Ceritasilat Novel Online

Dua Musuh Turunan 5

Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 5


masuk. Sedang di tembok, yang menghadapi pintu, ada dipayang sebuah kaca kecil
dari kuningan. Dari kaca ini orang di dalam dapat memandang keluar, sebaliknya,
dari luar, orang tak dapat melihatnya.
Ketika itu sinar matahari sudah menebus lobang di wuwungan itu, melihat
bayangannya, bisa diduga sang waktu sudah lewat tengah hari. Adalah waktu itu
dengan tiba-tiba terdengar satu suara dari luar, suara seperti orang membongkar
pintu. Karena pintu bekas digempur, dengan hanya membongkar landasannya saja,
pintu itu dengan mudah dapat dibuka.
In Loei dengar tegas suara itu, ia memasang mata kepada kaca. Ia tampak satu
bayangan orang, samar-samar ia seperti kenal bayangan itu, bayangan dari satu
nona. Segera tergeraklah hatinya. Dengan tangan bajunya, ia gosok kaca itu,
hingga di lain saat, dapatlah ia melihat lebih jelas. Hampir saja ia menjerit
keras. Nona itu tidak lain daripada Tjio Tjoei Hong gadisnya Hongthianloei Tjio
Eng. Bagaikan orang meraba-raba, Tjoei Hong bertindak masuk.
"In Siangkong1. In Siangkong1." ia memanggil-manggil.
In Loei tertawa di dalam hati.
"Kita bersuami isteri hanya setengah malaman, siapa sangka ia pikirkan aku
begini rupa," demikian pikirnya. Ia terus memasang mata.
Ruang kuburan itu guram, tiba-tiba berbareng dengan suara tekesan, api telah
menyala. Tjoei Hong, yang menyalakan api. Ketika ia tampak dua belas batang
lilin, segera ia sulut itu semua, hingga di lain saat, ruangan jadi terang
bagaikan siang. Karena ini, pada kaca di dalam kamar rahasia, terlihat tegas
wajahnya Nona Tjio. Menampak roman orang, In Loei terkejut. Beberapa hari saja
ia berpisah dari nona itu, atau sekarang si nona telah menjadi sangat perok dan
kumal. Masih In Loei mengawasi kepada kacanya. Ia lihat Tjoei Hong jalan mondarmandir
di ruang besar, rupanya si nona tengah mencari dia. Tiba-tiba nona itu
berjongkok, lalu menyusul tangisnya.
Tjoei Hong telah mendapatkan tanda darah di tanah. Itulah tanda darah dari Pek
Moko, yang terluka kena pedang. Rupanya si nona sangka, itu adalah darahnya In
Loei, "suaminya." Ia tahu Hek Pek Moko ada langganan dari ayahnya, ia tahu juga
liehaynya kedua hantu itu, maka ia menyangka, "suaminya" sudah terluka ditangan
kedua langganan itu. Mungkin, kalau tidak terbinasa, suami itu terluka parah
atau bercacat. Maka itu, ia jadi sangat berduka.
Tak tega In Loei menyaksikan orang berduka, ia mau lompat turun, untuk
membukakan pintu kamar rahasia, guna menemui. Tapi Tan Hong di sisinya menekan
padanya. "Tidak peduli apa akan terjadi di luar, tak dapat kau perdengarkan suara!" si
mahasiswa bisiki. Lalu dia tekan telapak tangan orang, untuk membantu si nona
mengempos semangatnya, untuk membikin darahnya tetap berjalan dengan sempurna.
Tjoei Hong menangis sekian lama, lantas dari sakunya ia keluarkan sepotong batu
sanhu, terus ia letakkan di atas meja. Itulah batu yang merupakan tanda mata
dari In Loei. Berulang kali ia raba batu itu, setiap kali ia menangis pula.
"Adik, adik, aku sangat bersengsara....." keluh si nona kemudian.
In Loei dengar itu, ia merasa kasihan. "Entjie, aku belum mati, aku belum mati,"
ia menjawab dalam hatinya.
Tentu sekali Tjoei Hong tidak dengar itu, ia masih menangis pula.
Habis menangis, tiba-tiba Nona Tjio hunus golok yang tergantung dipinggangnya,
dengan itu ia mengancam ke udara.
"Adik Loei!" ia berseru, "tidak peduli bagaimana lihaynya kedua hantu itu, akan
aku minta ayah membalaskan sakit hatimu ini!"
Ia jalan beberapa tindak, mendadak ia berjongkok pula. Dari tanah ia pungut dua
buah gelang emas. Itulah gelang rambut Hek Moko, yang kena dipapas Thio Tan
Hong. Ia awasi gelang itu dengan mendelong. "Ah, apakah benar hantu itu tidak
mendustai aku?" katanya seorang diri. Gelang itu ia balikbalikkan, terus ia
awasi. Kembali ia bengong.
Malam itu seberlalunya In Loei, Tjoei Hong menyusulnya dengan menunggang kuda,
di tengah jalan, ia berpapasan dengan Hek Pek Moko, ia tanya kedua hantu itu apa
mereka melihat satu anak muda, roman siapa ia petakan. Ia lukiskan potongan
tubuh In Loei serta wajahnya.
"Siapa dia itu?" tanya kedua hantu itu sambil tertawa dingin.
Tjoei Hong berikan keterangannya, atas mana, Hek Moko perdengarkan suara
dihidung: "Hm!" Terus dia berkata: "Bagus, keponakanku yang baik, kau telah
mendapatkan pasangan yang bagus sekali, ilmu silatnya pun tak ada celanya!"
Nona Tjio heran, ia terkejut.
"Bagaimana kau ketahui itu?" tanyanya.
Kembali Hek Moko tertawa dingin.
"Dia telah menalangi kau memenangkan sejumlah harta besar!" sahutnya, tetap
dingin. "Semua bandaku di sini telah terkalahkan olehnya! Hongthianloei telah
mendapatkan baba mantu semacam dia itu, sungguh, bolehlah dia mencuci tangan,
tidak usah dia teruskan pekerjaannya!"
Tjoei Hong bertambah kaget.
"Apa" Dia berani tempur kamu?" ia tanya, menegaskan.
Hek Moko mengawasi dengan sinar mata bengis. Ia menyangka si nona hendak
mempermainkan dia. Tapi ia tidak gubris pertanyaan itu, dengan tetap masih
mendongkol, ia ajak Pek Moko melanjutkan perjalanan mereka.
Tjoei Hong tahu kuburan yang menjadi istana kedua hantu itu, ia langsung menuju
ke sarang orang itu. Tidak pernah ia bermimpikan bahwa In Loei dapat mengalahkan
Hek Pek Moko. Maka itu, mendapatkan gelang kepala itu, ia menjadi bersangsi.
Hek Pek Moko ada sangat liehay, tidak bisa jadi mereka terkalahkan In Loei....."
katanya di dalam hatinya. "Akan tetapi Hek Pek Moko ada orangorang kenamaan yang
jujur, tidak nanti mereka mendustai Sebenarnya, apa yang telah terjadi"
Mungkinkah ada lain orang yang mencelakai adik Loei"....."
Ia bersangsi pula, kekuatirannya tak segera lenyap. Ia menduga, darah itu ada
darahnya In Loei. Tengah ia berpikir keras, ia dengar meringkiknya kuda di luar
kuburan, menyusul mana ia tampak satu anak muda bertindak masuk dengan sebelah
tangannya menuntun seekor kuda merah. Ia kenali, itulah kuda In Loei. Bahna kaget dan heran, hampir
ia berseru. Anak muda itu tidak lain daripada Tjioe San Bin puteranya Kimtoo Tjeetjoe, dia
tengah menerima titah ayahnya untuk suatu tugas, kebetulan dia dapat endus
halnya In Loei, selagi lewat di tempat itu, dia tampak kuda orang - yang asalnya
adalah kuda tunggangnya sendiri - maka dia lantas tuntun kuda itu. Dan kuda itu
lantas perdengarkan suaranya, seperti juga ia hendak memberitahukan bekas
majikannya ini bahwa majikannya yang baharu berada di lobang kubur itu.
San Bin heran, apabila ia ingat pekuburan itu adalah sarangnya Hek Pek Moko,
kedua hantu yang aneh itu. Tanpa merasa ia keluarkan keringat dingin. Tapi ia
tidak takut, maka sambil menuntun kuda merah itu, ia bertindak masuk ke dalam
pekuburan. Ia tampak sinar terang dari api, ia tidak lihat seorang juga, ia
menjadi heran dan ragu-ragu. Ia maju terus. Di saat ia pikir untuk buka suara,
untuk memanggil-manggil, tiba-tiba ia tampak satu nona dengan rambut terurai
muncul dari pojok yang gelap, dan dengan goloknya, mendadak nona itu lompat
membacok padanya. Tjoei Hong menjadi sangat bingung dan ber-kuatir, ia tengah bersedih, pikirannya
jadi seperti waswas, maka itu, begitu melihat kuda In Loei, ia sangka San Bin
ada seorang penjahat, tanpa sangsi lagi, ia lompat menerjang.
San Bin terkejut, dia lompat berkelit.
Tjoei Hong bagaikan kalap, gagal dalam ba-cokannya yang pertama, ia susul itu
dengan yang kedua. San Bin menjadi berkuatir, terpaksa ia hunus goloknya, untuk menangkis.
Tjoei Hong membacok untuk ketiga kalinya, lalu untuk ke empat kalinya.
"Hai, tahan!" seru San Bin. "Kita tidak bermusuh, kenapa kau bokong aku?"
Setelah serangannya yang ke empat kali itu, Tjoei Hong mulai heran, di dalam
hatinya, dia kata: "Kelihatannya kepandaian orang ini berimbang dengan
kepandaianku, mana pantas dia jadi lawannya In Loei?" Tapi ia masih membacok
lagi dua kali, membacok dengan sia-sia, setelah itu, ia menegur: "Binatang,
lekas kau bicara! Dari mana kau dapatkan kuda merah ini?"
Ditanya begitu, San Bin mendadak tertawa. Ia lompat kepada kudanya, yang tadi ia
lepaskan dari tuntunannya, ia usap-usap kuda itu.
"Kuda ini asalnya kudaku, untuk apa kau tanyakan?" ia balik menanya.
Kuda merah itu diam saja diusap-usap, ia tunjukkan kejinakannya terhadap bekas
majikannya itu, ia seperti mau hunjuk, San Bin tidak bicara dusta.
Tjoei Hong telah perdengarkan suara "Hm!" dan pedangnya sudah digerakkan pula,
baharu ia mau lompat, atau ia membatalkannya. Ia dengar pertanyaan orang, ia
saksikan kelakuan kuda itu, ia heran.
"Aku tahu kuda merah ini binal, kenapa dia sekarang jadi begini jinak?" demikian
ia berpikir. Selagi orang berdiam, San Bin mengawasi ke sekitarnya. Ia lantas lihat sepotong
sanhu di atas meja, ia terkejut, hingga wajahnya berubah, dengan cepat ia lompat
maju, untuk mengambil batu permata itu.
Tjoei Hong lihat gerak-gerik orang, dia lompat, untuk mencegah.
"Kau hendak bikin apa?" dia tegur dengan bengis.
"Hai, kau sendiri hendak bikin apa?" San Bin baliki.
Si nona tertawa dingin. "Adakah sanhu itu kepunyaanmu?" dia tanya.
San Bin tertawa, dia melengak.
"Bicara terus terang, sanhu ini ada kepunyaanku!" ia jawab. Lalu dengan bengis,
dia membentak: "Orang perempuan, lekas kau bicara terus terang! Dari mana kau
peroleh batu ini" - kau mencuri atau merampas?"
Memang sanhu itu adalah tanda mata dari San Bin kepada In Loei, dan In Loei
telah memberikannya kepada Tjoei Hong. Menampak batu itu, pasti sekali San Bin
heran dan bercuriga. Tjoei Hong murka sekali, ia merasa diperhina. Ia lompat dan membacok tanpa
mengucap sepatah kata juga.
Kali ini San Bin menangkis tanpa segan-segan lagi, dia telah menggunakan tenaga
besar, hingga golok Tjoei Hong tertangkis hampir terpental. Dalam sengitnya si
nona bergerak dengan lincah, sesaat saja, ia telah berada di belakang si anak
muda. San Bin ketahui gerakan orang, ia mendahului membacok ke belakang sambil ia
putar dirinya, atas mana, Tjoei Hong menangkis. Maka di situ, mereka jadi
bergebrak, sekarang secara sungguh-sungguh, sebab mereka saling membalas, bukan
seperti tadi, San Bin hanya, menangkis dan main berkelit.
In Loei dari tempat sembunyinya menyasikan pertempuran itu, ia menjad gelisah
sendirinya, hingga tidak dapat ia tenangkan diri, untuk bersemedhi terus.
Thio Tan Hong gunakan kedua tangannya, guna
menekan telapakan tangan si nona, sambil berbuat begitu, ia bisiki: "Jangan kau
sibuk tidak keruan! Mereka berdua tidak akan dapat menangkan satu dari lain.
Apakah kau kenal anak muda itu?"
In Loei manggut. Tiba-tiba ia ingat halnya Tan Hong merobek bendera Djitgoat
Kie, maka ia awasi pemuda itu sambil mendelik. Sikapnya membikin pemuda itu
heran. Pertempuran antara Tjoei Hong dan San Bin berjalan terus, sebentar saja sudah
melalui tiga puluh jurus lebih. Benar seperti dugaannya Thio Tan Hong, tidak ada
satu yang kalah atau menang. Kalau si anak muda kuat tenaganya, adalah si nona
lincah tubuhnya. Tjoei Hong telah membacok pula, habis mana, dia tanya: "Kau kata sanhu itu ada
kepunyaanmu, dapatkah kau membuktikan?" San Bin tertawa terbahak pula.
"Kiranya pembegal, kau pun tidak tahu apa-apa" katanya. "Coba kau periksa itu,
lihat di bawah daun yang ketiga. Tidakkah di situ ada ukiran satu huruf Tjioe?"
Tjoei Hong menyayangi sanhu itu, ia bulak balikan entah berapa ratus kali, tidak
heran kalau ia tahu benar adanya ukiran huruf itu ia menjadi heran atas
pertanyaan si anak muda, ia tanya dalam hatinya, kenapa In Loei memberikan ia
tanda mata yang berukiran huruf "Tjioe" itu" Tapi ia cerdas, dengan lekas ia
sadar. Maka ia lompat keluar kalangan.
"Eh, bukankah kau ada saudara angkat dari In Loei?" ia tanya.
San Bin terkejut saking heran ia pun mundur.
"Jikalau kau tahu aku ada saudara angkat dari In Loei," dia tanya, "kenapa kau
tidak tahu bahwa sanhu ini akulah yang memberikannya kepadanya?"
Teringatlah Tjoei Hong pada saat-saat malam pengantin, waktu itu In Loei seperti
tak henti-hentinya menyebut nama saudara angkatnya itu. Maka itu, tanpa merasa,
ia lirik anak muda ini. San Bin kalah cakap dari In Loei, tapi romannya gagah, ini dapat lantas dilihat
oleh nona Tjio. Selagi orang lirik padanya, ia pun melihat si nona, maka sinar
mata mereka bentrok satu pada lain. Ia tampak wajah si nona bersemu dadu.
"Foei!" berseru si nona dalam hatinya, menyusul mana, ia mendongkol terhadap In
Loei. Tentu sekali, San Bin tidak ketahui apa yang si nona pikirkan itu.
"Aku adalah saudara angkat dari In Loei, habis kau mau apa?" tanya pemuda ini
kemudian. "Lekas kembalikan sanhu itu kepadaku!"
"Tidak!" teriak Tjoei Hong.
"Ah, bangsat perempuan," kata San Bin, "Kau sendirian saja, berani kau
memikirkan untuk membegal barangku?"
"Apa, barangmu?" bentak Nona Tjio. "Sanhu ini ada tanda mata dari In Loei
untukku! Jikalau aku tidak pandang saudara In Loei, tentu aku sudah bacok belah
tubuhmu!" Untuk sesaat, San Bin melengak.
"Tanda mata?" dia ulangi. "Pernah apakah kau dengan In Loei?"
