Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 2

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 2


datang berganti. Empat puluh laksa tail telah lenyap! Itulah tanggung jawab yang
berat. Hukuman yang berat sekali akan menimpah padanya. Ia usap-usap kepalanya,
ia menjadi bingung. Mau menangis ia, tapi air matanya tidak ada.
"Sebenarnya lebih baik berandal panah saja aku hingga mati..." pikirnya
kemudian, karena pepatnya. Ia duduk menjublak, akan awasi sang rembulan naik
makin tinggi, makin tinggi.
"Tak dapat aku lolos dari kematian," katanya pula di dalam hati sesudah ia piker
dalam-dalam. Maka ia ambil suatu putusan, sesudah mana, ia menghela napas. Ia
lantas cari selembar tambang, ia membuat buntalan, sesudah ikat itu kepada
cabang pohon, ia kalak lehernya sendiri, lalu ia lepaskan cekalannya kepada
tambang itu..... Menggantung diri adalah suatu siksaan hebat, inilah Poei Keng rasakan ketika
tenggorokannya terjirat dan napasnya mulai susah jalannya. Untuk sedetik masih
ia ingat, kenapa ia tidak terjun keair saja, akan lelapkan diri.....
Dalam keadaan itu, habis sudah dayanya Poei Keng, malah untuk menjerit saja, ia
sudah tidak punya kemampuan. Di lain detik, ia rasakan kedua matanya gelap,
segera ia tak ingat suatu apa lagi. Tapi tidak lama, ia rasakan tubuhnya enteng,
samar-samar ia rasakan ada orang memeluk tubuhnya, yang diangkat turun, lalu di
lain saat, napasnya berjalan pula.
Akhirnya dapatlah Poei Keng membuka matanya, hingga ia tampak satu pemuda, yang
pakaiannya terdiri atas kain kasar, sedang berdiri di sampingnya, mengawasi dia
sambil tersenyum. Ia menjadi heran. Ia menghela napas, ia merasa lega.
"Kenapa kau tolongi aku"1 ia tanya ketika ia sadar dari pingsannya.
"Adakah aturan untuk menyaksikan kematian orang, tapinya tidak menolongi?" tanya
si anak muda sambil tertawa.
Masih Poei Keng mengawasi. Setelah sadar, ia ingat kepada urusannya, kepada
tanggung jawabnya. Ia menjadi bingung pula. Ia tahu, ia mesti menghadapi hukuman
berat, mungkin hukuman mati. Bukankah ia telah dibegal habis-habisan"
"Percuma kau tolongi aku!" katanya kemudian. Dan ia lompat bangun. Ia berniat
melanjutkan membunuh diri.
"Sabar," kata si anak muda. "Kenapa kau bunuh diri" Katakanlah padaku."
Anak muda ini cekal lengan orang, sampai Poei Keng, yang hendak berontak, tidak
sanggup mewujudkan niatnya itu. Ia jadi semakin bingung, ia menjadi gelisah.
"Lepaskan aku!" ia berteriak. Ia pun berjingkrak. "Jangan kau ganggu aku!
Percuma diceritakan juga..."
Anak muda itu tertawa, ia lepaskan cekalannya.
"Melihat romanmu, kau adalah satu punggawa negeri," katanya. "Ah, tahulah aku!
Kau tentu sedang mengangkut rangsum tentara, lalu kau kena dibegal! Lantas kau
cari matimu sendiri! Benarkah?"
Poei Keng heran, ia melengak.
"Kenapa kau ketahui itu?" tanyanya sambil berjingkrak.
"Kamu tentara negeri, setiap tahun sedikitnya dua kali kamu angkut rangsum,"
sahut si anak muda. "Dan setiap kali kamu lewat angkut rangsum, tentu kamu
membuatnya ayam terbang anjing kabur, maka siapakah yang tidak tahu?"
Poei Keng meringis. Karena kau sudah tahu, sudahlah, jangan kau halangi aku," kata dia.
Si anak muda tidak menggubrisnya, hanya, seorang diri, dia berkata: "Meskipun
kamu membuatnya ayam terbang anjing kabur, hingga rakyat menjadi tidak aman,
sedikitnya kamu telah mengangkut rangsum tentara pelindung perbatasan, tanpa
tentara tapal batas, mungkin bangsa Tartar sudah datang menyerang, maka itu,
pikirku, masih lebih baik untuk kau jangan cari mampusmu sendiri....."
Heran Poei Keng, dari mengawasi, ia sambar lengan orang. Akan tetapi ia
menyambar sasaran kosong.
"Kau bikin apa?" tanya si anak muda.
"Kau siapa?" bentak punggawa itu. "Darimana kau ketahui barangku dirampas
begal?" Anak muda itu tersenyum. "Aku adalah penduduk tani di tanah pegunungan ini," dia, menyahut. "Tadi malam
aku saksikan lewatnya serombongan berandal. Mereka itu menggiring banyak kereta
serta sejumlah serdadu tawanan, mereka lewat di depan rumahku, mereka menuju ke
arah gunung. Aku bukannya si tolol, menampak keadaan, mustahil aku tidak dapat
menerka?" Poei Keng anggap benar juga.
"Apakah kau tahu di mana sarangnya kawanan berandal itu?" dia tanya.
"Aku bukannya koncoh berandal, mana aku tahu?"
Poei Keng melengak. "Ya, taruh kata aku tahu sarang berandal itu, apa yang aku dapat berbuat?"
pikirnya kemudian. Karena ini, timbul pula kenekatannya.
"Biarkan aku cari kematianku!" ia berseru.
Si anak muda mengawasi. "Jikalau barangmu didapat kembali, kau tentu tidak akan mencari mati, bukankah
begitu?" tanya dia. "Mencari barangmu ada lebih berharga daripada cari mati,
maka baiklah kau cari barangmu itu! Bukankah itu uang?"
Dengan tiba-tiba saja, Poei Keng ingat suatu apa. Ia sadar.
"Aku kuat pentang busur seberat lima ratus kati, itu artinya tenagaku ada di
atas tenaga sembarang orang," demikian ia berpikir, "akan tetapi barusan dia
cekal aku, aku tidak mampu
berontak, sebaliknya dia, tak dapat aku sambar tangannya. Mestinya dia bukan
sembarang orang..... Kalau tadi dia sangat jumawa, sekarang dia insaf. Tanpa merasa, dia beri hormat
sambil menjura pada anak muda itu.
"Aku Poei Keng, insaf bahwa kepandaianku tidak berarti," dia akui. "Memang aku
tidak sanggup melawan kawanan berandal itu. Hiapsoe, sukakah kau menolong
jiwaku"....." Tanpa ragu-ragu lagi, ia memanggil "hiapsoe" - "orang gagah" - terhadap pemuda
itu. Si anak muda tertawa terbahak-bahak.
"Siapa kata aku satu hiapsoe?" katanya. "Aku adalah orang gunung biasa saja.
Jikalau kata-katamu ini terdengar oleh orang sesama kampungku, mereka bisa
tertawa terpingkal-pingkal hingga sakit perutnya....."
Poei Keng menjadi putus asa. Tapi, masih ia mengharap.
"Melihat kau, yang harus kasihani," kata si anak muda kemudian, sebelum orang
sempat bicara, "aku suka memberi petunjuk pada jalan yang terang padamu....."
Mendengar ini, terbangun harapan si punggawa.
"Silakan, tunjukkan jalan, hengtay," katanya. Sekarang ia ubah bahasa
panggilannya. (Hengtay = kakak yang mulia.)
"Sabar," kata si anak muda "Aku sendiri tak dapat menolong kau, aku cuma ingin
memberi petunjuk. Tidak jauh dari sini ada seorang luar biasa, apabila kau mohon
pertolongannya dan dia suka membantu, tentu sekali kau akan mendapatkan barangmu
kembali." "Siapa she dan namanya orang luar biasa itu, hengtay?" tanya Poei Keng. "Di
manakah tinggalnya" Maukah hengtay memberitahukan kepadaku?"
"Tentu sekali," sahut si anak muda. "Hanya ingin aku beritahu juga, karena dia
ada seorang luar biasa, luar biasa juga
perangainya. Kau tahu, bila dia mengetahui bahwa kau menanyakan she dan namanya,
pasti kau bakal kehilangan jiwamu....."
Kaget Poei Keng hingga ia melongo.
"Sulit kalau begitu," katanya. "Baiklah, nanti aku tidak cari tahu tentang dia.
Aku minta hengtay saja yang perkenalkan aku dengannya."
"Apakah kau sangka urusan sedemikian gampang?" si pemuda tegaskan.
Kembali Poei Keng melengak.
"Habis bagaimana?" dia tanya.
Anak muda itu tersenyum. Dia pungut tambang di tanah, yang tadi Poei Keng pakai
untuk gantung diri. Poei Keng tidak mengerti, dia mengawasi. "Kau mesti sekali lagi mencari mati!"
kata si anak muda. "Apa?" Poei Keng terkejut.
"Begini," kata si anak muda. "Besok pagi-pagi, kau berangkat dari sini, pergi
kau ke lembah sebelah barat sana sampai jauhnya tujuh atau delapan lie, sampai
kau lihat sebuah rimba pohon toh yang bercampur pohon bunga lainnya. Itulah
Ouwtiap Kok, lembah Kupu-kupu. Kira-kira seratus tindak di muka hutan pohon toh
itu ada sebuah batu besar, yang warnanya merah hingga mudah dikenal. Kau mesti
sembunyi di batu itu sebelumnya matahari terbit. Orang luar biasa itu tinggal di
sebuah rumah kecil di belakang hutan toh itu, tidak dapat kau lantas menemui dia
untuk mohon pertolongan. Biar kau lihat orang, tidak boleh kau keluar dari
tempatmu sembunyi, kecuali bila sinar matahari sudah keluar dicelah-celah tempat
kau sembunyi itu sambil kau memasang mata. Kau mesti cari sebuah pohon toh, di
situ kau mesti berpurapura menggantung diri. Namanya berpura-pura, sebenarnya
kau mesti gantung dirimu seperti barusan kau telah melakukannya. Nanti orang
luar biasa itu akan menolongi kau. Ingat, jangan kau kalak diri tanggungtanggung, mesti secara sungguh-sungguh. Aku pesan, kalau orang
itu bertanya, jangan sekali-sekali kau menyebut-nyebut aku yang memberi petunjuk
kepadamu!" Poei Keng bersangsi. Si anak muda mengawasi, dia tertawa.
"Bisa atau tidaknya kau menolong jiwamu, itu bergantung pada untungmu kali ini",
katanya. "Sekarang kau tidurlah, aku hendak pergi."
"Eh, hengtay, tunggu sebentar," kata Poei Keng setelah bersangsi sesaat. Dia
sambar tangan orang, untuk ditarik, akan tetapi dia telah kehilangan pemuda itu,
yang menyingkir dengan sangat cepat.
Segera punggawa ini berpikir.
"Kata-katanya si anak muda ini aneh," demikian pikirnya. "Daripada mesti mati
terhukum, lebih baik aku turut nasehatnya itu, aku coba....."
Dengan lantas ia ambil putusan. Untuk mentaati nasehat itu, supaya bisa menjaga
waktu, ia tidak berani tidur. Ia lewatkan malam dengan gadangi sang rembulan.
Begitu Puteri Malam mulai condong, ia lantas berangkat ke arah barat. Beberapa
lie ia telah jalan, rembulan mulai sirna, tinggal bintang-bintang yang berkelapkelip, tetapi di samping itu, samar-samar sang fajar mulai muncul. Lagi dua lie,
cuaca sudah mulai agak terang.
Sekarang Poei Keng dapat mencium harumnya bunga, hingga pikirannya jadi terbuka.
Benar-benar ia lihat banyak pohon toh di sebelah depan, di antaranya ada banyak
macam pohon bunga, merah dan putih campur aduk. Dan benar, di depan rimba toh
itu, ada sebuah batu besar, yang berwarna merah darah, tingginya kira kira tiga
orang berdiri. Batu besar itu bercelah, yang muat satu tubuh manusia. Tanpa
sangsi lagi, Poei Keng hampiri batu itu, terus ia sembunyikan diri, tetapi
matanya dibuka lebar, dipakai mengintip. Hatinya bekerja, berdebar-debar. Sambil
menanti ia pikirkan kata-kata si anak muda, benar atau tidak, terbukti atau
tidak....." Sekian lama waktu telah lewat, tidak ada gerakan apa-apa di situ. Poei Keng
sabarkan diri, ia menanti terus. Cuaca telah menjadi semakin terang. Masih ia
menanti, sampai ia tampak sinar matahari mulai muncul, dari remangremang merah
menjadi merah, memberi pemandangan dari keindahan alam. Tanpa merasa, banyak
kupu-kupu muncul dan terbang berseliweran, seperti memain di antara bunga bunga.
Biar ia seorang militer, yang umumnya dianggap kasar, Poei Keng tertarik pada
keindahan itu, hingga ia mengawasi dengan tersengsam.
Sebentar lagi, cahaya matahari mulai menembus hutan toh itu.
Matanya Poei Keng seperti terang, ketika mendadak, ia tampak satu orang di
antara bunga-bunga itu, ialah satu nona muda dengan baju dan koen-nya berwarna
putih, hingga si nona mirip satu dewi. Tak tahu ia, dari mana munculnya anak
dara itu. Selagi mengawasi, Poei Keng heran atas kelakuan si nona. Nona itu menggerak
gerakkan tangannya, lalu pinggangnya habis itu ia lari mengitari pohon-pohonan,
terus dia berlari-lari, makin lama makin keras, hingga akhirnya, punggawa itu
seperti kabur penglihatannya. Karena ia mengawasi terus, ia seperti merasa
tubuhnya turut lari berputar-putar. Benar di saat ia mulai pusing, nona itu
berhenti berlari, tetapi dia bukan berhenti untuk beristirahat, perlahan-lahan
dia hampirkan sebuah pohon, dan dengan sekonyong-konyong lompat mencelat naik ke
atas, guna berlompatan pula, dari pohon yang satu kepohon yang lain, gerakannya
cepat bagaikan burung terbang, gesit seperti kera.
Karena kagumnya, Poei Keng mengawasi dengan mulut ternganga.
"Benarkah dia ini si orang luar biasa seperti dikatakan si pemuda?" akhirnya dia
menduga-duga. Selagi mengawasi terus, Poei Keng lihat si nona lompat turun, selagi turun,
tangan bajunya melayang, tertiup angin, hingga nona itu bagaikan dewi tengah
menari. Berbareng dengan turunnya si nona, bagaikan tertiup angin musim semi, bunga
bunga toh itu pada rontok, melihat mana, si nona tertawa panjang, dengan tangan
bajunya ia mengebut ke arah rontokan bunga, hingga banyak bunga yang teraup
masuk ke dalam tangan bajunya itu!
Poei Keng menjadi menjublak.
"Apakah benar di kolong langit ini ada nona begini elok?" dia tanya dirinya
sendiri. Rombongan kupu-kupu, yang tadi terbang pergi karena aksinya si nona, sekarang
datang pula, akan bermain di antara pohon-pohon bunga itu, menampak demikian, si
nona mengebut dengan tangan bajunya dan rontokan bunga tadi terbang berhamburan,
mengenai banyak kupu-kupu, yang menerbitkan suara dan rubuh.
Poei Keng heran dan kagum. Ia tidak sangka, rontokan bunga bisa dipakai sebagai
senjata rahasia. Ia pun berkasihan terhadap kupu-kupu itu, yang ia sangka rubuh
binasa, tidak tahunya, selang beberapa saat, semua kupu-kupu itu menggerakkan
tubuhnya dan terbang pula!
"Oh, kupu-kupu!" kata si nona. "Kasihan, aku menyebabkan kamu kaget, aku telah
mengganggu padamu....." Dan dia tertawa merdu. Habis itu, dia bertindak pergi,
akan masuk ke dalam rumah kecil.
Berbareng dengan itu, Poei Keng terperanjat. Kalau tadinya ia berhati lega,
sekarang hatinya menjadi tegang. Sebab berbareng dengan itu, sinar matahari pun
menyerang kecelah-celah batu tempat ia mengintai!
"Tepat benar dugaan si anak muda," pikir ia. "Baharu si nona masuk atau matahari
menyerbu kecelah-celah ini....."
Sekalipun ia masih ragu-ragu, Poei Keng toh keluar dari tempat sembunyinya. Ia
tahu benar, inilah saatnya ia mati atau hidup. Ia berlaku hebat, ia hampirkan
sebuah pohon, untuk naik ke atasnya,
guna mengikat tambang, buat mengalak lehernya, setelah mana ia gantung diri!
Lagi sekali punggawa yang bercelaka ini rasakan lehernya sakit dan terkancing,
ia mulai susah bernapas. Selagi berbuat begitu, ia mengawasi ke arah rumah, ia
harap si nona muncul, untuk menolongi padanya. Celakanya, untuk menjerit, ia
sudah tak punyakan kemampuan.
"Mati aku sekarang!....." keluhnya, matanya berkunang-kunang. Maka ia menyesal
bukan main, ia antarkan jiwa percuma. Dalam keadaan seperti itu masih sempat ia
menduga apa bukannya si anak muda telah permainkan padanya...
Lalu kedua kakinya seperti berjingkrakan, sampai bunga-bunga pada rontok.
Karena ia bergerak,lehernya terjerat semangkin keras, hingga matanya gelap,
pikirannya lenyap. Di saat itu, ia masih merasa seperti ada angin meniup
tubuhnya, lalu ia rasakan lehernya lega, sampai ia sanggup bernapas pula.
Kemudian, ia buka mulutnya tetapi belum dapat ia berbicara.
Berbareng dengan pulihnya napasnya, Poei Keng buka kedua matanya, maka di
depannya ia tampak si nona cantik tadi, yang sedang mengawasi padanya.
"Terima kasih," ia mengucap dengan perlahan, karena ia tahu, pasti si nona yang
telah menolongi padanya. Dengan sinar mata yang tajam, nona itu masih mengawasi.
"Eh, punggawa perang, mengapa kau nekat?" tanyanya sambil menatap terus.
Poei Keng memberi hormat sambil paykoei.
"Aku sedang dalam kesulitan besar," sahutnya. Dan ia tuturkan pembegalan harta
antaran yang besar sekali itu. "Menurut undang-undang tentara, aku dapat dihukum
picis....." Nona itu kerutkan alisnya. Tiba-tiba ia kibaskan tangannya.
"Itulah urusan yang tak dapat aku mengurusnya!" katanya.
Poei Keng kaget, hatinya tegang. Ia sambar ko-en si nona.
"Tolong aku, nona," katanya, terus ia menangis, "aku masih mempunyai ibu yang
sudah tua serta anak yang masih kecil, jikalau kau tidak menolongi aku, tiga
jiwa yang penasaran akan melayang bersama..."
Nona itu berpaling. "Benarkah itu?" dia tanya.
"Jikalau aku mendusta, biarlah aku digantung pula," sahut Poei Keng.
Air mukanya si nona berubah menjadi keren.
"Kebetulan aku niat cari mereka, baiklah, aku nanti coba mencampuri urusanmu
ini!" katanya kemudian.
Poei Keng girang tak kepalang.
"Terima kasih, nona, terima kasih!" katanya sambil manggut-manggut.
"Eh, kau bikin apa?" nona itu menegur. "Aku bukannya orang mati, mau apa kau


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manggut-manggut tak hentinya" Ah, apakah kau ingin merasai pula enaknya orang
gantung diri" Ya, siapakah yang menganjurkan kau dating minta bantuanku?"
"Tidak, tidak ada yang menganjurkan," Poei Keng menyangkal. Ia ingat baik pesan
orang. "Berapa kali sudah kau mencoba menggantung diri?" si nona tanya.
"Baharu ini kali," punggawa itu menyangkal pula.
Si nona berdiam, tiba-tiba ia tertawa.
"Memang sebenarnya, aku peduli apa kau sudah gantung dirimu berapa kali!"
katanya pula. Mendengar ini, bercekat hatinya Poei Keng. Baiknya si nona segera tambahkan
kata-katanya itu: "Telah aku katakan, aku hendak menolongi kau," katanya, "tidak
perduli ada orang telah tunjukkan kau jalan, aku toh akan menolong kamu.
Menggantung diri itu tidak enak, lain kali jangan kau mencoba pula..."
Lantas dia tertawa dengan manis, sampai dua kondenya memain.
Menurut Poei Keng, nona ini baharu berumur enam atau tujuh belas tahun, yang
tampak dari wajahnya yang masih kekanak-kanakan, tanpa merasa, ia jadi
berkuatir. Ia sangsi: "Dapatkah nona muda belia ini, seorang diri melawan
kawanan berandal yang besar jumlahnya?"
Tapi si nona tak beri kesempatan akan dia berpikir banyak.
"Nah, mari kau turut aku!" dia mengajak.
Poet Keng berbangkit, dia ikut memasuki rumah kecil.
"Kau tentu telah lapar, mari dahar dulu daging harimau," kata nona itu.
Belum Poei Keng menyahuti, atau ia sudah terperanjat. Dipojok ia tampak seekor
harimau besar sedang rebah.
Si nona lihat orang kaget.
"Itulah bangkai harimau!" katanya sambil tertawa. "Mengapa kau takut! Apa kau
dapat keset kulit harimau?"
"Pernah aku lihat pemburu melakukannya," ja* wab Poei Keng.
"Kalau begitu, coba kau tolong kesetkan," kata si nona. "Tapi aku lihat
tendangan kau kepada pohon toh, kau tentu kuat angkat harimau ini yang beratnya
tiga ratus kati." Poei Keng heran. Tidak aneh si nona bisa rubuhkan harimau, tapi ia tidakmengerti
si nona dapat menerka kekuatan tendangannya tadi cuma dengan melihat saja.
"Benar, dia satu ahli silat," pikirnya.
Tidak lama, sehabis dahar daging harimau, Poei Keng lihat sang waktu sudah
tengah hari. Dari tembok, si nona turunkan sebatang pedang. "Mari turut aku, kita pergi cari
si orang jahat," dia kata. "Kita minta kembali uangmu itu."
Poei Keng menurut. Mereka mendaki gunung sampai di tempat yang rimbanya lebat dan di kedua pihak
terdapat puncak-puncak yang tinggi. Di situ ada sebuah gua, yang menghadapi
tanah datar lebar. "Mungkin ini ada tempat di mana penjahat menyimpan harta itu," kata si nona.
"Mari!" Dan ia maju terus. Poei Keng pun ikut nona itu.
Belum jauh mereka maju, atau tiba-tiba:
"Tahan!" Dan menyusul itu, dari antara semak-semak, lompat keluar dua orang dengan
masing-masing memegang sebatang toya ditangannya, malah dengan senjata panjang
itu, mereka sudah lantas mengemplang! Hebat serangan itu.
Nona itu lompat ke samping, kedua pentungan itu menyerang tempat yang kosong.
Sambil lompat, nona itu gerakkan tangannya, atas mana, dua orang itu nyelonong
ngusruk, pertama karena serangan mereka hebat, kedua toya mereka kena ditarik.
Keduanya rubuh terbanting dan terus terjengkang, ke empat, kaki mereka menjulang
ke atas! " "Hm!" si nona mengejek, ia tertawa dingin. Lalu, tanpa menoleh lagi, ia maju
terus, dengan berlari-lari.
Di depan gua, terdapat banyak batu-batu besar yang malang melintang, dengan
tongkrongannya agak mirip dengan singa atau
harimau atau kuda atau kerbau, yang mengitari sebuah tanah lapang dan rata.
Tanpa ragu-ragu, nona itu lari masuk ke dalam tanah lapang itu, yang mirip
dengan barisan batu rahasia.
"Tahan!" mendadak terdengar pula bentakan nyaring.
Itulah bentakannya dua orang, sebab dari belakang batu-batu besar, muncul dua
orang dengan serangan golok dan tombak mereka kepada dada dan lutut.
Dengan berlompatan, si nona mengelak, kedua tangannya pun dikibaskan.
"Tak dapat kamu mencegat aku!" katanya dengan tawar. Ia tertawa.
Dua penyerang itu tidak rubuh ngusruk seperti dua kawannya tadi, tapi mereka
tercengang, hingga mereka diam menatap.
"Mari!" si nona menggape kepada Poei Keng. "Kau adalah pemilik harta, tanpa kau
datang, kepada siapa harus aku kembalikan uang itu?"
Poei Keng belum masuk ke dalam lapangan itu, mendengar suara si nona, ia
besarkan hati, ia bertindak maju.
Justeru itu waktu, si nona sudah tempur dua penyerang yang pertama, yang dibantu
dua kawannya, yang muncul belakangan, yang bersenjatakan golok dan tombak. Si
nona tidak hunus pedangnya, ia hanya berkelahi dengan tangan kosong, karenanya,
ia banyak berkelit atau lompat menyingkir, tubuhnya lincah sekali hingga ia
mirip kupu-kupu di antara bunga-bunga atau capung bermain di air.
Poei Keng mengerti silat tetapi mengawasi gerakan si nona, ia tidak berani
mengawasi terus-menerus. Dengan cepat matanya berkunang-kunang dan kabur..... Ia
mesti mengaso sebentar, baharu ia berani mengawasi pula.
Setelah bertempur sekian lama, si nona berseru, tangannya menyambar lawannya
yang kiri, yang bersenjatakan tombak. Lawan itu berada di sebelah depan
kawannya. Melihat itu, tiga kawannya yang lain segera datang. Yang maju terdepan adalah
kawannya yang kanan, yang menyekal golok, disusul yang kiri, yang menggenggam
tombak, lalu yang memegang toya.
Orang yang diserang itu kaget, untuk membela dirinya, dia jatuhkan dirinya
bergulingan. Si nona tidak dapat menyusul, sebab tiga senjata datang saling
susul, maka ia menyambut dengan mendahului kakinya. Penyerang itu terpaksa
lompat mundur. Kembali si nona kena dikurung, tapi ia tidak berada dalam bahaya. Ia malah
waspada, hingga ia lihat satu orang berdiri di antara batu sedang menarik busur
mengarah padanya. Poei Keng pun lihat orang itu, ialah Beng Kie yang kemarin ini mematahkan
busurnya, karena kagetnya, ia berteriak: "Awas panah gelap!" Tapi belum sampai
ia menutup mulutnya, atau busurnya si mahasiswa kurus sudah menjepret dan anak
panahnya melesat! Seperti juga ia tidak melihat bokongan, si nona tetap melayani musuhmusuhnya,
akan tetapi ketika panah itu sampai, dengan tenang ia menyambuti dengan
tangannya. Panah Beng Kie yang kedua sudah segera menyambar pula!
Gentar hatinya Poei Keng, ia sangat berkuatir pada si nona dalam kurungan musuh,
ia insyaf si kurus, sebagai ahli panah, pandai melepaskan panah beruntun. Itulah
berbahaya. Tapi si nona walaupun sedang repot, ia masih dapat tanggapi panah yang kedua
ini, tapi ia bukan tanggapi dengan tangan, hanya dengan panah ditangannya, yang
ia pakai menimpuk, hingga dua anak panah bentrok satu pada lain, lalu mental dan
jatuh ke tanah! "Bagus!" teriak Poei Keng, yang lupa pada kagetnya.
Panah yang ketiga yang sudah melesat pula, sasarannya adalah tenggorokan si
nona, hingga punggawa itu menjadi terkejut pula.
Kali ini si nona tidak gunakan tangannya, ia hanya sambuti anak panah itu sambil
membuka mulutnya, guna menggigit panah itu. Sebab ia gunakan kepandaiannya yang
paling liehay dalam hal mentanggapi panah!
Baharu sekarang, setelah dibokong beruntun, si nona perlihatkan roman murka.
"Kehormatan tidak dibalas kehormatan adalah terlalu!" katanya nyaring, lalu
tangan kirinya dipakai menyambit dengan enam batang senjata rahasia yang
romannya mirip dengan bunga bwee.....
-ooo00dw00ooo- BAB II Poei Keng belum melihat nyata akan tetapi kupingnya telah mendengar jeritan
saling susul, sesudah mana ia dapat kenyataan, kecuali Beng Kie si kurus itu,
empat lawannya si nona telah rubuh semua. Beng Kie sendiri dapat mengelakkan
diri dua kali dari dua batang senjata rahasianya si nona itu.
"Sanhoa Liehiap, namamu masyhur tidak kecewa!" demikian dia berseru setelah dia
mendapat serangan pembalasan.
Menyusul pujiannya Beng Kie itu, empat lawan yang tadi menjerit dan rubuh, telah
lompat bangun pula dengan masing-masing tangannya menggenggam senjata rahasia
yang dipakai menyerang mereka, sambil bangkit berdiri hampir berbareng mereka
berkata: "Kami menghaturkan terima kasih untuk kebaikan liehiap1. Kami semua
takluk!" Nyata mereka telah terserang senjata rahasia yang digunakan dengan ilmu
"Thianlie sanhoa" atau "Puteri kayangan menyebar bunga", mereka terkena jalan
darah begitu rupa, hingga setelah rubuh dan "beristirahat" sebentar, lantas
mereka sadar pula akan dirinya, karena mana mereka jadi insyaf bahwa si nona telah berlaku murah hati
terhadap mereka. Maka mereka mengucap terima kasih.
Nona berbaju putih itu tersenyum.
"Kiranya kamu sedang mencoba-coba aku, untuk mengetahui aku siapa!" berkata dia.
"Sekarang tentunya kamu suka mengembalikan hartanya sahabat ini, bukan?" tanyanya sambil
menunjuk Poei Keng. Beng Kie menunjuk ke arah gua.
"Sayang kamu datang terlambat!" katanya. "Sekarang harta itu sudah dibawa
pindah!" Padam wajahnya si nona. Baharu ia hendak menanya atau si kurus telah dului dia.
"Kamu mesti melakukan perjalanan lebih jauh!" katanya. "Untuk itu kami telah
menyediakan kudanya. Poei Thaydjin, tadi malam kau telah merasakan kaget....."
Merah mukanya Poei Keng. "Kalau begitu, hendak aku mengunjungi tjeetjoe kamu," kata si nona, yang
menyebut-nyebut nama pemimpinnya (tjeetjoe). "Nah, mari, kita berangkat
sekarang!" Beng Kie perdengarkan suitan mulut yang nyaring, atas mana dari belakang batu
keluar seorang dengan menuntun empat ekor kuda.
Tanpa berkata suatu apa, si nona lompat naik ke atas seekor kuda, dan segera
pula ia ikuti pengantarnya, yang pun telah naik kudanya seperti ia, begitupun
Poei Keng. Mereka lakukan perjalanan di gunung yang sukar, kuda mereka dilarikan keras,
hingga si punggawa, sekalipun dia seorang peperangan, hatinya goncang juga.
Syukur baginya, ke empat ekor
kuda itu sudah biasa dengan jalanan itu, mereka lari tetap di tanah datar.
Mereka berlari-lari sampai matahari sudah berada
di atas kepala mereka, lalu Beng Kie, sambil mengayun cambuknya, menunjuk dan
berkata: "Di bawah ini ada kota Ganboenkwan. Teng Tjongpeng telah bersiap-siap
untuk besok membayar gaji, karena uangnya tidak ada, sekarang entah
bagaimana sibuknya dia....."
Poei Keng heran. "Apakah kita sudah melalui Ganboenkwan?" tanyanya "Apakah kamu bukannya orangorangnya Kimtoo Tjeetjoe dari rombongan Djitgoat Kie?"
"Kau cuma tahu uangmu apa, tak usah kau banyak tanya!" Beng Kie senggapi.
Poei Keng berdiam, hatinya memukul. Di dalam hatinya, dia berpikir: "Si bangsat
tua Kimtoo itu tidak biasanya merampas angkutan negara, kenapa kali ini dia
tentangi kebiasaan itu" Inilah hebat sebab sebegitu jauh aku tahu, Kimtoo ada
bangsat tak takut langit tak jeri bumi, sampaikan tentara Beng dan Pasukan
Tartar juga tidak berani mengganggu padanya. Jikalau dia kehendaki harta besar
itu, pastilah aku tidak akan mendapat kembali
angkutanku itu..... Jangan-jangan kepergian ini
lebih banyak bahayanya daripada kebaikannya..."
Kuda berlari-lari terus sampai mereka tiba di suatu tempat terbuka yang
merupakan tanah subur - di sana ada sawah-sawah di mana terdapat sejumlah orang
tani yang tengah bekerja. Dilihat sepintas lalu, tempat itu mirip dengan apa
yang disebut dongeng To Hoa Goan - Sumber Bunga Toh.
"Di sini tentu ada sarangnya kawanan Kimtoo
itu....." Poei Keng mendugaduga.
Masih kuda dilarikan terus, sekarang di jalan pegunungan, sebab dikedua tepi ada
lamping gunung di mana sering-sering terlihat bayangan orang berkelebat
begitupun berkibarnya bendera-bendera.
Tidak lama kemudian, sampailah mereka di muka pesanggrahan.
Benteng berandal itu, dengan didampingi gunung, nampaknya bagus dan kuat. Di
situ ada sarang berandal tapi suasananya tenang.
Dengan pikiran ragu-ragu Poei Keng, yang telah turun dari kudanya, ikut si nona
berjalan kaki. Si nona telah mendahului dia turun dari kuda, ia menelad
perbuatannya pengantar mereka.
Segera juga ada orang yang papak mereka, untuk memimpin, masuk ke dalam
pesanggrahan di mana lantas terdengar suara genta yang nyaring serta ramainya
bunyi tambur dan terompet tanda penyambutan. Pintu pesanggrahan sudah lantas
dipentang lebar-lebar, di situ lantas tampak dua baris serdadu berandal lengkap
dengan alat-senjata mereka - golok dan tombak yang berkilau-kilauan, sedang
seragam mereka mentereng.
Disambut secara demikian garang si nona berbaju putih perlihatkan wajah berseri
seri, seperti juga bukan menghadapi ancaman, ia bertindak dengan tenang. Poei
Keng sebaliknya beda dari si nona, walaupun ia seorang peperangan, cuma dengan
tabahkan hati seberapa bisa, bisalah ia ikuti teladan si nona, mengikuti nona
itu terus sampai di tiongtong, ruang tengah, dari sarang berandal itu.
Di dalam ruang telah diatur rapi meja serta kursi-kursinya yang terlapis kulit
harimau, tetapi di situ tidak ada orang yang menyambut atau menantikan. Artinya
ruang itu adalah ruang kosong.
Menampak demikian, si nona memperlihatkan roman tak puas.
"Mana tjeetjoe kamu" tanyanya, dengan suara tak senang.
Beng Kie tersenyum. Dia tidak menjawab, hanya dua orang, yang tubuhnya tegap,
lantas menyingkap tirai untuk bertindak keluar sambil membawa satu guci arak
yang besar serta nenampan terisi makanan.
Guci itu bersinar kuning keemas-emasan rupanya terbuat dari tembaga, dan
beratnya mungkin ada lima sampai tujuh puluh kati. Sedang barang hidangannya,
asapnya masih mengepul-ngepul, tapi pada tiap dagingnya ada ditancapkan pisau
belati yang tajam mengkilap.
Kedua orang itu segera membuka mulutnya, sambil menjura, yang satu berkata
dengan nyaring: "Tamu agung datang dari tempat yang jauh, menyesal kami tidak
dapat menyuguhkan apa-apa, maka itu silakanlah minum barang satu cawan
arak!....." Kata-kata itu belum diucapkan habis atau orang itu sudah melemparkan guci
araknya, dilemparkan kepada tetamunya yang agung itu...
Si nona tidak jadi gentar hatinya, wajahnya pun tak berubah.
"Jangan sungkan!" sahutnya sambil mengangkat tangannya, sedang tubuhnya digeser
ke samping. Dengan cara itu dia sambuti guci arak, gucinya tidak miring, isi
araknya, tidak tumpah. Sedang menurut perkiraan, timpukan orang itu ditaksir ada
dua tiga ratus kati beratnya.
Si nona tersenyum, dia tundukkan kepalanya, akan irup arak dari guci itu.
"Sungguh arak yang wangi, arak yang wangi!" dia memuji.
Kedua orang itu menjadi kaget, tapi yang di belakang yang membawa barang
hidangan, menjadi penasaran.
"Nah inilah temannya arak!" dia berseru, menyusul mana, sebatang pisau belati
melayang, menyambar si nona.
Si nona tersenyum. Dia tidak berkelit atau menangkis, hanya, membuka mulutnya,
dia tanggapi pisau belati itu, untuk digigit,
setelah mana, dia buka pula mulutnya, akan semburkan pisau itu, yang terus
melesat ke atas, nancap di penglari.
Kedua orang itu heran dan kaget, muka mereka menjadi pucat. Mereka saling
memandang dengan menjublak.
"Nah ini aku balas arak satu cawan pada kamu!" kata si nona, suaranya keras,
tangannya yang memegang guci segera digerakkan. Maka guci itu lantas melayang ke
arah kedua orang itu, hingga mereka terkejut dan ketakutan bukan main. Mereka
terpagut untuk berkelit atau menyingkir.....
Di saat yang sehebat itu, mendadak satu anak
muda lompat keluar, sebelah tangannya digerakkan, guna menyambut guci yang
dibantu dengan gerakan sebelah kakinya, lalu diturunkan dengan perlahan-lahan,
hingga guci tidak terbalik, araknya tidak tumpah.


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, dua kutu!" bentak anak muda itu. "Untuk melayani tetamu saja kamu tidak
becus, tapi masih kamu berani lama-lama berdiam di sini!" Habis berkata, terus
dia hadapi si nona, untuk memberi hormat, untuk terus berkata: "Maaf, maaf,
nona!" Ketika Poei Keng lihat si anak muda, dia terkejut, hatinya bercekat. Dia kenali
si anak muda yang telah menolongi jiwanya tadi malam, yang menasehati dan
menganjurkan dia mohon bantuannya si nona, si orang luar biasa, Cuma kalau tadi
malam orang dandan sebagai orang tani, sekarang ia dandan sebagai satu pemuda
hartawan atau terpelajar, sikapnya halus.
"Kau liehay, kongtjoe1." kata si nona, yang membalas hormat.
Kedua orang itu, dengan tangan mereka diturunkan, menyapa pemuda itu dengan
berkata: "Siauwtjeetjoe1." Itulah tandanya pemuda itu adalah tjeetjoe, atau
ketua mereka, yang muda. Setelah hunjuk hormatnya itu, sambil tertawa, si nona tambahkan: "Nah sekarang
baharulah aku ketemu orang yang tepat! Aku mohon sukalah siauwtjeetjoe
mengembalikan harta angkutan sahabat ini!"
"Uang sejumlah itu, tak usahlah dibuat pikiran," sahut si anak muda. "Nona,
silakan duduk!" Terus ia
memanggil: "Mana orang?" Segera ia melirik pada Poei Keng, yang ia silakan duduk
juga, hanya selagi melirik, matanya memain, mata itu mengandung arti. Ia seperti
hendak berkata: "Kau lihat, petunjukku toh tidak keliru!"
Poei Keng duduk menjublak, ia benar-benar tidak mengerti.
"Kalau si anak muda ada pemimpin berandal yang muda, kenapa dia begal angkutanku
dan berbareng juga menolong padaku" Kenapa anak muda itu membuatnya hingga si
nona baju putih datang ke sarang berandal ini" Adakah itu tipu daya belaka dari
si anak muda?" demikian ia berragu-ragu. Ia pun kuatir sekali, karena mereka
berada dalam sarang harimau, di dalam dan di luar ada banyak musuh.
Punggawa ini tidak usah menantikan lama atau datang orang-orang yang mengangkut
harta yang menjadi tanggung jawabnya itu, hingga harta itu bertumpuk dilorak.
"Sungguh kau baik, siauwtjeetjoe1." memuji si nona. "Terima kasih!"
Anak muda itu tertawa. "Eh, tunggu dulu!" katanya.
Si nona tercengang. Satu berandal sudah lantas tancapkan bendera pada tumpukan harta, itulah benda
dengan matahari merah serta bulan sabit. Itulah Djitgoat Kie, bendera Matahari
dan Rembulan, tanda dari kawanan di atas gunung itu.
Si anak muda tersenyum, lalu dari atas meja ia
angkat poci arak yang kecil, ia tuang isinya ke dalam dua cawan, sesudah mana,
cawan yang satu segera ia tenggak. Habis minum, ia tertawa.
"Jumlah uang empat puluh laksa tail ini benar tak usah dibuat pikiran, tetapi
benderanya Djitgoat Kie berharga mahal bagaikan harga sebuah kota!" katanya.
Kedua mata si nona menyapu kesekitarnya hingga ia tampak banyaknya kawanan
berandal di dalam ruang itu mereka itu tenang tetapi terang sekali mereka semua
memperhatikan padanya. Tentu saja ia merasa heran hingga rasa heran itu tertera
pada wajahnya. "Apakah artinya kata-katamu ini, siauwtjeetjoe?" dia tanya.
Pemuda itu tidak lantas menyahuti, ia hanya tersenyum pula.
Si nona berpikir, ia seperti ingat suatu apa.
"Oh, ya, bendera ini adalah bendera rombonganmu," katanya. "Memang bendera ini
mahal yang tak dapat ditukar dengan uang puluhan ribu tail! Tapi, apakah
hubungannya bendera ini dengan urusan kita?" Anak muda itu tidak menjawab, dia
hanya tertawa. Sebaliknya hampir semua berandal telah perlihatkan roman dari
kemurkaan. Poei Keng dengar semua pembicaraan ini, ia saksikan sikapnya si anak muda dan
romannya kawanan berandal itu, ia berkuatir bukan main, hingga di dalam hatinya,
ia mengeluh. "Nona ini benar liehay ilmu silatnya," ia berpikir,
"tapi ia adalah satu anak dara yang mirip dengan anak pitik, buktinya, tandatanda dari kaum kangouw, ia tidak mengerti sama sekali! Bendera ditancap
berarti: "Jikalau kau mempunyai kepandaian untuk mencabutnya, baharu harta itu
kau boleh ambil, jikalau tidak, baiklah kau mundur!" Terang inilah satu
tantangan, maka kali ini, bahaya
sungguh mengancam!....."
Si nona ulangi pertanyaannya, ia tetap tidak peroleh jawaban, karena mana,
wajahnya berubah menjadi merah, suatu tanda bahwa ia sudah mulai habis sabar.
Begitulah, dengan alis berdiri, ia berbangkit.
"Harta telah ada di sini, masihkah kau tidak hendak menghitungnya?" dia berkata
pada Poei Keng sambil melambaikan tangannya. "Bendera itu adalah kepunyaan
mereka jangan kau ambil, kau biarkan saja!"
Habis berkata, si nona putar tubuhnya, untuk bertindak, atau segera ia dengar
tertawanya si anak muda, siapa dengan menenteng poci arak, dengan gerakan
tubuhnya yang gesit, sudah maju menghalang dihadapannya.
"Nona, baiklah kau duduk dulu untuk minum arak!" katanya, jelas dan terang.
Si nona menjadi gusar. "Tak sudi aku minum arak! Siapa dapat memaksa aku?" dia kata. Dan dia bertindak
terus, maju. Si anak muda menolak poci arak ke depan, tangan kirinya mengangkat cawan arak.
"Apakah muka terang ini tak hendak diberikan
padaku?" ia tanya. Poci dan cawan segera juga mendesak dada dan muka si nona. Itulah semacam
serangan yang liehay sekali.
Akan tetapi, begitu si nona berkelit, si anak muda telah menubruk tempat kosong,
maka juga cawan lantas jatuh dan pecah hancur berserakan, araknya berhamburan.
Si nona, dengan kegesitannya, telah membentur tangannya.
Si anak muda nyata liehay, setelah cawannya terlepas dan jatuh, ia tidak mundur,
sebaliknya, ia maju terus menghalang dengan pocinya, mulut poci diarahkan ke
buah dada si nona. Masih si nona dapat berkelit, berbareng dengan itu dia mendorong dengan kedua
jari tangannya, hingga poci arak tertolak miring, araknya tumpah di lantai,
baunya tersiar memenuhi ruangan.
Hal itu membuatnya semua orang heran dan kaget, tetapi poci arak tetap dicekal
oleh si anak muda. Dua kali mereka mengadu kepandaian, nyatanya si nona masih menang satu tingkat.
Si anak muda, yang ilmu silatnya tidak lemah, tidak berhenti sampai di situ.
Dengan teruskan menindak satu kaki, ia putar tubuhnya, hingga tetap ia berada di
muka si nona. "Biar bagaimana, arak ini mesti kau minum!" katanya tegas. Kali ini ia majukan
pocinya dengan gerakan "Lioeseng kangoat", atau "Bintang meteor menguber". "Kau
harus memberi muka padaku!"
Si nona mundur dua tindak, untuk berkelit.
Sepasang alisnya berdiri, romannya berubah. Berbareng dengan itu, ia hunus
pedang dipinggangnya, hingga sinarnya berkilauan.
Mau atau tidak, anak muda itu pun mundur dua tindak, poci araknya dipakai
melindungi dadanya. Dengan cara itu, ia menutup dirinya.
Nona dengan baju putih ini segera menuding.
"Kau sangat tidak tahu aturan!" serunya. "Mari kita main-main!"
Semua berandal segera mundur sampai empat tindak, untuk membikin ruangan jadi
terbuka lebar. Tapi berbareng dengan itu, mereka pererat kurungan mereka, supaya
mereka bisa meluruk begitu lekas si anak muda keteter.
Hatinya Poei Keng menggetar, mukanya pucat. Ia jadi sangat berkuatir.
"Biar ia liehay, mana dapat si nona lolos dari kedung naga dan gua harimau ini?"
pikirnya. Ia merasa, kalau nanti mereka berdua diserbu tentara berandal, tubuh
mereka mesti dicingcang habis.
Sementara itu, ruang jadi sangat sunyi, tapi suasana menyeramkan. Si pemuda dan
pemudi tetap berdiam, karena pemuda itu tetap bersiap diri saja.
Di luar, dari kejauhan, terdengar suara terompet.
Si anak muda segera lompat mundur.
Itu waktu juga dari luar terlihat masuknya serombongan orang, yang jalan di muka
adalah seorang tua dengan kumis jenggot panjang, usianya sudah enam puluh lebih
akan tetapi tubuhnya, romannya masib gagah.
Si nona mengawasi, lalu ia memberi hormat. "Apakah aku berhadapan dengan
/ootjeetjoe?" dia tanya.
Si orang tua tersenyum. "Telah kudengar nona datang, menyesal, aku terlambat menyambut" sahutnya. Sambil
mengucap, ia tatap si nona, sikapnya agak luar biasa memperhatikannya.
Tak enak hati si nona ditatap secara demikian. Tapi tak apa ia dengan pedangnya.
"Telah lama aku dengar nama masyhur dari tjeetjoe." katanya, tjeetjoe yang mulia
tak timpalan, maka itu hari ini beruntung aku telah datang berkunjung. Adalah
maksudku untuk sekalian memohon sesuatu dari tjeetjoe."
"Kau memuji, nona," kata si orang tua dengan jawabannya. Lalu dengan tiba-tiba
ia menanya: "Berapa usia nona tahun ini" Apakah kau shio Yo?"
Si nona tidak sangka ia bakal ditanya begitu rupa, tidak heran ia jadi melengak.
Berbareng dengan itu, ia pun merasa kurang enak.
"Apakah lootjeetjoe maksudkan usiaku masih terlalu muda dan pengetahuanku cetek
sekali hingga tak pantas aku mendaki gunung ini?" dia tanya. "Apakah tak pantas
aku memohon sesuatu?"
Ditanya begitu, orang tua itu usap-usap kumisnya, ia tertawa terbahakbahak.
"Harap kau tidak mengatakan demikian, nona," sahutnya.
Tapi si nona mendesak, dia menuding kepada harta yang bertumpuk.
"Harta empat puluh laksa tail perak ini ada uang tentara kota Ganboenkwan,"
katanya, "dengan turun tangannya lootjeetjoe, bukan saja mencelakakan jiwa tuan
punggawa ini kau pun membuat beberapa laksa jiwa serdadu di dalam kota, hanya
minum angin barat daya!"
Kembali si orang tua tertawa terbahak-bahak.
"Mustahil aku tak ketahui itu, nona?" sahutnya pula, ringkas.
Masib si nona mendesak: "Jikalau lootjeetjoe telah ketahui bahayanya, sudah
selayaknya kau kembalikan harta itu," kata dia.
Si orang tua urut-urut kumis jenggotnya. "Ah, nona, ada sesuatu yang kau belum
ketahui....." katanya.
"Kalau begitu, tolong tjeetjoe beri penjelasan kepadaku"
Si orang tua tunjuk benderanya. "Menurut aturan kaum Rimba Hijau," katanya
menjelaskan. "Jikalau perampasan telah dilakukan, apa yang dirampas itu tak
dapat dikembalikan cuma dengan kata-kata saja. Harta adalah urusan kecil, adalah
keangkeran bendera yang harus dilindungi. Nona, karena kau hendak membelai tuan
punggawa ini, untuk itu silakan kau berikan beberapa jurus dari kepandaianmu
guna membuka mata saudara saudara di sini. Kalau tidak, andai kata harta itu aku
kembalikan, mereka tentu tidak puas....."
Kembali nona itu perlihatkan kemurkaannya. "Aku melainkan tahu, mendengar nama
kalah dengan bertemu muka," katanya kaku, "siapa tahu
ternyata sekali bertemu muka kalah dengan mendengar nama! Baiklah, sekarang
silakan lootjeetjoe menyebutkannya!"
Lagi-lagi si orang tua tertawa.
"Oh, nona kecil," katanya. "Memang di dalam dunia ini lebih banyak bertemu muka
kalah dengan mendengar nama! Demikian
juga dengan aku si tua bangka ini! Bukankah kau sesalkan aku yang tidak lekaslekas dan dengan rela menyerahkan kembali harta ini?"
Nona itu mengawasi, ia tidak berikan penyahutannya. Ia benar-benar seperti
membawa perangai satu bocah cilik.
Untuk kesekian kalinya, orang tua itu, si kepala berandal, tertawa.
"Akan aku berikan keterangan yang jelas kepadamu!" katanya kemudian. "Kau
mendaki gunungku dengan membawa-bawa pedang, tentunya dalam hal ilmu pedang kau
telah berlatih dengan seksama, maka sekarang, baiklah dengan golok Kimtooku ini,
aku layani pedangmu untuk beberapa jurus. Di dalam ilmu silat, tidak ada orang
yang terlebih dahulu belajar atau belakangan, hanya siapa yang tekun dan
sungguh-sungguh, dialah yang berhasil, karena itu, aku minta, janganlah karena
kau pandang usiaku yang lanjut, nanti kau menaruh belas kasihan atas diriku.
Nona, jikalau kau yang menang, harta empat puluh laksa tail ini akan aku
kembalikan dan aku yang akan mengantarkan sendiri, aku tanggung satu tail juga
tidak kurang!" Aneh nampaknya orang tua ini, sambil bicara, ia minta arak, ketika ia habis
bicara, dua cawan telah ditenggak kering, ia menantang tetapi suaranya tetap
hormat dan manis, cuma sikapnya tegas. Habis minum, ia lemparkan cawannya ke
arah penglari, hingga ia lihat pisau belati nancap di situ, segera ia menanya
dengan bengis: "Penglari yang tidak kurang suatu apa, siapakah yang tancapkan
pisau di atasnya?" Hampir berbareng dengan hancurnya cawan, yang jatuh meluruk
ke tanah, pisau belati itu pun turut jatuh.
Mau atau tidak, si nona terkejut juga. Si orang tua telah perlihatkan tenaga
dalamnya. Tanpa latihan yang sempurna, tidak nanti pisau itu kena dilempar
jatuh. Karena ini, ia ubah maksudnya untuk melayani si orang tua dengan tangan
kosong, tanpa ragu-ragu lagi, ia hunus pedangnya terus lompat ketengah ruangan
di mana ia berdiri sambil merangkapkan kedua tangannya.
"Silakan tjeetjoe beri ajaran padaku!" ia mengundang.
Orang tua itu awasi senjatanya si nona.
"Pedang yang bagus!" ia memuji. Terus ia lambaikan tangannya, atas mana muncul
dua serdadunya, yang datang membawa golok Kimtoo yang besar dan cahayanya
bersinar berkeredepan. Setelah ia terima, ia lonjorkan golok itu, yang ia cekal
dengan kedua tangannya. "Kimtoo, kali ini kau bertemu tandinganmu!" ia kata. Terus ia tertawa. Setelah
orang tua ini bersiap, keduanya sudah lantas berhadapan.
Si nona tahu ia menghadapi seorang tua, tidak mau ia turun tangan terlebih
dahulu, malah ujung pedangnya diturunkan, sebagai tanda menghormat dari si muda
terhadap si tua yang ia hendak lawan.
Orang tua itu mundur satu tindak.
Menampak orang mundur, si nona gerakkan pedangnya, dengan gerakan "Tjaytiap
tjoanhoa", atau "Kupu-kupu belang tembusi bunga", melihat mana si orang tua
berseru dengan pujiannya: "Bagus!" Lantas ia maju dengan gerakan "Honghong
toatho", atau "Burung hong merampas sarang", hingga ia rampas tempatnya si nona.
Si nona kaget dan heran. Ia tidak sangka, orang tua itu sangat gesit, tak kalah
dengan orang muda. Secara begitu, ia dapat dipengaruhi.
Semua rakyat berandal lantas bertepuk tangan.
Tapi dalam sekejap saja, kesunyian datang pula. Karena tubuh si nona mencelat
tinggi, pedangnya berkelebat, dengan kesudahannya terdengar satu suara nyaring
dari bentroknya dua macam senjata, lelatu apinya pun muncrat berhamburan, suara
nyaring itu seperti memekakkan telinga.
Segera orang tampak si nona mundur kira-kira satu tombak, dan si orang tua
berdiri sambil melintangkan goloknya di depan dadanya.
"Pedang yang bagus! Ilmu pedang yang sempurna!" memuji orang tua itu. "Tidak ada
yang kalah di antara kita, maka itu, mari kita mencoba pula!"
Poei Keng masih rendah ilmu silatnya, ia tidak melihat tegas, tidak dapat ia
membuat perbedaan, ia cuma tetap berkuatir, akan tetapi, di antara
berandal-berandal, ada yang hatinya gelisah. Walaupun si nona nampaknya kalah
desak, tapi tampak golok besar dan berat dari ketua mereka telah sempoak
sedikit! Si Nona berdiri diam dengan napasnya sedikit memburu, benar ia telah "lukai"
golok orang tua itu tetapi ia sendiri telah tertolak mundur satu tombak, hampir
tak sanggup ia pertahankan tubuhnya. Ia insaf, dalam hal tenaga dalam, Iweekang,
ia telah kalah dari jago tua itu.
Oleh karena ini, ketika kedua pihak sama-sama maju, untuk melanjutkan
pertempuran, mereka sama-sama waspada. Si nona berkelahi dengan lincah, tubuhnya
melesat ke kiri dan kanan, cepat seperti sang kupu-kupu beterbangan di antara
bunga-bunga, pedangnya berkilauan tak hentinya. Terang ia berkelahi dengan
andalkan keentengan tubuhnya. Di samping dia, Kimtoo Tjeetjoe berdiri tegak
bagaikan gunung, ia tidak membiarkan dirinya dipengaruhi, ia cuma memutar tubuh
seperlunya, guna lindungi diri.
Beberapa kali si nona berseru, pedangnya menikam, setiap kali si raja gunung
dapat hindarkan diri dari bahaya, ia bisa menghalau sesuatu ancaman bahaya. Maka
itu, hebat dan luar biasa caranya mereka bertarung.
Lima puluh jurus sudah berlalu, si nona tidak peroleh hasil dengan berbagai
serangannya itu, ia cuma membuatnya kawanan berandal menahan napas. Tadinya
mereka menyangka, pemimpin mereka dapat segera peroleh kemenangan, tidak
tahunya, banyak waktu telah dilewatkan tanpa sesuatu hasil.
Poei Keng pun berkuatir sangat, hingga ia dipengaruhi rasa tegang di antara
kawanan penjahat itu. "Pergi!" sekonyong-konyong si orang tua berteriak nyaring, dibarengi dengan
berkilaunya goloknya, atas mana tubuh si nona mencelat mundur kirakira satu
tombak. Semua berandal pun berseru riuh.
Si nona mundur beberapa tindak, ia berdiri tenang, melihat mana, si orang tua
heran dan kagum, karena tadinya dia percaya dia dapat membikin si nona terpental
dan rubuh. Tanpa berkata suatu apa, nona itu maju pula. Sekarang berubahlah caranya ia


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersilat. Ia masih berlompatan, akan tetapi serangannya bertambah gencar, ia
bagaikan "angin badai menggempur daun" atau "topan hujan merusak bunga", hingga
di empat penjuru seperti terlihat ia sendiri beserta berkeredepnya cahaya
pedangnya. Kali ini si nona membuat mata penonton-penonton
berkunang-kunang. Menampak demikian, gentar juga hatinya Kimtoo Tjeetjoe. Ia kagum melihat ilmu
pedang yang luar biasa itu. Untuk mencari keselamatan, terpaksa ia tutup dirinya
seperti tadi, dengan memasang mata dan berlaku waspada. Ia melayani kegesitan
dengan ketenangan. Lagi lima puluh jurus telah berlalu, setelah itu, si orang tua merasa bahwa ia
mulai kena terdesak pengaruh pedang lawan. Tentu saja, ia menjadi penasaran. Maka kali ini, dengan
hebat, ia kirim satu bacokan, guna membalas "budi" si nona yang menyerang tak
hentinya. Justeru itu, si nona menggunakan pedangnya, untuk mendampingi golok
orang tua itu, hingga ia menyerang tempat kosong, dan tubuhnya condong ke
depan. Ia menjadi kaget. Itu berarti ia telah membuka pembelaan dirinya.
Si nona tidak dapat pengaruhi terus golok si orang tua, ia tidak dapat gunakan
ketika yang baik itu, sebab si orang tua dengan lekas telah perbaiki diri, malah
setelah itu, kembali ia didesak, hingga ia main mundur. Tidak mau ia sembarang
membentrok golok besar dan berat itu.
Lagi-lagi Poei Keng jadi berkuatir. Terang ia tampak si nona terdesak mundur,
itu artinya ancaman bencana. Ia berdiam, ia mencoba menenangkan diri. Semua
berandal pun bungkam. Maka itu, ruang jadi sunyi senyap. Bungkamnya kawanan
berandal itu menandakan si orang tua bukannya telah menang di atas angin.....
Herannya pihak berandal, setelah mereka saksikan ilmu pedang dari si nona
seperti banyak macamnya, yang mirip ilmu pedang Boetong Pay, yang mirip ilmu
pedang Tatmo Kiam, yang mirip Thaykek Kiam dan juga Samyang Kiam.
Si orang tua masih mendesak, si nona terus main mundur.
"Tjeetjoe, hati-hati!" teriak seorang berandal waktu ia lihat si nona membuat
gerakan ke belakang, tetapi hampir berbareng dengan itu, si
nona sudah apungkan diri, untuk dari atas menikam kebawah.
Kimtoo Tjeetjoe lihat gerakan lawannya, ia dengar teriakan peringatan itu, meski
begitu, ia justeru tertawa berkakakan sambil terus berseru: "Lepas tanganmu!"
Karena sambil mendadak, ia membalas membacok kepinggang si nona. Ia dapat
berkelit, tapi goloknya hendak meminta korban.
"Bagus!" teriak pula pihak berandal, lenyaplah kaget mereka.
Selagi mereka itu berteriak-teriak, suasana telah berganti rupa dengan cepat.
Si nona tidak lompat mundur, ia tidak lepaskan pedangnya, tidak peduli ancaman
bahaya sangat hebat, sebaliknya, ia juga berteriak
"Lepas tangan!" Nyata ia sangat celi matanya dan sangat sebat gerakan tangannya.
Ia tampak ancaman bahaya itu, tapi ia tidak jadi gentar. Dengan kesehatannya, ia
tekan ujung golok itu, setelah mana, dengan jalan di atasan golok, ia serosotkan
pedangnya akan membabat jeriji tangan orang tua yang menyekal golok. Itu waktu,
ia barengi perdengarkan teriakannya. Tentu saja Kimtoo Tjeetjoe menjadi kaget
hingga dia, yang mengerti bahaya, jadi "dengar kata," dengan lantas dia
lemparkan goloknya, karena kalau tidak jadi tangannya bisa kutung!
Begitu rupa kepala berandal ini membuang goloknya, hingga golok itu terlempar ke
atas, nancap di penglari rumah. Kejadian ini di luar duga si nona demikian
liehay, ancaman bahaya dapat
diubah jadi keselamatan, jadi kemenangan. Maka itu, ia jadi berdiri menjublak.
Habis itu, si nona tidak ulangi serangannya, malah ia hadapi tuan rumahnya,
untuk memberi hormat, dengan niatnya mengucapkan "Terima kasih, tjeetjoe, kau
telah mengalah!" Akan tetapi, ketika ia tampak wajah kepala berandal itu, ia
tertegun, hingga batal ia membuka mulutnya.
Kimtoo Tjeetjoe perlihatkan tertawa meringis, air matanya berlinang.
"Heran," pikir si nona. "Ia ada satu jago, mustahil karena kalah bertanding, dia
menangis?" Karena ini, ia jadi mengawasi saja.
Kimtoo Tjeetjoe juga awasi si nona, ia menyeringai, kemudian ia merogo sakunya
dari mana ia keluarkan sebatang bambu pendek mirip sebuah tongkat, yang ujung
bawahnya bercacat, rupanya seperti sisa tongkat bekas terbabat kutung.
Waktu si nona lihat bambu pendek itu, air mukanya berubah menjadi pucat dengan
tiba-tiba, ia menjerit menangis, terus ia jatuh berlutut di tanah!
Itulah kejadian sangat aneh, maka semua orang menjadi tercengang.
Dengan tangan kirinya menyekal bambu itu, Kimtoo Tjeetjoe gunakan tangan
kanannya mengangkat si nona berdiri, setelah mana dengan tiba-tiba dia tertawa
terbahak-bahak. "In Tjeng punyakan cucu perempuan semacam ini, di tempat baka niscaya ia
meramkan mata!" katanya dengan puas.
Si nona menangis tersedu-sedu, air matanya bercucuran deras. Karena, melihat
tongkat itu, teringatlah ia akan kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, yang
menjadi pengalaman hebat baginya. Ketika itu ia baharu berumur tujuh tahun,
bersama engkong-nya, In Tjeng, ia buron dari Mongolia, selama di atas kereta, ia
telah lihat soetjiat, tanda kehormatan dari engkong-nya itu. Ia pun teringat
cerita dari engkong-nya bagaimana si engkong menderita sebagai pengangon kuda di
Negara asing. Kejadian itu membuat ia berduka dan sedih. Dan sekarang ia lihat
sisanya soetjiat itu, ialah potongan "tongkat" ditangan si kepala kampak.
Kimtoo Tjeetjoe susut kering air matanya yang berlinang itu, habis itu ia
tertawa berkakakan. "Sekarang ini kau bukan lagi satu bocah!" ia kata dengan gembira. "Ini hari kau
adalah satu wanita gagah yang mendaki gunung untuk minta kembali harta besar!
Maka tak perlu kau menangis! Lekas seka air matamu! Kau tahu, urusan kita masih
belum selesai....." Nona itu menyeka air matanya, mendadak saja ia putar tubuhnya, untuk terus
lompat mencelat, ke atas penglari, dari mana ia cabut golok orang tua itu, lalu
ia bawa kehadapan si kepala kampak. Ia berlutut pula. Ia persembahkan golok
dengan bawa itu ke atasan kepalanya.
"Segala apa terserah kepada putusan soe-sioktjouw," ia kata.
Mendengar perkataan si nona Poei Keng menjadi kaget sampai semangatnya seolaholah pergi terbang. "Celaka, celaka!" ia mengeluh. "Aku andalkan si nona, siapa tahu mereka adalah
orang-orang sendiri!....."
Si orang tua terima goloknya.
"Kau bangun," katanya. "Sepotong bambu ini kau boleh simpan. Memang bamboo ini
membuatnya orang berduka tetapi ini adalah warisan yaya-mu."
Si nona terima warisan itu, ia seka air matanya.
"Poei Keng, kemari kau!" si kepala berandal memanggil.
Gemetar tubuhnya punggawa itu, kedua kakinya lemas.
Kimtoo Tjeetjoe tertawa. "Coba bantu dia," ia titahkan dua serdadu gunung.
"Inilah angkutanmu seharga empat puluh laksa tail perak, sekarang kau boleh bawa
pergi!" kata pula si kepala berandal.
Inilah di luar dugaan, Poei Keng jadi girang bukan kepalang.
"Terima kasih, terima kasih," ia mengucap sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Baharu setelah itu, ia menjadi bingung. Ia berada sendirian, mana bisa ia angkut
harta besar itu" Kimtoo Tjeetjoe bisa terka hati orang, ia bicara berbisik pada satu orangnya,
atas mana pintu pesanggrahan dipentang, kemudian di muka pesanggrahan itu muncul
sebarisan keledai bersama serdadu pengiringnya.
"Semua harta dan orang-orangmu aku kembalikan," berkata Kimtoo Tjeetjoe sambil tertawa pada punggawa itu. "Sekarang hitung
dulu uangmu, supaya tidak ada yang kurang."
Kembali Poei Keng mengucap terima kasih. Kejadian itu membikin ia sangat
bergirang. Tapi mendadak, ia ingat sesuatu. Sekarang ia jadi bernyali besar,
hingga ia berani menanya kepala kampak itu.
"Di samping uang empat puluh laksa tail ini masih ada lagi empat belas kereta
keledai," kata dia. "Itulah barang-barangnya Teng Tjongpeng. Aku mohon sukalah
tjeetjoe mengembalikan sekalian barang-barang itu."
Sang tjeetjoe tertawa bergelak-gelak.
"Barang pribadi dari Teng Tjongpeng?" kata dia, menegaskan. "Itulah barangbarang
yang cocok sekali untuk keperluan pesanggrahanku ini, hendak aku menahannya!"
Poei Keng kaget. Uang negara didapat kembali, tapi barangnya Teng Tjongpeng
lenyap, itu masih berarti kesulitan baginya. Mungkin itu tetap berarti hukuman
mati. Maka ia lantas tekuk lutut di depan raja gunung itu, ia manggut-manggut.
"Aku mohon belas kasihan tjeetjoe, sukalah tjeetjoe tolong jiwaku," ia mohon.
Kimtoo Tjeetjoe tertawa pula.
"Teng Tjongpeng sendiri rela menyerahkannya padaku, kenapa kau tidak?" katanya.
Ia terus rogo sakunya, akan keluarkan satu sampul, dari dalam mana ia keluarkan
pula sepucuk surat warna merah. Poei Keng lihat surat itu, ia baca, bunyinya:
"Dengan hormat aku persembahkan barang-barang tidak berarti ini, aku mohon
sudilah Tjioe Thaydjin menerimanya. Dari Teng Tay Ko."
Pasti sekali Poei Keng menjadi kaget, heran dan bingung. Mustahil satu
tjongpeng, tjongpeng dari Ganboenkwan, satu panglima kerajaan, yang dipercayakan
keselamatan tapal batas negara, boleh mempersembahkan sesuatu kepada kepala
berandal" Inilah benar-benar tak dapat dimengerti. Tentu saja tidak dapat ia
memikirnya, karena kepala berandal ini, yaitu Kimtoo Tjeetjoe, ada bekas
Tjongpeng Tjioe Kian dari kota Ganboenkwan, tjongpeng dari sepuluh tahun yang
lampau, dan Tjongpeng Teng Tay Ko yang sekarang ini adalah bekas hoetjiang
sebawahannya! Melihat orang mendelong, Tjioe Kian tertawa.
"Rupa-rupanya kau masih kurang percaya," ia
kata. "Baik, aku nanti suruh satu orang keluar....."
dan ia beri titahnya. Tidak lama diantaranya dari dalam muncul satu opsir, ialah pembesar tentara yang
diwajibkan oleh Teng Tjongpeng untuk nanti menerima harta angkutannya punggawa
she Poei itu. Tjioe Kian tertawa pula dan berkata: "Ini uang empat puluh laksa tail sudah
diperiksa betul oleh perwira ini, sama sekali tidak kurang, maka bolehlah kau
tetapkan hatimu." Baharu sekarang lega hatinya Poei Keng. Ia kenal baik opsir itu. Dengan demikian
ia tidak usah berkuatir lagi.
Sampai di situ, Tjioe Kian silakan kedua punggawa itu berangkat, dan ia wajibkan
beberapa orangnya pergi mengantarkan.
Poei Keng dan si opsir menghaturkan terima kasih.
Selagi orang hendak berangkat, Tjioe Kian pesan si opsir: "Tolong kau sampaikan
kepada Teng Tjongpeng, karena musuh luar ada dihadapan kita, kita seharusnya
tetap bekerja sama untuk menghadapinya! Tentang perjanjian kemarin, harap kau
tidak melupakannya."
Opsir itu menyahuti bahwa ia mengerti.
"Beng Kie, kau wakilkan aku mengantar mereka turun gunung," kata Tjioe Kian pada
si orang she Beng. "Bendera Djitgoat Kie kita itu biarlah ditancap terus sampai
di kota Ganboenkwan."
Poei Keng tahu, bendera itu ada suatu tanggungan, adanya bendera itu, sama saja
seperti Kimtoo Tjeetjoe yang mengantarkannya sendiri. Maka lagi sekali ia
haturkan terima kasihnya.
Tjioe Kian tertawa. Beng Kie pun tertawa, lantas ia jalan berendeng dengan Poei Keng untuk bertindak
keluar, sedang harta besar itu lantas diangkut oleh serdadu-serdadu dan ditilik
oleh si opsir. "Poei Thaydjin, kalau nanti kau sudah pulang, perlu kau yakinkan pula ilmu
panahmu dan menunggang kuda!" kata Beng Kie sambil jalan.
Poei Keng merah mukanya, sebab ia ingat itu hari ia pentang mulut besar tapi
akhirnya ia dirubuhkan si kurus kering ini.....
Tjioe Kian tunggu sampai orang sudah pergi semua, lalu ia menoleh pada si nona
baju putih. "Bagus kau datang, In Loei!" katanya.
Biar bagaimana, si nona masih ragu-ragu, hatinya belum tenang betul. Ketika
sepuluh tahun yang lampau ia bertemu bekas tjongpeng ini di muka kota
Ganboenkwan, ia masih kecil dan itu waktu pun sedang terbit pertempuran, ia
tidak ingat betul akan roman orang itu. Ia heran yang Tjioe Kian masih kenali
padanya. Rupanya orang she Tjioe itu bisa terka hati orang, ia tertawa.
"Jikalau hari ini aku tidak pancing kau mendaki gunung dan paksa kau keluarkan
ilmu pedang istimewa ajaran Hian Kie Itsoe, aku pun tidak nanti berani sembarang
akui padamu!" katanya.
In Loei bisa mengerti keterangan itu, tapi ia tetap heran.
"Untuk memancing aku, dia berlaku begini hebat dan Jenaka, soesioktjouw ini agak
keterlaluan," pikirnya. "Terang sudah bahwa ia bertabeat aneh....."
Karena ini, meski di mulut ia tidak berkata suatu apa, dihati ia merasa kurang
puas. Ia ada satu pemudi yang baharu muncul dalam dunia kangouw, liehay ilmu
silatnya tapi masih hijau pengalamannya.....
Tjioe Kian tertawa nyaring.
"Cucu keponakan yang baik, tahukah kau kenapa aku coba merampas uang negara
itu?" tanya dia kemudian.
"Bukankah, seperti kata soesioktjouw, kau hendak pancing aku mendaki gunung?" si
nona baliki. "Sebenarnya, sekalipun kau tidak memancing, hendak aku dating
kemari." "Kenapa begitu?" Tjioe Kian tegaskan.
"Kita harus kembali pada sepuluh tahun yang lampau," sahut si nona. "Pada waktu
itu Tiauw Im Taysoe telah menolongi aku menyingkir dari Ganboenkwan dia sudah
bawa aku ke gunung Siauwtjee San di Soetjoan Utara di mana aku diserahkan pada
guruku untuk dirawat dan dididik....."
"Bukankah gurumu itu Yap Eng Eng, yang bergelar Hoeithian Lionglie?" Tjioe Kian
memotong. "Benar," In Loei manggut. Lalu ia meneruskan keterangannya: "Sepuluh tahun aku t
elah belajar silat lantas soehoe titahkan aku turun gunung. Lebih dahulu dia
telah serahkan padaku surat darah dari yaya. Soehoe kata, orang yang yaya paling
bencikan adalah Thio Tjong Tjioe yang membikin yaya menderita dua puluh tahun
mengangon kuda, akan tetapi yang mencelakai hingga ayah menutup mata adalah Ong
Tjin, itu hamba pemerintah, hanya duduknya perkara yang benar, soehoe tidak
ketahui jelas. Soehoe kata, soesioktjouw adalah sahabat paling kekal dari yaya,
katanya justeru disebabkan kematian menyedihkan dari yaya, soesioktjouw jadi
meninggalkan pangkatnya di kota Ganboenkwan. Belakangan, soehoe kata lebih jauh,
soehoe dengar soesioktjouw telah tuntut penghidupan sebagai berandal, Cuma ia
tidak tahu pasti kebenarannya
itu, maka soehoe titahkan aku turun gunung dengan tugas paling pertama pergi
cari kau." Mendengar itu, Tjioe Kian menggeleng-gelengkan kepala, ia menyeringai. In Loei
heran. "Sudah sepuluh tahun sejak yaya-mu menutup mata, perkaranya itu masih perkara
gantung," kata si orang tua. Ia tuturkan kejadian sepuluh tahun yang lampau itu,
lalu ia meneruskan: "Thio Tjong Tjioe dengan Ong Tjin itu memang mempunyai
hubungan satu sama lain, akan tetapi, apabila dilihat duduknya perkara ketika
itu, soal masih gelap, maka itu sampai sekarang juga masih belum diketahui, di
antara mereka berdua, siapa sebenarnya penjahat asli....."
"Sekarang ini aku anggap mereka berdua adalah musuh-musuhku!" kata In Loei. "Dan
di antara mereka, aku anggap Thio Tjong Tjioe sebagai musuh nomor satu!"
Tjioe Kian manggut. "Memang, sakit hati itu tak dapat tidak dibalas!" katanya.
"Aku dibebankan permusuhan dua turunan, aku nanti habiskan tenagaku untuk itu!"
berkata pula In Loei. "Sampai mati baharu aku mau berhenti."
Si orang tua menghela napas.
"Ketika pertama aku sampai di Ganboenkwan," In Loei meneruskan pula, "segera aku
dengar nama besar dari Kimtoo Tjeetjoe beserta benderanya Matahari dan Rembulan.
Lantas aku menduga pada soesioktjouw yang telah mendirikan pesanggrahan di atas
gunung, tetapi karena aku belum peroleh
kepastian, aku sengaja membuat gubuk di selat Ouwtiap Kok. Adalah maksudku untuk
perlahan lahan membuat penyelidikan." Tjioe Kian tertawa.
"Itulah hal yang aku ketahui," katanya. "Masih ingatkah kau, begitu lekas kau
turun gunung kau lantas sudah melabrak beberapa rombongan berandal dengan
menggunakan senjata rahasiamu yang mirip bunga bwee" Karena itu dalam dunia
kangouw kau peroleh julukan Sanhoa Liehiap, si Wanita Gagah Penyebar Bunga."
"Julukan itu enak juga didengarnya," kata In Loei, "hanya aku tidak dapat
mengetahuinya." "Ketika kau bertempat tinggal di Ouwtiap Kok, orang-orangku sudah dari siangsiang memasang mata. Cuma, berikut aku di dalamnya, kita masih belum ketahui
jelas tentang dirimu. Begitulah aku gunakan akal untuk pancing kau mendaki
gunungku ini, maksudku adalah untuk mencoba ilmu silatmu guna memastikan,
siapakah engkau." "Justeru karena pancingan soesioktjouw ini, dugaanku semula jadi meleset,"


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata si nona. "Aku pikir, kalau kau benar ada soesioktjouw, tidak nanti kau
rampas uang tentara kota Ganboenkwan. Inilah sebabnya kenapa aku jadi berani
melayani soesioktjouw bertanding....."
Tjioe Kian tertawa terbahak-bahak.
"Sejak dulu tidak pernah aku merampas uang tentera kota Ganboenkwan," ia berikan
keterangan, "kalau kali ini aku membuatnya meski barusan aku berkata untuk
pancing kau, sebenarnya itu tidak
betul seluruhnya. Dalam pada ini masih ada hubungan yang sangat besar!"
In Loei tidak mengerti. "Apakah itu, soesioktjouw?" dia tanya.
"Soalnya adalah," sahut si orang tua, "kecilnya mengenai hidup matinya kota
Ganboenkwan dan pesanggrahanku ini, besarnya mengenai keselamatannya kerajaan
Beng serta tanah daerahnya yang besar dan luas!"
Kaget si nona, hingga ia mengawasi dengan mendelong.
"Apakah itu, soesioktjouw?" dia tegaskan.
Tjioe Kian tidak lantas menjawab, ia hanya dongak akan melihat langit.
"Sekarang sudah malam," katanya perlahan, romannya berduka. "Pergi kau tidur,
untuk pelihara dirimu. Sebentar malam hendak aku mohon bantuan kau untuk satu
urusan besar." Ia lantas beri tanda dengan tangannya. Berbareng dengan, itu terdengarlah
sambutan suara tambur dan gembreng, setelah mana si anak muda yang bermula
tempur In Loei serta satu tauwbak, maju menghadap, untuk berkata: "Silakan
tjeetjoe berikan titahmu!"
Tjioe Kian manggut. "Dia Tjioe San Bin," katanya pada In Loei sambil menunjuk si anak muda. "Dia
adalah pamanmu. Umurnya tidak berbeda jauh dengan kau." In Loei beri hormat pada
anak muda itu. "Maaf," ia menghaturkan. Tjioe San Bin tertawa.
"Di dalam kalangan wanita muncul orang gagah, si orang gagah masih sangat muda,"
katanya, "oh, keponakanku, kau jauh terlebih kosen daripada pamanmu!....."
In Loei tersenyum. "Sekarang silakan kau beristirahat," kata San Bin, yang terus titahkan satu
iiauwio - serdadu gunung - antar nona itu ke kamar yang sudah disediakan
untuknya. In Loei menurut, ia undurkan diri, akan tetapi tak dapat ia tidur pulas. Ia
terganggu berisiknya gerakan-gerakan tentera gunung.
Habis bersantap malam, pesanggrahan seperti kosong dari tenteranya, yang ada
hanya beberapa orang saja yang menjadi penjaga.
"Apakah kita akan berperang dengan tentera negeri?" tanya In Loei.
"Bukan," Tjioe Kian menjawab.
"Apakah dengan bangsa Tartar?" si nona tanya pula.
"Masih belum pasti," jawab si orang tua. Heran anak dara ini.
"Habis untuk apa soesioktjouw berikan titah pada tenteramu?" ia masih menanya.
"Baik kau jangan tanya-tanya dulu," jawab Tjioe Kian sambil tertawa. "Lebih baik
mari kau turut aku pergi ke suatu tempat!"
In Loei bersedia, segera ia salin pakaian dengan yaheng ie - pakaian untuk jalan
malam. Berdua mereka keluar dari pesanggrahan, di luar mereka saksikan langit penuh
bintang, jam pada waktu itu menunjukkan kira-kira pukul tiga.
Kimtoo Tjeetjoe ajak cucu keponakannya itu berlari-lari di jalanan gunung untuk
mendaki puncak sebelah timur yang lebat dengan pohon-pohon dan pohon-pohon oyot,
makin dalam makin lebat, makin jauh keadaannya makin berbahaya. In Loei
mengikuti terus dengan ragu-ragu, ia berpikir keras dengan sia-sia, tak dapat ia
terka maksud bekas tjongpeng ini. Iapun heran: "Soesioktjouw adalah kepala
sebuah gunung, dia telah atur tenteranya keluar, kenapa tangsinya dikosongkan
dan dia sendiri tidak menjaganya" Kenapa dia keluar malam-malam seorang diri?"
Nona ini terbenam dalam keanehan.
Pada malam yang sunyi itu, tiba-tiba terdengar suara air, makin lama makin tegas
suaranya. Lalu terdengar juga suara bagaikan orang berseru panjang atau bagaikan
suara terompet huchia. Mendengar itu, si orang tua tarik tangannya si nona,
untuk diajak bersembunyi di belakang sebuah batu besar.
Dalam keheranannya itu, In Loei menurut saja, ia melainkan memasang mata.
Di antara sinar rembulan layu dan bintang-bintang, In Loei lihat wajahnya si
orang tua. Itulah roman tenang tetapi tegang. Jago tua ini pun lantas mendekam
di tanah, untuk pasang kupingnya.
"Ah!" tiba-tiba ia bersuara seorang diri, "Mustahil aku menduga keliru?"
In Loei pasang kupingnya, ia tidak dengar suatu apa.
"Kau dengar apa, soesioktjouw?" tanyanya heran.
Tjioe Kian tidak segera menjawab, ia hanya menunjuk.
"Lihat!" katanya kemudian. Ia menunjuk ke arah bawah, ke lembah, di sana tampak
sawah ladang yang luas dam gemuk yang dibuka oleh tentera gunung, di samping
itu, bagaikan rintangan, ada gili-gili atau bendungan air yang tinggi dan besar
buatan manusia. Gili-gili itu terbuat dari batu, tingginya mungkin sama dengan
dua buah loteng. Di sebelah sana terdapat telaga, luasnya tidak terlalu besar,
mungkin beberapa ratus bahu. Air telaga itu menggenang dan hitam berkilauan.
"Sawah ladang itu mendapat air dari telaga yang terbendung itu," kata siraja
gunung kemudian. "Telaga itu menyebabkan kami dapat hidup bertani di sini, maka
telaga itu adalah jiwa kami."
Ia lantas tuturkan bagaimana selama sepuluh tahun ia bangunkan bendungan dan
kerjakan sawah ladang itu. Menutur itu, ia nampaknya gembira dan puas. Tapi, ia
lantas menghela napas. "Akan tetapi bangsa Tartar dan tentera negeri tidak mengijinkan kita tinggal di
sini," ia tambahkan. "Baharu kemarin dulu aku terima laporan bahwa bangsa Tartar
hendak mengirim orang-orangnya yang liehay mencuri masuk kemari untuk merusak
bendungan ini." "Kelihatannya bendungan ini tak dapat dirusak tenaga manusia," kata In Loei.
"Baharu beberapa orang saja tidak nanti dapat berbuat apa-apa."
"Kau tidak tahu," Tjioe Kian terangkan. "Sekarang adalah musim semi dan
biasanya, setiap musim semi, air bisa melanda secara hebat."
Di sebelah atas kita masih membuat beberapa bendungan, untuk menjaga gempuran,
sebab satu kali bendungan hancur, telaga ini akan meluap airnya, dan begitu air
telaga meluap, celakalah kita yang berada di dalam lembah terutama sawah ladang
kita musnah tergenang air."
"Sungguh hebat, menjemukan!" kata In Loei, yang menjadi sengit. "Jikalau mereka
itu datang, nanti kuberi pelajaran dengan pedangku!"
"Tetapi kejahatan mereka tak sampai di sini saja," kata pula Tjoe Kian. Mendadak
ia berhenti. Tiba-tiba, ia dengar suara yang mengherankan padanya.
"Aneh!" katanya.
"Apakah yang aneh, soesioktjouw?"
Tjioe Kian pasang pula kupingnya. "Turut pendengaranku seperti ada belasan
penunggang kuda yang mengejar satu orang buronan," dia menerangkan, "tadi mereka
menuju ke arah barat akan tetapi sekarang mereka menuju arah kita! Ah, mereka
itu tidak kenal jalanan, mereka tengah berputaran. Suaranya pun menjadi terlebih
perlahan. Kau dengar tidak?"
In Loei menggelengkan kepala.
Orang tua itu tertawa. "Selanjutnya kau akan hidup di kalangan kangouw, kepandaian mendengar suara ini
harus kau yakinkan," ia kata. Ia terus tambahkan: "Aku taksir
pasti malam ini mereka akan datang merusak gili-gili tetapi mendengar suara itu,
mereka tengah mengepung orang. Mungkinkah di antara mereka itu telah terbit
perubahan?" Baharu In Loei mau menanya kenapa jago tua itu ketahui demikian pasti tentang
sepak terjang musuh, atau mendadak Tjioe Kian memberi isyarat supaya ia menutup
mulut, hingga ia batalkan niatnya. Tjioe Kian juga sudah lantas menunjuk dengan
jari tangannya. Di atas puncak kira-kira tujuh atau delapan tumbak terpisah dari mereka muncul
dua orang yang merupakan bayangan hitam. Pasti mereka itu ada orang-orang
liehay, sebat demikian terang kupingnya Tjioe Kian, sesudah orang datang dekat
baharu dia mengetahuinya.
Dua orang itu berdiri berendeng.
"Besok tengah hari," kata yang seorang, sambil tangannya menunjuk ke arah
lembah, "maka pasanggrahan itu yang luasnya seratus lie lebih akan tergenang air
hingga merupakan suatu tanah datar! Haha! Tuhan memberkahi negara kita, apa mau
tjongpeng dari Ganboenkwan telah memohon bantuan kita. Sesudah kita tumpas
sibangsat tua Kimtoo, untuk merampas kota Ganboenkwan mudah saja, seperti orang
membalikkan telapak tangan. Satu kali Ganboenkwan sudah rubuh, jalanan untuk ke
kota raja sudah tidak ada rintangannya lagi, hingga negara seluas sembilan laksa
lie dari kerajaan Beng akan menjadi kepunyaan kita. Tantai Tjiangkoen, jasamu
kali ini bukan main besarnya!"
Terus orang itu tertawa terbahak-bahak, suaranya mendengung di lembah.
Mendengar itu, In Loei terkejut.
"Tepat sekali taksiran Paduka," berkata orang yang satunya. "Paduka tak ada
bandingannya! Meski demikian adanya, tak dapat kita tidak berlaku waspada.
Jikalau besok tentera kota Ganboenkwan tidak dapat dating menyambut, apakah
tentera kita yang terpecah di empat penjuru tidak akan menghadapi ancaman
bahaya" Aku anggap adalah terlebih sempurna jikalau empat pasukan itu diperkecil
menjadi dua barisan....."
Orang yang pertama tertawa pula.
"Raja Beng ingin sangat menindas bangsat tua Kimtoo itu," dia kata, "untuk itu
tenaganya tentera di Ganboenkwan tidak cukup, dia jadi tidak berdaya, karenanya
dia bertindak memohon kita bekerja sama, maka itu, aku tak kuatir dia nanti
melanggar janji. Ini adalah ketika yang paling baik! Satu kepala perang mengatur
tentera, apakah perlu dia memandang ke kepala dan ke ekor?"
Dan lagi-lagi dia tertawa, tertawa besar.
In Loei ingat suatu apa, ia jadi berpikir.
"Bukankah Tantai Tjiangkoen ini yang disebut Tantai Mie Ming oleh djiesoepeh?"
dia menduga-duga. "Jikalau benar dia adanya,
dialah musuhku yang telah membinasakan ayahku, malam ini tak dapat dia dibiarkan
lolos!" Orang yang dipanggil Tantai Tjiangkoen itu berbicara pula.
"Lebih baik Paduka berlaku hati-hati," demikian
katanya. "Tempat ini masuk lingkungan bangsat tua Kimtoo itu."
Si "paduka" itu - ongya - yang terang ada orang bangsa Ouw atau Tartar, kembali
tertawa besar. "Aku justeru kuatirkan mereka tidak muncul!" ujarnya. "Kita sedang bersiap
menggempur gili-gili, kita hendak serang tempat yang mereka harus tolongi itu,
maka jikalau mereka datang mengurung kita, kita yang berjumlah belasan dapat
menarik perhatian mereka itu, dengan begitu pasukan-pasukan kita yang menerjang
di empat penjuru di luar akan masuk di tempat yang seperti tidak ada orangnya.
Dengan punyakan kepandaian, mana bisa mereka membekuk kita" Paling juga kita
kurbankan jiwanya belasan serdadu yang menggempur gili-gili....."
"Sungguh busuk!" In Loei mendamprat dalam hatinya, mendengar tipu daya yang
licik itu. Karena ini mengertilah ia akan sepak terjangnya Tjioe Kian malam ini.
"Kiranya soesioktjouw mengatur tenteranya untuk menghadapi empat pasukan musuh
di luar itu," pikirnya. "Soesioktjouw ajak aku datang kemari dengan maksud
menghadapi musuh-musuh gelap yang hendak menggempur gili-gili ini. Sungguh tak
tercela soesioktjouw menjadi satu panglima perang! Tadinya aku menyangka dia
keluar seorang diri untuk menempuh ancaman bencana, tidak tahunya, tindakan ini
ada tindakan yang wajar!"
Lantas nona ini cekal keras gagang pedangnya,
ia segera bersiap sedia. Tjioe Kian juga tampaknya tegang akan tetapi dia masih menggelenggelengkan
kepala mengisyaratkan agar kawannya
sabarkan diri, supaya si nona jangan sembrono turun tangan. Maka In Loei
berdiam, terus ia pasang kupingnya.
"Eh," terdengar Tantai Tjiangkoen, "kenapa mereka masih belum datang?"
Si paduka, atau ongya, juga berjalan mundar-mandir, dia pun nampaknya sibuk
tidak keruan. "Eh!" seru Tantai Tjiangkoen itu kemudian. "Lihat, mereka itu tengah mengepung
siapa nah?" Segera terdengar tindakan laratnya kuda yang mendatangi, lantas tampak satu
penunggang kuda kabur di dalam lembah yang sempit, di belakangnya mengejar
belasan penunggang kuda lainnya. Mereka itu merantau ke sawah ladang.
"Segala bantong!" si ongya mencaci, terus dia siapkan busurnya.
"Jangan binasakan dia, paduka!" Tantai Tjiangkoen mencegah. Tapi baharu dia buka
mulutnya atau busurnya sudah menjepret, anak panahnya melesat menyambar!
Justeru itu, berbareng dengan bekerjanya panah, Tjioe Kian tepuk pundaknya In
Loei sambil berseru: "Serang raja muda Tartar itu!" In Loei memang sudah siap,
maka itu, dapat ia dengan berbareng lompat bersama si orang tua, untuk
menghampirkan Tantai Tjiangkoen dan ongyanya itu.
Si nona enteng tubuhnya, pesat gerakannya, ia dapat mendahului, malah sambil
memburu, ia pun sudah lantas lepaskan enam buah senjata rahasianya yang diberi nama Bweehoa
Ouwtiap piauw, atau piauw Kupu-kupu, menyerang ketiga arah, atas, tengah dan
bawah dari si ongya dan si tjiangkoen.
Tjiangkoen, atau jenderal itu, memang Tantai Mie Ming adanya. Dia adalah orang
yang sangat dibenci In Loei, tidak heran kalau si nona menyerang dengan luar
biasa ganas. Dengan menggunakan piauw-nya, dia sampai tak minta perkenan lagi
dari si orang tua. Mendapat serangan bokongan itu, Tantai Mie Ming tertawa berkakakan. Ia seperti
dapat lihat tegas ketiga batang piauw itu, ia sampok tiga-tiganya hingga
terlempar mental. Sebaliknya, si ongya telah perdengarkan jeritan "Aduh!" dan busurnya terlepas,
jatuh di tanah, tubuhnya pun terhuyung dua tindak, hampir dia rubuh terguling,
lalu dapat dia pertahankan diri.
Piauw si nona adalah piauw yang ia terima dari gurunya, Hoeithian Lionglie Yap
Eng Eng, piauw itu dapat dipakai menyerang jalan darah. Si ongya benar liehay
tetapi ketika dibokong, ia pun sedang membokong lain orang dengan panahnya, maka
datangnya serangan gelap membuat ia terperanjat. Masih dapat ia tangkis satu
piauw dan berkelit dari yang kedua tetapi yang ketiga mengenai dengkulnya.
Syukur untuknya, ia punyakan tenaga dalam yang liehay, ia tidak sampai terhuyung
rubuh. Untung tidak enam panah dipakai menyerang, kalau tidak, tentu jiwanya tak
dapat dihindarkan dari bahaya maut. In Loei terkejut mendapatkan ke enam piauw-nya tidak memberikan hasil yang
memuaskan, malah menyusul herannya, tahu-tahu Tantai Mie Ming, yang berseru
keras, telah lompat melesat kehadapannya. Kembali ia terkejut. Dari gerakan
tjiangkoen ini, ia ketahui, orang ada terlebih liehay daripadanya. Akan tetapi,
ia kertak giginya, tak gentar ia menghadapi musuh tanggu. Maka juga, "Sret!"
pedangnya segera dihunus guna memapaki lawan itu!
-ooo0dw0ooo- BAB III Tantai Mie Ming bersenjatakan sepasang gaetan. Ia lihat penyerangnya ada satu
nona, ia memandang enteng.
"Suruhlah orang tuamu yang keluar!" ia menantang. "Gaetanku tidak biasa
membinasakan segala orang tidak ternama!"
In Loei tidak gubris kata-kata jumawa itu, ia menerjang, terus sampai dua kali
ketika tikamannya yang pertama ditangkis lawan itu. Tentu saja ia menjadi tambah
gusar dan sengit. "Hai, budak, apakah kau cari mampus?" bentak jenderal itu setelah ia sampok
mental pedangnya. Kedua tikaman itu dapat ia elakkan. In Loei tidak mundur, dia
malah maju mendesak. Dia membungkam ketika dia menyerang pula dengan "Pekhong
koatdjit" atau "Bianglala menutupi matahari."
Mie Ming melayani dengan sungguh-sungguh, dengan sepasang gaetannya ia coba
mengurung pedang si nona, tetapi In Loei tidak mau mengerti, ia bebaskan diri,
ia menyerang pula, demikian hebat, hingga lawannya berseru: "Eh!"
Orang Mongolia yang tanggu ini heran, mau atau tidak, ia mesti bekerja keras,
setelah kedua gaetannya membuka ke kiri dan kanan, lantas ia desak si nona
hingga orang mundur tiga tindak, tindakannya hampir kacau.
Gadisnya In Tjeng menjadi penasaran sekali,
tanpa pedulikan desakan, ia lompat, ia balas menyerang secara hebat.
Tantai Mie Ming kerutkan alis.
"Siapa yang mengajarkan kau ilmu menyerang?" dia tanya. "Kau berkelahi secara
nekat begini, mana kau bisa layani musuh yang tanggu?"
"Memang aku niat adu jiwa denganmu!" jawab si nona dengan kaku. Dan ia perhebat
serangannya. Mie Ming menyeringai. "Nanti aku desak dia, supaya aku bisa tegaskan kenapa dia nekat begini," dia
pikir. Terus ia mainkan sepasang gaetannya, untuk mengurung pula pedang si nona.
In Loei licin. Satu kali ia telah dipedayakan, ia jadi waspada. Nampaknya ia


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembrono, sebenarnya ia dapat berlaku hati-hati dan
cerdik. Begitulah, selagi didesak, dengan tenang ia gerak-gerakkan pedangnya
untuk memberi perlawanan, sambil berbuat begitu, ia cari ketika yang baik.
Demikian waktu ketikanya telah sampai, ia menyontek ke atas, akan membentur
langsung gaetannya! Satu suara nyaring dari bentroknya senjata segera terdengar.
"Pedang yang bagus!" seru Tantai Mie Ming. Ia tidak menjadi kaget meski ujung
gaetannya kena dipapas sempoak pedang si nona. Ia malah mendesak pula dengan
dorongannya. In Loei terkejut. Ia merasakan telapakan tangannya kaku, ia lihat ujung gaetan
menyambar ke dadanya. Tidak sempat ia memutar pedangnya untuk menangkis.
Tapi Tantai Mie Ming tidak meneruskan menyerang.
"Hian Kee Itsoe itu pernah apa denganmu?" dia tanya.
Justeru orang berseru, In Loei gunakan ketikanya akan lepaskan diri dari ancaman
bahaya. Tentu saja ia jadi semakin mendongkol.
"Apakah pantas kau menyebut namanya tjouwsoe-ku?" dia menghina.
"Haha-haha!" Tantai Mie Ming tertawa, dan kembali dia ulangi desakannya.
In Loei mundur, dia sangat terdesak, repot dia membela diri. Pernah ia mendesak
dengan nekat, tapi ia tidak peroleh hasil.
"Sekalipun gurumu, dia bukannya tandinganku, kau tahu?" kata Mie Ming.
In Loei tidak pedulikan orang berjumawa, ia tetap berikan perlawanannya,
beberapa kali ia membuat penyerangan pembalasan yang tak kurang hebatnya,
walaupun ia mesti menempuh bahaya.
Mendongkol juga Mie Ming karena si nona terus mendesak padanya. Selang dua puluh
jurus, In Loei mati daya, tak sanggup dia menangkis terlebih jauh. Ketika gaetan
kiri musuh menyantel pedangnya, dan gaetan kanan mengancam dari atas kepada batok kepadanya, ia
berseru dengan keluhannya: "Ayah,
tak dapat anakmu membalas sakit hatimu!....."
Sambil mengucap demikian, ia tarik pedangnya sekuat tenaga, karena ia masih
mencoba untuk menangkis. "He, budak cilik, apakah kau cucunya In Tjeng?"
tiba-tiba Tantai Mie Ming tanya. Karena ini, tertundalah turunnya gaetan dari
kematian itu. In Loei lolos dari bahaya, segera ia menikam.
"Pemberontak, kau masih punyakan muka menyebut nama yaya-ku?" dia mengejek.
Mie Ming gusar mendengar hinaan itu.
"Memang telah cukup aku Tantai Mie Ming dicaci orang-orang sebangsamu yang
anggap dirinya kosen, setia dan mulia hati. Baiklah, mari aku binasakan kau
turunan orang-orang kosen, setia dan mulia itu!"
Jenderal ini menyerang dengan hebat, maka itu, baharu beberapa jurus, kembali In
Loei telah mati kutunya. Selagi dua orang ini bertempur hebat, dipihak sana terdengar jeritan-jeritan
hebat, sebab Tjioe Kian, yang melawan belasan musuh, telah peroleh hasil. Lega
hatinya In Loei mendengar kemenangan soesioktjouw itu.
Segera setelah itu terdengar seruan si ongya: "Tantai Tjiangkoen, jangan
perlambat waktu! Si bangsat tua Kimtoo sedang mendatangi!"
02 Dan benar-benar Tjioe Kian tahu-tahu sudah sampai di kalangan dan sudah lantas
menyerang dengan golok besarnya.
Tantai Mie Ming tinggalkan si nona, ia tangkis bacokan bekas tjongpeng itu,
hingga berdua mereka jadi bertempur.
"Jikalau hari ini tidak dapat aku bunuh mampus padamu, percuma aku punyakan
golok Kimtoo ini!" berseru Kimtoo Tjeetjoe sambil mengulangi
serangannya yang berbahaya.
Mie Ming berkelit, ia tertawa mengejek.
"Baiklah, aku ingin saksikan golok emasmu!" katanya. Ia menyerang, ia berkelit,
ia menyerang pula, lalu ia tertawa kembali. Lalu ia berkata: "Adakah ini yang
disebut golok emas atau golok perak" Hm! Di mataku inilah tak lebih daripada
tembaga rosokan!" Ia gerakkan gaetannya, ia ketok belakang golok musuh itu.
Tjioe Kian jadi murka, benar ia diam saja, tapi ia balas menyerang.
Sampai di situ, In Loei maju pula, untuk membantu kawannya.
Tidak sibuk Tantai Mie Ming ketika ia tangkis dua senjata dari dua musuhnya itu,
tidak peduli In Loei gesit dan golok emas berat, dapat ia melayani dengan
leluasa, malah kemudian ialah yang lebih banyak menyerang.
Tjioe Kian dan In Loei bingung juga, meskipun mengepung berdua mereka tak dapat
hasil. Tjioe Kian berkata dalam hatinya: "Sudah lama aku dengar Negara Watzu
mempunyai panglima kosen ini, dia benar-benar gagah perkasa. Orang liehay
semacam dia kena dipakai oleh bangsa Tartar, sungguh sayang....."
Ketika itu terdengar pula suara si ongya: "Tantai Tjiangkoen, ketika yang baik
sudah tiba, jangan kau berkelahi lama-lama!"
Mendengar suaranya si ongya, Tjioe Kian dapat daya.
"Menawan bangsat menawan rajanya!" demikian pikiran yang menyandingi. "Apa
perlunya aku berkelahi mati-matian dengan dia ini?"
Maka dia menangkis dengan keras, akan pecahkan kurungan gaetan, di saat Tantai
Mie Ming mundur tiga tindak, dia teriaki In Loei: "In Loei, layani terus
padanya, berlakulah hati-hati!" Habis mengucap demikian, ia lompat mundur, akan
tinggalkan lawan, untuk sebaliknya lompat lebih jauh kepada si ongya.
In Loei sangat cerdas, segera ia mengerti maksudnya soesioktjouw itu, maka
lantas ia desak Tantai Mie Ming, hingga tidak peduli orang Mongolia ini terlebih
liehay, dia toh repot juga.
Si ongya sudah lantas diserang Tjioe Kian. Ia lihat datangnya musuh, dengan
pertahankan tubuh sebisa-bisanya, ia tangkis bacokan itu. Kedua senjata beradu
dengan keras, suaranya sangat nyaring.
Tjioe Kian heran akan dapatkan orang bertenaga besar ia kagum. Ia tahu, ongya
itu sedang terluka, coba dia segar bugar, entah bagaimana besar tambahan
tenaganya. Si ongya juga tidak kurang kagetnya, telapakan tangannya sampai pecah dan
mengeluarkan darah, karena ia telah menangkis dengan sekuat tenaganya untuk
selamatkan diri. Celakanya baginya, ia tidak sanggup berlompatan.
Kimtoo Tjeetju penasaran ia ulangi serangannya, terus sampai tiga kali, serangan
yang ketiga itu tak sanggup ditangkis lagi oleh si ongya, goloknya
terpukul keras, terlepas dari cekalannya dan terlempar, maka dengan leluasa
Tjioe Kian kirim bacokan susulannya, yang ke empat.
"Habis aku!" teriak si ongya. Kendati demikian, dengan lawan sakit di kakinya
yang terhajar piauw, ia buang dirinya untuk bergulingan!
Tjioe Kian membacok tempat kosong, ia jadi semakin penasaran, maka ia maju
terus, akan susul ongya itu, guna mengirim bacokannya terlebih jauh. Justeru itu
ia dengar sambaran angin di belakangnya, hampir tanpa menoleh, ia menangkis.
"Trang!" Kepala berandal ini merasakan getaran keras pada tangannya, ketika ia berpaling,
ia tampak Tantai Mie Ming yang membokong padanya. Ia belum sempat bersiap, atau
Mie Ming sudah simpan sepasang gaetannya, buru-buru dia lompat pada ongya nya,
untuk sambar tubuh si ongya, untuk segera dibawa kabur.
Tjioe Kian tidak mau mengerti, dia lantas lompat, guna mengejar, goloknya
dipakai membabat. Mie Ming tidak bersenjata, ia pun sedang pondong ongyanya, tidak ada jalan lain,
ia berkelit sambil mendak rendah, sedang sebelah tangannya dipakai membarengi
menyerang lengan lawan. Tjioe Kian menyerang dengan hebat, serangannya tidak mengenai sasarannya,
goloknya jadi terulur ke depan, karena itu, tidak keburu ia menarik kembali
tangannya atau lengannya itu telah dihajar lawannya, begitu rupa, sampai ia
merasakan sakit sekali, hingga goloknya terlepas jatuh.
Tantai juga tidak luput dari serangan, ialah dadanya terkena tangannya Kimtoo
Tjeetjoe, hingga ia pun merasakan sakit, akan tetapi, dengan kuatkan diri,
dengan menutup rapat mulutnya, ia terus lari dengan bawa kabur tjoekongnya itu.
In Loei lompat mengejar. Ia menjadi gusar dan penasaran. Tadi ia telah didesak
mundur jauh, karena itu, Mie Ming keburu menolongi ongya-nya dari tangannya
Tjioe Kian. Dalam murkanya, ia ayunkan tangannya, akan menimpuk dengan tiga
batang piauw. Orang Mongolia itu benar liehay. Ia tidak berkelit, sambil lari, ia putar
tangannya ke belakang, satu demi satu, ia sambuti ketiga piauw itu, untuk
diteruskan dipakai menyerang kembali. Nyata ia bertenaga besar, timpukannya pun
hebat. In Loei dengar suara angin, tidak berani ia menanggapi piauwnya itu, yang ia
lewatkan sambil berkelit, hingga piauw mengenai satu batu besar di sebelah
belakang sambil perdengarkan suara nyaring dan muncratkan lelatu api.
"Hebat!" seru si nona di dalam hati. Ia lihat ketiga piauwnya nancap dibatu,
tidak jatuh. Itu waktu Tantai Mie Ming sudah lari terus.
Masih In Loei hendak mengejar tatkala di timur lembah terdengar suara letusan,
hingga gunung bagaikan tergetar, menyusul mana, Tjioe Kian berteriak: "A Loei,
jangan kejar musuh yang sudah mogok!"
Si nona batal mengejar, sedang itu waktu, di selatan, dibarat dan utara lembah
saling susul terdengar letusan nyaring seperti yang pertama tadi, begitupun terdengar suara
riuh dari pertempuran-pertempuran yang mestinya dahsyat.
Tjioe Kian jumput goloknya, ia tertawa besar.
"Tidak peduli bangsa Tartar itu putar otaknya, mereka toh menjadi kurakura dalam
kerajaanku!" ia berkata dengan puas.
In Loei tidak mengerti, ia hendak bertanya pada si orang tua itu, akan tetapi
belum lagi ia membuka mulutnya, Kimtoo Tjeetjoe sudah mendahului lari pergi,
sambil lari dia menggape dan berseru: "Mari lekas, bantui aku menolong orang!"
Dengan masih tidak mengerti, si nona lari menyusul.
Di bawah gunung, mayat-mayat bergeletakan di sana sini, darah berlimpahan.
Itulah korban-korbannya Tjioe Kian tadi. Tak tega In Loei menyaksikan itu, ia
lari sambil menutupi muka.
"A Loei, apakah kau bawa obat luka pemunah racun?" begitu terdengar
pertanyaannya si orang she Tjioe. ?"Eh, A Loei kau kenapa" Kau takut" Bagaimana
nanti kau dapat membalas dendam?"
"Tak takut aku bertempur sama segala bangsat," sahut si nona, "tetapi tak tega
aku menyaksikan mayat-mayat itu....."
Tjioe Kian tertawa. "Sungguh kau satu pemudi gagah yang pemurah hati....." ia kata. "Di medan
perang, dimana pemandangan lebih mengerikan daripada ini masih dapat disaksikan!
Mari, mari, kau tengok, kalau nanti kau sudah biasa, hatimu tidak akan goncang
lagi....." In Loei lari terus kepada jago tua itu, ketika sudah datang dekat, ia lihat
sijago tua sedang pondong satu orang dengan dandanan sebagai boesoe - orang yang
mengerti ilmu silat, - dibebokong siapa nancap sebatang panah yang masuk hampir
separuhnya. "Apakah dia masih dapat ditolong?" nona ini tanya.
"Dia masih bernapas, kita coba saja," jawab Tjioe Kian.
"Aku membekal obat luka pemunah racun, hanya entah tepat atau tidak," kata si
nona, yang terus berikan obat itu.
Tjioe Kian terima obat itu. Ia cabut panah dibebokong orang itu yang terluka,
yang tubuhnya diletakkan di tanah. Dari lobang luka terus keluar darah hitam.
"Benar-benar panah beracun," kata orang tua ini sambil mengobati luka itu,
kemudian ia urut-urut tubuhnya.
Tidak lama antaranya, si luka itu membuka kedua matanya, cuma napasnya masih
lemah, belum dapat ia membuka mulutnya.
Tjioe Kian mengawasi, ia geleng-gelengkan kepalanya.
"Bagaimana1" tanya In Loei.
"Inilah racun Mongolia yang hebat sekali, tanpa obat pemunah dari si pemilik
panah, tak dapat kita menolongnya," sahut si orang tua. "Syukur orang ini
mempunyai tenaga dalam yang tanggu, karenanya
ia masih dapat bertahan sampai sekarang ini. Obatmu dan urutanku cuma bisa
menolong ia untuk sementara waktu, untuk
membuatnya sadar, akan tetapi jiwanya tidak dapat bertahan sampai besok....."
In Loei jadi sangat berduka. "Kalau begitu lebih baik kita tidak tolong dia,
supaya lantas mati dan tak usah menderita terlebih lama," ia kata.
"Dia buron dari tanah daerah Tartar, dia dikepung sampai di sini mungkin dia
mempunyai rahasia penting," Tjioe Kian utarakan sangkaannya.
"Maka kalau dia tidak dapat berbicara sebelum dia menutup mata, mungkin dia mati
tak puas....." Dari sakunya, Tjioe Kian keluarkan sepotong jinsom Korea, lalu dipotongnya,
kemudian dimasukkan ke dalam mulut orang itu. Obat ini (koleesom) mempunyai
khasiat manjur rupanya ia mengharap orang itu dapat ditolong.
Di empat penjuru lembah masih terdengar riuhnya suara pertempuran, juga
ringkikkan dari banyak kuda, terutama letusan-letusan yang memekakan kuping.
Mendengar itu semua, Tjioe Kian, ketok-ketok goloknya sambil tertawa.
"Tidak sampai terang tanah, tentera Tartar akan musnah semuanya," kata dia. "In
Loei, sekarang tahulah kau sebabnya kenapa aku rampas angkutan harta tentera
kota Ganboenkwan." In Loei cerdik, ia cuma berpikir sebentar atau ia tertawa sambil tepuktepuk
tangan. "Sungguh tipu dayamu yang bagus, soesioktjouwl" dia memuji. "Kau rampas uang negara, itu artinya kau hendak bikin
tjongpeng dari Ganboenkwan dengar perkataanmu. Begitulah ketika bangsa Tartar
menjanjikan dia untuk bekerja sama, kau suruh dia diam saja, jangan gerakkan
tentera. Demikian, kau berada di tempat terang, musuh berada di tempat gelap.
Semua kau atur sempurna, pasti sekali kau menang perang!"
Tjioe Kian puas, ia tertawa pula.
"Teng Tay Ko itu bukannya seorang yang buruk," ia kata. "Pemerintah titahkan dia
membasmi berandal, dia insaf bahwa tenaganya tidak cukup, dia membuat
perhubungan dengan bangsa Tartar. Lebih dahulu aku rampas hartanya, setelah itu
seorang diri aku pergi padanya. Aku tegaskan padanya apakah dia ingin mampus
dicingcang tenteranya yang kelaparan atau hendak bermusuh dengan bangsa Tartar.
Nyata dia masih sayangi jiwa dan pangkatnya, dia dengar perkataanku. Sekarang
nampaklah buktinya."
Tak tahan jago tua ini kembali dia tertawa.
"Kenapa kau tertawa soesioktjouw?" tanya In Loei heran.
"Aku tertawa karena Teng Tjongpeng itu Jenaka," sahut si orang tua. Di dalam
surat-surat resminya dia namakan aku "Kimtoo si bangsat tua" akan tetapi bila
berhadapan dengan aku sendiri, dia berulangkah memanggil thaydjin, tandanya ia
tetap akui aku sebagai atasannya....."
Mau atau tidak In Loei juga tertawa.
"Apakah sebelum dia berada di sini, dia tahu
Kimtoo si bangsat tua ada seatasannya?" dia tegaskan sambil berkelakar.
"Dia adalah orang angkatanku," Tjioe Kian beri keterangan. "Begitu dia saksikan
golokku, dia mesti dapat menduga aku siapa. Cuma tadinya dia berpura-pura tidak
tahu. Pun biasanya, setiap kali aku tempur tentera negeri, aku selalu pakai
topeng, maksudku ialah agar mereka tidak mengenali aku."
"Kenapa begitu, soesioktjouw?"
"Jikalau tenteranya mengetahui aku adalah bekas tjongpeng dari kota
Ganboenkwan." sahut si orang tua, "ada kemungkinan sebagian dari tenteranya itu
akan lari ke pihakku. Ganboenkwan adalah kota perbatasan, sudah semestinya kota
itu mempunyai pasukan penjaga yang kuat, karena ini aku cuma terima orang-orang
melarat, aku tolak tentera negeri."
In Loei masih muda sekali, tidak pernah ia pikirkan siasat semacam itu,
karenanya ia melengak mendengar pembicaraan Kimtoo Tjeetjoe, yang dalam
maksudnya itu. "Bagus, dia telah mendusin" tiba-tiba Tjioe Kian berseru.
Memang benar si orang luka itu membalikkan tubuhnya.
"Kamu siapa" tanya dia pertama kali dia membuka mulutnya, suaranya serak. "Lekas
pimpin aku, aku hendak bertemu dengan Kimtoo Tjeetjoe!....."
Tjioe Kian girang. "Akulah Kimtoo Tjeetjoe," ia perkenalkan dirinya. Orang itu segera menanya:
"Apakah kau tahu cucu perempuan dari In Tjeng yang bernama Loei" Tahukah kau di mana dia berada?"
In Loei terkejut. "Aku adalah In Loei!" ia segera menjawab. Dengan mendadak orang itu pentang
lebar matanya. "Kau In Loei?" katanya. "Bagus! Bagus! Mati pun aku meram! Kakakmu masih hidup,
sekarang dia telah pergi ke kota raja untuk turut dalam ujian, maka lekaslah kau
pergi susul dia!" Kembali si nona terkejut. Memang ia tahu yang ia masih
mempunyai satu saudara lelaki, dan usianya lebih tua, namanya In Tiong, akan
tetapi waktu kakaknya itu berumur lima tahun, ayahnya telah mengirimkan dia pada
satu soehengnya, kakak seperguruan, untuk dijadikan muridnya. Hal ini ia baharu


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu kemudian, sesudah ia dengar keterangan gurunya.
Sama sekali Hian Kee Itsoe, gurunya In Teng, mempunyai lima murid. In Teng
keluar dari perguruan sebelumnya tamat, dia pergi ke negeri asing untuk
menolongi ayahnya, In Tjeng. Empat murid lainnya, masing-masing mendapat serupa
kepandaian istimewa. Tiauw Im adalah murid yang kedua, dia mendapat ilmu tongkat
Hokmo thung serta gwakang, ilmu tenaga luar. Tjia Thian Hoa yang ketiga, bersama
Hoeithian Lionglie yang ke empat, berdua mereka peroleh ilmu pedang. Murid
kesatu adalah Tang Gak, dia diberi
pelajaran Taylek Engdjiauw kong, Tenaga Cengkraman Garuda, dan ilmu silat
Kimkong tjioe, Tangan Arhat. In Tiong telah dikirim kepada Tang Gak ini. Sejak
Tang Gak tiba di Mongolia, dari mana ia berpesiar keperbatasan Thibet, untuk selama
sepuluh tahun, selama itu tidak pernah ada kabar ceritanya, maka itu apakah In
Tiong sudah mati atau masih hidup, orang tidak mengetahuinya. Siapa tahu
sekarang mendadak datang kabar dari orang yang tidak dikenal ini.
In Loei menjadi girang berbareng heran.
"Kau siapa?" ia tanya.
"Aku adalah soeheng dari kakakmu," ia berikan jawaban.
"Ah! Kalau begitu, kau juga ada soeheng-ku....."
ia beritahu. Tadinya ia niat menanyakan lebih jelas, tiba-tiba ia tampak matanya
menjadi putih mencilak, lalu dengan lebih serak, soeheng itu berkata: "Masih ada
kabarku yang lebih pentang pula. Bangsa Tartar berniat mengurung gunungmu, untuk
merusak bendungan air....."
"Tentang itu, aku telah ketahui dari siang-siang," Tjioe Kian beri keterangan.
"Dapatkah kau dengar suara ledakan" Itu tandanya pihakku telah peroleh
kemenangan." Orang itu tersenyum, ia perlihatkan roman girang.
"Musuh juga akan mengerahkan angkatan perangnya untuk menggempur kerajaan Beng,"
dia masih menerangkan lebih jauh. "Kau..... kau mesti
berdaya untuk memberi kisikan kepada Sri Baginda.
Di..... di..... dihadapanku ada sepucuk surat
untukmu..... Bagus, aku telah bertemu dengan
kamu, bolehlah aku pergi....."
Suaranya semakin perlahan, begitu ia berhenti
bicara, ia tersenyum pula, habis itu, kedua matanya dimeramkan kembali....."
Secara demikian dia berpulang ke alam baka.
Tjioe Kian terharu, ia menghela napas. Ia ambil surat yang dimaksudkan, ia
menekes batu untuk menyalakan api.
"Inilah suratnya toasoepeh-mu." ia kata.
Surat itu ditulis dengan huruf "Tjodjie", suatu tanda ditulisnya lekas-lekas.
Tjioe Kian lantas sobek sampulnya, untuk membaca suratnya. Mula-mula ia baca:
"Gak adalah seorang gunung, ia titipkan dirinya di padang pasir, citacitanya
besar, akan tetapi akhirnya, dengan arak ia membuat dirinya sinting selalu.
Seumurnya tidak ada yang Gak buat menyesal kecuali belum pernah berkenalan
dengan tuan....." Di dalam hatinya, Tjioe Kian berpikir: "Tang Gak ini mempunyai cita-cita luhur."
Ia membaca terus: "Walaupun tuan dengan aku belum pernah bertemu, akan tetapi
dari saudara Thian Hoa, tahulah aku tentang kegagahan tuan yang kaum kangouw
mengaguminya. Benar tuan telah berdiri sendiri dengan menduduki sebuah gunung,
dengan menolak bangsa Han dan menentang bangsa asing, akan tetapi aku tahu pasti
tuan tak sudi melihat bangsa asing meluruk ke Selatan untuk menggembala kuda
hingga kesudahannya Tionggoan nanti berubah Han menjadi asing....."
Tjioe Kian menghela napas.
"Sungguh orang ini mengenal diriku," ia kata. Ia membaca pula:
"Di negara Watzu setelah perdana menteri To Hoan menutup mata, puteranya yang
bernama Ya Sian telah menggantikannya, mulanya sebagai menteri, belakangan dia
angkat dirinya guru negara, hingga dia pegang kekuasaan atas pemerintahan dan
tentera. Dia telah menyiapkan angkatan perangnya dengan maksud menyerbu
Tionggoan. Sekarang dia mengumpulkan rangsum dan lain lainnya, hingga rasanya
tak lama lagi ia akan mulai menggerakkan tenteranya itu. Musuh tangguh sudah
seperti di depan pintu kota perbatasan akan tetapi di dalam pemerintahan, menteri-menteri
tengah bermabuk-mabukan, mereka seperti tengah bermimpi adakah itu bagus"....."
Jago tua itu berpikir keras. Memang kelihatan, kaum dorna tengah main gila. Ia
membaca lebih jauh: "Muridku In Tiong berniat keras membalas dendam, dia telah berangkat pulang ke
dalam negeri, tetapi dia masih muda dan pengalamannya kurang, dia tak tahu bahwa
yang berkuasa adalah kaum dorna, aku kuatir dia nampak kegagalan. Maka itu,
semoga tuan ingat kepada sahabat lama, sukalah kau mendidik dia. Gak pun dengar
saudara In Tjeng masih mempunyai satu anak perempuan bernama
Loei, andaikata tuan ketahui di mana adanya anak itu, tolong beritahukan padanya
tentang kakaknya ini. Aku menyesal mengenai soetee Thian Hoa, sejak pertemuan
kita di perbatasan pada sepuluh tahun yang lalu, sampai sekarang ini terputuslah
perhubungan kita. Ceritera di luaran mengatakan dia telah terbinasa ditangan
penghianat she Thio atau ia telah tertawan dan terkurung di dalam istana bangsa
asing. Gak sekarang bersendirian saja, aku tidak sanggup berbuat suatu apa, dari
itu Gak mohon sukalah tuan mengabarkan kepada soetee Tiauw Im dan soemoay Eng
Eng agar mereka lekas berangkat ke negara asing. Semua ini, aku mohon bantuan
tuan, untuk itu, tak berani aku menghaturkannya terima kasih."
Habis membaca, Tjioe Kian menghela napas.
"Jikalau demikian adanya," kata In Loei, "baiklah aku pergi dulu ke kota raja
untuk mencari kakakku."
Orang tua itu lirik si nona, ia berpikir.
"Begitupun baik," sahutnya, setelah lama berpikir.
In Loei heran melihat wajah orang tua itu.
"Rasanya aku dapat menduga niatan kakakmu itu," kata Tjioe Kian kemudian.
"Kabarnya raja yang sekarang sedang mencari
orang-orang pintar dan gagah, untuk itu ia berminat memberi hadiah yang istimewa
pada mereka yang tahun ini turut ujian, ialah setelah ujian umum, ia lantas
mengadakan ujian tjonggoan. Pastilah kakakmu hendak ambil jalan ujian itu guna
memajukan dirinya, supaya kemudian dapat ia pinjam tenaga pemerintah untuk
mewujudkan pembalasan bagi engkong nya itu. Maksud ini baik, saying kawanan
dorna tengah berkuasa, dari itu aku kuatir, dia tidak akan mendapat hasil....."
Orang tua ini dongak, akan melihat bintang-bintang. Tiba-tiba ia memandang In
Loei. "A Loei, pernahkah kau baca surat balasannya Lie Leng kepada Souw Boe?" tiba
tiba ia tanya. Si nona manggut. Memang ia pernah baca surat itu. Inilah disebabkan karena
engkong-nya membandingkan dirinya dengan Souw Boe, maka ia telah minta engkong
itu mengajarkannya. "Masa dahulu Lie Leng, dengan tenteranya telah melawan bangsa Ouw," berkata
Tjioe Kian. "Serdadunya cuma lima ribu jiwa tapi dia lawan musuh dengan tentera
sepuluh laksa jiwa, bisa dimengerti kelemahannya, walaupun demikian, masih bisa
ia membinasakan panglima dan merebut benderanya, mengejar sana mengejar sini,
hanya pada akhirnya, karena yang sedikit tidak dapat melawan yang banyak, ia
kehabisan tenaga dan kena ditawan juga. Kalau diingat, besar jasanya Lie Leng,
tetapi pemerintah tidak menghargainya, malah dia dihukum mati serumah tangganya,
maka itu, ia jadi putus asa, tak ada ingatannya lagi untuk pulang ke negerinya.
Dalam suratnya pada Souw Boe itu, ia teringat kepada ibunya, kepada anak
isterinya, ia sesalkan nasibnya yang buruk. Maka itu, Lie Leng itu sungguh harus
dibuat menyesal....."
Ia dongak pula, ia menghela napas.
"Soesioktjouw," berkata In Loei, "kau tetap
menentangi tentara bangsa Ouw, mana bisa kau dipadu dengan Lie Leng?"
"Kau belum tahu tentang aku, anak," kata Tjioe Kian. "Dalam usiamu tujuh tahun,
kau telah dengar riwayatnya engkong-mu, maka sekarang, akan aku tuturkan kau hal
diriku. Dahulu dimasa aku menguasai kota Ganboenkwan, pernah aku melakukan
peperangan besar dan kecil sampai beberapa puluh kali, setiap kali berperang,
tentu aku peroleh kemenangan, maka sungguh tak diduga, oleh karena dengar
hasutan, raja telah memecat aku. Untukku, kejadian itu tidak berarti suatu apa.
Tapi engkong-mu" Dia bandingkan dirinya dengan Souw Boe tapi dia mengalami lebih
hebat, dia dihadiahkan kematian! Adakah ini adil" Karena itu, aku lantas
tinggalkan Ganboenkwan. Mulanya aku tak mempunyai pikiran untuk menduduki
gunung, siapa tahu, raja Beng berbuat sama seperti raja Han terhadap Lie Leng.
Keluargaku semua telah dihukum mati! Syukur satu bujangku yang setia berhasil
menolongi puteraku. Dialah orang yang pancing kau mendaki gunung."
In Loei terharu hingga ia mengalirkan air mata. Ketika ia pandang jago tua itu,
wajahnya Tjioe Kian muram, jago itu membungkam. Tapi kemudian, dengan goloknya,
Tjioe Kian tunjuk benderanya yang melambai-lambai ditiup angin malam yang
dingin: "Lihat di sana, benderaku tetap bendera Djitgoat Kie!"
In Loei angkat kepalanya, ia turut memandang bendera itu dengan matahari dan
bulan sabitnya. Yang luar biasa adalah huruf "djit" - "matahari" dan huruf "goat" - "rembulan,"
apabila keduanya direndengkan, digabung menjadi satu, kedua huruf itu menjadi
huruf "Beng" - "terang," tetapi di sini diartikan "beng" dari kerajaan Beng.
"Kiranya sekalipun soesioktjouw menjadi berandal, masih kau tak melupakan
kerajaan kita!" ia kata.
Tjioe Kian tidak menjawab, ia hanya berkata: "Kalau nanti kau dapat cari kakakmu
itu, katakan padanya supaya dia jangan turut dalam ujian boe tjonggoan, tapi
lebih baik dia kembali, untuk
datang padaku di sini. Pemerintah sangat tidak berbudi, buktinya, lihat yaya-mu
itu! Apakah itu tak cukup dijadikan contoh untuk hati menjadi ciut?"
Si nona mengangguk. "Soesioktjouw benar," sahutnya.
Tjioe Kian lipat suratnya, ia masukkan itu ke dalam sakunya.
"Samsoesiok Tjia Thian Hoa mu gagal, dia juga orang yang aku kagumi," dia
Rahasia Kitab Ular 1 Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Penghuni Telaga Iblis 2

Cari Blog Ini