Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 3
berkata pula. "Aku ingat pada sepuluh tahun yang lampau, bersama-sama Tiauw Im
Taysoe dia telah membuat janji, yang satu memelihara anak tunggal, yang lain
menuntut balas. Sekarang ini Tiauw Im Taysoe sudah menitipkan kau kepada adik
seperguruannya yang perempuan untuk merawat kamu, akan tetapi tentang pembalasan
dari Thian Hoa, entahlah! Tidakkah ini membuatnya orang berduka?"
"Nanti aku beritahukan guruku," kata In Loei, "biar ia bersama djiesoepee pergi
ke perbatasan untuk mencari samsoepee."
"Kau, sendirian saja, mana dapat kau bekerja untuk dua jurusan?" kata Tjioe
Kian. "Begini saja. Pergi kau cari kakakmu, aku yang akan memberitahukan kepada
gurumu." "Itulah lebih baik. Baiklah besok akan aku berangkat."
Tjioe Kian tertawa. "Kau masih mempunyai waktu beberapa hari," katanya. "Dalam hal ilmu silat, kau
lebih pandai, tapi tentang pengalaman, kau perlu belajar dari aku....."
Waktu cuaca makin terang dan dentuman sudah mulai sepi, Tjioe Kian dan In Loei
kembali ke pesanggrahan. Tepat tengah hari, tentara yang bersembunyi di empat penjuru sudah kembali
dengan warta kemenangannya yang besar, tentera Mongol dihajar kucar-kacir dan
banyak yang tertawan berikut
kudanya. Karena itu, Tjioe Kian menitahkan untuk memberi hadiah, hingga ia
menjadi repot untuk beberapa saat.
"Kau benar gagah, tetapi mengenai seluk-beluk kaum kangouw, kau masih kurang,"
berkata pula Tjioe Kian sambil tertawa. "Nanti aku suruh, San Bin mengajarkan
padamu." In Loei cerdas, dengan gampang ia dapat mengerti, maka baharu tiga hari, ia
sudah tahu baik segala apa mengenai kaum kangouw.
Tjioe Kian masih kuatirkan orang kurang pengalaman, kenalan pun ia tak mempunyai
banyak, dari itu ia serahkan sebuah benderanya, bendera
Djitgoat kie. "Semua orang kaum kita di lima propinsi Utara, baik dari kalangan darat maupun
sungai, apabila mereka lihat bendera ini, pasti mereka akan suka mengalah," ia
beri keterangan. "Umpama kata kau menghadapi ancaman bahaya, kau keluarkan saja
bendera ini. Cuma ingat, tidak dapat kau keluarkan secara sembarangan."
In Loei terima bendera itu, ia haturkan terima kasihnya, akan tetapi, di dalam
hatinya, ia berpikir: "Aku hendak merantau, aku membutuhkan pengalaman, perlu
apa aku dengan perlindungan
bendera ini"....." Tapi tidak ia utarakan pikirannya
ini. Tjioe Kian juga keluarkan beberapa potong pakaian orang lelaki, emas dan perak
serta permata. Sambil tertawa, ia kata: "Satu nona tunggal membuat perjalanan ke
kota raja, kau mudah membangkitkan perhatian orang, maka itu perlulah kau salin
pakaian, untuk menyamar sebagai satu pemuda. Uang dan permata ini, kau boleh
simpan untuk dipakai di tengah perjalanan."
In Loei anggap salin pakaian adalah benar, maka ia tidak membantah. Ia dandan
dengan lantas. Ia terima bekalan itu. Segera ia memberi hormat, untuk pamitan.
"San Bin, pergi kau antar serintasan!" Tjioe Kian titahkan.
Demikian In Loei keluar dari pesanggrahan, ia menunggang kuda pilihannya, maka
itu, pada waktu tengah hari ia sudah melintasi Ganboenkwan.
"Siokhoe silakan kau kembali!" ia minta pada pengantarnya.
San Bin mengawasi dengan tajam.
"Kau harus lekas kembali," katanya, suaranya dalam. Ia tidak lantas putar
kudanya, sebaliknya, ia jalan terus berendeng dengan si nona, agaknya ia berat
untuk berpisah. "Siokhoe, terima kasih untuk kebaikanmu," kata In Loei. "Silakan kembali!"
Tiba-tiba wajahnya San Bin bersemu merah, lalu ia tertawa sendirinya.
"Sebenarnya perbedaan usia kita berdua tidak seberapa," berkata dia. "Di antara
kita ada tingkat, karenanya kita bukan lagi saudara. Coba kita bicara hanya hal
umur, lebih tepat kita menjadi kakak dan adik."
In Loei menjadi heran. Tiba-tiba ia ingat, selama beberapa hari, San Bin berlaku
luar biasa baik terhadapnya. Di dalam hatinya, ia kata: "Paman ini seorang yang
baik, sayang cara bicaranya tidak ada batasnya....."
Muda usianya si nona, ia tidak dapat berpikir lebih dalam.
"Siokhoe, adakah kau cela aku memanggil paman padamu?" tanya dia sambil tertawa.
"Baiklah kalau lain hari aku kembali, aku nanti bicara dengan soesioktjouw
supaya kita ubah cara panggilan kita"
Kembali mukanya San Bin merah.
In Loei tertawa pula, terus ia pecut kudanya untuk dilarikan. Ketika ia
berpaling, ia tampak Tjioe San Bin masih duduk diam di atas kudanya
mengawasi padanya. Tiga hari In Loei lakukan perjalanannya, pada hari ketiga itu ia tiba di
Yangkiok yang ramai, sesampainya di dalam kota, ia tampak banyak rumah makan. Ia
lantas merasa lapar. "Sudah lama aku dengar, arak hoentjioe dari Shoasay kesohor, hari ini baik aku
mencobanya," pikir nona ini. Lantas ia hampirkan sebuah rumah makan di depan
mana ia tampak ditambat seekor kuda putih, putih juga ke empat kakinya, roman
kuda pun bagus. Ia menghampiri lebih dekat. Justeru itu matanya berbentrok
dengan satu tanda rahasia orang kangouw di pojok tembok, ia jadi heran. Dengan
tenang ia bertindak masuk, hingga ia dapatkan di pojok selatan, dekat pada
jendela, duduk satu anak sekolah yang sedang minum seorang diri, sedang di
sebelah timur duduk dua orang laki-laki yang tubuh dan romannya kasar, yang satu
kurus, yang lain gemuk, keduanya minum dengan asyik. Tetapi di mata si nona,
mereka itu ternyata sering-sering melirik pada si mahasiswa.
Anak sekolah itu indah pakaiannya, dia mirip dengan seorang putera hartawan. Dia
juga minum seorang diri, secawan demi secawan, sampai tubuhnya nampak sedikit
limbung, suatu tanda bahwa ia telah menenggak terlalu banyak.
Tiba-tiba saja anak muda ini menyanyi:
"Tuhan wariskan kita kepandaian, itu mesti ada gunanya. Kalau seribu emas
dihabiskan, itu mesti dapat balik kembali. Memasak kambing,
menyembelih kerbau, untuk berpesta bersenang-senang, maka itu haruslah diminum
habis tiga ratus cangkir....."
Ia lantas goyang-goyangkan kepalanya, nampaknya ia tolol. Kembali ia ceguk satu
cawan, hingga tenggorokannya berbunyi.
Di dalam hatinya, In Loei berkata: "Sioetjay ini benar-benar tolol ia tidak
insaf bahwa ini membahayakan perjalanannya. Dua penjahat sedang pasang mata
terhadapnya, tapi ia masih tungkuli araknya saja....."
Si kurus di timur itu terdengar berseru: "Minum habis tiga ratus cangkir! bagus! Hai, saudara, lain orang minum tiga ratus cangkir, kau sendiri, tiga
cangkir kau masih belum tenggak!"
Sang kawan, si gemuk, berjingkrak.
"Kau ngaco!" tegurnya. "Kau cuma minum satu cawan, kau suruh aku habiskan tiga!"
"Tapi kau harus ingat, kau lebih besar tiga kali lipat daripadaku!" kata si
kurus. "Aku minum satu cawan, kau sendiri mesti tiga, tak boleh kurang!"
"Angin busuk ! Angin busuk!" si terokmok mendongkol. "Tidak, aku tidak mau
minum!" "Eh kau tidak mau minum?" tanya si kurus. Dia angkat poci arak itu, untuk
digelukgukkan. Gusar si terokmok, ia menolak dengan keras, maka arak tumpah menyiram tubuhnya.
Si kurus melawan, mereka berdua jadi bergumul, keduanya terhuyung hingga
melanggar si mahasiswa. "Kurang ajar!" anak sekolah itu membentak. Ia gusar, ia berbangkit.
Berbareng dengan itu terdengar suara barang jatuh, itulah kantong sulam si anak
muda dari mana meletik keluar sepotong emas serta serenceng mutiara. Emas masih
bagus tapi mutiara itu, di antara sinar matahari, sudah bercahaya terang sekali.
Si anak muda angkat kakinya, untuk menginjak kantongnya, lalu ia membungkuk
untuk menjemput emas dan mutiara itu.
"Kamu hendak merampas?" ia berseru.
Dua orang itu berhenti bergumul.
"Siapa yang merampas barangmu?" bentak mereka. "Kau berani tuduh orang" Nanti
aku hajar padamu!" Beberapa tetamu lain lantas maju, untuk memisahkan.
In Loei tertawa menyaksikan pertunjukan itu. Di matanya, sudah terang si gemuk
dan si kurus itu ada dua penjahat, mereka sengaja bergumul untuk menjatuhkan
kantong uang orang untuk dirampas, sedikitnya untuk mengetahui lebih dulu,
kantong itu kosong atau berisi, akan tetapi tak kesampaian maksud mereka. Di
dalam hatinya, ia pun berkata: "Di sini ada aku, tidak nanti aku biarkan kamu
mencapai maksudmu....."
Nona ini berbangkit, untuk menghampiri. Dengan kedua tangannya, ia tolak si
gemuk dan si kurus itu. "Kamu mabuk arak, kenapa kamu bergumul hingga ke tempat lain orang?" ia tegur
mereka. Sambil berkata begitu, dengan sebat tangannya meraba sakunya kedua orang itu, akan
rampas uangnya. Tidak ada orang yang lihat perbuatannya ini.
Ditolaknya dada kedua orang itu, mereka merasa sakit, hingga mereka jadi kaget,
karena mana, tidak berani mereka beraksi terlebih jauh.
"Siapa suruh dia menuduh kita merampas....."
mereka mendumal. "Sudah, sudahlah!" kata seorang tetamu. "Kamu telah menubruk orang, kamu yang
bersalah. Baiklah kamu pulang, untuk minum arak di rumah saja."
Si mahasiswa angkat cawannya.
"Saudara, mari minum!" ia mengundang, suaranya menyiarkan bau arak yang keras.
"Terima kasih," sahut In Loei. Ia duduk pula di kursinya, dari situ ia awasi
kedua orang itu. Kedua orang ini terang masih mendongkol, mereka memandang orang dengan sorot
mata tajam. Lalu satu di antaranya teriaki tuan rumah untuk membuat perhitungan.
Orang yang kedua, si kurus, meraba sakunya. Rupanya ia hendak mengeluarkan uang.
Tiba-tiba ia melengak, wajahnya menjadi pucat.
Si gemuk lihat roman orang, ia terkejut. Ia lantas raba sakunya. Ia pun melongo
dengan mendadak. Sebab ia pun dapatkan sakunya kosong. Keduanya lantas saling
mengawasi, mulut mereka bungkam.
"Sama sekali satu tail tiga tjhie," kata tuan rumah, yang menghampiri kedua
tetamunya itu. Kedua orang itu menyeringai, tangan mereka masih belum ditarik keluar dari saku
mereka. "Tuan-tuan, semua menjadi satu tail tiga tjhie," kata pula si tuan rumah.
"Apakah boleh kami membayar lain hari saja?" tanya si kurus akhirnya.
Tuan rumah memperlihatkan roman heran, habis itu ia tertawa dingin.
"Kalau setiap tetamu berhutang, tidakkah kami bakal makan angin?" kata dia.
Jongos, yang tidak senang turut bicara: "Apakah kamu berdua bukannya sengaja
hendak mengganggu kita" Kamu sudah minum dengan puas, lalu berkelahi, menubruk
orang sekarang kamu juga hendak menganglap! Jikalau kamu tidak punya uang, buka
saja bajumu!" Kasar suaranya jongos ini tetapi ia membuatnya lain-lain tetamu tertawa, hingga
ruangan menjadi riuh ramai.
"Memang mereka berdua yang salah....." ada
orang yang turut bicara. Melihat suasana buruk, kedua orang itu membuka bajunya.
"Dua potong baju saja belum cukup!" kata si jongos yang tahu-tahu sudah
menyambar kopiah orang, lalu dia menambahkan: "Dasar kita yang lagi sial! - Nah,
sudah pergilah kamu!"
Merah mukanya kedua orang itu, terpaksa mereka ngeloyor pergi.
Puas In Loei menyaksikan kejadian itu, ia keringkan lagi dua cawan. Ketika ia
menoleh pada si anak sekolah, dia itu masih duduk minum. Tiba-tiba ia ingat
suatu apa: "Terang sudah kedua orang itu
adalah orang-orang jahat, mereka mesti orang orang sebawahan, kena dihina mereka
tidak bisa berbuat suatu apa, tetapi sepulangnya mereka mungkin mereka mengadu
kepada kepalanya. Aku sendiri tidak takut tapi bagaimana dengan anak sekolah
itu" Ia terancam bahaya....."
Karenanya ia berbangkit, ia teriaki tuan rumah: "Berapa aku telah minum?" Ia
sudah ambil putusan akan susul kedua orang itu.
Tuan rumah menghampir dengan wajah berseri-seri. Ia telah lihat pakaian orang
yang indah. "Semuanya satu tail dua tjhie," ia jawab.
In Loei merogo sakunya. Di situ ia taruh uang dari Tjioe Kian. Tiba-tiba ia
bercekat. Sakunya itu kosong. Maka lekas ia rogo saku kiri. Di sini ia taruh
uangnya dua orang tadi. Kembali ia terkejut. Juga uang copetannya itu lenyap.
Tanpa merasa, ia keluarkan keringat dingin.
Tuan rumah mengawasi orang merogo dan merogo lagi kedua sakunya. Dari
dandanannya, ia tidak percaya bahwa ia sedang menghadapi seorang tukang anglap
lain. "Apakah tuan tidak punya uang kecil?" dia tanya. "Uang goanpo juga boleh, dapat
aku menukarnya." Bingung In Loei. Takut ia nanti disuruh buka pakaian! Itulah hebat.
Tuan rumah mengawasi, orang merogo dan merogo lagi ke kedua sakunya, akhirnya ia
menjadi curiga. "Kau kenapa, tuan?" dia tanya, suaranya tawar.
Justeru itu si mahasiswa menghampiri, sambil tertawa ia berkata: "Di empat
penjuru lautan semua orang bersaudara..... Uang seribu tail dibuyarkan
pun bisa dapat kembali..... Biarlah aku yang tolong
bayarkan uang araknya engko kecil ini."
Ia rogo sakunya, akan keluarkan sepotong perak berat kira-kira sepuluh tail. Ia
lemparkan perak itu pada tuan rumah.
"Ini uangnya," katanya. "Lebihnya kau boleh ambil."
Luar biasa girangnya si tuan rumah.
"Terima kasih! Terima kasih!" ia mengucap berulang-ulang.
Merah mukanya In Loei. "Terima kasih," ia pun menghaturkan.
"Tak usah." kata si anak muda, tenang. "Aku hendak mengajarkan kau satu rahasia.
Yaitu lain kali kalau pergi minum arak, harus kau pakai baju dua rangkap, dengan
begitu, jangan kuatir apa-apa lagi di waktu hendak membayar uang arak."
Di waktu bicara, kembali mulutnya berbau arak keras. Ia tetap berlaku tenang,
habis berkata, tanpa pedulikan lagi si anak muda, ia ngeloyor pergi.
In Loei mendongkol bukan main, ia jengah.
