauw merasa mendongkol sekali. Sikap ini menunjukkan seakan-akan dia tidak dianggap sebagai murid Go-bi-pai, melainkan dianggap sebagai tamu. "Siauwte sudah mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-suheng?" "Kau dipercaya oleh Suhu memikul tugas yang berat. Tadi sudah pinto saksikan kepandaianmu, akan tetapi sayang, Suhu buru-buru menahan. Oleh karena tugasmu penting sekali, pinto masih merasa penasaran dan hendak meyakinkan apakah betulbetul kau akan sanggup melakukan tugas itu karena kalau kiranya kau tidak patut menjadi wakil Suhu, masih belum terlambat kau mengembalikan tugas itu kepada Suhu." "Apa maksud Suheng?" tanya Sun Hauw tak senang. "Menguji apakah betul-betul kau patut menjadi wakil Suhu!" jawab Tek Le Tojin tegas. Mendengar ucapan tosu muka kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw mengerutkan kening, hatinya tidak senang sekali. "Suheng Tek Le Tojin, mengapa Suheng melakukan ini" Bukankah Suheng sendiri tadi sudah menyaksikan bahwa Susiok telah memberi kekuasaan kepada siauwte untuk melakukan tugas ini?" Tek Le Tojin tersenyum menyeringai. "Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah. Akan tetapi kali ini pinto benar-benar meragukan apakah kepercayaan Suhu kepadamu bijaksana. Kau bocah kemarin sore yang belum tahu akan seluk beluk dunia kang-ouw, bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas dengan baik" Apalagi kalau diingat bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua partai besar, Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Pinto sendiri yang sudah banyak makan garam dunia masih ragu-ragu, apakah pinto akan berhasil menunaikan tugas itu, apalagi seorang bocah macam engkau. Hemmm, apakah yang kauandalkan" Maka majulah, pinto hendak mencobamu agar hati pinto tenteram kalau kau pergi. Bagimu mungkin nama besar Go-bi-pai tidak ada artinya, namun bagi pinto dan para anak murid Go-bi-pai amat besar artinya dan harus dijaga baik-baik, kalau perlu bahkan dibela dengan taruhan nyawa!" Sun Hauw merasa mendongkol. Ia dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat tosu yang jujur ini, yang meragukan keputusan Ketua Go-bi-pai sekali-kali bukan untuk menghinanya atau untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu, melainkan untuk menjaga nama baik Go-bi-pai yang kini mengutus seorang anak murid yang bukan langsung belajar di Go-bi-san. Pendeknya, tosu ini tidak percaya akan kepandaiannya. Kali ini aku harus memperlihatkan kepandaianku. Pikir pemuda ini dengan hati gemas. "Baikiah, Suheng. Kau adalah saudara tua, maka aku sebagai saudara muda mana berani membantah kehendakmu" Biarlah Kiang-lo-enghiong ini menjadi saksi bahwa ujian kepandaian ini adalah kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang menghendaki. Maka kalau sampai Susiok marah, aku tidak mau memikul tanggung jawabnya." "Baik, baik, biarlah Sicu ini menjadi saksi. Nah, Liem-sute kau bersiaplah!" Sambil berkata demikian, Tek Le Tojin memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun Hauw. Kuda-kudanya biasa saja, kuda-kuda ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi kelihatan kokoh kuat seakan-akan kedua kakinya telah berakar ke dalam tanah. Melihat pasangan kuda-kuda ini, didalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih tosu Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 206 ini" Sudah disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid kepala Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah murid kedua lebih pandai daripada murid pertama" "Baiklah, Suheng. Siauwte menanti pelajaran dari Suheng!" kata Sun Hauw sambil memasang kuda-kuda pula menghadapi tosu itu. Tek Lojin mulai menyerang sambil berseru, "Awas serangan!" dan tangannya memukul ke arah dada Sun Hauw. Pemuda ini dengan tenang lalu memindahkan kaki sambil menangkis. Akan tetapi ia kaget sekali ketika lengannya beradu dengan lengan tosu itu, karena ia merasa lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan tenaga serangan ini demikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong! Ah, sekarang tahulah dia. Ji-suhengnya ini adalah seorang yang memiliki lwee-kang tinggi sekali, mugkin lebih kuat daripada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas dan kini tidak berani lagi ia menerima pukulan suhengnya dengan tangkisan langsung, sebaliknya ia mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas menyerang. Ia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya, juga pemuda ini menerima latihan gin-kang istimewa dari mendiang gurunya. Akan tetapi lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin, biarpun tidak mengenai tubuhnya, sudah mendatangkan angin pukulan yang panas dan dahsyat! Ia tidak tahu bahwa tingkat ilmu lwee-kang dari Tek Le Tojin sudah amat tinggi dan bahwa tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan lwee-kang tinggi yang disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat). Biarpun ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap pukulan Tek Le Tojin mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya mengalahkan Sun Hauw. Sun Hauw benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin ini bahkan lebih kejam daripada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin mendesak terus dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kiranya kalau mengenai tepat pada sasarannya akan mendatangkan akibat hebat! Karena tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw berseru keras dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang suhunya, yakni ilmu pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le Tojin. "Bocah lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu silat iblis ini?" bentak Tek Le Tojin! "Suheng yang mulai lebih dulu!" bantah Sun Hauw. "Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan yang panas itu" Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak terdapat pukulan macam itu!" "Begitu" Baik, kautahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!" Setelah membentak begini, Tek Le Tojin lalu memukul dengan penggunaan tenaga sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus mempergunakan kelincahan untuk mengelak. Kemudian dengan luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, ia membalas dengan serangan-serangannya yang tidak dikenal gerakannya oleh Tek Le Tojin sehingga tosu ini menjadi kelabakan. Dalam marahnya, ketika kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin lalu menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya. "Plak!