"Ia adalah suamiku!" sahut Tjoei Hong. "Tak takut aku mengatakannya ini
kepadamu" Dengan sekonyong-konyong San Bin tertawa terbahak-bahak. Dengan lantas, ia ingat
yang In Loei tengah menyamar, sebab sendirian dia mesti pergi ke kota raja.
Tentu sekali, nona itu mesti merahasiakan dirinya. Rupanya, sampaipun terhadap
nona ini, dia tidak membuka rahasia.
"Maka aku, baiklah aku juga tidak membuka rahasianya itu, segera ia dapat
pikiran. Maka itu, sehabis berpikir demikian, ia berhenti tertawa. Ia pun lantas
tanya: "Nona, kau she apa dan namamu siapa" Kapan kau menikah dengan saudara In
Loei?" Tjoei Hong tidak jengah, dia malah mendongkol. Dengan cekal keras goloknya, dia
mengawasi dengan bengis. "Hongthianloei Tjio Eng adalah ayahku!" sahutnya denga nyaring. "Kami menikah
tiga hari yang baru lalu. Kenapa, apakah putrinya Tjio Eng tidak sepadan untuk
adik angkatmu itu?" Di luar dugaan si nona. San Bin masukkan goloknya ke dalam sarungnya, ia lantas
angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat.
"Teehoe, harap kau tidak gusar," dia berkata. "Sebenarnya tidak ada maksudku
untuk mempermainkan kau! Apakah Tjio looenghiong baik?"
"Baik" sahut si nona dengan suara yang menyatakan ia masih mendongkol.
"Kamu telah menikah tiga hari, adakah selama itu kamu berdiam di Tjio
keetjhoeng?" San Bin tanya pula. Dia tidak mau tanya langsung tentang malam
pengantin, dia gunakan kata-kata kiasan.
"Malam itu dia kejar seorang penjahat berkuda putih, sejak itu tidak ada kabar
kabarnya lagi." sahut Tjoei Hong.
Terkejut San Bin mendengar keterangan ini. Dia membuat perjalanan justeru karena
penjahat berkuda putih itu.
"Apakah penjahat itu satu pemuda berkuda putih yang romannya sebagai mahasiswa?"
dia tanya, menegaskan. "Belum pernah aku lihat romannya." jawah Tjoei Hong.
"Kuda putihnya hebat sekali bukan?" San Bin masih menanya.
"Betul." si nona sahuti. "Kuda pilihan dari Tjio keetjhoeng tidak sanggup
mengejar kuda putih itu....."
"Kalau begitu, mari lekas antar aku kepada Tjio looenghiong,'1 kata San Bin.
"Hendak aku lepaskan panah Loklim tjian untuk membekuk penjahat berkuda putih
itu! Ah, jangan-jangan In Loei telah kena dicelakai pengkhianat itu!....."
Tjoei Hong terkejut, juga In Loei yang berada di dalam kamar. Nona Tjio
kuatirkan dugaan San Bin itu benar, sedang In Loei kuatir anak muda ini
benarbenar melepaskan Loklim tjian, ialah "panah Rimba Persilatan" suatu cara
paling cepat untuk menyampaikan berita. Ia pun kuatir si mahasiswa benarbenar
ada satu pengkhianat. "Pengkhianat?" kata Tjoei Hong. "Yang aku ketahui dia adalah satu penjahat
tukang rampas di antara penjahat, cuma ayah menyangkalnya. Pernah aku Tanya
ayah, siapa dia, tetapi ayah tidak hendak menerangkannya, malah sebaliknya, ayah
seperti menghormati dia. Betul-betul aku heran....."
San Bin tertawa dingin. "Tentang dia" Hm!"
Tapi orang she Tjioe ini tidak dapat melanjutkan perkataannya. Bayangan tampak
berkelebat di pintu kuburan, lalu terlihat bertindak masuknya satu orang.
In Loei terperanjat apabila ia sudah pandang muka orang yang baharu datang ini.
Ia kenali orang, itu adalah si orang Tartar, si bangsat dengan siapa ia pernah
bertempur di luar kuil tua pada malam itu. Dia itu adalah muridnya Tantai Mie


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ming. Ketika Tjioe San Bin sudah melihat tegas, ia lompat sambil membacok, mulutnya
pun mengucapkan: "Orang Tartar bernyali besar! Kau telah nyelundup ke Tionggoan,
kau hendak berbuat apa?"
San Bin segera kenali musuh negaranya, sebab Tantai Mie Ming bersama muridnya
itu pernah membawa pasukan tentara menyerang Tjioe Kian dan dia pernah bertempur
dengan musuh ini. Murid Tantai Mie Ming itu, yang bernama Katalai, begitu dia masuk ke dalam
pekuburan, lantas dia memanggil dengan suara keras: "Thio Siangkong1." Dia kaget
apabila tiba-tiba dia dibentak dan diserang. Akan tetapi dia tabah dan sebat,
maka dia sempat mencabut sepasang gaetannya, untuk dipakai menangkis, hingga
kedua senjata bentrok keras, suaranya nyaring.
"Apakah kau telah membunuh Thio Siangkong?" tanya Katalai dengan bentakannya.
"Sekalipun kau, hendak aku mencingcangnya!" jawab San Bin, sengit, kembali dia
membacok. Katalai menangkis, lalu ia balas menyerang, maka dengan begitu, mereka jadi
bertempur. Tapi orang Tartar itu menyerang hebat, ia sudah lantas mendesak, dari
itu tidak lama, ia telah membikin San Bin kewalahan, sampai orang she
Tjioe ini cuma bisa menangkis, tidak mampu ia membalas menyerang. Hingga
pertempuran jadi tidak seimbang. Tjoei Hong berkuatir melihat pemuda itu bakal
kena dikalahkan, di dalam hatinya, dia kata: "Toapeh ini kurang ajar akan tetapi
mesti aku bantu dia!" Dengan sendirinya, ia akui orang sebagai toapeh-nya - paman dari
pihak "suaminya." Maka lantas ia hunus goloknya, terus ia maju menerjang, hingga
orang Tartar itu kena dikepung berdua.
Dibanding dengan Katalai, Tjoei Hong kalah tenaga, akan tetapi dia menang enteng
tubuh, dia jauh terlebih gesit, maka dengan andalkan kegesitannya itu, dapat ia
berikan bantuan berharga pada San Bin, hingga San Bin tidak lagi terdesak, malah
sesaat kemudian, keadaan jadi berbalik, Katalai adalah yang kena didesak mereka
itu. Katalai tahu diri, selagi berkelahi, dia berseru keras, sepasang gaetannya juga
bekerja, untuk menyerang dengan hebat kedua lawannya. Nyata ia telah gunakan
siasat. Sebab begitu mendesak, dia lantas lompat mundur, dia putar tubuhnya,
untuk segera lari keluar kuburan.
San Bin lompat untuk mengejar, di belakang dia, Tjoei Hong menyusul, dari itu,
sebentar saja, ketiga orang itu sudah lenyap dari kuburan.
In Loei, yang menyaksikan pertempuran itu, goncang hatinya. Ia lantas angkat
kepalanya, untuk memandang Thio Tan Hong. Justeru itu, si anak muda pun
memandang padanya sambil bersenyum, agaknya dia hendak bertanya: "Kau lihat,
adakah aku satu penghianat atau bukan?"
In Loei sangat percaya Tjioe Kian dan putera-nya, coba ia tidak berada bersama
Tan Hong selama beberapa hari, hingga ia dapat menyaksikan kelakuan orang,
begitu mendengar ucapan "penghianat" dari San Bin, tentu ia sudah tikam pemuda
di sisinya ini. Akan tetapi sekarang, pikirannya jadi berlawanan satu dengan
lain. Tidak nanti San Bin lancang menuduh, tapi juga Tan Hong, tidak pantas dia
menjadi penghianat bangsa. Selama bergaul rapat beberapa hari, dari "jemu", ia
menjadi gemar bergaul dengan orang she Thio ini, malah agaknya ia menaruh
penghargaan. "Dia baharu kembali dari Mongolia," demikian ia berpikir lebih jauh, "mungkin
dia mirip dengan engkong-ku yang telah menyingkirkan diri dari negara asing,
karena mana bangsa Mongolia jadi hendak membekuk dia kembali..... Mungkin karena itu, San Bin
menyangka dia ada satu penghianat."
Tidak lama In Loei berada dalam kesangsian, atau lantas ia dapat tenangkan diri.
Begitulah ia bersenyum sendirinya.
"Toako, aku percaya kau," katanya kemudian dengan perlahan.
Wajah Tan Hong pun menjadi terang, nyata sekali ia gembira.
"Hiantee," katanya, dengan perlahan, "seumurku, kau adalah sahabatku satusatunya yang mengenal diriku. Sekarang lanjutkan semedimu. Malam ini hendak aku
perdengarkan kau dongeng yang kesatu."
Tan Hong bertindak keluar dari kamar rahasia, ia pergi menutup pintu depan, yang
ia ganjal dengan dua potong batu besar yang panjang, hingga, tanpa tenaga seribu
kati, sulit untuk orang membuka pintu kuburan itu.
In Loei melanjutkan istirahatnya, semedinya. Ia rasakan darahnya mengalir dengan
sempurna, ia merasa tubuhnya jadi sehat sekali.
Waktu telah berlalu, tidak ada sinar terang lagi yang molos masuk dari sela-sela
di atas wuwungan, itu tandanya bahwa sang magrib telah datang.
Hek Pek Moko mempunyai persediaan barang makanan di dalam istananya itu, maka
Thio Tan Hong bisa menyalakan api, untuk masak bubur, untuk memanaskan daging
dan ayam. Lalu ia suguhkan makanan itu pada In Loei, hingga si nona menjadi
bersukur sekali. Tan Hong mengawasi sambil bersenyum ketika ia berkata: "Kesehatanmu telah maju
baik akan tetapi kau masih belum boleh bicara banyak. Kau Cuma harus dengarkan
aku, tidak boleh kau banyak menanya. Sekarang hendak aku mulai dengan dongengku
yang pertama. Nanti, setelah selesai aku ceritakan tiga dongengan, baharu aku
tuturkan jelas tentang diriku kepadamu."
-ooo0dw0ooo- BAB VII In Loei angkat kepalanya, akan pandang anak muda di depannya itu.
Thio Tan Hong sudah lantas mulai dengan dongengnya:
"Pada jaman dahulu maka adalah dua orang bersengsara yang bekerja sebagai tukang
meluku sawah dari satu tuan tanah. Belakangan, karena malapetaka alam, hidup
mereka jadi semakin sukar, hingga kesudahannya, yang satu menukar penghidupannya
sebagai pengemis, yang satu lagi menjadi tukang selundup garam gelap. Kedua
orang ini hidup sangat akur satu pada lain, hingga mereka mengangkat saudara.
"Pada waktu itu, Tionggoan telah diduduki oleh bangsa asing. Karena ini
penyinta-penyinta negara, yang hidupnya terpencar, bercita-cita membuat
perlawanan. Juga kedua saudara itu berangan-angan besar, mereka mirip dengan Tan
Sa dan Gouw Kong di jaman Liat Kok yang hendak merubuhkan kerajaan Tjin. Mereka
angkat saudara dengan bertepuk tangan, mereka saling berjanji, apabila mereka
berhasil dan menjadi orang besar, mereka tak akan melupai satu pada lain.
"Berbareng dengan itu, bersama dua saudara angkat itu ada satu hweeshio. Dia
berusia jauh terlebih tua daripada dua saudara itu, dia ajarkan mereka ilmu
silat, maka itu, ia dipanggil guru.
"Garam itu ada usaha negara, maka kalau rakyat membikin dan menjualnya dengan
diam-diam, dia bakal ditangkap pembesar negeri dan dihukum mati. Apa mau si
pengemis, si saudara muda, tidak berani bekerja sebagai kakak angkatnya itu,
sebaliknya, dia pergi ke sebuah kuil di mana ia sucikan diri sebagai hweeshio.
Apa celaka, datanglah musim paceklik, tidak ada dermawan yang menunjang kuil,
telah kejadian, dari sepuluh hweeshio, tujuh atau delapan di antaranya mati
kelaparan. Dalam kesukaran itu, si kakak,
yang jadi penjual garam gelap, menunjang adik angkatnya ini. Karena sisa-sisa
hweeshio bubar, si pengemis juga ikut merantau, ia pergi ke mana saja untuk
hidup sambil menerima amal.
"Belakangan, guru dari kedua saudara itu telah berhasil angkat senjata. Si adik,
si hweeshio asal pengemis, turut mereka, gurunya itu, dia ikut dalam pasukan
tentera. Dalam satu pertempuran besar si hweeshio guru lenyap tidak keruan
paran, ada yang mengatakan dia terbinasa, ada yang mengatakan dia lolos dan
kembali menuntut penghidupan sebagai hweeshio. Bagaimana sebenarnya, dengan
hweeshio guru ini, pada akhirnya tak ada yang mengetahuinya.
"Sekarang diceritakan tentang si tukang garam. Dia telah berusaha jauh sampai di
Kangpak Utara, di sana dia dapat kemajuan hingga dia dapat mengumpulkan beberapa
ratus pegawai. Dia pun lantas berontak, dia angkat dirinya sebagai raja. Selama
beberapa tahun, dia terus berhasil, hingga pengaruhnya jadi tambah besar.
Begitulah ia angkat dirinya jadi kaisar di kota Souwtjioe.
"Beberapa propinsi di sepanjang sungai Tiangkang adalah wilayahnya raja bekas
penyelundup garam ini, maka itu, ia gunakan pengaruhnya untuk mencari adik
angkatnya. Sekian lama, tidak pernah ia peroleh hasil.
"Sementara itu, kaum pergerakan muncul di sana-sini, di antaranya rombongan
Pelangi Merah. Dia pun pengaruhnya besar. Dua tahun kemudian, Pemimpin Pelangi
Merah itu telah menutup mata, dia digantikan oleh satu pemuda yang kosen, yang
berhasil merampas pelbagai kota hingga daerahnya meluas di Tiangkang Selatan.
"Kaisar di Souwtjioe itu terus mencari keterangan perihal adiknya, ia lantas
dapat dengar, pemimpin Pelangi Merah itu sebenarnya berasal satu hweeshio.
Ketika ia selidiki lebih jauh, ia dapat tahu, pemimpin itu benarlah ada adiknya,
si pengemis yang masuk menjadi hweeshio. Tapi berbareng dengan itu, ia dengar
juga lelakonnya adik ini. Katanya, ketika adik ini turut gurunya memberontak dan
guru itu kalah, diam-diam dia telah jual gurunya
pada pemerintah musuh, dia sendiri berpura-pura menjadi orang baik-baik, dia
melanjutkan memimpin pasukan gurunya itu, yang dia robah menjadi pasukan Pelangi
Merah. Dia berjasa dalam pasukan Pelangi Merah itu, sampai akhirnya ia diangkat
menjadi pemimpin utama. Lelakon ini tidak dipercaya si kakak angkat, tapi dia
kirim utusan, untuk mengajak bekerja sama, yang mana diterima baik. Adalah
setelah ini, ia dapat kepastian pemimpin Pelangi Merah benarbenar ada adik
angkatnya itu. "Segera juga ada pertentangan pengaruh di wilayah Tiangkang antara kedua saudara
ini. Si kakak mengirim utusan menyeberangi sungai, ia kirim surat yang berbunyi:
"Kita berdua bersaudara, siapa pun yang menjadi kaisar, sama saja. Mari kau
seberangi sungai, untuk kita bertemu, lebih dahulu kita bicara sebagai saudara,
kemudian kita rundingkan dan tetapkan rencana bekerja untuk bersama-sama melawan
musuh asing. Di luar dugaan, adik itu merobek surat itu, dia tidak mau
menyeberang, malah dia sebaliknya memotong kuping si pembawa surat, siapa
disuruh pulang sambil memberikan pesan: "Di atas langit tidak ada dua matahari,
di muka bumi tidak ada dua raja, maka itu, sama-sama kita adalah orang-orang
gagah dari jaman ini, baiklah jikalau bukan kau yang mati, akulah yang binasa!"
"Kakak itu jadi sangat gusar, maka terjadilah peperangan antara mereka berdua.