"Satu anak sekolah tidak tahu aturan....."
pikirnya. "Coba tadi aku tidak tolong padamu, pasti
uangmu telah orang rampas....." Kemudian ia
mengawasi kesekitarnya, ia tidak lihat satu tetamu jua yang mencurigakan. Ia
jadi putus asa. Dengan masih mendongkol dan masgul, ia pun lantas angkat kaki,
dengan menunggang kudanya, ia lanjutkan
perjalanannya. Bingung juga ia, karena sekarang ia tidak punya uang.
Setibanya di luar kota, In Loei lihat si anak muda, yang bersama kudanya yang
putih, berada di sebelah depan.
"Bukankah dia yang telah main gila?" tiba-tiba ia
bercuriga. "Tapi dia tak mirip sama sekali....."
Ia larikan kudanya, untuk menyandak mahasiswa itu, lalu dengan menyambuk seperti
juga ia ingin kaburkan kudanya, ujung cambuknya ia arahkan keiganya si anak
sekolah. Inilah satu ujian. Kalau si anak muda seorang lihay, ia mesti dapat egoskan
tubuhnya, akan menyingkir dari ancaman bencana.
Sekonyong-konyong si anak muda menjerit, ia tidak berkelit dari cambuk itu,
tubuhnya lantas saja terhuyung, hampir ia jatuh dari atas kudanya.
"Maaf, aku kesalahan!" berkata In Loei. "Aku tidak sengaja."
Mahasiswa itu menoleh. "Ah, orang yang hendak menganglap....." katanya, "Jangan kau arah aku karena aku
mempunyai uang, dengan uangku aku hanya hendak ikat
persahabatan..... Orang semacam kau, yang sudah
menganglap dan sekarang juga memukul orang, denganmu tak suka aku bersahabat!"
In Loei mendongkol berbareng merasa lucu.
"Apakah kau masih sinting ?" ia tanya.
Si mahasiswa tidak menyahuti, ia hanya ngoceh seorang diri: "Dengan golok
membacok air, air tak terputus hanya mengalir terus. Angkat cawan
meminum arak, untuk melenyapkan kedukaan, tapi kedukaan tambah kedukaan. Memang
hidup di dalam dunia sukar mendapatkan kepuasan maka
lebih baik besok pergi main perahu!..... Eh, eh, tak
sudi aku minum arak bersama kau, tak sudi aku!"
Kelihatan nyata sintingnya mahasiswa ini.
Bingung juga In Loei. Ia maju, ia ingin pegang tubuhnya yang limbung di atas
kuda itu. Atau mendadak si mahasiswa jepit perut kudanya hingga kuda itu lompat
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kabur. Kudanya In Loei adalah kuda Mongolia pilihan, akan tetapi ketika ia kaburkan
kudanya, untuk menyusul, tidak dapat ia candak si anak muda.
"Dia tidak mengerti silat tetapi kudanya jempol sekali..." pikirnya.
Terpaksa ia jalan terus seorang diri, pikirannya pepat.
Lama In Loei lanjutkan perjalanannya, sampai ia lihat matahari merah mulai
condong ke arah barat dan dari sana-sini mulai terlihat asap mengepul, tandanya
orang sudah mulai menyalakan api. Ia memikir untuk singgah pada seorang tani.
Tapi ia bersangsi. Bukankah ia sudah tidak punya uang"
Ia masih jalan terus, sampai mendadak ia dengar kuda meringkik.
Nyata di sebelah depannya ada pohon-pohon yang lebat, di situ ada sebuah kuil,
dan di muka kuil itu seekor kuda putih sedang makan rumput. Ia segera kenali
kuda itu. "Eh, ia pun ada di sini?" pikirnya, heran. "Orang-orang beribadat adalah orangorang yang murah hati, baik aku singgah di sini saja....."
Ia tambat kudanya di luar, ia bertindak masuk ke dalam kuil setelah menolak daun
pintunya yang tertutup rapat. Segera ia tampak mahasiswa lagi nongkrong di depan
tabunan, dia sedang menambus ubi.
Melihat si nona, atau lebih benar si anak muda, anak sekolah itu perdengarkan
suaranya: "Di mana hidup bisa tak bertemu denganmu" Ah, ah, kembali kita bertemu
pula!" In Loei awasi. "Apakah kau telah sadar dari sintingmu?" dia tanya.
"Eh, kapan aku sinting?" si anak sekolah mem-baliki. "Aku tahu kau adalah si
orang yang menganglap....."
In Loei mendongkol. "Kau tahu apa?" katanya nyaring. "Ada orang jahat mencopet uangku!"
Berjingkrak si mahasiswa, dia lompat bangun.
"Apa?" serunya. "Ada orang jahat" Dikuil ini tidak ada pendetanya, kalau
penjahat datang, sungguh hebat! Tidak, aku tidak mau berdiam di sini....."
In Loei mendongkol berbareng geli dalam hatinya.
"Kau hendak pergi ke mana?" dia tanya. "Begitu kau keluar dari sini, penjahat
akan membegal padamu! Tidak ada orang yang dapat menolongi kau! Dengan ada aku
di sini, seratus penjahat pun aku tidak takuti."
Si mahasiswa pentang matanya lebar-lebar.
Sekonyong-konyong ia tertawa.
"Jikalau kau mempunyai kegagahan seperti itu, kenapa kau anglap barang makanan
orang?" dia tanya. "Sebab ada copet yang mencuri uangku," In Loei akui.
Mahasiswa itu tertawa terpingkal-pingkal, lantas dia tunjuk orang dihadapannya
ini. "Kau tidak takuti seratus penjahat, tetapi uangmu dicopet orang!" katanya.
"Hahahaha! Nyata kepandaianmu mendusta ada terlebih esay daripada kepandaianmu
menganglap...!" Nampaknya dia hendak berlalu, tetapi dia batal sendirinya. Dia
tambahkan: "Tak sudi aku dengar kau! Dunia begini aman, di mana ada segala
tukang copet?" Dan dia balik-balikkan ubi bakarnya.
Bukan kepalang mendongkolnya In Loei. Tak dapat ia gusar karena katakata orang
itu beralasan. Tapi tak dapat ia diam saja menahan kemendongkolannya.
"Kau tidak percaya, ya sudahlah!" katanya. "Aku pun tak perlu kau
mempercayainya!" Ubi bakar itu harum sekali, terseranglah napsu daharnya In Loei. Ia memang telah
melarikan kudanya lama dan telah datang rasa laparnya, harum ubi itu menambah
hebatnya napsu daharnya. Ia menelan ludah tetapi tidak berani ia membuka
mulutnya. Orang sudah mengatakan ia si tukang anglap. Tapi itu ada satu kuil
kosong, tidak ada pendetanya, di mana di situ ia bisa cari barang makanan untuk
tangsel perutnya" In Loei menderita, apapula ketika ia tampak orang mulai menggayem ubinya yang
harum itu. Sambil makan, mahasiswa itu ngoceh seorang diri:
"Arak memang dapat membuat orang sinting.....
Ikan dan daging memang lezad, tetapi ubi juga enak..... Sungguh wangi, sungguh
wangi!" In Loei deliki orang itu, lantas ia melengos.
Tiba-tiba si mahasiswa berkata: "Eh, tukang anglap, aku bagi kau ubi ini!" Dan
lantas ia lemparkan sepotong ubi yang masih panas.
"Siapa kesudian makan ubimu?" bentak In Loei. Ia tidak sambuti ubi itu, hanya
sambil telan ludah, ia duduk bersila, matanya melihat hidung, hidungnya
"melihat" hati. Dengan begitu, sambil bersamedhi, dapat ia kuasai rasa laparnya.
Ia malah cepat merasa lega hati, hingga ia bisa buka kedua matanya. Sekarang ia
dapatkan si mahasiswa sedang rebah tidur, ubinya terletak di sampingnya.
Menampak demikian, In Loei ulur lidahnya. Ia juga hendak ulur tangannya ketika
ia tampak si anak sekolah membalikkan tubuhnya. Dia tidak bangun, tapi dia tidur
pula. "Setan alas!" kata In Loei dalam hatinya. "Biar aku kelaparan satu malaman, toh
tidak jadi apa!....."
Si mahasiswa tidur dengan menggeros, suaranya sangat berisik. In Loei ingin
tidur tetapi tidak bisa. Ia awasi tubuh orang itu.
"Tetapi dia ini aneh," ia pikir tentang anak sekolah itu. "Dia berpakaian indah,
uangnya pun nampaknya banyak. Kenapa dia membuat perjalanan tanpa ada
pengantarnya" Kenapa dia
berani mondok di kuil ini, di tempat begini sepi" Kenapa dia justeru makan ubi
yang tidak ada harganya" Apa mungkin dia mengerti silat tetapi dia sengaja
berpura-pura" Melihat romannya, tak mestinya dia mengerti ilmu silat....."
In Loei berbangkit. Timbul di otaknya pikiran untuk menggeledah anak sekolah
itu. Justeru itu, kembali si anak muda membalikkan tubuhnya.
"Jikalau ia mendusi, bukankah ia akan sangka aku hendak mencuri uangnya?" ia
ragu-ragu. Ia sudah maju tiga tindak, atau ia mundur lagi dua tindak.
Tiba-tiba terdengar satu suara keras dari luar kuil, entah suara apa itu.
In Loei menoleh, ia tidak lihat suatu apa, ketika ia berpaling kepada si
mahasiswa, dia ini tetap tidur mendengkur bagaikan babi.....
"Sebenarnya aku tak mau ambil mumat padamu," pikirnya kemudian, "akan tetapi aku
kasihan padamu..... Hitung saja untungmu bagus, baiklah,
akan nonamu talangi kau menangkis si orang jahat!"
Tanpa ragu-ragu, In Loei lari keluar, kemudian ia lompat naik ke atas sebuah
pohon, di atas itu ia sembunyikan diri sambil memasang mata. Ia curigai suara
itu. Ketika itu cahaya rembulan tampak remang-remang dibantu sinar bintang, In Loei
segera tampak datangnya dua orang, muka siapa ditutupi topeng.
"Dengan melihat kuda putih itu, terang sudah dia ada di sini," begitu terdengar
seorang berkata. "Bagaimana andaikata dia tidak suka menurut?"
tanya yang lain. "Jikalau tak dapat dengan cara baik, terpaksa kita mesti ambil batok kepalanya!"
menyatakan orang yang pertama bicara.
"Bagaimana dapat kita berbuat begitu?" berkata pula kawannya. "Apakah tak cukup
kita lukai saja padanya?"
In Loei gusar mendengar pembicaraan itu.
"Sungguh jahat kamu!" pikirnya. "Sudah hendak merampas harta orang juga kamu
menghendaki jiwanya!..."
Tiba-tiba salah satu di antaranya berseru: "Awas! Di atas pohon itu ada orang!"
In Loei berlaku sebat, dua batang piauw-nya - Ouwtiap piauw, atau piauw Kupukupu - telah dilepaskan.
Dua orang bertopeng itu gesit, mereka berhasil berkelit.
In Loei penasaran, sambil hunus pedangnya, ia lompat turun, untuk serang dua
orang yang ia percaya ada orang-orang jahat itu.
Dua orang itu, yang satu menyekal tongkat besi, yang lain sepasang gaetan,
menangkis serangan itu. Maka bentroklah pelbagai senjata itu. Mereka lantas saja
menjadi kaget. Sebab yang bersenjatakan tongkat, tongkatnya sempoak, yang
menggenggam gaetan, gaetannya tersampok mental, sukur tidak sampai terlepas dari
cekalan. "Mereka lihay juga," begitu pikir In Loei, yang merasakan tangkisan keras.
Kedua orang itu kaget, mereka hendak tanya
lawannya ini, tetapi mereka tidak punyakan kesempatan. In Loei sudah lantas
menyerang pula, dengan gencar.
Pedang In Loei adalah pedang Tjengbeng, salah satu dari sepasang pedangnya Hian
Kee Itsoe, pedang ini tajam dan biasanya dapat membabat kutung genggaman biasa,
tetapi karena tongkat itu besi belongkotan, tongkatnya si orang bertopeng tak
kena dibabat kutung, sedang sepasang gaetannya hanya kena tersampok.
Orang yang bersenjatakan gaetan itu sebat sekali, bagus juga permainan
gaetannya, karena mengetahui pedang lawan tajam, ia tidak mau membuat gaetannya
kena ditabas. Ia membalas menyerang, ia lebih banyak berkelit daripada
menangkis. In Loei berkelahi dengan gunakan ilmu silat "Hoeihoa poktiap", atau "Bunga
terbang menyambar kupu-kupu." Ia pun senantiasa menyingkir dari kedua macam senjata lawan itu, yang mencoba mendesak
padanya. Belum lama atau kedua orang bertopeng itu sudah kewalahan, tidak peduli mereka
ada berdua dan mendapat ketika baik untuk mengepung, terpaksa mereka main
mundur, akan tetapi karena mereka licin, tidak lantas mereka kena
dipecundangkan. In Loei menjadi penasaran, hingga ia kertak giginya. Kalau tadinya ia tidak
memikir untuk ambil jiwa orang, sekarang ia tak
gentar untuk melakukan itu. Begitulah, satu kali ia serang orang yang
menggenggam sepasang gaetan dengan tipu silat
"Toatbeng sin" atau ?"Malaikat menyabut jiwa," yang ia peroleh dari Hoeithian
Lionglie. Ia ingin rubuhkan lawan yang satu dulu, baharu nanti yang kedua.
Di luar dugaan nona ini, orang bertopeng itu perlihatkan kelicinannya. Dia
loloskan diri dari tikaman, berbareng dengan itu, dia membalas dengan gaetannya
- gaetan yang kanan. Yaitu selagi pedang lewat, tidak mengenai gaetan kiri,
gaetan kanan dipakai menggaet menarik dengan keras.
Si nona kaget, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Ia kenali tipu
silat gaetan itu adalah salah satu dari tipunya Tantai Mie Ming.
"Hai, apakah kamu murid-muridnya Tantai Mie Ming?" ia tegur mereka. Ia desak
yang memegang tongkat sambil menyingkir dari orang yang menggenggam gaetan itu.
Orang yang pegang gaetan itu menyahut dengan seruannya: "Nyata kau ketahui kita
siapa! Karena itu, lain tahun pada hari ini adalah hari peringatanmu mampus satu
tahun!" Dan seruan itu disusul dengan serangan hebat.
Merah matanya In Loei, ia jadi sangat gusar.
"Orang Tartar bernyali besar! Cara bagaimana kamu berani nyelundup masuk ke
Tionggoan" Apakah kamu sangka Tionggoan sudah tidak ada manusianya?" dia
berteriak. Dia pun balas menyerang dengan dahsyat.
Pertempuran berjalan seru, akan tetapi selang sekian lama, In Loei jeri
sendirinya. Ia lapar dan kurang tidur, selang seratus jurus, ia menjadi lelah.
Keringatnya pun mulai keluar. Di luar sangkaannya, kedua musuh ada tangguh, rapi
kepungan mereka. Dengan sendirinya, ia jadi
kena dikurung, percuma agaknya ia mempunyai pedang yang tajam itu.
"Pedang bocah ini bagus," kata lawan yang pegang tongkat, "bolehkah sebentar
pedang itu diberikan padaku?"
"Boleh, boleh sekali!" sahut kawannya. "Aku suka mengalah, suka aku berikan
pedang itu kepada kau, akan tetapi kau mesti berjanji, kalau sebentar kita bekuk
dia, dia mesti diserahkan padaku, kau mesti dengar perkataanku!"
In Loei mendongkol mendengar ocehan itu, lebih-lebih perkataannya orang yang
bersenjata gaetan itu. Kata-kata itu bisa bermaksud busuk. Karenanya, ia ulangi
serangannya yang dahsyat, ia desak lawan yang bersenjatakan tongkat itu.
"Aduh!" teriak lawan ini ketika satu kali ia tangkis serangan-serangan dari tipu
silat "Hoeipauw lioetjoan" - "Air tumpah terbang mengalir jadi solokan," dan
tangannya pun diturunkan.
In Loei gunakan ketikanya yang paling baik, ia tunjuk kesehatannya, ialah
menyusul itu, pedangnya menyambar ke tenggorokan.
Tak sampai menjerit lagi, lawan itu rubuh binasa.
Kaget lawan yang menggenggam gaetan itu. Inilah hebat untuknya, sebab selagi ia
berdiri ternganga, pedang sudah menyambar pula, hingga gaetannya yang kiri kena
terbabat kutung. Kali ini ia
tidak tercengang pula, lantas ia lompat mundur, untuk putar diri, buat angkat
langkah panjang. In Loei sedang murka, ia menyerang dengan tiga batang Bweehoa Ouwtiap piauw, ia
arah bebokongnya akan tetapi terdengarlah suara nyaring beruntun, lantas ketiga
piauw runtuh sendirinya, entah kena terhajar apa. Maka dalam sekejap saja, musuh
sudah lenyap di tempat gelap.
Nona ini tak mengerti sendirinya. Tak mengerti ia kenapa lawan yang bersenjata
tongkat itu begitu gampang menurunkan tangannya mestinya dia masih sanggup
berdaya. "Apakah ada orang yang membantu aku secara diam-diam ia berpikir. Ia juga heran
atas runtuhnya piauw-nya barusan. Apa benar ada orang yang bantui dan berbareng
menolongi juga lawannya itu" Tapi itu nampaknya sangat tak beralasan - dugaannya
ini bertentangan dengan kenyataan.....
Lantas In Loei hampirkan korbannya, topeng siapa ia singkap dengan pedangnya. Ia
lihat benar, orang itu adalah orang Tartar. Maka terang sudah, orang ini bukan
sembarang penjahat. Siapa dia" Apa maksud mereka berdua"
Dengan tidak pikir-pikir lagi, In Loei geladah tubuhnya. Tapinya ia tidak
dapatkan apa-apa kecuali beberapa tail perak hancur serta rangsum kering.
"Inilah kebetulan untukku!" kata si nona, yang jadi tertawa sendirinya. Maka ia
simpan uang dan makanan rangsum kering itu.
Tidak lama, dari tempat pohon-pohon lebat
terdengar pula suara aneh seperti tadi, lalu muncul lagi dua orang bertopeng,
yang berlari-lari ke arah kuil.
"Sahahat sekawan, air semangkok mesti di minum bersama!" demikian suara yang
terdengar dari satu di antara dua orang itu. Itu artinya, kedua orang itu mau
minta bagian. In Loei jadi mendongkol. "Baik!" jawabnya. "Kamu berjumlah berapa orang" Mari semua samasama minum!"
Sebenarnya niat ia mengatakan: "Mari rasakan pedangnya nonamu!" Tapi mendadak ia
sadar bahwa ia sedang menyamar maka ia mengubahnya.
Kedua orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak.
"Haha-haha! Ini barulah sahabat baik! Kita harus sama-sama kalau punya makanan!"
Orang yang berkata-kata itu, yang sudah lantas datang dekat, segera mengulurkan
tangannya, untuk dipakai menanggapi bagiannya.
In Loei tertawa dingin, ia menyabet dengan pedangnya.
Orang bertopeng itu terkejut, ia tarik kembali tangannya sambil lompat mundur.
Tapi begitu ia lolos dari bahaya, mendadak ia maju menyerang, tangannya
merupakan bacokan. Sebab yang ia gunakan adalah tipu silat "Toakim natjioe" "Tangkapan Tangan." Ia bertangan kosong, lain dari kawannya, yang menyekal
sebilah golok. In Loei terkejut, ia sodorkan pedangnya guna menangkis sambaran itu.
"Awas, dia liehay!" beseru orang yang pegang golok, yang terus membacok.
In Loei bela dirinya dengan tipu silat "Tjoanhoa djiauwsie" atau "Menembusi
bunga dengan mengitari pohon", dengan begitu ia dapat jauhkan diri dari lawannya
yang pertama itu. Nyata kedua lawan itu bukan lawan-lawan yang ringan, syukur pedangnya In Loei
liehay, hingga mereka itu kewalahan.
"Baiklah!" berseru lawan yang bertangan kosong sesudah melalui lima puluh jurus.
"Biarlah kau yang menelannya sendiri! Tapi kau mesti beritahukan she dan namamu
agar kemudian kita bisa menjadi sahabat!"
"Siapa kesudian bersahabat dengan kamu?" bentak In Loei. "Kejahatanmu hendak
merampas barang dapat dimaafkan, tetapi yang hebat adalah kamu telah berkongkol
dengan musuh untuk mencelakai negara!"
Kata-kata ini dibarengi dengan serangan "Hoen-hoa hoetlioe" atau "Memecah bunga,
mengebut pohon", ujung pedangnya menyambar ke kiri tetapi agaknya seperti
menikam ke kanan. Tipu ini membuatnya musuh bingung, hingga orang yang menyekal
golok lantas saja berkaok keras, karena lengannya kena tertikam, sampai goloknya jatuh
terlempar. Lawan yang bertangan kosong itu licin, dengan ciutkan diri, ia lolos dari
serangan yang saling susul, tapi ia masih diserang berulang-ulang.
In Loei membuat orang tidak berdaya, di saat
ujung pedangnya hendak menusuk bebokongnya, tiba-tiba ia rasakan lengannya
seperti digigit semut besar, karena mana, tak lurus lagi serangannya, maka
lawannya itu dapat berkelit pula, kali ini dia berkelit untuk terus kabur,
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
disusul kawannya yang terluka itu. Keduanya terus lenyap di antara pohon-pohonan
yang lebat. "Bangsat tukang bokong, keluar kamu!" berteriak In Loei, yang tidak niat
mengejar musuh-musuhnya itu. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dibokong orang
yang tidak dikenal. Tidak ada jawaban untuk cacian itu, di sekitarnya keadaan sunyi. Masih In Loei
menanti sebentar, apabila tetap tidak ada yang menyahuti, ia lihat lengannya
yang terasa digigit semut itu. Di situ ada sekelumit daging munjul, bengkak
sebesar kacang kedele. Teranglah, itu adalah hasil serangan gelap dari semacam
senjata rahasia, hanya, entah siapa penyerang yang bersembunyi itu, dia terus
tidak sudi perlihatkan diri.
Tidak puas In Loei sekalipun ia peroleh dua kali kemenangan, karena orang telah
membokong padanya, maka itu ia kembali ke dalam kuil dengan perasaan mendongkol
berbareng lesu. Tiba di dalam, ia dapatkan si mahasiswa masih rebah tidur,
napasnya masih menggeros keras.
"Hai, orang mampus!" ia menegur. "Sungguh senang kau tidur!"
Mahasiswa itu membalikkan tubuhnya, ia perdengarkan dua kali suara ngulet.
"Ada penjahat!!" In Loei teriaki pula.
Si anak sekolah membuka kedua matanya, ia berkesap-kesip. Dengan malas ia
bangkit duduk. "Impian sedap, siapakah yang lebih dahulu merasai?" katanya seperti orang ngigo.
"Itulah aku, aku yang mengetahui....."
"Kau ketahui apa?" kata In Loei, dengan dingin, sambil tertawa tawar. "Ada
penjahat datang kemari!"
Mahasiswa itu kucak-kucak matanya.
"Tengah malam buta kau ganggu orang sedang mimpi," katanya. "He, engko kecil,
mengapa sih kau selalu ganggu aku?" Sama sekali ia tidak percaya In Loei, bukan
saja ia tidak menyatakan terima kasih, malahan ia menyesalinya.
"Jikalau kau tidak percaya, kau keluar melihatnya," kata In Loei.
Anak sekolah itu ngulet pula.
"Umpama kata benar ada penjahat datang, toh buktinya tidak terjadi apaapa"
katanya kemudian, sambil tertawa. "Buat apa kau bangunkan aku?"
In Loei mendongkol berbareng merasa lucu.
"Akulah yang pukul mundur mereka itu!" katanya, sengit.
"Apakah itu benar?" tanya si mahasiswa. "Sungguh bagus! Sungguh bagus! Kau makan
sepotong ubi, kali ini kau bukannya menerima upah tanpa jasa, tidak mau aku
mengatakan kau menganglap lagi!"
Dan "Plok" ia lemparkan sepotong ubi pada si pemuda tetiron, yang menyampok
dengan mendongkol. "Siapa yang main-main denganmu?" dia menegur. "Eh, aku tanya kau, kau she apa
dan namamu siapa" Kau datang dari mana?"
Mahasiswa itu mainkan kedua biji matanya. Tiba-tiba ia ikuti teladan orang,
sebelah tangannya dipakai menuding.
"Eh, aku tanya kau, kau she apa, namamu siapa" Kau datang dari mana?" demikian
pertanyaannya. In Loei jadi sangat mendongkol, ia gusar.
"Apa" "katanya.
Tapi si anak muda tertawa tawar.
"Kau tanya aku seperti kau memeriksa, mustahil akupun tak dapat menanya padamu?"
ia jawab. "Apakah kau hakim tukang periksa orang?"
In Loei mendongkol tetapi ia bungkam. Anak muda itu berkepala batu tapi dia
benar juga. "Mana dapat aku beritahukan tentang diriku?" In Loei berpikir.
Mahasiswa itu melirik, sikapnya sungguh membuat In Loei sangat mendelu. Meski
demikian, nona ini masih dapat memikir: "Tentang diriku tidak dapat aku
beritahukan dia, tentang dirinya mungkin juga tak dapat diberitahukan padaku!
Kalau sendiri tak suka, kenapa mesti paksa lain orang" Tentang dua orang Tartar
itu, mereka datang dari tempat ribuan lie, bukankah mereka sedang mencari orang
seperti yaya-ku, yang kabur dari Mongolia" - Ialah anak sekolah ini!"
Menerka demikian, tiba-tiba In Loei jadi ingin menghargai mahasiswa itu, cuma
ketika ia lirik orang itu, kembali ia merasa jemu. Tetap tingkah
polanya si mahasiswa itu sangat menjemukan dia mengawasi dengan wajah tertawa
bukanya tertawa, matanya dikecilkan.....
Masih In Loei berpikir. Akhirnya ia keluarkan bendera Djitgoat kie dari Tjioe
Kian, ia lemparkan itu pada si mahasiswa.
"Ni, aku berikan kau ini!" katanya. "Tak mau aku jalan sama-sama kau!"
Mahasiswa itu melirik. "Aku toh bukannya anak wayang!" katanya. "Perlu apa aku dengan benderamu ini
yang dua mukanya?" "Kau berjalan sendirian, kau terancam bahaya," berkata In Loei. Terpaksa ia
berikan keterangan. "Dengan adanya bendera ini, orang jahat nanti tak berani
ganggu padamu." "Apa?" tanya si mahasiswa. "Apakah bendera itu ada suatu firman?"
Mau tak mau, In Loei tertawa.
"Mungkin ini lebih berpengaruh daripada firman raja! ia jawab. "Ini adalah
bendera Djitgoat kie dari Kimtoo Tjeetjoe. Kau datang dari Utara, mustahil kau
tidak pernah dengar namanya tjeetjoe itu" Kimtoo Teetjoe mirip dengan kepala
penjahat di Utara, di kalangan Rimba Hijau, semua orang menghormati dia."
Maksud In Loei baik-baik menyerahkan bendera bulan sabit itu.
Tetapi si anak muda, wajahnya berubah dengan tiba-tiba.
Ia jemput bendera itu, mendadak ia tertawa
dingin. "Satu laki-laki, yang hendak bangkit berdiri, mana dapat ia mengharap
perlindungan orang lain?" katanya, jumawa. "Apakah kau pernah baca Khong Tjoe
atau Beng Tjoe?" Mendadak ia gunakan tangannya, di antara suara memberebet, bendera Djitgoat kie
itu robek menjadi empat helai!
-ooo0dw0ooo- BAB IV Merah padam wajahnya In Loei, kegusarannya bukan alang kepalang besarnya.
"Kimtoo Tjeetjoe sangat terkenal, dia ada satu laki-laki sejati, kau berani
menghina terhadapnya?" dia berteriak, lain sebelah
tangannya melayang ke arah kuping orang. Justeru itu ia lihat kulit muka orang
yang putih dan halus, bagaikan kulit telur, ia ingat: "Tidakkah tanganku akan
membuat mukanya balan" Tidakkah itu hebat?" Karenanya, ia segera tahan tangannya
itu. Lantas ia berkata dengan sengit: "Aku tidak mau berlaku sebagai kau, anak
sekolah busuk! Baik, baiklah, suka aku memberi ampun padamu kali ini! Kalau
besok lusa kau dibegal dan dibunuh orang jahat, bukankah itu karena kau mencari
mampus sendiri" Baiklah, aku tak mau pedulikan lagi padamu!"
Lantas ia putar tubuhnya, dengan cepat dia lari keluar. Ia sangat menyesal
karena maksud hatinya yang baik tidak diterima orang. Ia jadi merasa tak enak
sendirinya. Si mahasiswa mengawasi orang dengan sepasang matanya yang tajam, ketika ia
tampak orang sudah keluar dari pintu, ia berbangkit dengan perlahanlahan.
Nampaknya ia hendak memanggil tetapi ia batal sendirinya, sebaliknya, ia tertawa
dingin. Sekeluarnya dari kuil, In Loei lompat naik ke atas kudanya yang ia terus
larikan. Ia baharu sampai di
tempat yang lebat dengan pohon-pohonan tatkala ia dengar satu suara menyambar di
atasan kepalanya. Ia lantas tahan kudanya.
"Bangsat tukang membokong, jikalau ada nyalimu, mari keluar!" ia berseru.
Kembali terdengar satu suara seperti tadi, atas itu, In Loei tarik kepala
kudanya, untuk berkelit. Menyusul itu sebatang pohon jatuh di depannya, pada
cabang itu diikatkan satu bungkusan dari saputangan sulam. Ia lantas menjadi
kaget. Ia kenali, itulah bungkusannya yang lenyap. Ia segera menjemput, untuk
membuka bungkusannya, maka di situ ia dapatkan uang dan permata bekalan Tjioe
Kian berikut uangnya boleh mencopet!
Heran dan penasaran, dari atas kudanya, In Loei lompat menyambar pohon untuk
naik ke atasnya, lalu ia melihat kesekitarnya. Tidak ada orang di dekat situ,
ada juga sinar bintang-bintang yang sudah guram dan angin bersiursiur.
?"Sudahlah....." akhirnya ia menghela napas.
"Benarlah kata-kata, di luar langit ada lagi langit
lainnya..... Siapa sangka di sini aku bertemu dengan
orang lihay....." Ia lantas larikan kudanya, sampai di luar rimba, fajar sedang mendatangi.
Menggunakan ketika pagi, ia larikan kudanya maju terus ke barat. Segera ia
melihat ada orang-orang yang menunggang kuda, yang romannya gagah. Ia percaya,
mereka itu adalah orang-orang kangouw. Ia teringat akan ajaran Tjioe Kian
tentang kaum kangouw itu.
"Kelihatannya mereka ini hendak menghadiri suatu upacara besar atau sedikitnya pertemuan kaum Rimba Persilatan," ia mendugaduga. Mereka itu melewati nona ini, sama sekali mereka tidak menaruh perhatian.
Mungkin mereka anggap mereka hanya bertemu satu pemuda biasa saja.
Setelah jalan serintasan, In Loei merasa lapar. Ia segera mampir pada tukang
bubur di tepi jalan yang juga menjual teh. Ia lantas tangsel perutnya.
"Hari ini perdagangan ramai," kata ia pada tukang teh, yang tengah memasak dua
panci teh. "Tuan, apakah tuan hendak pergi ke Hektjio tjhoeng?" tanya tukang the itu sambil
tertawa. "Apa itu Hektjio tjhoeng?" In Loei balik menanya.
"Kalau begitu, tuan ada orang luar," sahut tukang teh itu. "Hari ini Tjio Toaya
dari Heksek tjhoeng merayakan ulang tahunnya, banyak sekali sahabat kenalannya
yang datang untuk memberi selamat."