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang tangannya! Ia terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakanakan menyedot tangannya membuat kedua tangan Sun Hauw menjadi menempel dan perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan suhengnya itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya! Ia makin terkejut dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 207 maklumlah pemuda ini bahwa suhengnya sedang menyerangnya dengan tenaga lwee-kang yang tinggi, menyerang secara keji karena serangan ini kalau sampai melukai jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)! Untuk melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh lwee-kangnya untuk melawan serangan ini. Baiknya ia pun sudah mendapat latihan lwee-kang dari mendiang suhunya dan biarpun tingkatnya masih kalah banyak dalam hal tenaga lwee-kang oleh suhengnya ini, akan tetapi setidaknya tenaganya dapat menolak kembali serangan itu dan dapat ia mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan saja bahwa tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji. Akan tetapi harapannya ternyata kosong belakang. Tek Le Tojin tidak mengurangi serangannya, bahkan mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda itu. Bahkan untuk memamerkan keunggulannya dalam mengadu tenaga lwee-kang itu, ia masih membuka mulut menyindir, "Hemm, begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-bi-pai" Benar-benar mengecewakan dan memalukan sekali!" Diperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan kedua lengan tangannya sudah mulai gemetar! "Sungguh mengherankan sikap tokoh Go-bi-pai!" Tiba-tiba terdengar suara menggeledek dan Sun Hauw merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, tenaga yang dahsyat melalui sepasang lengannya menyerang Tek Le Tojin sehingga tosu itu merasa kedua lengannya kesemutan dan otomatis tempelannya lenyap tenaganya. Sun Hau, mempergunakan tangan sambil melompat ke belakang. Ia terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kaial saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan punggungnya. Tek Lek Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbuka lebar dan mulut tersenyum masam. "Sudah menerima pelajaran dari Kiang-sicu, sungguh mengagumkan...!" Memang, yang membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak tega melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan suhengnya sendiri. Ia merasa penasaran, dan biarpun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara dua orang murid Go-bi-pai, akan tetapi ia tidak bisa membiarkan pemuda itu terbunuh begitu saja. Setelah berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu lalu berlari naik ke puncak lagi dengan cepat. "Sungguh berbahaya..." Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang, "Baiknya ada Kiang-lo-enghiong yang menolongku, kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan nasibku. Terima kasih banyak, Kiang-lo-enghiong." "Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan pandai, sayang sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin Tojin sebagai calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin lebih berbakat Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo untuk menjadi seorang ahli silat tinggi." Karena baru saja Sun Hauw harus mengerahkan seluruh tenaga lwee-kangnya dan tekanan Tek Le Tojin sudah menyerang hebat, maka ia perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatannya. Kiang Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda ini, sebaliknya Liem Sur Hauw makin menghormat karena kini ia baru ia tahu betul bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi. "Agaknya Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku karena aku murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu," Sun Hauw bercerita, "Dahulu Suhuku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai dibantu oleh Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai amat keras dan ketinggalan jaman, maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya melebihi pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhuku tidak menyetujui peraturan-peraturan ini dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 208 setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak merubahnya. Pendeknya ia hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan partai dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang penganut aliran lama dalam peraturan Go-bi-pai yang amat kukuh sehingga mulailah terjadi bentrokan paham antara Suhu dan Susiok. Perubahan yang hendak dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu hendak memperkembangkan ilmu silat Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai tidak hanya dimiliki oleh para pendeta saja, akan tetapi dapat dipergunakan oleh orang-orang untuk membasmi kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang mengkhawatirkan kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan terjatuh ke dalam tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-bi-pai. Pendirian Susiok ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam kuil." Kiang Liat mengangguk-angguk. "Dua macam pendirian, namun keduanya memiliki kebenaran masing-masing. Suhumu benar karena apakah artinya para guru besar Gobi-pai dahulu susah payah menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat manusia" Sebaliknya, susiokmu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya, biarpun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang keras dan setiap murid diharuskan belajar di puncak Go-bi-san." "Sayang dahulu tidak ada Lo-enghio yang memberi nasihat kepada Suhu dan Susiok. Akan tetapi, pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang kepada Susiok, lalu meninggalkan Go-bi-san dan menyerahkan kedudukannya kepada Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa orang murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku." "Di manakah kampungmu?" "Kampungku Pek-kan-mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu tinggal di sana sampai tujuh tahun. Aku muridnya tunggal dan terakhir. Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah yang sudah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan berpesan agar supaya aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada Susiok serta memberi tahu tentang kematian Suhu." Kiang Liat tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apalagi ketika mendengar keadaan pemuda ini yang tidak mempunyai ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan pemuda ini dengan keadaan puterinya. Timbul rasa sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya untuk mengambil Sun Hauw sebagai mantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok. Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa kagum sekali kepada Kiang Liat, juga ingin mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih jelas. "Kalau aku boleh bertanya, Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Loenghiong yang lihai ini murid siapakah?" Kiang Liat tersenyum. "Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku pemah menjadi murid Suhu Han Le, juga pernah menerima pelajaran dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng dan Supek Bu Pun Su pemah pula memberi pelajaran kepadaku." "Aduh, pantas saja Lo-enghiong begini lihai..." Sun Hauw berseru kagum dan menjura memberi hormat. "Harap maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang hormat." "Hushh, mengapa banyak sungkan-sungkan" Apa sih artinya kepandaian" Betapapun tinggi Gunung Thai-san, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapapun pandainya seseorang, pasti ada yang lebih pandai daripadanya. Kita sudah menjadi sahabat apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 209 "Terima kasih atas kepercayaan Lo-enghiong kepadaku yang muda dan bodoh. Di manakah Lo-enghiong tinggal" Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung." "Rumahku di Sian-koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku, ibunya sudah meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali..." Kiang Liat menarik napas panjang dan meramkan mata karena teringat akan isterinya yang tercinta. "Ahhh aku ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong..." cepatcepat Sun Hauw menghibur melihat keadaan Kiang Liat. Pendekar ini membuka kedua mata, bibimya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya basah. "'Terima kasih, kau baik sekali, Liem-sicu." "Namaku Sun Hauw, harap Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak mendengar Lo-enghiong bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!" "Baiklah Sun Hauw, kau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu bahagia, jangan seperti aku..." Melihat betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihan, Sun Hauw yang pandai membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa orang tua itu kepada kenangan yang menggembirakan. "Loenghiong, kau begini gagah perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?" Maksud Sun Hauw berhasil. Kini setelah teringat akan puterinya, berserilah lagi wajah Kiang Liat, matanya bersinar-sinar gembira. Bukan hanya dapat membikin Kiang Liat untuk sementara melupakan isterinya yang sudah meninggal, bahkan pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini. "Kaumaksudkan puteriku Im Giok" Ha, ha, orang sudah memberi julukan padanya Ang I Niocu! Salahnya sendiri, dia sejak kecil suka memakai pakaian serba merah sih. Kepandaiannya" Ah, dia memang beruntung, Supek Bu Pun Su sendiri berkenan memberi beberapa ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi daripada tingkat kepandaianku!" Diam-diam Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, dan sekarang Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bemama Ang I Niocu Kiang Im Giok itu lebih tinggi lagi" "Lo-enghiong benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga gagah perkasa. Benar-benar membuat siauwte tunduk dan kagum," kata Sun Hauw. "Sun Hauw, kau sendiri apakah sudah menikah?" Ditanya tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian mukanya berubah merah dan ia menggeleng kepala. "Belum Lo-enghiong." "Hemm, usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah sepatutnya kalau sudah mempunyai jodoh." "Siauwte berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana berani menyeret anak orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?" Jawaban ini menyenangkan hati Kiang Liat. "Kata-katamu itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Akan tetapi ucapanmu itu tidak betul. Bukan kemiskinan yang mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan, melainkan ketidakrukunan atau ketidakcocokan keadaan dan watak. Sudah lama sekali aku mencari-cari calon jodoh puteraku, akan tetapi karena aku takut kalau-kalau wataknya tidak cocok, maka sampai sekarang aku masih belum menemukan orangnya. Anakku memiliki kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu ia mengutamakan kegagahan seperti semua keluarga kami. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 210 Selain ini, tentang muka, hmmm... bagiku, di muka bumi ini, kecuali mendiang ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara terus terang. Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut menjadi jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifatsifatmu, aku melihat kau seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan gagah, kiranya pantas sekali menjadi calon jodoh puteriku." Mendengar kata-kata ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tidak berani langsung menatap wajah Kiang Liat. "Bagaimana, anak muda" Bersediakah kau menjadi calon suami puteriku?" Didesak begini, Sun Hauw tak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya dapat juga ia menjawab, "Maaf, Lo-enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tak tahu bagaimana harus menjawab. Kiranya perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku dari Bu-tong-san aku akan singgah di Sian-koan dan memberi jawaban keputusan." Kiang Liat mengangguk-angguk gembira. "Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku sudah puas. Memang, syarat dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu keadaan hati orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar kata-kataku kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha, ha, ha! Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok, kau takkan dapat tidur nyenyak lagi. Ha, ha, ha!" "Aku yang bodoh menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari Loenghiong yang dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak tidak akan mengecewakan hati Lo-enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa di kandung badan, aku takkan melupakan Lo-enghiong. Aku bersumpah untuk datang ke Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku." Demikianlah, dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Ia menuju pulang ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-san. *** Giok-gan Niocu Song Kim Lian semenjak kecilnya memang sudah memiliki sifat-sifat kurang baik dari seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul. Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh bayangan pemuda-pemuda tampan. Selama ia tinggal bersama gurunya dan sumoinya, ia masih tak dapat berbuat sesuka hatinya karena takut kepada gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im Glok. Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoinya pergi dalam waktu berbareng, yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan Kiang Liat oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina liar tidak dipasangi kendali lagi! Ia bersuka-suka dan bermain-main dengan para pemuda kota Siang-koan yang boleh dibilang semua memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit. Setiap hari Kim Lian bersama serombongan pemuda tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang, pemuda-pemuda anak orang kaya yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa kecuali mengatur pakaian dan merawat muka seperti perempuan, pergi berpesiar sambil bergurau gembira. Penduduk-penduduk tua di Sian-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi siapakah berani menegur Giok-gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki kepandaian tinggi juga menjadi murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar di Sian-koan" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 211 Perjalanan Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian dan karenanya membuat ia menjadi makin berani dan binal. Gadis yang merasa tidak ada orang yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda pemogoran untuk datang di taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan bergembira! Para pelayan di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan mereka ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan itu adalah ketika dengan pakaian yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang menggairahkan, Kim Lian keluar dan bermain silat pedang di tengah-tengah taman. Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer, tidak saja memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di antaranya hampir copot dan melompat keluar dari kepala! Tepuk tangan riuh-rendah dan sorak-sorai gembira setiap kali terdengar menyambut setiap jurus atau gerakan yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tidak mau bersilat dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambatlambatan agar setiap gerakannya dapat "dinikmati" oleh pandang mata kawan-kawannya. Selagi para pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat dengan bibir merah tersenyum-senyum manis dan mata jeli, melirik-lirik genit, tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat oleh para pemuda itu, akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika wajah Kim Lian memucat dan gerakan silatnya berhenti. "Suci...!!" Setelah terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan memandang ke belakang dan di situ berdiri seorang gadis berpakaian merah, gadis cantik jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani menyatakan karena Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im