Selama beberapa tahun, mereka bergantian menang dan kalah. Pertempuran terakhir
terjadi di Tiangkang. Kesudahannya, sang adik yang menang, si kakak kena
ditawan, dia dipaksa untuk menyerah, supaya dia suka jadi hamba dan akui si adik
sebagai junjungannya. Si kakak tidak sudi tunduk, sambil tertawa berkakakan, dia
kata: "Pengemis, jikalau kau, dapat menurunkan tanganmu, kau bunuh saja aku!
Adik itu tidak menyahuti kakaknya, dia hanya perintahkan orang mengemplangi
kakaknya hingga binasa, lalu mayatnya ditenggelamkan di dalam sungai Tiangkang.
Habis memusnakan kakaknya, adik ini angkat dirinya menjadi kaisar. Beberapa
tahun kemudian, raja ini berhasil mengusir bangsa asing dari Tionggoan, dia
dapat membasmi lain-lain jago, hingga dia berhasil juga mempersatukan negara.
Dengan begitu, jadilah dia satu kaisar yang membuka satu jaman baru. - Nah, adikku,
coba kau katakan, kaisar ini jahat atau tidak?"
Demikian Tan Hong akhiri dongengnya yang pertama itu.
"Adik itu tidak ingat saudara, pasti dia jahat," sahut In Loei, yang
mendengarkan dengan perhatian. "Tetapi dia dapat mengusir bangsa asing, dia
dapat merampas kembali negara, dia dapat dikatakan satu orang gagah - enghiong
atau hookiat." Mendengar itu, air muka Tan Hong sedikit berubah.
"Hiantee, kau juga mempunyai pemandangan begini?" kata dia dengan tawar.
"Pengemis itu, setelah dia menjadi kaisar, dia bunuh menteri-menteri yang
berjasa, dan terhadap turunan kakaknya, dia tak sudi berlaku murah hati dia
sudah kirim orang ke empat penjuru untuk mencarinya, turunan si kakak itu hendak
dihabiskan. Maka juga, turunan si kakak itu, bersama-sama turunan beberapa
menteri berjasa, sudah kabur jauh sekali, mereka telah berpencaran. Eh, adikku,
kau telah dahar habis buburmu, bagus! Dongengku juga telah tamat."
In Loei angkat kepalanya akan pandang kawannya itu.
"Toako," katanya, "tentang dongengmu ini, dapat aku menduganya. Kau bicara
tentang permulaan berdirinya kerajaan kita. Si pengemis itu adalah Beng
Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang, dan si kakak penjual garam gelap itu adalah orang
yang menamakan dirinya Thio Soe Seng, kaisar dari Kerajaan Tjioe. Hanya belum
pernah aku mendengarnya yang mereka itu berdua telah angkat saudara satu sama
lain. Dalam buku hikayat juga tidak ditulis demikian, sebaliknya ada dicatat
bahwa Thio Soe Seng itu asalnya seorang yang rendah martabatnya dan Thaytjouw
membunuh dia adalah untuk membantu rakyat menghukum pemberontak."
Tan Hong tertawa dingin. "Siapa berhasil, dia menjadi raja siapa gagal, dia jadi berandal, demikian bunyi
sebuah pepatah," dia kata. "Inilah pepatah yang dari jaman purba sampai sekarang
ini tetap menjadi kenyataan.
Mengenai mereka mengangkat saudara, jangan kata hikayat tidak berani menuliskan
Tjoe Goan Tjiang asal pengemis, asal hweeshio perantauan, malah dalam hikayat
buatan negara tak disebutnya sama sekali. Sebenarnya, orang menjadi pengemis,
orang jadi hweeshio melarat, bukankah itu tidak menghina leluhur mereka" Hm!"
Halnya Beng Thaytjouw Tjoe Goan Tjiang pernah menjadi pengemis dan di kuil
Hongkak sie menjadi hweeshio, di kolong langit ini tidak ada orang yang tidak
mengetahuinya. Tapi setelah Tjoe Goan Tjiang menjadi kaisar, hal ihwalnya itu ia
jadikan pantangan untuk diceritakan orang, karena pantangannya itu, hingga ia
telah menghukum mati beberapa orang yang dianggap sudah melanggar larangannya
itu. Tentang ini, In Loei pernah dengar engkong-nya bercerita, ia pun ketahui
itu. Sekarang, mendengar ceritanya Thio Tan Hong, ia jadi ingat kepada bencana
yang dialami engkong-nya itu sendiri, yang teraniaya dan terbinasa secara
kecewa. Maka di dalam hatinya, ia berkata: "Dasar mereka yang menjadi raja semua
bukan orang baik-baik, peduli apa kau dengan Tjoe Goan Tjiang atau Thio Soe Seng
itu" Cuma, apa maksud toako menceritakan dongeng ini" Kenapa dia kelihatannya
membenci kepada Beng Thaytjouw pendiri dari kerajaan kita ini?"
"Sudah, jangan kau bicara banyak," kata Tan Hong, melarang orang banyak omong,
dan ia teruskan menguruti "pemuda" itu.
In Loei berdiam, ia berdiam terus, karena ia tertidur. Ketika besok pagi ia
mendusi, ia dapatkan Thio Tan Hong tengah berduduk di sisinya, apabila ia lihat
tubuh orang, ia dapatkan orang belum merapikan pakaian. Yang membuatnya ia
heran, ialah mata si mahasiswa tampak bengkak, suatu tanda bahwa tadi malam
kawannya ini banyak menangis. Ia terharu, ia merasa berkasihan.
"Pasti dia berduka, sebentar setelah ia selesai menutur padaku, mesti aku hibur
dia," ia ambil putusan.
Ketika Thio Tan Hong lihat kawannya itu telah bangun dari tidurnya, ia
bersenyum. "Adakah kau merasa baikan?" dia tanya.
"Banyak baik," sahut In Loei cepat. "Tentunya semalam toako tidak tidur"....."
Tan Hong tertawa. "Bagiku tidak tidur beberapa hari atau sekalipun tidur hingga beberapa hari ada
sama saja, biasa saja," sahutnya. "Tak usah kau pikirkan aku. Sekarang mari
lonjorkan kakimu." In Loei menurut, ia majukan kaki kanannya itu.
Tan Hong loloskan sepatu orang, habis itu ia mulai menguruti kaki itu, dari
ujung sampai ke mata kaki, ke seputarnya, lalu naik hingga ke betis. Selama itu,
In Loei merasakan sedikit sakit. Itulah tanda bahwa urutan itu tepat sekali.
Lalu, setelah itu, ia merasakan hatinya lega.
"Sekarang, cukup sampai di sini!" kata Tan Hong, yang menghentikan urutannya
pada apa yang dia namakan "samyang". "Besok akan kuurut pula, supaya pulih
kesehatanmu. Sekarang kau boleh beristirahat pula, kau bersemedi."
Habis, berkata, ia geser tubuhnya, un- tuk kemudian keluarkan gambarnya. Ia
gunakan terang api lilin untuk memandang gambar itu. Lama ia mengawasi, ia
meneliti, seperti ia tengah mencari sesuatu dalam gambar itu. Begitu lama In
Loei beristirahat, begitu lama juga ia memandangi gambar itu. Sampai tiba-tiba
terdengar tindakan kaki di luar pekuburan. Baharu setelah itu, pemuda ini
menghela napas, lantas ia gulung pula gambar itu.
"Kenapa sih ada orang yang sangat menyukai tempat hantu ini?" katanya perlahan,
setelah mana, ia pesan kawannya: "Tidak peduli apa yang kau saksikan, jangan kau
buka suara!" Rupanya di luar kubur itu bukan berada cuma satu orang, itulah ternyata dari
suara dan caranya tanah di gali, dibongkar. Tidak lama kemudian terdengar suara
menggabruk keras, dari terbukanya daun pintu. Ini juga menandakan usahanya suatu
tenaga yang besar sekali.
Segera ternyata, mereka itu berjumlah lima orang. Mereka membawa obor. Dengan
berlerot, mereka masuk ke dalam kuburan.
In Loei pasang matanya. Ia kenali, yang empat adalah si saudagar-saudagar barang
permata. Mereka ini, dua jalan di depan, dua lagi di sebelah belakang. Yang
jalan di tengah adalah Heksek tjhoeng Tjhoengtjoe, atau tuan rumah dari Heksek
tjhoeng atau Tjio keetjhoeng, ialah Hongthianloei Tjio Eng. Ia terkejut.
"Empat saudagar itu mestinya ketahui kamar rahasia ini," ia berpikir. "Jikalau
Tjio Eng menitahkan aku pulang, bagaimana?"
Ia menjadi bingung. "Mereka berdua mesti masih berada di dalam sini," terdengar satu saudagar
berkata. "Tjio lootjhoengtjoe, kami mohon pertimbanganmu."


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menuruti hawa amarahnya, Hek Pek Moko sudah lantas menuju pulang ke Thibet,
karena kepergiannya itu, mereka titahkan ke empat saudagar pergi berusaha ke
Selatan, untuk menyelesaikan usaha mereka. Dua hantu ini, dengan sudah
menyerahkan harta bendanya, tidak ingin melanjutkan pekerjaannya itu. Tidak
demikian dengan ke empat saudagar ini, mereka ini tidak puas, maka kebetulan
sekali untuk mereka, di tengah jalan mereka bertemu dengan Tjio Eng yang tengah
menyusul gadisnya. Mereka tuturkan pada Tjio Eng apa yang mereka alami, tentang
Hek Pek Moko juga, setelah mana mereka minta jago tua ini membantu mereka.
Mereka pun sebut nama Thio Tan Hong, yang mereka tunjuk adalah pencuri di rumah
Tjio Eng pada malam itu. Mereka tahu, Tjio Eng kalah liehay daripada Hek Pek
Moko, akan tetapi tjhoengtjoe ini besar pengaruhnya, kalau "Loklim tjian"
diumumkan, mereka percaya, Thio Tan Hong, tidak akan dapat terbang lolos.
Tjio Eng memang ingin menemui Thio Tan Hong, dengan menemui Tan Hong, ia
percaya, ia harap, nanti ia ketahui juga tentang In Loei, maka itu, ia berpurapura menerima baik permintaannya ke empat saudagar itu, yang ia terus minta
menjadi juru pengantarnya. Demikian, mereka itu telah memasuki lobang kubur.
Setelah memutari ruang besar dengan sia-sia, karena mereka tidak dapatkan orang
yang mereka cari, ke empat saudagar itu sudah lantas pentang mulut mereka lebarlebar, mereka berteriak-teriak: "Bocah cilik yang berani lekas kau keluar!"
Akan tetapi Tjio Eng segera cegah perbuatan orang itu.
"Jangan!" kata tjhoengtjoe itu, yang sebaliknya, sudah lantas mengangkat kedua
tangannya, untuk menjura ke arah udara sambil berkata: "Thio Kongtjoe, silakan
keluar. Aku si orang tua berdahaga sangat untuk bertemu denganmu. Dengan ada aku
di sini, dapat aku damaikan kamu kedua pihak untuk menyelesaikan perselisihan
kamu." Tercengang ke empat saudagar itu menampak sikapnya jago dari Tjio keethjung ini.
Inilah mereka tidak sangka. Satu di antaranya, yang menjadi kepala, lantas
kisiki jago itu: "Lootjhoengtjoe, jangan kau kuatir. Jikalau mereka itu berdua
tidak kurang suatu apa, dengan mereka bekerja sama walaupun kita ada berlima,
kita memang bukan tandingan mereka, akan tetapi baba mantumu itu telah dilukai
Pek Moko, maka itu dengan dia bersendirian saja, pasti dapat kita lawan padanya.
Mana bisa dia jadi tandingan kita" Looenghiong, jangan kau kuatirkan lukanya
menantumu itu, kami tanggung kami dapat mengobati dia hingga sembuh. Untuk kami,
sudah cukup asal bocah berkuda putih mengembalikan barang-barang permata
kami....." Mulanya ke empat saudagar ini tidak mau menyebutkan hal In Loei telah terluka,
akan tetapi sekarang, melihat sikapnya Tjio Eng, mereka sangka orang she Tjio
ini jeri terhadap Thio Tan Hong, terpaksa mereka buka rahasia, supaya orang
menjadi murka. Berkuatir Tjio Eng mendengar baba mantunya terluka akan tetapi
meleset dari terkaan ke empat saudagar, ia tak ubah sikapnya. Malah dengan
lantas ia sudah berkata pula: "Thio Kongtjoe, aku minta sukalah kau keluar!
Menantuku itu tidak tahu suatu apa, untuk perbuatannya yang sembrono, sudilah
kau memaafkannya." Di dalam kamar rahasia, Thio Tan Hong tetap tidak perdengarkan suaranya.
"Baiklah!" kata ke empat saudagar dengan nyaring, "jikalau tetap kau tidak mau
keluar, nanti kami menerjang masuk, nanti kami gusur padamu!"
Mereka ini tidak hanya mengancam, mereka sudah lantas mengambil batu potongan
dengan apa mereka coba membuka pintu rahasia.
Sampai di situ Thio Tan Hong sudah lantas ambil putusannya. Ia berbisik di
kuping In Loei, untuk memberikan pesannya, habis mana ia geser kunci rahasia,
hingga pintu rahasia itu terpentang sendirinya, menyusul mana ia lompat keluar.
Akan tetapi, begitu lekas ia berada di luar, ia segera tutup pula pintu itu.
Ke empat saudagar itu tengah berdegingan mengeluarkan tenaga mereka, dengan
pintu rahasia terbuka sendiri, habis keseimbangan tubuh mereka, tidak ampun
lagi, mereka rubuh dengan sendirinya. Kemudian, ketika mereka telah berbangkit
pula, mereka tampak Thio Tan Hong tengah mengipasi diri, dandanannya adalah
dandanan seperti dia melayani Hek Pek Moko bertempur, bajunya makwa yaitu baju
yang bersulam sepasang naga asyik memperebutkan mutiara di tengah laut. Segera
mereka lompat ke empat penjuru, untuk mengambil sikap mengurung, setelah mereka
mengepung dengan lekas Tjio Eng mulai menyerang.....
Cahaya api menyinari wajah Thio Tan Hong, dia tampaknya sangat tenang. Ia masih
mengipas dirinya ketika ia bersenyum menghadapi Tjio Eng. "Tjio Tjhoengtjoe,"
katanya dengan sabar, sikapnya halus, "mengingat kepada budimu beberapa puluh
tahun yang lampau, dengan aku mewakilkan marhum orang tuaku, dengan ini
terimalah hormat dan ucapan terima kasihku."
Tjio Eng awasi anak muda itu, ia rupanya telah dapat melihat dengan tegas,
dengan tiba-tiba saja ia menangis, lalu ia jatuhkan dirinya berlutut di depan
anak muda itu, akan manggut-manggut hingga empat kali.
"Siauw..... siauw....." katanya, suaranya tertahan. Sebab Thio Tan Hong sudah
lantas goyangkan tangannya berulang-ulang terhadapnya, mencegah dia bicara
terus. Sesudah itu. Tan Hong maju menghampiri, akan pimpin bangun jago itu, dan
ia, sebaliknya, menjura dengan hormatnya, untuk membalas menghormat. Ia bersikap
sangat hormat, akan tetapi ia tidak berlutut, maka biar bagaimana, nyata itu ada
suatu pemberian hormat dari yang atasan kepada yang bawahan. Sikap Tjio Eng ini
membuat heran dan kaget orang-orang yang berada di dalam ruang, ialah ke empat
saudagar itu, tidak terkecuali dia yang sedang bersembunyi di dalam kamar
rahasia. Cuma In Loei, sehabis itu, hatinya menjadi lega sekali, hingga di dalam
hatinya berkata: "Nyatalah toako bukan orang jahat. Melihat Tjio looenghiong
bersikap demikian hormat kepadanya, caranya ia membalasnya ada kurang pantas.
Dia masih sangat muda, masa dia berani terima hormat orang sambil berlutut?"
Ke empat saudagar itu, bahna kaget dan herannya, menjadi berkuatir. Adalah di
luar sangkaan mereka, orang yang mereka buat andalan untuk menghadapi musuh,
sekarang ternyata adalah sahabatnya musuh itu. Thio Tan Hong seorang diri,
mereka sudah tidak sanggup lawan, apa pula dia dibantu Tjio Eng.
Tapi Thio Tan Hong tetap bawa sikap tenang dan sabar.
"Tjio Tjhoengtjoe ada di sini," kata dia pada saudagar-saudagar itu, ia
bersenyum, "coba kamu tanya dia, benar atau tidak aku ada seorang yang serakah
akan harta permata hingga aku mencurinya?"
Empat saudagar itu bisa bawa diri, dengan lekas mereka ubah sikapnya. Demikian,
dengan tersipu-sipu, mereka menjura, untuk memberi hormat.
"Kamu tunggu!" dia kata. "Segala harta Hek Pek Moko itu, sama sekali tidak aku
taruh dalam hatiku!"
Dia lantas membalik tubuhnya, sebelah tangannya diulur. Dia buka pintu rahasia,
tetapi dia pentang sedikit saja, hanya muat tubuhnya, untuk dia bertindak masuk.
Kamar rahasia itu besar, In Loei duduk di pojok, ia tidak terlihat oleh orangorang di sebelah luar, sedang ke empat saudagar, berikut Tjio Eng, tidak berani
melongok. Mereka ini cuma lihat Tan Hong menjemput sebatang sapu dengan apa si
anak muda lantas menyapu di satu pojokan di mana tertumpuk rupa-rupa barang
berharga dari Hek Pek Moko, semua itu disapu bagaikan kotoran keluar kamar.
Setelah berada pula di luar, Tan Hong ber-dongak, ia tertawa besar.
"Umumnya manusia didunia gemar akan permata atau mustika, aku sebaliknya
menyukai kepintaran atau pengetahuan!" katanya dengan nyaring. "Mari, mari maju,
kamu boleh hitung barang-barang ini, ada yang kurang atau tidak!"
Bukan kepalang girangnya ke empat saudagar itu, mereka sudah lantas maju, untuk
turun tangan, akan punguti setiap permata dan barang kuno itu, untuk dimasukkan
ke dalam kantong mereka yang besar, yang terus mereka gendol di bebokong mereka.
"Sekarang pergilah kamu!" Thio Tan Hong membentak. "Pergi kamu beritahukan
kepada Hek Pek Moko supaya mereka berusaha dengan baikbaik, jangan lagi mereka
main paksa dengan andalkan ketangguan mereka!"
Ke empat saudagar itu manggut-manggut.
"Ya, Ya," sahut mereka. Lalu mereka mengambil hati: "Bagaimana dengan lukanya
sahabatmu itu" Dapatkah kami obati dia....."
"Kamu dapat mengobati dia?" tanya Tan Hong, mengulangi. "Itulah tidak perlu!
Siang-siang sudah aku mengobatinya! Sudah, jangan kamu banyak omong lagi, lekas
kamu angkat kaki!" "Ya, ya....." sahut ke empat saudagar itu, yang benar-benar tidak berani banyak
bicara pula, mereka lantas undurkan diri sambil membungkuk-bungkuk hingga di
luar. Thio Tan Hong awasi orang pergi, lalu ia tertawa.
"Telah aku sapu bersih semua kotoran ini, sangat lega hatiku!" kata dia. "Barang
barang tak halal, sebenarnya, tak usah ditakuti untuk memakainya, cuma haruslah
dipakai menurut jalan yang tepat. Tidakkah demikian, Tjio looenghiong?"
"Benar apa yang siauwtjoe katakan," jawab Tjio Eng sambil menjura.
Sekarang, dengan tidak adanya orang luar, berani ia mengatakannya "siauwtjoe,"
yang berarti "tuan" atau "majikan muda."
"Baiklah," kata Tan Hong. "Kau telah menemui aku, sekarang boleh kau pergi."
"Aku minta siauwtjoe suka mengembalikan menantuku," Tjio Eng mohon.
"Tentang jodohnya puterimu, kau serahkan saja itu pada In Loei dan aku," jawab
Tan Hong. "Jangan kau kuatirkan, tak usah kau pikirkan. Kita pasti akan berikan
kau satu baba mantu yang jempol. Aku tidak ingin kau berdiam lama di sini, kau
boleh lekas pergi!" Kata-kata "pergi" itu diucapkan dengan keras hingga berupa titah. Tjio Eng
menjura. "Kalau begitu, baiklah siauwdjin pergi," kata dia. "Siauwtjoe, kau masih hendak
menitahkan apa lagi?" Kata-kata "siauwdjin" itu artinya "hamba yang rendah."
Mendengar bahasa merendah dan menampak sikap orang yang sangat hormat itu, In
Loei heran. "Tjio Eng ada pemimpin kaum Rimba Hijau di dua propinsi Shoasay dan Siamsay,
kegagahannya juga tidak ada di bawahan Thio Tan Hong, kenapa dia nampaknya
begini sangat hormat dan takut?" ia pikir. "Kenapa dia memanggilnya siauwtjoe
dan membahasakan diri siauwdjin" Mungkinkah dahulu dia ada pegawainya toako?"
"Tidak apa-apa lagi," begitu ia dengar Tan Hong menyahuti.
Masih Tjio Eng bicara, katanya: "Jikalau siauwtjoe membutuhkan sesuatu, nanti
siauwdjin kirim Loklim tjian, biar bagaimana juga saudara-saudara di Jalan Hitam
tentulah suka memberi muka padaku."
Mendadak, Thio Tan Hong tertawa besar.
"Di dalam dunia ini kadang-kadang terjadi apa yang di luar sangkaan kita,"
katanya. "Maka itu aku kuatir, kalau nanti tiba waktunya, siapa juga tidak akan
dapat membantu aku!"
Air mukanya Tjio Eng berubah dengan tiba-tiba, ia menjadi jengah.
"Walaupun siauwdjin tidak berguna," ia kata, "kalau nanti siauwtjoe menitahkan
aku, meski mesti menyerbu api, tidak nanti aku menampiknya!"
Thio Tan Hong kibaskan tangannya, ia nampaknya lesu.
"Aku terima kebaikanmu ini," ia kata. "Nah, pergilah!"
Tjio Eng memberi hormat, lantas ia memutar tubuh dan pergi.
Hati In Loei bergoncang, ia merasa tidak tenang. Begitu Tan Hong masuk ke dalam
kamar rahasia, kembali ia berkata: "Toako, Tjio Eng tanyakan padamu, kau hendak
menitah apa lagi, kenapa kau tidak gunakan ketikamu untuk minta suatu apa
daripadanya?" "Apakah itu?" Tan Hong balik menanya.
"Kemarin ini, anak muda yang datang bersama Tjoei Hong, bukankah dia pernah
menyebutkan tentang Loklim tjian?" tanya In Loei.
Thio Tan Hong mengawasi, ia tertawa.
"Apakah kau maksudkan itu tjeetjoe muda dari luar kota Ganboenkwan?" ia menanya
pula. "Dia dan ayahnya terhitung orang-orang kenamaan juga, jikalau dia bekerja
sama dengan Tjio Eng menyiarkan Loklim tjian, akibatnya itu tidak baik bagiku.
Aku telah ambil putusan, selama hidupku, tidak sudi aku memohon
sesuatu dari lain orang. Lagi pula, menindih orang dengan kekuatan pengaruh, itu
membuat mukaku tidak terang. Bicara terus terang, jikalau aku takut orang
menyiarkan Loklim tjian, tadi begitu aku keluar, begitu lekas juga dapat aku
menghabiskan jiwa kakak angkatmu itu. Aku justeru hendak membiarkan orang
mencobanya. - Ya, Tjio Tjoei Hong dengan Tjioe San Bin itu memang setimpal
sekali, pantas kau di dalam kamar kemantin selalu menyebut-nyebut kakak angkatmu
itu!" Tan Hong ucapkan kata-katanya yang terbelakang ini secara wajar.
Biar bagaimana, In Loei toh berduka, ia ber-kuatir. Tidak tahu ia, di antara
Tan Hong dan Tjioe Kian ada urusan apa, mungkin antara mereka itu ada
ganjalan....." Thio Tan Hong awasi si nona, ia bersenyum.
"Melihat wajahmu, kau maju banyak," ia kata "Sekarang lanjutkanlah istirahatmu.
Sebentar, selagi bersantap malam, akan aku ceritakan kau dongeng yang kedua."
In Loei turut nasehat itu, karena ia berbakat baik, pada waktu hendak bersantap
malam, kesehatannya telah pulih tujuh atau delapan bagian, hingga dapat ia makan
rangsum kering. Thio Tan Hong layani orang dahar, sambil melayani, ia ceriterakan dongengnya.
"Pada jaman dahulu kala, ada sebuah negara," demikian ia memulai. "Di dalam
negara itu ada seorang menteri yang setia. Apa she dan nama menteri itu tidak
usah aku menyebutkannya. Sebab tidak peduli di jaman atau kerajaan apa, mesti
ada saja semacam menteri setia itu. Mungkin dia she Thio, mungkin dia she Lie, bisa jadi juga dia she Ong atau she In....."
"Di samping negara itu, ada sebuah negara lain yang bertetangga dengannya. Kedua
negara itu sering berperang satu pada lain. Suatu waktu, negara yang satu yang
menyerbu, ada kalanya, negara yang lain yang menerjang, tapi tidak peduli negara yang mana
yang menerjang masuk, kesudahannya yang celaka adalah si rakyat jelata.
"Ketika terjadinya dongengku ini, kebetulan negara dari si menteri besar yang
setia dan berpengaruh itu, menghendaki negara yang lain itu membayar upeti
setiap tahun dan setiap tahun harus mengirim utusan selaku tanda hormat dan
setia. Negara ini, yang kalah pengaruh, menjadi sangat tidak puas, maka itu ia
mengumpulkan orang-orang cerdik pandai, hingga dengan perlahan-lahan ia pun
menjadi kuat. Negara si menteri besar dan setia itu tak senang melihat
tetangganya menjadi kuat, dia berkuatir, segera dia kirim si menteri besar dan
setia selaku utusan dengan tugas, disatu pihak untuk mempererat persahabatan
katanya, di lain pihak untuk dengan cara diam-diam menyelidiki keadaan yang
benar dari Negara taklukkannya ini. Di luar sangkaan, menteri besar dan setia
itu telah pergi dua puluh tahun lamanya..... Eh, saudara kecil, kau kenapa".....
Kau tahu, kenapa dia pergi sampai lamanya dua puluh tahun itu" Kiranya..... Eh,
adik Loei, adik Loei!....."
Thio Tan Hong dongeng sambil mengawasi sahabatnya itu, selama itu hamper setiap
detik, ia tampak air muka orang berubah sedikit demi sedikit, sampai waktunya ia
menyebutkan "dua puluh tahun," wajah In Loei menjadi pucat sekali dan tubuhnya
pun bergoyang, bagaikan hendak rubuh. Ia menjadi kaget, maka dengan lantas ia
ulur tangannya, untuk pegang tubuh orang untuk cegah dia jatuh.
Walaupun keadaannya sedemikian rupa, bagaikan kesehatannya sangat terganggu
dengan tiba-tiba, In Loei masih dapat bicara, malah ketika ia buka mulutnya, ia
seperti menyambungi dongengnya Tan Hong itu. Ia kata: "Kau tahu, kenapa menteri
besar dan setia itu pergi sampai lamanya dua puluh tahun" Kiranya orang telah
menahan dia, dia dipaksa menggembala kuda di tempat di mana ada banyak es dan
salju! Sudah, toako, tak usah kau lanjutkan dongengmu ini, tak suka aku
mendengarnya....." Wajah Tan Hong juga lantas berubah menjadi pucat, sepasang alisnya dikerutkan.
Agaknya dongengnya ini, dongeng yang tua, sekarang telah berubah menjadi
kenyataan. Nampaknya, ia seperti telah sadar dengan tiba-tiba dari mimpinya.
Dengan tajam ia terus awasi In Loei.
"Saudara kecil," katanya kemudian, "kiranya kau telah ketahui dongeng ini. Kalau
begitu, baiklah, besok malam aku akan ceritakan dongeng yang ketiga, nanti kau
dapat mengerti semuanya. Saudara kecil, sekarang apapun kau tidak usah tanyakan,
apa juga tidak usah kau mengatakannya. Kau harus beristirahat, tak dapat kau
banyak bergerak dan banyak berpikir, nanti kau gagal memulihkan kembali
kesehatanmu. Saudara kecil, mari aku bantu pula padamu."
Ia cekal kedua telapak tangan In Loei, tangan itu, ia rasakan, berhawa panas. Ia
juga lihat bahwa sinar mata si nona guram.
"Saudara kecil, hatimu sedang pepat" ia kata. "Baiklah kau menunda sebentar
untuk bersemedi." Ia lepaskan cekalannya, lantas ia jalan mondar-mandir di dalam kamar rahasia
itu, atau ia jalan mengitari ruangan.
In Loei mesti tenangkan hati, kalau tidak kesehatannya tak akan pulih. Ia lihat
kelakuan orang itu, ia insyaf Tan Hong sedang mendukakan ianya. Beberapa kali
hendak ia menanya, ia batal, masih dapat ia kendalikan diri. Akhirnya, ia
singkap rambutnya, ia bersenyum.
"Toako, perlu kau tidur siang-siang," ia kata. "Akan aku sabarkan diri, untuk
menanti sampai besok, guna mendengarkan dongengmu yang ketiga."
Setelah mengucap demikian, hati si nona benar-benar menjadi tenang.
Thio Tan Hong pun bersenyum, ia angkat ouwkim-nya dari atas meja kemala, lantas
ia akurkan talinya, terus ia menabuh, yang mana ia iringi dengan nyanyiannya
sendiri. Ia nyanyikan sebuah
syair pujian untuk kota Hangtjioe yang indah, syair dari jaman Kerajaan Song.
Pandai ia menabuh, merdu ia bernyanyi.
Mendengar itu, lega hati In Loei, lenyap kedukaannya.
Habis memainkan lagu dan bernyanyi. Tan Hong letakkan ouwkim-nya di atas meja,


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus ia hampirkan si nona. Ia usap-usap rambut orang.
"Adik kecil, kau tidur, tidurlah," katanya, perlahan.
Bagaikan terkena pengaruh sihir, In Loei meram-kan matanya, tidak lama, ia
tertidur. Besok, pagi-pagi, apabila ia mendusi, In Loei merasakan tubuhnya segar. Semalam
ia tidur nyenyak, tanpa gangguan. Girang Tan Hong menampak keadaan In Loei.
"Adik kecil, hari ini kau beristirahat pula," katanya. "Habis ini, kesehatanmu
akan kembali seluruhnya, malah tenaga dalammu bukannya berkurang tapi
bertambah!" In Loei menurut, ia terus beristirahat, ia terus bersemedi. Tan Hong pun tak
bosan-bosan selang setiap satu jam, dengan tetap ia berikan bantuannya, untuk
mengempos semangat si nona. Demikian, selewatnya tengah hari, selesailah ia
dengan cara pengobatan samyang dan samim-nya. Wajah In Loei telah bersemu merah
sekarang. "Saudara kecil," kata Tan Hong dengan girang, "lewat lagi dua jam, kau akan
pulih seanteronya!" In Loei girang, ia bersenyum. Selagi ia terus bersemedi, Tan Hong duduk
sendirian di sisinya memandangi gambarnya.
Berselang setengah jam, tiba-tiba Tan Hong kerutkan alis. Dengan kupingnya yang
tajam sekali, ia dengar suara orang di luar pekuburan itu.
"Kenapa ada lagi orang datang mengacau?" ia berpikir.
Dengan sekonyong-konyong terdengarlah kuda Tjiauwya saytjoe ma berbenger, lalu
disusul dengan satu suara sangat keras dan nyaring, yang mengakibatkan gempurnya
pintu pekuburan, hingga debu pun mengepul. Lalu menyusul itu terlihatlah seekor
kuda putih lari masuk, dibebokongnya ada seorang dengan pakaian hitam.
Tanah di mana nancap tiang pintu memang telah lenyap kekuatannya, akan tetapi
walaupun demikian, tidak sembarang orang dapat menggempurnya, sekarang orang
berpakaian hitam itu dapat melakukannya, itulah suatu tanda bahwa tenaganya
besar sekali. Dan yang lainnya yang mendatangkan keheranan adalah si kuda putih,
- kuda Tjiauwya saytjoe ma - kuda yang istimewa karena binalnya. Kuda ini tidak
akan menurut kecuali pada majikannya, akan tetapi aneh, sekarang dia dapat
dikendalikan orang lain. Maka itu, di dalam kamar rahasia, In Loei dan Tan Hong terkejut.
Di ruang dalam, kuda putih itu berbenger pula dengan keras, berulang kali. Mulai
dari pintu, dia sudah lari keras, sampai di dalam dia lari berputaran.
Di ruang dalam itu, si penunggang kuda lompat turun dari bebokongnya, begitu dia
injak tanah, dia berulang kali perdengarkan panggilannya: "Tan Hong! Tan Hong!"
Sekarang, di antara kaca rahasia, Tan Hong kenali orang itu, ialah Tantai Mie
Ming, panglima dari negara Watzu.
In Loei kaget sekali, sampai ia menjerit, lalu ia gerakkan tubuhnya, untuk
lompat turun, tetapi, belum sampai ia bergerak, ia segera rasakan pinggangnya
lemah, kaku, hingga tak dapat ia bergerak.
Dengan sebat luar biasa, Thio Tan Hong totok kawan ini menyusul mana dia
berbisik di kuping si nona: "Saudara kecil, jangan bergerak, kau lanjutkan
semedimu! Aku hendak keluar, segera aku kembali. Kau sabar, kau tunggu, nanti
aku tuturkan kau dongeng yang ketiga itu....."
"Tan Hong, kau ada bersama siapa di dalam?"
In Loei, yang terus memandangi kaca, dapat melihat dengan tegas. Kuda putih
berdiri di dampingnya Tantai Mie Ming, kuda itu seperti telah kenal baik
pahlawan asing itu. Tan Hong sudah lantas membuka pintu rahasia, dia lompat keluar. "St!" katanya
Melihat si anak muda, Tantai Mie Ming berkata pula: "Tan Hong, Siangya....."
Lalu mendadak, ia berhenti.
"St!" demikian suara Tan Hong pula.
"Tan Hong, ayahmu menyuruh kau pulang!" terdengar Tantai Mie Ming berkata. Tidak
lagi ia menyebutnya "Siangya" - "Sri paduka," panggilan untuk perdana menteri.
"Tantai Tjiangkoen," Tan Hong menyahut, "tolong kau sampaikan kepada orang
tuaku, setelah aku meninggalkan Mongolia, untuk selanjutnya hidupku adalah
sebagai bangsa Tionghoa, dan aku tidak akan kembali lagi!"
Tantai Mie Ming tidak segera undurkan diri.
"Kau ingat, Tan Hong," katanya, "sekalipun kau tidak memikirkan lagi ayahmu, kau
toh mesti pikirkan dirimu sendiri. Seorang diri kau memasuki Tionggoan, di
antara orang-orang gagah dari Tionggoan itu, siapakah yang ketahui dirimu, siapa
yang tahu hatimu?" Tapi Tan Hong menjawab dengan suara dalam:
"Walaupun tubuhku hancur lebur menjadi laksaan keping, akhirnya, tubuhku mesti
dikubur di tanah Tionggoan! Inilah terlebih baik daripada mayatku dipendam di
negara asing, hingga aku meninggalkan bau busuk di negara lain! Aku minta tolong
kau sampaikan kepada orang tuaku, pesanlah agar dia rawat dirinya baikbaik....." Mendengar sampai di situ, bukan main herannya In Loei.
"Kalau Tan Hong ada orang Tionghoa yang bertempat di Mongolia, kenapa Tantai Mie
Ming berlaku begini baik padanya?" ia berpikir. "Tantai menyebutnya Siangya.....
Siangya..... Mungkinkan Tan Hong ada"....."
Tak dapat nona ini berpikir, terus, pikirannya itu terganggu oleh seruan Tantai
Mie Ming. Panglima Watzu ini mengayunkan tangannya ketika ia menegaskan: "Apakah
benar-benar kau tidak hendak turut aku pulang"
"Tantai Tjiangkoen," katanya dengan sangat masgul, "kenapa kau begini mendesak
aku?" Kembali tangannya Tantai melayang, kali ini ke arah dada.
Tan Hong tidak berkelit pula, ia menangkis, tapi karena ini, ia diserang pula,
terus menerus, setiap serangan panglima Watzu itu mendatangkan suara angin, satu
kali dia menyambar batang leher orang, secara hebat sekali!
Kalut pikirannya In Loei. Ia heran, ia kaget, ia pun girang. Ia kaget karena
serangan dahsyat dari Tantai Mie Ming, serangan yang jauh melebihi
hebatnya serangan dari Hek Pek Moko. Ia girang karena akhirnya Tan Hong membuat
perlawanan, hingga teranglah sudah Tan Hong itu bukan orang segolongan Mie Ming.
Yang membikin ia heran dan curiga, adalah kata-kata "Siangya" - "Sri paduka
perdana menteri." ia sampai merasa uluhatinya bagaikan ditikam pisau tajam. Ia
jadi ragu-ragu untuk dirinya orang she Thio ini.....
Oleh karena perlawanan Tan Hong itu, pertempuran jadi berlangsung hebat, tubuh
mereka berdua melesat pergi datang, mendatangkan sambaran angin tak putusnya.
Tubuh mereka bagaikan bayangan-bayangan yang bergerak-gerak cepat tak hentinya.
Tantai Mie Ming gesit bagaikan kera, kepalannya berat bagaikan tubrukan harimau.
Nyata ia sangat kuat dan lincah. Dengan serbuannya itu ia membuatnya Tan Hong
tiap-tiap kali mundur. In Loei bertegang hati, ia sangat berkuatir. Mau ia lompat, tapi tak dapat ia
berbuat. Ia coba empos dirinya, akan bebaskan diri dari totokan Tan Hong, ini
pun tidak berhasil. Ia jadi mengawasi dengan mendelong, hatinya berdenyut keras.
Tiba-tiba Tantai Mie Ming ulur sebelah tangannya, menyambar tubuh Tan Hong,
sambil menyambar ia berseru nyaring: "Pergilah kau!"
Tan Hong kena disambar, lalu tubuhnya dilemparkan ke atas, dilepaskan dari
cekalan! In Loei kaget hingga ia meramkan matanya dan berseru tertahan. Tapi begitu ia
buka pula matanya, hatinya menjadi lega.
Tubuh Tan Hong terlempar, ketika ia jatuh ke tanah, ia perdengarkan suara,
tetapi In Loei dapatkan ia tengah berdiri dengan tidak kurang suatu apa. Benar
Tan Hong telah dilemparkan, tetapi ia dilemparkan hingga tubuhnya jumpalitan,
maka itu, waktu tubuh itu turun, kakinya yang tiba lebih dahulu di tanah.
Sampai di situ, Tantai Mie Ming maju dua tindak kepada si anak muda. Ia tampak
bersenyum. "Tan Hong, tidak kecewa gurumu mengajari kau dengan susah payah!" katanya,
dengan kagum. "Kau benar-benar liehay! Karena kau sanggup melayani aku selama
lima puluh jurus, kau boleh menjagoi di kalangan kangouw. Baiklah, kau boleh
bawa dirimu, berlakulah hati-hati! Di depan ayahmu nanti, akan aku talangi kau
bicara, kau jangan kuatir."
Baharu sekarang Tan Hong ketahui orang sebenarnya mencoba padanya, orang
bermaksud baik. Karenanya, ia lantas menjura.
"Tantai Tjiangkoen, dalam segala hal, aku mengandal pada kau!" ia kata.
Tantai manggut, atau mendadak ia tanya: "Siapa itu di dalam kamar?"
"Dia adalah satu sahabatku," Tan Hong beritahu. "Dia tidak ingin bertemu
denganmu, dari itu aku mohon, dengan memandang aku, jangan kau membuatnya dia
kaget." "Jikalau dia tidak sudi menemui, tak usah dia dipaksa," kata Tantai. "Kau tahu,
adalah maksud Thaysoe bahwa pada bulan sepuluh....."
"St!" Tan Hong perdengarkan pula cegahannya. Tantai berhenti dengan tiba-tiba,
lalu ia tertawa. "Setelah sekarang ini, tak dapat diketahui di belakang hari kita akan bertemu
pula atau tidak," kata dia, menyambungi, "maka marilah kau keluar, untuk kita
bicara sebentar." Tanpa tunggu jawaban, Tantai sambar tubuh T an Hong, untuk dibawa lompat naik ke
atas kuda, kuda mana segera dikeprak untuk dilarikan keluar kuburan.
In Loei bernapas lega, atau segera ia merasa tertekan pula, seolah-olah
jantungnya ditindih batu seberat seribu kati. Bukankah Tan Hong diajak keluar
dengan paksa" Tapi karena ia tidak berkuatir, cuma hatinya yang tidak tenteram,
lekas-lekas ia bersemedi, untuk tenangkan diri. Ia empos semangatnya, ia mencoba
kerahkan tenaga dalamnya. Kali ini, di luar dugaannya, ia berhasil. Ia bebas
dari totokan! Maka lantas saja ia lompat turun.
"Kau tunggu, akan aku pecahkan rahasia dirimu!" ia kata di dalam hatinya. Ia
melihat kesekitarnya. Ia dapatkan pedangnya Tan Hong masih tergantung di tembok.
Ia hampirkan pedang itu dan menurunkannya. Ia periksa gagangnya, ia dapatkan
ukiran dua huruf "Pekin" - "Mega Putih". Lantas hatinya memukul.
"Pekin" beserta "Tjengbeng" adalah dua pedang - atau pedang sepasang - yang
menjadi peryakinannya Hian Kee Itsoe. Tjengbeng kiam telah diwariskan kepada
Tjia Thian Hoa, pedang Pekin kiam kepada Yap Eng Eng. Inilah sebab yang
menggoncangkan hati si nona.
Dari mana Tan Hong peroleh pedang ini?" dia tanya dirinya sendiri. "Apa mungkin
dia muridnya samsoepeh?"
Ia awasi pula pedang itu, yang bergantungkan sepotong batu kemala dan berukirkan
naga-nagaan. Ia meneliti batu itu, yang pun ada ukiran huruf-huruf "Yoe Sinsiang
hoe" - artinya: "Istana perdana menteri muda." Di samping ukiran itu masih ada
lain ukiran huruf-huruf yang halus sekali, yang menjelaskan dari mana asal
pedang itu. Huruf-huruf halus itu berbunyi: "Hadiah dari Raja ketika anak Hong
dilahirkan." Kaget In Loei, lemas kaki tangannya, hingga dengan menerbitkan suara nyaring,
pedang Pekin kiam itu terlepas dari cekalannya dan jatuh ke lantai.
Terang sudah sekarang bagi In Loei, pemuda itu dengan siapa ia berada sekian
lama adalah puteranya Thio Tjong Tjioe yang dipandang sebagai "penghianat
besar," dan menjadi musuh besar dari kaum keluarga In. Maka itu, untuk sejenak,
kosonglah hatinya, tak sanggup ia berpikir - ia seperti bukan lagi berada di
dalam dunia..... Tiba-tiba In Loei, dengan membawakan tangannya ke dada, tanpa merasa, telah
membentur suatu barang yang kecil tapi keras. Ia ingat, itu adalah warisan dari
kakeknya - yaitu yangpie hiatsie surat darah kulit kambing. Selama sepuluh
tahun, selalu ia bawa-bawa warisan istimewa itu, yang bunyinya:
"Turunan keluarga In, di mana saja dia bertemu dengan turunan keluarga Thio
Tjong Tjioe, tak perduli lelaki atau perempuan, turunan keluarga Tjioe itu mesti
dibinasakan." Sudah sepuluh tahun surat wasiat itu disimpan, rasanya masih saja ada bau
bacinnya..... In Loei rasakan tubuhnya dan hatinya gemetar. Ia menjadi ngeri tidak keruan.
Surat wasiat berdarah itu bagaikan es yang sangat dingin, yang mengurung
dirinya. Ia pun merasakan bagaikan ada tenaga yang tak dapat ia melawannya, yang
menitahkan ia membunuh Thio Tan Hong dengan tangannya sendiri!
Tiba-tiba terdengar suara kuda dari luar liang kubur, itulah tanda bahwa Thio
Tan Hong telah kembali. In Loei segera tetapkan hati, ia sampai kertek gigi, ia
menggigitnya dengan keras. Dengan cepat ia kembali ke tempatnya beristirahat, ia
duduk sambil tunduk, bagaikan ia tengah bersemedi, padahal ia sedang umpetkan
mukanya yang pucat pasi itu, supaya Tan Hong tidak dapat melihatnya. Hatinya
memukul keras, ia coba menenangkannya.
Thio Tan Hong menolak pintu dengan perlahan-lahan, ia bertindak masuk.
"Dongengku yang ketiga, segera akan aku tuturkan," katanya, sambil tertawa.
"Kali ini aku mempercepat waktunya. Eh, saudara kecil, kau kenapa?"
Kendati ia menanya demikian, Tan Hong sebaliknya hampirkan kaca, di depan mana
ia rapikan rambutnya yang kusut. Tiba-tiba saja pada kaca itu terlihat bayangan
In Loei, kedua mata siapa mendelik berapi, tangannya tengah menikam dengan
pedang! Bergetar tangan In Loei itu, tapi hebat serangannya, hingga kaca perunggu itu
pecah karenanya. Tan Hong lolos dari ancaman bencana, pedang itu lewat di
samping lehernya, di atas pundak, langsung mengenai kaca itu.
"Saudara kecil, saudara kecil, kau dengar aku....." kata Tan Hong sambil
berpaling. In Loei tidak mempedulikannya, ia menikam pula, kali ini sambil meramkan mata,
ketika ternyata ia kembali gagal, terus ia mengulanginya hingga tiga kali!
Tan Hong masih berkelit, yang terakhir ia lompat melewati meja.
Segera juga terdengar tangisnya In Loei.
"Aku sudah tahu semua!" teriaknya. "Tak usah lagi kau tuturkan dongengmu yang
ketiga! Ia lompat maju, lagi-lagi ia menyerang.
Tan Hong egoskan tubuhnya, ia menghela napas.
"Kau toh cucu perempuan dari In Tjeng?" dia tanya.
"Dan kaulah anaknya musuh keluargaku!" teriak si nona, seraya menikamkan
pedangnya ke arah uluhati.
Dengan sekonyong-konyong saja Tan Hong pasang dadanya.
"Baiklah, saudara kecil, tikamlah!" berkata dia. "Tak mau aku minta maaf
padamu!" Pedang menyambar, tetapi menyimpang ke kanannya Tan Hong dengan begitu bahu
pemuda itu lantas saja mengeluarkan darah. Pemuda ini benarbenar tidak berkelit
dari tikaman itu, adalah si nona, yang tak dapat menarik pula pedangnya, telah
menggeser incarannya. Masih Tan Hong tidak menyingkir.
"Adik kecil," berkata pula si anak muda, "kalau sebentar kau telah binasakan
aku, kau jangan terus turuti hawa amarahmu, jangan gusar, hanya duduklah diamdiam kira-kira satu jam. Di atas meja kemala itu ada satu botol kecil dari
perak, yang berisikan obat, itulah obat yang sengaja aku sediakan untukmu, guna
menguatkan tubuhmu. Nah, sudah, adik kecil, tak mau aku mohon maafmu, kau tikam
pula padaku!" Kedua mata In Loei lantas mencucurkan air mata, tangannya gemetar, hatinya
dirasakan sakit, hampir saja terlepas pedang Tjengbeng kiam dari cekalannya.
Berbareng dengan itu, ia juga merasakan seperti surat wasiat darah di dadanya
menjadi besar bagaikan bukit, seperti menindih sangat berat kepada hatinya,
sebagai juga ia dipaksa untuk melakukan pembalasan sakit hati.....
Sesaat saja Nona In berdiam, lantas ia acungkan pedangnya.
"Ambillah pedangmu!" ia kata kepada anak muda di depannya. "Aku tidak hendak
membinasakan seorang yang tidak memegang senjata di tangannya!"