In Loei ingat suatu apa. "Apakah kau maksudkan Hongthianloei Tjio Eng Tjio looenghiong?" ia tegaskan.
Segera tukang teh itu perlihatkan sikap menghormat.
"Oh, kiranya tuan sahabatnya Tjio Toaya," katanya.
"Siapakah yang tidak tahu Tjio looenghiong?" kata In Loei. "Aku memang berasal
dari lain propinsi tapi pernah aku dengar namanya Tjio looenghiong itu."
Tukang teh itu manggut. "Benar! Tjio Toaya itu luas pergaulannya, semua
orang dari pelbagai kalangan, kenal atau tidak, asal datang ke rumahnya, tidak
ada yang tidak disambut secara baik."
In Loei pun manggut. Tentang Tjio Eng itu, ia dengar dari Tjioe Kian. Katanya
Tjio Eng terkenal dengan pedangnya, pedang Liapin kiam, dan senjata rahasianya,
batu Hoeihong sek. Adalah karena senjata rahasia ini, Tjio Eng peroleh julukan
itu, Hongthianloei - Geledek menggetarkan langit. Sebab bila mengenai tubuh
orang, senjata rahasia itu perdengarkan suara nyaring. Tjio Eng gagah dan gemar
bergaul, akan tetapi toh tabeatnya aneh.
"Siapa tahu dia tinggal di luar kota Yangkiok ini," pikir In Loei. "Baiklah aku
pun pergi memberi salamat padanya. Di sana ada banyak orang, mungkin juga ada si
orang lihay yang telah permainkan aku."
Karena ini, ia pinjam pit dan minta kertas dari tukang teh, untuk menuliskan
karcis pemberian selamatnya.
"Aku tidak tahu looenghiong merayakan ulang tahunnya, inilah kebetulan" katanya
sambil tertawa. Terus ia tanyakan letaknya Hektjio tjhoeng, setelah membayar
uang teh, ia naik ke atas kudanya, akan menuju ke rumahnya Hongthianloei.
Sudah banyak tetamu di rumahnya Tjio Eng. Setelah In Loei serahkan karcis
namanya, ia diterima dengan tak ditanya ini dan itu, terus ia diantar ke taman
bunga di mana pesta diadakan, justeru
perjamuan hendak dimulai. Ia dipersilakan duduk di meja pojok, kawan-kawan
semejanya adalah orang yang ia tidak kenal, hingga ia mesti
dengarkan saja mereka itu berbicara.
"Hari ini Tjio looenghiong tidak saja merayakan ulang tahunnya, kabarnya, ia
hendak memilih juga babah mantu," kata seorang antaranya.
"Bisa pusing kepalanya orang tua itu," kata seorang yang lain. "Aku dengar See
Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe berbareng memajukan lamaran! Bagaimana
mereka hendak dilayani?"
Orang yang ketiga tertawa.
"Mau apa kau pusingkan kepala?" ujarnya. "Pasti sekali Hongthianloei mempunyai
dayanya sendiri!" ia lantas menunjuk. "Kau lihat!"
In Loei berpaling ke arah yang ditunjuk orang itu, maka ia tampak sebuah loeitay
- panggung untuk pertempuran yang besar dan tingginya dua tombak lebih.
Orang itu tertawa, ia menambahkan: "Hongthianloei telah berlaku terus terang,
dia adakan pertandingan untuk pilih menantu, siapa yang menang, dialah babah
mantunya itu, untuk ini, ia tidak pandang sanak atau sahabat, karenanya, ketiga
pelamar itu, tak dapat berkata suatu apa."
"Kalau begitu, pasti bakal ramai!" kata yang lain.
In Loei tertawa di dalam hatinya.
"Inilah cara aneh!" demikian ia pikir. "Kalau yang menang seorang yang jelek,
apa tidak kasihan anak gadisnya.....?" Selagi matahari condong ke barat, lantas terdengar ucapan-ucapan selamat yang
riuh, di sana-sini orang pada berbangkit. In Loei pun bangun, sambil berdjingke,
ia mengawasi ke arah di mana suara ucapan itu terdengar.
Seorang tua, yang mukanya merah, kelihatan muncul, ia menuntun satu nona. Ia
minta jalan di antara orang banyak, terus dia lompat naik ke atas loeitay,
perbuatannya ditelad si nona.
In Loei lihat satu nona yang cantik, wajahnya seperti tersungging senyuman,
alisnya lentik dan panjang hampir melekat pada ujung rambutnya. Untuk melihat
lebih nyata, ia maju mendekati. Ia dapatkan nona itu polos, tidak pemaluan,
tidak jengah dia berhadapan dengan banyak tetamunya.
Dari pembicaraan orang banyak, In Loei tahu orang tua muka merah itu adalah tuan
rumah, ialah Hongthianloei Tjio Eng, dan nona adalah puterinya, yang bernama
Tjoei Hong. "Heran juga," pikir pemuda tetiron ini, "Tjio Eng bermuka bagaikan Loei Kong
tetapi ia punyakan anak dara begini elok....."
"Loei Kong" yaitu Malaikat Geledek.
Tidak sempat In Loei berpikir lebih jauh, atau ia tampak Tjio Eng tengah memberi
selamat pada para tetamunya, kemudian terdengarlah suaranya yang keras: "Hari
ini adalah hari ulang tahunku, aku berterima kasih pada saudara-saudara yang
telah datang mengunjungi. Sebagai hormatku, marilah minum dahulu tiga cangkir!"
"Bagus!" seru sekalian tetamunya, terus mereka keringkan cawan mereka masingmasing. Tjio Eng, urut-urut kumis jenggotnya, ia tertawa.
"Hektjio tjhoeng adalah satu desa yang sepi,
tidak ada keramaian apa-apa di sini, tetapi saudara-saudara telah datang kemari,
harap saudara-saudara jangan tertawakan!" kata pula tuan rumah, melanjutkan.
"Anakku ini mengerti ilmu silat kasar, baiklah dia pertunjukkan beberapa jurus,
sebagai hidangan saudara-saudara minum arak!"
Kembali orang-orang berseru. "Bagus! Bagus" suatu tanda persetujuan.
Tjio Eng tertawa pula. "Akan tetapi, bersilat seorang diri saja tidak menarik hati," ia menambahkan,
"maka itu aku persilakan putera-putera dari See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim
Tjhoengtjoe untuk naik ke panggung untuk memberi pengajaran pada anakku itu. Aku
ingin lihat, siapa di antaranya yang permainannya paling bagus, kepadanya hendak
aku hadiahkan sesuatu yang tidak berarti. Samwie sieheng, bagaimana pikiranmu?"
Dengan "samwie sieheng" - "tiga kekanda", tuan rumah maksudkan ketiga tetamunya
yang disebutkan itu See Tjeetjoe, Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe.
Tuan rumah ini tidak mengatakan terang-terang bahwa pertandingan itu untuk
memilih menantu, akan tetapi semua tetamunya sudah mengerti maksudnya itu.
"Bagus, bagus!" Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe menyatakan akur. Lalu keduanya,
dengan masing-masing mengajak anaknya, minta jalan di antara para tetamu,
sesampainya di depan panggung, dengan saling susul mereka lompat naik.
Tampak nyata kegesitan mereka itu.
See Tjeetjoe bersangsi sedetik saja, ia pun ajak puteranya lompat naik. Ia dapat
melompat dengan sempurna, tapi puteranya, ujung kakinya kena membentur pinggiran
panggung, hampir saja ia tergelincir. Menampak ini, semua tetamu heran.
Untuk kalangan "Hektoo" - "Jalan Hitam" - See Tjeetjoe terkenal terutama tentang
ilmu silatnya, orang percaya puteranya
telah mewariskan kepandaiannya itu, karena putera ini pun sudah tersohor
menyandak nama ayahnya, maka ada yang menduga, anak itu pasti akan peroleh
kemenangan, siapa tahu, dalam hal melompat, dia kalah dengan putera-puteranya
Han Totjoe dan Lim Tjhoengtjoe. See Tjeetjoe kerutkan alis, dia hendak bicara
tapinya batal, cuma mulutnya kemak kemik.
Putera dari Han Totjoe, yaitu Han Toa Hay, sudah lantas maju ke tengah, untuk
memberi hormat pada tuan rumah.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tjio Laopee berlaku baik sekali, aku pun tak sungkan-sungkan lagi," berkata
anak muda ini. "Baiklah, aku ingin menerima pelajaran beberapa jurus dari Tjio
Siemoay, asal siemoay suka berlaku murah hati....."
"Bagus, bagus!" tertawa Tjio Eng. "Memang aku senang pada orang yang berlaku
terus terang! Sekarang ini siapa juga tak usah sungkan-sungkan, silakan
keluarkan semua kepandaianmu, siapa yang terluka, aku sedia obatnya." "Baik,
laopee," kata Toa Hay, yang terus rangkapkan kedua tangannya, untuk memberi hormat dengan sikap "Tongtjoe pay Koan Im" atau "Kacung suci
menghormat Dewi Koan Im."
"Bagus!" Tjio Eng memuji.
See Tjeetjoe lihat itu, ia menoleh pada puteranya, yang pun berpaling kepadanya,
keduanya lantas menyeringai. Ayah ini hendak bicara, kembali ia batalkan.
Segera pertandingan dimulai, Toa Hay menyerang lebih dulu.
Tjoei Hong berlaku tenang tetapi gesit, waktu diserang, ia tidak menangkis, ia
hanya berkelit ke samping, terus ia lompat ke belakang penyerang itu. Lincah
sekali tubuhnya itu. Toa Hay segera putar tubuhnya, ia menyerang pula, apabila ini pun gagal, terus
ia merabah, menyerang ke depan, ke kiri dan kanan, akan tetapi, sebegitu jauh,
tidak ia peroleh hasil, malah melanggar baju orang pun tidak.
"Eh, pelajaran dia sama dengan pelajaranku....."
kata In Loei dalam hatinya apabila ia lihat gerak-geriknya Nona Tjio. Itulah
ilmu silat "Patkwa Yoesintjiang" yang bergerak ke delapan penjuru. "Tjoanhoa
djiauwsie" yang ia pelajari adalah salah satu tipu silat dari Patkwa
Yoesintjiang itu. Toa Hay lantas juga merasakan matanya kunang-kunang, karena ia seperti dilibat
si nona, yang seperti berada di "empat muka dan delapan penjuru," melainkan
bayangannya saja yang nampak berkelebatan.
Diam-diam In Loei tertawa di dalam hatinya.
Masih Toa Hay berputaran, masih ia menyerang, walaupun tiap-tiap kali ia serang
sasaran kosong, tak sudi ia berhenti.
Han Totjoe kerutkan alisnya.
"Anak tolol!" akhirnya dia berseru. "Kau bukannya tandingan dari Nona Tjio!
Apakah kau tidak hendak undurkan diri?"
Mendengar suaranya Han Totjoe itu, Tjio Tjoei Hong segera perlambat gerakannya,
tapi justeru itu, Toa Hay lompat menyerang, kedua kepalannya menyambar saling
susul. In Loei lihat serangan itu, ia tertawa dalam hati, pikirnya: "Orang tolol yang
tidak tahu mundur atau maju! Orang sudah mengalah, dia masih belum tahu....."
Atas desakan itu, Tjoei Hong melejit ke samping, sikut kirinya dilonjorkan untuk
dipakai membentur tubuh Toa Hay, atas mana tubuh besar dari putera Han Totjoe
segera terhuyung, rubuh terbanting.
Tjio Eng lompat maju, guna membangunkan pemuda itu.
"Hong-djie, lekas haturkan maaf!" kata tuan rumah ini.
"Tidak apa," kata Toa Hay. "Nona Tjio, kau liehay sekali, aku..... aku....."
Nyata pemuda ini tolol dan polos, hampir ia
mengatakan ".....aku tidak berani ambil kau sebagai
isteriku....." Baiknya Han Totjoe awasi dia dengan
mata melotot dan ia melihatnya, hingga tak jadi ia berbicara terus.
Begitu Toa Hay mundur, ia digantikan oleh Too
An, puteranya Lim Tjhoengtjoe. Pemuda ini maju dengan perlahan, sambil
menggoyang-goyangkan kipasnya.
"Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa jurus, harap kau suka mengalah,
siemoay," kata dia, suaranya seram dan luar biasa. Nampaknya ia, halus bagaikan
wanita, demikian juga lagu suaranya. Tapi ia mengerti Tiamhiat hoat, ilmu
menotok jalan darah, maka setelah dilipat kipasnya, tahu-tahu kipas itu dipakai
menyodok iga si nona. Tjoei Hong berkelit, terus saja ia bersilat pula dengan "Patkwa Yoesintjiang,"
untuk membuat lawan itu lelah dan kabur matanya, seperti tadi ia berbuat
terhadap Toa Hay. Too An cerdik, tidak mau ia menyerang sembrono, sebaliknya, dengan tenang ia
lindungi dirinya. Ia pun tidak gencar putar tubuhnya seperti Toa Hay tadi, ia
Cuma memasang mata, maka juga, sewaktu-waktu dapat ia balas menyerang dengan
totokkannya. Nona Tjio menjadi hilang sabar.
"Dia pasti bukan orang benar," ia pun berpikir. "Lihat matanya yang demikian
lihay! Dia menjemukan, tidak boleh dia dibiarkan mencapai maksudnya....."
Nona ini tak sudi menikah dengan pemuda lawannya itu, ia pun lantas perhebat
serangannya, tubuhnya bergerak sangat lincah mengitari si anak muda.
Too An benar-benar liehay, ia tabah dan teliti, dengan sabar ia jaga dirinya.
Lima puluh jurus sudah lewat, Tjoei Hong tetap belum berhasil menjatuhkan lawan
ini, siapa dalam ketenangannya itu, telah berpikir: "Aku, hendak lihat, berapa
banyak kau punya tenaga untuk melayani aku." Dan ia terus berlaku sabar.
Mereka bertempur terus sampai, tiba-tiba, selagi ia merangsak, Tjoei Hong
tersenyum, hingga tampak kedua baris giginya yang putih halus dan sepasang
sujennya yang manis. Sebagai orang cantik, dengan senyumnya, tentu sekali nona
ini kelihatan sangat menggiurkan.
Hatinya Too An goncang, ia sangat tertarik, hingga ia berpikir. "Orang sebagai
aku, yang berkepandaian silat tinggi, pasti aku membuat
hatinya kagum....." Maka ia anggap nona itu tentu
menaruh hati padanya, nona itu mungkin suka mengalah, karenanya, di waktu ia
menutup diri, ia pun tersenyum.
Sekonyong-konyong saja Tjoei Hong berseru: "Maaf!" Lalu dengan mendadak kedua
tangannya dimajukan kemuka Too An, tangan yang satu menyusul yang lain, hingga
si anak muda terperanjat. Ia kaget waktu pempilingannya, kena ditekan si nona,
sampai ia berkaok, matanya pun kabur, tidak tempo lagi, ia rubuh di lantai
panggung. Lim Tjhoengtjoe mendongkol bukan main menyaksikan puteranya, yang tinggal
menangnya saja, dengan mendadak kena dikalahkan, akan tetapi ia tidak bisa
berbuat suatu apa. Pertandingan telah dilakukan secara terang.
"Tidak apa, tidak apa!" Tjio Eng cepat berkata.
"Eh, anak Hong, kenapa kau gerakkan tanganmu secara sembrono sekali?"
Justeru itu Too An berbangkit.
"Nona Tjio, aku terima pengajaranmu!" katanya sambil tertawa dingin. Lalu, tanpa
berkata suatu apa, berbareng dengan ayahnya, ia lompat turun dari panggung.
Menampak itu, Tjio Eng menggeleng-gelengkan kepala. Tapi kemudian, sambil
mengurut-urut kumisnya dan tertawa, ia kata: "Anakku telah beruntung menangkan
dua pertandingan, maka sekarang ada gilirannya Boe Kie Sieheng yang memberikan
pengajaran padanya, supaya dia jangan jadi terlalu berkepala besar....."
Boe Kie adalah nama putera See Tjeetjoe. Tjio Eng kenal baik sekali anak muda
itu, baik kepandaiannya maupun tabeatnya. Pemuda itu telengas, di dalam Rimba
Hijau, dia terkenal tanpa kebijaksanaan. Meski demikian, jago tua ini insaf,
manusia tak ada yang seratus bahagian sempurna, maka ia anggap, tidak terlalu
kecewa ia dapatkan Boe Kie sebagai babah mantunya.
Tjio Eng juga pikir, pastilah Boe Kie senang sekali dengan pertandingan ini,
karena anak muda itu pasti berada di atas angin, akan tetapi kesudahannya ia
menjadi heran sekali. Tiba-tiba saja Boe Kie kerutkan alisnya dan berkata: "Sudahlah, tak usah aku
turut bertanding lagi, karena akhirnya aku mesti kalah!....."
Semua tetamu terkejut bahna herannya, mereka melongo.
Tjio Eng menjadi tidak puas.
"Tjio Hiantit, mengapa kau mengatakannya demikian?" ia tegur. "Mungkinkah anakku
tak dapat diajar?" Boe Kie tertawa meringis, dengan perlahan ia angkat lengannya, lalu ia gulung
tangan bajunya, maka tampaklah tanda luka yang panjang dan dalam pada lengannya,
sampai tulangnya kelihatan.
"Kau kenapa, hiantit?" tanya Tjio Eng terperanjat.
Boe Kie memandang sekelebatan ke bawah panggung.
"Kemarin ini perahuku karam di dalam sungai," ia menjawab, suaranya menyatakan
penasarannya. "Hm! Aku telah dicurangi satu bangsat tidak dikenal!....."
See Tjeetjoe, yang bernama To, melanjutkan puteranya itu: "Kemarin aku titahkan
Ouw Loodjie bersama dia pergi mengejar seekor kambing dari Utara. Tapi tak
disangka, kambing itu dengan diam-diam dilindungi satu piauwsoe yang lihay
sekali dan Boo Kie kena dilukai....."
Dengan "kambing," See To maksudkan orang yang ia hendak jadikan kurban
pembegalan. Tjio Eng terperanjat, ia heran sekali. Ia tahu, Ouw Loodjie itu adalah seorang
Hoetjeetjoe, sebawahannya See Tjeetjoe, dan kepandaiannya adalah lebih tinggi
daripada See Boe Kie. Ini adalah luar biasa yang mereka berdua kena dikalahkan
satu piauwsoe. "Nah, Tjio Toako, bagaimana pendapatmu?"
tiba-tiba See To menanya.
Tjio Eng berdiam sebentar, kemudian ia tertawa.
"Nyatalah piauwsoe itu seorang pandai!" katanya. "Entah siapa dia itu dan di
mana adanya dia sekarang" Ingin sekali aku menemui dia itu, supaya dapat aku
mengadakan perdamaian di antara kamu kedua pihak."
Wajah See Boe Kie berubah padam.
"Belum pernah aku diperhina secara begini, di sini tidak ada perdamaian!"
katanya nyaring. Terang ia sangat sengit. Tiba-tiba ia memandang ke bawah
panggung, tangannya segera menuding, dengan keras, ia menambahkan: "Binatang itu
nyata telah gegares jantung srigala dan nyali macan tutul, dia sangat berani,
dia sekarang ada di sini!"
See To sudah lantas berseru: "Kami ayah dan anak ingin menemui kau, orang
pandai! Ke mana kau hendak pergi?"
Bagaikan bayangan, kedua orang segera lompat turun dari panggung.
Semua hadirin heran dan kaget.
"Di mana dia?" terdengar orang bertanya. Dia adalah sahabatnya See To dan
karenanya niat membantu tjeetjoe itu.
Waktu itu juga, See To telah lompat ke depannya In Loei, dengan sebelah
tangannya, yang semua jerijinya terbuka, ia menyambar kepala orang.
In Loei sudah lantas berkelit, tapi justeru ia berkelit, tikaman pisau belati
dari See Boe Kie telah sampai kepadanya. Ia tidak kaget atau takut, malah sambil
menangkis, ia kata sambil tertawa:
"Oh, kiranya kamu penjahat yang bertopeng itu?"
Di antara satu suara nyaring, pisau belatinya Boe Kie terlepas dan jatuh.
Hampir berbareng dengan itu, dengan gerakan susul menyusul dengan sikut dan
dupakannya, nona dalam penyamaran ini sudah merubuhkan dua penyerang lain, yang
menjadi sahabat kedua orang she See itu, habis mana dia lompat naik ke atas
sebuah meja. See To hunus goloknya, dia lompat untuk menyerang.
"Orang tidak tahu malu, kamu main kerubut!" teriak In Loei. Ia lompat turun,
untuk terbalikkan meja, hingga piring mangkoknya jatuh pecah berhamburan.
See To tidak dapat berkelit, ia tersiram kuwa, bajunya basah. Tentu saja ia
menjadi bertambah gusar, maka ia ulangi serangannya. Ia sangat sebat.
In Loei terpaksa cabut pedangnya dengan apa ia tangkis bacokan itu.
See To tarik kembali goloknya, lalu ia mendak, untuk membabat ke bawah.
"Orang kejam!" teriak In Loei sambil lompat dengan tipu "Yantjoe Siahoei," "Burung walet terbang nyamping." Dengan begitu ia lolos dari bahaya, setelah
mana, pedangnya menikam dada lawan.
See To terperanjat, ia menangkis sambil berkelit, maka kedua senjata jadi
bentrok, dengan keras, dengan kesudahannya golok kena terpapas kutung! In Loei
tidak niat melakukan pembunuhan, tidak
demikian dengan See To, walaupun dia terperanjat, dia tidak mundur, sebaliknya,
dia menyerang pula dengan sambarannya. Maka si nona sambut tangannya dengan satu
babatan, hingga dia menjadi kaget, terpaksa dia tarik kembali tangannya itu. Dia
jeri terhadap pedang orang yang tajam, karenanya, dia siap sedia. Masih dia
tidak mau menyingkir, dia melawan terus dengan lincah, hingga sukar bagi In Loei
untuk memukul mundur tjeetjoe ini, yang sementara itu telah dibantu pula oleh
beberapa sahabatnya. "Kau rasakan!" seru See To ketika ia kirim serangannya yang berbahaya.
In Loei awas, ia terkejut menampak tangannya merah. Tahulah ia yang tjeetjoe itu
pernah meyakinkan Toksee tjiang - Tangan Pasir Beracun. Pantas dia berani sekali
dengan tangannya itu. Celaka siapa terkena tangan jahat itu. Maka untuk menolong
dirinya, ia tarik satu musuh di sampingnya, guna dipakai menalangi ianya.
See To batalkan serangannya itu, untuk tidak mencelakai kawannya. Kesempatan ini
dipakai In Loei untuk melompati sebuah meja, lalu dari lain sebelah meja itu, ia
sambar mangkok dengan apa ia lempar kalang kabutan hingga ada beberapa
sahabatnya See To yang matang biru mukanya, yang pun tersiram sajur.
"Hebat! hebat!" lalu terdengar beberapa seruan.
Memang, keadaan sangat kacau.
See Boe Kie sambar sebuah kursi, dengan itu ia merangsak, berulang kali ia
menyerang, tapi In Loei telah membabat kutung kursi itu.
Pada waktu itu, See To menyerang pula.
Di saat In Loei hendak melayani tjeetjoe itu, satu bayangan berkelebat di antara
mereka berdua, dengan pentang kedua tangannya, bayangan itu membuatnya kedua
musuh mundur dua tiga tindak.
"See Toako, coba pandang padaku!" demikian suara bayangan itu - ialah Tjio Eng
si tuan rumah. "Dan kau, engko kecil, coba kau berhenti dulu!"
"Toako, aku mohon keadilan kau!" kata See To. "Muka kami ayah dan anak
bergantung pada sepatah katamu!"
Tjio Eng pandang In Loei, ia heran dan kagum.
"Apa benar ada pemuda begini cakap?" katanya di dalam hati. "Jikalau bukannya
aku telah saksikan sendiri, sungguh aku tidak percaya dia dapat mengalahkan Boe
Kie dan membuat ayah dan anak kewalahan."
"Tjio Tjhoengtjoe, maafkan aku," berkata In Loei. "Aku telah bentrok dengan
tetamumu yang mulia. Aku sebenarnya datang untuk memberi selamat, tidak kusangka
sekarang terjadi perkara ini. Tentu saja aku tidak berani turun tangan kalau
tidak terpaksa. Sekarang terserah pada tjhoengtjoe, kau hendak hukum aku atau
bagaimana....." Menurut aturan kaum kangouw, In Loei adalah tetamunya Tjio Eng, maka dalam
segala hal, Tjio Eng sebagai tuan rumah harus memegang semua tanggung jawab.
Maka itu, mendengar perkataan orang itu, See To mendongkol bukan kepalang.
"Manusia licin!" ia mendamprat dalam hatinya,
matanya pun mendelik. Tapi tiba-tiba ia dapat daya. Ia lantas hadapkan tuan
rumahnya. "Toako, apakah she dan nama engko kecil ini" demikian ia tanya. "Siapakah
gurunya?" Tjio Eng melengak ditanya begitu.
"Aku tidak tahu," sahutnya, terpaksa.
Maka tertawalah See To berkakakan.
"Kiranya toako tidak kenal dia siapa!" katanya, puas. "Saudara-saudara hadirin,
siapakah yang kenal engko kecil ini?" dia tanya semua tetamutetamunya.
Semua orang datang berkerumun, tidak satu di antara mereka yang kenal anak muda
ini, mereka itu membungkam atau menggelengkan kepala.
Kembali See Tjeetjoe tertawa sekarang ia tertawa dingin.
"Baiklah toako ketahui," kata ia pada tuan rumah, "jahanam ini sudah sengaja
mengaku jadi tetamu, namanya saja dia datang untuk memberi selamat, sebenarnya
dia hendak menyingkirkan diri! Tidak apa dia datang makan di sini, makan tanpa
membayar, tetapi perbuatannya ini merusak kaum Hektoo di Shoasay ini!"
Tjio Eng menjadi bingung, ia pun tidak senang.
"Habis, apakah See Toako pikir?" dia tanya.
"Mesti diminta supaya dia keluarkan semua barang berharga dari orang yang dia
lindungi!" jawab See Tjeetjoe. "Suruh dia serahkan itu kuda Tjiauwya saytjoe ma!
Habis itu, dia mesti dipaksa menyerah untuk Boe Kie tikam lengannya seperti dia
tikam lengan Boe Kie! Dengan begitu baharulah
urusan dapat diselesaikan.
Bercekat In Loei mendengar orang menyebut nama kuda Tjiauwya saytjoe ma. Memang
sejak lama ia sudah dengar nama kuda jempolan asal Mongolia itu, yang tak dapat
dibeli dengan uang seribu tail emas. Maka tidak ia sangka, kuda si mahasiswa
adalah kuda jempolan itu. Lantas saja, di depan matanya, terbayang tampangnya si
mahasiswa yang cakap dan sikapnya yang sangat polos. Ia pun jadi semakin curigai
mahasiswa itu. Menampak orang diam saja, Tjio Eng sangka si anak muda kaget, maka ia tepuk
pundaknya. "Eh, engko kecil, apa kau kata?" dia tanya.
In Loei bukannya tidak sadar.
"Dia begal orang, aku tolongi orang itu, demikian duduknya hal" sahut ia dengan
tenang. "Apa lagi yang hendak dikatakan" Jikalau mereka tidak puas, silakan
mereka maju! Asal mereka, ayah dan anak, dapat mengalahkan aku, jangan kata
baharu dibacok satu kali lenganku, enam kali mereka tikam tubuhku, masih boleh,
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak nanti aku lari!"
Hati tuan rumah itu menggetar.
"Nyatalah dia anak ayam yang baharu menetas," pikirnya. "Dia tidak ketahui,
dalam urusannya seperti ini, akulah yang berkuasa atas dirinya. Dia menantang
mereka, bukankah itu sama artinya dengan menantang aku?"
See To pun tertawa berkakakan mendengar perkataan orang itu.
In Loei mendelik. "Kau tertawakan apa?" dia tegur. "Kamu ayah
dan anak, silakan kamu maju! Apakah kamu sangka aku jeri terhadap kamu" Hm!"
Dengan mengucap demikian, In Loei ingat pesannya Tjioe Kian, yaitu kalau
menghadapi musuh banyak, terutama musuh kesohor, mesti dijaga supaya musuh itu
sendirilah yang mesti ditantang, untuk bertempur satu sama satu. Ia pun merasa,
ayah dan anak itu pasti bukan tandingannya, jadi ia tidak perlu takut, ia jadi
senang dapat menantang ayah dan anak itu. Ia hanya tidak tahu, pesan Tjioe Kian
tidak mengenai urusan seperti kali ini.
"Tjio Toako, kau dengar tidak?" tanya See To pada Tjio Eng. "Di mata bocah ini
tidak saja tidak ada aku juga tidak ada kau!"
Wajah tuan rumah kembali berubah. "Aku tahu!" ia menjawab. Terus ia hadapi si
anak muda. "Eh, engko kecil, kau mau adu pedang atau adu kepalan?" dia tanya.
"Apa" Bertanding dengan kau?" In Loei tegaskan. "Tjhoengtjoe, Lianin kiam-mu
kesohor di kolong langit, cara bagaimana aku yang muda berani melawan kau" Aku
hanya hendak main-main dengan mereka berdua!"
"Tutup mulutmu!" tiba-tiba Tjio Eng membentak. "Siapa yang ingin bertempur di
tempatku ini" Kau lihat!" Dan sinar matanya menyapu.
Kata-kata ini dikeluarkan di depan In Loei tapi sebenarnya ditujukan kepada See
To ayah dan anak. Kembali In Loei melengak, tak tahu ia bagaimana harus menjawab.
Tjio Eng tidak gubris orang berdiam.
"Jikalau kau jeri terhadap pedangku, nah mari kita bertanding dengan tangan
kosong saja!" Tjio Eng berkata pula.
"Aku yang rendah tidak berani," In Loei menyahuti.
Wajah tuan rumah ini berubah pula.
"Tidak bertanding, itulah tidak bisa!" dia kata. "Tapi mengingat kau satu anak
muda, baik, aku memberi ketika, aku tidak melayani kau. - Eh, anak Hong, mari!
Coba kau wakilkan aku melayani dia beberapa jurus! Anak, lekas kau naik ke
panggung!" Sikapnya Tjio Eng membuatnya semua hadirin heran, malah See To dan anaknya jadi
mendongkol, hingga wajah mereka merah padam. Tahulah semua orang, mengapa Tjio
Eng menyuruh gadisnya melawan anak muda itu. Itu - terangnya - ada pertandingan
untuk memilih jodo untuk gadisnya itu.
Tjio Eng melirik, ia tetap bersikap tak mem-pedulikannya. Ia, hanya desak si
anak muda. "Eh, bocah bila kau punya nyali untuk menyelundup ke dalam Hektjio tjhoeng ini,
kau juga harus punya nyali untuk naik ke panggung!" demikian katanya. "Eh,
apakah kau masih tidak mau naik" Apakah kau ingin paksa aku nanti melemparkan
tubuhmu?" Desakkan orang tua ini, membuat romannya jadi bengis sekali. Tapi di dalam
hatinya semua tetamu tertawa. Semakin terang saja, tuan rumah ini penuju anak
muda itu. In Loei berpaling ke atas panggung, di sana ia lihat wajahnya Tjio Tjoei Hong,
dengan muka merah dadu, matanya mengawasi ke bawah panggung loeitay, hingga mata
mereka berdua jadi bentrok. Tiba-tiba saja ia dapat satu pikiran. Maka lekas
lekas ia angkat bajunya. "Baiklah aku turut perintah, aku nanti naik ke panggung untuk terima pengajaran
dari siotjia," ia kata. Habis itu, orang banyak sudah membuka jalan, ia
bertindak ke arah loeitay ke atas mana lantas ia lompat naik.
Tjio Eng segera bicara dengan beberapa pembantunya, kemudian ia duduk menemani
See To. "See Toako," katanya sambil tertawa dan mengurut-urut kumisnya, kita bersahabat
sudah bertahun-tahun tidak nanti aku membuatnya kau malu."
Tjeetjoe itu berdiam ia sedang mendongkol, tak dapat dia bicara, dia pun tak
dapat mengutarakan kegusarannya.
Tjio Eng tersenyum. "Biar bagaimana, anak-anak muda tak dapat tidak dipupuk," katanya pula. "Jikalau
anak muda mesti dibunuh, sungguh, kita jadi menunjukkan pandangan yang
cupat....." Tjio Eng adalah pemimpin Rimba Persilatan di dua propinsi Shoasay , dan Siamsay,
karenanya See To mesti menahan sabar.
"Toako benar," ia kata. "Aku telah terima pengajaran dari kau. Sekarang ingin
aku pamitan." Baru ia hendak berbangkit tapi Tjio Eng telah
menekannya. "Kita saksikan dulu pertandingan ini, masih ada tempo," katanya. "Lihat, mereka
sedang serunya!" Memang di atas panggung, "pemuda" dan pemudi itu tengah bertempur, tubuh mereka
berkelebatan bagaikan bayangan, karena pesatnya mereka bergerak-gerak. Pakaian
mereka sangat menarik, yaitu In Loei berbaju putih, dan Tjio Tjoei Hong berbaju
hijau dan celana merah, hingga nampaknya bagaikan awan putih yang terseling
sinar layung merah di antara laut hijau.
Dengan kepandaiannya, In Loei dapat rubuhkan si nona dalam tempo tiga puluh
jurus, akan tetapi ia ingin saksikan ilmu silat "Liapin pouw-nya", dari itu ia
tidak segera berlaku keras. Liapin pouw ada bertangan kosong, sedang Liapin kiam
memakai pedang. "Baik permainannya, sayang belum sempurna," pikir In Loei kemudian. Itu waktu
mereka sudah melalui seratus jurus.
Tjoei Hong sementara itu telah berpikir juga. Ia lihat bagaimana si "anak muda"
melayani ia seperti sedang bermain-main.
"Aku mesti perlihatkan kepandaianku, kalau tidak, setelah menikah nanti, ia bisa
pandang enteng padaku," berpikir ia lebih jauh. Ia lantas tertarik pada anak
muda itu, sedang maksud ayahnya, dapat ia duga. Benar saja, habis berpikir
demikian, nona ini menyerang dengan dahsyat. Ia telah keluarkan kepandaiannya,
yaitu ilmu silat Liapin pouw - Tindakan Mengejar Mega. Gesit
gerakannya, berat tangannya - baik bacokannya, maupun totokannya.
In Loei gentar juga menyaksikan perubahan itu, ia lantas melayani dengan ilmu
silat Pekpian Hiankee - ilmu pedang yang ia ubah menjadi bertangan kosong. Maka
ia pun jadi bergerak sangat lincah.
Sebentar saja, pemuda ini telah menguasai pula pertempuran, akan tetapi, ketika
si pemudi melihatnya, hatinya menjadi rawan.
"Akhirnya dapat juga aku paksa kau keluarkan kepandaianmu," pikirnya.
Lalu si nona paksakan berkelahi terus, ia seperti berlaku nekat, ia merangsak,
begitu rupa, sampai akhirnya ia masuk ke dalam pelukan orang. Dipihak lain, ia
mencoba memegang lengan In Loei.
Kaget juga pemuda tetiron itu, sampai ia menjadi bingung. Mau atau tidak, ia
terpaksa merangkul dengan tangan kiri, lalu dengan jari tangannya ia pegang
iganya, hingga Tjoei Hong rasakan tubuhnya menggetar.
Karena jengah, In Loei keluarkan seruan tertahan. Tapi dengan kemalumaluan, di
bawah panggung, penonton telah bertampik sorak. Maka lekaslekas ia totok pula si
nona, untuk menghidupkan pula jalan darahnya, habis mana ia tolak tubuh nona
itu, ia sendiri lompat mundur.
"Maaf, nona!" katanya sambil memberi hormat.
Tjio Eng perlihatkan wajah berseri-seri, ia urut-urut kumisnya. Tapi sahabatnya,
See Tjeetjoe, padam mukanya.
"Kionghie, toako, kau telah pilih menantumu!"
katanya sambil memberi hormat. "Nah, ijinkanlah aku pulang!"
Tjio Eng panggil pembantunya yang tadi.
"See Hiantee, toako-mu memohon maaf," ia kata. "Di sini ada sebungkus mutiara,
hitunglah sebagai penggantian kerugian. Tentang kuda Tjiauwya saytjoe ma, harap
kau tidak buat pikiran pula, karenanya silakan kau pergi ke istalku, akan pilih
sepuluh ekor yang paling baik untuk dijadikan gantinya. Hiantee, aku minta
sukalah kau berlaku murah hati, untuk membebaskan piauw yang ia lindungi itu."
Tuan rumah mengatakan demikian karena ia percaya perkataannya See To bahwa In
Loei telah menjadi "piauwsoe diam-diam." See Tjeetjoe tertawa tawar.
"Terima kasih, toako," katanya. "Aku masih punyakan hartaku, tidak berani aku
memiliki kepunyaan kau. Aku melainkan minta kau suka mentaati undang-undang
Golongan Hitam. Dalam hal ini, aku minta toako memberi maaf padaku."
Habis berkata, tjeetjoe ini menjura dalam pada tuan rumahnya, lalu ia tarik
tangannya Boe Kie untuk diajak berlalu.
Tjio Eng menjadi sangat tidak puas, tetapi ia tidak bisa berbuat lain, maka
setelah menyuruh pembantunya antar tetamunya, ia sendiri lantas lompat naik ke
atas panggung. Tjoei Hong merah wajahnya, melihat ayahnya naik, ia tunduk, tangannya membuat
main ujung bajunya. In Loei pun menyeringai, ia jengah.
Orang tua itu tertawa berkakakan.
"Inilah yang dikata, gelombang sungai Tiangkang yang belakangan menolak
gelombang yang terdepan, atau orang yang baharu menggantikan orang yang lama!"
katanya. "Kau adalah satu pemuda gagah, kau adalah seorang yang sukar dicari
bangsanya....." Sekarang Tjio Eng sudah ketahui she dan nama orang ini. Tadi ia telah titahkan
pembantunya memeriksa karcis namanya. Maka sambil tertawa ia meneruskan berkata:
"In Siangkong, kau mempunyai kepandaian, buat apa kau menjadi piauwsoe?"
"Sama sekali aku tidak menjadi piauwsoe," In Loei menyangkal. "Kemarin ini di
tengah perjalanan aku berkenalan dengan satu sahabat, aku tolongi dia menolak
penjahat, aku tidak tahu karenanya aku jadi bentrok dengan See Tjeetjoe ayah dan
anak." Lega hatinya Tjio Eng mendengar keterangan ini.
"Oh, begitu," katanya. "Di rumah kau masih ada siapa lagi" Apakah kau sudah
mengikat jodoh?" In Loei bersangsi sedetik ketika ia menjawab.
"Aku punya satu kakak," sahutnya. "Aku belum mengikat jodoh....."
Tuan rumah itu tertawa. "Biasanya anak muda, bila ditanya hal jodohnya, dia jengah!" katanya.
"Kau telah peroleh kemenangan, hendak aku berikan hadiah padamu!" berkata pula
Tjio Eng. Ia keluarkan sebuah cincin batu giok hijau yang
ditaburkan dengan dua butir permata "mata kucing," yang cahayanya berkilauan.
"Ini adalah peninggalan ibunya Tjoei Hong yang diberikannya di waktu ia hendak
menutup mata, sekarang aku haturkan ini padamu."
"Karena itu barangnya si nona, tidak berani aku terima," In Loei menampik dengan
merendah. Tjio Eng tertawa bergelak.
"Ini adalah tanda mata untuk pertunangan kamu, mengapa kau tidak mau terima?" ia
kata. "Sebenarnya aku tidak berani terima kehormatan itu." In Loei menolak pula.
Mendadak saja wajahnya tuan rumah itu menjadi padam.
"Apakah kau cela anakku?" tanyanya, tetapi dengan perlahan.
"Mana berani aku mencela," sahut si anak muda. "Aku hanya tak dapat menuruti
kehendak loopeh." Tjioe Eng menjadi tidak senang.
"Mengapa?" ia tanya, mendesak.
In Loei melirik kepada Tjoei Hong, ia lihat si nona, yang pegangi ujung
celananya, merah mukanya, kedua matanya yang besar dan
bunder diarahkan kepadanya, pada matanya tampak air mata yang berlinang. Tibatiba saja ia mendapat satu pikiran.
"Baiklah, aku terima dia sampai nanti datang ketikanya aku menggeser." Demikian
pikirnya. Ia menyahuti, tapi ia masih berpura-pura. Ia kata: "Aku belum dapat
izin dari orang yang lebih tua, cara bagaimana aku dapat dengan diam-diam
mengikat jodoh?" "Di manakah kakakmu sekarang?" tanya Tjio Eng.
"Aku tak tahu ia berada di mana," jawab In Loei. "Dengan saudaraku, aku berpisah
sewaktu kami masih kecil....."
Tjio Eng kerutkan alisnya.
"Habis, pada siapa kau hendak beritahukan hal ini, untuk memohon perkenan?" dia
tanya pula. "Ayah dan ibuku telah menutup mata, yang masih ada hanya tjeekong," sahut In
Loei. "Tjeekong perlakukan aku sebagai cucunya sendiri, maka ingin aku
beritahukan padanya urusan perjodohanku ini."
"Siapakah nama tjeekong-mu itu?"
"Tak dapat aku menyebutkan nama tjeekong di sini," jawab In Loei. "Dia seorang
kenamaan dalam Rimba Persilatan."
Tjio Eng heran, ia tertawa.
"Kalau dia seorang kenamaan, mesti dia tahu namaku!" katanya dengan gembira.
"Atau sedikitnya dia kenal aku. Maka baiklah kau jangan kuatir suatu apa."
In Loei kena terdesak, ia lantas memberi hormat sambil berlutut pada "bakal
mertua" yang ia panggil "gakhoe", habis mana dari sakunya ia keluarkan sepotong
batu permata, untuk diserahkan.
Tjio Eng terima tanda mata itu, yang ia terus serahkan pada anak daranya,
setelah mana ia pimpin bangun babah mantunya, untuk disuruh berdiri di tengah
panggung. "Sejak ini, In Siangkong ini adalah bagaikan setengah anakku," ia kata pada
tetamu-tetamunya, maka itu aku mengharap, kalau nanti dia membuat perjalanan, sukalah saudarasaudara membantu melihat-lihat padanya."
Riuh suara para tetamu menyambut pernyataan itu, mereka pun memberi selamat.
Tjio Eng tunggu sampai reda, lalu ia berkata pula: "Aku telah berusia lanjut,
dan justeru saudara-saudara berada di sini, baiklah sekarang saja pernikahan
dirayakan! Secara begini dikemudian hari tidak usah aku mengundang pula saudarasaudara, yang mana membikin berabe saja!"
Orang banyak lantas bertepuk tangan.
"Bagus! Bagus!" mereka berseru. Malah seorang lantas menghampiri In Loei dengan
arak di tangan, untuk memberi selamat.
"Usiaku masih terlalu muda, baiklah pernikahan
ditunda dulu....." kata In Loei. Ia terdesak, ingin ia
mengelakkannya. "Aku ingin dapat mendampingi kau, maka itu perlu pernikahanmu dirayakan siangsiang", Tjio Eng mendesak. "Aku Hongthianloei seorang sederhana, aku mengadakan
loeitay untuk memilih mantu, sekarang mantu telah aku dapatkan, baik sekarang
juga pernikahan dilangsungkan! Dengan begini kita tak usah dipersulit segala
adapt istiadat....."
Semua tetamu tertawa, mereka puji cara sederhana ini. Maka In Loei dipaksa
menjalankan upacara yang sederhana, yaitu berdua Tjoei Hong ia memberi hormat
pada langit dan bumi, lalu pada Tjio Eng, habis mana banyak orang memberi
selamat dengan arak! Bukan main masgulnya In Loei, ia mengeluh dalam hatinya. Tak dapat ia meloloskan
diri. Inilah main-main menjadi sungguhan. Ia pun tak dapat menolak pemberian
selamat dengan arak itu. Ketika
ia telah tenggak belasan cawan arak, ia gunakan tenaga dalamnya, lalu dengan
suara keras, ia muntahkan itu. Tubuhnya pun lantas limbung. Maka kupingnya
lantas dengar teriakan orang banyak: "In Siangkong mabuk!"
Memang In Loei tidak kuat minum, sedikitnya susu macan telah mempengaruhi dia,
maka selagi berpura-pura sinting, yang orang percaya, sengaja ia, terhuyung
kepada Tjoei Hong! "Anak muda tidak biasa minum, dia pun tidak tahu aturan," berkata Tjio Eng, yang
juga kena dikelabui babah mantunya itu. "Anak Tjoei, pergi kau bawa dia ke
dalam." Lalu pada orang banyak, ia tambahkan: "Aku girang, aku tidak pakai
aturan lagi! Saudara-saudara, mari, mari kita minum!"
In Loei pejamkan kedua matanya, ia letakkan kepalanya di pundak Tjoei Hong, ia
biarkan dirinya dipayang ke dalam, terus ke kamar di mana ia rebahkan diri tanpa
salin pakaian lagi. Mulanya ia berpura-pura mabuk, tapi karena pusing dan lelah,
ia tertidur sendirinya. Ketika ia mendusin, ia lihat kamar sudah terang dengan
cahaya api, tandanya sudah malam. Ia lihat Tjoei Hong duduk di tepi pembaringan,
si nona tidak salin pakaiannya, rupanya dia terus menemani.
Menampak orang membuka matanya, nona ini tertawa.
"Kau mabuk, siangkong?" dia tanya. Lantas dia suguhkan secangkir the tua,
katanya: "Inilah teh Sinkiok untuk menghilangkan rasa mabuk. Tidak usah
siangkong bangun, aku nanti meminumkan....."
Benar-benar, ia angkat sedikit tubuhnya In Loei, ke mulut siapa ia bawakan
cangkir tehnya itu. In Loei merasa segar sehabisnya minum air teh itu yang harum. Sekarang ia dapat
lihat tegas, kamar yang dihias rapi. Dupa mengepulkan asap di atas sebuah meja
kecil, pendupaannya berkaki tiga dan bagus sekali.
Menampak perhatian orang itu, Tjoei Hong tertawa.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Turut katanya ayah, inilah pendupaan jaman Tjioe," katanya. "Tapi di mataku,
aku tidak melihat perbedaannya. Pun meja kecil itu, katanya terbuat dari kayu
wangi asal Lamhay" Heran In Loei. Pendupaan tua dari jaman Tjioe dan meja kayu wangi dari Lamhay"
Sungguh itu barang-barang yang mahal sekali harganya. Tapi si nona pandang
barang itu sebagai barang biasa saja! Di situ pun kedapatan lain-lain barang
berharga, seperti batu giok, mutiara dan lainnya, yang indah adalah pohon
karang. "Tjio Eng satu jago silat, siapa tahu, iapun hartawan besar," pikir babah mantu
ini. Tjoei Hong dampingi "suaminya" ini.
"Siangkong, kau sebenarnya dari keluarga mana?" dia tanya.
"Ayah dan ibu menutup mata waktu aku masih kecil sekali," jawab In Loei.
"Menurut keterangan,
kita adalah dari keturunan keluarga berpangkat."
Nona itu mengawasi, alisnya agak mengkerut.
"Siangkong, apa benar kau menyintai aku?", ia tanya, perlahan.
"Kau cantik sekali, kau juga gagah, bukan cuma aku, setiap pemuda yang melihat
kau pasti menyintai kau," jawab In Loei.
"Ah, apakah kau kata?"
"Aku punya satu saudara angkat, baik roman maupun kepandaiannya, dia melebihi
aku," In Loei sahuti.
Heran si nona, alisnya sampai bangun.
