Ceritasilat Novel Online

Duel Di Butong 1

Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 1


PENDEKAR 4 ALIS DUEL DI BUTONG Lereng yang mereka lalui tandus tanpa tetumbuhan
apapun, batu padas licin dan tajam! Mendadak
Hoa-kuahu berhenti dan memandang kaki sendiri,
kakinya yang putih halus itu tampak melepuh dan
berdarah. "Engkau tidak bersepatu?" tanya Siau-hong.
"Tidak," jawab si janda dengan tertawa. "Biasanya
aku sangat jarang berjalan."
Ternyata sepatu pun tidak dipakainya dan segera
ikut pergi bersama Siau-hong, malahan tidak
membawa apapun. "Engkau tidak menghendaki apapun dan cuma
minta kuikut pergi bersamamu, lalu apa yang perlu
kubawa?" ucap Hoa-kuahu dengan muka pucat
karena kaki kesakitan namun tetap tertawa lembut.
"Di dunia ini masakah ada yang lebih berharga
daripada cinta sejati?"
Siau-hong memandangnya, rasa hangat membanjiri
hatinya. Dipondongnya Hoa-kuahu dan melintasi
lereng ini. Si janda berbisik di tepi telinga Siauhong, "Sekarang Sebun Jui-soat pasti menganggap
engkau sudah mati, asalkan kau suka, kita dapat mencari suatu tempat yang aman
dan tenang untuk hidup seterusnya."
"Sebenarnya aku sudah bertekad akan mati bagi Lau-to-pacu, tapi telah kutemukan
dirimu," sambungnya pua. "Dia juga tidak berkeras menghendaki aku tinggal di sana, maka
kuharap seterusnya dia akan melupakan si janda ini. Aku she Liu, bernama Jingjing." Jing-jing artinya hijau menghijau. Rerumputan di depan memang hijau, dedaunan
juga menghijau. Siau-hong tidak langsung menuju ke sana, dia tidak lupa di depan itulah hutan
pemakan manusia. Mereka berduduk di ketinggian tanah di tepi hutan, di atas tanah berumput yang
penuh dedaunan rontok. Aneh juga, tengah musim semi, masa daun sudah rontok" Siau-hong memungut sehelai
daun itu, hanya dipandangnya sekali, mendadak tangannya berkeringat dingin.
Segera si janda alias Liu Jing-jing dapat melihat perubahan air muka Liok Siauhong itu, cepat ia tanya, "Apa yang kau lihat?"
Siau-hong menunjukkan pangkal daun rontok itu dan berkata, "Daun ini bukan
rontok tertiup angin." Pangkal daun rontok itu ternyata rajin dan rata.
Liu Jing jing juga berkerut kening, ucapnya, "Bukan rontok tertiup angin, apakah
rontok karena tabasan pedang?"
"Bukan ketajaman pedang, tetapi hawa pedang," tukas Siau-hong.
Air muka Liu Jing-jing juga berubah, pedang di tangan siapa yang mampu
memancarkan hawa pedang setajam ini"
Segera Siau-hong memungut lagi sehelai bulu yang juga rontok oleh karena hawa
pedang. Di hutan ini ada burung, dan burung dapat dijadikan santapan. Tapi di dunia ini
ada berapa orang yang mampu membuat burung terbang jatuh dengan hawa pedang"
Siapa lagi kecuali Sebun Jui-soat.
Liu Jing-jing tidak dapat tertawa lagi, "Apakah dia belum pergi?" tanyanya.
"Biasanya dia tidak mudah kehilangan akal," ujar Siau-hong dengan tersenyum
getir. Liu Jing-jing menunduk, "Kutahu bagaimana bentuknya, pernah kulihat dia." Tibatiba ia mendongak pula dan berkata, "Tapi kita pun tidak perlu takut, dengan
tenaga gabungan kita berdua masakah tidak mampu melawannya?" Siau-hong
menggeleng. "Tetap kau takut padanya?" Jing-jing menegas. "Sebab apa?" Siau-hong juga
menunduk, ucapnya dengan menyesal, "Sebab aku merasa malu."
"Apakah benar engkau pernah berbuat seperti apa yang dituduhkan padamu?"
"Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan," ujar Siau-hong.
"Tapi engkau bukanlah seorang yang ceroboh." "Orang yang tidak cereboh juga
dapat berbuat ceroboh." Tambah rawan air muka Jing-jing, "Kau kira kita pasti
tidak dapat keluar dari hutan ini?"
"Ya, sebab itulah sekarang kita hanya ada satu jalan." "Jalan mana?"
"Jalan kembali ke sana."
Jing-Jing memandangnya dengan terkesiap, "Kembali lagi ke Yu-leng-san-ceng?"
"Kemana pun selalu ada yang sedang menungguku, tapi kan lebih baik daripada mati
konyol di dalam hutan."
Di tengah lembah masih penuh awan dan kabut, kembali ke sini sama sukarnya
seperti kalau mau pergi. Sesosok bayangan orang melayang-layang dari lereng
depan sana seolah-olah mengapung di tengah awan. Itulah Kau-hun-sucia.
Meski dia tidak berwajah, tidak punya nama, tapi dia punya tangan dan berpedang.
Pedang sudah terhunus dan siap menyerang.
Ia pandang Siau-hong dengan dingin, lalu menegur, "Kau sudah pergi, mengapa
kembali lagi?" "Sebab aku rindu rumah," jawab Siau-hong dengan tertawa.
"Di sini bukan rumahmu," ucap Kau-hun-sucia.
"Mestinya bukan, tapi sekarang rumahku, sebab tiada tempat lain lagi yang dapat
kutuju." "Kau lihat apa yang kupegang?"
"Seperti sebilah pedang."
"Asal dapat kau kalahkan pedangku ini segera kulepaskan kau lewat."
"Kukira lebih baik jangan kau coba."
"Memangnya kau yakin dapat mengalahkan pedangku?" jengek Kau-hun-sucia.
"Aku tidak yakin, sedikitpun tidak. Namun paling sedikit aku sanggup menahan
sepuluh jurus seranganmu."
"Lantas bagaimana kalau dapat menahan sepuluh jurus?"
"Dari kesepuluh jurus seranganmu kuyakin dapat mengenali gaya ilmu silat dan
asal-usulmu," Siauhong tertawa, lalu menyambung, "Kukira kau pasti tidak suka
asal-usulmu diketahui orang."
Kau-hun-sucia tidak bicara lagi, urat hijau pada punggung tangannya yang
memegang pedang tampak menonjol.
Siau-hong tidak lagi memandangnya lalu melangkah lewat dengan tenang di bawah
pedang orang, terpaksa Liu Jing-jing mengintil di belakangnya. Tangan Kau-hunsucia tampak gemetar, cahaya pedang juga gemilap. Siau-hong tetap tidak menoleh,
baju Liu Jing-jing sudah basah oleh keringat, dapat dilihatnya Liok Siau-hong
sama sekali tidak siaga, apabila pedang orang menusuk, cukup sekali saja pasti
dapat membinasakan dia. Akan tetapi Kau-hun-sucia justru menyaksikan Siau-hong berlalu begitu saja,
sampai sekian jauh barulah pedang diturunkan. Terdengar suara nyaring dan
letikan bunga api, sepotong batu karang pecah menjadi beberapa bagian.
Diam-diam Liu Jing-jing melirik ke belakang, kembali keringat dingin membasahi
telapak tangannya. Batu karang di pegunungan ini sangat keras, biarpun dipalu
juga sukar pecah, maka dapat dibayangkan betapa kuat tabasan pedang Kau-hunsucia. Belum seberapa jauh, terlihatlah seorang berbaju kelabu dan bercaping sedang
berjalan di depan. "Lau-to-pacu!" seru Siau-hong. Orang itu tidak menjawab. Siau-hong ingin
menyusulnya, tapi meski tampaknya orang di depan berjalan dengan seenaknya,
Siau-hong justru tidak dapat menyusulnya. Ketika Siau-hong tidak menyusul lebih
lanjut, mendadak si baju kelabu di depan berkata, "Kau bukan jenis orang yang
sembarangan menyerempet bahaya dengan mempertaruhkan jiwamu, berdasarkan apa kau
yakin dia pasti tidak membunuhmu."
Baru sekarang Siau-hong tahu segala urusan sukar mengelabui Lau-to-pacu, agaknya
segala sesuatu yang terjadi di sini selalu dikontrolnya dengan baik. Terpaksa ia
bicara terus terang. "Sebab kulihat mukanya itu rata bekas disayat pedang,
dengan ilmu pedangnya yang tinggi itu, di dunia ini cuma ada seorang yang mampu
meratakan mukanya." "Siapa?" tanya Lau-to-pacu.
"Dia sendiri," kata Siau-hong. Lau-to-pacu mendengus tanpa bicara.
"Jika dia lebih suka merusak mukanya sendiri daripada orang mengenali siapa dia,
dengan sendirinya dia juga tidak mau asal-usulnya kuketahui, maka kuyakin dia
pasti takkan turun tangan padaku."
Mendadak Lau-to-pacu menoleh dan menatapnya dengan tajam, "Sedemikian
keyakinanmu, apakah lantaran sudah dapat kau terka siapa dia?"
Siau-hong tertawa, ucapnya, "Aku cuma kebetulan teringat kepada sesuatu
peristiwa masa lampau."
"Uraikan!" dengus Lau-to-pacu.
"20 tahun yang lalu, jago pedang Bu-tong-pay yang paling terkenal ialah Ciok Ho,
yang paling besar harapan untuk mengembangkan kejayaan Bu-tong-pay juga dia.
Namun pada saat dia hampir diangkat sebagai pejabat ketua, mendadak di dunia
Kangouw tersiar berita kematiannya. Padahal waktu itu usianya baru 40-an, dalam
keadaan sehat dan kuat mengapa mati mendadak. Maka orang sama menaruh curiga
terhadap kematiannya itu."
"Dengan sendirinya macam-macam isyu lantas tersebar, ada yang bilang dia tidak
patuh kepada peraturan sehingga dipecat dari perguruannya, karena penasaran
lantas membunuh diri. Sebaliknya aku menyangsikan dia masih hidup dengan baik di
dunia ini, tapi sengaja mengasingkan diri karena malu bertemu orang luar."
Lau-to-pacu mendengarkan dengan tenang, selesai Siau-hong bicara barulah ia
menjengek, "Dan kau mestinya juga tidak perlu lagi menemui aku."
"Tapi aku pun tahu engkau pasti takkan membunuhku," kata Siau-hong.
"Apa dasarmu?" bentak Lau-to-pacu dengan bengis.
"Kutahu saat ini engkau sangat memerlukan tenaga, engkau juga tahu aku ini
seorang yang sangat berguna."
"Kenapa aku harus mempergunakan dirimu?"
"Untuk melakukan pekerjaan besar harus memakai orang yang berguna."
"Kau tahu ada pekerjaan besar yang akan kulaksanakan?"
"Untuk membangun pangkalan ini entah berapa banyak kau keluarkan tenaga dan
pikiran serta harta benda, untuk tetap mempertahankannya terlebih tidak gampang.
Biarpun ada peraturanmu yang mengharuskan pembayaran sepuluh laksa tahil perak
bagi setiap orang yang mengadakan kontrak denganmu, kukira tetap belum tentu
dapat menutup pembiayaanmu, umpama dapat untung sedikit, dengan pribadimu kukira
juga takkan bersusah payah hanya untuk mencari sedikit keuntungan ini."
"Bicara terus," dengus Lau-to-pacu.
"Maka dapat kupastikan perbuatanmu ini pasti ditopang oleh sesuatu rencana lain,
dengan kepintaranmu, apa yang kau rancang pasti sesuatu urusan yang besar."
Lau-to-pacu memandangnya dengan dingin, sorot matanya tambah tajam, mendadak ia
membalik tubuh dan berkata, "Ikut padaku!"
Pada ujung jalan kecil yang berliku itu ada sebuah rumah batu berbentuk kuno dan
sederhana, pajangan di dalam rumah juga bersahaja, bahkan terasa agak seram,
jelas jarang dihuni orang.
Akan tetapi sekarang di dalam rumah sudah menunggu tiga orang. Tiga orang yang
seharusnya sudah mati. Mereka adalah Kaucu, Piauko dan Koan-keh-po. Ketiga orang
ini berdiri di samping sebuah meja pemujaan bertabir kuning, wajah mereka sama
tersembul senyuman licik dan sama melirik kedatangan Liok Siau-hong.
Meski Siau-hong berusaha mengekang perasaan sendiri, tidak urung ia kelihatan
sangat terkejut. "Sekarang tentunya kau paham semuanya?" kata Lau-to-pacu.
"Tidak, aku tidak paham," ujar Siau-hong dengan menyengir.
"Dari awal hingga akhir urusan ini memang sebuah perangkap belaka," kata Lau-topacu pula. Namun Siau-hong tetap menggeleng tidak paham.
"Apa yang dilakukan mereka, semuanya akulah yang mengatur, tujuannya hanya untuk
menguji dirimu." "Engkau mencurigai aku ini agen rahasia musuh yang sengaja diselundupkan ke
sini?" tanya Siauhong.
"Aku curiga terhadap siapa pun," jawab Lau-to-pacu. "Setiap orang di sini sudah
pernah mengalami ujian, yang terbunuh oleh Koh Hui-hun adalah orang yang tidak
tahan uji." Akhirnya Siau-hong paham, "Jadi sengaja kau lepaskan aku pergi, tujuanmu juga
untuk menguji diriku apakah aku benar-benar terdesak oleh Sebun jui-soat hingga
menghadapi jalan buntu, begitu?"
"Dan kalau engkau tidak putar balik ke sini, saat ini kau pasti sudah binasa di
tengah hutan pemakan manusia itu," tukas Lau-to-pacu.
"Tentunya juga telah kau perhitungkan aku akan membawa pargi Liu Jing-jing,
kebetulan dapat kau suruh dia membinasakan diriku," sambung Siau-hong.
"Hal itu justru di luar dugaan, jika kau tidak putar balik, dia juga akan ikut
mati bersamamu." Tanpa terasa Siau-hong berpaling, ternyata Liu Jing-jing juga sedang
memandangnya. Keduanya tidak bicara, apapun yang hendak mereka katakan seolaholah sudah terucapkan seluruhnya ketika keduanya beradu pandang tadi.
Lau-to-pacu memandangi mereka, setelah Liok Siau-hong berpaling kembali barulah
ia berkata pula, "Dan sekarang bukankah kau sudah paham mengapa aku bertindak
demikian?" Siau-hong mengangguk, "Engkau ingin tahu apakah aku ini berharga dipergunakan
olehmu atau tidak." "Betul, engkau memang boleh," ujar Lau-to-pacu. Mendadak suaranya berubah kalem,
"Baik, ilmu silat maupun kecerdasanmu, semuanya boleh. Yang lebih penting lagi,
engkau tidak bardusta di hadapanku."
