Ceritasilat Novel Online

Bidadari Dari Sungai Es 12

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 12


Loei Tjin Tjoe" Hanya, terhadap Loei Tjin Tjoe, ia menyerang dengan tongkat, terhadapmu ia
menggunakan hancuran batu."
"Benar," jawab Tjia In Tjin. "Kepingan-kepingan batu itu cepat luar biasa, satu
menyambar Djoanma hiat (jalan darah yang membikin orang jadi kesemutan) di dada kiri, satu
menyambar Yangyang hiat (jalan darah gatal) di dada kanan, satu lagi menyambar ke arah
Siauwyauw hiat (jalan darah tertawa), sehingga serangan itu merupakan serangan segitiga. Oleh
karena di depanku menghadang batu besar, jalan satu-satunya adalah loncat ke belakang.
Tapi kau tak tahu, bahwa tiga kepingan batu itu, yang menyambar dari depan, bukan serangan
satu-satunya. Di samping tiga serangkai tersebut, dari kiri kanan malah dari belakang -kepingan-kepingan itu
ada yang terbang melewati kepala dan kemudian berbalik menyambar lagi -menyambar juga kepingan-kepingan lain. Apa yang sangat luar biasa adalah: Kepingan-kepingan itu
terbang dalam bentuk (formasi) segitiga dan menyambar ke arah tiga jalan darah! Hatiku
mencelos. Aku mengerti, biar bagaimanapun juga, tak nanti aku dapat meloloskan diri."
"Memang," kata Keng Thian sambil mengangguk. "Memang ilmu melepaskan senjata
rahasia itu sudah mencapai puncaknya kesempurnaan. Menurut pendapatku, dalam dunia ini, di
samping keluarga Tong dan Han Tiong San dari Lengsan pay, dia adalah orang ketiga yang
mempunyai ilmu itu. Dengan menggendong anak, lebih-lebih sukar kau menyelamatkan diri."
"Aku pun merasa tak akan terlolos lagi," kata Tjia In Tjin. "Dalam kebingungan,
buru-buru aku menarik napas dalam-dalam untuk menutup semua jalan darahku. Tapi karena
menyambarnya kepingan-kepingan itu luar biasa cepatnya, aku tidak keburu lagi menutup jalan
darahku. Pada detik yang sangat berbahaya, tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring. Hampir
berbareng dengan itu, terdengar serentetan suara "tring-tring-tring" dan batu-batu itu
terpukul jatuh. Si
kusta berteriak keras, lalu melompat tinggi dan dalam sekejap, ia sudah
menghilang ke dalam
hutan. Di antara pohon-pohon yang rindang daunnya, aku melihat berkelebatnya
seorang wanita yang mengenakan pakaian berwarna hijau dan yang lantas saja menghilang."
Heran sungguh hati Keng Thian. "Didengar dari penuturanmu," katanya. "Wanita
tersebut sudah menggunakan senjata rahasia untuk memukul jatuh kepingan-kepingan batu
itu. Apakah kau tahu, senjata apa adanya itu?"
"Tidak," jawab Tjia In Tjin. "Tapi dari suaranya, aku dapat memastikan, bahwa
senjata rahasia
itu adalah sangat halus, seperti sebangsa jarum."
Keng Thian terperanjat dan berpikir: "Wanita itu berada di dalam hutan, sehingga
jarak antara ia dan Tjia In Tjin adalah terlebih jauh daripada jarak antara si kusta dan
nyonya itu. Bahwa ia
bisa memukul jatuh kepingan-kepingan batu itu dengan senjata jarum, membuktikan,
bahwa kepandaiannya sungguh-sungguh berada di sebelah atasku."
Sesudah berdiam beberapa saat, Keng Thian berkata pula dengan suara perlahan:
"Apakah benar bukan Pengtjoan Thianlie?"
"Waktu itu hatiku sedang berdebar-debar dan gerakan wanita tersebut luar biasa
cepatnya,"
jawabnya. "Selain itu, daun-daun pohon telah menedeng tubuhnya dan aku hanya
dapat melihat belakangnya, untuk sedetik saja. Tapi, jika tak salah, badan Pengtjoan Thianlie
agak lebih jangkung, sedang wanita itu lebih kate sedikit. Menurut dugaanku, ia bukan
Pengtjoan Thianlie."
Sementara itu, sang Dewi Malam sudah doyong ke sebelah barat, sedang titik-titik
sinar "Sengteng" pun sudah mulai guram. Keng Thian betul-betul pusing otaknya.
"Dalam keadaan begitu, mungkin sekali Tjia In Tjin sudah salah melihat," katanya
pula di dalam hati. "Aku tak percaya, bahwa selain Peng Go, dalam dunia ini masih ada wanita
lain yang mempunyai kepandaian begitu."
Melihat pemuda itu berdiam saja dengan paras muka kusut, Tjia In Tjin segera
berkata: "Beberapa kali kau telah menyebutkan nama Pengtjoan Thianlie. Bukankah ia pernah
mengatakan, bahwa ia tak akan turun dari Puncak Es" Apakah ia sekarang berada disini?"
"Puncak Es sudah roboh, tentu saja ia boleh turun gunung," jawab Keng Thian.
"Jika tak salah,
ia sekarang berada di antara kita!"
Tjia In Tjin menghela napas."Jika benar ia berada disini, harap saja ia tidak
bertemu dengan si
kusta itu," katanya. "Pengtjoan Thianlie adalah bagaikan sekuntum bunga di selat
gunung yang indah. Jika ia melihat si kusta, jangankan sampai bertempur, melihat mukanya
saja mungkin ia
sudah menjadi muntah."
Mendengar itu, di depan mata Keng Thian kembali terbayang si nona yang sedang
berjalan bersama-sama dengan Kim Sie Ie. Dalam dunia memang banyak sekali terjadi apa-apa
yang di luar dugaan. Siapa bisa percaya, bahwa Pengtjoan Thianlie bisa mempunyai
perhubungan dengan
penderita kusta itu" Mengingat begitu, ia jadi sangat berduka.
"Kau sedang memikirkan apa?" tanya Tjia In Tjin sembari tertawa. "Lagi
memikirkan Pengtjoan
Thianlie atau si kusta" Lebih baik kau coba mengusir dia, supaya dia tidak
mengacau disini."
"Ya," kata Keng Thian. "Aku sudah mengambil keputusan untuk melek terus malam
ini, guna mencari mereka."
"Mereka?" Tjia In Tjin menegasi, yang merasa heran, bahwa Keng Thian
menggabungkan Pengtjoan Thianlie dengan si kusta.
"Menurut dugaanku, malam ini mereka tidak menginap di kuil," kata pula Keng
Thian. "Kurasa,
mereka masih berada di dekat-dekat sini. Keadaan Loei Tjin Tjoe tentu sudah
banyak mendingan
dan menurut perhitunganku, sekarang ia sudah bisa berjalan pula. Maka itu,
pergilah mencari ia
dan minta mengantarkan kalian pergi menemui Moh Tayhiap. Kejadian malam ini biar
bagaimanapun juga harus segera diberitahukan kepada Moh Tayhiap."
Sehabis berkata begitu, Keng Thian segera berlalu dan seorang diri berputarputar di seluruh
bagian gunung, tapi sampai badannya lelah, tak seorang manusia pun dapat ia
temukan. Bukan main kalut pikirannya.
Kedatangannya sekali ini, pertama adalah untuk mencari Pengtjoan Thianlie dan
kedua, adalah untuk menghadiri Kiatyan. Di luar dugaan, dalam tempo semalam itu, ia sudah
menemui begitu banyak kejadian yang luar biasa. Jika dihitung-hitung, di pihak lawan sedikitnya
terdapat tiga orang yang berkepandaian tinggi, yaitu Hongsek Toodjin, Hiatsintjoe dan orang
aneh itu yang telah menganiaya Tjoei In Tjoe dan beberapa imam. Kepandaian mereka semuanya
berada di sebelah atasnya. Selain itu, masih ada si penderita kusta yang belum diketahui,
apakah ia akan menjadi lawan atau kawan. Maka itu, harapan satu-satunya adalah coba mencari
Pengtjoan Thianlie, supaya ia dan si nona bisa bersama-sama melawan musuh-musuh itu.
Dalam jengkelnya, ia berdongak dan berteriak: "Peng Go Tjietjie! Peng Go
Tjietjie!' dalam
teriakannya itu, ia telah menggunakan lweekang dari Thiansan pay, sehingga
suaranya menjadi
nyaring tajam dan bisa terdengar dalam jarak belasan li. Tapi, sesudah berteriak
berulang-ulang,
yang menjawab hanyalah kumandang suaranya sendiri.
Sekonyong-konyong dari puncak gunung di depan terdengar suara tertawa yang
sangat nyaring. Suara itu tak asing lagi baginya, tapi dalam keadaan was-was, Keng
Thian tak dapat
memastikan, apakah itu suara Peng Go atau orang lain. Tanpa berpikir lagi,
lantas saja ia berteriak: "Peng Go Tjietjie! Aku disini! Kau keluarlah!"
Mendadak serupa benda yang berwarna indah, datang menyambar. Setelah disambuti,
benda itu ternyata adalah karangan bunga yang sangat indah, dengan disertai tulisan
seperti berikut:
"Sekali kau punya, tetap kau punya."
Bunga-bunga dan batang-batangnya masih basah dengan air embun, hal mana
menandakan, bahwa karangan bunga itu baru saja dibuat.
Hati Keng Thian meluap kegirangan. Puncak gunung di depan dan tempat dimana ia
berdiri, dihubungkan dengan batu-batu. Sambil mengempos semangat, dengan beberapa
loncatan saja, ia
sudah tiba di seberang dan lantas berlari-lari masuk ke dalam hutan sambil
berteriak-teriak: "Peng
Go Tjietjie! Peng Go Tjietjie!"
Kecuali beberapa Tjianpwee, yang dapat menandingi ilmu mengentengkan badan Keng
Thian, dengan sesungguhnya tiada berapa orang. Sesudah mencari ke seluruh peloksok
hutan, orang yang dicari itu masih tak kelihatan bayang bayangannya.
"Andaikata benar Peng Go Tjietjie, dia toh tak bisa lari begitu cepat,"
pikirnya. Di lain saat,
mendadak ia ingat apa-apa yang membikin ia seperti diguyur air dingin. "Ah!"
katanya di dalam
hati. "Pengtjoan Thianlie adalah seorang wanita yang beradat angkuh. Tak mungkin
ia mengutarakan rasa cintanya begitu terang-terangan. Karangan bunga itu pasti
bukan dibuat olehnya! Tapi... jika bukan dia, siapakah yang begitu nakal dan mempermainkan
diriku?" Baru bergirang, ia kembali menjadi seperti orang linglung dan jalan sejalanjalannya, tanpa
tujuan. *** Dalam gunung itu terdapat seorang lain yang diliputi kedukaan dan kekecewaan
yang lebih hebat daripada Keng Thian. Orang itu adalah Kim Sie Ie.
Semenjak bertemu dengan Pengtjoan Thianlie di gunung Tjiakdjie san, ia terus
mengintil di belakang si nona, tempo-tempo muncul, kadang-kadang menghilang, terus sampai di
gunung Gobie san. Hari itu, ketika baru memasuki Gobie san, oleh karena kuatir diketahui si nona,
Kim Sie Ie hanya berani mengikuti dari jarak kira-kira setengah li jauhnya. Gobie san
adalah sebuah gunung
yang angker dan berbahaya, penuh dengan pohon-pohon besar, cadas-cadas tajam dan
jalan yang berliku-liku. Mendadak ia kehilangan Pengtjoan Thianlie dan dayangnya. Ia
mempercepat tindakannya dan mencari ubek-ubekan. Baru ia masuk ke suatu lembah, cuaca sudah
mulai gelap. Di sebelah jauh, ia melihat air terjun yang turun dari atas gunung. Ia mendekati
dan disitu ia mendapatkan suatu kobakan yang airnya jernih dan yang dikitari pohon-pohon bunga
hutan, yang seakan-akan merupakan sebuah sekosol sulam.
Sekonyong-konyong di antara pohon-pohon bunga terdengar suara tertawa seorang
wanita. "Siauwkongtjoe (Puteri kecil)," demikian wanita itu berkata. " 'Ku sudah kata,
Tong Siangkong pasti datang lebih dulu disini untuk menunggu kau." Suara itu bukan lain
daripada suara Yoe Peng,
sedang orang yang dipanggil "Puteri kecil" tentu Pengtjoan Thianlie sendiri.
Jantung Kim Sie Ie memukul keras. Pengtjoan Thianlie tidak mengeluarkan sepatah
kata. Berselang beberapa saat, Yoe Peng berkata pula sembari tertawa: "Sebenarbenarnya walaupun kau membenci dia, kau toh seharusnya menanya dulu biar terang."
Kim Sie Ie yang bersembunyi di belakang batu, menahan napas supaya
persembunyiannya
tidak diketahui si nona.
Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang, disusul suara Peng Go yang
sangat perlahan: "Tak usah kau campur tahu."
Lagi-lagi Yoe Peng tertawa geli. "Siauwkongtjoe," katanya "Kenapa kau jadi
begitu" Terangterang,
aku mengetahui kau menyukai dia!"
"Jangan rewel!" bentak si nona.
"Andaikata kau tidak menyukai dia, aku tahu, kau tidak membenci dia," kata si
dayang. Mendengar itu, jantung Kim Sie Ie kembali memukul keras. Ia merasa, perkataan
Yoe Peng adalah beralasan.
Pengtjoan Thianlie tetap menutup mulut.
"Ah, Siauwkongtjoe!" kata Yoe Peng dengan suara penasaran. "Sekarang biarlah aku
berterus terang: Jika kau tetap mengumbar napsu terhadap Tong Siangkong, ada seorang
siauwdjin (orang
rendah) yang akan merasa girang."
"Apa?" si nona menegas.
"Benarkah Siauwkongtjoe tak tahu?" jawabnya. "Ada seorang, seekor anjing pemburu
yang terus menguntit kita... tidak! Bukan, bukan anjing pemburu, tapi kodok buduk,
seekor kodok

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buduk yang mengimpi ingin gegares daging angsa langit!"
Mendadak saja, Kim Sie Ie tak dapat menguasai diri lagi. Dengan sekali mengenjot
badan, ia sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak sekuat-kuatnya:
"Apa" Aku
kodok buduk?"
Daun-daun terdengar berkresekan dan Peng Go bersama dayangnya keluar dari antara
pohonpohon bunga. Yoe Peng tertawa dingin dan berkata: "Siauwkongtjoe, lihatlah! Bukankah benar,
apa yang kukatakan tadi" Tak bedanya seperti anjing pemburu yang hidungnya tajam. Kemana
juga kita pergi, dia selalu dapat mengendusnya. Anjing pemburu sebenarnya lebih tinggi
setingkat daripada
kodok buduk."
Kim Sie Ie tertawa dingin. Dengan paras muka berubah pucat, ia mengangkat
tongkatnya. Melihat begitu, buru-buru Peng Go loncat menyelak di depan Yoe Peng. "Mau apa
kau?" tanyanya.
"Kau adalah angsa langit, tak berani aku, si kodok buduk, melihat wajahmu," kata
Kim Sie Ie. "Tapi dayangmu adalah seekor bebek. Aku si kodok buduk, ingin menelan dia!"
"Kim Sie Ie!" kata si nona dengan suara tawar. "Apakah kau masih memandang aku
atau tidak?" Selama hidupnya, Kim Sie Ie selalu bertindak dengan menuruti kemauannya sendiri
saja. Dengan memiliki ilmu silat seperti yang dimilikinya, dengan mudah ia akan dapat
melukakan Yoe Peng. Tapi mendengar teguran Peng Go, entah kenapa, ia menjadi keder. Ia merasa,
bahwa Pengtjoan Thianlie mempunyai keagungan dan keangkeran yang wajar, yang tak dapat
dilanggar oleh siapapun juga. Hatinya ingin menyindir, tapi sindiran itu tak bisa keluar
dari mulutnya. Maka
itu, ia hanya berkata: "Dayangmu telah mencaci aku. Aku..."
"Kau ingin mengajar adat?" si nona memotong. "Dayangku tak perlu diajar oleh
orang lain."
Kim Sie Ie kembali naik darah, tapi ia tak berani mengumbar kegusarannya. Sambil
menahan amarah, ia menanya dengan mengutib perkataan Peng Go sendiri: "Pengtjoan
Thianlie! Apakah
kau masih memandang aku atau tidak?"
Peng Go melirik dan kemudian dengan tawar: "Kita bertemu hanya secara kebetulan
saja. Soal pandang memandang sebenarnya bukannya soal di antara kita."
Kim Sie Ie bungkam sejenak. Rasa jelus, membenci dan gusar berkumpul di dalam
dadanya. Sekonyong-konyong, bagaikan halilintar, ia berteriak: "Dalam matamu, memang
hanya terdapat si
bocah she Tong!"
"Tak ada sangkut pautnya dengan kau!" jawab si nona sembari tertawa tawar.
Sehabis berkata
begitu, Peng Go menghela napas panjang, kedua matanya mengawasi Kim Sie Ie
dengan sorot kasihan. Meskipun berusia lebih muda dari Kim Sie Ie, dengan suara seperti seorang kakak
yang sedang menasehati adiknya, ia berkata: "Ah! dengan kepandaianmu, sebenarnya kau bisa
menjadi seorang pendekar di jaman ini, jika kau berjalan dijalan lurus. Dan jika kau
terus mempelajari
ilmu, kau bisa menjadi seorang guru besar dari suatu cabang persilatan. Tapi
kenapa, kenapa kau
mengeluarkan lagak buaya?"
Kim Sie Ie terkesiap. Itulah kata-kata yang ia baru pernah mendengar. Dalam
mengeluarkan kata-kata itu, nada suara Pengtjoan Thianlie penuh dengan rasa sayang. Tapi pada
saat itu, mana Kim Sie Ie dapat menerimanya dengan otak dingin" Mendadak saja, ia merasakan
darahnya mengalir deras dan dadanya seperti mau meledak.
"Kenapa lagak buaya?" tanyanya, dengan mata merah.
Seingatnya, ia selalu membenci dunia dengan segala umat manusia yang hidup di
dalamnya. Belum pernah ia menanya diri sendiri, apakah sepak terjangnya benar atau tidak.
Maka itu, baginya, kata-kata Peng Go adalah bagaikan halilintar di tengah hari bolong.
Di lain pihak, ditanya begitu, Peng Go jadi kemekmek. Tak dapat ia menjawab
pertanyaan Kim Sie Ie. Harus diingat, bahwa pendidikan yang Peng Go dapat adalah berlainan
dengan pendidikan
Kim Sie le. Bahwa ia sudah menggunakan kata-kata yang kasar itu, sebenarnya
sudah melampaui
garis kebiasaannya. Maka itu, tak mungkin si nona memberi penjelasan lebih
lanjut mengenai
lagak buaya Kim Sie Ie.
Dengan sorot mata gila, Kim Sie Ie mengawasi Pengtjoan Thianlie, sehingga Yoe
Peng menjadi takut. "Kau terus mengintil di belakang kami," katanya. "Apakah itu bukan lagak
buaya?" "Jalan bukan milikmu," sahutnya. "Kau jalan sejalanmu, aku jalan sejalanku.
Kenapa lagak buaya?" Koei Peng Go jadi merasa kurang senang. "Sie le-heng," katanya. "Jalan ada
banyak sekali. Sebaiknya, kita masing-masing mengambil jalan sendiri-sendiri."
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara teriakan nyaring dan bagaikan seekor
kera, tanpa menengok lagi, ia terus memanjat puncak gunung yang berdekatan.
Seperti manusia edan, ia memanjat dan memanjat terus. Ia berteriak, ia tertawa,
menandak dan bergulingan, sehingga pakaiannya yang indah jadi rubat-rabit, muka dan
sekujur badannya
ketusuk duri sehingga mengeluarkan darah, tapi semua itu, sedikitpun tidak
diperdulikannya. Ia
merasa rohnya seakan-akan mau berontak keluar dari raganya. Ia ingin sekali
agar, pada detik itu
juga, seluruh badannya hancur lebur menjadi debu untuk disebarkan ke seluruh
bumi. Seperti orang berotak miring, ia merobek-robek bajunya dan kemudian berdiri di
pinggir kobakan, bercermin di air yang bening bagaikan kaca. "Tiada beda dengan manusia
lain, tubuhku telah dilahirkan oleh ayah bundaku," ia berteriak. "Tapi kenapa manusia begitu
menghina diriku?"
*** Di detik itu, segala pengalamannya yang lampau, berbayang pula di depan matanya.
Ia ingat masa bocahnya. Lain orang melewati masa kecilnya dengan penuh kebahagiaan, ia
justru sebaliknya. Apa yang dialaminya sepanjang masa itu, adalah kepahitan dan
kegetiran. Siang-siang
ibunya sudah meninggal dunia, sedang ayahnya adalah seorang guru sekolah miskin
yang mencari makan di kampung orang.
Waktu ia berusia lima tahun, karena ayahnya berpenyakitan dan hasilnya sebagai
guru sekolah tidak mencukupi ongkos penghidupan, ayahnya itu telah mengambil putusan untuk
pulang ke kampung kelahirannya. Karena tidak mempunyai kemampuan lain, maka mau tak mau,
ayah dan anak itu terpaksa harus mengemis di sepanjang jalan. Di tengah jalan, sang ayah
sakit keras dan
akhirnya meninggal dunia. Masih untung, berkat pertolongan seorang kawan
pengemis, ia sendiri
tak sampai mati kelaparan.
Demikianlah, dengan pakaian rombeng dan badan kurus kering, ia menuntut
penghidupan sebagai pengemis kecil, yang hidupnya tergantung dari belas kasihan orang.
Sesudah tiga tahun
hidup begitu, di badannya mulai tumbuh bisul-bisul dan pada mukanya timbul
bintik-bintik merah
yang menonjol. Tentu saja ia tak mengerti apa artinya gejala-gejala itu. Ia
hanya merasa heran
karena kawan-kawannya tak mau bergaul lagi dengan dirinya, bahkan selalu
menyingkir jauh-jauh.
Pada suatu hari, seorang pengemis tua berkata kepadanya: "Kurasa kau menderita
penyakit kusta. Sekarang kau tidak dapat mengemis lagi, sebab kau bisa mati digebuk
orang!" Tentu saja ia jadi sangat ketakutan. Sekarang baru ia tahu, kenapa kawankawannya selalu
menyingkir jika di dekatnya. Mulai dari waktu itu, ia menyembunyikan diri di
waktu siang dan baru
berani keluar di waktu malam untuk mencari sayur atau buah-buahan di kebun
orang. Beberapa
kali, hampir-hampir ia binasa dihajar pemiliknya. Kadang-kadang, jika ia
berpapasan dengan orang
lain di waktu siang hari, ia tentu akan dicaci sebagai "Siauwmahong (penderita
kecil). Orang-orang
yang bernyali kecil menyingkir jauh-jauh, sedang yang berhati tabah mengejarnya
dengan niat akan menguburnya hidup-hidup. Untung juga, ia bisa lari keras sekali dan
beberapa kali ia berhasil
meloloskan diri dari "lubang jarum."
Berbulan-bulan ia hidup sebagai orang liar. Dapatlah dibayangkan, betapa besar
penderitaannya pada waktu itu. Dalam otaknya yang masih sangat sederhana,
sering-sering ia
mendapat pikiran nekat.
Pada suatu hari, dengan perut kosong dan badan kedinginan, ia mendaki sebuah
gunung yang tinggi. Akhirnya, tibalah ia di atas sebuah batu cadas yang sangat besar,
didampingi air terjun
yang jatuh ke dalam jurang yang dalamnya ratusan tombak. Sampai disitu habislah
tenaganya, dan mau tidak mau ia harus berhenti. Lama ia berdiri disitu dengan kedukaan yang
tak terlukiskan. Mendadak, ia jadi nekat. Sembari berteriak: "Ayah! Ibu!", ia melompat ke bawah!
*** Melamun sampai disitu, tiba-tiba Kim Sie Ie sadar dan ia merasa, bahwa tanah di
bawah kakinya, agak bergetar. Ia memperhatikan sekelilingnya dan mendapat kenyataan,
bahwa di hadapannya terdapat air terjun, yang mencurahkan airnya ke dalam sebuah jurang
yang dalamnya ratusan tombak.
Ia menghela napas panjang-panjang. "Dulu, ada yang menolong aku," katanya di
dalam hati. "Sekarang, siapakah yang akan menolong?" Berpikir begitu, ia ingat pula kepada
pertemuan luar biasa itu yang telah mengubah seluruh penghidupannya.
*** Begitu ia melompat dari batu cadas itu, selagi badannya berada di tengah udara,
dalam keadaan setengah sadar, ia merasa, bahwa sebuah tangan yang besar lagi kuat,
menjambret bajunya. Bagaikan dalam mimpi, ia merasakan tubuhnya dilontarkan ke ruang kosong
tak berdasar, tidak pula berbatas. Kepalanya pusing, kupingnya mendesing dan ia tak
ingat orang lagi... Entah sudah berapa lama ia tak sadarkan diri, ketika sayup-sayup ia mendengar
seseorang berkata: "Sungguh kasihan anak ini!"
Ia merasakan pundaknya ditepuk-tepuk dan mulutnya disuapi makanan. Kejadian itu
telah menimbulkan lagi hal-hal di jaman lampau yang sebenarnya sudah lama hilang dari
ingatannya. Ia ingat pula kepada saat-saat penuh bahagia, ketika ia didukung ibunya, ditepuktepuk dan diberi
makanan. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Ia terkejut, karena yang dilihatnya
adalah pemandangan sebagai dalam impian. Ia mendapatkan dirinya sedang berbaring di
sebuah perahu kecil dan sekelilingnya hanyalah laut biru yang berombak kecil-kecil. Dalam
perahu itu terdapat
seorang kakek yang beroman aneh dan sedang memandangnya dengan sorot mata
menyayang. Ia mengucak-ngucak matanya dan memandang orang tua itu, yang berbadan tinggi
besar dan mengenakan pakaian linen. Rambut kakek itu panjang luar biasa, terurai sampai di
pundak. Jika dalam keadaan biasa, ia bertemu dengan orang begitu, sudah pasti ia akan menjadi
ketakutan. Tapi sekarang, sorot mata si kakek justru menimbulkan rasa hangat di dalam
hatinya dan ia merasa, bahwa berdampingan dengan orang tua itu ia seolah-olah berdampingan
dengan ibunya sendiri. Si kakek tertawa seraya berkata: "Anak, kau sekarang sudah mendusin. Apakah kau
lapar?" Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Orang tua itu segera mengambil sebuah kendi merah dan menuangkan isinya ke dalam
mulutnya. Cair itu berasa seperti arak dan sesudah mencegluk beberapa kali,
semangatnya lantas
saja terbangun. "Siapakah kau?" tanyanya. "Apakah kau yang sudah menolong aku?"
Si kakek mengangguk sambil tertawa. "Anak, sudah sejak beberapa hari aku
memperhatikan dirimu," katanya. "Bahwa seorang diri kau berani bergulat untuk hidup di
pegunungan yang
berbahaya, membuktikan, bahwa kau mempunyai nyali yang besar. Tapi kenapa kau
mengambil putusan pendek" Jika aku terlambat sedikit saja, badanmu tentu sudah hancur di
dalam jurang."
Ia menggigit jarinya dan ia merasa sakit. Sekarang ia mendapat kepastian, bahwa
ia bukan sedang bermimpi.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah lima hari kau pingsan," kata si kakek sembari mesem pula.
"Badanmu ulet sekali. Jika anak lain yang mengalami kejadian ini, dia pasti tak
akan bisa sehat
kembali begitu cepat."
Ia merangkak bangun. "Kenapa kau menolong aku?" tanyanya sembari mengawasi orang
itu. "Kenapa kau tak takut" Aku adalah penderita kusta!"
Si kakek tertawa seraya berkata dengan perlahan: "Bukan, kau bukan penderita
kusta. Aku, akulah, yang benar-benar seorang penderita kusta."
Ia terperanjat dan menatap wajah orang tua itu. Meskipun beroman luar biasa dan
berambut panjang, muka orang tua itu kelihatan sehat dan bersinar merah, sedang kulitnya
licin lagi halus,
sedikitpun tak terlihat tanda-tanda penyakit kusta kepadanya.
"Dulu, aku benar pernah menderita penyakit kusta, tapi sekarang sudah sembuh,"
si kakek menerangkan. "Kau hanya mendapat penyakit kulit, karena hidup di tempat kotor.
Sesudah mandi dengan air laut beberapa kali dan berjemur beberapa hari, kau akan segera
sembuh. Ah! Sungguh
sayang, bahwa kau bukan penderita kusta!" Sehabis berkata begitu, ia menghela
napas panjangpanjang.
Waktu itu, Kim Sie Ie baru saja berusia sebelas tahun. Tapi perkataan si kakek
menimbulkan rasa heran dalam hatinya. "Kenapa ia merasa menyesal, karena aku tidak menderita
penyakit kusta?" tanyanya di dalam hati sembari mengawaskan orang tua itu.
"Dulu aku pernah menderita penyakit kusta," kata kakek itu. "Aku telah mengalami
penderitaan yang sepuluh kali lebih hebat daripada penderitaanmu.
Belakangan aku lari ke sebuah pulau dan bersumpah tak akan menemui manusia lagi.
Bertahun-tahun aku bersembunyi dan beberapa belas tahun berselang, baru seorang
pendekar wanita menyadarkan aku dari kekeliruanku. Aku insyaf, bahwa hidup mengasingkan
diri adalah tak
benar. Aku mengubah pendirianku dan akupun bersumpah untuk menolong para
penderita penyakit kusta, sebisaku dan sebanyak mungkin. Selama sepuluh tahun ini, sudah
banyak juga orang yang telah kutolong. Kini aku sudah merasa, bahwa hidupku sudah tak lama
lagi. Aku ingin
sekali mengambil seorang anak yang berpenyakit kusta untuk dijadikan murid.
Hanya, sayang aku
belum bisa menemukan seorang yang cocok."
Kim Sie Ie adalah seorang cerdik. Begitu mendengar perkataan orang tua itu, ia
segera berlutut
di hadapannya. "Semua orang mencaci aku sebagai penderita kusta," katanya dengan
suara memohon. "Jika kembali ke darat, aku tentu akan mati digebuk orang. Soehoe, jika
kau menolak, lebih baik aku menceburkan diri ke dalam laut!"
Si kakek berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Baiklah. Tapi kau harus
mempunyai nyali
untuk hidup bersama-sama dengan aku di pulau terpencil itu."
"Sedang mati 'ku tak takut, masakah aku takut hidup di pulau?" kata Kim Sie Ie.
Demikianlah, ia lalu menjalankan upacara mengangkat guru di perahu itu.
