Ceritasilat Novel Online

Pena Wasiat 1

Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen Bagian 1


PENA WASIAT Karya : Wo Lung-shen Oleh : Tjan Jilid 1 Dalam kitab Ping-ki-boh (catatan ilmu senjata) tercatat
pelbagai ilmu silat kenamaan dalam dunia persilatan serta
ulasan tentang senjata tajam, terutama tentang kegunaan
istimewa pelbagai senjata aneh, barang siapa dapat
membaca kitab Ping-ki-boh dia akan memahami tujuh puluh
persen dari pelbagai ilmu silat dan senjata yang ada di
dunia. Maka dari itu Ci-cu Ping-ki-boh disebut sebagai Kangoutitit-khi-su (Kitab paling aneh di dunia kangou).
Konon kitab tersebut dibuat oleh seorang yang bernama
Ban Ci-cu. Manusia macam apakah Ban Ci-cu itu" Hingga kini masih
merupakan suatu teka-teki karena belum ada seorang pun
yang pernah menjumpainya.
Banyak catatan yang tercantum dalam kitab Ping-ki-boh
akhirnya tersiar dalam dunia persilatan, catatan itu dicatat
semua oleh pelbagai perguruan serta keluarga persilatan
untuk selanjutnya diturunkan kembali kepada anak murid
serta keturunannya. Tak sedikit di antaranya, bahkan mengeluarkan banyak
tenaga dan biaya untuk membuktikan kebenaran berita
tersebut, ternyata semuanya memang terbukti akan
kebenarannya. Oleh sebab itu, seorang pun mengikuti bahwa kitab itu
merupakan kitab paling aneh di dunia.
Sayang tak manusia pun yang berhasil menguasai semua
kepandaian itu dan menganalisa kembali seluruh isi kitab
Ci-cu Ping-ki-boh tersebut.
Mungkin saja ada orang yang pernah membaca seluruh
isi kitab itu paling tidak orang itu belum diketahui oleh umat
persilatan. Bulim Cun-ciu-pit (pit wasiat) lebih-lebih merupakan
suatu peringatan bagi umat persilatan, dengan pena wasiat
inilah banyak kejadian besar dalam dunia persilatan telah
dicatat dalam kitab besar.
Bukan hanya manusia-manusia termasyhur saja yang
akan dicatat oleh Cun-ciu-pit, bahkan orang yang tidak
ternama dan tidak termasyhur pun kadang kala ikut dicatat
juga. Cun-ciu-pit dapat membuat seorang tokoh persilatan
yang disegani dan dihormati orang menjadi orang yang
paling busuk namanya dan dibenci orang dalam sehari saja.
Tapi dapat pula membuat seorang umat persilatan yang
tak ternama menjadi seorang tokoh persilatan yang
disegani dan dihormati semua orang dalam sehari.
Tentu saja banyak alasan yang dimiliki Cun-ciu-pit untuk
bisa memiliki kekuasaan sebesar ini.
Tapi di antara sekian banyak alasan ada dua di antaranya
yang paling penting, pertama semua kejadian yang dicatat
Cun-ciu-pit adalah kenyataan, bukan Cuma isapan jempol
belaka, ada waktunya ada tempat kejadiannya ada jalan
ceritanya, bahkan ada pula barang bukti atau saksi
hidupnya. Kedua karena pena wasiat itu amat misterius. Tentu saja
pena itu tak mungkin bisa menulis sendiri semua kejadian,
tentu ada orang yang pernah tahu siapa gerangan orang
itu, ia tak pernah melibatkan diri dalam pertikaian dunia
persilatan, tapi seakan-akan dalam banyak kejadian ia
selalu hadir di tempat. Tak mungkin orang bisa menulis semua kejadian dengan
terperinci seandainya ia tidak hadir di sana.
Itulah Bu-lim Cun-ciu-pit, sebuah pena wasiat.
Ia dapat membongkar kedok kemunafikan seorang
ksatria dunia persilatan, agar orang dapat mengetahui
semua keburukan, kebengisan dan kejahatannya di balik
kebaikan. Dia pun dapat mengungkapkan semua perjuangan,
pengorbanan serta perbuatan mulia seorang ksatria sejati,
agar namamu menjadi tenar di mana-mana.
Pena wasiat itu hanya khusus mengurusi semua
perbuatan orang-orang persilatan.
Ia mengungkap kebobrokan orang tapi mendengungkan
kebaikan orang. Terhadap pena wasiat itu, ada sementara orang
persilatan yang merasa pusing kepala merasa pecah nyali
dan ketakutan. Tapi ada pula yang menyanjung dan memuliakannya
.......... Tiga puluh tahun telah berlangsung tanpa terasa ...........
Tahun ini, kawanan jago dari Siau-lim-pay dan Bu-tongpay
sudah jarang melakukan perjalanan dunia persilatan.
Empat keluarga persilatan yang paling kuat dan tenar di
masa lalu kini pun mulai lemah dan mundur.
Satu-satunya perguruan yang paling tenar dan disegani
orang waktu itu adalah Bu-khek-bun (perguruan Bu-khek)
yang dipimpin oleh Cing-peng-kiam-khek (jago pedang Cinpeng)
Tiong Ling-kang sebagai ketuanya.
Markas besar mereka terletak di bawah bukit Liongtiongsan di luar kota Siang-yang, luasnya mencapai
puluhan hektar, meski tidak terhitung megah dan angker
tapi jumlah murid berikut pelayan mencapai ratusan orang.
Yang mengemban kewajiban perguruan Bu-khek-bun
adalah papan nama yang tergantung di depan pintu
gerbang. Papan nama itu terbuat dari kayu Song pilihan dasar
hitam dengan tulisan emas, tiga huruf tercantum di situ
yang bernama: "Bu-khek-bun".
Bukan bahan atau tulisan itu yang berharga, justru tanda
tangan di bawah papan nama itulah yang tak ternilai
harganya, karena di situlah tercantum nama dari jago-jago
Siau-lim, Bu-tong, keluarga persilatan Tong-hong, ketua
Kay-pang, dan ketua Bay-kau. Lima orang tokoh paling
berkuasa dalam dunia persilatan waktu itu.
Pada usia dua puluh tahun, Tong Ling-kang turun gunung
mulai berkelana, seratus delapan jurus ilmu pedang Cingpengkiam-hoat telah dikuasainya secara sempurna, tiga
tahun kemudian ia telah berhasil meraih gelar Cing-pengkiamkhek. Pada usia tiga puluh tahun, namanya makin tersohor
setelah dia berhasil membinasakan tujuh orang manusia
paling buas dalam dunia persilatan waktu itu.
Pada usia tiga puluh dua tahun, dia menjabat kedudukan
sebagai ciangbunjin perguruan Bu-khek-bun, pada tahun
yang sama ia kawin dengan Pek Hong, putri kesayangan
Sin-heng-siu (kakek pejalan sakti) Pek Bwee hingga
namanya makin dikenal di mana-mana.
Dalam perguruan Bu-khek-bun, terdapat empat orang
jago yang berbakat bagus, pertama adalah Seng Tiong-gak,
siau-sute dari Tiong Ling-kang sendiri, meskipun menjadi
adik seperguruannya dalam kenyataan usianya selisih
banyak dengan Tiong Ling-kang, tahun ini berusia tiga
puluh tahun, ketika suhu Tiong Ling-kang baru
menerimanya sebagai murid, orang tua itu jatuh sakit dan
tak dapat bangun kembali, karenanya ilmu silat yang
dimiliki Seng Tiong-gak sebagian besar adalah ajaran dari
Tiong Ling-kang. Orang kedua yang bisa diandalkan adalah seorang murid
Tiong Ling-kang sendiri, ia bernama Cu Siau-hong.
Sebenarnya bocah itu adalah keturunan seorang
bangsawan, kakeknya pernah menjadi pembesar dan
ayahnya seorang sastrawan kenaman.
Dalam keluarga macam beginilah justru muncul seorang
bocah yang berbakat bagus, ketika ditemukan oleh Tiong
Ling-kang dan menganggapnya berbakat aneh, dengan
segala usaha yang sulit dan berbelit-belit akhirnya ia
berhasil memaksa ayah Cu Siau-hong untuk menghantar
anaknya belajar silat dalam Bu-khek-bun.
Ternyata pilihan Tiong Ling-kang memang tak salah, Cu
Siau-hong betul-betul seorang manusia yang berbakat
untuk belajar silat, pada usia tujuh tahun ia masuk
perguruan dan tahun ini berusia sembilan belas tahun, tapi
seluruh kepandaian milik Cing-peng-kiam-khek telah
dikuasainya, ditambah lagi sejak kecil gemar membaca, ini
membuatnya menjadi seorang Bun-bu-cuan-cay (pandai
dalam bidang sastra maupun silat).
Orang ketiga bernama Tang Cuan dia berasal dari
keluarga silat, ayahnya pernah menjadi piausu, ketika usia
setengah umur berganti usaha dengan berdagang, harta
kekayaannya amat banyak dan merupakan keluarga
ternama di kota Lu-ciu. Ayah Tang Cuan adalah seorang pengagum Tiong Lingkang,
maka ketika ia menghantar putranya untuk belajar
silat, melihat juga Tang Cuan berbakat baik, Tiong Lingkang
pun menerimanya sebagai murid.
Orang keempat tidak lain adalah putra kesayangan Tiong
Ling-kang dengan Pek Hong yang bernama Tiong It-ki.
Penghargaan Tiong Ling-kang terhadap keempat orang
ini sangat besar, maka dengan penuh kesungguhan hati
dipupuknya mereka secara sungguh-sungguh dan penuh
kasih sayang. Di antara tiga orang angkatan muda, usia Tang Cuan
paling besar, tahun ini telah berusia dua puluh tiga tahun,
dia adalah murid tertua dalam perguruan Bu-khek-bun.
Dengan pasti Tiong Ling-kang tahu, bahwa di antara dua
belas orang muridnya, hanya ketiga orang itu yang paling
besar harapannya untuk berhasil.
Maka mereka diminta untuk berdiam dalam
perkampungan selama banyak tahun, bukan saja latihan
mereka diawasi dengan ketat, lagi pula dengan pelbagai
macam bahan obat mereka dipupuk tenaga dan
kekuatannya, banyak kejadian dalam dunia persilatan
sering kali diceritakan kepada mereka.
Oleh sebab itu, meski ketiga orang tak pernah
meninggalkan bukit Liong-tiong-san, tidak sedikit yang
mereka ketahui tentang masalah dalam dunia persilatan.
Suatu hari, seusai mencoba kehebatan ilmu pedang
mereka bertiga, dengan wajah berseri Tiong Ling-kang
memanggil mereka bertiga untuk menghadap, lalu ujarnya
dengan gembira. "Selama lima enam tahun belakang ini, aku jarang sekali
melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, harapanku
adalah dapat mendidik kalian sebaik-baiknya, ternyata
usahanya tidak sia-sia, kesempurnaan kalian dalam soal
ilmu pedang Cing-peng-kiam-hoat sudah cukup
mengagumkan, tenaga dalam pun sudah mencapai taraf
bisa digunakan menurut kehendak hati sendiri, tapi kalian
jangan keburu besar kepala, aku harap kalian jangan
menjadi malas dan tinggi hati karena pujian tersebut."
Ketiga orang muridnya segera mengiakan berulang kali.
"Besok aku hendak mewariskan ilmu senjata rahasia
Thiat-lian-hoa (bunga teratai besi) kepada kalian," kata
Tiong Ling-kang lagi sambil tertawa, "Kalian mesti tahu,
Cing-peng-kiam-hoat dan 24 teratai besi adalah kepandaian
yang paling kuandalkan selama ini, sekali pun memakai
senjata rahasia kurang mencerminkan perbuatan seorang
ksatria, namun kadang kala kita memerlukannya untuk
digunakan menghadapi kaum Siau-jin, karenanya secara
khusus kumiliki beberapa macam kepandaian yang bisa
digunakan untuk mengatasi serangan senjata rahasia
lawan. Aku harap kalian bisa mempelajarinya secara tekun
dan rajin sehingga tak sampai menyia-siakan
pengharapanku." Tang Cuan segera membungkukkan badan memberi
hormat. "Budi kebaikan Suhu lebih tinggi dari bukit lebih dalam
dari samudra, sudah menjadi kewajiban bagi Tecu sekalian
untuk ikut menyemarakkan nama perguruan hingga Bukhekbun kita selamanya bisa berdiri tegak dalam dunia
persilatan." "Bagus!" kata Tiong Ling-kang sambil mengangguk,
"semoga saja kalian memiliki semangat juang yang luar
biasa sehingga tidak sia-sia pengorbananku selama ini
........" Setelah berhenti sejenak ia menambahkan:
"Selama lima tahun belajar silat, belum pernah kalian
meninggalkan perkampungan Ing-gwat-san-ceng barang
selangkah pun, cuti dua tahun sekali untuk pulang
menengok keluarga pun dihapuskan, maka sebagai selingan
kalian besok akan kuajak kalian berburu di atas gunung,
sekalian kuwariskan ilmu Thiat-lian-hoa kepada kalian
semua." Tiga orang pemuda yang selama lima tahun belum
pernah meninggalkan perkampungan, tiba-tiba mendengar
bahwa esok pagi akan diajak berburu sudah barang tentu
mereka menjadi sangat gembira, rasa girang itu lamatlamat
tercermin pula di atas wajah mereka.
Tiong Ling-kang menunjukkan pula rasa gembiranya,
sambil tertawa katanya pula :
"Sekarang pergilah beristirahat dulu, besok pagi-pagi kita
akan meninggalkan perkampungan untuk berburu."
Selesai berkata ia lantas berlalu lebih dulu dari situ.
Tiong It-ki sekalipun sebagi putra kesayangan Tiong
Ling-kang, tapi hubungan dengan tiga orang rekannya
akrab sekali. Sepeninggal gurunya, Tang Cuan berpaling ke arah Tiong
It-ki seraya katanya : "Siau-sute, selama banyak tahun kau selalu tinggal
bersama kami di kebun belakang, meskipun suni ada
beberapa jengkel saja di hadapanmu , namun kesempatan
kalian untuk bertemu jarang sekali. Padahal menurut
perkataan Suhu tahi, jelas ilmu pedang kita telah berhasil
baik dan kita meningkat akan diajari senjata rahasia Thiatlianhoa. Apa salahnya kalau kau menengok Subo sekalian
sampaikan pula salam dari kami semua?"
"Siaute turut perintah," Tiong It-ki segera mengiakan.


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tang Cuan lantas mengalihkan sorot matanya ke wajah
Cu Siau-hong, kemudian katanya pula :
"Jit-sute, kau pergi ke istal dan tuntun keluar ketiga ekor
kuda hadiah suhu kepada kita tahun berselang, sikatlah
bulunya sampai bersih, bila aku selesai membersihkan
ruangan nanti, kita semua akan pergi membantumu."
"Siaute turut perintah," Cu Siau-hong memberi hormat.
Dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng memang
terdapat banyak pelayan dan dayang tapi Tiong Ling-kang
justru menanamkan prinsip hidup berdikari bagi muridmuridnya,
kecuali soal makan hampir semua pekerjaan
mereka lakukan sendiri. Cu Siau-hong telah masuk ke istal, istal itu luas dan
indah, di sana terpelihara hampir tiga puluh ekor kuda
bagus. Penjaga istal adalah seorang kakek yang bernama Loliok,
sekalipun usianya sudah amat tua, rambutnya telah
putih semua, tapi semangatnya masih bagus, setiap hari
kerjanya melulu membersihkan ruang istal tersebut.
Kamar tidur Lo-liok terletak di pintu masuk menuju ke
istal. Waktu itu sinar matahari sore masih memancarkan sisasisa
cahaya, Lo-liok sedang duduk di sebuah bangku di luar
istal sambil menghisap huncwenya.
Sekulum senyuman selalu menghiasi ujung bibirnya,
seakan-akan ia merasa puas sekali dengan kehidupannya
sekarang sebagai seorang penjaga istal kuda.