"Jika sudah jelas tak dapat berdusta padamu, untuk apa pula aku berbohong?" ujar
Siau-hong sambil menyengir.
"Engkau orang pintar, aku suka kepada orang pintar, sebab itulah selanjutnya
engkau adalah sekutuku, asalkan tidak keluar perkampungan ini, apapun boleh kau
lakukan. Kupercaya orang pintar seperti kau pasti takkan berbuat sesuatu
ketololan." Lalu ia berpaling dan memberi pesan kepada Koan-keh-po, "Sampaikan perintahku,
malam ini mengadakan perjamuan besar untuk memberi selamat datang padanya."
Koan-keh-po lantas mengundurkan diri, begitu pula Piauko dan Kaucu.
Tiba-tiba Lau-to-pacu berkata pula, "Rumahmu sudah dirusak orang, mulai hari ini
boleh kau pindah ke tempat Jing-jing sana."
Siau-hong menjadi ragu, ucapnya, "Tapi engkau
"Aku sudah tua," sela Lau-to-pacu, "orang tua biasanya suka lupa kepada hal-hal
yang telah lalu." Dia berbangkit menghadapi pemujaan, ucapnya pula dengan perlahan, "Hanya ada
satu hal tidak pernah kulupakan, sampai waktunya nanti pasti akan kuberitahukan
padamu." Siau-hong tidak bertanya lagi, ia tahu setiap kata ucapan Lau-to-pacu adalah
perintah. Santapan yang disuguhkan sangat baik dan banyak, terdiri dari 12 macam masakan.
Bentuk meja perjamuan juga agak istimewa, delapan belas meja panjang melingkar
menjadi bentuk persegi. Lau-to-pacu berduduk di tengah, di sebelah kirinya ialah
Liok Siau-hong. Pandangan semua orang terhadap Liok Siau-hong sekarang sudah berbeda daripada
dua hari yang lalu, dia bukan saja tamu utama perjamuan ini, bahkan dia mendadak
berubah menjadi orang kepercayaan Lau-to-pacu.
Orang pertama yang berdiri menyampaikan selamat padanya ialah si kait Hay Kikoat, menyusul lantas Piauko, Koan-keh-po dan Tokko Bi.
Hanya Yap Ling saja yang diam saja, sejak awal hingga akhir tidak melirik
sekejap pun kepada Siau-hong, sebab yang duduk di sampingnya ialah Liu Jingjing, janda pemakan manusia ini seperti sudah berubah juga, berubah menjadi
tenang dan lembut. Lau-to-pacu tetap memakai capingnya yang berbentuk aneh itu, sampai Liok Siauhong yang duduk di sampingnya juga tidak dapat melihat jelas wajahnya.
Sedikit sekali Lau-to-pacu minum arak, makannya juga sangat sedikit, bicaranya
pun tidak banyak. Namun setiap orang yang me-mandangnya pasti memperlihatkan sikap yang patuh dan
hormat. Orang yang hadir jauh lebih banyak daripada biasanya, selu-ruhnya berjumlah 59
orang. Kebanyakan tidak dikenal Liok Siau-hong, tapi dapat dibayangkannya orang-orang
ini pasti mempunyai sejarah hidup yang gilang-gemilang, jika bukan anak keluarga
kaya-raya tentulah tokoh yang menjagoi satu wilayah, bukan saja kedu-dukannya
tinggi, kungfunya pasti juga tidak rendah, kalau tidak, tentu tidak memenuhi
syarat untuk masuk ke Yu-leng-san-ceng ini.
"Apakah orangnya sudah lengkap hadir?" demikian Siau-hong bertanya dengan suara
tertahan.

Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya dua orang yang tidak hadir," jawab Liu Jing-jing dengan lirih. "Yang
seorang ialah Kau-hun-sucia, biasanya dia me-mang tidak suka berkumpul dengan
orang lain." "Dan siapa seorang lagi?" tanya Siau-hong.
"Kakak Yap Ling, namanya Yap Soat," tutur Jing-jing. "Dia suka berburu, kalau
keluar biasanya sampai belasan hari baru pu-lang."
"Mengapa dia boleh pergi datang dengan bebas?" "Lau-to-pacu sudah memberi izin
khusus padanya," jengek Jing-jing. "Perempuan ini memang makhluk aneh, apa yang
hendak dilakukannya tidak ada orang mampu merintanginya. Seumpama berada di
sini, biasanya dia juga tak suka bicara dengan orang lain."
"Mengapa begitu?" tanya Siau-hong.
"Sebab dia merasa dirinya jauh lebih hebat dari orang lain,"
Jelas Jing-jing tidak suka membicarakan perempuan ini, juga tidak suka
membicarakannya dengan Liok Siau-hong. Tapi ternyata mereka juga tidak dapat
bicara lebih lanjut, sebab orang yang baru dibicarakan segera juga muncul.
Mendadak seekor macan tutul melompat masuk dari luar pintu dan terbanting di
depan meja perjamuan dengan keras.
Yap Soat juga ikut melayang masuk bersama macan tutul itu, begitu macan tutul
jatuh ke lantai, Siau-hong lantas dapat melihat orangnya.
Serupa macan tutul, selain cantik, orang ini juga cepat, gesit, dingin dan
kejam, bedanya adalah macan tutul itu sudah mati, mati terbunuh olehnya.
Termasuk macan tutul yang sekarang, sudah ada 13 ekor macan tutul yang terbunuh
olehnya. Hampir segenap macan tutul yang berkeliaran di sekitar lembah ini mati di
tangannya. Nona ini gemar memburu, lebih-lebih memburu macan tutul.
Padahal di antara binatang buas, yang paling ganas dan cekat-an, yang paling
sukar dihadapi adalah macan tutul.
Biasanya biarpun pemburu yang berpengalaman juga tidak be-rani memburu macan
tutul sendirian, hampir tidak ada orang yang berani melakukan perbuatan yang
bodoh dan berbahaya ini. Tapi nona ini justru berani dan sudah dilakukannya.
Dia seorang perempuan yang pendiam, namun dia memburu macan tutul.
Watak yang ruwet dan bertentangan itu menciptakan semacam kekuatan khas padanya.
Sampai Liok Siau-hong pun tidak pernah melihat perempuan semacam ini, dia
memandangnya dengan terkesima hingga lupa di sampingnya berduduk Liu Jing-jing.
Tapi dari awal hingga akhir Yap Soat hanya menatap Lau-to-pacu dengan mukanya
yang pucat, katanya tiba-tiba, "Kau tahu Piaukoku (maksudnya Yap Koh-hong) sudah
mati?" Lau-to-pacu mengangguk. "Kau tahu siapa yang membunuhnya?" tanya Yap Soat pula. Kembali Lau-to-pacu
mengangguk. "Siapa?" Yap Soat menegas.
Mencelos hati Liok Siau-hong tiba-tiba, ia tahu seorang wanita pemburu harimau
tutul tentu dapat berbuat apapun jika ingin me-nuntut balas. Dan dia tidak ingin
menjadi macan tutul yang akan diburunya.
Akan tetapi jawaban Lau-to-pacu sangat di luar dugaannya, "Sebun Jui-soat."
Air muka Yap Soat bertambah pucat, kedua tangannya menda-dak terkepal erat.
"Tentunya kau ingat dahulu Piaukomu sudah menyatakan bila dia mati di tangan
Sebun Jui-soat maka siapa pun dilarang menuntut balas baginya, sebab apa yang
terjadi pasti suatu pertarungan yang adil."
Maksud Yap Koh-hong tentunya juga agar orang yang hendak menuntut balas baginya
tidak binasa pula di bawah pedang Sebun Jui-soat.
Bibir Yap Soat tampak gemetar, tangan yang mengepal juga gemetar, mendadak ia
berduduk dan berucap, "Ambilkan arak!"
Yang membawakan arak ialah Koan-keh-po, seguci arak yang baru dibuka.
Sama sekali Yap Soat tidak meliriknya, ia hanya mendengus, "Sebaiknya kau
menyingkir agak jauh, makin jauh makin baik."
Dan Koan-keh-po benar-benar menyingkir, sangat jauh ia menyingkir.
"Siapa yang mau mengiringi aku minum?" kata Yap Soat pula.
"Aku!" Hay Ki-koat mendahului.
"Kau tidak setimpal," jengek Yap Soat.
Mendadak Lau-to-pacu menepuk bahu Liok Siau-hong, per-lahan Siau-hong lantas
berbangkit dan mendekati Yap Soat.
Akhirnya Yap Soat memandangnya sekejap dan berucap, "Kau inikah Liok Siau-hong?"
Siau-hong mengangguk. "Dapat kau milium arak?" "Dapat."
"Baik, ambilkan mangkuk besar!"
Segera mangkuk yang diminta diantarkan. Mangkuk sangat besar, dia minum habis
satu mangkuk, Siau-hong juga minum satu mangkuk. Yap Soat tidak bicara, Siauhong juga tidak buka mulut. Ia tidak memandang Siau-hong lagi, Siau-hong juga
tidak menghi-raukannya. Kedua orang lantas berduduk berhadapan di lantai dan
minum arak semangkuk demi semangkuk.
Sedikithya sudah belasan mangkuk arak terminum, tapi wajah Yap Soat tetap putih
kepucatan. Arak seguci terminum habis, lalu dia berbangkit dan melang-kah pergi tanpa
berpaling, juga tidak berucap lagi sepatah kata pun.
Waktu Siau-hong berdiri kepala pun terasa rada pening.
"Bagaimana?" tanya Lau-to-pacu.
Siau-hong menyengir, "Tak kusangka sehebat ini takaran mi-numnya, sungguh tak
terduga." Tiba-tiba Lau-to-pacu menghela napas, "Aku pun tidak men-duga, selama ini tidak
pernah kulihat dia minum arak."
Siau-hong sangat terkejut dan menegas, "Tidak pernah kau lihat dia minum arak?"
Bagi seorang yang kepala sudah pening terlalu banyak me-nenggak arak, rasanya
tidak ada urusan lain yang lebih menarik baginya daripada sebuah tempat tidur,
apalagi tempat tidur ini sangat longgar dan empuk.
Tapi sayang, justru ada seorang tidak membiarkan Siau-hong berbaring dengan
enak. Begitu masuk rumah segera Liu Jing-jing mencari seguci arak, ia duduk di lantai
dan berseru, "Siapa yang akan mengiringiku minum arak"!"
Siau-hong memandang kian kemari, lalu ucapnya sambil menyengir, "Tampaknya dalam
rumah ini hanya ada diriku seorang?"
"Kau dapat minum?" tanya Jing-jing. "Bolehkah aku tidak minum?" "Tidak boleh."
Teipaksa Siau-hong berduduk dan mengiringinya minum. Pa-da waktu berduduk, dia
sudah siap untuk mabuk. Dan dia benar-benar mabuk.
Waktu mendusin, Jing-jing sudah tidak berada di dalarn rumah, dia berbaring
sendirian di tempat tidur, sepatu pun tidak dico-pot, kepala masih sakit seakanakan mau pecah. Dia tidak ingin bangun, juga tidak sanggup bangun rasanya, namun di luar jendela
justru ada orang memanggilnya.
Daun jendala terbuka, yang memanggilnya ialah Tokko Bi, katanya, "Sudah tiga
kali kudatang dan melihat tidunnu sangat nye-nyak, tidak berani kubangunkan
kau." "Ada keperluan apa kau cari aku?" . "Keperluan sih tidak ada, cuma sudah lama
tak bertemu, ingin mengobrol denganmu."
Apapun juga orang kan sahabalnya. Jika sahabat datang meng-ajaknya mengobrol,
biarpun kepala sakit juga sukar ditolaknya.
"Sebaiknya kita mengobrol di luar, kutakut melihat si janda Hoa itu," kata Tokko
Bi. Di luar masih tetap berkabut, lembab dan dingin, sangat ber-faedah bagi seorang
mabuk yang belum siuman seluruhnya.
Luka Tokko Bi sudah sembuh dengan cepat, tampaknya dia menahan sesuatu pikiran,
katanya, "Sebenarnya sudah lama ingin kucari dirimu, cuma kutakut engkau marah padaku."
"Mengapa harus kumarah padamu?"
"Sebab aku yang memperkenalkan Kaucu dan lain-lain padamu, sungguh aku tidak
tahu mereka akan membikin susah padamu."
Siau-hong tertawa, "Dengan sendirinya engkau tidak tahu, engkau adalah
sahabatku, selalu kau bantu diriku."
Tokko Bi tampak ragu, akhirnya dia tabahkan diri dan berucap, "Namun semalam
kembali aku berbuat sesuatu kesalahan lagi."
"Urusan apa?" tanya Siau-hong.
"Semalam aku pun mabuk, tanpa sadar telah kubocorkan
rahasiamu, sekarang mereka bertiga sudah mengetahui Yap Koh-hong mati di
tanganmu." Mereka bertiga yang dimaksud tentu saja Piauko, Kaucu dan Koan-kek-po.
Maka Siau-hong tidak dapat tertawa lagi. Meski baru bertemu satu kali, namun dia
sudah cukup memahami orang semacam Yap Soat, terlebih memahami pribadi Yap Ling.
"Konon orang di sini yang paling sulit direcoki ialah mereka kakak beradik,
mereka mengetahui kejadian ini, tentu mereka akan mencari dan mengadu jiwa
denganmu," tutur Tokko Bi dengan sim-patik. "Meski engkau tidak takut, tapi
serangan terang mudah diha-dapi, sergapan secara gelap sukar dijaga. Maka kukira
"Kira apa?" tanya Siau-hong.
"Sebaiknya kau cari akal untuk menyumbat mulut mereka."
Kembali Siau-hong tertawa, dia paham maksud Tokko Bi, katanya, "Kau minta aku
bersikap bersahabat dengan mereka dan ja-ngan memusuhi mereka. Jika mereka ada
keperluan mencariku sebaiknya jangan kutolak permintaan mereka begitu?"
Mendadak Tokko Bi memandangnya fekat-lekat dan meng-genggam tangannya, lalu
ucapnya, "Sungguh aku bersalah padamu, maaf."
Habis berkata ia lantas pergi.
Memandangi Ienyapnya bayangan punggung orang, sungguh Siau-hong tidak mengerti
sesungguhnya orang ini seorang sahabat atau seorang yang setiap saat dapat
menjual sahabat. Sekarang dia cuma dapat memastikan sesuatu hal, yaitu sele-kasnya Kaucu dan
lain-lain pasti akan mencarinya.
Dan apa yang akan terjadi" Sungguh tak berani dipikirnya, juga tidak sempat
untuk memikirkannya, sebab pada saat itu juga cahaya pedang lantas berkelebat,
ada orang menusuknya. Saat itu sudah cukup lama Tokko Bi pergi, sudah sekian jauh-nya Siau-hong
berjalan dan sudah dekat tempat tinggal Liu Jing-jing. Sinar pedang justru
menyambar turun dari balik emper, cepat lagi jitu, juga ganas.
Tak diduganya di tempat ini masih ada orang yang hendak menyergapnya, dalam
keadaan demikian sudah tiada peluang baginya untuk mengelak. Untung dia Liok
Siau-hong, juga untung dia mempunyai tangan. Mencjadak ia menjulurkan kedua
jarinya dan menjepit.... Meski setiap manusia di dunia ini hampir seluruhnya berta-ngan dan berjari, tapi
tidak perlu disangsikan lagi kedua jari Liok Siau-hong inilah paling berharga,
sebab kedua jari ini sudah sering menyelamatkan dia dari marabahaya. Dan sekali
inipun tidak terke-cuali. Sekali menjepit, mata pedang orang sudah terkatup
kencang di tengah jarinya.
Mata pedang yang tajam dan kuat itu tidak dapat terlepas dari jepitan kedua
jarinya. Waktu ia mendongak, dilihatnya sepasang mata yang indah dan dingin, Yap
Soat sedang memandangnya.
Siau-hong menghela napas, ucapnya, "Kau sudah tahu semuanya?"
Sampai lama Yap Soat menatapnya, kemudian baru mengangguk, "Ya, sekarang baru
kutahu Liok Siau-hong memang tidak malu sebagai Liok Siau-hong, ternyata aku
tidak salah mencari orang."
Suaranya tidak mengandung rasa dendam dan benci, segera Siau-hong bertanya, "Kau
datang untuk mencariku atau hendak membunuhku?"
"Aku cuma ingin membuktikan jurus andalanmu yang termas-hur ini." jawab Yap
Soat. "Bahwa kau mampu menyambut tusukan pedangku ini berarti engkau adalah
orang yang ingin kucari."
"Dan bila kumati di bawah pedangmu?"
"Itupun salahmu sendiri."
"Jadi sekarang aku ini orang yang hendak kau cari?" tanya Siau-hong pula.
"Ya, ikut padaku," Yap Soat mengangguk.
Mereka menuju ke hutan yang lebat, setelah melintasi lereng lagi, terdengarlah
suara gemercik air. Air yang mengalir tidak keras dan membentuk sebuah kolam di tempat ini,
.sekelilingnya pegunungan menghijau permai, kabut pun tipis. Jika seorang dapat
duduk tenang sekian lama di tepi kolam ini, tentu banyak kekesalan akan
terlupakan. "Sungguh tak tersangka di Yu-leng-san-ceng juga terdapat tempat seindah dan
setenang ini," gumam Siau-hong. Biasanya anak kecil ada tempat bermain sendiri yang dira-hasiakan, jelas tempat
ini milik Yap Soat. Tapi untuk apa dia mem-bawa Liok Siau-hong ke sini"
"Sesungguhnya apa kehendakmu?" tanya Siau-hong.
Yap Soat berdiri di tepi kolam dan memandang jauh ke sana, membiarkan rambutnya
yang hitam halus dan panjang terurai. Su-aranyajuga halus bening serupa air
kolam yang jernih. Tapi apa yang diucapkannya sungguh membuat orang terpe-ranjat, dia bilang,
"Kuminta kau jadi suamiku."
Keruan Siau-hong melengak dan merasa napas sendiri mendadak berhenti.
Yap Soat membalik tubuh ke sini dan menatap Siau-hong dengan pandangan yang
bening. "Aku masih perawan," sambungnya pula. "Selamanya belum pernah disentuh
lelaki mana pun." Malahan ia lantas menjamin pula, "Sesudah kukawin dengan-mu, pasti juga tiada
lelaki lain yang akan menyentuhku."
Siau-hong menarik napas dalam-dalam, ucapnya, "Aku per-caya."
"Dan kau mau?" tanya Yap Soat.
"Kukira masih ada syarat lain yang kau minta dariku?"
"Apa yang kuminta kau lakukan kan juga bermanfaat bagimu?" "Sedikitnya aku harus diberitahukan dahulu urusan apa?"
Kerlingan mata yang lembut tiba-tiba memancarkan sinar ta-jam, hanya orang yang
merasa dendam saja mempunyai sorot mata semacam ini, katanya, "Kuminta kau bantu
aku membunuh Sebun Jui-soat."
Siau-hong tidak memberi reaksi, permohonan ini tidak di luar dugaannya.
"Jika kita dapat menemukan dia, seketika dia akan turun tangan membunuhmu, sebab
dia pasti takkan memberi kesempatan lagi padamu untuk melarikan diri."
"Sebenarnya tidak perlu kita cari dia, asalkan aku keluar lembah ini, segera dia
akan mencari diriku," ucap Siau-hong dengan tersenyum getir.
"Kutahu," kata Yap Soat. "Jika hendak kucari dia tentu sangat sulit, kalau dia
yang mencari kemari barulah segalanya bisa berjalan lancar, makanya pilihanku
jatuh padamu." "Maksudmu agar kualihkan perhatiannya supaya kau sempat membunuh dia?"
Yap Soat tidak menyangkal, "Dia pasti tidak memperhatikan diriku, sebab dia
benci padamu, juga hakikatnya dia tidak tahu siapa diriku. Asalkan dapat kau
jepit mata pedangnya, pasti dapat kubunuh dia."
"Jika aku gagal?"
"Untuk menghadapi Sebun Jui-soat memang suatu tindakan yang sangat berbahaya,
namun sudah lama sekali kupikirkan, asalkan kau mau, sedikitnya ada tujuh bagian
kita akan berhasil."
"Mungkin kesempatanmu lebih dari tujuh bagian, sebab seum-pama aku gagal, pada
waktu ujung pedangnya masih bersarang di dadaku dapat juga kau bunuh dia," Siauhong tertawa dan menggeleng. "Hal ini tentu saja sudah kau pikirkan, maka kau
berani men-jamin padaku bahwa selanjutnya tidak bakal ada lelaki lain yang
berani menyentuhmu, sebab kau ingin aku mati dengan hati tenteram."
Yap Soat juga tidak menyangkal, "Memang sudah kupikirkan, kesempatanmu memang
tidak terlalu banyak, aku pun tahu engkau seorang penjudi, barang sesuatu yang
berharga untuk kau pertaruhkan tentu akan kau lakukan."
Sorot matanya tambah kuat, sampai lama barulah Siau-hong dapat mengalihkan
pandangannya, dan segera diketahuinya si nona sudah dalam ke adaan telanjang
bulat.... Puncak gunung menghijau permai dengan air kolam yang jernih, Yap Soat berdiri
diam di situ, membawa semacam kecan-tikan dan keangkuhan yang sukar dijelaskan.
Dia memang pantas angkuh, sebab tubuhnya yang perawan memang betul masih suci
bersih. Sampai lama ia pandang Siau-hong, katanya kemudian, "Asalkan kau mau, sekarang
juga aku akan menjadi milikmu."
Suaranya penuh rasa kepercayaan kepada dirinya sendiri, ia yakin tiada seorang
lelaki di dunia ini yang mampu menolaknya.
Napas Siau-hong serasa mau berhenti, sampai lama baru ia sanggup bersuara, "Jika
kutolak dirimu, tentu banyak orang akan mengira aku ini orang gila, namun aku
"Namun kau tolak diriku?" mencorong tajam pandangan Yap


Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soat. "Aku cuma minta kau tahu sesuatu," kata Siau-hong. "Coba katakan."
"Kakakmu tidak mati di tangan Sebun Jui-soat." "Darimana kautahu?"
"Sebab pada waktu dia mati, aku sendiri berdiri di depannya, darah yang muncrat
dari pedang hampir mengotori bajuku."
"Pedang siapa?" tanya Yap Soat.
"Pedang kakakmu sendiri!" jawab Siau-hong.
"Dusta! Kau bohong!" mendadak Yap Soat meraung seperti orang gila.
Setelah gema suara orang berhenti barulah Siau-hong berkata pula, "Engkau adalah
parempuan paling cantik yang pernah kulihat, dan mestinya dengan segera dapat
kumiliki dirimu, untuk apa aku berdusta?"
Suaranya dingin dan tajam, langsung menikam pada pusat per-soalan. Lalu ia
melangkah pergi cukup jauh barulah ia berpaling, dari celah dedaunan masih dapat
terlihat si nona. Dia masih berdiri tidak bergerak di sana, siapa pun tidak tahu bagaimana
perasaannya. Tiba-tiba Siau-hong rnerasa pedih. Jika orang lain dapat kau tusuk hingga sakit,
kau sendiri juga akan merasakan rasa sakit yang sama.
Sebab itulah Siau-hong hanya memandangnya sekejap, lalu tidak berpaling lagi.
Lembah hijau tenang dan permai, tubuh anak perawan yang putih mulus tanpa cacat,
kerlingan matanya yang lembut menggiur-kan ....
Sedapatnya Liok Siau-hong menahan perasaan dan tidak lagi membayangkannya, namun
ia pun tahu kenangan itu pasti akan ter-ukir selamanya di dalam lubuk hatinya.
Langkahnya sangat cepat, sudah cukup jauh dia berjalan, seha-rusnya dia sudah
berada kembali di jalan kecil itu, tapi waktu dia berhenti dan memandang
sekitarnya, ia merasa sudah tambah jauh berada di tengah pegunungan itu.
Segera ia menyadari apa yang terjadi, ia tersesat.
Yang menakutkan adalah kabut di sekelilingnya mulai tebal, bahkan jauh lebih
tebal daripada kabut di Yu-leng-san-ceng sana, betapa tajam pandangan seorang
juga sukar mencapai lebih daripada setombak jauhnya, bahkan menuju ke arah mana
pun ada kemung-kinan akan semakin jauh meninggalkan perkampungan hantu itu.
Namun Liok Siau-hong tetap ingin mencoba, dia bukan manu-sia yang suka berduduk
dan menunggu datangnya cuaca cerah.
Dia berjalan lagi sangat jauh dan tetap tidak menemukan jalan yang betul. Di
tengah hutan pegunungan yang tidak dikenal dengan kabut yang celaka ini sampai
kapan baru akan dapat menemukan jalan pulangnya"
Selagi dia mulai merasakan perut lapar dan badan penat serta berkuatir, tibatiba tereridus olehnya bau sedap penyelamat jiwa.
Meski sangat tipis bau sedap itu, tapi segera dapat dibedakan-nya itulah bau
kelinci panggang. Jauh pada waktu dia masih anak kecil, dia sudah menjadi pem-buru yang cekatan,
sesudah dewasa minatnya terhadap makanan bi-natang buruan tetap sangat besar.
Jelas kelinci tidak dapat memanggang dirinya sendiri, di tempat kelinci panggang
itu pasti ada manusia, padahal satu-satunya tempat yang ditinggali manusia di
sekitar sini adalah Yu-leng-san-ceng.
Dia menelan air liur, meski terasa tambah lapar, tapi sema-ngatnya terbangkit,
ia menahan napas dalam-dalam, segera dapat dibedakannya bau sedap ituu teruar
dari jurusan barat sana. Analisanya memang sangat tepat, sebab tidak jauh dia menuju ke sana, bau sedap
bertambah keras tercium. Lereng gunung di depan sana tampaknya bertambah curam, namun seperti semakin
menurun. Bau sedap kelinci panggang itu se-perti bercampur dengan semacam bau
lumpur busuk. Jelas andaikan ada manusia di tempat ini, pasti juga bukan orang Yu-leng-sanceng. Hati Liok Siau-hong kembali tenggelam, manusia macam apa-kah yang tinggal di
tempat begini" Sungguh sukar dibayangkannya.
Pada saat itulah di depan sana tiba-tiba menggema semacam suara aneh. Ia
percepat langkahnya, segera terlihat di tengah kabut tebal sana muncul sesosok
bayangan aneh. Dapat dilihatnya bayangan itu pasti bukan bayangan manusia, tapi juga tidak
serupa bayangan binatang, bahkan dia tidak dapat melukiskan bentuk bayangan aneh
ini. Akan tetapi, begitu melihat bayangan ini, seketika hatinya timbul semacam
perasaan takut dan mual, hampir saja ia tumpah.
Bayangan di depan seperti juga lagi bergerak dengan tidak tenteram, waktu Siauhong menabahkan diri dan menerjang ke sana, mendadak bayangan itu lenyap, lenyap
sama sekali, seperti halnya tidak pernah muncul.
Tanpa lerasa Siau-hong merinding, ia berdiri tercengang hingga lama, tiba-tiba
dirasakan "li tengah hembusan angin ada bau ha-ngus kayu dibakar.
Pasti di sinilah tempat kelinci dipanggang. Ia percaya dugaan sendiri pasti
tidak meleset. Akan tetapi di sekitar situ justru tidak ditemukan sesuatu bekas
apapun. Kalau orang lain pasti sudah dilalui saja tempat ini, bahkan cepat-cepat
melarikan diri. Namun Liok Siau-hong tidak mau me-ninggalkan barang sesuatu yang
belum jelas diketahuinya.
Lebih dulu belasan tombak di sekitar tempat ini dia lingkari dengan seutas tali
yang tidak kelihatan, lalu dia mulai melacak dengan cara seperti orang
menyingkap permadani. Tanah dan daun rontok tempat ini basah dan lernbab, inilah tandanya tempat ini
memang dekat dengan daerah rawa.
Ditemukannya sebagian tanah yang kelihatan kering, daun rontok di atasnya
tampaknya juga baru saja dipindahkan ke situ.
Ia lantas berjongkok dan menyingkirkan daun rontok itu, dengan hidung setajam
anjing pelacak ia mulai mencium tanah, bahkan dicomotnya sedikit tanah untuk
dicicipi rasanya. Dalam tanah ternyata benar ada rasa hangus kayu terbakar, bahkan terasa seperti
bercampur dengan rasa lemak kelinci panggang.
Segera ia menggali lebih dalam, ditemukannya sedikit ranting kayu kering dan
beberapa kerat tulang serta sebatang ranting ber-cabang yang biasanya digunakan
sebagai garpu panggang. Pada garpu panggang ini masih tersunduk sepotong sisa
daging kelinci yang bulu dan kulitnya terkerik bersih.
Hanya dengan tangan manusia saja dapat membuat garpu panggang seperti ini, hanya
gigi manusia saja dapat menggerogoti tulang sebersih ini, bahkan cuma manusia
saja yang makan daging bakar.
Kesimpulan Siau-hong, di tempat ini pasti ada orang.
Orang ini tidak cuma mempunyai sepasang tangan yang lincah dan cekatan, cara
kerjanya juga sangat cermat. Kalau bukan Liok Siau-hong, siapa pun sukar
menemukan tempat yang pernah digunakan untuk memanggang ini.
Lantas siapakah orang ini" Mengapa bisa datang ke sini" Apa-kah dia juga sedang
menghindari pengejaran orang lain"
Lalu barang apakah bayangan aneh yang meliuk-liuk tadi"
Sama sekali Siau-hong tidak mengerti, dan lantaran tidak bisa memecahkan soal
ini, dia tambah ingin tahu.
Baginya sekarang, dapat menemukan jalan untuk pulang sudah berubah tidak begitu
penting lagi. Sebab dia sudah bertekad akan menemukan jawaban pertanyaan ini.
Padahal jawabannya pasti terletak di sekitar tempat ini, namun di sekelilingnya
justru tidak ditemukan sesuatu bekas kaki.
Siau-hong berduduk, lebih dulu ia bersihkan daging kelinci panggang, lalu
disobeknya sepotong demi sepotong dan dimakan dengan perlahan.
Tidak bergaram, juga sudah terpanggang hangus, pula sudah tertanam di dalam
tanah, daging kelinci seperti ini dengan sendirinya terasa cemplang dan tidak
enak. Tapi sedapatnya Siau-hong ma-kan seluruhnya.
Untuk bekerja apapun diperlukan tenaga, kalau lapar, darima-na datangnya tenaga"
Sesudah perut terisi, rasanya menjadi jauh lebih enak. Dia ber-baring, ia ingin
istirahat sebentar, lalu akan mulai mencari lagi. Dengan sendirinya tidak pernah
terpikir olehnya bahwa sekali dia berbaring, hampir saja dia tidak mampu
berbangkit lagi untuk selama-nya.
Kabut tebal mengambang di sekeliling pepohonan laksana asap, baru saja Siau-hong
merebah, segera dirasakannya kabut asap ini menjauh serupa mega di langit,
segala apa terasa semakin jauh meninggalkan dia.
Dia merasa seperti terjeblos ke dalam sebuah gua yang menye-nangkan tapi tidak
ada dasarnya, segala apa di dunia ini berubah jauh sekali, berubah menjadi
sangat indah, urusan yang paling penting juga berubah tidak ada artinya lagi,
segala siksa derita terasa sudah mendapat pembebasan.
Perasaan lega dan nikmat sesungguhnya memang dicari oleh setiap orang, akan
tetap bagi Liok Siau-hong justru menimbulkan semacam rasa takut yang sukar
dijelaskan. Ia tahu dirinya pasti tidak mempunyai perasaan semacam ini. Juga tidak boleh
ada, sebab ia mengemban tugas berat, tidak mung-kin tugas ini ditinggalkan
begitu saja. Yang lebih menakutkan lagi adalah waktu dia ingin bangun, ia merasa tubuh
sendiri lemas sekali, seolah-olah segenap ruas tulang-nya terlepas.
Pada saat itulah, kembali dia melihat bayangan aneh itu.
Bayangan yang meliuk-liuk, di tengah kabut tebal kelihatan-nya serupa sebuah
boneka kain yang telah dirusak oleh tangan jahil anak kecil sehingga tidak
menyerupai manusia lagi. Sebab sekujur badannya kelihatan lemas, hampir setiap
bagian tubuhnya dapat meliuk-liuk dengan bebas.
Padahal tubuh manusia bertulang dan beruas. Manusia pasti tidak demikian
bentuknya, pasti tidak. Selagi Siau-hong hendak memusatkan perhatiannya pada sorot matanya yang buyar
agar dapat melihat lebih jelas, didengarnya si bayangan sedang berkata
kepadanya, "Engkau ini Liok Siauhong?"
Suaranya aneh, serak-serak basah dan lamban, tapi jelas suara manusia. Bayangan
ini bukan saja manusia, bahkan seorang yang kenal Liok Siau-hong.
Untung sekarang Siau-hong tidak lagi merasa kaget dan takut, kalau tidak, bisa
jadi dia akan ketakutan hingga gila.
Bayangan itu mengikik tawa, lalu katanya, "Konon Liok Siau-hong tidak pernah
keracunan, mengapa sekarang bisa keracunan juga?"
Hal ini memang sukar dimengerti oleh Siau-hong. Padahal biasanya, racun macam
apapun, asalkan terdapat setitik saja di dalam makanan atau minumannya pasti
akan segera diketahuinya.
Dengan tertawa si bayangan berkata pula, "Supaya kau tahu, yang kugunakan adalah
daun ganja, kusuka menggunakan daun gan-ja untuk memanggang daging. Setelah
kumakan akan terasa bahagia, seperti mau terbang ke langit, sebaliknya setelah
kau makan bisa berubah menjadi seekor babi mampus."
Lalu ia menjelaskan pula, "Tadi waktu kau cium bau sedap daging panggang, racun
ganja sudah kau isap setitik, sebab itulah ketika kau makan sisa daging panggang
itu tidak lagi ada prasang-kamu."
"O, jadi sengaja kau pancing kedatanganku,?"
Si bayangan menggeleng, "Sepotong sisa daging itu memang sengaja kutmggalkan,
kalau tidak, biarpun seekor kuda juga dapat kumakan habis."
Dia seperti sangat bangga terhadap ucapannya sendiri, hanya orang yang sudah
biasa hidup terpencil dan menyendiri dapat bicara dengan bergumam seperti ini,
hanya orang semacam ini yang bisa merasa senang terhadap ucapannya sendiri.
Setelah tertawa terkikik-kikik lagi sekian lamanya, lalu sam-bungnya lagi, "Jika
tidak kau temukan sisa daging panggang itu mungkin akan kulepaskan kau, malang,
daging itu dapat kau temukan."
"Malang?" Siau-hong menegas.
"Ya, malang bagimu, sebab tidak dapat kubiarkan orang mengetahui aku berada di
sini." Mendadak ia melompat maju dengan gerak tubuh yang sangat aneh, setiba di samping
Liok Siauhong, serentak ia.menutuk bebe-rapa Hiat-to hingga Siau-hong tambah
tidak bisa berkutik. Tangan orang tampaknya sebuah sarung tangan kulit ular yang sudah busuk, tapi
gerak tangannya ternyata sangat cepat dan jitu.
Dibandingkan bagian tubuhnya yang lain, tangan buruk ini masih mendingan. Tidak
ada orang yang mampu melukiskan ben-tuknya, tidak dapat dan tidak berani, Juga
tidak tega melukiskannya.
Meski hati Liok Siau-hong sama sekali berada dalam keadaan seperti alam kosong,
akan tetapi demi melihat jelas orang ini, tidak urung dia merinding dan mau
tumpah lagi. "Hm, sekarang dapat kau lihat diriku, apakah kau rasa mukaku sangat buruk?"
jengek si bayangan. Siau-hong tak dapat menyangkal. "Jika kau dijebloskan orang ke dalam jurang yang
beratus tombak tingginya, lalu terendam lagi belasan hari di dalam lumpur,
kuyakin kau pun akan berubah serupa diriku sekarang," kata orang itu, suara
tertawanya sekarang lebih pedih daripada orang menangis.
Lalu sambungnya, "Dahulu aku pasti tidak lebih buruk daripadamu, bahkan
terhitung seorang lelaki cakap."
Siau-hong tidak memperhatikan ucapan terakhir orang, ia lantas bertanya, "Kau
didorong orang dari ketinggian jurang, lalu terje-blos lagi belasan hari di
dalam lumpur, tapi engkau tidak mati?"
"Aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa tetap hidup," ujar si bayangan dengan
tersenyum pedih. "Rasanya Thian seperti mem-bantuku, tapi Thian seperti juga sengaja hendak
menyiksa diriku." Bahwa orang ini dapat hidup sampai sekarang memang benar-benar suatu keajaiban,
padahal keajaiban ini tidak lebih hanya ber-kat daun rontok yang membusuk itu.
Daun rontok yang membusuk di dalam rawa itu tumbuh semacam jamur yang aneh,
serupa semacam keajaiban, jamur ini dapat menyembuhkan infeksi pada luka
manusia. "Berkat barang-barang yang tidak membusuk semuanya di dalam lumpur itulah dapat
kutangsal perutku, belasan hari kemudian barulah aku merangkak keluar dari
rendaman lumpur," demikian tutur pula si bayangan. "Seterusnya dapat kuketahui,
lumpur itu seperti bermanfaat bagi Iukaku, maka setiap kali bilamana lukaku
mulai meradang, segera kubenamkan diriku di dalam lumpur, selama sekian tahun,
cara demikian telah menjadi kebiasaanku."
Akhirnya Siau-hong paham juga mengapa tubuh orang ini dapat meliuk-liuk
sesukanya seperti ular. "Akan tetapi siksaan sesungguhnya sukar ditahan," si bayangan bertutur lagi,
"syukurlah kemudian tanpa sengaja kutemukan bahwa daun ganja dapat menghilangkan
banyak penderitaanku, sebab itulah aku dapat bertahan hidup sampai sekarang."
Daya elastik hidup manusia memang sangat aneh, keajaiban penyesuaian di antara
berbagai makhluk dan benda di alam ini juga sukar dibayangkan oleh manusia.
Siau-hong menghela napas panjang, keadaan di depan mata-nya perlahan sudah mulai
normal lagi. Sejak tadi sekuatnya dia ber-usaha memusatkan pikiran sendiri, sayang meski
sekarang pengaruh obat bius sudah lenyap, namun Hiat-to justru tertutuk.
Tiba-tiba ia bertanya,- "Kau tahu aku bernama Liok Siau-hong, kau kenal diriku?"
"Tidak kenal, tapi pernah kulihat dirimu."
"Bilakah pernah kau lihat diriku?"
"Tadi," jawab si bayangan.
Tertarik hati Siau-hong, "Tadi kau lihat diriku?"
"Ya, setelah kau tahu rahasia diriku, seharusnya kubunuh dirimu untuk menyumbat
mulutmu, justru lantaran tadi kulihat dirimu, makanya dapat kau hidup sampai
sekarang." "Sebab apa?" Siau-hong tambah tidak mengerti.
"Sebab engkau ternyata tidak terhitung orang busuk, kesem-patan itu tidak kau
gunakan untuk mengotori A Soat."
Tiba-tiba suaranya berubah menjadi penuh perasaan dan berkata pula, "A Soat
adalah anak baik, aku tidak dapat membiarkan dia diganggu orang." ? ?
Siau-hong memandangnya dengan terkejut, "Engkau ini apanya?" Si bayangan tidak mau menjawab pertanyaan ini, dia berbalik bertanya, "Sebab apa
Sebun Jui-soat hendak membunuhmu" Ada permusuhan apa antara dia denganmu?"
Sejcnak Siau-hong merasa ragu untuk menjawab, akhirnya dia bicara terus terang,
"Dia memergoki bininya tidur bersatu ranjang denganku."
Si bayangan terdiam, sampai lama ia menatap Siau-hong, tiba-tiba tercetus suara
tertawanya yang aneh, ucapnya, "Hah, sekarang barulah kupaham apa sebabnya kau
datang ke Yu-leng-san-ceng."
"Ya, kudatang untuk menghindari pengejaran musuh," tukas Siau-hong.
"Tidak, bukan begitu."
"Jika kau saja tidak mau mati, dengan sendirinya aku pun tidak ingin mati."
"Kau pun tidak takut mati," kata si bayangan. "Kedatanganmu ke sini hanya ingin
menggali rahasia tempat ini."
Dia bicara dengan penuh- keyakinan, sambung pula, "Jika ga-dis molek seperti A
Soat saja tidak memikat hatimu, mana bisa kau curi bini Sebun Jui-soat."


Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hong menghela napas, katanya, "Aku cuma ingin bertanya sesuatu padamu."
"Silakan," jawab si bayangan.
"Jika aku agen rahasia musuh, mana bisa Lau-to-pacu mem-biarkan kuhidup sampai
sekarang. Betapa cerdik dan lihainya, tentu engkau terlebih jelas daripadaku."
Mendadak si bayangan bergemetar, tubuhnya mendadak me-ngerut lebih ringkas,
matanya memancarkan sinar yang penuh rasa dendam, benci, murka, duka dan juga
jeri. Perlahan Siau-hong berucap pula, "Dengan sendirinya kau tahu, sebab orang yang
menceburkan dirimu ke dalam jurang ini ialah dia."
Badan si bayangan tambah gemetar.
Siau-hong menghela napas, ucapnya, "Tapi jangan kau kuatir, pasti takkan
kusiarkan rahasia ini kepada siapa pun." "Sebab apa?" tanya si bayangan.
"Sebab aku benar-benar sangat suka kepada Yap Soat, tidak nahti kubikin susah
ayahnya?" Kembali si bayangan menyurut mundur selangkah, ucapnya dengan suara parau,
"Siapa ayahnya?"
"Kau!" jawab Siau-hong.
Mendadak si bayangan roboh, menggeletak di tanah, sampai napas pun tampak
berhenti. Tapi dia tidak mati, selang sekian lama barulah dia menghela napas dan berkata,
"Memang betul, aku ayahnya. Semua orang me-ngira aku sudah mati, sampai mereka
kakak beradik juga mengira aku sudah mati."
"Paling tidak kan seharusnya mereka perlu diberitahu bahwa engkau masih hidup."
Serentak si bayangan melompat bangun dan berseru, "Tidak, jangan kau beritahukan
kepada mereka, sekali-kali jangan."
"Sebab apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab tidak kuhendaki mereka tahu keadaanku sekarang, aku lebih suka ...."
Mendadak ucapannya terputus, ia mendekap di atas tanah dan mendengarkan dengan
cermat, sejenak kemudian, barulah ia men-desis, "Kumohon dengan sangat, jangan
sekali-kali kau katakan te-lah bertemu denganku."
Begitu selesai berkata, segera pula ia melayang pergi, nada ucapannya memang
penuh nada memohon dengan sangat.
Selang sekian lama pula barulah Siau-hong mendengar suara orang, lalu muncul
seorang melintasi daun rontok.
Siau-hong berharap yang datang ialah Yap Soat.
Tapi yang muncul bukan Yap Soat melainkan Yap Ling.
"Nona itu juga terkejut ketika melihat Siau-hong berada di situ, tapi segera ia
dapat menenangkan diri. Nyata nona cilik ini jauh terlebih tenang dan berpengalaman daripada apa yang
pernah dibayangkan orang atas dirinya.
Segera ia tanya Siau-hong, "Tadi kudengar di sini ada suara bicara orang,
memangnya siapa yang kau ajak bicara?"
"Bicara kepada diriku sendiri," jawab Siau-hong.
Yap Ling tertawa, dengan berkedip-kedip ia berkata pula, "Bi-lakah engkau suka
bicara sendiri?" "Pada waktu kuketahui di antara kawan-kawanku ternyata tidak dapat dipercaya
lagi." "Mengapa engkau seorang diri berbaring di tanah?" tanya Yap Ling pula.
"Sebab aku suka," sahut Siau-hong.
Yap Ling tertawa pula, sambil menggendong tangan ia me-ngitari Siau-hong dua
kali, lalu berkata pula, "Kau tutuk Hiat-to sendiri, apakah juga lantaran kau
suka berbuat demikian?"
Siau-hong menyengir. Mau tak mau ia harus mengakui keta-jaman mata nona cilik
ini jauh di luar dugaan orang, namun ia yakin dirinya masih sanggup melayaninya.
Bagi orang semacam dia, bukan sesuatu urusan sulit jika ingin mengapusi seorang
nona cilik. "Dedaunan dan tetumbuhan di sini kebanyakan beracun, tanpa sengaja kumakan dan
keracunan terpaksa kututuk beberapa Hiat-to sendiri untuk mencegah menjalarnya
racun." Tiba-tiba dirasakan untuk berdusta ternyata juga tidak terlalu sulit.
Yap Ling memandangnya, seperti percaya, tapi tak bicara lagi.
Dengan gegetun Siau-hong berkata pula, "Setelah kututuk Hiat-to sendiri baru
kuingat suatu persoalan gawat, sebab aku tidak mampu lagi membuka Hiat-to
sendiri yang tertutuk. Untunglah sekarang kau datang, sungguh aku harus
berterima kasih kepada langit dan bumi."
Yap Ling tetap menatapnya tanpa bicara.
"Kuyakin engkau pasti dapat menolong diriku, biasanya engkau sangat pintar,"
kata Siau-hong pula. Mendadak nona cilik itu berkata, "Tunggu sebentar, segera kukembali lagi."
Habis berkata ia terus berlari pergi secepat terbang tanpa me-noleh.
Siau-hong jadi melenggong sendiri. Untung begitu Yap Ling pergi, segera si
bayangan tadi muncul kembali.
"Apa yang kau minta sudah kukerjakan semua, sekarang da-patkah kau lepaskan aku
pergi?" tanya Siau-hong.
"Tidak," jawab si bayangan tegas.
"Sebab apa?" tanya Siau-hong gelisah.
"Sebab ingin kulihat cara bagaimana A Ling akan mengerjai dirimu," dia bicara
dengan rasa geli. "Budak cilik ini sejak kecil memang suka berbuat jahil, terkadang aku sendiri
tidak tahu apa yang akan dikerjakannya."
Siau-hong ingin tertawa, tapi tidak bisa, sebab ia pun tidak dapat menerka
sesungguhnya apa yang akan dilakukan Yap Ling atas dirinya, hanya diketahuinya
apapun dapat dilakukan budak setan ini.
Selagi dia hendak bicara lagi kepada si bayangan, tahu-tahu bayangan itu lenyap
pula, lalu didengarnya suara kresak-kresek daun terinjak, suara langkah orang.
Sekali ini suara melangkahnya terlebih berat, kedatangan Yap Ling juga terlebih
cepat daripada tadi, sekali ini dia membawa semacam obat rumput yang tak dikenal
namanya, jelas baru saja di-petiknya, begitu tiba, dengan napas masih terengah
segera ia ber-seru, "Makan, lekas!"
"Masa kau suruh aku makan rumput liar yang tak keruan ini?" jawab Siau-hong
terkejut. Yap Ling menarik muka, "Ini bukan rumput liar, tapi obat pe-nyelamat jiwa,
sengaja kupetik dengan susah payah bagimu."
Lalu ia memberi penjelasan pula, "Adalah mudah untuk mem-buka Hiat-tomu, tapi
setelah Hiat-to terbuka, bila racun menyerang jantungmu, bukankah berarti aku
membikin celaka dirimu, maka lebih dulu harus kucarikan obat penawar bagimu."
"Tapi ... tapi sekarang rasanya aku sudah ... sudah sembuh," ucap Siau-hong.
"Tidak, belum," kata Yap Ling. "Racun harus bersih seluruh-nya dari tubuhmu, toh
obat rumput ini hanya ada faedahnya bagi manusia, makan banyak juga tidak
berbahaya." Mulut si nona terus bicara, mulut Siau-hong tidak dapat bicara lagi, sebab
mulutnya telah penuh dijejali rumput itu.
Siau-hong benar-benar mati kutu, terpaksa ia membiarkan diri-nya dicekoki sesuka
hati nona cilik itu, akhirnya segenggam rumput habis ditelan olehnya dan barulah
Yap Ling menghela napas lega.
Lalu berkata dengan berkedip-kedip, "Bagaimana, enak tidak?"
"Oo ... uuh ..." Siau-hong tidak mampu menjawab.
"Eh, suara apa itu?" tanya Yap Ling. , "Suara domba, sekarang tiba-tiba
kurasakan diriku seperti berubah menjadi seekor domba."
Yap Ling tertawa, "Aku suka domba kecil, mari, biar kugen-dong dirimu."
Dia benar-benar mengangkat tubuh Liok Siau-hong, tidak kecil juga tenaganya.
Kembali Siau-hong terkejut, serunya, "He, untuk apa kau gen-dong diriku" Mengapa
tidak kau buka Hiat-toku?"
"Obat penawarnya belum bekerja sepenuhnya, tempat ini juga tidak aman, kukira
harus kupindahkan dirimu lebih dulu."
"Hendak kau bawa aku kemana?"
"Tentu saja ke suatu tempat yang baik, tempat yang enak."
Siau-hong hanya menyengir saja. Sungguh tidak terlalu enak digendong olah
seorang anak dara yang hampir pantas menjadi anaknya.
Akan tetapi dada anak dara ini justru sedemikian masak, se-demikian padat, bau
tubuhnya juga sedemikian harum.
Terpaksa Siau-hong memejamkan mata, ia ingin menirukan pertapa yang sedang
mengheningkan cipta. Mendadak didengarnya suara Yap Ling mendenging-denging bernyanyi kecil, sebagian
lagunya menirukan lagu yang pernah di-nyanyikan Siau-hong tempo hari.
Keruan Siau-hong tambah runyam, lebih celaka lagi, pada saat itulah dirasakan
sesuatu yang lebih membuatnya serba susah.
Tiba-tiba dirasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Semula ia tidak tahu sesungguhnya organ bagian mana pada tubuhnya yang tidak
beres, tapi setelah dirasa-rasakan dan diketahui jelas tempatnya, wah, celaka,
mendadak diketahuinya dirinya telah berubah menjadi kucing jantan di atas
genteng. Mendingan kalau di atas genteng, celakanya sekarang dia berada dalam gendongan
seorang anak dara yang harum dan bernas. Dan anak dara ini justru tidak boleh
disentuhnya. Berulang-ulang ia memperingatkan dirinya sendiri, "Jangan, dia masih kecil,
tidak boleh kupikirkan hal-hal ini, tidak boleh
Tapi apa mau dikata lagi, dia lelaki normal, lelaki sehat kuat, perubahan organ
tubuhnya ini juga normal bagi seorang lelaki seperti dia dan sukar dicegah.
Yang diharapkannya semoga Yap Ling tidak melihatnya. Ia sendiri tidak berani
memandang si nona, sekejap saja tidak berani.
Tapi Yap Ling justru lagi memandangnya, tiba-tiba ia berkata, "He, mengapa
mukamu menjadi merah" Apakah kau demam" Me-riang?"
Siau-hong hanya menjawab secara samar-samar, sampai ia sendiri tidak jelas apa
yang dikatakannya. Untung Yap Ling tidak mendesak lagi, terlebih untung lagi ia sendiri tidak dapat
bergerak sama sekali. Kalau saja Hiat-to tidak tertutuk, entah apa yang akan
dilakukannya sekarang" Sungguh tidak berani dibayangkannya.
Tiba-tiba Yap Ling barkata pula, "Tampaknya obat rumput yang kau makan telah
mulai menunjukkan khasiatnya."
Siau-hong tidak tahan, tanyanya, "Sesungguhnya rumput apa" Penolong jiwa atau
pengganggu jiwa?" "Pengganggu jiwa," jawab Yap Ling. Mendadak ia berhenti dan menaruh Liok Siauhong di atas segundukan dedaunan yang lunak.
Siau-hong membuka mata, baru diketahuinya tempat ini adalah sebuah gua, dengan
bertolak pinggang Yap Ling berdiri di de-pannya dan segera tertawa seperti
siluman cilik. Dengan berkedip-kedip anak dara itu berkata, "Sekarang apakah kau rasakan jiwamu
terganggu?" Siau-hong menyengir, "Ya, hampir gila terganggu."
"Kutahu ada semacam obat dapat menyembuhkan gangguan jiwamu," ucap si nona.
"Obat apa?" tanya Siau-hong.
"Ini," jawab Yap Ling sambil menuding hidung sendiri. "Hanya diriku dapat
menyembuhkan penyakitmu.', Siau-hong melotot.
Sesungguhnya dia memang bukan anak perempuan kecil lagi, bagian yang pantas
besar sudah tumbuh sangat besar.
Akhirnya Siau-hong jadi gregetan, ucapnya, "Baik, kau sendiri yang menghendaki,
jangan salahkan aku."
"Aku tak menyalahkan dirimu, memangnya engkau bisa apa?" ujar Yap Ling.
Siau-hong memang tidak bisa apa-apa, pada hakikatnya dia tidak dapat bergerak
sama sekali. Hal ini tadi dirasakannya sebagai keberuntungan, sekarang telah
berubah menjadi tidak beruntung.
Malahan sekarang ia merasakan tubuh sendiri seperti dibakar, setiap saat bisa
meledak. Yap Ling memandangnya dengan mengikik tawa, "Sekarang tentunya kau tahu urusan
ini terkadang memang sangat mengganggu jiwa?"
Siau-hong tahu dan percaya, ia yakin sekarang tidak ada orang lain yang terlebih
jelas daripadanya. Lebih celaka lagi, sekarang sudah dilihatnya paha yang mulus.
Entah sejak kapan paha siluman cilik ini sudah telanjang di luar baju. Sungguh
paha yang menggiurkan. "Ap ... apakah sengaja hendak kau bikin gila diriku?" suara Liok Siau-hong
sekarang lebih mirip orang meratap. .
"Aku sangat ingin menolongmu," ucap Yap Ling dengan lem-but, "sebenarnya aku
memang suka padamu, tapi sayang
Dengan sebuah jari perlahan ia membelai pipi Liok Siau-hong, katanya pula, "Aku
pun masih perawan, selamanya juga belum pernah disentuh lelaki."
Kata-kata itu pernah diucapkan kakaknya, Yap Soat, sekarang dia dapat
menirukannya dengan sangat persis.
Seketika Siau-hong paham, kiranya tempat rahasia Yap Soat itu sesungguhnya tidak
benar-benar rahasia sebagai mana pernah di-sangkanya.
Mendadak Yap Ling menjengek, "Hm, terus terang, apa yang kalian lakukan di sana
sudah kulihat seluruhnya, kulihat dengan sangat jelas."
"Hal itu lantaran Cicimu
"Dia bukan Ciciku," potong Yap Ling dengan suara keras, "Dia dilahirkan sebagai
lawanku, setiap apa yang kusukai selalu di-rebut olehnya."
"Tapi aku "Sudah jelas dia tahu aku yang menemukan kau lebih dulu, dia tetap main rebut,"
kembali Yap Ling memotong ucapannya. "Akan tetapi sekali ini aku tak mau
mengalah lagi, engkau adalah punyaku, kuminta kau kawin denganku."
Tiba-tiba ia tertawa pula, tertawa yang lembut dan manis, katanya, "Atau boleh
juga kau yang minta kukawin denganmu, sing-katnya, apapun yang kau minta pasti
akan kupenuhi." Dalam keadaan demikian, apa pula yang dapat dikatakan Liok Siau-hong"
Gua ini gelap tapi tenang, senja sudah tiba ....
Setelah suasana kembali tenang sejenak, menangislah Yap Ling, sungguh sedih
tangisnya seperti orang yang habis mengalami sesuatu yang membuatnya penasaran.
"Kau ganggu diriku, kau sadis, mana boleh kau lakukan cara demikian padaku" Kau
bikin celaka diriku selama hidup," demikian omelnya.
Padahal sesungguhnya siapa yang diganggu" Dan siapa yang membikin celaka siapa"
Liok Siau-hong hanya menyengir saja dan tidak berani tertawa, apapun juga dia
masih seorang anak dara, bahkan benar-benar anak perawan yang belum pernah
disentuh lelaki. Seorang lelaki yang habis melakukan hal seperti apa yang mereka lakukan tadi,
apapula yang dapat diucapkan si lelaki ini"
"Apa yang kau katakan sendiri tadi, apakah sekarang kau merasa menyesal?"
"Tidak, aku tidak menyesal."
"Sungguh tidak menyesal?"
"Sungguh." Anak dara itu tertawa pula, tertawanya kembali serupa anak kecil.
"Mari, kita pulang," segera ia menarik tangan Siau-hong, "mulai hari ini, engkau
adalah seorang lelaki yang berumah tangga. Asalkan engkau tidak mencari
perempuan lain, pasti akan kuladeni engkau serupa raja."
Sang surya sudah terbenam, cuaca mulai gelap.
Mendadak Siau-hong merasa sangat lelah, selama hidupnya hampir tidak pernah
selelah sekarang ini. Hal ini bukan disebabkan obat rumput yang celaka itu, juga bukan perbuatan yang
konyol itu. Kelelahan ini seperti timbul dari dalam hati, hanya seorang yang sudah siap
hendak melepaskan segalanya baru akan timbul rasa kelelahan demikian.
"Mungkin sudah waktunya aku pantas menjadi 'lelaki rumah tangga'," demikian ia
membatin. Di bawah remang senja, dilihatnya senyum manis pada wajah Yap Ling yang
kebocahan itu, dalam hati jadi timbul pikiran semacam itu, "Apapun yang
dilakukan anak dara ini kan disebabkan karena dia suka padaku, maka
diperbuatnya?" Tertampak senyum Yap Ling bertambah manis, tak tertahan Siau-hong memegang lagi
tangannya. Pada saat itulah terdengar suara genta dr kejauhan, agaknya di Yu-leng-san-ceng
akan diadakan perjamuan besar lagi.
Apakah Lau-to-pacu telah menyiapkan perjamuan bahagia bagi mereka"
2 Setiba kembali di sana, perjamuan ternyata belum lagi dimulai, sebab masih harus
menunggu kehadiran seorang, seorang yang tidak boleh absen.
Diam-diam Siau-hong masuk ke ruangan, dengan tersenyum Yap Ling ikut di
belakangnya, senyumnya sangat gembira, sebaliknya Siau-hong tampak muram durja,
bersungut-sungut, dia harap orang lain tidak memperhatikan dia. Akan tetapi
semua orang justru memperhatikan dia, setiap orang sama menatapnya dengan sikap
yang aneh.

Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau datang terlambat," ucap Lau-to-pacu sambil menatap tajam padanya.
Siau-hong menjawab, "Aku tersesat, aku ..."
Pada hakikatnya Lau-to-pacu tidak menghiraukan apa yang diucapkan Siau-hong,
katanya pula, "Namun kutahu kau pasti akan pulang bila mendengar suara genta, maka semua orang
sama menunggu, sudah lama menunggu."
Siau-hong menyengir, "Sebenarnya juga tidak perlu menunggu diriku."
"Tapi hari ini harus menunggu," kata Lau-to-pacu.
"Sebab apa?" heran juga Siau-hong.
"Sebab hari ini ada peristiwa bahagia," tutur Lau-to-pacu.
"Peristiwa bahagia bagi siapa?"
"Bagimu." Seketika Siau-hong melenggong.
Sungguh tidak habis dimengerti, mengapa sekarang juga Lau-to-pacu sudah tahu apa
yang barusan mereka lakukan" Apakah karena perbuatan Yap Ling itu memang atas
perintah Lau-to-pacu"
Yap Ling tidak bersuara, Siau-hong juga tidak berpaling, ia pun tidak berani
memandang Yap Soat yang duduk di samping Lau-to-pacu.
Yap Soat tampak menunduk dan tidak memandangnya.
Lau-to-pacu lantas berkata, "Di tempat ini biasanya cuma ada urusan kematian,
sesudah kedatanganmu, sedikit banyak membawa juga suasana bahagia."
Ia berhenti sejenak, talu menyambung dengan nada terlebih halus, "Dan semua
orang juga menyetujui urusan ini, kau dan A Soat memang satu pasangan yang
setimpal." "A Soat?" Siau-hong terkejut.
Lau-to-pacu mengangguk, "Sudah kutanyai dia, sepenuhnya dia pasrah padaku,
kupikir kau pasti juga tidak anti."
Kembali Siau-hong melengak.
Sedangkan Yap Ling yang berada di belakang lantas berteriak, "Aku anti!"
Air muka setiap orang sama berubah, siapa pun tak menyangka ada orang berani
membangkang terhadap keputusan Lau-to-pacu.
Yap Soat juga menengadah dan memandang adiknya dengan terkesiap.
Yap Ling lantas tampil kemuka, serunya, "Dengan tegas aku menyatakan tidak
setuju, mati pun aku tidak setuju."
Dengan gusar Lau-to-pacu membentak, "Jika begitu, paling baik lekas kau mati
saja." Sedikitpun Yap Ling tidak gentar, sahutnya, "Jika aku mati, Liok Siau-hong juga
akan mati bersamaku."
"Siapa bilang begitu?" teriak Lau-to-pacu dengan beringas.
"Setiap orang pasti akan bilang demikian," sahut Yap Ling, "sebab dia dan aku
sudah menjadi suami-isteri sehidup semati."
Keterangan ini semakin mengejutkan orang, air muka Yap Soat juga pucat seketika,
teriaknya, "Apa katamu" Kau sudah kawin dengan dia?"
Yap Ling menengadah dan menjengek, "Betul, aku sudah kawin dengan dia, sudah
kuserahkan segala milikku kepadanya. Sekali ini dapatlah aku mendahuluimu satu
langkah, meski dia menolak dirimu, tapi dia telah menerima diriku."
"Kau ... kau dusta!" teriak Yap Soat dengan gemetar.
Yap Ling lantas merangkul lengan Siau-hong, katanya, "Mengapa tidak kau katakan
bahwa semuanya memang betul."
Setiap patah katanya setajam jarum, tanpa Liok Siau-hong memberi keterangan juga
semua orang percaya ucapan Yap Ling tidak palsu.
Mendadak Yap Soat berbangkit, meja di depannya didorongnya hingga terjungkir,
tanpa berpaling lagi ia berlari pergi.
Yap Ling tambah gembira, ditariknya Liok Siau-hong ke depan Lau-to-pacu, lalu
berkata, "A Soat adalah putri angkatmu, aku juga, mengapa engkau tidak mengambil
keputusan bagiku?" Lao-to-pacu menatapnya dengan tajam, jengeknya, "Apakah kalian benar ingin
menjadi suami-isteri selama hidup?" "Tentu saja ingin," jawab Yap Ling.
"Baik, akan kujadi walimu, tiga bulan lagi akan kulangsungkan upacara nikah bagi
kalian," kata Lau-to-pacu kemudian.
"Mengapa harus menunggu lagi tiga bulan?" tanya Yap Ling.
"Sebab ini keputusanku, apakah kau berani membangkang?" bentak Lau-to-pacu
dengan bengis. Yap Ling tidak berani. Maka Lau-to-pacu berucap pula, "Dalam tiga bulan ini, kalian berdua dilarang
bertemu, sesudah tiga bulan, jika pikiran kalian tidak berubah, segera
kunikahkan kalian." Ia tidak memberi kesempatan bicara bagi Yap Ling, segera ia memberi pesan kepada
Liu Jing-jing, "Selama tiga bulan ini kuserahkan Liok Siau-hong kepadamu."
Yap Ling mengertak gigi dan mendadak menggentak kaki, lalu menerjang keluar,
setiba di ambang pintu ia berpaling dan melototi Liok Siau-hong dengan gemas,
"Awas, asalkan kau berani menyentuh perempuan lain, segera akan kutidur dengan
seratus lelaki lain, biarkan kau pakai seratus buah topi hijau."
Supaya diketahui, 'topi hijau' adalah istilah olok-olok bagi lelaki yang bininya
suka menyeleweng. Perjamuan sudah bubar. Liu Jing-jing menyuruh pembantu menyiapkan beberapa
sayuran dan juga arak. Dia memang perempuan yang mengerti akan hidup nikmat. Ia
pun sangat memahami kaum lelaki.
Liok Siau-hong tidak buka mulut, ia juga mendampinginya dengan diam saja. Kalau
cawan arak Liok Siau-hong sudah kosong segera ia menuangkan arak.
Hidangan belum lagi disentuh, namun arak sudah banyak tertenggak.
Akhirnya Siau-hong mengangkat kepalanya dan memandang Liu Jing-jing lekat-lekat,
katanya tiba-tiba, "Mengapa tidak kau caci-maki diriku?"
"Mengapa harus kumaki dirimu?" tanya Jing-jing.
"Sebab aku ini telur busuk, aku tidak
Liu Jing-jing tidak memberi kesempatan bicara lebih lanjut padanya, dengan suara
lembut ia memotong, "Tidak perlu kau resahkan diriku, usiaku lebih tua
daripadamu, memang aku tidak punya ambisi akan kawin denganmu, aku cuma ingin
menjadi sahabatmu." Dia tertawa, tertawa yang sangat mesra, sambungnya, "Asalkan kau suka, aku
bahkan dapat menjadi kekasih yang gelapmu." Siau-hong hanya menyengir saja.
Bila orang mencaci-maki padanya, mungkin dia akan merasa lega malah, bahkan
menamparnya juga akan diterimanya.
Tapi Liu Jing-jing berkata lagi, "Namun kutahu engkau pasti tidak berani
mengambil resiko ini."
"Resiko apa?" tanya Siau-hong.
"Resiko memakai topi hijau," tutur Jing-jing. "Budak cilik itu biasanya berani
berkata berani berbuat."
Dia tertawa, lalu berkata pula, "Sebenarnya dia juga tidak terhitung cilik lagi,
tahun ini usianya sudah tujuh belas. Dahulu waktu umurku tujuh belas, aku pun
sudah menikah." Siau-hong mulai minum arak lagi dengan hati kesal.
Tiba-tiba Jing-jing bertanya pula, "Apakah engkau sedang memikirkan A Soat?"
Capat Siau-hong menggeleng.
"Kau tidak pikirkan dia, aku justru kuatir baginya. Wataknya keras, suka menang,
tadi dia kehilangan muka di depan orang banyak, mungkin dia..."
"Mungkin bagaimana?" tanya Siau-hong.
Jing-jing ingin bicara lagi tapi urung, padahal tanpa bicara juga setiap orang
tahu apa yang ingin dikemukakannya.
Mendakak Siau-hong mendengus, "Hm, jika kau kuatir dia akan membunuh diri, maka
kelirulah kau. Dia pasti bukan perempuan yang berpikiran sempit, hubungannya
dengan diriku juga belum sampai sejauh itu."
Jing-jing tidak membantah, dilihatnya Siau-hong sudah rada terpengaruh oleh
arak, juga rada menyesal.
Memangnya apa yang disesalkannya" Apakah karena perbuatannya terhadap Sebun Juisoat" Atau karena Yap Soat"
Maklum, siapa pun kalau menolak anak perempuan cantik dan mulus begitu, bukan
mustahil akan menyesal akhirnya.
Bisa juga dia menyesalkan pernikahannya dengan Yap Ling, sesungguhnya mereka
bukan suatu pasangan yang ideal.
Liu Jing-jing merasa gegetun di dalam hati, kembali ia menuangkan satu cawan
bagi Liok Siauhong. Malam sudah larut, jika mabuk akan lebih baik malah.
Maka ia pun menuang secawan bagi diri sendiri,
Pada saat itulah mendadak di luar ada orang berkata, "Sisakan secawan bagiku!"
Yang masuk ternyata Piauko adanya.
Jing-jing menjengek, "Mulai kapan kau kira akan kuundang minum arak?"
Sikap Piauko sangat aneh, napasnya juga memburu, sedapatnya ia menjawab dengan
tertawa, "Kedatanganku bukan untuk minum arak."
"Habis untuk apa kau datang kemari?"
"Ingin kuberitahukan suatu kabar."
"Dan mengapa kau minta minum arak?"
"Sebab kabar ini sangat buruk."
Kabar buruk memang selalu membuat orang ingin minum arak, yang mendengar ingin
minum, yang memberitahu juga lebih ingin minum. Arak memang bisa mengurangi rasa
kesal dan ketegangan. Segera Liu Jing-jing mengangsurkan cawan arak yang dipegangnya, sesudah Piauko
menenggak araknya baru bertanya pula, "Nah, kabar apa yang kau bawa?"
"Yap Soat telah masuk ke Tong-thian-kok," tutur Piauko.
Seketika air muka Liu Jing-jing menampilkan semacam perasaan yang aneh, selang
agak lama baru dia berpaling menghadapi Liok Siau-hong dan berkata, "Yang keliru
tampaknya bukan diriku melainkan kau."
"Tong-thian-kok itu tempat macam apa?" tanya Siau-hong.
"Sebuah rumah kayu, terletak di puncak Tong-thian-keh (tebing mendaki langit),
yaitu tebing tinggi yang terletak di bukit belakang sana."
"Rasanya tidak pernah kulihat sesuatu di sana."
"Tentu saja tidak kau lihat, rumah kayu itu memang dibangun secara darurat."
"Terdapat apa di sana?"
"Tidak ada apa-apa, cuma ada peti mati dan orang mati.."
Padahal orang mati benar-benar di Yu-leng-san-ceng sejauh ini hanya ada satu.
"Jadi rumah itu dibangun hanya untuk tempat semayam jenazah Yap Koh-hong."
"Bukan untuk tempat semayamnya, tapi akan dibakarnya."
Hati Siau-hong terasa tenggelam.
"A Soat pergi ke sana, agaknya dia siap mati dibakar bersama dengan layon
kakaknya," tutur Piauko.
Di tengah remang malam, di atas tebing yang seram, rumah kayu itu kelihatan
berwarna kelabu pucat seperti rumah hantu.
Di bawah tebing ada batu karang yang rata serupa sebuah panggung, di situ
berdiri tiga orang, mereka ialah Hay Ki-koat, Koan keh-po dan Lau-to-pacu.
Angin meniup kencang, air muka ketiga orang tampak kelam serupa kegelapan malam.
Di sekeliling rumah kayu itu sudah tertumpuk kayu kering dan siap untuk dibakar.
Siau-hong membiarkan Piauko dan Liu Jing-jing menggabungkan diri dengan Lau-topacu bertiga, ia sendiri berdiri di kejauhan.
Pikirannya kusut, dia perlu ketenangan.
Sesudah mendekat Liu Jing-jing lantas bertanya, "Sudah berapa lama dia masuk ke
sana?" "Cukup lama," jawab Lau-to-pacu.
"Siapa yang menemukan dia berada di sini?"
"Tidak ada, dia yang minta kedatanganku," tutur Lau-to-pacu. "Dia menyuruh
penjaga di sini mengundangku, sebab katanya ada pesan terakhir hendak
disampaikan kepadaku."
"Dan apa yang dikatakannya?"
Dengan kedua tinju terkepal erat Lau-to-pacu menjawab, "Dia minta kucarikan
pembunuh yang sebenarnya, untuk membalaskan dendam kematian kakaknya."
"Dia bilang ini pesannya yang terakhir?"
Lau-to-pacu mengangguk, air mukanya tambah sedih, ucapnya, "Ya, dia sudah siap
untuk mati." "Mengapa tidak kau bujuk dia?"
"Dia bilang, asalkan aku naik ke sana, segera dia akan mati di hadapanku."
Jing-jing tidak bertanya lebih lanjut, dengan sendirinya ia tahu Yap Soat adalah
gadis yang berani bicara dan berani berbuat, tidak ada sesuatu urusan yang dapat
menggoyahkan pendiriannya semula.
Angin meniup dingin, sayup-sayup terdengar suara tangisan.
Liu Jing-jing merinding, ucapnya, "Apakah kita hanya menyaksikan kematiannya
begini saja?" Dengan suara tertahan Lau-to-pacu mendesis, "Justru kutunggu kedatangan kalian,
mungkin ada yang sanggup menyelamatkan dia."
"Kau minta kami memanjat ke atas secara diam-diam?" tanya Jing-jing.
"Ginkang kalian berdua paling tinggi, kalian naik ke sana pada waktu angin
meniup kencang seperti ini, mungkin takkan diketahui A Soat."
"Kemudian?" "Lebih dulu Piauko mengitar ke belakang, lalu membobol dinding menerjang masuk,
kau jaga di pintu depan, waktu melihat Piauko, seumpama tidak menyerang, tentu
juga dia akan mendamprat, kesempatan itu segera kau gunakan untuk menerobos ke
dalam untuk merangkulnya."
Jing-jing termenung sejenak, katanya kemudian, "Cara ini kurang baik."
"Ada caramu yang lebih baik?" jengek Lau-to-pacu. Jing-jing tidak tahu, terpaksa
ia naik ke atas sesuai kehendak Lau-to-pacu.
Ginkangnya memang hebat, Piauko juga tidak lebih rendah. Sesungguhnya Ginkang
mereka berdua sudah tergolong kelas top, tebing setinggi lima-enam tombak itu
dapat mereka naiki dengan sangat mudah.
Di dalam rumah kayu itu gelap gulita dan sunyi senyap, ternyata Yap Soat tidak
mengetahui kedatangan mereka.
Jing-jing memberi tanda, Piauko lantas memutar ke belakang, menyusul lantas
terdengar suara gemuruh yang keras.
Rumah itu dibangun dengan bahan kayu yang mudah terbakar, dengan sendirinya
tidak sulit untuk membobol dindingnya.
Akan tetapi setelah suara gemuruh itu, menyusul lantas terdengar jeritan ngeri,
di tengah malam dingin ini kedengaran terlebih seram.
Lamat-lamat dalam kegelapan kelihatan sinar pedang berkelebat, seorang lantas
tergelincir ke bawah tebing dan terbanting di atas tanah, sebagian tubuhnya
berlumuran darah, ternyata Piauko adanya.
Terdengar suara Yap Soat bergema terbawa angin, "Hoa-koa-hu, jika tidak lekas
angkat kaki dari sini, biar kau ikut mati bersamaku di sini."
Suaranya tajam melengking dan juga gelisah, dia berteriak pula, "Hendaknya kau
pulang dan beritahukan kepada Lau-to-pacu supaya jangan menyuruh orang ke sini
lagi agar tidak jatuh korban lebih banyak, yang jelas toh aku tidak mau lagi
pergi dari sini dengan hidup."
Tidak perlu diberitahukan oleh Liu Jing-jing, setiap orang pun dapat mendengar
ucapan Yap Soat itu dengan jelas.
Lau-to-pacu mengepal erat kedua tinjunya, sorot matanya yang tajam terpancar
dari balik capingnya, ucapnya dengan bengis, "Kau murid Pah-san-kiam-kek,
biasanya kau yakin kungfumu tidak rendah, mengapa terbukti sedemikian tidak
becus?" Piauko mendekap luka pada bahunya, darah segar tampak merembes keluar dari
celah-celah jarinya, butiran keringat pun menghiasi dahinya. Nyata, lukanya
tidak ringan. Selang agak lama barulah ia berusaha memberi keterangan, "Dia seperti sudah
memperhitungkan setiap gerak-gerikku, begitu kuterjang ke dalam, pedangnya sudah
siap menanti kedatanganku."
Mendadak Lau-to-pacu menengadah dan berucap dengan gegetun, "Memang sudah sering
kukatakan, kalian kalah dibandingkan dia. Yu-hun sudah mati, Ciang-kun terluka
parah, aku sudah kekurangan dua pembantu tangguh, jika kehilangan dia lagi
mendadak ia menggentak kaki sehingga batu karang di bawah kakinya retak
seketika. Pada waktu itulah di tengah kegelapan tiba-tiba ada orang berkata, "Mungkin ada
akalku dapat menyelamatkan dia."
Yang muncul ialah Tokko Bi.
"Kau punya akal?" tanya Lau-to-pacu. "Akal apa?"
Tokko Bi tertawa, "Cuma sayang, aku ini orang yang tidak pedulikan sanak famili
segala, dengan sendirinya aku tidak menolong orang secara percuma."
Tertawanya kelihatan licik dan licin, sampai lama Lau-to-pacu menatapnya, lalu
bertanya, "Apa syaratmu?"
"Syaratku sangat sederhana," jawab Tokko Bi, "aku perlu seorang isteri."
"Siapa yang kau minta?"
"Kakak beradik Yap, Hoa-koahu, yang mana pun jadi." "Akalmu pasti akan
berhasil?" "Asalkan kau terima dengan baik, pasti akan berhasil."
"Asal pasti berhasil tentu dapat kuterima.".


Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akalku juga sangat sederhana." tutur Tokko Bi dengan tertawa, "asalkan Liok
Siau-hong diringkus dan dibawa ke atas tebing, akan kubuktikan dia yang membunuh
Yap Koh-hong, sebab pada waktu terjadi pembunuhan itu aku sendiri menyaksikannya
di samping. Setelah mendengar keteranganku, tentu nona Yap akan menerjang keluar
untuk membalas dendam bagi kakaknya, dan bila Liok Siauhong sudah terbunuh
olehnya, tentu dia tidak perlu membunuh diri lagi."
Lau-to-pacu mendengarkan dengan tenang, tiba-tiba ia bertanya, "Bukankah kau
sendiri yang membawa Liok Siau-hong ke sini?"
"Waktu itu karena hati nuraniku kebetulan timbul sehingga kubantu dia, biasanya
jarang timbul hati nuraniku seperti itu."
Kembali Lau-to-pacu termenung agak lama, lalu mengangguk perlahan dan berkata,
"Ehm, kedengarannya akalmu itu tidaklah jelek."
Baru selesai berkata, mandadak tangannya menggampar, kontan Tokko Bi roboh
terkulai. "He, jika akalku tidak jelek, mengapa kau pukul diriku?" teriak Tokko Bi.
"Meski akalmu tidak jelek, tapi orang macam dirimu ini maha jelek," jengek Lau-to-pacu.
Waktu dia menghantam lagi untuk kedua kalinya, Tokko Bi tidak mampu bersuara
lagi, cara turun tangan Lau-to-pacu tidak cepat juga tidak terlalu berat, tapi
cespleng, jitu dan manjur.
Siau-hong masih berdiri di kejauhan, mendadak Lau-to-pacu mendekatinya, lalu
berkata sambil menepuk bahunya, "Mari ikut padaku!"
Di balik pengkolan sana terlebih gelap, setiba di tempat gelap barulah Lau-topacu berhenti, lalu berputar menghadapi Liok Siau-hong dan berucap perlahan,
"Akal Tokko Bi sebenarnya sangat efektif apakah kau tahu mengapa tidak
kugunakan?" "Sebab kau tahu aku bukan pembunuh yang sebenarnya," kata Siau-hong.
"Tidak, bukan begitu."
"Memangnya karena kau pun memerlukan tenagaku?" "Tepat," kata Lau-to-pacu.
Di antara mereka sudah sama tahu tidak perlu berbohong terhadap pihak lain,
sebab mereka bukanlah orang yang mudah ditipu. Hal ini membuat mereka ada
semacam saling pengertian yang mendekati persahabatan akrab.
"Aku sudah tua, kupaham bilamana kehilangan kesempatan, selamanya sukar
diperoleh lagi, maka ..." "Maka kau perlu tenagaku, sebab kesempatanmu sudah hampir tiba, begitu?" Siauhong menegas. Lau-to-pacu menatapnya dengan tajam, katanya pula, "Tapi aku pun memerlukan
tenaga Yap Soat, sebab urusan yang hendak kulaksanakan adalah suatu pekerjaan
besar, kalian adalah orang yang tidak boleh absen di dalam rencanaku ini."
"Jadi kau minta kuselamatkan dia?" tanya Siau-hong.
Lau-to-pacu mengangguk, "Jika di dunia ini ada orang yang dapat membuat dia
hidup terus, maka orang itu ialah kau."
"Baik, akan kukerjakan, cuma aku pun ada suatu syarat."
"Coba katakan."
"Kuminta waktu 24 jam, dalam batas waktu ini, apapun yang kulakukan tidak boleh
kau ganggu-gugat." "Kutahu caramu bekerja suka menggunakan caramu sendiri."
"Mulai sekarang, tiada seorang pun boleh berdiam di tempat yang dapat melihat
diriku, asalkan kau sanggup, dua hari kemudian akan kubawa dia menemuimu."
"Dalam keadaan hidup?"
"Kujamin." "Baik, kuterima," jawab Lau-to-pacu tanpa pikir.
Semua orang pun sudah pergi, di atas tebing sunyi senyap, di tengah malam kelam
rumah gubuk itu kelihatan seram serupa rumah hantu.
Siau-hong mendekat ke sana dengan menyongsong angin yang meniup dingin dan
lembab, mengapa di tempat setan ini selalu berkabut"
Belum lagi terlalu mendekat, terdengarlah suara Yap Soat menegur dari dalam
gubuk, "Siapa itu?"
"Tentunya kau tahu siapa diriku," sahut Siau-hong. "Aku tidak dapat melihat
dirimu, tapi jelas dapat kau lihat diriku."
Sampai sekian lama suasana sunyi senyap, lalu datang jawaban yang singkat,
"Enyah!" "Engkau tidak mau menemuiku?" tanya Siau-hong.
Jawaban tetap cekak aos, "Enyahl"
"Jika engkau tidak ingin menemuiku mengapa engkau menunggu kedatanganku"
Sunyi pula suasana di dalam gubuk.
Siau-hong lantas menyambung lagi, "Kau tahu cepat atau 1am bat aku pasti akan
datang, makanya engkau belum lagi mati."
Dia bicara dengan sangat lambat, tapi melangkah dengan sangat cepat, tahu-tahu
ia sudah berada di depan pintu, lalu berkata pula, "Maka sekarang juga akan
kudorong pintu dan masuk ke situ, sekali ini kujamin di sekitar sini pasti tidak
ada orang ketiga." Dia lantas menolak pintu.
Gelap gulita di dalam rumah, hanya kelihatan sepasang mata yang mencorong
terang, membawa semacam perasaan yang sukar dilukiskan, entah duka, entah pedih
atau benci" Siau-hong berhenti dari kejauhan, tegurnya, "Tidak ada yang hendak kau katakan
padaku?" Tangisnya sudah berhenti, namun matanya masih basah.
"Sebenarnya tidak kau katakan juga kutahu." ucap Siau-hong pula. "Perbuatanmu
ini tiada lain hanya lantaran diriku. Soalnya barang yang kau inginkan selamanya
tidak pernah dirampas orang."
Dalam kegelapan berkelebat lagi cahaya dingin, serupa sinar pedang. Apakah dia
ingin membunuh Liok Siau-hong" Atau ingin mati di depan Siau-hong"
Tangan Siau-hong berkeringat dingin, inilah detik yang sangat penting, sedikit
kesalahan saja, satu di antara mereka pasti akan binasa di sini.
Dia tidak boleh berbuat salah, apapun juga tidak boleh salah ucap satu kata pun.
Tiba-tiba dalam kegelapan bergema pula suara Yap Soat, "Aku berbuat demikian,
sebab di dunia ini tiada seorang pun yang berharga bagiku untuk tetap hidup."
"Ada, masih ada satu, sedikitnya masih ada satu," tukas Siau-hong.
Yap Soat tidak tahan dan bertanya, "Siapa?"
"Ayahmu!" jawab Siau-hong. Dia tidak memberi peluang bicara bagi Yap Soat dan
segera menyambung pula, "Ayahmu tidak mati, semalam baru saja aku bertemu dengan
dia." Mendadak Yap Soat menjengek, "Hm, berdasarkan apa kau minta kupercaya kepada
bualanmu ini." "Ini bukan bualan, sekarang juga dapat kubawamu untuk me nemui dia," seru Siauhong. Hati Yap Soat seperti mulai tergerak, ia bertanya, "Dapat kau temukan dia?"
"Jika dalam waktu 12 jam tidak kutemukan dia, aku jamin mengantarmu kembali ke
sini, biar engkau mati dengan tenang."
Akhirnya Yap Soat tergugah, "Baik, biar kupercaya lagi satu kali padamu."
Siau-hong menghela napas lega, "Kau pasti takkan kecewa."
Sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, ujung pedang yang dingin sudah
mengancam di depan hidungnya, dengan suara terlebih tajam daripada ujung pedang
Yap Soat berkata, "Sekali ini jika kau tipu lagi diriku, engkau pasti akan mati
bersamaku." Lembah yang gelap dan hutan yang sunyi, semua ini tidak asing bagi Liok-Siauhong, seperti halnya perempuan di sampingnya, meski terkadang terasa'menakutkan,
tapi juga ada semacam daya tarik yang sukar dilawan.
Sekali ini dia tidak tersesat. Maklum, pada waktu dia pulang, dia sudah siap
untuk datang lagi. Yap Soat berjalan di sampingnya dengan diam, mukanya pucat, sorot matanya
dingin, jelas dia bertekad akan bertahan satu jarak tertentu dengan dia.
Akan tetapi di tengah hutan sunyi dan pegunungan yang gelap ini, segala apa bisa
terjadi perubahan. Sangat lama mereka berjalan, di tengah desir angin terendus pula bau lumpur
rawa. Segera Siauhong berhenti dan berkata, "Di sekitar sinilah kemarin aku
berjumpa dengan dia."
"Dan sekarang dimana orangnya?" tanya Yap Soat.
"Entah." Tergenggam erat tangan Yap Soat.
"Aku cuma tahu dia berdiam di rawa-rawa di depan sana, kita harus menunggu
sampai pagi baru dapat mencarinya," Siau-hong berduduk, lalu menambahkan,
"Biarlah kita menunggu saja di sini."
Yap Soat memandangnya dengan dingin, jengeknya, "Sudah kukatakan jika kau tipu
lagi diriku Siau-hong memotong ucapannya, "Selama ini tidak pernah kutipu
dirimu, mungkin karena aku tidak mau menipumu, maka kau benci padaku."
Yap Soat melengos dan tidak mau memandangnya lagi, sorot matanya yang dingin
tiba-tiba menampilkan rasa lelah.
Dia memang sangat lelah, jiwa dan raga, tapi dia berkeras tidak mau berduduk,
dia harus bertahan dalam keadaan sadar.
Tapi Liok Siau-hong lantas berbaring di atas daun yang lunak dan memejamkan
mata. Sesudah dia memejamkan mata, Yap Soat lantas melotot padanya, entah berapa lama
lagi mendadak terbayang sesuatu yang sangat menakutkan.
Sekuatnya dia menggigit bibir, sedapatnya ia mengatasi perasaannya, apa mau
dikatakan lagi, tempat ini terlalu sunyi, bisa membikin gila saking sunyinya,
dan lebih celaka lagi adalah apa yang terpikir olehnya, urusan yang tidak dapat
ditahan oleh setiap orang perempuan.
Tiba-tiba ia memburu maju, ia mendepak lambung Liok Siau-hong, teriaknya dengan
histeris, "Kubenci padamu, kubenci ..."
Siau-hong membuka mata dan memandangnya dengan terkejut.
Napas Yap Soat tampak terengah, matanya merah, mendadak ia menubruk ke bawah dan
mencekik leher Siau-hong.
Terpaksa Siau-hong menangkap tangan si nona, bila si dia mengerahkan tenaga,
terpaksa ia pun melawan dengan lebih kuat.
Dan begitulah kedua orang terus berguling di atas tanah berdaun yang lunak,
mendadak Siau-hong mengetahui dirinya telah menindih di atas tubuh si dia.
Napas Yap Soat semakin tersengal, tapi tubuh tambah lemas, dia sudah habis
mengerahkan segenap tenaganya.
Kemudian dia lantas tenang kembali, melepaskan segala rontaan dan perlawanannya.
Waktu ia membuka mata dan memandang Liok Siau-hong, kelopak matanya sudah penuh
dengan air mata. Jagat raya ini terasa sedemikian tenteram, sedemikian gelap, jarak di antara
mereka sekarang terasa sedemikian dekat.
Hati Liok Siau-hong mendadak lunak, segala siksa derita dan dendam kesumat
terlupakan seluruhnya dalam sekejap ini.
Air mata merembes dan membasahi muka si dia yang putih pucat, selagi Siau-hong
hendak mengisapnya dengan bibir sendiri yang kering, pada saat itulah, di tengah
desir angin dari arah rawa sana sayup-sayup terbawa suara nyanyian orang.
Nyanyian yang memilukan dan dapat mengingatkan orang kepada berbagai siksa
derita dan dendam kesumat.
"Apakah dia?" desis Yap Soat, napasnya serasa berhenti.
"Rasanya betul dia."
"Mungkin dia tahu akan kedatangan kita dan minta kita ke sana."
Siau-hong berbangkit tanpa bicara, lalu ditariknya tangan Yap Soat, serupa orang
yang menarik keluar seorang yang hampir mati karam.
Dalam perasaannya, orang yang hampir mati tenggelam ini bukan Yap Soat melainkan
dirinya sendiri. Kecuali lumpur, ada apa lagi di tempat yang disebut rawa"
Daun rontok dan rumput berbisa yang membusuk, batu padas yang rontok dan
terbenam di situ, macam-macam serangga dan ular berbisa, nyamuk pengisap darah
yang jahat dan semut.... Di rawa-rawa yang terdapat macam-macam keanehan ini bahkan dapat kau temukan
beribu jenis benda yang aneh dan jarang terlihat, bahkan hampir setiap sesuatu
pasti memuakkan orang. Akan tetapi dipandang dalam kegelapan, rawa yang memuakkan ini tiba-tiba berubah
menjadi semacam keindahan yang sukar dijelaskan, kecuali bau busuk yang sukar
ditutupi oleh kegelapan itu, keindahannya hampir menyerupai sebuah danau yang
tenang dan misterius. Suara nyanyian yang memilukan tadi sudah berhenti, Siau-hong juga tidak
melangkah ke depan lagi. Terpaksa dia berhenti, sebab baru saja sebelah kakinya menginjak lumpur, hampir
saja seluruh orangnya terisap ke dalam.
Serupa kejahatan saja, rawa-rawa juga ada semacam daya tarik yang jahat, sekali
kejeblos, tentu akan ambles seluruhnya.
Muka Yap Soat tambah pucat, katanya, "Kau bilang selama sekian tahun dia
sembunyi di sini?" Siau-hong mengangguk. "Cara bagaimana dia dapat hidup di tempat seperti ini?" tanya Yap Soat.
"Sebab dia tidak mau mati," suara Siau-hong membawa rasa berduka, "Bila seorang
benar-benar ingin hidup, betapa besarnya penderitaan pasti dapat ditahannya."
Ucapan yang sederhana, tapi mengandung makna yang ruwet dan dalam, hanya orang
yang sudah kenyang asam garamnya siksa derita dapat memahaminya.
Dalam kegelapan tiba-tiba ada orang berucap dengan menyesal, "Ucapanmu mamang
tidak salah, tapi perbuatanmu keliru, tidak seharusnya kau bawa orang ke sini."
Suara yang serak basah itu tidak asing bagi Liok Siau-hong. Tapi tangan Yap Soat
terasa dingin. Sambil menggenggam tangan si nona, Siau-hong berkata, "Dia bukan orang lain,
tapi anakmu." Lawan tidak kelihatan, juga tidak terdengar jawabannya, Siau-hong berseru pula
menghadap ke rawa yang gelap sana, "Meski engkau tidak mau anakmu melihat
dirimu, tapi sedikitnya kau harus melihatnya, dia sudah dewasa."
"Bukankah dia masih serupa dahulu, suka sembunyi sendirian di dalam kamar yang
gelap sehingga orang lain sukar menemukan dia," terdengar suara si bayangan
memotong ucapannya. Hal ini merupakan rahasia pribadi Yap Soat, pembawaannya memang memiliki
sepasang mata yang dapat memandang sesuatu dalam kegelapan. Makanya dia suka
sembunyi di tempat gelap, sebab ia tahu orang lain tidak dapat melihatnya,
sebaliknya dia dapat melihat orang lain.
Orang yang tahu rahasia pribadinya ini tidak banyak, seketika tubuhnya gemetar.
"Sudah dapat kau terka siapa dia?" tanya Siau-hong.
Yap Soat mengangguk, mendadak ia berteriak, "Jika tidak kau perlihatkan dirimu
kepadaku, biarlah aku mati di sini saja."
Keadaan kembali sunyi, akhirnya dalam kegelapan muncul segulung bayangan hitam,
bentuknya aneh, serupa rumah kapal, bukan saja mengambang di atas rawa, bahkan
dapat bergerak. "Kau ingin melihatku?" tanya orang itu.
"Ya ingn sekali," tegas jawaban Yap Soat.
"Liok Siau-hong," ujar orang itu, "tidak seharusnya kau bawa dia ke sini,
sungguh tidak pantas."
Si bayangan menghela napas lagi, tidak ada orang lain yang dapat lebih memahami
keangkuhan dan kebandelan puterinya daripada dia sendiri.
"Dapat kuperlihatkan diriku kepadamu, tetapi kau pasti akan menyesal, sebab aku
tidak lagi..." "Betapapun engkau berubah, engkau tetap ayahku, dalam hatiku ayah tidak pernah
berubah selamanya, engkau tetap lelaki yang paling cakap di dunia ini, lelaki
yang paling baik terhadapku."
Rumah kapal yang mengambang itu semakin dekat, kira-kira dua tombak jaraknya
segera Yap Soat melompat ke sana.
Siau-hong tidak merintanginya, dapat dilihatnya di antara mereka ayah dan anak
pasti ada hubungan perasaan yang sangat erat dan mendalam.
Tiba-tiba terkenang olehnya akan ayah-bunda sendiri, teringat dirinya yang hidup
sendiri kesepian selama ini.
Mendadak suara jeritan membuyarkan lamunannya. Suara jeritan yang timbul dari
rumah kapal, suara Yap Soat. Sementara itu rumah kapal yang mengambang itu
perlahan lenyap lagi dalam kegelapan.
"Tidak dapat kau bawa pergi dia!" teriak Siau-hong.
Si bayangan tertawa, "Jika dia putriku, mengapa tidak boleh kubawa dia pergi?"
Suara tertawanya penuh rasa mengejek dan keji.
Dingin seluruh badan Siau-hong, tiba-tiba diketahuinya sesuatu yang menakutkan,
teriaknya, "Kau bukan ayahnya! Kutahu kau ini Giok-su-kiam-kek Yap Leng-hong,
tapi engkau bukan ayahnya."
Tergelak si bayangan, katanya, "Peduli aku apanya, yang jelas akan kubawa serta
dia, kembali dan beritahukan kepada Lau-to-pacu, jika dia ingin orang, suruh dia
datang sendiri kepadaku."
Makin jauh suara tertawanya, rumah kapal juga tidak tertampak lagi, rawa yang
misterius kembali lagi sunyi dan gelap.


Duel Di Butong Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hong berdiri termangu dalam kegelapan, selang sekian lama, tiba-tiba ia
menghela napas dan berucap, "Tidak perlu kukembali untuk memberitahukan padamu,
apa yang dikatakannya tentu sudah kau dengar dengan jelas."
Dia tidak bicara kepada diri sendiri, sesudah rumah kapal itu pergi jauh, segera
diketahuinya Lau-to-pacu telah berada di belakangnya.
Tidak perlu berpaling pun dia sudah tahu.
Lau-to-pacu memang betul sudah datang, ia pun menghela napas panjang, "Apa yang
dikatakannya sudah kudengar semuanya, tapi selalu kupertahankan jarak cukup jauh
denganmu, juga tidak mengganggu tindakanmu."
"Kutahu engkau seorang yang dapat pegang janji," kata Siau-hong.
"Apa pula yang kau ketahui?" tanya Lau-to-pacu.
Mendadak Siau-hong berpaling dan menatapnya, "A Soat bukan putri Yap Leng-hong,
tapi putrimu." Lau-to-pacu tidak menyangkal, juga tidak membenarkan.
"Justru lantaran Yap Leng-hong mengetahui hal ini, makanya kau ingin membunuh
dia," kata Siauhong pula.
Lau-to-pacu tertawa, tertawa sepet, ucapnya, ."Tak kusangka dia ternyata tidak
mati." "Meski hidupnya terlebih menderita daripada mati, tapi dia se-bisanya bertahan."
"Sebab dia ingin menuntut balas."
"Tapi dia tidak berani mencarimu, terpaksa menggunakan cara ini agar kau yang
mencari dia. Dia lebih hapal mengenai daerah ini, A Soat dijadikan pula sandera,
maka kesempatannya jauh lebih besar daripadamu."
Lau-to-pacu mendengus, "Hm, mestinya kukira engkau tidak mungkin tertipu, tidak
tahunya akhirnya kau tetap dapat diperalat orang."
"Untung juga batas waktu perjanjian kita belum habis," kata Siau-hong.
"Memangnya cara bagaimana dapat kau pergi" Meliuk ke sana serupa belut menyusup
di tengah lumpur?" "Aku dapat membual sebuah rakit."
Lau-to-pacu termenung sejenak, katanya kemudian, "Rakit yang kau buat dapat muat
dua orang?" "Rakit yang dibuat dua orang bersama baru dapat memuat dua penumpang."
"Hah, tampaknya orang ini tidak pernah mau dirugikan," ucap Lau-to-pacu dengan
tertawa. Maka kedua orang lantas bekerja keras, dalam sekejap saja belasan pohon sudah
mereka tebang, bukan ditebang dengan senjata, tapi ditebas dengan telapak
tangan. "Kau yang membersihkan ranting dan daun, aku akan mencari tali," kata Lau-topacu. Siau-hong menyengir, "Bekerja bersama orang semacam kau, ingin tidak rugi juga
sukar." Meski dia tahu tugas sendiri terlebih berat, terpaksa ia menurut, sebab ia juga
tidak tahu kemana akan mencari tali.
Lau-to-pacu juga tidak dapat mencari tali, baru saja Siau-hong berjongkok,
kontan telapak tangan Lau-to-pacu menabas kuduknya, segera dia rebah serupa
pohon tumbang. Cuaca suram kelam, juga penuh kabut.
Waktu Siau-hong siuman, dirasakan sudah berbaring di tempat tidur Liu Jing-jing
yang besar itu. Tidak ada orang di dalam rumah, pada meja kecil di ujung tempat tidur ada
sebotol arak, di bawah botol tertindih secarik kertas yang tertulis: "Maaf,
salah tangan dan melukai lehermu, syukur ada arak dapat sekedar menghilangkan
rasa kagetmu, bila mendusin, silakan minum seadanya, sekitar lohor nanti akan
kudatang lagi untuk omong-omong.".
Habis membaca surat singkat itu barulah dirasakan oleh Siauhong lehernya
kesakitan hingga menoleh saja sukar.
Dengan sendirinya bukan Lau-to-pacu salah tangan memukulnya. Akan tetapi mengapa
Lau-to-pacu perlu menyergapnya" Mengapa tidak membiarkannya pergi menolong Yap
Soat. Apakah di balik semua ini masih ada rahasia yang tidak boleh diketahui orang"
Dia tidak mengerti, maka tidak dipikirkan lagi, ia angkat botol arak terus
dituang ke dalam mulut. Sesudah isi setengah botol masuk perut, tiba-tiba di luar ada suara anjing
menggonggong, semula cuma ada suara seekor anjing, mendadak berubah menjadi
suara gonggong tujuh atau delapan ekor, baik anjing kecil, besar, jantan dan
betina, semuanya ada, ramai sekali suaranya.
Di lembah pegunungan sunyi ini, darimana datangnya anjing sebanyak ini"
Tentu saja Siau-hong heran dan ingin tahu, baru saja ia membuka pintu, mau tak
mau ia tercengang. Di luar tiada seekor anjing pun, yang ada cuma satu orang. Seorang berbaju
hitam, kurus kering, muka pucat, tapi mata bersinar tajam.
Siau-hong menghela napas, tegurnya, "Sesungguhnya kau manusia atau anjing?"
"Bukan manusia juga bukan anjing," sahut Kian-long-kun, si jaka anjing.
"Kau ini barang apa?" tanya Siau-hong pula.
"Aku juga bukan barang, maka kudatang mencari dirimu."
"Untuk apa mencariku?"
"Kau terima suatu permintaanku dan akan kuberitahukan dua kabar kepadamu."
"Kabar baik atau kabar buruk?"
Kian-long-kun tertawa, "Sesuatu yang keluar dari mululku masa ada kabar baik?"
Siau-hong juga tertawa, mendadak tangannya bergerak, secepat kilat ia cepit
hidung orang dengan dua jari.
Kedua jari yang paling berharga di dunia persilatan, jari sakti yang paling
terkenal dan tidak ada bandingannya.
Pada hakikatnya Kian-long-kun sama sekali tidak mampu mengelak, sekalipun tahu
jelas kedua jari itu akan mencepit hidungnya tetap juga tidak sanggup
menghindar. Dengan tersenyum Siau-hong berkata, "Konon hidung anjing peka daya ciumnya,
anjing yang tak berhidung, hidupnya pasti tidak enak."
Muka Kian-long-kun tampak merah padam, napasnya sesak.
Siau-hong lantas melepaskan jarinya dan berkata, "Nah, katakan dulu kabar yang
kau bawa." Kian-long-kun menghembuskan napas lega, lalu menjawab, "Kabar apa?"
Siau-hong tertawa pula, mendadak secepat kilat tangannya bekerja lagi dan hidung
orang kembali dicepitnya dengan dua jari. Dan Kian-long-kun tetap tidak mampu
mengelak. Kembali Siau-hong melepaskan jarinya, lalu bertanya pula dengan tersenyum, "Nah,
kabar apa?" Sekali ini terpaksa Kian-long-kun bicara sejujurnya, sebab dapat ditarik
kesimpulan, asalkan Liok Siau-hong turun tangan, setiap saat hidungnya pasti
akan terjepit semudah kucing menerkam tikus.
"Ciangkun hampir mati, Yap cilik menghilang," inilah berita yang dikatakannya,
memang berita buruk. "Masa tidak ada yang tahu kemana perginya Yap cilik?" tanya Siau-hong.
"Jika anjing saja tidak tahu, apalagi manusia," ujar Kian-long-kun atau si jaka
anjing dengan menyengir. "Dan bagaimana dengan Ciangkun?" "Ciangkun sedang
Pangeran Impian 2 Pedang Keramat Thian Hong Kiam Karya Kho Ping Hoo Anak Harimau 1

Cari Blog Ini