Perkampungan Hantu 1
Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 1 PENDEKAR 4 ALIS PERKAMPUNGAN HANTU Bab 1. Perkampungan Hantu Sepotong tembaga penindih kertas yang mengkilat terletak di atas meja, di bawahnya tertindih 12 helai kartu putih. Di sekeliling meja yang berbentuk antik itu berduduk tujuh orang. Tujuh tokoh yang namanya mengguncangkan dunia Kangouw. Mereka adalah Koh-siong Kisu, Bok-tojin, Koh-kua Hwesio, Tongjisiansing, Siau-siang-kiam-khek, Sukong Ti-seng, dan Hoa Ban-lau, Pribadi ketujuh orang ini sangat aneh, asal-usul mereka juga berbeda, ada Hwesio, ada Tosu, pertapa dan bandit yang selalu be?kerja sendiran, ada jago pengawal istana, ada anak murid perguruan ternama yang suka berkelana, juga ada pendekar angkatan tua yang suka menggerayangi saku orang. Mereka berkumpul di sini lantaran mereka ada satu persa?maan. Yaitu mereka adalah sahabat Liok Siau-hong. Malahan sekarang mereka juga mempunyai satu persamaan lagi, yaitu sikap mereka sangat khidmat, perasaan tertekan. Lebih-lebih Bok-tojin. Setiap orang sama memandangnya dan menunggunya bicara. Bok-tojin yang mengumpulkan keenam orang lain itu, hal ini tidaklah mudah, dengan sendirinya karena ada alasan yang sangat penting. Di atas meja ada arak, tapi tidak ada yang mengangkat cawan, juga ada santapan, namun juga tidak ada orang menjamahnya. Angin meniup sejuk membawa bau harum bunga. Dalam musim yang cerah ini mestinya waktu perasaan orang lagi riang gembira. Mereka juga orang yang berkepandaian tinggi dan berpengalaman, mengapa pikiran mereka bisa tertekan seperti sekarang" Hoa Ban-lau adalah orang buta, dan orang buta mestinya tidak perlu nyala lampu, tapi lampu minyak di atas meja itu justru dia yang menyalakannya. Di dunia ini memang banyak urusan begini, yang mestinya tidak perlu terjadi justru terjadi. Bok-tojin menghela napas dan akhirnya ia bersuara, "Setiap orang pasti pernah berbuat salah. Asalkan tahu salah dan mau mem?perbaiki, inilah hal yang baik." Meski dia sedapatnya mengekang perasaannya, suaranya tetap emosional, "Tapi ada sementara urusan sama sekali tidak boleh berbuat salah, sekali berbuat salah hanya ada satu jalan yang dapat ditempuh." "Jalan kematian?" tanya Sukong Ti-seng. Bok-tojin mengangguk, ia angkat penindih kertas, di bawah?nya terletak 12 helai kartu dengan 12 nama. "Orang-orang ini mestinya tidak perlu mati," kata Bok-tojin pula, "Sebab siapapun sangat sulit membunuh mereka. Cuma sa?yang, mereka telah berbuat kesalahan yang fatal." Ia melolos empat helai kartu di antaranya, lalu menyambung, "Terutama keempat orang ini, nama mereka pasti juga pernah kalian dengar." Keempat kartu itu memuat empat nama dengan keterangan seperlunya. Ko Tiu. Hiangcu seksi tiga dalam Hong-bwe-pang. Tuduhan : Berkhianat, bersekongkol dengan musuh. Pemburu : Sebun Jui-soat. Akibatnya : Buron selama 12 hari, akhirnya mati dalam tambak. Koh Hui-hun. Ahli waris Pah-sun-kiam-khek. Tuduhan : Membunuh anak istri sahabat, memperkosa istri kawan. Pemburu : Sebun Jui-soat. Akibatnya : Buron 15 hari, mati di tengah keramaian kota. Liu Jing-jing. Pendekar perempuan daerah Wilam, isteri Tiam-liong-kiam-khek Cia Kian. Tuduhan : Berzinah, membunuh suami. Pemburu : Sebun Jui-soat. Akibatnya : Buron 19 hari, mati di gurun pasir. Hay Ki-ko. Berjuluk Tok-pi-sin-liong (si naga sakti tangan satu). Tuduhan : Banyak membunuh orang tak berdosa. Pemburu : Sebun Jui-soat. Akibatnya : Buron 19 hari, mati tenggelam di laut. Nama keempat orang itu dengan sendirinya pernah didengar mereka, tapi yang lebih dikenal mereka ialah Sebun Jui-soat. Si pemburu. Setiap orang tahu siapa Sebun Jui-soat. Semua tahu ilmu pedangnya nomor satu di dunia. Sekonyong-konyong Siau-siang-kiam-khek berkata, "Pernah kulihat Sebun Jui-soat." Setelah pertempuran di puncak istana Ci-kim-sia tempo hari, sampai jago nomor satu dari pengawal istana inipun mau tak mau harus mengakui ilmu pedang Sebun Jui-soat memang tidak ada ban?dingannya. "Tapi kuyakin dia bukan seorang yang suka ikut campur urus?an tetek-bengek," demikian jago pengawal istana itu menambahkan lagi. "Yang dilakukannya itu bukan urusan tetek-bengek." kata Hoa Ban-lau. Segera Sukong Ti-seng menyambung, "Meski dia sendiri ja?rang berkawan, tapi dia paling benci bila ada orang menjual saha?bat." Siau-siang-kiam-khek tak bicara lagi, sebaliknya Tong-jisian-sing yang terkenal lihai senjata rahasianya dan terkenal juga tidak suka banyak bicara, kini mendadak bertanya, "Kau anggap kesalah?an fatal mereka adalah menjual kawan?" "Memangnya bukan?" ujar Sukong Ti-seng. Tong-jisiansing menggeleng dan tidak bersuara lagi, sebab ia yakin orang lain pasti sudah tahu maksudnya. Benar juga, ada yang tahu maksudnya, yaitu Bok-tojin, kata?nya, "Meski perbuatan mereka tidak sama, tapi kesalahan fatal mereka justru sama." "Dalam hal apa ada persamaan mereka?" tanya Sukong Ti-seng. "Sebun Jui-soat," tutur Bok-tojin. "Bilamana Sebun Jui-soat mau membunuh orang, tidak pernah ada orang yang sanggup lolos. Seumpama dia kabur juga takkan lebih lama daripada 19 hari." Wajah Bok-tojin tambah prihatin, katanya pula, "Ke-12 orang ini sama mati di bawah pedang Sebun Jui-soat. Sekarang ada lagi seorang yang berbuat kesalahan fatal serupa mereka, bahkan lebih gawat salahnya." "Oo?" semua orang bersuara heran. "Sebab dia tidak cuma menjual kawan, malahan yang dijual?nya ialah Sebun Juisoat." "Siapa pengkhianat itu?" tanya orang banyak. "Liok Siau-hong!" Seketika semua orang terdiam, suasana terasa mencekam. Siau-siang-kiam-khek Iagi memecahkan kesunyian, "Kutahu Liok Siau-hong bukan saja sahabat Sebun Jui-soat, bahkan juga penolongnya." "Budi pertolongannya sudah dibalas oleh Sebun Jui-soat, sebaliknya sakit hatinya belum dibalasnya," kala Bok-tojin. "Sakit hati apa?" tanya Siau-siang-kiam-khek. "Perampasan isteri." tutur Bok-tojin. Melengak juga Siau-siang-kiam-khek. "Ada bukti?" tanyanya. "Ada," jawab Bok-tojin, "Sebun Jui-soat memergoki mereka berada di tempat tidur " Mendadak Siau-siang-kiam-khek mengangkat cawan dan menenggak araknya hingga habis Sukong Ti seng tidak kalah cepat nya, sekali tenggak ia pun menghabiskan secawan. Satu-satunya orang yang masih tetap tenang adalah Hoa Ban-lau. Meski secawan penuh, dia hanya mengecup sedikit saja, lalu berkata, "Liok Siau-hong pasti bukan manusia rendah begini, di dalam persoalan ini pasti masih ada hal lain." Seketika Sukong Ti-seng menyatakan setuju, "Ya, mungkin dia mabuk, bisa juga dia terkena obat bius, mungkin mereka tidak melakukan apa-apa di tempat tidur." Alasan yang dikemukakan ini kurang baik, sampai dia sendiri pun kurang puas, maka ia menghabiskan lagi secawan arak. Orang yang memberikan pendapat biasanya adalah orang yang paling sedikit bicara. "Aku tidak kenal Liok Siau-hong, tapi kutahu dia pernah memberi jasa baiknya pada keluarga Tong," akhirnya Tong-jisiansing memberi pendapatnya. "Pendek kata, apakah urusan ini ada persoalan lain atau tidak, yang penting kita harus bertanya langsung kepadanya." Tapi Bok-tojin lantas menggeleng kepala. "'Tidak mau kau cari dia?" tanya Sukong Ti-seng. "Bukan tidak mau, tapi tak dapat menemukan dia." sahut Bok-tojin. Memang, begitu persoalan ini terungkap, segera Liok Siau-hong kabur, siapapun tidak tahu dia lari kemana. Bok-tojin lantas membeberkan ke-12 lembar kartu dan berka?ta, "Maka kuminta kalian membaca ini...." "Liok Siau-hong bukan Ko Tiu, juga bukan Tok-pi-sin-liong, perbuatan yang tidak senonoh ini memangnya ada sangkut-paut apa dengan kita," demikian tiba-tiba Sukong Ti-seng memotong ucap?annya. "Ada sedikit sangkut-pautnya," ujar Bok-tojin. "Sedikit yang mana?" tanya Sukong Ti-seng. "Jalan kabur yang ditempuhnya," kata Bok-tojin. Maklum, bilamana hendak mencari Liok Siau-hong, maka le?bih dulu harus, memastikan ke arah mana dia buron. Maka Bok Tojin berkata pula, "Orang-orang ini tidak cuma ilmu silatnya sangat tinggi, juga sudah sangat luas pengalamannya, kawakan Kangouw yang cerdik dan licin, bilamana mereka sudah siap buron, tentu mereka sudah mengadakan perencanaan yang rapi, jalan yang mereka pilih juga pasti tidak salah." "Tapi sayang, mereka tetap tak dapat lolos," jengek Sukong Ti-seng. "Meski tak dapat lolos, tetap berguna untuk kita pelajan, ujar Bok-tojin. Jalan lari yang dipilih ke-12 orang ini pada garis besarnya dapat dibagi menjadi empat: Berlayar ke laut, menuju ke gurun pasir di luar tembok besar, membaurkan diri di tengah keramaian kota, atau mengasingkan diri ke tempat terpencil. "Kalian kan sahabat lama Liok Siau-hong," kata Bok-tojin pu?la, "tentunya kalian cukup kenal tabiatnya. Coba kalian pikir, ke arah mana akan dia pilih?" Tidak ada orang yang dapat menjawab. Siapapun tidak berani memastikan pendapatnya mutlak benar. Perlahan Hoa Ban-Iau berucap, "Aku cuma dapat memastikan satu hal." "Coba katakan," kata Bok-tojin. "Dia pasti takkan menuju ke laut, juga takkan masuk ke gu?run," tutur Hoa Banlau. Tidak ada yang bertanya mengapa dia dapat memastikan hal ini, sebab setiap orang tahu dia memiliki semacam indra yang khas. Sukong Ti-seng sudah menghabiskan delapan cawan arak, ka?lanya, "Aku pun dapat memastikan sesuatu." Semua orang sama pasang telinga. "Liok Siau-hong pasti takkan mati." sambung Sukong Ti-seng. Kepastiannya itu ada yang menyangsikan. "Sebab apa?" "Kutahu ilmu silat Liok Siau-hong, juga pernah melihat ilmu pedang Sebun Juisoat." tulur Sukong Ti-seng. Dengan sendirinya ia tidak menyangkal betapa cepat dan tepat gerak pedang Sebun Jui-soai, tapi dia berpendapat, "Sejak dia ber?istri dan punya anak, ilmu pedangnya lantas berubah menjadi lemah, sebab hatinya juga sudah lemah." Sebab Sebun Jui-soat bukan lagi dewa pedang, tapi sudah mulai mempunyai sifat kemanusiaan. "Ya, sebenarnya aku pun beranggapan begitu, sekarang baru diketahui kita semua salah," ujar Bok-tojin "Kita tidak salah," seru Sukong Ti-seng. Bok-tojin menggeleng, katanya, "Sebelum pertempuran maut di puncak Ci-kim-sia dahulu, pedangnya memang betul sudah mulai lemah, sebab cintanya terhadap istri sudah melampaui keranjingan-nya terhadap pedang." Tampaknya Siau-siang-kiam-khek mengerti arti ucapannya ini, katanya, "Tapi keadaan menjadi lain setelah dia mengalahkan Pek-in-sengcu." Pertempuran di puncak Ci-kim-sia itu jelas telah mengorban?kan pula keranjingannya terhadap pedang dan melampaui lagi cin?tanya terhadap isteri. Bisa jadi lantaran dia menyepelekan sang isteri sehingga me?nimbulkan rasa simpati Liok Siau-hong, maka timbul peristiwa ini. Setiap orang sama berpendapat demikian, tapi tiada yang mau mengucapkannya. "Beberapa waktu yang baru lalu aku bertemu dengan Liok Siau-hong," tutur Boktojin. "Dia bilang padaku, ilmu pedang Se?bun Jui-soat sudah mencapai tingkatan yang "tak berpedang'." Lalu Bok-tojin menghela napas dan berkata pula, "'Waktu ku?lihat Liok Siau-hong, dia sedang mabuk, dia bilang pula padaku, bi?lamana di dunia ini ada orang yang dapat membunuhnya, maka orang itu ialah Sebun Jui-soat." Kembali semua orang termenung. Dalam hati mereka sudah dapat menarik kesimpulan. Yaitu, bilamana Sebun Jui-soat dapat menyusul Liok Siau-hong, maka Liok Siauhong pasti akan mati di bawah pedangnya. Soalnya sekarang ialah, kemana larinya Liok Siau-hong" Be?rapa lama dia dapat buron" Jika dia lak akan menuju ke laut, juga tidak masuk ke gurun, maka kalau tidak berada di keramaian kota, tentu dia kabur ke pe?gunungan sepi. Meski lingkaran pelarian Liok Siau-hong sekarang sudah me?ngecil, tapi siapa pula yang tahu betapa banyak kota ramai dan be?tapa banyak pegunungan di dunia ini" Mendadak Tong-jisiansing berdiri dan keluar. "Kau mau pergi?" tanya Sukong Ti-seng dengan cawan arak terangkat. "Aku kan tidak datang untuk minum arak?" jengek Tong-ji?siansing. "Apakah engkau tidak mau lagi mengurus persoalan ini?" ta?nya Sukong Ti-seng. "Bukan tidak mau mengurus, tapi sukar diurus," sahut Tong-jisiansing. Tiba-tiba Koh-siong Kisu juga menghela napas panjang dan bergumam, "Ya, memang sukar diurus." Koh-kua Hwesio juga mengangguk dan berkata, "Memang benar-benar...." Belum lanjut ucapannya, mereka bertiga sudah melangkah ke?luar semua. Siausiang-kiam-khek ternyata tidak kalah cepatnya da?ripada mereka. Sukong Ti-seng menaruh cawan arak dengan berat di atas me?ja dan berseru, "Aku pun tidak datang untuk minum arak melulu, setan alas yang hanya datang untuk minum arak." Dia juga melangkah pergi dengan cepat. Di dalam rumah sekarang tertinggal dua orang dan yang masih idap tenang cuma Hoa Ban-lau saja. "Prak", mendadak cawan Bok-tojin tcremas remuk. Han-lau tertawa dan berkata, "Apakah kau tahu mereka pergi kemana?" "Setan yang lalui," jengek Bok tojin. "Aku lalui." kata Ban-lau. "Aku bukan setan, tapi aku tahu." "Kau kira mereka pergi kemana'" "Jika sekarang kita memburu ke Sebun san-ceng (perkam?pungan keluarga Sebun) tentu dapat kita temukan mereka, seorang pun takkan berkurang." Bok-Tojin tidak mengerti. Maka Ban-lau menambahkan, "Mereka pergi ke sana, sebab mereka sama ingin tahu sesuatu, yaitu apakah betul Liok Siau-hong kabur ke sana." "Kau pasti?" tanya Bok-tojin. Ban-lau mengangguk, "Aku merasa pasti, sebab kutahu mere?ka adalah sahabat Liok Siau-hong." "Baiklah, kita pun berangkat," ujar Bok-tojin sambil menepuk pundak Hoa Ban-lau. "Jika di dunia ini ada seorang yang dapat me?nemukan Liok Siau-hong, maka orang itu ialah dirimu." "Bukan diriku," ujar Ban-lau. "Habis siapa?" "Liok Siau-hong sendiri." Ya, seorang kalau sudah kehilangan dirinya sendiri, maka se?lain dia sendiri, siapa pula yang dapat menemukannya. Tapi sekalipun Liok Siau-hong sudah kehilangan dirinya sen?diri, sedikitnya ia belum kehilangan arah. Ia percaya jalan ini tepat menuju ke barat, setelah melintasi lereng bukit di depan tentu dapat menemukan sumber air minum. Malam sudah larut, kabut tebal di lereng pegunungan. Tapi ia tetap percaya kepada pandangannya sendiri. Tapi sekali ini kembali dia salah lagi. Di depan tidak ada lereng gunung, juga tidak ada sumber air. yang ada cuma hutan purba yang lebat. Kelaparan memang salah satu penderitaan yang paling besar bagi manusia, akan tetapi kalau dibandingkan dengan kehausan, la?par menjadi semacam penderitaan yang lebih mudah ditahan. Bibirnya sudah pecah, bajunya rombeng, luka di dada mulai bengkak. Sudah tiga hari dia buron di pegunungan sunyi yang sukar menemukan sumber air ini. Bilamana sahabatnya melihat dia sekarang pasti akan sama pangling. Siapapun takkan kenal lagi dia ialah Liok Siau-hong yang mempesona setiap anak perempuan Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo itu. Gelap gulita di tengah hutan, dalam kegelapan hampir meli?puti segala macam bahaya, setiap ancaman bahaya itu bisa mema?tikan. Bilamana tersesat di lengah hutan lebat ini, kehausan saja sudah cukup fatal. Apakah Liok Siau-hong dapai keluar dari hutan ini, ia sendiri tidak yakin. Ia sudah kehilangan kepercayaan kepada kemampuan?nya sendiri. Akan tetapi ia harus maju terus ke depan dan tiada jalan Iain, apalagi pilihan untuk mundur. Sebab mundur terlebih menakutkan. Sebun Jui-soat justru sedang menguntit di belakangnya. Meski tak dilihatnya, tapi dapat dirasakannya, merasakan hawa pedang khas yang akan membunuh itu. Setiap saat dan dimana pun ia bisa mendadak merinding, da?lam keadaan bagitu ia lantas tahu jarak Sebun Jui-soat dengan dia sudah dekat. Buron sendiri adalah semacam penderitaan. Haus, lelah, takut, sedih .... Semua itu serupa cambuk yang terus memukulnya tanpa berhenti. Semua itu sudah cukup membuatnya runtuh lahir batin, apa?lagi dia juga terluka. Terluka oleh pedang. Pada saat luka terasa sakit tentu akan terbayang olehnya se?rangan pedang yang luar biasa cepatnya itu. Seburi Jui-soat yang sudah 'tanpa pedang' itu akhirnya me?lolos lagi pedangnya. "Jika di dunia ini masih ada orang yang perlu kuhadapi lagi dengan pedang, maka orang itu ialah Liok Siau-hong. Karena diri?mu, terpaksa kugunakan lagi pedangku, sekarang padangku sudah kulolos, sebelum berlepotan darahmu, pedang takkan kambali ke sa?rungnya." Demikian diucapkan Sebun Jui-soat kepada Liok Siau-hong, tidak ada yang dapat melukiskan betapa cepat dan tajam pedang Sebun Jui-soat, juga tidak ada yang dapat membayangkan ada orang mampu menghindari serangannya. Sekali sinar pedang berkelebat, seketika darah segar tercecer. Memang tidak ada yang mampu menghindari serangan kilat itu. Liok Siau-hong juga tidak, namun dia tidak mati. Bisa tidak mati di bawah pedang kilat itu sudah merupakan keajaiban. Di dunia ini, orang yang dapat lolos dengan hidup di bawah serangan pedang kilat itu mungkin juga cuma Liok Siau-hong saia seorang. Dan begitulah. Liok Siau-hong terus buron dan sampai di hu?tan lebat dan gelap ini. Kegelapan yang tidak ada ujung pangkalnya. Sesungguhnya betapa banyak bahaya yang tersembunyi di balik kegelapan itu" Siau-hong tidak berani memikirkannya, bila terlalu banyak berpikir, besar kemungkinan dia sudah runtuh, bahkan bisa gila. Setelah masuk ke dalam hutan yang galap ini, sama seperti binatang buas jatuh ke dalam perangkap, tidak bebas lagi. Dia men?dapatkan setangkai kayu dan digunakan sebagai tongkat, ia terus merambat ke depan serupa seorang buta. Tongkat itu sungguh tong?kat penolong baginya. Seorang yang gagah perwira sekarang harus dibantu oleh se?potong kayu, bila teringat hal ini Siau-hong jadi tertawa sendiri. Tertawa pedih, tertawa sinis. Baru sekarang ia benar-benar merasakan betapa sengsaranya orang buta, dia juga baru mangerti betapa hebatnya Hoa Ban-lau. Seorang buta dapat hidup sebegitu tenang dan begitu gembira, entah betapa besar cinta hidup yang tumbuh dalam hatinya" Di depan ada pohon besar, Siau-hong berhenti di bawah pahon dengan napas terengah, sekarang ini mungkin satu-satunya kesem?patan beginya unluk berganti napas, la pikir pada waktu Sebun Jui-soat menyusul sampai di hutan ini, sebelum mengejar ke dalam hu?tan mungkin dia akan berpikir sejenak, tapi akhirnya dia pasti akan mengejar masuk hutan. Hampir tidak ada urusan di dunia ini yang dapat mencegah?nya, dia sudah bertekad akan membinasakan Liok Siau-hong di ba?wah pedangnya. Dalam kegelapan hampir tidak terdengar sesuatu suara apapun, kesunyian semacam ini juga sesuatu yang paling menakutkan. Napas Siau-hong hampir berhenti, mendadak tangannya bergerak secepat kilat, jarinya menjepit. Dia tidak melihat apa-apa, tapi dia telah turun tangan. Sekali dia turun tangan jarang sekah meleset. Pada saat benar-benar menghadapi bahaya, manusia juga bisa berubah seperti bina?tang, bisa mempunyai indera keenam dan kepekaan seperti binatang. ' Yang terjepit oleh jarinya ternyata seekor ular. Ekor ular yang terjepit, sekali menyendal segera pula leher ular digigitnya. Seketika darah ular yang anyir mengalir ke dalam kerongkongan dan masuk perutnya. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti benar-benar sudah ber?ubah menjadi binatang buas. Tapi dia tidak berhenti mengisap darah ular. Darah ular itu sekarang dirasakannya sebagai penyelamat ba?ginya. Asalkan dapat memberi kekuatan baginya, memberi kehidup?an baginya, saat ini apapun akan diterimanya. Sebab ia tidak ingin mati, ia tidak boleh mati. Jika sekarang ia mati, maka ia akan berubah menjadi setan pe?nasaran dan akan kembali ke dunia manusia hidup untuk mencuci bersih semua fitnah yang diterimanya .... Kegelapan mulai menipis dan berubah menjadi remang kelabu yang aneh. Kegelapan malam yang panjang ini akhirnya berlalu juga. Kini sudah tiba saatnya fajar akan menyingsing. Tapi biarpun hari sudah terang, lalu bagaimana" Biarpun kegelapan sudah pergi, namun kematian masih terus mengancamnya. Hanyak daun kering div tanah, ia meraupnya segenggam untuk membersihkan darah pada tangannya. Pada saat itulah dia mende-nt'.ir sesuatu suara. Suara manusia entah darimana datangnya, seperti ada suara orang merintih. Di tempat dan dalam keadaan begini mana bisa ada orang" Ji?ka tidak terpaksa, siapa pula yang mau masuk ke hutan purba ini" Menempuh jalan kematian ini"! Jangan-jangan Sebun Jui-soat" Mendadak Siau-hong merasakan sekujur badan dingin dan ka?ku, napas pun terasa berhenti, ia mendengarkan dengan tenang. Terdengar lagi suara rintihan yang lemah, sebentar lenyap dan sebentar terdengar lagi, dari suaranya jelas penuh rasa derita Sema?cam penderitaan yang mendekati putus harapan. Suara menderita itu jelas past, bukan pura-pura. Sekalipun orang mi benar Sebun Jui-soat adanya, penderitaannya sekarang pasti juga tidak di bawah Liok Siauhong. Apakah dia juga mengalami sesuatu pukulan yang memati?kan" Kalau tidak, mengapa hawa pedang pembunuh yang khas juga lenyap sama sekali" Siau-bong memutuskan untuk mencari, peduli orang ini Sebun Jui-soat atau bukan, harus ditemukannya. Dan sudah tentu ditemukannya. Di atas daun kering dan tanah yang lembab menggeletak satu orang, sekujur badan tampak me?ringkuk menjadi satu kerena kesakitan. Seorang yang rambutnya sudah ubanan, lemah, pucat, letih. duka dan ketakutan. Waktu melihat Liok Siau-hong, orang tua itu seperti berusaha melompat bangun, tapi yang diperoleh adalah kejang dan kesakitan. Dia membawa pedang yang berbentuk antik, jelas sebilah pe?dang yang sangat bagus. Akan tetapi pedang ini tidak menakutkan, sebab orang ini bukan Sebun Juisoat. Siau-hong menghela napas lega, gumamnya, "Bukan, bukan dia." Biji leher si kakek tampak naik-turun, sorot matanya yang pe?nuh rasa takut menampilkan setitik harapan, ucapnya dengan ter?engah, "Sia... siapa kau?" "Aku bukan siapa-siapa," sahut Siau-hong dengan tertawa. "Aku cuma orang lalu saja." "Orang lalu?" si kakek menegas. "Kau heran bukan" Masa orang lalu di tempat begini?" kata Siau-hong. Si kakek mengamat-amati dari bawah ke atas dan dan atas ke bawah, tiba-tiba sinar matanya menampilkan kelicikan, katanya, "Apakah jalan yang kau tempuh serupa aku?" "Sangat mungkin," jawab Siau-hong. Si kakek tertawa. Tertawa yang pedih, getir. Dan dia lantas terbatuk-batuk. Siau-hong juga melihat orang terluka, ternyata juga bagian dada yang terluka, malahan kelihatan sangat parah. Tiba-tiba si kakek bertanya pula, "Memangnya kau sangka si?apa diriku?" "Seorang lain," sahut Siau-hong. "Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?" Siau-hong juga tertawa dan bertanya, "Tadinya kau kira siapa diriku" Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?" Si kakek ingin menyangkal, tapi tidak dapat menyangkal. Kedua orang saling pandang dengan sikap serupa dua ekor binatang buas yang samasama terluka. Tidak ada orang yang dapat memahami sikap mereka ini, juga tidak dapat memahami perasaan mereka. Entah sudah berapa lamanya, tiba-tiba si kakek menghela na?pas panjang dan berkata, "Boleh kau pergi saja." "Kau minta kupergi?" tanya Siau-hong. "Biarpun kularang kau pergi, toh kau pasti juga akan pergi," ujar si kakek dengan tersenyum getir. "Keadaanku agaknya terlebih parah daripadamu, dengan sendirinya tak dapat aku membantumu. Engkau memang tidak kenal diriku, dengan sendirinya juga takkan membantuku." Siau-hong tidak bicara, juga tidak tertawa lagi. Ia tahu apa yang dikatakan kakek itu memang sejujurnya. Keadaan sendiri juga sangai parah, bahkan terlebih celaka daripada apa yang dibayangkan orang. Buron sendirian saja belum tentu lolos, dengan sendirinya ia tidak dapat dan tidak mau ketambahan beban. Si kakek ini jelas beban yang sangat berat. Selang sekian lama lagi, Siau-hong juga menghela napas dan berkata, "Ya, aku memang harus pergi." Si kakek mengangguk dan memejamkan mata, ia tidak me?mandangnya lagi. Siau-hong berkata pula, "Jika engkau ini seekor anjing liar, sa?at ini aku pasti sudah pergi. Tapi sayang .. "Sayang aku bukan anjing, tapi manusia," tukas si kakek tiba-tiba. "Sayang aku pun bukan anjing, aku pun manusia," kata Siau-hong. "Ya, sungguh sayang." kata si kakek, meski matanya seperti terpejam, tapi sebenarnya diam-diam ia lagi mengintip gerak-gerik Liok Siau-hong. Terpancar pula sifat kelicikannya Siau-hong tertawa dan berkata pula, "Padahal sejak tadi kau tahu aku pasti takkan pergi." "Oo"!" si kakek bersuara heran. "Sebab kau manusia, aku juga manusia, dengan sendirinya tak dapat kusaksikan kau mati konyol di sini." Mendadak si kakek membuka matanya, terbelalak lebar, lalu berkata, "Jadi hendak kau bawa pergi diriku?" Bab 2. Tokko Bi, si tak kenal saudara Published by Hiu_Khu on 2008/1/1 (364 reads) Kegelapan mulai menipis dan berubah menjadi remang kelabu yang aneh. Kegelapan malam yang panjang ini akhirnya berlalu juga. Kini sudah tiba saatnya fajar akan menyingsing. Tapi biarpun hari sudah terang, lalu bagaimana" Biarpun kegelapan sudah pergi, namun kematian masih terus mengancamnya. Banyak daun kering di tanah, ia meraupnya segenggam untuk membersihkan darah pada tangannya. Pada saat itulah dia mendengar sesuatu suara. Suara manusia entah darimana datangnya, seperti ada suara orang merintih. Di tempat dan dalam keadaan begini mana bisa ada orang" Jika tidak terpaksa, siapa pula yang mau masuk ke hutan purba ini" Menempuh jalan kematian ini"! Jangan-jangan Sebun Jui-soat" Mendadak Siau-hong merasakan sekujur badan dingin dan kaku, napas pun terasa berhenti, ia mendengarkan dengan tenang. Terdengar lagi suara rintihan yang lemah, sebentar lenyap dan sebentar terdengar lagi, dari suaranya jelas penuh rasa derita Semacam penderitaan yang mendekati putus harapan. Suara menderita itu jelas pasti bukan pura-pura. Sekalipun orang mi benar Sebun Jui-soat adanya, penderitaannya sekarang pasti juga tidak di bawah Liok Siauhong. Apakah dia juga mengalami sesuatu pukulan yang mematikan" Kalau tidak, mengapa hawa pedang pembunuh yang khas juga lenyap sama sekali" Siau-hong memutuskan untuk mencari, peduli orang ini Sebun Jui-soat atau bukan, harus ditemukannya. Dan sudah tentu ditemukannya. Di atas daun kering dan tanah yang lembab menggeletak satu orang, sekujur badan tampak meringkuk menjadi satu kerena kesakitan. Seorang yang rambutnya sudah ubanan, lemah, pucat, letih, duka dan ketakutan. Waktu melihat Liok Siau-hong, orang tua itu seperti berusaha melompat bangun, tapi yang diperoleh adalah kejang dan kesakitan. Dia membawa pedang yang berbentuk antik, jelas sebilah pedang yang sangat bagus. Akan tetapi pedang ini tidak menakutkan, sebab orang ini bukan Sebun Jui-soat. Siau-hong menghela napas lega, gumamnya, "Bukan, bukan dia." Biji leher si kakek tampak naik-turun, sorot matanya yang penuh rasa takut menampilkan setitik harapan, ucapnya dengan terengah, "Sia... siapa kau?" "Aku bukan siapa-siapa," sahut Siau-hong dengan tertawa. "Aku cuma orang lalu saja." "Orang lalu?" si kakek menegas. "Kau heran bukan" Masa orang lalu di tempat begini?" kata Siau-hong. Si kakek mengamat-amati dari bawah ke atas dan dan atas ke bawah, tiba-tiba sinar matanya menampilkan kelicikan, katanya, "Apakah jalan yang kau tempuh serupa aku?" "Sangat mungkin," jawab Siau-hong. Si kakek tertawa. Tertawa yang pedih, getir. Dan dia lantas terbatuk-batuk. Siau-hong juga melihat orang terluka, ternyata juga bagian dada yang terluka, malahan kelihatan sangat parah. Tiba-tiba si kakek bertanya pula, "Memangnya kau sangka siapa diriku?" "Seorang lain," sahut Siau-hong. "Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?" Siau-hong juga tertawa dan bertanya, "Tadinya kau kira siapa diriku" Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?" Si kakek ingin menyangkal, tapi tidak dapat menyangkal. Kedua orang saling pandang dengan sikap serupa dua ekor binatang buas yang samasama terluka. Tidak ada orang yang dapat memahami sikap mereka ini, juga tidak dapat memahami perasaan mereka. Entah sudah berapa lamanya, tiba-tiba si kakek menghela napas panjang dan berkata, "Boleh kau pergi saja." "Kau minta kupergi?" tanya Siau-hong. "Biarpun kularang kau pergi, toh kau pasti juga akan pergi," ujar si kakek dengan tersenyum getir. "Keadaanku agaknya terlebih parah daripadamu, dengan sendirinya tak dapat aku membantumu. Engkau memang tidak kenal diriku, dengan sendirinya juga takkan membantuku." Siau-hong tidak bicara, juga tidak tertawa lagi. Ia tahu apa yang dikatakan kakek itu memang sejujurnya. Keadaan sendiri juga sangai parah, bahkan terlebih celaka daripada apa yang dibayangkan orang. Buron sendirian saja belum tentu lolos, dengan sendirinya ia tidak dapat dan tidak mau ketambahan beban. Si kakek ini jelas beban yang sangat berat. Selang sekian lama lagi, Siau-hong juga menghela napas dan berkata, "Ya, aku memang harus pergi." Si kakek mengangguk dan memejamkan mata, ia tidak memandangnya lagi. Siau-hong berkata pula, "Jika engkau ini seekor anjing liar, saat ini aku pasti sudah pergi. Tapi sayang .. "Sayang aku bukan anjing, tapi manusia," tukas si kakek tiba-tiba. "Sayang aku pun bukan anjing, aku pun manusia," kata Siau-hong. "Ya, sungguh sayang." kata si kakek, meski matanya seperti terpejam, tapi sebenarnya diam-diam ia lagi mengintip gerak-gerik Liok Siau-hong. Terpancar pula sifat kelicikannya Siau-hong tertawa dan berkata pula, "Padahal sejak tadi kau tahu aku pasti takkan pergi." "Oo"!" si kakek bersuara heran. "Sebab kau manusia, aku juga manusia, dengan sendirinya tak dapat kusaksikan kau mati konyol di sini." Mendadak si kakek membuka matanya, terbelalak lebar, lalu berkata, "Jadi hendak kau bawa pergi diriku?" "Bagaimana dugaanmu?" tanya Siau-hong. Si kakek berkedip, "Dengan sendirinya dapat kau bawa diriku, sebab engkau manusia, juga aku." "Alasan ini tidak cukup." "Tidak cukup" Masa ada alasan lain?" Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Betapa brengsek tetap manusia," kata Siau-hong. Ucapan ini sukar dipahami, si kakek juga tidak paham, terpaksa menunggu penjelasan lebih lanjut. "Akan kubawa dirimu, sebab aku bukan saja manusia, juga seorang brengsek, maha brengsek." Dalam musim semi segala apapun tampak serba segar di bumi ini. Pepohonan yang sudah layu kembali tumbuh dengan lebarnya. Dengan sendirinya hutan purba itu juga bertambah rindang sehingga tak tembus sinar matahari. Di tengah hutan lebat itu hanya remang-remang kelabu belaka, hanya dapat tertampak bayangan yang samar-samar, itu pun tak dapat mencapai jauh. Liok Siau-hong lelah membawa si kakek meneruskan perjalanan. Akhirnya ia berhenti, ia membaringkan dulu si kakek, lalu ia sendiri pun rebah ke tanah. Sekarang biarpun diketahui Sebun Jui-soat sudah dekat di belakangnya, satu langkah saja ia tidak sanggup bergerak lagi. Sudah cukup jauh mereka meneruskan perjalanan. Tapi waktu ia menunduk, tiba-tiba dilihatnya bekas kaki sendiri di atas tanah. Rupanya meski mereka berusaha lari sekuatnya dan sekian lamanya, akhirnya mereka, kembali berada di tempat semula. Ini bukan lagi sindiran, tapi menyedihkan. Semacam kesedihan bilamana manusia sudah mendekati keputus-asaan. Napas Siau-hong terengah-engah, napas si kakek juga megap-megap. Seekor ular sawah raksasa mendadak meluncur turun dari dahan pohon, dengan sendirinya tenaga ular raksasa ini sangat besar, sanggup melilit mati makhluk apapun. Akan tetapi Siau-hong tak dapat bergerak, si kakek juga tidak dapat bergerak, syukurlah ular raksasa itu juga tidak menghiraukan mereka, merayap lewat di samping mereka, Siau-hong tertawa, sampai ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya masih dapat tertawa. Tiba-tiba si kakek memiringkan kepalanya dan menegur, '"He, brengsek, mengapa sejauh ini tidak kau tanya siapa diriku dan siapa namaku?" "Aku tidak perlu bertanya," jawab Siau-hong. "Toh kita sudah hampir mati, bilakah pernah kau dengar ada orang mati bertanya nama orang mati yang lain?" Si kakek memandangnya lagi sampai lama, ingin bicara, tapi urung, waktu ia memandang alis dan kumisnya, akhirnya dia berkata, "Ah, tiba-tiba aku teringat kepada seorang." "Siapa?" tanya Siau-hong. Liok Siau hong, ya, Liok Siau-hong yaug beralis empat itu." Kembali Siau-hong tcrtawa. "Seharusnya sejak mula teringat olehmu, satu-satunya orang brengsek paling besar di dunia ini ialah Liok Siau-hong." "Tapi tidak kusangka Liok Siau-hong bisa berubah menjadi begini," kata si kakek dengan menyesal. "Memangnya kau kira seharusnya bagaimana Liok Siau-hong itu?" "Sudah lama kudengar Liok Siau-hong adalah seorang perayu yang paling disukai orang perempuan . bahkan ilmu silatnya sangat tinggi." "Ya aku pun pernah mendengar." "Makanya selama ini kuyakin Liok Siau-hong pasti seorang yang gagah dan cakap, tapi sekarang tampaknya engkau serupa " "Serupa seekor anjing yang menghadapi jalan buntu karena diuber orang," tukas Siau-hong. "Agaknya kesulitan yang kau timbulkan tidak kecil " ucap si kakek. "Ya, sangat besar." "Apakah gara-gara orang perempuan?" Siau hong menyengir. "Siapa suami perempuan itu" Kabarnya jurus andalan Pek-in-sengcu yang maha lihai itupun dapat kau tangkis, masa di dunia ini masih ada orang lain yang dapat menguber-uber dirimu sehingga menghadapi jalan buntu?" "Ada, cuma ada seorang," jawab Siau-hong. "Ya. setelah kupikirkan, rasaya memang cuma ada satu orang." "Menurut pikiranmu, siapa orang ini?" "Bukankah Sebun Juisoat?" Siau-hong hanya menyengir saja. "Sungguh tidak kecil kesulitan yang kau timbulkan ini," ujar si kakek dengan menyesal. "Sungguh aku tidak mengerti sebab apa dapat kau timbulkan kesukaran ini?" "Sebenarnya aku pun tidak berbuat apa-apa, cuma secara kebetulan tidur seranjang dengan isterinya dan kebetulan pula dipergoki dia." Si kakek memandangnya dengan terkejut sampai lama barulah ia menggeleng dan berkata. "Wah. rupanya nyalimu memang tidak kecil. Mendadak Siau-hong balas bertanya. "Dan kau" Kesulitan apa yang kau buat?" Si kakek termenung sekian lama, lalu menjawab dengan menyesal, "Kesulitan yang ditimbulkan juga tidak kecil." "Ya memang dapat kulihat." kata Siau-hong. "Jika tubuh seorang memakai baju yang berharga mahal, memegang pedang antik bernilai, tapi diuber-uber orang seperti seekor anjing geladak, maka perkara yang ditimbulkan orang ini pasti tidak kecil." "Malahan perkara yang kutimbulkan tidak cuma satu," kata si kakek. "Ada berapa banyak?" tanya Siau-hong. "Dua," ucap si kakek sambil memperlihatkan dua jari. "Yang seorang ialah Yap Koh-hong, yang lain Hun-yan-cu." "Yap Koh-hong dari Bu-tong yang terjuluk Siau-pek-liong (naga putih kecil)?" Siau-hong menegas. Si kakek mengangguk. "Dan Hun-yan-cu alias Ban-li-tah-hoa (menginjak bunga sejauh selaksa li)?" Kembali si kakek mengangguk. "Ai, perkara yang kau timbulkan memang tidak kecil dan sangat sulit." Yap Koh-hong adalah murid Bu-tong-pay, juga terkenal sebagai tokoh angkatan muda yang menonjol. Konon masih terhitung sanak famili Pek-in-sengcu Yap Koh-seng. Sedangkan nama Hun-yan-cu, si walet berbedak, bahkan lebih terkenal di dunia Kangouw, baik Ginkang maupun Am-gi (senjata rahasia) miliknya jarang ada bandingannya dalam kalangan hitam. "Cuma Yap Koh-hong adalah murid perguruan ternama, sedangkan Hun-yan-cu adalah kaum penjahat, mengapa sekaligus kau bikin onar terhadap kedua orang itu." "Masa engkau tidak paham?" tanya si kakek. Siau-hong menggeleng. "Soalnya sangat sederhana, baik Yap Koh-hong maupun Hun-yan-cu, keduanya adalah keponakanku, keduanya anak saudara perempuanku. Kebetulan bini mereka bertamu di rumahku ..." Yap Koh-hong biasa berkelana di dunia Kangouw, Hun-yan-cu yang bekerja sebagai bandit itu juga suka berkeluyuran kemana-mana, dengan sendirinya bini mereka hidup kesepian. "Sebab itulah adalah layak jika aku berusaha menghibur hati mereka yang hampa," tutur pula si kakek. "Siapa tahu, kebetulan dipergoki mereka." Dengan melengak Siau-hong memandangnya, selang agak lama barulah ia berkata, "Tampaknya bukan cuma nyalimu tidak kecil, bahkan engkau tidak mau kenal sanak famili segala." "Memangnya aku bukan orang begitu?" sahut si kakek dengan tertawa. Siau-hong tambah terkejut, "He, jadi engkau memang dia?" "Belasan tahun terakhir ini, jarang ada orang Kangouw yang tahu namaku ini, tak tersangka engkau ternyata tahu." Kiranya 20 tahun yang lalu di dunia Kungouw ada seorang bandit yang sangat terkenal, bandit ini selalu beroperasi sendirian, namanya Tokko Bi dan berjuluk 'Lak-jin-put-jin' atau sanak famili juga tidak peduli. Jika seorang berani berbuat apapun tanpa peduli sanak famili lagi, maka betapa keji dan kejam hati orang ini dapatkah dibayangkan. "Nah, tampaknya nama julukanmu memang cocok sekali dengan perbuatanmu." "Aku tidak peduli sanak famili, kau lebih penting perempuan daripada sahabat, engkau seorang brengsek, aku juga tidak selisih seberapa. Kita berdua boleh dikatakan sepaham dan sehaluan. makanya juga dapat menempuh jalan yang sama sekarang." "Untung di antara kita masih ada setitik perbedaan," kata Siau-hong. "Oo, setitik apa?" tanya Tokko Bi. "Sekarang aku dapat angkat kaki dan kau terpaksa harus berbaring di sini untuk menanti ajal." Tokko Bi tertawa. "Jika kau anggap sekarang hatiku tidak sekejam itu. maka salahlah kau. "Jika kau dapat tidak peduli sanak famili, mengapa aku tidak boleh tak mempedulikan dirimu?" "Tcntu saja kau dapat," kata Tokko Bi. Segera Liok Siau-hong berbangkit, sekali dia bilang mau angkat kaki, segera juga dia pergi. Tokko Bi menyaksikan dia berdiri, kemudian baru dia bicara "Tapi kutanggung setelah kau pergi tentu kau akan menyesal. Siau-hong menoleh dan bertanya, "Sebab apa?" "Sebab di dunia ini selain ada binatang yang makan orang, juga ada manusia yang makan manusia." "Kutahu, antara lain juga termasuk dirimu." 'Dan apakah kau tahu di dunia ini masih ada barang Iain yang juga bisa makan manusia?" "Apa?" tanya Siau-hong. "Pohon," jawab Tokko Bi. "Ada pohon yang suka makan manusia. Orang yang tersesat, apabila masuk ke hutan demikian, segera akan dimakan oleh pohon jenis ini dan selamanya jangan harap akan bisa keluar lagi dengan hidup." Kini sudah dekat lohor, namun suasana sekitar situ tetap remang kelabu. Pepohonan raksasa yang rindang dengan rawa penuh daun kering berbau busuk, pada hakikatnya tak ada jalan yang dapat dilalui. Jika benar di dunia ini ada pohon pemakan manusia, maka jenis pohon ini pasti terdapat di sini. Akhirnya Siau-hong memutar balik dan menatap wajah si kakek dengan tajam, katanya, "Jadi kau kenal jalan di sini" Kau yakin dapat keluar?" Tokko Bi tertawa pula, ucapnya dengan perlahan, "Aku tidak saja dapat membawamu keluar, juga dapat kubikin selamanya Sebun Jui-soat tak dapat menemukan dirimu." Siau-hong mendengus, ia tidak percaya. "Dapat kubawa dirimu ke suatu tempat, di sana biarpun Sebun Jui-soat mempunyai kepandaian setinggi langit juga tak dapat menemukan kau." Siau-hong menatapnya, tidak bergerak, tidak bersuara, tapi di kejauhan tiba-tiha ada suara orang menjengek Suara jengekan itu tadinya masih belasan tombak jumlahnya, tapi tahu-tahu sudah berada di depannya. Pendatang ini ternyata bukan Hun-yan-cu yang terkenal hebat Ginkangnya melainkan seorang yang bermuka pulih pucat. Bahkan putih seluruhnya, tangannya putih, pedangnya putih, bajunya juga seputih salju. Sudah sehari semalam mengadakan perburuan di dalam hutan yang gelap dan di rawa yang pengap ini, sikapnya ternyata masih tetap tenang, bajunya juga tetap bersih. Orangnya juga serupa pedangnya, putih bersih tidak berlepotan darah, juga tidak ada kotoran. Pada saat kemunculannya itu, tubuh Liok Siau-hong yang terasa beku itu lantas mengendur lagi. Tokko Bi tcrtawa penuh sifat mengejek, katanya, "Kau sangka dia Sebun Jui-soat, bukan?" Memang, semula Siau-hong mengira yang muncul ini ialah Sebun Jui-soat, maka ia tidak manyangkal. Pemuda ini memang mirip Sebun Jui-soat, muka yang pucat, sikap dingin dan pongah, pakaian seputih salju, bahkan gaya berdirinya juga serupa Sebun Juisoat. Meski dia jauh lebih muda daripada Sebun Jui-soat, bentuk wajahnya juga lebih halus daripada Sebun Jui-soat. tapi secara keseluruhannya dia serupa duplikat Sebun Jui-soat. "Dia she Yap bernama Koh-hong," tutur Tok-ko Bi. "'Biarpun kakek moyangnya juga tidak ada setitik hubungan apapun dengan Sebun Jui-soat, tapi dia kelihatannya justru seperti anak Sebun Jui-soat." Siau-hong tertawa geli, "Ya, memang sangat mirip." "Apakah kau tahu mengapa dia bisa berubah menjadi begini?" tanya Tokko Bi. Siau-hong menggeleng. Tokko Bi menjengek, "Hm, justru kalau bisa dia sangat berharap akan menjadi anak Sebun Jui-soat." "Bisa jadi dia hanya ingin menjadi Sebun Jui-soat kedua, ujar Siau-hong. "Tapi sayang, kebaikan Sebun Ju.-soat tiada setitik pun dapat ditirunya, sebaiknya ciri-cirinya justru telah lengkap ditirunya," jengek Tokko Bi. "Tapi sedikitnya ada sesuatu cin Sebun Jui-soat yang tidak dapat ditiru orang lain." ujar Siau-hong. "Pedangnya?" tanya Tokko Bi. "Bukan pedangnya, tapi kesepiannya." Kesepian. Serupa kesepian dingin salju di atas gunung di kejauhan. Seperti kesepian bintang di malam musim dingin. Hanya seorang yang benar-benar dapat merasakan kesepian semacam ini, yang rela menahan kesepian ini, barulah dia dapat mencapai tingkatan seperti apa yang telah dicapai Sebun Jui-soat. Sejak tadi Yap Koh-hong hanya menatap Liok Siau-hong dengan tajam, baru sekarang ia bersuara, jengeknya, "Hm, kau ini barang apa" Berani kau bicara tentang diriku di depanku?" Liok Siau-hong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Ia tahu Tokko Bi pasti akan mendahului menjadi juru bicaranya. Dan dugaannya memang tidak salah. Dengan tertawa Tokko Bi lantas berkata, "Dia bukan barang melainkan manusia. Jika di dunia ini ada manusia yang setimpal untuk bicara tentang Sebun Jui-soat, maka orang itu ialah dia ini." "Sebab apa?" tanya Yap Koh-hong. "Sebab dia mempunyai empat alis, juga lantaran di dunia ini cuma dia saja yang pernah tidur bersama isteri Sebun Jui-soat." "Hah, Liok Siau-hong!" Yap Koh-hong tersentak kaget "Jadi kau Liok Siau hong?" Terpaksa Siau-hong mengaku. Urat hijau pada tangan Yap Koh-hong yang memegang pedang itu tampak menonjol, jelas dia sangat emosi, jengeknya, "Seharusnya kubunuh kau dulu bagi Juisoat...." Tapi sayang, sekali ini orang yang harus kita bunuh bukan dia," mendadak seorang memotong ucapannya di atas pohon. Di tengah dedaunan yang lebat itu segera bergemersak, sesosok bayangan lantas melayang turun segesit walet berwarna jambon. Tertampaklah seraut wajah kemerahan seperti anak gadis dengan pakaian berwarna jambon yang dibuat dengan sangat serasi dengan perawakannya, ikat pinggang berwarna jambon pula dan pada pinggangnya juga tergantung sebuah kantung kulit warna jambon. Bahkan sinar matanya juga menampilkan warna jambon, serupa kebanyakan lelaki bilamana melihat anak gadis yang telanjang. Celakanya, pada waktu dia memandang Liok Siau-hong juga terpancar sikap demikian. Mendadak Siau-hong merasa muak. Namun Hun-yan-cu tidak mengacuhkan reaksi Siau-hong itu dia masih tetap tersenyum dan menatapnya, katanya kemudian dengan tersenyum, "Liok Siau-hong memang tidak malu sebagai Liok Siau-hong, tidak mengecewakan harapanku." "Oo?" melongok juga Siau-bong. "Meski saat jni tampaknya engkau tidak terlalu baik, tapi bila kuberi sebaskom air panas, sepotong sabun, supaya engkau mandi sebersihnya, habis itu engkau pasti akan menjadi seorang lelaki yang tentunya sangat menarik," dengan memicingkan mata Hun-yan-cu mengawasi Siau-hong pula, lalu menyambung, "Rasanya sekarang juga sudah dapat kubayangkan dirimu." Agaknya Siau-hong tidak merasa muak lagi, sebab sekarang yang dirasakan olehnya adalah ingin sekali jotos membikin ringsek hidung orang ini. Untunglah pada saat itu Hun-yan-cu telah berpaling ke arah Yap Koh-hong dan berkata, "Orang ini bagianku, tidak boleh kau sentuh dia." Yap Koh-hong juga merasa muak, jengeknya. "Huh. masa lelaki dan perempuan kau mau semua?" Hun-yan-cu tertawa, katanya, "Terkadang aku pun menghendaki dirimu." Muka Yap Koh-hong yang pucat berubah menghijau. "Aku pun tahu selama ini engkau sangat jemu padaku, tapi juga tidak dapat kekurangan diriku, sebab sekali ini jika tidak ada diriku, bukan saja tak dapat kau temukan rase tua itu, bahkan juga jangan harap dapat pulang dengan hidup." Ia tersenyum, lalu menyambung. "Kesatria muda dan perguruan ternama seperti dirimu ini, meski biasanya di luaran sok berlagak gagah berani, tapi bila sudah berada di tengah hutan pemakan manusia ini, mungkin dua jam saja kau tidak tahan hidup." Yap Koh-hong diam saja dan tidak menyangkal. Perlahan Hun-yan-cu menghela napas. "Maka sekarang bila kuserahkan rase tua ini kepadamu, seharusnya kau merasa puas." Tangan Yap Koh-hong menggenggam pedangnya dan berkata, "Harus kau berikan dia padaku, kau tahu aku sudah bersumpah harus membunuhnya dengan tanganku sendiri." Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Dan bagaimana dengan Liok Siau-hong?" tanya Hun-yan-cu. "Dia bagianmu, asal saja dia ...." Belum lanjut ucapan Yap Koh-hong. mendadak Tokko Bi tertawa dan berseru, "Haha, kalian keliru semua, Liok Siau-hong bukan bagiannya, juga bukan bagianmu." "Habis bagian siapa?" tanya Hun-yan-cu. "Bagianku," kata Tokko Bi. Hun-yan-cu juga bargelak tertawa, katanya, "Seumpama dia juga mempunyai hobi seperti diriku, kukira dia juga takkan menaksir dirimu." "Tapi kalau dia ingin tetap hidup, dia tentu takkan membiarkan aku mati di tangan kalian," ujar Tokko Bi. Kembali Hun-yan-cu berpaling menghadapi Liok Siau-hong dan berkata dengan suara lambut, "Asalkan engkau tidak ikut campur urusan kami, boleh juga kubiarkan hidup bagimu." Siau-hong diam saja tanpa memberi reaksi. Setelah menarik napas lagi, Hun-yan-cu berkata, "Nah, Yap-toasiauya, agaknya sekarang boleh kau turun tangan." "Baik," kata Yap Koh-hong. Bagitu bicara begitu pula pedang dilolos dari sarungnya. Kecepatannya melolos pedang tidak dapat menandingi Sebun Jui-soat, tapi juga tidak lebih lambat daripada orang lain. Jurus serangan ini merupakan intisari ilmu pedangnya. Juga serangan yang mamatikan, tanpa kenal ampun. Tokko Bi membuka mulut, ingin berteriak, tapi tidak keluar suara sedikitpun, Liok Siau-hong ternyata juga tidak merintanginya. Hun-yan-cu masih tertawa, tapi mendadak tertawanya terbeku. Tahu-tahu ujung pedang menongol keluar di dadanya, darah berhamburan. Darah Hun-yan-cu sendiri. Sungguh Hun-yan-cu tidak percaya, tapi sayang, mau tak mau dia harus percaya. Tangannya bergerak bermaksud merogoh senjata rahasia dalam kantung kulit, tapi orangnya keburu roboh terkulai. Pada ujung pedang Yap Koh-hong itu masih menitikkan darah, perlahan Yap Koh-hong meniup titik darah terakhir pada ujung pedangnya. Meniup titik darah pada ujung pedang sebenarnya adalah kebiasaan Sebun Jui-soat, tapi Yap Koh-hong telah dapat menirukan setiap gerak-gerik nya dengan sangat persis. Cuma sayang, dia bukan Sebun Jui-soat. Sorot mata Yap Koh-hong menampilkan semacam perasaan terangsang dan penuh semangat, serupa perajurit yang siap menyerbu musuh. Titik darah terakhir tadi kebetulan jatuh di atas muka Hun-yan-cu, kulit mukanya masih berkerut-kerut, biji matanya melotot besar, tapi semu merah pada wajahnya sudah lenyap. Tiba-tiba Siau-hong merasa orang ini sangat kasihan. Biasanya dia suka kasihan kepada orang yang mati tanpa mengetahui sebab-musababnya, ia tahu Hun-yan-cu pasti juga mati dengan penasaran. Darah sudah kering, pedang sudah kembali masuk sarungnya. Tiba-tiba Yap Koh-hong berpaling dan melototi Tokko Bi. Tokko Bi juga sedang melototi Yap Koh-hong dengan pandangan heran dan curiga. "Tentunya tak terpikir olehmu mengapa kubunuh dia. bukan?" jengek Yap Koh-hong. Tokko Bi memang tidak pernah menyangka. Siapapun tidak pernah menduga. "Kubunuh dia hanya lantaran dia hendak membunuhmu," kata Yap Koh-hong pula. "Kedatanganmu bukan untuk membunuhku?" tanya Tokko Bi. "Bukan," jawab Yap Koh-hong. Tokko Bi tambah tercengang. "Namun sebenarnya kau...." "Sebenarnya aku memang sudah bertekad akan membinasakan dirimu di bawah pedangku." tukas Yap Koh-hong. "Dan mengapa sekarang berubah pikiranmu?" "Sebab kutahu engkau bukan lagi orang hidup." Ucapan ini sangat aneh dan tidak dimengerti oleh orang lain. Tapi Tokko Bi tampaknya paham malah, ia menghela napas dan berkata, "Apakah kau pun orang Sanceng (perkampungan)?" "Tak kau sangka bukan?" Tokko Bi mengaku, "Ya, mimpi pun tak terpikir olehku." Sorot mata Yap Koh-hong menampilkan senyuman mengejek, katanya pula dengan perlahan, "Dengan sendirinya tak tersangka olehmu. Ada sementara orang sama sekali tidak pernah terpikir apa yang akan dilakukannya sendiri." Tokko Bi juga menghela napas gegetun, "Orang dalam San-ceng sana sungguh sangat aneh, seperti selamanya tak dimengerti oleh orang lain." "Justru lantaran itulah, maka dia sampai saat ini masih tetap ada," ujar Yap Koh-hong. Perlahan Tokko Bi mangangguk, mendadak ia membelokkan pokok pembicaraan, tanyanya, "Eh, pernah kau lihat cara turun tangan Liok Siau-hong?" "Tidak pernah," jawab Yap Koh-hong. "Apakah kau tahu betapa tinggi ilmu silatnya?" "Tidak tahu." "Betapa banyak pengetahuanmu terhadap orang ini?" "Kau tahu, dia pernah menyambut jurus serangan Thian-gwa-hui-sian andalan Pek-in-sengcu." "Tapi sekarang dia telah dilukai oleh pedang Sebun Jui-soat." "Ya, dapat kulihat," kata Yap Koh-hong, "Sekarang ingin kutanya lagi padamu, hendaknya kau pikirkan secara mendalam baru memberi jawaban." Mendadak sikap Tokko Bi barubah sangat kereng, lalu menyambung sekata demi sekata, "Sekarang adakah keyakinanmu akan dapat membunuh dia?" Yap Koh-hong diam saja, matanya kembali menampilkan senyuman mengejek, urat hijau juga timbul pada dahinya, selang agak lama barulah ia menjawab dengan perlahan. "Aku bukan Sebun Jui-soat." Tokko Bi memandanginya sekian lama, kemudian barulah ia berpaling ke arah Liok Siau-hong. Sama sekali Liok Siau-hong tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, apa yang diperbincangkan mereka tadi seakan-akan sama sekali tidak dimengerti olehnya. Tiba-tiba Tokko Bi tcrtawa dan berucap, 'Tadi engkau tidak turun tangan menyelamatkan diriku." Siau-hong diam saja. "Sekarang aku pun tidak bermaksud membunuhmu, sebab kami tidak yakin mampu membunuhmu," kata Tokko Bi pula. Akhirnya Siau-hong membuka mulut, "Tapi jalan yang kita tempuh tadi rasanya lama." "Segala urusan di dunia ini laksana awan di angkasa, setiap saat bisa mengalami berbagai perubahan, apalagi antara kita berdua?" "Ehm, betul juga," Siau-hong manggut-manggut. "Maka sekarang biarlah kau tetap kau dan aku tetap aku, lebih baik kau pergi menuju ke jalanmu sendiri saja." "Kukira kurang baik," sahut Siau-hong. "Kurang baik?" "Ya, sebab jalan yang kutempuh pasti tetap jalan tadi, jalan kematian." Tokko Bi tertawa, katanya, "Itu kan urusanmu sendiri." "Dan kau?" tanya Siau-hong. "Dengan sendirinya ada jalanku sendiri yang akan kutempuh." "Jalan apa" Jalan menuju ke San-ceng?" Tokko Bi menarik muka, jengeknya, "Jika sudah kau denga: untuk apa pula bertanya?" Tapi Liok Siau-hong justru bertanya lagi, "San-ceng apa yang hendak kau tuju?" "San-ceng yang tidak dapat kau datangi," jawab Tokko Bi. "Mengapa tidak dapat kudatangi?" "Sebab kau bukan orang mati." "Hanya orang mati yang boleh datang ke San-ceng sana. Tokko Bi mengiakan. "Kau sendiri orang mati?" tanya Siau-hong. Kembali Tokko Bi membenarkan. Siau-hong tertawa, katanya. "Baiklah, boleh kalian berangkat." Dengan tersenyum ia melambaikan tangannya dan berkata pula. "Jika aku tidak ingin pergi ke perkampungan orang mati, juga tidak mau menjadi orang mati, asalkan tetap hidup, biarpun hidup lebih lama setengah jam saja kan Iebih baik." Dia terus melangkah pergi dengan gagah, hanya sekejap saja sudah menghilang di tengah remang kelabu hutan lebat itu. Setelah bayangannya menghilang barulah Tokko Bi berteriak, "He, benar-benar kau biarkan dia pergi?" "Dia memang sudah pergi," ujar Yap Koh-hong. "Kau tidak kuatir dia akan membocorkan rahasia San-ceng?" "Rahasia yang diketahuinya tidak banyak, apalagi dalam keadaan demikian, mungkin sekali dia memang tidak dapat hidup lebih lama daripada setengah jam lagi." "Yang jelas sekarang dia kan tidak mati, malahan dapat menguntit kita sacara diam-diam." "Kita hendak pergi kemana?" tanya Yap Koh-hong tiba-tiba. "Dengan sendirinya ke San-ceng." jawab Tokko Bi. "Salah," jengek Yap Koh-hong. "Bukan kita, tapi kau sendiri yang pergi." "Kau tidak pergi?" tanya Tokko Bi. 'Mengapa aku harus pergi ke sana?" jawab Yap Koh-hong dengan tak acuh. Air muka Tokko Bi seketika berubah. "Kutahu engkau dan pihak San-ceng ada perjanjian, dengan sendirinya (ak dapat kubunuh dirimu, tapi aku pun tidak bilang hendak membawamu ke sana." Air muka Tokko Bi tampak berkerut-kerut, ucapnya dengan gemetar, "Tapi kan dapat kau lihat selangkah pun aku tidak sanggup berjalan lagi." "Itu kan urusanmu sendiri," jengek Yap Koh-hong. Memangnya apa sangkut-pautnya denganku?" Mendadak ia melolos pedang lagi dan menabas seranting daun pohon dan digunakan sebagai alas tempat duduk, lalu ia duduk bersila di situ. Dengan gemas Tokko Bi manatapnya, akhirnya ia tidak tahan dan bertanya pula, "Mengapa engkau tidak pergi?" "Mengapa aku harus pergi?" jawab Yap Koh-hong dengan adem-ayem. "Apakah hendak kau tunggu kematianku?" "Boleh kau mati dengan perlahan, aku tidak tergesa-gesa," jawab Yap Koh-hong. . Dia bersikap sangat tenang dan santai, malahan dia lantas mengeluarkan sepotong daging rebus yang dibungkus dengan kertas minyak, juga terdapat sebotol arak. Bagi seorang kakek yang telah bergulat dengan kehausan dan kelaparan selama 36 jam, bau arak dan daging bukan lagi merangsang melainkan semacam siksaan. Sebab dia hanya dapat memandang saja, dan bau sedap itu serupa jarum tajam yang menusuknya sehingga membuatnya gemetar. Seperti sengaja mengiming-iming, perlahan Yap Koh-hong meneguk araknya, lalu menghela napas puas, katanya, "Kutahu hatimu tentu lagi menyesal mengapa tadi tidak membiarkan Liok Siau-hong pergi. Tapi ada satu hal yang jelas tidak kau ketahui." Tokko Bi memang ingin memencarkan perhatiannya terhadap arak dan daging dengan berbicara, maka segera ia bertanya, "Hal apa?" "Sebabnya tidak kubunuh Liok Siau-hong bukan lantaran aku tidak yakin mampu membunuhnya, tapi sengaja kubiarkan dia mati di tangan Sebun Jui-soat." "Oo!" Tokko Bi bersuara singkat. "Tapi sekarang bila dia berani datang lagi, sekali pedangku terlolos pasti darahnya akan berhamburan." ucap Yap Koh-hong dengan angkuh. Untuk menghilangkan rasa lapar dan hausnya, Tokko Bi berusaha memencarkan perasaan itu dengan berbicara, maka ia berkata pula "Apakah maksudmu di dunia ini tidak ada orang yang mampu menyelamatkan diriku lagi, juga tidak ada yang sanggup menolong Liok Siau-hong keluar-dan hutan maut inir' "Ya, pasti tidak ada," jawab Yap Koh-hong. Siapa duga, baru selesai ia bicara, mendadak ada tangan terjulur dari balik pohon dan merampas botol arak yang dipegangnya. Reaksi Yap Ko-hong tidak lambat, begitu tangan tertarik kembali, serentak ia pun sudah berada di belakang pohon. Tapi di belakang pohon ternyata tidak ada seorang pun. Waktu ia kembali lagi ke tempat semula, terlihat botol arak sudah berada di tangan Tokko Bi dan sudah hampir tertenggak habis isinya. Daging rebus yang terbungkus keras minyak tadi sekarang juga sudah lenyap. Keruan Yap Koh-hong melongo dan tidak berani bergerak lagi, napas pun seakanakan berhenti, hutan yang remang kelabu sunyi bagai kuburan. Sampai angin pun berhenti meniup, tapi dari atas pohon tiba-tiba melayang turun sehelai benda. Secepat kilat Yap Koh-hong melolos pedang dan menusuk tembus benda itu. Ternyata kertas minyak pembungkus daging tadi yang tersunduk pada ujung pedangnya. Tokko Bi tertawa, bergelak tertawa sehingga air mata pun tercucur keluar. Tapi Yap Koh-hong seperti tidak mendengar, mukanya tampak pucat menghijau, perlahan ia tanggalkan kertas minyak itu. "Kertas itu tak berdarah, apa yang hendak kau tiup?" ejek Tokko Bi karena orang sok meniru gaya Sebun Jui-soat. Yap Koh-hong lelap berlagak tidak mendengar, sekali berkelebat pedang sudah kembali ke sarungnya. Kemudian ilia duduk kembali di tempat tadi, ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan satu lipatan kertas, dengan sebatang jarum in paku lipatan kertas pada batang pohon di belakangnya, lulu menjengek. "Inilah peta terperinci cara bagamana keluar dari hilian atau masuk ke gunung sirna, barang siapa mampu boleh silakan ambil sekalian!" Dia lelap duduk membelakangi pohon, duduk tanpa hei gerak, bahkan mata pun terpejam sehingga serupa pcriapa vane sivl:in? bersemedi. Suara tertawa Tokko Bi juga berhenti, rnatanya terbelalak me mandangi lipatan kertas yang terpaku di pohon itu. Ia tahu inilah umpan Yap Koh-hong untuk memancing ikan. Kungfu Bu-tong-pay terhitung kelas utama sejajar dengan Siau-lim-pay, sejak berumur empat tahun Yap Koh-hong sudah masuk perguruan Bu-tong, maka Lwekangnya jelas sudah mencapai tingkatan yang top. Sekarang ia memusatkan segenap tenaga dan pikirannya, meski mata terpejam, namun setiap gerak-gerik beberapa tombak di sekitarnya, biarpun suara jatuhnya sehelai daun kering pun tak terhindar dari mata telinganya. Jadi umpan sudah diaturnya dengan baik, tapi dimana ikannya" Apakah ikan itu mau terpancing" Seketika napas Tokko Bi seakan-akan berhenti waktu dilihatnya sebuah tangan terjulur perlahan dari balik pohon. Gerak tangan ini sangat enteng, cepat dan lincah, begitu tangan terjulur segera lipatan kertas yang terpaku di batang pohon disentuhnya. Tapi pada saat itu juga, kembali sinar pedang berkelebat secepat kilat "cret", ujung pedang menancap di pohon, tangan itu terpantek tepat di batang pohon. Air muka Tokko Bi berubah pucat, air muka Yap Ko-hong juga berubah, tapi perubahan air muka kedua orang mempunyai cita rasa yang berbeda. Tokko Bi tidak melihat darah. Tangan bukan kertas, mengapa tak berdarah" Maka dapatlah Tokko Bi menghela napas lega, sebab sekarang dapat dilihatnya dengan jelas tangan itu tidak terpantek oleh ujung pedang, sebaliknya ujung pedang yang terjepit oleh jari tangan itu. Terjepit oleh kedua jari saja. Air muka Yap Koh-hong yang pucat mendadak berubah merah, dengan butiran keringat memenuhi dahinya ia telah menarik pedang sekuat tenaganya, namun pedang itu serupa terjepit oleh tanggam yang maha kuat, sedikit pun tidak bergeming. Jari tangan siapakah itu" Jari tangan siapa yang memiliki kekuatan gaib sehebat itu" Siapa lagi" Dengan sendirinya tuma Liok Siau-hong saja. Senyuman menghiasi wajah Tokko Bi pula, ucapnya, "Pedangmu sudah keluar pula dari sarungnya, tapi tampaknya seperti tidak memercikkan darah?" Yap Koh-hong menjadi nekat, mendadak ia lepaskan pedangnya terus melompat ke belakang pohon. Sekali ini terlihat Liok Siau-hong berdiri di belakang pohon dan sedang memandangnya dengan tertawa, pada tangannya masih memegang pedangnya, memegang pedangnya dengan jepitan dua jari pada ujung pedang itu. "Tanpa menggunakan pedang juga dapat kubunuh kau," jengek Yap Koh-hong. "Tapi pedang ini punyamu dan tetap akan kukembalikan padamu," ujar Siau-hong dengan tersenyum. Segera Yap Koh-hong turun tangan, yang digunakan adalah ilmu pukulan lunak. 'Bian-ciang' yang terkenal dari Bu-tong-pay, diselingi pula dengan kungfu mencengkeram dan menangkap, kungfu bertangan kosong menghadapi lawan yang bersenjata, kelima jarinya melengkung serupa kaitan baja. Siapa tahu Siau-hong benar-benar menyodorkan pedang padanya, ujung pedang tetap terjepit oleh jarinya, tangkai pedang yang diangsurkan. Tanpa terasa Yap Koh-hong menjulurkan tangan untuk memegang, tapi air mukanya lantas berubah ketika dirasakan darah merembes keluar dari genggamannya. Padahal yang disodorkan Liok Siau-hong barusan jelas-jelas tangkai pedangnya, tahu-tahu yang terpegang olehnya justru ujung pedang yang tajam. Sampai cara bagaimana Liok Siau-hong bergerak juga tidak terlihat olehnya. "Ini kan pedangmu sendiri dan tidak ada orang yang hendak merampasnya, mengapa Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kau pegang sekuat itu?" ucap Siau-hong dengan tcrtawa. Wajah Yap Koh-hong pucat seperti mayat, tiba-tiba ia bertanya, "Perlu beberapa jurus serangan baru Sebun Jui-soat dapat melukaimu?" "Satu jurus," jawab Siau-hong menegas. "Masa tidak dapat kau sambut satu jurus serangnya?" Yap Koh-hong menegas. Siau-hong hanya tersenyum getir saja tanpa menjawab. "Apakah waktu itu kau mabuk?" tanya Yap Koh-hong pula Siau-hong menggeleng. "Apakah betul satu jurus saja tidak mampu kau elakkanr kembali Yap Koh-hong menegas. Siau-hong menghela napas, "Kau tahu, kau pernah melihat caranya turun tangan, akan tetapi orang yang menonton di samping selamanya tetap udak paham betapa cepat serangannya." Yap Koh-hong menunduk dan memandang tangan sendiri, tangan yang masih mengucurkan darah, ujung pedang yang dipegangnya tidak dilepaskannya, dari ujung pedang juga meneteskan darah dan menetes terus .... Mendadak ia menghela napas panjang, dengan ujung pedang yang dipegangnya itu ia tikam hulu hati sendiri. Seketika helaan napas terhenti dan mata mendelik. Melengak juga Liok Siau-hong, "Tidak ada maksudku hendak kubunuh dirimu, buat apa engkau bertindak begini?" Keringat memenuhi wajah Yap Koh-hong vang pucal itu, napasnya juga mulai memburu, ucapnya sekuat tenaga, "Selama 20 tahun aku belajar ilmu pedang, kuyakin tidak ada tandingannya di dunia. Mestinya sudah kutantang Sebun Jui-soat untuk bertanding di puncak Cikim-tian pada waktu lohor hari Toan-yang nanti." "Waktu lohor hari Toan-yang tahun ini?" Siau-hong menegas. "Ya," jawab Yap Kohhong lemah, "Meski aku tidak yakin akan menang, tapi aku percaya sanggup menempurnya. Tapi setelah bertemu denganmu barulah kusadari biarpun aku belajar 20 tahun lagi juga tetap bukan tandingannya ...." Bicara sampai sini, dia terbatuk-batuk tiada hentinya, namun maksudnya sudah jelas diketahui Liok Siau-hong. Maklumlah, apabila tiba pada hari Toan-yang sebagaimana di-janjikannya, kalau tidak hadir, tentu malu bertemu dengan kawan Kangouw, jika hadir, jelas juga akan keok. Sebab tiba-tiba ia menyadari ilmu pedang sendiri, selisih sangat jauh dengan Sebun Jui-soat. Kalau satu jurus serangan Sebun Jui-soat saja tak mampu dielakkan oleh Liok Siau-hong, sedangkan sekarang dia mati kutu menghadapi Liok Siau-hong, maka jarak antara ilmu pedangnya dengan Sebun Jui-soat jelas teramat jauh. Maka tantangannya terhadap Sebun Jui-soat tiada ubahnya mendatangkan aib baginya, bagi pandangannya, aib demikian jauh lebih besar daripada isterinya dihina orang. Sorot mata Siau-hong menampilkan rasa kasihan, katanya, "Dan kau mati hanya lantaran urusan sepele ini?" Yap Koh-hong mengangguk lemah. Siau-hong menghela napas perlahan, tiba-tiba ia mendekati Yap Koh-hong dan berbisik beberapa patah kata padanya. Mendadak kulit muka Yap Koh-hong berkerut-kerut seperti mengejang, sinar matanya menampilkan lagi semacam perasaan yang sukar dimengerti oleh siapapun, ia tatap Siau-hong dengan bingung, lalu ambruklah dia. Anehnya, sesudah roboh, pada ujung mulutnya menampilkan lagi secercah senyuman. Pedang benda mati, manusia gugur dan pedang tetap hidup. Siau-hong menggeleng dan menghela napas memandang pedang tak kenal ampun itu. Bab 3. Hutan Pemakan Manusia, permulaan ke Perkampungan Hantu Published by Hiu_Khu on 2008/1/1 (367 reads) Buron tidak pernah berhenti. Kegelapan tiba pula. Dalam kegelapan hanya terdengar dengus napas dua orang. Waktu suara dengusan berhenti, orangnya juga roboh terkulai. Tidak peduli apakah tanah di situ kering atau lembab, sama sekali tidak ada hak pilih lagi bagi mereka.. Selangkah pun mereka tidak sanggup lari lagi, biarpun tenggorokan terancam pedang Sebun Jui-soat juga tetap rebah. Dipandang dalam kegelapan, pada setiap beberapa pohon selalu ada gemerdepnya setitik sinar bintang. Cahaya kerlipan fosfor itu sangat lemah, biarpun dalam kege lapan pekat juga perlu diperhatikan benar-benar baru dapat melihatnya. Dan bila ada sedikit cahaya terang saja kerlip fosfor itu segera akan lenyap. "Apakah kita dapat keluar dengan mengikuti kerlip fosfor itu?"Siau-hong bertanya. "Ehm." "Kau yakin?" "Ehm." Meski keletihan setengah mati sehingga malas untuk bicara, terpaksa Tokko Bi harus menjawab juga, sebab ia tahu Liok Siau-hong pasti akan terus bertanya. "Ya, kuyakin pasti," katanya dengan napas terengah. "Sebab asalkan sudah kau ikat perjanjian dengan mereka, maka tidak nanti mereka mengkhianati dirimu." "Mereka itu siapa?" Siau-hong lantas bertanya lagi. "Apakah kau maksudkan orang di San-ceng sana?" "Ehmm," kembali Tokko Bi bersuara perlahan. "San-ceng apa" Dimana letaknya?" Siau-hong masih terus bertanya. "Ada ikatan perjanjian apa antara kalian?" Tokko Bi tidak menjawab, dari suara napasnya agaknya dia telah tertidur. Apakah dia tidur atau tidak, jelas ia telah mengambil keputusan takkan menjawab lagi pertanyaan Siau-hong. Agaknya Siau-hong juga merasa dirinya sudah bertanya terlalu banyak, ia lantas tutup mulut juga, malahan ingin tutup mata untuk tidur senyenyaknya. Tapi dia justru tidak dapat tidur. Kerlip sinar fosfor di kejauhan itu tiba-tiba dirasakan sebentar jauh sebentar dekat. Agaknya matanya juga sedemikian letih sehingga jarak dekat atau jauh tak dapat lagi dibedakannya. Tapi mengapa dia sukar pulas" Maklumlah pikirannya sedang bekerja keras. Hanya dalam kegelapan mutlak saja baru dapat membedakan tanda petunjuk jalan ini. Jika menggunakan obor, kerlip sinar fosfor akan hilang. Pada siang hari lebih-lebih tak tertampak. Unluk hal ini mungkin juga tak pernah terpikir oleh Sebun Jui-soat, maka dengan sendirinya ia pun takkan menempuh perjalanan dalam kegelapan mutlak begini. " Agaknya penghuni San-ceng atau perkampungan gunung sana sangat cerdik, setiap perencanaan mereka sudah terpikir secara rapi dan sangat bagus. " Apakah Tokko Bi benar-benar akan membawaku ke San-ceng sana" " Dia ada ikatan perjanjian dengan mereka dan aku tidak ada, setibaku di sana, apakah mereka mau menerima diriku" " Apakah di sana benar-benar suatu tempat yang aman dan terahasia sehingga Sebun Jui-soat sekalipun sukar menemukannya" " Mengapa tempat ini hanya boleh didatangi oleh 'orang mati'" Siau-hong tidak bisa pulas, sebab terlalu banyak pertanyaan yang sukar terjawab, semuanya merupakan teka-teki. Sampai kapan baru teka-teki ini dapat dipecahkan" Kegelapan yang mutlak juga ketenteraman yang mutlak. Napas Tokko Bi perlahan juga berubah menjadi tenang dan teratur, didengarkan dalam kegelapan jadinya serupa musik saja. Siau-hong mendengarkan sekian lamanya, ia merasa geli bila membayangkan dengkur Tokko Bi yang serupa nyanyian pada masa kecilnya dahulu. Ia merasa geli, tapi dia tidak sempat tertawa, sebab pada saat itu juga, dalam kegelapan mendadak bergema suara jeritan ngeri, menyusul lantas "bluk", tubuh seorang yang mencelat ke atas terbanting dengan keras di atas tanah lumpur "Siapa?" tegur Siau hong tanpa terasa. Tidak ada jawaban orang, selang agak lama baru terdengar suara rintihan Tokko Bi dalam kegelapan sana, agaknya terluka. Siapakah yang menyerangnya dalam kegelapan" Berdebar hebat jantung Siau hong, kerongkongan terasa kering, tangan basah berkeringat dingin. Maklumlah, dalam kegelapan pekat ini dia tidak dapat melihat apapun. Selang sekian lama pula baru terdengar keluhan Tokko Bi yang lemah, "Ada ... ada ular berbisa." Siau hong menghela napas lega, tanyanya., "Darimana kau tahu ada ular?" "Tempat yang tergigit ini tidak merasakan sakit, tapi kaku pegal, tutur Tokko Bi. "Di bagian mana lukamu?" tanya Siau Hong. "Pundak kiri," jawab Tokko Bi. Siau hong merayap ke sana dan menemukan pundak kirinya, dirobeknya baju orang, segera jarinya merasakan bagian yang bengkak itu, cepat ia pentang mulut dan mengisapnya dengan kuat tempat luka itu, sampai Tokko Bi berteriak tak tahan barulah berhenti. "Dapat kau rasakan sakit?" tanya Siau-hong. "Ehm," rintih Tokko Bi. Kalau dapat merasakan sakit berarti bisa ular pada lukanya sudah terisap keluar seluruhnya. Kembali Siau-hong menghela napas lega, katanya, "Jika masih bisa tidur, boleh tidur lagi. Kalau tidak, duduk saja sebentar, tidak lama lagi fajar akan tiba." Tokko Bi merintih kesakitan pula sampai sekian lama, tiba-tiba ia berkata, "Mestinya kau tidak perlu berbuat begini padaku." "Oo"!" Siau-hong ingin mendengarkan lebih lanjut. "Setelah kau tahu jalan keluarnya sekarang, mengapa tidak kau tinggalkan saja diriku?" Siau-hong termenung hingga lama baru menjawab, "Bisa jadi lantaran engkau masih dapat tertawa." Tokko Bi tidak mengerti. Perlahan Siau-hong menyambung pula, "Sebab kurasakan, seseorang kalau masih bisa tertawa, maka dia tak dapat dianggap seorang yang tidak mau kenal sanak famili lagi." Waktu fajar menyingsing, sinar fosfor petunjuk jalan itupun lenyap. Dekat fajar tiba dapatlah Siau-hong istirahat sejenak. Ada sementara orang mempunyai kekuatan yang serupa api di padang Malang, setiap saat dapat berkobar dengan hebatnya, dan Liok Siau-hong adalah manusia jenis ini. Sekali ini, sebelum kekuatan yang mulai berkobar lagi terkuras habis, segera diketahuinya bahwa mereka sudah menembus hutan pemakan manusia itu. Tertampaklah langit yang luas, sang surya baru terbit dari balik gunung di kejauhan sana, angin meniup sejuk membawa bau harum dedaunan yang baru bersemi, butiran embun masih menghiasi kelopak serupa mutiara. Siau-hong kucek-kucek mata sendiri, ia hampir tidak percaya kepada kenyataan ini. Sungguh keajaiban seakan-akan dalam mimpi. Tokko Bi yang mendekam di atas punggung Siau-hong juga berubah menjadi lebih segar. Tiba-tiba ia bertanya, "Di depan sana bukankah ada sebatang pohon cemara tua?" Waktu Siau-hong memandang ke sana, memang betul, ada pohon cemara tua satusatunya tumbuh di depan batu karang, jauh terpisah dari hutan lebat, seakan-akan tidak sudi tercampur dengan pepohonan yang bernilai rendah itu. "Bukankah di bawah pohon cemara ada sepotong batu hijau besar?" Tokko Bi bertanya pula. Betul juga, ada sepotong batu hijau sebesar meja, rata dan licin permukaan batu serupa pahatan. Siau-hong mendekat ke sana dan berduduk di atas batu sambil menurunkan orang yang digendongnya, sambil menghela napas lega ia berkata, "Akhirnya kita lolos juga dengan selamat." Dengan napas terengah Tokko Bi berkata, "Cuma sayang, tempat ini masih belum terhitung tempat yang aman." "Betapapun aku tidak jadi mangsa pohon pemakan manusia itu," ucap Siau-hong pula. "Namun sayang setiap saat engkau masih dapat mati di bawah pedang Sebun Juisoat," kata Tokko Bi. Siau-hong menyengir, "Apakah tak dapat kau gunakan beberapa kata yang menyenangkan hatiku?" Tokko Bi tertawa, "Aku cuma ing.n memberitahukan sesuatu padamu. Siau-hong siap mendengarkan. "Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang yang dapat menyelamatkan dirimu, tapi engkau telah menyelamatkan dirimu sendiri." "Oo"!" Siau-hong melengak. "Tadi waktu kau tolong diriku, sekaligus juga telah menolong dirimu sendiri." "Maksudmu, semula tidak ada niatmu hendak membawaku ke San-ceng itu?" Tokko Bi mengangguk, katanya, "Ya, tapi sekarang sudah berubah pendirianku. Sebab biarpun aku biasanya tidak mau tahu sanak famili, aku toh tetap manusia yang berperasaan." Ia menatap Siau-hong lekat-lekat, sorot matanya tajam bersifat licik itu tibatiba berubah menjadi lembut, ucapnya, "Dalam keadaan begitu engkau tidak mau meninggalkan diriku, dengan sendirinya sekarang aku pun tidak dapat meninggalkan dirimu." Maka tertawalah Siau-hong. Betapapun manusia tetap mempunyai sifat kemanusiaan. Sifat manusia mempunyai sisinya yang bajik, terhadap ini selamanya Siau-hong percaya penuh. Di bawah pohon masih ada sepotong batu hijau yang lebih kecil, Tokko Bi berkata pula, "Coba pindahkan batu itu. bukankah di bawahnya ada sebuah peti." Siau-hong mengejarkan apa yang disebutkan. Memang benar, di situ ada sebuah peti anyaman rotan, di dalam peti ada sepotong daging rebus, seekor ayam panggang, sebotol arak, sebungkus obat luka dan sebuah sempritan serta sepucuk surat. Bentuk sempritan sangat aneh, kertas surat dan warna sampul surat juga istimewa, tampaknya serupa kulit orang mati. Surat itu hanya tertulis sepuluh huruf yang berbunyi: "Tiup sempritan, dengarkan gemanya dan ikuti menurut suaranya'. Siau-hong minum seceguk arak itu, lalu memuji. "Ehm, arak sedap! Tampaknya cara berpikir orang-orang ini sangat cermat "Cara bekerja mereka bukan saja dengan perencanaan yang rapi, bahkan nama mereka juga dipercaya," tutur Tokko Bi. "Asalkan sudah kau teken kontrak dengan mereka, pasti mereka akan bertanggungjawab mengantarmu ke San-ceng." "Kontrak apa"'" tanya Siau-hong. "Kontrak menyelamatkan jiwa," tutur Tokko Bi. Sekali ini dia tak mengelakkan pertanyaan orang, maka Siau-hong bertanya pula, "San-ceng apa namanya?" "Yu-leng-san-ceng," jawab Tokko Bi. Yu-leng-san-ceng! Perkampungan Hantu! Hanya orang mati yang pergi ke tempat begitu. Siau-hong merasa seram, ia coba bertanya pula, "Memangnya tempat itu hanya dihuni arwah orang mati saja?" Tokko Bi tertawa misterius, jawabnya perlahan, "Justru lantaran tempat itu seluruhnya dihuni arwah orang mati, makanya tiada seorang hidup pun dapat menemukannya, juga tidak ada seorang hidup pun berani menerjang ke sana." "Dan kau?" tanya Siau-hong. Tawa Tokko Bi bertambah misterius, ucapnya tenang, "Kalau aku sudah menuju kematian, dengan sendirinya tidak bisa lain daripada mati." "Jika tiada jalan lain daripada mati, dengan sendirinya kau terhitung orang mati," tukas Siau-hong. "Rupanya sekarang baru jelas bagimu." "Tidak, aku tidak jelas, sedikitpun tidak mengerti," ujar Siau-hong. Sempritan itu berada pada tangannya, ia coba memandangnya dun meniupnya perlahan, mendadak bergema suara melengking tajam yang aneh, sampai dia berjingkrat kaget Pada saat itulah, dan kejauhan lantas berkumandang suara sempritan yang serupa, berkumandang dari arah barat tepat. Di pegunungan sunyi, untuk membedakan suara sempalan tidaklah sulit, segera mereka menuju ke arah suara sempritan itu makin jauh makin meninggi, di sekeliling penuh gumpalan awan sehingga akhirnya mereka berada di tengah awan belaka Setelah minum arak dan makan ayam panggang, Siau-hong merasa penuh semangat dan tenaga, betapa jauh perjalanan itu sanggup didatanginya. Tetapi keadaan Tokko Bi makin lama makin payah, sampai Siau-hong pun dapat mencium busuk dari lukanya. Namun Siau-hong tidak memusingkannya. "Sebun Jui-soat kan bukan orang tuli?" gumam Tokko Bi. "Tentu saja tidak tuli," kata Siau-hong. "Dan dengan sendirinya ia pun dapat mendengar suara sempritan tadi." "Pasti." Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Makanya setiap saat dia dapat menyusul kemari." "Sangat mungkin." "Sekarang setelah kutahu cara orang menuju ke perkampungan gunung sana kan lebih baik kau tinggalkan diriku saja," ucap Tokko Bi. Karena sakitnya, kulit mukanya berkerut-kerut alias meringis. "Betapapun berjalan sendirian tentu akan lebih cepat dari-pada menggendong diriku. Apalagi, jelas aku tidak berguna lagi, seumpama dapat mencapai tempat tujuan juga takkan hidup lama lagi." Dia bicara dengan hati tulus ikhlas, namun Siau-hong seolan-olah tidak mendengar. Dia berjalan dengan lebih cepat, gumpalan awan kini sudah mengembang di bawah kakinya, mendadak pandangannya terbeliak. Langit cerah di depan sana, gunung menghijau bagai lukisan di kejauhan. Tenggelam hati Siau Hong, tertekan sekali. Ternyata di depannya adalah sebuah jurang yang tak terperikan dalamnya. Pegunungan yang serupa lukisan di kejauhan itu tertampak jelas, namun dia sudah menghadapi jalan buntu. la coba menjemput sepotong batu dan dilemparkan ke bawah. ternyata tiada terdengar gema suara apapun. Di bawah penuh gumpalan awan dan tidak ada apa-apa, bahkan arwah orang mati juga tidak terlihat. Memangnya Yu-leng-san-ceng (perkampungan arwah orang mati) itu terletak di bawah jurang yang tak terkirakan dalamnya ini" Siau-hong tersenyum getir, gumamnya, "Bilamana ingin menuju ke Yu-Ieng-san-ceng, tampaknya juga bukan pekerjaan yang sulit, asalkan kau terjun ke bawah, tanggung akan menjadi orang mati, dan tiba di tempat tujuan." Tiba-tiba Tokko Bi berucap dengan terputus-putus, "Coba ... coba tiup sempritan lagi." Siau-hong menurut. Suara sempritan yang melengking tinggi itu memecahkan kesunyian puncak gunung dan juga menembus awan. Mendadak di tengah lautan awan muncul satu orang. Karena di atas langit penuh awan dan di bawah jurang juga diliputi awan, maka orang ini menjadi serupa berdiri terapung di tengah awan. Orang apakah yang dapat berdiri terapung di tengah awan" Orang mati" Arwah orang mati" Siau-hong menarik napas dingin, tiba-tiba dilihatnya orang ini sedang bergeser, bahkan bergerak dengan sangat cepat seperti meluncur di atas awan, hanya sekejap saja warna bajunya sudah dapat dibedakan, raut wajahnya juga sudah terlihat jelas. Namun orang ini pada hakikatnya tidak punya raut wajah, mukanya rata serupa dipotong oleh senjata tajam. Orang yang tidak pernah menyaksikan sendiri pasti tidak pernah membayangkan ada wajah semacam ini. Nyali Liok Siau-hong tidak kecil, tapi demi melihat muka yang istimewa ini. kaki pun terasa lemas, hampir saja ia jatuh terjerumus kc dalam jurang. Ia pun dapat merasakan Tokko Bi yang digendongnya itu sedang gemetar, sementara itu orang aneh sudah sampai di depan mereka. Cepat amat dalangnya. Meski orang ini sudah melayang kc atas puncak, tapi gerak lu-buh orang ini tampak begitu enteng, cara berjalannya seolah-olah mengapung di permukaan tanah. Selama ini Liok Siau-hong yakin tokoh dunia Kangouw yang mempunyai Ginkang paling tinggi hanya ada tiga orang, yaitu Sukong Ti-seng, Sebun Jui-soat dan dia sendiri. Tapi sekarang baru diketahui pendiriannya itu ternyata keliru. Betapa aneh Ginkang orang ini serupa dengan mukanya yang aneh, kecuali menyaksikan sendiri, kalau tidak, sungguh sukar untuk dibayangkan. Sekarang orang itu pun sedang menatap Liok Siau-hong dengan tajam, kedua matanya tampak merah mencorong serupa lahar yang baru tersembur keluar dari gunung berapi, panas dan berbahaya. Menghadapi orang semacam ini. sungguh Siau-hong tidak tahu apa yang harus diucapkan. Tapi Tokko Bi lantas menegur malah, "Apakah engkau Kau-hun-sucia dari Yu-lcngsan-ceng?" Ketika diketahui orang aneh itu mengangguk. Tokko Bi lantas menyambung, "Namaku Tokko Bi, arwahku sekarang sudah datang!" Akhirnya orang itu buka mulut. "Kutahu, kutahu engkau akan datang." Cara bicaranya sangat perlahan, suaranya lirih, serak sepat, sebab dia tidak berbibir. Orang yang tidak pernah melihatnya, selamanya sukar membayangkan betapa anehnya cara bicara seorang yang tak berbibir. Tokko Bi tidak berani memandang lebih lama kepada orang itu ia kuatir mungkin dirinya tidak tahan dan bisa tumpah. Mendadak orang yang disebut sebagai Kau-hun-sucia atau duta penggaet sukma .tu menjengek. "Hm. tidak beran, kau pandang diriku, apakah karena mukaku terlalu jelek?" Cepat Tokko Bi menyangkal, "O, tidak ..." "Kalau bicara harus menghadap diriku dan menatap wajahku. bentak Kau-hun-sucia. Terpaksa Tokko B, memandang wajah orang, tapi tidak bicara lagi, sebab kerongkongannya serasa tersumbat dan perut mulas sehingga sukar bersuara. Selama ini Liok Siau-hong yakin tokoh dunia Kangouw yang mempunyai Ginkang paling tinggi hanya ada tiga orang, yaitu Sukong Ti-seng, Sebun Jui-soat dan dia sendiri. Tapi sekarang baru diketahui pendiriannya itu ternyata keliru. Betapa aneh Ginkang orang ini serupa dengan mukanya yang aneh, kecuali menyaksikan sendiri, kalau tidak, sungguh sukar untuk dibayangkan. Sekarang orang itu pun sedang menatap Liok Siau-hong dengan tajam, kedua matanya tampak merah mencorong serupa lahar yang baru tersembur keluar dari gunung berapi, panas dan berbahaya. Menghadapi orang semacam ini. sungguh Siau-hong tidak tahu apa yang harus diucapkan. Tapi Tokko Bi lantas menegur malah, "Apakah engkau Kau-hun-sucia dari Yu-lcngsan-ceng?" Ketika diketahui orang aneh itu mengangguk. Tokko Bi lantas menyambung, "Namaku Tokko Bi, arwahku sekarang sudah datang!" Akhirnya orang itu buka mulut. "Kutahu, kutahu engkau akan datang." Cara bicaranya sangat perlahan, suaranya lirih, serak sepat, sebab dia tidak berbibir. Orang yang tidak pernah melihatnya, selamanya sukar membayangkan betapa anehnya cara bicara seorang yang tak berbibir. Tokko Bi tidak berani memandang lebih lama kepada orang itu ia kuatir mungkin dirinya tidak tahan dan bisa tumpah. Mendadak orang yang disebut sebagai Kau-hun-sucia atau duta penggaet sukma .tu menjengek. "Hm. tidak beran, kau pandang diriku, apakah karena mukaku terlalu jelek?" Cepat Tokko Bi menyangkal, "O, tidak ..." "Kalau bicara harus menghadap diriku dan menatap wajahku!", bentak Kau-hunsucia. Terpaksa Tokko Bi memandang wajah orang, tapi tidak bicara lagi, sebab kerongkongannya serasa tersumbat dan perut mulas se-hingga sukar bersuara. Siau-hong tertawa, "Tidak perlu kau kuatirkan diriku, jika aku dapat sampai di sini dengan hidup, pasti juga kudapat pulang kesana dengan hidup. Tokko Bi bisa tertawa juga, serunya, "Haha, kutahu engkau tidak pernah memikirkan mati dan hidup, sebaliknya aku sangat takut mati...." "Tapi sekarang engkau tidak takut lagi," tukas Siau-hong Tokko Bi mengangguk, "Ya. sebab aku ..." "Sebab engkau toh tak bisa hidup lama lagi, maka kesempatan hidup hendak kau berikan padaku." "Ya, inilah satu-satunya kesempatan," ujar Tokko Bi. "Perkataanmu ini sebelumnya sudah pernah kudengar, mak sudmu juga dapat kumaklumi, cuma...." "Kau tetap tidak mau?" sela Tokko Bi. Siau-hong tertawa, "Dapat bersahabat dengan seorang yang biasanya tidak kenal sanak famili, kan sangat memuaskan bagiku" Cuma sayang aku tidak mempunyai kebiasaan membiarkan sahabat mati bagiku" "Jadi kau pasti mau pergi?" "Ya, kepergianku pasti lebih cepat daripadamu." Kau-hun-sucia memandangi mereka dengan dingin, sorot matanya menampilkan rasa jemu. Dia jemu terhadap persahabatan, dengki terhadap segala apa yang baik di dunia ini, serupa kelelawar yang tidak suka kepada sinar sang surya. Sekonyong-konyong dari kejauhan ada suara orang berseru. "Bawa mereka kemari, keduanya bawa kemari semua!" Suaranya nyaring berkumandang dari lautan awan sana, tiba-tiba di tengah awan muncul pula bayangan warna jambon, tampaknya juga seperti berdiri mengapung di udara dan sedang menggapai ke sini. "Siapa yang suruh membawa mereka ke sana" tanya Kau-hun-sucia. "Lau-to-pacu!" Seru orang itu. Nama ini seperti semacam mantera, sekonyong-konyong Liok Siau-hong terbawa ke suatu dunia lain. Betapapun tidak mungkin ada orang dapat berdiri terapung di udara atau di tengah lautan mega. Kau-hun-sucia juga manusia dan bukan arwah yang tak berwujud, tapi cara bagaimana dia datang dan pergi seperti mengapung di udara" Sesudah menuju ke sana barulah Siau-hong dapat melihat di tengah awang-awang terdapat seutas tali baja yang besar terikat melintang di antara kedua puncak tebing. Inilah jembatan mereka. Jembatan dari dunia fana menuju ke pintu akhirat. Di sisi tebing sebelah sini ada sebuah keranjang bambu yang besar dan tergantung di atas kawat baja dengan roda peluncur. Tebing sebelah sini lebih tinggi, kalau tali penahan dibuka, segera keranjang bambu meluncur ke seberang sana. Sakarang Tokko Bi sudah berada di dalam keranjang itu. Kau-hun-sucia melirik Siau-hong dengan dingin, jengeknya, "Apakah kau pun ingin duduk di dalam keranjang?" "Aku berkaki," jawab Siau-hong. "Jika terjungkal ke bawah tentu tiada soal kaki lagi, malahan akan hancur lebur tak terkubur." "Kutahu." "Kawat baja ini sangat licin, angin pegunungan juga sangat kencang, betapa tinggi Ginkang seorang juga bisa tergelincir ke bawah." "Pernah kau jatuh ke bawah?" tanya Siau-hong dengan tertawa. "Tidak." jawab Kun-hun-sucia. "Kau suka padaku?" tanya Siau- hong pula. Kun-hun-sucia hanya mendengus saja. "Jika tidak pernah jatuh kc bawah, darimana kau tahu aku akan jatuh?" ujar .Sian-hong dengan lak acuh. "Jika engkau tidak suka padaku, mengapa kau piknkan mau hidupku?" "Hm, baik, kau jalan dulu!" jengek Kun-hun-sucia. "Hendak kau saksikan aku jatuh ke bawah dari belakang?" tanya Siau-hong. "Kesempatan menonton cara begini sangat sedikit, sayang jika kusia-siakan tontonan menarik ini." Kembali Siau-hong tertawa, katanya, "Namun sekali ini kutanggung engkau pasti akan kecelik." Kawat baja itu memang benar sangat licin, angin juga meniup dengan kencang. Orang yang berjalan di atas jembatan kawat demikian serupa api lilin yang bergoyang-gontai tertiup angin. Sejauh mata memandang sekeliling hanya awan melulu yang mengapung di udara dan bergerak perlahan, seluruh jagat raya ini seakan-akan bergerak di udara, memang tidak gampang jika ingin berjalan tenang dan mantap di atas kawat baja ini. Tapi sesuatu yang tidak mudah dilakukan justru semakin menarik bagi Liok Siauhong. Jalannya tidak cepat, sebab cepat terlebih gampang daripada lambat. Dia sengaja berjalan dengan lambat, seperti seorang sedang berjalan mencari angin di tanah lapang. Tentu saja Kau-hun-sucia terpaksa harus mengikut dari belakang dengan perlahan dan hal ini semakin menambah rasa senang Liok Siau-hong. Angin menghembus lewat di bawah selangkangannya, gumpalan awan melayang lewat di sekitarnya, tiba-tiba dirasakannya tiada sesuatu di dunia ini yang perlu dirasakannya, umpama benar dia terjatuh ke bawah juga tidak menjadi soal baginya. Dia tidak mahir menyanyi, suaranya juga serak seperti suara burung gagak, tapi sekarang dia jadi ingin menyanyi. Mendadak terdengar suara angin mendesir, sesosok bayangan lewat di atas kepalanya, seorang hinggap di depannya. Siapa lagi kalau bukan si 'muka rata' alias tidak punya muka. Siau-hong menyengir, "Nyanyianku tidak enak didengar" "Huh, itu bukan bernyanyi, tapi kerbau menguak, jengek Kun-hun-sucia. "Hahaha, jadi kau pun ada kalanya tidak tahan, haha, bagus, bagus sekali!" seru Siau-hong dengan terbahak. Kembali ia menyanyi dengan suara keras, sudah barang tentu suaranya tetap serak basah. Kau-hun-sucia memandangnya dengan dingin tiba-tiba ia bertanya, "Kau Liok Siauhong?" "He, kenapa segera dapat kau kenali diriku setelah aku bernyanyi" Memangnya suara nyanyianku lebih tenar daripada namaku?" "Jadi benar kau Liok Siau-hong?" kembali Kau-hun-sucia menegas. "Kecuali Liok Siau-hong, siapa pula yang punya suara tenor ini?" ujar Siau-hong dengan lagak biduan besar. "Dan kau tahu siapa diriku?" tanya Kau-hun-sucia. "Tidak tahu," sahut Siau-hong. Lalu ia menambahkan dengan tartawa. "Meski di dunia cukup banyak orang yang tidak punya muka, tapi tidak ada seorang pun yang berbuat setuntas dan terang seperti dirimu." Sorot mata Kau-hun-sucia membara pula, mendadak ia mencabut sebuah tusuk kundai kayu hitam dari gelung rambutnya terus menusuk ke muka Liok Siau-hong. Gerak tangannya tidak istimewa, jurus serangannya juga biasa, tapi cepat luar biasa. Siau-hong tidak sempat mengelak, untuk mundur juga tidak bisa, terpaksa ia angkat tangan dan hendak menjepit senjata orang dengan dua jari. Inilah kungfu yang tidak ada bandingannya dan tidak pernah meleset andalan Liok Siau-hong, tapi sekali ini dia justru meleset. Tusuk kundai kayu hitam yang biasa itu mendadak seperti berubah menjadi dua dan tetap menusuk matanya secepat kilat. Jika di tanah datar, serangan ini tentu juga dapat dihindarkan Liok Siau-hong, tapi sekarang dia berdiri di atas kawat baja yang licin dan terapung di udara. Waktu dia menggeliat, berdirinya menjadi goyah, mendadak ia terjungkal ke bawah. Apabila manusia jatuh ke dalam jurang tentu akan berubah menjadi bergedel. Tapi dia tidak jadi bcrgedel. Waktu Kau-hun-sucia menunduk, tertampak sebelah kaki menggantol pada kawat baja, Siau-hong tergantung bagai baju jemuran dan bergoyang-goyang tertiup angin. Sudah begitu, dia malah juga tidak gugup dan takut, malahan dia merasa senang dan bernyanyi pula, "Goyang, goyang, ayo di goyang, goyang sampai seberang..." Dia tidak meneruskan, sebab dia lupa syair lagu lanjutannya. "Tampaknya kau benar-benar Liok Siau-hong adanya." kata Kau-hun-sucia. "Maka sekarang aku masih Liok Siau-hong, tapi sebentar lagi bukan mustahil akan berubah menjadi Liok bergedel" ujar Siau Hong. "Sungguh kau tidak takut mati?" "Tidak betul," jawab Siau-hong, "berr", seperti kitiran, tahu-tahu tubuhnya berputar ke atas dan berdiri tegak lagi di atas kawat baja. Lalu berucap dengan tersenyum, Tampaknya kau pun tidak sungguh-sungguh hendak mematikan aku." "Hm, aku cuma ingin kau tahu sesuatu," jengek Kau-hun-sucia. "Oo, urusan apa?" tanya Siau-hong. Pandangan Kau-hun-sucia tampak jalang pula, ucapnya sekata demi sekata, "Supaya kau tahu, pedang Sebun Jui-soat bukan pedang kilat yang tidak ada bandingannya di dunia ini, aku bisa lebih cepat daripada dia." Sekali ini Liok Siau-hong tidak tertawa, tiba-tiba sorot matanya menampilkan semacam perasaan yang sangat aneh, tanyanya sambil menatap orang, "Sesungguhnya siapa kau?" "Seorang yang tidak punya muka," jawab Kau-hun-sucia. Karena tidak punya muka, dengan sendirinya tidak terlihat sesuatu perasaan pada wajahnya. Akan tetapi suaranya tiba-tiba terdengar seperti membawa semacam rasa duka nestapa yang sukar dijelaskan. Selagi Siau-hong hendak bertanya, mendadak si muka rata melayang pergi seperti burung, dalam sekejap saja sudah menghilang di tangah lautan awan. Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bab 4. Liok-koangkoan, akhirnya Liok siau-hong punya rumah. Published by Hiu_Khu on 2008/1/8 (297 reads) Siau-hong berdiri termangu di tengah awan dan entah apa yang sedang dipikirkannya. Selang agak lama barulah ia mulai melangkah ke depan dan akhirnya mencapai seberang sana. Dilihatnya di depan puncak tebing itu ada seutas benang merah yang terikat melintang pada dua batang galah bambu. Di kejauhan ada seorang mendengus padanya, "Bila kau terjang benang mati-hidup ini, maka jadilah kau orang mati. Makanya boleh kau pikirkan lagi, akan tetap menyeberang ke sini atau putar balik ke sana." Dalam hati Siau-hong juga bertanya-tanya kepada diri sendiri, "Terjang ke sana atau putar balik?" Menerjang ke sana berarti orang mati, kalau putar balik mungkin juga Cuma ada jalan kematian. Tiba-tiba Siau-hong tertawa, gumamnya, "Terkadang timbul hasratku untuk mati, tapi tidak pernah mati. Tak tersangka hari ini aku dapat mati dengan semudah ini." Dengan tersenyum ia lantas melangkah ke seberang dengan gaya yang santai, memasuki dunia lain yang sebelumnya tidak pernah dibayangkannya. Dunianya orang mati. Sejauh mata memandang, tetap awan melulu, hampa dan tiada terlihat apapun, sampai Kau-hun-sucia tadi juga entah berada dimana, juga Tokko Bi entah pergi kemana. Sesungguhnya tempat apa ini" Dengan membusungkan dada, segera Liok Siau-hong melangkah ke depan, malahan mulutnya juga tidak mau menganggur, ia bernyanyi pula, "Goyang digoyang, ooi, sampai di seberang, ooi ...."' Belum rampung bernyanyi, mendadak dari samping sana ada suara orang meratap, "O, kasihilah diriku, ampun!" Suara ratapan itu berkumandang dari sebuah rumah gubuk kecil. Gubuk berwarna putih kelabu, berada di tengah remang awan begini perlu mengamat-amatinya dengan cermat baru dapat menemukan gubuk sekecil ini Akhirnya Siau-hong dapat melihat, namun cuma gubuk itu yang terlihai dan tidak melihat orang. Suara rintihan itu belum lagi berhenti, maka Siau-hong lantas bertanya, "Apakah engkau terluka?" "Aku tidak terluka, tapi hampir mati," jawab orang itu suasana perempuan muda. "Hampir mati oleh karena nyanyianmu." "Jika engkau sudah berada di sini, dengan sendirinya kau pun orang mati, apa alangannya bila mati sekali lagi?" ujar Siau-hong. "Nyanyianmu itu, setan hidup saja tidak tahan, apalagi orang mati?" Maka tergelaklah Liok Siau-hong. Suara di dalam gubuk itu bertanya pula, "Apakah kau tahu siapa yang menolong kau tadi?" "Apakah engkau?" "Tepat, memang aku," tiba-tiba suara tertawanya kedengaran sangat manis. "Aku she Yap bernama Ling. Orang lain suka memanggilku Siau-yap (Yap cilik)." "Ehm, nama yang bagus," puji Siau-hong. "Namaku juga tidak jelek. Cuma aku tidak mengerti, lelaki besar mengapa bernama Siau-hong-hong segala." Siau-hong menyengir, jawabnya, "Namaku Liok Siau-hung dan bukan Siau-hong-hong." "Memangnya apa bedanya?" "Hong-hong kan sepasang dan bukan seekor, Hong yang satu jantan, Hong yang lain betina." Perlahan Siau-hong melangkah ke sana, mendadak suasana dalam rumah menjadi hening, selang agak lama baru terdengar Yap Ling menghela napas perlahan dan berkata, "Diriku tidak lebih cuma sehelai yap (daun) kecil saja, bukan sepasang, juga tidak tahu apakah jantan atau betina?" "Untuk ini kukira tidak perlu kau kuatir." ujar Siau-hong. "Kujamin, cukup kupandang sekejap saja segera dapat kubedakan apakah kau ini jantan atau betina." Mendadak ia menolak pintu dan menyelinap ke dalam. Dipandang dari luar, gubuk itu memang teramat kecil, sesudah di dalam, rasanya terlebih sempit lagi seperti rumah burung merpati. Namun meski kecil burung merpati, isi perutnya juga komplit. Gubuk .nipun serupa rumah orang lam. lengkap dengan segala pe rabotnya, malahan juga tersedia sebuah 'Be-thang' bercat merah, yaitu tong kayu tempat membuang hajat atau sejenis kloset yang dikenal zaman sekarang. Siau-hong berminat terhadap 'Be-thang' itu, tapi sekarang dia justru memperhatikan tempat berak itu. Sebab pada waktu dia masuk ke gubuk ini, dilihatnya seorang nona cilik berbaju merah justru lagi nongkrong di atas 'Bethang' itu. Kalau orang berak sedikitnya celana harus dipelorotkan ke bawah, tapi nona cilik itu duduk di atas 'Be-thang' dengan pakaian rapi, malahan melototi kedatangan Siau-hong dengan mata terbelalak. Muka Siau-hong menjadi merah sendiri. Apapun juga, jika seorang anak perempuan sedang nongkrong di atas kloset, kan tidak pantas tempat itu dimasuki seorang lelaki. Tapi dia sudah kadung masuk ke situ, jika lari keluar lagi bisa tambah tidak enak" Orang salah biasanya suka main gertak dulu, maka Siau-hong juga lantas menegur dengan tertawa, "Memangnya engkau biasa menerima tamu sambil nongkrong di atas 'Be-thang'?" Nona yang mengaku bernama Yap Ling itu menggeleng kepala, jawabnya, "Hanya dalam dua macam keadaan barulah kududuk di atas 'Be-thang'." Keadaan yang satu itu tentu tidak perlu ditanyakan lagi, sebab hal itu pasti dilakukan oleh setiap manusia. Lantas apa keadaan semacam lagi" "Yaitu bilamana dari 'Be-thang' ini ada barang akan menerobos keluar," tutur Yap Ling. Maka Siau-hong tidak jadi tcrtawa lagi, memangnya selain bau busuk, barang apa yang bisa menerobos keluar dari tong kotoran itu" "Apakah kau ingin melihat apa isi tong ini?" tanya Yap Ling. Cepat Siau-hong menggoyang kepala clan menjawab, "Tidak." "Tetapi sayang, biarpun tidak ingin melihat tetap harus kau lihat. "Mengapa begitu?" tanya Siau-hong. "Sebab barang di dalam tong ini akan kuberikan padamu." "Jika aku tidak mau, apa tidak boleh?" "Tentu saja tidak boleh," ujar Yap Ling. Ketika melihat nona itu berdiri dan hendak membuka tutup be-thang, hampir saja Siau-hong kabur sambil memencet hidung. Tapi dia tidak jadi kabur, sebab bau be-thang ternyata tidak busuk, sebaliknya malah sangat harum. Bersama dengan tersiarnya bau harum, serentak terbang pula sepasang burung seriti dan sepasang kupu-kupu. Baru saja burung seriti dan kupu-kupu terbang keluar melalui jendela kecil, seperti main sulap saja. Yap Ling lantas mengeluarkan pula seperangkat pakaian baru, sepasang sepatu halus dengan gulungan kaos kaki, sebotol arak, sepasang cawan, dua pasang sumpit, sebuah kuali, sebuah senduk dan beberapa biji bakpau, akhirnya ada lagi seikat bunga segar. Siau-hong sampai melongo. Siapa pun tidak mengira dari dalam tong tempat membuang hajat itu bisa dikeluarkan barang sebanyak itu. "Burung dan kupu-kupu adalah tanda selamat datang kepadamu." tutur Yap Ling. "Pakaian dan sepatu tentu cocok dengan ukur-anmu. Arak adalah Tiok-yap-jing simpanan lama, isi kuali adalah ayam tim, bakpau juga baru keluar dari kukusan." Lalu ia menengadah dan memandang Liok Siau-hong, sambungnya pula dengan hambar, "Apakah kau senang kepada semuanya ini?" Liok Siau-hong menarik napas, jawabnya, "Senangku setengah mati." "Kau mau?" Yap Ling menegas. "Kunyuk yang tidak mau," sahut Siau-hong. Maka tertawalah Yap Ling, tertawa manis serupa madu, seindah bunga, serupa juga rase cilik yang bisa bikin celaka orang dan luga lengket memikat orang. Siau-hong memandangnya, ia menghela napas pula dan berucap, "Engkau ini betina, tidak pcrlu diragukan past, betina. Waktu Yap Ling memasukkan bunga segar tad. pada pot bunga, arak juga mula, masuk ke perut Liok Siau-hong. Memandangi Tiok-yap-jing yang tidak mudah dibeli itu tertuang ke dalam perut Siau-hong seperti menuang air, tampaknya si Yap cilik tidak merasa heran, sebaliknya ia merasa sayang. Tiba-tiba ia berucap dengan menyesal, "Hanya ada satu hal yang tidak benar." Siau-hong tidak tahu apa yang dimaksudkan. Maka Yap Ling memberi penjelasan, "Ada orang bilang dirimu ini baik kecerdikan, kungfu, kekuatan minum arak, tebalnya kulit muka dan kesukaanmu kepada perempuan, semuanya jarang ada bandingannya." Siau-hong menaruh botol arak yang sudah kosong itu, katanya dengan tertawa, "Sekarang kan sudah kau saksikan kekuatan minum arakku." "Ya, aku pun sudah menyaksikan kungfumu," tukas Yap Ling. "Tadi engkau tidak terjatuh ke dalam jurang, betapapun aku kagum padamu." "Tapi aku tidak gila perempuan, orang salah menafsirkan hal ini," sambung Siauhong. "Hal ini juga tidak salah," kata Yap Ling. Siau-hong marah, "Apakah pernah aku bertindak kasar padamu?" "Tidak?" jawab Yap Ling. "Sampai sekarang memang belum. tapi pada waktu kau lihat diriku, kedua matamu lantas ...." Cepat Siau-hong memotong ucapannya, "Dalam hal apa yang kau maksudkan tidak benar?" "Mengenai kulit mukamu," ujar Yap Ling dengan tertawa. "Kulit mukamu ternyata tidak terlalu tebal, sebab kulihat mukamu juga bisa merah." "Musti kau kira selama hidupku mukaku tidak pernah merah" Apakah .semua keterangan orang itu kau percaya sepenuhnya?" Yap Ling berkedip-kedip, lalu balas bertanya, "Apakah kau tahu berita ini kudengar dari siapa?" "Siapa?"tanya Siau Hong. "Lau-to-pocu," jawab Yap-ling. Orang inilah dengan namanya ingin diketahui Liok Siau-hong. mengapa orang ini mempunyai daya pikat sebesar ini" Ia coba bertanya, "Apakah dia pemimpin kalian?" "Bukan saja pemimpin kami, juga juragan kami, bapak kami." "Sesungguhnya orang macam apakah dia?" "Seorang yang dianggap sebagai bapak secara sukarela oleh orang banyak, boleh kau bayangkan seharusnya dia orang. macam apa?" "Aku tidak tahu, selama ini tidak ada orang yang sukarela mau menjadi anakku, selama ini aku pun tidak mau menjadi anak orang lain," ujar Siau-hong. "Masa cuma ingin kau tahu nama dan asal-usulnya saja?" Siau-hong tidak dapat menyangkal, "Ya. itulah yang ingin kuketahui." "Jika benar ini tujuanmu, mungkin jiwamu benar-benar bisa melayang," mendadak sikap Yap Ling berubah kereng. "Bila kau ingin tinggal dengan baik di sini, maka sebaiknya jangan sekali-kali kau cari tahu seluk-beluk orang lain, kalau tidak ...." "Kalau tidak bagaimana?" tanya Siau-hong. "Kalau tidak, biarpun kungfumu seratus kali lebih tinggi lagi juga setiap saat engkau dapat hilang." "Hilang?" Siau-hong menegas. "Artinya hilang adalah dirimu bisa mendadak tidak kelihatan lagi, di dunia ini pasti tidak ada yang tahu kemana kepergianmu." "Di sini sering terjadi orang hilang"' "Sangat sering." Siau-hong menghela napas, "Tadinya kusangka di sini sangat aman dan tertib." "Di sini memang sangat tertib, ada tiga tertib. "Ketiga tertib apa?" tanya Siauhong. 'Tidak boleh mencari tahu seluk-beluk orang lain, dilarang membikin marah kepada Lau-pacu, lebih-lebih dilarang membangkang perintahnya. "Apa yang dia perintahkan juga harus kulaksanakan?" Yap Ling mengangguk, "Ya, sekalipun dia suruh kau makan najis juga harus kau makan." Siau-hong cuma menyengir saja. Yap Ling bertanya pula, "Kau tahu sebab apa kudatang kemari dan memberitahukan semua ini kepadamu?" Tertawa Siau-hong berubah menjadi cerah, katanya, "Dengan sendirinya lantaran kau suka kepadaku." Yap Ling jadi tertawa juga, "Tampaknya dia memang benar, kulit mukamu memang sangat tebal, mungkin tidak mempan ditusuk pisau." Dia tertawa seindah bunga, semanis madu, lalu menyambung pula dengan perlahan, "Tapi awas, jika kau langgar peraturanku, bisa kubeset kulit mukamu untuk kujadikan sandal." Mau tak mau Siau-hong menyengir pula, "Sedikitnya kan harus kau beritahu kepadaku apa peraturanmu?" "Hanya ada dua peraturanku," tutur Yap Ling. "Jangan merecoki Yap besar dan jangan membiarkan orang perempun masuk ke Liok-kongkoan (kantor Liok)." "Yap besar juga seorang manusia?" "Yap besar adalah kakak Yap cilik, Liok-kongkoan adalah tempat kediaman Liok Siau-hong?". "Dimana letak Liok-koangkoan?" tanya Siau-hong. "Di sini," jawab Yap Ling sambil menunjuk lantai gubuk ini. Lalu dia menambahkan, "Mulai saat ini tempat inilah rumahmu, malam hari tidur di sini, siang hari sebaiknya juga berdiam saja di sini. Setiap saat bisa kudatang mengontrol dirimu." Siau-hong tertawa pula, tertawa yang aneh. Seketika Yap Ling mendelik. "Kau berani menertawakan diriku.'" "Aku tidak menertawai dirimu, aku menertawakan diriku," jawab Siau-hong dengan tetawa aneh, tertawa yang mengandung rasa pedih "Aku sudah hidup 30 tahun, baru pertama kali ini aku mempunyai rumah sendiri dan kamar tidur sendiri ...." Dia tidak meneruskan, sebab mulutnya mendadak terkancing oleh bibir Yap Ling, bibir yang terasa halus, lunak dan dingin. Bibir kedua orang hanya berkecupan perlahan saja, mendadak kepala si nona tepat mengenjot perut Liok Siau-hong, pukulan keras lagi berat. Sampai menungging Liok Siau-hong sambil memegang, perutnya yang tertonjok itu, sebaliknya Yap Ling mengikik tawa dan ber-lari pergi. "Ingat, perempuan mana pun dilarang masuk ke sini" terdengar suara Yap Ling berkumandang dari luar, "Lebih-lebih Hoa-kuahu Janda Hoa, selangkah pun tidak boleh menginjak tempat ini." "Orang apa Hoa-kuahu?" tanya Siau Hong. "Dia bukan orang melainkan anjing betina, anjing betina pemakan manusia." Liok Siau-hong mempunyai empat alis, tapi cuma punya satu tangan. Dengan tangan kiri ia gosok-gosok perutnya yang kena genjot, dengan tangan kanan ia raba bibir yang dikecup tadi. Air mukanya entah lagi menangis atau tertawa" Mungkin menyengir! Bab 5. Teman pertama Published by Hiu_Khu on 2008/1/9 (399 reads) Dan begitulah, secara tidak jelas apa sebabnya dari orang hidup ia telah berubah menjadi 'orang mati', secara tidak jelas duduknya perkara ia pun mendapatkan sebuah rumah. Dia masih punya kaki, tapi tempat mana pun tidak dapat didatangi. Tahu-tahu dia sudah tertidur dan mulai bermimpi, mimpi dirinya terbungkus oleh sehelai daun besar yang dingin, lalu melihat seekor anjing betina budukan sedang menggerogoti tulangnya, sampai suara menggerogotnya terdengar dengan jelas. Dan segera dapat dilihatnya di dalam rumahnya benar-benar ada seorang sedang menggerogoti tulang. Tapi bukan tulangnya, melainkan tulang ayam. Yang duduk sambil menggerogoti tulang ayam itu juga bukan anjing betina melainkan satu orang. Begitu Siau-hong mendusin, segera orang itupun merasa waswas, serupa kewaspadaan seekor binatang buas. Orang itu berpaling dan menatap Liok Siau-hong, sorot matanya penuh rasa permusuhan. Namun mulutnya tetap menggerogoti tulang ayam. Siau-hong tidak pernah merlihat orang berminat sebesar ini terhadap tulang ayam, juga tidak pernah melihat orang sekurus ini. Pada hakikatnya daging pada tubuh orang ini pasti lebih banyak daripada daging tulang ayam yang digerogotinya itu. Namun pakaiannya justru sangat perlente, sama sekali tiada tanda-tanda seorang miskin yang perlu menggerogoti tulang ayam. Hanya pengemis yang mau menggerogoti tulang ayam. Siau-hong coba menegur, "He, apakah kau sakit?" "Kau sendiri sakit!" semprot orang itu hingga tulang ayam yang berada dalam mulut tersembur keluar memenuhi lantai, terunjuk barisan giginya yang putih, ia menatap Siau-hong dengan benci. "Kau kira aku sakit apa" Sakit lapar?" damprat pula orang itu. Perkampungan Hantu Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Masa engkau tidak lapar?" tanya Siau-hong. "Kenapa aku lapar" setiap hari aku makan tiga kali, belum lagi ditambah jajan sekian kali." "Apa yang kau makan?" "Nasi, mi, daging, ikan, sayur, apa yang dapat kumakan sudah kumakan." "Dan apa yang kau makan hari ini" "Pagi tadi kumakan bubur ayam yang sedap. Siang tadi kumakan masakan ala utara, ada Ang-sio-ti-te (kaki babi), ada bebek Peking, ada kuah tahu masak kepala ikan, ada udang goreng kailan, ada burung dara goreng dan banyak lagi." Siau Hong tertawa. "Kau tidak percaya?" orang itu mendelik. "Aku cuma heran," kata Siau-hong, "seorang yang mengaku biasa makan serba enak, mengapa perlu menyusup ke rumah orang untuk menggerogoti tulang ayam." "Sebab aku suka," kala orang itu. Siau-hong tcrtawa pula, "Asalkan kau suka, selanjutnya jika di tempatku ada tulang ayam, setiap saat kusambut kedatanganmu dengan senang hati." Tapi sorot mata orang itu berbalik menampilkan rasa curiga, tanyanya, "Kau sambut kedatanganku dengan senang hati" Sebab apa?" "Sebab untuk pertama kalinya aku punya rumah, sebab engkau tamu pertama rumahku, sebab aku suka berkawan." Tapi orang itu tambah beringas dan berteriak, "Aku bukan kawanmu." "Sekarang mungkin bukan, selanjutnya tentu." Meski orang itu masih menatapnya dengan tajam, tapi sikapnya mulai tenang. Siapa pun harus mengakui bahwa biasanya Liok Siau-hong sangat pintar bergaul, semua sahabatnya juga sangat suka padanya. Baik sahabat lelaki maupun kawan perempuan. Siau-hong sudah bangun dan berduduk, tiba-tiba ia berkata pula dengan menyesal, "Sayang di sini tidak ada arak lagi, kalau tidak, tentu kuminum dua cawan bersamamu." Sorot mata orang itu seketika mencorong terang, "Kalau tidak ada arak lagi, kenapa tidak kau cari keluar?" "Belum ada setengah hari kudatang kemari, tempat ini belum hapal bagiku," tutur Siau-hong. 'Tapi dapat kujamin, tidak sampai tiga hari, apapun yang ingin kau minum pasti dapat kusuguhkan." Kembali orang itu menatapnya sekian lama, akhirnya meng-heia napas, segala rasa was-was juga lantas mengendor, ucapnya, "Aku adalah Yu-hun (arwah gentayangan), bisa jadi setiap saat kumasuk ke sini dan benar-benar tidak menjadi soal bagimu?" "Tidak, pasti tidak," jawab Siau-hong. Persahabatan memang tidak menjadi soal baginya. Sering pada tengah malam buta dia menyeret teman dari kolong selimutnya untuk diajak minum arak. Dan temannya tidak pernah memusingkan tindakannya itu. Sebab semua teman tahu bilamana orang lain tengah malam buta mencari dia, sama sekali dia udak marah, sebaliknya kegirangan setengah mati. Sementara itu han sudah mulai gelap, angin malam membawa kumandang suara genta. "Itulah genta tanda makan malam." kala orang yang mengaku sebagai Yu-hun atau arwah gentayangan itu. Siau-hong tidak paham, maka Yu-hun memberi penjelasan pula, "Genta tanda makan malam artinya semua orang harus berkumpul dan makan bersama di ruangan pendopo." "Setiap orang harus hadir?" tanya Siau-hong. "Ya," Yu-hun mengagguk. "Setiap hari begitu?" "Tidak, setiap bulan paling-paling cuma empat-lima kali." "Dalam waktu bagaimana?" "Ce-it Cap-go (tanggal satu bulan lima belas) dan hari besi, atau kalau kedatangan orang ternama." Lalu dia mengamat-amati Liok Siau-hong dari atas ke bawah dan sebaliknya, kemudian berucap pula, "Kau pasti juga orang ternama, apakah engkau Liok Siauhong yang beralis empat itu?" Siau-hong menyengir, "Tapi sayang Liok Siau-hong sekali ini bukan Liok Siau-hong yang dulu itu." Yu-hun hendak bicara pula, tapi urung, mendadak ia berhari kit dan berkata, "Segera akan datang orang membawamu ke ruangan makan, aku harus pergi, sebaiknya jangan kau katakan kepada orans lain tentang kedatanganku ke sini." Siau-hong tidak bertanya apa sebabnya. Maklum, bilamana orang lain minta tolong kepadanya, jika dia menyanggupi, selamanya ia tidak pernah tanya sebab musababnya. Justru lantaran inilah maka pantas dia mempunyai banyak sahabat. Agaknya Yu-hun juga sangat puas terhadap hal ini, tiba-tiba ia mendesis pula, "Setiba di ruangan makan nanti, mereka pasti akan memberi hajar adat padamu." Iblis Pulau Keramat 2 Pendekar Mabuk 09 Pusaka Tombak Maut Bloon Cari Jodoh 12