Giok, kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu. "Pergi kalian orang-orang tak beradab!" bentak Im Giok sambil menghunus pedang menggertak rombongan pemuda itu. Maka pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil, bagaikan anjing-anjing diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu berekor tentu masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masingmasing. "Sumoi... kau sudah datang" Ah, mereka itu... eh, aku... aku kesepian setelah kau dan Suhu pergi, maka hendak mengadakan sedikit pesta..." "Mengapa mendatangkan orang-orang lelaki melulu" Suci, kau benar-benar keterlaluan. Kalau tidak merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan terjerumus..." "Mereka... mereka itu mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan, aku... aku senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi" Kim Lian mencoba membantah. Im Giok menghela napas, kehabisan akal. Memang ia sudah tahu akan sifat kakak seperguruannya ini yang agak "mata keranjang". "Sudahlah, masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah yang datang tidak saja kau mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan ditampar seorang demi seorang." "Hi-hi-hi, aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar menjadi bengkak seperti semangka," kata Kim Lian genit. "Sebetulnya aku pun tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi dimanakah mencari pemuda Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 212 gagah seperti Suhu di waktu muda" Karena tidak ada yang demikian, mereka itu untuk kawan pun... bolehlah..." "Cukup! Suci, mengapa bicaramu seperti itu" Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas kau berganti pakalan yahg pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah duduk di ruang tamu." "Siapa?" tanya Kim Lian terheran. Wajah Im Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna kemerahan yang menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian. "Dia adalah Gan-siucai." "Ooo, diakah" Yang kauantarkan ke Tiang-hai" Yang dulu kita tolong dari tangan perampok?" Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Im Giok mengangguk. "Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekas kau berganti pakaian." "Apa Suhu belum pulang juga?" tanya Kim Lian. "Kalau dia tidak berada di sini tentu berarti belum pulang, aku baru saja datang, mana aku bisa tahu?" jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan sucinya yang ditinggal seorang diri di rumah. Ia akan perlahan-lahan membicarakan tentang sikap sucinya ini dengan ayahnya, karena kalau dibiarkan saja, bisa berbahaya nasib hidup sucinya ini. Setelah Kim Lian muncul lagi, Im Giok makin mendongkol saja. Sucinya benar-benar terlalu. Sekarang menghadapi Tiauw Ki, sucinya telah berganti pakaian indah dan baru, mukanya dibedaki tebal dan bibir serta pipinya dimerah-merah! Dengan gerakan genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga sudah berdiri dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus merdu, "Ah, kiranya Gan-siucai yang menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih ingat kepadaku?" Tiauw Ki tersenyum "Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah menolong nyawaku!" Kim Lian mengeluarkan suara ketawa, "Ah, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau yang harus berkata demikian, sebaliknya akulah yang masih berterima kasih kepadamu. Kau telah memperlihatkan pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow Bu Pun Su. Budimu itu yang demikian besarnya, sampai mati pun aku Song Kim Lian takkan dapat melupakannya!" Sambil berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang penuh arti. Memang sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat menarik hati, karena keindahan matanya maka ia diberi julukan Giok-gan Niocu (Nona bermata Kemala). Melihat sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak hati, akan tetapi pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian ia berkata kepada Im Giok, "Karena Kiang-lo-enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dulu dan aku akan menanti kedatangannya di rumah penginapan. Mudah-mudahan saja ia akan datang tak lama lagi." Im Giok juga mendongkol melihat sikap sucinya, maka memang lebih baik kalau kekasihnya itu lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya, "Baikiah Gan-ko. Rumah penginapan Liok-nam di ujung barat kota adalah rumah penginapan terbesar dan baik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah pulang, tentu akan kuberi kabar kepadamu." Tiauw Ki memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu pergi, Kim Lian lalu memegang tangan Im Giok. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 213 "Eh, Sumoi yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!" Wajah Im Giok menjadi merah sekali. "Jangan main-main, Suci. Betapapun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan." "Aha, jadi benar ada apa-apanya" Nah, aku dapat membayangkan... aduh, aku tahu, aku dapat menduga... hi-hi-hi-hi...!" "Suci, jangan sembarangan bicara! Apa yang kau tahu" Apa yang kaubayangkan dan kauduga?" "Ah, begitu mesra, adduuuhhh..." Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan kiri pipinya. "Suci, jangan bikin aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan perempuan macam itu. Apa yang kauduga?" "Sumoi, apa salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?" "Kau menyangka keliru!" "Yang betul bagaimanakah?" Kim Lian memancing. "Takkan kuceritakan padamu!" Im Giok berpura-pura marah. "Ah, begitu" Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau tak bercerita terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku sendiri" Hmmm, dapat kubayangkan betapa mesranya..." kembali Kim Lian menggoda. "Suci Kim Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk... meminangku. Ini sungguh-sungguh bukan main-main!" "Aaaahh... begitukah?" Kim Lian memeluk sumoinya. "Adikku yang manis, kau harus menceritakan pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan begitu mudah menjatuhkan pilihan?" Keduanya memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini bicara kasakkusuk. Im Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya. "Dia seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang besar kepada diriku, dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya demi untuk menolongku. Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua sebaik dia." Terdengar isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis. "Eh, Suci, mengapa kau menangis?" tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak sucinya. "Adikku... aku girang sekali... akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesagesa" Kalau kau... menikah dan pergi, bagaimana dengan diriku" Sumoinya sudah menikah dan sucinya belum, apa akan kata orang...?" Tahulah kini Im Giok mengapa Kim Lian menangis. "Suci, apa salahnya hal itu" Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah sumoi dan suci dari keluarga lain. Siapa yang lebih dulu keluar pintu tidak merupakan halangan apa-apa." Ia menghibur dan diam-diam di dalam hatinya berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah ayahnya akan menerima pinangan Tiauw Ki. Anehnya, semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan setiap hari ia keluar tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya Im Giok menaruh curiga dan diam-diam ia mengikuti sucinya, akan tetapi temyata setelah Im Giok pulang, Kim Lian tidak berani main gila lagi dan kepergiannya hanya untuk menunggang kuda keluar kota dan kembali lagi, hanya untuk memuaskan keinginannya dan ketenangannya menunggang kuda. Akan tetapi diam-diam Im Giok mengerti bahwa sucinya itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati karena hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan. Setiap hari Im Giok menyuruh seorang pelayan pergi ke rumah penginapan Liok-nam, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 214 mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan saja, sebenamya ia ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu baik-baik saja, dan terutama sekali bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah penginapan Liok-nam! Pada hari ke lima, menjelang senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok berlari keluar dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan agaknya bertemu di tengah jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama sucinya itu. Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan dalam dan di mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya dan bertanya, "Im Giok, apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan itu?" Suaranya menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya. Im Giok kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim Lian tersenyum dan berkata kepadanya, "Benar, Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku dan aku menceritakan kabar girang itu kepada Suhu tadi..." "Kabar girang...?" Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan Im Giok!" kata Kiang Liat makin marah mendengar kata-kata ini Kim Lian membungkuk dan berkata, "Baiklah, Suhu." Kemudian ia keluar dari kamar itu dan dari pinggir Im Giok dapat melihat bayangan senyum di sudut bibir sucinya. Setelah Kim Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia, suaranya kini agak sabar, "Coba kauberi penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya. Benarkah kau mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang kini datang untuk melamarmu?" Muka Im Giok sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya dan berkatalah ia dengan suara tenang, "Ayah, harap kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar." "Tidak peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan dengan kutu buku terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang itu?" Mata Im Giok menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang ayahnya juga suka marahmarah seperti itu, akan tetapi belum pemah terhadap dia ayahnya marah-marah tanpa alasan. Sebaliknya dia sejak kecil dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan setelah kembali bersama ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh ayahnya, maka ia pun agak berani membantah ayahnya. "Ayah, bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kaulihat dan kenal?" kini gadis itu membantah marah. Biasanya kalau sudah melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi dan dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok dengan Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya kalau Im Giok sudah menentang dan marah, Kiang Liat selalu mengalah dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan berkata keras, "Tak usah dilihat, tak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada yang baik, semua berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau dekat-dekat dengan dia!" "Akan tetapi, Ayah. Gan-siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas oleh Susiok-couw untuk mengantarnya ke Tiang-hai!" Kiang Liat tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang mengunjunginya bahwa Im Giok memang diberi tugas mengawal utusan Kaisar ke Tiang-hai" Jadi utusan Kaisar itu pemuda inikah?" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 215 "Hemmm, mana ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?" ia berkata kepada Im Giok, agak tak percaya. "Ayah terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sebetulnya di antara para penggerak pensil juga tidak kurang terdapat orang-orang berjiwa kesatria dan bersemangat api! Gan-siucai betul-betul utusan Kaisar biarpun dia memang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah." Melihat ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika ia mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Dituturkan semua pengalamannya itu dengan singkat dan terutama sekali ia menonjolkan sikap kekasihnya yang gagah berani dalam membelanya. Kiang Liat tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggeleng kepala, bahkan memberi komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai. "Kalau dia bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin kau sampai dihina orang, tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan sekarang dia datang hendak melamarmu?" Im Giok menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih. "Demikianlah kehendaknya." "Tidak bisa! Kausuruh saja pelayan memberi tahu dia bahwa dia boleh lekas-lekas pulang dan jangan sekali-kali berani datang lagi ke sini!" Im Giok mendengar kata-kata ini menjadi pucat. "Ayaaaahhh...!" serunya, setengah marah setengah terkejut. Ayahnya menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau sudah kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari Go-bi-pai yang bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh ayahmu di waktu muda. Dia patut menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah terkena angin sedikit saja jatuh sakit" Tidak...!" Makin lama sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan katakata ayahnya. "Tidak...!" katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking kerasnya gadis ini mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya melesak ke dalam. "Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan dia!" "Im Giok...!" "Aku yang hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama Gan-siucai!" Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki kamarnya di mana ia membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan muka di bawah bantal dan menangis tersedu-sedu. Kiang Liat berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke arah pintu kamar anaknya tak berkedip. Kata-kata lari minggat meninggalkannya amat menusuk hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main. Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi meninggalkannya. Dengan langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan hampir saja ia terguling kalau tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan anaknya. Pikirannya tidak karuan rasanya, matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala sesuatu terputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras amat nyeri dan telinganya penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak dan terdengar kata-katanya seperti mabuk, "Jangan tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku seorang diri...!" Im Giok sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap berhenti dan kini ia memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa artinya sikap Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 216 ayahnya seperti ini, akan tetapi akhimya ia mengerti. Selama ini ayahnya memang bersikap aneh dan kadang-kadang mendekati sikap gila, menangis dan tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggiimanggil nama ibunya. Dan sekarang, ayahnya bersikap seperti ini karena dia hendak meninggalkan ayahnya! "Ayaah..." Im Giok menubruk dan menangis di dada ayahnya "Ayaah, tidak... aku tidak akan meninggalkanmu, Ayah..." Dua titik air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia membuka matanya. Didekapnya kepala anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang merasa takut kalau-kalau mustikanya dirampas orang. "Im Giok, anakku sayang benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku..." tanyanya dengan suara berbisik. Im Giok terisak menahan tangisnya. "Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku menikah dengan Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai itu..." Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menarik anaknya berdiri. Dipandangnya wajah anaknya dan bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi. "Im Giok, kau serupa benar dengan ibumu... Aku tidak rela memberikan engkau kepada orang yang tidak pantas menjadi suamimu..." "Tapi aku tidak mau menikah dengan anak Go-bi itu, Ayah," kata Im Giok manja. Kiang Liat tersenyum pahit. "Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?" Im Giok tidak berani menjawab, hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan, "Sebagai ayah aku harus menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah, akan kulihat bagaimana macamnya kutu buku itu..." Ia lalu keluar dari kamar meninggalkan Im Giok yang duduk melamun di atas pembaringannya. Diam-diam gadis ini berdoa mudah-mudahan ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia percaya bahwa kekasihnya itu akan cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya sehingga menimbulkan rasa suka dalam hati ayahnya. Sekarang ayahnya masih belum tenang, maka Im Giok tidak berani memberi kabar kepada Tiauw Ki, karena ia pikir betum tepat waktunya bagi pemuda itu untuk menemui ayahnya. Malam itu Kiang Liat terdengar mendengkur di dalam kamarnya dan hati Im Giok Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menjadi lega. Pada keesokan harinya, Kiang Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata, "Im Giok, aku hendak pergi ke rumah penginapan