"Saudara angkatmu itu mempunyai hubungan apa dengan aku?" dia tanya. "Ah, aku
tahu sekarang..... Tadi kau berulang-ulang menampik,
kau sebenarnya tak suka menikah dengan aku....."
In Loei pandang nona itu.
"Bukannya aku tidak suka....." katanya. "Kau
dengar dulu omonganku. Saudara angkatku itu....."
Mendadak saja Tjoei Hong menangis.
"Bagaimana pandanganmu terhadapku?" dia tanya, gusar. "Kalau kau sebutsebut pula
tentang saudara angkatmu itu, nanti aku bunuh diri dihadapanmu! Jikalau kau
tidak suka padaku, katakanlah terus terang! Memang aku tahu kamu bangsa pembesar
negeri, kamu pandang rendah orang sebangsa kami....."
"Ah, mengapa kau ngaco?" berkata In Loei. "Sebenarnya kau bangsa apa" Aku tidak
tahu....." Si nona mengawasi. "Apa benar-benar kau tidak tahu?" tanyanya.
"Aku adalah anak tunggal dari satu penjahat besar!" In Loei tersenyum.
"Itulah tidak berarti apa-apa!" dia kata. "Saudara angkatku itu juga ada satu
penjahat besar....."
Bukan main mendongkolnya Tjio Tjoei Hong.
"Kau selalu sebut saudara angkatmu itu, sebenarnya, apakah maksudmu?" dia tanya.
Melihat orang murka, In Loei berpikir. Memang tak tepat pada malaman pengantin
berbicara tentang seorang lelaki lain.
"Aku hendak jodohkan paman San Bin, tidak dapat aku terburu napsu," ia berpikir
pula. "Kau belum kenal aku!" kata si nona. "Sejak kecil aku telah ikuti ayah merantau,
selama itu entah berapa banyak orang yang telah melamar aku, akan tetapi aku
sendiri telah bersumpah, tidak mau aku menikah kecuali pada orang yang aku
penuju! Kalau ada orang yang aku penuju tetapi dia tidak suka padaku, tidak ada
lain jalan daripada mengorbankan jiwaku! Tadi di atas loeitay, kau telah berlaku
ceriwis terhadapku, dan sekarang, setelah kita menikah,
kenapa kau tidak pandang aku sebagai isterimu" Apakah memang kau sengaja hendak
perhina aku?" In Loei tidak sangka orang berhati demikian keras. Maka kembali ia berpikir.
"Dia belum pernah lihat paman San Bin, apakah dia penuju pada paman itu?"
demikian ia beragu-ragu. "Kalau begini, tidak boleh aku sembarang timbulkan
niatku menggeser pernikahanku ini....."
"Katakan!" Tjoei Hong mendesak, "sudikah kau mengambil aku sebagai isterimu?"
lantas saja dia menangis.
Kewalahan juga In Loei didesak secara demikian.
"Siapa kata aku tidak sudi mengambil kau sebagai isteriku?" dia membaliki.
"Jangan kau menangis. Kau ingin aku berbuat bagaimana supaya aku membikin kau
puas?" Tjoei Hong hendak mengatakannya tetapi batal, ia malu sendirinya. Cuma air
matanya yang mengalir. In Loei cekal tangan orang, untuk ditarik. Ia tersenyum.
"Entjie, berapa usiamu?" ia tanya.
"Delapan belas tahun," sahut Tjoei Hong dengan ringkas.
"Kalau begitu, kau lebih tua satu tahun dari-padaku," menerangkan nona In.
"Benar-benar aku mesti panggil entjie padamu. Entjie, adikmu....."
Dengan kata "adik" itu ia maksudkan "moay-moay"-"adik perempuan."
Tjoei Hong heran, hingga ia mengawasi.
"Apakah kau belum sadar betul dari mabukmu?" dia tanya. "Bukankah tadi telah aku
terangkan bahwa aku tidak punya adik perempuan"....."
In Loei melengak. Untuk sedetik, ia lupa bahwa ia tengah menyamar. Lalu ia
tertawa sendirinya. "Benar gila!" katanya. "Entjie, bolehkah aku jadi adikmu yang lelaki" Entjie,
adikmu ini tidak pandai bicara, aku minta kau tidak persalahkan dia....."
Dengan perlahan ia usap-usap tangannya.
Tjoei Hong tertawa. "Benar-benar kau anak tolol!" katanya. "Baiklah! Sekarang kau mesti dengar
perkataan ent}ie-mu\ Lekas kau salin pakaianmu, baharu kau tidur pula! Kau
lihat, kau tidak loloskan sepatumu! Ah, ini sepre mesti ditukar....."
Kalau tadi si nona masih malu, sekarang ia menjadi berani. Melihat orang tidak
mau berbangkit, ia kata: "Apakah kau inginkan entjie-mu yang
menukarkan pakaianmu"..... Ia lantas tertawa,
mukanya menjadi merah. Ia merasa bahwa ia telah kelepasan berbicara.
In Loei berdiam. Ia benar-benar sangsi.
Tiba-tiba ada pertanyaan dari luar, dari budak perempuan: "Apa babah mantu sudah
sadar dari mabuknya?"
"Sudah," sahut Tjoei Hong.
"Looya minta nona dan babah mantu menemuinya," kata pula budak itu.
"Oh, ya, aku sampai lupa!" kata si nona. Terus ia menambahkan dengan perlahan:
"Adikku, mari bangun. Tak usah kau salin pakaian dulu....."
Lega hatinya In Loei. Ia singkap selimutnya lalu lompat turun.
Tjoei Hong membuka pintu kamar.
"Kau tukar seprenya!" ia perintahkan budaknya.
Budak itu lihat sepre bertapakkan sepatu kotor, ia tertawa sambil menutup
mulutnya. Tjoei Hong ambil lentera, sambil bawa itu, ia tarik tangannya In Loei, untuk
diajak keluar. Mereka mesti melewati beberapa ruangan, untuk sampai di sebuah
loteng besar, yang tingginya lima tingkat.
Tingkat ke lima itu merupakan satu ruangan, ada meja, dan kursinya. Di atas
meja, In Loei lihat, banyak barang permata. Tjio Eng duduk dengan ditemani empat
orang di kiri dan kanannya.
Menampak babah mantunya, Tjio Eng tertawa.
"Anak Tjoei! Anak Loei!" katanya. "Mari kamu pilih ini, masing-masing ambil satu
rupa, yang selebihnya adalah untuk sahabat-sahabatku ini!"
In Loei heran, ia berdiam.
"Inilah aturan kami yang tertentu," Tjoei Hong beritahu. "Kau turut perkataan
ayah. Kau pilih satu rupa!"
In Loei ambil satu singa-singaan dari batu giok, dan Tjoei Hong mengambil
sebatang tusuk konde dari giok juga. Habis itu In Loei pandang ruang itu, yang
sangat sederhana, sebab kecuali sebuah lemari besi, perabotan lainnya tidak ada,
melainkan di tembok tergantung sebuah gambar yang besar di mana terlukis sebuah
kota yang dikitari air, kota itu ada pesebannya, ranggonnya, tamannya, dan
penduduknya. Dilihat dari romannya, itu adalah sebuah kota di Kanglam.
"Apakah kau suka pada gambar itu?" tanya Tjio Eng sambil tertawa. "Besok akan
aku tuturkan kau tentang kota itu. Sekarang kembalilah kamu."
Tjoei Hong ajak suaminya undurkan diri, selagi keluar dari kamar, ia masih
dengar kata-katanya salah satu tetamu: "Harus sangat disayangkan, ini adalah
perdagangan kita yang terakhir....."
Tjio Eng tertawa, ia kata: "Di dalam dunia di mana ada bunga yang tak rontok
dalam seratus tahun" Usiaku telah, lanjut, aku pun tidak ingin melakukan perdagangan semacam
ini. Baiklah kita pakai cara lama, kamu boleh taksir harganya."
In Loei heran, ia ingin mendengar lebih jauh tapi Tjoei Hong sudah menarik
tangannya, mengajak ia turun dari loteng.
Setibanya di kamar, mereka tampak sepre sudah ditukar dengan yang baru, hingga
pembaringan itu nampaknya lebih indah. Pada saat itu dari kejauhan terdengar
suara kentongan. "Ah, sudah jam tiga!....." kata Tjoei Hong.
"Sekarang ini aku tidak ingin tidur," kata In Loei. "Baik kau beritahukan aku,
urusan apakah sebenarnya urusan ayahmu tadi?"
"Ayah adalah satu penjahat tunggal," Tjoei Hong menjawab dengan terus terang,
"setiap tahun ia cuma bekerja satu kali. Penduduk sini tidak ketahui perbuatan
ayah itu. Sudah menjadi kebiasaan, setiap habis bekerja, ayah menyuruh aku
memilih salah satu barang hasil kerjanya, yang lainnya lantas dijual habis."
"Barang boleh merampas bagaimana dapat dijual?" tanya In Loei.
"Sudah tentu dapat, untuk itu ada pembelinya. Begitulah ke empat orang tadi,
mereka biasa membeli barang dari ayah. Mereka itu liehay, barang asal utara
mereka jual di selatan demikian sebaliknya. Belum pernah mereka itu gagal. Uang
yang ayah dapatkan dari penjualan itu, yang sebagian kecil ia tahan untuk
dijadikan harta benda, selebihnya ia pakai menolongi sahabatsahabat
kangouw yang kesusahan." In Loei heran dan kagum.
"Begitu?" katanya. "Pantas ayahmu diberi gelar Say Beng Siang."
"Say Beng Siang" berarti "Melebihi Beng Siang", dan "Beng Siang" itu adalah Beng
Siang Koen, seorang kenamaan yang biasa mengumpulkan banyak tetamu, dermawan dan
berharta besar. Tjoei Hong tersenyum pada "suaminya" itu.
Tidak lama terdengar pula suara kentongan satu
kali. "Apakah kau ingin aku bicara terus sepanjang malam?" sang isteri Tanya
"suaminya" itu sambil melirik dengan tajam dan manis.
"Hendak aku menanyakan lagi," In Loei jawab. "Tentang gambar lukisan tadi.
Adakah ceritanya mengenai gambar itu?"
"Aku tidak tahu. Tentang itu, belum pernah ayah berkata padaku." Ia berdiam
sebentar. "Aku pun merasa aneh. Segala apa ayah beritahukan padaku, Cuma gambar
itu belum pernah ia menyebutkannya."
Tak lama, kembali terdengar kentongan.
"Nah, apa lagi kau hendak tanya?" tanya Tjoei Hong sambil tertawa.
In Loei berpikir, tidak ia dapatkan daya untuk memperlambat waktu. Tanpa alasan,
tentu tak dapat ia bicara terus dengan "isterinya" itu. Maka ia jadi sibuk
sendirinya. "In Siangkong," akhirnya Tjoei Hong tanya, perlahan, "apakah benarbenar kau
tidak cela aku?" "Untuk selamanya kau akan menjadi entjie-ku,
bagaimana dapat aku cela padamu?" In Loei baliki.
"Baik!" kata si nona, suaranya halus. "Besok saja kita bicara pula, sekarang kau
perlu beristirahat."
In Loei raba kancing bajunya.
"Benar, sekarang sudah waktunya tidur," katanya. Tapi tangannya Cuma meraba
kancing, tidak ia membukanya. Justeru itu, di luar terdengar berisiknya suara
banyak orang, antaranya ada yang berteriak-teriak: "Tangkap penjahat! Tangkap
penjahat!" Di rumah Hongthianloei ada penjahat, itulah lucu.
Di antara tetamu-tetamunya Tjio Eng ada yang numpang bermalam di rumahnya,
mereka ini terkejut mendengar teriakan itu, lantas mereka memburu keluar, guna
mencari penjahat itu. In Loei tidak kaget, sebaliknya, ia tertawa.
"Kita bakalan tak dapat tidur!" katanya. "Penjahat itu tentu datang sebab ayahmu
mempunyai banyak barang permata."
Tjoei Hong tidak menjawab, dia hanya lari keluar, untuk kabur ke loteng tempat
menyimpan permata itu. In Loei ikuti "isterinya" itu.
In Loei sempurna ilmu enteng tubuhnya, ia berada di atas kebanyakan orang lain,
maka itu kecuali ia telah lombai bujang-bujang dan tetamu-tetamu, ia pun telah
tinggalkan Tjoei Hong jauh di sebelah belakang. Hal ini membuat "isteri" itu
girang berbareng mendongkol. Girang sebab "suami" ini lihay dan kelihatannya
membela betul keluarga Tjio, dan mendongkol karena dipanggilpanggil, dia tidak
mau kembali atau menunggu.
Luas pekarangan Tjiokee tjhoeng itu, letak loteng tempat menyimpan barang
berharga ada di pojok timur, di sana In Loei sampai dalam tempo yang cepat
sekali, ketika ia menoleh, ia lihat Tjoei Hong baharu tiba di atas genteng dari
rumah besar. Ia tidak mau menantikan, sambil hunus pedangnya, ia lompat untuk
sambar payon di mana terus ia cantelkan kakinya, akan ayunkan tubuhnya dengan
dibantu oleh tekanan sebelah tangannya, dengan begitu ia sampai di loteng kedua.
Di sini ia pasang kuping, hingga ia dengar suara seperti suara setan.....
"Bangsat, kau mainkan lelakon iblismu untuk menakut-nakuti aku!" In Loei kata di
dalam hatinya. Ia dengar suara dari dalam loteng, untuk masuk ke dalamnya,
terlebih dahulu ia nyalakan sumbu bekalannya, yang ia sulut dengan api tekesan.
Sebentar kemudian ia sudah berada di dalam, terus ke tangga dari loteng ketiga.
Ketika ia angkat kepalanya melihat ke atas, ia tampak bayangan dari empat orang
yang tubuhnya besar, mereka itu berdiri dengan sebelah kaki masing-masing,
agaknya mereka sedang bertindak untuk lari turun, hanya, seperti dipengaruhi
dengan "Tengsin hoat," yaitu ilmu "mendiamkan diri," mereka jadi berdiri diam, cuma
mata mereka mendelong dan tenggorokan mereka perdengarkan suara tak nyata. Yang
hebat adalah wajah mereka, daging muka mereka pada mengkerut, hingga mereka
mirip iblis-iblis bengis dan jahat.....
Terkejut juga In Loei setelah dia melihat dengan
tegas, tapi dia hunus pedangnya, dia lari naik di tangga, niatnya menyerang
mereka itu, yang dia duga adalah si orang-orang jahat. Dia baharu hendak
menikam, atau dia batalkan maksudnya. Tiba-tiba saja dia menduga, ke empat orang
itu tentu telah jadi korban totokan, sedang dia belum mendapat kepastian mereka
itu ada "lawan atau kawan"..... Maka dia lantas suluhi mereka, dia
mengawasi. Tidak peduli wajah orang itu jelek, tapi dia kenali, mereka itu
adalah orang-orang yang tadi siang menjadi pembeli-pembeli dari
barang-barangnya Tjio Eng. Dia menjadi heran, sebab dia percaya, walaupun mereka
saudagar, mereka tentunya pandai silat. Kenapa mereka kena ditotok" Siapakah
yang menotoknya" "Belum pernah aku saksikan ilmu totokan lihay seperti ini?" In Loei berpikir
pula, "Jikalau aku gunakan kepandaianku, dapatkah aku membebaskan mereka ini?"
Ia awasi mereka terlebih jauh, ia selidiki dengan teliti. Ia duga orang telah
ditotok urat "moa Nafnya atau "ah hiat." Totokan di urat itu bisa menyebabkan
tubuh orang seperti mati atau gagu. Ia masih mengawasi sekian lama, baharu ia
mencobanya menotok mereka.
"Aduh!" mereka itu menjerit setelah kena ditotok, terus mereka rubuh.
In Loei lompat minggir. Menyusul itu terdengar suara berisik, dari batu-batu permata yang jatuh dari
kantung ke empat orang itu, yang berhamburan di lantai. Itulah
harta yang berharga lebih dari sepuluh laksa tail.