"Cu-kongcu, mau jalan-jalan naik kuda?" tanya Lo-liok.
Cu Siau-hong segera tertawa.
"Oh tidak! Kami akan membersihkan kuda, sebab esok
pagi Suhu hendak mengajak kami berburu di atas bukit."
"Kalian sudah tidak berlatih pedang lagi?"
Cu Siau-hong duduk di samping kakek itu, lalu jawabnya,
"Kata Suhu, mulai besok beliau akan mengajarkan cara
melepaskan senjata rahasia Thiat-lian-hoa kepada kami."
"Oh, jadi kalau begitu ilmu pedang kalian tentu sudah
berhasil mencapai kesempurnaan kata Lo-liok sambil
manggut-manggut." "Entahlah, Suhu tidak berkata demikian."
Lo-liok membersihkan mangkuk huncwenya dari arang
tembakau, lalu setelah mengisinya yang baru ia berkata lagi
sambil tertawa. "Cu-kongcu, berapa ekor kuda yang hendak kau cuci?"
"Tiga ekor, kuda milik Toa-suheng kuda milikku dan kuda
milik It-ki sute!" "Baik, kubantu nanti!"
"Ah, tidak usah empek Liok, setelah berbincang-bincang
sebentar akan kukerjakan sendiri nanti, berapa toh tenaga
yang musti dikeluarkan untuk mencuci tiga ekor kuda?"
Sikapnya yang lemah lembut dan penuh kesopanan ini
membuat di atas wajah Lo-liok terlintas suatu perubahan
mimik wajah yang aneh. Tapi halnya sebentar saja, lantas
lenyap kembali. Cu Siau-hong tidak melihatnya, padahal sekali pun tahu,
dia pun tak akan memahami arti dari perubahan tersebut.
Lo-liok menghembuskan asap huncwenya, kemudian
berkata : "Cu-kongcu, coba lihatlah sinar matahari sore yang
memancarkan cahaya keemas-emasan betapa indahnya
pemandangan saat ini, sayang masa yang indah selalu
hanya berlangsung pendek, bila sinar senja telah lenyap
magrib pun menjelang tiba."
Cu Siau-hong mengerdipkan sepasang matanya yang jeli
lalu bertanya : "Liok-lopek kau pernah bersekolah?"
Rupanya Lo-liok tahu kalau sudah salah berbicara ia
lantas tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh.........haaahh.........haaahh....... itu kejadian di
masa mudaku dulu kalau dihitung-hitung..... yaa sudah
hampir lima puluh tahun lebih."
"Liok-lopek aku merasa kau tidak mirip sebagai seorang
penjaga istal kuda!"
"Cu-kongcu, nasib ada di tangan Thian, sudah puluhan
tahun lolap bekerja sebagai penjaga istal kuda, separuh
hidupku hampir kulewatkan dalam kandang kuda."
Tiba-tiba Cu Siau-hong seperti merasakan sesuatu yang
aneh, ia merasa kakek penjaga kuda ini seakan-akan
mempunyai suatu kewibawaan yang tidak sesuai dengan
kedudukannya sebagai seorang penjaga istal kuda,
sekalipun bajunya sederhana meski pekerjaannya rendah,
namun tak dapat menyembunyikan sepasang matanya yang
jeli dan tajam serta suatu pancaran kewibawaan serta
keagungan yang tebal. Cu Siau-hong memang tidak berpengalaman untuk
menaksir sesuatu, namun di wajah orang itu memiliki
sesuatu yang luar biasa. Maka setelah menghembuskan napas panjang pelanpelan
anak muda itu berkata lagi,
"Liok-lopek, aku benar-benar bodoh, aku benar-benar
amat bodoh, padahal sudah banyak tahun kita berkumpul
setiap hari bertemu muka, tapi sekarang baru kuketahui
bahwa Liok-lopek sesungguhnya adalah seorang jago lihay
yang sengaja menyembunyikan kepandaian sendiri."
Rupanya Lo-liok tidak menduga kalau Cu Siau-hong
berhasil menyelami sedemikian dalamnya tentang dia,
untuk sesaat dia tertegun, lalu katanya :
"Nak, kemarilah kau!"
Ia bangkit dan masuk ke kamar tidurnya.
Ruangan itu kecil dan perabotnya amat sederhana.
Selain sebuah pembaringan kayu, di situ hanya terdapat
sebuah meja dan dua buah kursi. Tapi segala sesuatunya
berada dalam keadaan rapi dan bersih, sepreinya sekalipun
sudah luntur warnanya tapi tidak tampak acak-acakan.
"Padahal ia sudah tua, lagi pula musti mengurusi begitu
banyak kuda, tapi kamarnya begini bersih dan rapi, jelas ia
adalah seorang kakek yang rajin."
Sementara itu Lo-liok telah mengeluarkan sejilid kitab
berwarna kuning dari bawah pembaringannya, sambil
tertawa ia berkata : "Nak, bersediakah kau menyanggupi beberapa buah
permintaanku?" Dengan sikap yang sangat menghormat, Cu Siau-hong
menjura, sahutnya lirih :
"Apa pun permintaan Lopek, Siau-hong pasti akan
berusaha untuk melaksanakannya secara baik."
"Bila orang lain membicarakan soal diriku, kau musti
menunjukkan bahwa hubungan kita sebenarnya dingin dan
tiada sesuatu yang luar biasa."
"Tentang soal ini, Siau-hong tentu saja dapat
memenuhinya, tapi bolehkah Siau-hong sering berkunjung
kemari di kemudian hari."
Lo-liok segera menghela napas panjang.
"Aaaai..... Nak, hari ini Lohu sudah terlanjur banyak
melakukan kekeliruan, kita hanya berjodoh untuk bertemu
satu hari saja, Nak! Aku percaya dengan kemampuanmu
sekarang, tidak sulit bagimu untuk mempelajari ilmu silat
yang tercantum dalam kitab itu, tapi ingat! Kau hanya
mempunyai waktu selama dua hari untuk mempelajarinya,
kau pun dilarang membicarakan persoalan ini dengan siapa
pun, termasuk gurumu sendiri."
"Oooh...........!"
"Ilmu silat yang tercantum di dalamnya boleh Kau
pelajari, Kau harus menyanggupi permintaanku yakni
sampai di manapun kesempurnaan dalam kepandaian yang
Kau pelajari dari kitab itu, dalam setahun ilmu tadi tak
boleh kau pergunakan"
Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Siau-hong,
tanyanya : "Liok-lopek, seandainya nyawa Siau-hong terancam mara
bahaya?" "Sekalipun terancam juga tak boleh menggunakannya."
"Selewat setahun?"
"Tentu saja Kau boleh mempergunakannya," jawab Loliok
sambil manggut-manggutkan kepalanya, "tapi jangan
lupa Kau adalah murid Bu-khek-bun, banyak kepandaian
silatmu adalah perubahan dari jurus serangan dalam
perguruan Bu-khek-bun!"
"Siau-hong mengerti!"
"Lupakan aku Nak, seolah-olah kau tak pernah berjumpa
denganku." Pelan-pelan ia serahkan kitab tadi ke tangan Cu Siauhong,
kemudian melanjutkan : "Usiaku sudah tua, mataku sudah kabur dan telingaku
rada congek, daya ingat pun ikut mundur, aku betul-betul
sudah tak ingat lagi di manakah pernah menjumpaimu, di
manakah melihat wajahmu dan di manakah pernah
mendengar suaramu Nak, di dunia ini masih terdapat
banyak sekali pemuda macam Kau, Kau dan mereka adalah
sama saja, bagiku merupakan seorang pemuda yang asing."
"Siau-hong memahami maksud Lopek!"
"Kalau paham itulah lebih bagus, Nak, baik-baik simpan
kitab itu, tuntunlah keluar kudamu dan sikatlah mereka!
Sebentar lagi Toasuhengmu akan tiba di sini."
"Locianpwee......."
Tiba-tiba wajah Lo-liok diliputi kembali keketusan dan
kedinginan yang menyeramkan, kembali ia berkata :
"Ingat baik-baik perkataanku, kau harus membakar kitab
itu dua hari kemudian, kalau tidak menuruti perkataanku
pasti ada bencana besar akan menimpamu, sekarang
pergilah! Mulai detik ini Lohu sama sekali tidak mengenal
kau!" Selesai berkata dia lantas putar badan dan pergi.
Cu Siau-hong tertegun, terpaksa kitab itu disimpan baikbaik
lalu ikut keluar dari ruangan.
Belum selesai ketiga ekor kuda itu dibersihkan, Tang
Cuan dan Tiong It-ki telah tiba di sini.
Atas kehadiran Tiong It-ki, Cu Siau-hong merasa rada
sedikit di luar dugaan, katanya sambil tertawa,
"Sute bukankah Kau pergi menengok Sunio?"
"Siaute telah bertemu dengan ibu, kata ibu, sekalipun
aku anak ayah tapi termasuk pula murid Bu-khek-bun,
maka segala sesuatunya harus sama dengan orang lain,
sebelum pelajaran diselesaikan dan melakukan upacara
peresmian, siapa pun tak akan diperlakukan secara
istimewa...." Sesudah tertawa ia melanjutkan,
"Toa-suheng, Siau-hong suheng, ibu telah menitahkan
pengurusan rumah tangga untuk membangun sebuah
bangunan indah." "Sebuah bangunan indah, kenapa?"
"Kata ibu semasa kita masih belajar ilmu silat maka
pangkat kita hanya seorang pelajar, segala sesuatu
pekerjaan mesti dilakukan sendiri, maka cuci pakaian,
membersihkan kuda harus kita kerjakan sendiri pula,
namun begitu tamat belajar dan selesai melakukan upacara
pelantikan, kita dianggap telah dewasa, maka kita harus
mempunyai tempat tinggal yang baik dan tak perlu
melakukan semua pekerjaan sehari-hari."
"Budi kebaikan perguruan lebih dalam dari samudra,
entah bagaimana kita harus membalasnya," ujar Tang
Cuan. "Toasuheng," bisik Tiong It-ki, "kalau didengar dari
pembicaraan ibu, agaknya seusai pelantikan nanti
tampaknya Suhu hendak mengajak kita untuk melakukan
perjalanan dalam dunia persilatan."
"Sungguhkah itu?" tanya Cu Siau-hong sambil
menghentikan pekerjaannya menggosok tubuh kuda.
"Tentu saja sungguh, konon kita akan diajak untuk
menghadiri sebuah pertemuan besar, sekalian diajak
berjalan-jalan dalam dunia persilatan."
Tang Cuan tersenyum. "Besok pagi Suhu mengajak kita berburu, selain hendak
mengajarkan cara melepaskan senjata rahasia Thiat-lianhoa,
Beliau pun hendak mencoba ilmu silat kita, yaa ilmu
pedang Suhu memang sangat hebat, sudah belasan tahun
aku yang menjadi Toa-suheng mempelajarinya, tapi sampai
sekarang toh belum juga berhasil menguasai secara
matang." Tiong It-ki ikut tertawa, katanya :
"Toa-suheng, kau jangan merasa rendah hati, padahal
ayah sangat puas dengan keberhasilan kita sekarang...."
"Siau-sute, dari Suhu apa saja yang pernah Kau
dengar?" "Aku dengar dari Seng-susiok, ayah pernah
membicarakan soal kita dengannya, Suhu amat puas
dengan keberhasilan kita, katanya Toa-suheng telah
berhasil mendapatkan sebagian besar ilmu kepandaian
Suhu." Sekalipun sekuat tenaga Tang Cuan berusaha untuk
mengendalikan, rasa girangnya sempat pula menghiasi
wajahnya. "Kata Suhu, tenaga dalam serta ilmu pedang Toa-suheng
memperoleh kemajuan dengan pesat," kata Tiong It-ki lebih
lanjut, "konon Kau telah menguasai delapan sampai
sembilan puluh persen kepandaian Suhu, padahal Siaute
sendiri cuma menguasai enam tujuh puluh persen belaka."
Tang Cuan berpaling dan melirik sekejap ke arah Cu
Siau-hong, kemudian bertanya :
"Siau-sute, pernahkah Suhu membicarakan tentang Jitsuhengmu?"
Kiranya dalam urutan murid dalam Bu-khek-bun, Cu
Siau-hong menempati urutan nomor tujuh sedang Tiong Itki
paling kecil dan menempati urutan kedua belas.
Mereka bertiga merupakan murid-murid yang paling
cemerlang di antara dua belas orang murid Bu-khek-bun,
oleh Tiong Ling-kang mereka dipisahkan di tempat lain,
sedang sembilan orang murid lainnya karena merasa bakat
mereka memang terbatas maka tak ada yang merasa tak
senang hati. Hanya dua orang saja di antara mereka yang iri dan
dengki mereka adalah lo-ji (murid kedua) dan lo-kiu (murid


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesembilan). Kedua orang itu pun mempunyai kecerdasan yang luar
biasa tapi masih selisih jauh kalau dibandingkan tiga orang
itu. Sementara itu Tiong It-ki termenung sejenak setelah
mendengar perkataan dari Tang Cuan, kemudian ujarnya :
"Kata Suhu, Siau-hong suheng paling aneh dan tidak
diketahui sampai di mana taraf kesempurnaannya, ia
tampak seperti pintar tapi permainan pedangnya terlalu
tumpul, masih kalah tajamnya dari pada permainan Toasuheng."
"Toa-suheng, kecerdasan Siaute mana bisa dibandingkan
dengan Toa-suheng................?" seru Cu Siau-hong cepatcepat,
"aku mengerti, bila Siaute berhasil menguasai ilmu
pedang itu, paling-paling juga sejajar keberhasilan It-ki
sute, mana mungkin bisa sejajar dengan Suheng?"
Tang Cuan tersenyum. "Jit-sute, kau tak usah merendahkan diri, aku yang
menjadi Toa-suheng pun bisa melihat bahwa dibalik
ketumpulan permainan ilmu pedangmu justru mengandung
perubahan yang di luar dugaan, itulah baru merupakan
kesempurnaan yang luar biasa!"
"Toa-suheng terlalu memuji," kata Cu Siau-hong sambil
tersenyum. Tang Cuan ikut tersenyum.
"Siapa yang lebih tinggi siapa lebih rendah semuanya
adalah orang sendiri, kenapa musti dipikirkan dalam hati?"
katanya! "Tapi yang pasti selama banyak tahun Suhu telah
banyak mengeluarkan pikiran dan tenaga untuk mendidik
kita, bukan cuma dalam ilmu silat, Beliau pun mencari
pelbagai obat mujarab untuk membantu keberhasilan kita,
kesemuanya ini sudah cukup bagi kita untuk sangat
berterima kasih kepadanya."
"Perkataan Toa-suheng memang benar, terhadap budi
kebaikan Suhu, kita memang tak bisa membalasnya!" sela
Siau-hong. Selesai mencuci kuda, mereka kembali ke tempat
pemondokan masing-masing dan sudah hampir malam.
Cu Siau-hong merasa amat gelisah, dia ingin cepat-cepat
mengetahui apa isi kitab tersebut.
Ia tidak tahu apa saja yang tercantum dalam kitab itu
tapi ia sadar kitab itu pasti sebuah benda yang amat
penting. Untung ketiga orang itu menempati kamar tersendiri,
dan lagi Cu Siau-hong memang mempunyai kebiasaan
membaca buku seorang diri sampai larut malam..........
Dengan sangat hati-hati kitab itu dibukanya, lalu dibaca
isinya ternyata itulah tujuh jurus ilmu pedang.
Dibanyak bagian tampak sengaja dirusak orang sehingga
tulisannya tak dapat dibaca lagi, ini membuatnya tak dapat
mengetahui dari manakah asal-usul ilmu pedang itu dan
apa nama ilmu pedang yang terdiri dari tujuh jurus itu.
Untunglah pelajaran ilmu pedang itu sendiri masih utuh
dan lengkap sehingga mudah dipelajari.
Pada dasarnya Cu Siau-hong memang seorang yang
cerdik, daya ingatnya juga bagus, dengan cepat dapat
diketahui bahwa isi kitab terdiri dari tujuh jurus ilmu
pedang, setiap jurus menempati dua halaman, satu
halaman terdiri dari lukisan dan satu halaman berisi tulisan
yang mengungkapkan kupasan dari tiap perubahan jurus,
ternyata setiap jurus mempunyai tujuh perubahan sehingga
keseluruhannya terdiri dari tujuh kali tujuh empat puluh
sembilan perubahan. Di atas kitab tidak tercantum nama seseorang, juga tidak
dijelaskan apa nama ilmu pedang itu.
Hanya membaca tiga kali Cu Siau-hong telah mengingat
semua setiap tulisan dan lukisan yang tercantum dalam
buku. Setelah membakar buku tadi, memadamkan lentera, ia
memejamkan matanya untuk tidur, sebab esok pagi dia
harus ikut gurunya berburu sambil mempelajari ilmu Thiatlianhoa. Dengan dasar kepandaian yang dimilikinya sekarang,
ternyata ketujuh jurus ilmu pedang yang baru dihafalkan itu
ibaratnya tujuh buah biji yang ditanam dalam badannya.
Pelan-pelan ketujuh jurus ilmu pedang itu mulai bersemi
dalam otaknya. Itulah pengalaman yang amat menyiksa, perubahan
gerakan dari ketujuh jurus ilmu pedang itu selalu memenuhi
benaknya, membuat Cu Siau-hong hampir tak dapat
memejamkan matanya. Pemuda itu merasa bahwa semakin ia berusaha
membuang jauh semua pikiran, semakin menghebat
perubahan-perubahan jurus pedang itu mencekam
pikirannya, bahkan kemudian ia merasa betapa banyaknya
perubahan aneh dan hebat yang tercantum di dalamnya.
Lama-kelamaan ia makin kesemsem dan terbuai dalam
pemikirannya, semalam suntuk ia berada dalam keadaan
demikian hingga akhirnya fajar pun menyingsing.
Ketika Tang Cuan mulai berteriak dari luar, Cu Siau-hong
baru melompat bangun dan buru-buru mencuci muka.
Tiba di halaman depan, Tiong Ling-kang telah hadir lebih
dulu di situ, Tiong It-ki sambil menuntun tiga ekor kuda
menanti di sisinya. Buru-buru Cu Siau-hong maju memberi hormat, katanya
: "Tecu terbangun kesiangan, harap Suhu suka
memaafkan!" "Bangunlah kau!" kata Tiong Ling-kang sambil ulapkan
tangan. "Terima kasih atas kemurahan hati Suhu."
Tiong Ling-kang tersenyum.
"Sebagai keturunan bangsawan, aku tahu kau gemar
membaca, aku pun tahu sering kali kau membaca sampai
tengah malam, apakah semalam kau membaca buku
sampai larut malam?"
"Tecu membaca sebentar saja, tapi lantaran
membayangkan kalau hari ini akan pergi berburu, saking
senang dan tegangnya, semalaman suntuk tak bisa tidur
nyenyak." Tiong Ling-kang manggut-manggut.
"Aku dapat melihatnya, di antara kerutan alismu
memang membawa kelelahan, itulah pertanda semalam
suntuk pikirannya gundah."
Cu Siau-hong diam-diam merasa malu, sebab kali ini
harus berbohong di hadapan gurunya, tapi bagaimana pun
juga terpaksa ia harus berbuat demikian, karena janjinya
dengan Lo-liok tak dapat diingkari dengan begitu saja.
Tiong Ling-kang mendongakkan kepalanya memeriksa
cuaca, lalu katanya, "Hayo berangkat, hari sudah siang."
Berangkatlah guru dan murid empat orang meninggalkan
perkampungan Ing-gwat-san-ceng.
Beberapa orang itu sudah empat lima tahun tak pernah
meninggalkan perkampungan, memandang langit nan biru,
terpaan angin pagi yang sejuk, semua orang merasa
hatinya segar dan nyaman.
Tak selang beberapa saat kemudian sampailah mereka di
belakang perkampungan Ing-gwat-san-ceng, belum pernah
Tang Cuan bertiga tiba di sana sebelumnya.
Di situlah mereka semua turun dari kudanya, tempat itu
merupakan sebuah tanah berumput yang luas di tengah
bukit, di sebelah depan merupakan sebuah hutan lebar
sedang di bagian belakang merupakan dinding tebing yang
menjulang ke angkasa. Sambil tertawa Tiong Ling-kang berkata :
"Tempat ini merupakan tempat berburu yang paling
bagus, lebih ke atas sulit buat kita untuk menunggang
kuda, mari kita melanjutkan perjalanan dengan berjalan
kaki." Setelah menambatkan ketiga ekor kuda itu, Tiong It-ki
bertanya dengan suara lirih :
"Ayah, kita akan berburu apa?"
"Di belakang hutan sana banyak kedapatan tawon-tawon
besar yang panjangnya mencapai setengah inci, ekornya
mempunyai sebatang jarum yang amat beracun, akan
kugunakan tawon-tawon besar itu sebagai sasaran untuk
mewariskan senjata rahasia kepada kalian."
"Oh, kiranya begitu, tadinya kukira kita akan diajak
berburu kelinci dan burung sambil melepaskan otot dan
sekalian membawa hidangan untuk makan malam nanti.
Tiong Ling-kang menghembuskan napas panjang,
katanya : "Sekalipun bunga teratai baja bukan termasuk senjata
rahasia beracun, tapi aku telah berhasil menciptakan suatu
kepandaian Hwe-sian-jiu (gerakan berputar dan membalik).
Dua belas batang bunga berantai baja dapat berputar
secara beruntun seperti gerakan gangsingan, bukan saja
untuk menghadapi senjata rahasia lawan bisa juga dipakai
untuk mengatasi kerubutan orang banyak, tapi kepandaian
ini tidak mudah untuk digunakan, dalam hal penggunaan
tenaga mengincar sasaran musti memiliki kecerdasan yang
tinggi terutama tenaga pemutaran tersebut harus tetap dan
kuat sehingga jangan sampai gagal melukis harimau
munculnya seekor anjing. Sekalipun indah gerakannya, bila
kurang sempurna mempelajarinya, bukan cuma akan
ditertawakan lawan bisa jadi sendiri pun ikut dilukai......."
Setelah berhenti sejenak terusnya :
"Jika kalian bertiga dapat bekerja sama, aku percaya ini
lebih bagus lagi. Nanti aku akan memperlihatkan cara
penggunaannya dalam menghadapi tawon-tawon raksasa,
setelah itu baru kuwariskan cara penggunaannya serta
bagaimana cara mengerahkan tenaganya."
Sekalipun keterangan tidak diberikan terlalu jelas,
namun maksudnya dapat dipahami oleh Tang Cuan serta Cu
Siau-hong sekalian. Di antara dua belas orang murid Bu-khek-bun, hanya
mereka bertiga saja yang memiliki kecerdasan serta dasar
tenaga dalam yang cukup untuk mempelajari kepandaian
itu. Tapi Tiong Ling-kang tak dapat mewariskan kepandaian
itu dalam perkampungan Ing-gwat-san-ceng.
Setelah menembusi hutan, tiba-tiba pemandangannya
berubah, tampak di sebuah lapang yang berbatu cadas,
tumbuh aneka macam bunga gunung yang indah dan harum
baunya. Bunyi amat gaduh berkumandang pula di sekitar tanah
lapang, sungguh besar tawon di situ, besarnya mencapai
setengah inci lebih. Waktu itu beratus-ratus ekor tawon raksasa sedang
beterbangan di antara aneka macam bunga-bungaan.
"Kalian musti berhati-hati," kata Tiong Ling-kang, tawontawon
raksasa itu mengandung sari racun yang jahat, lagi
pula amat buas, asal kalian menghindari mereka, tak nanti
mereka akan melukaimu. Bila kulepaskan Thiat-lian-hoa
nanti mereka pasti menjadi marah, janganlah kalian
menjadi teledor, bila sebagian besar mengejarku, gunakan
ilmu pedang hasil belajar kalian selama banyak tahun untuk
menghadapinya, latihlah diri untuk menghadapi tawontawon
itu sebelum sungguh-sungguh bertarung melawan
orang....." Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah botol porselen dan
mengambil enam biji obat, lanjutnya :
"Di sini ada enam biji pil pelenyap racun, makanlah
seorang sebiji, bila ada yang terluak harus bicara terus
terang, jangan dirahasiakan, kita lindungi yang terluka
keluar dari hutan." "Jika kita mundur ke dalam hutan ruang gerak kita
menjadi terbatas, bila tawon itu menyusul kita, bukankah
semakin besar kerugian yang bakal kita derita?" kata Tang
Cuan. "Kubawa kalian ke sini justru lantaran tempat ini terlalu
aneh, tampaknya tawon-tawon itu bersarang di atas dinding
tebing sebelah depan, yang aneh lagi tawon-tawon itu
hanya bergerak di sekitar tanah lapang tersebut, tidak
pernah mereka terbang ke arah hutan."
Cu Siau-hong mengerutkan dahinya, ia seperti hendak
mengucapkan sesuatu tapi niat itu kemudian dibatalkan.
Ia merasa gurunya lebih berpengalaman, apa yang
dinilainya sudah barang tentu lebih tepat dari
penglihatannya sendiri, maka bila mereka dibawa kemari
pasti tak salah lagi, sebab segala macam makhluk alam
mempunyai kebiasaan sendiri, siapa tahu kalau perkataan
gurunya memang benar"
Karena berpendapat demikian, Cu Siau-hong pun cuma
menyimpan kecurigaan tersebut di dalam hati.
Tang Cuan menyaksikan sikap Cu Siau-hong yang aneh,
dia lantas bertanya dengan lirih :
"Siau-hong, apa yang kau pikirkan?"
Sementara itu Tiong Ling-kang telah memasuki tanah
lapang yang penuh dengan aneka bunga itu.
"Toa-suheng, sesungguhnya Siaute merasa agak heran,"
bisik Cu Siau-hong, "tapi mengingat pengetahuan Suhu
lebih luas dari kita maka Siaute rasa selama mengikuti Suhu
tentu saja tak perlu kita musti banyak memikirkan hal-hal
yang lain." "Coba katakan Siau-hong, bagaimana jalan pemikiranmu
itu?" "Haruskah Siaute mengatakannya?"
"Kau banyak membaca dan banyak belajar,
pengetahuanmu tentu sangat luas, aku ingin mengetahui
jalan pemikiranmu sehingga pemikiranku ikut terbuka."
"Toa-suheng, apakah kau tidak merasa bahwa tempat ini
aneh sekali?" Tang Cuan memeriksa sekejap sekeliling tempat itu,
kemudian jawabnya pelan :
"Bunga yang tumbuh di sini beraneka warna serta
menyiarkan semacam bau khas, memang berbeda sekali
dengan bebungaan di tempat lain, tapi kecuali itu aku tidak
melihat apa-apa lagi."
"Justru lantaran bunga-bunga itu terlalu beraneka
macam, warnanya terlalu mencolok dengan bau yang khas,


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka Siaute lantas berpendapat bahwa bunga-bunga aneh
itu bukan tumbuh secara alami."
Tang Cuan agak tertegun, tapi dengan cepat dia dapat
memahami jalan pemikiran Cu Siau-hong, bisiknya :
"Maksudmu, ada orang yang sengaja menanamnya?"
"Yaa! Seandainya jalan pikiranku benar, itu berarti
tawon-tawon raksasa itu pun binatang peliharaan orang."
Sekali lagi Tang Cuan tertegun, kemudian manggutmanggut,
ia tidak mengucapkan apa-apa.
"Jika dugaan Siaute benar, maka timbul dua persoalan
yang tidak kita pahami," kata Cu Siau-hong lebih jauh.
"Oh, persoalan apakah itu" Coba Kau katakan!"
"Siapakah orang yang menanam bunga aneh serta
memelihara tawon-tawon raksasa itu?"
"Yang kedua?" "Orang itu menanam bunga untuk memelihara tawan,
ataukah memelihara tawon untuk menanam bunga" Apa
maksud sebenarnya?" "Siau-hong, orang bilang kalau siucay tidak keluar rumah
mana tahu urusan dunia, tampaknya perkataan itu keliru
besar!" "Toa-suheng terlalu memuji!"
Tiong It-ki yang berdiri di sisi Tang Cuan dapat
mendengar pula pembicaraan kedua orang itu, buru-buru
katanya : ?"Toa-suheng, betul juga jalan pemikiran Jit-suheng
bagaimana kalau kita beri tahukan pada suhu?"
"Yaa, kita memang harus memberitahukan kepada
suhu....." Sementara itu Tiong Ling-kang telah berada dua kaki
jauhnya, kedengaran ia sedang berseru dengan lantang.
"Perhatikanlah baik-baik, inilah ilmu Hwe-sian-thiat-lianhoa!"
Di tengah bentakan keras mendadak tubuhnya maju ke
depan, serentetan cahaya tajam segera berhamburan dari
tangan kanannya. Bunga-bunga teratai baja itu terbang dengan selisih
jarak satu depa, terciptalah sebuah lingkaran cahaya yang
amat menyilaukan mata. Di mana bunga-bunga teratai baja menyambar lewat,
tawon-tawon raksasa yang sedang beterbangan itu kalau
bukan terbelah tubuhnya tentu terhajar sampai hancur dan
rontok ke tanah. Peristiwa ini segera memancing reaksi dari tawon-tawon
tersebut, serentak binatang-binatang itu beterbangan di
angkasa dan menyambar ke tubuh Tiong Ling-kang.
Bayangkan saja bagaimana ngerinya bila beratus-ratus
ekor tawon secara tiba-tiba menyerang bersama.
Mungkin agar Tang Cuan sekalian dapat melihat dengan
jelas cara melepaskan senjata rahasia, maka Tiong Lingkang
melepaskan Thiat-lian-hoa dengan gerakan lambat.
Kepandaian tersebut sungguh hebat sekali, setelah
berputar satu lingkaran di udara, bunga berantai baja itu
terbang kebali semua ke tangannya.
Gerombolan tawon itu segera menerobos masuk lewat
celah-celah senjata rahasia dan menubruk tubuh Tiong
Ling-kang. Menghadapi keadaan demikian, terpaksa Tiong Ling-kang
harus mengayunkan tangan kirinya untuk melancarkan
pukulan. Sungguh dahsyat tenaga pukulannya itu, deruan angin
tajam memekikkan telinga, gerombolan tawon itu segera
terhajar hingga buyar. Untuk kedua kalinya senjata rahasia Thiat-lian-hoa
kembali disambit ke udara.
Kali ini serangan tersebut dilakukan dengan gerakan
cepat, tampak sekilas cahaya tajam menyambar lewat di
antara gerombolan tawon-tawon tadi.
.............. Di mana cahaya tajam menyambar lewat, bangkai tawon
berhamburan ke atas tanah.
Desingan angin tajam yang kuat dan hebat memaksa
tawon-tawon yang dekat dengan teratai-teratai baja itu
terpental jauh ke belakang.
Perputaran Hwe-sian-thiat-lian-hoa makin lama semakin
cepat, desingan angin tajam yang membelah udara pun
makin kuat, akhirnya terciptalah sebuah lingkaran cahaya
emas yang melindungi Tiong Ling-kang di tengah kurungan.
Seganas-ganas gerombolan tawon itu, di bawah desakan
lingkaran cahaya emas yang menyilaukan mata, sulit bagi
binatang-binatang itu untuk menerjang maju lebih ke
depan, terpaksa mereka hanya berputar di luar lingkaran
tersebut. Di luar dugaan, gerombolan tawon itu berbeda dengan
jenis kumbang lainnya, sekali pun kaget mereka tidak
membuyar atau menyengat orang lain, semuanya
terhimpun menjadi satu dan mengepung Tiong Ling-kang
seorang........ Tang Cuan serta Tiong It-ki hampir dibuat kesemsem
oleh gerakan aneh dari gurunya, mereka berdiri terbelalak
dengan mulut melongo. Hanya Cu Siau-hong seorang yang merasakan
keheranan, pikirnya : "Dalam keadaan terserang hebat dan banyak korban
telah berjatuhan, kumbang-kumbang itu sama sekali tidak
gugup, kalut atau kaget, tak mungkin merupakan
gerombolan kumbang liar, tak bisa diragukan lagi binatangbinatang
itu pasti sudah memperoleh pendidikan serta
latihan yang cukup lama. Jangan-jangan kumbang-kumbang itu memang
peliharaan orang" Sementara ia masih termenung, mendadak kubang yang
makin lama berkumpul makin banyak itu, membuyarkan
kepungan dan berlalu dari sana.
Rupanya Tiong Ling-kang sendiri pun telah menyadari
akan sesuatu, ia menyimpan kembali senjata rahasianya
sambil bangkit berdiri. Buru-buru Tang Cuan dan Tiong It-ki memburu ke
depan, serunya : "Suhu, mungkin itulah ilmu melepaskan senjata rahasia
yang paling lihay di kolong langit?"
Tiong Ling-kang tidak segera menjawab, dengan
termangu-mangu diawasinya arah di mana tawon-tawon itu
berlalu tanpa mengedip. Cu Siau-hong segera menghampiri pula, bisiknya :
"Suhu aku rasa tawon-tawon itu sedikit agak aneh."
"Yaa, memang aneh sekali, tidak mirip kumbang liar...."
Tiong Ling-kang manggut-manggut.
Mendadak dari belakang berkumandang jawaban
seseorang yang merdu dan lembut :
"Mereka adalah kumbang biasa, cuma kumbangkumbang
itu telah memperoleh latihan yang lama."
Ketika semua orang berpaling terlihatlah seorang nona
cilik berbaju hijau yang berusia empat lima belas tahun dan
mempunyai dua buah kepang rambut, berdiri kurang lebih
dua kaki di tengah gerombolan bunga.
Nona cilik itu amat cantik terutama sepasang matanya
yang bulat besar dan jeli bagaikan air.
"Siapakah yang memelihara kumbang-kumbang
tersebut?" tanya Tiong Ling-kang kemudian.
Nona itu membetulkan kepang rambutnya, lalu
menjawab : "Seorang manusia yang amat sukar dihadapi, kau telah
melakukan suatu perbuatan salah yang bisa mengundang
datangnya bencana besar ....."
"Bencana besar apa?"
"Kumbang-kumbang itu merupakan kumbang pilihan dari
jenis yang paling istimewa, untuk memelihara dari jenis
yang langka, dari tempat yang amat jauh didatangkan
bunga-bunga aneh itu untuk ditanam di sini, tapi sekarang
kau telah mempergunakan kumbang-kumbang yang
dipelihara orang dengan susah payah sebagai sasaran untuk
berlatih senjata rahasia, lagi pula banyak kumbang yang
telah kau bunuh, bayangkan saja, dia mana mau
mengampuni dirimu dengan begitu saja?"
"Jadi kalau begitu kesalahan berada di pihakku?"
Nona kecil berbaju hijau itu tertawa ewa.
"Untung ia tidak berada di sini, coba kalau ada di tempat
dan menyaksikan begitu banyak kumbangnya kau bunuh,
mungkin jiwamu telah direnggutnya sejak tadi."
"Oh, sekarang itukah dia?"
"Yaa, dia memang seorang yang berangasan, kumbangkumbang
itu pun merupakan hasil jerih payahnya selama
sepuluh tahun, kini hampir seperlima dari kumbang
peliharaannya kau bunuh. Ai! baginya kejadian ini
merupakan suatu pukulan yang cukup berat."
"Tampaknya kumbang-kumbang itu bukan berasal dari
daerah Tionggoan......" kata Tiong Ling-kang.
"Siapa bilang berasal dari Tionggoan" Kalau kumbang itu
ada di tempat ini, tak akan menyayanginya seperti
menyayangi intan mestika?"
"Nona, kumbang-kumbang itu amat buas, racunnya juga
jahat, sekalipun telah kubunuh jumlah yang banyak,
kejadian ini tidak terhitung suatu kejadian besar, bila
pemelihara kumbang itu ingin minta ganti aku pasti akan
menurutinya." Meskipun dia adalah seorang jago yang terhormat dalam
dunia persilatan, ternyata sikapnya kepada orang lain tetap
ramah tamah dan lemah lembut.
Nona berbaju hijau itu gelengkan kepalanya berulang
kali. "Kau tak akan mampu untuk menggantinya......."
Tiba-tiba paras mukanya berubah, pembicaraannya
terpotong sampai di tengah jalan.
Tiong Ling-kang cukup waspada, dengan cepat dia pun
berpaling. Terlihat seorang kakek berjubah abu-abu sedang
berjalan keluar dari balik hutan.
Waktu itu dia masih berada enam tujuh kaki jauhnya,
tapi hanya sekejap mata tahu-tahu sudah tiba dihadapkan
Tiong Ling-kang. "Cepat benar gerakan tubuh orang ini," pikir Tiong Lingkang
dengan perasaan tertegun.
Pengalamannya cukup luas, banyak jago lihay yang
pernah dijumpai selama ini, namun belum pernah ia jumpai
orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian
sempurnanya. Pada hakikatnya ia tak sempat melihat jelas dengan
gerakan apakah orang itu menghampiri ke hadapannya.
Dengan sinar mata yang tajam kakek berjubah abu-abu
itu memeriksa sekejap bangkai kumbang di tanah, tiba-tiba
paras mukanya berubah menjadi dingin menyeramkan.
Sesungguhnya tampang kakek itu tidak terlampau jelek,
tapi entah mengapa dari atas sampai bawah tubuhnya
seakan-akan memancarkan selapis hawa pembunuhan yang
dingin mengerikan, apalagi keadaannya pada saat ini,
sedemikian seramnya hingga menimbulkan perasaan
bergidik bagi siapa pun yang melihatnya.
Tiong Ling-kang berkerut kening, ia seperti hendak
mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian dibatalkan.
Bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari suatu
perguruan besar, sebagai seorang yang mempunyai
kedudukan ia kelihatan serius dan berwibawa.
Kakek berbaju abu-abu itu memeriksa bangkai
kumbangnya dengan amat teliti, rupanya secara diam-diam
sedang menghitung jumlahnya.
Untuk sesaat suasana menjadi hening tapi diliputi
ketegangan, tak seorang pun yang bersuara, tapi hawa
pembunuhan seakan-akan telah menyelimuti sekeliling
tempat itu membuat Tiong Ling-kang mau tak mau musti
mengerahkan tenaga dalamnya untuk bersiap sedia.
Pelan-pelan kakek berbaju abu-abu itu berpaling ke arah
nona baju hijau itu, kemudian tegurnya :
"Siapakah yang telah membunuh kumbang-kumbangku?"
Tiong Ling-kang tak dapat membungkam terus, sebelum
gadis itu menjawab, ia telah berkata :
"Aku yang membunuhnya, tapi kejadian tersebut bukan
suatu kesengajaan!" Sekilas senyuman pedih melintas di wajah kakek itu, tapi
sejenak kemudian hawa pembunuhan yang amat tebal telah
menyelimuti seluruh wajahnya, ia menegur :
"Kenapa" Kenapa kau bunuh mereka" Kumbangkumbangku
tak pernah melukai orang mereka pun tak
pernah meninggalkan daerah seluas seratus kaki dari hutan
ini, kenapa kau datang kemari dan membunuh mereka?"
Agak tersipu Tiong Ling-kang menghadapi kejadian itu,
kembali ia menarik nafas panjang.
"Belum pernah kujumpai ada orang memelihara
kumbang, maka aku pun tidak menyangka kalau kumbangkumbang
tersebut ada pemiliknya, setelah kulakukan
kesalahan ini tentu saja aku pula yang akan
menanggungnya, nah, apa permintaanmu" Katakan saja!"
"Kau tak akan sanggup mengganti kumbang-kumbang
itu," kata kakek berbaju abu-abu itu. Bukankah kau adalah
ciangbunjin dari Bu-khek-bun?"
"Benar, aku adalah Tiong Ling-kang!"
"Demi kumbang-kumbang dan bunga racun itu, tujuh
delapan tahun harus kubuang dengan percuma, kini kau
telah membunuh separuh di antaranya dalam sekejap mata,
memangnya kau anggap hanya kata-kata maaf sudah dapat
menyelesaikan persoalan ini?"
"Begini saja, beri tahu kepadaku kumbang-kumbang itu
kau dapatkan di mana, akan kuutus orang untuk
mendapatkannya kembali."
Dengan kedudukannya yang terhormat sekarang,
menahan sabar dan merendahkan diri bukan suatu
perbuatan yang gampang. Akan tetapi kakek berbaju abu-abu itu masih juga
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tidak bisa........." katanya dingin.
"Lantas apa yang harus kulakukan agar menjadikan kau


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puas?" "Hanya ada satu cara, yakni menghidupkan kembali
kumbang-kumbangku yang telah mati!"
"oh, kalau itu permintaanmu lebih baik aku menyerah
saja, sebab aku takkan mampu untuk melakukannya."
"Maka dari itu hanya ada satu jalan saja yang dapat kau
tempuh." "Coba kau katakan!"
"Mati! Membayar kematian untuk kumbang-kumbangku."
Ucapan tersebut amat datar dan tenang, sedemikian
tenangnya sehingga akan mendatangkan suatu kesan bagi
yang mendengarnya, bahwa kejadian tersebut
sesungguhnya bukan suatu kejadian aneh.
"Ah, hanya lantaran beberapa ekor kumbang kaul lantas
menghendaki nyawa manusia apakah kau tidak merasa
bahwa permintaanmu itu terlampau berlebihan."
"Tang Cuan menjadi tak tahan, tiba-tiba ia menyela :
"Locianpwee, mana bisa kau bandingkan nyawa beberapa
ekor kumbang dengan nyawa manusia?"
"Itu menurut jalan pemikiranmu, tapi bagi pandangan
Lohu, justru kumbang-kumbang itu lebih menyenangkan
dari pada manusia." Tang Cuan masih ingin mengucapkan sesuatu lagi, tapi
setelah dilihatnya liong Ling-kang memandangnya dengan
wajah dingin seperti menegur kelancangannya, terpaksa ia
telan kembali kata-kata berikutnya.
Tiong Ling-kang menghembuskan napas panjang, pelanpelan
ujarnya : "Saudara, selain membayar kematian kumbang-kumbang
itu dengan kematian pula, masih adakah cara lain yang bisa
kuterima?" Kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kau tak bisa menghidupkan mereka kembali, tak dapat
pula mengganti kumbang sebanyak ini kepadaku, bicara
pulang pergi satu jalan ini saja yang tersedia bagimu."
Tiong Ling-kang tertawa. "Aku tidak mengerti soal kumbang, tapi aku pikir
kumbang itu bukan suatu jenis binatang yang aneh atau
mahal harganya, asal kuminta bantuan beberapa orang
temanku, mungkin saja mereka dapat menolongku."
"Oya?" "Kuakui bahwa kata-katamu ada betulnya juga,
kumbang-kumbang itu pun bernyawa, mereka tidak terbang
melukai orang tapi akulah yang telah melukai mereka,
akulah yang bersalah dalam hal ini maka aku pun berharap
agar kau bisa memberi batas waktu tiga bulan kepadaku,
sampai waktunya kumbang-kumbangmu yang telah mati
pasti akan kuganti dengan kumbang-kumbang hidup."
"Tiga bulan?" "Yaa, tiga bulan, aku percaya pasti dapat mengganti
segerombolan kumbang baru."
Si nona berbaju hijau yang selama ini membungkam,
tiba-tiba ikut menyela dari samping :
"Ouyang pekhu, kalau memang dia yakin dalam tiga
bulan bisa mengganti kumbang-kumbang itu, apa salahnya
jika kita beri kesempatan tiga bulan kepadanya?"
"Dia tak akan mampu untuk menggantinya!" kata kakek
itu tegas. "Empek Ouyang, kabulkan permintaan mereka! Orang ini
adalah seorang ketua perguruan, tak nanti dia akan kabur."
Kakek berbaju abu-abu itu termenung sebentar,
kemudian katanya : "Baiklah! Memandang di atas wajahmu kukabulkan
permintaanmu, tapi kau musti bantu dirimu untuk
membicarakan syarat dengannya."
Menanti bayangan punggung kakek berbaju abu-abu itu
sudah jauh dari pandangan, nona berbaju hijau itu baru
menghembuskan nafas panjang, katanya :
"Aneh sekali, rupanya kau adalah seorang jago yang
kenaman dalam dunia persilatan."
"Ah cuma nama kosong belaka, tak dapat dipercaya!"
"Belum pernah kutemui dia bersikap sesungkan ini
terhadap seorang yang telah mencelakainya."
"Mencelakainya" Aku....."
"Kau telah membunuh kumbang-kumbangnya, sama pula
artinya telah mencelakai dirinya."
"Nona, pentingkah kumbang-kumbang itu baginya.?"
"Penting sekali, dia harus menggantungkan kumbangkumbang
itu untuk diambil madu racunnya ......"
Tiba-tiba gadis itu merasa telah salah bicara, tiba-tiba ia
menghentikan pembicaraannya di tengah jalan.
"Nona, siapakah nama orang tua tadi" Dapatkah kau
memberitahukan kepadaku?"
Nona berbaju hijau itu menggelengkan kepalanya.
"Orang lain hanya menyebutnya sebagai Ouyang
sianseng!" "Ouyang sianseng..........." gumam Tiong Ling-kang lirih.
"Eeh, kau adalah orang Bu-khek-bun?"
"Aku adalah ciangbunjin dari Bu-khek-bun, tinggal di
perkampungan Ing-gwat-san-ceng yang tak jauh letaknya
dari sini, dalam tiga bulan mendatang aku pasti akan
mengirim sendiri kumbang-kumbang tersebut, nah, sampai
jumpa......" "Eeh.....eeeh......... tunggu dulu, mau ke mana kau cari
kumbang-kumbang tersebut?" bisik si nona.
"Kumbang-kumbang itu bukan sejenis binatang yang
berharga, aku rasa tidak susah untuk menemukannya
bukan?" "Keliru besar kalau kau beranggapan demikian, kumbang
itu bukan binatang yang bisa dijumpai di dataran
Tionggoan, bila ingin mendapatkan kumbang dari jenis
tersebut, kau musti pergi jauh ke wilayah See-ih, pulang
pergi paling tidak membutuhkan waktu sepuluh bulan atau
setengah tahun, aju jadi heran ketika kau memberi janji
waktu selama tiga bulan untuk mengganti kumbangkumbang
tersebut." Tiong Ling-kang mengernyitkan alis matanya.
"Nona, sekalipun kumbang semacam itu jarang ditemui
di dataran Tionggoan, tapi aku percaya di atas bukit yang
terpencil dan jauh dari keramaian masyarakat pasti dapat
ditemukan kumbang semacam ini."
Si nona baju hijau itu kembali menggelengkan
kepalanya. "Tentu saja berbeda sekali, sebab kumbang yang ini
adalah kumbang dari jenis yang istimewa dan langka sekali,
mereka mempunyai tingkat kecerdasan yang luar biasa."
"Oya?" "Sikap Ouyang sianseng terhadapmu boleh dibilang
sudah cukup sungkan, seingatku belum pernah ia
sesungkan ini terhadap orang lain."
"Kalau begitu, ia telah menaruh sikap yang
menguntungkan bagiku?"
"Benar! Tapi jika kau melanggar janjimu dan dalam tiga
bulan mendatang kumbang-kumbang itu tidak kau ganti,
maka soal ini sukar dibicarakan lagi, sebab selama hidupnya
ia paling benci terhadap orang yang tidak memegang janji."
Tiong Ling-kang termenung kembali sesaat, lalu katanya
: "Nona, kumbang-kumbang itu tidak mencari madu, mana
buas lagi, Ouyang sianseng memelihara mereka pun atas
dasar suatu kegemaran, seandainya kumbang-kumbang itu
tak mampu kuganti, pasti akan kusiapkan hadiah yang tak
ternilai harganya untuk minta maaf kepadanya, apakah
Nona bersedia membantuku dengan mengucapkan sepatah
dua patah kata indah kepadanya."
Nona berbaju hijau itu pun termenung sejenak sebelum
menyahut : "Sebenarnya aku mengira dia pasti akan marah besar
setelah menyaksikan kau membinasakan begitu banyak
kumbangnya, di luar dugaan ia tidak marah, cuma kau
musti mengerti hubungan antara dia dengan kumbangkumbang
peliharaannya itu besar sekali, bukan suatu
kegemaran atau hobi saja seperti apa yang kau katakan
barusan." Jangan dilihat nona itu masih kecil, ternyata pandai
sekali ia berbicara maupun memberi keterangan.
Tanpa sadar Tiong Ling-kang lantas berpikir :
"Antara perkampungan Ing-gwat-san-ceng dengan bukit
Liong-tiong-san cuma selisih belasan li, kenapa aku tidak
tahu kalau ada seorang jago lihay."
Berpikir demikian, dia pun berkata :
"Nona, dapatkah kau memberi tahu kepadaku apa
hubungan penting antara kakek itu dengan kumbangkumbang
peliharaannya?" "Ia memelihara kumbang-kumbang itu lantaran ingin
menolong orang." "Menolong orang" Siapa yang ditolong?" seru Tiong Lingkang
agak tertegun. Nona berbaju hijau itu menghela napas panjang.
"Aaaai....... aku tak dapat berbicara lagi, terlalu banyak
sudah yang kubicarakan denganmu."
"Aaai...... kalau begitu perbuatanku ini adalah suatu
perbuatan yang amat berdosa."
"Aku lihat, kau pastilah seorang yang dihormati dan
disegani dalam dunia persilatan?"
"Tidak berani, itu semua berkat kesediaan teman-teman
persilatan untuk mempercayai diriku."
"Semoga saja kau pun tak akan mengingkari janji yang
telah kau ucapkan tadi."
Tiong Ling-kang manggut-manggut.
"Nona, seandainya apa yang kau ucapkan benar, bila aku
gagal mendapatkan kumbang-kumbang itu dalam hutan
terpencil di wilayah Tionggoan, tiga bulan kemudian aku
pasti akan datang untuk menebus dosa."
"Tiga bulan terlalu lama, lebih baik datang saja setengah
bulan kemudian, aku bisa membicarakan persoalan ini
dengannya dalam setengah bulan ini di saat ia sedang amat
gembira." "Baiklah, kalau begitu kuucapkan banyak terima kasih
atas bantuan Nona." "Semoga kau bisa pegang janji dan sekali lagi kemari
dalam setengah bulan mendatang."
"Baik, kita tetapkan dengan sepatah kata itu, apa pun
yang terjadi pokoknya setengah bulan kemudian kau pasti
datang kemari lagi."
"Eeeh....... kalian tinggal di perkampungan apa?"
"Perkampungan Ing-gwat-san-ceng."
"Baiklah! Bila dalam sepuluh hari mendatang sudah ada
kabar, aku pasti dapat mencari kalian."
Sesungguhnya terdapat banyak sekali persoalan yang
mencurigakan mencengkam perasaan Tiong Ling-kang, tapi
semua persoalan hanya disimpan dalam hatinya, ia
berusaha untuk menahan diri.
"Dapatkah kau memberitahukan kepadaku siapa
namamu?" kedengaran nona berbaju hijau itu berkata
sambil tertawa. "Tiong Ling-kang!"
"Dan dia?" tanya nona berbaju hijau itu sambil menunjuk
ke arah Cu Siau-hong. Tiong Ling-kang melirik muridnya sekejap lalu
tersenyum. "Dia bernama Cu Siau-hong, seorang muridku," katanya.
"Bila kau datang memenuhi janji nanti, dapatkah kau
membawa serta muridmu itu?"
"Baik!" jawab Tiong Ling-kang setelah termenung
sebentar, "aku akan mengajaknya datang bersama, soal
Ouyang sianseng tolong bantulah aku!"
"Aku dapat membantu dengan segala kemampuan!"
Sebenarnya Tiong Ling-kang amat gembira dan
bersemangat, akan tetapi setelah mengalami kejadian
tersebut, kegembiraannya menjadi hilang, dengan
membawa Tang Cuan sekalian mereka keluar dari hutan.
Sikapnya yang keren dan serius membuat Tang Cuan, Cu
Siau-hong dan Tiong It-ki tak berani banyak berbicara
meski banyak persoalan yang sebenarnya ingin mereka
tanyakan. Keempat ekor kuda pun dilarikan ke perkampungan Inggwatsan-ceng........ Ternyata Tiong Ling-kang tidak membawa mereka pulang
ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng, mereka telah
menghentikan perjalanan. Tempat itu letaknya di tepi sungai kecil, rumput yang
hijau dan air yang jernih membuat suasana di situ terasa
nyaman. Ketika Tiong Ling-kang menghentikan kudanya, Tang
Cuan bertiga pun ikut berhenti, namun mereka bertiga
masih saja tidak berbicara.
Tiong Ling-kang menghembuskan nafas panjang katanya
: Ilmu Hwe-sian-thiat-lian-hoa yang kugunakan tadi dari
lambat menjadi cepat dan bertahan dalam suatu jangka
waktu yang tidak pendek, apakah kalian telah melihatnya
semua?" "Melihat sih sudah," jawab Tiong It-ki, "Tapi tidak
kuketahui bagaimana cara penggunaannya."
"Dan kau?" tanya Tiong Ling-kang sambil mengalihkan
sinar matanya ke wajah Tang Cuan.
"Tecu sangat bodoh, hanya memahami sepertiga sampai
seperempat belaka...."
"Itu sudah termasuk bagus!" kata Tiong Ling-kang.
"Tecu hanya berhasil menebak sedikit jalanya gerakan."
Tiong Ling-kang manggut-manggut.
"Ehmm, semuanya memang sangat baik."
Setelah termenung sebentar, dia melanjutkan :
"Thiat-lian-hoa merupakan ilmu perguruan yang
diketahui setiap orang, aku tak dapat hanya mewariskannya
kepada kalian bertiga saja, mulai besok secara umum akan
kupelajarkan kepada semua murid Bu-khek-bun, cuma ilmu
Hwe-sian-jiu-hoat ini merupakan citaanku sendiri,
kepandaian itu bukan bisa dipelajari hanya berdasarkan


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketekunan, tenaga dalam yang sempurna serta ilmu silat
yang sempurna, jika kecerdasan seseorang tak dapat
mencapai dalam suatu tingkatan tertentu, maka selamanya
jangan harap bisa mempelajari kepandaian ini, ibaratnya
melukis harimau tak jadi malah jadi anjing, bukan inti sari
kepandaian itu bisa diketahui, rahasia malah ketahuan
orang, itu baru repot. Makanya, setelah kuperhatikan
kecerdasan dari dua belas orang, dapat kuketahui bahwa
cuma kalian bertiga saja yang bisa mempelajari kepandaian
ini, maka kuputuskan untuk mewariskan kepada kalian
bertiga......" Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan.
"Tang Cuan, menurut pendapatmu apakah perbuatanku
ini termasuk suatu perbuatan pilih kasih?"
Dengan hormat Tang Cuan menjura, sahutnya :
"Untuk menjaga nama baik Bu-khek-bun, ilmu silat kita
harus lebih maju dan lebih hebat, sebagai pimpinan
perguruan tentu saja Suhu berhak untuk mengambil
keputusan demikian, aku percaya mereka pun dapat
memaklumi tindakan Suhu ini."
Tiong Ling-kang mendongakkan kepalanya dan
menghembuskan napas panjang.
"Sesungguhnya aku memang tidak bermaksud lain
dengan perbuatanku ini, tapi dalam perguruan kita masih
ada dua orang yang kecerdasannya di bawah kalian bertiga,
bila mereka mengetahui kejadian ini, pastilah akan timbul
perasaan dengki dan kurang senang terhadap keadilan ini."
"Suhu maksudkan Ji-sute dan Kiu-sute?" tanya Tang
Cuan. "Benar, dua orang itulah yang kumaksudkan!"
"Jangan kuatir Suhu, bila ada waktu Tecu pasti akan
menjelaskan persoalan ini kepada mereka."
"Sesungguhnya bakat mereka tidak selisih banyak bila
dibandingkan kalian, cuma sayang lo-ji tidak jujur dan licik,
lo-kiu berbau sesat dan tindak tanduknya kurang
mencerminkan sikap seorang ksatria, itulah sebabnya aku
tak berani mewariskan kepandaianku kepada mereka."
"Oooh........ rupanya Suhu telah mengetahui kejadian ini,
kenapa tidak ......"
Tiong Ling-kang gelengkan kepalanya sambil menukas :
"Sebentar lagi kalian akan tamat belajar, lo-ji itu amat
cerdas, dia ingin menggunakan kau sebagai contoh,
rupanya pilih kasihku ini telah meningkatkan kewaspadaan
mereka, aai! Nama besar Bu-khek-bun yang mulai dikenal
dalam dunia persilatan bukan didapatkan secara gampang,
aku berharap kalianlah yang akan mengangkat serta lebih
mencemerlangkan nama baik perguruan kita, aku tak ingin
sebelum tamat belajar telah mengusir mereka dari
perguruan." "Semoga saja cinta kasih serta kebijaksanaan Suhu
dapat diresapi oleh mereka," tiba-tiba Cu Siau-hong
menyambung. Jilid 2 Tiong Ling-kang tertegun.
"Siau-hong apa maksudmu......"
"Tecu hanya mempunyai suatu firasat, sulit untuk
mengutarakannya keluar."
Dengan tajam Tiong Ling-kang mengawasi wajah Cu
Siau-hong sekejap, ia tidak bertanya lebih jauh tapi
berpaling ke arah Tang Cuan sambil serunya,
"Tang Cuan, setelah tamat belajar nanti, sebagai murid
tertua kaulah yang akan memikul tanggung jawab berat
atas kejayaan Bu-khek-bun, ketahuilah di manapun
kehadiranmu sama ibaratnya dengan kehadiranku sendiri."
Tang Cuan segera bertekuk lutut dan memberi hormat,
sahutnya : "Tecu tahu tugasku berat, sayang kecerdasanku terbatas
harap Suhu bersedia banyak memberi petunjuk."
"Bangunlah!" Tang Cuan segera bangun dan berdiri di samping dengan
hormat. "Setelah tamat belajar nanti, kuberi kekuasaan
kepadamu untuk menjalankan peraturan perguruan, awasi
terus gerak-gerik lo-ji dan lo-kiu selama tiga tahun, jika
menemukan tindak-tanduk mereka tidak benar atau pikiran
mereka menyeleweng dari rel kebenaran, wakililah aku
untuk minta kembali kepandaian mereka."
"Tecu terima perintah!"
Tiong Ling-kang memandang sekejap wajah Tiong tiki
dan Cu Siau-hong, kemudian menambahkan :
"Dan kalian harus membantu Toa-suhengmu!"
Cu Siau-hong dan Tiong It-ki segera mengiakan,
"Baik, sekarang perhatikan baik-baik ilmu Hwe-sian-jiuhoat
ini!" kata Tiong Ling-kang.
Kali ini ia tidak melepaskan senjata rahasianya secara
sungguhkan, tapi melakukan semua gerakan dengan pelan
sambil menurunkan rahasia serta keterangan yang
diperlukan. Tang Cuan bertiga sudah pernah menyaksikan kehebatan
dari ilmu senjata rahasia tersebut, maka semua orang
memusatkan perhatiannya untuk mendegarkan dengan
seksama. Tiong Ling-kang membutuhkan waktu selama satu jam
lebih untuk menjelaskan rahasia itu, kemudian sambil
tertawa baru manggut-manggut dan mengajak ketiga orang
muridnya kembal ke perkampungan.
Di tengah jalan, Tang Cuan masih teringat selalu dengan
perkataan dari nona berbaju hijau itu, segera bisiknya :
"Suhu, benarkah kita akan mencari kumbang-kumbang
itu untuk dikembalikan pada mereka?"
"Sekarang kalian sedang hebat-hebatnya berlatih ilmu
silat, persoalan tersebut tak perlu kalian kuatirkan, aku
dapat menyelesaikan sendiri."
Tang Cuan mengiakan dan tidak berbicara lagi.
Sekembalinya ke perkampungan Ing-gwat-san-ceng,
sang surya telah jauh condong ke barat.
Buru-buru Cu Siau-hong menuju ke istal kuda, tapi di
sana tak dijumpai seorang manusia pun, Lo-liok si penjaga
istal telah pergi entah ke mana.
Sementara ia sedang terkejut bercampur keheranan,
dilihatnya pengurus rumah tangga keluarga Tiong sedang
berjalan mendekat. Dia adalah pelayan tua sejak jaman Bu-khek-buncu
generasi yang lalu, tahun ini telah berusia enam puluh
lebih, tapi tubuhnya masih sehat dan suaranya masih keras
dan lantas. Ketika dilihatnya Cu Siau-hong, ia segera menghampiri
sambil menegur dengan lantang.
"Siau-hong, mau apa kau datang kemari?"
"Congkoan, kau jumpa empek Liok yang menjaga istal
kuda?" Ong-congkoan menghela napas panjang.
"Aaaai..... begitu baik orang itu, siapa tahu kalau secara
tiba-tiba terserang penyakit parah dan tak bisa melewati
satu siangan!" "Satu siang pun tak bisa dilewati, maksudmu dia telah
meninggal dunia....?"
"Benar! Jam enam terserang penyakit, tak sampai
tengah hari telah menghembuskan nafasnya yang terakhir,
aaai! Nasib manusia memang sukar di duga, rejeki dan
bencana tak bisa diminta....."
Cu Siau-hong merasa dadanya seolah-olah dihantam
dengan martil berat, perasaannya amat bergetar keras,
tanpa sadar ia bergumam :
"Hal ini mana mungkin" Kemarin dia masih sehat wal
afiat!" "Aai! Pagi ini dia pun masih memberi makan semua
kuda, sewaktu aku datang mengontrol kemari ia masih
sehat dan tidak menunjukkan apa-apa, tapi lewat satu jam
kemudian kutemui wajahnya telah berubah menjadi hijau
membesi, peluh dingin membasahi sekujur badannya,
bicara pun sudah tidak jelas lagi."
"Ini tak mungkin bisa terjadi!"
Cu Siau-hong orangnya tampan, sikapnya pun ramah
tamah, semua anggota perkampungan sama-sama
menyukainya. Ong-congkoan segera menghela napas, katanya :
"Siau-hong, ini benar-benar telah terjadi, semuanya
merupakan kenyataan, harap kau suka mempercayainya."
"Di mana layonnya sekarang?"
"Telah dikubur, ia hidup sebatang kara tanpa anak tanpa
keluarga, maka pesan Hujin agar layonnya segera
dimasukkan ke dalam peti mati, dengan dipimpin olehku
semua anggota perkampungan lantas memberi
penghormatan terakhir kepadanya, bahkan Hujin datang
pula memberi penghormatan, kurang lebih tengah hari tadi
jenazahnya telah dibawa keluar perkampungan dan
dikebunkan." Cu Siau-hong berdiri termangu-mangu, mukanya layu
dan penuh diliputi kesedihan, ia pun tampang bingung dan
tidak habis mengerti, seakan-akan belum dapat menerima
kenyataan tersebut. Ong-congkoan mengerutkan dahinya, tiba-tiba ia
menegur : "Siau-hong, tampaknya kau amat sedih, kenapa" Apakah
antara kau dengan Lo-liok...."
Cu Siau-hong terperanjat, kewaspadaannya segera
dipersingkat, dengan cepat wajahnya pulih kembali seperti
sedia kala, katanya : "Oh, tidak. Boanpwe sering datang mencuci kuda, aku
merasa cocok sekali dengan empek Liok. Maka kematian
yang menimpa dia orang tua secara tiba-tiba amat
menyedihkan hatiku, seakan-akan membuat aku seperti
kehilangan sesuatu....."
Ong-congkoan segera tertawa,
"Lo-liok jarang sekali berbicara dengan orang,
tampaknya kau memang pandai bergaul."
"Congkoan, jenazah Liok-lojin kau kebumikan di mana?"
"Kenapa" Kau hendak bersembahyang di depan
pusaranya?" "Dia orang tua amat mengerti tentang kepandaian
berkuda, banyak pengetahuan tentang kuda ia wariskan
kepadaku, sungguh tak nyana ia telah berpulang dengan
begitu saja, Boanpwe merasa sudah sepantasnya untuk
menyambangi kuburannya sebagai pelimpahan rasa duka
citaku." "Kau lebih banyak bersekolah dari pada orang lain,
ternyata caramu berpandangan pun jauh berbeda dengan
orang lain, Lo-liok di kebumikan di atas Che-san-po kurang
lebih dua li di barat perkampungan, kuburan baru itu dapat
kau jumpai dari kejauhan."
"Terima kasih banyak atas petunjuk Ong-congkoan,"
buru-buru Cu Siau-hong memberi hormat.
Setelah bersantap malam, Cu Siau-hong berganti
pakaian dan berangkat meninggalkan perkampungan Inggwatsan-ceng. Sudah sepuluh tahun lebih ia berdiam di sana, maka
kuburan baru itu dengan cepat berhasil ditemukan.
Tempat itu merupakan tanah pribadi perguruan Bu-khekbun,
bukit Che-san-po nan hijau dengan pepohonan yang
rindang ternyata kini bertambah dengan sebuah kuburan
baru. Sekalipun kuburan itu tidak terlalu besar, tapi merupakan
satu-satunya kuburan yang ada di sana.
Di depan kuburan masih sisa abu kertas yang amat
banyak, tampaknya Ong-congkoan telah membakar banyak
uang kertas di depan kuburan itu.
Seorang kakek yang berkelana dalam dunia persilatan
hidup tanpa sanak tanpa keluarga, setelah mati dia pun bisa
menerima penghormatan semacam ini sesungguhnya hal ini
sudah cukup lumayan baginya, tapi dalam hati Cu Siauhong
selalu tersimpan semacam perasaan yang aneh, ia
selalu merasa bahwa Lo-liok bukan manusia sembarangan.
Sekalipun kuburan baru terbentang di hadapannya, tapi
Cu Siau-hong masih tidak percaya bahwa ia benar-benar
telah mati. Waktu itu senja telah tiba, Cu Siau-hong segera
menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan itu seraya
berbisik. "Locianpwe, kau adalah seorang manusia aneh yang luar
biasa, kitab pemberianmu sebagaimana yang telah kau
pesan telah kubakar sampai habis, kali ini aku sengaja
datang ke depan kuburan untuk memberitahukan soal ini
kepadamu......" Ia menengadah dan menghembuskan napas panjang,
katanya lagi : "Kemarin aku masih mendapat pelajaran dari mu, hari ini
kita harus dipisahkan oleh dunia yang berbeda, bila arwah
Locianpwe di alam baka dapat mengetahuinya, terimalah
salam penghormatanku ini."
Dengan penuh penghormatan ia menjalankan
penghormatan besar sebanyak tiga kali di depan kuburan.
Sekalipun ia menjalankan penghormatan dengan penuh
kesungguhan, namun di dalam hatinya masih tetap tak bisa
menerima kenyataan tersebut, ia tetap tidak percaya kalau
Lo-liok telah tiada. Untuk membuktikan hal tersebut kini hanya tersedia satu
jalan, yakni membongkar kuburan.
Keinginan itu segera muncul dalam hati Cu Siau-hong,
tapi ia tak berani bertindak gegabah, sebab seandainya Loliok
benar-benar telah tiada, itu berarti ia telah bertindak
kurang hormat kepadanya. Apalagi peristiwa itu tentu akan diketahui oleh gurunya,
bila sampai begitu gurunya pasti akan menanyakan
alasannya, dan waktu itu dia akan menjadi susah sendiri
karena mau mengaku tak bisa, tidak mengaku juga susah.
Akhirnya setelah berpikir sekian lama Cu Siau-hong
membatalkan rencananya itu.
Hari telah gelap, lampu-lampu mulai dipasang dalam
perkampungan Ing-gwat-san-ceng.


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah setengah jam lebih Cu Siau-hong berlutut di
depan kuburan baru itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia mendengar ada orang berseru
dengan suara rendah dan berat,
"Jit-sute." Dengan perasaan terkejut Cu Siau-hong melompat
bangun, ketika ia berpaling maka tampaklah Tang Cuan
sambil bergendong tangan sedang berjalan
menghampirinya. Setelah membersihkan debu dari tubuhnya, dengan
langkah cepat Cu Siau-hong menyongsong kedatangannya,
ia menyapa : "Toa-suheng, ada apa kau kemari?"
Tang Cuan tertawa. "Sute, kuburan baru ini adalah......"
Kematian Lo-liok, si penjaga istal kuda bukan suatu
kejadian besar, rupanya Tang Cuan belum mendengar
kabar tersebut. "Dia adalah Lo-liok, si penjaga istal kuda," Cu Siau-hong
menerangkan. "Oooh...........dia?"
"Yaa, padahal semalam ia masih membantuku mencuci
kuda, tak kusangka tengah hari tadi telah terserang
penyakit dan tiada."
"Suhu amat pandai dalam ilmu pertabiban, bila Suhu ada
di rumah, penyakitnya tentu bisa disembuhkan."
"Aaai........... kalau takdir telah berkata demikian,
siapakah yang bisa membantahnya?"
"Siau-hong-sute, aku lihat kau menjalankan
penghormatan besar kepadanya, apakah hubunganmu
dengan Lo-liok benar-benar telah mencapai taraf yang amat
mendalam?" Cu Siau-hong sangat terperanjat, segera pikirnya :
"Rupanya tindak tandukku ini telah menimbulkan
kecurigaan dalam hati Toa-suheng......."
Pemuda itu telah bertekad untuk merahasiakan kejadian
ini, karenanya ia berusaha mententramkan hatinya,
kemudian berkata : "Toa-suheng kau tidak tahu, Lo-liok amat cocok dengan
Siaute, setiap kali Siaute datang mencuci kuda, ia selalu
membantu pekerjaanku, lagi pula ia pun sering kali
memberitahukan pengetahuannya tentang kuda
kepadaku....." "Oooh..... kiranya begitu! Meski dia hanya seorang
penjaga kuda, tapi ia pun bisa beristirahat dengan tenang
karena setelah tiada ternyata bisa menerima penghormatan
besar dari Sute." Setelah tertawa ia melanjutkan :
"Jit-sute, apakah kau tidak merasa bahwa Lo-liok adalah
seorang manusia yang agak aneh?"
"Siaute memang berpendapat demikian, sayang ia telah
tiada." Tang Cuan maju selangkah, lalu memberi hormat di
depan kuburan, katanya : "Yang mati adalah yang besar, terimalah sebuah hormat
dari Siaute!" Sebenarnya ia amat menaruh curiga karena Siau-hong
memberi penghormatan besar kepada seorang penjaga
kuda, akan tetapi berhubung jawaban Cu Siau-hong masuk
di akal, maka kecurigaan di hati Tang Cuan pun segera
tersapu lenyap. Itu bukan berarti Tang Cuan sudah tak curiga lagi, hanya
saja kecurigaan itu tidak sampai diutarakan lagi.
Cu Siau-hong kuatir Suhengnya membicarakan kembali
persoalan itu, dia segera mengalihkan pembicaraan ke soal
lain, katanya : "Toa-suheng, menurut pendapatmu mengapa Ouyang
sianseng memelihara begitu banyak kumbang?"
Tang Cuan tertawa. "Jit-sute," jawabnya, "tentang persoalan ini bukan cuma
aku saja yang tidak mengerti, bahkan Suhu sendiri pun
belum tentu memahaminya, tapi bila Jit-sute ingin
mengetahui latar belakangnya, sesungguhnya tidak sulit
bagimu untuk mengetahuinya."
"Aku musti bertanya kepada siapa?" tanya Cu Siau-hong
tertegun. "Aku pikir dewasa ini hanya ada dua orang yang
mengetahui kegunaan dari kumbang-kumbang tersebut."
"Siapa?" "Yang satu adalah Ouyang sianseng sendiri, sedang yang
lain adalah si nona berbaju hijau."
"Toa-suheng, sayangnya Siaute tidak kenal dengan
kedua orang itu....."
"Soal ini kau tak perlu kuatir," bisik Tang Cuan, "asal kau
berani membuka suara, nona itu pasti akan
memberitahukan kepadamu."
"Aku takut Siaute tak berani buka suara."
"Jit-sute, dalam dunia persilatan, Suhu memperoleh
penghormatan tinggi dari sekalian umat persilatan, ada
beberapa persoalan yang tak dapat ia tanyakan sendiri, ada
pula perkataan yang tak dapat ia katakan, sebaliknya kita
tak perlu mengusirkan soal-soal itu, maka kita pula yang
harus menyelidiki apa kegunaan dari kumbang-kumbang
tersebut, cuma bila kau ingin menanyakan kepada nona itu,
pilihlah tempat serta waktu yang cocok!"
"Tempat dan waktu yang bagaimanakah baru dikatakan
cocok?" "Di saat tidak berada di hadapan Suhu."
"Toa-suheng, jika persoalan ini merupakan rahasia
pribadi orang, apa pula yang musti kita lakukan?"
"Siau-sute, menurut pendapat Siau-heng, tampaknya
persoalan itu bukan termasuk rahasia pribadi orang,
sekalipun benar, kita pun harus menyelidikinya sampai
jelas, cuma kita tak boleh memberitahukan lagi kepada
orang lain." Cu Siau-hong berpikir sebentar, kemudian mengangguk.
"Baiklah, Siaute akan berusaha sedapat mungkin."
"Aku mencarimu lantaran ingin menyampaikan beberapa
patah kata itu, tak nyana kau telah meninggalkan
kamarmu............"
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan :
"Siau-hong-sute, seingatku kau tidak sering kali bertemu
dengan Lo-liok, kenapa sedalam itu hubungan batin kalian?"
"Alasannya telah kujelaskan tadi Suheng, terhadap
kematian Lo-liok, aku lebih banyak dipengaruhi rasa kaget
dan tidak percaya dari pada hubungan batin. Aaai........
hanya berpisah semalam, seorang yang masih sehat wal
afiat kini telah tiada, padahal perkataannya masih
mendengung dalam telingaku tapi kini harus berpisah dalam
dunia yang lain, siapakah yang tidak terharu dibuatnya."
"Oooh........ kiranya begitu, Siau-hong! Jangan salah
paham kenapa Toa-suheng menyelidiki persoalan ini, sudah
delapan sembilan tahun kita menjadi sesama saudara
perguruan, tapi yang lewat kita semua terlalu kecil, tidak
banyak persoalan yang kita ketahui. Lagi pula kita semua
memusatkan perhatian untuk berlatih silat, sekalipun siang
malam kita sering bertemu, hati masing-masing tidak kita
ketahui. Jit-sute, beberapa patah kata Suhu pagi tadi
ibaratnya telah memberi beban berat di atas pundakku,
tentunya kau mengetahui bukan peristiwa tentang Ji-sute
dan Kiu-sute?" "Aaai, selama banyak tahun perbuatan mereka membuat
orang tidak puas, Ji-sute terlalu licik, Kiu-sute terlalu sesat,
bila membayangkan mereka berdua, mau tak mau aku
menjadi makin curiga kepada siapa pun juga."
"Toa-suheng telah menemukan apa tentang mereka?"
"Seandainya hari ini Suhu tidak menyerahkan tanggung
jawab di atas pundakku, Siau-heng mungkin tak akan
berpikir banyak, tapi tanggung jawab yang diberikan Suhu
hari ini terlalu besar, ini semua membuatku teringat
kembali dengan peristiwa pada dua tahun berselang."
"Peristiwa apakah itu?"
"Tempat kejadian ada di sini, ternyata Ji-sute telah
bertemu dengan seseorang yang tidak diketahui asalusulnya........."
"Manusia macam apakah itu?"
"Aku tak sempat melihatnya dengan jelas, maka dari itu
aku pun tak pernah membicarakan persoalan ini dengan
siapa pun juga." "Apakah Ji-suheng mengetahui perbuatan itu?"
"Anehnya justru terletak di sini, di antara kita beberapa
orang saudara perguruan, kecuali hasil latihanmu yang
membuat orang sukar menebaknya, Siau-heng percaya
dalam hal kepandaian apapun aku tak bakal kalah dengan
siapa pun, tapi anehnya ternyata Ji-sute menemukan
jejakku lebih dahulu......."
"Ooooooh.................."
"Waktu itu aku tidak berpikir sebanyak itu, tapi bila
dibayangkan kembali hari ini, aku jadi menemukan banyak
sekali kecurigaan yang amat serius!"
"Toa-suheng, jikalau kau memang tidak melihat jelas,
dari mana bisa kau tentukan kalau Ji-suheng sedang
mengadakan pertemuan dengan orang lain di sini?"
"Sekalipun waktu itu aku masih kecil, tapi aku masih
teringat jelas ketika aku sedang bercakap-cakap dengan loji
kulihat ada sesosok bayangan manusia berkelebat lewat!"
"Waktu itu apakah Toa-suheng berteriak?"
----------------000000000000-----------------"Tidak, waktu itu aku masih belum dapat menegaskan
bahwa bayangan itu adalah seorang manusia, karena ia
melayang terlampau tinggi dan lagi terlampau cepat, tapi
setelah tiga bulan berselang, ketika aku telah menguasai
ilmu gerakan Cian-liong-sin-thian (naga air menyusup ke
langit) kemudian kubayangkan kembali kejadian malam itu,
Siau-heng baru berani menegaskan bahwa bayangan hitam
itu memang benar-benar adalah sesosok bayangan
manusia." "Bagaimana selanjutnya?"
"Ketika itu Ji-sute beralasan bahwa ia tak bisa tidur dan
datang kemari untuk berlatih silat, sekalipun aku tetap
curiga tapi perkataannya ku percaya delapan puluh persen,
namun bila dibayangkan kembali sekarang, jelaslah sudah
bahwa lo-ji sedang berbohong."
"Selanjutnya apakah kau masih menjumpai Ji-suheng
datang kemari?" "Selanjutnya aku tak pernah menjumpai mereka lagi,
tapi sejak peristiwa itu lo-ji tampak lebih menyendiri dan
sinis, rupanya ia mengira aku telah melaporkan kejadian ini
kepada Suhu, padahal dua hari kemudian aku telah
melupakan sama sekali kejadian itu, aku pun tak pernah
melaporkan kejadian ini kepada Suhu."
"Toa-suheng, kejadian itu memang cukup mencurigakan,
cuma kita pun tak bisa mengatakan bahwa Ji-suheng
hendak melakukan perbuatan yang berada di luar garis,
sebab itu lebih baik kita mencari bukti lagi dalam persolan
ini sebelum secara resmi melontarkan tuduhan tersebut
kepada dirinya....."
"Itulah sebabnya aku datang mencarimu, saat tamat
belajar sudah di ambang pintu, di antara sesama saudara
perguruan pun mungkin akan berpisah untuk sementara
waktu, yang sudah mendekati sepuluh tahun tidak pulang
ke rumah tentu akan menggunakan kesempatan itu untuk
pulang menengok orang tua, kalau dihitung-hitung mungkin
hanya ada kesempatan selama dua tiga bulan saja, aku
harap saja dalam masa ini keadaan bisa aman dan tidak
sampai terjadi peristiwa apa-apa."
"Toa-suheng, hal ini mana mungkin bisa terjadi?" kata
Cu Siau-hong dengan wajah tertegun.
"Jit-sute, tak dapat kuterangkan suatu alasan yang
gampang, tapi aku merasa seandainya terjadi persoalan,
maka kejadian ini pasti akan berlangsung menjelang saat
kita tamat belajar. Sute, bila suatu rencana telah disusun
dengan matang, maka rencana itu tak akan ditunda lebih
lama lagi....." "Benar juga perkataan Toa-suheng, pelantikan bagi
mereka yang tamat belajar merupakan suatu peristiwa
besar bagi Bu-khek-bun kita, mungkin juga akan hadir
banyak tamu dari jauh, suasana waktu itu pasti kalut dan
tidak teratur, nah bila ada orang benar-benar berniat jahat
atau menginginkan sesuatu dari Suhu, saat itu pula dia
pasti akan melakukan operasinya......"
"Betul!" Tang Cuan menyambung, "itulah yang Siau-heng
maksudkan tadi, bila telah didapatkan, apa lagi yang musti
mereka tunggu" Bila belum didapatkan tapi rencana sudah
matang, tampaknya mereka pun tak perlu menunggu lebih
lama lagi untuk turun tangan."
"Terhadap persoalan ini, apakah kau sudah mempunyai
rencana yang masak?"
"Belum, Jit-sute kau orangnya baik, usianya masih
muda, mulutnya pandai berbicara, mana keluaran dari
keluarga bangsawan lagi, orang lain tentu akan memandang
istimewa kepadamu, apalagi kecuali belajar silat kau sama
sekali tidak membawa sifat seorang manusia persilatan...."
Setelah tertawa ia menambahkan.
"Yang lebih hebat lagi, adalah kau pandai
menyembunyikan kepandaianmu yang sesungguhnya,
orang lain mungkin tak tahu tapi Toa-suheng memahami
jelas tentang ini, sesungguhnya kau ahli waris yang
sebenarnya dari Suhu, tapi diluarkan kau tak mau terlalu
menonjolkan diri. Aku yakin Suhu pun memahami persoalan
ini, cuma dia orang tua tak mau mengucapkan keluar,
sedang orang lain aku percaya mereka tak akan tahu
tentang hal ini....."
"Toa-suheng, kau ......"
"Jit-sute tak usah berdebat benar tidaknya perkataan
Siau-heng, tentunya kau lebih jelas dari ku maka aku pun
mohon bantuanmu, demi keamanan serta kesejahteraan
perguruan kita, kau mesti membantu Siau-heng."
"Perintahkan saja Toa-suheng, Siaute pasti akan
melaksanakannya tanpa membantah."
"Baik, kau bersedia membantuku ini semua menambah


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepercayaan pada diri sendiri........."
Setelah termenung sebentar ia melanjutkan :
"Sejak besok pagi kau musti awasi gerak-gerik Ji-sute
dan Kiu-sute secara diam-diam, lebih baik lagi kalau bisa
mengadakan hubungan langsung dengan mereka, aku tahu
kau pandai bergaul, di hari-hari biasa pun bersikap baik
kepada mereka, aai! Sebetulnya tak baik kalau sesama
persaudaraan timbul curiga mencurigai, terutama aku
sebagai Toa-suhengnya, tapi aku tak dapat melupakan
kejadian lampau." "Aku dapat memahami maksud Toa-suheng, sekalipun
Siaute bukan berasal dari keluarga persilatan, tapi apa yang
kudengar dan kusaksikan selama ini sudah cukup
menambah pengetahuanku tentang segala macam
persoalan dalam dunia persilatan, Siaute pasti akan
berusaha membantu usahamu itu."
Ketika mereka berdua kembali ke perkampungan, Tiong
tiki segera menyongsong kedatangan mereka sambil
menegur : "Toa-suheng, Jit-suheng, kalian pergi ke mana?"
"Ada apakah?" tanya Cu Siau-hong.
"Seng-susiok mencari kalian."
"Oh, dia ada di mana?" seru Tang Cuan.
"Menunggu kalian dalam ruangan tengah."
"Hayo jalan, kita temui cepat-cepat."
Kebun bunga gedung keluarga Tiong amat luas, di
sebelah depan kebun sebelah dalam adalah lapangan
latihan silat. Dalam kebun terdapat empang dengan bunga teratai
yang indah, di samping empang berdiri sebuah ruang besar
dengan bangunan yang indah
Di sanalah Seng Tiong-gak menantikan kedatangan
mereka, dia adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh
tahunan, mukanya bersih dan sikapnya halus dan lembut.
Ketika itu ia duduk sambil mengernyitkan alis matanya,
mungkin ada sesuatu persoalan yang mengganjal hatinya
selama ini. Tiong It-ki mengajak kedua orang itu masuk ke dalam
ruangan, segera teriaknya :
"Susiok, aku telah menemukan Toa-suheng dan Jitsuheng!".
Tang Cuan dan Cu Siau-hong pun maju memberi hormat,
jangan dilihat tingkat kedudukan mereka berbeda, karena
usianya sebaya maka di hari biasa, mereka bisa bergaul
menjadi satu. "Hayo kemarilah kalian semua dan duduk dulu!" kata
Seng Tiong-gak sambil menggapai.
Terhadap Susiok atau paman gurunya ini, Tang Cuan dan
Cu Siau-hong tidak bersikap sehormat kepada gurunya,
mereka lantas duduk mengelilingi meja ......
"It-ki!" kata Seng Tiong-gak kemudian, "pergi ke dapur
dan suruh mereka siapkan arak dan beberapa sayur, hai ini
Susiok ingin mengajak kalian minum beberapa cawan arak."
Tiong It-ki menunjukkan wajah keberatan, katanya :
"Ayah pernah bilang, kecuali ia yang memberi perintah,
di hari-hari biasa kita dilarang minum arak."
"Hari ini berbeda, Susiok yang mengajak mereka minum,
bila ayahmu menegur biar Susiok yang menanggung
resikonya." Terpaksa Tiong It-ki mengiakan dan berlalu.
Sepeninggal Tiong It-ki, Tang Cuan baru berbisik lirih :
"Susiok, ada urusan apa?"
Dengan wajah serius Seng Tiong-gak mengangguk,
"Sebenarnya aku tak ingin memberitahukan persoalan ini
kepada kalian, tapi aku pun merasa tak ada orang lain yang
bisa diajak berunding, lagi pula aku pun membutuhkan
bantuan, jadi terpaksa kuundang kalian berdua untuk
bersama-sama membicarakan persoalan ini."
"Seriuskah masalahnya?" tanya Cu Siau-hong.
"Bisa dikatakan besar bisa pula dikatakan kecil, mungkin
Susiok cuma menduga secara ngawur, mungkin juga bisa
mengakibatkan nama baik Bu-khek-bun ternoda, aku tak
ingin nama baik Suhu kalian mengalami kehancuran karena
peristiwa ini." Baik Tang Cuan maupun Cu Siau-hong sama-sama
dibuat tertegun, kedua orang itu sama-sama tidak mengerti
persoalan apakah yang telah membuat Susiok mereka
menjadi setegang ini. Kedua orang itu saling berpandangan sekejap, lalu Tang
Cuan bertanya lirih : "Sesungguhnya apa yang telah terjadi?"
"Selewatnya kentungan ketiga malam nanti, bawa
senjata tajam dan senjata rahasia kalian, tunggu aku di
bawah pohon waru beberapa li di luar perkampungan Inggwatsan-ceng!" Tang Cuan tertegun. "Susiok, soal ini..... soal ini......."
"Bila Suhumu tahu, aku yang akan bertanggung jawab,
kalian tak perlu kuatir....." tukas Seng Tiong-gak.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan :
"Satu hal lagi, Tiong It-ki tak boleh ikut pergi, sebentar
kita harus melolosnya sampai mabuk."
Cu Siau-hong segera merasakan bahwa persoalannya itu
amat serius, dia mengangguk duluan.
"Baik, kita akan melaksanakan semua yang dikatakan
Susiok!" Sementara pembicaraan berlangsung Tiong It-ki telah
kembali sambil membawa arak dan sayur.
Ternyata takaran minum Tiong It-ki tidak begitu baik,
ditambah lagi ketiga orang rekannya memang berniat untuk
melolosnya, tak sampai setengah jam ia sudah mabuk
hebat. Cu Siau-hong segera memayang Tiong It-ki kembali ke
kamarnya, kemudian ia baru kembali ke kamar sendiri.
Kiranya Tang Cuan, Cu Siau-hong dan Tiong It-ki tinggal
dalam sebuah gedung yang sama dengan kamar yang
berbeda. Itu berarti seandainya Tiong It-ki tidak mabuk, maka
setiap gerakan yang dilakukan kedua orang itu di malam
hari, pasti tak akan mengelabui pendengaran Tiong It-ki.
Kurang lebih kentungan kedua malam itu, Tang Cuan dan
Cu Siau-hong telah berganti pakaian ringkas warna hitam
gelap dan berangkat menuju ke bawah pohon waru.
Mereka berdua tidak melakukan perjalanan bersama, tapi
secara beruntun tiba di tujuan hampir bersamaan
waktunya. Tang Cuan memandang sekejap sekeliling tempat itu,
kemudian bisiknya : "Heran Seng-susiok belum datang?"
"Tang Cuan, Siau-hong cepatlah kalian naik ke atas!"
suara Seng Tiong-gak tiba-tiba kedengaran dari atas pohon
waru. "Oh, rupanya Susiok telah datang duluan!"
Ia lantas meloncat naik ke atas pohon waru dan
menghampiri paman gurunya yang telah bersembunyi di
balik dedaunan yang lebat.
Waktu itu Seng Tiong-gak duduk di balik dedaunan yang
lebat sambil mengawasi perkampungan Ing-gwat-san-ceng.
"Susiok sesungguhnya apa yang telah terjadi?" bisik
Tang Cuan dengan perasaan ingin tahu.
"Kalian boleh saksikan sendiri nanti! Tapi ingat apapun
yang bakal kalian lihat nanti, jangan sekali-kali bersuara,
saksikan saja dengan tenang!"
"Susiok aku rasa kejadian ini kok serius dan misterius
amat?" "Emm! Memang suatu kejadian yang misterius, mana di
luar dugaan lagi, lihat saja nanti dengan pelan-pelan!"
Tang Cuan maupun Cu Siau-hong duduk di samping
Seng Tiong-gak, sinar mata mereka sama-sama ditujukan
pula ke arah perkampungan Ing-gwat-san-ceng.
Kurang lebih sepertanak nasi lewat, namun tidak nampak
sesosok bayangan manusia pun muncul di situ.
"Susiok, sebenarnya apa yang hendak kita tunggu?" bisik
Tang Cuan tak tahan. "Bersabarlah sebentar, kita tunggu sesaat lagi."
Betul juga, tak selang beberapa saat kemudian tampak
sesosok bayangan manusia meluncur datang dari kejauhan
dengan kecepatan luar biasa.
"Hati-hati, tahan napas!" Seng Tiong-gak
memperingatkan. Tang Cuan maupun Cu Siau-hong segera menutup
pernapasan dan menahan diri.
Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, dalam sekejap
mata ia telah tiba di bawah pohon waru.
Setelah melihat jelas paras muka orang itu hampir saja
Tang Cuan dan Cu Siau-hong menjerit kaget.
Coba kalau Seng Tiong-gak tidak berpesan lebih dulu
secara serius, mungkin mereka berdua telah melompat
turun dari pohon dan memberi hormat.
Pelan-pelan Tang Cuan berpaling dan memandang Seng
Tiong-gak sekejap, Seng Tiong-gak gelengkan kepalanya
pelan-pelan, tandanya agar Tang Cuan berdua jangan
berisik. Pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benak Cu
Siau-hong, pikirnya : "Penampilan mimik wajah Seng-susiok menunjukkan
bahwa persoalan ini amat serius dan sudah mencapai
keadaan yang gawat."
Tapi ia tak pernah menyangka kalau orang itu tak lain
adalah ibu gurunya yang selama ini amat dihormati dan
disayangi........ istri Tiong Ling-kang, ciangbunjin dari Bukhekbun yang lebih dikenal sebagai Pek Hong.
Tak heran kalau Seng Tiong-gak tak berani sembarangan
berbicara, melainkan mengajak kedua orang itu untuk
membuktikan bersama. Setibanya di bawah pohon waru, tiba-tiba Pek Hong
membuat obor dan menggoyangkannya beberapa kali di
tengah udara. Tang Cuan tertegun, pikirnya :
"Sudah jelas itulah suatu tanda rahasia masakah Subo
juga hendak mengadakan hubungan dengan orang luar?"
Seketika itu juga pelbagai kecurigaan berkecamuk di
dalam benaknya. Setelah memberi kode api, Pek Hong pun berdiri di
bawah pohon waru dan tidak bergerak lagi.
Suasana menjadi hening, sepi dan tak kedengaran sedikit
suara pun, ini semua menambah seramnya suasana.
Dengan kepandaian silat yang dimiliki Pek Hong
sekarang, seandainya Seng Tiong-gak memperdengarkan
sedikit suara nafas saja, Pek Hong pasti akan menemukan
jejak mereka. Untung Seng Tiong-gak telah berpesan kepada dua orang
keponakan muridnya agar menahan nafas.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, dari kejauhan
muncul kembali sesosok bayangan manusia, sungguh cepat
gerakan tubuh orang itu. Ia mengenakan baju berwarna hitam, berkain cadar
hitam di wajahnya hingga tak dapat melihat raut wajahnya.
"Kalian sudah mengambil keputusan?" Pek Hong segera
menegur. "Terserah kehendak Hujin!" jawab orang itu.
Pek Hong segera menghela nafas panjang,
"Aaai... Baiklah! Akan kutemui dia lagi."
"Aku akan membawa jalan!" sambil berkata orang
berbaju hitam itu putar badan berangkat lebih duluan.
Tang Cuan tak sabar mengendalikan diri, hampir saja ia
hendak melompat turun dari tempat persembunyiannya
untuk menghadang jalan pergi manusia berbaju hitam itu,
untung niatnya itu dapat dicegah oleh Seng Tiong-gak.
Cepat nian gerakan tubuh kedua orang itu, dalam waktu
singkat mereka sudah lenyap dibalik kegelapan.
Tang Cuan menghembuskan nafas panjang, katanya :
"Susiok, kita harus cepat-cepat menyusul mereka
berdua!" Seng Tiong-gak tertawa getir.
Malam ini adalah malam kedua kutemui perbuatannya
itu, sebelumnya sudah berapa kali pertemuan semacam itu
diadakan, aku sendiri pun tidak begitu mengerti.
"Susiok," kata Cu Siau-hong, "dengan tenaga dalam
Suhu yang sempurna, seharusnya gerak-gerik Subo tak
akan mengelabui ketajaman pendengarannya............"
"Siau-hong, apakah kau tidak tahu kalau Suhumu tiap
malam masih harus duduk bersemedi?"
"Duduk bersemedi setiap malam?"
"Yaa! Setiap kentongan pertama ia mulai bersemedi
hingga kentongan kelima keesokan harinya. Dalam waktu
tersebut ia hampir terputus hubungannya dengan dunia
luar!" "Kenapa Suhu harus duduk semedi tiap malam?"
"Suhumu hendak melatih sejenis ilmu silat, ia
memerlukan sebuah ruangan rahasia secara khusus, hingga
lewat kentongan kelima ia baru keluar dari ruangan
rahasianya." "Jadi kalau begitu, Suhu sama sekali tidak tahu tentang
ulah dari Subo selama ini?"
"Toa-suheng," kata Cu Siau-hong, "Siaute rasa lebih baik
Susiok saja yang memberitahukan kejadian ini kepada
Suhu, yang penting sekarang adalah untuk memahami dulu
siapakah yang akan ditemui Subo" Apa pula maksud serta
tujuannya?" Tang Cuan manggut-manggut, ujarnya :
"Susiok, apa yang musti kita lakukan sekarang?"
"Justru lantaran tak tahu cara untuk mengatasinya, maka
kuundang kedatangan kalian berdua......"
Sesudah menghela napas panjang, ia meneruskan :
"Sesungguhnya Enso adalah seorang perempuan yang
lemah lembut, sikapnya terhadap diriku juga baik dan
ramah, seingatku dia adalah seorang perempuan yang
pantas dihormati dan dipuji, keberhasilan Toa-suheng untuk
membawa Bu-khek-bun dari suatu perguruan kecil menjadi
perguruan yang besar dan terkenal pun sebagian besar


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan hasil bantuannya, karenanya kejadian tersebut
membuat aku amat sedih, sakit hati."
"Susiok, dalam empat lima tahun belakangan ini Suhu
tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan,
Subo sendiri pun selalu tinggal dalam perkampungan Inggwatsan-ceng, seandainya ada orang yang mengadakan
hubungan dengannya, paling tidak kejadian ini telah
berlangsung semenjak lima tahun berselang."
Seng Tiong-gak manggut-manggut.
"Yaa, sejak dia kawin dengan Suheng, kedua orang itu
selalu saling hormat-menghormati, Enso adalah orang yang
lembut dan ramah, seharusnya tak mungkin akan
melakukan tindakan yang melanggar rel kebenaran."
Perkataan semacam ini hanya bisa diucapkan oleh Seng
Tiong-gak, sudah barang tentu Tang Cuan maupun Cu Siauhong
tak berani sembarangan berbicara.
Sesudah termenung sejenak, Tang Cuan kembali berkata
: "Terlepas bagaimanakah akibat dari kejadian itu, sudah
seharusnya bila kita selidiki persoalan ini sampai jelas."
"Sampai sekarang kita masih belum tahu taraf
kepandaian silat yang dimiliki orang itu," kata Seng Tionggak,
"tapi kalau dilihat dari gerakan tubuh orang tadi, tak
bisa diragukan lagi dia adalah seorang jago kelas satu
dalam dunia persilatan, mengerti ilmu silat Subo mu, aku
rasa ia lebih tinggi dari ku, sekalipun kita menyusul ke sana
paling-paling jejak kitalah yang bakal ketahuan."
Cu Siau-hong manggut-manggut.
"Perkataan Susiok memang benar, tampaknya Susiok
memang sudah mempunyai rencana yang matang?"
"Aku sudah memikirkan persoalan ini seharian penuh,
cara memang ada satu, cuma, bersediakah kalian
membantuku?" "Tecu sekalian siap menyumbangkan tenaga," cepatcepat
Tang Cuan dan Cu Siau-hong mengiakan.
Seng Tiong-gak segera membeberkan rencananya,
kemudian membagi tugas untuk kedua orang itu.
Keesokan harinya, selewat setengah hari diam-diam Cu
Siau-hong berangkat meninggalkan perkampungan Inggwatsan-ceng. Kali ini dia berangkat dengan persiapan, satu setel baju
yang compang-camping ia sembunyikan di balik semak
belukar dua li di luar perkampungan.
Setelah berganti pakaian, ia mencoreng-coreng mukanya
dengan tanah lumpur, maka Cu Siau-hong yang tampan
segera berubah menjadi seorang manusia yang lain.
Kini dia telah menjadi seorang pemuda gunung yang
berbaju dekil dan bermuka kotor.
Ketika penyaruan itu dilengkapi pula dengan seekor
kerbau, maka berubahlah Cu Siau-hong menjadi seorang
gembala. Setelah naik ke punggung kerbau dan membawa
seruling, ia menutupi sebagian wajahnya di balik topi lebar
terbuat dari anyaman bambu.
Ketika malang menjelang tiba, pelan-pelan ia berjalan
menuju ke arah mana Pek Hong dan manusia berbaju hitam
itu pergi semalam. Duduk di atas punggung kerbaunya, Cu Siau-hong
berjalan terus ke depan, sementara sepasang matanya
mengawasi sekeliling tempat itu dengan tajamnya.
Senja telah menjelang tiba, burung beterbangan kembali
ke sarangnya. Sudah enam tujuh li Cu Siau-hong melakukan perjalanan
tapi belum juga ditemui sesuatu yang mencurigakan.
Jauh memandang ke depan sana, sebuah tebing yang
tinggi menghadang jalan perginya, jalan makin lama makin
sempit dan berliku-liku. Rupanya tempat itu merupakan sebuah tebing yang
tingginya mencapai lima puluh kaki lebih, sekalipun tidak
terhitung terlalu tinggi, tapi dinding tebingnya lurus
bagaikan papan baja, lagi pula curam dan berbahaya sekali.
Di atas dinding batu yang tak licin tampak ada
tumbuhan, semuanya gersang dan gundul, di antara tebingtebing
itu terdapat pula sebuah batu karang yang menonjol
keluar. Satu ingatan segera melintas dalam benak Cu Siau-hong,
pikirnya : "Meski tebing ini curam, tapi daya pandang luar dan jauh
ke depan jika aku bersembunyi di atas tonjolan batu itu,
semua pandangan dan gerak-gerik manusia yang lewat di
sini dapat kulihat dengan jelas......."
Berpikir sampai si situ ia lantas berputar ke tepi belakang
dinding tebing itu, melepaskan baju penyamarannya,
menyembunyikan sang kerbau dan berangkat ke puncak
tebing. Untung suasana di sekeliling sana sepi, dengan ilmu
cecak ia merambat naik ke atas tebing tersebut dan
menyembunyikan diri di belakang batu besar.
Batu besar itu luasnya beberapa kaki, di bagian
belakangnya merupakan suatu tanah lekukan yang datar,
tempat itu bukan saja bisa dipakai untuk duduk atau
berbaring, tiga empat orang bersembunyi di situ pun masih
muat, kecuali dari atas bisa melihat ke bawah, orang lain
tak nanti mengetahui tempat persembunyiannya itu.
Malam semakin gelap, bulan memancarkan sinar dengan
terangnya.......... Kurang lebih pada kentongan ketiga, tiba-tiba terdengar
suara langkah manusia berkumandang dari kejauhan yang
kian lama kian bertambah mendekat.....
Cu Siau-hong coba mengintip ke bawah, ia saksikan dari
balik tebing kecil muncul sebuah tandu, kecuali dua orang
penggotong tandu itu, di belakang mengikuti pula empat
orang laki-laki berpakaian ringkas warna hitam dan
dandanan mereka sama sekali.
Tandu itu pun berwarna hitam, coba kalau malam itu
secara kebetulan bulan tidak purnama, dengan warna tandu
dan warna baju yang mereka kenakan sungguh sulit untuk
menyaksikan kehadiran mereka.
Setibanya di depan dinding tebing, tandu itu berhenti,
tirai tandu dibuka dan menghadap ke arah perkampungan
Ing-gwat-san-ceng. Keempat orang laki-laki berpakaian ringkas itu segera
memencarkan diri dan berdiri di kedua belah sisi tandu,
sementara dua orang tukang tandu itu berdiri di belakang
tandunya. Dilihat dari posisi tersebut, jelas mereka sedang
melakukan perlindungan terhadap penghuni tandu itu.
Setelah tandu itu berhenti, tak seorang pun di antara
mereka yang bersuara, suasana di sekeliling tempat itu pun
pulih kembali dalam keheningan yang luar biasa.
Tak bisa disangkal lagi, di sinilah pertemuan rahasia itu
diselenggarakan........ Cu Siau-hong pusatkan semua perhatiannya untuk
mengawasi suasana di bawah sana.
Selang sesaat kemudian, dari arah perkampungan Inggwatsan-ceng muncul kembali sesosok bayangan manusia
yang bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Bayangan manusia itu berhenti kurang lebih dua kaki di
depan tandu. Kalau dilihat dari potongan tubuh orang itu, tak salah lagi
kalau dia adalah ibu gurunya Pek Hong.
"Aaah.......... Sunio benar-benar telah datang kemari!"
pikir Cu Siau-hong dengan perasaan terkejut.
Ia lantas menghimpun tenaga dalamnya untuk
mendengarkan pembicaraan yang sedang berlangsung di
bawah sana. Kedengaran orang yang berada dalam tandu itu berkata
dengan suara yang dingin :
"Silakan duduk!"
Seorang lelaki berbaju hitam yang berdiri di samping kiri
segera mengambil sebuah kursi lipatan dari dalam tandu
dan diletakkan di depan tandu itu.
Pelan-pelan Pek Hong maju beberapa langkah ke depan
dan duduk di kursi itu. "Terima kasih!" katanya.
"Hidangkan air teh!" kembali orang dalam tandu itu
berseru. Laki-laki baju hitam yang ada di sebelah kanan
mengambil secawan air teh dari dalam tandu dan dihantar
ke depan. Pek Hong menerimanya dan minum setegukan.
"Terima kasih!" kembali katanya.
"Malam ini adalah pertemuan kita untuk ketujuh kalinya,
aku harap di malam ini juga kita bisa memperoleh suatu
penyelesaian..." Pelan-pelan Pek Hong menurunkan cawan tehnya dan
berkata : "Setiap malam aku telah datang kemari untuk berjumpa
dengan kau, perbuatan ini sudah melanggar adat
kesopanan seorang perempuan yang telah bersuami, maaf
kalau besok malam aku tidak akan datang lagi."
"Maka dari itu, malam ini juga kita harus bisa
memberikan suatu penyelesaian."
Kalau didengar dari pembicaraan mereka berdua,
tampaknya kedua orang itu sudah lama saling berkenalan.
"Bila kau masih mempunyai perasaan persahabatan
denganku, aku harap mengalahlah sebagian untukku," kata
Pek Hong, "kejadian ini sudah berlangsung dua puluh tahun
lamanya, apa lagi yang musti dipersengketakan?"
"Kalau aku bisa menerima kenyataan tersebut, tak nanti
aku akan datang kemari untuk mencarimu," sahut orang
dalam tandu. "Masa mudaku sudah lewat, rambutku mulai memutih,
tahukah kau bahwa aku yang sekarang bukan Pek Hong
yang dulu lagi." "Aku tahu, waktu hanya membawa pergi masa mudamu,
bukanlah rambutku pun telah mulai beruban?"
"Tahun ini anakku telah berusia delapan belas tahun, ia
sudah pantas untuk kawin dan punya anak."
"Bila aku mau kawin, mungkin sekarang pun sudah
membopong cucu!" sambung orang dalam tandu dengan
cepat. "Kalau kau mendesak aku terus menerus, sulit buat kita
untuk berbicara lebih jauh."
"Aku hanya mengharapkan jawabanmu saja,
mengabulkan atau menampik!"
"Aku tidak dapat mengabulkan permintaanmu."
"Jadi kau menampik?"
"Aku........... aku............."
"Aku hendak mendengar dengan mata kepalaku sendiri
kau mengatakan kata tampikan, sebab dengan begitu aku
baru bisa turun tangan."
"Lepaskanlah dia orang tua," pinta Pek Hong, "aku
bersedia menerima kematian dari mu."
Orang dalam tandu itu menghela nafas panjang.
"Aaai...... yang kuminta adalah Pek Hong yang bisa
berbicara dan tertawa, sudah dua puluh tahun aku
menantikanmu, masa aku disuruh menantikan sesosok
mayat!" "Tapi perbuatanmu itu sama pula artinya dengan
memaksa aku untuk mati......"
"Kau harus mengerti, kematianmu tak bisa
menyelesaikan simpul mati ini, bisa jadi urusan malah akan
semakin runyam. Maksudmu, sekalipun aku telah mati, kau pun tak akan
melepaskan mereka?" "Aku tak ingin menyaksikan ada darah yang bercucuran,
lebih-lebih tak ingin melihat ada orang yang binasa, tapi
bila setitik darah sudah meleleh keluar, maka akan lebih
banyak darah lagi yang akan mengucur keluar, bila seorang
mati maka mungkin ada orang yang lebih banyak lagi bakal
mati." Pek Hong menghembuskan napas panjang.
"Kita sama-sama sudah mencapai setengah umur,
apakah persoalan ini harus di kembangkan menjadi suatu
peristiwa berdarah?"
Tiba-tiba orang dalam tandu itu tertawa panjang,
suaranya sedih dan mengenaskan.
"Benar! Kita semua telah mencapai setengah umur,"
katanya, "ia pun sudah mengecap kegembiraan dan
kesenangan bersamamu selama dua puluh tahun, maka
mulai sekarang ia harus menyerahkan kau kepadaku...."
Tiba-tiba Pek Hong melompat bangun, teriaknya :
"Kau ........... kau telah menganggapku sebagai manusia
macam apa?" "Tentu saja sebagai manusia! Seorang manusia yang tak
pernah kulupakan barang sedetik pun selama dua puluh
tahun ini, dalam dua puluh tahun ini aku telah merasakan
penderitaan yang paling besar, aku berlatih ilmu silat
dengan tekun tak lain adalah menunggu kesempatan
seperti hari ini, aku hendak merampasmu kembali dari
cengkeraman Tiong Ling-kang."
"Benarkah kau hendak bertindak buas seperti itu?"
"Pek Hong, bagaimanakah ilmu silat ayahmu, aku rasa
kau pasti mengetahui jelas, aku tidak melakukan tindak
penyergapan atau perbuatan licik lainnya untuk
merobohkan dia, kubekuk dia dengan kepandaian silat yang
kumiliki sekarang, aku tidak percaya kalau kepandaian silat
yang dimiliki Tiong Ling-kang telah melampaui kehebatan
ayahmu." "Bu-khek-bun adalah suatu kekuatan yang besar dan
kuat, keadaannya jauh berbeda dengan keadaan ayahku,
kuat atau lemah ayahku hanya seorang diri ...."
"Aku pun datang dengan membawa banyak jago," sela
orang dalam tandu itu dengan cepat, "tapi asal orang-orang
Bu-khek-bun tidak mengandalkan jumlah banyak untuk
bermain kerubut, aku pun tak akan minta kepada mereka
untuk membantuku, lebih baik lagi jika secara jantan dan
ksatria Tiong Ling-kang berani melakukan duel satu lawan
satu dengan diriku, bila aku mati, kalian boleh hidup


Pena Wasiat Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdampingan sampai hari tua, kalau Tiong Ling-kang yang
mati maka dia harus menerima pembalasan akibat ulahnya
pada dua puluh tahun berselang."
Dari pembicaraan tersebut, seolah-olah dia masih belum
tahu kalau Tiong Ling-kang kini sudah merupakan seorang
jago yang disegani oleh umat persilatan.
Pek Hong menghela napas panjang.
"Aai.......... bagaimana keadaan ayahku sekarang?" ia
bertanya. "Sekarang ayahmu berada dalam keadaan baik-baik,
tidak terluka pun tidak kehilangan ilmu silatnya, cuma jahe
selamanya makin tua makin pedas, maka terpaksa kutotok
jalan darahnya." "Bolehkah kujumpai dirinya?"
"Boleh saja, cuma ia berada di suatu tempat sepuluh li
dari sini, karena aku tidak membawanya serta."
"Sepuluh li dari sini?"
"Di sini ada tandu, dua orang tukang tanduku adalah
orang-orang persilatan yang bertenaga besar, tidak menjadi
soal baginya untuk menggotong kelebihan seorang."
"Duduk setandu denganmu?"
"Yaa, kau tidak berani?"
"Aku tidak berani, kau tahu sekarang aku masih
berstatus Tiong-hujin......."
"Sungguh tak kusangka nona Pek yang liar seperti seekor
kuda dan tidak takut langit tidak takut bumi kini menjadi
seorang perempuan yang alim."
"Dulu dan sekarang berbeda jauh, dulu aku adalah Pek
Hong, sekarang aku telah menjadi istrinya Tiong Ling-kang,
malam-malam kutemui dirimu di sini sudah merupakan
Pedang Pembunuh Naga 7 Pendekar Mabuk 033 Kitab Lorong Zaman Muslihat Para Iblis 1

Cari Blog Ini