Liok-nam." "Apakah tidak sebaiknya dia kuundang ke mari, Ayah?" tanya Im Giok. "Tak usah. Kalau ia datang berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin mengecewakan hatimu. Lebih baik kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan." Kalau menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Im Giok ikut pergi dengan ayahnya. Akan tetapi kesopanan melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau ia ikut ayahnya mengunjungi Tiauw Ki di rumah penginapan. Terpaksa ia menanti di rumah dengan hati berdebar dan ia merasa kecewa tidak melihat Kim Lian, karena kalau ada sucinya itu tentu ada kawannya bercakap-cakap untuk menekan berdebarnya hatinya. Dengan langkah lebar Kiang Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada di ujung kota sebelah barat. Semalam suntuk Kiang Liat tidak bisa tidur nyenyak. Dengkurnya itu bukan tanda bahwa tidurnya enak, bahkan sebaliknya. Dengkurnya bukan dengkur sewajarnya dan dahulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya dan pergi merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam ia mendengkur seperti itu. Boleh dibilang bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya yang lama kambuh pula. Ia seperti orang mabuk dan sinar matanya juga sudah berbeda dengan biasanya. Hal ini adalah karena ia merasa kecewa dan bingung sekali menghadapi persoalan puterinya, soal perjodohan yang sama sekali tidak mencocoki hatinya. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 217 "Dia harus kuusir jauh-jauh, kuancam agar jangan berani menemui anakku lagi!" Pikiran inilah yang semalam tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan cepat tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah kenal dengannya dan yang memberi salam di sepanjang jalan. Setelah tiba di penginapan Liok-nam Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan. Kiang Liat sudah terlalu amat terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu mengenalnya. Dengan ramah tamah dan penuh hormat, pelayan itu menyambut dan menjura, "Selamat pagi, Kiang-taihiap. Sepagi ini Tai-hiap sudah mengunjungi penginapan kami, sungguh sebuah penghormatan besar sekali. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Taihiap?" "Apakah di sini ada seorang tamu bernama Gan Tiauw Ki?" Pelayan itu mengerutkan kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya selaku orang mengumpulkan ingatan. Kemudian ia menurunkan telunjuknya dan tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman. "Ah, ada... ada... Tai-hiap. Tentu yang kaumaksudkan Gan-siucai yang muda dan tampan wajahnya." "Ya, lekas kaupanggil dia keluar menemuiku." "Baik, silakan Tai-hiap menanti di kamar tamu," kata pelayan itu sambil mempersilakan pendekar itu duduk di ruangan depan. Kiang Liat mengambil tempat duduk karena ia merasa kedua kakinya gemetar dan dada kirinya sakit menghadapi ketegangan ini. Macam apakah pemuda sastrawan yang telah memikat hati puterinya" Sementara itu, pelayan mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka, pelayan itu cepat memberi hormat dan berkata dengan muka menjilat, "Ah Gan-kongcu mengapa tidak sejak dulu memberitahu bahwa Kongcu adalah sahabat baik atau sanak dari Kiang-taihiap" Kalau kami tahu tentu kami akan memberi kamar yang lebih baik. Harap Kongcu maafkan apabila selama ini kami melakukan kesalahan atau berlaku kurang hormat karena sungguh mati kami tidak mengira bahwa Kongcu adalah kerabat Kiang-taihiap." "Eh, Lopek. Apakah kau pagi-pagi buta mengetuk pintu kamarku hanya untuk menyatakan ini saja?" Tiauw Ki berkata agak kurang senang karena dari katakatanya saja sudah menunjukkan jelas bahwa pelayan ini bukan orang yang berwatak baik, melainkan seorang penjilat yang menjemukan. "Mana hamba berani begitu kurang ajar memanggil Kongcu kalau tidak ada peristiwa amat penting?" Pelayan itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut tertawa. "Kongcu didatangi oleh seorang tamu agung." "Siapa dia?" Tiauw Ki bertanya penuh gairah karena memang sudah lama ia mengharapkan kedatangan pelayan dari Im Giok yang membawa berita bahwa ayah gadis itu sudah pulang. "Masa Kongcu tidak bisa menduga siapa?" tanya pelayan itu dengan sikap mengajak berkelakar untuk menyenangkan hati tamunya. "Dari keluarga Kiang?" tanya Tiauw Ki tak sabar lagi. Pelayan itu tertawa dan mengeluarkan jempolnya. "Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas sekali!" "Suruh dia lekas ke sini!" seru Tiauw Ki. Pelayan itu melenggong. "Suruh ke sini" Dia..." Mendengar suara dan melihat sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat bertanya, "Bukankah dia itu seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?" "Ah, bukan... bukan...! Dia adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta supaya Kongcu keluar. Dia menanti di ruangan tamu di depan!" Kalau ada petir menyambarnya, belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat ayah Im Giok sendiri datang mengunjunginya" Benar-benar ia hampir tak dapat mempercayai kata-kata pelayan ini. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 218 "Harap Kongcu cepat menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah kepadaku apabila Kongcu terlambat," kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke depan. Tiauw Ki yang ditinggal sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Ia sudah sejak tadi bangun, akan tetapi belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak mempunyai maksud pergi ke mana-mana. Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam pakaian kumal seperti itu, ia merasa malu. Maka cepat-cepat ia berganti pakaian Gundik Sakti 2 Pendekar Mabuk 023 Rahasia Pedang Emas Perintah Maut 1