Dalam beberapa hari, dengan mandi di air laut dan berjemur di sinar matahari,
Kim Sie Ie sudah sehat kembali. Bukan saja tenaganya sudah kembali, malah bisul-bisulnya
juga sudah rontok semua dan kulitnya berubah licin. Berselang beberapa hari lagi, sebuah
pulau kecil sudah
kelihatan di sebelah jauh. Setelah berada tak jauh dari pulau itu, Kim Sie Ie
mengendus bau wangi
yang dibawa angin laut, tapi di antara bau wangi itu tercium juga bau amis. Ia
melihat, bahwa pulau itu ditumbuhi pohon-pohon yang rindang daunnya dan sebuah sungai kecil
juga terdapat disitu. Ombak laut kecil-kecil tiada habisnya bermain di pantainya, pantai
berpasir putih.
Pemandangan indah, tenang dan menyenangkan itu, membikin hati Kim Sie Ie sangat
gembira. "Aduh! Bagus benar tempat ini!" ia berseru.
"Bagus atau tak bagus, sebentar baru kau dapat menentukannya," kata si kakek
sembari tertawa. Ia meloncat turun dari perahu itu dan sesaat kemudian ia sudah berjalan
di pesisir sambil
menuntun muridnya. Mendadak, dari dalam hutan terdengar suara berkresekan yang
sangat luar biasa dan di detik berikutnya, ribuan ular keluar menyambut mereka! Alangkah
hebatnya pemandangan itu, beribu jenis ular dengan aneka warna kulit mereka, merayap,
berbelit-belit mendatangi sambil mendesis tiada sudahnya Seluruh pantai dipenuhi binatang
menjijikan itu.
Kim Sie Ie kehilangan semangatnya, tapi si kakek sedikitpun tidak merasa takut
dan sembari bersenyum, ia maju mendekati. Sungguh mengharukan, ular-ular itu serentak
menunduk dan mengangguk-angguk seperti juga memberi hormat kepada si tua.
"Anak, apakah kau takut?" tanya orang tua itu sembari tertawa
"Takut apa?" jawabnya "Paling ganasnya, mereka juga sama dengan manusia-manusia
di dunia yang menghendaki jiwaku."
Si kakek tertawa terbahak-bahak. "Jalan pikiranmu sama benar pikiranku, ketika
aku baru mendarat disini," katanya.
Mulai dari saat itu, Kim Sie Ie menetap di pulau tersebut dan belajar silat di
bawah pimpinan gurunya. Juga nama "Kim Sie le" itu adalah pemberian gurunya.
Sesudah lewat beberapa bulan, ia baru mengetahui, bahwa sang guru bernama
Tokliong Tjoentjia, sedang pulau itu adalah Tjoato (Pulau Ular), yang terletak di antara
Laut Kuning dan
Pokhay, dan semenjak dulu hampir tak pernah didatangi orang lain.
Di waktu mudanya, Tokliong Tjoentjia adalah seorang guru silat. Belakangan,
karena terserang
kusta, ia telah digebah dari rumahnya dan diubar-ubar oleh manusia yang takut
ketularan dan merasa jijik melihat bisul-bisulnya. Bertahun-tahun ia bersengsara, dikejar kian
kemari, sampai akhirnya ia tiba di pulau itu. Dalam kenekatannya, ia berkawan dengan kawanan
ular itu. Kemudian, dengan pertolongan ular, ia berhasil menyembuhkan penyakitnya. Ilmu
silatnya yang sangat luar biasa, telah diciptakannya sendiri di pulau tersebut.
Tokliong Tjoentjia menurunkan seantero kepandaiannya kepada muridnya. Kim Sie Ie
yang berotak cerdas, gampang sekali menerima pelajaran, sehingga sang guru menjadi
girang sekali. Menurut kebiasaan setiap tahun sekali atau dua kali Tokliong Tjoentjia pergi ke
Tiongkok darat dan setiap kalinya selama sebulan atau dua bulan. Selama gurunya menjalankan
tugas sebagai penolong sesama manusia, Kim Sie Ie sendiri terus berlatih silat di pulau itu,
dengan dikawani oleh
ribuan ular. Di waktu senggang, Tokliong Tjoentjia sering menceritakan
pengalamanpengalamannya
dalam melaksanakan hasratnya, menolong para penderita kusta yang hidup
seperti dalam neraka. Ia juga sering menuturkan segala kepahitan yang pernah
dialaminya sendiri,
selama ia sendiri masih berpenyakit kusta, antara lain bagaimana hampir-hampir
ia mati dibakar
oleh orang-orang yang merasa jijik terhadapnya. Semua kisah itu, ditambah dengan
pengalamannya sendiri, sudah membikin Kim Sie le sangat membenci manusia dalam
keseluruhannya. Ia berharap, supaya ia bisa terus tinggal di pulau itu dan tak
usah menemui lagi
manusia untuk selama-lamanya.
Tanpa terasa, tujuh tahun lewat dengan cepat sekali. Selama tujuh tahun itu,
tiada hentinya Kim Sie Ie belajar ilmu silat dan tanpa disadarinya ia sekarang sudah menjadi
ahli silat kelas satu.
Mendadak datanglah suatu hari yang telah mengubah seluruh jalan penghidupannya.
Pada suatu magrib, ketika sang matahari tengah menyelam di sebelah barat dan
tampak seolah-olah sebuah bola api, Kim Sie Ie dipanggil gurunya.
Begitu berhadapan, ia melihat perubahan luar biasa yang terjadi pada muka
gurunya. "Sekarang kau sudah mewarisi semua kepadaianku," kata sang guru dengan perlahan.
"Jika kau kembali ke Tiongkok darat dan berkelana di kalangan Kangouw, kurasa di waktu ini
sedikit sekali orang yang bisa menandingi ilmu silatmu."
"Soehoe," kata Kim Sie le dengan bingung. "Kebanyakan manusia dalam dunia jahat
sekali. Lebih baik aku terus berdiam disini seumur hidupku."
Tokliong Tjoentjia mengangguk dan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Benar, benar, memang sangat banyak manusia berhati jahat," katanya dengan sabar. "Malah
dalam Rimba Persilatan juga terdapat banyak sekali manusia busuk. Tapi kau harus
ingat, bahwa tidak
semua manusia berhati jahat. Antaranya, Lu Soe Nio dan Kam Hong Tie adalah
orang-orang yang
berhati mulia."
Semenjak berdiam di pulau itu, Kim Sie Ie belum pernah mendengar gurunya
bercerita tentang
orang-orang Rimba Persilatan. Maka sekali ini, ia menjadi sangat heran. Baru
saja ia ingin menanyakan siapa-siapa Lu Soe Nio dan Kam Hong Tie itu, gurunya sudah berkata
pula: "Di samping mereka, ada pula orang-orang dari Thiansan pay. Ah! Jika kau tidak
mencari orang-orang
Thiansan pay, kau bisa celaka!"
Kim Sie Ie tak mengerti apa maksud gurunya. "Kenapa?" tanyanya.
"Orang yang sudah mahir dalam ilmu silat gubahanku, rasanya tak akan kalah dari
pendekarpendekar
Thiansan," jawabnya. "Tapi... Tapi..."
"Tapi kenapa?" si murid menanya lagi.
Tokliong Tjoentjia mengerutkan alisnya. "Tak lama lagi, kau akan mengerti
sendiri," katanya.
"Ah! Di antara murid-murid Thiansan, entah siapa yang masih hidup. Bagaimana
sikap mereka"
Apakah mereka akan merasa girang melihat kecelakaan dan membiarkan musnahnya
ilmu silat partai kita, agar partai mereka bisa hidup sendiri dalam dunia ini?"
"Apa?" tanya Kim Sie Ie. "Apakah dalam Thiansan pay tak ada orang jahat" Teetjoe
(murid) bersedia mengikut Soehoe untuk mencari mereka dan menjajal kepandaian mereka."
Tokliong Tjoentjia kembali menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sebentar akan
kujelaskan,"
katanya. "Sekarang panggillah dulu kawanan ular."
Sesudah tujuh tahun berdiam di Pulau Ular, Kim Sie Ie sudah mahir dalam ilmu
menjinakkan ular. Tapi baru saja ia ingin memutarkan badannya untuk menjalankan perintah
gurunya, tiba-tiba
ia melihat uap putih yang keluar dari kepala sang guru.
"Sie Ie," Tokliong Tjoentjia berkata dengan mendadak. "Kau harus ingat segala
penderitaanmu di waktu kecil."
"Teetjoe tak akan melupakannya," jawab si murid.
"Pergilah!" perintah sang guru sembari mengebaskan tangannya. "Lekaslah kembali,
karena aku masih ingin bicara pula!"
Kim Sie Ie segera meninggalkan gurunya dan pergi ke berbagai tempat untuk
memanggil kawanan ular. Ternyata, ular-ular itu mengerti maksud manusia dan tak lama
kemudian, mereka
sudah berkumpul diluar hutan dalam rombongan-rombongan yang masing-masing di
kepalai seekor ular besar.
Sesudah menjalankan tugasnya, Kim Sie Ie lalu kembali ketempat gurunya.
"Soehoe!" ia
berteriak. "Kawanan ular sudah datang." Tetapi, segera juga ia terperanjat dan
berdiri laksana
patung dengan mata membelalak.
Kedua mata Tokliong Tjoentjia terbuka lebar-lebar, biji matanya tak bergerak,
sedang keringat
membasahi sekujur badannya. "Soehoe! Kau kenapa?" teriak si murid.
Tokliong Tjoentjia tak menjawab. Dengan jantung berdebar keras, Kim Sie le
menubruk sang guru dan meraba badannya yang ternyata sudah kaku. Ia sudah meninggal dunia! Di
samping jenazahnya terdapat tongkat besinya yang biasa digunakannya dan di bawah tongkat
itu terdapat sejilid kitab dengan tulisan "Tokliong Pitkip (Kitab Naga Beracun) di kulit
luarnya. Sesaat
kemudian, Kim Sie Ie mendapat kenyataan, bahwa di atas tanah terdapat tulisan
yang terbaca seperti berikut:
"Sesudah kepandaianmu sempurna, pergilah mencari orang Thiansan pay dan
perlihatkan kitab
ini kepadanya. Minta..."
Huruf "minta" agak guram dan bentuknya miring, sehingga bisa ditarik kesimpulan,
bahwa, tengah menulis huruf itu, Tokliong Tjoentjia sudah kehabisan tenaga.
Kim Sie le menangis sedih sekali, sedang semua ular dengan serentak menundukkan
kepala sebagai penghormatan penghabisan terhadap majikan itu.
Sekarang Kim Sie le baru mengerti, bahwa gurunya telah memanggil kawanan ular
untuk berpamitan. Sang guru telah mengatakan bahwa sebelum menutup mata, ia masih
ingin bicara dengannya dan kini ia merasa sangat menyesal, bahwa ia tak bisa mendengar pesan
terakhir gurunya itu. Dengan penuh kedukaan, ia mengubur mendiang gurunya. "Soehoe! Ia
berteriak dengan suara menyayatkan hati, sesudah jenazah Tokliong Tjoentjia diuruk dengan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah. "Aku
tentu ingat segala perkataanmu. Aku tentu tak akan melupakan, bahwa kau dan aku
telah merasakan penderitaan yang sama. Aku mengerti maksudmu. Aku benci semua manusia
dalam dunia!" Kim Sie Ie tentu saja tidak mengetahui, bahwa ia telah salah menafsirkan
perkataan gurunya!
Memang benar Tokliong Tjoentjia pernah melarikan diri ke pulau itu karena
diubar-ubar manusia
dan ia memang pernah membenci manusia. Akan tetapi, tujuh belas tahun berselang,
Lu Soe Nio, Kain Hong Tie, Phang Eng, Tong Siauw Lan dan beberapa pendekar lain pernah
datang di Tjoato.
Pada waktu itu, Lu Soe Nio dan Phang Eng telah merobohkan Tokliong Tjoentjia dan
berbareng menolong juga jiwanya. Belakangan mereka telah memberi nasehat panjang lebar,
sehingga Tokliong Tjoentjia memperoleh kembali sifat kemanusiaannya. Kebenciannya berubah
menjadi kecintaan dan dengan segenap tenaganya, ia telah menolong para penderita kusta.
Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, ia ingin meninggalkan pesan kepada Kim Sie
Ie, supaya si murid tidak melupakan penderitaannya di waktu kecil dan meneruskan
pekerjaannya menolong
para penderita kusta. Tapi sungguh sayang, pesan terakhir itu tak keburu
diucapkan, sehingga
Kim Sie Ie jadi salah mengerti!
Sesudah penguburan itu beres, Kim Sie Ie lalu mempelajari Tokliong Pitkip. Ia
mendapat kenyataan, bahwa meskipun sebagian besar pelajaran ilmu silat dalam kitab itu
sudah diketahuinya, tapi berapa bagian yang sulit masih belum dapat diselaminya.
Bagian-bagian itu
diterangkan secara jelas dalam kitab tersebut. Di samping itu, dalam Tokliong
Pitkip juga terdapat
pelajaran untuk membuat dan menggunakan macam-macam senjata rahasia beracun.
Tiga tahun lamanya, dengan bantuan kitab tersebut, Kim Sie Ie mempelajari segala apa yang
belum keburu diyakinkannya di bawah pimpinan sang guru. Berkat kegiatannya, ia memperoleh
kemajuan yang mentakjubkan. Dengan pukulan tangan kosong, ia sekarang bisa merobohkan pohon
yang besar dan dengan jarum beracun, i;i Ihmi membinasakan buaya yang berenang di air.
Berselang lagi beberapa lama dalam kesepiannya, Kim Sie Ie sering melamun. "Di
pulau ini soehoe telah menggubah ilmu silat yang begitu liehay," pikirnya pada suatu hari.
"Sebagai murid,
aku berkewajiban membikin semua manusia di dunia mengetahui keliehayan soehoe.
Dengan demikian, barulah capai lelahnya tidak tersia-sia." Di lain saat, ia berpikir
pula: "Menurut kata
soehoe, berbagai cabang persilatan di wilayah Tionggoan sebenarnya tidak
seberapa liehay. Dulu,
semua manusia telah memandang rendah kepada soehoe dan mengejar-ngejarnya.
Paling baik, aku sekarang main-main ke daerah Tionggoan dan menghantam mereka sampai kalang
kabut. Sesudah aku merobohkan semua orang gagah di kolong langit, baru aku akan
mengumumkan asal-usul soehoe. Hanya dengan berbuat begitu aku bisa membikin nama soehoe
menjadi harum untuk selama-lamanya."
Demikianlah, dengan adanya angan-angan begitu, dalam hati Kim Sie Ie segera
timbul niatan untuk meninggalkan Pulau Ular.
Akan tetapi, semenjak gurunya meninggal dunia, selama tiga tahun, ia selalu
merasa tertekan
karena ada dua teka-teki yang tak dapat dijawabnya sendiri. Teka-teki itu adalah
perkataan Tokliong Tjoentjia sebelum menarik napas yang penghabisan.
Kenapa sang guru telah memesan, supaya sesudah kepandaiannya sempurna, ia pergi
mencari orang Thiansan pay" Kenapa, jika tidak berbuat begitu, menurut gurunya ia bisa
celaka" Ia
mengingat-ingat dan merasa, bahwa ketika mengeluarkan perkataan itu, sang guru
sama sekali tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Thiansan pay. Selain itu, kenapa ia
harus memperlihatkan Tokliong Pitkip kepada orang Thiansan pay" Ia benar-benar heran.
Walaupun belum pernah berkelana di Rimba Persilatan, ia mengetahui, bahwa setiap partai
sangat merahasiakan ilmu simpanan masing-masing dan tak akan gampang-gampang
membocorkannya kepada orang luar. Apakah tak mungkin, jika tulisan gurunya itu telah ditulis
dalam keadaan setengah sadar" Huruf "minta" sudah menimbulkan rasa tak rela di dalam hati Kim
Sie Ie. Ia tak tahu, sang guru ingin memerintah ia "minta" apa dari Thiansan pay. Ia hanya
merasa, bahwa ilmu
silat Tokliong Tjoentjia yang sedemikian tingginya tak memerlukan apapun juga
dari orang lain.
Yang lebih mengherankan lagi adalah meninggalnya sang guru secara begitu tibatiba. Ia yakin,
bahwa semua manusia tak dapat melawan takdir. Jika sudah sampai temponya, setiap
manusia memang harus berpulang ke alam baka. Akan tetapi, dengan memiliki ilmu yang tak
bisa diukur tingginya, kenapa sang guru tak dapat bertahan untuk beberapa saat, guna
menyampaikan pesan
terakhir kepadanya.
Ketika baru datang, Kim Sie Ie memang berniat untuk berdiam terus di Pulau Ular
sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sesudah gurunya meninggal dunia, perlahan-lahan ia merasa
kesepian dan tak betah. Ketika baru datang, ia masih berusia sebelas tahun. Sekarang, sesudah
lewat sepuluh tahun, ia sudah menjadi seorang pemuda yang berusia dua puluh satu tahun.
Perasaan dan pikiran seorang dewasa berbeda jauh dengan angan-angan anak kecil. Dulu, ia
sudah merasa puas
dengan dunianya yang sempit kecil. Dulu, hari-hari dapat dilewatinya dengan
gembira, ia bermain
dengan ular, menangkap burung, berenang, main pasir dan sebagainya. Tapi
sekarang, sabansaban
ia teringat kepada dunia luar, dunia yang luas dan ramai, meskipun dunia itu
agak asing baginya dan sangat dibencinya.
Demikianlah, ditambah dengan beberapa teka-teki itu yang selalu mengganggu
pikirannya, sesudah kurang lebih tiga tahun Tokliong Tjoentjia meninggal dunia, ia tak tahan
lagi. Dengan membawa tongkat dan kitab gurunya, ia naik sebuah perahu kecil, menyeberangi
laut untuk merantau ke daratan Tiongkok
Sepuluh tahun adalah jangka waktu yang tidak terlalu pendek dan juga tidak
terlalu panjang.
Akan tetapi, bagi Kim Sie Ie, jangka waktu itu telah mengubahnya sama sekali.
Dari seorang anak
berpenyakit kusta yang dikejar dan dihina orang, ia sekarang sudah menjadi
pemuda tampan yang
mempunyai kepandaian sangat tinggi.
Tapi pemuda itu mempunyai suatu tujuan edan. Ia menantang dunia yang pernah
menghinanya! Dengan lweekang-nya yang sangat tinggi, ia bisa mengubah mukanya,
sehingga kelihatan sebagai penderita kusta. Celakalah orang yang berani menghinanya!
Delikan dibalas
dengan delikan, gigi dibayar dengan gigi! Banyak orang yang berpapasan dengan
dia, lantas saja
dianggapnya berdosa, menangis salah, tertawa pun keliru. Kemana saja ia pergi,
ia tentu mencari
jago-jago setempat untuk diajak mengadu kepandaian. Begitulah, dalam beberapa
tahun saja, nama Toktjhioe Hongkay sudah menggetarkan seluruh dunia Kangouw. Dalam menjajal
ilmu, belum pernah ia menemukan tandingan. Semakin besar nama seorang jago dari
kalangan Kangouw, semakin hebat orang itu dipermainkan, sehingga banyak orang ternama
buru-buru menyingkir jika Kim Sie Ie hendak menjumpainya.
Ia pernah berniat mencari Kam Hong Tie dan Lu Soe Nio, tapi belakangan ia
mendengar, bahwa Kam Hong Tie sudah meninggal dunia, sedang Lu Soe Nio sudah lama
menyingkir dari
pergaulan umum. Oleh sebab itu, ia telah melepaskan niatannya itu. Menurut
gurunya, dalam Rimba Persilatan hanya terdapat dua orang mulia, yaitu Kam Tayhiap dan Lu
Liehiap. Sesudah
yang satu meninggal dunia dan yang lain menghilang, tanpa sungkan-sungkan lagi,
ia mempermainkan siapa saja yang hendak dipermainkannya.
Selama beberapa tahun, sudah banyak jago roboh dalam tangannya. Setiap kali
memperoleh kemenangan, hatinya menjadi gembira. Akan tetapi, kegembiraan itu selalu disusul
dengan rasa kesepian dan kedukaan. Semakin banyak ia mendapat kemenangan, semakin besar
kedukaannya. Kegembiraan itu hanya bagaikan pelangi di tepi langit, suatu bayang-bayang tak
kekal, sedang kesepiannya dan kedukaannya sebagai juga awan tebal yang gelap suram dan selalu
meliputi seluruh jiwa dan pikirannya!
Kenapa" Karena dia mempermainkan dunia, dunia meninggalkan dia seorang diri. Tak
ada seorang manusia pun yang dapat disebutkannya sebagai sahabatnya. Juga tak ada
manusia yang menganggap dia sebagai orang waras. Dia menghantam dunia, tapi dunia membalas
menghantamnya dengan tenaga yang seratus kali lebih dahsyat. Apa yang didapatnya
tiada lain daripada kesepian... kesepian... kesepian... tiada habisnya, tiada akhirnya.
Menurut rencananya sesudah menjatuhkan jago-jago di wilayah Tionggoan, ia akan
berkelana ke daerah barat laut untuk coba mencari Tjiangboendjin dari Thiansan pay. Tak
dinyana, sebelum
kakinya menginjak Sinkiang, di gunung Tjiakdjie san, ia bertemu dengan seorang
wanita yang memperlakukan dirinya sebagai sahabat, yang tak menghina, tak membenci, malah
berusaha untuk mengobati dirinya serta bersedia untuk berjalan bersama-sama. Wanita itu
adalah Pengtjoan Thianlie. Tapi ia tak mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie sebenarnya
belum pernah mengenal penyakit kusta dan belum pernah melihat seorang penderita kusta.
Pertemuan itu seakan-akan menembusnya sinar matahari yang hangat ke dalam lembah
yang sunyi lagi dingin. Tanpa merasa, Koei Peng Go telah membuka hatinya. Kecuali
dengan gurunya,
ia tak pernah mempunyai keinginan untuk bersahabat dengan manusia. Tapi begitu
bertemu dengan si nona, ia merasa berat untuk berpisah lagi. Perasaan itu sama sekali
bebas dari niat
kurang baik dan caci Yoe Peng bahwa "kodok buduk ingin makan daging angsa
langit" adalah
cacian yang tidak pada tempatnya, Kim Sie le hanya merasa, bahwa dalam dunia ini
Pengtjoan Thianlie adalah manusia satu-satunya yang boleh dijadikan sahabatnya.
Di Tjiakdjie san, ia juga bertemu dengan Tong Keng Thian. Belakangan, sesudah
mengetahui, bahwa Keng Thian adalah murid Thiansan pay dan kecintaan Peng Go, entah kenapa,
di dalam hatinya segera muncul rasa mengiri. Semula ia berniat mencari Tjiangboendjin
dari Thiansan pay
untuk lebih dulu diajak mengadu silat dan kemudian ia akan coba menyelidiki
perhubungan antara
gurunya dan partai tersebut, untuk memecahkan teka-teki yang memberatkan hatinya. Akan
tetapi, sesudah bertemu dengan Keng Thian, ia mengurungkan niatannya itu,
pertama karena adanya perasaan mengiri, kedua karena ia tak sudi meminta apapun juga dari
Thiansan pay dan
ketiga karena ia mendapat kenyataan, bahwa ilmu silat Keng Thian tidak berada di
bawahnya. "Bocah itu adalah houwpwee (orang yang tingkatannya rendah) dalam Thiansan pay
dan kepandaiannya sudah begitu tinggi," pikirnya. "Ayahnya, yang menjadi
Tjiangboendjin, sudah
tentu mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripada aku. Kalau begitu,
kepandaianku belum
sempurna."
Sebagai orang yang beradat angkuh, ia segera mengambil putusan untuk mempelajari
lagi Tokliong Pitkip dan sesudah kepandaiannya meningkat sampai setara dengan
gurunya, barulah ia
akan pergi ke Thiansan untuk menantang bertanding.
Demikianlah, diam-diam ia menguntit Pengtjoan Thianlie dan sengaja merenggangkan
perhubungan kedua orang muda itu. Tentu saja tindakan itu bukan tindakan seorang
ksatria. Tapi di dalam otak Kim Sie Ie memang tak ada soal ksatria. Jiwanya masih seperti jiwa
anak kecil. Jika
ia suka akan suatu barang, ia tak mau anak lain datang merebutnya. Masih untung,
bahwa hatinya bebas dari niat jahat. Jika bukan begitu, di waktu Keng Thian masih sakit di
rumah keluarga Tjee,
dengan mudah ia bisa membinasakan pemuda itu.
Kim Sie Ie menguntit terus sampai di Gobie san. Di luar dugaannya, disitu ia
membentur tembok. Cacian Yoe Peng sedikitpun tak dihiraukannya. Tapi semprotan si nona
yang

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan kata-kata "lagak buaya" seolah-olah halilintar yang menghantam batok
kepalanya... *** Bagaikan bayang-bayang kacau, kejadian-kejadian yang lampau itu berkelebatkelebat di depan
matanya, Semakin lama, ia jadi semakin berduka, sehingga akhirnya ia menjadi
kalap. Ia bergulingan di atas tanah, tanpa memperdulikan duri-duri yang melukakan
kulitnya. Seperti orang
gila, ia berteriak-teriak, menangis keras dan tertawa terbahak-bahak, sesudah
kenyang menangis
dan tertawa, ia merobek-robek pakaiannya dan kemudian menyeburkan diri ke dalam
sebuah sungai kecil. Lama sekali ia mandi disitu dan perlahan-lahan, otaknya yang panas
menjadi agak dingin. Sambil memandang bayangannya sendiri, ia berkata seorang diri: "Orang
ini bukannya aku.
Apakah mukaku yang asli seperti muka ini?"
Mendadak ia meloncat ke atas dan membuka bungkusannya yang ditinggalkan di bawah
pohon. Ia mengambil dan memakai lagi pakaian rombeng yang biasa dipakainya dalam
penyamaran sebagai penderita kusta. Sesudah itu, ia memoles mukanya dengan bubuk obat dan
mengerahkan lweekang-nya. Dalam sekejap, mukanya berubah bersinar merah dan di sekujur
badannya muncul
"bisul-bisul". Sekali lagi ia sudah menjadi penderita kusta yang menakutkan. Ia
lari ke pinggir
solokan dan berkaca di permukaan air itu. "Nah! Inilah baru wajahku yang asli!"
katanya sembari
tertawa terbahak-bahak.
Sebagaimana diketahui, sesudah bergaul dengan Koei Peng Go, watak Kim Sie Ie
yang aneh telah banyak berkurang. Oleh karena mengetahui, bahwa Pengtjoan Thianlie tak
menyukai penyamarannya, ia pernah bersumpah untuk menghentikan penyamaran itu untuk
selamalamanya. Ia malah sudah mencuri pakaian bagus guna
menyenangkan Peng Go. Tapi tak dinyana malam itu Pengtjoan Thianlie telah
mengeluarkan kata-kata menusuk, sehingga kebenciannya kepada dunia yang sudah ditindasnya,
kembali muncul dalam hatinya, malah lebih dahsyat dari semula. Apa yang dirasakannya bukanlah
kekecewaan akibat kegagalan dalam percintaan. Pada hakekatnya, ia belum mengenal cinta.
Yang dipikirkannya pada saat itu, adalah kegetiran pengasingan dan penghinaan, yang
seratus kali lebih
hebat daripada kekecewaan karena gagal dalam percintaan.
Sesudah memandang romannya di air bening, sekonyong-konyong, sambil
memperdengarkan
tertawanya sebagai orang gila, ia mengambil lumpur yang lalu dipoleskan ke
sekujur badan dan
mukanya. "Manusia membenci aku," katanya di dalam hati. "Baiklah! Biarlah mereka
lebih membenci diriku lagi!"
Mendadak di belakangnya terdengar suara "he-he", suara tertawa yang sedap dan
nakal kedengarannya. "Aha! Kodok buduk ini benar-benar lucu!" demikian terdengar suara
seorang wanita. Kim Sie Ie lantas saja naik darah. Ia memutarkan badannya dan menimpuk dengan
tanah. "Benar-benar tolol!" wanita itu berkata pula. "Kau merusak badanmu sendiri,
siapa yang akan
mengasihani dirimu?"
Gerakan Kim Sie Ie itu cepat bagaikan kilat. Ia menimpuk sembari melompat ke
jurusan suara itu. Dengan timpukan yang disertai Iweekang, segenggam tanah itu tak kalah
hebatnya dari sebuah batu. Dengan berbunyi "tak!", sebatang dahan pohon sudah menjadi patah.
Tapi ia menubruk tempat kosong, disitu tak terdapat bayangan manusia.
Bukan main kagetnya Kim Sie Ie. Semenjak berkelana di dunia Kangouw, ia sudah
merobohkan banyak jago-jago ternama dan orang-orang yang bisa menandingi ia hanyalah Tong
Keng Thian, Pengtjoan Thianlie dan Hiatsintjoe tiga orang. Maka, seketika itu, ia
terperanjat ketika mendapat
kenyataan, bahwa ia sekarang sedang menghadapi lawan berat, lebih-lebih karena
lawan itu adalah seorang wanita.
Dengan penasaran ia mengejar ke dalam hutan. Sekonyong-konyong di belakangnya
kembali terdengar suara tertawa. "Budi harus dibalas dengan budi," kata wanita itu.
"Sambutlah senjata
rahasiaku!"
Sambil membentak keras, Kim Sie Ie memutarkan badannya dan menubruk, sembari
menutup semua jalan darahnya guna menjaga serangan senjata rahasia. Ia percaya, bahwa
sekali ini tubrukannya akan berhasil.
Tapi dugaannya meleset jauh. Sebelum tangannya bisa mencengkeram tubuh wanita
itu, yang ternyata mengenakan pakaian putih, sudah melesat ke atas setinggi beberapa
tombak dan melayang lewat di atas kepalanya. Hampir berbareng dengan itu, matanya
berkunang-kunang dan
sejumlah "senjata rahasia" menyambar ke seluruh badannya. "Senjata-senjata
rahasia" itu, tiada
satu yang meleset, beberapa antaranya, yang rasanya dingin-dingin, mengenai
mukanya. Kim Sie
Ie mengusap mukanya dan ia menjadi kaget bukan main. Ternyata, "senjata rahasia"
itu adalah daun-daun bunga yang belum kering, sehingga terasa dingin di kulit!
Ia mendongkol tercampur geli. Sebagai orang yang biasa mempermainkan manusia, ia
sekarang dipermainkan orang, Ia mencari ubek-ubekan di hutan itu, tapi si wanita
sudah tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Karena lelah, ia lalu tidur di dalam hutan itu
dan baru mendusin
keesokan harinya.
Hari itu, ia kembali mencari wanita itu, yang telah mempermainkan dirinya, tapi
hasilnya tetap nihil. Ia menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie tentu sudah masuk ke Kimkong sie dan
sebenarnya ia ingin turut masuk ke kuil itu untuk mengacau. Tapi, setelah melihat munculnya
Tong Keng Thian dan mengingat kata-kata si nona yang menusuk, ia mengurungkan niatan
tersebut. Malam
itu ia berkeliaran di sekitar kuil itu untuk mengganggu para tamu. Ia menggoda
Loei Tjin Tjoe,
menggebah Hiatsintjoe dan kemudian mempermainkan Tjia In Tjin. Di luar
dugaannya, sekonyong-konyong wanita yang sedang dicarinya itu menampakkan diri. Dengan
menggunakan jarum, wanita itu memukul jatuh semua batu yang dilontarkannya untuk menimpuk
jalan darah Tjia In Tjin. Kejadian itu telah dituturkan oleh Tjia In Tjin kepada Tong Keng Thian yang
menjadi terheranheran.
Ia menduga, bahwa wanita itu adalah Pengtjoan Thianlie. Tapi Kim Sie Ie yang
tersangkut secara langsung, bahkan lebih heran lagi.
Dengan rasa penasaran, ia segera meninggalkan Tjia In Tjin dan mengejar wanita
itu ke dalam hutan. Kali ini wanita itu tak lari secepat kemarin malamnya, seperti juga mau
memancing Kim Sie
Ie. Bagaikan seekor burung, ia meloncat dari dahan ke dahan dan di tengah malam
yang hanya diterangi sinar bulan yang remang-remang, Kim Sie Ie hanya dapat melihat
bayangannya yang
sebentar lenyap untuk sesaat kemudian muncul kembali di antara daun-daun pohon.
"Apa dalam
dunia ini benar-benar terdapat wanita yang ilmu mengentengkan badannya
sedemikian tinggi?"
tanya Kim Sie Ie kepada dirinya sendiri. "Apakah dia bukan dewi hutan?"
Dari Kimteng -- yaitu puncak Gobie san yang tertinggi - Kim Sie Ie mengejar
terus sampai di
Houwtjoepo (Tanjakan Kera). Tiba-tiba, wanita itu lenyap dari pemandangan. "Aku
tak percaya, bahwa di dunia ada dewi," katanya di dalam hati. "Aku yang menganggap diriku
sendiri paling pandai dalam dunia, sekarang baru mengerti, bahwa di luar langit masih terdapat
langit. Tong Keng Thian dan Pengtjoan Thianlie kira-kira berusia sama dengan aku dan
kepandaian mereka
pun tidak berada di bawahku. Tapi wanita itu, yang mestinya masih berusia sangat
muda, mempunyai kepandaian yang beberapa kali lebih tinggi daripada aku."
Selagi ia melamun, mendadak terdengar jeritan kera. Ia mengangkat kepalanya dan
melihat beberapa ekor kera sedang turun dari lamping gunung. Tiba-tiba timbul
kegembiraannya. Ia
memburu mereka dan menangkap seekor yang lantas menjerit-jerit, sedang kawankawannya segera melarikan diri.
"Betapa gesitpun, tak dapat kau terlolos dari tanganku," katanya sembari
tertawa. Sesaat
kemudian, ia melepaskan kera yang pertama itu dan mengejar serta menangkap
seekor kera lain. Selagi ia keenakan mengganggu kawanan kera itu, sekonyongkonyong dari atas sebuah batu besar terdengar suara tertawa yang tak asing lagi baginya.
Kim Sie Ie mendongak. Kali ini, ia dapat melihat wanita itu secara tegas.
Disinari cahaya bulan,
si nona kelihatan duduk di atas batu. Ia mengenakan baju berwarna ungu,
rambutnya terikat oleh
dua cincin emas, parasnya cantik dan segar, sedang usianya paling banyak baru
delapan belas tahun. Dengan sikap jenaka selaku anak nakal, ia menuding Kim Sie Ie sembari
tertawa geli. Kim Sie Ie memandangnya dengan mulut ternganga, ia benar-benar kesima Sediktpun
ia tak menyangka, bahwa si nona berusia semuda itu. Walaupun sudah berpengalaman sangat
luas, ketika itu Kim Sie Ie tak dapat menyembunyikan tercengangnya.
"Kera tak pandai bersilat," kata nona itu. "Guna apa kau menangkap mereka?"
Kim Sie Ie terkejut. Inilah wanita kedua yang tak jijik kepada penderita kusta,
malah sikapnya lebih bebas dan ramah daripada Pengtjoan Thianlie. Kim Sie Ie tetap
mengawaskannya, tanpa
mengeluarkan sepatah kata.
"Eh, apakah kau tuli?" teriak si nona sembari tertawa terkekeh-kekeh. "Dengan
kekerasan, kau menangkap mereka. Mereka jadi membenci kau. Lihatlah aku!"
"Baik," jawab Sie Ie.
Si nona kembali tertawa geli dan kemudian menyanyi:
"Sang kera! Sang kera! Kera nakal tak punya otak. Mari, mari, mari! Aku membawa
buah untukmu, mari kita bersahabat!"
Beberapa saat kemudian, benar saja beberapa ekor kera muncul dan mendekatinya,
semakin lama jumlah mereka jadi semakin besar. Dengan gembira, si nona menari-nari dan
menyanyi. Dari sakunya ia mengeluarkan seraup buah Leetjie yang segera dibagikannya kepada
kawanan kera itu
yang segera berebut mengambilnya.
Pertunjukan itu bisa terjadi, bukannya karena si nona mempunyai ilmu luar biasa,
tapi sebab kawanan kera di Houwtjoepo memang tak takut kepada manusia. Mereka biasa
berjumpa dengan
para hweeshio dan sering sekali, beramai-ramai mereka datang untuk meminta
makanan dari orang-orang beribadat yang berdiam di kuil itu.
Kim Sie Ie mengawaskan pertunjukan itu dengan sorot mata heran. "Jika kau
berlaku baik terhadap mereka, mereka pun bersikap manis terhadapmu," kata si nona sembari
tertawa. "Jika
kau menghina mereka, mana mereka mau bersahabat dengan kau?"
Jantung Kim Sie Ie berdebar keras. Kata-kata itu seolah-olah sengaja diucapkan
untuk memberi nasehat kepadanya, yang biasa mengganggu sesama manusia. Oleh karena merasa
ketarik, ia segera mendaki batu besar itu untuk turut bermain-main. Tapi, sebelum ia bisa
mendekati kawanan kera itu, mereka lari serabutan dengan ketakutan. "Kurang ajar!" bentak
si nona. "Kenapa kau menakut-nakuti keraku?"
Melihat wanita muda itu gusar, Kim Sie Ie mengangkat tongkat besinya dan
menjejek kakinya
di atas batu, sehingga tubuhnya lantas saja meluncur ke atas, setinggi tiga
tombak dengan gerakan Itho tjiongthian (Burung Ho menembus langit). Selagi tubuhnya masih
berada di tengah
udara, ia memukul dengan tongkatnya untuk menjajal ilmu si nona.
"Bagus!" seru nona itu. "Pandai benar kau menghina orang!" Mendadak badannya
melayang ke atas, ujung kakinya menotol tongkat Kim Sie Ie dan, dengan meminjam tenaga
totolan itu, tubuhnya kembali melesat beberapa tombak tingginya, akan kemudian, sembari
memutarkan badan, bagaikan seekor burung, ia hingggap di tanjakan gunung. Itulah suatu
gerakan yang indah
luar biasa! Di lain saat, nona itu sudah tak kelihatan lagi bayang-bayangnya.
Kim Sie Ie jadi terpaku. Lapat-lapat ia ingat, bahwa ia pernah melihat gerakan
seperti yang barusan diperlihatkan wanita itu. Sesudah berpikir beberapa saat, ia baru
mendusin. Gerakan
itu menyerupai gerakan Niauw-eng (semacam elang). Di dekat Pulau Ular terdapat
sebuah pulau lain yang diberi nama Niauw-eng to (Pulau Niauw-eng), dimana hidup semacam


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

burung buas yang
macamnya seperti kucing. Burung itu, yang merupakan musuh ular, dengan berkawan
sering menyatroni Pulau Ular dan bertempur dengan kawanan ular. Selama sepuluh tahun
berdiam di pulau tersebut, Kim Sie Ie pernah beberapa kali menyaksikan pertempuran yang
luar biasa itu.
Menurut penuturan gurunya, di Niauw-eng to pernah hidup dua saudara kembar,
yaitu Sat Thian
Tjek dan Sat Thian Touw, yang mempelajari cara-cara burung-burung buas itu
bergerak dalam pertempuran. Tapi sekarang mereka sudah meninggal dunia dan menurut kata
gurunya, mereka
tak mempunyai murid yang mewarisi kepandaian mereka. Dari manakah wanita itu
mendapat ilmunya" Kim Sie Ie merasa heran, tapi di detik selanjutnya, ia ingat akan hal
lain yang lebih,
mengherankan lagi.
"Bahwa wanita itu memiliki kepandaian untuk berkelahi seperti Niauw-eng, adalah
kejadian yang luar biasa," pikirnya. "Tapi, ketika barusan dia menotol tongkatku, tenaga
dan kepandaiannya tidak terlalu hebat dan sudah pasti tidak lebih tinggi daripada
kepandaianku. Kenapa bisa begitu?"
Harus diketahui, bahwa bagi seorang ahli silat, bergerak sekali saja sudah cukup
untuk mengetahui cetek dalamnya lweekang musuh. Selama dua malam, tiga kali wanita itu
sudah menampakkan diri. Pertama, ia menimpuk Kim Sie Ie dengan daun bunga. Kedua,
dengan jarum ia menjatuhkan batu yang ditimpukkan oleh Kim Sie Ie. Dalam dua kejadian itu
teranglah sudah,
bahwa lweekang-nya tak terkira lagi tingginya. Tapi, sungguh heran, dalam
pertemuan ketiga,
kepandaian yang diperlihatkan nona itu, jauh lebih rendah daripada dalam dua
pertemuan yang lebih dulu. "Mungkinkah ia hanya berpura-pura?" tanya Kim Sie Ie di dalam hatinya. "Apakah
bisa jadi, kepandaiannya sudah begitu tinggi, sehingga ia bisa menambah dan mengurangkan
tenaganya sesuka hatinya" Akan tetapi, dengan kepandaian yang sekarang kumiliki, aku tentu
bisa melihat, jika ia berpura-pura. Apakah wanita yang muncul lebih dulu itu bukannya dia?" Ia
mengasah otak dan kemudian berkata pula di dalam hatinya: "Tidak, tak mungkin! Walaupun dunia
ini cukup lebar, akan tetapi, untuk mendapatkan seorang wanita saja yang berkepandaian
sedemikian tingginya, sudah tidak gampang. Mana bisa ada seorang lain lagi" Di samping itu,
meskipun dalam dua pertemuan yang terdahulu, aku tak bisa melihat wajahnya dengan tegas, tapi
baik potongan badan, maupun ilmu mengentengkan badannya, semuanya tiada berbeda. Tak mungkin
aku salah mata." Semakin memikirkannya, ia jadi semakin heran dan semalam suntuk, ia ubakubakan di hutan itu untuk coba mencari wanita yang aneh itu.
Demikianlah, biarpun berotak cerdas, Kim Sie Ie sama-sekali tidak menyadari,
bahwa dalam tiga pertemuan itu, yang muncul adalah dua orang, seorang ibu dan puterinya.
Yang menimpukkan daun bunga dan jarum adalah Phang Lin, sedang yang memancing ia ke
dalam hutan adalah Lie Kim Bwee puterinya.
Waktu itu, Phang Lin sudah berusia empat puluh tahun lebih. Tapi jika dipandang
dari jauh, wajahnya tiada bedanya dengan seorang wanita muda. Yang lebih luar biasa lagi,
adat dan tingkah lakunya masih tetap seperti seorang anak nakal.
Sebagaimana diketahui, sebagai akibat dari guyon-guyon Phang Lin di atas gunung
Mostako, Pengtjoan Thianlie telah kabur dengan perasaan mendongkol. Setelah disesalkan
oleh kakaknya, yaitu Phang Eng, dan mengetahui adanya percintaan antara Keng Thian dan Peng Go,
ia telah berjanji akan berusaha untuk merangkap jodoh kedua orang muda itu. Phang Eng
yang mengenal adat adiknya, tidak menganggap, bahwa janji itu dibuat dengan sungguh-sungguh.
Tapi di luar dugaannya, si adik benar-benar melaksanakan kata-katanya dan menguntit Keng
Thian sampai di
Gobie san. Semula ia tak mau mengajak Kim Bwee, tapi puterinya yang berandalan
itu tak mau mengerti, sehingga akhirnya ia menyerah juga.
Apa yang terjadi antara Tong Keng Thian, Koei Peng Go dan 'Kim Sie Ie, telah
diketahui semua
olehnya. Di samping itu, dengan penuh rasa simpati, ia juga menyaksikan segala
penderitaan dan
kedukaan Kim Sie [e. Walaupun nasib mereka tidak sama, di waktu kecil, Phang Lin
juga pernah merasakan pahit getirnya penghidupan. Dalam usia satu tahun, ia telah ditinggal
mati oleh ayahnya. Belakangan ia diculik oleh sepasang memedi, yaitu Sat Thian Tjek dan
Sat Thian Touw,
yang menyembunyikannya di dalam istana Soehongtjoe (putera kaizar yang ke empat)
In Tjeng (belakangan kaizar Yong Tjeng). Selama berdiam dalam istana itu, ia telah
memperoleh banyak
macam ilmu, antaranya ilmu untuk berkelahi seperti Niauw-eng yang diajarkan oleh
sepasang memedi itu. Meskipun begitu, dalam lingkungan mewah itu juga, ia telah merasakan
banyak penderitaan. Karena ia sendiri pernah mengalami banyak kegetiran, ia jadi
bersimpati kepada
setiap orang yang sedang menderita.
Sesudah menyingkir dari Kim Sie Ie. Kim Bwee lalu pergi menemui ibunya di dalam
hutan. "Sebelum turun dari Thiansan, aku sudah mendengar, bahwa di Tionggoan telah
muncul seorang Toktjhioe Hongkay yang sangat jahat," kata Phang Lin sembari tertawa. "Tak
tahunya, si jahat
adalah dia! Eh, apakah tidak lebih baik, jika sesudah puas mempermainkan dia,
kita bunuh saja
pengemis itu?"
"Kenapa?" tanya puterinya. "Aku merasa kasihan."
"Bagaimana jika dibandingkan dengan Piauwko-mu (Tong Keng Thian)?" tanya pula
sang ibu. "Ilmu silat dan usia mereka kira-kira berimbang," sahut Kim Bwee.
"Tapi sikap Piauwko terlalu mirip dengan orang dewasa, tidak begitu menarik
seperti dia."
Phang Lin menghela napas dan kemudian berkata sembari tertawa: "Baiklah! Kalau
begitu, tak jadi kubunuh dia. Biarlah dia hidup terus untuk mengawani kau."
Si nona yang masih belum mengenal percintaan, mengetahui, bahwa ibunya sedang
berkelakar. Ia tertawa cekikikan dan menubruk sang ibu.
"Ilmu mengentengkan badanmu lebih tinggi daripada dia," kata pula sang ibu.
"Tapi dalam halhal
lain, kau masih kalah. Sekarang aku ingin mengajarkan semacam ilmu kepadamu
untuk mengalahkan dia, supaya kau bisa
mempermainkannya tanpa dia sendiri bisa mengganggu kau."
"Apakah kau masih menganggap aku seperti anak kecil?" tanya Kim Bwee dengan nada
tak percaya. "Mana bisa ilmu silat dipelajari begitu cepat?"
"Ilmu yang akan kuajarkan, hanya bisa digunakan untuk merobohkan dia," Phang Lin
menerangkan. "Terhadap orang lain, ilmu itu tak berguna. Kau percaya atau
tidak?" Melihat paras ibunya yang sungguh-sungguh, Kim Bwee jadi setengah percaya
setengah tidak dan ia mengikuti Phang Lin masuk ke hutan untuk berlatih. Ibu dan anak itu
mempunyai watak
yang sama. Jika sudah mulai -mengerjakan sesuatu, mereka tak akan berhenti di
tengah jalan. Semula mereka ingin mengunjungi Moh Tjoan Seng pada hari Kiatyan. Akan tetapi,
karena adanya kegembiraan lain, mereka jadi melupakan segala apa.
Malam itu, baik Tong Keng Thian maupun Kim Sie Ie tak tidur semalam suntuk.
Keesokan paginya tibalah hari Kiatyan.
*** Begitu sang matahari terbit di kuil Kimkong sie terdengar seratus delapan kali
suara lonceng. Tayhong Potian (ruang sembahyang yang paling besar) disapu bersih untuk menerima
kehadiran para ahli silat dari segenap Rimba Persilatan.
Kali ini, tamu yang datang berkunjung luar biasa banyaknya. Murid-murid Boetong
pay bertindak sebagai tuan rumah untuk menyambut para tamu dan sebagian besar
berkumpul di sekitar tempat memberikan ceramah. Tong Keng Thian duduk di antara para tamu.
Dengan matanya yang sangat tajam, ia menyapu semua orang sambil menghela napas. Ia
merasa sayang, karena keadaan Boetong pay cabang Selatan sangat merosot dan di antara muridmurid turunan kedua, tak seorang jua dapat mendekati kepandaian pemuka mereka, yang sudah tua
itu. Seluruh ruang besar itu sunyi-senyap, semua orang menantikan Moh Tjoan Seng.
Tiba-tiba, di luar terdengan suara tertawa "haha-hihi" yang sangat ramai. Loei Tjin Tjoe
terkejut, buru-buru ia
lari keluar untuk menyelidiki. Ternyata, suara tertawa itu keluar dari mulut
belasan murid Boetong
yang terus menari-nari dan melompat-lompat seperti orang edan. Tak usah
diragukan lagi, bahwa
semua itu adalah perbuatan si penderita kusta!
Bukan main malunya orang-orang Boetong pay. Mereka tak tahu harus berbuat
bagaimana, dan berdiri termangu-mangu laksana patung.
Di saat itu, tiba-tiba Tong Keng Thian melompat keluar dan tanpa mengeluarkan
sepatah kata, ia menepuk dan menggampar belasan orang yang sedang menari-nari itu.
Segenap murid Boetong lantas menjadi gusar dan empat murid yang mengikuti Loei
Tjin Tjoe, segera bergerak untuk mengepung Keng Thian.
Muka Loei Tjin Tjoe kelihatan menyeramkan. "Goblok!" ia membentak dengan suara
perlahan. "Apakah kamu buta" Dia sedang memberikan pertolongan!" Benar saja, dalam sekejap
belasan murid Boetong itu sudah tenang kembali.
Ternyata, oleh karena harus menggunakan terlalu banyak tempo jika mesti membuka
jalan darah mereka satu persatu, maka Keng Thian telah menggunakan ilmu Sintjiang
kayhiat (Membuka jalan darah dengan pukulan). Melihat kepandaian pemuda itu, semua ahli
silat disitu jadi merasa kagum.
Tiba-tiba lonceng kuil berdentang berulang-ulang, sebagai tanda, bahwa Moh Tjoan
Seng akan segera keluar. Sebagaimana diketahui, Moh Tjoan Seng telah diakui sebagai ahli silat nomor satu
di wilayah Tionggoan. Sepuluh tahun sekali, ia mengadakan Kiatyan, yaitu mengadakan
perhimpunan besar
untuk memberi ceramah tentang ilmu silat dan memberi petunjuk-petunjuk kepada
mereka yang memintanya. Sekarang ia sudah berusia lanjut dan mungkin sekali, Kiatyan sekali
ini, adalah yang
terakhir. Begitu mendengar gema lonceng, para hadirin, yang terdiri dari ahli-ahli
berbagai cabang
persilatan, lantas saja berhenti bicara dan mengambil tempat duduk. Dengan
demikian, Keng Thian terbebas dari banyak pertanyaan dan ia pun segera duduk di antara orang
banyak. Di lain
saat, ruang yang barusan ramai dengan suara orang, berubah sunyi.
Dengan matanya Keng Thian menyapu semua orang. Segera juga ia mendapat
kenyataan, bahwa sejumlah orang yang duduk di barisan kursi terdepan, bersikap agak
mencurigakan, sinar
wajah mereka mencerminkan maksud kurang baik. Ia menghela napas dan berkata di
dalam hatinya: "Benar juga, jika dikatakan, bahwa pohon yang tinggi mengundang angin,
nama yang besar menimbulkan perasaan mengiri."
Sesudah lonceng berbunyi delapan belas kali, hweeshio kepala dari Kimkong sie
mengantar Moh Tjoan Seng keluar dari ruang dalam. Keng Thian mengawasi orang terkemuka
dalam Rimba Persilatan itu yang ternyata berparas agung, penuh welas asih, sedang rambut dan
alisnya sudah putih semua. Dengan sinar mata yang tajam luar biasa, Moh Tjoan Seng menyapu
seluruh ruangan. "Ilmu silat dapat diumpamakan dengan laut," demikian Moh Tayhiap mulai dengan
suara perlahan. "Seperti juga laut, ilmupun tak bisa diukur bagaimana tingginya.
Walaupun sudah hidup
agak lama dalam dunia ini, aku si tua sebenarnya hanya mengenal kulit luar ilmu
itu dan belum pantas dinamakan ahli. Dalam Kiatyan ini, sama sekali bukan maksudku untuk
berlagak menjadi
guru. Kita berkumpul disini, hanya untuk merundingkan hal-hal ilmu silat secara
sahabat." Demikianlah kata-kata pembukaan Moh Tayhiap yang sangat merendahkan diri.
Harus diketahui, bahwa asal mula Kiatyan sebagai itu, adalah karena permintaan
murid-murid

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Boetong, supaya Moh Tjoan Seng menetapkan suatu hari untuk memberikan kepada
mereka petunjuk-petunjuk mengenai ilmu silat. Belakangan, pertemuan itu dihadiri juga
oleh ahli-ahli silat
berbagai partai yang semakin lama jadi semakin besar jumlahnya, sehingga
akhirnya Moh Tjoan
Seng mengambil putusan untuk sekali dalam sepuluh tahun mengadakan Kiatyan.
Dengan demikian, ia telah diakui sebagai seorang guru dalam Rimba Persilatan.
Kata-kata pembukaannya yang merendahkan diri disambut dengan rasa kagum oleh
para hadirin, malah juga oleh mereka yang ketika itu mengandung maksud kurang baik.
Tayhiong Potian adalah sebuah ruang yang sangat luas, panjangnya belasan tombak dan
lebarnya pun belasan tombak. Moh Tjoan Seng berbicara perlahan, tapi setiap orang dapat
mendengarnya sama
tegasnya, tak ada yang mendengar lebih terang atau kurang jelas.
"Nama besar Moh Lootjianpwee sungguh bukan nama kosong," kata Keng Thian di
dalam hatinya. "Dalam usia begitu lanjut, lvveekang-nya masih begitu teguh, sehingga sedkitnya
ia tak kalah dengan ayahku."
Seorang yang lweekang-nya tinggi memang bisa mengirimkan suaranya ke tempat
jauh. Andaikata ia berbicara dalam suatu ruang yang luasnya seperti Tayhiong Potian,
mereka yang berada di barisan depan akan mendengarnya sebagai mendengar geledek, sedang
mereka yang berada di sebelah belakang akan merasa telinganya seperti "ditusuk" gelombang
suara itu. Akan
tetapi, suara Moh Tjoan Seng itu, lain dari yang lain. Semua orang, yang di
depan maupun yang di
belakang, mendengar suara itu seakan-akan Moh Tayhiap berbicara di hadapannya,
tak keras dan tak perlahan serta telinganya tak usah mengalami segala perasaan kurang enak.
Itulah suatu bukti, bahwa Iweekang Moh Tayhiap sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Sesudah itu, Moh Tjoan Seng segera memberi ceramah tentang Yakinkeng. Orangorang yang lweekang-nya sudah tinggi, mendapat banyak petunjuk baru, sedang mereka yang
baru belajar silat juga telah memperoleh banyak penerangan berharga.
Sesudah ceramah itu selesai, menurut kebiasaan, orang-orang yang ingin memohon
petunjuk boleh segera mempertunjukkan ilmu silat masing-masing yang paling tinggi.
Menurut tradisi, orang
yang mendapat hak untuk paling dulu tampil ke muka adalah murid pertama dari
turunan kedua partai Boetong pay dan kali ini, orang itu adalah Loei Tjin Tjoe.
Sesudah memberi hormat pada pemuka partainya dan para hadirin, Loei Tjin Tjoe
segera bersilat dengan ilmu Kioekiong Patkwa tjiang. Ia bersilat dengan bersemangat,
gerak-geriknya gesit bagaikan kera, pukulannya dan serangan-serangannya dahsyat laksana
serangan harimau.
Akan tetapi, ahli-ahli kelas satu yang berada disitu merasa heran, karena mereka
sudah segera lihat kekurangan Loei Tjin Tjoe, yaitu kelemahan dalam hal tenaga. Harus
diketahui, bahwa dalam
Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan, Loei Tjin Tjoe sudah diakui sebagai salah
seorang ahli kelas utama. Orang-orang yang mengenal ilmunya atau pernah melihat ia
mempertunjukkan
kepandaiannya, rata-rata merasa, bahwa selama sepuluh tahun, sebaliknya dari
semakin maju, kepandaiannya bahkan mundur banyak. Menurut kebiasaan, seorang ahli silat harus
berlatih terus,
supaya, meskipun tak maju, scdikitpun jangan sampai merosot.
Antara mereka, hanya Tong Keng Thian yang mengetahui sebab musababnya. Ia
menghela napas dan berkata di dalam hatinya: "Sesudah dipukul oleh Hiatsintjoe dan
ditotok oleh Kim Sie
Ie, meskipun sudah dapat kutolong, tenaganya tentu sangat berkurang."
Sehabis bersilat, Loei Tjin Tjoe segera berdiri tegak menunggu petunjuk-petunjuk
Moh Tayhiap. Moh Tjoan Seng membuka sepasang matanya lebar-lebar dan sinarnya yang seperti
kilat menyapu murid Boetong itu. Ia tersenyum seraya berkata: "Tjianghoat-mu (pukulanpukulan) sudah cukup lancar. Akan tetapi, dalam Tjianghoat ini mengandung Tiamhiat hoat
(ilmu menotok jalanan darah), sehingga telapak tangan dan jeriji harus digunakan berbareng.
Tiamhiat hoat-mu
masih jauh dari sempurna."
Begitu mendengar perkataan Moh Tjoan Seng, para hadirin-terkejut tercampur
heran, sedang Loei Tjin Tjoe sendiri merasa penasaran, karena ia yakin, bahwa Tiamhiat hoat
yang dipertunjukkannya, sudah cukup sempurna. Para ahli silat sama berpendapat, bahwa
kekurangan Loei Tjin Tjoe bukan terletak pada Tiamhiat hoat, tapi pada tenaga
dalamnya. Apakah,
karena sudah terlalu tua. Moh Tjoan Seng sudah menjadi linglung"
Biarpun penasaran, Loei Tjin Tjoe tak berani membantah "Mohon Tjouwsoe sudi
mEMBERI petunjuk," katanya dengan sikap menghormat.
"Coba kau Jemari!" Moh Tjoan Seng memanggil.
Dengan tetap duduk di tempatnya, tangannya menyambar dan jerijinya menotok jalan
darah Samtjiauw hiat, di pergelangan tangan Loei Tjin Tjoe. Si murid melompat
dan sembari membalikkan tangan, Moh Tayhiap menotok pula jalan darah Thiantjoe hiat, di
punggungnya. Dengan tak bergerak, bagaikan kilat, jeriji pemuka Boe Tong itu menotok susul
menyusul dan setiap kali, terpaksa Loei Tjin Tjoe harus berjingkrak. Semua totokan itu di
kirimkan dengan
tenaga yang sudah diperhitungkan, sehingga Loei Tjin Tjoe tidak terluka sedikit
jua. Para ahli silat
yang hadir, rata-rata merasa kagum bukan main melihat Tiamhiat hoat yang luar
biasa itu dan tak
akan dapat ditiru oleh Loei Tjin Tjoe. Memang dalam ilmu silat, suatu
perbandingan hanya dapat
dibuat di antara orang-orang yang berkepandaian setara. Sebagai juga dalam ilmu
sastera, karangan seorang anak kecil tentu saja tak dapat dibandingkan dengan buah karya
seorang Tjonggoan. Tapi, walaupun kagum akan kepandaian Moh Tjoan Seng, para ahli itu
masih tetap menyangsikan kebenaran pernyataannya, bahwa kelemahan Loei Tjin Tjoe terletak
pada Tiamhiat hoat-nya. Di antara begitu banyak orang, hanya Keng Thian seorang yang mempunyai pendapat
lain. Dengan jantung berdebar keras, ia mempelajari totokan-totokan Moh Tjoan Seng.
Sebagai orang yang berkepandaian tinggi dan berotak cerdas, segera juga ia mendapat kenyataan,
bahwa ilmu totokan itu justru sangat sesuai untuk memecahkan Tokliong Tiamhiat hoat Kim Sie
Ie. "Apakah
Moh Lootjianpwee memang sengaja ingin menurunkan ilmu totokan ini kepadaku?"
tanyanya kepada dirinya sendiri.
Tong Keng Thian dan Kim Sie Ie, masing-masing mempunyai keunggulan sendiri. Yang
ditakuti Keng Thian adalah senjata rahasia beracun dan Tokliong Tiamhiat hoat Kim Sie Ie,
sebaliknya Kim Sie Ie agak gentar kepada Thiansan Sinbong dan Thaysiebie Kiamhoat. Sekarang,
sesudah memiliki ilmu yang dapat memecahkan Tokliong Tiamhiat hoat, kemungkinannya untuk
dapat merobohkan Toktjhioe Hongkay jadi lebih besar. Oleh sebab itu, dengan penuh
kegirangan ia terus memperhatikan totokan-totokan Moh Tayhiap.
Sesudah tiga puluh enam jalan darahnya selesai ditotok semua, Loei Tjin Tjoe
merasakan timbulnya semacam hawa panas dari jalan-jalan darahnya yang terus masuk ke
bagian Tantian (pusar). Hampir seketika itu juga, ia merasakan sekujur badannya nyaman luar
biasa dan tenaga
dalamnya bukan saja kembali seperti sediakala, tapi juga jadi semakin besar.
Sebagaimana diketahui, ia telah dihajar oleh Hiatsintjoe dan kemudian ditolong oleh Tong
Keng Thian. Akan
tetapi, walaupun sudah mendapat pertolongan pemuda itu, badannya masih merasa
kurang enak. Sekarang, sesudah ditotok oleh Tjouwsoe-nya, rasa sesak yang masih ketinggalan
itu lantas saja
lenyap. Sebagai orang yang berkepandaian tinggi, ia sendiri segera mengerti,
bahwa totokan itu
telah memperkuat Iweekang-nya dan keuntungan yang didapatkannya bernilai sama
dengan hasil latihan tiga tahun. Orang-orang lain tidak mengetahui, bahwa dengan totokan
tersebut, Moh Tjoan
Seng telah mengusir sisa racun yang mengeram dalam tubuh Loei Tjin Tjoe, sebagai
akibat dari pukulan Hiatsintjoe.
Sesudah selesai, sembari tertawa Moh Tjoan Seng menanya: "Apakah kau sudah
mengerti maksud totokan tadi?"
"Mengerti!" jawab Loei Tjin Tjoe sembari membungkuk.
"Belum tentu," kata Moh Tjoan Seng perlahan. "Tapi cukuplah jika kau bisa
mengerti beberapa
bagian." Keng Thian yang sedang mengingat-ingat pelajaran yang barusan didapatnya, merasa
terkejut ketika mendengar perkataan itu dan ia mengangkat kepalanya. Tiba-tiba matanya
kebentrok dengan mata Moh Tayhiap. "Ah!" pikirnya. "Perkataan Moh Lootjianpwee tentu
ditujukan kepadaku. Mana Loei Tjin Tjoe bisa mengerti?" Memang benar, baik Loei Tjin Tjoe
maupun ia sendiri, hanya mengerti sebagian. Totokan-totokan Moh Tayhiap barusan pada
hakekatnya mempunyai tiga tujuan. Pertama: untuk memperlihatkan
kepandaiannya kepada orang-orang yang mengandung maksud kurang baik. Kedua,
untuk menurunkan Tiamhiat hoat yang bisa memecahkan ilmu Kim Sie Ie, kepada Keng
Thian. Ketiga: untuk mengusir racun yang masih mengeram dalam tubuh Loei Tjin Tjoe. Tak seorang
pun di antara yang hadir mengerti semua maksud Moh Tayhiap.
Selagi Loei Tjin Tjoe ingin kembali ke tempat duduknya, sekonyong-konyong salah
seorang yang duduk di barisan kedua, melompat keluar dan berkata dengan suara nyaring:
"Tjek Tiong Ho,
houwpwee (orang yang tingkatannya rendah) dari pulau Liehwee to (Pulau
Menyingkir Dari Api)
Lamhay, memohon petunjuk dari Thaytjongsoe (guru besar)!"
"Ah! Kalau begitu, kau adalah murid Tjekshia totjoe (Majikan Pulau Kota Merah),"
kata Moh Tjoan Seng. "Bagus! Aku si tua sangat mengagumi ilmu silat Liehwee kansoei
tjianghoat dari
partaimu."
"Jika Moh Lootjianpwee berkata begitu, apakah houwpwee harus pulang dengan
tangan kosong?" Tjek Tiong Ho mendesak.
Oleh karena menurut kebiasaan Kiatyan, Moh Tjoan Seng tak boleh menolak
permintaan untuk
memberikan petunjuk kepada seorang houwpwee, maka ia lantas saja berkata:
"Setiap partai atau
cabang perguruan mempunyai kebagusannya sendiri-sendiri. Mengenai Tjianghoat
(Ilmu pukulan),
adalah gurumu yang seharusnya memberi petunjuk. Cobalah kau bersilat, supaya aku
bisa melihat, kalau-kalau ada bagian-bagian yang dapat kita rundingkan lebih jauh."
Tjek Tiong Ho memberi hormat seraya berkata: "Houwpwee memberanikan diri unuk
mengajukan satu permohonan. Houwpwee memohon supaya Loei Soeheng sudi membantu
dengan dalam toeitjiang (adu pukulan) dan jika dalam toeitjiang itu terdapat
bagian-bagian yang
keliru, harap supaya Lootjianpwee sudi memberi petunjuk. Dengan demikian,
keuntungan yang
kudapat akan menjadi lebih besar."
Mendengar tantangan itu, semua orang jadi terkejut.
Menurut peraturan Kiatyan, setiap houwpwee dapat memohon pengajaran dengan dua
rupa jalan. Pertama adalah bersilat sendiri dan kedua, adalah bersilat berdua. Oleh
karena, pada setiap
Kiatyan, jumlah yang meminta petunjuk selalu sangat besar, maka cara yang kedua,
yang sekaligus bisa memberi kesempatan kepada dua orang, sering juga digunakan. Akan
tetapi, menurut kebiasaan, toeitjiang selalu dilakukan antara dua saudara seperguruan
atau antara sahabat-sahabat karib, sehingga menang atau kalah, tak akan merenggangkan
keakuran. Tapi sekarang Tjek Tiong Ho meminta Loei Tjin Tjoe yang maju sebagai kawan bertoeitjiang. Mereka
berdua bukan saudara seperguruan dan juga bukan sahabat. Maka, permohonan Tjek
Tiong Ho itu tidak berbeda dengan tantangan.
Hati para hadirin jadi berdebar-debar, terutama Tong Keng Thian yang sangat
kuatir akan keselamatan Loei Tjin Tjoe. "Ilmu silat Tjekshia totjoe merupakan salah satu
ilmu luar biasa dalam
Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Andaikata Loei Tjin Tjoe belum
mendapat luka, belum tentu ia bisa menandingi Tjek Tiong Ho. Dalam keadaannya sekarang,
bagaimana ia bisa
melawan orang she Tjek itu?"


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Moh Tjoan Seng tetap bersikap tenang. Ia mengangguk dan berkata sembari tertawa:
"Begitu juga baik. Loei Tjin Tjoe! Gunakanlah Kioekiong Lianhoan Tjianghoat untuk
meminta pengajaran
dari Tjek Soeheng."
Loei Tjin Tjoe mengiakan dan ia lantas berjalan masuk ke tengah-tengah ruang. Ia
memasang kuda-kuda dan mengundang: "Tjek Soeheng, silahkan."
Tjek Tiong Ho tak berlaku sungkan. Hampir berbareng dengan undangan itu, ia
segera memukul dengan tangan kanannya. Lihwee kansoei tjianghoat gubahan Tjekshia
totjoe adalah ilmu silat yang sangat liehay. Ilmu itu merangkap Yang dan Im (positip dan
negatip), yaitu tangan
kanan mengeluarkan pukulan "keras" yang sifatnya seperti api, sedang tangan kiri
mengeluarkan pukulan "lembek" yang bersifat bagaikan air. Sebagai murid kepala dari Tjekshia
totjoe, Tjek Tiong
Ho telah paham akan sebagian besar kepandaian gurunya.
Tjekshia totjoe selalu hidup di pulau Liehwee to, dan ia tak pernah berkelana di
dunia Kangouw, tapi muridnya sering mundar-mandir di wilayah Tionggoan. Dalam Kiatyan
sekali ini, orang-orang yang mengandung maksud kurang baik, telah mengundang Tjekshia totjoe
untuk memberi bantuan. Akan tetapi, Totjoe itu telah menolak, karena ia sungkan
mencari urusan dengan Moh Tayhiap yang kesohor sekali. Sedang gurunya tak bergeming, sebaliknya
Tjek Tiong Ho justru kena dibujuk. Dalam perundingan di antara orang-orang itu, mereka
berpendapat, bahwa, asal kena dipancing untuk turun tangan sendiri, mereka sudah boleh
dikatakan berhasil,
karena dengan begitu, Moh Tjoan Seng merosot derajatnya sebagai seorang guru
besar. Dalam perundingan itu, telah diambil putusan untuk minta Tjek Tong Ho maju sebagai
jago pertama guna merobohkan Loei Tjin Tjoe.
Sebagai seorang ahli, Tjek Tiong Ho tadi sudah segera mengetahui kelemahan
lawannya. Maka itu, begitu bergebrak, ia segera mengirimkan pukulan "keras" dengan tangan
kanannya, Loei Tjin
Tjoe segera mengangkat kedua tangannya untuk menyambut pukulan itu. Dengan
terdengarnya bunyi "Tak!", di belakang tangan Tjek Tiong Ho timbul lima garis merah dan ia
terhuyung ke belakang beberapa tindak. Di lain pihak, telapak tangan Loei Tjin Tjoe juga
terluka dan berdarah,
sedang badannya bergoyang-goyang, tapi ia tak sampai kena dipukul mundur. Dalam
gebrakan itu, meskipun kedua belah pihak sama-sama mendapat luka, Loei Tjin Tjoe-Iah yang
lebih unggul. Kejadian itu bukan saja mengejutkan bagi Tjek Tiong Ho, tapi semua hadirin,
termasuk Keng Thian juga, benar-benar terperanjat. Mereka tak mengerti, mengapa lweekang Loei
Tjin Tjoe mendadak bisa menjadi begitu besar.
Lweekang Loei Tjin Tjoe sebenarnya kira-kira berimbang dengan Tjek Tiong Ho.
Akan tetapi, sesudah mendapat bantuan Moh Tjoan Seng, tenaga dalamnya jadi bertambah besar
dan ia jadi lebih unggul tiga bagian dari lawannya. Sesudah berada di atas angin, ia segera
mengirimkan tiga
serangan berturut-turut, sehingga Tjek Tiong Ho terpaksa berkelahi sembari
mundur. Sesudah lewat beberapa jurus, Tjek Tiong Ho tiba-tiba menyambut pukulan Loei
Tjin Tjoe dengan tangan kirinya. Mendadak, Loei Tjin Tjoe merasakan tangannya seperti
memukul kapas, yang tidak bertenaga, dan belakang tangannya lantas saja seolah-olah melekat di
tangan kiri musuhnya. Seketika itu, Tjek Tiong Ho menabas pergelangan tangan lawannya dengan
tangan kanan. Murid-murid Boetong dengan serentak mengeluarkan teriakan tertahan,
karena pergelangan tangan Loei Tjin Tjoe pasti akan terpukul patah!
Pada detik yang sangat berbahaya itu, sekonyong-konyong Loei Tjin Tjoe
menggerakkan jerijinya dan menuding jalan darah di telapak tangan musuhnya yang sedang
menyambar. Dengan
hati mencelos, buru-buru Tjek Tiong Ho melepaskan tangan kirinya dan melompat
mundur untuk menyingkir dari serangan Loei Tjin Tjoe.
Ternyata, dalam gebrakan-gebrakan pertama itu Loei Tjin Tjoe masih belum
mengenal liehaynya Liehwee kansoei tjianghoat yang menguasai dua macam tenaga, yaitu
tenaga "keras"
dan tenaga "lembek". Pada saat tangannya kena "ditempel" tangan musuh yang
bertenaga "lembek", ia baru ingat kepada perkataan sang Tjouwsoe, bahwa Tiamhiat hoat-nya
masih jauh dari sempurna. Ia "mendusin, bahwa Kioekiong Patkwa tjiang harus digunakannya
bersama-sama dengan ilmu menotok jalan darah. Oleh karena itu, ia segera menggunakan Tiamhiat
hoat untuk memunahkan serangan musuh. Tjek Tiong Ho tentu saja tak ingin sama-sama menjadi
korban, lantas saja menarik kembali tabasannya yang dahsyat.
Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: "Pukulan Tjek Tiong Ho yang terakhir,
seharusnya digunakan untuk menyerang sikut, sedang tangan kirinya harus mencengkeram nadi
Loei Tjin Tjoe. Jika ia berbuat begitu, Loei Tjin Tjoe tentu tak bisa mengunakan ilmu
menotok jalan darah!"
Para ahli lantas saja mengangguk-angguk dengan perasaan kagum terhadap petunjuk
itu yang sangat tepat. Tapi, Tjek Tiong Ho justru jadi mendongkol. "Kenapa kau tidak
memberitahukan lebih siang?" katanya di dalam hati.
Sementara itu, Loei Tjin Tjoe sudah menyerang dengan kedua tangannya. Dengan
tangan kanan Tjek Tiong Ho menyambut kekerasan dengan kekerasan dalam gerakan Lekpek
samsan (Memukul tiga gunung), sedang tangan kirinya menyerang dengan tenaga Imdjioe
(tenaga "lemas") dalam gerakan Soensoei toeitjouw (Dengan mengikuti air menolak perahu).
"Salah! Salah!" kata Moh Tjoan Seng tiba-tiba. "Kau harus lebih dulu menggunakan
Tiamhoat untuk memperkecil daya serangan lawan." Tanpa berpikir lagi, Tjek Tiong Ho
segera bergerak
menurut petunjuk itu dan benar saja, serangan Loei Tjin Tjoe dapat dipecahkan
secara mudah. "Untung juga ia memberi peringatan," kata Tjek Tiong Ho di dalam hatinya. "Jika
aku melawan kekerasan dengan kekerasan, pergelangan tanganku bisa menjadi patah, karena
dalam hal lweekang, Loei Tjin Tjoe lebih kuat daripada aku." Sesudah berpencar, kedua
orang itu lantas
melanjutkan pertempuran mereka.
Sesuai dengan peraturan Kiatyan, Moh Tjoan Seng memberi petunjuk pada kedua
belah pihak, malah kepada Tjek Tiong Ho ia memberikan lebih banyak daripada yang diberikannya
kepada Loei Tjin Tjoe. Melihat begitu, bukan saja hadirin lain, malah Tjek Tiong Ho sendiri
juga merasa sangat
takluk akan kebesaran jiwa Moh Tjoan Seng.
Akan tetapi, semua orang tidak tahu, bahwa Moh Tjoan Seng sudah berbuat begitu
oleh karena ia yakin, bahwa ilmu Kioekiong Patkwa tjiang lebih unggul daripada ilmu yang
digunakan Tjek Tiong Ho dan ia yakin pula, bahwa lweekang Loei Tjin Tjoe lebih kuat daripada
lweekang lawannya, sehingga Loei Tjin Tjoe pasti akan mendapat kemenangan. Apa yang
dikuatirkannya,
hanyalah, jika dalam gebrakan-gebrakan pertama, Loei Tjin Tjoe, yang belum
mengetahui betapa
liehaynya Imyang Tjianghoat, akan menjadi bingung. Karena begitu, ia sengaja
memberi petunjuk
kepada Tjek Tiong Ho, supaya dengan mendengarkan petunjuk itu, Loei Tjin Tjoe menjadi sadar
dan mengerti keliehayan ilmu pukulan sang lawan. Di lain pihak, petunjuk yang
diberikannya kepada
Loei Tjin Tjoe, adalah petunjuk yang sangat penting. Sebagai seorang yang sudah
mahir betul dalam Kioekiong Lianhoan Tjiang-hoat, dengan sedikit petunjuk itu, Loei Tjin
Tjoe sendiri bisa
membuat perubahan-perubahan yang seperlunya. Oleh sebab itu, maka sesudah
bertanding ratusan jurus, Loei Tjin Tjoe masih tetap berada di pihak yang lebih unggul.
Sesudah bertempur lagi beberapa puluh jurus, sambil menghela napas, Tjek Tiong
Ho meloncat keluar dari gelanggang. "Tjianghoat Loei Soeheng benar-benar lebih tinggi
daripada kepandaianku," katanya sembari menyoja. "Terima kasih banyak atas petunjuk
Thaytjongsoe. Secepatnya, aku akan kembali ke pulau dan berlatih pula menurut petunjukpetunjuk yang telah
diberikan oleh Thaytjongsoe." Memang kemudian Tjek Tiong Ho benar-benar pulang
ke pulau Liehwee to dan sejak itu ia tidak berani memusuhi lagi partai Boetong pay.
Petunjuk Moh Tjoan
Seng telah memberi banyak bantuan kepadanya dalam mencapai kemajuan di kemudian
hari. Baru saja kedua orang itu kembali ke tempat duduk masing-masing, ketika sejumlah
orang yang duduk di barisan ketiga masuk ke dalam gelanggang dengan beruntun. Mereka
itu, yang berjumlah sembilan orang, semua mengenakan pakaian hitam, masing-masing
bersenjata pedang
dan pada pinggang mereka tergantung kantong senjata rahasia.
Seorang yang menjadi kepala memberi hormat dan berkata dengan suara nyaring:
"Sudah lama
kami mendengar betapa liehaynya Kioekiong Patkwa tjiang dari Boetong pay. Tin
(barisan) kami yang kecil ini juga diatur menurut kedudukan Kioekiong Patkwa dan cocok sekali
untuk dijajal dengan Kioekiong Patkwa tjiang. Kami mengharap, supaya Thaytjongsoe suka memberi
petunjukpetunjuk."
Selagi dia berkata begitu, kawan-kawannya sudah mengurung sekelompok murid
Boetong yang berdiri di depan dan tanpa menunggu perkenan Moh Tjoan Seng, mereka
serentak menghunus pedang. Murid Boetong yang terkurung berjumlah belasan orang,
antaranya Loei Tjin
Tjoe juga. Begitu selesai berbicara, orang itu lantas saja membacok Loei Tjin
Tjoe dengan senjatanya! Melihat kekurang ajaran sembilan orang itu, para hadirin terkejut sekali, sedang
murid-murid Boetong menjadi gusar bukan main. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, mereka lantas
saja bertempur seru.
Meskipun berjumlah lebih besar, tapi karena tin itu saling bersambung kepala
buntutnya dan bisa berubah dengan cepat sekali, maka murid-murid Boetong lantas saja terkurung
rapat-rapat dan tak bisa menoblos keluar.
Tong Keng Thian terkejut. "Celaka!" katanya di dalam hati. "Kali ini, murid
Boetong mungkin
akan menderita kekalahan." Baru saja ia memikirkan untuk memberi bantuan,
mendadak terdengar suara tertawa Moh Tjoan Seng. "Tin yang diwariskan oleh Han Tiong San
dan Yap Hoen Po benar-benar liehay," katanya dengan tenang. "Akan tetapi, untuk menarik
keuntungan sebesarbesarnya,
tin itu harus digunakan bersama-sama dengan senjata rahasia. Kenapa kamu hanya
menggunakan separuh tenaga?"
Mendengar perkataan itu, Keng Thian jadi sangat terperanjat.
Harus diketahui, bahwa tiga puluh tahun berselang, sebelum Yong Tjeng naik ke
tahta, Han Tiong San dan Yap Hoen Po termasuk dalam "Enam Jago" yang mengabdi kepada putera
kaizar itu (pada waktu itu, Yong Tjeng masih dikenal sebagai Soehongtjoe, atau putera
kaizar yang ke empat). Empat jago lainnya adalah Liauw In Hweeshio, Haputo, Thian Yap Sandjin
dan Tong Kie Tjoan. Han Tiong San dan Yap Hoen Po adalah suami isteri yang bukan saja
berkepandaian tinggi,
tapi senjata rahasia mereka pun liehay bukan main dan kebesaran nama mereka
sejajar dengan keluarga Tong di Soetjoan. Mereka berdua suami isteri adalah pemimpin Lengsan
pay dan dalam tingkatan, mereka masih lebih tinggi daripada Tong Siauw Lan. Belakangan, tiga
pendekar wanita,
yaitu Lu Soe Nio, Phang Eng dan Phang Lin telah menyatroni istana kaizar dan
berhasil membunuh
Yong Tjeng. Dalam pertempuran itu, Han Tiong San telah membuang jiwa, sedang
isterinya Yap Hoen Po, bersama Soetee-nya Thian Yap Sandjin, telah kabur pulang ke Lengsan
dimana mereka menutup pintu dan hidup tenang sambil mempelajari ilmu menimpuk dengan senjata
rahasia yang diwariskan oleh Han Tiong San. Sesudah lewat tiga puluh tahun, orang Lengsan pay
belum pernah mengunjukkan muka dalam kalangan Kangouw. Selama itu, Yap Hoen Po dan Thian Yap
Sandjin telah meninggal dunia dan Rimba Persilatan perlahan-lahan sudah melupakan
mereka. Tapi tak
dinyana, tinhoat (barisan) yang diwariskan Han Tiong San masih tetap dipelajari
oleh murid-murid


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lengsan pay dan hari ini muncul dengan tiba-tiba di gunung Gobie san.
Begitu Moh Tjoan Seng mengucapkan perkataannya, sembilan murid Lengsan pay dan
Tong Keng Thian diam-diam terkejut bukan main. Para murid Lengsan pay terkejut karena
tin ciptaan Tjouwsoe mereka, yang belum pernah dipertunjukkan di muka umum selama tiga puluh
tahun, ternyata dikenal baik oleh Moh Tayhiap. Tong Keng Thian terkejut, karena, tanpa
menggunakan senjata rahasia, barisan itu sudah begitu liehay, sehingga, jika ditambah lagi
dengan senjata rahasia, para murid Boetong tentu sukar terlolos dari bencana!
Sementara itu, Kioekiong Patkwa tin orang-orang itu sudah mengurung semakin
rapat, sehingga murid-murid Boetong tak bisa membalas menyerang lagi. Pemimpin barisan
itu adalah Tjiangboendjin Lengsan pay yang bernama Yap Thian Djim. Mendengar perkataan Moh
Tjoan Seng, ia lantas saja berpikir di dalam hatinya: "Kedatangan kami sekali ini
adalah untuk membikin
malu Boetong pay dan menaikkan derajat Lengsan pay. Dilihat dari perkembangan
pertempuran, dalam tempo sejam lagi, kita akan memperoleh kemenangan yang diharapkan. Jika
kita menggunakan senjata rahasia dan membinasakan murid-murid Boetong, Moh Tjoan Seng
tentu akan turun tangan sendiri. Biarpun turun tangannya itu akan berarti kemerosotan
derajatnya sebagai Thaytjongsoe, tapi pihak Lengsan pay pun tak akan terluput dari kerugian
yang tidak kecil." Berpikir begitu, ia segera berkata: "Perkataan Thaytjongsoe memang benar
sekali. Tetapi menurut kebiasaan, barisan ini baru menggunakan senjata rahasia jika berhadapan
dengan lawan yang berkepandaian tinggi. Musuh yang berkepandaian sedang-sedang saja, tak akan
bisa meloloskan diri, biarpun kami tidak menggunakan senjata rahasia." Perkataan itu
yang sangat sombong dan memandang rendah kepada murid-murid Boetong pay, sudah membangkitkan
kegusaran segenap anggauta partai tersebut. Dengan mata merah dan dengan seluruh
tenaganya. Bagaikan kilat Loei Tjin Tjoe menikam orang temberang itu. Yap Thiam Djim
meloncat mundur
dan serangan Loei Tjin Tjoe disambut oleh kedua Soetee-nya. Di lain saat, Loei
Tjin Tjoe sudah
dikepung oleh dua musuh itu. "Apakah Kioekiong Patkwa tin masih mempunyai
kelemahan lain?"
tanya Yap Thian Djim dengan sikap angkuh. "Harap Moh Lootjianpwee suka memberi
petunjuk."
Moh Tayhiap tertawa dan berkata: "Barisanmu hanya menggunakan separuh tenaga,
tentu saja masih mempunyai banyak kelemahan. Hm! Loei Tjin Tjoe, kau pergi ke jurusan
Kianhong dan lari
ke kedudukan Soenwie. Leng It Piauw, kau pergi ke jurusan Liehong dan lari ke
kedudukan Kanwie. Kamu menyingkir dari musuh yang dekat dan menyerang musuh yang jauh.
Dengan demikian, kamu akan segera bisa keluar dari barisan itu." Loei Tjin Tjoe dan
yang lain-lain lantas
saja bergerak menurut petunjuk itu. Mereka tidak memperdulikan musuh yang dekat
dan masingmasing
merebut kedudukan yang disebutkan oleh Moh Tayhiap. Benar saja, tidak lama
kemudian, belasan murid Boetong pay itu sudah dapat menoblos keluar dari kepungan.
Yap Thian Djim menjadi malu tercampur gusar. Akan tetapi, karena ia sendiri yang
meminta petunjuk Moh Tjoan Seng dan ia sendiri yang berjanji untuk tidak menggunakan
senjata rahasia,
maka ia tak berani memperlihatkan kegusarannya.
Moh Tayhiap bersenyum seraya berkata: "Biarpun kau menggunakan senjata rahasia,
belum tentu barisanmu bisa mengepung musuh. Di dalam tin itu masih terdapat banyak
sekali kelemahan."
Sembilan murid Lengsan pay menjadi pucat, dan darah mereka semua mendidih. Yap
Thian Djim mengeluarkan suara di hidung dan berkata dengan tawar. "Kalau begitu,
biarlah Loei Soeheng dan saudara-saudara lain masuk kembali ke dalam barisan kami, untuk
memberi pengajaran, dan aku juga memohon supaya Moh Lootjianpwee suka memberi penjelasan
tentang kelemahan-kelemahan barisan ini!"
Pelajaran getir yang diberikan oleh Moh Tayhiap kepada sembilan murid Lengsan
pay yang temberang itu, sudah menggirangkan banyak orang. Akan tetapi, mereka merasa,
bahwa Moh Tjoan Seng sudah bertindak keliru dengan mengeluarkan kata-katanya yang paling
belakang, karena Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya bisa celaka, jika mereka masuk kembali
ke dalam barisan itu. Tong Keng Thian juga berpendapat demikian. "Sebenarnya Moh
Lootjianpwee harus
mengakhiri pertandingan itu," katanya didalam hati. "Meskipun benar Kioekiong
Patkwa tin mereka
masih mempunyai banyak kelemahan, tapi senjata rahasia Lengsan pay bukan main
hebatnya. Walaupun mendapat petunjuk, Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya mungkin tak akan
terlolos dari bencana." Dengan tetap duduk bersila di atas pentas, Moh Tayhiap menatap wajah Yap Thian
Djim dan berkata dengan suara dingin: "Untuk memecahkan barisanmu, tak perlu dikerahkan
begitu banyak orang. Satu orang saja sudah lebih dari cukup!'
Muka Yap Thian Djim jadi berwarna hijau kekuning-kuningan, karena menahan
amarahnya yang meluap-luap. Ia menyoja sembari membungkuk dalam-dalam dan berkata: "Aku
sungguh merasa beruntung, jika Moh Lootjianpwee sudi turun tangan sendiri untuk memberi
pelajaran. Aku sungguh merasa berterima kasih!" Bukan saja Yap Thian Djim, tapi semua orang pun
menduga, bahwa Moh Tayhiap ingin turun sendiri ke dalam gelanggang. Siapakah, kecuali ia,
yang mampu memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang diri"
Tapi di luar semua taksiran, Moh Tayhiap bersenyum dan berkata: "Aku, si tua,
mana mempunyai kegembiraan lagi untuk turun ke dalam gelanggang. Biarlah aku
memerintahkan seorang houwpvvee dari Boetong pay untuk menjajal-jajal, untuk mendapat
kepastian, apakah
kata-kataku benar atau tidak!"
Semua orang terkesiap dan terheran-heran. Mereka tahu, bahwa di antara muridmurid Boetong turunan kedua, Loei Tjin Tjoe-lah yang berkepandaian paling tinggi.
Dengan kepandaiannya itu, bertempur satu lawan satu saja belum tentu Loei Tjin Tjoe
bisa memperoleh
kemenangan. Mana bisa ia memecahkan Kioekiong Patkwa tin seorang diri!
Keheranan itu juga dirasakan oleh Tong Keng Thian. "Andaikata aku sendiri yang
masuk ke dalam barisan tersebut, aku masih ungkulan untuk memecahkannya jika mereka tidak
menggunakan senjata rahasia," katanya di dalam hati. "Jika mereka menggunakan
senjata rahasia, rasanya aku hanya bisa menolong diriku sendiri. Siapakah di antara
houwpwee Boetong
pay yang mempunyai kepandaian begitu tinggi?"
Selagi semua orang bersangsi, mendadak Moh Tayhiap bertepuk tangan dengan
perlahan. Hampir "berbareng dengan itu, di belakang ruang itu terdengar tindakan kaki.
Sebelum orangnya
muncul, semacam wangi-wangian yang sedap sudah memenuhi seluruh ruang.
Semua mata ditujukan ke arah itu dengan tidak berkesip. Di lain saat, dari
belakang sekosol
keluarlah seorang wanita yang cantik luar biasa, mukanya bundar laksana bulan,
kedua alisnya yang hitam, lentik melengkung, mulutnya kecil bagaikan buah tho, matanya yang
jeli berwarna kebiru-biruan, sedang pakaiannya yang indah berwarna biru laut. Semua orang
terkejut, tapi orang yang paling kaget tercampur girang adalah Tong Keng Thian, karena wanita
itu bukan lain daripada Pengtjoan Thianlie!
Bahwa Peng Go yang akan datang ke Gobie san memang sudah diduganya lebih dulu.
Tapi ia sama sekali tidak mengira, bahwa si nona bisa muncul secara begitu mendadak.
Begitu keluar, Pengtjoan Thianlie memberi hormat dan berkata dengan suara halus:
"Apakah kau ingin aku memecahkan Kioekiong Patkwa tin" Tapi aku tak ingin melukakan
orang." "Jangan kuatir," kata sang paman. "Jika mereka terluka, aku bisa mengobatinya."
"Tapi aku kuatir, bahwa mereka tetap akan menderita sakit selama kira-kira
sebulan," kata si
nona. Tadi, ketika melihat kecantikan Pengtjoan Thianlie, sembilan murid Lengsan pay
itu jadi seperti
mabuk dan lupa kepada pertempuran yang akan terjadi. Tapi begitu mendengar tanya
jawab antara Moh Tjoan Seng dan si nona, seolah-olah kemenangan mereka sudah merupakan
suatu kepastian mutlak, dalam hati mereka lantas saja timbul perasaan mendongkol.
Sesudah mengebaskan pedangnya untuk mengatur Kioekiong Patkwa tin, Yap Thian Djim
berkata: "Walaupun badan kami menjadi hancur lebur, tak nanti kami menyalahkan orang
lain, karena yang
harus disalahkan adalah kami sendiri yang tak mempunyai kebecusan. Akan tetapi,
senjata tiada matanya. Nona, kau sendiri pun harus berhati-hati. Jika kesalahan tangan dan
pedang kami menggores mukamu, kami sungguh tak akan sanggup memikul kedosaan yang begitu
besar." Perkataan Yap Thian Djim itu diam-diam dibenarkan para hadirin. Mereka
bersimpati terhadap
nona itu yang sangat cantik dan memang benar-benar sayang, jika ia sampai
terluka. Akan tetapi,
tak seorangpun berani mencegahnya di hadapan Moh Tjoan Seng.
Pengtjoan Thianlie tertawa angkuh dan menyapu semua lawannya dengan sinar
matanya yang tajam dan agung. Tanpa menjawab perkataan Yap Thian Djim, dengan tindakan enteng
ia masuk ke dalam tin musuh. Menurut keharusan, begitu lekas sang lawan masuk, Yap Thian
Djim harus segera memapakinya dengan senjata. Akan tetapi, karena melihat si nona bertangan
kosong, ia bersangsi dan sesudah mengangkat pedangnya, pedang itu tidak terus ditikamkan ke
arah si nona. "Apakah kau takut?" tanya Peng Go dengan suara tawar. "Aku menunggu supaya kamu
bisa mengerahkan tenaga dalammu untuk melindungi diri. Jika tidak berbuat begitu,
kamu pasti akan
sakit selama kira-kira sebulan."
Sembilan murid Lengsan pay itu menjadi gusar sekali. Dua Soetee Yap Thian Djim
dengan berbareng maju dan berkata: "Soeheng, guna apa kau berlaku sungkan terhadap
perempuan itu?"
Hampir berbareng dengan perkataan itu, mereka menyerang. Yang di sebelah kiri
membabatkan pedangnya dengan gerakan Ganlok pengsee (Belibis jatuh di dataran pasir), sedang
yang di sebelah kanan menikam dengan serangan Hianniauw hoasee (burung sakti menggores
pasir). Kedua serangan itu hebat luar biasa dan menutup jalan mundur Pengtjoan Thianlie
dari kiri dan kanan. Kecuali Loei Tjin Tjoe, yang pernah menyaksikan
Perisai Maut 2 Candika Dewi Penyebar Maut V I I I Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 40

Cari Blog Ini