Nona ini tahu baik Tan Hong ada terlebih kosen daripadanya, jikalau mereka
berdua bertanding, yang akan terbinasa bukannya si anak muda tapi dia sendiri,
setahu kenapa, dia menghendakinya Tan Hong tempur padanya, dia seperti ingin
terbunuh Tan Hong. Dia seperti percaya, dengan binasanya dia di tangan Tan Hong, tidak nanti dia
merasa kecewa terhadap kakeknya.....
Tan Hong berdiri di tempatnya, tanpa bergerak, cuma wajahnya yang berubah
daripada biasanya. Ia kelihatan nangis bukan, tertawa bukan. In Loei tak berani
mengawasinya air muka orang itu.
Melihat orang terus berdiam, si nona kertek giginya. Ia jemput Pekin kiam yang
terletak di tanah, terus ia lemparkan itu kepada si anak muda.
"Permusuhan kita kedua keluarga ada permusuhan sangat besar bagaikan langit!" ia
kata. "Maka itu, jikalau bukannya kau yang mati, tentulah aku! Lekas kau hunus
pedangmu!" Thio Tan Hong sambuti pedangnya itu.
"Adik kecil," berkata dia, dengan suara duka, "aku telah angkat sumpah, selama
hidupku ini, tidak hendak aku bertempur dengan kau, maka itu jikalau kau hendak
bunuh aku, bunuhlah! Saudara kecil, jikalau kau tidak hendak turun tangan, aku
akan pergi dari sini!"
In Loei membabat ke arah muka Tan Hong, akan tetapi pedang Cuma berkelebat di
depan muka, lalu ditarik kembali.
Menampak demikian, Tan Hong menghela napas, lantas ia lompat keluar dari kamar
rahasia itu, setibanya di luar segera ia lompat naik atas kuda putih.
"Adik kecil, rawatlah dirimu baik-baik!" terdengar ia berkata dengan nyaring.
"Saudara, aku pergi!"
Dengan bengernya kuda satu kali, sunyilah istana Hek Pek Moko itu, malah sedetik
kemudian, Tan Hong sudah berada jauhnya beberapa lie. Di lain pihak, In Loei


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri menjublak, pedangnya telah jatuh ke lantai. Dihadapan nona ini, segala
apa ada suram, gelap.....
-ooo0dw0ooo- BAB VIII Di luar pekuburan terdengar kuda berbenger, lalu keadaan menjadi sunyi dan Thio
Tan Hong telah lenyap! Biarlah Thio Tan Hong lenyap untuk selama-lamanya! Misalkan saja di dunia ini
belum pernah ada Thio Tan Hong itu!
Demikian pikiran aneh yang melayang di kepala In Loei. Tapi Thio Tan Hong yang
berdarah daging, yang telah berdiam bersama ia di dalam kamar rahasia, bagaimana
bisa dia tidak ada di dunia" Tiga hari mereka berada bersama!
Ya, Thio Tan Hong telah pergi jauh, Thio Tan Hong tak tertampak pula. Benarkah
dia telah menghilang" Oh, tidak, tidak! Lihat! Kau lihat, dia telah kembali, dia
kembali, dia kembali! Bayangannya, secara sangat samar, secara perlahan sekali,
telah nelusup masuk ke dalam hati In Loei, dan surat wasiat berdarah itu, telah
hilang dialingi bayangan Thio Tan Hong itu.....
In Loei berada dalam kegelapan, ia bagaikan meraba-raba. Membencikah ia"
Menyintakah ia" Girangkah ia" Atau, berdukakah ia" Inilah ia tidak ketahui, tak
dapat ia membeda-bedakannya. Kebaikan budi dan permusuhan sudah melibat menjadi
satu, begitupun sang cinta dan kebencian, tak dapat itu diputuskan dengan
gunting, hendak dibereskannya, tetap kusut.
Pada saat itu, tak dapat In Loei memikir apa jua, otaknya bagaikan kosong, tak
suatu apa ketinggalan di kepalanya. Tapi dalam keadaannya seperti itu, dengan
lapat-lapat, ia seperti tampak Thio Tan Hong tengah mendatangi ke arahnya, dan
akhirnya pemuda itu berbisik di telinganya: "Adik kecil, adik kecil....."
In Loei seperti mendengar kebengisan yang agung dari kakeknya, ia seperti
melihat mata yang menyinta dari ibunya..... Ia mendengar satu suara yang halus
sekali, yang memanggil-manggil
padanya. Di dunia, di mana ada suara si lemah itu" Di mana ada sinar mata
sehalus itu" Itulah suara Tan Hong tadi. Itulah sinar matanya Tan Hong tadi.....
Kedua mata In Loei, dengan perlahan-lahan, menggeser, berpindah ke arah meja
berbatu kemala, di atas mana Tan Hong telah meletakkan botol peraknya yang
kecil. Itulah botol yang berisikan obat yang Tan Hong sediakan untuknya.
"Bukankah itu ada barang musuh" Tidak, tidak, tak dapat aku memakannya!.....
Tetapi ini ada barang yang menandakan kebaikan terakhir dari Tan Hong.....
Tidak, tidak selayaknya aku menolaknya.....
Kembali dua macam pikiran bertentangan satu pada lain. Kembali dengan sayupsayup, si nona seperti melihat sinar mata menyinta dari Tan Hong tengah
mengawasi ia, lalu di kupingnya terdengar suara yang halus dan merdu: "Adik
kecil, meski benar lukamu telah sembuh akan tetapi tenaga dalammu belum pulih
seanteronya, maka, adikku, makan, makanlah obat itu....."
Itulah sinar mata yang tak dapat ditentang, itulah suara halus yang tak dapat
dibangkang. Tanpa merasa, In Loei ulur tangannya, menjemput botol itu, dari
dalamnya ia keluarkan tiga butir obat warna merah terus ia masukkan ke dalam
mulutnya..... Tidak tahu In Loei, berapa lama sudah ia duduk menjublak, ia hanya tampak cahaya
matahari di luar pekuburan sudah condong ke arah barat, rupanya hari sudah mulai
magrib. Sekonyong-konyong, dari luar kuburan terdengar kuda meringkik.
In Loei terperanjat, hatinya goncang. Dengan gesit dia lompat bangun, hatinya
pun berpikir: "Mustahilkah dia kembali?"
Tiba-tiba terdengar satu seruan dari kegirangan yang meluap-luap, lalu di sana,
di lorong kuburan, tampak Tjioe San Bin lari mendatangi dengan keras sekali.
"Adik In! Oh, sungguh benar kau berada di sini?" demikian seru pemuda she Tjioe
itu. Tapi segera suara itu disusul dengan suara
kaget dan sangat berkuatir: "Eh, eh, adik In, apakah kau terkena tangan jahatnya
binatang itu?" In Loei perlihatkan senyuman tawar, ia menggeleng- gelengkan kepalanya.
San Bin sudah lantas sampai pada si nona, malah segera ia duduk di sampingnya,
terus ia tatap muka orang. Ia tampak satu wajah yang kumal, roman yang lesu,
seperti orang kehilangan semangat, maka itu, ia merasa kuatir untuk nona itu.
In Loei berdiam, ia coba tenangkan diri.
"Kiranya kau dan dia bersembunyi di dalam kuburan," kata San Bin. "Apakah dia
tidak menganggu padamu" Tahukah kau, siapa dia" Dia adalah puteranya penghianat
besar Thio Tjong Tjioe! Ya, dia adalah musuh besar dari kakekmu!"
San Bin menyangka, mendengar perkataannya itu, si nona akan kaget, tapi
sangkaannya itu meleset. "Ya, aku sudah tahu," sahut si nona, perlahan sekali.
Maka itu, adalah San Bin yang terperanjat bahna herannya, hingga dia lompat
berjingkrak. "Apa?" tanyanya separuh berteriak. "Kau telah ketahui" Bila kau ketahui itu?"
Tubuh In Loei tetap tidak bergerak.
"Baharu saja aku mengetahuinya," ia menyahut, tetap dengan perlahan. "Tantai Mie
Ming barusan datang kemari....."
San Bin keluarkan napas lega.
"Begitu?" katanya. "Aku heran, kalau kau tahu dia ada musuhmu, kenapa kau ada
bersama dia. Apakah kau telah bertempur dengannya" Apakah kau tidak terluka?"
"Aku terluka ditangan Pek Moko," In Loei beri-tahu. Dia justeru yang mengobati
aku....." San Bin heran. "Dia?" ia ulangi. "Dia siapa?"
"Ialah dia musuhnya kakekku."
San Bin melengak. "Apakah dia tidak tahu bahwa kau cucu perempuannya In Tjeng?" tanyanya.
"Aku telah menikam dia dengan pedang. Dia telah mendapat tahu."
Kembali San Bin melengak. Tapi kali ini segera ia sadar.
"Oh, aku tahu sudah!" ia kata. "Mulanya anak penghianat itu tidak tahu bahwa kau
adalah musuhnya, maka itu ia berdaya mengambil hatimu, supaya kau dapat
digunakan untuk keuntungan dia, kemudian setelah kau tikam padanya, dan ia tahu
bukannya tandinganmu, ia lari kabur! Sayang kau tengah terluka, tenagamu belum
pulih, jikalau tidak, pasti kau dapat membunuhnya. Coba aku ketahui, tidak usah
kau berdaya demikian keras....."
In Loei tunduk, ia tidak berkata suatu apa.
Tapi San Bin, sambil tertawa, berkata pula: "Jikalau aku tahu ilmu silatnya
tidak liehay, tidak nanti aku berdaya keras, hingga aku minta Hongthianloei Tjio
Eng mengirimkan panah Loklim tjian....."
In Loei terkejut. "Apa" Loklim tjian?" dia tanya.
San Bin tertawa. "Pengalamanmu mengenal kaum kangouw masih belum banyak," ia berikan
keterangannya. "Apakah benar kau masih belum tahu apa itu Loklim tjian" Itulah
panah titahan yang di kirim pemimpin kaum loklim kepada jago-jago loklim, siapa
yang melihat itu, dia tentu akan datang untuk memberikan bantuannya walaupun dia
mesti terjang api. Adik In, inilah pengaruhnya malaikat atau iblis yang
membuatnya anak Thio Tjong Tjioe berani seorang diri saja masuk
ke Tionggoan. Adik, pastilah sakit hatimu akan dapat dibalas, dilampiaskan."
Pada matanya In Loei, surat wasiat berdarah itu tampaknya seperti melar semakin
besar. Pada saat itu, tak tahu ia, warta San Bin ini harus diterima dengan
kegirangan atau kedukaan. Ia tahu, pesan kakeknya, yang mewajibkan dia menuntut
balas, tidak dapat diabaikan, bahwa musuh she Thio itu tidak boleh diberi ampun.
Bolehkah dia membiarkannya pembalasan itu dilakukan oleh lain orang" Pantaskah
kalau ia tidak turun tangan sendiri"
Tapi, ketika ia bayangkan halnya Thio Tan Hong nanti tercingcang goloknya kaum
Rimba Hijau, tidak berani ia membayangkannya terlebih jauh, tidak berani ia
memikirkannya..... "Adik In," terdengar pula San Bin berkata, "sejak kau meninggalkan gunung, aku
selalu pikirkan kau....."
Suara ini sangat perlahan, manis terdengarnya.
"Banyak terima kasih untuk perhatianmu," katanya, lemah.
Kecewa San Bin melihat orang lesu.
"Sejak perpisahan kita itu, aku selalu ingin bertemu pula dengan kau," berkata
pula pemuda she Tjioe itu, "sayang, aku senantiasa repot. Mana bisa aku segera
cari kau" Baharu satu bulan yang lalu mata-mataku di perbatasan dapat mengendus
bahwa putera Thio Tjong Tjioe sendirian saja masuk ke Tionggoan, bahwa dia telah
menyamar sebagai satu mahasiswa dengan menunggang seekor kuda putih, kuda
jempolan. Lantas ayahku berdamai dengan orang-orang kita. Rata-rata orang anggap
kedatangannya Thio Tjong Tjioe ke Tionggoan, tidak nanti dia mengandung maksud
baik, pasti dia bertujuan untuk mengacau balau Tiongkok, maka itu ayah
menugaskan aku pergi mencari, guna mengintai dia. Aku dipesan supaya bekerja
sama dengan semua saudara Rimba Hijau, untuk bersama membekuk dia. Begitulah,
loklim tjian telah disiarkan. Tempat ini termasuk wilayah Shoasay, pemimpin
Rimba Hijau dari kedua propinsi Shoasay dan Siamsay adalah Tjio Eng, dari itu
aku sudah lantas cari ketua she Tjio itu. Sayang, ketika aku sampai di
rumahnya, Tjio looenghiong kebetulan tidak ada di rumah, aku cuma dapat bertemu
dengan puterinya. Dari Nona Tjio aku mendapat keterangan, kau telah menjadi baba
mantunya Tjio looenghiong itu. Selagi aku cari Tjio looenghiong, dia sendiri
sedang mencari kau. Haha, adik In, sandiwaramu ini membikin aku tertawa geli
sampai perutku mulas! Kau tahu, Nona Tjio itu sungguh-sungguh menyintai kau!" In
Loei bersenyum. "Bagaimana kau lihat Nona Tjio itu?" ia tanya. "Ilmu silatnya cukup baik," sahut
San Bin. "Yang lainnya lagi?" tanya pula In Loei. "Aku kenal dia sebentar saja,
mana aku ketahui sifatnya yang lain lagi?" San Bin membaliki.
In Loei bersenyum pula. Hendak dia berkata pula, tapi ia tercegah halnya loklim
tjian, panah Rimba Hijau itu. Ia bingung. Tjio Eng begitu menghormati Thio Tan
Hong, kenapa dia bekerja sama dengan San Bin menyiarkan panah istimewa itu"
Inilah satu soal, yang perlu ia ketahui jelas.
San Bin tidak tahu apa yang si nona pikirkan, menerkanya pun tidak. Ia bicara
terus. "Itu hari bersama-sama nona Tjio aku telah kejar muridnya Tantai Mie Ming," kata
dia. "Murid Mie Ming itu menunggang seekor kuda pilihan, kita kejar dia sampai
kira kira empat puluh lie, tapi tak dapat kita menyandaknya. Kuda kita semua
telah kehabisan tenaga. Kuda dia lari bagaikan terbang, tak dapat disusul
terus....." "Bagaimana dengan nona Tjio?" tanya In Loei.
San Bin tertawa. "Hai, nyonya, rupa-rupanya terhadap aku, kau kandung suatu maksud!" katanya.
"Terus menerus kau angkat aku, dari suaramu, agaknya kau merasa kurang puas
terhadap kakak angkatmu ini, hingga kau membuatnya aku tidak mengerti! Aku toh
kakak angkatmu" Ada hubungan apa antara nona Tjio itu dengan aku?"
Di dalam hatinya, In Loei tertawa. Ia ingat halnya sendiri pada malam pengantin,
terhadap Tjoei Hong berulang kali ia menyebut-nyebut San Bin.
San Bin mengangkat pundak, ia berkata pula: "Oleh karena kita gagal mengejar
musuh itu, Tjoei Hong dan aku berselisih mulut sebentar, katanya dia hendak
pulang sendirian saja, tidak ingin dia mengajak aku untuk menemui ayahnya. Dia
pun membikin banyak ribut, dia ingin aku kembalikan batu sanhu kepadanya,
seperti juga dia anggap sanhu itu bagaikan jiwanya....."
Tanpa merasa, In Loei tertawa.
San Bin berkata pula: "Aku tahu, batu itu engkaulah yang memberikan padanya
selaku tanda mata, terhadapmu, dia sangat menyinta, pantas ia sangat menyayangi
batu itu." In Loei tertawa. "Tetapi kali ini adalah kau yang memberikan dia tanda mata, bukannya aku yang
memberikannya!" katanya.
San Bin tercengang, wajahnya segera berubah menjadi merah.
"Ah kau, setan cilik! Kau ngaco belo! Nanti aku robek mulutmu!....." Dan ia ulur
tangannya. In Loei palingkan mukanya, masih ia tertawa.
"Mari kita bicara dari hal urusan yang benar," ia kata kemudian. "Nona Tjio
tidak sudi mengajak kau menemui ayahnya, habis dari manakah kau dapatkan panah
Loklim tjian itu?" "Itu adalah kejadian yang kebetulan saja," jawab San Bin. "Sesudah nona Tjio
tidak mau mengajak aku, dia berangkat, kemudian aku pun berangkat. Aku menuju ke
barat. Tidak lama kemudian, aku bertemu dengan Hongthianloei Tjio Eng, ayahnya
itu. Tjio Eng belum tahu bahwa barusan aku berada bersama gadisnya. Rupanya ayah
dan anak itu mengambil jalan yang berlainan, hingga mereka tak bertemu satu
dengan lain." "Bukankah Tjio looenghiong itu ada bersama empat saudagar barang permata?" In
Loei tanya. "Benar! Dia jalan terburu-buru seperti mempunyai urusan sangat penting, hingga
dia tak sempat bicara banyak denganku. Aku minta Loklim tjian padanya.
Sebenarnya hendak aku bicara lebih banyak padanya, untuk menceritakan gadisnya,
tapi dia sudah mendahului menggoyang-goyangkan tangannya dan berkata: "Nama
Kimtoo Tjeetjoe sangat kesohor, siapakah yang tidak ketahui" Kau hendak bekuk
seseorang, dia tentunya ada seorang yang jahat tak berampun, maka tentang dia,
tak usah kau menjelaskannya. Kau perlu Loklim tjian, kau boleh dapatkan itu. Aku
mempunyai urusan penting, maafkan aku, tidak dapat aku menemani kau.
Siauwtjeetjoe, kalau urusanmu telah selesai, aku undang kau datang ke Heksek
tjhoeng, nanti kita pasang omong dengan asyik..... Tanpa tanya apa-apa lagi, ia
serahkan Loklim tjian padaku, terus ia ajak ke empat saudagar itu melanjutkan
perjalanannya." "Oh, demikian duduknya hal....." In Loei berpikir.
"Coba Tjio Eng menanyakannya dan ia ketahui siapa yang hendak dibekuk orang she
Tjioe ini, tidak nanti akan terjadi kekeliruan semacam ini....."
"Aku bertemu dengan Tjio looenghiong di dekat tanjakan Bengliangkong," berkata
pula San Bin, "tempat itu adalah daerah pengaruhnya Tjeetjoe Na Thian Sek. Aku
lantas pergi menemui Thian Sek, aku serahkan Loklim tjian kepadanya sambil
menitahkan dia agar dalam tempo tiga hari, panah itu sudah sampai kepada seluruh
kaum Rimba Hijau. Aku berdiam satu hari di pesanggrahannya, untuk mendengar dengar kabar. Lancar
jalannya urusan itu. Dengan bekerja sama antara Tjio Eng dan ayahku, ada
beberapa orang yang tadinya tidak sudi mendengar titah, yang biasa menjagoi di
tempatnya masing-masing telah menyatakan sudi memberikan bantuannya. Adik In,
kali ini pastilah sakit hatimu dapat dibalaskan! Eh, eh, kau kenapa" Kenapa kau
kelihatannya tidak gembira?"
San Bin terkejut, ia ucapkan kata-katanya yang terakhir ini karena tiba-tiba
saja ia tampak wajah si nona menjadi pucat. Akan tetapi nona itu, begitu
ditegur, dia telah paksakan diri untuk tertawa.
"Sebenarnya aku merasa kurang sehat," ia kata. "Tapi sekarang aku sudah sehat,
aku, aku girang sekali."
"Tentang Loklim tjian itu, tidak usah aku memperhatikannya terlebih jauh," San
Bin menerangkan pula. "Satu kali panah telah di kirimkan, orang-orang loklim
sendiri masing-masing tahu bagaimana harus mengurusnya. Aku ingat hari itu di
tempat ini aku bertemu dengan kuda merahmu, karenanya aku kembali untuk mencari
kau. Thian mengasihani aku, beruntung aku telah bertemu denganmu!" In Loei
berdiam. San Bin masih hendak bicara lebih jauh, tapi ia seperti dengar suatu apa, lantas
ia jatuhkan diri, untuk mendekam di tanah seraya memasang kupingnya.
"Apakah ada orang tengah mendatangi?" tanya
In Loei menyaksikan kelakuan orang itu. "Kenapa aku tidak dengar apa-apa"....."
San Bin lantas berbangkit pula.
"Ada orang datang, tapi masih jauh," sahutnya. Lantas ia lari keluar, untuk coba
menutup pintu, kemudian ia kembali. Itulah "Hoktee tengseng" atau ilmu memasang
kuping sambil mendekam di tanah yang San Bin gunakan, itu adalah suatu ilmu
istimewa. Pernah In Loei pelajari ilmu itu tetapi belum sempurna.
San Bin awasi si nona, lalu ia bersenyum.
"Bukankah baik kau salin pakaian?" katanya.
Merah wajahnya In Loei. Kata-katanya San Bin seolah-olah merupakan teguran
untuknya. Sambil tunduk, ia bertindak masuk ke dalam kamar rahasia, yang
pintunya terus ia tutup. Di tinggal seorang diri, San Bin berpikir keras. Ia sangsikan nona ini, ia
bercuriga. Bukankah, selama ia belum ketahui Thio Tan Hong ada musuhnya, In Loei
telah bergaul rapat sekali dengan Tan Hong" Sampai di mana pergaulan mereka"
In Loei sendiri, selagi ia buka bungkusan pakaiannya, di kepalanya seperti
terbayang wajah Thio Tan Hong yang seolah-olah sedang tertawa, kupingnya seperti
berulangkah mendengar, "Adik kecil, adik kecil....." suara itu halus dan manis
yang menggoncangkan semangat. Ia menjadi tidak keruan rasa, hingga ketika ia
angkat bajunya, baju untuk wanita, ia merobeknya! Kenapa ia jadi sengit"
Bencikah ia pada bajunya itu" Tidak! Tak tahu ia kenapa dengan mendadak ia jadi
sengit. Lalu timbul keinginan untuk menjadi seorang lelaki! Ia percaya, kalau ia


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi seorang pria, mungkin tak akan dialaminya segala kesukaran ini.....
Tengah memeriksa pakaiannya, nona ini lihat sepotong baju merah tua. Ia ingat,
inilah baju yang pertama kali ia pakai setelah Tan Hong ketahui bahwa dia adalah
satu nona. Ketika itu, Tan Hong, yang mengawasi dengan tajam padanya, sangat
mengagumi dan memuji kecantikannya. Ia lantas menghela napas. Ia terus pandang
bajunya itu. Ya, tidak salah, itulah baju yang dipuji Tan Hong. Ia lantas usapusap baju itu, lalu disimpan secara hati-hati juga.
Di luar kamar rahasia, terdengar tindakan kaki San Bin, yang rupanya sedang
jalan mondar-mandir. Mendengar itu, mendadak In Loei sadar dari lamunannya.
"Pastilah tak sabaran Tjioe Toako menantikan aku!....." pikirnya. Maka ia lantas
pilih seperangkat pakaian pria dan segera dipakainya dengan cepat, lalu dengan
cepat juga ia bertindak keluar.
San Bin tengah sandarkan tubuh di pintu batu.
"Kau dengar tidak tindakan kaki kuda itu?" dia berkata. "Orang telah dating
semakin dekat. Orang yang datang ke tempat pekuburan ini, mestinya bukan
sembarang orang. Bagaimana dengan kesehatanmu" Dapatkah kau menggunakan
pedangmu?" "Rasanya aku dapat," jawab In Loei. "Tjioe Toako, coba kau tuturkan pula padaku
tentang Loklim tjian."
Itulah pertanyaan yang San Bin tidak sangka, ia menjadi heran. Bagaimana dalam
keadaan demikian si nona masih sempat menanyakan urusan panah kaum Rimba Hijau
itu" "Aku percaya sekarang ini, panah itu sudah tersiar luas," ia menjawab. "Apa lagi
yang hendak dibicarakan mengenal panah itu?"
"Di dalam propinsi Shoasay ini, siapakah jagonya loklim?" In Loei tanya.
San Bin mengawasi, ia tertawa.
"Ah, apakah kau sangsi tak akan dapat menuntut balas?" dia balik menanya. "Di
dalam propinsi ini, ada banyak jago loklim1. Ya, aku sampai lupa memberitahukan
kau satu hal. Kau tahu, djiesoepeh Tiauw Im Taysoe-mu, yang belum lama ini
baharu kembali dari Mongolia, sekarang berada di dalam daerah ini. Jangan-jangan
dia pun telah mendapat tahu tentang panah kita itu." In Loei heran.
"Adakah itu benar?" dia tanya. "Kapan djiesoepeh pergi ke Mongolia" Apakah kau
telah bertemu kepadanya?"
"Aku sendiri tidak menemuinya, aku dengar pembicaraan orang," sahut San Bin.
"St, jangan kau bicara pula. Dengar, di luar ada suara orang memanggil kau!"
Memang benar kata-kata orang she Tjioe ini.
"In Loei! In Loei!" demikian suara panggilan di luar pekuburan.
Itulah suaranya Tjoei Hong!
In Loei heran hingga ia tercengang. Baharu ia hendak berkata, "Jangan bukakan
pintu," atau San Bin sudah pentang pintu kuburan, hingga nona Tjio bisa lari
masuk, larinya keras sekali.
Begitu ia lihat In Loei, Tjoei Hong girang bukan kepalang.
"In Siangkong, kau benar ada di sini!" dia berseru. Cuma itu yang ia dapat
katakan, lantas saja ia menangis tersedu-sedu, menangis karena girangnya.
"Lukanya In Siangkong baharu baikan, kau jangan ganggu dia," San Bin
peringatkan. Baharu sekarang Tjoei Hong lihat pemuda she Tjioe itu, untuk sedetik ia
tercengang, habis itu, sepasang alisnya berdiri, wajahnya menunjukkan kegusaran.
"Kita ada suami isteri, kenapa kau usilan?" dia bentak. Tapi terus dia hampirkan
In Loei. "In Siangkong, adakah kau terkena tangan jahatnya Hek Pek Moko?" dia tanya,
dengan perlahan sekali. In Loei manggut. "Kau jangan kuatir, sekarang ini aku sudah sembuh," ia jawab. Ia pegang tangan
si nona, untuk ditarik. "Benar apa yang dikatakan Tjioe Toako , perlu aku
beristirahat. Kau lihat, hari sudah sore."
Mukanya Tjoei Hong menjadi bersemu merah.
"Kau bantu kakak angkatmu, kau tidak perhatikan aku....." katanya dalam hati,
saking mendongkol. Ia cuma bisa berpikir, tidak berani ia utarakan
kemendongkolannya itu. San Bin di samping mereka tertawa tertahan.
"Eh, kau tertawakan apa?" tegur Tjoei Hong, matanya mendelik.
In Loei menyelak tanpa tunggu jawaban San Bin, yang bersenyum.
"Aku sudah lapar, Nona Tjio, tolong kau masakkan aku makanan," demikian katanya.
"Di sini ada beras, ada daging. Ingin aku beristirahat, maka kalau nanti makanan
itu sudah sedia, baharu kau panggil aku....."
Habis berkata terus ia masuk ke dalam kamar rahasia.
San Bin hendak ikuti si nona, baharu ia jalan dua tindak, Tjoei Hong sudah
perdengarkan suaranya yang kaku: "Eh, mari kau bantui aku ambil air untuk cuci
beras!" Biar bagaimana, pemuda ini jengah, urung ia masuk ke dalam kamar rahasia.
In Loei menoleh, ia bersenyum kepada pemuda itu. Ia bagaikan anak nakal yang
merasa sangat puas karena berhasil menggodai orang.....
San Bin masgul sekali, dengan mulut membungkam ia bantui Tjoei Hong mengambil
air untuk cuci beras, lalu menyalakan api, untuk memasak nasi.
Tjoei Hong juga bungkam terus, tidak ia pedulikan anak muda itu, suatu tanda ia
murka. Adalah In Loei, yang katanya hendak beristirahat, di dalam kamar rahasia sudah
mengasah otaknya. Ia pikirkan, dengan cara bagaimana dapat ia menjodohkan kedua
pemuda dan pemudi itu. Ia bersenyum bila ia dengar orang tidak perdengarkan
suara satu pada lain. "Tjoei Hong sangat membenci dia, itulah tentu disebabkan karena ia menyangka
akan sangat berpihak pada toako San Bin," ia pikir. "Tapi, kalau nanti ia
ketahui aku pun seorang wanita sebagai dia, pastilah dia akan tertawa! Adakah
ini yang dikatakan, kalau bukan musuh tidak berkumpul menjadi satu?"
Selagi memikir demikian, Nona In ini jengah sendiri. Tidakkah ia pun demikian
ketika pertama kali ia bertemu dengan Tan Hong" Tidakkah ia juga semula
mempunyai perasaan jemu" Karena ini, ia menghela napas sendirinya.
In Loei tidak tahu berapa lama ia telah melamun, tahu-tahu ia dengar Tjoei Hong
mengetok pintu kamar. "In Siangkong, nasi sudah matang!" kata "isteri" itu.
Bagaikan baharu sadar dari mimpinya, dengan gugup In Loei buka pintu. Ia lantas
dapat tenangkan diri. Tapi, begitu lekas ia tampak sikapnya San Bin dan Tjoei
Hong berdua, yang tetap masih saling membungkam dan tak pedulikan satu dengan
lain, tak tertahan lagi, ia tertawa.
Tjoei Hong dan San Bin itu berebut hendak menyajikan nasi untuk In Loei,
karenanya, nona itu kembali deliki si anak muda, hingga dia ini dengan jengah
mesti mengalah. In Loei bersenyum, ia sambuti nasi dari Nona Tjio.
San Bin jengah, kuatir ia nanti ditertawakan In
Loei, ia diam dengan muka yang merah.
"Tjoei Hong," berkata In Loei kemudian, "Tjioe Toako ini adalah Djitgoat
Siangkie Kimtoo Siauwtjeetjoe. Ia ada seorang yang banyak pemandangannya, luas
pengetahuannya, maka itu pantaslah kalau kau meminta pengajaran daripadanya."
Dengan sengaja In Loei menyebutkan lengkap "Djitgoat Siangkie Kimtoo
Siauwtjeetjoe" atau "tjeetjoe muda terjuluk Kimtoo, si Golok Emas, dari
pesanggrahan yang berbendera Djitgoat Siangkie, bendera sepasang matahari dan
rembulan." Mendengar itu Tjoei Hong perdengarkan suara dihidung, "Hm!"
"Memang telah aku ketahui, kakak angkatmu itu ada seorang gagah yang luar
biasa," demikian katanya secara memandang enteng. "Jikalau bukannya begitu, cara
bagaimana kau begini mendengar kata terhadapnya?"
Mendengar demikian, San Bin menjadi sangat jengah. Tidak demikian dengan si Nona
In, yang tak pedulikan ejekan itu. Ia telah menduga yang ia akan mendapat
sambutan demikian. Sambil tertawa, ia berkata pada si nona: "Turut katanya Tjioe
Toako, itu hari kau terburu-buru pulang, kenapa sekarang kau keluar pula?"
"Memang," jawab Tjoei Hong. "Tidak lama setibanya aku di rumah, ayah pun pulang.
Wajah ayah muram sekali, ia seperti
tengah menghadapi soal sangat sulit. Aku tanya ayah apa ia dapat menemui kau,
ayah jawab tidak. Ayah tahu betul
kau masih berada di dalam kuburannya Hek Pek Moko, tetapi ada orang yang
mencegah dia menemui kau. Hal itu membuatnya aku heran sekali."
San Bin pun heran, hingga ia campur bicara.
"Ayahmu ada seorang gagah, ia disegani kaum Rimba Hijau, siapa yang berani
merintangi dia?" demikian ia tanya.
Mendengar orang memuji ayahnya, kesan jelek Tjoei Hong terhadap pemuda itu
berkurang dengan segera. Tapi masih ia tidak mau melayani orang berbicara, ia
hanya memandang In Loei. "Berulangkah aku tanya ayah, siapa itu orang yang mencegah dia, ayah tetap tidak
hendak mengatakannya," kata Tjoei Hong. Ayah katakan ia tidak takuti siapa pun
jua, melainkan perkataan orang itu tak dapat ia tidak mendengarnya. Ayah pun
berkata, tentang jodohmu, itu ditanggung olehnya serta In Siangkong. Ia kata
tidak usah aku pusingkan kepala lagi.
Berkata sampai di situ, merah mukanya Tjoei Hong, hingga tidak berani ia bertemu
mata dengan In Loei, tangannya pun membuat main ujung bajunya saja.
In Loei tertawa di dalam hati. Ia girang, ia pun berduka. Ia girang menyaksikan
kemalu-maluan Tjoei Hong dan Tjio Eng yang demikian menghargai Thio Tan Hong.
Tapi ia berduka untuk nasibnya sendiri, yang belum tahu bagaimana jadinya nanti.
Bukankah Tan Hong itu musuhnya" Ia tahu benar, orang yang dimaksudkan Tjio Eng
itu adalah Thio Tan Hong, tapi tentang pemuda she Thio itu, tidak hendak ia
menyebutkannya. "Selama belasan hari ini, sikap ayah menjadi luar biasa sekali," Tjoei Hong
menambahkan. "Biasanya, dalam hal apa juga, ayah selalu bicara denganku, hanya
selama ini, semua gerak-geriknya ia rahasiakan. Tentang siapa adanya si bangsat
cilik berkuda putih itu, perihal selembar gambar lukisan, juga mengenai orang
yang mencegah padanya, semua itu ayah tak hendak beritahukan sedikit jua padaku. Ayah
sampai tidak mempedulikannya yang aku menjadi gusar. Sebaliknya ayah menghendaki
aku segera mengantarkan surat....."
"Mengantarkan surat?" tanya In Loei. "Mengantarkan surat untuk siapa?" ia
perlihatkan roman heran dan sangat ingin mengetahui.
Tjoei Hong sebaliknya bersenyum.
"Surat itu mesti disampaikan kepada seorang kangouw yang kenamaan, yang aneh,"
ia beri tahu. Tapi cuma sampai di situ ia memberitahukannya, lalu ia tambahkan:
"Sekarang ini tidak hendak aku beritahukan dulu kepadamu. Jikalau kau ingin
bertemu dengan orang aneh itu, besok kau boleh turut aku pergi bersama!"
"Di propinsi Shoasay ini di mana ada orang kenamaan yang aneh seperti yang kau
maksudkan itu?" San Bin campur bicara pula. "Apakah dia itu Na Tayhiap" Ataukah
Tjek Tjhoengtjoe" Atau?"
"Hm!" Tjoei Hong memotong. "Tak usah kau menduga-duga tidak keruan! Kau memang
ada Kimtoo Siauwtjeetjoe yang kenamaan akan tetapi tidak nanti kau ketahui orang
kangouw kenamaan yang aneh itu!"
San Bin ketemu batunya, ia bungkam pula. In Loei tertawa.
"Sudahlah, jangan kau main sandiwara!" kata dia. "Akan aku turut perkataanmu.
Besok bersama-sama Tjioe Toako, aku akan turut kau! Sekarang sudah malam, hendak
aku tidur!" Dia tolak pintu kamar rahasia ke dalam mana ia bertindak masuk.
Tjoei Hong cuma bersangsi sebentar, ia turut masuk juga ke dalam kamar itu.
"Entjie Hong, di sana masih ada sebuah kamar," berkata In Loei dengan perlahan
pada nona ini. Tjoei Hong jengah dan mendongkol, hingga ia berhenti bertindak. Ketika ia hendak
buka mulutnya, dari luar ia dengar suara San Bin berkata-kata seorang diri:
"Hebat kuburan ini, bagaikan satu
dunia baru saja! Ruang di dalam tanah ini bagaikan istana, sudah ada ruang
besar, masih ada beberapa kamar lainnya, sungguh bagus! Kamu berdua boleh tidur
masing-masing di kamar, aku sendiri, aku tidur di ruang besar ini, untuk berjaga
malam. Hiantee, kau baharu sembuh, perlu kau beristirahat, mesti kau tidur
siang-siang, jangan kau terlalu banyak bicara....."
Mukanya Tjoei Hong merah hingga kekupingnya, ia lompat keluar kamar rahasia. Di
ruang tengah itu ia tampak San Bin mengawasi ia, wajahnya tampak seolah-olah
bersenyum..... San Bin menutup mulut.
Mendongkol Nona Tjio, hingga ingin ia bacok pemuda itu sampai tubuhnya kutung.
Dengan mendongkol, ia tolak keras daun pintu dari kamar yang ditunjukkan In
Loei, ke dalam mana ia bertindak masuk. Karena terus mendongkol, sampai jauh
malam belum dapat ia tidur pules.....
Besoknya, pagi-pagi, bertiga mereka itu telah mendusi dari tidurnya. Mereka
berkumpul di ruang tengah. In Loei bicara dengan San Bin, tapi San Bin dan Tjoei
Hong tak bicara satu pada lain. Tidak lama, mereka duduk bersantap bersama-sama.
Habis dahar, ketika mereka mau keluar dari kuburan itu, tibatiba terdengar di
kejauhan suara kuda berbunyi.
San Bin lompat bangun. "Cepat sekali datangnya kuda itu!" kata dia. Ia bicara seperti tanpa juntrungan.
Baharu ia tutup mulutnya, atau suara kuda terdengar makin dekat. Dua kali
binatang itu berbenger. "Eh!" Tjoei Hong berseru, tanpa ia merasa. "Suara kuda itu seperti suaranya Si
kuda putih!....." Mendadak wajah In Loei menjadi pucat, tubuhnya pun limbung bagaikan hendak
jatuh. Tjioe San Bin sudah lantas cabut goloknya.
"Bagus! Dia telah mendahului datang mencari kita!" ia kata. "Mari kita gabung
tenaga kita untuk tempur dia!"
In Loei raba pedangnya, tangannya gemetar. Belum lagi ia hunus pedangnya itu,
terdengarlah suara berisik dari rubuhnya pintu depan, menyusul mana seekor kuda
putih menyerbu masuk! San Bin berseru, kaget tercampur girang, terus dia lompat menyambut sambil
memberi hormat kepada orang yang menunggang kuda putih itu.
In Loei pasang matanya, ia dapatkan orang itu bukannya Thio Tan Hong yang ia
harap-harap, hanya, di luar sangkaannya, orang itu adalah Tiauw Im Hweeshio1. Ia
menjadi girang berbareng kecewa, hingga ia berdiri menjublak dihadapannya
pendeta itu, tak dapat ia bicara.
Si pendeta pun heran menampak orang dandan bagaikan satu pemuda, hingga ia
keluarkan seruan tertahan: "Ah!" Kemudian, selagi ia hendak minta keterangan,
Tjioe San Bin telah menarik ujung bajunya, mengajak ia ke pinggir, untuk
dibisiki. Akhirnya, ia tertawa berkakakan.
"Anak Loei, mari!" ia memanggil sambil melambaikan tangannya. "Baharu beberapa
tahun aku tidak lihat kau, sekarang kau telah menjadi demikian rupa."
"Soesiok." In Loei memanggil, yang maju seraya memberi hormat.
Tjoei Hong turut di belakang In Loei, ia pun memberikan hormatnya.
Tiauw Im melirik kepada nona Tjio, lalu ia tertawa berkakakan pula.
"Sungguh cantik!" katanya, gembira. "Anak Loei, jangan kau sia-siakan padanya!"
"Apa soesiok ada baik?" tanya Tjoei Hong. Ia agak malu.
Tiauw Im mengawasi, ia tertawa pula.
"Kau begini cantik, apakah kau juga bisa masak nasi?" dia tanya.
Melengak Nona Tjio ditanya begitu.
"Teehoe sangat cerdik!" San Bin menyelak, untuk mewakilkan si nona menjawab
paman guru yang Jenaka itu. "Ia bukan cuma pandai masak nasi ia pun pandai masak
sayur!" "Bagus, bagus!" seru pendeta itu. "Selama dua hari aku telah melakukan
perjalanan tujuh atau delapan ratus lie, sekarang perutku lapar sekali, maka
itu, lekas kau matangkan aku nasi dan sayurnya!"
Tjoei Hong melengak, di dalam hatinya, ia kata: "Walaupun kau lapar, tidak
selayaknya kau berlaku demikian terhadapku! Ayahku sendiri belum pernah
menitahkan aku begini rupa....."
Tiauw Im sudah lantas cangcang kudanya, habis itu ia jatuhkan diri untuk duduk.
"San Bin Hiantit," kata dia pada pemuda she Tjioe itu, yang ia panggil
"hiantit" atau keponakan, "kau juga pergi bantui iparmu masak nasi! Kau masak
kira-kira tiga kati beras. Sayurnya tak usah banyak, cukup dengan enam atau
tujuh rupa!" Tanpa ragu-ragu lagi Tiauw Im berikan titahnya itu, ia membuatnya Tjoei Hong tak
dapat menangis dan tertawa. Di dalam hatinya, ia mengeluh: "Kenapa paman gurunya
In Loei begini keterlaluan?" Akan tetapi ia mesti pandang In Loei, walaupun
sambil jebikan bibir, ia toh pergi ke belakang.
San Bin sudah lantas susul nona itu.
"Tak mau aku dibantui kau!" kata Tjoei Hong dengan bengis. Ia tengah mendongkol,
tak dapat ia sabarkan diri lagi.
"St, perlahan sedikit....." San Bin berbisik. "Kau tidak tahu, paman gurunya In
Loei ada seorang sembrono. Jikalau kau berbisik dan ia mendengarnya, nanti di
depan In Loei dia ceritakan tentang dirimu!....."
Benar-benar Tjoei Hong membungkam.
San Bin tidak pedulikan orang gusari dia sambil dideliki, malah sambil tertawa,


Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia berkata pada nona itu: "Kau dengar apa kata pendeta itu, bukan" Dia berperut
besar sekali, dia mengatakannya tujuh macam sayur masih belum banyak. Coba kau
pikir, seorang diri saja, dapatkah kau matangkan semua sayur itu?"
Tjoei Hong mendongkol tetapi kata-kata pemuda itu benar. Ia menoleh ke arah si
pendeta. "Cis" ia meludah.
"St!" San Bin mencegah pula. "Paman guru dan keponakan muridnya itu asyik pasang
omong, jangan kau ganggu mereka. Pendeta sembrono itu beradat aneh sekali,
terhadap dia kau mesti berhati-hati....."
Tjoei Hong mendongkol, hingga ia ingin menangis.
"Bagus, ya, kamu paman dan keponakan!" katanya, sengit. "Kau perhina aku sebagai
orang luar! Nanti aku tegur In Loei!"
Justeru itu, dari dalam ruang, terdengar Tiauw Im batuk-batuk.
Mendengar suara orang, Tjoei Hong berdiam, dengan masih mendongkol, ia lantas
bekerja bersama-sama San Bin.....
San Bin geli di dalam hati, ia "layani" si nona, supaya dengan begitu In Loei
dapat kesempatan untuk pasang omong dengan paman gurunya itu. Ia berbuat
demikian, tak tahu ia, bahwa ia juga tengah dipermainkan In Loei. Karena Nona In
bermaksud supaya mereka berada berdua agak lamaan.
Selagi pemuda dan pemudi itu berada di dapur, In Loei tuturkan Tiauw Im
bagaimana caranya ia "menikah" di Heksek tjhoeng, hingga, mendengar kejadian
lucu itu, paman guru itu tertawa tak hentinya. Tapi, setelah ia berhenti
tertawa, mendadak ia perlihatkan roman sungguh-sungguh!
"Kau berjenaka di sini!" katanya nyaring. "Kau tak tahu, untukmu, aku telah
berusaha di Mongolia setengah mati setengah hidup!....."
In Loei terkejut. Mendelong ia mengawasi paman guru itu.
"Anak Loei," kata si pendeta kemudian, dengan samar, "masih ingatkah kau ketika
itu tahun kau bersama kakekmu kembali ke Tionggoan?"
"Aku masih ingat," sahut keponakan murid itu. "Ketika itu ada tahun Tjengtong
ketiga." "Dan sekarang?" Tiauw Im tanya, sambil mengawasi.
"Sekarang tahun Tjengtong ke- tiga belas."
Pendeta itu menghela napas. "Pesat sekali jalannya sang waktu!" dia mengucap.
"Sekejap saja sudah sepuluh tahun! Pada sepuluh tahun yang lampau, aku ada
bersama samsoepeh Tjia Thian Hoa-mu, kita berada di luar kota Ganboenkwan di
mana kita bersumpah sambil menepuk tangan! Kita telah bersumpah, yang satu
melindungi si anak tunggal, yang lain harus menuntut balas. Akulah yang bertugas
membawa kau ke gunung Siauwhan san untuk diserahkan pada soesoemoay untuk
dirawat dan dididik, dan samsoepeh-mu itu bertugas pergi jauh ke Mongolia untuk
membunuh Thio Tjong Tjioe si penghianat! Tentang sakit hatimu ini dan tindakan
untuk membuat pembalasan, mestinya gurumu telah menuturkan kepadamu, bukan?"
In Loei segera mencucurkan air mata.
"Ya, soehoe telah menuturkannya," sahutnya, dengan perlahan. "Aku berterima
kasih sangat yang soepeh telah bekerja banyak sekali untukku....."
Tiauw Im Hweeshio menghela napas pula.
"Terlalu siang kau ucapkan terima kasihmu ini," ia berkata. Ia berhenti
sebentar, lalu ia teruskan: "Dengan soetee Thian Hoa itu aku telah membikin
perjanjian, setelah sepuluh tahun, kita harus membuat pertemuan di suatu tempat
di luar kota Ganboenkwan. Di luar dugaanku, dia tidak datang untuk memenuhi
janji kita itu. Menurut kabar angin, tidak dapat dipastikan apakah dia masih
hidup atau telah meninggal dunia. Ada yang mengatakan dia telah kena
ditawan Thio Tjong Tjioe. Untuk memperoleh kepastian, dengan menunggang kuda,
aku berangkat seorang diri jauh ke tanah Ouw, masuk ke dalam wilayah Watzu. Aku
telah mengambil keputusan, jikalau benar soetee Thian
Hoa nampak bahaya, akulah yang mesti mewakili dia, guna membalaskan juga sakit
hatinya....." "Soehoe katakan, Tjia Soepeh liehay ilmu silatnya, dia gagah dan cerdik,"
berkata In Loei, "maka itu, aku sangsikan jikalau dia terbinasa di tangan musuh!
Mungkinkah itu?" Tiauw Im tertawa dingin. "Memang benar ilmu silatnya Tjia Thian Hoa ada liehay sekali, jikalau tidak
demikian, sudah pasti aku telah membalaskan dendammu!" katanya dengan sengit.
In Loei heran, hingga ia mendelong mengawasi soepeh itu.
"Djisoepeh, aku tidak mengerti," katanya. "Apakah yang soepeh maksudkan?"
Tiauw Im menepuk meja, hingga ujungnya gempur.
"Aku juga sangat tidak mengerti!" dia berseru. Maka, heranlah In Loei.
Paman guru itu menghela napas panjang-panjang.
"Setelah aku tiba di Watzu, segera aku mengadakan penyelidikan," ia melanjutkan.
"Sekian lama aku telah bekerja, tidak aku peroleh hasil, tidak aku ketahui di
mana adanya soetee Thian Hoa atau apa yang telah terjadi atas dirinya. Aku
lantas pikir untuk membalasnya seorang diri. Dalam hal ini, aku pun terhalang.
Thio Tjong Tjioe terlindung kuat oleh Tantai Mie Ming, sedang gedungnya ada
tanggu dan rapat penjagaannya. Tidak bisa aku sembarang turun tangan. Aku
menjadi tidak sabaran, hingga aku rasa, satu hari sama lamanya dengan satu
tahun." "Akhirnya, datang juga hari yang aku tunggu-tunggu. Aku dapat mengendus bahwa
Tantai Mie Ming tidak berada di dampingnya
Thio Tjong Tjioe. Mungkin dia dititahkan si penghianat pergi kesuatu tempat jauh
untuk suatu tugas penting. Segera aku selidiki kebenaran itu, sesudah mana aku
ambil kepastian untuk memasuki gedung si penghianat itu. Aku lakukan ini pada
Suling Emas Dan Naga Siluman 13 Pendekar Naga Geni 3 Badai Di Selat Karimata Pedang Berkarat Pena Beraksara 7

Cari Blog Ini