In Loei melengak. Terang baginya sekarang, penyerang ke empat orang ini bukannya
hendak mengambil harta itu. Kalau tidak, harta itu pasti sudah dirampas.
"Apakah penyerangmu sudah pergi?" ia tanya ke empat saudagar itu.
Ke empat orang itu masing-masing menekan dadanya, dengan sebelah tangan yang
lain, mereka menunjuk ke atas. Tidak dapat mereka bicara, napas mereka sesak.
Dengan berani In Loei lompat keluar jendela, untuk naik ke loteng ke empat,
setibanya di payon, dari atas wuwungan ia dengar suara nyaring dari Tjio Eng:
"Kami dua turunan sudah menantikan enam puluh tahun. Apakah benar kau tidak sudi
perlihatkan wajahmu terhadap kami?"
In Loei naik terus, ia segera nampak bayangan orang, yang telah perdengarkan
suaranya "Mari!" Itulah suara yang ia pernah dengar, entah di mana, ia lupa.
Tjio Eng ambil gambarnyaij, ia gulung itu, atas mana si bayangan ulurkan kedua
tangannya, ia menyambut dengan tangan yang satu, sedang tangan yang lain,
agaknya menepuk ke arah kepala tuan rumah.
Menampak demikian, In Loei membentak, tubuhnya naik ke genteng, tapi berbareng
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan itu, ia diserang senjata rahasia. Ia menyampok dengan pedangnya, lantas
ia rasakan satu dorongan tenaga yang kuat sekali. Benar senjata rahasia itu
hancur dan menyemburkan lelatu, tapi nona ini tak dapat pertahankan diri, tubuhnya
terhuyung jatuh. Syukur ia masih dapat menyantelkan kakinya ke payon, dengan
begitu ia tidak jatuh terus kebawah loteng. Malam itu gelap.
Kembali datang senjata rahasia yang kedua, yang perdengarkan sambaran angina
seperti yang pertama. Dengan pedangnya, In Loei tangkis pula senjata rahasia itu, yang kembali hancur
dan lelatunya meletik berhamburan. Sekarang ternyata, senjata rahasia itu adalah
sepotong batu. Pada saat itu, Tjio Eng tongolkan kepalanya.
"Siapa?" dia menegur.
Belum In Loei menjawab, atau ia dengar suara yang berubah - suara yang agak
terkejut: "Anak Loei di situ" Ini bukan urusanmu, lekas kau menyingkir!"
Itulah suara Tjio Eng. Mendengar itu, In Loei heran. Sudah terang "penjahat" itu
hendak merampas barangnya, kenapa Tjio Eng - si "mertua" - membantu pencuri itu"
Kenapa Tjio Eng menyerang dengan batu hoeihongsek untuk mencegah dia membantui"
Waktu itu di bawah loteng terlihat beberapa tetamu yang datang untuk memberikan
bantuan mereka. Tjio Eng lihat mereka itu, tidak tunggu sampai In Loei
menyingkir, ia sudah lompat keluar, sambil berkata dengan nyaring: "Penjahat
telah aku usir sudah tidak ada apa-apa lagi! Saudara-saudara, silakan kembali!"
Tapi In Loei bermata awas, ia lihat si pencuri lompat keluar dari belakang
jendela, pesat sekali gerakannya. Tanpa sangsi lagi, ia pun lompat ke lain arah.
Dengan sebat si penjahat sudah sampai di tembok pekarangan. Masih In Loei
menyusul, ia juga tunjukkan kesehatannya.
Selagi hendak lompat dari tembok, orang yang disangka penjahat itu berpaling,
tangannya dilambaikan pada si nona. Nyata ia memakai topeng, sepasang matanya
bersinar tajam. Tanpa melihat tegas, In Loei lompat mengejar terus.
Di luar tembok pekarangan ada pohon-pohonan lebat, dari sana terdengar suara
kuda berbenger, lalu di antara cahaya rembulan, tampak muncul seekor kuda putih.
Melihat kuda itu, In Loei terkejut. Ia kenali itu adalah kuda putih dari si
mahasiswa. Ia jadi menjublak, ia tak mengerti. Bukankah ia telah uji dan si anak
sekolah tidak mengerti silat" Kenapa sekarang dia datang mencuri" Adakah benar
orang bertopeng itu si mahasiswa adanya dan dia datang bukan untuk mencuri"
Kalau dia benar mencuri, kenapa dia biarkan harta besar di tangan ke empat
saudagar itu dan dia cuma ambil gambar lukisan saja, meskipun gambar itu
berharga besar sekali. Tapi anehnya, kalau benar si pencuri adalah si mahasiswa,
dia baharu berumur dua puluh lebih, kenapa Tjio Eng mengatakan sudah menantikan
enam puluh tahun" In Loei masih tercengang terus kalau ia tidak diganggu suara berisik diarah
belakangnya, disusul dengan suaranya Tjio Eng yang nyaring: "Jangan kejar penjahat yang sudah kabur!
Anak Loei, lekas kembali!"
Masih In Loei terbenam dalam keheranan, sebab sikap aneh dari "mertuanya" ini.
Terang sudah, Tjio Eng tengah melindungi si penjahat - si orang bertopeng.
Karena ini, ia tidak pedulikan panggilannya orang tua itu, ia justeru terus
lompat keluar tembok, ke arah pohon-pohonan lebat. Tapi di sini lagi-lagi ia
hadapi kejadian yang membuatnya sangat heran.
Suara seekor kuda lain terdengar pula, apabila In Loei sudah melihat, ia
tercengang. Itulah kuda berbulu merah, kudanya sendiri! Kuda itu, ia tahu benar,
ditambatkan di depan kampung. Kenapa kuda itu sekarang berada di dalam rimba"
Ketika itu si orang bertopeng sudah duduk di atas kudanya. Ia tidak segera lari,
hanya kembali ia menoleh, tangannya menggape kepada si nona. Sekarang In Loei
merasa pasti, orang itu adalah si mahasiswa. Tiba-tiba saja ia jadi tidak
senang. "Hai, binatang, kenapa kau berulang kali mempermainkan aku?" bentaknya. Terus ia
lompat naik ke atas kudanya, ia jepit perut kudanya, untuk mengejar. Kuda putih
telah kabur pesat di sebelah depan.
Dari suara banyak kuda di sebelah belakang, In Loei percaya Tjio Eng beramai
juga mengejar, akan tetapi mereka ini juga ketinggalan jauh.
Kuda putih kabur terus, kuda merah tetap menyusul, maka itu, dari Yangkiok, tak
lama kemudian, keduanya mengambil jalan besar ke kota raja.....
Jarak antara kedua kuda ada kira-kira setengah lie, sampai di situ, kuda putih
dikendorkan larinya. In Loei mendongkol berbareng heran, ia penasaran, dari itu, ia keprak kudanya
untuk mengejar terus. Malam itu diterangi hanya oleh sisa rembulan.
Tanpa diketahui lima puluh lie lebih telah dilalui, dan tanpa merasa sang fajar
telah mendatangi. Entah di mana mereka berada, cuma tahu-tahu di depan mereka
ada sebuah rimba. "Maaf, tak dapat aku menemani lebih lama!" terdengar suara si orang bertopeng,
habis berkata dia larikan kudanya masuk antara pohon-pohonan yang lebat.
"Walaupun kau lari keujung langit, akan aku menyusulnya!" teriak In Loei dalam
murkanya. Benar saja, ia kaburkan terus kudanya untuk memasuki rimba. Akan
tetapi baharu ia sampai di tepian atau ia dengar kuda putih berbunyi nyaring,
disusul dengan seruan orang. Ia terkejut dan heran, dengan tiba-tiba ia tahan
kudanya. Berbareng dengan itu, tampaklah kuda putih lari keluar tanpa
penunggangnya dibebokongnya.
In Loei terkejut. Si orang bertopeng mestinya liehay, apa mungkin orang telah
mencelakai dia - dengan membokong - hingga tinggal kudanya saja yang lari
keluar" Setelah seruan itu, di dalam rimba itu menyusul terdengar teriakan-teriakan.
Cuma sedetik In Loei bersangsi, atau ia sudah lompat turun dari kudanya,
untuk lari masuk ke dalam rimba itu, untuk lompat naik ke atas sebuah pohon.
Segera juga tertampak beberapa orang memburu keluar rimba.
"Sayang, sayang!" kata mereka. "Kuda putih itu
lolos!..... Eh, eh, ada kuda merah!..... Ah, ah,
sayang, dia juga kabur!....."
In Loei tidak kuatirkan kudanya itu, yang jinak dan mengerti. Ia tahu, kudanya
telah lari menyingkir. Ia percaya, bila sebentar ia panggil, kuda itu akan
kembali. Karena ini, dengan gunakan ilmu enteng tubuhnya, ia melapai dan
berlompatan dipohon-pohon itu, dari yang satu kepada yang lain, hingga di lain
saat ia telah sampai di dalam rimba.
Di sana terdengar suara berisik sekali.
Dengan hati-hati In Loei maju terus, lalu ia umpetkan diri, untuk mengintai. Ia
lantas saksikan satu pemandangan yang membuatnya heran, yang kesudahannya
memberikan penerangan padanya.
Di atas sebuah batu besar tampak si mahasiswa berdiri, dia telah melucuti
topengnya. Di sekitarnya, di bawah batu, mengurung delapan orang, tubuh siapa
tinggi dan rendah tak rata. Dua orang segera In Loei kenali, ialah See To dan
puteranya. Yang menjolok mata adalah dua orang lain, ialah satu tauwto yang
rambutnya terurai, dan satu imam berjuba hijau. (Tauwto adalah pendeta yang
piara rambut). Terdengarlah suara Tjeetjoe See To, suara yang dingin: "Meskipun kau sangat
licin, binatang, tidak nanti kau lolos dari tanganku! Apakah kau masih mengharap jiwamu?"
Si mahasiswa menggeleng-gelengkan kepala.
"Sekalipun semut masih menyayangi jiwanya, apapula manusia?" katanya dengan
sabar. "Jikalau begitu," kata See Tjeetjoe, "lekas kau panggil kembali kuda Tjiauwya
saytjoe ma-mu! Tentang barang-barang permata, biarlah, tak aku inginkan itu,
tidak demikian dengan kudamu!"
Mahasiswa itu tetap menggelengkan kepalanya.
"Kuda itu ada kuda jempolan, dia tidak mudah berpindah tangan?" dia kata.
See To tertawa dingin. "Pembelamu telah menjadi tamu agung di Heksek tjhoeng, di sini siapa yang akan
menolong kamu?" katanya mengejek.
Anak muda itu tiba-tiba menunjuk.
"Kau mana tahu, orang sasterawan!" katanya: "Pembelaku itu telah datang!" Lalu
dengan tiba-tiba, ia perdengarkan seruan nyaring: "Pembelaku, kenapa kau tidak
lekas, turun untuk menolongi tuanmu!"
-ooo0dw0ooo- BAB V In Loei mendongkol bukan main. Tidak ia sangka, tibanya di situ telah diketahui
si mahasiswa. Mau atau tidak, terpaksa ia lompat turun dari tempatnya sembunyi
di atas pohon itu. Si tauwto kaget, tapi dia tabah, dengan lantas dia menyerang memakai senjata
rahasia, ialah tiga batang piauw, yang menyambar dengan beruntun.
In Loei terkejut. Ia tengah lompat turun, waktu itu ia belum hunus pedangnya, ia
jadi serba salah. Tidak bisa ia menangkis, tak mampu ia berkelit.
Justeru itu dengan perdengarkan suara nyaring, ketiga piauw dari si tauwto jatuh
ke tanah saling susul, hingga si tauwto jadi kaget. Dengan cepat dia merogo pula
sakunya. "Tunggu dulu!" berseru See To. "Biar dia punya sayap, bocah ini tidak nanti
mampu terbang?" Terus dia memberi tanda dengan gerakan tangannya, maka In Loei
lantas dikurung delapan orang itu.
Merah matanya See To Boe Kie menyaksikan si anak muda yang ia pandang bagaikan
jarum di biji matanya. Ia jelus dan mendongkol. Dengan tertawa aneh, dia
membentak: "Binatang, bukannya kau berdiam di Heksek tjhoeng sebagai tamu, apa
perlunya kau datang kemari" Kau tahu, meski tangan Hongthianloei panjang, tangan
itu tidak nanti dapat diulur sampai di sini untuk melindungi kamu!"
Lantas dia angkat goloknya, hendak dia maju.
See To tarik puteranya itu.
"Apakah Tjio Eng yang menitahkan kau datang kemari?" tjeetjoe itu tanya. Dia
jeri terhadap tuan dari Heksek tjhoeng, tanpa penjelasan, tak berani dia berlaku
lancang. Mendahului In Loei, si mahasiswa, yang bercokol di atas batu besar, perdengarkan
tertawanya yang nyaring. Dia menggantikan menjawab: "Apakah kamu tidak dengar
perkataanku barusan" Akulah yang panggil dia dating kemari! Dialah piauwsoe,
pembelaku! Kamu hendak merampas uangku, kamu juga hendak ambil jiwaku, cara
bagaimana dia bisa tidak datang" Eh, pembelaku!" dia teruskan berkata kepada In
Loei, "kau makan dariku, kau minum dari aku juga, sekarang aku mendapat susah
kenapa kau masih tidak hendak turun tangan?"
"Apakah benar-benar kamu tidak mempunyai hubungan dengan Hongthianloei?" tanya
See To dengan bentakannya.
In Loei mendongkol bukan main terhadap mahasiswa itu, akan tetapi, dalam keadaan
seperti itu, tidak dapat ia tidak turun tangan untuk orang yang ia pernah
lindungi itu, maka ia hunus pedangnya sambil terus membentak: "Perlu apa kau
sebut-sebut Hongthianloei" Aku cuma andalkan pedangku ini untuk pergi ke mana
aku suka, pergi sendirian saja, tanpa main gila, liciklicikan, cuma bisa
menyuruh lain orang turun tangan!"
Dengan kata-kata ini, dengan menyindir In Loei tegur si mahasiswa. Si mahasiswa
tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" serunya. "Inilah piauwsoe yang tak kecewa untuk diundangnya! Dia
benar-benar satu piauwsoe laki-laki!"
"Binatang!" See To menjerit. "Karena kau tidak punya hubungan dengan
Hongthianloei, tibalah saatnya kau mampus!" Lalu dengan menggerakkan sepasang
tangannya, dia lompat maju.
Si tauwto dan si imam, juga turut maju, untuk mengepung.
Dengan berani In Loei layani tiga lawan, ketika ia lompat, ia barengi menikam
pundaknya See To, tapi si tauwto menalangi kawannya menangkis, dengan goloknya,
golok kaytoo, dia bentur pedang orang hingga si nona terperanjat. Keras sekali
benturan itu, sampai ia rasakan tangannya gemetar. Justeru itu, si imam menusuk
dengan pedangnya, hingga ia mesti berkelit, sebab buat menangkis, ia tak punya
kesempatan. "Bret!" demikian terdengar suara yang menyusuli tusukan si imam, ujung pedang
siapa mengenai bajunya si pemuda tetiron.
Sementara itu si tauwto serukan kawan-kawannya: "Awas pedangnya, itulah pedang
mustika!" Sebab ia dapat kenyataan, goloknya kena terpapas sedikit.
Si imam tidak takut, dia malah tertawa besar.
"Bagus!" dia berseru. "Pedang mustika, kuda pilihan, itulah kepunyaan kita!"
Terus saja dia menyerang pula.
In Loei menangkis. Licin imam ini, ketika ia ditangkis, mendadak saja
ia tarik kembali pedangnya, untuk dibalikkan, dipakai menikam terus. Dia pun
berseru: "Kena!"
In Loei tidak jadi kaget. Melihat orang demikian gesit, ia pun berlaku tak
kurang sehatnya. Ia teruskan menikam perut orang sambil berseru pula: "Kena!"
Itulah serangan "Tengto imyang", atau "Memutar balikkan im dan yang". Itulah
satu nama lain dari ilmu pedang Hian Kee Itsoe yang nama lengkapnya "Pekpian
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 13 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Pendekar Mata Keranjang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama