Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 14
membantui pihak Beng. "Bagaimana sekarang dengan tjoekong kita?" Keng Beng tanya pula kakaknya.
Dengan "tjoekong" yaitu "junjungan," Nona Tamtay maksudkan Thio Tjong Tjioe,
ayahnya Tan Hong. In Tiong ketahui ini, ia menjadi bertambah heran, hingga
jantungnya memukul. Nyata mereka ini sudah bicarakan musuh turunannya itu. Ia
menjadi bingung. Tantai Mie Ming menyeringai sebelum ia menjawab adiknya itu.
"Selama ini pikiran tjoekong kita itu kusut sekali," demikian penyahutannya.
"Tak hentinya ia memikirkan soal merampas kembali kerajaan Beng, untuk itu ia
menghendaki bangsa Watzu menduduki Tionggoan. Hanya ia bersangsi akan akibatnya
nanti. Pikirannya itu tengah bertentangan sendiri. Tidak berhasil aku membujuk
dia untuk bersabar dan menetapkan hati."
Habis berkata, Mie Ming lihat langit.
"Aku dititahkan Yasian untuk mengajak pulang Low Beng dan Low Liang," ia berkata
pula, "sekarang tidak ada jalan lain, aku harus memberi laporan bahwa mereka
telah terbinasa di tangan musuh. Sekarang hari sudah malam, aku mesti pergi."
Ia pamitan dari adiknya dan In Tiong, terus ia bertindak keluar, akan mengajak
orang-orangnya berlalu dari rumah kedua saudara Low itu.
Selekasnya kakaknya dan barisannya pergi, Tamtay Keng Beng ajak In Tiong berlalu
juga. Mereka menunggang kuda mereka, untuk kabur ke arah Pakkhia.
Benar-benar kota Pakkhia sudah terlepas dari kurungan, di sekitar kota sampai
beberapa puluh lie jauhnya, tidak terdapat seorang musuh jua. Mereka baharu
melalui tiga puluh lie, lantas mereka bertemu dengan barisan Beng, yang lantas
mengajak mereka masuk ke dalam kota, untuk segera bertemu dengan Tan Hong.
Bukan main girangnya In Tiong. Sekarang ini telah lenyap pula beberapa bahagian
dari rasa permusuhannya terhadap orang she Thio itu.
Kata-kata Tantai Mie Ming tadi terhadap Nona Tamtay, membikin ia dapat melihat
duduknya hal mengenai Tan Hong itu. Mie Ming sendiri nyatanya bukan musuh...
Tentera suka rela sementara itu telah berbaris masuk ke dalam kota raja. Tibanya
mereka itu saling susul. Ie Kokloo telah mengeluarkan barang-barang berharga
dari Thio Soe Seng, untuk
dijadikan uang, buat dipakai membeli rangsum dan lainnya. Di samping itu, ia
telah periksa peta bumi dan memahami itu. Ia jadi bertambah bersemangat. Begitu,
dalam beberapa pertempuran, ia terus peroleh kemenangan maka telah kejadian,
setelah setengah bulan, angkatan perang Watzu telah mundur dari Ganboenkwan.
Pada suatu hari, Ie Kokloo panggil Tan Hong dan In Tiong datang padanya.
"Ada sesuatu yang berbahaya, apakah hiantit bersedia untuk melakukan itu?" ia
tanya kedua anak muda sehadirnya mereka itu.
"Apa yang thaydjin titahkan, meskipun untuk menyerbu api berkobar, tidak nanti
kita tampik," Tan Hong berikan jawabannya.
Ie Kiam berdiam sebentar.
"Tadi malam aku telah menulis syair," kata ia kemudian. "Coba kau lihat dulu."
Dan ia serahkan syairnya.
Tan Hong menyambuti, terus ia membaca. Ia lantas manggut-manggut. Karena ia
mengerti maksud kepala perang itu. Ie Kokloo telah melukiskan, bahwa perang
sudah berhenti, kawanan dorna telah dibasmi, maka itu orang-orang yang berjasa
dalam peperangan diberi anugerah. Ia mengharap ancaman di perbatasan telah
lenyap, supaya tak timbul lagi peperangan.
"Bagus," Tan Hong memuji. "Bukankah maksud thaydjin untuk membuat perdamaian
dengan bangsa Watzu?"
"Benar," jawab Ie Kiam. "Di kolong langit ini tidak ada peperangan yang tidak
dapat di akhiri. Sekarang kita sudah peroleh kemenangan, inilah waktunya untuk
merundingkan perdamaian. Untuk kita, itu bukannya suatu hinaan. Taysianghong
berada di negara asing, sudah selayaknya kita menyambut ia pulang.
Di hati kecilnya, Tan Hong terkejut juga mendengar, niatnya Ie Kokloo ini. Ia
berpikir: "Kokloo berniat menolongi taysianghong dapat pulang ke dalam negeri,
tetapi sekarang sudah ada raja baru, dengan pulangnya taysianghong,
dikuatirkan dia tak akan mengerti ihtiarnya Kokloo ini. Bukankah Kokloo jadi
menghadapi ancaman malapetaka?"
Ie Kiam rupanya melihat kesangsian anak muda itu.
"Hiantit, niatku sudah pasti!" dia kata. "Tak dapat diubah lagi niat itu.
Tentang perseorangan, berhasil atau gagal, kemulian atau kehinaan, itulah bukan
soal yang berarti banyak, akan tetapi raja negara kita yang besar, ia tidak
dapat dibiarkan selamanya menjadi tawanan di negeri musuh. Sekarang ini pergilah
kamu selidiki terlebih dahulu, sesudah itu baharu aku akan kirim utusan untuk
pergi mengadakan perundingan, guna akhirnya menyambut Taysianghong pulang. Kita
ketahui cita-cita Yasian besar, aku kuatir setelah kekalahannya nanti dia datang
menyerbu untuk kedua kalinya. Dengan kepergianmu ini hiantit, kau juga boleh
sekalian berdaya bersama ayahmu untuk mengajak Pangeran Atzu mencoba
mempengaruhi Yasian, agar dia tidak sampai bergerak pula. Ini juga merupakan
satu jasa besar untukmu."
Tan Hong berpikir sebentar, segera ia berikan jawabannya.
"Baiklah, besok akan aku berangkat!" kata dia. "Sebenarnya aku berniat tidak
akan kembali ke Watzu, akan tetapi untuk urusan ini, biar mesti menghadapi golok
dan gergaji, akan aku pergi juga. Thaydjin, apakah aku harus pergi seorang
diri?" "Aku telah bicara dengan In Tiong untuk In Loei pergi bersama kau," sahut Ie
Kokloo. "Aku dengar kamu berdua mempunyai kepandaian silat dengan pedang
Siangkiam happek benarkah itu?"
"Itulah benar, selama ini belum pernah kami menemui lawan yang tangguh," jawab
Tan Hong. "Hanya dengan dia turut bersama, itulah terlebih baik pula. Jadi bila
kami, umpama kata bertemu musuh yang lebih tangguh, dapat kami menghadapinya."
Ie Kiam bersenyum. Itulah senyuman yang berarti...
Besoknya, Thio Tan Hong dan In Loei berangkat berdua. Mereka akan menempuh jarak
yang jauh, hati mereka masing-masing terbuka sekali.
"Adik kecil," kata Tan Hong sambil tertawa di tengah jalan, ketika dulu kita
berangkat dari Kangsouw menuju ke Pakkhia, kau pernah bicara dari hal sulitnya
perjalanan yang sukar, sekarang kita berangkat menuju ke Watzu, perjalanan ini
lebih jauh lagi..." In Loei bersenyum. "Toh ada harinya yang perjalanan itu dapat dilakukan hingga ditujuannya?" ia
jawab. Tan Hong tertawa, ia lantas bersenanjung: "Di dalam hidupnya, manusia tidak
sedikit mengalami perjalanan yang sulit dan berbahaya, maka orang mesti
menerjang es melawan hawa dingin untuk melanjutkan perjalanannya itu. Demikian
dengan kita sekarang ini, berapa banyak perjalanan sukar yang mesti dilintasi,
dari itu, mana ada hari yang dapat di akhirkannya"..."
Hati In Loei bercekat. Mengertilah ia maksud kata-kata Tan Hong ini. Orang
hendak minta supaya ia menjadi teman sehidup semati. Tentu saja ia bersyukur
akan cinta orang itu. Akan tetapi hatinya menjadi ciut ketika ia ingat pesan
atau permintaan kakaknya, untuk mana ia telah berikan janjinya. Maka ia merasa
suram akan penghidupannya nanti. Terpaksa, ia berpura-pura kurang mengerti. Ia
pun paksakan diri untuk bersenyum.
"Oh, sioetjay kutu buku!" katanya, menggoda. "Sudahlah, jangan kau main
bersenanjung saja! Jikalau kau tidak lekaskan perjalanan kita ini, apabila kita
memperlambat hari, aku kuatir, sebelumnya kita tiba di Kwangwa, salju sudah akan
turun secara besar-besaran! Kalau itu sampai terjadi, baharu benar-benar kita
menerjang es dan melawan hawa dingin!..."
Tan Hong tertawa. Si nona pun tertawa.
Demikian tidaklah sunyi mereka di tengah perjalanan, cuma setiap kali si pemuda
bicara tentang hari kemudian mereka berdua, si pemudi senantiasa mengelakkan
diri. Itu hari tibalah mereka di Yangkiok. Habis perang, kota menjadi sepi sekali,
sebahagian dari toko-toko belum dibuka pula. Tapi Tan
Hong girang juga ketika ia saksikan rumah makan di mana ia untuk pertama kali
bertemu dengan In Loei, rumah makan itu masih mengibar-ngibarkan bendera
mereknya. "Adik kecil, masihkah kau ingat rumah makan itu?" dia tanya kawan
seperjalanannya. "Seumurku, tak nanti kulupakan itu!" sahut In Loei.
Tan Hong tertawa. "Oh, adik kecil!" katanya dalam keriangan hatinya. "Bagus sekali, ingatanmu dan
ingatanku ada serupa..."
"Ah, ingatan apa sih?" In Loei potong. "Tak dapat aku melupakannya yang di dalam
rumah makan itu kau telah mencuri uangku, hingga hampir saja aku mendapat
malu..." Tan Hong tercengang. Itulah jawaban yang ia tidak harapkan. Tapi sebentar saja,
atau ia sudah tertawa pula.
"Sudahlah, jangan kita adu mulut..." katanya. "Kita telah tiba di tempat yang
lama, tak dapat kita melupakan kejadian-kejadian yang telah berlalu itu, marilah
kita minum arak, untuk memuaskan hati kita. Adik kecil, kau jangan kuatir, kali
ini akulah yang undang tetamu, tidak nanti aku membiarkan kau dahar pula tanpa
membayar!..." Gembira In Loei mendengar orang menyebut-nyebut kejadian sudah
lewat itu, ia lirik si anak muda, ia tertawa.
"Jikalau kau berani mengulangi mempertunjukkan kepandaianmu tangan liehay,"
katanya, "lihat, akan aku patahkan lenganmu..."
Kembali keduanya tertawa, mereka saling pandang.
Segera mereka sampai di depan rumah makan, keduanya turun dari kuda, untuk
menambat binatang tunggangan mereka, habis mana, mereka bertindak masuk ke dalam
rumah makan itu. Masih mereka saling lirik dan bersenyum.
Rumah makan itu tidak banyak tetamunya, ini pun menandakan akibatnya bahaya
perang. Tan Hong masih ingat tempat duduk mereka yang dulu, yaitu di meja di sebelah
selatan yang menghadapi jendela, maka ia ajak In Loei ke meja yang dahulu itu.
Ia lantas panggil jongos, untuk minta dua poci arak serta daging dua setengah
kati. Begitu lekas arak disajikan, ia lantas saja tenggak tiga cawan.
"Dahulu ketika aku duduk minum seorang diri di sini," kata dia menimbulkan soal
lama. "Kau juga ada bersendirian, adik kecil. Ingat benar aku itu hari, kau
senantiasa melirik aku, tetapi sekarang, bagus sekali, kita sekarang berada
berdua! Sekarang, adik kecil, tak usah lagi kau tiap-tiap kali mengalihkan
pandanganmu kepadaku!..."
Jengah juga In Loei mendengar kata-kata orang itu. Tetapi ia tidak menjadi gusar
karena ia tahu pemuda itu tengah bergurau.
"Bicara perlahan sedikit!" tegurnya. "Siapakah yang tiap-tiap kali melirikmu"
Hari itu aku berpaling kepadamu karena tingkah polamu lucu dan juga ada orang
jahat yang mengintai padamu tanpa kau mengetahuinya. Memang aku sering menoleh
kepadamu, disebabkan tingkah lakumu itu! Hanya aku tidak menyangka, kau justeru
hendak mempermainkan aku. Sudahlah, urusan lama jangan ditimbulkan pula. Bicara
tentang itu, sekarang panas hatiku terhadapmu..."
Tan Bong bersenyum, ia menatap.
"Benarkah itu?" dia menegaskan, separuh main-main.
In Loei kewalahan. "Ah, kau jail sekali!" katanya. "Buruk hatimu..."
"Eh, apakah itu benar?" tanya Tan Hong. "Kalau begitu, pastilah aku menjadi
kakakmu sang busuk hatinya..."
"Sudahlah!" kata si nona, akhirnya. "Kalau tetap kau menggoda aku, nanti aku tak
sudi bicara lagi denganmu..."
Tan Hong irup araknya. Ia tertawa pula.
"Aku ingat kedua penjahat yang hari itu mengarah aku," kata dia, "mereka itu
duduk di situ, di sebelah timur..." Ia menoleh ke arah yang ia sebutkan. Di sana
justeru duduk seorang imam yang jubanya hijau, yang romannya seperti bukan imam
sembarang imam. In Loei pun berpaling ke arah itu.
"Kali ini dia bukannya jahat!..." katanya sambil tertawa. Ia pun keringkan
cawannya. Di mulutnya, In Loei bilang tak ingin membicarakan soal-soal lama, akan tetapi
sekarang ia berada di tempat dahulu itu, mau atau tidak, teringat segala,
seperti berpeta apa yang mereka tampak dahulu itu. Begitulah ia ingat, dapat ia
membayangkan saat-saat pertemuannya pertama kali dengan Tan Hong. Maka juga
hatinya jadi bekerja. "Dulu aku berkesan menjemukan terhadap dia, aku tidak sangka, sekarang dia
menjadi sahabatku yang kekal," demikian ia berpikir. "Yang lebih-lebih aku tidak
sangka, dia justeru musuh besarku. Koko-pun sangat membenci dia. Benar-benar di
dalam hidup manusia terdapat banyak hal yang tak disangka-sangka semulanya..."
Kembali si nona ceguk araknya. Dengan jalan ini ia mencoba akan melenyapkan
kenang-kenangannya itu, karena mana, dapat ia minum, dahar dan pasang omong
dengan gembira bersama Tan Hong. Karena ini, tanpa merasa juga, ia telah tenggak
beberapa cawan. "Adik kecil," kata Tan Hong pula. "Lagi sepuluh lie dari sini adalah dusun
Hektjio tjhoeng, maka itu, inginkah kau menemui mertuamu?"
In Loei melengak. Tidak ia sangka, sahabatnya ini menimbulkan soal itu. Maka ia
lantas ingat pernikahannya dengan Nona Tjio Tjoei Hong dan apa yang terjadi pada
malam pengantin itu. Tiba-tiba ia merasa lucu, hampir ia semburkan araknya. Ia
tertawa. Tan Hong bersenyum, ia mengawasi.
"Kasihan isterimu yang cantik itu, yang telah menantikan kau sampai hari ini,"
kata dia, romannya sungguh-sungguh. "Sekian lama dia tungkuli nama isteri kosong
belaka... Setelah sekarang habis perang, sudah selayaknya kau pergi menjenguk
dia, supaya hatinya menjadi lega..."
Tergerak juga hatinya In Loei mendengar disebutnya Tjoei Hong. Ia jadi ingat
cintanya Nona Tjio itu terhadapnya.
"Benar, sudah selayaknya aku pergi menengok dia," ia berpikir. "Hanya, perlukah
aku membuka rahasia terhadapnya tentang diriku sendiri?"
Ia menjadi bersangsi. Dahulu ia suka menikah dengan Tjoei Hong karena terpaksa,
untuk meloloskan diri, ia tidak nyana, nona itu demikian keras menyintai ia, ia
dipandang sebagai suami yang benar-benar dapat diandalkan. Sekarang, setelah
dapat pengalaman, lain lagi perasaannya. Ia tidak lagi seperti dulu, yang masih
hijau. Dahulu ia anggap menyamar sebagai pemuda, habis perkara, tak pernah ia
pikirkan akibatnya di belakang hari. Karena ini, ia angkat kepalanya, ia pandang
Tan Hong. Pemuda itu pun tengah mengawasi si nona, wajahnya seolah-olah berseri-seri...
"Eh, mengapa kau tertawa?" si pemudi menegur.
"Bukankah kau pun pernah menyamar menjadi wanita, malah hampir saja kau menikah
dengan puterinya Yasian itu?"
Tan Hong tertawa. "Aku belum sampai menikah!" katanya, menggoda pula.
"Sudahlah!" kata nona In akhirnya. "Mari lekas minum, habis kita pergi menengok
dia, hendak aku menutur segala apa dengan terang kepadanya. Sayang kita sekarang
tak ketahui Tjioe San Bin ada di mana..."
"Hai, kau lucu!" kata Tan Hong. "Urusanmu sendiri masih belum beres, kau sudah
memikir untuk menjadi comblang! Sekarang aku tanya kau, kau hendak salin pakaian
atau tidak" Awas, kalau nanti Nona Tjio lihat kau, bisa-bisa dia gerembengi pula
padamu!..." In Loei tunduk, memandang pakaiannya sendiri. Sejak berangkat dari kota raja, ia
memang telah dandan pula sebagai satu pemuda. Ia menjadi tertawa sendirinya.
"Kau omong perlahan sedikit..." ia peringatkan pula sahabatnya itu. "Kau lihat,
si imam agaknya memperhatikan kita..."
Tapi Tan Hong menyahuti seenaknya saja.
"Nah, mari kita berangkat!" kata dia kemudian, sambil berbangkit. Ia hendak
mendahulukan membayar uang santapan mereka. "Aku tidak inginkan kau yang
membayar!" Ia sudah lantas merogo sakunya, atau mendadak ia menjadi melengak. Tangannya itu
masuk ke dalam saku yang kosong - uangnya sudah terbang tanpa sayap!
"Ah, toako, kembali kau godai aku!" katanya kemudian pada Tan Hong. "Lekas kau
kembalikan uangku!" Sambil mengucap demikian, ia menoleh kepada si imam, siapa
justeru sudah berdiri di sampingnya.
Tan Hong tidak menyahuti kawannya, hanya sambil berlompat bangun, ia terjang
imam itu. "Di kolong langit yang begini terang benderang kau berani menjadi bangsat?" ia
mendamprat. Imam itu menangkis dengan sebat, enteng dan gesit gerakan tangannya.
"Hai, kau berani lancang memukul orang?" tegurnya.
In Loei terkejut melihat kesebatan orang itu. Memang luar biasa serangan Tan
Hong yang dapat ditangkis secara demikian. Hampir ia lompat untuk membantui
kawannya, baiknya dapat ia bersabar.
Tan Hong tidak berhenti karena tangkisan itu.
"Ah, kiranya kau satu ahli?" katanya, sambil menyerang pula. Ia berlaku sangat
sebat, hingga dapat ia sambar apa yang ia arah, ialah kantong uangnya In Loei.
"Apa kau hendak katakan sekarang?" dia tanya pula. "Di sini ada buktinya!" Imam
itu melejit, tetapi Tan Hong sambar bajunya, hingga "Bret!" pecahlah ujung
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jubahnya. Imam itu mencoba meloloskan diri dengan kelitan "Kimsian toatkok" atau
"Tonggeret melepaskan sarung tubuhnya." Ia tidak pedulikan ujung jubah pecah,
terus ia lompat ke jendela, untuk kabur.
Tuan rumah makan lihat orang lari.
"Eh, eh, uang makanmu!" dia teriaki. "Ada orang jahat! Ada orang jahat! Ia
lantas berteriak-teriak pula.
Tan Hong buka kantong uangnya, untuk mengeluarkan sepotong perak, yang ia
letakkan di atas meja. "Semua akulah yang bayar!" dia kata kepada tuan rumah.
Potongan perak itu, meski dibayarkan sekalian pada uang makan si imam, masih ada
kelebihannya, maka itu, girang tuan rumah itu, tetapi, ketika ia hendak haturkan
terima kasihnya, Tan Hong sudah menarik tangan In Loei untuk diajak lari keluar
dengan jalan melompati jendela juga!
Itu waktu, sedikit sekali orang berlalu lintas di jalan besar, si imam terlihat
tengah melarikan dirinya sambil menunggang kuda, dia sudah mulai keluar dari
pintu kota. Tan Hong lari kepada kudanya, terus ia lompat naik di bebokongnya.
"Mari kita kejar dia!" ia ajak In Loei. "Kantong uang telah didapat kembali,
untuk apa melayani dia itu" In Loei tanya.
"Bukan begitu," kata Tan Hong. "Dia liehay, dia bukannya penjahat sembarang!
Hendak aku selidiki tentang dirinya!"
Tjiauwya saytjoe ma pun segera meringkik dan kabur.
Menampak demikian, terpaksa In Loei larikan kudanya, untuk menyusul.
-ooo00dw00ooo- Bab XXII Kuda Tan Hong adalah kuda jempolan, kuda In Loei - hadiah dari Ie Kiam - juga
adalah kuda pilihan, maka itu, dalam sekejap saja keduanya sudah berada di luar
kota kecamatan Yangkiok itu, lantas mereka candak si imam, yang telah melarikan
kudanya. "Berhenti!" teriak Tan Hong kepada imam itu.
Heran agaknya si imam, dia menoleh, tetapi segera dia tertawa besar.
"Kau tahu aku kekurangan uang untuk ongkos perjalanan, apakah kau hendak
mengantarkan aku?" dia tanya, sikapnya wajar.
Tan Hong tidak pedulikan sikap orang berlagak pilon itu.
"Di rumah makan ada banyak orang, tidak merdeka untuk bicara di sana," ia jawab.
"Tootiang, apakah sampai di sini masih kau hendak bergurau?" Imam itu
perlihatkan roman suram secara mendadak.
"Siapa main-main denganmu?" dia kata.
"Jikalau tootiang tidak main-main, aku minta kau memberi keterangan tentang
dirimu kepadaku," Tan Hong minta.
"Selama hidupku aku mencopet, belum pernah aku gagal", berkata imam itu, "sayang
hari ini, aku telah dipergoki kau. Uangmu telah aku bayar kembali, apa perlunya
kau susul aku" Bukankah itu berarti bahwa kau, tuan besar yang mempunyai banyak
uang, hendak mempermainkan aku" Hm, hm! Baik kau rasakan pedangku ini!"
Dia berkata dengan wajar, tidak mirip dia hendak bergurau, setelah itu segera
dia hunus pedangnya, untuk lantas menikam dengan tikaman "Kimtjiam inshoa" atau
"Jarum emas memimpin benang."
Tan Hong berkelit, atas mana, tiga kali ia diserang saling susul, hingga ia
mesti terus-menerus mengegoskan diri, tetapi karena ini, ia lihat ilmu pedang
orang mirip dengan ilmu pedang Lianhoan Toatbeng kiam dari Boetong Pay. Ia
menjadi heran. Si imam masih tidak puas, masih ia keluarkan kata-kata yang tak sedap didengar.
"Kau andalkan kudamu yang keras larinya, apakah itu perbuatan satu enghiong?"
(Enghiong = orang gagah, satu laki-laki).
Heran Tan Hong atas kelakuan orang yang jumawa itu.
"Mungkinkah dia hendak mencoba-coba ilmu pedangku?" ia dapat pikiran. Maka terus
ia lompat turun dari kudanya, akan segera menjawab: "Baiklah, akan aku temani
tootiang untuk beberapa jurus..."
Imam itu sudah lantas lompat turun dari kudanya, sambil berlompat, ia
menghampiri si anak muda, maka itu, begitu menginjak tanah, ia bisa mendahului
dengan tikamannya ke arah jalan darah hoenboen hiat dari Tan Hong.
Tentu saja anak muda itu menjadi mendongkol, karena ia kenali tikaman yang
berbahaya itu, maka setelah menangkis dengan "Hengkee kimliang" atau
"Melintangkan penglari emas," ia lantas membalas dengan "Kimtjiam hielong" atau
"Kodok emas membuat main gelombang," disusul dengar dua tikaman lainnya, hingga
si imam jadi kaget juga. Sebab ketiga tikaman itu mengarah bahagian-bahagian
tubuh yang berbahaya. "Sungguh liehay!" dia berseru. Dengan gesit ia elakkan dirinya, habis mana, lagi
sekali ia menyerang. Diam-diam Tan Hong kagumi ilmu silat pedang orang itu.
"Dia jauh terlebih liehay daripada Siong Sek Toodjin," ia berpikir. "Ia mesti
salah satu ahli silat dari Boetong Pay."
Oleh karena ini, Tan Hong lantas melayani terus dengan perhatian. Ia segera
keluarkan ilmu pedang "Pekpian Hian Kee Kiamhoat-nya," maka berbareng dengan
kelincahannya, kegesitannya, ia menikam dan membabat dengan berulang-ulang, ke
segala arah, ke delapan jurus.
Imam itu melepaskan napas lega setelah ia dapat membela diri dari pelbagai
serangan yang berbahaya itu, ia baharu hendak melakukan pembalasan, atau di luar
dugaannya, si anak muda kembali menyerang padanya, dengan tikaman "Inheng
Tjinnia" atau "Mega melintang di atas bukit Tjinnia" yang diubah menjadi sabatan
"Soatyong Lankwan" atau "Salju menindih kota Lankwan."
Bukan kepalang kagetnya imam itu. Repot ia berkelit. Tidak urung, kopiah
keimamannya tersabet juga hingga putus bahagian atasnya. Ia menjerit bahna
kagetnya, ia mundur hingga beberapa tindak.
"Hai, pantas Siong Sek Soetee telah menderita kekalahan hingga dia bersumpah tak
hendak menggunakan pedang lagi!..." ia pun berseru. Mendengar seruan itu, Tan
Hong ingat kepada Siong Sek Toodjin, yang diakui si imam sebagai soetee (adik
seperguruan). Siong Sek Toodjin adalah si imam yang telah membantu See To ayah dan anak
mencoba merampas kudanya si anak muda, karena mana dia dikalahkan anak muda itu.
Maka anak muda itu jadi heran.
"Tootiang," ia menanya sambil menahan pedangnya, "adakah kau bermaksud menuntut
balas untuk Siong Sek Toodjin?"
Imam itu tertawa berkakakan.
"Untuk urusan kecil itu aku hendak menuntut balas?" sahutnya. "Sungguh aku tidak
kebanyakan tempo! Melihat kudamu, menyaksikan ilmu pedangmu ini, kau mestinya
Thio Tan Hong. Syukur aku telah mencoba-coba kepadamu, jikalau tidak, pasti sekali kau akan
jadi penasaran. Aku tanya kau, bukankah kau hendak pergi ke Heksek tjhoeng?"
Tan Hong heran. Ia tetap tidak melanjutkan serangannya.
"Apa kau bilang?" ia tanya.
"Tidak apa-apa," jawab imam itu. "Hanya, kalau benar kau hendak pergi ke Heksek
tjhoeng, di sana kau tidak akan dapat menemui Hongthianloei!"
"Jikalau dia tidak berada di Heksek tjhoeng, habis di mana?" Tan Hong tanya.
"Dia berada di dalam pesanggrahan See To yang menjadi saudara angkatnya," si
imam menjawab dengan keterangannya.
Persahabatan antara Tjio Eng dan See To memang kekal sekali, akan tetapi sejak
Tjio Eng "menikahkan" puterinya dengan In Loei, persahabatan itu menjadi
renggang. See To dan puteranya menjadi tidak senang, sebab mereka merasa diri
mereka seperti dihina. Mendengar keterangan itu, Tan Hong bersangsi.
"Benarkah keteranganmu ini, tootiang?" ia tegaskan.
"Untuk apa aku mendustai kau?" imam itu balik menanya. "Sekarang ini See To
tengah mengundang banyak sekali orang-orang kaum Rimba Hijau, di antaranya
termasuk pintoo, namun pintoo tak sudi memenuhi undangan itu. Pintoo telah
menolak undangan dengan menuliskan penolakan itu di kaki gunung, habis itu
pintoo lantas berlalu. Kebetulan saja di atas gunung itu, pintoo bertemu Tjio
Eng." "Bagaimana dengan anak perempuannya?" In Loei tanya. Ia campur bicara secara
tiba-tiba setelah lama membungkam saja.
Si imam tertawa. "Tentu saja ia berada bersama ayahnya!" sahutnya. "Eh, engko kecil, ada urusan
apakah di antara kau dan mereka itu hingga kau menanyakan halnya si nona Tjio
itu?" "Aku mohon bertanya, tootiang, apakah gelaran mulia dari tootiang?" Tan Hong
memotong In Loei, hingga kawannya tak sempat menjawab.
"Pintoo adalah imam dari Boetong San," sahut imam itu. "Namaku Tjek Hee."
"Oh, kiranya Tjek Hee Tootiang." kata Tan Hong. "Telah lama aku dengar nama
besar dari tootiang,"
Dengan mengatakan demikian, pemuda ini bukan cuma berlaku hormat menurut
keharusan, ia hanya omong dengan sebenarnya, sebab Tjek Hee Toodjin ini memang
salah satu imam kenamaan dari Boetong Pay.
"Masih ada satu hal yang pintoo dengar di tengah jalan," berkata pula imam dari
Boetong San itu, "hanya entahlah kabar itu benar atau dusta..." "Kabar apakah
itu, tootiang?" "Kabarnya ketika angkatan perang Watzu menduduki wilayah ini,
See To ayah dan anak mempunyai perhubungan dengan tentera asing itu," terangkan
Tjek Hee. "Inilah sebabnya kenapa pesanggrahan See To itu utuh hingga sekarang."
Tan Hong terperanjat. Inilah kabar penting, yang ia tidak sangka. Ia memang
belum pernah dengar kabar itu.
"Bagaimana dengan Tjio Eng?" ia tanya.
"Sampai begitu jauh, pintoo tidak tahu," jawab Tjek Hee. "Sebetulnya pintoo
berniat menyampaikan kabar mengenai See To itu kepada Tjio Eng, sayang ia selalu
didampingi orangnya See To hingga pintoo tak mendapat ketika."
Tan Hong kaget hingga ia berseru sambil mencelat.
"Tootiang, terima kasih untuk kebaikanmu ini!" ia
mengucap sambil menjura, setelah mana ia beri tanda kepada In Loei, terus ia
lompat naik ke atas kudanya, lalu ia kaburkan binatang itu.
In Loei menurut, akan tetapi ia kurang mengerti.
"Bagaimana kau pikir tentang imam itu?" ia tanya.
"Menurut keterangan imam itu, mestinya See To dan anaknya itu mempunyai maksud
tertentu dan mereka sedang mengatur tipu daya," jawab Tan Hong. "Mungkin mereka
sedang pancing Tjio Eng supaya Tjio Eng terjebak. Imam itu mencoba kita selagi
kita berada di rumah makan tadi, untuk mengetahui kita sebenarnya siapa, dengan
perbuatannya itu ia rupanya hendak menunjukkan kita jalan supaya kita menolongi
Tjio Eng." In Loei kaget juga.
"Apakah benar Tjio Eng tengah menghadapi bencana besar?" ia tanya.
Tan Hong tidak berikan penyahutannya, dia hanya berkata: "Karena kita mempunyai
kuda yang keras larinya, mari kita pergi dahulu ke Heksek tjhoeng untuk melihatlihat, apabila benar-benar Tjio Looenghiong tidak ada di rumahnya, kita mesti
pergi terus kepada See To untuk membuat perhitungan."
In Loei tidak punya pikiran lain, ia menurut saja. Maka itu, keduanya kaburkan
keras kuda mereka. Tidak sampai setengah jam, tibalah mereka di Heksek tjhoeng.
Mereka tampak pintu pekarangan dipentang lebar dan dari sebelah dalam mereka
dengar suara berisik campur aduk. Dengan lantas mereka hunus pedang mereka,
untuk memasuki pekarangan.
Dua orang yang dandannya seperti tauwbak gunung muncul untuk menghalangi.
Tan Hong dan In Loei tidak sudi dirinya dirintangi, mereka serang kedua tauwbak
itu. Baharu dua tiga jurus, kedua perintang itu sudah kena dirubuhkan. Maka itu,
keduanya lantas maju terus.
Suara berisik di dalam itu adalah suara pertempuran. Nyata Heksek tjhoeng sedang
diserbu, dari sepuluh bagian penghuninya,
hampir sembilan sudah tidak berdaya, mereka itu sudah terbelenggu. Tinggal
beberapa di antaranya, yang mengerti silat, masih bertempur dengan sejumlah
tiauwto. Dengan memberi tanda kepada In Loei, Tan Hong lompat turun dari kudanya, untuk
menerjang kawanan liauwlo itu, ialah serdadu gunung. In Loei lantas menuruti
perintah itu. Kali ini mereka simpan pedang mereka, mereka gunakan tangan
kosong. Tidak ada perlawanan yang berarti dari rombongan liauwlo itu, belum sampai
setengah jam, mereka sudah ditotok hingga semua mati kutunya. Di pihak lain,
semua tjhoengteng sudah lantas ditolongi hingga mereka mendapat kemerdekaannya
kembali. "Sebenarnya, apakah yang telah terjadi?" Tan Hong tanya satu tjhoengteng.
"Tadi tjhoengtjoe berangkat, belum ada setengah jam, lalu muncul kawanan
penjahat ini," demikian tjhoengteng itu berikan keterangannya.
"Mulanya kami menyangka mereka adalah orang-orangnya See To, yang memang
bersahabat dengan tjhoengtjoe, kami ijinkan mereka masuk. Di luar dugaan kami,
mereka lantas menyerang. Kejadian ini adalah suatu hinaan untuk Heksek tjhoeng,
kalau tjhoengtjoe nanti mendapat tahu, pasti jiwa mereka ini tidak akan diberi
ampun!" Tan Hong bebaskan satu tauwbak.
"Apakah Toh See To yang suruh kamu datang kemari?" ia tanya tauwbak itu. "Untuk
apakah perbuatan kamu ini?"
Tauwbak itu berkepala batu, dia tidak mau bicara, dia membungkam saja.
Tan Hong bersenyum. Ia totok iga orang.
"Kau hendak bicara atau tidak?" ia menanya.
Mulanya si tauwbak cuma kaget, setelah itu barulah dia berjengit. Lekas sekali
dia rasakan seluruh tubuhnya sakit, bagaikan ditusuki
jarum. Tentu saja, tidak dapat dia berkepala batu terus. Sekarang ia minta
ampun. Tan Hong tidak segera melayani, ia hanya bersenyum kepada In Loei dan berkata:
"Tidak ada niatku untuk menyiksa dia ini, tetapi untuk menghadapi manusia hina
semacam dia, rupanya tidak ada lain jalan lagi, hingga aku jadi tidak berdaya."
"Kami dititahkan See Tjeetjoe," tauwbak itu mengaku sambil menahan sakitnya.
"Kami dititahkan menyerang Heksek tjhoeng, untuk kemudian mengangkut semua harta
bendanya, guna dibawa pulang ke pesanggrahan kami. Kami pun dipesan untuk
mengambil semua gambar lukisan dan jangan sampai ada yang tertinggal sehelai
pun..." Mendengar ini, Tan Hong lantas berpikir.
"Terang sudah, See To tidak saja hendak merampas harta benda," demikian
pikirnya. "Diapun menghendaki semua gambar, tentunya dia anggap peta bumi yang
berharga itu mesti masih ada di dalam rumah ini. Yang aneh, kenapa dia juga
ketahui tentang peta bumi itu?"
"Eh, toako, kau sedang pikirkan apa?" tanya In Loei, yang melihat orang berdiam
saja, rupanya otaknya sedang bekerja.
"Benarlah apa yang dikatakan Tjek Hee Too-tiang," jawab Tan Hong. "Tidak salah
lagi, See To telah berkongkol dengan bangsa Watzu." Ia lantas totok bebas si
tauwbak, setelah mana, ia kata pada pengurus rumah Heksek tjhoeng: "Kau belenggu
penjahat ini, tunggu sampai nanti tjhoengtjoe kamu pulang untuk mengambil
putusannya." Pengurus rumah itu terima pesan tersebut, atas mana tanpa berayal lagi, Tan Hong
ajak In Loei larikan kuda mereka menuju Lioktjiang San, ialah bukit di mana See
To berdiam, yang letaknya tidak berapa jauh dari Heksek tjhoeng, cuma kira-kira
tiga puluh lie. Belum sampai setengah jam, tibalah mereka di bukit itu. Dari
kaki bukit tertampak, pesanggrahan See To yang panjang dan berliku-liku bagaikan
tubuh naga, kecuali bentengan, di situ pun terdapat
banyak pohon kayu yang besar-besar dan tinggi. Maka itu, bagus letaknya bukit
itu. Setelah turun dari kuda mereka, Tan Hong dan
In Loei bertindak mendaki.
"Siapa kamu?" begitu mereka ditegur satu /iauwlo, serdadu gunung, yang membuat
penjagaan. "Kami adalah tetamu yang diundang tjeetjoe kamu," sahut Tan Hong.
"Coba perlihatkan surat undangannya," serdadu gunung itu minta.
"Kau sambuti ini!" kata Tan Hong seraya mengangsurkan tangannya dengan cepat.
Liauwlo itu mengawasi, ia tidak lihat suatu apa, justeru ia hendak menanya lagi,
tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya lantas rubuh pingsan.
Tan Hong telah menyerang orang dengan jarum rahasianya, jarum mana apabila
mengenai jalan darah, membuat orang tak sadar akan dirinya selama dua belas jam,
sesudah itu, orang dapat mendusi sendirinya.
Dengan rubuhnya liauwlo itu, rintangan sudah tidak ada lagi, maka dengan
menggunakan kengsin soet, ilmu entengkan tubuh, dengan pesat Tan Hong dan In
Loei lari mendaki bukit Lioktjiang San itu. Mereka pun dapat melalui beberapa
tempat jagaan lainnya. Di mana dapat, mereka menghindarkan diri dari /iauwloliauwlo penjaga itu, kalau tidak, Tan Hong terpaksa gunakan jarumnya untuk
membikin orang tidak berdaya. Karena ini, dengan lekas mereka telah sampai di
atas gunung. "Tempat ini berbahaya, hati-hati!" Tan Hong pesan kawannya setibanya mereka di
suatu bahagian bukit, di mana sudah tidak ada jalan lain kecuali, batu panjang
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang melonjor bagaikan jembatan tunggal. "Mari kita maju terus!"
Pemuda itu bertindak di jembatan batu itu, In Loei mengiringi ia.
Baharu saja mereka sampai di tengah-tengah jembatan istimewa itu, lantas mereka
dengar mengaungnya anak-anak panah, yang menyambar dari arah belakang mereka.
In Loei lantas hunus pedangnya, yang ia putar, untuk menjatuhkan setiap anak
panah. "Segala panah tidak keruan, apa gunanya?" kata dia sambil tertawa.
Kata-kata si nona belum habis diucapkan ketika dari samping, di antara batu
gunung, lompat seorang ke arahnya.
Tan Hong lihat orang itu, ia menyambut dengan pedangnya, tetapi segera ia
merasakan tenaga orang yang besar, karena telapak tangannya dirasakan panas.
Orang itu pun sudah lantas menaruh kaki di antara ia dan In Loei, yang mencoba
menjatuhkan. Dalam saat berbahaya itu, sekonyong-konyong Tan Hong menjerit tajam, tubuhnya
menyusul terhuyung. In Loei lihat keadaan kawannya itu, saking kaget, ia berteriak.
Orang yang baharu datang itu juga lihat Tan Hong, ia menyangka orang rubuh, ia
menjadi sangat girang, cepat sekali ia angkat kakinya, untuk mendupak.
Tapi Tan Hong tengah menggunakan akalnya. Nampaknya ia hendak jatuh, tetapi
sebenarnya, sebelah kakinya dipakai menyantel batu, berbareng dengan mana,
sebelah tangannya terayun.
Orang itu kaget, terpaksa ia lompat kembali ke tempat asalnya.
"Lekas!" Tan Hong teriaki si nona, ia sendiri lantas lari, untuk mencapai lain
tepi. In Loei pun mengerti bahaya, ia lari mengikuti.
Baharu saja mereka tiba di lain tepi itu, orang tadi sudah lompat pula, akan
menyusul mereka, sedang dari atas bukit terlihat datangnya beberapa orang lain,
yang terus mengambil sikap mengurung.
Tan Hong lihat orang tadi liehay, ia waspada.
"Hai, kiranya kau!" teriak orang itu, yang agaknya kaget.
"Hm, kiranya kau!" Tan Hong pun perdengarkan suaranya.
Tadi mereka belum melihat tegas satu dengan lain, mereka tidak segera saling
mengenali, sekarang mereka berdiri berhadapan, mereka sudah lantas melihat
nyata. Orang itu adalah Ngochito, pahlawan nomor satu dari Yasian. Selama itu,
ia tahu kegagahan orang. Memang, di Watzu, Ngochito cuma berada di bawahan
Tantai Mie Ming. "Adik kecil!" Tan Hong serukan kawannya, "menangkap berandal mesti membekuk
rajanya dulu, maka mari kita bereskan dia ini!"
In Loei mengerti, dari itu ia lantas maju. Maka itu, dalam sesaat saja, Ngochito
telah dikepung berdua, malah dua batang pedang segera menyerang ke arah mukanya.
Dia menjadi gusar, sambil berseru, dia menangkis. Tapi kesudahannya, dia menjadi
kaget sekali. Tahu-tahu, pedangnya terkutung menjadi tiga potong!
"Hai!" dia berseru sambil lompat kepada kawan-kawannya, untuk meminjam
pedangnya, dengan apa dia membuat perlawanan terlebih jauh. Hanya kali ini,
tidak berani dia mengadu pula senjatanya. Dia berkelahi dengan menggunakan ilmu
silat pedang Hongloei kiam, hingga pedangnya itu, di samping suaranya mengaung,
pun berkilauan bagaikan kilat menyambar-nyambar.
"Bagus!" seru Tan Hong, yang kagum melihat ilmu silat orang itu. Tapi ia tidak
gentar, bersama In Loei, ia menyerang terus.
Ngochito selalu menghindarkan pedangnya, tetapi tidak urung, ia terdesak juga.
Ia kaget sekali ketika runce dari kopiahnya terbabat pedang lawan. Dasar ia
licin, dapat ia meloloskan diri dari ancaman bahaya maut.
Tan Hong pun kagumi kegesitan orang itu.
Pertempuran berjalan terus. In Loei penasaran, ia menyerang dengan hebat.
Langsung pedangnya menikam ke arah uluhati.
Berbareng dengan itu, pedang Tan Hong membabat ke bawah. Seperti sudah
diketahui, pedang mereka berdua selalu bekerja sama, senantiasa menyambar ke
sasarannya masing-masing. Untuk itu, tak usah mereka memberi isyarat lagi satu
dengan lain, mereka bagaikan sudah berlatih sempurna.
Sedetik itu, Ngochito jadi terkurung sinar pedang, dia terancam kebinasaan. Dia
mesti melindungi dadanya, atau kakinya. Untuk melindungi kedua-duanya, sulit.
Dia mesti memilih. "Biar aku terbinasa, tak sudi aku menerima malu berkaki kutung..." demikian ia
memilih. Maka itu dia lompat mundur sambil menangkis pedang In Loei.
Di saat yang sangat berbahaya itu bagi Ngochito, mendadak In Loei dengar
sambaran angin ke arahnya, dengan cepat ia berkelit, maka dengan sendirinya
pedangnya tak mengenai sasarannya. Di antara satu suara nyaring, Ngochito juga
menjerit dengan tubuhnya mencelat jatuh kira-kira satu tombak!
"Berhenti!" demikian tiba-tiba satu suara nyaring sekali, menyusul mana satu
orang, yang mukanya bertopeng, muncul di antara mereka. Dia mempunyai mata yang
sinarnya mencorong tajam. Dialah yang telah menolongi Ngochito itu.
Semua telah terjadi dengan sangat cepat. Pedang Ngochito terbabat kutung. Ia
sudah mencoba berkelit, tidak urung ujung kakinya terluka juga. Untung baginya,
jiwanya telah tertolong. Dengan napas tersengal-sengal, ia berdiam di samping
mereka itu. "Djiewie," berkata si orang bertopeng, "karena kamu telah datang berkunjung,
harap kamu mentaati undang-undang kita kaum kangouw. Silakan djiewie datang
dahulu ke dalam pesanggrahan, janganlah tidak keruan-keruan kamu bertempur."
Tan Hong dan In Loei mesti kagumi kepandaian orang ini, yang dapat menolongi
Ngochito di saat pahlawannya Yasian itu terkepung sepasang pedang yang liehay.
"Heran, kenapa See To ayah dan anak mendapat kawan segagah ini?" kata Tan Hong
dalam hatinya. Karena ini ia mendapat firasat bahwa usaha mereka berdua hari ini
berjalan kurang lancar...
"Katakan, kau orang Ouw atau orang Han?" sekonyong-konyong In Loei tegur si
orang bertopeng itu. Sudah sekian lama, baharu kali ini ia buka mulutnya.
Orang yang ditegur itu melengak.
"Apakah artinya pertanyaan kau ini?" dia balik menanya.
"Melihat romanmu, kau adalah orang Han," kata In Loei, "tetapi kau justeru
membantui bangsa Ouw! Mungkinkah kau juga tahu malu, maka itu kau menutupi
mukamu dengan topeng?"
Tiba-tiba saja orang itu menjadi murka sekali, dengan mendadak ia mencelat maju,
untuk serang si nona secara sangat hebat.
Tan Hong tahu musuh liehay, ia waspada. Demikian, atas serangan orang ini kepada
In Loei, ia mendahului si nona turun tangan. Ia bukannya menangkis, ia hanya
menyerang. Dalam hal ini, ia tidak menyerang sendirian. Sebab juga In Loei, yang
awas dan sebat, sudah menyerang juga sambil menangkis. Maka kedua pedang kembali
bekerja sama, satu menuju ke kiri, yang lain ke kanan, mengarah kedua pundak si
orang bertopeng itu. Hebat si orang bertopeng itu, masih ia dapat melindungi dirinya, sesudah mana ia
pun membalas menyerang pula. Ia bersendirian, tetapi agaknya ia seperti berdua,
karenanya, ia dapat melayani pemuda dan pemudi itu dengan baik! Tetapi
selewatnya jurus ketiga, mulai ke empat, lalu ke lima, ia nampak tak begitu
leluasa lagi bergeraknya, dan akhirnya, ia segera terdesak.
Ilmu pedang siangkiam happek dari Hian Kee Itsoe, yang diciptakannya dengan
susah payah, sesudah suatu pemusatan pikiran yang lama, merupakan satu karya
yang istimewa. Setelah ia peroleh tempo yang senggang, dengan tertawa dingin, In Loei berkata
kepada lawannya yang tidak dikenal itu: "Satu penghianat atau dorna, setiap
manusia berhak membunuhnya,
maka itu kami dengan kau, perlu apa kami bicara lagi tentang aturan kaum
kangouw?" Teguran ini disusul dengan tiga kali desakan, yang membuatnya musuh mundur
terus, sebab dia kewalahan untuk membuat perlawanan terlebih jauh, dia cuma
masih sanggup melindungi dirinya sendiri, agaknya habis sudah daya
pembalasannya. "Adik kecil, tahan!" sekonyong-konyong Tan Hong perdengarkan suaranya.
"Untuk apakah?" si nona balik menanya.
"Orang ini melawan kita dengan sepasang kepalannya, dia dapat bertahan sampai
sepuluh jurus lebih, dia terhitung juga satu hoohan," kata Tan Hong, "maka itu,
jikalau dia sampai terbinasa, pasti dia tidak puas. Baiklah, mari kita ikut dia
masuk ke dalam untuk melihat-lihat!"
Tidak setuju In Loei dengan sikap kawan ini, akan tetapi mereka bicara di muka
musuh, ia terpaksa mengiringi. Tidak baik untuk berselisih dengan kawan sendiri
di saat seperti itu. Ia tidak tahu, dengan menunda pertempuran, Tan Hong tengah
pikirkan lawannya ini, untuk menduga-duga siapa dia sebenarnya, sebab setelah
belasan jurus itu, tidak peduli ilmu silat musuh agaknya luar biasa, ia mulai
dapat mengendus... Setelah pertempuran ditunda, si muka bertopeng mengawasi kedua anak muda itu.
"Siapakah yang mengajar kamu ilmu silat pedang ini?" tanyanya kemudian dengan
tiba-tiba. "Pantaskah kau menanyakan tentang guruku?" balas In Loei dengan jumawa.
Kelihatannya orang bertopeng itu gusar sekali, mungkin dia hendak mengumbar hawa
amarahnya itu dengan menyerang pula, akan tetapi lekas juga ia dapat kuasai
dirinya, maka ia cuma perdengarkan suara "Hm!" Ia kata: "Anak kecil, kau belum
tahu apa-apa, sebentar kau lihat!"
Lantas dia pimpin mereka masuk ke dalam pesanggrahan, sampai di ruang Tjiegie
thia, yang besar dan luas, mirip dengan suatu tempat untuk berlatih silat, di
sana pun telah berkumpul banyak orang kangouw. Luar biasa sikap orang-orang
kangouw ini, atas kedatangan Tan Hong bertiga, mereka perlihatkan sikap tidak
memperhatikan, malah sama sekali tidak ada yang melirik.
Segera juga In Loei lihat Tjio Eng dan gadisnya terkurung di tengah-tengah, dan
Tjoei Hong sudah lantas mengawasi padanya, dari wajahnya, nona itu seperti
heran, girang dan penasaran, ketika ia hendak membuka mulutnya, ayahnya, yang
melihat mereka, telah mendahuluinya.
"Hiansay, kau juga datang kemari?" demikian mertua itu menanya sambil memanggil
baba mantu (hiansay). "Kau tahu, urusan di sini tidak ada sangkut pautnya dengan
kau!" Tan Hong bersenyum, ia mendahului In Loei menyahuti.
"Dengan dia tidak ada sangkut pautnya, denganku tentu ada!" sahutnya. Lalu ia
maju terus, akan dekati Tjio Eng itu di samping siapa ia jatuhkan diri untuk
duduk. See To perlihatkan roman gusar.
"Bagus!" serunya. "Kau hendak mencampuri urusan kita, itulah paling bagus!"
Selagi sang ayah murka, See Boe Kie, putera-nya, mendongkol bukan main, dengan
mata mendelik, ia awasi In Loei, agaknya ia ingin telan nona itu. Apakah karena
nona Tjio tak dapat menjadi isterinya, hingga ia sangat membenci In Loei yang
dipandang telah merampas kekasihnya itu"
"Tjio Looenghiong, sebenarnya urusan ini urusan apakah?" Tan Hong tanya jago she
Tjio itu. Belum lagi Tjio Eng memberikan jawabannya, See To sudah mendahului.
"Tjio Toako, siapa kenal selatan, dialah si orang gagah!" demikian orang she See
ini, suaranya nyaring. "Sekarang ini sudah
habis takdir kehidupan dari kerajaan Beng, sedang tentang Kerajaan Tjioe yang
besar dari Thio Soe Seng tak usah lagi dibicarakan! Bilakah Toako pernah
menyaksikan abu api yang telah padam hidup pula" Maka itu kenapa kau hendak
mati-matian menjadi budak orang, untuk melindungi harta bendanya?"
Tjio Eng adalah satu laki-laki, dia pun bertabeat keras, maka itu, gusar ia
diperlakukan demikian rupa, tapi masih ia mencoba untuk mengatasi dirinya. Maka
itu, ia cuma tertawa dingin.
"Kehendakmu, kita harus menjadi budak bangsa Watzu?" ia tanya.
Muka See To menjadi merah, dia sangat jengah, tetapi dia paksakan diri untuk
tertawa. "Toako, bukan itu yang aku maksudkan," sahutnya, lemah.
"Habis apa yang kau hendak maksudkan?" tanya Tjio Eng keras.
"Kau keluarkan gambar lukisan," jawab See To, "lantas kita pergi mencari tempat
menyimpan harta dari Thio Soe Seng, sesudah kita mendapatkannya, justeru dunia
tengah kacau ini, kita terus melakukan sesuatu yang besar. Umpama kata kita
tidak pergi mengandal kepada bangsa Watzu, kita pun dapat mengangkat diri
sendiri menjadi raja!"
"Siapa kata aku punya gambar lukisan yang kau maksudkan itu?" tanya Tjio Eng.
"Katakan! Lekas katakan!"
Sebagai ketua dari kaum Rimba Persilatan dari dua propinsi Shoatang dan Siamsay,
walaupun ia berada di dalam pesanggrahan musuh - artinya ia tengah dikurung Tjio Eng tidak menjadi jeri, ia tetap gagah. See To terkesiap ketika ia melihat
sinar mata orang yang tajam, hingga ia membungkam.
"Akulah yang memberitahukannya!" tiba-tiba terdengar satu suara keras tetapi
serak. "Habis, apa yang kau kehendaki?"
Tjio Eng segera berpaling untuk memandang si suara serak itu. Ia lihat seorang
bermuka bengkak yang kulitnya matang biru, romannya kasar dan kedua matanya
bersinar tajam. "Kau siapa?" bentak Tjio Eng, yang sangat murka, sambil menuding.
Tan Hong tertawa dingin, tidak tunggu sampai orang membuka suara, ia telah
mendahului. Ia kata: "Dialah Ngochito, pahlawan nomor satu di bawahan Yasian!
Aku toh tidak salah, bukan?"
Ngochito itu gagah tetapi tabeatnya keras, dia tidak kenal gelagat, melayani Tan
Hong dan In Loei, mukanya hingga bengkak dan matang biru. Ia tidak sabaran
mengawasi tingkah polanya See To itu, dia tidak mau pikir, mungkin See To
mempunyai kesangsiannya sendiri. Maka itu, mendengar suara Tan Hong, dia turuti
hawa amarahnya. "Tidak salah katamu!" dia menjawab dengan jumawa. "Angkatan perang kami bangsa
Watzu gagah perkasa, dengan kami mengundang kamu bekerja sama, itu tandanya kami
telah menghormati kamu! Bocah, jikalau kau tidak puas, mari kita bertempur satu
dengan satu, untuk kau lihat kesudahannya!"
Kata-kata ini separuh menyindir See To, yang dianggapnya bernyali kecil, sedang
terhadap Tan Hong adalah tantangan, karena dia ingin membalas.
Sementara itu, dengan datangnya Tan Hong, suasana telah mulai berubah
sendirinya. Yaitu, kecuali konco sehidup semati dari See To serta mereka yang
telah dapat dibeli atau dibujuk, yang lainnya mulai tawar hati untuk menjual
tenaga mereka bagi orang she See ini. Mereka pun tertarik oleh sikap jantan dari
Tjio Eng. Tjio Eng tidak puas terhadap kejumawaan orang, dengan mata mendelik, ia
berbangkit. Ia kibaskan tangan bajunya. Sebenarnya hendak ia membuka suara, atau
Tan Hong mendahuluinya. "Percuma saja kamu bercape hati!" berkata si anak muda. "Untuk sehelai gambar
lukisan, kamu sudah pancing Tjio Looenghiong
datang kemari, berbareng dengan itu, kamu pun sudah merampok habis-habisan rumah
orang! Aku mengatakannya percuma, sebab kamu tidak memperoleh hasil apa jua! See
To, kau adalah satu tjeetjoe yang kenamaan, kau adalah satu laki-laki, tetapi
kau melakukan perbuatan sebagai tikus dan anjing bangsat, tak takutkah kau nanti
ditertawai manusia sekolong langit?"
Dengan menegur See To, Tan Hong tak gubris Ngochito.
Tjio Eng kaget. Baharu sekarang ia tahu yang rumahnya telah dirampok. Maka
dengan tiba-tiba saja ia keprak meja, hingga ujungnya rusak. Ia pun berseru: "Di
jaman dahulu, orang memutuskan persahabatan dengan memotong tikar, maka sekarang
aku melakukannya dengan merusak meja! See To, bangsat tua, di sini aku putuskan
perhubungan kita sebagai saudara angkat! Ingat, jikalau kau masih hendak paksa
aku, maka aku tidak akan sungkan-sungkan lagi!"
Muka See To menjadi merah dan biru bergantian. Tentu saja ia menjadi sangat
gusar dihina dihadapan kawan dan lawan, hingga ia ambil putusan nekat.
"Tua bangka she Tjio!" ia pun berteriak, "jikalau hari ini kau tidak serahkan
gambar lukisanmu itu, jangan kau harap bisa keluar lagi dari pesanggrahanku
ini!" Lalu, dengan kibaskan tangannya, tjeetjoe ini berniat melakukan kekerasan.
Dengan berkelebatnya sinar yang menyilaukan mata, Tan Hong hunus pedangnya,
tetapi ketika ia menghalang di depan Tjio Eng, ia tidak gunakan pedangnya itu,
hanya dengan lengannya, ia bentur See To hingga tuan rumah ini terpelanting
setombak lebih. Menampak itu, koncoh-koncoh See To menjadi murka dan berseru-seru, hingga
suaranya menjadi sangat berisik, tetapi ketika mereka hendak maju, untuk turun
tangan, tiba-tiba mereka merandak.
Tan Hong, menyekal pedang dengan tangan kanan, dan dengan tangan kiri ia
mengeluarkan gambar lukisannya, untuk dipertontonkan. Terus ia tertawa terbahakbahak. "Siapa yang menghendaki gambar lukisan ini, mari datang padaku!" katanya dengan
nyaring. "Aku adalah pemilik dari gambar lukisan ini! Hanya hendak aku jelaskan,
dengan mendapatkan gambar lukisan ini, bagi kamu sudah tidak ada harganya! Kamu
tahu, harta pendaman itu berikut petanya, telah siang-siang aku dapatkan, sudah
aku bongkar! Malah aku telah menyerahkannya kepada Kaisar Beng yang sekarang
ini!" Mendengar itu, seluruh pesanggrahan menjadi heran. Orang tidak tahu siapa anak
muda ini, karenanya orang sangsikan kebenaran perkataannya itu. Maka itu,
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pesanggrahan menjadi sunyi senyap.
Dalam kesunyian yang mengandung ketegangan itu, tiba-tiba terdengar satu suara
tertawa dingin, disusul dengan kata-kata nyaring dari orang yang tertawa
mengejek itu: "Thio Tan Hong, siapakah yang kau hendak dustakan?"
Semua mata diarahkan kepada orang yang berani membuka suara itu. Dialah
Tjitjiangho, juga pahlawan dari Yasian, cuma dia tidak sering berada di dalam
pasukan tentera seperti Ngochito, maka sedikit orang yang mengenal padanya.
Sebagai orang kepercayaannya Yasian, tidak heran dia mengenal Tan Hong.
Ngochito heran mendengar perkataan rekannya itu.
"Apa?" katanya sambil menatap Tan Hong. "Kau puteranya Yoesinsiang Thio Tjong
Tjioe" Kalau begitu, sungguh kebetulan! Memang Thaysoe sedang mencari padamu!
Nah, mari lekas kau ikut aku pulang!"
"Aku pun justeru hendak menghadap Thaysoe kamu itu!" jawab Tan Hong. "Hanya tak
ingin aku pulang bersama kau! Aku adalah rakyat Tionggoan, siapa kesudian
bekerja untuk negeri Watzu?"
Tjitjiangho heran. "Keluargamu dengan pihak Beng dari keluarga Tjoe adalah musuh turunan," katanya,
"sekarang kau telah mendapatkan harta pendaman dan peta buminya, kenapa kau
justeru serahkan itu kepada musuh" Mana ada aturan itu" Sekarang begini saja:
Harta pendaman itu adalah kepunyaanmu, kami tidak inginkan itu, kau serahkan
saja peta buminya kepadaku, supaya dapat aku persembahkan kepada Thaysoe1. Kau
baik jangan bergurau lebih lama pula..."
Tan Hong tidak gubris bujukan itu. Sambil menaruh sebelah kakinya dikursi, ia
kibarkan gambar lukisan itu. Ia bersikap menantang.
"Siapa main-main dengan kau?" katanya. "Jikalau kau punya nyali, nah, kau
ambillah sendiri!" Tjitjiangho ragu-ragu, tidak berani ia maju untuk merampas gambar lukisan itu.
Juga beberapa pahlawan Mongolia lainnya, yang menyamar tidak berani sembarangan
perlihatkan diri. Demikian juga kawan-kawannya See To, baik yang telah berubah
pikirannya, maupun yang hendak membela mati-matian, bersangsi juga untuk maju,
yang pertama disebabkan hatinya sudah tawar, yang belakangan karena jeri untuk
keberanian Tan Hong itu. Tjoei Hong sementara itu senderkan diri pada In Loei.
"Sejak kita berpisah, apakah kau memikirkan aku?" ia berbisik di kuping
"suaminya" itu.
"Lihat, orang banyak tengah mengawasi kita!" sahut In Loei dengan perlahan. "Aku
kuatir hari ini kita sukar lolos dari kematian, tetapi kenapa kau masih
mempunyai hati untuk berbicara demikian terhadapku"..."
Memang pesanggrahan itu telah dikurung tiga lapis sedang Tjio Eng cuma ada
berempat. Tapi Tjoei Hong tidak pedulikan itu.
"Sudah hampir satu tahun aku berduka saja," katanya pula, tetap dengan perlahan,
"maka kalau aku tidak bicara sekarang, sampai kapan hendak aku menunggunya" Hari
ini aku tidak peduli kita akan
dapat lolos atau tidak, jikalau aku mesti mati, dengan mati bersama kau, hatiku
puas..." Tjoei Hong dengan In Loei adalah suami isteri, tetapi itu cuma nama saja, hal
yang sebenarnya nona Tjio tidak ketahui, maka itu, selagi mereka sudah lama
berpisah, tidak heran dia sangat memikirkan suaminya itu, dari itu setelah
sekarang mereka bertemu, mana sanggup dia menahan hatinya terlebih lama pula"
Demikianlah, di ruangan di mana terdapat banyak orang, dia bertingkah laku
seperti anak kecil... Sedang In Loei kewalahan melayani "isterinya" itu, tiba-tiba ia lihat lompat
maju dua orang ke arah Tan Hong. Mereka bertubuh besar dan kasar. Mereka kawankawan dari See To, mereka pernah meyakinkan ilmu silat "Taylek Sinkoen," dari
itu, hebat kepalan mereka. Mereka lihat Tan Hong muda dan tubuhnya biasa, mereka
tidak memandang mata. Begitulah mereka maju, yang satu berniat menyambar lengan
orang, untuk dibikin tidak berdaya, yang lain berniat merampas gambar lukisan.
Tan Hong lihat cara orang itu maju, ia gerakkan pedangnya. Cuma satu sinar
berkelebat, atau penyerang yang satunya itu berkaok, terus dia rubuh pingsan,
sebab sebelah tangannya kutung. Sedang kawannya, dia rubuh terjungkal didupak si
anak muda, hingga patahlah tulang-tulangnya!
"Sungguh tidak punya malu!" teriak Tan Hong. "Kamu hendak merebut kemenangan
dengan mengandalkan jumlahmu yang banyak" Hm!"
Mukanya See To kembali jadi merah padam, tetapi di dalam hatinya, ia kata:
"Dalam keadaan seperti ini, siapa hendak pedulikan lagi segala aturan kaum
kangouw?" Ia hendak berikan titahnya ketika si orang bertopeng, yang tadi
menolongi Ngochito, sudah perdengarkan suaranya: "Bagus, bagus!" demikian
katanya. "Hari ini udara bagus, tepat waktunya untuk melempangkan urat-urat!
Bertempur satu sama satu, itulah paling bagus!"
Suara orang itu nyaring bagaikan suara genta, menderum di dalam ruangan itu.
Tergerak hati See To melihat sikap dan mendengar suara orang itu, ia lantas
perhatikan tubuhnya, di dalam hati kecilnya ia berkata: "Dengan bertempur satu
lawan satu, dia pasti dapat membikin musuh-musuhnya mati lelah..."
Dalam suasana seperti itu, Tjoei Hong buktikan kata-katanya. Ia tetap menyender
kepada In Loei, masih ia perdengarkan kata-katanya yang halus. Adalah waktu itu,
See Boe Kie, puteranya See To, memajukan diri. Dia berlompat sambil menggerakkan
kedua tangannya, sikapnya jumawa.
"Aku undang In Siangkong untuk main-main beberapa jurus!" demikian pemuda ini
perdengarkan suaranya, langsung ia tantang In Loei, orang yang ia paling benci.
Ia menjadi sangat panas karena menyaksikan lagaknya Nona Tjio itu, hingga tak
berkuasa lagi ia atas hawa amarahnya.
In Loei lepaskan diri dari Tjoei Hong, ia hunus pedangnya, pedang Tjengbeng
kiam. Selama di Heksek tjhoeng, di dalam rimba pohon cemara di luar kampung, pernah In
Loei tempur See Boe Kie maka tahulah ia, walaupun Boe Kie benar gagah, orang
tidak berada di atasannya, karenanya, ia tidak jeri sedikit pun jua. Hanya kali
ini, See Boe Kie telah kerahkan tenaganya, dia perlihatkan kekosenannya, dengan
tangan kirinya ia mengancam, dengan tangan kanannya ia menyerang secara hebat.
Itulah serangan yang luar biasa.
In Loei berkelit dengan tipu silat "Toatpauw djiangwie,"="Membuka jubah untuk
menyerahkan kedudukan." Ia menggeser ke samping kanan, pundaknya diturunkan,
sesudah mana, baharulah ia menyabet, untuk membalas menyerang.
"Kena!" teriak Boe Kie selagi ia menyerang itu.
Hebat kesudahannya serangan itu. In Loei lompat mundur, ia merasa heran. Boe Kie
pun mundur, tetapi darah mengucur dari
kakinya, sebab celananya kena tersabet robek, kulitnya terkena ujung pedang!
In Loei heran, karena kepandaian orang beda daripada yang sudah-sudah. Ia tentu
tidak tahu, setelah kekalahannya di Heksek tjhoeng, Boe Kie sudah mencari
seorang Biauw dari siapa ia peroleh ilmu pukulan Imyang Toksee Tjiang, Tangan
Pasir Beracun, hingga siapa terkena telak, di dalam tempo tujuh hari, dia mesti
terbinasa. Syukur bagi In Loei, ia gesit sekali, ia keburu berkelit, kalau
tidak, ia bisa celaka. Adalah karena kegesitannya itu, ia pun dapat mengarahkan
pedangnya pada sasarannya.
See Boe Kie menjadi gusar dan kalap. Ia terluka tetapi tidak parah, maka itu,
setelah berkaok-kaok, ia lompat maju pula, untuk mengulangi serangannya.
In Loei cerdik karena pengalamannya yang pertama itu, tidak mau ia sembarang
menikam atau menyabet, untuk melayani lawan yang liehay itu, ia perlihatkan
kelincahannya, ia berkelit, ia berputaran di sekitar lawannya itu.
Dalam sekejap saja, Boe Kie seperti dikurung si nona, sama sekali tak berhasil
pelbagai serangan dengan tangan jahatnya itu, jangan kata mengenai tubuh si
nona, bajunya pun tidak pernah tersentuh. Maka itu, sesudah dua puluh jurus, ia
menjadi bimbang. Insyaflah ia bahwa ia bukan lawan si "pemuda", di lain pihak,
tidak sudi ia menyerah, ia penasaran sekali. Karena itu, ia ambil keputusan
sama-sama bercelaka. Ia ingin berlaku nekat!
Segera datang serangannyaa yang liehay, yaitu "Shiapek Hoasan," atau "Dari
samping menggempur gunung Hoasan." Ia bersedia mengorbankan sebelah lengannya,
asal serangannya berhasil, supaya In Loei terkena racun tangannya itu, supaya
saingan itu menemui ajalnya dalam tempo beberapa hari!
In Loei cerdik, ia dapat menduga maksud lawannya apabila ia saksikan
serangannya. Ia lantas bergerak dengan cepat dengan tipu silat "Hong tiamtauw"
atau "Burung Hong manggut." Dengan sebat ia balikkan pedangnya, guna memapaki
tangan musuh! Di saat pedang dan lengan hampir beradu, dan lengan yang akan terkutung atau
tangan jahat mengenai In Loei, tiba-tiba seorang mencelat di samping mereka,
tangan kirinya menarik, tangan kanannya menyambar, dalam saat yang berbareng
itu, Boe Kie kena ditarik, In Loei diserang pada nadinya. Orang ini luar biasa,
tubuhnya jangkung kurus bagaikan sebatang gala, ke sepuluh jari tangannya
berkuku panjang dan hitam mengkilap. Sambil melakukan gerakan itu, dia tertawa
menyeramkan, mulutnya mengucapkan: "Babah mantu yang manis dari Tjio Tjhoengtjoe
benar-benar liehay, biarlah aku yang melayani dia beberapa jurus!"
Orang itu tidak lain daripada gurunya See Boe Kie, yaitu si orang Biauw yang
bernama Tjek Sin Tjoe. Dia adalah orang dari propinsi Koeitjioe, dia pesiar ke
Utara, maka juga orang Utara, dalam sepuluh, sembilan tidak mengenal dia.
Segera juga In Loei mesti melayani orang Biauw ini.
Tjek Sin Tjoe betul-betul liehay, dia gagah sepuluh kali lipat daripada See Boe
Kie. Di antara berkilaunya pedang, tubuhnya bergerak-gerak lincah sekali,
kadang-kadang masih dapat ia ulur jari-jari tangannya yang liehay untuk
menyambar tubuh si nona. Seringkah, karena gerakan tangannya, tulang-tulangnya
di bahagian buku perdengarkan suara meretek.
In Loei heran terhadap musuhnya ini, ia berlaku sangat hati-hati. Ia mainkan
pedangnya demikian rupa, hingga ia lebih banyak membela diri daripada melakukan
penyerangan. Ia menganggap, melindungi diri adalah paling utama.
Sekian lama Tjek Sin Tjoe tidak peroleh hasil, dia menjadi tidak sabar. Satu
kali dia berseru keras, lantas kedua tangannya menyambar-nyambar dengan cepat
dan hebat, sampai sambaran anginnya mendatangkan hawa dingin.
In Loei menjadi heran sekali. Beberapa kali ia rasakan pedangnya tersampok
miring atau terpental sedikit. Tapi yang menguatirkan adalah ketika ia merasa
hatinya bagaikan goncang, hati itu panas seperti orang memancing hawa amarahnya.
Waktu ia sadar, ia bersikap membela diri saja, tapi selang lima puluh jurus, tak dapat ia kuasai
pula dirinya, ia sudah lantas mencoba untuk membalas menyerang juga.
Nyatalah Tjek Sin Tjoe telah menggunakan tipu silat Imhong Toksee Tjiang,
"tangan pasir beracun" dibarengi angin yang menyeramkan. Sambaran angin itu,
yang sangat dingin, meresap ke dalam tubuh lawan, dengan perlahan-lahan hawa
dingin itu mempengaruhi pikirannya, mengganggu urat syarafnya. Memang maksud
orang Biauw ini memancing serangan membalas supaya selagi hati lawan panas, ia
dapat merebut kemenangan. In Loei kirimkan satu tusukan ke arah dada, cepat dan
langsung. Nampaknya Tjek Sin Tjoe akan menjadi korban, tidak nanti dia dapat
menghindarkan diri pula. Mendadak dia berseru, tubuhnya lompat mencelat, lalu
dari atas, dia ulurkan kedua tangannya, untuk menyengkeram dengan sepuluh
jarinya. Tjoei Hong menonton sejak tadi, dia kaget melihat serangan itu, sampai dia
menjerit, hampir dia pingsan.
Hebat akibat kedua orang yang saling menyerang secara dahsyat itu, hebat juga
tertawanya para hadirin di pihak tuan rumah. Mereka ini menyangka, selesai sudah
pertempuran itu. Tetapi akhirnya, mereka semua berdiri melengak.
In Loei dan Tjek Sin Tjoe telah memisahkan diri sejauh satu tombak. Tidak keruan
baju orang Biauw itu, karena baju itu robek di bahagian pundak. Kekasih Tjoei
Hong juga tidak kurang "rusaknya," dapat dikatakan lebih-lebihan. Saputangan In
Loei yang dipakai menutupi rambutnya dengan memakai jepitan emas telah terputus
menjadi dua potong, ikat rambut itu terlepas, maka terlihatlah tegas bahagian
dari rambutnya yang bagus dan panjang, hingga sekarang terbukalah rahasianya
bahwa ia bukannya satu pemuda melainkan satu pemudi!
Jurus itu sangat berbahaya bagi kedua pihak, maka itu keduanya, di dalam waktu
yang sangat hebat itu, mencoba mengelakkan dirinya masing-masing, tetapi mereka
telah saling sambar juga, hingga keadaannya menjadi demikian rupa. Tentu saja,
orang-orang menjadi tercengang, sedang pihak See To kemudian perdengarkan pula tertawa
mereka, sebab mereka anggap kesudahan itu lucu.
"Cis" Tjek Sin Tjoe meludah. "Sungguh apes, bolehnya aku bertemu denganmu,
siluman! Tak sudi aku bertempur dengan seorang wanita!..."
Paras In Loei menjadi merah-padam, ia malu, jengah dan mendongkol. Ia lantas
maju pula, sambil menggerakkan pedangnya, untuk menyerang pula.
"Adik kecil, beristirahatlah," tiba-tiba ia dengar suara Tan Hong, perlahan dan
sabar. "Nanti aku yang melayani dia!"
Selagi mengucap demikian, tubuh si anak muda sudah melesat, menghadapi Tjek Sin
Tjoe, yang terus ia serang, maka dengan segera mereka bertempur.
Masih saja orang tertawa, semua mata diarahkan kepada In Loei, yang menjadi
sangat likat dan mendongkol.
Tidak kurang herannya adalah Tjio Eng dan gadisnya, mereka ini mengawasi dengan
melengak, bahna heran, berduka dan putus harapan... Ayah dan gadis itu merasa
tidak keruan, mereka kecele dan masgul, terutama si nona sendiri.
Tjoei Hong tidak sangka, suami yang ia harap-harapkan itu sebenarnya adalah satu
nona... Selagi semua pandangan diarahkan padanya, In Loei lekas-lekas betulkan ikat
kepalanya. Ia mesti kuatkan hati, untuk menahan malu, hanya tetap ia likat.
Akhir-akhirnya, Tjoei Hong menghampiri "suaminya" itu. Ia menjadi bersangsi.
"In Siangkong, mengapa kau gemar memelihara rambut panjang?" ia tanya sambil
berbisik. Kau... kau... kau sebenarnya pria atau wanita"..."
Merah muka In Loei. Ia memang sudah pikir, satu waktu ia hendak buka rahasianya
terhadap Nona Tjio ini, tetapi tidak ia
sangka, di sini, dalam keadaan begini, ia mesti membuka rahasianya itu. Maka
itu, ditanya si nona, ia membungkam saja.
"Hayo katakan!" Tjoei Hong mendesak, sambil menekan iga orang dengan kedua
jarinya. In Loei tidak menjawab, sebaliknya, ia mengawasi kepada kedua orang yang sedang
bertanding. Dengan mendadak saja, berhentilah suara tertawa yang riuh itu,
sebagai gantinya para hadirin memandang kekalangan pertandingan di mana kedua
lawan telah sampai pada saat pertempuran yang dahsyat.
In Loei mendelong mengawasi Tan Hong, sinar matanya jelas menandakan
perhatiannya yang luar biasa. Tjoei Hong lihat sikap orang, ia heran, lalu ia
rasakan hatinya dingin. Bukankah itu sinar matanya satu kekasih" Demikian rupa
perhatiannya terhadap In Loei sebelum ia ketahui In Loei adalah satu pemudi
sebagai ia sendiri. Maka ia menjadi sangat berduka, hancur hatinya seperti
bayangan rembulan indah di muka air yang hancur luluh ditimpa batu oleh satu
bocah nakal... Di medan pertandingan, dengan tenang Tan Hong layani Tjek Sin Tjoe. Ia memang
mempunyai iweekang yang jauh terlebih sempurna daripada iweekang-nya In Loei.
Ketenangan ini membuatnya orang Biauw itu tidak dapat berbuat banyak, sebab
setiap serangannya selalu dapat dipecahkan.
Lama-kelamaan Tjek Sin Tjoe menjadi tidak sabar, ia menjadi penasaran sekali.
Bukankah tadi ia berhasil mempengaruhi In Loei" Kenapa sekarang ia gagal" Ia
telah mencoba pelbagai macam serangannya. Akhirnya, ia berseru, ia menyambar
sambil lompat mencelat, seperti tadi ia serang In Loei. Hebat nampaknya
kesepuluh jari tangannya yang hitam itu, dengan kuku-kukunya yang tajam dan
beracun. Beda daripada In Loei, Tan Hong tidak sambuti serangan dahsyat itu, ia hanya
lompat berkelit. Habis itu, ia terus main berkelit pula. Kadang-kadang ia
gunakan pedangnya untuk memapaki serangan yang mengancam padanya.
Tjek Sin Tjoe menghembuskan hawa dingin, ia heran bukan main. Ia tahu ilmu silat
Imhong Toksee Tjiang-nya itu diciptakan dengan melatih diri menelad perkelahian
burung-burung di atas gunung, sejak ia turun gunung, tidak pernah ia
pertontonkan itu, pun kepada See Boe Kie ia belum mewariskan semuanya, tapi
heran, Tan Hong seperti mengerti ilmu silat itu. Anak muda ini selalu bisa
mengelakkan diri, atau dia menyambutnya secara membahayakan jari-jari tangannya
yang beracun itu. Sebenarnya, sejak ia mendapatkan kitab peninggalan Pheng Hoosiang, yaitu
"Hiankong Yauwkoat," yang telah dibacanya dengan seksama, Tan Hong menjadi
seorang yang cerdas luar biasa, disebabkan pengetahuannya bertambah banyak
sekali. Baginya dengan cepat ia dapat mengetahui sifat ilmu silat lain kaum bila
ia menyaksikan ilmu silat itu.
Selama menyaksikan See Boe Kie bertempur dengan In Loei, Tan Hong sudah
perhatikan ilmu silat yang luar biasa itu, habis itu, ia tonton kepandaian Tjek
Sin Tjoe. Kemudian, ia sendiri pun melayani orang Biauw itu, sampai kira-kira
seratus jurus. Semua itu sudah cukup baginya untuk mengetahui ilmu silat orang,
maka sambil bertempur dengan tenang, tapi pun dengan tidak kurang sebat dan
waspadanya, dapat ia melayani dengan baik. Kalau akhirnya musuh jadi penasaran,
ia sendiri masih tetap sabar seperti biasa. Adalah kemudian, sesudah lewat
banyak jurus, ia membuatnya musuh lelah, hingga Tjek Sin Tjoe, yang menginsyafi
itu, menjadi bingung. Baharu sekarang orang Biauw ini memikir untuk mengangkat
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki saja. Caranya ia sudah tahu, ialah dengan jalan menggertak dulu lawannya.
Demikian ia beraksi untuk menyerang dengan hebat, untuk kemudian mengangkat
langkah panjang... Tan Hong melihat tegas orang sudah tidak berdaya, sekarang orang menyerang
secara demikian hebat, ia dapat menduga maksud orang.
"Eh, siluman, kau tinggalkanlah satu pertandaan!" katanya dengan bentakannya
selagi ia diserang, dan sambil membentak dengan sebat luar biasa, ia papaki
serangan itu! Tanpa dapat dihindarkan lagi, lengan dan pedang telah beradu satu dengan lain
sambil perdengarkan satu suara, menyusul itu, lengan Tjek Sin Tjoe terputus
jatuh di lantai dan mengeluarkan banyak darah!
Selagi para hadirin kaget, hingga mereka perdengarkan seruan tertahan, Tjek Sin
Tjoe sendiri lari keluar, ia nerobos di antara orang banyak, setibanya di luar
pesanggrahan, ia menoleh, akan perdengarkan ancamannya: "Bocah yang baik, lagi
sepuluh tahun, tjouwsoe-mu akan datang pula mencari kau untuk membalas sakit
hati!" Tan Hong tidak kejar lawan itu, dengan tenang ia seka pedangnya yang berlumuran
darah, ketika ia dengar ancaman itu, ia lantas menjawab: "Baik, akan aku tunggui
kau!" Orang-orang merasa kagum ketika menyaksikan Tjek Sin Tjoe, yang telah terluka
demikian parah, masih dapat lari dengan pesat.
Tan Hong menyesal juga yang ia telah menahas lengan orang. Mulanya ia tidak
memikir untuk berbuat demikian, mendadak ia panas hati mendengar orang
mendamprat dengan menggunakan kata-kata "siluman" terhadap In Loei.
Setelah itu, tidak ada lagi orang yang berani muncul untuk bertempur satu sama
satu. Mereka sudah menyaksikan kelihayan pemuda dan pemudi itu. Hal ini
membuatnya See To menjadi masgul dan panas hati, ia masih penasaran, maka ingin
ia menyerukan pula konco-konconya untuk mengepung musuhnya.
Justeru itu, orang mendengar tertawa yang tegas disusul pujian: "Ilmu pedang
yang bagus, ilmu pedang yang bagus! Aku juga ingin menerima pelajaran beberapa
jurus darimu!" Tan Hong segera menoleh, akan kenali si orang bertopeng, sepasang mata siapa
bersinar tajam, agaknya seperti mengandung rahasia.
Kaget In Loei mendengar tantangan orang itu, ia kuatir, dengan satu lawan satu,
Tan Hong bukan tandingan orang tidak dikenal itu.
Orang itu sudah maju menghampiri.
"Mulailah!" ia menantang begitu lekas ia pasang kuda-kuda.
Tan Hong tidak lantas maju, ia hanya tancap pedangnya.
"Tuan tidak mencabut pedang, biar aku layani kau dengan tangan kosong," ia kata.
In Loei kerutkan alisnya. Ia anggap Tan Hong terlalu percaya dirinya sendiri.
Tadi dengan dikerubuti berdua, si muka bertopeng dapat bertahan lama, itu
menandakan keliehayan orang, maka, dengan menggunakan pedang, mungkin Tan Hong
sebanding, dengan tangan kosong, mesti dia kalah...
Orang bertopeng itu tertawa terbahak-bahak. "Baiklah," katanya. "Silakan tuan
mulai lebih dahulu!"
"Tetamu tak dapat melancangi tuan rumah, maka itu, silakan tuan yang mulai!" Tan
Hong merendahkan diri. Kembali si muka bertopeng tertawa.
"Thio Siangkong, kau selalu tidak hendak mendahului lain orang, sifatmu benarbenar sifat guru yang kenamaan," ia berkata pula. "Sebenarnya kita sama-sama
tetamu di sini. Tapi siangkong ingin aku yang terlebih dahulu mempertunjukkan
keburukanku, baiklah, akan aku berlaku lancang."
Mendadak saja ia tekuk tangannya ke dalam, lalu dengan gerakan "Wankiong
siagoat" atau "Menarik busur memanah rembulan," jari tangannya terus menyambar
ke dada si anak muda, untuk menotok urat besarnya, yaitu hiankee hiat.
Liehay ilmu totok si orang bertopeng ini, akan tetapi Tan Hong juga bukan orang
sembarang, tak dapat ia ditotok dalam sekejap itu saja, di saat jari tangan
orang hampir mengenai bajunya, ia sedot dada dan perutnya berbareng, hingga
jarak jari tangan dengan dadanya menjadi terpisah satu kaki, berbareng dengan
mana, tangan kanannya digerakkan, untuk menggantikan memapaki
serangan itu. Itulah tipu silat "Tionglioe teetjoe" atau "Di tengah aliran air
menancap tiang batu."
Liehay tangan Tan Hong ini, yang terlatih sempurna. Biasanya, siapa kena
dipapaki secara begitu, jari tangannya bisa patah. Karena ini, berani ia mengadu
tangan dengan totokan lawan.
Cerdik si orang bertopeng itu, selagi kedua tangan baharu bentrok perlahan,
dengan sebat ia tarik kembali tangannya itu, hingga batal ia menyerang. Ia pun
memuji pula, katanya: "Orang dengan usia begini muda sudah punya tenaga latihan
begini liehay, sungguh hebat. Nah, kau sambutlah ini!"
Dengan sebat si orang bertopeng ini ubah jari-jari tangannya yang terbuka itu
menjadi satu telapak tangan yang rapat dan dilebarkan, dengan itu ia menyerang
pula. Tan Hong terkejut. Barusan, bentrokan yang perlahan, membikin ia merasa
tangannya kesemutan, coba ia tak mempunyai Iweekang yang sempurna, hampir ia
tidak dapat pertahankan diri, dan sekarang, ia diserang pula. Tidak mau ia
berlaku sembrono, tetapi masih hendak ia mencoba pula. Kali ini ia kerahkan
tenaga dari Taylek Kimkong Tjioe, hingga tenaga tangannya itu seumpama "gunung
rubuh yang menguruk lautan."
Bentrokan sudah lantas terjadi. Hebat bentrokan itu, keduanya sampai mundur
masing-masing tiga tindak. Tapi itulah belum terlalu hebat. Masih ada akibat
lainnya. Si orang bertopeng mundur tanpa air mukanya berubah, sebaliknya Tan
Hong, ia merasakan telapak tangannya seperti beku. Orang luar tidak lihat suatu
apa, wajah Tan Hong tetap tak berubah, tapi pemuda ini insyaf, si muka bertopeng
itu mempunyai tenaga latihan yang melebihi daripadanya.
"Heran..." Tan Hong berpikir. Ia tahu, orang itu telah menggunakan kepandaian
"Ittjie siankang" atau "latihan sebuah jari", dan jurus itu dinamakan "Tiat
piepee" atau "Piepee besi".
Tiat piepee biasa, banyak dimengerti orang, tetapi kepunyaan si orang bertopeng
ini benar-benar jarang sekali.
Mau atau tidak, Tan Hong jadi berpikir keras, ia menduga-duga siapa lawan ini.
Dia tahu, dia mestinya seorang kenamaan, hanya aneh, kenapa seorang kenamaan
mencampurkan diri di dalam rombongan See To, yang terang adalah satu penghianat
bangsa. Juga aneh, mendengar suaranya, dia seperti ketahui gurunya. Selagi si
anak muda berpikir, si orang bertopeng tertawa dan berkata pula: "Sudah lama
sekali aku tidak bertemu lawan yang tangguh, baharu hari ini aku dapat menyambut
murid seorang kenamaan. Sungguh aku girang!"
Tan Hong membarengi kata-kata itu dengan serangan pula, yang diulangi hingga
tiga kali beruntun. Ketiga serangan itu sangat berbahaya, sebab serangan itu
seolah-olah mengancam. Dikatakan bukan ancaman tapi mirip mengancam, dikatakan
ancaman tapi sebenarnya bukan...
Tan Hong lantas mainkan ilmu silat "Hongtjiam lokhoa" atau "Angin meniup daun
rontok." Dengan jurus ini, ia senantiasa berkelit dengan sebat dan sambil
berkelit ia gunakan ketika itu untuk balas menyerang. Ia berkelit tetapi ia
tidak mundur setindak juga.
Serangan pertama dari si orang berkedok dipunahkan dengan satu jurus Thaykek
Koen yang dinamakan "Djiehong djiepie" = "Seperti membungkus, seperti menutup."
Yang kedua dilawan dengan Siauwlim Koen punya "Kwee Seng tektauw" atau "Kwee
Seng menendang bintang." Perlawanan ini adalah tangkisan tangan dan tendangan
kaki dengan berbareng, jadi merupakan pembelaan diri berbareng perlawanan, untuk
memaksa lawan menukar haluan. Dan yang ketiga ia gunakan ilmu silat gurunya
sendiri, yaitu satu jurus dari "Pekpian Hian Kee Tjianghoat" Dengan ini, ia
pukul kembali tangan lawannya.
"Ah!..." si orang bertopeng perdengarkan kekaguman atau keheranannya, sebab
dalam segebrakkan itu, anak muda ini sudah menggunakan jurus-jurus dari tiga
kaum persilatan. Tanpa merasa, saking cepatnya, orang sudah bertempur kira-kira tiga puluh jurus.
Si orang bertopeng masih tetap gunakan "Tiat Piepee" yang dipadu dengan "Ittjie
siankang," ia tetap tangguh. Tan Hong sebaliknya sudah lantas ubah haluan, yaitu
tidak lagi ia andalkan "Hiankong Yauwkoat" untuk membingungkan lawannya. Ia
merasa, kalau terus ia bersilat secara demikian, lama kelamaan ia akan kehabisan
tenaga dan bisa celaka. Ia menukar dengan ilmu silat "Taysiemie Tjiangsie"
ajaran gurunya. Dengan begitu, ia lindungi dirinya dengan kedua tangannya.
Ilmu silat ini ringkas kalangannya, rapat penjagaannya, teguh kedudukannya,
kalau sangat didesak, keras juga penolakannya. Agaknya si muka bertopeng
kewalahan juga dengan penyerangannya, sebab belum pernah ia dapat menembus
pembelaan diri orang itu, meskipun ia bergerak sangat cepat dan berbahaya, angin
serangannya bersiur-siur keras. Ittjie siankang-nya pun kerap kali menotok ke
jalan darah. Masih Tan Hong tidak dapat menduga, siapa musuh ini, dia orang apa. "Tiat
Piepee"-nya mirip kepandaian Tantai Mie Ming, sama liehaynya, tetapi dia bukan
Tantai Mie Ming. Sebab Tantai Mie Ming tidak mengerti Ittjie siankang.
Mungkinkah mereka dari satu perguruan" Kalau benar, kenapa dia pandai Ittjie
Siankang" Mungkinkah guru Mie Ming berat sebelah" Juga Mie Ming pernah berkata,
dia tidak mempunyai soeheng, kakak seperguruan lelaki, ada juga soemoay, yaitu
adik seperguruan wanita. Mereka masih bertempur, si orang bertopeng terus mendesak, malah kali ini, ia
mendesak terlebih hebat, dengan jari tangannya, dengan kepalan atau telapak
tangannya. Sampai kira-kira lima puluh jurus Tan Hong merasakan sangat terdesak.
Inilah disebabkan ia kalah Iweekang-nya daripada lawannya itu.
"Hati-hati!" tiba-tiba si orang bertopeng berseru ketika ia telah melakukan
serangan beberapa kali. Tapi kali ini ia menyerang dengan berbareng, yaitu
tangan kirinya membentur sikut orang, tangan kanannya menotok.
Tan Hong jadi sangat terancam. Kalau ia singkirkan totokan tangan kanan, ia
mesti terkena benturan tangan kiri
lawannya itu, demikian sebaliknya. Tapi ia tidak menjadi gugup, hatinya tak
gentar, ia berlaku tenang, hanya untuk membela diri, ia bertindak cepat. Dengan
sekejap saja ia putar tubuhnya, sambil berputar ia bebaskan diri, lalu ia
membalas menyapu ke arah tangan musuh!
"Ah!..." si musuh berseru tertahan, bahna kagum. Ia telah saksikan serangannya
dihalau dengan Tiat Piepee dan Ittjie siankang dengan berbareng. Ittjie siankang
tak dapat dilatih sempurna dalam sekejap saja, mesti menggunakan waktu
sedikitnya sepuluh tahun, tetapi luar biasa, Tan Hong dapat menjiplaknya selama
mereka bertempur. Tentu saja, ia membuatnya musuh sangat heran. Justeru itu, ia
menukar lagi jurus-jurusnya dengan Pekpian Hian Kee Tjianghoat, hingga ia
mendapat ketika. Sekejap saja si orang bertopeng melengak, akhirnya ia tertawa besar.
"Kau sangat cerdik!" katanya. "Hampir saja aku teperdaya!"
Kata-kata ini disusul dengan totokan ke be-bokong Tan Hong, sasarannya ialah
jalan darah thiantjoe hiat.
Tan Hong berkelit. Ia dapat membela dirinya. Lawan itu penasaran, ia ulangi
serangannya hingga tiga kali. Selalu ia gunakan tenaga besar.
Bukan main sulitnya Tan Hong melayani terus lawan ini, meski begitu, ia masih
dapat bertahan lagi kira-kira dua puluh jurus, sampai di saat mana, ia lantas
menghadapi serangan dua tangan berbareng, hanya yang satu mengancam, yang lain
bukan - itulah tangan kiri yang menggertak, tangan kanan yang majunya ayal,
ialah yang menepak benar-benar. Tan Hong menyambut dengan tangan kiri, atau
segera ia insyaf bahwa ia telah diperdayai, kedua tangannya kena ditolak.
Tiba-tiba saja si muka bertopeng tertawa terbahak-bahak.
"Kau tidak mendustai" demikian katanya sehabis tertawa. "Harta pendaman Thio Soe
Seng serta kitab Pheng Hoosiang telah kau
dapatkan! Maka apakah artinya untuk aku berdiam lebih lama pula di sini?"
Habis mengucap demikian, ia mengancam pula dengan tangannya, tetapi ia tidak
menyerang terus, hanya melompat mundur, lalu lari keluar pesanggrahan, untuk
menyingkirkan diri! Aneh kelakuan orang rahasia ini. Datangnya tiba-tiba, perginya pun tiba-tiba.
Dia mirip seekor naga yang nampak kepalanya, tetapi ekornya tidak. Semua orang
heran dan tercengang. Lebih heran pula Tan Hong, sebab ia merasa pasti, bila ia
membuat perlawanan terus menerus, mesti orang itu menang. Kenapa dia berhenti
dengan tiba-tiba" Sebenarnya si orang bertopeng datang bersama Ngochito. Sejak bermula, ia sudah
tidak sudi perlihatkan wajahnya. Sekalipun See To dan puteranya, tidak tahu ia
siapa, hanya karena ia pernah perlihatkan ilmu silatnya, ia dihargai, ia
dibiarkan membawa dirinya sendiri.
Seberlalunya si orang bertopeng, yang mana membuat See To kaget dan berkuatir,
karena ia tahu kedudukannya menjadi lemah, maka itu, tidak ayal lagi, ia
titahkan kawan-kawannya maju menyerbu, guna mengepung Tan Hong berdua.
Ngochito, karena ingin mencari balas, sudah maju paling depan.
Tan Hong tertawa berkakakan.
"Adik kecil, mari!" ia mengajak In Loei.
Nona In telah bersiap, malah ia telah beristirahat cukup lama, maka tanpa ayal
lagi, ia maju kepada Tan Hong, untuk berdiri berendeng.
Ngochito sambar pedang panjang dari salah satu orangnya See To, dengan itu ia
serang musuhnya, tetapi baharu dua jurus, dan sebelum kawan-kawannya sempat
membantui padanya, pedangnya sudah terpapas kutung! Tentu saja ia menjadi kaget
berbareng mendongkol. Tjitjiangho, sebawahannya Ngochito, majukan dirinya, tetapi ia tidak lantas
menyerang, ia hanya menegur.
"Thio Tan Hong," demikian katanya, "kau telah berulangkah menerima budi besar
dari negara kita, kenapa sekarang kau begini gelap pikiran?"
Tan Hong tidak mau melayani bicara, ia justeru serang pahlawan Yasian itu. Mau
atau tidak, Tjitjiangho menangkis, tetapi baharu satu gebrak, goloknya sudah
terbabat kutung, hingga dia menjadi kaget sekali.
"Thio Tan Hong! Kau... kau..." ia berseru, lalu tertahan, sebab pedang In Loei
menyambar ke arahnya. Karena ia berada di bawahan Ngochito, kepandaiannya pun
kalah, tanpa berdaya, ia tertikam si nona, hingga jiwanya lantas melayang.
Ngochito kaget, dia lompat, berbareng dengan mana, dia dengar teriakan hebat di
belakangnya. Itulah Tjio Eng, yang telah lantas turun tangan. Tjio Eng ini
ternama, tenaganya pun besar, bisa dimengerti hebatnya serangan yang dibarengi
seruannya itu. Dalam keadaan bingung dan pusing, Ngochito tidak berdaya lagi, tidak sempat dia
berkelit atau menyingkir, kepalan Tjio Eng telah sampai pada bebokongnya, maka
di antara suara "Duk!" yang keras sekali, dia rubuh. Sekalipun lapis emasnya
untuk melindungi tubuhnya telah pecah karenanya. Maka ia lantas memuntahkan
darah hidup. Masih syukur baginya, ia memakai lapisan itu, hingga ia cuma jatuh
pingsan, kalau tidak, jiwanya mesti melayang dengan segera.
Beberapa pahlawan pengiring sudah lantas menubruk Ngochito, untuk diangkat dan
dibawa lari. Pahlawan-pahlawan itu tidak berani mengadakan perlawanan terlebih
jauh. Waktu itu kawan-kawannya See To yang sejak tadi bersangsi dan yang telah berubah
pikirannya serta orang-orang yang datang memenuhi undangannya, sudah lantas
angkat kaki. Tidak mau mereka memberikan bantuannya. Sebaliknya, mereka yang
bersatu padu pikirannya, yang hendak membela mati-matian, apabila
mereka saksikan Tan Hong dan In Loei demikian kosen, mereka itu jadi kecil
nyalinya. Sambil tertawa berkakakan, Tan Hong serang mereka yang berani merintangi ia dan
In Loei, cuma karena jumlah orangnya See To itu besar, tidak dapat mereka lantas
dipukul mundur. Tjio Eng lihat mereka terkurung, ia berseru: "Tangkap penjahat, tangkap rajanya!
Hai, bangsat tua she See, hendak aku membuat perhitungan dengan kau!"
Benar-benar, habis berseru, jago tua ini lompat kepada orang she See itu.
See To tidak maju untuk melayani orang yang hendak membikin perhitungan
dengannya, dia hanya berseru keras, menyusul mana, dia putar tubuhnya untuk lari
meninggalkan ruangan berkumpul itu. Seruan itu rupanya dimengerti kawankawannya, serta merta mereka ini juga membalik tubuh, untuk lari juga.
Tan Hong berempat menjadi heran. Kenapa musuh meninggalkan Tjiegie thia secara
serentak itu" Tapi mereka tak usah berpikir lama, atau mendadak terdengar satu
suara nyaring sekali, lalu di depan mereka, turunlah pintu besi rahasia, yang
memutuskan hubungan mereka di kedua pihak.
Baharu sekarang mereka mengerti, mereka jadi terkejut. Sekarang sukar untuk
mereka dapat keluar, meski umpama kata mereka kuat mengangkat pintu rahasia itu,
sebab dibalik pintu rahasia itu See To berada dengan orang-orangnya yang
bersenjatakan panah, bandring dan barisan arit. Begitu mereka angkat pintu besi,
tentu mereka akan diserbu, di hujani anak panah, batu dan babatan arit itu...
Tjio Eng menghela napas. "Biarlah kita terkurung di sini!..." katanya, masgul.
Dari luar terdengar suara See To: "Serahkan gambar lukisan itu padaku, nanti aku
hentikan pengurungan ini, malah mengingat kepada persaudaraan kita dahulu kala,
suka aku mengijinkan kamu
berlalu dari sini!" In Loei tertawa mendengar orang menginginkan gambar itu.
"Toako," kata dia pada Tan Hong, "mereka masih tidak percaya bahwa kau telah
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendapatkan harta dan peta bumi itu! Apakah tidak baik gambar itu diserahkan
saja pada mereka" Mereka toh tidak akan dapat menggunakan itu!"
"Aku justeru tidak hendak menyerahkannya!" sahut Tan Hong.
"Benar, jangan serahkan!" kata Tjio Eng. "Gambar itu adalah warisan dari
mendiang Sri Baginda, mana boleh warisan itu diserahkan pada mereka?"
In Loei tertawa. "Aku pun cuma main-main!" katanya. "Walaupun terkurung hingga terbinasa, tidak
seharusnya kita minta ampun hingga karenanya kita mesti merendahkan derajat
kita!" "Adik kecil," kata Tan Hong kepada kawannya itu, "aku biasanya tertawakan
kelemahan hatimu, siapa tahu kau sebenarnya mempunyai semangat laki-laki."
Tan Hong bergurau, akan tetapi In Loei meludah.
"Foei! Apakah kau anggap hanya kamu bangsa pria yang bersifat laki-laki?"
katanya. Tjio Eng dan gadisnya terkejut mendengar pembicaraan kedua anak muda itu,
terutama kata-kata In Loei. Tjoei Hong dekati In Loei, untuk mencekal tangannya,
untuk ditarik. "In Siangkong, apakah benar-benar kau satu nona?" ia tegaskan.
Merah muka Nona In, ia tunduk.
"Benar, entjie, aku adalah satu wanita..." sahutnya perlahan.
Wajah Tjoei Hong menjadi pucat-pasi. "Oh, oh, kau!..." katanya, lalu suaranya
tertahan. Setelah peroleh kepastian, habis sudah harapannya. Ia tidak dapat
berbuat lain, akhirnya ia menangis.
In Loei jengah sendirinya, ia pun tak enak hati.
"Entjie, karena terpaksa, aku mendustai kau," ia berkata pula. "Aku harap kau
jangan gusar. Entjie, aku punya satu saudara angkat..."
Nona Tjio angkat kepalanya, mukanya merah, matanya mencorong.
"Siapa pedulikan saudara angkatmu itu!" katanya keras. "Ah, dasar kau tidak
ketahui hatiku..." Ia tahu anak muda dihadapannya adalah satu pemudi, akan tetapi dari lagu
suaranya, masih Tjoei Hong pandang orang sebagai satu pemuda.
Tan Hong sebaliknya, tertawa melihat kelakuan kedua pemudi itu.
Tjio Eng, yang telah lanjut usianya, dapat mengendalikan hatinya. Ia tarik Tan
Hong ke samping, untuk menanyakan keterangan mengenai In Loei. Dan Tan Hong
tuturkan jelas perihal Nona In itu.
"Ketika itu kau sangat bernapsu mencari babah mantu," Tan Hong tambahkan sambil
tertawa, "dan In Loei, di samping usianya masih muda, pun telah terdesak,
demikian maka terjadilah hal Jenaka ini. Kamu cuma terkelabui untuk satu tahun,
tidak apa, kejadian itu tidak sampai mentelantarkan usia puterimu Looenghiong,
bukankah kau telah melihat puteranya Kimtoo Tjioe Kian" Bukankah ia, di kalangan
kaum muda, gagah dan tampan?"
Tjio Eng ingat San Bin, ia penuju pada anak muda itu. Tapi ia jawab: "Urusan
jodoh anakku, tak dapat aku mengurusnya lagi... San Bin itu, apabila dia dipadu
dengan In Siangkong, dia tak dapat ditimpali, akan tetapi dia, memang cukup
baik." Oleh karena sudah kebiasaan, seperti puterinya, jago tua ini masih sebut In Loei
sebagai In Siangkong. Mendengar sebutan ini, Tan Hong tertawa.
Tiba-tiba, Hongthianloei berkata: "Siauwtjoe, aku kehilangan satu babah mantu
tetapi hendak aku beri selamat padamu! Kionghie."
"Untuk apakah pemberian selamat ini?" tanya Tan Hong sambil menghela napas. Ia
ingat sesuatu ketika mendengar ucapan jago tua itu.
Tjio Eng mengawasi. "Kamu adalah pasangan yang sangat setimpal!" ia kata. "Anakku itu tidak sepadan
direndengkan dengan In Siangkong1. Dan walaupun anakku tidak setuju, akan aku
desak supaya dia menyerahkan In Siangkong kepadamu! Bilamana kamu hendak
mengundang aku minum arak" Haha-haha, sungguh suatu jodoh yang manis sekali!"
"Looenghiong, masih terlalu pagi untuk membicarakan urusan ini," kata Tan Hong.
"Masih ada yang kau belum ketahui..."
Tjio Eng heran, ia mengawasi.
"Apakah itu?" tanyanya.
"Satu soal sulit, looenghiong," jawab si anak muda, yang terus menuturkan
permusuhan antara kedua keluarga In dan Thio.
Tjio Eng heran, ia pun menjadi bingung.
Sementara itu, Tjoei Hong dan In Loei masih saja pasang omong. Nona Tjio adalah
yang paling banyak bicara, ia kecewa tetapi masih ia berat memikirkan In Loei.
Dan In Loei, yang merasa dirinya bersalah, terpaksa harus melayani nona yang ia
perdayakan itu. Ia berkasihan terhadap nona ini.
"Entjie yang baik," katanya kemudian, "seumurku, tidak akan aku menikah, maka
itu, akan aku temani kau!"
Tjio Eng bersenyum. "Adakah itu benar?" dia tanya.
"Kenapa tidak?" sahut In Loei, dengan sifat kekanak-kanakan. Ia pun tertawa.
"Cuma, entjie yang baik, aku mempunyai satu saudara
lelaki, kau sebaliknya tidak. Bagiku, tidak apa aku tidak menikah, tetapi kau,
apabila kau tidak menikah, siapa akan melanjutkan Keluarga Tjio kamu?"
"Cis" nona Tjio meludah. Ia tidak sangka bahwa ia akan digodai. Ia lantas
menoleh kepada Tan Hong, lalu tiba-tiba ia kata: "In Siangkong, aku tahu apa
yang kau katakan tidak keluar dari hatimu yang tulus! Di hati lain, di mulut
lain! Memang aku tolol tetapi telah aku lihat siapa yang berada di dalam
hatimu!..." In Loei merasa tertusuk, ia menghela napas.
"Seumurku, tidak akan aku menikah," katanya, dengan lesu. "Jikalau kau tidak
percaya, entjie, nanti aku sumpah dihadapanmu!"
Tjoei Hong bekap mulut orang. "Tidak keruan-keruan, untuk apa angkat sumpah?"
katanya. "Aku telah dapatkan kau sebagai adikku, aku puas."
"Bagus, bagus!" puji Tjio Eng apabila ia dengar pembicaraan orang itu. Ia
sebenarnya sedang berduka tetapi untuk sesaat, dapat ia lupakan kedukaannya itu.
"Kamu telah mengaku menjadi entjie dan adik, maka, In Siangkong, mengapa kau
tidak hendak memberi hormat kepada ayah pungutmu?"
In Loei tertawa, ia bertindak menghampiri orang tua itu, ia memberi hormat
sambil paykoei. Tjio Eng mengangkat nona itu bangun.
"Baiklah, In Siangkong, aku terima hormatmu ini!" ia kata.
"Haha-haha!" tertawa Tan Hong. "Masih saja memanggil In Siangkong1."
Mendengar ini, semua orang tertawa. Sampai di situ, baharu mereka ingat pula
bahwa mereka masih berada di dalam kurungan. Waktu itu sudah mendekati magrib,
di luar Tjiegie thia, masih terdengar suara berisik. Di dalam ruang itu tidak
ada makanan. Maka syukur, Tan Hong dan In Loei mempunyai bekal rangsum
kering, bersama-sama, berempat, mereka tangsel perut mereka sekedarnya.
"Sang hari akan lekas berlalu, bagaimana besok?" tanya In Loei. Ia pecahkan
kesunyian sehabisnya mereka dahar.
"Besok adalah urusan besok, untuk apa kau pikirkan?" kata Tan Hong sambil
tertawa riang. "Benar!" kata Tjio Eng.
Maka itu, mereka dapat bercakap-cakap dengan gembira.
Selagi ke empat orang ini tidak kesepian, See To di luar sibuk memikirkan
mereka. Mereka mesti tungkuli kesabaran diri, sebab di antaranya tidak ada yang
berani menyerbu, semua masing-masing jeri untuk kegagahannya pasangan anak muda
itu... Malam itu dilewatkan dengan Tan Hong dan Tjio Eng bergantian berjaga-jaga. In
Loei berdua Tjoei Hong tidur bersama di atas sebuah bangku panjang, mereka ini
masih bercakap-cakap selama mereka belum pulas, masing-masing menuturkan isi
hati mereka. Dalam tempo yang pendek itu, keduanya lantas erat sekali
perhubungannya, bagaikan saudara-saudara kandung saja.
"Ketika itu kita berpisah di Tjengliong Kiap," kata In Loei, "ayahmu memaksa kau
lekas pulang, untuk apakah itu?"
"Tidak lain untuk urusan gambar lukisan," jawab Tjoei Hong. "Ayah dengar kabar,
pihak Watzu hendak mengirim orang untuk merampas gambar itu. Entah bagaimana
duduknya hal, maka bangsa itu ketahui gambar berada di rumah kami. Karena itu
ayah menginginkan aku lekas pulang, untuk kami serumah tangga menyingkir ke Im
Ma Tjoan, di pesanggrahan Na Tjeetjoe. Kami kembali pulang sehabisnya perang.
Yang kami tidak sangka adalah bangsat tua she See itu yang berkongkol dengan
musuh, tanpa mempedulikan persaudaraan, dia tidak hendak melepaskan kami!" In
Loei tertawa. "Dan mereka tidak ketahui, sejak siang-siang gambar itu sudah berada di tangan
toakoku." ia kata. Berduka Tjoei Hong mendengar demikian erat rasanya In Loei menyebutkan kata-kata
"toako" itu untuk Tan Hong.
"Kau sudah punya toako, kau lupakan entjie-mu!" ia kata.
Tapi In Loei lantas menghela napas. Biar bagaimana, ia adalah satu nona, maka
tidak dapat ia membuka rahasia hatinya, tak peduli terhadap kakak sendiri...
Heran Tjoei Hong menyaksikan roman entjie ini, cuma tidak mau ia menanyakan. Ia
hanya bicarakan urusan lain, sampai tiba saatnya mereka mengantuk dan tidur.
Berapa lama ia sudah pulas, Tjoei Hong dan In
Loei tidak tahu, mereka hanya tersadar tatkala mereka dengar suara sangat
berisik di luar Tjiegie thia.
"Adik kecil, lekas bangun!" Tan Hong memanggil.
"Lihat! Baharu kau percakapkan Tjo Tjoh, ia sudah muncul! Coba dengar, apakah
itu bukan kakak angkatmu yang datang?"
In Loei buka matanya, ia dapatkan matahari sudah naik tinggi. Masih mereka
terkurung pintu rahasia, tetapi di kedua tepi tembok terdapat liang kecil
sebesar batang anak panah, dari situ mereka bisa mengintai keluar. Dan di luar
tampak nyata bendera berkibar-kibar, di antaranya ada dua helai bendera yang
besar luar biasa hingga menyolok mata. Itulah bendera yang berlukiskan matahari
merah dan si Puteri Malam, itulah Djitgoat Siangkie, bendera Kimtoo Tjeetjoe!
Pertempuran telah terjadi di luar, itulah yang menerbitkan suara sangat berisik.
"Tjioe San Bin datang pada saatnya yang tepat!" kata Tan Hong. Kata-kata ini
mengandung dua maksud, maka In Loei menjebikan bibirnya dan tertawa,
Dengan lewatnya sang waktu, suara pertempuran terdengar semakin reda, akan di
lain saat, pintu rahasia mulai terangkat naik,
hingga sinar terang lantas menembus masuk, lalu tampak San Bin bertindak masuk
ke dalam Tjiegie thia. Rahasia In Loei telah terbuka, tetapi karena terlanjur, ia masih dandan sebagai
wanita, ketika San Bin tampak nona ini, ia heran. Ia menegur Tan Hong dan Tjio
Eng tetapi kepada si Nona In ia cuma melirik saja.
In Loei tidak menjadi likat, sebaliknya, ia berlaku twapan.
"Apa yang kau minta padaku, telah aku selesaikan!" katanya kepada anak muda itu.
Setelah salin pakaian, dan waktu ia tertawa, hingga nampak sujennya, In Loei
menjadi sangat manis, ia bagaikan bunga baharu mekar. Di mata San Bin ia menjadi
luar biasa elok, hingga pemuda itu tergiur bukan main. Tapi di sana ia tampak
Tan Hong dengan wajahnya seolah-olah tertawa, lalu hatinya itu menjadi dingin.
Pemuda ini sangat menyintai In Loei, akan tetapi setelah ketahui Tan Hong pun
menyintai nona itu, ia dapat kendalikan dirinya, kemudian Tantai Mie Ming secara
diam-diam membantui ia menangkan peperangan dan Mie Ming pun jelaskan bagaimana
kesengsaraan hati Tan Hong untuk membela negara, ia ambil ketetapan untuk
mengalah, untuk mengundurkan diri dari medan cinta itu. Inilah sebabnya, dalam
tempo yang pendek sekali, dapat ia kuasai hatinya.
"Tjioe Hiantit, cara bagaimana kau ketahui kita terkurung di sini?" tanya Tjio
Eng sambil tertawa kepada penolongnya itu.
Pertanyaan ini tepat, maka semua pandangan diarahkan kepada anak muda itu.
"Selama penyerbuan tentera Watzu, terpaksa kita berkeliaran ke empat penjuru
negara," jawab San Bin, "begitu lekas perang sudah selesai, kami sudah lantas
menggabungkan diri pula, dan niat kami adalah kembali ke tempat asal. Kemarin
kami mendirikan kubu-kubu di dekat sini, tadi malam kami nampak kejadian yang
luar biasa..." "Apakah itu?" tanya Hongthianloei.
"Ada seorang yang memakai topeng menyusup masuk ke dalam kubu-kubu kami," sahut
pula San Bin. "Dia melempar golok yang tertusukkan sehelai surat. Dalam surat
itu ditulis terang halnya looenghiong beramai tengah dikurung di sini karena
terjebak oleh See To. Liehay si orang bertopeng itu, ketika kami pergoki dia,
dalam sekejap saja ia sudah menghilang pula."
"Seorang bertopeng?" kata Tan Hong, yang hatinya bercekat. Timbullah
kecurigaannya. "Benar, dia seorang bertopeng," San Bin pastikan. "Kami tidak kenal dia, dia
aneh, akan tetapi ayahku bilang, daripada tidak mempercayai, lebih baik kita
percaya padanya, bahwa tak dapat tidak kami harus pergi menolongi setelah kami
ketahui looenghiong terjebak dalam kurungan. Demikian ayah menitahkan siauwtit
datang bersama barisanku."
Tan Hong terus memikirkan si orang bertopeng itu, demikian juga In Loei.
"Selama penyerbuan bangsa Watzu itu," San Bin meneruskan keterangannya,
"beberapa kali ayah mengirim orangnya pergi ke rumah Tjio Loopee, kami dapat
keterangan loopee tengah mengungsi dan belum pulang, karenanya, sampai sebegitu
jauh, kami tidak dengar suatu apa tentang loopee."
"Terima kasih untuk perhatian ayahmu itu," Tjio Eng mengucap. "Lain hari akan
aku berkunjung kepadanya."
Sementara itu orang tua ini telah melihat tegas anak muda itu, yang romannya
gagah dan tampan, sekalipun dia tak dapat dibanding dengan Tan Hong atau In
Loei. Di dalam pesanggrahan See To itu mereka bersantap pagi. Sehabisnya bersantap,
Tan Hong dan In Loei lantas pamitan, karena perlu mereka lekas-lekas melanjutkan
perjalanan mereka, hingga tak dapat mereka ditahan lagi.
Tjio Eng dan gadisnya juga tidak mau berdiam lama di pesanggrahan musuh, hendak
mereka berangkat pulang, maka itu, San Bin antar mereka bersama-sama sampai di
kaki gunung. Tan Hong dan In Loei dengan bergantian telah perdengarkan suitan mereka, atas
mana muncullah binatang tunggangan mereka, yaitu Tjiauwya saytjoe ma serta kuda
pilihan dari istana kaisar.
Selagi melihat In Loei lompat naik ke atas kudanya, tiba-tiba San Bin ingat
suatu apa. "Nona In, tunggu dulu!" ia segara memanggil.
Dari atas kudanya, In Loei berpaling.
"Ada apa, Tjioe Toako?" tanyanya.
"Tadi kau katakan bahwa kau telah bicara jelas dengan Nona Tjio, karena itu, tak
usah aku omong banyak lagi," sahut San Bin. "Nah, terimalah kembali barangmu
ini!" Dari sakunya San Bin keluarkan batu permata sanhu.
-ooo00dwooo- Bab XXIII Itulah batu permata yang Tjioe Kian haturkan kepada In Loei dan In Loei
menyerahkannya lebih jauh kepada Tjoei Hong, selaku tanda mata, kemudian In Loei
serahkan pada Tjioe San Bin dengan permintaan supaya San Bin nanti mengatakan
pada Tjio Eng, untuk menjelaskan duduknya hal, agar pernikahannya dengan Tjoei
Hong dapat dibatalkan. Tjoei Hong lihat batu permata itu, yang membawa peranan, mukanya menjadi merah,
ia likat sendirinya. San Bin majukan kudanya, hendak ia serahkan batu itu kepada In Loei, tetapi Si
Nona In tertawa sambil berkata: "Permata itu asalnya
kepunyaan keluargamu sendiri, untuk apakah hendak dikembalikan kepadaku?"
Lantas ia tepok kudanya, untuk dilarikan berendeng bersama Tan Hong! Keras
larinya kuda mereka, dalam sekejap saja mereka sudah lenyap, hingga tinggallah
San Bin yang mengawasinya sambil menjublak...
Benar-benar cepat Tan Hong dan In Loei kaburkan kuda mereka, pada hari kedua
mereka telah lintasi kota Ganboenkwan, di tempat perbatasan kedua bangsa Ouw dan
Han. Di tempat pengembalaan orang Mongolia, adalah umum yang kaum wanitanya
menunggang kuda, oleh karena itu, In Loei tidak perlu salin pakaian lagi, ia
tetap dandan sebagai satu nona.
Puas hati Tan Hong menyaksikan si nona duduk di atas kudanya di tanah datar
berumput hijau. Ia tertawa sendirinya.
"Jikalau aku berada terus bersama kau," katanya, gembira, "meskipun seumur
hidupku aku mesti tinggal merantau, sudi aku, puas hatiku!"
In Loei singkap rambutnya, ia menoleh sambil melirik.
"Hai, engko tolol mengucapkan kata-kata tolol!" katanya tertawa.
Berdebar hati Tan Hong, hampir tak dapat ia kuasai dirinya.
Habis perang, kota Ganboenkwan dan sekitarnya jadi tidak keruan macam. Waktu itu
pun tentera kerajaan Beng, yang mesti menempati kota itu, masih belum tiba, yang
ada hanya beberapa serdadu saja.
Melihat keadaan kota, Tan Hong berdiam, pikirannya bekerja. Ia menyayangi kota
itu. Selagi berpikir, tiba-tiba ia dengar In Loei menarik napas.
"Adik kecil, kau kenapa?" ia tanya.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku teringat kepada keadaan waktu aku masih kecil, ketika itu aku ikut kakek
pulang," sahut si nona, "Ah, tanpa merasa, sepuluh
tahun sudah lewat... Ya, di sini aku ingat benar. Waktu itu adalah tanggal lima
belas bulan sepuluh. Di sini kakekku menyerahkan surat wasiatnya, yaitu kulit
kambing yang berdarah..."
Mendapat kenang-kenangan ini, wajah si nona menjadi guram. Ia berdiam. Tan Hong
juga berdiam. "Begitulah hidupnya manusia!" kata si pemuda kemudian. "Berapa lama manusia
dapat hidup" Baiklah kau jangan mengingat-ingat pula hal yang tak menyenangkan
itu..." Keduanya menjalankan kuda mereka dengan perlahan-lahan.
"Hidup manusia, benar-benar aneh," kata In Loei kemudian.
"Kenapa aneh?" tanya Tan Hong sambil mengawasi.
In Loei pandang pemuda itu, sinar matanya berarti. Agaknya hendak ia bicara,
tetapi selalu urung. "Manusia memang mengalami banyak perubahan di luar dugaannya," kata Tan Hong.
"Lihat saja aku sebagai contoh. Tadinya aku pikir, selama hidupku ini tidak
nanti aku keluar pula dari Ganboenkwan, siapa sangka, hari ini aku toh berada di
sini! Maka itu, apa yang kau katakan aneh, bukan aneh. Adalah hal, yang
dilihatnya tak mungkin terjadi, pada suatu waktu terjadi dengan tiba-tiba..."
Kata-kata pemuda ini mengandung arti.
In Loei berdiam. Pada otaknya berkelebat surat wasiat kakeknya, dan wajah bengis
dari kakaknya. Tapi ketika ia angkat kepalanya, ia tampak roman tampan dan
menarik dari Tan Hong yang tersungging senyuman, dalam sekejap saja, hilanglah
mega gelap bagaikan tersapu angin...
Tan Hong jalankan kudanya terus berdampingan dengan kuda si nona, tapi di saat
ia hendak menghibur si nona, mendadak kuda Tjiauwya saytjoe ma meringkik keras
dan panjang lalu lompat lari dengan tiba-tiba, seolah-olah tak memperhatikan
lagi majikannya! Tan Hong heran bukan main. Inilah belum pernah terjadi pada kudanya itu. Ia
sudah hendak tarik keras tali lesnya ketika mendadak ia ingat sesuatu.
"Dia kabur dan menjadi binal begini, mesti ada sebabnya," ia berpikir. "Coba aku
lihat ke mana dia hendak lari..."
Maka ia kendorkan lesnya, ia biarkan kuda itu kabur seenaknya.
Tjiauwya Saytjoe ma lari dengan tidak mengikuti jalan besar, ia mengambil jalan
kecil di sepanjang tepi bukit, dia lompat di setiap tempat yang tinggi atau
rendah, dia pun tak henti-hentinya perdengarkan suaranya.
In Loei heran seperti Tan Hong, ia larikan kudanya untuk menyusul. Kudanya kalah
tangkas, ia tertinggal kira-kira setengah lie.
Sesudah kuda jempolan itu lari serintasan, dari sebelah depan terdengar suara
kuda lainnya, hingga kedua binatang itu jadi seperti saling sahut.
Tan Hong memandang jauh ke depan, untuk herannya, ia melihat dua orang tengah
bertanding. Di samping mereka itu, terlihat seekor kuda putih tengah berlarilari, kuda itu mirip betul dengan Tjiauwya saytjoe ma.
Tan Hong awasi hingga ia dapat lihat kedua orang yang sedang asyik bertempur
itu. Ia menjadi terperanjat dan heran. Ia kenali, satu di antaranya adalah
Djiesoepee Tiauw Im Hweeshio, sedang lawan paman guru yang kedua itu adalah
seorang berumur empat puluh lebih, tubuhnya agak gemuk, gerakan-gerakannya gesit
luar biasa. Keras suara angin dari tongkat panjang bagaikan toya dari Tiauw Im Hweeshio.
Itulah tongkat Hangmo thung, Penakluk Iblis, yang dimainkan menurut ilmu silat
toya Hangmo thung. Lawannya menggunakan bergantian jari-jari tangannya yang
terbuka dan tertutup, menyabet atau menusuk, dia menyerang setiap kali dia
menyampok tongkat atau sehabisnya berkelit. Nyata lawan itu tak kurang
liehaynya. Tan Hong heran apabila ia mengawasi pula sekian lama. Ia dapat perasaan, ilmu
silat orang berusia pertengahan itu mirip dengan ilmu silat si orang bertopeng,
yang pandai ilmu silat Tiat piepee dan Ittjie siankang!
Di bawah tanjakan, di dekat tempat pertempuran, ada satu wanita yang sambil
tertawa menonton pertempuran itu. Dia berumur kira-kira tiga puluh lebih,
mukanya bundar bagaikan rembulan tanggal lima belas. Dia mirip dengan satu
nyonya muda, sedangkan sebenarnya dia adalah satu nona.
Tiauw Im gagah, dia juga bersenjatakan tongkat, akan tetapi lama-kelamaan, dia
dibikin kewalahan oleh lawannya yang berkelahi dengan mengandalkan kedua
tangannya yang tak bersenjata itu, hingga kesudahannya si orang beribadat jadi
sangat mendongkol dan gusar. Demikian satu kali, menuruti hawa amarahnya, ia
menyerang hebat dengan tipu pukulan "Tokpek Hoasan"="Menggempur gunung Hoasan."
Itulah salah satu kemplangan yang berbahaya dan hebat.
Pesat sekali gerakan si lawan, serangannya demikian dahsyat, tapi ia dapat
menghindarkannya dengan jalan berkelit. Tiauw Im terlalu sengit, ia gunakan
seluruh tenaganya, ketika serangan itu tidak mengenai sasarannya, ia tidak dapat
kendalikan lagi senjata itu, maka sang tongkat dengan hebat menghajar batu di
tanah hingga hancur, dan hancurannya terbang berhamburan.
"Hahaha!" si lawan tertawa bergelak, habis mana, ia membalas menyerang,
tangannya, atau lebih tepat jari-jari tangannya, tidak hentinya menyambarnyambar kepada Tiauw Im Hweeshio, yang mengarah iganya.
Dalam keadaan sangat terancam itu, Tiauw Im Hweeshio dapat membela dirinya
sendiri. Ia letakkan tongkatnya di tanah, berbareng dengan itu, tubuhnya
mencelat naik, untuk terus jumpalitan, akan menyingkir jauh.
Melihat orang mundur secara hebat itu, si wanita tertawa berkakakan.
"Begitu saja kepandaian murid Hian Kee Itsoe!" demikian ejeknya. "Haha-haha!
Sungguh satu nama kosong belaka!"
Tan Hong lantas datang dekat, ia menyaksikan segala apa dengan tegas. Hampir ia
lompat maju, untuk menolongi paman gurunya, tapi tiba-tiba ia ingat suatu apa,
hingga alisnya dikerutkan.
"Lelaki ini terang adalah si orang bertopeng tetapi aneh sekali perbuatannya,"
demikian ia berpikir. "Dia bersama orang-orangnya Yasian berada di dalam pesanggrahan See To, dia juga
kemudian memanggil Tjioe San Bin untuk menolongi kita. Kenapa sekarang dia
menyulitkan djiesoepee?"
Ia lantas menoleh, ia tampak In Loei tengah mendatangi dengan cepat. Ketika itu
jarak antara mereka berdua ada kira-kira setengah lie. Ketika ia berpaling
kepada kudanya, ia dapatkan Tjiauwya saytjoe ma tengah saling menjilat dengan
kuda Tiauw Im Hweeshio, ialah kuda putih yang tadi terlihat dari jauh. Kuda
putih itu adalah binatang tunggangan Thio Tjong Tjioe. Ketika dahulu Tiauw Im
pergi ke Watzu di mana ia menyatroni rumah Tjong Tjioe, selagi ia terancam
Panji Sakti 10 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Pedang Semerah Darah 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama