Ceritasilat Novel Online

Bidadari Dari Sungai Es 13

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 13


keliehayannya, semua murid Boetong menahan napas. Mereka sangat berkuatir, jika
si nona akan terluka. Pengtjoan Thianlie tertawa nyaring, badannya bergoyang dan sebelum orang bisa
melihat tegas, bagaimana gerakannya, kedua senjata musuh sudah jatuh di tempat kosong.
Hampir seketika itu juga, dengan berbunyi "srt", Pengpok Hankong kiam si nona sudah
terhunus. Dengan
serentak, sinar dan hawa yang sangat dingin menyambar-nyambar ke seluruh
ruangan. Yap Thian
Djim menggigil beberapa kali, sedang kedua Soetee-nya yang barusan menyerang
Peng Go dan masing-masing lweekang-nya lebih lemah, bergemetar seolah-olah berada di tengah
lembah es. "Mundur!" teriak Yap Thian Djim. "Serang perempuan siluman itu dengan senjata
rahasia!" Kioekiong Patkwa tin lantas saja terbuka lebar dan orang-orang yang berada di
luar gelanggang
pun serentak mundur supaya berada di luar jarak serangan senjata rahasia. Di
lain saat, berbareng dengan komando Yap Thian Djim. bagaikan hujan gerimis aneka senjata
rahasia menyambar ke arah Peng Go.
"Bagus!" seru si nona sembari menyentilkan jeriji tangannya berulang-ulang.
Sesaat itu juga,
Pengpok Sintan berterbangan di tengah udara. Senjata-senjata rahasia yang lebih
kecil, seperti jarum, Thieliantjoe, panah tangan, paku dan sebagainya, jatuh bagaikan bunga
rontok beradu dengan peluru-peluru es itu. Begitu lekas peluru-peluru itu pecah, hawa yang
lebih dingin daripada
Pengpok Hankong kiam, meliputi seluruh ruangan. Sebagaimana diketahui, Pengpok
Sintan dibuat daripada kristal es dari lapisan yang sudah berlaksa tahun usianya di pegunungan
Nyenchin Dangla. Hawanya yang luar biasa meresap ke tulang-tulang, sehingga para tamu
yang lweekangnya
agak lemah, lantas saja mundur lebih jauh atau keluar dari ruangan itu. Tak usah
dikatakan lagi, yang menderita paling hebat adalah murid-murid Lengsan pay itu, yang
berada di dalam
gelanggang dan beberapa antaranya lantas saja roboh terguling dengan badan
lemas. Senjata-senjata rahasia yang lebih besar, yang tidak terpukul jatuh dengan
Pengpok Sintan,
ditangkis oleh si nona dengan pedangnya. Di antara senjata-senjata itu terdapat
semacam senjata
rahasia yang berbentuk melengkung dan selagi menyambar, mengeluarkan suara "ung,
ung". Dengan perasaan heran, si nona menyabet dengan Hankong kiamnya. Mendadak,
senjata itu "melompat", berputar sekali di tengah udara dan menyambar pula dada Koei Peng
Go. Menghadapi serangan yang begitu luar biasa, si nona terkejut bukan main.
Sekonyong-konyong, di
antara orang banyak terdengar teriakan: "Kimkong tjie!"
Pengtjoan Thianlie yang sudah mahir dalam ilmu itu, buru-buru mementang dua
jerijinya dan menjepit senjata tersebut, yang, biarpun sudah terjepit, masih terus merontaronta. Peng Go menengok dan sinar matanya menyapu seluruh ruangan. Ia melihat Tong Keng
Thian berdiri di antara orang banyak sembari bersenyum, sedang Yap Thian Djim sendiri,
dengan wajah gusar, memegang dua buah lagi senjata aneh itu di kedua tangannya, siap sedia
untuk menyerang
pula. Senjata rahasia itu adalah Hoeihoan kauw, yaitu senjata rahasia Han Tiong San
yang paling kesohor. Selagi terbang, senjata itu bisa membiluk ke sana-sini dan jika
tersentuh, dia bisa
berbalik. Di samping itu, Hoeihoan kauw itu adalah senjata yang sangat beracun.
Untung juga lweekang Yap Thian Djim masih kalah jauh dari tenaga dalam si nona. Jika bukan
begitu, Hoeihoan kauw (semacam boomerang) itu tentu tak akan dapat dijepit dengan jari
tangannya. Sementara itu, Yap Thian Djim mengayunkan kedua tangannya dan dua buah Hoeihoan
kauw itu terbang dengan kecepatan luar biasa. Di saat itu, karena tangan kanannya
memegang pedang,
Pengtjoan Thianlie tentu tak akan dapat menjepit kedua-dua senjata itu, yang
menyambar dari kiri
kanan hanya dengan jeriji tangan kirinya. Semua hadirin terperanjat dan
mengawasi gerakan
senjata itu sambil menahan napas. Pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak
terlihat berkelebatnya sesosok bayangan biru dan... Koei Peng Go menghilang dari ruangan
itu! Selagi kekagetan para hadirin belum hilang, kedua senjata itu, yang tidak
menemukan sasaran
mereka, terus terbang ke arah para tamu sambil mengeluarkan suara "ung, ung,
ung". Suasana
menjadi kalang kabut, ada yang melompat menyingkir, ada juga yang mengangkat
tangan untuk menyambutinya. Sekonyong-konyong di tengah udara terlihat menyambarnya dua sinar
emas dan berbareng dengan terdengarnya bunyi: "trang, trang!", kedua Hoeihoan kauw itu
terbang kembali,
dengan kecepatan yang lebih besar daripada tadi.
Para hadirin sekali lagi terkesiap, karena orang yang melepaskan dua sinar emas
itu mempunyai lweekang yang sepuluh kali lebih tinggi daripada Yap Thian Djim.
Sebenarnya, mereka
ingin sekali mencari tahu, siapa yang melepaskan dua sinar emas itu, tapi mereka
tak sempat berpaling, sebab kedua Hoeihoan kauw tersebut sekarang menyambar ke arah Moh
Tjoan Seng. Moh Tayhiap tersenyum dan mengebaskan lengan jubahnya. Untuk kedua kalinya, dua
Hoeihoan kauw itu terpental kembali, kali ini lebih tinggi, terbangnya, dan
dalam sekejap sudah
terbang keluar dari ruang itu, lewat di atas kepala para tamu.
Tiba-tiba Yap Thian Djim mengeluarkan teriakan menyayatkan hati dan tubuhnya
terguling di atas lantai sambil menggigil hebat sekali. Hampir berbareng dengan itu,
Pengtjoan Thianlie sudah
berada lagi di tengah gelanggang. Ternyata, ketika kedua Hoeihoan kauw itu
menyambar, si nona
telah meloncat ke atas penglari, tapi karena mendongkol kepada Yap Thian Djim
yang tanpa segan-segan telah menggunakan senjata beracun, maka, sebelum meloncat turun, ia
lebih dulu menimpuk jalan darah Tayyang hiat orang she Yap itu, dengan Pengpok Sintan-nya.
"Siantjay! Siantjay!" kata Moh Tjoan Seng sembari merangkapkan kedua tangannya.
"Muridmuridku,
lekaslah kamu menolong mereka!' Loei Tjin Tjoe dan sekalian saudara-saudara
seperguruannya lantas saja masuk ke dalam gelanggang dan menggotong sembilan
murid Lengsan pay itu ke ruang belakang untuk diobati. Baru saja keadaan tenang
kembali, dari luar
tiba-tiba terdengar suara tertawa yang menyeramkan.
Dengan penuh keheranan, semua orang menengok ke belakang. Sekonyong-konyong
kelihatan segulung sinar merah melayang di atas kepala mereka dan di lain detik, di
tengah-tengah ruang
itu terdapat seorang laki-laki yang bertubuh jangkung kurus dan mengenakan jubah
merah. Kedua mata orang itu bersinar merah seperti api, rambutnya awut-awutan dan rupanya
sangat menyeramkan. Beberapa orang dari tingkatan lebih tua serentak berseru dengan
kaget: "Hiatsintjoe!'
Sementara itu Hiatsintjoe kembali tertawa nyaring dan kemudian, dengan sikap
sombong, ia manggutkan kepalanya kepada Moh Tjoan Seng. "Hm!" ia mengeluarkan suara di
hidung. "Kamu
mengadakan pertandingan silat disini, sedikitpun tak ada sangkut pautnya
denganku. Tapi kenapa
senjata rahasia terbang di atas kepalaku?" Sembari berkata begitu, ia
melemparkan kedua
Hoeihoan kauw itu di atas lantai dan semua orang terkejut, karena senjata
rahasia itu sudah patah
menjadi delapan potong.
"Hiatsin Tooyoe," kata Moh Tjoan Seng. "Senjata rahasia houwpwee (orang yang
tingkatannya lebih rendah), mana bisa melukakan kau" Guna apa kau menjadi gusar?"
Hiatsintjoe mengeluarkan suara di hidung. "Coba panggil orang yang melepaskan
senjata rahasia itu," katanya dengan sikap memerintah.
"Sekarang mereka sedang menderita demam," kata Moh Tjoan Seng sembari tertawa.
"Nanti sesudah mereka sembuh, kau boleh mencari suami isteri In di Lenglouw san."
In Leng Tjoe suami isteri adalah Tiangloo (orang terkemuka) dari Lengsan pay dan
sebagaimana diketahui, mereka adalah sahabat Hiatsintjoe.
Alis Hiatsintjoe berkerut dan matanya memandang kepingan-kepingan Hoeihoan kauw
di atas lantai itu. Lantas saja ia mengenali, bahwa senjata itu memang benar adalah
senjata rahasia
Lengsan pay. Kedatangan Hiatsintjoe di Gobie san memang sebenarnya untuk coba-coba mengadu
tenaga dan ia perlu mencari alasan untuk menantang. Sesudah usahanya yang pertama
gagal, ia tertawa
dingin dan mengangkat tangannya yang menggengam dua batang Thiansan Sinbong.
"Apakah ini juga senjata rahasia Lengsan pay?" tanyanya, mengejek.
"Itulah Thiansan Sinbong, senjataku," kata Keng Thian sembari meloncat leluar.
"Habis mau
apa kau?" Ternyata, dua Thiansan Sinbong yang digunakan oleh Keng Thian, telah menancap di
Hoeihoan kauw Yap Thian Djim dan sekarang berada dalam tangan Hiatsintjoe.
Hiatsintjoe melirik Keng Thian. Matanya mencerminkan
kebenciannya, sesaat kemudian ia berkata kepada Moh Tjoan Seng: "Kiatyan ini
merupakan kejadian yang agak langka. Setelah berada disini, aku pun ingin meminta
petunjuk-petunjukmu."
Sebenarnya Hiatsintjoe ingin segera menantang Tong Keng Thian, tapi karena
merasa segan akan keangkeran Moh Tayhiap, ia tak berani bertindak secara melampaui batas.
Oleh sebab itu,
sebelum menantang, lebih dulu ia meminjam peraturan Kiatyan.
Moh Tjoan Seng tersenyum dan jawabannya adalah di luar dugaan Hiatsintjoe. "Aku
merasa girang, bahwa Tooyoe sudi berkunjung kesini," katanya dengan sabar. "Memberi
petunjuk kepada
Tooyoe, sekali-kali aku tak berani. Biarlah aku memerintahkan kemenakanku
meminta pelajaran
dari kau. Peng Go! Coba kau melayani Tjianpwee itu dengan Tatmo Kiamhoat."
Tingkatan Hiatsintjoe sebenarnya sama dengan Moh Tjoan Seng. Tapi dengan katakatanya itu, Moh Tayhiap seolah olah memandangnya sebagai seorang houwpwee saja. Tak usah
dikatakan lagi, betapa gusar Hiatsintjoe di saat itu, tapi sebelum ia keburu mengumbar
napsunya, Pengtjoan
Thianlie sudah berkata sembari tertawa: "Sudah beberapa kali aku menerima
pelajaran dari Tjianpwee itu. Menurut pendapatku, sebaiknya ia berlatih pula selama sepuluh
tahun, kemudian
baru datang kesini untuk meramaikan Kiatyan." Dengan berkata begitu, si nona
seolah-olah ingin
mengatakan, bahwa jangankan Moh Tjoan Seng, sedang ia sendiri pun masih belum
bisa dikalahkan oleh Hiatsintjoe.
Moh Tayhiap menggelengkan kepalanya dan berkata, seakan-akan menegur: "Ibarat
seorang yang baru keluar dari rumah gubuk, kau tak mengetahui betapa dalamnya laut pada
hakekatnya."
Hiatsintjoe merasakan dadanya seperti mau meledak dan tanpa mengeluarkan sepatah
kata, ia menghantam Peng Go dengan tangannya yang seperti kipas. "Siluman kecil!" ia
mencaci. "Coba
lihat, siapa yang harus berlatih lagi selama sepuluh tahun!"
Dengan penuh kesangsian, Keng Thian tetap berdiri di dalam gelanggang dengan
tangan kanan tetap pada gagang Yoeliong kiam-nya.
Moh Tjoan Seng mengulapkan tangannya sembari tertawa: "Kau juga ingin Kiatyan"
Sekarang belum tiba giliranmu. Mundurlah dulu."
Keng Thian lantas saja kembali ke tempat duduknya, sedang Hiatsintjoe sudah
mulai bertempur
dengan Pengtjoan Thianlie. Dengan tangannya yang lebar, ia coba mencengkeram.
Dengan mudahnya Peng Go menghindari serangan itu. Begitu lekas serangannya yang pertama
gagal, Hiatsintjoe membuat sebuah lingkaran dengan kedua tangannya dan kemudian
mendorong ke depan dengan perlahan.
Sekonyong-konyong terdengar teriakan "aya!" dan seorang tamu roboh dari kursinya
dalam keadaan pingsan. Beberapa ahli silat yang duduk berdekatan menjadi kaget dan
lantas saja menolong orang itu.
Harus diketahui, bahwa Hiatsintjoe memiliki ilmu yang sangat aneh. Kedua
tangannya, yang
sudah dikeset kulitnya, berwarna merah bagaikan darah dan tulang-tulangnya bisa
dilihat nyata. Tapi itu belum seberapa. Yang lebih hebat lagi adalah setiap pukulannya, yang
disertai sambaran


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angin yang sangat panas. Karena itu, para tamu dibarisan depan, terutama yang
lweekang-nya masih agak lemah, tak kuat menghadapi hawa panas itu. Salah seorang antaranya
menjadi pingsan. Di lain saat, sejumlah orang lantas saja mundur ke bagian belakang.
"Jangan berlagak disini!" kata Pengtjoan Thianlie sembari mengebaskan pedangnya.
Suatu gelombang hawa dingin menjalar ke empat penjuru dan hawa panas lantas saja
sirap. Para tamu
menjadi girang sekali dan berapa antaranya segera maju pula ke depan, supaya
bisa menyaksikan
pertempuran itu dari jarak dekat.
Hiatsintjoe lantas saja menyerang bagaikan singa gila. Ia menubruk ke kirikanan, ke depan
dan ke belakang, melancarkan pukulan-pukulan kilat yang disertai dengan hawa
panas. Peng Go melayaninya dengan kegesitan luar biasa. Sesudah bertempur beberapa lama, gerakgerik mereka sudah tak dapat diikuti pula oleh mata para penonton; hanya sesosok bayangan
biru kelihatan berkelebat-kelebat ke sana-sini, sedang hawa panas itu saban-saban menjadi buyar
karena hawa Pengpok Hankong kiam yang sangat dingin. Dengan cepat mereka sudah bertempur
seratus jurus lebih, tanpa ada yang keteter.
Moh Tayhiap menonton dengan penuh perhatian. Saban-saban ia manggutkan
kepalanya. Tibatiba
ia tertawa dan berkata: "Kalian boleh dikatakan setanding, baik dalam serangan
maupun pembelaan diri, tak ada pukulan yang salah.
Mengenai Hiatsin Tooyoe, hanya tenaganya belum dapat dikeluarkan semua. Peng Go,
kegesitanmu sudah bisa dikatakan cukup baik, juga dalam membela diri kau sudah
cukup tangguh. Tapi kau harus mengerti juga, bahwa ilmu silat, pada dasarnya sama dengan ilmu
perang. Untuk memperoleh kemenangan, kita harus bisa melakukan serangan tiba-tiba yang tak
terduga. Dalam hal ini, kau belum dapat menyelami seluruh intisari Tatmo Kiamhoat." Sesudah
berkata begitu, ia
mulai memberikan petunjuk-petunjuk, baik kepada Hiatsintjoe, maupun kepada
kemenakannya sendiri. Semua petunjuk itu termasuk dalam bidang ilmu silat yang sangat tinggi,
dan hanya dimengerti oleh Tong Keng Thian serta beberapa orang lain.
Hiatsintjoe tercengang berbareng gusar. Meskipun tingkatnya sebenarnya sama
dengan Moh Tjoan Seng. Akan tetapi, ia mendapat kenyataan, bahwa Moh Tayhiap mengenal
segala rupa ilmu
silatnya dari awal sampai akhir, dan setiap petunjuknya juga diberikan secara
jujur. Oleh sebab
itu, meskipun merasa dirinya dihinakan sebagai seorang houwpwee, Hiatsintjoe,
terpaksa membungkam saja Di lain pihak, sesudah mendapat petunjuk pamannya, seranganserangan Pengtjoan Thianlie semakin lama jadi semakin hebat.
Hiatsintjoe tahu, bahwa lweekang-nya setingkat lebih tinggi daripada tenaga
dalam si nona. Oleh sebab itu itu, ia menjadi gemas. Penasarannya memuncak sesudah bertanding
hampir dua ratus jurus dan lawannya masih belum keteter. Mendadak, sambil tertawa
menyeramkan dan
dengan tulang-tulang di seluruh tubuhnya berbunyi kratak-krotok, ia menabas
dengan kedua tangannya. Bukan main hebatnya pukulan itu yang di kirimkan dengan seantero
tenaganya. Suatu
lingkaran yang bergaris tengah kurang lebih setombak tertutup oleh tenaga
pukulannya yang
berhawa panas. Semua orang terkesiap, Keng Thian sendiri hampir-hampir mengeluarkan teriakan.
Sekonyong-konyong pinggang Koei Peng Go kelihatan bergerak dan hampir di saat
itu juga, pedangnya diputarkan bagaikan titiran. Di saat itu juga, seluruh ruangan seakanakan dikelilingi es
dan tubuh si nona sendiri terkurung di tengah sinar pedangnya. Kecuali Tong Keng
Thian yang masih bisa melihat tegas gerakan si nona, mata semua tamu menjadi kabur dan yang
masih bisa dilihat mereka, hanyalah segulung sinar putih.
Melihat pembelaan diri yang begitu rapat, kedua tangan Hiatsintjoe terhenti di
tengah udara dan untuk sedetik, ia ragu-ragu untuk menubruk terus. Tiba-tiba si nona mundur
setindak dan dari
suatu kedudukan yang tidak lazim, secara tak terduga, ia menikam dengan
pedangnya. Dengan
hati mencelos Hiatsintjoe mengangkat kedua tangannya untuk melindungi dadanya. "Srt!",
bagaikan kilat kilat, pedang si nona menyambar dan sebagian rambut Hiatsintjoe
terpapas putus!
Bukan main girangnya Tong Keng Thian. Ia tahu, bahwa tenaga dalam si nona masih
kalah setingkat dari lawannya dan sedari tadi ia terus berkuatir. Sungguh di luar
taksirannya, bahwa
dalam menghadapi bahaya, Peng Go bisa melakukan dua serangan berantai luar biasa
yang ternyata telah berhasil baik. Kedua serangan itu adalah pukulan-pukulan rahasia
dari Tatmo Kiamhoat, yang satu Haysiang benghee (Awan terang di atas laut), yang lain
adalah Itwie touwkiang (Selembar rumput menyebrangi sungai).
Keng Thian tidak tahu, bahwa sesudah tiba di kuil Kimkong sie, Pengtjoan
Thianlie telah mendapat petunjuk-petunjuk penting mengenai Tatmo Kiamhoat dari pamannya. Karena
kepandaiannya sendiri memang sudah tinggi, beberapa petunjuk itu saja sudah
cukup untuk memungkinkan ia menyelami intisari Tatmo Kiamhoat. Ditambah dengan keistimewaan
pedangnya, yang bisa menindih hawa panas dari pukulan Hiatsintjoe, Pengtjoan
Thianlie telah memperoleh hasil, meskipun lweekang-nya masih kalah dari lawannya
Darah Hiatsintjoe mendidih. Dapat dimengerti, bahwa ia merasa penasaran sekali,
karena pamornya telah diturunkan seorang houwpwee. Sambil menggeram bagaikan harimau
terluka, ia mengumpulkan semangatnya dan menyerang lagi secara mati-matian. Berturut-turut,
ia mengirimkan delapan belas serangan yang paling diandalkannya, akan tetapi,
biarpun Peng Go
terdesak mundur, ia masih belum bisa menarik keuntungan yang berarti. Semakin
lama ia jadi semakin bingung.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, mendadak, dengan mata menyala-nyala, ia
menyalurkan seluruh tenaganya ke sepasang tangannya. Kemudian, dengan gerakan Paysan
oentjiang (Mengatur gunung menggerakkan tangan), ia menghantam sekuat-kuatnya. Sungguh
dahsyat pukulan itu! Sinar pedang si nona bergoyang-goyang, garis pembelaannya terpukul
pecah dan, dengan jantung berdebar keras, semua orang menduga, bahwa Pengtjoan Thianlie
tentu akan roboh di bawah pukulan itu!
Tiba-tiba, sebelum orang mengetahui apa yang terjadi, Hiatsintjoe mengeluarkan
teriakan keras dan menubruk lantai, disusul dengan suara gemuruh, debu dan kepingan-kepingan
batu muncrat ke atas serta tiang-tiang di ruang itu bergoyang-goyang. Ternyata, Hiatsintjoe
sudah jatuh terguling dengan kedua tangannya menghantam lantai yang jadi berlubang besar!
Moh Tjoan Seng bersenyum seraya berkata: "Peng Go, lekas minta maaf kepada
Tjianpwee."
Hiatsintjoe melompat bangun dengan muka pucat bagaikan kertas. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia lari keluar dan sebelum Pengtjoan Thianlie bisa membuka mulut,
ia sudah tak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Kenapa bisa terjadi begitu"
Sebagaimana diketahui, Iweekang Koei Peng Go masih kalah dari lawannya dan ia
sebenarnya tak akan bisa menangkis pukulan Paysan oentjiang yang di kirimkan oleh
Hiatsintjoe dengan
seantero tenaganya. Akan tetapi, sesudah mendapat petunjuk pamannya, ia
mengerti, bagaimana
harus melayaninya. Ketika Hiatsintjoe menubruk, sedang kedudukannya sangat
berbahaya, dengan kecepatan yang tak bisa dilukiskan, ia melompat ke belakang Hiatsintjoe
sembari menimpuk dengan tujuh butir Pengpok Sintan yang semuanya jitu sekali mengenai
jalan darah musuh. Pada ketika itu, Hiatsintjoe tengah mengerahkan Seantero tenaganya di
kedua tangannya,
sehingga tubuhnya tak mempunyai pembelaan lagi. Dalam keadaaan begitu, jangankan
sampai tujuh butir, sedangkan sebutir Pengpok Sintan saja sudah akan cukup untuk
merobohkannya. Pertempuran yang luar biasa itu sudah menggetarkan hati semua penonton. Sejumlah
tamu yang semula mengandung niatan kurang baik, menjadi gentar dan ramai-ramai mundur
ke bagian belakang. Baru saja keadaan menjadi tenang kembali, mendadak terlihat berkelebatnya
sesosok bayangan manusia. Di lain detik, tahu-tahu orang itu -- satu toosoe (imam) yang
mengenakan jubah kuning - - sudah berdiri di depan pentas ceramah. Moh Tjoan Seng yang
sedari tadi terus
bersila, sekarang berdiri, suatu tanda bahwa orang yang baru datang itu bukan
seorang houwpwee. Dengan heran, semua mata mengawaskan imam itu yang ternyata berparas agung dan
sebelah tangannya memegang hudtim (kebutan debu). Antara begitu banyak tamu tak satu pun
yang mengenal imam tersebut dan mereka sangat kepingin tahu, siapa sebenarnya orang
itu yang agak disegani oleh Moh Tayhiap.
Sambil menggoyangkan hudtim-nya, si toosoe tertawa bergelak-gelak seraya
berkata: "Moh
Lootauwtjoe (orang tua she Moh) aku juga ingin Kiatyan!" Sehabis berkata begitu,
ia mengebaskan hudtim-nya dan ribuan bulu hudtim itu lantas saja menjadi tegak,
seolah-olah kawat
baja. Pengtjoan Thianlie, yang masih menggengam pedang terhunus, segera
menangkis hudtim
itu yang dihantamkan ke arahnya.
"Peng Go, mundur!" perintah Moh Tjoan Seng.
Dengan berbunyi "tring...", Pengpok Hankong kiam itu terpental. "Sungguh sayang
jika sampai terluka," kata si imam sembari tertawa dingin. "Kau bukan tandinganku. Moh
Lootauwtjoe, kenapa
kau masih belum mau turun?"
Sekonyong-konyong, dengan suatu gerakan yang sangat indah, tubuh Tong Keng Thian
meluncur ke depan dan hinggap di antara Pengtjoan Thianlie dan imam itu.
"Dulu aku sudah mengampuni jiwamu," kata si imam. "Sekarang kau berani datang
lagi?" "Hongsek Toodjin!" bentak Keng Thian. "Jangan kurang ajar! Moh Lootjianpwee mana
mau melayani manusia semacam dirimu. Mari, mari! Aku bersedia melayani kau." Sehabis
membentak, ia menghunus Yoeliong kiam-nya dan menyerang dengan sekali bergerak.
Hongsek Toodjin yang sudah mengenal keliehayan pedang itu, tidak berani berlaku
ayal dan segera menangkis dengan hudtim-nya. Dengan suatu gerakan yang luar biasa, tanpa
berkisar, ia membalikkan hudtim-nya dan menghantam pedang Keng Thian dengan gagang kebutan.
"Trang!",
Yoeliong kiam si pemuda terpental! Hongsek mengangsek dan seperti ribuan kawat
baja, hudtim itu menyambar kepala Keng Thian.
Melihat serangan yang hebat itu, buru-buru Keng Thian mengeluarkan Thaysiebie
Kiamhoat untuk melindungi dirinya. Di lain pihak, dengan sekali melompat, Hongsek sudah
melewati Keng Thian dan tiba kembali di depan pentas untuk segera menyerang Moh Tjoan Seng,
guru besar dari
Rimba Persilatan di seluruh wilayah Tionggoan.
Dengan kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, biarpun bukan tandingan Hongsek,
Keng Thian masih bisa mempertahankan diri dalam lima puluh jurus. Akan tetapi, imam
itu yang bermaksud untuk mengangkat derajat partai Khongtong pay, sungkan berurusan lamalama dengan pemuda itu. Itulah sebabnya, mengapa begitu bergebrak, ia segera
menyerang hebat
sekali supaya Keng Thian tak bisa merintangi gerak-geriknya.
Keng Thian terkejut bukan main. Ia ingin menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi,
karena Hongsek sudah berhadapan dengan Moh Tjoan Seng. Walaupun ia yakin, bahwa imam
itu tak akan bisa mencelakakan Moh Tayhiap, akan tetapi, jika guru besar itu sampai
terpaksa turun tangan sendiri dan tak bisa menjatuhkan lawannya dalam sepuluh jurus, Rimba
Persilatan di wilayah Tionggoan akan mendapat malu besar dan pertemuan Kiatyan tak akan bisa
dilakukan lagi. Pada detik yang memutuskan, sekonyong-konyong, tubuh Pengtjoan Thianlie melayang
ke depan pentas dan tanpa mengeluarkan sepatah kata, si nona lalu membacok dengan
pukulan Hoeipo lioetjoan (Air tumpah solokan mengalir), yaitu salah satu pukulan
terliehay dari Pengtjoan
Kiamhoat yang diciptakan oleh ayah dan ibunya.
Hongsek memanggil dan ia terpaksa menangkis dengan hudtim-nya. "Bocah!" ia


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentak. "Apakah kau juga mencari mampus?"
Sehabis mencaci, ia menarik pulang hudtim-nya Peng Go yang sudah tak keburu
menarik pulang pedangnya, lalu mendorongnya untuk menikam dada Hongsek. Tiba-tiba ia
merasakan senjatanya terjepit dan tertarik oleh suatu tenaga yang besar luar biasa. Harus
diketahui, bahwa
senjata Hongsek bisa menjadi "keras" dan juga bisa "lemas". Tadi, ia sengaja
"melemaskan" bulubulu
hudtim-nya untuk memancing masuknya Pengpok Hankong kiam. Begitu pedang itu
menerobos masuk, dengan menggunakan Djioekin (tenaga "lemas"), ia menggubatnya
dan kemudian, dengan tenaga Yangkong (tenaga "keras"), ia menggencet dan menarik
pedang itu. Peng Go merasakan lengannya kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong kiam-nya
terlepas dari genggamannya.
Ketika si nona sudah hampir tak dapat bertahan lagi, tenaga Hongsek yang tengah
menarik dengan hebatnya, tiba-tiba hilang. Ternyata, penolong itu adalah Keng Thian yang
telah menikam punggung musuh dengan pedangnya. Walaupun memiliki lweekang yang sangat tinggi,
Hongsek tak berani memandang enteng kepada Yoeliong kiam. Mau tak mau, ia menarik
hudtim-nya untuk
menangkis pedang Keng Thian. Peng Go tentu saja sungkan menyia-nyiakan
kesempatan bagus
itu. Dengan beruntun ia mengirimkan tiga tikaman ke arah tiga jalan darah musuh.
Tapi Hongsek benar-benar liehay. Dengan mengebaskan lengan jubahnya, ia memunahkan tiga
serangan itu dan
hampir berbareng dengan itu, sembari memutarkan badannya, lengan jubahnya
menyampok Keng Thian yang jadi sempoyongan dan harus mundur beberapa tindak.
Orang-orang dari cabang-cabang persilatan yang menyeleweng lantas saja bersoraksorai, sedang mereka dari cabang-cabang persilatan yang tulen jadi terkejut dan merasa
kuatir untuk keselamatan kedua orang muda itu. Mereka tidak tahu, bahwa barusan Hongsek
Toodjin telah "lolos dari lubang jarum." Di luar, imam itu tampaknya telah memukul mundur Keng
Thian dan Peng Go dengan mudah sekali. Akan tetapi, sebenarnya, ia telah berada dalam
kedudukan yang sangat berbahaya. Hanya karena Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian belum
mendapat kesempatan untuk berlatih bersama-sama (sehingga di antara mereka belum terdapat
kecocokan yang sempurna), maka Hongsek Toodjin sudah bisa meloloskan diri dari serangan
itu. Jika bukannya begitu, andaikata ia terlolos dari Pengpok Hankong kiam si nona, jangan
harap ia bisa terlolos dari Yoeliong kiam si pemuda.
Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus. Semakin lama
kerja sama antara Peng Go dan Keng Thian jadi semakin baik. Menyerang maupun membela diri
dapat dilakukan secara saling bantu membantu yang semakin lancar. Keunggulan ilmu
pedang Pengtjoan
Thianlie terletak pada kegesitan dan keanehan pukulan-pukulannya, sedang
keunggulan Kiamhoat
Tong Keng Thian terletak pada kemahirannya. Dengan masing-masing memiliki
keunggulan-keunggulan itu, mereka berdua bisa saling menambal bagian masingmasing yang agak lemah. Demikianlah, meskipun Hongsek berkepandaian lebih tinggi, sesudah
bertempur agak lama, sebaliknya dari bisa mendesak, ia sendiri akhirnya yang terdesak.
Sesudah berhasil menindih keganasan sang lawan, diam-diam Keng Thian melirik
Peng Go. Tapi ia jadi kecewa, karena dari paras si nona, tak dapat ditaksir bagaimana
perasaannya. Wajah Peng
Go kelihatan seperti girang, jengkel dan gusar bercampur menjadi satu. "Biarlah,
sesudah pertempuran ini berakhir, aku akan coba memberi keterangan kepadanya," kata Keng
Thian di dalam hatinya. Dalam pertempuran antara jago dan jago, setiap pihak tak boleh memecah
perhatiannya. Maka
begitu lekas pikiran Keng Thian ketarik ke jurusan lain, garis pembelaannya
lantas saja menjadi
tak sekokoh tadinya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik itu, Hongsek segera
mengirimkan serangan berantai. Pengtjoan Thianlie terkejut, buru-buru ia memberikan
pertolongan. Sesudah mendapat pelajaran itu, Keng Thian tak berani memikirkan soal-soal lain
lagi. Sembari mengumpulkan semangatnya dan memusatkan seluruh perhatiannya, ia terus bersilat
dengan Thaysiebie Kiamhoat-nya. Segera juga, Yoeliong kiam-nya sudah merupakan tirai
sinar putih yang
melindungi dirinya sendiri dan Peng Go dengan berbareng. Thaysiebie Kiamhoat
adalah ilmu yang
paling liehay dari Thiansan pay. Jika ilmu itu digunakan hanya untuk membela
diri, pengaruhnya
akan lebih besar lagi dan pertahanannya jadi sedemikian rapat, sehingga agaknya,
seakan-akan tak dapat ditembusi angin maupun hujan. Dengan mendapat perlindungan Keng Thian,
Pengtjoan Thianlie menjadi bebas untuk menyerang musuh itu dengan pukulan-pukulan Tatmo
Kiamhoat yang sangat dahsyat.
Bagi banyak orang, pertempuran itu adalah pertempuran terhebat yang mereka
pernah melihat.
Sambil menahan napas, semua tamu menantikan kesudahannya dengan mata tidak
berkesip. Selagi pertempuran itu berlangsung dengan serunya, sekonyong-konyong di luar
ruangan terdengar suara tertawa yang ramai aneh. Keng Thian terkesiap. Ia tahu, bahwa
Kim Sie Ie lagilagi
datang mengacau. Tapi selagi menghadapi lawan berat, ia tak berani memecah
perhatiannya. Semua orang lantas saja ramai-ramai menengok keluar. Mereka mendapat kenyataan,
bahwa belasan toosoe Boetong pay sedang memasuki ruang itu, sembari melompat-lompat
dan tertawa aneh tiada habisnya.
Bukan main gusarnya Loei Tjin Tjoe. Sembari membungkuk, ia berkata kepada Moh
Tjoan Seng: "Pengemis gila yang kemarin lagi-lagi datang mengacau. Mohon Tjouwsoe
memberi hukuman kepadanya." Dalam kegusarannya terhadap Kim Sie le, ia lupa, bahwa
seorang yang berkedudukan tinggi seperti Tjouwsoe-nya, tak boleh sembarang turun tangan
terhadap seorang
houwpwee seperti Toktjhioe Hong-kay.
Dalam sekejap, belasan toosoe itu sudah masuk ke ruang sembahyang dan mereka
diikuti seorang pemuda tampan. Pemuda itu mengenakan pakaian indah yang robek di
beberapa bagian,
sedang kedua tangannya - - yang memegang tongkat - tiada hentinya diangkat untuk
menggiring rombongan toosoe itu selaku gembala mengendalikan rombongan bebeknya.
Begitu mendengar nama "Toktjhioe Hongkay," semua orang terperanjat.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Ramai benar! Sungguh ramai!" ia berteriak.
Belum sempat ia meneruskan perkataannya, muka Moh Tayhiap berubah dan sebelah tangannya
melontarkan sejumlah biji tasbih. Bagaikan kilat, biji-biji itu terbang di tengah udara dan
hampir di saat itu juga,
suara tertawa itu serentak berhenti!
Pada saat itu, seluruh ruangan menjadi sunyi, suatu kesunyian yang
menyeramkan... Mendadak, mendadak saja, di luar terdengar seruan: "Sungguh ramai! Aku pun ingin
turut meramaikan Kiatyan!"
Hampir berbareng dengan habisnya suara itu, sesosok bayangan manusia melesat ke
depan pentas dan orang itu lantas saja menerjang Moh Tjoan Seng. Pada detik itu juga,
Koei Peng Go yang gesit luar biasa, sudah meninggalkan Hongsek Toodjin dan menghadang di
depan pentas. "Trang!" Peng Go terhuyung, lengannya kesemutan, hampir-hampir Pengpok Hankong
kiamnya terlepas! Penyerang itu ternyata adalah seorang laki-laki yang badannya kurus tinggi,
rambutnya terurai
di kedua pundaknya dan mukanya lebih menakutkan daripada muka Toktjhioe Hongkay
Kim Sie Ie. Peng Go kaget tak kepalang, karena lweekang orang itu bahkan lebih kuat
daripada Hongsek
Toodjin. Tentu saja, para hadirin juga terkejut, tapi yang paling terperanjat adalah Tjia
In Tjin, karena ia
mengenal penyerang itu sebagai si manusia aneh yang sudah mengutungkan lidah
sejumlah murid Boetong. "Tongbeng Tooyoe," kata Moh Tjoan Seng dengan tenang. "Apakah kau masih belum
bisa melupakan peristiwa yang terjadi empat puluh tahun berselang itu?"
Ketika mendengar perkataan itu, para ahli silat yang sudah berusia lima puluh
tahun lebih lantas saja, mengetahui siapa orang aneh itu. Kurang lebih empat puluh tahun
sebelum hari itu,
gua Kouwtiok tong di gunung Koenloen san, didiami seorang pertapaan yang dikenal
dengan nama Tongbengtjoe. Entah dari mana, ia memiliki ilmu yang aneh. Sering sekali ia
mengganggu orang-orang gagah dari Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan. Ketika itu,
Moh Tjoan Seng masih muda dan semangatnya sedang bergelora. Mendengar kejadian
tersebut, ia segera mendaki Koenloen san dan menantang Tongbengtjoe. Sesudah
bertempur selama setengah hari, ia berhasil merobohkan lawannya dan memaksa Tongbengtjoe
bersumpah untuk tidak berkelana lagi di kalangan Kangouw. Selama empat puluh tahun,
Tongbengtjoe melenyapkan diri dan semua orang menduga, bahwa ia sudah meninggal dunia. Tak
dinyana, pada Kiatyan ketiga ini, ia muncul dengan tiba-tiba.
Teranglah sudah, bahwa kedatangannya sekali ini adalah untuk menantang Moh Tjoan
Seng. Mengenai usia, Tongbengtjoe sepantar dengan Moh Tayhiap. Akan tetapi, jika
dilihat dari wajahnya, ia masih seperti seorang yang baru berusia kurang lebih empat puluh
tahun. Dalam Rimba Persilatan memang terdapat semacam ilmu yang dapat memepertahankan
keremajaan seseorang. Sesudah empat puluh tahun bersembunyi, Tongbengtjoe muncul kembali
dengan niatan mengukur kepandaian lagi dengan Moh Tjoan Seng. Semua orang menganggap,
bahwa tanpa mempunyai pegangan, ia tentu tak berani datang. Agaknya empat puluh tahun
itu telah dilewatkannya dengan memeras keringat untuk mencari kemajuan dan pada saat itu,
tentunya ia yakin, bahwa kepandaiannya sudah lebih tinggi daripada Moh Tayhiap.
Tongbengtjoe tertawa lagi. "Moh Tjoan Seng!" katanya. "Kau sekarang sudah
menjadi guru besar, sedang aku masih tetap seorang perantaian. Bukankah ini terlalu tak adil"
Aku datang kesini untuk menanyakan apakah kau mau mengijinkan aku berkelana lagi di dunia
Kangouw atau tidak?" "Selama empat puluh tahun, banyak sekali perubahan telah terjadi," jawab Moh
Tjoan Seng. "Sedang laut juga sudah bisa berubah menjadi kebun, apalagi manusia" Apakah kau
masih mau mentaati sumpahmu atau akan menghapuskannya, terserah kepada kau sendiri."
Dengan berkata begitu Moh Tjoan Seng ingin mengatakan, bahwa, jika Tongbengtjoe sekarang bisa
mengambil jalan lurus, ia boleh tak usah menunaikan sumpahnya lagi.
Tongbengtjoe tak bisa menangkap maksud Moh Tayhiap, sambil tertawa dingin ia
berkata: "Dulu, dengan kekerasan kau memaksa aku memenjarakan diriku sendiri. Sekarang,
untuk kedua kalinya aku muncul kembali. Aku sendiri tak tahu, apakah aku masih berhak untuk
berkelana lagi di dunia Kangouw. Maka, tak dapat tidak aku mesti meminta pengajaranmu pula."
Moh Tjoan Seng tersenyum. "Apakah di dunia Kangouw orang hanya mengandalkan ilmu
silat?" tanyanya. Tongbengtjoe tertawa terbahak-bahak. "Dulu aku telah roboh karena tanganmu!" ia
berkata dengan lantang. "Sekarang, juga dari tanganmu, aku hendak merebut kembali
kemerdekaanku!"
Ia melompat dan coba menyerang pula.
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah menyiapkan tujuh butir Pengpok Sintan
dalam kedua tangannya. Begitu Tongbengtjoe melompat, ia segera menimpuk dengan kedua
tangannya. "Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?" ia membentak
sembari menyentil, tujuh butir Pengpok Sintan itu lantas saja terpental dan lumer
menjadi air es. Hampir
berbareng dengan itu, ia melompat sambil mementang sepuluh jerijinya untuk
menerkam batok kepala si nona.
*** Kim Sie Ie menyatroni Kimkong sie dengan hati mendongkol dan dengan niatan untuk


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengacau. Sebelum masuk, dengan batu kolar ia menimpuk jalan darah belasan murid
Boetong yang menjaga di luar pekarangan kuil. Yang ditimpuk olehnya adalah Siauwyauw
hiat (jalan darah
untuk membikin orang tertawa) dan Mayang hiat (jalan darah yang mendatangkan
perasaan baal dan gatal). Sesudah itu, dengan gembira, ia menggiring para korbannya. Tapi
sungguh di luar
dugaannya, dengan sekali menimpuk, Moh Tjoan Seng sudah berhasil menolong para
murid Boetong itu. Tiamhiat hoat (ilmu menotok jalan darah) ciptaan Tokliong Tjoentjia
adalah ilmu tunggal yang tidak dikenal oleh orang luar. Dengan ilmu itu, Kim Sie Ie sudah
merobohkan banyak
sekali jago dalam Rimba Persilatan dan ia semula menduga, bahwa Tiamhiat hoat
tersebut tak akan dapat dipecahkan oleh siapapun juga.
Oleh sebab itu, ia menjadi kaget sekali, ketika mendapat kenyataan, bahwa Keng
Thian dapat menolong Loei Tjin Tjoe dan kawan-kawannya. Ketika dengan sekali menggerakkan
tangannya, Moh Tjoan Seng sudah bisa membebaskan belasan orang yang telah ditotoknya, tentu
saja ia jadi makin terperanjat. Berdasarkan
bunyi biji-biji tasbih itu -- ketika datang menyambar - - ia tahu, jika ia
ditimpuk, tak dapat ia
menahannya. Masih untung, bahwa Moh Tayhiap hanya menolong murid-murid Boetong
tersebut, dan tidak turun tangan untuk mencelakakannya. Setelah menyaksikan semua itu,
kesombongan Kim Sie Ie lantas saja berkurang banyak.
Sementara itu, hatinya mencelos ketika mendapat kenyataan, bahwa dengan
berendeng pundak, Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sedang mengerubuti Hongsek
Toodjin. Selagi ia
mau mengundurkan diri dari ruangan itu, tiba-tiba muncul Tongbengtjoe, yang
lantas dicegat oleh
si nona. Di saat itu, ketika Tongbengtjoe menubruk Peng Go, pikiran Kim Sie Ie berubah
sama sekali. Biar bagaimana besar rasa bencinya terhadap Tong Keng Thian, tak dapat tidak ia
mesti menolong. Bagaikan kilat, tangan Tongbengtjoe menyambar kepala si nona. Dengan tak kalah
cepatnya, Peng Go menunduk dengan gerakan Honghong tiamtauw (Burung hong manggutkan
kepala) dan menyabet dengan Hankong kiam-nya. Begitu serangannya yang pertama meleset,
Tongbengtjoe segera menyusulkan terkamannya yang kedua.
Pada detik itulah, sambil membentak keras, Kim Sie Ie melompat dan menghantam
kepala Tongbengtjoe dengan tongkatnya. Tangan Tongbengtjoe menyambar dan berhasil
menangkap ujung tongkat itu. Dalam gebrakan itu, kedua belah pihak telah mengerahkan
lweekang masingmasing
yang sangat tinggi. Begitu tongkatnya ketangkap musuh, badan Kim Sie Ie
terhuyung dan ia terseret dua tindak.
Sekarang, masing-masing memegang sebelah ujung tongkat itu. Tongbengtjoe tertawa
terbahak-bahak dan mendadak, ia memutarkan tongkat itu dan membuat satu
lingkaran. Semakin
lama, ia memutarkannya semakin cepat, sehingga meskipun niat menolong, Pengtjoan
Thianlie tidak berani turun tangan, karena kuatir melukakan Kim Sie Ie sendiri. Tiba-tiba
Kim Sie Ie tertawa
nyaring dan badannya kelihatan membubung ke atas, sehingga Pengtjoan Thianlie
terkejut bukan main. Di lain saat, ia mendapat kenyataan, bahwa, sedang Tongbengtjoe masih
terus memegang ujungnya, pemuda itu sendiri sudah menunggangi batang tongkat itu. Mendadak
terdengar suara
"fui!" dan Kim Sie Ie menyemburkan ludah! Di antara semburan itu, sayup-sayup
terdengar sambaran jarum-jarum halus.
Tadi, Kim Sie Ie sebenarnya sudah berada di bawah kekuasaan musuhnya, sehingga
apa yang dilakukannya benar-benar di luar dugaan Tongbengtjoe.
Hampir berbareng dengan semburan ludah Kim Sie Ie, Pengtjoan Thianlie melompat
dan mengirimkan suatu tingkaman ke punggung musuh, Tongbengtjoe yang mengandalkan
ilmu Pithiat kanghu (ilmu menutup semua jalanan darah), tidak menghiraukan serangan
senjata rahasia
Kim Sie Ie dan buru-buru mengebaskan lengan jubahnya untuk menangkis pedang si
nona yang menyambar laksana kilat. Pengpok Hankong kiam itu terpental, sehingga Peng Go
terpaksa meloncat mundur. Sebelum Tongbengtjoe sempat berbalik, ludah Kim Sie Ie sudah
mengenai lehernya. Amarah Tongbengtjoe jadi meluap. Sambil mengertak gigi, ia melontarkan tongkat
itu - yang sedang ditunggangi Kim Sie Ie - - ke tengah udara. Dengan kedua-dua tangannya
tetap memegang tongkat itu erat-erat, Kim Sie Ie berjungkir balik dan selagi badannya
melayang turun,
mulutnya berteriak: "Tikam Honghoe hiat, Hiankie hiat dan Tjiantjeng hiat-nya.
Dia sudah terkena
senjata rahasiaku yang beracun!"
Lweekang Tongbengtjoe sudah dilatih sampai di tingkatan paling tinggi, sehingga
meskipun ia belum mempunyai badan dewa yang tak bisa rusak, akan tetapi ia percaya, bahwa
tubuhnya bisa menahan segala rupa senjata rahasia dan ditambah dengan Pithiat kanghu, ia
yakin, bahwa badannya cukup kuat untuk melawan segala macam racun. Oleh sebab itu, ia semula
tidak menggubris perkataan Kim Sie le. Di luar dugaannya, sesudah menangkis beberapa
serangan Pengtjoan Thianlie, mendadak ia merasakan jalan darah Honghoe hiat, Hiankie hiat
dan Tjiantjeng hiat-nya baal. Di lain saat, ia merasakan hawa racun menyelusup dari jalan darah
ke dadanya! la terkesiap berbareng gusar.
*** Harus diketahui, bahwa senjata rahasia yang digunakan Kim Sie Ie adalah senjata
paling beracun di kolong langit. Di Pulau Ular terdapat semacam ular yang dinamakan
Kimkak Sintjoa (Ular malaikat yang bertanduk emas), Di kepala ular itu terdapat tulang yang
munjul ke atas seperti tanduk dan bisa ular tersebut hebat luar biasa. Dulu, di waktu Tokliong
Tjoentjia menggunakan ular itu, untuk mencelakakan Phang Eng, hampir-hampir jiwa Phang Eng
tidak ketolongan lagi jika Hie Kok tidak memberikan rumput Lengtjie yang sudah berusia
ribuan tahun kepadanya. Senjata rahasia Kim Sie Ie, yaitu Hoeitjiam atau jarum yang sangat halus, telah
diolah dengan bisa Kimkak Sintjoa. Sebelum berlatih melepaskan jarum itu bersama-sama dengan
semburan ludah, lebih dulu ia minum obat pemunahnya dan sengaja melukakan tubuhnya
sendiri dengan gigitan ular tersebut, supaya badannya menjadi kebal. Itulah sebabnya, mengapa
jarum tersebut bisa dimasukkan dalam mulutnya tanpa menimbulkan bahaya.
Tapi, jika orang lain terkena serangan jarum-jarum itu, kecuali bila ia berbadan
seperti dewa, begitu darahnya kemasukan racun itu, hawa racun lantas saja menyerang ke jantung
dan menutup semua jalan darahnya, sehingga korban itu tak akan dapat ditolong lagi.
Kim Sie Ie mempunyai beberapa macam jarum beracun. Yang digunakan untuk
melukakan Tong Keng Thian dan Tong Say Hoa, racunnya jauh lebih enteng dan bekerjanya
lebih perlahan.
Tapi jarum yang digunakannya terhadap Tongbengtjoe adalah yang terhebat dan
bekerjanyapun sangat cepat lagi ganas sekali.
*** Sementara itu, Kim Sie Ie sudah hinggap di atas lantai. Ia tertawa bergelakgelak seraya berkata: "Segala mutiara sebesar beras juga berani memperlihatkan sinarnya?"
Kata-kata itu justru adalah ejekan yang digunakan Tongbengtjoe terhadap
Pengtjoan Thianlie.
Kim Sie Ie mengembalikan ejekan itu untuk menyenangkan dan membalaskan sakit
hati si nona, sekalian untuk membangkitkan kegusaran musuh, supaya hawa racun itu bekerja
semakin cepat. Tentu saja Tongbengtjoe mengetahui maksud pemuda itu. Sambil menutup mulut, ia
mengerahkan lweekang-nya dan menangkis serangan-serangan Koei Peng Go.
"Dalam dunia tak ada yang bisa memunahkan racun senjata rahasiaku," kata Kim Sie
Ie pula sembari tertawa dingin. "Jika kau suka berlutut tiga kali di hadapanku dan
memanggil kakek
kepadaku, dengan memandang muka si cucu, mungkin sekali aku akan mengampuni
jiwamu." Tongbengtjoe mendelik. "Bocah tak kenal mampus!" ia membentak. "Rasakanlah
keliehayanku!" Ia mengebaskan lengan jubahnya untuk memukul mundur Pengtjoan
Thianlie dan kemudian mengirimkan dua pukulan geledek ke arah Kim Sie Ie.
"Semakin banyak kau mengeluarkan tenaga, semakin cepat kau mampus!" Kim Sie Ie
mengejek sambil menangkis dengan tongkatnya yang ujungnya sekali lagi kena ditangkap oleh
Tongbengtjoe. Tadi, dengan mempertaruhkan jiwanya dengan pukulan yang sangat berbahaya, baru
ia bisa terlolos dari bencana. Sekarang, ia tak mau membiarkan dirinya diseret dan
diputar-putarkan
sekali lagi oleh musuhnya. Begitu lekas tongkatnya ketangkap, ia mengerahkan
tenaganya dan ilmu Tjiankin toei (ilmu menambah berat badan), untuk memperkuat kuda-kudanya,
ia membetot sekuat-kuatnya.
Di saat itu, Pengtjoan Thianlie sudah menerjang kembali mengirimkan tiga tikaman
kepada tiga jalan darah musuh yang sudah menjadi baal itu.
Hampir berbareng dengan serangan si nona, terdengar bunyi: "srt" dan tangan Kim
Sie Ie sudah memegang sebatang pedang besi, sedang Tongbengtjoe masih tetap menggenggam
tongkat itu yang sebenarnya sebuah sarung pedang.
Bersama dengan Koei Peng Go, lincah sekali Kim Sie Ie bergerak, menyerang musuh
itu. Pedangnya adalah pedang mustika yang, bila digunakan, mengeluarkan bau amis.
Sesudah bertempur lagi beberapa jurus, sekonyong-konyong Tongbengtjoe melontarkan
tongkat Kim Sie Ie
dan lantas saja bersila di atas lantai, sedang kedua tangannya menyambar kian
kemari untuk menangkis setiap serangan. Buru-buru Kim Sie Ie memungut tongkatnya dan kemudian
dengan tangan kiri memegang tongkat dan tangan kanan membekal pedang, ia menyerang pula
dengan hebatnya. Tongbengtjoe tetap bersila sembari mengerahkan lweekang-nya untuk menahan
naiknya hawa racun, sedang kedua tangannya digerakkan kian kemari, menangkis tiga senjata
musuhnya yang pergi datang menghujani ia dengan pukulan-pukulan membinasakan. Dalam sekejap,
keadaannya sudah sangat berbahaya dan ia hanya bisa membela diri, tanpa mampu membalas
menyerang. Sembari mengejek terus untuk membangkitkan amarah musuhnya, Kim Sie Ie
memperhebat serangan-serangannya. Melihat keadaan lawan, Peng Go - - yang berhati murah -lantas saja merasa kasihan. "Sudahlah! Lepaskanlah supaya ia bisa menyingkir dari sini,"
katanya. Tongbengtjoe mendelik dan membentak: "Siapa sudi dikasihani olehmu! Jika
sekarang kau niat
lari, kau tak akan bisa lari!"
"Lihatlah!" kata Kim Sie Ie. "Ia sendiri yang ingin melaporkan diri kepada Giam
Loo-ong. Siapakah yang bisa merintanginya?" Sembari berkata begitu, ia menghantam kalang
kabut. Peng Go melirik ke bagian lain dan mendapat kenyataan, bahwa Hongsek Toodjin
yang dilayani oleh Keng Thian seorang sedang membalas menyerang dengan pukulan-pukulan
dahsyat. Si nona menjadi kuatir. "Tongbengtjoe sudah mendapat luka berat dan Kim Sie Ie
seorang diri rasanya sudah cukup untuk melayaninya," katanya di dalam hati. Ia segera menarik
Hankong kiam-nya dan mengenjot badannya untuk melompat keluar dari gelanggang.
Sekonyong-konyong,
berbareng dengan suatu gerakan tangan Tongbengtjoe, ia merasakan dirinya ditarik
oleh suatu tenaga yang tidak kelihatan, sehingga ia tak bisa meloloskan diri. Justru pada
detik itu, Kim Sie Ie
memukul dengan tongkatnya dan musuh terpaksa membagi tenaganya untuk menangkis.
Pada saat itulah Peng Go mengempos semangatnya dan badannya lantas saja melesat
keluar gelanggang. Jantung si nona berdebar keras dan untuk sejenak ia bersangsi. Apa
mau, di saat itu
Keng Thian didesak oleh Hongsek dengan serangan bertubi-tubi. Tanpa berpikir
panjang-panjang
lagi, ia segera melompat dan menikam punggung imam itu,
untuk menolong Keng Thian.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan bekerja sama, baru saja bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, Keng
Thian dan Peng Go kembali berada di atas angin. Selagi mereka mendesak musuh itu, alis si
pemuda mendadak
berkerut dan ia berkata dengan perlahan: "Peng Go Tjietjie, pergi kau membantu
Hongkay itu. Tak
usah memperdulikan aku."
Ketika itu Kim Sie Ie sedang dalam bahaya besar. Tadi, ketika ia dan si nona
mengerubuti Tongbengtjoe, ia tidak merasakan tekanan yang luar biasa. Tapi, begitu lekas
Peng Go meninggalkannya seorang diri, tekanan musuh semakin lama jadi semakin berat.
Perlahan-lahan ia
merasa seakan-akan suatu tenaga tidak kelihatan menekan seluruh tubuhnya dan
sesudah lewat kira-kira tiga puluh jurus lagi, ia sudah tak dapat bergerak dengan leluasa.
Tongkat dan pedangnya dirasakan sangat berat dan ia harus menggunakan banyak tenaga untuk
mengangkatnya. Kim Sie Ie kaget berbareng bingung. Sekonyong-konyong, Tongbengtjoe mengubah
siasatnya. Jika barusan ia hanya membela diri, sekarang ia membalas menyerang. Meskipun ia
terus bersila, tenaganya telah "mengunci" suatu lingkaran yang garis tengahnya setombak lebih.
Kedua senjata Kim Sie Ie seakan-akan ditempel dengan lem dan badannya terasa dibetot tenaga yang
tidak kelihatan itu. Beberapa kali ia menyemburkan jarumnya, tapi karena musuh itu
sudah waspada, semua jarum beracun itu telah dihalaukan dengan kebasan lengan jubah saja.
Semakin lama, Kim Sie Ie semakin mendekati musuhnya, terseret tenaga luar biasa
itu. Ia mengetahui, bahwa Tongbengtjoe sedang berusaha untuk memusnahkan tenaga
lweekang-nya dan dalam tiga puluh jurus lagi, ia akan kehabisan tenaga seperti lampu yang
kehabisan minyak.
Meskipun tak mati, ia akan bercacat seumur hidupnya.
Selagi terengah-engah Kim Sie Ie coba bertahan terus, sekonyong-konyong
Tongbengtjoe membentak: "Bocah! Sekarang baru kau tahu keliehayanku!" Ia membuat sebuah
lingkaran dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, tongkat dan pedang Kim Sie Ie,
dua-dua sudah tertangkap tangannya.
Pada detik itu, kupingnya tiba-tiba mendengar suara Pengtjoan Thianlie. "Tidak,"
kata si nona. "Lebih dulu kita membereskan siluman ini, belakangan baru menolong dia."
Ternyata Pengtjoan
Thianlie belum tahu bencana apa yang dihadapi Kim Sie Ie, ia ingin merobohkan
Hongsek lebih dulu sebelum membantu pemuda itu. Bagi Kim Sie Ie, kata-kata itu bagaikan pisau
yang menikam jantungnya. Hatinya sakit bukan main. "Dengan suka rela aku membantu kau, tapi
kau hanya memperhatikan bocah itu," katanya dengan perasaan duka. Dengan munculnya
kekecewaan itu,
semangatnya musnah dan badannya terbetot keras-keras...
Pada detik yang sangat berbahaya itu, mendadak terdengar teriakan Keng Thian:
"Tidak! Tolong dia lebih dulu!" Hampir berbareng dua Thiansan Sinbong menyambar
Tongbengtjoe yang
harus menangkis dengan tangan jubahnya. Karena adanya serangan itu, tenaga yang
menekan Kim Sie Ie menjadi kendur, sehingga pemuda itu keburu memperbaiki kedudukannya
dan coba mempertahankan diri dengan seantero tenaganya. Dengan kedua senjatanya ditangkap
musuh, Kim Sie Ie jadi serba salah, menyerang ia tak bisa, mundur pun tak dapat.
Di lain pihak, sekonyong-konyong Tong Keng Thian mengubah cara bersilatnya.
Kalau tadi ia hanya membela diri dengan Thaysiebie Kiamhoat, adalah sekarang ia juga menyerang
dengan Toeihong Kiamhoat. Diserang dengan pukulan-pukulan hebat yang menyambar-nyambar
bagaikan hujan dan angin,
Hongsek terpaksa berkelahi sembari mundur.
Mendadak, Tong Keng Thian melonjak ke tengah udara dan selagi tubuhnya melayang
turun, bagaikan seekor elang, ia menikam leher Tongbengtjoe dengan Yoeliong kiam-nya.
Gerakan itu, indah dan cepat luar biasa, mengejutkan semua penonton. Hampir pada saat yang
sama, suatu sinar putih berkelebat dan menyambar punggung
Tongbengtjoe. Itulah serangan Pengtjoan Thianlie yang sudah melihat bahaya apa
yang mengancam Kim Sie Ie.
Biarpun berkepandaian lebih tinggi lagi, Tongbengtjoe tak akan bisa melawan
seranganserangan
tiga orang muda itu. Ia melompat bangun sembari mendorong dan tongkat serta
pedang besi Kim Sie Ie, yang terpental akibat dorongan itu, secara tepat menangkis
Pengpok Hankong
kiam si nona. Tapi gerak-gerik Toeihong Kiamhoat cepat luar biasa. Selagi musuh melompat dan
membetot, Keng Thian sudah mengubah gerakan pedangnya dan memapas musuh dari samping.
Kedua tangan Tongbengtjoe yang baru saja digunakan, tak keburu menangkis lagi dan
Yoeliong kiam si
pemuda lantas saja mampir dipundaknya!
Tapi Tongbengtjoe benar-benar liehay luar biasa. Berbareng dengan tikaman Keng
Thian, tangannya sudah menghantam, sehingga Keng Thian terhuyung beberapa tindak karena
kesambar anginnya. Demikianlah, sebab harus meloloskan diri, dari pukulan musuh, tenaga
tikaman Keng Thian jadi berkurang. Jika bukan begitu, tulang kipas Tongbengtjoe tentu sudah
ditobloskan pedang Keng Thian.
Sesudah terkena senjata beracun dan kemudian tertikam pedang, buru-buru
Tongbengtjoe mengerahkan tenaga dalamnya untuk menutup semua jalan darahnya, sehingga bukan
saja hawa racun dapat ditahan, tapi mengalirnya terlalu banyak darah pun dapat
dicegah. Lweekang Tongbengtjoe tak sama dengan lweekang cabang persilatan yang tulen, ia
mempunyai suatu keistimewaan. Jika seorang dari cabang persilatan tulen mendapat
luka, ia akan segera mengerahkan lweekang-nya untuk melindungi diri dan ia tidak boleh
menggunakan tenaga
lagi. Di lain pihak, begitu terluka, Tongbengtjoe segera mengumpulkan lweekangnya di luka itu,
laksana gili-gili membendung air pasang. Jika air pasang itu tak begitu besar,
gili-gili itu tentu kuat
menahannya, dan air bah itu tak dapat membahayakan sekitarnya. Demikian juga
makna pergerakan lweekang tersebut.
Tapi, sesudah sembuh dari lukanya, seorang dari cabang persilatan yang tulen
akan mendapat pulang semua tenaga dalamnya, tanpa menderita kerugian apa-apa. Di lain pihak,
lweekang Tongbengtjoe hanya merupakan semacam "tambalan," suatu sumbat sementara saja.
Lama-lama, sumbatan itu akan pecah dan bahaya akan mengancam sekitarnya. Sebagai akibatnya,
walaupun tak mati, orang itu akan bercacat, atau sedikitnya, lweekang-nya akan berkurang
banyak. Kim Sie Ie dan Pengtjoan Thianlie yang tak mengerti keistimewaan itu, merasa
terkejut karena
musuh masih bisa bertempur terus dengan tak berkurang tenaganya.
Tongbengtjoe sangat membenci Kim Sie Ie, dan ia tahu, bahwa di antara tiga
musuhnya, pemuda itulah yang paling lemah. Sembari membentak keras, ia melompat tinggitinggi dan selagi
Tong Keng Thian belum keburu memperbaiki kedudukannya, ia menghantam kepala Kim
Sie Ie dengan pukulan yang membinasakan.
Kim Sie Ie mengerti, bahwa ia tak akan kuat menahan pukulan itu, tapi ia
mengangkat juga
tongkatnya untuk menangkis dan pedangnya digunakan untuk melindungi dada, agar
ia tidak sampai terpukul mati.
Pada detik itulah, pada saat yang sangat berbahaya, sesosok bayangan berkelebat
dan Pengtjoan Thianlie sudah menghadang di depan pemuda itu. Dengan pukulan Soatyong
Nakoan (Salju meliputi Nakoan), ia membuat setengah lingkaran dari kiri ke kanan.
Pukulan itu, pukulan
untuk untuk membela diri dan menyerang dengan berbareng, adalah salah satu
pukulan paling liehay dari Tatmo Kiamhoat. Tapi Tongbengtjoe telah mengerahkan seantero
tenaganya dalam
pukulan itu. Dengan disertai sambaran angin dahsyat, tangannya menyambar si
nona. Hampir seketika itu juga, badan Pengtjoan Thianlie meluncur ke tengah udara dan jungkir
balik dua kali,
sebelum hinggap lagi di atas lantai. Hanya dengan kegesitannya yang luar biasa
dan ilmu mengentengkan badan yang sudah mencapai kesempurnaan, si nona dapat menolong
diri dari pukulan itu. Jika kena terpukul, ia pasti binasa di bawah pukulan geledek itu.
Di lain pihak, bukan
saja maksud Tongbengtjoe gagal, bahkan lengan bajunya pun dirobek sebagian oleh
ujung Hankong kiam. Begitu terlolos dari bencana, Kim Sie Ie segera menyabet pinggang musuh dengan
tongkatnya. Tongbengtjoe buru-buru menangkis dengan tangan kirinya dan seketika terdengar
"tak!", tongkat
Kim Sie Ic terbang ke tengah udara dan bentuknya sudah berubah melengkung. Tapi
Tongbengtjoe pun harus sama-sama menderita, karena dua tulang pergelangan tangan
kirinya menjadi patah dan tangan itu tak dapat digunakan lagi. Darah Tongbengtjoe
seolah-olah mendidih. Dengan nekat ia mengangsek dan sesudah mementalkan tongkat pemuda itu,
tangan kanannya menyambar ke dada orang.
Tapi, sebelum pukulan itu mengenai dada Kim Sie Ie, mendadak Tongbengtjoe
merasakan sambaran angin tajam di belakangnya, itulah pedang Keng Thian yang menikam
punggungnya. Mau tak mau, ia terpaksa memutarkan badan untuk menangkis serangan Tong Keng
Thian. Tapi, dalam kegusarannya, ia tak mau melepaskan Kim Sie Ie mentah-mentah. Selagi
memutarkan badan, ia mementang jerijinya yang berkuku panjang dan menggores dada Kim Sie
Ie! Pada saat itu, dalam gelanggang terjadi lakon belalang diterkam tonggeret dan
tonggeret dicengkeram burung. Tong Keng Thian, yang sedang menyerang Tongbengtjoe,
dibayangi oleh Hongsek Toodjin yang menerjang dari belakang. Ketika itu, Pengtjoan Thianlie
baru saja hinggap
di atas lantai. "Awas di belakang!" ia berteriak sembari mengenjot badannya dan
menikam punggung Hongsek Toodjin.
Semua kejadian itu, yang harus dilukiskan panjang lebar, terjadi dalam sekejap
mata saja. Bagaikan kilat Hongsek mengebut punggung Keng Thian dengan hudtim-nya, sehingga
pemuda itu buru-buru melompat ke samping. Tapi Tongbengtjoe sudah siap sedia. Dengan
pukulan Tjioehoei ngohian (Tangan memetik lima tali tabuh-tabuhan), lima jeriji tangan
kanannya menggores punggung Keng Thian. "Brt!", baju pemuda itu terrobek di beberapa
tempat. "Srt!", Keng Thian sudah menikam sebelum ia memperbaiki kedudukannya sendiri.
Tongbengtjoe terkesiap. Ia tak nyana, bahwa pemuda itu masih bisa meloloskan
diri dari gencatan dua serangan hebat itu, serangan Hongsek dan serangannya sendiri. Di
samping itu, ia
juga tidak mengerti, kenapa keadaan pemuda itu tidak berubah sesudah terkena
pukulan Tjhioehoei ngohian. Harus diketahui, bahwa goresan lima jeriji itu adalah
pukulan yang sangat
beracun yang diberi nama Sin-eng Djiauwhoat (Ilmu cengkeraman garuda sakti).
Terang-terang, sebagian bajunya robek dan paling sedikit, kulitnya di bagian punggung tentu
mendapat luka. Tapi kenapa sedikitpun tak kelihatan darah"
Sementara itu, Pengtjoan Thianlie sudah bertempur seru dengan Hongsek Toodjin.
Biarpun ilmu pedangnya dahsyat luar biasa, tetapi tenaga si nona kalah jauh dari musuhnya dan
baru saja bertanding belasan jurus, keringat sudah mulai mengucur dari dahinya. Keng Thian
yang sedang melayani Tongbengtjoe seorang diri, juga berada dalam keadaan terjepit.
Sembari bertempur, Keng Thian melirik. Ketika itu, hudtim Hongsek terbuka lebar
seperti jala ikan dan sedang menyambar sinar pedang si nona. Keng Thian mengetahui, bahwa si
nona bertahan dengan hanya mengandalkan sinar pedang itu. Jika satu saja di antara
ribuan lembar bulu hudtim itu, dapat menerobos masuk, Peng Go bisa celaka. Semakin lama, sinar
pedang itu semakin tertindih dan semakin ciut pula, sehingga Pengtjoan Thianlie hanya bisa
melindungi kepala, muka, dada dan beberapa bagian badan lain yang sangat penting.
Keng Thian terkejut dan berteriak: "Mari kita berkumpul!" Sekali memecah


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perhatian, garis
pembelaannya agak terbuka, sehingga hampir-hampir ia kena dihantam oleh
Tongbengtjoe. Sengit
sekali ia berbalik menyerang dengan Toeihong Kiamhoat, tapi gerakannya sudah
kena "ditempel"
oleh tenaga Tongbengtjoe dan saban kali ia coba maju, segera juga ia terpukul
mundur kembali.
Di lain pihak, seluruh tubuh Koei Peng Go, juga sudah berada di bawah pengaruh
hudtim lawannya dan si nona tak dapat meloloskan diri lagi.
Sementara itu, sesudah dapat menenteramkan hatinya, Kim Sie Ie segera memungut
tongkatnya yang sudah terpukul bengkok dan sudah berubah menjadi semacam
gendewa. Sambil
mengerahkan tenaga dalamnya, ia menekuk dan berhasil melempangkan pula tongkat
yang melengkung itu. Sesudah itu ia menerjang pula ke dalam gelanggang dan menyodok
punggung Hongsek dengan tongkatnya. Si imam memutarkan badannya sembari mengebut dengan
hudtimnya. Tapi serangan Kim Sie Ie itu hanya gertakan belaka dan begitu lekas hudtim sang
lawan lewat di sisi badannya, Kim Sie Ie menotok lantai dengan tongkatnya dan badannya
lantas saja melonjak ke atas. Selagi melayang turun, sekonyong-konyong mulutnya menyemburkan
ludah. Tongbengtjoe gusar bukan main. Dengan gesit, ia mengebaskan tangan jubahnya dan
ludah itu terpukul kembali.
Dalam pertempuran antara jago, menang kalah selalu diputuskan dalam perebutan
tempo sedetik. Serangan-serangan Kim Sie Ic yang aneh lagi tiba-tiba itu, sudah
memaksa Hongsek dan
Tongbengtjoe memecahkan perhatian mereka dan saat-saat yang pendek itu sudah
digunakan oleh Pengtjoan Thianlie dan Tong Keng Thian sebaik-baiknya untuk meloloskan diri
dari tindihan musuh. Di lain saat, mereka bertiga sudah berdiri berendeng pundak - - Peng Go di tengah
dengan Keng Thian dan Kim Sie Ie di kiri kanan -- untuk melawan dua jago tua itu
bersama-sama. Sambil menangkis serangan-serangan Hongsek, Kim Sie Ie mencuri lihat wajah Koei
Peng Go. Ia mendapat kenyataan, bahwa - - dengan wajah berwarna dadu - - si nona justru
sedang melirik Keng Thian. Ketika melihat baju Keng Thian yang robek akibat cengkeraman
Tongbengtjoe, sinar mata Peng Go mengesankan kekuatirannya di samping berterima kasih dan
mencinta. "Apakah kau tak terluka?" ia berbisik.
"Jangan kuatir," jawabnya. "Aku tak apa-apa." Sembari menjawab begitu, pedangnya
menangkis tiga serangan Tongbengtjoe.
Hati Kim Sie Ie sangat berduka. "Ah! Setiap orang mempunyai untung sendiri,"
pikirnya. Di lain
saat, ia berkata didalam hatinya: "Tong Keng Thian telah dicengkeram
Tongbengtjoe, tapi
sedikitpun ia tidak terluka. Ah! Apakah yang kupunya untuk menandingi ia?" Pada
detik itu, ia merasa dirinya kecil. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa Keng Thian telah
tertolong baju mustikanya, hadiah Po Tjeng Tjoe -- yang tak ternilai harganya - - kepada ibunya.
Karena hatinya berduka dan semangatnya runtuh, Kim Sie Ie lantas saja merasakan betapa sakit
lukanya. "Celaka!" ia mengeluh sembari mengumpulkan semangatnya untuk bertahan terus.
Tongbengtjoe sudah segera melihat kelemahan itu, ia segera menghantam dada Kim Sie Ie.
Pada saat itu, pedang Kim Sie Ie baru saja terpental disampok hudtim Hongsek
Toodjin, sehingga dadanya terbuka lebar. Hatinya mencelos, karena pukulan Tongbengtjoe
sudah tak dapat dielakkannya lagi.
Kim Sie Ie sudah memejamkan matanya, ketika tiba-tiba Keng Thian melompat dan
memukul pinggangnya. Tubuh Kim Sie Ie lantas saja terpental ke tengah udara. Semua orang
terkejut, sedang Kim Sie Ie sendiri, mula-mula juga menduga, bahwa pemuda itu sengaja mau
mengambil jiwanya dengan kesempatan tersebut. Tapi, sebelum sempat mencaci, ia merasakan
badannya seakan-akan didorong semacam tenaga luar biasa dan dorongan itu sesuai sekali
dengan ilmu mengentengkan badannya sendiri. Ia lantas saja mendusin. Tahulah ia sekarang,
bahwa Tong Keng Thian telah menggunakan ilmu "meminjam tenaga, mengirim tenaga" untuk
menolong jiwanya! Pukulan Keng Thian itu menggunakan tenaga yang tepat luar biasa. Kelihatannya,
ia menghantam Kim Sie Ie dengan pukulan sungguh-sungguh, tapi sebenarnya, ia hanya
mendorong tubuh pemuda itu dengan tenaga yang telah diperhitungkan cermat sekali.
Sebetulnya Keng Thian
belum pernah menggunakan ilmu itu, ilmu istimewa dari Thiansan pay. Sesudah
beberapa kali bertempur melawan Kim Sie Ie, ia mengenal ilmu mengentengkan badan pemuda itu
dan dalam keadaan berbahaya itu, secara untung-untungan ia mencoba ilmu tersebut. Sungguh
mujur, percobaannya yang pertama itu sudah berhasil baik.
Sesudah usahanya berulang-ulang digagalkan oleh ketiga orang muda itu,
Tongbengtjoe menjadi kalap. Dengan gigi dikertak-kertakan nyaring, ia mengebaskan tangan
kanannya dan...
loh! lima kukunya yang panjang terlepas dari jerijinya dan menyambar ke arah
sepasang mata Tong Keng Thian! Semua orang terkesiap, tapi Pengtjoan Thianlie yang gerakannya
gesit luar biasa masih keburu menangkis lima kuku itu dengan Pengpok Hankong kiam-nya.
Sementara itu, sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, badan
Tongbengtjoe melesat ke tengah udara, mengejar Kim Sie Ie yang barusan
dilontarkan oleh
Keng Thian. Peng Go dan Keng Thian ingin menyusul, tapi sudah tidak keburu lagi,
karena Tongbengtjoe sudah tiba di belakang Kim Sie Ie.
Melewati kepala para tamu, dari tengah ruangan itu Kim Sie Ie "terbang" keluar
dan jatuh di tangga ruang sembahyang. Tongbengtjoe juga sangat liehay. Bagaikan anak panah
yang baru terlepas dari busurnya, ia menyusul sampai di atas kepala Kim Sie Ie. Sedang
badannya masih berada di tengah udara, bagaikan elang raksasa, ia menyerang batok kepala pemuda
itu dengan kedua tangannya. Dengan kebencian yang meluap-luap -- karena Kim Sie Ie sudah
melukakannya dengan racun ular, yang akan menyebabkan ia bercacat - ia mengumpulkan Seantero
tenaganya di telapakan tangan dan menghantam sekuat-kuatnya. Oleh karena ia memukul dari
atas ke bawah, pukulan itu jadi lebih hebat lagi. Di antara begitu banyak orang mungkin
hanya Moh Tjoan
Seng seorang saja yang dapat menyambut serangan itu.
Pada detik itu sedang jiwa Kim Sie Ie tergantung pada sehelai rambut, tiba-tiba
terdengar suara
tertawa yang sangat nyaring, disusul suara seorang wanita: "Tooyoe, kenapa kau
jadi begitu gusar?" Badan Tongbengtjoe kelihatan menggigil, pukulannya miring dan entah dari
mana, di depannya sudah berdiri seorang wanita setengah tua berparas sangat cantik.
Wanita itu mengebaskan lengan bajunya dan hampir sedetik itu, sembari mengeluarkan teriakan
keras, Tongbengtjoe terjungkal. Di lain saat, ia sudah bangun kembali dan kemudian
duduk bersila di
atas lantai. Sementara itu Kim Sie Ie sendiri sudah kabur dari Kimkong sie.
Wanita itu mengeluarkan suara "ih!" dan bergerak seperti mau mengejar, tapi setelah melihat
Tongbengtjoe yang sedang bersila, ia mengurungkan niatannya.
Suatu peristiwa yang sangat luar biasa telah terjadi pada ketika itu. Rambut
Tongbengtjoe yang
tadi masih berwarna hitam berkilau, dengan mendadak berubah menjadi putih layu,
sedang mukanya, yang semula licin dan berisi, tiba-tiba menjadi kisut, berkeriput
sebagai wajah seorang
kakek. Dalam sekejap mata, dari seorang yang tampaknya baru berusia kurang lebih
empat puluh tahun, ia sudah berubah menjadi seorang tua yang berbadan lemah.
Sekali lagi wanita itu mengeluarkan suara "ih!". Perlahan-lahan ia menghampiri
Tongbengtjoe dan sembari merangkap kedua tangannya, ia berkata dengn perlahan: "Maaf, maaf!
Tooyoe, jalanlah baik, baik!"
Mulut Tongbengtjoe bergerak dan memperlihatkan senyumnya yang menyeramkan. Ia
membuka kedua matanya dan dengan napas tersengal-sengal, ia berkata: "Jatuh
dalam tanganmu, dapat dikatakan cukup berharga." Sehabis berkata begitu, matanya
dipejamkan dan rohnya pulang ke alam baka!
Kejadian itu hampir tak dapat dipercaya oleh semua tamu yang berada di ruangan
itu. Andaikata Moh Tjoan Seng turun tangan sendiri, menurut taksiran, paling banyak
ia hanya dapat menangkis serangan Tongbengtjoe. Tapi wanita itu, dengan kebasan lengan baju
sekali saja, sudah dapat mengambil jiwa Tongbengtjoe.
Keng Thian sudah memburu untuk menolong Kim Sie Ie. Di luar dugaan, dalam jangka
waktu sependek itu, sudah terjadi beberapa peristiwa luar biasa itu. Kaburnya Kim Sie
Ie, munculnya seorang wanita yang tak dikenal dan kebinasaan Tongbengtjoe! Dengan mata yang
penuh pertanyaan, ia mengawaskan wanita itu yang berparas cantik, angker, agung dan
penuh welas asih. Jantung Keng Thian berdebar keras. "Apakah ia bukannya Tjianpwee yang
sangat dihormati
oleh kedua orang tuaku?" tanyanya kepada dirinya sendiri.
Sementara itu, sembari merangkap kedua tangannya, Moh Tayhiap sendiri sudah
turun dari pentas dan menghampiri dengan sikap menghormat. "Siantjay! Siantjay!" katanya.
"Tongbengtjoe
sekarang sudah berpulang ke alam bahagia. Secara kebetulan Liehiap sudah
menjalankan tugas
ini." Wanita itu membalas penghormatannya seraya berkata: "Semenjak pertemuan di
Tangpeng, sampai sekarang sudah lewat tiga puluh tahun. Moh Loosoe, kau telah mendapat
kemajuan jauh sekali dalam pertapaanmu dan sekarang akhir yang penuh bahagia sudah menunggu di
depan pintu. Begitu lekas menerima surat, buru-buru aku datang kesini untuk turut
mengantar. Hanya
secara tak disengaja, aku sudah membuka larangan membunuh. Meskipun kebinasaan
Tongbengtjoe bukan seluruhnya disebabkan olehku, tapi hatiku juga merasa sangat
menyesal." Ia
berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Selama tiga puluh tahun, banyak
sekali perubahan
telah terjadi. Tak dinyana, di antara houwpwee banyak muncul orang pandai,
seperti juga gelombang yang di sebelah belakang mendorong gelombang yang di sebelah depan.
Kejadian ini benar-benar menggirangkan." Ia berpaling kepada Keng Thian dan menanya: "Pernah
apakah kau dengan Siauw Lan?"
Keng Thian terkesiap karena ternyata, dengan melihat ilmu mengentengkan badannya
saja, wanita itu sudah bisa menebak asal-usulnya. Ia sudah yakin, bahwa Tjianpwee itu
mestinya adalah Liehiap yang sangat dikagumi kedua orang tuanya. Dengan sikap sangat
menghormat, ia segera berlutut. "Ialah ayahku," jawabnya. "Apakah Lootjianpwee bukan Lu Soe Nio
dari Binsan?"
Wanita itu mengangkat tangannya dan Keng Thian merasakan semacam tenaga yang tak
kelihatan, mengangkat tubuhnya, sehingga Lu Soe Nio hanya menerima separuh
pemberian hormatnya. "Dengan mempunyai putera sebagai dirimu, Siauw Lan dan Phang Eng
sungguh harus diberi selamat," katanya sembari tertawa. "Ah. Saudara Tjoan Seng! Sang tempo
jalannya cepat luar biasa. Dalam sekejap mata, kawan-kawan lama kita hanya ketinggalan beberapa
orang saja!"
Setelah mendengar, bahwa wanita cantik itu adalah Lu Soe Nio yang namanya
kesohor di seluruh negeri, para hadirin terkejut berbareng kagum. Serentak mereka berdiri
untuk memberi hormat kepada pendekar wanita itu.
Lu Soe Nio adalah salah seorang dari Kanglam Tjithiap (Tujuh Pendekar Daerah
Kanglam). Sesudah membinasakan Liauw In, kakak seperguruannya yang menjadi penghianat,
kemudian membunuh Yong Tjeng, puluhan tahun lamanya ia hidup bersembunyi, tak pernah ia
muncul dalam Rimba Persilatan, sehingga banyak orang menduga, bahwa ia sudah meninggal
dunia. Tapi ternyata, bukan saja ia masih hidup dan gagah, tapi wajahnya pun masih begitu
muda. Dalam tingkatan, kedudukannya setara dengan Moh Tjoan Seng dan Tong Siauw Lan. Menurut
usia, ia lebih muda dari Moh Tayhiap, tapi lebih tua daripada Tong Siauw Lan. Dinilai
dari kemashyuran


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nama, ia lebih kesohor daripada Tong Siauw Lan maupun Moh Tjoan Seng. Pada
hakekatnya, di seluruh Rimba Persilatan, tak ada yang dapat direndengkan dengan Lu Liehiap.
Orang-orang yang
menghadiri Kiatyan biasanya sudah merasa puas jika bisa bertemu dengan Moh Tjoan
Seng. Tapi sekarang, di samping Moh Tayhiap, mereka juga bisa melihat wajah Lu Liehiap.
Kejadian itu benar-benar sangat menggirangkan.
"Saudara-saudara janganlah berlaku begitu sungkan," kata Lu Liehiap. "Duduklah."
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan sambil jalan berendeng dengan Moh Tjoan Seng,
ia memasuki ruang sembahyang.
Ketika itu, Hongsek Toodjin yang bertempur dengan Pengtjoan Thianlie, justru
sedang berada di atas angin. Mendengar kedatangan Lu Soe Nio, jantung Hongsek berdebar keras.
Begitu lekas Lu Liehiap mendekati, ia segera meloncat keluar dari gelanggang dan mengawasi
pendekar wanita
itu dengan perasaan sangsi.
"Dengan banyak capai lelah, Tooyoe sekarang sudah mendapatkan kembali ilmu silat
Khongtong pay yang sudah lama lenyap," kata Lu Liehiap sembari bersenyum. "Untuk
itu, Tooyoe pantas diberi selamat." Berbareng dengan perkataan itu, bulu-bulu hudtim si
toosoe mendadak
bergoyang seperti ditiup angin, sedang Hongsek sendiri merasakan tangannya
kesemutan. Tanpa
tercegah lagi, hudtim itu jatuh di atas lantai!
Muka Hongsek lantas saja menjadi pucat bagaikan kertas. Sudah lama ia mendengar,
bahwa dalam Rimba Persilatan terdapat semacam ilmu yang dinamakan Tjoan-im tjoktek
(Dengan gelombang suara merobohkan musuh), tapi ia sendiri belum mendapat buktinya dan
ia pun tak percaya, bahwa dalam dunia terdapat ilmu yang begitu luar biasa. Baru sekarang
ia yakin, bahwa
cerita itu bukan cerita kosong.
Dengan hati bercekat, buru-buru ia memberi hormat seraya berkata: "Pintoo
Hongsek Toodjin
menghadap kepada Lu Liehiap."
"Perguruanmu dan perguruanku tak mempunyai sangkut paut sama sekali," kata Lu
Soe Nio. "Maka kita harus bergaul seperti orang sepantaran. Kata-kata 'menghadap' adalah
kehormatan yang tak dapat kuterima." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Setiap
cabang persilatan mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Sebenarnya orang tak perlu
mempunyai niatan
untuk menang sendiri dan sebentar-sebentar ingin mengadu ilmunya."
Mendengar kata-kata yang tajam itu, selebar muka Hongsek menjadi merah.
"Petunjuk Liehiap
pasti akan kuperhatikan," katanya dengan menunduk.
"Lihat saja Tongbengtjoe Tooyoe," Lu Liehiap melanjutkan nasehatnya. "Dari ilmu
Gwakee (ilmu silat luar) yang paling tinggi, ia terus menanyak sampai ke kalangan
Lweekeeh (ilmu silat
dalam). Hasil itu sesungguhnya harus dihargakan tinggi-tinggi. Tapi karena salah
bertindak, latihannya selama berpuluh tahun telah terbuang-buang dengan percuma, malah
Sampai ia harus
tewas tanpa mempunyai murid yang dapat mewarisi pelajarannya. Bukankah kejadian
itu harus disesalkan?"
Hongsek tak berani menjawab, ia hanya mengangguk berulang-ulang.
Beberapa saat kemudian, Lu Liehiap berkata pula: "Tongbengtjoe adalah Tiangloo
(orang terkemuka) dari Koenloen. Sudah selayaknya, jika jenazahnya dibawa pulang untuk
dikuburkan di gunung itu. Tooyoe, kau dan ia bersahabat baik. Bolehkah urusan ini diserahkan
kepadamu" Di
samping itu, aku berharap, supaya kau suka memberikan penjelasan sebaik-baiknya
kepada murid-murid Koenloen."
"Terima kasih atas belas kasihan Lihiap," kata Hongsek. "Bahwa liehiap sudah
mengijinkan dibawa pulangnya jenazah Tongbeng Tooyoe, murid-murid Koenloen tentu sudah
merasa berterima kasih tiada habisnya."
Menurut peraturan Kangouw, Tongbengtjoe yang sudah menyatroni tempat orang dan
menantang bertempur, kebinasaannya harus dianggap sebagai bencana yang dicarinya
sendiri. Maka, ijin dari pihak yang disatroni supaya jenazahnya bisa dibawa pulang ke
tempat asalnya,
sudah dianggap sebagai budi besar.
Hongsek segera mendekati jenazah Tongbengtjoe yang masih tetap bersila di atas
lantai. Begitu tersentuh, tubuh Tongbengtjoe lantas terguling, rambutnya rontok semua
dan badannya menjadi jauh lebih kecil, sehingga jubah pertapaannya menjadi sangat longgar.
Semua orang terkejut ketika mendapat kenyataan, bahwa dalam tempo sependek itu, tubuh
Tongbengtjoe sudah bisa menjadi begitu kecil lagi kurus kering.
Memang seseorang yang memiliki lweekang tinggi, bisa mempertahankan keremajaan
wajahnya yang tidak berubah menjadi tua. Tapi orang-orang yang benar-benar
beribadat, seperti
misalnya Moh Tjoan Seng, tak mau menggunakan ilmu tersebut. Mengenai paras Lu
Soe Nio, soalnya lain. Di waktu muda, Lu Liehiap telah memperoleh ilmu Tjiantjeng lweesit
(ilmu memperdalam dan memperkuat jiwa) dari le Lan Tjoe, maka kemudian, sesudah
lweekang-nya mencapai kesempurnaan mutlak, secara wajar wajahnya tetap muda dan tak akan
berubah sampai di akhir penghidupannya. Di lain pihak, Tongbengtjoe telah masuk ke jalan
tersesat dan mempelajari ilmu yang menyeleweng, sehingga ia bisa juga mencegah proses yang
menjadikan wajahnya berubah sesuai dengan usianya. Tapi begitu lekas tenaga dalamnya
musnah, selekas itu
pula proses terhambat itu menyusul kelambatannya, dari seorang gagah yang
bertubuh kekar dalam sekejap mata ia diubah menjadi seorang kakek kurus kering. Dalam Rimba
Persilatan, kejadian itu bukannya sesuatu yang mengherankan. Soal yang mengherankan bagi Lu
Liehiap adalah, kenapa ia binasa begitu mendadak, terkena kebutannya sekali saja.
Hongsek Toodjin segera membuka jubah pertapaannya yang lalu digunakan untuk
membungkus jenazah
Tongbengtjoe. Sesudah itu, sembari membungkuk kepada kepala biara Kimkong sie,
ia berkata: "Apakah aku boleh meminjam tempat pembakaran jenazah dalam kuil ini?"
"Tentu saja," jawab hweeshio kepala itu sembari merangkap kedua tangannya.
"Loolap pun
berkewajiban mengantar keberangkatan Tongbeng Tooyoe."
Ternyata, karena terlalu sukar untuk membawa jenazah dalam perjalanan sejauh
itu, Hongsek Toodjin telah mengambil keputusan untuk memperabukannya dan kemudian membawa abu
itu untuk dikuburkan di gunung Koenloen. Ketua Kimkong sie itu, Moh Tjoan Seng, Lu
Soe Nio, Keng Thian, Peng Go, Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain lantas saja pergi ke tempat
pembakaran yang
terletak tak jauh dari ruangan sembahyang itu.
Selagi api membakar jenazah Tongbengtjoe, Moh Tjoan Seng berkata kepada Lu Soe
Nio: "Soe Nio, aku sedianya ingin berangkat beberapa hari lagi. Tapi karena kau sudah
datang, kurasa lebih
baik aku berangkat lebih siang."
"Lebih lambat beberapa hari atau lebih cepat beberapa hari tiada bedanya," kata
Lu Lihiap. "Tapi, apakah kau sudah mempunyai ahli waris?" Maksud Lu Soe Nio adalah ada
tidaknya orang yang mewarisi semua kepandaian Moh Tjoan Seng.
Pengrjoan Thianlie terkejut, ia tak mengerti maksud pembicaraan kedua orang itu.
Mendadak sang paman berpaling ke arahnya dan tersenyum, sedang Lu Soe Nio kelihatan
seperti baru mendusin. "Tatmo Kiamhoat yang diperlihatkan nona ini adalah kiamhoat Boetong
pay asli." Kata
Lu Liehiap. "Sejak kapan kau menerima dia sebagai murid" Kenapa kau tidak
memberitahukan kepadaku?"
"Peng Go," Moh Tayhiap memanggil. "Mari sini! Inilah Lu Liehiap. Di kemudian
hari kau harus meminta banyak petunjuknya." Ia berpaling kepada Soe Nio dan menyambung
perkataannya: "Anak ini adalah kemenakanku, Hoa Seng telah berkelana ke negara asing, tapi
dengan mempunyai anak ini, ia boleh pulang ke alam baka dengan mata meram."
Buru-buru Pengtjoan Thianlie memberi hormat kepada Lu Liehiap.
Sembari menepuk-nepuk pundak si nona, Soe Nio berkata dengan gembira: "Dengan
mempunyai kemenakan ini, kau pun boleh berangkat dengan hati senang."
Mendengar perkataan itu, Loei Tjin Tjoe tercengang. "Di kuil ini Soetjouw dapat
menuntut penghidupan tenteram untuk melewatkan sisa penghidupannya," katanya didalam
hati. "Dalam
usia yang sudah lanjut, kemana lagi Soetjouw hendak pergi?"
Saat itu, jenazah Tongbengtjoe sudah terbakar habis. Tiba-tiba di antara api
yang berkobarkobar,
kelihatan asap hitam berkepul ke atas dengan menyiarkan bau yang agak amis.
Muka Lu Liehiap lantas saja berubah. "Ah! Sekarang aku baru tahu," katanya
perlahan. "Kejadian ini sungguh diluar dugaanku."
"Soe Nio, apakah yang kau lihat?" tanya Moh Tayhiap.
Lu Liehiap tak menyahut, sebaliknya ia menengok kepada Keng Thian seraya
menanya: "Siapakah bocah itu yang bertempur melawan Tongbengtjoe?"
"Namanya Kim Sie Ie," jawab Keng Thian. "Dalam kalangan Kangouw, ia dikenal
sebagai Toktjhioe Hongkay. Cara-caranya sangat aneh dan agak menyeleweng."
"Menyeleweng atau tidak, sekarang belum dapat dipastikan," kata Lu Soe Nio.
"Gurunya adalah
sahabatku. Dulu, dari jalan tersesat sahabatku itu telah beralih ke jalan
lurus." Keng Thian yang sampai saat itu masih belum mengetahui asal-usul Kim Sie Ie,
buru-buru menanya: "Siapakah gurunya?"
"Begitu melihat gerakannya, aku sudah bercuriga," jawabnya. "Sesudah menyaksikan
munculnya asap hitam dari racun yang mengeram dalam tubuh Tongbengtjoe, aku bisa
memastikan, bahwa gurunya adalah Tokliong Tjoentjia."
Dengan serentak, Keng Thian dan Loei Tjin Tjoe mengeluarkan seruan tertahan.
Sebagai orang-orang yang mengenal selak beluk Rimba Persilatan, mereka tahu, bahwa
Tokliong Tjoentjia
adalah orang aneh nomor satu di antara jago-jago dari tingkatan lebih tua.
"Sedari tadi aku agak heran, kenapa Tongbengtjoe lantas binasa begitu terkena
kebutanku,"
kata Soe Nio perlahan. "Tak tahunya ia lebih dulu sudah terkena racun hebat dan
harus memusatkan seluruh tenaganya untuk membendung menjalarnya. Begitu lekas
tenaganya buyar
hawa racun lantas naik ke uluhatinya dan ia lantas binasa."
Mendengar penjelasan itu Loei Tjin Tjoe dan yang lain-lain menjadi kagum bukan
main. Racun Kim Sie Ie yang begitu dahsyat sudah cukup mengherankan. Tapi yang lebih
mengherankan lagi,
adalah pukulan Lu Liehiap. Dengan sekali mengebas saja, ia sudah bisa menangkis
pukulan yang begitu hebat, malah juga membuyarkan Seantero tenaga dalam Tongbengtjoe. Itulah
kejadian yang --sependengaran mereka -- belum pernah terjadi dalam Rimba Persilatan.
Sekonyong-konyong alis Lu Soe Nio berkerut dan sambil menghela napas, ia
berkata: "Sayang!
Sungguh sayang!" Ia menengok ke arah Keng Thian seraya berkata: "Di antara
houwpwee, Kim Sie Ie adalah orang yang sukar dicari tandingannya. Bagaimana perhubunganmu
dengan ia?"
Sebagaimana diketahui, terhadap pemuda itu, Keng Thian tak mempunyai rasa
simpati. "Aku
merasa kasihan padanya, tapi aku tak bisa menghargakan cara-caranya," jawabnya,
berterus terang. "Bagus," kata Soe Nio. "Dulu, semua orang mengatakan gurunya pantas mati, hanya
aku yang merasa kasihan. Apapula, Kim Sie Ie belum pantas dihukum mati. Dulu, ketika aku
menolong Tokliong Tjoentjia, Soeheng-ku sendiri, Kam Hong Tie, merasa tidak setuju. Tapi,
kemudian semua orang yakin, bahwa tindakanku itu yang benar."
Hati Keng Thian berdebar-debar. "Apakah Kim Sie Ie tengah menghadapi bencana?"
tanyanya. "Apakah teetjoe (murid) bisa menolongnya?"
Lu Liehiap bersenyum dan berkata: "Sesudah mengurus urusan Moh Loosoe, aku akan
memberi keterangan lebih jelas kepadamu."
Mendengar jawaban itu, Keng Thian tak berani mendesak lagi, hanya di dalam hati,
ia merasa bimbang. "Meskipun Kim Sie Ie telah dilukakan Tongbengtjoe, tapi dengan
lweekang-nya yang
tinggi ia masih dapat menyembuhkan sendiri lukanya itu," pikirnya. "Mengapa Lu
Liehiap mengeluarkan kata-kata begitu?"
Sementara itu, Hongsek Toodjin sudah mengumpulkan abu dan tulang-tulang
Tongbengtjoe yang lalu dimasukkan ke dalam sebuah guci. Sesudah beres, ia segera berpamit dan
berangkat ke Koenloen san. Moh Tjoan Seng dan yang lain-lain mengantar sampai di pintu kuil
dan kemudian

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali ke ruangan sembahyang.
Semua orang segera mengambil pula tempat duduk masing-masing untuk menunggu
dilanjutkannya Kiatyan yang terputus karena pertempuran tadi. Moh Tayhiap juga
kembali ke pentas dan meneruskan ceramahnya mengenai Iekinkeng.
Sesudah selesai memberi ceramah, Moh Tayhiap segera berkata dengan suara
perlahan: "Pengetahuanku sebenarnya masih cetek, hanya atas budi kawan-kawan dari berbagai
cabang persilatan, aku telah diangkat menjadi pemimpin pertemuan ini. Selama tiga kali
Kiatyan, di dalam
hati aku selalu merasa malu. Selama tiga kali Kiatyan itu, aku juga mendapat
kenyataan, bahwa di
antara houwpwee sudah muncul banyak orang pandai. Memang dalam ilmu silat, yang
belakang selalu akan lebih unggul dari yang dulu. Maka, di antara perasaan malu, di dalam
hatiku terdapat
juga kegirangan. Kiatyan sekali ini, kuakhiri sampai disini."
Menurut kebiasaan, paling sedikit Kiatyan berlangsung untuk setengah bulan
lamanya. Oleh sebab itu, pernyataan Moh Tjoan Seng, bahwa pertemuan itu -- yang baru saja
berjalan satu hari
- - akan segera ditutup, telah membangkitkan keheranan semua orang.
Sebelum ada yang mengajukan pertanyaan, Moh Tjoan Seng sudah berkata pula:
"Sebagaimana kukatakan tadi, dalam ilmu silat, setiap cabang mempunyai
keunggulan sendiriTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sendiri dan sekalian saudara adalah tokoh-tokoh dari berbagai cabang persilatan.
Iekinkeng, yang
barusan diperbincangkan, adalah pokok dasar latihan lweekang. Jika masih ada
bagian-bagian yang kurang terang, saudara-saudara bisa memohon penjelasan dari para tokoh
terkemuka dan tak perlu kuterangkan lagi secara bertele-tele. Untuk kunjungan saudara-saudara,
aku hanya bisa menghaturkan banyak-banyak terima kasih. Sekarang ini aku akan mengurus sedikit
urusan pribadi dan aku memohon supaya saudara-saudara suka turut menyaksikannya." Ia
berdiam sejenak dan kemudian menyambung perkataannya: "Peng Go, mari sini!"
Pengtjoan Thianlie segera maju ke depan pentas. "Sesudah ditunjuk sebagai
Tiangloo (pemimpin, penasihat) Boetong pay, selama beberapa puluh tahun aku sudah menyianyiakan kepercayaan orang dan jarang sekali memberi petunjuk kepada murid-murid Boetong,
sehingga partai kita semakin lama jadi semakin merana. Untuk kelalaian itu, aku merasa
sangat malu terhadap leluhur kita. Aku mendapat kenyataan, bahwa kau berhati bersih dan juga
sudah paham akan intisari ilmu silat Boetong pay. Maka itu, dengan menanggung risiko dicela
orang, memilih kasih kepada pamili sendiri, aku sekarang mengangkat kau sebagai ahli warisku.
Mulai dari hari ini,
tanggung-jawab untuk memimpin saudara-saudara separtai jatuh di atas pundakmu."
Peng Go terkesiap mendengar perkataan pamannya. Ia tak pernah tertarik, bahkan
merasa sangat sebal terhadap keruwetan-keruwetan keduniawian dan siang-siang ia sudah
mengambil keputusan untuk kembali ke istana es guna menuntut penghidupan bebas, tenteram
dan suci bersih. Mana mau ia menjadi Tjiangboen (pemimpin, ketua) cabang persilatan yang
begitu besar seperti Boetong pay"
Sang paman, yang agaknya dapat membaca jalan pikirannya, lantas saja berkata
pula: "Kau
jangan bingung. Aku akan memberi penjelasan lebih lanjut." Ia berpaling ke arah
Loei Tjin Tjoe dan memanggil: "Loei Tjin Tjoe, mari sini!"
Loei Tjin Tjoe segera maju dan memberi hormat.
"Ilmu silat adalah seperti laut yang sangat dalam," kata Moh Tayhiap. "Apakah
kau sekarang sudah mengerti akan kekuranganmu?"
"Teetjoe mengerti," jawabnya dan mukanya menjadi merah.
"Bagus," kata Moh Tjoan Seng sembari tersenyum. "Beberapa hari yang lalu,
Tjiangboen Soeheng-mu telah menulis surat kepadaku untuk memberitahukan, bahwa, karena
sudah tua dan berpenyakitan, ia tak dapat menunaikan kewajibannya terhadap partai dan minta
aku mengangkat Tjiangboendjin baru. Aku mendapat kenyataan, bahwa selama setahun ini, kau telah
memperoleh banyak kemajuan, maka sekarang aku mengangkat kau sebagai Tjiangboendjin dari
Boetong pay."
Loei Tjin Tjoe girang berbareng kaget. Ia belum pernah bermimpi, bahwa ia akan
mendapat kehormatan untuk menjadi pemimpin partainya. Dengan wajahnya menjadi merah, ia
menjawab kemalu-maluan: "Tanggung jawab yang begitu berat mungkin sekali tak akan terpikul oleh
teetjoe." Sehabis
berkata begitu, ia melirik ke arah Pengtjoan Thianlie.
"Jika kau bisa mengenal kelemahanmu sendiri, kau pasti akan dapat memikul
tanggungan itu,"
kata Moh Tayhiap. "Yang paling penting bagi seorang Tjiangboen adalah
perbuatannya yang adil
dalam memberi ganjaran atau hukuman serta kepandaiannya untuk menjaga supaya
saudarasaudara separtainya selalu berjalan lurus. Kepandaian bersilat adalah soal kedua. Peng
Go adalah ahli warisku. Di hari kemudian jika muncul urusan-urusan yang tidak dapat kau
putuskan sendiri,
kau harus memberitahukan soal itu kepadanya dan minta pendapatnya."
Menurut peraturan Rimba Persilatan, dalam setiap partai, di atas Tjiangboen
masih terdapat Tiangloo (pemimpin, penasihat) partai itu. Dalam urusan-urusan penting,
Tjiangboen harus
mendengar pendapat Tiangloo. Kedudukan Tiangloo hampir sama dengan Thaysiang
Tjiangboen (ketua kehormatan), hanya ia tidak mencampuri segala urusan kecil. Pada jaman
itu, Moh Tjoan Seng bertiga saudara adalah para Tiangloo dari partai tersebut. Sesudah Tjio
Kong Seng dan Koei
Hoa Seng meninggal dunia Tiangloo satu-satunya adalah Moh Tjoan Seng yang
sekalian menjabat Thaysiang Tjiangboen. Tjiangboen bisa diganti-ganti, tapi seorang
Tiangloo menduduki
kursi kehormatan itu sehingga ia meninggal dunia.
Seorang Tiangloo bisa diangkat oleh rapat anggauta partai atau ditunjuk oleh
Tiangloo yang ingin mengundurkan diri. Tapi, karena kedudukan Tiangloo hanya boleh di tempati
oleh seorang yang berkepandaian sangat tinggi dan dihormati oleh seluruh Rimba Persilatan,
maka sering kejadian, bahwa sesudah Tiangloo lama meninggal dunia, tidak diangkat lagi
Tiangloo yang baru.
Dalam suatu partai yang tidak mempunyai Tiangloo, maka orang yang paling tinggi
kedudukannya adalah Tjiangboen.
Sekarang, sesudah menunjuk Pengtjoan Thianlie sebagai ahli warisnya dan memesan
supaya Loei Tjin Tjoe berunding dengan nona itu jika menemui urusan-urusan besar, maka
secara resmi Peng Go sudah diangkat menjadi Tiangloo atau Thaysiang Tjiangboen (ketua
kehormatan) Boetong pay. Tapi menurut peraturan Rimba Persilatan, Thaysiang Tjiangboen yang baru belum
boleh diangkat secara resmi, sebelum yang lama meninggal dunia. Hal inilah yang tidak
dapat dimengerti oleh para hadirin, karena Moh Tjoan Seng tampak masih segar bugar.
Sesudah mendapat kenyataan, bahwa ia bukan disuruh menjadi Tjiangboen dan hanya
diperintah "menilik" Loei Tjin Tjoe, Peng Go yang tidak mengerti seluk-beluk
peraturan itu, lantas
saja berkata di dalam hatinya: "Pehpeh tidak tahu, bahwa siang-siang aku sudah
menilik Loei Tjin
Tjoe. Kurasa, pangkat ini boleh juga diterima." Berpikir begitu, lantas saja ia
berkata: "Aku akan
memperhatikan segala perintah Pehpeh. Akan tetapi, titlie (keponakan perempuan)
tak ingin berdiam lama-lama di Boetong san dan ingin kembali untuk menetap di Puncak Es."
"Sekarang kau sudah menjadi pemimpin penasihat partai kita," kata sang paman
sembari bersenyum. "Kemana juga kau mau pergi, tak akan ada yang berani melarang!"
Si nona terkejut. "Bagaimana aku bisa jadi pemimpin penasihat partai kita"'
tanyanya kepada
dirinya sendiri.
Sementara itu, Moh Tjoan Seng sudah memejamkan kedua matanya, pada mukanya
terdapat sifat welas asih dan pada kedua bibirnya tersungging senyum puas. Beberapa ratus
orang yang hadir itu, melihatkan dengan hati berdebar-debar, kemudian, dengan serentak
mereka berbangkit
sembari menundukkan kepala. Seluruh ruangan besar itu menjadi sunyi senyap.
Soe Nio merangkap kedua tangannya dan mengucapkan pujian dengan suara perlahan:
"Puluhan tahun kau bertapa dan sudah bisa mendapat kesadaran yang diidamidamkan. Lebih menggirangkan lagi, kau sekarang sudah mempunyai ahli waris yang cakap dan
tepat." Kepala biara Kimkong sie pun turut merangkap kedua tangannya dan memberi pujian: "Dengan
bebas dari segala sangkutan dunia, Kiesoe berpulang ke Barat. Caramu berpulang
adalah cara seorang Pousat (dewa)!"
Sementara itu, dengan di kepalai oleh Loei Tjin Tjoe, semua murid Boetong segera
berlutut. Pengtjoan Thianlie terkejut tak kepalang. "Apakah Pehpeh meninggal dunia?" ia
bertanya dengan mata terbelalak.
"Dengan segala kejayaan dan dalam usia yang sudah begitu lanjut, Pehpeh-mu
berpulang ke alam baka," kata Soe Nio dengan khidmat. "Berpulang secara demikian adalah
kejadian yang langka dalam dunia dan harus dianggap menggirangkan."
Pengtjoan Thianlie pernah mempelajari agama Budha, ia juga mengetahui, bahwa
meninggal dunia sebagai pamannya barusan, adalah kejadian yang paling dikagumi oleh
segenap penganut
agama Budha. Akan tetapi, karena mengingat, bahwa mulai dari saat itu, ia tak
mempunyai sanak
dekat lagi, tak urung hatinya merasa sedih juga dan air matanya membasahi kedua
pipinya. Buruburu
ia berlutut untuk memberi penghormatan terakhir kepada pamannya itu.
"Lu Liehiap," kata Loei Tjin Tjoe kepada Soe Nio. "Mohon supaya Liehiap sudi
menilik pengurusan jenazah Tjouwsoe."
"Kedatanganku justru untuk mengantar Tjouwsoe-mu berpulang ke Barat," jawab Soe
Nio. "Maka, aku tentu tak akan menolak permintaanmu. Tapi lebih dulu aku ingin
berbicara dengan
Keng Thian."
Bersama dengan pemuda itu, Lu Liehiap lantas saja keluar dari ruang sembahyang.
"Keng Thian," katanya. "Kau tak usah turut serta dalam upacara pemakaman."
"Moh Lootjianpwee adalah sahabat ayahku," kata Keng Thian. "Aku merasa tak enak
hati, jika tidak turut serta."
"Orang-orang sebangsa kita selamanya tidak mengukuhi segala peradatan," kata Lu
Soe Nio. "Menolong jiwa manusia lebih berharga daripada mendirikan gedung bertingkat
tujuh. Roh Moh Lootjianpwee tentu mengetahui, bahwa kau tidak dapat hadir karena tenagamu
dibutuhkan untuk
menolong sesama manusia. Pasti sekali ia tidak akan mencela dirimu."
"Menolong siapa?" tanya Keng Thian dengan kaget.
"Kim Sie Ie."
"Apakah pukulan Tongbengtjoe begitu berat, sehingga jiwa Kim Sie Ie berada dalam
bahaya?" tanya pula pemuda itu dengan ragu-ragu.
"Bukan, bukan karena pukulan Tongbengtjoe," Soe Nio menerangkan. "Ia menghadapi
bencana karena ilmunya sendiri!"
"Teetjoe sungguh tak mengerti," kata Keng Thian sembari memandang pendekar
wanita itu. "Ilmu silat Tokliong Tjoentjia telah diciptakannya sendiri di sebuah pulau
terpencil. Kecuali ular,
di pulau itu tak ada makhluk lain. Ditambah dengan kebenciannya terhadap dunia,
jika sedang berlatih lweekang, hatinya penuh dengan perasaan duka dan penasaran. Oleh sebab
itu, meskipun akhirnya ia memiliki semacam lweekang yang sangat tinggi dan yang tak kalah
liehaynya daripada
lweekang cabang-cabang persilatan lain tapi jalan yang telah diambilnya bukanlah
jalan lurus. Semakin tinggi lweekang-nya, bencana yang tersembunyi di dalam badannya jadi
semakin besar. Menurut taksiranku, Tokliong Tjoentjia telah tewas karena 'dimakan'
ilmunya sendiri.
Kenyataan itu, kenyataan, bahwa lweekang-nya sendiri yang akan mencelakakannya,
mungkin baru disadarinya ketika ia hampir menutup mata. Kim Sie Ie yang masih cetek
ilmunya, tentu tak
menyadari bencana itu."
Soal ilmu "makan" peyakinnya sendiri, seperti senjata makan tuan, adalah
kejadian yang kadang-kadang memang terjadi dalam dunia persilatan. Hal demikian itu adalah
akibat dari latihan
yang tidak benar. Sebagai perumpamaan, lihatlah orang yang menghisap candu.
Candu sebenarnya bisa mengobati penyakit. Tapi jika digunakan secara keliru, candu
bahkan berbalik
mencelakakan. Lweekang yang "menyeleweng" hampir serupa dengan candu. Semakin


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama seseorang berlatih dengan lweekang itu, semakin besar bencana yang mengancamnya.
"Lweekang Kim Sie Ie masih belum mencapai tingkat gurunya," kata Soe Nio pula.
"Maka sementara ini, ia belum tercelakakan Lwekangnya. Tapi... jika tidak ditolong
sekarang juga, nasibnya tentu akan serupa dengan gurunya."
"Tapi kenapa begitu terburu-buru?" tanya Keng Thian.
"Sebenarnya, memang tak usah begitu kesusu. Akan tetapi, sesudah mendapat
pukulan Tongbengtjoe yang beracun, keadaannya kini sudah sangat berbahaya. Racun di
dalam tubuhnya itu, pada suatu saat akan 'meledak'. Celakalah ia, jika tak cepat-cepat diberi
pertolongan. Ketika ia
bertempur melawan Tongbengtjoe, aku sudah memperhatikan lweekang-nya. Menurut
taksiranku, dengan memiliki lweekang sedalam itu, ia kan dapat bertahan sampai tiga puluh
enam hari. LekasIekaslah kau mencarinya! Berikanlah tiga butir Pekleng tan-mu kepadanya. Dengan
pertolongan pil
itu, jiwanya akan dapat diperpanjang sampai tujuh puluh dua hari."
Bukan main kagetnya Keng Thian. "Apakah pil Thiansan Soatlian itu hanya dapat
memperpanjang usianya dengan tiga puluh enam hari?" tanyanya.
"Penyakit itu sebenarnya tak akan dapat disembuhkan dengan obat apapun juga,"
jawab Lu Liehiap sembari bersenyum. "Bahwa Thiansan Soatlian dapat menyambung jiwanya
dengan tiga puluh enam hari lagi, sudah merupakan kejadian yang luar biasa."
Hati Keng Thian mencelos, ia merasa kecewa sekali. "Kalau begitu, kita hanya
bisa menambal, tapi tak bisa mengobati akar penyakitnya," katanya. "Apa gunanya, memperpanjang
usianya dengan beberapa hari itu saja dan akhirnya ia mesti binasa juga?"
"Tidak, tidak begitu!" kata Soe Nio tanpa ragu-ragu. "Obat tak dapat menolong,
tetapi masih ada yang bisa menolong dia, golonganmu, orang-orang Thiansan pay!"
Keng Thian tercengang. "Kenapa begitu?" ia menegasi.
"Lweekang Thiansan pay adalah warisan Hoeibeng Siansoe," Soe Nio menjelaskan.
"Ketika menciptakan pelajaran lweekang tersebut, beliau telah memilih dan memetik
bagian-bagian yang
paling berharga dan paling bersih dari ilmu berbagai cabang persilatan. Dengan
demikian, lweekang Thiansan pay bukan saja bersih dan dalam sifatnya, tapi juga dapat
menyingkirkan segala macam racun dari dalam tubuh orang, racun yang disebabkan latihan
lweekang 'menyeleweng'. Maka, hanya kaum Thiansan pay yang akan dapat menolong jiwa Kim
Sie Ie." "Teetjoe masih belum mengerti," kata Keng Thian.
"Karena kepandaianmu belum mencapai kesempurnaan mutlak, tentu saja kau masih
belum mengerti," kata Soe Nio. "Tugasmu yang terutama adalah mencari Kim Sie Ie dan
sesudah bertemu, bawalah dia ke Thiansan supaya bisa ditolong kedua orang tuamu. Dengan
mendapat pertolongan ayah dan ibumu, bukan saja jiwanya akan tertolong, tapi sesudah ia
kembali ke jalan
lurus, di kemudian hari, Kim Sie le akan bisa memperoleh kemajuan, sehingga
tidak kalah dari kau
sendiri." Keng Thian tak mengucapkan sepatah kata, ia berdiri bengong seperti sedang
berpikir. "Apa yang kau harus perhatikan adalah: dalam tiga puluh enam hari kau harus
sudah menemukannya dan dalam tujuh puluh dua hari, dia harus sudah tiba di Thiansan,"
pesan Soe Nio. Keng Thian berkelahi dengan hatinya sendiri, tapi sesaat kemudian, sifatnya yang
mulia telah mengalahkan segala pikiran lain. "Baiklah, teetjoe akan berangkat sekarang
juga," kalanya tanpa
sangsi-sangsi. Sesudah mengalami banyak penderitaan baru saja ia bisa berkumpul kembali dengan
Koei Peng Go, dan segera juga mereka sudah mesti berpisah lagi. Sebagai manusia biasa,
biar bagaimana juga, ia merasa berat untuk segera meninggalkan kecintaannya. Ia menoleh dan
justru pada saat
itu, Peng Go sedang memandang ke arahnya. Mata mereka beradu dan wajah Peng Go
lantas saja berwarna kemerah-merahan. Buru-buru ia melengos dan berlagak bicara dengan Yoe
Peng, dayangnya. Lu Liehiap bermata sangat tajam, ia lantas saja mengerti apa yang tersembunyi di
hati mereka. Ia menghampiri si nona dan berkata: "Peng Go, antarkanlah Keng Thian sampai
beberapa jauh."
Mendengar perintah itu, dengan perlahan Peng Go menghampiri Keng Thian. Walaupun
parasnya tenang, di dalam hati ia berduka, tapi ia tak berani menanyakan,
mengapa begitu cepat
pemuda itu sudah harus berangkat pula.
"Menurut penglihatanku Kim Sie Ie agaknya beradat angkuh," kata Lu Liehiap
kepada pemuda itu. "Jika ia tahu, bahwa kau hendak menolongnya, belum tentu ia suka
menerimanya. Dari sebab
itu, kau harus bertindak dengan mengimbangi keadaan dan jika perlu, kau boleh
menggunakan tipu untuk mempedayakannya, supaya dia suka turut naik ke Thiansan."
"Teetjoe mengerti," jawab pemuda itu.
Dari pembicaraan itu barulah Pengtjoan Thianlie mendusin, bahwa keberangkatan
Keng Thian adalah untuk menolong Kim Sie Ie. Ia menjadi kagum dan terharu, mau tak mau ia
harus mengakui kebesaran jiwa pemuda itu.
Lu Liehiap segera meninggalkan kedua orang muda itu dan pergi kepada Loei Tjin
Tjoe untuk merundingkan pengurusan jenazah Moh Tjoan Seng.
Bagaikan dua orang gagu, Keng Thian dan Peng Go meninggalkan Kimkong sie.
Sesudah berjalan jauh juga, setiba mereka di jalan yang menuju ke kaki gunung, Keng
Thian menghela napas dan berkata: "Peng Go Tjietjie, apakah kau masih membenci aku"'
"Ada hubungan apakah antara kau dan aku?" si nona berbalik menanya dengan kasar.
"Mengapa aku harus membenci kau?"
"Dengan berkata begitu, agaknya kau memang masih membenci diriku," kata Keng
Thian dengan sedih. "Tapi, tak perduli kau membenci atau tidak, aku sendiri tetap tak
akan melupakan kau." "Tapi..." kata si nona setengah berbisik. "Aku kuatir, bahwa -- begitu lekas
bertemu dengan Moaymoay (adik perempuan) -- kau akan segera melupakan Tjietjie (kakak
perempuan)."
Baru sekarang Keng Thian mengerti, bahwa Peng Go telah jadi mendongkol karena
persahabatannya dengan Tjee Tjiang Hee. Ia tertawa dan berkata: "Ah! Kau tak
tahu, bahwa orang yang kau maksudkan masih bersifat kekanak-kanakan, sedang waktu itu aku
harus berobat di rumahnya..." Dengan jelas Keng Thian lalu menceritakan segala pengalamannya
dan berbareng dengan itu, dengan kata-kata lemah lembut, ia membuka rahasia hatinya kepada si
nona. "Hm! Kalau begitu, semua itu adalah gara-gara Kim Sie Ie main gila," kata si
nona. "Mengapa?" tanya Keng Thian.
Pengtjoan Thianlie segera menceritakan, bagaimana Kim Sie Ie telah memberikan
gambar itu kepadanya dan apa yang telah terjadi karena itu. Keng Thian jadi mendongkol
berbareng geli.
"Benar-benar gila!" katanya sembari tertawa.
"Dan kau masih tetap akan menolongnya?" si nona menegasi.
"Kenapa tidak?" jawab Keng Thian tegas-tegas.
Peng Go tertawa manis dan berkata: "Aku merasa senang..."
"Senang apa?" Keng Thian mendesak.
Peng Go sebenarnya ingin menyahut: "Aku merasa senang, karena kau berjiwa begitu
besar." Tetapi kata-kata itu tidak terselesaikan. Ia hanya tertawa sembari menatap wajah
pemuda itu dan cintanya yang tak terbatas, terpancar dari sepasang matanya. Tertawa itu,
bagaikan angin sejuk,
sudah menyapu bersih segala awan gelap, sudah menghilangkan semua salah paham...
Keng Thian telah gagal dalam usahanya mencari Kim Sie Ie. Ia telah pergi ke
segala peloksok
Gobie san, tapi yang dicarinya tak kelihatan bayang-bayangnya. Ia hanya berhasil
menemukan beberapa potong kain, yaitu sobekan baju yang dikenakan Kim Sie Ie hari itu.
Beberapa tetes darah disobekan baju itu dan beberapa tapak kaki saja telah ditinggalkan Kim Sie
Ie. Lebih dari itu, tak dapat ditemukannya.
Kemana Kim Sie Ie pergi"
Dengan pikiran kalut, ia kabur sekeras-kerasnya dari Kimkong sie. Baginya, sinar
mata Pengtjoan Thianlie yang memandang Keng Thian dengan penuh kecintaan, seakan-akan
sebilah pisau yang menikam jantungnya. "Jika ada seorang wanita memandang aku seperti ia
memandang Keng Thian, walaupun mesti lantas mati, aku tentu akan rela," ia
berteriak bagaikan
sudah menjadi gila.
Dalam saat-saat itu, kejadian-kejadian yang lampau silih berganti berkelebat
dalam otaknya. Caci Yoe Peng, yang mengumpamakan ia seekor "kodok buduk yang ingin makan daging
angsa kahyangan", teguran Peng Go yang menasehatkan supaya ia jangan membawa "lagak
buaya", segala penderitaannya di masa kecilnya...
kembali terbayang di depan matanya. Pukulan Tongbengtjoe yang mengandung racun
ditambah dengan kedukaan dan penasaran yang sangat besar sudah membikin otaknya
tidak bisa bekerja secara normal lagi. Apapula sesudah membandingkan dirinya dengan Keng
Thian, ia merasa dirinya kecil sekali dan agaknya di dunia yang lebar ini, sudah tak ada
tempat lagi untuk ia
menyembunyikan diri.
Bagaikan seorang gila, ia lari dan lari terus. Tanpa merasa, ia telah tiba di
tempat ia bertemu
dengan Lie Kim Bwee. Agaknya ia masih bisa mengenali tempat itu dan ia
menghentikan tindakannya dengan hati terkejut. Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring yang
bernada riang gembira, disusul dengan munculnya seorang wanita muda. Di saat itu, Kim Sie Ie
masih berada dalam keadaan setengah linglung. Lapat-lapat ia merasa, bahwa ia pernah bertemu
dengan nona itu, tapi ia tak ingat, bahwa gadis tersebut adalah Lie Kim Bwee yang pernah
mempermainkan dirinya. Kim Bwee muncul dengan diikuti beberapa ekor kera, yang begitu melihat Kim Sie
Ie, lantas kabur semua. "Lihatlah!" kata si nona sembari tertawa. "Karena kau suka menghina orang,
binatang pun tak
sudi bersahabat dengan dirimu."
Mendadak Kim Sie Ie ingat, bahwa ia pernah bergebrak dengan wanita itu di tempat
tersebut dan ditambah mendengar kata-kata yang menusuk itu, Kim Sie Ie... yang sedang
was-was... lantas saja naik darah. "Bagus!" ia berteriak. "Kamu lebih suka bergaul dengan
binatang daripada
bergaul denganku. Jika aku mau menghina kau, mau apa kau?" Hampir berbareng
dengan perkataannya, ia mengangkat tongkatnya dan menyabet pinggang Lie Kim Bwee.
"Belum tentu kau mampu menghina aku!" kata si nona sembari tertawa.
Gairah Sang Pembantai 2 Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Iblis Penebus Dosa 1

Cari Blog Ini